1
TEATER JAKARTA - TAMAN ISMAIL MARZUKI SENIN, 10 NOVEMBER 2014 / 19.30 WIB
ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK
2
PIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014 ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK TEATER JAKARTA - TAMAN ISMAIL MARZUKI 10 NOVEMBER 2014
PENANGGUNGJAWAB DEWAN KESENIAN JAKARTA PENYUSUN TOTOT INDRARTO DESAINER GRAFIS RIOSADJA FOTO HILMAR FARID ANA ROSDIANAHANGKA LUKISAN SAMPUL POPO ISKANDAR “DOK TERAPUNG DUMAI” (1974) KOLEKSI DEWAN KESENIAN JAKARTA
DEWAN KESENIAN JAKARTA TAMAN ISMAIL MARZUKI, JL. CIKINI RAYA NO. 73 JAKARTA 10330 T/F: +6221.31937639 • WWW.DKJ.OR.ID
PIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014
3
Daftar Isi Sambutan Ketua Umum PH Dewan Kesenian Jakarta
7
Akademi Jakarta & Dewan Kesenian Jakarta
9
Suara Jernih dari Cikini
11
Arus Balik Kebudayaan: Sejarah sebagai Kritik
15
Hilmar Farid
42
Musik-Teater “Arus Balik”
45
Panitia & Pekerja
47
Ucapan Terima Kasih
48
ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK
4
PIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014
5
ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK
6
PIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014
7
Sambutan Ketua Umum Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta SALAM Budaya! Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2014 merupa kan penyelenggaraan ke-14, dan yang kedua diadakan oleh kepengurusan periode 2013-2015. Pidato tahun ini berlangsung dalam suasana politik agak istimewa, yang dalam banyak hal bisa disamakan dengan situasi yang melingkupi penyelenggaraan Pidato Kebudayaan DKJ 1998. Kita baru saja melewati pemilihan presiden paling gaduh sejak dimulainya kekuasaan Orde Baru, namun diapresiasi baik oleh dunia internasional, dan menghasilkan pemerintahan baru yang diklaim sebagai “kehendak rakyat”. Kendati masih terus dibayangi berbagai bentuk tekanan dan “ancaman”, optimisme mengenai masa depan Indonesia yang jauh lebih baik membuncah lagi. Tapi justru karena itu kami tidak ingin larut dalam euforia. Kami memutuskan berhenti sejenak dan mengambil jarak agar Pidato Kebudayaan DKJ 2014 dapat benar-benar melantunkan Suara Jernih dari Cikini, yang sangat dibutuhkan dalam kegembiraan sekaligus kecemasan seperti saat ini. Oleh karena itu kami memilih Hilmar Farid, intelektual muda yang dikenal sebagai sejarawan sekaligus aktivis sosial, budaya, dan politik, serta doktor dalam bidang kajian budaya. Dengan pengetahuan yang luas dan unik –memahami dengan baik konteks sejarah, fenomena-fenomena aktual, sekaligus pemikiran-pemikiran kontemporer– ia kami tantang menganalisis persoalan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia hari ini dengan melihat masa lalu dalam perspektif masa depan. ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK
8
Seperti tahun lalu, Ketua Komite Film Totot Indrarto menjadi penanggung jawab konten sekaligus produser acara malam ini. Sejak dua bulan lalu setiap Rabu ia bersama tim DKJ bertemu dengan Hilmar Farid untuk mendiskukan isi pidato dan cara menampilkan secara menarik agar diminati lebih banyak pemirsa. Ketua Komite Musik Aksan Sjuman bersama anggota Komite Musik Aisha Pletcher Sudiarso turun tangan menggarap semua kebutuhan musik. Kami beruntung mendapat bantuan Lasja Fauzia Susatyo dan Samuel Wattimena yang bersedia menjadi sutradara dan perancang busana. Dalam pertunjukan pembuka, Aksan Sjuman berkolaborasi dengan Anggota Komite Teater Faiza Mardzoeki membuat teater gerak yang dibawakan seniman topeng kontemporer Gallis Agus Sunardi. Kolaborasi Musik-Teater Arus Balik ini terinspirasi dari karakter Wiranggaleng dalam novel berjudul sama yang ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam pembuangan di Pulau Buru dan merupakan salah satu rujukan pidato Hilmar Farid. Peristiwa istimewa ini tidak mungkin terlaksana tanpa dukungan dan bantuan banyak pihak. Terima kasih pertama-tama kami sampai kan pada Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Arie Budhiman, Direktur PKJ TIM Bambang Subekti, dan Ketua Koalisi Seni Indonesia Abduh Aziz. Kami juga berterima kasih pada teman-teman anggota DKJ lainnya, para penaja, kolega, periset, staf DKJ, serta seluruh pa nitia, pekerja, dan relawan yang memungkinkan acara ini berlangsung baik. Terima kasih khusus kami sampaikan kepada Hilmar Farid yang dua bulan terakhir telah menjadi teman yang mencerdaskan sekaligus guru yang menginspirasi. Ketua Umum Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta 2013-2015
Irawan Karseno PIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014
9
Akademi Jakarta & Dewan Kesenian Jakarta
DEWAN PEKERJA HARIAN DKJ 1969-1970
DEWAN Kesenian Jakarta (DKJ) adalah lembaga otonom yang dibentuk oleh masyarakat seniman dan untuk pertama kali dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 7 Juni 1968. DKJ bertugas sebagai mitra kerja gubernur untuk merumuskan kebijakan serta merencanakan berbagai program guna mendukung kegiatan dan pengembangan kehidupan kesenian di wilayah Jakarta. Anggota DKJ berjumlah 25 orang, terdiri dari seniman, budaya wan, dan pemikir seni, yang terbagi dalam enam komite: Film, Musik, Sastra, Seni Rupa, Tari, dan Teater. Setiap tiga tahun, anggota DKJ dipilih oleh Akademi Jakarta (AJ) dan dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta. AJ sendiri merupakan lembaga kehormatan seniman yang ber fungsi sebagai penasihat gubernur dalam bidang seni dan budaya. Ang gota Akademi Jakarta terdiri dari seniman atau budayawan yang sudah berprestasi pada bidangnya, berasal dari seluruh Indonesia, dengan masa keanggotaan seumur hidup. ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK
10
Anggota Akademi Jakarta: Taufik Abdullah (Ketua), A.D. Pirous, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ajip Rosidi, Amrus Naltalsya, Endo Suanda, Goenawan Mohamad, Ignas Kleden, Iravati M. Sudiarso, Mochtar Pabottingi, Nh. Dini, Nono Anwar Makarim, Saini K.M., Sardono W. Kusumo, Sitor Situmorang, Slamet Abdul Sjukur, Tatiek Maliyati W.S., Toeti Heraty N. Roosseno Anggota Dewan Kesenian Jakarta 2013-2015: • Pengurus Harian: Irawan Karseno (Ketua Umum), Alex Sihar (Sekretaris), Madin Tyasawan (Ketua Bidang Umum), Irvan A. Noe’man (Ketua Bidang Administrasi Dan Keuangan), Helly Minarti (Ketua Bidang Program) • Komite Film: Totot Indrarto (Ketua), Joko Anwar (Sekretaris), Alex Sihar, Marselli S. (Anggota) • Komite Musik: Aksan Sjuman (Ketua), Budi Utomo Prabowo (Sekretaris), Aisha Pletcher Sudiarso, Anusirwan (Anggota) • Komite Sastra: Fikar W. Eda (Ketua), Eka Kurniawan (Sekretaris), Linda Christanty, Hana Fransiska (Anggota) • Komite Seni Rupa: Hafiz Rancajale (Ketua), Sarnadi Adam (Sekretaris), Inda C. Noerhadi, Irawan Karseno, Irvan A. Noe’man (Anggota) • Komite Tari: Sukardji Sriman (Ketua), Rury Nostalgia (Sekretaris), Helly Minarti, Hartati (Anggota) • Komite Teater: Dewi Noviami (Ketua), Budi Sobar (Sekretaris) Faiza Mardzoeki, Madin Tyasawan (Anggota)
PIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014
11
Suara Jernih dari Cikini PIDATO Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) merupakan program tahunan DKJ bersama Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM). Tradisi yang diselenggarakan sejak 1989 sebagai bagian perayaan ulang tahun TIM ini setiap tahun mengundang tokoh nasional untuk mengupas persoalan penting dan aktual. Para pembi cara berusaha menjawab tantangan yang tengah melanda bangsa Indonesia dengan pemikiran-pemikiran jernih dari perspektif kebudayaan. Pada kurun 1989-1996, misalnya, ekses negatif dari liberalisasi dan deregulasi yang dilakukan sejak 1980-an mulai terasa. Modernisasi yang datang bersama keterbukaan mengakibatkan kebudayaan daerah terpinggirkan dan pembangunan terpusat di pulau Jawa. Modernisasi juga memunculkan pola hidup konsumtif dan mengakibatkan kerusakan lingkungan. Umar Kayam (1989), Emil Salim (1991), B.J. Habibie (1993), Mochtar Kusumaatmadja (1994), dan Fuad Hassan (1995) mengusulkan relasi-relasi baru yang menghubungkan daerah-pusat, tra disi-modernisasi, dan budaya-teknologi. Sementara Ginanadjar Kartasasmita (1996) dan Ali Sadikin (1999) menawarkan gagasan good government dan partisipasi publik untuk memperbaiki keadaan. Menjelang dan setelah reformasi, tokoh yang aktif menentang ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK
12
Orde Baru seperti Rendra (1997), Amien Rais (1998), Ali Sadikin (1999), dan Todung Mulya Lubis (2000, 2003) –selain juga Sri Sultan Hamengkubuwono (2002)– mendapat kesempatan menguraikan gagasan-gagasannya dalam bidang kebudayan dan hukum/HAM untuk membangun Indonesia yang lebih baik. Sementara persoalan-persoalan baru yang muncul di era reformasi berusaha dijawab dengan argumentasi berbasis moral oleh Ayzyumardi Azra (2001), Hidayat Nur Wahid (2004). Ahmad Syafii Maarif (2005), Zawawi Imron (2007), Busyro Muqqodas (2011), dan Mahfud MD (2012). Dua pembicara, Herry Priyono (2006) dan I Gusti Agung Ayu Ratih (2008), melihat kebuntuan demokrasi sebagai persoalan utama kita saat itu. Dua lainnya, Ignas Kleden (2009) dan Rocky Gerung (2010), mengusulkan gagasan untuk memperkuat ruang privat dan ruang publik. Tahun lalu, Karlina Supeli (2013) memprioritaskan delapan siasat untuk mentransformasikan kebiasaan-kebiasaan publik sebelum mewanacakan peta besar atau strategi kebudayaan tertentu. Praktis selama lebih dari dua dekade Pidato Kebudayaan DKJ senantiasa melantunkan suara-suara jernih dari Cikini. Pemikiran- pemikiran yang selama ini melintas di ruang-ruang penyelenggaraan Pidato Kebudayaan DKJ sangat bernilai buat direnungkan, dan harus diberi banyak kaki –disebarluaskan kepada siapa pun yang masih mencintai negeri ini– agar memberi kemanfataan bagi kemajuan kehidupan dan peradaban kita.
PIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014
13
ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK
14
PIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014
15
Oleh Hilmar Farid Bukan lautan hanya kolam susu Kail dan jala cukup menghidupimu Tiada badai tiada topan kau temui Ikan dan udang menghampiri dirimu SELAMAT malam! Koes Plus tidak sendirian dalam keyakinannya bahwa Indonesia adalah negeri maritim yang kaya. Di bangku sekolah kita belajar tentang wilayah lautan Indonesia yang luasnya mencapai 3,2 juta kilo meter persegi, tentang panjang pantai yang lebih dari 95.000 kilometer dan membuat Indonesia menjadi negeri dengan wilayah pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, tentang 17.000 lebih pulau de ngan sumber daya alam yang beragam, dan angkatan kerja yang besar. Saat ini diperkirakan lebih dari 160 juta orang atau lebih dari 60 persen penduduk Indonesia bermukim di daerah pesisir. Potensinya memang ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK
16
luar biasa. Dan para ahli memperkirakan bahwa potensi ini, potensi ekonomi maritim ini, jika digarap dengan baik, nilainya bisa mencapai Rp 3.000 trilyun per tahun, dan menyerap lebih dari 40 juta tenaga kerja di berbagai bidang, mulai dari perikanan, pengembangan wilayah pesisir, sampai bioteknologi dan transportasi laut. Tapi mengapa sampai hari ini perekonomian Indonesia masih bertumpu pada industri pengolahan, pertambangan dan kehutanan, pertanian dan peternakan, yang semuanya berbasis di daratan? Total kontribusi sektor kelautan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia saat ini hanya sekitar 20 persen, di bawah Thailand dan Korea Selatan, dua negeri yang kalau panjang pantainya digabung pun tidak sampai sepuluh persen dari panjang pantai Indonesia. Ini bukan perkara preferensi atau prioritas dalam pembangunan tapi menyangkut keselamatan dan masa depan. Pembangunan ekonomi yang bertumpu di daratan memang berhasil membawa Indonesia ke dalam kelompok 16 besar perekonomian dunia. Tapi harga yang harus dibayar pada saat bersamaan sangat mahal dan mungkin tidak seimbang dengan pencapaiannya. Antara tahun 2001-2013 se tiap hari ada areal hutan seluas 500 lapangan sepakbola yang habis dibabat. Tidak perlu menjadi ahli lingkungan hidup untuk mengaitkan pembabatan hutan dengan bencana banjir dan tanah longsor yang sering terjadi belakangan ini. Setiap tahun kita mendengar ribuan orang mengungsi karena banjir. Belum lagi yang tewas tertimbun ta nah longsor. Pada tahun 2012 saja, kerugian yang diderita masyarakat karena banjir dan tanah longsor mencapai Rp 30 trilyun atau lebih dari separuh pendapatan dari sektor kehutanan pada tahun yang sama. Areal hutan yang dibabat kemudian ditanami kelapa sawit atau tanaman keras lainnya, yang kemudian membawa bermacam persoalan baru, mulai dari kerusakan lingkungan hidup, meningkatnya ketegangan sosial dalam masyarakat, meluasnya praktek korupsi dan arogansi politik. Tidak sedikit kasus yang diurus dan sudah diputus oleh pengadilan tindak pidana korupsi dalam beberapa tahun terakhir ini terkait pengurusan hak guna usaha perkebunan. PIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014
17
Pembangunan yang bertumpu pada daratan ini memang berha sil meningkatkan PDB per kapita dari USD 1.161 pada tahun 2004 menjadi USD 3.556 pada tahun 2012. Meningkat tiga kali lipat! Tapi pada saat bersamaan indeks pembangunan manusia kita merosot dari 0,697 menjadi 0,629 pada kurun yang sama. Dalam bahasa yang lebih lugas: yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Ketimpangan ini juga terlihat dari distribusi pendapatan nasional kita. Saat ini diperkirakan 20 persen penduduk terkaya menguasai hampir separuh pendapatan nasional sementara 40 persen penduduk termiskin yang menguasai 16 persen pendapatan nasional. Dan lebih dari serempat penduduk termiskin adalah orang dengan pengeluaran di bawah garis kemiskinan. Ketimpangan juga terjadi secara geografis antara daerah berpendapatan tinggi seperti Kalimantan Timur dan Jakarta dengan daerah seperti Nusa Tenggara Timur yang berpendapatan sangat rendah. Tentu bukan kebetulan bahwa daerah yang berpendapatan tinggi kehidupan ekonominya bertumpu di daratan yakni kehutanan, pertambangan, dan pajak kendaraan, sementara daerah yang berpendapatan paling rendah adalah gugus kepulauan di kawasan timur: Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara. Benar belaka Presiden Jokowi ketika mengatakan bahwa Indonesia terlalu lama memunggungi laut. Pertanyaannya kemudian, apa yang membawa kita sampai pada keadaan seperti ini? Jawaban atas pertanyaan mendasar ini menurut hemat saya harus dicari di dalam kebudayaan. Sikap memunggungi laut terjadi bukan karena kurangnya investasi di bidang kelautan dan bukan pula karena kurangnya pengetahuan, teknologi, atau infrastruktur. Semua itu adalah akibat dari perubahan yang panjang dalam sejarah yang membalik arus kebudayaan kita. Dalam perjalanan sejarah inilah kita harus mencari jawabannya dan bukan dalam stereotipe mental atau karakter bangsa yang sering kita dengar belakangan ini. Kebudayaan adalah keseluruhan cara hidup yang tidak dapat direduksi menjadi sederet sifat atau watak yang dianggap lekat dalam kehidupan masyarakat. Pada tahun 1977 budayawan Mochtar Lubis pernah membuat penjelasan ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK
18
semacam itu dalam bukunya yang berjudul Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban. Ia menyebut enam ciri atau karakteristik yang menandai manusia Indonesia:1 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Munafik Enggan bertanggung jawab Bersikap dan berperilaku feodal Percaya takhyul Berbakat seni Lemah watak
Daftar ini masih bisa kita perpanjang dengan bermacam kualitas negatif lain seperti mau menang sendiri, tidak bisa menghargai waktu, cepat puas diri, tidak telaten dalam pekerjaan, menjilat ke atas dan menindas ke bawah, mencuri kesempatan dalam kesempitan, dan sebagainya. Dan memang tidak sulit bagi kita untuk menjumpainya dalam kehidupan sehari-hari – kalau mau jujur, kita sendiri juga tidak lepas dari kualitas negatif seperti itu. Artinya ciri atau karakteristik se perti itu benar ada. Tapi menganggapnya sebagai ciri yang melekat pada kebudayaan adalah kekeliruan ganda. Kekeliruan pertama terletak pada generalisasi dan stereotyping yang salah satu wujud buruknya dalam pergaulan manusia adalah rasisme. Di masa lalu penguasa kolonial menggunakan generalisasi dan stereotipe semacam ini untuk menanamkan perasaan rendah diri di kalangan orang jajahan sehingga lebih mudah diatur.2 Kekeliruan kedua, jika benar ciri dan sifat negatif itu adalah akar masalahnya, maka persoalan di negeri ini akan selesai dengan mendorong tumbuhnya industri kebajikan yang rajin memproduksi nasehat, agar semua orang Indonesia bisa meninggalkan semua ciri negatif yang melekat pada mereka. Jika ini benar, maka kita tidak perlu presiden dan menteri yang andal dan mumpuni, cukup seorang motivator yang bisa 1) Mochtar Lubis, Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban (Jakarta, 1977). 2) Lihat karya Syed Hussein Alatas, The Myth of the Lazy Native (London, 1977). Buku ini diterbitkan pada tahun yang sama ketika Mochtar Lubis menerbitkan Manusia Indonesia.
PIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014
19
mengubah segala yang negatif menjadi positif. Super! Kebudayaan bukan sesuatu yang statis tetapi produk dari perjalanan sejarah yang dinamis dalam ruang sosial dan kultural yang konkret. Karena itu generalisasi dan stereotipe harus kita buang karena sudah melanggar prinsip yang paling dasar dalam sejarah, bahwa yang abadi hanyalah perubahan. Karena itu pula rujukan pada sejarah bukan berarti mengulang kembali kisah kebesaran Majapahit dan Sriwijaya atau kisah ketangguhan pelaut Mandar yang dengan sandeq bisa mengarungi samudera. Kisah seperti itu mungkin berguna untuk membangkitkan semangat patriotisme, cinta tanah air, atau tujuan lainnya semacam itu, tapi hampir tidak ada gunanya untuk memahami dinamika sejarah yang konkret. Sesuatu yang sudah dipatok sebagai besar dan hebat akan sulit dicari kekurangannya, padahal justru dalam kekurangannya itu kita bisa menarik pelajaran yang berharga. Dan jika tidak awas, narasi tentang kejayaan masa lalu atau zaman keemasan, malah bisa menenggelamkan kita dalam kebanggaan semu dan keyakinan teleologis bahwa suatu saat nanti, di masa depan yang jauh, Indonesia akan kembali menjadi bangsa yang besar. Di masa lalu keyakinan teleologis ini kuat dalam gerakan Ratu Adil dan milenarianisme yang biasanya berusia pendek. Saya tidak melihat alasan bahwa jika ada gerakan yang berpijak pada keyakinan seperti itu usianya akan lebih panjang. Kita perlu narasi sejarah yang menggambarkan pergulatan sosial, pergulatan kuasa antara kekuatan-kekuatan sosial, dari masa ke masa, untuk menjelaskan mengapa kita sampai pada keadaan seperti sekarang ini. Kita perlu memahami kekuatan apa yang mendorong munculnya gejala tertentu dan kekuatan apa yang kemudian mendorong gejala itu mundur atau menghilang. Hanya dengan begitu kita bisa membongkar bentuk yang menyelubungi kenyataan yang konkret dan masuk pada inti persoalan. Inilah fungsi sejarah sebagai kritik. Kita perlu belajar tentang Majapahit, tapi bukan tentang kejayaannya melainkan kejatuhannya yang menimbulkan arus balik yang hebat dalam sejarah. Kita perlu belajar tentang pelaut Mandar bukan sekadar untuk mengagumi kehebatannya berlayar, tapi untuk memahami bagaimana mereka bisa ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK
20
bertahan sebagai pelaut, sebagai komunitas maritim, di tengah gerak memunggungi laut yang semakin menguat. Kita perlu belajar tentang orang Bajau dan Suku Laut bukan karena keunikan sejarah dan budaya yang terkesan eksotik, tapi karena dalam pandangan dunia mereka kita bisa menemukan landasan untuk membayangkan negeri maritim di masa mendatang. Dalam himpunan kenyataan sejarah kita bisa mengenali dan memahami kekuatan yang mendorong Indonesia terlalu lama memung gungi laut. Saat ini sudah cukup banyak studi mengenai berbagai segi dan aspek sejarah yang berkaitan dengan dunia maritim, mulai dari perikehidupan masyarakat pesisir, jaringan perdagangan maritim yang terus berubah dari masa ke masa, ragam dan jenis kapal serta teknologi kelautan, sampai pada studi tentang barang dagangan seperti rempah-rempah yang membentuk jalur perdagangan dalam sejarah, dan berbagai pelabuhan yang tersebar di seluruh negeri. Masalahnya hampir semua studi itu berbentuk monografi atau studi mengenai subyek yang khusus, dan belum banyak usaha untuk menghimpun berbagai studi yang khusus itu ke dalam sebuah kerangka umum yang bisa membawa kita pada semacam kesimpulan, betapapun sementara sifat nya, mengenai perkembangan dunia maritim di kawasan ini. Salah satu pengecualian yang perlu disebut di sini adalah karya Adrian Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17.3 Profesor Lapian adalah pelopor studi sejarah maritim di Indonesia dan saya beruntung pernah menjadi mahasiswanya. Salah satu butir pemikiran penting yang kerap diulangnya adalah bahwa keragaman pengalaman sejarah dan letak geografis dari berbagai polity dan community dalam sejarah mestinya membuat kita sadar bahwa Indonesia bukan sesuatu yang terberi atau given. Tapi berbeda dengan sejarawan yang melihat bahwa Indonesia hanyalah rekaan atau produk dari kalangan intelektual Eropa dan kemudian kaum nasionalis yang mengambil alih gagasan mereka pada awal abad keduapuluh pun tidak 3) Adrian B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17 (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008).
PIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014
21
sepenuhnya tepat. Gerak mempersatukan berbagai komunitas di bawah polity tertentu sudah ada sejak lama dan apa yang kita sebut sejarah Indonesia atau sejarah nasional di sini tidak lain adalah produk interaksi berbagai komunitas dalam kawasan maritim ini. Peringatan itu menjadi penting karena kuatnya kecenderungan untuk membaca sejarah secara linear, seolah semua masyarakat akan melalui tahap perkembangan yang sama menuju pada kehidupan modern. Kecenderungan itu sangat kuat di kalangan pegawai dan sarjana kolonial yang mempelajari sejarah dan kebudayaan masyarakat jajahan sebagai bagian dari politik penguasaan dan eksploitasi. Mereka melihat perbedaan pemikiran, sikap, dan perilaku orang jajahan dengan orang Eropa bukan dalam kerangka ke ragaman tapi dalam kerangka tahap perkembangan masyarakat. Bahwa orang Melayu, Jawa, dan non-Eropa lainnya belum hidup, bersikap, dan berperilaku seperti orang Eropa adalah bukti ketertinggalan yang satu dari yang lain. Cara pandang linear dan teleologis mengenai sejarah ini pada ak hirnya akan bermuara pada semacam hierarchy of significance di mana peristiwa, tokoh, atau tempat tertentu dianggap lebih penting daripada yang lain karena perannya dalam membawa masyarakat menuju kehidupan modern. Narasi sejarah yang disusun dengan cara pandang seperti ini cocok dengan gagasan milenarian dan dalam situasi tertentu juga dengan kekuasaan dan politik yang otoriter. Saya kira ketertarikan sebagian elite politik belakangan ini terhadap Majapahit atau Sriwijaya, misalnya, bukan semata karena silau kemegahannya itu sendiri tapi karena narasi yang dominan mengenai dua kerajaan itu sejalan dengan mimpi mengenai kebangkitan Indonesia sebagai bangsa yang modern dan besar. Sejarah sebagai kritik melawan kecenderungan itu. Arti pen ting atau significance suatu peristiwa, tokoh atau tempat tertentu tidak ditentukan dari hasil akhirnya (telos) tetapi kedudukannya dalam waktu dan tempat tertentu. Hanya dengan begitu kita bisa kembali memasukkan peristiwa, tokoh atau tempat yang dianggap tidak signifikan dalam pandangan dominan. Hanya dengan begini pemahaman kita mengenai sejarah akan menjadi lebih adil. ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK
22
Geografi menjadi sangat penting di sini karena gerak memunggungi laut tidak terjadi secara serempak melainkan bertahap dari satu tempat ke tempat lain. Di beberapa tempat denyut kehidupan mari tim masih sangat kuat sementara di tempat yang lain sudah melemah dan cenderung menghilang, dan itu erat kaitannya dengan pasangsurut kekuasaan kerajaan maritim Nusantara dalam kaitannya dengan dominasi orang Eropa, terutama Portugis dan Belanda. Sepanjang abad ketujuhbelas kerajaan maritim muncul silih-berganti, di Aceh, Banten, Makassar, Ternate, Tidore, Sumbawa, dan sebagainya, untuk waktu yang relatif lama sampai akhirnya masing-masing tunduk pada kekuasaan VOC. Lantas bagaimana kita bisa memahami kenyataan sejarah dan geografi Indonesia begitu cair lantas bagaimana kita bisa me nangani kompleksitas itu sebagai kesatuan? Ini bukan sebuah pertanyaan akademik yang hanya menarik bagi ahli sejarah tapi sebuah pertanyaan mendasar yang juga menghantui para pemimpin sebelum kemerdekaan. Pada awalnya mereka melihat sejarah dan geografi Hindia Belanda (kemudian Indonesia) sebagai kesatuan yang alamiah. Masalah mulai timbul ketika dalam sidang BPUPKI bulan Juni 1945 para pemimpin ini duduk untuk membahas persiapan kemerdekaan dan konstitusi. Salah satu butir pembahasannya adalah mengenai batas negara Republik Indonesia. Pimpinan sidang, Dr Radjiman Wediodiningrat, pendiri Budi Utomo, mengatakan bahwa masalah batas negara tidak perlu dibahas terlalu mendalam karena semua anggota sudah setuju bahwa republik yang baru akan mengikuti batas negara kolonial Hindia Belanda. Adalah Mohammad Hatta yang kemudian mengusulkan agar para peserta sidang diizinkan menyampaikan pandangan mereka. Sidang akhirnya diperpanjang sampai hari berikutnya karena usulan yang diajukan begitu beragam dengan argumen yang kuat pula. Setelah kemerdekaan masalah itu tetap berlanjut. Selama lima tahun pertama batas wilayah republik terus bergerak mengikuti perkembangan perang dan diplomasi. Ketika akhirnya Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), Republik Indonesia hanyalah satu negara bagian yang wilayahnya mencakup Banten, PIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014
23
sebagian Jawa Tengah dan Yogyakarta, serta seluruh Sumatera kecuali Sumatera Timur, Sumatera Selatan, Bangka dan Belitung. Walau RIS akhirnya dibubarkan pada Agustus 1950 dan semua negara bagian menyatukan diri di bawah Republik Indonesia ketegangan di sekitar hubungan pusat dan daerah masih terus berlanjut. Pada tahun 1950an ketegangan itu meledak dalam serangkaian konflik terbuka yang menandakan bahwa integrasi Indonesia sebagai sebuah negara dan juga sebuah bangsa masih belum selesai. Kegagalan mendorong integrasi yang wajar ini adalah produk dari kegagalan menangkap dan mengelola kompleksitas sejarah dan geografi Indonesia. Lalu bagaimana caranya kita memelihara keragaman di satu sisi tapi mendorong persatuan di sisi lain? Apa itu bhinneka tunggal ika dalam praktek? Pada tahun 1932 Dr Soetomo, pendiri Budi Utomo dan tokoh gerakan nasionalis di masa awal, menulis sebuah artikel singkat berjudul Gamelan dan Kewadjiban. Ia berpendapat bahwa konsep or kes gamelan bisa digunakan sebagai model masyarakat yang harmonis karena dalam orkes gamelan semua orang tahu tempat dan perannya masing-masing dan menerima kedudukan yang diberikan kepada oleh masyarakat tanpa reserve. Prinsip manut kepada aturan yang sudah ditetapkan adalah prasyarat dasar bagi terbentuknya harmoni dalam gamelan maupun masyarakat. Gagasan Soetomo tentang gamelan tentu tidak bisa menjawab pertanyaan di atas karena mensyaratkan adanya kepatuhan tanpa syarat dan keharusan untuk membentuk harmoni tanpa ruang bagi perbedaan dan keragaman. Tunggal ika tanpa bhinneka. Tapi referensinya ke dunia musik membuka cara pandang baru yang menarik untuk diperhatikan lebih jauh. Dua tahun sebelum Soetomo menulis artikel itu Sukarno membacakan pidato pembelaannya, Indonesia Menggugat, di Landraad Ban dung, dari bulan Agustus sampai Desember 1929. Lain dari Soetomo yang nadanya memberikan wejangan tentang persatuan dalam harmoni, Sukarno justru menjadikan dirinya semacam interlocutor yang me nyuarakan bermacam masalah yang dihadapi rakyat. Sumber suaranya sangat beragam, mulai dari belasan suratkabar seperti Darmokondo, ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK
24
Pertja Selatan, Aksi, Siang Po, Pewarta Deli, Sin Po, sampai pada para pegawai dan sarjana kolonial, para pemimpin pergerakan, dan tentunya suara Sukarno sendiri. Dengan telaten ia berusaha mencari ritme di balik suara yang sepertinya tak beraturan itu dan memahaminya sebagai sebuah kesatuan. Setelah dilepas dari penjara pada akhir 1931 Sukarno kembali berkeliling mendatangi kota-kota kecil di seluruh Jawa. Hasil persentuhannya ia tuangkan dalam Mentjapai Indonesia Merdeka yang secara sistematis menguraikan pandangannya mengenai kolonialisme Eropa dan keharusan Indonesia untuk merdeka. Dalam buku itu ia memperlihatkan bagaimana musik membantunya menata pikiran de ngan menjuduli bagian-bagian dari tulisannya dengan bait-bait lagu Indonesia Raya dan Di Timur Matahari karya Wage Rudolf Supratman. Sukarno termasuk sedikit pemimpin gerakan nasionalis yang me ngalami Indonesia secara ekstensif sejak sebelum kemerdekaan. Setelah ditangkap untuk kedua kalinya pada 1933 ia dibuang ke Ende dan berdiam di sana selama beberapa waktu sebelum dipindah ke Bengkulu dan akhirnya ke Padang. Selama revolusi ia berpindah dari satu tempat ke tempat lain dan berkunjung ke beberapa daerah yang berada di bawah kekuasaan republik sampai akhirnya ditangkap oleh Belanda dan ditahan di Bangka selama beberapa bulan. Setelah penyerahan kedaulatan ia berkeliling negeri sebagai presiden dan berkesempatan untuk bersentuhan langsung dengan realitas negerinya dan dengan begitu membuka jalan untuk mengembangkan perspektif yang berbeda. Referensi ke dunia musik menjadi jalan yang memudahkannya untuk merangkum pengalaman sejarah yang kompleks. Dalam pidato kenegaraan tahun 1964, ia berkata: “Dentamnya Revolusi, jang kadang-kadang berkumandang pekik-sorak,
kadang-kadang bersuara djerit-pahit, sebagai satu keseluruhan kita de ngarkan sebagai satu njanjian, satu simfoni, satu gita, laksana dentumnja
gelombang samudera jang bergelora pukul-memukul membanting di pan-
PIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014
25
tai, kita dengarkan sebagai satu gita kepada Tuhan jang amat dahsjat.”4
Pengalaman Sukarno sebagai pemimpin nasional tidak tertan dingi sehingga uraian yang romantis ini tidak boleh dianggap sebagai anjuran metodis, tapi ada satu butir penting yang akan membantu kita mengembangkan perspektif sejarah sebagai kritik, yakni kemampuan untuk mendengarkan ritme sosial untuk selanjutnya diuraikan kembali sebagai kesatuan. Sejarah meletakkan pekik-sorak dan jerit-pahit yang disebut Sukarno itu ke dalam kerangka temporal dan geografi meletak kannya dalam kerangka spasial, dan dalam kesatuan itulah kita bisa mengikuti ritme sosial bangsa ini. Gerak memunggungi laut membuat pekik-sorak dan jerit-pahit dari perairan menjadi samar, dan bukan kebetulan jika tempat-tempat yang ratusan tahun lalu merupakan pusat perdagangan dan pemerintahan, di era sekarang menjadi “daerah tertinggal”
PERJALANAN sejarah yang mengubah pusat perdagangan dan pemerintahan menjadi “daerah tertinggal” ini dimulai ketika kekuasaan atas laut berpindah secara bertahap dari tangan kerajaan maritim setempat ke tangan VOC. Banyak sejarawan yang merujuk pada kejatuhan Makassar pada tahun1669 dan Mataram setelah Sultan Agung meninggal pada tahun 1645 sebagai titik awal perubahan itu. Memang benar, setelah kejatuhan Makassar dan mundurnya Mataram ke pedalaman hanya ada beberapa kerajaan maritim yang tersisa dan itu pun hidup bertahan di bawah dominasi VOC. Mereka yang tersisa pun selalu terancam perpecahan karena taktik VOC untuk mengeksploitasi persaingan di dalam kerajaan atau antara kerajaan satu dengan yang lain. Tapi apa yang sesungguhnya membuat berbagai kerajaan maritim itu gagal menghadapi VOC? Mengapa justru mereka yang mengalami 4) Panca Azimat Revolusi, hlm. 346-47.
ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK
26
kekalahan beruntun padahal dari segi jumlah, pengenalan terhadap wilayah, akses kepada sumber daya, mereka masih unggul? Tahun 1682 seorang advokat Belanda, Pieter van Dam, mencatat bahwa dari sekitar 1.500 serdadu VOC yang bermukim di Batavia hanya seperempat dari mereka cukup bugar untuk terlibat dalam pertempuran. Lainnya menderita sak it dan juga kepayahan karena cuaca yang panas. Lalu mengapa pasukan Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandureja dengan kekuatan 10.000 orang gagal merebut Batavia pada tahun 1628 dan 1629? Pertanyaan itu membawa kita kepada masa yang lebih awal, keruntuhan Majapahit. Ada banyak teori dan versi mengenai sebab keruntuhannya, tapi narasi yang paling menarik tidak datang dari ahli arkeo logi atau sejarah, melainkan seorang novelis: Pramoedya Ananta Toer. Dalam novelnya Arus Balik Pramoedya bercerita mengenai keruntuhan Tuban, kota pelabuhan terakhir di pantai utara Jawa yang masih setia kepada Majapahit.5 Ia menggambarkan degenerasi penguasa Tuban, seorang adipati yang berpikiran sempit, mau menang sendiri, berperilaku feodal, persis seperti yang digambarkan oleh Mochtar Lubis. Tapi ia mengembangkan kualitas negatif itu dalam hidupnya karena menjadi adipati. Seandainya ia orang biasa dengan perilaku seperti itu tentu sudah lama dahinya mencium tanah. Di tangan sang adipati Tuban seperti kehilangan orientasi. Daerah pedalaman sudah tidak lagi bisa memberikan supply yang diperlukan, tidak ada lagi kehidupan ekonomi yang meriah, produksi berhenti, dan tidak ada lagi arus barang, tenaga dan pengetahuan dari selatan ke utara. Alih-alih berdagang dengan negeri yang jauh, Tuban malah disibukkan oleh serangan para penguasa pantai utara Jawa yang lain. Galeng, pemuda asal Awiskrambil, salah satu desa taklukan Tuban, naik ke pentas setelah dipercaya oleh adipati memimpin ekspedisi militer ke Malaka, membantu Pati Unus dari Jepara. Novel yang panjang dengan adegan perang yang rinci dan panjang, mengasyikkan 5) Novel itu adalah yang pertama ditulisnya ketika ditahan tanpa pengadilan oleh penguasa Orde Baru di Pulau Buru.
PIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014
27
sebagai sebuah cerita, punya misi lebih besar lagi: menjelaskan transformasi kultural yang terjadi di masa akhir kejayaan Majapahit. Galeng yang ditempa oleh perang dan perebutan kekuasaan, di akhir novel bercerita setelah berhasil merebut kembali Tuban dari tangan Portugis, mengomentari perubahan besar yang melanda: “Sekarang orang tak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal kita makin
lama makin kecil seperti kerajaannya. Karena, ya, kapal besar hanya bisa dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan
arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari utara sekarang ke selatan, karena Atas Angin lebih unggul, membawa segala-galanya ke Jawa, ter-
masuk penghancuran, penindasan dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita akan semakin kecil untuk kemudian tidak mempunyai sama sekali.”
Kuncinya menurut Galeng adalah kekuasaan atas laut. Ketika pe nguasa mengabaikan kekuatan di laut maka “nasib Jawa dan Nusantara sudah dapat ditentukan – ambruk entah sampai berapa keturunan.”6 Selama dua ratus tahun setelah keruntuhan Majapahit masih ada ke rajaan maritim yang bertahan, dan bahkan baru sampai puncak kejayaannya karena keruntuhan Majapahit, seperti Banten, Makassar, dan Mataram. Sejarawan Anthony Reid bahkan menyebut periode ini sebagai zaman keemasan, the age of commerce di Asia Tenggara. Tapi keemasan itu tak bertahan lama, setelah dua ratus tahun akhirnya tumbang. Bukan maksud saya mengulang pelajaran sejarah di sekolah, tapi ada baiknya kita menyimak kisah jatuh-bangun kerajaan maritim di Nusantara sebagai akar dari gerak memunggungi laut. Kita mulai dari Banten, kota pelabuhan di ujung barat pulau Jawa. Selama berabad-abad penguasa dan penduduk di kota itu sudah me lakukan pelayaran niaga dalam skala yang kecil, tapi kemunculannya sebagai kerajaan maritim yang berpengaruh dimulai ketika kerajaan Demak dengan bantuan Sunan Gunung Jati dan putranya, Maulana 6) Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik (Jakarta: Hasta Mitra, 1995), hlm. 737.
ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK
28
Hasanuddin, merebut pelabuhan Banten pada tahun 1527. Maulana Hasanuddin diangkat sebagai Sultan Banten yang pertama. Seperti kerajaan lainnya di masa itu Banten juga melakukan ekspansi dengan mengirim armada lautnya ke berbagai daerah dan tentara daratnya ke pedalaman. Tidak banyak yang berhasil dilakukan awalnya karena persediaan sumber daya yang terbatas. Setelah berhasil menguasai Lampung dan membuka kontak dagang dengan penguasa pelabuhan di Sumatera, Banten juga mengakhiri riwayat kerajaan Sunda, Pakuan Pajajaran. Baru pada pertengahan abad ketujuhbelas Banten mulai tampil sebagai sebuah bandar dagang dan kekuatan maritim yang penting di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Ia dibantu oleh dua orang penasehat asal Tiongkok yang masuk Islam, yang pertama adalah Kyai Ngabehi Kaytsu, dan kemudian penggantinya, Kyai Ngabehi Cakradana. Keduanya berperan penting dalam membuka jalur perdagangan baru ke Laut Cina Selatan, termasuk dengan panglima pasukan dinasti Ming, Guóxìngye. Cakradana khususnya berperan membangun Banten sebagai kota internasional dengan sejumlah ba ngunan batu dan jembatan. Sultan Ageng juga dibantu oleh orang Ing gris, Denmark dan Portugis, untuk urusan mengembangkan armada kapalnya menjadi seperti armada Eropa, membuat bangunan, dan juga meningkatkan kemampuan militernya. Dekade 1670an adalah masa keemasan Banten sebagai kota per dagangan yang disinggahi pedagang dan pelaut dari seluruh dunia, termasuk tentunya dari berbagai kerajaan maritim di Nusantara sendiri. Jumlah penduduknya mencapai 150.000 orang, setara dengan Amsterdam, Roma, dan Seoul pada masa yang sama. Di daerah pedalaman para penguasa dan pedagang mengembangkan produksi pertanian, termasuk tebu, dan juga pertukangan, yang membuat Banten tidak hanya menjadi tempat lalu-lintas barang dari tempat lain, tapi juga saluran produksinya sendiri. Tingkat perkembangannya untuk ukuran masa itu sangat tinggi sehingga ahli arkeologi Heriyanti Untoro berkesimpulan bahwa pada akhir abad ketujuhbelas sudah berkembang sejenis PIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014
29
“kapitalisme pribumi” di sana.7 Tapi gerak maju yang pesat ini terhenti ketika pergantian kuasa tiba. Kisah klasik berulang. Sultan Haji, putra Sultan Ageng Tirtayasa, menggugat rencana ayahnya menyerahkan kekuasaan kepada Pange ran Purbaya, adiknya sendiri. Konflik menjadi terbuka dan VOC yang sejak lama mengincar Banten pun melibatkan diri membantu Sultan Haji. Dengan dukungan kekuatan militer VOC Sultan Haji berhasil mengusir ayah dan adiknya dari istana. Sebagai imbalannya Sultan Haji menyerahkan Lampung beserta monopoli atas perdagangan lada kepada VOC yang membuat para “kapitalis pribumi” merosot kedudukannya. Sultan Haji tidak lama memerintah. Ia meninggal 1687 atau tujuh tahun setelah kudeta terhadap ayahnya sendiri. Setelah kematian Sultan Haji tidak ada lagi penghalang berarti bagi VOC untuk menguasai kota pelabuhan itu sepenuhnya. Para raja Banten sesudah itu hanya seperti hiasan karena setiap pengangkatan raja baru harus mendapat persetujuan dari VOC. Pada tahun 1813 datang pukulan terakhir: Raffles melucuti Sultan Muhammad Syafiuddin dari gelar rajanya dan kesultanan Banten pun dihapus dari peta sejarah. Kita beralih ke Makassar dengan sejarahnya yang unik. Pada awal abad keempatbelas para pemimpin sembilan negeri sepanjang pesisir muara Sungai Jeneberang dan Tallo bersepakat untuk menggabungkan kekuatan mereka menjadi kerajaan Gowa. Untuk menjaga suara dari para pemimpin dibentuk Bate Salapanga semacam dewan perwak ilan yang tugasnya memberi nasehat kepada raja. Raja Gowa keenam, Tunatangka’ Lopi, membagi kerajaan menjadi dua, Gowa dan Tallo, dan untuk selanjutnya Makassar dipimpin bersamaan oleh dua kerajaan kembar. Raja Gowa adalah pemimpin kesutanan sementara Raja Tallo menjadi mangkubumi atau perdana menteri. Wilayah kekuasaan kerajaan kembar ini terus bertambah melalui kombinasi perang dan persekutuan. Satu per satu negeri lain di wilayah ditaklukkan, dari 7) Heriyanti Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan Banten 1522-1684 (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008). Buku ini menggugat tesis yang mengatakan bahwa kapitalisme tumbuh dan berkembang semata karena kedatangan orang Eropa.
ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK
30
Parigi sampai Siang, dari Lembangan sampai Bulukumba. Sementara dengan Maros dan Polombangkeng para pemimpin Gowa-Tallo menjalin persekutuan. Pusat kerajaan ada di Makassar yang pada awal abad ketujuhbelas sudah menjadi kota pelabuhan internasional dengan kantor perwakilan dagang Portugis, Belanda, Inggris, Spanyol, Denmark dan Tiongkok. Letak Makassar memang ideal di persimpangan jalur maritim yang menghubungkan bagian barat Nusantara dengan bagian timur, utara dengan selatan. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 membuat banyak pedagang Melayu beralih ke Makassar di samping Banten, sehingga terjadi penambahan volume perdagangan yang sangat signifikan selama abad keenambelas. Belum lagi ditambah dengan pelaut dan pedagang dari sekitar Makassar sendiri yang meng hubungkan kota pelabuhan itu dengan berbagai tempat produksi, ter utama makanan, di wilayah sekitar Makassar. Seperti Banten, Makassar adalah bandar yang ramai dengan penduduk sekitar 160.000 orang. Di masa kepemimpinan Sultan Malikussaid (1639-1653) Makassar menjadi salah satu kota dagang terbesar di Asia dengan wilayah kekuasaan mencakup hampir seluruh bagian selatan Sulawesi, berbatasan dengan Luwuk dan Mandar di sebelah utara. Armadanya berkuasa atas Selat Makassar sebagian Laut Jawa dan Laut Flores dan Laut Aru, yang menjadikannya sebuah kerajaan maritim dalam arti sesungguhnya. Zaman keemasan Makassar tidak dapat dilepaskan dari peran para mangkubumi atau pa’bicarabutta, terutama Karaeng Matoaya dan putra nya, Karaeng Pattingaloang. Karaeng Matoaya menjadi mangkubumi di masa Sultan Alaudin, dan pemerintahan keduanya diteruskan oleh kedua anak mereka, Sultan Malikussaid dan Karaeng Pattingaloang, seorang polyglot yang menguasai bahasa Latin, Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Prancis, Arab, Melayu di samping semua bahasa utama yang digunakan di Makassar sendiri. Seorang misionaris Katolik yang tinggal di Makassar pada tahun 1646 mengaku bahwa Pattingaloang berbicara bahasa Portugis seperti seorang penutur asli. Seperti orang E ropa Pattingaloang punya ruang kerja lengkap dengan perpustaPIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014
31
kaan yang dipenuhi buku, bermacam peta dan atlas dunia. Dari sana ia mengatur diplomasi Makassar dengan perwakilan Raja Spanyol di Manila, Raja Portugis di Goa, dan Raja Inggris dan penguasa Mekkah. Tapi ada satu negeri yang sulit ditaklukkan dengan perang maupun diplomasi, sebuah enclave kecil di wilayah Kesultanan Makassar sendiri, yakni Bone. Seperti Gowa-Tallo, Kesultanan Bone muncul pada akhir abad keempatbelas dari persekutuan tujuh negeri yang berdekatan dan berse pakat untuk menggabungkan kekuatan. Sejak awal hubungan kedua nya, Makassar dan Bone, diwarnai perang dan damai dari masa ke masa, antara lain karena sifat dominan dari para penguasa Makassar terhadap penguasa dan rakyat Bone. Berulangkali para pemimpin Bone melancarkan pemberontakan terhadap Makassar yang dominan dan berulangkali pula pemberontakan itu dipatahkan. Salah satu tokoh pemberontak itu adalah Aruppalakka. Pada bulan Agustus 1660 ia melancarkan pemberontakan dengan kekuatan 11.000 dari Bone dan Soppeng. Perang berlangsung lama dan baru pada Oktober 1660 pasukannya menyerah setelah sekutu pentingnya tewas dalam pertempuran. Setelah gagal ia melarikan diri ke Buton dan akhirnya memutuskan untuk meminta bantuan VOC di Batavia. Kisah yang sama berulang kembali. VOC yang sudah lama ingin menguasai Makassar bergembira menyambut kedatangan Aruppalakka dan segera saja mengatur siasat. Diperlukan persiapan tiga tahun sebelum VOC akhirnya melancarkan serangan. Pada 21 Desember 1666 armada VOC yang dipimpin langsung oleh Gubernur Jenderal Cornelis Speelman menyerang Benteng Somba Opu di Makassar. Setelah perang selama hampir setahun lamanya yang melibatkan pe nguasa Buton, Ternate, Tidore, Bacan, Soppeng, dan lainnya di pihak Bone dan VOC, akhirnya Sultan Hasanuddin melakukan perundingan damai di Bungaya. VOC menuntut agar Makassar melepas semua daerah kekuasaannya di Sulawesi maupun daerah lainnya dan membiarkan VOC membangun benteng di kota perdagangan itu. Dalam keadaan terpaksa Sultan Hasanuddin menandatangani perjanjian itu, ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK
32
tapi ketika akibatnya mula dirasakan ia meradang dan kembali angkat senjata. Hanya saja posisinya kali terlalu lemah. Pada 12 Juni 1669 setelah satu setengah tahun berperang, akhirnya Benteng Somba Opu yang terkenal itu jatuh, dan masa kejayaan Makassar sebagai sebuah kota perdagangan maritim internasional pun berakhir. Dalam kedua kisah ini, tentang Banten dan Makassar, kita mendapati sejumlah kesamaan. Sebuah pelabuhan dagang internasional yang tumbuh pesat di bawah kepemimpinan raja yang baik dan didampingi oleh penasehat yang ahli. Di Banten mereka adalah Kyai Ngabehi Kaytsu dan asistennya, Kyai Ngabehi Cakradana, di Makassar mereka adalah Karaeng Matoaya dan Karaeng Pattingaloang. Penulisan sejarah menyebut mereka sebagai patih atau perdana menteri, tapi sebenarnya mereka punya peran penting juga sebagai intelektual di masanya. Karaeng Pattingaloang tidak hanya tertarik mempelajari bahasa, ia juga belajar matematika, ilmu alam, dan mendalami teks klasik Barat tentang berbagai bidang dalam bahasa aslinya. Sayang terlalu sedikit yang kita tahu mengenai kegiatan dan pemikiran mereka. Tapi menilik catatan orang asing yang pernah berjumpa dengan mereka, dan juga melihat keberhasilan mereka membangun kota-kota pelabuhan internasional di Asia, boleh jadi benar bahwa the age of commerce pada saat bersamaan juga merupakan masa tumbuh berkembangnya bermacam pengetahuan di Nusantara. Dugaan ini timbul tentu bukan hanya karena melihat kemampuan Karaeng Pattingaloang berbahasa asing atau hubungan Kyai Ngabehi Cakradana dengan para petinggi militer Tiongkok, tapi karena fakta bahwa Banten dan Makassar adalah kota dagang raksasa untuk zaman nya yang memerlukan pengetahuan, kemampuan merencanakan, kecakapan mengatur, ketangguhan memimpin, dan juga keberanian bertindak. Mengurus pedagang dan pelaut dari seluruh penjuru dunia dengan adat kebiasaan, bahasa, perangai dan perilaku berbeda-beda tentu bukan hal yang mudah. Belum lagi mengurus para pemberontak, perompak, dan pencurinya. Membangun kota tidak cukup dengan uang, pedang, dan meriam. Diperlukan pengetahuan cukup tentang PIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014
33
sistem pelayaran, arah angin, teknologi maritim, adat kebiasaan, dan bahasa, dari semua kalangan yang singgah maupun menetap. Tentang kebiasaan mereka, tentang penyakit yang mereka bawa, tentang kea nehan dan keganjilan yang bisa menjadi penyulut perkara. Pencatatan menjadi mutlak, karena hanya dengan begitu orang bisa tahu apakah perdagangan sedang berjalan baik atau tidak. Kesultanan Banten, Makassar, Aceh, Mataram, Ternate, Tidore dan semua saja kekuasaan pribumi yang masih bertahan di abad ketujuhbelas yang menentukan itu adalah kekuasaan feodal. Saya tentu tidak sedang menganjurkan agar kita kembali ke masa seperti itu di mana, seperti digambarkan Pramoedya dalam Arus Balik, seorang adipati menggunakan punggung bawahannya sebagai pijakan untuk naik ke atas kuda. Tapi untuk memahami arus balik dalam sejarah perlu kita jawab mengapa semua kerajaan ini gagal menghadang laju ekspansi kekuasaan Eropa di Nusantara. Jika kita periksa dengan saksama, sebagian dari kerajaan itu adalah kekuasaan feodal, yang oleh Sukarno disebut sebagai “feodalisme yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan untuk berkembang dan yang umpamanya tidak diganggu hidupnya oleh imperialisme asing, niscaya bisa ‘meneruskan perjalanannya’ bisa
‘menyelesaikan evolusi,’ yakni niscaya bisa hamil dan akhirnya melahirkan suatu pergaulan hidup modern yang sehat pula!”
Jika saja Perang Makassar tidak terjadi dan Sultan Ageng Tirtayasa tidak dikhianati anaknya sendiri, maka mungkin rakyat Nusantara bisa memasuki pergaulan hidup modern yang sehat dengan cara mereka sendiri. Di sini kita memasuki dimensi lain dari persoalan yakni hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan. Pengetahuan dan kebudayaan pada dirinya tidak akan berkembang jika tidak didukung oleh kekuasaan yang tepat, dan begitu juga sebaliknya kekuasaan tidak bisa tumbuh menjadi kuat tanpa pengetahuan dan kebudayaan. Benar belaka Karaeng Pattingaloang ketika menyebut penyebab hancur ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK
34
nya sebuah negeri adalah ketika “raja tidak mau diperingatkan” (uruurun, punna tea nipakainga karaeng maggauka) dan “tidak ada lagi kaum cendekiawan” (makaruanna, punna tena tumangngasseng ilalang pa’ra sangan) yang memberi nasehat kepada raja itu.8 Ketika satu demi satu kerajaan maritim di Nusantara takluk atau terikat pada VOC maka dengan sendirinya geraknya menuju “pergaulan hidup modern yang sehat” menjadi terhambat. Pengetahuan tidak lagi diperlukan seperti halnya ketika para penguasa dan penasehat mereka harus berpikir sendiri tentang apa yang harus dilakukan untuk membuat negerinya berkembang. Inilah makna dari kedaulatan. Ketika VOC melakukan pelayaran keliling (hongitochten) merusak perkebunan lada dan pala untuk menjamin monopoli dagang mereka di kawasan Maluku, yang dihancurkan bukan hanya tanaman dan kehidupan ekonomi, tapi seluruh perangkat pengetahuan yang memungkinkan orang Maluku bertahan hidup sebagai komunitas maritim. Seiring de ngan meluasnya kekuasaan VOC dan menyempitnya kekuasaan kera jaan atau komunitas maritim atas hidup mereka sendiri, maka kebudayaan maritim pun semakin surut dan gerak memunggungi laut terjadi di mana-mana. Dan paling mencolok di antaranya terjadi di Jawa. Setelah Majapahit runtuh dan Demak muncul sebagai kekuatan politik terpenting di pantai utara Jawa, sesungguhnya ruang politik dan kebudayaan kerajaan maritim di Jawa sudah sangat menciut. Dari semua ekspedisi Demak di masa Trenggono mungkin hanya Banten yang bisa dianggap sebagai kisah sukses. Dan di situ pun para penguasa Banten memilih memisahkan diri dari Demak setelah Trenggono meninggal. Dengan sisa kekayaan dan kekuatan militer yang tersisa para penguasa di Jawa Tengah mencoba bangkit kembali, dimulai de ngan Sultan Agung yang menarik pusat kerajaan menjauh dari pesisir utara ke pedalaman mendekati pesisir selatan. Ia masih bergairah memperluas kekuasaannya dan berturut-turut menaklukkan sejumlah kota di Jawa bagian tengah dan timur, Madura, Kalimantan (Sukada8) Kasipalli: Tradisi Kepercayaan Nenek Moyang (Makassar: Pustaka Refleksi, 2008)
PIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014
35
na), dan Sumatera (Palembang). Di puncak kejayaannya antara 1622 sampai 1645 ia menguasai hampir seluruh Jawa dan Madura, dan bisa memperluas daerah inti kerajaannya (nagaragung) dari Bagelen di sebelah barat sampai Keduwang di sebelah timur dan Kedu di sebelah utara. Ia juga memperlihatkan kemampuan membangun gedung, jalan, dan jembatan yang menakjubkan orang Eropa. Tapi gerak menjauh dari lautan sekaligus mengunci posisinya di pedalaman. Ia menutup dua pelabuhan penting, Tuban dan Surabaya, yang memaksa penduduk di wilayah kekuasaannya bergantung pada pertanian. Gerak menjauh dari laut diteruskan oleh keturunannya Amangkurat I (1646-1677) yang bahkan bergerak lebih jauh memutus hubungan dengan Makassar dan menjalin hubungan baru dengan VOC dengan harapan bisa memelihara perdamaian. Ia membunuh semua penasehat senior dan juga adiknya yang menentang tindakan itu sehingga kekuasaan dan pengetahuan sepenuhnya tercerai. Satu per satu wilayah kekuasaannya terlepas baik karena pemberontakan maupun karena intervensi VOC. Di akhir abad ketujuhbelas yang menentukan wilayah Mataram yang sempat membesar di masa Sultan Agung kembali menciut dan para penguasanya kehilangan kendali sama sekali terhadap Laut Jawa yang pernah menjadi basis kekuasaan mereka di masa lalu. Kekalahan demi kekalahan yang diderita kerajaan dan komunitas maritim di Nusantara bukan sekadar perubahan peta politik dan pola perdagangan tapi sebuah perubahan kebudayaan yang sangat mendasar. Di masa kejayaan dunia maritim Nusantara antara pertengahan abad kelimabelas dan akhir abad ketujuhbelas para pengarung lautan memiliki tingkat pengetahuan, organisasi kerja, dan imajinasi politik yang tinggi. Tanpa semua itu tidak akan mungkin ada kerajaan maritim dan kota pelabuhan yang ramai dan tersebar di seluruh Nusantara. Organisasi kerja di kapal cukup kompleks. Di pucuk pimpinan adalah pemilik kapal, nakhoda laut, dan nakhoda darat. Lantas ada jurumudi dan jurubatu yang bertanggung jawab atas karang dan gosong di per airan dangkal, mualim atau pandu laut yang membawa kapal, serta ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK
36
mualim kecil yang mengurus tali-temali kapal dan arah angin. Di tingkat yang lebih rendah adalah para tukang yang dipimpin oleh seorang tukang agung. Sisi kiri dan kanan serta bagian tengah lambung kapal diurus oleh tukang yang berbeda. Lantas ada tukang yang mengurus ruangan dalam kapal dan yang mengurus layar. Di bawah lapisan ini ada awak kapal yang dipimpin mandor. Mereka dibagi ke dalam kategori orang banyak artinya pekerja bebas yang menerima upah dan orang abdi atau budak. Para asisten disebut muda-muda yang tidak mengurusi pelayaran tapi selalu mendampingi nakhoda dan para petinggi ketika turun ke darat. Kategori penumpang juga berbeda-beda bergantung pada ukuran kapal. Dan begitu seterusnya. Belum lagi pembagian kerja di pelabuhan yang melibatkan syahbandar, kepala gudang, pemimpin pemukiman, penjaga kesehatan yang sebagian didatangkan dari Eropa. Di Malaka pembagian kerja yang kompleks bahkan sudah di atur dalam Undang-Undang Malaka yang disusun pada masa kekuasaan Sultan Muzzafar Syah (1445-1458). Di Makassar aturan serupa dituangkan ke dalam pasal-pasal Amanna Gappa yang disusun pada tahun 1676, di masa kekuasaan Karaeng Pattingaloang. Dan masih ada beberapa lainnya yang menetapkan pembagian kerja, mengatur soal keselamatan kapal, mengatur soal persewaan dan penumpang kapal, membagi wewenang dan kuasa nakhoda dengan pemilik kapal, dan bermacam aturan lainnya. Setiap pelabuhan besar maupun kecil punya tata aturan sendiri yang jika ditempatkan dalam kerangka jaringan pelayaran Nusantara akan memperlihatkan kesatuan yang kompleks. Para pemimpin di masa itu punya kemampuan menangkap denyut kehidupan maritim, lengkap dengan, meminjam istilah Sukarno, pekik-sorak dan jerit-pahitnya, lalu merangkainya sebagai kesatuan karena hanya dengan begitu mereka bisa bergerak maju. Bahwa mereka tidak membayangkan Indonesia modern yang merdeka itu sudah jelas, tapi bahwa mereka membayangkan kesatuan yang lebih luas dari kampung halamannya sendiri, juga tidak bisa disangkal. Tapi seluruh pengetahuan, kemampuan organisasi, kemampuan menangkap denyut kehidupan ini semakin menurun seiring dengan PIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014
37
berkurangnya kekuasaan mereka atas laut. Untuk apa aturan yang rumit mengenai pembagian kerja di kapal kalau tidak ada lagi kapal besar yang tersisa? Untuk apa kapal besar kalau kekuatan untuk melindungi nya tidak ada? Dan bagaimana bisa melindungi kalau mengurus diri sendiri sudah susah? Apa yang pernah menjadi kebudayaan maritim atau peradaban maritim runtuh secara bertahap. Komunitas pesisir yang semula terkait atau malah menjadi bagian dari kekuasaan yang lebih luas dan karena itu mengikuti denyutnya, sekarang terlepas dan diabaikan dengan denyutnya sendiri. Sebagian melemah dan kemudian punah. Sebagian dengan keras kepala bertahan menghadapi perubahan zaman terasing satu sama lain dengan denyut yang tidak bersambungan. Tidore tidak lagi mengenal Gresik, Jepara tidak lagi mengenal Jambi dan Patani, Tuban tidak lagi mengenal Manila, Banten tidak lagi mengenal Aru.
MEREDUP dan menghilangnya kebudayaan maritim saat ini tercermin dari kekeliruan yang berulang dalam menerjemahkan konsep archipelagic state sebagai negara kepulauan. Dari segi bahasa, seperti diingatkan oleh Profesor Adrian Lapian, archipelago berasal dari dua kata Yunani kuno, yakni arkhi yang berarti utama dan pelagos yang ber arti laut. Jika digabungkan maka berarti laut yang utama atau dalam rumusan Profesor Lapian, lautan yang ditaburi pulau-pulau. Perbedaan ini bukan persoalan etimologi dan semantik belaka, tapi juga berkaitan dengan cara pandang. Dengan menyebut negara kepulauan maka laut dilihat sebagai pembatas atau penghalang antara pulau yang satu de ngan yang lain. Dengan menyebut negara lautan yang ditaburi pulau-pulau maka fokus utamanya adalah laut. Dalam konteks ini langkah Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja yang mendeklarasikan Indonesia sebagai archipelagic state pada 13 Desember 1957 adalah terobosan luar biasa. Dalam deklarasi itu dikatakan: ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK
38
“segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagi-
an yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia.”
Keputusan itu seketika menambah luas wilayah Indonesia dua setengah kali lipat. Tapi di masa itu bukan luas wilayah yang menjadi perhatian melainkan keamanan wilayah yang di bawah aturan yang lama, yakni Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939, memungkinkan kapal asing – dalam hal ini kapal perang Belanda – mengarungi perairan Indonesia dengan bebas. Pemikiran itu mulai muncul ketika hubungan Indonesia dengan Belanda sedang menurun drastis akibat UU No. 13/1956 yang membatalkan hasil kesepakatan Konperensi Meja Bundar oleh pihak Indonesia. Kemungkinan adanya serangan atau intervensi militer Belanda dianggap nyata. Tapi situasi politik demokrasi parlementer dan gonta-ganti kabinet menghalangi perumusan konsep yang cepat. Baru pada paruh kedua tahun 1957 Perdana Menteri Djuanda menunjuk ahli hukum laut Mochtar Kusuma atmadja, yang kemudian merumuskan Indonesia sebagai sebuah archipelagic state. Asal-usul Deklarasi Djuanda yang bertolak dari kepentingan pertahanan dan keamanan membawa masalah tersendiri karena titik tekannya ada pada larangan bagi pihak lain untuk memasuki wilayah laut yang baru diklaim itu dan bukan pada apa yang mungkin dilakukan di wilayah tersebut. Seperti halnya mengklaim lahan luas yang kosong tapi dibiarkan mangkrak selama bertahun-tahun, klaim atas perairan Indonesia ini tidak membawa perubahan signifikan dalam kehidupan nyata. Klaim itu tidak dengan sendirinya memperkuat armada laut Indonesia. Secara hukum Deklarasi itu baru diterima pada tahun 1982 dengan keluarnya UN Convention on the Law of the Sea atau PIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014
39
UNCLOS. Konvensi itu sendiri baru diintegrasikan ke dalam sistem hukum Indonesia tiga tahun sesudahnya melalui UU No. 17/1985. Tapi setelah itu ada jeda yang amat lama untuk mengisi ruang tersebut de ngan perangkat hukum yang lebih spesifik, yakni UU Kelautan yang baru disetujui oleh DPR pada tanggal 29 September tahun ini. UU Kelautan pertama setelah 69 tahun archipelagic state ini merdeka! Di tingkat praktek hambatan untuk mengklaim kembali ruang maritim itu jauh lebih rumit. Ketika pemerintah Indonesia dengan semangat pembatalan kesepakatan KMB akhirnya memutuskan untuk melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan pelayaran Belanda KPM pada 1960 tidak ada lagi kapal yang tersisa. Kebanyakan dari mereka sudah pergi sejak dua tahun sebelumnya ketika gelombang nasionalisasi mulai menguat. Entah tidak ada persiapan atau tidak ada kemampuan, atau kombinasi keduanya, yang pasti kapal-kapal Belanda itu pergi tanpa dihalangi. Kemampuan angkatan laut Indonesia pada masa itu memang masih terbatas. Baru pada tahun 1960-an dengan adanya bantuan peralatan dari Uni Soviet dan Eropa Timur angkatan laut bisa tumbuh sebagai kekuatan yang signifikan di Asia. Hari ini tentu keadaan sudah lebih baik tapi masih jauh dari ideal. Beberapa hari lalu media melaporkan bahwa dari 70 kapal patroli TNI Angkatan Laut ternyata hanya 10 unit yang dapat beroperasi. Dalam kenyataan setiap hari hanya tiga kapal yang beroperasi. Kondisi POLRI tidak jauh berbeda. Dari 490 unit kapal patroli hanya separuh yang bisa berope rasi, dan itu pun hanya sepuluh hari dalam sebulan, dan dua jam tiap harinya. Lalu kita ribut soal ilegal fishing dan pencurian ikan? Di bidang perdagangan halnya sama saja. Data bongkar muat di empat pelabuhan besar menunjukkan tingginya angka bongkar/impor dibandingkan muat/ekspor dalam sepuluh tahun terakhir. Sampai hari ini mengimpor jeruk dari Shanghai masih lebih murah daripada mengangkut jeruk dari Pontianak ke Jakarta. Arus yang mengalir deras dari utara ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan membuat kebijakan baru, menambah jumlah kapal, mengembangkan infrastruktur, memberi insentif bagi penanam modal, ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK
40
karena sejatinya ini adalah masalah kebudayaan. Tentu saja mengembalikan kehidupan maritim seperti dua ratus atau tiga ratus tahun lalu bukan perkara mudah, dan rasanya juga bukan itu yang diperlukan. Kita tidak berbicara mengenai bagaimana mengembalikan kebudayaan yang hilang tetapi bagaimana menghidupkan kembali apa yang dikerdilkan selama sekurangnya dua ratus tahun. Setelah kejatuhan kerajaan-kerajaan maritim Nusantara di akhir abad ketujuhbelas kehidupan masya rakat maritim dan pesisir dalam berbagai bentuknya terus berlangsung walau terserak dan diabaikan. Masalah kita adalah bagaimana merajut tali sambung yang bisa mempertemukan berbagai pemikiran dan praktek yang ada sebagai kesatuan karena hanya sebagai kesatuan seperti itu lah kita dapat menghadapi arus dari utara yang besar. Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh. Pertama, yang pa ling mendasar, adalah menyadari laut sebagai bagian dari ruang sosial dan kultural kita. Ambil contoh yang sederhana: transportasi. Dalam beberapa tahun terakhir Kementerian Perhubungan dan TNI Angkatan Laut menawarkan jasa angkutan laut untuk para pemudik yang membawa sepeda motor. Tapi laporan media menunjukkan orang le bih berdesakan naik motor di jalan raya dengan resiko nyawa daripada menikmati fasilitas kapal laut yang gratis! Saya kira ini bukan sekadar masalah kebiasaan dan kenyamanan, tapi masalah kesadaran bahwa berpergian melalui laut adalah pilihan. Kedua, kita perlu mempelajari beragam ritme kehidupan dalam masyarakat dan keluar dari belenggu pikiran linear bahwa ritme yang satu lebih unggul dari ritme yang lain. Kuncinya di sini adalah kemampuan mendengarkan dan ini bukan hal yang mudah. Sekarang ini kita hidup di dunia yang ramai dan bising sehingga kadang sulit menentukan mana yang perlu dan mana yang tidak perlu didengarkan. Di tengah kebisingan itu kita akhirnya membiarkan algoritme mesin untuk memilah timbunan informasi dan menghadirkannya sebagai “kenyataan” dalam bentuk trending topic. Di tengah arus yang cepat itu semua ritme yang lambat cenderung menghilang. Kita perlu mengimbangi kecepatan itu dengan meningkatkan kesabaran dan kemampuan untuk mendengarkan sehingga bisa menemukan ritme kePIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014
41
hidupan masyarakat sebagai kesatuan. Dan ketiga, kita perlu tindakan. Kita tidak perlu rencana atau cetak-biru tentang kebudayaan maritim. Kita perlu tindakan karena melalui tindakan yang bersandar pada kesadaran baru dan keinginan mendengarkan itulah kebudayaan bisa berkembang. Kalau semua ini, mengembangkan kesadaran dan pengetahuan baru, mendengarkan dengan sabar dan telaten, dan melancarkan aksi atau tindakan langsung, dilakukan dengan telaten, saya percaya kita akan menemukan kembali ritme kita sebagai bangsa maritim. Untuk itu memang diperlukan kualitas yang sudah lama meredup dalam kehidupan kita, kesabaran, dan ketelatenan. Hanya dengan begitu kita bisa merasakan sumbatan yang ada dalam tubuh kebudayaan kita dan mencari jalan untuk menghapus sumbatan itu agar tubuh kebudayaan kita kembali dalam ritme yang sama. Inilah tantangan kita di zaman yang serba cepat. Inilah arus balik kebudayaan di zaman kita. Terima kasih!
ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK
42
PIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014
43
Hilmar Farid HILMAR FARID, sejarawan dan aktivis. Senang memasak dan berenang di waktu senggang. Lahir di Bonn, ketika itu masih Jerman Barat, 8 Maret 1968. Semasa sekolah lebih tertarik pada olahraga dan sepeda motor daripada dunia buku dan ilmu. Selepas SMA ia beristirahat setahun sebelum akhirnya masuk ke Jurusan Sejarah di Fakutas Sastra Universitas Indonesia. Pada 1993 ia lulus dengan skripsi tentang bahasa dan politik di masa pergerakan nasional. Selepas kuliah ia mendirikan Jaringan Kerja Budaya bersama beberapa teman semasa kuliah, seniman, dan pekerja budaya di Jakarta. Jaringan ini menerbitkan Media Kerja Budaya dan sejumlah pamflet tentang sejarah, sastra, dan politik. Jaringan ini juga yang membawanya berkeliling “belajar bersama untuk perubahan sosial” dengan berbagai komunitas di Indonesia dan beberapa negeri Asia lainnya. Pada 2002 ia mendirikan Institut Sejarah Sosial Indonesia dan memimpin lembaga itu hingga tahun 2007. Pada 2008 ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di National University of Singapore, dan pada 2014 ia meraih gelar PhD di bidang kajian budaya dengan disertasi Rewriting the Nation: Pramoedya and the Politics of Decolonization. Pada 2012 ia terpilih menjadi Ketua Perkumpulan Praxis, sebuah lembaga yang mengembangkan pengetahuan untuk perubahan sosial. Di tingkat regional ia aktif dalam Asian Regional Exchange for New Alternatives (ARENA) dan Inter-Asia Cultural Studies Society. Ia juga kerap berbicara di berbagai forum internasional mengenai sejarah, ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK
44
kajian budaya, dan gerakan sosial. Tulisannya tersebar di berbagai jurnal, majalah, buletin, suratkabar, dan buku. Sebagian di antaranya dihimpun dalam blog www. hilmarfarid.com. Pada tahun 2012 ia membentuk Relawan Penggerak Jakarta Baru (RPJB), sebuah organisasi politik akar rumput yang mendukung Joko Widodo dalam pemilihan gubernur DKI. Dalam pemilihan presiden 2014 ia kembali aktif mendukung Joko Widodo melalui Seknas Jokowi dan RPJB. Kini ia kembali mengajar paruh waktu di program Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.
PIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014
45
Musik-Teater “Arus Balik” Konseptor Musik-Teater: Aksan Sjuman & Faiza Mardzoeki Musik oleh: Aksan Sjuman Fantasia Ensemble Aksan Sjuman (Perkusi), Aisha Pletcher Sudiarso (Piano), Danny Ceri (Violin), Wasita Adi (Violin), Dwi Ari Ramlan (Viola), Ade Sinata (Cello), Donny Sundjoyo (Contra Bass), Rahmad Biardi (French Horn)
Teater Gerak oleh: Gallis Agus Sunardi Seorang seniman topeng kontemporer. Ia bergabung dengan Jakarta Oncor Studi untuk belajar tari dan seni pertunjukan. Gallis mendalami pengetahuannya tentang topeng secara otodidak dengan berguru pada Made Sije, seniman topeng terkenal di Bali. Karya-karyanya telah dipamerkan antara lain di British Council, Jakarta (2002) dan Festival Topeng Nusantara (2010). Pada 2000 ia dan istrinya, Irawati, mem bangun Komunitas Budaya Paseban sebagai ruang edukasi bagi komunitas yang berbasis kesenian dengan mengembangkan metode pendidikan alternatif yang informal. ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK
46
KOLABORASI eksplorasi gerak dan adegan oleh Gallis Agus Sunardi terhadap karakter Wiranggaleng dalam novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer. “Telah aku baktikan masa mudaku dan tenagaku dan kesetiaanku. Biar pun hanya secauk pasir untuk ikut membendung arus balik dari utara. Arus balik itu ternyata tak dapat dibendung. Kekuatan untuk itu ada pada Trenggono, dan Sultan Demak itu tidak bisa diyakinkan untuk menggunakannya. Arus tetap datang dari utara, yang selatan tetap tertindih. Ya, Dewa Batara, kau tak beri aku kekuatan untuk menyedarkan raja dan sultan sehingga jadi gelombang raksasa, bukan sekedar mendesak arus balik dari utara, bukan saja untuk jaman kemerosotan ini, juga kelangsungannya untuk selama-lamanya. Gajah Mada, anak desa itu telah berhasil. Ia gerakkan tangannya dan semua jadilah yang dipegangnya, semua bangun yang disentuhnya. Pergilah dia, pergi untuk selamalamanya, meninggalkan kebesaran dan arus besar yang mengimbakimbak megah berpendaran damai ke utara. Aku bukan Gajah Mada. Tiada sesuatu hasil apalagi kebesaran kutinggalkan kecuali kesakitan dan kekecewaan dalam diri dan terhadap diri-sendiri.” (Arus Balik, hlm. 740)
Adegan I Menggambarkan suasana tokoh dalam ruang pedesaan dengan lakuan sehari-hari. Pemuda desa, seorang petani dan juara gulat. Suka bekerja dan melakukan sesuatu. Tak punya impian apa-apa. Adegan II Pergulatan batin Sang Tokoh. Terbelenggu hiruk-pikuk kekuasaan. Padahal ia cuma bercita-cita punya rumah di desa. Konflik lama berganti dengan yang baru. Begitu seterusnya. Sebenarnya ia memiliki peluang menghentikan kemerosotan. Menjadi Penguasa. Membalikkan arus. Adegan III Kemerosotan mental Sang tokoh. Kembali seperti cita-citanya. Cuma tinggal di desa dan menjadi petani. PIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014
47
Panitia & Pekerja PENANGGUNG JAWAB: PENGURUS HARIAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2013-2015 DEWAN PENGARAH: IRAWAN KARSENO, ALEX SIHAR, HELLY MINARTI, TOTOT INDRARTO PENYAJI PIDATO: HILMAR FARID PERISET: MIRWAN ANDAN, RAKA IBRAHIM, MARTIN SURYAJAYA
SUTRADARA: LASJA FAUZIA SUSATYO • KONSEPTOR PERTUNJUKAN MUSIK-TEATER: AKSAN SJUMAN & FAIZA MARDZOEKI • PENATA MUSIK PIDATO: AKSAN SJUMAN • PERANCANG BUSANA: SAMUEL WATTIMENA • PEMBAWA ACARA: MARIA OENTOE • MULTIMEDIA: ARIF YANIADI, IRFAN HASNUL, DELTA YOHANES, MICHAEL ANTONY SINAMBELA, AGUS SETIAWAN, WENDY JAKA SUNDANA, AGUS DWIJAYANTO, GANI WIRAWAN, ANDRI DHARMAWAN, EBI PRATAMA, ABDUL MALIK PERDIANSAH, HERZY HANANDITYA, ADHI CIPTO NUGROHO • MANAJER PANGGUNG: RR. FIRSTY DEWI MUHARWATI • KRU PANGGUNG: INDRA ACHOY, FRITMAX MST, RICHARD KALIPUNG, ANNEKE, M. CARLES, APRI WIBOWO, IMAM, OZY, NOVRI, HILMI, FRENDY • PENATA CAHAYA: ISKANDAR KAMA LOEDIN • LIVE STREAMING: SHOBRON JAMIL, DAMAR JUNIARTO, M. LUTFI, ARMAN DHANI, GERY PAUL ANDIKA, OMING PUTRI, MELVI YENDRA, ARDAND RAMADAN, WIHANTORO, ANGGI SEPTIANTO, RIZALDY BAGGUS, RIOSADJA
MANAGER TASK FORCE: ANITA DEWI PUSPITA HUTASUHUT • PROGRAM OFFICER: WINDA ANGGRIANI • PROJECT OFFICER: IRFAN HAKIM • HUMAS: ANGGARA SUDIARIANTA, DITA KURNIA • DESAINER GRAFIS: RIOSADJA • DOKUMENTASI: EVA TOBING, JOEL TAHER • ADMINISTRASI UNDANGAN: RINI ANGRAINI • KEUANGAN: TRISUCI MEILAWATI • KONSUMSI: MEITA ROSMALA DEWI • PENERIMA TAMU: SUMINI, ANA ROSDIANAHANGKA, DEDI SAPUTRA, PANJI • PENGANTAR TAMU: CECILIA SERLEY BANOWATI, CAMELIA, INDRA, BILLY ANGELO, ABAM
ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK
48
Ucapan Terima Kasih PEMERINTAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA BADAN PENGELOLA PUSAT KESENIAN JAKARTA - TAMAN ISMAIL MARZUKI AKADEMI JAKARTA KOALISI SENI INDONESIA PT MITRA GARUDA LESTARI ALINEA TV BIZNET NETWORKS SAMUEL WATTIMENA MARIA OENTOE OKTO INDRARTO GALLIS AGUS SUNARDI PENGISI ACARA PANITIA DAN PEKERJA SUKARELAWAN STAF DEWAN KESENIAN JAKARTA SELURUH KERABAT YANG TELAH MEMBANTU TERSELENGGARANYA ACARA INI DAN TIDAK DAPAT KAMI SEBUTKAN SATU PER SATU
PIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2014