0
DAYA BUNUH EKSTRAK DAUN KEMANGI UNGU (Ocimum sanctum) TERHADAP LARVA Anopheles aconitus
SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
USTAVIAN HASANAH G 0006166
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Anopheles adalah vektor penyakit malaria. Penyakit ini merupakan salah satu momok kesehatan masyarakat yang sangat penting di dunia. Malaria adalah penyebab utama terjadinya kematian di banyak negara berkembang terutama pada anak-anak dan ibu-ibu hamil sebagai kelompok utama yang mudah terinfeksi. Malaria tersebar di sekitar 100 negara miskin di daerah tropis dan subtropis seperti India, Afganistan, Srilangka, Thailand, Vietnam, Kamboja, Cina, Filipina, Amerika Tengah, Meksiko, Afrika dan Indonesia (Sembel, 2009). Hampir separuh populasi Indonesia sebanyak lebih dari 90 juta orang tinggal di daerah endemik malaria dan diperkirakan ada 30 juta kasus malaria setiap tahunnya di Indonesia. Di Jawa Tengah dan Jawa Barat, malaria termasuk penyakit yang muncul kembali (re-emerging diseases) (Bappenas, 2009). Di Indonesia kawasan timur mulai dari Kalimantan, Sulawesi Tengah sampai ke Utara, Maluku, Irian Jaya dan dari Lombok sampai Nusa Tenggara Timur serta Timor Timur merupakan daerah endemik malaria. Beberapa daerah di Sumatra mulai dari Lampung, Riau, Jambi dan Batam kasus malaria cenderung meningkat (Sudoyo, 2007). Malaria adalah penyakit infeksi yang secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina (Depkes RI, 2003). Lebih dari 400 spesies Anopheles di dunia dan hanya sekitar 64 spesies yang telah terbukti mengandung sporozoit dan dapat menularkan malaria (Harijanto, 2000). Di 1
2
Indonesia telah ditemukan 24 spesies Anopheles yang menjadi vektor penting (Gambiro, 2007). Salah satunya adalah Anopheles aconitus yang telah dibuktikan sebagai vektor malaria di Cianjur, Purworejo, Banjarnegara, Jepara dan Wonosobo (Depkes RI, 1983). Upaya untuk menekan angka kejadian malaria dilakukan melalui Program Pemberantasan Malaria yang salah satu kegiatannya adalah pengendalian vektor untuk memutus mata rantai penularan malaria (Depkes RI, 2003). Menurut WHO (2007), pengendalian vektor adalah tindakan yang secara umum paling efektif untuk mencegah transmisi malaria. Pengendalian vektor ini antara lain pengendalian lingkungan, mekanik, kimiawi, fisik, biologik, genetika dan legislatif. Pengendalian yang dapat menekan populasi vektor dalam waktu singkat adalah secara kimiawi dengan insektisida. Namun, keburukan pengendalian ini adalah menimbulkan pencemaran lingkungan (Gandahusada dkk., 1998). Penggunaan insektisida dari bahan alami pun semakin tinggi karena semakin banyaknya resistensi nyamuk terhadap insektisida sintetik (Seyoum et al., 2002). Oleh karena itu sekarang banyak dilakukan penelitian secara meluas untuk mencari bahan-bahan alami yang ramah lingkungan untuk digunakan sebagai pengontrol vektor untuk kepentingan kedokteran. Dibandingkan dengan senyawa sintetik lainnya, produk alami dianggap lebih aman penggunaannya. Kandungan kimia yang terdapat dalam ekstrak herbal tertentu dapat digunakan sebagai larvasida (Kweka et al., 2008). Salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai insektisida alami adalah daun kemangi ungu (Ocimum sanctum). Kemangi ungu mudah
3
ditemukan disekitar kita dan sering digunakan sebagai sayur lalapan (Tugiyanti, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Anees (2008) membuktikan bahwa ekstrak daun dan bunga kemangi ungu (Ocimum sanctum) bersifat sebagai larvasida bagi larva instar IV Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus. Kematian larva tertinggi ditemukan dalam ekstrak daun kemangi ungu dengan pelarut kloroform dan ethanol. Ocimum sanctum di India secara tradisi telah digunakan sebagai obat tradisional untuk demam malaria, kecacingan, repellen dan larvasida terhadap Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus. Sejak tahun 1965 di Jawa, Nyamuk Anopheles aconitus telah dilaporkan oleh Soerono,dkk telah resisten terhadap DDT dan dieldrin. Kemudian pada tahun 1982 tingkat resistensi ini mulai bertambah. Belakangan ini dilaporkan pula timbulnya resistensi vektor ini terhadap DDT di Jawa Timur dan Yogyakarta (Simanjuntak dkk., 1989). Dulu DDT sangat efektif dalam mengurangi kasus malaria. Kampanye antimalaria WHO yang sebagian besar menggunakan DDT sangat sukses di beberapa negara, namun sekarang nyamuk Anopheles aconitus telah resisten terhadap DDT (Okie, 2008). Larva pada umumnya termasuk larva Anopheles aconitus bersifat menetap, imobilisasi hidup di air dan mudah dikendalikan (Nour et al., 2009). Berdasarkan uraian diatas, ingin dibuktikan lebih lanjut apakah benar ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) memiliki efek larvasida terhadap larva Anopheles aconitus. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui efek larvasida ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) terhadap larva Anopheles aconitus.
4
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian, maka didapatkan permasalahan sebagai berikut : Apakah ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) memiliki efek larvasida terhadap larva Anopheles aconitus ?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek larvasida ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) terhadap larva Anopheles aconitus.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis a. Menambah pengetahuan dalam bidang fitofarmaka b. Menambah data khusus adanya efek larvasida ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) terhadap larva Anopheles aconitus, dengan adanya bukti-bukti empiris dalam penelitian. 2. Manfaat aplikatif a. Memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat ilmiah tentang manfaat ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) yang dapat digunakan sebagai larvasida. b. Membuka peluang kemungkinan pembuatan preparat larvasida dari ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum).
5
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Kemangi ungu (Ocimum sanctum)
Gambar 1. Ocimum sanctum (Sumber. Dattani, 2009) a. Nama Botani
:
Ocimum sanctum b. Taksonomi (Chopra, 2009) Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Superdivisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Sub Kelas
: Asteridae
Bangsa
: Lamiales
Famili
: Lamiaceae
Marga
: Ocimum
Spesies
: Ocimum sanctum
5
6
c. Nama Lokal (Dewi, 2009) Indonesia
: Kemangi ungu, selasih ungu
Sunda
: Surawung, Lampes
Madura
: Kemangek
Bali
: Uku-uku
Maluku
: Lufe-lufe
Inggris
: Holi basil
d. Deskripsi Tumbuhan Kemangi ungu adalah tanaman semak yang bertajuk membulat, bercabang banyak, sangat harum dan mempunyai tinggi antara 0,3-1,5 m. Batang pokoknya tidak jelas dan berwarna hijau sering keunguan, dapat berambut atau tidak. Daun kemangi ungu bersifat tunggal, berhadapan, dan panjang tangkai daun 0,25-3 cm. Helaian daun berbentuk bulat telur, elips sampai memanjang. Ujung daun meruncing-runcing atau tumpul, pangkal bangun pasak sampai membulat, di kedua permukaan daunnya berambut halus, berbitikbintik kelenjar yang rapat. Tepi daun kemangi ungu bergerigi lemah dan bergelombang rata. Bunga kemangi ungu tersusun secara majemuk berkarang atau tandan, terminal dan berukuran 2,5-14 cm terletak di ketiak daun ujung, daun pelindungnya berbentuk elips atau bulat telur, panjangnya 0,5-1 cm. Kelopak bunganya berlekatan berbentuk bibir, satu membentuk bibir atas, sedangkan satu bibir bawah membentuk 4 gigi. Sisi luarnya berambut kelenjar, berwarna ungu atau hijau. Mahkota
7
bunganya terdiri atas 3 bibir atas dan 2 bibir bawah. Panjang tabung mahkota adalah sekitar 1,5-2 mm, dan mahkota bunga kemangi ungu berwarna putih. Benang sari ada 4 tersisip di dasar mahkota. Kepala putik bercabang dua dan berukuran tidak sama. Buah juga dibentuk oleh kelopak. Buah kemangi ungu tegak dan tertekan. Ujungnya berbentuk kait melingkar dengan panjang kelopak buah antara 6-9 mm. Sedangkan biji kemangi ungu bertipe keras, berwarna coklat tua, gandul dan waktu biji dibasahi maka akan membengkak. (Sudarsono dkk., 2002) e. Habitat Di Indonesia kemangi ungu banyak terdapat di daerah Jawa dan Madura. Banyak ditemukan di sekitar pinggiran ladang, sawah kering, juga ditanam di taman dan di pinggir jalan, hutan terbuka, padang rumput,
tumbuh
liar
di
jalanan
dan
kadang-kadang
juga
dibudidayakan. Tanaman ini dapat tumbuh pada dataran rendah hingga ketinggian 1100 meter diatas permukaan air laut. Ocimum sanctum biasanya tumbuh antara pertengahan Februari sampai akhir September dan berbunga sekitar bulan April (Sudarsono dkk., 2002). f. Kandungan Kimia Secara keseluruhan tanaman kemangi ungu mengandung tanin dan saponin (Sudarsono dkk., 2002). Menurut Shashi,dkk (1991) zat saponin memiliki sifat sebagai larvasida. Sedangkan minyak atsiri dalam daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) mengandung aldehid,
8
alkaloid, asam askorbat, beta carotene, carvacrol, cineole, eugenol, eugenol-metil-eter,
glikosida,
linalol,
metil
chavicol,
limatrol,
caryofilin, asam ursolat, n-triacontanol dan fenol. Kandungan pada biji kemangi ungu antara lain beta-sitosterol, lemak, asam linoleat, asam linolenat, asam oleat, asam palmitat, pentosa dan protein (Duke, 2009; Singh et al, 2009; Sudarsono dkk., 2002). Kandungan kimia dari daun kemangi ungu yang bersifat larvasida adalah eugenol dan metil chavicol (Duke, 2009). Eugenol merupakan anggota dari kelas alilbenzena. Warnanya kuning jernih sampai kuning pucat. Bentuknya cairan berminyak yang diekstraksi dari tanaman tertentu, salah satunya dari Ocimum sanctum. Sifatnya sedikit larut dalam air namun mudah larut dalam pelarut organik. Aromanya menyegarkan dan pedas sehingga sering menjadi komponen untuk menyegarkan mulut. Senyawa ini dipakai dalam industri parfum, penyedap, minyak atsiri, obat pencuci hama dan pembius
lokal.
Dalam
industri,
eugenol
digunakan
dalam
memproduksi isoeugenol yang dipakai untuk membuat vanillin. Metil eugenol juga digunakan sebagai atraktan. Lalat buah jantan terpikat oleh metil eugenol karena senyawa ini mirip feromon seks yang dikeluarkan oleh betina (Harrison, 2007). Feromon merupakan bahan yang disekresikan oleh organisme dan berguna untuk berkomunikasi secara kimia dengan sesamanya dalam spesies yang sama. Berdasarkan fungsinya feromon seks termasuk dalam jenis feromon releaser yang memberikan pengaruh langsung terhadap sistem syaraf pusat individu
9
penerima untuk menghasilkan respon tingkah laku dengan segera (Nurnasari, 2009). Menurut Isman (1999) dan Tugiyanti (2008), eugenol yang dapat mempengaruhi sistem susunan saraf, khas dipunyai oleh serangga dan tidak terdapat pada hewan berdarah panas. Senyawa eugenol ini dapat menyebabkan kematian serangga tersebut. Selain itu eugenol dalam ekstrak daun kemangi ungu mampu menekan pertumbuhan nematoda pada tanaman lada. Metil chavicol atau estragol terbentuk dari cincin benzena yang bergabung dengan ikatan metoksi dan propenil. Metil chavicol biasanya digunakan dalam parfum dan zat perasa tambahan pada makanan (Nurnasari, 2009). Menurut Duke (2009) metil chavicol yang terkandung dalam Ocimum sanctum bersifat larvasida. Saponin
merupakan
senyawa
metabolit
sekunder
yang
dihasilkan beberapa spesies tanaman, terutama tanaman dikotil dan berperan sebagai bagian dari sistem pertahanan tanaman. Saponin merupakan senyawa glikosida kompleks dengan berat molekul tinggi (Suparjo, 2009). Ternyata saponin tanpa dicampur dengan apapun dapat berfungsi sebagai insektisida. Cara kerja saponin dalam meracuni serangga belum sepenuhnya diketahui dengan jelas. Pengaruh saponin terlihat pada gangguan fisik pada tubuh luar serangga (kutikula), yakni mencuci lapisan lilin yang melindungi tubuh serangga
dan
menyebabkan
kematian, karena serangga
akan
kehilangan banyak cairan tubuh. Beberapa kasus menunjukkan bahwa saponin dapat masuk melalui organ pernafasan dan menyebabkan
10
kerusakan membran sel atau mengganggu proses metabolisme (Novizan, 2002). Saponin juga mengandung steroid yang dapat menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva sehingga dinding traktus digestivus larva menjadi korosif (Shashi et al., 1991). g. Manfaat Kemangi ungu (Ocimum sanctum) mempunyai banyak khasiat, antara lain adalah : 1) Sebagai Obat Kemangi ungu berfungsi untuk menambah nafsu makan, membantu pencernaan, menyehatkan jantung, menurunkan panas, menghilangkan sesak napas, mengobati diare (Tugiyanti, 2008). Menurut beberapa penelitian juga telah membuktikan bahwa kemangi ungu mempunyai efek sebagai antikatarak, antiinflamasi, antilipidperoksidase, antioksidan, antistres, antitoksin, antitussif, antiulser, kemoprotektif, hepatoprotektif terhadap paracetamol, dan radioprotektif (Dattani, 2009). 2) Penghasil pestisida nabati Kemangi ungu berfungsi sebagai atraktan hama lalat buah atau pemikat hama lalat buah (Tugiyanti, 2008). 3) Fungisida, bakterisida, nematisida dan repellen Minyak atsiri daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) mempunyai aktivitas antibakteri terhadap S. aureus dan E. coli sehingga berfungsi sebagai antibiotika. Efek fungisidanya untuk
11
mengendalikan Pyricularia oryzae yang merupakan penyebab penyakit bercak dan busuk daun yang menyerang tanaman padi. Kandungan eugenolnya mampu menekan pertumbuhan nematoda (Tugiyanti, 2008). Selain itu kemangi ungu telah terbukti efektif digunakan sebagai repellen (Anees, 2008). 4) Penghasil minyak atsiri Minyak atsiri kemangi ungu berbau harum yang dikenal dengan nama basil oil, minyak ini digunakan sebagai bahan pembuatan parfum, shampo dan aroma terapi (Tugiyanti, 2008). 5) Sayuran dan minuman penyegar Daun kemangi ungu digunakan sebagai sayuran atau lalapan untuk menambah nafsu makan (appetizer). Selain daunnya, biji kemangi ungu juga sering dimanfaatkan sebagai bahan minuman penyegar. Biji kemangi ungu dapat menurunkan kolesterol, penambah daya ingat dan tonik (Tugiyanti, 2008). h. Ekstraksi Daun Kemangi Ungu (Ocimum sanctum) dengan Cara Perkolasi Proses ekstraksi dan evaporasi daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) menggunakan bahan pelarut ethanol 70 %. Menurut Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat
dan Obat
Tradisional (B2P2TO2T) Tawangmangu, langkah-langkah ekstraksi daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) dengan metode perkolasi adalah sebagai berikut :
12
1) Daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) dengan berat 1 kg diserbuk dengan mesin penyerbuk dengan saringan diameter lubang 1 mm. 2) Serbuk daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) ditimbang setelah dikeringkan sesuai dengan derajat kehalusan hingga diameter 1mm. 3) Serbuk tersebut dimasukkan dalam bejana kemudian dibasahi dengan pelarut ethanol 70% (10 bagian bahan dengan 2-5 bagian pelarut). Pelarut ethanol digunakan karena murah dan ekstrak dengan pelarut ini menyebabkan kematian larva tertinggi pada uji efek larvasida terhadap Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus. 4) Serbuk diaduk sampai rata, ditutup dan dibiarkan ditempat yang terlindung cahaya matahari selama 3 jam. 5) Alat perkolasi disiapkan lalu glass whole dimasukkan dalam perkolator dan dibasahi dengan pelarut ethanol. 6) Serbuk yang telah didiamkan tadi dimasukkan ke dalam perkolator sedikit demi sedikit lalu dimasukkan kertas saring. 7) Perkolator ditutup dengan aluminium foil yang tengahnya berlubang. 8) Corong pemisah dipasang di atas perkolator kemudian diisi dengan cairan pelarut. 9) Pelarut diteteskan pada perkolator dengan kecepatan 1 ml/menit kemudian didiamkan selama 24 jam, setelah itu pelarut dan ekstrak diteteskan secara bersamaan. 10) Didapatkan ekstrak sebesar 10 kali berat bahan.
13
11) Ekstrak diuapkan dalam vacuum rotary evaporator, sehingga didapatkan ekstrak kental. 12) Ekstrak kental daun kemangi ungu diuapkan di atas water bath untuk
menghilangkan
sisa
pelarut
lalu
ditimbang
hingga
mendapatkan bobot konstan. Ekstrak kental yang dihasilkan setelah penguapan pelarut adalah 100 gr. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO2T) Tawangmangu melakukan ekstraksi daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) dengan cara perkolasi karena proses pelarutannya lebih sempurna.
2.
Anopheles aconitus a. Secara taksonomis menurut Gandahusada (1998), Anopheles aconitus tergolong ke dalam : Filum
: Arthropoda
Kelas
: Insekta
Ordo
: Diptera
Sub ordo
: Nematocera
Famili
: Culicidae
Sub famili
: Anophelini
Genus
: Anopheles
Spesies
: Anopheles aconitus, Donitz
14
b. Morfologi 1) Morfologi Anopheles sp. Nyamuk Anopheles sp. berbeda jika dibandingkan dengan morfologi nyamuk Culicini, terutama mengenai bagian bagian badannya. Secara umum morfologi Anopheles sp. adalah sebagai berikut : Telur Anopheles diletakkan satu per satu di atas permukaan air sehingga berbentuk seperti perahu yang bagian bawahnya konveks dan bagian atasnya konkaf. Telur Anopheles mempunyai sepasang pelampung yang terletak pada sebelah lateral. Larva Anopheles terdiri atas caput, thorax dan abdomen dan mempunyai bagian-bagian yang bentuknya khas (Gandahusada dkk., 1998). Pupa Anopheles berbentuk setengah lingkar seperti koma ketika dilihat dari samping. Kepala dan thoraks bersatu menjadi cephalothoraks dengan abdomen yang membengkok di bagian bawah. Sama dengan ketika menjadi larva, pupa berenang di permukaan
untuk
bernafas
dengan
menggunakan
tabung
pernafasan (respiratory trumpet) yang bentuknya lebar, pendek dan tumpul (Depkes RI, 1983; Gandahusada dkk., 1998). Nyamuk Anopheles sp. dewasa seperti nyamuk pada umumnya mempunyai tubuh langsing dengan 3 bagian : kepala, thoraks dan abdomen. Pada kepala Anopheles terdapat antena yang berbeda antara nyamuk jantan dengan betina. Antena nyamuk
15
jantan berbulu panjang disebut plumose sedangkan antena nyamuk betina berbulu pendek (pilose) (Soedarto, 1989). Pada kepala juga terdapat proboscis yang berguna untuk menghisap darah dan terdapat pula dua palpus sensor (Depkes RI, 1983). Nyamuk Anopheles baik jantan maupun betina mempunyai palpus yang hampir sama panjang dengan proboscisnya. Perbedaannya adalah pada nyamuk jantan ruas palpus pada bagian apikal berbentuk gada (club form), sedangkan pada nyamuk betina ruas tersebut mengecil. Sayap pada kosta dan vena I ditumbuhi sisik-sisik sayap yang berkelompok membentuk gambaran belang-belang hitam dan putih. Bagian posterior abdomen tidak seruncing nyamuk Aedes dan tidak setumpul nyamuk Mansonia, tetapi sedikit melancip (Gandahusada dkk., 1998). Siphon berbentuk seperti cincin sehingga disebut spirakel pada stadium larva sangat pendek (Stojanovich et al., 1966). 2) Morfologi khas Anopheles aconitus Telur Anopheles aconitus berukuran 0,44mm x 0.18mm. Permukaan dorsal telur sempit seperti celah, lurus dengan sisi paralel, berwarna gelap, granular, dan polos kecuali bagian ujungnya. Permukaan ventralnya berwarna polos, biasanya menunjukkan beberapa tanda berbentuk poligonal tetapi tanpa ornamen berwarna pucat. Pelampung telur tidak berbatasan dengan tepi permukaan dorsal, sangat panjang, dan berukuran hampir sama dengan telur. Ujung pelampung sangat dekat dengan ujung telur
16
yang hanya berjarak 1/12 dari panjang telur. Terminasi pelampung berukuran panjang, sempit, dengan punggung pelampung yang tidak jelas. Punggung pelampung berjumlah sekitar 18-22 dan antara anterior-posterior sangat lebar (Christophers et al., 1931).
Gambar 2. Telur Anopheles aconitus (Sumber. Christophers et al., 1931)
Caput larva Anopheles aconitus terdiri atas antena yang tidak bercabang dan memiliki clypeal hairs yang tumbuh di depan frons clypeus yang terdiri atas inner, outer dan posterior. Anopheles aconitus memiliki clypeal hairs yang khas yaitu inner clypeal hairs berukuran sangat besar, berpigmen dan terdiri dari bulu-bulu yang bercabang pendek. Jarak antara inner clypeal hairs berjauhan. Sedangkan outer clypeal hairs
mempunyai panjang
setengah dari inner clypeal hairs, berukuran besar dan berbulu seperti duri. Sedangkan posterior clypeal hairs berukuran pendek
17
dan memiliki 3-5 cabang dari pangkal. Sutural hairs terdiri atas 2-6 cabang kecil dan transutural terdiri atas 5-6 cabang (Wepster et al., 1953; Depkes RI, 1989). Thorax larva Anopheles aconitus terdiri atas prothorax, mesothorax dan metathorax. Shoulder hairs pada prothorax berwarna gelap dengan inner submedian prothorax dan middle submedian prothorax bercabang lebat dan mempunyai dasar dengan warna yang mencolok yang bisa menjadi satu. Outer submedian prothorax kadang muncul dari basal tuberkel middle submedian prothorax. Thorax larva Anopheles aconitus juga terdapat bulu palma seperti pada abdomen (Wepster et al., 1953). Abdomen larva Anopheles aconitus terdapat bulu palma yang tumbuh mulai dari metathorax sampai segmen abdomen 1-7, dan hanya bulu palma pada segmen abdomen ke-2 sampai 7 yang lengkap dan berbentuk selebaran dengan filamen yang nyata berukuran 1/5-1/3 dari panjang mata pisau . Hair 0 pada tergal plate segmen 2-8 sangat sederhana atau bifida, muncul hanya dari tepi tergal plate. Tergal plate anterior pada segmen 3-4 berukuran sangat besar dengan tepi konveks yang meluas hingga setengah segmen dan melebihi lebar jarak antara bulu palma (Wepster et al., 1953; Depkes RI, 1989). Nyamuk dewasa Anopheles aconitus mempunyai ciri khas yaitu pada palpusnya terdapat 2 garis kecil berwarna pucat yang terletak antara palpus yang berwarna gelap. Pada vena 6 berwarna
18
pucat pada setengah proksimal vena dengan titik hitam pada bagian subbasal. Sedangkan pada setengah distal vena 6 berwarna gelap dengan garis pucat pada tengahnya (Wepster et al., 1953).
Gambar 3. Larva Anopheles aconitus (Sumber. Harrison, 1980)
19
c. Habitat Larva Anopheles aconitus banyak ditemukan di sekitar persawahan dengan saluran irigasi, tepi sungai pada musim kemarau, kolam ikan dengan tanaman rumput di tepinya (Inge, 2008). Tempat yang paling disenangi adalah tempat dengan air jernih yang mengalir lambat. Kepadatan mulai tinggi pada tanaman padi cukup tinggi yaitu antara 2-3 minggu (Depkes RI, 1983). Sedangkan tempat istirahat tetap nyamuk Anopheles aconitus dewasa lebih banyak di luar rumah (Gandahusada dkk., 1998). d. Siklus Hidup Siklus hidup nyamuk Anopheles aconitus seperti pada umumnya siklus nyamuk mengalami metamorfosis sempurna yaitu dari telur, larva, pupa hingga menjadi nyamuk dewasa. Stadium telur hingga pupa hidup di dalam air sedangkan stadium nyamuk dewasa hidup berterbangan (Gandahusada dkk., 1998). Anopheles aconitus membutuhkan waktu selama 10-14 hari sejak stadium telur hingga menjadi nyamuk dewasa pada iklim tropis (Centers for Disease Control and Prevention, 2008). Nyamuk menghasilkan 50-200 telur sekali bertelur. Telur nyamuk diletakkan satu per satu tanpa melekat satu sama lain pada permukaan air. Setelah satu sampai dua hari telur akan menetas dan keluarlah larva. Pada cuaca dingin, telur Anopheles aconitus dapat menetas setelah 2-3 minggu (Centers for Disease Control and Prevention, 2008).
20
Larva yang baru keluar masih halus seperti jarum dan dalam pertumbuhannya larva mengalami pelepasan kulit sebanyak 4 kali. Waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan larva antara 8-10 hari tergantung suhu dan keadaan makanan. Larva instar 4 awal adalah larva yang berumur 7 hari (Depkes RI, 1983). Dari stadium larva akan berkembang menjadi pupa atau kepompong yang merupakan stadium istirahat atau tidak makan. Pada stadium ini akan dibentuk alat-alat tubuh nyamuk dewasa dan alat kelamin untuk penentuan jenisnya (Depkes RI, 1983). Stadium pupa Anopheles ini memakan waktu 2-3 hari (Soedarto, 1989). Nyamuk dewasa pada umumnya kawin dalam beberapa hari setelah muncul dari stadium pupa. Pada kebanyakan spesies, nyamuk jantan membentuk kumpulan biasanya pada senja hari, dan nyamuk betina terbang ke kumpulan nyamuk jantan tersebut untuk kawin. Nyamuk betina biasanya kawin satu kali selama hidupnya. Perkawinan ini terjadi setelah 24-48 jam setelah nyamuk keluar dari kepompong (Depkes RI, 1983). e. Perilaku Aktivitas nyamuk Anopheles aconitus sangat dipengaruhi oleh kelembapan udara dan suhu. Umumnya Anopheles aconitus aktif menghisap darah hospes pada malam hari atau sejak senja sampai dini hari. Jarak terbang Anopheles aconitus biasanya 0,5-3 km, tetapi dapat
mencapai
puluhan
kilometer
karena
dipengaruhi
oleh
21
transportasi (kendaraan, kereta api, kapal terbang) dan kencangnya angin. Umur nyamuk dewasa di alam bebas 1-2 minggu, tetapi di laboratorium dapat mencapai 3-5 minggu. Nyamuk Anopheles aconitus dewasa lebih banyak yang zoofilik daripada antropofilik, menggigit di waktu senja sampai dini hari dan bersifat eksofagik yang berarti lebih senang menggigit di luar rumah. (Sutanto, 2008).
22
B. Kerangka Pemikiran Untuk menggambarkan hubungan berbagai variabel penelitian, maka dapat disusun kerangka pemikiran sebagai berikut. Ekstrak Daun Kemangi Ungu (Ocimum sanctum)
Metil chavicol : Belum Diketahui
Eugenol : Mempengaruhi Sistem Saraf
Saponin : Bersifat Korosif (Menurunkan Tegangan Permukaan Traktus Digestivus)
Efek Larvasida
Larva Anopheles aconitus Variabel Luar Terkendali
Variabel Luar Tidak Terkendali
Umur Larva Kepadatan Larva Tempat Hidup
Kesehatan Larva
Kualitas Air Volume Air
Kematian Larva
23
C. Hipotesis Ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) memiliki efek larvasida terhadap larva Anopheles aconitus.
24
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik yang menggunakan rancangan
penelitian
the
post
test
only
controlled
group
design
(Taufiqurahman, 2004).
B. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga, Jawa Tengah.
C. Subyek Penelitian Subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva Anopheles aconitus instar IV awal yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga, Jawa Tengah.
D. Teknik Sampling Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu metode pemilihan subjek berdasarkan atas ciri-ciri atau sifat tertentu yang berkaitan dengan karakter populasi (Taufiqurahman, 2004). Sifat tertentu yang
24
25
dipakai pada penelitian ini adalah dipakainya sampel larva Anopheles aconitus khusus pada fase instar IV awal. E. Jumlah Sampling Pada uji pendahuluan menggunakan 6 kelompok perlakuan dengan 1 kelompok kontrol. Pada penelitian menggunakan 5 kelompok perlakuan dengan 1 kelompok kontrol. Masing-masing kelompok terdapat 25 ekor larva sebagai sampel.
F. Waktu Penelitian Uji pendahuluan dilaksanakan pada tanggal 4 Februari 2010 dan penelitian dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 2010.
G. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel bebas Konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) 2. Variabel terikat Jumlah kematian larva Anopheles aconitus 3. Variabel luar terkendali a. Umur larva b. Kepadatan larva c. Tempat hidup d. Kualitas air e. Volume air f. Suhu ruangan
26
4. Variabel luar tak terkendali Kesehatan larva
H. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Variabel bebas Konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum). Pada penelitian ini dipakai ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) yang diperoleh di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO2T) Tawangmangu yang didapat lewat ekstraksi dengan metode perkolasi. Konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) yang akan dipakai pada masing-masing kelompok perlakuan penelitian ditentukan berdasarkan uji pendahuluan. Pada uji pendahuluan, penentuan konsentrasi didasarkan pada penelitian Fatimah (1997) yang menetapkan LC50= 2,75% untuk ekstrak daun Ocimum basilicum terhadap larva Anopheles aconitus. Hasil uji pendahuluan yang paling optimal yaitu LC50 dan LC99 akan digunakan sebagai dasar penentuan konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) pada penelitian. Skala variabel bebas adalah skala ordinal. 2. Variabel terikat Jumlah kematian larva Anopheles aconitus adalah banyaknya larva Anopheles aconitus yang mati setelah 24 jam sejak diberi perlakuan. Larva dianggap mati apabila tidak ada tanda-tanda kehidupan, misalnya: a. Larva diberi rangsangan gerakan air tidak ada respon gerakan
27
b. Larva disentuh dengan lidi tidak ada respon gerakan Larva dianggap hidup apabila: a. Larva aktif bergerak b. Larva diberi rangsangan gerakan air ada respon gerakan c. Larva disentuh dengan lidi ada respon gerakan Skala variabel terikat adalah skala rasio. Larva Anopheles aconitus instar IV awal diperoleh di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga, Jawa Tengah. 3. Variabel luar terkendali a. Umur larva Adalah umur larva sejak telur menetas. Pada percobaan ini dikendalikan dengan menyamakan umur (instar IV awal) karena umur tersebut sudah agak besar sehingga lebih mudah diamati. Larva instar IV awal berumur 7 hari. b. Kepadatan larva Dikendalikan dengan menyamakan jumlah larva dalam satuan volume air tiap kelompok uji yaitu 25 ekor larva. c. Tempat hidup Dikendalikan dengan menyamakan wadah dalam eksperimen yaitu wadah mangkuk plastik berukuran 250ml. d. Kualitas air Dikendalikan dengan mengambil air dari tempat dan waktu yang sama. Dalam penelitian ini digunakan aquadest.
28
e. Volume air Dikendalikan dengan cara menyamakan volume tiap wadah yaitu 100ml. f. Suhu dan kelembaban ruangan Suhu ruangan penelitian disamakan yaitu pada suhu 26ºC dengan kelembaban udara ruangan 82-83%. 4. Variabel luar tak terkendali Kesehatan larva, karena tidak dapat disamakan kesehatannya.
29
I. Desain Penelitian 1. Uji Pendahuluan 25 larva
25 larva
25 larva
25 larva
Kelompok I (kontrol) Aquades
Kelompok II konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu 0,75%
Kelompok III konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu 1,75%
Kelompok IV konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu 2,75%
∑ larva hidup
∑ larva hidup
∑ larva hidup
25 larva
∑ larva hidup
Kelompok V konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu 3,75%
∑ larva hidup
25 larva
25 larva
Kelompok VI konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu 4,75%
Kelompok VII konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu 5,75%
∑ larva hidup
∑ larva hidup
2 4 J A M ∑ larva mati
∑ larva mati
∑ larva mati
∑ larva mati
∑ larva mati
Uji analisis probit untuk menentukan berapa konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu yang harus dipakai pada penelitian
∑ larva mati
∑ larva mati
30
2. Penelitian
2 4
25 larva
25 larva
25 larva
25 larva
25 larva
25 larva
Kelompok I (kontrol) Aquades
Kelompok II konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu*
Kelompok III konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu*
Kelompok IV konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu*
Kelompok V konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu*
Kelompok VI konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu*
∑ larva hidup
∑ larva hidup
∑ larva hidup
∑ larva hidup
∑ larva hidup
∑ larva hidup
J A M ∑ larva mati
∑ larva mati
One Way ANOVA
LSD
∑ larva mati
∑ larva mati
∑ larva mati
Uji Analisis Probit
∑ larva mati
31
J. Alat dan Bahan 1. Alat Penelitian a. Wadah mangkuk plastik ukuran 250ml b. Gelas ukur 100ml c. Pipet ukur 10ml d. Lidi e. Alat penghitung (counter) 2. Bahan Penelitian a. Ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) b. Larva Anopheles aconitus instar IV awal c. Aquades
K. Cara Kerja : Dibagi dalam 3 tahapan 1. Tahap persiapan a. Disiapkan ekstrak daun kemangi ungu berupa ekstrak kental dengan berat 100gr yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO2T) Tawangmangu. b. Disiapkan larva Anopheles aconitus yang diperoleh dari Balai Penelitian Vektor dan Reservoir Penyakit (BPVRP) Salatiga, Jawa Tengah. c. Disiapkan aquades sebanyak 600ml sebagai media penelitian ini.
32
d. Disiapkan 6 buah mangkuk plastik ukuran 250ml sebagai wadah media dalam penelitian ini. e. Disiapkan gelas ukur dengan ukuran 100ml untuk mengukur media. f. Disiapkan 6 buah lidi yang digunakan untuk menyentuh larva agar diketahui ada respon gerakan atau tidak. g. Disiapkan alat penghitung (counter) h. Tahap uji pendahuluan 1) Uji pendahuluan ini dilakukan untuk menentukan nilai ambang bawah dan ambang atas konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu yang akan digunakan dalam penelitian sesungguhnya. 2) Pada tahap uji pendahuluan ini akan dipakai 7 kelompok sampel, dengan 1 kelompok kontrol (hanya aquades) dan 6 kelompok perlakuan. 3) Sebelumnya ekstrak daun kemangi ungu 100gr yang kental diencerkan dengan aquades hingga volume 200ml sehingga didapatkan konsentrasi ekstrak 50%. 4) Selanjutnya ekstrak daun kemangi ungu 50% diambil dengan pipet ukur lalu dimasukkan ke dalam gelas ukur. Volume ekstrak daun kemangi ungu yang diambil dihitung dengan rumus (Kitti, 1996) :
33
V1.M1 = V2.M2
Keterangan : V1 = volume larutan mula-mula M1 = konsentrasi mula-mula V2 = volume larutan sesudah diencerkan M2 = konsentrasi sesudah diencerkan Contoh : Konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu 5,75% didapatkan dengan cara melarutkan 11,5ml ekstrak daun kemangi ungu dengan aquadest sampai volume larutan 100ml. V1.M1 = V2.M2 V1.50% = 100ml. 5,75% V1 = 11,5ml Konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu pada masing-masing kelompok adalah sebagai berikut: 0,75%; 1,75%; 2,75%; 3,75%; 4,75% dan 5,75%. 5) Setelah volume ekstrak ditentukan yaitu 1,5ml; 3,5ml; 5,5ml; 7ml; 9,5ml dan 11,5ml, ekstrak daun kemangi ungu tersebut dimasukkan pada 6 wadah plastik yang tersedia kecuali 1 wadah plastik sebagai kelompok kontrol dengan menggunakan pipet ukur. Lalu ditambahkan aquades pada wadah plastik yang sudah terisi ekstrak daun kemangi ungu dan pada 1 wadah plastik sebagai kelompok kontrol, masing-masing sampai volume 100ml sehingga konsentrasi masing-masing larutan adalah 0%; 0,75%; 1,75%; 2,75%; 3,75%; 4,75% dan 5,75%.
34
6) Setelah media siap, lalu dimasukkan 25 larva Anopheles aconitus instar IV awal pada masing-masing kelompok, termasuk kelompok kontrol. 7) Jumlah larva Anopheles aconitus instar IV awal yang mati dihitung setelah 24 jam sejak diberi perlakuan. 8) Setelah hasil data uji pendahuluan didapatkan, kemudian dianalisis dengan
menggunakan
analisis
probit
untuk
menentukan
konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu masing-masing kelompok yang dipakai pada penelitian yang sesungguhnya. 2. Tahap Penelitian a. Setelah konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu ditentukan melalui analisis data pada uji pendahuluan yaitu 0,6%; 1,0%; 1,4%; 1,8% dan 2,2%, maka penelitian dapat dilaksanakan. b. Pada tahap penelitian ini akan menggunakan 6 kelompok sampel, dengan 5 kelompok perlakuan dan 1 kelompok sebagai kontrol. Masing-masing kelompok dimasukkan 25 larva. Jumlah kelompok sampel pada tahap penelitian ini lebih kecil daripada jumlah kelompok pada uji pendahuluan karena tujuan uji pendahuluan adalah untuk menentukan konsentrasi yang kemungkinan efektif untuk membunuh larva Anopheles aconitus instar IV awal, jadi pada uji pendahuluan diperlukan kelompok sampel yang lebih banyak dengan interval konsentrasi ekstrak yang sempit. c. Seperti pada uji pendahuluan, maka mula-mula ekstrak daun kemangi ungu yang sudah diencerkan menjadi konsentrasi 50% diambil dengan
35
pipet ukur lalu dimasukkan ke dalam gelas ukur. Volume ekstrak masing-masing kelompok dengan menggunakan rumus seperti pada uji pendahuluan yang sudah disebutkan di atas. d. Setelah volume ekstrak ditentukan yaitu 1,2ml; 2,0ml; 2,8ml; 3,6ml dan 4,4ml, ekstrak daun kemangi ungu tersebut dimasukkan pada 5 wadah plastik yang tersedia kecuali 1 wadah plastik lain sebagai kelompok kontrol dengan menggunakan pipet ukur. e. Kemudian ditambahkan aquades pada masing-masing kelompok termasuk kelompok kontrol sampai volume 100 ml. f. Pada masing-masing wadah plastik dimasukkan 25 ekor larva Anopheles aconitus termasuk kontrol, tanpa diberi makanan. g.
Jumlah larva Anopheles aconitus instar IV awal yang mati dihitung setelah 24 jam sejak diberi perlakuan.
h.
Banyaknya ulangan dalam eksperimen dihitung dengan rumus (Hanifah, 1993). (t –1) (r –1) ≥ 15
Keterangan : t : jumlah perlakuan r : jumlah ulangan (6 –1) (r –1)
≥ 15
5(r-1)
≥ 15
5r-5
≥ 15
r
≥4
Sesuai rumus didapatkan banyaknya ulangan adalah 4 kali ulangan.
36
L. Teknik Analisis Data Data
yang diperoleh
dari
penelitian
ini
dianalisis
secara
statistik
menggunakan: 1. Analisis varians (Analysis of Variance / ANOVA) Dilakukan pengujian untuk mengetahui apakah ada perbedaan jumlah kematian larva Anopheles aconitus antar kelompok uji (Dahlan, 2008). 2. Least Significance Difference (LSD) Dilanjutkan dengan pengujian LSD untuk mengetahui pasangan nilai mean yang perbedaannya signifikan (Dahlan, 2008). 3. Analisis Probit Dianalisis seberapa besar daya bunuh ekstrak daun kemangi ungu terhadap larva
Anopheles
aconitus
yang
dinyatakan
dengan
LC
(Lethal
Concentration) yaitu LC50 (Lethal Concentration 50%) dan LC99 (Lethal Concentration 99%) (Dahlan, 2008).
37
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian 1. Uji Pendahuluan Setelah dilaksanakan uji pendahuluan pada tanggal 4 Februari 2010 selama 24 jam, diperoleh hasil sebagai berikut Tabel 1: Jumlah kematian larva Anopheles aconitus setelah perlakuan dengan ekstrak daun kemangi ungu dalam berbagai konsentrasi pada uji pendahuluan.
Kelompok
Jumlah awal
Jumlah kematian
I
25
0
II
25
21
III
25
22
IV
25
25
V
25
25
VI
25
25
VII
25
25
Keterangan : Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV Kelompok V Kelompok VI Kelompok VII
: : : : : : :
100 ml aquades (kontrol) Ekstrak daun kemangi ungu 0,75% Ekstrak daun kemangi ungu 1,75% Ekstrak daun kemangi ungu 2,75% Ekstrak daun kemangi ungu 3,75% Ekstrak daun kemangi ungu 4,75% Ekstrak daun kemangi ungu 5,75%
37
38
Data hasil uji pendahuluan, sebagaimana tercantum dalam tabel 1 dianalisis Probit dan didapatkan hasil LC50 = 0,658% dan LC99 = 2,063%. Hasil ini yang mendasari penentuan konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu yang dipakai pada penelitian. Hasil analisis probit selengkapnya tercantum dalam lampiran 1. 2. Uji Penelitian Penelitian dilakukan dengan konsentrasi berdasarkan pada uji pendahuluan, didapatkan hasil sebagai berikut. Tabel 2 : Jumlah kematian larva Anopheles aconitus setelah perlakuan dengan ekstrak daun kemangi ungu dalam berbagai konsentrasi selama 24 jam. Jumlah awal tiap wadah
1
2
3
4
I
25
0
0
0
0
0
II
25
10
14
12
15
51
12,75 (51%)
III
25
18
19
16
18
71
17,75 (71%)
IV
25
20
22
21
22
85
21,25 (85%)
V
25
23
23
22
24
92
23
VI
25
24
25
23
25
97
24,25 (97%)
Kelompok
Keterangan : Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV Kelompok V Kelompok VI
Ulangan
: : : : : :
Jumlah total
100 ml aquades (kontrol) Ekstrak daun kemangi ungu 0,6% Ekstrak daun kemangi ungu 1,0% Ekstrak daun kemangi ungu 1,4% Ekstrak daun kemangi ungu 1,8% Ekstrak daun kemangi ungu 2,2%
Rata-rata
0
(0%)
(92%)
39
Persentase kematian larva Anopheles aconitus pada berbagai konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu bisa dilihat pada grafik sebagai berikut. 120
J u m l a h k e m a t i a n
100 80 60 40 20 0 Kontrol
0,6%
1,0%
1,4%
1,8%
2,2%
Konsentrasi ekstrak Grafik 1: Grafik jumlah kematian larva Anopheles aconitus pada berbagai konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu.
Grafik 1 terlihat di atas menunjukkan bahwa kenaikan konsentrasi ekstrak diikuti oleh kenaikan jumlah kematian larva sampai tingkat konsentrasi tertentu yaitu 2,2%. B. Analisis Data 1. Uji Analisis Varian (One Way ANOVA) Menurut Dahlan (2008), Uji One Way ANOVA digunakan apabila data memenuhi syarat :
40
a. Distribusi data normal Tabel 3: Hasil Uji Shapiro Wilk (Uji Normalitas Data)
Kematian larva
Kelompok konsentrasi II III IV V VI
Statistik 0,963 0,895 0,863 0,945 0,863
Shapiro-Wilk df 4 4 4 4 4
Nilai p 0,798 0,406 0,272 0,683 0,272
Penilaian distribusi data menggunakan Uji Shapiro Wilk karena sampel yang digunakan masing-masing kelompok adalah 25 (sampel kurang dari 50) (Dahlan, 2008). Kelompok I (kontrol) bersifat konstan dan tidak dihitung karena jumlah kematian larva adalah 0. Nilai signifikansi pada kelompok II sampai VI masing-masing adalah p > 0,05. Maka, kesimpulannya adalah distribusi data normal. b. Varians data normal Tabel 4: Hasil Uji Homogenitas Varians Statistik Levene
df1
df2
Nilai p
2,212
5
18
0,098
Pada uji varians, diperoleh nilai p = 0,098. Berdasarkan tabel di atas, nilai p > 0,05 maka dapat diambil kesimpulan bahwa varians data adalah sama (Dahlan, 2008). Berdasarkan hasil uji Shapiro Wilk dan uji homogenitas varians, maka uji One Way ANOVA dapat dilaksanakan.
41
Tabel 5: Hasil Uji One Way ANOVA
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares
df
Mean Square
1026847,333
5
205369,467
30440,000
18
1691,111
1057287,333
23
F-hitung Nilai p 121,441
0,000
Dari hasil percobaan pada tabel 2 setelah dianalisis dengan uji One Way ANOVA pada taraf kepercayaan (α) 0,05 didapatkan nilai signifikansinya p < 0,05 yaitu 0,000 yang berarti paling tidak terdapat perbedaan kematian larva yang bermakna pada kelompok-kelompok uji. Untuk mengetahui pasangan kelompok yang mempunyai perbedaan signifikan maka dilakukan uji LSD. Hasil Uji One Way ANOVA selengkapnya tercantum dalam lampiran 2. 2. Uji Least Significance Difference (LSD) Tabel 6: Hasil Uji LSD Kelompok
Perbedaan efek larvasida dengan pasangan kelompok lain Signifikan (p < 0,05)
Tidak signifikan (p > 0,05)
I
II, III, IV, V, VI
-
II
I, III, IV, V, VI
-
III
I, II, IV, V, VI
-
IV
I, II, III, V, VI
-
V
I, II, III, IV
VI
VI
I, II, III, IV
V
42
Hasil pengujian data dengan Least Significance Difference (LSD) menggunakan SPSS 16.0 for Windows, didapatkan adanya perbedaan yang signifikan antara masing-masing pasangan kelompok (p = 0,016, p = 0,000; p < 0,05), kecuali antara kelompok V dan kelompok VI (p = 0,570; maka p > 0,05) tidak signifikan. Hasil uji LSD selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 3. 3. Analisis Probit Selanjutnya data hasil penelitian dianalisis Probit dengan program SPSS 16.0 for Windows dengan tingkat kepercayaan 95% untuk mendapatkan nilai LC50 dan LC99. Dari hasil analisa Probit, didapatkan estimasi besar konsentrasi yang mengakibatkan kematian larva Anopheles aconitus sebesar 50% (LC50) adalah konsentrasi 0,779% dengan interval antara 0,643% dan 0,897%. Sedangkan kematian larva sebesar 99% (LC99) didapatkan pada konsentrasi 2,203% dengan interval antara 1,965% dan 2,550%. Hasil analisis Probit selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.
43
BAB V PEMBAHASAN
Pada penelitian ini dilakukan uji pendahuluan sebagai dasar penetapan konsentrasi ekstrak yang dipakai pada penelitian sesungguhnya karena belum ada literatur yang digunakan untuk menetapkan konsentrasi yang dipakai. Pada uji pendahuluan didapatkan bahwa pada konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu 0,75% dan 1,75% didapatkan jumlah kematian larva masing-masing 21 dan 22 dari 25 ekor larva. Sedangkan pada konsentrasi 2,75%; 3,75%; 4,75% dan 5,75% didapatkan jumlah kematian larva yang seragam yaitu 25 ekor larva. Dari hasil uji pendahuluan, didapatkan hasil yang signifikan (p<0,05) bahwa kenaikan konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu diikuti dengan kenaikan jumlah kematian larva Anopheles aconitus. Konsentrasi ekstrak yang dipakai dalam uji penelitian didasarkan pada hasil analisis probit uji pendahuluan yaitu LC50 = 0,658% dan LC99 = 2,063%. LC50 adalah konsentrasi suatu zat yang dapat mematikan 50% hewan uji dalam waktu tertentu dan LC99 adalah konsentrasi zat yang dapat mematikan 99% hewan uji. LC50 dan LC99 adalah standar pengukuran toksisitas suatu zat terhadap hewan uji (Stark, 2004). Dari hasil analisis tersebut maka konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu yang dipakai dalam uji penelitian yaitu 0,6%; 1,0%; 1,4%; 1,8%; dan 2,2%. Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa ekstrak daun kemangi ungu mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kematian larva Anopheles aconitus. Dapat dikatakan demikian karena dari hasil analisis statistik dengan menggunakan uji One Way ANOVA pada taraf kepercayaan (α) 0,05, didapatkan 43
44
nilai signifikasi p = 0,000 (<0,05) yang berarti Ho ditolak dan H1 diterima. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan efek larvasida yang bermakna pada kelompok konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu yang berbeda. Secara garis besar, kenaikan konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu juga diikuti kenaikan jumlah kematian larva sampai tingkat konsentrasi tertentu seperti yang dapat dilihat pada grafik 1. Setelah hasil penelitian diuji dengan One Way ANOVA, dilanjutkan dengan menggunakan LSD, didapatkan adanya perbedaan yang signifikan antara masing-masing pasangan kelompok (p = 0,016, p = 0,000; p < 0,05), kecuali antara kelompok V dan kelompok VI (p = 0,570; maka p > 0,05) tidak signifikan. Berarti kelompok V dan kelompok VI memiliki pengaruh yang sama terhadap mortalitas larva Anopheles aconitus. Hal ini dapat dimengerti karena persentase kematian larva antara dua kelompok tersebut mempunyai selisih yang sedikit sehingga perbedaan efek larvasida pada dua kelompok tersebut tidak bermakna/signifikan. Berdasarkan analisis Probit, didapatkan hasil estimasi besar LC50 pada konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu adalah 0,779% dengan interval antara 0,643% dan 0,897%. Pada penelitian lain yang menggunakan kandungan yang sama yaitu pada ekstrak daun selasih (Ocimum basilicum) terhadap kematian larva Anopheles aconitus didapatkan hasil LC50 pada konsentrasi 2,75% (Fatimah, 1997). Pada penelitian lain dengan menggunakan ekstrak daun bengkuang (Pachyrrhizus erosus) didapatkan hasil LC50 pada konsentrasi 2,8771%, ekstrak bawang putih (Allium sativum) LC50 pada konsentrasi 0,29308% dan ekstrak buah tomat (Solanum lycopersicum) LC50 pada konsentrasi 1,271 % (Wahyuningsih,
45
2000; Maesaroh, 2005; Nugroho, 2004). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) dengan LC50 0,779% mempunyai aktivitas larvasida yang lebih tinggi dibandingkan dengan Ocimum basilicum (LC50 2,75%), Pachyrrhizus erosus (LC50 2,8771%) dan Solanum lycopersicum (LC50 1,271 %) dan lebih rendah dari ekstrak bawang putih (Allium sativum) (LC50 0,29308%). Kelebihan Ocimum sanctum daripada Ocimum sp. yang lain adalah Ocimum sanctum mempunyai kadar eugenol, metil chavicol, dan saponin yang lebih tinggi. Pemakaian istilah Lethal Concentration (LC) pada penelitian ini lebih dipilih daripada istilah Lethal Dose (LD) karena sulit untuk menentukan dosis (jumlah ekstrak daun kemangi ungu yang masuk ke dalam tubuh serangga) sehingga lebih dipilih istilah Lethal Concentration yang secara lebih tepat menggambarkan konsentrasi ekstrak pada media percobaan (Matsumura, 1975). Kematian hewan coba dipengaruhi oleh durasi dan intensitas suatu zat. Semakin rendah nilai LC50 suatu zat berarti zat tersebut mempunyai aktivitas yang lebih tinggi dalam membunuh hewan coba dan sebaliknya, semakin tinggi nilai LC50 berarti zat tersebut mempunyai aktivitas yang lebih rendah dalam membunuh hewan coba. Berarti zat dengan LC50 yang lebih tinggi membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membunuh hewan coba yang sama (Zhao et al., 2004). Sedangkan estimasi besar LC99 ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) terhadap larva Anopheles aconitus didapatkan pada konsentrasi 2,203% dengan interval antara 1,965% dan 2,550%. Estimasi konsentrasi insektisida yang diperlukan untuk mendapatkan probabilitas 0,99 untuk membunuh seekor serangga (LC99) sangat penting karena menggunakan konsentrasi yang lebih besar
46
daripada nilai estimasi ini menyebabkan pemborosan dan kemungkinan dapat berbahaya bagi lingkungan, kehidupan binatang lain, dan kehidupan manusia. Sedangkan menggunakan konsentrasi yang lebih kecil juga menyebabkan tidak tercapainya target dan mungkin akan berakibat adanya resistensi terhadap insektisida tersebut (Payton et al., 2003).
47
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: Ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) memiliki efek larvasida terhadap larva Anopheles aconitus dengan LC50 = 0,779%, LC99 = 2,203% dan kenaikan konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) diikuti dengan kenaikan jumlah kematian larva Anopheles aconitus sampai tingkat konsentrasi tertentu.
B. Saran Mengingat keterbatasan dalam penelitian ini maka peneliti sarankan sebagai berikut: 1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap pengaruh ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) terhadap kematian vektor-vektor penyakit yang lain sehingga pemanfaatan ekstrak daun kemangi ungu dapat maksimal karena keunggulan ekstrak daun kemangi ungu yang murah, aman, dan mudah didapatkan di Indonesia. 2. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai isolasi metil chavicol, eugenol dan saponin yang digunakan sebagai larvasida terhadap larva Anopheles aconitus supaya didapatkan hasil yang lebih efektif.
47
48
3. Agar dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menemukan formulasi ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) yang lebih praktis sehingga memudahkan dalam pendistribusiannya kepada masyarakat.
49
DAFTAR PUSTAKA
Anees A.M. 2008. Larvicidal activity of Ocimum sanctum Linn. (Labiatae) against Aedes aegypti (L.) and Culex quinquefasciatus (Say). Parasitol Res. 103, pp:1451–1453. Azhari H.N., Salah A.E, Nour A.O., Abduelrahman H.N. and Mashitah M.Y. 2009. A Study of the Essential Oils of Four Sudanese Accessions of Basil (Ocimum basilicum L.) Against Anopheles Mosquito Larvae. American Journal of Applied Sciences. 6(7), pp: 1359-1363. Bappenas, 2009. Memerangi HIV/AIDS, Malaria, Dan Penyakit Menular Lainnya. www.bappenas.go.id/get-file-server/node/1206/ (24 September 2009). Centers for Disease Control and Prevention, 2008. Anopheles mosquitoes. http://www.cdc.gov/Malaria/biology/mosquito/ (24 September 2009). Chopra D. 2009. Plantamor Informasi Spesies Kemangi ungu ( Ocimum sanctum L.). http://www.plantamor.com/index.php?plant=914. ( 24 September 2009). Christophers S.R. and Barraud P.J. 1931. The Eggs of Indian Anopheles with Descriptions of the Hitherto Undescribed Eggs of A Number of Species. Records of the Malaria Survey of India. 2(1), pp: 23-30. Dahlan M.S. 2008. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika, hh: 84-95. Dattani M. 2009. Ocimum Sanctum And Its Therapeutic Applications. http://www.pharmainfo.net/reviews/ocimum-sanctum-and-its-therapeuticapplications. (28 September 2009). Dewi
S.P. 2007. Tanaman Obat Indonesia. http://toiusd.multiply.com/journal/item/110/Ocimum_sanctum-068114098. (8 Oktober 2009).
Depkes RI. 1983. Malaria Entomologi jilid 10. Jakarta: Dirjen Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit Menular, hh: 9-17. Depkes RI. 1989. Kunci Bergambar Identifikasi Jentik Anopheles di Indonesia. Jakarta: Dirjen Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit Menular, hh: 720. Depkes RI. 2003. Pedoman Tata Laksana Kasus Malaria (Gebrak Malaria). Jakarta: Dirjen Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit Menular, hh: 1-3
49
50
Duke J. 2009. Phytochemical and Ethnobotanical Databases (Ocimum sanctum). http://sun.arsgrin.gov:8080/npgspub/xsql/duke/plantdisp.xsql?taxon=2021 (4 Oktober 2009). Fatimah S. 1997. Studi Laboratorium Uji Kepekaan Larva Anopheles aconitus terhadap Ekstrak Ocimum basilicum. Semarang, UNDIP. Skripsi. Gambiro S.K.M. 2007. Kebijakan Pemerintah dalam Pemberantasan Penyakitpenyakit Parasit di Indonesia (Terutama Malaria dan Filariasis). Depkes RI, h: 6. Gandahusada S., Ilahude H.D. dan W Pribadi. 1998. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, hh: 220-224. Hanifah K.A. 1993. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rajawali Press, h: 35. Harijanto P.N. 2000. Malaria Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi, Klinis dan Penanganan. Jakarta: Penerbit EGC, hh: 4-7. Harrison B.A. 1980. The Myzomyia Series of Anopheles (Cellia) In Thailand With Emphasis on Intra-Interspecific Variations. Medical Entomology Studies-XIII. 17(8), p: 160. Isman M. 1999. UBC Researcher Helps Develop Environmentaly Safe Pesticide. http://www.publificaffairs.ubc.ca/media/releases/1999/mr-99-61.html. (12 Maret 2009). Kitti S. 1996. Kimia I. Klaten: PT. Intan Pariwara, hh: 37-38. Kweka E.J., Franklin M., Asanterabi L., Aneth M.M., Jovin K., Johnson M., Michael J.M., Charles P.M, Filemoni T., Emmanuel F., Ester E.L., Michael A.M, Rajabu M., Grace C. and Emmanuel A.T. 2008. Ethnobotanical Study of Some of Mosquito Repellent Plants in NorthEastern Tanzania. Malaria Journal. 7, pp:152. Maesaroh S. 2005. Daya Bunuh Larvasida Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum Linn) Terhadap Larva Vektor Malaria Anopheles Aconitus Donitz. http://www.unissula.ac.id/perpustakaan/index.php?option=com_content&v iew=article&id=304:daya-bunuh-larvasida-ekstrak-bawang-putih-alliumsativum-terhadap-larva-vektor-malaria-anopheles-aconitusdonitz=37:skripsi-kedokteran&Itemid=45. (9 Maret 2010). Matsumura F. 1975. Toxicology of Insecticides. New York: Plenum Press, pp: 1722.
51
Novizan. 2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Jakarta: Agromedia Pustaka, hh: 37-40. Nugroho H.B. 2004. Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Tomat (Solanum lycopersicum L.) terhadap Jumlah Kematian Larva Anopheles aconitus. http://www.unissula.ac.id/perpustakaan/index.php?option=com_content&v iew=article&id=304:pengaruh-pemberian-ekstrak-buah-tomat-solanumlycopersicum-l-terhadap-jumlah-kematian-larva-anopheles=37:skripsikedokteran&Itemid=58. (9 Maret 2010). Nurnasari E. 2009. Pemanfaatan senyawa kimia alami sebagai alternatif pengendalian hama tanaman. http://www.chem-istry.org/artikel_kimia/kimia_pangan/pemanfaatan-senyawa-kimia-alamisebagai-alternatif-pengendalian-hama-tanaman/ (31 oktober 2009). Okie S. 2008. A New Attack on Malaria. New England Journal Medicine. 358, p: 23 Payton M.E., Greenstone M. and Schenker N. 2003. Overlapping Confidence Intervals or Standard Error Intervals What Do They Mean In Terms of Statistical Significance. Journal of Insect Science. 3, p: 34. Sembel D.T. 2009. Entomologi Kedokteran. Yogyakarta: Penerbit Andi. hh: 1014. Seyoum A., Ephantus W.K., Wilber L., Gerry F.K., Ahmed H. and Bart G.J.K. 2002. Repellency Of Live Potted Plants Against Anopheles Gambiae From Human Baits in Semi-field Experimental Huts. American Journal Tropical Medicine Hygiene. 67(2), pp: 191–195. Shashi B.M. and Ashoke K.N. 1991. Tripenoid saponins discovered between 1987 and 1989. Phytochemistry, 30(5), pp: 1357-85. Simanjuntak C.H. dan Arbani. 1989. Status Malaria di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran. 55, h: 6. Singh N., Hoette Y. and Miller R. 2009. Tulsi The Mother Medicine of Nature. http://www.holi-basil.com/herbs/ocimum-sanctum.htm. (4 Oktober 2009). Soedarto. 1989. Entomologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, h: 64. Soerono M., Badawi A.S., Muir D.A., Soedono A. And Siran M. 1965. Observations on Doubly Resistant Anopheles aconitus donitz in Java, Indonesia, and on Its Amenability to Treatment with Malathion. Malaria Journals. 33, pp: 453-459.
52
Stark D.J. 2004. How Closely Do Acute Lethal Concentration Estimates Predict Effects of Toxicants on Populations. Integrated Environmental Assessment and Management. 1(2), pp: 109–113. Stojanovich C.J. and Scott H.G. 1966. Illustrated Key to Mosquitoes of Vietnam. Georgia: US Department of Health Education and Welfare Public Health Service Atlanta, pp: 9-10. Sudarsono, Gunawan D., Wahyuono S., Donatus I.A. dan Purnomo. 2002. Tumbuhan Obat II. Yogyakarta: Pusat Studi Obat Tradisional Universitas Gadjah Mada, hh: 136-140. Sudoyo A.W., Bambang S., Idrus A., Marcellus S.K. dan Siti S. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI, h: 1732. Suparjo. 2009. Saponin Peran dan Pengaruhnya Terhadap Ternak dan Manusia. http://jajo66.files.wordpress.com/2009/06/saponin.pdf (9 Oktober 2009). Sutanto I., Suhariah I., Pudji K.S. dan Saleha S. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran edisi 4. Jakarta: Departemen Parasitologi FK UI, hh: 255-256. Taufiqurahman M.A. 2004. Pengantar Metodologi Penelitian untuk Ilmu Kesehatan. Klaten: CSGF, hh: 1-125. Tugiyanti A. 2008. Manfaat dan Khasiat Minyak Atsiri Daun Selasih Ungu (Ocimum sanctum Linn). http://naniqs.wordpress.com/2008/05/27/daunselasih-ungu/. (28 September 2009). Wahyuningsih H. 2000. Uji Kepekaan Larva Nyamuk Anopheles Aconitus Terhadap Ekstrak Daun Bengkuang (Pachyrrhizus erosus) di Laboratorium. http://www.unissula.ac.id/perpustakaan/index.php?option=com content&view=article&id=311:uji-kepekaan-larva-nyamuk-anophelesaconitus-terhadap-ekstrak-daun-bengkuang-pachyrrhizus-erosus-dilaboratorium=37:skripsi-kedokteran&Itemid=58. (9 Maret 2010). Wepster J.B. and Swellengrebel N.H. 1953. the Anopheline Mosquitoes of the Indo-Australian Region. Amsterdam: The Department Of Tropical Hygiene and Geographical Pathology of the Royal Tropical Institute, pp: 366-367. World Health Organization. 2008. World Malaria Report. WHO, pp: 1-4. World
Health Organization. 2009. Vector Control of Malaria. http://apps.who.int/malaria/vectorcontrol.html. (25 September 2009).
53
Zhao Y. and Newman M.C. 2004. Shortcomings Of The Laboratory-Derived Median Lethal Concentration For Predicting Mortality In Field Populations: Exposure Duration And Latent Mortality. Environmental Toxicology and Chemistry. 23(9), pp. 2147–2153.