Dua Tahun Janji Jokowi, Papua Tetap Tertutup Ancaman Berlanjut, Dalam Setahun 72 Kasus Kekerasan terhadap Jurnalis Terjadi Buruknya Situasi Papua Dua hari menjelang Hari Kemerdekaan Pers Dunia, kekerasan kembali dialami jurnalis di Papua. Yance Wenda, jurnalis Koran Jubi dan tabloidjubi.com dipukuli polisi hingga terluka saat meliput penangkapan para aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Sejumlah aktivis KNPB itu ditangkap aparat Kepolisian Resor Jayapura saat berunjukrasa dalam peringatan 1 Mei di Jayapura, Provinsi Papua. Yance mengikuti barisan massa, namun tidak hingga masuk ke halaman Polres. Tak lama kemudian, dia dihampiri dan ditanyai oleh seorang polisi, yang dijawab Yance dengan penjelasan bahwa dirinya seorang jurnalis. Ketika akan mengeluarkan surat tugas dari dalam tasnya, seorang anggota polisi lain datang merampas tas Yance. Beberapa anggota polisi kemudian menarik Yance ke Polres sambil menendang dan memukulnya. “Pelipis saya luka, mata bengkak, kepala benjol, di belakang ada dua bekas pukulan rotan, di bahu juga bekas tentangan sepatu, bibir atas dan bibir bawa saya pecah gara-gara dipukul dan ditendang dan dipukul rotan,” kata Yance. Kasus itu merupakan kekerasan terhadap jurnalis kedua yang terjadi di Papua sepanjang pekan ini. Pada 28 April lalu, tiga wartawan televisi dari Metro TV, Jaya TV, dan TVRI diintimidasi saat meliput sidang lanjutan pidana Pilkada Kabupaten Tolikara di Pengadilan Negeri (PN) Wamena pada 28 April 2017. Seusai mengambil gambar, ketiganya berkumpul di salah satu ruangan di PN Wamena. Tiba-tiba sekitar 20 orang pengunjung sidang mendatangi mereka, dan menginterogasi ketiga jurnalis tersebut, serta mempertanyakan peliputan ketiganya. Mereka pun mengancam bahkan memaki Ricardo dan kedua rekannya, serta memaksa ketiganya menghapus video hasil liputannya. Ironis, polisi yang mengetahui peristiwa itu tidak berupaya melindungi ketiga jurnalis itu. Pembatasan akses Sejumlah dua kasus kekerasan dalam sepekan itu menegaskan bahwa jaminan perlindungan hukum bagi jurnalis, sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah sesuatu yang langka di Papua. Kekerasan terhadap jurnalis di Papua terus terjadi, menegaskan buruknya kemerdekaan pers di Papua, digenapi praktik sensor yang dilakukan dengan memblokir sejumlah situs berita Papua yang kritis terhadap kebijakan pemerintah pusat terkait persoalan Papua. Seluruh situasi buruk itu seolah disempurnakan situasi Papua sebagai “daerah terlarang” yang harus bebas dari peliputan jurnalis asing. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura mencatat, sepanjang tahun 2015 hingga awal 2016, hanya ada 15 jurnalis asing yang diizinkan masuk ke Papua. Tabloidjubi.com menulis, jurnalis Radio New Zealand International, Johnny Blades mengaku membutuhkan waktu tiga bulan untuk mendapatkan visa masuk ke Papua. Meski memiliki visa peliputan, di Papua Blades ditolak oleh kepolisian dan TNI saat hendak mengkonfirmasi beberapa liputan yang didapatnya. Jurnalis Radio France, Marie Dumieres, juga dicari-cari polisi saat melakukan liputan di Papua. Maret tahun ini Franck Jean Pierre Escudie dan Basille Marie Longchamp dideportasi. Tak lama berselang, penulis lepas Al Jazeera, Jack Hewson, ketika hendak meninggalkan Indonesia diberitahu bahwa dirinya tidak akan bisa masuk ke Tanah Air. Padahal ketika itu Hewson mengatakan dirinya saat itu sedang dalam proses pengajuan permohonan izin
peliputan di Papua. Pernyataan Presiden RI Joko Widodo bahwa Papua terbuka bagi peliputan jurnalis asing jauh panggang dari api. 72 Kasus Kekerasan Papua jelas merupakan salah satu wilayah terburuk dalam penegakan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, maupun jaminan perlindungan hukum bagi jurnalis. Namun, di wilayah lain di Indonesia, kekerasan terhadap jurnalis juga terus terjadi. Berdasarkan data yang dihimpun AJI Indonesia, sepanjang Mei 2016 hingga April 2017 telah terjadi 72 kasus kekerasan yang dialami oleh para jurnalis yang menjalankan profesinya. Kasus kekerasan itu bahkan didominasi bentuk kekerasan fisik, yang mencapai 38 kasus. Pengusiran dan/atau pelarangan liputan juga masih marak, dengan temuan sebanyak 14 kasus. Data yang dihimpun AJI Indonesia juga menunjukkan seriusnya persoalan kekerasan itu. Di antara 72 kasus itu, terdapat sembilan kasus kekerasan yang dengan sengaja dilakukan untuk merampas atau merusak data, foto, rekaman video yang diperoleh jurnalis di lapangan. Selain itu, terdapat dua kasus pemidanaan atau kriminalisasi, termasuk kasus pelaporan situs berita tirto.id oleh Ketua Bidang Hukum dan Advokasi DPP Perindo, Christophorus Taufik. Kasus itu ironis, mengingat DPP Perindo adalah partai dipimpin oleh Harry Tanoe, seorang taipan media, pemilik sejumlah stasiun televisi nasional, sejumlah radio, dan koran. AJI Indonesia juga mencatat masih maraknya ancaman dan teror serius kepada jurnalis (tujuh kasus). Selain itu, terdapat dua kasus intimidasi secara lisan, termasuk di antaranya intimidasi lisan oleh seorang ketua DPRD. AJI Indonesia menyoroti semakin seringnya warga negara biasa menjadi aktor dominan dalam kasus kekerasan. Dari 72 kasus kekerasan yang terjadi sepanjang Mei 2016 hingga April 2017, sejumlah 21 kasus diantaranya dilakukan oleh warga. Aktor pelaku lainnya termasuk kader partai politik/politisi/dan anggota parlemen (tujuh kasus), Satuan Polisi Pamong Praja dan aparatus pemerintah daerah lainnya (enam kasus), pejabat pemerintah pengambil kebijakan (empat kasus), bahkan profesi hukum seperti advokat (satu kasus), hakim (satu kasus) pun menjadi pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Menahunnya Impunitas AJI Indonesia menyatakan, munculnya para aktor baru pelaku kekerasan terhadap jurnalis, termasuk kekerasan yang dilakukan oleh warga atau orang kebanyakan, adalah buah dari pembiaran berbagai kasus kekerasan di masa lalu. AJI Indonesia juga menyoroti, bagaimana Kepolisian Republik Indonesia sebagai aparat yang seharusnya menegakkan perlindungan hukum kepada jurnalis justru menjadi salah satu pelaku dominan (sembilan kasus). TNI selaku aparat militer juga menjadi salah satu aktor dominan pelaku kekerasan (tujuh kasus). Praktik impunitas terus berjalan dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan polisi atau tentara sebagai pelakunya. Penyerangan sejumlah prajurit TNI Angkatan Udara Lanud Soewondo, Medan, yang terjadi pada 15 Agustus 2016 adalah contoh bagaimana aparat hukum bekerja dengan lambat, cenderung memacetkan proses hukum, membuat para pelaku kekerasan itu bebas dari hukuman. Polisi juga terus menjalankan praktik impunitas dalam kasus kekerasan yang dilakukan aparat pemerintah. Kasus kekerasan Ghinan Salman (24), wartawan Radar Madura Biro
Bangkalan yang dipukuli sejumlah pegawai Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Kabupaten Bangkalan pada 20 September 2016 adalah contoh begitu lambatnya proses hukum terhadap para aktor pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Praktik-praktik impunitas itulah yang membuat warga negara semakin abai bahwa jurnalis adalah profesi yang dilindungi. Abainya warga negara terhadap jaminan perlindungan hukum profesi jurnalis membuat munculnya aktor-aktor pelaku kekerasan yang baru, sebagaimana terlihat dari data kekerasan yang terjadi sepanjang Mei 2016 – 2017. Impunitas pula yang membuat sebaran kasus kekerasan terhadap jurnalis semakin meluas. Provinsi DKI Jakarta menjadi salah satu lokasi dengan kasus kekerasan terbanyak (11 kasus), diikuti Provinsi Jawa Timur (delapan kasus) dan Provinsi Sumatera Utara (tujuh kasus). AJI Indonesia melihat kemedekaan pers Indonesia semakin terancam, yang pada akhirnya mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia. AJI Indonesia menyatakan: 1. Polisi menjadi musuh utama kebebasan pers Indonesia tahun 2017, dengan para personilnya yang terus terlibat berbagai kasus kekerasan di Indonesia, dan terus menjalankan praktik impunitas yang membuat para pelaku kekerasan terhadap jurnalis bebas dari pertanggungjawaban hukum. 2. Tegakkan kembali jaminan perlindungan hukum bagi profesi jurnalis sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers di seluruh Indonesia, khususnya di Papua, dengan menghentikan praktik kekerasan, intimidasi, pembatasan dan pelarangan liputan, maupun sensor seperti pemblokiran sejumlah situs berita di Papua. 3. Buka askses peliputan jurnalis asing di Papua, dengan memastikan setiap jurnalis asing diberi kebebasan untuk meliput secara obyektif berbagai dimensi kehidupan di Papua, agar dunia internasional mendapatkan gambaran utuh tentang situasi politik, ekonomi, maupun sosial budaya orang asli Papua. 4. Setiap aparat penegak hukum, baik itu Kepolisian Republik Indonesia maupun Polisi Militer Tentara Nasional harus segera menghentikan praktik-praktik impunitas, termasuk dengan menjalankan seluruh proses hukum atas kasus kekerasan terhadap jurnalis, khususnya kasus kekerasan jurnalis di Papua, Medan, dan Bangkalan. 5. Mengajak setiap warga negara untuk bersama-sama mengawal kemerdekaan pers, kemerdekaan berekspresi, dan melindungi profesi jurnalis, demi menjamin kehidupan berbangsa yang demokratis dan menjunjung tinggi penghormatan kepada kemanusiaan serta hak asasi setiap warga negara Indonesia. Jakarta, 3 Mei 2017 AJI Indonesia
Arfi Bambani Sekretaris Jenderal
Suwarjono Ketua Narahubung: 1. Suwarjono, 0818758624 2. Arfi Bambani, 0856728373
Papua Remains Restricted Under Widodo; 72 Cases of Violence Against Journalists Press in Papua Two cases of violence against journalists in Papua in the past week highlight the empty promise of Press Law protections in Indonesia’s easternmost province, as well as the false hopes of President Joko Widodo, who more than two years ago promised to open foreign press access to the area. Censorship remains the norm in the province, where many foreign journalists are still forbidden from entering. On May 1, police in Jayapura, Papua, assaulted Yance Wenda, a local journalist who works for Jubi daily and tabloidjubi.com, while he was covering the arrest of activists of the West Papua National Committee (KNPB). Police arrested the KNPB activists, often labeled as a separatist group, during a May 1 rally (annually held to reject the integration of Papua into Indonesia which happened on May 1, 1963). Police beat Mr. Wenda with a rattan stick on the scene, then took his bag and forcibly detained him. Mr. Wenda suffered injuries to his eyes, head and back. Three days before that, on April 28, three television journalists from Metro TV, Jaya TV and TVRI experienced intimidation while covering a trial in Wamena District Court. An unknown group of visitors surrounded them, questioning them and forcing them to delete their footage of the trial. Police witnessed the entire incident but didn’t intervene. Violence and intimidation against journalists remain facts of life in Papua. Government censors block news sites that are critical of the government, and foreign journalists are banned from traveling freely throughout the region. Throughout 2015 and early 2016, only 15 foreign journalists were granted access to Papua, according to the Alliance of Independent Journalists (AJI) Jayapura chapter. Radio New Zealand International journalist Johnny Blades needed three months to get his visa approved to enter Papua, and was denied a response by the police and military for his story, according to Tabloidjubi.com. Radio France journalist Marie Dumieres was closely monitored by the police when she was working on her story in the province. In March, Franck Jean Pierre Escudie and Basille Marie Longchamp, journalists for The Explorers Network were deported. Jack Hewson, a freelance journalist for outlets like Al Jazeera, was told by immigration officers that he would need to “e-mail the military” if he wanted to re-enter Indonesia, because his passport had been “blacklisted.” The only reason Mr. Hewson could think of for such treatment was his letter to the President’s Executive Office asking for a clarification of policy for his travel plans to Papua. President Widodo’s promise to open access to the region for foreign journalists has proven to be an empty one.
72 Cases of Violence, Unending Impunity Papua is the most vivid example of how poorly enforced the 1999 Press Law is—especially in the protection aspect—but its weakness is seen across the country. In the 12 months to April 2017, The Alliance of Independent Journalists (AJI) Indonesia recorded 72 cases of violence and intimidation against journalists, including 38 incidents of physical assault. In nine cases, journalists were forced to delete their photos or footage. Two legal cases were brought against journalists, including one filed by the United Indonesia Party (Perindo, a new political party founded by media mogul Hary Tanoe) legal team against Tirto.id.
Assaults by civilian on journalists also rose in the past year (21 cases, check tables attached). The growing trend of assaults involving civilians is the result of an absence of law enforcement. Police officers, whose duty is to protect all citizens, not only turn a blind eye to violence against journalists, but, in many cases, are the perpetrators themselves. Impunity remains, especially when it involves the police or military, as seen in the physical assault of journalists by members of the Air Force at Soewondo airbase, Medan, North Sumatra, 15 August, 2016. The case hasn’t been seriously handled, and the perpetrators are free from punishments. Such practices have contributed to the general ignorance among the public of the protections accorded to journalists by Indonesian law. AJI Indonesia sees that Indonesian Press Freedom has been increasingly threatened, which could be the beginning of a threatened democracy. Therefore: 1. AJI declares the police the ‘enemy of the press’ in 2017, with many of their personnel involved in cases of violence against journalists and impunity. 2. AJI urges the enforcement of protections for journalists under Press Law No.4/1999 across the archipelago, especially in Papua. We urge national and local authorities to put an end to acts of violence, intimidation, restriction, surveillance and censorship. 3. AJI demands President Joko Widodo to honor his promise to open media access to Papua, to allow local and international media to enter and report on the province, in the hope that the world will get a complete picture of its political, economic, social and cultural situation. 4. AJI calls on the police and military have to immediately stop any acts of violence against journalists. They also have to investigate and punish personnel involved in such cases, especially those that happened in Papua, Medan, and Bangkalan, East Java. 5. AJI urges all elements of the community to protect the freedom of the press and of expression, and to protect journalists for the sake of Indonesia’s democracy and human rights. Jakarta, 3 May 2017 AJI Indonesia
Arfi Bambani Secretary General
Suwarjono Chairman
Lampiran Siaran Pers AJI Indonesia Tabel 1 Periode Mei 2016 – April 2017
Jenis Kekerasan/kind of assault Ancaman Kekerasan atau Teror (intimidation/terror) Intimidasi Lisan (verbal assault) Intimidasi Lisan oleh Pejabat Publik (verbal assault by the authorities) Kekerasan Fisik (physical assault) Pemidanaan/kriminalisasi (legal consequences) Pengusiran/Pelarangan Liputan (media ban/expelled) Perusakan Alat Liputan atau Data Hasil Peliputan JUMLAH
Jumlah/number 7 1 1 38 2 14 9 72
Tabel 2 Periode Mei 2016 – April 2017
Latar Belakang Pelaku/perpetrator(s) Warga (civilian) Tidak Dikenal (unknown) Polisi (police) Kader Parpol/Caleg/Anggota Parlemen (politician, lawmaker) Tentara (military) Satpol PP/Aparat Pemerintah Daerah (public order agency/local public servant) Pejabat Pemerintah/Eksekutif (public officer) Ormas (mass organization) Pelajar/Mahasiswa (student) Advokat (advocat) Aparat Pemerintah Pusat (national public servant) Hakim (judge) JUMLAH
Jumlah/number 21 10 9 7 7 6 4 3 2 1 1 1 72
Tabel 3 Periode Mei 2016 – April 2017 Kabupaten/district Kabupaten Lebak Kabupaten Pandeglang Kota Jakarta Pusat Kota Jakarta Selatan Kabupaten Merangin Kota Jambi
Provinsi/province Banten Banten DKI Jakarta DKI Jakarta Jambi Jambi
Jumlah/number 1 1 10 1 1 1
Kota Bandung Kota Bekasi Kabupaten Rembang Kota Semarang Kabupaten Sumenep Kabupaten Bangkalan Kabupaten Jember Kabupaten Jombang Kabupaten Malang Kota Madiun Kota Surabaya Kabupaten Barito Selatan Kabupaten Kota Baru Kota Balikpapan Kota Batam Kota Bandar Lampung Kabupaten Aceh Utara Kota Subussalam Kota Banda Aceh Kota Mataram Kabupaten Manggarai Kota Jayapura Kabupaten Biak Numfor Kabupaten Jayawijaya Kabupatan Mamberamo Raya Kabupaten Nabire Kabupaten Bengkalis Kota Pekanbaru Kabupaten Mamuju Kota Makassar Kabupaten Bulukumba Kabupaten Gowa Kabupaten Jeneponto Kabupaten Sinjai Kota Palopo Kota Pare-pare Kabupaten Banggai Kabupaten Muna Kabupaten Minahasa Utara Kabupaten Tanah Datar Kota Padang Kota Lubuk Linggau Kota Medan Kabupaten Humbang Hasundutan Kabupaten Tapanuli Tengah TOTAL
Jawa Barat Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Kalimantan Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kepulauan Riau Lampung Nangroe Aceh Darussalam Nangroe Aceh Darussalam Nangroe Aceh Darussalam NTB NTT Papua Papua Papua Papua Papua Riau Riau Sulawesi Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara Sumatera Barat Sumatera Barat Sumatera Selatan Sumatera Utara Sumatera Utara Sumatera Utara
2 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 5 1 1 72