EARTH AND SPACE SCIENCE TEACHING MODEL FOR PROSPECTIVE JUNIOR AND SENIOR HIGH SCHOOL TEACHERS by Agus Suyatna Lecturer of Math & Science Education, The University of Lampung ABSTRACT The objective of the research is to develop Earth and Space Science (ESS) teaching model for prospective teachers that appropriate to the sciences so it becomes meaningful and can be implemented to the subject of ESS in junior or senior high school. The research consists of two step activities. First, the model development is conducted through Education Research and Development method. Second, the validation using Pretest-Posttest Control Group Design. The data are collected using the questionnaire, interview, test, and observation sheets. The product of this research is Earth and Space Science Teaching Model. The developed teaching model has been tried out and known effective based on the five aspects as follows: (1) increasing the knowledge on ESS significantly for all competence groups, (2) increasing the knowledge on ESS more than the learning using regular method, (3) developing and increasing the science process skill, (4) developing the value and attitude such as: cooperation, perseverance, attention & enthusiasm, responsibility, hard working, appreciate others opinion, (5) developing the ability to design students worksheet. It is recommended that the ESS course for prospective teacher conducted using physical science approach and integrated with development of the teaching planning ability. Key words: teaching model, physical science, ESS PENDAHULUAN Masyarakat Indonesia pada umumnya kurang memahami berbagai pengetahuan tentang kebumian dan astronomi. Hal ini ditunjukan oleh fenomena yang ada pada masyarakat seperti: (1) Dalam menggali sumberdaya alam, belum dilaksanakan dengan upaya bangsa sendiri dan belum dilakukan secara bijaksana.
Banyak penggalian
sumberdaya alam yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan akhirnya menjadi bencana bagi masyarakat seperti longsor, banjir, dan lain-lain. (2) Dalam melaksanakan pembangunan, lebih mempertimbangkan nilai ekonomis dan keindahan daripada tata ruang ramah lingkungan. Daerah yang seharusnya menjadi tempat resapan air, dibangun secara besar-besaran. Pengerasan permukaan tanah dilakukan dimana-mana, sehingga pada musim kemarau terjadi kekeringan dan pada musim hujan terjadi banjir. (3) Dalam menghadapi bahaya bencana alam kebumian, belum mengetahui tindakan yang harus diambil sehingga menelan korban yang sangat banyak. Sebagaimana yang terjadi pada korban tsunami, menurut Nugraha (2006), andai saja masyarakat Aceh sudah mendapat pelajaran tentang cara-cara menyelamatkan diri dari terjangan tsunami melalui bangku sekolah atau program-program yang dilakukan pemerintah, bisa jadi korban jiwa tidak
1
sebanyak ini, (4) Kesadaran masyarakat terhadap cuaca, iklim, dan kondisi atmosfer masih rendah. Dalam memilih waktu tanam dan jenis tanaman, para petani belum mempertimbangkan faktor iklim dan cuaca dengan baik. Dalam merencanakan bepergian, masyarakat belum terbiasa untuk melihat prakiraan cuaca. Kebakaran/pembakaran hutan yang menimbulkan efek rumah kaca, masih terus terjadi. (5) Dalam menentukan waktu sering menyebabkan perselisihan, misalnya waktu Idul Adha atau Idul Fitri.
Hal ini
dikarenakan belum memahami mengenai peredaaran bulan dengan baik. (6) Kebesaran penciptaan alam semesta belum dirasakan sepenuhnya karena belum memahami luasnya jagat raya dan kecilnya manusia. Pengetahuan tentang kebumian dan astronomi sangat penting diketahui masyarakat Indonesia sejak dini karena wilayah (kepulauan) Indonesia memiliki ciri geografis yang unik yaitu tempat pertemuan tiga lempeng besar dunia, yaitu Lempeng Pasifik, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Eurasia. Dengan ciri seperti di atas, Indonesia di samping rawan bencana alam juga diuntungkan dengan munculnya pulaupulau kecil, banyak memiliki sumber panas bumi, kaya dengan bahan tambang serta mineral dan banyak memiliki jebakan minyak bumi. Gunung berapinya membuat tanah menjadi subur untuk pertanian. Sebagai negara dengan ciri geografis seperti itu, masyarakat Indonesia sangat perlu untuk memahami Ilmu Kebumian dengan baik supaya dapat menggali dan memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang tersedia dengan upaya sendiri secara bijaksana. Dengan demikian dapat terhindar dari bencana alam yang terjadi akibat kesalahan dalam mengelola sumberdaya alam. Para petaninya perlu mempunyai kesadaran terhadap iklim sehingga dapat memanfaatkan iklim sebagai sumberdaya pertanian. Para nelayannya perlu memahami karakteristik lautan seperti munculnya up-welling (pusaran naik) yang berkaitan dengan banyaknya ikan dan gerhana bulan yang berkaitan dengan kurangnya ikan. Dan Sebaliknya, kehidupan di bumi dan masa depannya tergantung kepada kedalaman pemahaman manusia terhadap planet bumi. Sebagaimana menurut Barstow et al. (2001), konsep bumi sebagai sistem yang kaya dan kompleks dalam interkoneksinya dengan komponen dan proses-proses yang terjadi telah menjadi paradigma dominan dalam sains. Pembelajaran topik-topik IPBA di SMP/MTs dan SMA/MA selama ini didominasi oleh ceramah dan studi pustaka. Untuk dapat memahami IPBA dengan baik maka proses pembelajarannya harus bermakna dan sesuai dengan hakikat keilmuannya. Karena IPBA merupakan ilmu yang mengkaji kejadian dan proses fisis bumi dan alam semesta maka selayaknya dipelajari secara physical science. Physical Science adalah suatu istilah yang mencakup cabang dari IPA (natural science) dan sains (secara umum), yang mempelajari sistem pada benda tak hidup mencakup: (a) bumi (tanah dan batuan, air, dan udara), (b)
2
tata surya, (c) galaksi, dan (d) jagat raya (alam semesta) , kontras dengan biological sciences. Prinsip dasar physical science terletak pada konsep kunci dan teori yang menjelaskan dan atau memodelkan tingkah laku alam. Konsep kunci dan teori ini datang dari penemuan (discovery) dengan menggunakan metode ilmiah (scientific method) yang harus ditemukan menggunakan bukti ilmiah (scientific evidence) (Tillery, 2005). Pendidikan IPBA memberikan kesempatan yang sangat besar untuk mengajarkan inkuiri ilmiah dan keterampilan berpikir kritis. Dalam mempelajari IPBA, siswa harus menggabungkan disiplin ilmu dasar lain untuk melihat bahwa kehidupan dan alam bersifat dinamis dan berada dalam keadaan saling ketergantungan (Barstow et al., 2001). Kurikulum IPBA yang berkualitas tinggi akan memberikan kesempatan yang baik bagi terselenggaranya pembelajaran dengan pendekatan inkuiri dan eksplorasi. Pendekatan ini akan mengarahkan pada kegiatan penemuan ilmiah yang memungkinkan mahasiswa memahami konsep kunci dan mendapatkan keterampilan yang amat diperlukan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki pembelajaran IPBA di SMP/MTs dan SMA/MA yaitu melalui calon guru yang akan mengajar bahan kajian tersebut di sekolah kelak. Pemberian contoh pembelajaran IPBA pada saat calon guru duduk di bangku kuliah, sangat penting karena guru cenderung untuk mengajar seperti mereka diajar ketika kuliah. Menurut McDermott et al. (2000) apabila guru ketika kuliah, diajar menggunakan metode ceramah, maka mereka juga lebih menyukai mengajar dengan cara ceramah, walaupun pembelajaran tersebut tidak cocok untuk siswa-siswanya. Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimana model pembelajaran IPBA untuk mahasiswa calon guru IPBA sehingga dirasakan hidup dan bermakna? METODE PENELITIAN Tahap pengembangan penelitian ini menggunakan metode Education Research and Development dan tahap validasi menggunakan metode eksperimen dengan desain Pretest-posttest Control Group Design. Penelitian dilaksanakan menggunakan langkahlangkah pada model penelitian dan pengembangan pendidikan Dick dan Carey (2001). Ada sepuluh langkah yang dicakup pada siklus model ini. Kegiatan yang dilaksanakan pada setiap langkah yaitu sebagai berikut:
(1) Pada langkah pertama dilakukan studi pendahuluan yang mencakup analisis kebutuhan (need assessment)
terhadap pengembangan pembelajaran IPBA di
LPTK dan studi literatur.
3
(2) Pada langkah kedua dilakukan analisis terhadap kurikulum mata kuliah IPBA di LPTK. Pada tahap ini dilakukan juga observasi terhadap proses perkuliahan IPBA di LPTK. (3) Pada langkah ketiga dilakukan identifikasi pengetahuan, keterampilan dan sikap awal mahasiswa yang dalam hal ini dilihat dari: (a) mata kuliah yang sudah ditempuh mahasiswa sebelum menempuh mata kuliah IPBA; (b) wawancara mengenai sikap dan harapan mahasiswa pada perkuliahan IPBA. (4) Pada langkah keempat dilakukan penulisan rencana kompetensi dasar, standar kompetensi, indikator-indikator, dan isi mata kuliah. (5) Pada langkah kelima dikembangkan instrumen asesmen.
(6) Pada langkah keenam dikembangkan strategi perkuliahan IPBA secara physical science. (7) Pada langkah ketujuh dikembangkan materi perkuliahan dalam bentuk Lembar Kegiatan Mahasiswa (LKM). (8) Pada langkah kedelapan dilakukan uji coba program secara bertahap untuk mengetahui kelemahan dan kekurangan program yang dikembangkan. (9) Pada langkah kesembilan dilakukan revisi dan modifikasi terhadap program yang dikembangkan.
(10) Pada langkah kesepuluh dilakukan uji validasi untuk melihat kebermanfaatan model yang akan dikembangkan. Uji validasi dilaksanakan dengan membandingkan hasil belajar
mahasiswa
yang
perkuliahannya
menggunakan
program
yang
dikembangkan dengan mahasiswa yang perkuliahannya menggunakan cara reguler yaitu ceramah dan presentasi mahasiswa. Desain yang digunakan pada tahap ini yaitu Pretest-Posttest Control Group Design (Ruseffendi, 1994) R
O
X1
O
R
O
X2
O
Keterangan:
O : Tes pengetahuan IPBA X1 : Pembelajaran secara physical science X2 : Pembelajaran dengan program reguler
Data dikumpulkan melalui tes pengetahuan IPBA, wawancara, angket dan lembar observasi. Data mengenai standar kompetensi, kompetensi dasar dan materi-materi IPBA yang diperlukan calon guru yang akan mengajar IPBA di sekolah menengah, diperoleh berdasarkan kepada expert judgment yaitu ahli Ilmu Kebumian dan ahli Ilmu Astronomi. Untuk memperoleh data mengenai pengaruh implementasi Program Pembelajaran IPBA, digunakan subjek penelitian 40 orang mahasiswa semester dua program studi
4
Pendidikan Fisika sebuah FKIP universitas negeri yang mengambil mata kuliah IPBA pada saat penelitian ini dilaksanakan. Mahasiswa tersebut dibagi dua kelompok secara acak, masing-masing kelompok terdiri dari 20 orang. Kelompok pertama memperoleh pembelajaran IPBA menggunakan program yang dikembangkan dan selanjutnya disebut kelompok eksperimen. Kelompok kedua memperoleh pembelajaran IPBA menggunakan program reguler dan selanjutnya disebut kelompok kontrol. Data hasil tes dianalisis secara kuantitatif menggunakan normalized gain dan uji beda dua rata-rata.
Sedangkan data hasil angket mengenai tanggapan mahasiswa
terhadap implementasi program, dianalisis menggunakan teknik persentase. HASIL DAN PEMBAHASAN Model pembelajaran Model pembelajaran IPBA secara physical science hasil pengembangan secara skematis disajikan pada Gambar 1. Pembelajaran dimulai dengan menggali pengalaman dan pengetahuan kontekstual mahasiswa mengenai topik yang akan dibahas dan menyampaikan tujuan serta manfaat mempelajari topik ini. Langkah ini dimaksudkan untuk mengingatkan kembali mahasiswa pada pengetahuan yang sudah dimilikinya sehingga akan memudahkan mahasiswa dalam mengkonstruksi pengetahuan baru yang akan diperolehnya. Tujuan dan manfaat mempelajari topik disampaikan kepada mahasiswa dengan maksud untuk membangkitkan motivasi dalam mempelajari topik tersebut. Selanjutnya mahasiswa secara berkelompok melakukan eksplorasi dan pengamatan pada fenomena alam yang berkaitan dengan topik yang dibahas. Pengamatan dilakukan dengan berbagai cara seperti pengamatan fenomena alam secara langsung, melalui foto dan gambar, melalui VCD, melalui model dan simulasi. Berdasarkan hasil eksplorasi dan pengamatan, mahasiswa
melakukan
eksperimentasi
dibimbing
dengan
LKM
(Lembar
Kerja
Mahasiswa). Langkah berikutnya yaitu membangun konsep/prinsip berdasarkan kepada hasil
analisis
data.
Pada
tahap
ini
mahasiswa
dituntut
untuk
menjelaskan,
menghubungkan, menggambarkan, membandingkan, dan membuat perumusan terhadap variabel-variabel yang diselidiki berdasarkan kepada data yang telah diperoleh. Konsep/prinsip dibangun melalui interpretasi data dan diskusi dalam kelompok dan antar kelompok.
Keterampilan proses sains dibangun melalui kegiatan pengamatan,
eksperimentasi, dan interpretasi data. Nilai dan sikap dibangun melalui kegiatan eksplorasi, pengamatan, dan diskusi. Kemampuan merencanakan pembelajaran topiktopik IPBA secara physical science dibangun melalui pemberian contoh pada perkuliahan.
5
Asesmen dilakukan oleh dosen pada aspek-aspek pengetahuan, keterampilan proses sains, nilai dan sikap, dan kemampuan merencanakan pembelajaran di SMP/SMA. Alat asesmen berupa soal tes, lembar observasi kelas, laporan kegiatan eksperimen, dan LKS yang dikembangkan mahasiswa.
STANDAR KOMPETENSI MEMAPARKAN & MENERAPKAN
MERENCANAKAN PEMBELAJARAN
MERENCANAKAN & MELAKSANAKAN EKSP
OBSERVASI KELAS & LAPORAN
LKS
KETERAMPILAN PROSES SAINS
KOMPETENSI DASAR
TES
PEMBERIAN CONTOH
MEMBANGUN KONSEP/PRINSIP
MEMBANGUN KETERAMPILAN
DISKUSI LKM
OBSERVASI KELAS PEMBENTUKAN NILAI & SIKAP
EKSPERIMENTASI
ASESMEN
DOSEN
MENGGALI PENGALAMAN
MAHASISWA (KELOMPOK)
EKSPLORASI/PENGAMATAN FENOMENA ALAM
MENYAMPAIKAN TUJUAN & MANFAAT
MATERI POKOK KARAKTERISTIK & PERILAKU BUMI
GEOSFER
DINAMIKA BUMI & BENCANA ALAM KEB
TATA SURYA
JAGAT RAYA
Gambar 1. Skema program pembelajaran IPBA secara physical science Efektivitas Pembelajaran IPBA Secara Physical Science Efektivitas pembelajaran IPBA dalam makalah ini ditinjau dari dua aspek yaitu: (1) keunggulan dibandingkan dengan program reguler dan (2) peningkatan pengetahuan yang signifikan. 1. Perbandingan Hasil Belajar Secara physical Science dengan Program Reguler Efektivitas implementasi program pembelajaran IPBA secara physical science ditunjukan oleh hasil uji perbedaan skor rata-rata kelompok kontrol dengan kelompok
6
eksperimen. Sebelum pembelajaran dimulai, pada masing-masing kelompok kontrol dan kelompok eksperimen diberi tes pengetahuan IPBA dengan menggunakan soal yang sama. Hasilnya ditunjukkan pada Tabel 1. Kelompok eksperimen memperoleh skor ratarata pretest 26,47 dan kelompok kontrol memperoleh skor rata-rata pretest 26,82. Setelah implementasi program pembelajaran IPBA secara physical science dilakukan sebanyak delapan pertemuan pada kelompok eksperimen. Kedua kelompok, eksperimen dan kontrol dites kembali pada waktu yang sama dan menggunakan soal yang sama. Hasilnya, kelompok eksperimen memperoleh skor rata-rata posttest 82,65 dan memperoleh
normalized gain sebesar 77%,
sedangkan kelompok kontrol
memperoleh skor rata-rata posttest 48,59 dan memperoleh normalized gain sebesar 29%. Tabel 1. Uji perbedaan skor rata-rata tes pengetahuan IPBA antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol Kelompok Uji
Pretest Posttest N-Gain
Kelompok perlakuan
Ratarata
SD
Eksperimen
26,47
12,43
Kontrol
26,82
10,94
Eksperimen
82,65
14,27
Kontrol
48,59
11,86
Eksperimen
0,77
0,158
Kontrol
0,29
0,155
Perbedaan
t
Sig. Keterangan (2-tailed)
0,35
0,095
0,925
tidak berbeda signifikan
34,06
8,198
0,000
Berbeda signifikan
0,48
9,699
0,000
Berbeda signifikan
Setelah dilakukan uji perbedaan rata-rata dengan menggunakan uji-t diperoleh hasil, skor rata-rata prestest kedua kelompok tidak berbeda secara signifikan pada taraf kepercayaan 99%. Artinya, sebelum perkuliahan dimulai, pengetahuan awal kelompok eksperimen sama dengan kelompok kontrol. Pengujian dilanjutkan pada hasil posttest kelompok kontrol dan kelompok eksperimen,
hasilnya, skor rata-rata posttest kedua
kelompok berbeda secara signifikan pada taraf kepercayaan 99%. Demikian juga skor rata-rata normalized gain antara kedua kelompok, hasilnya berbeda secara signifikan pada taraf kepercayaan 99%. Artinya, setelah mengalami perkuliahan secara physical science, pengetahuan IPBA pada kelompok eksperimen menjadi berbeda dibandingkan dengan pada kelompok kontrol. Kelompok eksperimen memperoleh skor rata-rata yang jauh lebih tinggi dan memperoleh normalized gain yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dengan demikian dapat disimpulkan, perkuliahan IPBA secara physical science pada kelompok eksperimen lebih baik dibandingkan dengan perkuliahan secara reguler pada kelompok kontrol. 2. Peningkatan Pengetahuan IPBA
7
Peningkatan
pengetahuan
IPBA
dievaluasi
setelah
mahasiswa
mengalami
pembelajaran IPBA secara physical science selama delapan kali pertemuan. Lima kali pertemuan yang pertama mempelajari topik-topik Ilmu Kebumian (Rekonstruksi Pangea, Gempa Bumi, Longsor, Efek Rumah Kaca, dan Rotasi dan Revolusi Bumi) dan tiga kali pertemuan selanjutnya mempelajari topik-topik Ilmu Astronomi (Mengobservasi Gerak Matahari, Perbandingan Planet, Mengukur Diameter dan Jarak Sudut Benda Langit). Data pengetahuan IPBA diperoleh dari hasil tes tertulis yang diberikan pada awal perkuliahan (pretest) dan setelah mahasiswa belajar selama delapan kali pertemuan (posttest). Skor hasil tes diperoleh dari penilaian terhadap 17 soal tes yang berbentuk essay. Mahasiswa yang mampu memberikan jawaban maupun penjelasan dengan tepat atau sudah 100% memberikan jawaban benar dari sejumlah yang diminta diberi skor 5, sedangkan mahasiswa yang memberi jawaban ada unsur benarnya walaupun sedikit sekali, namun tidak memberikan alasan/penjelasan atau hanya 20% memberikan jawaban benar dari sejumlah yang diminta diberi skor 1. Dengan demikian skor maksimum yang dapat diperoleh seorang mahasiswa adalah 85 dan skor minimum adalah nol. Untuk memudahkan perhitungan dan memberikan kesan spontan terhadap perolehan skor total, maka skor ditransformasi ke skala 100 dengan cara mengalikan setiap perolehan skor total dengan angka 100/85. Tabel 2. Skor hasil pretest dan posttest kelompok eksperimen GAIN
N-GAIN
Rerata
ASPEK
PRETEST POSTTEST 26,50
82,55
56,18
0,77
SD
12,42
14,24
12,75
0,158
UJI PERBEDAAN t= 19,73 Sig (2-tailed) = 0,000
Tabel 2 menunjukkan skor mahasiswa pada pretest, posttest, dan normalized gain. Berdasarkan
hasil
uji
perbedaan
rata-rata
skor
pretest
dan
posttest
dengan
mempergunakan uji t diperoleh fakta, skor pretest dan posttest berbeda secara signifikan pada taraf kepercayaan 99%. Skor posttest jauh lebih tinggi dibandingkan dengan skor pretest. Perolehan skor posttest rata-rata yang cukup tinggi yaitu 82,55 atau memperoleh normalized gain 77% (kategori tinggi) pada hasil penelitian ini dimungkinkan karena semua tahap pelaksanaan proses pembelajaran mendukung ke arah peningkatan hasil belajar mahasiswa. Pada tahap apersepsi, dosen berupaya menggali pengalaman dan pengetahuan kontekstual mahasiswa mengenai topik yang akan dibahas. Kegiatan ini membantu mahasiswa dalam menghubungkan pengetahuan atau pengalaman yang sudah dimilikinya dengan pengetahuan baru yang akan diperolehnya. Hal ini bersesuaian dengan teori konstruktivis yang berpandangan bahwa belajar merupakan kegiatan
8
membangun pengetahuan yang dilakukan sendiri oleh siswa berdasarkan pengalaman yang dimiliki sebelumnya (Ramsey, 1993). Berdasarkan teori ini, mahasiswa akan lebih mudah dalam mengkonstruksi pengetahuan baru apabila pengetahuan baru tersebut berkaitan
dengan
pengetahuan
sebelumnya
atau
memiliki
hubungan
dengan
pengalamannya. Mahasiswa akan mengkonstruksi pengetahuannya dalam proses belajar melalui interaksi dengan suatu fenomena yang dialaminya. Selanjutnya mahasiswa mengevaluasi kejelasan fenomena tersebut dan berupaya agar fenomena tersebut masuk akalnya sehingga dapat diterima sebagai pengetahuan pencerahan yang baru. Menurut Piaget (1950), individu akan mengkonstruksi pengetahuan baru dari pengalamannya melalui proses akomodasi dan asimilasi. Asimilasi terjadi apabila pengalaman individu sejalan dengan representasi internalnya. Siswa akan mengasimilasi pengalaman baru ke dalam kerangka kerja yang telah ada padanya. Akomodasi adalah proses penataan ulang suatu representasi mental dari luar dirinya dan mencocokannya dengan pengalaman barunya. Sebagian besar konstruktivis setuju bahwa belajar terjadi apabila individu mengasimilasi informasi baru ke dalam model mental yang telah ada pada dirinya, atau mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai hasil dari kesenjangan yang ada pada dirinya (Geer dan David, 2004). Motivasi belajar ditumbuhkan pada awal perkuliahan dengan menjelaskan manfaat mempelajari topik-topik IPBA baik untuk bekal mengajar kelak maupun untuk bekal hidup. Dengan mengetahui manfaat mempelajari suatu topik, akan tumbuh motivasi dan minat untuk mempelajari topik tersebut. Selanjutnya motivasi dan minat belajar akan mempengaruhi hasil belajar siswa. Sebagaimana dijelaskan oleh Wahyudi (2001), ada banyak faktor yang mempengaruhi pencapaian tingkat pemahaman siswa terhadap materi ajar, salah satunya adalah motivasi belajar. Pengembangan kemampuan merencanakan pembelajaran dan melaksanakan eksperimen terintegrasi dalam pembelajaran IPBA. Selama proses belajar mahasiswa diberi contoh dan dilatih merencanakan dan melaksanakan eksperimen sederhana untuk membangun konsep-konsep IPBA.
Pengalaman belajar mahasiswa dalam mengikuti
perkuliahan IPBA diharapkan dapat dijadikan sebagai contoh untuk bekal mengajarkan materi Bumi dan Alam Semesta di SMP/MTs atau SMA/MA. Kompetensi dasar dan hasil belajar yang menjadi tujuan belajar, disampaikan kepada mahasiswa pada awal pembelajaran sehingga mahasiswa memahami betul mengenai tujuan belajar yang harus dicapai. Dengan demikian mahasiswa berupaya melaksanakan semua aktivitas belajar untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagaimana dikemukakan oleh Erlendsson (2001), menyampaikan tujuan belajar yang jelas
9
merupakan hal yang dibutuhkan untuk memotivasi siswa. Hal ini akan mendorong mahasiswa mengerjakan segala sesuatu yang menjadi tugas belajarnya. Pada tahap eksplorasi, materi diperkenalkan melalui pengamatan fenomena alam secara langsung atau melalui visualisasi seperti video, foto-foto, gambar-gambar atau melalui simulasi komputer. Pengamatan fenomena alam secara langsung akan memberikan pengalaman yang sangat berharga bagi mahasiswa. Berdasarkan
hasil
pada
tahap
eksplorasi
di
atas,
mahasiswa
dibimbing
menggunakan Lembar Kerja Mahasiswa untuk menentukan variabel-variabel fenomena alam, merencanakan dan melakukan eksperimen, menentukan hubungan antar variabel. Pada
tahap
ini
mahasiswa
dituntut
untuk
menjelaskan,
menghubungkan,
menggambarkan, membandingkan, dan membuat perumusan terhadap variabel-variabel yang diselidiki berdasarkan kepada data yg telah diperoleh. Selanjutnya mahasiswa membentuk konsep,
prinsip/hukum,
teori atau membandingkan perolehan hasil
penyelidikan dengan konsep, prinsip/hukum, atau teori yang telah ada. Tahap ini merupakan langkah pembelajaran dengan pendekatan inkuiri. Menurut mahasiswa, dengan mengikuti prosedur eksperimen yang ada pada LKM, mereka dapat menemukan jawaban dari permasalahan yang diajukan. Mahasiswa merasa tidak perlu menghapalkan konsep/prinsip pada materi IPBA karena konsep/prinsip tersebut mereka peroleh sendiri melalui berbagai kegiatan pengamatan dan percobaan selama aktivitas belajar sehingga tidak akan terlupakan. Strategi pembelajaran seperti ini, di samping dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mahasiswa secara signifikan dan melatih keterampilan kerja ilmiah, juga dapat memberikan contoh kepada mahasiswa mengenai cara pembelajaran dengan pendekatan inkuiri. Hal ini sangat penting bagi calon guru sains agar ia setelah menjadi guru dapat menerapkan pembelajaran dengan pendekatan inkuiri di sekolah, karena guru akan menemui kesulitan untuk menerapkan metode inkuiri dalam mengajar apabila mereka sendiri tidak pernah mengalaminya (Loucks dan Horsely, 1997). Pada akhir perkuliahan, mahasiswa diminta untuk mengaitkan materi ajar yang baru diperoleh dengan berbagai aspek kegiatan dan kehidupan di dalam lingkungan. Pada tahap ini mahasiswa didorong untuk menerapkan konsep atau pengertian yang dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan pengertian yang dipelajari diharapkan mahasiswa membangun sikap dan perilaku baru. Pemahaman yang baik terhadap fenomena alam diharapkan akan melahirkan perlakuan dan sikap yang baik terhadap lingkungan. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
10
Pembelajaran IPBA sangat sesuai diajarkan secara physical science. Tahapantahapan
pembelajarannya
mencakup:
apersepsi,
eksplorasi
fenomena
alam,
eksperimentasi, identifikasi (konsep, prinsip/hukum, teori), dan pembentukan sikap serta perilaku. Pembelajaran dimulai dengan menggali pengalaman
dan pengetahuan
kontekstual mahasiswa mengenai topik yang akan dibahas. Selanjutnya mahasiswa secara berkelompok melakukan eksplorasi dan pengamatan pada fenomena alam. Berdasarkan hasil eksplorasi dan pengamatan, mahasiswa melakukan eksperimentasi. Langkah berikutnya yaitu membangun konsep/prinsip berdasarkan kepada hasil analisis data. Pembentukan sikap serta perilaku dilaksanakan melalui tahap eksplorasi dan eksperimentasi. Program pembelajaran IPBA secara physical science, efektif ditinjau dari dua aspek yaitu: (1)
lebih unggul secara signifikan dalam meningkatkan pengetahuan
IPBA
dibandingkan dengan program reguler, dan (2) dapat meningkatkan pengetahuan IPBA secara signifikan dengan normalized gain skor rata-rata sebesar 77%. Tanggapan mahasiswa calon guru terhadap implementasi program pembelajaran IPBA secara physical science positif. Belajar IPBA dengan cara ini lebih bermakna, baik untuk bekal hidup maupun untuk modal mengajar kelak. Proses belajar menarik dan tidak membosankanPerkuliahan IPBA sebaiknya dilaksanakan secara physical science. Direkomendasikan
dosen
mengintegrasikan
perkuliahan
materi
tersebut
dengan
pengembangan kemampuan merencanakan pembelajarannya di SMP dan SMA dengan pendekatan inkuri dan eksplorasi. Selama proses belajar mahasiswa diberi contoh dan dilatih merencanakan pembelajaran dan melaksanakan eksperimen sederhana untuk membangun konsep-konsep IPBA.
Pengalaman belajar mahasiswa dalam mengikuti
perkuliahan IPBA diharapkan dapat dijadikan sebagai contoh untuk bekal mengajarkan bahan kajian Bumi dan Alam Semesta di SMP atau SMA. DAFTAR PUSTAKA Barstow, D., Ed Geary, dan Yazijian, H. (2002). Revolution in Earth and Space Science Education. //www.EarthScienceEdRevolution.org Dick, W., and Carey, L. (2001). The Systematic Design of Instruction (5th ed.). New York: Longman Erlendsson, Jon (2001). “Learning Motivation”. Educational Productivity, http://www.hi.is/~joner/eaps/wh.sdlmo.htm Geer, U.C. and David W.R. (2004). “A Review of Research on Constructivist-Based Strategies for Large Lecture Science Classes”. Journal of Research in Science Education, VOL. 41, NO. 5, PP. 415–431
11
Loucks and Horsely, S. (1997). “Reforming Teaching and Reforming Staff Development”. Journal of Staff Development. 18, 20-22 McDermott L C, Shaffer P S, Constantinou C P. (2000). “Preparing Teachers to Teach Physics and Physical Science by Inquiry”. Physics Education. 35(6) Nugraha, P. (2006). “Minimnya Dana Pencegahan”. Kompas (16 Agustus 2006) Piaget, Jean. (1950). The Psychology of Intelligence. New York: Routledge Ruseffendi, E.T. (1994). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non_Eksakta Lainnya. Semarang: IKIP Semarang Press Tillery, B.W. (2005). Physical Science, 6/e. New York: McGraw-Hill. Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Physical_science Wahyudi (2001). “Tingkatan Pemahaman Siswa Terhadap Materi Pembelajaran IPA”. Editorial Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi 36
12