EFEKTIFITAS VAKSINASI RABIES PADA KUCING YANG DIMASUKKAN KE WILAYAH INDONESIA MELALUI BANDAR UDARA INTERNASIONAL SOEKARNO HATTA
ANES DONI KRISWITO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektifitas Vaksinasi Rabies pada Kucing yang Dimasukkan ke Wilayah Indonesia Melalui Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2015 Anes Doni Kriswito NIM B251130244
RINGKASAN ANES DONI KRISWITO. Efektifitas Vaksinasi Rabies pada Kucing yang Dimasukkan ke Wilayah Indonesia Melalui Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta. Dibimbing oleh DENNY W. LUKMAN dan RETNO D. SOEJOEDONO. Rabies merupakan penyakit yang mempunyai nilai strategis dalam pengendaliannya. Kasus rabies terjadi di lebih dari 150 negara dan lebih dari 55000 orang per tahun meninggal karena rabies, terutama diberbagai negara berkembang di Asia dan Afrika. Peningkatan mobilitas hewan penular rabies (HPR) antar negara membawa konsekuensi terhadap peningkatan risiko penularan penyakit hewan (rabies). Menurut data hasil survei kasus rabies di USA tahun 2008-2009 yang dipublikasikan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC), kasus rabies lebih banyak terjadi pada kucing daripada anjing. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan kajian seksama terhadap titer antibodi rabies pada kucing yang diimpor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasikan hubungan antara hasil pemeriksaan titer antibodi terhadap rabies dengan faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Studi ini dilaksanakan dengan menggunakan kajian lintas seksional terhadap kucing impor pada periode bulan Juni - September 2014 di instalasi dan laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta, Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta. Studi dilakukan melalui pengujian titer antibodi sebagai peubah terikat dengan uji indirect ELISA menggunakan kit yang telah mendapat persetujuan Office International des Epizooties (OIE). Pengumpulan informasi untuk faktor risiko potensial sebagai peubah bebas dikumpulkan dari setiap kucing impor melalui pemeriksaan dokumen (international veterinary certificate, passpor hewan dan buku vaksinasi) dan kuisioner. Hubungan peubah terikat dan peubah bebas dianalisis secara statistik deskriptif dan regresi logistik. Hasil pengujian titer antibodi terhadap 67 kucing yang diimpor menunjukkan persentase titer protektif (≥0.5 IU/ml) sebesar 91.8%. Hasil studi yang menarik adalah kucing-kucing yang berasal dari negara berstatus endemik menunjukkan tingkat protektifitas yang lebih baik dibandingkan dengan yang berasal dari negara bebas rabies. Peubah bebas yang berpeluang sebagai faktor pengaruh potensial untuk keberhasilan vaksinasi rabies pada kucing antara lain, umur lebih dari 6 bulan, hewan berasal dari negara endemik, rute aplikasi vaksin secara subkutan, dan jarak pengujian yaitu interval waktu antara pengambilan sampel serum dengan waktu vaksinasi lebih dari satu bulan serta ulangan vaksinasi yang lebih dari satu kali. Berdasarkan hasil regresi logistik, penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan titer antibodi yang protektif pada kucing dari luar negeri yang dimasukkan melalui Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta adalah: rute aplikasi vaksin dan jarak pengujian (interval waktu pengambilan sampel serum dengan waktu vaksinasi). Kata kunci: endemik, rabies, subkutan, titer antibodi
SUMMARY ANES DONI KRISWITO. Effectiveness of Rabies Vaccination on Cats Imported into Republic of Indonesia through Soekarno Hatta International Airport. Supervised by DENNY W LUKMAN and RETNO D SOEJOEDONO. Rabies is a zoonotic disease that has a strategic value in control. Rabies cases are occured in more than 150 countries, over 55000 people die of the disease annualy, mainly in the developing Asian and African countries. The increased mobility of the animals transmitting rabies inter-states had brought the consequence of the increased risk of transmission of animal diseases (rabies). According to the survey data of rabies cases in the USA in 2008-2009, published by the Centers for Disease Control and Prevention (CDC), rabies was more common in cats than in dogs. Based on this, it was needed to be examined rabies antibody titers in imported cats. The purpose of this study was to identify the association between the results of the rabies antibody titer and the factors that could influence it. The study was conducted by using a cross-sectional study towards cats imported in the period of June - September 2014. The study was carried out by measuring antibody titer as a bound variables using indirect ELISA test and kit that is approved by the World Organization for Animal Health (OIE). The collection of information for potential risk factors as independent variables were collected from data of each cat imported through inspection of documents (international veterinary certificate, animal passports and vaccination book) and questionnaires. Association between bound variables and independent variables was analyzed descriptively and using logistic regression analyzed. The antibody titers test results of 67 cats that were imported showed the percentage of protective titers (≥0.5 IU / ml) of 91.8%. This study found that the cats originated from the endemic countries had the protective level better than rabies free countries. The potential factors influencing the protective titers of rabies of rabies in cats involved age of more than six months, rabies infected countries, vaccination route of subcutaneous, time interval between time of serum sampling and vaccination, and booster. The conclusion of this research was based on logistic regression analysis, the factors that influence the formation of a protective antibody titers in cats from abroad that entered through Soekarno Hatta International Airport, that was: the application of vaccines and test distance (serum sampling time interval to the time of vaccination). Key words: antibody titer, endemic, rabies, subcutaneous
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EFEKTIFITAS VAKSINASI RABIES PADA KUCING YANG DIMASUKKAN KE WILAYAH INDONESIA MELALUI BANDAR UDARA INTERNASIONAL SOEKARNO HATTA
ANES DONI KRISWITO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr Ir Etih Sudarnika, MSi
Judul Tesis : Efektifitas Vaksinasi Rabies pada Kucing yang Dimasukkan ke Wilayah Indonesia Melalui Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta Nama : Anes Doni Kriswito NIM : B251130244
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr med vet Drh Denny W Lukman, MSi Ketua
Prof Dr Drh Retno D Soejoedono, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr med vet Drh Denny W Lukman, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 3 Februari 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni hingga September 2014 ini ialah faktor risiko vaksinasi, dengan judul Efektifitas Vaksinasi Rabies pada Kucing yang Dimasukkan ke Wilayah Indonesia Melalui Bandar Udara Soekarno Hatta Jakarta. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr med vet drh Denny W Lukman, MSi dan Ibu Prof Dr drh Retno D Soejoedono, MS selaku pembimbing, yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Ir. Banun Harpini, MSc, Bapak drh. Mulyanto, MM, dan Bapak drh. Sujarwanto, MM dari Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan motivasi dan kesempatan untuk menempuh pendidikan S2. Penulis juga sampaikan terima kasih kepada Bapak Dr Ir H M. Mussyafak Fauzi, SH,.MSi sebagai Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta, beserta staf Bidang Karantina Hewan dan laboran Balai Besar Karantina Pertanian yang telah membantu selama pengumpulan data. Penulis merasa bahagia berkesempatan menyelesaikan pendidikan S2 bersama dengan 19 orang sahabat yang tergabung dalam mahasiswa KMV 2013, yang senantiasa saling mendukung dan memotivasi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, ayah, istri dan anak-anakku, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan perkarantinaan hewan di Indonesia.
Bogor, Februari 2015 Anes Doni Kriswito
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 1 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Etiologi Vaksinasi Rabies Pengukuran Antibodi terhadap Rabies Pengujian Titer Antibodi Prosedur Importasi Kucing
2 3 3 4 4 5
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Kerangka Penelitian Teknik Pengambilan Data Pengambilan Sampel Darah Pengujian Titer Antibodi Prosedur Analisis Data
6 8 8 8 9 9 9 12
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Faktor Umur terhadap Titer Antibodi Pengaruh Faktor Status Negara terhadap Titer Antibodi Pengaruh Faktor Rute Aplikasi Vaksin terhadap Titer Antibodi Pengaruh Faktor Jenis Kelamin terhadap Titer Antibodi Pengaruh Faktor Jarak Pengujian terhadap Titer Antibodi Pengaruh Faktor Ulangan Vaksinasi terhadap Titer Antibodi Penilaian Kandidat Faktor Risiko Pembentukan Titer Antibodi Faktor-faktor Efektifitas Vaksinasi Rabies terhadap Titer Antibodi Reverse-genetic sebagai Paradigma Baru Vaksinasi Rabies
12 13 13 14 15 15 16 16 19 21
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
22 22 22
DAFTAR PUSTAKA
22
LAMPIRAN
25
RIWAYAT HIDUP
37
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Definisian operasional penelitian Pembuatan standar kuantifikasi Kelompok faktor umur kucing terhadap titer antibodi Kelompok faktor status negara asal kucing terhadap titer antibodi Kelompok faktor rute aplikasi vaksin terhadap titer antibodi Kelompok faktor jenis kelamin terhadap titer antibodi Kelompok faktor jarak pengujian terhadap titer antibodi Kelompok faktor ulangan vaksinasi terhadap titer antibodi Penilaian kandidat faktor risiko terhadap pembentukan titer antibodi Nilai OR faktor-faktor vaksinasi terhadap titer antibodi berdasarkan analisis regresi logistik
7 11 13 14 14 15 15 16 17 20
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
Struktur dasar dan komposisi virus rabies Hubungan peubah bebas dan peubah terikat Platelia TM rabies II sebagai kit ELISA Disain penempatan kontrol, standar dan sampel untuk uji kuantitas Jumlah kucing yang masuk ke Indonesia melalui Bandar udara Soekarno Hatta, Jakarta pada periode penelitian
3 8 10 11 12
DAFTAR LAMPIRAN 1 Rekapitulasi data kucing impor selama periode 1 Juni – 30 September 2 Daftar negara berdasarkan situasi rabies menurut World animal health information database interface, OIE 3 Contoh sertifikat kesehatan hewan dari negara asal hewan 4 Contoh hasil pemeriksaan titer antibodi terhadap rabies 5 Contoh lembar catatan vaksinasi rabies 6 Contoh sertifikat pelepasan karantina hewan
25 28 33 34 35 36
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rabies merupakan penyakit yang mempunyai nilai strategis dalam pengendaliannya. Rabies sebagai salah satu penyakit zoonotik tertua yang hingga saat ini masih menyebabkan kematian tinggi pada manusia. Kasus rabies terjadi di lebih dari 150 negara dan di semua benua, kecuali benua antartika. Lebih dari 55000 orang per tahun diperkirakan meninggal karena rabies (Schnell et al. 2010). Penyakit Rabies juga dikenal sebagai penyakit culdesak (berakhir pada manusia penularannya). Rabies adalah isu global yang mempunyai dampak sosio-ekonomi yang sangat besar karena terkait dengan ketentraman batin dan pendapatan suatu daerah/negara dari sektor pariwisata. Seiring dengan kemajuan teknologi dan pemanfaatan dibidang transportasi menyebabkan mobilitas manusia dan hewan antar negara semakin tinggi. Peningkatan mobilitas hewan penular rabies (HPR) antar negara membawa konsekuensi terhadap peningkatan risiko penularan penyakit hewan (rabies). Upaya meminimalisasi risiko masuknya rabies dari luar negeri dilakukan dengan pengkarantinaan di border (wilayah kepabeanan tempat pemasukan importasi). Pelaksanaan berbagai program pemberantasan dan pencegahan rabies dari luar negeri meliputi vaksinasi, eliminasi hewan carrier, pembatasan lalu lintas, pengujian laboratorium dalam surveilans dan pengkarantinaan hewan. Masingmasing negara melaksanakan tindakan karantina terhadap lalu lintas HPR impor sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara internasional dan kebijakan dalam negerinya. Tahun 2013 tercatat impor kucing sebagai salah satu HPR sebanyak 393 ekor dengan frekuensi sebanyak 250 kali (BBKP Soekarno Hatta 2014). Menurut data hasil survei kasus rabies di USA tahun 2008-2009 yang dipublikasikan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC), lebih banyak pada kucing daripada anjing. Kasus rabies tahun 2008 pada kucing sebanyak 294 kasus dan 75 kasus pada anjing. Data tahun 2009 menunjukkan kasus rabies pada kucing sebanyak 300 kasus dan 81 kasus pada anjing (CDC 2010). Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan kajian seksama terhadap titer antibodi rabies pada HPR (kucing) yang diimpor dari luar negeri baik yang berstatus bebas rabies maupun endemis rabies. Titer antibodi rabies merupakan jaminan terhadap kebenaran sertifikat vaksinasi yang disertakan bersama hewan bersangkutan disaat kedatangan. Kondisi ini dapat menggambarkan keberhasilan atau kegagalan vaksinasi yang dilakukan di negara asal HPR.
Perumusan Masalah Sampai dengan saat ini belum ada data penelitian ilmiah yang dapat menggambarkan efektifitas vaksinasi rabies pada hewan kucing yang diimpor dari luar negeri ke wilayah Indonesia dengan menggunakan transportasi udara. Disamping itu, negara asal (pengekspor) kucing sangat beragam dan belum diketahui secara pasti penanganan kesehatan kucing yang diekspor ke Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk menggambarkan hubungan
2 antara pemeriksaan titer antibodi terhadap rabies dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga dapat dilihat efektifitas vaksinasinya.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasikan hubungan antara hasil pemeriksaan titer antibodi terhadap rabies dengan faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya pada kucing yang diimpor dari luar negeri melalui Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta.
Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran hasil vaksinasi rabies pada kucing yang dilalulintaskan dari luar negeri ke wilayah Indonesia. Dengan demikian, data yang didapatkan bisa digunakan sebagai referensi bagi Karantina Hewan untuk menentukan tindakan-tindakan yang diperlukan dalam mengantisipasi masuk dan menyebarnya rabies dari importasi kucing.
2 TINJAUAN PUSTAKA Etiologi Penyakit rabies dikenal juga dengan nama lyssa, tollwut, rage dan hydrophobia. Rabies merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus yang menyerang susunan syaraf pusat dan bersifat zoonotik. Agen penyebab penyakit rabies adalah virus neurotropik yang dikelompokkan dalam famili Rhabdoviridae, genus Lyssavirus (Fischer et al. 2014). Rabies merupakan salah satu penyakit viral ensefalomielitis yang mempunyai ancaman berbahaya dengan case fatality rate dapat mencapai 100% setelah muncul gejala klinis (Rupprecht 2007). Penularan virus rabies terjadi melalui gigitan dari hewan penderita rabies yang menyebabkan deposit virus pada air liur (saliva) masuk ke dalam luka gigitan. Virus rabies menyebabkan terjadinya neurotropik yang sangat tinggi dengan periode inkubasinya sangat bervariasi sesuai dengan jarak lokasi gigitan dan susunan syaraf pusat. Virus menginfeksi syaraf peripheral dan bergerak naik ke akar ganglion bagian dorsal (Hicks et al. 2012) Spesies dari genus Lyssavirus antara lain: virus kelelawar Lagos (LBV), virus Mokola (MOKV), virus Duvenhage (DUVV), virus kelelawar Eropa tipe 1 dan 2 (EBLV-1 & -2), virus kelelawar Australia (ABLV), virus Aravan (ARAV), virus Khujand (KHUV), virus Irkut (IRKV), virus kelelawar West Caucasian (WCBV), dan virus kelelawar Shimoni (SHIBV). Dua virus yang paling sering ditemukan saat ini adalah virus kelelawar Bokeloh (BBLV) dan virus Ikoma (IKOV), yang telah diakui sebagai spesies baru dan sedang menunggu hasil ratifikasi yang dilakukan oleh Komite Internasional Taksonomi Virus (Fischer et al. 2014).
3 Rhabdovirus merupakan virus dengan panjang kira-kira 180 nm dan lebar 75 nm. Genom rabies mempunyai 5 jenis protein : nukleoprotein (N), fosfoprotein (P), protein matrik (M), glikoprotein (G) dan polimerase (L). Semua Rhabdovirus mempunyai komponen struktur helical ribonucleoprotein core (RNP) dan amplop di sekelilingnya. Pada RNP, RNA dilekatkan oleh nukleoprotein. Protein virus lainnya yaitu phosphoprotein dan protein besar (Lprotein atau polimerase) berhubungan dengan RNP. Bentuk glikoprotein rata-rata terdiri dari 400 trimeric spike yang melekat di permukaan virus. Protein M dihubungkan dengan amplop dan RNP atau protein pusat Rhabdovirus. Struktur dasar dan komposisi virus rabies dapat dilihat pada Gambar 1 (Sugiyama dan Ito 2007). Envelope (membrane)
Matrix protein
Glycoprotein
Ribonucleoprotein
Gambar 1 Struktur dasar dan komposisi virus rabies Rhabdovirus merupakan virus RNA utas tunggal berpolaritas negatif. Materi genetik berupa RNA tidak dapat berfungsi sebagai messenger RNA (mRNA). Morfologi virus ini berbentuk batang dan pada salah satu bagian ujungnya melengkung sehingga sering dikatakan seperti bentuk peluru. Amplop ini berpengaruh terhadap sifat infektifitasnya, sedangkan RNA dan nukleoplasmidnya tidak infektif (Soedijar dan Dharma 2005).
Vaksinasi Rabies Vaksin rabies yang digunakan pada hewan dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu live vaccine dan killed vaccine atau vaksin inaktif. Pada umumnya vaksin rabies yang digunakan saat ini adalah jenis vaksin inaktif. Vaksin inaktif adalah vaksin yang dibuat dari mikroorganisme yang telah diinaktifkan tetapi tetap bersifat imunogenik. Vaksin jenis ini biasanya dikemas dalam cairan adjuvan sehingga partikel vaksin dikeluarkan secara lamban dan dalam waktu yang lama (Wibawan dan Soejoedono 2013). Vaksin rabies mempunyai durasi imunitas sekitar 3 tahun dengan perkiraan tingkat proteksi relatif sebesar 85%. Beberapa penyebab kegagalan vaksinasi dalam pembentukan antibodi antara lain adalah keberadaan imunitas secara pasif (antibodi maternal), mundurnya respon sistem kekebalan, imunogenitas vaksin yang lemah, ketidakmampuan genetik untuk merespon antigen dalam vaksin, kejadian imunosupresi, dan inefektifitas vaksin itu sendiri (Schultz 2000). Menurut Roth (2007) faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan durasi imunitas pada hewan antara lain: vaksin yang digunakan, kondisi hewan dan faktor patogenitas virus yang menginfeksi. Nash (2008) menegaskan bahwa
4 adanya antibodi maternal, jarak waktu vaksinasi dan paparan antigen, kerusakan vaksin, aplikasi vaksinasi yang kurang tepat, jadwal vaksinasi yang kurang tepat, variasi ras, imunosupresi atau imunodefisiensi, dan defisiensi nutrisi dapat berpengaruh terhadap kurang optimalnya vaksinasi.
Pengukuran Antibodi terhadap Rabies Diagnosa rabies yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) adalah direct fluorescent antibody test (dFAT). Metode dFAT digunakan untuk mendeteksi keberadaan antigen (Lyssavirus) dari spesimen otak sehingga digunakan dalam kondisi postmortem. Pengujian dFAT memiliki keterbatasan atau tidak dapat digunakan untuk diagnosa rabies dari spesimen non-neural seperti cairan cerebrospinal, biopsi kulit, dan air liur (Dürr et al. 2008). Metode pengukuran antibodi terhadap rabies dapat dilakukan dengan metode pengujian enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) yang relatif lebih cepat untuk pengujian dengan jumlah sampel banyak dan sekaligus. Kekurangan dari metode ELISA adalah sensitifitas yang rendah dibandingkan dengan uji SNT (serum neutralization test). Titer antibodi protektif bagi hewan dan manusia dinyatakan dengan besaran 0.5 IU/ml untuk sampel individu atau 0.1 IU/ml untuk serum sampel kelompok. Menurut WHO, pengujian untuk pengukuran titer antibodi rabies disarankan menggunakan mouse neutralization test (MNT) dan plaque reduction test (PRT), sedangkan OIE telah menetapkan metode rapid fluorescent focus inhibition test (RFFIT) sebagai uji standar dalam pengukuran titer antibodi rabies. Uji SNT merupakan uji yang paling spesifik untuk pendeteksian antibodi rabies. Titik kritis uji SNT adalah pada kemampuan penggunaan sel yang sensitif untuk pertumbuhan virus rabies dan menunjukkan kerusakan sitopatik pada myeloneuroblastoma (sel MNA) setelah inkubasi selama tiga hari (Soedijar dan Dharma 2005). Metode pengukuran antibodi dengan menggunakan tingkat kekebalan selular dapat dilakukan dengan uji sitotoksisitas. Metode uji ini untuk mengukur efek sitostatik antibodi atau sel efektor (limfosit). Limfosit sel T sitotoksik memegang peran penting dalam regulasi respon imun. Pengujian untuk deteksi keberadaan virus rabies dapat menggunakan direct rapid immunohistochemical test (dRIT). Penggunaan pengujian dRIT di Tanzania telah menunjukkan sensitifitas dan spesifisitas yang mencapai 100% dibandingkan dengan uji standar yaitu direct fluorescent antibody test (dFAT) sebagai gold standard atau uji yang direkomendasikan oleh WHO (Dürr et al. 2008).
Pengujian Titer Antibodi Pada penelitian ini pemeriksaan titer antibodi terhadap virus rabies dilakukan dengan menggunakan metode ELISA. Metode ELISA ini sesuai dengan rekomendasi OIE tahun 2008 dalam Manual of Standards for Diagnositic Test and Vaccines. Metode ELISA juga mempunyai spesifisitas yang baik dan sesuai
5 penggunaannya sebagai metode uji cepat titer antibodi yang memerlukan waktu sekitar 4 jam. Salah satu kit ELISA rabies yang telah mendapat persetujuan dari OIE adalah Platelia™ RABIES II kit untuk pengukuran titer antibodi kucing dan anjing. Penggunaan kit ELISA tersebut terutama ditujukan untuk pemenuhan regulasi mobilitas atau perdagangan internasional hewan (kucing dan anjing) terkait tingkat kekebalan terhadap rabies. Sensitifitas dan spesifisitas kit tersebut pada pengujian titer antibodi kucing secara berurut adalah 81.8% dan 98.2% dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% (OIE, 2007). Titer serum ditentukan berdasarkan optical density (OD) dalam bentuk ekuivalen unit (EU) terhadap serum standar OIE. Hasil titer yang protektif ditunjukkan dengan nilai ≥0.6 EU/ml yang nilainya ekuivalen dengan ≥0.5 IU/ml sebagai standar protektif titer antibodi menurut OIE, sedangkan nilai hasil yang sebaliknya akan dianggap tidak protektif.
Prosedur Importasi Kucing OIE telah mengeluarkan rekomendasi untuk importasi hewan yang berpotensi dalam penyebaran virus rabies secara global sebagai dampak dari perdagangan internasional. Rekomendasi tersebut tertuang dalam Terrestrial Animal Health Code (TAHC) yang senantiasa diperbaharui berdasarkan kajian ilmiah. Rabies secara spesifik dibahas pada TAHC volume 8 tahun 2014 chapter 8.12. Rekomendasi terkait dengan importasi hewan yang dapat berpeluang sebagai penyebaran virus rabies secara detail sebagai berikut : 1) Kucing yang diimpor dari Negara bebas rabies, di dalam international veterinary certificate harus diterangkan bahwa hewan tidak menunjukkan gejala klinis rabies sebelum dan/atau saat akan diberangkatkan (dikirim). Hewan sejak lahir atau minimal 6 bulan sebelum pemberangkatan berada pada negara bebas rabies. 2) Kucing yang diimpor dari Negara endemik rabies harus sehat atau dinyatakan tidak menunjukkan adanya gejala klinis rabies pada saat akan diberangkatkan. Hewan seharusnya dipasang identitas (microchip) dan angka identitasnya dicantumkan dalam international veterinary certificate. Hewan divaksinasi atau divaksinasi ulang sesuai dengan rekomendasi dari produsen vaksin. Vaksin yang digunakan seharusnya diproduksi dan digunakan sesuai dengan Terrestrial manual yang ditetapkan oleh OIE. pengujian titer antibodi dilakukan tidak kurang dari 3 bulan dan tidak lebih dari 12 bulan sebelum diberangkatkan dan menunjukkan hasil protektif minimum 0.5 IU/ml. Pemerintah Indonesia sebagai negara anggota World Trade Organization (WTO) telah menetapkan regulasi importasi HPR sesuai dengan SPS measure. Regulasi importasi HPR tertuang dalam Surat Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 tentang Petunjuk Teknis Persyaratan dan Tindakan Karantina Hewan terhadap Lalulintas Pemasukan Hewan Penular Rabies (anjing, kucing, kera, dan hewan sebangsanya). Persyaratan dan tindakan yang diberlakukan oleh pemerintah Indonesia terkait importasi kucing adalah hewan dalam kondisi sehat atau tidak menunjukkan gejala klinis rabies dan disertai kelengkapan dokumen yang meliputi :
6 1) Sertifikat kesehatan hewan yang diterbitkan oleh pejabat berwenang di negara asal dan negara transit; 2) Surat persetujuan pemasukan dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan; 3) Paspor hewan atau surat keterangan identitas hewan dalam bahasa Inggris yang dikeluarkan oleh dokter hewan berwenang di negara asal yang memuat antara lain telah berada atau dipelihara sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan di negara asal sebelum diberangkatkan, dan hewan sekurang-kurangnya telah berumur 6 (enam) bulan serta tidak dalam keadaan bunting umur 6 (enam) minggu atau lebih, dan atau hewan tersebut tidak sedang menyusui pada saat diberangkatkan. Paspor hewan mencantumkan informasi sekurang-kurangnya jenis hewan, bangsa, jenis kelamin, warna bulu, umur/tanggal lahir dan penanda identitas; atau 4) Penanda identitas permanen dengan identifikasi elektronik (microchip). Bila microchip yang digunakan tidak sesuai dengan alat baca pada pelabuhan/bandara pemasukan, maka pemilik atau kuasa pemilik harus menyediakan sendiri perangkat alat baca untuk microchip tersebut. 5) Hewan yang akan masuk ke wilayah/daerah bebas rabies di Indonesia diberangkatkan langsung dari negara bebas rabies. Apabila harus transit maka harus ada persetujuan dari Menteri Pertanian cq. Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan serta keterangan yang diberikan oleh otoritas veteriner di negara transit; 6) Surat keterangan vaksinasi bagi negara yang melaksanakan vaksinasi, yang menerangkan bahwa vaksinasi menggunakan vaksin inaktif, yang diberikan pada: a. hewan yang divaksinasi pertama kali (primer), sekurang-kurangnya 6 bulan dan tidak lebih dari 1 tahun sebelum diberangkatkan yang diberikan pada saat hewan berumur minimal 3 bulan; b. hewan yang divaksinasi ulang/booster, sekurang-kurangnya 1 bulan atau tidak lebih dari 1 tahun sebelum diberangkatkan; 7) Surat keterangan hasil pemeriksaan titer antibodi dari negara asal. Pengujian titer antibodi tidak boleh dilakukan lebih lama dari 6 bulan setelah vaksinasi dari laboratorium terakreditasi.
3 METODE Penelitian ini menggunakan kajian lintas seksional terhadap titer antibodi anti rabies pada kucing impor. Penelitian ini untuk melihat peubah bebas: umur, status negara asal, rute aplikasi vaksin, jenis kelamin, jarak pengujian, dan ulangan vaksinasi dalam mempengaruhi titer antibodi terhadap rabies sebagai peubah terikat pada kucing-kucing impor yang diamati. Pengumpulan data dari peubah bebas dan peubah terikat memerlukan pendefinisian operasional sebelum dilakukan analisis datanya. Definisi operasional untuk masing-masing peubah dapat dilihat pada Tabel 1.
7 Tabel 1 Definisi operasional penelitian No 1
2
3
4
5
6
7
Peubah
Definisi operasional
Titer antibodi adalah ukuran besaran antibodi dalam tubuh sebagai hasil vaksinasi rabies Protektif Kelompok hewan yang mempunyai nilai titer antibodi rabies ≥ 0.6 EU/ml Tidak Kelompok hewan yang mempunyai protektif nilai titer antibodi rabies < 0.6 EU/ml
Cara mengukur
Nominal Uji ELISA Rabies
Umur adalah jarak waktu kelahiran dengan importasi Umur >6 Kelompok hewan yang saat diimpor ke bulan Indonesia lebih dari 6 bulan Umur ≤6 Kelompok hewan yang saat diimpor ke bulan Indonesia kurang dari dan/atau 6 bulan
Observasi paspor hewan
Cara aplikasi vaksin adalah rute pemberian vaksin rabies Injeksi SC Vaksinasi dilakukan dengan injeksi vaksin pada jaringan dibawah kulit Injeksi IM Vaksinasi dilakukan dengan injeksi vaksin pada otot
Observasi buku vaksinasi
Jenis kelamin adalah pembedaan hewan berdasarkan keberadaan organ ambing dalam anatominya Jantan Kelompok hewan yang tidak mempunyai ambing Betina Kelompok hewan yang mempunyai ambing Status negara adalah kriteria suatu negara berdasarkan keberadaan kasus rabies Negara Negara yang dilaporkan masih terjadi endemik kasus rabies pada spesies hewan rabies maupun manusia dalam periode waktu kurang dari 2 tahun Negara bebas Negara yang tidak pernah dilaporkan rabies terjadi kasus rabies dan/atau negara yang dalam periode 2 tahun terakhir tidak terjadi kasus rabies pada spesies hewan maupun manusia Jarak pengujian adalah interval waktu vaksinasi dan pengambilan serum untuk pengujian titer antibodi x ≥ 1 bulan Jarak pengujian lebih dari dan/atau 1 bulan x < 1 bulan Jarak pengujian kurang dari 1 bulan Ulangan vaksinasi adalah frekuensi vaksinasi pada hewan Hewan mendapat satu kali vaksinasi Priming rabies Booster Hewan mendapat vaksinasi rabies dua kali atau lebih
Skala
1 (protektif) 2 ( tidak protektif) Ordinal 1(>6 bulan) 2 ( ≤6 bulan) Nominal 1 (SC) 2 (IM) Nominal
Observasi fisik
1 (jantan) 2 (betina) Ordinal
Observasi data Wahid interface OIE
1 (endemik rabies) 2 (bebas rabies)
Ordinal Obsevasi buku vaksin dan buku lab
1 (≥ 1 bulan) 2 (< 1 bulan)
Observasi buku vaksinasi
Ordinal 1 (priming) 2 (booster)
8 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada periode waktu Juni 2014 sampai dengan September 2014. Penelitian bertempat di Instalasi dan Laboratorium Karantina Hewan Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta, Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta.
Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan yaitu: biosafety cabinet class II, ELISA reader, ELISA washer, inkubator, vortex, stop wacth, mikroplat dasar U, preset pipette 1-10 ml, single micropipette 10-1000 µl, multichannel micropipette 20100 µl, tabung 25 ml, 100 ml, dan 1000 ml, disposal tube, konjugat: protein Aperoksidase dan bovine protein yang dimurnikan (kosentrasi 10x), buffer substrat peroksida dengan menggunakan asam sitrat dan sodium asetat yang mengandung 0.015% H2O2 dan 4% dimetilsulfoksida (DMSO), Chromogen berupa 0.25% larutan tetrametilbenzidin, kontrol negatif, kontrol positif, standar kuantifikasi, sampel diluent, wash solution, stop solution dan adhesive film.
Kerangka Penelitian Perumusan disain hubungan antara beberapa peubah bebas yang mempunyai pengaruh terhadap pembentukan titer antibodi seperti pada Gambar 2.
Peubah bebas 1. Umur 2. Aplikasi vaksin 3. Jarak waktu vaksinasi dengan koleksi serum darah 4. Status negara asal 5. Ulangan vaksinasi 6. Jenis kelamin
Peubah terikat 1. 2.
Antibodi protektif (positif) Antibodi tidak protektif (negatif)
Gambar 2 Hubungan peubah bebas dan peubah terikat Setiap kelompok diteliti terhadap faktor risiko melalui data dan riwayat kesehatan yang diperoleh dari lembar permohonan pemeriksaan karantina, dokumen kesehatan, dan lembar kartu status hewan saat dilakukan pemeriksaan di IKH. Setiap hewan diuji titer antibodi rabies dan dilakukan observasi selama 14 hari sesuai petunjuk teknis Badan Karantina Pertanian (SK Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/2006) tentang Petunjuk Teknis Persyaratan dan Tindakan Karantina Hewan terhadap Lalulintas Pemasukan Hewan Penular Rabies (anjing, kucing, kera, dan sebangsanya). Hasil pengujian dimasukkan dalam tabel yang dibuat dengan berdasarkan pengelompokkan nilai hasil pengujian titer antibodi, yaitu protektif dan tidak
9 protektif. Data hasil pengujian titer antibodi yang telah diperoleh, dianalisis dengan khi-kuadrat (χ2) dan dilanjutkan dengan regresi logistik. Peubah bebas umur, cara aplikasi vaksin, jarak pengujian, ulangan vaksinasi, jenis kelamin dan jenis vaksin untuk mengetahui pengaruh masing-masing faktor terhadap titer antibodi. Uji statistik deskriptif khi-kuadrat (χ2) digunakan untuk melihat faktor yang berpotensi sebagai kandidat (peubah bebas). Kandidat yang didapat diuji lanjut dengan regresi logistik untuk menentukan faktor-faktor yang memiliki hubungan atau berpengaruh terhadap titer antibodi (Thrusfield 2005).
Teknik Pengambilan Data Penelitian ini dilakukan pada kucing impor yang berasal dari negara bebas rabies dan negara endemik rabies sesuai dengan daftar World Animal Health Information Database (Wahid) Interface OIE tahun 2014. Data yang digunakan adalah data primer dengan mengumpulkan data pengujian titer antibodi rabies di laboratorium selama periode waktu bulan Juni sampai dengan September 2014. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui lembar permohonan pemeriksaan karantina, dokumen kesehatan dari negara asal, buku vaksinasi, dan catatan kesehatan selama di instalasi karantina hewan, Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta.
Pengambilan Sampel Darah Pengambilan sampel darah dilakukan pada setiap kedatangan kucing yang berasal dari luar negeri (sampel 100% hewan yang datang) pada periode 1 Juni – 30 September 2014, baik yang berasal dari negara bebas rabies dan endemis rabies. Setiap kucing yang datang akan diistirahatkan terlebih dahulu selama 1-2 hari agar kondisi tubuhnya berada pada kondisi yang baik sebelum dilakukan pengambilan darah. Pada kucing yang divaksinasi dengan vaksin inaktif (killed vaccine), pengambilan sampel darahnya memperhatikan waktu pelaksanaan vaksinasinya dengan batas minimum 30 hari setelah vaksinasi. Pengambilan darah ditujukan untuk mendapatkan serum sebagai bahan untuk pemeriksaan titer antibodi rabies dari hewan yang telah divaksinasi. Darah kucing sebanyak 1-2 ml diambil dari vena femoralis kaki belakang atau vena saphena kaki depan dengan menggunakan spuit steril berukuran 2.5 ml. Spuit yang telah berisi darah kemudian disimpan pada suhu ruang (25 – 27 ºC) sampai terjadi pemisahan antara serum dan bekuan sel darah. Cairan serum yang terpisah dari bekuan darah dipindahkan ke dalam tabung reaksi/disposal tube yang steril. Serum yang terkoleksi disimpan pada suhu -4 ºC sampai serum digunakan untuk uji.
Pengujian Titer Antibodi Pada penelitian ini pengukuran titer antibodi menggunakan uji ELISA kuantifikasi dengan Platelia™ RABIES II kit. Pada setiap mikroplat dapat digunakan untuk menganalisis 90 sampel secara kualitatif atau 80 sampel secara
10 kuantitatif terhadap antibodi rabies. Pengujian ini berdasarkan teknik indirect ELISA dengan melekatkan ekstrak glikoprotein pada dasar sumur mikroplat. Glikoprotein tersebut diambil dari membran virus rabies yang diinaktivasi dan dipurifikasi, sedangkan konjugat enzimatik yang digunakan meliputi protein A yang berasal dari S. aureus dan berpasangan/berikatan dengan peroksidase. Prinsip uji ELISA ini adalah bedasarkan ikatan antigen (glikoprotein virus rabies) dan antibodi yang ditunjukkan melalui perpedaran warna dan intensitasnya. Perpendaran warna dan intensitasnya ini adalah hasil dari enzim yang terikat pada konjugat bereaksi dengan substrat. Perubahan warna dan intensitasnya diukur secara fotometrik dengan menggunakan ELISA reader. Pada pengujian kuntitas titer antibodi rabies, terlebih dahulu membuat standar kuantifikasi dari kontrol positif yang diencerkan secara bertingkat (4 EU/ml, 2 EU/ml, 1 EU/ml, 0.5 EU/ml, 0.25 EU/ml dan 0.125 EU/ml). Titer serum ditentukan berdasarkan optical density (OD) yang dinyatakan dalam satuan equivalen unit terhadap serum standar OIE. Nilai uji ≥0.6 EU/ml setara dengan ≥0.5 IU/ml merupakan hasil titer yang protektif mengacu pada standar protektif titer antibodi menurut OIE, sedangkan sebaliknya akan dianggap sebagai titer antibodi yang tidak protektif. Kit Elisa Rabies yang digunakan ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3 Platelia™ rabies II sebagai kit ELISA Prosedur pengujian dengan Platelia™ RABIES II kit ini adalah terlebih dahulu dengan mengaktivasi sampel pada waterbath dengan suhu 27 ºC selama 60 menit. Reagen kit diagnostik sebelum digunakan disimpan pada suhu ruang (1830 ºC) selama 30 menit dan dihomogenkan secara perlahan. Mikroplat yang akan digunakan juga disimpan dalam suhu ruang (18-30 ºC) selama 30 menit. Penyimpanannya tetap dalam kemasan untuk menghindari terjadinya tetesan air kondensasi pada sumur-sumur mikroplat. Persiapan reagen yang akan digunakan diantaranya adalah pengenceran sampel dan kontrol negatif sebesar 100 kali dengan menggunakan sampel diluen. Pembuatan standar kuantifikasi melalui pengenceran 100 kali antara kontrol positif (R4b) dengan sampel diluen, sebagai standar dengan kosentrasi 4EU/ml (S6). Standar kuantifikasi dari S6 dilakukan pengenceran secara bertingkat untuk
11 mendapatkan standar dengan kosentrasi 2 EU/ml (S5), 1 EU/ml (S4), 0.5 EU/ml (S3), 0.25 EU/ml (S2), 0.125 EU/ml (S1) seperti yang terlihat pada Tabel 2. Larutan pencuci (wash solution) terlebih dahulu dilakukan pengenceran menggunakan air destilata dengan perbandingan 1 : 9. Persiapan untuk konjugat dibuat dengan mencampurkan sedian konjugat dan wash solution yang mengandung buffer Tris-NaCl 0.01% dengan perbandingan volume 1.1 ml : 9.9 ml. Pembuatan larutan enzim dilakukan dengan mencampurkan 1 ml chromogen dengan 10 ml buffer substrat peroksida.
Standar kuantifikasi S6 S5 S4 S3 S2 S1
Tabel 2 Pembuatan standar kuantifikasi Kosentrasi standar yang Pengenceran serial diperoleh dari pengenceran R4b diencerkan hingga 1/100 4 EU/ml S6 diencerkan hingga 1/2 2 EU/ml S5 diencerkan hingga 1/2 1 EU/ml S4 diencerkan hingga 1/2 0.5 EU/ml S3 diencerkan hingga 1/2 0.25 EU/ml S2 diencerkan hingga 1/2 0.125 EU/ml
Pengujian sampel secara kuantitas untuk mengetahui titer antibodi rabies dilakukan dengan menempatkan sampel diluen, kontrol negatif, kontrol positif dan standar kuantifikasi (S6, S5, S4, S3, S2, dan S1) pada sumur mikroplat dengan volume masing-masing sebanyak 100 µl. Kontrol dan standar kuantifikasi dilakukan secara duplo sedangkan sampel cukup dilakukan secara tunggal. Setelah semua ditempatkan pada sumur mikroplat ditutup dengan adhesive film dan diinkubasi selama 60 menit pada suhu 37 ºC. Selesai inkubasi pertama mikroplat dikeluarkan dari inkubator, adhesive film dilepaskan dan dilakukan pencucian dengan wash solution sebanyak tiga kali. Penempatan kontrol, standar kuantifikasi dan sampel seperti ditunjukkan pada Gambar 4.
A B C D E F G H
1 R3 R3 R4a R4a S6 S6 S5 S5
2 S4 S4 S3 S3 S2 S2 S1 S1
3 C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8
4 C9 C10 C11 C12 C13 C14 C15 C16
5 C17 C18 C19 C20 C21 C22 C23 C24
6 C25 C26 C27 C28 C29 C30 C31 C32
7 C33 C34 C35 C36 C37 C38 C39 C40
8 C41 C42 C43 C44 C45 C46 C47 C48
9 C49 C50 C51 C52 C53 C54 C55 C56
10 C57 C58 C59 C60 C61 C62 C63 C64
11 C65 C66 C67
12
…
R3: kontrol negatif; R4a: kontrol positif; S6, S5, S4, S3, S2, S1: standar kuantifikasi;C1 – C67: sampel
Gambar 4 Disain penempatan kontrol, standar, dan sampel untuk uji kuantitas Langkah berikutnya adalah ditambahkan 100 µl konjugat pada setiap sumur mikroplat dan ditutup kembali dengan adhesive film. Diinkubasi kembali dalam inkubator selama 60 menit pada suhu 37 ºC. pada saat inkubasi sudah mencapai waktu 60 menit, mikroplat dikeluarkan dari inkubator dan adhesive film dilepaskan kembali untuk dilakukan pencucian dengan wash solution. Pencucian tahap kedua dilakukan sebanyak lima kali. Pada tahapan berikutnya adalah dengan
12 penambahan 100 µl enzim untuk masing-masing sumur mikroplat. Inkubasi ketiga dilakukan pada suhu ruang selama 30 menit dalam kondisi ruang gelap. Setelah 30 menit inkubasi dilakukan penambahan stop solution dan mikroplat siap dimasukkan dalam ELISA reader. Hal ini untuk mengukur fotometrik dari masing-masing sampel sehingga dapat dibaca secara kuantitas hasil pengujia titer antibodi terhadap rabies.
Prosedur Analisis Data Data penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis statistik deskriptif khi-kuadrat dan statistik regresi logistik dengan bantuan software SPSS. Analisis regresi logistik berganda dengan membangkitkan kembali data sebanyak 5000 kali untuk melihat pengaruh beberapa faktor vaksinasi yang signifikan secara bersamaan terhadap munculnya titer antibodi.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hewan kesayangan berupa kucing yang diimpor ke Indonesia dalam periode waktu empat bulan mulai dari Juni hingga September 2014 sebanyak 67 ekor yang berasal dari 20 negara. Seluruh hewan yang dimasukkan tersebut diambil sampel darah untuk dilakukan pengujian laboratorium guna melihat secara kuantifikasi titer antibodi terhadap rabies. Pengukuran kuantifikasi titer antibodi terhadap rabies selanjutnya dikategorikan kedalam tingkat perlindungan/kekebalan yaitu titer protektif dan titer tidak protektif terhadap penyakit rabies. Gambar 5 menunjukkan jumlah pemasukan kucing ke Indonesia melalui Bandar udara Soekarno Hatta, Jakarta selama periode penelitian. 29 30 25
Jumlah
20 15
17 12
ekor
9 10 5 0 Juni
Gambar 5
Juli
Agustus
September
Jumlah kucing yang masuk ke Indonesia melalui Bandar udara Soekarno Hatta, Jakarta pada periode penelitian
13 Berdasarkan data kusioner yang dihimpun dari pengimpor kucing pada periode tersebut diketahui penyebab perbedaan volume impor kucing. Jumlah kucing yang diimpor sangat dipengaruhi oleh mobilitas manusia yang melakukan perjalanan dengan membawa hewan kesayangannya. Faktor lain yang mempengaruhi jumlah impor kucing ke Indonesia adalah permintaan pasar hewan kesayangan di Indonesia terhadap kucing berbagai ras. Kedua hal ini yang menjadi alasan dasar mobilitas kucing sebagai hewan kesayangan masuk ke Indonesia, disamping adanya faktor lain berupa festival atau kontes hewan kesayangan. Pada periode penelitian, jenis ras kucing yang diimpor sangat beragam dengan kuantitas yang sangat bervariasi.
Pengaruh Faktor Umur terhadap Titer Antibodi Kuantifikasi titer antibodi terhadap rabies pada kucing impor berdasarkan faktor umur dikategorikan dalam dua kelompok umur yaitu, kelompok umur kurang dari dan/atau enam bulan dan umur lebih dari enam bulan. Kucing yang diimpor selama periode Juni – September 2014 sebagian besar adalah berumur lebih dari enam bulan yaitu sebanyak 56 ekor (83.6%). Pada kelompok hewan yang berumur kurang dari dan/atau enam bulan lebih banyak yang memiliki titer antibodi tidak protektif yaitu sebesar 54.5% dibandingkan dengan yang memiliki titer protektif. Hal sebaliknya terjadi pada kelompok hewan yang berumur lebih dari enam bulan, yang memiliki titer antibodi protektif jauh lebih besar persentasenya yaitu 78.6% dibandingkan dengan titer yang tidak protektif, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Umur ≤ 6 bulan > 6 bulan Jumlah
Kelompok faktor umur kucing terhadap titer antibodi Titer antibodi < 0.5 IU/ml ≥ 0.5 IU/ml (tidak protektif) (protektif) 6 (54.5%) 5 (45.5%) 12 (21.4%) 44 (78.6%) 18 (26.9%) 49 (73.1%)
Jumlah 11 (16.4%) 56 (83.6%) 67 (100%)
Hewan yang divaksinasi berumur kurang dari enam bulan dan lebih dari lima tahun memiliki kecenderungan pembentukan antibodi yang kurang optimal dibandingkan dengan hewan yang telah berumur enam bulan hingga lima tahun (Berndtsson et al. 2011).
Pengaruh Faktor Status Negara terhadap Titer Antibodi Hasil pengujian titer antibodi dari kucing yang diimpor, dianalisis berdasarkan status negara asal dengan mengacu pada Wahid interface OIE (2014). Titer antibodi protektif lebih tinggi pada kelompok kucing yang berasal dari negara endemik rabies dibandingkan dengan yang berasal dari negara bebas rabies. Persentase kucing yang memiliki titer antibodi protektif terhadap rabies dari negara endemik rabies sebesar 82.6%, sedangkan yang titer antibodinya tidak
14 protektif hanya 17.4%. Pada kelompok kucing yang berasal dari negara berstatus bebas rabies, perbandingan antara titer antibodi yang protektif dan yang tidak protektif tidak berbeda jauh. Kucing dengan titer antibodi protektif terhadap rabies sebesar 52.4% dan yang tidak protektif terhadap rabies sebesar 47.6%, dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4
Kelompok faktor status negara asal kucing terhadap titer antibodi
Status negara Bebas Endemik Jumlah
Titer antibodi < 0.5 IU/ml ≥ 0.5 IU/ml (tidak protektif) (protektif) 10 (47.6%) 11 (52.4%) 8 (17.4%) 38 (82.6%) 18 (26.9%) 49 (73.1%)
Jumlah 21 (31.3%) 46 (68.7%) 67 (100%)
Pada umumnya negara endemis rabies, pemerintahnya telah menetapkan program pengendalian dan pemberantasan melalui vaksinasi. Pelakasanaan vaksinasi dengan cakupan populasi yang luas sangat penting diupayakan untuk perlindungan kesehatan hewan sekaligus peningkatan kesehatan masyarakat (Roth 2011). Vaksinasi yang dijalankan secara teratur dapat mempengaruhi respons sistem kekebalan yang lebih optimal. Vaksinasi pada negara asal hewan juga mempunyai peran dalam mempengaruhi respon imun (Mansfield et al. 2004).
Pengaruh Faktor Rute Aplikasi Vaksin terhadap Titer Antibodi Berdasarkan data yang didapatkan dari riwayat vaksninasi kucing yang diimpor dapat dibedakan aplikasi vaksin berdasarkan rute vaksinasinya menjadi dua yaitu, intramuskular (IM) dan subkutan (SC). Tabel 5 menunjukkan bahwa perbedaan atau selang persentase antara titer antibodi yang protektif dan yang tidak protektif, lebih besar pada rute aplikasi vaksin secara SC daripada IM. Persentase titer antibodi protektif dari rute aplikasi vaksin secara SC sebesar 87.5%, sedangkan yang menunjukkan titer antibodi tidak protektif hanya sebesar 12.5%. Pada kelompok kucing yang divaksinasi secara IM, memperlihatkan titer antibodi yang protektif sebesar 65.1% dan yang tidak protektif sebesar 34.9%. Tabel 5 Rute aplikasi vaksin Intramuskular Subkutan Jumlah
Kelompok faktor rute aplikasi vaksin terhadap titer antibodi Titer antibodi < 0.5 IU/ml ≥ 0.5 IU/ml (tidak protektif) (protektif) 15 (34.9%) 28 (65.1%) 3 (12.5%) 21 (87.5%) 18 (26.9%) 49 (73.1%)
Jumlah 43 (64.2%) 24 (35.8%) 67 (100%)
Menurut Aubert yang dikutip Cahyono (2009), vaksinasi yang diaplikasikan secara IM akan menimbulkan titer yang lebih cepat muncul, namun onset-nya akan lebih cepat hilang apabila dibandingkan dengan vaksin yang diaplikasikan secara SC. Rute aplikasi vaksin dengan injeksi SC akan
15 menyebabkan terbentuknya depo sehingga vaksin dilepaskan secara perlahan didalam tubuh.
Pengaruh Faktor Jenis Kelamin terhadap Titer Antibodi Hasil pengujian titer antibodi terhadap rabies dari kucing yang diimpor dikelompok berdasarkan jenis kelamin. Pada kucing jantan lebih banyak yang memiliki titer antibodi protektif terhadap rabies dibandingkan dengan yang tidak protektif. Begitu juga dengan titer antibodi yang dimiliki kucing betina. Persentase titer antibodi yang protektif pada kucing jantan sebesar 80% dan 20% menunjukkan titer antibodi yang tidak protektif. Kelompok kucing betina yang memiliki titer antibodi protektif sebesar 67.6% sedangkan yang tidak protektif sebesar 32.4%. Persentase protektifitas terhadap rabies berdasarkan jenis kelamin ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6 Jenis kelamin Betina Jantan Jumlah
Kelompok faktor jenis kelamin terhadap titer antibodi Titer antibodi < 0.5 IU/ml ≥ 0.5 IU/ml (tidak protektif) (protektif) 12 (32.4%) 25 (67.6%) 6 (20%) 24 (80%) 18 (26.9%) 49 (73.1%)
Jumlah 37 (55.2%) 30 (44.8%) 67 (100%)
Pengaruh Faktor Jarak Pengujian terhadap Titer Antibodi Data yang diperoleh selama masa pengamatan terhadap kucing impor terkait interval waktu vaksinasi dengan pengambilan serum darah dikategorikan dalam kelompok kurang dari satu bulan dan kelompok lebih dari dan/atau satu bulan. Pada Tabel 7 memperlihatkan bahwa pada kelompok lebih dari satu bulan jarak pengujiannya sangat mendominasi. 67 sampel yang telah diuji titer antibodinya terhadap rabies, hanya ada dua sampel yang jarak pengujiannya kurang dari satu bulan, dan keduanya (100%) memperlihatkan titer antibodi yang tidak protektif. Pada jarak pengujian lebih dari dan/atau satu bulan menunjukkan bahwa 75.5% protektif sedangkan yang tidak protektif sebesar 24.5%. Tabel 7 Jarak pengujian <1 bulan ≥1 bulan Jumlah
Kelompok faktor jarak pengujian terhadap titer antibodi Titer antibodi < 0.5 IU/ml ≥ 0.5 IU/ml (tidak protektif) (protektif) 2 (100%) 0 16 (20%) 49 (75.5%) 18 (26.9%) 49 (73.1%)
Jumlah 2 (3%) 65 (97%) 67 (100%)
Respon pembentukan/pencapaian titer antibodi yang beragam terkait dengan interval waktu pengambilan sampel serum dan waktu vaksinasi terakhir
16 diperkirakan berkaitan dengan respon kinetik terhadap vaksin. Respon kinetik ini merupakan kemampuan adaptif dari sistem kekebalan tubuh dalam mengenali antigen yang imunogenik sehingga segera melakukan pembentukan antibodi homolognya. Pengujian serologis pada serum yang diambil dengan interval waktu 28 hari setelah vaksinasi menunjukkan tingkat kegagalan pembentukan antibodi terendah bila dibandingkan dengan interval waktu yang lebih pendek atau lebih panjang waktunya (Kennedy et al. 2007).
Pengaruh Faktor Ulangan Vaksinasi terhadap Titer Antibodi Hasil kuantifikasi titer antibodi dari kucing yang diimpor dikategorikan dalam kelompok priming dan booster terkait dengan faktor ulangan vaksinasi. Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti yang ditunjukkan pada Tabel 8, perbandingan titer antibodi protektif lebih tinggi pada kelompok vaksinasi booster dibandingkan dengan vaksinasi priming. Persentase titer antibodi yang protektif pada kelompok booster mencapai 79.4% sedangkan yang tidak protektif 20.6%. Pada kelompok vaksinasi priming memperlihatkan bahwa yang mempunyai titer protektif sebesar 66.7% sedangkan yang tidak protektif mencapai 33.3%. Tabel 8 Ulangan vaksinasi Priming Booster Jumlah
Kelompok faktor ulangan vaksinasi terhadap titer antibodi Titer antibodi < 0.5 IU/ml ≥ 0.5 IU/ml (tidak protektif) (protektif) 11 (33.3%) 22 (66.7) 7 (20.6%) 27 (79.4%) 18 (26.9%) 49 (73.1%)
Jumlah 33 (49.3%) 34 (50.7%) 67 (100%)
Vaksin akan direspon oleh sel T helper (Th) dan mengaktifkan sel B menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi spesifik. Pada waktu yang bersamaan terbentuk pula sel T-memori dan sel B memori. Saat respon imun sekunder terjadi (booster) maka sel T-memori dan sel B-memori akan teraktivasi, berproliferasi sangat cepat dan sangat banyak sehingga menghasilkan titer antibodi spesifik yang tinggi dengan lag phase yang lebih pendek. Respon imun akibat booster juga memberikan efek penurunan respon yang lebih lama dibandingkan respon imun primer (priming).
Penilaian Kandidat Faktor Risiko Pembentukan Titer antibodi Beberapa faktor yang dijadikan sebagai peubah bebas di uji dengan khikuadrat untuk menentukan kandidat yang berpotensi mempunyai asosiasi dalam pembentukan titer antibodi. Peubah bebas yang terdiri dari: umur hewan, status negara asal terkait kasus rabies, rute aplikasi vaksin, jenis kelamin, jarak pengujian, dan ulangan vaksinasi berdasarkan hasil uji khi-kuadrat didapatkan bahwa jenis kelamin tidak dapat dijadikan kandidat faktor yang berpotensi memiliki berhubungan terhadap pembentukan titer antibodi. Jenis kelamin menunjukkan nilai yang tidak signifikan, yaitu 0.254 (P>0.25). Penilaian kandidat
17 faktor risiko terhadap pembentukan titer antibodi terhadap rabies berdasarkan hasil uji khi-kuadrat dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9
Penilaian kandidat faktor risiko terhadap pembentukan titer antibodi
Faktor risiko Umur ≤ 6 bulan > 6 bulan Status negara Bebas rabies Endemik Rute aplikasi Intramuskular Subkutan Jenis kelamin Betina Jantan Jarak pengujian < 1 bulan ≥ 1 bulan Ulangan vaksinasi Priming Booster
Sampel
Titer Antibodi positif
Persentase
Nilai p
Nilai OR
11 56
5 44
45.5% 78.6%
0.023
4.400
21 46
11 38
52.4% 82.6%
0.010
4.318
43 24
28 21
65.1% 87.5%
0.047
3.750
37 30
25 24
67.6% 80%
0.254
–
2 65
0 49
0 75.5%
0.018
–
33 34
22 27
66.7% 79.4%
0.239
1.929
Titer antibodi positif = ≥0.5 IU/ml; OR = odds ratio; confidential interval 95%; α uji = 0.25
Berdasarkan uji khi-kuadrat untuk faktor umur hewan terlihat berbeda nyata yaitu nilai p = 0.023 lebih kecil dari nilai p α uji = 0.25. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat asosiasi antara faktor umur dengan pembentukan titer antibodi terhadap rabies. Tabel 9 menunjukkan bahwa pada kucing kelompok umur lebih dari enam bulan memiliki kecenderungan empat kali lebih besar dalam pembentukan titer antibodi yang protektif dibandingkan dengan kelompok umur kurang dari dan/atau enam bulan (OR=4.400; CI=1.143-16.932). Menurut Kennedy et al. (2007), korelasi faktor umur hewan dengan pembentukan titer antibodi dari vaksinasi rabies yang tertinggi terjadi pada kelompok hewan umur dewasa (antara satu hingga tujuh tahun). Hewan yang berumur kurang dari satu tahun dan lebih dari tujuh tahun (tua) menunjukkan respon pembentukan titer antibodi yang rendah. Rendahnya titer antibodi pada kelompok kucing umur kurang dari dan/atau enam bulan terhadap vaksinasi rabies dapat disebabkan oleh belum matangnya sistem kekebalan atau belum mencapai immunocompetence (Kennedy et al. 2007). Berdasarkan kajian dari Day (2007), rendahnya titer antibodi dari hasil vaksinasi pada hewan berumur tua, lebih dikarenakan menurunnya efisiensi sistem kekebalan (immunosenesce). Kajian terhadap immunosenesce pada kucing dan anjing telah memperlihatkan bahwa penurunan sistem imun terkait faktor umur (Day 2010; Schultz et al. 2010).
18 Uji statistik deskriptif dengan khi-kuadrat pada faktor status negara asal hewan memperlihatkan hasil yang berbeda nyata (nilai p hitung = 0.010) lebih kecil dari nilai p α uji = 0.25. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat asosiasi antara faktor status negara asal dan pembentukan titer antibodi terhadap rabies. Kucing yang berasal dari negara dengan status endemik rabies mempunyai kecenderungan empat kali lebih besar memiliki titer antibodi yang protektif dibandingkan dengan kucing yang berasal dari negara bebas rabies (OR=4.318; CI=1.372-13.591). Beberapa negara asal kucing impor yang diamati dalam penelitian ini berstatus sebagai negara endemik yang menerapkan program vaksinasi rabies. Salah satu contoh adalah Uni Eropa yang telah menerapkan instruksi Nomor 998 Tahun 2003 bagi komunitas Uni Eropa untuk menerapkan vaksinasi rabies terutama hewan kucing, anjing dan rubah yang akan dilalulintaskan antar negara (Minke et al. 2008). Titer antibodi kucing yang berasal dari negara endemik rabies mempunyai kecenderungan lebih protektif dikarenakan program vaksinasi. Pada negara endemik sediaan vaksin rabies yang beredar lebih beragam pada negara tersebut sehingga dimungkinkan untuk memilih jenis vaksin yang dianggap lebih baik dalam membentuk titer antibodi protektif. Probabilitas kesuksesan vaksinasi rabies juga tergantung pada tipe vaksin yang digunakan (Berndtsson et al. 2011). Faktor rute aplikasi vaksin memperlihatkan hasil yang berbeda nyata (nilai p hitung = 0.047) lebih kecil dari nilai p α uji = 0.25. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat asosiasi antara faktor status negara asal dengan pembentukan titer antibodi terhadap rabies. Rute aplikasi vaksin secara SC mempunyai peluang empat kali lebih besar dalam pembentukan titer antibodi yang protektif dibandingkan dengan rute aplikasi vaksin secara IM (OR=3.750; CI=0.96014.649). Perbedaan tanggap kebal sebagai hasil vaksinasi juga dipengaruhi oleh penggunaan adjuvan vaksin. Rute vaksinasi merupakan salah satu faktor yang digunakan dalam menentukan pilihan adjuvan yang digunakan oleh vaksin terkait (Spickler and Roth 2003). Salah satu tujuan penggunaan adjuvan yang diformulasikan bersama imunogenik vaksin adalah untuk meningkatkan efikasi dari vaksin (OIE 2012). Imunogenik vaksin merupakan senyawa yang terkandung dalam vaksin yang mempunyai sifat dapat merangsang pembentukan antibody spesifik yang bersifat protektif dan peningkatan kekebalan seluler. Peran jenis adjuvan inilah yang mempengaruhi munculnya tanggap kebal yang baik pada hewan. Perbedaan respon titer antibodi dipengaruhi oleh ragam imunogenitas dari strain virus, adjuvan yang digunakan dan sistem pengujian (Minke et al. 2008). Hasil uji khi-kuadrat terhadap faktor jenis kelamin memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata (nilai p hitung = 0.254) lebih besar dari nilai p α uji = 0.25. Interpretasi hasil nilai p hitung ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan atau asosiasi antara faktor jenis kelamin dan pembentukan titer antibodi yang protektif terhadap rabies. Oleh karena itu, faktor jenis kelamin tidak dapat dijadikan kandidat sebagai faktor risiko yang mempengaruhi hasil vaksinasi. Odds ratio dari faktor jenis kelamin ini tidak dapat diketahui karena nilai p hitung menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hasil ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Jakel et al. 2008 terhadap 1200 hewan setelah mendapat vaksinasi rabies diamati berdasarkan ras, umur, jenis kelamin. Faktor ras dan jenis kelamin terhadap pembentukan titer
19 antibodi tidak menunjukkan nilai yang signifikan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Faktor penting untuk mendapatkan manfaat yang diinginkan dari vaksinasi rabies adalah terkait dengan strain virus yang digunakan dalam vaksin. Faktor jarak pengujian memperlihatkan hasil yang berbeda nyata (nilai p hitung = 0.018) lebih kecil dari nilai p α uji = 0.25. Interpretasi hasil nilai p hitung ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan atau asosiasi antara faktor jarak pengujian dan pembentukan titer antibodi yang protektif terhadap rabies. Oleh karena itu, faktor jarak pengujian dapat dijadikan kandidat faktor risiko yang selanjutnya akan diuji dengan regresi logistik berganda. Odds ratio dari faktor jarak pengujian ini tidak dapat diketahui karena pada kelompok jarak pengujian kurang dari satu bulan tidak ada yang memiliki titer antibodi protektif terhadap rabies (nilai = 0). Menurut Aubert yang dikutip Cahyono (2009), titer antibodi setelah vaksinasi akan muncul dan mencapai titik yang protektif setelah lebih dari dua minggu. Kinetika antibodi netralisasi akan mencapai titik tertinggi apabila juga dilakukan booster pada hewan sebelum nilai titer antibodi mencapai titik yang rendah. Pada data hewan yang mempunyai titer tidak protektif terkait faktor jarak pengujian dan vaksinasi kurang dari satu bulan adalah hewan yang baru mendapatkan vaksinasi pertama kali atau priming. Kondisi ini yang diperkirakan mempengaruhi belum tercapainya titer antibodi yang optimum setelah vaksinasi. Pengujian sampel serum sebelum 20 hari dan lebih dari 50 hari setelah vaksinasi memberikan gambaran bahwa hasil pengukuran titer antibodi yang terbentuk lebih rendah dibandingkan interval waktu 20-50 hari (Kennedy et al. 2007). Uji statistik proporsi terhadap faktor ulangan vaksinasi memperlihatkan hasil yang berbeda nyata (nilai p hitung = 0.239) lebih besar dari nilai p α uji = 0.25. Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat asosiasi antara faktor ulangan vaksinasi dan pembentukan titer antibodi terhadap rabies, sehingga dapat dijadikan sebagai kandidat faktor risiko untuk diuji lebih lanjut dengan regresi logistik berganda. Odds ratio dari faktor ulangan vaksinasi ini menunjukkan bahwa faktor booster mempunyai kecenderungan dua kali lebih besar dalam pembentukan titer antibodi yang protektif dibandingkan dengan kelompok kucing yang baru pertama kali mendapatkan vaksinasi rabies. Pada respon imun primer, antibodi IgM yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan dengan IgG, sebalikanya hasil booster yang dilakukan akan memberikan IgG lebih banyak daripada IgM. Faktor ulangan vaksinasi atau kategori booster menunjukkan titer antibodi lebih tinggi daripada kelompok priming, meskipun hasil khi-kuadrat memperlihatkan nilai yang signifikan. Konsep priming dan booster pada program vaksinasi perlu dilakukan untuk memperoleh respon antibodi dengan kadar yang tinggi (Wibawan dan Soejoedono 2013).
Faktor-faktor Efektifitas Vaksinasi Rabies terhadap Titer antibodi Faktor faktor yang menjadi kandidat sebagai faktor risiko dalam pembentukan titer antibodi terhadap rabies diuji lanjut dengan regresi logistik. Regresi logistik berganda ini dilakukan dengan membangkitkan kembali data
20 (bootstrap). Hasil uji Wald pada regresi logistik berganda dengan iterasi mencapai 4349 sampel ditunjukkan pada Tabel 10. Tabel 10 Nilai OR faktor-faktor vaksinasi terhadap titer antibodi berdasarkan analisis regresi logistik No
Peubah
Nilai p
1 2 3 4 5
Umur > 6 bulan Vs ≤ 6 bulan Status negara endemik Vs bebas Ulangan vaksinasi booster Vs priming Rute aplikasi secara SC Vs IM Jarak pengujian ≥ 1 bulan Vs < 1bulan
0.408 0.273 0.986 0.016 0.036
Nilai OR – – – 4.106 21.143
CI 95% untuk OR Lower Upper – – – 0.763 18.812
– – – 22.080 43.516
OR = odds ratio; CI 95% = confidential interval 95%;
Hasil regresi logistik menunjukkan bahwa faktor yang potensial untuk mempengaruhi pembentukan titer antibodi terhadap rabies dari kucing impor selama masa penelitian adalah rute aplikasi dan jarak pengujian. Nilai odds ratio pada rute aplikasi vaksin menunjukkan bahwa aplikasi secara subkutan memiliki kecenderungan empat kali lebih besar untuk memperoleh titer antibodi yang protektif dibandingkan dengan rute aplikasi vaksin secara intramuskular. Kondisi ini sangat terkait dengan penggunaan jenis adjuvan dari vaksin yang digunakan serta durasi imunitasnya. Fungsi adjuvan pada vaksin adalah untuk meningkatkan efikasi dari vaksin itu sendiri (OIE 2012). Beberapa adjuvan yang telah dikembangkan antara lain: garam aluminium, saponins, immune-stimulating complexes (ISCOMs), liposom, mikropartikel, nonionic block copolymers, derivat polisakarida, cytokines, dan beberapa derivat dari bakteria. Mekanisme dari senyawa potensial tersebut sangat beragam, seperti menginduksi respon antibodi dan cell-mediated.sedangkan pemilihan adjuvan dalam vaksin disesuaikan dengan rute aplikasi (Spickler and Roth 2003). Jarak pengujian juga menunjukkan nilai signifikan dalam mempengaruhi titer antibodi hasil vaksinasi. Jarak pengujian lebih dari atau sama dengan satu bulan memiliki kecenderungan yang memperlihatkan hasil pengujian yang lebih protektif dibandingkan dengan jarak pengujian yang kurang dari satu bulan. Kondisi ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Kennedy et al. (2007), bahwa jarak antara waktu pengujian dan vaksinasi terakhir kurang dari 20 hari akan memberikan gambaran bahwa hasil pengukuran titer antibodi yang terbentuk lebih rendah dibandingkan dengan jarak pengujiannya yang berkisar antara 20-50 hari. Secara keseluruhan sampel serum yang diuji untuk melihat titer antibodi kucing impor pada penelitian ini menggunakan vaksin inaktif. Vaksin jenis ini umum dikemas dalam adjuvan sehingga partikel vaksin dikeluarkan secara lamban dan dalam waktu lama (Wibawan dan Soejoedono 2013). Oleh karena penggunaan vaksin inaktif pada kucing impor tersebut menyebabkan jarak pengujian lebih dari atau sama dengan satu bulan memperlihatkan kecenderungan yang lebih protektif dibandingkan dengan yang kurang dari satu bulan.
21 Reverse Genetic sebagai Paradigma Baru Vaksinasi Rabies Vaksin merupakan mikroorganisme atau metabolitnya yang telah dilemahkan virulensinya namun masih bersifat imunogenik atau mampu menginduksi antibodi adaptif (Wibawan dan Soejoedono 2013). Perkembangan vaksin rabies mempunyai sejarah panjang dengan terlebih dahulu diawali pemahaman terhadap virus rabies dan mekanisme pertahanan tubuh untuk perlindungan terhadap virus rabies. Vaksin rabies yang efektif untuk manusia pertama kali dibuat oleh Louis Pasteur pada tahun 1885. Metode pembuatan vaksin tersebut melalui inokulasi homogenat virus rabies dengan spinal cord kelinci. Metode Pasteur diakui mempunyai efektifitas yang tinggi dan berkembang luas, namun terdapat dua kendala. Pertama, konsistensi inaktivasi yang dalam beberapa kasus pada pasien dapat berpeluang menimbulkan kasus rabies akibat vaksinasi. Kedua, kemampuan produksi vaksin yang mencukupi dari kelinci terhadap pemenuhan kebutuhan untuk pengobatan. Perkembangan metode pembuatan vaksin rabies mengikuti perkembangan kultur sel untuk pengembangbiakan virus. Pertama vaksin kultur jaringan berasal dari pertumbuhan virus dalam sel ginjal hamster. Hal ini mengikuti pertumbuhan virus rabies di dalam garis sel diploid manusia (Hicks D.J et al. 2012). Pada umumnya vaksin rabies dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan pengelompokkannya yaitu live vaccine dan killed vaccine. Live vaccine dipreparasi dari virus rabies yang telah dilemahkan (atenuasi) namun masih dapat menginduksi antibodi. Kondisi saat ini vaksin rabies yang sering digunakan adalah jenis killed vaccine. Vaksin rabies jenis ini dibuat dari virus yang telah dimatikan dan dapat dipreparasi dari sel utuh (virus) atau dari fraksi sel (subunit virus). Vaksin inaktif (killed vaccine) dikemas dengan kandungan virus yang lebih tinggi dibandingkan live vaccine (Wibawan dan Soejoedono 2013). Pengembangan alternatif vaksin rabies adalah melalui pemanfaatan rekayasa genetik. Vaksin yang menggunakan metode rekayasa genetik misalnya, vaksin rekombinan dan vaksin reverse-genetic. Antibodi telah diketahui sebagai titik kritis dalam perlindungan terhadap rabies. Target utama antibodi terhadap rabies adalah glikoprotein virus rabies yang berperan sebagai imunogeniknya. Kemampuan menggandakan glikoprotein virus rabies ke dalam plasmid bakteri kemudian mengekspresikan ke dalam sistem kekebalan tubuh dapat digunakan sebagai metode alternatif yang potensial dalam pembuatan vaksin rabies (Hicks D.J et al. 2012). Beberapa contoh keberhasilan teknologi baru di bidang vaksin hewan yang telah disetujui penggunaannya adalah vaksin gene-deleted marker, vaksin DNA dan vaksin partikel virus. Vaksin yang dipreparasi dari partikel virus yang berasal dari satu klon mempunyai imunogenitas yang tinggi dan tidak menimbulkan reaksi setelah vaksinasi (Wibawan dan Soejoedono 2013). Dengan demikian, vaksinasi rabies pada daerah bebas dengan menggunakan vaksin jenis killed ataupun reverse-genetic tidak berpeluang menimbulkan kasus rabies akibat vaksinasi. Vaksin rabies sangat penting untuk kesehatan dan kesejahteraan hewan serta kesehatan masyarakat. Penggunaan vaksin rabies pada hewan domestik dan hewan liar hampir mampu menghilangkan kasus rabies pada manusia yang terjadi di beberapa negara
22 berkembang di benua Asia dan Afrika. Kasus rabies pada manusia 98% disebabkan oleh gigitan hewan (anjing) yang tidak divaksinasi. Sumber rabies pada manusia dapat dieliminasi melalui kontrol dan vaksinasi hewan yang mencukupi, memberikan informasi dan pemahaman mengenai bahaya rabies, dan peningkatan akses pelayanan kesehatan bagi penderita gigitan HPR. Keterjangkauan daya beli dan ketersediaa vaksin rabies serta program vaksinasi yang efektif dan berkesinambungan merupakan kunci perubahan situasi penyakit rabies saat ini (Rooth JA 2011).
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kandidat faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan titer antibodi yang protektif pada kucing dari luar negeri yang dimasukkan melalui Bandara Soekarno Hatta, Jakarta yaitu: faktor umur, rute aplikasi aplikasi vaksin, status negara dan jarak pengujian (interval waktu pengambilan sampel serum dengan waktu vaksinasi). Berdasarkan analisis regresi logistik terdapat dua faktor yang berpengaruh nyata terhadap respon titer antibodi (P<0.05) yaitu rute aplikasi vaksin (0.016) dan jarak pengujian (0.014). Rute aplikasi vaksin secara subkutan memberikan gambaran titer antibodi yang lebih tinggi daripada intramuskular. Jarak pengujian 1 bulan atau lebih memberikan gambaran titer antibodi yang lebih tinggi daripada jarak pengujian yang kurang dari 1 bulan.
Saran 1. Pengembangan penelitian yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi protektifitas terhadap rabies yaitu menambahkan faktor ras hewan, jenis vaksin dan tingkat stress yang belum dikaji pada penelitian ini. 2. Penelitian ini dapat dipergunakan sebagai referensi dalam merumuskan kebijakan teknis karantina hewan terkait pemasukan hewan penular rabies. 3. Pada hewan penular rabies impor yang memiliki titer antibodi di bawah batas ambang minimum tingkat protektif diwajibkan untuk direvaksinasi rabies selama masa karantina.
DAFTAR PUSTAKA [BBKP Soekarno Hatta] Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta Badan Karantina Pertanian. 2014 Laporan Tahunan Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta 2014. Jakarta (ID): Barantan. [Barantan] Badan Karantina Pertanian. 2006. Surat Keputusan Kepala Badan Karantina Nomor 344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 Tahun 2006 tentang
23 Petunjuk Teknis Persyaratan dan Tindakan Karantina Hewan terhadap Lalulintas Pemasukan Hewan Penular Rabies (anjing, kucing, kera dan sebangsanya). Jakarta (ID): Barantan. Berndtsson LT, Nyman AK, Rivera E, Klingeborn B. 2011. Factors associated with the success of rabies vaccination of dogs in Sweden. AVS. 53 (1):2229. Budiharta S, Suardana IW. 2007. Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner. Ed ke-1. Denpasar (ID): Universitas Udayana Pr. Cahyono MA. 2009. Efektifitas vaksinasi rabies pada anjing yang diimpor melalui bandara soekarno hatta [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. [CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2010. Rabies Surveillance Information for Wild Animals; Domestic Animals and Humans [Internet]. [diunduh 2014 Maret 17]. Tersedia pada:http://www.cdc.gov/rabies/resources/publications/2010-surveillance /rabid-wild-animals/507e.htm. Day MJ. 2007. Immune system development in the dog and cat. J Comp Path. 137:10-15. Day MJ. 2010. Ageing, immunosenescence and inflammageing in the dog and cat. J Comp Path. 142:60-69. Dürr S, Naissengar S, Mindekem R, Diguimbye C, Niezgoda M, Kuzmin I, Rupprecht CE, Zinsstag J. 2008. Rabies diagnosis for developing countries. J Trop Dis. 206:1-6. Fischer M, Frueling CM, Muller T, Wegelt A, Kooi EA, Rasmussen TB, Voller K, Marston DA, Fook AR, Beer M et al. 2014. Molecular double-check strategy for the identification and characterization of European lyssviruses. J Virol Med. 203:23-32. Jakel V, Koning M, Cussler K, Hanschmann K, Thiel HJ. 2008. Factor influencing the antibody response to vaccination against rabies. J Dev Biol 131:431-437. Kennedy LJ, Lunt M, Barnes A, McElhinney L, Fooks AR, Baxter DN, Ollier WER. 2007. Factors influencing the antibody response of dogs vaccinated against rabies. J Vac. 25:8500-8507. doi:10.1016. Minke JM, Bouvet J, Cliquet F, Wasniewski M, Guiot AL, Lemaitre L, Cariou C, Cozette V, Vergne L, Guigal PM. 2008. Comparison of antibody responses after vaccination with two inactivated rabies vaccines. J Vet Microbiol. 133: 283-286. doi: 10.1016. Mansfield KL, Sayers R, Fooks AR, Burr PD, Snodgrass D. 2004. Factors affecting the serological response of dogs and cats to rabies vaccination. BMJ. 154 (14): 423-426. Tersedia pada: http://veterinaryrecord.bmj.com/ content/ 154/14/423 Nash H. 2008. Causes of 'vaccine failure'. Di dalam: Foster and Smith editor. Why Vaccinated Cats Still Get Sick [Internet]. [diunduh 2014 April 8]. Tersedia pada: http://www.peteducation.com/article.cfm?c =1+2143&aid =965. [OIE] World Organization for Animal Health. 2012. Terrestrial manual; Chapter 1.1.6-Principles of veterinary vaccine production [Internet] (FR). [diunduh 2014 Oktober 30] Tersedia pada: http://www.oie.int/index.php?id=169& l=0&htmfile=chaptire_rabies.html
24 [OIE] Office Internatiol des Epizooties. 2014. World animal information database; Country information [Internet] (FR). [diunduh 2014 Oktober 30] Tersedia pada: http://www.oie.int/wahis_2/public/wahid.php/country information/animalsituation Roth JA. 2007. Factors influencing vaccine duration of immunity. Proceeding of the The North American Veterinary Conference – 2007. Orlando. 13-27 Januari 2007. Florida (US): NAVC Congress. hlm 576-578. Roth JA. 2011. Veterinary vaccines and their importance to animal health and public health. J Provac. 5:127-136. doi:10.1016. Rupprecht CE. 2007. Rhabdoviridae rabies virus. Di dalam: Roth JA, editor. Opportunities and challenges in prevention and control [Internet]. Iowa (USA). [diunduh 2014 April 5] Tersedia pada: http://www.gsbs. utmb.edu/microbook/ch061.htm. Schnell MJ, McGettigan JP, Wirblich C, Papaneri A. 2010. The cell microbiology rabies virus: using stealth to reach the brain. J Microbiol. 8: 51-61. Schultz RD. 2000. Considerations in designing effective and safe vaccination programs for dogs. Di dalam: Schultz RD, Carmichael editor. Recent Advances in Canine Infectious Diseases [Internet] Wisconsin (USA). [diunduh 2014 April 5]. Tersedia pada: http://www.ivis.org. Schultz RD, Thiel B, Mukhtar E, Sharp P, Larson LJ. 2010. Age and long-term protective immunity in dogs and cats. J Comp Path. 142: 102-108. Soedijar IL, Dharma DMN. 2005. Review rabies. Prosiding Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. 2005 September 15; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Puslitbang Peternakan. hlm 119-128 Spickler AR, Roth JA. 2003. Adjuvants in veterinary vaccines: modes of action and adverse effects. J Vet Intern Med. 17: 273–281. doi: 10.1111. Sugiyama M, Ito N, 2007. Control of rabies: epidemiology of rabies in Asia and development of new-generation vaccines for rabies. J Microbiol Inf Dis. 30: 273-286. Thrusfield M. 2005. Veterinary Epidemiology. Ed ke-3. London (GB): Blackwell Science. Wibawan IWT, Soejoedono RD. 2013. Intisari Imunologi Medis. Ed ke-1. Bogor (ID): Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
25
Lampiran 1 Rekapitulasi data kucing impor selama periode 1 Juni – 30 September 2014 No
Tanggal masuk
Negara asal
Status negara
Ras
Umur (bulan)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
09/6/2014 09/6/2014 09/6/2014 09/6/2014 09/6/2014 20/6/2014 20/6/2014 20/6/2014 25/6/2014 25/6/2014 26/6/2014 28/6/2014 02/7/2014 02/7/2014 03/7/2014 03/7/2014 04/7/2014 04/7/2014 09/7/2014 09/7/2014 11/7/2014 06/8/2014
NE NE NE NE NB NB NE NE NE NE NE NE NB NB NE NE NB NE NE NE NB NB
Bengal Bengal Bengal Bengal DSH British Short Hair Persian Persian Siamese Siamese DSH DSH Bengal Bengal British Short Hair DLH Ragdoll Korean Short Hair Persian Persian Bengal Norwegian Forest
USA USA Jerman Jerman Singapura Austria Jerman Rusia Mesir Mesir USA Spanyol Malaysia Malaysia Qatar Qatar Singapura KorSel Rusia Spanyol Malaysia Hongkong
10 12 48 36 60 8 49 14 84 84 60 24 8 35 58 55 6 60 5 10 6 5
Jenis Rute kelamin aplikasi
Vaksinasi ke-
Jarak pengujian
Titer antibodi
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
M F F F M F M M M F F M F M M M F M M M F M
SC SC IM IM IM IM IM IM SC SC IM IM SC SC IM IM IM SC SC IM IM IM
1 1 2 1 2 1 2 1 2 2 2 2 1 2 2 2 1 2 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
P P P P P P P P P P T P P P P P P P P P P P
26 (1)
(2)
23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
06/8/2014 06/8/2014 06/8/2014 06/8/2014 06/8/2014 06/8/2014 06/8/2014 06/8/2014 06/8/2014 07/8/2014 12/8/2014 15/8/2014 15/8/2014 29/8/2014 29/8/2014 29/8/2014 01/9/2014 02/9/2014 04/9/2014 05/9/2014 08/9/2014 08/9/2014 10/9/2014 10/9/2014 10/9/2014 10/9/2014
(3)
Hongkong Malaysia Filipina Qatar Qatar Qatar Qatar Qatar Perancis USA Jerman Belanda Belanda USA USA USA Jepang KorSel Rusia Jerman Kanada Singapura Polandia Angola Malaysia Malaysia
(4)
(5)
NB NB NE NE NE NE NE NE NE NE NE NE NE NE NE NE NB NE NE NE NE NB NE NE NB NB
Norwegian Forest DSH DSH DSH DSH DSH DSH DSH European DSH DSH Maine Coon Maine Coon Siamese DSH DSH Mix Bengal Persian Persian DSH Mix Norwegian Forest Mix Maine Coon Maine Coon
(6)
4 42 36 34 46 13 14 34 96 77 10 24 12 14 100 168 156 7 14 36 111 53 30 53 26 18
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
F F F M F M M F F F F M F M F M F M F M F M M M M F
IM SC IM IM IM IM IM IM IM IM IM SC SC IM IM IM IM SC SC IM SC IM IM IM IM IM
1 2 2 2 2 1 1 2 1 2 2 1 1 1 2 2 2 1 1 2 2 2 2 2 1 1
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2
P P P P P P P P P P P P P T T T P P T P P P P T T T
27 (1)
(2)
49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67
10/9/2014 10/9/2014 10/9/2014 10/9/2014 10/9/2014 10/9/2014 10/9/2014 10/9/2014 11/9/2014 11/9/2014 11/9/2014 11/9/2014 11/9/2014 12/9/2014 15/9/2014 15/9/2014 19/9/2014 22/9/2014 25/9/2014
(3)
Malaysia Malaysia Malaysia Malaysia Malaysia Malaysia Malaysia Malaysia USA USA USA USA USA Kanada Rusia Rusia Perancis USA Rusia
(4)
(5)
NB NB NB NB NB NB NB NB NE NE NE NE NE NE NE NE NE NE NE
Bengal Bengal Bengal Bengal Bengal Bengal Bengal Maine Coon Persian DSH Persian Persian Persian Bengal DSH DSH DLH DSH Persian
(6)
8 8 6 4 6 46 48 21 12 18 12 12 12 4 60 132 36 108 5
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
M F F F F F M F F M F F F F M M F F F
IM IM IM IM IM IM IM IM SC SC SC SC SC SC SC SC IM SC SC
1 1 1 1 1 2 2 2 1 2 1 1 1 1 2 2 2 2 1
2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
T T T T T T T T P P P P P T P P P P T
Status negara (NE: negara endemik; NB: negara bebas), jenis kelamin (M: jantan; F: betina), rute aplikasi (SC: subkutan; IM: intramuskular), ulangan (1: priming; 2: booster), jarak pengujian (1:< satu bulan; 2:≥ satu bulan), titer antibodi (P: protektif; T:tidak protektif)
28
Lampiran 2 Daftar negara berdasarkan situasi rabies menurut World animal health information database interface, OIE Penyakit tidak pernah terjadi Negara
Tahun pelaporan
surveilan
Andora Aruba Barbados Brunei Darussalam Cape Verde Comoros Cyprus Falkland Islands (Malvinas) Fiji French Polynesia Guadeloupe (France) Iceland Jamaica Maldives Martinique (France) Micronesia (Federation States) New Caledonia New Zealand Papua New Guinea Reunion (France) Samoa San Marino Seychelles St. Vincent and the Grenadines Vanuatu
Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jan – Jun, 2014 Jul – Des, 2009 Jul – Des, 2011 Jan – Jun, 2013 Jan – Jun, 2014 Jan – Jun, 2014 Jul – Des, 2013 Jan – Jun, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jan – Jun, 2013 Jul – Des, 2011 Jul – Des, 2013 Jan – Jun, 2014 Jul – Des, 2013 Jan – Jun, 2013 Jan – Jun, 2012 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2010 Jul – Des, 2013
No surveillance spesified General surveillance General surveillance General surveillance No surveillance spesified General surveillance General and targeted surveillance General surveillance General surveillance General surveillance General surveillance General surveillance No surveillance spesified No surveillance spesified General surveillance General surveillance General surveillance General surveillance General and targeted surveillance General surveillance General surveillance General and targeted surveillance General surveillance No surveillance spesified General surveillance
Dugaan terdapat penyakit Negara
Tahun pelaporan
Greenland Niger Cambodia Equatorial Guinea Gambia Guienea-Bissau
Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jan – Jun, 2014 Jan – Jun, 2009 Jul – Des, 2013 Jan – Jun, 2014
Jenis hewan Domestik ─ ─ √ √ √ √
Liar √ √ √ ─ ─ √
Dugaan terdapat penyakit tetapi batasan zona tidak dikonfirmasi Negara
Tahun pelaporan
Egypt
Jan – Jun, 2014
Jenis hewan Domestik ─
Liar √
29 Terdapat infeksi tanpa gejala klinis Negara
Tahun pelaporan
Luxembourg Cameroon Slovakia
Jan – Jun, 2013 Jan – Jun, 2013 Jul – Des, 2013
Jenis hewan Domestik ─ √ √
Liar √ ─ √
Gejala klinis terlihat Negara
Tahun pelaporan
Netherlands Serbia Afganistan Algeria Angola Azerbaijan Bangladesh Belarus Benin Bhutan Bolivia Botswana Brazil Burkina Faso Burundi Canada Central African Republic Chile Colombia Congo (Dem. Rep. of the) Congo (Rep. of the) Costa Rica Cote D’Ivoire Croatia Cuba Dominican Republic Ecuador El Salvador Ethiopia Former Yug. Rep. of Macedonia Gabon Georgia Ghana Grenada Guatemala Haiti Indonesia Iran
Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2012 Jul – Des, 2013 Jan – Jun, 2013 Jul – Des, 2012 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jan – Jun, 2014 Jul – Des, 2013 Jan – Jun, 2014 Jul – Des, 2010 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jan – Jun, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jan – Jun, 2014 Jul – Des, 2012 Jan – Jun, 2014 Jan – Jun, 2014 Jul – Des, 2011 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2010 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013
Jenis hewan Domestik ─ ─ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Liar √ √ ─ ─ √ √ ─ √ √ ─ ─ ─ √ ─ ─ √ ─ √ ─ ─ ─ ─ ─ ─ ─ √ ─ ─ ─ √ ─ √ ─ ─ ─ ─ √ √
30 Gejala klinis terlihat Negara
Tahun pelaporan
Iraq Israel Jordan Kenya Korea (Rep. of) Laos Lesotho Madagascar Malawi Mauritania Moldova Mongolia Morocco Moambique Myanmar Namibia Nepal Nigeria Oman Panama Philippines Poland Romania Russia Rwanda Senegal Serbia and Montenegro Sierra Leone Somalia South Africa Sri Lanka Swaziland Syria Tajikistan Tanzania Thailand Togo Trinidad and Tobago Tunisia Turkey Turkmenistan Uganda Ukraine United States of America Uzbekistan
Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jan – Jun, 2013 Jul – Des, 2012 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2012 Jul – Des, 2012 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jan – Jun, 2013 Jul – Des, 2013 Jan – Jun, 2014 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2012 Jan – Jun, 2014 Jul – Des, 2006 Jul – Des, 2013 Jan – Jun, 2012 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jan – Jun, 2014 Jul – Des, 2013 Jan – Jun, 2013 Jan – Jun, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jan – Jun, 2013 Jan – Jun, 2014 Jan – Jun, 2014 Jul – Des, 2010 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jan – Jun, 2008
Jenis hewan Domestik √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Liar ─ √ √ ─ √ ─ ─ ─ ─ ─ √ √ √ ─ ─ √ ─ ─ √ ─ ─ √ √ √ ─ ─ ─ √ ─ √ √ ─ ─ ─ ─ ─ √ ─ ─ √ ─ ─ √ √ ─
31 Penyakit tidak ditemukan selama periode pelaporan Negara Albania Armenia Australia Austria Bahrain Belgium Belize Bosnia and Herzegovina Bulgaria Czech Rep. Denmark Djibouti Estonia Finland French Guiana Germany Hong Kong Ireland Italy Japan Kazakhtan Kuwait Latvia Libya Liechtenstein
Tahun laporan Jan-Jun 2013 Jul-Des 2013 Jul-Des 2013 Jan-Jun 2014 Jul-Des 2013 Jul-Des 2013 Jan-Jun 2013 Jan-Jun 2014 Jul-Des 2013 Jan-Jun 2014 Jul-Des 2013 Jan-Jun 2014 Jul-Des 2013 Jan-Jun 2014 Jan-Jun 2013 Jan-Jun 2013 Jul-Des 2013 Jul-Des 2013 Jan-Jun 2014 Jul-Des 2013 Jan-Jun 2014 Jul-Des 2013 Jul-Des 2013 Jul-Des 2010 Jan-Jun 2014
Domestik Surveilan
Liar Kejadian terakhir
No surveillance spesified General surveillance
2012
Surveilan
Kejadian terakhir 2009
2011
No surveillance spesified General surveillance
General surveillance
1867
General surveillance
1867
Targeted surveillance
2003
Targeted surveillance
2002
No surveillance spesified General and targeted surveillance General surveillance
-
-
2008
1998
2012
No surveillance spesified General and targeted surveillance General surveillance
General surveillance
2013
General surveillance
2013
General and targeted surveillance No surveillance spesified General surveillance
2010
General and targeted surveillance No surveillance spesified General surveillance
2012
No surveillance spesified No surveillance spesified General and targeted surveillance General surveillance
-
No surveillance spesified No surveillance spesified Targeted surveillance
-
2001 2002
2008 2007 2003
General surveillance
2005
No surveillance spesified No surveillance spesified No surveillance spesified General surveillance
1987
General surveillance
2007
No surveillance spesified No surveillance spesified No surveillance spesified General surveillance
1994
1903 2010 1956
2012 2010 1986
-
2007
2002 2009
2011 2009
No surveillance spesified General surveillance
2009
No surveillance spesified No surveillance spesified No surveillance spesified No surveillance spesified No surveillance spesified No surveillance spesified No surveillance spesified No surveillance spesified General surveillance
-
2006
2011 2010 1986
32 Penyakit tidak ditemukan selama periode pelaporan Negara Lithuania Malaysia Malta Mauritius Montenegro Norway Portugal Qatar Sao Tome and Principe Saudi Arabia Singapore Slovenia Sweden Switzerland United Arab Emirates United Kingdom
Tahun laporan Jan-Jun 2014 Jul-Des 2013 Jan-Jun 2014 Jul-Des 2013 Jan-Jun 2014 Jan-Jun 2014 Jul-Des 2013 Jul-Des 2013 Jul-Des 2013 Jul-Des 2013 Jul-Des 2013 Jul-Des 2013 Jan-Jun 2014 Jan-Jun 2014 Jan-Jun 2014 Jul-Des 2013
Domestik Surveilan
Liar Kejadian terakhir
General and targeted surveillance General and targeted surveillance General surveillance
2013
Surveilan
Kejadian terakhir 2012
1999
General and targeted surveillance General surveillance
1911
General surveillance
1911
No surveillance spesified No surveillance spesified General surveillance
1894
No surveillance spesified No surveillance spesified General surveillance
1894
General and targeted surveillance No surveillance spesified General surveillance
1984
1961
General and targeted surveillance General and targeted surveillance No surveillance spesified General and targeted surveillance General and targeted surveillance General surveillance
2013
General and targeted surveillance
1970
General and targeted surveillance No surveillance spesified No surveillance spesified General and targeted surveillance General and targeted surveillance No surveillance spesified General and targeted surveillance General and targeted surveillance No surveillance spesified General and targeted surveillance
2012 -
2009 -
1953 2010 1886 2003 1999
1999
2011 2012
2012 2013 2010 2002 -
Pembatasan penyakit pada suatu wilayah tertentu Negara
Tahun pelaporan
Hungary Argentina Chinese Taipei France Greece Kyrgyztan Mexico Pakistan Paraguay Spain Sudan Uruguay Vietnam
Jan – Jun, 2014 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jan – Jun, 2013 Jan – Jun, 2014 Jul – Des, 2013 Jul – Des, 2013 Jan – Jun, 2014 Jan – Jun, 2014
Jenis hewan Domestik Liar ─ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ ─ ─ √ √ ─ √ ─ ─ √
33 Lampiran 3 Contoh sertifikat kesehatan hewan dari negara asal hewan
34 Lampiran 4 Contoh hasil pemeriksaan titer antibodi terhadap rabies
35 Lampiran 5 Contoh lembar catatan vaksinasi rabies
36 Lampiran 6 Contoh sertifikat pelepasan karantina hewan
37 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Mojokerto pada tanggal 13 Juli 1978, merupakan putra pertama dari pasangan Ayahanda Karsono dan Ibunda Wiwik Hariati. Penulis lulus dari SMUN 1 Sooko, Mojokerto pada tahun 1997, kemudian melanjutkan pendidikan Sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penulis mendapat gelar Dokter Hewan pada tahun 2003. Pada tahun 2003 hingga 2005, penulis bekerja di penetasan bibit ayam pada perusahaan Leong Bhd yang bergerak di industri peternakan ayam. Tahun 2005, penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian. Awal karir sebagai Dokter Hewan Karantina tahun 2005, penulis ditempatkan pada Stasiun Karantina Hewan Gorontalo. Tahun 2009 penulis ditempatkan sebagai Kepala Sub Bagian Humas Badan Karantina Pertanian. Tahun 2013 sebelum melanjutkan pendidikan pascasarjana, penulis ditempatkan pada Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta sebagai Kepala Seksi Informasi dan Sarana Teknik Karantina Hewan. Penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi S2 pada program studi Kesehatan Masyarakat Veteriner pada tahun 2013 melalui beasiswa dari Badan Karantina Pertanian.