SEMINAR HERITAGEIPLBI 2017 | DISKURSUS
Wajah Militair Hospitaal dan 'Kota Militer' Cimahi Aileen Kartiana Dewi
[email protected] Mahasiswa Program Studi Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung.
Abstrak Dalam perencanaan Kota Kolonial Bandung, daerah Cimahi dialokasikan sebagai pusat militer pemerintahan Hindia-Belanda. Infrastruktur kota pendukung yang dibangun termasuk Rumah Sakit Dustira, dahulu bernama Militair Hospitaal. Bangunan rumah sakit ini kemudian menjadi salah satu cagar budaya yang dimiliki Kota Cimahi. Pada tahun 2014, wajah bangunan ini diubah menjadi relatif dapat menunjukkan identitas Cimahi sebagai kota militer (digambarkan dengan warna hijau), juga sama dengan beberapa bangunan lain di sekitarnya seperti Masjid ABRI, bangunan milik TNI di Jalan Stasiun, dan lain-lain. Wajah baru Militair Hospital ini kemudian memunculkan pertanyaan tentang pelestarian nilai-nilai budaya, historis, dan estetika arsitektur kolonial Rumah Sakit Dustira. Pada tulisan ini, penulis akan membahas kesesuaian pemberian wajah baru kepada Militair Hospitaal dengan nilai-nilai budaya, historis, serta estetika arsitektur kolonial pada bangunan cagar budaya ini. Kata-kunci : bangunan, cagar, cimahi, militer, wajah
Pendahuluan Rencana pemindahan ibukota dari Batavia ke Bandung pada masa kolonial ditandai dengan beberapa persiapan, salah satunya yaitu menciptakan kawasan pertahanan untuk melindungi ibukota baru. Cimahi terpilih menjadi lokasi Pusat Militer Belanda karena areanya strategis secara geografis (Hermawan, 2010) serta infrastruktur yang ada pun cukup memadai. Kemudian untuk mendukung aktivitas dalam kompleks pertahanan ini dibangunlah sebuah rumah sakit (Pratama, 2016) yang dinamakan Milifaire Hospital pada tahun 1887 dan semenjak 1956 sampai sekarang dikenal sebagai Rumah Sakit Dustira. Sebagai salah satu bangunan cagar budaya, rumah sakit peninggalan kolonial ini tentunya memerlukan perawatan agar nilai fungsional, historis, dan arsitektural gedung tetap terjaga. Pemeliharaan bangunan ini dilakukan berkesinambungan sehingga hingga saat ini pada tahun 2017 pun Rumah Sakit Dustira masih menunjukkan kekokohan dan kemegahannya. Salah satu tindakan perawatan yang dilakukan adalah memperbaharui warna cat yang digunakan untuk fasad bangunan rumah sakit. Dalam 5-6 tahun terakhir ini paling tidak ada 2 perubahan pada wajah Rumah Sakit Dustira. Aslinya seluruh dinding dan ornamen arsitektural lain berwarna putih, kemudian sebagian ornamen diubah menjadi warna jingga kemerahan lalu pada akhirnya dinding dan ornamen lainnya diberi warna kombinasi hijau tua dan muda. Kombinasi warna hijau tua-muda ini dipergunakan untuk menunjukkan identitas Kota Cimahi sebagai kota militer. Hal serupa juga terjadi pada bangunanbangunan kolonial lainnya di Cimahi. Menurut Hamid Shirvani, salah satu unsur perancangan kota adalah bentuk dan massa bangunan, termasuk didalamnya adalah wajah atau fasad bangunan. Tetapi hal ini tidak berarti semua langkah pemeliharaan yang dilakukan kepada wajah Militair
hospital tepat. Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
| 261
Wajah Militair Hospitaal dan Kota Militer Cimahi
Menurut pasal 76 ayat 3 Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pembersihan, pengawetan, dan perbaikan atas kerusakan dengan memperhatikan keaslian bentuk, tata letak, gaya, bahan, dan/atau teknologi Cagar Budaya. Maka segala kegiatan perawatan yang dilakukan terhadap bangunan ini selayaknya menjaga identitas asli arsitektural dan menjaga nilai-nilai historis serta estetik yang ada pada bangunan. Tulisan ini akan membahas wajah Rumah Sakit Dustira yang bersama wajah bangunan lain disekitarnya akan membentuk wajah Kota Cimahi sebagai kota militer serta ketepatan wajah ini untuk menjaga nilai historis, estetika, dan arsitektural bangunan cagar budaya. Rumah Sakit Dustira dan Bangunan Sekitarnya Rumah Sakit Dustira (Milifaire Hospital/Militair hospitaal) beralamat di Jalan Dustira Nomor 1, Baros, Cimahi, Jawa Barat. Rumah sakit ini diperkirakan berdiri pada tahun 1887 dengan arsitek yang tidak diketahui (Ahmad, 2016). Penulis memperkirakan langgam arsitektur rumah sakit ini adalah neo-klasik. Pada zaman kolonial, rumah sakit ini dipergunakan untuk anggota militer, namun sekarang ini masyarakat sipil pun dilayani.
Gambar 1. Peta Lokasi RS. Dustira dan Banguan Sekitarnya (Sumber: Google Maps)
262 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017
Aileen Kartiana Dewi
Gambar 2. Wajah Militair hospitaal
Tempo Dulu
(Sumber: http://kitlv.nl)
Gambar 3. Wajah Rumah Sakit Dustira 2014 (Sumber: http://kpm.cimahikota.go.id/)
Gambar 3. Sisi lain Militair hospitaal (Sumber: http://kitlv.nl)
Gambar 4. Wajah Rumah Sakit Dustira 2017 (Sumber: http://www.cnnindonesia.com/)
Gambar 5. Bangunan peninggalan masa kolonial lain di Kota Cimahi yang wajahnya juga sudah diubah dengan pengecatan dinding luar menjadi warna hijau. (Sumber: Google Maps) ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017 | 263
Wajah Militair Hospitaal dan Kota Militer Cimahi
Gambar 6. Masjid ABRI yang wajahnya pun diubah menggunakan cat warna hijau (Sumber: Google Maps)
Diskusi Wajah merupakan bagian yang paling mudah digunakan untuk menentukan identitas. Secara refleks, hal yang pertama dilihat seseorang terhadap orang lain adalah wajah dan juga penampilan luar. Demikian juga halnya dalam arsitektur, wajah atau fasad bangunan adalah sangat penting untuk memberikan identitas rancangan. Wajah ini akan menunjukkan langgam arsitektur, maksud-maksud perancang, nilai-nilai historis dan estetis yang ada dalam bangunan tersebut, dan kemudian akan membentuk wajah kota dimana bangunan tersebut berada. Oleh karena itu, dalam pemeliharaan bangunan cagar budaya, salah satu aspek yang diperhatikan adalah perawatan wajah atau fasad. Cimahi dijuluki sebagai kota militer karena memiliki banyak bangunan yang digunakan sebagai sekolah militer dan keperluan militer lainnya. Sekitar tahun 2014, wajah Kota Cimahi ini dibentuk kembali kesan militernya dengan mempergunakan kombinasi warna hijau tua-muda pada fasad bangunan. Militair hospitaal dan beberapa bangunan lain di jalan utama Kota Cimahi disulap dengan cat warna hijau demi membentuk citra kota militer yang kuat. Beberapa bangunan yang lain yaitu Masjid ABRI Cimahi, bangunan-bangunan sepanjang Jalan Gatot Subroto, dan Stasiun Cimahi. Wajah baru rumah sakit ini memang betul menunjukkan identitas yang melayani ketentaraan (terutama anagkatan darat), meskipun juga melayani masyarakat sipil lainnya. Penulis bahkan 264 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017
Aileen Kartiana Dewi
bertanya-tanya dan perlu memastikan pelayanan rumah sakit ini terhadap masyarakat sipil karena kesan yang diberikan wajah bangunan begitu eksklusif. Penulis memperkirakan langgam arsitektur rumah sakit ini adalah neo-klasik, dengan ciri-ciri dinding tebal, ornamen-ornamen geometris simetris, dan fasad asli berwarna putih, seperti kebanyakan gedung penginggalan kolonial lainnya. Dengan sekali lihat pada saat dinding fasad masih berwarna putih seutuhnya, seseorang dapat langsung mengenali bahwa gedung ini adalah gedung peninggalan zaman Belanda dulu. Namun dengan wajah barunya sekarang hal ini agaknya diragukan. Warna hijau menyibukkan mata pengamat sehingga kurang dapat merasakan suasana 'klasik' dan megah yang dirancang oleh arsitek aslinya terdahulu. Wajah Rumah Sakit Dustira pada tahun 2014 setidaknya masih dapat ditolerir. Warna yang diberikan pada ornamen tertentu memberikan aksen pada bangunan yang cukup menyegarkan. Nilai historis estetis yang dibawa kemudian mulai bergeser dengan pembaharuan warna dinding rumah sakit ini. Sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, seharusnya pergeseran nilai ini tidaklah terjadi. Memang keaslian bentuk terjaga, namun gaya arsitekturalnya tampak berbeda. Hal ini menimbulkan pertanyaan akan ketepatan perawatan yang dilakukan terhadap Rumah Sakit Dustira. Perawatan ini memang memberikan wajah yang sesuai dengan wajah Kota Cimahi sebagai kota militer, namun nilai-nilai estetika dan historis arsitektural bangunan ini bagaikan diabaikan dan dilupakan begitu saja. Dalam prinsip pemeliharaan bangunan cagar budaya seharusnya kejadian seperti ini tidak terjadi. Pada akhirnya, permasalahan ini memang tidak dapat dipastikan secara ilmiah kebenarannya. Tujuan daripada wajah baru rumah sakit ini dan kesesuaiannya dengan wajah Kota Cimahi hanya dapat ditentukan pemerintah dan pengelola Rumah Sakit Dustira sendiri. Alangkah lebih baik jika kaidah-kaidah pelestarian bangunan cagar budaya dilaksanakan secara menyeluruh dalam pembentukan wajah Kota Cimahi. Kesimpulan Wajah Rumah Sakit Dustira yang dapat dilihat sampai tahun 2017 (berwarna kombinasi hijau tuamuda) dan kombinasinya dengan bangunan-bangunan lainnya pada jalan utama Kota Cimahi berkesesuaian dengan wajah Kota Cimahi sebagai kota militer namun nilai-nilai historis, estetika serta identitas arsitektural asli bangunan ini mengalami pergeseran dan perubahan signifikan yang seakan-akan tidak mengindahkan kaidah pelestarian bangunan cagar budaya sehingga penulis menilai tindakan pembaharuan yang dilakukan untuk wajah bangunan tersebut kurang tepat. Ucapan Terima Kasih Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tuntutan mata kuliah pilihan AR3231 Arsitektur Kolonial program studi Arsitektur, SAPPK ITB, Semester II 2016-2017. Penulis berterima kasih kepada dosen pengampu Dr.Eng. Bambang Setiabudi, ST., MT. yang telah memberikan kesempatan untuk belajar lebih banyak melalu proses penulisan tulisan ini. Daftar Pustaka Ahmad, T. (2016). “Perjalanan Sejarah Rumah Sakit Dustira” dalam http://www.infobdg.com/v2/perjalanansejarah-rumah-sakit-dustira/ [diakses tanggal : 03-03-2017]. Hermawan, I. (2010). Bandung Sebagai Ibukota Hindia Belanda. Dalam Ali Akbar (Penyunting), Arkeologi Masa Kini (129-143). Bandung: Balai Arkeologi Bandung – Alqaprint Jatinangor.
ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017 | 265
Wajah Militair Hospitaal dan Kota Militer Cimahi Pratama, F. (2016). Dwi Fungsi Kota Bandung Sebagai Pusat Pemerintahan Sipil dan Kemiliteran HindiaBelanda Masa Depan (1808-1942). Artikel dalam kegiatan Masa Pendidikan Karakter (MADIKA) 2016 Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sejarah (HIMAS) UPI kepengurusan 2016/2017. Republik Indonesia. (2010). Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130. Sekretariat Negara. Jakarta. Shirvani, Hamid. (1985). The Urban Design Process. Michigan: Van Nostrand Reinhold.
266 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017