Wajib Pajak “mengubah” data SPT saat Pemeriksaan atau Penyidikan Pajak ? Pendahuluan Seorang teman bertanya kepada saya. “Dapatkah Wajib Pajak ‘mengubah’ data SPT saat Pemeriksaan atau Penyidikan Pajak berlangsung ?” Bagaimana caranya? Hal ini sering sekali saya dengar disaat Wajib Pajak sedang dilakukan pemeriksaan pajak oleh pemeriksa pajak bahkan saat sebuah pemeriksaan pajak telah ditingkatkan menjadi Penyidikan Pajak. “Salah satu sisi manusiawi manusia adalah melakukan kekeliruan. Hal ini juga terjadi dengan Surat Pemberitahuan (SPT) yang telah disampaikan Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP), juga tidak luput dari kekeliruan. Terlepas dari bentuk kekeliruan yang dilakukan Wajib Pajak , ternyata Undang-Undang Perpajakan memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk memperbaiki kekeliruan terhadap SPT yang dilaporkannya.. Namun adakalanya Wajib Pajak baru menyadari kekeliruan pengisian SPT pada saat pemeriksaan pajak berlangsung, atau bahkan pada saat penyidikan pajak sedang berlangsung.
Pembahasan Salah satu ciri dari sistem pemungutan pajak Indonesia adalah self assessment yaitu sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang. Sistem self assessment ini tergambar jelas pada SPT yang disampaikan Wajib Pajak ke KPP. “Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak” pasal 3 ayat 1 UU Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (UU-KUP). Mengisi Surat Pemberitahuan yaitu mengisi formulir Surat Pemberitahuan, dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Yang dimaksud dengan: a. benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya; b. lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan; dan c. jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan. Secara tidak langsung menyatakan bahwa untuk mengisi SPT harus dilakukan oleh orang yang memang mengerti tentang Undang-Undang Perpajakan yang berlaku, bahkan juga harus mengerti tentang “pembukuan” dan juga “ pencatatan”. Page 1
Berkaitan dengan kesulitan – kesulitan dalam penyampaikan SPT , UU-KUP memberikan ”hak” kepada Wajib Pajak sehubungan dengan penyampaian SPT yaitu : 1. Memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan (Pasal 3 ayat 4 UU KUP); 2. Membetulkan SPT (Pasal 8 ayat 1 dan ayat 6 UU KUP); 3. Mengungkapkan ketidakbenaran (Pasal 8 ayat 3 dan ayat 4 UU KUP). Semua hak ini dapat mengubah “data” SPT yang telah disampaikan sebelumnya namun dengan beberapa konsekuensi yang harus ditanggung oleh Wajib Pajak . 1. Hak WP untuk Memperpanjang Jangka Waktu Penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan (pasal 3 ayat 4, 5 dan 5a UU KUP) Jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi, paling lama tiga bulan setelah akhir Tahun Pajak dan untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, paling lama empat bulan setelah akhir Tahun Pajak. Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan paling lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada Direktur Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Pemberitahuan tersebut harus disertai dengan penghitungan sementara pajak yang terutang dalam satu Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang. Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan dapat diterbitkan Surat Teguran. 2. Hak WP untuk Membetulkan SPT (pasal 8 ayat 1 ,1a dan 2 UU KUP). Hak ini dapat dilakukan terhadap SPT Tahunan maupun SPT Masa dan berdasarkan kemauan sendiri WP dengan cara menyampaikan pernyataan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan . Yang dimaksud dengan mulai melakukan tindakan pemeriksaan adalah pada saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak (penjelasan pasal 8 ayat 1 UU KUP). Pengertian “tindakan pemeriksaan” dalam pasal 8 ayat 1 UU KUP kemudian dijelaskan dalam pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2011 (tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan) yaitu berupa : a. Verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak; b. Pemeriksaan; atau c. Pemeriksaan Bukti Permulaan. Pernyataan tertulis dalam pembetulan SPT dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam SPT yang menyatakan bahwa WP yang bersangkutan membetulkan SPT. Dalam hal Pembetulan SPT Tahunan menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan SPT harus disampaikan paling lama dua tahun sebelum daluwarsa penetapan pemeriksaan (yaitu lima tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak- sesuai pasal 13 ayat 1 UU KUP). Wajib Pajak dapat membetulkan SPT Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Page 2
Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, atas Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam SPT Tahunan dengan menyampaikan pernyataan tertulis. o Pembetulan harus dilakukan paling lama tiga bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. o Jangka waktu tiga bulan untuk melakukan pembetulan SPT Tahunan dihitung sejak tanggal stempel pos pengiriman, atau dalam hal diterima secara langsung, jangka waktu tiga bulan dihitung sejak tanggal diterimanya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali oleh wajib pajak. o Dalam hal Wajib Pajak tidak membetulkan SPT Tahunan, Direktur Jenderal Pajak memperhitungkan rugi fiskal menurut surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam penerbitan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, dan Surat Keputusan Pembetulan. o Jika Wajib Pajak tidak membetulkan SPT Tahunan dalam jangka waktu tiga, bulan Direktur Jenderal Pajak menghitung kembali kompensasi kerugian dalam Surat Pemberitahuan Tahunan secara jabatan berdasarkan rugi fiskal sesuai dengan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. Untuk kedua hak di atas (hak no.1 dan no.2), kekurangan pembayaran pajak yang terutang untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum SPT Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan , dan atas pembayaran atau penyetoran pajak yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan (pasal 9 ayat 2 dan 2.b UU KUP).
Bagaimana jika Wajib Pajak menyadari kekeliruannya saat telah dimulainya pemeriksaan pajak ataupun bahkan saat penyidikan pajak berlangsung ? Yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak, jika terhadap SPT-nya “telah dimulai tindakan pemeriksaan” dan “WP menyadari adanya kekeliruan atau kesalahan pada SPT-nya adalah dengan “mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT“.
Page 3
Pengertian “tindakan pemeriksaan” berupa : a. Verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak; b. Pemeriksaan; atau c. Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Verifikasi adalah serangkaian kegiatan pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif atau penghitungan dan pembayaran pajak, berdasarkan permohonan WP atau berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktur Jenderal Pajak, dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak, menerbitkan/menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan/mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak Pemeriksaan Pajak adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan (UU KUP Pasal 1 poin 25). Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Pengungkapan ketidakbenaran dapat dibagi 2: 1) Mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT saat pemeriksaan berlangsung. Pasal 8 ayat 4 UU KUP menyatakan bahwa:”Walaupun Dirjen Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Dirjen Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak (SKP), Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian SPT yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan: a. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil; b. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar; c. jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau d. jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan.” Pengertian Dirjen Pajak belum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak dijelaskan pada pasal 8 ayat 1, PP No. 74 tahun 2011 yaitu belum disampaikannya Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) kepada Wajib Pajak. Sanksi atas pengungkapan ketidakbenaran ini adalah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar dan harus dilunasi oleh WP sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.” Laporan tersendiri secara tertulis tersebut harus ditandatangani oleh WP dan dilampiri dengan: a. penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam format Surat Pemberitahuan; b. Surat Setoran Pajak atas pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan c. Surat Setoran Pajak atas pembayaran sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen). Page 4
Pembuktian kebenaran pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT tersebut dilakukan dengan cara tetap melanjutkan Pemeriksaan. Jika pengungkapan ketidakbenaran WP tersebut sesuai dengan hasil pemeriksaan maka atas hasil Pemeriksaan tersebut diterbitkan surat ketetapan pajak dengan mempertimbangkan laporan tersendiri tersebut serta memperhitungkan pokok pajak yang telah dibayar sebagai kredit pajak dalam Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (pasal 53 poin 5 , PER-34/PJ/2011). Jika pengungkapan ketidakbenaran WP tersebut tidak sesuai dengan hasil pemeriksaan (tidak mencerminkan keadaan sebenarnya) , maka surat ketetapan pajak diterbitkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, dan Surat Setoran Pajak terhadap pelunasan pajak yang kurang dibayar yang telah dibayar WP tidak diperhitungkan sebagai kredit pajak dalam Surat Pemberitahuan hasil Pemeriksaan (SPHP). Namun pelunasan pajak yang kurang dibayar tersebut dan sanksi administrasi berupa kenaikan yang telah dibayarkan WP dapat diperhitungkan sebagai pembayaran atas surat ketetapan pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak. Terhadap pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT dilakukan untuk SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak dilaporkan dalam SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) huruf i UU PPN 1984 dan perubahannya. 2) Mengungkapkan Ketidakbenaran Perbuatan (pasal 8 ayat 3 UU KUP) Pada tahapan ini terhadap pemeriksaan SPT WP(pemeriksaan dapat berupa verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak dan pemeriksaan pajak) dibuatkan Laporan Sumir oleh pemeriksa karena pemeriksa menemukan petunjuk adanya indikasi tindak pidana perpajakan kealfaan (sesuai pasal 38 UU KUP) yaitu: a. tidak menyampaikan SPT ; atau b. menyampaikan SPT yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A UU KUP. Selanjutnya pemeriksaan ini ditingkatkan menjadi Pemeriksaan Bukti Permulaan yaitu pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatan kealfaannya sepanjang mulainya Penyidikan tindakan pidana perpajakan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (pasal 8 ayat 3 UU KUP dan pasal 7 ayat 1 PP No.74 tahun 2011). Pernyataan tertulis harus ditandatangani oleh WP dan dilampiri dengan: a. penghitungan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang dalam format SPT; b. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak; dan Page 5
c. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pembayaran sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) , dan pemeriksaan Bukti Permulaan tetap dilanjutkan. Jika pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang dilakukan WP telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, terhadap WP tidak dilakukan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Jika pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang dilakukan WP tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan masih ditemukan data yang menyatakan lain dari pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tersebut, terhadap WP tetap dapat dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, bahkan sampai kepada penyidikan pajak. SKEMA PENGAWASAN DAN PENEGAKAN HUKUM:
Pemeriksaan
Pemeriksaan Bukti Permulaan
Penyidikan Pajak
pa pa
pa
Bagaimana jika terhadap SPT telah dilakukan tindakan Penyidikan?
Jenis –Jenis Perbuatan Tindak Pidana Perpajakan sehubungan dengan pengisian dan penyampaian SPT menurut UU KUP ada pada pasal 38, 39 dan 39A - UU KUP , dan dapat dikelompokkan menjadi: 1) Perbuatan karena kealpaan (pasal 38). Terhadap perbuatan yang bersifat kealfaan (pasal 38), Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya sepanjang mulainya penyidikan belum diberitahukan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (pasal 7 PP No. 74 tahun 2011). Sehingga jika penyidikan pidana perpajakan telah diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, maka kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sudah tertutup bagi WP yang bersangkutan. 2) Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (pasal 39) yaitu : a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya; g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain; h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola Page 6
i.
secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut
Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (pasal 39 A) yaitu: a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak . Pada Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE- 85/PJ/2011, tentang Kebijakan Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, poin IV.2 dan IV.3 di atur sebagai berikut: Sehubungan dengan kesengajaan menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 (poin 2.e di atas) ; usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan yang disebabkan karena Wajib Pajak tidak memenuhi dalam Pasal 29 ayat (3) dan/atau Pasal 29 ayat (3a) UU KUP, dilakukan jika berdasarkan data yang ada tim Pemeriksa Pajak tidak dapat menghitung penghasilan kena pajak. Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan yang disebabkan karena selain yang dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf a, b, dan c UU – KUP di atas , (poin 2 huruf a sampai dengan huruf I kecuali huruf2.e) disampaikan setelah tim Pemeriksa Pajak meyakini bahwa Wajib Pajak diduga telah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Namun terhadap penyidikan ini masih dapat dihentikan dengan syarat: a. Dalam hal tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau penyidikan dihentikan karena peristiwanya telah daluwarsa, atau tersangka meninggal dunia (pasal 44 a UU KUP) , atau b. Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan sepanjang perkara pidana tersebut belum dilimpahkan ke Pengadilan dan hanya dilakukan setelah Wajib Pajak : melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan (pasal 44.b UU KUP dan pasal 62 PP No.74 tahun 2011).
Penutup Ungkapan “mencegah lebih baik daripada mengobati”, mungkin cocok untuk menggambarkan tentang keadaan SPT. Lebih baik menyampaikan SPT yang benar, lengkap dan jelas dari pada melakukan pembetulan ataupun “pengungkapan ketidakbenaran”. Namun kalaupun sudah terlanjur melakukan kesalahan dalam pengisian dan penyampaian SPT sebaiknya “cepatlah menyadarinya” untuk kemudian melakukan pembetulan , ataupun pengungkapan ketidakbenaran. Cara WP untuk cepat menyadari adanya ketidakbenaran dalam SPT adalah dengan terus memperbaiki pembukuan atau pencatatan WP yang juga dapat dilakukan dengan cara secara berkala pembukuan perusahaan diaudit oleh Kantor Page 7
Akuntan Publik, memanfaatkan adanya Account Representative sebagai partner dan narasumber dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang benar, semakin serius dalam memahami dan melaksanakan ketentuan peraturan perpajakan. Kesadaran sendiri WP ini dapat juga diartikan sebagai sebuah “kesadaran yang sebenarnya” ataupun kesadaran karena “ketakutan” akan sanksi yang akan diterima WP sehubungan dengan kekeliruan ataupun kesalahan yang telah diperbuatnya. Sanksi itu bisa berupa sanksi administrasi dan atau sanksi pidana. Semakin lambat WP “menyadari kesalahan “ dalam pengisian SPT nya, maka akan semakin besarlah resiko dan konsekuensi yang akan ditanggungnya. Kepatuhan WP dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat menjadi cermin dari betapa bijaknya WP tersebut. Orang Bijak Taat Pajak. Sumber bacaan: a. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. b. Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2011 : Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. c. Peraturan Menteri Keuangan No. 82/PMK.03/2011: Perubahan PMK.199 / PMK.03/ 2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak. d. Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-34/PJ/2011, :Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. e. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-85 /PJ/2011: Kebijakan Pemeriksaan Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. f. Tim DJP dan Pusdiklat Pajak : Modul Informasi Data Laporan Pengaduan dan Pemeriksaan Bukti Permulaan , Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan , Pusdiklat Pajak, 2011 Penulis : Johannes Aritonang Widyaiswara Madya pada BDK Pontianak
Page 8