1
TEATER KECIL - TAMAN ISMAIL MARZUKI
JUMAT, 17 JANUARI 2014 / 19.30 WIB
•••
2 PENANGGUNG JAWAB DEWAN KESENIAN JAKARTA PENYUSUN ANGKA PENATA LETAK RIOSADJA PROOFREADER HELLY MINARTI DEWAN KESENIAN JAKARTA TAMAN ISMAIL MARZUKI JL. CIKINI RAYA NO. 73 JAKARTA 10330 T/F: +6221.31937639 W: WWW.DKJ.OR.ID
DEWAN KESENIAN JAKARTA (DKJ) ADALAH SALAH SATU LEMBAGA YANG DIBENTUK OLEH MASYARAKAT SENIMAN DAN DIKUKUHKAN OLEH GUBERNUR DKI JAKARTA, ALI SADIKIN, PADA TANGGAL 7 JUNI 1968. TUGAS DAN FUNGSI DKJ ADALAH SEBAGAI MITRA KERJA GUBERNUR KEPALA DAERAH PROPINSI DKI JAKARTA UNTUK MERUMUSKAN KEBIJAKAN GUNA MENDUKUNG KEGIATAN DAN PENGEMBANGAN KEHIDUPAN KESENIAN DI WILAYAH PROPINSI DKI JAKARTA. ANGGOTA DEWAN KESENIAN JAKARTA DIANGKAT OLEH AKADEMI JAKARTA (AJ) DAN DIKUKUHKAN OLEH GUBERNUR DKI JAKARTA. PEMILIHAN ANGGOTA DKJ DILAKUKAN SECARA TERBUKA, MELALUI TIM PEMILIHAN YANG TERDIRI DARI BEBERAPA AHLI DAN PENGAMAT SENI YANG DIBENTUK OLEH AJ. NAMA-NAMA CALON DIAJUKAN DARI BERBAGAI KALANGAN MASYARAKAT MAUPUN KELOMPOK SENI. MASA KEPENGURUSAN DKJ ADALAH TIGA TAHUN. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KESENIAN TERCERMIN DALAM BENTUK PROGRAM TAHUNAN YANG DIAJUKAN DENGAN MENITIKBERATKAN PADA SKALA PRIORITAS MASING-MASING KOMITE. ANGGOTA DKJ BERJUMLAH 25 ORANG, TERDIRI DARI PARA SENIMAN, BUDAYAWAN DAN PEMIKIR SENI, YANG TERBAGI DALAM 6 KOMITE: KOMITE FILM, KOMITE MUSIK, KOMITE SASTRA, KOMITE SENI RUPA, KOMITE TARI DAN KOMITE TEATER.
••• DAFTAR ISI 3
HAL
4
Pengantar Ketua Umum Pengurus Harian Kritik Sastra Sebagai “Pisau Bedah: Karya Sastra
HAL
6
Pengantar Ketua Komite Sastra Merawat Tradisi Sayembara Kritik Sastra
HAL
8
Tentang Sayembara Ulasan Tentang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
HAL
12
Pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
HAL
21
Makalah Diskusi September: Meninjau Kembali Mimpi Buruk sebuah Bangsa
HAL
28
Profil
HAL
34
Tim Pelaksana Program
HAL
35
Susunan Acara
•••
4
PENGANTAR KETUA UMUM PENGURUS HARIAN
KRITIK SASTRA SEBAGAI “PISAU BEDAH” KARYA SASTRA Sayembara Kritik Sastra merupakan agenda dua tahunan Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Diselenggarakan pertama kali pada 2005 dan terus bergulir sampai sekarang. Dunia sastra Indonesia membutuhkan karya kritik sastra sebagai “pisau bedah” karya sastra. Dengan cara demikian, maka timbul apresiasi terhadap karya sastra dari masyarakat pencinta sastra. Sayembara kritik sastra kali ini memberi batasan terhadap karyakarya sastra kontemporer Indonesia yang lahir selama satu dasawarsa. Pembatasan tersebut antara lain dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai karya-karya yang muncul sepuluh tahun terakhir. Memang ada yang menyarankan, di masa mendatang, tak perlu ada pembatasan seperti itu. Tentu saja saran ini menjadi pertimbangan kami. Kami menyambut gembira, naskah kritik yang masuk ke meja panitia 106 naskah. Di masa mendatang, jumlah peserta sayembara, kita harapkan makin banyak. Itu menandakan bahwa semangat menulis kritik sastra kian membesar mewarnai perjalanan dunia kesusasteraan kita. Dalam sejarah sastra Indonesia, kita mengenal H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana dan lain-lain yang berkontribusi penting mendorong lahirnya karya kritik sastra pada zamannya. Mudah-mudahan, Indonesia akan terus melahirkan tokoh-tokoh sastra dan memiliki perhatian terhadap kritik sastra.
5 Kepada dewan juri, Sapardi Djoko Damono, Katrin Bandel, dan Afrizal Malna kami sampaikan terima kasih karena telah begitu tekun membacai dan memberi penilaian, untuk melahirkan para pemenang. Secara khusus kami menyampikan selamat kepada para pemenang dan mendorong mereka untuk melahirkan karya-karya kritik sastra lainnya.
Dewan Kesenian Jakarta 2013-2015 Ketua Umum Pengurus Harian
Irawan Karseno
•••
6
PENGANTAR KETUA KOMITE SASTRA
MERAWAT TRADISI SAYEMBARA KRITIK SASTRA Mengawali 2014, Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta mengumumkan hasil Sayembara Kritik Sastra. Sayembara ini merupakan kegiatan rutin dua tahunan, dimaksudkan untuk menggelorakan lahirnya karya kritik sastra yang kehidupan sastra kontemporer Indonesia satu dasawarsa terakhir. Harus diakui bahwa kritik sastra Indonesia belum begitu marak. Karena itu perlu terus didorong lahirnya karya-karya kritik yang bermutu. Salah satu caranya dengan menyelenggarakan sayembara secara berkala. Penyelenggaraan sayembara tahun ini, berhasil menjaring 106 naskah yang selanjutnya dinilai secara teliti oleh tiga juri, yang sangat berkompeten, yaitu Sapardi Djoko Damono, Katrin Bandel, dan Afrizal Malna. Di masa mendatang karya-karya kritik sastra diharapkan terus lahir dan terus mewarnai perjalanan sastra Indonesia. Kegiatan kritik sastra sebetulnya telah berlangsung sejak zaman “Pandji Poestaka” dan makin ramai pada zaman “Poedjangga Baroe.” Jauh sebelum itu, pada tahun 1256 H atau 1839 Masehi telah lahir tafsir tentang syair karya Hamzah Fansyuri yang ditulis Syekh Syamduddin Ibn Abdullah Sumatrani dalam kitab “Syarah Ruba’i Hamzah Fansyuri.” Di sana tertera tafsir kata demi kata dari syair Hamzah Fansyuri “Bismillahirrahmanirrahim” yang berjumlah 40 bait.
7 Hamzah Fansyuri, hidup di akhir abad ke-16 sampai awal abad ke17, dalam sejarah sastra Indonesia adalah tokoh pelopor sastra Melayu/ Indonesia modern. Dialah yang memperkenalkan syair, puisi empat baris dengan skema sajak akhir a-a-a-a sebagai bentuk pengucapan sastra. Mengiringi malam anugerah dan pengumuman sayembara kritik sastra kali ini, Komite sastra Dewan Kesenian Jakarta juga menggelar diskusi sastra yang membincangkan “Sastra, Kritik dan Politik Orde Baru” dengan pembicara Wijaya Herlambang, Martin Aleida, AS. Laksana, dan moderator Wicaksono Adi. Tentu saja kami mengaharapkan banyak “mutiara” yang bisa dipungut dari diskusi tersebut. Sebab bagaimanapun, kerja kesenian, mestilah membuahkan pencerahan, di samping “menghibur diri” dan “menyenangkan hati para penikmat.” Dalam kesempatan ini, secara khusus kami menyampaikan terima kasih kepada dewan juri, pembicara dan moderator diskusi sastra. Bahwa yang kita kerjakan ini, merupakan bentuk sumbangsih kita dalam dunia sastra Indonesia.
Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2013-2015
Fikar W. Eda
•••
8
TENTANG SAYEMBARA
ULASAN TENTANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013 Sayembara Kritik Sastra adalah sayembara yang mulai menjadi tradisi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sejak 2005. Pada tahun itu, untuk pertama kalinya DKJ menggelar Sayembara Kritik Seni untuk bidang-bidang seni yang ada di DKJ (Sastra, Teater, Seni Rupa, Film, Tari, Musik). Sayangnya, hasil sayembara itu tidak dibukukan sehingga tidak bisa dicapai oleh masyarakat, kecuali dengan mendatangi perpustakaan DKJ dan membuka arsipnya. Berkaca dari pengalaman itu kami merasa perlu menggelar sayembara kritik sastra secara berkala dan sungguh-sungguh. Mulai 2006 kami menyelenggarakan hanya sayembara telaah sastra, dengan
Bagi kami, sayembara semacam ini penting untuk menjawab kebutuhan akan telaah (kritik) sastra yang serius, mendalam, inspiratif, dan menyuarakan zamannya. Sudah menjadi rahasia umum, suburnya penciptaan dan apresiasi sastra mutakhir ini ternyata belum dapat diimbangi dengan kritik sastra yang memadai, apalagi untuk dapat berkembang menjadi tradisi pemikiran pelbagai wacana sastra. Kritik sastra masih menjadi barang langka. Jika pun tumbuh, ia hanya menjadi kegiatan akademis yang sangat terbatas jangkauannya. Di saat yang sama kita juga tidak memiliki majalah atau jurnal yang benar-benar menyediakan dirinya untuk kritik sastra. Adapun lembar sastra di koran-koran hanya bisa menyediakan ruang yang sangat terbatas untuk keluasan dan kedalaman yang dibutuhkan sebuah kritik. Ya, meminjam jargon Thomas Robert Malthus, kritik sastra tumbuh menurut “deret hitung”, karya sastra berkembang menurut “deret ukur”. Karena itu menyelenggarakan sayembara kritik sastra bagi kami adalah bentuk upaya menyediakan lahan yang subur bagi benih-benih kritik yang unggul dan tumbuh kokoh di kemudian hari. Memang, tidak di setiap sayembara kami mendapat benih-benih unggul, yang ideal sebagaimana harapan kami. Tapi dengan perangsangan yang terus-menerus dan tak kenal lelah, bukan mustahil pada waktunya kelak kritik sastra kita tumbuh sebagai sebuah disiplin yang bukan hanya menjembatani pembaca dan karya sastra, menginspirasi lahirnya kritik-kritik yang kian unggul, tetapi juga merangsang penciptaan karya sastra yang makin baik mutunya. Harapan ini perlu ditegaskan kembali ketika akhir-akhir ini kita juga berhadapan dengan kenyataan kritik sastra yang bergerak di antara godaan kajian budaya (cultural studies) dan pemberhalaan teori
9
alasan biarlah bidang seni lainnya diurus oleh komite masing-masing, sesuai skala prioritas program mereka. Sayembara ini diselenggarakan setiap dua tahun sekali (tahun ganjil), berselang-seling dengan Sayembara Menulis Novel DKJ yang sudah dimulai sejak awal 1970-an. Pada 2006 kami memakai nama “Sayembara Kritik Sastra DKJ 2007” dan bertema “Sastra Indonesia Memasuki Abad ke-21”. Untuk 2009, demi memaksimalkan penggunaan bahasa Indonesia, kami mengganti kata “kritik” dengan “telaah”, dengan tema “Kepengrajinan (craftsmanship) dalam Sastra Indonesia Mutakhir.” Tahun 2013 kami menyelenggarakan Sayembara Kritik Sastra lagi dengan tema “Sastra Indonesia Kontemporer, Satu Dasawarsa.”
10
(overtheorizing). Jika kajian budaya di satu sisi cenderung menempatkan karya sastra sebagai dokumen sosial belaka dan tidak lebih tinggi atau lebih penting daripada dokumen sosial lain, pemberhalaan teori di sisi lain membuat si pengkritik takluk di hadapan sosok teori itu sendiri. Alhasil, sosok karya sastra sebagai sebuah organisme yang otonom, tempat kepengrajinan pengarang dipertaruhkan dan kenikmatan sastrawi memancar, menjauh dari jangkauan. Padahal, sebagaimana ditegaskan Dewan Juri dalam Sayembara Kritik (Telaah) Sastra DKJ 2009, “kritik sastra yang baik adalah perayaan atas penciptaan. Seraya menakar mutu sebuah karya, telaah yang unggul merespons karya tersebut, mengaktualkan hal-hal yang potensial pada karya yang ditelaah itu, dan dengan menciptakan kepingan karya baru yang masih berkaitan dengan karya yang ditelaah. Telaah yang istimewa adalah sebuah karya sastra tersendiri, yang bisa berdiri sendiri tapi yang kehadirannya dimungkinkan oleh karya yang ditelaah.” Tahun 2013-2014 ini, kami menyelenggarakan kembali sayembara telaah sastra dengan tema “Sastra Indonesia Kontemporer, Satu Dasawarsa.” Kenapa satu dasawarsa? Seperti kita tahu, telah 13 tahun kita memasuki abad (bahkan milenium) baru. Banyak hal tentu telah berubah. Suasana kebudayaan kita berubah sangat dinamis. Jika sayembara sebelumnya memfokuskan diri pada kesusastraan Indonesia memasuki abad ke-21, kali ini kita ingin melihat apa yang terjadi sepuluh tahun terakhir setelah kita memasuki abad ini? Apakah perubahan-perubahan yang sangat dinamis dalam kehidupan sosial-politik kita berpengaruh kuat atas kesusastraan? Bagaimana tradisi-tradisi baru dalam bidang kesusastraan yang dibawa oleh medium baru (internet, media sosial) berpengaruh terhadap kesusastraan kita secara umum, atau telaah sastra secara khusus? Kita akan melihatnya dalam sayembara telaah sastra edisi tahun ini. Akhir kata kami mengucapkan selamat kepada pemenang dan para unggulan. Terimakasih yang tak terhingga kepada Dewan Juri: Sapardi Djoko Damono, Afrizal Malna, dan Katrin Bandel untuk waktu dan kesediaannya dengan cermat dan kritis menyaring naskah yang masuk untuk kemudian mengambil keputusan-keputusan dalam penjurian Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013. Semoga sayembara ini akan terus berlanjut di masa mendatang dan menahbiskan kembali kritikus-kritikus juara. Mereka yang membuktikan
*Disarikan dari pengantar Zen Hae dalam buku Dari Zaman Citra ke Metafiksi: Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ 2011 dengan beberapa penambahan dan pengurangan.
Komite Sastra DKJ 2013-2015 Fikar W. Eda Eka Kurniawan Linda Christanty Hanna Fransisca
11
bahwa sebuah telaah sastra yang cemerlang memerlukan bukan hanya penguasaan teori dan kejelian menilik, tetapi juga kecakapan menulis. Semoga pula sayembara ini bisa memberi kita sebuah pemetaan yang baik atas lanskap kesusastraan kontemporer kita, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir ini. Dari lanskap semacam itu, barangkali kita bisa membuat siasat untuk melihat atau membuat peta-jalan kesusastraan Indonesia di masa depan. Kesusastraan Indonesia yang tak hanya asyik dengan diri sendiri, tapi bergaul luas dengan kesusastraan dari manamana, dalam suatu pergaulan yang imbang dan setara.
•••
12
PERTANGGUNGJAWABAN DEWAN JURI SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
LAPORAN PENJURIAN SAYEMBARA PENULISAN KRITIK SASTRA DKJ 2013 OLEH
SAPARDI DJOKO DAMONO
Membaca naskah yang masuk, saya merasa senang bahwa ternyata masih ada juga rekan-rekan yang menaruh minat pada penulisan kritik sastra, lepas dari apakah ada orang yang membutuhkannya. Sayembara yang diselenggarakan DKJ dua tahun sekali ini menunjukkan bahwa lembaga itu berpendapat tulisan semacam itu masih, atau mungkin sangat, dibutuhkan – kalau tidak tentu sayembara ini tidak akan diselenggarakan. Saya setuju pada pendapat tersebut, meskipun tetap saja – sebagai penulis – bertanya-tanya untuk apa dan siapa sebenarnya kritik sastra ditulis. Kritik sastra menyangkut tiga unsur: pembaca (yang menulis kritik), karya sastra, dan sastrawan. Ketiga unsur itu memiliki konteks sejarah, budaya, politik, dan sebagainya. Penulis kritik tentu saja memiliki kebebasan mutlak dalam proses pembacaannya: pandangan yang dituangkannya bisa berdasarkan karya sastra saja, atau disangkutkan dengan sastrawan, atau dikaitkan dengan berbagai jenis konteks (yang menyangkut sastrawan, karyanya, atau saat pembacaannya). Dan ketika ia memutuskan untuk menulis kritik, apakah dalam pikirannya ada khalayak khusus yang ditujunya? Siapa? Apakah sasaran kritiknya si sastrawan, atau pembaca, atau juri yang akan menilai tulisannya? Ketiganya tentu saja boleh membaca kritiknya,
Yang sangat penting bagi saya adalah argumentasi yang disampaikannya, tanpa berlindung di balik pertimbangan dan landasan apa pun. Dan argumentasi bisa meyakinkan hanya jika ia benar-benar berhadapan langsung sama-sama telanjang dengan karya sastra yang akan dibicarakannya. Nah, di sini letak peliknya masalah. Hanya orang yang bisa ‘berbicara’ mampu mengungkapkan dengan baik apa yang ingin dikatakannya, dan hanya orang yang memiliki alat bicara yang bisa berargumentasi, dan argumentasi hanya bisa meyakinkan kalau ia memiliki seperangkat konsep (yang berkaitan dengan pengalaman, penghayatan, pendidikan, pendekatan, teori dan sebagainya) sehingga bicaranya tidak tertahan-tahan oleh kungkungan pandangan yang dipakainya – hanya karena sedang disukai atau justru karena sebenarnya tidak dipahaminya. Semuanya berkembang, tidak terkecuali pendekatan, teori, dan konsep yang disusun setelah karya sastra diciptakan. Dan saya ber pandangan bahwa pada hakikatnya penulis kritik akan terlepas dari karya yang dibacanya apabila tulisannya yang didasarkan pada gagasan bahwa pendekatan, konsep, teori dan sebagainya akan mampu mendahului atau mengatasi pembacaan. Yang dihasilkannya bukan ia yang menulis, tetapi segala sesuatu yang di luar dirinya (yang mungkin diakuinya sebagai kebenaran sejati) yang sebenarnya telah menghasilkan tulisannya. Saya bersyukur bahwa, sampai batas tertentu, tulisan-tulisan yang kami pilih tidak sampai sejauh itu langkahnya, dan bahwa masih ada tanda-tanda yang menunjukkan adanya pertemuan yang karib antara penulis dan yang menjadi bahan tulisannya.
Ciputat, 16 Desember 2013
13
tetapi saya membayangkan hasil yang bisa berbeda jika sasaran dan maksud penulisannya berbeda pula. Menulis kritik sastra dengan maksud diserahkan kepada guru atau dosen sebagai bagian dari tugas akademiknya tentu akan berbeda dengan jika ia bermaksud menyerahkannya ke sebuah jurnal atau media lain, atau menerbitkannya sendiri tanpa pertimbangan siapa pun. Bagi saya yang mutlak adalah pertemuan langsung antara karya sastra dan penulis kritik. Bahwa kemudian ia mempertimbangkan juga hal-hal lain di luarnya (konteks, pengarang, dan teori – milsalnya), itu boleh saja.
14
•••
CATATAN SEORANG JURI: KRITIK SASTRA INDONESIA YANG TRAUMATIK DAN TUBUH-YANGMEMBACA OLEH
AFRIZAL MALNA
Kritik sastra Indonesia merupakan wacana yang traumatik oleh sejarahnya. Lingkungan kolonial yang melatarinya, menempatkan sastra lisan maupun sastra sub-etnis dalam gravitasi negatif. Terpisahkan secara ideologis dengan sastra tertulis. Modernisme tidak hanya mengukuhkan struktur kolonial ini, tetapi juga berlangsungnya pemecahan ideologis: politik sastra yang terorder sebagai pembelahan kekuatan sosial-politik yang hidup dalam masyarakat. Wacana-wacana besar seperti pasca-kolonial, feminisme maupun pasca-modernisme, menggandakan sayatan-sayatan luka dalam kritik sastra yang traumatik ini. Ruang semiotik masa lalu yang telah terdistraksi sedemikian rupa, pecah, terpinggirkan, kian kehilangan ruang reproduksinya; hidup sebagai laten dalam jerami kering untuk konflik. Tradisi lokal, kepercayaan-kepercayaan lokal, bahasa daerah, bahkan bahasa Indonesia, pembagian gender, mengalami disposisi, pelabilan. Sebagian dianggap negatif, kehilangan konstruksi identitasnya. Namanama lokal rakyat Indonesia sendiri kian tergantikan dengan nama-nama Barat maupun Arab. Tradisi puitik yang hidup dalam pergaulan antar
media (musik, tari, teater dan berbagai ekspresi visual) kehilangan mataratai medianya. Semua sayatan-sayatan traumatik ini datang sebagai faktor
Ruang paling dekat untuk mengalami faktor internal atau akuinternal kita sendiri adalah tubuh dan memori. Membaca dan mengalami karya sastra melalui tubuh kita sendiri sebagai tubuh-yang-membaca. Dan memori sebagai kenangan yang melawan, kritis atas konstruksi sejarah membaca dan menulis dari luar. Saya mencoba membaca 106 esai-esai kritik sastra yang mengikuti Sayembara Kritik Sastra 2013 yang diselenggarakan Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta ini, melalui tubuh yang mengalami seperti ini. Jadi semacam eksperimen dalam sebuah penjurian. Hasilnya: Saya menemukan 2 karya yang memperlihatkan hal itu. Yang satu terlalu lemah (hanya dipilih 2 orang juri), satunya lagi terlalu eksperimental (hanya dipilih 1 orang juri). Selebihnya mayoritas adalah esai-esai yang ditulis dalam tradisi akademis pada umumnya: berangkat dari batasan-batasan dan pendahuluan. Formalisme yang mengasingkan tubuh sebagai yang mengawali pembacaan. Referensi cenderung mereka gunakan untuk merayakan pembatasan-pembatasan yang dilakukan. Karya sastra yang mereka bahas umumnya dikembalikan kepada sang sastrawan yang telah menciptakannya sebagai individu. Tetapi sambil membuat pernyataaan: “pengarang telah mati”. Analisis dilakukan dengan kritis terhadap ideologi-ideologi yang direproduksi dalam karya sastra yang mereka bahas (atas nama “pengarang telah mati”), tetapi kesimpulan dari analisis ini dikembalikan sebagai produk moral dari sang sastrawan yang menciptakan karya yang mereka bahas. Ujung dari kritik sastra seperti ini pada gilirannya akan hanya menghasilkan kritik sastra sebagai gosip. Tanpa berlangsungnya
15
eksternal. Politik media yang massif dan progresif untuk menempatkan masa lalu sebagai halaman belakang yang tidak lagi memiliki akses ke halaman depan. Semua yang baru, datang dari luar, yang hadir sebagai tamu (tidak diundang), bisa dengan cepat berganti posisi sebagai tuan rumah yang melakukan pemetaan baru atas posisi-posisi identitas kita. Menghasilkan aku-eksternal atas masa lalunya sendiri.
16
kemungkinan ruang arus-balik terhadap sang pengeritik itu sendiri. Seorang kritikus tidak berada dalam posisi “kritikus telah mati” saat menulis kritiknya sendiri. Saya memaknai “pengarang telah mati” bukanlah sebagai ruang organik yang telah dikosongkan setelah seorang sastrawan menerbitkan karyanya, memutuskan mata rantai ruang biografisnya. Saya lebih memahami pernyataan ini sebagai ideologi-ideologi yang masih produktif dalam masyarakat dan hadir kembali melalui tubuh-yang-menulis yang dilakukan seorang sastrawan melalui karyanya. Pratik kritik sastra atas pernyataan pengarang telah mati, memang sebagian besar melakukan penelanjangan ideologis atas streotipe ideologis maupun politik identitas yang dilakukan sastrawan yang karyanya mereka bahas. Tetapi penelanjangan ini hasilnya lebih sebagai penelanjangan seorang sastrawan di atas karyanya sendiri. Bukan sebagai pembacaan kenapa ideologi-ideologi itu masih produktif atau muncul kembali dalam sebuah karya sastra. Sebagaimana esai-esai kritik sastra yang mengikuti sayembara ini, setiap juri sayembara ini, juga membawa lingkungan ideologi pem bacaannya masing-masing. Setiap juri yang bertahan ada lingkungan pembacaannya sendiri, akan membuat sayembara ini menjadi absurd. Maka yang mungkin dilakukan adalah sebuah negosiasi untuk mencari titik-temu dari masing-masing perbedaan. Penjurian bukanlah sebuah workshop pendekatan pembacaan terhadap karya sastra. Melainkan sebuah sharing untuk sebuah kolaborasi pembacaan. Esai-esai yang terpilih dalam sayembara ini adalah hasil dari kolaborasi ini. Bukan hasil sebuah penawaran eksperimental atas karya yang dipilih untuk terjadinya progres dalam penulisan kritik sastra. Sebagai salah seorang anggota juri dalam sayembara ini, pernyataan yang saya anggap penting untuk saya nyatakan adalah bahwa sebagian besar dari esai-esai kritik sastra ini merupakan perpanjangan akademis dari berbagai disiplin maupun praktik wacana, dan perpanjangan penerbit-penerbit besar. Terutama untuk karya-karya prosa (novel dan cerpen) yang mayoritas diterbitkan oleh penerbit-penerbit besar, mengalami pembesaran pasar dalam lingkungan pembacanya.
Jakarta, 3 Desember 2013
•••
17 PERTANGGUNGJAWABAN PENJURIAN SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013 OLEH
KATRIN BANDEL
Dalam proses menilai ke-106 naskah kritik sastra para peserta sayembara ini, bagi saya ada dua kriteria yang sangat utama (di samping kriteria lain yang sudah ditentukan). Pertama, argumentasi harus runut dan jelas, sehingga bisa diikuti. Artinya, mesti ada kejelasan mengenai apa yang ingin dijadikan fokus atau ingin dibuktikan, atau pertanyaan apa yang ingin dijawab, kemudian ada argumentasi yang memberi bukti atau jawaban yang dijanjikan lewat sebuah analisis (bukan sekadar lewat asumsi). Kedua, mesti ada kesadaran kritis serta pengetahuan tentang sastra dan kritik sastra yang tercermin dalam tulisan. Perspektif kritis semacam itu umumnya diperoleh antara lain dari proses belajar teori, kebiasaan membaca karya dan kritik atau pengulasanan sastra, pendidikan dan pergaulan. Dalam sebuah esai, kesadaran kritis semacam itu bisa dihadirkan lewat rujukan langsung pada teori, tapi juga bisa sekadar menjadi dasar yang akan tercermin dalam penulisan tanpa perlu disebutkan secara eksplisit. Penentuan pemenang sayembara ini dilakukan lewat sebuah proses interaksi dan tawar-menawar antara ketiga anggota juri yang berlangsung dengan cukup intens dalam dua kali rapat secara berturut-turut, yaitu tanggal 28 dan 29 November 2013. Pada tanggal 28 masing-masing juri
18
mengajukan pilihan maksimal 20 esai yang dianggap paling menarik. Di antara esai itu, kemudian dipilihlah naskah yang mendapat lebih dari 1 suara. Meskipun demikian, dalam prosesnya kami masing-masing mengajukan satu esai yang tadinya tidak dipilih juri yang lain, dengan permintaan agar dibaca dan dipertimbangkan ulang oleh semua anggota juri. Sebagai hasilnya, ada 14 esai yang masuk pertimbangan, yaitu 11 esai yang mendapat 2 atau 3 suara, dan 3 esai yang dipandang sangat kuat oleh salah satu di antara kami. Setelah kemudian kami membaca ulang esaiesai tersebut, dalam rapat tanggal 29 diskusi menjadi lebih mendalam. Untuk setiap esai, masing-masing juri memaparkan pandangannya, dan tidak jarang terjadi perbedaan pendapat yang cukup substansial. Sebagian perbedaan itu tidak terjembatani (dalam arti: masing-masing tetap bertahan pada posisinya), namun sebagian berhasil dinegosiasikan. Sebagai hasil proses diskusi intens tersebut, pemenang kemudian kami pilih atas dasar kesepakatan bersama (artinya, bukan sekadar karena menang suara, tapi semua juri menyatakan sepakat dengan hasil tersebut). Hal itu tentu saja tidak berarti bahwa hasil tersebut sepenuhnya sesuai dengan harapan pribadi setiap juri – misalnya, tetap ada beberapa esai yang saya pandang sangat layak, namun sama sekali tidak masuk pertimbangan karena tidak dipilih juri lain. Namun sebagai sebuah hasil perundingan antara tiga orang dengan pandangan yang cukup jauh berbeda satu sama lain, bagi saya prosedur pemilihan lewat diskusi dan pertukaran argumen tersebut sudah maksimal. Saya puas dengan hasil tersebut sebab bagi saya pribadi, esai yang ditetapkan sebagai pemenang, terutama sekali ketiga pemenang utama, sangat bisa dipertanggungjawabkan. Ketiga esai pemenang utama dengan sangat jelas memenuhi kedua kriteria yang sudah saya bicarakan di atas. Esai dengan nomor urut 54 diawali dengan sebuah keterangan eksplisit mengenai apa yang akan dibuktikan, yaitu bahwa novel Bilangan Fu karya Ayu Utami menjanjikan kritik terhadap modernitas lewat sebuah visi pascamodern, namun sejatinya justru “terjerembab ke dalam sejenis orientalisme” dan “mengimpikan suatu pramodernitas ideal”. Hal tersebut kemudian secara runut diperlihatkan lewat analisis teksual, dengan melibatkan pengetahuan mendalam mengenai mo dernisme, pascamodernisme serta konsep-konsep lain yang dipakai dalam pembahasan. Pendekatan yang digunakan dalam esai ini, yaitu pendekatan yang memandang novel yang dibahas sebagai bagian dari
wacana ideologis tertentu, lalu secara eksplisit menyorot unsur didaktis novel tersebut, dengan sangat nyata mencerminkan kesadaran kritis dan pengetahuan teoritis penulisnya.
spesifik yang dibutuhkan, yaitu oposisi biner Barat-Timur sebagai bagian dari wacana kolonial. Dalam pilihan pendekatan pascakolonial tersebut, tercermin kesadaran kritis dan pengetahuan memadai mengenai teori dan kritik sastra. Tidak jarang teori pascakolonial disalahpahami sebagai teori yang hanya layak digunakan untuk menganalisis teks dari zaman kolonial, atau teks yang membicarakan zaman kolonial secara eksplisit. Maka, untuk sampai pada gagasan untuk menggunakan teori tersebut dalam analisis karya yang tidak secara langsung membicarakan kolonialisme, dibutuhkan pemahaman lebih mendalam terhadap scope teori yang dipakai. Kesadaran tersebut berhasil diaplikasikan dengan baik, yaitu dengan melacak peninggalan wacana kolonial yang memposisikan “Barat” sebagai lebih beradab daripada “Timur” dalam sebuah novel yang mengisahkan pengalaman perjalanan hidup orang Indonesia yang tinggal di Eropa. Esai nomor urut 5 menggunakan gaya tulis yang agak berbeda, namun dengan perspektif kritis yang masih sejalan dengan kedua esai pemenang utama lainnya, yaitu pascakolonial. Kritiknya terhadap kumpulan puisi yang dibahas dalam esai tersebut diekspresikan dengan dua cara sekaligus, yaitu lewat argumentasi yang memperlihatkan beberapa kecenderungan puisi Nirwan, dan lewat gaya tutur yang cenderung bernada mengejek. Setelah membuka esainya dengan merujuk pada Pierre Bourdieu untuk berargumentasi bahwa selera seseorang tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sosial yang membentuknya, penulis kemudian membahas beberapa kecenderungan puisi Nirwan Dewanto yang menurutnya dibentuk oleh identitasnya sebagai penyair urban anggota Komunitas Utan Kayu. Berbeda dengan kedua esai lain yang dengan lebih eksplisit dan sistematis mengaplikasikan pendekatan teoritis tertentu, esai ini secara lebih bebas menggunakan berbagai referensi dan teori sesuai kebutuhan argumentasi. Meskipun dengan demikian
19
Hal serupa berlaku untuk esai nomor urut 85 diawali dengan memperkenalkan konsep-konsep teoritis yang ingin digunakan secara eksplisit, dan kemudian mengaplikasikannya dengan cara yang jelas dan mudah diikuti pembaca. Meskipun cukup panjang (beberapa halaman), pembahasan teoritis di awal esai tidak terkesan berlebihan (alias sekadar “pamer referensi”) sebab tulisan difokuskan secara khusus pada konsep
(menurut pandangan pribadi saya) pembahasan kadang-kadang menjadi agak kelewat eklektis, argumentasi tetap terpapar dengan baik dan runut.
20
Secara keseluruhan, sebuah kecenderungan yang (menurut saya) agak memprihatinkan tampak pada mayoritas esai peserta, yaitu bahwa pilihan karya untuk dibahas sangat didominasi oleh karya yang pernah memenangkan lomba atau mendapat penghargaan bergengsi (terutama sayembara novel DKJ dan KLA), atau yang nama penulisnya sudah dikenal sebagai “nama besar” (banyak dibicarakan di media massa, pernah mendapat penghargaan sebelumnya, dsb). Beberapa karya yang menurut saya pribadi cukup menarik dalam 10 tahun terakhir ini, misalnya cerpen dan novel Martin Aleida, karya para buruh migran di Hongkong, beberapa novel Clara Ng, novel Ulid Tak Ingin Ke Malaysia karya Mahfud Ikhwan, kumpulan puisi Saut Situmorang, dan kumpulan puisi Thendra BP, tidak mendapat perhatian. Dengan demikian, sangat tampak betapa media massa serta beberapa lembaga pemberi penghargaan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mengarahkan pilihan pembaca. Satu-satunya nama yang hadir sebagai perkecualian adalah Gus Mus, yang karyanya dibahas dalam beberapa esai (meskipun tidak terpilih sebagai pemenang). Tampaknya reputasinya sebagai agamawan merangkap sastrawan berhasil menandingi pengaruh media massa dan sayembara/penghargaan, paling tidak bagi kalangan tertentu. Namun di luar persoalan pilihan karya, banyak hal yang meng gembirakan pada esai-esai peserta sayembara, di antaranya kebera gaman pendekatan yang digunakan serta keberagaman gaya tulis. Makin populernya pendekatan pascakolonial merupakan perkembangan yang pantas disyukuri menurut penilaian saya. Sikap kritis yang tercermin dari ketiga esai pemenang utama tersebut saya nilai sebagai kecenderungan yang sangat menggembirakan. Semoga kecenderungan-kecenderungan positif ini berlanjut, sehingga kritik sastra Indonesia dapat semakin berkembang dengan baik. Selamat untuk para pemenang! Dan untuk mereka yang belum terpilih, silakan diingat bahwa sangat mungkin tulisan Anda tetap dipandang baik oleh salah di antara ketiga anggota dewan juri, namun kebetulan tidak menjadi pilihan bersama.
Yogyakarta, 17 Desember 2013
••• MAKALAH DISKUSI 21
SEPTEMBER: MENINJAU KEMBALI MIMPI BURUK SEBUAH BANGSA OLEH
WIJAYA HERLAMBANG
Setiap tahun pada tanggal 1 Oktober, sejak 1966, rakyat Indonesia melakukan ritual, memperingati kemenangan ideologi bangsa sembari mengenang kematian tujuh perwira militer yang dibunuh oleh sekelompok tentara, yang sebagian besar merupakan anggota pengawal presiden Cakrabirawa, pimpinan Kolonel Untung. Bagi sebagian besar
22
rakyat Indonesia kesimpulan tentang peristiwa yang dimulai pada malam 30 September 1965 itu sudah bulat: para pembunuh tujuh perwira militer itu merupakan anggota atau simpatisan PKI yang mecoba melakukan kup terhadap pemerintahan Indonesia yang sah. Namun bagi sebagian besar peneliti, baik dari dalam maupun luar negeri, apa yang terjadi di dalam peristiwa itu tidak pernah dapat disimpulkan secara pasti. Kedua perspektif yang bertentangan ini penting sekali untuk ditinjau lebih jauh karena perbedaan pandangan tersebut memiliki implikasi penting terhadap masyarakat dalam melihat persoalan tersebut. Implikasi penting itu tidak saja terjadi pada bagaimana masyarakat melihat peristiwa itu secara hitam putih (dengan simpati besar terhadap tujuh perwira yang menjadi korban) namun juga pada bagaimana masyarakat melihat kekerasan massal terhadap ratusan ribu orang yang dituduh pengikut komunisme, yang terjadi setelah ke-tujuh perwira militer itu dibunuh, sebagai sebuah hal yang lumrah. Tulisan ini bermaksud untuk meninjau kembali secara singkat beberapa faktor kebudayaan yang berpengaruh besar terhadap masyarakat Indonesia dalam melihat peristiwa itu.
Narasi Utama Orde Baru yang Problematik Sedikitnya terdapat dua faktor kebudayaan utama yang berpengaruh besar terhadap cara masyarakat Indonesia melihat peristiwa percobaan kup di tahun 1965. Pertama adalah narasi sejarah versi resmi pemerintah Orde Baru, dan kedua, ideologi liberalisme. Mari kita mulai dengan yang pertama. Tokoh penting di balik lahirnya versi resmi itu adalah Nugroho Notosusanto, kepala Pusat Sejarah ABRI, yang juga sejarawan dari UI. Melalui tangan beliau inilah pemerintah Orde Baru melakukan kampanye selama puluhan tahun, sejak 1966, untuk menancapkan nilai-nilai ideo logis di tengah masyarakat tidak saja untuk melegitimasi operasi militer terhadap PKI namun juga untuk melegitimasi naiknya Jendral Suharto ke tampuk kekuasaan politik di Indonesia. Sayangnya, banyak sekali hal yang meragukan di dalam argumen yang diajukan oleh Nugroho yang disusun nya di bulan Desember 1965 dengan judul 40 Hari Kegagalan G30S. Argumen utama yang diajukan oleh Nugroho dalam menuliskan versi resmi didasarkan pada ucapan Jendral Suharto pada pagi tanggal 1 Oktober di hadapan staf Kostrad bahwa PKI berada di belakang aksi yang
Sadar atas kelemahan ini, Nugroho, di tahun 1967 ‘merevisi’ karya awalnya dengan cara mengajukan ‘bukti-bukti’ dari pengadilan militer (yang disusun oleh Ismail Saleh) tanpa mengubah argumennya bahwa PKI memang berada di balik peristiwa G30S. Sebagai tambahan, dalam proses penyusunan narasi versi ke-dua yang diberi judul The Coup Attempt of the “September 30 Movement” in Indonesia ini Nugroho dan Ismail Saleh dibantu oleh Guy Pauker, seorang pejabat RAND Corporation di California yang juga konsultan lembaga intelijen AS, CIA. Keterlibatan CIA dalam upaya mengeliminasi peran PKI di panggung politik Indonesia sebenarnya dapat dilacak melalui peran Guy Pauker yang berhubungan dekat dengan para pejabat militer SESKOAD seperti Jendral Suwarto. Menurut Brad Simpson, seorang peneliti dari Pinceton University, peran Pauker ini sangat penting dalam mempromosikan petinggi militer Indonesia kepada pemerintah AS untuk dipersiapkan sebagai agen perubahan di Indonesia, sekaligus untuk menghancurkan PKI, yang dirumuskan di dalam doktrin ‘civic action’ (diterjemahkan oleh SESKOAD sebagai civic mission) di mana peran militer diperluas ke bidang-bidang non-militer. Bagi sebagian besar sarjana, terutama dari luar negeri, versi kedua ini pun tidak meyakinkan. Katharine McGregor dan George Kahin misal nya, meragukan bahwa bukti2 yang diperoleh dari pengadilan militer itu sah karena para saksi dan tertuduh mengalami tekanan sela ma proses interogasi. Bahkan, di bulan Januari 1966, hanya satu bulan setelah versi pertama selesai ditulis oleh Nugroho di tahun 1965, Ben Anderson dan Ruth McVey sudah meragukan versi Nugroho tentang pe ristiwa itu di dalam karya mereka yang terkenal dengan istilah Cornell
23
dilakukan Kolonel Untung. Suharto berasumsi bahwa ‘kedekatan’ Untung dan tokoh PKI Alimin di masa lalu sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa Untung bertindak atas perintah PKI. Mungkin, kita dapat memahami apabila Suharto tidak merasa perlu dan tidak memiliki waktu untuk membuktikan kebenaran tuduhannya karena dia harus mengambil sikap tegas dan bereaksi cepat terhadap peristiwa itu untuk mengendalikan situasi politik yang tengah guncang. Sebaliknya, Nugroho memiliki cukup waktu dan tenaga untuk melakukan kajian lebih dalam terhadap tuduhan Suharto karena versi resmi itu ditulis di bulan Desember, dua bulan setelah peristiwa itu. Alih-alih melakukan penyelidikan lanjut, Nugroho justru mengulangi tuduhan Suharto tanpa berusaha mem-backup argumen Suharto dengan bukti-bukti yang meyakinkan.
24
Paper. Setelah Cornell Paper, masih banyak lagi versi lain tentang peris tiwa 1965 yang pada intinya mempertanyakan argumen dasar versi Nugroho secara radikal. Munculnya berbagai macam versi tentang peris tiwa itu tidak saja menunjukkan bahwa versi resmi Orde Baru bukan merupakan sebuah narasi yang mengandung kebenaran mutlak namun juga mengimplikasikan bahwa kita tidak dapat menarik kesimpulan yang meyakinkan atas apa yang terjadi, mengapa dan siapa sebenarnya aktor dibelakang pembunuhan tujuh perwira militer pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965. Namun demikian, terlepas dari banyaknya versi tentang peristiwa itu, masyarakat Indonesia ‘terpaksa’ menerima versi resmi pemerintah Orde Baru. Hal ini disebabkan terutama karena versi resmi itu telah ditransformasikan ke dalam berbagai produk budaya seperti museum, monumen, relief, penataran, buku-buku pelajaran sejarah dan tentu saja film dan karya sastra yang semuanya didasarkan pada narasi resmi yang disusun oleh Nugroho. Melalui produk-produk budaya inilah pemerintah Orde Baru melakukan kampanye pembenaran terhadap kekerasan yang terjadi di tahun 1965-1966 dan pada saat yang sama melegitimasi naiknya Jendral Suharto ke tampuk kekuasaan. Selain itu, berbagai versi yang berbeda dari versi resmi Orde Baru yang diajukan oleh banyak peneliti asing, yang hampir tidak dapat diakses oleh sebagian masyarakat Indonesia selama masa Orde Baru, juga menjadi faktor penting ter eksposnya mayarakat hanya pada satu sumber informasi, yaitu, versi resmi resmi Orde Baru. Pada gilirannya, tidaklah mengherankan apabila persepsi masyarakat terhadap apa yang terjadi di tahun 1965 itu menjadi hampir seragam dengan apa yang dikampanyekan oleh pemerintah Orde Baru melalui berbagai instrumen kebudayaan.
Agresi Kebudayaan Liberal Faktor kebudayaan kedua, yang tidak kalah penting dari kampanye versi resmi peristiwa 1965 dalam membentuk persepsi masyarakat untuk melihat peristiwa itu melalui perspektif pemerintah Orde Baru adalah agresi kebudayaan liberal. Hal pertama yang penting untuk diingat dalam melihat bagaimana agresi kebudayaan liberal menunjang ideologi Orde Baru dalam melihat peristiwa 1965 adalah konteks politik internasional pada tahun 1960an yang sedang dilanda Perang Dingin. Sebagaimana
Tidaklah mengherankan apabila terdapat kemiripan gagasan antara deklarasi CCF di tahun 1950 dan Manifes Kebudayaan. Namun tentu saja kemiripan dan pengaruh ini tidak berarti bahwa CCF telah mendikte penandatangan Manifes Kebudayan untuk mengeluarkan pernyataan di tahun 1963. Untuk mengetahui sejauh mana deklarasi CCF terhadap Manifes Kebudayan diperlukan bukti-bukti yang akurat. Salah satunya mungkin dapat ditelusuri dari peran intelektual dan simpastisan PSI yang pernah bekerja erat dengan agen-agen kebudayaan kabinet Van Mook di akhir tahun 1940-an, terutama mereka yang aktif di dalam majalah Siasat dan suplemen kebudayan Gelanggang. Para intelektual Belanda seperti Rob Niewenhuys, Dolf Verspoor dan bahkan A. Teeuw telah dicurigai oleh Joebaar Ajoeb dan Pramoedya Ananta Toer sebagai penyebar gagasan humanisme universal (gagasan liberalisme yang menurut sebagian orang menjadi dasar dari Manifes Kebudayaan). Walaupun istilah humanisme universal itu sendiri diperkenalkan oleh HB. Jassin di tahun 1950 namun peran intelektual Belanda terutama Teeuw, yang bekerja erat dengan Jassin sejak akhir 1940an dan awal 1950an dapat dijadikan titik tolak untuk mengkaji pengaruh gagasan humanisme
25
keterlibatan CIA di dalam kancah politik Indonesia di tahun 1950-1960an, peran lembaga kebudayaan internasional seperti CCF (Congress for Cultural Freedom) juga penting dalam kampanye untuk membagun imaji yang sangat buruk atas ideologi kebudayaan kiri di banyak negara-negara di dunia. CCF dibentuk di Berlin di tahun 1950 (kemudian dipindah ke Paris) oleh CIA melalui seorang agennya yang bernama Michael Josselson. CIA dan berbagai lembaga filantrofi raksasa seperti Ford dan Rockefeller menyalurkan dana yang luar biasa besar untuk mendukung program-program CCF dalam melawan gerakan komunisme internasional. Indonesia pun tak luput dari perhatian lembaga ini. Tokohtokoh kebudayaan anti-komunis seperti Mochtar Lubis dan Sutan Takdir Alisjahbana, misalnya, adalah anggota-anggota aktif di CCF. Misi utama CCF terutama dilakukan melalui penyebaran buku-buku, pamflet, majalah yang sebagian besar berisi gagasan-gagasan liberal yang intinya merupakan hujatan terhadap ideologi komunisme. Para aktivis kebudayan yang lebih muda seperti Arief Budiman, Goenawan Mohamad dan lain-lain yang kelak terlibat dalam perdebatan kebudayaan dan menandatangani pernyataan Manifes Kebudayaan di tahun 1963 merupakan simpastisansimpatisan penting dari program-program kebudayan CCF.
26
universal di dalam dinamika kebudayaan Indonesia. Perlu diingat di sini bahwa wacana untuk membentuk CCF di Eropa sebelum tahun 1950an telah menjadi wacana yang berpengaruh di kalangan intelektual Eropa, tak terkecuali Belanda. Tokoh-tokoh intelektual Belanda seperti Sal Tas dan Alfred Mozer merupakan kontributor penting tentang perkembangan politik dan kebudayan Indonesia pada jurnal-jurnal yang diterbitkan oleh CCF seperti Forum Service dan Preuves. Dinamika dan keterlibatan intelektual Belanda di Eropa ini dapat dijadikan acuan untuk penelitian lebih lanjut tentang hubungan ideologis antara intelektual Belanda yang terlibat secara langsung di dalam CCF di Eropa dan intelektual Belanda yang bekerja di bawah kabinet Van Mook di Jakarta pada waktu itu. Namun demikian, tokoh CCF terpenting yang beroperasi dan menjalin hubungan dekat dengan intelektual Indonesia adalah Ivan Kats, seorang warga negara AS yang menjadi perwakilan CCF untuk programprogram di Asia, terutama Indonesia. Ivan Kats merupakan tokoh penting yang menghubungkan aktivitas kebudayaan untuk melawan kaum kiri dengan lembaga-lembaga donor raksasa AS seperti misalnya Ford dan Rockefeller. Dengan dukungan dari CCF melalui tangan Kats inilah para intelektual Indonesia yang berusaha melawan pengaruh komunisme di Indonesia, terutama di bidang kebudayaan, kerap menyelenggarakan aktivitas kebudayaan seperti seminar, diskusi dan penyebaran buku-buku CCF untuk menyingkirkan ide-ide kiri di Indonesia. Kedekatan Kats dengan intelektual Indonesia seperti Mochtar Lubis dan generasi yang lebih muda seperti Goenawan Mohamad dan Arief Budiman, misalnya, menjadi indikasi penting bagaimana lembaga bentukan CIA itu memanfaatkan aktivitas kebudayaan untuk melawan komunisme di Indonesia. Tidaklah mengherankan apabila CCF memiliki perhatian khusus, terutama pada intelektual muda yang berbakat seperti Arief Budiman dan Goenawan Mohamad, untuk diberikan kesempatan menempuh pendidikan lebih baik di Eropa (Belgia) di tengah pergolakan politik di pertengahan tahun 1960an. Pengaruh dari gagasan universal humanisme, yang sepertinya terumuskan di dalam pernyataan Manifes Kebudayaan tahun 1963, sangat besar di dalam perkembangan wacana dan produk-produk kebudayaan terutama kesusastraan di masa setelah pergolakan politik di tahun 1965. Berdirinya majalah sastra Horison di tahun 1966 dan beberapa karya-karya sastra yang dimuat di dalamnya hingga tahun 1970 merupakan contoh yang baik bagaimana gagasan humanisme universal
Selain dari pelarangan karya-karya penulis kiri oleh pemerintah Orde Baru, tradisi untuk menyingkirkan ide-ide kiri dari aktivitas kebudayaan Indonesia terus berlanjut dengan munculnya karya-karya sastra absurd, fantastis dan individualis di tahun 1970-an di mana setiap gagasan untuk mengkaji ulang ide-ide kebudayaan kiri juga menemui jalan buntu. Pada titik inilah aktivitas kebudayaan Indonesia didominasi oleh wacana yang saling mendukung antara kampanye kebudayaan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dan aktivis kebudayaan pro-liberalisme Barat. Dengan demikian dua faktor kebudayaan, baik yang dimanfaatkan oleh pemerintah Orde Baru maupun para tokoh kebudayan liberal proBarat, baik disengaja maupun tidak, telah bekerja secara erat untuk menyingkirkan komunisme di Indonesia. Pada gilirannya tidaklah mengherankan apabila wacana anti-kiri menjadi dominan di dalam hampir seluruh sektor sosial, termasuk politik dan kebudayaan sepanjang sejarah Orde Baru yang bahkan masih berlanjut hingga hari ini. Dua faktor kebudayaan ini merupakan sebagian dari faktor-faktor yang menentukan dalam kampanye nilai-nilai ideologis melalui produk-produk budaya dalam membentuk persepsi masyarakat untuk mengubur peran jahat kaum komunis di tahun 1965. Dalam konteks inilah ritual politik tahunan yang dilakukan setiap tanggal 1 Oktober berfungsi sebagai pernyataan formal untuk melengkapi sebuah proses ideologis yang masih berlanjut entah sampai kapan.
27
direpresentasikan melalui produk budaya. Karya-karya seperti Pada Titik Kulminasi (Satyagraha Hoerip, 1966), Perempuan dan Anak-anaknya (Gerson Poyk, 1966), Sebuah Perdjuangan Ketjil (Sosiawan Nugroho, 1967), Maka Sempurnalah Penderitaan Saya di Muka Bumi (Zulidahlan, 1967), Perang dan Kemanusiaan (Usamah, 1969) dan Ancaman (Ugati, 1969) adalah beberapa contoh bagaimana konflik psikologis para tokoh cerita dimanfaatkan oleh penulis untuk memanipulasi konsep dasar humanisme. Saya tidak akan menganalisis karya-karaya ini di sini karena analisis lengkap tentang cerita-cerita ini dapat dilihat di dalam buku saya (Cultural Violence: Its Practice and Challenge in Indonesia, 2011). Namun perlu dicatat bahwa walaupun cerita-cerita itu di satu sisi berusaha memberikan simpati pada korban kekerasan di tahun 1965, di sisi lain, karya-karya itu berupaya meyakinkan pembacanya bahwa para korban yang dituduh sebagai pengikut komunisme itu ‘pantas’ menerima konsekuensi atas apa yang dilakukan para petinggi PKI di dalam percobaan kup tahun 1965.
•••
28
PROFIL
DEWAN JURI SAPARDI DJOKO DAMONO Sejak tahun 1974 Sapardi te lah timbul tenggelam sebagai juri sayembara penu lisan no vel dan naskah drama yang di selenggarakan Dewan Kesenian Jakarta. Ia telah menerbitkan se jumlah buku,antara lain Duka-Mu abadi, Perahu Kertas, Mata Pisau, Hujan Bulan Juni, Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?, Mata Jendela, Kolam (puisi), Pengarang Telah Mati, Pengarang Belum Mati, Sup Gibran (fiksi), Sihir Rendra: Permainan Makna, Politik, Ideologi dan Sastra Hibrida, sosiologi Sastra, Sastra Bandingan, Kebudayaan Populer di Sekitar Kita, Drama Indonesia, Bilang Begini Maksudnya Begitu, Buku Apresiasi Puisi (esai). Ia adalah guru besar pensiunan dari Universitas Indonesia dan sekarang masih mengajar dan membimbing di Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Institut Kesenian Jakarta, Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro, dan Universitas Padjajaran
AFRIZAL MALNA
plontos ini memang hampir se lalu menarik perhatian tiap kali tampil sebagai pembicara, de ngan gagasan-gagasan yang segar dan dengan cara penyampaian yang sering mengejutkan. Misalnya, menayangkan sepatu butut atau kepalanya yang gundul pada layar proyektor. Penyair yang pernah disebut-sebut memunculkan kecenderungan sajak-sajak Afrizalian (bergaya Afrizal) dalam perpuisian Indonesia ini pernah kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, tapi tidak selesai. Sebagai salah satu penyair penting Indonesia, Afrizal sering diundang ke berbagai forum di dalam dan luar negeri, antara lain ke Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1995), dan pertemuan Sastra Asia Pasifik di Kuala Lumpur (1997). Afrizal juga sering mendapatkan penghargaan sastra. Antara lain, Hadiah Buku Sastra Dewan Kesenian Jakarta 1984 untuk buku kumpulan sajaknya, Abad yang Berlari (1984); Penghargaan Sastra Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdiknas RI 1996 untuk buku kumpulan sajaknya, Arsitektur Hujan (1995); dan Republika Award 1994 untuk esainya dalam gelar Senimania Republika. Buku-bukunya yang telah terbit, antara lain Abad Yang Berlari (1984), Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990), Arsitektur Hujan (1995), Biography of Reading (1995), Kalung Dari Teman (1998), Sesuatu Indonesia, Esei-esei dari pembaca yang tak bersih (2000), Dalam Rahim Ibuku tak Ada Anjing (2003), Novel Yang Malas Menceritakan Manusia (2004), Lubang dari Separuh Langit (2005), Jam Kerja Telepon (2010), dan Pada Bantal Berasap (2010).
29
Lahir di Jakarta, pada 7 Juni 1957. Dalam Temu Sas tra Indonesia (TSI) III, di Tanjung pinang, September 2010, ia mendapat julukan baru: GM. Bu kan singkatan dari Goenawan Mohamad, tapi “gundul menarik”. Ini lantaran penyair berkepala
30
Sejak 1983 hingga 1993, Afizal juga banyak menulis teks pertunjukan Teater Sae. Tahun 1995 membuat pertunjukan seni instalasi (Hormat dan Sampah) bersama Beeri Berhard Batschelet dan Joseph Praba di Solo. Tahun 1996 kolaborasi pertunjukan seni instalasi Kesibukan Mengamati Batu-Batu, dengan berbagai seniman dari berbagai disiplin di TIM Jakarta. Tahun 2003, Telur Matahari, kolaborasi bersama Harries Pribadi Bah dan Jecko Kurniawan.
KATRIN BANDEL Lahir 1972 di Wuppertal, Jerman. Menyelesaikan studi S3nya di bidang Kajian Indonesia pada tahun 2004 di Universitas Hamburg, Jerman. Menetap di Yogyakarta sejak 2002, sejak 2004 sebagai staf pengajar di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma. Kumpulan esainya Sas tra Perempuan Seks terbit pa da tahun 2006, dan Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas terbit tahun 2013.
PEMBICARA A.S. LAKSANA
Saat ini ia menulis kolom tetap “Ruang Putih” untuk edisi hari Minggu di harian Jawa pos dan grup. Tiga cerpennya Seorang Ibu yang Menunggu (1996), Menggambar Ayah (1998), dan Dua Perempuan di Satu Rumah (2010) terpilih dalam kumpulan cerpen terbaik Kompas. Dua cerpennya Sumur Keseribu Tiga dimuat dalam buku Kumpulan Cerita Terbaik Pena Kencana (2008), dan cerpen Tuhan, Pawang Hujan, dan Pertarungan yang Remis dimuat dalam buku yang sama edisi 2009. Buku kumpulan cerpennya Bidadari yang Mengembara dipilih oleh Majalah Tempo sebagai buku sastra terbaik tahun 2004. Tahun 2006 ia membacakan cerpen Burung di Langit dan Sekaleng Lenu, yang terdapat dalam kumpulan cerpen Bidadari yang Mengembara, di Festival Sastra Winternachten, Den Hag, Belanda. Bersama tiga temannya, tahun 2004 ia memelopori pendirian Sekolah Menulis Jakarta School. Ia juga menulis skenario untuk sinetron serial Laksamana Cheng Ho (Episode di Tanah Jawa). Selain menulis, ia juga mendalami Ericksonian Hypnotis. “Menulis dan hipnotis adalah wilayah yang berhimpitan,” katanya. “Keduanya bersandar pada kekuatan kata. Latar belakang sebagai penulis cerita memudahkan saya mendalami Ericksonian Hypnotis. Dan, sebaliknya, mendalami Ericksonian Hypnotis membuat saya benar-benar memahami kekuatan cerita.”
MARTIN ALEIDA Kelahiran Tanjung Balai, 31 Desember 1943, Martin mengawali karirnya di dunia menulis dengan menjadi jurnalis. Tiga belas tahun ia bekerja sebagai jurnalis Tempo, lalu beralih Kantor Berita Jepang NHK untuk perwakilan Jakarta selama satu tahun. Ia juga pernah bekerja di United
31
Lahir di Semarang, 1968. Ia menulis kolom mingguan tabloid DeTAK (1993-1994), kemudian di DeTAK, Opini, dan Investigasi. Sejak 2009 menulis kolom tetap di Jawa Pos dan detikcom.
Nations Information Centre (1986 – 2001) sebelum akhirnya berkecimpung di Majalah Tapian sejak 2008 hingga sekarang.
32
Peraih penghargaan Antologi Cerita Pendek dari Pusat Bahasa (2004) dan Dokarim Award diberikan Seniman Budayawan Aceh (2006) itu juga aktif berkarya. Beberapa di antara karyanya adalah “Malam Kelabu, Ilyana dan Aku”, “Leontin Dewangga (Jaman Gila Tak Pernah Menangis)”, “Mati Baik-baik Kawan: Layang-layang itu tak lagi mengepak tinggi-tinggi)“ serta Antologi cerita pendek. Bukunya Langit Pertama, Langit Kedua terbit pada 2012 berisi kumpulan esai dan cerita pendek. Martin merupakan salah seorang pendiri Meja Budaya, sebuah kelompok diskusi multidisipliner.
WIJAYA HERLAMBANG Menyelesaikan pascasarjana di University of Queensland dengan tesis master “Exposing State Terror: Violence in Contemporary Indonesia Literature” (2005) disusul dengan disertasi doctoral “Cultural Violence: Its Practice and Challenge in Indonesia” (2011). Penerima Australian Postgraduate Award (2006-2009) ini sekarang mengajar di Universitas Pancasila dan Gunadarma.
MUSIK FLOAT 33 Float adalah sebuah band yang didirikan pada tanggal 30 Agustus 2004 oleh Hotma “Meng” Roni Simamora, Windra “Bontel” Benyamin, dan Raymond Agus Saputra. Pada awal tahun 2005 Float merilis mini albumnya yang berjudul “No-Dream Land” secara independen. Mini album ini menarik perhatian produser film Mira Lesmana yang kemudian meminta Float mengisi album soundtrack untuk film “3 Hari Untuk Selamanya” (2007) yang disutradarai Riri Riza. Dengan album soundtrack tersebut, Float memperoleh penghargaan bergengsi seperti Abhinaya Trophy untuk Soundtrack Terbaik di ajang Jakarta Film Festival dan Best Theme Song di ajang penganugerahan MTV Indonesian Movie Awards, semuanya didapat di tahun yang sama, 2007. Pada tahun 2008, lagu yang berjudul “Surrender” digunakan sebagai lagu tema promosi film seri yang berjudul “Heroes” (Season 2) produksi Satellite Television for the Asian Region (STAR), sebuah televisi satelit berbayar yang berbasis di Hong Kong. Di tahun yang sama, dengan lagu “Waltz Musim Pelangi”, Float ikut berkolaborasi dalam album kompilasi “Songs Inspired by Laskar Pelangi” (Miles Music / Trinity Optima). Berselang 4 tahun kemudian, Float menelurkan “Songs Of Seasons” yang dirancang khusus sebagai lagu tema iklan TV “Wonderful Indonesia”, salah satu media kampanye promosi pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.
•••
34
TIM PELAKSANA PROGRAM
PENANGGUNG JAWAB DEWAN KESENIAN JAKARTA STEERING COMMITTEE KOMITE SASTRA DEWAN KESENIAN JAKARTA FIKAR W. EDA EKA KURNIAWAN LINDA CHRISTANTY HANNA FRANCISCA DEWAN JURI AFRIZAL MALNA KATRIN BANDEL SAPARDI DJOKO DAMONO PEMBICARA DISKUSI A.S. LAKSANA KATRIN BANDEL SAPARDIDJOKO DAMONO MODERATOR WICAKSONO ADI PENGISI ACARA FLOAT PROGRAM MANAGER ANA ROSDIANAHANGKA PROGRAM OFFICER ANA ROSDIANAHANGKA PROJECT OFFICER WA ODE WULAN RATNA STAGE MANAGER REBECCA KEZIA KEUANGAN DASUKI HUMAS DITA KURNIA DESAINER GRAFIS RIOSADJA
PEMBAWA ACARA HANNA FRANSISCA WA ODE WULAN RATNA PENERIMA TAMU SHINTA SAHARA LIA KRU DADAN TEBO DOKUMENTASI JOEL TAHER EVA TOBING KEBERSIHAN DEDY GUNAWAN JULIAN
••• SUSUNAN ACARA 35
15.00 - 17.00 WIB DISKUSI “SASTRA, KRITIK, DAN POLITIK ORDE BARU” Pembicara: A.S. Laksana Martin Aleida Wijaya Herlambang Moderator: Wicaksono Adi
19.30 - 20.30 WIB PEMBACAAN PERTANGGUNGJAWABAN PENJURIAN Dewan Juri: Sapardi Djoko Damono Afrizal Malna Katrin Bandel
20.30 WIB KONSER MUSIK FLOAT
36
SELAMAT TAHUN BARU
2014
HAPPY NEW YEAR
2014
DEWAN KESENIAN JAKARTA: TAMAN ISMAIL MARZUKI, JL. CIKINI RAYA NO. 73, JAKARTA 10330 • T/F: +6221.31937639 • WWW.DKJ.OR.ID