Mukhtar …
Efektivitas Art Therapy
EFEKTIVITAS ART THERAPY UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL PADA ANAK YANG MENGALAMI GANGGUAN PERILAKU Desvi Yanti Mukhtar1 and Noor Rochman Hadjam2 Psychology Study Program Graduate Study Gadjah Mada University 1 Universitas Sumatera Utara 2 Universitas Gadjah Mada
Intisari Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas art therapy dalam meningkatkan keterampilan sosial pada anak yang mengalami gangguan perilaku. Subjek penelitian adalah 31 satu anak yang memiliki karakteristik berikut: duduk di kelas IV – VI SD, mengalami gangguan perilaku kategori sedang sampai sangat tinggi, dan memiliki keterampilan sosial kategori rendah sampai sangat rendah. Subjek penelitian diperoleh melalui skrining dengan menggunakan Skala Gangguan Perilaku dan Skala Keterampilan Sosial. Subjek penelitian dibagi secara acak dalam dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen (n=16) dan kelompok kontrol (n=15). Kelompok eksperimen mendapat perlakuan berupa art therapy yang diberikan dalam 6 kali pertemuan, masingmasing pertemuan membutuhkan waktu 120 menit. Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan Skala Gangguan Perilaku dan Skala Keterampilan Sosial yang disusun oleh peneliti, observasi, wawancara, dan hasil lukisan subjek. Skala Keterampilan Sosial digunakan untuk mengungkap perubahan yang terjadi setelah pemberian perlakuan dan diuji dengan menggunakan uji-t sampel berpasangan dan analisis varians within subject. Hasil uji-t berpasangan menunjukkan bahwa pada kelompok eksperimen terdapat perbedaan yang signifikan antara skor keterampilan sosial pada saat post test 1 dan post test 2 dibandingkan dengan saat pretest (t hitung > t tabel 2,131 dan p < 0.05), sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada perbedaan skor yang signifikan. Hasil anava menunjukkan nilai ratio F interaksi waktu dan kelompok (2,58) = 2,243 dan p > 0.05. Ini berarti, perbedaan skor keterampilan sosial antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol tidak signifikan. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan bahwa art therapy efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial pada anak yang mengalami gangguan tidak terbukti. Hasil analisis data individual menunjukkan bahwa beberapa orang subjek mengalami peningkatan keterampilan sosial dan rasa percaya diri. Kata kunci: Art therapy, Keterampilan sosial, Gangguan perilaku. Abstract The research was aimed to investigate the effectiveness of art therapy in promoting social skills of children with behavioral problem. The subject of this research were 31 children who have characteristics: in grade IV – VI elementary school, have moderate until very highly behavioral problem,
17
PSIKOLOGIA, Volume 2, No. 1, Juni 2006: 16 – 24
and have poor until very poor social skills. The subjects were screened with Behavior Problem Scale and Social Skills Scale. The subjects were randomly assigned to the following group: experiment group (n=16) and control group (n=15). The experiment group was given art therapy in 6 sessions, each being held in 120 minutes. Data was collected by using Behavior Problem Scale and Social Skills Scale that maked by researcher, observation, interview and subject’s drawing. The Social Skills Scale was used to reveal changes in social skills after the treatment was given and was analyzed by using t-paired sample and Anova within subject technique. The result of the paired t showed that score of post test 1 and 2 of social skills experiment group significantly different with score of pretest (t obtained > t critical 2,131 and p < 0,05). In control group, that difference is not significant. The result of the Anova showed that F ratio Time interact with Group (2,58) = 2,243 and p > 0,05. It’s mean, the difference score of social skills between experiment group and control group is not significant. So, the hypothesis is not proven. The art therapy was not effective to promoting social skills of children with behavioral problem. Individually analyzed data showed that some subject has increasing score of social skills and self respect. Keywords: Art therapy, Social skills, Behavioral problem. Gangguan perilaku merupakan kasus yang paling banyak terjadi pada anak-anak. Kazdin (dalam Carr, 2001) menyebutkan bahwa dari seluruh anak-anak yang dirujuk karena mengalami gangguan klinis, sepertiga sampai setengah di antaranya mengalami gangguan perilaku, yang bentuknya bervariasi mulai dari ketidakpatuhan di rumah sampai melakukan tindakan kejahatan di masyarakat. Bahkan pada populasi yang bukan klinis, ditemukan bahwa 50% atau lebih anak usia 45 tahun telah menunjukkan beberapa simptom gangguan perilaku eksternal yang dapat berkembang menjadi gangguan perilaku yang tetap (Campbell, dkk. dalam Bennett, dkk., 1999). Dalam keseharian, gangguan perilaku pada anak ini lebih dikenal sebagai tindak kenakalan dan anak-anak yang mengalaminya sering diberi label sebagai anak nakal. Jumlah kenakalan anak di Indonesia cukup besar, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah kenakalan anak pada tahun 2002 sebanyak 193.115 kasus, namun seperti fenomena gunung es, diduga angka kenakalan dan permasalahan sosial lainnya sebenarnya berjumlah 10 kali lipat (Tambunan, 2003). Di Medan, berdasarkan wawancara dengan Kepala Dinas Pendidikan Cabang Medan, jumlah anak sekolah, khususnya sekolah dasar, yang terlibat dalam tindakan kriminal
18
memang tidak banyak, namun yang mengarah pada kenakalan jumlahnya cukup besar. Kasus kenakalan yang muncul bermacam-macam, mulai dari perilaku melawan dan membohongi guru, sering bolos sekolah, suka mengganggu dan memalak (memeras) uang teman, bertengkar dan berkelahi dengan teman, sampai melakukan pencurian, seperti mencuri uang dan perlengkapan teman. Anak yang mengalami gangguan perilaku ini biasanya memiliki masalah penyesuaian diri dengan lingkungan sosial (Moore, 1982). Kondisi tersebut tidak terlepas dari rendahnya keterampilan sosial mereka, yaitu suatu kemampuan untuk menjalin interaksi secara efektif dengan lingkungan, sebagai akibat dari proses sosialisasi dan pola asuh yang kurang tepat dari figur orang tua, hambatan neuropsikologis, dan kualitas hubungan dengan teman sebaya/lingkungan yang rendah (Cartledge dan Milburn, 1995; Coie, dkk. dalam Conduct Problems Prevention Research Group (CPPRG), 1999). Mereka cenderung menunjukkan prasangka permusuhan, saat berhadapan dengan stimulus sosial yang ambigu mereka sering mengartikannya sebagai tanda permusuhan sehingga menghadapinya dengan tindakan agresif (Crick dan Dodge dalam Carr, 2001). Mereka juga kurang mampu mengontrol
Mukhtar …
emosi, sulit memahami perasaan dan keinginan orang lain, dan kurang terampil dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial (Lochman, dkk. dalam CPPRG, 1999; Carr, 2001). Rendahnya keterampilan sosial ini membuat anak kurang mampu menjalin interaksi secara efektif dengan lingkungannya dan memilih tindakan agresif sebagai strategi coping. Mereka cenderung menganggap tindakan agresif merupakan cara yang paling tepat untuk mengatasi permasalahan sosial dan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Akibatnya, mereka sering ditolak oleh orang tua, teman sebaya, dan lingkungan (Patterson dan Bank dalam CPPRG, 1999). Menurut Dowd dan Tierney (dalam Kirschenbaum, 1995) anak-anak perlu diajarkan keterampilan sosial karena hal ini merupakan faktor penting yang dapat membantu anak berhasil mencapai cita-cita dan sukses dalam kehidupannya. Berdasarkan penelitiannya, Daniel Goleman (dalam Wallin dan Durr, 2002) juga menegaskan bahwa anak perlu belajar mengatur perasaannya dan mengembangkan keterampilan sosial untuk meraih prestasi tidak hanya dalam lingkungan akademis namun juga dalam lingkungan yang lebih luas. Menurut Cartledge dan Milburn (1995), dalam mengajarkan keterampilan sosial pada anak perlu disesuaikan dengan karakteristik, kebutuhan dan kondisi mereka. Umumnya, keterbatasan keterampilan sosial anak yang mengalami gangguan perilaku dapat terlihat dalam tiga bentuk, yaitu keterampilan intrapersonal atau perilaku yang berhubungan dengan diri sendiri seperti memproses informasi sosial, mengontrol emosi, atau menghasilkan pemecahan masalah sosial; keterampilan interpersonal atau yang berhubungan dengan orang lain seperti bekerja sama, bermain, atau berkomunikasi; dan perilaku yang berhubungan dengan akademis seperti memperhatikan guru saat menerangkan dan melakukan tugas secara mandiri. Dengan demikian, keterampilan sosial yang akan diajarkan pada anak yang mengalami gangguan perilaku dalam penelitian ini difokuskan pada ketiga bentuk perilaku tersebut.
Efektivitas Art Therapy
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan art therapy sebagai suatu metode untuk mengajarkan keterampilan sosial pada anak yang mengalami gangguan perilaku. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu: anak yang memiliki gangguan perilaku lebih bersifat kinestetik daripada verbal dan banyak yang kurang mampu dalam bahasa (Silver dan Ellison, 1995), aktivitas seni dapat meningkatkan perkembangan normal anak serta mengatasi gangguan perilaku pada anak dan remaja akibat terganggunya emosi dan ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial (Juul dan Schuler, 1983), dan juga dapat meningkatkan keterampilan komunikasi dan kerja sama, membangun konsep diri atau self esteem yang positif serta dapat membantu meningkatkan keterampilan akademik (Anderson dalam Juul dan Schuler, 1983). Art therapy yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah suatu proses terapeutik yang menggunakan media gambar atau lukisan sebagai alat asesmen dan intervensinya. Sebenarnya, bentuk art therapy itu sendiri bermacam-macam, namun yang paling banyak digunakan baik dalam terapi secara umum maupun dalam terapi untuk anak-anak yang mengalami gangguan perilaku adalah seni visual (visual art) yaitu melukis atau menggambar (Malchiodi, 2001). Karena itu, istilah art therapy lebih identik dengan proses terapeutik yang menggunakan media lukis atau gambar sebagai modalitas utama, sedangkan art therapy yang menggunakan aktivitas seni lainnya secara spesifik disebut berdasarkan modalitas yang digunakan seperti dance therapy, music therapy, atau drama therapy dan sebagainya. Dengan demikian, Art therapy yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah proses terapeutik yang menggunakan modalitas gambar atau melukis sebagai sarana utamanya. Penggunaan aktivitas menggambar atau melukis sebagai suatu terapi didasarkan pada asumsi bahwa gambar merupakan bentuk komunikasi yang dengannya anak jarang melakukan resistensi, bahkan memberi anak cara untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya dengan sedikit perasaan terancam dibandingkan komunikasi yang hanya
19
PSIKOLOGIA, Volume 2, No. 1, Juni 2006: 16 – 24
menggunakan verbal (Malchiodi, 2001). Aktivitas menggambar juga dapat menimbulkan perasaan tertarik dan menyenangkan pada anak serta memancing partisipasi mereka karena dalam proses terapi ini anak “melakukan sesuatu”, tidak “hanya terlibat dalam pembicaraan” seperti yang biasa terjadi dalam terapi tradisional. Selain itu, sebuah gambar juga “memiliki makna seratus kata” dan merefleksikan anak yang membuatnya. Gambar memberi isu-isu yang relevan, seperti informasi tentang perkembangan, emosi, fungsi kognitif, mempercepat ekspresi trauma yang tersembunyi serta menyampaikan perasaan dan persepsi yang kacau dan kontradiktif, sehingga membantu profesional untuk melakukan intervensi dan membantu anak-anak yang bermasalah memahami dan menerima dirinya. Dalam bentuk intervensi yang singkat dan jumlah sesi yang terbatas, gambar dapat membantu anak untuk mengkomunikasikan permasalahannya secara cepat sehingga meningkatkan efisiensi dan interaksi anak dengan terapis (Malchiodi, 2001). Pada anak yang mengalami gangguan perilaku, aktivitas menggambar dapat membantunya untuk menyalurkan dorongan agresif dengan cara yang lebih dapat diterima masyarakat serta dapat membantu ego untuk mengintegrasikan dan mengatur perasaanperasaan dan impuls-impuls yang berkonflik dalam suatu bentuk estetis yang memberikan kepuasan (Kramer dalam Ballou, 1995). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wallin dan Duur (2002), diketahui bahwa aktivitas menggambar dapat meningkatkan kemampuan belajar sosial dan emosional pada anak. Selain itu, menggambar juga dapat memperbaiki self esteem atau harga diri yang sebenarnya merupakan isu sentral semua gangguan fungsional termasuk gangguan perilaku (Bettelheim dalam Juul dan Schuler, 1983). Menggambar juga dapat membuat anak menjadi lebih matang dan terkendali serta memberi perasaan mampu (Silk dan Thomas dalam Jarboe, 2004). Lowenfeld (dalam Juul dan Schuler, 1983) menambahkan bahwa aktivitas kreatif ini selain menjadi sarana pengontrolan emosi juga dapat meningkatkan
20
kemandirian dan interaksi sosial serta memperbaiki cara berpikir dan komunikasi. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa art therapy atau aktivitas menggambar itu memiliki dampak penyembuhan (healing) sekaligus pengembangan diri. Aktivitas menggambar akan membantu anak untuk menenangkan konflik-konflik dasar yang dialaminya, mengintegrasikan ego, menyalurkan dorongan agresif, serta meningkatkan self esteem yang kemungkinan menjadi penyebab utama gangguan perilakunya. Dengan semakin terintegrasinya ego anak dan terciptanya kelekatan yang aman dalam proses terapeutik, maka akan lebih mudah bagi anak untuk mempelajari keterampilan-keterampilan baru termasuk keterampilan sosial seperti mengontrol emosi, berkomunikasi dengan orang lain, dan sebagainya. Dengan demikian, peneliti menduga bahwa art therapy ini akan efektif meningkatkan keterampilan sosial pada anak yang mengalami gangguan perilaku. Sebagaimana intervensi lainnya, art therapy dapat diberikan dalam jangka panjang ataupun secara intensif (jangka pendek). Menurut Tyndall-Lind dan Landreth (2001) pemberian terapi jangka pendek (intensive short term therapy) selama 9 – 24 jam (dalam 6 – 12 pertemuan) cukup efektif untuk membantu memperbaiki perilaku anak-anak dengan berbagai masalah. Dalam penelitian ini, art therapy akan dilakukan dalam 6 kali pertemuan, dan masing-masing pertemuan membutuhkan waktu 2 jam. Selama ini, kebanyakan intervensi pada anak yang mengalami gangguan perilaku dilakukan setelah gangguan tersebut bertambah parah atau setelah anak mencapai usia remaja sehingga proses penyembuhannya lebih sulit (Coie, dkk. dalam Nixon, Sweeney, Erickson, & Touyz, 2003). Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan diri pada penderita gangguan perilaku yang berusia 10 – 14 tahun atau kategori kanak-kanak menengah dan akhir . Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa tingkat gangguan perilaku belum terlalu parah dan perkembangan anak pada masa ini telah memungkinkan anak untuk terlibat dalam proses art therapy yang akan dilakukan secara kelompok. Melalui art
Mukhtar …
therapy secara kelompok ini, diharapkan motivasi anak untuk mengembangkan diri akan lebih besar serta dapat menjadi media untuk melatih dan menerapkan keterampilan sosial yang baru diperolehnya. Dengan demikian, diharapkan dapat mengurangi tingkat gangguan perilakunya. Berdasarkan penjelasan di atas, hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah art therapy efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial pada anak yang mengalami gangguan perilaku. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang menggunakan rancangan Repeated-Measures Design (Sprinthall, 2003) atau disebut juga Control GroupExperimental Group Pretest-Post Test Design (Kerlinger, 1973). Rancangan ini menggunakan pengukuran ulang pada subjek yang sama, dalam penelitian ini subjek diukur sebanyak tiga kali yaitu sebelum pemberian perlakuan (pretest), sesaat setelah perlakuan (post test 1) dan dua minggu setelah perlakuan (post test 2). Subjek yang terlibat dalam penelitian ini adalah 31 siswa sekolah dasar yang berasal dari enam SD Negeri yang berlokasi di Jl. Halat No. 48 Medan yang memenuhi tiga kriteria yaitu: 1) memiliki skor Skala Gangguan Perilaku pada tingkat sedang sampai sangat tinggi, 2) memiliki skor Skala Keterampilan Sosial pada tingkat rendah dan sangat rendah, dan 3) duduk di kelas IV – VI SD. Ke-31 siswa tersebut kemudian dikelompokkan dalam kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dengan cara random (random assignment). Kelompok eksperimen diberi perlakuan berupa pemberian art therapy sebanyak enam kali pertemuan yang dirinci dalam 16 sesi dan masing-masing pertemuan membutuhkan waktu 120 menit. Materi yang diberikan bertujuan untuk menumbuhkan keterampilan sosial yang meliputi keterampilan yang berhubungan dengan diri sendiri (bersifat intrapersonal) seperti mengontrol emosi, keterampilan yang berhubungan dengan orang lain (bersifat interpersonal) seperti bekerja sama atau berkomunikasi dengan orang lain, dan keterampilan yang berhubungan dengan
Efektivitas Art Therapy
akademis seperti menghormati peraturan dan mendengarkan instruksi. Metode yang digunakan adalah menggambar, permainan, ceramah, diskusi, dan pemberian tugas harian. Pada kelompok kontrol, art therapy diberikan setelah post test kedua selesai. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan Skala Gangguan Perilaku (dikembangkan berdasarkan konsep yang dibuat oleh Carr, 2001), Skala Keterampilan Sosial (dimodifikasi dari Social Skill List yang dikembangkan oleh Gresham dan Elliot dalam Cartledge & Milburn, 1995), metode observasi dan wawancara, serta menggunakan hasil gambar yang dibuat oleh anak. Skala Gangguan Perilaku terdiri dari 38 aitem yang memiliki konsistensi internal berkisar 0.283 – 0.716 dan reliabilitas alpha sebesar 0,918. Skala Keterampilan Sosial terdiri dari 44 aitem yang memiliki konsistensi internal berkisar 0.168 – 0.575 dan reliabilitas alpha sebesar 0,873. Dalam penelitian ini, skala yang diuji secara statistik untuk membuktikan hipotesis hanyalah Skala Keterampilan Sosial. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Hasil uji-t berpasangan pada kelompok eksperimen menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara skor keterampilan sosial saat pretest dengan skor saat post test 1 (p < 0,05) dan post test 2 (p < 0,05), sedangkan skor post test 1 dan post test 2 tidak berbeda secara signifikan (p > 0,05). Pada kelompok kontrol, tidak terdapat perbedaan yang signifikan baik antara skor pretest dengan post test 1 dan post test 2, maupun antara post test 1 dengan post test 2 (p > 0,05). Hal ini berarti menunjukkan bahwa kelompok eksperimen mengalami perubahan skor keterampilan sosial antara sebelum pemberian terapi dengan setelah terapi sedangkan pada kelompok kontrol tidak mengalami perubahan. Hasil uji-t berpasangan pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2. Hasil analisis varians (tabel 3) antar waktu menunjukkan bahwa memang terdapat perbedaan yang signifikan antara skor pretest, post test 1, dan post test 2 (p < 0.05). Namun
21
PSIKOLOGIA, Volume 2, No. 1, Juni 2006: 16 – 24
hasil analisis varians terhadap interaksi waktu dan kelompok menunjukkan tidak ada perbedaan skor yang signifikan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol (p > 0,05). Ini menunjukkan bahwa pemberian art therapy tidak cukup mampu mengubah skor keterampilan sosial secara signifikan dengan kata lain, hipotesis yang menyatakan bahwa art therapy efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial pada anak yang mengalami gangguan perilaku ditolak. Hasil analisis individual serta observasi dan wawancara pada kelompok eksperimen menunjukkan bahwa dari 16 subjek, 12 orang di antaranya mengalami perubahan tingkat keterampilan sosial dengan rincian 6 orang berubah dari kategori sangat rendah menjadi kategori rendah, 5 orang berubah dari kategori rendah menjadi kategori sedang, dan 1 orang berubah dari kategori
rendah menjadi kategori tinggi. Analisis individual juga menunjukkan sebagian besar subjek mengalami peningkatan rasa percaya diri dan lebih mampu menghargai dirinya sendiri. B. Pembahasan Hasil analisis data menunjukkan bahwa pemberian art therapy tidak cukup efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial pada anak yang mengalami gangguan perilaku. Berdasarkan proses yang terjadi selama penelitian ini dan dikaitkan dengan teori yang ada, ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, yaitu: 1. Intensitas pemberian perlakuan Art therapy dalam penelitian ini diberikan dalam enam kali pertemuan selama enam hari berturut-turut. Setiap pertemuan membutuhkan waktu 2 jam dan terdiri dari 2 – 4 sesi. Total keseluruhan proses art therapy dari awal sampai akhir terdiri dari
Tabel 1. Rangkuman hasil uji-t berpasangan kelompok eksperimen Keterangan Mean kelompok Perbedaan mean Pretest – post test 1 43,1250 – 50,8750 7,75000 Pretest – post test 2 43,1250 – 50,6250 7,50000 Post test 1 – post test 2 50,8750 – 50,6250 0,25000
t 4,399 3,786 0,149
Sign. 0,001 0,002 0,884
Tabel 2. Rangkuman hasil uji-t berpasangan kelompok kontrol Keterangan Mean kelompok Perbedaan mean Pretest – post test 1 43,8000 – 46,0000 2,20000 Pretest – post test 2 43,8000 – 47,2667 3,46667 Post test 1 – post test 2 46,0000 – 47,2667 1,26667
t 0,952 1,989 0,641
Sign. 0,357 0,067 0,532
Tabel 3. Rangkuman hasil analisis varians Sumber Waktu Sphericity Waktu*Kelompok Assumed Error (Waktu)
df 2 2 58
17 sesi dan berlangsung selama 12 jam (720) menit selama 9 – 24 jam (dalam 6 – 12 pertemuan) cukup efektif untuk membantu memperbaiki perilaku anak-anak dengan berbagai masalah (Tyndall-Lind dan Landreth, 2001). Mengingat bahwa anak yang mengalami gangguan perilaku memiliki karakteristik yang berbeda dari anak bermasalah lainnya, seperti memiliki dorongan agresivitas yang tinggi, konsep diri
22
F 10,010 2,243
p 0,000 0,115
Keterangan Signifikan Nirsignifikan
rendah, mengalami konflik internal dan memiliki keterampilan sosial yang rendah, maka pemberian art therapy dalam enam kali pertemuan masih kurang intensif untuk meningkatkan keterampilan sosialnya. Dalam penelitiannya, Levy (dalam Johnson, 2001) menemukan bahwa penurunan dorongan agresivitas, konflik internal, dan perilaku yang tidak tepat baru berhasil setelah 10 sesi (dalam Johnson, 2001).
Mukhtar …
Berdasarkan penelitian Levy tersebut, mengingat bahwa yang menjadi tujuan penelitian ini bukan semata-mata menurunkan konflik internal dan dorongan agresif, tetapi untuk mengembangkan keterampilan sosial anak, maka dapat dipahami mengapa pertemuan art therapy sebanyak enam kali pertemuan belum cukup efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial mereka. Pertemuan sebanyak enam hari tersebut baru berfungsi menurunkan dorongan agresivitas dan konflik internal yang mereka alami, seharusnya dibutuhkan beberapa sesi lagi untuk mengajarkan perilaku baru yang lebih efektif yang memungkinkan terjadinya peningkatan keterampilan sosial. 2. Faktor lingkungan Menurut Rubin dkk. (1998), anak banyak belajar mengembangkan keterampilan sosial melalui proses modeling terhadap lingkungan dan melalui penerimaan penghargaan saat melakukan sesuatu yang tepat dan penerimaan hukuman saat melakukan sesuatu yang pantas menurut lingkungan. Salah satu lingkungan yang berperan sebagai tempat mempraktikkan dan mengembangkan keterampilan sosial anak, baik keterampilan yang berhubungan dengan diri sendiri, orang lain, maupun akademis, adalah sekolah, dalam hal ini guru dan teman sebaya. Menurut Cavell (2002), guru yang dapat berinteraksi dengan hangat serta dapat memahami perilaku yang salah dan prestasi akademis yang rendah, akan membantu mengurangi perilaku agresif anak. Berdasarkan observasi pada saat orientasi kancah, persiapan penelitian, pelaksanaan eksperimen dan setelah eksperimen, peneliti menemukan beberapa hal yang kurang mendukung bagi berkembangnya keterampilan sosial anak. Pertama, sikap sebagian guru yang kurang menunjukkan penerimaan dan kehangatan, kurang dapat memahami kondisi anak yang bermasalah, kecenderungan memberikan hukuman secara fisik (misal memukul kepala dan badan, menendang), cara berbicara yang ketus kepada siswa yang bermasalah, memberikan respons yang negatif ketika siswa tersebut melakukan perilaku yang
Efektivitas Art Therapy
tepat, dan pemberian label negatif. Pada hari ke-4 pelaksanaan eksperimen, bahkan ada beberapa guru yang tiba-tiba masuk ruang terapi dan memberi komentar negatif terhadap proses dan hasil lukisan subjek sambil menendang pelan bagian-bagian tubuh mereka. Selain guru, teman sebaya juga memegang peranan penting dalam mengembangkan keterampilan sosial anak. Penerimaan oleh teman sebaya (Cavell 2002), hubungan sosial yang positif (Stoscker dan Dunn dalam Rubin dkk., 1998) dan jaringan sosial yang luas (Robinson dan Garber, 1995) akan menjadi sarana bagi anak dalam melatih keterampilan sosialnya. Selama proses terapi, memang terlihat hampir semua subjek mengalami peningkatan dalam menjalin interaksi sosial dengan subjek lainnya yang berada dalam kelompok. Namun dalam interaksi yang lebih luas, berdasarkan observasi peneliti setelah eksperimen, mereka belum sepenuhnya diterima atau dengan kata lain ditolak oleh teman sebaya. Penolakan ini tidak terlepas dari label “nakal” yang diterima subjek dari guru dan teman sebayanya. Penolakan ini membuat jaringan sosial subjek tidak bertambah luas dan lebih sering berteman dengan teman satu genk (kelompoknya) yang memiliki karakteristik sama. Hal ini menyebabkan media subjek untuk melatih keterampilan sosial yang baru dipelajari menjadi terbatas. 3. Intervensi tunggal pada subjek tunggal Menurut Jimmerson dkk. (2002) serta Cartledge dan Milburn (1995), gangguan perilaku merupakan gangguan yang bersifat kompleks dan disebabkan oleh banyak faktor yang saling berinteraksi yaitu kondisi biologis dan psikologis individu, pola asuh dan proses sosialisasi dalam keluarga, dan kondisi lingkungan seperti sekolah, hubungan dengan sebaya, dan hubungan dengan masyarakat. Hal ini diperkuat oleh pendapat Rogers (2004) yang menyatakan tidak ada program yang secara sendiri akan memecahkan berbagai masalah perilaku manusia termasuk masalah perilaku menyimpang atau gangguan perilaku pada anak. Mengingat bahwa gangguan perilaku disebabkan oleh faktor individu,
23
PSIKOLOGIA, Volume 2, No. 1, Juni 2006: 16 – 24
keluarga, dan lingkungan, maka intervensi yang diberikan selain ditujukan untuk individu yang bersangkutan, juga hendaknya melibatkan atau diberikan kepada keluarga atau orang tua dan lingkungan, terutama lingkungan sekolah. Dalam penelitian ini, art therapy hanya diberikan pada subjek atau anak yang mengalami gangguan perilakunya saja, maka dapat dipahami mengapa program ini kurang efektif. Ketidakterlibatan orang tua dan lingkungan sekolah menyebabkan mereka kurang mendukung keterampilanketerampilan yang baru dimiliki anak, sehingga keterampilan baru tersebut tidak berkembang. 4. Ukuran dan anggota kelompok Berdasarkan beberapa kasus, penggunaan art therapy dalam bentuk kelompok dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: pertama, menggunakan kelompok kecil terutama untuk anak-anak yang mengalami gangguan perilaku yang bersifat sangat klinis (Tyndall-Lind dan Landreth, 2001) dan kedua, menggunakan kelompok yang lebih besar, hampir sama dengan jumlah siswa pada kelas biasa (Juul dan Schuler, 1983; Wallin dan Durr, 2002). Menurut Johnson dan Chuck (2001), kelompok terapi akan lebih efektif jika terdiri dari beberapa anak yang memiliki masalah yang berbeda, karena akan membantu anak mempelajari perbedaan dan menyempurnakan dirinya sendiri. Adapun anak-anak yang memiliki masalah perilaku seperti bersikap agresif, menurut Johnson and Chuck (2001) sebaiknya ditempatkan dengan teman kelompok yang kuat namun tidak memiliki sifat memaksa ataupun bermusuhan. Dengan anggota kelompok seperti ini, anak akan belajar untuk menjadi aktif dan reflektif serta terbiasa menghadapi suasana dalam kelompok yang bervariasi antara ketegangan dan kecemasan tingkat rendah dengan ketegangan dan kecemasan tingkat tinggi. Dalam penelitian ini, kelompok yang mendapat art therapy merupakan kelompok yang lebih besar, terdiri dari 16 orang dan kemudian dipecah lagi menjadi dua kelompok kecil, masing-masing kelompok terdiri dari 8 orang. Namun, semua anggota kelompok art therapy ini adalah anak-anak yang mengalami
24
gangguan perilaku. Berdasarkan pendapat Johnson dan Chuck di atas, dapat dipahami mengapa pemberian art therapy dalam kelompok ini kurang efektif. Mengingat bahwa seluruh anak memiliki gangguan perilaku, maka proses yang mungkin terjadi di antara mereka adalah saling menguatkan perilaku yang salah, bukan mempelajari perilaku baru yang tepat. 5. Hasil tes Skala Keterampilan Sosial Menurut Achenbach (dalam Ronen, 1997), informasi tentang anak sebaiknya dikombinasikan dari lima sumber, yaitu penilaian orang tua, penilaian guru, penilaian kognitif anak, penilaian fisik, dan penilaian klinis. Dalam penelitian ini, informasi tentang keterampilan sosial anak diperoleh dari tiga sumber, yaitu anak, orang tua, dan guru. Informasi dari anak diperoleh melalui pengisian Skala Keterampilan Sosial oleh anak sendiri (bersifat kuantitatif) dan penilaian dari orang tua dan guru diperoleh dari wawancara (bersifat kualitatif). Mengingat bahwa pengujian hipotesa penelitian ini dilakukan secara analisis statistik, maka informasi yang diolah untuk membuktikan hipotesa tersebut hanyalah data yang bersifat kuantitatif, dalam hal ini penilaian yang dilakukan oleh anak terhadap dirinya sendiri melalui pengisian Skala Keterampilan Sosial. Menurut Ronen (1997), penilaian diri sendiri oleh anak-anak yang mengalami masalah perilaku acting-out (seperti perilaku agresif dan suka melawan) kurang dapat dipercaya dibandingkan penilaian yang diberikan oleh orang tua. Hal ini disebabkan karena mereka kurang mampu mengenali dan mengevaluasi diri sendiri serta memiliki locus of control yang eksternal sehingga cenderung melimpahkan masalah mereka kepada lingkungan. Proses anak menilai dirinya sendiri juga dipengaruhi oleh berbagai hal seperti perspektif anak tentang dirinya dan situasi pada saat penilaian (misalnya, mood anak, rasa lapar, kelelahan, serta kehadiran guru dan orang tua). Selain itu, sesuai dengan salah satu karakteristik anak yang mengalami gangguan perilaku, yaitu sering berbohong, dan adanya
Mukhtar …
label negatif yang diberikan oleh guru dan teman sebaya pada subjek penelitian, maka ada kemungkinan subjek tidak menjawab secara jujur. Ketidakjujuran ini dapat terjadi dalam dua bentuk, pertama, mereka lebih memilih jawaban yang sesuai dengan norma lingkungan (social desirability), kedua, mereka justru memilih jawaban yang sesuai dengan pandangan lingkungan (self fulfilling prophecy) daripada memilih jawaban yang sesuai dengan kondisi mereka yang sebenarnya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dipahami bila hasil tes Skala Keterampilan Sosial memiliki kemungkinan tidak mencerminkan kondisi anak yang sebenarnya. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa art therapy tidak cukup efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial pada anak yang mengalami gangguan perilaku, meskipun hasil analisis individual menunjukkan sebagian subjek mengalami peningkatan keterampilan sosial dan rasa percaya atau penghargaan terhadap diri sendiri. Ketidakefektifan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang telah diuraikan dalam pembahasan. Untuk itu, ada beberapa saran yang Peneliti anggap perlu dipertimbangkan oleh berbagai pihak yang berkaitan, yaitu: 1. Bagi orang tua, kesibukan mencari nafkah hendaknya tidak mengurangi interaksi dan komunikasi orang tua dengan anak. Interaksi dan komunikasi ini diperlukan sebagai sarana sosialisasi nilai dan norma. Selain itu, orang tua juga perlu menerapkan disiplin secara konsisten dan sering berkomunikasi dengan guru tentang perkembangan anak. 2. Bagi guru, sebaiknya menghindari pemberian label negatif kepada anak agar tidak mempengaruhi konsep diri mereka, menerapkan disiplin secara konsisten dengan tidak menggunakan hukuman fisik, dan menjalin komunikasi aktif dengan orang tua. 3. Bagi peneliti selanjutnya, sebaiknya intensitas pemberian art therapy ditambah. Pemberian intervensi dan pengisian skala juga hendaknya melibatkan orang tua dan
Efektivitas Art Therapy
guru. Selain itu, juga perlu dieksplorasi variabel-variabel lain yang mempengaruhi keterampilan sosial anak seperti temperamen anak, pola asuh orang tua atau interaksi anak dengan lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Ballou, M. 1995. Psychological interventions: A Guide to Strategies. Westport, CT: Praeger Publishers. Bennet, K. J., Brown, S., Lipman, E. L., Racine, Y., Boyle, M. A., & Offord, D. R. 1999. Predicting conduct problems: Can high-risk children be identified in kindergarten and grade I ? Journal of Consulting and Clinical Psychology, 67 (4), 470 – 480. Carr,
A. 2001. Abnormal psychology: Psychology focus. East Sussex: Psychology Press.
Cartledge, G. & Milburn, J. F. 1995. Teaching social skills to children & youth: Innovative approaches (3rd ed.). Massachussetts: Allyn and Bacon. Cavell, T. A. 2000. Working with parents of aggressive children: A practitioner’s guide. Washington, DC: American Psychological Association. Conduct Problems Prevention Research Group (CPPRG). 1999. Initial impact of the fast track prevention trial for conduct problem: I. The high-risk sample. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 67 (5), 631 – 647. Jarboe, E. C. 2004. Art therapy: A proposal for inclusion in school settings. New Horizons [On-line serial]. Available WWW: http/www.newhorizons.org/ strategies/arts/jarboe.htm. Jimerson, S. R., Caldwell, R., Chase, M. & Savarnejad, A. 2002. Conduct disorder. Santa Barbara: University of California.
25
PSIKOLOGIA, Volume 2, No. 1, Juni 2006: 16 – 24
Johnson, S. P. & Chuck, P. 2001. Play therapy with aggressive acting-out children. Dalam Landreth, G.L. (Ed.), Innovations in play therapy: Issues, process & special populations (hal.239 – 255). Philadelphia: Brunner Routledge. Juul, K. D & Schuler, N. L. 1983. Reeducation through the creative arts. Dalam Brendtro, L. K & Ness, A. E. Re-educating troubled youth: Environments for teaching and treatment (hal. 255 – 274). New York: Aldine Pub.Co. Kerlinger, F.N., 1973. Foundation of Behavioral Research. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Kirschenbaum, H. 1995. 100 Ways to enhance values and morality in schools and youth settings. Boston: Allyn and Bacon. Malchiodi, C. A. 2001. Using drawing as intervention with traumatized children. Trauma and Loss: Research and Interventions, 1 (1). Moore, D. R. 1982. Childhood behavior problems: A social learning perspective. Dalam Lachenmeyer, J. R. & Gibbs. M. S. Psychopathology in childhood (hal. 211 – 243). USA: Gardner Press, Inc. Nixon, R. D. V., Sweeney, L., Erickson, D.B., & Touyz, S. W. 2003. Parent-child interaction therapy: A comparison of standard and abbreviated treatments for oppositional defiant preschoolers. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 71 (2), 251 – 260. Robinson, N. S & Garber, J. 1995. Social support and psychopathology across the life span. Dalam Cicchetti, D. & Cohan, D. J., Developmental Psychopathology (Vol.2, hal. 162-
26
209). New York: John Wiley and Sons, Inc. Rogers, B. 2004. Behaviour recovery: pemulihan perilaku, a whole-school program for mainstream schools. Alih bahasa: A.D. Rahayu Ratnaningsih. Jakarta: PT. Grasindo. Ronen, T. 1997. Cognitive developmental therapy with children. New York: John Wiley & Sons, Inc. Rubin, K. H., Bukowski, W. & Parker, J. G. 1998. Peer interactions, relationship & groups. Dalam Damon, W. & Eisenberg, N., Handbook of child psychology Volume 3: Social, emotional and personality development (5th ed., hal. 619 - 700). New York: John Wiley and Sons, Inc. Silver, R & Ellison, J. 1995. Identifying and assessing self-images in drawings by delinquent adolescents (In 2 Parts). The Arts in Psychotherapy, 22 (4). 339 – 352. Sprinthall, R. C. 2003. Basic Statistical Analysis. Seventh Edition. USA: Allyn and Bacon. Tambunan, A. S. 2003. Cermin buram anak Indonesia. Jakarta: ICMI. Available WWW: http://www.icmi.or.id/berita_240703.h tm. Tyndall-Lind, A dan Landreth, G. L. 2001. Intensive short-term group play therapy. Dalam Landreth, G.L. (Ed.), Innovations in play therapy: Issues, process & special populations (hal.239 – 255). Philadelphia: Brunner Routledge. Wallin, K & Durr, M. 2002. Creativity and expressive arts in social emotional learning. Journal of Reclaiming Children and Youth, 11(1), 30+.