EFEK ANTELMINTIK INFUSA DAUN KEMANGI (Ocimum Sanctum L.) TERHADAP WAKTU PARALISIS ATAU KEMATIAN CACING GELANG BABI ( Ascarissuum, Goeze ) In vitro KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Ahli Madya Farmasi Program Studi DIII Farmasi
Oleh :
Heri Kiswanto NIM : 13DF277027
PROGRAM STUDI DIII FARMASI SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH CIAMIS 2016
i
INTISARI EFEK ANTELMINTIK INFUSA DAUN KEMANGI (Ocimum Sanctum L.) TERHADAP WAKTU PARALISIS ATAU KEMATAN CACING GELANG BABI (Ascaris suum, Goeze) In Vitro 1 Heri Kiswanto2 Nia Kurniasih, M.Sc.,Apt 3 Panji Wahlanto, S.Farm.,Apt4 Telah dilakukan penelitian efek antemintik infusa daun kemangi (Ocimum Sanctum L.) terhadap waktu paralisis atau kematian cacing gelang babi (Ascaris suum, Goeze) secara in vitro. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek anthelmintik infusa daun kemangi (Ocimum Sanctum L.) terhadap cacing Ascaris suum, Goeze secara in vitro. Penelitan ini dilaksanakan dengan metode in vitro, menggunakan 45 ekor cacing Ascaris suum, Goeze, untuk 3 kali percobaan. Terdiri dari dua kelompok uji, yaitu kelompok perlakuan yang terdiri dari infusa daun kemangi konsentrasi 20%, 40%, 60% dan kelompok kontrol yang terdiri dari kontrol positif yaitu piperazin sitrat dan kontrol negatif yaitu NaCl 0,9%. Hasil uji Anova Two Way menunjukan bahwa infusa daun kemangi (Ocimum Sanctum L.) konsentrasi 20%, 40% dan 60% mempunyai efek sebagai antelmintik dan konsentrasi terbaik adalah konsentrasi 60%. Kata Kunci Keterangan
: Daun Kemangi (Ocimum Sanctum L.), Antelmintik, Ascaris suum Goeze : 1 Judul, 2 Nama Mahasiswa, 3 Nama Pembimbing I, 4 Nama Pebimbing II
vi
ABSTRACT ANTHELMINTIC EFFECTIVENESS BINAHONG LEAVES INFUSE ( Anredera Cordifolia Tenore Steenis) TO WARDS PARALYSIS OR DEATH TIME OF THE PIG ROUNDWORMS (Ascariasis suum, Goeze) IN VITRO1 Heri Kiswanto2 Nia Kurniasih, M.Sc.,Apt3 Panji Wahlanto, S.Farm.,Apt4
The effect test of anthelmintic kemangi leaves infuse (Ocimum Sanctum L.) towards paralysis of death time of the pig roundworms (Ascariasis suum, Goeze) in vitro has been done. This research aims to determine wheather the infusion kemangi leaves (Ocimum Sanctum L.) has an anthelmintic effect towards Ascaris suum Goeze. This research is using in vitro method. Using 45 Ascaris suum Goeze, for three replitions. Consisting of three test groups. The treatment group consist of kemangi leaves infuse concentration of 20%, 40%, 60%, and a control group consist of a positive control that piperazine citrate and negative controls are 0,9% NaCl. Two Way Anova test results shows that the kemangi leaves infuse (Ocimum Sanctum L.) concentration of 20%, 40%, 60% has the effect as an anthelmintic and the best concentration is the concentration of 60%.
Keyword
:Kemangi leaves (Ocimum Sanctum L.), Antelmintic, Ascaris suum Goeze.
Remarks
:1 Title, 2 Name of Student, 3 Name of Advisor I, 4 Name of Advisor II.
vii
1
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Di Indonesia, prevalensi askariasis tinggi antara 60-90%, tergantung pada lokasi dan sanitasi lingkungan (Pohan, 2007). Penyakit infeksi masih merupakan masalah utama dalam suatu negara berkembang. Salah satu penyakit infeksi yaitu yang disebabkan oleh cacing terutama yang ditularkan melalui tanah atau soil-transmitted helminthes, prevalensinya masih tinggi. Askariasis paling sering ditemukan di iklim tropis hangat dan subtropis di Sub-Saharan Afrika dan Asia Tenggara, lebih dari 807 juta orang terinfeksi dengan ascaris dan lebih dari 60.000 orang mati dalam per tahun akibat penyakit ini (WHO, 2012). Sebagai objek penelitian digunakan cacing Ascaris suum goeze, merupakan spesies cacing gelang penyebab askariasis pada babi, yang memiliki kemiripan morfologi, anatomi dan siklus hidup dengan Ascaris lumbricoides penyebab askariasis pada manusia (Yamaguchi, 1994). Digunakan cacing Ascaris suum Goeze (cacing gelang pada hewan) sebagai pengganti Ascaris lumbricoides (cacing gelang pada manusia) karena sulitnya untuk mendapatkan cacing Aspcaris lumbricoides. Cacing ini juga bisa ditemukan dan menginfeksi manusia, sapi, kambing, domba, anjing (Miyazaki, 1991). Bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa larva Ascaris suum Goeze sp dapat hidup pada cacing tanah dan kumbang tinja (Geotrupes) yang bertindak sebagai hospes cadangan (Noble et al, 1989). Infeksi Ascaris suum pada manusia dapat menyebabkan efek negatif
secara mendadak pada
kesehatan seperti anemia, diare malnutrisi (Claerebout, 2009). Bila jumlah cacing yang menginfeksi mencapai 250 ekor dapat menghambat usus halus dan saluran empedu yang mana menyebabkan kehilangan selera makan, muntah, dan kematian.
2
Dan pada infeksi bentuk larva bisa menyebabkan kerusakan hepar babi serta pneumonia bila mencapai paru-paru (Queensland Government, 2004). Morfologi yang membedakan kedua jenis cacing ini terletak pada daerah mulut mereka (Faust, 1976) yaitu pada daerah deretan gerigi dan bentuk bibirnya yang berbeda. (Noble et al, 1989) Telur – telur mereka pun sulit untuk dibedakan dengan mikroskop cahaya (Miyazaki, 1991). Sebagai metode penelitian yang digunakan metode in vitro yaitu suatu metode untuk menunjukkan gejala yang diteliti yang prosesnya dilakukan di luar tubuh makhluk hidup dalam kondisi laboratoris. Uji anthelmintik secara in vitro dilakukan dengan perendaman dan kemudian efek yang timbul diamati (Samodra, 2003). Faktor media sebagai tempat rendaman yang akan digunakan perlu diperhatikan. Oleh karena itu, perlu dipilih media yang paling cocok untuk kelangsungan hidup cacing di luar tempat hidup sebenarnya misalnya komponen garam fisiologis, nutrisi, oksigen, dan derajat keasaman. Metode in vitro ini menggunakan metode dari Lamson dan Brown (1935) yang sudah dimodifikasi (Sadono, 2001). Teknik in vitro ini memberikan hasil analisis yang cepat dan proses yang murah (Makkar, 2002). Untuk memerangi cacing yang kadang menghuni perut, biasanya digunakan obat antelmintik (anti cacing). Ada dua golongan bahan pelawan cacing, yakni vermifuga (obat-obat yang melumpuhkan cacing dalam usus dan cacing yang dikeluarkan dalam keadaan hidup) dan vermicida (obat-obat yang dapat mematikan cacing dalam tubuh). Obat-obat untuk membasmi cacing tadi cukup banyak dijual di pasaran. Namun masyarakat belum banyak menggunakan obat – obatan yang dijual di pasaran secara periodik dengan alasan – alasan tertentu, misalnya harga obat cacing ini dirasakan cukup mahal. Alternatif obat lain yang bisa dipilih, yakni dengan memanfaatkan obat tradisional yang
3
efeknya cukup baik, mudah diperoleh, murah dan mudah cara pengobatannya. Oleh karena itu perlu dicari alternatif pengobatan lain
yang
efeknya
cukup
baik,
murah
harganya,
mudah
penggunaanya dan diperoleh masyarakat, yaitu pengobatan tradisional. Seperti tersirat pada hadist dan ayat dalam surat yunnus:57 dan hadist HR. Abu Dawud dari Darda‟radhhialli‟anhu bahwa setiap penyakit ada obatnya.
انصدُو ِر ُّ شفَا ٌء نِ ًَا فِي ُ َُّيَا أَيُّ َها ان ِ اس قَ ْد َجا َء ْت ُك ْى َي ْى ِعظَةٌ ِيٍْ َربِّ ُك ْى َو ٍَ َُِو ُدًدي َو َر ْ ًَةٌ نِ ْه ًُ ْ ِي Artinya : Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orag yang beriman (QS.Yunnus57).
وال، فتداووا، وجعم نكم داء دواء، إٌ هللا أَزل انداء واندواء تتداووا بانحراو “Sesungguhnya allah telah menurunkan penyakit dan obatnya, demikian pula allah menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Maka berobatlah kalian dan janganlah berobat dengan yang haram “(HR. Abu Dawud dari Darda‟ radhiallahu „anhu). Ramuan obat tradisional yang ada di masyarakat berupa rebusan yang memiliki kemiripan dengan infusa, meskipun kadar infusa lebih rendah dari ekstrak tetapi pembuatan yang praktis bisa diaplikasikan untuk kegunaan masyarakat sehari-hari. Penggunaan obat-obatan yang berasal dari alam akhir-akhir ini semakin diminati oleh masyarakat. Itu sebabnya obat tradisional dipercaya oleh masyarakat sedikit
mempunyai
efek samping yang
dibanding obat-obatan non herbal serta relatif mudah
didapat. Beberapa jenis tanaman di Indonesia telah lama dikenal
4
dan digunakan oleh masyarakat sebagai obat cacing, di antaranya tanaman putri malu, ketepeng dan biji pinang. Syahid (2006) meneliti efek antihelmintik ekstrak putri malu (Mimosa pudica, Linn.) terhadap Ascaris suum Goeze sp secara in vitro. Kandungan bahan kimia dari ekstrak putri malu di antaranya mimosin, asam pipekolinat, tannin, alkaloid, dan saponin. Selain itu, putri malu juga mengandung triterpenoid, sterol, polifenol dan flavonoid. Kandungan bahan kimia tersebut yang memiliki efek antihelmintik adalah mimosin dan tanin. Senyawa tanin memiliki kemampuan denaturasi protein menyebabkan protein pada permukaaan tubuh cacing terdenaturasi sehingga permukaan tubuh cacing menjadi tidak permeabel lagi terhadap zat di luar tubuh cacing. Mimosin memiliki efek antihelmintik melalui mekanisme neurotoksik dengan menghambat asetilkolinesterase sehingga terjadi penumpukkan asetilkolin pada tubuh cacing yang menyebabkan cacing mati dalam keadaan kaku. Kuntari (2008) meneliti efek antihelmintik air rebusan daun ketepeng (Cassia alata L) terhadap cacing tambang anjing secara In vitro. Daun Cassia alata L diketahui mengandung alkaloid, flavonoid, tanin, saponin dan antrakinon. Daya antihelmintik air rebusan daun ketepeng didugadisebabkan oleh senyawa aktif saponin yang menghambat mengalami
kerja
kholinesterase
paralisis
spastik
otot
sehingga yang
cacing
akhirnya
akan dapat
menimbulkan kematian. Kemudian Tiwow et al, (2013) meneliti efek antelmintik ekstrak etanol biji pinang (areca Catechu) terhadap cacing ascaris lumbricoides dan Ascaridia galli secara in vitro.
Diketahui
(C8H13NO2),
mengandung
arekolidin,
alkaloid,
arekain,
seperti
guvakolin,
arekolin
guvasin
dan
isoguvasin, tanin, flavan, senyawa fenolik, asam galat, getah, lignin (Wang et al, 1996). Ekstrak etanol biji pinang mengandung senyawa tanin yang mampu menghambat enzim dan merusak
5
membran sel. Senyawa tanin memiliki kemampuan denaturasi protein menyebabkan protein pada permukaaan tubuh cacing terdenaturasi sehingga permukaan tubuh cacing menjadi tidak permeabel lagi terhadap zat di luar tubuh cacing. Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, maka dapat dilihat bahwa kandungan kimia yang bermanfaat sebagai antihelmintik adalah saponin, mimosin, dan tanin. Penelitian lain yang dilakukan oleh Medica et al, (2004) menyebutkan bahwa hasil penapisan fotokimia ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum americanum L.) menunjukkan adanya golongan
senyawa
flavonoid,
saponin,
tanin
dan
triterpenoid/steroid. Meskipun daun kemangi memiliki kandungan kimia seperti saponin dan tanin, yang menurut teori bisa membunuh cacing, belum ada penelitian yang menyebutkan secara ilmiah bahwa daun kemangi bisa bermanfaat sebagai antihelmintik. Tanaman kemangi juga secara tersirat terdapat dalam al-Qur‟an surat Ar-rahman ayat 12 ;
ٌُص ِ َوان َّر ْي َحا ْ َوا ْن َح ُّ ُ و ا ْن َع Artinya : Dan biji-bijian yang berkulit dan berbunga yang baunya harum. Seperti pada ayat diatas kemangi juga termasuk pada tanaman yang dimaksud pada ayat tersebut kemangi mempunyai biji, berkulit, berbunga dan mempunyai bau harum yang khas. untuk mengetahui seberapa besar efek antihelmintik yang dimiliki oleh tumbuhan kemangi yang juga mengandung tanin dan saponin maka perlu dilakukan penelitian tentang “Efek antelmintik infusa daun kemangi (Ocimum Sanctum L.) terhadap waktu paralisis atau kematian cacing babi ( Ascaris suum goeze ) secara in vitro.”
6
B.
Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi untuk menguji efek anthelmintik infusa daun kemangi (Ocimum Sanctum L.) terhadap waktu paralisis atau kematian cacing gelang babi (Ascarissuum Goeze)
secara in
vitro.
C.
Rumusan Masalah 1. Apakah infusa daun kemangi (Ocimum Sanctum L.) memiliki aktivitas anthelmintik terhadap cacing gelang babi (Ascaris suum Goeze) secara in vitro 2. Berapakah konsentrasi infusa daun kemangi (Ocimum Sanctum L.) yang berefek sebagai anthelmintik terhadap cacing gelang babi (Ascaris suum Goeze). 3. Seberapa
besar
efek
antelmintik
infusa
daun
kemangi
dibandingkan dengan obat piperazin.
D.
Tujuan Penelitian 1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek anthelmintik infusa daun kemangi (Ocimum Sanctum L.) terhadap waktu paralisis atau kematian cacing gelang babi (Ascaris suum Goeze) secara in vitro. 2. berapa konsentrasi yang dibutuhkan infusa daun kemangi untuk anthelmintik terhadap cacing gelang babi (Ascaris suum Goeze). 3. Berapa konsentrasi infusa daun kemangi yang memiliki efek antelmintik terhadap cacing gelang babi (Ascaris suum Goeze) serta membandingkan dengan obat piperazin
7
E.
Manfaat Penelitian 1. Mengetahui efek antelmintik infusa daun kemangi (Ocimum Sanctum L.) terhadap waktu paralisis atau kematian cacing gelang babi in vitro. 2. Memberi
kemungkinan
untuk
dibuatnya
preparat
obat
antelmintik baru dari infusa daun kemangi (Ocimum Sanctum L). 3. Memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat tentang manfaat daun kemangi (Ocimum Sanctum L) sebagai terapi antelmintik.
8
F.
Keaslian Penelitian Terdapat beberapa penelitian yang memiliki persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan, namun terdapat juga perbedaan. Adapun penelitiannya yaitu sebagai berikut : Tabel 1.1 Keaslian peneliti Judul Efek antihelminti k ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum americanu m L.) Terhadap kematian Ascaris suum Goeze sp Secara in vitro
Nama
Okkie mharga sentana
Tempat
Fakultas kedokteran Universitas sebelas maret Surakarta
Tahun
Persamaan
Perbedaan
2010
Sampel yang digunakan Tanaman kemangi, objek yang Sediaan digunakan yang cacing digunakan Ascaris suum Goeze dan metode yang digunakan in vitro
Uji efek antelmintik infus biji pinang sirih (areca catechu l) terhadap cacing gelang (ascaris suum).
Adeanne C. Wullur
Poltekkes Depkes Manado
2010
Sediaan yang digunakan infusa dan Tanaman objek yang yang digunakan digunakan cacing Ascaris suum Goeze
Uji efek antelmintik ekstrak etanol biji pinang (areca catechu) terhadap cacing ascaris lumbricoide s dan ascaridia galli secara in vitro
Debra Tiwow, Widdhi Bodhi, Novel S.Kojong
Fakultas mipa unsrat manado
2013
Metode yang Tanaman, digunakan in dan cacing vitro
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Kajian Teori 1. Kemangi (Ocimum Santum L.) a. Taksonomi Divisi
: Spermatophtya
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Tubiflorae
Suku
: Labiatae
Marga
: Ocimum
Jenis
: Ocimum Sanctum L (Tjitrosoepomo, 2002)
b. Nama daerah tumbuhan Surawung, ruku-ruku, klampes (Sunda); Kemangi (Jawa); Kemanghi (Madura); Balakama (Manado); Uku-uku (Bali); Lufe-lufe (Ternate); Ruruku (Maluku); Baramakusa (Minahasa); Hairy Basil (Inggris) (Adhyana dan Firmansyah, 2006; Ciptadi, 1998; Hariana, 2007). c. Deskripsi tumbuhan Kemangi (Ocimum Sanctum L.) merupakan tanaman semak yang tumbuh semusim. Tumbuhan ini banyak ditemukan di Pulau Jawa dan Madura, terutama di pinggiran ladang, sawah kering, juga ditanam di taman, di pinggiran jalan, hutan terbuka, padang rumput, liar di jalanan, dan kadang-kadang dibudidayakan. Tanaman ini juga dapat tumbuh pada ketinggian 1-1100 m di atas permukaan laut (Sudarsono et al, 2002). Karakteristik kemangi yaitu perawakan : herba tegak / semak, tajuk membulat, bercabang banyak, sangat harum, tinggi 0,3m 1,5m ; batang : batang pokok tidak jelas,
9
bercabang banyak, hijau sering keunguan, berambut atau tidak; daun : tunggal, berhadapan, helaian daun bulat telur– elip–memanjang, ujung meruncing-runcing/tumpul, tangkai daun 0,25-3 cm, pangkal bangun pasak sampai membulat, dikedua permukaan berambut halus, berbintik-bintik, tepi daun bergerigi lemah–bergelombang rata; bunga : susunan majemuk berkarang / tandan, terminal, 2,5-14 cm, diketiak daun ujung, daun pelindung elip/bulat telur, panjang 0,5-1 cm; kelopak : berjumlah 5 saling berlekatan membentuk bibir, 1 membentuk bibir atas, bentuk bulat telur 2-3,5mm, 1 bibir buah membentuk 4 gigi, sisi luar berambut kelenjar, ungu atau hijau; mahkota : berbibir, 3 bibir atas, 2 bibir bawah, panjang tabung 1,5-2mm, cuping mahkota 3-5mm, putih; benang sari : berjumlah 4, tersisip di dasar mahkota, ada 2 yang panjang; putik : kepala putik bercabang dua, tidak sama; buah : kelopak ikut menyusun buah, buah tegak dan tertekan (Sudarsono et al, 2002). d. Kandungan kimia Bahan-bahan kimia yang terkandung di seluruh bagian tanaman kemangi di antaranya adalah 1,8 sineol, anethol, apigenin fenkhona, stigmaasterol, triptofan, tannin, sterol, dan boron (Hariana, 2007 ; Dharmayanti, 2003) Hasil penapisan
fitokimia
ekstrak
daun
kemangi
(Ocimum
americanum Lamiaceae) menunjukkan adanya golongan senyawa flavonoid, saponin, tanin dan triterpenoid/steroid (Medica et al, 2004). Sementara itu, daun kemangi juga mengandung
minyak
atsiri
dengan
eugenol
sebagai
komponen utamanya. Biji kemangi mengandung saponin, flavonoid, dan polivenol (Mangoting et al, 2005).
10
e. Kandungan
Daun
Kemangi
yang
Mempunyai
Efek
Antelmintik. Dalam beberapa literatur, belum ada penelitian ilmiah yang menyebutkan bahwa kemangi (Ocimum Sanctum L.)dapat berkhasiat sebagai antihelmintik. Hasil penapisan fitokimia ekstrak daun kemangi telah menunjukkan bahwa daun tumbuhan ini mengandung bahan kimia yaitu tanin, saponin, triterpenoid/steroid, dan flavonoid. (Medica et al, 2004) Beberapa kandungan kimia tersebut yang memiliki sifat antihelmintik adalah tanin dan saponin. Tanin merupakan salah satu jenis senyawa yang termasuk ke dalam golongan polifenol. Senyawa tanin ini banyak dijumpai pada tumbuhan. Tanin dahulu digunakan untuk menyamakkan kulit hewan karena sifatnya yang dapat mengikat protein. Selain itu juga tanin dapat mengikat alkaloid dan gelatin. Tanin memiliki peranan biologis yang kompleks. Hal ini dikarenakan sifat tanin yang sangat kompleks mulai dari pengendap protein hingga pengkhelat logam. Tanin juga dapat berfungsi sebagai antioksidan biologis (Sulistiono, 2011). Saponin adalah suatu glikosida (senyawa yang terdiri atas gula dan bukan gula) yang bila dihidrolisis akan menghasilkan bagian aglikon yang disebut sapogenin dan bagian glikon (Tyler, 1976). Saponin mempunyai sifat larut dalam air dengan membentuk busa yang stabil sehingga akan terdapat pada sediaan infusa (Widowati, 1999). Saponin merupakan senyawa dengan rasa yang pahit dan mampu membentuk larutan koloidal dalam air serta menghasilkan busa jika dikocok dalam air. Senyawa ini dapat mengiritasi membran mukosa dan pada konsentrasi rendah dapat menyebabkan hemolisis darah merah. Saponin
11
dapat menurunkan tegangan permukaan dari larutan berair (Tyler, 1976). 2. Metode penelitian a. In vivo Dengan
hewan
utuh,
parameternya
perubahan
kelakuan atau gejala, atau parameter biokimia. Perlakuan prikebinatangan. In vivo bisa dikatakan sebagai melihat nasib obat dalam tubuh. b. In situ Dengan hewan utuh umumnya teranastesi sasaran perlakuan
atau
pengamatannya
pada
organ
tertentu
parameternya perubahan organ tersebut. Induksi sakit atau perubahan obat bisa oral atau cara pemberiannya lain atau lokal pada organ tersebut. Obat yang diujikan langsung disuntikan. Misalnya peristaltik usus. c. In vitro In vitro adalah eksperimen yang diluar tubuh hewan dengan organ atau sel terisolasi, keadan dijaga agar tetap hidup dan dalam suasana fisiolagis selama pengamatan. Perlu dilakukan kajian sifat organ atau sel, larutan fisiolagis yang digunakan tergantung sifat organ atau sel dan tujuan eksperimen. Parameter pengamatan terhadap perubahan organ atau sel, diperlu proses dan alat khusus seperti alat bedah, ruang steril atau kerja asepstik, organ bath, pencacat dengan atau tanpa amplifier. d. In silico Kehidupan atau gambaran yang disimulasikan dalam gambar dikomputer yang terdapat ramalan efek atau kajian. Pengamatan
perubahan
gambaran
dengan
pengkuran
tertentu. Digunakan dalam pengembangan obat dengan struktur analogi (Andreanus. 2009).
12
3. Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikkan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloida, falvonoida dan lain – lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilohan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM,2000). Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, diluar pengaruh matahari langsung (Ditjen POM, 1979). Metode ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa cara, yatu : a. Maserasi Maserasi
adalah
sederhana,menggunakan
proses pelarut
ekstraksi yang
yang
cocok
paling dengan
beberapa kali pengadukan pada temperature ruangan (kamar) (Ditjen POM, 2000). Maserasi digunakan untuk menyari zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung stirak, benzoin dan lain –lain. b. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi yang dilakukan dengan mengalirkan pelarut melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi.Prosesnya terdiri dari tahap pengembangan dan perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) secara terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.
13
c. Refluks Refluks adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi yang berkelanjutan dengan jumlah pekarut relatif konstan dengan adanya pendingin baik. d. Digesti Digesti adalah maserasi konetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar) yaitu secara umum dilakukan pada temperature 400-500C e. Infus Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur pemanasan air (bejana infus tercelup dalam air penangas air mendidih), temperature terukur (96-980C) selama waktu tertentu (15-20 menit). f. Dekok Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dengan temperature titik didih air. g. Destilasi Uap Destilasi uap adalah ekstraksi senyawa menguap (minyak atsiri) dari bahan (segar atau simplisia) dengan uap air
berdasarkan
peristiwa
tekanan
parsial.
Senyawa
menguap akan terikut dengan fase uap air dari ketel secara kontinu dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran (senyawa kandungan menguapn ikut terdestilasi) menjadi destilat air bersama senyawa kandungan yang memisah sempurna atau memisah sebagian (Ditjen POM, 2000). 4. Infusa Infusa adalah sediaan cair hasil penyarian simplisia nabati menggunakan air pada suhu 90 0C selama 15 menit. Infusa dibuat dengan cara mencampur simplisia dengan derajat
14
halus yang sesuai dalam panci dengan air secukupnya, kemudian dipanaskan di atas penangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu 900C sambil sekali-kali diaduk. Campuran disaring selagi panas melalui kain kassa, ditambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infusa yang dikehendaki (Sarwono, 2006). Penyarian dengan metode ini menghasilkan sari/ekstrak yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu, sari yang diperoleh dengan cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam. Pembuatan campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok dalam panci dengan air secukupnya. Panaskan tangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu mencapai 90o C sambil sesekali diaduk. Serkai selagi panas melalui kain flannel, tambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infus yang dikehendaki. Infus simplisia yang mengandung minyak atsiri diserkai setelah dingin. Infus simplisia yang mengandung lendir tidak boleh diperas. Pada pembuatan infus simplisia yang mengandung
glikosida
antrakinon,
ditambahakan
natrium
karbonat 10% dari bobot simplisia. Kecuali dinyatakan lain dan kecuali simplisia yang tercantum dalam Farmakope Indonesia, infus yang mengandung bukan bahan khasiat keras, dibuat dengan menggunakan 10% simplisia, untuk pembuatan 100 bagian infus (Farmakope Indonesia Edisi III, 1979 :12 ). Pembuatan
infusa
merupakan
cara
yang
paling
sederhana untuk membuat sediaan herbal dari bahan lunak seperti daun dan bunga. Infusa dapat diminum dalam keadaan panas atau dingin (Tapan, 2004). Terdapat keunggulan dan kelemahan dalam metode infusa,
salah
satu
keunggulannya
adalah
biaya
yang
dibutuhkan relatif murah, mudah di aplikasikan kepada
15
masyarakat dan dapat menyari simplisia dengan pelarut air dalam
waktu
singkat
(Wijayanti,
2008).
Terdapat
juga
kelemahan infusa diantaranya sari/ekstrak yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu, sari yang diperoleh dengan cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam. 5. Antelmintik Menurut Samodra (2003), antihelmintik berasal dari kata anti yang berarti melawan dan helminth berarti cacing. Jadi antihelmintik adalah obatobatan yang membebaskan tubuh dari infeksi cacing, baik yang berada dalam saluran pencernaan maupun jaringan lain. Obat cacing digolongkan menjadi dua yaitu vermivuga dan vermisida. Vermifuga adalah obat cacing yang pada dosis terapinya dapat mengeluarkan cacing tanpa mematikan, sedangkan Vermisida adalah obat cacing yang pada dosis terapinya dapat mengeluarkan cacing yang dimatikannya. Menurut Siswandono dan Soekarjo (1995), mekanisme reaksi antihelmintik ada 4 yaitu : a. Kerja langsung yang dapat menyebabkan narkosis (tidak sadar), paralisis (lumpuh), atau kematian cacing, sebagai contoh levamisol, pirantel pamoat dan piperazin. b. Efek iritasi dan merusak jaringan cacing sebagai contoh heksil resorsinol. c. Efek mekanis yang menyebabkan kekacauan pada cacing, terjadi perpindahan dan kehancuran cacing oleh fagositosis, sebagai contoh tiabendazol, mebendazol. d. Penghambatan enzim tertentu, sebagai contoh levamisol, pirantel pamoat.
16
6. Askariasis a. Etiologi Askariasis adalah penyakit yang diakibatkan oleh infestasi cacing Ascaris Lumbricoides, Linn atau cacing gelang. Ascaris Lumbricoides, Linn adalah cacing bulat yang besar dan hidup dalam usus halus manusia. Cacing ini terutama tumbuh dan berkembang pada penduduk di daerah yang beriklim panas dan lembab serta sanitas iburuk (Sudoyo, dkk., 2007). b. Epidemiologi Prevalensi askariasis di Indonesia tergolong tinggi, terutama pada anak. Frekuensinya antara 60-90%. (Pohan, 2006) Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah
pohon,
pembuangan
di
tempat
sampah.
mencuci,
(Margono
dan
dan
di
tempat
Abidin,
2003)
Prevalensi askariasis pada anak balita di daerah pesisir di Semarang utara, berkisar antara 34%-73% dan pada anak usia sekolah dasar 38%-98%. (Hestiningsih dkk, 2004). c. Patogenesis dan Patofisiologi Patogenesis
yang
disebabkan
infeksi
Ascaris
lumbricoides berhubungan dengan respon imun hospes, efek migrasi larva, efek mekanik cacing dewasa, defisiensi gizi akibat keberadaan cacing dewasanya. (Garcia, 1996) Perjalanan larva melalui hati dan paru pada infeksi ringan biasanya tidak menimbulkan gejala-gejala, tetapi pada infeksi
yang
berat
dapat
menimbulkan
tanda-tanda
pneumonitis. Pada infeksi berat, larva yang pertama kali menembus jaringan paru masuk ke dalam alveoli akan menimbulkan sedikit kerusakan pada epitel bronkhial. Tetapi jika terjadi reinfeksi dan migrasi larva berikutnya, hal ini
17
dapat menimbulkan reaksi jaringan yang hebat. Reaksi jaringan yang hebat itu terjadi di sekitar larva di dalam hati dan paru, disertai infiltrasi eosinofil, makrofag, dan sel-sel epiteloid. Keadaan ini disebut sebagai pneumonitis Ascaris dengan disertai reaksi alergik yang terdiri dari dispnea, batuk kering, atau batuk produktif, mengi atau ronkhi kasar, demam ( 39,90 C – 400 C), eosinofilia yang bersifat sementara, dan rontgen foto paru mengarah kepada pneumonia virus (Garcia, 1996). Terdapatnya cacing dewasa dalam usus biasanya tidak menyebabkan kelainan kecuali jumlahnya banyak sekali, karena cacing-cacing tersebut menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus. (Margono dan Abidin, 2003) Migrasi cacing dapat terjadi karena rangsangan seperti demam (biasanya di atas 38,90 C), penggunaan anestesi umum, atau kondisi abnormal lainnya. Migrasi ini dapat menimbulkan obstruksi usus; masuk ke dalam saluran empedu, saluran pankreas, atau tempat-tempat kecil lainnya; masuk ke dalam hati atau rongga peritonium. Dapat juga bermigrasi ke luar melalui anus, mulut atau hidung. Bagian tubuh lainnya seperti ginjal, appendiks, rongga pleura dapat terkena juga. (Garcia, 1996) Infeksi berat pada anak-anak, terutama di bawah 5 tahun, dapat menimbulkan gangguan gizi berat (Margono dan Abidin, 2003). d. Gejala Klinik Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Selama bermigrasi larva dapat menimbulkan gejala bila merusak kapiler atau dinding alveolus paru seperti terjadinya perdarahan, penggumpalan sel
leukosit
dan
eksudat,
yang
akan
menghasilkan
konsolidasi paru dengan gejala panas, batuk, batuk darah,
18
sesak nafas, dan pneumonitis askaris. (Pohan, 2006) Larva cacing ini dapat menyebar dan menyerang organ lain seperti otak, ginjal, mata, sumsum tulang belakang dan kulit. Dalam jumlah sedikit, cacing dewasa akan menimbulkan gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare, konstipasi, atau bahkan tidak menimbulkan gejala sama sekali. Bila infestasi tersebut bertambah berat akan menunjukkan gejala obstruksi usus (ileus). (Pohan, 2006) Cacing dewasa dapat juga menyebabkan gangguan nutrisi terutama pada anak-anak. Cacing ini dapat menyebabkan sumbatan
pada
saluran
empedu,
saluran
pankreas,
divertikel, dan usus buntu. Selain hal tersebut di atas, cacing ini dapat juga menimbulkan gejala alergik seperti urtikaria, gatal-gatal, dan eosinofilia. Cacing dewasa dapat ke luar melalui mulut dengan perantaraan batuk, muntah atau langsung ke luar melalui hidung (Pohan, 2006). 7. Cacing Gelang Babi (Ascarissuum, Goeze) a. Taksonomi Kingdom
: Animalia
Subkingdom
: Metazoa
Filum
: Nemathelminthes
Kelas
: Nematoda
Subkelas
: Scernentea
Ordo
: Ascaridia
Superfamilia
: Ascarididea
Famili
: Ascarididae
Genus
: Ascaris
Spesies
: Ascaris suum, Goeze (Loreille, 2003)
b. Morfologi dan siklus hidup Cacing Ascaris suum, Goeze atau disebut juga Ascaris suilla, secara morfologi hampir sama dengan Ascaris
19
lumbricoides, Linn. Perbedaan morfologi terdapat pada deretan gigi dan bentuk bibirnya. Ascaris suum memiliki siklus hidup dan cara infeksi yang sama dengan Ascaris lumbricoides (Miyazaki, 1991). Ascaris suum, parasit yang terdapat pada babi, namun bisa berkembang menjadi dewasa pada usus manusia terutama di bagian depan usus halus, dan juga menyebabkan ‘larva migrans’. Seperti halnya pada cacing dewasa Ascaris lumbricoides, cacing dewasa Ascaris suum terdapat di usus halus dan gampang dilihat karena panjangnya 12-50 cm (Williamson, 1993). Morfologi tubuh cacing ini memikili tubuh simetris bilateral, bulat panjang (gilig), mempunyai saluran pencernaan, memiliki rongga badan palsu atau sering disebut
Tripoblastik
pseudoselomata. Cacing betina dewasa tinggal pada saluran pencernaan, dan mampu bertelur sebanyak 200.000 butir per hari. Di mana telur-telur yang keluar kemudian berkembang pada media tanah di dalam feses (Subroto, 2001). Telur Ascaris suum yang dibebaskan bersama feses sangat tahan terhadap udara dingin, panas, dan kekeringan. Di tanah yang hangat dan lembab telur mengalami embrionase hingga terbentuk larva stadium satu, dua, dan tiga. Stadium terakhir tersebut dapat dicapai dalam waktu kurang lebih 3 minggu untuk menjadi bentuk infektif dan dapat menyebabkan hospes lain tertular. Bentuk infektif ini, apabila tertelan oleh hospes definitif, lalu menetas di usus halus dan kemudian menembus dinding usus halus, dapat mencapai sistem porta dan mengikuti aliran darah sampai bronkhus, paru paru, tenggorok, kemudian ke faring. Setelah mencapai faring, cacing Ascaris suum ini dapat ikut tertelan bersama dengan makanan, air minum, atau saliva dan
20
akhirnya akan sampai ke usus halus lagi untuk tumbuh menjadi dewasa sampai akhirnya bertelur kembali dalam kurun waktu kurang lebih 5 minggu (Subroto, 2001).
Gambar 2.1 Siklus Hidup Ascaris Suum, Goeze (Sumber : Loreille, 2003)
c. Aspek Klinis Bila jumlah cacing yang menginfeksi mencapai 250 ekor dapat menghambat usus halus dan saluran empedu yang mana menyebabkan kehilangan selera makan, muntah, dan
kematian.
Dan
pada
infeksi
bentuk
larva
bisa
menyebabkan kerusakan hepar babi serta pneumonia bila mencapai paru-paru (Queensland Government, 2004). Infeksi menyebabkan
Ascaris efek
suum negatif
pada secara
manusia
dapat
mendadak
pada
kesehatan seperti anemia, diare malnutrisi (Claerebout, 2009).
21
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi kelangsungan
hidup
Ascaris suum Goeze. 1) Suhu Suhu ideal untuk pertumbuhan telur dan larva cacing Ascaris suum berkisar antara 23ºC sampai 30ºC (Rasmaliah, 2001). 2) pH Pertumbuhan cacing dapat optimal dengan pH ideal yaitu
6-7,2.
Apabila
terlalu
asam,
maka
dapat
mengganggu pertumbuhan dan daya berkembang biak cacing (Rasmaliah, 2001). 3) Lingkungan Lingkungan
sangat
berpengaruh
terhadap
kehidupan dan perkembangan cacing, di mana lingkungan yang baik bagi cacing di luar habitat aslinya yaitu keadaan yang
lembab
percobaaan,
dan saat
basah. sebelum
Keadaan
pada
melakukan
tempat
percobaan,
maupun sesudah percobaan juga mempengaruhi kondisi cacing (Rasmaliah, 2001). 4) Kelembaban Kelembaban sangat mempengaruhi perkembangan cacing, kelembaban cacing dengan keadaan pada saat cacing ditempatkan di luar habitat aslinya harus dalam keadaan basah. Kelembaban juga faktor penting untuk mempertahankan hidup cacing, kelembaban tanah pada cacing tergantung pada curah hujan (Suriptiastuti, 2006). 8. Obat Antelmintik a. Piperazin Merupakan obat pilihan utama, diberikan dengan dosis sebagai berikut : berat badan 0-15 kg : 1 gr sekali sehari selama 2 hari berturut-turut; berat badan 15-25 kg : 2
22
gr sekali sehari selama 2 hari berturut-turut; berat badan 2550 kg : 3 gr sekali sehari selama 2 hari berturut-turut; berat badan lebih dari 50 kg : 3 ½ g sekali sehari selama 2 hari berturut-turut. Satu tablet obat ini mengandung 250 mg dan 500 mg piperazin. Efek samping penggunaan obat ini adalah pusing, rasa melayang, dan gangguan penglihatan (Pohan, 2006). b. Pirantel pamoat Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis 10 mg/kg berat badan, maksimum 1 gr. Efek samping obat ini adalah rasa mual, muntah, diare, pusing, ruam kulit, dan demam. (Katzung, 1998) Pirantel pamoat menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi impuls, sehingga cacing mati dalam keadaan spastis. Pirantel
pamoat
juga
berefek
menghambat
enzim
kolinesterase, terbukti pada askaris meningkatkan kontraksi ototnya (Sukarban dan Santoso, 2003). c. Levamisol. Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis tunggal 150 mg (Pohan, 2006). d. Albendazol. Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis tunggal 400 mg. (Pohan, 2006) Efek samping obat ini adalah diare, sakit kepala, mual, lesu, susah tidur pada 6% penderita, gangguan epigastrik ringan. Kontra indikasinya yaitu pada anak kurang dari 2 tahun, wanita hamil, penderita sirosis (Katzung, 1998). e. Mebendazol. Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis 100 mg, 2 kali sehari selama 3 hari (Pohan, 2006). Efek samping obat ini adalah mual ringan, muntah, diare, nyeri perut, gatal,
23
kulit kemerahan, eosinofilia, demam, nyeri muskuloskeletal, iritasi lambung, fungsi hati abnormal (Katzung, 1998).
B.
Hasil Penelitian Yang Relevan Pada penelitian Sentana (2010). Berjudul efek antihelmintik ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum americanum L.) Terhadap kematian Ascaris suum Goeze sp secara in vitro tahun 2010 di fakultas kedokteran universitas sebelas maret surakarta memiliki kesamaan yaitu tanaman kemangi dan cacing sedangkan perbedaannya pada bentuk sediaan. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum Sanctum L.) dapat mempengaruhi kematian Ascaris suum Goeze sp secara In vitro pada konsentrasi yang telah ditentukan, dan LC50 ekstrak etanol daun kemangi adalah 40%, dan LT50 dari konsentrasi 40% adalah 2 jam.
24
C.
Kerangka Berpikir
Infusa daun kemangi (Ocimum Sanctum L.)
Uji Anthelmintik
Waktu Paralisis atau
Jumlah Paralisis atau
Kematian Cacing
Kematian Cacing
gelang babi (Ascaris
Gelang babi (Ascaris
suum Goeze)
suum Goeze)
Menit
Satuan Gambar 2.2 Kerangka berpikir
D.
Hipotesis Infusa daun kemangi memiliki efekanthelmintik terhadap waktu paralisis atau kematian cacing Ascari suum gozae secara in vitro semakin tinggi konsentrasi infusa daun kemangi semakin cepat kematian cacing.
25
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran, Q.S yunnus:57 Al-Quran, Q.S Ar-rahman ayat 12 Ditjen POM.(1979). “ Farmakope Indonesia
“ , Edisi 3,
DepartemenKesehatan RI, Jakarta. Ditjen
POM.
(2000).
Pengertian
Dekok.
Tersedia
dalam
http://www.informasiobat.com [diakses 13 Januari 2016] Faust, E.C., Russel, P.F., Jung, R.C. 1976. Clinical Parasitology. 8th ed. Philadelphia : Lea dan Febiger, p : 338. Garcia, L.S., Bruckner, D.A. 1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Jakarta : EGC, pp : 145 – 138. Gunawan, F. 2007. Uji efektivitas Daya Anthelmintik Perasan Buah Segar dan Infus daun Mengkudu (Morinda Citrifolia ) Terhadap Ascaridia Galli Secara In Vitro. Skripsi. Fakultas Kedokteran, UNDIP, Semarang. Hadist, HR. Abu Dawud dari Darda’ radhiallahu ‘anhu Harborne. 1987. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Terjemahan: K. Padmawinata, I. Sudiro. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Hariana, A. 2007. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Jakarta : Penebar Swadaya, pp : 27 – 26. Hestiningsih dkk. 2004. Identifikasi Jenis Cacing Perut pada Anak Usia Balita di Daerah ROB Kecamatan Semarang, Utara Kotamadya Semarang. http://www.undip.ac.id/riset/riset_pub_fkm.htm (27 Februari 2004) Katzung B.G. 1998. Farmakologi dasar dan Klinik. Jakarta : EGC, pp : 857 – 837. Loreille, O., & Bouchet, F. 2003. Evaluation of Ascaris in Human and Pigs: A Multi-Disciplinary Approach.
Kuntari, T. 2008. Daya Antihelminthik Air Rebusan Daun Ketepeng. Jurnal Logika. 5 : 8 – 2. Makkar, H.P.S. 2002. Appications of the in vitro gas method in the evaluation of the feed Resources, and enchancement of nutrional value of tanin –rich tree /browse and agro industrial by-product. Di dalam: Develotment and Field Evaluation of Animal feed Suuplementation Packegas. IAEA TECDOC -1294. Austria : IAEA. Hlm 23-40 Mangoting, D., Irawan, I., Abdullah, S. 2005. Tanaman Lalap Berkhasiat Obat. Jakarta : Penebar Swadaya, pp : 42 – 3. Margono,
S.S.,
Abidin,
S.A.N.
2003.
Nematoda
usus
in
Parasitologi Kedokteran. Jakarta ; Gaya baru, pp : 11 – 8. Medica, V., Ruslan, W., Nawawi, A. 2004. Telaah Fitokima Daun Kemangi (Ocimum americanum L). Fakultas Farmasi Institut Teknologi Bandung. Skripsi. Miyazaki, I. 1991. Helminthic Zooneses. Tokyo : International Medical Foundation of Japan, pp : 305 – 290. Noble, E.R. dan Noble, G.A. 1989. Parasitologi : Biologi Parasit Hewan. Jogjakarta : Gadjah Mada University, pp : 600 – 9. Onggowaluyo, J.S. 2002. Parasitologi Medik I. Jakarta : EGC, pp : 15 – 12. Pohan, H.T. 2006. Penyakit Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah in Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, p : 1786. Pohan.Imbalo.2007.Jaminan Mutu Layanan Kesehatan : DasarDasar Pengertian Dan Penerapan. Jakarta: EGC Rasmaliah. 2001. Askariasis dan Cara penanggulangannya. Tersedia di URL: http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkmrasmaliah.pdf
Sadono, 2001.Daya Anthelmintik Infus Daun Mengkudu (Morinda citrifolia L) terhadap Ascaridia Galli secara in vitro. Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma,Yogyakarta. Skripsi Samodra,L. 2003. Daya Anthelmintik Infus Daun Sirsak (Annona Muricata L) terhadap Cacing Fasciola gigantic secara in vitro.
Fakultas
Farmasi
Universitas
Sanata
Dharma,Yogyakarta. Skripsi Sarwono, J. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Graha Ilmu. Yogyakarta Shoff W.H. 2008. Ascariasis. Emedicine [serial online] tersedia di URL:
http://emedicane.medscape.com/article/996482-
overview Sirait M.2007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Bandung :Institut Teknologi Bandung, 129-156, 170, 213-217. Siswandono & Soekarjo, B. 1995. Kimia Nedisinal. Surabaya: Airlangga University Press Sudarsono, Gunawan, D., Wahyuono, S., Danatus, I.A., Purnomo. 2002. Tumbuhan Obat II. Yogyakarta : Pusat Studi Obat Tradisional, pp : 136 – 8. Sukarban, S. dan Santoso, S.O. Antelmintik in Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Gaya Baru, p : 530. Supriastuti. 2006. Infeksi soil transmitted helminth: Ascariasis, trichuriasis dan cacing tambang. Universa medicina. Vol 25 No.
2.
Tersedia
di
URL:
http://www.univmedorg/wp-
content/uploads/201204/Tutik.pdf. Soeharsono. 2002. Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Volume 1. Yogyakarta: Kanisius. 79-80. Syahid. 2006. Pengaruh Efek Antihelmintik Ekstrak Putri Malu (Mimosa pudica) terhadap Ascaris suum Goeze Secara In Vitro. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Skripsi
Tiwow.D et al.(2013). Uji Efek Antelmintik Ekstrak Etanol Biji Pinang
(Areca
Catechu)
Terhadap
Cacing
Ascaris
Lumbricoides Dan Ascaridia Galli Secara In Vitro. Program Studi Farmasi Fakultas MIPA UNSRAT Manado.Skripsi Tjitrosoepomo, G. 2002. Taksonomi tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta : Gajah Mada University Press, pp : 377 – 374. Utari Cr. S. 1997. Cacing-Cacing Gilig. Surakarta: Universitas Sebelas Maret, p :12. Wang, C.K., and Lee, W.H. 1996. Separation, Characteristics, and Biological Activities of Phenolics in Areca Fruit. J. Agric. Food Chem. 44: 2014 -2019 Yamaguchi T. 1994. Rasa sakit di abdomen dan Gejala-gejala Gastroinal.
Editor:Maylani
Handojo.,
Peter
Anugerah.
Dalam: Atlas Berwarna Parasitologi Klinik. Jakarta: EGC. H. 177-180