Hasil Penelitian ANTAR.ETNIS BERSANDI FALSAFAT HIDUP NEMUI NYIMAH DALAM NGKATKAN UKHUWAH ISLAMIYYAH DI KOTA BANDAR LAMPUNG
Oleh Drs Shonhaji, M Ag :
LEMBAGA PENELITIAN IAIN RADEN INTAN LAMPUNG TAHUN 2O1O
032
t0 BbrLsa
Laporan Hasil Penelitian
INTEGRASI ANTAR.ETNIS BERSANDI FALSAFAT HIDUP NEMUI NYIMAH DALAM
MENINGKATKAN UKHUWAH ISLAMIYYAH DIKOTA BANDAR LAMPUNG
Oleh: Drs. Shonhaji, M.Ag
LEMBAGA PENELITIAN IAIN RADEN INTAN LAMPUNG TAHUN 2O1O
SAMBUTAN KETUA
LEMBAGA PENBLITIAN IAIN RADEN INTAN LAMPUNG Assalamu' alaikum Wr. Wb.
Kegiatan penelitian di lingkungan IAIN Raden Intan Lanrpung iahun 2OlO, dilaksanakan di bawah koordinasi Lembaga Penelitian IAN Raden Intan Lampung. Pelaksanaan kegiatan penelitian ini dibiayai berdasarkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) IAIN Raden Intan Lampung Nomor: 2876/025-
01.2/ Kami Drs.
09.
ividu yang dilaksanakan oleh
Integrasi Antar Etnis
Bersandi Falsafat Hidup Ncmui Nf imah Ukhuu'ah Islamil'1'ah Di Kota Bandar La j Rektor I,AIN Raden Intan Lampungltrontor: 30 Maret 2010.
Kami berharap, semoga hasil penelitian ini
dapat ilmu khazanah menambah meningkatkan mutu hasil penelitian, keislaian, dan berguna serta bermanfaat bagi masyarakat dan pembangunan yang berbasis iman, ilmu, dan akhlak mulia' Was s al
amu' al aikunt
lltr. Wb. Desember 2010
itian,
,1\{.Ag 995031001
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas segala rahmat serta karunianya jua lah peneliti dapat menyelesaikan tugas penelitian dengan judul : "Integrasi Antar-etnis Bersandi Falsafat Hidup Nentui Nyimah dalant Alt e ni n gka t k an U khuw ah
Is I am i1,y ah d i Ko t a B an d ar
I
a nt pu n g"
.
Peneliti menyadari bahwa penyajian dan pembahasan penelitian, masih banyak kelemahan dan kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat diharapkan.
Dalam penelitian ain peneliti sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penelitian i1i sehingga tidak mengalami hambatan yang berarti. Akhirnya peneliti berharap semoga penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan keilmuan serta pengambilan kebij akan.
Bandarlampung, Des ernber 20 1 0 Peneliti,
Drs. Shonhaji,1\I.Ag.
ilt
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL
i
LEMLIT ii KATA PENGANTAR iii SAMBUTAN KEPALA
DAFTAR
ISI
iv
BAB I. PENDAHULUAN
1
1.1. Latar Belakang Masalah
i.2.
_1
Identifikasi dan Rumusan Masalah
8
1.3. Tujuan Penelitian _18 1.4.
Kegunaan Penelitian _ 17
1.5. Fokus Bahasan
19
BAB II. KERANGKA TEORITIS 22 2.1. Kajian Pwtaka _22
2.l.l.Penelitian Relasi Antarkelompok Etnik perspektif Sosiologi Antropolol ogi _22 2.I .2.Penelitian relasi Antarkelompok Etnik perspektif
Komunikasi
28
2.2. Konsep dan Teori _ 33 2.2.1. Pengertian dan Prasyarat Integrasi _33 2.2.2. Bentuk-bentuk dan Tahapan Integrasi _ 37
2.2.3.Integrasi dan Konflik _ 40
iv
2.2.4. Srstem Nilai, Budaya dan Agama
-42
2.2.5.Interaksi Sosial dalam Masyarakat Majemuk
-
45
2.2.6.Akulturasi, Asimilasi Konteks Interaksi AntarkelomPok etnik
2.2.7. Teori Interaksionisme 2.2.8. Teori Dramaturgis
BAB
III.
-
52
-
Simbolik 60
I\{ETODOLOGI PENELITIAN
3.1.
Subyek dan Obyek
55
63
Penelitian
63
3.2. Lokasi Penelitian 64 3.3. Paradigma Penelittan 3.4. Teknik Pengumpulan
-64
Data
3.4.1.
Pengamatan Berperan
3.4.2.
Wawancara
3.4.3.
Studi
Serta
Mendalam
Dokumentasi
3.5. Teknik Analisis
65
Data
66
66
61
68
3.6. Teknik Pemeriksaan Keabsahan
Data
69
BAB IV. I{ASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 7I
4.1. Kondisi Geografis Datin II Kodl'a
Bandarlampung
71
4.2.
Latarbelakang Budaya etnik Lampwg
4.3.
Islam dan Budaya pada Masyarakat Etnik Lampung
-77
4.4. Konsep Masyarakat Etnik Lampung tentang Prinsip Nemui Nyimah_ 94
4.5. Interaksi Antarkelompok Etnik Pendatang
dengan
Etnik Lampung _ 98
4.6. Integrasi Antarkelompok Etnik Pendatang dan Lampung _ 106
4.7. Nemui Nyimah dan Implikasinya terhadap Integrasi
Antarkelompok
Etnik dalam
Ukhrrwah Islamiyah _
BAB V. KESIMPULAN 122 5.1. Kesimpulan _122 5.2. Rekomendasi 124 DAFTAR PUSTAKA 125
LAMPIRAN-LAMPIRAN
vt
ll7
Meningkatkan
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Lalar Belakang Masalah
Budaya merupakan fenomena universal manusia.l Selama
ini
belum pernah ada laporan penelitian dan kajian
yang
menl'atakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai
konsep tentang budaya, termasuk Indonesia yang multietnik dan
multikultural. Meskipun perubahan sosial telah mengubah orientasi
dan makna budaya, namun hal
itu
sampai pada meniadakan
eksistensi budaya. Sehingga kajian tentang budaya selalu akan terus
berkembang dan tetap menjadi sebuah kajian penting seiring dengan perkernbangan ilmu pengetahuan. Karena sifat universalitas
budaya dalam masyarakat, rnaka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat budal,a sebagai salah satu faktornya.2
Masyarakat dalam pandangan teori strukturar fungsional merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saring menyatu dalam
keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan
'Katya Karen Amtrong ., The History of God,,
setidaknya
membuktikan betapa agama merupakan sebuah fenomena universal manusia. 'Jamhari Ma'ruf, Pendekqtan Antropologi Daram Kajian Islam, Artkel Pilihan Direktorat Perguruan Tinggi Agama tilam oepartemen Agama Rl, rvww,dipertis,net.
membawa perubahan pula pada bagian yang lain. Asumsi dasarnya
adalah bahw'a setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada dan akan hilang dengan sendirinya.3 Budaya merupakan salah satu subsistem sosial yang ada pada masyarakat, tentu dalam konteks
ini
budaya mempunyai peran
penting dalam masyarakat sebagai satu sitem sosial. Sebagai sub-
sistem sosial, budaya pada kenyataannya hingga saat ini masih eksis dan memiliki peran yang cukrrp signifikan dalam mendorong teruuj udnya integrasi sosial.
Seperli halnl'a agama, budal'a dalam perspelcif teori struktural fi.rngsional juga merupakan sumber tata nilai 1'ang menjadi sandaran manusia dan masyarakat dalam berprilaku pada kehidupan bermasl,arakat. Jika demikian maka permasalahan )'an,s muncul adalah apakah budaya yang
dimiliki salah satu etnik masilr memiliki
peran
dalam mempersatukan berbagai kelompok etnis, sementara masingmasing etnik memiliki kultur dan adat istiadat, bahkan mungkin agama berbeda 1'ang oleh penganutnya dianggap memiliki kebenaran mutlak.
Bahkan masing-masing etnik memiliki kecenderungan etnosentris, yang
memandang budayanya sendiri sebagai superior dan menganggap kultur etnik lainnya sebagai inferior. 'George Ritzer, Sosiologi llntu Pengetahttan Berparadigna Ganda, (Jakarta:PT. RajaGrahndo Persada, 2004), Cet.5, hlm. 21
Indonesia merupakan negara yang penduduknya hiterogen dan bersifat multidimensional. Pluralitas dalam budaya,
terutama oleh perbedaan suku, agama bahasa merupakan karakteristik yang dimiliki bangsa Indonesia. Kemajemukan itu
antara
lain
disebabkan oleh perbedaan suku, status sosial,
pengelompokan organisasi politik dan agama. Menurut pengamatan
Koentjoroningrat, Pemerintah Indonesia membagi suku bangsa yang ada di Indonesia menjadi tiga golongan yaitu: 1) suku bangsa golongan )rang mempunyai dasrah asal dalam wilayah Indonesia 2) keturunan asing yang tidak mempunl'ai u'ilayah asal dalam wilayah Ir.rdonesia karena daerah asal mereka terletak
di luar negeri dan 3)
masyarakat terasing, yaitu kelompok masyarakat yang dianggap sebagai penduduk yang hidup dalam tahap kebudayaan sederhana 1,ang biasanya
tinggal di lingkungan terisolasi. Dari sisi agama,
Indonesia mengakui lima agama besar di dunia, di samping masih banyak terdapat agama suku.a
Dalam konteks bahasa daerah dan susunan masyarakat menurut Jaspan sebagimana yang dikutip Soerjono, terdapat tidak
kurang dari 366 suku yang mendiami wilayah
Indonesia.s
Keragaman suku yang dimiliki bangsa Indonesia membuat aKoentjaranin grat, l'[asaloh Kenrkubangsaan dan Integrasi Nasional (Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 12-19.
5Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Persada, 2003), hlm. 40
(
Jakarta
:
Grafindo
kehidupan kemasyarakatan terlihat dinamis. Hal ini dimungkinkan karena Indonesia merupakan negara terbuka yang tidak membatasi
satu wilayah dengan suku tertentu. Setiap orang dari suku dan daerah mana pun bebas menempati wilayah sepanjang mengikuti aturanaturan yang berlaku.
Penyebaran masyarakat suku tertentu ke daerah lain di
luar daerah basis kesukuannya biasanya dilatarbelakangi oleh motif
ekonomi. Salah satu proses perpindahan penduduk 1'ang cukup
dikenal adalah program kolonisasi dan transmisrasi. Program transmigrasi biasanya merupakan perpindahan penduduk dari suatu
daerah padat penduduk seperti Jarva, Sunda dan lrfadura, Bali
(JASUMABAL) menuj u daerah-daerah j arang p endudukn-va namun
memiliki lahan yang luas. Salah satu tujuan pokok program transmigrasi adalah untuk mengurangi kepadatan dan pemerataan pembangunan
yakni pemanfaatan lahan dan
pengoptimalan
pembangunan. Namun demikian pada perkembangannya bukannya
tanpa masalah, kebijakan tersebut pada kenl'ataannl'a membawa dampak sosial teftentu. Pada perkembangannl'a identitas etnik lebih
terlihat dan dipersoalkan dari pada prestasi dan sumbangsihnya bagi kemajuan daerah di mana mereka tinggal. Sebagai dampaknya adalah munculnl'a polarisasi etnik pendatang dan etnik asli selalu
mewamai dinamika interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat
yang berlangsung
di
daerah transmigrasi. Polarisasi demikian
Indonesia merupakan negara yang penduduknya hiterogen dan bersifat multidimensional. Pluralitas dalam budaya,
terutama oleh perbedaan suku, agama bahasa merupakan karakteristik yang dimiliki bangsa Indonesia. Kemajemukan itu
lain
antara
disebabkan oleh perbedaan suku, status sosial,
pengelompokan organisasi politik dan agama. Menurut pengamatan
Koentjoroningrat, Pemerintah Indonesia membagi suku bangsa yang ada di Indonesia menjadi tiga golongan yaitu: 1) suku bangsa )/ang mempunyai daerah asal dalam wilayah Indonesia 2) golongan
keturunan asing yang tidak mempunl'ai wilayah asal dalam wilayah Indonesia karena daerah asal mereka terletak di luar negeri dan 3)
masl,arakat terasing, yaitu kelompok masyarakat yang dianggap sebagai penduduk yang hidup dalam tahap kebudayaan sederhana
yang biasanya tinggal di lingkungan terisolasi. Dari sisi agama, Indonesia mengakui lima agama besar di dunia, di samping masih banyak terdapat agama suku.a
Dalam konteks bahasa daerah dan susunan masyarakat menurut Jaspan sebagimana yang dikutip Soerjono, terdapat tidak
kurang
dari 366 suku yang
Keragaman suku yang aKoentj
mendiami wilayah Indonesia.s
dimiliki bangsa Indonesia
aranin grat, M a s al ah Kesukub (Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 12-19.
5Soerjono
an gs a
an dan Integrasi l'{asional
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, ( Jakarta
Persada, 2003), hlm. 40
membuat
:
Grafindo
semakin tampak dalam perhelatan politik daerah seperti pemilihan kepala daerah (PIKADA) seiring dengan semangat otonomi daerah. Bahkan terlihat semakin jelas ketika terjadi konflik yang bemuansa, suku, agama, rasa dan antar golongan ( SARA).
Propinsi Lampung merupakan salah satu daerah tujuan para transmigran dari Jau,a, Bali, Sunda dan Madura. Kehadiran
para transmigran
di
Propinsi Lampung telah dimulai
sejak
pemerintahan Hindia Belanda. Melalui program kolonisasi, sejak
tahun 1905 Lampung telah didatangi oleh para transmigran dari Kedu Jarva Tengah, yang saat itu ditempatkan di Gedong Tataan seabanyak 155
KK.
Setelah zaman kemerdekaan pemerintah
Republik Indonesia meneruskan program kolonisasi dengan program transmigrasi, pertama-tama tahun 1950 pemerintah mengirimkan para transmigran yang ditempatkan
di
Sukadana
sebanyak 27 r
selanjutnya para transmigran ditempatkan
di
beberapa wilayah
lainnya yang ada di Lampung. Di antara masalah yang cukup rawan adalah meledaknya jumlah kaum migran di tanah rantau, Sudjarwo
mencatat bahwa sejak meletusnya Gunung Agung tahun 1964 didatangkannya transmigran
dari Bali berakibat pada sebaran
popula:i penduduk nenjadi lebilr banyak pendatang deri pada etflik
5
asli Lampung.6 Hus..t Sayuti sebagaimana dikatakan Sudjarrvo, menemukan bahwa
80
persen penduduk Lampung adalah
pendatang.
Dari bentangan sejarah menunjukkan bahwa masyarakat pendatang, khususnya etnik Jarva
telah
lama.
eksistensi
di Propinsi Lampung
Masyarakat Lampung telah terbiasa hidup dalam
kondisi 1'ang plural secara etnik, di mana antara etnik satu dengan yang lain (etnik asli dan etnik pendatang) telah lama hidup bersama
dan berinteraksi dalam berbagai aspek kehidupan. Masyarakat Lampung, dengan demikian telah tebiasa hidup dalam masyarakat
multikultural. Dalam rentang rvaktu yang cukup larna, sejak kedatangan
rombongan transmigran pertama hingga saat
ini. tentu saja
masyarakat transmigran asal Jalva telah mervarnai aktivitas kehidupan masyarakat Propinsi Lampung, Perbedaan etnik antara
Jawa dengan Lampung tentu saja memiliki pengaruh terhadap dinamika interaksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat, karena
nilai, norrna dan tradisi serta pandangan hidup yang berbeda. Bukan han,va pertikaian dan keduanya memiliki budaya,
usud.larwo, Interaksi Sosial pada Masyorakat Majemuk ; studi di Propinsi Lampung, (Bandar Lampung : PPLP Unila Bandar Lampung, 2005),
hlm.3
6
konflik yang mev!'arnai hubungan antar etnik di Lampung,
tetapi
juga sering terjadi kerjasama dalam berbagai dimensi kehidupan. Hidup dalam masyarakat multikultural membutuhkan sebuah
kearifan dan kepekaan budaya tersendiri. Kepekaan dan kearifan seseorang akan menghasilkan sebuah hubungan sosial yang harmoni
(integrasi sosial). Harmoni akan murcul manakala masing-masing etnik 1'ang ada dapat hidup dengan saling mernahami perbedaan
di
antara
mereka, atau dengan cara mengkonstruksi nilai yang bisa dianut hersarna. S ebaliknya kehidupaan masyarakat multikuitural yang tidak
dibarengi dengan kearifan budaya, cenderung memunculkan konflik
sosial. Konflik antarkelompok etnik biasanya muncul
karena
kesalahpahaman. Kesalahpahaman yang terjadi dalam hubungan antarkelompok etnik 1,ang berbeda budaya lebih disebabkan oleh
adanya streotip yakni kecenderungan menganggap budaya sendiri sebagai suatu kemestian, tanpa
dipersoalkan dan karenanya
menggunakannya sebagai standar untuk mengukur budaya lain.
Liliweri memberi definisi streotip
sebagai "pemberian sifat tertentu
terhadap seseorang berdasarkan kategori yang bersifat subyektif, hanya
ia bersal dari kelompok itu."7 Ketidakefektifan hubungan antaretnilg menurut Lililleri antara lain disebabkan oleh adanva karena
Tliliweri, Alo, Prasangka
&
KonJlik
;
Komunikasi Lintas Budaya
Masyar akat Multikultur al, (Yogjakarta : Lkis, 2005), hlm. 207
streotipe atau prasangsa. Menurutnya streotip muncul disebabkan oleh adany a beberapa faktor;
(l)
Kecenderungan berprasangka terhadap orang yang bersaing dengan kita, apalagi dia berasal dari kelompok lain'
(2) Etnisitas yang melahirkan sikap etnosentrisme (3)
cenderung etnik di luar kelompok orang bahrva pandangan mempengaruhi lebih buruk dari orang dalam etnik. Kenyataan sederhana menunjukkan bahwa kita sering menilai orang )/ang tidak terlalu dikenal dengan streotip, meskipun
streotip tidak sepenuhnya benar, namun tetap menjadi dasar
(4)
'
(5)
penilaian yang mudah digunakan. Kecenderungan menentukan streotip yang menunjang anggapan
kita tentang bagaimana
seharusnya hubungan dan hak-hak
istimerva dari kelompok etnik lain Adanl,a kecenderungan sikap diskriminatif dan memebuat jarak sosial dengan etnik yang berbeda.
(6) Kita sering membuat generalisasi tentang suatu (7)
kelompok
berdasarkan pengalaman kita tentang kelompok tersebut. Kemajuan pembangunan dan modernisasi dalam berbagai bidang
menuntut kualitas sumber dava manusia 1'ang profesional sehingga menggeser status dan peran anggota etnik tertentu.s
Gambaran
di atas menunjukkan
bahrva
streotipe
merupakan masalah yang cukup mendasar dalam hubungan antarkelompok etnik. Cair dan tidaknya hubungan etnik tergantung
pada streotip masing-masing kelompok etnik. Semakin tinggi sterotip etnik terhadap etnik lain, semakin tinggi kemungkinan
terjadinya konflik. Sebaliknya semakin rendah streotip etnik semakin kecil kemungkinan konflik bahkan besar kemungkinannya
sliliweri, Alo, Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budoya,(logakatta Pustaka Pelaj ar, 2002), hlm.339
'.
interaksi antarkelopok etnik akan melahirkan kohesi sosial atau integrasi. Berdasarkan pengamatan, di Lampung terdapat beberapa
etnik dan ras seperti, Lampung, Melayu, Minangkabau,
Batak,
Banjar, Jawa, Bugis bahkan ras luar seperti Cina dan Arab. Akan tetapi dilihat dari jumlahnya etnik Jawa yang merupakan kelompok
etnik yang mayoritas, bahkan jauh melebihi etnik suku Lampung (penduduk asli). Etnik pendatang memiliki perkumpulan yang didasarkan pada asal Caerah masing-masing. Meski intensitasnya
kecil, masing-masing perkumpulan mempunyai kegiatan baik yang menyangkut bidang sosial maupun keagamaan.
Dalam kehidupan sehari-hari masing-masing kelompok etnik masih terkait dengan adat istiadat dan bahasa asal daerahnya.
Dan ada kecenderungan untuk hidup berkelompok, hal demikian dapat dilihat dari adanya daerah-daerah yang berciri khas etnik
mayoritas yang bermukim
di
daerah tersebut. Dalam hidup
bertetangga meski berbeda etnik, masyarakat Lampung dapat hidup
berdampingan dengan baik. Meski demikian masih terlihat adanya
prasangka sosial bahkan diskriminasi etnik. Dalam beberapa hal
masih terdapat kecenderungan etnik mayoritas yang ingin mendominasi etnik minoritas (etnocentrisme). Hal demikian dapat
dilihat ketika memilih penceramah dalam memeperingati hari-hari besar. Penceramah sering kali diambil dari etnik mayoritas yang
menjadi panitia. Bahkan dalam menyampaikan ceramahnya lebih
banyak menggunakan bahasa asal etnik ceramah, kalaupun ada bahasa lain, sifatnya hanya selingan
(ok).
Kecenderungan untuk
hidup berkelompok demikian bukan saja dapat menambah jauhnya
jarak sosial antar kelompok etnik, tetapi juga dapat menyulut konflik antar kelompok
secara lebih luas. Fenomena demikian tentu
saja menambah ralvannya hubungan antar etnik. yang sewaktuwaktu bisa saja berubah menjadi konflik sosial berskala luas.
Sebagai wilayah yang didiami oleh beragam etnik, Propinsi Lampung merupakan wilayah )'ang sarat akan dinamika kehidupan sosialnya. Hubungan antarkelompok
etnik
pendatang
dan kelompok etnik penduduk asli tidak saja dirvarnai oleh persaingan dan konflik tetapi juga adaptasi, akomodasi bahkan integrasi. Sejarah panjang kehadiran para transmigran asal Jawa,
jauh sebelum Indonesia merdeka, sebagaimana terurai di
atas
merupakan catatan sejarah dan sekaligus sebagai bukti otentik bahwa masyarakat etnik pendatang telah lama hidup dan menjadi
bagian dari masyarakat Lampung. Sangat dimungkinkan mereka telah menganggap dirinya sebagai orang Lampung. bukan sebagai
orang dari etnik asal, tetapi mereka mengkaim sebagai orang Lampung. Menurut teori Barth identitas etnik merupakan sesuatu yang bisa dikonstruksi berdasarkan keinginan setiap individu. Oleh
10
karenanl'a konstruksi budaya yang dilakukan etnik pendatang demikian merupakan hal yang wajar. Kondisi sebalikny4 sejarah pulalah yang membuat kelompok ehrik asli Larnpung melakukan dikotomi etnik. Mereka menganggap masyarakat transmigran merupakan komunitas di luar kelompok etnik
Lamptuig, sementara etnik Lampung dianggap merupakan masyarakat asli. Adanya polarisasi etnik atau penyebutan kelompok "mereka,'dan
"kita"
inilah terkadang mewamai bahkan mensurarnkan hubungan
antar etnik (Jawa-Lampung) di Propinsi Lampung. Kehadiran otonomi
daerah dengan kebijakan disentralisasinya memungkinkan untuk semakin memrmbuhsuburkan sentimen dan polarisasi etnik tersebut, Meskipun demikian pada kenyataarulya di Propinsi Lampuig hampir dipastikan tidak pemah terjadi konflik yang berbau SARA. Kalau pun ada pengaruhnya tidak meluas sampai pada
konflik sosial sebagaimana
konflik-konflik yang terjaadi di berbagai daerah di Indonesia. Dewasa
ini
hanya sedikit masyarakat multikultural yang
tidak memiliki sejarah permwuhan antar etnik yang membenftrk mereka. Situasi dan kondisi yang tampak relatif tenang dalam kurun
waku 1984'r997-an, karena lebih
disebabkan oleh adanya keketatan
strategi-sekuritis yang diterapkan ORDE BARU dibawah kendali ABzu
dalam melihat aspirasi keagamaan yang berkembang
di tanah air.
Namun begitu kekuatan sekuriti longgar sejalan dengan tumbangnya
rezim orde Baru sebagai sentral political
11
will,
eophoria kebebasan
menyatakan pendapat berlanjtrt dengan pelepasan emosi yang I
mengkristal menjadi sebuah gerakan yang berv'ujud berbagai kerusuhan sosial. Berbagai kerusuhan sosial yang terjadi
di berbagai I
wilayah di Indonesia kerusuhan di Sampit (2000-2001), Maluku (1999-
2001), Ketapang (1998), Poso (1999-2002) merupakan bukti nyata betapa banyaknya kerusuhan sosial yang mtmcul selama era reformasi sosial dan politik (1998- sekarang).
Dalam perspektif sosiologis, heterogenitas etnis, agama dan budaya sebagaimana masyarakat Lampung, tentu saja rawan
terjadi konflik. Ironisnya miniatur Indonesia
di
Propinsi yang ditengarai
ini, hampir
sebagai
dipastikan tidak pemah terjadi
konflik yang signifikan. Kalapun ada sifatnya hanya lokal, tidak sampai merembes pada seluruh daerah di Propinsi Lampung.
Sebagaimana
konflik, integasi sosial pada
masyarakat
multikultural muncul karena adanya beberapa faktor mendorongnya. Di samping faktor
politih
yang
buda,va dan ekonomi, faktor
agama merupakan faktor yang cukup signifikan dalam mendorong
terwujudnya integrasi alitar kelompok.
Hal demikian sangat
dimmgkinkan sebab agama menurut Hendropuspito memiliki firngsi gandae. Satu sisi, agama dipahami
sebagai perekat kohesi
sosial,
(asosiatif), pada sisi lain ia juga dipahami sebagai penlulut munculnya 9Drs.
Hendropuspito, O.C., Sosiolo gi Agama,, (Yogjakarta : Kanisius,
1983), hlm. 150
t2
/
konflik sosial (desosiatif). Atho' Mudzhar dalam penelitiannl,a, menemukan bahwa adanya kepercayaan yang sama kepada Gunung Lowa, merupakan salah satu faktor perekat integrasi antar kelompok di di Amparita Sulawesi Selatan.lo
Bertitik tolak dari sejarah panjang hubungan
antar
kelopok etnik Jawa dan kelompok etnik Lampung di Propinsi Lampung tersebut, serta dinamika hubungan masyarakatnya yang berlangsung dari masa ke masa, selama hampir tiga generasi, dengan beragam persoalan yang menyertainya maila penelitian ini
penting untuk dilakukan. Penelitian ini difokuskan pada dimanika hubungan antar etnik pendatang dengan etnik Lampung, tepatnya pada proses interaksi sosial yang mengarah pada integrasi antar
kedua kelompoketnik. Apakah budaya lokal, yang nota
bene
merupakan standart of reference masl,arakat, masih merniliki peran
signifikan sebagai alat perekat integrasi antar kelompok etnik pada masyarakat multikultural. Masih dapatkah budaya lokal dijadikan
pedoman dalam berprilaku masyarakat, sementara masing-masing
kelompoketnik memiliki tradisi, adat istiadat dan budaya yang
melekat kuat dalam setiap aktifitas kehidupan
masyarakat.
Penelitian ini akan difokuskan pada masyarakat Bandar Lampung,
kususnya masyarakat kecamatan Tanjung Karang Barat, yang 10M.
Atho' Mudzhar,. Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan prakrik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 203-226.
t3
secara kuahtitas penduduknya
relatif berimbang antata kaum
migran maupun penduduk asli.
1.2. ldentifikasi
dan Rumusan Masalah
Dari uraian latar belaliang masalah di atas tercermin bahwa terdapat pemrasalahan yang cukup
penelitian.
Di
ugen untuk dapat diuigkap dalam
antara beberapa permasalahan tersebut
dapat
diidentifikasi sebagaimana beriku!
1. Masayarat Lampung merupakan masyarakat
multikultural
terdiri dari berbagai etnik budaya dan adat istiadat serta agama.
2. Membanjirnya kaum rnigran di
Bandarlampung pada
kenl,ataannya berdampak pula kecemburuan sosial masyarakat penduduk asli.
Di
antara problem 1'ang cukup krusial adalah
adanya polarisasi masyarakat, kelornpok etnik pendatang dan kelomopok etnik asli.
3.
Secara kuantitatif etnik pendatang merupakan kelompok etnik
mayoritas yang jumlahnya melebihi kelompok etnik asli
{ {
(Lampung).
4.
Meski berskala kecil, kontestasi, kompetitif. persaingan bahkan
konflik masih sering ditemukan di sana sini.
5.
Meski masih terdapat kecenderungan etnosentrisme dan sterotip
etnik, pada kenyataannya antara kedua kelompok etnik dapat hidup berdampingan bahkan sering mengadakan kerjasama di
t4
rt
i I
I
;
berbagai bidang kehidupan baik bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan agama.
Baik kelompok etnik
pendatang maupun
etnik
Lampung,
keduanya masih memegang teguh budaya dan adat istiadat masing-masing. 7.
Masyarakat etnik Lampung merupakan pemeluk agama Islam fanatik. Karenanya etnik Lampung yang tidak beragama Islam, secara adat dikeluarkan dari komunitas adat bahkan keluarga. Fanatisme etnik Lampung terhadap Islam tampak pada falsafah
hidup "Piil Pesanggiri" yang memuat nilai-nilai dasar hubungan sosial sesuai denga doktrin Islam. 8.
Keharmonisan hubungan antarkelompok etnik bisa dilihat dalam berbagai even kegiatan, baik kegiatan ekonomi, sosial,
plitik,
maupun keagamaan. Bahkan pada even kegiatan
keagamaan hubungan antarkelompok, lebih menampakkan keakraban, bahkan hampir tidak tampak batas-batas antar etnik. 9.
Cairnya hubungan antarkelompok etnik dalam hal kegiatan keagamaan demikian, tidak dapat terlepas dari faktor budaya
lokal falsafah hidup "Nemui Nyimah" yang secara teologis dilandasi oleh doktrin Islam.
15
Dari gambaran permasalahan di atas, secara lebih spesifik penelitian
ini
akan berusaha memperoleh penjelasan
tentang;
1.
Bagaimana konsep masyarakat etnik Lampung tentang falsafah
hidup "Nemui Nyimah?
2.
Bagaimana proses interaksi antar kelompoketnik di Kecamatan Tanjungkarang Barat Bandar Lampung
3.
?
Bagimana implikasi falsafah Nemui Nyimah terhadap interaksi antar kelornpoketnik di Kecamatan Tanjungkarang Barat Bandar Lampung?
1.3, Tujuan Penelitian
Penelitian yang difokuskan pada fenomena integrasi antarkelompok etnik
di
Bandar Lampung
ini
secara khusus
dimaksudkan untuk mengetahui peran budal'a lokal falsafah hidup
"Nemui Nyimah" sebagai perekat integrasi antarkelompok etnik. Berdasarkan rumusan masalah dan maksud penelitan sebagimana disebutkan
di
atas, maka dapat dirumuskan beberapa
tujuan penelitian sebagai berikut;
1.
Mengetahui konsep masyarakat etnik Lampung tentang falsafah
hidup "Nemui Nyimah"
2.
Mengetahui bentuk dan tahapan integrasi antar kelompok etnik
di Kecamatan Tanj ungkarang B arat B andarlampung
t6
3.
Mengetahui implikasi falsafah hidup Nemui Nyimah terhadap
interaksi antarkelompok etnik
di Kecamatan Tanjungkarang
Barat Bandar Lampung
1.4. Kegunaan/Signifikansi Penelitian
Informasi empiris yang diperoleh penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang berkepentingan terhadap persoalan hucungan antarkelompok etnik
dalam mengambil sikap dan kebijakan serta tujuan keilmuan. Kajian demikian tentu saja bermanfaat bukan saja sebagai solusi berbagai konflik yang melibatkan komunitas etnik, tetapi juga berdayaguna untuk mempertahankan integrasi yang sudah terjalin dengan baik.
Pemahaman mengenai dinamika sosiologis integrasi antarkelompok etnik menjadi sangat berguna karena penelitian-
penelitian yang berkaitan dengan persoalan
hubungan
antarkelompok etnik selama ini lebih banyak melihat aspek konflik dan solusinya. Karenanya penelitian model integrasi semacam ini
terasa begitu urgen.
Dari penelitian ini
diharapkan dapat
diketemukan solusi tepat bukan saja menyelesaikan konflik tetapi
juga menemukan sebuah model yang berbasis budaya lokal dalam menjaga integrasi bangsa.
t7
Secara teoritk, penelitian
ini diharapkan
dapat memberikan
masukan sebagai berikut;
1.
Hasil penelitian ini dapat memperkaya hasanah kajian keilmuan sosiologi pada umumnya dan sosiologi agama pada khususnya.
Semakin banyak penelitian suatu konsentrasi keilmuan sosiologi agama, maka semakin kaya variatif kajian ilmu tersebut sehingga akan melahirkan serta memperluas cakrawala
berfikir setiap orang yang mempelajarinya.
2.
Secara khusus penelitian
inl diharapkan dapat menemukan model
integrasi antarkelompok yang berbeda etnik. Dengan konstruksi
model integrasi tersebut diharapkan dapat memeperkal'a variasi model integrasi sosial yang telah ada sebelumnya.
3. Dalam konteks
penelitian, hasil penelitian
ini
diharapkan dapat
menjadi referensi bagi peneliti lain, khmusnl''a bagi peneliti yat g menjadikan tema integraksi antarkelompok 1'ang berbeda buday4 etnik, adat istiadat serta agama sebagai fokus kajia:rnva.
Di samping tujuan teoritik akademik tersebut.
secara praktis
penelitian ini diharapkan dapat memberi kegunaan pada pemerintah
baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat daerah dan berbagai
pihak terkait setta masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Lampung pada khususnya.
Di anlara kegunan praktis
penelitian ini dapat disebutkan sebagai berikut;
18
l.
Sebagai masukan bagi pemerintah pusat,
khususnya
Departemen Dalam Negeri dan Kementerian Agama dalam membuat kebijakan yang menyangkut hubungan antarkerompok
2'
yang berbeda secara etnik, budaya, adat istiadat serta agama. Sebagai masukan bagi pemerintah Daerah propinsi Lampung, khususnya dinas-dinas terkait sehingga segala kemungkinan
yang terjadi sebagai dampak dari gesekan antar berbagai kelompok etnik yang berbeda latar belakang buday
a
ad,at
istiadat serta agama, dapatdiantisipasi.
3. Hasil pemnelitian ini tidak
hanya dapat menjadi referensi
Pemerintah Daerah Tingkat
Kodya Bandar Lampung, namun
II
juga dapat menjadi rujukan bagi
4'
daerah_daerah lainnya yang
memiliki penduduk dengan latarberakang etnik yang berbeda-beda. Sebagai referensi dan panduan bagi masyarakat propinsi Lampung pada umumnya dan masyarakat Kota Madya Bandar Lampung khususnya dalam berinteraksi dengan kelompok yang berbeda etnik, sehingga tercipta tatanan kehidupan masyarakat Propinsi Lampung yang damai dan tentram serta aman.
1,5. Fokus Bahasan
Integrasi yang dimaksudkan daram penelitian adalah proses ketika kelompok-kelompok sosiar tertentu dalam masyarakat saling menjaga keseimbangan untuk mewujudkan kedekatan-kedekatan
t9
hubungan sosial, ekonomi dan politik. Kelompok sosial yang akan
diteliti adalah masyarakat Bandarlampung yang terdiri
dari
berbagai latar belakang etnik yang berbeda, Karena luasnya
wilayah, obyek penelitian difokuskan pada masyarakat di Kecamatan Tanjungkarang Barat. Penentuan lokasi ini didasarkan
pada perlimbangan bahrva secara etnik komposisi penduduk masyarakat Tanjungkarang Barat dianggap cukup representatif
mewakili karakteristik obyek penelitian,
di
mana telah terjadi
interaksi sosial ,yang cenderung mengarah pada integrasi sosiaal, bahkan batas-batas identitas etnis hampir tidak kelihatan.
1,6. Sistematika Penulisan
Penulisan laporan
ini terdiri dari lima bab, antara bab
satu dengan yang lainnya saling terkait tidak dapat dipisahkan. Kemima bab tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut;
Bab I,
pendahuluan
yang menghantarkan
permasalahan yang akan diteliti, karenanyapadabab
pokok
ini dipaparkan
latar belakang masalah, identifikasi dan rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan/signifikansi penelitian, fokus bahasan dan sistematika penulisan.
Bab II, Kerangka teoritik penelitian dimaksudkan untuk memberikan tentang basic theory tentang interaksi sosial dan hal-
hal yang terkait secara umum. Pada bab ini dimuat secara garis 20
besar yaitu; kajian pustaka, konsep dan teor menyanngkut; pengertian dan prasyarat integrasi, bentuk-bentuk dan tahapan integrasi, integrasi dan konflik, sistem nilai, budaya dan agama,
interaksi sosial dalam masyarakat majemuk, akulturasi, asimilasi
konteks interaksi antarkelompok etnik, teori interaksionisme simbolik dan teori dramaturgis Bab III, rnetodologi penelitian meliputi; subyek dan obyek
penelitiaq lokasi penelitiaq paradigma penelitiarl teknik pengumpulan data teknik analisis dat4 teknik pemeriksaan keabsahan dat4
Bab
N,
pemaparan hasil penelitian dan pembahasan,
meliputi; kondisi geografis Dati
II Kodya
Bandarlanpung,
latarbelakang budal,s etnik Lampturg, Islam dan budaya pada masyarakat etnik Lampung, konsep masl,arakat etnik Lampturg tentang
prinsip nemui nyimah, interaksi antarkelompok etnik pendatang dengan
etnik Lampung, integrasi antarkelompok etnik pendatang dan Lampung, nemui nyimah dan implikasinya terhadap integrasi antarkelompok etnik dalam meningkatkan ukhuwah Islamiah.
Bab V, penutup yang merupakan penarikan konklusi secara logis berdasarkan data yang dipaparkan pada bab-bab sebelumnya.
21
BAB
II
KERANGKA TEORITIS
2.1.Kajian Pustaka
Uraian tentang beberapa kajian hasil penelitian yang pernah
dilakukan para pakar dirasa urgen untuk dilakukan dalam karya penelitian disertasi. Oleh sebab itu pada bagian ini akan dipaparkan beberapa hasil penelitian yang dianggap relevan dengan penelitian
ini. Hal ini dilakukan agar dapat diketahui posisi penelitian untuk n'remperlihatkan titik perbedaan dan persamaannya antar penelitian
ini dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
2.1.1. Penelitian Relasi Antarkelompok Perspektif Sosiologis' Antropologis
Para pakar sosiolog dan antropolog telah
lama
memfokuskan penelitiannya tentang relasi antarkelompok yang berbeda secara etnik, budaya, adat istiadat serta agama. Bahkan
hampir dapat disangka lagi bahwa istilah etnik. suku, budaya dan adat istiadat merupakan produk dari kedua disiplin ilmu dimaksud.
Banyak sekali penelitiaan tentang interaksi antarkelompok etnik yang dilakukan para ilmuwan.
Di antara penelitian tentang interaksi antarkelompok
etnik
dilaktrkan oleh Hartuningsih (1998) yang mengambil judul "Adaptasi
22
Keluarga Migran Nelayan dan Masyarakat setempat Kehidupan Ma.syarakat Desa
;
di
dalam
Kastts kelurahan Manggar Baru
Kotamadya Balilpapan". Penelitian disertasi ini memfokuskan kajian pada konteks adaptasi antaar masyarakat yang berbeda daerah dan latar
belakang, yakni migran nelayan dan masyarakat setempat (non_ nelayan). Meski secara ekplisit Hartuningsih tidak menyebutkan etr:ik
tertenfu, namun karena menjelaskan hubungan antara dua kelompok yang memiliki perbedaan latar belakang daaerah, pekerjaan dan lainnya,
maka penelitian
ini
dapat dikategorika;r sebagi penelitian interaksi
antarkelompok atau antaretnik.
Melalui paradigma subyektif, dalam penelitian kualitatif ini, Hartuningsih menemukan beberapa har penting sebagai hasil p
enelitiannya sebagaimana berikut;
(1). Integrasi sosial dapat terwujud dengan
adanya motivasi
individu yang positif, dukungan pimpinan yang berpotensi, serta adanya sesamaan kepentingan untuk meningkatkan kesej ahteraan bersama;
(2). Adanya kesamaan kebutuhan dasar daram kehidupan masyarakat desa yang didukung oleh perhatian pemerintah, supra
st,kh*
dan
warga masyarakat. Hal ini dapat mempercepat tel'adinya proses
integrasi masyarakat yang pada gilirannya berdampak pada peningkatan kesej ahteraan bersama;
Z5
(3). Proses adaptasi memerlukan keterbukaan dari semua pihak yang dimulai oleh kelompok masyarakat yang mempunyai status sosial, politik, ekononi maupun sumber informasi yang lebih baik. Penelitian yang dilakukan Hartuningsih tersebut berbeda dengan penelitian
ini.
Perbedaannya tampak pada konteks subyek
penelitian. Kelompok etnik dalam kerangka penelitian Hartuningsih
lebih didasarkan pada pekerjaan dan profesi yakni antar kelompok
nelayan imigran dan warga setempat yang bukan nelayan. Sedangkan kelompok etnik yang ingin
dilihat
dalam penelitian sini
adalah etnik berdasarkan asal daerah. Penelitian dilakukan tidak akan melihat pebedaan pekerjaan dan profesi mereka. melainkan secara khusus akan melihat peran budaya lokal falsafah nemui
nyimah sebagai perekat itegrasi antar kelompok etnik pendatang dengan penduduk asli yang berbeda etnik, adat istiadat dan budaya. Penelitian yang dapat diketegorikan sebagai penelitian interaksi
antarkelompok etnik perspektif sosiologi-antropologi sebagaimana penelitian HartLuringsih adalah penelitian yang dilakukan oleh Dirk
Veplun (2004). Veplum lebih tertarik pada fenomena dinamika interaksi penduduk lokal dan migran dalam masyarakat majmuk di
teluk Humboldt Kecamatan Jayapura Selatan Kota Jal,apura Propinsi Papua. Masalah utama dalam penelitiannya adalah kerjasama dan pertentangan. Persahabatan, saling berkunjturg dan adaptasi sosial
24
merupakan indikator adanya kerjasama, sementara
itu indikasi
peftentangan dapat dilihat pada adanya persaingan, praduga sosial, kecemburuan sosial dan pemberian sterotip.
Melaui pendekatan kualitatif dengan tradisi etnografi, Veplun menemukan beberapa hal di antaranya ad.alah; (1) Terjadi batas sosial antara penduduk lokal dan migran seperti
keterbatasan
saling kunjung dan persahabatan
yang
menimbulkan ketidakserasian kerjasama antar kelompok etnik
(2) Perbeiaan tingkat kemampuan dalam aktifitas ;relayan dan pedagang pasar, menjadikan kelompok etnik migran lebih
dominan dalam mengekses sumber d,aya alam
sehingga
menimbulkan persaingan dan perlentangan antar penduduk lokal dan kaum migran. (3) Akumulasi dari fenomena tersebut menimbulkan kesenjangan
sosial yang merupakan faktor penentu dalam mendorong intensitas konflik antarapenduduk lokal dan migran. Apabila diamati dengan seksama, meski peneritian veplun difokuskan pada kajian konflik dan integrasi antara etnik pendatang dan penduduk asli pada masyarakat majmuk di teluk Humboldt Kecamatan Jayapura Selatan Kota Jayapura propinsi papua. Sementara
itu
dalam penelitian
masyarakat di Bandarlampung.
25
ini jelas di
fokuskan pada
Sejalan dengan Haturningsih dan Veplun, Sudjarwo (2005)
melakukan penelitian tentang fenomena interaksi sosial pada masyarakat majemuk yang mengambil obyek di Propinsi Lampung. Dengan menggunakan pendekatan sfuktural fungsional, dalam penelitian ini Sudjanvo mengungkap beberapa temuan berikut;
(l) Upaya kelembagaan
mempunyai pengaruh
Q) Upaya kelembagaan dan karakteristik kelompok
menipr.rnyai
pengaruh terhadap pembentukan persepsi dan sikap.
(3) Upaya kelembagaan dan karakterisiik keicmpok mempunyai pengaruh positif terhadap norrna sosial yang dikembangkan dalam kelompoknya.
(4) Karakteristik kelompok mempunyai pengaruh ),ang positif terhadap pembentukan pola pikir.
(5) Karakteristik kelompok, pola pikir dan norrna secara bersamasama mempengaruhi pembentukan persepsi dan sikap.
(6) Pola
pikir,
persepsi/sikap, dan
norna sosial mempunyai
pengaruh positif terhadaap interaksi sosial.
Penelitian Sudjarwa yang berjudul "Interaksi Sosial pada Masyarakat Majemuk dengan penelitian
:
Studi
di
Propinsi Lampung) berbeda
ini. Perbedaannya dapat dilihat dari beberapa hal
di antaranya adalah'
26
(1) Sudjarwo menggunakan metode kuantitatif. Sementara penelitian ini mengunakan metode kualitatif
(2) Tempat penelitiannya difokuskan pada daerah kecamatan Ketapang yang merupakan daerah pengembangan transmigrasi, sementara lokasi penelitian
ini difokuskan pada masyarakat
Kecamatan Tanjungkarang Barat yang secara geografis terletak
di pinggiran kota, pusat perdagangan propinsi Lampung.
(3) Yang menjadi fokus penelitiannya adalah fenomena tentang
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap interaksi
sosial,
sementara dalam penelitian ini difokuskan pada peran falsafah
hidup nemui nyimah pada masyarakat multikultural
kasus
integrasi antarkelompok etnik pendatang dan Lampung di Bandarlampung.
Penelitian sejenis dilakukan oleh Sya'roni yang meneliti tentang "Interaksi Sosial Antar Kelompok Etnik Kasus Kelurahan Tambak Sari Kecamatan Jambi Selatan Kota Jambi
".
Penelitian
kualitatif dalam tesis ini Sya'roni memfokuskan pada fenomena interaksi sosial antar kelompok etnik. Terdapat beberapa hal yang dapat terungkap dalam penelitian ini, di antaranya adalah
;
(1) Perbedaanlatar belakang budaya, adat istiadat dan agamayang mereka bawa dari daerah asal ternyata mewarnai hubungan interaksi sosial masyarakat
27
(2) Perbedaan latar belakang antara antara anggota kelompok etnik menyebabkan adanya pandangan tertentu antar mereka yang
lazim disebut prasangka sosial. Prasanga sosial berpengaruh terhadap jarak sosial antar kelompok etnik. Jarak sosial ini berpengaruh secara langsung terhadap interaksi sosial.
(3) Jalur interaksi anggota kelompok etnik yang berbeda agama hanya terlaksana dalam bidang jual beli dan gotong royong. Sementara
jalur interaksi anggota kelompok etnik
yang
seagama hampir semua bidang kehidupan terlaksana dengan
baik khususnya yang terkait dengan kehidupan keagamaan. Seperti halnya penelitian lainn1'a, penelitian Sya'roni secara
lebih luas mengamati seluruh etnik yang ada
di
Jambi yang
memiliki latar belakang yang berbeda, karenanl'a terlihat bahasannya. Sementara penelitiaan
ini
luas
secara spesifik hanya
meneliti peran budaya lokal yaitu nemui nyimah sebagai alat perekat integrasi antarkelompok etnik.
2.1.2,
Penelitian relasi antarkelompok etnik perpektif Komunikasi
Untuk memperkaya wawasan kajian pustaka, pada bagian
ini akan dijelaskan
beberapa penelitian terhadap fenomena relasi
antarkelompok etnik dalam perspektif komunikasi.
28
Pertama-tama yang perlu disebutkan adalah penelitian
yang dilakukan Lubis (i998) yang berjudul
"
Integrasi Sosial dan
Komunikasi antar budaya di Kalangan Etnik Batak roba dan Etnik
Cina Hookian di Kotamadya Medan Propinsi Sumatera lJtara". Terdapat empat pokok permasalahan yang diteliti Lubis yaitu; 1).
Komunikasi antar budaya, 2). Perbedaan persepsi, streotip, jarak sosial dan sikap diskriminatif, 3). Pengaruh integrasi sosial dan, 4). Pengaruh variabel lainnya bagi komunikasi antaretnik.
Dalam penelitian
ini Lubis
menccba menggabungkan dua
pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan
bahrva komunikasi intra etnik lebih efektif daripada antaretnik,
perubahan efektivitas komunikasi dapat dilakukan melarui peningkatan integrasi sosial dan faktor yang mendahului integrasi. Penelitian perpektif komunikasi sejenis juga dilakukan oleh
A. Rani (
Disertasi, 2004 dan telah diterbitkan 2OO9). Setelah
diadakan pengeditan Judul asal " Komunikasi Lintas Budaya antara
Etnik Cina dan Etnik Aceh : Suatu Studi terhadap Nilai Budaya, Pola Interaksi, Adaptasi dan Manipulasi Identitas etnik cina daram
Masyarakat Aceh" dirubah menjadi
"
Etnis cina perantauan di
Aceh". Dalam penelitian ini terungkap bahwa; (1) Hubungan antara orang Cina dan orang aceh diawali dengan hubungan sejarah, diplomasi, kontak kerja, dan hubungan
29
bisnis. Keduanya masih mempertahankan nilai-nilai budaya masing-masing.
(2) Adaptasi orang Cina pada budaya
aceh sangat sedikit, apalagr
melalui perkawinan, karena lebih pada perbedaan idiologi.
(3) Manipulasi identitas yang dilakukan
etnik Cina
dengan
pemakaian nama dan bahada daerah. Sejalan dengan penelitian sebelumnya, Rejono (tesis, 2003)
meneliti "Komunikasi Antar Suku Lampung dan Suku Jawa di Kedamaian Bandar Larnpung". Rejono menemukan bahwa
;
persepsi di anatara Suku Lampung dan Suku Jarva mernpengaruhi
proses adaptasi. Keduanya saling menghargai budaya masingmasing. Ada steotip tapi tidak sampai pada menimbulkan konflik. Satu lagi penelitian relasi antaretnik perspektif komunikasi
yang dirasa cukup perlu dicantumkan dalam kajian pustaka adalah
penelitian Khomsahrial Romli (Disertasi, 2008). Dalam penelitian etnograh
ini Khomsahrial menemukan
beberapa hal yang cukup
penting dalam kaitanya dengan dinamika hubungan antaretnik.
Penelitian yang diberi
judul " Dinamika Hubungan
antara
Masyarakat Transmigran Jawa dan Masl'arakat Lampung di
Kabupaten Lampung Selatan Propinsi Lampung Komunikasi Antarbudaya" menyimpulkan;
30
:
Studi
(1) Kehadiran imigran asala Jawa
di lampung
Selatan didorong
oleh motif ekonomi
(2) Terdapat dua kecenderungan pandangan yang berbeda dari masyarakat Lampung mengenai identitasnya dan identitas etnik Jawa yaitu etnik Lampung eksklusif dan etnik lampung inklusif.
Etnik eklusif menilai etniknya sebagai suku yang harus diberi perioritas, dan menilai serta memposisikan etnik Jawa sebagai rival.
Mereka selalu menjaga jarak dengan etnik Jawa. Sebaliknya Lampung inklusif menilai dan menempatkan didnya dan etnik Jawa
memiliki posisi yang sama serta menjadikannya sebagai mitra dalam beraktifitas bahkan sering menjadikag agresifitas etnik Javna sebagai motivasi.
oleh karenanya etnik Lampung inklusif tidak
menjaga jarak dengan etnik Jawa.
(3) Sebagaimana etnik Lanipung, etnik Jawa juga terbagai menjadi
dua kelompok (ekslusif dan inklusif). Etnik Jawa eklusif memandang etniknya sebagai etnik terbesar di Indonesia. Meski
tidak ingin diperlakukan secara khusus, etnik Jawa eklusif menilai etnik Lampung sebagai etnik "pemalas". Sebaliknya etnik jawa inklusif memandang etniknya dan etnik Lampung sama bahkan menganggap etnik Lampung sebagai mitar dan aset dalam berelasi.
(4) Dalam berinteraksi, di samping menampilkan kerjasama juga sering terjadi persaingan. Kerjasama antar kedua etnik tersebut
31
berlangsung dalam semua bidang kehidupan, dan dilatar belakangi oleh adanya kepentingan yang sama dan didorong
oleh motif ekonomi, politik, keluarga dan agama. Persaingan
hanya berupa persaingan "tersembunyi" yang berdimensi psikologis sebagai dampak dari faktor ekonomi dan politik.
(5) Komunikasi yang terjalin berlangsung dalam berbagai bidang kehidupan seperti; agama, ekonomi, pertanian, ploitik, sosial budaya dan pendidikan. Komunikasi berlansung secar sirkuler
(akti| dilatarbelakangi oleh adany a kepentingan bersama. Baik penelitian yang dilakukan Lubis, Rejono, A. Rani dan
Khornsahrial sebagaimana dipaparkan
di
aras semuanya dapat
dikatakan model penelitian komunikasi karena
mereka
rnenggunakan perspektif komunikasi. Oleh karenanr.a penelitian mereka akan memperkuat ilmu komunikasi.
Berbeda dengan penelitaian
di
atas, penelitian
obyek kajiannya sama dengan penelitian
di
ini
meski
atas yakni interaksi
sosial antarkelompok etnik, namun )'ang menjadi
stressing
kajiannya adalah tentang peran budaya lokal I'aitu falsafah hidup
nemui nyimah pada masyarakat multikultural
dengan
rnemfokuskan penelitian pada fenomena integrasi antarkelompok
etnik pendatang dan Lampung yang ob1'ekn.va adalah masyarakat yang ada di Kecamatan Tanjungkarang Barat Bandarlampung.
32
Meski tidak secara menyeluruh, semua perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitiaan
ini
sebagaimana dipaparkan
semakin mempertegas keorisinilan penelitian
ini.
di atas,
Karenanya dapat
dikatakan hasil dari penelitian ini akan dapat memberikan sumbangsih
baru bagi disiplin sosiologi-antropologi, secara spesifik
menjadi
sumbangsih bagi pengembangan ilmu sosiologi agama dan antropologi agama.
2.2.
Konsep dan Teori
Sebaagai landasan perpijak dalam penelitian diperltikan
adanya seb,ah keranka teoritis untuk
itu
sebelumnya perlu
diuraikan tentang baberapa konsep dan teori pokok yang terkait dengan penelitian.
2.2.1.
Pengertian dan Prasyarat lntegrasi
Membaca berbagai literatur sosiologi, terlihat bahwa tidak ada satu kesepakatan definisi tentang pengertian integrasi. Maka
terdapat beberapa pengertian tentang integrasi.
Sebagai
perbandingan berikut adalah definisi yang diperoleh dari beberapa sumber.
David Jary & Julia, Dalam Collins Dictionary of Sociologt menjelaskan, paling tidak konsep integrasi dipakai dalam tiga makna. Pertama, integrasi berarti suatu tingkat di mana seorang
individu merasa memiliki suatu kelompok sosial atau kolektivitas
JJ
dengan menerirna norma, nilai, kepercayaat kelompok sosial itu. Kedua, integrasi berarti suatu tingkat di mana aktivitas atau fungsi
tertentu dari lembaga atau subsistem yang berbeda dalam suatu masyarakat berada dalam keadaan saling melengkapi, tidak saling
kontradiktif. Ketiga, integrasi adalah hadirnya suatu lembaga khusus yang mendorong dan mengkoordinir kegiatan-kegiatan masing-masing subsistem masyarakat.
II
Charles H. Banton, dalam kaitan dengan hubungan antarras,
mendefinisikan integrasi sebagai suatu
pola dalam
suatu
masyarakat tetapi tidak memberikan makna penting pada perbedaan ras tersebut.l2 Sebagai suatu proses sosial
integrasi potensialitas di
mana kelompopk-kelompok sosial tertentu dalam masyarakat
saling menjaga keseimbangan untuk mervujudkan
kedekatan-
kedekatan hubungan sosial, ekonomi dan politik.
Integrasi juga didefinisikan sebagai proses atau potensialitas yang mendorong ke arah dua komponen atau lebih menjadi terpadu sehingga memberikan kebersamaan dan kesatuan antara kelompok-
kelompok yang ada.13 Integrasi sosial dengan demikian juga berarti solidaritas sosial yang sama-sama dibentuk oleh suatu masyarakat llDavid
Jary & Idia. Collins Dictionary of Sociolog' (Galsgow: Harper Collins, 1991), hlm. 315. I2Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi Qakarta: FE UI, 1993), hlm. 141.
"M.Atho' Mudzhar, op.cit.,hkn.
34
129,
atau kelompok. Solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan
antara individu dan atau antara kelompok yang didasarkan pada
keadaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama, yang diperkuat dengan pengalaman emosional mereka. Ikatair ini lebih mendasar daripada hubungan kontrak yang dibuat atas persetujuan rasional. Walaupun terjadi perbedaan antara satu pengertian dengan yang lainnya tetapi integrasi sosial setidak-tidaknya tercakup dalam dua hal sebagai berikut; Pertanta, bahwa i;rtegrasi merupakan suatu
tingkatan hubungan antar kelompok dalam masyarakat. Kedua, dalam hubungan itu hadir suatu kesadaran kolektif yang antara lain
berbentuk rasa memiliki kelompok, saling menjaga keseimbangan dan kebersamaan.
Masyarakat tidak serta merta dapat berintegrasi dengan baik tanpa adanya prasyarat, mengacu pada pendapat David Jary dan Julia
Jary di atas bahwa masyarakat dapat terintegrasi apabila memenuhi syarat-syarat sebagaimana berikut;
1.
Adanya kesepakatan sebagian besar anggotanya terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang bersifat fundamental. lntegrasi semacam ini
lebih sering tercipta dalam masyarakat yang majemuk, yaitu masl,arakat yang ditandai oleh segmentasi berbagai macam
kelompok sosial dengan subkebudayaan sendiri yang unik. Masyarakat seperti ini juga ditandai dengan tingkat deferensiasi
35
fungsional yang tinggi dengan struktur sosial yang terbelah dalam
institusi-institusi yang tidak bersifat konplementer. Kesepakatan terhadap nilai-nilai sosial terlentu yang bersifat fundamental sangat
krusial karena mampu meredam kemungkinan berkembangnya kon{Iik-konflik ideologi akibat dari kebencian atau antipati antaru kelompok. 2.
Adanya kenyataan bahwa sebagian besar anggota masyarakat terhimpun dalam berbagai unit sosial sekaligus (cross cutting
ffiliations). Dengan mekanis;ne ini konflik yang
terjadi
teredam oleh loyalitas ganda. Hal ini memungkinkan elemen-
elemen sosial yang saling bertentangan tetap dipertahankan dalam suatu posisi yang relatif seirnbang. Kelompok-kelompok sosial 1,ang ada menjadi saling mengarvasi aspek-aspek sosial )'ang potensial menciptakan kerusuhan. 3.
Adanya saling keterganhrngan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi. Perbedaan pemilikan dan penguasaan sumber daya
ekonomi memang mengelompokkan masyarakat
kelompok pendapatan
Gayq
ke
dalam
menengah. miskin). Model
pengembangan saling ketergantungan ekonomi dapat mencegah
timbulnya eksploitasi antarkelompok dan spsialisasi yang terjadi bersifat fungsional sehingga ciri-ciri deferensiasi tidak terlalu sukar diseimbangkan.
36
4.
Individu yang menjadi anggota masyarakat mengalami rasa memiliki sebagai suatu kelompok sosial atau kolektivitas berdasarkan antata
lain atas norma-norma, nilai. dan
kepercayaan yang disepakati bersama. 5.
Aktivitas ataupun fungsi dari institusi atau subsistem dalam suatu masyarakat bersifat saling melengkapi dan tidak saling berlawanan antara satu dengan lainnya.
6.
Adanya lembaga tertentu yang menganjurkan untuk saling mengisi/mengimbangi dan mengkoordinir aktivitas dari berbagai subsistem dari masyarakat sendiri.
2.2.2.Bentuk
da n Ta h a p.ta ha
p lnteg
ras
i Sos ial
Durkheim membagi integrasi sosial menjadi dua hal: pertann, integrasi normatif, yang ada dalam perspektif budaya dan menekankan solidaritas mekanik yang terbentuk melalui nilai-nilai
dan kepercayaan. Kedua, integrasi fungsional yang menekankan pada solidaritas organik, suatu solidaritas yang terbentuk melalui
relasi saling tergantung antar bagian atau unsur
dalam
masyarakat.la Sementara
itu cooley, membagi integrasi sosial ke dalam
tiga bentuk. Pertama, integrasi normatif, yang merupakan tradisi laDavid
L Shills, Internationar Encycropedia of sociar scierces (New York: McMillan Company and The Free press, 1972),h1m.3g2.
37
baku masyarakat untuk membentuk kehidupan bersama bagi
diri dalam kebersamaan itu. Kedua, integrasi komunikatif. Komunikasi dalam hal ini hanya dapat
mereka yang mengikatkan
dibangun bagi mereka yang memiliki sifat saling tergantung dan mau diajak bekerja sama untuk mencapai tujuan yang dikehendaki bersama. Ketiga, integrasi fungsional yang hanya akan temujud
bila anggota yang mengikatkan diri menyadari fungsi dan peran mereka dalam kebersamaan.
,
Is
Dalam perpektif sosiologis integrasi sosial
terjadi
melalui
beberapa tahapan yaitu; akomodasi, kerjasama, koordinasi dan asimilasi. Akomodasi didefinisikan sebagai pribadi atau kelompok bekerjasama dengan mengesampingkan perbedaan-perbedaan atau permusuhan-permusuhan
Jadi rvalaupun ada perbedaan dan
permusuhan, hal tersebut dilupakan dalam rangka kerja bersama. Ini
terjadi karena adanya kepentingan yang sama, adanl'a tujuan objektif yang sama. Fase ini ditandai dengan adanya kompromi dan toleransi. Fase berikutnya adalah fase kerjasama.
Ini terjadi bila
kelompok berlangsung cularp lama. Pada fase
pekerjaan
ini mulai
muncul
solidaritas ketika reaksi terhadap suatu kejadian adalah sama bahkan
terjadi pebagian kerja. Bila kebiasaan bekerjasama lambat laun mencapai situasi dimana omng atau kelompok rnengharapkan dan
"Ibid.,hlm.381.
38
mempunyai kesediaan untuk bekerja sama, maka ini berarti tercapai fase koordinasi. Fase terakhir dari integrasi adalah koordinasi dan asimilasi, yaitu proses di mana individu atau kelompok yang tidak sama menjadi sama dan itu terlihat dari kepentingan dan pandangan-
pandangan mereka. Tiap pihak telah menyesuaikan
diri
sehingga
tercipta situasi adanyapengalaman dan tradisi bersama.
Untuk terciptanya integrasi ideal dari orang-orang yang mengelompok secara longgar ke dalam suatu kelompok solidaritas memerlukan waktu berinteraksi yang cukup panjang. oleh karena ihr integrasi lebih mungkin terjadi dalam masl,arakat yang perubahannya terjadi secara lamban ketimbang masl,arakat yang berubah secara cepat.
Dengan lambatrya perubahan sosial seseorang berkesempatan untuk menempati posisi yang sama atau serupa dalam jangka panjang.
Syarat penting lainnya bagi terciptanya integrasi adalah tersedianya sarana komunikasi yang tepat. Orang yang menghadapi persoalan bersama belum tentu akan bersatu untuk memecahkannya
kecuali
jika mereka menyadari situasi
bersama mereka. Dan yang
terpenting adalah bahwa orang tidak akan bersatu kecuali jika ada suatu keuntungan yang dapat diduga sebelum mereka menyatukan
diri.
Uraian di atas mengindikasikan bahwa setidaknya ada
10
elemen yang harus ada dalam situasi sosial yang disebut integrasi.
Kesepuluh elemen itu bisa dilihat sebagai tahap-tahap atau dapat
39
juga dilihat
sebagai unsur-unsur yang saling melengkapi.
Kesepuluh unsur itu adalah:
pengalaman bersama yang baru.
2.2.3. lntegrasi
dan Konflik,
Dalam integrasi antar berbagai kelornpok
masyarakat,
kemajemukan bisa melahirkan integrasi sebagaimana juga bisa
memunculkan konflik. Konflik adalah bentuk kontradiktif dari integrasi, tetapi tidak selamanya hal tersebut harus dipertentangkan.
Dalam kehidupan bermasyarakat bisa saja integrasi hidup bersebelahan dengan konflik, bahkan bisa saja integrasi tercipta setelah melalui
konflik. Oleh karena itu untuk memahami integrasi
seyogyanya diketahuijuga hal-hal yang berkaitan dengan konflik.
40
Konflik adalah pefientangan antara dua kelompok
sosial
atau lebih, atau potensialitas yang menyebabkan peftentangan. Pengertian ini mencakup kasus konflik dan potensialitas konflik.l6
Konflik muncul karena adanya perjuangan antar individu
atau
kelompok dalam masyarakat atau bahkan antar negara. Seringkali
karena persaingan dalam penguasaan akses atau pengontrolan
terhadap sumber daya maupun kesempatan-kesempatan yang terbatas.lT Dalam model Weberian, berbagai macam konflik
bermula ketika , setiap kelompok budaya berjuang mencari keuntungan.ls Perebutan kepentingan akan tetap sebagai sesuatu yang laten bila tidak ada kelompok yang berjuang secara aktif. Hal
ini
terjadi
secara
jika
anggota-anggota kelompok tersebut berkumpul
fisik, memiliki sumber daya material untuk saling
berhubungan, dan menyepakati suatu budaya yang sama.
Dari aspek strata sosial, kelas-kelas sosial tinggi pada umumnya lebih mobil dibandingkan kelas sosial rendah, dan umumnya perebutan kekuasan terjadi karena adanya faksi-faksi pada kelas sosial tinggi tersebut. Kelas rendah cenderung terpecah-
pecah dalam kelompok-kelompok lokal dan akan lebih mudah
16 t1 18
Cit.,hlm. 129. cir., hlm. 111. clopedia of Sociolog,,, hlm. 288.
4T
digerakkan kalau mereka secara etnis maupuri keagamaan homogen dan terkonsentrasi dalam suatu tempat.
Konflik terbuka biasanya meningkatkan solidaritas kelompok pada kedua pihak yang bertikai. Coser, menulis bahwa konflik mengarah kepada permusuhan kekuasaan dalam masing-masing
kelompok dalam memotivasi kelompok-kelompok unttk mencari sekutu. Dengan demikian konllik cenderung memecah nasyarakat, atau bahkan negara, kedalam dua kutub. Proses pemecahan itu bisa dibatasi
ketika terdapat keanggotaan lintas antar kelompok. Dengan demikian
cross-ctttting conJlict cenderung rnembuat masing-masing menjadi netral.19
2.2.4. Sistem Nilai
Budaya dan Agama
Kebudal'aan difahami sebagai suatu hasil karyq rasa dan cipta manusia dalam masyarakat. Karenanya kebudalaan merupakan aspek
keatifitas manusia baik secara individu maupun kelompok dalam menjalankan kehidupan masyarakat. Dari pengertian ini dapat dipahami
bahwa paling tidak terdapat tiga unsur pokok )'ang ada dalam suatu kebudayaan; Pertam4 wujud kebudayaan sebagai suatu komplek ideide, gagasan- gagasan, nilai-nilai, norna-norma dan peraturan-peraturan.
Kedu4 wujud kebudal,aan sebagai komplekitas aktivitas serta tindakan
t'rbid.,hlm. z2B.
42
berpola dari manusia dalam masl,arakat. Ketig4 wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Unsur yang pertama sering
disebut sebagai "system budaya" yang di dalamnya tercakup system
nilai. Unsur yang kedua disebut sebagai sistem sosial yang terdiri dari
aktivitas-aktivitas manusia dalam berinteraksi Sedangkan unsur ketiga merupakan kebudayaan
di
masyarakat.
fisik yang merupakan
produk dari aktivitas manusia dan perbuatan sefta karya manusia dalam masyarakat. Dengan demikiaan kebudayaan suatu masyarakat meliputi aspek; idiologrs; sosiologis dan iptek.
Dari gambaran di atas dapat dipahami bahwa sistem nilai budaya merupakan subsistem dari sistem budaya yang menjadi pedoman manusia berprilaku dalam masyarakat. Sebagai pedoman
hidup
Q+'ay
of life) teninggi
masyarakat, sistem
nilai memiliki
fungsi menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah
laku manusia dalam bermasyarakat. Dengan kata lain
dapat
dikatakan bahwa prilaku manusia dalam masyarakat dikendalikan
oleh sistem nilai yang telah melembaga dalam masyarakat baik dalam bentuk norna-norna social, hukum maupun adat istiadat.
Dalam perspektif teori struktural fungsionalis, Budaya dianggap memiliki peran penting dalam mendorong manusia dan masyarakatnya untuk berprilaku sosial dalam masyarakat. Dalam konteks penelitian ini budaya lokal, Nemui Nyimah dapat berperan
43
sebagai alat perekat integrasi antarkelompok etnik
di
Bandar
Lampung. Kedatangan kaum migran Jawa baik secara individual maupun
kelompok, melalui progam kolonisasi dan transmigrasi di Propinsi Lampung, khususnya di Daerah Tingkat
II Kodya Bandar Lampung,
tentu saja membuat daerah ini di samping dipadati penduduk asli (etnik Lampung) juga dihuni kaum migran yang datang dari berbagai daerah. Bertemunya beberapa etnik yang memiliki latar belakang
sosiai yang berbeda demikian bukannya tanpa masalah. Karena masing-masing etnik rnemiliki tradisi, adat istiadat budaya dan agama
yang berbeda, dan masing-masing etnik memiliki kecenderungan unhrk mempertahankan identitas etniknya, maka tidak jarang di sana sini masih terjadi benturan antarbudaya yang berbeda.
Meski masih terdapat
kecenderungan persaingan,
kontestasi, kompetisi dan konflik namun pada kenyataannya
hubungan antarkelompok etnik lebih menampakkan
suasana
harmonis, sejuk dan saling bekerjasama. Dalam konteks penelitian
ini
falsafah hidup "Nemui Nyimah" diduga memiliki peran penting
sebagai alat perekat sosial dalam mewujudkan integrasi antar
kelompoketnik. Oleh karenanya fokus utama penelitian ini diarahkan pada fenomena integrasi antar kelompok etnik di DATI
II
Kodya Bandar Lampung. Pada akhirnya dalam penelitian ini
diharapkan dapat menemukan sebuah model integrasi 44
antarkelompok berbeda
etnik pada masyarakat multikultural
berbasis budaya lokal.
2.2,5. lnteraksi
Sosial dalam Masyarakat Majemuk
Secara horizontal, struktur masyarakat lndonesia oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaanperbedaan suku bangs4 agartTas adat istiadat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara verlikal stnrktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perebedaan-perbedaan vertikal, antara lapisan atas dan lapisan
bawah ayang cukr-rp tajam. Perbedaan-perbedaan agama, adat istiadat dan kedaerahan sering
kali disebut sebagai masyarakat majernuk, plural
societies. Fumivall mengkategorikan masyarakat tndonesia sebagai masyarakat majmuk dengan alasan bahwa masyarakatnya terdiri dari beberapa elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa adanya pembauran atau satu sama lain di dalam satu kesatuan politik.20
Berbicara tentang masyarakat majemuk, menurut Garna, paling tidak terkait dengan dua konsep, yaitu;
....1). keragaman etnik adalah suatu keadaan yang mampu memperlihatkan wujud pembagian kekuasaan di antara kelompok masyarakat yang tergabung atau disatukan, rasa menyatu melaui dasar kesetiaan, pemilihan nilai bersama dan pembagian kekuasaan, 2) masyarakat
2oFumivall,
Netherlands
India : A Snrdi of plural
(Cambridges : Universty Press, 1967). Hlm.446-469.
45
Economy,
majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok ras dan etnik yang berbeda di balvah satu sistem pemerintahan dan paksaan.2l
Sementara itu dalam mengkaji masyarakat majemuk Usman
Pelly, mengusulkan dua konsep yang penting untuk diperhatikan;
l.
Konsep wadah pembauran (melting por). Pada dasarnya konsep
ini mempunyai
asumsi bahwa suatu lvaktu integrasi itu akan
terjadi dengan sendiri.
2. Konsep pluralisme kebudayaan. Konsep ini mempunyai
dasar
pemikiran bahwa kelornpok-kelompok suku bangsa yang
berbeda satu sama
lain
seyog)'an,ya didorong untuk
mengembangkan sistem budayanya sendiri dalam kebersamaan,
agar dengan demikian dapat memperkaya
kehidupan
masyarakat majemuk mereka.
Dua konsep
di
atas menggambarkan bahu'a
di
dalam
masyarakat majemuk meniscayakan adanya rvadah pembauran dari
berbagai etnik yang memiliki latar belakang adat istiadat yanag berbeda. Masing-masing etnik didorong untuk mengembangkan sistem budayanya sendiri. S
elanj utnya
Pehun
dal am
penelitiannl'a menyebut beberapa
ciri yang mendasari masyarakat majemuk,22 Beliau menyebutkan; 2lJudistira :
K. Garna, Ilmu-ilmu Sosial : Dasar-Konsep-Posisi, (Bandung
Primaco Akademika, 1996), hlm. 145 22veplun,
Op.Cit.,hlm.
73
46
2) Beraneka ragam kebudayaan 3) Mudah terjadi pertentangan 4) Diperlukan saling paksaan dan saling
ketergantungan dalam
ekonomi sebagai syarat integrasi sosial
5) 6)
Terjadi dominasi politik oleh golongan tertentu
Relasi antarkelompok lebih merupakan secundary segmental, sementar redasi dalam kelompoknya lebih merupakan primary. Senada dengan pelvun, Pierre L.\randen Berghe,23 secara
lebih tegas menyebutkan beberapa karakteristik suatu masyarakat majemuk, yakni;
1.
Terjadinya segmentasi xe dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering memiliki sub-kebuda),aan yang berbeda satu sama lain,
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembagalembaga yang bersifat non-komplementer,
3. Kurang mengembangkan konsensus di
antara para anggota
terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar,
4.
Secara
relatif sering kali mengalami konflik-konflik di antara
kelompok yang satu dengan kelompok yang lain,
"Pierre L.Vanden Berghe, Pluralisme and The Polity, Califonia Press,l969), hlm. 67-68
47
(
Berkeley
:
5.
Secara
relatifintegrasi sosial turnbuh di atas paksaan dan saling
ketergantungan di dalam bidang ekonomi,
6. Adanya dominasi politik
oleh suatu kelompok atas kelompok-
kelompok lain.
Dari
gambaran karakteristik masyarakat majemuk
sebagaimana terurai
di atas dapat dipahami bahwa
pada
konflik dan integrasi, masing-masing memiliki peluang yang sama. Artinya baik konflik maupun integrasi kenyataannya
dimungkinkan dapat
te{adi pada
masyarakat majemuk,
multikultural, karena keduanya memiliki peluang yang
sama
tergantung masyarakatnl,a dalam mensikapi keberagaman. Suatu masyarakat majemuk dapat terintegrasi karena ada paksaan dari
satu kelompok pada kelompok lain atau karena adanya saling ketergantungan
di
antara berbagai kelompok atau kesatuan sosial,
terutama bidang ekonomi.2a
Format demikian manakala dilihat dari konsep Talcott Parsons, maka faktor yang mengintegrasikan masyarakat majemuk,
tentulah berupa kesepakatan para warga masvarakat akan nilai-nilai
umum tertentu. Dengan kata lain bahwa kelangsungan hidup masyarakat majemuk tidak saja menuntut tumbuhnya nilai-nilai umum tefientu 1'ang disepakati bersama, akan tetapi juga nilai-nilai 2a
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: RajaGrafitindo Persada,
1993), hhn.62
48
umum tersebut harus pula mereka hayati benar melalui
proses
sosialisasi. Nilai-nilai umum inilah diharapkan yang akan dapat menekan tumbuhkembangnya stereotip antar kelompok sosial.
Mengacu dari beberapa konsep dan teori
di
atas dapat
difahami bahwa bangsa Indonesia dapat dikategorikan sebagai bangsa majemuk. Masyarakatnya terdiri dari berbagai kelompok
etnik, agamq adat istiadat serta budaya. Hidup pada masyarakat multikultural demikian tentu saja dibutuhkan sebuah pengertian dan kearifan yang tinggi dari setiap anggota masyarakat Tanpa kearifan
dan kerelaan untuk menerima perbedaan sangat dimungkinkan memunculkan disharmoni dalam interaksi pada berbagai kehidupan masyarakat, yang bisa saja menimbulkan konflik yang tidak hanya berskala lokal.
Dalam perespektif sosiologis fenomena keragaman etnik pada kenyataannya juga membuat pola dan corak hubungan di antar
masyarakat Indonesia yang multikultural terlihat begitu beragam.
Keberagaman corak hubungan antar kelompok
etnik
dalam
masyarakat majemuk menurut Royle25 ditentukan oleh tiga faktor;
1. 2. 3.
Kekuasaan Qtower) Persepsi Qterceptions)
Tujuan Qturpuse)
"Dala*
Usman Pelly, Hubungan Antara Kelompok Etnis, (Jakfia
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989), hlm. 25
49
:
Kekuasaan sebagai salah satu faktor penentu corak hibungan antaretnik terkait dengan adanya dominasi kelompok. Dominasi bisa saja ditentukan demografi, politik dan budaya lokal. Sebagaimana kekuasaan, persepsi ternyata juga merupakan faktor
yang sangat menentukan bentuk hubungan antaretnik, baik jangka
pendek maupun jangka panjang. Persepsi seseorang kelompoketnik sering
atau
kali bias, karena selalu menggunakan
kerangka pikir sukunya sendiri.
Di samping itu, pembiasan sering
juga Cisebabkan oleh adanya sterotip parla di;l seseorang
atau
kelompok. Faktor selanjutnya yang tak kalah pentingnya dalam membentuk pola hubungan antar etnik adalah faktor tujuan dan kepentingan. Artinl,a adanya kepentingan yang sama di antara etnik
yang ada akan membuat hubungan mereka bisa harmoni dan akur.
Sebaliknya
jikan
masing-masing etnik memiliki kepentingan
berbeda bahkan bertolak belakang sangat dimungkinkan akan memunculkan kofl ik antaretnik. Dalam perspektif sosiologis, paling tidak terdapat tiga pola
hubungan antarkelompok
etnik yaitu; (1)
kerjasama; (2)
persaingan dan; (3) konJlik, Ketiga bentuk interksi sosial demikian
50
menurut Anto Achdiat dalam Suparran26 dilandasi oleh beberapa faktor berikut;
1.
2' 3.
Perebutan sumber dayayangterbatas Peranan seseorang atau kelompok tertentu dalam masyarakat
Model-model pengetahuan kebudayaan masing_masing warga masyarakat dan kelompok etnik yang digunakan untuk memahami dan melakukan tindakan.
Ketiga pola interaksi sosial, kerjasama, persaingan dan konflik sebagaimana digambarkan itu, dalam perwujudan ya d.apat terjadi dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang ekonomi, politik sosial budaya, pendidikan dan bidang lainnya.
Di samping pola hubungan
sebagaimana diungkap
di atas, hubungan antarkelompok etnik dalam masyarakat majemuk meniiliki karakter yang beragam. Setiap individu
mempunyai cara
dan gaya interaksi berbeda. Daram konteks interaksi
antar
kelompok etnik yang berbeda pada suatu wilayah tertentu biasanya berlangsung proses adaptasi, asimilasi dan bahkan konflik. Adaptasi merupakan proses penyesuaian di seseorang dengan lingkungan sebagai konsekuensi dari pengorganisasian penduduk. Dalam rangka mempertahankan eksistensi diri, individu yang hidup
^
'usup wlan, pora Interar<si Antaretnik
di
pontianaN pekan Baru dan
Sumenep, (Jakarta: Departemen pendidikan dan Kebudayaa4 l9g4), htm. l g
51
dalam masyarakat multikultural dituntut untuk memiliki kemampuan beradaptasi.
Konflik sosisal yang berlangsung pada
masyarakat
multikultural tidak hanya dilatarbelakangi oleh faktor internal seperti halnya watak dan kepribadian serta kepentingan subyektif
dari setiap individu tetapi juga tidak jarang dipicu oleh faktorfaktor eksternal, seperti halnya yang menyangkut kebijakan. Dalam
konteks
ini,
kebijakan yang tidak mengakomodir kepentingan
masyarakat lokal akan memicu munculnya prasangka negatif dali kelompok yang tidak mampu berperan.
2.2.6.
Akulturasi dan Asimilasi Konteks lnteraksi Antarkelompok Etnik
Berbicara masalah interaksi antarkelompok yang bebeda
latar belakang etnik, budaya dan agama meniscal,akan untuk menjelaskan konsep akulturasi dan asimilasi. Keduanya merupakan
dua konsep pokok yang selalu ada tatkala
di
saat seseorang
membicarakan interaksi antarkelompok 1,ang berbeda budaya. Para
pakar bersilang pendapat dalam memaknai
dan
mengimplementasikan kedua konsep itu.
Sub-komite tentang akulturasi )'ang ditunjuk Dewan Penelitian Ilmu Sosial mendefinisikan akulturasi sebagai fenomena yang timbul
ketika
kelompok-kelompok individu yang berbeda
52
budaya berhubungan langsung dan seimbang, perubahan mana terjadi pada budaya asli salah satu atau kedua kelompok. Definisi
ini masih umum, dalam arti bahwa sub-komite tidak merinci derajat perubahan kelompok-kelompok tersebut
baik secara
personal,
sosial maupun struktural. Meski demikian Mulyana menganggap bahwa definisi akulturasi
itu merupakan definisi otoritatif
yang
telah menjadi inspirasi bagi ilmuwan lainnya untuk memberikan
definisi
akulturasi2T serupa, yaitu bahawa akulturasi adalah suatu
bentuk perubahan budaya yang diakatbatkan oleh kontak kelompok-kelompok budaya, yang menekankan pola-pola dan budaya baru dsan ciri-ciri masyarakat pribumi oleh kelompokkelompok minoritas.
Akulturasi juga merupakan inkulturasi, proses belajar dan penginternalisasian budaya dan nilai yang dianut oleh warga asli.
Karenanya akulturasi merupakan suatu proses yang dilakukan imigran untuk menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya
pribumi, yang akhirnya mengarah kepada asimilasi.2s
Sebagai
lanjutan dari proses akulturasi, asimilasi dimaknai sebagai proses
27Rakmat,
Op. Cit., hlm. "Ibid,,hlm. r39
159
53
perubahan pola kebudayaan untuk menyesuaikan
diri
dengan
mayoritas.29
Park dan Bugrgess, sebagaimana disebutkan Mulyana mendefinisikan asimilasi sebagai suatu proses interpretasi dan fusi.
Melalui proses ini, kata Park, orang-orang dan kelompok-kelompok memperoleh memori-memori, sentimen-sentimen dan sikap-sikap orang-orang atau kelompok-kelompok lainnya, dengan berbagai pengalaman dan sejarah, tergabung dengabn mereka dalam suatu kehidupan budaya yu.rg ,a-a.30
Definisi dan pemaknaan asimilasi demikian menggambarkan adanya interaksi antara dua kelompok, 1'aitu satu
kelompok sebagai komunitas pribumi, yang biasanya cukup dominan dan mayoritas dengan satu kelompok dan satu kelompok
imigran yang biasanya merupakan kelompok minoritas
dan
subordinat. Dalam kondisi seperti ini biasanl'a kelompok minoritas secara bertahap akan kehilangan identitas
dirinl'a. Menurut analisis
Jiobu sebagaimana dikutip Khomsahrial, 3r. Bahwa reduksi identitas
di
saat asimilasi berlangsung dapat memunculkan dua
2eSoekanto
dan Soeleman, Huktmt Adat Indonesia (Jakarta: CV.
Rajawali : 1983), hlm. 38 'olbid.,hlm. r60
3rKhonsyahrial Romli, Dinarnika Hubungan Antara Masyarakat Transmigran jm,a dan Masyarakat Latnpttng di Kabupaten Lampung Selatan Propinsi Lantpung : Slttdi Komtmikasi Antarbudrr-a, Bandung : 2008), Disertasi belum diterbitkan, hlm, 47
54
kemungkinan. Pertanta, kelompok minoritas kehilangan keunikannya dan menyerupai kelompok mayoritas, sementara kelonrpok mayoritas tidak berubah. Kedua, kelompok minoritas
dan kelompok mayoritas bercampur secara homogen. Masingmasing kelompok kehilangan keunikannya,
lalu muncul
produk unik lainnya, suatu proses yang sering disebut
suatu
sebagai
belanga percampuran, melting pot.
2.2.7. Teori lntcrasksi Simbolik Teori interaksi simbolik pada hakekatnya mewarisi tradisi
intelektual sbelumnya, dilatarbelakangi
jika
ditelusuri asal usul dari teori ini
dan dipayungi oleh oleh tradisi
pemikiran
positivisme Weber yang terkait dengan teori tindakan sosial. Weber membedakan dari tingkah laku umumnya, sebuah gerakan belum
dapat disebut sebuah tindakan kalau gerakan
itu tidak memiliki
makna subyektif untuk orang bersangkutan. Apa
yang
dimaksudkan Weber dengan tindakan sosial adalah semua prilaku
manusia ketika dan sejauh individu memberikan suatu makna subyektif terhadap prilaku tersebut. Prilaku manusia sarat akan makna dan selalu melibatkan penafsiran dan pemikiran individu.
55
di antara
Teori interaksi simbolik dibangun berdasarkan pada tiga premis penting32; Pertama, individu merespons situasi simbolik,
individu bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning). Artinya ketika individu menghadapi suatu situasi, respon mereka tidak ditentukan oleh faktor ektemal, melainkan
tergantung pada bagaimana mereka menafsirkan situasi yang mereka hadapi dalam interaksi soaial. Jadi individulah yang dipandang aktif untuk menentukan lingkungan mereka sendiri. Keriua, makna adalah produk interaksi sosial. karena itu makna
tidak terikat pada obyek, melainkan dinegosiasikan memlalui pengglrnaan bahasa
atau simbol. Ketiga, makna
yang
diienterpretasiakan individu dapat berubah dari u-aktu ke waktu sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat
melakukan proses mental, dalam artian individu berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Intinya bahrva makna ),ang muncul dari
interaksi tidak begitu saja diterima seseorang kecuali setelah
individu menafsirkannya terlebih dahulu. Dalam proses ini,
32Mulyana,
Met o do
Io
gi
P e ne I i t i a
2002),hlm.7l-72
56
n Ku
a I
it at
if,
(B andung: Re maja
Kary a,
individu melakukan antisipasi reaksi orang lain, mencari altematif ucapan atau tindakan yang akan dilakukan.33
Sebagai suatu teori, interaksi simbolik melihat realitas
sosial yang diciptakan manusia melalui pertukaran simbol. Di tangan George Herbert Mead, teori interaksionisme simbolik berupaya mengkonstruksi pengertian tentang diri sendiri, tindakan
dan obyek. Gagasan Mead demikian lalu dikembangkan oleh Blumer dalam lima konsep dasar yaitu;
1.
Konsep
diri, menurut konsep ini manusia bukan
semata-mata
yang bergerak dibawah pengaruh stimulus baik dari luar malrpun dari dalam, melainkan organisme yang sadar akan dirinya (an organisru having a selfl. Dalam berinteraksi dengan
diri
sendiri, manusia memandang dirinya sebagai obyek
pikirannya, bergaul atau berinteraksi dengan dirinya sendiri. Dalm membentuk tindakan, manusia melakukan dialog internal
dalam men),usun konsep dan strategi untuk berhubungan dengan dunia di luar dirinya. Dengan demikian, manusia bukanlah makhluk yang beraksi atas pengaruh lingkungan luar, tetapi bertindak sesuai hasil interpretasi dari dalam dirinya. Dan hasil dari interaksi internal ini akan bermuara pada tindakan.
33Riyadi
Soeprapto, Interaksionisme simbolik, (yogjakarta
Pelajar, 2002), hlm. I
l0
57
:
pustaka
2.
Kohsep Tindakan, menurut konsep
ini
tindakan dibentuk
melalui proses interaksi manusia dengan dirinya
sendiri.
Tindakan manusia tidak semata-mata sebagai reaksi biologis
melainkan hasil konstruksi manusia sendiri. Karenanya manusia dipandang sebagai konstruktor prilakunya sendiri.
Sebelum bertindak manusia harus menentukan tujuan menggambaarkan arah tingkah lakunya, memperkirakan situasinya, mencatat dan menginterpretasikan tindakan orang lain, mengecek dirinya dan lain sebagainya. Dengan demikian dalam konsep
ini manusia dipandang sebagai organisme aktif
yang memiliki hak-hak terhadap ob1,ek 1'ang ia modifikasikan.
Tindakan dipandang sebagai tingkah laku yang dibentuk oleh pelaku, sebagai ganti respon yang didapat dari dirinya. J.
Konsep Obyel<, manusia dalam perspektif konsep ini, dipandang hidup di tengah-tengah obyek. Ob1,ek bisa saja bersifat fisik atau sesuatu yang abstrak.
Inti dari obyek tidak ditenflrkan oleh ciri-ciri
instrinsiknya, melainkan oleh minat orang dan atri yang dikenakan
pada obyek-obyek itu. Obyek merupakan sesuatu yang bisa ditunjuk atau dirujuk baik yang bersifat nyata maupung yang
abstrak. lnteraksionisme simbolik memandang
kehidupan
kelompok manusia adalah sebuah proses di mana obyek-obyek diciptakan, dilorlarhkan, ditrarsformasikan dan bukan dibuang.
58
Kehidupan dan prilaku manusia secara pasti berubah sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam dunia obyek mereka.
4. Konsep interaksi sosial. peserta memindahkan
Interaksi dipahami bahwa
diri mereka
setiap
secara mental kepada posisi
orang lain. Manusia mencoba memahami maksud aksi yang dilakukan orang lain, sehingga interaksi dimungkinkan terjadi. Interaksi tidak berlangsung secara terbatas pada gerak gerik,
tetapi juga melalui simbol-simbol yang perlu dipahami dan
dimengerti maknanya. Dalam interaksi simbolik, orang menagrlikan dan menafsirkan gerak-gerik orang lain dan bertindak sesuai makna itu.
5.
Konsep al<si Kolektif, Menurut konsep ini, aksi
kolektif lahir
dari
perbuatan masing-masing peserta yang kemudian dicocokkan dan disesuaikan satu sama lain. Inti dari aksi kolektif adalah penyerasian
dan peleburan arti, tujuan, pikiran dan sikap. Karena.r-4 interaksi sosial memerlukan banyak waktu untuk mencapai keserasian dan peleburan.3a
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa teori interaksi simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif
dan kreatif dalam proses pertukaran simbolnya. Dalam bahasa Blumer, aktor tidak semata-mata beraksinterhadapn tindakan yang 'olbid.,hrn. l6l-164
59
lain, tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respon aktor secara langsung maupun tidak, selalu didasarka atas peneilaian makna tersebut, karena itu, interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran atau dengan menemukan makna tindakan orang lain.
2.2.8.
Teori Dramaturgis
Teori Dramaturgis yang diperkenalkan oleh Erving Goffinan merupakan salah satu turunan dari teori interaksi simbolik. Sebagai teori ),ang terinspirasi dari teori interaksi simbolik, maka teori dramatologis mencoba mengelaborasi lebih
lanjut asumsi-asumsi yang dibangun teori interaksi simbolik. Goffman berusaha melihat interaksi simbolik dari segi mikro dalam ruang lingkup hubungan anrtarpribadi, setelah sebeiumnl'a teori ini
lebih didominasi oleh
pandsangan-pandangan
mako
tentang
interaksi manusia.
Inti dari teori
dramaturgis adalah bahwa ketika manusia
berinteraksi dengan sesamany4
ia ingin
mengelola kesan yang ia
harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnva. Untuk itu setiap orang
melakukan perlunjukan bagi orang lain. Sehingga arena kehidupan layaknl'a sebuah panggun g sandiu'ara.
3
s D.r,-ean rnengikuti analogin
teatrikal, Gofftnan berbicara mengenai panggung depan dan panggung "Mulyana dan Rahmat, Kontunikasi Antar.... Op. Cir, hkn.
60
107
belakang. Panggung depan merujuk kepada peristiwa sosial yang memungkinkan individu bergaya atau menampilkan peran formalnya.
Mereka seperti sedang memainkan satu peran sandiwara
di atas penonton.
di
atas panggung
Panggung belakang dibaratkan sebagai
kamar rias tempat aktor bersantai dan menyiapkan
diri
sebelum
berperan di panggung depan yang biasanya lebih alami.36
Pembagian panggung dalam teori dramatologgis lebih cair
dan relatif subyektif, dalam arti bah,wa penetuan panggung akan sangat tergantung pada setiap orang atau aktor yang bersangliutan.
Bahkan , pada w'ilayah fisik yang sama dapat dimaknai sebagi dua panggung yang berbeda oleh dua orang. Atau dengan kata lain.
rvilayah 1,ang menjadi panggung belakang seseorang bida saja menjadi panggung depan bagi individu yang lainnya. Dengan demikian teori dramatologis mengisyaratkan bahwa
seseorang
dianggap sebagai manusia yang dinamik dan selalu berubah.
Individu merupakan makhluk yang kreatif, sehingga mereka mengkonstruksi dirinya sedemikian
rupa untuk
memenuhi
kepentingan-kepentingan subyektif mereka.
Esensi dari teori darmaturgis dari goffinan
ini
selanjutnya
dielaborasi lebih lanjut oleh Barth adalam memaknai identitas etnik. I\tlenurut teori identitas, dalam masyarkat ualaupun saling berbeda
3ulbid.,
hlrn. I l4
6l
budaya dan etnik akan tetapi penyatllan dan pemisahan berdasarkan proses yang terus berlangsung dalam masyarakat. Identitas etnik, bukan
semata-mata ditentukan
oleh wilayah yang didudukinya,
terdapat
berbagai cara yang dipergunakan unhk mempertahankan kelompok etnik, bukan cara sekali mendapatkan untr.rk seterusnya, tetapi dengan pengungkapan dan pengukuhan yang terus menerus.
62
BAB
III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Subyek dan Obyek Penelitian
Sebagai penelitian kualitatif, maka informasi didapatkan tidak hanya diperoleh dari manusia tetapi juga peristiwa dan situasi
yang diobservasi. Sasaran penelitian
ini
dibedakan atas subyek
penelitian dan obyek penelitian. Subyek penelitian ini adalah para individu yang berasal dari dua
etnik, Jaua sebagai masyarakat pendatang dan etnik Lampung sebagai penduduk asli, yang keduanya berada di Kabupaten Pesawaran Propirsi
Lampung. Subyek penelitian dipilih berdasarkan purposif sampling sebagaimana )'ang disarankan Bogdan
& T1'lor yakni mereka yang mau
menerima kehadiran peneliti. rnemiliki kemampuan dan kemauan
dalam mengutarakan masa sekarang dan masa lalu, menarik dan
memiliki pengalaman khusus.37 Dalam rangka untuk
mengetahui
kualitas daya rekat agama dalam integrasi antar etnik,
di
samping
masyarakat yang berbeda etnik satu agam4 subyek penelitian ini akan
dikembangkan pada masyarakat berbeda etnik dan aganr1 serta masyarakat yang berbeda agama satu etrik.
"Robert Bogdan & Steven J. Tylor, lntroduction to Qualitative Reseqch Methodes, A Phenomenomenological Approach to the Social Sciennce, ( Canada; John Willy & Sons Inc, 1975) hlm. 163
63
Adapun yang menjadi obyek penelitian ini adalah simbol verbal dan non verbaln yanglazim digunakan masing-masing etnik
dalam berinteraksi. Simbol verbal yang diamati berupa bahasa verbal melalui ujaran, kalimat dan dialek, termasuk jawaban lisan
atas pertanyaan yang diajukan peneliti. Sementara simbol nonverbal yang ditelusuri berupa simbol-simbol budaya baik yang
terkait dengan tampilan tubuh, busana, setting wilayah, dan sepak
terjangnya dalam berinteraksi dengan kelompok etnik yang berbeda. Simbol dan larnbang tersebut akan ditelusuri maknanya menurut pandangan subyektif para kelompok etnik itu sendiri.
3.2, Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah Dati
II Kotamadya Bandarlampung yang difokuskan pada masyarakat Kecamatan Tanjungkarang Barat. Pengambilan lokasi tersebut menurut
peneliti dinilai tepat karena beberapa alasan penduduknya relatif nerimbang (antara etnik pendatang dan etnik Lampung).
3.3. Paradigma Penelitian Sebagaimana lazimny,a sebuah penelitian kualitatif yang menggunakan metode deskriptif, dalam penelitian ini peneliti bertindak
sebagai instrumen utama dimana peneliti melibatkan
64
diri
secara
langsung dalam setting sosial yang diteliti. Dengan kata lain peneliti sendiri yarlg merupakan key instrument.3s
Penelitian
ini menggunakan tradisi penelitian studi kasus,
yang merupakan salah satu jenis penelitian yang menggunakan metode deskriptif.3e Di samping itu penelitian ini juga dapat disebut
penelitian etnografi, karena dalam penelitian
ini
akan mengamati
sejumlah kegiatan dan hasil kerja untuk mengunkap suatu kebudayaan.ao Dalum konteks penelitian aCalah
,
ini, yang akan
diamati
tradisi dan adat istiadat serta buda)'a yang diasumsikan
dapat mendorong masyarakat etnik dalam berprilaku, khususnya dalam berinteraksi dengan etnik yang berbeda.
Sudut pandang yang digunakan dalam penelitian
ini adalah
paradigma fakla sosial dengan pisau analisis teori strukhral fungsional dan teori konJlih dan paradigma definisi sosial dengan pisau analisis teori aksi, ineteraksionalisme simbolik dan fenomenologi.al
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan informasi yang dapat dipertanggung ja',vabkan, dalam penelitian ini, teknik yang dipergunakan adalah; 38
Bogdan dan Taylor, Op, Cit.hlm.4 reMuhamad Nazir, M e t o ie P e n el it i a n, (Jakarta: Chalia lndones ia,
hlm.65
I983
),
'ocama, Metode P enelitian; P endekatan Kualitati/, (Bandung: Primaco Akademika, 1999), hlm.56 n'George Ritzer, Op. Cit,. hlm. 2l-43
65
pengamatan berperanserta, wawancara mendalam
dan
studi
dokumentasi,
3.4.1. Pengamatan Berperanseda
Untuk mengumpulkan data tentang fenomena integrasi antarkelompok etnik pendatang dan enrik asli Lampung, dalam
ini mengarnbil strategi dan teknik pengamatan berperan. Teknik ini akan dilakukan secara emik dalam artian ikut terlibat penelitian
bersama subyek penelitian, dengan mengamati serta rnengikuti aktivitas
)'ang dilakukan oleh subyek pada lokasi penelitian.
pengamatan
difokuskan pada tempat-tempat di mana antar kedua kelompok etnik berinteraksi, baik
di
perkamp,ngan, tempat ibadah, pasar, sawah,
pcrkantoran serla lembagalembaga pendidikan dan lembaga-lambaga sosial dan keagamaan.
3,4.2. Wawancara mendalam (tn-depth interview)
Unhrk mendapatkan data yang lengkap dan medalam, maka dilakukan wawa.cara mendalam dengan para aklor yang terlibat dalam
interaksi antarkelompok etnik (pendatang-Lampturg). Dengan cara ini
dapat diketahui secara mendalam tentang berbagai hal
yang
menl'angkut tentang pandangan. pendapat serta perasaan masyarakat,
baik pandangan tentang dirinya sendiri maupun respon dan sikapnya terhadap orang lain etnik. peng$maan teknik wawancara mendalam,
66
menurut Cresu,ell sangat pentin-q dalam penelitian kualitatif.a2 Bahkan
menurut Mulyana, telaiik pengumpulan data dengan wawancara tak terstrukaur relevan dengan penelitiar yang menggunakan teori interaksi
simbolik. Sebab menurutnya bagi fihak yang dimwrgkinkan untuk mendefinisikan
diri dan
diw,awancarai
lingkungannya
berdasarkan k'ultur dan adat istiadat serta tradisi yang mereka anut.43
3.4.3. Studi Dokumentasi
Menurut Schatman dan Straus dokumen merupakan bahan yang penting dalam penelitian kualitatif.aa Data atau informasi dari
dokumen dapat memberi keuntungan besar bagi peneliti sebab bahan telah ada, ter'sedia dan siap untuk dipakai. Melalui studi
dokumen, sejarah dan dinamika hubungan antarkelompok etnik
dapat dilacak karena data banyak terabadikan dalam karya peninggalan sejarah baik yang berupa catatan serta benda-benda peninggalan sejarah masa lampau.
"John Creswll, W, Qualitatif Inquiry and Research Design Choosing Among Five Traditiorzs, (California:Sage Publications Inc, 1998), hlm. 120 "Mulyanu, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:Remaja rosdakarya, 2002), hlm.183
*lbid.,hlm. i95
67
3.5. Teknik Analisis Data
Mengikuti tahapan analisis data dari Miles dan Hubermaqas teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara; reduksi data penyajian data, dan penarikan kesimpulan serta verivikasi. Data atau informasi yang ada dikelompokkan sesuai dengan
topik permesalahn penelitian. Setelah data direduksi, data disajikan dengan tersusun secara sistematik dan terkelompok berdasarkan jenis dan polanya, kemudian disusun dalam bentuk bagan-bagan atau narasi-
narasi seiingga,membenhrk rangkain informasi yang bermakna sesuai
dengan maslah penelitian. Setelah meleu'ati tahapan
ini,
langkah
selanjutni'a 1'ang harus diambil adalah menambil kesimpulan. Di mana
kesimpulan diambil berdasarkan hasil reduksi dan penyajian
data.
Setelah mendapatkan kesimpulan langkah berikutnya mengadakan
verifikasi dengan cara mencari data baru yang lebih mendalam untuk mendukung kesimpulan yang sudah didapatkan. Tahap verifikasi
dilakukan untLk menghindari kesalahan interpretasi dari hasil wawancara sebelumnl,a.
Ir4odel berikut merupakan proses analisis data dalam penelitiaan ini.
o'Milles dan Hubermar^, Analisis Data Kualitatif,Terj. Tjetjep Rohendi, ( Jogakarta : UI Press, 1992),h1m.20
68
)--t..---/
-'1 Reduksi Data Penarikan
Kesimpulam
\---------;7'
3.6, Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Untuk menguji keabsahan data atau kesimpulan dari verifikasi diperlukan pemeriksaan ulang terhadap data yan telah
terkumpul. Sebagaimana lzimnya sebuah penelitian kualitatif, penelitian menggunakan kreteria derajat kepercayaan, keteralihan, kebergantungan dan kepastian. Dalam rangka menguji keabsahan data, penelitian
(l)
ini menggunakan teknik berikut;
Memperpanjang waktu kehadiran
di
lapangan.
Hal ini
dilakukan setelah semua data yang dibutuhkan terkumpul,
69
peneliti kembali lagi ke lapangan dan membaur dengan subyek penelitian.
(2) Triangulasi di mana pemeriksaan keabsahan data dengan cara membandingkan antara hasil dari informan dengan sumber
metode dan teori. Peneliti akan mengecek kembali
setiap
informasi yang diperoleh, misalnya dengan membandingkan data hasil wawancara dengan pengamatan.
(3)
Di
samping mendiskusikan dengan teman sejawat
dan
pembimbing, juga ahan ciilakukan dengan cara mengekpos hasil
temuan sementara yang diperoleh baik dalam bentuk diskusi
dan seminar maupun dengan cara menulis di koran. Melalui cara
ini
diharapan akan mendapat respon dan
kritik
masukan dalam rangka penguatan temuan akhir penelitian.
70
serta
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1. Kondisi Geografis Dati Il Bandar Lampung
Kota Bandar Lampung merupakan ibu kota provinsi Lampung selain sebagai pusat kegiatan pemerintahan, sosial politik, pendidikan dan kebudayaan, kota Bandar Lampung juga merupakan pusat kegiatan perekonomian dari provinsi Lampung
yang secara ekonomis menguntungkan bagi pertumbuhan dan pengembangan
kota Bandar Lampung, yaitu sebagai
pusat
perdagangan, industri dan wisata.
Denqan letaknya yang strategis menjadikan daerah ini sebagai dareah transit kegiatan perekonomian antara pulau jawa dan Sumatera. Secara geografis kota Bandar Lampung terletak pada
kedudukan 5020' sampai dengan 5030' lintang selatan dan 10502g, sampai dengan 105037' bujur timur. Letak tersebut berada di Teluk
Lampung dan diujung selatan pulau Sumatera, yang memiliki luas
wilayah 792,18 Km2 terdiri dari 13 kecamatan dan 9g kelurahan. dengan batas wilayah sebagai berikut:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan.
2. Sebelah selatan
berbatasan dengan Kecamatan padang cermin
dan Ketibung Lampung Selatan serta Teluk Lampung.
7t