Edisi 23 | Juli - Desember 2015
catastrophe newsletter
TERLELAP DI DAMAINYA
SESAR LEMBANG
NANOTEKNOLOGI
Your Reliable Partner in Catastrophe Risk Transfer
EDITORIAL Kita sering mendengar bahwa “Tanah Pasundan diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum”. Negerinya elok, penduduknya ramah dan rupawan. Namun di bawah kedamaiannya, ada potensi bencana alam yang bisa datang kapan sa ja di masa depan. Di bawah sejuknya halimun pegunungan di sekitar Bandung, bersemayam Sesar Lembang. Studi paleoseosmologi menunjukkan bahwa sesar ini pernah menghasilkan gempa dengan magnitudo hingga M 6.8. Bila itu terjadi lagi, apa yang akan terjadi dengan Bandung yang semakin hari semakin padat dan ramai penduduknya? WASPADA 23 mencoba mengulas hal itu untuk Pembaca. Hal lain yang dibawa oleh WASPADA 23 ini adalah perihal nanoteknologi. Mungkin hal ini masih asing untuk sebagian besar Pembaca, namun ternyata nanoteknologi tidaklah begitu jauh dari bisnis yang sehari-hari kita geluti. Gempa Tohoku, Jepang, 9.0 SR yang diikuti dengan tsunami setinggi 20 meter ternyata tidak berhenti di kerusakan material, ada katastrofe sekunder yang hadir dengan hancurnya instalasi pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima. Radiasi radioaktif dari pembangkit ini mencapai daerah dalam radius 80 km. Kita, agaknya, perlu mulai memperhatikan kema juan teknologi yang bisa berimplikasi ke industri asuransi. Sehingga kita semakin baik dalam menghitung risiko apapun yang akan hadir di masa depan. Semoga Pembaca dapat menikmati WASPADA edisi 23 ini. Selamat tahun baru, semoga senantiasa sukses di 2016.
daftar IsI
1 5 9
ANALISA KARAKTERISTIK SESAR LEMBANG
ESTIMASI KERUGIAN DI KOTA BANDUNG AKIBAT GEMPA SESAR LEMBANG DAN POTENSI ASURANSINYA
NANOTEKNOLOGI
12
GEMPA NEPAL
ANALISA KARAKTERISTIK SESAR LEMBANG Sesar adalah retakan atau sistem retakan sepanjang batuan yang telah mengalami pergerakan (Keller dan Pinter, 1996). Sekumpulan sesar yang saling berhubungan disebut zona sesar. Segmentasi sesar dapat dikenal dari perubahan morfologi zona sesar, geometri seismik/kegempaan dan aktivitas kegempaan masa lalu (Keller dan Pinter, 1996).
2
analisa karakteristik sesar lembang
Ruben Damanik, M. Haikal Sedayo
G
eomorfologi tektonik mengungkapkan sebuah pandangan roman topografi yang dapat dipakai sebagai indikator dari corak, kekuatan, dan rata-rata atau pergerakan tektonik (tectonic movement). Neotektonik dicerminkan oleh morfotektonik, yaitu geomorfologi/bentang alam yang menjadi karakter tektonik zaman sekarang.
hingga menghilang di Cisarua Barat. Pada bagian barat ini, gawir sesar ditutupi endapan- endapan gunungapi yang lebih muda. Hasil interpretasi kelurusan sesar lembang menunjukan adanya segmentasi dari morfologi Sesar Lembang tersebut. Untuk mengetahui tingkat aktivitas kegempaan di Sesar Lembang
Gambar 1. Peta Lidar Sesar Lembang memperlihatkan morfologi yang sangat jelas yaitu perbedaan tinggi gawir sesar antara bagian timur dan bagian barat.
Morfotektonik mempelajari tentang segala hal menyangkut hubungan antara struktur geologi dengan bentuk lahan atau lebih spesifik lagi hubungan antara struktur neotektonik dan bentuk lahan (Stewart dan Hancock, 1994). Morfotektonik akan dipengaruhi oleh kondisi morfologi dan proses tektonik yang terjadi pada masa lalu, karena morfologi memiliki dimensi ruang dan tektonik mempunyai dimensi waktu. Bentuk lahan tektonik akan mengekspresikan bentukan topografi yang dapat dijadikan indikator telah terjadinya pergerakan tektonik atau tektonik aktif. Bentuk topografi yang telah mengalami perpindahan/ pergerakan dapat terlihat dan teramati melalui foto udara yang memberikan kenampakan morfotektonik berupa pola aliran sungai, perpindahan perbukitan, pembelokan sungai, kelurusan, gawir sesar, serta kenampakan teras sungai.
perlu dikajikan sejarah kegempaan dan seismisitas. Data gempa terakhir yang terjadi di sekitar Sesar Lembang adalah pada tanggal 22 Juli 2011 dengan magnitudo 2,9 SR dan pada tanggal 30 Agustus 2011 dengan magnitudo 3.3 SR. Dari dua data tersebut sangat sulit untuk mendapatkan adanya displacement di permukaan.
Hasil interpretasi kelurusan dari citra Lidar dan SRTM dengan sangat jelas memperlihatkan adanya kelurusan sesar lembang yang berarah barat-timur. Secara morfologi Sesar Lembang ini terekspresikan sebagai gawir sesar (fault scrap) dengan dinding gawir menghadap ke arah utara. Bagian Sesar Lembang yang dapat dilihat, baik dari peta topografi terutama dari foto udara ataupun citra satelit, mempunyai panjang 20 km. Dari arah timur ke barat, beda elevasi maksimum dari gawir sesar yang mencerminkan besarnya pergeseran sesar (loncatan vertikal/throw) adalah sekitar 500 meter di daerah Gunung Pulusari. Ketinggian ini semakin tinggi akibat adanya penyayatan vertical (incise) endapanendapan gunungapi pada kakinya. Pada bagian barat Sesar Lembang beda elevasi menjadi menurun sekitar 40 meter di daerah Cisarua,
3
Gambar.2 Kenampakan kelurusan sesar lembang menggunakan data lidar dari arah timur (atas) di Gunung Pulusari dengan beda elevasi sekitar 500 m dan dari arah barat (bawah) yang dilihat di Cisarua dengan beda elevasi sekitar 40 m.
analisa karakteristik sesar lembang
Gambar.3 Peta lokasi hipocenter gempa M 2.9 SR pada tanggal 22 Juli 2011 dan M 3.3 SR pada tanggal 30 Agustus 2011. Titik-titik hitam merupakan sebaran rumah rusak akibat gempa M 3.3. (Meilano dkk, 2012)
Kendala dalam perekaman historikal data gempa di sekitar Sesar Lembang sangatlah sedikit hingga memberikan hambatan dalam menggambarkan keaktifan kondisi tektonik di kawasan tersebut. Dengan menggunakan data Geodesi dan penelitian Geologi maka dapat dilakukan analisis seismic moment dari Sesar Lembang sebagai berikut. Tabel.1 Geometri Bidang Sesar Lembang
Sesar
Panjang
Lembang
(Km)
Segmen 1 Segmen 2 Segmen 3 Segmen 4 Total
3.37 2.21 3.34 10.8 19.72
LebarIrwan et all,2012 (Km) 15 15 15 15 15
Lebar USGS (Km) 30 30 30 30 30
MwIrwan et all,2012 4.61 4.48 4.60 4.94 5.12
MwUSGS 4.81 4.68 4.80 5.14 5.32
Meilano, I., Abidin, H.Z., Andreas, H., Gumilar, I., Sarsito, D., Hanifa, R., Rino., Harjono, H., Kato, T., Kimata, F., Fukuda, Y, Slip Rate Estimation of the Lembang FaultWest Java from Geodetic Observation, Journal of Disaster Research Vol.7 No.1, 2012. Stewart, L.S., and Hancock, P.L, Continental Deformation Neotectonics, First Edition, Pegamon Press, London, pp 370-409, 1994. Yulianto E, Understanding the Earthquake Threat to Bandung from the Lembang fault, Australia-Indonesia Facility for Disaster Reduction (AIFDR) Project Report, Jakarta, 22 pp, 2011.
Jika dengan asumsi terjadi pelepasan energi pada sepanjang Sesar Lembang, maka secara empirik besarnya magnitudo gempa yang mungkin terjadi yakni sebesar 5.32 Mw dengan menggunakan persamaan deformasi dari moment seismic: Mo = μLWD (Aki and Richards, 1980) Besarnya deformasi maksimum dengan mekanisme parameter sumber gempa pada sesar lembang sebesar 10 cm. Penelitian paleoseismologi menunjukkan bahwa pada 500-2000 tahun yang lalu, sesar Lembang menghasilkan gempa dengan Magnitudo 6.6-6.8 (Yulianto, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa daerah sekitar Sesar Lembang memiliki risiko guncangan gempa yang lebih besar dari pada gempa 30 Agustus 2011 yang 'hanya' memberikan kerusakan ringan pada 103 rumah. REFERENSI Aki, K. and P. G. Richards, Quantitative seismology, theory and methods, W. H. Freeman, San Francisco, 1980. Edi Hidayat, Analisis Morfotektonik Sesar Lembang, Master Theses, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 2009. Keller, E.A. and Pinter N, Active Tectonics (Earthquake, Uplift and Landscape), Prentise Hall, Upper Saddle River, New Jersey 07458, 1996.
4
6
Estimasi Kerugian di Kota Bandung Akibat Gempa Sesar Lembang dan Potensi Asuransinya
M. Haikal Sedayo
S
esar Lembang yang terletak di Utara kota Bandung merupakan sumber gempa yang mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan di Indonesia. Hal ini tidak mengherankan, mengingat posisinya yang sangat dekat dengan kota Bandung yang merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang menurut data BPS pada tahun 2013 memiliki populasi penduduk 2.48 juta jiwa. Gempa yang bersumber dari sesar ini dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas kota Bandung baik secara sosial maupun finansial.
sering digunakan untuk memperkirakan efek dari kondisi ini adalah kecepatan rata-rata gelombang geser hingga kedalaman 30 meter (Vs30). menunjukkan sebaran spasial Vs30 di wilayah Bandung dan sekitarnya. Persamaan atenuasi sering digunakan untuk memperkirakan sebaran dampak dari guncangan gempa. Persamaan ini umumnya disusun secara empiris berdasarkan data pengamatan dari banyak kejadian.
Gambar 1. Posisi sesar Lembang (Afnimar, 2014)
Pergeseran pertama dari sesar Lembang diperkirakan dari bagian timur bertepatan dengan pembentukan kaldera setelah letusan dahsyat gunung sunda purba sekitar 100.000 tahun yang lalu, sementara bagian barat bergeser pada 24.000 tahun yang lalu (Nossin, 1996). Walaupun sebagian kalangan masih beranggapan bahwa Sesar Lembang bukan merupakan patahan yang aktif, bukti ilmiah menunjukkan hal sebaliknya. Pengamatan geodetik membuktikan bahwa sesar Lembang adalah sesar aktif, pergerakannya didominasi mekanisme sesar geser mengiri dengan kecepatan 3 mm/tahun (Meilano, 2009). Pengamatan kegempaan dengan menggunakan jaringan stasiun pengamatan gempa milik BMKG yang berada di sekitar Lembang juga menunjukkan aktivitas kegempaan yang membuktikan bahwa Lembang merupakan sesar aktif; pernah bergerak dalam 10.000 tahun terakhir (Keller & Pinter, 1996).
Jika magnitudo 6.8 dari hasil penelitian paleoseismologi digunakan sebagai parameter skenario maksimum untuk gempa yang berasal dari sesar Lembang, maka sebaran dari kekuatan guncangan berdasarkan salah satu persamaan atenuasi (Boore & Atkinson, 2008). Sebagian besar kota Bandung diperkirakan akan mengalami percepatan puncak sekitar 0.21 – 0.25 g atau setara dengan MMI VI-VII. Bangunan dengan desain dan konstruksi yang sangat baik diperkirakan tidak akan mengalami kerusakan yang berarti, sementara bangunan dengan konstruksi standar diperkirakan dapat mengalami kerusakan ringan hingga tingkat kerusakan sedang, namun bangunan dengan konstruksi yang buruk dapat mengalami kerusakan berat.
Meskipun aktivitas kegempaan Sesar Lembang dapat digolongkan rendah, namun studi paleoseismologi menunjukkan bahwa antara 5002000 tahun yang lalu mampu menghasilkan gempa dengan skala M6.6M6.8 (Yulianto, 2011). Kota Bandung terletak pada basin (cekungan) dengan sedimen yang memiliki kecepatan rambat gelombang geser yang rendah. Gelombang gempa dapat mengalami penguatan ketika melalui medium yang memiliki sifat seperti ini, sehingga efek kerusakan yang ditimbulkan dapat menjadi lebih besar di bandingkan medium yang menghantarkan gelombang geser dengan lebih cepat. Salah satu parameter teknik yang
7
Gambar 2. Kejadian gempa di sekitar sesar Lembang dalam rentang Mei 2010 - Desember 2011 (Afnimar, 2015)
Estimasi Kerugian di Kota Bandung Akibat Gempa Sesar Lembang dan Potensi Asuransinya
September 2015) memberikan kontribusi 0.87% (on risk as at September 2015) atau sekitar 804 milyar rupiah. Hanya 54% dari total eksposur tersebut atau setara dengan 434.16 milyar yang merupakan risiko kerusakan bangunan. Angka ini menyiratkan masih besar sekali potensi asuransi gempa yang belum tergarap di kota Bandung.
Gambar 5. Akumulasi eksposur asuransi gempa bumi di Indonesia per 25 September 2015.
Gambar 3. Sebaran Vs30 di wilayah kota Bandung dan sekitarnya (Sedayo, 2015).
Meningkatnya kesadaran masyarakat atas risiko gempa akhir-akhir ini seharusnya juga dijadikan momentum yang baik bagi perusahaan asuransi di Indonesia untuk meraih peluang memasarkan produkproduk terbaiknya yang tentu saja harus juga dibarengi dengan memberikan pemahaman yang lebih baik kepada masyarakat tentang manfaat berasuransi. REFERENSI Afnimar et al, 2015, Geological And Tectonic Implication Obtained From First Seismic Activity Investigation Around Lembang Fault, Geosains Letter, 2:4. BPS, 2010, Survei Penduduk 2010, BPS, Jakarta. Boore and Atkinson, 2008, Ground-Motion Prediction Equations For The Average Horizontal Component Of PGA, PGV, And 5%-Damped PSA at Spectral Periods Between 0.01 S and 10.0 S,Earthquake Spectra, Volume 24, No.1, pp. 99-138. Keller E.A. & Pinter N, 1996, Active tectonics: Earthquakes, Uplift and Landscapes, Prentice Hall, New Jersey.
Gambar 4. Distribusi PGA M6.6 menggunakan fungsi atenuasi Boore & Atkinson, 2008. Skala dalam satuan standard gravity (g) (Sedayo, 2015).
Beberapa penelitian mengenai potensi kerugian dari kerusakan bangunan di kota Bandung akibat gempa sesar Lembang dengan skenario maksimal (M6+) memberikan estimasi kerugian sebesar kurang lebih 4 triliun rupiah (Wira, 2010 & Widjaja, 2012). Berdasarkan peta tata guna lahan, 52% dari luas total kota Bandung yang mencapai 88 km2 adalah bangunan. Jika asumsi harga bangunan rata-rata per meter persegi sebesar Rp. 3,574,223.64 (Dinas Pekerjaan Umum, 2014), maka estimasi nilai bangunan di kota Bandung dapat mencapai 314.7 triliun rupiah. Estimasi kerugian sebesar 4 triliun rupiah atau hanya sekitar 1.3% dari nilai total dinilai terlalu kecil untuk skala VI-VII MMI. Penelitian terakhir mengenai potensi kerugian kerusakan bangunan akibat gempa dengan skenario maksimum di sesar Lembang yang mana menggunakan estimasi nilai eksposur total sebagaimana disebutkan di atas, memberikan perkiraan kerugian rata-rata sebesar 61 triliun rupiah dengan standar deviasi ± 20.93 triliun rupiah (Sedayo,2015). Nilai ini jauh lebih besar dari estimasi penelitian sebelumnya. Berdasarkan data akumulasi eksposur asuransi gempa bumi, kota Bandung hanya memberikan kontribusi 0.87% (on risk as at
Meilano, 2009, Slip-rate Estimation from Crustal Deformation Observation, Workshop Peta Zonasi Gempa Indonesia Terpadu untuk Membangun Kesiapsiagaan Masyarakat. Nossin JJ, Voskuil RPGA, Dam RMC, 1995, Geomorphologic Development of The Sunda Volcanic complex, West Java, Indonesia, Proceedings of the International Association of Geomorphologist Southeast Asia Conference, Singapore. Sedayo, 2015, Simulasi Ground Motion Dan Perhitungan Risiko Kerugian di Bandung Akibat Gempa Sesar Lembang, ITB, Bandung. Widjaja, 2012, Estimasi Hazard Dan Risiko Bangunan Untuk Wilayah Bandung Raya Dengan Sumber Sesar Lembang, ITB, Bandung. Wira et al, 2010, Is the Lembang Fault a Potential Threat to Bandung?, Proceeding HAGI 2010, Bali. Yulianto E, 2011, Understanding the Earthquake Threat to Bandung from the Lembang fault, Australia-Indonesia Facility for Disaster Reduction (AIFDR) Project Report, Jakarta, 22 pp.
8
9
nANOTEKNOLOGI Kata nano berasal dari bah asa Yunani, “nanos” yang memiliki arti kerdil. Dalam bahasa sains modern, nano merupakan suatu besaran, yang sedemikan rupa menunjukkan 1 per miliar meter, 1 per sejuta milimeter dan seterusnya. Jika kubus dengan panjang 1 cm diibaratkan sebagai satu material berukuran 1 nano, maka luas permukannya diperkirakan mencapai sepuluh kali lipat dari luas lapangan bola .
10
nanoteknologi
Shofianina Dwi Ananda Putri, Fiza Wira Atma ja
N
anoteknologi digunakan pertama kali sebagai istilah dalam komunitas ilmiah di tahun 1974, dimana istilah tersebut menggambarkan proses produksi dan penggunaan material dalam skala nanometer. Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mendefinisikan nanoteknologi secara lebih komprehensif, yakni “seperangkat teknologi yang memungkinkan terjadinya proses manipulasi struktur atau suatu sistem yang sangat kecil (biasanya berukuran >100 nm). Teknologi ini akan menghasilkan material, perangkat atau produk baru dengan karakteristik kualitas yang berbeda dengan jenis lainnya”. Jika manipulasi yang dilakukan sesuai dengan pemanfaatannya, maka sifat-sifat baru yang muncul dapat mendorong terjadinya inovasi, khususnya di industri. Pembentukan struktur ini dapat tersusun dari berbagai jenis material seperti: karbon, perak, tembaga dan titanium, namun ukurannya tidak akan lebih panjang dari suatu molekul. Dalam skalanya yang sangat kecil itu pula, masih terdapat berbagai jenis morfologi dari struktur material nano (nanomaterial), seperti nanopartikel, nanotub, nanobelt, mesoporous dan lain sebagainya (lihat pada Gambar 2). N a n o t e k n o l o g i m a s i h t e rg o l o n g f e n o m e n a b a r u , n a m u n pertumbuhannya diprediksi akan bergerak sangat cepat. Linda Breggin dan Leslie Carothers (Institut Hukum Lingkungan, Environmental law Institute-ELI) memprediksi bahwa kecanggihan nanoteknologi ini akan menjalani 4 (empat) tahap sebelum mencapai tahun 2020. Tahap pertama, yang dimulai tahun 2000, merupakan tahap pengembangan nanostruktur yang relatif pasif, yakni memliki struktur dan fungsi tetap,
serta sudah menjadi bagian kecil dari suatu produk. Tahap kedua, di tahun 2005, terfokus pada nanostruktur aktif yang tidak hanya dapat diubah ukuran dan bentuknya, tetapi juga memiliki karakteristik tertentu saat digunakan. Tahun 2010 menjadi tahap ketiga dari evolusi nanoteknologi. Di tahap ini akan terus dikembangkan kemampuan dari sistem nanostruktur yang mengarah pada sejumlah komponen advanced dengan tujuan tertentu. Tahun 2015 hingga tahun 2020, bidang ini akan diperluas hingga mencakup sistem nano molekul, dimana stuktur molekul/supramolekul yang dihasilkan memiliki fungsi spesifik pada suatu perangkat canggih.
Gambar 2. Struktur Nanomaterial dengan berbagai morfologi (sumber: http://pubs.rsc.org/services/images/)
Gambar 1. Perbandingan untuk skala nano (sumber: http://ywang13.myweb.usf.edu/nanotech/jeffers/nano.html)
11
nanoteknologi
LINGKUP PENGAPLIKASIAN NANOTEKNOLOGI Nanoteknologi telah digunakan di hampir ribuan produk, seperti krim tabir surya, desinfektan, kacamata, peralatan olahraga dan perangkat elektronik (Scholar, 2007). Keberagaman potensi sifat unggul yang mungkin dihasilkan, menjadikan penelitian-penelitian tentang produk nanomaterial terus berkembang dan diantisipasi memiliki dampak yang signifikan di hampir setiap bidang industri. Sebagai contoh, dalam industri kesehatan, produk nanomaterial digunakan untuk mengidentifikasi dan menjadi medium pengobatan kanker (Boutin, 2005) . Kemudian, di industri tekstil digunakan untuk menghasilkan produk tahan air, anti kerut dan anti noda. Penerapan nanoteknologi juga sudah merambah industri makanan, seperti dalam tahap pemrosesan, pewarnaan dan penambahan cita rasa dengan menggunakan nanocapsule. Nanocapsule ini berperan sebagai pembawa kandungan nutrisi makanan. Hal diatas mengindikasikan bahwa pengaplikasian nanoteknologi di masa depan diperkirakan semakin meningkat (Allianz Group, 2015). Beberapa hal lainnya yang merupakan keuntungan pengaplikasian nanoteknologi dan nanomaterial adalah sebagai berikut (Segalla & Hanna, 2009): Ÿ Ÿ Ÿ Ÿ Ÿ
Gambar 4. Grafik jumlah produk berdasarkan kategori
Material kimiawi - efisiensi energi yang dapat mengurangi polusi, medan magnet untuk vakum dan pelumas Farmasi - produk kesehatan, obat-obatan, proses regenerasi jaringan, pengganti bagian tubuh. Elektronik - komunikasi penyimpanan data, efisiensi daya Teknologi rekayasa – baterai, sel surya, bahan bakar yang aman, small circuit Pengontrol polusi - material untuk mengurangi polusi dan proses daur ulang, dan lain sebagainya. Gambar 5. Jumlah produk per sub kategori, untuk kategori kesehatan dan kebugaran
Gambar 3. Produk konsumen berbasis nanoteknologi
The Project of Emerging Nanotechnologies di Washington D.C tahun 2010 melaporkan angka pertumbuhan produk yang menggunakan pemanfaatan nanoteknologi mencapai 521% dari tahun 2006 dengan jumlah 212 bertambah menjadi 1,317 pada tahun 2010, dan update terakhir di tahun 2013 sudah mencapai 1,628 produk konsumen (Galizzi, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa inovasi dan meluasnya pengaplikasian nanoteknologi cukup memicu terjadinya revolusi teknologi di industri.
Gambar 6. Jumlah produk berdasarkan negara produksi
RISIKO YANG MUNGKIN DARI PENERAPAN NANOTEKNOLOGI Karakteristik unggul dari produk-produk baru berbasis nanoteknologi memang memberikan banyak kecanggihan dan pengembangan yang menjanjikan ke depannya. Namun, beberapa sumber menyebutkan bahwa pengembangan teknologi ini masih belum diimbangi dengan pengetahuan dan kesadaran akan dampak serta bahaya dari penerapannya. Hasil surveI tahun 2011 (seperti terlihat pada Gambar 8) menunjukkan hampir 65% perusahaan nanoteknologi di US masih belum mengetahui risiko nanoteknologi, baik risiko lingkungan maupun risiko bagi pekerja (Galizzi, 2011).
Gambar 7. Jumlah produk berdasarkan material spesifik yang digunakan
12
nanoteknologi
Ahli kesehatan dan keselamatan kerja menyatakan bahwa standar data secara toksikologi dari nanomaterial yang diproduksi dan digunakan di industri masih tergolong rendah (Baublyte, Mullins, Murphy, & Tofail, 2014). Padahal, hasil studi menyatakan bahwa nanomaterial berpotensi memicu kanker dan mengandung racun. Hal ini perlu menjadi perhatian khusus karena seluruh produk berbahan nanomaterial tersebut tidak hanya diproses oleh pekerja industri, tetapi juga didistribusikan ke pasar, bahkan digunakan oleh konsumen. Sedangkan, sistem regulasi dari proses produksi, labeling, peringatan atau tata cara penggunaan nanomaterial masih tergolong rendah (Baublyte, Mullins, Murphy, & Tofail, 2014). Beberapa industri manufaktur dilaporkan masih gagal dalam menguji keamanan produknya. Terlebih, hasil pengujian terbaru menunjukan timbulnya risiko, seperti melumpuhnya sel otak dan kerusakan sel genetik. Produk tersebut dapat menembus kulit dan menyebar ke seluruh tubuh, namun efeknya masih belum dapat dikenali secara pasti (Insurance, 2013). MENGAPA PERLU MEMULAI KAJIAN RISIKO NANOTEKNOLOGI? Isu risiko nanoteknologi sendiri belum terlalu meledak di Indonesia, ditambah lagi, informasi yang sudah berkembang hampir 20 tahun inipun masih tegolong menjadi pengetahuan baru bagi masyarakat umum. Jika kita mengikuti alur informasi yang mengalir di dunia, isu ini sudah ramai diperbincangkan sejak lama. Beberapa perusahaan asuransi telah mempublikasikan hasil kajian mereka terkait risiko nanoteknologi, seperti: 1. Nanotechnology, Small Matter Many Unknowns 2. Nanotechnology-The Smallest and Biggest Emerging Issue Facing Casualty Insurers (Gen Re, 2011) 3. Focus on: Nanotechnology (Munich Re, 2012) 4. Opportunities and Risk of Nanotechnology (Allianz dan OECD, 2015) Dari hal tersebut perlu diperhatikan bahwa informasi tentang bahaya, respon dosis dan paparan dari nanomaterial masih tergolong rendah. Selain itu nanomaterial memiliki struktur ultrafine yang mirip dengan partikulat udara yang bisa menjadi media utama penyebaran asbestosis. Merujuk pada kasus klaim asbestosis yang terjadi pada tahun 1970, dimana jumlah klaim yang disebut-sebut bernilai fantastis telah menyebabkan lebih dari 70 perusahaan asuransi di U.S mengalami kebangkrutan. Kasus asbestosis ini masih menjadi hal besar yang harus dihadapi beberapa perusahan asuransi di U.S dan U.K. Besarnya kerugian yang di-cover oleh industri asuransi U.S khusus untuk klaim asbestos bisa mencapai $85 miliar, sedangkan di U.K, kelompok pekerja konstruksi bernama Union of Construction, Allied Trades and Technicians (UCATT) memperkirakan klaim asbestos berada pada rentang £6 - £8 milyar (Asbestos Liability in the UK, 2008) . Fitch juga menyatakan bahwa hingga tahun 2013 klaim asbestos yang dibayarkan sudah mencapai USD 53 miliar, dengan simpanan cadangan sebesar USD 23 miliar dan estimasi dari maksimum kerugian industri sebesar USD 85 miliar (CNBC News, 2014). Potensi lain yang mungkin adalah bahwa penerapan teknologi bisa menjadi salah satu risiko sekunder bencana. Sebagai contoh, pengembangan teknologi nuklir di Jepang yang dimulai sejak tahun 1954 ternyata juga menimbulkan risiko katastrofe sekunder sebagai imbas dari terjadinya gempa berkekuatan 9.0 SR dan gelombang tsunami setinggi 20 meter (Welle, 2013). Kejadian tersebut menyebabkan kebocoran reaktor nuklir dengan penyebaran radiasi radioaktif mencapai radius 80 km (Nuclear Risk Insurance, 2015) . Total kerugian ekonomi dilaporkan USD 574 miliar. Besarnya nilai kerugian bencana tersebut juga disebabkan oleh kegagalan penerapan teknologi nuklir. Untuk itu, pengembangan nanoteknologi juga perlu diwaspadai
13
karena bahayanya dapat dengan mudah menyebar melalui perantara air dan udara. Perkembangan industri yang menerapkan nanoteknologi dilaporkan beberapa tahun terakhir terus menerus bergerak secara eksponensial. Cepat atau lambat cukup mungkin mempengaruhi perkembangan industri di Indonesia. Indonesia harus mulai memberikan perhatian khusus dan bersiap terhadap efek katastrofe yang mungkin timbul akibat penerapan nanoteknologi. Informasi terakhir terkait survei Kementerian Riset dan Teknologi (KEMENRISTEK) dan Kementerian Perindustrian (KEMENPERIN) di tahun 2014 menyatakan sudah hampir 35% industri yang menerapkan nanoteknologi di Indonesia, ditambah lagi sudah semakin banyak bermunculan produk nanoteknologi yang juga dihasilkan peneliti Indonesia (LIPI, 2014). PELUANG BISNIS NANOTEKNOLOGI DALAM INDUSTRI ASURANSI Pertumbuhan pengembangan nanoteknologi yang diproyeksikan akan terus meningkat merupakan potensi bagi industri asuransi. Dalam menjalankan fungsinya sebagai enabler, industri asuransi dapat berperan dalam membantu pergerakan teknologi yang lebih maju. Dengan harapan tidak hanya menghasilkan manfaat yang besar tetapi juga bersifat aman, baik secara ekonomi maupun sosial. Jika ditinjau dari sisi kerugiannya maka produk nano yang dihasilkan harus sesuai dengan upaya penurunan eksposur, misalnya pembuatan mobil yang lebih ringan dan lebih kuat, bangunan yang lebih fleksibel dan tidak rentan terhadap cuaca, dan obat-obatan yang tidak mahal dan lebih efektif (Munich Re, 2012). Forum RCO, yang merupakan organisasi internasional manajemen risiko profesional, menyatakan bahwa penilaian eksposur nanoteknologi masih tergolong sulit (Munich Re, 2012). Hasil kajian teknis menyatakan belum ada tolak ukur yang relevan untuk proses underwriting asuransi. Namun bisa jadi tanpa disadari industri asuransi menganggap risiko nanoteknologi sudah menjadi risiko sehari-hari. International Risk Management Institute (IRMI) menyarankan agar industri asuransi mulai mengumpulkan data-data dan tinjauan ilmiah terkait nanomaterial berpotensi bahaya dan digunakan oleh tertanggung. Selanjutnya, data tersebut dibuktikan dan diverfikasi tingkat bahayanya, guna memproteksi bisnis mereka sendiri dan menghindari kesalahan dalam penetapan eksposur yang ditanggung. Faktanya, dalam standar polis Commercial General Liability (CGL), risiko yang cukup signifikan dari pihak ketiga untuk klaim kerusakan properti/kecelakaan kerja belum memperhitungkan risiko nanoteknologi akibat minimnya informasi.
Gambar 8. Hasil Survey di U.S mengenai pengetahuan akan risiko penerapan nanoteknologi di industri.
nanoteknologi
Gambar 10. Terjadinya Gempa berkekuatan 9.0 SR dan tsunami yang berimbas pada kebocoran reaktor nuklir (Fukushima, 2011). Sumber: http://nuclearenergy.net/media/accidentes_nucleares/fukushima/accidente-central-nuclear-fukushimaexplosion.jpg
Gambar 11. Wilayah yang rusak akibat gempa dan tsunami Fukushima 2011. Sumber:http://assets.nydailynews.com/polopoly_fs/1.1496644!/img/httpImage/image.jpg_ gen/derivatives/article_970/correction-japan-quake.jpg Tabel 1. Estimasi kerugian ekonomi
CNBC News, N. (2014). Insurers short up to $9 billion for asbestos claims: Fitch. CNBC, http://www.cnbc.com/2014/04/10/insurersshort-up-to-9-billion-for-asbestos-claims-fitch.html. Earthquake Report. (2012). One Year Summary of Losses in the Japanese Earthquake/Tsunami of March 11th 2011. http://earthquakereport.com/2012/03/10/japan-366-days-after-the-quake-19000-liveslost-1-2-million-buildings-damaged-574-billion/. Gambar 9. Akumulasi kerugian terbayar dan cadangan klaim asbestos
Untuk itu, diperlukan penelitian mandiri yang mengkaji eksposur dan efek nanoteknologi bagi manusia dan lingkungan, mengembangkan skema dan data klasifikasi risiko, serta mulai memfokuskan perbaikan proses underwriting (Allianz Group, 2015). Sebagai tambahan, diperlukan pula pengkajian khusus kegagalan nanoteknologi yang mungkin terjadi akibat bencana alam. REFERENSI Allianz Group, A. (2015). Small Sizes that Matter: Opportunities and Risk of Nanotechnology. http://www.allianz.com/migration/images/pdf/saobj_796424_allianz_ study_nanotechnology_engl.pdf.
Galizzi, M. (2011). Firm's Perceptions of Health and Environmental Hazard and Regulations: Evidence from a Survey of U.S Nanotechnology Companies. Journal of Applied Businnes and Economics , 70-82. Insurance, J. (2013). Managing Nanotechnology and Other Emerging Risk. http://www.insurancejournal.com/magazines/features/2013/10/21/30 8187.html. LLOYD's. (2007). Nanotechnology Recent Development, Risks, and Opportunities. Risks : LLOYD's Emerging Risk and Team Report. Munich Re, M. (2012). Focus on: Nanotechnology. nanostart. (2015). the term "nano" and what it means. Nuclear Risk Insurance. (2015). Liability for Nuclear Damage. World Nuclear Association, http://www.world-nuclear.org/info/Safety-andSecurity/Safety-of-Plants/Liability-for-Nuclear-Damage/.
Asbestos Liability in the UK. (2008). The Actuary, http://theactuary.com/archive/old-articles/part-6/asbestos-liability-inthe-uk/.
Progress in Nanotechnology. (2010). Canada: John Wiley & Sons.
Baublyte, L., Mullins, M., Murphy, F., & Tofail, S. A. (2014). Insurance Market Perception of Nanotechnology and Nanomaterial Risks. Risk Management, 9-14.
Rai, H. S., Bhattacharyya, M., Singh, J., Bansal, T. K., & Vats, U. B. (2005). Critical Reviews in Environmental Science and Technology, 219-238.
Binion, R. (2008). Insurance Coverage, Nanotechnology, and Emerging Liability Issues. Coverage, 19-23.
Roco, M. C. (2006). Nanotechnology's Future. Scholar, W. W. (2007). Project on Emerging Nanotechnologies: A Nanotechnology Consumer Products Inventory. www.nanotechproject.org/consumerproducts.
Boutin, C. (2005). Purdue Scientist Treat Cancer with RNA Nanotecnology. Perdue New Service, http://www.purdue.edu/UNS/html4ever/2005/050914.Guo.nanopartic les.html.
Science, D. o. (2002). Small Wonders, Endless Frontiers: A Review of the National Nanotechnology Initiative. Washington DC: National Research Council.
14
Buletin WASPADA PT Reasuransi MAIPARK Indonesia Multivision Tower 8th Floor Jl. Kuningan Mulia Blok 9B Jakarta Indonesia - 12920 (+62) 21 2938 0088
[email protected] www.maipark.com Pelindung Yasril Y. Rasyid Tim Redaksi Arniz Dwifahdithia Hengki Eko Putra Jyesta Amaranggana Kredit Gambar sampul, hal. 1, 2 “Lembah Berkabut Sesar Lembang” karya Budi Brahmantyo, pernah juga dimuat di
Geomagz Vol. 4 No. 3, September 2014 hal 6, 7 diambil dari www.yourbandung.com sesuai izin dari Pemilik. hal. 9 diambil bebas dari http://www.nature.com/nmat/journal/v5/n4/images/nmat1615-f2.jpg
16