BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum, tauhid diartikan sebagai satu keyakinan dan kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (la ilaha illallah). Tauhid secara etimologis, berasal dari bahasa Arab wahdah atau wahid yang berarti satu. Hakeem Hameed mengartikan tauhid sebagai sebuah kepercayaan ritualistik dan perilaku seremonial yang mengajak manusia menyembah realitas hakiki (Allah); dan menerima segala pesan-Nya yang disampaikan lewat kitabkitab suci dan para Nabi untuk diwujudkan dalam sikap yang adil, kasih sayang, serta menjaga diri dari perbuatan maksiat dan sewenang-wenang demi mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.1 Tauhid menurut Abu al-A’la al-Maududi adalah kalimat deklarasi seorang muslim, kalimat pembeda
seorang muslim dengan orang kafir, ateis dan
musyrik. Sebuah perbedaan yang lebih terletak pada peresapan makna tauhid dan meyakininya dengan sungguh-sungguh kebenaran-Nya; dengan mewujudkannya dalam perbuatan agar tidak menyimpang dari ketetapan Ilahi. 2 Lain halnya Muhammad Taqi, tauhid berarti meyakini keesaan Allah. Keyakinan ini berarti meyakini bahwa Allah adalah satu dalam hal wujud, penciptaan, pengatur, pemerintah, penyembahan, meminta pertolongan, merasa takut, berharap, dan tempat pelabuhan cinta. Intinya tauhid menghendaki agar seorang muslim menyerahkan segala urusan dan hatinya hanya kepada Allah.3 Maka nampak bahwa secara umum, tauhid lebih sering diartikan dengan teoantroposentris; yang mana pembahasannya masih berkutat pada pemusatan pada Allah dan bahwa manusia mesti mengabdi pada-Nya. Belum ada pembahasan secara rinci tentang tauhid sebagai prinsip kehidupan, prinsip pokok yang menjadi prinsip atas aspek-aspek kehidupan. Aspek keluarga, negara, 1
Hakeem Abdul Hameed, Aspek-aspek Pokok Agama Islam, terj. Ruslan Shiddieq, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983), Cet. 1, hlm. 36. 2 Abul A’la al-Maududi, Prinsip-prinsip Islam, terj. Abdullah Suhaili, (Bandung: al-Ma’arif, 1975), hlm. 68. 3 Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Filsafat Tauhid, terj. M. Habin Wicaksana, (Bandung: Mizan, 2003), Cet. 1, hlm. 61-64.
1
2 ekonomi, sosial, politik, sosial, pengetahuan dan sebagainya selengkap yang dilakukan oleh Ismail Raji al-Faruqi.4 Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai prinsip dalam kehidupan; mulai dari prinsip keluarga, pengetahuan, etika, metafisika, sejarah, tatanegara (tata politik, sosial, dan ekonomi), ummah, dan estetika.5 Tauhid sebagai prinsip keluarga artinya keluarga merupakan suatu sarana mewujudkan ketentuan moral dari Tuhan (penghambaan). Keluarga melahirkan suatu pola hubungan kompleks yang menjadi dasar pendidikan bagi anak. Tauhid sebagai prinsip pengetahuan artinya tauhid sebagai asas epistemologi dan metodologi pengetahuan. Epistemologi memunculkan rasa sadar nilai sebagai pengantar manusia mencapai kebenaran nilai. Metodologi berfungsi sebagai pendorong manusia untuk mencari dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.6 Nilai yang dimaksud di sini adalah nilai yang bersumber dari Allah. Allah sebagai sumber nilai yang kehendak-Nya merupakan norma-norma yang mesti diikuti dan menempatkannya sebagai tujuan akhir dan motif bagi setiap tindakan moral manusia. Inilah substansi yang terkandung dalam tauhid prinsip etika. Dengan landasan inilah tauhid sebagai prinsip sejarah menghendaki agar manusia terlibat langsung dalam kehidupan untuk mencipta perubahan sejarah menurut pola Ilahi. Perubahan ini meliputi aspek politik, ekonomi dan sosial. Secara politis, tauhid menghendaki agar khilafah (negara) melaksanakan syariat untuk mewujudkan keadilan. Khilafah bertanggung jawab atas ketentraman
dan
kesejahteraan
umat.
Secara
sosial
ekonomi,
tauhid
mensyaratkan kedermawanan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Tauhid sebagai prinsip estetika artinya, yang disebut keindahan adalah sesuatu yang dapat membawa kesadaran penanggap seni kepada ide transendensi 4
Untuk selanjutnya penulis menyebut al-Faruqi untuk menunjuk Ismail Raji al-Faruqi. Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, terj. terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1988), Cet. 1, seluruh isi buku. 6 Islamisasi Pengetahuan adalah salah satu wujud konkretnya yang merupakan tindak lanjut dari gagasannya tentang tauhid sebagai prinsip pengetahuan. Lihat Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Muhyidin, (Bandung: Pustaka, 1984), Cet. 1. 5
3 sehingga penanggap seni tersebut akan berusaha memenuhi kehendak-Nya sebagai bukti atas eksistensinya sebagai manusia. Dan pada akhirnya kesadaran inilah yang akan meneguhkan kesadaran terhadap adanya Wujud Transenden.7 Adapun penelitian dalam skripsi ini akan difokuskan pada pemikiran alFaruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga. Sebagai prinsip keluarga, tauhid (menurut al-Faruqi) memandang keluarga sebagai suatu sarana untuk memenuhi tujuan Ilahi (penghambaan). Keluarga melahirkan suatu hubungan yang luas dan kompleks karena di dalamnya tercipta suatu pendidikan dasar. Seperti mencintai, menolong, mendukung (supporting), dan sebagainya.8 Keluarga
merupakan
unit
pembentuk-pembangun
masyarakat.
Pembangunan ini tentu saja mensyaratkan adanya interaksi edukatif di dalamnya. Maka rasanya tepat sekali ketika Khalid Syantuh menyebut keluarga sebagai satu lembaga pendidikan yang paling esensial. Peranannya dalam perkembangan anak lebih besar daripada peranan sekolah. Sebab anak lebih banyak menghabiskan waktu dalam keluarga daripada tempat-tempat lainnya. 9 Bahkan menurut Ngalim Purwanto, pendidikan keluarga adalah dasar pendidikan bagi anak berikutnya. Nilai pendidikan dalam keluarga menentukan pendidikan anak itu selanjutnya baik di sekolah maupun dalam masyarakat.10 Hal ini terutama karena keluarga adalah satu wadah pertama bagi pertumbuhan
dan
pengembangan
anak.11
Keluarga
bertanggung
jawab
mengembangkan anak baik dalam hal jasmani, akal dan rohani.12 Perkembangan ini tentu saja mesti dilandasi dengan norma tauhid agar tidak terjadi sebuah perkembangan yang menyeleweng dari fitrah. Untuk itu, ada dua hal pokok yang harus ada dalam pendidikan keluarga yaitu tauhid dan 7
Untuk lebih jelasnya lihat buku Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid, terj. Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999). Cet. 1. 8 Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit., hlm. 139. 9 Khalid Ahmad asy-Syantuh, Pendidikan Anak Putri dalam Keluarga, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 1994), Cet. 3, hlm.12. 10 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), Cet. 12, hlm.79. 11 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995), Cet. 2, hlm. 47. 12 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. 4, hlm. 155.
4 akhlak. Pokok-pokok tauhid mutlak diperlukan karena tauhid mengajarkan akan sifat dan kekuasaan Allah sehingga melalui pendidikan tauhid akan tumbuh generasi yang sadar akan sifat-sifat Ilahiah. Begitu pula halnya dengan akhlak yang mengatur pola hubungan dengan masyarakat sehingga melalui pendidikan akhlak akan tumbuh generasi yang berakhlak mulia yakni generasi yang tindakannya sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT.13 Kedua aspek tersebut (tauhid dan akhlak), menjadi bahan wajib bagi pendidikan dalam keluarga. Karena keluarga menurut Drijarkara sebagaimana dikutip Djudju Sudjana, mengemban tanggung jawab vertikal dan horizontal. Tanggung jawab vertikal ini diwujudkan melalui komunikasi dan dialog dengan Tuhan sedangkan tanggung jawab horizontal dilakukan melalui komunikasi dengan manusia termasuk dengan dirinya sendiri, masyarakat dan lebih luas lagi dengan umat manusia secara keseluruhan.14 Bahkan tanggung jawab pendidikan ini telah dijelaskan dalam al-Quran. Sebagaimana firman Allah:
(6 :)ﺍﻟﺘﺤﺮﱘ..ﺓﺎﺭﺤﺠ ِ ﺍﹾﻟﺱ ﻭ ﺎﺎ ﺍﻟﻨﺩﻫ ﻭﻗﹸﻮ ﺎﺭﹰﺍﻢ ﻧ ﻫﻠِﻴ ﹸﻜ ﻭﹶﺃ ﻢ ﺴﻜﹸ ﻮﺍ ﻗﹸﻮﺍ ﺃﹶﻧﻔﹸﻣﻨ ﻦ ﺁ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻳﻬﺎ ﹶﺃﻳ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….(QS. At Tahrim: 6)15 Ayat ini turun sesaat setelah Allah memerintahkan kepada sebagian dari istri Nabi Muhammad SAW agar bertaubat dari kesalahan yang terlanjur dilakukan, dan menjelaskan kepada mereka bahwa Allah akan menjaga dan menolong Rasul-Nya, Allah juga memperingatkan mereka agar tidak berkepanjangan dalam menentangnya karena khawatir akan di-talak dan dijatuhkan kedudukannya yang mulia sebagai ibunya kaum mukmin karena tergantikan oleh istri-istri lain dari orang-orang yang shaleh.16 13
Ibnu Musthafa, Keluarga Muslim Menyongsong Abad 21, (Bandung: al-Bayan, 1993), Cet. 1,
hlm. 92. 14
Djudju Sudjana, “Peranan Keluarga di Lingkungan Masyarakat”, dalam Jalaluddin Rakhmat dan Muhtar Gandaatmaja (eds.), Keluarga Muslim dalam Masyarakat Muslim, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), Cet. 2, hlm. 22. 15 Soenarjo, Al-quran dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), ed. Baru, hlm. 951. 16 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, Juz. 28. terj. Heri Noer Ali, et.al., (Semarang: Toha Putra, 1989), cet. 1, hlm. 272.
5 Ayat ini oleh al-Maraghi ditafsiri sebagai seruan bagi orang-orang yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya agar dapat menjaga diri dari api neraka dengan taat pada Allah serta mengajarkan kepada keluarganya tentang perbuatan yang dapat menjauhkan diri dari api neraka melalui nasehat dan pengajaran.17 Begitu halnya menurut Ibn Katsier, ayat ini adalah seruan bagi orangorang yang beriman untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka melalui pengajaran kepada orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya mengenai segala sesuatu yang diwajibkan dan dilarang oleh Allah. Pendidikan ini menyangkut pula pimpinan kepada mereka melalui dorongan agar direalisasikan dalam setiap perbuatan serta pemeliharaan diri dari perbuatan maksiat.18 Maka tanggung jawab tersebut diwujudkan dengan pemberian perhatian dan bimbingan atas perkembangan anak secara utuh. Baik dalam aspek jasmani, maupun rohani. Tanggung jawab jasmani diwujudkan dengan pemenuhan kebutuhan kesehatan, pangan, dan ketrampilan. Sedangkan tanggung jawab rohani meliputi pemenuhan kebutuhan jasmani dan akal dengan menaruh perhatian serius pada setiap perkembangannya. Dan kunci dari seluruh upaya tersebut adalah dengan terjalinnya komunikasi intensif antara orang tua dan anak. Komunikasi inilah yang terkadang terabaikan oleh orang tua. Karena kesibukan mereka dengan masalah keduniaan demi pemenuhan kebutuhan jasmani dan akal saja. Belum lagi fenomena workaholic (gila kerja) di kalangan orang tua yang tidak hanya melanda kaum ayah saja bahkan ibu rumah tangga. Dengan alasan persamaan jender ataupun hak berkarir di luar rumah berakibat terabainya tugas dan kewajiban orang tua sebagai pendidik bagi anaknya. Dengan rutinitas kerja yang cukup menguras tenaga dan pikiran dapat membuat mereka jauh dari anak. Kondisi ini menyebabkan anak akan mencari perhatian kepada pihak lain secara sembarangan. Hal ini mengakibatkan pada mudahnya anak menerima pengaruh apa saja dari lingkungan pergaulannya. Inilah yang menjadi penyebab awal rusaknya tingkah laku anak. Penelitian yang dilakukan oleh majalah At tarbiyatul Qathriyah edisi 79-81 17
Ibid. Muhammad Nashib ar-Rifai, Ringkasan Tafsir Ibn Katsier, Jilid 4, terj. Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Cet. 1, hlm. 751. 18
6 (bulan Muharram-Rajab), tahun 1407 H (1986 M) sebagaimana dikutip oleh Khalid Syantuh dinyatakan bahwa para ahli telah menyimpulkan bahwa penyebab rusaknya tingkah laku anak adalah karena tidak adanya perhatian dan sikap orang tua yang meremehkan tanggung jawab. Hal ini kemudian berpangkal pada kenyataan anak yang sering bergantung pada para pembantu yang telah menggantikan posisi orang tua karena kesibukan kerja mereka. Ketergantungan anak kepada para pembantu mendominasi 80% dari perkembangannya pada tiga tahun pertama dan 50% setelah anak berumur empat tahun. Sehingga pengaruhnya akan menyatu pada kehidupan anak hingga jangka waktu lama.19 Hal ini menjadi satu hal yang mesti menjadi perhatian serius dari berbagai pihak atas pentingnya pendidikan akhlak. Ketika akhlak tidak lagi menempati posisi terdepan dalam setiap aktivitas, maka yang terjadi adalah lunturnya perikemanusiaan. Maka pendidikan akhlak menjadi mutlak diperlukan karena akhlak adalah suatu keniscayaan bagi setiap muslim sebab akhlak akan mempertinggi kualitas iman seorang muslim itu sendiri serta masyarakatnya. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mencoba menelaah tema tauhid yang dikemukakan oleh seorang pemikir Islam; al-Faruqi. Tauhid sebagai inti ajaran Islam merupakan prinsip dasar hidup; termasuk diantaranya adalah prinsip keluarga. Tauhid sebagai prinsip keluarga berarti tauhid sebagai dasar setiap aktifitas dan interaksi dalam keluarga. Dari tema tersebut, penulis mencoba mengimplementasikannya dalam pendidikan akhlak. Maka penelitian ini diberi judul, “Implementasi Tauhid Sebagai Prinsip Keluarga dalam Pendidikan Akhlak (Studi Pemikiran Terhadap Ismail Raji al-Faruqi).” B. Penegasan Istilah Untuk menghindari salah persepsi tentang arah judul yang dimaksud, maka penulis merasa perlu menjelaskan istilah-istilah dari judul yang penulis maksud, yaitu: 1. Implementasi Secara harfiah, kata implementasi berasal dari bahasa Latin, Implere yang berarti something used or needed in a given activity especially an instrument, 19
Khalid Ahmad asy-Syantuh, op.cit., hlm. 87.
7 tool, utensil, vessel or the like20 (sesuatu yang digunakan atau diperlukan pada suatu aktivitas terutama peralatan, atau sesuatu yang serupa dengan peralatan). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, implementasi berarti pelaksanaan, penerapan.21 Jadi implementasi berarti pelaksanaan. 2. Tauhid sebagai prinsip keluarga Pengertian tauhid sebagai prinsip keluarga di sini hanya terbatas pada pengertian yang diajukan oleh al-Faruqi saja. Tauhid sebagai prinsip keluarga ini dimaksudkan dengan tauhid yang berkedudukan sebagai pondasi hubungan dalam suatu keluarga.22 Bahwa keluarga merupakan suatu sarana untuk memenuhi tujuan Ilahi.23 3. Pendidikan akhlak Pendidikan akhlak menurut Suwito adalah inti dari semua jenis pendidikan karena ia mengarahkan pada terciptanya perilaku lahir dan batin manusia sehingga menjadi manusia yang seimbang dalam arti terhadap dirinya maupun luar dirinya.24 Maka pendidikan akhlak ini diartikan dengan upaya pendidikan untuk mengarahkan perilaku yang baik. 4. Studi pemikiran Secara harfiah kata studi berasal dari bahasa Inggris study yang berarti to apply the mind to attentively, (mengerahkan pikiran untuk menaruh perhatian pada), to examine or investigate carefully25 (menguji atau menyelidiki dengan teliti). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata studi diartikan penelitian ilmiah, kajian, telaahan.26 Selanjutnya kata pemikiran berarti proses, perbuatan cara memikir;27berasal dari kata pikir, memikir yang berarti berpikir tentang sesuatu; kemudian kata pikir tersebut mendapat awalan pendan akhiran -an sehingga membentuk kata benda abstrak yakni pemikiran. 20
Jean L. Mckechnie, Webster’s New Twentieth Century Dictionary, Second Edition (Amerika, William Collins Publisher Inc., 1980), hlm. 914. 21 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), Cet. 3, hlm. 374. 22 Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit., hlm. 137. 23 Ibid, hlm.139. 24 Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak, (Yogyakarta: Belukar, 2004), Cet. 1, hlm. 38. 25 Jean L. Mckechnie, op.cit., hlm. 1808. 26 Tim Penyusun Kamus Pusat, op.cit., hlm. 965 27 Ibid., hlm. 768.
8 Maka studi pemikiran ini berarti kajian atas pemikiran al-Faruqi. Kajian ini mencakup pembacaan dan penganalisaan atas pemikiran al-Faruqi tersebut. 5. Ismail Raji al-Faruqi Al-Faruqi adalah seorang intelektual Islam yang lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921 dan meninggal pada tanggal 27 Mei 1986. Pekerjaan terakhirnya sebagai seorang pendidik (guru besar penuh/full profesor) di Fakultas Agama Universitas Temple (Amerika).28 Maka judul yang penulis maksud adalah penelitian atas: 1. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga. Bahwa tema tauhid dalam skripsi ini adalah tauhid sebagai prinsip keluarga bukan pengertian dari tauhid. 2. Pelaksanaan pemikiran al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga dalam pendidikan akhlak. Adapun pendidikan akhlak yang penulis maksud adalah pendidikan akhlak dalam keluarga. Hal ini sebagai efek (tindak lanjut) dari tema pokok tauhid sebagai prinsip keluarga seperti tersebut di atas. Untuk selanjutnya istilah pendidikan akhlak atau pendidikan akhlak dalam keluarga akan dipersamakan dalam skripsi ini. Sehingga penulis kadangkadang menggunakan istilah pendidikan akhlak dalam keluarga untuk menyebut pendidikan akhlak begitupun sebaliknya. C. Perumusan Masalah Dari latar belakang yang telah penulis kemukakan dapat penulis angkat beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga? 2. Bagaimana implementasi pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga dalam pendidikan akhlak? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Bertolak dari pokok permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan dan mempunyai manfaat sebagai berikut: 28
M. Shafiq, Mendidik Generasi Baru Muslim, terj. Suhadi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), cet. 1, hlm. 43.
9 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga. b. Untuk mengetahui implementasi pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga dalam pendidikan akhlak. 2. Manfaat Penelitian a. Secara teorititis, hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang pemikiran pendidikan Islam pada umumnya serta lebih spesifik lagi untuk mengembangkan gagasan seorang tokoh muslim sebagai sumbangsih bagi dunia keilmuan. b. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai informasi dan pengetahuan bagi para pendidik (orang tua) dalam membimbing, dan mengarahkan perkembangan akhlak anak-anaknya agar tercapai sosok individu yang berakhlak mulia. E. Tinjauan Pustaka Untuk
memudahkan
mendapatkan
data
yang
valid
dan
untuk
menghindari adanya duplikasi, penulis melakukan tinjauan pustaka terhadap penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu: 1. Tesis Komaruddin yang berjudul “Tauhid Sebagai Prinsip Etika dalam Islam, Sebuah Kajian Atas Kesadaran Tauhid Bagi Moralitas Islam Menurut Ismail Raji al-Faruqi”.29 Dalam penelitiannya, penulis mengeksplorasi pemikiran alFaruqi tentang tauhid sebagai prinsip etika untuk dijadikan sebagai pijakan dalam berperilaku agar sesuai dengan nilai-nilai Islam dan berpegang teguh pada esensi yang tauhid (Allah). 2. Skripsi Didik Widayat yang berjudul “Konsepsi Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Ismail Raji al-Faruqi dan Relevansinya dengan Perkembangan
29
Komaruddin,“Tauhid Sebagai Prinsip Etika dalam Islam, Sebuah Kajian Atas Kesadaran Tauhid Bagi Moralitas Islam Menurut Ismail Raji al-Faruqi” ,Tesis Pasca Sarjana IAIN Walisongo, (Semarang: Perpustakaan Pasca Sarjana IAIN Walisongo, 1999), t.d.
10 Pemikiran Pendidikan Islam30 Skripsi ini menggali pandangan al-Faruqi tentang Islamisasi ilmu; kemudian merelevansikannya dengan kurikulum pendidikan Islam; bahwa Islamisasi ini menghilangkan dikhotomi ilmu agama dan ilmu umum; maka tercipta sebuah gagasan kurikulum yang Islami. 3. Skripsi Abdur Rauf yang berjudul “Konsepsi Harun Nasution Tentang Pendidikan Moral di Lingkungan Keluarga (Studi Analisis)”.31 Skripsi ini menjelaskan bahwa keluarga berperan penting dalam pendidikan moral anak. Pendidikan ini harus diberikan pada anak saat masih kecil. Bahkan jauh sebelumnya, pendidikan ini telah dimulai pada saat pemilihan jodoh. Bahwa orang tua sebagai pendidik harus bisa mendidik, membimbing serta memberikan contoh (teladan) pada anak-anaknya dengan mengajarkan perihal ibadah sebab ibadah mengandung nilai-nilai moral. 4. Skripsi Nurul Ustadziroh yang berjudul “Pemikiran Ibn Miskawaih Tentang Pendidikan Akhlak Anak dan Relevansinya terhadap Pembentukan Akhlak Anak.”32 Skripsi ini menjelaskan bahwa akhlak merupakan watak manusia yang bisa berubah menjadi baik maupun buruk. Maka untuk mengarahkan perkembangan watak perlu adanya upaya pembentukan akhlak melalui pendidikan dan harus berlandaskan pada al-Quran dan Hadits agar tercapai suatu kebahagiaan dunia akhirat. Penelitian yang penulis lakukan di sini berbeda dengan penelitianpenelitian seperti tersebut di atas. Dalam skripsi ini penulis hanya akan meneliti pemikiran al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga dengan berpijak pada buku “Tauhid” karya Ismail Raji al-Faruqi.33 Buku ini menjelaskan secara rinci makna tauhid sebagai prinsip kehidupan. Dan prinsip keluarga adalah salah satu diantaranya. Dalam bab ini al-Faruqi menjelaskan pandangan tauhid tentang 30
Didik Widayat, “Konsepsi Islamisasi Ilmu Pengetahuan menurut Ismail Raji al-Faruqi dan Relevansinya Dengan Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam”, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2003), t.d. 31 Abdur Rauf, “Konsepsi Harun Nasution Tentang Pendidikan Moral di Lingkungan Keluarga (Studi Analisis)”, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2005), t.d. 32 Nurul Ustadziroh, “Pemikiran Ibn Miskawaih Tentang Pendidikan Akhlak Anak dan Relevansinya terhadap Pembentukan Akhlak Anak,” Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2003), t.d. 33 Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit.
11 pokok-pokok dalam keluarga seperti perihal pembentukan keluarga, keluarga besar, dan ibu rumah tangga. Namun tidak disebutkan di dalamnya perihal pendidikan akhlak dalam keluarga. Begitu pula buku yang membahas tentang pendidikan dalam keluarga yang sepengetahuan penulis masih memberikan wacana umum tentang pendidikan keluarga. Misalnya saja buku “Anak Shaleh Dambaan Keluarga” karya M. Nipan Abdul Azis34. Buku ini menjelaskan tentang cara-cara membentuk anak shaleh dalam keluarga. Dalam bukunya, penulis menjelaskan cara-cara tersebut pada setiap tahap usia anak mulai dari tahap usia bayi, mumayiz, usia remaja, sampai usia nikah. Adapun upaya pendidikannya meliputi pendidikan akidah, ibadah, akhlak, ekonomi, dan kesehatan. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Achmad Suja’i yang berjudul ”Tauhid Sebagai Sumber Dasar Pendidikan Islam” dalam jurnal Media terbitan Fakultas
Tarbiyah
IAIN
Walisongo.35
Dalam
jurnal
tersebut,
penulis
mengetengahkan tauhid sebagai dasar bagi kehidupan dan pendidikan karena tauhid mengajarkan norma-norma pokok yang transenden (keilahian). Buku lainnya yang mengulas sosok al-Faruqi yang dilakukan oleh mahasiswa sekaligus kawan al-Faruqi, “Mendidik Generasi Baru Muslim” yang ditulis oleh M. Shafiq36 mengulas biografi al-Faruqi mulai dari setting sosial, politik dan budaya diseputar kehidupan al-Faruqi, karya-karya nya serta ulasan luas mengenai Islamisasi pengetahuan. Dengan demikian, penelitian skripsi ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. F. Metodologi Penelitian Skripsi 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yakni penelitian yang datanya berupa data nonstatistik dengan fokus pada studi tokoh (biografi). Penelitian biografis menurut M. Nazir dikategorikan sebagai salah satu penelitian
34
M. Nipan Abdul Halim, Anak Saleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000),
Cet. 1. 35
Achmad Suja’i,“Tauhid Sebagai Sumber Pendidikan Islam”, Media, II, 12 Agustus, 1992. M. Shafiq, Mendidik Generasi Baru Muslim, terj. Suhadi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), Cet. 1. 36
12 sejarah. Penelitian biografis berarti penelitian tentang kehidupan seseorang dan hubungannya dengan masyarakat. Dalam penelitian ini diteliti sifat-sifat, watak, pengaruh, baik pengaruh lingkungan maupun pengaruh pemikiran dan ide dari subjek penelitian dalam masa hidupnya, serta pembentukan watak figur yang diterima selama hayatnya.37 2. Pendekatan Penelitian a. Pendekatan Socio Intellectual History Pendekatan socio-intellectual history penulis gunakan untuk mengkaji aktivitas ilmiah tokoh.38 Pendekatan ini penulis gunakan untuk mengetahui biografi al-Faruqi. b. Pendekatan Hermeneutik Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan.
Hermeneutik sebagai suatu
metode diartikan sebagai cara menafsirkan simbol yang berupa teks atau benda kongkret untuk dicari arti dan maknanya. Menurut Friedrich Ast. dalam Sudarto, tugas hermeneutik adalah membawa keluar makna internal dari suatu teks beserta isi situasinya menurut zamannya.39 Pendekatan ini tidak hanya sekedar penafsiran akan tetapi juga penelusuran yang penulis gunakan untuk mengungkap pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga. 3. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini, penulis berusaha mengumpulkan data-data yang diperlukan dengan teknik studi kepustakaan (library research) yaitu serangkaian kegiatan penelitian yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.40
37
Mohammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), Cet. 3, hlm. 62. Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yogyakarta: LKiS, 2004), Cet. 1, hlm. 16. 39 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 3, hlm. 84-85. 40 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), Cet. 1, hlm. 3. 38
13 Teori-teori tersebut penulis jadikan sebagai sumber data dengan klasifikasi sebagai berikut: a. Sumber data primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian.41 Data primer diperoleh dari buku-buku yang ditulis oleh Ismail Raji alFaruqi seperti Tawhid Its Implications for Thought and Life yang diterbitkan oleh Poligraphic Sdn. Bhd. Kuala Lumpur dan The Cultural Atlas of Islam yang diterbitkan oleh Macmillan Publishing Company, New York, USA, yang telah mengalami alih bahasa. b. Sumber data sekunder Data sekunder adalah data yang erat hubungannya dengan data primer dan dapat dipergunakan untuk membantu menganalisis dan memahami data primer.42 Data sekunder diperoleh dari tulisan karya penulis umum tentang tema yang berhubungan dengan judul skripsi ini. Seperti buku Mendidik Generasi Baru Muslim yang ditulis oleh M. Shafiq, dan bukubuku lainnya. 4. Metode Analisis Data Data-data penelitian yang telah ditemukan akan dianalisis dengan menggunakan metode: a. Analisis isi (content analysis) Analisis isi adalah metode analisis tentang isi pesan suatu komunikasi. 43 Yang dimaksud dengan isi pesan suatu komunikasi di sini adalah isi atau pesan dari sumber-sumber data yang telah diperoleh oleh peneliti melalui buku-buku karya al-Faruqi. Dari data yang telah diperoleh tersebut, penulis berusaha mengungkap hal-hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Dengan langkah-langkah, yaitu; pertama, mengklasifikasi tanda-tanda yang dipakai dalam komunikasi, kedua, menggunakan
41
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), Cet. 1, hlm. 91. Ronny Hanityo Sumitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), Cet. 3, hlm. 53. 43 Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1992), Cet. 7, hlm. 49. 42
14 kriteria sebagai dasar klasifikasi, ketiga, menggunakan teknik analisis tertentu sebagai pembuat prediksi.44 Secara operasional, analisis ini dilakukan
dengan
pembacaan,
penelaahan
kemudian
dilakukan
kategorisasi (pemilahan) atas pemikiran al-Faruqi berdasarkan tema-tema tertentu. b. Interpretasi Interpretasi yaitu dengan cara menyelami karya tokoh untuk menangkap arti dan nuansa yang dimaksudkan tokoh secara khas.45 Dengan analisis ini peneliti berusaha untuk menyelami alam pikiran al-Faruqi kemudian mengungkapkan apa adanya dalam bentuk tulisan sesuai dengan sumber yang ada, baik dengan bahasa sendiri maupun meminjam istilah yang dipakai al-Faruqi. c. Komparasi Komparasi ini dimaksudkan untuk memperbandingkan pendapat tokoh (al-Faruqi) dengan tokoh-tokoh lain baik yang dekat dengannya (sependapat) atau justru yang sangat berbeda (pemikirannya).46 Hal ini dimaksudkan agar diperoleh pemahaman yang komprehensip. A. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi ke dalam lima bab sebagai berikut: Bab pertama adalah pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan gambaran umum pembahasan skripsi yang meliputi latar belakang masalah, penegasan istilah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian skripsi serta sistematika penulisan. Bab kedua akan mengkaji pendidikan akhlak dalam keluarga. Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang pengertian pendidikan akhlak dalam keluarga, pendidikan akhlak pada masa pra kelahiran dalam keluarga, dan pendidikan akhlak pada masa pasca kelahiran dalam keluarga. 44
Ibid. Anton Bekker dan Ahmad Kharis Zubair, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: Kanisius, 1990), Cet. 1, hlm. 63. 46 Ibid, hlm. 65. 45
15 Bab ketiga lebih terfokus pada pembahasan tentang pemikiran al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga. Dan penulis akan menjelaskan biografi, aktivitas ilmiah serta karya-karya al-Faruqi, serta pemikiran al-Faruqi tentang tauhid yang pembahasannya meliputi tauhid prinsip Islam dan dilanjutkan dengan tauhid sebagai prinsip keluarga. Bab keempat merupakan analisis terhadap pemikiran al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga dan implementasinya dalam pendidikan akhlak Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang kaitan antara pemikiran alFaruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga dengan pendidikan akhlak; serta implementasi dari pemikiran al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga dalam pendidikan akhlak. Bab kelima merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan yang ditarik dari bab-bab sebelumnya. Dan kesimpulan ini merupakan jawaban dari permasalahan yang ada pada skripsi ini. Selain itu penulis menyertakan pula saran-saran. Sebagai pelengkap pada bab lima ini penulis melengkapi dengan daftar pustaka.
16 BAB II PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KELUARGA Pengertian Pendidikan Akhlak dalam Keluarga Pengertian Keluarga Kata keluarga secara bahasa menurut Ki Hadjar Dewantara merupakan rangkaian dari kata kawula dan warga. Kawula berarti abdi, hamba; sedangkan warga berarti anggota. Jadi keluarga memposisikan anggotanya sebagai abdi yang harus menyerahkan segala kepentingannya, mengorbankan dan mengikhlaskan hidup dirinya kepada keluarganya sekaligus juga memposisikan anggotanya sebagai tuan yang berhak sepenuhnya untuk ikut mengurus segala kepentingan di dalam keluarganya tadi.47 Secara sederhana, Hasan Langgulung mengartikan keluarga sebagai perkumpulan yang halal antara seorang pria dan wanita yang bersifat terus menerus sesuai ketentuan agama dan masyarakat.48 Keluarga menurutnya terdiri dari suami, istri dan anak serta kerabat yang lain seperti saudarasaudara, kakek dan nenek, paman dan bibi, sepupu dan lain-lain.49 Ada dua kategori umum bentuk keluarga. Hasan Shadily membagi nya kepada dua kategori yakni keluarga inti dan keluarga besar. Keluarga inti adalah keluarga kecil yang terdiri dari bapak, ibu dan anak yang terjalin oleh hubungan kekeluargaan. Sedangkan keluarga besar tersusun dari keluarga inti ditambah dengan saudara-saudara dari ibu dan atau bapak dan seterusnya (tiga sampai empat keturunan) yang tinggal serumah.50 Secara sosiologis, keluarga merupakan bentuk masyarakat kecil yang terdiri dari beberapa individu yang terikat oleh suatu keturunan yakni suatu kesatuan yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.51
47
Ki Hadjar Dewantara, Karja Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama Pendidikan, (Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa, 1962), Cet. 1, hlm. 391. 48 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1995), Cet. 3, hlm. 346. 49 Ibid, hlm. 348. 50 Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, Jilid 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1982), hlm. 1729. 51 Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), Cet. 2, hlm. 176.
17 Kesatuan tersebut tidak hanya berarti sebagai kesatuan yang mengikat saja namun lebih dari itu, keluarga menurut sudut pandang pedagogis adalah persekutuan hidup yang terjalin oleh kasih sayang antara pasangan dua jenis manusia yang dikukuhkan dalam pernikahan untuk menyempurnakan diri.52 Inilah tujuan dibentuknya keluarga yakni untuk menyempurnakan diri; baik kesempurnaan diri pribadi maupun kesempurnaan bagi anggota keluarga lainnya. Karena keluarga tidak hanya berfungsi sebagai media pemenuhan kebutuhan biologis. Keluarga juga mengemban fungsi-fungsi lain. Seperti fungsi edukatif (media pembelajaran), fungsi religius (media tumbuh-kembang norma-norma agama),
fungsi
sosialisasi
anak
(media
penghubung
anak
dengan
masyarakat), fungsi protektif (media perlindungan anak), fungsi rekreatif (media untuk memperoleh ketenangan), fungsi ekonomis (penunjang pemenuhan kebutuhan-kebutuhan) dan fungsi-fungsi lainnya.53 Jadi yang dimaksud dengan keluarga adalah sekumpulan orang tua (bapak, ibu, kakek, nenek, paman, bibi) yang terikat oleh ikatan perkawinan yang sah dan anak(-anak)nya yang tinggal satu atap demi mencapai kesempurnaan diri. Pengertian Pendidikan Untuk mencapai tujuan kesempurnaan diri tersebut, maka fungsi edukatif merupakan satu hal yang penting terlebih lagi Allah telah memerintahkan umatnya untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka yang mana hal ini dapat terwujud melalui upaya pendidikan akhlak. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. at-Tahrim: ayat 6. Bahwa tugas pendidikan ini menjadi tanggung jawab orang tua terhadap anak karena anak di bawah tanggung jawab orang tua. Kata pendidikan berasal dari kata didik, mendidik yang berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan 52
M. I. Soelaeman, Pendidikan dalam Keluarga, (Bandung: Alfabeta, 1994), ed. 1, hlm. 12. Djudju Sudjana, “Peranan Keluarga di Lingkungan Masyarakat”, dalam Jalaluddin Rakhmat dan Muhtar Gandaatmaja (eds.), Keluarga Muslim dalam Masyarakat Muslim, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), Cet. 2, hlm. 20-22. 53
18 kecerdasan pikiran; kemudian kata didik tersebut mendapat awalan pen- dan akhiran -an sehingga membentuk kata benda abstrak yakni pendidikan yang berarti perbuatan (hal, cara) mendidik.54 Kata pendidikan menurut Abdurrahman Shalih Abdullah, dimaknai sebagai sebuah proses bertujuan yang dilaksanakan untuk menghasilkan peserta didik agar memiliki pola-pola perilaku tertentu.55 Pengertian pendidikan ini masih sangat umum. Pengertian pendidikan secara rinci dideskripsikan oleh Ki Hadjar Dewantara yang memaknai pendidikan sebagai: Usaha kebudayaan yang berazas keadaban untuk memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan dengan memelihara hiduptumbuh ke arah kemajuan56…. melalui upaya menuntun segala kodrat yang ada pada anak serta menumbuhkembangkan budi pekerti (kelakuan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak57…. agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.58 Sedangkan pendidikan menurut Musthafa Ghalayini adalah: G.
اﻟﺘﺮﺑﻴﺔ هﻲ ﻏﺮس اﻷﺧﻼق اﻟﻔﺎﺿﻠﺔ ﻓﻲ ﻧﻔﻮس اﻟﻨﺎﺷﺌﻴﻦ وﺳﻘﻴﻬﺎ ﺑﻤﺎء اﻹرﺷﺎد واﻟﻨﺼﻴﺤﺔ ﺣﺘﻰ ﺗﺼﺒﺢ ﻣﻠﻜﺔ ﻣﻦ ﻣﻠﻜﺎت اﻟﻨﻔﺲ ﺛﻢ ﺗﻜﻮن ﺛﻤﺮاﺗﻬﺎ اﻟﻔﻀﻴﻠﺔ واﻟﺨﻴﺮ وﺣﺐ اﻟﻌﻤﻞ ﻟﻨﻔﻊ اﻟﻮﻃﻦ59 Pendidikan adalah penanaman akhlak yang mulia dalam jiwa anakanak dan menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat hingga (didikan yang mereka terima) menjadi malakah (hal-hal yang meresap) dalam jiwa kemudian malakah itu membuahkan kemuliaan, kebaikan serta cinta beramal untuk kepentingan negara. Dari sini nampak bahwa aspek akhlak menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pendidikan. Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan berarti upaya menumbuhkembangkan potensi-potensi anak agar terbentuk sikap dan perilaku baik, untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan. Pengertian Akhlak 54
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), Cet. 1, hlm. 250. 55 Abdurrahman Shalih Abdullah, Landasan dan Tujuan Pendidikan menurut al-Quran serta Implementasinya, terj. Mutammam, (Bandung: Diponegoro, 1991), Cet. 1, hlm. 243. 56 Ki Hadjar Dewantara, op. cit, hlm. 166. 57 Ibid, hlm. 14 58 Ibid, hlm. 20. 59 Musthafa Ghalayini, ‘Izhatun Nasyi’in, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashiriyah Lithaba’ah wa anNasyr, 1958), hlm. 185.
19 Akhlak secara etimologi berasal dari kata akhlaq yang merupakan bentuk jamak (plural) dari kata khuluqun yang berarti tabiat, budi pekerti.60 Secara istilah, akhlak menurut Muslim Nurdin adalah sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia di atas bumi. Sistem nilai yang dimaksud adalah sumber ajaran Islam yakni al-Quran dan Sunnah.61 Sedangkan menurut Muhammad Amin, akhlak adalah kehendak yang dibiasakan. Artinya apabila kehendak itu membiasakan sesuatu maka kebiasaan itu disebut akhlak.62 Akhlak menurut Mahmud merupakan implementasi dari iman dalam segala bentuk perilakunya. Pendidikan akhlak dalam keluarga dilaksanakan dengan contoh dan teladan dari orang tua melalui perilaku dalam keseharian (pergaulan) antara ibu dengan bapak, orang tua dengan anak-anaknya, orang tua dengan orang lain di dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.63 Akhlak menurut Burhanuddin Salam merupakan suatu pola hubungan antara hak dan kewajiban. Akhlak merupakan faktor yang menentukan dalam proses mencapai kebahagiaan, ketenangan dalam rumah tangga bahkan merupakan penghubung yang paling utuh antara Khalik dengan makhluk.64 Akhlak meliputi dua hal yaitu akhlak terhadap Khalik dan akhlak terhadap makhluk. Akhlak terhadap makhluk mencakup akhlak terhadap manusia dan bukan manusia (alam). Akhlak terhadap manusia mencakup akhlak terhadap diri sendiri dan orang lain. Akhlak terhadap orang lain meliputi akhlak terhadap Rasulullah, akhlak terhadap keluarga (yang mencakup akhlak istri dengan suami, dan
60
Ahmad Warso Munawwir, Al-munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), Cet. 25, hlm. 364. 61 Muslim Nurdin, Moral dan Kognisi Islam, (Bandung: Alfabeta, 1993), ed. 1, hlm. 205. 62 Ahmad Amin, Etika, Ilmu Akhlak, terj. Farid Ma’ruf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet. 7, hlm. 62. 63 Mahmud, “Pola Asuh Anak pada Keluarga Islam”, dalam A. Tafsir et. al., Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2004), Cet. 1, hlm. 117. 64 Burhanuddin Salam, Etika Individual, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), Cet. 1, hlm. 196.
20 sebaliknya suami terhadap istri; anak dengan orang tua, dan sebaliknya; serta akhlak terhadap karib kerabat); akhlak terhadap tetangga dan masyarakat. 65 Akhlak kepada Allah diantaranya seperti dengan tidak menyekutukanNya, bertakwa kepada-Nya, mencintai-Nya, ridha dan ikhlas terhadap segala keputusan-Nya, bertobat serta mensyukuri nikmat-Nya, selalu berdoa kepadaNya, meniru sifat-sifat-Nya, dan selalu berusaha mencari keridhaan-Nya.66 Akhlak terhadap diri sendiri dengan cara menjaga kesucian diri dari sifat rakus dan mengumbar nafsu, mengembangkan keberanian dalam menyampaikan yang hak serta bijaksana dalam memberantas kebodohan, dan kezaliman, bersabar ketika mendapat musibah, rendah hati, pemaaf, jujur, serta bersyukur dan merasa cukup atas pemberian Allah.67 Akhlak terhadap Rasulullah seperti mencintainya secara tulus, serta menjadikannya sebagai panutan untuk ditiru sifar dan siakpnya.68 Akhlak terhadap keluarga mencakup akhlak antara suami istri seperti menjaga nama baik pasangan serta bergaul dengan baik dan sopan, mencukupi nafkah lahir dan batin; akhlak terhadap orang tua seperti mencintainya, mendoakannya, patuh, baik dalam bertutur dan berperilaku terhadap kedua orang tua.69 Akhlak terhadap karib kerabat diwujudkan dengan mendoakan mereka, menjaga nama baik, mencintai, menghormati, dan menjaga tali silaturahim.70 Akhlak terhadap tetangga seperti saling mengunjungi, saling membantu, saling memberi dan saling menghormati demi menghindari pertengkaran dan permusuhan.71 Akhlak terhadap masyarakat baik dalam kedudukannya sebagai warga maupun pemimpin. Dalam konteks kepemimpinan, diwujudkan dengan cara 65
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. 3, hlm. 352. 66 Ibid, hlm. 356. 67 Muslim Nurdin, op. cit, hlm. 206. 68 Muhammad Daud Ali, op.cit., hlm. 357. 69 Zahruddin AR, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. 1, hlm. 75-76. 70 Muhammad Daud Ali, op.cit., hlm. 358.. 71 Ibid.
21 menegakkan keadilan, berlaku baik, menjunjung tinggi musyawarah, memandang kesederajatan manusia serta membela orang-orang yang lemah. Sementara sebagai warga, diwujudkan dengan menjaga hubungan baik dengan sesama, mematuhi peraturan yang ada, menjaga tali ukhuwah, serta saling mengingatkan untuk berbuat kebajikan dan menghindari kejahatan.72 Akhlak terhadap alam ditujukan sebagai pemenuhan manusia atas tugasnya sebagai khalifah dengan sikap sadar untuk memelihara kelestarian alam, sayang pada sesama makhluk (baik binatang maupun tumbuhtumbuhan) untuk dijaga ataupun dimanfaatkan demi kemakmuran bersama.73 Jadi yang dimaksud dengan akhlak adalah sifat-sifat baik dalam diri pribadi dan terwujud dalam perbuatan menurut aturan hak dan kewajiban sebagaimana aturan dalam al-Quran dan Sunnah. Akhlak merupakan aspek penting dalam kehidupan. Sebegitu pentingnya bahkan Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak. Dalam sabdanya:
ﺣﺪﺛﲏ ﻋﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺃﻧﻪ ﻗﺪ ﺑﻠﻐﻪ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﺑﻌﺜﺖ ﻷﲤﻢ 74 (ﺣﺴﻦ ﺍﻷﺧﻼﻕ )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺎﻟﻚ ﺑﻦ ﺍﻧﺲ Telah diceritakan kepadaku dari Malik sesungguhnya telah disampaikan kepadaku, bahwa Rasulullah saw bersabda: aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik. (HR. Malik bin Anas).
ﺍﳋﻠﻖ ﺍﳊﺴﻦ ﺟﺎﻣﻊ ﳌﻌﺎﻥ ﻛﺜﲑﺓ ﻣﻨﻬﺎ ﺣﺴﻦ ﺍﳌﻌﺎﺷﺮﺓ ﰲ ﺍﻹﺧﻮﺍﻥ ﻭﺍﳉﲑﺍﻥ ﻭﺍﻷﻫﻞ 75 ﻭﻣﻨﻬﺎ ﺍﳉﻮﺩ ﻭﻣﻨﻬﺎ ﺍﻟﻌﻔﻮ ﻋﻤﻦ ﻇﻠﻢ Akhlak yang baik mengandung banyak arti diantaranya pergaulan yang baik dalam berteman, bertetangga dan berkeluarga, dermawan, dan memaafkan terhadap orang yang berbuat zalim. Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak dalam keluarga berarti upaya orang tua menanamkan dan memupuk nilai-nilai akhlak agar
72
Muslim Nurdin, op. cit, hlm. 209. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo apersad, 2000), Cet. 3, hlm. 150. 74 Malik bin Anas, Al-Muwatha, (Beirut: Dar Ihyaul Ulum: 1990), hlm. 693. 75 Imam wali ad-Dahlawi, al-Maswa Syarhu al-Muwatha, juz. 2, (Beirut: Dar Kutub al‘Ilmiyah: 1983), hlm. 459. 73
22 terbentuk suatu kebiasaan baik sehingga menjadi suatu perilaku baik pada diri anak baik dalam hubungannya terhadap Khalik maupun terhadap makhluk. Adapun bentuk pendidikan akhlak dalam keluarga ini tidaklah terstruktur sebagaimana pendidikan formal (di sekolah) yang memiliki bagian-bagian seperti tujuan, materi, metode, evaluasi bahkan kurikulum; akan tetapi pendidikan keluarga ini sifatnya alamiah. Artinya setiap interaksi, suasana yang tengah terjadi dalam setiap interaksi dan aktivitas dalam keluarga itulah sebuah media bahkan proses dari pendidikan itu sendiri. Maka pendidikan akhlak yang penulis maksud di sini adalah upaya orang tua mendidik akhlak anak-anaknya. Adapun materi-materinya tidaklah penulis jabarkan secara mendetail karena pada dasarnya materi pendidikan akhlak ini akan lebih diarahkan kepada sasaran akhlak yang
mencakup
akhlak terhadap Khalik dan makhluk. Artinya pendidikan akhlak dalam keluarga yang penulis maksud di sini adalah upaya orang tua menerjemahkan sasaran akhlak tersebut ke dalam pendidikan akhlak. Selanjutnya
tugas
pendidikan
dalam
keluarga
ini
penulis
klasifikasikan ke dalam dua tahap sebagaimana Mahmud, mengklasifikasikan pola pengasuhan anak dalam keluarga ke dalam dua tahap yakni pertama tahap pra kelahiran anak, kedua tahap pasca kelahiran anak.76 Pendidikan Akhlak pada Masa Pra-kelahiran dalam Keluarga Pembentukan Keluarga Masih menurut Mahmud, pendidikan pada tahap pra kelahiran anak dimulai semenjak pemilihan jodoh, kemudian pada saat melangsungkan akad nikah yang diiringi dengan khutbah nikah (nasehat pernikahan). Hal ini dilakukan dalam rangka mempersiapkan kedua pengantin membina rumah tangga yang sakinah, mawadah warahmah; sekaligus mempersiapkan lingkungan yang baik untuk perkembangan anak. Sebelum prosesi upacara pernikahan dilakukan, terlebih dahulu dilakukan khitbah (peminangan) yang ditujukan untuk memberikan gambaran
76
Mahmud, op.cit., hlm. 94.
23 yang jelas tentang calon pendamping hidup.77 Hal ini dapat dimaksudkan untuk
mengenal
lebih
dekat
pendamping
hidupnya
agar
dapat
mempertemukan atau bahkan menyatukan persepsi perihal kehidupan rumah tangganya sekaligus pendidikan anaknya kelak. Selanjutnya upacara akad nikah yang didahului dengan khutbah nikah. Khutbah nikah menurut Mahmud mengandung makna untuk meningkatkan iman, amal shaleh dan anjuran membina rumah tangga yang rukun serta sebagai motivasi dan dinamisasi pendidikan yang dilakukan terhadap pengantin yang diharapkan akan bermuara pada pendidikan dirinya sekaligus akan signifikan bagi pendidikan anak di masa mendatang.78 Langkah berikutnya adalah berdoa pada waktu akan melakukan hubungan badan agar anak yang akan terkonsepsi (calon janin) pada saat berhubungan badan terhindar dari gangguan setan. Kemudian setelah istri diketahui mengandung, pola pendidikan
anak dilaksanakan dengan cara
meningkatkan kasih sayang dan ibadah misalnya shalat berjamaah; karena anak yang sedang dikandung sangat responsif terhadap segala rangsangan dari luar termasuk kegembiraan dan kesedihan.79 Keseluruh hal-hal tersebut penting sebab langkah pertama yang harus dilakukan dalam rangka membangun rumah tangga adalah bertopang pada pondasi yang benar. Manakala pondasi bangunan suatu rumah tangga kuat lagi kokoh, maka bangunan yang terbentuk akan sempurna. Terlebih lagi keluarga adalah media pertama yang mempengaruhi anak. Pastolozzi dalam Ibrahim Nashir mengatakan: 80
ﺎ ﺍﻟﻄﻔﻞ ﺃﻥ ﺍﻻﺳﺮﺓ ﻫﻲ ﻣﺼﺪﺭ ﻛﻞ ﺗﺮﺑﻴﺔ ﺻﺤﻴﺤﺔ ﻳﺘﺄﺛﺮ.H
Keluarga adalah dasar dari setiap pendidikan yang baik yang mempengaruhi anak.
77
Ibid, hlm. 137. Ibid. 79 Ibid hlm. 94. 80 Ibrahim Nashir, Muqoddimah fi at-Tarbiyah,(Aman: al-Ardan,1983), hlm. 182. 78
24 Pengaruh itu akan dapat terealisir dalam kehidupan keluarga yang penuh kasih sayang, serta jauh dari ketegangan dan kekerasan yang mana semua faktor tersebut akan mempengaruhi kondisi psikis anak. Pendidikan Bagi Janin Pentingnya Pendidikan Bagi Janin Pendidikan anak dalam kandungan merupakan hasil dari proses sistematis yang merupakan rangkaian langkah, metode dan materi yang dipakai oleh orang tuanya dalam melakukan pendidikan (stimulasiedukatif) dan orientasi serta tujuan arahan dan didikan.81 Pendidikan pra kelahiran ini merupakan investasi (dasar) bagi pendidikan anak selanjutnya. Untuk itu, seorang ibu harus memperhatikan kondisi diri sekaligus janin yang dikandungnya. Penelitian yang dilakukan oleh F. Rene Van de Carr di Thailand membuktikan bahwa bayi yang diberi stimulasi pra lahir cepat mahir bicara, menirukan suara, tersenyum secara spontan, mampu menoleh ke arah suara orang tuanya, lebih tanggap terhadap musik serta mampu mengembangkan pola sosial yang lebih baik saat ia dewasa.82 Hal ini didukung pula bahwa kondisi (fisik dan psikis) ibu yang akan selalu berpengaruh pada janin. Bahkan Mansur menyatakan seorang wanita yang sabar, setia dan takwa serta ikhlas menerima kehadiran anak akan melahirkan manusia yang baik; disamping itu, faktor genetik juga menentukan baik buruknya perkembangan janin karena genetik akan menurunkan sifat-sifat pembawaan.83 Beberapa penelitian membuktikan bahwa kondisi fisik dan psikis ibu yang terlalu lemah akan menghambat pertumbuhan janin. FJ. Monks menyatakan bahwa kegoncangan psikis selama dua bulan pertama dapat menyebabkan gangguan sentral pada bayi yang disebut down syndrome.84 81
Ubes Nur Islam, Mendidik Anak dalam Kandungan, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), Cet. 1, hlm. 59. 82 Ubes Nur Islam, op.cit., ,hlm. 3. 83 Mansur, Mendidik Anak Sejak dalam Kandungan, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), Cet. 1, hlm. 40. 84 Ibid, hlm. 19.
25 Dengan demikian nampak bahwa kondisi orang tua terutama ibu dan lingkungan di sekitar kehidupan janin berpengaruh terhadap perkembangan janin bahkan secara tidak langsung membentuk karakter anak. Faktor–faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Janin Suharsono mengklasifikasikan aspek-aspek dasar yang sangat mempengaruhi perkembangan janin serta setelah anak lahir kelak. Pertama, aspek fisik dan material yakni segala sesuatu yang berkenaan dengan menjaga kesehatan fisik, makanan dan gizi, pengadaan finansial serta sarana material lainnya. Kedua, aspek moral yakni moralitas orang tua terutama ibu yang sangat menentukan bagi upaya pembentukan moralitas bayi. Ketiga, aspek intelektual ibu (sense of intellectuality) seperti meningkatkan minat dan semangat mencari ilmu. Keempat aspek spiritual yakni dimensi spiritual seperti ibadah shalat yang dilakukan ibu.85 Sedangkan menurut Mansur, faktor yang dapat mempengaruhi pendidikan anak dalam kandungan adalah faktor pendidikan dan keagamaan kedua orang tua terutama ibu serta faktor lingkungan.86 Baihaqi menyebut beberapa hal yang dapat dikategorikan sebagai materi pendidikan bagi anak pra lahir. Diantaranya shalat, membaca alQuran, akidah tauhid, akhlak, ilmu pengetahuan dan doa-doa.87 Maka dapat dipahami bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan janin mencakup faktor internal (kualitas orang tua) dan eksternal (lingkungan). Adapun faktor internal ini diwujudkan dengan penjagaan diri (kondisi fisik dan psikis ibu) dengan semakin memegang teguh dan melaksanakan ajaran agama. Sedangkan faktor eksternal diwujudkan dengan penjagaan lingkungan yang kondusif yang dapat
85
Suharsono, Akselerasi Inteligensi, (Jakarta: Inisisasi Press, 2004), Cet. 1, hlm. 66. Mansur, op.cit., hlm. 197. 87 Baihaqi, Mendidik Anak dalam Kandungan,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. 1, hlm. 127-137. 86
26 membantu pertumbuhan dan perkembangan kesehatan (fisik dan psikis) janin seperti penciptaan suasana yang religius dan tenang. Metode Pendidikan Bagi Janin Sebuah kandungan (kehamilan) merupakan lembaga pendidikan pertama manusia. Oleh karena itu, ibu sebagai lembaga pendidikan pertama harus menjaga kemurnian tauhid dengan melaksanakan nilainilainya dalam kehidupannya, hal ini sebagai cerminan bagi anak integritas eksekutif muslim yang bertauhid tinggi; yang dapat membentuk figur anak yang religius.88 Adapun bentuk paling dini pendidikan janin dapat dilakukan melalui komunikasi ibu dengan janin.89 Pembentukan janin ini akan dipengaruhi oleh situasi emosional ibu. Pembentukan fisik dan akhlak seorang anak yang baru dilahirkan akan dipengaruhi oleh faktor-faktor negatif dan positif lingkungannya.90 Maka metode pendidikan akhlak bagi janin mencakup metode langsung dan tak langsung. Metode langsung ini diwujudkan dengan komunikasi orang tua (ibu) terhadap janin. Sedangkan metode tak langsung diwujudkan dengan penciptaan suasana religius dalam keluarga. Pendidikan Akhlak pada Masa Pasca-kelahiran dalam Keluarga Pendidikan pada tahap pasca kelahiran diwujudkan dengan cara segera dibacakan kalimat adzan dan iqamat di telinga bayi pada saat lahirnya dilanjutkan dengan pemberian nama yang baik pada hari ke tujuh kelahirannya.91 Pendidikan awal Mengadzani Bayi yang Baru Lahir Adzan merupakan kalimat pertama yang harus didengar oleh bayi ketika ia menghirup udara untuk pertama kalinya. Dalam hadits disebutkan:
88
Mansur, op.cit., hlm. 158. Ibid, hlm. 124. 90 Muhammad Quthb, Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam, terj. Bahrun Abu Bakar Ihsan, (Bandung; Diponegoro, 1993), Cet. 2, hlm. 28. 91 Mahmud, op.cit., hlm. 95. 89
27
:ﺣﺪ ﺛﻨﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺑﺸﺎﺭ ﺣﺪ ﺛﻨﺎ ﳛﲕ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﻭﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ ﻣﻬﺪﻱ ﻗﺎ ﻻ :ﺃﺧﱪﻧﺎ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﻋﻦ ﻋﺎﺻﻢ ﺑﻦ ﻋﺒﻴﺪ ﺍﷲ ﻋﻦ ﻋﺒﻴﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﺃﰊ ﺭﺍﻓﻊ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ ﻗﺎﻝ ﺭﺃﻳﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﺫﻥ ﰲ ﺃﺫﻥ ﺍﳊﺴﻦ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ ﺣﲔ 92 (ﻭﻟﺪﺗﻪ ﻓﺎﻃﻤﺔ ﺑﺎﻟﺼﻼﺓ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ Muhammad bin Basyar bercerita kepada kami, Yahya bin Sa’id bercerita kepada kami, Abdurrahman bin Mahdi berkata: Sofyan mengabarkan kepada kami ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dari ‘Ubaidillah bin Abi Rofi’ dari ayahnya berkata: Aku melihat Rasulullah SAW beradzan di telinga Hasan bin Ali ketika Fatimah melahirkannya, dan bershalawat. (HR. At-Tirmidzi) Adzan yang mengandung kalimat tauhid mesti menjadi kalimat pertama yang harus masuk atau diperdengarkan dan diajarkan kepada anak sebagai penanaman dasar keimanan. Kalimat tauhid merupakan pengikat kuat sekaligus fundamen kehidupan manusia untuk mengemban fungsi kekhalifahan dalam kehidupan beragama, dan berbangsa demi memperoleh kedamaian, ketentraman, dan keberkahan hidup.93 Ketika Adzan berikut kalimat yang dikandungnya (kalimat takbir dan kalimat tauhid) menyentuh pendengaran bayi (meski waktu itu bayi masih belum mampu merasakan) namun kesadarannya dapat merekam nada dan bunyi kalimat adzan yang diperdengarkan kepadanya. Kalimat tersebut dapat mencegah jiwanya dari kecenderungan kemusyrikan serta dapat memelihara dirinya dari kemusyrikan itu. 94 Khairiyah
Hasan
dalam
Mahmud
menambahkan
bahwa
memperdengarkan adzan dan iqomat ke telinga anak mengandung hikmah terusirnya setan serta untuk mematri suatu pengaruh yang menunjuki hati anak; meski ia belum menyadari hal itu tapi itu adalah benih menerima
92
At-Tirmidzi, Al-Jami’u ash-Shahih, Juz 4, (Beirut: Darul Fikr, tth), hlm. 82. Said Agil Husin al-Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qurani dalam Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta; Ciputat Press, 2005), Cet. 2, hlm. 13. 94 Muhammad Quthb, op.cit., hlm. 48. 93
28 agama Islam sebagai suatu kesiapan fitriah untuk selanjutnya memenuhi panggilan, petunjuk dan dakwah Islam.95 Makna yang terkandung dalam adzan adalah membesarkan nama Allah SWT, mentauhidkan dan memahasucikan-Nya, serta menyatakan kesaksian
terhadap
kerasulan
dan
kenabian
Muhammad
SAW,
mendirikan shalat dan demikian pula kaitannya dengan Sunnah-sunnah lainnya. 96 Maka ketika anak lahir ia tidak akan diberi kesempatan meskipun sejenak untuk lebih dahulu mendengar apapun kecuali suara tauhidullah yang menjadi pertanda masuknya anak itu ke dalam agamanya melalui adzan dan iqomat. Pemberian Nama Selanjutnya kewajiban orang tua lainnya adalah memberikan nama yang baik; bahkan Rasul bersabda:
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﺃﺧﱪﻧﺎ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﻣﺴﻬﺮ ﻋﻦ ﺇﲰﺎﻋﻞ ﺑﻦ ﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ ﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﻐﻼﻡ ﻣﺮ: ﻗﺎﻝ:ﺍﳊﺴﻦ ﻋﻦ ﲰﺮﺓ ﻗﺎﻝ 97 (ﺑﻌﻘﻴﻘﺘﻪ ﻳﺬﺑﺢ ﻋﻨﻪ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺴﺎﺑﻊ ﻭﻳﺴﻤﻰ ﻭﳛﻠﻖ ﺭﺃﺳﻪ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ Ali bin Hujrin bercerita kepada kami, Ali bin Mushirin bercerita kepada kami dari Ismail bin Muslim dari Hasan dari Samuroh berkata Rasulullah bersabda: seorang anak digadaikan dengan aqiqah yang disembelih untuknya pada hari ke tujuh dan diberi nama dan dicukur rambut kepalanya. (HR. At-Tirmidzi) Adapun pemberian nama yang baik dan mulia oleh Sayyid Muhammad dikategorikan sebagai akhlak orang tua kepada anaknya. Nama yang mulia dan julukan yang baik merupakan kehormatan bagi pemiliknya. Adapun nama yang paling mulia adalah nama-nama yang sama dengan para Nabi. Ada banyak kebaikan dalam nama-nama itu serta
95
Mahmud, op.cit., hlm. 147. Muhammad Quthb, hlm. 51. 97 At-Tirmidzi, op.cit., hlm. 85. 96
29 kemuliaan dalam julukan Islam itu bahkan kehormatan dan kehidupan umat serta keridhaan Allah pun terkandung.98 Sedangkan menurut Muhammad Suwaid pemberian nama merupakan suatu penghormatan terhadap anak.99 Menyitir perkataan Zubair, Muhammad Suwaid menjelaskan pula bahwa pemberian nama sebaiknya dengan meniru nama-nama sahabat dengan harapan agar anakanaknya kelak mengikuti langkah para syuhada’ itu, sehingga meraih syahadah (kesyahidan) di jalan Allah.100 Bahkan pemberian nama baik kepada anak berarti juga sebagai upaya menyiarkan tauhid.101 Hal ini oleh karena secara psikologis, anak terpengaruh dengan nama dan panggilan yang diberikan kepadanya. Ibnu Qayyim dalam Adnan Hasan menyatakan bahwa ada hubungan yang erat antara nama dengan yang dinamai. Bahwa pemberian nama yang baik akan mendorong yang punya nama untuk berbuat sesuai dengan makna yang terdapat dalam namanya. Hal ini dapat terjadi karena anak akan merasa malu apabila ia berbuat yang tidak sesuai dengan makna namanya .102 Maka pemberian nama ini dimaksudkan sebagai akhlak orang tua terhadap anaknya. Disamping itu, pemberian nama merupakan upaya pengenalan awal label Islam sebagai bekal bagi anak; karena hal yang paling sering didengar oleh anak adalah namanya. Maka dengan nama yang baik akan melatih anak terhadap hal baik. Pemberian Suasana dalam Keluarga Pada dasarnya pendidikan dalam keluarga terjadi melalui pengalaman yang dilalui anak. Baik melalui ucapan yang didengarnya, tindakan, perbuatan dan sikap yang dilihatnya maupun perlakuan yang dirasakannya.
98
Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Surga Bernama Keluarga, terj. Nawang Sri Wahyuningsih (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), Cet. 1, hlm. 6. 99 Muhammad Suwaid, Mendidik Anak Bersama Nabi, terj. Salafuddin Abu Sayyid, (Solo: Pustaka Arafah, 2004), Cet. 2, hlm. 79. 100 Ibid, hlm. 82. 101 Ibid, hlm. 87. 102 Adnan Hasan Shalih Baharits, Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-laki, terj. Shihabuddin, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. 1, hlm. 49.
30 Adapun
keluarga
merupakan
satu
lembaga
yang
mampu
menyuguhkan pola-pola tersebut dalam setiap interaksi dan aktivitas nya yang terjadi secara alamiah. Hal ini diungkapkan oleh Zakiah Daradjat bahwa pendidikan dalam keluarga terjadi secara alamiah tanpa disadari oleh orang tua, namun memiliki pengaruh dan akibat yang sangat besar.103 Crow dan Crow dalam Arifin menyatakan bahwa pendidikan pertama anak diterima dalam lingkungan rumah. Keadaan ekonomi serta tingkat kehidupan di rumah, kestabilan emosi orang tua dan keluarga serta cita-cita dan ambisi yang tampak dari tingkah laku anggota-anggota keluarga yang lebih tua umurnya, kesemuanya itu mempengaruhi tingkah laku serta sikap anak secara langsung maupun tidak langsung. 104 Karena pada dasarnya seluruh interaksi dalam keluarga bernilai edukatif. Bahwa pengaruh yang paling kuat dan paling kekal pada diri anak adalah pengaruh yang terjadi pada masa kecil mereka di lingkungan keluarga di mana mereka tumbuh dan dibesarkan.105 Maka seluruh interaksi dalam keluarga akan memberikan pengaruh pada anak. Muhammad ‘Athiyah al-Abrasy menyatakan: 106
ﺇﻥ ﺍﻟﻄﻔﻞ ﻳﺘﺄﺛﺮ ﺑﺎﳌﺜﻞ ﺍﻟﺬﻯ ﻳﺮﺍﻩ ﻭﺑﺎﻟﺒﻴﺌﺔ ﺍﻟﱴ ﻳﻌﻴﺶ ﻓﻴﻬﺎ ﻭﺑﺎﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﱴ ﻳﺴﻤﻌﻬﺎ Sesungguhnya anak dipengaruhi oleh contoh yang ia lihat, lingkungan tempat ia tinggal dan bahasa yang ia dengar. Nilai pendidikan dalam keluarga ini diperoleh dari orang tua, saudara
dan diri sendiri. Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa: Alam keluarga buat tiap-tiap orang adalah alam pendidikan yang permulaan. Pendidikan , di dalamnya pertama kali bersifat pendidikan dari orang tua yang berkedudukan sebagai guru (penuntun), pengajar, dan pemimpin pekerjaan (pemberi contoh). Kedua, di dalam keluarga itu anak-anak saling mendidik. Inilah nampak seterang-terangnya di 103
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995), Cet. 2, hlm. 74. 104 Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Cet. 4, hlm. 93. 105 Ma’ruf Zurayk, Pedoman Mendidik Anak, terj. Imron Hasani, (Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2001), Cet. 2, hlm. 16. 106 Muhammad ‘Athiyah al-Abrasy, Ruhut Tarbiyah wa Ta’lim, (Arab: Darul Ihya al-Kutb, 1950), hlm. 117.
31 dalam keluarga apalagi di dalam keluarga yang besar…ketiga, di dalam alam keluarga anak-anak berkesempatan mendidik diri sendiri. Karena di dalam keluarga itu mereka tidak berbeda kedudukannya seperti orang hidup di dalam masyarakat yang seringkali terpaksa mengalami macam-macam kejadian hingga dengan sendirinya menimbulkan pendidikan diri sendiri.107 Pada dasarnya faktor identifikasi dan meniru pada anak amat lah besar. Mereka terbina, terdidik dan belajar dari pengalaman langsung bahkan lebih besar pengaruhnya daripada informasi atau pengajaran lewat instruksi (kata-kata). Karena itu maka suasana keluarga, ketaatan ibu-bapak dalam beribadah dan perilaku serta sikap dan cara hidup yang sesuai dengan ajaran Islam akan menjadikan anak yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga baik, akan beriman dan berakhlak terpuji.108 Anak yang lahir dalam keluarga yang selalu membiasakan berbuat baik biasanya menghasilkan pribadi anak yang baik pula. Dan sebaliknya anak yang lahir dalam keluarga yang membiasakan perbuatan yang tercela akan menghasilkan pribadi anak yang tercela pula.109 Keshalehan orang tua merupakan teladan yang baik bagi anak, mengandung pengaruh yang besar terhadap kejiwaan anak. Apabila orang tua mempunyai kedisiplinan untuk bertakwa kepada Allah dan mengikuti jalan Allah dan juga terus ada kerjasama antara kedua orang tua untuk menunaikan hal tersebut maka akan tumbuh pula pada diri anak ketaatan dan kepatuhan kepada Allah karena mencontoh kedua orang tuanya. Pada kenyataannya, suasana kehidupan keluarga sehari-hari tidaklah monoton bahkan selalu berubah-ubah masing-masing dengan muatan iklim yang bervariasi. Ada kalanya suasana keluarga itu santai, bahkan riang gembira, penuh canda dan kelakar yang mengundang gelak tawa, bahkan tidak jarang terjadi saling melempar ejekan yang ajaibnya tidak mengundang marah atau terhina, akan tetapi malahan lebih menghangatkan suasana.
107
Ki Hadjar Dewantara, op.cit., hlm. 375. Zakiah Daradjat, op.cit., hlm. 75.
108 109
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, op.cit., hlm. 179.
32 Semuanya itu mencerminkan suasana keakraban dan keterbukaan antara sesama anggota keluarga. 110 Interaksi antara anggota keluarga itu bisa menimbulkan pertentangan, masalah dan tekanan-tekanan dan di saat yang sama interaksi mereka bisa menghasilkan kebahagiaan, kepuasan dan kesenangan bagi setiap anggota keluarga.111 Suasana inilah yang mendukung pendidikan akhlak dalam keluarga. Komunikasi interaktif akan selalu bernilai edukatif. Keluarga yang memiliki budaya komunikasi dengan anak secara baik akan mampu menciptakan pra kondisi bagi tumbuhnya kecerdasan anak-anak. Oleh karena itu orang tua di rumah harus bersedia berinteraksi secara positif dengan cara merespon perilaku anak-anak secara kultural.112 Sehingga tampak bahwa interaksi verbal merupakan bentuk yang sangat penting dan bermanfaat terutama dalam mendorong anak bertanya.113 Sebab kualitas hubungan anak dan orang tuanya akan mempengaruhi keyakinan beragamanya di kemudian hari. Apabila ia merasa disayang dan diperlakukan adil, maka ia akan meniru orang tuanya dan menyerap agama dan nilai-nilai yang dianut oleh orang tuanya. Dan jika yang terjadi sebaliknya, maka ia akan menjauhi apa yang diharapkan orang tuanya, mungkin ia tidak mau melaksanakan ajaran agama dalam hidupnya.114 Oleh karena setiap interaksi dalam keluarga bersifat edukatif, maka orang tua harus menghiasi diri dengan akhlak dan perilaku yang baik. Hal ini perlu karena orang tua berperan sebagai pendidik. Sedangkan pendidik yang sukses menurut Muhammad Maulawy adalah pendidik yang paham terhadap ilmu-ilmu yang hendak diajarkannya.115
110
M.I. Soelaeman, op.cit., hlm. 54. Promod Batra et. al., Merakit dan Membina Keluarga Bahagia, terj. Dedy Ahimsa, (Bandung: Cendekia, 2002), Cet. 1, hlm. 13. 112 Sintha Ratnawati, Keluarga Kunci Sukses Anak, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2000), Cet. 2, hlm. 14. 113 Ibid, hlm. 11. 114 Zakiah Daradjat, op.cit., hlm. 66. 115 Muhammad Said Maulawy, Mendidik Generasi Islami, terj. Ghazali Mukri, (Yogyakarta: Izzan Pustaka, 2002), Cet. 1, hlm.30. 111
33 Masih menurut Muhammad Maulawy, di samping memiliki pemahaman atas ilmu, pendidik juga harus selalu menghiasi diri dengan kesabaran, welas asih, ramah, penyayang, berpandangan ke depan serta bersikap tegas menurut kondisinya. Hal ini penting karena di antara akhlakakhlak itu ada yang bersifat positif, efektif, dan langsung serta ada pula yang mempunyai pengaruh negatif dalam interaksi antara orang tua dan anak.116 Hal ini dikuatkan oleh Zakiah Daradjat yang menyatakan bahwa apabila anak dididik dengan penuh kasih sayang, lemah lembut, adil dan bijaksana maka akan tumbuh dalam diri anak sikap sosial yang menyenangkan. Anak akan terlihat ramah, gembira, dan mudah akrab dengan orang lain. Sebaliknya ketika orang tua bersikap keras, kurang perhatian, dan sering bertengkar maka anak tersebut akan berkembang menjadi anak yang kurang pandai bergaul, mengisolasi diri dan bersikap antipati terhadap lingkungannya.117 Maka nampak sekali bahwa kualitas orang tua sangat berpengaruh terhadap kualitas anaknya. Sebab dari merekalah pertama-tama anak belajar mengenal lingkungan masyarakatnya. Kualitas pribadi yang baik tentu akan memunculkan sebuah keharmonisan. Keharmonisan dan keserasian antara Ibu dan Bapak memiliki pengaruh yang besar terhadap tingkah laku dan intelektualitas anak.118 Keharmonisan komunikasi ini terjadi dalam setiap interaksi diantara mereka dan akan bersifat edukatif. Artinya dalam setiap aktivitas nya akan selalu meninggalkan kesan bagi anak. Untuk itu, orang tua menjadi sosok teladan bagi anak; maka mereka harus menghiasi diri dengan akhlak yang mulia. Sebab, kualitas ini, mempengaruhi kualitas anak berikutnya. Bentuk Pendidikan Akhlak dalam Keluarga Adapun pemberian suasana ini mesti disesuaikan dengan taraf perkembangan anak. Perkembangan ini berhubungan dengan tahap-tahap 116
Ibid, hlm. 31. Zakiah Daradjat, op.cit., hlm. 67. 118 Khalid Ahmad asy-Syantuh, Pendidikan Anak Putri dalam Keluarga Muslim, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994), Cet. 2, hlm. 44. 117
34 umur tertentu. Hal ini perlu diketahui oleh orang tua agar mereka mampu dan mendidik anak-anak secara benar, serta dapat menghindari kemungkinan kesalahan yang membawa akibat tidak baik bagi perkembangan anak. Secara umum, pola perkembangan anak adalah sebagai berikut119: a.
Masa vital (anak usia 0-2 tahun) Masa ini merupakan masa penting bagi kelanjutan hidup jasmani dan rohani. Dalam tahun pertama ini, anak masih sangat tergantung dengan lingkungannya. Seorang bayi masih memerlukan perawatan yang telaten karena kemampuannya masih terbatas pada gerak-gerak pernyataan seperti menangis dan meraban (menggumam) tanpa makna .120 Pada masa ini anak sangat tergantung pada ibu. Bisikan-bisikan kalbu seorang ibu akan memberikan efek psikologis pada anak. Bahkan pemberian ASI pun memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk aspek jasmaniah, emosional dan sosial kehidupan anak. Secara psikologis dan sosial, pemberian ASI ini dapat menimbulkan rasa kehangatan, kasih sayang dan ketentraman pada anak ketika sedang berada di pangkuan ibunya. Inilah moment pertama dari interaksi sosial. Suatu perasaan tentram, hangat dan kasih sayang yang dialami oleh anak.121 Pada masa ini anak telah dapat meniru hal-hal kecil yang dilihatnya. Suatu percobaan yang telah dilakukan oleh Peugeut (dalam Mahmud) membuktikan bahwa anak pada umur 9 dan 11 bulan ketika dicoba agar meniru gerak mata dibuka dan ditutup ternyata anak menirunya dengan menutup dan membukanya.122 Hal ini oleh karena pada masa ini anak dapat (meskipun masih sangat terbatas) merasakan sikap, tindakan dan perasaan orang tua. Maka anak akan mulai mengenal Tuhan dan agama melalui orang-orang dalam
119
Periodisasi ini mengikuti periodisasi menurut Kohnstam dalam Mustaqim, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Cet. 2, hlm. 16. 120 Jalaluddin, Mempersiapkan Anak Shaleh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. 4, hlm. 117 121 Mahmud, op.cit., hlm. 148. 122 Ibid, 148.
35 lingkungan sekitarnya. Kata Allah yang mulanya mungkin tidak menjadi perhatiannya lama kelamaan akan menjadi perhatiannya dan anak akan ikut mengucapkannya setelah ia mendengar kata Allah itu berulang kali dalam berbagai keadaan, tempat dan situasi. Apalagi ketika ia melihat raut muka ibunya yang penuh kesungguhan ketika berucap kata Allah dengan begitu, perhatian anak akan bertambah.123 Dengan demikian nampak bahwa pada masa ini, anak dapat dididik dengan nasehat dan pembiasaan. Adapun materinya masih berupa pengenalan-pengenalan baik terhadap Allah maupun terhadap orangorang di sekitarnya (sosialisasi). Hal ini merupakan bekal bagi anak. b.
Masa estetis (anak usia 2-7 tahun) Masa ini disebut masa estetis karena pada masa ini anak sangat menghajatkan (membutuhkan, suka akan) keindahan, suasana yang menggembirakan dirinya. Suasana ini penting dalam kehidupan agama anak. Karena kesan yang indah, menggembirakan dan tenang dalam jiwa anak akan membawa perasaan cinta mereka kepada agama pada masa dewasanya kelak.124 Pada masa ini anak sudah mulai senang terhadap fantasi (imajinasi). Mereka menyenangi kreasi yang bersifat fantasi baik dalam mendengar cerita ataupun menciptakan sesuatu secara sederhana.125 Maka penting bagi orang tua menyuguhkan cerita-cerita teladan bagi anaknya untuk mendorong anak agar meniru perilaku tokoh kisah itu. Selain itu, yang terpenting bagi orang tua agar anak diperkenalkan dan dibiasakan dengan suasana kehidupan religius di rumah. Kedua orang tua mengaji al-Quran atau berdzikir pada saat anak masih tidur; suara ini akan direkam dalam dunia anak. Atau bisa juga dengan menunjukkan perhatian kepada suara adzan (misalnya dengan menjawab adzan), mengajar mengaji kepada kakak si bayi atau di dekat tempat tidur bayi
123
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), Cet. 17, hlm. 127. Arifin, op.cit., hlnm. 51. 125 Jalaluddin, op.cit., hlm. 118. 124
36 merupakan suatu metode yang cukup efektif dalam memperkaya rekaman sang bayi, bahkan meningkatkan intensitas kedekatan kepada Allah.126 Berbagai nazham yang biasa diucapkan kedua orang tua berulang kali dan diperdengarkan langsung bahkan melalui kaset atau suara orang lain, merupakan hal yang baik bagi anak. Suara dan isi nazham tersebut akan direkam pula dalam khazanah nurani anak. Dekorasi kamar dan berbagai ruangan dalam rumah dengan berbagai lafadz ayat al-Quran akan menjadi katalisator terciptanya suasana religius dalam rumah.127 Pada masa ini kemampuan komunikasi anak semakin baik. Hal ini mendorong mereka untuk semakin intensif melontarkan pertanyaanpertanyaan yang mengusik alam pikiran mereka. Karena menyukai fantasi dan hal-hal yang estetis dan menggembirakan, penting bagi orang tua untuk mendidik mereka dengan cara belajar sambil bermain. Hal ini dapat diwujudkan melalui kebiasaan mencuci tangan yang dipimpin oleh ayah dengan perkataan yang halus. Hal ini penting sebab, anak pada masa ini bersifat sugestibel (mudah dipengaruhi) terutama jika dengan cara yang baik dan ramah. 128 Jadi pendidikan akhlak dalam masa ini dapat diwujudkan melalui contoh, teladan, tingkah laku yang baik bahkan juga dapat diwujudkan dalam bentuk cerita-cerita teladan dan permainan.. Adapun materinya adalah lanjutan dari masa vital. Artinya masih seputar sosialisasi lingkungan dan agama akan tetapi taraf sosialisasinya (hal-hal yang disosialisasikan) lebih berkembang (banyak). c.
Masa intelektual (anak usia 7-13 tahun) Pada masa ini anak mulai mengembangkan intelektual dan rasa sosialnya. Maka dari itu perlu bagi anak suatu bimbingan untuk kecerdasan serta sikap sosial sebaik-baiknya. Pada masa ini pula anak
126
Djawad Dahlan,”Pendidikan Agama dalam Keluarga bagi Anak Usia 0-5 Tahun dalam Keluarga” dalam Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), Cet. 3, hlm. 90. 127 Ibid, hlm. 91. 128 Jalaluddin, op.cit., hlm. 119.
37 sudah memiliki kesadaran terhadap kewajiban dan pekerjaan. Selain itu mereka sudah memiliki keserasian untuk bergaul dengan anak-anak lain dan menganggap mereka sebagai teman yang memiliki hak yang sama; bahkan, anak sudah mempunyai kecenderungan terhadap kebutuhan akan pengetahuan untuk memperluas lingkungan hidupnya.129 Maka, pendidikannya dapat berupa pemberian perhatian atas keseharian anak; pergaulannya dan aktivitasnya. Hal ini dapat diwujudkan dengan pengarahan dan bimbingan terhadap perilaku anak agar dapat menghormati orang lain (menjaga akhlak terhadap sesama). Sehingga akan terbentuk sosok anak yang mampu bergaul dengan baik. Disamping itu, pendidikan pada masa ini lebih dititikberatkan pada pembentukan disiplin. Anak dibiasakan untuk mentaati peraturan dan penyelesaian tugas-tugas atas dasar tanggung jawab.130 Adapun bentuknya bisa berupa pendidikan shalat untuk menjaga akhlak terhadap Allah sekaligus akhlak terhadap diri sendiri dan sesama. Akhlak terhadap Allah ini artinya melalui shalat, anak diajak untuk belajar tentang kewajibannya sebagai seorang muslim yang mesti menyembah kepada Pencipta; akhlak terhadap diri ini, artinya anak diajak untuk belajar tentang hak dan kewajibannya sebagai seorang muslim yang mesti menyembah Tuhannya, disamping itu, shalat juga sebagai ajang bagi diri untuk melatih kedisiplinan dengan menjaga waktu dan kebersihan; kemudian akhlak terhadap sesama ini, artinya apabila shalat dilakukan secara berjamaah maka anak akan dilatih untuk bersosialisasi terhadap masyarakat dan orang-orang di sekitarnya. Maka bentuk pendidikannya diwujudkan melalui pemberian perhatian dan pengawasan serta praktek. Artinya nilai pendidikan yang tengah diajarkan langsung dipraktekkan dengan pengawasan dan perhatian orang tua secara langsung.
129
Ibid., hlm. 127. Ibid, hlm. 129.
130
38 d.
Masa sosial (anak usia 13-21 tahun) Masa ini merupakan masa peralihan dari suatu kondisi kanakkanak ke kondisi remaja bahkan dewasa yang independen (mandiri). Masa ini ditengarai dengan kuatnya dorongan untuk hidup bermasyarakat dan adanya tanda-tanda perubahan pada anggota tubuh.131 Masa ini merupakan masa dimana emosi anak mengalami ketidakstabilan. Hal ini dapat mendorong mereka untuk berbuat kekerasan bahkan pengrusakan atau bisa jadi justru mendorong mereka untuk berbuat yang lebih baik lagi; sebuah tindakan susila. Pada masa ini pula mereka mulai tertarik pada masalah kemanusiaan dan keagamaan.132 Namun hal ini justru dapat membuat mereka semakin goyah atas ketidaksamaan antara ide dan realita. Starbuck dalam Jalaluddin menyatakan bahwa anak pada masa ini mengalami pertumbuhan pikiran, mental dan sosial serta timbul pula minat terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan moral serta ibadah.133 Hal ini dipandang sebagai sebuah peluang bagi upaya pendidikan akhlak agar dapat membantu mereka menghadapi gejolak batin mereka. Adapun upaya pendidikan ini dilakukan dengan dialog dan diskusi serta memposisikan mereka sejajar (tidak menganggap mereka sebagai anakanak lagi).134 Maka bentuk pendidikan akhlak pada masa ini diwujudkan melalui dialog dan diskusi mengenai banyak hal yang lebih real (sesuai dengan kenyataan yang tengah terjadi) dengan tetap berpegang pada norma-norma agama; agar terbentuk sosok yang idealis sekaligus realis. Sehingga menjadi figur muslim yang mampu menempatkan posisinya sebagai muslim yang bertakwa yakni muslim yang tidak sekedar menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah akan tetapi takwa di
131
Abdul Aziz Abdul Malik, Mendidik Anak Lewat Cerita, terj. Syarif Hade Masyah, dan Mahfud Lukman Hakim, (Jakarta: Mustaqim, 2005), Cet. 6, hlm. 27. 132 Jalaluddin, op.cit., hlm. 136. 133 Ibid. 134 Ibid, hlm. 134.
39 sini
sebagaimana Toto Tasmara mengartikan bahwa manusia yang
bertakwa adalah manusia yang bertanggung jawab yang senantiasa menunjukkan amal prestatif yang dilakukan dengan penuh rasa cinta di bawah semangat pengharapan ridha Allah.135 Maka bentuk pendidikannya dilakukan dengan diskusi dan dialog dengan materi seputar masalah-masalah yang tengah terjadi. Dengan menggunakan landasan agama sebagai paradigma dalam melihat dan membahas materi-materi tersebut. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pendidikan akhlak dalam keluarga merupakan upaya orang tua menanamkan serta menumbuhkembangkan potensi baik (akhlak) pada diri anak agar tumbuh dalam diri anak sifat-sifat akhlak yang baik dan menjadikannya sebagai sebuah kebiasaan baik; dalam hubungannya terhadap Khalik maupun terhadap makhluk. Pendidikan ini dapat dilaksanakan melalui dua tahap yakni tahap pra kelahiran anak dan tahap pasca kelahiran anak. Adapun bentuk-bentuk pendidikannya disesuaikan dengan taraf perkembangan anak.
135
Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), Cet. 1, hlm. 2.
40 BAB III I. PEMIKIRAN ISMAIL RAJI AL-FARUQI TENTANG TAUHID SEBAGAI PRINSIP KELUARGA A.
Biografi Ismail Raji al-Faruqi 1.
Sejarah Hidup dan Riwayat Pendidikan Ismail Raji al-Faruqi Ismail Raji al-Faruqi adalah orang Jaffa, Palestina; yang dilahirkan pada 1 Januari 1921.136 Pendidikan pertamanya diperoleh dari ayahnya (Abd al-Huda al-Faruqi), seorang hakim dan tokoh agama terkemuka di kalangan sarjana Islam dan juga dari masjid setempat. Pada tahun 1926 al-Faruqi mulai bersekolah di The Frence Dominical College des Freres (sebuah sekolah biara yang menggunakan bahasa Perancis sebagai bahasa pengantarnya) dan lulus pada tahun 1936, kemudian melanjutkan studinya di sekolah ilmu seni dan pengetahuan pada The American University di Beirut dan mendapat gelar sarjana muda (BA) di bidang filsafat pada 1941. Tahun 1948 Palestina diduduki oleh penjajah Yahudi. Kondisi ini mengharuskan al-Faruqi dan keluarganya hengkang dari tanah airnya dan terpaksa mengungsi ke Amerika Serikat. Di sana, al-Faruqi mendaftarkan diri di Indiana University’s Graduate School of Arts and Sciences dan memperoleh gelar MA di bidang filsafat. Tahun 1951, al-Faruqi menerima anugerah gelar MA di bidang filsafat dari Department of Philosophy Harvard University. Tahun 1951, al-Faruqi mengajukan tesisnya yang berjudul Justifying the Good Metaphysics and Epistemology of Value (Justifikasi Kebenaran: Metafisika dan Epistemologi Nilai) pada Indiana University di Blomingtoon dan berhasil menerima gelar Ph.D pada 1952. Awal tahun 1953, al-Faruqi dan istrinya tinggal di Syria kemudian ke Mesir (1954-1958) untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman pada Universitas al-Azhar, Kairo dan berhasil memperoleh gelar Ph.D.137 Kini Ismail Raji al-Faruqi telah tiada. Tanggal 27 Mei 1986 al-Faruqi tewas mengenaskan karena dibunuh bersama istrinya (Lois Lamya al-Faruqi)
136
M. Shafiq, Mendidik Generasi Baru Muslim, terj. Suhadi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), Cet. 1, hlm. 13. 137 Ibid, hlm. 14-16.
41 di kediamannya di Wyncote, Pennsylvania, Amerika Serikat. Kematiannya diduga akibat suara-suara pedasnya yang mengundang kemarahan masyarakat Afro-Amerika dan para imigran muslim serta kritiknya pada zionismeIsrael.138 2.
Aktivitas Ilmiah Ismail Raji al-Faruqi Segera setelah lulus (1941-1945), al-Faruqi menempuh karir pemerintahan di negerinya dan menjadi seorang Register of Cooperative Societies di bawah mandat pemerintahan Inggris di Jerusalem. Selanjutnya alFaruqi menjabat sebagai gubernur wilayah Galilee pemerintahan Palestina. Tahun 1958, al-Faruqi diundang sebagai dosen tamu bidang studi Islam di Mc Gill University’s Institute of Islamic Studies sekaligus menjadi mahasiswa tingkat doktoral sebagai penerima Rockefeller Foundation Fellowship (1959-1960) pada Fakultas Teologi dengan spesialisasi KristenYahudi. Dari Mc Gill inilah al-Faruqi bergabung dengan the School of Divinity sebagai peneliti di bidang Christianity and Judaism dan menghasilkan karya Christian Ethics. Lewat karyanya ini al-Faruqi menjelaskan perlunya dialog antara Kristen-Islam agar tidak terjadi ketegangan diantara mereka serta terciptanya perilaku etis dalam kehidupan demi terpenuhinya tugas-tugas dan tanggung jawab sebagai manusia dalam spektrum dunia.139 Karir profesionalnya sebagai guru besar dimulai pada Institut Pusat Riset Islam di Karachi sebagai guru besar studi Islam bersama dengan Fazlur Rahman (1961-1963). Kemudian tahun 1964 sebagai guru besar tamu dalam bidang sejarah agama di Fakultas Teologi Universitas Chicago dan pada tahun itu pula al-Faruqi memperoleh posisi permanen pertamanya sebagai guru besar luar biasa di Jurusan Agama Universitas Syracuse.140 Dan mulai 1968 al-Faruqi mengabdi di Fakultas Agama Universitas Temple sebagai staf pengajar penuh. 138
M. Shafiq, op.cit., hlm. 1. Ibid, hlm. 23-26. 140 John L Esposito dan John O Voll, Tokoh-Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, terj Sugeng Hariyanto, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 1, hlm. 264. 139
42 Tahun 1965 al-Faruqi mulai mengenal dan bergabung dengan MSA (The Moslem Students Association). Di sini, al-Faruqi semakin intens untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman dan memperkuat keinginannya untuk mengembangkan Islam di Amerika. Dengan spirit inilah al-Faruqi bersama dengan tokoh-tokoh MSA yang lain membentuk AMSS (The Association of Moslem Social Scientist) pada 1972 yang memfokuskan diri pada masalahmasalah Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial. Dan sebagai tindak lanjutnya, AMSS membentuk IIIT (The International Institute of Islamic Thought) pada 1977; sebuah institusi non-profit yang bergerak di bidang pendidikan. Tidak hanya itu, al-Faruqi juga mengupayakan Gerakan Dakwah di Amerika Utara bagi penduduk asli muslim melalui training pendidikan dan keislaman pada malam hari di Sister Clara Muhammad School. Tahun 1982, al-Faruqi juga terlibat dalam pendirian The American Islamic and College di Chicago yang mengetengahkan studi sastra dan pendidikan Islam sebagai program studinya; disamping keterlibatannya yang lain dalam pendirian Universitas Islam Internasional di Islamabad dan di Kuala Lumpur.141 Disamping itu al-Faruqi juga seorang konsultan dan penguji tamu di University of Libya, The Jami’a Milliyah Islamiyyah (India), The University of Durban-Westville (Afrika Selatan), The National University of Malaysia, Imam Muhammad Ibn Sa’ud University (Arab Saudi), The University of Jordan, The University of Qatar, The University of Alexandria (Mesir), The University of Qum (Iran), Mindanau State University (Filipina), Umm Durman Islamic University (Sudan), Yarmuk University (Yordania), The University of Karachi (Pakistan), Sultan Zainul Abidin Religious College (Malaysia), dan lain-lain. Al-Faruqi juga seorang ketua The International Scholar Committee yang bertugas menasehati pemerintah federal Malaysia.142 3.
Karya-karya Ismail Raji al-Faruqi Selain sebagai seorang pengajar, al-Faruqi adalah seorang pemikir, cendikiawan dan filosof. Aktivitas ilmiahnya yang tinggi telah melahirkan 141
M. Shafiq, op.cit., hlm. 49-61 Ibid, hlm. 61.
142
43 sejumlah karya tulis. Menurut catatan Muhammad Shafiq, ada sekitar 129 karya tulis al-Faruqi yang terbagi atas 22 dalam bentuk buku, 3 karya persnya serta 104 karya artikelnya.143 Beberapa diantaranya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan masih banyak lagi yang belum. Karya-karyanya diantaranya On Arabism Urubah and Religion diterbitkan di Amsterdam tahun 1962, Christian Ethics diterbitkan di Amsterdam 1968, Historical Atlas of the Religion of the World diterbitkan di New York 1975, Trialogue of the Abrahamic Faiths diterbitkan di Virginia 1982, Tawhid its Implications for Thought and Life diterbitkan di Kuala Lumpur 1982, dan The Cultural Atlas of Islam diterbitkan di New York 1986. Dari latar belakang biografi tersebut nampak figur al-Faruqi yang tangguh karena terbentuk oleh latar belakang kehidupan yang menyertainya. Bermula dari pendidikan dasarnya yang diperolehnya dari seorang ayah yang mumpuni dalam masalah keislaman dilanjutkan pendidikan formalnya di biara semakin mengasah nilai keislamannya yang inklusif. Meski pernah merasa tersakiti oleh kaum Yahudi yang menggulirkan Zionisme, namun hal itu justru mendorongnya untuk mempelajari Christianity and Judaism. Di samping itu, kehidupannya di Amerika Serikat semakin mendorongnya untuk senantiasa memegang erat norma dasar agama Islam (tauhid). Ditambah pergulatannya dengan komunitas yang kompleks (mahasiswa muslim imigran dari berbagai belahan dunia dengan karakter dan budaya masing-masing) membuatnya merasa perlu mengajak mereka agar bersungguh-sungguh dalam belajar di dunia akademis sekaligus memegang erat norma dasar Islam (tauhid). B.
Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tauhid Gagasan tauhid ini muncul atas kegelisahannya terhadap kondisi umat Islam yang masih tergantung pada Barat baik dalam hal produksi maupun pertahanan diri dari intervensi pihak luar serta ketidakkompakan negara Islam.144
143
Daftar judul buku lengkap lihat Muhammad Shafiq, op.cit., hlm. 209-222. Lihat kata pengantar dalam Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1988), Cet. 1, hlm. vii. 144
44 1.
Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Makna Pokok Tauhid Prihatin atas fenomena tersebut, al-Faruqi mengajak umat Islam untuk kembali kepada asas Islam (tauhid). Secara tradisional dan dalam ungkapan yang sederhana, tauhid menurutnya adalah: The conviction and witnessing that there is no God but God.145 The name of God, Allah which simply means The God, occupies the central position in every muslim place, every muslim action and every muslim thought.146 Keyakinan dan kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Nama Tuhan adalah Allah dan menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Maka tauhid menurut al-Faruqi bukanlah tauhid pasif yang hanya sekedar pernyataan atas satu Tuhan akan tetapi tauhid menurutnya adalah tauhid aktif yang senantiasa melandasi setiap aktivitas muslim. Jadi tauhid berarti dzikrullah (senantiasa ingat kepada Allah). Dengan menyatakan dan mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah maka seorang muslim meniadakan, menolak tuhan-tuhan lain dan hanya mengakui bahwa Allah adalah Tuhan yang paling hak. Maka seluruh manusia adalah sama yakni sama-sama makhluk Allah. Jadi tidak ada superioritas satu orang atas orang lain. Maka nampak bahwa tauhid berarti pula deklarasi persamaan manusia.
2.
Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Makna Filosofis Tauhid Secara detail al-Faruqi mengungkapkan tiga makna yang terkandung dalam tauhid. Pertama, manusia sebagai makhluk hanyalah materi (ciptaan) yang mesti menghamba kepada Sang Pencipta, mengikuti segala kehendak dan perintah-Nya sesuai rumusan tujuan penciptaan (penghambaan)147 melalui
tindakan
moral
(tindakan
moral
yang
dimaksud
adalah
kemerdekaan)148; yakni kemerdekaan yang memungkinkan untuk bisa dipenuhi sekaligus di langgar.149 Artinya kemerdekaan ini menyangkut pula
145
Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid its Implications for Thought and Life, (Kula Lumpur: IIIT, 1982), hlm. 11. 146 Ibid, hlm. 32. 147 Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit., hlm. 17. 148 Ibid, hlm. 5. 149 Ibid, hlm. 11.
45 kemerdekaan berkehendak (free will) sekaligus kemerdekaan memilih (free choice).150 Jadi tindakan moral ini bersifat bebas, sadar dan sukarela.151 Kedua, pemenuhan kehendak Ilahi tersebut ditujukan untuk meraih kebahagiaan bukan keselamatan sebab Allah telah menjanjikan balasan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Adapun upaya pemenuhan tersebut harus dilakukan sendiri oleh pribadi (diri sendiri, bukan diwakilkan orang lain) dalam mengarungi lika-liku hidup dengan segala konsekuensi dan resikonya. Karena setiap balasan akan diberikan langsung dari Allah kepada individu tanpa perantara (juru selamat). Ketiga, Allah adalah satu-satunya Tuhan seluruh alam. Titah-Nya bersifat universal, maka manusia harus tunduk pada perintah-Nya. Ketundukan ini sebagai suatu pemenuhan kewajiban dari makhluk kepada Khalik.152 3.
Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Makna Tauhid Sebagai Prinsip Islam Dari penjabaran atas makna tauhid tersebut al-Faruqi meyakini bahwa tauhid adalah esensi Islam yang mesti melandasi setiap gerak aktivitas umat agar tercipta suatu tatanan peradaban Islam. Sebuah peradaban yang dimulai dari diri sendiri, keluarga, sampai ummah. Pembentukan peradaban ini harus dimulai dari diri sendiri melalui pengakuan atas eksistensi diri (dengan menyadari bahwa ia mengemban beban
moral)
sehingga
mampu
melestarikan
dan
mengembangkan
kepribadiannya untuk tunduk pada kehendak Tuhan153 (yang terwujud dalam hukum alam).154 Selanjutnya sifat pribadi tersebut dikembangkan dalam lembaga keluarga sehingga akhirnya terwujud suatu ummah yang satu. Ummah yang al-Faruqi maksud tidak hanya sekedar sekumpulan orang-orang sebangsa, sebahasa ataupun sesama ras dan suku, akan tetapi
150
Ibid, hlm. 14. Ibid, hlm. 11. 152 Ibid, hlm. 31. 153 Ibid, hlm. 138. 154 Ibid, hlm. 5. 151
46 ummah menurutnya adalah ummah universal yang terbangun atas dasar agama, ideologi dan merupakan suatu masyarakat universal yang keanggotaannya mencakup ragam etnisitas sehingga terbentuk komunitas luas yakni komunitas berdasarkan komitmen atas Islam.155 Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa tauhid sebagai inti ajaran Islam tidak sekedar dimaknai sebagai pernyataan dan pengakuan atas satu Tuhan dan berhenti sampai di situ saja. Akan tetapi dari inti tauhid tersebut, al-Faruqi mencoba melakukan internalisasi (penghayatan) tauhid ke dalam seluruh aspek kehidupan (pribadi dan sosial) agar kehidupan dapat berjalan sebagaimana tujuan penciptaan yakni penghambaan kepada Allah semata. Sebuah
penghambaan
yang
diwujudkan
oleh
manusia
dengan
kemerdekaannya mengolah, menata dan memanfaatkan alam (kehidupan) ini demi Ridha Ilahi. C.
Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tauhid Sebagai Prinsip Keluarga 1.
Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Makna Tauhid sebagai prinsip keluarga Secara umum, konsep tauhid sebagai prinsip keluarga menurut alFaruqi adalah keluarga merupakan media untuk memenuhi tujuan Ilahi (penghambaan).156 Dan pemenuhan tujuan ini mensyaratkan agar manusia menikah, melahirkan keturunan dan juga hidup bersama.157
2.
Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Pembentukan Keluarga Menikah adalah wajib. Dengan menikah, maka pemenuhan kebutuhan sex terwadahi. Namun, menikah yang hanya dilandasi sex semata adalah tidak sempurna. Islam sangat menghargai kebutuhan umatnya dengan menyediakan keluarga. Keluarga (Islam) menurut al-Faruqi adalah mereka yang terikat oleh ikatan darah yang hidup bersama yang suasananya diliputi dengan rasa cinta,
155
Ibid, hlm. 107. Ibid, hlm. 139. 157 Ibid, hlm. 138. 156
47 percaya dan peduli,158 yang terbentuk melalui suatu ikatan pernikahan antara pria dan wanita menurut persetujuan dan tanggung jawab masing-masing (mempelai) sesuai dengan konstitusi.159 Persetujuan atau kesepakatan tersebut bisa berupa kesepakatan sepihak (perjodohan) ataupun kedua belah pihak. Apabila dengan perjodohan tersebut tidak diperoleh kesepakatan bersama maka pernikahan dapat dibatalkan; sebab kesepakatan (bersama) adalah sebuah prasyarat penting pembentukan keluarga.160 Kesepakatan tersebut harus dinyatakan dalam akad disamping pernyataan (ketentuan) tentang mahar yang dibayarkan (berupa perhiasan dan atau uang kontan untuk membeli pakaian pengantin wanita atau perabot rumah) dan juga mahar yang ditunda (berupa uang kontan atau apapun yang dapat dibayarkan oleh pihak pria ketika bercerai); hal ini sebagai pencegah dan penjamin keputusan seenaknya pria yang mengakhiri perkawinan.161 Dari pernyataannya tersebut nampak bahwa al-Faruqi menjunjung tinggi nilai suci sebuah keluarga. Keluarga yang merupakan perkumpulan antara pria dan wanita mesti dilandasi dengan nilai tauhid (dzikrullah dan persamaan manusia) karena keluarga tidak hanya sekedar perkumpulan namun juga kehidupan antara pria dan wanita yang berbeda (sifat) nan rawan terjadi ketidakcocokan serta perbedaan lain yang dapat memicu perpisahan; sehingga dengan landasan tauhid tersebut diharapkan terjadi harmonisasi hubungan. 3.
Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Keluarga besar (Extended Family) Keluarga (Islam) menurut al-Faruqi tidak seperti keluarga-keluarga di negara komunis yang merampas ikatan batin sebuah keluarga karena pengambilalihan anak dari pemerintah yang memperlakukan mereka sebagai anak negara. Keluarga (Islam) bukan pula seperti keluarga-keluarga di negara
158
Ismail Raji al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1998), Cet. 1, hlm. 163. 159 Ibid, hlm. 373. 160 Ibid, hlm. 184. 161 Ibid.
48 Barat yang anak-anaknya terabaikan oleh orang tuanya karena budaya workaholic (gila kerja). Keluarga (Islam) adalah keluarga patriarkal (pimpinan keluarga ada di tangan pria) bukan keluarga matriarkal (pimpinan keluarga ada di tangan wanita) ataupun poliandri (seorang istri bersuamikan banyak).162 a.
Arti Keluarga besar Bentuk keluarga (Islam) adalah keluarga besar (extended family) yang keanggotaannya mencakup tiga generasi yang meliputi ayah, ibu, kakek, nenek, paman, bibi, cucu, serta anak-anak keturunan mereka,163 yang hidup dalam satu kompleks tempat tinggal dengan satu dapur dan balai keluarga tempat bercengkerama sekaligus sebagai ruang tamu164; yang berkembang menurut hukum tanggungan dan warisan. Hukum tanggungan memandang semua wanita dalam keluarga menjadi tanggungan kaum pria tanpa memandang status keuangan mereka sedangkan hukum warisan memandang semua anggota keluarga sebagai ahli waris yang beragam derajatnya; yaitu seorang pria mendapat dua kali bagian dari wanita (2:1). Dalam hal ini, wanita adalah pihak yang diuntungkan sebab satu bagian yang ia peroleh dapat disimpannya karena ia telah menjadi tanggungan kaum pria; sedangkan dua bagian milik pria mesti dibagi pada kaum wanita demi memenuhi tanggungannya tersebut165 Selain itu, pria juga harus mencukupi seluruh kebutuhan ekonomi para anggota keluarga karena semua kerabat (betapapun jauhnya hubungan kekerabatannya) asal mereka dalam keadaan kekurangan dan tidak didapati pria dewasa yang mencari nafkah menjadi tanggungan kaum pria. Adapun kerabat yang menjadi prioritas adalah kakek, nenek,
162
Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op. cit., hlm. 137. Ibid, hlm. 142. 164 Ibid, hlm. 144. 165 Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, loc.cit. 163
49 paman, dan anak-anak mereka (di samping kaum wanita). Dan lebih diutamakan kerabat yang berasal dari garis keturunan pria (patriarkal).166 b.
Nilai Plus Keluarga besar Keluarga besar dapat memberikan untuk setiap anggota keluarga nya kemampuan mengatasi kesulitan hidup. Melalui keluarga besar ini pula individualisme, egoisme dan kesendirian akan terhapus;167bahkan mempermudah sosialisasi dan akulturasi sebagaimana pernyataanya: The large membership prevented any gap from forming between the generations and facilitated the process of socialization of the members… in any household, a wild variety of talents and temperaments so that the members might complement one another and it disciplined them to adjust to one another’s needs.168 Banyaknya anggota keluarga mencegah terjadinya jurang antar generasi dan mempermudah proses sosialisasi serta akulturasi anggota keluarga… dalam rumah tangga terdapat beragam bakat dan temperamen, sehingga anggota keluarga dapat saling melengkapi dan mendisiplinkan mereka untuk saling memenuhi kebutuhan. Keluarga besar tidak hanya menjadikan karir di dalam dan di luar rumah tangga mungkin dilaksanakan, tetapi juga menjadikan segenap anggota masyarakat lebih sehat dan sejahtera. Karena dalam keluarga besar, akan selalu ada orang yang akan memberikan perhatian kepada rumah tangga sehingga apabila sang ibu melanjutkan karir maupun pendidikannya tidak akan merasa terbebani dengan pengelolaan rumah tangga sebab telah ada orang di rumah.169 Bahkan akan selalu ada beberapa orang yang dapat dipilih oleh anak untuk bermain, bercanda, berdiskusi, merenung dan berharap bahkan mengatasi kesulitan hidup.170 Kebersamaan seperti ini penting bagi kesehatan jiwa seseorang dan kesejahteraan masyarakat.
166
Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit., hlm. 143. Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, loc.cit. 168 Ismail Raji al-Faruqi and Lois Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, (New York: Macmillan, 1986), hlm. 128. 169 Ismail Raji al-Faruqi, Islam Sebuah Pengantar, terj. Luqman Hakim, (Bandung: Pustaka, 1992), hlm. 61. 170 Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit., hlm. 144. 167
50 Selanjutnya al-Faruqi menambahkan bahwa pada dasarnya manusia membutuhkan kasih sayang, bimbingan dan keprihatinan menolong orang lain sebanyak mereka membutuhkan makanan dan udara.171 Karena keluarga besar memungkinkan terjadinya pemenuhan kebutuhan pada masing-masing anggota keluarga-nya. Sebagaimana pernyataannya: Unlike any other social system, the law of Islam articulated the relations of all members of the extended family in order to insure proper functioning of all of them.172 Tak seperti sistem sosial lainnya Islam membicarakan pula hubungan para anggota keluarga besar untuk memastikan pemenuhan fungsi diantara mereka. Jadi keluarga besar memungkinkan terciptanya pemenuhan fungsi seseorang atas orang lain dalam keluarga itu. Artinya jika seorang anak memerlukan figur ibu akan tetapi karena ketiadaannya di rumah oleh karena tuntutan karir, maka anak akan bisa mendapatkan figur ibu dari nenek atau bibinya misalnya. 4.
Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tugas Pendidikan dalam Keluarga a.
Misi Sosial Keluarga menurut al-Faruqi mengemban misi sosial yaitu sebagai media sosialisasi anak.173 Keluarga bertugas mempersiapkan warga negara yang baik yakni generasi yang menjunjung tinggi sistem sosial, budaya, politik, dan ekonomi serta ikut serta menyejahterakan masyarakat dan membela umat bila diperlukan.174 Dan melalui keluarga besar-lah misi itu dapat terwujud sebab keluarga besar memungkinkan terciptanya pendidikan dasar melalui kompleksitas interaksi (misalnya interaksi antara anak dengan ayah-
171
Ibid,hlm. 62. Ismail Raji al-Faruqi, Ismail Raji al-Faruqi, Trialogue of the Abrahamic Faiths, (Beltsville: Amana Publication, 1995), Cet. 4, hlm. 49. 173 Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, op.cit., hlm. 183. 174 Ibid, hlm. 185. 172
51 ibunya, anak dengan saudaranya, anak dengan kakek-neneknya dan sebagainya) di dalamnya dimana hal ini akan mendidik anak nilai-nilai kemasyarakatan walau dari level yang sangat kecil; karena keluarga adalah masyarakat dalam bentuk mini. b.
Arti Pendidikan Maka sekali lagi nampak bahwa al-Faruqi menegaskan bahwa keluarga mengemban tugas pendidikan. Pendidikan itu sendiri oleh alFaruqi dimaknai sebagai: Commanding of the good and forbidding of evil is education in highest sense. Virtue and righteousness are the ultimate end of all education in Islam.175 Memerintahkan yang baik dan mencegah yang buruk adalah pendidikan dalam pengertiannya yang paling tinggi. Kebajikan dan ketakwaan merupakan tujuan akhir semua pendidikan dalam Islam. Selanjutnya pendidikan tersebut diwujudkan dalam wujud nyata sebagaimana pernyataannya: To assist the whole of mankind to perceive and having perceived, to actualize the values constitutive of the divine will. This is education in its noblest and greatest sense.176 Membantu seluruh umat manusia untuk memahami, dan setelah memahami mengaktualisasikan nilai-nilai yang merupakan pilarpilar kehendak Ilahi. Inilah makna pendidikan yang paling tinggi.
c.
Pendidikan Awal Orang tua menurut al-Faruqi wajib memberikan pendidikan dasar sejak anak menghirup udara pertama kalinya. Pendidikan itu berupa pembacaan syahadat ke telinga anak yang baru lahir, nama (Islam) yang bagus, rukun Islam, cara membaca al-Quran, serta khitan.177 Tegasnya orang tua harus mendidik anaknya tentang ritual Islam serta hukum dan etika Islam dan tentang menjadi bagian dari umat.178
175
Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid its Implications for Thought and Life, op.cit., hlm. 202 Ibid, hlm. 120. 177 Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, loc.cit. 178 Ibid. 176
52 d.
Pemberian Suasana Interaksi-edukatif mendukung,
menghibur,
ini
terwujud
menuntun,
dalam
bentuk
mendidik,
mencintai,
menolong
dan
menemani179 Interaksi (suasana edukatif) tersebut oleh al-Faruqi ditujukan sebagai upaya akulturasi ke dalam Islam dan sosialisasi ke dalam umat yang dimulai dengan nasehat dan pemberian contoh yang baik serta sikap yang tegas dalam menghadapi anak yang berbuat kesalahan.180 Interaksi itu penting untuk membentuk watak anak. Sebagaimana pernyataannya: Certainly family-living engenders in humans other characteristics which are acquired through association….Members born to one family may successfully be brought up as members of another but the innate characteristics remain unchanged.181 Memang kehidupan keluarga menyebabkan pada diri manusia karakter atau watak yang diperolehnya melalui pergaulan…. Seseorang yang terlahir dalam sebuah keluarga bisa jadi berhasil dididik menjadi orang lain tetapi tetap karakter bawaannya tak akan dapat diubah. 5.
Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tabyin a.
Arti Tabyin serta Materinya Tugas pendidikan itu, oleh al-Faruqi; disebut dengan tabyin; yaitu pendidikan mengenai akulturasi dan kebenaran Ilahi.182 Adapun upaya tabyin dapat dilakukan melalui pengajaran atas ritus dan hukum Islam, nilai-nilai dan etika Islam serta menjadikan nilai Islam tersebut sebagai petunjuk hidup bahkan gaya hidup demi kesetiaan pada Allah dan umat.183 Tabyin menurut al-Faruqi adalah kewajiban bagi setiap manusia terlebih lagi bagi orang tua dan generasi muda. Gerakan tabyin ini
179
Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit., hlm. 139. Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, loc.cit. 181 Ismail Raji al-Faruqi, Trialogue of the Abrahamic Faiths, loc.cit. 182 Ismail Raji al-Faruqi, Hakikat Hijrah, terj. Badril Saleh, (Bandung: Mizan, 1993), Cet. 3, hlm. 59. 183 Ibid, hlm. 60. 180
53 merupakan gerakan untuk membentuk generasi-generasi Islam; yakni generasi yang tetap dengan kondisi jiwa kepemudaannya namun tetap dalam jalur Islam. Adapun program-programnya mesti disusun secara seksama untuk mempercerah dan mengembangkan rasa keislaman serta menumbuhkan generasi muda sebagai manusia yang mantap.184 Adapun materinya dapat dimulai dengan sejarah budaya masa lalu, negara dan lingkungan (Islami) berikut permasalahan dan prospeknya. Program ini mesti dirancang untuk membebaskan kaum muslim dari kesibukan kehidupan keseharian dan mengisinya dengan semangat
meraih
cita-cita
mulia
untuk
menyingkirkan
budaya
kekerasan.185 b.
Metode Tabyin Program tabyin ini ditujukan untuk mendidik pikiran dan hati. Pendidikan pikiran dilakukan melalui penjelasan tentang nilai-nilai Islam dalam bentuk diskusi. Materi-materi seputar superioritas Islam menjadi kajian utamanya. Melalui diskusi tersebut al-Faruqi menghendaki agar nilai-nilai Islam dapat terealisir dalam kehidupan.186 Sedangkan pendidikan hati dilakukan melalui keteladanan bukan dengan konsep (teori). Hati menurut al-Faruqi bersifat emosional maka hati perlu dididik dengan lembut melalui penciptaan suasana ketundukan (tawadhu’) sehingga perlahan akan meresap dalam hati dan memacu imajinasi
anak
untuk mencipta suatu pola laku yang Ilahiah
(mengabdi).187 Untuk itu diperlukan pemimpin
(imam) yang tangguh dalam
mewujudkan program tabyin tersebut. Imam dalam hal ini terbentuk dalam sebuah keluarga besar yang melakukan pendidikan internal keluarganya sekaligus melakukan komunikasi-interaktif dengan keluarga lainnya. 184
Ibid, hlm. 61 Ibid, hlm. 62. 186 Ibid, hlm. 63. 187 Ibid, hlm. 65. 185
54 Upaya komunikasi-interaktif ini dapat diwujudkan melalui kunjungan atau melalui pertemuan setiap seminggu sekali untuk berdiskusi tentang sejarah dan adab, literatur ushul fiqh, serta haditshadits pilihan. Keberhasilan pertemuan ini mensyaratkan adanya apresiasi imam yang lebih tinggi (ilmunya) atas imam yang lain, profesionalitas serta penghormatan atas yang lain.188 Selanjutnya agar program tabyin tersebut dapat berhasil maka perlu diwujudkan dalam bentuk al-arkan untuk mengorganisir pertemuan antar keluarga tersebut dan mengokohkan pemahaman atas nilai-nilai Islam sehingga terwujud kehidupan yang etis berdasarkan hukum Islam.189 6.
Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Ibu Rumah Tangga Seorang istri menurut al-Faruqi diperbolehkan berkarir di luar rumah dengan catatan agar tetap menjaga citra diri (menutup aurat) karena pada dasarnya Islam tidak mengungkung kaum wanita di balik cadar dan dinding rumah tinggalnya.190 Wanita yang memiliki kecenderungan, bakat dan kecerdasan dapat bekerja di luar rumah tanpa mengancam jiwa anak-anak ataupun keharmonisan dan keindahan rumah tangga.191 Bahwa setiap wanita seperti juga pria harus melaksanakan tugas mengabdi kepada Allah dan memberi manfaat kepada ummah sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Tugas ini bertambah wajib dikarenakan kemerosotan dan kemandegan ummah. Fenomena ini kemudian dicontohkan oleh al-Faruqi dengan timpangnya persentase orang-orang buta huruf dibanding yang melek huruf.192 Keadaan ini menuntut setiap wanita muslim untuk berkarir paling tidak dalam sebagian dari masa hidupnya. Hal ini dapat dilakukan apabila ia masih dalam masa studinya atau selama ia bertugas sebagai ibu rumah tangga
188
Ibid, hlm. 68. Ibid, hlm. 69. 190 Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit., hlm. 141. 191 Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, op.cit., hlm. 184. 192 Ibid, hlm. 159. 189
55 jika ia hidup dalam keluarga besar (karena akan selalu ada orang yang dengan senang hati mengerjakan pekerjaan rumah tangga bahkan mengawasi dan menjagakan anak-anak selagi mereka sibuk di luar rumah).193atau setelah masa keibuannya.194 Masa setelah keibuannya ini maksudnya saat anak-anaknya sudah dewasa (sekitar umur 20-30 tahun) sehingga tugas pengasuhan sudah berkurang atau bahkan telah terpenuhi atau tuntas sehingga pada masa ini seorang ibu lebih banyak memiliki waktu luang yang dapat dipergunakannya untuk berkarir.195 Selanjutnya al-Faruqi menyebut ibu rumah tangga sebagai wanita karir sejati. Tugas dalam rumah tangga adalah sebuah pekerjaan yang menuntut ilmu pendidikan yang sama atau bahkan lebih tinggi dari karir apapun di luar rumah. Pekerjaan ini bukan hanya sekedar memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga saja, namun karir ini menyangkut tugas perawatan manusia tua dan muda, kecerdasan seni, kreatifitas, ketrampilan dan pengalaman.196 Kompleks, memang pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga. Mulai dari perjodohan, menikah, akad nikah, warisan dan tanggungan, perceraian, sampai kepada kedudukan istri; seorang ibu rumah tangga (yang oleh al-Faruqi sebut sebagai wanita karir sejati) sebagai mitra sejajar suami dalam mendidik anak, maupun suami sebagai pemegang tanggung jawab (finansial) tertinggi dalam keluarga. Serta gagasan umumnya mengenai keluarga besar dan keluarga patriarkal dan juga tugastugas pendidikan bagi anak yang diemban keluarga (orang tua). Keseluruh gagasan tersebut semata-mata adalah penerjemahan atas tauhid. Keluarga sebagai media pemenuhan tujuan pola Ilahi (pengabdian) mensyaratkan tauhid sebagai dasar aktivitas dalam keluarga. Suasana pendidikan (seperti mencintai, mendukung dan sebagainya) serta pendidikan awal (seperti kumandang azan, nama Islami dan sebagainya) merupakan 193
Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit., hlm. 143. Ibid, hlm. 145. 195 Ibid. 196 Ibid. 194
56 penjabaran awal makna pendidikan yang al-Faruqi ajukan. Sebuah tugas pendidikan yang tidak hanya diemban oleh orang tua saja namun juga anggota keluarga yang lain (yang merupakan bagian dari keluarga besar). Hal ini sebagai konsekuensi (kewajiban) atas hak pemenuhan kebutuhan mereka (hukum tanggungan dan warisan).
57 BAB IV IMPLEMENTASI PEMIKIRAN ISMAIL RAJI AL-FARUQI TENTANG TAUHID SEBAGAI PRINSIP KELUARGA DALAM PENDIDIKAN AKHLAK A. Kaitan Antara Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tauhid Sebagai Prinsip Keluarga dengan Pendidikan Akhlak Tauhid merupakan inti ajaran Islam yang menjadi prinsip hidup. Ini berarti tauhid merupakan prinsip utama dalam seluruh dimensi kehidupan manusia baik dalam aspek hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan maupun hubungan horisontal antara manusia dengan manusia. Tauhid yang seperti inilah yang dapat menyusun pergaulan manusia secara harmonis dengan sesamanya dalam rangka menyelamatkan manusia dari perbudakan atas ketundukan manusia terhadap makhluk serta untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dan bahagia dunia-akhirat. Baik pergaulan dalam masyarakat maupun keluarga. Sebab tauhid mengandung dua dimensi sekaligus yakni normativitas akidah dan praktis sosial. Tauhid bukan hanya sekedar kepercayaan keagamaan atau urusan seseorang dengan Tuhan sebagai sumber akhir dari pembebasan dan perlindungan di dunia dan akhirat tetapi juga prinsip persamaan sosial seluruh umat sebagai satu masyarakat yakni makhluk Allah.197 Bahkan lebih dari itu, tauhid merupakan sumber kehidupan jiwa dan pendidikan kemanusiaan yang tinggi. Tauhid memberi pendidikan pada jiwa manusia untuk ikhlas. Dengan tauhid manusia yakin bahwa ia senantiasa diawasi oleh Allah. Dan keikhlasan itu sendiri adalah tujuan hidup untuk mencapai ridha Ilahi (pengabdian). Maka pada akhirnya pendidikan ini dapat membebaskan manusia dari belenggu perbudakan oleh sesama, nafsu, harta dan kedudukan sehingga akan tertutup oleh penghambaan semata.198 Makna inilah yang diungkapkan oleh al-Faruqi dalam menerjemahkan isi tauhid. Tauhid sebagai pandangan hidup perlu diterjemahkan ke dalam 197
Hakeem Abdul Hameed, Aspek-aspek Pokok Agama Islam, terj. Ruslan Shiddieq, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983), Cet. 1, hlm. 40. 198 Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1984), Cet. 7, hlm. 42.
58 kehidupan agar hidup menjadi lebih bermakna. Esensi tauhid oleh al-Faruqi diterjemahkan menjadi prinsip-prinsip utama dalam setiap aspek kehidupan seperti aspek ekonomi, etika, sejarah, keluarga dan sebagainya. Upaya perealisasian tersebut diwujudkan dalam bentuk nyata melalui media. Dan keluarga adalah salah satu media untuk mensosialisasikan kandungan tauhid. Pemahaman al-Faruqi atas tauhid ini lebih diarahkan kepada aspek fungsi sosiologis. Artinya makna tauhid dijadikan prinsip spiritual bagi usaha manusia membangun peradaban baru yang agung dan kemanusiaan yang mulia.199 1. Kaitan Antara Tauhid dan Keluarga Keluarga menurut al-Faruqi merupakan media penerjemahan tauhid artinya aktivitas dalam keluarga mesti dilandasi nilai-nilai tauhid (dzikrullah dan persamaan). Bahwa keluarga adalah media untuk mensosialisasikan kandungan tauhid. Atau dalam bahasa lain, Ramayulis sebut dengan tauhid sebagai energi akhlak keluarga. Artinya tauhid sebagai pokok daya kerja yang utama bagi manusia untuk berbuat segala kebaikan bagi dirinya, keluarga, masyarakat dan negaranya. Islam mengajarkan bahwa akhlak tidak didasarkan pada perasaan ataupun insting batin tetapi pada tauhid.200 Maka jelas apabila nilai-nilai tersebut (akhlak-tauhid) mesti menjadi landasan dalam keluarga sebab keluarga mengemban tugas sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan .201 Keluarga juga merupakan tempat belajar bagi anak dalam segala sikap untuk berbakti kepada Tuhan sebagai perwujudan nilai hidup yang tinggi.202 Jadi tauhid sebagai landasan dalam kehidupan keluarga untuk mempersiapkan anak sebagai hamba yang mengabdi melalui pendidikan akhlak. Sebuah pendidikan yang mengarahkan potensi anak untuk berbuat
199
A. Tafsir, et. al. Moralitas al-Quran dan Tantangan Modernitas, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), cet. 1, hlm. 184. 200 Ramayulis, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga, (Jakarta; Kalam Mulia, 2001), Cet. 4, hlm. 10. 201 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), Cet. 1, hlm. 38. 202 Ibid, hlm. 39.
59 baik dan senantiasa mengingat Allah dalam setiap langkahnya. Bahwa setiap perbuatan diniati atas nama Allah sekaligus untuk mencapai keridhaan-Nya. 2. Kaitan Antara Tauhid dan Akhlak dalam Keluarga Bentuk real tauhid adalah akhlak atau dalam bahasanya Burhanudin Salam akhlak merupakan kristalisasi dari Tauhid; sedangkan akhlak merupakan suatu pola hubungan yang mengandung relasi hak-kewajiban. 203 Burhanuddin Salam menyatakan bahwa prinsip-prinsip akhlak merupakan prasyarat pembinaan keluarga sejahtera; akhlak ini diwujudkan melalui pelaksanaan kewajiban-kewajiban moral dalam setiap relasi yang tengah terjadi. Relasi ini meliputi relasi hak dan kewajiban antara suami terhadap istri, orang tua terhadap anak dan sebaliknya.204 Dari uraian di atas nampak bahwa pemikiran al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga berkaitan
dengan pendidikan akhlak. Keluarga
sebagai media edukasi-religi dengan akhlak sebagai materi utamanya memerlukan tauhid sebagai landasannya. Dan landasan ini dapat berpijak pada pemikiran al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga. B. Implementasi Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tauhid Sebagai Prinsip Keluarga dalam Pendidikan Akhlak 1. Implementasi Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Pembentukan Keluarga Mengawali gagasan tauhidnya sebagai prinsip keluarga, al-Faruqi mengkategorikan pernikahan sebagai suatu hal yang wajib terlebih di dunia yang kini cenderung bebas dalam pemenuhan kebutuhan sex (budaya sex bebas). Menikah sebagai anjuran Islam dalam menanggapi kebutuhan biologis umatnya. Dari sini dapat diketahui bahwa kewajiban menikah merupakan suatu bentuk pengakuan tauhid atas akhlak manusia terhadap diri sendiri yakni akhlak yang mencakup penjagaan kesucian diri dan mengumbar nafsu.
203
Burhanuddin Salam, Etika Individual, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), Cet. 1, hlm. 196. Ibid, hlm. 192.
204
60 Melanjutkan gagasan mengenai anjuran menikah tersebut, al-Faruqi menganjurkan perjodohan sebagai langkah awal pernikahan; meski selanjutnya al-Faruqi mensyaratkan kesepakatan bersama sebagai syarat mutlak pernikahan. Perjodohan ini merupakan suatu bentuk awal pendidikan bagi individu baru (anak). Dalam perjodohan biasanya dilakukan seleksi atas seseorang untuk dijadikan sebagai pasangan hidup. Hal ini dimaksudkan sebagai langkah awal pemilihan bibit, bebet, dan bobot sehingga diharapkan benih dan buah yang baik pula. Mahmud menyatakan bahwa, pemilihan pasangan yang didasarkan pada agama dan akhlak yang baik; merupakan langkah awal dalam mempersiapkan diri untuk pengasuhan anak agar masa depan nya menjadi baik dan shaleh.205 Dengan demikian nampak bahwa al-Faruqi menganjurkan perjodohan semata-mata hanya untuk menjaga kemurnian dan kesucian untuk mendapatkan anak yang baik sesuai keturunan awalnya sehingga anak akan benar-benar mendapatkan pendidikan dari orang yang terbaik sebab permulaan yang baik diharapkan berbuah baik pula. Selanjutnya al-Faruqi mensyaratkan kesepakatan sebagai syarat mutlak pernikahan. Kesepakatan tersebut menunjukkan bahwa pria dan wanita sederajat. Sebuah kesepakatan menunjukkan bahwa setiap manusia mengemban
tanggung
jawab
masing-masing.
Dengan
menyatakan
kesepakatan tersebut, berarti ketika seorang memutuskan untuk menikah maka secara otomatis akan teremban di pundaknya sebuah beban dan tanggung jawab untuk hidup bersama, dan berkomitmen dengan segala konsekuensinya. Maka dengan kesepakatan tersebut nampak bahwa al-Faruqi mengakui (menjaga) akhlak pribadi yang
memiliki tanggung jawab
menentukan masa depannya dengan segala konsekuensinya. Konsekuensi 205
Mahmud, “Pola Asuh Anak pada Keluarga Islam”, dalam A. Tafsir et. al., Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2004), Cet. 1, hlm. 135.
61 untuk memadukan dua perbedaan karakter sekaligus melaksanakan tugas pengabdian yang kemudian diwujudkan dalam pendidikan dalam keluarga. Suatu pendidikan awal sebagai bekal anak kelak. Dengan kesepakatan ini; maka diharapkan akan muncul rasa tentram dan cinta kasih antara suami istri dalam rumah tangga. Suasana ini merupakan langkah awal mempersiapkan lingkungan yang baik bagi pendidikan anak; baik yang dikandung maupun yang sudah lahir. Karena keluarga berfungsi sebagai lembaga pendidikan awal bagi anak. Maka bentuk implementasi pembentukan keluarga menurut al-Faruqi dalam pendidikan akhlak adalah gagasan pembentukan keluarga tersebut diposisikan sebagai dasar dibentuknya sebuah keluarga. Artinya gagasan alFaruqi tersebut dipegang sebagai dasar membentuk sebuah sebuah keluarga. 2. Implementasi Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Pendidikan Awal Al-Faruqi menyatakan bahwa pendidikan awal yang wajib diberikan orang tua kepada anaknya adalah pembacaan syahadat setelah anak lahir, serta nama (Islam) yang bagus. Mencermati kandungan pendidikan awal tersebut, maka nampak bahwa al-Faruqi memperhatikan betul nilai awal yang mesti masuk dalam jiwa anak. Adzan oleh al-Faruqi dikategorikan sebagai kewajiban orang tua bagi anaknya. Inilah sebuah perwujudan akhlak orang tua terhadap anak. Dengan memperdengarkan suara adzan dan iqomat sebagai suara yang paling awal diperdengarkan, maka diharapkan kandungan lafadz-lafadz itulah yang akan mempengaruhi perkembangannya. Hal ini sejalan dengan teori responsifnya Freud yang dikembangkan oleh Lee Salk dan Rita Kramer yang menjelaskan bahwa setiap suara yang didengar bayi pada saat awal ia terjun ke dunia akan sangat mempengaruhi sikap jiwa, pertumbuhan intelektual dan tingkah lakunya. Demikian Mahmud mengutip teorinya Freud.206
206
Mahmud, op.cit., hlm. 145.
62 Maka nilai pendidikan dari pengucapan kalimat syahadat merupakan materi sekaligus metode pendidikan akhlak terhadap Khalik dan Rasul atas diri anak, sehingga diharapkan kalimat tersebut meresap dalam kalbu dan akan mewarnai kehidupannya kelak. Bahwa setiap manusia mempunyai Tuhan Sang Maha Tahu yang akan hadir dan mengawasi setiap gerak manusia. Disamping itu, seorang muslim memiliki Rasul sosok teladan untuk setiap aktivitas kesehariannya. Maka hal ini merupakan sebuah materi pendidikan akhlak yang diberikan secara langsung dan bersifat dogmatis. Adapun materi pendidikan ini lebih layak diberikan pada anak pada masa vital (usia 0-2 tahun). Hal ini sebagai dasar penanaman pada anak tentang Tuhan. Aspek-aspek pendidikan awal tersebut adalah dasar dari pendidikan akhlak. Artinya melalui adzan dan nama baik merupakan materi sekaligus metode pendidikan akhlak dalam keluarga; kesemuanya adalah nilai-nilai yang berujung kepada Allah dan akan bermuara pada manusia. Maka pendidikan awal tersebut merupakan nilai pertama yang menjadi materi utama bagi anak agar meresap dalam jiwanya nilai-nilai pokok Islam sehingga mewarnai kehidupannya kelak. Maka bentuk implementasi pendidikan awal menurut al-Faruqi dalam pendidikan akhlak adalah gagasan al-Faruqi tersebut dijadikan sebagai suatu kewajiban orang tua terhadap anaknya. Sebuah kewajiban yang mesti diberikan bagi bayi untuk melaksanakan syiar Islam. Sebuah syiar tentang tauhid agar anak terdogma dengan ajaran tauhid; sebuah langkah awal pengenalan terhadap Allah agar anak senantiasa dekat dan patuh pada perintah-Nya. Inilah sebuah dasar pendidikan akhlak bagi anak. Pendidikan akhlak terhadap Khalik. 3. Implementasi Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Pemberian Suasana Suasana yang bernilai edukatif ini diantaranya seperti mencintai, mendukung, menghibur, menuntun, mendidik, menolong dan menemani. Suasana seperti mencintai dan menghormati ini pun termasuk nilai pendidikan. Ibnu Musthafa menyatakan bahwa pelajaran pertama yang
63 diperoleh oleh seorang manusia adalah mencintai, menghormati, mengabdi, menaruh kesetiaan dan taat beribadah serta melaksanakan nilai-nilai moral. Kesemuanya itu merupakan bunga-bunga mekar dari sebuah keluarga yang akan menciptakan keindahan dan keserasian dalam masyarakat dan yang memungkinkan manusia berjalan seiring dengan manusia lainnya dalam jagat raya ini. Jika pelajaran semacam itu tidak diperoleh dari sebuah keluarga muncullah manusia kontradiktif yang saling mencurigai dan menjatuhkan.207 Sebab keluarga menurut Mahmud merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan sosial. Di dalam kelompok ini terbentuklah normanorma sosial berupa frame of reference dan sense of belonging. Di dalam keluarga manusia pertama kali belajar memperhatikan keinginan-keinginan orang lain. Pengalaman berinteraksi dalam keluarga akan menentukan tingkah laku dalam kehidupan sosial di luar keluarga.208 Untuk itu, dalam upaya mendidik anak, orang tua mesti pandai-pandai menciptakan lingkungan pergaulan yang mendidik, mulai dari lingkungan pergaulan di dalam keluarga itu sendiri, teman sepermainan, sekolah sampai masyarakat; sebab setiap interaksinya akan selalu bernilai edukatif bagi anak. Adapun pemberian perhatian ini lebih efektif diberikan pada anak mulai masa estetis (usia 2-7 tahun) karena pada masa ini anak mulai senang bergaul dan bersosialisasi dengan orang banyak. Hal ini sebagai langkah awal pembentukan karakter sosial anak (bagaimana berperilaku terhadap orang lain). Karena pendidikan akhlak bukan sekedar pemberian nasehat teoritis akan tetapi bersifat praktis langsung dirasakan oleh anak dalam kesehariannya. Maka bentuk implementasi pemberian suasana menurut al-Faruqi dalam pendidikan akhlak adalah gagasan al-Faruqi tersebut dijadikan sebagai upaya orang tua melaksanakan pendidikan terhadap anaknya. Sebuah pendidikan yang tidak mesti berupa doktrinasi suatu ajaran akan tetapi lebih kepada penciptaan suasana edukatif. Karena dengan suasana inilah nilai-nilai yang tengah diberikan atau bahkan diajarkan lebih mudah diserap oleh anak. 207
Ibnu Musthafa, Keluarga Muslim Menyongsong Abad 21, (Bandung: al-Bayan, 1993), Cet.1,
hlm. 95. 208
Mahmud, hlm. op.cit.,hlm.107.
64 4. Implementasi Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Keluarga Besar Pemberian suasana ini akan lebih efektif terjadi dalam keluarga besar. Ada banyak nilai plus yang terkandung dalam keluarga besar. Lois Lamya menjelaskan beberapa nilai plus tersebut sebagaimana pernyataannya: The extended family is an institution which can provide tremendous benefits for both women and men. 1. It guards against the selfishness or eccentricity of any one party. 2. It provides for psychological and sosial diversity in companionship for adults as well as children. 3. It allows for careers for women without detriment to themselves, spouse, children or elders, since there are always other adults in the home to assist the working wife or mother. 4. It insures the adequate socialization of children. 5. It guards against the development of the generation gap. 6. It eliminates the problems of loneliness which plague the isolated and anonymous dwellers in the urban centers of many contemporary societies. 7. It provides a more feasible and human sharing of the care of the elderly. 209
1. 2.
3.
4. 5. 6.
7.
209
Keluarga besar adalah sebuah lembaga yang dapat menyediakan keuntungan besar baik bagi wanita maupun pria. Keluarga besar menjaga dari (mencegah) kesendirian atau keanehan (keterasingan) seseorang dalam kelompok. Keluarga besar menyediakan (menimbulkan) pertemanan (hubungan) bagi anak-anak maupun orang dewasa yang beda secara psikologis dan sosial. Keluarga besar membolehkan (menguntungkan) bagi wanita karir tanpa merasa menderita (gelisah) atas kondisi pasangannya, anakanaknya sebab akan selalu ada orang di rumah yang akan membantu (mengerjakan) pekerjaan rumah tangga. Keluarga besar memastikan (memungkinkan) sosialisasi yang cukup bagi anak. Keluarga besar mencegah berkembangnya jurang (perbedaan lintas) generasi. Keluarga besar mengeliminir (mengurangi) masalah kesepian yang mengusik penghuni (orang) yang merasa terisolir di pusat kota dalam lingkungan masyarakat kontemporer. Keluarga besar menyediakan lebih banyak kemungkinan berbagai perhatian dan keramahan (kenyamanan) dari orang yang lebih dewasa.
Lois Lamya al-Faruqi, Women Muslim Society in Islam, (Indianapolis: American Trust Publication, 1991), Cet. 1, hlm.41-43.
65 Melalui keluarga besar tersebut, anak akan menerima banyak hal yang akan melekat dalam jiwanya. Keluarga besar mendidik anak nilai akhlaki yang diperolehnya melalui keteladanan dari saudara dan orang tuanya yang akan semakin mendidik anak dalam berperilaku. Ahmad Amin menyatakan bahwa setengah dari yang dapat mendidik akhlak adalah berkawan dengan orang yang terpilih, karena manusia itu suka mencontoh orang sekelilingnya termasuk perilaku bahkan pakaian mereka.210 Maka penting bagi anak untuk hidup di lingkungan keluarga besar. Sebab selama seorang anak tidak mengenal banyak orang, maka sulit baginya untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan orang lain. Berbagai pengaruh dan rangsangan luar ini mematangkan anak. Anak tidak akan merasa cemas bila berada di antara orang banyak.211 Namun demikian menurut Shantut, keiuktsertaan kakek dan nenek kurang begitu baik bagi perkembangan anak. Menurut Shantut; dalam mendidik anak, orang tua harus konsisten; dan di antara konsistensi tersebut adalah ayah tidak melarang hal-hal yang diperbolehkan oleh ibu dan ibu pun tidak melarang hal-hal yang diperbolehkan oleh ayah. Dan konsistensi lainnya adalah mereka perlu membatasi para kerabat (khususnya nenek) untuk ikut campur dalam pendidikan anaknya. Karena sudah menjadi kebiasaan seorang kakek dan nenek diliputi perasaan emosional. Mereka akan membela anak berdasarkan emosinya. Hal ini dapat merusak rencana kedua orang tua dalam pendidikan tersebut. 212 Akan tetapi tidaklah mungkin apabila seorang kakek dan nenek memperlakukan cucunya dengan perilaku yang negatif yang tidak mendukung pendidikan akhlak. Sebab dengan pengalaman hidup yang mereka punyai akan dapat mengantarkan kebijaksanaan bagi anak. Dan kalaupun begitu, keluarga besar tidak hanya terdiri kakek dan nenek saja
210
Ahmad Amin, Etika; Ilmu Akhlak, terj Farid Ma’ruf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet. 7,
hlm. 65. 211
Save M Dagun, Psikologi Keluarga, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), Cet. 1, hlm. 191. Khatib A. Shantut, Menumbuhkan Sikap Sosial, Moral dan Spiritual Anak dalam Keluarga, terj. Ibnu Burdah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1998), Cet. 1, hlm. 93. 212
66 akan tetapi anggota yang lain seperti paman dan bibi serta sepupu; yang tentunya jika kakek nenek memberikan pendidikan yang kurang positif akan ada orang yang mengevaluasi pendidikan yang diberikannya. Melalui keluarga besar banyak sekali yang dapat dipelajari dari kakek dan neneknya yang berharga seperti perhatian, rasa berbagi, saling memberi; yang tidak akan mereka (anak) temukan dalam buku. Terkadang kakek dan nenek bisa menjadi guru terbaik dibanding orang tuanya. Mereka mempunyai begitu banyak kebijaksanaan yang diambil dari pengalaman mereka sendiri. Diusia tuanya, kakek dan nenek mempunyai banyak waktu luang untuk cucucucu mereka. Keluarga besar menurut al-Faruqi mengandung nilai lebih; selain sebagai media sosialisasi anak, keluarga besar juga merupakan sebuah jawaban dari pasangan yang sibuk baik dalam urusan karir maupun pendidikan. Dengan keluarga besar maka pendidikan anak dapat diserahkan pada anggota keluarga yang lain yang ada di rumah. Ini berarti tanggung jawab pendidikan tidak mesti diemban ayah dan ibu saja akan tetapi diemban pula anggota keluarga yang lainnya dengan catatan demi sebuah alasan yang dapat diterima. Ketiadaan orang tua di rumah karena ada halangan memperbolehkan mereka mengalihkan pendidikan anak pada orang lain. Sebagaimana Nipan Halim; jika pihak orang tua yang bersangkutan (ayah atau ibu kandungnya) ada udzur seperti meninggal atau karena udzur lainnya maka pihak pendidik berpindah tangan kepada pihak yang terdekat.213 Oleh karena itu, penting bagi anak (mulai masa vital; usia 0-2 tahun) hidup dalam lingkungan keluarga besar untuk mendidik mereka mengenai akhlak terhadap banyak orang. Sebab kompleksitas orang akan bernilai positif bagi anak. Kompleksitas tersebut akan semakin membentuk karakter dan pengetahuan bagi anak.
213
M. Nipan A. Halim, Anak Shaleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), Cet. 1, hlm. 85.
67 Selain itu, keluarga besar memungkinkan adanya pendidikan sosial dan disiplin tinggi. Bagaimana tidak, begitu banyak anggota dalam sebuah keluarga tentunya memerlukan aturan untuk menjaga ketertiban. Selain itu, banyaknya anggota semakin melatih kedewasaan anak akibat intensitas mereka dalam berinteraksi dengan orang lain terlebih mereka yang lebih tua dan mestinya lebih bijaksana dan berpengalaman. Maka bentuk implementasi keluarga besar menurut al-Faruqi dalam pendidikan akhlak adalah gagasan al-Faruqi tersebut dijadikan sebagai wujud real sebuah keluarga dalam rangka melaksanakan pendidikan akhlak terhadap anaknya. Bahwa keluarga besar sebagai sebuah media pendidikan akhlak bagi anak. Sebuah media pendidikan yang mendukung terciptanya suasana edukatif bagi anak. Akan tetapi gagasan ini nampak begitu sulit diterapkan di Indonesia dimana kondisi kuantitas dan kapasitas tanah (rumah) yang semakin menyusut karena telah tergantikan oleh tempat-tempat untuk keperluan produksi ekonomi (perusahaan). Maka rasanya tidak mungkin memaksakan para anggota keluarga besar untuk tinggal satu atap dengan kondisi minimnya tempat tinggal yang justru dapat menghambat pelaksanaan pendidikan akhlak. Meski keluarga besar merupakan jawaban dari fenomena wanita karir namun sekali lagi mesti terbentur dengan kenyataan ketiadaan media. Maka nampak bahwa gagasan ini sulit diwujudkan di sini. 5. Implementasi Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tabyin Selanjutnya dari keluarga besar tersebut tercipta pendidikan (tabyin) yang akan berpengaruh bagi pendidikan akhlak. Tabyin yang mempelajari sejarah tentu berimplementasi pada pendidikan akhlak. Sebab banyak orang yang terdorong mengerjakan perbuatan yang besar karena membaca hikayatnya orang besar atau kejadian orang besar yang diceritakan.214 Karena pada dasarnya pandangan anak terhadap warisan budayanya dipengaruhi oleh cara pandang keluarganya. Demikian pula pilihan dan
214
Ahmad Amin, loc.cit.
68 penilaian anak, serta cita-cita dan kecenderungannya akan terpengaruhi pula. Bahkan nilai-nilai tersebut merupakan penjelmaan ekspresi keluarga.215 Maka,
pembinaan
akhlak
memerlukan
kesungguhan
dalam
menerjemahkan nilai luhur agama agar dapat dipahami oleh umat beragama sehingga diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.216 Tabyin merupakan bentuk penjabaran atas tauhid sebagai prinsip keluarga. Tabyin merupakan upaya membentuk manusia utuh atau dalam bahasanya Amien Rais manusia-tauhid; yakni manusia yang memiliki atribut: 1. 2. 3. 4.
Berkomitmen pada Allah. Menolak pedoman hidup yang datang bukan dari Allah. Memiliki tujuan hidup yang jelas. Bersikap progresif dengan selalu melakukan penilaian terhadap kualitas kehidupannya, adat istiadatnya, tradisi dan faham hidupnya. 5. Memiliki visi yang jelas tentang kehidupan yang harus dibangunnya bersama-sama manusia lain; suatu kehidupan yang harmonis antara manusia dengan Tuhannya, lingkungannya, dan sesamanya serta dirinya sendiri.217
Jadi tabyin merupakan wujud pelaksanaan pendidikan akhlak dalam keluarga. Materi-materinya yang kompleks memudahkan anak untuk semakin menambah khazanah pengetahuan akhlaknya. Adapun tabyin ini lebih sesuai apabila diberikan kepada anak pada masa sosial (usia 13-21 tahun) karena tabyin ini lebih bersifat kompleks baik dalam hal materi maupun metode. Maka bentuk implementasi tabyin menurut al-Faruqi dalam pendidikan akhlak adalah gagasan al-Faruqi tersebut dijadikan sebagai wujud real pendidikan akhlak dalam keluarga. Bahwa tabyin sebagai bentuk pendidikan akhlak terhadap sesama; karena mendidik akhlak anak tentang tata cara bersikap terhadap banyak orang, sekaligus akhlak terhadap diri sendiri karena mendidik pribadi untuk senantiasa meningkatkan kualitas pribadi dengan cara melakukan kajian atas tema-tema yang tengah
215
Hery Noer Ali dan Munzier, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insani, 2000), Cet. 1, hlm. 206. 216 Said Agil Husin al-Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qurani dalam Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta; Ciputat Press, 2005), Cet. 2, hlm. 14. 217 Amien Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1995), Cet. 6, hlm. 20.
69 berkembang dengan menggunakan paradigma Islam sebagai dasar pembacaan atas fenomena yang tengah terjadi. Namun demikian, tabyin ini nampak cukup sulit untuk diwujudkan. Karena pada kenyataannya keluarga kini tengah tenggelam dengan kesibukan demi pemenuhan kebutuhan materi dan fisik dan sedikit mengesampingkan kebutuhan spiritual. Belum lagi kondisi ekonomi yang semakin menghimpit kehidupan keluarga semakin memudarkan tugas pendidikan yang mesti diemban oleh keluarga. 6. Implementasi Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Ibu Rumah Tangga Al-Faruqi memposisikan wanita sebagai ibu rumah tangga bahkan alFaruqi menyebut ibu rumah tangga sebagai wanita karir sejati. Artinya alFaruqi berupaya agar kaum wanita lebih memfokuskan diri pada urusan rumah tangga. Bahkan dengan menyebut bahwa pekerjaan kerumahtanggaan ini dikategorikan sebagai sebuah karir sejati; maka al-Faruqi menjunjung tinggi kaum wanita. Hal ini terutama karena orang pertama dan utama yang dikenal anak adalah ibunya yang memiliki hubungan langsung dan terikat semenjak anak dalam kandungan sampai lahir. Margaret Raybel dalam ay-Syantuh menyatakan bahwa ada kebutuhan instingtif bagi anak untuk menempel pada ibu yang sekaligus hal ini memberi kesempatan baginya untuk membantu perkembangannya secara benar. 218 Adapun pembinaan kebudayaan pada anak oleh ibunya ini berlangsung secara tidak sengaja dibawa bersama di dalam kehidupan dan penampilan ibu di hadapannya setiap harinya;219hal ini oleh karena ibu lebih banyak menyertai anak; anak merupakan bagian dari dirinya. Dengan menyebut ibu rumah tangga sebagai wanita karir, nampak bahwa al-Faruqi mengangkat posisi pentingnya figur ibu rumah tangga sebagai sosok pendidik utama bagi anak. Bahwa ibu rumah tangga adalah sosok yang biasanya paling dekat pada anak; maka ibu rumah tangga harus 218
Khalid ay-Syantuh, Pendidikan Anak Putri dalam Keluarga, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 1994), Cet. 3, hlm. 48. 219 Ibid, hlm. 76.
70 menyertai perkembangan anak baik pada masa vital sampai masa sosial (usia 0-21 tahun) Maka bentuk implementasi ibu rumah tangga menurut al-Faruqi dalam pendidikan akhlak adalah gagasan al-Faruqi tersebut dijadikan sebagai seruan bagi kaum wanita sebagai golongan ibu rumah tangga agar dapat memfungsikan diri sebagai wanita karir sejati. Sebuah karir yang mulia karena mencakup perawatan terhadap anak; sebuah karir yang tidak mudah yang memerlukan kesabaran, dan ketrampilan dalam pelaksanaannya. Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa tauhid sebagai prinsip keluarga menurut al-Faruqi berkaitan dengan pendidikan akhlak dalam keluarga. Gagasan mengenai kewajiban menikah dan perjodohan ini berkaitan pada penjagaan (persiapan) pendidikan akhlak anak. Pernikahan yang dilandaskan atas keshalehan pemilihan jodoh dan kesungguhan mewujudkan perintah Ilahi merupakan jalan menuju kehidupan yang berarti. Selanjutnya mengenai ibu rumah tangga pun berkaitan dengan proses pendidikan akhlak itu sendiri. Dengan memperhatikan aspek psikologis anak, maka anak cenderung untuk lebih dekat dengan ibu. Maka nampak sinkron antara gagasan ibu rumah tangga al-Faruqi dengan kondisi psikologis anak. Bahwa seorang ibu adalah pilar utama dalam pendidikan akhlak dalam keluarga. Dari keterkaitan tersebut maka aspek-aspek dalam tauhid sebagai prinsip keluarga yang diajukan oleh al-Faruqi tersebut dijadikan sebagai dasar pelaksanaan pendidikan akhlak. Pendidikan awal sebagai materi pendidikan akhlak dalam keluarga merupakan pendidikan awal bagi anak; nilai dasar yang mesti diberikan orang tua terhadap anak sebagai pemenuhan akhlaknya terhadap anak sekaligus untuk membentuk pembiasaan dan keteladanan bagi anak. Sebuah pendidikan yang wajib diberikan pada anak dalam masa vital (usia 0-2 tahun). Adapun keluarga besar sebagai wujud konkrit dari tauhid sebagai prinsip keluarga mendukung pelaksanaan pendidikan akhlak dalam keluarga. Di dalamnya tercipta metode-metode pendukung pendidikan akhlak dalam keluarga. Betapa tidak, di dalam keluarga besar anak akan senantiasa
71 disuguhi pemandangan miniatur masyarakat yang akan memberikan nuansa keteladanan orang tua dalam bersikap terhadap anggota keluarga baik terhadap yang lebih tua maupun kepada yang lebih muda merupakan suatu pembiasaan bagi anak bagaimana menerapkan kebiasaan baik (akhlak) dalam kesehariannya. Selanjutnya upaya pendidikan lain yang mudah dilaksanakan dalam keluarga besar yakni tabyin sebagai upaya pemenuhan tujuan pendidikan akhlak yakni untuk membentuk insan yang bertakwa yang senantiasa menyadari fungsi dan tugasnya sebagai khalifah sekaligus abdi yang senantiasa meningkatkan kualitas pribadi sebagai insan bertakwa dengan senantiasa menunjukkan amal prestatif membentuk diri dan orang-orang di sekitarnya agar memegang teguh prinsip tauhid sebagai prinsip hidup demi meraih Ridha Ilahi. Sebuah pendidikan yang sesuai apabila diberikan pada anak dalam masa sosial (usia 13-21 tahun). Maka dapat penulis simpulkan bahwa secara umum, tauhid sebagai prinsip keluarga menurut Ismail Raji al-Faruqi nampak sangat ideal; demi menjunjung tinggi norma-norma yang telah ditentukan. Akan tetapi secara real terlebih lagi apabila dikontekskan dengan kondisi di sini (Indonesia) cukup sulit diterapkan. Ada beberapa kendala yang tidak mendukung gagasannya al-Faruqi. Gagasannya tentang tauhid sebagai prinsip keluarga lebih banyak berkutat pada pembicaraan seputar keluarga besar. Tema ini nampaknya cukup sulit diterapkan karena mesti terbentur dengan kenyataan ketiadaan media (tempat) untuk mewujudkan sebuah keluarga besar. Disamping itu, tugas pokok keluarga besar adalah tabyin; pun cukup sulit untuk diwujudkan. Hal ini oleh karena kondisi keluarga yang kini tengah disibukkan dengan urusan pemenuhan kebutuhan keduniaan (materi). Namun demikian yang terpenting sekarang adalah bagaimana sebuah keluarga mampu menjalankan tugas pendidikannya dengan baik tanpa harus mengorbankan haknya (orang tua) untuk berkarir dan mengembangkan diri. Hal ini membutuhkan kreatifitas orang tua dalam mengelola kehidupannya
72 secara proporsional dan profesional. Misalnya saja dengan tetap berkarir pada hari sibuk (Senin-Jumat) dan memanfaatkan weekend untuk keluarganya secara penuh. atau bisa jadi berkarir di rumah
demi menjaga kualitas
komunikasi dengan anak meski kuantitas pertemuan sangat minim. Karena yang terpenting dalam sebuah kehidupan dan keberlangsungan keluarga adalah kualitas komunikasi serta penjagaan sikap orang tua sebagai figur teladan bagi anaknya. Bahwa keluarga sebagai media pendidikan pertama mesti berpegang pada nilai dasar yakni tauhid. Sebuah nilai pokok yang mendasari setiap aktivitas dalam keluarga. Sehingga semua unsur yang tengah melingkupi keluarga akan dilihat dari paradigma tauhid. Bahwa setiap aktivitasnya diawali atas dasar tauhid dan akan ditujukan kepada Yang Maha Tauhid. Adapun aktivitas ini secara real terwujud dalam pendidikan akhlak. Bahwa pendidikan akhlak sebagai media menuju pemahaman dan kedekatan pada Realitas Tauhid. Wallahu a’lam.
73 BAB V KESIMPULAN, SARAN DAN PENUTUP B.
Kesimpulan Berawal dari beberapa permasalahan yang penulis angkat dan disertai dengan landasan teori dan penelitian mengenai pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga merupakan penerjemahan al-Faruqi atas makna tauhid. Tauhid sebagai inti ajaran Islam mesti dijadikan prinsip hidup. Tauhid sebagai prinsip hidup berarti esensi tauhid melandasi setiap aktivitas muslim. Makna tauhid itu sendiri yang masih sangat basic (keyakinan dan kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah) perlu untuk diterjemahkan dan disosialisasikan melalui media. Dan keluarga sebagai salah satu media itu. Jadi tauhid sebagai prinsip keluarga menurut al-Faruqi berarti keluarga sebagai sarana pemenuhan tujuan Ilahi (penghambaan). Sebagai prinsip keluarga, tauhid menjadi landasan untuk setiap aktivitas dalam keluarga. 2. Bentuk implementasi pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga dalam pendidikan akhlak ini dapat dijelaskan bahwa gagasan al-Faruqi tersebut dijadikan sebagai pijakan pelaksanaan pendidikan akhlak dalam keluarga. Artinya aspek-aspek yang ada pada tauhid sebagai prinsip keluarga sebagaimana dijelaskan oleh al-Faruqi tersebut diposisikan sebagai landasan membentuk dan membangun keluarga; yakni keluarga yang setiap interaksinya akan selalu bernilai bahkan sebagai sebuah media pendidikan akhlak. Bahwa keluarga sebagai media pendidikan pertama memerlukan tauhid sebagai pijakan dalam setiap aktivitasnya terlebih untuk melandasi pendidikan akhlaknya. Tauhid yang merupakan pokok transenden mutlak diperlukan untuk membentuk akhlak agar tidak melenceng dari norma tauhid terlebih di dalam keluarga yang merupakan media pendidikan pertama bagi individu sebagai bekal hidupnya esok sehingga kelak hidupnya akan lebih lurus sesuai tujuan penciptaan makhluk. Adapun bentuk real pendidikan akhlak ini disesuaikan dengan tahap usia anak.
74 C.
Saran-saran Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis mengemukakan hal-hal yang dapat dijadikan pertimbangan, yaitu: 1. Keluarga merupakan alam pendidikan pertama dan utama bagi anak. Setiap interaksinya akan selalu bernilai edukasi. Untuk itu, keluarga hendaknya dilandasi dengan nilai dasar tauhid agar interaksi-edukasi nya lebih bermakna transenden. Oleh karena itu, hendaknya institusi keluarga melalui anggotaanggotanya terutama orang tua sebagai pemimpin dalam keluarga agar benarbenar menjunjung tinggi dan melandasi diri pada al-Quran dan Sunnah dan mengejawantahkan kandungannya dalam setiap aktivitasnya. 2. Keluarga adalah sarana untuk menyempurnakan diri; yakni kesempurnaan untuk meraih tujuan pengabdian kepada Ilahi. Untuk itu, hendaknya para anggota keluarga senantiasa meningkatkan kualitas pribadi melalui pendidikan akhlak. Pendidikan yang terbentuk melalui pembiasaan dan peneladanan terhadap apa yang dirasa dan dilalui anak setiap saatnya. Oleh karena itu, hendaknya para orang tua menjaga diri dengan melakukan keteladanan dan pembiasaan akhlak pada anak agar teresap dan menjadi kebiasaan baginya.
D.
Penutup Dengan segala kerendahan hati penulis senantiasa memanjatkan segala puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Berkehendak dan Maha Kuasa. Tidak lupa, shalawat serta salam semoga tetap tercurah dalam rengkuhan Nabi Muhammad SAW sebagai the best model. Tidak lupa penulis haturkan sejuta terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dengan tulus baik berupa material maupun spiritual, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena masih banyak kekurangan dan kesalahan. Hal ini tak lain adalah karena keterbatasan penulis sendiri. Untuk itu, saran dan kritik konstruktif sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya semoga skripsi ini berguna bagi keilmuan penulis secara pribadi dan para pembaca pada umumnya. Amien.