Editor: Asep Ahmad Saefuloh
MEWUJUDKAN AGENDA PRIORITAS NAWACITA
Diterbitkan oleh: P3DI Setjen DPR RI dan Azza Grafika 2015
Judul: Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) xiii+237 hlm.; 15.5x23 cm ISBN: 978-602-1247-38-9 Cetakan Pertama, 2015 Editor: Asep Ahmad Saefuloh
Penulis: Dewi Wuryandani Lukman Adam Rasbin Sony Hendra Permana Nidya Waras Sayekti Lisnawati Mohammad Teja Izzaty Sulis Wurini Desain Sampul: Abue Tata Letak: Zaki
Penyelia Aksara: Helmi Yusuf
Diterbitkan oleh: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI Gedung Nusantara I Lt. 2 Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta Pusat 10270 Telp. (021) 5715409 Fax. (021) 5715245
Bersama: Azza Grafika, Anggota IKAPI DIY, No. 078/DIY/2012 Kantor Pusat: Jl. Seturan II CT XX/128 Yogyakarta Telp. +62 274-6882748 Perwakilan Jabodetabek: Perum Wismamas Blok E1 No. 43-44, Cinangka, Sawangan, Kota Depok Telp. (021) 7417244 Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
KATA PENGANTAR KEPALA PUSAT PENGKAJIAN, PENGOLAHAN DATA DAN INFORMASI (P3DI) SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI
Pada masa kampanye pemilihan presiden Republik Indonesia di Tahun 2014, pasangan calon presiden dan wakil presiden, Joko Widodo dan Yusuf Kalla mengusung 9 agenda prioritas yang disebut NAWACITA. Program ini digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Buku dengan judul “Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita” hadir setelah satu tahun terpilihnya Joko Widodo dan Yusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Terbitnya buku ini mengingatkan kita kembali bahwa masih banyak agenda prioritas yang belum tercapai semenjak pemerintahan baru mulai berjalan. Saya menilai buku ini sangat menarik khususnya yang terkait upaya dalam mencapai kemandirian di bidang ekonomi dan perlindungan sosial. Bahasan dalam buku ini cukup padat dengan berbagai permasalahan baik di bidang ekonomi maupun sosial. Dalam bidang ekonomi, buku ini membahas bagaimana peningkatan produktivitas dan daya saing melalui sektor UMKM dan pangan lokal, pengembangan kemandirian di sektor pertanian, perikanan dan keuangan. Dalam bidang sosial, banyak diulas bagaimana upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat, khususnya pekerja anak dan nelayan yang miskin. Bahasan yang juga sangat menarik dalam buku ini adalah penggambaran bagaimana perilaku ketaatan aparatur pemerintahan. Pada setiap tulisan, diuraikan secara jelas berbagai permasalahan pada setiap agenda prioritas pemerintah, serta upaya-upaya yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dengan iii
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
adanya terwujudnya kesembilan agenda prioritas dalam Nawacita diharapkan mampu memberikan kematangan politik, peningkatan kesejahteraan rakyat, dan kepribadian yang berbudi luhur bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada kesempatan yang baik ini, saya sampaikan selamat kepada para peneliti yang dengan tekun dan inovatif telah menghasilkan karya tulis ilmiah (KTI) yang bermanfaat dalam meningkatkan pemahaman dan perumusan strategi dan kebijakan persaingan usaha dan mendorong daya saing Indonesia. Saya juga menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada Dr. Asep Ahmad Saefuloh yang telah mencurahkan pikiran dan waktunya dalam merancang tema, outline KTI, dan kegiatan editorial lainnya, sehingga buku ini layak untuk diterbitkan. Semoga invensi dan inovasi yang tersaji dalam buku ini bermanfaat bagi terciptanya persaingan usaha yang sehat dan peningkatan daya saing Indonesia. Amin. Jakarta, 16 Oktober 2015 Kepala Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI Dr. Rahayu Setya Wardani NIP. 19600211 198703 2 002
iv
PROLOG
Salah satu cita-cita bangsa adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintahan saat ini telah mencanangkan 9 agenda prioritas yang disebut NAWACITA. Kesembilan agenda tersebut meliputi menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara; membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya; membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerahdaerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan; menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya; meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia; meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional; mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik; melakukan revolusi karakter bangsa; dan memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia. Dalam konteks untuk kemandirian dan kedaulatan, salah satu sektor strategis adalah sektor pertanian, karena terkait dengan kebutuhan primer dan sekunder. Industri pangan mempunyai potensi peran strategis dalam meningkatkan kesejahteraan baik ketersediaan, akses, maupun kualitas konsumsi pangan. Selain itu pengembangan terhadap bibit/ benih menjadi prioritas yang harus dilakukan agar produktivitas pertanian meningkat. Tidak hanya itu, pengembangan industri pangan dengan kemampuannya mengelola kegiatan pengembangan produk pangan yang efektif, juga sekaligus berpotensi untuk meningkatkan daya saing produk pangan Indonesia. Sektor strategis lainnya yang perlu dikembangkan dalam rangka kemandirian dan kedaulatan bangsa adalah sektor keuangan, khususnya perbankan. Untuk mewujudkan kedaulatan keuangan nasional salah satunya dengan melakukan penggabungan bank. v
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Penggabungan bank dapat menciptakan permodalan perbankan yang jauh lebih besar, perbankan lebih fokus dalam menggarap segmen pasar dan memicu pembangunan infrastruktur keuangan Indonesia. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, UMKM merupakan salah satu sektor yang harus dikembangkan. Pemberdayaan dan pengembangan UMKM harus dengan dimensi yang cukup luas dan koordinasi baik vertikal maupun horizontal, baik pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah. Pemberdayaan juga perlu menyasar kepada pekerja anak, dimana kemiskinan dianggap sebagai faktor utama yang menyebabkan munculnya pekerja anak. Oleh karena itu, pemerintah telah menyusun Roadmap Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak Tahun 2022 yang berisikan visi, misi, strategi, dan langkah aksi dalam usaha penghapusan pekerja anak. Tidak kalah pentingnya, pemberdayaan terhadap masyarakat nelayan, dimana nelayan Indonesia masih banyak yang sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketidakberdayaan nelayan dalam memperoleh BBM, teknologi maupun akses pasar menjadi kendala terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan. Selain pemberdayaan, pendampingan terhadap kegiatan pemberdayaan itu sendiri harus dilakukan secara berkelanjutan hingga nelayan mampu mandiri dan menaikkan tingkat kesejahteraan mereka. Untuk menggapai tujuan dalam membangun kemandirian dan kedaulatan serta pemberdayaan kepada masyarakat, dibutuhkan adanya infrasruktur pendukung lainnya. Infrastruktur yang dibutuhkan selain fisik, juga non fisik. Salah satu contoh infrastruktur fisik yang dibutuhkan saat ini adalah tersedianya pelabuhan yang baik untuk mencapai program pengembangan poros maritim (tol laut) yang akan mendorong pembangunan ekonomi daerah dan nasional. Sementara itu infrastruktur pendukung non fisik adalah tersedianya aparatur negara yang profesional. Pemahaman yang komprehensif dan integratif pada tiga dimensi yang ingin dicapai, yakni kemandirian dan kedaulatan, pemberdayaan masyarakat, serta tersedianya infrastruktur pendukung yang baik diharapkan dapat dirumuskan perspektif kebijakan yang holistik dan integratif dalam mencapai agenda prioritas Nawacita di masa yang akan datang.
vi
Jakarta, 1 November 2015 Editor
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR KEPALA P3DI...............................................................iii PROLOG........................................................................................................................v DAFTAR ISI..............................................................................................................vii DAFTAR TABEL...................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR...............................................................................................xiii
BAGIAN PERTAMA KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING PRODUK PANGAN LOKAL oleh: Dewi Wuryandani.......................................................................................... 1 I. Pendahuluan............................................................................................ 2 II. Perkembangan Produk Pangan di Indonesia............................. 6 III. Permasalahan Seputar Produk Pangan........................................ 7 IV. Penutup....................................................................................................17 Daftar Pustaka................................................................................................19 BAGIAN KEDUA KEMANDIRIAN SEKTOR PERTANIAN MELALUI PENGEMBANGAN BENIH PERTANIAN oleh: Lukman Adam...............................................................................................23 I. Pendahuluan..........................................................................................24 II. Tinjauan Pustaka..................................................................................28 III. Pemetaan Permasalahan Perbenihan Nasional......................31 IV. Dukungan Kebijakan...........................................................................38 V. Penutup....................................................................................................46 Daftar Pustaka................................................................................................47
vii
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
BAGIAN KETIGA MENCIPTAKAN KEDAULATAN KEUANGAN NASIONAL MELALUI PENGGABUNGAN BANK: SUATU TINJAUAN LITERATUR oleh: Rasbin...............................................................................................................51 I. Pendahuluan..........................................................................................52 II. Kedaulatan Keuangan Nasional dan Penggabungan Bank............................................................................55 III. Implikasi Penggabungan Bank.......................................................63 IV. Penutup....................................................................................................68 Daftar Pustaka................................................................................................69 BAGIAN KEEMPAT PENINGKATAN PRODUKTIVITAS RAKYAT DAN DAYA SAING BANGSA: PENGEMBANGAN DI SEKTOR UMKM oleh: Sony Hendra Permana...............................................................................73 I. Pendahuluan..........................................................................................74 II. UMKM dan Perkembangannya di Indonesia............................76 III. Permasalahan yang Dihadapi UMKM..........................................80 IV. Strategi Pengembangan UMKM.....................................................85 V. Penutup....................................................................................................90 Daftar Pustaka................................................................................................92
BAGIAN KELIMA ZONA BEBAS PEKERJA ANAK SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS HIDUP MANUSIA oleh: Nidya Waras Sayekti..................................................................................95 I. Pendahuluan..........................................................................................96 II. Pengertian dan Keberadaan Pekerja Anak...............................98 III. Perkembangan dan Faktor Penyebab Pekerja Anak.......................................................................................100 IV. Indonesia Bebas Pekerja Anak Tahun 2022..........................107 V. Penutup.................................................................................................111 Daftar Pustaka.............................................................................................113
viii
Daftar Isi
BAGIAN KEENAM PEMBANGUNAN SEKTOR PERIKANAN LAUT DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN oleh: Lisnawati......................................................................................................115 I. Pendahuluan.......................................................................................116 II. Permasalahan Perikanan di Indonesia....................................120 III. Potensi Perikanan Indonesia dan Potensi Kerugian Akibat IUU Fishing........................................125 IV. Faktor Ketidakberdayaan Nelayan Lokal dalam Memanfaatkan Hasil Laut................................................129 V. Kondisi Infrastruktur Laut Indonesia......................................132 VI. Penutup.................................................................................................135 Daftar Pustaka.............................................................................................136 BAGIAN KETUJUH PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN MISKIN DI PESISIR PANTAI oleh: Mohammad Teja.......................................................................................139 I. Pendahuluan.......................................................................................140 II. Nelayan Miskin: Kecil dan Tradisional....................................143 III. Kondisi Nelayan Miskin di Indonesia.......................................145 IV. Nelayan Miskin, Bertahan Hidup dalam Kekurangan............................................................................151 V. Perlindungan dan Pemberdayaan, Peningkatan Kualitas Hidup Nelayan.......................................153 VI. Penutup.................................................................................................159 Daftar Pustaka.............................................................................................161 BAGIAN KEDELAPAN ANALISIS KEBIJAKAN UNGGULAN TOL LAUT PEMERINTAH JOKOWI oleh: Izzaty.............................................................................................................163 I. Pendahuluan.......................................................................................164 II. Konsepsi Pemikiran dalam Konsep Tol Laut........................168 III. Gambaran Kebijakan Tol Laut di Indonesia..........................175 IV. Peran Pelabuhan dalam Pengembangan Tol Laut..............180 V. Peran Short Sea Shipping (SSS) dalam Pengembangan Tol Laut.................................................................185 ix
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
VI. Pembelajaran dari Kegagalan Perencanaan Pembangunan Pelabuhan Kasus: Cimalaya sebagai Alternatif Pelabuhan Tanjung Priok..............................................................186 VII. Penutup.................................................................................................188 Daftar Pustaka.............................................................................................191
BAGIAN KESEMBILAN MEMBENTUK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) YANG TAAT TERHADAP WAKTU KERJA MELALUI TUNJANGAN KINERJA (STUDI KASUS DI SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI) oleh: Sulis Winurini.............................................................................................195 I. Pendahuluan.......................................................................................196 II. Mendefinisikan Perilaku Ketaatan Terhadap Waktu Kerja....................................................................203 III. Membentuk Perilaku Ketaatan terhadap Waktu Kerja di Setjen DPR RI melalui Pemberian Tunjangan Kinerja.....................................................204 IV. Penutup.................................................................................................216 Daftar Pustaka.............................................................................................218 EPILOG....................................................................................................................221 INDEKS...................................................................................................................227 BIOGRAFI PENULIS..........................................................................................231 BIOGRAFI EDITOR............................................................................................236
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Perkembangan Anggaran Subsidi Benih dan Subsidi Lainnya di Indonesia Tahun 2008-2014 (Triliun Rupiah)...............................................................................34 Tabel 2. Dukungan Kebijakan Perbenihan Nasional.........................39 Tabel 1. Kriteria UMKM.................................................................................78 Tabel 2. Perkembangan UMKM dan Usaha Besar Tahun 2011-2013...........................................................................79 Tabel 3. Perbandingan Kinerja Sejumlah Indikator Daya Saing..........................................................................................84 Tabel 1. Pekerja Anak Menurut Jenis Kegiatan dan Tempat Tinggal Tahun 2009-2010 (Agustus).................102 Tabel 2. Jumlah Pekerja Anak Usia 7-15 Tahun Berbasis Data Terpadu TNP2K...............................................102 Tabel 3. Pekerja Anak Menurut Upah dan Jenis Kelamin Tahun 2009-2010(Agustus)......................104 Tabel 1. Potensi Perikanan Tangkap di Perairan Indonesia.................................................................118 Tabel 2. Produksi Perikanan di Pelabuhan Perikanan Pantai..........................................................................128 Tabel 3. Kriteria Pelabuhan Perikanan di Indonesia.....................133 Tabel 4. Jumlah Kelas Pelabuhan Perikanan di Indonesia....................................................................................134 Tabel 1. Rata-rata Biaya Pengirimman................................................167 Tabel 2. Perbedaan Konsep MP3EI dengan Konsep Tol Laut............................................................................170 Tabel 1. Tunjangan Kinerja Berdasarkan Kelas Jabatan...............206 Tabel 2. Pengurangan Tunjangan Kinerja Berdasarkan Pelanggaran terhadap Waktu Kerja di Sekretariat Jenderal DPR RI...............................................207 xi
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Tabel 3. Tabel 4.
xii
Jumlah Kekurangan Jam Kerja PNS di Salah Satu Bagian di Setjen DPR RI Bulan Januari, Februari, Maret 2014...................................211 Jumlah Kekurangan Jam Kerja PNS Setjen DPR RI di Salah Satu Bagian di Bulan Juli, Agustus, September 2014.........................................................212
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Alur Mekanisme Penganggaran dan Pembayaran Subsidi Benih.......................................................41 Gambar 2. Mekanisme Pengawasan Pelaksanaan Subsidi Benih..................................................................................45 Gambar 1. Peta Pembagian Wilayah Pengelolaan Perikanan di Indonesia...........................................................125 Gambar 2. Peta Jumlah Kapal yang Mencari Ikan di Indonesia Sebelum Moratorium....................................128 Gambar 3. Peta Jumlah Kapal yang Mencari Ikan di Indonesia Setelah Moratorium.......................................128 Gambar 1. Skema Jalur Laut Utama.........................................................167
xiii
BAGIAN PERTAMA
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING PRODUK PANGAN LOKAL oleh: Dewi Wuryandani
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
I.
PENDAHULUAN
Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dan juga unsur penopang kehidupan bagi manusia. Kekurangan pangan akan mengancam kondisi kesehatan dan kelangsungan hidup manusia, sehingga pangan harus senantias tersedia dalam jumlah cukup dan harga terjangkau termasuk untuk penduduk berpendapatan rendah. Harga pangan dipasar domestik dan dunia meningkat seiring dengan semakin bertambahnya penduduk. Hal ini menjadi masalah apabila supply dan demand yang ada tidak bisa memenuhi kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut sangatlah penting untuk menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya meningkatkan produksi pangan, khususnya nasional, sehingga sangat menarik untuk membahas mengenai kebijakan pemerintahan dalam menangani permasalahan yang terjadi di seputar kebutuhan pokok masyarakat yaitu pangan. Selama periode 2010-2014, rata-rata kontribusi sektor pertanian terhadap PDB mencapai 10,26% dengan pertumbuhan sekitar 3,90%. Sub-sektor perkebunan merupakan kontributor terbesar terhadap PDB sektor pertanian. Pada periode yang sama, sektor pertanian menyerap angkatan kerja terbesar walaupun ada kecenderungan menurun. Rasio ekspor-impor pertanian Indonesia sekitar 10 berbanding 4, dengan laju pertumbuhan ekspor mencapai 7,4% dan pertumbuhan impor 13,1 % per tahun.1 Ada 14 program di Kementerian Pertanian yang harus dilakukan guna mencapai kedaulatan pangan pada 2016. Ke-14 program tersebut ialah perluasan lahan sawah baru seluas 200.000 hektare (ha), perluasan pertanian lahan kering 250.000 ha, pengelolaan air irigasi untuk pertanian 500.000 ha, dan pengendalian konversi lahan. Kemudian optimasi dan pemulihan kesuburan lahan 275.000 ha, 1.000 desa mandiri benih, pembangunan gudang dengan fasilitas pengolahan pascapanen, bank pertanian dan UMKM, peningkatan kemampuan petani. Selanjutnya pengendalian impor pangan, reforma agraria 9 juta ha, 1.000 desa pertanian organik, terbangunnya 23 techno park dan 10 science park dan pemanfaatan lahan bekas pertambangan.2
“Renstra 2015-2019”. (http://www.pertanian.go.id/file/RENSTRA_20152019.pdf di akses 20 Agustus 2015). 2 “DPR Perintahkan Eselon I Kementerian Jalankan Nawa CIta”. (http:// industri.bisnis.com/read/20150601/99/439274/dpr-perintahkan-eselon-ikementan-jalankan-nawacita, diakses pada 2 Juni 2015). 1
2
Kebijakan Pemerintah dalam Meningkatkan Daya Saing
Daya saing produk pangan Indonesia dinilai masih rendah. Pemicunya, kebijakan pemerintah terkait ketersediaan pangan dinilai mengkhawatirkan. Kebijakan impor pangan yang saat ini meresahkan adalah impor yang harganya lebih murah. Ditinjau dari aspek ekonomi, politik dan hukum terhadap kebijakan bidang pangan yang ada selama ini, disimpulkan ada beberapa kegagalan. Salah satu penyebabnya adalah pemberdayaan dan perlindungan petani belum berhasil dilaksanakan, yakni mulai dari permodalan, perbenihan hingga pengolahan pascapanen. Pemerintah cenderung memilih langkah gampang dengan mengimpor pangan jika terjadi kelangkaan pasokan. Ketergantungan yang tinggi terhadap impor seharusnya menyadarkan kita untuk terus berinovasi guna percepatan kebangkitan teknologi pangan dan hasil pertanian. Selain hasilnya untuk mencapai ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat, ini akan menciptakan lapangan pekerjaan baru di pedesaan. Berbeda nasib dengan petani di Cina. Total nilai dukungan diberikan oleh pemerintah Cina kepada petani melebihi yang dari setiap negara lain. Pada 2012, yang paling beberapa tahun untuk perbandingan data yang ada, cina dibayarkan $165 miliar pada langsung dan tidak langsung subsidi pertanian.Berikutnya tersebut yaitu tertinggi adalah mereka dari jepang pada 65 miliar dolar dan amerika di waktu sekitar 30 miliar dolar, menurut penelitian oleh organisasi untuk kerja sama ekonomi dan pembangunan.3 Kurangnya daya saing juga dipicu oleh efek rupiah yang lemah membuat keresahan, karena komponen dollar AS dominan dalam bahan pakan kita yang mayoritas mengandalkan impor. Menurut catatan Kementerian Pertanian (Kemtan), impor memenuhi separuh kebutuhan komoditas pangan nasional. Kebutuhan jagung untuk pakan ternak yang mencapai 8 juta ton per tahun, misalnya, separuhnya harus ditutupi dari impor. Juga kebutuhan kedelai sebanyak 2,2 juta ton per tahun, 56% di antaranya harus diimpor dari sejumlah negara di kawasan Amerika. Yang tak kalah serius, kebutuhan daging sapi yang dalam setahun mencapai 640.000 ton, sebanyak 35% diasup dari impor. Juga bawang putih dari total kebutuhan 400.000 ton setahun, 95% di antaranya ditutup dari
3
The Economist (http://www.economist.com/printedition/2015-05-16)
3
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
impor. Memang, harga komoditas di pasar dunia sedang turun. Tapi, dengan adanya depresiasi rupiah, berdampak harga komoditas pangan impor naik 3%-5% di Indonesia. Tak hanya konsumen yang waswas. Pebisnis bahan pangan juga, misalnya para peternak ayam, pengusaha tahu tempe dan sebagainya.4 Potensi kenaikan harga bahan pangan ini bisa mengancam stabilitas ekonomi masyarakat. Selain mendorong inflasi, kenaikan harga pangan kian melemahkan daya beli masyarakat. Oleh karena itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, berharap Bank Indonesia dan pemerintah bahu-membahu mengangkat rupiah. jika tidak segera ditangani, masyarakat menderita karena harga pangan mahal dan menjadi tak terjangkau. Peningkatan daya saing pangan, pertanian dan produk kehutanan di pasar internasional, dan pemberdayaan petani melalui promosi koperasi pertanian telah menjadi prioritas regional. Isuisu baru dan lintas sektoral seperti masalah ketahanan pangan, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim untuk sektor pertanian dan kehutanan, dan sanitary and phytosanitary (SPS) juga merupakan bagian dari prioritas. Melalui harmonisasi kualitas dan standar, jaminan keamanan pangan, dan standardisasi sertifikasi perdagangan, produk pertanian diharapkan siap bersaing di pasar global dengan menawarkan makanan yang aman, sehat dan berkualitas dan memenuhi standard baik itu untuk produksi, penanganan panen dan pasca-panen produk pertanian, batasan residu maksimum pestisida, kriteria untuk akreditasi usaha ternak dan produks ternak, pedoman GMP untuk udang, dan ”code of conduct” untuk usaha perikanan yang bertanggungjawab, untuk digunakan sebagai referensi dalam mengembangkan prioritas nasional dan sarana untuk mendukung pembangunan industri-agro. Menjamin keamanan produk pangan telah menjadi sasaran pokok pemerintah. Untuk menghadapi meningkatnya kekhawatiran atas keamanan pangan di kawasan baru-baru ini, maka telah diadopsi ASEAN Statement on Food Security, ASEAN Integrated Food Security Framework and Strategic Plan of Action on ASEAN Food Security guna menjamin ketahanan pangan jangka panjang
4
4
“Pangan Kita Banyak Mengandung Dollar”. (http://industri.kontan.co.id/ news/pangan-kita-banyak-mengandung-dollar, diakses pada 2 Juni 2015).
Kebijakan Pemerintah dalam Meningkatkan Daya Saing
dan untuk meningkatkan kesejahteraan para petani di kawasan ASEAN ini. ASEAN Multisectoral Framework on Climate Change: Agriculture and Forestry toward Food Security merupakan prakarsa lainnya untuk menjawab dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian dan kehutanan. Pasar tunggal ASEAN dapat diwujudkan dengan memperhatikan produk hasil pertanian dan hasil hutan yang dapat diperdagangkan di tingkat nasional. Untuk mencapai itu maka dibutuhkan kebijakan makroekonomi yang tepat; kondisi ekonomi negara yang spesifik; pendidikan berkualitas bagi petani; pemanfaatan teknologi yang sesuai; dan pengaturan komunikasi dan pemasaran untuk memudahkan akses bagi para petani kepada informasi, modal dan input bagi kegiatan produksi yang efisien dengan biaya seminimal mungkin. Ketahanan pangan telah lama menjadi agenda penting di ASEAN. Menanggapi fluktuasi harga pangan yang tinggi dibarengi dengan krisis keuangan global yang dimulai pada tahun 2008, ASEAN perlu mengambil pendekatan yang strategis dan komprehensif terhadap ketahanan pangan jangka panjang di wilayah ini. Dalam rangka menjamin keamanan pangan jangka panjang dan meningkatkan pendapatan petani di kawasan ASEAN, maka para Pemimpin ASEAN telah menyepakati Kerangka Kerja Ketahanan Pangan Terpadu ASEAN (Integrated Food Security (AIFS)) dan Rencana Aksi Strategis Ketahanan Pangan ASEAN (Framework and Strategic Plan of Action on ASEAN Food Security (SPA-FS) pada KTT ASEAN ke-14 tahun 2009. Kerangka AIFS dan SPA-FS, yang direncanakan untuk jangka waktu lima tahun (2009-2013), memuat langkah-langkah, kegiatan dan jadwal waktu untuk memfasilitasi kerja sama dalam pelaksanaan dan proses pemantauannya. Komponen Kunci dari Kerangka Kerja AIFS memperkuat ketahanan pangan dan bantuan darurat/ kelangkaan merupakan langkah inti dalam penanganan ketahanan pangan di wilayah ini. Hal ini bertujuan untuk memperkuat program dan kegiatan ketahanan pangan nasional, dan mengembangkan prakarsa dan mekanisme cadangan keamanan pangan regional. Produksi pangan yang berkelanjutan merupakan aspek penting dari pengamanan ketahanan pangan, yang dapat dicapai melalui peningkatan pembangunan infrastruktur pertanian, meminimalkan 5
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
kerugian pasca-panen, mengurangi biaya transaksi, mempromosikan pemanfaatan secara efisien sumber-sumber bagi pengembangan pertanian, mempromosikan inovasi pertanian termasuk penelitian dan pengembangan produktivitas pertanian, dan mempercepat transfer dan penerapan teknologi baru. Hal ini termasuk penyediaan pasar produk pangan yang kondusif untuk pengembangan perdagangan pangan yang berkelanjutan, mendorong investasi publik dan swasta yang lebih besar di sektor pangan dan pengembangan industri berbasis agro, dan memperkuat sistem informasi ketahanan pangan yang terintegrasi isu yang berkaitan dengan ketahanan pangan, seperti pengembangan biofuel dan dampak perubahan iklim terhadap keamanan pangan juga merupakan bagian tak terpisahkan dari Kerangka Kerja AIFS.5 II. PERKEMBANGAN PRODUK PANGAN DI INDONESIA
Krisis pangan yang melanda dunia tahun ini benar-benar membuat negara-negara didunia harus mencari solusi. Kerja keras negara-negara dunia ini dipicu dengan kenaikan harga pangan dan kekhawatiran akan bencana kelaparan yang mengiringinya terkait dengan menurunnya daya beli akan bahan pangan yang cenderung terus meningkat dan langka. Krisis pangan ini sebenarnya telah terjadi sejak tahun 2005 namun baru booming pada tahun 2008. Pertumbuhan penduduk dunia yang semakin pesat yang diikuti oleh semakin besarnya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian telah berdampak pada semakin terbatasnya ketersediaan pangan dunia, sehingga perlu upaya-upaya yang berkekanjutan untuk memperbaiki struktur produksi pangan yang diikuti dengan menekan laju pertumbuhan penduduk. 6 Situasi produksi pangan di dunia diperkirakan relatif membaik tahun 2014. Total produksi cerealia di dunia akan meningkat 8,4% di periode 2013/2014 dibanding 2012/2013. Peningkatan terjadi
Dinal Rifqi, “Kerja Sama ASEAN dibidang Pangan Pertanian dan Kehutanan”. (http://kesmavet.ditjennak.pertanian.go.id/index.php/berita/tulisan-ilmiahpopuler/118-kerja-sama-asean-di-bidang-pangan-pertanian-dan-kehutanan, diakses pada 2 Juni 2015). 6 “Ancaman Krisis Pangan”. (http://www.kompasiana.com/sae/ancamankrisis-pangan_5528c6f86ea8341a488b45a5, diakses pada 2 Juni 2015). 5
6
Kebijakan Pemerintah dalam Meningkatkan Daya Saing
2,6% di negara berkembang dan 17,4% di negara maju (FAO Crop Prospects and Food Situation, Desember 2013). Stok serealia di dunia pada akhir musim 2014 diperkirakan meningkat 13,4% lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan demikian, harga serealia dunia terutama gandum, beras dan jagung akan menurun di tahun 2014. Situasi pangan di Indonesia pada 2014 tidak lebih baik dibandingkan 2013. Hal ini ditandai dengan meningkatnya impor lima komoditas pangan utama. Hal ini disebabkan sistem pangan nasional terintegrasi dengan sistem pangan global yang menyebabkan Indonesia masuk dalam “jebakan impor pangan”. Pembelajaran selama beberapa tahun terakhir ini menunjukkan hal tersebut. Hanya dalam tempo yang relatif singkat terjadi peningkatan impor serealia yang luar biasa. Impor serealia meningkat 60,45% hanya dalam kurun waktu empat tahun (nilai rata-rata impor serealia periode 2011-2013 dibandingkan dengan periode 20072009). Impor lima komoditas pangan strategis yang mencakup beras, gandum, jagung, kedelai, dan gula diproyeksikan mencapai 20,70 juta ton atau senilai US$ 5,43 miliar (Rp 71,85 triliun) tahun 2105. Meski dari sisi nilai merosot 34 persen dari tahun 2014 sebesar US$ 8,21 miliar akibat menurunnya harga komoditas di pasar internasional, volume impor naik dibanding tahun lalu 20,30 juta ton.7 Hal tersebut sebagian disebabkan harga yang cenderung menurun di pasar global yang akan berdampak pada kemungkinan-kemungkinan terjadinya distorsi impor pangan karena memanfaatkan kecenderungan penurunan harga pangan di pasar global.8 III. PERMASALAHAN SEPUTAR PRODUK PANGAN
A. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan pangan Permasalahan dan tantangan dalam pembangunan ketahanan pangan secara umum menyangkut pertambahan penduduk, semakin terbatasnya sumber daya alam, masih terbatasnya prasarana dan
7
8
Impor Pangan RI Diperkirakan Capai Rp71 Triliun. (http://www.beritasatu. com/ekonomi/277498-impor-pangan-ri-diperkirakan-capai-rp-71-triliun-1. html, akses pada 2 Juni 2015). “Ancaman Global Terhadap Krisis Pangan”, Kompas, 21 Januari 2014.
7
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
sarana usaha dibidang pangan, semakin ketatnya persaingan pasar dengan produk impor, serta besarnya proporsi penduduk miskin. Adapun tantangan yang dihadapi adalah pentingnya membuat sebuah kebijakan dalam bidang perdagangan dan pertanian yang dapat melindungi sistem produksi domestik, serta dapat menunjang peningkatan daya saing produk pangan lokal tanpa menyebabkan distorsi berlebihan terhadap mekanisme pasar.9 Kapasitas produksi yang tidak dapat memenuhi peningkatan permintaan kebutuhan pangan, bisa mengakibatkan impor pangan. Kebijakan impor pangan yang meningkat, membawa konsekuensi stabilitas ketersediaan pangan menjadi rentan, karena bergantung pada kebijakan ekonomi negara lain. Hal ini menjadi penyebab adanya ancaman kemandirian pangan nasional.10 Harga pangan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengevaluasi kondisi pasokan, distribusi, dan keterjangkauan/akses pangan oleh masyarakat. Harga pangan yang stabil disepanjang waktu, terjangkau dan merata diseluruh wilayah, mengindikasikan kondisi pasokan pangan cukup aman dengan distribusi lancar. Kedaulatan pangan yang menekankan pada kedaulatan petani dan nelayan tidak akan tercapai karena subyek pembangunan pertanian Indonesia akan diarahkan pada korporasi yang memasifkan industrialisasi pangan. Korporasi yang berorientasi kepada pencarian keuntungan sebesar-besarnya sangat bertentangan dengan konsep petani sebagai subjek pembangunan yang berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan kehidupan seharihari, pelestarian benih dan kesejahteraan masyarakat di pedesaan. Kesempatan masih terbuka untuk memasuki pasar global sehingga perlu untuk memicu produktivitas dan daya saing produk produk pertanian Indonesia agar semakin baik dengan dukungan kebijakan pertanian yang pro pasar diharapkan akan mampu memberikan kesejahteraan petani dan meningkatkan devisa Negara.
9
10
8
“Sri Rahayu M jajuk Hanafie. “Pola Konsumsi Pangan Lokal Masyarakat Menuju Keberlanjutan dan Kemandirian pangan”. Seminar Nasional: Kedaulatan Pangan dan Energi. Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura, 2012. “Krisis Pangan dan Ancaman ASEAN Economic Community 2015”. (http:// www.kompasiana.com/sae/krisis-pangan-dan-ancaman-asean-economiccommunity-2015_552a4927f17e612f70d62502, diakses 20 Juli 2015).
Kebijakan Pemerintah dalam Meningkatkan Daya Saing
Kebijakan pertanian yang pro pasar yang tidak menelantarkan peran petani dan yang tidak menghancurkan sistem pengelolaan pangan, seperti pada penyediaan benih yang saat ini hampir dikuasai oleh perusahaan benih multinasional. Akibatnya petani kehilangan kedaulatan akan benih. Sepuluh perusahaan benih multinasional saat ini mengontrol 73% pasar benih komersial dunia, meningkat dari hanya 37% di tahun 1995. Seperti, Monsanto, East West Seed, Dupont, Syngenta, dan lain sebagainya.11 Harga pangan juga merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengevaluasi kondisi pasokan, distribusi, dan keterjangkauan/akses pangan oleh masyarakat. Harga pangan yang stabil disepanjang waktu, terjangkau dan merata diseluruh wilayah, mengindikasikan kondisi pasokan pangan cukup aman dengan distribusi lancar. Kedaulatan pangan yang menekankan pada kedaulatan petani dan nelayan tidak akan tercapai karena subyek pembangunan pertanian Indonesia akan diarahkan pada korporasi yang memasifkan industrialisasi pangan. Korporasi yang berorientasi kepada pencarian keuntungan sebesar-besarnya sangat bertentangan dengan konsep petani sebagai subjek pembangunan yang berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan kehidupan seharihari, pelestarian benih dan kesejahteraan masyarakat di pedesaan. Saat ini Indonesia dengan jumlah penduduk hampir 250 juta jiwa dan dengan tingkat pertumbuhan sekitar 1,6 persen, diperlukan lahan sawah setidaknya minimal seluas 10 juta hektar. Tahun 2014, areal lahan persawahan baku yang ada di Indonesia mencapai 8,1 juta hektar dengan tingkat alih fungsi lahan mencapai 100 ribu hektar per tahunnya.12 Dengan perluasan areal lahan pertanian di dalam negeri akan berdampak kepada penyerapan tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Berdasarkan data BPS penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian lebih besar dibandingkan sektor lainnya
11
12
“Nawa Cita Kedaulatan Pangan dan Visi Kemaritiman Jokowi Diragukan Konsistensinya”. (http://binadesa.co/nawa-cita-kedaulatan-pangan-dan-visikemaritiman-jokowi-diragukan-konsistensinya/#sthash.ryYX0EKW.dpuf, diakses pada 20 Juli 2015). “Luas Lahan Pertanian Naik 700Ribu Hektar”. (http://bisniskeuangan.kompas. com/read/2015/04/21/172902726/Luas.Lahan.Pertanian.Naik.700.Ribu. Hektar, diakses pada 20 Juli 2015).
9
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
yaitu sebesar 34,4 persen dari 38,07 juta penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Permasalahan daya saing pada produk pertanian telah menjadi kendala yang cukup sulit dan sudah lama dihadapi oleh para petani di Indonesia. Beberapa tuntutan yang harus dipenuhi untuk dapat memenangkan pasar global, diantaranya:13 1. Masalah standarisasi produk dan proses; Untuk produk hasil pertanian perlu dilakukan standarisasi dari hulu ke hilir (from land to table). Dalam memenuhi ketersediaan diperlukan sarana produksi yang mencakup produksi pertanian, penanganan, dan pengolahannya yang sesuai. Dilanjutkan dengan sistem distribusi, pasar dan akhirnya diterima konsumen dengan tetap dikelola dengan Total Quality Manangement (TQM). 2. Tuntutan kandungan pangan yang tidak berbahaya, harus rendah residu bahan kimia; Sejak tahun 2006, Peraturan ASEAN mengenai Pertanian yang baik untuk Buah Segar dan Sayuran, atau ASEAN GAP, telah diterapkan sebagai standar untuk produksi, pada saat panen dan penanganan pasca panen buah-buahan dan sayuran di wilayah ASEAN. Penggunaan ASEAN GAP bertujuan untuk memastikan bahwa buah-buahan dan sayuran yang dihasilkan di wilayah ini aman untuk dikonsumsi dan kualitas yang tepat bagi konsumen. Selain itu, ASEAN GAP juga memastikan bahwa pangan yang diproduksi dan ditangani dengan cara yang benar tidak akan merugikan lingkungan, kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan pekerja di sektor pertanian dan pangan.14 3. Tuntutan integrasi pengelolaan rantai pasok (supply chain management); Supply chain management merupakan kegiatan pengelolaan kegiatan-kegiatan dalam rangka memperoleh bahan mentah, mentransformasikan bahan mentah tersebut menjadi barang dalam proses dan barang jadi, dan mengirimkan produk tersebut ke konsumen melalui sistem distribusi. Untuk memenuhi kebutuhan komoditas hasil pertanian yang berkualitas, maka sangat dibutuhkan sebuah
“Kebijakan Pembangunan Pertanian 2015-2019”. (http://www.pertanian. go.id/eplanning/tinymcpuk/gambar/file/Kebijakan_pembangunan_ pertanian_2015-2019.pdf, diakses pada 20 Juli 2015). 14 Dinal Rifqi, Op. Cit 13
10
Kebijakan Pemerintah dalam Meningkatkan Daya Saing
pengelolaan yang terintegarasi seperti halnya supply chain pada sektor industri, maka perlu pengaturan distribusi secara merata agar harga komoditi tersebut tetap stabil dan meningkatkan produksi dalam negeri. Hal tersebut bisa dimulai dari ketersediaan benih yang berkualitas, pupuk, proses penanaman, pemanenan hingga pemasarannya. 4. Peningkatan kualitas mutu dan keamanan pangan. Semakin banyak bahan pangan dan produk pangan yang beredar, akan menuntut peningkatan kualitas mutu dan keamanannya. Baik mutu dan keamanan produk pangan dikenal adanya batasan residu pestisida, logam berat, mikotoksin dan bahan berbahaya lainnya yang biasa terkandung didalam bahan pangan atau produk pangan. Untuk mengatasi hal tersebut maka dibutuhkan suatu laboratorium penguji yang berkualitas serta dapat memberikan jaminan mutu dan keamanan terhadap bahan pangan dan produk pangan kepada konsumen. B. Analisa Kebijakan Pemerintah mengenai pangan lokal
Adapun beberapa isu strategis pada sektor pertanian diantaranya adalah sebagai berikut15: 1. Masih tingginya penduduk miskin yang tinggal di pedesaan; sebanyak 4,98 juta rumah tangga pada tahun 2013 2. Fenomena perubahan iklim global memberikaan dampak terhadap capaian produksi dan produktivitas pertanian; 3. Terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian serta terjadinya degradasi sumber daya alam; 4. Belum optimalnya peran Kelembagaan petani; 5. Lemahnya akses petani terhadap permodalan, dan terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana produksi pertanian (benih, pupuk, pestisida, alsintan) pendukung pengembangan system agribisnis; 6. Ketahanan Pangan; a. Ketergantungan beras sebagai komoditas pangan pokok masih cukup tinggi, walaupun sudah mulai mengalami penurunan. b. Pola konsumsi masyarakat masih belum beragam, bergizi, seimbang dan aman.
15
RPJMD 2014-2019 Provinsi Jawa Timur.
11
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
7. Fluktuasi harga produk pertanian akibat ketersediaan bahan pangan tidak kontinyu sepanjang tahun serta lemahnya tata niaga produk pertanian dan panjangnya rantai distribusi produk pertanian.
Dari sekian banyaknya isu strategis diatas, diharapkan sasaran pembangunan pertanian perlu disesuaikan bila dikaitkan dengan cakupan pembangunan pertanian yang lebih luas dan skala yang lebih besar, maka sasaran strategis Kementerian Pertanian tahun 2015-2019 adalah (1) Pencapaian swasembada padi, jagung dan kedelai serta peningkatan produksi gula dan daging, (2) peningkatan diversifikasi pangan, (3) peningkatan komoditas bernilai tambah dan berdaya saing dalam memenuhi pasar ekspor dan substitusi impor, (4) penyediaan bahan baku bioindustri dan bioenergi, (5) peningkatan pendapatan keluarga petani, serta (6) akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah yang baik. Sehingga dengan adanya sasaran strategis tersebut, maka Kementerian Pertanian menyusun dan melaksanakan 7 Strategi Utama Penguatan Pembangunan Pertanian untuk Kedaulatan Pangan (P3KP) meliputi (1) peningkatan ketersediaan dan pemanfaatan lahan, (2) peningkatan infrastruktur dan sarana pertanian, (3) pengembangan dan perluasan logistik benih/bibit, (4) penguatan kelembagaan petani, (5) pengembangan dan penguatan pembiayaan, (6) pengembangan dan penguatan bioindustri dan bioenergi, serta (7) penguatan jaringan pasar produk pertanian.16 Dukungan pemerintah Indonesia terhadap aspek keamanan pangan terlihat dari adanya perubahan Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996 yang telah diganti menjadi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Dalam UU Pangan yang baru, keamanan pangan telah memasukkan aspek keamanan pangan rokhani serta diatur secara lebih mendetail dan peran pemerintah dalam penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria keamanan pangan; pembinaan serta pengawasannya lebih dipertegas. Demikian pula dengan penyelenggaraan keamanan pangan sebagaimana diatur dalam BAB VII Pasal 69, diatur secara lebih mendetail. Penyelenggaraan keamanan pangan tersebut
16
12
Renstra 2015-2019. (http://www.pertanian.go.id/file/RENSTRA_2015-2019. pdf, diakses 20 Agustus 2015).
Kebijakan Pemerintah dalam Meningkatkan Daya Saing
dilakukan melalui: a) sanitasi pangan, b) pengaturan terhadap bahan tambahan pangan, c) pengaturan pangan produk rekayasa genetika, d) pengaturan iradiasai pangan, e) standar kemasan pangan, f) jaminan keamanan pangan dan mutu pangan, g) jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan.17 Sebelumnya UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan mengamanatkan bahwa pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab mewujudkan ketahanan pangan. Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengenadalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau oleh daya beli masyaraklat. Selanjutnya, masyarakat berperan dalam menyelenggarakan produksi dan penyediaan, perdagangan dan distribusi, serta sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang aman dan bergizi. UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang baru, Pasal 3, dinyatakan secara jelas bahwa “Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan (i) Kedaulatan Pangan, (ii) Kemandirian Pangan, dan (iii) Ketahanan Pangan”. Tiga pilar ini bisa diibaratkan sebagai kursi 3 kaki (three legs stool) yang harus berdiri kokoh, untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan.18 Dalam visi pemerintah yang baru, yaitu Trisakti, salah satu butirnya adalah Indonesia yang lebih berdikari dalam bidang ekonomi” yang kemudian dijabarkan kedalam misi Pemerintah baru, yaitu Nawa Cita, khususnya untuk cita 6: meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing dipasar Internasional dan cita 7: mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektorsektor strategis ekonomi domestik. Kemudian, visi misi tersebut dijabarkan lebih lanjut kedalam dimensi pembangunan, khususnya
17
18
“Pedoman Pelaksana Penanganan Keamanan Pangan Segar Tahun 2013”, Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2013, hal 1. P. Hariyadi. Prosiding Seminar Sains dan Teknologi 2014: “Pengembangan Industri pangan Sebagai Strategi Diversiflkasi Dan Peningkatan Daya saing Produk Pangan”, 2014, hal 9.
13
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
dimensi pembangunan sektor pendorong pertumbuhan, yaitu salah satunya adalah kedaulatan pangan. Dengan harapan ketergantungan produk impor dapat ditekan atau bahkan dihilangkan. Sasaran utama pembangunan di bidang kedaulatan pangan pada tahun 2016 yang tertuang dalam NKRAPBN 2016 adalah: 1. meningkatkan produksi bahan pangan utama 2. meningkatkan produksi ikan perikanan tangkap 3. tercapainya produksi garam 3,6 juta ton 4. meningkatkan cadangan beras Pemerintah 5. terselesaikannya konstruksi bending irigasi 19 buah.
NAWA CITA atau agenda prioritas Kabinet Kerja mengarahkan pembangunan pertanian ke depan untuk mewujudkan kedaulatan pangan, agar Indonesia sebagai bangsa dapat mengatur dan memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya secara berdaulat. Kedaulatan pangan diterjemahkan dalam bentuk kemampuan bangsa dalam hal: (1) mencukupi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri, (2) mengatur kebijakan pangan secara mandiri, serta (3) melindungi dan mensejahterakan petani sebagai pelaku utama usaha pertanian pangan. Dengan kata lain, kedaulatan pangan harus dimulai dari swasembada pangan yang secara bertahap diikuti dengan peningkatan nilai tambah usaha pertanian secara luas untuk meningkatkan kesejahteraan petani.19 Pada pengembangan industri pangan mempunyai potensi peran strategis dalam meningkatkan baik ketersediaan, akses, maupun kualitas konsumsi pangan. Tidak hanya itu, pengembangan industri pangan dengan kemampuannya mengelola kegialan pengembangan produk pangan yang efektif, juga sekaligus berpolensi untuk meningkatkan daya saing produk pangan Indonesia. Dalam tulisan ini untuk dapat memperkuat ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat maka kebijakan pembangunan industri pangan dapat diarahkan pada upaya industri aneka ragam pangan berbasiskan pada sumber daya lokal. Para pembuat kebijakan perlu menilai lingkungan-lingkungan kompetitif, intern, dan ekstern yang ada. Selain itu juga perlu menetapkan atau meninjau kembali maksud-maksud tujuan dan sasaran utama20 yaitu mewujudkan kedaulatan pangan, agar
19 20
14
Renstra 2015-2019, Op. Cit. Philip Kotler, “Pemasaran Keunggulan Bangsa”, Prenhallindo, 1997, hal 372
Kebijakan Pemerintah dalam Meningkatkan Daya Saing
Indonesia sebagai bangsa dapat mengatur dan memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya secara berdaulat. C. Langkah Antisipasi Hadapi Krisis Pangan
Menghadapi ancaman krisis dalam kemandirian pangan, diperlukan langkah antisipasi yang komprehensif. Adapun kebijakan tersebut dapat diorientasikan dalam beberapa hal.21 Pertama, pengembangan komoditas pangan strategis harus terpadu, konsisten dan berkelanjutan, dengan lebih memperhatikan peningkatan produktivitas dengan peningkatan adopsi teknologi unggul oleh petani, peningkatan kualitas penyuluhan dan penguatan kelembagaan petani, perluasan areal tanam dengan pencetakan lahan sawah baru dan pemanfatan lahan kering dan peningkatan intensitas pertanaman, aspek distribusi pangan dan perdagangan, serta aspek tata niaga dan harga pangan. Kedua, stabilitas harga pangan strategis harus dijaga melalui penguatan pemantauan harga beberapa pangan pokok dan strategis, khususnya pada bulan-bulan tertentu saat produksi menurun dan saat kebutuhan meningkat, atau pada musim panen. Apabila terjadi gejolak harga yang meresahkan masyarakat, pemerintah harus melakukan tindakan intervensi untuk menstabilkan kembali pada tingkat yang dapat diterima. Ketiga, melindungi pasar domestik untuk komoditas pangan strategis terhadap praktek perdagangan internasional yang tidak adil, dengan kebijakan promosi, sepeti subsidi produksi dan insentif harga, serta kebijakan proteksi seperti pengenaan tarif, pengenaan kuota dan non-tarif. Keempat, percepatan diversifikasi konsumsi pangan melalui pengembangan pangan lokal spesifik wilayah dan pengembangan bisnis pangan berbasis teknologi pangan lokal. Upaya mencapai ketahanan pangan dapat dicapai juga melalui diversifikasi pangan, dari sisi ketersediaan Indonesia merupakan negara yang kaya akan diversitas sumber pangan sehingga diharapkan dapat mengurangi resiko ketergantungan terhadap satu jenis bahan pangan
21
“Krisis Pangan dan Ancaman ASEAN Economic Community 2015”. (http:// www.kompasiana.com/sae/krisis-pangan-dan-ancaman-asean-economiccommunity-2015_552a4927f17e612f70d62502, diakses 20 Juli 2015).
15
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
saja. Konsumsi beras pada tahun 2013 per kapita orang Indonesia per tahun mencapai 139 kg, konsumsi beras ini tercatat tertinggi di dunia. Data BPS tahun 2015 menyatakan konsumsi beras mengalami penurunan sebesar 114,8 kilogram per tahun atau 315 gram per hari, yang merupakan kombinasi antara konsumsi beras di rumah tangga hasil Susenas dan konsumsi beras di luar rumah tangga hasil Survei Konsumsi Beras Nasional pada tahun 2012.22 Dengan konsumsi beras yang tinggi, membuat orang Indonesia rawan kena diabetes. Sebagai perbandingan, di Negara ASEAN konsumsi beras orang Indonesia termasuk yang tertinggi, misalnya Malaysia 90 Kg per kapita per tahun, Brunei Darussalam konsumsinya hanya 80 Kg per kapita per tahun. Bahkan Jepang saja konsumsi beras masyarakatnya hanya 70 kg per tahun per kapita, China 90-100 kg per kapita per tahun.23 Dengan diversifikasi pangan, diharapkan akan terjadi distribusi terhadap ketersediaan sumber pangan dan perubahan dari sisi konsumsi. Namun keberhasilan dalam hal penurunan tingkat konsumsi beras memberikan dampak lain, adanya tingkat penurunan konsumsi tersebut ternyata tidak dibarengi peningkatan konsumsi komoditas pangan lokal yang merupakan sumber karbohidrat selain beras. Tapi, yang meningkat justru konsumsi produk olahan tepung terigu, terutama mie instan dan roti. Hasil Susenas memperlihatkan, selama periode 19962011, laju peningkatan pangsa pengeluaran rumah tangga Indonesia yang dialokasikan untuk membeli mie instan mencapai 5,95 persen per tahun. Hal ini memberi konfirmasi bahwa peran mie instan kian besar dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia. Data World Instant Noodles Association (WINA) juga memberi konfirmasi bahwa konsumsi mie instan masyarakat Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bayangkan, pada tahun 2013, konsumsi mie instan masyarakat Indonesia sudah mencapai 14,9 miliar bungkus, atau mengalami peningkatan sebesar 1 miliar bungkus Kadir Ruslan, “Di Balik Penurunan Angka Konsumsi Beras Masyarakat Indonesia”. (http://www.kompasiana.com/kadirsaja/di-balik-penurunanangka-konsumsi-beras-masyarakat-indonesia_552816a36ea834372d8b4591 diakses 27 Juli 2015). 23 “Konsumsi Beras Tertinggi di Dunia Orang Indonesia Rawan Kena Diabetes”. (http://finance.detik.com/read/2013/07/17/152223/2305835/4/konsumsiberas-tertinggi-di-dunia-orang-indonesia-rawan-kena-diabetes diakses 27 Juli 2015). 22
16
Kebijakan Pemerintah dalam Meningkatkan Daya Saing
bila dibandingkan dengan konsumsi pada tahun 2009. Itu artinya, secara rata-rata setiap orang Indonesia mengkonsumsi sekitar 60-61 bungkus atau 1,5 dus mie instan pada tahun 2013. Tingginya angka konsumsi mie instan ini menempatkan Indonesia di posisi kedua sebagai negara pengkonsumsi mie instan terbesar di dunia setelah Cina, yang konsumsinya mencapai 46,2 miliar bungkus. Bahan baku pembuatan mie instan adalah tepung terigu yang merupakan produk olahan gandum. Mengingat kembali, gandumnya harus diimpor, sehingga tak bisa dihindari, dengan adanya peningkatan konsumsi mie instan maka akan terjadi kenaikan impor gandum. Saat ini Indonesia merupakan negara importir gandum terbesar ke-4 di dunia setelah Mesir, Cina, dan Brazil dengan volume impor mencapai 7,4 ton atau senilai US$3 miliar pada kurun 2013-2014 (Koran Jakarta, 12 April 2014). Itu artinya, volume impor dan banyaknya devisa yang dihabiskan untuk impor gandum sebetulnya lebih besar dari impor beras. Indonesia bahkan diramalkan bakal menjadi importir gandum terbesar di dunia dalam lima tahun mendatang.24 Indonesia dengan sumber hayati yang melimpah dengan kenaekaraam sumber pangan harus dilindungi sebab merupakan kewajiban negara untuk melindungi rakyatnya dalam pemenuhan kebutuhan pangan, ketercukupannya dan keterjangkauannya. Untuk meningkatkan hasil produk pangan dapat dilakukan beberapa hal yang sudah sejak dulu diterapkan, mungkin dapat digalakkan kembali, seperti menghidupkan kembali sumber-sumber inovasi dibidang teknologi baik dalam hal mekanisasi pertanian (penggunaan mesin-mesin modern dalam bercocok tanam) dan inovasi biologis yaitu penggunaan bibit unggul dan peningkatan mutu lahan yang lebih ramah lingkungan.25 IV. PENUTUP
Penurunan konsumsi beras menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan ketahanan pangan. Dengan adanya Program Percepatan Penganekaragaman Pangan, kita dapat menurunkan konsumsi beras masyarakat dan beralih ke umbi-umbian, mengingat potensi umbi-umbian cukup banyak. Tingkat konsumsi
24 25
Kadir Ruslan, op. cit. Lincoln Arsyad, Ekonomi Pembangunan”, penerbit STIE YKPN, 1992, hal 282.
17
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
beras penduduk Indonesia tahun 2015 sebesar 124,89 Kg/Kap/ thn, dengan perkiraan jumlah penduduk Indonesia 255,462 juta jiwa (BPS) dan akan terus bertambah dan diantisipasi dengan penganekaragaman sumber pangan. Selain itu, perubahan pola konsumsi pangan masyarakat harus diantispasi sejak dini, adapun tren peningkatan impor gandum yang saat ini menjadi primadona pangan pengganti beras juga harus disikapi secara serius oleh pemerintah. Sedikitnya ada dua hal yang dapat dilakukan untuk menekan laju peningkatan impor gandum. Pertama, melakukan pengembangan komoditas pengganti gandum sebagai penghasil tepung terigu harus didorong oleh pemerintah. Salah satu komoditas yang potensial untuk dikembangkan sebagai pengganti gandum adalah sagu. Sayangnya, komoditas ini belum sepenuhnya dilirik oleh industri, meski kandungan seratnya lebih kaya dibanding gandum. Kedua, pemerintah dapat mendorong budidaya tanaman gandum di dalam negeri. Meskipun sejatinya merupakan tanaman sub-tropis, ada beberapa varietas gandum yang cocok dibudidayakan di iklim tropis, sehingga sangat potensial untuk dikembangkan di tanah air. Upaya membudidayakan gandum di Indonesia sebetulnya sudah dirintis oleh sejumlah kalangan dan terbilang sukses. Yang dibutuhkan adalah dukungan dan upaya afirmatif dari pemerintah untuk mendorong budidaya gandum di dalam negeri dengan skala yang lebih luas. Pelaksanaan rencana distribusi pangan sebagai salah satu pilar terwujudnya ketahanan pangan dapat terwujud, dengan mengandalkan produksi dari dalam negeri. Dalam upaya mencapai hal tersebut, tentunya sektor pertanian tidak mungkin berdiri sendiri tanpa adanya dukungan dan koordinasi dengan Kementerian terkait serta stakeholder.
18
DAFTAR PUSTAKA
Buku Arsyad, Lincoln. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: penerbit STIE YKPN, 1992. Badan Ketahanan Pangan. Pedoman Pelaksana Penanganan Keamanan Pangan Segar Tahun 2013. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2013.
Kotler, Philip. Pemasaran Keunggulan Bangsa. Prenhallindo, 1997.
Artikel dalam Jurnal, working paper, majalah dan surat kabar. “Ancaman Global Terhadap Krisis Pangan”. Kompas, 21 Januari 2014. Hariyadi, P. “Pengembangan Industri pangan Sebagai Strategi Diversiflkasi Dan Peningkatan Daya saing Produk Pangan”. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi, 2014. Hanafie, Sri Rahayu M jajuk. “Pola Konsumsi Pangan Lokal Masyarakat Menuju Keberlanjutan dan Kemandirian pangan”. Seminar Nasional: Kedaulatan Pangan dan Energi. Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura. 2012 Artikel dalam internet
“Ancaman Krisis Pangan”. (http://www.kompasiana.com/sae/ ancaman-krisis-pangan_5528c6f86ea8341a488b45a5, diakses pada 2 Juni 2015). “Di Balik Penurunan Angka Konsumsi Beras Masyarakat Indonesia”. (http://www.kompasiana.com/kadirsaja/di-balik-penurunanangka-konsumsi-beras-masyarakat-indonesia_552816a36ea83 4372d8b4591 diakses 27 Juli 2015). 19
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
“DPR Perintahkan Eselon I Kementerian Jalankan Nawa Cita”. (http://industri.bisnis.com/read/20150601/99/439274/dprperintahkan-eselon-i-kementan-jalankan-nawacita, diakses pada 2 Juni 2015). “Impor Pangan RI Diperkirakan Capai Rp71 Triliun”. (http:// www.beritasatu.com/ekonomi/277498-impor-pangan-ridiperkirakan-capai-rp-71-triliun-1.html, akses pada 2 Juni 2015).
“Konsumsi Beras Tertinggi di Dunia Orang Indonesia Rawan Kena Diabetes”. (http://finance.detik.com/read/2013/07/17/152 223/2305835/4/konsumsi-beras-tertinggi-di-dunia-orangindonesia-rawan-kena-diabetes diakses 27 Juli 2015). “Kebijakan Pembangunan Pertanian 2015-2019”. (http://www. pertanian.go.id/eplanning/tinymcpuk/gambar/file/Kebijakan_ pembangunan_pertanian_2015-2019.pdf, diakses pada 20 Juli 2015).
“Kerja Sama ASEAN dibidang Pangan Pertanian dan Kehutanan”. (http://kesmavet.ditjennak.pertanian.go.id/index.php/berita/ tulisan-ilmiah-populer/118-kerja-sama-asean-di-bidangpangan-pertanian-dan-kehutanan, diakses pada 2 Juni 2015). “Krisis Pangan dan Ancaman ASEAN Economic Community 2015”. (http://www.kompasiana.com/sae/krisispangan-dan-ancaman-asean-economic-community2015_552a4927f17e612f70d62502, diunduh 20 Juli 2015).
“Luas Lahan Pertanian Naik 700Ribu Hektar”. (http:// bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/04/21/172902726/ Luas.Lahan.Pertanian.Naik.700.Ribu.Hektar, diakses pada 20 Juli 2015) “Nawa Cita Kedaulatan Pangan dan Visi Kemaritiman Jokowi Diragukan Konsistensinya”. (http://binadesa.co/nawa-citakedaulatan-pangan-dan-visi-kemaritiman-jokowi-diragukankonsistensinya/#sthash.ryYX0EKW.dpuf, diakses pada 20 Juli 2015). 20
Kebijakan Pemerintah dalam Meningkatkan Daya Saing
“Pangan Kita Banyak Mengandung Dollar”. (http://industri.kontan. co.id/news/pangan-kita-banyak-mengandung-dollar, diakses pada 2 Juni 2015). “Renstra 2015-2019”. (http://www.pertanian.go.id/file/RENSTRA_ 2015-2019.pdf di akses 20 Agustus 2015).
“The Economist” (http://www.economist.com/printedition/ 201505-16, diakses pada 2 Juni 2015) Dokumen
RPJMD 2014-2019 Provinsi Jawa Timur.
21
BAGIAN KEDUA
KEMANDIRIAN SEKTOR PERTANIAN MELALUI PENGEMBANGAN BENIH PERTANIAN oleh: Lukman Adam
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
I.
PENDAHULUAN
Benih merupakan kebutuhan yang esensial bagi pengembangan pertanian, selain lahan dan pupuk. Sebagai input utama sektor pertanian, benih harus menjadi perhatian utama bagi pembuat kebijakan di sektor pertanian. Penggunaan benih bermutu dari varietas unggul merupakan pilar penting dalam peningkatan produktivitas tanaman, termasuk tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Sistem produksi pertanian baik untuk memenuhi konsumsi sendiri maupun berorientasi komersial memerlukan adanya ketersediaan benih berdaya hasil tinggi dan mutu baik. Dalam pertanian modern, benih berperan sebagai delivery mechanism yang menyalurkan keunggulan teknologi kepada clients.1 Sehingga kontribusi benih dalam mendorong meningkatkan jumlah dan kualitas produksi pertanian yang mampu dihasilkan menjadi sangat penting.2 Suyamto tahun 2011 menyebutkan pengembangan sistem perbenihan, khususnya tanaman pangan, terutama padi, diawali pada tahun 1971 dengan dibentuknya kelembagaan perbenihan yang meliputi Badan Benih Nasional (BBN), Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3), Perum Sang Hyang Seri (SHS), dan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB). BBN bertugas merumuskan kebijakan perbenihan. LP3 merupakan lembaga penelitian yang bertugas melakukan penelitian perakitan varietas dan produksi benih penjenis (BS). SHS sebagai industri benih bertugas melakukan produksi benih sumber dan benih komersial bermutu serta mendistribusikan dan memasarkannya. BPSB bertugas mengawasi, membina, dan memberikan sertifikat/label benih bermutu. 3 Ketergantungan petani terhadap benih unggul masih sangat kecil sehingga tingkat produksi dan produktivitas tanaman pangan
M.O. Adnyana, “Identifikasi dan Analisis Komoditas Tanaman Pangan untuk Menciptakan Peluang Pasar”, Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2006, p. 6. 2 Ketut Kariyasa, “Usulan Kebijakan Pola Pemberian dan Pendistribusian Benih Bersubsidi”, Analisis Kebijakan Pertanian, 5 (4), 2007, p. 305. 3 Suyamto, “Revitalisasi Sistem Perbenihan Tanaman Pangan: Sebuah Pemikiran”, Iptek Tanaman Pangan, 6 (1), 2011, p. 1 – 2. 1
24
Kemandirian Sektor Pertanian
masih tidak terlalu tinggi. Penggunaan benih yang merupakan salah satu simbol dari inovasi, perubahan teknologi, dan modernisasi sistem produksi pangan perlu memperoleh dukungan kebijakan yang memadai. Sistem subsidi untuk mendukung proses produksi pertanian masih sangat diperlukan. Di satu sisi adalah inovasi untuk menghasilkan benih baru atau varietas unggul yang mampu melonjakkan produksi dan produktivitas pangan, serta pendapatan petani. Pemerintah wajib membenahi kebijakan riset dan pengembangan, alokasi anggaran, memberdayakan pusat-pusat penelitian di dalam negeri, serta lembaga-lembaga riset. Melalui kemitraan dengan swasta dan kelompok masyarakat, pengembangan bioteknologi akan dapat menjadi alternatif yang cukup prospektif untuk jangka menengah dan panjang. Subsidi terhadap benih adalah satu langkah, tetapi mobilisasi ribuan penyuluh baru ke pelosok desa adalah langkah lain untuk mengawal subsidi tersebut.4 Sejak tahun 1986, pemerintah telah memberlakukan kebijakan subsidi untuk benih padi dan kedelai. Sementara untuk benih jagung baru dimulai tahun 2004, dan itu pun hanya untuk jagung komposit. Mulai tahun 2005, pemerintah baru memberikan subsidi benih untuk jagung hibrida.5 Kebijakan benih nasional erat kaitannya dengan kebijakan pangan yang jika dikaitkan dengan perubahan iklim global adalah dengan pendekatan teknologi. Umpamanya dengan memanfaatkan teknologi produksi, yakni dengan memperkenalkan benih (bibit) unggul yang adaptif terhadap perubahan iklim. Seperti pengadaan bibit yang tahan kekeringan (panas), dan bibit yang tahan banjir atau tahan kerendaman, tahan keasaman dan lain-lain, sehingga produksi tetap tinggi. 6 Dalam kaitannya dengan pengendalian impor pangan untuk jangka panjang, guna mengurangi volume impor beras, Pemerintah perlu mengatur kebijakan harga (price policy) yang memberikan keuntungan dalam hal benih padi, sehingga petani dapat
4
5
6
Bustanul Arifin, Ekonomi Pembangunan Pertanian (Bogor: PT Penerbit IPB Press, 2013), p. 129 - 171. Ketut Kariyasa, “Usulan Kebijakan Pola Pemberian dan Pendistribusian Benih Bersubsidi”, Analisis Kebijakan Pertanian, 5 (4), 2007, p. 305 dan 312. Achmad Suryana, “Upaya Mewujudkan “Pangan Beragam, Bergizi Seimbang””, Jurnal Dialog Kebijakan Publik, Edisi 4, 2011, p. 4.
25
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
menggunakan benih yang harganya terjangkau dan bermutu. Bila Pemerintah dapat mewujudkan kebijakan tersebut, maka diharapkan nantinya harga jual beras di pasaran dapat ditekan sehingga masyarakat dengan pendapatan rendah dapat mengonsumsi beras domestik dengan harga terjangkau dan bermutu.7 Di sisi global, berbagai kesepakatan internasional telah menggeser kontrol atas ketahanan pangan dari ranah publik ke ranah privat. Santosa tahun 2009 menyebutkan 90 persen perdagangan pangan (serealia) dikuasai hanya oleh lima perusahaan multinasional dan 90 persen pasar benih dan input pertanian (pestisida dan herbisida) dikuasai enam perusahaan. Demikian juga dengan 99,9 persen benih transgenik.8 Permasalahan lain yang muncul adalah meningkatnya peran Multinational Corporation (MNC) menguasai industri hulu (seperti industri pupuk, benih, dan pestisida) dan hilir (pengolahan/ agroindustri). Petani semakin bergantung pada sarana produksi yang merupakan produk MNC. 9 Dari sisi keberpihakan pemerintah terhadap pengadaan benih, terlihat bahwa realisasi penjualan benih untuk jenis padi inbrida (29 persen), jagung hibrida (10,22 persen), jagung komposit (11,44 persen), dan kedelai (19,42 persen) pada tahun 2014 di bawah 30 persen, sedangkan realisasi penjualan benih padi hibrida mencapai 60,14 persen. Faktor-faktor yang memengaruhi penjualan benih bersubsidi adalah: (1) pelaksana public service obligation untuk subsidi benih kurang mampu menyediakan benih karena kesulitan likuiditas keuangan; (2) varietas yang disediakan tidak semuanya sesuai dengan kebutuhan petani, terutama varietas jagung hibrida; dan (3)
7
8
9
26
Christine Putri Kumala, “Dinamika Volume Impor Beras di Indonesia: Sebuah Pendekatan Asumsi Klasik”, Meneropong Pembangunan Ekonomi Indonesia, ed. Y. Joko Handayanto dan B. Budiarto (Surabaya: Fakultas Bisnis & Ekonomika Universitas Surabaya dan Fordes Ekonomi ISEI Cabang Surabaya, 2014), p. 173. Syahyuti, “Paradigma Kedaulatan Pangan dan Keterlibatan Swasta: Ancaman Terhadap Pendekatan Ketahanan Pangan (?)”, Analisis Kebijakan Pertanian, 9 (1), 2011, p. 15. Sri Hery Susilowati dan Reni Kustiari, “Strategi Penumbuhan dan Proteksi Sektor Pertanian”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani, 14 Oktober 2009, Bogor, p. 4.
Kemandirian Sektor Pertanian
sebagian petani kurang berminat membeli benih bersubsidi karena sudah terbiasa dengan benih gratis.10 Informasi yang diperoleh dari PT Sang Hyang Seri menunjukkan penyebab rendahnya penyaluran benih tahun 2014 disebabkan: laporan pertanggungjawaban dan administrasi penyalurannya sangat rumit.11 Pada APBN tahun 2015, anggaran yang dipersiapkan oleh Pemerintah untuk subsidi benih mencapai Rp 0,939 triliun, dengan volume terbesar untuk padi inbrida dan kedelai. Subsidi yang diberikan merupakan subsidi harga dan terbesar diberikan untuk padi hibrida dengan subsidi mencapai Rp47.925/kg.12 Kamar Dagang dan Industri Pusat menyebutkan perlunya diberikan subsidi langsung pada petani, bukan dalam bentuk subsidi terhadap sarana produksi pertanian.13 Pengembangan benih pertanian sejalan dengan Nawa Cita pemerintahan Presiden Joko Widodo-JK nomor 7 yang berbunyi mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor strategis ekonomi domestik. Salah satu sektor strategis adalah sektor pertanian, karena terkait dengan kebutuhan primer dan sekunder. Indonesia sebagai negara yang sudah terbiasa hidup dalam lingkungan pertanian tidak sepenuhnya mandiri untuk menggerakkan sektor pertanian. Pengembangan sektor pertanian sangat dipengaruhi oleh bibit/benih, pupuk dan alat mesin pertanian sebagai sarana produksi utama. Bibit/benih yang diperoleh petani sebagai cikal bakal tanaman banyak diimpor dari negara maju atau perusahaan internasional. Petani mempunyai kecenderungan untuk menghasilkan benih/bibit yang berkualitas dan berdaya saing. Namun, kurangnya dukungan negara dalam bentuk regulasi dan anggaran membuat bibit yang dihasilkan petani menjadi mandeg, hanya digunakan untuk kebutuhan sendiri.
10
11
12
13
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian, Pelaksanaan Anggaran Tahun 2014 dan Rencana Tahun 2015 (Jakarta: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian, 2015), p. 8. Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Laporan Kunjungan Kerja Spesifik Komisi IV DPR RI ke Provinsi Jawa Tengah, 2 – 3 Desember 2014 (Jakarta: DPR RI), p. 6. Kementerian Pertanian, Evaluasi Pelaksanaan Kinerja Tahun 2014 dan Rencana Kegiatan Strategis Tahun 2015 (Jakarta: Sekretariat Jenderal, Kementerian Pertanian, 2015), p. 13. Kamar Dagang dan Industri, Dokumen Wrap Up Jakarta Food Security Summit-3 (Jakarta: Kamar Dagang dan Industri Pusat, 2015), p. 6.
27
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Atas dasar tersebut, tulisan ini hendak memetakan permasalahan perbenihan nasional, termasuk tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan, serta dukungan kebijakan yang diperlukan untuk mengembangkan benih pertanian. II. TINJAUAN PUSTAKA
Perbenihan harus dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri dari paling tidak empat subsistem yang saling terkait dari hulu hingga ke hilir, meliputi: pengelolaan SDG; perakitan dan pelepasan varietas unggul; produksi, distribusi/pemasaran dan pengendalian mutu benih; serta jaringan informasi perbenihan. Untuk membangun industri perbenihan tanaman pangan yang lebih maju dan berdaya saing diperlukan upaya revitalisasi masingmasing subsistem perbenihan. Kebijakan bantuan langsung benih unggul (BLBU) tanaman pangan yang dilaksanakan selama empat tahun terakhir ini perlu dievaluasi efektivitas dan manfaatnya dalam meningkatkan produksi pangan. Revitalisasi yang dapat disarankan antara lain agar BLBU diarahkan untuk mampu meningkatkan produktivitas melalui penggantian varietas unggul, mendorong pergiliran varietas, meningkatkan IP, mendorong industri benih setempat hingga mencapai mandiri benih, tidak menyebabkan petani menjadi bergantung pada bantuan benih, dan khusus padi hibrida diutamakan produksi dalam negeri (bukan impor).14 Kebijakan di bidang perbenihan secara umum diarahkan untuk memberdayakan pelaku usaha dalam industri benih agar mampu bersaing di dalam negeri maupun pasar internasional. Kemajuan industri perbenihan diharapkan dapat meningkatkan kinerja sektor pertanian karena benih/bibit merupakan input yang peranannya sangat signifikan dalam menentukan produktivitas usaha tani. Hal ini sesuai dengan tuntutan usaha tani yang berorientasi agribisnis agar lebih mengarah untuk memenuhi kebutuhan pasar sehingga diperoleh keuntungan yang maksimal. Benih bermutu selain mempunyai produktivitas tinggi dan tahan hama maupun penyakit juga memiliki beberapa sifat lainnya, yaitu hasil pertanian yang bisa dibedakan dengan varietas lain (distinctive), penampilan tanaman Suyamto, “Revitalisasi Sistem Perbenihan Tanaman Pangan: Sebuah Pemikiran”, Iptek Tanaman Pangan, 6 (1), 2011, p. 11 – 12.
14
28
Kemandirian Sektor Pertanian
dan produk yang relatif seragam (uniform), serta mantap sifat keunggulannya (stable). Sifat-sifat benih unggul tersebut harus terpenuhi agar benih yang dijual ke pasar mendapat respon positif dari petani.15 Pupuk yang bersifat komplemen dengan pengembangan infrastruktur pertanian juga mengalami penurunan subsidi secara signifikan sejak pertengahan 1980-an. Penurunan anggaran pemerintah dalam pengembangan infrastruktur (irigasi, penelitian dan pengembangan serta penyuluhan) dan subsidi pupuk berdampak terhadap stagnasi atau penurunan produktivitas dan produksi komoditas pertanian. Insentif yang diterima petani terdiri atas dua komponen utama, yaitu subsidi sarana produksi (pupuk, benih, kredit dan mekanisasi pertanian) dan proteksi harga hasil produksi. Sejak pertengahan 1980-an, total insentif pemerintah secara bertahap menurun. Penurunan subsidi sarana produksi berdampak terhadap peningkatan biaya produksi dan penurunan pendapatan petani.16 BUMN produsen benih bersubsidi sebaiknya membatasi pasarnya hanya pada pasar yang sudah jelas (captive markets), yaitu di wilayah-wilayah yang petaninya sudah fanatik terhadap benih unggul bersubsidi. Hal ini dipandang penting karena harga benih bersubsidi masih terlalu tinggi dan hanya petani-petani yang sudah maju yang mau membeli benih unggul bersubsidi. Jika BUMN perbenihan ingin memperluas pasarnya, maka harga benih harus diturunkan sampai titik kesanggupan petani membeli (willingness to pay) jika kualitas benihnya tidak meningkat secara signifikan. Disamping itu, BUMN perbenihan perlu tetap melakukan sosialisasi kepada petani secara lebih luas tentang keunggulan benih bersubsidi produksi BUMN, baik dari segi kapasitas produksi, resistensi terhadap gangguan hama/penyakit, kebanjiran atau kekeringan, harga outputnya dan khusus beras adalah rasa nasinya. Alternatifnya, BUMN perbenihan cukup berkonsentrasi dalam pengadaan benih untuk program BLBU yang kebutuhan benihnya sangat besar. Terkait dengan hal ini,
Bambang Sayaka dan Juni Hestina, “Kendala Adopsi Benih Bersertifikat Untuk Usahatani Kentang”, Forum Penelitian Agro Ekonomi, 29 (1), 2011, p. 28. 16 Tahlim Sudaryanto dan I Wayan Rusastra, “Kebijakan Strategis Usaha Pertanian Dalam Rangka Peningkatan Produksi dan Pengentasan Kemiskinan”, Jurnal Litbang Pertanian, 25 (4), 2006, p. 118.
15
29
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
maka subsidi sebaiknya diberikan kepada para penangkar benih agar mereka dapat membantu penyediaan benih, baik dalam rangka program BLBU maupun lainnya. Pengawasan oleh institusi yang berwenang, baik terhadap mutu benih bersubsidi maupun benih untuk BLBU, perlu ditingkatkan agar benih bersubsidi mendapatkan kepercayaan yang makin luas dari masyarakat petani.17 Jika pemerintah berniat untuk terus menerapkan kebijakan subsidi benih, maka perlu diterapkan secara hati-hati dan perlu dipikirkan kembali modus pemberian subsidi tersebut (untuk jenis benih komoditas apa saja dan dalam bentuk apa), agar tujuan penggunaan benih berkualitas (tidak hanya sekedar berlabel) secara masif bisa tercapai. Ada dua alternatif yang disarankan dalam mekanisme penyaluran benih bersubsidi, yaitu: (1) Harga jual ditetapkan pemerintah, dan (2) Harga jual berdasarkan mekanisme pasar. Pada kedua alternatif tersebut, penyaluran benih tetap bersifat terbuka, dimana semua benih disubsidi dari manapun asal produksi (produsen), sehingga tidak terjadi dualisme pasar akibat adanya perbedaan harga, seperti yang terjadi pada pasar pupuk. Namun demikian, perlu disadari bahwa kedua alternatif pola penyaluran benih bersubsidi yang disarankan masih berpeluang untuk diselewengkan. Oleh karena itu perlu adanya komitmen bersama dari para pemangku kepentingan dalam pasar benih bersubsidi.18 Thailand memiliki kebijakan memberikan fasilitas benih sebagai kebijakan pendukung peningkatan harga beras yang diiringi dengan program dan kegiatan peningkatan kualitas dan mutu beras. India memiliki strategi ketahanan pangan nasional dengan salah satu sasarannya adalah peningkatan penyediaan benih hibrida untuk petani. Pemerintah India menetapkan suatu tingkat harga minimum subsidi untuk berbagai komoditas pertanian utama. Tingkat harga minimum subsidi tersebut direkomendasikan oleh Komisi Biaya
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Laporan Kajian Strategis Kebijakan Subsidi Pertanian yang Efektif, Efisien, dan Berkeadilan (Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), 2011), p. 12-13. 18 Ketut Kariyasa, Usulan Kebijakan Pola Pemberian dan Pendistribusian Benih Bersubsidi, Analisis Kebijakan Pertanian, 5 (4), 2007, p. 304 – 319. 17
30
Kemandirian Sektor Pertanian
dan Harga Pertanian. Di samping itu, berbagai pertimbangan dan rekomendasi baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tetap diperhitungkan oleh Komisi ini. Tingkat harga minimum merupakan jaminan harga minimum untuk petani pada saat menjual komoditasnya. Bila harga yang diterima oleh petani di atas harga minimum subsidi, maka petani dapat bebas menjual komoditas pertaniannya. 19 III. PEMETAAN PERMASALAHAN PERBENIHAN NASIONAL
Teknologi benih merupakan teknologi inti yang berpengaruh terhadap pengembangan teknologi budidaya, pasca panen, dan pengolahan hasil. Introduksi teknologi benih padi unggul mendorong berkembangnya teknologi budidaya, irigasi/pompa air, traktor, power thresher, serta RMU/IP-padi. Teknologi benih juga berpengaruh terhadap pola tanam, sistem tanam, intensitas tanam, dan penggunaan pupuk oleh petani. Penggunaan teknologi benih padi unggul juga telah mendorong peningkatan mekanisasi pertanian (pompa air, traktor, power thresher, serta RUM/IP-padi). Terakhir, teknologi benih padi unggul juga mempengaruhi dinamika kelembagaan pertanian, seperti kelembagaan penguasaan lahan, pola hubungan kerja, dan sistem panen yang terjadi di perdesaan. 20 Dalam upaya mempercepat peningkatan produksi padi nasional, pemerintah telah memberikan bantuan benih unggul bersertifikat kepada petani. Sampai tahun 2012 bantuan benih dari pemerintah diluncurkan dalam bentuk bantuan langsung benih unggul (BLBU) yang disalurkan melalui program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Mulai tahun 2013, skim bantuan benih unggul diubah dari BLBU menjadi bantuan subsidi benih dan cadangan benih nasional (CBN). Tahun 2013 pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk bantuan subsidi benih sebanyak 120.000 ton benih padi inbrida dan 7.500 ton benih padi hibrida. Frans B.M. Dabukke dan Muhammad Iqbal, “Kebijakan Pembangunan Pertanian Thailand, India, dan Jepang serta Implikasinya Bagi Indonesia”, Analisis Kebijakan Pertanian, 12 (2), 2014, p. 93 -94. 20 Saptana, “Membangun Kelembagaan Benih Padi, Jagung dan Kedelai: Tinjauan Nasional dan Implementasinya di Provinsi Banten”, Makalah disampaikan pada Seminar Temu Informasi Teknologi, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 23 November 2010, Banten, p. 5. 19
31
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Selain itu, juga dianggarkan untuk CBN padi inbrida sebanyak 13.821 ton dan padi hibrida sebanyak 840 ton. Hasil evaluasi bantuan benih menyimpulkan bahwa terdapat daftar usulan pembelian benih bersertifikat (DU-PBB) padi inbrida sebesar 60.443 ton dan padi hibrida sebesar 1.743 ton. Namun, dari jumlah permintaan sebesar itu realisasi penjualan benih padi inbrida hanya mencapai 31.865 ton atau sekitar 52,72 persen dari DU-PBB dan hanya 26,59 persen dari alokasi. Untuk padi hibrida, realisasi penjualan sekitar 64,84 persen dari DU-PBB atau sekitar 15,07 persen dari alokasi. Rendahnya realisasi penjualan benih bersubsidi disebabkan oleh: (a) perjanjian kerja sama pelaksanaan penjualan dan penyaluran benih bersubsidi baru ditandatangani tanggal 8 Juli 2013; (b) adanya kesulitan pengadaan benih di tingkat perusahaan BUMN, sebagai akibat keterlambatan surat penugasan dari pemerintah untuk pengadaan dan penyaluran benih bersubsidi, serta tidak adanya keberanian BUMN untuk mengambil risiko; (c) daftar usulan pembelian benih bersertifikat (DU-PBB) belum dibuat sesuai dengan alokasi; (d) sisa areal tanaman sudah tidak banyak yang tersedia, karena bantuan benih bersubsidi sudah melewati masa tanam; dan (e) kurangnya koordinasi antara pemangku kepentingan, yaitu Ditjen Tanaman Pangan, Dinas Pertanian, BPSB, dan perusahaan BUMN, baik dari segi teknis maupun administrasi hasil Rapat Evaluasi Bantuan Benih.21 Informasi dari PT Sang Hyang Seri menunjukkan permasalahan subsidi benih disebabkan petani harus membayar terlebih dahulu, dan setelah dilakukan pembayaran benih baru diberikan pada petani. 22 Cadangan benih nasional (CBN) dialokasikan sebesar 1.543 ton untuk padi inbrida dan padi hibrida sebanyak 361 ton. Dari alokasi tersebut, realisasi penyaluran CBN sampai November 2013 baru mencapai 73 persen untuk padi inbrida dan belum ada realisasi untuk padi hibrida. Realisasi penyaluran tersebut digunakan untuk kegiatan pemulihan pertanaman dan pengembangan areal tanam tahun 2013. Benih bersubsidi yang belum tersalur segera disalurkan oleh perusahaan BUMN pada awal Desember 2013, karena batas
21 22
32
ibid. Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Laporan Kunjungan Kerja Spesifik Komisi IV DPR RI ke Provinsi Jawa Tengah, 2 – 3 Desember 2014 (Jakarta: DPR RI), p.6.
Kemandirian Sektor Pertanian
akhir penyaluran dan penjualan benih bersubsidi paling lambat tanggal 31 Desember 2013. Permasalahannya adalah, belum jelas siapa yang akan membeli benih bersubsidi tersebut pada bulan Desember 2013. Oleh karena waktu tanam padi pada musim hujan (MH) 2013/2014 hampir di seluruh Indonesia sudah berakhir pada akhir bulan November 2013, masa tanam berikutnya adalah pada musim kemarau (MK I) pada bulan April-Mei 2014. Jadi, sulit dipahami jika perusahaan BUMN bisa menjual benih bersubsidi di luar masa tanam. Implikasinya adalah perusahaan BUMN harus melakukan penyimpanan benih yang belum terpasarkan di gudang dan menjualnya menjelang masa tanam berikutnya (Maret-April 2014), meskipun menimbulkan biaya dalam penyimpanan. 23 Dalam pelaksanaannya, program SLPTT, BLBU, dan CBN masih dihadapkan pada permasalahan, seperti mekanisme benih bantuan seringkali tidak tersedia pada jumlah dan varietas yang tepat sesuai dengan kebutuhan petani berdasar data RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) yang diajukan oleh petani/kelompok melalui Dinas Pertanian setempat. Menurut pihak produsen dan penyalur, permasalahan yang dijumpai adalah sebagai akibat beragamnya varietas yang diminta petani serta besarnya jumlah atau volume benih yang harus disiapkan dan beragamnya waktu penyediaan benih sesuai waktu tanam petani. Dibutuhkan perencanaan yang terkoordinasi dengan manajemen yang baik dari pemerintah sebagai fasilitator dalam pelaksanaannya yang disesuaikan dengan kondisi dan dinamika wilayah pembangunan.24 Beberapa pelaku yang terlibat dalam industri benih padi unggul bersertifikat adalah pemerintah, produsen benih (BUMN dan Swasta), kelompok/petani penangkar dan atau produsen benih, dan petani padi pengguna benih unggul bersertifikat. Permasalahan utama yang dihadapi oleh ketiga pelaku industri benih tersebut adalah membangun keterkaitan institusional dan keterkaitan fungsional yang optimal, sehingga sasaran ketersediaan dan akses
23
24
Saptana, Muhammad Iqbal, dan Ahmad Makky Ar-Rozi, “Evaluasi Kebijakan Tujuh Gema Revitalisasi Dalam Pembangunan Pertanian”, Analisis Kebijakan Pertanian, 11 (2), 2013, p. 113-114. Amar K. Zakaria, “Kebijakan Antisipatif dan Strategi Penggalangan Petani Menuju Swasembada Jagung Nasional”, Analisis Kebijakan Pertanian, 9 (3), 2011, p. 268.
33
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
petani terhadap benih padi unggul bersertifikat dapat berjalan secara maksimal dalam mendukung program peningkatan produksi padi di daerah. Secara institusional masing-masing pelaku berperan secara optimal sesuai dengan tupoksinya, dan secara fungsional terdapat transparansi dan keadilan, sehingga terbangun harmonisasi dalam kelembagaan industri benih ini. Komplemen dengan pengembangan dan pemantapan produsen benih BUMN, arah dan strategi pengembangan industri benih padi nasional dapat mempertimbangkan pemikiran berikut: (a) pemantapan pengembangan IKB tingkat kabupaten sebagai penghasil benih pokok (SS); (b) Dinas Pertanian Kabupaten bersama-sama dengan BPSB dan IKB membina dan memberdayakan sistem perbenihan mandiri melalui kemitraan usaha antara BUMN dengan kelompok/penangkar benih mandiri; (c) Lembaga IKB dan penangkar benih mandiri diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengadaan benih padi untuk program peningkatan produksi padi; dan (d) perusahaan produsen benih padi BUMN juga dilibatkan dalam pembinaan dan pemberdayaan kelompok/penangkar benih mandiri.25 Tabel 1. Perkembangan Anggaran Subsidi Benih dan Subsidi Lainnya di Indonesia Tahun 2008-2014 (Triliun Rupiah) Jenis Subsidi I. Energi a. BBM, BBN, LPG tabung 3 kg dan LGV b. b. Listrik
II. Non-Energi a. Pangan b. Pupuk c. Benih d. PSO
2010
2014
% Perubahan 2010 – 2014
2015
140
350,3
(+) 25,8
363,534
57,6
103,8
(+) 15,9
72,422
82,4
246,5
52,754
52,725
2,2
1,6
15,2 18,4 1,4
18,2 21
2,2
(+) 31,5 (-) 0,01 (+) 4,6 (+) 3,4 (-) 7,9
(+) 12,5
291,112 69.978 18,940 35,703 0,939 3,261
Saptana, Muhammad Iqbal, dan Ahmad Makky Ar-Rozi, 2013, “Evaluasi Kebijakan Tujuh Gema Revitalisasi Dalam Pembangunan Pertanian”, Analisis Kebijakan Pertanian, 11 (2), 2013, p. 114.
25
34
Kemandirian Sektor Pertanian Jenis Subsidi e. Kedit Program f. Pajak Total
2010
2014
% Perubahan 2010 – 2014
2015
0,8
3,2
(+) 40,8
2,484
14,8
192,7
6,5
403
(-) 18,6 20,3
8,650
433,512
Sumber: Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015
Dari Tabel 1 terlihat bahwa subsidi nonenergi adalah alokasi anggaran yang disalurkan melalui perusahaan/lembaga yang memproduksi dan/atau menjual barang dan/atau jasa tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah selain produk energi (BBM, BBN, LPG tabung 3 kg, LGV, dan tenaga Listrik), sehingga harga jualnya terjangkau oleh masyarakat berpendapatan rendah. Perkembangan realisasi subsidi nonenergi dalam rentang waktu 2010–2014 secara total mengalami penurunan sebesar Rp29 miliar, atau turun rata-rata sebesar 0,01 persen per tahun dari sebesar Rp52,754 triliun dalam LKPP tahun 2010, dan mencapai Rp52,725 triliun pada APBNP tahun 2014. Perkembangan realisasi anggaran subsidi nonenergi dalam kurun waktu tersebut antara lain berkaitan dengan: (1) perubahan parameter subsidi, antara lain volume pupuk dan benih bersubsidi, RTS penerima raskin, dan biaya pokok produksi; dan (2) adanya realokasi ke bagian anggaran K/L. Dalam kurun waktu 2010–2014, dalam pos subsidi benih, selain menampung subsidi harga juga menampung anggaran belanja untuk bantuan langsung benih unggul (BLBU) dan cadangan benih nasional (CBN). Realisasi anggaran subsidi benih dalam kurun waktu tersebut mengalami penurunan sebesar Rp0,6 triliun, dari sebesar Rp2,2 triliun dalam LKPP tahun 2010 menjadi Rp1,6 triliun pada APBNP tahun 2014, atau turun rata-rata 7,9 persen per tahun. Pada tahun 2011, alokasi anggaran subsidi benih menurun signifikan dari tahun 2010 menjadi sebesar Rp96,9 miliar, sedangkan tahun 2012 mencapai Rp60,3 miliar. Hal ini disebabkan karena sejak tahun 2011, subsidi benih hanya menampung subsidi harga, sedangkan alokasi anggaran untuk BLBU dan CBN masing-masing telah direalokasi ke bagian anggaran K/L dan belanja lain-lain. Realokasi tersebut dilakukan dalam rangka meningkatkan akuntabilitas pengelolaan BA BUN dan sebagai tindak lanjut dari hasil temuan BPK. Selanjutnya, pada tahun 2013 subsidi 35
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
benih meningkat menjadi Rp414,4 miliar termasuk menampung realokasi anggaran BLBU dari BA Kementerian Pertanian.26 Mekanisme perizinan benih tanaman melalui sistem pelayanan elektronik menunjukkan, dari tahun 2010 sampai 2012, pemasukan benih tanaman mencapai lebih dari 600 permohonan. Kondisi tersebut lebih tinggi dibandingkan permohonan terhadap pengeluaran benih tanaman. Namun, kondisi ini berbalik pada tahun 2013 dan 2014, dimana permohonan pengeluaran meningkat tajam dibandingkan pemasukan.27 Induk kelembagaan perbenihan nasional hingga saat ini adalah Badan Benih Nasional (BBN) yang dibentuk dengan Keputusan Presiden No. 27 Tahun 1971, yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Pertanian. BBN bertugas membantu Menteri Pertanian dalam merencanakan dan merumuskan kebijakan di bidang perbenihan. Untuk melaksanakan tugas tersebut, BBN mempunyai fungsi: (1) merencanakan dan merumuskan peraturan untuk membina produksi dan pemasaran benih; (2) mengajukan pertimbangan kepada Menteri tentang persetujuan, pelepasan, atau penarikan varietas; dan (3) melakukan pengawasan produksi dan pemasaran benih. Terkait dengan tugas dan fungsi tersebut, BBN dilengkapi dengan Sekretariat, Tim Penilai dan Pelepas Varietas, serta Tim Pembinaan, Pengawasan dan Sertifikasi. Keanggotaan BBN berasal dari berbagai Departemen, Badan, Bank, swasta/BUMN, dan sebagainya. Hingga saat ini keanggotaan BBN telah mengalami perubahan beberapa kali, dan yang terakhir adalah berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 1011 Tahun 2008. Pimpinan BBN masih dirangkap oleh para Direktur Jenderal, dengan anggota kebanyakan juga dari unsur pemerintah. Diskusi tentang kelembagaan dan tugas BBN sudah dilakukan beberapa kali dan pemikiran yang menonjol adalah perlunya reformasi sehingga BBN bersifat independen (tidak dirangkap oleh Dirjen) dan terdiri Sekretariat Negara Republik Indonesia, Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015 (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 2015), p. 317 – 318. 27 Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian, Pelaksanaan Anggaran Tahun 2014 dan Rencana Tahun 2015 (Jakarta: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian, 2015), p. 21. 26
36
Kemandirian Sektor Pertanian
atas anggota-anggota yang profesional. Namun pemikiran tersebut belum diwujudkan dalam bentuk kebijakan.28 Kemampuan PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani sebagai BUMN yang diberi tugas oleh pemerintah untuk memproduksi benih bersubsidi masih sangat terbatas, baik untuk padi (non hibrida), jagung (hibrida dan komposit) maupun kedelai. Persaingan yang tajam dengan produsen benih swasta dan penangkar benih dalam pemasaran benih unggul menyebabkan kedua BUMN perbenihan tersebut menemui kesulitan dalam mengembangkan usahanya. Harga benih bersubsidi hanya sedikit lebih rendah dibanding harga benih non-subsidi, sedangkan mutu/kapasitas benih bersubsidi tidak berbeda secara signifikan dari benih non-subsidi. Hal ini menyebabkan petani pada umumnya belum tertarik untuk membeli benih bersubsidi. Ada beberapa masalah yang terkait dengan benih bersubsidi, antara lain adalah adanya benih palsu, benih kedaluwarsa dan mutu benih dalam kantong yang tidak sesuai dengan warna label. Hal ini terjadi karena pengawasan terhadap peredaran benih sebar bersubsidi (Extension Seeds/ES) masih terbatas. Masalah lainnya adalah petani membeli benih stok (Stock Seeds/SS) berlabel ungu, dengan alasan: (1) Mutu benih SS lebih bagus dibanding benih ES utamanya dari segi daya tumbuh, kesuburan daun, dan jumlah anakan; dan (2) Hasil panennya dapat digunakan untuk benih setelah dilakukan seleksi dan yang hasil panennya juga masih bagus. Sementara itu, benih SS seharusnya tidak digunakan sebagai ES karena masih ada sifat benih yang belum stabil. Terkait dengan permasalahan tersebut perlu dilakukan pengawasan terhadap benih bersubsidi, baik dalam distribusinya maupun mutu benih yang beredar (isi sesuai dengan warna label).29 Penggunaan benih bersertifikat bisa meningkatkan hasil dan keuntungan petani dibanding menggunakan benih tidak bersertifikat. Walaupun demikian biaya produksi juga lebih besar jika menggunakan
Suyamto, “Revitalisasi Sistem Perbenihan Tanaman Pangan: Sebuah Pemikiran”, Iptek Tanaman Pangan, 6 (1), 2011, p. 9 – 10. 29 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Laporan Kajian Strategis Kebijakan Subsidi Pertanian yang Efektif, Efisien, dan Berkeadilan (Jakarta: Bappenas, 2011), p. 74-75. 28
37
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
benih bersertifikat karena benih merupakan komponen biaya variabel terbesar. Hanya sebagian kecil petani menggunakan benih bersertifikat. Sebagai contoh, benih kentang bersertifikat bisa diperoleh dari produsen atau penangkar benih untuk varietas Granola dan dari mitra kelompok tani, yaitu PT Indofood Fritolay Makmur, untuk varietas Atlantik. Kekurangan modal membeli benih bersertifikat karena harganya mahal dan tidak selalu tersedianya benih bersertifikat saat dibutuhkan membuat lebih banyak petani memilih menggunakan benih tidak bersertifikat. Petani bisa memperoleh benih kentang tidak bersertifikat dengan memproduksi sendiri atau membeli dari petani lain maupun dari pedagang. Kebijakan benih formal untuk kentang juga harus diikuti kebijakan benih informal. Petani skala besar atau yang bermitra bisa bergantung pada industri benih formal dengan menggunakan benih bersertifikat. Sedang petani skala kecil bisa dilatih menghasilkan benih sendiri walaupun tidak bersertifikat tetapi kualitasnya cukup baik. Kesenjangan yang sangat besar antara petani kentang yang mengadopsi benih bersertifikat (bermutu) dan tidak bersertifikat akan sangat sulit diatasi jika hanya mengandalkan kebijakan benih formal yang bersifat komersial.30 IV. DUKUNGAN KEBIJAKAN
Salah satu bentuk dukungan kebijakan adalah pemberian subsidi. Subsidi benih merupakan arus transfer anggaran ke sektor pertanian kedua terpenting. Petani-petani beras, jagung, kedelai dan gula adalah penerima bantuan utama, tetapi beberapa subsidi semacam ini juga disediakan untuk para produsen kopi, karet alam, minyak sawit dan pisang. Mereka dapat membeli bibit dengan harga yang disubsidi, mengajukan permohonan alokasi benih gratis setiap tahun dan menerima benih dalam hal terjadinya bencana alam. Total nilai subsidi ini tertinggi pada tahun 2010, tetapi sejak itu menurun dengan hampir seperlima dan mencapai nilai sebesar Rp 1,3 triliun (USD 135 juta) pada tahun 2012.31 Selain subsidi, dukungan kebijakan perbenihan nasional dapat dilihat pada Tabel 2.
Bambang Sayaka dan Juni Hestina, “Kendala Adopsi Benih Bersertifikat Untuk Usahatani Kentang”, Forum Penelitian Agro Ekonomi, 29 (1), 2011, p. 39 – 40. 31 Organization for Economic Co-operation and Development, “Kebijakankebijakan Dalam Bidang Pertanian: Pemantauan dan Evaluasi 2013 NegaraNegara OECD dan Negara-Negara Berkembang”. Jakarta: OECD, 2013, p.8. 30
38
Kemandirian Sektor Pertanian Tabel 2. Dukungan Kebijakan Perbenihan Nasional No.
Permasalahan
Solusi
1.
Penyelenggaraan
2.
Mekanisme Penyaluran Perubahan skema Benih penyaluran benih
3.
Kelembagaan
Sumber: Penulis
Stakeholder Kunci
Revisi UU No. 12 Tahun Pemerintah dan DPR 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman
Memperkuat peran BBN
Kementerian Pertanian, Pemerintah Daerah, BPSB, dan BUMN. Kelompok Tani, Akademisi, Pemerintah, dan BUMN.
A. Penyelenggaraan Secara spesifik, penyelenggaraan benih tanaman di atur dalam UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi daya Tanaman dari Pasal 8 sampai Pasal 18. Namun di tinjau dari pengaturan sub sektor dalam lingkup pertanian, masing-masing sub sektor mengatur mengenai benih, seperti UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura dalam Pasal 57 sampai Pasal 64, dan UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dalam Pasal 19 sampai Pasal 31. Selain itu, pengaturan mengenai benih tanaman juga terdapat dalam UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. UU No. 16 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman perlu direvisi karena: (a) tidak mempertimbangkan atau seakan-akan menegasikan adanya benih yang dikembangkan secara konvensional oleh petani; (b) sistem perbenihan menutup kemungkinan bagi petani untuk bisa menggunakan benih yang mereka kembangkan sendiri, karena petani harus mematuhi program pemerintah, dan menutup kemungkinan bagi petani yang biasanya menjual, mengedarkan, atau membagi benihnya kepada teman sesama petani, karena harus memenuhi persyaratan yang sangat susah dipenuhi oleh petani. Sedangkan permasalahan yang terdapat dalam Undang-Undang 39
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman adalah: (a) kurang memberikan perlindungan terhadap varietas tradisional yang telah dikembangkan petani, karena sangat sulit bagi petani dengan varietas tradisionalnya memenuhi kriteria seragam dan stabil yang dipersyaratkan undang-undang ini; (b) memberikan perlakuan yang tidak sama antara pemulia tanaman dan petani, serta memberikan perlindungan yang tidak seimbang antara kepentingan umum dan kepentingan pemegang hak perlindungan varietas tanaman. Hal ini terjadi karena undang-undang ini dibuat untuk melindungi hak-hak pemulia tanaman dan peneliti yang komersial, dan bukan untuk melindungi hak-hak petani; (c) Dalam undangundang ini, pemulia tanaman adalah rangkaian kegiatan penelitian dan pengujian atau kegiatan penemuan dan pengembangan suatu varietas, sesuai dengan metode baku untuk menghasilkan varietas baru dan mempertahankan kemurnian benih varietas yang dihasilkan. Ketentuan ini dapat diinterpretasikan bahwa proses pemuliaan yang dilakukan oleh petani dan masyarakat (bukan peneliti dan pemulia tanaman) tidak dianggap sebagai pemuliaan tanaman. Padahal, varietas baru yang dikembangkan oleh pemulia tanaman atau peneliti komersial, bisa jadi berasal dari tanaman asal yang dikembangkan oleh petani. Namun, dalam undang-undang tersebut tidak menegaskan kompensasi untuk petani; dan (d) hak-hak pemulia tanaman yang diatur dalam undang-undang ini adalah: menggunakan dan memberikan persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakan varietas berupa benih dan hasil panen yang digunakan untuk propagasi; menggunakan varietas untuk kegiatan: memproduksi atau memperbanyak benih; menyiapkan untuk tujuan propogasi; mengiklankan; menawarkan; menjual atau memperdagangkan; mengekspor; mengimpor; mencadangkan untuk keperluan sebagaimana dimaksud diatas. Sehingga hak yang tersisa bagi petani hanya penggunaan sebagian hasil panen dari varietas yang dilindungi sepanjang bukan untuk tujuan komersial. Sedangkan yang termasuk dalam kegiatan yang bersifat non-komersial adalah untuk aktifitas individu petani itu sendiri, terutama bagi petani-petani kecil untuk memenuhi kebutuhannya dan tidak termasuk aktifitas untuk memenuhi kebutuhan temannya sesama petani. 40
Kemandirian Sektor Pertanian
B. Mekanisme Penyaluran Benih Alur mekanisme penganggaran dan pembayaran subsidi benih secara garis besar disampaikan pada Gambar 1 yang dilengkapi dengan nomor urut kegiatan yang jelas. Sebagai penanggungjawab keuangan dan pelaksanaan adalah Kementerian Pertanian. Dalam hal ini, Harga Pokok Penjualan (HPP) benih dan Harga Penyerahan (HP) benih ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Sementara itu, dalam pelaksanaan kebijakan subsidi benih, Pemerintah menunjuk PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani sebagai pelaksana program/pemasok benih. Benih tersebut didistribusikan kepada Kios, dan selanjutnya dibeli oleh kelompok tani. Untuk mengantisipasi kondisi alam yang ekstrim seperti kekeringan, banjir dan bencana alam lainnya, Pemerintah menunjuk PT Sang Hyang Seri sebagai pelaksana program Cadangan Benih Nasional (CBN). Alokasi anggaran subsidi benih ditentukan berdasarkan margin harga penyerahan dengan harga pasar. DITJEN ANGGARAN
Pemberitahuan Pagu Anggaran (1)
SP-SAPSK (3)
Usulan Anggaran (2)
SPM (10)
PP-SPM
SPP (9)
PPK
Pembayaran Subsidi & Profit Margin (11)
SK (7)
TIM VERIFIKASI
DIPA (4)
DITJEN PERBENDAHARAAN KPPN
DITJEN TP (KPA)
SK (5)
Dokumen Tagihan (6)
Verifikasi Dokumen Tagihan, dll (8)
BUMN BENIH
(Sumber: Diskemakan dari Permenkeu No.129/PMK.02/2010)
Gambar 1. Alur Mekanisme Penganggaran dan Pembayaran Subsidi Benih
41
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Mekanisme penyaluran (termasuk pengawasan dan pelaporan) benih bersubsidi selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 2. BUMN produsen (pabrik) benih yang ditunjuk pemerintah, yaitu PT Sang Hyang Seri (Persero) dan PT Pertani (Persero), diberi tugas memproduksi benih sesuai dengan kebutuhan. Benih tersebut didistribusikan melalui kios-kios yang ada dan petani atau kelompok tani dapat membeli sesuai dengan harga penyerahan (HP). Volume benih yang disalurkan oleh BUMN ke kios-kios diperiksa dan diawasi oleh Pengawas Benih Tanaman (PBT) setempat. Untuk memudahkan proses distribusi benih bersubsidi, benih tersebut diharapkan dapat diproduksi di daerah tersebut dengan melibatkan penangkar benih yang ada di lokasi setempat. Kementerian Bappenas dalam laporan tahun 2010 menyampaikan mekanisme pengawasan pelaksanaan subsidi benih yang diperlihatkan pada Gambar 2. Ruang lingkup pengawasan penyaluran benih bersubsidi meliputi jenis benih, volume benih dan mutu benih. Jenis benih yang diawasi adalah benih padi onhibrida, benih jagung hibrida, benih jagung komposit, dan benih kedelai bersubsidi yang diproduksi/disalurkan oleh PT. Sang Hyang Seri dan PT. Pertani. Sementara itu, volume benih yang diawasi adalah kesesuaian jumlah benih bersubsidi yang disalurkan oleh kedua BUMN perbenihan tersebut ke kios, dengan dokumen Surat Pengantar Angkutan Benih (SPA). Mutu benih yang diawasi meliputi kondisi fisik benih, kemasan benih serta label (sertifikat benih). Kondisi fisik benih serta kemasan benih dapat mencerminkan mutu benih. Label (sertifikat) benih memuat data mutu benih antara lain yaitu Kadar Air, Daya Tumbuh, Campuran Varietas Lain, Kotoran Benih, dan Masa Kadaluwarsa Benih. Disamping itu perlu dilakukan pengecekan terhadap keaslian label (sertifikat).32 Sesuai dengan tugas dan fungsinya, Balai Pengawasan Mutu dan Sertifikasi Benih (BPSB)/Dinas Pertanian Provinsi bertanggungjawab dalam pelaksanaan pengawasan peredaran benih. Oleh karena itu, BPSB berwenang dan berkewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap penyaluran benih bersubsidi, baik benih bersubsidi yang di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Laporan Kajian Strategis Kebijakan Subsidi Pertanian yang Efektif, Efisien, dan Berkeadilan (Jakarta: Bappenas, 2011), p. 44-45.
32
42
Kemandirian Sektor Pertanian
produksi di dalam provinsi maupun yang didatangkan dari provinsi lain. Dinas Pertanian Provinsi berfungsi untuk mengkoordinasikan monitoring pelaksanaan penyaluran benih bersubsidi pada tingkat Provinsi. Sementara itu, Dinas Pertanian Kabupaten/Kota berfungsi untuk memonitor pelaksanaan penyaluran benih bersubsidi pada tingkat kabupaten/kota. Guna memperjelas bahwa Pemerintah memberi subsidi benih untuk petani, maka pada kantong/kemasan benih bersubsidi ditulis/diberi label “Benih Bersubsidi”. Dinas Pertanian Provinsi/ Kepala UPTD Balai Pengawasan Mutu dan Sertifikasi Benih (BPSB) mengundang perwakilan PT. Sang Hyang Seri dan PT. Pertani di provinsi setempat untuk memaparkan/mempresentasikan rencana penyaluran benih bersubsidi setiap musim tanam di provinsi tersebut. Dalam pemaparan rencana penyaluran benih bersubsidi tersebut agar dihadiri oleh Kasubdin/Kepala Bidang yang menangani Produksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian Provinsi, Kepala UPTD Balai Benih Provinsi, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten/Kota serta Pengawas Benih Tanaman (PBT) provinsi setempat. Kepala UPTD BPSB menjelaskan mekanisme pengawasan penyaluran benih bersubsidi kepada perwakilan BUMN produsen benih bersubsidi provinsi setempat serta kepada Pengawas Benih Tanaman (PBT) seluruh kabupaten/kota provinsi setempat. Mekanisme pelaksanaan pengawasan penyaluran benih bersubsidi dapat dijelaskan sebagai berikut:33 • BUMN produsen benih bersubsidi memberitahukan rencana penyaluran benih bersubsidi kepada BPSB Dinas Pertanian Provinsi dengan formulir tertentu. Rencana penyaluran benih bersubsidi disampaikan ke PBT yang berada di kabupaten setiap akan dilakukan penyaluran. BPSB, Dinas Provinsi, dan PBT di kabupaten setelah menerima pemberitahuan dari produsen akan melakukan koordinasi. • BUMN produsen benih bersubsidi menyalurkan benih bersubsidi tersebut ke kios dengan jumlah sesuai pemberitahuan ke BPSB/Dinas Provinsi dan PBT yang berada di kabupaten. Bukti penyaluran benih oleh produsen benih berupa Surat Pengantar Angkutan Benih (SPA) dengan menggunakan formulir tertentu.
33
Ibid.
43
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
•
• •
•
•
44
SPA yang sudah ditandatangani oleh kios, produsen, dan pengangkut disampaikan kepada PBT sebagai dasar bagi PBT untuk melakukan pengecekan di lapangan. PBT melakukan pengecekan ke kios, yang meliputi: (1) Jenis benih, dengan cara melakukan pengecekan terhadap jenis benih yaitu benih padi, benih jagung hibrida, benih jagung komposit, dan benih kedelai yang disalurkan; (2) Volume benih, dengan cara mencocokkan benih yang disalurkan dengan dokumen SPA; dan (3) Mutu benih, dengan cara memeriksa kondisi fisik benih, kemasan benih, dan keaslian label/sertifikat benih, masa berlaku benih, dan asal benih. Hasil pemeriksaan ke kios oleh PBT diserahkan ke BPSB di Provinsi berupa SPA yang telah diparaf/ditandatangani oleh PBT beserta catatan lainnya. BPSB Provinsi merekapitulasi hasil pengawasan berisi data kios pengecer, jenis benih, volume benih yang disalurkan, nomor SPA, asal benih, kondisi benih, dan masa berlaku label. Hasil rekapitulasi pengawasan ditandatangani oleh Kepala BPSB dan BUMN produsen benih bersubsidi dengan formulir tertentu. Hasil rekapitulasi pengawasan penyaluran disampaikan ke Kementerian Pertanian melalui surat atas nama Kepala Dinas Pertanian Provinsi. Hasil pengawasan benih bersubsidi akan digunakan oleh Kementerian Pertanian untuk meneruskan dokumen tersebut kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Penyaluran Dana Subsidi Benih, Cadangan Benih, dan Bantuan Langsung Benih Unggul Satuan Kerja Direktorat Jenderal Tanaman Pangan sebagai salah satu dokumen untuk dasar pembayaran subsidi/ penggantian biaya produksi kepada BUMN produsen benih bersubsidi. Apabila didalam pemeriksaan penyaluran subsidi ditemukan ketidaksesuaian jenis, volume atau mutu benih sesuai rencana penyaluran, maka BPT/BPSB/Dinas Pertanian Provinsi wajib menegur BUMN produsen benih bersubsidi untuk mengganti benih tersebut sesuai persyaratan. Kebenaran dokumen dan fisik penyaluran benih bersubsidi adalah tanggung jawab BUMN produsen benih bersubsidi.
Kemandirian Sektor Pertanian DITJEN PROV
Rekap Laporan Penyaluran
BPSB TPH
Laporan Penyaluran
PBT KAB/KOTA
Rekap Laporan Penyaluran
Rencana Penyaluran
Pengawasan/Monitoring
DITJEN TP Laporan
Pembinaan
BUMN BENIH Laporan
Penyaluran
KIOS BENIH Penyaluran PETANI
(Sumber: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, 2011)
Gambar 2. Mekanisme Pengawasan Pelaksanaan Subsidi Benih
C. Kelembagaan Sejak tahun 2009, Indonesia memiliki strategi kunci kebijakan pertanian Indonesia yang bertumpu pada tujuh gema revitalisasi. Salah satunya yaitu revitalisasi perbenihan dan perbibitan, dengan tantangan yang dihadapi adalah lemahnya sistem produksi dan distribusi benih, dan adanya hambatan pengembangan benih transgenik. Sistem subsidi input pertanian di Indonesia masih perlu disempurnakan dengan tiga dimensi strategi, yaitu ideologi, efisiensi, dan efektifitas mekanisme subsidi. Implikasi kebijakannya adalah urgensi suatu tindak kaji yang mampu menjawab ketiga dimensi sistem subsidi input pertanian di Indonesia, dengan mengacu beberapa hal, yaitu:34 1. Tindak kaji harus mampu menjawab tingkat fungibilitas (degree of fungibility) dari subsidi benih yang diberikan langsung pada petani. Terutama petani yang telah memiliki basis data yang cukup lengkap.
34
Arifin, Bustanul, Ekonomi Pembangunan Pertanian (Bogor: PT Penerbit IPB Press, 2013), p. 129 – 177 - 178.
45
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
2. Tindak kaji difokuskan untuk mengetahui dan mengidentifikasi aransemen kelembagaan. 3. Tindak kaji harus perlu menjawab tingkat kekhasan mekanisme subsidi sesuai dengan kebiasaan dan kearifan lokal tertentu. V. PENUTUP
Permasalahan yang mengemuka terhadap persoalan benih nasional adalah: (1) rendahnya realisasi penjualan benih yang disebabkan oleh: (a) perjanjian kerja sama pelaksanaan penjualan dan penyaluran benih bersubsidi baru yang selalu dilakukan terlambat; (b) adanya kesulitan pengadaan benih di tingkat perusahaan BUMN, sebagai akibat keterlambatan surat penugasan dari pemerintah untuk pengadaan dan penyaluran benih bersubsidi, serta tidak adanya keberanian BUMN untuk mengambil risiko; (c) kewajiban petani harus membayar terlebih dahulu benih, dan setelah dilakukan pembayaran benih baru diberikan pada petani; (d) daftar usulan pembelian benih bersertifikat (DU-PBB) belum dibuat sesuai dengan alokasi; (e) sisa areal tanaman sudah tidak banyak yang tersedia, karena bantuan benih bersubsidi sudah melewati masa tanam; (f) kurangnya koordinasi antara pemangku kepentingan, yaitu Ditjen Tanaman Pangan, Dinas Pertanian, BPSB, dan perusahaan BUMN, baik dari segi teknis maupun administrasi hasil Rapat Evaluasi Bantuan Benih; (g) mekanisme benih bantuan seringkali tidak tersedia pada jumlah dan varietas yang tepat sesuai dengan kebutuhan petani berdasar data RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) yang diajukan oleh petani/kelompok melalui Dinas Pertanian setempat; (h) adanya benih palsu, benih kedaluwarsa dan mutu benih dalam kantong yang tidak sesuai dengan warna label. Hal ini terjadi karena pengawasan terhadap peredaran benih sebar bersubsidi (Extension Seeds/ES) masih terbatas. Untuk mengatasi permasalahan benih nasional, maka diperlukan sejumlah kebijakan berupa revisi terhadap UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, penyederhanaan mekanisme penyaluran benih, melakukan koordinasi melalui pertemuan berkala dengan pembuat kebijakan mengenai benih tanaman, dan memperkuat peran Badan Benih Nasional. 46
DAFTAR PUSTAKA
Buku Arifin, Bustanul. Ekonomi Pembangunan Pertanian. Bogor: PT Penerbit IPB Press. 2013.
Kumala, Christine Putri.” Dinamika Volume Impor Beras di Indonesia: Sebuah Pendekatan Asumsi Klasik”, Meneropong Pembangunan Ekonomi Indonesia, Seri Monograf, ed. Y. Joko Handayanto dan B. Budiarto. Surabaya: Fakultas Bisnis & Ekonomika Universitas Surabaya dan Fordes Ekonomi ISEI Cabang Surabaya, 2014. Artikel dalam Jurnal, Working Paper, Majalah, dan Surat Kabar: Dabukke, Frans B.M., dan Muhammad Iqbal. “Kebijakan Pembangunan Pertanian Thailand, India, dan Jepang serta Implikasinya Bagi Indonesia”, Analisis Kebijakan Pertanian, 2014, hal. 87 – 101.
Kariyasa, Ketut. “Usulan Kebijakan Pola Pemberian dan Pendistribusian Benih Bersubsidi”, Analisis Kebijakan Pertanian, 2007, hal. 304 – 319. Saptana, Muhammad Iqbal, dan Ahmad Makky Ar-Rozi. “Evaluasi Kebijakan Tujuh Gema Revitalisasi Dalam Pembangunan Pertanian”, Analisis Kebijakan Pertanian, 2013, hal. 107-127.
Sayaka, Bambang, dan Juni Hestina. “Kendala Adopsi Benih Bersertifikat Untuk Usahatani Kentang”, Forum Penelitian Agro Ekonomi, 2011, hal. 27 – 41. Sudaryanto, Tahlim dan I Wayan Rusastra. “Kebijakan Strategis Usaha Pertanian Dalam Rangka Peningkatan Produksi dan Pengentasan Kemiskinan”, Jurnal Litbang Pertanian, 2006, hal. 115 – 122.
47
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Suryana, Achmad. “Upaya Mewujudkan “Pangan Beragam, Bergizi Seimbang””, Jurnal Dialog Kebijakan Publik, 2011. Suyamto. “Revitalisasi Sistem Perbenihan Tanaman Pangan: Sebuah Pemikiran”, Iptek Tanaman Pangan, 2011, hal. 1 – 13.
Syahyuti. “Paradigma Kedaulatan Pangan dan Keterlibatan Swasta: Ancaman Terhadap Pendekatan Ketahanan Pangan (?)”, Analisis Kebijakan Pertanian, 2011, hal. 1 – 18. Zakaria, Amar K. “Kebijakan Antisipatif dan Strategi Penggalangan Petani Menuju Swasembada Jagung Nasional”, Analisis Kebijakan Pertanian, 2011, hal. 261 – 274. Artikel dalam seminar/pertemuan
Saptana. “Membangun Kelembagaan Benih Padi, Jagung dan Kedelai: Tinjauan Nasional dan Implementasinya di Provinsi Banten”. Makalah disampaikan pada Seminar Temu Informasi Teknologi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 23 November 2010. Sri Hery Susilowati dan Reni Kustiari. “Strategi Penumbuhan dan Proteksi Sektor Pertanian”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani. 14 Oktober 2009. Laporan penelitian
Adnyana, M.O. “Identifikasi dan Analisis Komoditas Tanaman Pangan untuk Menciptakan Peluang Pasar”. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2006.
Organization for Economic Co-operation and Development. “Kebijakan-kebijakan Dalam Bidang Pertanian: Pemantauan dan Evaluasi 2013 Negara-Negara OECD dan Negara-Negara Berkembang”. Jakarta: OECD, 2013.
48
Kemandirian Sektor Pertanian
Dokumen Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian. Pelaksanaan Anggaran Tahun 2014 dan Rencana Tahun 2015. Jakarta: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian, 2015. Kamar Dagang dan Industri. Dokumen Wrap Up Jakarta Food Security Summit-3. Jakarta: Kamar Dagang dan Industri Pusat, 2015. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015.
49
BAGIAN KETIGA
MENCIPTAKAN KEDAULATAN KEUANGAN NASIONAL MELALUI PENGGABUNGAN BANK: SUATU TINJAUAN LITERATUR oleh: Rasbin
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
I.
PENDAHULUAN
Liberalisasi keuangan dicirikan oleh semakin besarnya pengaruh dan kekuatan pasar dalam menentukan tingkat bunga dan alokasi kredit sehingga meningkatkan skala operasi lembaga-lembaga keuangan dan selanjutnya diharapkan meningkatkan efisiensi dan stabilitas sistem keuangan. Teori liberalisasi keuangan dilandasi oleh tujuan menghapuskan efek merugikan dari represi keuangan (financial repression) terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi. Oleh karena itu, liberalisasi keuangan dalam perekonomian terbuka dapat mendorong aliran modal sehingga pada tingkat suku bunga tertentu, sumber dana eksternal dapat bersaing dengan sumber dana internal. Studi Abiad, Oomes dan Ueda tahun 2004 menunjukkan bahwa liberalisasi keuangan dapat meningkatkan efisiensi alokasi modal terutama dari segi kualitas investasi. Hubungan positif antara liberalisasi keuangan dengan efisiensi tersebut meliputi perputaran pasar saham, keterbukaan perdagangan, kredit swasta dan kapitalisasi pasar saham.1 Liberalisasi pasar keuangan negara-negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) akan diberlakukan secara penuh pada tahun 2020. Hal yang mendasari liberalisasi ini adalah bagaimana memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari akses pasar keuangan dengan mengurangi kontrol terhadap nilai tukar serta restriksi terhadap aliran modal internasional (Bank Indonesia, 2007), khususnya di wilayah ASEAN. Guna menghadapi liberalisasi pasar keuangan ASEAN 2020, Indonesia sebagai anggota ASEAN, harus melakukan berbagai persiapan agar liberalisasi tersebut membawa manfaat bagi rakyat Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan mewujudkan kedaulatan keuangan nasional seperti yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam kampanye Pemilihan Presiden 2014 lalu yang terangkum dalam visi dan misi Jokowi – Jusuf Kala (JK) atau lebih dikenal dengan nama NAWACITA.
1
52
Trias Andiati, dkk., “Liberalisasi Keuangan dan Pengaruhnya terhadap Nilai Q-Tobin Sektor Industri Dasar dan Kimia dan Perbankan”, Jurnal Manajemen dan Agribisnis, Vol. 9, No. 1, 2012, hal. 13-22.
Menciptakan Kedaulatan Keuangan Nasional
Untuk mempersiapkan diri dalam rangka menciptakan kedaulatan keuangan nasional dapat dilakukan dengan penggabungan bank. Tujuan dilakukannya penggabungan bank adalah menciptakan bank berdaya saing global dan pengembangan industri perbankan dalam negeri seperti meningkatkan efisiensi bank-bank nasional. Penggabungan bank dapat dilakukan melalui merger, akuisisi atau konsolidasi tergantung tujuan dan kebutuhan bangsa di masa depan. Apakah akan mempunyai bank yang kuat di bidang infrastruktur, pembiayaan mikro, atau bidang lainnya.2 Perusahaan-perusahaan akan melakukan penggabungan jika penggabungan tersebut menghasilkan wealth yang besar bagi para pemegang saham perusahaan tersebut. Selain itu, bukti empiris juga menguatkan bahwa penggabungan perusahaan akan menciptakan kekayaan yang signifikan. Penggabungan perusahaan juga akan meningkatkan akses ke pasar modal sehingga menurunkan cost of capital.3 Penggabungan terhadap bank dapat menciptakan permodalan perbankan yang jauh lebih besar. Selain itu juga perbankan dapat lebih fokus dalam menggarap segmen pasar. Dan yang paling utama, penggabungan bank dapat memicu pembangunan infrastruktur keuangan Indonesia. Infrastruktur keuangan yang kuat akan membuat sistem keuangan Indonesia menjadi kuat. Saat ini kondisi perbankan nasional akan sulit bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya saat implementasi liberalisasi pasar keuangan ASEAN pada tahun 2020. Perbankan nasional tidak hanya menghadapi persaingan antar-bank saja, namun juga menghadapi persaingan dengan perbankan dari negara-negara ASEAN lainnya. Saat ini perbankan nasional di Indonesia masih banyak jumlahnya (lebih dari 100 bank) dengan modal yang tidak begitu besar sedangkan perampingan jumlah perbankan sebagai prasyarat meningkatkan daya saing masih sulit dilakukan di Indonesia. Sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk terbesar di ASEAN, Indonesia seharusnya memiliki bank
2
3
Citro Atmoko, “Konsolidasi Perbankan Mendesak”, (http://www.antaranews. com/berita/490407/konsolidasi-perbankan-mendesak, diakses 19 Juni 2015). Abhijit Sharma dan Erwin Raat, “Acquiring Control in Emerging Markets: Foreign Acquisitions in Eastern Europe and the Effect on Shareholder Wealth”, Munich Personal RePEc Archive Paper No. 62360, 2014, hal. 2-3.
53
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
paling besar di kawasan regional (ASEAN). PT Bank Mandiri Tbk. yang merupakan bank dengan aset terbesar di Indonesia hanya masuk urutan ke-11 di ASEAN. Sementara yang diperlukan adalah perbankan Indonesia harus masuk paling tidak menguasai top ten ASEAN supaya bisa kompetitif di ASEAN Economic Community. Saat ini, bank DBS merupakan perbankan terbesar di ASEAN. Bank asal Singapura ini memiliki total aset sebesar US$ 320,6 miliar. Sementara Bank Mandiri mencatatkan posisi aset senilai Rp 729,48 triliun.4 Oleh karena itu diperlukan langkah penggabungan (merger) atau konsolidasi agar skala bank nasional menjadi besar. Penggabungan bank tersebut diyakini akan berdampak positif terhadap perekonomian nasional. Seperti diketahui sektor keuangan Indonesia saat ini masih menopang 70-80 persen perekonomian nasional dibandingkan sektor ekonomi lainnya. Semakin besar dan sedikit jumlah perbankan di Indonesia akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan berpengaruh terhadap sektor lainnya seperti sektor riil. Oleh karena itu, penggabungan bank baik melalui merger, akuisisi atau konsolidasi mutlak diperlukan guna menghadapi implementasi pasar keuangan ASEAN 2020 yang tidak lama lagi. Semakin cepat konsolidasi tersebut dilakukan maka semakin siap perbankan nasional Indonesia menghadapinya. Walaupun pengalaman Indonesia dalam melakukan penggabungan bank membutuhkan waktu rata-rata 5 tahun.5 Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, tulisan ini mencoba menganalisis pentingnya penggabungan bank sebagai persiapan menghadapi pasar keuangan ASEAN 2020 serta manfaat dari penggabungan bank terhadap perekonomian nasional. Harapannya, tulisan ini dapat menjadi masukan bagi pihak terkait dalam rangka persiapan menghadapi implementasi pasar keuangan ASEAN 2020.
4
5
54
Fiki Ariyanti, “Bank Terbesar di ASEAN Harus dari Indonesia”, (http://bisnis. liputan6.com/read/2078109/bank-terbesar-di-asean-harus-dari-indonesia, diakses 6 Juli 2015). Kunthi Fahmar Sandy, “Jokowi Diminta Wujudkan Kedaulatan Keuangan Nasional”, (http://ekbis.sindonews.com/read/932427/34/jokowi-dimintawujudkan-kedaulatan-keuangan-nasional-1417592743, diakses 19 Juni 2015).
Menciptakan Kedaulatan Keuangan Nasional
II. KEDAULATAN KEUANGAN NASIONAL DAN PENGGABUNGAN BANK A. Kedaulatan Keuangan Nasional Kedaulatan diartikan sebagai kekuasaan yang tertinggi dalam satu negara atau kesatuan yang tidak terletak dibawah kekuasaan yang lain.6 Jadi, kedaulatan keuangan nasional Indonesia dapat didefiniskan sebagai kekuasaan yang tertinggi atas keuangan nasional di Indonesia. Dalam menjalankan pemerintahannya, Presiden dan Wakil Presiden Jokowi – JK akan menjalankan 9 agenda prioritas yang terangkum dalam NAWACITA. Salah satu agenda prioritas pemerintahan Jokowi – JK yakni dalam poin tujuh, “mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektorsektor strategis ekonomi domestik”. Agenda prioritas tersebut diharapkan dapat mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor dan lebih mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan koperasi sebagai pemeran utama dalam perekonomian nasional. Pemerintah akan berusaha mewujudkan kedaulatan keuangan nasional tersebut melalui program-program kebijakan diantaranya kebijakan inklusi keuangan yang mencapai 50 persen penduduk, tax ratio terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi 16 persen, pengurangan utang pemerintah dan pengaturan ketat penjualan saham bank nasional pada investor asing. Salah satu program kebijakan pemerintah untuk menciptakan kedaulatan keuangan nasional adalah pengaturan ketat penjualan saham bank nasional pada investor asing. Salah satu tujuan penjualan saham bank nasional adalah untuk mengumpulkan modal bagi bank tersebut. Permodalan perbankan yang kuat akan membuat perbankan menjadi kompetitif dengan perbankan lainnya terutama dalam menghadapai persaingan global yang semakin kompleks. Sebenarnya untuk mendapatkan permodalan perbankan yang besar, selain menjual saham perbankan ke investor asing, dapat juga dilakukan dengan cara yang lain yaitu melalui penggabungan bank. Penggabungan bank melibatkan 2 bank atau lebih sehingga modal-modal dari 2 bank atau lebih tersebut akan menjadi satu
6
“Teori-teori Kedaulatan”, (http://jakadwiputra.blogspot.co.id/2013/04/ teori-teori-kedaulatan-ilmu-negara.html, diakses 6 Oktober 2015).
55
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
dan lebih besar. Penggabungan perbankan tersebut akan membuat permodalan perbankan menjadi lebih kuat dan ampuh. Sehingga hal ini dapat menyebabkan perbankan menjadi lebih kompetitif dalam menghadapi persaingan dengan perbankan lainnya baik domestik maupun regional. B. Penggabungan Bank
Dasar hukum penggabungan bank di Indonesia awalnya adalah Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia (KMK RI) Nomor 278/KMK/01/1989 tentang Peleburan Usaha dan Peleburan Usaha Bank. Kemudian KMK ini diganti dengan produk yang sama tertanggal 26 Februari 1993 tentang Tata Cara Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi Bank. Terakhir, payung hukum tentang penggabungan perusahaan ini adalah Undang-Undang (UU) No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT). Tepatnya dalam Bab VIII tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Pemisahan. UU PT ini telah memberikan ruang lingkup tentang pengertian dan pengaturan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Pemisahan, walaupun tidak merinci bentuk penggabungannya apakah merger, konsolidasi, atau akuisisi. Penggabungan bank dapat menyebabkan permodalan perbankan tersebut menjadi lebih kuat dan ampuh. Yang paling utama, penggabungan bank akan meningkatkan daya saing perusahaan dan memperoleh keuntungan yang kompetitif atas perusahaan-perusahan lain melalui perolehan share terhadap pasar yang besar, perluasan portofolio untuk mengurangi resiko bisnis, memasuki pasar dan geografi baru, dan capitalising on economies of scale.7 Penggabungan bank dapat dilakukan melalui merger, akuisisi atau konsolidasi. Merger, akuisisi dan konsolidasi berfungsi untuk merangsang konsolidasi perbankan agar perbankan tersebut dapat menjadi lebih kuat dan ampuh dalam permodalan.8 Pada dasarnya penggabungan perusahaan (bank) juga harus memperhatikan berbagai faktor, sebagai pertimbangan apakah
7
8
56
Sidharth Saboo dan Sunil Gopi, “Comparison of Post_merger Performance of Acquiring Firms (India) Involved in Domestic and Cross-Border Acquisitions”, Munich Personal RePEc Archive Paper No. 19274, 2009, hal. 1-10. Agus Budianto, Merger Bank Di Indonesia Beserta Akibat-Akibat Hukumnya (Bogor: Ghalia Indonesia 2004), hal. 73.
Menciptakan Kedaulatan Keuangan Nasional
perusahaan tersebut layak untuk melakukan penggabungan dengan perusahaan lain. Hal ini dapat dilihat dari berbagai faktor seperti faktor produksi, faktor finansial, faktor pajak, faktor hukum, faktor Sumber Daya Manusia (SDM), dan lain-lain. Banyak perusahaan di Indonesia yang melakukan merger dalam rangka memajukan usahanya. Merger
Bentuk yang pertama dari penggabungan bank adalah merger. Merger dilakukan oleh perusahaan-perusahaan untuk mencapai sasaran strategis dan finansial tertentu. Merger melibatkan penggabungan dua organisasi/perusahaan atau lebih yang sering kali berbeda dari segi karakter dan nilainya. Merger merupakan salah satu cara pengembangan dan pertumbuhan perusahaan. Selain itu, merger juga salah satu alternatif lain untuk melalui investasi modal pertumbuhan secara internal dan organis.9 Melalui merger, perusahaan-perusahaan menggabungkan dan membagi sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan bersama. Merger dapat menjadikan perusahaan-perusahaan meningkatkan efisiensi, daya saing, size dan kinerja untuk menghadapi persaingan yang semakin kompetitif. Bagi perbankan, merger dapat meningkatkan modalnya berkenaan dengan keharusan bank untuk memenuhi rasio kecukupan modal (Capital Adequate Ratio atau CAR) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI). Selain itu, bank melakukan merger bertujuan untuk mengatasi keadaan bank yang bermasalah.10 Merger, sering digunakan oleh non lawyers untuk membedakan berbagai bentuk kombinasi. Bagi lawyer, biasanya mengartikan sebagai kombinasi yang melibatkan penggabungan dua perusahaan yang terlibat, sesuai dengan perjanjian formal yang dilaksanakan dengan mengacu pada statutory merger previsions tertentu, menginginkan saham dari satu perusahaan (pentransfer) dikonversi ke dalam saham yang lain (survivor).11 Ada juga yang mendefinisikan merger sebagai penggabungan 2 badan usaha atau lebih yang relatif berimbang kekuatannya,
9
10 11
Adrian Sutedi, Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi dan Kepailitan (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 83. Ibid, hal. 83-84. Agus Budianto. Op.Cit, hal. 86-87.
57
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
sehingga terjadi kombinasi baru yang merupakan wadah bersama yang saling memperkuat. Juga ada yang mendefinisikan merger adalah penggabungan dua atau lebih perusahaan ke dalam salah satu dari mereka dan perusahaan yang bergabung membubarkan diri.12 Dalam istilah hukum perusahaan, merger diartikan sebagai suatu tindakan penggabungan dua perusahaan sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan berdasarkan ketentuan perundangundangan dimana salah satu perusahaan akan tetap bertahan sedangkan perusahaan lainnya menghilang. Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development atau OECD, merger adalah penggabungan atau bergabungnya dua atau lebih perusahaan menjadi sebuah perusahaan yang ada atau membentuk sebuah perusahaan yang baru. Merger merupakan suatu metode bagi perusahaan yang dapat meningkatkan ukuran dan memperluas aktivitas ekonomi dan pasar yang ada.13 Berdasarkan definisi dari berbagai ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa merger merupakan suatu bentuk penggabungan dua badan usaha, badan usaha yang satu tetap ada, dan yang satunya atau lainnya bubar secara hukum, dan nama perusahaan yang digunakan adalah perusahaan yang eksis atau ada.14 Unsur dari adanya merger adalah adanya fusi atau penyerapan satu perusahaan dalam perusahaan yang lain, di mana posisi atau keadaan perusahaan yang satu kurang menguntungkan dibandingkan dengan perusahaan yang lain. Di samping itu, perseroan yang berada dalam posisi lemah itu tidak lagi bermaksud melanjutkan usaha dan eksistensinya. Merger, jika dilihat dari segi jenis usahanya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis yaitu merger horizontal (horizontal merger), merger vertikal (vertical merger) dan merger konglomerat (conglomerate merger).15 Merger horizontal ialah merger yang terjadi antara dua buah perusahaan yang mempunyai jalur bisnis (line of bussines) yang sama. Merger vertikal adalah merger yang dilakukan oleh suatu perusahaan karena perusahaan itu bermaksud untuk 14 15 12 13
58
Ibid, hal. 86-87. Adrian Sutedi, Op.Cit., hal. 84. Ibid, hal. 85. Agus Budianto. Op.Cit, hal. 95-96.
Menciptakan Kedaulatan Keuangan Nasional
melakukan ekspansi ke hulu (ke arah sumber bahan baku) atau ke hilir (ke arah konsumen akhir dari perusahaan itu). Sedangkan merger konglomerat adalah merger yang terjadi antara perusahaanperusahaan yang jalur bisnisnya tidak berkaitan.16 Merger juga dapat diklasifikasikan dalam merger Kon – Generik. Artinya dengan merger Kon – Generik, perusahaan-perusahaan yang bergabung saling berhubungan satu sama lain, yang mempunyai kesamaan sifat produksinya, tetapi belum dapat dikatakan sebagai produsen terhadap produk yang sama (horizontal) dan bukan juga hubungan antara produser – supplier (vertikal).17 Selain itu, ada juga yang mengklasifikasikan merger ke dalam 3 jenis merger, yaitu merger perusahaan, merger saham dan merger yuridis. Merger perusahaan ditandai dengan salah satu perusahaan mengambil alih perusahaan lain melalui pembelian secara tunai, mengeluarkan saham atau kedua perusahaan tersebut bergabung dan mendirikan satu perusahaan baru.18 Merger saham dilakukan melalui pengambilalihan saham baik dengan cara pembayaran secara tunai atau dengan cara penyerahan saham. Sedangkan merger yuridis ditujukan pada dua atau lebih perusahaan yang melakukan peleburan secara yuridis. Artinya ada perusahaan yang “memperoleh” dan ada perusahaan yang “lenyap”.19 Akuisisi
Pengambilalihan kepemilikan suatu perusahaan dapat berupa pembelian sebagian terbesar atau seluruhnya saham-saham dari perusahaan lainnya. Masing-masing perusahaan, baik perusahaan yang mengambil alih maupun perusahaan yang diambil alih tetap mempertahankan aktivitas, identitas, dan kedudukannya sebagai perusahaan-perusahaan yang mandiri. Pengambilalihan perusahaan ini sering diistilahkan dengan acquisition, take over atau overname. Akuisisi adalah pengambilalihan suatu perusahaan (perusahaan target) oleh perusahaan lainnya (perusahaan raider) melalui penawaran untuk membeli sebagian atau seluruh saham dari perusahaan target dengan harga yang lebih tinggi dari nilai harga 18 19
16 17
Ibid. Agus Budianto. Op.Cit, hal. 96. Ibid. Ibid, hal. 96-97.
59
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
pasar yang normal.20 Akuisisi juga didefinisikan sebagai “take overs provide a mechanism, where by company aset come under the control of a person, invariably a company, which believes it can utilise the aset in a more sufficient way than was previously the case”.21 Pengertian secara luas dari akuisisi adalah pembelian hak atas suatu bagian perusahaan lain, sehingga akuisitor (perusahaan pembeli) dapat menguasai atau mengambil alih perusahaan lain (target company) dengan melakukan kontrol terhadapnya. Ada juga yang menyatakan bahwa akuisisi adalah pengambilalihan suatu perusahaan oleh perusahaan lainnya yang dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu (1) mengambil alih aset perusahaan yang diambil alih atau akuisisi aset (asset acquisition), dan (2) membeli saham-saham dari perusahaan yang diambil alih atau akuisisi saham (stock acquisition).22 Ada perbedaan antara akuisisi saham dan akuisisi aset perseroan. Akuisisi saham akan mengakibatkan perubahan mayoritas kepemilikan saham dan ada kemungkinan campur tangan dalam manajemen. Sedangkan akuisisi aset perseroan, pemegang saham lama akan memperoleh dana segar dari hasil akuisisi tersebut yang akan dipergunakan untuk membayar utangnya kepada pihak kreditur, setelah itu bisa saja perseroan tersebut dilikuidasi.23 Penggabungan perusahaan melalui akuisisi bertujuan untuk meningkatkan barrier of market entry bagi calon pesaing yang akan muncul, memperoleh akses pada teknologi baru atau teknologi yang lebih baik yang dimiliki oleh perusahaan yang menjadi objek akuisisi, menciptakan penguasaan pangsa pasar yang lebih luas, mendorong harga saham di pasar modal, memperkuat struktur permodalan, dan menjamin kelangsungan perusahaan.24 Selain akuisisi saham dan aset, bentuk akuisisi lain yang dapat dilihat dari objeknya adalah akuisisi kombinasi dan akuisisi bertahap. Akuisisi kombinasi dilakukan antara akuisisi saham dan akuisisi aset. Sedangkan akuisisi bertahap adalah akuisisi yang dilakukan tidak secara sekaligus tapi melalui beberapa tahapan.25 22 23 24 25 20 21
60
Agus Budianto. Op.Cit, hal. 103. Ibid. Ibid, hal. 104. Ibid. Agus Budianto. Op.Cit, hal. 104. Ibid, hal. 107.
Menciptakan Kedaulatan Keuangan Nasional
Klasifikasi akuisisi jika dilihat dari keberadaan perusahaan dibedakan menjadi akuisisi finansial (financial acquisition) dan akuisisi strategis (strategic acquisition). Akuisisi finansial merupakan suatu tindakan akuisisi terhadap satu atau beberapa perusahaan tertentu yang mempunyai tujuan hanya untuk mendapatkan keuntungan finansial semata-mata dalam waktu sesingkatsingkatnya. Sedangkan akuisisi strategis merupakan suatu akuisisi yang dilaksanakan dengan tujuan untuk menciptakan sinergi dengan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan jangka panjang.26 Selain itu, akuisisi juga dapat diklasifikasikan menurut tipologinya yaitu ada akuisisi horizontal, akuisisi vertikal dan akuisisi konglomerat. Akuisisi horizontal adalah akuisisi yang dilakukan oleh perusahaan yang sejenis yang ditujukan untuk mengakuisisi pesaing langsung. Akuisisi vertikal adalah akuisisi yang bertujuan untuk menguasai sejumlah mata rantai produksi dan distribusi dari hulu sampai ke hilir atau dua perusahaan yang mempunyai kegiatan proses produksi distribusi yang saling terkait. Sedangkan akuisisi konglomerat adalah akuisisi yang ditujukan untuk mengakuisisi perusahaan lain yang tidak mempunyai kaitan bisnis secara langsung dengan bisnis akuisitor.27 Konsolidasi
Konsolidasi menurut kamus diartikan sebagai act of consolidating, or the status of being consolidated dan dalam kaitan dengan hukum perusahaan adalah ...kombinasi dari dua perusahaan atau lebih menjadi perusahaan yang baru dibuat. Jadi, perusahaan A dan perusahaan B bergabung untuk membentuk perusahaan C...28 Secara teknis, merger berbeda dengan konsolidasi. Dalam merger, satu perusahaan (disebut perusahaan “pengakuisisi” atau “mengakuisisi”) membeli perusahaan lain (disebut perusahaan yang “diakuisisi” atau “menghilang”) dan melebur ke dalam dirinya sendiri. Bentuk entitas baru ini disebut “survivor corporation”, perusahaan yang diakuisisi tidak ada lagi. Konsolidasi mirip dengan merger, kecuali bahwa dalam konsolidasi dua perusahaan yang ada atau lebih bergabung untuk membentuk entitas perusahaan baru secara penuh. 28 26 27
Ibid, hal. 108. Ibid, hal. 108-109. Agus Budianto. Op.Cit, hal. 98.
61
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Bentuk hukum dari merger dan konsolidasi berbeda tentang perubahan pokok struktur perusahaan. Jadi, berdasarkan definisi-definisi tersebut, unsur-unsur konsoliasi adalah adanya pencampuran dua perseroan yang kemudian membentuk suatu perseroan yang baru.29 Di Indonesia isu penggabungan perusahaan tersebut hangat dibicarakan baik oleh pengamat ekonomi, ilmuwan, maupun praktisi bisnis. Banyak alasan telah dikemukakan oleh para manajer dan ahli teori keuangan untuk menjelaskan tingginya tingkat aktivitas penggabungan perusahaan. Motif utama di balik penggabungan perusahaan, antara lain: 30 1. Sinergi Motivasi utama dalam sebagian merger adalah untuk meningkatkan nilai perusahaan yang bergabung. Jika perusahaan A dan B bergabung menjadi perusahaan C, dan jika nilai perusahaan C lebih besar daripada nilai A ditambah B, yang masing-masing berdiri sendiri, maka dalam hal ini terdapat sinergi (sinergy). Sinergi yaitu kondisi dimana nilai keseluruhan lebih besar daripada hasil penjumlahan bagian-bagiannya. Pengaruh sinergi bisa timbul dari empat sumber, yaitu: (a) penghematan operasi, yang dihasilkan dari skala ekonomis dalam manajemen pemasaran, produksi, atau distribusi; (b) penghematan keuangan, yang meliputi biaya transaksi yang lebih rendah dan evaluasi yang lebih baik oleh para analis sekuritas; (c) perbedaan efisiensi; dan (d) peningkatan penguasaan pasar akibat berkurangnya persaingan. 2. Pertimbangan pajak Perusahaan yang menguntungkan dan termasuk dalam kelompok tarif pajak tertinggi dapat mengambil alih perusahaan yang memiliki akumulasi kerugian yang besar. Kerugian tersebut kemudian dapat digunakan untuk mengurangi laba kena pajak. Jadi, merger dapat dipilih sebagai cara untuk meminimalkan pajak. 3. Pertimbangan aktiva dibawah biaya penggantian Kadang-kadang perusahaan diambil alih karena nilai penggantian (replacement value) aktivanya jauh lebih tinggi daripada nilai
29 30
62
Ibid. Indah Rahmawati, Pengaruh Merger dan Akuisisi terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Manufaktur Go Public di Indonesia (Studi di Bursa Efek Jakarta). Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, 2007, hlm. 144 – 145.
Menciptakan Kedaulatan Keuangan Nasional
pasar perusahaan itu sendiri. Padahal nilai sebenarnya dari setiap perusahaan adalah fungsi daya menghasilkan laba masa depannya, bukan biaya untuk mengganti aktivanya. 4. Diversifikasi Diversifikasi membantu menstabilkan laba perusahaan, sehingga bermanfaat bagi pemiliknya. Seorang manajer pemilik perusahaan keluarga tidak menjual sebagian sahamnya untuk melakukan diversifikasi karena hal ini akan memperkecil kepemilikan dan juga mengakibatkan kewajiban pajak yang besar atas keuntungan modal. Jadi, merger bisa menjadi jalan terbaik untuk mengadakan diversifikasi perorangan. 5. Insentif pribadi manager Beberapa keputusan bisnis lebih banyak didasarkan pada motivasi pribadi daripada analisis ekonomi. Banyak orang termasuk pemimpin bisnis, menyukai kekuasaan, dan akan lebih banyak kekuasaan yang diperoleh dalam menjalankan perusahaan yang besar daripada perusahaan yang kecil. Tidak ada eksekutif perusahaan yang akan mengakui bahwa egonya merupakan alasan utama di balik merger, namun ego memang memegang peranan penting dalam banyak aktivitas merger. 6. Nilai pecahan Perusahaan dapat dinilai menurut nilai buku, nilai ekonomi, atau nilai pengganti. Para spesialis pengambilalihan mengakui nilai pemecahan (breakup value) sebagai dasar lain untuk penilaian. Para analis mengestimasi nilai pemecahan suatu perusahaan, yang merupakan nilai masing-masing bagian dari perusahaan itu, jika dijual secara terpisah. Jika nilai ini lebih tinggi dari nilai pasar berjalan perusahaan, maka seorang spesialis pengambilalihan dapat mengakuisisi perusahaan itu pada atau bahkan di atas nilai pasar berjalannya, dijual secara sepotong-sepotong, dan menghasilkan laba yang besar. III. IMPLIKASI PENGGABUNGAN BANK
Penggabungan dua perusahaan sejenis atau lebih, seperti bank, secara horisontal dapat menimbulkan sinergi dalam berbagai bentuk, misalnya perluasan produk, transfer teknologi, dan sebagainya. Dengan penggabungan perusahaan, memungkinkan terjadinya pooling kekuatan antar perusahaan. Perusahaan-perusahaan
63
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
yang terlalu kecil untuk mempunyai fungsi-fungsi penting perusahaannya, misalnya fungsi research and development (R&D), akan lebih efektif jika bergabung dengan perusahaan lain yang telah memiliki fungsi tersebut. Selain itu, penggabungan usaha di antara perusahaan sejenis akan mengakibatkan adanya pemusatan pengendalian, sehingga dapat mengurangi pesaing. Manfaat lebih jauh dari merger dan akuisisi, yaitu dapat menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan. Bagi perusahaan yang kesulitan likuiditas dan terdesak oleh kreditur, keputusan merger dan akuisisi dengan perusahaan yang kuat akan menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan. Intinya, penggabungan perusahaan seperti bank merupakan salah satu strategi untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pengembangan perusahaan. Dalam bidang perbankan Indonesia, merger dan akuisisi merupakan sebuah pilihan agar perbankan di Indonesia bertindak lebih efisien. Merger dapat membuat bank dengan manajemen yang lebih baik mengambil alih manajemen dari bank yang kurang baik untuk meningkatkan performanya. Dengan hasil merger antar bank tersebut akan mempunyai manajemen yang lebih baik. Merger juga akan menurunkan biaya operasional dan menawarkan keuntungan kepada masyarakat secara keseluruhan dalam bentuk kebebasan dalam memilih sumber daya yang digunakan. Merger dan akuisisi juga dapat meningkatkan skala ekonomi dan scope ekonomi, memperbaiki efisiensi dari bank yang merger, membuat bank hasil merger memiliki market power yang lebih besar atau meningkatkan size dari manajemen. Sebagai konsekuensinya, merger dari bank mempengaruhi efisiensi biaya dan profit, seperti halnya bunga dari deposito dan pinjaman. Merger berpotensi untuk memberi keuntungan kepada masyarakat dengan lebih luas jika efisiensi biaya dan profit akibat merger meningkat. Estimasi dari efisiensi biaya dan profit memungkinkan pemisahan antara perbaikan efisiensi dengan pengaruh dari market power, sesuatu yang tidak dapat dilihat hanya dari rasio cost dan profit. Beberapa penelitian telah melakukan penelitian tentang manfaat penggabungan perusahaan. Penelitian Hadad tahun 2003 menemukan bahwa merger tidak selamanya membuat bank menjadi lebih efisien, merger hanya mengakibatkan peningkatan efisiensi sebesar 50,8 persen. Berdasarkan kategorinya, rata-rata 64
Menciptakan Kedaulatan Keuangan Nasional
peningkatan efisiensi bank-bank sesudah merger adalah sebesar 34,96 persen sementara rata-rata penurunan efisiensi bank sesudah merger adalah 28,96 persen.31 Selain itu ada studi Huizinga, et.al. tahun 2001 yang menemukan bahwa ada perubahan yang significant dari skala ekonomi pada perbankan di Eropa akibat merger dan akuisisi. Dengan membandingkan bank yang merger dengan bank yang tidak merger, penelitian tersebut menemukan bahwa, akibat adanya merger, bank-bank yang kecil, profit efisiensinya lebih baik dibandingkan dengan bank-bank yang besar sedangkan efisiensi biaya dari bankbank kecil maupun besar meningkat. Merger cenderung untuk menurunkan efisiensi profit dari bank-bank yang besar, sedangkan efisiensi profit dari bank-bank yang kecil meningkat. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa tingkat suku bunga deposito cenderung meningkat akibat merger, yang mengindikasikan bahwa bank-bank hasil merger tidak dapat memperoleh market power yang lebih besar.32 Kemudian ada penelitian Sitompul tahun 2008 yang mengemukakan bahwa hal tersebut diperlukan bagi kebijakan single presence policy yang ditetapkan Bank Indonesia dalam membatasi jumlah komposisi kepemilikan di sebuah bank. Dalam hal ini timbul pertanyaan siapa sebenarnya pemilik bank, karena dalam hal kepemilikan terdapat dualisme pengertian yaitu legal owner (pemilik yang tercatat menurut hukum) dan beneficial owner (pihak yang menikmati manfaat ekonomis dari benda yang dimiliki oleh legal owner). Legal owner berfungsi sebagai pihak yang melakukan pemeliharaan atau pengurusan suatu harta kekayaan sedangkan Bank Indonesia menerapkan konsep ultimate power yang berarti pemilik adalah pihak yang menerima manfaat atas kepemilikan tersebut (beneficial owner). Dalam kaitan dengan single presence policy merger dan akuisisi merupakan suatu solusi terbaik sebagai alat meningkatkan struktur dan efisiensi industri perbankan (Mihaljek tahun 2006: 47).
31
32
R.T. Santosa, “Pengaruh Merger dan Akuisisi terhadap Efisiensi Perbankan di Indonesia tahun 1998 - 2009”, Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 12, No. 2, 2010, hal. 102 – 128. Ibid.
65
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Pilihan merger akan menciptakan suatu bank besar yang dapat berfungsi sebagai bank internasional dalam pengertian Arsitektur Perbankan Indonesia (API), yang menjadi masalah adalah monopoli dan penguasaan pasar. Merger yang menyebabkan suatu perusahaan menguasai pasar dan meningkatkan konsentrasi pasar, besar kemungkinan menurunkan persaingan secara substansif dan oleh karenanya harus dicegah kecuali dapat dibuktikan bahwa merger tersebut tidak menimbulkan anti persaingan. Penelitian yang dilakukan oleh Srinivasan tahun 1992 terhadap 500 bank yang merencanakan merger pada tahun 1991 dengan nilai lebih dari USD 20 milyar mengemukakan bahwa merger adalah solusi bagi overcapacity, undercapitalization, lack of diversification and low pofitability. Merger merupakan salah satu solusi dalam mengatasi problem bank di USA. Konsolidasi bank besar pada level nasional dapat mengurangi excess capacity di dalam bank dan meningkatkan yield dalam menekan biaya sehingga dapat meningkatkan profit. Isu terhadap cost saving adalah penting karena merupakan potential savings yang dapat didengungkan oleh pembuat kebijakan dan pemegang saham bank dalam melaksanakan mega-merger. Untuk pembuatan kebijakan adalah penting memadukan antara cost saving dan improvement dalam efisiensi.33 Masih menurut penelitian Srinivasan dan Wall tahun 1992 yang memberikan catatan bahwa ada signifikansi efficiency gains dari merger, dan merger harus dihindari karena masalah anti-trust demi keamanan. Apabila para bankir melakukan overestimate terhadap cost-saving dari merger, maka mereka dapat menempuh risiko overpaying untuk akuisisi karena terlalu berat dalam cost savings untuk memproduksi return lebih tinggi. Banyak peneliti mengemukakan bahwa merger bank secara substansial menyebabkan cost savings, estimasinya adalah sebesar USD 10 – 14 miliar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih sulit memperkirakan cost saving dalam merger bank apabila dilakukan pendekatan dengan menggunakan skala asset bank tersebut. Analisis memperkirakan bahwa dalam intramarket mergers dapat menurunkan biaya dari target bank sebesar 40 persen dan merepresentasikan laba lebih tinggi didalam industri perbankan
33
66
R.T. Santosa, Op.Cit.
Menciptakan Kedaulatan Keuangan Nasional
(Alpert dan Lync tahun 1991). Savings yang menganut akuisisi di luar market diestimasi 15 persen dari target bank sebelum merger khususnya di non-interest expenses. Pada level individual merger perkiraan cost saving antara 23–32 persen pada bank nasional dan antara merger bank-bank di Amerika dengan perusahaan sekuritas. Beberapa bank menganalisis bahwa para banker sangat konservatif pada potential cost savings yang dapat dikonversikan menjadi laba lebih tinggi.34 Hasil investigasi terhadap skala bank, konsolidasi dan efisiensi mengemukakan bahwa organisasi bank yang lebih besar mempunyai rata-rata biaya lebih rendah dari bank-bank kecil. Penelitian ini sangat signifikan dengan skala ekonomis bank dari ukuran bank kecil sampai bank medium. Beberapa penelitian menyatakan bahwa skala ekonomi bank yang signifikan untuk perbankan adalah tidak lebih dari USD 25 miliar didalam total assetnya35 dan menemukan bahwa tidak ekonomis pada institusi dengan assets hanya USD 500 juta. Berdasarkan studi yang menggunakan cost function methodology untuk mensimulasi merger bank-bank besar dan memperkirakan resultante cost saving, merger bank dengan asset lebih dari USD 1 milyar akan menyebabkan penurunan biaya hanya 5 persen dari analisis kasus yang terjadi. Hipotesis terhadap merger diantara 41 bank besar yang mempunyai cabang-cabang yang secara substansial overlap memperkirakan bahwa penutupan cabang akan menyebabkan rasio non-interest to assets meningkat.36 Penelitian yang memfokuskan pada perubahan didalam non-interest expense sebelum dan sesudah merger, perubahan di profitabilitas dan pangsa pasarnya tidak menunjukkan indikasi kinerja rata-rata bahwa akusisi perusahaan menyebabkan improvement setelah merger.37
34
35
36
37
D. Mihaljek, “Privatisation, Consolidation and Increased Role of Foreign Banks, The Banking System in Emergency Economies: How Much Progress has Been Made”, Bank for International Settlement, 2006, p. 47. W.C. Hunter dan S.G. Timme, “Technical Change in Large U.S. Commercial Banks”, Journal of Business, 1991, 64, 45 – 206. D.T. Savage, ”Mergers, Branch Closings, and Cost Savings”, Board of Governors of the Federal Reserve System Working Paper, 1991. S.A. Rhoades, “The Operating Performance of Acquired Firms in Banking before and after Acquistion”, Federal Reserve Board of Governors Staff Study, No. 149, 1986.
67
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
IV. PENUTUP Penggabungan bank baik melalui merger, akuisisi maupun konsolidasi merupakan suatu pilihan bagi perbankan Indonesia dalam rangka menciptakan kedaulatan keuangan nasional. Banyak studi yang menemukan manfaat dari penggabungan tersebut. Walaupun sisi negatif dari penggabungan tersebut tetap ada. Dalam rangka menciptakan kedaulatan keuangan nasional, penggabungan bank di Indonesia adalah suatu keniscayaan. Agar perbankan Indonesia betul-betul siap dalam menghadapi liberalisasi keuangan internasional. Walaupun pengalaman Indonesia membutuhkan waktu yang relatif cukup lama untuk penggabungan bank, penggabungan bank dalam rangka menciptakan kedaulatan keuangan nasional harus tetap dilakukan. Oleh karena itu, berbagai pihak harus menyadari perannya dalam menciptakan kedaulatan keuangan nasional tersebut.
68
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Bank Indonesia. IMF dan Stabilitas Keuangan Internasional: Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2007.
Budianto, Agus. Merger Bank Di Indonesia Beserta Akibat-Akibat Hukumnya. Bogor: Ghalia Indonesia, 2004. Sutedi, Adrian. Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi dan Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Artikel dalam jurnal, working paper, majalah, dan surat kabar:
Andiati, T., dkk. “Liberalisasi Keuangan dan Pengaruhnya terhadap Nilai Q-Tobin Sektor Industri Dasar dan Kimia dan Perbankan”, Jurnal Manajemen dan Agribisnis, Vol. 9, No. 1, 2012, hal. 13-22.
Hadad, M.D. “Analisis Efisiensi Industri Perbankan Indonesia: Penggunaan Metode Non-Parametrik Data Envelopment Analysis (DEA)”, Research Paper Bank Indonesia, No. 7/5. Huizinga, H.P., Nelissen, J.H.M., dan Vennet, R.V. “Efficiency Effects of Bank Mergers and Acquistions in Europe”, Tinbergen Institute Discussion Papers, 2001 – 008/3.
Hunter, W.C. dan Timme, S.G. “Technical Change in Large U.S. Commercial Banks”, Journal of Business, 1991, 64, 45 – 206.
Matthews, G. “Why NCNB paid a Rich Price for C & S”, Source Media Inc. American Banker, 1991.
Mihaljek, D. “Privatisation, Consolidation and Increased Role of Foreign Banks, The Banking System in Emergency Economies: How Much Progress has Been Made”, Bank for International Settlement, 2006, p. 47. 69
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Rhoades, S.A. “The Operating Performance of Acquired Firms in Banking before and after Acquistion”, Federal Reserve Board of Governors Staff Study, No. 149, 1986.
Saboo, S. dan Gopi, S. “Comparison of Post_merger Performance of Acquiring Firms (India) Involved in Domestic and Cross-Border Acquisitions”, Munich Personal RePEc Archive Paper No. 19274, 2009, hal. 1-10. Santosa, R.T. “Pengaruh Merger dan Akuisisi Terhadap Efisiensi Perbankan di Indonesia Tahun 1998 – 2009”, Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 12, No. 2, November 2010, hal. 102 – 128. Savage, D.T. ”Mergers, Branch Closings, and Cost Savings”, Board of Governors of the Federal Reserve System Working Paper, 1991.
Sharma, A. dan Raat, E. “Acquiring Control in Emerging Markets: Foreign Acquisitions in Eastern Europe and the Effect on Shareholder Wealth”, Munich Personal RePEc Archive Paper No. 62360, 2014, hal. 2-3. Sitompul, Z. “Merger, Akuisisi dan Konsolidasi Perbankan Relevansinya dengan Kebijakan Single Presence Policy”, Indeks Artikel Majalah Universitas Indonesia, 2008.
Srinivasan, A. dan Wall, L.D. “Cost Savings Associated with Bank Mergers”, Federal Reserve Bank of Atlanta Working paper, 1992, 2 – 92. Skripsi, Tesis, Disertasi
Rahmawati, I. Pengaruh Merger dan Akuisisi terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Manufaktur Go Public di Indonesia (Studi di Bursa Efek Jakarta). Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, 2007. Internet (karya individual)
Ariyanti, Fikri. “Bank Terbesar di ASEAN Harus dari Indonesia”. (http://bisnis.liputan6.com/read/2078109/bank-terbesar-diasean-harus-dari-indonesia, diakses 6 Juli 2015). 70
Menciptakan Kedaulatan Keuangan Nasional
Atmoko, Citro. “Konsolidasi Perbankan Mendesak”. (http://www. antaranews.com/berita/490407/konsolidasi-perbankanmendesak, diakses 19 Juni 2015).
Sandy, Kunthi F. “Jokowi Diminta Wujudkan Kedaulatan Keuangan Nasional”. (http://ekbis.sindonews.com/read/932427/34/jokowidiminta-wujudkan-kedaulatan-keuangan-nasional-1417592743, diakses 19 Juni 2015). “Teori-teori Kedaulatan”, (http://jakadwiputra.blogspot.co.id/2013/04/ teori-teori-kedaulatan-ilmu-negara.html, diakses 6 Oktober 2015). Internet (artikel dalam jurnal online) www.bi.go.id
71
BAGIAN KEEMPAT
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS RAKYAT DAN DAYA SAING BANGSA: PENGEMBANGAN DI SEKTOR UMKM oleh: Sony Hendra Permana
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
I.
PENDAHULUAN
RPJMN 2015-2019 merupakan pedoman untuk menjamin pencapaian visi dan misi guna menjaga konsistensi arah pembangunan nasional sesuai arah dan tujuan di dalam Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 dan RPJPN 2005–2025. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 adalah tahapan ketiga dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Apa yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi, untuk menuju sasaran jangka panjang dan tujuan hakiki dalam membangun, pembangunan nasional Indonesia lima tahun ke depan perlu memprioritaskan pada upaya mencapai kedaulatan pangan, kecukupan energi dan pengelolaan sumber daya maritim dan kelautan. Seiring dengan itu, pembangunan lima tahun ke depan juga harus makin mengarah kepada kondisi peningkatan kesejahteraan berkelanjutan.1 Untuk mewujudkan cita-cita bangsa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintahan saat ini telah mencanangkan 9 agenda prioritas yang disebut NAWACITA. Kesembilan agenda tersebut dijabarkan sebagai berikut:2 1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim. 2. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan. 3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 20152019 Buku I Agenda Pembangunan Nasional (Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2014), hlm. 2 2 “Visi Misi Jokowi-JK”, Mei 2014, (http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_ Jokowi-JK.pdf, diakses 23 September 2015). 1
74
Peningkatan Produktivitas Rakyat
4. Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. 5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program “Indonesia Pintar”; serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program “Indonesia Kerja” dan “Indonesia Sejahtera” dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 hektar, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019. 6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. 7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. 8. Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia. 9. Memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.
Salah satu upaya untuk mewujudkan tercapainya Nawa Cita, khususnya pada agenda keenam, yakni meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, adalah dengan pengembangan sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). UMKM memiliki peran yang strategis dan dapat dijadikan andalan untuk menopang perekonomian di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, pada tahun 2013 sektor ini mampu menyerap tenaga kerja sebesar 96,99 persen serta berkontribusi lebih dari 60,34 persen terhadap pembentukan produk domestik bruto Indonesia.3
3
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, “Perkembangan Data Usaha Mikro (a), Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 20122013”, (http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_phocadownload &view=file&id=335:data-usaha-mikro-kecil-menengah-umkm-dan-usahabesar-ub-tahun-2012-2013&Itemid=93, diakses 17 September 2015).
75
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
UMKM sesungguhnya merupakan salah satu penopang perekonomian yang cukup kuat yang telah diakui oleh banyak negara. UMKM dapat secara efektif menciptakan lapangan pekerjaan karena UMKM yang bersifat padat karya dan sesuai dengan tingkat kemampuan dan keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat. Selain itu UMKM dapat juga dikatakan sebagai salah satu penggerak roda perekonomian dengan menciptakan produk-produk yang dapat diekspor ke berbagai negara. UMKM memiliki prospek yang cukup baik serta memiliki potensi besar untuk terus dikembangkan. Di Indonesia, UMKM merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, dan dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional.4 UMKM telah berperan sebagai sumber penciptaan lapangan kerja dan pendorong utama roda perekonomian di pedesaan, yang banyak memberikan andil dalam mengatasi permasalahan pengangguran dan kemiskinan. Pengalaman pada saat krisis ekonomi tahun 1997, UMKM dapat bertahan terhadap goncangan krisis ekonomi dan tetap menunjukkan eksistensinya di dalam perekonomian.5 Kelebihan yang dimiliki UMKM di Indonesia terletak pada produksinya karena sebagian besar tidak menggunakan bahan baku dari luar negeri atau impor sehingga tidak terpengaruh kenaikan harga bahan baku impor. Dengan demikian UMKM dapat menjaga kelangsungan usahanya. II. UMKM DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA A. Profil UMKM UMKM memiliki berbagai pengertian yang berbeda-beda, karena tidak adanya pengertian yang berlaku secara universal tentang kriteria dari UMKM. Namun demikian, secara umum terdapat beberapa indikator atau kriteria yang lazim digunakan
4
5
76
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Miranda S. Goeltom. “Kebijakan Perbankan dalam Mendukung Upaya Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah”, Makalah disampaikan dalam seminar nasional, diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (DPP-HIPPI), 2005.
Peningkatan Produktivitas Rakyat
untuk mendefinisikan UMKM antara lain berupa besarnya volume usaha, besarnya modal, nilai aset, kekayaan bersih, dan besarnya jumlah pekerja.6 Pengertian yang mendefinisikan UMKM di Indonesia cukup beragam. Pengertian usaha kecil dan mikro menurut Dewan Koperasi Indonesia (DEKOPIN) adalah para pelaku usaha ekonomi yang sering dikategorikan sebagai perusahaan yang berskala kecil, menggunakan teknologi tradisional, dan dikelola secara sederhana.7 Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan definisi UKM berdasarkan jumlah tenaga kerjanya. Usaha mikro merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja dibawah 5 orang, usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 5 sampai 19 orang, sedangkan usaha menengah merupakan entitas usaha yang memiliki tenaga kerja 20 sampai dengan 99 orang. Kementerian Keuangan juga memberikan definisi tersendiri kepada UKM. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, usaha kecil didefinisikan sebagai perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan/usaha yang mempunyai penjualan/omset per tahun setinggi-tingginya Rp 600.000.000 atau aset/aktiva setinggitingginya Rp 600.000.000 (di luar tanah dan bangunan yang ditempati) terdiri dari: (1) bidang usaha (Fa, CV, PT, dan koperasi) dan (2) perorangan (pengrajin/industri rumah tangga, petani, peternak, nelayan, perambah hutan, penambang, pedagang barang dan jasa) Sementara itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UU UMKM) memberikan kriteria bagi UMKM yang digolongkan berdasarkan jumlah aset dan omset yang dimiliki sebuah usaha. Adapun kriteria UMKM adalah sebagai berikut:
6
7
Abdul Azis dan A. Herani Rusland, Peranan Bank Indonesia di Dalam Mendukung Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia, 2009), hlm. 3. Idris Laena, Membedah UMKM Indonesia: Sebuah Kajian Tentang Strategi Pemberdayaan & Pengmebangan Usaha Mikro Kecil Menengah di Indonesia (Jakarta: Lugas Foundation, 2010), hlm. 33.
77
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita Tabel 1. Kriteria UMKM No 1. 2. 3.
Uraian Usaha Mikro Usaha Kecil
Usaha Menengah
Kriteria Aset* Maks. 50 Juta
> 50 Juta – 500 Juta
> 500 Juta – 10 Miliar
Ket: * tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha Sumber: UU UMKM
Omset Maks. 300 Juta
> 300 Juta – 2,5 Miliar
> 2,5 Miliar – 50 Miliar
Bank dunia juga membagi kategori UMKM menjadi dua kelompok, yaitu: 1. Small Enterprise. Kriteria karyawan kurang dari 30 orang dengan pendapatan selama setahun tidak melebihi USD 3 juta, serta jumlah aset tidak melebihi USD 3 juta. 2. Micro Enterprise. Kriteria karyawan kurang dari 10 orang dengan pendapatan selama setahun tidak melebihi USD 100 ribu, serta jumlah aset tidak melebihi USD 100 ribu. B. Kinerja UMKM di Indonesia
Perkembangan UMKM di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang cukup baik. Jumlah pelaku UMKM semakin meningkat dari 55.206.444 pelaku usaha di tahun 2011 menjadi 57.895.721 pelaku usaha di tahun 2013. Angka ini setara dengan 99,99 persen jumlah pelaku usaha yang ada di Indonesia. Sementara itu UMKM mampu menyerap tenaga kerja yang sangat banyak, dari 101.722.458 tenaga kerja yang terserap di tahun 2011 meningkat menjadi 114.144.082 tenaga kerja yang terserap di tahun 2013. Angka ini setara 96,99 persen tenaga kerja yang terserap ke sektor UMKM. Kontribusi UMKM terhadap PDB juga sangat baik dari Rp4.303 triliun atau 57,94 persen terhadap PDB di tahun 2011, meningkat menjadi Rp5.440 triliun atau 60,34 persen terhadap PDB di tahun 2013. Kontribusi UMKM terhadap ekspor non-migas juga cukup baik yakni sebesar Rp166 triliun atau 14,06 persen dari total ekspor non-migas ditahun 2012 meningkat menjadi Rp182 triliun atau 15,68 persen dari total ekspor non-migas di tahun 2013. 78
UNIT USAHA A. UMKM –– Mikro –– Kecil –– Menengah B. Usaha Besar TENAGA KERJA A. UMKM –– Mikro –– Kecil –– Menengah B. Usaha Besar PDB ATAS DASAR HARGA BERLAKU A. UMKM –– Mikro –– Kecil –– Menengah B. Usaha Besar TOTAL EKSPOR NON MIGAS A. UMKM –– Mikro –– Kecil –– Menengah B. Usaha Besar
Indikator
Milyar (Rp)
Milyar (Rp)
orang
unit
Satuan
2011 Jumlah Pangsa (%) 55.211.396 55.206.444 99,99 54.559.969 98,82 602.195 1,09 44.280 0,08 4.952 0,01 104.613.681 101.722.458 97,24 94.957.797 90,77 3.919.992 3,75 2.844.669 2,72 2.891.224 2,76 7.427.086,1 4.303.571,5 57,94 2.579.388,4 34,73 722.012,8 9,72 1.002.170,3 13,49 3.123.514,6 42,06 NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA
Sumber: Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, 2015
4.
3.
2.
1.
No.
2012 Jumlah Pangsa (%) 56.539.560 56.534.592 99,99 55.856.176 98,79 629.418 1,11 48.997 0,09 4.968 0,01 110.808.154 107.657.509 97,16 99.859.517 90,12 4.535.970 4,09 3.262.023 2,94 3.150.645 2,84 8.241.864,3 4.869.568,1 59,08 2.951.120,6 35,81 798.122,2 9,68 1.120.325,3 13,59 3.372.296,1 40,92 1.185.391,0 166.626,5 14,06 15.235,2 1,29 32.508,8 2,74 118.882,4 10,03 1.018.764,5 85,94
Tabel 2. Perkembangan UMKM dan Usaha Besar Tahun 2011-2013 2013 Jumlah Pangsa (%) 57.900.787 57895721 99,99 57.189.393 98,77 654.222 1,13 52.106 0,09 5.066 0,01 117.681.244 114.144.082 96,99 106.624.466 88,90 5.570.231 4,73 3.949.385 3,36 3.537.162 3,01 9.014.951,2 5.440.007,9 60,34 3.326.564,8 36,90 876.385,3 9,72 1.237.057,8 13,72 3.574.943,3 39,66 1.161.327 182.112,7 15,68 15.989,5 1,38 32.051,8 2,76 134.071,4 11,54 979.214,8 84,32
Peningkatan Produktivitas Rakyat
79
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
III. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI UMKM Meskipun UMKM peran yang strategis dalam perekonomian Indonesia dengan berbagai keunggulannya, namun UMKM juga mengalami berbagai permasalahan. Permasalahan yang dihadapi oleh UMKM umumnya terutama menyangkut aspek kemampuan pengelolaan usaha dan keterbatasan akses terhadap sumber daya produktif. Berikut adalah beberapa permasalahan yang sering dihadapi oleh UMKM di Indonesia: A. Rendahnya Akses Terhadap Sumber Daya Produktif Beberapa masalah yang umum dihadapi oleh pengusaha UMKM, khususnya dalam hal akses terhadap sumber daya produktif adalah keterbatasan modal kerja dan/atau modal investasi, kesulitan mendapatkan bahan baku dengan kualitas yang baik dan harga terjangkau, keterbatasan teknologi, sumber daya manusia dengan kualitas yang baik (manajemen dan teknik produksi), informasi pasar, dan kesulitan dalam pemasaran.8 1. Kesulitan Akses Sumber Daya Modal Permasalahan yang paling sering ditemui dan dikeluhkan oleh pelaku UMKM adalah terbatasnya akses kepada sektor keuangan, khususnya perbankan. Lebih dari 50 juta pelaku UMKM di Indonesia, baru sekitar 17 persen pelaku yang mendapatkan fasilitas kredit dari perbankan.9 Meskipun UMKM memiliki usaha yang berjalan dengan baik (feasible), namun umumnya belum bankable (belum memiliki pencatatan keuangan yang baik, belum memiliki jaminan atas kelangsungan usahanya, dan lain-lain). Ciri-ciri umum yang juga merupakan sebagai kelemahan-kelemahan sektor UMKM tidak terlepas dari profil sektor usaha ini ditinjau dari aspek permodalan dan keuangannya, meliputi:10 a) Umumnya sektor UMKM memulai usahanya dengan modal sedikit dan keterampilan yang kurang dari pendiri atau pemiliknya.
8
9
10
80
Tulus Tambunan, Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia: Beberapa Isu Penting (Jakarta: Salemba Empat, 2002), hlm. 73. “Baru 17% UMKM Dapat Pembiayaan Perbankan”, 2 November 2012, (http://www.investor.co.id/home/baru-17-umkm-dapat-pembiayaanperbankan/48092, diakses 10 Juni 2015). Dr. Marsuki, DEA., Analisis Sektor Perbankan, Moneter, dan Keuangan Indonesia (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2005), hlm. 44.
Peningkatan Produktivitas Rakyat
b) Terbatasnya sumber-sumber dana yang dapat dimanfaatkan untuk membantu kelancaran usahanya. c) Kemampuan memperoleh pinjaman kredit perbankan relatif rendah, yang disebabkan antara lain karena kekurangmampuan menyediakan jaminan. d) Banyaknya UMKM yang belum mengerti pencatatan keuangan/ akuntansi dan penyusunan laporan keuangan sehingga menurunkan kemampuannya untuk mengajukan proposal permohonan kredit perbankan. e) Sektor UMKM kurang mampu membina hubungan dengan perbankan. 2. Kesulitan Akses Sumber Daya Bahan Baku Pengadaan bahan baku yang berkualitas menjadi suatu permasalahan tersendiri bagi UMKM. Mahalnya harga, terbatasnya ketersediaan, dan jarak yang relatif jauh menjadi faktor pengambat bagi UMKM untuk mengakses bahan baku. Khusus bagi UKM yang berorientasi ekspor, umumnya bahan baku sebagian besar berasal dari luar daerah usaha tersebut berlokasi sehingga pengadaan bahan baku akan menjadi sangat mahal. UMKM juga kalah bersaing dengan industri besar baik dari dalam maupun luar negeri, karena umumnya UMKM hanya memesan bahan baku dalam jumlah kecil, sementara industri besar umumnya memesan bahan baku dalam jumlah yang besar. Bagi pemasok bahan baku, memenuhi kebutuhan industri besar jauh lebih menguntungkan dan memudahkan dibandingkan menjual bahan bakunya ke UMKM, sehingga terkadang permintaan bahan baku tidak dilayani oleh beberapa pemasok. Selain itu, salah satu penyebab sulitnya akses ke sumber daya bahan baku oleh UMKM adalah kebijakan pemerintah yang mengekspor dalam bentuk bahan mentah, khususnya di sektor tekstil. Sementara ketika telah menjadi barang sudah jadi justru kembali masuk ke dalam negeri.11 Contoh lain lagi adalah yang dialami oleh pengrajin sepatu di Jawa Barat yang megalami kesulitan pasokan bahan baku karena 70 persen kulit diekspor ke China atau Eropa, sementara untuk kebutuhan dalam negeri hanya dipasok 30 persennya saja.12
“UMKM Terhambat Bahan Baku”, 2 Oktober 2015, (http://www.harnas. co/2015/10/02/ukm-terhambat-bahan-baku, diakses 7 Oktober 2015). 12 “Pengrajin Sepatu di Jabar Kesulitan Bahan Baku Kulit”, 22 Juli 2013, (http:// ekbis.sindonews.com/read/763867/34/perajin-sepatu-di-jabar-kesulitanbahan-baku-kulit-1374482060, diakses 7 Oktober 2015). 11
81
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
3. Kesulitan Akses Sumber Daya Pemasaran Salah satu aspek yang terkait dengan masalah pemasaran adalah tekanan-tekanan persaingan, baik pasar domestik dari produk serupa buatan usaha besar dan impor, maupun di pasar ekspor. Pelaku UMKM umumnya kurang paham terhadap desain produk yang sesuai dengan karakter pasar. Umumnya UMKM di Indonesia sangat baik dalam memproduksi produk karena memiliki keanekaragaman kekayaan dengan berbagai latar belakang budaya dan kekayaan alam. Meskipun UMKM mampu membuat produk yang mempunyai cita rasa tinggi, namun UMKM mengalami kebingungan untuk memasarkan produknya.13 4. Kesulitan Akses Sumber Daya Teknologi UMKM di Indonesia masih mengalami kesulitan untuk berkembang, salah satunya karena kurangnya akses pada teknologi.14 Umumnya pelaku UMKM masih mempergunakan teknologi yang relatif rendah. Hal ini disebabkan karena adanya keterbatasan modal untuk membeli mesin-mesin baru, keterbatasan informasi mengenai perkembangan teknologi, dan keterbatasan tenaga kerja yang dapat mengoperasikan mesin-mesin baru atau melakukan inovasi-inovasi dalam produk maupun proses produksi. B. Rendahnya Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
Sebagian besar tenaga kerja yang bergerak di sektor UMKM bukan merupakan tenaga kerja yang profesional, yang mampu mengelola usaha dengan baik. Mayoritas pelaku UMKM hanya berpendidikan sekolah dasar (47,9 persen), sementara yang memiliki pendidikan tinggi hanya sedikit sekali (2,8 persen diploma dan 6,96 persen sarjana).15 Sebagian besar pengusaha UMKM juga tidak memiliki latar
13
14
15
82
“Buka Akses Pemasaran Bagi UMKM”, 16 Oktober 2012, (http://ukm-indonesia. net/buka-akses-pemasaran-bagi-umkm.html, diakses 10 Oktober 2015). “UMKM Butuh Akses ke Teknologi Tinggi Untuk Berkembang” 5 Oktober 2013, (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bisnis/13/10/05/mu6mejumkm-butuh-akses-ke-teknologi-tinggi-untuk-berkembang, diakses 10 Oktober 2015). Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (b), “Kebijakan dan Program Pengembangan SDM =Tahun 2014”, (http://www.depkop.go.id/ phocadownload/Rakornas_2013/paparan%20deputi%20bidang%20 sumber%20daya%20manusia.pdf, diakses tanggal 23 September 2014).
Peningkatan Produktivitas Rakyat
belakang pendidikan bisnis. Umumnya usaha dikelola secara kreatif dan kebanyakan merupakan upaya untuk bertahan hidup. Kreativitas dan keberanian untuk memilih strategi (memilih teknologi yang diadopsi, penggunaan tenaga kerja serta diversifikasi pasar) lebih merupakan strategi coba-coba (trial and error).16 Selain itu, sebagian besar UMKM tidak memiliki manajemen pengelolaan usaha yang baik. Sering kali tidak ada pembagian yang jelas antara bidang administrasi dengan operasional. Kebanyakan UMKM dikelola oleh perorangan yang menjalankan fungsi rangkap, yakni sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan. Tidak jarang pula yang memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekat tanpa melihat kompetensi yang dimiliki untuk menjalankan usahanya. C. Rendahnya Produktivitas
Perkembangan UMKM yang terus meningkat dari tahun ke tahun, belum diimbangi oleh produktivitasnya dalam memenuhi kebutuhan pasar. Meskipun produktivitas UMKM sudah menunjukkan peningkatan, namun nilainya sangat kecil jika dibandingkan dengan produktivitas usaha besar. Dengan demikian produk yang dihasilkan oleh UMKM kurang memiliki kemampuan bersaing dan memiliki kualitas yang baik untuk memenuhi permintaan pasar baik domestik maupun internasional. Rendahnya kualitas dan kompetensi kewirausahaan sumber daya manusia masih merupakan faktor utama yang menyebabkan produktivitas UMKM yang rendah.17 Berdasarkan PDB atas dasar harga konstan tahun 2000, produktivitas per unit usaha selama periode 2012–2013 menunjukkan ketimpangan produktivitas antara UMKM dan usaha besar, dimana produktivitas usaha mikro dan kecil masih sekitar Rp 19,8 juta per unit usaha per tahun dan usaha menengah sebesar Rp 7,4 miliar per unit usaha per tahun, sementara itu produktivitas per unit usaha besar telah mencapai Rp 223,7 miliar per unit usaha per tahun. Demikian pula dengan produktivitas pertenaga kerja, di mana pertenaga kerja usaha mikro dan kecil serta usaha menengah masing-masing berkisar Rp 10,4 juta dan Rp 97,8 juta, Hetifah Sjaifudian, Dedi Haryadi, & Maspiyati, Strategi dan Agenda Pengembangan Usaha Kecil (Bandung: Yayasan AKATIGA,1995), hlm. 56. 17 “Pemberdayaan Koperasi Serta Usaha Mikro, Kecil dan Menengah”, (http:// www.bappenas.go.id/files/5613/5229/8326/bab-20__2009100709 4529__2158__21.pdf, diakses tanggal 23 September 2015). 16
83
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
sedangkan produktivitas per tenaga kerja usaha besar telah mencapai Rp320,4 juta.18 Ketimpangan produktivitas tersebut disebabkan karena rendahnya kualitas sumber daya manusia UMKM khususnya dalam bidang manajemen, organisasi, penguasaan teknologi, dan pemasaran; dan rendahnya kompetensi kewirausahaan UMKM. D. Rendahnya Daya Saing
Permasalahan lain yang juga dihadapi oleh pelaku UMKM di Indonesia adalah rendahnya daya saing UMKM yang diakibatkan salah satunya oleh tingginya biaya transaksi atau usaha. Iklim usaha di dalam negeri yang belum kondusif telah menimbulkan biaya ekonomi yang tinggi bagi pengusaha. Berdasarkan data dari bank dunia tahun 2015 daya saing Indonesia untuk berusaha sangatlah buruk. Indeks kemudahan dalam berusaha menunjukkan Indonesia berada di peringkat 114 dari 189 negara yang di survei. Posisi Indonesia jauh berada di bawah negara tetangga di ASEAN, dimana Singapura (1), Malaysia (18), Thailand (26), Vietnam (78), bahkan Philipina (95). Berikut indikator daya saing Indonesia: Tabel 3. Perbandingan Kinerja Sejumlah Indikator Daya Saing Doing Business 2014/2015 Peringkat
Doing Business 2013/2014 Peringkat
Ease of Doing Business Rank
114
117
Registering Property
117
112
Kemudahan Berusaha
Starting a Business
Dealing with Construction Permits Getting Credit
Protecting Minority Investors
155 153 71 43
158 150 67 43
Paying Taxes
160
158
Resolving Insolvency
75
71
Trading Across Border Enforcing Contracts Getting electricity
62
172 78
Sumber: World Bank Group, http://www.doingbusiness.org/rankings, 2015
18
84
61
171 101
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Perkembangan Data Usaha Mikro (a), Op.cit (data diolah).
Peningkatan Produktivitas Rakyat
Mahalnya pengurusan izin dengan prosedur yang panjang serta banyaknya biaya pungutan tidak resmi menambah beban biaya yang harus ditanggung oleh pelaku UMKM. Ditambah lagi kondisi infrastruktur Indonesia yang belum baik, juga menambah mahal biaya logistik. Kondisi ini pada akhirnya dapat melemahkan daya saing produk-produk UMKM. Selain itu, permasalahan finansial yang dihadapi UMKM juga menambah cost of production, salah satunya karena adanya biaya transaksi yang tinggi yang disebabkan oleh prosedur kredit yang cukup rumit sehingga menyita banyak waktu sementara jumlah kredit yang dikucurkan sangat kecil dan bunga kredit untuk investasi maupun modal kerja yang dikenakan lembaga keuangan cukup tinggi.19 IV. STRATEGI PENGEMBANGAN UMKM
UMKM merupakan salah satu bagian dari dunia usaha di Indonesia yang mempunyai kedudukan, potensi dan peranan yang sangat penting serta strategis bagi perekonomian nasional. Kontribusi sektor ini dalam menyerap tenaga kerja menjadi yang sangat diandalkan untuk mengatasi masalah sosial seperti pengangguran dan kemiskinan. Ketahanan UMKM terhadap krisis yang dihadapi Indonesia juga telah membuktikan bahwa sektor UMKM merupakan salah satu sektor yang mampu menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia secara baik. Mengingat peran pentingnya UMKM tersebut maka dibutuhkan suatu dukungan dari pemerintah agar UMKM dapat lebih berkembang dan memiliki daya saing dalam rangka menyambut pasar bebas Asean Community. Kebijakan pemerintah yang jelas dan mendukung merupakan faktor penting untuk pengembangan UMKM guna menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pertumbuhan sektor usaha tersebut.20
19
20
Shujiro Urata., “Policy Recommendation for SME Promotion in The Republic of Indonesia”, yang di kutip oleh Kurniawan, “Faktor Yang Mempengaruhi Akses Keuangan Pinjaman Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Kabupaten Brebes”, Proceeding Seminar Nasional: Sustainable Competitive Advantage (SCA), Vol 4, No.1, 2014, hlm. 611-621. Dagva BoldBaatar, Role of Bank in Promoting Small Medium Scale Enterprise in the Seachen Countries (Kuala Lumpur: The Seacen Centre, 2005).
85
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Mengingat karakteristik UMKM yang heterogen serta kompleksnya permasalahan yang dihadapi, pemberdayaan dan pengembangan UMKM harus didekati dengan dimensi yang cukup luas. Adanya koordinasi baik vertikal maupun horizontal, baik pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah menjadi kebutuhan yang penting bagi keberlangsungan pemberdayaan dan pengembangan sektor UMKM. A. Dukungan Pemerintah Pusat
Pemerintah pusat memiliki peran yang sangat penting dalam rangka mengembangkan sektor UMKM di Indonesia, baik yang bersifat operasional maupun kebijakan. Strategi pengembangan UMKM dapat dilakukan oleh pemerintah pusat dapat dengan caracara sebagai berikut: 1. Menciptakan iklim berusaha yang kondusif Pemerintah pusat harus menciptakan iklim berusaha yang kondusif bagi pelaku UMKM. Saat ini indeks kemudahan dalam berusaha menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 114 dari 189 negara yang di survei.21 Hal ini menunjukkan bahwa iklim berusaha di Indonesia masih belum kondusif yang dikarenakan adanya perizinan yang panjang, banyaknya pungutan-pungutan tidak resmi, kesulitan berbagai sumber daya seperti listrik, air, dan lain-lain. Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah pusat untuk melakukan penyederhanaan perizinan usaha, membuat transparasi biaya dalam berusaha, dan meningkatkan kinerja lembaga penyedia sumber energi seperti PLN, perusahaan air minum dan lain-lain. Dengan adanya iklim berusaha yang kondusif akan menciptakan pengusaha-pengusaha baru di Indonesia yang dapat berkontribusi bagi perekonomian nasional. 2. Menciptakan persaingan usaha yang sehat Pemerintah pusat harus menciptakan persaingan usaha yang sehat dan menjamin adanya mekanisme pasar yang sehat untuk meningkatkan daya saing UMKM. Saat ini UMKM sangat sulit bersaing dengan usaha-usaha besar yang menguasai akses ke berbagai sektor. Untuk menghindari adanya persaingan yang tidak
21
86
World Bank Group, “Economy Rangkings”, (http://www.doingbusiness.org/ rankings, diakses 10 Oktober 2015).
Peningkatan Produktivitas Rakyat
sehat yang dilakukan oleh usaha besar, maka diperlukan adanya suatu pengawasan persaingan usaha yang baik sehingga dapat memberikan kesempatan usaha yang sama dan sejajar antara usaha besar dan UMKM. Agar lembaga pengawas persaingan usaha, dalam hal ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), melaksanakan tugasnya lebih efektif, maka perlu adanya penguatan terhadap kewenangan KPPU dalam perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mendatang. 3. Peningkatan akses keuangan bagi UMKM Salah satu permasalahan klasik yang dihadapi UMKM adalah kesulitan untuk mengakses sektor keuangan. Salah satu program yang digagas pemerintah sebelumnya yakni Kredit Usaha Rakyat (KUR) cukup efektif untuk mengatasi permasalahan tersebut. Namun demikian, tingkat bunga yang ditetapkan oleh perbankan terhadap program tersebut sangat tinggi, mencapai 22 persen pertahun. Bunga yang sangat tinggi ini menjadikan daya saing UMKM rendah. Pemerintah telah berupaya dengan memperbaiki program KUR tersebut dengan menurunkan bunga KUR menjadi sebesar 12 persen.22 Namun demikian upaya-upaya lain perlu dilakukan oleh pemerintah guna meningkatkan akses keuangan bagi UMKM salah satunya dengan sistem insentif yang meliputi akses ke sumbersumber pembiayaan, informasi usaha, promosi, pengembangan jaringan kerja, perlindungan dari persaingan tidak sehat. Selain itu juga akses penguasaan teknologi, pengembangan sentra bisnis UMKM, dan pengembangan pasar jasa pengembangan usaha. B. Dukungan Pemerintah Daerah
Dalam era otonomi daerah ini, pemerintahan daerah memegang peranan penting dalam memperkuat basis perekonomian yang memiliki visi, misi dan arah kebijakan yang sejalan dengan kebijakan perekonomian nasional. Adapun salah satu arah kebijakan pembangunan ekonomi yang pokok adalah memberdayakan pengusaha kecil, menengah dan koperasi agar lebih efisien, produktif
22
“Ambil KUR Rp 25 Juta Bebas Agunan, Bunga Hanya 12% Setahun, 7 Juli 2015, (http://finance.detik.com/read/2015/07/07/171237/2962822/5/ambilkur-rp-25-juta-bebas-agunan-bunga-hanya-12-setahun, diakses 10 Oktober 2015).
87
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
dan berdaya saing dengan menciptakan iklim berusaha yang kondusif dan peluang usaha yang seluas-luasnya.23 Pemberdayaan terhadap UMKM dan koperasi ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, penciptaan lapangan pekerjaan, dan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. Mengingat salah satu kelemahan dari UMKM adalah pada manajemen/pengelolaan usahanya, pemerintahan daerah diharapkan mampu memberikan pembinaan dan pelatihan bagi UMKM agar mampu mengelola usahanya secara lebih profesional dan memiliki daya saing. Pembinaan dan pelatihan bagi UMKM perlu dilakukan oleh pemerintahan daerah karena pemerintahan daerah yang paling mengerti karakteristik dan perilaku masyarakatnya, sehingga upaya pembinaan dan pelatihan dapat tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan UMKM tersebut. Pelaku UMKM juga perlu aktif untuk bekerjasama dan berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah untuk terus melakukan pembinaan dan pelatihan melalui peningkatan capacity building dan penerapan aplikasi information technology (IT), termasuk mengefektifkan kembali web PemdaPemda saat ini yang tidak optimal sebagai basis komunikasi UMKM di daerah.24 Pemerintahan daerah harus menciptakan persaingan usaha yang sehat bagi UMKM. Untuk itu peran pemerintahan daerah dapat diwujudkan secara efektif dan optimal sebagai fasilitator, regulator dan katalisator. a. Sebagai fasilitator Pemerintahan daerah melalui Dinas Koperasi dan UMKM, perlu memfasilitasi UMKM untuk mengembangkan usahanya, dalam hal: • Bidang produksi Pemerintahan daerah melalui Dinas Koperasi dan UMKM perlu mengadakan pembinaan kemampuan dan keterampilan kerja bagi UMKM serta pelatihan singkat/short course produk secara periodik. Chabib Soleh dan Heru Rochmansjah, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (Bandung: Fokus Media, 2010), hlm. 32. 24 Sudaryanto, Ragimun, & Rina Wijayanti, “Strategi Pemberdayaan UMKM Menghadapi Pasar Bebas Asean”, (http://www.kemenkeu.go.id/sites/ default/files/Strategi%20Pemberdayaan%20UMKM.pdf, diakses tanggal 23 September 2015).
23
88
Peningkatan Produktivitas Rakyat
•
Bidang SDM Untuk menumbuhkan kualitas dan jumlah wirausaha, dalam hal ini UMKM, diperlukan adanya pengembangan SDM. Dalam hal ini aspek penting dalam pengembangan SDM berkaitan dengan kewirausahaan, perkoperasian, manajerial, keahlian teknis dan keterampilan dasar (live skill).25 Pemerintahan daerah melalui Dinas Koperasi dan UMKM perlu memberikan layanan konsultasi bisnis, layanan pustaka enterpreneurship dan mengadakan pelatihan singkat/short course manajerial secara periodik dan layanan konsultasi bisnis dalam rangka kemitraan pengembangan UMKM. • Bidang Permodalan Pemerintahan daerah melalui Dinas Koperasi dan UMKM perlu membuat program dana bergulir/pinjaman lunak, bantuan/ hibah serta layanan akses pembiayaan dan layanan advokasi/ pendampingan. Dengan layanan ini UMKM akan dibantu mulai dari pembuatan laporan keuangan, pembuatan proposal, pengajuan kredit dan pendampingan. Selain itu, untuk mendukung perluasan akses keuangan sektor UMKM adalah dengan mendirikan lembaga penjaminan kredit daerah. Lembaga penjaminan kredit daerah dapat berfungsi menjembatani dan memberikan solusi jaminan kredit sebagai pengganti jaminan bagi UMKM. Hadirnya perusahaan penjaminan kredit daerah diharapkan mampu menjawab persoalan klasik yang selalu dihadapi oleh pelaku usaha sektor UMKM yang memiliki usaha feasible namun tidak bankable, yaitu mengakses ke sektor keuangan.26 Berdasarkan hasil survey pembentukan perusahaan penjaminan kredit daerah (PPKD) yang dilakukan oleh Bank Indonesia yang bekerja sama dengan JCIA, perusahaan penjaminan kredit daerah sangat diperlukan bagi pemerintah daerah untuk mendukung
Wisber Wiryanto, “Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah di Kota BanjarBaru Dalam Rangka Millenium Development Goals 2015”, Prosiding disampaikan dalam Seminar Nasional Demokrasi dan Masyarakat Madani, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Terbuka pada tanggal 13 Juli 2012. 26 Sony Hendra Permana, “Peran Lembaga Penjaminan Kredit Daerah Dalam Meningkatkan Aksesibilitas Keuangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah”, bagian keempat buku bunga rampai, Pemerintahan dan Keuangan Daerah (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI bekerjasama dengan Azza Grafika, 2013). 25
89
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
sektor UMKM-nya.27 Dengan pengelolaan yang profesional di bidang penjaminan, lembaga penjaminan kredit daerah akan mampu memberikan layanan yang optimal dalam mendukung pengembangan sektor UMKM, khususnya dalam hal mengatasi permasalahan pembiayaan. • Bidang IT Pemerintahan daerah melalui Dinas Koperasi dan UMKM perlu memberikan pelatihan IT secara periodik serta layanan informasi bisnis dan layanan pustaka entrepreneurship. Fasilitasi pengembangan incubator teknologi dan bisnis. • Bidang pemasaran Pemerintahan daerah melalui Dinas Koperasi dan UMKM perlu memberikan layanan informasi bisnis serta memfasilitasi para UMKM untuk mengikuti pameran-pameran baik tingkat regional, nasional dan internasional. b. Sebagai regulator Pemerintahan daerah harus merumuskan dan membuat kebijakan teknis di bidang Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang berpihak kepada sektor UMKM, dalam bentuk peraturan daerah.
c. Sebagai katalisator Pemerintahan daerah melalui Dinas Koperasi dan UMKM perlu mempercepat proses berkembangnya UMKM dengan membangun komunikasi kreatif antara UMKM dengan konsultan serta instruktur pelatihan keterampilan. Selain itu juga Pemerintahan daerah melalui Dinas Koperasi dan UMKM perlu membantu formalisasi badan usaha bagi UMKM salah satunya dengan fasilitasi pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). V. PENUTUP
Sektor UMKM memiliki peran yang strategis bagi perekonomian Indonesia. Sektor ini mampu menyerap tenaga kerja sebesar 96,99 persen serta berkontribusi lebih dari 60,34 persen terhadap pembentukan produk domestik bruto Indonesia. Perkembangan
27
90
Bank Indonesia bekerja sama dengan JICA, “Paparan Hasil Survei Pembentukan Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD)”, 2010.
Peningkatan Produktivitas Rakyat
UMKM dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang cukup baik. Jumlah pelaku UMKM sebesar 57.895.721 di tahun 2013 atau setara dengan 99,99 persen jumlah total pelaku usaha. Sementara itu UMKM mampu menyerap tenaga kerja sebesar 114.144.082 orang atau setara 96,99 persen tenaga kerja yang terserap. Kontribusi UMKM terhadap PDB juga sangat baik yakni Rp5.440 triliun atau 60,34 persen terhadap PDB. Kontribusi UMKM terhadap ekspor non-migas juga cukup baik yakni sebesar Rp182 triliun atau 15,68 persen dari total ekspor non-migas. Meskipun UMKM memiliki peran yang strategis, namun UMKM juga mengalami berbagai permasalahan. Permasalahan yang dihadapi oleh UMKM umumnya terutama menyangkut aspek keterbatasan akses terhadap sumber daya produktif (kesulitan akses modal, bahan baku, pemasaran dan daya saing), rendahnya kualitas SDM, rendahnya produktivitas, dan rendahnya daya saing. Untuk itu dibutuhkan suatu dukungan dari pemerintah agar UMKM dapat lebih berkembang dan memiliki daya saing dalam rangka menyambut pasar bebas Asean Community. Pemberdayaan dan pengembangan UMKM harus dengan dimensi yang cukup luas dan koordinasi baik vertikal maupun horizontal, baik pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah. Pemerintah pusat berperan untuk menciptakan iklim berusaha yang kondusif, persaingan usaha yang sehat, dan menigkatkan akses keuangan bagi UMKM. Sementara itu untuk mendukung UMKM, pemerintahan daerah berperan sebagai fasilitator, regulator dan katalisator. Sebagai fasilitator pemerintahan daerah harus mengembangkan bidangbidang produksi, SDM, permodalan, IT, dan pemasaran. Sebagai regulator Pemerintahan daerah harus merumuskan dan membuat kebijakan teknis di bidang Koperasi dan UMKM yang memihak. Sebagai katalisator pemerintahan daerah harus mempercepat proses berkembangnya UMKM dengan membangun komunikasi kreatif antara UMKM dengan konsultan serta instruktur pelatihan ketrampilan juga membantu formalisasi badan usaha bagi UMKM salah satunya dengan fasilitasi pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).
91
DAFTAR PUSTAKA
Buku Azis, Abdul dan A. Herani Rusland. Peranan Bank Indonesia di Dalam Mendukung Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia., 2009.
BoldBaatar, Dagva. Role of Bank in Promoting Small Medium Scale Enterprise in the Seachen Countries. Kuala Lumpur: The Seacen Centre., 2005.
Laena, Idris. Membedah UMKM Indonesia: Sebuah Kajian Tentang Strategi Pemberdayaan & Pengmebangan Usaha Mikro Kecil Menengah di Indonesia. Jakarta: Lugas Foundation., 2010. Marsuki. Analisis Sektor Perbankan, Moneter, dan Keuangan Indonesia. Jakarta: Mitra Wacana Media., 2005.
Permana, Sony Hendra. ”Peran Lembaga Penjaminan Kredit Daerah Dalam Meningkatkan Aksesibilitas Keuangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah”, bagian keempat buku bunga rampai, Pemerintahan dan Keuangan Daerah. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI bekerjasama dengan Azza Grafika., 2013.
Sjaifudian, Hetifah., Dedi Haryadi, & Maspiyati. Strategi dan Agenda Pengembangan Usaha Kecil. Bandung: Yayasan AKATIGA., 1995. Soleh, Chabib dan Heru Rochmansjah. Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah. Bandung: Fokus Media., 2010. Tambunan, Tulus. Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia: Beberapa Isu Penting. Jakarta: Salemba Empat., 2002.
92
Peningkatan Produktivitas Rakyat
Makalah dan Jurnal Bank Indonesia bekerja sama dengan JICA. “Paparan Hasil Survei Pembentukan Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD)”, 2010. Goeltom, Miranda S. “Kebijakan Perbankan dalam Mendukung Upaya Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah”. Makalah disampaikan dalam seminar nasional, diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (DPP-HIPPI), 2005.
Urata, Shujiro. Policy Recommendation for SME Promotion in The Republic of Indonesia, yang di kutip oleh Kurniawan. “Faktor Yang Mempengaruhi Akses Keuangan Pinjaman Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Kabupaten Brebes”, Proceeding Seminar Nasional: Sustainable Competitive Advantage (SCA), Vol 4, No.1, 2014, hlm. 611-621. Wiryanto, Wisber. “Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah di Kota BanjarBaru Dalam Rangka Millenium Developmnet Goals 2015”, Prosiding disampaikan dalam Seminar Nasional Demokrasi dan Masyarakat Madani, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Terbuka pada tanggal 13 Juli 2012. Sumber Internet
“Ambil KUR Rp 25 Juta Bebas Agunan, Bunga Hanya 12% Setahun”. (http://finance.detik.com/read/2015/07/07/171237/2962 822/5/ambil-kur-rp-25-juta-bebas-agunan-bunga-hanya-12setahun, diakses 10 Oktober 2015). “Buka Akses Pemasaran Bagi UMKM”. (http://ukm-indonesia.net/bukaakses-pemasaran-bagi-umkm.html, diakses 10 Oktober 2015).
“Baru 17% UMKM Dapat Pembiayaan Perbankan”. (http://www. investor.co.id/home/baru-17-umkm-dapat-pembiayaanperbankan/48092, diakses 10 Juni 2015).
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, “Perkembangan Data Usaha Mikro (a), Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2012-2013”, (http://www.depkop. go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=file&id=33 5:data-usaha-mikro-kecil-menengah-umkm-dan-usaha-besar-ubtahun-2012-2013&Itemid=93, diakses tanggal 17 September 2015). 93
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (b), “Kebijakan dan Program Pengembangan SDM =Tahun 2014”. (http://www. depkop.go.id/phocadownload/Rakornas_2013/paparan%20 deputi%20bidang%20sumber%20daya%20manusia.pdf, diakses tanggal 23 September 2014). “Pengrajin Sepatu di Jabar Kesulitan Bahan Baku Kulit”. (http:// ekbis.sindonews.com/read/763867/34/perajin-sepatu-di-jabarkesulitan-bahan-baku-kulit-1374482060, diakses 7 Oktober 2015).
“Pemberdayaan Koperasi Serta Usaha Mikro, Kecil dan Menengah”. (http://www.bappenas.go.id/files/5613/5229/8326/bab20__20091007094529__2158__21.pdf, diakses tanggal 23 September 2015). Sudaryanto, Ragimun, & Rina Wijayanti. “Strategi Pemberdayaan UMKM Menghadapi Pasar Bebas Asean”, (http://www.kemenkeu. go.id/sites/default/files/Strategi%20Pemberdayaan%20UMKM. pdf, diakses tanggal 23 September 2015).
“UMKM Butuh Akses ke Teknologi Tinggi Untuk Berkembang”. (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bisnis/13/10/ 05/mu6mej-umkm-butuh-akses-ke-teknologi-tinggi-untukberkembang, diakses 10 Oktober 2015). “UMKM Terhambat Bahan Baku”. (http://www.harnas.co/2015/10/02/ ukm-terhambat-bahan-baku, diakses 7 Oktober 2015).
“Visi Misi Jokowi-JK”. (http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_ Jokowi-JK.pdf, diakses tanggal 23 September 2015).
World Bank Group. “Economy Rangkings”. (http://www. doingbusiness.org/rankings, diakses 10 Oktober 2015). Dokumen Resmi
Pembangunan Nasional. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 Buku I Agenda Pembangunan Nasional, 2014. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. 94
BAGIAN KELIMA
ZONA BEBAS PEKERJA ANAK SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS HIDUP MANUSIA INDONESIA oleh: Nidya Waras Sayekti
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
I.
PENDAHULUAN
Hari Anak Nasional (HAN) yang diperingati setiap 23 Juli tidak lantas membuat anak-anak Indonesia menjadi merdeka.1 Masih banyak anak menjadi korban eksploitasi ekonomi, seperti menjadi pengemis. Situasi ini kontraproduktif dengan spirit kemerdekaan Indonesia yang menyentuh angka 70 tahun.2 Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) memperkirakan terdapat sekitar 1,7 juta pekerja anak di Indonesia yang bekerja di seluruh bidang. Dari jumlah tersebut diperkirakan terdapat 400.000 orang pekerja anak yang terpaksa bekerja untuk pekerjaan-pekerjaan yang terburuk dan berbahaya seperti perbudakan, pelacuran, pornografi, perjudian, pelibatan pada narkoba, dan pekerjaan berbahaya lainnya.3 Faktor utama yang menyebabkan timbulnya pekerja anak adalah keterbatasan ekonomi. Sejak usia dini, para anak telah dilibatkan dan masuk ke dunia kerja untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan keluarga.4 Seharusnya mereka dipersiapkan untuk menghadapi masa depan karena anak-anak adalah generasi penerus yang akan mengisi pembangunan di masa mendatang. Keberadaan pekerja anak tidak hanya di negara-negara berkembang saja tetapi di negara maju juga ada, hanya saja jumlah maupun persentasenya sangat kecil bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Hasil data dari International Labor Organization (ILO) pada tahun 2000 memperkirakan terdapat sekitar 250 juta anak di seluruh dunia terpaksa bekerja, yang umumnya ditemukan di negara miskin dan sedang berkembang, dan beberapa kasus ditemukan di negara maju.5 Badan Pusat Statistik (BPS) tahun
“Faktor Ekonomi Picu Anak Jadi Pekerja”, (http://www.republika.co.id/berita/ nasional/jabodetabek-nasional/15/07/23/nry7si284-faktor-ekonomi-picuanak-jadi-pekerja, diakses 10 September 2015). 2 “KPAI: Masih Banyak Anak Terjajah dan harus Dimerdekakan”, (http://www. republika.co.id/berita/nasional/umum/15/08/14/nt2ha0282-kpai-masihbanyak-anak-terjajah-dan-harus-dimerdekakan, diakses 10 September 2015). 3 Sambutan Sekretaris Jenderal Pada Acara Bakohumas Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Jakarta, 9 September 2015. 4 Loc.cit.. 5 Nunung Nurwati, “Pengaruh Kondisi Sosial dan Ekonomi Keluarga Terhadap Motivasi Pekerja Anak dalam Membantu Keluarga di Kapubaten Cirebon, Jawa Barat”,Jurnal Kependudukan Padjajaran, Vol. 10 No. 2, Juli 2008, hal. 113 (http://www.jurnal.unpad. ac.id/kependudukan/article/download/4029/2441, diakses 10 September 2015). 1
96
Zona Bebas Pekerja Anak
2009 mengungkapkan bahwa jumlah anak di Indonesia dengan kelompok umur 5-17 tahun sebesar 58,8 juta anak, diperkirakan 4,05 juta anak atau 6,9 persen diantaranya dianggap sebagai anakanak yang bekerja. Dari total anak yang bekerja, sejumlah 1,76 juta anak atau 43,3 persen adalah pekerja anak dan 20,7 persennya bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk.6 Komitmen Pemerintah Indonesia untuk menanggulangi pekerja anak, khususnya bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (BPTA), dinyatakan dalam ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 mengenai Batas Usia Minimum Anak Dibolehkan Bekerja melalui Undang-undang (UU) No. 20 tahun 1999 dan Konvensi ILO Nomor 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak melalui UU No. 1 Tahun 2000. Kedua Konvensi ILO tersebut juga diadopsi ke dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kemudian pada pemerintahan presiden Joko Widodo, disusun Peta Jalan (Roadmap) Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak Tahun 2022 untuk mendukung pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (RANPBPTA) yang telah dimulai sejak tahun 2002. Penyusunan roadmap tersebut merupakan upaya pemerintah untuk mewujudkan salah satu program nawacita yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Nawacita adalah sebuah gagasan besar untuk Indonesia berdaulat, berdikari, dan berkepribadian dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika yang menjadi janji kampanye presiden dan wakil presiden Indonesia terpilih periode 2014 – 2019. Nawacita berasal dari kata Sansekerta, nawa artinya sembilan dan cita adalah tujuan. Nawacita secara harfiah adalah sembilan tujuan yang akan dituntaskan oleh Presiden Jokowi. Nawacita sejatinya turunan dari gagasan besar Trisakti Bung Karno. Ketiga prinsip Trisakti, yakni berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam budaya adalah semangat dari Nawacita. Nawacita dibagi menjadi sembilan pokok agenda pembangunan, salah satu diantaranya adalah meningkatkan
6
Peta Jalan Menuju (Roadmap) menuju Indonesia bebas Pekerja Anak Tahun 2022, Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Jakarta, 2015.
97
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
kualitas hidup manusia Indonesia.7 Implementasi dari agenda tersebut dituangkan melalui beberapa program kegiatan, antara lain pelaksanaan Program Indonesia Pintar, Program Indonesia Sehat, Program Indonesia Kerja, Program Indonesia Sejahtera, dan Program Indonesia Bebas Pekerja Anak. Berdasarkan uraian di atas, maka menarik untuk dibahas mengenai perkembangan pekerja anak di Indonesia dan bagaimana upaya pemerintah dalam penanggulangan pekerja anak sehingga semua anak Indonesia dapat kembali ke sekolah dan cita-cita Indonesia bebas pekerja anak dapat terwujud pada tahun 2022. II. PENGERTIAN DAN KEBERADAAN PEKERJA ANAK
Pengertian Anak dalam Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Menurut Haryadi dan Indrasari (1995) ada tiga bentuk keterlibatan kerja anak-anak, yaitu: pertama, anak-anak yang bekerja membantu orang tua; Kedua, anak yang bekerja dengan status magang, di mana magang merupakan salah satu cara untuk dapat menguasai keterampilan yang dibutuhkan atau belajar lewat bekerja (learning by doing); Ketiga, anak-anak yang bekerja sebagai buruh/karyawan, di mana anak terikat pada hubungan kerja, antara buruh dan majikan serta menerima upah dalam bentuk uang.8 Berdasarkan hal tersebut, maka anak yang bekerja memiliki pengertian yang berbeda dengan pekerja anak. Anak yang bekerja adalah anak yang melakukan pekerjaan dalam rangka membantu orang tua, melatih tanggung jawab, disiplin atau keterampilan yang dilakukan dalam jangka waktu pendek dan di luar waktu sekolah, serta tidak ada unsur eksploitasi di dalamnya.9 Sedangkan pekerja anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya atau untuk
7
8
9
98
Trianda Surbakti, “Aktualisasi Nawacita dan Tantangan MEA 2015”, (http:// inspirasibangsa.com/aktualisasi-nawacita-dan-tantangan-mea-2015/, diakses 29 Mei 2015). Mulyadi S., Ekonomi Sumber Daya Manusia Dalam Perspektif Pembangunan (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2014), hal. 139-140. Peta Jalan Menuju (Roadmap) menuju Indonesia bebas Pekerja Anak Tahun 2022(Jakarta: Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia), hal. 6.
Zona Bebas Pekerja Anak
orang lain, dengan membutuhkan sejumlah besar waktu dengan menerima imbalan maupun tidak.10 Badan Pusat Statistik (2001) mengkategorikan pekerja anak adalah mereka yang berusia 10-14 tahun dan yang bekerja paling sedikit 1 jam secara terus menerus dalam seminggu yang lalu dan bekerja untuk meningkatkan penghasilan keluarga atau rumah tangga.11 Pengaturan pekerja anak berdasarkan peraturan perundangundangan yang pernah berlaku di Indonesia yaitu dimulai dari: a) Maatregelen Ter Beperking Van De Kinderarbeid En De Nactarbeid Van De Vrouwen atau pembatasan pekerjaan anak dan pekerjaan wanita pada malam hari yang mengatur tentang pembatasan pekerja anak. b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 mengatur tentang larangan memperkerjakan anak yang bersifat mutlak. c) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur tentang larangan pekerjaan anak tetapi dengan syarat-syarat tertentu.12 Dalam Pasal 69 UU No. 13 tahun 2003 diatur mengenai anak-anak yang boleh dipekerjakan dengan syarat mendapatkan izin dari orang tua/wali dan waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam. Selain itu, terdapat UU No. 20 tahun 1999 yang meratifikasi Konvensi ILO No. 138 dan UU No. 1 Tahun 2000 yang meratifikasi Konvensi ILO Nomor 182. Ada tiga teori yang melatarbelakangi keberadaan pekerja anak, yaitu: Pertama, teori budaya, menurut teori ini bahwa dalam budaya tertentu anak memang diharapkan menimba pengalaman bekerja dari orang dewasa sejak usia muda; kedua, teori kemiskinan, menjadi faktor mendasar terjadinya fenomena anak bekerja. Oleh karena itu, kemiskinan itulah yang harus menjadi sasaran intervensi; Ketiga, teori ekonomi, teori ini menyatakan bahwa perhitungan ekonomis rasional merupakan motivasi utama persoalan pekerja anak, Indrasari Tjandraningsih, Pemberdayaan Pekerja Anak: Studi Mengenai Pendampingan Pekerja Anak (Bandung: Yayasan Akatiga, 1995), hal. 5. 11 Mulyadi S., Op.Cit, hal. 138. 12 Rukyal Aini, “Perlindungan Terhadap Pekerja/Buruh Anak Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan”, Jurnal Ilmiah, Fakultas Hukum Universitas Mataram, 2013, hal. 11 (http://fh.unram. ac.id/wp-content/uploads/2014/05/PERLINDUNGAN-TERHADAP-PEKERJA. pdf, diakses 16 September 2015). 10
99
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
diimbangi pula dengan adanya tawar menawar yang menarik, baik di dunia industri maupun calo.13 Sumbangan pekerja anak untuk ekonomi keluarga tidak kecil. Menurut laporan yang diungkap PBB, pekerja anak rata-rata memberi sumbangan 20 persen bagi ekonomi keluarga. Bahkan, berdasarkan hasil survey Yayasan Pendidikan Indonesia tahun 2001, terungkap bahwa 100 persen anak-anak bekerja atas kemauan sendiri.14 Kondisi sosial keluarga mempengaruhi motivasi pekerja anak dalam kontribusinya pada keluarga. Derajat pengaruh persepsi pekerja anak mengenai pendidikan kepala keluarga lebih kuat dibandingkan dengan derajat pengaruh indikator lainnya (status sosial keluarga dalam struktur masyarakat setempat, dan mata pencaharian orang tua).15 III. PERKEMBANGAN DAN FAKTOR PENYEBAB PEKERJA ANAK
Perkembangan pekerja anak dimulai pada masa kolonial Pemerintah Belanda yang mengeluarkan ordonansi dengan membatasi usia anak-anak yang bekerja minimum 12 tahun. Kemudian Pemerintah Indonesia melalui UU No. 1 tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia, membedakan pekerja remaja dan pekerja anak. Pekerja remaja adalah mereka yang berada dalam usia 14-18 tahun, sedangkan pekerja anak adalah yang berusia di bawah 14 tahun. UU ini melarang anak untuk bekerja dan menetapkan pula bahwa anak-anak yang bekerja di pekerjaan berat dan berbahaya minimum harus berusia 18 tahun.16 Anak merupakan aset bangsa yang perlu dijaga dan dipenuhi hak-haknya. Ada empat hak dasar anak menurut Seto Mulyadi dari Komnas Perlindungan Anak, yaitu hak hidup layak, hak tumbuh dan
13 14
15 16
100
Mulyadi S., Op.Cit., hal.141. Nandi, “Pekerja Anak dan Permasalahannya”, Jurnal GEAJurusan Pendidikan Geografi Vol. 6, No. 2, Oktober 2006, (https://www.academia.edu/6054796/ Pekerja_Anak_dan_Permasalahannya, diakses 15 September 2015). Nunung Nurwati, Op.Cit., hal. 120. Mulyadi S., Op.Cit, hal.137-138.
Zona Bebas Pekerja Anak
berkembang, hak perlindungan, dan hak partisipasi.17 Namun, pada kenyataannya tidak semua anak memperoleh hak tersebut, masih ada sebagian anak-anak yang justru sepanjang waktu hidupnya habis dilakukan untuk bekerja mendapatkan upah atau bekerja untuk keluarga. Anak-anak yang bekerja untuk mendapatkan upah, apalagi jika tidak bersekolah, akan kehilangan masa dunia anak-anaknya (childhood) dan juga tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Hal ini akan menjadi lebih buruk lagi apabila mereka bekerja pada pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh orang dewasa.18 Pekerja anak seringkali mengerjakan pekerjaan yang dapat menghambat perkembangannya, misalnya jam kerja yang panjang, banyak menghirup zat-zat kimia yang digunakan oleh industri tempat ia bekerja, cenderung lebih mudah diperlakukan salah, mereka menghadapi kondisi yang tidak menguntungkan, rentan terhadap eksploitasi, dan yang tidak kalah penting pekerja anak umumnya kehilangan akses untuk mengembangkan diri secara fisik, mental, dan intelektual19. Berdasarkan Survey ILO tahun 2009 terhadap Pekerja Anak Indonesia, terdapat 985.000 anak usia 5-14 tahun atau 44 persen dari total pekerja anak, terkena kondisi berbahaya, seperti benda berbahaya, debu atau uap, dingin atau panas yang ekstrim, api dan gas, bahan kimia, ketinggian berbahaya, serta mesin dan peralatan berbahaya.20 Perkembangan pekerja anak di Indonesia dapat dilihat dari aspek demografi dan ekonomi. Berdasarkan Tabel 1 di bawah ini memperlihatkan jumlah pekerja anak cukup besar khususnya untuk kawasan perdesaan dibandingkan daerah perkotaan.21
“Empat Hak Dasar Anak Indonesia Menurut Seto Mulyadi Komnas Perlindungan Anak”, (http://www.organisasi.org/1970/01/empat-4-hakdasar-anak-indonesia-menurut-seto-mulyadi-komnas-perlindungan-anak. html, diakses 16 September 2015). 18 Nunung Nurwati, Op.Cit., hal. 113. 19 Nunung Nurwati, Op.Cit., hal. 115. 20 Menaker, Op.Cit., hal. 11. 21 Mulyadi S., Op.Cit., hal.142-143. 17
101
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita Tabel 1 Pekerja Anak Menurut Jenis Kegiatan dan Tempat Tinggal Tahun 2009 – 2010 (Agustus) (Ribu) Jenis Kegiatan
Perkotaan 2009
Bekerja
1.042
Sekolah
Jumlah Bukan Angkatan Kerja
Mencari Pekerjaan
Jumlah Angkatan Kerja
Mengurus Rumah Tangga Lainnya
Sumber: BPS (2010)/Data Diolah
Perdesaan
2010
2009
2010
930
2.656
1.330
12.750
12.850
15.690
16.312
13.474
13.685
17.499
18.508
388
1.430 270 454
334
1265 284 552
603
3.259 874 935
587
2.918 876
1.320
Berdasarkan ‘data terpadu’ yang dikeluarkan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada 2012 (Tabel 2) terlihat bahwa Provinsi Papua menempati urutan pertama dalam jumlah kasus pekerja anak usia 7-15 tahun (36.202 anak). Urutan kedua ditempati Provinsi Jawa Tengah (12.438 anak) dan ketiga ditempati Provinsi Jawa Timur (10.648 anak), sedangkan yang terendah jumlahnya adalah Provinsi Kepulauan Riau (152 anak). Apabila dilihat berdasarkan jenis kelamin, maka jumlah pekerja anak laki-laki lebih banyak (69.241 anak) dibandingkan perempuan (50.831 anak).22 Tabel 2 Jumlah Pekerja Anak Usia 7-15 Tahun Berbasis Data Terpadu TNP2K NO 1
Aceh
4
Riau
2 3 5 6 7
22
PROVINSI
8
102
Sumatera Utara Sumatera Barat Jambi
Sumatera Selatan Bengkulu Lampung
Menaker, Op.Cit., hal. 12-13.
PEREMPUAN LAKI-LAKI 367
583
JUMLAH 950
2.873
3.170
6.043
273
578
851
366 443
1.022 237
1.144
791 815
1.764 429
2.162
1.157 1.258 2.786 666
3.306
Zona Bebas Pekerja Anak NO
PROVINSI
9
Kepulauan Bangka Belitung
12
10 11 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
PEREMPUAN LAKI-LAKI
JUMLAH
98
237
335
Jawa Barat
3.047
4.707
7.754
Jawa Timur
4.580
6.068
Kepulauan Riau DKI Jakarta
Jawa Tengah
DI Yogyakarta Banten Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat Gorontalo Maluku
Maluku Utara Papua Barat Papua
Jumlah
Sumber: Data Terpadu TNP2K, 2012
41
212
5.740 234 913
1.257 1.005 3.004 1.245 261 462 187 84
111 198
152 410
6.698
12.438
1.030
1.943
252 985
1.263 3.747 1.534 472 735 324 347
486
10.648 2.242 2.268 6.751 2.779 733
1.197 511 441
950
1.956
2.906
631
992
1.623
1.710 781 218 412 186 624
16.214
50.831
3.543 1.601 671 551 239 700
19.988
69.241
5.253 2.382 889 963 425
1.324
36.202
120.072
Pekerja anak laki-laki juga menerima upah lebih baik dibandingkan pekerja anak perempuan (Tabel 3). Hal ini mengindikasikan bahwa masih terjadinya perbedaan jenis kelamin dalam penghargaan atas balas jasa pekerja.23
23
Mulyadi S., Op.Cit., hal.142-143.
103
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita Tabel 3 Pekerja Anak Menurut Upah dan Jenis Kelamin Tahun 2009-2010 (Agustus) Upah/Bulan (Rp) < 200.000 200.000 – 399.999 400.000 – 599.999 600.000 – 799.999 800.000 – 999.999 1.000.000 – 1.499.999 1.500.000 – 1.999.999 2.000.000+
2009
2010
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
304.795 85.880 85.075 66.939 36.215 27.955 3.957 1.966
149.922 135.648 108.139 66.794 27.333 26.043 3.862 1.123
243.697 64.956 85.514 81.340 43.782 36.732 4.616 2.624
82.106 91.746 136.085 74.243 48.034 29.285 1.814 674
Sumber: BPS (2010)/Data Diolah.
Apabila dilihat dari aspek ekonomi, berdasarkan ‘data terpadu’ TNP2K pada 2012 terungkap bahwa dari Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) terdapat 177.374 anak yang berusia 7-17 tahun tidak bersekolah serta bekerja di sektor pertanian, perikanan, perdagangan, jasa, dan lain-lain.24 Laporan yang diterbitkan ILO pada 2010 tentang pekerja anak di seluruh dunia, menunjukkan bahwa sebanyak 60 persen pekerja anak bekerja di sektor pertanian dan hanya seperlima yang mendapatkan upah karena mayoritas bekerja di lingkungan keluarga. Sedangkan di Indonesia, pekerja anak yang usia 10-17 tahun mayoritas bekerja di sektor pertanian (60%), diikuti sektor jasa (26%), industri (7%) dan sektor lainnya (7%).25 Kondisi ekonomi di suatu wilayah berperan dalam pembentukan struktur tenaga kerja anak menurut lapangan pekerjaan. Hal itu karena jenis kegiatan ekonomi dapat mempengaruhi pola lapangan pekerjaan dalam konteks wilayah perkotaan dan perdesaan. Sektor pertanian juga merupakan penyumbang terbesar pekerja anak di perdesaan dan sektor perdagangan merupakan penyumbang terbesar pekerja anak di perkotaan. Di wilayah perdesaan, sebesar 72 persen pekerja anak usia 10-17 tahun bekerja di sektor pertanian, disusul oleh sektor perdagangan 12 persen, industri 6 persen, konstruksi 3 persen, jasa kemasyarakat 3 persen, transportasi 2 persen, serta pertambangan dan penggalian 2 persen. Sedangkan
24 25
104
Menaker, Op.Cit., hal. 12. Menaker, Op.Cit., hal. 9-10.
Zona Bebas Pekerja Anak
di wilayah perkotaan, sebanyak 39 persen pekerja anak usia 1017 tahun berada di sektor perdagangan, disusul sektor industri 16 persen, pertanian 39 persen, jasa kemasyarakatan 15 persen, konstruksi 5 persen, transportasi 5 persen, lembaga keuangan 2 persen, serta pertambangan dan penggalian 2 persen.26 Pemerintah Indonesia telah menyikapi pekerja anak melalui kebijakan program wajib belajar 9 tahun dan 12 tahun, namun data menunjukkan faktor kemiskinan menyebabkan angka pekerja anak masih cukup tinggi.27 Meskipun sebagian besar (87 persen) dari anak-anak yang terlibat bekerja juga bersekolah, namun anak yang bekerja tetap tertinggal dari rekan-rekannya yang tidak bekerja dalam hal kehadiran di sekolah. Hal ini berarti bahwa kehadiran di sekolah berkorelasi negatif tidak hanya dengan keterlibatan dalam pekerjaan, tetapi juga dengan waktu yang dihabiskan anakanak untuk bekerja secara penuh. Anak-anak yang terlibat dalam pekerjaan juga tertinggal dalam perkembangan nilai pelajarannya dari rekan-rekannya yang tidak bekerja. Setidaknya ini sebagian disebabkan oleh kurangnya kehadiran mereka di sekolah untuk belajar dan kesulitan dalam mengikuti pelajaran di kelas jika dibandingkan dengan anak-anak yang tidak dibebani tanggung jawab bekerja. Disamping itu, apabila dilihat dari perkembangan partisipasi pendidikan, maka anak usia 16 – 18 tahun berada pada kategori terendah dalam partisipasi pendidikan. Hal ini menunjukkan besarnya kemungkinan anak terserap dalam pasar kerja.28 Perdebatan mengenai pekerja anak di tingkat internasional mengalami kemajuan pesat yang dipicu oleh Konvensi Hak Anak (KHA). KHA menawarkan sosok anak sebagai subyek aktif yang memiliki pandangan sendiri terhadap hal-hal yang menyangkut dirinya serta orang lain. Dalam konteks ini berlaku logika bahwa untuk memutuskan apa yang terbaik bagi anak harus diletakkan dalam kerangka yang lebih luas dari sekedar persoalan pelanggaran hukum, pemisahan dari sekolah atau wujud kemiskinan, akan tetapi perlu dilihat dalam kerangka peran dan hak anak dalam masyarakat.29 28 29 26 27
Menaker, Op.Cit., hal. 9-11. Mulyadi S., Op.Cit., hal. 142. Menaker, Op.Cit., hal. 12. Indrasari Tjandraningsih dan Popon Anarita, Pekerja Anak di Perkebunan Tembakau, (Bandung: Yayasan Akatiga, 2002), hal. 7.
105
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Latar belakang kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya suatu masyarakat sangat mempengaruhi insiden keberadaan pekerja anak dan bangunan persoalan yang dihadapi. Kemiskinan secara umum disebut-sebut sebagai faktor utama yang menyebabkan munculnya pekerja anak. Di banyak negara berkembang, buruknya sistem pendidikan menjadi salah satu faktor penyebab masuknya anak dalam dunia kerja. Dalam kerangka KHA, pendidikan jelas merupakan cara utama untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja anak. Masalahnya terletak pada kualitas, sistem, dan metode pendidikan yang sering kali tidak menarik bagi anak-anak, bahkan menyebabkan mereka terdorong masuk ke dunia kerja.30 Faktor lainnya yang turut mendorong munculnya pekerja anak adalah faktor-faktor: kultural, sosial-ekonomi keluarga, lemahnya perangkat hukum, pengawasan dan pelaksanaannya, permintaan (demand), menurunnya tingkat pendapatan pada sektor ekonomi/ wilayah tertentu, serta relokasi industri.31 Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga harus disebut sebagai faktor penyebab bertambahnya pekerja anak. Dari sekian banyak faktor penyebab tersebut, faktor lingkungan ternyata sangat menonjol, khususnya pada kasus-kasus pekerja anak di sektor pertanian. Umumnya anggota keluarga petani telah bekerja sejak dini mengikuti pola orang tua bertani secara turun temurun dari generasi ke generasi.32 Berdasarkan survey ILO tahun 2009 tentang Pekerja Anak Indonesia, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi keputusan rumah tangga untuk melibatkan anak-anak mereka dalam pekerjaan atau sekolah, yaitu: a) faktor usia, analisis menunjukkan bahwa probabilitas dari pekerja anak meningkat seiring dengan pertambahan usia; b) faktor jenis kelamin, anak lakilaki kemungkinan untuk bekerja secara eksklusif lebih besar dari pada bersekolah dibandingkan dengan anak perempuan; c) faktor pendidikan kepala rumah tangga, tingkat pendidikan kepala rumah tangga yang lebih tinggi cenderung untuk menyekolahkan anakanaknya dibandingkan untuk membiarkan anaknya bekerja; d) faktor pendapatan rumah tangga, anak-anak dari rumah tangga yang lebih baik pendapatannya mempunyai lebih besar kemungkinan 32 30 31
106
Ibid, hal. 9. Ibid, hal. 10 Ibid, hal. 10.
Zona Bebas Pekerja Anak
untuk bersekolah dibandingkan untuk berpartisipasi dalam kerja; e) Faktor tempat tinggal, jika faktor-faktor lain konstan, anak-anak yang tinggal di daerah perkotaan cenderung lebih sedikit yang memutuskan untuk bekerja dan lebih mungkin untuk bersekolah.33 Setiap pekerja anak memiliki karakteristik yang beragam karena dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang dilakukan, lamanya kerja, gaji/imbalan yang didapatkan, dan resiko/dampak yang meski ditanggung oleh anak. Anak-anak yang secara umum melakukan pekerjaan secara rutin, memiliki jam kerja yang panjang, dan berada pada lingkungan kerja yang tidak sehat. Dikarenakan pekerjaan, para pekerja anak mayoritas tidak memiliki kesempatan bersekolah dan berdampak terganggunya kesehatan. Kondisi pekerjaan menampakan situasi yang eksploitatif pada anak, meskipun pekerjaan yang dilakukan untuk ikut membantu kebutuhan orang tua.34 IV. INDONESIA BEBAS PEKERJA ANAK TAHUN 2022
Kondisi pekerja anak di Indonesia tidak banyak berbeda dengan kondisi pekerja anak di negara-negara lain. Bermacam-macam studi atau penelitian menunjukkan bahwa pekerja anak umumnya sangat rentan terhadap eksploitasi ekonomi.35 Pendekatan yang paling banyak diyakini, sekaligus paling sulit dilakukan adalah pendekatan yang ingin menghapus pekerja anak dengan melarang mereka bekerja. Banyak negara, termasuk Indonesia, dan lembaga-lembaga internasional menganut pendekatan ini.36 Sesungguhnya, upaya Pemerintah Indonesia dalam penghapusan pekerja anak termasuk anak yang berada dalam Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (BPTA), telah dilakukan sejak 2001, melalui pembentukan Komite Aksi Nasional untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (KAN-PBPTA) yang keberadaannya ditetapkan dengan Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2001. KAN PBPTA memiliki tiga mandat dan tugas, yaitu: (1) menyusun RAN PBPTA, (2) melaksanakan pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan RAN PBPTA, serta (3) menyampaikan 35 36 33 34
Menaker, Op.Cit.,hal. 16-17. Menaker, Op.Cit. hal. 17. Indrasari Tjandraningsih, Op.Cit., hal. 13. Indrasari Tjandraningsih, Op.Cit., , hal. 7.
107
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan RAN PBPTA kepada instansi terkait, atau pihak berwenang agar dapat ditanggulangi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.37 Pada Mei 2010, negara-negara anggota ILO menghadiri Konferensi Global Pekerja Anak di Den Haag yang bertema “Menuju Dunia Tanpa Pekerja Anak”. Dalam konferensi tersebut, terjadi kesepakatan adanya peta jalan yang bertujuan untuk mencapai PBPTA pada 2016 mendatang. Secara umum, peta jalan tersebut berisi hal-hal sebagai berikut:38 a. Dibutuhkannya momentum baru untuk meningkatkan program penghapusan BPTA; b. Dibutuhkannya perangkat kebijakan kunci yang berguna bagi percepatan dan keberlanjutan program penghapusan BPTA; c. Mengidentifikasi pemangku kepentingan kunci yang harus terlibat dalam upaya mendorong keberhasilan kampanye program Penghapusan BPTA; d. Mengidentifikasi pentingnya peningkatan usaha mencapai MDGs dan pelaksanaan Konvensi ILO terkait Penghapusan BPTA. Beberapa kunci keberhasilan yang dicapai pemerintah sesuai dokumen Roadmap Den Haag 2010, antara lain, sebagai berikut:39 a. Pemerintah bekerja sama dengan pemangku kepentingan kunci lainnya dan perlu memerhatikan pekerja anak dalam konteks migrasi, perdagangan anak, eksploitasi seks komersial pada anak, serta keterlibatan anak dalam lingkaran perdagangan narkoba. b. Pemerintah perlu berkonsultasi dengan mitra sosialnya untuk bertanggung jawab mengembangkan dan memperkuat kebijakan program penghapusan anak, khususnya berbagai bentuk program yang terkait pekerjaan-pekerjaan terburuk untuk anak dalam mata rantai pekerja anak internasional. c. Pemerintah melalui program-program berbasis kawasan dan sektoral menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak secara berkelanjutan. 39 37 38
108
Menaker, Op.Cit., hal. 21-22. Menaker, Op.Cit., hal. 18. Menaker, Op.Cit., hal. 19-20.
Zona Bebas Pekerja Anak
d. Semua pihak bekerja sama meningkatkan kesadaran dan kepekaan masyarakat terhadap pengaruh buruk jangka panjang dengan adanya pekerja anak dalam hal kesehatan, kesempatan kerja, ketidaksetaraan, dan kemiskinan antargenerasi. e. Antar kementerian pemerintah melakukan integrasi dan koordinasi kerangka kebijakan yang lebih luas, yakni di tingkat nasional maupun daerah, melalui mekanisme yang tepat.
Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah Indonesia menyusun Peta Jalan (Roadmap) Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak Tahun 2022 yang ditetapkan pada 26 Desember 2014. Visi Roadmap tersebut adalah “Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak Tahun 2022” yang akan dioperasionalkan dalam misi utamanya, yaitu: a) Membangun komitmen yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama melakukan penghapusan Pekerja Anak dan BPTA; b) Pengarusutamaan kebijakan penghapusan Pekerja Anak dan BPTA dalam kebijakan sektor prioritas seperti wajib belajar, penanggulangan kemiskinan, jaminan sosial, dll; c) Memperkuat kapasitas sumber daya manusia (SDM) para pemangku kepentingan dalam penghapusan Pekerja Anak dan BPTA baik di tingkat kebijakan maupun pelaksanaan; d) Membangun gerakan nasional penghapusan Pekerja Anak dan BPTA yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.40 Roadmap tersebut didesain untuk menunjukkan hasil/ capaian: a) Terlaksananya pendekatan Penghapusan Pekerja Anak (sosialisasi-penarikan-layanan pendidikan-layanan rujukan lainnyatelusuri pantau); b) tidak ada lagi anak yang bekerja di Indonesia; c) SDM menguat sehingga mampu mendorong perwujudan tujuan dan cita-cita Bangsa Indonesia.41 Langkah-langkah strategis yang dilakukan sebagai upaya menuju Indonesia bebas pekerja anak tahun 2022, sebagai berikut;42 a) Evaluasi pelaksanaan RAN PBPTA selama 10 tahun. Pelaksanaan RAN PBPTA dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu Tahap I Periode 2002 – 2007 yang menghasilkan pencegahan 41.453 anak memasuki BPTA dan sebanyak 3.658 anak yang 42 40 41
Menaker, Op.Cit., hal. 31. Menaker, Op.Cit., hal. 31-32. Menaker, Op.Cit., hal. 32.
109
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
terlibat dalam BPTA dapat ditarik keluar dengan diberikan berbagai layanan. RAN PBPTA Tahap II periode 2008 – 2012 difokuskan pada pembentukan kelembagaan koordinasi dalam PBPTA, replika model program penghapusan BPTA, pengembangan program pada sektor-sektor yang strategis, serta pengembangan kebijakan dan perangkat pelaksanaannya. b) Menetapkan prioritas kebijakan dan program. Roadmap tersebut dirancang untuk memprioritaskan aksi penghapusan Pekerja Anak dan BPTA melalui empat area kebijakan strategis, yaitu harmonisasi peraturan perundangundangan dan penegakan hukum, pendidikan dan pelatihan, perlindungan sosial, dan kebijakan pasar kerja. c) Mengintegrasikan Roadmap Indonesia Bebas Pekerja Anak Tahun 2022 dalam Rencana Pembangunan Daerah. Strategi yang harus dilakukan adalah dengan memasukkan isuisu pekerja anak dan rencana aksi nasional ke dalam Musrenbang agar dapat disinergikan dengan perencanaan pembangunan baik tingkat kabupaten, provinsi maupun nasional dan hasilnya muncul di dalam RPJMD. d) Aksi penghapusan pekerja anak dan BPTA dilakukan secara berkelanjutan dengan melibatkan semua pihak. Penghapusan Pekerja Anak dan BPTA harus diintegrasikan ke dalam kerangka kebijakan yang lebih luas di tingkat nasional dan daerah, koordinasi kebijakan harus diperkuat melalui mekanisme antar kementerian/lembaga yang tepat.
Kerja sama semua pihak untuk memperkuat gerakan menentang pekerja anak sangat diperlukan. Hal itu dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan media tradisional maupun media yang lebih modern. Diharapkan aksi yang dilakukan secara terus menerus dapat memberi perubahan yang lebih baik pada masalah pekerja anak. Aksi-aksi yang dapat dilakukan antara lain, pelaksanaan dan penegakan hukum, mengembalikan fungsi pasar tenaga kerja yang sesuai, dan penyediaan aksesibilitas layanan publik yang memadai meliputi pendidikan wajib yang gratis dan berkualitas, serta pelayanan perlindungan sosial yang nondiskriminatif.43
43
110
Menaker, Op.Cit., hal. 20.
Zona Bebas Pekerja Anak
Dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, pemerintah juga telah melaksanakan berbagai program yang tidak berkaitan langsung namun mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penghapusan pekerja anak, seperti program pendidikan luar sekolah bagi anak putus sekolah, program kompensasi kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bagi penduduk miskin, program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beasiswa Siswa Miskin (BSM), Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Program keluarga Harapan (PKH), Program Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), Program nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).44
V. PENUTUP
Anak merupakan generasi penerus bangsa yang akan berperan dalam pembangunan di masa yang akan datang, karena kemajuan suatu bangsa dan negara berada di tangan mereka. Anak-anak bangsalah yang kelak akan melakukan pembangunan serta membawa harkat dan martabat bangsa. Oleh karena itu, perlu diperhatikan pembentukan generasi yang berkualitas dan berakhlak mulia sejak dini sehingga dapat bermanfaat bagi bangsa dan negara. Masalah pekerja anak merupakan masalah yang membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Anak-anak yang menjadi pekerja anak memiliki rentabilitas terhadap situasi yang mengganggu tumbuh kembangnya sehingga harus dihapuskan. Pemerintah telah menyusun Roadmap Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak Tahun 2022 yang berisikan visi, misi, strategi, dan langkah aksi dalam usaha penghapusan pekerja anak. Kebijakan penghapusan pekerja anak yang dicanangkan pemerintah diharapkan dapat mengembalikan anak-anak ke bangku sekolah untuk mengembangkan intelektualitasnya sehingga negara memiliki sumber daya manusia yang berkualitas di masa depan. Namun pada pelaksanaannya tidaklah mudah, masih banyaknya jumlah keluarga miskin yang mengijinkan anak-anak mereka untuk bekerja. Oleh karena itu, upaya penanggulangan pekerja anak perlu dilakukan secara terpadu antara pemerintah pusat dan
44
Menaker, Op.Cit., hal. 28.
111
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
daerah. Selain itu, diperlukan usaha penanganan secara geografis untuk menanggulangi adanya pekerja anak, dikarenakan setiap wilayah memiliki karakteristik permasalahan pekerja anak yang berbeda faktor penyebabnya. Sektor pendidikan juga kiranya perlu dilakukan perbaikan. Kualitas pendidikan terutama pendidikan formal kiranya perlu dirancang semenarik mungkin sehingga tidak membebankan dan melelahkan anak, namun bermanfaat secara nyata bagi kehidupan mereka di masa depan.
112
DAFTAR PUSTAKA
Buku S, Mulyadi. Ekonomi Sumber Daya Manusia Dalam Perspektif Pembangunan,. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2014.
Tjandraningsih, Indrasari. Pemberdayaan Pekerja Anak: Studi Mengenai Pendampingan Pekerja Anak. Bandung: Yayasan Akatiga, 1995.
Tjandraningsih, Indrasari dan Popon Anarita. Pekerja Anak di Perkebunan Tembakau. Bandung: Yayasan Akatiga, 2002.
White, Ben dan Indrasari Tjandraningsih. Child Workers in Indonesia. Bandung: Yayasan Akatiga, 1998.
…………..Peta Jalan (Roadmap) Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak Tahun 2022, Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, 2014. Artikel dalam internet
Aini, Rukyal. “Perlindungan Terhadap Pekerja/Buruh Anak Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan”. Jurnal Ilmiah, Fakultas Hukum Universitas Mataram, 2013. (http://fh.unram.ac.id/ wp-content/uploads/2014/05/PERLINDUNGAN-TERHADAPPEKERJA.pdf, diakses 16 September 2015) Nandi. “Pekerja Anak dan Permasalahannya”. Jurnal “GEA”Jurusan Pendidikan Geografi Vol. 6, No. 2, Oktober 2006. (https://www. academia.edu/6054796/Pekerja_Anak_dan_Permasalahannya, diakses 15 September 2015).
113
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Nurwati, Nunung. “Pengaruh Kondisi Sosial dan Ekonomi Keluarga Terhadap Motivasi Pekerja Anak dalam Membantu Keluarga di Kapubaten Cirebon, Jawa Barat”.(http://www.jurnal.unpad. ac.id/kependudukan/article/download/4029/2441, diakses 10 September 2015). Surbakti, Trianda. “Aktualisasi Nawacita dan Tantangan MEA 2015”. (http://inspirasibangsa.com/aktualisasi-nawacita-dantantangan-mea-2015/, diakses 29 Mei 2015).
………….“Empat Hak Dasar Anak Indonesia Menurut Seto Mulyadi Komnas Perlindungan Anak”. (http://www.organisasi. org/1970/01/empat-4-hak-dasar-anak-indonesia-menurutseto-mulyadi-komnas-perlindungan-anak.html, diakses 16 September 2015). ………….“Faktor Ekonomi Picu Anak Jadi Pekerja”. (http://www. republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/ 15/07/23/nry7si284-faktor-ekonomi-picu-anak-jadi-pekerja, diakses 10 September 2015).
………….“KPAI: Masih Banyak Anak Terjajah dan harus Dimerdekakan”. (http://www.republika.co.id/berita/nasional/ umum/15/08/14/nt2ha0282-kpai-masih-banyak-anakterjajah-dan-harus-dimerdekakan, diakses 10 September 2015). Artikel dalam seminar
Sambutan Sekretaris Jenderal Pada Acara Bakohumas Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Jakarta, 9 September 2015.
114
BAGIAN KEENAM
PEMBANGUNAN SEKTOR PERIKANAN LAUT DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN oleh: Lisnawati
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
I.
PENDAHULUAN
Sejak mencalonkan diri sebagai Presiden RI, Jokowi telah berkomitmen untuk menyejahterakan masyarakat Indonesia dengan memanfaatkan laut Indonesia secara maksimal menilik potensi kekayaan laut Indonesia yang sangat luar biasa besar., potensi hasil laut Indonesia masih 20 persen yang termanfaatkan, 80 persennya belum terjamah (slepping potency).1 Setidaknya Indonesia memiliki sebelas sektor potensial kelautan, yakni perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, kehutanan pesisir, pariwisata bahari, ESDM, perhubungan laut, industri dan jasa maritim, SDA dan jasa lingkungan kelautan nonkonvesional, seperti gas hidrat, bioenergi dari alga laut, deep sea water industries, energi laut, harta karun di dasar laut, serta yang terakhir, potensi sumberdaya wilayah pulau kecil. Potensi kelautan Indonesia diperkirakan 1,2 juta dollar pertahun sehingga dapat menyerap 40 juta tenaga kerja. Kerugian akibat illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing diperhitungkan sekitar Rp300 triliun.2 Secara kuantitas, potensi perikanan laut Indonesia sebesar 57,7 juta ton pertahun. Namun, dari besaran potensi tersebut baru tergarap 9 juta ton pertahun, di mana 5,7 juta tonnya berupa rumput laut, sisanya sebesar 3,3 juta ton pertahun berupa ikan dan lainnya. Selain itu, ada 1 juta ton pertahun ikan yang dicuri asing. Ini semua belum termasuk potensi kekayaan tambang di laut seperti minyak, gas, dan lainnya, yang jumlahnya lebih besar ketimbang yang ada di daratan. Berdasarkan dokumen visi, misi, dan program pasangan JokowiJusuf Kalla ditegaskan bahwa Indonesia dibangun menjadi negara maritim yang memiliki konfigurasi geografis yang terdiri atas ribuan pulau. Indikasinya jelas, dalam Nawa Cita dinyatakan bahwa untuk mencapai visi “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”, tiga di antaranya menunjukkan komitmen perwujudan negara maritim yang kuat dan
1
2
116
“Rokhmin Dahuri 80 Persen Potensi Maritim Indonesia Belum Terjamah”. (www.tribunnews.com/nasional/2014/09/12/rokhmin-dahuri-80-persenpotensi-maritim-indonesia-belum-terjamah, diakses tanggal 15 September 2015). “Rokhmin Dahuri Ekonomi Kelautan Dimulai dari Pulau Terluar”. (http:// jurnalmaritim.com/2014/08/rokhmin-dahuri-ekonomi-kelautan-dimulaidari-pulau-terluar/, diakses 16 September 2015).
Pembangunan Sektor Perikanan Laut dan Pemberdayaan Nelayan
menyejahterakan rakyat. Misi dimaksud yaitu misi ke-1, ke-3, dan ke-6. Misi pertama adalah mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumberdaya maritim, dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan. Misi ketiga adalah mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim. Adapun misi keenam yaitu mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional. Ketiga misi tersebut jelas menunjukkan kuatnya hasrat JokowiJusuf Kalla untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim yang mempertegas kedaulatan politiknya, kemandirian ekonominya, dan berkepribadian dalam kebudayaannya. Pilihan Jokowi-Jusuf Kalla untuk membangun Indonesia sebagai negara maritim yang kuat sebagaimana uraian tersebut di atas adalah tepat. Terdapat sejumlah alasan yang mendukung hal tersebut. Pertama, realitas geografis Indonesia yang dua pertiganya berupa lautan. Lautan bukan sebagai penghalang, tetapi penghubung pulau-pulau di Indonesia yang total berjumlah 17.499 pulau, menjadi satu kesatuan. Jadi, kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia memang negara maritim. Kedua, kebutuhan pertahanan dan keamanan yang vital terletak di laut. Indonesia, sebagai negara maritim, Angkatan Lautnya relatif masih terkesan dianaktirikan. Politik pertahanan keamanan Indonesia belum menempatkan Angkatan Laut sebagai kekuatan terbesar yang disegani. Seharusnya, Angkatan Laut Indonesia menjadi yang terkuat di kawasan regional. Bahkan, harus menjadi salah satu yang terkuat di dunia. Ketiga, kebutuhan mengembalikan jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim. Cita-cita menjadi negara maritim yang mandiri, kuat, dan maju mutlak membutuhkan bangsa yang berjiwa maritim. Langkah pertama dan utama adalah mengubah secara revolusioner mind-set bangsa kontinental (daratan) menjadi bangsa maritim (lautan). Tujuh Misi pembangunan yang tercantum dalam RPJMN buku pertama sangatlah mulia, dimana sejalan dengan amanat RPJPN 20052015 untuk “Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional”. Agar dapat membangun Indonesia sebagai negara maritim, hal tersebut 117
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
tercerminkan melalui: (1) Terbangunnya jaringan sarana dan prasarana sebagai perekat semua pulau dan kepulauan Indonesia; (2) Meningkat dan menguatnya sumber daya manusia di bidang kelautan yang didukung oleh pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; (3) Menetapkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), aset-aset dan hal-hal yang terkait dalam kerangka pertahanan negara; (4) Membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan; dan (5) Mengurangi dampak bencana pesisir dan pencemaran laut.3 Hal baik yang tercantum dalam dokumen tersebut harus didukung secara aktif oleh Pemerintah dengan cara menciptakan kebijakan-kebijakan yang pro maritim. Kondisi perikanan tangkap di Indonesia potensinya pun tidak kalah luar biasa besar. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dikeluarkan dalam bentuk Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45 Tahun 2011 bahwa total potensi perikanan di Indonesia sebesar 6,5 juta ton/tahun. Secara lengkap dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Potensi Perikanan Tangkap di Perairan Indonesia
Sumber: Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, No.KEP.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Willayah Pengelolaan Perikanan Negara RI.
Potensi tersebut hanya akan menjadi sekadar angka di atas kerja saja apabila eksploitasi penangkapan ikan tidak didukung oleh kebijakan dan pengimplemntasikan secara tepat. Telah menjadi rahasia umum, bahwa selama ini yang menikmati kekayaan laut Indonesia adalah Negara lain. Pihak asing bisa tertarik secara oportunis untuk memanfaatkan potensi ini. Ketergiuran mereka dalam menikmati hasil laut Indonesia dapat menjadi masalah yang gawat apabila penjaga keamanan tidak menanganinya
3
118
Buku I RPJMN 2015-2019.
Pembangunan Sektor Perikanan Laut dan Pemberdayaan Nelayan
dengan serius. Sebenarnya hal ini telah menjadi polemik sejak zaman orde lama. Ketidakmampuan penjaga perbatasan NKRI dalam menjalankan tugasnya dimanfaatkan nelayan asing untuk mengambil ikan diperairan Indonesia. Banyak kasus pencurian ikan yang telah terjadi di Indonesia. Tahun 2012, Direktorat Jendral Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan melakukan pemeriksaan sebanyak 4.326 kapal perikanan. Dari jumlah itu ditangkap sejumlah 112 kapal perikanan diduga melakukan tindak pelanggaran, 70 merupakan kapal ikan asing dan 42 kapal ikan Indonesia. PSDKP juga mencatat selama periode 20052012 sebanyak 1.277 kapal diduga melakukan IUU, dimana 714 merupakan kapal asing dan telah ditindaklanjuti ke dalam proses hukum (ad hoc). PSDKP menyatakan bahwa dari seluruh kapal ikan asing yang melakukan penangkapan ikan, 99,5% melakukan IUU. Apabila dinilai kerugiannya dalam satu dekade tersebut, kerugian atas pencurian oleh kapal asing sekitar Rp 30 triliun per tahun. Jika dihitung dengan harga dua dolar tiap kilogramnya, hal ini berarti ada 166 ton ikan yang hilang tiap tahunnya. Berdasarkan data-data tersebut, pada awal kepemimpinan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti melakukan moratorium perizinan usaha tangkap bagi kapal eks-asing yang dikukuhkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 56 Tahun 2014. Kebijakan ini diambil sebagai pembenahan atas banyaknya kapal-kapal asing yang mengeruk ikan di wilayah Indonesia. Kebijakan yang telah diambil oleh Menteri Susi Pudjiastuti tersebut menimbulkan pro kontra di kalangan pengusaha perikanan. Banyak pengusaha yang keberatan dengan kebijakan tersebut karena kapal-kapal mereka dikandangkan. Namun, ada juga kalangan yang menanggapi secara positif, bahwa kebijakan tersebut merupakan solusi penting untuk konservasi dan mengatasi eksploitasi ikan secara berlebih. Kebijakan yang telah diambil oleh Susi telah berhasil meningkatkan secara signifikan menambah jumlah ikan di hampir seluruh wilayah penangkapan ikan di perairan Indonesia.4
4
“Kebutuhan Kredit Maritim Naik Sejak Moratorium Kapal Berlaku”. (http://www. cnnindonesia.com/ekonomi/20150511114959-78-52483/kebutuhan-kreditmaritim-naik-sejak-moratorium-kapal-berlaku/, diakses 28 September 2015).
119
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Kelebihan ikan di perairan Indonesia perlu diambil kebijakan lebih lanjut yaitu bagaimana pemasaran hasil tangkap nelayan Indonesia sehingga kesejahteraan nelayan dapat meningkat dengan tetap menjaga kesinambungan populasi ikan dan secara bersamaan harga ikan terjangkau di seluruh wilayah Indonesia. Menurut survei BPS hasil sensus 2003-2013, jumlah nelayan tradisional turun dari 1,6 juta menjadi 864 ribu rumah tangga. Sementara nelayan budidaya justru naik, dari 985 ribu menjadi 1,2 juta rumah tangga.5 Turunnya jumlah nelayan ini perlu diantisipasi oleh pemerintah karena seolah kehidupan nelayan di Indonesia tak memiliki prospek cerah sehingga terjadi migrasi profesi. Penulis ingin menganalisis Analisis strategi komprehensif pemerintah penting dilakukan agar dalam rangka meningkatkan hasil tangkapan ikan yang pada akhirnyaterjadi peningkatan kesejahteraan nelayan dengan tetap memperhatikan kesinambungan populasi ikan serta harga ikan dipasaran dapat terjangkau dan dapat dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat Indonesia. II. PERMASALAHAN PERIKANAN DI INDONESIA
Salah satu permasalahan terbesar yang dihadapi perikanan tangkap adalah adanya tangkap lebih (overfishing) dan kapasitas lebih (over dan excess capacity). Kedua masalah ini merupakan dua sisi dari satu mata uang karena keduanya saling terkait satu sama lain. Overfishing sering diartikan sebagai penangkapan ikan yang melebihi kapasitas stok, sehingga kemampuan stok untuk memproduksi menurun. Ikan yang tertangkap lebih banyak dan tidak dapat digantikan melalui reproduksi alami. Overfishing sebenarnya bukan masalah perikanan modern, sejak dulu overfishing terjadi. Mengumpulkan ikan sebanyak mungkin mungkin tampak menguntungkan, tetapi overfishing memiliki konsekuensi serius. Hasil tidak hanya mempengaruhi keseimbangan hidup di lautan, tetapi juga dapat mengganggu kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat pesisir yang bergantung pada ikan untuk hidupnya.
5
120
“Jumlah Nelayan Berkurang 50 Menteri Susi Saya Merinding”. (http:// finance.detik.com/read/2015/05/18/142116/2917483/4/jumlah-nelayanberkurang-50-menteri-susi-saya-merinding, diakses 28 September 2015).
Pembangunan Sektor Perikanan Laut dan Pemberdayaan Nelayan
Miliaran orang mengandalkan ikan untuk protein, dan memancing merupakan mata pencaharian utama bagi jutaan orang di seluruh dunia. Selama berabad-abad, laut dan samudera kami telah dianggap sebagai karunia tak terbatas makanan. Namun, meningkatkan upaya memancing selama 50 tahun terakhir serta praktik penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan mendorong banyak stok ikan ke titik keruntuhan. Lebih dari 85 persen dari perikanan dunia telah melampaui batas biologis dan membutuhkan rencana manajemen yang ketat untuk mengembalikan populasi ikan-ikan. Beberapa populasi ikan komersial penting (seperti tuna sirip biru Atlantik) telah menurun ke titik di mana kelangsungan hidup mereka sebagai spesies terancam. Target memancing predator puncak, seperti tuna dan kerapu, berubah komunitas laut, yang menyebabkan kelimpahan spesies laut yang lebih kecil, seperti sarden dan ikan. Banyak nelayan yang menyadari kebutuhan untuk menjaga populasi ikan dan lingkungan laut, namun penangkapan ikan ilegal dan masalah peraturan lainnya masih ada. Sangat penting dilakukan reformasi manajemen perikanan global, dengan fokus pada praktik berkelanjutan yang melestarikan ekosistem, tetapi juga mempertahankan mata pencaharian dan menjamin keamanan pangan. Overfishing memiliki banyak dampak negatif apabila dibiarkan, diantaranya: 1. Kerusakan ekosistem, menurut ahli ekologi kelautan, perikanan berkelanjutan adalah ancaman terbesar bagi ekosistem laut. Praktek ini menghancurkan lingkungan fisik kehidupan laut, dan mendistorsi seluruh rantai makanan di lautan. Jika satu rantai makanan hilang, konsekuensinya adalah untuk semua organisme yang hidup yang ada di rantai atas atau bawah hilang. 2. Dampak ekonomi, ada banyak penutupan untuk perikanan di banyak bagian dunia termasuk Atlantik Kanada Cod Perikanan pada 1990-an. Perikanan yang berkelanjutan memastikan bahwa mata pencaharian masyarakat dilindungi dan bisnis perikanan berkelanjutan. Overfishing tidak menjamin itu, dan segera, investasi besar akan pergi jika terdapat limbah dan orang-orang akan kehilangan pekerjaan. 121
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
3. Keanekaragaman hayati, kehidupan laut menakjubkan dan seimbang dengan jutaan spesies ikan dan hewan laut lainnya. Overfishing akan membuat jenis ikan tertentu akan punah. Inilah sebabnya mengapa pentingnya pengaturan ikan agar ikan dapat terus berkembang biak. 4. Polusi, minyak dan tumpahan cairan, bahan kimia dan unsurunsur padat dibuang ke dalam air oleh memancing kapal, kapal dan kapal pukat sering menyakiti kehidupan laut. Hal ini sangat mudah untuk berpikir bahwa lautan yang begitu besar dan ini merupakan ancaman nyata, tetapi sedikit polusi oleh ribuan trawl sehari-hari berkontribusi sesuatu yang sangat besar dan mengganggu. Polusi air memiliki konsekuensi yang sangat dahsyat.
Excess capacity, merupakan permasalahan lain dalam perikanan. Fenomena ini terjadi karena investasi yang tidak terkendali dalam perikanan serta terjadi open access dalam pengelolaan ikan. Beberapa pemicu terjadinya excess capasity antara lain:6 • Harga ikan yang relatif inelastis dianggap dapat mengkompensasi penurunan sumber daya. • Dampak dari penambahan wilayah laut dan kebijakan nasionalisasi perikanan serta pemberian subsidi besar-besaran pada sektor perikanan. • Kapasitas perikanan yang relatif berpindah menyebabkan ekses kapital yang bisa dipindahkan dari satu armada ke armada lainnya. • Perubahan pola industri perikanan yang cenderung global menuntut industri bersifat kompetitif dan capital intensive. • Kegagalan kebijakan perikanan secara umum. Permasalahan overfishing dan excess capasity dapat mengancam sumber daya ikan dan keberlanjutan sumber daya dalam menyediakan ikan bagi manusia. Dalam ayat 6.3 dari FAO Code of Conduct menyebutkan bahwa setiap negara harus mencegah terjadinya overfishing dan excess capasity serta mengimplementasikan berbagai pengelolaan untuk menjamin bahwa upaya penangkapan proporsional terhadap kapasitas produktif sumber daya perikanan dan pemanfaatannya yang berkelanjutan.
6
122
Pascoe, S. Greboval, D. Measuring Capacity in fisheries. FAO, 2003.
Pembangunan Sektor Perikanan Laut dan Pemberdayaan Nelayan
Regulasi yang tepat penting dilakukan untuk mengatasi overfishing maupun excess capasity. Jika perikanan tidak diatur akan cenderung menempatkan upaya penangkapan pada tingkat yang melebihi tingkat optimal, sehingga over investasi akan terjadi dan perikanan akan berada pada tingkat yang tidak efisien secara sosial dan ekonomi.7 Banyak sekali yang menunjukkan bahwa perikanan tangkap cenderung menguras stok dan mengakibatkan overcapitalism. Semakin bernilai ekonomi suatu ikan seperti tuna, halibut, salmon, herring, dan sejenisnya maka semakin tinggi pengurasan jika tidak dilakukan regulasi. Regulasi yang baik akan menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi serta meningkatkan produktivitas per tenaga kerja dan produktivitas per unit. Ada beberapa alasan lain kenapa regulasi perikanan tangkap ini diperlukan. Terdapat 4 alasan utama mengapa regulasi perikanan diperlukan:8 1. Regulasi Perikanan diperlukan untuk mendorong terjadinya efisiensi dalam pengelolaan perikanan yang notabene bersifat barang publik. Sebagaimana sudah dibuktikan oleh teori Gordon-Schaefer, perikanan yang tidak diatur (open access) cenderung menimbulkan inefisiensi karena terlalu banyaknya input yang digunakan dari yang seharusnya. 2. Regulasi perikanan diperlukan untuk meningkatkan kualitas serta bobot dan ukuran ikan yang ditangkap. pada perikanan yang tidak diatur, eksternalities akan selalu muncul. Salah satu eksternalitas ini adalah eksternalitas alat dimana nelayan akan berkompetisi untuk menangkap ikan sehingga menyebabkan banyak ikan yang ditangkap sebelum mencapai umur penangkapan. Pengaturan musim misalnya akan mencegah jenis eksternalitas seperti ini. 3. Perairan umum seperti laut memiliki sifat multiple use (multi guna) dimana pihak lain juga memanfaatkan ruang dan sumber daya yang ada di dalamnya. Konflik kemudian sering timbul atas akses dan pemanfaatan sumberdaya tersebut. Regulasi perikanan diperlukan untuk menangani masalah
7
8
Fauzi, Akhmad. Ekonomi Perikanan Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan. PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.p.141. Scott, A. Development of Economic theory of fisheries regulation. J. Fish. Res. Board. Canada, 1979. p.725-741.
123
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
tersebut. Dalam konteks ini regulasi perikanan memiliki sifat redistributive, yakni mengalokasikan hak atas akses dan pemanfaatan sumberdaya melalui aturan-aturan perlindungan (proteksi) dan pemberian hak tertentu (special right) kepada pihak yang memiliki keterbatasan atas akses tersebut seperti dalam kasus nelayan tradisional dengan nelayan modern. 4. Regulasi perikanan diperlukan untuk mencegah pemborosan tenaga kerja dan modal serta untuk mendorong alokasi sumberdaya yang efisien. Pada perikanan yang tidak diatur, jumlah armada perikanan akan cenderung meningkat melebihi kapasitas optimal yang diperlukan. Akibatnya, produktivitas (catch per unit effort) akan menurun, sehingga akan mengurangi pendapatan nelayan yang bisa berujung pada kemiskinan.
Terdapat berbagai jenis regulasi yang digunakan di negara maju maupun berkembang. Kebijakan pemerintah dapat dilakukan melalui kebijakan yang mengarah pada pasar (market based), kebijakan yang mengarah pada pengendalian stok dan kebijakan yang mengarah pada pengendalian perikanan tanpa mekanisme insentif maupun non insentif. Perizinan dan penerapan kuota merupakan contoh dari kebijakan yang mengarah pada pasar. kebijakan yang mengarah pada pengendalian stok contohnya adalah penetapan daerah perlindungan laut, restoking, maupun pengendalian pencemaran. Sedangkan kebijakan yang mengarah pada pengendalian perikanan tanpa mekanisme insentif maupun non insentif seperti pengukuhan hak perikanan tradisional, konsumsi selektif, ecolabelling, dll. Pemberian izin merupakan bentuk regulasi pengendalian ikan yang paling umum. Menurut ekonom sumber daya perikanan asal Norwegia, Jen Warming dikatakan bahwa over eksploitasi sumber daya perikanan baik oleh kapal asing maupun lokal bisa dikurangi dengan menerapkan user fee atau licensing. Dengan menerapkan perizinan bukan hanya ekstrasi dapat dikendalikan namun pemerintah dapat memperoleh penerimaan dari ikan. Ikan merupakan aset dimana kepemilikan publik diwakilkan kepada pemerintah. Oleh karena itu pemerintah seharusnya memanfaatkan aset ekonomi melalui penjualan hak kepada mereka yang ingin memiliki akses ini. 124
Pembangunan Sektor Perikanan Laut dan Pemberdayaan Nelayan
Instrumen lainnya dalam pengendalian ikan adalah menerapkan kuota terhadap penangkapan ikan. Instrumen ini mampu menghilangkan eksternalitas negatif yang terjadi pada perikanan. Dengan menggunakan kuota, setiap perusahaan dipastikan akan mendapat bagian untuk menangkap. Kuota akan mendorong terjadinya efisiensi kapital dan tenaga kerja karena kuota akan memberikan hak kepemilikan secara parsial kepada nelayan. III. POTENSI PERIKANAN INDONESIA DAN POTENSI KERUGIAN AKIBAT IUU FISHING Indonesia berada di posisi 94o 40’ BT–141o BT dan 6o LU–11o LS, terletak di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia; dan antara Benua Asia dan Benua Australia, serta terletak di atas tiga lempeng aktif yaitu lempeng Indo Australia, Eurasia, dan Pasifik. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki sekitar 17.508 pulau, dan garis pantai sepanjang 81.290 km, yang disatukan oleh laut seluas 5,8 juta km2, dengan wilayah daratan seluas 1.860.359,67 km2.9 Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Indonesia, ditetapkan pembagian wilayah yang dikenal dengan WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) dengan mempertimbangkan aspek biologi dan lingkungan sumber daya ikan, seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini.
Sumber: Kementerian Bappenas.
Gambar 1. Peta Pembagian Wilayah Pengelolaan Perikanan di Indonesia
“Potensi, Produksi Sumberdaya Ikan Di Perairan Laut Indonesia dan Permasalahannya”. (http://www.eafm-indonesia.net/public/files/penelitian/5ae09POTENSI,-PRODUKSI-SUMBERDAYA-IKAN-DI-PERAIRAN-LAUT-INDONESIA-DANPERMASALAHANNYA.pdf, diakses tanggal 16 September 2015).
9
125
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, nilai produksi perikanan Indonesia tahun 2013 meningkat sebesar 37,07 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun 2013 produksi perikanan mencapai Rp.213 triliun dan meningkat dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp.155 triliun. Tren pertumbuhan produksi perikanan mengalami kenaikan sebesar 23,22 persen dalam 5 tahun terakhir. Kontribusi nilai produksi perikanan tangkap terhadap nilai produksi perikanan nasional sebesar 47,6 persen sedangkan perikanan budidaya sebesar 52,4 persen. Sedangkan untuk tahun 2014 mengalami pertumbuhan sebesar 7,11 persen atau sekitar Rp.109 triliun dibanding tahun 2013, dengan pertumbuhan produksi perikanan tangkap di laut sebesar 7,21 persen dan diperairan umum sebesar 5,97 persen. Selain itu Kementerian Kelautan dan Perikanan juga mencatat bahwa jumlah nelayan tahun 2014 mengalami pertumbuhan sebesar 1,14 persen dibanding tahun 2013 atau sebesar 2,67 juta nelayan. Jumlah nelayan yang tumbuh pada tahun 2014, dibandingkan tahun sebelumnya yang mengalami penurunan mengindikasikan bahwa nelayan kembali berharap dapat mencari penghidupan dari menangkap ikan. Harapan nelayan yang sedemikian besar didukung oleh pemerintah dengan lebih intens melakukan pengawasan di lautan. Pengawasan di laut dilakukan terhadap kapal sebelum melaut melalui Surat Laik Operasional (SLO ) dan Surat Perintah Berlayar (SPB), pada saat melaut, saat kedatangan, maupun setelah mendarat. Sebelum melaut dokumen yang diperiksa adalah terkait perizinan, aktivasi Vessel Monitoring System (VMS), alat penangkapan ikan, kesesuaian abk, dan surat keterangan aktivasi transmitter. Pada saat melaut yang dipantau adalah kapal berbendera asing yang masuk Indonesia tanpa izin dan kapal berbendera Indonesia yang melanggar aturan. Kedatangan kapal akan diawasi adalah pengisian logbook untuk mengetahui asal usul ikan dan sebagai gambaran stok ikan, surat hasil tangkapan ikan, laporan pemeriksaan kedatangan kapal ikan, dan pengawasan kala setelah mendarat yang diawasi adalah distribusi hasil tangkapan, untuk memastikan pasokan bahan baku bagi Unit Pengolahan Ikan (UPI). IUU fishing merupakan kendala tersendiri bagi nelayan. Banyak modus operasi IUU fishing yang sering terjadi, di antaranya: 126
Pembangunan Sektor Perikanan Laut dan Pemberdayaan Nelayan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
penangkapan ikan tanpa izin; penangkapan ikan dengan izin palsu; penangkapan ikan dengan alat tangkap yang dilarang; penangkapan jenis ikan yang dilarang, atau tidak sesuai izin; pemalsuan data tangkapan; membawa hasil tangkapan langsung ke negara lain, tidak melaporkan hasil tangkapan di pelabuhan yang ditetapkan; 7. melanggar ketentuan alat penangkapan ikan; 8. manipulasi persyaratan; 9. kapal perikanan menggunakan bendera ganda; dan 10. kapal perikanan berganti nama dan nomor kapal, untuk mengelabui aparat pengawas, dan sebagainya.
IUU fishing merupakan isu global dalam lingkup pengawasan di laut. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2014 tercatat dari 2033 kapal yang diperiksa terdapat 39 kapal yang ditangkap, jenis pelanggarannya antara lain: menggunakan alat tangkap terlarang, tidak memiliki dokumen, dan melanggar wilayah penangkapan ikan baik itu kapal Indonesia maupun kapal asing. untuk memperkuat praktek pengawasan terhadap praktek IUU fishing maka pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri No 56/PERMEN-KP/2014 tentang kebijakan moratorium perizinan usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia. Perizinan yang dihentikan sementara adalah kapal perikanan yang pembangunannya di luar negeri. Kebijakan moratorium yang dilakukan oleh Susi Pudjiastuti memberikan dampak menurunnya jumlah kapal eks asing yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia. Hal tersebut dapat terlihat dari gambar dibawah ini.
127
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Gambar 2. Peta Jumlah Kapal yang mencari ikan di Indonesia sebelum Moratorium
Gambar 3. Peta Jumlah Kapal yang mencari ikan di Indonesia setelah Moratorium
Total volume produksi perikanan di beberapa pelabuhan setelah adanya moratorium terlihat menurun dibandingkan periode yang sama sebelum moratorium. Di beberapa Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS), maupun Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) total volume produksi sebesar 78 ribu ton, ini turun dibandingkan sebelum moratorium yang sebesar 97 ribu ton. Namun untuk produksi hasil tangkap di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) cenderung mengalami kenaikan. PPP merupakan pelabuhan yang didominasi oleh nelayan kecil dengan ukuran kapal dibawah 30 gross tonnage (GT) dengan operasional penangkapan ikan biasanya satu hari dan jarak tempuh dibawah 4 mil laut dari pantai. Berikut data volume produksi PPP sebelum dan sesudah moratorium. Tabel 2. Produksi Perikanan di Pelabuhan Perikanan Pantai Satuan: Volume (Kg)
No.
Pelabuhan
1
PPP Sungai Rengas
4
PPP Asem Doyong
2 3 5 6 7 8
128
PPP Blanakan
PPP Bajomulyo
PPP Teluk Batang
PPP Labuhan Lombok PPP Karimun Jawa PPP Lampulo
Sebelum Moratorium
Sesudah Moratorium
Trend (%)
510.556
1.337.740
162,02
151.912
352.068
131,76
2.700
1.837.540 129.580 257.218 255.290 192.375
12.060
3.827.704 517.502 146.132 197.130 457.590
346,67 108,31 299,37 -43,19 -22,78
137,86
Pembangunan Sektor Perikanan Laut dan Pemberdayaan Nelayan No. 9
10
Pelabuhan PPP Tasik Agung PPP Klidang Lor
Jumlah
Sebelum Moratorium 834.580
3.138.708 7.310.458
Sesudah Moratorium 1.894.430 5.857.208
14.599.564
Sumber: Direktorat Jenderal Pelabuhan Perikanan, Ditjen Perikanan Tangkap
Trend (%) 126,99 86,61 99,71
Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, konsistensi pemerintah dalam memberantas illegal fishing telah berkontribusi meningkatkan produksi ikan. Hasilnya cukup mengesankan, setelah 9 bulan produksi ikan lokal naik hingga 240 persen. Sektor perikanan kini tumbuh 8,4 persen hampir 40 persen dari sebelum kebijakan diberlakukan. Produksi ikan lokal naik 240 persen, meskipun total ekspor ikan turun 10 persen namun ekspor tuna meningkat 80 persen.10 Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa setelah moratorium nelayan lebih mudah mendapatkan ikan. Pemulihan stok ikan berjalan dengan adanya moratorium perizinan. Kebijakan ini harusnya diantisipasi dengan kebijakan selanjutnya karena dengan mudahnya nelayan mendapatkan ikan maka produksi ikan akan melimpah. Produksi ikan yang banyak ini harus dicarikan tempat pasokan untuk memasarkan hasil produksi mereka. IV. FAKTOR KETIDAKBERDAYAAN NELAYAN LOKAL DALAM MEMANFAATKAN HASIL LAUT
Dalam mencari ikan di laut, bahan bakar minyak (BBM) seakan menjadi separuh nyawa kehidupan. Sekitar 40-60 persen dari biaya operasional nelayan sangat bergantung pada BBM.11 Tanpa BBM nelayan tidak bisa melaut mencari ikan, dengan BBM terbatas hasil yang diperoleh nelayan pun tidak akan maksimal. Para pelaut dan nelayan yang menggunakan perahu bermesin, sehari-hari menangkap ikan mengisi bahan bakar di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Bunker (SPBB). Mekanisme pengisian ya hampir sama dengan pengisian pada kendaraan bermotor di SPBU. Untuk daerah
“Berantas IUU Fishing Produksi Ikan Lokal Naik 240 Persen”. (http://kkp. go.id/index.php/berita/berantas-iuu-fishing-produksi-ikan-lokal-naik-240persen/, diakses 29 September 2015). 11 http://www.bphmigas.go.id/id/majalah-hilir/doc_view/213-majalah-hiliredisi-6 10
129
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
tertentu misalnya Cilacap keberadaan SPBB di kompleks Pelabuhan Perikanan tersebut sangat kurang.12 Karena itulah, kapal ikan dan perahu bermesin untuk menangkap ikan, sampai harus mengantre setengah hari lebih, demi mendapatkan BBM. Dalam konteks usaha perikanan, realitas tersebut tentulah sangat buang-buang waktu dan tidak efisien. Apalagi kalau ada gangguan teknis atau kekurangan pasokan bahan bakar ke SPBB tersebut, maka antrean pastilah lebih panjang dan lebih lama. Stok ikan yang berlimpah di area permukaan laut tidak dapat dimanfaatkan oleh para penangkap ikan untuk mendapatkan ikan lebih, mengingat fasilitas pengisi bahan bakar terbatas, hingga banyak waktu terbuang hanya untuk mengantre BBM. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan bahwa ongkos produksi nelayan terbesar adalah terkait dengan beban BBM untuk melaut, sehingga seharusnya persoalan tersebut harus dibenahi terlebih dahulu sebelum hal lainnya.13 Pemerintah melalui Direktur Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT), mengatakan bahwa nelayan terutama nelayan kecil harus tetap mendapatkan dan bisa menggunakan BBM subsidi. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui DJPT menjamin kapal-kapal nelayan selain masih mendapatkan BBM bersubsidi, juga bisa memanfaatkan konversi BBM ke gas untuk menekan biaya melaut hingga 40 persen. Penggunaan BBG selain untuk menghemat konsumsi BBM dan mengurangi BBM subsidi, pemanfaatan BBG dapat mendukung penggunaan energi yang lebih bersih. Pencanangan program konversi BBM ke gas telah digulirkan sejak 2012. Pada awalnya program konversi ini menggunakan Compressed Natural Gas (CNG). Program konversi ini sampai dengan Oktober 2012 mencapai tahap penerapan/pengaplikasian untuk 2 lokasi pilot project, yaitu: Provinsi DKI Jakarta dan Kab. Pasuruan, Lekok.14 Namun untuk mengembangkan program ini
“Panen Ikan Tak Didukung Infrastruktur Pelabuhan”. (http://print.kompas. com/baca/2015/09/03/Panen-Ikan-Tak-Didukung-Infrastruktur-Pelabuhan, diakses 30 September 2015). 13 “Kiara Ongkos Produksi Nelayan Terbesar dari Bbm”. (http://ekonomi. metrotvnews.com/read/2015/09/15/431287/kiara-ongkos-produksinelayan-terbesar-dari-bbm, diakses 30 September 2015). 14 “Kenaikan BBM Subsidi Memukul Nelayan Kecil“. (http://www.djpt.kkp. go.id/index.php/arsip/c/1568/Kenaikan-BBM-Subsidi-Memukul-NelayanKecil/?category_id=, diakses 1 Oktober 2015). 12
130
Pembangunan Sektor Perikanan Laut dan Pemberdayaan Nelayan
secara meluas, DJPT mengalami sejumlah kendala. Salah satu kendalanya adalah mahalnya biaya infrastruktur dan kesulitan nelayan kesulitan mendapatkan CNG di lapangan. Jika program ini diteruskan diharapkan nelayan dapat lebih mudah melaut dan mendapatkan ikan. Teknologi kapal yang dimiliki nelayan tradisional merupakan hal lain yang harus dibenahi oleh pemerintah. Berdasarkan data KKP, kapal bertonase di atas 30 GT berjumlah 5.329 kapal sementara nelayan kecil yang menggunakan kapal di bawah 30 GT nelayan memiliki jumlah hingga 630.000 kapal.15 Jumlah bantuan kapal harus ditingkatkan agar fasilitas tangkapan nelayan semakin baik, selama ini nelayan kesusahan menangkap ikan karena teknologi kapal tertinggal. Umumnya, kapal ikan dibedakan menjadi dua, yaitu kapal penangkap ikan dan kapal bukan penangkap ikan. Kapal penangkap ikan antara lain meliputi kapal jaring insang, kapal pukat cincin, kapal pukat hela, dan kapal jaring angkat. Sementara kapal bukan penangkap ikan di antaranya, kapal induk perikanan dan kapal riset perikanan. Selain itu, ada kapal ikan tradisional dan kapal ikan modern. Bedanya, jika kapal ikan tradisional biasanya dibuat dari kayu dan peralatan penangkapan ikannya pun belum canggih, kapal ikan modern dibuat dengan rangka baja dan mesin berkekuatan besar serta dilengkapi peralatan modern, seperti global positioning system (GPS). Perbedaan lainnya terletak pada jangkauan operasi kapal. Kapal ikan tradisional biasanya dioperasikan oleh nelayan-nelayan tradisional dengan jangkauan wilayah perairan yang tidak terlalu jauh atau masih di sekitar pinggir pantai, begitu pun dengan skala penangkapannya tak sebesar kapal ikan modern. Sedangkan kapal ikan modern mampu mencari ikan hingga ke tengah laut dengan skala penangkapan yang jauh lebih besar. kapal nelayan tradisional Indonesia hanya berukuran 20 GT sampai 70 GT, paling besar 200 GT.16 Hal ini sangat berbeda dengan kapal asing yang bisa berukuran 300 GT sampai 500 GT, bahkan paling “Mimpi Menteri Susi Untuk Nelayan Tradisional“. (http://www. investorindonesia.com/nasional/mimpi-menteri-susi-untuk-nelayantradisional/68914, diakses 1 Oktober 2015). 16 “Mimpi Menteri Susi Tiap Kampung Nelayan Punya Bandara Perikanan”. (http://m. liputan6.com/bisnis/read/2259788/mimpi-menteri-susi-tiap-kampung-nelayanpunya-bandara-perikanan, diakses tanggal 14 September 2015). 15
131
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
kecil ukuran kapalnya 100 GT hingga 200 GT. Teknologi yang berbeda ini memberikan tantangan lain bagi nelayan Indonesia. Selain ketersediaan BBM dan teknologi kapal, nelayan juga dihadapkan juga pada kendala terhadap akses pemasaran. Tidak ada fasilitas bagi mereka untuk mengirimkan hasil tangkapan laut yang segar ke pasar-pasar luar negeri. Itu karena belum tersedianya bandara atau pesawat khusus pengiriman hasil tangkapan laut.17 Pentingnya akses langsung ke pasar, misalnya bandara, penerbangan bisa langsung ke pasar internasional, maka harga ikan dijual lebih mahal lagi. ke depan setiap daerah dan perkampungan nelayan diharapkan ada bandara perikanan. Hal ini dapat menimbulkan multiplier effect besar bagi nelayan lokal. Ketidakberdayaan nelayan dalam memperoleh BBM, teknologi maupun akses pasar dapat menjadi kendala terutama terkait kesejahteraan nelayan itu sendiri. Harga ikan di pasaran meskipun ikan melimpah tidak akan turun karena terdapatnya faktor-faktor ketidakberdayaan nelayan. Peluang dari melimpahnya ikan di laut akibat adanya moratorium perizinan tidak dapat ditangkap nelayan akibat kendala tersebut. V. KONDISI INFRASTRUKTUR LAUT INDONESIA
Sebagai negara kepulauan, infrastruktur sebagai penghubung antarpulau menjadi keharusan. Untuk menghubungkan antarpulau itu, Indonesia sebenarnya telah memiliki sedikitnya 2.100 pelabuhan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Pelabuhan dan infrastruktur yang menjadi perhatian serius Kabinet Kerja Joko Widodo yang menargetkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Buktinya untuk transportasi laut, Kemenhub memprioritaskan pembangunan 170 pelabuhan laut yang sebagian besar sebagai pelabuhan singgah kapal perintis. Komisi IV DPR-RI pada rapat dengar pendapat dengan dirjen perikanan tangkap telah menetapkan anggaran untuk pembangunan pelabuhan pelabuhan sebesar lebih kurang 15 triliun.18 Pembangunan http://m.liputan6.com/bisnis/read/2259788/mimpi-menteri-susi-tiapkampung-nelayan-punya-bandara-perikanan 18 “Peralihan Anggaran Pembangunan Pelabuhan Perikanan Menuai Protes Dpr RI”. (http://infobanua.co.id/perlaihan-anggaran-pembangunan-pelabuhanperikanan-menuai-protes-dprri/, diakses tanggal 14 September 2015). 17
132
Pembangunan Sektor Perikanan Laut dan Pemberdayaan Nelayan
pelabuhan ikan dinilai sangat penting dilakukan untuk menjadi akses pemasaran dan mempermudah bertemunya nelayan dengan konsumen. Pelabuhan perikanan terbagi atas beberapa kelas. Umumnya terbagi atas PPS, PPN, dan PPP. Kriteria pelabuhan perikanan secara jelas dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Kriteria Pelabuhan Perikanan di Indonesia
NO. 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
PELABUHAN PERIKANAN PANTAI (PPP)
KRITERIA PELABUHAN PERIKANAN
PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN)
Daerah operasional kapal ikan yang dilayani
Perairan pedalaman, kepulauan, laut teritorial, wilayah ZEE
Perairan ZEE, laut teritorial
Panjang dermaga dan kedalaman kolam
50-100m dan >2m
150-300m dan >3m
Fasilitas tambat labuh kapal
PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA (PPS) Perairan teritorial, wilayah ZEE dan perairan internasional
10-30 GT
30-60 GT
Kapasitas menampung kapal
>300 GT (30 kapal berukuran 10 GT)
>2250 GT (75 kapal berukuran 30 GT)
>6000 GT (100 kapal berukuran 60 GT)
Ekspor ikan
tidak
ya
ya
ada
ada
Volume ikan yang di daratkan Luas lahan
-
5-15Ha
Fasilitas tidak pembinaan mutu hasil perikanan Tata ruang pengolahan pengembangan industri perikanan
ada
>60 GT
>300m dan >3m
rata-rata 30 ton/ rata-rata 60 ton/ hari hari 15-30Ha
Ada/tidak
>30Ha ada
Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2015.
133
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Jumlah pelabuhan perikanan di Indonesia tahun 2014 berjumlah 1410. Jumlah ini tersebar diseluruh provinsi di Indonesia. Jumlah ini ternyata masih dirasa kurang di berbagai provinsi di Indonesia. Contohnya keberadaan PPS Cilacap dirasa belum optimal dalam menunjang aktivitas perikanan tangkap di perairan selatan. Jika dilihat berdasarkan kelas pelabuhan perikanannya, jumlah total pelabuhan perikanan untuk masing-masing kelas pelabuhan dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Jumlah Kelas Pelabuhan Perikanan di Indonesia Kelas Pelabuhan Perikanan
Jumlah
Pelabuhan Perikanan Kelas A atau Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS)
6
Pelabuhan Perikanan Kelas B atau Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)
22
Pelabuhan Perikanan Kelas D atau Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI)
1133
CPPI
165
PP
16
Pangkalan Pendaratan Ikan tanpa kelas termasuk Perairan Umum Daratan (PPI PUD)
Pelabuhan Perikanan Kelas C atau Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2015.
9
52
Banyak daerah di Indonesia masih merasa perlu dibangun dan ditingkatkan kelas pelabuhan perikanan. Pelabuhan perikanan sangat penting karena pelabuhan perikanan merupakan mata rantai terpenting yang menghubungkan kegiatan penangkapan ikan dengan retribusi komoditi ikan ke konsumen atau dengan kata lain, ikan yang merupakan hasil kegiatan usaha penangkapan sebagai barang produksi akan sampai ke konsumen sebagai bahan pangan dan sangat dipengaruhi oleh keadaan sarana dan prasarana pelabuhan.
134
Pembangunan Sektor Perikanan Laut dan Pemberdayaan Nelayan
VI. PENUTUP Potensi perikanan Indonesia yang luar biasa harus dapat membuat nelayan Indonesia lebih sejahtera. Jumlah nelayan tradisional yang mengalami penurunan dari 1,6 juta menjadi 864 ribu rumah tangga perlu mendapat perhatian pemerintah karena seolah kehidupan nelayan di Indonesia tak memiliki prospek cerah sehingga terjadi migrasi profesi. Produksi perikanan tangkap pada tahun 2014 mengalami pertumbuhan sebesar 7,11 persen atau sekitar Rp109 triliun dibanding tahun 2013. Kebijakan pemerintah dalam melakukan moratorium perizinan membuat sektor perikanan kini tumbuh 8,4 persen, naik hampir 40 persen dari tahun sebelum diberlakukan moratorium. Motarorium juga membuat produksi ikan lokal naik 240 persen. Dengan naiknya produksi ikan lokal tidak serta merta membuat kesejahteraan nelayan meningkat. Ketidakberdayaan nelayan dalam memperoleh BBM, teknologi maupun akses pasar menjadi kendala terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan. Hal ini dapat membuat harga ikan di pasaran tidak turun meskipun ikan saat ini telah melimpah. Pemerintah perlu menyediakan sarana akses BBM bagi nelayan, melakukan edukasi teknologi penangkapan ikan bagi nelayan dengan penguatkan SDM para nelayan maka nelayan lokal tidak akan tergencet kemajuan teknologi berikut budaya nelayan asing. Pemerintah perlu pula membangun sarana pengolahan eksploitasi hasil laut, serta membangun infrastruktur laut yang terintegrasi agar nawa cita Presiden dapat tercapai sesuai yang diharapkan.
135
DAFTAR PUSTAKA
Buku Analisis Data Pokok Kelautan dan Perikanan 2014. Pusat Data, Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014.
Fauzi, Akhmad. Ekonomi Perikanan Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan. PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010. Pascoe, S. Greboval, D. Measuring Capacity in fisheries. FAO, 2003.
Scott, A. Development of Economic theory of fisheries regulation. J. Fish. Res. Board. Canada, 1979. Internet
“Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Menuju Industri Perikanan Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan”. (http://www.bappenas.go.id/files/6713/4986/1921/ pengelolaan-sumber-daya-alam-dan-lingkungan-hidupmenuju-industri-perikanan-ramah-lingkungan-dan-berkelan jutan__20121226150147__3720__0.pdf, diakses 9 September 2015).
“Mimpi Menteri Susi Tiap Kampung Nelayan Punya Bandara Perikanan”. (http://m.liputan6.com/bisnis/read/2259788/ mimpi-menteri-susi-tiap-kampung-nelayan-punya-bandaraperikanan, diakses tanggal 14 September 2015).
“Peralihan Anggaran Pembangunan Pelabuhan Perikanan Menuai Protes Dpr RI”. (http://infobanua.co.id/perlaihan-anggaranpembangunan-pelabuhan-perikanan-menuai-protes-dprri/, diakses tanggal 14 September 2015). 136
Pembangunan Sektor Perikanan Laut dan Pemberdayaan Nelayan
“Rokhmin Dahuri 80 Persen Potensi Maritim Indonesia Belum Terjamah”. (www.tribunnews.com/nasional/2014/09/12/ rokhmin-dahuri-80-persen-potensi-maritim-indonesia-belumterjamah, diakses tanggal 15 September 2015). “Potensi, Produksi Sumberdaya Ikan Di Perairan Laut Indonesia dan Permasalahannya”.
(http://www.eafm-indonesia.net/public/files/penelitian/5ae09POTENSI,-PRODUKSI-SUMBERDAYA-IKAN-DI-PERAIRANLAUT-INDONESIA-DAN-PERMASALAHANNYA.pdf, diakses tanggal 16 September 2015). “Rokhmin Dahuri Ekonomi Kelautan Dimulai dari Pulau Terluar”. (http://jurnalmaritim.com/2014/08/rokhmin-dahuriekonomi-kelautan-dimulai-dari-pulau-terluar/, diakses 16 September 2015). “Moratorium Izin Tangkap Bantu Perbaiki Populasi Ikan”. (http:// tekno.tempo.co/read/news/2015/03/19/061651387/ moratorium-izin-tangkap-bantu-perbaiki-populasi-ikan, diakses tanggal 18 September 2015).
“Redesain Sarana dan Fasilitas Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung”. (http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/daseng/article/ viewFile/6022/pdf, diakses tanggal 20 September 2015).
“Jumlah Nelayan Berkurang 50 Menteri Susi Saya Merinding”. (http://finance.detik.com/read/2015/05/18/142116/291 7483/4/jumlah-nelayan-berkurang-50-menteri-susi-sayamerinding, diakses 28 September 2015). “Kebutuhan Kredit Maritim Naik Sejak Moratorium Kapal Berlaku”. (http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/ 2015051111495978-52483/kebutuhan-kredit-maritim-naik-sejak-moratoriumkapal-berlaku/, diakses 28 September 2015). “Berantas IUU Fishing Produksi Ikan Lokal Naik 240 Persen”. (http:// kkp.go.id/index.php/berita/berantas-iuu-fishing-produksiikan-lokal-naik-240-persen/, diakses 29 September 2015). http://www.bphmigas.go.id/id/majalah-hilir/doc_view/213majalah-hilir-edisi-6
137
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
“Panen Ikan Tak Didukung Infrastruktur Pelabuhan”. (http://print. kompas.com/baca/2015/09/03/Panen-Ikan-Tak-DidukungInfrastruktur-Pelabuhan, diakses 30 September 2015). “Kiara Ongkos Produksi Nelayan Terbesar dari Bbm”. (http:// ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/09/15/431287/ kiara-ongkos-produksi-nelayan-terbesar-dari-bbm, diakses 30 September 2015). “Kenaikan BBM Subsidi Memukul Nelayan Kecil“. (http://www.djpt. kkp.go.id/index.php/arsip/c/1568/Kenaikan-BBM-SubsidiMemukul-Nelayan-Kecil/?category_id=, diakses 1 Oktober 2015).
“Mimpi Menteri Susi Untuk Nelayan Tradisional“. (http://www. investorindonesia.com/nasional/mimpi-menteri-susi-untuknelayan-tradisional/68914, diakses 1 Oktober 2015).
138
BAGIAN KETUJUH
PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN MISKIN DI PESISIR PANTAI oleh: Mohammad Teja
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
I.
PENDAHULUAN
Pekerjaan nelayan merupakan salah satu sumber mata pencaharian hidup terpenting bagi masyarakat pesisir dengan luas wilayah tangkapan lebih dari 60 persen wilayah Indonesia ternyata tidak membuat masyarakat tersebut sejahtera dalam kehidupannya. Padahal, potensi produksi lestari ikan laut yang dimiliki Indonesia cukup besar dengan asumsi sekitar 6,51 juta ton/tahun yang berarti menutupi 8,2 persen total potensi produksi ikan laut dunia.1 Menurut Statistik Perikanan Tangkap, jumlah nelayan mencapai 2,7 juta jiwa sedangkan pada tahun yang sama Statistik Perikanan Perikanan Budi daya diketahui bahwa jumlah pembudi daya ikan mencapai 3,3 jiwa (2011).2 Tentunya, persoalan luas wilayah, jumlah nelayan, perbedaan kepemilikan alat tangkap, dan sumber daya manusia yang terbatas menentukan sejahtera atau tidaknya nelayan tersebut. Nelayan tradisional, buruh dan kecil adalah masyarakat yang selalu dihadapkan persoalan kesejahteran dan kekurangan. Belum lagi keterbatasan pendidikan nelayan yang berpengaruh terhadap penggunaan teknologi baru dalam penangkapan ikan, sulitnya mendapatkan pinjaman modal untuk pengembangan usahanya karena tidak ada jaminan untuk dianggunkan kepada Bank. Selain itu, pekerjaan nelayan apalagi nelayan tradisional dan kecil sangat bergantung sekali dengan faktor alam, saat musim sedang tidak bersahabat, banyak nelayan yang hanya diam di rumah dan memperbaiki alat tangkap yang rusak. Tanpa berlayar nelayan hanya menghabiskan sisa tabungan dan meminjam kepada tengkulak atau keluarga mereka yang masih memiliki tabungan. Setelah sekian lama terabaikan dan tidak diperhatikan dalam pembangunan, padahal potensi ekonomi kelautan yang besar dan beragam dimiliki oleh laut Indonesia. Setidaknya 13 (tiga belas) sektor yang dapat dikembangkan dan menjadi kontribusi masyarakat pesisir, yang meliputi: a. Perikanan Tangkap, b. Perikanan budi daya, c. Industri pengolahan hasil budi daya, d. Industri bioteknologi kelautan, e. Pertambangan dan energi, f. Pariwisata bahan, g.
1
2
140
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 45 Tahun 2011 Tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2011 dan Statistik Perikanan Budi daya Indonesia, 2011.
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Miskin di Pesisir Pantai
Transportasi laut, h. Industri dan jasa maritim, i. Pulau-pulau kecil, j. Sumber daya non-konvensional, k. Bangunan kelautan, l. Bendabenda berharga dan warisan budaya, m. Jasa lingkungan konversi dan Biodiversitas .3 Pertanyaan besarnya, dengan potensi laut yang begitu besar mengapa masyarakat pesisir selalu miskin, baik secara ekonomi maupun sosial. Banyak studi sudah dilakukan dan membuktikan bahwa kehidupan masyarakat pesisir termasuk keluarga nelayan tidak pernah lepas dari permasalahan kemiskinan dan kesenjangan sosial- ekonomi dibandingkan dengan masyarakat miskin di pedesaan atau perkampungan kumuh di perkotaan, tekanan yang dialami oleh keluarga nelayan miskin, nelayan kecil, tradisional, dan buruh relatif lebih mendalam.4 Selanjutnya Suyanto menjelaskan bahwa tekanan yang dialami nelayan terdiri dari beberapa faktor, kuatnya tekanan struktural yang berasal dari keberpihakan pemerintah dalam membangun sub-sektor perikanan itu sendiri.5 Dorongan untuk menggenjot hasil produksi perikanan laut sebagai sumber pendapatan negara malah memberikan dampak kepada nelayan miskin dan tradisional akibat perlakuan pemerintah daerah yang diskriminatif dengan terlalu berpihak kepada nelayan modern6. Keterbatasan nelayan tradisional dan kecil terutama dalam pengembangan dan penggunaan alat tangkap dan tingkat pendidikan dalam usaha peningkatan hasil produksi merupakan hambatan utama dalam peningkatan kesejahteraan mereka. Ditambah lagi minimnya ketersediaan infrastruktur daerah pesisir dalam kebutuhan pemasaran hasil-hasil produk perikanan yang justru merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai mobilitas
Retnowati, Endang, Nelayan Indonesia dalam Pusaran Kemiskinan Struktural (Perspektif Sosial, Ekonomi dan Hukum), Jurnal Perspektif, Vol XVI, No 3 Tahun 2011, Mei. 4 Suyanto, Bagong, Mekanisme Survival, Identifikasi Kebutuhan dan Pemberdayaan Nelayan Miskin dalam Masa Kritis Akibat Kenaikan BBM, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Volume 24, Nomor 1, tahun 2011. hal. 74, 5 Ibid. 6 Khudori (2009) Nelayan, Kemiskinan dan Strategi Adaptasi. Koran Tempo, 12 Maret 2009, dikutip tidak langsung oleh Bagong Suyanto, Mekanisme Survival, Identifikasi Kebutuhan dan Pemberdayaan Nelayan Miskin dalam Masa Kritis Akibat Kenaikan BBM, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Volume 24, Nomor 1, tahun 2011. hal. 74, 3
141
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
nelayan oleh pemerintah. Persoalan lain yang terjadi adalah keterbatasan modal, pengetahuan, keahlian, kerusakan lingkungan dan overfishing sering juga dikatakan sebagai salah satu penyebab sulitnya nelayan untuk meningkatkan kesejahteraannya7. Untuk mengatasi kemiskinan yang selama ini dialami oleh masyarakat nelayan, paradigm pembangunan di wilayah pesisir mulai didorong melalui progam-program pemberdayaan masyarakat nelayan yang memang memiliki karakteristik yang cukup khusus dengan potensi sumber daya alam yang sangat beragam. Meskipun masyarakat di wilayah pesisir tidak semuanya berprofesi sebagai nelayan, tetapi kegiatan masyarakat pesisir selalu berhubungan dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan kelautan. Seperti yang telah ditulis di atas bahwa ketergantungan nelayang dengan keadaan dan kebaikan alam sangat berpengaruh, keadaan musim tertentu membuat para nelayan berhenti melakukan penangkapan ikan dan berimbas kepada pengolahan hasil-hasil perikanan. Upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan keseharian yang terus meningkat, sedangkan kepastian usaha penangkapan ikan dan pengolahan hasil-hasil perikanan masih tergantung kepada musim tertentu, kemajuan teknologi serta pengetahuan penggunaan teknologi tersebut diperlukan kerja keras pemerintah baik pusat maupun daerah serta lembaga swadaya masyarakat untuk memfasilitasi, mendorong, dan membantu masyarakat pesisir dan pulau-pulau terkecil dalam menentukan tingkat kesejahteraan mereka dalam mengelola sumber daya pesisir. Melalui penguatan potensi nelayan dalam rangka memperbaiki kapasitas kemampuan mereka untuk berpartisipasi aktif membangun kehidupan yang lebih baik. Tulisan ini mencoba menggali bagaimana kondisi kemiskinan nelayan di Indonesia dan bagaimana mereka bisa bertahan hidup dalam kekurangan tersebut, dan bagaimana pemberdayaan bisa meningkatkan kualitas hidup nelayan.
7
142
Imron, M.. Ko-Manajemen dalam Pengelolaan Sumberdaya Laut: Kasus Kota Tegal. LIPI Press. Jakarta. 2006, Hal. 1-4, dan. Nelayan dan Kemiskinan. Jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol. 13, Edisi Khusus, PMB LIPI, 2011, Hal. 57-82 Dikutip tidak lansung oleh Humaedi, M, Alie, Kemiskinan Nelayan: Studi Kasus Penyebab Eksternal dan Upaya Revitalisasi Tradisi Pengentasannya di Kaliori, Rembang, Jawa Tengah, Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Vol 7 No. 2,. Tahun 2012. Hal 194
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Miskin di Pesisir Pantai
II. NELAYAN MISKIN: KECIL DAN TRADISIONAL Nelayan dibagi menjadi empat kelompok menurut teknologi yang digunakan dalam penangkapan ikan, komunitas nelayan tersebut menurut Satria8 pertama, peasant-fisher atau nelayan tradisional yang biasanya bersifat subsisten, menggunakan alat tangkap yang masih tradisional, sampan dayung yang tidak menggunakan motor penggerak, dan melibatkan anggota keluarganya sebagai tenaga kerja utama. Ciri utama usaha nelayan tradisional adalah, a. teknologi penangkapan bersifat sederhana dengan ukuran perahu yang kecil, daya jelajah yang terbatas, daya muat perahu sedikit, daya jangkau alat tangkap terbatas, dan perahu bergerak menggunakan layar atau dayung atau mesin kapasitas kecil, b. besaran modal usaha terbatas, c. jumlah anggota organisasi penangkapan kecil antara 2-3 orang, dengan pembagian peran bersifat kolektif (non spesifik), dan umumnya berbasis kerabat, tetangga dekat, dana tau teman dekat, d. orientasi ekonomisnya terutama diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.9 Kedua, dengan berkembangnya motorisasi perikanan, nelayan pun berubah dari peasantfisher menjadi post-peasant fisher yang dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju. Meski mereka masih beroperasi di wilayah pesisir, tetapi daya jelajahnya lebih luas dan memilki surplus untuk diperdagangkan di pasar. Ketiga, commercial fisher, yakni nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala usahanya sudah besar, yang dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga manajer. Teknologi yang dipergunakan lebih modern dan membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya. Keempat, industrial fisher yang memiliki ciri-ciri yaitu (1) diorganisasi dengan cara-cara yang mirif dengan perusahaan agroindustri di negara maju; (2) lebih padat modal; (3) pendapatan
8
9
Satria, A. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Pustaka Cidesindo. (2002) hal. 28-29, dikutip tidak langsung oleh Suyanto, Bagong Suyanto, Mekanisme Survival, Identifikasi Kebutuhan dan Pemberdayaan Nelayan Miskin dalam Masa Kritis Akibat Kenaikan BBM, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Volume 24, Nomor 1, tahun 2011. Kusnadi, Akar Kemiskinan Nelayan. 2003, Yogyakarta, LKiS. Hal .86
143
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
yang lebih tinggi daripada perikanan sederhana; dan (4) menghasilkan produk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor. Nelayan berskala besar ini umumnya memiliki organisasi kerja yang kompleks dan benar-benar berorientasi pada keuntungan. Karakteristik nelayan miskin menurut Firth ditandai dengan hasil dari kegiatan nelayan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan harian (daily increment) yang hasilnya tidak bisa dipastikan tiap harinya. Ketergantungan oleh musim berlayar sangat kuat dan pendapatannya juga selalu bergantung oleh status nelayan itu sendiri, apakah ia seorang juragan ataupun pandega. Pekerjaan alternatif selain nelayan sulit didapatkan karena tingkat pendidikan anak-anak nelayan yang rendah. Ikan adalah produk yang rentan dan mudah rusak, dan harus segera haus dijual sehingga ketergantungan nelayan dengan pedagang dan pengijon sangat kuat. Kebutuhan investasi yang besar dibidang perikanan membuat nelayan lebih memilih mereduksi resiko dan hanya bergerak di bidang perikanan sekala kecil-kecilan, dan seringnya keluarga nelayan terperangkap hutang dalam mencukupi kehidupan kesehariannya. Kusnadi membedakan faktor penyebab kemiskinan nelayan dalam dua kelompok.10 Pertama, sebab-sebab kemiskinan nelayan yang bersifat internal, mencakup: (1) keterbatasan kualitas sumber daya manusia nelayan; (2) keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan; (3) hubungan kerja dalam organisasi penangkapan yang seringkali kurang menguntungkan buruh; (4) kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan; (5) ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut; dan (6) gaya hidup yang dipandang boros, sehingga kurang berorientasi ke masa depan. Kedua, sebab-sebab kemiskinan yang bersifat eksternal, mencakup: (1) kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional dan parsial; (2) sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan pedagang perantara; (3) kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari wilayah darat, praktek penangkapan ikan dengan bahan kimia, perusakan terumbu karang, dan konversi hutan bakau di kawasan pesisir; (4) penggunaan
10
144
Kusnadi, Akar Kemiskinan Nelayan. 2003, Yogyakarta, LKiS.
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Miskin di Pesisir Pantai
peralatan tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan; (5) penegakan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan; (6) terbatasnya teknologi pengolahan pasca-panen; (7) terbatasnya peluang kerja di sektor nonperikanan yang tersedia di desa nelayan; (8) kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun; dan (9) isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal dan manusia. Kehidupan masyarakat nelayan selalu dipengaruhi oleh konstruksi masyarakat yang kehidupan sosial budayanya dipengaruhi oleh keberadaan kelompok sosial yang kebergantungan dan keberlangsungan hidupnya tergantung kepada sumber daya kelautan dan pesisir.11 Karakteristik budaya dengan memperhatikan kondisi geografis, sumber-sumber penghidupan membuat identitas nelayan berbeda dengan masyarakat lainnya. Hal yang sama dikatakan oleh Satria kemiskinan nelayan disebabkan oleh perbedaan struktur sosial, degradasi lingkungan dan kurangnya fasilitas dasar infrastruktur,12 diikuti oleh pernyataan Dahuri terhadap kondisi yang dialami oleh seluruh nelayan adalah desa yang terisolasi, kebutuhan pelayanan dasar yang kurang, termasuk infrastruktur yang terbatas, buruknya kondisi lingkungan menyebabkan tidak terpenuhinya standar kesehatan, pendapatan yang rendah dikarenakan teknologi yang digunakan masih bersifat tradisional dan tidak mendukung penangkapan ikan bersekala besar, keterbatasan kepemilikan alat tangkap, dan rendahnya tingkat pendidikan mereka13. III. KONDISI NELAYAN MISKIN DI INDONESIA
Keterbatasan modal merupakan alasan utama yang biasanya menjadi faktor penyebab masyarakat tidak bisa beranjak dari kemiskinan. Keterbatasan akses, kelangkaan modal dan tidak Kusnadi, Makalah ini disampaikan dalam kegiatan JELAJAH BUDAYA TAHUN 2010, dengan tema “Ekspresi Budaya Masyarakat Nelayan di Pantai Utara Jawa”, yang Diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, Kementeian Kebudayaan dan Pariwisata, di Yogyakarta, tanggal 12-15 Juli 2010. 12 Satria, A. Ekologi PolitikNelayan, LKiS, Yogyakarta, 2009. 13 Hasanuddin Nurul, L, Novesty Noor, Happy R. Santosa, Is it possible to eradicate poverty in the fisherman village?, International Journal Of Environmental Sciences, Vol. 2. No. 2,: 2013, hal 124. 11
145
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
berpihaknya kekuatan pembangunan untuk menyentuh masyarakat miskin adalah sebab mengapa mereka tetap miskin. Tentunya membutuhkan usaha yang tidak mudah bagi masyarakat yang terlilit kemiskinan untuk bisa mendapatkan fasilitas mewah pembangunan tersebut. Banyak persoalan kemiskinan yang menghalangi seseorang untuk mencapai kemajuan, terutama dikarenakan dampak dari distribusi penguasaan yang timpang. Akibatnya seseorang tersebut tidak mampu memelihara dirinya sendiri, apalagi keluarganya, kemudian mereka masuk dalam lingkaran setan kemiskinan dan sulit untuk keluar. Deprivasi terhadap pemenuhan sumber-sumber dasar seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan dasar membuat masyarakat masuk kedalam kemiskinan absolut.14 Penghasilan nelayan miskin yang begitu rendah dan hasil dari mencari ikan hanya cukup menutupi kebutuhan hidup keseharian nelayan dan keluarganya (itupun jika cukup mendapatkan hasil melaut). Akibatnya, nelayan miskin hanya mampu menempati wilayah-wilayah pinggiran dari pesisir pantai yang kumuh, dimana kondisi tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan yang menyebabkan kepadatan bangunan yang tinggi dan sarana prasarana yang tidak mencukupi. Dalam berbagai hasil penelitian dapat digambarkan permukiman kumuh kampong nelayan selalu dipenuhi oleh bangunan semi dan non permanen, saluran drainase dalam kawasan ini selalu tidak berfungsi atau bahkan tidak ada, sanitasi yang buruk dan kurangnya fasilitas air bersih. Belum lagi keterbatasan sumber daya alam yang tersedia diperairan pesisir pantai (4 mil) semakin banyaknya jumlah kapal nelayan yang menggunakan alat tangkap yang tidak sesuai peruntukannya (kebanyakan modifikasi) membuat jumlah tangkapan berkurang bahkan langka. Kegiatan tersebut tentunya menambah sulit nelayan miskin (biasanya nelayan tradisional) untuk mencukupi kebutuhan keseharian keluarganya. Saat ini, Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama masyarakat sedang berusaha untuk memulihkan kondisi sumber daya pesisir agar kembali baik dan dapat dimanfaatkan oleh nelayan.
14
146
Mafruh, Izza, Multidimensi Kemiskinan, Surakarta, Sebelas Maret University Press., 2009. Hal. 10
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Miskin di Pesisir Pantai
Kemiskinan dalam masyarakat nelayan juga tak dapat dipungkiri disebabkan karena bergantungnya nelayan oleh fluktuasi musim dan keterbatasan penggunaan teknologi penangkapan ikan, dan jaringan pemasaran yang dianggap merugikan nelayan. Ditambah lagi, hasil tangkapan adalah produk yang tidak tahan lama dan harus segera dijual. Tidak dikelola dengan baik lembaga koperasi yang berada dalam masyarakat menambah keterbatasan masyarakat dalam mengembangkan usaha-usaha lain. Dalam beberapa penelitian juga ditemukan bahwa nelayan dimiskinkan karena akibat dari monopoli distribusi hasil tangkapan yang banyak dikuasai oleh bakul, depot atau tengkulak dengan menggunakan cara para pemilik modal (bakul, depot, atau tengkulak) mengikat nelayan pemilik perahu dengan utang yang tidak pernah mereka bisa lunasi. Yang menarik, Humaedi15 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa melalui system bakul-laggan itulah yang sedikit banyak menawarkan kesejahteraan dan menjaga eksistensi kehidupan para nelayan miskin. Sistim bakul-langgan yang dikenal dalam kehidupan masyarakat jauh sebelumnya telah memungkinkan persebaran dan jeratan utang para nelayan miskin dari bank titil dengan rente tinggi itu dapat dikurangi. Bahkan, pasca tahun 1998, banyak langgan yang sebelumnya hanya menjadi pelaksana alat tangkapan kemudian menjadi juragan pemilik perahu setelah utangnya dibebaskan oleh para bakulnya, sebagai kompensasi dari hubungan patron-klien yang dilakukan sebelum itu. Sayangnya, setelah sistem bakul-langgan dengan mekanisme utang penuh sedikit demi sedikit dihilangkan dan diganti dengan sekadar hubungan “plakat jual beli” antara bakul dan langgan dengan nilai utang yang sangat kecil, telah membuat persebaran utang pada bank titil di masyarakat nelayan miskin semakin menjadi-jadi. Ini bukti bahwa, hubungan bakul-langgan tidak serta merta menjadi penyebab kemiskinan16 Kemiskinan juga dapat dilihat melalui rata-rata pendapatan nelayan dari hasil tangkapan di laut-asumsi potensi lestari telah
15
16
Humaedi, M. Alie, Kemiskinan Nelayan: Studi Kasus Penyebab Eksternal dan Upaya Revitalisasi Tradisi Pengentasannya di Kaliori, Rembang, Jawa Tengah, Jurnal Sosek KP, Vol. 7. No. 2. 2012. Hal 194 Humaedi, M. Alie.. Jeragan Nemen: Hubungan Ekonomi-Politik Bakul Langgan. Jurnal Masyarakat Indonesia, 2(II), 2010:133-163.
147
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
dimanfaatkan sebagian, hanya Rp. 28,08 juta/tahun, lebih kecil dibandingkan pendapatan pembudidaya ikan di perairan umum dan ditambak yang mencapai Rp 34,80 juta/tahun dan Rp 3,32 juta/ tahun. Namun, pendapatan nelayan yang menangkap ikan di laut lebih baik dibandingkan dengan pembudidaya ikan di laut yang hanya memperoleh pendapatan sebesar 24,39 juta/tahun17. Ketersediaan infrastruktur seperti pelabuhan dan pelelangan ikan yang masih tidak berfungsi bahkan tidak ada sama sekali. Akibatnya nelayan kesulitan memasarkan hasil tangkapan mereka dan terpaksa menjual hasil tangkapa kepada pelabuhan swasta, atau kepada tengkulak dengan harga yang diputuskan sepihak dan tanpa persaingan. Hal ini juga menyebabkan hasil dari tangkapan tidak dapat dikontrol oleh pemerintah karena tidak ada pencacatan hasil tangkapan. Keadaan ini menyebabkan posisi tawar nelayan rendah, disatu sisi jumlah nelayan yang terlalu banyak, sementara ikan bukanlah komoditas yang tahan lama sehingga tengkulak dan pedagang mampu menahan harga dengan sesuka hatinya hingga ke tingkat yang paling rendah. Kemiskinan yang mendera nelayan dapat bersumber dari 2 sebab, pertama, yang berkaitan dengan musim penangkapan dan struktur alamiah sumber daya ekonomi desa. Kedua, faktor non alamiah, berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya penguasaan jaringan pemasaran dan belum berfungsinya koperasi nelayan yang ada, serta dampak negatif dari kebijakan moderenisasi perikanan yang telah berlangsung sejak lama18. Selain itu, harga ikan cenderung berfluktuasi tergantung musim membuat usaha nelayan dan pembudi daya ikan menjadi penuh dengan ketidakpastian. Pada kondisi harga ikan turun tentunya kondisi nelayan akan sangat buruk karena hasil tangkapan tidak memenuhi harapan dan tidak mampu menutup biaya variabel yang telah dikeluarkan nelayan. Sehingga kondisi yang diharapkan oleh nelayan adalah saat terjadi kenaikan harga ikan segar. Suhana menunjukkan kenaikan harga ikan segar ternyata berdampak
17 18
148
BPS, 2014 Kusnadi, Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press. 2002. hal 2
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Miskin di Pesisir Pantai
negatif terhadap kesejahteraan nelayan dan pembudi daya ikan.19 Hal ini ditunjukan dengan terus menurunnya nilai tukar nelayan dan pembudi daya ikan sampai akhir Desember 2009. Penurunan tersebut lebih disebabkan oleh terus meningkatnya kebutuhan rumah tangga dan biaya produksi perikanan yang semakin tinggi, baik di nelayan maupun di pembudi daya ikan. Biaya produksi nelayan pada saat cuara buruk seperti saat ini jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya produksi pada saat cuaca yang tenang. Sementara itu biaya produksi pembudi daya saat ini sangat tinggi karena harga pakan yang terus meningkat. Harga pakan di tingkat pembudi daya ikan saat ini sudah berada di atas Rp260.000 persak. Hal ini juga terus diperparah dengan minimya permodalan yang dimiliki oleh nelayan dan pembudi daya ikan tersebut. Kondisi ini memang sangat ironi, kenaikan harga ikan yang seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pembudi daya ikan tetapi pada kenyataannya tidak. Hal ini pun diperparah lagi dengan belum adanya kebijakan yang komprehensif dalam menangani kesejahteraan nelayan dan pembudi daya ikan ini. Kebijakan dan program pemerintah saat ini lebih banyak diarahkan untuk meningkatkan harga jual ikan, tetapi tanpa diikuti dengan kebijakan dan program untuk menurunkan biaya produksi nelayan dan pembudi daya ikan. Perlu digaris bawahi bahwa moderenisasi penangkapan perikanan ini yang lebih mengedepankan pemenuhan eksport dan peningkatan produksivitas berdampat terhadap jumlah ikan yang ditangkap (overfhising). Di pesisir Jawa Timur mengemukakan bahwa telah mempengaruhi secara signifikan kondisi sumber daya setempat, ditambah lagi jumlah nelayan yang meningkat pada daerah ini membuat tidak adanya produktivitas yang signifikan, malah menambah tekanan terhadap jumlah ketersediaan ikan yang semakin menipis.20
Suhana, Dampak Kenaikan Harga Ikan Segar Terhadap Kesejahteraan Nelayan, Kajian Singkat COMMIT, Center for Ocean Development Maritime Civilization Studies, 2010, 20 Siahaan, HM & Singgih, DS, Respons Struktural dan Kultural Terhadap Pembangunan Komunitas Nelayan Jawa Timur. Kerjasama PAU Studi Sosial UGM dengan Universitas Airlangga, (1990) dikutip tidak langsung oleh Suyanto, Bagong, Mekanisme Survival, Identifikasi Kebutuhan dan Pemberdayaan Nelayan Miskin dalam Masa Kritis Akibat Kenaikan BBM, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Volume 24, Nomor 1, tahun 2011. (Lihat ketentuan penulisan kutipan tidak langsung) 19
149
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Pendapatan yang sedikit dan pas-pasan membuat keluarga nelayan sulit mengembangkan usahanya, tidak ada kesempatan untuk menabung sehingga menambah rentan dan mudah collaps bila kebutuhan mendadak atau musibah yang menimpa salah satu keluarga mereka. Sakit adalah salah satunya, menurut mereka jika kepala keluarga yang terkena akan menyebabkan munculnya masalah-masalah yang lain karena kepala keluargalah yang mencari uang untuk kehidupan keluarga. Nelayan miskin yang notabene adalah nelayan kecil, buruh nelayan dan nelayan tradisional pada dasarnya adalah kelompok masyarakat pesisir yang memiliki kerentanan ekonomi dan secara sosial adalah masyarakat yang paling tertinggal.21 Tingkat pendidikan yang rendah, miskin dan memiliki anak yang jumlahnya tidak sedikit yang menyebabkan tingkat beban yang harus ditanggung menjadi tinggi. Keterbatasan aset produksi dan teknologi penangkapan menyebabkan nelayan miskin hanya beroperasi pada wilayah pantai (Inshore) dengan intensitas berlayar yang terbatas membuat penghasilan mereka pun sedikit. Kedua, kebutuhan hidup yang semakin bervariasi menyebabkan usaha dari hasil melaut tidak bisa selalu diandalkan, apalagi jika musim paceklik dating, kehidupan keluarga nelayan semakin terpuruk dan masuk dalam perangkap utang untuk memenuhi kebutuhan dasar anggota keluarga, pendidikan dan kebutuhan kesehatan. Ketiga, kemampuan nelayan miskin untuk melakukan deversifikasi usaha umumnya rendah. Di sisi lain, peluang atau kesempatan kerja yang tersedia di luar sektor perikanan umumnya juga tidak terlalu menggembirakan dan tidak sesuai dengan karakteristik nelayan tradisional yang sebagian besar kurang atau tidak berpendidikan. Kemungkinan nelayan miskin untuk membuka usaha sendiri dalam banyak hal terkendala faktor modal. Tidak dimilikinya tabungan yang cukup dan rendahnya akses mereka terhadap sumber-sumber permodalan yang berbunga ringan, menyebabkan nelayan miskin pada akhirnya mencoba bertahan hidup dari pekerjaan lama yang ditekuninya, sekedar Suyanto, Bagong, Mekanisme Survival, Identifikasi Kebutuhan dan Pemberdayaan Nelayan Miskin dalam Masa Kritis Akibat Kenaikan BBM, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Volume 24, Nomor 1, tahun 2011.
21
150
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Miskin di Pesisir Pantai
bertahan dan memperpanjang daya tahan, tetapi tidak berdaya untuk keluar dari situasi kemiskinan yang membelenggunya. Studi ini menemukan, meski nelayan miskin umumnya memiliki waktu luang yang cukup leluasa untuk mencari pekerjaan alternatif, tetapi kendala yang menghambat nelayan miskin melakukan deversifikasi usaha adalah keterbatasan modal yang dimiliki, tidak dikuasainya ketrampilan alternatif, akses yang rendah pada jaringan pasar dan tidak dimilikinya koneksi yang memadai. Bahkan, jika ada bantuan dana dari pemerintah untuk pengembangan usaha alternatif, disadari bahwa peluang mereka untuk mengembangkan usaha baru sangatlah terbatas karena tidak didukung kemampuan yang cukup. IV. NELAYAN MISKIN, BERTAHAN HIDUP DALAM KEKURANGAN
Dengan keterbatasan dan serba kekurangan, seorang nelayan tetap saja tidak mengganti sumber pendapatannya sebagai nelayan, meskipun pekerjaan sebagai nelayan juga memiliki resiko yang tinggi. Kekuatan mental dan fisik tentunya sangat menjadi andalan mereka, dan tetap saja mereka lakukan meskipun tidak sebanding dengan pendapatan yang mereka terima. Nelayan di Indonesia, bahkan mungkin di seluruh dunia kebanyakan adalah warisan budaya dari orang tua dan kakek nenek mereka yang mata pencahariannya adalah sebagai nelayan atau hidup di pesisir pantai. Pola-pola orang tua/kakek nenek yang kesehariannya mencontohkan kepada anak cucu mereka melakukan aktifitas nelayan tentunya melekat dalam perilaku keseharian yang pada akhirnya diikuti oleh mereka. Nelayan dalam kehidupannya selalu mengalami kekurangan pendapatan, sementara pengeluaran untuk kebutuhan kesehariannya lebih besar. Pendapatan nelayan, khususnya nelayan kecil dan anak buah kapal ikan komersial/modern (diatas 30 GT) pada umumnya kecil (kurang dari Rp 1 juta/bulan) dan sangat fluktuatif. Dampaknya diikuti oleh tingkat pendidikan yang rendah, masyarakat nelayan hampir 70% nya berpendidikan sampai SD bahkan ada yang tidak tamat, dan hanya 1,3 persen yang berpendidikan tinggi. Bagi kelompok nelayan miskin, kerabat dan patron memiliki fungsi positif untuk mengeliminasi tekanan ekonomi atau masa krisis yang datang tiba-tiba dan tidak bisa diatasi secara mandiri. Mekanisme survival yang banyak dikembangkan keluarga nelayan miskin umumnya berpola konsentrik. Untuk mengatasi masa krisis 151
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
atau tekanan ekonomi yang dialami, keluarga nelayan miskin pertamatama selalu berusaha terlebih dahulu mengatasinya secara mandiri. Beberapa usaha mandiri yang dilakukan biasanya adalah mengetatkan pengeluaran atau konsumsi sehari-hari dan mendayagunakan anggota keluarga baik itu anak maupun istri untuk ikut mencari penghasilan tambahan. Dalam rumah tangga nelayan miskin, kontribusi ekonomi perempuan yang bekerja sangat signifikan. Perempuan-perempuan yang terlibat dalam aktivitas mencari nafkah merupakan pelaku aktif perubahan sosial-ekonomi masyarakat nelayan.22 Keluarga nelayan miskin, peran istri dan anak umumnya sangat strategis dan merupakan sumber penghasilan keluarga yang penting. Hasil tangkapan ikan yang cenderung tidak menentu dan seringkali pula paceklik, menyebabkan peran istri dan anak yang bekerja di sektor publik mampu memberikan sumbangan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang makin membebani. Di lingkungan desa pantai, baik anak laki-laki maupun anak perempuan sudah biasa turut aktif bekerja membantu orang tuanya, bahkan terkadang dalam usia yang tergolong dini. Anak laki-laki biasanya ikut melaut ketika tidak sekolah atau membantu mengangkut ikan hasil tangkapan dari perahu ke daratan. Selain itu anak laki-laki biasanya juga terlihat meminta ikan kepada nelayan yang baru saja datang dari laut. Biasanya nelayan yang menjadi tempat meminta anak-anak adalah nelayan yang masih ada hubungan kerabat. Ikanikan pemberian nelayan ini kemudian dijual di pasar sehingga mendapatkan sedikit tambahan uang.23 Peningkatan pendapatan saat musim ikan dapat dipastikan akan meningkat meskipun tidak besar. Tetapi saat musim paceklik tidak jarang nelayan hanya pulang dengan tangan kosong, pada saat inilah tetangga ataupun saudara merupakan upaya alternatif jika nelayan dihadapi kebutuhan yang mendesak24. Kusnadi, Akar Kemiskinan Nelayan. 2003, Yogyakarta, LKiS Hal. 35. Suyanto, Bagong, Mekanisme Survival, Identifikasi Kebutuhan dan Pemberdayaan Nelayan Miskin dalam Masa Kritis Akibat Kenaikan BBM, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Volume 24, Nomor 1, tahun 2011. 24 Sujarwo, Strategi Nelayan Dalam Mengatasi Kemiskinan di Desa Teluk Setimbul Kabupaten Karimun,(http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/ handle/123456789/5089/JURNAL%20SUJARWO.pdf?sequence=1;, diakses pada 17 September 2015). 22 23
152
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Miskin di Pesisir Pantai
Meskipun hidup dalam lingkaran kemiskinan, menjadi nelayan tetap menjadi pilihan mereka dalam menyambung hidup. Karena untuk pindah mata pencaharian hidup bukanlah persoalan mudah, keterbatasan pendidikan, letak geografis yang terisolasi dan faktor budaya yang masih begitu kuat yang tumbuh di wilayah pesisir. Keluarga, tetangga dan hubungan keluarga merupakan merupakan sandaran utama bagi nelayan untuk menyambung hidup keluarga nelayan, disamping itu anggota keluarga seperti istri dan anak nelayan dapat memberikan kontribusi yang signifikan untuk membantu menambah penghasilan. V. PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN, PENINGKATAN KUALITAS HIDUP NELAYAN
Ketidakberdayaan nelayan miskin yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal, kemiskinan struktural dan kurangnya pemahaman terhadap kebutuhan nelayan adalah alasan utama nelayan terutama nelayan miskin perlu dilindungi. Untuk itu perlindungan kepada nelayan kecil dan miskin adalah upaya untuk mengatasi faktor internal dan eksternal di atas, sehingga nelayan dapat mandiri dan berkembang kedepannya. Kerjasama baik pemerintah beserta seluruh kementerian yang bersangkutan, pemerintah daerah, perbankan dan masyarakat tentunya akan memudahkan pelaksanaan perlindungan dan pemberdayaan masyarakat nelayan tersebut. Persoalan kemiskinan pada masyarakat nelayan memerlukan penanganan yang cepat dan penuh kehati-hatian, masalahmasalah multi dimensi tentunya harus ditangani secara khusus dan berkelanjutan. Kurangnya kecukupan dan terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, sulitnya mendapat kesempatan mendapatkan modal usaha, pengetahuan dan teknologi alat penangkapan ikan menunjukkan peran pemerintah dan swasta harus lebih pro-aktif untuk merubah paradigma pembangunan pada masyarakat nelayan. Keikutsertaan masyarakat dalam proses pemberdayaan dan perlindungan terhadap nelayan (mereka sendiri) menjadi penting, kebutuhan prioritas perlindungan dan pemberdayaan seperti apa yang akan dilakukan hendaknya menjadi kehendak dan kemauan masyarakat nelayan itu sendiri. Pengawasan jalannya pemberdayaan melalui program-program yang diberikan mampu dilakukan oleh 153
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
masyarakat dan pemerintah dan swasta demi tercapainya tujuan pemberdayaan tersebut. Beberapa kajian yang dilakukan dalam pengembangan wilayah yang memiliki potensi perikanan, maka prioritas kebijakan pengembangan perikanan yang diperlukan meliputi25: 1. Penyediaan sarana pelabuhan, TPI, PPI dan fasilitas perikanan lainnya yang kondusif dan berperspektif mitigasi bencana; 2. Pendidikan dan pelatihan bagi nelayan; 3. Bantuan modal usaha bagi nelayan serta masyarakat yang ingin mengembangkan usaha perikanan; 4. Bantuan bahan bakar dan Pusat informasi cuaca dan kebencanaan yang mudah diakses.
Merekomendasikan alokasi bantuan kepada nelayan harus diberikan lebih teliti dan terarah. Jika subsidi perikanan tersebut diarahkan pada armada penangkapan ikan yang beroperasi pada wilayah dengan potensi ikan sedang dan rendah maka kebijakan tersebut harus dapat mendorong armada tersebut beroperasi keluar dari fishing ground penangkapan yang sekarang. Sementara pada fishing ground dengan potensi ikan yang melimpah bantuan tersebut digunakan sebagai instrumen untuk meningkatkat kapasitas tangkap26. Salah satu peluang dan jalan keluar bagi nelayan miskin adalah kebutuhkan untuk meningkatkan taraf kehidupannya dengan diberi kesempatan untuk memiliki alat tangkap yang lebih modern dan memiliki perahu atau kapal bermesin yang dapat dimanfaatkan untuk memperluas areal jelajah mereka dalam mencari ikan di laut. Di samping itu, hal lain yang dibutuhkan nelayan miskin adalah upaya dan intervensi dari pemerintah untuk memberi perlindungan agar para nelayan miskin dapat memperoleh harga yang lebih adil dan sekaligus peluang bagi mereka untuk memberi nilai tambah atas ikan hasil tangkapan mereka agar tidak rentan waktu.
25
26
154
Tomi Romadona, T. Kusumastanto, dan A. Fahrudin. Kebijakan Pengembangan Sumber Daya Perikanan Berkelanjutan dan Berperspektif Mitigasi Bencana di Padang Sumatera Barat. Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, 2012, 2 (1): 145 – 154. Armen Zulham. Dampak Subsidi Terhadap Surplus Produsen dan Total Benefit Perikanan Tangkap Pantura Jawa Tengah . Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, 2008, 3 (1): 1 – 12.
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Miskin di Pesisir Pantai
Kebijakan sosial ekonomi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat pesisir sudah harus melihat kondisi sosial, kearifan lokal dan budaya masyarakat tersebut. Selain antisipasi bertambahnya kerusakan ekologis sumber daya laut, penguatan sumber daya manusia juga menjadi prioritas menciptakan kesejahteraan ekonomi mereka. Kebijakan lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan swasta adalah pembangunan coolstrage untuk memperpanjang umur ketahanan ikan yang memang harus menggunakan bantuan ruangan berpendingin tempat penyimpanan ikan. Pemberdayaan nelayan juga dapat dilakukan melalui pendampingan dalam peningkatan mutu ikan segar agar harga jual ikan bernilai tinggi. Mengundang investor lokal untuk membangun industri pengolahan ikan, supaya ikan hasil produksi nelayan dapat terserap oleh industri lokal, dan penyerapan tenaga kerja di masyarakat pesisir pantai. Pemberian beasiswa atau pendidikan gratis kepada keluarga nelayan, memberi dorongan kepada BPJS agar semua nelayan terlindungi kesehatannya. Alokasi biaya yang tadinya digunakan untuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan diharapkan dapat ditabung untuk kepentingan pengembangan alternatif usaha keluarga nelayan. Pentingnya kebijakan yang komprehensif dan berkelanjutan baiknya harga ikan akan berdampak positif terhadap kesejahteraan nelayan.27 Strategi Pemberdayaan
Dalam upaya memberdayakan masyarakat, khususnya nelayan dapat dilakukan strategi pemberdayaan yang meliputi:28 a. Pendidikan dan pelatihan; Sebagai paradigm pembangunan, pemberdayaan selain memfokuskan segala aspek yang prinsipil dari setiap individu dalam lingkungannya, seperti sumber daya manusia, material dan fisik sampai kepada manajerial yang kemudian biasanya dapat
Suhana. Kajian Singkat Dampak Kenaikan Harga Ikan Segar Terhadap Kesejahteraan Nelayan. Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim. 2010. 28 Mulyadi, Mohammad. Dr. AP., M.Si,., Kemiskinan, Identifikasi Penyebab dan Penanggulangannya, (Publica Press. 2014 ) Hal. 6727
155
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
disebut sebagai aspek sosial-budaya, ekonomi, politik, keamanan dan lingkungan.29 Persoalan peningkatan kapasitaas masyarakat menjadi persoalan tersendiri saat pendidikan masyarakat dalam satu kawasan tertentu salah satunya nelayan diketahui rata-rata pendidikan formalnya terbatas, walaupun sebenarnya kemampuan masyarakat tersebut dalam mencari sumber hidup dan penghidupan memiliki kemampuan yang mumpuni. Pengembangan kapasitas manusia merupakan faktor penting dalam membangun masyarakat dalam kemandirian, termasuk didalamnya pengembangan kapasitas individu, kapasitas kepribadian, kapasitas dalam dunia kerja, dan pengembangan keprofesionalan.30 Pengembangan kapasitas dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan yang disesuaikan dengan kondisi juga karakteristik masyarakat setempat. Rancangan program pendidikan dan pelatihan masyarakat nelayan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat, ini menghindari dari ketidaksesuaian kebutuhan masyarakat tersebut dalam mengimplementasikan ilmu yang mereka dapat guna peningkatan kualitas kehidupan mereka. Pembangunan masyarakat pesisir, khususnya nelayan kecil melalui pendidikan untuk keluarga mereka melalui beasiswa merupakan keharusan pemerintah dan pemangku kepentingan lain dalam membentuk masyarakat nelayan lebih profesional. Keahlian dan penguasaan teknologi perikanan bagi generasi muda (terutama anak nelayan) merupakan keharusan untuk menjadikan nelayan sebagai pekerjaan utama yang membangakan bagi generasi mendatang. b. Penyuluhan dan pendampingan; Nelayan menentukan sendiri bagaimana memecahkan persoalan dalam komunitas mereka. Setiap daerah memiliki persoalan yang berbeda pula. Nelayan dituntut untuk bisa mengidentifikasi persoalan yang paling mendasar terhadap kesulitan yang terus dialami komunitasnya. Keterlibatan masyarakat dalam mengidentifikasi persoalan yang ada dalam lingkungan mereka merupakan fondasi Rahayu, Budi Ana MG, Pembangunan Perekonomian Nasional Melalui Pemberdayaan Masyarakat Desa, (http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/ Mixed/Pemberdayaan-masyarakat-desa.pdf,) diakses pada 28 Mei 2015 30 Aprillia Theresia, NTP, M.Si, dkk, , Pembangunan Berbasis Masyarakat, (Alvabeta, 2014). Hal. 155 l 29
156
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Miskin di Pesisir Pantai
dasar dari pemberdayaan itu sendiri. Keberadaan penyuluh sebagai penumbuh semangat keswadayaan pada individu, kelompok masyarakat sangat dibutuhkan. Memberikan bantuan nelayan untuk lebih mengenal dan menggali segala potensi yang ada pada diri mereka dan lingkungan tempat mereka tinggal. Mendorong individu dan masyarakat untuk mencari kesempatan-kesempatan baru dalam memperbaiki keadaannya. Pendamping dan penyuluh ditargetkan untuk memberikan dorongan terhadap pemberdayaan nelayan dan yang dilakukan secara berkelanjutan, potensi lingkungan yang tersedia dimanfaatkan dan sekaligus diikuti oleh pengembangan kapasitas lingkungan itu sendiri. Sehingga keberlangsungan aktifitas masyarakat ditentukan dengan bagaimana masyarakat melestarikan lingkungannya sendiri tanpa merusak sumber daya alam dan tidak mengurangi generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Penyuluh dan pendamping sebagai fasilitator berfungsi sebagai pemberi motivasi, kesempatan dan dukungan bagi masyarakat. Melakukan negoisasi, mediasi, memberi dukungan, membangun konsensus bersama, serta melakukan pengorganisasian serta pemanfaatan sumber. Memberikan masukan positif dan direktif berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya serta bertukar gagasan dengan pengetahuan dan pengalaman masyarakat yang didampinginya. Membangkitkan kesadaran masyarakat, menyampaikan informasi kekinian, melakukan konfrontasi, termasuk menyelenggarakan pelatihan kepada masyarakat. Kemauan, kemampuan dari penyuluh dan pendamping tentunya menjadi penting dalam melakukan pemberdayaan masyarakat. Kemampuan menjalankan tugas-tugas teknis yang mengacu pada keterampilan praktis menjadi penting sebagai penyuluh dan pendamping.31 c. Kemitraan usaha perikanan; Untuk mencapai peningkatan kemampuan usaha kecil menjadi mandiri dan tangguh dalam kaitannya dengan pemberdayaan, kemitraan yang dilakukan kepada nelayan kecil menjadi kewajiban
Suharto, Edi, Pendampingan Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin: Konsep dan Strategi, (Disiapkan sebagai bahan bacaan pelatih dalam meningkatkan kemampuan (capacity building) Para pendamping sosial keluarga miskin pada proyek ujicoba model Pemandu di Lampung, Jateng dan NTB), (http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_32.htm), diakses pada 27 Mei 2015.
31
157
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam memfasilitasi hal tersebut. Kemitraan yang dimaksud dalam usaha perikanan adalah memberikan jalan, kesempatan serta peluang pemasaran, permodalan, peningkatan sumber daya manusia serta teknologi kepada nelayan. Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam membuka kesempatan usaha dari masyarakat dan kelompok nelayan dapat dilakukan dengan membuka kesempatan kepada pelaku usaha, pemilik kapal, lembaga pembiayaan bagi nelayan kecil, selanjutnya kerjasama kemitraan dapat dilakukan dengan pemilik lahan bagi. Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi berbagai produk dan hasil tangkapan nelayan dengan memberikan informasi dan keahlian memperlakukan hasil tangkapan juga produk olahan hasil tangkapan, serta menjembatani pelaku usaha dengan nelayan dalam usaha-usaha pemasarannya. Memberikan kemudahan-kemudahan dalam akses permodalan demi peningkatan produktifitas usaha nelayan. d. Penyediaan fasilitas pembiayaan dan permodalan; Persoalan yang akan terus menjadi persoalan nelayan kecil adalah modal yang terbatas menyangkut pemenuhan sarana dan prasarana produksi perikanan. Selain itu persoalan bunga pinjaman yang cukup tinggi dan keterbatasan nelayan dalam memenuhi persyaratan pengajuan kredit. Persoalan modal yang dihadapi nelayan sebenarnya dapat dilakukan dengan keikutsertaan badan usaha swasta dengan memberikan sebagaian keuntungannya untuk memberikan bantuan modal kepada mereka sebagai tanggung jawab perusahaan tersebut kepada masyarakat. Tentunya masyarakat nelayan dalam mengelola modal tersebut dapat dilakukan dengan cara pengelolaan secara kelompok dengan pendampingan dari penyuluh agar dana tersebut dapat digunakan dengan maksimal dan bertanggungjawab. e. Kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi; dan Kelembagaan nelayan. Ketersediaan sarana pengetahuan tentang teknologi dan informasi serta kelembagaan dalam menciptakan sumber daya manusia yang kuat tentunya menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan pemberdayaan. Nelayan harus ditumbuhkan kesadarannya mengenai kebutuhannya terhadap ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi yang baru menyangkut mata pencahariannya. 158
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Miskin di Pesisir Pantai
Pentingnya kelembagaan yang ditaati oleh anggota komunitas nelayan, sehingga kepentingan dan tujuan yang telah disepakati bersama dapat dilaksanakan dengan baik serta kapasitas lembaga/ organisasi yang memperlihatkan masyarakat untuk bekerjasama dalam memobilisasi sumber-sumber daya yang tersedia guna menyelesaikan masalah-masalah dalam komunitas nelayan. Hal ini tidak terlepas dari peranan individu, kelompok, pemerintah, dan organisasi/lembaga yang tumbuh dari masyarakat mencerminkan orisinalitas daerah tersebut. VI. PENUTUP
Pentingnya campur tangan pemerintah dan swasta sebagai pendorong penguatan kesejahteraan nelayan tidak dapat dihindari lagi. Kelangkaan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan berdampak sulitnya masyarakat nelayan mendapatkan tangkapan. Melalui pemberdayaan dan perlindungan kepada nelayan kecil diharapkan nelayan kecil dan tradisional dapat berkembang menjadi nelayan modern, tentunya dengan pendampingan dan pemberdayaan agar mereka dapat melakukan perubahan tersebut dengan baik dan berkelanjutan. Memberikan kesempatan kepada nelayan tradisional dan kecil untuk lebih berdaya dengan memberikan fasilitas bantuan kemampuan, mencari alternatif penghasilan ekonomi yang mampu bertahan terhadap datangnya musim paceklik serta berkelanjutan. Berbedanya latar belakang sosial dan kebudayaan masyarakat nelayan, pemberdayaan dilakukan memperhatikan kondisi tiap-tiap komunitas lokal tersebut, dan menggunakan segala potensi sumber daya, sosial dan budaya yang tersedia dalam masyarakat tersebut. Semua program pemberdayaan dan perlindungan terhadap nelayan miskin (kecil atau tradisional) tidak berorientasi kepada program-program jangka pendek, dan hanya menghabiskan anggaran yang sudah direncanakan, tetapi kegiatan-kegiatan yang berkelanjutan dengan pendampingan yang intensif dan bermanfaat bagi nelayan itu sendiri. Dalam merencanakan program kegiatan pemberdayaan, masyarakat nelayan diikutsertakan dan memutuskan program apa saja yang cocok untuk mereka, maksudnya adalah agar mereka lebih bertanggungjawab dalam melaksanakan kegiatan tersebut. 159
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada keluarga nelayan, terutama perempuan dalam melakukan diversivikasi hasil tangkapan dan diversivikasi lain selain perikanan agar dapat mencari sumber pendapatan subtitutif untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
160
DAFTAR PUSTAKA
Buku Kusnadi, Akar Kemiskinan Nelayan. 2003, Yogyakarta, LKiS. Hal 36
Kusnadi, Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press. 2002. hal 2 Mafruh, Izza, Multidimensi Kemiskinan, Surakarta, Sebelas Maret University Press., 2009. Hal. 10 Artikel dalam jurnal
Armen Zulham. Dampak Subsidi Terhadap Surplus Produsen dan Total Benefit Perikanan Tangkap Pantura Jawa Tengah.Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, 2008, 3 (1): 1 – 12.
Bagong Suyanto, Mekanisme Survival, Identifikasi Kebutuhan dan Pemberdayaan Nelayan Miskin dalam Masa Kritis Akibat Kenaikan BBM, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Volume 24, Nomor 1, tahun 2011. hal. 74,
Hasanuddin Nurul, L, Novesty Noor, Happy R. Santosa, Is it possible to eradicate poverty in the fisherman village?, International Journal Of Environmental Sciences, Vol. 2. No. 2,: 2013, hal 124 Humaedi, M. Alie, Kemiskinan Nelayan: Studi Kasus Penyebab Eksternal dan Upaya Revitalisasi Tradisi Pengentasannya di Kaliori, Rembang, Jawa Tengah, Jurnal Sosek KP, Vol. 7. No. 2. 2012. Hal 194 Humaedi, M. Alie.. Jeragan Nemen: Hubungan Ekonomi-Politik Bakul Langgan. Jurnal Masyarakat Indonesia, 2(II), 2010:133-163.
Retnowati, Endang, Nelayan Indonesia dalam Pusaran Kemiskinan Struktural (Perspektif Sosial, Ekonomi dan HUkum), Jurnal Perspektif, Vol XVI, No 3 Tahun 2011, Mei.
161
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Tomi Romadona, T. Kusumastanto, dan A. Fahrudin. Kebijakan Pengembangan Sumber Daya Perikanan Berkelanjutan dan Berperspektif Mitigasi Bencana di Padang Sumatera Barat. Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, 2012, 2 (1): 145 – 154. Artikel dalam seminar
Kusnadi, Makalah ini disampaikan dalam kegiatan JELAJAH BUDAYA TAHUN 2010, dengan tema “Ekspresi Budaya Masyarakat Nelayan di Pantai Utara Jawa”, yang Diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, Kementeian Kebudayaan dan Pariwisata, di Yogyakarta, tanggal 12-15 Juli 2010. Artikel dalam internet
Suhana. Kajian Singkat Dampak Kenaikan Harga Ikan Segar Terhadap Kesejahteraan Nelayan. Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim. 2010. (https://pk2pm.files.wordpress.com/2010/02/kajian-singkatkenaikan-harga-ikan-dan-kesejahteraan-nelayan.pdf) diakses pada 2 September 2015. Sujarwo, Strategi Nelayan Dalam Mengatasi Kemiskinan di Desa Teluk Setimbul Kabupaten Karimun, http://repository.unri. ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/5089/JURNAL%20 SUJARWO.pdf?sequence=1, diakses pada 17 September 2015. Dokumen
BPS, 2014, www.bps.go.id
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 45 Tahun 2011 Tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2011 dan Statistik Perikanan Budi daya Indonesia, 2011. 162
BAGIAN KEDELAPAN
ANALISIS KEBIJAKAN UNGGULAN TOL LAUT PEMERINTAH JOKOWI oleh: Izzaty
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
I.
PENDAHULUAN
Konektivitas dan infrastruktur merupakan komponen yang penting dalam iklim investasi. Sebagai negara kepulauan, infrastruktur sebagai penghubung antarpulau menjadi keharusan. Sarana transportasi laut yang solid dan masif beserta infrastruktur laut dinilai sangat dibutuhkan bagi negara kepulauan seperti Indonesia yang secara geografis didominasi oleh perairan. Menurut data Logistics Performance Index (LPI) tahun 2014, Indonesia berada pada peringkat 53 dari 160 negara yang disurvei. Posisi tersebut berada dibawah Vietnam yang berada pada peringkat ke-48, Thailand di peringkat ke-35, dan Malaysia di posisi ke-25. Indeks ini berupa infrastruktur, pengapalan, kompetensi logistik, pelacakan, dan waktu bongkar muat1. Biaya logistik yang tinggi merupakan persoalan serius yang menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai, biaya logistik di Indonesia yang mencapai 24 persen dari total PDB atau senilai Rp1.820 triliun per tahun merupakan biaya logistik yang paling tinggi di dunia.2 Tidak optimalnya transportasi laut selain mengakibatkan timpangnya distribusi penduduk juga mengakibatkan ketimpangan distribusi pembangunan antar daerah. Sekitar 83 persen dari total aktivitas ekonomi Indonesia terdapat di Sumatera dan Jawa Bali sehingga daerah ini memiliki pendapatan lebih besar dibanding daerah lain, juga terjadi ketimpangan investasi (67 persen investasi berada di Jawa dan Sumatera) dan ketimpangan penyebaran industri (67 persen investasi berada di Pulau Jawa).3 Penyebab biaya logistik yang tinggi dan mutu pelayanan logistik buruk salah satunya adalah waktu jeda barang impor mencapai 5,5 hari dan biaya angkutan yang mahal. Kondisi tersebut diperburuk
1
2
3
164
“Connecting to Compete 2014: Trade Logistics in the Global Economy, The Logistics Performance Index and Its Indicators”, World Bank Paper, Washington, 2014, p.8 “Hadapi MEA, Integrasi Teknologi Perlu dalam Pengembangan Bisnis”, (http://indonesianindustry.com/hadapi-mea-integrasi-teknologi-perludalam-pengemba ngan-bisnis/, diakses tanggal 2 September 2015). “Transportasi Laut Miliki Arti Penting Dalam Pembangunan Nasional”, (http://www.antaranews.com/berita/300200/transportasi-laut-milikiperan-penting-dalam-pembangunan-nasional, diakses tanggal 6 Maret 2015)
Analisis Kebijakan Unggulan Tol Laut Pemerintah Jokowi
lagi oleh prasarana logistik seperti jalan, pelabuhan, dan hubungan antarmoda yang masih konvensional. Sedangkan komponen biaya logistik di Indonesia terdiri dari biaya penyimpanan sebesar Rp546 triliun, biaya transportasi sebesar Rp1.092 triliun, dan biaya administrasi sebesar Rp182 triliun.4 Biaya logistik Indonesia bagian timur malah lebih tinggi 50-60 persen dibandingkan dengan bagian barat Indonesia, sedangkan Indonesia bagian tengah (Bali dan Makassar) lebih tinggi 30 persen. Ini mengindikasikan adanya permasalahan transportasi laut di daerah Indonesia bagian timur yang berdampak pada ekonomi daerah. Dalam RPJMN 2015-2019, penempatan transportasi laut sebagai tulang punggung sistem logistik nasional melalui pengembangan 24 pelabuhan strategis untuk mendukung tol laut.5 Tidak optimalnya transportasi laut juga mengakibatkan timpangnya distribusi penduduk yang berdampak pada ketimpangan distribusi pembangunan antar daerah. Sekitar 83 persen dari total aktivitas ekonomi Indonesia terdapat di Sumatera dan Jawa Bali sehingga daerah ini memiliki pendapatan lebih besar dibanding daerah lain, juga terjadi ketimpangan investasi (67 persen investasi berada di Jawa dan Sumatera) dan ketimpangan penyebaran industri (67 persen investasi berada di Pulau Jawa).6 Potensi maritim Indonesia yang ada selama ini belum dimanfaatkan secara optimal. Potensi perdagangan melalui laut juga belum maksimal karena kurangnya infrastruktur laut, padahal 25 persen perdagangan dunia diperdagangkan melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Nilai ekonomi dari potensi perdagangan ini mencapai USD1.500 triliun per tahun. Selain nilai perdagangan, proyeksi nilai kelautan mencapai USD171 miliar atau setara dengan Rp2.046 triliun (1USD=Rp12.000) yang meliputi: perikanan sebesar Rp380 triliun, wilayah pesisir Rp670 trilliun, wisata bahari Rp24
4
5
6
Aviliani, “Persoalan Logistik di Indonesia”, (http://supplychainindonesia. com/new/wp-content/files/Persoalan_Logistik_di_Indonesia_-_Aviliani_ Ekonom_Universitas_Indonesia.pdf, diakses tanggal 17 Maret 2015) Buku Saku Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019, (Bappenas : Jakarta, 2015), hal. 71. Firmanzah, “Pelayaran Indonesia belum Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri”, disampaikan dalam Seminar Peran Transportasi Laut di Negara Kepulauan, 7 Maret 2012, Jakarta.
165
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
triliun, minyak bumi Rp252 triliun, dan transportasi laut Rp240 triliun.7 Salah satu upaya perwujudan visi poros maritim yang dicanangkan oleh pemerintahan Jokowi-JK adalah dengan membangun laut yang merupakan isu strategis karena merupakan faktor penentu percepatan dan pemerataan pembangunan, serta sumber ekonomi baru. Program tol laut yang bermaksud memperbaiki permasalahan konektivitas dan logistik di Indonesia, dengan transportasi laut sebagai tulang punggung logistik maritim. Hal ini sejalan dengan visi maritim Presiden Jokowi yang dibangun diatas lima pilar yaitu8: 1. Membangun kembali budaya maritim Indonesia. 2. Indonesia akan menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan melalui pengembangan industri perikanan. 3. Memprioritaskan pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim, dengan membangun tol laut, pelabuhan laut dalam, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim. 4. Melaksanakan diplomasi maritim, mengajak semua negara untuk menghilangkan sumber konflik di laut,seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut. 5. Membangun kekuatan pertahanan maritim. Hal ini diperlukan sebagai upaya menjaga kedaulatan dan kekayaan maritim. Kegiatan utama yang terkait pengembangan tol laut berdasarkan RPJMN 2015-2019 antara lain, tersedianya 24 pelabuhan pendukung tol laut, 65 pelabuhan penyeberangan sabuk tengah-utara, pelayaran rakyat, dan short sea shipping. Untuk 24 pelabuhan pendukung tol laut, terdiri dari 5 pelabuhan utama dan 19 pelabuhan feeder. Sedangkan lima pelabuhan utama yang akan disinggahi yaitu Belawan, Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Sorong. (Gambar1).
7
8
166
“Bakamla: Proyeksi Nilai Kelautan Indonesia Rp2.046 Triliun”, (http:// sumbar .antara news .com/berita/154405/bakamla-proyeksi-nilai-kelautanindonesia-rp2046-triliun.html, diakses tanggal 10 Agustus 2015). Pernah disampaikan Presiden Jokowi pada 9th East Asia Summit, Nay Pyi Taw, Myanmar, 13 November 2014.
Analisis Kebijakan Unggulan Tol Laut Pemerintah Jokowi
Sumber : Bappenas. Pengembangan Tol Laut dalam RPJMN 2015-2019.
Gambar 1. Skema Jalur Laut Utama
Tol laut berdampak pada pengurangan biaya pengiriman di daerah Indonesia.9 Tol laut paling berdampak terhadap pengurangan biaya pengiriman wilayah timur Indonesia terutama di daerah Sorong. (Tabel 1). Tabel 1. Rata-Rata Biaya Pengiriman
Jakarta ke Daerah
Singapura Belawan
Surabaya Sorong
Tanpa Tol Laut (USD)
Dengan Tol Laut (USD)
350
125
250 400
2.000
250 275 375
Sumber : Penelitian dari David Wignall Associates, Rotschild and Drewry Maritime Advisors10
Implementasi tol laut berupa konektivitas laut yang efektif dapat diwujudkan dengan adanya kapal yang berlayar secara rutin dan terjadwal dari barat sampai ke timur Indonesia. Istilah tol dalam hal ini berbeda dengan jalan tol. Dalam konsep tol laut, sistem transportasi dengan laut sebagai lalu lintasnya. Tol laut bukan sebuah bentangan jalan tol penghubung antarpulau, melainkan merupakan kegiatan transportasi barang dan penumpang antar pelabuhan laut dalam (deep sea port) yang
“CIMB Principal Asset Management, Weekly Indo Perspective, Milestones For Alluring Archipelago”, Weekly Paper, 2014, p.2. 10 Ferialdy Noerlan, “NewPriok Development Project”, Paper Presented at Transporting Light to The Nation, April 2013. 9
167
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
jaraknya berjauhan dengan cepat (short sea shiping) menggunakan kapal-kapal besar pendukung konektivitas antarpulau. Konsep tol laut ini ingin membatasi keterlibatan kapal asing dalam pendistribusian logistik. Pemerintah hanya akan membuka dua pelabuhan bagi kapal asing. Terdapat lima elemen penting konsep tol laut peti kemas, antara lain pelayaran rutin dan berjadwal, inland akses yang efektif, pelabuhan yang handal, kecukupan muatan Barat-Timur TimurBarat, dan shipping industry. Sedangkan untuk tol laut penumpang, elemen utamanya antara lain pelayaran traveling-leisure, integrated transport, destinasi wisata, dan komersial serta spesialisasi pelayanan. II. KONSEPSI PEMIKIRAN DALAM KONSEP TOL LAUT A. Konsepsi Konektivitas Laut Penguatan konektivitas nasional merupakan salah satu strategi yang bertujuan untuk percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi. Terdapat tiga prinsip konektivitas yaitu: pertama, memaksimalkan pertumbuhan melalui kesatuan kawasan, bukan keseragaman (inclusive development) dengan menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan. Kedua, memperluas pertumbuhan melalui konektivitas wilayah-wilayah melalui inter-moda supply chain system yang menghubungkan hinterland dan yang tertinggal dengan pusat-pusat pertumbuhan. Ketiga, mencapai pertumbuhan inklusif dengan menghubungkan daerah terpencil dengan infrastruktur dan pelayanan dasar dalam mendapatkan manfaat pembangunan. Paradigma pembangunan yang berorientasi pada wilayah maritim yang terintegrasi dengan pembangunan wilayah memberikan jaminan bahwa pembangunan maritim akan membantu peningkatan efisiensi dan efektivitas pada aktivitas perekonomian yang berkembang di wilayah darat. Pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dilakukan melalui pembangunan tol laut, deepsea port, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim.11
11
168
G.T. Suroso, “Poros Maritim dan Perkembangan Perekonomian Indonesia”, (http://www.bppk.depkeu.go.id/publikasi/artikel/150-artikel-keuanganumum/20555-poros-maritim-dan-perkembangan-perekonomian-indonesia, diakses tanggal 13 Februari 2015).
Analisis Kebijakan Unggulan Tol Laut Pemerintah Jokowi
Sistem logistik nasional sangat membutuhkan suatu sistem distribusi yang terintegrasi. Jumlah arus angkutan logistik yang melalui jalur laut di Indonesia jauh lebih rendah yaitu mencapai 194,8 ribu ton dibandingkan dengan jumlah arus angkutan logistik yang melalui jalur darat yaitu sebesar 2,5 juta ton.12 Dalam menjawab tantangan globalisasi ekonomi, konektivitas menjadi kunci utama. Kondisi transportasi laut di Indonesia berdasarkan Sea Transport Connectivity Index, Indonesia masih menunjukkan kesenjangan konektivitas logistik yang cukup tinggi di tiap daerah. Jakarta memiliki indeks konektivitas yang kuat, sementara di kawasan timur kesenjangan konektivitas terlihat. Ada tiga target dari pengembangan tol laut yaitu: pertama, target pada tahun I berupa pemenuhan kebutuhan akan pelayaran perintis; kedua, target pada tahun V berupa perwujudan sistem transportasi laut yang mampu menekan biaya logistik menurun hingga 20 persen terhadap PDB, menumbuhkan armada pelayaran nasional dari 10 persen menjadi 30 persen, melakukan peremajaan kapal nasional dengan menekan jumlah kapal tua yang berumur lebih dari 25 tahun dari 70 persen menjadi 50 persen, dan mengurangi waktu pelayanan pelabuhan (dwelling time) pada pelabuhan utama dari 6-7 hari menjadi 3-4 hari. Ketiga, perwujudan sistem pendukung implementasi tol laut melalui pengadaan infrastruktur utamanya berupa infrastruktur pelabuhan dan kapal, serta pembenahan sistem transportasi, sistem logistik, dan sistem manajemen. Dalam konsep tol laut, jalur distribusi logistik menggunakan kapal barang dengan rute terjadwal dari seluruh Indonesia. Tidak akan ada perjalanan kapal utama secara langsung melainkan mengikuti trayek yang ada dengan membawa berbagai barang yang lebih banyak namun tetap menggunakan satu kali perjalanan sehingga lebih hemat dan efisien. Implementasi konsep tol laut antara lain berupa adanya wilayah depan dan wilayah dalam Indonesia. Wilayah depan adalah batas terluar kegiatan ekonomi, transportasi dan perikanan asing sedangkan wilayah dalam kegiatan ekonomi, transportasi, dan perikanan yang menjadi kedaulatan penuh Indonesia. Tujuan tol laut adalah untuk memeratakan harga
12
“Prosentase Angkutan Logistik via Jalur Laut Masih Rendah”, (http://bisnis. tempo.co/read/news/2015/07/30/090687694/prosentase-angkutanlogistik-via-jalur-laut-masih-rendah, diakses tanggal 15 September 2015).
169
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
barang yang saat ini berbeda antara bagian barat Indonesia dan bagian timur Indonesia. Salah satu tantangan konektivitas laut adalah penanganan ganda atau double/triple handling yang selalu menjadi penyebab penambahan biaya cargo. Belum terbangunnya konektivitas antara satu lokasi dengan lokasi lainnya, serta pengiriman kontainer ke daerah jauh lebih mahal bila dibandingkan dengan mengirim kontainer ke luar negeri. Selain biaya bongkar muat di pelabuhan yang tinggi, akses jalan dari dan menuju pelabuhan selalu macet dan tidak pernah terselesaikan. Akibatnya, sangat sulit bagi perusahaan angkutan barang untuk mengoptimalkan perputaran kendaraannya. Pelabuhan sebagai prasarana transportasi yang mendukung kelancaran sistem transportasi laut memiliki fungsi yang erat hubungannya dengan faktor-faktor sosial dan ekonomi. Secara ekonomi, pelabuhan sebagai fasilitas publik yang merupakan titik simpul pusat hubungan dari suatu daerah pendukung (hinterland) dan penghubung dengan daerah di luarnya. Sarana transportasi laut merupakan bagian dari sistem transportasi nasional yang harus dikembangkan potensi dan peranannya untuk mewujudkan sistem transportasi yang efektif dan efisien. Dalam konteks pembangunan nasional, pengembangan transportasi laut diarahkan untuk mendukung kegiatan ekonomi dan pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis. Transportasi laut tidak bisa dibatasi oleh batas daerah administratif, maka arah pembangunan transportasi laut difokuskan pada pendekatan wilayah pulau dan kepulauan. Pembangunan transportasi laut mendesak untuk dilaksanakan. Ada beberapa perbedaan konsep yang mendasar dari MP3EI dan tol laut. Perbedaan utama adalah pengembangan tol laut berbasis maritim baik berupa transportasi laut maupun infrastruktur laut berupa pelabuhan, sedangkan MP3EI berbasis daratan seperti infrastruktur jalan dan jembatan.(Tabel 2). Tabel 2. Perbedaan Konsep MP3EI dengan Konsep Tol Laut KONSEP MP3EI Koridor ekonomi berbasis daratan
170
KONSEP TOL LAUT Koridor ekonomi berbasis maritim dan udara
Analisis Kebijakan Unggulan Tol Laut Pemerintah Jokowi KONSEP MP3EI
KONSEP TOL LAUT
Sistem logistik untuk kelancaran arus barang
Sistem logistik untuk mendukung strategi perdagangan
Kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia
Wilayah depan (foreland) dan wilayah dalam (hinterland)
Koridor ekonomi untuk menguatkan pusat ekonomi eksisting dan menarik wilayah di sekitarnya
NKRI adalah archipelago (pulau-pulau yang dipisahkan oleh perairan) The trade follow the ship
Koridor ekonomi mendorong terciptanya pusat-pusat pertumbuhan baru dan pemerataan ekonomi di seluruh wilayah nusantara NKRI adalah a piece of land (daratan yang saling terhubungkan oleh perairan yang menjadi satu kesatuan) The ship promote the trade and the ship follow the trade
Sumber : Bappenas13
Investasi pada infrastruktur darat biasanya berupa pembangunan jalan raya, jembatan, dan rel kereta api, sedangkan infrastruktur tol laut lebih diarahkan dalam konten pelayaran, pelabuhan, dan galangan kapal. Moda transportasi darat berupa kereta api, truk, dan mobil, sedangkan transportasi laut berupa kapal. Investasi yang dibutuhkan untuk infrastruktur darat mencapai Rp80-100 miliar per km, sedangkan 1 kapal ukuran 500 twentyfoot equivalent units (TEUs) memerlukan investasi sebesar Rp250 miliar. Biaya angkut dengan moda darat mencapai Rp3.500/ TEUs.Nm, sedangkan moda laut lebih efisien sebesar 35 persen yaitu sebesar Rp2.300/TEUs.Nm. Kapasitas angkut moda laut jauh lebih efektif dibandingkan moda darat, yaitu sebesar 19.200 TEUs/kapal/ tahun, sedangkan truk mempunyai kapasitas angkut 110 TEUs/ truk/tahun. Eksternalitas lingkungan yang dihasilkan kapal jauh lebih ramah lingkungan, kapal menghasilkan CO2 sebesar 8 gram/ ton.km, sedangkan truk menghasilkan CO2 sebesar 50 gram/ton. km.14
13
14
Bambang Prihartono, “Pengembangan Tol Laut dalam RPJMN 2015-2019 dan Implementasi 2015”, disampaikan dalam FGD Program Tol Laut dalam RPJMN 2015-2019, 11 Maret 2015, BPKP, Jakarta, 2015, hal. 21. Yudi Wahyudin, “Menyoal Akselerasi Pembangunan Infrastruktur Tol Laut Indonesia”, Majalah Inspirasi, 6(119), 2015, hal.6.
171
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
B. Konsepsi Pendulum Nusantara Laut dianggap sebagai jembatan penghubung termurah daripada harus membangun jalur udara, bahkan 10 kali lipat masih lebih murah daripada jalur darat. PT Pelindo memperkenalkan konsep pendulum nusantara pada tahun 2012. Konsep ini bertujuan agar bagian timur Indonesia mendapatkan kesempatan yang sama dengan bagian barat Indonesia. Pembangunan tol laut juga dilakukan agar timbul keseimbangan alur distribusi dan terwujudnya keadilan harga komoditas antarwilayah. Prinsip tol laut adalah domestic transhipment yang bergerak seperti pendulum secara terus-menerus, sehingga semua kegiatan distribusi dilakukan di dalam negeri oleh para pelaku bisnis yang dapat memajukan perekonomian nasional. Tol laut memungkinkan persebaran industri manufaktur ke luar Jawa sehingga pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi bisa terjadi. Sebagai pemikiran dari Manajemen PT Pelindo I, II, III, dan IV, konsep dasar dari pendulum nusantara adalah menyelenggarakan angkutan laut domestik yang menghubungkan poros jalur pelayaran angkutan barang dari Pelabuhan Belawan di titik barat hingga Pelabuhan Makassar di titik timur, menggunakan kapalkapal pengangkut peti kemas berkapasitas 3.000 TEUs secara berkesinambungan. Berdasarkan operasionalnya yang dikelola oleh satu BUMN secara tersentral, diharapkan terjadi keseragaman tariff handling yang berlaku di pelabuhan utama Belawan-Batam-Tanjung Priok-Tanjung Perak-Makassar-Sorong. Yang perlu dicermati dari konsep pendulum nusantara ini adalah: 1. Ketersediaan armada nasional untuk memenuhi kebutuhan angkut komoditas impor/ekspor. 2. Di luar ketentuan tariff handling, biaya angkut barang yang sangat tergantung kepada tipe kapal yang digunakan, kecepatan pelayaran yang bisa ditempuh dan jenis barang yang diangkut. 3. Jumlah dan jenis alat bongkar muat di pelabuhan serta sistem dan prosedur bongkar muat di satu pelabuhan, akan menentukan tingkat produktivitas yang bisa dicapai. 4. Ketersediaan komoditas di pelabuhan tujuan, sebagai umpan balik ketika armada pengangkut harus kembali ke pelabuhan asal. 172
Analisis Kebijakan Unggulan Tol Laut Pemerintah Jokowi
Integrasi moda transportasi pelabuhan sangat penting, disamping dapat mempermudah juga bisa menekan biaya logistik sehingga memperlancar arus keluar masuk barang di pelabuhan. Integrasi moda transportasi sangat tergantung pada infrastruktur dan kesiapan operator pelabuhan dalam mengatur pergerakan barang. Disamping tol laut, rencananya akan dibangun pula infrastruktur penunjang dari tol laut, salah satunya adalah penyeberangan. Realisasi konsep tol laut yang salah dikhawatirkan akan kontra produktif dengan arah perkembangan industri pelayaran. Pembangunan tol laut harus terintegrasi secara keseluruhan dan harus memperhatikan cara pemeliharaan setelah pembangunan infrastruktur. Pembangunan tol laut harus dibarengi dengan pembangunan sentra industri atau perdagangan. Program tol laut menggunakan dana APBN yang sangat besar serta memakan waktu yang lama sehingga harus ditentukan skala prioritas, regulasi, dan diawasi oleh semua pihak. Untuk mendorong pengembangan infrastruktur konektivitas transportasi laut, pemerintah berencana membangun 24 pelabuhan feeder dan 170 buah pelabuhan sub feeder. Dalam konsep tol laut yang didasarkan pada konsep pendulum nusantara yang didukung dengan 24 pelabuhan di Indonesia. Pelabuhan tersebut diantaranya, Pelabuhan Banda Aceh, Belawan, Kuala Tanjung, Dumai, Batam, Padang, Pangkal Pinang, Pelabuhan Panjang. Selanjutnya, Pelabuhan Tanjung Priok, Cilacap, Tanjung Perak, Lombok, Kupang, Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin, Maloy, Makassar, Bitung, Halmahera, Ambon, Sorong, Merauke dan Jayapura. Dari 24 pelabuhan tersebut, lima diantaranya akan ditetapkan sebagai pelabuhan utama yang akan menjadi jalur utama tol laut dan harus memiliki tingkat kedalaman yang cukup untuk dilintasi kapal-kapal besar berbobot 3.000 sampai dengan 10.000 TEUs, yakni pelabuhan Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak, Makassar, dan Sorong. Pelabuhan lainnya akan berfungsi sebagai pelabuhan pengumpul. Untuk menghubungkan antarpulau, Indonesia sebenarnya memiliki 2.100 pelabuhan yang tersebar di seluruh Indonesia. Pelabuhan ini telah mampu melayani kedatangan kapal sandar 173
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
dan aktivitas bongkar muat. Kementerian Perhubungan memprioritaskan pembangunan 170 pelabuhan laut yang sebagian besar sebagai pelabuhan singgah kapal perintis. Pemerintah juga berencana menambah rute perintis menjadi 193 dari 96 rute yang sudah dilayani. Rencana lain yang disiapkan adalah pembangunan 93 kapal perintis dengan rincian 1 unit kapal khusus ternak, 20 unit kapal rede transport, 9 unit kapal barang multipurpose, dan docking repair 47 kapal negara perintis. Program tol laut dapat memperlancar distribusi barang hingga ke pelosok melalui interkoneksi antar pelabuhan di Indonesia. Tak hanya pelabuhan utama dan pelabuhan pengepul, untuk mendukung konsep tol laut akan disiapkan dua pelabuhan sebagai pelabuhan internasional yang disediakan bagi kapal-kapal asing, yaitu Kuala Tanjung dan Bitung. Dari pelabuhan hub internasional itu, perjalanan kargo akan diteruskan ke pelabuhan-pelabuhan utama. Secara keseluruhan, berdasarkan kalkulasi yang dilakukan Bappenas, anggaran pembangunan tol laut dalam lima tahun ke depan, membutuhkan dana sekitar Rp700 triliun. Konsepnya, sumber anggaran pembangunan proyek tol laut yang membutuhkan anggaran tersebut akan berasal dari pemerintah, BUMN, dan swasta. Presiden Jokowi juga menawarkan proyek tol laut pada negara China dan Jepang, dalam investasi pembangunan 24 pelabuhan sebagai penyangga utama konsep tol laut. Berdasarkan catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dua investor asal China telah menyatakan komitmennya untuk berinvestasi sekitar USD2 miliar dalam proyek pembangunan 24 pelabuhan. Biaya yang dibutuhkan untuk membangun 24 pelabuhan sekitar Rp39,5 triliun, baik untuk pembangunan pelabuhan di wilayah Sumatera, Pulau Jawa maupun di kawasan timur Indonesia. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), anggaran pembangunan tol laut tahun 2015 pada dasarnya telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dengan nilai mencapai Rp9,9 triliun. Sumber anggarannya akan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 sekitar Rp7,9 triliun dan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) IV sebesar Rp2 triliun. Pengembangan 174
Analisis Kebijakan Unggulan Tol Laut Pemerintah Jokowi
tol laut tersebut meliputi: pembangunan hub, pembangunan feeder (pengumpul), sub feeder, dan pelabuhan serta pelayaran rakyat. Konsep pendulum nusantara bukan solusi tunggal untuk menjawab tantangan jaringan maritim di Indonesia, namun perlu didukung dengan produksi dan pengadaan lingkungan, izin serta lisensi sistem yang harus ditingkatkan. Pendulum nusantara bisa berfungsi sebagai platform untuk mempersatukan wilayah timur dan barat namun harus didukung oleh iklim usaha secara keseluruhan dari wilayah timur agar menarik investasi industri pengolahan berbasis komoditas di daerah tersebut. Pemerintah juga harus memperhatikan konsistensi dari jadwal kapal yang ada agar tidak ditinggalkan oleh masyarakat dan juga bertujuan untuk meningkatkan daya saing transportasi laut. III. GAMBARAN KEBIJAKAN TOL LAUT DI INDONESIA
Program tol laut, bukan hanya pembangunan pelabuhan, tetapi juga harus didukung dengan pembangunan infrastruktur penunjang atau komplementer dari tol laut, seperti lintasan penyeberangan. Sejalan dengan program Sabuk Nusantara, untuk mendukung program tol laut, pada 2015-2019 rencananya akan dilakukan penyelesaian dan penguatan jalur lintas penyeberangan Sabuk Utara, Sabuk Tengah, dan Sabuk Selatan, serta poros penghubung yang merupakan bagian dari pembangunan lintas penyeberangan di seluruh Indonesia. Dengan konsep ini perusahaan tidak perlu lagi mengirim barang point to point pada konsumen dari barang yang dipesan. Kapal pada lintasan tol laut akan mengangkut barang setiap perusahaan melalui skema cost sharing dengan demikian tidak ada lagi perjalanan kapal utama secara langsung, tetapi mengikuti trayek yang telah disediakan dan barang dari setiap perusahaan terakumulasi dalam satu perjalanan penuh. Konsep akumulasi barang ini berarti kapal akan membawa berbagai barang yang lebih banyak, tetapi biaya yang digunakan tetap biaya satu kali perjalanan. Dengan demikian, diharapkan konsep ini membuat efisiensi logistik nasional lebih baik dan terjadi penghematan biaya. Untuk perjalanan yang tidak ada sepanjang trayek yang ada atau tidak melewati pelabuhan besar (short sea shipping) akan dilakukan pengintegrasian bongkar muat dari kapal besar ke kapal yang lebih sesuai.
175
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Tol laut merupakan layanan angkutan laut dengan jumlah dan tipe kapal besar sesuai demand, melalui jalur utama koridor tengah perairan Indonesia yang menghubungkan pelabuhanpelabuhan utama (hub), disertai dengan jalur penerus (feeder) yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan pengumpan (spoke). Pelabuhan yang akan menjadi international hub-port adalah Pelabuhan Bitung dan Pelabuhan Kuala Tanjung. Tol laut bertujuan untuk mengembangkan ekonomi maritim dengan menjadikan laut sebagai basis konektivitas produksi dan pemasaran antar daerah atau pulau sehingga menekan disparitas harga melalui pengurangan biaya transportasi dan logistik yang tinggi. Target yang ingin dicapai pemerintah dalam pembangunan tol laut sebagai berikut: sistem transportasi laut yang mampu menurunkan biaya logistik nasional sebesar 24,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB); mampu menumbuhkan armada pelayaran nasional dari 10 persen menjadi 30 persen; mampu meremajakan kapal nasional dari 70 persen menjadi 50 persen; mampu mengurangi waktu pelayanan pelabuhan (dwelling time) pada pelabuhan utama dari 6-7 hari menjadi 3-4 hari; dan mampu meningkatkan pertumbuhan signifikan di luar pulau Jawa. Tol laut merupakan suatu sistem distribusi logistik yang berbasis kelautan dengan menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar yang ada di Indonesia. Dengan tol laut, diharapkan tercipta trayek yang menjamin kelancaran dan efisiensi pada arus pergerakan kapal antar pelabuhan. Sistem ini direncanakan akan mengganti sistem distribusi logistik nasional yang selama ini mengacu pada rancangan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada era kepemimpinan Presiden SBY. MP3EI tidak menjawab tujuan dan rencana awal rancangan tersebut dibentuk, justru melahirkan ketimpangan ketersediaan logistik terutama Indonesia bagian timur.15 Berbeda dengan konsep MP3EI yang mengembangkan infrastruktur dengan adanya pasar komoditi (trade to ship), ide tol laut baru akan bekerja jika pasar komoditi berhasil terbentuk dengan dikembangkannya infrastruktur terlebih dahulu (ship to trade). Rincian arah kebijakan tol laut dilakukan melalui:
15
176
“Mahasiswa Teknik Kelautan ITB Gelar Diskusi Rencana Tol Laut Indonesia”, (http:// www.itb.ac.id/news/itb_berita_4682.pdf, diakses tanggal 1 September 2015).
Analisis Kebijakan Unggulan Tol Laut Pemerintah Jokowi
1. Mengembangkan sistem transportasi laut nasional untuk meningkatkan aksesibilitas dengan pusat-pusat pengembangan ekonomi regional dan nasional serta mengembangkan jalur lalu lintas antarsamudera, seperti jalur Singapura-Biak dan Laut Cina Selatan-Australia, dan mengupayakan akses jalur lintas tersebut ke pelabuhan samudera lokal dan mengembangkan jalur pelayaran antarpulau besar dan jalur penyeberangan antarpulau yang berdekatan; 2. Meningkatkan kapasitas daya tampung pelabuhan, pergudangan, dan lapangan penumpukan serta meningkatkan mutu pelayanan jasa kepelabuhanan; 3. Meningkatkan kapasitas daya tampung pelabuhan, pergudangan, dan lapangan meningkatkan kapasitas daya tampung pelabuhan, pergudangan, dan lapangan penumpukan serta meningkatkan mutu pelayanan jasa kepelabuhanan; 4. Meningkatkan mutu pelayanan jasa kepelabuhanan; 5. Meningkatkan kapasitas daya tampung pelabuhan, pergudangan, dan lapangan penumpukan serta meningkatkan mutu pelayanan jasa kepelabuhanan.
Pemerintah melalui Kementerian Bappenas merinci secara detail pembangunan tol laut selama lima tahun ke depan dalam mendukung poros maritim dunia. Kebutuhan investasi dari proyek tersebut mencapai hampir Rp700 triliun. Pemerintah telah menyiapkan sejumlah proyek yang akan menyokong menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia lewat konsep tol laut.16 Proyek-proyek tersebut antara lain, pertama, pembangunan dan pengembangan 24 pelabuhan strategis termasuk pengerukan, pengembangan terminal kontainer serta lahannya. Nilai investasi program ini sebesar Rp243,69 triliun. Adapun 24 pelabuhan itu, yakni Pelabuhan Banda Aceh, Belawan, Kuala Tanjung, Dumai, Batam, Padang, Pangkal Pinang, Pelabuhan Panjang, Pelabuhan Tanjung Priok, Cilacap, Tanjung Perak, Lombok, Kupang, Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin, Maloy, dan Makassar.
16
“Melongok Tol Laut Jokowi, Modal RI Jadi Poros Maritim Dunia”, (http://www. bumn.go.id/pelindo1/berita/8577/Melongok.Tol.Laut.Jokowi,.Modal.RI.Jadi. Poros.Maritim.Dunia, diakses tanggal 28 Juli 2015).
177
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Proyek kedua, short sea shipping seperti pengadaan kapal, pelabuhan sumur, Bojanegara, Kenal, Pacitan dan Cirebon dengan kebutuhan anggaran Rp7,50 triliun. Proyek ketiga, fasilitas kargo umum dan bulk sebagai rencana induk pelabuhan nasional. Anggaran yang diperlukan sebesar Rp40,61 triliun. Proyek keempat, pengembangan pelabuhan non komersial sebanyak 1.481 pelabuhan dengan total nilai investasi Rp198,10 triliun. Proyek kelima, pengembangan pelabuhan komersial lainnya sebanyak 83 pelabuhan senilai Rp41,50 triliun. Proyek keenam, transportasi multimoda untuk mencapai pelabuhan dengan membangun akses jalan, kereta pelabuhan, kereta pesisir senilai Rp50 triliun. Proyek ketujuh, revitalisasi industri galangan kapal. Ada 12 galangan kapal secara menyeluruh dengan investasi sebesar Rp10,80 triliun. Proyek kedelapan, pengadaan kapal untuk lima tahun ke depan seperti kapal kontainer, barang perintis, bulk carrier, tug & barge, tanker dan kapal rakyat. Kebutuhan anggarannya mencapai Rp101,74 triliun. Proyek kesembilan, pengadaan kapal patroli dari kelas IA sampai dengan kelas V senilai Rp6,04 triliun. Sehingga total investasi yang dibutuhkan mencapai Rp699,99 triliun. Pemerintah menganggarkan anggaran Rp780 triliun. Operasionalisasi infrastruktur tol laut harus disesuaikan dengan pengalaman sejarah dan eksistensi pelayaran rakyat yang memadukan proses loading input output (ke dan dari kapal). Selain itu, dibutuhkan juga keberlanjutan pelayaran yang salah satunya dapat didorong dengan menjadikan muatan logistik pemerintah yang berkaitan dengan tata kelola pemerintah, baik pusat dan daerah. Operasional infrastruktur tol laut juga memerlukan perangkat manajerial yang baik, seperti ketersediaan Standard Operating Procedure (SOP) pelabuhan dan pelayaran, financial support system yang terintegrasi dengan efektif dan efisien, sistem asuransi yang menganut prinsip transparency, accountability, responsibility, independency, dan fairness (TARIF), dan perangkat-perangkat lunak lainnya sebagai pendukung percepatan pembangunan infrastruktur tol laut. Karakteristik pembangunan infrastruktur yang bersifat padat modal dan keterbatasan anggaran pemerintah, membutuhkan dana diluar APBN. Pemerintah harus melibatkan pendanaan swasta dengan skema kemudahan perijinan dan insentif dalam menyediakan 178
Analisis Kebijakan Unggulan Tol Laut Pemerintah Jokowi
armada kapal dan pelabuhan. Dengan investasi yang memadai, sektor infrastruktur akan membantu melancarkan arus produksi barang dan jasa baik secara domestik maupun internasional. Pembiayaan infrastruktur laut jika hanya mengandalkan APBN saja tidak cukup, sehingga perlu dikembangkan Public Private Partnership yang efektif sehingga bisa mengakselerasi pertumbuhan infrastruktur di Indonesia. Alternatif pembiayaannya dapat berupa penerbitan Surat Utang Negara (SUN), Surat Berharga Syariah Negara, pinjaman dari luar negeri. Selain itu terdapat instrument pembiayaan lain berupa Result Based Learning ( RBL) dan pemberian jaminan pemerintah.17 Konsep tol laut diwujudkan dengan adanya kapal yang selalu melintas baik kapal kosong maupun kapal terisi pada lintasan perjalanan manapun di wilayah perairan Indonesia. Tol laut hanya akan berjalan baik apabila ada kesetaraan produksi dan kebutuhan barang di berbagai wilayah di Indonesia terutama wilayah Timur seperti wilayah Papua dan Maluku.18 Untuk menyelesaikan pembangunan pelabuhan utama yang rencananya akan dilalui kapal berbobot 3.000-10.000 TEUs, tantangannya cukup berat. Rata-rata tingkat kedalaman laut pada pelabuhan-pelabuhan yang utama yang ada di Indonesia hanya mencapai minus 10 meter. Kapal berbobot 3.000 TEUs lebih memerlukan tingkat kedalaman laut minimal mencapai minus 14 meter, kapal berbobot 10.000 TEUs memerlukan tingkat kedalaman laut di Indonesia mencapai minus 20 meter sampai minus 24 meter. Pengerukan agar tingkat kedalaman alur laut memadai sangat mendesak untuk dilaksanakan agar pelabuhan utama tersebut bisa dilalui kapal-kapal berukuran besar. Selain kendala tingkat kedalaman alur laut, lamanya waktu membangun pelabuhan, kendala pembangunan infrastruktur penunjang pelabuhan lainnya, serta kebutuhan dana yang sangat besar, akan menjadi tantangan besar dalam mewujudkan konsep tol laut tersebut. “Menyoal Fiskal Negeri Bahari”, Media Keuangan, X(91), Kementerian Keuangan, 2015, hal.8 18 Bambang Triatmodjo, “Tol Laut, Terealisasikah?”, (http://btriatmodjo.staff. ugm.ac.id/ 2015 /05/12/tol-laut-terealisasikah-3/, diakses tanggal 13 Mei 2015). 17
179
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Kebijakan makro ekonomi juga diperlukan dalam pengembangan tol laut diantaranya adalah shifting paradigma pembangunan ekonomi dari berbasis darat menjadi berbasis laut yang dibuktikan dengan adanya perubahan pola dan orientasi anggaran pendapatan belanja negara untuk mendorong pengembangan infrastruktur tol laut, terutama dalam penguatan armada kapal, investasi pengembangan pelabuhan dan galangan kapal. Selama satu dekade terakhir ini porsi anggaran pembangunan sektor perhubungan dan infrastruktur transportasi nasional yang diwakili oleh Kementerian PU PERA dan Kementerian Perhubungan hampir 80 persennya masih didominasi oleh infrastruktur dan perhubungan berbasis darat. IV. PERAN PELABUHAN DALAM PENGEMBANGAN TOL LAUT
Pelabuhan mempunyai peran yang sangat penting dalam pertumbuhan perekonomian di wilayah Indonesia. Sejak awal perkembangan ekonomi dunia, pelabuhan berperan sebagai faktor penting pergerakan ekonomi yang ditandai dengan pertukaran arus barang atau logistik. Indonesia merupakan negara maritim yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan. Banyaknya pulau-pulau yang terpisah oleh lautan menyebabkan Indonesia harus memiliki banyak pelabuhan atau dermaga yang bersifat umum ataupun khusus. Pelabuhan memiliki peran yang sangat penting dalam transportasi laut, sebagai pintu gerbang suatu negara, dan sebagai komponen dari kegiatan logistik barang dari laut ke darat ataupun sebaliknya. Pelabuhan dalam aktivitasnya memiliki arti strategis dalam pertumbuhan industri dan perdagangan serta merupakan segmen usaha yang dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan nasional. Pelabuhan sebagai pintu masuk transaksi barang antarpulau dan antarnegara dapat mendukung kelancaran aktivitas ekonomi suatu daerah. Konektivitas akan membantu meningkatkan daya saing antar daerah. Untuk perluasan bisnis, konektivitas akan membangun ekonomi antar satu pulau dengan pulau lain atau antar satu daerah dengan daerah lain. Konsep koridor ekonomi akan menjadi bagian dari MP3EI sebenarnya merupakan sebuah konsep yang memiliki akar teoritis maupun praktis yang kuat. Secara teoritis, gravity 180
Analisis Kebijakan Unggulan Tol Laut Pemerintah Jokowi
model menekankan bahwa konektivitas antara dua titik ekonomi utama akan mengurangi friksi dan meningkatkan interaksi ekonomi yang akan menciptakan bangkitan kegiatan ekonomi. Kelemahan program tol laut yang hanya memfokuskan pada pengurangan biaya transportasi atau ongkos angkut dengan pengerahan kapal-kapal besar. Biaya transportasi hanya berperan maksimal 27 persen terhadap biaya logistik dan bukanlah penyebab utama tingginya biaya logistik, ada faktor-faktor lain yang lebih dominan mempengaruhi biaya logistik.19 Faktor lain tersebut terkait dengan infrastruktur pelabuhan, regulasi, SDM, proses dan manajemen logistik yang belum efisien, serta kurangnya profesionalisme pelaku dan penyedia jasa logistik nasional.20 Biaya tinggi pelayaran domestik disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya kapal menghabiskan banyak waktu di pelabuhan, mulai dari berlabuh hingga bongkar muat, sehingga membuat perjalanan memakan waktu lebih lama. Ukuran kapal yang relatif kecil menyebabkan inefisiensi karena skala ekonomis akan tercapai apabila pengangkutan cargo dilakukan sekaligus dalam jumlah besar. Waktu bongkar muat barang (dwelling time) terdiri atas komponen pre-customs clearance, customs clearance, dan post clearance. Kontribusi waktu terhadap dwelling time terbesar pada tahap pre customs clearence sehingga upaya mengatasinya difokuskan pada tahapan ini. Menurut siaran pers Ditjen Bea dan Cukai tanggal 23 Juni 2015, misalnya, DT pada bulan Juni 2015 sebesar 5,5 hari terdiri dari pre customs clearance sebesar 3,6 hari (65%), customs clearance sebesar 0,6 hari (11%), dan post customs clearance sebesar 1,3 hari (24%).21 Masalah bongkar muat dipelabuhan yang masih terhitung lama dan menganggu ekspor impor padahal sudah diterapkan program untuk mengatasinya. Program Indonesia National Single Window
19
20
21
Hery Lazuardi, “Tol Laut: Sanggupkah Memangkas Biaya Logistik?”, (http:// translogtoday.com/2015/06/06/tol-laut-sanggupkah-memangkas-biayalogistik, diakses tanggal 10 Juni 2015). Ahmad Heri Firdaus, “Menata Sistem Logistik Nasional dalam Menghadapi Asean Economic Community 2015”, Agrimedia 18(1). IPB Bogor, 2013 “Bersatu Mengurangi Waktu Tunggu”, Media Keuangan, X(95), Kementerian Keuangan, 2015, hal.36
181
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
(INSW) sudah ada cetak birunya dan sudah berjalan dari tahun 2007. Mekanisme proses layanan perizinannya nya tetap dilakukan di masing-masing instansi. Pada tahun 2010, semua sistem perijinan sudah masuk dalam sistem portal INSW. Hanya output layanan berupa izin yang diunggah ke Portal INSW. Portal mengintegrasikan data perizinan semua K/L dan otomatis ke sistem Bea Cukai. Dengan mengembalikan fungsi pelabuhan sebagai tempat kegiatan bongkar muat dan tempat penimbunan sementara, bukan tempat penimbunan umum (warehousing) dengan tetap memperhatikan aspek keadilan. Proses masuknya barang impor ke Indonesia dengan sistem non tariff barrier dan tidak berjalannya sistem pelayanan satu atap INSW membuat proses perizinan bongkar muat peti kemas di pelabuhan berbelit-belit. Sistem ini membawa peluang bagi para pemangku kepentingan untuk melakukan praktik suap dan gratifikasi agar surat perijinan cepat selesai.22 Kementerian harus menempatkan staf di pelabuhan dengan sistem pelayanan satu atap untuk memudahkan perusahaan mengurus surat perizinan namun praktek di lapangan tidak ada perwakilan masing-masing kementerian sehingga perusahaan harus berkeliling ke setiap kantor kementerian untuk mengurus surat izin bongkar muatan. Peringkat kepastian hukum dalam kemudahan usaha yang dikeluarkan oleh WEF 2015 (peringkat 172 dari 189 negara) dalam indeks rendah terutama disebabkan oleh korupsi yang tinggi di sistem peradilan, disamping itu diskresi aparat pemberi perijinan yang terlalu besar sehingga menimbulkan praktek suap. Selain WEF, Bank Dunia pada 2015 juga menempatkan Indonesia di peringkat 114 Dari 189 negara dalam kemudahan izin melakukan usaha. Peringkat tersebut jauh di bawah negara-negara Asia yang menjadi kompetitor utama menarik investasi, seperti Thailand (26), Vietnam (78), dan Filipina (95).23
22
23
182
“Polisi: Sistem Non-Tarif Barrier Buka Peluang Korupsi Pelabuhan”, (http:// news.Lewatmana.com/polisi-sistem-non-tarif-barrier-buka-peluang-korupsipelabuhan/, diakses tanggal 6 Agustus 2015). “Kemudahan Melakukan Usaha di Indonesia”, (http://www.transformasi.org/ id/ publikasi/data-dan-infographics/infographics?view=infographic&id=16, diakses tanggal 30 Juli 2015)
Analisis Kebijakan Unggulan Tol Laut Pemerintah Jokowi
Pentingnya peran pelabuhan dalam suatu sistem transportasi mengharuskan setiap pelabuhan memiliki suatu kerangka dasar rencana pengembangan pelabuhan. Kerangka dasar tersebut tertuang dalam suatu tahapan pelaksanaan pembangunan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Hal ini diperlukan untuk menjamin kepastian usaha dan pelaksanaan pembangunan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang dan untuk menjamin kepastian usaha dan pelaksanaan pembangunan pelabuhan yang terencana, terpadu, efisien, dan berkesinambungan. Kerangka dasar rencana pengembangan dan pembangunan suatu pelabuhan tersebut diwujudkan dalam suatu rencana induk pelabuhan yang menjadi bagian dari tata ruang wilayah dimana pelabuhan tersebut berada, untuk menjamin sinkronisasi antara rencana pengembangan pelabuhan dengan rencana pengembangan wilayah. Sayangnya belum semua pelabuhan mempunyai rencana induk pelabuhan. Dari total 1.238 pelabuhan umum laut yang ada, hanya terdapat 33 pelabuhan laut yang mempunyai rencana induk pelabuhan. Tujuan penguatan konektivitas nasional adalah untuk: pertama, menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi utama guna memaksimalkan pertumbuhan berdasarkan prinsip keterpaduan, bukan keseragaman, melalui intermodal supply chains systems. Kedua, memperluas pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan aksesibilitas dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi ke wilayah hinterland (belakang). Dukungan konektivitas bertujuan untuk terwujudnya sinergi dan efektivitas. Kedepannya pelabuhan harus terkoneksi dengan kawasan industri, diharapkan akan tercipta penurunan biaya ekonomi. Transportasi laut dinilai lebih efisien dibanding jalan transportasi darat, menciptakan ekonomi biaya rendah perlu dibangun sistem logistik yang biayanya lebih murah sehingga tidak terjadi ekonomi biaya tinggi. Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan peningkatan kapasitas logistik melalui moda transportasi laut yang merupakan hal vital yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan distribusi perikanan antara daerah produsen dengan konsumen. Selain peningkatan produktivitas sektor perikanan, juga mendesak untuk dikembangkan sistem logistik dan transportasi laut untuk 183
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
memperbaiki distribusi ikan antara sentra produksi, sentra pasar, serta sentra industri. Tol laut memiliki konsistensi dengan konsep koridor ekonomi, walaupun lebih menitikberatkan pada upaya meningkatkan persatuan dengan pengurangan friksi interaksi maritim antarpulau. Salah satu cara untuk mewujudkan tol laut dengan mengaktifkan kembali kereta api di pelabuhan Indonesia. Hal ini akan mengurangi beban jalan raya dikarenakan satu lokomotif bisa menarik 18 gerbong dan tentu saja berdampak kepada pengurangan biaya logistik karena kereta api langsung masuk ke area pelabuhan bongkar muat barang dari kereta ke kapal dan sebaliknya. Dalam aktivitas logistik nasional, angkutan jalan berkontribusi paling besar yaitu 91,25%, kereta api (0,63%), dan penyeberangan laut 0,99%. Adapun angkutan laut hanya menyumbang 7,07%, udara (0,05%) dan sungai (0,01%). Data di atas menunjukkan bahwa peran jalur darat masih sangat dominan sehingga biaya distribusi semakin mahal yaitu 30 persen dari harga jual barang. Di sejumlah negara maju, beban distribusi logistik antara jalur darat dan laut sudah seimbang bahkan dengan porsi 48 persen sampai dengan 51 persen untuk laut seperti Norwegia dan Jepang. Sebagai negara kepulauan, peranan pelabuhan sangat vital dalam perekonomian Indonesia. Kehadiran pelabuhan yang memadai berperan besar dalam menunjang mobilitas barang dan manusia. Pelabuhan menjadi sarana yang paling penting untuk menghubungkan antarpulau dan antarnegara. Kondisi yang ada saat ini muatan terkonsentrasi di kawasan barat Indonesia, maka untuk menyeimbangkan muatan di kawasan timur Indonesia diperlukan upaya optimalisasi kerjasama antar sektor seperti perindustrian, pertanian, dan pertambangan. Upaya yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan infrastruktur pelabuhan di kawasan timur Indonesia antara lain pengadaan peralatan bongkar muat sehingga dapat meningkatkan kinerja pelayanan pelabuhan lebih efisien. Tingginya biaya logistik disebabkan oleh tingginya ongkos transportasi dan inefisiensi yang terjadi di pelabuhan. Fakta bahwa pertumbuhan ekonomi pada dasarnya tidak seimbang, memerlukan konektivitas daerah-daerah terpencil dengan pusat pertumbuhan 184
Analisis Kebijakan Unggulan Tol Laut Pemerintah Jokowi
ekonomi utama yang bertujuan meningkatkan akses pelayanan sosial, standar hidup, dan kesempatan ekonomi.24 Penyebab inefisiensi pelabuhan di antaranya pelayanan instansi yang tidak standar dan tidak terintegrasi dengan baik, fasilitas dermaga yang tidak mencukupi, waktu tunggu kapal yang masih relatif lama, produktifitas bongkar muat yang rendah, peralatan yang kurang lengkap, dan teknologi dan birokrasi dalam pelaksanaan logistik tinggi.25 V. PERAN SHORT SEA SHIPPING (SSS) DALAM PENGEMBANGAN TOL LAUT
Beberapa ruas jalan utama merupakan sarana penting dalam transportasi darat sudah tidak dapat diperlebar lagi kapasitasnya baik karena keterbatasan dana maupun kondisi alam, sementara arus lalu lintas baik penumpang maupun barang terus meningkat. Selain itu transportasi darat seringkali dihadapkan pada masalah menurunnya kualitas dan keberlanjutan pelayanan infrastruktur transportasi darat (kemacetan lalu lintas, tingginya tingkat kecelakaan, polusi, pemborosan energi, dan kurang memadainya moda transportasi). Belum lagi ditambah dengan kerusakan infrastruktur yang tidak hanya diakibatkan kelebihan muatan namun juga karena buruknya sistem drainase air, konstruksi struktur jalan yang kurang baik, serta kondisi dasar tanah yang labil. Akibat dari semua itu tentunya adalah biaya tinggi pada transportasi, ditambah lagi dengan biaya eksternalitas dari transportasi darat tersebut. Solusi permasalahan transportasi darat dapat diatasi Short Sea Shipping (SSS), didefinisikan sebagai angkutan komersial dengan kapal yang tidak melintasi lautan. Pola angkutan SSS memanfaatkan aliran sungai dan perairan pesisir pantai untuk memindahkan barang komersial dari pelabuhan utama ke tujuan dimana pelabuhan-pelabuhan yang dilayani oleh SSS adalah pelabuhan
24
25
“Mempromosikan Pembangunan Daerah di Indonesia melalui Konektivitas Yang Lebih Baik”,(http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/NEWS/0 ,,contentMDK:22856501,~menuPK:51340358~pagePK:64257043~piPK:437 376~theSitePK:4607,00.html, diakses tanggal 1 September 2015) “Menyoal Tim Penanganan Pelabuhan”, (http://www.theglobal-review.com/ content_detail.php?lang=id&id=17103&type=6#.VeVYwfmqqko, diakses tanggal 1 September 2015).
185
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
domestik. Konsep SSS telah diterapkan di Eropa khususnya Eropa Utara, Amerika Serikat serta beberapa negara Asia. Adapun konsep pelayanan SSS adalah: (1) transportasi multi moda jalan, kereta api, dan laut dengan pendekatan memaksimalkan angkutan laut, peti kemas menjadi bentuk utama; (2) pemanfaatan peti kemas lebih diarahkan untuk mempercepat bongkar muat barang untuk mengurangi peran gudang; (3) jaringan jalan atau kereta api diarahkan berpola radial ke pelabuhan; (4) optimalisasi semua jalan air yang dimungkinkan berupa sungai, kanal, ataupun pelayaran pantai.26 Bisnis pelayaran jarak pendek memerlukan dukungan dari Indonesia National Shipowners Association (INSA) sehingga programnya tidak tumpang tindih dengan bisnis yang sudah digarap oleh anggota INSA. Fokus pada kegiatan bisnis INSA adalah pelayaran jarak jauh sedangkan SSS lebih mengutamakan pada pengalihan kegiatan lalu lintas yang padat. VI. PEMBELAJARAN DARI KEGAGALAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN PELABUHAN KASUS: CIMALAYA SEBAGAI ALTERNATIF PELABUHAN TANJUNG PRIOK Pembangunan sejumlah pelabuhan untuk mengurangi kepadatan arus barang di Pelabuhan Tanjung Priok, salah satunya adalah pembangunan pelabuhan Cilamaya yang terletak di Kabupaten Karawang Jawa Barat. Rencana pembangunan pelabuhan Cimalaya akhirnya dibatalkan oleh Wakil Presiden Yusuf Kalla, padahal, pada tahun 2020, Tanjung Priok mendekati titik jenuh. Alasan pembatalan rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya karena kurang tepatnya perencanaan karena di lokasi tersebut sejak tahun 1971 terbangun kekayaan negara milik PT Pertamina sebagai penyedia listrik dan gas yang didistribusikan ke beberapa lokasi. Pembangunan pelabuhan di Cilamaya akan merugikan BUMN tersebut sebesar USD12,3 miliar. Pembangunan pelabuhan tersebut berpotensi mengganggu kawasan pertanian di Karawang sebagai lumbung pangan akibat
26
186
Ariston Yoga Pradhana dan Tri Achmadi, “Desain Konseptual Alat Transportasi Untuk Penerapan Short Sea Shipping di Pulau Jawa”, (http://digilib.its.ac.id/ public/ITS-Undergraduate-16397-Paper-pdf.pdf, diakses tanggal 15 Mei 2015).
Analisis Kebijakan Unggulan Tol Laut Pemerintah Jokowi
terjadi alih fungsi lahan besar-besaran. Pembangunan Pelabuhan Cilamaya juga harus mengubah Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) Nasional karena tidak termasuk kawasan strategis nasional. Sebagai konsekuensi dari pembatalan pembangunan Cilamaya, maka pengembangan dan pengoperasian Pelabuhan Cirebon berpotensi terhadap peningkatan kelancaran akses Pelabuhan Tanjung Priok ke/dari kawasan industri dan pelayanan di Pelabuhan Tanjung Priok, sehingga tidak perlu lagi dibangun pelabuhan di Jawa Barat untuk melayani industri di provinsi itu. Pembangunan pelabuhan swasta di Subang atau Indramayu yang lebih efisien dan murah untuk berkompetisi dengan pelabuhan yang dikelola BUMN agar dapat memperbaiki kinerjanya. Dalam pemilihan lokasi pelabuhan berikutnya harus mempertimbangkan RTRW agar tidak terjadi alih fungsi lahan ataupun mengganggu sektor strategis lainnya. Pemerintah harus segera mengambil keputusan terhadap hal-hal strategis, termasuk dalam penentuan pembangunan infrastruktur logistik. Pembangunan infrastruktur akan mengurangi beban logistik industri dan tentu saja berdampak terhadap daya saing produk dan komoditas Indonesia.27 Kasus Cilamaya menjadi pelajaran berharga akibat kurangnya koordinasi. Untuk menghindari munculnya kasus yang serupa dengan Pelabuhan Cilamaya, perencanaan pembangunan pelabuhan harus dilakukan melalui koordinasi antara berbagai kementerian dan lembaga terkait. Hal ini juga harus dilakukan terhadap persoalan yang terkait dengan sektor-sektor strategis lainnya. Pembangunan pelabuhan bisa diarahkan pada 14 kawasanindustri khususnya di wilayah Indonesia Timur sekaligus mendukung program tol laut. Hal ini untuk menghindari kejadian kasus Pelabuhan Cilamaya berulang kembali karena tidak tersedianya pelabuhan yang memadai untuk melayani industri. Terkait dengan otoritas pelabuhan, perlu dibuatkan SK Menko bidang Kemaritiman karena UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran belum pernah diterapkan secara penuh walaupun sudah masuk masa transisi tiga tahun.28 Tugas otoritas pelabuhan Ina Primiana, “Pembelajaran dari Kasus Cilamaya”, Bisnis Indonesia, 6 April 2015. “Kuatkan Otoritas Pelabuhan”, (http://pkspl.ipb.ac.id/berita-kuatkanotoritas-pelabuhan.html, diakses tanggal 4 Mei 2015)
27
28
187
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
yang mengkoordinasi 18 kementerian dan lembaga akan lebih kuat dengan adanya Keppres. Otoritas Pelabuhan akan memiliki kewenangan khusus untuk bertindak tegas jika kementerian dan lembaga yang lamban melakukan pelayanan satu atap. Keputusan penguatan otoritas pelabuhan tertuang dalam rekomendasi tim sistem logistik nasional sejak tahun 2012. Sayangnya proyek tol laut yang diusulkan oleh Pemerintah Jokowi menghadapi permasalahan berupa banyaknya proyek transportasi laut yang ada di Kementerian Perhubungan yang tidak berjalan. Sebanyak 53 persen proyek hubungan laut berstatus blokir dan admisnistrasi. Pemblokiran disebabkan oleh tidak adanya ToR dan Detail Engineering Design (DED). Nilai proyek yang belum berjalan tersebut mencapai Rp9.061 triliun. Hingga saat ini proyek hubungan laut baru 27 persen yang sudah masuk tahap kontrak atau senilai Rp4.483 triliun, sedangkan sebesar 20 persen atau Rp 3,4 triliun masuk dalam tahap lelang. Proyek hubungan laut yang diajukan pada APBN 2015 ternyata tanpa studi terlebih dahulu.29 Upaya menuntaskan persoalan logistik dan mahalnya biaya angkut adalah dengan memaksimalkan efisiensi pelabuhan sehingga harga barang dapat diturunkan, melalui peningkatan produktivitas yang didukung oleh infrastruktur pelabuhan dan sumber daya yang berkualitas. Selain pembangunan fisik, pemberdayaan Teknologi Informasi (TI) yang dikenal sebagai soft infrastructure perlu dibangun. Pengaplikasian TI mampu mengefisienkan kinerja pelabuhan. Ditengah keterbatasan membangun pelabuhan yang lebih besar, ada banyak ruang tercipta dengan keberadaan TI. VII. PENUTUP
Pengembangan tol laut Indonesia akan memberikan dampak terhadap biaya angkut yang lebih murah dan efisiensi pelabuhan yang pada gilirannya menurunkan biaya logistik. Tidak mudah membangun Indonesia menjadi negara maritim yang memiliki konfigurasi geografis yang terdiri atas ribuan pulau. Pemerintah harus segera membangun konektivitas melalui tol laut yang
29
188
“Usung Tol Laut, 50% Lebih Proyek Transportasi Laut Tertunda”, (http:// www.gatra.com/ekonomi-1/industri/163258-usung-tol-laut,-50-lebihproyek-tran sportasi-laut-tertunda.html, diakses tanggal 14 September 2015).
Analisis Kebijakan Unggulan Tol Laut Pemerintah Jokowi
dapat meningkatkan efisiensi angkutan laut di seluruh Indonesia. Pengertian inti dari tol laut adalah terselenggaranya pola angkutan secara merata pada perairan Indonesia yang mencapai 67 persen dari 5.000 juta kilometer persegi. Tantangan dari pembangunan tol laut adalah pembangunan pelabuhan dengan pengangkutan komoditas bisa lebih efisien dan cepat. Selain menghadapi minimnya fasilitas bongkar muat barang yang menyebabkan lamanya dwelling time, pelabuhan juga menghadapi permasalahan kedalaman pelabuhan yang berpengaruh terhadap penggunaan kapal besar dan ketidakseimbangan arus muatan antara wilayah barat dan timur Indonesia. Upaya menuntaskan persoalan logistik dan mahalnya biaya angkut adalah dengan memaksimalkan efisiensi pelabuhan sehingga harga barang dapat diturunkan, melalui peningkatan produktivitas yang didukung oleh infrastruktur pelabuhan dan sumber daya yang berkualitas. Selain pembangunan fisik, pemberdayaan Teknologi Informasi (TI) yang dikenal sebagai soft infrastructure perlu dibangun. Pengaplikasian TI mampu mengefisienkan kinerja pelabuhan. Ditengah keterbatasan membangun pelabuhan yang lebih besar, ada banyak ruang tercipta dengan keberadaan TI. Perancangan pembangunan pelabuhan perlu kerjasama dengan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Provinsi untuk membangun jalan agar pelabuhan yang sudah dibangun berfungsi. Perbaikan dan ketersediaan infrastruktur jalan dari dan menuju pelabuhan agar pengangkutan komoditas bisa lebih efisien dan cepat. fasilitas bongkar muat barang, dan kedalaman pelabuhan. Program tol laut masih terkendala proses perizinan dan perencanaan yang belum matang. Program tol laut seharusnya dilakukan berbarengan dengan peningkatan produktivitas dan pelayanan pelabuhan dengan menerapkan integrated system yang dipimpin oleh single port authority. Konsep tol laut akan lebih optimal apabila diintegrasikan dengan jaringan rel kereta api di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Keberadaan kawasan industri yang terintegrasi antara industri dengan infrastruktur pendukung, seperti pelabuhan laut dalam, power plant, jalan tol, dan kereta api juga perlu dilakukan dengan tujuan mempertahankan keberlangsungan dan keberadaan pelabuhan tersebut. Untuk kawasan timur Indonesia, pembangunan kawasan industri memerlukan pengembangan potensi 189
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
ekonomi daerah yang membutuhkan jangka waktu yang lama. Dengan demikian, keberhasilan tol laut juga akan menjadi tantangan yang tidak mudah karena harus bersinergi dengan kebijakan lainnya. Banyak berkembangnya kasus-kasus terkait industri kepelabuhanan di KPPU seperti penyalahgunaan posisi dominan di pelabuhan dalam bentuk tarif dan diskriminasi, penyalahgunaan integrasi vertikal dimana ada pelaku usaha yang memiliki penguasaan dari setiap proses bisnis di pelabuhan yang berpotensi menyalahgunakan posisi integrasi vertikal dengan melakukan praktek diskriminatif terhadap pelaku usaha lain dan kenaikan biaya logistik yang cukup. Disisi lain, kekhawatiran terhadap dominasi dari peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam pengelolaan pelabuhan strategis dapat membatasi kompetisi serta mengurangi efisiensi. Upaya untuk mengatasi dominasi tersebut melalui koordinasi yang kuat antara berbagai lembaga kepelabuhan lainnya.
190
DAFTAR PUSTAKA
Buku Buku Saku Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019. (Bappenas: Jakarta, 2015). Artikel dalam Jurnal, working paper, majalah, dan surat kabar
“Bersatu Mengurangi Waktu Tunggu”. Media Keuangan. X(95). Kementerian Keuangan. 2015.
“CIMB Principal Asset Management, Weekly Indo Perspective, Milestones For Alluring Archipelago”. Weekly Paper. 2014. “Connecting to Compete 2014: Trade Logistics in the Global Economy, The Logistics Performance Index and Its Indicators”. World Bank Paper. Washington. 2014.
Firdaus, Ahmad Heri. “Menata Sistem Logistik Nasional dalam Menghadapi Asean Economic Community 2015”. Agrimedia. 18(1). IPB. 2013 Firmanzah. “Pelayaran Indonesia belum Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri”. Disampaikan dalam Seminar Peran Transportasi Laut di Negara Kepulauan. 7 Maret 2012. Jakarta “Menyoal Fiskal Negeri Bahari”. Media Keuangan. X(91). Kementerian Keuangan. 2015.
Wahyudin, Yudi. “Menyoal Akselerasi Pembangunan Infrastruktur Tol Laut Indonesia”. Majalah Inspirasi. 6 (119). 2015.
191
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Artikel dalam Seminar/Pertemuan Firmanzah. “Pelayaran Indonesia belum Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri”. Disampaikan dalam Seminar Peran Transportasi Laut di Negara Kepulauan. 7 Maret 2012. Noerlan, Ferialdy. “NewPriok Development Project”. Paper Presented at Transporting Light to The Nation. April 2013. Prihartono, Bambang. “Pengembangan Tol Laut dalam RPJMN 2015-2019 dan Implementasi 2015”. Disampaikan dalam FGD Program Tol Laut dalam RPJMN 2015-2019. 11 Maret 2015. 2015. Artikel dalam internet
Aviliani, “Persoalan Logistik di Indonesia”,(http:// supplychainindonesia.com/new/wpcontent/files/Persoalan_ Logistik_di_Indonesia-Aviliani_Ekonom_Universitas_Indonesia. pdf, diakses tanggal 17 Maret 2015)
Lazuardi, Hery. “Tol Laut : Sanggupkah Memangkas Biaya Logistik?”. (http:// translogtoday.com/2015/06/06/tol-laut-sanggupkahmemangkas-biaya-logistik, diakses tanggal 10 Juni 2015). Pradana, Ariston Yoga dan Achmadi, Tri. “Desain Konseptual Alat Transportasi Untuk Penerapan Short Sea Shipping di Pulau Jawa”. (http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate16397-Paper-pdf.pdf, diakses tanggal 15 Mei 2015).
Triatmodjo, Bambang. “Tol Laut, Terealisasikah?” (http://btriatmodjo. staff.ugm.ac.id/2015/05/12/tol-laut-terealisasikah-3/, diakses tanggal 13 Mei 2015).
Suroso, G.T. “Poros Maritim dan Perkembangan Perekonomian Indonesia”, (http://www.bppk.depkeu.go.id/publikasi/artikel/ 150-artikel-keuanganumum/20555-poros-maritim-danperkembangan-perekonomian-indonesia, diakses tanggal 13 Februari 2015).
192
Analisis Kebijakan Unggulan Tol Laut Pemerintah Jokowi
Tulisan dalam Koran Ina Primiana. “Pembelajaran dari Kasus Cilamaya”. Bisnis Indonesia. 6 April 2015. Tulisan dalam internet
“Bakamla: Proyeksi Nilai Kelautan Indonesia Rp2.046 Triliun”. (http://sumbar .antara news .com/berita/154405/bakamlaproyeksi-nilai-kelautan-indonesia-rp2046-triliun.html, diakses tanggal 10 Agustus 2015). “Hadapi MEA, Integrasi Teknologi Perlu dalam Pengembangan Bisnis”. (http://indonesianindustry.com/hadapi-mea-integrasiteknologi-perlu-dalam-pengembangan-bisnis/), diakses tanggal 2 September 2015). “Kemudahan Melakukan Usaha di Indonesia”, (http://www. transformasi.org/id/publikasi/data-dan-infographics/infograp hics?view=infographic&id=16, diakses tanggal 30 Juli 2015) “Kuatkan Otoritas Pelabuhan”, (http://pkspl.ipb.ac.id/beritakuatkan-otoritas-pelabuhan.html, diakses tanggal 4 Mei 2015)
“Mahasiswa Teknik Kelautan ITB Gelar Diskusi Rencana Tol Laut Indonesia”, (http://www.itb.ac.id/news/itb_berita_4682.pdf, diakses tanggal 1 September 2015). “Melongok Tol Laut Jokowi, Modal RI Jadi Poros Maritim Dunia”. (http://www.bumn.go.id/pelindo1/berita/8577/Melongok.Tol. Laut.Jokowi,.Modal.RI.Jadi.Poros.Maritim.Dunia, diakses tanggal 28 Juli 2015). “Mempromosikan Pembangunan Daerah di Indonesia melalui Konektivitas Yang Lebih Baik”,(http://web.worldbank.org/ WBSITE/EXTERNAL/NEWS/0,,contentMDK:22856501,~me nuPK:51340358~pagePK:64257043~piPK:437376~theSite PK:4607,00.html, diakses tanggal 1 September 2015) “Menyoal Tim Penanganan Pelabuhan”, (http://www.theglobalreview.com / content_ detail. php ?lang=id&id=17103&type=6#. VeVYwfmqqko, diakses tanggal 1 September 2015).
193
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
“Polisi: Sistem Non-Tarif Barrier Buka Peluang Korupsi Pelabuhan”. (http://news. Lewatmana.com/polisi-sistem-non-tarif-barrierbuka-peluang-korupsi-pelabuhan/, diakses tanggal 6 Agustus 2015). “Prosentase Angkutan Logistik via Jalur Laut Masih Rendah”. (http:// bisnis.tempo.co/read/news/2015/07/30/090687694/ prosentase-angkutan-logistik-via-jalur-laut-masih-rendah, diakses tanggal 15 September 2015).
“Transportasi Laut Miliki Arti Penting Dalam Pembangunan Nasional”. (http://www.antaranews.com/berita/300200/ transportasi-laut-miliki-peran-penting-dalam-pembangunannasional, diakses tanggal 6 Maret 2015) “Usung Tol Laut, 50% Lebih Proyek Transportasi Laut Tertunda”, (http://www.gatra.com/ekonomi-1/industri/163258-usungtol-laut,-50-lebih-proyek-transportasi-laut-tertunda.html, diakses tanggal 14 September 2015).
194
BAGIAN KESEMBILAN
MEMBENTUK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) YANG TAAT TERHADAP WAKTU KERJA MELALUI TUNJANGAN KINERJA (STUDI KASUS DI SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI) oleh: Sulis Winurini
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
I.
PENDAHULUAN
Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah unsur sumber daya manusia dalam birokrasi pemerintahan yang memiliki peran kunci dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan nasional. UndangUndang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyebutkan bahwa PNS berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini berarti kelancaran roda pemerintahan dan pembangunan nasional ditentukan oleh kehandalan, profesionalitas dan moralitas PNS. Salah satu indikator kehandalan, profesionalitas dan moralitas PNS adalah disiplin. Disiplin adalah sikap mental yang tercermin dalam perbuatan, tingkah laku perorangan, kelompok atau masyarakat berupa kepatuhan atau ketaatan terhadap peraturanperaturan yang ditetapkan pemerintah atau etik, norma serta kaidah yang berlaku dalam masyarakat.1 Dalam konteks birokrasi pemerintahan, disiplin terdefinisi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Disebutkan di dalamnya, disiplin adalah kesanggupan PNS untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila dilanggar akan dijatuhi hukuman disiplin. Dengan demikian, disiplin PNS berarti tentang bagaimana PNS memelihara tata tertib, melaksanakan tugas sesuai peraturan serta meningkatkan produktivitas untuk mencapai sasaran kinerjanya. Dari sekian banyak kewajiban dan larangan yang tercantum dalam disiplin PNS, ketaatan terhadap ketentuan waktu kerja termasuk yang menjadi sorotan karena seringkali menjadi permasalahan dan berkontribusi terhadap kekecewaan masyarakat. Mangkir kerja yang dilakukan PNS seakan menjadi berita rutin yang tersiar dalam berbagai media dari masa ke masa. Berita-berita tentang PNS yang terjaring Satpol PP karena menggunakan waktu
1
196
Wirjo Surachmad, “Wawasan Kerja Aparatur Negara”, hal 24, dikutip tidak langsung oleh Sabar Munanto, “Pengertian Disiplin Kerja Makalah Menurut Para Ahli”, (https://www.academia.edu/5535704/Pengertian_Disiplin_Kerja_ Makalah_Menurut_Para_Ahli, diakses pada tanggal 2 April 2014).
Membentuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang Taat terhadap Waktu
kerjanya untuk belanja dan makan di mall, tentang PNS yang sengaja meliburkan diri di hari kerja terutama pasca libur Lebaran, tentang PNS yang datang terlambat serta pulang sebelum jam kerja berakhir, tentang PNS yang datang ke kantor hanya untuk bersalam-salaman sebentar kemudian pulang lagi, sudah menjadi hal umum. Salah satu lembaga negara yang ikut mempermasalahkan perilaku mangkir kerja pegawai adalah Sekretariat Jenderal DPR RI (Setjen DPR RI). Berdasarkan laporan hasil monitoring dan evaluasi disiplin PNS Setjen DPR RI Triwulan IV Tahun 2011, rata-rata pegawai masuk kerja antara pukul 08.00 WIB s.d 09.00 WIB. Padahal, sesuai ketentuan yang berlaku, jam kerja dimulai pada pukul 07.30 WIB dengan toleransi waktu 30 menit. Mengenai kepulangan kerja, ratarata pegawai pulang antara pukul 15.15 WIB s.d 15.30 WIB. Padahal, berdasarkan ketentuan yang berlaku, jam pulang kerja adalah pukul 16.00 WIB. Hal ini menunjukkan bahwa pegawai belum memenuhi ketentuan jam kerja efektif. Persoalan indisipliner berupa mangkir kerja merupakan persoalan yang berarti. Pertama, persoalan ini dapat mempengaruhi kualitas kerja birokrasi pemerintahan karena dapat berakibat pada rendahnya produktivitas pegawai. Kedua, persoalan ini dapat memicu turunnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi pemerintahan. Pada kenyataannya, persoalan ini dianggap telah membudaya dalam birokrasi pemerintahan dan karenanya memancing sinisme publik. PNS sering dianggap malas, lambat, kaku dan dicibir “makan gaji buta.” Tanpa disadari, pandangan seperti ini telah lekat dalam citra birokrasi pemerintahan sekaligus memperlihatkan bahwa pegawai tidak memiliki kredibilitas yang cukup untuk menjawab harapan publik terhadap perubahan ke arah yang lebih baik. Pasca krisis multidimensi di tahun 1998, yaitu semenjak kritik terhadap kinerja birokrasi terjadi secara meluas, perilaku indisipliner menjadi salah satu area yang ingin dibenahi pemerintah. Kuatnya desakan publik yang berujung pada tuntutan pembenahan birokrasi pemerintahan dijawab melalui kebijakan reformasi birokrasi. Dalam hal ini, reformasi birokrasi ditekankan pada prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan profesional supaya birokrasi bisa mengabdi pada kepentingan rakyat, memberikan pelayanan prima kepada publik, transparan, akuntabel, dan bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). 197
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Dalam perjalanan awal reformasi birokrasi, beberapa upaya pembenahan disiplin masih mengacu pada kebijakan yang diterapkan pada masa Orde Baru. Upaya-upaya tersebut sayangnya tidak membawa perubahan. Salah satu permasalahan yang sering diangkat adalah tidak berjalannya sistem reward dan punishment. Tindakan yang bersifat populis seperti sidak (inspeksi dadakan) belum menjamin efektivitas penertiban PNS yang sering mangkir/ pulang kantor sebelum waktunya. Pada praktiknya, setelah sidak selesai, ternyata banyak PNS yang kembali mangkir dari tugasnya.2 Sanksi yang diberikan atasan langsung kepada PNS yang mangkir kerja, mulai dari memberikan surat teguran hingga melakukan penurunan gaji berkala serta melakukan penundaan kenaikan pangkat, juga sama, tidak menunjukkan dampak yang kuat. Dalam banyak kasus, sanksi-sanksi tersebut tidak diterapkan secara konsisten akibat ketidaktegasan atasan langsung membina bawahannya. Sebagian besar PNS tetap melakukan mangkir kerja karena rajin atau bermalas-malasan tidak menimbulkan konsekuensi apapun. Selain tidak berjalannya sistem reward dan punishment, rendahnya disiplin PNS seringkali dikaitkan dengan rendahnya gaji yang diterima setiap bulannya. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa PNS di Indonesia termasuk yang paling murah dibayar dan pendapatan yang mereka terima berbeda jauh dengan pendapatan pegawai swasta. Hampir semua PNS menyatakan gaji dan tunjangan yang mereka terima belum mencukupi kebutuhan hidup mereka dan keluarganya.3 Beberapa permasalahan tersebut di atas diduga membawa PNS kepada permasalahan indisipliner sehingga membuat profil PNS jauh dari gambaran pelayan publik yang profesional. Sultani dalam tulisannya yang berjudul “Potret Buram Profesionalitas Birokrasi” menyebutkan bahwa sebagian besar responden yang mengikuti Jejak Pendapat Kompas tidak puas terhadap efektivitas kerja birokrasi
2
3
198
Kusen Suseno, “Menegakkan Disiplin PNS,” (file:///C:/Users/user/AppData/ Local/Temp/digital_blob_F18899_Menegakkan%20Disiplin%20PNS-SK.htm, diakses pada tanggal 2 April 2014). Janry Haposan U.P Simanungkalit, “Struktur Gaji Pegawai Negeri Sipil: Upaya Pencapaian Keadilan Internal dan Eksternal PNS,” Civil Service Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS Vol.1 No.1 Juni 2007, hal. 55-75.
Membentuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang Taat terhadap Waktu
dan keterlambatan birokrasi melayani urusan publik. Mereka masih kecewa dengan kedisiplinan, kecermatan, dan kesigapan kerja PNS.4 Dengan kondisi yang demikian, tidak heran apabila reformasi birokrasi sempat mengalami ketertinggalan dibanding reformasi di bidang lainnya. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa gaji dan/atau pendapatan yang diterima pegawai merupakan salah satu faktor ekstrinsik kepuasan kerja yang berpengaruh pada tingkat kehadiran kerja. Salah satu motivasi dasar pegawai untuk bekerja adalah mendapatkan gaji dan/atau pendapatan. Berdasarkan hasil penelitian Linz dan Semykina, pendapatan yang diterima pegawai berkorelasi positif dengan kepuasan kerjanya.5 Sementara hasil penelitian Kehinde mengungkapkan bahwa gaji dan/atau pendapatan merupakan bagian dari faktor ekstrinsik kepuasan kerja dan memiliki dampak langsung terhadap tingkat kehadiran kerja. Rekomendasi atas hasil penelitian ini adalah memberikan perhatian penuh pada faktor ekstrinsik kepuasan kerja apabila ingin meminimalisir tingkat absensi pegawai.6 Sepemikiran dengan hasil penelitian tersebut di atas, pemerintah di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan kebijakan baru di dalam reformasi birokrasi, yaitu penerapan sistem reward dan punishment yang lebih baik dalam bentuk remunerasi. Istilah remunerasi kemudian bergaung dan menjadi ciri khas pelaksanaan reformasi birokrasi pada gelombang kedua. Meskipun secara harfiah mencakup semua imbalan yang diterima, namun remunerasi di dalam reformasi birokrasi identik dengan tunjangan kinerja. Tunjangan kinerja merupakan tunjangan yang dibayar berdasarkan beban kerja dan tanggung jawab pegawai serta
4
5
6
Sultani, “Potret Buram Profesionalitas Birokrasi,” (http://www.unisosdem. org /article_detail.php?aid=7732&coid=3&caid=31&gid=2, diakses pada tanggal 2 April 2014). Leong Teen Wei, Rashad Yazdanifard, “The Impact of Positive Reinforcement on Employees’ Performance in Organizations,” American Journal of Industrial and Business Management, 4, 9-12, 2014, (dx.doi.org/10.4236/ajibm.2014.41002, diakses pada tanggal 2 April 2014). Obasan Kehinde, “Impact of Job Satisfaction on Absenteeism: A Correlative Study”, European Journal of Humanities and Social Science, Volume 1, No. 1. 2011, (http://www.journalsbank.com/ejhss.htm, diakses pada tanggal 2 April 2014).
199
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
berfungsi sebagai reward bagi pegawai yang berkinerja baik, yang mana salah satunya ditunjukkan dengan hadir tepat waktu sesuai peraturan yang berlaku. Dengan keberadaan tunjangan kinerja, maka tidak ada lagi istilah pegawai yang rajin dan yang malasmalasan menerima pendapatan sama. Setjen DPR RI termasuk yang telah melakukan pembenahan remunerasi sebagai konsekuensi pelaksanaan reformasi birokrasi di tahun 2014. Acuannya adalah Perpres No. 41 Tahun 2014 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Sekretariat Jenderal DPR RI. Sesuai dengan prinsipnya, pemberian tunjangan kinerja di Setjen DPR RI ditujukan untuk meningkatkan kinerja pegawai sekaligus kinerja organisasi berkaitan dengan upaya peningkatan dukungan Setjen DPR RI kepada anggota Dewan. Sama halnya dengan Kementerian/Lembaga (K/L) lain yang sedang bereformasi, ketaatan terhadap waktu kerja menjadi salah satu fokus pembenahan Setjen DPR RI melalui pemberian tunjangan kinerja. Reformasi birokrasi telah lama dipandang sebagai faktor pengungkit penting dalam pembangunan suatu bangsa. Negara-negara maju sekalipun bahkan memandang reformasi birokrasi sebagai proses yang tidak berhenti.7 Di Indonesia, kendati kepemimpinan di dalam pemerintahan telah berganti, komitmen melaksanakan reformasi birokrasi terus berlanjut. Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pembangunan tata kelola pemerintahan masuk ke dalam agenda prioritas pemerintah bernama Nawa Cita. Nawa Cita menyebutkan bahwa pemerintah akan secara konsisten menjalankan agenda reformasi birokrasi secara berkelanjutan. Perbaikan kualitas pelayanan publik dan peningkatan kapasitas serta akuntabilitas kinerja birokrasi menjadi salah satu agenda reformasi birokrasi yang dimaksud.8 Perhatian yang serius terhadap kinerja birokrasi bisa dipahami karena kehandalan, profesionalitas dan moralitas yang tercirikan melalui disiplin kerja
7
8
200
“SDM Aparatur Berkualitas Sukseskan Nawa Cita”, 7 Juli 2015, (http:// ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/07/07/410978/sdm-aparaturberkualitas-sukseskan-nawa-cita, diakses pada tanggal 7 Juli 2015). “Visi, Misi dan Program Aksi Jalan Perubahan Untuk Indonesia Yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian”, (http://jkw4p.com/download/nawa_cita.pdf, diakses pada tanggal 2 April 2015).
Membentuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang Taat terhadap Waktu
pegawai merupakan cara untuk menjawab ancaman terhadap kewibawaan negawa sekaligus menjadi salah satu pilar untuk menyukseskan agenda pemerintahan secara keseluruhan. Untuk menyukseskan agenda pemerintahan seperti tersebut di atas, langkah awal yang perlu dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah dengan mengevaluasi pembenahan disiplin yang telah berjalan melalui pemberian tunjangan kinerja sebagai bahan masukan penetapan kebijakan selanjutnya. Apabila pemberian tunjangan kinerja berhasil mencapai tujuannya, maka kinerja pegawai dan birokrasi akan meningkat. Dengan demikian, reformasi birokrasi juga akan berpeluang lebih besar untuk berhasil sehingga membawa Indonesia menjadi negara maju. Sebaliknya, apabila pemberian tunjangan kinerja gagal mencapai tujuannya, maka ia hanya akan membawa kerugian besar. Reformasi birokrasi birokrasi akan mengalami ketertinggalan dalam menghadapi perkembangan jaman, terlebih hanya akan menyisakan antipati, trauma dan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.9 Pembenahan disiplin yang diarahkan kepada pembentukan perilaku dari yang indisipliner menjadi taat terhadap waktu kerja dapat dijelaskan melalui teori belajar. Sebagian teoretisi belajar memandang belajar sebagai sebuah proses yang memperantarai perilaku. Menurut mereka, belajar adalah sesuatu yang terjadi sebagai hasil atau akibat dari pengalaman dan mendahului perubahan perilaku. Sementara sebagian teoritisi belajar lainnya yang merupakan penganut Skinnerian memandang perubahan perilaku sebagai proses belajar itu sendiri. Belajar menjadi istilah umum yang digunakan untuk mendeskripsikan perubahan potensi perilaku yang berasal dari pengalaman, namun istilah pengkondisian lebih sering digunakan untuk mendeskripsikan prosedur aktual yang dapat memodifikasi perilaku.10 Teori pengkondisian yang terkenal adalah pengkondisian operan yang dirumuskan oleh BF. Skinner. Konsep kunci dari pengkondisian operan adalah penguatan. Penguatan akan memperkuat respon dan meningkatkan kemungkinan terjadinya respon tersebut di masa
9
10
Perpres Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi B.R. Hergenhahn dan Matthew H. Olson, Theories of Learning (Teori Belajar) Edisi Ketujuh, Alih Bahasa Tri Wibowo B.S (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hal 2.
201
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
datang ketika mendapatkan stimulus. Dengan kata lain, akibatakibat perilaku menentukan kemungkinan orang merespons tandatanda lingkungan. Akibat-akibat yang memberikan penguatan akan meningkatkan perilaku, sementara akibat-akibat yang memberikan hukuman akan menurunkan perilaku.11 Melalui pengkondisian operan, individu merespons dengan cara tertentu untuk memproduksi stimulus yang menguatkan. Dengan demikian, untuk memodifikasi perilaku, seseorang cukup mencari sesuatu yang menguatkan bagi suatu organisme yang perilakunya hendak dimodifikasi. Hal ini didasari pemikiran bahwa jika seseorang mengontrol penguatan, maka ia juga akan mengontrol perilaku karena perilaku secara konstan dipengaruhi oleh penguatan, baik itu disadari atau tidak. Setelah menemukan penguat, seseorang hanya perlu menunggu sampai perilaku yang diinginkan terjadi, dan kemudian segera memperkuatnya.12 Apabila dikaitkan dengan teori pengkondisian operan, bagaimana pemerintah menerapkan mekanisme pemberian tunjangan kerja merupakan wujud dari pengkondisian operan. Respon yang diinginkan untuk muncul adalah perilaku ketaatan terhadap waktu kerja, sementara penguat bagi munculnya respon tersebut adalah tunjangan kinerja. Sesuai prinsipnya, pemberian tunjangan kinerja yang penuh bagi pegawai dengan catatan kehadiran kerja baik ditujukan untuk meningkatkan perilaku ketaatan terhadap waktu kerja. Sebaliknya, pemotongan tunjangan kinerja ditunjukkan untuk menurunkan perilaku yang bermasalah terkait kehadiran kerja, misalnya tidak masuk kerja, tidak berada di tempat tugas dalam kurun waktu tertentu, terlambat masuk kerja, pulang sebelum waktunya, dan tidak mengisi daftar hadir. Mengacu pada permasalahan di atas, peneliti ingin mengulas tentang pelaksanaan pemberian tunjangan kinerja yang selama ini berjalan dan kemudian menilai dampaknya terhadap pembentukan perilaku ketaatan terhadap waktu kerja. Dengan mengambil kasus di Setjen DPR RI, maka pertanyaan yang akan diajukan melalui
11
12
202
Dale H. Schunk, Learning Theories: An Educational Perspective (Teori-Teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan) Edisi Keenam, Alih Bahasa Eva Hamdiah dan Rahmat Fajar (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal 157. B.R. Hergenhahn dan Matthew H. Olson, Theories of Learning (Teori Belajar) Edisi Ketujuh, hal 85.
Membentuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang Taat terhadap Waktu
penelitian ini adalah: Bagaimana pembentukan perilaku ketaatan pegawai terhadap waktu kerja melalui pemberian tunjangan kinerja di Setjen DPR RI? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan di dalam permasalahan, yaitu menjelaskan pembentukan perilaku ketaatan terhadap waktu kerja melalui pemberian tunjangan kinerja di Setjen DPR RI. Untuk memenuhi tujuan ini, peneliti menggunakan metode studi kasus, yaitu dengan menganalisa kasus yang ada di Setjen DPR RI mengacu pada teori pengkondisian operan yang dikemukakan oleh BF. Skinner. II. MENDEFINISIKAN WAKTU KERJA
PERILAKU
KETAATAN
TERHADAP
Perilaku memiliki dua pengertian. Pertama, perilaku dalam arti luas yang didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dialami oleh seseorang. Kedua, perilaku dalam arti sempit yang didefinisikan sebagai segala sesuatu yang mencakup reaksi dan dapat diamati.13 Sementara itu, ketaatan, menurut kamus Oxford, berarti patuh terhadap peraturan, hukum atau tunduk pada pihak otoritas.14 Dengan demikian, perilaku ketaatan dapat diartikan sebagai reaksi ketaatan/kepatuhan seseorang terhadap peraturan, hukum dan/ atau pihak otoritas. Dalam konteks birokrasi pemerintahan, ketaatan diterjemahkan ke dalam Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Dalam peraturan tersebut, PNS diharuskan menaati kewajiban dan menghindari larangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang mana pelanggarannya akan dikenai hukuman disiplin. Menaati ketentuan waktu kerja termasuk salah satu kewajiban yang harus dipenuhi PNS. Kewajiban yang dimaksud dalam hal ini adalah kewajiban PNS untuk datang, melaksanakan tugas dan pulang sesuai ketentuan jam kerja serta tidak berada di tempat umum bukan dinas. Waktu kerja PNS diatur dalam Keppres No 68 Tahun 1995 tentang Hari Kerja di Lingkungan Lembaga Pemerintah. Peraturan ini menyebutkan bahwa hari kerja bagi seluruh lembaga pemerintah J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, Alih Bahasa Kartini Kartono (Jakarta: Erlangga, 2011). 14 (http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/obedience, diakses pada tanggal 2 April 2014).
13
203
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
ditetapkan lima hari kerja, mulai dari hari Senin hingga Jumat. Sementara itu, jumlah jam kerja efektif dalam lima hari kerja adalah 37.5 jam, dengan ketetapan jam kerja yang ada di masingmasing instansi. Untuk Setjen DPR RI, jam kerja ditetapkan dalam Peraturan Sekretaris Jenderal DPR RI Nomor 01 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Kinerja Dan Tunjangan Tambahan Bagi Pegawai Di Lingkungan Sekretariat Jenderal DPR RI, yaitu sebagai berikut: a) Hari Senin sampai dengan Hari Kamis : Pukul 08.00- 16.30 WIB Waktu Istirahat : Pukul 12.00- 13.00 WIB b) Hari Jumát : Pukul 08.00- 17.00 WIB Waktu Istirahat : Pukul 11.30- 13.00 WIB Dengan penjelasan ini, perilaku ketaatan terhadap waktu kerja di Setjen DPR RI dapat didefinisikan sebagai reaksi kepatuhan PNS terhadap peraturan terkait waktu kerja, yaitu lima hari kerja dari Hari Senin hingga Jumat serta jam kerja efektif dalam lima hari kerja selama 37.5 jam sesuai dengan ketetapan yang tercantum di dalam Persetjen DPR RI Nomor 01 Tahun 2014. Dalam hal ini, PNS wajib datang, melaksanakan tugas, dan pulang sesuai ketentuan serta tidak berada di tempat umum bukan karena dinas. Definisi tersebut merupakan gambaran respon yang diharapkan muncul dalam unjuk kerja PNS. Respon adalah perilaku yang muncul karena adanya stimulus dalam lingkungan. Sementara stimulus yang dianggap efektif merangsang kemunculan respon berupa perilaku taat terhadap waktu kerja adalah tunjangan kinerja. III. MEMBENTUK PERILAKU KETAATAN TERHADAP WAKTU KERJA DI SETJEN DPRI RI MELALUI PEMBERIAN TUNJANGAN KINERJA A. Tunjangan Kinerja di Dalam Sistem Remunerasi Kata remunerasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu remuneration. Kamus Meriam Webster mengartikannya sebagai berikut: an amount of money paid to someone for the work that person has done.15 Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya
15
204
(http://www.learnersdictionary.com/definition/remuneration, diakses pada tanggal 2 April 2014).
Membentuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang Taat terhadap Waktu
sebagai pemberian hadiah (penghargaan atas jasa, dan sebagainya); imbalan.16 Remunerasi dalam konteks birokrasi pemerintahan dapat diartikan sebagai pemberian kompensasi dari pemberi kerja, yaitu instansi pemerintah, baik yang ada di lingkungan Kementerian/ Lingkungan (K/L) maupun di pemerintahan daerah kepada pegawai, yaitu PNS, sebagai bentuk penghargaan atas jasa berkaitan dengan kinerja yang dihasilkan. Remunerasi yang diterima PNS, menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), adalah gaji, tunjangan kinerja serta tunjangan kemahalan. Pada praktiknya, meski secara harfiah mencakup semua imbalan yang diterima, istilah remunerasi dalam reformasi birokrasi disamakan dengan tunjangan kinerja. Keberadaan tunjangan kinerja sebagai komponen baru menandai perubahan signifikan di dalam sistem remunerasi birokrasi pemerintahan. Semua penghasilan yang diterima PNS selain gaji pokok, seperti tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, tunjangan pangan, tunjangan khusus, dan tunjangan lainnya, tidak diberlakukan lagi karena sudah tercakup ke dalam tunjangan kinerja. Tunjangan kinerja diatur lebih lanjut dalam Permenpan RB Nomor 63 Tahun 2011 tentang Pedoman Penataan Sistem Tunjangan Kinerja Pegawai Negeri. Peraturan tersebut menjelaskan bahwa tunjangan kinerja merupakan fungsi dari keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi yang didasarkan pada capaian kinerja PNS sejalan dengan capaian kinerja organisasi dimana PNS tersebut bekerja. Dengan demikian, tunjangan kinerja yang diterima PNS dapat meningkat atau menurun sejalan dengan peningkatan atau penurunan kinerja instansi yang diukur berdasarkan Indikator Kinerja Utama Instansi. Tunjangan kinerja difokuskan pada pemenuhan prinsip merit, equity, kompetitif guna meningkatkan profesionalisme dan memacu kinerja PNS. Untuk itu, pemberian tunjangan kinerja didasarkan pada tingkat capaian pelaksanaan reformasi birokrasi instansi, nilai dan kelas jabatan, indeks harga nilai jabatan, faktor penyeimbang, dan indeks tunjangan kinerja daerah provinsi.
16
(http://www.kamusbesar.com/32890/remunerasi, diakses pada tanggal 2 April 2014).
205
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Sementara pelaksanaannya didasari prinsip efisiensi/optimalisasi pagu anggaran belanja instansi pemerintah serta equal pay for equal work (keadilan dan kelayakan), yaitu pemberian yang disesuaikan dengan harga jabatan dan pencapaian kinerja. Berikut adalah besaran tunjangan kinerja pegawai berdasarkan kelas jabatan: Tabel 1. Tunjangan Kinerja Berdasarkan Kelas Jabatan
No 1
1
2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17
Kelas Jabatan
Tunjangan Kinerja Per Kelas Jabatan
17
Rp. 19.360.000,00
15
Rp. 10.315.000,00
2
16 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
3
Rp. 14.131.000,00 Rp. 7. 529.000,00 Rp. 6. 023.000,00 Rp. 4. 819.000,00 Rp. 3. 855.000,00 Rp. 3. 352.000,00 Rp. 2. 915.000,00 Rp. 2. 535.000,00 Rp. 2. 304.000,00 Rp. 2. 095.000,00 Rp. 1. 904.000,00 Rp. 1. 814.000,00 Rp. 1. 727.000,00 Rp. 1. 645.000,00 Rp. 1. 563.000,00
Sumber: Peraturan Presiden RI Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Tunjangan Kinerja Pegawai Di Lingkungan Sekretariat Jenderal DPR RI
206
Membentuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang Taat terhadap Waktu
B. Peran Tunjangan Kinerja dalam Proses Pembentukan Perilaku Ketaatan terhadap Waktu Kerja di Setjen DPR RI Berdasarkan Teori Pengkondisian Operan Pelaksanaan pemberian tunjangan kinerja mengikuti aturan main yang telah dibuat pemerintah. Aturan main ini diistilahkan oleh Skinner sebagai kontrak kontingensi, yaitu penyusunan tata situasi dimana seseorang mendapat sesuatu yang diinginkannya apabila orang itu bertindak dalam cara tertentu.17 Permenpan RB Nomor 63 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Penataan Sistem Tunjangan Kinerja Pegawai Negeri bisa disebut sebagai kontrak kontingensi terhadap pembentukan perilaku taat terhadap waktu kerja pegawai secara umum. Sementara khusus untuk Setjen DPR RI, kontrak kontingensi yang digunakan adalah Perpres RI Nomor 41 Tahun 2014 dan Persetjen DPR RI Nomor 01 Tahun 2014. Persetjen DPR RI Nomor 01 Tahun 2014 menyatakan bahwa pegawai wajib mengisi daftar hadir elektronik atau jika tidak dimungkinkan maka wajib mengisi daftar hadir manual yang diketahui atasan langsung. Pengisian daftar hadir dilakukan 2 (dua) kali, yaitu pada saat masuk kerja dan pada saat pulang kerja dengan jam masuk kerja 08.00-16.30 WIB untuk hari Senin-Kamis, dan jam 08.00-17.00 WIB untuk hari Jumat. Pencatatan kehadiran dan cuti pegawai dilakukan setiap bulan. Substansi terpenting dalam pencatatan tersebut adalah perhitungan kehadiran secara kumulatif selama 1 (satu) bulan mengacu pada peraturan tersebut. Ada perbedaan pengurangan tunjangan kinerja untuk setiap kasus pelanggaran kehadiran kerja, yaitu sebagai berikut: Tabel 2. Pengurangan Tunjangan Kinerja Berdasarkan Pelanggaran terhadap Waktu Kerja di Sekretariat Jenderal DPR RI Pelanggaran Kehadiran Kerja
Persentase Pengurangan
Tidak masuk kerja dengan alasan yang sah (ijin)
-3% per hari
Pegawai yang melaksanakan cuti sakit
-2.5% per hari
Pegawai yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah (alpa)
17
-4% per hari
B.R. Hergenhahn dan Matthew H. Olson, Theories of Learning (Teori Belajar) Edisi Ketujuh, hal 115.
207
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita Pelanggaran Kehadiran Kerja Pegawai yang terlambat masuk kerja atau pulang sebelum waktu kerja: 10 - 30 menit 31 menit s.d < 61 menit > 61 menit atau tidak mengisi daftar hadir Pegawai yang tidak mengikuti upacara bendera
Persentase Pengurangan
0,5% per hari 1% per hari 1.5% per hari -2% per hari
Sumber: Persetjen DPR RI Nomor 01 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Kinerja dan Tunjangan Tambahan Bagi Pegawai Di Lingkungan Setjen DPR RI.
Mengacu pada fungsinya, daftar hadir elektronik berperan sebagai stimulus diskriminasi. Sesuai definisinya, stimulus diksriminasi digunakan sebagai petunjuk untuk memunculkan respon yang diinginkan.18 Waktu yang tampak di dalam daftar hadir elektronik menjadi isyarat (petunjuk) apakah respon yang diharapkan, yaitu perilaku taat terhadap ketentuan waktu kerja, muncul atau tidak. Muncul atau tidaknya perilaku taat terhadap ketentuan waktu kerja akan menimbulkan kosekuensi tersendiri, yaitu berupa pemberian tunjangan kinerja. Pegawai yang memiliki catatan kehadiran baik atau dianggap taat terhadap ketentuan waktu kerja mendapatkan tunjangan kinerja penuh. Konsekuensi yang demikian dianggap dapat meningkatkan perilaku taat terhadap waktu kerja. Di sisi lain, pegawai yang tidak taat terhadap waktu kerja karena tidak masuk kerja dan tidak berada di tempat tugas dalam kurun waktu tertentu, terlambat masuk kerja, pulang sebelum waktunya, tidak mengisi daftar hadir tanpa alasan yang sah dari atasan langsung, dikenakan pengurangan tunjangan kinerja sesuai dengan peraturan yang berlaku di instansi yang bersangkutan. Konsekuensi yang demikian dianggap dapat menurunkan perilaku bermasalah terkait kehadiran kerja. Dalam hal tersebut di atas, tunjangan kinerja berperan sebagai stimulus penguat. Stimulus penguat adalah segala sesuatu yang dapat meningkatkan probabilitas kemunculan respon ketika stimulus diskriminatifnya hadir.19 Artinya, pemberian tunjangan kinerja penuh dianggap bisa memperbesar probabilitas munculnya perilaku
18 19
208
Ibid, hal 85. Ibid, hal 85.
Membentuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang Taat terhadap Waktu
taat terhadap waktu kerja, sebaliknya pengurangan pemberian tunjangan kinerja dianggap bisa menurunkan probabilitas perilaku bermasalah terkait kehadiran kerja. Proses pembentukan perilaku taat terhadap waktu kerja bisa disimpulkan sebagai berikut: daftar hadir elektronik mempersiapkan kesempatan bagi munculnya perilaku taat terhadap ketentuan waktu kerja, yang diikuti oleh tunjangan kinerja. Waktu yang ditampilkan dalam daftar hadir elektronik → Perilaku taat terhadap waktu kerja → Besaran tunjangan kinerja yang diterima pegawai.
C. Menilai Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Kinerja di Setjen DPR RI Ditinjau Dari Teori Pengkondisian Operan Penilaian pelaksanaan pemberian tunjangan kinerja di Setjen DPR RI dilakukan dengan melihat diskriminasi respon, efektivitas stimulus penguat dan faktor lain yang berpengaruh terhadap kekuatan respon berupa perilaku taat terhadap ketentuan waktu kerja. Diskriminasi Respon
Diskriminasi harus diperhatikan dalam program modifikasi perilaku. Diskriminasi berarti respon yang diharapkan harus diperkuat sementara respon yang tidak diharapkan dihilangkan dengan ketiadaan penguatan.20 Dalam konteks birokrasi pemerintahan, penjelasan antara respon yang diharapkan dengan yang tidak diharapkan termuat dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, yaitu mengenai kewajiban yang harus dipenuhi PNS dan larangan yang harus dihindari PNS. Berkenaan dengan disiplin kehadiran kerja, pembentukan perilaku harus mengacu kepada definisinya yang juga termuat dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 serta peraturan internal instansi yang dalam hal ini adalah Persetjen DPR RI Nomor 01 Tahun 2014. Konsistensi Setjen DPR RI sebagai instansi pemerintah mengikuti peraturan mempengaruhi kemampuan pegawai untuk bisa membedakan apa yang diharapkan dan apa yang tidak diharapkan.
20
Dale H. Schunk, Learning Theories: An Educational Perspective (Teori-Teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan) Edisi Keenam, hal 135.
209
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
Pada praktiknya, tidak hanya berkenaan dengan keterlambatan, pulang lebih cepat dan alpa, tetapi cuti sakit dan ijin juga memiliki konsekuensi yang sama berupa pengurangan tunjangan kinerja meskipun persentasenya berbeda (lihat Tabel 2). Sementara itu, pegawai yang mengambil cuti tahunan, cuti alasan penting, cuti bersalin tidak terkena pemotongan tunjangan kinerja kecuali cuti yang dilakukan melebihi ketentuan yang dipersyaratkan. Padahal, berdasarkan PP Nomor 53 Tahun 2010, ijin dan cuti sakit sama halnya dengan cuti tahunan, cuti alasan penting, dan cuti bersalin, yaitu sama-sama tidak termasuk ke dalam pelanggaran. Adapun yang termasuk pelanggaran terkait kehadiran kerja yaitu pelanggaran terhadap kewajiban masuk kerja dan ketentuan terhadap jam kerja seperti datang terlambat, pulang lebih cepat dan alpa. Sementara ijin dan cuti itu sendiri adalah keadaan tidak masuk kerja yang diijinkan dalam waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa antara respon yang diharapkan dan yang tidak diharapkan belum sepenuhnya terdiskriminasi. Apabila hal ini tidak teratasi, maka pegawai akan mengalami kebingungan untuk memahami apa yang diharapkan instansi. Dampak lain yang perlu mendapat perhatian adalah potensi pengaburan tujuan awal. Tujuan pemberian tunjangan kinerja adalah untuk memotivasi pegawai supaya pegawai bisa lebih produktif dan lebih professional dalam bekerja. Sementara itu, penelitian yang dilakukan McClearn dkk menunjukkan bahwa ketika pegawai sakit dan memaksakan diri untuk datang ke kantor hanya akan membuat pegawai menjadi tidak loyal atau tidak komit. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Samuel dan Wilson. Samuel dan Wilson menyebutkan bahwa pemberi kerja yang mendukung pegawainya untuk istirahat selama sakit dan bahkan menunjukkan rasa simpatiknya terhadap pegawai tersebut akan meningkatkan loyalitas dan kesejahteraan pegawai.21 Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut, bisa disimpulkan bahwa pengkategorian cuti sakit dan ijin sebagai pelanggaran bisa memancing rasa tidak simpatik pegawai mengenai
21
210
Denise Baker-McClearn, Kay Greasley, Jeremy Dale dan Frances Griffith, “Absence Management and Presenteeism: The Pressures On Employees to Attend Work and The Impact of Attendance on Performance,” Human Resource Management Journal, Vol. 20, N0. 3, 2010, hal 311-328
Membentuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang Taat terhadap Waktu
instansinya. Potensi selanjutnya yang dikhawatirkan adalah menurunnya loyalitas atau komitmen pegawai terhadap instansinya. Efektivitas Stimulus Penguat
Stimulus yang dianggap mendukung kemunculan perilaku taat terhadap waktu kerja adalah tunjangan kinerja. Apakah sesuatu itu menguatkan atau tidak, hanya dapat dipastikan melalui efeknya terhadap perilaku.22 Hal ini akan tampak dengan membandingkan tingkat kehadiran pegawai antara sebelum dan setelah dilakukannya program modifikasi perilaku melalui pemberian tunjangan kinerja. Tabel 3. Jumlah Kekurangan Jam Kerja PNS di Salah Satu Bagian di Setjen DPR RI Bulan Januari, Februari, Maret 2014 Jumlah Pegawai
No
Kriteria Kekurangan (Jam Kerja)
Januari
Februari
Maret
Total
Persentase Rata-Rata
1
0-1
1
1
3
5
15.2%
3
2-3
2
1
3
9.1%
4-5
2 4
5 6
7 8
1-2
3-4 5-6
1
1
6-7
2
7> ke atas
6
1
2
1
7
Sumber: Laporan Ringkasan Kehadiran PNS Setjen DPR RI
22
1
1 2
1 1
3 2
3
15 33
3.0%
3.0% 9.1%
6.1% 9.1%
45.5%
100.0%
B.R. Hergenhahn dan Matthew H. Olson, Theories of Learning (Teori Belajar) Edisi Ketujuh, hal 85.
211
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita Tabel 4. Jumlah Kekurangan Jam Kerja PNS Setjen DPR RI di Salah Satu Bagian di Bulan Juli, Agustus, September 2014 Jumlah Pegawai
Kriteria Kekurangan (Jam Kerja)
Juli
Agustus
September
Total
Persentase Rata-Rata
1
0-1
9
9
5
23
59.0%
4
3-4
1
1
6-7
1
No
2 3 5 6 7 8
1-2 2-3 4-5 5-6
7> ke atas
1 1
2
1
1
-
1 1 4 2
-
Sumber: Laporan Ringkasan Kehadiran PNS Setjen DPR RI
3 1 6 3 2
-
39
7.7% 2.6% 2.6%
15.4% 7.7% 5.1% -
100.0%
Reformasi birokrasi di Setjen DPR RI yang diikuti dengan pemberian tunjangan kinerja dalam komponen remunerasi dilaksanakan mulai tahun 2014 sesuai Perpres RI Nomor 41 Tahun 2014. Sementara konsekuensi pengurangan tunjangan kinerja akibat pelanggaran kehadiran dan/atau ketentuan jam kerja mulai diterapkan pada bulan Juli 2014. Tabel 3 dan Tabel 4 menunjukkan adanya perbedaan dampak terkait kehadiran kerja. Tabel 3 menunjukkan bahwa sebelum adanya konsekuensi pemotongan tunjangan kinerja diterapkan, pegawai yang memiliki kekurangan jam kerja hingga 7 jam ke atas per bulan ada sebanyak 45.5%. Setelah konsekuensi pemotongan tunjangan kinerja diterapkan (lihat Tabel 4), tidak ada lagi pegawai yang memiliki kekurangan jam kerja hingga 7 jam ke atas per bulan. Kekurangan jam kerja yang paling banyak dimiliki pegawai adalah di bawah hingga 1 jam per bulan. Meskipun tabel 4 masih menunjukkan adanya kekurangan jam kerja, namun perbedaan antara sebelum dan setelah konsekuensi pemotongan tunjangan kinerja berlaku memperlihatkan adanya dampak dari pemberian tunjangan kinerja terhadap ketepatan waktu datang dan pulang kerja. 212
Membentuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang Taat terhadap Waktu
Tunjangan kinerja merupakan imbalan berbentuk uang. Uang tidak hanya memiliki nilai instrinsik dari dirinya sendiri, tetapi juga merupakan penguat sekunder atau penguat terkondisi yang digeneralisasikan dengan penguat primer.23 Penguat primer adalah stimulus yang dibutuhkan untuk bertahan hidup, sementara penguat sekunder adalah stimulus yang terkondisikan melalui asosiasinya dengan penguat primer.24 Uang terpasang dengan penguat primer, seperti makanan, minuman, tempat berlindung, dan lain sebagainya. Oleh karena diasosiasikan dengan sejumlah penguat primer yang berbeda-beda, uang berfungsi memperkuat lewat berbagai macam dorongan. Dengan demikian, uang sebagai penguat sekunder dianggap mampu mengontrol perilaku manusia.25 Penjelasan ini membantu pemahaman kita tentang mengapa tunjangan kinerja memiliki efek terhadap perilaku taat terhadap waktu kerja. Selain itu, perlu dipahami juga bahwa setelah reformasi birokrasi, pendapatan pegawai setiap bulan hanya berdasar pada gaji pokok dan tunjangan kinerja. Keberadaan tunjangan kinerja sangat diperhatikan pegawai karena semua tunjangan yang sebelumnya diterima pegawai sebelum reformasi tercakup ke dalam tunjangan kinerja. Persentase pengurangan yang didasarkan atas tunjangan kinerja akan sangat terasa, terlebih apabila diakumulasi selama sebulan. Pengurangan yang terasa di bulan berikutnya merupakan konsekuensi yang bersifat langsung bagi pegawai yang tidak hadir dan/atau kekurangan jam kerja. Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Hergenhahn dan Olson, penguat langsung lebih mempengaruhi perilaku individu dibanding penguat tidak langsung yang berefek jangka panjang.26 Faktor Lain Yang Berpengaruh Terhadap Kekuatan Respon
Ada kemungkinan yang perlu diantisipasi dalam pelaksanaan modifikasi perilaku melalui pemberian tunjangan kinerja, yaitu
23
24
25
26
Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Psikologi Kepribadian 3: Teori-Teori Sifat dan Behavioristik, Alih Bahasa Yustinus (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hal 341. Dale H. Schunk, Learning Theories: An Educational Perspective (Teori-Teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan) Edisi Keenam, hal 128. Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Psikologi Kepribadian 3: Teori-Teori Sifat dan Behavioristik, hal 341. Dale H. Schunk, Learning Theories: An Educational Perspective (Teori-Teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan) Edisi Keenam, hal 128.
213
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
respon pegawai yang hanya terfokus pada jam kedatangan dan jam kepulangan kerja. Dalam pelaksanaannya, hanya jam kedatangan dan jam kepulangan kerjalah yang memiliki konsekuensi langsung berupa besaran tunjangan kinerja yang diterima pada bulan berikutnya. Kondisi yang demikian bisa berdampak lain, yaitu kesalahan pendefinisian yang dibentuk oleh pegawai mengenai ketaatan terhadap waktu kerja. Artinya, pegawai bisa saja menganggap bahwa datang dan pulang kerja sesuai waktu yang ditetapkan sudah cukup memenuhi harapan instansi. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa pegawai datang ke tempat kerja hanya ditujukan untuk merekam kehadirannya di saat jam kedatangan dan kepulangan kerja tanpa disertai kehadiran di tempat kerja selama antara jam kedatangan dan kepulangan kerja. Kemungkinan tersebut di atas bisa kecil terjadi apabila ada banyak penguat lain yang menyertai perilaku ketaatan terhadap waktu kerja, tidak hanya tunjangan kinerja. Efek penguat lain terhadap pembentukan perilaku akan semakin terasa apabila dikaitkan dengan pemenuhan dorongan-dorongan yang bersifat dasar bagi manusia. Mengikuti Teori Hierarki Kebutuhan Maslow, ada lima dorongan dasar manusia berupa kebutuhan. Dari tingkat dasar hingga tertinggi, kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah kebutuhan fisiologis (keberlangsungan hidup), kebutuhan rasa aman, kebutuhan kasih sayang, kebutuhan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri. Lima kebutuhan ini dikatakan sebagai kebutuhan dasar karena lebih diutamakan dibandingkan dengan kebutuhan yang lain.27 Berdasarkan Teori Hierarki Kebutuhan Maslow, ketika kebutuhan di tingkat dasar sudah terpuaskan, maka individu akan memuaskan kebutuhan pada tingkat berikutnya, yaitu kebutuhan rasa aman, kebutuhan kasih sayang, kebutuhan penghargaan, dan kebutuhan aktuliasasi diri.28 Artinya, ketika tunjangan kinerja dianggap sudah memenuhi kebutuhan akan keberlangsungan hidup pegawai, maka kebutuhan-kebutuhan di tingkatan berikutnya akan menjadi tujuan selanjutnya untuk dipenuhi. Apabila ada banyak penguat lain yang bisa memfasilitasi pemenuhan kebutuhan
27
28
214
Jess Feist dan Gregory J. Feist , Teori Kepribadian : Theories of Personality , Alih Bahasa Handriatno (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hal 331. Ibid, hal 131
Membentuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang Taat terhadap Waktu
kebutuhan tersebut, maka efeknya akan memperkuat munculnya perilaku yang diharapkan. Dengan demikian, konsekuensi atas perilaku taat terhadap ketentuan waktu kerja seyogyanya tidak hanya berupa penerimaan tunjangan kinerja penuh, tetapi perlu meluas kepada pemenuhan kebutuhan rasa aman, kebutuhan kasih sayang, kebutuhan penghargaan, dan kebutuhan aktuliasasi diri. Misalnya saja, penguat berupa ketenangan hati karena terhindar dari hukuman disiplin dan kepanikan yang menyertainya, penguat berupa kenyamanan karena bisa memanfaatkan waktu kerja secara maksimal sehingga bisa menyelesaikan pekerjaan, penguat berupa penerimaan yang positif dari atasan dan rekan kerja karena selalu berada di tempat kerja ketika waktu kerja, penguat berupa kebanggaan diri karena mendapat penghargaan sebagai pegawai teladan dan/ atau karena bisa menjadi lebih produktif, memiliki nilai guna bagi instansi, dan lain sebagainya. Hal yang perlu dicatat adalah penguat-penguat tersebut bisa kehilangan kekuatannya apabila penguat berupa tunjangan kinerja yang notabenenya terasosiasi dengan kebutuhan akan keberlangsungan hidup (kebutuhan primer), tereduksi atau bahkan hilang tanpa pengganti. Hal ini didasari penjelasan dari Teori Hierarki Maslow, yaitu apabila pada tingkat tertinggi kebutuhan primer tidak terpuaskan, maka individu akan kembali pada tingkat kebutuhan sebelumnya untuk memenuhinya.29 Artinya, penguat-penguat lain yang dianggap bisa memfasilitasi kebutuhan di atas kebutuhan primer akan kurang berarti apabila pegawai tidak memiliki kesempatan untuk memenuhi kebutuhan primernya terlebih dahulu. Apabila hal ini terjadi, pegawai akan mencari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan primernya hingga terpuaskan. Sesuai dengan prinsipnya, semakin banyak penguatan yang diterima pegawai sebagai konsekuensi atas ketaatan terhadap waktu kerja, maka pegawai akan mempertahankan perilakunya tersebut. Apabila perilaku taat terhadap waktu kerja secara terus-menerus digeneralisasikan dengan penguat lain, maka pada akhirnya ia sendiri bisa menjadi penguat. Hal ini sesuai dengan penjelasan Allport bahwa meskipun suatu aktivitas pernah dilakukan karena
29
Ibid, hal 132
215
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
menimbulkan penguatan, setelah beberapa waktu aktivitas itu sendiri menjadi penguat.30 Ketika hal ini terjadi, maka ketaatan terhadap waktu kerja akan dirasakan sebagai kebutuhan, tidak lagi sekedar keharusan. IV. PENUTUP
Upaya yang dilakukan pemerintah terhadap pegawai terkait pembentukan perilaku taat terhadap waktu kerja merupakan realisasi dari Teori Pengkondisian Operan Skinner. Pemberian tunjangan kinerja menjadi stimulus penguat atau konsekuensi atas respon yang diharapkan, yaitu perilaku taat terhadap waktu kerja sesuai dengan peraturan yang ada. Dalam hal ini, daftar hadir elektronik berperan sebagai stimulus diskriminasi. Waktu yang tampak di dalam daftar hadir elektronik menjadi isyarat (petunjuk) apakah respon yang diharapkan muncul atau tidak. Tunjangan kinerja penuh akan diterima pegawai apabila ia memiliki catatan kehadiran yang baik. Sebaliknya, pengurangan tunjangan kinerja akan diterima pegawai apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan waktu kerja. Di Setjen DPR RI, penggunaan tunjangan kinerja sebagai stimulus penguat memiliki dampak. Setelah konsekuensi pengurangan tunjangan kinerja diberlakukan, semakin sedikit pegawai yang mangalami keterlambatan datang dan/atau kecepatan pulang kerja. Di sisi lain, ada beberapa hal yang perlu diperbaiki untuk menunjang optimalisasi reformasi birokrasi. Pertama, ketidakjelasan diskriminasi antara respon yang diharapkan dengan yang tidak diharapkan. Tidak hanya berkenaan dengan keterlambatan, pulang lebih cepat dan alpa, tetapi cuti sakit dan ijin juga memiliki konsekuensi yang sama berupa pengurangan tunjangan kinerja meskipun persentasenya berbeda. Padahal, ijin dan cuti sakit sama halnya dengan cuti tahunan, cuti alasan penting, dan cuti bersalin, yaitu sama-sama tidak termasuk ke dalam pelanggaran (respon yang tidak diharapkan). Kedua, adanya kemungkinan dimana respon pegawai hanya terfokus pada jam kedatangan dan kepulangan kerja. Tidak menutup kemungkinan bahwa pegawai yang datang ke
30
216
B.R. Hergenhahn dan Matthew H. Olson, Theories of Learning (Teori Belajar) Edisi Ketujuh, hal 95.
Membentuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang Taat terhadap Waktu
tempat kerja hanya ditujukan untuk merekam kehadirannya di saat jam kedatangan dan kepulangan kerja tanpa disertai kehadiran di tempat kerja selama antara jam kedatangan dan kepulangan kerja. Mengacu pada permasalahan di atas, untuk mempertahankan perilaku ketaatan terhadap waktu kerja, dan sebaliknya untuk menghilangkan perilaku indisipliner terkait kehadiran kerja, setiap peraturan terkait kehadiran kerja harus dilaksanakan secara konsisten. Perilaku yang diharapkan instansi dengan yang tidak, harus disampaikan secara jelas kepada pegawai supaya tidak menimbulkan kebingungan yang pada akhirnya bisa menggagalkan tujuan awal pembentukan perilaku. Selain itu, untuk memperkuat perilaku, pemerintah dan juga instansi perlu memikirkan adanya penguat lain selain penguat berupa tunjangan kinerja. Penguat-penguat ini sebaiknya diasosiasikan dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia, tidak hanya berkenaan dengan kebutuhan primer atau keberlangsungan hidup, tetapi juga kebutuhan di tingkat atasnya, yaitu kebutuhan rasa aman, kebutuhan kasih sayang, kebutuhan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri. Penguatan yang dimaksud bisa berupa penghargaan materi dan moril serta penyediaan kesempatan untuk berkembang dan mengaktualisasikan diri bagi pegawai yang tergolong teladan dan/atau taat terhadap waktu kerja. Meskipun demikian, perlu dicatat, penguat berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan keberlangsungan hidup pegawai yang saat ini berbentuk tunjangan kinerja tidak bisa dikesampingkan. Hal ini didasari pemahaman bahwa individu akan kesulitan memenuhi kebutuhan di tingkat atas apabila kebutuhan primernya ini tidak terpenuhi. Dengan demikian, supaya perilaku taat terhadap waktu kerja bisa muncul secara kuat, maka kesesuaian remunerasi perlu diveluasi secara terus-menerus.
217
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal McClearn, Denise Baker., Greasley, Kay., Dale, Jeremy., Griffith, Frances. “Absence Management and Presenteeism: The Pressures On Employees to Attend Work and The Impact of Attendance on Performance,” Human Resource Management Journal, Vol. 20, No. 3, 2010, hal 311-328. Ruky, Achmad S. ”Peran Tunjangan Dalam Paket Remunerasi (Imbalan) Pegawai.” Civil Services Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS, Vol 5 No. 1 Juni 2011, hal 11-20. Simanungkalit, Janry Haposan. “Struktur Gaji Pegawai Negeri Sipil: Upaya Pencapaian Keadilan Internal dan Eksternal PNS,” Civil Service Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS, Vol.1 No.1 Juni 2007, hal 55-75. Buku
Feist, Jess., Feist, Gregory J. Teori Kepribadian : Theories of Personality, Alih Bahasa Handriatno (Jakarta: Salemba Humanika, 2010).
Hall, Calvin S., Lindzey, Gardner. Psikologi Kepribadian 3: TeoriTeori Sifat dan Behavioristik, Alih Bahasa Yustinus (Yogyakarta: Kanisius, 2005). Hergenhahn, B.R., Olson, Matthew H. Theories of Learning (Teori Belajar) Edisi Ketujuh, Alih Bahasa Tri Wibowo B.S (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009). J.P.,Chaplin. Kamus Lengkap Psikologi, Alih Bahasa Kartini Kartono (Jakarta: Erlangga, 2011). Schunk, Dale H. Learning Theories: An Educational Perspective (Teori-Teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan) Edisi Keenam, Alih Bahasa Eva Hamdiah dan Rahmat Fajar (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2012). 218
Membentuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang Taat terhadap Waktu
Internet Budiman Rusli. “Kebijakan Remunerasi Berbasis Kinerja”. (http:// pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/pustaka_ unpad_kebijakan_remunerasi_berbasis_kinerja.pdf, diakses pada tanggal 2 April 2014).
Kusen Suseno. “Menegakkan Disiplin PNS.” (file:///C:/Users/user/ AppData/Local/Temp/digital_blob_F18899_Menegakkan%20 Disiplin%20PNS-SK.htm, diakses pada tanggal 2 April 2014). Leong Teen Wei, Rashad Yazdanifard. “The Impact of Positive Reinforcement on Employees’ Performance in Organizations”. American Journal of Industrial and Business Management, 4, 9-12, 2014, (dx.doi.org/10.4236/ajibm.2014.41002, diakses pada tanggal 2 April 2014). Obasan Kehinde. “Impact of Job Satisfaction on Absenteeism: A Correlative Study”. European Journal of Humanities and Social Science, Volume 1, No. 1. 2011, (http://www.journalsbank.com/ ejhss.htm, diakses pada tanggal 2 April 2014). Sabar Munanto. “Pengertian Disiplin Kerja Makalah Menurut Para Ahli”. (https://www.academia.edu/5535704/Pengertian_ Disiplin_Kerja_Makalah_Menurut_Para_Ahli, diakses pada tanggal 2 April 2014).
“SDM Aparatur Berkualitas Sukseskan Nawa Cita.” (http://ekonomi. metrotvnews.com/read/2015/07/07/410978/sdm-aparaturberkualitas-sukseskan-nawa-cita, diakses pada tanggal 7 Juli 2015). Sultani. “Potret Buram Profesionalitas Birokrasi.” (http://www. unisosdem.org/article_detail.php?aid=7732&coid=3&caid=31 &gid=2, diakses pada tanggal 2 April 2014).
(http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/obedience, diakses pada tanggal 2 April 2014). (http://www.learnersdictionary.com/definition/remuneration, diakses pada tanggal 2 April 2014).
(http://www.kamusbesar.com/32890/remunerasi, diakses pada tanggal 2 April 2014).
219
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
“Visi, Misi dan Program Aksi Jalan Perubahan Untuk Indonesia Yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian.” (http://jkw4p.com/ download/nawa_cita.pdf, diakses pada tanggal 2 April 2015). Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Peraturan Presiden RI Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Tunjangan Kinerja Pegawai Di Lingkungan Sekretarian Jenderal DPR RI
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil Permenpan RB Nomor 63 Tahun 2011 tentang Pedoman Penataan Sistem Tunjangan Kinerja Pegawai Negeri
Keppres No 68 Tahun 1995 tentang Hari Kerja di Lingkungan Lembaga Pemerintah
Peraturan Sekretaris Jenderal DPR RI No.01/SEKJEN/2014 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Kinerja Dan Tunjangan Tambahan Bagi Pegawai Di Lingkungan Sekretariat Jenderal DPR RI
220
EPILOG
Buku dengan judul “Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita” mencakup tiga dimensi utama yaitu: (a) Kemandirian dan Kedaulatan bangsa; (b) Pemberdayaan Masyarakat; dan (c) Pengembangan Infrastruktur Pendukung. Menurut Dewi Wuryandari, Nawacita atau agenda prioritas Kabinet Kerja mengarahkan pembangunan pertanian ke depan untuk mewujudkan kedaulatan pangan, agar Indonesia sebagai bangsa dapat mengatur dan memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya secara berdaulat. Kedaulatan pangan diterjemahkan dalam bentuk kemampuan bangsa dalam hal: (1) mencukupi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri, (2) mengatur kebijakan pangan secara mandiri, serta (3) melindungi dan mensejahterakan petani sebagai pelaku utama usaha pertanian pangan. Pada pengembangan industri pangan mempunyai potensi peran strategis dalam meningkatkan kesejahteraan baik ketersediaan, akses, maupun kualitas konsumsi pangan. Tidak hanya itu, pengembangan industri pangan dengan kemampuannya mengelola kegiatan pengembangan produk pangan yang efektif, juga sekaligus berpotensi untuk meningkatkan daya saing produk pangan Indonesia. Untuk dapat memperkuat ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat maka kebijakan pembangunan industri pangan dapat diarahkan pada upaya industri aneka ragam pangan berbasiskan pada sumber daya lokal. Lukman Adam berpendapat, sebagai input utama sektor pertanian, benih juga harus menjadi perhatian utama bagi pembuat kebijakan di sektor pertanian. Pengembangan benih pertanian sejalan dengan Nawacita pemerintahan Presiden Joko Widodo-JK nomor 7 yang berbunyi mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor strategis ekonomi domestik. Salah satu sektor strategis adalah sektor pertanian, karena terkait dengan kebutuhan primer dan sekunder. Pengembangan sektor pertanian sangat 221
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
dipengaruhi oleh bibit/benih, pupuk dan alat mesin pertanian sebagai sarana produksi utama. Bibit/benih yang diperoleh petani sebagai cikal bakal tanaman banyak diimpor dari negara maju atau perusahaan internasional. Petani mempunyai kecenderungan untuk menghasilkan benih/bibit yang berkualitas dan berdaya saing, namun kurangnya dukungan negara dalam bentuk regulasi dan anggaran membuat bibit yang dihasilkan petani menjadi mandeg, hanya digunakan untuk kebutuhan sendiri. Untuk mengatasi permasalahan benih nasional, maka diperlukan sejumlah kebijakan berupa revisi terhadap UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, penyederhanaan mekanisme penyaluran benih, melakukan koordinasi melalui pertemuan berkala dengan pembuat kebijakan mengenai benih tanaman, dan memperkuat peran Badan Benih Nasional. Liberalisasi pasar keuangan negara-negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) akan diberlakukan secara penuh pada tahun 2020. Liberalisasi pasar keuangan ASEAN tentunya akan membawa manfaat bagi pesertanya tapi tidak sedikit pula kerugian-kerugian yang dapat ditimbulkannya. Rasbin mengungkapkan bahwa, salah satu cara agar Indonesia siap dalam menghadapi liberalisasi pasar keuangan tersebut adalah dengan mewujudkan kedaulatan keuangan nasional dengan melakukan penggabungan bank. Penggabungan bank dapat dilakukan melalui merger, akuisisi atau konsolidasi tergantung tujuan dan kebutuhan bangsa di masa depan. Penggabungan bank dapat menciptakan permodalan perbankan yang jauh lebih besar, perbankan lebih fokus dalam menggarap segmen pasar dan memicu pembangunan infrastruktur keuangan Indonesia. Jadi, penggabungan bank di Indonesia dimaksudkan agar perbankan Indonesia betul-betul siap menghadapi liberalisasi keuangan internasional terutama liberalisasi pasar keuangan ASEAN. Pembahasan lebih lanjut yang memfokuskan pada pemberdayaan masyarakat, khususnya kepada pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dilakukan oleh Sony Hendra Permana. Sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki peran yang strategis dan dapat dijadikan andalan untuk menopang perekonomian di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian 222
Epilog
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, pada tahun 2012 sektor ini mampu menyerap tenaga kerja sebesar 96,99 persen serta berkontribusi lebih dari 60 persen terhadap pembentukan produk domestik bruto Indonesia. Meskipun UMKM memiliki peran yang strategis, namun UMKM juga mengalami berbagai permasalahan. Permasalahan yang dihadapi oleh UMKM umumnya terutama menyangkut aspek keterbatasan akses terhadap sumber daya produktif (kesulitan akses modal, bahan baku, pemasaran dan daya saing), rendahnya kualitas SDM, rendahnya produktivitas, dan rendahnya daya saing. Untuk itu dibutuhkan suatu dukungan dari pemerintah agar UMKM dapat lebih berkembang dan memiliki daya saing dalam rangka menyambut pasar bebas Asean Community. Pemberdayaan dan pengembangan UMKM harus dengan dimensi yang cukup luas dan koordinasi baik vertikal maupun horizontal, baik pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah. Pekerja anak merupakan isu global yang diagendakan untuk ditanggulangi secara menyeluruh dan berkesinambungan. Komitmen ini dinyatakan dalam bentuk cita-cita bersama” Indonesia bebas pekerja anak” pada tahun 2022. Nidya Waras Sayekti mengungkapkan bahwa kemiskinan dianggap sebagai faktor utama yang menyebabkan munculnya pekerja anak. Faktor lainnya adalah faktor kultural, sosial-ekonomi keluarga, lemahnya perangkat hukum, pengawasan dan pelaksanaannya, permintaan (demand), menurunnya tingkat pendapatan pada sektor ekonomi/wilayah tertentu, relokasi industri, serta perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Sedangkan faktor lingkungan merupakan penyebab khususnya pada kasus-kasus pekerja anak di sektor pertanian. Upaya penanggulangan masalah pekerja anak merupakan masalah yang membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah telah menyusun Roadmap Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak Tahun 2022 yang berisikan visi, misi, strategi, dan langkah aksi dalam usaha penghapusan pekerja anak. Namun tidak ada satu kebijakan pun yang dengan sendirinya dapat mengakhiri bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Oleh karena itu, aksi yang dilakukan secara terus menerus dapat memberi peluang perubahan pada fenomena pekerjaan terburuk untuk anak. Aksi-aksi yang dapat dilakukan, antara lain adalah pelaksanaan dan penegakan hukum yang benar, penyediaan aksesibilitas layanan publik yang 223
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
memadai (meliputi pendidikan wajib yang gratis dan berkualitas, serta pelayanan perlindungan sosial yang nondiskriminatif), dan mengembalikan fungsi pasar tenaga kerja yang sesuai. Dalam hal pemberdayaan masyarakat nelayan, Lisnawati mengungkapkan bahwa potensi hasil laut Indonesia masih 20 persen yang termanfaatkan, 80 persennya belum terjamah (slepping potency). Produksi perikanan tangkap pada tahun 2014 mengalami pertumbuhan sebesar 7,11 persen atau sekitar Rp.109 triliun dibanding tahun 2013. Kebijakan pemerintah dalam melakukan moratorium perizinan membuat sektor perikanan kini tumbuh 8,4 persen, naik hampir 40 persen dari tahun sebelum diberlakukan moratorium. Motarorium juga membuat produksi ikan lokal naik 240 persen. Dengan naiknya produksi ikan lokal tidak serta merta membuat kesejahteraan nelayan meningkat. Ketidakberdayaan nelayan dalam memperoleh BBM, teknologi maupun akses pasar menjadi kendala terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan. Hal ini dapat membuat harga ikan di pasaran tidak turun meskipun ikan saat ini telah melimpah. Pemerintah perlu menyediakan sarana akses BBM bagi nelayan, melakukan edukasi teknologi penangkapan ikan bagi nelayan dengan penguatkan SDM para nelayan maka nelayan lokal tidak akan tergencet kemajuan teknologi berikut budaya nelayan asing. Pemerintah perlu pula membangun sarana pengolahan eksploitasi hasil laut, serta membangun infrastruktur laut yang terintegrasi agar Nawa Cita Presiden dapat tercapai sesuai yang diharapkan. Masih dalam rangka pemberdayaan terhadap Nelayan, Mohammad Teja mengungkapkan bahwa nelayan Indonesia masih banyak yang sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hasil tangkapan ikan yang didapat oleh nelayan jauh dari harapan dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kesehariannya bersama keluarga. Keterbatasan sarana tangkap tentunya menjadi persoalan utama nelayan. Pemberdayaan nelayan tentunya menjadi alternatif utama selain modal usaha yang diberikan oleh pemerintah. Tidak hanya itu, kekuatan hukum yang dapat memberikan perlindungan yang optimal bagi nelayan tentunya menjadi penting untuk memberikan kesempatan seluasnya bagi nelayan miskin untuk mengembangkan dan meningkatkan kehidupan ekonominya. Tulisan ini juga mencoba menggali bagaimana penyebab kemiskinan 224
Epilog
nelayan dan bagaimana mereka bisa bertahan hidup dalam kekurangan tersebut, dan bentuk pemberdayaan bagi nelayan untuk meningkatkan kesejahteraannya, selain pemberdayaan, pendampingan terhadap kegiatan pemberdayaan itu sendiri harus dilakukan secara berkelanjutan hingga nelayan mampu mandiri dan menaikkan tingkat kesejahteraan mereka. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan sumber-sumber data sekunder, hasil-hasil penelitian mengenai nelayan yang sudah pernah dilakukan sebelumnya dan kemudian dianalisa. Pembahasan lebih lanjut mengenai infastruktur pendukung dilakukan oleh Izzaty. Analisis kebijakan unggulan tol laut pemerintah jokowi mencakup gambaran kebijakan tol laut di Indonesia, peran pelabuhan dan Short Sea Shipping (SSS) dalam pengembangan tol laut, dan pembelajaran dari kegagalan perencanaan pembangunan pelabuhan Tanjung Priok. Pengembangan poros maritim (tol laut) dalam transportasi laut akan mendorong pembangunan ekonomi daerah dan nasional. Tantangan dari pembangunan tol laut adalah efisiensi pelabuhan yang berdampak pada penurunan biaya logistik. Implementasi tol laut akan menunjukkan keberhasilan apabila dibarengi dengan adanya integrasi antar moda, kawasan industri yang terintegrasi antara industri dengan infrastruktur pendukung, serta pembiayaan tol laut yang memadai. Faktor penting lainnya yang menunjang kebijakan tol laut adalah perlu adanya kesetaraan produksi dan kebutuhan barang di berbagai wilayah di Indonesia, terutama wilayah timur Indonesia. Pembangunan poros maritim dan tol laut perlu dilakukan secara konsisten sebagai modal pembangunan dan kekuatan nasional untuk membangun ekonomi maritim. Salah satu infrastruktur pendukung dalam pembangunan Indonesia kedepan adalah tersedianya aparatur negara yang profesional. Sulis Winurini mengungkapkan pemberian tunjangan kinerja dalam era Reformasi Birokrasi menjadi strategi pemerintah untuk mengatasi permasalahan kinerja pegawai pemerintahan yang salah satunya mengenai disiplin kehadiran kerja. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa pelaksanaan pemberian tunjangan kinerja dan mengevaluasi efeknya terhadap perilaku ketaatan pegawai terhadap waktu kerja. Studi kasus Setjen DPR
225
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
RI. Teori yang akan digunakan sebagai acuan analisa dan evaluasi adalah Teori Perilaku Operan Skinner. Berdasarkan hasil analisa dan evaluasi, penggunaan tunjangan kinerja sebagai stimulus penguat memiliki dampak. Setelah konsekuensi pengurangan tunjangan kinerja diberlakukan, semakin sedikit pegawai yang mengalami keterlambatan datang dan/atau kecepatan pulang kerja. Di sisi lain, ada beberapa hal yang perlu dibenahi. Pertama, ketidakjelasan batasan antara respon yang diharapkan dengan yang tidak diharapkan. Kedua, adanya kemungkinan dimana respon pegawai hanya terfokus pada jam kedatangan dan kepulangan kerja. Jakarta, 16 Oktober 2015 Editor
226
INDEKS
A Aktiva, 62, 77 Akuisisi, 53, 54, 56, 59, 60, 61, 64, 65, 66, 67, 68 Akuisisi Aset, 60 Akuisisi Finansial, 61 Akuisisi Horizontal, 61 Akuisisi Konglomerat, 61 Akuisisi Saham, 60 Akuisisi Strategis, 61 Akuisisi Vertikal, 61 Alat mesin pertanian, 27 Alat tangkap, 127, 140, 141, 143, 145, 146, 147, 154 Alokasi Modal, 52 Areal tanaman, 32, 46 Arsitektur Perbankan Indonesia, 66 ASEAN, 4, 5, 10, 16, 52, 53, 54, 84
B
Badan Benih Nasional, 24, 36, 46 Badan Pusat Statistik, 77, 96, 99 Badan Usaha, 57, 58, 77, 90, 91, 158, 190 Bahan Baku, 12, 17, 59, 76, 80, 81, 91, 126 Bank Indonesia, 4, 52, 57, 65, 89 Bank Nasional, 53, 54, 55, 67 Benih bantuan, 33, 46 Benih bersertifikat, 32, 37, 38, 46 Benih unggul, 24, 28, 29, 31, 33, 35, 37, 44
Benih, 2, 8, 9, 11, 12, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46 Biaya, 5, 29, 30, 33, 35, 37, 38, 44, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 84, 85, 86, 129, 130, 131, 148, 149, 155, 164, 165, 167, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 181, 183, 185, 188, 189, 190 Bibit/Benih, 27 Bisnis, 15, 56, 58, 61, 62, 63, 83, 87, 89, 90, 121, 172, 180, 186, 190 BUMN, 29, 32, 33, 34, 36, 37, 39, 42, 43, 44, 46, 172, 174, 186, 187, 190
D
Daya saing, 1, 3, 4, 8, 10, 13, 14, 53, 56, 57, 73, 75, 84, 85, 86, 87, 88, 91, 175, 180, 187 Deposito, 64, 65 Dinas Pertanian, 32, 33, 34, 42, 43, 44, 46 Distribusi, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15, 16, 18, 28, 42, 45, 61, 62, 126, 146, 147, 164, 165, 169, 170, 172, 174, 176, 183, 184 Diversifikasi, 12, 15, 16, 63, 83, 144 Dukungan kebijakan, 8, 25, 28, 38, 39 227
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
E
K
Efisiensi, 45, 52, 53, 57, 62, 64, 65, 66, 67, 123, 125, 168, 175, 176, 188, 189, 190, 206 Esensial, 24
Kedaulatan, 2, 8, 9, 12, 13, 14, 51, 52, 53, 55, 68, 74, 117, 166, 169 Keluarga, 12, 63, 83, 96, 99, 100, 101, 104, 106, 111, 140, 141, 144, 150, 151, 152, 153, 155, 156, 160, 205 Kemandirian ekonomi, 13, 27, 55, 75, 119 Kemiskinan, 76, 85, 99, 102, 105, 106, 109, 124, 141, 142, 144, 145, 146, 147, 148, 151, 153 Kerusakan lingkungan, 142, 159 Kesepakatan internasional, 26 Ketahanan pangan, 3, 4, 5, 6, 7, 11, 13, 14, 15, 17, 18, 26, 30 Keuangan Nasional, 51, 52, 53, 55, 68 Konektivitas, 164, 166, 167, 168, 169, 170, 173, 176, 180, 183, 184, 188 Konglomerat, 58, 59, 61 Konsolidasi, 53, 54, 56, 61, 62, 66, 67, 68, 74 Koordinasi, 18, 32, 33, 43, 46, 86, 91, 109, 110, 174, 187, 190 Koperasi, 4, 55, 77, 79, 87, 88, 89, 90, 91, 147, 148 Kreditur, 60, 64
H
Hilir, 10, 26, 28, 59, 61 Hortikultura, 24, 28, 39
I
Indonesia, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 27, 33, 34, 45, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 62, 64, 68, 74, 75, 76, 77, 78, 80, 82, 84, 85, 86, 89, 90, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 104, 105, 106, 107, 109, 110, 111, 116, 117, 118, 119, 120, 125, 126, 127, 128, 131, 132, 133, 134, 135, 140, 142, 145, 151, 164, 165, 166, 167, 169, 170, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 188, 189, 198, 200, 201, 204 Industri hulu, 26 Industri Perbankan, 53, 65, 66 Infrastruktur , 5, 12, 29, 53, 85, 131, 132, 135, 141, 145, 148, 164, 165, 166, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 175, 176, 178, 179, 180, 181, 184, 185, 187, 188, 189 Inovasi, 6, 17, 25 Input, 5, 24, 26, 28, 45, 123, 178 Insentif, 15, 29, 63, 87, 124, 178 Investasi, 6, 52, 57, 80, 85, 121, 122, 123, 144, 164, 165, 171, 174, 175, 177, 178, 179, 180, 182 228
L
Lahan, 2, 6, 9, 11, 12, 15, 17, 24, 31, 133, 158, 187 Lembaga Keuangan, 52, 85, 105 Liberalisasi Keuangan, 52, 68 Likuiditas, 26, 64 Logistik, 12, 85, 164, 165, 166, 168, 169, 171, 173, 175, 176, 178, 180, 181, 183, 184, 185, 187, 188, 189, 190
Indeks
M Maritim, 74, 116, 117, 118, 132, 141, 165, 166, 167, 168, 188, 170, 175, 176, 177, 180, 184, 188 Market Power, 64, 65 Merger, 53, 54, 56, 57, 58, 59, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68 Merger Horizontal, 58 Merger Perusahaan, 59 Merger Saham, 59 Merger Vertikal, 58 Merger Yuridis, 59 Modal, 5, 38, 52, 53, 55, 57, 60, 63, 77, 80, 82, 85, 91, 124, 140, 142, 143, 144, 145, 147, 150, 151, 153, 154, 158, 174, 178 Modernisasi, 25 Monopoli, 66, 87, 147
N
Nawa Cita, 13, 14, 27, 75, 116, 135, 200 Nelayan kecil, 128, 130, 131, 141, 150, 151, 153, 156, 157, 158, 159 Nelayan miskin, 139, 141, 143, 144, 145, 146, 147, 150, 151, 152, 153, 154, 159 Nelayan tradisional, 120, 124, 131, 135, 140, 141, 143, 146, 150, 159
O
Overfishing, 120, 121, 122, 123, 142
P
Pajak, 35, 57, 62, 63 Pelabuhan, 127, 128, 129, 130, 132, 133, 134, 148, 154, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172,
173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 190 Pemasaran, 5, 28, 36, 37, 62, 80, 82, 84, 90, 91, 120, 132, 133, 141, 144, 147, 148, 158, 176 Pembentukan perilaku, 201, 202, 203, 207, 209, 214, 216, 217 Pemberdayaan, 3, 4, 34, 86, 88, 91, 111, 115, 139, 141, 142, 153, 154, 155, 157, 158, 159, 188, 189 Pemerintah Daerah, 31, 39, 87, 88, 89, 141, 153, 158, 189 Pemerintah Pusat, 31, 86, 91, 111 Penangkapan ikan, 118, 119, 120, 121, 125, 126, 127, 128, 134, 135, 140, 142, 143, 144, 145, 147, 153, 154 Pendampingan, 89, 155, 156, 158, 159 Pendapatan petani, 5, 25, 29 Penggabungan Bank, 51, 53, 54, 55, 56, 57, 63, 68 Pengkondisian operan, 201, 202, 203, 207, 209, 216 Perempuan, 102, 103, 106, 152, 160 Perilaku taat terhadap waktu kerja, 204, 207, 208, 209, 211, 213, 215, 216 Perkebunan, 2, 24, 28, 39 Pertanian, 4, 5, 10, 12, 24, 27, 31, 32, 39, 46, 104, 184, 186 Pertumbuhan Ekonomi, 52, 53, 54, 76, 85, 88, 144, 164, 172, 183, 184 Perusahaan, 9, 26, 27, 32, 33, 34, 35, 46, 53, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 66, 67, 77, 83, 86, 89, 125, 143, 158, 170, 175, 182 229
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita Pesisir, 116, 118, 120, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 149, 150, 151, 153, 155, 156, 165, 178, 185 Petani, 2, 3, 4, 5, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 15, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 37, 38, 39, 40, 42, 43, 45, 46, 77, 106 Pinjaman, 64, 81, 89, 140, 158, 179 Produk, 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 12, 13, 14, 17, 26, 29, 55, 56, 59, 63, 76, 82, 83, 89, 91, 141, 144, 147, 158, 176, 187 Produktivitas, 6, 8, 11, 13, 15, 25, 28, 29, 73, 75, 83, 84, 91, 123, 124, 144, 149, 172, 183, 188, 189, 196, 197 Produktivitas tanaman, 24 Profit, 64, 65, 66 Pupuk, 11, 24, 26, 27, 29, 30, 31, 34, 35
R
RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok), 33, 46 Realisasi, 26, 32, 35, 46, 173, 216
S
Saham, 52, 53, 55, 57, 59, 60, 66 Savings, 66, 67 Sinergi, 61, 62, 63, 183 Skala Ekonomi, 64, 65, 67 Subsidi, 3, 15, 25, 26, 27, 29, 30, 31, 32, 34, 35, 37, 38, 41, 42, 43, 44, 45, 122, 130, 154 Sumber Daya Manusia, 80, 82, 83, 84, 109, 111, 118, 140, 144, 155, 158, 196 sumber daya pesisir, 142, 146 Sumber Daya Produktif, 80, 91 Supply chain, 10, 11 230
T Tanaman pangan, 24, 28, 32, 43, 44, 46 Teknologi, 3, 5, 6, 15, 17, 24, 25, 31, 60, 63, 77, 80, 82, 83, 84, 87, 90, 106, 118, 131, 132, 135, 140, 142, 143, 144, 145, 147, 148, 150, 153, 156, 158, 184, 188, 189 Tengkulak, 142, 149, 150 tol laut, 165, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 182, 185, 187, 189, 190, 191 Transfer Teknologi, 63 Tunjangan kinerja, 195, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 200, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 217
U
UMKM, 2, 55, 73, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91 UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, 39, 46 UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, 46
V
varietas unggul, 24, 25, 28
W
warna label, 37, 46
BIOGRAFI PENULIS
DEWI WURYANDANI Penulis menyelesaikan studi S1 pada jurusan Teknik Kimia – Fakultas Teknologi Industri di Universitas UPN “Veteran” Yogyakarta dan melanjutkan pendidikan Pasca Sarjana pada jurusan Keuangan Manajemen EkonomiMagister Ekonomi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Bekerja di Sekretariat Jenderal DPR RI mulai tahun 2009 sebagai Peneliti Ekonomi dan Kebijakan Publik di Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI). Beberapa topik penelitian tentang ekonomi dan kebijakan publik telah dilakukan penulis seperti: Pembangunan Daerah Tertinggal (2011), Sistem dan Prosedur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (2011), Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Meningkatkan Volume Perdagangan Non Migas (2012), Industri Kreatif (2012), Kawasan Pariwisata Khusus (2013), Membangun Iklim Investasi dalam Menggerakkan UMKM (2013) serta Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Pembangunan Daerah Otonomi Baru (2014). Dan Kesiapan Pemerintah Daerah dalam Fasilitasi Perdagangan (2015). Penulis dapat dihubungi melalui email: dewi.wuryandani@ gmail.com.
LUKMAN ADAM Penulis adalah Peneliti Muda bidang ekonomi dan kebijakan publik di P3DI Setjen DPR. Menyelesaikan studi S1 dan S2 di Institut Pertanian Bogor. Kepakarannya adalah ilmu kebijakan. Topik penelitian yang telah dilakukan penulis adalah kelautan (2011), pesisir (2012), energi baru terbarukan (2013), karantina hewan, ikan, dan tumbuhan (2014), dan fasilitasi perdagangan 231
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
(2015). Mulai tahun 2010 sampai saat ini, penulis terlibat aktif dalam pembahasan RUU yang terkait dengan pangan, pertanian, perikanan, dan kehutanan. Penulis dapat dihubungi di mada.kenn@ gmail.com.
RASBIN Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana di Institut Pertanian Bogor Jurusan Teknologi Industri Pertanian pada tahun 2005. Gelar Magister Sains Ekonomi diperoleh dari Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia dengan kekhususan Ekonomi Moneter dan Perbankan pada tahun 2008. Penulis pernah terlibat dalam beberapa proyek penelitian di lingkungan Universitas Indonesia sebagai asisten peneliti dan research fellow di Direktorat Internasional Bank Indonesia. Penulis juga aktif sebagai asisten dosen di Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi dan Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia juga sebagai dosen tidak tetap di Universitas Katolik Atmajaya Jakarta. Saat ini Penulis merupakan peneliti muda bidang ekonomi dan kebijakan publik di lingkungan Sekretariat Jenderal DPR RI. Saat ini Penulis juga terdaftar sebagai mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia. Adapun beberapa tulisan yang pernah dibuat oleh Penulis antara lain: Hubungan Kausal Dinamis Antarvariabel Makroekonomi di Indonesia dalam Kajian Krisis Ekonomi sebagai Kejutan Eksternal, Indikator Kualitas Pertumbuhan Ekonomi: Pertumbuhan Sektor Industri Dan Penyerapan Tenaga Kerja, Analisis Shocks Kebijakan Moneter dalam Perekonomian Terbuka: Kasus Dua Sektor Ekonomi di Indonesia, Ekspektasi Potensi Underground Economy di Indonesia, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Non Performing Loans Sektorsektor Ekonomi di Indonesia, Factors Affecting The Community Welfare of Seven Expanded Provinces in Indonesia, Strategi Antisipasi Efek Krisis Ekonomi terhadap Perekonomian Indonesia, Analisis Pengaruh Kredit Sektoral, Suku Bunga Kredit, dan Tenaga Kerja terhadap Pertumbuhan Ekonomi Sektoral di Indonesia tahun 2005–2010: Pendekatan Panel Data, Gejala Deindustrialisasi dan Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia, Lembaga Keuangan Mikro sebagai Upaya Peningkatan Peran Usaha Mikro Kecil dan 232
Biografi Penulis
Menengah dalam Pembangunan Nasional, dan Subsidi dan Upaya Peningkatan Daya Saing Ekspor Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Penulis dapat dihubungi melalui alamat e-mail: ras9bin@yahoo. co.id. SONY HENDRA PERMANA Penulis adalah Peneliti Muda bidang ekonomi dan kebijakan publik di P3DI Setjen DPR. Menyelesaikan studi S1 di Universitas Persada Indonesia YAI dan S2 di Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia. Kepakarannya adalah Ekonomi Terapan. Topik penelitian yang telah dilakukan penulis adalah pangan (2011), pembiayaan perumahan rakyat (2012), perimbangan keuangan pusat dan daerah (2013), persaingan usaha (2014), dan investasi daerah (2015). Mulai tahun 2011 sampai saat ini, penulis terlibat aktif dalam pembahasan RUU yang terkait dengan keuangan dan perbankan. Penulis dapat dihubungi di
[email protected].
NIDYA WARAS SAYEKTI Penulis lahir di Jakarta 3 Juli 1978, menyelesaikan pendidikan D3 di Politeknik Universitas Indonesia Jurusan Perbankan, S1 di Universitas Mercu Buana Jurusan Manajemen, dan S2 Magister Manajemen di universitas yang sama. Penulis mulai berkarir sebagai Peneliti Muda Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI sejak tahun 2010 hingga sekarang. Penulis telah menghasilkan beberapa karya ilmiah yang dimuat dalam bentuk Info Singkat, Jurnal, dan Bagian Buku, antara lain: Kebijakan Utang Luar Negeri Indonesia Dari lembaga Keuangan Global (2015), RAPBN-P Tahun 2014 Minim Fungsi Stimulus (2014), Jaminan Produk Halal Dalam Perspektif Kelembagaan (2014), Kebijakan Penetapan Upah Minimum di Provinsi Maluku Utara (2014), dan Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air: Peran PJT I dalam Menjaga Ketahanan Air dan Pangan di Provinsi Jawa Timur (2013). Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]. 233
Mewujudkan Agenda Prioritas Nawacita
LISNAWATI Penulis adalah Peneliti Muda bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik dengan bidang konsentrasi Ekonomi Terapan. Lahir di Jakarta, 8 September 1982. Pendidikan S1 Sarjana Sains diselesaikan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Jakarta pada tahun 2005. Pendidikan S2 diselesaikan di Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia pada Tahun 2008. Bekerja sebagai Peneliti bidang ekonomi dan kebijakan publik pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Saat ini terlibat aktif dalam penelitian di bidang ekonomi dan kebijakan publik diantaranya penelitian tentang Konektivitas. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected] MOHAMMAD TEJA Penulis adalah peneliti Bidang Sosiologi pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI. Magister Sosiologi Universitas Padjadjaran Bandung tahun 2002. Sarjana Hubungan Internasional Universitas Jayabaya tahun 2000. Ketertarikan penelitian seputar Isu Anak, Orang Cacat, Pluralitas, Pemberdayaan Ekonomi Keluarga dan Masyarakat Miskin, Interaksi Sosial dan Simbolis. Tulisan yang pernah diterbitkan antara lain berjudul: “Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil di Nusa Tenggara Timur Melalui Sektor Pariwisata” Dan “Hilangnya Hak Anak: Studi Kasus Konflik Ahmadiyah.” Email:
[email protected] dan
[email protected]
IZZATY Penulis lahir di Padang, 5 Desember 1977. Penulis adalah Peneliti pada Pusat Pengkajian pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI. Penulis memperoleh gelar sarjana Teknik di bidang Teknik Sipil pada tahun 2000 di Universitas Andalas Padang dan Master Ekonomi pada program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia pada tahun 2009. Jabatan penulis saat ini 234
Biografi Penulis
adalah Peneliti Muda. Hasil kajian dan tulisan yang telah dibuat oleh penulis antara lain: Permasalahan dalam Pengembangan Rumah Susun (2010), Daya Saing Ekspor Barang-Barang dari Karet (2010), Kebijakan Pengembangan Produksi Garam Nasional (2010), Pembebasan Tanah Bagi Pembangunan Jalan (2010), Pengelolaan Keuangan Desa: Tinjauan Kebijakan Alokasi Dana Desa (2011), Tata Kelola Keuangan Daerah (2011), Kebijakan CSR sebagai Strategi Pengurangan Pajak Pada BUMN( 2012), Defisit Anggaran dan Kebijakan Penanggulannya (2012), Kebijakan Penetapan Upah Minimum di Indonesia (2013), Kinerja dan Prospek Pengembangan Industri Kreatif di Indonesia (2013), Upaya Stabilisasi Harga Daging Sapi (2013), APBN 2015 sebagai Tantangan Fiskal Pemerintahan Baru (2014),dan Strategi Mengatasi Penurunan Daya Beli di Tengah Perlambatan Ekonomi (2015). Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected] SULIS WINURINI Penulis adalah Peneliti P3DI Kesejahteraan Sosial dengan kepakaran Psikologi. Ia menyelesaikan pendidikan Sarjana Psikologi di Universitas Indonesia pada tahun 2004. Kemudian ia melanjutkan S2 Profesi Psikologi Industri dan Organisasi di Universitas Indonesia pada tahun 2004 hingga tahun 2007. Ia bergabung di Setjen DPR RI sebagai Peneliti mulai tahun 2009. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected].
235
BIOGRAFI EDITOR
Asep Ahmad Saefuloh, lahir di Tasikmalaya 11 September 1971, masuk sebagai peneliti Tim Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPRRI tahun 1997. Jenjang jabatan fungsional saat ini adalah Peneliti Madya (IVc) bidang Kebijakan Publik. Latar belakang pendidikan adalah Sarjana Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP), Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surakarta/Sebelas Maret (UNS) dan lulus tahun 1996. Kemudian melanjutkan studi pada Program Magister Kajian Kependudukan dan Ekonomi Sumber Daya Manusia di Universitas Indonesia (UI) dan lulus tahun 2003. Terakhir, menyelesaikan Program S3 Bidang Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM), Universitas Negeri Jakarta (UNJ) tahun 2012 dengan judul disertasi “Resistensi dalam Proses Perubahan Keorganisasian: Pengaruh Kepemimpinan, Partisipasi dan Sinisme terhadap Resistensi dalam Perubahan pada Pejabat Struktural Setjen DPR RI”. Pendidikan non-formal yang telah diikuti antara lain Profesional Grapho Analyist di Life Execellent Center (LEC), Workshop Grapho for Success oleh LEC dan Centre for Grapho Studies (CGS), Assessment Center Assessor Certification di Pusat Pengembangan Manajemen (PPM), dan Consulting Hypnotist di National Guild of Hypnotist (NGH), Inc., New Hamphire di tahun 2013, serta Master Hypnotheraphist dari School of Mind Reprogramming di tahun 2012. Selain itu, juga telah mengikuti berbagai pendidikan non-formal terkait sumber daya manusia, APBN, keparlemenan, dan bidang ekonomi lainnya. Beberapa buku, makalah, penelitian, bahan seminar telah yang telah ditulis dan dipublikasikan antara lain: Pengelolaan SDM 236
Biografi Editor
pada Organisasi Penunjang Parlemen: Teori, Emperik dan Agenda Kebijakan (Buku-2014), Kebijakan Reserve Drain: Mengapa Penting dan Alternatif Pendekatan (Jurnal-2012), Kebijakan APBN 2009 di Tengah Krisis (Makalah dalam Majalah Parlementaria – 2009), Pengelolaan Anggaran Dewan (suara Pembaruan – 2008), dsb.
237