BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena yang dapat kita saksikan di negara kita banyak terjadi kasus-kasus yang menyimpang dari nilai-nilai seperti KKN (korupsi kolusi dan nepotisme) atau penyalahgunaan wewenang, kriminalitas, pelecehan seksual, pergaulan bebas dan lain-lain. Lebih parah lagi, pelaku dari kasus-kasus tersebut di dalamnya berasal dari kalangan manapun termasuk muslim-muslim terdidik . Pribadi-pribadi muslim yang sepatutnya senantiasa menunjukkan sikap dan perilaku searah dengan nilai-nilai akhlak dalam Islam. Sedangkan agama Islam kaya akan nilai-nilai akhlak atau tingkah laku yang seharusnya dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari oleh manusia muslim baik bertindak sebagai individu, keluarga, masyarakat atau warga negara. Setiap pribadi muslim dituntut untuk dapat menjadikan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari sebagai cermin dari nilai-nilai akhlak dalam Islam. Selanjutnya, bagaimana nilai-nilai akhlak yang terdapat dalam ajaran Islam tersebut dapat diambil oleh manusia muslim untuk dijadikan acuan dalam perilaku sehari-hari sehingga mampu mempengaruhi dan mewarnai pola kepribadian, selanjutnya menggejala dalam perilaku lahiriyah. Dalam hal ini dibutuhkan sarana, Abudin Nata dalam bukunya Pemikiran Para Tokoh Pemikir Islam, menuliskan1: “Salah satu sarana untuk dapat diterapkan misi Islam secara efisien dan efektif adalah pendidikan Islam”. Selain itu ditemukan juga dalam bukunya H.M.Arifin, Filsafat Pendidikan Islam2, bahwa “Pendidikan merupakan sarana atau alat untuk merealisasikan hidup orang muslim secara maksimal”. Dua pendapat ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam merupakan salah satu sarana untuk dapat
1
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pemikir Islam: Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), Cet. 2, hlm. 211. 2 H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. 5, hlm. 138.
1
2
dilaksanakannya nilai-nilai akhlak dalam Islam oleh pribadi-pribadi muslim sehingga mampu meminimalisir jumlah muslim terdidik yang miskin akan nilainilai akhlak dalam Islam dalam kepribadiannya. Untuk lebih lebih jelasnya, perlu dibicarakan terlebih dahulu tentang tujuan pendidikan, hususnya tujuan pendidikan Islam. Karena dengan membicarakan tujuan pendidikan Islam, akan diketahui arti penting pendidikan nilai dan bagaimanakah seharusnya pendidikan islam memberikan perhatian terhadap nilai-nilai akhlak dalam Islam dalam pendidikannya. Indonesia sebagai negara yang berfalsafah Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai dasar pendidikan, menetapkan tujuan pendidikan sebagaimana tertuang dalam UU SISDIKNAS pasal 3 ayat (1) sebagai berikut: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.3 Dalam pasal 4 ayat (1) dan (2) UU SISDIKNAS yang mengatur tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan, diketahui bahwa menjunjung tinggi nilai keagamaan dan kultural serta penyelenggaraan pendidikan dengan sistem terbuka dan multi makna merupakan prinsip dari prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan.4 Dalam rumusan tersebut nampak jelas bahwa nilai-nilai yang hendak dikembangtumbuhkan dalam pribadi anak didik adalah nilai-nilai kultural bangsa Indonesia dan nilai keagamaan. Nilai keagamaan tentunya tidak mengkhususkan nilai agama tertentu, tetapi sesuai dengan agama yang dianut oleh setiap warga negara.
3 Qodir, at. al., Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang sistem Pendidikan Nasional Dan Penjelasannya, (Jogjakarta: Media Wacana Press, 2003), Cet. 1, hlm.12. 4 Ibid., hlm. 12-13.
3
Kongres pendidikan Islam sedunia ke II tahun 1980 di Islamabad menetapkan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut: Pendidikan Islam harus ditujukan ke arah pertumbuhan yang berkesinambungan dari kepribadian manusia yang menyeluruh melalui latihan spiritual, kecerdasan dan rasio, perasaan dan panca indra, oleh karenanya maka pendidikan harus memberikan pelayanan kepada pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya. Yaitu aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah, linguistik baik secara individual maupun secara kolektif serta mendorong semua aspek itu kearah perbaikan dan pencapaian kesempurnaan.5 Bisa
diketahui
bahwa
tujuan
pendidikan
tidak
lepas
dari
pengembangan kepribadian. Dan dalam konteks pendidikan Islam, maka yang menjadi sasaran dalam pengembangan tersebut adalah nilai-nilai akhlak Islami yang menyatu dalam kepribadian. Nabi Muhammad sendiri sebagai pembawa agama Islam, menjalankan misi menyempurnakan akhlak yang mulia sebagaimana dalam haditsnya: 6
(ﺑﻌﺜﺖ ﻻ ﺗﻤﻢ ﺣﺴﻦ اﻻﺧﻼق )رواﻩ ﻣﺎ ﻟﻚ
Aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang bagus. (HR. Malik) Athiyah al-Abrosi berpendapat bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak merupakan jiwa pendidikan Islam dan mencapai akhlak yang sempurna merupakan tujuan sebenarnya dari pendidikan Islam.7 Uraian di atas menunjukkan bahwa idealnya pendidikan Islam harus concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi “makna” yang perlu di internalisasikan dalam diri peserta didik, untuk selanjutnya menjadi sumber motivasi bagi peserta didik untuk bergerak, berbuat dan berperilaku secara konkret agamis dalam kehidupan sehari-hari. Jelas,
seperti
pendapat
H.M.
Arifin
bahwa
dalam
proses
kependidikan anak, yang dikehendaki oleh Islam untuk mencapai sasaran dan 5
H.M. Arifin, op. cit., hlm. 132. Imam Malik bin Anas, Al-Muwatta` (Beirut: Dar al-Fikr, 1422 H) Cet. 3, hlm. 552 7 Athiyah al-Abrosi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 90 6
4
tujuan akhir, nilai-nilai Islam akan mendasari dan lebih lanjut akan membentuk corak kepribadian anak didik, pada masa dewasanya.8 Kaitannya dengan pendidikan nilai, secara natural manusia adalah sebagai mahluk yang memiliki posisi unik. Posisi tersebut terletak pada dualisme moral.9Di satu pihak terdapat keinginan pada hal-hal yang bersifat positif, sedang dipihak lain cenderung pada hal-hal yang tidak baik. Bahkan dalam al-Quran sendiri banyak diisyaratkan mengenai dua potensi (posisi unik) tersebut, antara lain: a. Q.S. al-Balad, 90:10.
(١٠:وهﺪﻳﻨﺎﻩ اﻟﻨﺠﺪﻳﻦ )اﻟﺒﻠﺪ Dan kami telah menunjukkan kepadanya (manusia) dua jalan (kebajikan dan kejahatan). (Q.S. al-Balad, 2:10)10 b. Q.S. asy-Syams. 91:7-8
(٨: ﻓﺎﻟﻬﻤﻬﺎ ﻓﺠﻮرهﺎ وﺗﻘﻮاهﺎ )اﻟﺸﻤﺲ.وﻧﻔﺲ وﻣﺎ ﺳﻮاهﺎ Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. (Q.S. asy-Syams : 7-8)11 Dua potensi tersebut mengharuskan dunia pendidikan dapat senantiasa memberikan perhatian serius terhadap pendidikan nilai, sehingga dari dua potensi tersebut kecenderungan terhadap hal-hal yang baik dapat lebih ditumbuh kembangkan dan mengeliminasi sejauh mungkin perilaku-perilaku yang lahir dari kecenderungan terhadap perilaku-perilaku negatif. Era modern merupakan ancaman terhadap runtuhnya nilai. Adanya globalisasi, menjadikan anak-anak Indonesia dengan mudah mengetahui apapun yang dilakukan oleh siswa di negara lain, sehingga peniruan tanpa 8
H.M. Arifin, op. cit., hlm.33 Tafsir, at. al., Moralitas Al-qur`an Dan Tantangan Modernitas, (Yogyakarta: Gama Media, 2003) Cet. 1, hlm. 2. 10 T.M. Hasbi Ashshiddiqie, dkk., Al-Qur`an Dan Terjemahnya, (Medinah: Mujamma` al-Malik Fahd Li thiba`at al-Mush-haf al-syarif, 1994), hlm.670 11 Ibid., hlm. 1061 9
5
penyeleksianpun tak terelakkan. Ketua Yayasan Peduli Pendidikan, Untung Budiarso mengungkapkan: Saat guru membangun akhlak melalui pendidikan budi pekerti, justru dirusak oleh tontonan televisi yang sangat kontras dengan penanaman nilai-nilai tersebut.12 Seiring pesatnya laju teknologi, globalisasi di segala bidang dan kemajemukan, kompleksitas persoalan manusia pun
semakin bermunculan.
Rose Pole, seperti yang dikutip Tafsir dalam bukunya menyatakan: It is that the modern world call into existence certain conception of morality, but also destroys the ground for taking them seriously. Modernity both needs morality. And makes of impossible. (Dunia modern ini memunculkan konsep-konsep moralitas tertentu, namun juga sebaliknya, mencabut alasan-alasan untuk menerima konsep-konsep tersebut. Modernitas membutuhkan moralitas, dan juga membuat moralitas menjadi mustahil).13 Dua potensi manusia (posisi unik) di atas dihadapkan dengan era modern menjadikan salah satu dari dua potensi tersebut, yaitu kecenderungan terhadap
hal-hal
negatif
mendapatkan
peluang
besar
untuk
muncul
dipermukaan. Dalam era modern manusia banyak ditawari dengan kemudahan, termasuk di dalamnya kemudahan-kemudahan yang dapat mengantarkan pada perilaku-perilaku negatif. Keadaan ini menjadikan internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam terhadap tingkah laku siswa Islam kedalam diri peserta didik oleh tenaga- tenaga pendidik, menjadi sesuatu yang penting, serius dan tidak dapat diremehkan. Sehingga, mampu menjadi benteng terhadap ancaman runtuhnya nilai. Fenomena yang kita saksikan di negara kita banyak kasus-kasus yang menyimpang dari nilai-nilai, baik berupa KKN (korupsi kolusi dan nepotisme) atau penyalahgunaan wewenang, kriminalitas, perusakan alam lingkungan dan yang lainnya. Kasus-kasus tersebut menghinggapi tanpa pandang dari kalangan mana pihak pelakunya, termasuk di dalamnya kalangan orang-orang beragama atau kalangan muslim-muslim terdidik. 12 Untung Budiarso, “Frekuensi Kenakalan siswa Meningkat”, Suara Merdeka, Semarang, 2 mei 2005 13 Tafsir. at. al., loc. cit.
6
Yang lebih memprihatinkan, kalangan pelajar pun tidak lepas dari terjangkiti penyakit-penyakit tersebut. Seperti perkelahian antar pelajar, tindak kekerasan, premanisme, konsumsi miras, kriminalitas dan yang lainnya. Semua kasus-kasus di atas telah mewarnai halaman surat kabar, majalah dan media massa lainnya. Bahkan hampir semua stasiun TV di Indonesia memiliki acara khusus yang menyajikan berita-berita kriminal. Fenomena-fenomena di atas menunjukkan adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan dari dunia pendidikan lewat pendidikan nilainya dengan kenyataan yang dapat kita saksikan di masyarakat sehinga memunculkan tanda tanya terhadap makna pendidikan, khususnya keefektifan dalam membangun afeksi anak didik yang eternal serta mampu manjawab tantangan zaman (actual). Membicarakan efektivitas pendidikan kaitannya dengan “degradasi moral” atau “kekeringan nilai”, terdapat beberapa masalah pokok yang turut menjadi akar krisis mentalitas dan moral di lingkungan pendidikan nasional. Salah satu dari permasalahan pokok tersebut yaitu sebagaimana pendapat Azyumardi Azra:14 Materi yang dapat menumbuhkan rasa afeksi seperti materi pelajaran agama misalnya, umumnya hanya disampaikan dalam bentuk verbalisme, yang disertai dengan roote memorizing. Akibatnya bisa diduga mata pelajaran tersebut cenderung hanya sekedar untuk dihapalkan dan diketahui agar lulus ujian. Tetapi tidak untuk di internalisasikan dan dipraktekkan sehingga betul-betul menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari diri peserta didik. Pakar filsafat UI, Karlina Leksono Supelli, mengungkapkan bahwa proses pendidikan di Indonesia lebih berorientasi pada aspek kognitif sedangkan penanaman nilai-nilai terabaikan.15 Disaat pendidikan nilai benar-benar dibutuhkan bersamaan dengan semakin terancamnya krisis nilai dan adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan dari dunia pendidikan dengan kenyataan yang dapat dilihat 14
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (rekonstruksi dan demokratisasi), (Jakarta: Buku Kompas, 2002), Cet. 1, hlm. 181. 15 Karlina Leksono Supelli, “Kognitif Dikedepankan, Nilai Terabaikan”, Suara Merdeka, Semarang, 2 mei 2005.
7
sebagaimana uraian di atas, internalisasi nilai-nilai khususnya nilai-nilai akhlak dalam Islam, menjadi suatu yang sangat penting. Sehingga penting pula penguasaan dan kemampuan yang memadai seputar internalisasi nilai-nilai akhlak Islam terhadap tingkah laku siswa oleh tenaga-tenaga pendidik. B. Penegasan Istilah Judul dalam penelitian ini terdiri dari beberapa istilah. Supaya tidak muncul kekeliruan dalam memahami istilah-istilah tersebut, perlu adanya penegasan dari istilah-istilah tersebut sebagai berikut: 1) Internalisasi; Internalisasi atau internalization (bahasa inggris) adalah proses pengambilan gagasan untuk diterapkan pada diri sendiri.16 2) Nilai; Nilai atau value (bahasa inggris) adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal. Nilai bukan benda konkret, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki, disenangi dan tidak disenangi.17 Menurut Milton Rokeach dan James Bank, Nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang liungkup sistem kepercayaan dalam mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan atau memiliki dan dipercayai.18 Pengertian tersebut menunjukkan bahwa nilai disamping mempunyai arti penting bagi subyek, juga berhubungan dengan sistem kepercayaan yang mengarahkan seseorang untuk melakukan sesuatu atau menjauhinya. 4) Akhlak; dan Imam al-Ghozali mendefinisikan akhlak sebagai berikut:
16
Peter Salim, The Contemporery English Indonesia Dictionary, (Jakarta: Modern English Press, 1996), Cet. 7, hlm. . 17 Mansur Isna, Diskursus Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001), Cet. 1, hlm. 98. 18 Ibid.
8
أﻟﺨﻠﻖ ﻋﺒﺎ رة ﻋﻦ هﻴﺌﺔ ﻓﻰاﻟﻨﻔﺲ راﺳﺨﺔ ﻋﻨﻬﺎ ﺗﺼﺪر أﻷﻓﻌﺎل ﺑﺴﻬﻮﻟﺔ 19
وﻳﺴﺮ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺣﺎ ﺟﺔ اﻟﻰ ﻓﻜﺮ وروﻳﺔ
Keadaan sifat atau cara yang tetap (teguh, berakar) dalam jiwa yang darinya muncul perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. 3) Islam; Islam adalah agama samawi (langit) yang diturunkan oleh Allah SWT melalui utusanNya, Muhammad saw, yang ajaran-ajarannya terdapat dalam al-Quran dan sunnah dalam bentuk perintah-perintah, larangan-larangan dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia baik di dunia maupun di akhirat.20 C. Rumusan Masalah Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berfikut: 1. Bagaimanakah konsep internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam terhadap tingkah laku siswa dalam pendidikan Islam? 2. Bagaimanakah internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam terhadap tingkah laku siswa kelas III di MAN Kendal? 3. Faktor-faktor apa sajakah yang menjadi penunjang dan penghambat dari internalisasi tersebut? D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini yakni: 1. Untuk mengetahui konsep internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam terhadap tingkah laku siswa dalam pendidikan Islam. 2. Untuk mengetahui bagaimanakah internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam terhadap tingkah laku siswa kelas III di MAN Kendal. 3. Untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang menjadi penunjang dan penghambat dari internalisasi tersebut. 19
Imam Al-Ghozali, Ihya` ulumuddin, Juz III, (Beirut: Darul Fikr, 2002), hlm. 57. Dewan Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Vanhoeve, 1994), Cet. 3, hlm. 246. 20
9
Sedangkan manfaat yang akan didapat dari dilakukannya penelitian ini yaitu: 1. Hasil penelitian yang telah dilakukan penulis akan dapat dijadikan sebagai referensi bagi peneliti-peneliti selanjutnya. 2. Penelitian yang dilakukan penulis dengan segala prosesnya akan menjadi pengalaman yang berarti bagi peneliti dalam hal internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam, hususnya yang diterapkan di MAN Kendal. 3. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan terhadap pendidikan nilai-nilai akhlak dalam Islam di sekolah-sekolah tertentu. E. Telaah Pustaka Cukup banyak karya-karya ilmiah yang menjadikan nilai sebagai objek kajian. Sejauh yang ditemukan penulis, di temukan skripsi yang meneliti tentang pendidikan nilai diantaranya: Skripsi dengan judul Hubungan Penanaman Nilai-Nilai Religius Dengan Akhlaq Siswa Kelas V dan VI di Madrasah Ibtidaiyah Al-Khoiriyah I Bulu Semarang, milik Sri Farhani mahasiswi fakultas tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.21Penulis skripsi tersebut meneliti tentang hubungan antara penanaman niali-nlai religius dengan akhlaq siswa kelas V dan VI di sekolah lapangan penelitian dengan mencari tahu sebelumnya upaya-upaya yang dilakukan dalam penanaman nilai-nilai religius terhadap siswa dan keadaan akhlak siswa. Selanjutnya skripsi yang berjudul Studi Analisis
Terhadap
Pendidikan Nilai Menurut Noeng Muhadjir, milik Inna Nurmafianti mahasiswi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.22 Permasalahan yang diteliti dalam penelitian tersebut, bagaimanakah pemikiran Noeng Muhadjir tentang pendidikan, konsep pendidikan nilai menurut Noeng Muhadjir dan strategi pengembangan pendidikan nilai. 21
Sri Farhani, “Hubungan Penanaman Nilai-Nilai Religius Dengan Akhlaq Siswa Kelas V dan VI di Madrasah Ibtidaiyah Al-Khoiriyah I Bulu Semarang”, Skripsi, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2003), t.d. 22 Inna Nurmafianti, “Studi Analisis Terhadap Pendidikan Nilai Menurut Noeng Muhadjir”, Skripsi, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2003), t.d.
10
Setelah memaparkan masalah di atas, yaitu pemikiran pendidikan dan konsep pendidikan nilai, kemudian yang dilakukan dalam penelitian tersebut menganalisis pemikiran Noeng Muhadjir tentang pendidikan nilai yang meliputi: Pengertian pendidikan nilai, dimensi dan struktur nilai, strategi dan pendekatan pendidikan nilai. Dua penelitian di atas memiliki fokus permasalahan yang berbeda dengan permasalahan yang akan diteliti oleh penulis. Penelitian pertama fokus pada hubungan antara penanaman nilai-nilai religius dengan akhlaq. Dan penelitian kedua fokus pada pemikiran pendidikan dan konsep pendidikan nilai seorang tokoh, yaitu Noeng Muhadjir. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, fokus pada internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam terhadap tingkah laku siswa kelas III di MAN Kendal. Bagaimanakah internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam yang dilakukan dan faktor-faktor penghambat dan penunjang dari internalisasi tersebut. F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Ada dua pendekatan penelitian yang populer yaitu pendekatan kuantitatif (quantitative research) dan pendekatan kualitatif (qualitative research).23 Memperhatikan masalah yang hendak diteliti, dalam hal ini masalah menghendaki pemaparan yang mengungkap sesuatu tentang proses, sehingga data menunutut untuk disajikan secara deskriptif bukan hasil dari suatu kegiatan yang menghendaki penyajian data dengan angka-angka. Masalah dalam penelitian semacam ini merupakan syarat dari syarat-syarat penelitian kualitatif.24 Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini berupa pendekatan kualitatif. Yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data
33.
23
Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm.
24
S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), Cet.
2, hlm. 40.
11
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari individu atau kelompok serta perilaku yang dapat diamati.25 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Observasi Observasi dalam hal ini merupakan pengamatan yang kemudian akan dilakukan
pencatatan
terhadap
perilaku
dan
kejadian 26
sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya.
(fenomena)
Metode ini digunakan
untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan situasi dan kondisi serta proses yang berjalan hubungannya dengan internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam terhadap tingkah laku siswa kelas III di MAN Kendal. 2. Wawancara Wawancara berupa percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan terwawancara (interviewee).27 Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam terhadap tingkah laku siswa kelas III di MAN Kendal. 3. Dokumentasi Metode dokumentasi ini peneliti akan melakukan pencarian data melalui pemanfaatan dokumen resmi yang dapat berupa aturan, informasi tentang keadaan disiplin dan lain-lain.28 Metode ini digunakan untuk memperoleh dokumenter yang berbentuk informasi yang berhubungan dengan internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam terhadap siswa Kelas III di MAN Kendal.
25
Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), Cet. 21, hlm. 3. 26 Ibid., hlm. 174. 27 Ibid., hlm. 186 28 Ibid., hlm. 219.
12
Pengumpulan data dengan teknik waawancara, observasi dan dokumentasi tersebut akan diperoleh data primer yaitu data yang digali dari lapangan penelitian. Selain itu digunakan juga teknik kajian pustaka. Dalam teknik ini data diperoleh dari kajian pustaka terhadap literatur atau buku-buku, surat kabar, jurnal, dan karya tulis ilmiah yang ada kaitan terhadap penelitian ini. Sedangkan data yang diperoleh dari kajian pustaka ini merupakan data sekunder yang akan menjadi penunjang atau pendukung terhadap lebih bermaknanya penelitian ini. 3. Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode analisis data induktif, yaitu berangkat dari kasus-kasus kecil yang bersifat husus berdasarkan pengalaman nyata (situasi lapangan penelitian) untuk kemudian kita rumuskan menjadi model, konsep, teori, prinsip, proposisi atau definisi yang bersifat umum.29Tiap-tiap kasus atau bagian-bagian kasus yang memiliki kaitan dengan masalah yang diteliti akan disajikan secara deskriptif kemudian dianalisis (analisis disini adalah analisis non statistik) atau dikenal sebagai analisis secara deskriptif analitik. Data-data tersebut berupa data-data tentang internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam terhadap tingkah laku siswa kelas III di MAN Kendal yang akan disajikan secara deskriptif. Teori-teori para ahli akan menjadi penunjang atau pendukung dalam mengantarkan penelitian ini menjadi lebih bermakna, dihadapkannya data-data yang diperoleh dari lapangan penelitian dengan teori-teori para ahli tersebut.
29
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), Cet. 1, hlm. 3.