EFEKTIVITAS BLADDER TRAINING TERHADAP RETENSI URIN PADA PASIEN POST OPERASI BPH DI RUANG MAWAR RSUD DR SOEHADI PRIJONEGORO SRAGEN
SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan
Oleh : Dwi Wiyono NIM. ST 14015
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
EFEKTIVITAS BLADDER TRAINING TERHADAP RETENSI URIN PADA PASIEN POST OPERASI BPH DI RUANG MAWAR RSUD DR SOEHADI PRIJONEGORO SRAGEN
Oleh: Dwi Wiyono NIM. ST 14015
Telah dipertahankan di depan penguji pada tanggal 04 Februari 2016 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Keperawatan
Pembimbing Utama,
Pembimbing Pendamping,
Anita Istiningtyas,S.Kep,Ns.M.Kep Ika Subekti Wulandari,S.Kep,Ns,M.Kep NIK. 201087055
NIK. 201189097 Penguji,
bc. Yeti Nurhayati,M.Kes NIK. 201378115 Surakarta, 04 Februari 2016 Ketua Program Studi S-1 Keperawatan,
Atiek Murhayati,S.Kep.Ns.M.Kep NIK. 200680023
ii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama
: Dwi Wiyono
NIM
: ST 14015
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1) Karya tulis saya, Skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (sarjana), baik di STIKES Kusuma Husada Surakarta maupun di perguruan tinggi lain. 2) Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan masukan Tim Penguji. 3) Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka. 4) Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku diperguruan tinggi ini. Surakarta, Januari 2016 Yang membuat pernyataan,
Dwi Wiyono NIM ST 14015
iii
KATA PENGANTAR Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan YME, atas rahmat dan hidayahNya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penyusunan Skripsi yang berjudul “EFEKTIVITAS BLADDER TRAINING TERHADAP RETENSI URIN PADA PASIEN POST OPERASI BPH DI RUANG MAWAR RSUD DR SOEHADI PRIJONEGORO SRAGEN”. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Keperawatan pada Program Studi Transfer S1 Keperawatan Stikes Kusuma Husada Surakarta. Dan dalam penyusunan proposal skripsi ini, peneliti banyak menghadapi berbagai macam kesulitan an hambatan. Namun berkat bantuan dari beberapa pihak, hal tersebut akhirnya dapat teratasi. Untuk itu pada kesempatan ini perkenankanlah peneliti mengucapkan banyak terima kasih dan memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat: Wahyu Rima Agustin,S.Kep.Ns.M.Kep selaku Ketua Stikes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti
dan
menyelesaikan
pendidikan
Program
Studi
Transfer
S1
Keperawatan . 1. Atiek Murhayati,S.Kep.Ns.M.Kep selaku Kaprodi S1 Keperawatan Stikes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan kesempatan, bimbingan dan arahan untuk mengikuti pendidikan Program studi Transfer S1 Keperawatan. 2. Anita Istiningtyas,S.Kep.Ns.M.Kep selaku dosen pembimbing utama yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan pengalaman.
iv
3. Ika Subekti Wuandari,S.Kep.Ns.M.Kep selaku dosen pembimbing pendamping yang telah banyak memberikan bimbingan, dukungan, dan motivasi. 4. bc Yeti Nurhayati,M.Kes selaku dosen penguji yang telah membantu penelitian ini dapat selesai dengan cukup baik. 5. RSUD dr. Soehadi Prijonegoro sebagai tempat penelitian sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan lancar. 6. Segenap Responden penelitian dibangsal Mawar RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen yang telah bersedia menjadi responden penelitian. 7. Orang tua dan Istri tercinta yang selalu memberikan doa dan dukungannya kepada peneliti sehingga proposal skripsi ini dapat selesai. 8.
Untuk semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian tugas ini peneliti ucapkan banyak terima kasih atas doa dan dukungannya. Semoga segala bantuan yang telah diberikan kepada kami mendapat
pahala dan balasan dari Tuhan YME. Peneliti menyadari bahwa penyusunan Skripsi ini masih terdapat banyak sekali kekurangan, maka dari itu peneliti sangat mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan selanjutnya. Akhir kata peneliti berharap semoga proposal skripsi ini akan bermanfaat bagi peneliti pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Surakarta, Januari 2016 Peneliti Dwi Wiyono
v
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL
i
HALAMAN PENGESAHAN
ii
HALAMAN SURAT PERNYATAAN
iii
KATA PENGANTAR
iv
DAFTAR ISI
vi
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR BAGAN
ix
DAFTAR LAMPIRAN
x
ABSTRAK
xi
ABSTRACT
xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1
1.2 Rumusan Masalah
4
1.3 Tujuan Penelitian
5
1.4 Manfaat Penelitian
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori
8
2.2 Keaslian Penelitian
37
2.3 Kerangka Teori
40
2.4 Kerangka Konsep
41
2.5 Hipotesa
42 vi
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
43
3.2 Populasi dan Sampel
43
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian
45
3.4 Variabel,Definisi Operasional & Skala Pengukuran
45
3.5 Alat Penelitian dan Cara Mengumpulkan Data
47
3.6 Teknik Pengolahan dan Anaisa Data
49
3.7 Etika Penelitian
51
BAB IV HASIL PENELITIAN Karakteristik Responden
53
Uji Univariat
54
Uji Bivariat
55
BAB V PEMBAHASAN Karakteristik Responden
59
Uji Univariat
60
Uji Bivariat
67
BAB VI PENUTUP Simpulan
75
Saran
76
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1 Keaslian Penelitian
37
Tabel 3.1 Variabel,Definisi Operasional, dan skala pengukuran
46
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Umur Responden Kelompok Perlakuan
53
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Umur Responden kelompok Kontrol 53 Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Retensi Urin Kelompok Perlakuan Pre Bladder Training
54
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Retensi Urin Kelompok Perlakuan Post Bladder Training
54
Tabel 4.5 Data Distribusi Frekuensi Retensi Urin Kelompok Pre Kontrol
55
Tabel 4.6 Data Distribusi Frekuensi Retensi Urin Kelompok Post Kontrol
55
Tabel 4.7 Crosstabulation Hasil Pre dan Post Test Kelompok Perlakuan
55
Tabel 4.8 Data Descriptive Statistics Hasil Pre Test dan Post Test Kelompok Perlakuan
56
Tabel 4.9 Data Crosstabulation Pre Test dan Post Test Kelompok Kontrol
56
Tabel 5.0 Data Descriptive Statistics Hasil Pre Kontrol dan Post Kontrol Kelompok Kontrol
57
Tabel 5.1 Crosstabulation Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
58
Tabel 5.2 Tabel Perbedaan Retensi Urin Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
58
viii
DAFTAR BAGAN Halaman Bagan 2.1 Kerangka Teori
40
Bagan 2.2 Kerangka Konsep
41
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Jadwal Penelitian
Lampiran 2.
Pengajuan Ijin Studi Pendahuluan (F.04)
Lampiran 3.
Pengajuan Ijin Penelitian (F.07)
Lampiran 4.
Surat Permohonan Ijin Penelitian
Lampiran 5.
Surat Permohonan Ijin Penelitian Lahan
Lampiran 6.
Lembar Persetujuan Responden
Lampiran 7.
Surat Pernyataan / Persetujuan (Informed Consent)
Lampiran 8.
SOP Bladder Training
Lampiran 9.
Lembar Observasi Frekuensi Urin Penelitian
Lampiran 10. Lembar Konsultasi Lampiran 11 Lembar hasil olah data SPSS
x
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016
Dwi Wiyono Efektivitas Bladder Training Terhadap Retensi Urin Pada Pasien Post Operasi BPH Di Ruang Mawar RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen
Abstrak
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) memerlukan penanganan yang cukup serius, salah satunya adalah tindakan operasi Trans Urethral Resection Prostate (TURP). Komplikasi dari TURP adalah resiko terjadinya retensi urin. Intervensi yang dapat dilakukan pada kondisi retensi urin adalah tindakan bladder training. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas bladder training terhadap retensi urin pada pasien post operasii BPH diruang Mawar RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. Desain penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain Quasy eksperimental dengan rancangan penelitian Non equivalent control group design pretest – post test. Sampel yang digunakan berjumlah 20 orang pasien post operasi BPH (TURP) yang dibagi menjadi dua, yaitu 10 orang untuk kelompok perlakuan dan 10 orang untuk kelompok kontrol. Uji analisa data yang digunakan adalah uji Fisher Exact test. Instrument penelitian menggunakan lembar observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan nilai p value 0,020 < 0,05. Sehingga H0 ditolak yang artinya terdapat efektivitas bladder training terhadap retensi urin pada pasien post operasi BPH di ruang Mawar RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. Kesimpulan penelitian ini adalah Bladder training terbukti efektif dalam menurunkan resiko kejadian retensi urin pada pasien post operasi BPH diruang Mawar RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. Kata kunci: bladder training, retensi urin, TURP, BPH Daftar pustaka: 39 (1992-2015)
xi
BACHELOR OF NURSING PROGRAM SCHOOL OF HEALTH SCIENCES OF KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016
Dwi Wiyono
The Effectiveness of Bladder Training on Urinary Retention of Patients at Mawar Room of dr. Soehadi Prijonegoro Regional Public Hospital of Sragen after BPH Surgery Abstract
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) requires serious medical treatments. One of them is Transurethral Resection Prostate (TURP) of which complication includes urinary retention. Bladder training, hence, can serve as an intervention to deal with the problem. The aim of this research is to investigate the effectiveness of the bladder training on urinary retention of patients at Mawar room of dr. Soehadi Prijonegoro Regional Public Hospital of Sragen after BPH Surgery. The research belongs to quantitative method which employed quasi experimental design using non-equivalent control group design with pre-test and post-test. A number of 20 patients after undergoing BPH (TURP) divided into two groups consisting of treatment group (10 persons) and control group (10 persons) were selected as the samples. Fisher Exact was applied to test data analysis and observation paper was used as research instrument. The research findings result in p value of 0.020<0.05. This indicates that H0 is rejected and therefore there exists effectiveness of the bladder training on urinary retention of patients at Mawar room of dr. Soehadi Prijonegoro Regional Public Hospital of Sragen after BPH Surgery. In short, the bladder training is proved to be effective in reducing the risk of urinary retention incidence of patients staying at Mawar room of dr. Soehadi Prijonegoro Regional Public Hospital of Sragen after BPH Surgery. Keywords : bladder training, urinary retention, TURP, BPH Bibliography : 39 (1992-2015)
xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) adalah merupakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari kandung kemih (Price dan Wilson, 2006). Pembesaran kelenjar prostat ini merupakan salah satu masalah genitourinari yang prevalensi dan insidennya meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Angka kejadian BPH diketahui terjadi pada 70 persen pria berusia 60-69 tahun di Amerika Serikat dan 80 persen pada pria berusia 70 tahun ke atas. Insiden BPH diperkirakan akan meningkat mencapai 20 persen pada pria berusia 65 tahun ke atas atau mencapai 20 juta pria pada tahun 2030 (Parsons, 2010). Penyakit pembesaran prostat di Indonesia menjadi urutan kedua setelah penyakit batu saluran kemih di tahun 2005, jika dilihat secara umum diperkirakan hampir 50% pria di Indonesia yang berusia diatas 50 tahun mengalami penyakit pembesaran prostat (A.K. Abbas, 2005 dalam ML Hamawi, 2010). Data pasien BPH yang diperoleh pada tanggal 2 Januari 2012 RSI PKU Muhammadiyah Pekajangan, menunjukkan adanya
1
2
peningkatan dari tahun sebelumnya. Jumlah pasien dengan diagnosa BPH pada tahun 2009 menyebutkan angka kejadiannya mencapai 30 pasien. Jumlah pasien pada tahun 2010 mengalami peningkatan dengan angka kejadian menjadi 54 pasien. Penyebab BPH belum diketahui secara pasti, tetapi sampai saat ini berhubungan dengan proses penuaan yang mengakibatkan penurunan kadar hormon pria, terutama testosteron. Faktor lain yang mempengaruhi BPH adalah latar belakang kondisi penderita misalnya usia, riwayat keluarga, obesitas, meningkatnya kadar kolesterol darah, pola makan tinggi lemak hewani, olah raga, merokok, minuman beralkohol, penyakit Diabetes Mellitus, dan aktifitas seksual (Kirby, et al. (1997). Komplikasi yang sering dialami oleh para penderita BPH yang sudah cukup parah adalah adanya keluhan BAK macet atau retensi, terasa panas dan perasaan tidak tuntas saat BAK. Kasus BPH ini salah satu penanganannya adalah dengan prosedur pembedahan yang biasa disebut dengan prosedur TURP (Transurethral Resection of the Prostate). Beberapa kelebihan TURP antara lain prosedur ini tidak dibutuhkan insisi dan dapat digunakan untuk prostat dengan ukuran beragam, dan lebih aman bagi pasien yang mempunyai risiko bedah yang buruk (Smeltzer & Bare, 2003). Efek dari tindakan operasi ini adalah keluhan BAK kemerahan dan terjadi retensi urin yang sering terjadi karena adanya cloth yang menyumbat di saluran kemih. Retensi urin adalah ketidakmampuan dalam mengeluarkan urine sesuai dengan keinginan, sehingga urine yang terkumpul di buli-buli melampaui batas maksimal.
3
Penyempitan pada lumen uretra adalah salah satu penyebabnya karena fibrosis pada dindingnya, disebut dengan striktur uretra. Penanganan kuratif penyakit ini adalah dengan operasi, namun tidak jarang beberapa teknik operasi dapat menimbulkan rekurensi penyakit yang tinggi bagi pasien (Purnomo, 2011). Upaya perawatan post operasi yang dilakukan untuk mengatasi retensi urin adalah dengan tindakan bladder training. Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kencing yang mengalami gangguan kedalam keadaan normal atau fungsi optimal neurogenik. Bladder training merupakan salah satu terapi yang efektif diantara terapi nonfarmakologis (Syafar, 2011). Latihan ini dilakukan dengan cara menahan atau menunda kencing pada pasien yang terpasang kateter. Penelitian yang dilakukan oleh Friska Hinora (2014) menyebutkan bahwa bladder training dapat meningkatkan kemampuan berkemih pada pasien retensi urin yang terpasang kateter. Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Hidayati, (2011) menjelaskan bahwa terdapat pengaruh latihan bladder training terhadap penurunan jumlah residu urin pada pasien stroke yang terpasang kateter urin. Efektivitas Bladder training juga telah di sampaikan oleh Dadi Santosa (2015) menyatakan bahwa kombinasi latihan bladder training dan muscle pelvic exercise ternyata efektif dalam perbaiki fungsi eliminasi kemih pada pasien BPH pasca operasi TVP (Trans Vesika Prostatectomy).
4
Berdasarkan data Rekam Medis RSUD Dr Soehadi Prijonegoro Sragen, jumlah pasien operasi BPH di Ruang Mawar RSUD Dr Soehadi Prijonegoro Sragen antara bulan Januari sampai dengan April 2015 saja berjumlah 40 pasien, rata rata tiap bulan terdapat 10 pasien . Berdasarkan hasil wawancara terhadap enam pasien post operasi BPH, dua orang pasien mengatakan setelah kondisi membaik dan selang kecing dilepas, mereka mengatakan BAK awalnya masih terasa agak panas hingga akhirnya BAK lancar seperti biasanya. Empat orang pasien mengatakan setelah pulang dari rumah sakit, mereka mengeluhkan BAK macet dan terasa sakit sehingga mereka kembali dipasang selang kencing . Tindakan perawat yang diambil pada saat kejadian seperti ini biasanya adalah dengan memasang selang kencing kembali dan melakukan spoel Nacl 0,9% untuk melancarkan saluran kemih bila ada sumbatan. Berdasarkan hasil konfirmasi dari bidang keperawatan RSUD Dr Soehadi Prijonegoro Sragen, sampai saat ini belum membuat SOP ( Standar Operasional Prosedur ) tentang latihan bladder training ini. Berdasarkan permasalahan data - data data diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “ Efektivitas Bladder Training terhadap Retensi urin pada pasien post operasi BPH di Ruang Mawar RSUD Dr Soehadi Prijonegoro Sragen”. 1.2 Rumusan Masalah Pembesaran kelenjar prostat / BPH adalah salah satu masalah genitourinari yang cukup serius bila tidak segera ditangani dengan tepat. Faktor resiko terjadinya BPH antara lain faktor penuaan, obesitas, usia, riwayat keluarga,
5
meningkatnya kadar kolesterol darah, pola makan tinggi lemak hewani, olah raga, merokok, minuman beralkohol, penyakit Diabetes Mellitus dan aktifitas seksual. BPH memiliki beberapa komplikasi diantaranya BAK macet, terasa panas dan tidak tuntas saat BAK. Penanganan yang dapat dilakukan pada BPH ini salah satunya adalah dengan prosedur operasi yang biasa disebut dengan TURP. Kondisi yang mungkin terjadi setelah operasi TURP ini adalah biasa terjadi retensi urin yang terjadi setelah selang kencing dilepas. Tindakan mandiri perawat yang dapat dilakukan untuk mengatasi keluhan tersebut adalah dengan pemberian latihan bladder training guna mengurangi resiko retensi urin post operasi BPH. Berdasarkan
uraian
rumusan
masalah
tersebut,
merumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah
peneliti
dapat
“Bagaimanakah
efektivitas bladder training terhadap retensi urin pada pasien post operasi BPH di Ruang Mawar RSUD Dr Soehadi Prijonegoro Sragen”. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas bladder training terhadap retensi urin pada pasien post operasi BPH di Ruang Mawar RSUD Dr Soehadi Prijonegoro Sragen. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain untuk: a) Mengidentifikasi karakteristik responden berdasarkan umur dan tingkat retensi urin.
6
b) Mengidentifikasi perbedaan tingkat retensi urin pada kelompok perlakuan pasien post operasi BPH di Ruang Mawar RSUD dr Soehadi Prijonegoro Sragen. c) Mengidentifikasi perbedaan tingkat retensi urin pada kelompok kontrol penelitian pada pasien post operasi BPH di Ruang Mawar RSUD dr Soehadi Prijonegoro Sragen d) Menganalisa pengaruh bladder training terhadap retensi urin pada pasien post operasi BPH di Ruang Mawar RSUD dr Soehadi Prijonegoro Sragen. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat bagi Rumah Sakit / masyarakat 1.4.1.1 Bagi pasien / masyarakat. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam mengurangi resiko retensi urin dan meningkatkan kenyamanan serta kepuasan pada pasien yang dirawat di rumah sakit dengan post operasi BPH . 1.4.1.2 Manfaat bagi perawat atau rumah sakit RSUD Dr Soehadi Prijonegoro Sragen. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi panduan dalam bekerja terutama dalam melakukan tindakan bladder training dan sebagai acuan dalam membuat SOP (Standar Operasional Prosedur) khusunya dalam teknik Bladder training yang tepat pada pasien post operasi BPH .
7
1.4.1.3 Manfaat bagi institusi pendidikan. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber literatur untuk materi
pembelajaran
dan
juga
berguna
untuk
menambah
pengetahuan dan wawasan khususnya tentang pengaruh bladder training terhadap retensi urin pada pasien post operasi BPH . 1.4.1.4 Manfaat bagi penelitian lain. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber data untuk memotivasi pelaksanaan penelitian yang lebih baik di waktu yang akan datang. 1.4.1.5 Manfaat bagi peneliti. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman dan pengetahuan dalam hal efektivitas bladder training terhadap retensi urin pada pasien post operasi BPH
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan Teori
2.1.1 BPH 2.1.1.1 Pengertian BPH BPH
(Benign
Prostatic
Hyperplasia)
merupakan
pembesaran kelenjar prostat, memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare, 2002). Pendapat merupakakan
lain
mengenai
pertumbuhan
pengertian
nodul-nodul
BPH
adalah
fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan
kelenjar
normal
yang
tersisa,
prostat
tersebut
mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan
obstruksi
leher
kandung
kemih
dan
uretra
parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari kandung kemih (Price dan Wilson, 2006). Teori lainnya menjelaskan bahwa BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih
8
9
yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan obstruksi urine (Baradero, dkk, 2007). BPH merupakan sejenis keadaan di mana kelenjar prostat membesar dengan cepat. Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran pada pemeriksaan colok dubur atau digital rectal examination (DRE). BPH prostat teraba membesar dengan konsistensi kenyal, ukuran dan konsistensi prostat perlu diketahui, walaupun ukuran prostat yang ditentukan melalui DRE tidak berhubungan dengan derajat obstruksi. Prediksinya adalah jika teraba indurasi atau terdapat bagian yang teraba keras, perlu dipikirkan kemungkinan prostat stadium 1 dan 2 (Suwandi, 2007). 2.1.1.2 Gejala dan Tanda a) Gejala BPH dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu gejala obstruktif dan gejala iritatif : 1. Gejala obstruktif
meliputi hesitancy, pancaran BAK lemah
(loss of force), pancaran BAK terputus-putus (intermitency), tidak tuntas saat selesai berkemih (sense of residual urine), rasa ingin BAK lagi sesudah BAK (double voiding) dan keluarnya sisa BAK pada akhir berkemih (terminal dribbling).
10
2. Gejala iritatif adalah frekuensi BAK yang tidak normal (polakisuria), terbangun di tengah malam karena sering BAK (nocturia), sulit menahan BAK (urgency), dan rasa sakit waktu BAK (disuria), kadang juga terjadi BAK berdarah (hematuria). b) Tanda Tanda klinis terpenting BPH adalah ditemukannya pembesaran konsistensi kenyal pada pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination (DRE). Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan apabila teraba indurasi atau terdapat bagian yang teraba keras, perlu dipikirkan kemungkinan prostat stadium 1 dan 2 (Roehborn, Calus, Mc Connell, 2002 ). 2.1.1.3 Klasifikasi BPH Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De jong (2005) secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi : a) Derajat 1 Ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang dari 50 ml. b) Derajat 2 Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.
11
c) Derajat 3 Saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml. d) Derajat 4 Sudah terjadi retensi urine total 2.1.1.4 Etiologi Etiologi atau penyebab terjadinya BPH hingga saat ini belum
diketahui
secara
pasti,
namun
beberapa
hipotesisi
menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekitar 100% (Purnomo, 2011) Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat. Teori tentang penyebab BPH meliputi: Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi stroma dan epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel stem (Purnomo, 2011).
12
a) Teori Dehidrotestosteron (DHT) Dehidrotestosteron (DHT) adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostad merupakan factor terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan terjadinya sintesis protein yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5alfa –reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal (Purnomo, 2011). b) Teori hormon ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron) Usia yang semakin tua, menyebabkan terjadinya penurunan kadar testosteron sedangkan kadar estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen dan testosterone relatif meningkat. Hormon estrogen didalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone meningkat, akan menyebabkan sel-sel prostat
13
yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar (Purnomo, 2011). c) Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel. Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth factor. DHT dan estradiol menstimulasi sel-sel stroma setelah itu sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi (Purnomo, 2011). d) Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis) Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Kondensasi dan fragmentasi sel terjadi pada apoptosis ini, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Terdapat keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan kematian sel pada jaringan normal. Pertumbuhan prostat sampai pada prostat
14
dewasa terjadi, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa prostat (Purnomo, 2011). e) Teori sel stem Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Istilah tersebut di dalam kelenjar prostat dikenal dengan suatu sel stem yaitu sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika hormone androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel (Purnomo, 2011). 2.1.1.5 Faktor Resiko Beberapa faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya BPH antara lain: a) Kadar Hormon Kadar hormon testosteron yang tinggi berhubungan dengan resiko BPH. Testosteron akan diubah menjadi andogen yang lebih poten yaitu dihydrotestosteron (DHT) oleh enzim 5α- reductase, yang memegang peran penting dalam proses pertumbuhan sel- sel prostat (Guess, 1995).
15
b) Usia Terjadi kelemahan umum pada usia tua termasuk kelemahan pada buli (otot detrusor) dan penurunan fungsi persarafan. Perubahan karena pengaruh
usia
tua
menurunkan
kemampuan buli-buli dalam mempertahankan aliran urin pada proses adaptasi oleh adanya obstruksi karena pembesaran prostat, sehingga menimbulkan gejala. Testis menghasilkan beberapa hormon seks pria, yang secara keseluruhan dinamakan androgen. Hormon tersebut mencakup testosteron, dihidrotestosteron dan androstenesdion. Testosteron sebagian besar dikonversikan oleh enzim 5alfa-reduktase menjadi dihidrotestosteron yang lebih aktif secara fisiologis di jaringan sasaran sebagai pengatur fungsi ereksi. Tugas lain testosteron adalah pemacu libido, pertumbuhan otot dan mengatur deposit kalsium di tulang. Sesuai dengan pertambahan usia, kadar testosteron mulai menurun secara perlahan pada usia 30 tahun dan turun lebih cepat pada usia 60 tahun keatas (Birowo, 2000). c) Ras Orang dari ras kulit hitam memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk terjadi BPH dibanding ras lain. Orang-orang Asia memiliki insidensi BPH rendah (Roehborn, 2002).
16
d) Riwayat keluarga Riwayat keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan risiko terjadinya kondisi yang sama pada anggota keluarga yang lain. Semakin banyak anggota keluarga yang mengidap penyakit ini, semakin besar risiko anggota keluarga yang lain untuk dapat terkena BPH. Resiko meningkat 2 kali bagi orang lain apabila dalam satu keluarga ada satu anggota yang mengidap penyakit ini. . Bila 2 anggota keluarga, maka risiko meningkat menjadi 2-5 kali (Roehborn, 2002). e) Obesitas Obesitas akan membuat gangguan pada prostat dan kemampuan seksual, tipe bentuk tubuh yang mengganggu prostat adalah tipe bentuk tubuh yang membesar di bagian pinggang dengan perut buncit, seperti buah apel. Beban di perut itulah yang menekan otot organ seksual, sehingga lama-lama organ seksual kehilangan kelenturannya, selain itu deposit lemak berlebihan juga akan mengganggu kinerja testis. Penderita dengan obesitas terjadi peningkatan
kadar
estrogen
yang
berpengaruh
terhadap
pembentukan BPH melalui peningkatan sensitisasi prostat terhadap androgen dan menghambat proses kematian sel-sel kelenjar prostat (Brigde, 2007). Pola obesitas pada laki-laki biasanya berupa penimbunan lemak pada abdomen. Salah satu cara pengukuran untuk
17
memperkirakan lemak tubuh adalah teknik indirek, di antaranya yang banyak dipakai adalah Body Mass Indeks (BMI) dan waist to hip ratio (WHR). BMI diukur dengan cara berat badan (kg) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (m). Interpretasinya (WHO) adalah overweight (BMI 25-29,9 kg/m2), obesitas (BMI > 30 kg/m2). Pengukuran BMI mudah dilakukan, murah dan mempunyai akurasi tinggi. WHR diukur dengan cara membandingkan lingkar pinggang dengan lingkar panggul. Pengukurannya dengan cara penderita dalam posisi terlentang, lingkar pinggang diambil ukuran minimal antara xyphoid dan umbilicus dan lingkar pinggul diambil ukuran maksimal lingkar gluteus - simfisis pubis. Pada laki-laki di nyatakan obesitas jika lingkar pinggang > 102 cm atau WHR > 0,90.19 f) Pola Diet Kekurangan mineral penting seperti seng, tembaga, selenium berpengaruh pada fungsi reproduksi pria. Seng adalah yang
paling
penting
karena
defisiensi
seng
berat
dapat
menyebabkan pengecilan testis yang selanjutnya berakibat penurunan kadar testosteron. Makanan tinggi lemak dan rendah serat juga membuat penurunan kadar testosterol. Penumpukan lemak diperut akan terjadi apabila kelebihan kadar kolesterol dalam tubuh yang pada akhirnya akan menekan otot-otot seksual dan mengganggu testis, sehingga kelebihan lemak tersebut justru
18
dapat menurunkan kemampuan seksual. Kemampuan seksual yang menurun ini diakibatkan oleh penurunan produksi testosteron, yang nantinya mengganggu prostat (Walsh, 1992). Suatu studi menemukan adanya hubungan antara penurunan risiko
BPH
dengan
mengkonsumsi
buah
dan
makanan
mengandung kedelai yang kaya akan isoflavon. Kedelai sebagai estrogen lemah mampu untuk memblokir reseptor estrogen dalam prostat terhadap estrogen. Estrogen yang kuat ini dapat menyebabkan BPH jika sampai menstimulasi reseptor dalam prostat. Studi demografik menunjukkan adanya insidensi yang lebih sedikit timbulnya penyakit prostat ini pada laki-laki Jepang atau Asia yang banyak mengkonsumsi makanan dari kedelai. Isoflavon kedelai yaitu genistein dan daidzein, secara langsung mempengaruhi metabolisme testosteron. Mekanisme pencegahan dengan diet makanan berserat terjadi akibat dari waktu transit makanan yang dicernakan cukup lama di usus besar sehingga akan mencegah proses inisiasi atau mutasi materi genetik di dalam inti sel. Mekanisme yang multifaktor terdapat juga didalam sayuran dimana di dalamnya dijumpai bahan atau substansi anti karsinogen seperti karoteniod, selenium dan tocopherol. Diet makanan berserat atau karoten ini diharapkan mengurangi pengaruh bahan-bahan dari luar dan akan
19
memberikan lingkungan yang akan menekan berkembangnya selsel abnormal. g) Aktivitas Seksual Kalenjar prostat adalah organ yang bertanggung jawab untuk pembentukan hormon laki-laki. BPH dihubungkan dengan kegiatan seks
berlebihan dan alasan kebersihan. Kelenjar prostat akan
mengalami peningkatan tekanan darah pada saat kegiatan seksual sebelum terjadi ejakulasi. Kelenjar prostat akan mengalami bengkak permanen jika suplai darah ke prostat selalu tinggi dan akan terjadi hambatan prostat. Seks yang tidak bersih akan mengakibatkan infeksi prostat yang mengakibatkan BPH. Aktivitas seksual yang tinggi juga berhubungan dengan meningkatnya kadar hormon testosteron (Rahardjo, 1999). h) Kebiasaan merokok Nikotin dan konitin (produk pemecahan nikotin) pada rokok meningkatkan aktifitas enzim perusak androgen, sehingga menyebabkan penurunan kadar testosteron (Walsh, 1992). i) Kebiasaan minum-minuman beralkohol Konsumsi alkohol akan menghilangkan kandungan zink dan vitamin B6 yang penting untuk prostat yang sehat. Zink sangat penting untuk kelenjar prostat. Prostat menggunakan zink 10 kali lipat dibandingkan dengan organ yang lain. Zink membantu mengurangi kandungan prolaktin di dalam darah. Prolaktin
20
meningkatkan penukaran hormon testosteron kepada DHT (Gass, 2002). j) Olah raga Para pria yang tetap aktif berolahraga secara teratur, berpeluang lebih sedikit mengalami gangguan prostat, termasuk BPH. Kadar dihidrotestosteron dapat diturunkan dengan cara aktif berolahraga sehingga dapat memperkecil risiko gangguan prostat. Olahraga juga akan mengontrol berat badan agar otot lunak yang melingkari prostat tetap stabil. Olahraga yang dianjurkan adalah jenis yang berdampak ringan dan dapat memperkuat otot sekitar pinggul dan organ seksual (Yatim, 2004). Olahraga yang baik apabila dilakukan tiga kali dalam seminggu dalam waktu 30 menit setiap berolahraga, olahraga yang dilakukan kurang dari tiga kali dalam seminggu terdapat sedikit sekali perubahan pada kebugaran fisik tetapi tidak ada tambahan keuntungan yang berarti. Kadar kolesterol akan turun apabila latihan olah raga dilakukan lebih dari tiga kali dalam seminggu. k) Penyakit Diabetes Mellitus Laki-laki yang mempunyai kadar glukosa dalam darah > 110 mg/dL mempunyai risiko tiga kali terjadinya BPH, sedangkan untuk laki-laki dengan penyakit DM mempunyai risiko dua kali terjadinya BPH dibandingkan dengan laki-laki dengan kondisi normal (Bridge, 2007).
21
2.1.1.6 Patofisiologi Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urine (Purnomo, 2011). Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Buli-buli harus berkontraksi lebih kuat dalam mengeluarkan urin guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada bulu-buli tersebut dikeluhkan pasien pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus. Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko ureter. Keadaan keadaan
ini
jIka
berlangsung
terus
akan
mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Purnomo, 2011). Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna tidak hanya disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, kondisi ini
juga disebabkan oleh
tonus otot polos yang pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut
22
simpatis yang berasal dari nervus pudendus. Tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Kondisi ini menyebabkan detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensio urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas (Baradero, dkk, 2007). 2.1.1.7 Penatalaksanaan. a) Observasi Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak terjadi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering BAK. Pasien dianjurkan untuk menghindari mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Ajurkan pasien agar sering mengosongkan kandung kemih (jangan menahan BAK terlalu lama) untuk menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih.
23
Secara periodik pasien dianjurkan untuk melakukan kontrol keluhan, pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011). Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin: 1. Residual urin. Adalah jumlah sisa urin setelah BAK. Sisa urin dapat diukur dengan cara melakukan kateterisasi setelah BAK atau ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah miksi. 2. Pancaran urin (flow rate). Dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya BAK berlangsung (ml/detik) atau dengan alat urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin. b) Terapi medikamentosa Tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita BPH adalah (Baradero dkk, 2007): 1. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk mengurangi tekanan pada uretra 2. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa blocker (penghambat alfa adrenergenik) 3. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone/ dehidrotestosteron (DHT). Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo (2011)
24
diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa reduktase, fitofarmaka. c) Pembedahan. Adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan perubahan fisiologi pada prostat. Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi : pembedahan terbuka dan pembedahan endourologi (Smeltzer,Bare, 2001). 1) Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang biasa digunakan adalah : a. Prostatektomi suprapubik Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. b. Prostatektomi perineal Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. c. Prostatektomi retropubik Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
25
2) Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya: a. Transurethral Prostatic Resection (TURP) Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah. b. Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) Tindakan ini dilakukan apabila volume prostat tidak terlalu besar atau prostat fibrotic. 3) Terapi invasive minimal Terapai invasive minimal dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi terhadap tindakan pembedahan. Terapi invasive minimal diantaranya Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), Transuretral Needle Ablation/Ablasi jarum Transuretra (TUNA), Pemasangan stent uretra atau prostatcatt (Purnomo, 2011). a) Transurethral
Microvawe
Thermotherapy
(TUMT),
jenis
pengobatan ini hanya dapat dilakukan di beberapa rumah sakit besar. Dilakukan dengan cara pemanasan prostat menggunakan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui transducer yang diletakkan di uretra pars prostatika, yang
26
diharapkan jaringan prostat menjadi lembek. Alat yang dipakai antara lain prostat. b) Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), pada tehnik ini dilakukan dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang berada di prostat dengan menggunakan balon yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini efektif pada pasien dengan prostat kecil, kurang dari 40 cm3. Meskipun dapat menghasilkan perbaikan gejala sumbatan, namun efek ini hanya sementar, sehingga cara ini sekarang jarang digunakan. c) Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik ini memakai energy dari frekuensi radio yang menimbulkan panas mencapai 100 derajat selsius, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Pasien yang menjalani TUNA sering kali mengeluh hematuri, disuria, dan kadang-kadang terjadi retensi urine (Purnomo, 2011). d) Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat, selain itu supaya uretra prostatika selalu terbuka, sehingga urin leluasa melewati lumen uretra prostatika. Pemasangan alat ini ditujukan bagi pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena resiko pembedahan yang cukup tinggi.
27
2.1.1.8 Komplikasi Komplikasi BPH antara lain (Sjamsuhidajat & De Jong, 2005): a) Retensi
urin
akut,
terjadi
apabila
buli-buli
menjadi
dekompensasi b) Infeksi saluran kemih c) Involusi kontraksi kandung kemih d) Refluk kandung kemih e) Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang
akan mengakibatkan tekanan
intravesika meningkat. f)
Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
g) Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis,
dan
bila
terjadi
refluks
dapat
mengakibatkan
pielonefritis. 2.1.2 TURP 2.1.2.1 Pengertian TURP TURP (Transurethral resection prostate) adalah suatu tindakan endoskopis pengurangan massa prostat (Prostatectomy) dengan tujuan urinasi pada pasien yang mengalami BPH stadium moderat atau berat selain open prostatectomy (Lucia, 2013).
28
Operasi ini dilakukan dengan alat endoskopi yang dimasukkan kedalam urethra. Pengerokan jaringan prostat dilakukan dengan bantuan elektrokauter. 2.1.2.2 Indikasi TURP TURP dilakukan pada pasien dengan gejala sumbatan sedang sampai berat yang menetap, progresif akibat pembesaran prostat, atau tidak dapat diobati dengan terapi obat lagi, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi (QHC, 2009). 2.1.2.3 Kelebihan TURP Kelebihan dari prosedur TURP ini antara lain: dapat dilakukan tanpa tindakan insisi atau sayatan, dapat dilakukan dalam kelenjar dalam ukuran yang beragam, dapat dilakukan pada pasien dengan ukuran kelenjar yang kecil dan lebih aman digunakan pada pasien yang memiliki faktor resiko bedah (Smeltzer&Bare, 2003). 2.1.2.4 Kekurangan TURP Kekurangan dari tindakan TURP ini adalah dapat menyebabkan perdarahan dan obstruksi dan timbulnya sindrom TURP (Smeltzer & Bare, 2003). 2.1.2.5 Komplikasi TURP Komplikasi dari tindakan TURP ini antara lain: a) Perdarahan. b) Obstruksi saluran kemih.
29
c) Ejakukulasi retrograde. d) Infeksi saluran kemih akibat koloni bakteri pada prostat. e) Persistent urinary retention. f) Stricture bladder. g) Stricture urethra. h) Komplikasi kardiovaskuler seperti AMI (Acute Myocardial infarction) i) Sindrom TURP karena kelebihan volume cairan irigasi dapat menyebabkan Hiponatremia. (Peters & Olson, 2011). 2.1.3 Retensi Urin 2.1.3.1
Pengertian. Retensi urin adalah ketidakmampuan dalam mengeluarkan urine sesuai dengan keinginan, sehingga urine yang terkumpul di buli-buli melampaui batas maksimal. Penyebabnya adalah akibat penyempitan pada lumen uretra karena fibrosis pada dindingnya, disebut dengan striktur uretra. Penanganan kuratif penyakit ini adalah dengan operasi, namun tidak jarang beberapa teknik operasi dapat menimbulkan rekurensi penyakit yang tinggi bagi pasien (Purnomo, 2011). Kondisi retensi urin ini diperlukan penanganan tepat dan adekuat untuk menghindari resiko kekambuhan penyakit striktur uretra.
2.1.3.2 Etiologi Retensi urin dibagi menurut lokasi kerusakan syaraf (Sulli, 2011):
30
a) Supravesikal Berupa kerusakan pada pusat kemih dimedulla spinalis sakralis S2-S3 setinggi TH1-L1. Kerusakan terjadipada saraf simpatos dan parasimpatis baik sebagian maupun seluruhnya. b) Vesikal Berupa kelemahan otot destrusor karena lama teregang, berhubungan dengan masa kehamilan dan proses persalinan (trauma obstetrik). c) Infravesikal (distal kandung kemih) Berupa kekakuan leher vesika, fimosis, stenosis meatus uretra, trauma uretra, batu uretra, sklerosis leher kandung kemih (bladder neck sclerosis) (Kapita Selekta Kedokteran, 2000). 2.1.3.3 Penyebab retensi urin Secara garis besar retensi urin disebabkan oleh (Selius & Subedi, 2008): a) Obstruksi b) Infeksi c) Faktor farmakologi d) Faktor neurologi e) Faktor trauma 2.1.3.4 Klasifikasi Retensi Urin a)
Retensi urin akut
31
Retensi urin akut penderitanya seakan-akan tidak dapat berkemih (BAK). Kandung kemih terasa sakit yang hebat didaerah suprapubik dan hasrat ingin BAK yang hebat disertai mengejan. Sering kali urin keluar menetes atau sedikit-sedikit (Kapita Selekta Kedokteran, 2000). Kasus retensi akut ini bila penyebabnya tidak segera ditemukan maka kerusakan lebih berat yang sifatnya permanen dapat terjadi, karena otot destrusor atau ganglia parasimpatik pada kandung kemih menjadi tidak dapat berkompromi (Pribakti, 2011). b) Retensi urin kronis Penderita secara perlahan dalam waktu yang lama tidak dapat BAK, merasakan nyeri didaerah suprapubik hanya sedikit atau tidak sama sekali walaupun kandung kemihpenuh (Kapita Selekta Kedokteran, 2000). Terdapat masalah khusus pada retensi urin kronis akibat peningkatan tekanan intravesikal yang menyebabkan refluks urera, infeksi saluran kemih atas dan penurunan fungsi ginjal (Pribakti, 2011). Retensi urin juga dapat terjadi sebagian dan total: 1. Retensi
urin
sebagian
yaitu
penderita
masih
bisa
mengeluarkan urin tetapi terdapat sisa urin yang cukup banyak dalam kandung kemih. 2. Retensi urin total yaitu penderita sama sekali tidak dapat mengeluarkan urin.
32
2.1.3.5 Gambaran klinis a) Jumlah residu urin lebih dari 150 ml dalam 24 jam (Saultz et al,1999) b) Ketidaknyamanan daerah pubis c) Distensi vesika urinaria d) Ketidaksanggupan berkemih e) Sering berkemih saat vesika urinaria berisi sedikit urin (25-50 ml) f) Ketidakseimbangan jumlah urin yang dikeluarkan dengan asupannya g) Meningkat keresahan dan keinginan berkemih h) Adanya urin sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih (Uliyah & Hidayat, 2006). 2.1.3.6 Pengobatan Medikasi yang menggunakan bahan anti kolinergik, seperti trisiklik antidepresan, dapat membuat retensi urine dengan cara menurunkan kontraksi otot detrusor pada buli-buli. Obat-obat simpatomimetik,
seperti
dekongestan
oral,
juga
dapat
menyebabkan retensi urine dengan meningkatkan tonus alphaadrenergik pada prostat dan leher buli-buli. Studi terbaru obat anti radang non steroid ternyata berperan dalam pengurangan kontraksi otot detrusor lewat inhibisi mediator prostaglandin.
33
2.1.3.7 Pengkajian Retensi Urin a) Pemeriksaan Subjektif Pemeriksaan sebjektif dengan mencermati keluhan yang disampaikan oleh pasien dan yang digali melalui anamnesis sitematik. b) Pemeriksaan Objektif Pemeriksaan objektif yaitu dengan melakukan pemeriksaan fisik terhadap pasien untuk mencari data-data yang objektif mengenai keadaan pasien. c) Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan mampu memilih berbagai pemeriksaan yang dapat menunjang diagnosis, dianaranya adalah pemeriksaan laboratorium, pencitraan (imaging). Pemeriksaan penunjang mungkin diperlukan pada beberapa kasus
yang lebih bersifat spesialistik, yakni
urolometri atau urodinamika, elektromiografi, endourologi, dan laparoskopi (Purnomo, 2011). 2.1.4 Bladder Training 2.1.4.1 Pengertian Bladder
training
adalah
salah
satu
upaya
untuk
mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik (Potter &
34
Perry, 2005). Bladder training merupakan salah satu terapi yang efektif di antara terapi nonfarmakologi. Pengendalian kandung kemih dan sfingter dilakukan agar terjadi pengeluaran urin secara kontinen. Latihan kandung kemih harus dimulai dahulu untuk mengembangkan tonus kandung kemih saat mempersiapkan pelepasan kateter yang sudah terpasang dalam waktu lama, dengan tindakan ini bisa mencegah retensi (Smeltzer & Bare, 2002). Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu kegel exercises (latihan pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul), Delay urination (menunda berkemih), dan scheduled bathroom trips (jadwal berkemih) Suhariyanto (2009). Latihan kegel (kegel execises) merupakan aktifitas fisik yang tersusun dalam suatu program yang dilakukan secara berulang-ulang guna meningkatkan kebugaran tubuh. Latihan kegel dapat meningkatkan mobilitas kandung kemih dan bermanfaat dalam menurunkan gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi urin. Latihan otot dasar panggul dapat membantu memperkuat otot dasar panggul untuk memperkuat penutupan uretra dan secara refleks menghambat kontraksi kandung kemih. (Kane, 1996 dalam Nursalam 2006). Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing (menunda untuk berkemih). Bladder training dapat dilakukan pada pasien yang terpasang kateter urin dengan
35
mengklem aliran urin ke urin bag (Hariyati, 2000). Bladder training dilakukan sebelum kateterisasi diberhentikan. Tindakan ini dapat dilakukan dengan menjepit kateter urin dengan klem kemudian jepitannya dilepas setiap beberapa jam sekali. Tindakan menjepit kateter ini memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot
destrusor
berkontraksi
sedangkan
pelepasan
klem
memungkinkan kandung kemih untuk mengosongkan isinya. (Smeltzer, 2001). 2.1.4.2 Tujuan Tujuan dari bladder training adalah untuk melatih kandung kemih dan mengembalikan
pola normal perkemihan dengan
menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih (Potter & Perry, 2005). Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal dengan berbagai teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih dapat berkurang, hanya 6-7 kali per hari atau 2-3 jam sekali. Melalui latihan, penderita diharapkan dapat menahan sensasi berkemih. Latihan ini dilakukan pada pasien
pasca bedah yang di pasang kateter (Suharyanto,
2009). Tujuan dilakukan bladder training yaitu membantu pasien mendapat pola berkemih yang rutin, mengembangkan tonus otot kandung kemih, memperpanjang interval waktu berkemih, meningkatkan kapasitas kandung kemih (Karon, 2005).
36
Secara umum bladder training dilakukan sejak sebelum kateter dilepas hingga setelah kateter dilepas. Pada pasien dengan kateter menetap dapat dilakukan tindakan bladder training rutin setiap hari. Bladder training yang dilakukan rutin setiap hari, hasilnya sangat membantu dalam mempertahankan kondisi normal maupun mengembalikan ke keadaan semula pada pasien gangguan pola berkemih akibat kateterisasi (Widiastuti, 2012).Pada pasien yang
dikateterisasi
meskipun
telah
dilakukan
bladder
training sebelum dibuka, belum mendapatkan pola berkemih yang optimal karena kemunduran akibat pengaruh kateterisasi belum dapat dikembalikan. Kurangnya latihan pada otot-otot destrusor di kandung kemih menyebabkan kemampuan kandung kemih untuk mengembang berkurang sehingga kapasitas dalam kandung kemih pun menjadi menurun. 2.1.4.3 Indikasi Bladder Training Bladder Training dapat dilakukan pada pasien yang mengalami retensi urin, pada pasien yang terpasang kateter dalam waktu yang lama sehingga fungsi spingter kandung kemih terganggu (Suharyanto, 2009). Bladder training juga bisa dilakukan pada pasien yang menggunakan kateter yang lama, dan pasien yang mengalami retensi urin.
37
2.2 Keaslian Penelitian Tabel 2.1 Keaslian Penelitian No 1
Nama Peneliti Friska
Tahun Penelitian 2014
Hinora
2
Wahyu Hidayati
2011
Judul Penelitian Pengaruh Bladder training terhadap kemampuan berkemih pada pasien pria dengan retensi urin.
Pengaruh latihan bladder training terhadap residu urin pada pasien stroke dengan kateter urin.
Metode Penelitian Desain non equivalent control group design pretestpost test.
Metode penelitian dengan quasi eksperimental post test dengan kelompok kontrol.
Hasil penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata sebelum dan sesudah diberikan tindakan dimana pada pra nilai mean = 3,35 menjadi meningkat pada post yaitu mean = 5,00. Uji statistik Wilxocon sign rank test menunjukkan niali p= 0,001 atau lebih kecil dari α= 0,05, sehingga Ha (Hipotesis alternatif) diterima. Atau ada pengaruh Bladder training terhadap kemampuan berkemih pada pasien pria dengan retensi urin di RSUD Bitung. Hasil dari penelitian ini adalah nilai mean dari volume residu urin dari kelompok perlakuan
38
Tekniksampel menggunakan desain proposive random sampling.
3
Dadi Santosa
2015
Efektivitas kombinasi bladder training dan muscle pelvic exercise terhadap fungsi eliminasi berkemih pada pasien BPH pasca TVP (Trans Vesica Prostatectomy)
Metode dari penelitian ini adalah quasi eksperimental dengan rancangan post test dengan kelompok kontrol. Populasi dari penelitian ini adalah pasien pasca operasi TVP di RS PKU Muhamadiyah Gombong, RS PKU Muhamadiyah Sruweng, dan RSUD Kebumen. Jumlah sampel sebanyak 51 orang dan data diambil dai volume urin setiap pasien
berkurang (M = 54,00 ml: SD = 144,22 ml) jika dibandingkan dengan volume residu urin dari kelompok kontrol (M = 101,71 ml: SD = 42,55 ml). Perbedaan nilai mean dari dua kelompok tersebut dianalisa dengan menggunakanttest independent begitu pula dengan perbedaan volume residu urin ari keduanya (p = 0,84). Hasil dari penelitian diketahui ratarata volume urin pasien post operasi TVP setelah intervensi bladder training sebesar 1.704,12 ± 21,69 ml, kelompok intervensi muscle pelvic exercise 1.996,47 ± 329,71 ml dan kelompok kontrol 1.414,71 ± 130,25 ml. Hasil analisis perbedan diketahui perbedaan terapi
39
dari urine bag. Data dianalisa menggunakan chi square dengan uji post hoc LSD.
bladder traing, muscle pelvic exercise dan kombinasi keduanya efektif memperbaiki fungsi eliminasi berkemih pada pasien BPH pasca operasi TVP (p > 0,05), namun tidak ada perbedaan signifikan diantara ketiga perlakuan tersebut (p >0,05).
40
2.3 Kerangka Teori
Faktor resiko BPH: 1. Hormon 2. Usia 3. Riwayat keluarga 4. Obesitas 5. Dm 6. Alkohol 7. Merokok 8. Ras 9. Olah raga 10. Aktivitas seks
BPH
Tanda BPH: Pada pemeriksaan colok dubur didapat kel. Prostat membesar
observasi
Tx medikamentosa
Bedah
Bedah terbuka (prostatektomi)
Bedah endourologi (TURP)
Intervensi post TURP
Bladder irigation
gejala BPH: 1. Obstruktif 2. Iritatif
Bladder training
Tx invasif minimal
Komplikasi post TURP
Retensi urin
obstruksi
Sindrom post TURP
Keterangan: : diteliti : tidak diteliti
Bagan 2.1 Kerangka teori Sumber: Sjamsuhidajat & De Jong (2005), Smeltzer & Bare (2002), Lucia (2013), Petter & Olson (2011)
41
2.4
Kerangka Konsep
Variabel Bebas
Variabel Terikat
Retensi urin pada kelompok perlakuan Bladder Training Retensi urin pada kelompok kontrol
Bagan 2.2 Kerangka Konsep
42
2.5 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian merupakan jawaban sementara dari rumusan masalah penelitian yang kebenarannya akan dibuktikan dalam sebuah penelitian (Sugiyono, 2011). Hipotesis dalam penelitian ini adalah Ha: Ada efektivitas bladder training terhadap retensi urin pada pasien post operasi BPH di Ruang Mawar RSUD Dr Soehadi Prijonegoro Sragen. H0: Tidak ada efektivitas bladder training terhadap retensi urin pada pasien post operasi BPH di Ruang Mawar RSUD Dr Soehadi Prijonegoro Sragen.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis dan rancangan penelitian Penelitian ini adalah merupakan penelitian kuantitatif. Kuantitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif atau statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiono, 2009). Penelitian
ini
menggunakan
metode
quasy
eksperimental
dan
menggunakan rancangan penelitian non equivalent control group design pretest-posttest (Sugiono, 2009). Jumlah sampel penelitian akan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perlakuan dan setengahnya lagi sebagai kelompok kontrol. 3.2 Populasi dan sampel 3.2.1 Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas : objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiono, 2009).
43
44
Populasi dalam penelitian ini adalah semua klien dengan post operasi BPH di ruang Mawar RSUD Dr Soehadi Prijonegoro Sragen antara bulan Oktober sampai dengan bulan Desember 2015 yaitu 20 orang. 3.2.2 Sampel Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi.
Tehnik
pengambilan sampel
pada penelitian ini
menggunakan metode pengambilan sampel purposive sampling, yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel di antara populasi sesuai dengan kriteria yang dikehendaki peneliti,sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah diinginkan peneliti sebelumnya (Nursalam,2003). Penentuan sampel penelitian berdasarkan pada kriteria-kriteria tertentu yaitu: 3.2.2.1 Kriteria Inklusi a) Pasien bersedia menjadi responden b) Pasien post operasi BPH (TURP) yang terpasang selang kateter tanpa disertai komplikasi penyakit lainnya, misalnya penyakit syaraf dll 3.2.2.2 Kriteria Eksklusi a) Pasien post operasi BPH (TURP) yang tidak bersedia menjadi responden. b) Pasien post operasi BPH non TURP atau dengan komplikasi penyakit lain. c) Pasien post operasi BPH yang minta pulang sebelum sembuh (APS).
45
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam penelitian eksperimen sederhana dengan kelompok kontrol adalah jumlah sampel minimal 10 – 20 orang (Roscoe, 1975 dalam Uma Sekaran, 2006). Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20 orang. Menurut pendapat para ahli tersebut, maka jumlah sampel pada penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu, 10 orang sebagai kelompok perlakuan dan 10 orang sebagai kelompok kontrol. 3.3 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan diruang Mawar RSUD Dr Soehadi Prijonegoro Sragen, pada bulan Oktober 2015 sampai dengan bulan Desember 2015. 3.4 Variabel, difinisi operasional dan skala pengukuran Penentuan skor dalam variabel Retensi Urin dalam enelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan skala Gutfman dengan dua kategori jawaban yaitu Ya dan tidak. Dimana jawaban ya diberi nilai 1 dan jawaban tidak diberi nilai 0. Adapun panduan penentuan penilaian dan skoringnya adalah sebagai berikut: Jumlah pilihan jawaban adalah 2 (ya dan tidak) Jumlah pertanyaan adalah 4 Skor terendah: 0 ( pilihan jawaban tidak) Skor tertinggi: 1 ( pilihan jawaban ya) Jumlah skor terendah: skoring terendah x jumlah pertanyaan: 0 x 4 = 0 Jumlah skor tertinggi: skoring tertinggi x jumlah pertanyaan: 1 x 4 = 4
46
Rumus Umum: Interval (I) : Range (R) / Kategori (K) Range (R) : skor tertinggi – skor terendah :4 – 0 = 4 Kategori (K): 2 (pilihan jawaban retensi dan tidak retensi) Interval
:Range (R) / Kategori (K) :4/2=2
Kriteria
: skor tertinggi – Interval (I) :4–2=2
Retensi urin : jika nilai total ≥ 2 Tidak retensi urin : jika nilai total < 2 Tabel 3.1 Variabel, definisi operasional dan skala pengukuran. Variabel Bladder training
Retensi urin
Definisi operasional
Alat ukur
Upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan kedalam kondisi normal atau neurogenik. Ketidakmampuan dalam mengeluarkan urin sesuai dengan keinginan, sehingga urin yang terkumpul di buli-buli melampaui batas maksimal,apabila volume residu urin lebih dari 150 ml dalam 24 jam.
SOP bladder training dan lembar checklist.
Lembar observasi frekuensi urin per 24 jam.
Indikator penelitian 1: Dilakukan BT 0: tidak dilakukan BT
1: Ya 0: Tidak
Skala data
Skor
Nominal
-
Nominal
Retensi urin = nilai total ≥ 2 Tidak retensi urin = nilai total < 2
47
3.5 Alat penelitian dan cara pengumpulan data 3.5.1 Cara pengumpulan data Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam, 2008). Teknik pengumpulan data pada penelitian ini yaitu: 3.5.1.1 Tahap persiapan a) Menyiapkan materi dan konsep yang sesuai dengan topik penelitian. b) Menyiapkan proposal penelitian dan selanjutnya dilakukan pengujian proposal penelitian. c) Mengajukan surat ijin penelitian ke tempat penelitian. 3.5.1.2 Tahap pelaksanaan a) Mengumpulkan data primer dan data sekunder b) Menentukan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi c) Mengajukkan surat permohonan menjadi responden d) Mengisi identitas responden dan mengisi hasil pemeriksaan awal terhadap kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pada lembar observasi sebelum dilakukan tindakan. e) Memberikan perlakuan bladder training pada kelompok perlakuan, yaitu dengan mengeklem selang kateter tiap 2-3 jam selama 12 jam. Kemudian menganjurkan responden untuk banyak minum air putih ± 100-250 cc tiap sebelum selang kateter diklem. Bila sudah terasa BAK (2-3 jam pengekleman) selang kateter dibuka selama 5 menit dan
48
selanjutnya diklem kembali. Tindakan Bladder training ini dilakukan juga oleh perawat lain dan juga keluarga responden karena mengingat peneliti tidak mampu mengobservasi secara penuh. Sebelum melepas wewenang ini, asisten peneliti (perawat lain) atau keluarga responden diajari dan diberi tahu mengenai SOP tindakan Bladder training oleh peneliti. Bila sudah dirasa cukup mewakili keinginan peneliti, maka tindakan ini dapat dilepas secara mandiri kepada asisten atau keluarga responden dan selanjutnya peneliti yang akan mengevaluasi hasilnya. f) Mengisi lembar observasi kembali setelah dilakukan tindakan bladder training pada kelompok perlakuan g) Mengobservasi hasil pengukuran sebelum dilakukan bladder training dengan sesudah dilakukan bladder training pada kelompok perlakuan h) Membandingkan hasil pengukuran retensi urin pada kelompok kontrol, yaitu pada saat pre kontrol responden langsung dilakukan pemeriksaan awal tentang keluhan atau tanda gejala retensi urin sesuai kriteria peneliti. Selanjutnya tanpa dilakukan intervensi apapun, responden kelompok kontrol dihari berikutnya dilakukan pemeriksaan post kontrol dan dievaluasi serta dibandingkan hasil antara pre dan post kontrol. 3.5.1.3 Tahap pengumpulan data terakhir Peneliti melakukan pengumpulan semua data hasil pengukuran dan dilakukan analisa data.
49
3.6 Teknik pengolahan data dan analisa data 3.6.1 Teknik pengolahan data Data-data hasil observasi dalam lembar observasi frekuensi urin dikumpulkan dan diolah melalui tahap tahap (Narbuko, 2007): a) Editing Memeriksa data yang sudah terkumpul untuk meneliti kelengkapan jawaban responden dengan kuesioner yang diberikan yang bertujuan untuk mengetahui apakah ada kesesuaian antara semua pertanyaan yang diberikan dengan jawaban. Hal ini dilakukan di tempat pengumpulan data sehingga bila ada kekurangan segera akan dilengkap. b) Coding Coding adalah mengklarifikasi jawaban dari para responden kedalam kategori-kategori. Klarifikasi dilakukan dengan menandai masingmasing jawaban dengan kode berupa angka, kemudian dimasukan kedalam lembar tabel kerja. Data yang dicoding adalah seluruh data hasil pemeriksaan responden, yaitu yang retensi urin dan tidak retensi urin.pada penelitian ini data hasil yang dicoding adalah: 1) Jawaban Ya diberi kode 1 2) Jawaban Tidak diberi kode 0 3) Retensi urin diberi kode 1 4) Tidak retensi urin diberi kode 0
50
c) Transfering Memindahkan jawaban atau kode jawaban kedalam media tertentu. d) Tabulating Proses menempatkan data dalam bentuk tabel dengan cara membuat tabel yang berisikan data sesuai dengan kebutuhan analisis. Tabel yang dibuat sebaiknya mampu meringkas semua data yang akan dianalisis. Pemisahan tabel akan menyulitkan peneliti dalam proses analisis data e) Entry data Memasukkan data dengan cara manual atau melalui pengolahan program komputer. 3.6.2 Analisa data Analisa hasil penelitian ini dilakukan dengan dua cara, yaitu sebagai berikut: a) Analisa univariat Analisa terhadap tiap variabel dari hasil penelitian untuk menghasilkan distribusi dan persentase. Data dianalisa menggunakan statistik deskripif untuk mendapatkan dalam bentuk tabulasi, dengan cara memasukkan seluruh data kemudian diolah secara statistik deskriptif yang digunakan untuk melaporkan hasil dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase (%) dari masing-masing item. Penelitian analisis univariat adalah analisa yang dilakukan menganalisis tiap variabel dari hasil penelitian. Analisa univariat berfungsi untuk meringkas kumpulan data hasil pengukuran sedemikian
51
rupa sehingga kumpulan data tersebut berubah menjadi informasi yang berguna, peringkasan tersebut dapat berupa ukuran statistik, tabel, grafik. Analisa univariat dilakukan masing-masing variabel yang diteliti (Notoadmodjo, 2005). Pada penelitian ini analisa univariat dilakukan untuk mengumpulkan data responden yaitu meliputi usia dan retensi urin b) Analisa bivariat Analisa bivariat ini digunakan untuk: 1. Mengetahui perbedaan hasil pretest dan post test dari kelompok kontrol dan juga kelompok perlakuan dengan bentuk komparatif dua sampel berpasangan dan datanya berbentuk nominal, uji analisa data yang digunakan adalah uji Mc Nemar. 2. Mengetahui perbedaan setelah diberikan tindakan Bladder Training antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dengan bentuk komparatif dua sampel independent bila datanya berbentuk nominal, uji analisa data yang digunakan adalah uji Fisher exact test (Sugiyono, 2015). 3.7 Etika penelitian Secara umum prinsip dalam penelitian atau pengumpulan data dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu, manfaat, prinsip menghargai hak-hak subjek dan prinsip keadilan (Nursalam, 2008). Dalam mendapatkan data dilakukan dengan menekankan etika yang mengacu pada:
52
3.7.1 Lembar persetujuan menjadi responden (inform consent) Lembar persetujuan diberikan kepada subjek yang akan diteliti. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian jika calon responden bersedia untuk diteliti, maka mereka harus mengisi lembar persetujuan tersebut, namun apabila responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak boleh memaksakan dan tetap menghormati hak-hak responden. 3.7.2 Tanpa nama (anonimity) Untuk menjaga kerahasiaan responden maka peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data (lembar observasi) cukup dengan memberikan kode pada masing-masing lembar observasi tersebut. 3.7.3 Kerahasiaan (confidentiality) Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti karena hanya kelompok data tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan sebagai hasil riset atau hasil dari penelitian.
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Karakeristik Responden Karakteristik responden pada penelitian ini adalah data demografi responden yaitu umur responden. 4.1.1 Karakteristik Umur kelompok perlakuan Tabel 4.1 Data distribusi frekuensi umur responden kelompok perlakuan No 1 2 3
Umur 45-59 tahun 60-74 tahun 75-90 tahun Jumlah
Jumlah 2 4 4 10
Persentase % 20 40 40 100
Dari tabel 4.1 diketahui bahwa jumlah responden dari kelompok perlakuan yang terbanyak adalah pada usia 60-74 tahun yaitu sebanyak 4 responden (40%), dan usia 75-90 tahun sebanyak 4 reponden (40%). 4.1.2 Karakteristik umur kelompok kontrol Tabel 4.2 Data distribusi frekuensi umur responden kelompok kontrol No 1 2 3
Umur 45-59 tahun 60-74 tahun 75-90 tahun Jumlah
Jumlah 2 6 2 10
Persentase % 20 60 20 100
Dari tabel 4.2 diketahui bahwa jumlah responden kelompok kontrol yang terbanyak adalah di usia 60-74 tahun sebanyak 6 responden (60%).
53
54
4.2 Uji Univariat 4.2.1 Retensi urin pada kelompok perlakuan pre baldder training. Tabel 4.3 Data distribusi frekuensi retensi urin kelompok perlakuan pre bladder training: No 1 2
Pre bladder training Tidak retensi urin Retensi urin Jumlah
Jumlah
Persentase %
2 8 10
20 80 100
Dari tabel 4.3 diketahui bahwa sebagian besar responden dari kelompok perlakuan pre bladder training mengalami retensi urin, yaitu sebanyak 8 responden (80%) 4.2.2 Retensi urin pada kelompok perlakuan post bladder training. Tabel 4.4 Data distribusi frekuensi retensi urin kelompok perlakuan post bladder training No 1 2
Post bladder training Tidak retensi urin Retensi urin Jumlah
Jumlah
Persentase %
9 1 10
90 10 100
Dari tabel 4.4 diketahui bahwa mayoritas responden dari kelompok perlakuan post bladder training tidak mengalami retensi urin, yaitu sebanyak 9 responden (90%). 4.2.3 Retensi urin pada kelompok pre kontrol Tabel 4.5 Data distribusi frekuensi retensi urin kelompok pre kontrol No 1 2
Pre kontrol Tidak retensi urin Retensi urin Jumlah
Jumlah 2 8 10
Persentase % 20 80 100
55
Dari tabel 4.5 dapat diketahui bahwa mayoritas responden dari kelompok pre kontrol mengalami retensi urin, yaitu
sebanyak 8
responden (80%). 4.2.4 Retensi urin pada kelompok post kontrol Tabel 4.6 Data distribusi frekuensi retensi urin kelompok post kontrol No 1 2
Post kontrol Tidak retensi urin Retensi urin Jumlah
Jumlah 3 7 10
Persentase % 30 70 100
Dari tabel 4.6 dapat diketahui bahwa mayoritas responden dari kelompok post kontrol masih mengalami retensi urin, yaitu sebanyak 7 responden (70 %). 4.3 Uji Bivariat 4.3.1 Tingkat retensi urin pada kelompok perlakuan pada pasien post operasi BPH diruang Mawar RSUD dr. Soehadi Prijoegoro Sragen Tabel 4.7 Crosstabulation hasil pre test dan post test kelompok perlakuan Pre test Tidak retensi Retensi urin Jumlah
Post test Tidak retensi 2 7 9
Retensi urin 0 1 1
Jumlah 2 8 10
Berdasarkan tabulasi silang tabel 4.7 dapat diketahui bahwa hasil crosstabulation hasil pre test dan post test pada kelompok perlakuan. Hasil pre test kelompok perlakuan adalah sebagai berikut: tidak retensi urin sebanyak 2 responden dan retensi urin sebanyak 8 responden. Sedangkan untuk hasil post test kelompok perlakuan adalah
56
sebagai berikut: tidak retensi urin sebanyak 9 responden dan retensi urin sebanyak 1 responden. Tabel 4.8 Data descriptive statistics hasil pre test dan post test kelompok perlakuan
Pre test perlakuan Post test perlakuan
N
Mean
Std. Deviation
Minimum
Maximum
10
.80
.422
0
1
10
.10
.316
0
1
Exact Sig. (2.tailed)
.016
Dari tabel 4.8 diatas dapat diketahui hasil dari data descriptive statistics yaitu nilai p value uji Mc Nemar sebesar 0,016 (< 0,05), maka tolak Ho yang artinya ada perbedaan / efektivitas tindakan bladder training pada pre dan post test kelompok perlakuan. 4.3.2 Tingkat retensi urin pada kelompok kontrol pada pasien post operasi BPH diruang Mawar RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen Tabel 4.9 Tabel data crosstabulations pre dan post kelompok kontrol. Post kontrol Pre kontrol Tidak retensi Retensi urin Jumlah Tidak retensi 2 0 2 Retensi urin 1 7 8 Jumlah 3 7 10 Berdasarkan tabulasi silang tabel 4.9 dapat diketahui bahwa hasil crosstabulation hasil pre kontrol dan post kontrol pada kelompok kontrol. Hasil pre kontrol kelompok kontrol adalah sebagai berikut: tidak retensi urin sebanyak 2 responden dan retensi urin sebanyak 8 responden. Sedangkan untuk hasil post kontrol kelompok kontrol
57
adalah sebagai berikut: tidak retensi urin sebanyak 3 responden dan retensi urin sebanyak 7 responden Tabel 5.0 Data descriptive statistics hasil pre kontrol dan post kontrol kelompok kontrol
Pre kontrol Post kontrol
N
Mean
Std. Deviation
Minimum
Maximum
10
.80
.422
0
1
10
.70
.483
0
1
Exact Sig. (2.tailed)
1.000
Dari tabel diatas dapat dilihat hasil test statistics pre dan post test kelompok kontrol yaitu nilai p value uji Mc nemar adalah 1,00 (> 0,05), yang artinya H0 diterima, sehingga tidak ditemukan adanya perbedaan atau efektifitas bladder training pada pre kontrol dan post kontrol kelompok kontrol. 4.3.3 Efektivitas bladder training terhadap retensi urin pada pasien post operasi BPH diruang Mawar RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen Tabel 5.1 Tabel data crosstabulation kelompok perlakuan dan kelompok kontrol Hasil Tidak retensi Retensi urin Jumlah
Bladder training Tidak bladder training 9 1 10
Bladder training
Jumlah
3 7 10
12 8 20
58
Tabel 5.2 Tabel perbedaan retensi urin kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
Fisher’s Exact Test
Value
df
-
-
Asymp. Sig.(2-sided) -
Exact sig. (2-sided) .020
Dari tabel 5.5 untuk hasil uji Fisher Exact probablility didapatkan nilai p value < α (0,020 < 0,05) sehingga Ho ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada efektivitas bladder training terhadap retensi urin pada pasien post operasi BPH diruang Mawar RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik responden berdasarkan umur Dari 10 orang responden dari kelompok perlakuan didapatkan data bahwa responden yang berusia 45-59 tahun sebanyak 2 orang responden (20%), usia 60-74 tahun sebanyak 4 orang (40%) dan usia 75-90 tahun sebanyak 4 orang responden (40%). Sedangkan dari kelompok kontrol, didapatkan sejumlah orang responden yang berusia 45-59 tahun sebanyak 2 orang responden (20%), usia 60-74 tahun sebanyak 6 orang responden (60%) dan usia 75-90 tahun sebanyak 2 orang responden (20 %). Pembagian rentang usia responden diatas adalah berdasarkan pembagian umur dari WHO, yaitu middle age (45-59 tahun), lanjut usia/eldery (60-74 tahun), lanjut usia tua / old (75-90 tahun) dan usia sangat tua / very old (diatas 90 tahun). Dilihat dari rata-rata jumlah responden penelitian ini, ditemukan bahwa jumlah responden yang paling banyak adalah diusia lanjut keatas (60-74 tahun). Berdasarkan hasil studi dilapangan yang dilakukan oleh peneliti, mayoritas penderita dengan kasus BPH di RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen adalah kalangan lanjut usia (> 60 tahun keatas). Biasanya mereka yang datang memang kebanyakan adalah kaum pria yang berusia diatas 60 tahun. Sangat jarang sekali pasien dengan BPH yang
59
60
berusia kurang dari 60 tahun, walaupun mungkin ada namun prevalensinya cukup jarang. Biasanya mereka datang dengan keluhan BAK macet, tidak tuntas ataupun BAK terasa panas. Salah satu masalah kesehatan yang sering dijumpai pada pria diatas 60 tahun adalah Benigna Prostatic Hyperplasia atau BPH, keadaan ini di alami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun, dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun (Nursalam dan Fransisca, 2009). Hal ini sesuai dengan teori bahwa salah satu faktor resiko terjadinya kasus BPH adalah faktor usia. Dimana kadar testosteron mulai menurun secara perlahan pada usia 30 tahun dan turun lebih cepat pada usia 60 tahun keatas (Birowo, 2000). 5.2 Uji Univariat 5.2.1 Retensi urin pada pasien post operasi BPH diruang Mawar RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen pada kelompok perlakuan pre bladder Dari tabel 4.3 ditemukan data bahwa dari 10 orang responden dari kelompok perlakuan pre bladder training yang mengalami retensi urin sebanyak 8 responden (80%) dan tidak retensi urin sebanyak 2 responden (20%). Dari data tersebut diatas dapat diuraikan bahwa sebanyak 8 responden (80%) dari kelompok perlakuan saat pre bladder training memiliki keluhan yang sama ketika post operasi BPH khususnya TURP yaitu retensi urin atau BAK macet. Beberapa kondisi ini kemungkinan dapat terjadi dikarenakan adanya sumbatan cloth.
61
Dimana setelah hari ketiga post operasi irigasi bladder telah dihentikan, sehingga kemungkinan tersumbatnya saluran kemih dapat saja terjadi akibat adanya cloth yang terkumpul. Biasanya sebagian besar dari responden mengaku setelah irigasi dihentikan mereka malas ataupun kurang minum, sehingga sangat rentan terjadi keluhan BAK kemerahan atau bahkan macet lagi. Pada kondisi seperti ini biasanya intervensi yang dilakukan adalah menganjurkan responden untuk banyak minum air putih kurang lebih 2-3 liter perhari, agar supaya produksi urin banyak dan dapat membantu membersihkan sisa sisa perdarahan ataupun sumbatan cloth di saluran kemih mereka. Ataupun bila dalam kondisi yang cukup parah biasanya dilakukan spooling agar supaya sumbatan dapat dihilangkan. Kondisi yang terjadi pada responden penelitian ini sejalan dengan pernyataan yang disampaikan oleh Wilson, (1997) bahwa kondisi ketidaknyamanan post TURP mungkin saja dapat terjadi seperti distensi kandung kemih, iritasi, atau spasme bladder. Selain itu ada juga pendapat yang disampaikan oleh Montarsi, (2004) yang menerangkan bahwa komplikasi dan morbiditas yang ditimbulkan post operasi TURP antara lain perdarahan, gangguan keseimbangan cairan, kelebihan absorbsi cairan, inkontinensia dan juga disfungsi ereksi. Hal ini pun sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa salah satu kekurangan dari tindakan operasi BPH / TURP adalah
62
terjadinya retensi urin / BAK macet, perdarahan dan juga terjadinya sindrom TURP (Smeltzer & Bare, 2003). Selain itu juga komplikasi dari tindakan TURP biasanya terjadi setelah periode hari ketiga sampai minggu ke enam post operasi dimana kemungkinan akan terjadi retensi urin yang berkepanjangan, perdarahan post operasi akibat sumbatan cloth, dan juga timbulnya ISK (Djavan.B,1997). 5.2.2 Retensi urin pada pasien post operasi BPH diruang Mawar RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen pada kelompok perlakuan post bladder training Dari tabel 4.4 didapatkan data bahwa pada kelompok perlakuan saat post bladder training dari 10 orang responden ditemukan responden dengan retensi urin sebanyak 1 responden (10%) dan responden yang tidak retensi urin sebanyak 9 responden (90%). Hasil temuan distribusi frekuensi pada kelompok perlakuan post bladder training ditemukan bahwa mayoritas responden tidak mengalami retensi urin, yaitu sebanyak 9 orang responden (90%). Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti, keluhan yang dirasakan oleh sebagian besar responden adalah nyeri disekitar pubis, rasa tidak nyaman disaluran kemih, BAK sempat macet dan terasa tidak tuntas, kadang juga ada yang mengeluh BAK mereka kemerahan. Tindakan yang dilakukan pada responden adalah mengajarkan mereka untuk mengklem selang kateter urin dengan
63
karet gelang selama 12 jam. Kemudian setelah itu dihari berikutnya mereka dilakukan pemeriksaan kembali apakah keluhan yang mereka rasakan di hari berikutnya masih dirasakan. Mereka mengaku setelah dilakukan tindakan bladder training sebagian besar responden sudah tidak mengeluh BAK macet, rasa nyeri di regio supra pubik dan tidak mengeluh adanya distensi kandung kemih lagi. Latihan bladder training yang diberikan kepada responden, ternyata cukup berpengaruh terhadap keluhan responden diawal pengamatan. Sesuai dengan tujuan dari dilakukannya bladder training adalah untuk melatih kandung kemih dan mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih (Potter & Perry, 2005). Tindakan bladder training ini dapat dilakukan setiap hari secara rutin
dikarenakan hasilnya sangat membantu alam
mempertahankan kondisi normal maupun mengembalikan ke keadaan semula pada pasien dengan gangguan pola berkemih akibat kateterisasi (Widiastuti, 2012). Pada penelitian yang dilakukan oleh Wyman, (1999) dijelaskan bahwa pemberian tindakan bladder training dan pelvic muscle exercise terbukti dapat menurunkan kejadian inkontinensia pada wanita, meningkatkan kualitas hidup dan juga peningkatan kewaspadaan timbulnya gejala. 5.2.3 Retensi urin pada pasien post operasi BPH diruang Mawar RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen pada kelompok pre kontrol
64
Dari tabel 4.5 didapatkan hasil bahwa dari 10 orang responden dari kelompok pre kontrol terdapat 2 responden (20%) yang tidak mengalami retensi urin dan 8 responden (80%) mengalami retensi urin. Hasil temuan dari data frekuensi distribusi pada kelompok pre kontrol didapatkan mayoritas responden mengalami retensi urin yaitu sebanyak 8 responden (80%). Menurut pendapat peneliti apabila dilihat dari kondisi yang terjadi dilapangan, memang terkadang responden mengeluhkan BAK mereka terasa kurang lancar dan terkadang macet. Selain rasa yang tidak nyaman karena terpasang selang kateter, responden juga mengeluhkan rasa panas dan kadang BAK agak merah setelah operasi. Pada beberapa responden ada yang sampai kandung kemih mereka tampak penuh dan teraba sakit ketika dipegang. Walaupun dalam kondisi mereka terpasang selang kateter, namun saat ada sumbatan di saluran kemih maka hal itupun dapat saja terjadi. Keadaan retensi urin ini terjadi karena ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih secara secara berlebihan. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyumbatan pada saluran kemih karena pembesaran kelenjar prostat, batu ginjal dan batu kandung kemih atau akibat penyebab non obstruktif, seperti lemahnya otot kandung kemih dan masalah persarafan yang menyebabkan terganggunya sinyal saraf antara otak dan kandung kemih (Wartonah, 2006).
65
Selain beberapa kondisi tersebut, retensi urin yang terjadi pada penderita post TURP adalah merupakan salah satu komplikasi tindakan yang dapat saja terjadi. Dimana komplikasi dari tindakan TURP yang dapat saja terjadi diantaranya perdarahan, obstruksi saluran kemih, retensi urin, ejakulasi retrograde, ISK, striktur bladder, striktur uretra, komplikasi kardiovaskuler dan sindrom TURP (Peters & Olson, 2011). Disamping itu juga, menurut penelitian yang dilakukan oleh Arianne Mc Kinnon, (2011) menyimpulkan bahwa faktor prediksi penyebab terjadinya retensi urin post TURP diantara nya beratnya pembesaran prostat, retensi akibat cloth, ISK dan juga retensi urin sebelum pembedahan. 5.2.4 Retensi urin pada pasien post operasi BPH diruang Mawar RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen pada kelompok post kontrol Dari tabel 4.6 didapatkan hasil bahwa dari 10 orang responden dari kelompok post kontrol terdapat 3 responden (30%) yang tidak mengalami retensi urin dan 7 responden (70%) mengalami retensi urin. Berdasarkan hasil temuan data frekuensi distribusi pada kelompok pre kontrol sebagian besar dari jumlah responden mengalami retensi urin yaitu sebanyak 8 responden (80%). Sedangkan pada kelompok post kontrol ditemukan 7 responden (70%) yang mengalami retensi urin.
66
Dilihat dari apa yang terjadi sebenarnya dilapangan adalah memang benar responden pada kelompok kontrol tersebut saat pemeriksaan pertama dan kedua pun hampir mengeluhkan keluhan yang sama. Pada awal pemeriksaan responden mengeluh BAK tak tuntas, rasa nyeri dipubis ataupun mengeluh ada distensi kandung kemih. Pada pemeriksaan hari kedua pun juga merasakan hal yang sama. Setelah pemeriksaan hari pertama, responden tidak dilakukan atau tidak diajarkan tindakan apa apa. Mereka hanya dibiarkan dan diobservasi saja tanpa intervensi apapun. Dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak terjadi perubahan atau perbedaan yang signifikan dikarenakan pada kelompok kontrol tidak dilakukan atau tidak diberi tindakan apapun untuk menurunkan resiko terjadinya retensi urin. Kejadian retensi urin ini sebenarnya memerlukan penanganan yang tepat dan adequat untuk menghindari terjadinya penyempitan lumen urethra karena fibrosis pada dindingnya / striktur urethra (Purnomo, 2011). Hal ini pun juga
didukung oleh pernyataan
yang
disampaikan oleh Sulli, (2011) yang menjelaskan bahwa retensi urin akut tidak dapat berkemih sama sekali walaupun kandung kemih terasa penuh, sehingga menimbulkan rasa nyeri suprapubik yang terus menerus bersama dengan keinginan untuk berkemih yang hebat dan mungkin dengan meneteskan jumlah yang sedikit dari urin. Kondisi ini merupakan keadaan emergency medis yang memerlukan
67
tindakan yang cepat. Bila tidak segera diatasi akan mengakibatkan terjadinya penyulit yang memperberat morbiditas penderita yang bersangkutan. Pengendalian kandung kemih dan sfingter dilakukan agar terjadi pengeluaran urin secara kontinu. Latihan kandung kemih harus dimulai dahulu untuk mengembangkan tonus kandung kemih saat mempersiapkan pelepasan kateter yang sudah lama terpasang. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya retensi urin (Smeltzer & Bare, 2002). 5.3 Uji Bivariat 5.3.1 Tingkat retensi urin pada kelompok perlakuan pada pasien post operasi BPH diruang Mawar RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen Pada hasil uji statistik Mc Nemar, apabila p value < 0,05 maka H0 ditolak. Dan sebaliknya apabila nilai p value > 0,05 maka H0 diterima. Hasil temuan uji statistik pada penelitian ini didapatkan nilai p value < 0,05 (0,016 < 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa bladder training dapat berpengaruh atau memiliki efektivitas terhadap retensi urin pada pasien post operasi BPH di ruang Mawar RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Dadi Santosa, (2015) juga menjelaskan bahwa tindakan Bladder Training dan muscle pelvic exercise terbukti efektif memperbaiki fungsi eliminasi berkemih pada pasien BPH pasca operasi TVP.
68
Tindakan bladder training ini dilakukan oleh peneliti yaitu dihari ketiga pasca operasi TURP, dimana pada hari ketiga tersebut biasanya tindakan irigasi bladder sudah dihentikan. Sebelum tindakan
bladder
training
dilakukan,
penderita
dilakukan
pemeriksaan kondisinya apakah ada keluhan atau tanda tanda yang mengarah ke kondisi retensi urin. Kemudian setelah itu penderita dilakukan dan diajarkan bagaimana tindakan bladder training tersebut dilakukan. Responden diajarkan untuk mengeklem selang kateter urin mereka dengan karet gelang selama 2-3 jam, dan sebelumnya responden diminta minum air putih 100-250 cc setiap kali akan diklem. Bila sudah terasa penuh dikandung kemih dan ingin BAK maka klem selang kateter dapat dibuka dan dibiarkan selama 5 menit. Setelah itu selang diklem kembali seperti itu selama 12 jam dimulai dari pagi hari sampai malam hari. Pada malam hari, responden diminta istirahat dan pagi harinya baru dicek kembali oleh peneliti. Setelah 1 x 24 jam dilakukan, kemudian penderita dilakukan pemeriksaan kembali. Pada pemeriksaan dihari kedua setelah responden diajarkan dan diberikan bladder training, sebagian besar responden mengatakan kondisi mereka lebih nyaman dan membaik. Responden mengatakan rasa nyeri di saluran kemih berkurang, kandung kemih yang penuh menjadi normal dan produksi urin mereka pun berangsung lancar. Dan sesuai data yang ditampilkan diatas, hasilnya adalah ternyata tindakan bladder tersebut sangat
69
memberi perubahan yang nyata pada keluhan penderita post TURP yang diperiksa. Hasil temuan ini sejalan dengan teori yang menjelaskan bahwa tindakan bladder training ini adalah merupakan salah satu terapi yang efektif diantara terapi non farmakologi yang ada untuk mencegah atau menurunkan resiko retensi urin. Dimana tindakan ini adalah
untuk
mengembalikan
fungsi
kandung
kemih
yang
mengalami gangguan ke keadaan normal atau fungsi neurogenik (Potter & Perry, 2005). Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Anita Widyastuti, (2012) menjelaskan bahwa ada pengaruh yang signifikan dengan adanya tindakan bladder training yang dilakukan setiap hari terhadap kejadian inkontinensia bila dibandingkan dengan bladder training yang hanya dilakukan pada satu hari sebelum kateter dilepas. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p value < α (0,000 < 0,05) maka H0 ditolak. Selain itu penelitian lain yaitu oleh Sri Wulandari, (2012) juga menjelaskan bahwa ada pengaruh yang jelas terlihat dari tindakan bladder training yang dilakukan terhadap penurunan inkontinensia pada lansia dimana sebelum dilakukan tindakan, antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol tidak terdapat perbedaan penurunan inkontinensia secara signifikan. Namun setelah dilakukan tindakan bladder training, antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol penelitian menunjukan
70
perbedaan yang cukup signifikan, dimana terjadi penurunan kejadian inkontinensia pada kelompok perlakuan sedangkan kelompok kontrol tetap. Hasil uji statistik menunjukkan hasil pada pre test ditemukan nilai t hitung sebesar 0,343 dengan nilai p value 0,735 maka H0 diterima, yang artinya tidak ada pengaruh. Sedangkan pada post test ditemukan nilai t hitung sebesar 7,348 dengan nilai p value 0,000 maka H0 ditolak sehingga ada pengaruh tindakan Bladder training terhadap penurunan inkontinensia pada lansia. 5.3.2 Tingkat Retensi urin pada kelompok kontrol pada pasien post operasi BPH RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen Sebagaimana dijelaskan diawal mengenai uji statistik Mc Nemar, bahwa apabila nilai p value > 0,05, maka H0 diterima. Hasil temuan uji statistik yang didapat adalah nilai p value > 0,05 (1,00 > 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan / efektivitas bladder training terhadap retensi urin pada kelompok pre dan post kontrol pasien post operasi BPH diruang Mawar RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. Pada kelompok kontrol dalam penelitian ini, dihari ketiga pasca TURP atau setelah irigasi bladder dihentikan, responden dilakukan pemeriksaan tentang keluhan keluhan yang dirasakan. Kebanyakan dari responden mengeluh sakit di regio supra pubik dan adanya distensi kandung kemih. Ini adalah pemeriksaan yang dilakukan pertama kali. Kemudian setelah 24 jam berikutnya tanpa
71
responden diberikan intervensi ataupun tindakan apapun, responden dari kelompok kontrol tersebut juga dilakukan pemeriksaan yang kedua. Sebagian besar dari responden menunjukkan hasil yang hampir sama dengan pemeriksaan sebelumnya, yaitu masih mengeluhkan sakit di regio supra pubik dan adanya distensi kandung kemih. Dari temuan ini, peneliti dapat menganalisa bahwa keluhan retensi urin pada kelompok pre dan post kontrol apabila tidak diberikan intervensi ataupun tidakan pencegahan akan menunjukkan kondisi yang sama. Kondisi ini jelas dapat terlihat bahwa diantara kelompok pre dan post kontrol masih memiliki keluhan yang sama yaitu retensi urin setelah post TURP. Beberapa penyebab yang mungkin mendasari keadaan terjadinya retensi urin ini adalah adanya obstruksi, infeksi, faktor farmakologi, faktor neurologi ataupun juga trauma (Selius & Subedi, 2008). Kondisi retensi urin ini dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu retensi urin akut dan retensi urin kronis. Pada retensi urin akut ditandai dengan ketidakmampuan untuk berkemih sama sekali. Hal ini merupakan suatu kedaruratan medis yang memerlukan perawatan yang secepatnya. Sedangkan pada retensi urin kronis, individu masih dapat berkemih tetapi memiliki kesulitan untuk memulai atau mengosongkan kandung kemih secara keseluruhan (Wartonah,
72
2006). Namun pada penelitian ini tidak diklasifikasikan secara jelas tipe retensi urin apa yang terjadi pada responden. 5.3.3 Efektivitas bladder training terhadap retensi urin pada pasien post operasi BPH diruang Mawar RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen Pada uji statistik Fisher’s Exact dijelaskan bahwa apabila nilai p value < α, maka H0 ditolak. Dan sebaliknya apabila nilai p value > α maka H0 diterima, dimana nilai α sebesar 0,05. Dari hasil uji hitung statistik pada penelitian ini, didapatkan nilai p value < α, yaitu 0,020 < 0,05. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat efektivitas bladder training terhadap retensi urin pada pasien post operasi BPH diruang Mawar RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. Pada penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Friska Hinora (2014) tentang pengaruh Bladder training terhadap kemampuan berkemih pada pasien pria dengan retensi urin di RSUD Bitung. Pada hasil uji statistik didapatkan nilai p value < α, yaitu 0,001 < 0,05 sehingga Ha dterima / H0 ditolak. Jadi ada pengaruh bladder training terhadap kemampuan berkemih pada pasien pria dengan retensi urin di RSUD Bitung. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tindakan bladder training ini sangat efektif terhadap kejadian retensi urin. Pada hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh peneliti terhadap kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sangatlah terlihat perbedaanya. Dimana setelah dilakukan tindakan bladder training
73
pada kelompok pre dan post perlakuan menunjukan perbaikan kondisi dari sebelum dilakukan tindakan. Sedangkan pada kelompok pre dan post kontrol, peneliti menemukan kondisi dan keluhan responden yang rata rata hampir sama, yaitu keluhan terjadinya retensi urin. Dari perbedaan kedua kelompok penelitian ini, peneliti dapat menyimpulkan bahwa kondisi atau keluhan yang mengarah pada retensi urin bila tidak diberikan intervensi hasilnya akan tetap sama, namun apabila kondisi ini segera dilakukan pencegahan maka kemungkinan besar akan terjadi perbaikan dari pada keluhan sebelumnya. Penemuan ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sri Wulandari, (2012) yang menyimpulkan bahwa ada pengaruh yang cukup jelas dari tindakan bladder training terhadap penurunan inkontinensia pada lanjut usia di Panti Wreda Dharma Bakti Surakarta. Dimana sebelum diberikan tindakan bladder training, antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sama sama tidak ada perbedaan dalam frekuensi inkontinensia pada responden. Namun setelah diberikan tindakan, hasilnya jelas sekali terjadi perbedaan atau penurunan frekuensi inkontinensia pada kelompok perlakuan, sedangkan pada kelompok kontrol tetap seperti sebelum diberi tindakan. Dari temuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa bladder training memiliki manfaat dalam melatih kandung kemih dan
74
mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih (Potter & Perry, 2005). Latihan ini dilakukan pada pasien post operasi yang terpasang kateter (Suharyanto, 2009). Secara umum bladder training dilakukan sejak sebelum kateter dilepas hingga setelah kateter dilepas. Pada pasien dengan kateter menetap dapat dilakukan secara rutin dan setiap hari. Hal ini dapat memberikan hasil yang sangat membantu dalam mempertahankan kondisi normal maupun mengembalikan ke kondisi semula pada pasien gangguan pola berkemih akibat kateterisasi (Widiastuti, 2012).
BAB VI PENUTUP
6.1
Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 6.1.1 Karakteristik responden berdasarkan: a. Umur responden pada kelompok perlakuan ditemukan data bahwa sebagian besar responden adalah berusia 60-74 tahun yaitu sebanyak 4 responden (40%) dan pada usia 75-90 tahun yaitu sebanyak 4 responden (40%). Sedangkan pada kelompok kontrol ditemukan mayoritas responden berusia 60-74 tahun yaitu sebanyak 6 responden (60%). b. Tingkat retensi urin pada kelompok perlakuan pre bladder training ditemukan data bahwa
sebagian besar responden mengalami
retensi urin yaitu sebanyak 8 responden (80%), sedangkan pada post bladder training sebagian besar dari responden tidak mengalami retensi urin yaitu sebesar 9 responden (90%). c. Tingkat retensi urin pada kelompok pre kontrol ditemukan hasil bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 8 orang responden (80%) mengalami retensi urin, sedangkan pada post kontrol ditemukan sekitar 7 responden (70%) masih mengalami retensi urin.
75
6.1.2 Tingkat retensi urin pada kelompok perlakuan pasien post operasi BPH diruang Mawar RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen dengan uji statitik Mc Nemar didapatkan hasil nilai p value < α, yaitu 0,016 < 0,05 maka H0 ditolak. Sehingga ada perbedaan antara pre dan post bladder training pada kelompok perlakuan. 6.1.3 Tingkat retensi urin pada kelompok kontrol pasien post operasi BPH diruang Mawar RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen dengan uji statistik Mc Nemar didapatkan hasil nilai p value > α, yaitu 1,000 > 0,05 maka H0 diterima. Yang artinya tidak ada perbedaan kejadian retensi urin antara pre dan post kontrol. 6.1.4 Dari hasil uji hitung statistik Fisher’s Exact Test pada penelitian ini, didapatkan nilai p value < α, yaitu 0,020 < 0,05. Maka H0 ditolak yang berarti latihan bladder training terbukti efektif dalam mengurangi resiko terjadinya retensi urin pada pasien post operasi BPH di ruang Mawar RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. 6.2 Saran Berdasarkan simpulan diatas, maka ada beberapa saran yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut: 6.2.1 Bagi pasien / masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam mengurangi resiko terjadinya retensi urin dan meningkatkan kenyamanan serta kepuasan pada pasien yang dirawat diruang Mawar khususnya di RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen dengan post operasi BPH.
6.2.2
Bagi perawat atau rumah sakit RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi panduan dalam bekerja terutama perawat diruang Mawar dalam melakukan tindakan bladder training dan sebagai acuan dalam membuat SOP khususnya dalam teknik bladder training yang tepat bagi pasien post operasi BPH.
6.2.3
Bagi institusi pendidikan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber literatur untuk menyusun materi pembelajaran dan juga menambah pengetahuan tentang pengaruh bladder training terhadap retensi urin pada pasien post operasi BPH.
6.2.4
Bagi penelitian lain Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber data untuk memotivasi pelaksanaan penelitian yang lebih baik diwaktu yang akan datang dan juga diharapkan lebih dijelaskan lagi klasifikasi retensi urin yang diteliti, apakah retensi urin akut atau retensi urin kronis.
6.2.5
Bagi peneliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman dan pengetahuan dalam hal efektivitas bladder training terhadap retensi urin pada pasien post operasi BPH.
DAFTAR PUSTAKA
Anita Widiastuti. (2012). Perbedaan Kejadian Inkontinensia Urin pada Pasien post kateterisasi yang dilakukan Bladder Training setiap hari dengan Bladder Training sehari sebelum Kateter dibuka di BPK RSU Tidar Magelang. Ariane, Mc. Kinnon et al. (2011). Predictor of Acute Urinary Retention after TransUrethral Resection of the Prostate: A Retrospective Chart Audit Society Of Urology, Nurses and Associety Urology Nursing. Vol 31. H 4 Bayhakki, Krisna Yetti, Mustikasari. (2008). Bladder training modifikasi cara Kozier pada pasien pasca Bedah Ortopedi Yang Terpasang Kateter Urin. Jurnal keperawatan Indonesia. Vol 12. No 1 hal 7-13 Beti Kristinawati. (2009). Efektivitas Pelaksanaan Bladder Training Secara Dini Pada Pasien yang Terpasang Dower Catheter terhadap Kejadian Inkontinensia Urin di Ruang Umar dan Ruang Khotijah RS Roemani Muhamad Semarang Birowo P, Rahardjo L. (2000). Karakteristik penderita pembesaran prostat jinak di RSUPN Dr. Cipto Mangun Kusumo dan RS Sumber Waras Jakarta tahun 1994 – 1997. Vol 50 (2) - 81-5 Bridge Sophie Bain.(2006). Obesity and Diabetes Increase Risk For BPH: Presented at AUA. Atlanta, GA. URL: http://www.docguide.com. Diakses 10 maret 2007 Brunner and Suddarth, (1998). Manual of Nursing Practice, edidi 4. Jakarta: EGC Dadi Santosa. (2015). Efektivitas Kombinasi Bladder Training dan Muscle Pelvic Exercise terhadap Fungsi Eliminasi berkemih pada Pasien Benign Prostate Hyperplasia Pasca operasi Trans Vesical Prostatectomy Fitri Mulyana. (2013). Penerapan Pre Operating Teaching pada klien dengan masalah bedah Benign Prostate Hyperplasia Trans Urethral of the Prostate (TURP) di Ruang Anggrek Tengah Kanan (Bedah Kelas 1) Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan
Friska Hinora. (2014). Pengaruh Bladder Training Terhadap Kemampuan Berkemih pada Pasien Pria dengan Retensi Urin. Buletin Sari putra .vol 1 (1) Gass R. (2002). BPH: The opposite effect of alchohol and coffee intake . BJU Internasional. 90. 649-654 Guess. (1995). Epidemiology and Natural History Of Benign Prostatic Hyperplasia Urological Clinic of America. volume 22, No 2 Hasmita Maya. (2011). Efektivitas Bladder Training Sitz Bath terhadap Fungsi eliminasi Berkemih spontan pada ibu post partum spontan di RSUP H. Adam Malik - RSUP dr Pringadi Medan dan RS Jejaring. diakses dari http://repository.usu.ac.id/handle//23456789/27637 Kirby, Roger. S, Christmas, Timothy.(1997). Benign Prostatic Hyperplasia second Edition. Mosby international Mark. J. Speakman. (2009). Management of Acute and Chronic Retention in Men. European Urology Supplement’s. vol 8 .523-529 Montorsi F, Naspro R, Salonia A, Suardi N, Briganti A, Zanoni M, Valenti S, et al. (2004). Holmium Laser Enucleation versus transurethral Resection of Prostate : result from a 2-cancer, prospective, randomized trial in patients with obstructive benign prostatic hyperplasia, J Urol. 172:1926-9 Nanda. (2012). Nursing Diagnosis Definition & Classification 2012-2014 Oxford. Wiley – Black Well Narbuko, C. 2007. Metodologi penelitian . Jakarta: Bumi Aksara Notoadmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta Nursalam. (2003). Konsep dan penerapan metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Parsons, J.K. (2010). Benign Prostatic Hyperplasia and Male Lower Urinary Tract Symptoms: Epidemiology & Risk factors Springer journal Curr Badder Dysfunct Rep. 5. 212-218 Potter & Perry.(2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi 4 vol 2. Jakarta: EGC
Purnomo B, Basuki. (2011).Dasar dasar Urologi. Edisi ketiga. Jakarta: CV Sagung Seto Rahardjo D. (1999). Prostat : Kelainan – Kelainan jinak, diagnosis dan penanganan. 1stned. Jakarta: Asian Medical Rizki Amalia. (2007). Faktor-faktor Resiko Terjadinya pembesaran Prostat Jinak Roehborn, Calus G, McConnell, John D. (2002). Etiology, pathophysiology, and Natural History of Benign Prostatic Hyperplasia In: Campbell’s Urology 8th ed. W.B. Saunders.. P. 1297 - 1330 Sigit Ariyoso. (2012). Asuhan Keperawatan post operasi BPH pada Tn Y di ruang Matahari RSI PKU Muhammadiyah Pekajang Pekalongan Sjamsuhidajat, R & De Jong W. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC Smeltzer, S.C, & Bare , B.G. (2003). Brunner & Suddarth’s Text Book of Medical Surgical Nursing (10th Ed) Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins Sopiyudin Dahlan, M.(2010). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan edisi 5. Jakarta Sri Wulandari. (2012). Pengaruh Latihan Bladder Training terhadap Penurunan Inkontinensia pada Lanjut Usia di Panti Wreda Dharma Bakti Surakarta Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfa Beta Suharyanto, Abdul, Madjid. (2009). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Trans Info Media Sulli Nova. (2011). Retensi Urin. Diakses dari http://www.scribd.co/novasulli Tri Subyati.(2010). Hubungan frekuensi seksual terhadap kejadian BPH di RSUD kabupaten Kebumen. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan .vol 6 .no.2 Wahyu Widayati.(2011). The Influence of the Bladder Training Initiation on Residual Urine in The Stroke Patient with Urine catheter . Nurse Media Journal of Nursing 1,2 Juli 2011. 255-264 Walsh, Patrick C. (1992). Benign Prostatic Hyperplasia. In: Campbell’s Urology. 6th ed. W.B. Saunder. P. 1009 – 1025 Wartonah Tarwoto. (2006). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan edisi 3. Jakarta: Salemba Medika
Wilson M. (1997). Care of The Patient Undergoing Transurethral Resection of the Prostate, Journal of Perianesthesia Nursing. 12(5).341-351 Wyman JF, Fantl JA,McClish DK, et al. (1999). Bladder Training Plus Pelvic Muscle Exercises Reduce Urinary Incontinence in Woman Immediately after Treatment. Yatim F. (1999). Pengobatan Terhadap Penyakit Usia Senja , Andropause dan Kelainan Ginjal. Jakarta : Asian Medika