EFEKTIVITAS CUPLIKAN SINEMA EDUKASI UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PEMECAHAN MASALAH BAGI SISWA SMP Nugraheni Warih Utami email:
[email protected], Universitas Negeri Malang Ch. Erghiezha N.I.K email:
[email protected], Universitas Kanjuruhan Malang Erik Teguh Prakoso
[email protected], Universitas Kanjuruhan Malang Abstract Problem solving skill is a skill in understanding a problem and finding precise solution to overcome the problem. Adolescence in solving the problem based only on the knowledge and experience alone. Need assessment result, as much as 76% of teenagers tend to stay away from problems, while the other 24% attempt to solve those problems. Parents and other adults tend to get involved and take over the child`s problem solving. Most of the counselors at the school is still using the “advice” in providing counseling to students. The purpose of this study to determine the effectiveness of problem solving skills training guide to using cinemeducation for Junior high school students. Testing the effectiveness of guide performed using experimental design pretest- posttest control group design. The result showed that cinemeducation to the effective improve problem solving skills, because the significant influence in facilitating student’s problem solving skills. Keywords: cinemeducation, problem solving skill. Setiap orang memiliki masalahnya sendiri, termasuk juga remaja. Remaja menurut Hall (dalam Santrock, 1996) berada pada usia 12-23 tahun yang mengalami gejolak (storm and stress). Masa guncangan tersebut ditandai dengan munculnya masalah-masalah yang dialami remaja dan perubahan suasana hati remaja. Pada usia ini mereka mudah mengalami perubahan perasaan dan sikap dalam berinteraksi dengan lingkungannya, sehingga mengalami pergolakan antara mengikuti kata hatinya atau mengikuti lingkungan sekitarnya. Pengaruh lingkungan juga meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan remaja dalam berinteraksi dengan lingkungan yang semakin meluas.
Interaksi remaja dengan lingkungannya memunculkan pertentangan-pertentangan. Hurlock (2004) menyebut remaja merupakan usia yang bermasalah. Remaja mulai mengharapkan lingkungan mulai memandang mereka sebagai individu yang beranjak dewasa dengan segala konsekuensinya. Dalam keyakinannya tersebut, mereka juga merasa dirinya mampu menyelesaikan masalah tanpa bantuan orang dewasa. Disisi lain orang tua dan orang dewasa cenderung mengkhawatirkan remaja dan kurang percaya akan kemampuan remaja dalam menyelesaikan masalahnya. Kekhawatiran tersebut terjadi karena remaja dianggap tidak memiliki kemampuan dan tidak 917
918
JPPI, Jilid 6, Nomor 9, Edisi Oktober 2014, hlm: 901-1020
berpengalaman dalam menyelesaikan masalahnya sendiri. Remaja dalam menyelesaikan masalah hanya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman saja. Hal ini diungkapkan oleh Carey, Flavell, Miller, & Miller (dalam Davidson, 2003) bahwa pemikiran operasional formal cenderung digunakan remaja dalam menghadapi masalah bila mereka memiliki pengalaman atau pengetahuan tentang bidang yang menjadi masalah. Remaja berupaya memecahkan masalah hanya berdasarkan pengetahuan yang ia peroleh dari pengalaman yang dialaminya dan pengalaman yang dialami orang lain, tanpa mempertimbangkan bagaimana masalah tersebut seharusnya diselesaikan. Remaja terbiasa langsung memilih satu solusi yang terkadang belum dipikirkan secara matang bagaimana dampak positif dan dampak negatifnya. Remaja juga menggunakan berbagai media untuk mendapatkan informasi terkait dengan masalah yang dialaminya, usaha pencarian informasi tersebut bisa juga menjadi menyesatkan bagi remaja, bila mereka tidak memiliki pengetahuan yang benar terkait dengan masalah yang dialaminya. Ada juga remaja yang mencoba-coba atau melakukan trial and error dalam membuat suatu keputusan, yang justru membuat mereka mengalami masalah yang rumit dan bahkan berhadapan dengan sanksi sosial dari masyarakat. Pengetahuan remaja mengenai keterampilan tersebut jarang sekali diperoleh dari orang tua sebagai pendidik primer, karena sejak kanak-kanak tidak dilatihkan bagaimana cara memecahkan masalah. Pengenalan keterampilan
memecahkan masalah selama ini hanya sebatas menemukan jalan keluar saja. Upaya menemukan jalan keluar ini pula yang kurang mempertimbangkan berbagai macam dampak positif dan negatif. Orang tua dan orang dewasa lain cenderung berperan aktif dan mengambil alih penyelesaian masalah anak-anak mereka dengan memberi satusatunya penyelesaian, daripada mengajarkan bagaimana cara menyelesaikan masalah. Remaja tidak memiliki bekal pengetahuan mengenai bagaimana bersikap dalam menghadapi masalah dan bagaimana menyelesaikan masalah. Kemampuan remaja dalam menghadapi masalah ada dua macam yaitu ada yang menyelesaikan masalah dan ada yang menghindari masalah. Remaja yang berupaya menyelesaikan masalah akan berusaha menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri dan ada juga yang melakukan konsultasi mengenai masalahnya dengan orang tua, dan orang dewasa lain. Ada juga remaja yang berupaya menyelesaikan masalah dengan mendiskusikan masalah dengan teman sebaya atau mencari berbagai macam informasi untuk mencari solusi alternatif yang tepat. Kebiasaan tersebut akan menjadi tidak tepat apabila solusi yang diberikan akan menyesatkan atau menjerumuskan remaja dan bahkan dapat menimbulkan masalah baru. Karena pola pikir remaja yang terkadang hanya memikirkan mengenai dirinya, membuat mereka kurang dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan yang tepat terkait dengan bagaimana lingkungan dan pertimbangan yang lain. Hal yang dilakukan remaja yang tidak dapat menyelesaikan
Nugraheni, Erghiza, Erik, Efektifitas Cuplikan Sinema…
masalahnya, akan cenderung lari dari masalah atau mengambil jalan pintas dalam menyelesaikan masalah. Ini diperkuat oleh pendapat Goleman (1999) yang menyebutkan bahwa seseorang yang mudah putus asa, melarikan diri dari masalah, memiliki rasa rendah diri dan konflik batin, mudah menyalahkan orang lain, tidak peka terhadap perasaan orang lain, serta menggunakan cara singkat atau jalan pintas dalam menyelesaikan masalah dan mudah frustasi mengindikasikan seseorang yang kurang memiliki kecerdasan emosi. Konselor di sekolah dalam usahanya membantu remaja, sebagian besar masih cenderung menggunakan metode ”nasihat” dalam memberikan konseling pada siswa. Konselor juga tidak mengajarkan bagaimana melakukan proses memecahkan masalah, untuk membantu remaja menyelesaikan masalahnya secara mandiri. Hal ini karena konselor seringkali hanya memberikan satu-satunya jalan dengan menasehati, tanpa mempertimbangkan apakah nasihat tersebut tepat untuk remaja. Kebiasaan ini pula yang membuat remaja tergantung pada konselor bila mengalami masalah yang lain lagi. Ada juga konselor yang memberikan materi mengenai cara memecahkan masalah, tetapi penyampaiannya hanya melalui ceramah, sehingga siswa mengalami kesulitan dalam menerapkan cara memecahkan masalah ketika menghadapi masalah yang lebih khusus. Konselor juga mengalami kesulitan dalam melatihkan keterampilan pemecahan masalah, karena belum adanya panduan untuk melatihkan keterampilan pemecahan masalah bagi siswa SMP yang benar-benar
919
melatihkan bagaimana memecahkan masalah dengan contoh nyata masalah remaja pada umumnya. Keterampilan memecahkan masalah merupakan salah satu keterampilan hidup yang perlu dimiliki oleh siswa. Terkait hal ini menurut Glanz (dalam Shertzer & Stone, 1993) kemampuan individu memecahkan masalah merupakan bagian yang sangat mendasar bagi belajar dan kehidupan. Konselor di sekolah memiliki peranan penting dalam membimbing dan melatihkannya bagi siswa di sekolah dengan menggunakan metode yang menarik dan mudah untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu metode yang menarik yang dapat memberikan contoh masalah nyata pada remaja dapat dilakukan dengan menggunakan media film. Film memberikan gambaran yang nyata yang mudah ditiru oleh remaja. Film memberi pengalaman kognitif dan afektif secara bersamaan bagi penontonnya. Remaja dapat membayangkan keadaan masalah dalam film yang mungkin memiliki kesamaan keadaan yang dialaminya. Pemilihan film yang tepat dapat memberikan gambaran yang nyata mengenai masalah remaja dan cara memecahkannya. Hasil need assesmen yang dilancarkan di sekolah diperoleh 76% siswa dalam menghadapi masalah, mereka cenderung menghindari masalah dan 24 % siswa berupaya menyelesaikan masalahnya. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara diperoleh hasil sebagai berikut: siswa SMP sebagian besar cenderung tertutup ketika menghadapi masalah, mereka cenderung bercerita masalah kepada
920
JPPI, Jilid 6, Nomor 9, Edisi Oktober 2014, hlm: 901-1020
teman sebaya saja. Dalam menyelesaikan masalah siswa SMP cenderung coba-coba atau melihat berdasarkan pengalaman orang lain yang mereka ketahui saja. Konselor tidak memiliki metode atau teknik dalam membantu siswa memecahkan masalah secara mandiri. Konselor di sekolah menjelaskan pemecahan masalah hanya dengan ceramah di depan kelas. Konselor sebagian besar terpaku pada penggunaan LKS dalam mengajar. Konselor cenderung menunggu MGBK berperan untuk membantu mengembangkan metode dan teknik pembelajaran untuk Bimbingan dan Konseling. Berdasarkan latar belakang masalah, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui efektivitas sinema edukasi untuk meningkatkan keterampilan pemecahan masalah bagi siswa SMP. METODE PENELITIAN Metode dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain penelitian eksperimental yaitu desain pretest- posttest control group design. Dalam penelitian ini berupaya membandingkan 40 subyek penelitian sebagai kelompok kontrol dan 40 subyek penelitian sebagai kelompok eksperimen. Subyek dari penelitian ini adalah siswa-siswa SMP di kota Malang yang berasal dari sekolah yang berbeda-beda. Dalam desain ini kedua kelompok diberi tes awal (pretest) dengan menggunakan Skala keterampilan Pemecahan Masalah. Kemudian kelompok kontrol diberikan pelatihan keterampilan pemecahan masalah dengan menggunakan ceramah seperti yang biasa dilakukan konselor di sekolah, sedangkan kelompok eksperimen diberi pelatihan keterampilan
pemecahan masalah dengan menggunakan metode sinema edukasi. Kedua kelompok kemudian dites dengan tes yang sama dengan menggunakan Skala keterampilan Pemecahan Masalah sebagai tes akhir (posttest). Hasil kedua tes akhir diperbandingkan demikian juga hasil tes awal dengan tes akhir pada masing-masing kelompok. Perbedaan yang berarti (signifikan) antara kedua hasil tes akhir dan antara tes awal dan akhir pada kelompok eksperimen menunjukkan pengaruh dari perlakuan yang diberikan. Penelitian ini menggunakan instrument yaitu: (1) bahan perlakuan yang terdiri dari panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah untuk konselor, buku panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah untuk siswa yang dilengkapi dengan cuplikan film, (2) instrument pengumpulan data berupa Skala keterampilan pemecahan masalah untuk SMP, lembar tugas, dan pedoman. Konsep keterampilan pemecahan masalah tidak dapat dilepaskan dari aspek atau komponen yang diperlukan dalam proses pemecahan masalah. Anderson (2003) mengemukakan pemikiran mengenai dua aspek penting dalam memecahkan masalah, yaitu sikap-sikap dan tindakan seseorang dalam memecahkan masalah. Sikap-sikap yang dimaksud dalam pemecahan masalah tersebut tampak pada pola pikir yang ditunjukkan seseorang ketika berhadapan dengan masalah. Sikap-sikap tersebut yaitu: berpikir positif terhadap masalah, berpikir positif terhadap kemampuan memecahkan masalah dan berpikir secara sistematis. Hal ini senada
Nugraheni, Erghiza, Erik, Efektifitas Cuplikan Sinema…
dengan Jonassen dan Tessmer (1996) bahwa untuk menyelesaikan masalah, pembelajar perlu memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu dan keyakinan bahwa mereka bisa menyelesaikan masalah. Aspek motivasi dan sikap tersebut terdiri dari usaha, kepercayaan, keinginan, ketekunan dan pengetahuan tentang diri adalah penting dalam proses pemecahan masalah. Keterampilan pemecahan masalah memerlukan tahapan yang tepat dan mudah untuk digunakan dan dipahami. Untuk melatihkan keterampilan tersebut tahapan yang digunakan adalah tahapan pemecahan masalah interpersonal yang dikembangkan oleh James W. Forgan. Forgan(2003) mengembangkan tahapan yang disingkat I SOLVE dengan menggunakan teknik Bibliotherapy. Tahapan ini diberikan kepada siswa dengan menggunakan buku-buku bacaan yang dipilih untuk melatihkan keterampilan tersebut. Tahapan pemecahan masalah interpersonal I SOLVE menurut Forgan (2003) terdiri dari to Identify (Identifikasi Masalah), brainstorming Solutions (Menemukan Solusi), Obstacles (hambatan), Looking (Mempertimbangkan), Validate(uji coba), dan Evaluate (evaluasi). Siswa perlu mendapatkan latihan-latihan untuk belajar bagaimana menjadi pemecah masalah yang mandiri. Dreikurs dan Cassel (dalam Forgan, 2003) menyatakan bahwa siswa akan dapat menjadi pemecah masalah yang efisien dengan mengembangkan kontrol diri dan membentuk lingkungan kelas yang positif. Teknik pelatihan keterampilan pemecahan masalah yang perlu dilatihkan kepada siswa perlu mempertimbangkan bagaimana
921
caranya agar proses pelatihan dapat lebih mudah dipahami siswa, dan dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Gresham, Sugai dan Horner (dalam Forgan, 2003) menyarankan agar para guru mengajarkan keterampilanketerampilan sosial dalam setting yang alami, dengan menggunakan contoh-contoh yang ada dalam kehidupan nyata dan pembelajaran yang memanfaatkan berbagai peristiwa yang terjadi secara alami. Untuk memberikan gambaran kehidupan nyata pada siswa maka pelatihan keterampilan pemecahan masalah akan menggunakan beberapa film yang berdasarkan kisah nyata, sehingga siswa memiliki pengalaman yang riil dari pengalaman orang lain dan keberhasilan orang lain dalam memecahkan masalah. Pengalaman-pengalaman nyata yang akan diajarkan pada siswa melalui film tersebut bertujuan untuk membantu konselor lebih proaktif dan memampukan siswa dalam menyelesaikan masalah yang dialaminya. Kemampuan siswa dalam penyelesaian masalah tersebut juga diperlukan untuk membuat siswa dapat lebih terampil dalam memecahkan masalah. McCarty dan Chalmers (dalam Forgan, 2003) berpendapat bahwa siswa dalam pendidikan akan mendapat keuntungan dari pengembangan keterampilan pemecahan masalah, karena mereka akan mendapat pengalaman yang sulit di masa datang. Dengan mengembangkan keterampilan tersebut, siswa akan dapat melakukan pencegahan terhadap masalah dan mampu mengembangkan kemampuannya menjadi pemecah masalah yang efektif.
922
JPPI, Jilid 6, Nomor 9, Edisi Oktober 2014, hlm: 901-1020
Cinematherapy menurut Tyson, Foster dan Jones adalah pendekatan terapeutik yang relatif baru yang mempersiapkan klien untuk menyaksikan dan menilai film berdasarkan interaksi karakter dengan yang lain, lingkungannya dan masalah pribadi, dengan cara mengembangkan penghubung untuk menyelesaikan terapeutik positif (Myric, 2010). Terapi ini merupakan teknik bantuan terbaik yang singkat, pelatihannya dinamis karena menggunakan cara memfasilitasi dengan cepat antara pemahaman pribadi dan terapeutik antara konselor dan klien (Berg-cross, Jennings & Baruch, 1990). Cinemeducation dikembangkan oleh Alexander M., Hall MM, dan Pettice YJ (www.ncbi.nlm.nih.gov.mht) yang digunakan sebagai pendekatan inovatif untuk mengajarkan psychosocial medical care. Dalam pembelajaran tersebut digunakan cuplikan film yang tepat dengan pembelajaran selama satu jam. Pembelajaran dengan film dianggap efisien karena memberikan pengalaman emosional berhubungan dengan jurusan dan pembelajarannya. Keberhasilan cinemeducation dilihat dari penyimpanan film dalam kaset video, tampilan televisi secara jelas di kelas, volume speaker yang tepat untuk mendengar dialog tanpa terganggu, kesediaan penonton untuk terbuka terhadap dampak dari emosi dalam film serta kesesuaian adegan film yang digunakan yang sesuai dengan kurikulum pendidikan kesehatan. Cinemeducation digunakan oleh by Nuttha Lumlertgul, Naruchorn Kijpaisalratana, Nuttorn Pityaratstian, Danai Wangsaturaka
sebagai panduan proyek siswa untuk membantu belajar profesionalisme kesehatan (www.mendeley.com). Kegiatan tersebut menggunakan 5 film yang mengandung isu professional pada adegan-adegannya. Kegiatan tersebut dilakukan pada 2030 siswa selama 60 menit setiap sesi. Hasil dari proyek sinemeducation menunjukkan bahwa penggunaan skenario berdasarkan kasus dalam film dapat membuktikan bahwa metode yang menghibur efektif dalam memfasilitasi siswa untuk belajar profesionalisme. Menonton film secara khusus dapat membantu menentukan pengalaman klien sebagai kondisi yang diamati dan keadaan yang dimiliki. Dengan melihat dan mendiskusikan cerita, perjuangan karakter, dan dilema moral saat ini dalam film khusus, klien dan terapis dapat memasuki isi kiasan penuh arti klien (Solomon, 2001). Film juga yang menyajikan contoh tingkah laku nyata yang bisa menjadi model oleh siswa. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil eksperimen yang dilakukan hasil pretest dan posttest yang dilakukan pada kelompok control dan kelompok eksperimen menunjukkan bahwa cuplikan film dapat berpengaruh dalam meningkatkan keterampilan pemecahan masalah siswa SMP. Berdasarkan perhitungan uji beda, maka rata-rata penggunaan pelatihan keterampilan pemecahan masalah menggunakan sinema edukasi dan rata-rata menggunakan metode Ceramah adalah berbeda secara signifikan. Rata-rata nilai penggunaan pelatihan keterampilan pemecahan masalah dengan menggunakan Sinema edukasi
Nugraheni, Erghiza, Erik, Efektifitas Cuplikan Sinema…
(120,700) lebih tinggi daripada ratarata pelatihan keterampilan pemecahan masalah menggunakan metode Ceramah (107,550).
923
Perbandingan pelatihan keterampilan pemecahan masalah menggunakan metode ceramah dan sinema edukasi dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Pelaksanaan Pelatihan Kelompok Kontrol dengan metode Ceramah Klasifikasi Sangat Tinggi Tinggi Rendah Sangat Rendah Total
Rentangan Skor 121-148 93-120 65-92 37-64
Frekwensi Prosentase 7 26 7 0 40
17,5% 65% 17,5% 0% 100%
Dari tabel 1 dapat dideskripsikan dari 40 siswa yang mendapatkan pelatihan keterampilan pemecahan masalah dengan metode ceramah, kemampuan7 siswa (17,5 %) memiliki keterampilan pemecahan masalah termasuk kategori sangat tinggi, 26 siswa (65%) memiliki keterampilan pemecahan masalah termasuk kategori tinggi, dan 7 siswa (17,5%) memiliki keterampilan pemecahan masalah termasuk kategori rendah. Tabel 2. Pelaksanaan Pelatihan Kelompok Eksperimen dengan Sinema Edukasi Klasifikasi Sangat Tinggi Tinggi Rendah Sangat Rendah
Rentangan Skor 121-148 93-120 65-92 37-64 Total
Dari tabel 2 dapat dideskripsikan dari 40 siswa yang mendapatkan pelatihan keterampilan pemecahan masalah dengan metode sinema edukasi, kemampuan 21 siswa (52,5%) memiliki keterampilan pemecahan masalah termasuk kategori sangat tinggi, dan 19 siswa (47,5%) memiliki keterampilan pemecahan masalah termasuk kategori tinggi. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa cuplikan film (sinema edukasi) efektif digunakan untuk meningkatkan keterampilan
Frekwensi 21 19 0 0 40
Prosentase 52,5% 47,5% 0.00% 0.00% 100%
pemecahan masalah bagi siswa SMP. Berikut ini akan dijelaskan keunggulan menggunakan cuplikan film. Pertama, keterampilan pemecahan masalah merupakan kemampuan individu dalam menghadapi keadaan dan menemukan jalan keluar dari kondisi yang dialami. Dalam upaya tersebut melibatkan proses kognitif, afektif dan behavioral yang mencoba untuk mengidentifikasi, menemukan arti penting dalam menghadapi masalah sehari-hari secara efektif ( D’Zurilla
924
JPPI, Jilid 6, Nomor 9, Edisi Oktober 2014, hlm: 901-1020
(dalam Cormier & Nurius, 2003). Dalam upaya melibatkan proses kognitif,afektif dan behavioral dapat dicapai dengan menonton cuplikan film. Dengan menonton cuplikan film akan mempengaruhi pemahaman dan pengetahuan siswa akan keadaan masalah. Siswa juga merasakan keadaan yang dialami tokoh dan tokoh dalam cuplikan film dapat menunjukkan tingkah laku yang tepat dalam menyelesaikan masalahnya. Kedua, dalam melatihkan keterampilan pemecahan masalah menurut Anderson (2003) diperlukan pemikiran mengenai dua aspek penting dalam memecahkan masalah, yaitu sikap-sikap dan tindakan seseorang dalam memecahkan masalah. Melalui film siswa dapat melihat bagaimana sikap yang harus dimiliki seorang pemecah masalah dan bagaimana tindakan seseorang dalam memecahkan masalah. Film yang digunakan dalam pelatihan ini dipilih merupakan film yang tokohnya dapat menunjukkan sikap seorang problem solver yang tidak mudah menyerah pada masalah dan melakukan tindakan untuk menyelesaikan masalah dengan tepat. Penentuan film yang digunakan harus memenuhi criteria tersebut. Ketiga, dalam mengajarkan dan melatihkan keterampilan pemecahan masalah, siswa perlu mendapatkan contoh yang nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat Gresham (dalam Forgan, 2003) yang menyarankan agar para guru mengajarkan keterampilanketerampilan sosial dalam setting yang alami, dengan menggunakan contoh-contoh yang ada dalam kehidupan nyata dan pembelajaran
yang memanfaatkan berbagai peristiwa yang terjadi secara alami. Pelatihan keterampilan dengan menggunakan cuplikan film memberikan gambaran pengalaman nyata melalui gambaran masalah sehari-hari yang dialami remaja, seperti hubungan orang tua dengan anak, pertemanan dan penyesuaian diri remaja. Ketika siswa menonton cuplikan film, mereka mendapatkan contoh nyata masalah dalam kehidupan sehari-hari remaja. hal ini berbeda ketika pelatihan yang diberikan hanya berupa ceramah, siswa mengalami kesulitan membayangkan contoh masalahnya. Jacobsen (2009) berpendapat bahwa banyak siswa mengalami kesulitan mengidentifikasi masalah karena tidak diberi praktik yang cukup untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Untuk menjawab pendapat tersebut, maka digunakan cuplikan film yang dapat menjadi cermin bagi remaja dalam memecahkan masalah yang dialami sehari-hari. Penggunaan film tersebut untuk memberikan pengalaman nyata bagi siswa dengan membayangkan mengalami masalah seperti dalam tokoh film secara tidak langsung. Keempat, penggunaan cuplikan film dalam melatihkan keterampilan pemecahan masalah sesuai dengan alasan penggunaan sinema terapi di setting pendidikan. Wu (2008) berpendapat bahwa banyak anak-anak yang suka untuk melihat televisi dan film, film memungkinkan konselor sekolah dengan cepat menangkap perhatian siswa dan berhubungan dengan siswa secara kognitif dan level pengembangan dengan menggunakan film yang sesuai
Nugraheni, Erghiza, Erik, Efektifitas Cuplikan Sinema…
siswa, film menyediakan pembelajaran dari budaya yang terkenal, film dapat mendidik siswa melakukan tingkah laku yang tepat, film memberi kesempatan siswa untuk berdiskusi secara menarik. Penggunaan cuplikan film dalam pelatihan keterampilan pemecahan masalah lebih menarik bagi siswa di sekolah. karena seringkali konselor hanya memberikan ceramah dalam memberikan materi bagi siswa. Melalui film konselor berupaya mendidik siswa melakukan tingkah laku yang tepat dalam menyelesaikan masalah sehari-hari dengan mempengaruhi melalui pemahaman siswa melalui film. Cuplikan film yang ditunjukkan akan menarik perhatian siswa untuk melihat dan merasakan kondisi yang terjadi dalam film, sehingga siswa mengalami pengalaman nyata menghadapi masalah melalui menonton film. SIMPULAN Hasil penelitian yang dilakukan dengan melakukan eksperimen dengan membandingkan kelompok kontrol yang pelatihan keterampilan pemecahan masalah diberi ceramah dan kelompok eksperimen yang pelatihan keterampilan pemecahan masalahnya menggunakan sinema edukasi menunjukkan hasil yang berbeda. Rata-rata nilai penggunaan pelatihan keterampilan pemecahan masalah dengan menggunakan Sinema edukasi (120,700) lebih tinggi daripada rata-rata pelatihan keterampilan pemecahan masalah menggunakan metode Ceramah (107,550). Hasil pelatihan keterampilan pemecahan masalah dengan sinema edukasi memberi
925
pengaruh yang signifikan dalam memudahkan siswa memiliki keterampilan pemecahan masalah. DAFTAR PUSTAKA Anderson,B.F. 1980. The Complete Thinker: A Handbook Of Techniques For Creative and Critical Problem Solving. Prentice-Hall,Inc. New Jersey. Berg-Cross, L., Jennings, P., & Baruch, R. (1990). Cinematherapy: Theory and application. Psychotherapy in Private Practice, 8 (1) p135 157 Bierman, J.S., Kreiger, A. R., and Leifer, M. (2003). Group cinematherapy as a treatment modality for adolescent girls. Residential Treatment for Children & Youth, Vol. 21(1) Borg, W.R. and Gall, M.D. 1983. Education Research. Longman Inc. New York. Davidson, Janet, E. and Sternberg, Robert, J. 2003. The Psychology Of Problem Solving. Cambridge University Press. New York. Demir,
Elif, Senem. Cinema Therapy. http://www.psinema.metu.ed u.tr. Diakses 10 November 2010.
Dermer, S.B., & Hutchings, J.B. (2000). Utilizing movies in family therapy: Applications for individuals, couples, and families. American Journal
926
JPPI, Jilid 6, Nomor 9, Edisi Oktober 2014, hlm: 901-1020
of Family Therapy, 28, 163180. Forgan, James, W. 2003. Teaching Problem Solving Through Children’s Literature. Greenwood Publishing Group,Inc. Florida. Forgan, James, W. Using bibliotherapy to teach problem solving. Intervention in social and clinic vol.38, No.2 November 2002.
Therapeutic Metaphor Counseling Academic and Professional Honor Society International (CSI) News letter Vol. 15 No 2 spring 2000. http://www. csinet.org/publications/news/ 99998500.html. diakses 18 Mei 2010.
Goleman, D. 1999. Working with Emotional Intelligences. Bloomsbury Publishing Plc. London.
Jonassen, D., & Tessmer, M. 1996. An outcomes-based taxonomy for the design, evaluation, and research on instructional systems. Training Research Journal. Santrock, John W. 1996. Adolescence, 6 Edition. Times Mirror Higher Education. USA.
Hall, Elizabeth. 1983. Psychology Today: An Introduction. Fifth Edition. Random House. New York.
Shetzer, B and Stone, S.C. 1993. Fundamental Of Guidance. Bruce Shetzer and Shelley C. Stone. USA.
Hurlock, 2004. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan Edisi Kelima. Erlangga. Yogyakarta.
The Joint Committee on Standards for Educational Evaluation. 1980. Standards For Educational Programs, Project, and Materials. McGraw-Hill Book Company. New York.
Jacobsen, David,A., Eggen, Paul., and Kauchak, Donald. 2009. Methods For Teaching: Promoting Student Learning in K-12 Classrooms. Pearson Education, Inc. New Jersey. Jones, Cindy. 2000. Professionally Speaking: Using Movies as a
Wu, Angela, Zhe. 2008. Applying Cinema Therapy With Adolescent and A Cinema Therapy Workshop. California State University. East Bay.