Dukungan 8udaya lerhadap Kondisi Viklimisasi Anggola Masyarakal
503
DUKUNGAN BUD AYA TERHADAP KONDISI VIKTIMISASI ANGGOTA MASY ARAKAT PENDUKUNG BUD AYA I Adrianus Meliala
Becoming vicrim is one matter; sllpporring people becoming victim is anorher mailer. Especially when someone or more hecoming vicrill/ of crill/illal aerion , deviarioll or orlzer aceidelll, ill rhese kind of cOlldirion sllpporr from orher cullUral society slipporrer member is highly required. Problems arise, whellever ill rhe situation of victimization, rhere are pattem of supporr and differenr acceprallce, and rhere is always possibility of cultural collflier and also legal problem.
I. Pel1dahl11ual1
Akibat langsung atau tidak langsung dari kejahatan aclalah l11unculnya korban. Berbeda dengan hubungan antara pelaku kejahatan dan kejahatan yang, di mata hukum. harus l11el11perlihatkan hubungan yang langsung dan tak terbantahkan, tidak demikian halnya dcngan korban kcjahatan. Penjelasan ilmll huklll11 clalal11 hal ini relalif lemah. Sitllasi te rsebut l11irip dengan definisi kril11inologi tentang sesuatu hal pad a ul11ul11nya: yakni pengertian korban kejahatan dalal11 hal ini adalah clalal11 artian sosiologis clan seluas-Iuasnya. Benar bahwa terdapat pula beberapa kejahatan yang clalam kril11inologi disebut sebagai kejahatan lanpa korban: secara teknis biasa dikenal dengan victimless crimes. Yang dil11akslld di sini adalah. bahwa
I
Vc:r:-i
awal
tulisan
illi
Illerupakan
makalah
yang
dipcrsiapkan
ullIuk
Silll[){lsiul1l
illternasional Jurnal Aillropologi Illdollt:sia ke ). 16-19 Juli 2002. Kalllpu~ UniVl;fsitas Udayana Denpasar. Bali
NOli/or 4 TO/lIl11 XXXlll
504
HuklllJl dall Pemb({lIgllll(JIl
pihak yang secant langsung maupun tak iangsung dirugikan dengan dilakukannya suaru perbuatan kejahatan oleh pelaku aualah pelaku sendiri. Hal yang sam a hila dilihat hahwa penggunanya tebh mcngerallUi akibat-akibatnya, maka Llisebut pula cUl/seJl.'lllai cri!ll(,.~· . Termasuk daldlll karegori ini aclalah abonll~ illegal. penggunaan narkoba . pOl"llografi. percabulan (ubscmiry). delllikian pula kehidupan seks bebas (Pursley. 1987: 29-167)
Demikianlah cabang ilmu dalam kriminoiogi yang mengkhusllskan cliri pada srudi korhan kejahatan kellludian d isebut dengan viktilll()I()~i. Rentang amatan viktimologi tersebar ll1ulai dari mengapa ada kalang~\ll tertemu yang lebih potensial Illenjadi korban kejahatan (bahkan berk:tlikali) dibanding yang lain. asosiasi antara kejahatan tertentu dengan tipetipe korban tertentu. bagaimana menghinciarkan diri dari kemullgkinan menjadi korban serra pol a reaksi korban pasea kejahatan. Dalam konreks yang terakhir iniJah selanjurnya ingin dikaji perillaJ dukungan budaya hagi para korban kejahatan yang adalah anggota masyarakat penJukung budaya tersebllt.
1I. Dulmngan bagi l
Oktoher - Desemher 2003
Dukullg(J/1 Budaya ferhadap Kondisi VikfimisGsi Anggota Masyarakaf
505
kewajiban sosialnya. Bahkan bagi korban yang seolah-olah. atau seeara fisiko idak mengalami atau tidak terlihat tengah sakit yang berarti. tidaklah
berart i secara kejiwaan pasti sehat. Singkatnya, korban dengan
ganggu~.lI1
kejiwaan pun perlu ditolong dan didukung. Hal ini bisa climengerti mengingat dilllensi' viktimisasi terserak diantara dua kutub. Kutub hubungan atau pranata sosial yang terganggu clan di ujung yang lain. kutub siluasi kejiwaan. Pad a konteks situasi kejiwaan ini. maka kondisi mender ita (suffering) dapat terlihat dalam bentuk kesakitan psikologis (psychological pain) sepeni depresi. lrauma
hingga stress biasa. Permasalahan yang kemudian muncul adalah. apakah pada dasarnya hanya ada satu model dukungan saja dan menepis kemungkinan kebervariasian dalam hal ini'l Permasalahan lebih lanjut hendak dikailkan dengan konteks ruang dan waktu. Khususnya di Indonesia • . menjadi menarik untuk dieerlllali perihal adakah bentuk-bentuk khusus dalam hal pemberian dukungan bagi Karban kejahatan ini dikaitkan dengan dua hal: satu. perkelllbangannya dari waktu ke waktu; dua. kaitannya dengan buday" lobi lllasing-masing daerah di Indonesia. Sebelum menjawab kedua hal tersebut. perlu diperlihatkan terlebih uahulu ani penting dari upaya mengetahui perkembangan dukungan terhadap korban dari waktu ke waktu uan kaitannya dengan buuaya lokal ilU. Secara fungsional. tentunya. fenomena clukungan terhadap korban kejailalan akan jauh lebiil mudah dilerima. dikembangkan uan diperillas seeara sistematis apabila model yang uiintervensi tersebUI (gum mcnjadi lebih sistematis. efektif. efisien dan seterusnya itu) adalail bentuk-bentllk yang selama ini telail dikenal dan hidup di masyarakat. khususnya yang memang be rasa I dari komunitas-komunitas masyarakat pendukung hudaya tertentu. Tentllnya dapat dimengerti perihal kekhawatiran bahwa bila yang akan diperkenalkan berbeda jallh dari model sebagaimana telah
berkembang di masyarakat tersebut, akan muneul semacanl gegar hudaya (clllfllre siwek) atau bahkan penolakan yang spontan.
III. Model-model dukungan Membicarakan tentang korban kejahatan dalam masyarakat Indonesia, nampaknya lebih mudah dimengerti melalui pemahaman abn
Nomor 4 Talzull XXXlll
506
Hukfll11 dan Pembangllll(lfL
adanya '1l1usibah ' atau 'beneana ' (disasrer). Sebagai 1l1asyarakal. kila pada ulllumnya amar yakin akall adanya kekuawl1 yang jauh lebih besar dari manusia. dan dalam hal tertentu bisa berbentuk sesuatu yang aillal menghanclIrkan sepeni terkandung c1alam kOllleks Illllsibah. Secara kullural pula lIlusibah kClIludian dilllengerti s cba ~ ai herikul: "peringalan dari yang di alas" atau sebagai "amarah Tuilall ala:-. kebejatan manusian" serta herbagai ungkapall lain yang pada illlill~' a menyiratkan adanya unsur ketidakmampuan mengelak atas sesuatu yallg memang sudah clitakdirkan atau dikodratkan untuk tetjadi atas diri kita. Seeara mudah bisa dikatakan bahwa terhadap suatu Illusibah yang datang 1l1enilllpa satu atau lebih individu, Illaka yang terkena musihah kemudian eenderung menerima hal itu sebagai sesuatu yang rak dapal dihindari: dan untuk selanjutnya pula muncul perasaan ikhlas. Anggapan itu memang ada henamya. betapapun perlu dikaji bahwa sebenanll'a terdapar perbedaan penerimaan amara , sebagai comoh. korban Illusihah
hanjir dan musibah kebakaran . Pengalaman saal Jakarta kehanjirall. misaillya. lllell1perlih~ltk;H1 perasaan kesaL dongkol atau sebal yang ke[1[al pada korhannya kCl;luhallt' sikap menerima dan pasrah . Sikap mencrtma dan pasrah .i ustru diperagakan para korban kebakaran saat menyadari rumah mcr~ k a. katakanlah, tak bisa diselamatkan lagi. Kurang lebih cara pandang 'm usibah' inilah yang juga berlaku bila seseorang atau lebih individu menjadi korhan kejahatan. Kejahatan lehih dipandang sebagai sesuatu yang bisa menimpa siapa saja. ada indib si guratan nasih
Oukllllgall Blldara lerhadap KOlldisi Viklilllisasi AlIggo{([ MaJl'arak{{[
5117
Sunggull menarik melihat bagaimana masyarakat Bali Illelakukan upacara penyucian Pamarisudha Karipuhhaya dalam rangka Illenyucibn jagad Bali yang tehlil tercelllar Illusibah Bom Bali. 12 Oktober 2002. sebagai suatu hukuman dari. Masyarakat Bali melihat. bom tersehut sebagai suatu hal yang mengotori bUllli Bali dan juga sebagai bentuk peringatan karena sclama ini Bali telah tcrcemar oleh pariwisata. bentuk pcnghukuman atas "dosa" yang dilakukan orang Bali (Iihat bcrbagai .mikcl dalam situs www.Hindu-Indoncsia.com) . Sikap tersebut membuar kekhawatiran pihak kepolisian bahwa akan timbul pembalasan terlladap kelompok Muslim di Bali. tidak terbukti (Suara Karya. 12 Mei 2(Kl3) Delllikian pula kekhawatiran akan adanya gangguan sc lama persidangan para tersangka Bam Bali. juga tidak terjadi. BiJa dalam konteks masyarakat Bali. pihak pemerinrah dacrah juga herada di belakang masyarakat. fcnolllcna itu tidak terjadi sctiap saat di hcrbagai tempat. Sampai disitu. keccndcrungannya scbenarnya sejalan
dellg:all lacm belakang yang juga dipergunakan sebagai posisi awal dibentuknya herhagai lembaga S\I./~Hjaya masyarakat ya ng mengkollsentrasikan diri rada
pcmhcrian d ukungan pada korban. Latar bclabng yang dimaksud adalah schagai bcrikut: hahwa kctika ncgara tidak atau sedikit se kali mcmbcrikan pcrhatian pad a situasi karban. harus ada pihak-pihak lain yang Ill~ngisi
ruang kosong itu dell1i kemaslahatan para korban tersebut. !3edanya adalah . bila LSM-LSM mclalui mckanislllc skellla dukungan bagi korban (l!iClill/ SIIPPOrl scilell/e) kellludian Illcngelolanva sccara sistematis dan terorganisir, lllaka dukungan lllasyarakat sebagailllana lerjadi dalalll konteks banjir atau kehakaran sehcnarnya lehih Illerupakan sesuatu ya ng spontan dan tcrbatas. Bila sislem tcrscbut Lelah herjalilil . maka negara yang seharusnya IIlcmiliki ranggung jawab lIloral (dan. ullluk sebagi
IV. Perbedaan penerilllaan Hila diperbandingkan antara korban kebanjiran dan korhan kchakaran. akan direlllui perbedaan pola pcnerimaan kcduanya herkaitan
NomoI' 4 Tall/III XXX II I
508
Hllkul1l dan Pem/mllgllllllll
dengan musibah yang dideritanya. Selanjutnya. bisa j uga dipikirkan hahwa auanya pola penerimaan yang berbeda. baik terhadap orang yang tcnimpa musibah maupun kalangan terdekatnya. memang sesuatu yang niscaya ditemui. Diduga kuat. terdapat perbedaan akseptabilitas (penerimaan) sosial aJ1lara. misalkan. kondisi menjadi korban kejahatan jalanan (peneo!'etan. penadangan) dengan kejahatan kekerasan maupun kejahatan non kekerasan (katakanlah penipuan). Juga diduga. dalam kanteks sama-sama menjacli karban kejahatan kekerasan pun terdapat perbedaan aJ1lara penerimaan (haca: dukungan) budaya dalam konteks sebagai karhan kejahalan penganiayaan (bahkan pe111bunuhan) dengan kejahatan yang terkait dengan sllsila (perkasaan. percabulan, perzinahan). Dapat diduga. perbedaan yang mungkin timbul tersehut herada pada dua rataran. Penama, ada tidaknya sikap dan perilakll yang 111empnsalahkan (blaming rite vicrim) atas terjadinya kejahatan. Dari sibp dan perilaku yang tidak mempersalahkan korban. bisa diduga bahwa ;Ibn muncul simpati dan pertalangan riil bagi karban. Kedua. ada lidaknya sibp mengasingkan korban (excluding rile vicrilll) atau mengeluarkan ka rban dari lingkungan pergaulan masyarakat pendukung budaya tersebut. yang salah satu nya d iduga sebagai kelanjutan dari sikap 111empersalahkan lersebul. Tulisan ini be lum sampai pada fase menunjuk secara afirmalif budaya-budaya mana yang memiliki Iradisi mempersalahkan korban dan mana yang tidak. Demikian pula IUlisan belulll memiliki cukllp data peri hal adanya kecenderungan dari budaya-budaya lertentu 1I1l111k mengasingkan karban. V. Hukum Secara tradisianal, hukum tidak menekankan pada perspeklif karban. Sebaliknya. hukum lebih banyak mengatur hal-hal apa yang baleh dan lak baleh dilakukan. disertai dengan sanksi atas di lakukan atau lidak dilakukannya hal-hal yang baleh atau tak baleh dilakukan. Oleh karena ilU. Lindquist ( 1984) mengatakan karban kejahatan sebagai .... . forgorren players ill the sysrem . .. Namun demikian, kasus Karta dan Sengkon yang teljad i cian keJ1luciian clisidangkan pad a sekitar tahun 1980-an menyemakkan kita bahwa. lidak hanya kelika kejahatan lelah terjadi lalu muneul korban: melainkan ternyata sistem peradilan itu sendiri menghadirkan karban. Hal itu kita kenai dengan kasus-kasus miscarrieges of justice (dihukumnya
Okrober - Oesember 2003
Dllkllllgall Budava leritadllp KOlldisi Viklilllisilsi AllggOl1l Mllsyarakar
509
orang yang {ak bersalah). Sebagaimana diketahui, Karta dan Sengkol1 diputus bersa lah telah membunuh satu pasangan suami-islr i wa lau hal itu lidak diakui demikian pu la tidak ada sa ksi maupun barang buk ti ya ng secara kuat mendukung. Benepatan dengan I11unculnya kasus Kana-Sengkon le rsehul. Rli U KUHAP (Kitab Undang- Unclang Hukum Acara Pidana) diajukan ke DPR untuk clijadikan UU . RUU yang entah kapan disahkan itu sencliri nampaknya berusaha sensitif dan menjunjung hak asasi manusia. Sikap ini tampak amara la in dalalll Bab V Bagian Kedua temang penahanan dan Bah V I yang mengatur tentang lersangka dan terdakwa dan seterusnya. Berkaitan dengan ketentuan itu. sete lah KUHAP diberla kukan . renyidik maupun penuntut ulllumtak dapat selllbara nga n menahan orang. Mas" pena hanannya pun dibatasi. Selain melindungi hak asasi lersa ngkaitertl!duh. KUHAr juga menghargai hak -hak asas i orang yang menjadi korhan kejaharan serra
pihak lain yang dirugikan dalam suatu kasus pidana. Hal ini Llialu r dalam pasa l RO dan Bab XIII tentang Penggabungan Perkara Gugatan Gallli Kerugian (pasa l 98- IO I ). Pasal 80 Illenentukan sebaga i berikuI:
"Pe rmintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penumut umum atau pihak ket iga yang berkerentingan kepada ketua pengadilan Ilcge ri dengan menyebutkan alasan-a lasannya. ,. Dengan penggunaan pasa l ini maka pihak ketiga yang punya ke pentingan dengan kasus bersangkutan dapat meminta agar penyidikan atrlu penu nturan diteruskan. Dengan kala lain. dalam rangka !nelljaga kcpc lllingan korban dan ke luarga korban lindak piclana , diberi kesempalan ke pada pihak ketiga tadi untuk memajukan perkara prape rad ilan. Sayangnya. hak orang yang dirugikan ini sang at tergalllung nasibnya pada penuntut umum dan tertuduh itu sendiri . M isa lnya ketika jaksa penuntut umum maupun tertutudh sudah puas terhadap putusan hakim lalu tidak naik banding atau kasasi, maka perkara pidana menjadi herkek uatan hukum pasti. Betapapun hal-hal yang dikatakan di atas sudah dilaksanakan. lapi hena rkah sudah tercapaikah keadilan bagi korban hila pelaku kejahalan dinyalakan bersalah dan dijatuhi hukuman o!eh hakim') Jaksa Agung (kelika itu). Hari Sullarto. pemah menyatakan bahwa kepentingan Korban
NOli/or 4 Tahull XXXIlI
Hukllm dan Pem/}(l1Igul1ol1
510
harus juga diperhatikan disamping hak-hak tersangka / lerlud uh (Dewabrata , 1988). Selanjutnya, semasa menjabat. Hari Suharto j llga diketahui menginstruksikan bawahannya agar. saat me nang ani perkara. supaya menanyakan kepada para Karban kejahatan apakah akan menU11tut gami rugi kepada tersangka/tertuduh melalui penggabungan pcrbra pidana yang tengah disidangkan atau tidak. Saat RUU Perlindungan Saksi dan Karban pad a suatu waktll 11anti berhasil diundangka11 dan diimplementasika11 , maka akan munclil I:tgi instrumen legal formal yang akan memperkuat posisi korban da lam perad ilan pidana. Belum lagi bila hendak memperhimngkan bahwa RUU KUHP yang juga entah kapan akan diundangkan dapat memberi po, i,i lebih baik dalam rangka skema rehabilitasi dan pengembalian keru ~ia n Karban (victim rehahilitalaliol1 and victilll compensatiol/ schemes).
VI.
WUl'I1U
buduya
Berbeda dengan kekayaan budaya lokal Indonesia dalam memanciang kejahatan atau penyilllpangan. de mikian pula tatkala memandang pelakupelaku kejahatan atau pelaku penyimpangan. maka bisa diperkirakan ticiak ada budaya lokal ya ng memberi perhatian khusus terhadap sosok dan kebu tuhan karban kejahatan. Bahkan juga bila dibanding perhatian budaya lokal terhadap para pengaman atau penjaga dari kemungkinan terjadinya kejahatan (mulai dari sasok jagabaya hingga profesi palisi itll sendiri). perhatian khusus [erhadap karban kejahatan nampak hampir tidak ada. Mungkinkah hal itu dikarenakan situasi sebagai karban yang 1l1embawa rasa [ak nyaman. malu bahkan terusiknya harga diri dari ka iangan terdekatnya (yakni keluarga dan/atau 1l1asyarakat adatnyay' Bila benar begitu. maka dari topik ini kita dapat belajar suatu kecenderungan
yang juga amat humanis bahwa manusia cenderung menghindari guna 1l1embicarakan. apalagi 111embe11luk inslitusi dan mekanisme khuslis. berkaitan dengan hal-hal yang tidak lllengenakkan. lllenyaki[kan dan sejenisnya (sepeni halnya simasi viktimisasi). Dari sudut korban itu send iri . berka itan dengan kondisi fisik dan psikologisnya. amatlah tergantung atau suscepfible terhadap pengaruh li ngkungan sekitar. Keputusan yang diambil oleh Karban kejahatan menyangkut dirinya sendiri, kemungkinan besar amat dipengaruhi oleh
OklOher - Desember 2003
Dllkllllglill Blldaya lerlllldap KOJ1disi Viklil1lisasi Allggota Masyarakar
51 I
hagaimana keluarga atau kerabat terdekat menganjurkan sesuatu kepadanya (Ruback el. al. . 1984). Dengan kata lain . bila dalam suatu masyarakat pendukung hudaya tidak terdapat suatu tradisi yang . katakanlah, " mengijinkan" korhan melaporkan segala sesuatu yang dialami nya kepada penegak hukum. maka amat mungkin polisi kemudian tidak mengetahuinya serta menjadikan kejahatan yang telah terjadi sebagai kasus gelap (dark lIulllber atau liiddell crilllilloli IV).
Tidak hanya itu . Bila sa lah seorang anggora masyarakat pendukung budaya menjadi korban. khususnya korban sexual abuse. pada dasarnya ia abn beljuang send irian ullluk ke luar dari lingkaran kerakuran ya ng telah tecipta padanya. Bukannya karena tidak ada pihak-p ihak I'li n ya ng berusaha mel1olon),1 korban. terapi persoalannya terletak pada ia tidak mudah lagi (atau bahkan kehabi san) ullluk percaya (Leo. 1977. 171 - 173) . Pelajarannya adalah, bila dalam suatu budaya lokal tida k memiliki suh buda ya yang secara terstruktur dapat menolong korban penyimpangan seksual. maka tak heran bila anggota tersebut kemudian tetap membawa luka tadi hingga ke usia dewasanya . VII. Kontlik budaya?
Terdapat beberapa situasi dimana hal-hal yang secara umllm disepakati sebagai dukungan dan penerimaan terhadap korban, ternyata tak berlaku. Minimal. situasi yang muneul lebih kompleks dan dilemati s. Situasi itu, kemungkinan dapat disebut sebagai situasi kontlik dalam hal keragaman budaya berkaitan dengan dimensi korban. Sebagai ilustras i (clan bukan berasal dari khasanah Indonesia ). terdapat Suku Khabyles di Aljazair ya ng memiliki peraturan tidak tertulis ya ngmewa jibkan suatu kelu arga membunuh anak wanitanya yang menyeleweng dari sang suami. Jadi . wa lau ada kemungkinan anak wanita yaug menye lewe ng itu ada lah korban, langsung ataupun tidak langsung. dari perbuatan sa ng suami. ternyata ialah ya ng hams menanggung akibat. Akibat pembunuhan, nampaknya , juga tidak menimbulkan auanya dimensi korban dalam silUasi tersehut (Sellin. 1993) . Contoh lain dari Sellin (1993) adalah ketika Uni Soviet mel1lperluas yurisdiksi hukumnya pada wilayah jajahannya di Siheria. maka dilaranglah wanita yang ada di wilayah tersebut mempergunakan eadar. Saat dua wanita Siberia beragama Islam mematuhi hukum taui
NOlllllr 4 Tall/III
XXXllI
512
Ilflkum dan Pemb(Jl1gmulI1
dengan mencopOl penutup mukanya , mereka dibunuh oleh orang tllanya sendiri. Pembunuhan kemudian dianggap sebagai tugas suci dan sakral dalam rangka mempertahankan harkar dan martaba!. Hampir sejajar dengan conroh di atas adalah kebiasaan memasung anggma keluarga yang menderira kelainan mental, khususnya Ji masyarakar Jawa (Jipsner, 2001). Demikian pula seringnya masyarakat Jawa mengadakan acara rUlVatan bila terdapar hal-hal diluar kebiasaan. seperti anak se lalu sakir dan lain-lain. Pada beberapa komuniras juga terdapar keharusan membuang anak yang berasal dari hubungan scks diluar nikah. Arau, mengusir anak yang hendak kawin lari dengan orang lain ridak diserujui orang rua. Seperti dikerahui . menghapus rasa malu dan upaya menegakkan harga diri, terdapat pula dalam 11lasyarakar Madura dan Dayak (Ni tibaskara , 1999). Unruk iru , situasi "11lenjadi korban" yang tlialami oleh saru atau lebih masyarakar pendukung budaya kemudian dibalas dengan penciptaan situasi "11lenjadi korban" pula pad a pihak·pihak yang dianggap sebagai penyebabnya.
VIII. DlInia tak imbang Selalu 11lungkin, siruasi vikti11lisasi terjadi karena ada nya peran dan posisi tak i11lbang antara beberapa variabel: suku. agama, ll1inat dan sererllsnya. Pihak yang secara strukrural lebih rendah, lebih Jell1a h dan ridak ill1bang berkairan dengan satu arau Jebih variabel tadi keI1luelian ce nderung diposisikan sebagai korban namlln tak 11le11lperoJeh hak-hak uasar sebagai korban sekaJipun. Saat meJihat sebagai contoh. jajaran barisan para illollg halee (perempuan janda) di hari uJang tahun Gerakan Aceh Merdek;\ dan bagaimana mereka mempertontonkan kemampuan bersenjata, bukankah itu ironi yang bukan main'? Ketika dunia "Jaki· laki" berupa kontlik bersenjara eli Aceh mengeras , maka perempuan berada pada posisi menyaksikall sekaJigus mengaJami kekerasan. Dan. menurur Iwan SuJaiman ( 1999). perempuan Aceh kemudian mel1jadi korban yang kedua kali saar diJuar reaJ ira kekJlasallnya mereka laJu akhirnya diajak menjadi 'peJaku' kekerasan. Siruasi daniarau tindak yang mengakibatkan anggora Illasyarakat lain Illenjadi korban terwujud. Illenurut Bachtiar (1994), adalah uaJalll bentuk beraneka ragamnya tindakan sosial dan ekonomi rertentu. rerurallla oJeh pengusaha-pengusaha tertentu. seperti tindakan perusahaan yang
OklOber . Deselllber 2003
Dukllflgal1 Budaya lerhadap Kondisi Viklil1lisClSi Allggola Masyarakal
:) 13
mengakibatkan pencemaran lingkungan, tindakan politik tertentu terutama oleh pejabat-pejabat pemerintah tertentu, tindak militer tertentu (terutama saat dilakukannya operasi militer) dan bahkan, tindaka n media massa melalui pember itaan ya ng dapat menteror anggota-anggota masyarakat golongan tertentu sehingga tidak memperoleh ketenteraman jiwa yang Illenjadi hak mereka sebaga i anggota-anggota masyarakat. Dengan Illenyajikan bebe rapa contoh di atas, makalah Illl sebena rnya hendak mencoba masuk ke wahana yang tidak ko nvens ional
ua ri viktimologi. yakni teljadi viktim isasi struktural. Dalam wahana ill i. viklimisasi tidak pertama-tama terjad i berkaitan dengan s ituas; atau perbuatan ind ividua l, tetapi telah berawal dari fakta bahwa seseora ng adalah, sebagai co ntoh, wanita arau seorang keturunan Tionghoa atau
seorang Kristen atau seo rang pegawai negeri cla n seterusnya. Proses vik timisasi ini dalam skala besar bisa dikenal dalam bentuk marjinalisasi pe ran, diskriminasi da lam kesempatan dan r emanfaalan peluang. eksploitasi atas hak dan kewajiban sekelompok masyarakat. Berkaitan dengan tujua n makalah ini, adalah penting ullluk diketahui apakah ada tradisi atau kebiasaan dari budaya loka l yang. secara langsung atau tidak. merespons situasi dimana masyarakat pendukung budaya tersebut berada pada sudut yang terviktimisasi, entail dal am bentuk marjinalisasi, diskriminasi, eks lusi (peminggiran atau pengasingan) ataur un eksploitasi. Bila ada, maka ada lah penting untuk d iketallUi hentuk dan s ifat dari respons bud.aya lokal tadi; apakah d iarahkan pad a lIpay;t mengarahkan warga pendukung budaya tersebut untuk dapat menyesllaikan diri (10 cope Wilh), umuk melawan atau untuk melupakan situasi marjinalisasi ya ng d iperoleh. PidalO Ihromi (2000) walau tak sekalipun menyebut kata 'korban ' clan viktimi sasi, pada dasarnya mengupas hal yang sama saat menyehu t pe langgaran atas hak-hak adat masyarakat adat serta hak asasi manusia dan kebebasan dasa r dari masyarabt lrad isional. Namun lhro mi ti<.lak membahas ada-tidaknya kemampuan budaya lobi umuk menyerap aneb pelanggaran tadi sehingga met~adikan masya rakat pendukung hudaya tidak lekas marah , tidak frustrasi atau tidak melakukan penyimpangan lain .
lX. Penutup Setelah membaca keseluruhan makalah ini, maka diharapkan keinginan untuk memaparkan segala problema berkaitan dengan dukungan
NOlllor 4 Ta/lIJ/1
XXXIIl
514
fiukul1l dall Pembllllgmutli
hudaya terhadap viktilllisasi yang dialallli anggota Illasyarakat pendukunt,! hudaya telah terpenuhi. Persoalannya adalah, amat mungkin para pembaca makalah ini menganggap justru tujuan itu tidak tercapai berkaitan dengan seuikitny a informasi mengenai jenis-jenis dukungan budaya tersebut dan buuaya lobi mana saja yang melakukannya. Berkaitan dengan itu. jawahannya adalah sebagai herikut: Sepeni juga telah dijelaskan di salahsatu hagian d.llam makalah ini. maka terdapat situasi yang herbeda dengan perlakuan hudaya terhadap pelaku kejahatanipenyimpangan m.wpun terlutdap kejahatanipenyimpan)!an itu sendiri. Perbedaannya adalah. seuikit sekali (kalau holeh dibtabn tidak ,"..la)' llukungan budaya yang bersi!'at khas terh'tdap korban kejaitat'tIt.
Daftar Pustaka Bachtiar. H.W. (1994). "Aspek-aspek sosial dan budaya dari kejahatan ui Indonesia: Beberapa catatan". maka/ah seminar. Jakarta. Corhett. C & Maguire. M, (1988). "The value and limitations of Victim Support Schemes" , dalam ViClims of Crime: The Nell' Dell/. Maguire. M. & Pointing. J. (eds,). Open University Press. Dewahrata. A.M. (1988) , "Korban kejahatan perlu dilindungi hakhaknya '·. Harian Kompas , 2 Januari . Ihromi. T.O. (2000). Kajian Terhadap Hukulll Dengan Pendekatan Al1Iropologi (Catatan-catatan untuk pen ingkatan pemahaman hekerjanya hukum dalam masyarakat). Orasi Mohon Oiri. Dep"k: Universitas Indonesia. "Sikap JlPSNET.or.idi wanasosialiarticles 30 10 2001 5716. hUlll. Ilcgatif masyarakat munculkan kecatatan'·. Jawa Timur Kilah Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 1981. L eo. M. (1977). Vicrims No Longer, Mandarin paperback , UK: Cedar Lindquist . .I .H . (1984). "Misdemeanor crime: Trivial criminal pursuit", dalam Inciardi, J.A . (ed .). Srlldies ill Crill1 e, L(l 1\' S .Il1srice . vol. 4
Okrober - Des ember 2003
Dukllllgal1 Blldaya lerhadap Kondisi Viklimisasi Anggola Masyarakal
'i 15
Nitibaskara, T.R. (1999), "Kejahatan kekerasan dalam perspektif kriminologis (Suatu pendekatan interdisipliner) , lIIakalah, Jakarta: PTIK, Mei 1999 Pursley, R. D. (1987), Illtroductioll 10 Crilllillal iI/slice , New York: Macmillan Pub!. Co. Ruback, R.B., Greenberg. M.S., Westcott, D. R. (1984), "Social intluence and crime-victim decision making" . .lou,."al 0.1' Social lssues, 40(1) Sellin, T. (1993), ClillUre Conflict and Crime. New York: Social Sciences Research Council Sulaiman. I. (1999), "Pemaksaan perempuan". BlIlelin .laring, edisi 21. Desember Suara Karya (2003), "Pe rsidangan kaslls Bom Bali Dijaga Ekstra 12 Mei www.Hindu-indonesia .com
Nomor 4 TatulIl XXXlll
Ket~tt".