UNIVERSITAS INDONESIA
WACANA DAN IMPLEMENTASI PROTEKSIONISME PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI SEKTOR PERTANIAN MELALUI BERBAGAI TEMA FAIR TRADE
TUGAS KARYA AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
SABIL PERBAWA 1006764201
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPOK JUNI 2014
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tugas Karya Akhir ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar.
Nama
: Sabil Perbawa
NPM
: 1006764201
Tanda tangan :
Tanggal
: 20 Juni 2014
ii
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
HALAMAN PENGESAHAN
Tugas Karya Akhir ini diajukan oleh Nama NPM Program Studi Judul TKA
: : Sabil Perbawa : 1006764201 : Ilmu Hubungan Internasional :
“Wacana dan Implementasi Proteksionisme Perdagangan Internasional di Sektor Pertanian melalui Berbagai Tema Fair Trade”
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Ketua Sidang
: Dra. Nurul Isnaeni, M.A.
(
)
Sekretaris Sidang : Andrew W. Mantong, S.Sos., M.Sc.
(
)
Pembimbing
: Asra Virgianita, S.Sos., M.A.
(
)
Penguji Ahli
: Shofwan A.B. Choiruzzad, S.Sos., M.A., Ph.D. (
)
Ditetapkan di : Depok Tanggal : 20 Juni 2014
iii
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
KATA PENGANTAR
Sebelum memulai studi pustaka untuk pembuatan Tugas Karya Akhir ini, penulis tertarik dengan pernyataan Candace Archer dan Stefan Fritsch yang mengeluhkan minimnya perhatian Ekonomi Politik Internasional terhadap fair trade, khususnya studi tentang Fair Trade Movement dan Fair Trade Laws. Ekonomi Politik Internasional sendiri adalah sub-domain Ilmu Hubungan Internasional yang muncul pada tahun 1970-an. Melihat keluhan ini, penulis terpacu untuk membantu Archer dan Fritsch dalam meramaikan khazanah Ekonomi Politik Internasional dengan tulisan tentang fair trade. Penulis melihat banyak hal menarik sekaligus menantang yang bisa dieksplorasi dari fair trade dalam lingkup kajian Ekonomi Politik Internasional. Fair trade bukan merupakan fenomena baru dalam perdagangan internasional. Perkembangan fair trade dimulai dari dua Negara, yaitu Belanda dan Amerika Serikat, yang masing-masing kemudian menghasilkan Fair Trade Movement dan Fair Trade Laws. Lalu, pada tahun 2005, muncul Fair Trade menurut Stiglitz di Amerika Serikat, yang diajukan oleh Joseph Eugene Stiglitz. Studi tentang fair trade ini masih jarang dilakukan, padahal isu fair trade tidak hanya melibatkan negara maju akan tetapi juga negara berkembang dan Least Developed Countries. Oleh karena itu studi ini diharapkan memberikan sumbangsih dalam memahami perkembangan wacana dan perdebatan tentang fair trade khususnya di sektor pertanian yang dilakukan oleh negara maju, negara berkembang, dan Least Developed Countries. Walau demikian, penulis menyadari bahwa Tugas Karya Akhir ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka terhadap semua saran, masukan, dan kritik yang konstruktif untuk dapat membuat tulisan ini menjadi lebih baik lagi. Penulis berharap bahwa TKA ini bermanfaat bagi pembaca, dan juga memperkaya kajian tentang fair trade dalam studi Ilmu Hubungan Internasional, terutama dalam sub-domain Ekonomi Politik Internasional. Depok, 20 Juni 2014 Sabil Perbawa iv
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmatnya penulis dapat menyelesaikan TKA ini yang berjudul “Wacana dan Implementasi Proteksionisme Perdagangan Internasional di Sektor Pertanian melalui Berbagai Tema Fair Trade”. Penulis menyadari sangatlah sulit untuk menyelesaikan TKA ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1.
Asra Virgianita, S.Sos., M.A. selaku dosen pembimbing
yang telah
memberikan banyak masukan dan arahan kepada penulis selama dalam proses penulisan tugas karya akhir ini. Penulis merasa sangat terberkati dengan adanya bimbingan, masukan, dan arahan dari beliau. 2.
Shofwan Al Banna Choiruzzad, S.Sos., M.A., Ph.D. selaku penguji ahli yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan dan koreksi sehingga TKA ini dapat lebih baik. Masukan yang diberikan tidak hanya bermanfaat bagi Tugas Karya Akhir ini, namun juga bagi kajian fair trade selanjutnya.
3.
Dra. Nurul Isnaeni, M.A. dan Andrew Wiguna Mantong, S.Sos, M.Sc. selaku ketua sidang dan sekretaris sidang, sekaligus pengajar colloquium yang sudah membina penulis dan teman-teman seperjuangan colloquium lainnya tentang bagaimana menulis karya akhir berformat literature review. Terima kasih juga untuk input-input substantif pada karya akhir ini.
4.
Dra. Evi Fitriani, M.A., Ph.D. selaku pembimbing akademis.
5.
Staf Pengajar Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI, yang telah mengajarkan mengenai cara menulis secara akademis.
6.
Staf Administrasi Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI, yang seringkali direpotkan oleh penulis, terutama Mas Roni, Mas Andre, Pak Dahlan, Mbak Ayu, dan Mbak Lina.
7.
Teman-teman HI UI 2010, yang telah memberikan dukungan dan menjadi keluarga yang baik selama penulis kuliah.
8.
Pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam perjalanan penulis selama 4 tahun belajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI. v
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Sabil Perbawa
NPM
: 1006764201
Program Studi
: Ilmu Hubungan Internasional
Departemen
: Hubungan Intemasional
Fakultas
: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jenis Karya
: Tugas Karya Akhir
Demi perkembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: “Wacana dan Implementasi Proteksionisme Perdagangan Internasional di Sektor Pertanian melalui Berbagai Tema Fair Trade”
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database). Merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
: Depok
Pada tanggal
: 20 Juni 2014
Yang menyatakan
(Sabil Perbawa) vi
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
ABSTRAK Nama : Sabil Perbawa Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional Judul : Wacana dan Implementasi Proteksionisme Perdagangan Internasional di Sektor Pertanian melalui Berbagai Tema Fair Trade Kajian literatur ini menjelaskan bahwa kepentingan aktor Non-Governmental Organization dan negara turut berperan dalam pemilihan tema fair trade yang diadopsi oleh berbagai aktor dalam hubungan internasional. Masuknya fair trade ke dalam proteksionisme tidak lepas dari adanya publisitas negatif terhadap salah satu tema fair trade. Kajian ini memetakan tiga tema utama dari fair trade, yakni: Fair Trade Movement, Fair Trade Laws, dan Fair Trade menurut Stiglitz. Kajian literatur ini juga menemukan bahwa dari tiga istilah tersebut terindikasi bahwa Fair Trade Movement mungkin proteksionisme, Fair Trade Laws adalah proteksionisme, dan Fair Trade menurut Stiglitz bukanlah proteksionisme. -----Kata kunci: Fair Trade, Sektor Pertanian, Protektionisme, Perdagangan Internasional.
vii
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
ABSTRACT Name : Sabil Perbawa Study Program: International Relations Title : Discourse and Implementation of International Trade Protectionism in the Agricultural Sector through Various Themes of Fair Trade This literature review explains that the interests of Non-Governmental Organizations and state played a role in the selection of fair trade theme adopted by various actors in international relations. The inclusion of fair trade into protectionism is caused by negative publicity against one of the themes of fair trade. This literature review identifies three major themes of Fair Trade. They are Fair Trade Movement, Fair Trade Laws, and Fair Trade according to Stiglitz. This literature review found that the Fair Trade Movement could be protectionism, Fair Trade Laws is protectionism, and Fair Trade in general is not protectionism. -----Keywords: Fair Trade, Agricultural Sector, Protectionism, International Trade.
viii
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................................iii KATA PENGANTAR ................................................................................................... iv UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................................... v HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ...................................................... vi ABSTRAK .................................................................................................................... vii ABSTRACT ................................................................................................................viii DAFTAR ISI .................................................................................................................. ix DAFTAR TABEL ........................................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... xi GLOSARIUM ............................................................................................................... xii BAB 1. GAMBARAN UMUM ..................................................................................... 1 1.1. Pengantar ....................................................................................................... 1 1.2. Definisi dan Posisi Fair Trade dalam Hubungan Internasional ................... 5 BAB 2. PERDEBATAN DAN KETERKAITAN FAIR TRADE DENGAN PROTEKSIONISME DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL . 11 2.1. Ragam Wacana yang Menggunakan istilah Fair Trade: Fair Trade Movement, Fair Trade Laws, dan Fair Trade Menurut Stiglitz dalam konteks Proteksionisme dan Free Trade ..................................................... 11 2.2. Keterkaitan Fair Trade dengan Proteksionisme dalam Perdagangan Internasional ................................................................................................ 19 2.2.1 Fair Trade Movement dan Proteksionisme ................................... 19 2.2.2 Fair Trade Laws dan Proteksionisme............................................ 23 2.2.3 Fair Trade Menurut Stiglitz dan Proteksionisme .......................... 24 BAB 3. FAIR TRADE DAN PROTEKSIONISME DI SEKTOR PERTANIAN DALAM KERANGKA AGREEMENT ON AGRICULTURE ................... 27 3.1. Proteksionisme Perdagangan Internasional Di Sektor Pertanian melalui Tiga Pilar Agreement on Agriculture .......................................................... 27 3.2. Perkembangan Gagasan Proteksionisme Sektor Pertanian di Least Developed Countries ......................................................................... 36 3.3. Perkembangan Gagasan Proteksionisme Sektor Pertanian di Negara Maju............................................................................................ 45 BAB 4. KESIMPULAN............................................................................................... 49 DAFTAR REFERENSI................................................................................................ 51 LAMPIRAN .................................................................................................................. 55 ix
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL Tabel 2.1: Perbandingan Antara Fair Trade Laws, Fair Trade Movement, Fair Trade menurut Stiglitz, dan Free Trade ................................................................. 18 Tabel 2.2: Pembayaran Premium Fair Trade Movement di Amerika Serikat kepada Produsen di Negara-negara Berkembang dan LDCs (1998–2012) .............. 21 Tabel 3.1: Produk yang Termasuk Kedalam Agreement on Agriculture, Sesuai dengan Standarisasi WCO ........................................................................................ 34
x
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1: Posisi Fair Trade dalam Kajian Ekonomi Politik Internasional ............... 10 Gambar 2.1: Hubungan Antara Free Trade, Proteksionisme, Fair Trade Movement, dan Fair Trade Law Menurut Sean D. Ehrlich ................................................ 16 Gambar 2.2: Posisi Fair Trade Movement dan Fair Trade Law dalam Pengkontrasan antara Proteksionisme dan Free Trade Menurut Geoff Moore ................. 16 Gambar 2.3: Hubungan Antara Free Trade, Fair Trade menurut Stiglitz, Fair Trade Movement, Fair Trade Laws, dan Proteksionisme .................................... 17 Gambar 2.4: Keterkaitan Fair Trade Movement, Fair Trade Laws, dan Fair Trade Menurut Stiglitz dengan Proteksionisme................................................... 26 Gambar 3.1: Visualisasi Potensi ODC sebagai Instrumen Proteksionisme.................... 33 Gambar 3.2: Visualisasi Mengenai Perdebatan Proteksionisme Sektor Pertanian di Negara Maju, Negara Berkembang, dan LDC .......................................... 48
xi
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
GLOSARIUM
AFL
American Federation of Labor
AFL–CIO
American Federation of Labor and Congress of Industrial Organizations
AGST
Agricultural Supporting Tables
AHTN
ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature
AMS
Aggregate Measurement of Support
ATF
Agreement on Trade Facilitation
BTKI
Buku Tarif Kepabeanan Indonesia
BWIs
Bretton Woods Institutions
CDP
Committee for Development Policy
EBA
Everything But Arms
EFTA
European Fair Trade Association
EPI
Ekonomi Politik Internasional
EVI
Economic Vulnerability Index
FINE
FLO, IFTA, NEWS!, EFTA
FLO
Fairtrade Labelling Organizations International
FTA
Free-Trade Agreement
FTL
Fair Trade Laws
FTM
Fair Trade Movement
GATT
General Agreement on Tariffs and Trade
GNI
Gross National Income
GSP
Generalized System of Preferences
HAI
Human Assets Index
HS-6
Harmonized System-6
IFAD
International Fund for Agricultural Development
IFAT
International Federation for Alternative Trade
IMF
International Monetary Fund
LDC
Least Developed Country
LDCs
Least Developed Countries
LLDCs
Landlocked Developing Countries
MFN
Most Favoured Nation xii
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
MNC
Multinational Corporation
NEWS!
Network of European World Shops
NGO
Non-Governmental Organization
NGOs
Non-Governmental Organizations
ODC
Other Duties and Charges
OECD
Organisation for Economic Co-operation and Development
PTA
Preferential Trade Agreement
SCM
Subsidies and Countervailing Measures
SIDS
Small Island Developing States
SPLs
Social Product Labels
SPS
Sanitary and Phytosanitary
UN
United Nations
UNCTAD
United Nations Conference on Trade and Development
UN-ECOSOC United Nations Economic and Social Council UN-OHRLLS United Nations Office of the High Representative for the Least Developed Countries, Landlocked Developing Countries and Small Island Developing States TLL
Tariff Line Level
UPDHI
Unit Perpustakaan dan Dokumentasi Hubungan Internasional
VER
Voluntary Export Restraints
WCO
World Customs Organization
WTO
World Trade Organization
xiii
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
1
BAB 1 GAMBARAN UMUM “Laboratorium sejarah telah menunjukkan bahwa free trade yang simetris, yaitu free trade antara bangsa-bangsa di tingkat pembangunan yang relaif sama, akan menguntungkan kedua belah pihak. Sedangkan free trade yang asimetris akan mengarah pada negara miskin yang mengkhususkan diri dalam menjadi miskin, sementara negara kaya akan mengkhususkan diri dalam menjadi kaya. Untuk mendapatkan keuntungan dari free trade, negara miskin harus terlebih dahulu membersihkan diri mereka dari pengkhususan menjadi miskin di tingkat internasional. Selama 500 tahun hal ini tidak pernah terjadi tanpa intervensi pasar” - Erik Steenfeldt Reinert, 2007, How Rich Countries Got Rich and Why Poor Countries Stay Poor, LS. -
1.1.
Pengantar
Proteksionisme nerupakan salah satu cara membatasi perdagangan antarnegara untuk kepentingan negara yang menerapkannya. Negara menerapkan kebijakan proteksionisme dengan cara menutup pasarnya bagi negara-negara lain dan membuat hambatan-hambatan perdagangan, sehingga transaksi perdagangan berlangsung secara terbatas. Secara sederhana, proteksionisme, menurut pendukungnya, adalah kebijakan perdagangan pemerintah yang dirancang untuk membantu produsen domestik dalam melawan produsen asing di industri tertentu, dengan cara menaikkan harga barang impor dan menurunkan biaya yang dibebankan kepada produsen domestik, serta membatasi akses produsen asing ke pasar domestik. Argumen yang mendukung proteksionisme contohnya adalah pertahanan nasional, defisit perdagangan, ketenagakerjaan, infant industries, dan fair trade.1 Namun, ahli ekonomi politik internasional (EPI) seperti Robert Gilpin berpendapat bahwa proteksionisme akan membebankan perekonomian, karena proteksionisme melindungi industri yang tidak kompetitif. 1
Suhail Abboushi, “Trade Protectionism: Reasons and Outcomes,” Competitiveness Review, 20, no. 5 (2010), 387, http://search.proquest.com/docview/756100864?accountid=17242 (diakses pada 24 Maret 2014). Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
2
Di sisi lain, free trade menurut Adam Smith dan David Ricardo adalah penghapusan hambatan perdagangan agar barang dapat bebas bergerak, sehingga memungkinkan pemanfaatan sumber daya dunia secara optimal. Teori free trade berakar dari buku Adam Smith yang berjudul The Wealth of Nations. Adam Smith percaya bahwa free trade akan memaksa aktor negara untuk melakukan spesialisasi dan memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki secara optimal. Gilpin telah menyempurnakan teori Adam Smith dengan mengatakan bahwa “Yang mendasari komitmen kaum liberal terhadap free trade adalah keyakinan bahwa tujuan dari kegiatan ekonomi adalah untuk menguntungkan konsumen dan memaksimalkan kekayaan global. Free trade juga memaksimalkan pilihan konsumen, mengurangi harga, dan memfasilitasi efisiensi penggunaan sumber daya yang langka di dunia”. 2 Pertanian adalah salah satu sektor primer strategis, selain sektor perikanan dan pertambangan. Namun, liberalisasi sektor pertanian masih relatif tertinggal jika dibandingkan dengan sektor-sektor lain dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). GATT adalah traktat internasional yang menjadi mekanisme fundamental untuk mengatur perdagangan internasional di sektor primer. Sektor lainnya yang diatur oleh GATT adalah sektor sekunder. Berlangsungnya Multilateral Trade Negotiations ke-8 GATT, tepatnya pada periode 1986-1994, yang lebih dikenal dengan nama Putaran Uruguay, telah menciptakan Agreement on Agriculture (AoA). AoA berlaku sejak berdirinya World Trade Organization (WTO) pada tanggal 1 Januari 1995. Banyak penulis yang mengatakan bahwa AoA tidak mengatasi masalah food security yang dialami oleh negara-negara berkembang dan Least Developed Countries (LDCs), karena AoA melayani kepentingan negara-negara maju dengan cara mengorbankan kepentingan negara-negara berkembang dan LDCs. AoA telah gagal dalam mengurangi tingkat subsidi negara maju secara signifikan dan dalam membuka pasar negara-negara maju terhadap produk unggulan negara-negara berkembang dan LDCs. Negara maju seperti Amerika Serikat telah diuntungkan dengan adanya AoA. Di saat yang sama, AoA menuntut tarif yang lebih rendah dan pasar yang lebih terbuka di negara-negara 2
Robert Gilpin dan Jean M. Gilpin, “The Trading System,” Global Political Economy Understanding the International Economic Order (Princeton: Princeton University Press, 2001), 198. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
3
berkembang dan LDCs, serta memaksakan tingkat subsidi yang rendah di negaranegara berkembang dan LDCs. AoA juga terlalu menyamaratakan kebutuhan khusus dari negara-negara berkembang dan LDCs. Negara berkembang yang mempunyai keunggulan komparatif dalam memproduksi barang pertanian, seperti Indonesia, telah dirugikan dengan adanya AoA. WTO mendefinisikan LDCs sesuai dengan yang telah ditentukan oleh United Nations (UN). Saat ini, ada 48 LDCs yang diakui oleh UN, dimana 33 diantaranya telah menjadi anggota WTO. 3 Committee for Development Policy (CDP) sebagai badan pendukung dari United Nations Economic and Social Council (UN-ECOSOC) telah diberikan mandat untuk meninjau kategori LDCs setiap 3 tahun sekali dan memantau perkembangan mereka setelah melampaui kategori LDCs. Identifikasi LDCs saat ini didasarkan pada tiga kriteria, yaitu: Gross National Income (GNI) per kapita, Human Assets Index (HAI), dan Economic Vulnerability Index (EVI). Berdasarkan World Bank Atlas Method, suatu negara akan masuk kategori LDCs apabila berpenghasilan rendah (rata-rata perkiraan tiga tahun GNI per kapita di bawah US$992). Apabila ada LDCs yang telah berpenghasilan tinggi (rata-rata perkiraan tiga tahun GNI per kapita di atas US$1190), maka negara tersebut dapat dikeluarkan dari kategori LDCs. Jumlah penduduk negara dengan kategori LDCs juga tidak boleh melebihi 75 juta orang.4 Namun, negara yang populasinya melebihi 75 juta orang dan sudah dikategorisasikan menjadi LDCs sebelum tahun 1991 tetap dikategorisasikan sebagai LDCs.5 Sehingga, negara seperti Republik Rakyat Bangladesh, Republik Demokratik
Federal
Ethiopia,
dan
Republik
Demokratik
Kongo
tetap
dikategorisasikan sebagai LDCs. Penurunan status dari negara berkembang menjadi LDCs juga dapat terjadi, tetapi harus disetujui oleh negara itu sendiri. Contohnya, pada tahun 2006, CDP menyarankan Zimbabwe menurunkan 3
World Trade Organization, “Least-Developed Countries,” http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/org7_e.htm (diakses pada 15 April 2014). 4 United Nations Office of the High Representative for the Least Developed Countries, Landlocked Developing Countries and Small Island Developing States, “Criteria for Identification and Graduation of LDCs,” http://unohrlls.org/about-ldcs/criteria-for-ldcs/ (diakses pada 15 April 2014). 5 United Nations, “Least Developed Countries Criteria,” http://www.un.org/en/development/desa/policy/cdp/ldc/ldc_criteria.shtml#population (diakses pada 6 Mei 2014). Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
4
statusnya dari negara berkembang menjadi LDCs, tetapi ditolak oleh Presiden Robert Mugabe, sehingga Zimbabwe masih menjadi negara berkembang. Diadopsinya Bab 2 dari Bali Ministerial Declaration and decisions (atau Bali Package) pada tanggal 7 Desember 2013 telah berhasil menciptakan satu perjanjian yang mengikat secara hukum, yaitu Agreement on Trade Facilitation (ATF). ATF akan menghapus hambatan birokrasi perdagangan pita merah (peraturan yang dianggap mengurangi produktifitas) dan menyederhanakan bea cukai. 6 Di sisi lain, liberalisasi sektor pertanian masih memakai solusi interim, misalnya India masih membutuhkan proteksionisme di sektor pertanian demi menjalankan program food security mereka. Namun, India sendiri hanya boleh mensubsidi 10% dari total agricultural output mereka. Sektor pertanian adalah sektor yang mampu mendukung sektor-sektor lainnya, termasuk sektor jasa. Perdagangan internasional di sektor jasa disebabkan oleh keuntungan komparatif (comparative advantage) dan keuntungan yang didapat dari spesialisasi.
7
Namun, beberapa negara memiliki keuntungan
komparatif di sektor pertanian dan bukan di sektor jasa, karena mereka belum terspesialisasi ke dalam sektor jasa. Ada banyak cara yang bisa digunakan negara untuk memproteksi sektor pertanian. Salah satu cara yang paling terbaru, dan mungkin yang paling kompleks, adalah dengan menggunakan istilah fair trade. Dalam perdebatan tentang standarisasi lingkungan dan buruh di negara berkembang di antara anggota WTO, terdapat perdebatan tentang apa itu “Free and Fair Trade” dan bagaimana keterkaitan keduanya. Oleh karena itu, studi ini ini akan melakukan penelusuran terhadap perkembangan wacana tentang fair trade dan mencoba melihat posisi fair trade, proteksionisme, dan free trade dalam perdagangan internasional khususnya di sektor pertanian.
6
World Trade Organization, “Days 3, 4 and 5: Round-The-Clock Consultations Produce Bali Package,” http://www.wto.org/english/news_e/news13_e/mc9sum_07dec13_e.htm (diakses pada 4 Maret 2014). 7 Robert Cleverdon dan Angela Kalisch, “Fair Trade in Tourism,” The International Journal of Tourism Research, 2, no. 3 (2000), 87–89, http://search.proquest.com/docview/214524798?accountid=17242 (diakses pada 20 November 2013). Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
5
1.2.
Definisi dan Posisi Fair Trade dalam Hubungan Internasional Joseph Stiglitz menjelaskan dalam beberapa bukunya,8 bahwa fair trade
adalah sebuah istilah yang mengacu pada tiga tema, yaitu Fair Trade Laws (FTL), Fair Trade Movement (FTM), dan diskursus Fair Trade menurut Stiglitz yang dalam studi ini hanya disebut sebagai “Fair Trade menurut Stiglitz”. FTL adalah beberapa undang-undang yang digunakan terutama oleh kelas buruh untuk melindungi pekerjaan mereka. Di Amerika Serikat hal ini didukung oleh serikat buruh seperti American Federation of Labor and Congress of Industrial Organizations (AFL–CIO) dan dilaksanakan oleh aktor negara (Amerika Serikat). Dua FTL yang paling penting dalam merepresentasikan hambatan non-tarif adalah hukum antidumping (Antidumping Act of 1921) dan Countervailing Duties (GATT Agreement on Subsidies and Countervailing Measures).9 Sedangkan FTM adalah sebuah bentuk perdagangan yang mengutamakan dialog, transparansi, dan saling menghormati untuk mencapai kesetaraan dalam perdagangan internasional, yang dilaksanakan oleh aktor Non-Governmental Organization (NGO) dan standar NGO tersebut dipakai oleh aktor Multinational Corporation (MNC). Di sisi lain, Fair Trade menurut Stiglitz hanyalah sebuah diskursus. FTL dan FTM mungkin dapat digunakan untuk memproteksi sektor pertanian, karena FTL adalah sebuah undang-undang dan FTM adalah sebuah gerakan sosial. Akan tetapi Fair Trade menurut Stiglitz sulit digunakan untuk memproteksi sektor pertanian, karena hanya sebuah “himbauan” untuk meminta negara maju untuk tidak memproteksi sektor pertanian. Menurut Sean D. Ehrlich, tidak ada hubungan yang logis antara FTL dan FTM, sehingga seseorang bisa mendukung FTL tanpa mendukung FTM, ataupun sebaliknya. Namun, keduanya memiliki kepedulian dasar yang sama, yaitu kepedulian pada dampak dari perdagangan terhadap standar tenaga kerja dan 8
Ketiga tema dari Fair Trade tersebut dibahas dalam Joseph E. Stiglitz, “Making Trade Fair,” Making Globalization Work (New York: W.W. Norton & Co, 2006), 73; Joseph E. Stiglitz, dan Carl E. Walsh. “International Trade and Trade Policy,” Economics, fourth edition (New York: W.W. Norton, 2006), 437; Joseph E. Stiglitz, dan Andrew Charlton. Fair Trade: How Trade Can Promote Development (Oxford: Oxford University Press, 2005), 12-13. 9 Joseph E. Stiglitz dan Carl E. Walsh, “International Trade and Trade Policy,” Economics, fourth edition (New York: W.W. Norton, 2006), 437. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
6
lingkungan. Dengan demikian tidak dapat dihindari terdapat tumpang tindih yang signifikan antara masing-masing definisi.10 Bukti dari penelitian Sean D. Ehrlich ini dapat dilihat dari definisi fair trade menurut Luther G. Tweeten. Luther G. Tweeten mendefinisikan free trade sebagai perdagangan antar negara tanpa terbebani oleh hambatan, kecuali yang diperbolehkan oleh WTO, sedangkan fair trade adalah perdagangan yang konsisten dengan perlindungan pekerja, perempuan, anak dari kaum minoritas, pertanian, dan lingkungan yang berkelanjutan. Free trade membiarkan isu-isu sosial dan lingkungan diputuskan oleh masing-masing aktor negara, sedangkan fair trade akan memberlakukan aturan-aturan sosial dan lingkungan di semua negara. 11 Dapat dilihat bahwa definisi fair trade menurut Luther G. Tweeten adalah campuran dari FTM dan FTL, karena menginginkan bentuk perdagangan FTM dengan memaksakan FTL. Lebih jauh, Candace Archer dan Stefan Frisch berargumen bahwa adanya FTM menyajikan anomali yang menarik, karena menunjukkan kelemahan ontologis dasar dari studi EPI yang secara keseluruhan tidak cukup perhatian terhadap isu-isu normatif. Teori mainstream EPI disajikan sebagai ilmu sosial obyektif yang berfokus pada menjelaskan dan memahami fenomena ekonomi, yang seringkali tidak tertarik pada keprihatinan moral. Adanya FTM dan agenda moral
dari
mereka
yang
mempraktikkan
mempertanyakan ontologi yang mendasari EPI.
prinsip-prinsip
FTM
akan
12
Menurut Graham Dunkley, argumen pendukung proteksionisme di negara maju yang paling tidak disukai adalah “argumen buruh murah” yang mengatakan bahwa negara maju harus melindungi industri dalam negeri, karena industri di negara maju tidak bisa melawan industri di negara berkembang dan LDCs yang menggaji buruhnya dengan sangat murah. Padahal, upah buruh yang murah tersebut dapat dianggap sebagai keuntungan komparatif. 13 Eksploitasi buruh di
10
Sean D. Ehrlich, “The Fair Trade Challenge to Embedded Liberalism,” International Studies Quarterly, 54, no. 4 (2010), 1014. 11 Luther G. Tweeten, “Antiglobalists,” Terrorism, radicalism, and populism in agriculture (Ames: Iowa State Press, 2003), 37. 12 Candace Archer dan Stefan Fritsch, “Global Fair Trade: Humanizing Globalization and Reintroducing the Normative to International Political Economy,” Review of International Political Economy, 17, no. 1 (2010), 104. 13 Graham Dunkley, “Is There Life After GATT?,” The Free Trade Adventure: The WTO, The Uruguay Round and Globalism (London: Zed Books, 2001), 120. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
7
negara berkembang dan LDCs dapat menjadi dasar dari munculnya kebijakan proteksionis bernama FTL.14 FTL telah menjadi bagian dari kebijakan perdagangan Amerika Serikat sejak abad kesembilan belas. Antidumping Act of 1921 dan Reciprocal Tariff Act of 1934 di Amerika Serikat adalah FTL Amerika Serikat yang berusaha untuk mencegah dumping oleh perusahaan asing di pasar Amerika Serikat dan berusaha untuk mendapatkan akses ke pasar luar negeri untuk menjual komoditas Amerika Serikat. Misalnya, terbukanya akses ke pasar Amerika Serikat oleh produsen kopi Brasil akan tergantung pada terbukanya akses ke pasar Brasil oleh produsen gandum Amerika Serikat.15 Stiglitz mengkritik FTL, khususnya Antidumping Act of 1921, karena “argumen buruh murah” seharusnya tidak menjadi alasan untuk menuduh negara berkembang dan LDCs telah melakukan dumping. Menurut Stiglitz, negara berkembang dan LDCs juga menderita dari tingginya biaya modal, infrastruktur yang buruk, tingkat keterampilan yang lebih rendah, dan produktivitas yang rendah. Perusahaan Amerika Serikat seringkali merasa bahwa mereka adalah perusahaan yang paling efisien, sehingga mereka yakin akan selalu menang dalam level playing field. 16 Dalam level playing field, perusahaan akan menang jika mereka berusaha paling keras diantara semua kompetitor, sehingga efisiensi perusahaan Amerika Serikat yang tinggi tentunya akan membantu usaha tersebut. Level playing field dalam dunia nyata dapat diilustrasikan sebagai sebuah dunia tanpa orang tua, dimana setiap orang memulai hidup dengan peluang yang sama. Tanpa orang tua dan nepotisme, masing-masing yatim piatu dibiarkan sendiri untuk terus bersaing dengan yatim piatu lainnya, sehingga mereka yang terkuat, terpintar, dan bekerja paling keras memiliki kesempatan terbaik untuk berhasil dalam kehidupan. Ditinjau dari kacamata Ilmu Hubungan Internasional, dependency theory telah menyatakan bahwa negara-negara maju akan mengatur negara berkembang
14
Ibid., 121. Stanley D. Nollen dan Dennis P. Quinn, “Free Trade, Fair Trade, Strategic Trade, and Protectionism in the U.S. Congress, 1987–88,” International Organization,. 48, no. 03 (1994), 495. 16 Joseph E. Stiglitz, “Making Trade Fair,” Making Globalization Work (New York: W.W. Norton & Co, 2006), 73. Universitas Indonesia 15
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
8
dan LDCs melalui perjanjian perdagangan internasional (seperti AoA) dan serikat pekerja (seperti AFL–CIO) pada tingkat formal, serta melalui interaksi NGO dan MNC pada tingkat informal, dalam rangka mengintegrasikan mereka ke dalam sistem kapitalisme global. Semua itu dilakukan agar negara maju dapat secara strategis merampas Sumber Daya Alam negara berkembang dan LDCs yang harganya sudah direndahkan oleh negara maju, serta mendorong ketergantungan ekonomi dan politik negara berkembang dan LDCs terhadap negara maju. Dependency theory masih mempengaruhi beberapa kampanye NGO, seperti kampanye FTM. Perlu dicatat bahwa Pasal 7 dari International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights yang ditetapkan pada tahun 1966 mengakui hak setiap orang untuk mendapatkan kondisi kerja yang “adil dan menguntungkan,” yang dapat didefinisikan sebagai gaji yang adil dengan memberikan upah yang sama dalam melakukan pekerjaan yang sama, gaji yang cukup untuk memberikan kehidupan yang layak bagi pekerja dan tanggungan mereka, kondisi kerja yang aman, kesempatan yang sama di tempat kerja, dan istirahat dan rekreasi yang cukup, termasuk jam kerja yang terbatas, dan hari libur yang tetap diberikan gaji.17 Pada kenyataannya, masih banyak masyarakat kurang mampu (terutama di negara-negara berkembang dan LDCs) yang belum mendapatkan hak buruh dengan memadai atau bahkan belum tersentuh standar perburuhan internasional. Para pendukung FTM akhirnya melabeli produk yang sesuai dengan prinsip tersebut, seperti Fair Trade Coffee, yang harganya lebih mahal apabila dibandingkan dengan Free Trade Coffee, namun menjamin bahwa produsen di negara berkembang dan LDCs tidak dieksploitasi oleh pihak manapun. Starbucks adalah salah satu MNC yang menyediakan Fair Trade Coffee tersebut. Studi tentang proteksionisme sektor pertanian adalah salah satu pembahasan yang berada dalam domain EPI. Diskusi EPI berkaitan dengan cara di mana kekuatan politik aktor negara (yang paling besar) sampai aktor individu (yang paling kecil) membentuk sistem interaksi ekonomi, serta menganalisa efek dari interaksi ekonomi tersebut terhadap struktur politik. 17
Office of the High Commissioner for Human Rights, “International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights,” http://www.ohchr.org/EN/ProfessionalInterest/Pages/CESCR.aspx (diakses pada 10 Maret 2014). Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
9
EPI muncul sebagai sub-domain Ilmu Hubungan Internasional setelah perkembangan ekonomi global pada tahun 1970-an, yang memicu gelombang proteksionisme baru dalam perdagangan internasional dalam bentuk hambatan tarif dan non-tarif. Pada saat itu, negara-negara maju mencoba untuk mengurangi impor dari negara-negara berkembang dengan menggunakan hambatan non-tarif. Kebijakan proteksionis dari negara-negara maju ini akhirnya dikritik oleh negaranegara berkembang, serta oleh negara-negara yang pada saat itu baru merdeka.18 Tiga paragraf sebelumnya telah menerangkan keterkaitan antara studi tentang proteksionisme di sektor pertanian dengan Ilmu Hubungan Internasional. Alasan utama yang mendasari signifikansi studi tentang proteksionisme perdagangan internasional di sektor pertanian dalam ranah Ilmu Hubungan Internasional adalah karena sektor pertanian, sebagai sektor primer yang lazim diketahui sebagai tanggung jawab negara, dikomersialisasikan menjadi komoditas perdagangan antarnegara. Metode tinjauan pustaka yang penulis lakukan dalam studi ini adalah memfokuskan kepada literatur-literatur Stiglitz, khususnya yang membahas mengenai Fair Trade. Jumlah literatur yang dibahas dalam studi ini adalah 15 jurnal penilaian sejawat (peer-reviewed journal) dan buku yang membahas mengenai Fair Trade. Studi ini menganalisis literatur tersebut dengan mengaitkan dan membandingkan berbagai literatur tersebut dengan literatur-literatur Stiglitz. Cara yang dipakai penulis dalam mendapatkan berbagai literatur tersebut adalah dengan mencari kata kunci “fair trade” di berbagai pangkalan data daring yang dilanggan oleh Universitas Indonesia seperti Journal Storage (JSTOR), Proquest, dan Sciencedirect. Penulis juga menggunakan beberapa buku koleksi Unit Perpustakaan dan Dokumentasi Hubungan Internasional (UPDHI), yaitu buku Dani Rodrik dan Graham Dunkley. Sebelum studi ini dilakukan, Graham Dunkley dan Jagdish Natwarlal Bhagwati sudah mengklasifikasikan fair trade menjadi tiga tema terlebih dahulu. Namun, penulis ingin melakukan klasifikasinya sendiri dengan mengkhususkan kepada literatur- literatur dan pemahaman Stiglitz. 18
Gokhan Ozkan, “Emergence of International Political Economy as a Sub-Discipline of International Relations and Impact of the Global Crisis on International Political Economy,” International Journal of Business and Social Science, 3, no. 13 (2012), http://search.proquest.com/docview/1022660703?accountid=17242 (diakses pada 4 Maret 2014). 198-199. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
10
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan dalam bentuk ilustrasi sebagai berikut. Ilustrasi tersebut menempatkan fair trade sebagai bagian dari fenomena perdagangan internasional yang merupakan kajian dalam EPI. Fair Trade menurut Stiglitz adalah free trade yang simetris. FTM mungkin merupakan bagian dari proteksionisme. Sedangkan FTL merupakan kontradiksi dari free trade yang lahir dari upaya untuk membuat perdagangan yang adil untuk kepentingan negara maju.
Gambar 1.1. Posisi Fair Trade dalam Kajian Ekonomi Politik Internasional Sumber: Disarikan oleh penulis dari berbagai sumber
Gambaran umum tentang fair trade yang diuraikan dalam bab pertama ini merupakan awal dari pembahasan mengenai fair trade dan proteksionisme dalam perdagangan internasional di sektor pertanian yang dilakukan oleh studi ini. Selanjutnya, bab kedua akan menguraikan perdebatan dan keterkaitan antara FTM, FTL, dan Fair Trade menurut Stiglitz dengan proteksionisme, terutama proteksionisme di sektor pertanian. Bab ketiga akan menjabarkan perkembangan wacana dan implementasi proteksionisme perdagangan internasional di sektor pertanian di negara berkembang/LDCs dan negara maju. Setelah itu, sebagai bagian akhir dibuat kesimpulan yang akan dipaparkan dalam bab keempat. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
11
BAB 2 PERDEBATAN DAN KETERKAITAN FAIR TRADE DENGAN PROTEKSIONISME DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
2.1.
Ragam Wacana yang Menggunakan istilah Fair Trade: Fair Trade Movement, Fair Trade Laws, dan Fair Trade Menurut Stiglitz dalam konteks Proteksionisme dan Free Trade
Adanya kesenjangan antara kondisi kerja buruh di negara berkembang dan LDCs apabila dibandingkan dengan kondisi kerja buruh di negara maju, telah menyebabkan para aktor dalam hubungan internasional, yang merasa bahwa level playing field bagi para buruh di negara berkembang dan LDCs belum tercapai, memberontak terhadap doktrin free trade yang digembar-gemborkan oleh WTO. Menurut Candace Archer dan Stefan Fritsch, meskipun menonjol di publik, FTM seringkali tidak hadir dalam diskusi teoritis Ekonomi Politik Internasional. Terdapat dua alasan yang dapat menjelaskan pengabaian tersebut. Pertama, produk FTM sebagian besar terdiri dari komoditas seperti kopi, pisang, kakao, gula, madu, teh, atau bunga yang mewakili sebagian kecil dari jumlah total perdagangan global. Kedua, FTM tidak cocok dengan model mainstream EPI mengenai aktor rasional.19 Archer dan Fritsch juga mengatakan bahwa selain FTM, ada juga FTL yang bertujuan untuk membangun level playing field di antara mitra dagang, dimana sebagian besar mitra dagang tersebut adalah aktor negara. FTL mengatakan bahwa perdagangan akan mencapai level playing field jika semua mitra dagang mematuhi prinsip-prinsip, norma-norma, dan aturan yang sama. Berdasarkan definisi ini, praktik yang menentang FTL akan mencakup bidang yang luas dari hambatan non-tarif, seperti subsidi atau standar sosial, tenaga kerja, kesehatan, dan lingkungan yang menyebabkan distorsi dalam perdagangan internasional dan memberikan keuntungan bagi negara yang menentang FTL.20
19
Candace Archer dan Stefan Fritsch, Global Fair Trade: Humanizing Globalization and Reintroducing the Normative to International Political Economy, 104. 20 Candace Archer dan Stefan Fritsch, Global Fair Trade: Humanizing Globalization and Reintroducing the Normative to International Political Economy, 105. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
12
Sementara itu, menurut Sushil Mohan, standarisasi seperti label FTM dapat dilihat sebagai bentuk halus dari proteksionisme. Ada kekhawatiran bahwa kampanye dari kelompok gerakan sosial tersebut bisa menciptakan perjanjian perdagangan, sehingga membentuk hambatan non-tarif untuk masuk ke pasar. Inisiatif pelabelan oleh FTM juga dituding mencegah negara-negara berkembang dan LDCs dalam mengembangkan standar sosial dan praktik-praktik yang lebih relevan dengan keadaan mereka sendiri.21 Hal ini sudah terjadi di Belanda, dimana Max Havelaar Foundation berhasil membuat label FTM-nya menjadi standar komoditas kopi yang dijual di Provinsi Groningen. International Labor Organization selama 90 tahun tidak pernah berhasil menciptakan perjanjian yang tegas tentang standar ketenagakerjaan. Di sisi lain, nsegara-negara berkembang, seperti Tiongkok, Indonesia, dan India, secara tegas menolak gagasan standar ketenagakerjaan seperti FTL dalam negosiasi WTO, karena akan melemahkan keunggulan komparatif mereka dalam produksi padat karya.
22
Hal ini sesuai
dengan argumen Sushil Mohan bahwa negara berkembang (dan LDCs) sebenarnya ingin memakai standar ketenagakerjaan mereka sendiri. Selain itu, para ekonom politik yang mempelajari politik perdagangan telah mengatakan bahwa kampanye untuk menghubungkan standar ketenagakerjaan dengan perjanjian perdagangan (dan sanksi perdagangan) adalah proteksionisme yang terselubung.23 Oleh karena itu perlu dipahami beberapa tujuan dari FTM. Pertama, tujuan utama dari FTM adalah untuk melawan kemiskinan di negara Dunia Ketiga yang diakibatkan oleh praktik kolonial dan politik dependency. Kedua, FTM menghubungkan konsumen dengan produsen. Ketiga, FTM membantu produsen
21
Sushil Mohan, “Fair Trade as A Long-Term Development Strategy,” Fair Trade Without The Froth: A Dispassionate Economic Analysis of ‘Fair Trade’ (London: Institute of Economic Affairs, 2010), 88. 22 Michael J. Hiscox dan Nicholas F. B. Smyth, “Is There Consumer Demand for Improved Labor Standards? Evidence from Field Experiments in Social Labeling” (Paper presented at the Murphy Institute of Political Economy Conference on the „New Political Economy of Globalization‟, New Orleans, Louisiana, 20-21 April, 2007), 4-5, http://www.nottingham.ac.uk/gep/documents/conferences/2007/april07conf/hiscox-april07.pdf (diakses pada 9 Juni 2014). 23 Ibid., 5. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
13
berskala kecil. Keempat, metode FTM bertujuan untuk memperkuat dan meningkatkan posisi tawar mitra bisnis mereka.24 Setelah membahas FTL dan FTM di atas, dapat dipahami bagaimana keduanya dapat menjadi bentuk proteksionisme di sektor pertanian. Selanjutnya, akan dibahas mengenai free trade dan Fair Trade menurut Stiglitz. Joseph Stiglitz dan Andrew Charlton menjelaskan Fair Trade menurut Stiglitz dengan mengatakan bahwa sekarang ini kita tidak benar-benar memiliki rezim free trade, karena dalam rezim free trade negara harus menghapus semua hambatan perdagangan, sedangkan produsen hanya boleh mengandalkan pasar untuk memperoleh pendapatan. Saat ini, Amerika Serikat dan Uni Eropa mensubsidi produk pertanian mereka, sehingga sebagian pendapatan yang diperoleh produsen produk pertanian di negara-negara tersebut berasal dari subsidi pemerintah dan tidak hanya mengandalkan pasar.25 Walaupun Stiglitz dan Charlton menggunakan kata fair trade dalam judul bukunya, mereka tidak pernah mendefinisikan apa itu fair trade. Namun, Stiglitz dalam buku Making Globalization Work berusaha mendefinisikan fair trade sebagai rezim perdagangan barang, jasa, dan tenaga kerja antar negara tanpa subsidi dan proteksionisme perdagangan dalam bentuk apapun.26 Sehingga, tema fair trade yang diajukan sendiri oleh Stiglitz, yang dalam studi ini dinamakan Fair Trade menurut Stiglitz, menginginkan free trade yang benar-benar bebas dari hambatan dan dilakukannya liberalisasi pasar secara simetris seluruh negara. Stiglitz juga mengkritik Free-Trade Agreement (FTA), karena telah menciptakan pembukaan pasar secara asimetris yang hanya akan menguntungkan sebagian kecil kelompok. 27 Argumen Stiglitz mengenai FTA ini sama dengan argumen Jagdish Natwarlal Bhagwati yang mengatakan bahwa FTA itu sama dengan Preferential Trade Agreement (PTA), karena menggabungkan free trade dengan proteksionisme, yang kemudian merugikan negara yang tidak masuk FTA. Lebih jauh, Stiglitz membedakan antara Fair Trade menurut Stiglitz dengan FTM dengan mengatakan bahwa FTM berusaha untuk melindungi para 24
Robert Cleverdon dan Angela Kalisch, Fair Trade in Tourism, 174-175. Joseph E. Stiglitz dan Andrew Charlton, Fair Trade for All: How Trade Can Promote Development (Oxford: Oxford University Press, 2005), 12-13. 26 Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work, 73. 27 Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work, 73-74. Universitas Indonesia 25
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
14
petani, khususnya petani di negara berkembang dan LDCs dari eksploitasi yang dilakukan oleh makelar. Sedangkan Fair Trade menurut Stiglitz berusaha untuk mengubah peraturan permainan dalam perdagangan internasional agar lebih adil bagi orang-orang di negara berkembang dan LDCs.28 Sushil Mohan juga setuju bahwa negara maju harus menghilangkan kebijakan proteksionisme dan subsidi pertanian yang merusak pasar. Kebijakan pertanian yang merusak pasar tersebut telah memperburuk kemiskinan di negaranegara miskin seperti negara-negara di bagian Sub-Sahara Afrika, dimana orangorang
sangat
bergantung
pada
sektor
pertanian.
29
Argumen
tersebut
memperlihatkan secara tidak langsung bahwa Sushil Mohan adalah pendukung Fair Trade menurut Stiglitz, karena mendukung ide pembukaan pasar secara simetris milik Stiglitz. Untuk memudahkan ilustrasi tema fair trade, kita bisa melihat dari berlangsungnya 9th WTO Bali Ministerial Conference 2013, dimana NGO yang melakukan protes di luar Pusat Konvensi Bali Nusa Dua dan para menteri perdagangan sama-sama menggunakan istilah fair trade, tetapi kelompok NGOs menggunakan tema FTM, sedangkan para menteri perdagangan menggunakan tema Fair Trade menurut Stiglitz dan FTL. Menurut David Alan Crocker, Stiglitz mengadopsi pendekatan liberal internasionalisme, karena Stiglitz berasumsi bahwa tatanan global terdiri dari negara-negara berdaulat, institusi global (yang anggotanya mewakili negarabangsa), MNC, dan Global Civil Society. Reformasi yang direkomendasikan Stiglitz jauh lebih baik, apabila dibandingkan dengan reformasi World Bank yang hanya berupa retorika. Seperti penganut Liberal Internasionalisme lainnya, Stiglitz tidak mengusulkan bahwa tatanan global saat ini dibentuk kembali secara radikal, melainkan diubah secara bertahap. 30 Studi ini melihat bahwa pendukung Fair Trade
menurut
Stiglitz
pada
umumnya
memakai
pendekatan
liberal
internasionalisme.
28
Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work, 304. Sushil Mohan, Fair Trade Without The Froth: A Dispassionate Economic Analysis Of 'Fair Trade', 112-113. 30 David Alan Crocker, “Development Ethics, Democracy, and Globalization” dalam Democracy in A Global World: Human Rights And Political Participation In The 21st Century, ed. Deen K. Chatterjee (Lanham: Rowman & Littlefield Publishers, 2008), 59. Universitas Indonesia 29
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
15
Sedangkan pendekatan liberalisme adalah pendekatan yang diadopsi oleh pendukung free trade. Liberalisme percaya akan positive-sum gain, sehingga FTL dianggap sebagai proteksionisme oleh para kaum liberalis. Perlu dicatat bahwa liberalisme muncul dan berkembang sebagai reaksi terhadap tren dan peristiwa penting di dunia nyata yang mengkritisi pendekatan nasionalisme ekonomi. 31 Pendekatan nasionalisme ekonomi adalah pendekatan yang berevolusi dari pendekatan merkantilisme pada akhir abad ke-18 dan ke-19, dan diadopsi oleh para pendukung FTL. Pendekatan nasionalisme ekonomi menolak globalisasi, karena pendekatan ini menekankan pada kontrol domestik yang kuat terhadap ekonomi. Kontrol domestik ini biasanya berbentuk hambatan tarif dan non-tarif, infant industries, eco label, dan human rights label.32 Sementara itu, pendekatan marxisme adalah pendekatan yang diadopsi oleh para pendukung FTM. Pendekatan marxisme memaksa kita untuk menganalisis masalah, isu, dan peristiwa yang mungkin akan diabaikan jika kita membatasi diri kita pada sudut pandang liberal dan merkantilis. Pendekatan marxisme memberikan suara bagi mereka yang tidak berdaya. 33 Sean D. Ehrlich menduga bahwa pendukung proteksionisme menggunakan retorika fair trade, karena proteksionisme telah didiskreditkan oleh teori ekonomi neoliberal. Sehingga menurutnya, pendukung fair trade saat ini sebenarnya adalah pendukung proteksionisme di masa lalu, yang tidak mau mengakui bukti nyata bahwa negara yang mengadopsi proteksionisme lebih buruk apabila dibandingkan dengan negara yang mengadopsi free trade.34 Dari argumen tersebut dapat dilihat bahwa Ehrlich adalah pendukung free trade. Menurut Ehrlich, semua oposisi terhadap free trade dalam penelitian akademis seringkali digabungkan menjadi satu kategori, yaitu proteksionisme. Proteksionisme telah memperoleh konotasi yang jelek, karena teori ekonomi neoliberal menunjukkan bahwa proteksionisme dapat memperburuk kesejahteraan agregat suatu negara.35 31
David N. Balaam dan Michael Veseth, “Laissez-Faire: The Economic Liberal Perspective,” Introduction to International Political Economy, second edition (Upper Saddle River: Prentice Hall, 2001), 47. 32 Ibid., 30. 33 Ibid., 72. 34 Sean D. Ehrlich, “The Fair Trade Challenge to Embedded Liberalism,” International Studies Quarterly, 54, no. 4 (2010), 1017. 35 Ibid., 1014. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
16
Salah satu penulis, Geoff Moore, mengatakan bahwa fair trade memiliki ciri-ciri dasar sebagai sebuah jalan tengah di antara free trade di satu sisi dan proteksionisme di sisi lainnya. Namun, proteksionisme juga dapat disamakan dengan fair trade, apabila kita merujuk pada FTL, yang meminta standar lingkungan dan buruh yang sama antara negara maju, negara berkembang, dan LDCs.
36
Argumen Ehrlich dan Moore tersebut dapat diilustrasikan secara
berurutan pada gambar 2.1. dan gambar 2.2. di bawah ini.
Gambar 2.1. Hubungan Antara Free Trade, Proteksionisme, Fair Trade Movement, dan Fair Trade Law Menurut Sean D. Ehrlich Sumber: Disarikan oleh penulis dari Sean D. Ehrlich, “The Fair Trade Challenge to Embedded Liberalism,” International Studies Quarterly, Vol. 54, No. 4 (2010), 1014.
Gambar 2.2. Posisi Fair Trade Movement dan Fair Trade Law dalam Pengkontrasan antara Proteksionisme dan Free Trade Menurut Geoff Moore Sumber: Disarikan oleh penulis dari Geoff Moore, “The Fair Trade Movement: Parameters, Issues and Future Research” Vol. 53, No. 1-2 (2004), 76. 36
Geoff Moore, “The Fair Trade Movement: Parameters, Issues and Future Research,” Journal of Business Ethics, 53, no. 1-2 (2004), 76. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
17
Dengan menggabungkan argumen Geoff Moore dan Sean D. Ehrlich serta beberapa pemikiran lain yang sudah dibahas di atas, studi ini menyimpulkan bahwa FTL adalah proteksionisme, karena didukung oleh aktor negara yang memiliki power yang besar. Di sisi lain, pelabelan barang oleh FTM belum tentu proteksionisme, karena NGO sebagai aktor tidak memiliki power yang besar. Ilustrasi dari keterkaitan antar tema fair trade diatas dapat dilihat pada gambar 2.3.
Gambar 2.3. Hubungan Antara Free Trade, Fair Trade Menurut Stiglitz, Fair Trade Movement, Fair Trade Laws, dan Proteksionisme Sumber: Disarikan oleh penulis dari berbagai sumber
Adapun perbandingan ketiga tema fair trade tersebut di rangkum secara detail dalam tabel 2.1. dibawah ini. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
18
Tabel 2.1. Perbandingan Antara Fair Trade Laws, Fair Trade Movement, Fair Trade Menurut Stiglitz, dan Free Trade Perbedaan
Fair Trade Laws
Fair Trade Movement
Fair Trade Menurut Stiglitz
Free Trade
Aktor utama
State
NGO
State dan Institusi Global
State
Proteksionisme
Mungkin Proteksionisme
Bukan Proteksionisme
Nasionalisme Ekonomi
Marxisme
Liberal Internasionalisme
Melindungi pekerja di negara maju (khususnya di
Mengkompensasi petani di
Amerika Serikat)
LDCs
Apakah termasuk proteksionisme? Pendekatan yang mendukungnya Fokus
Bentuk nyata
Persamaan Fokus
Antidumping Act of 1921, Reciprocal Tariff Act of 1934, dan SCM Agreement Fair Trade Laws
Proteksionisme Liberalisme
Membuka Pasar secara Simetris
Pelabelan produk oleh berbagai Diskursus
Advantage Fair Trade Menurut Stiglitz
Memperjuangkan Labour Rights para pekerja
Menginginkan Level Playing Field dalam Perdagangan Internasional
secara Asimetris
Comparative
Trade Movement Fair Trade Movement
Membuka Pasar
Teori
anggota gerakan sosial Fair
Sasaran dalam perdagangan
Anti
Free Trade
Membuka Pasar Menginginkan diakuinya argumen Comparative
internasional
Advantage dalam Perdagangan Internasional
Persepsi terhadap Free
Melawan Liberalisasi Sektor Pertanian
Mendukung Liberalisasi Sektor Pertanian
Trade Tujuan akhir
Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi Negara baik Negara maju, berkembang & LDCs Sumber: Disarikan oleh penulis dari berbagai sumber
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
19
2.2.
Keterkaitan Fair Trade dengan Proteksionisme dalam Perdagangan Internasional
2.2.1. Fair Trade Movement dan Proteksionisme
Penjualan produk FTM sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1940-an. Namun, produk FTM baru menjadi Social Product Labels (SPLs) ketika Max Havelaar Foundation mulai memberi label Fairtrade Certification Mark pada tahun 1997. Social Product Labels diterapkan pada barang-barang untuk menginformasikan konsumen bahwa metode produksi yang adil telah digunakan untuk memproduksi barang yang akan dikonsumsi oleh konsumen tersebut. Produk FTM memungkinkan produsen di negara-negara berkembang dan LDCs untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dengan cara memastikan bahwa produsen di negara berkembang dan LDCs dibayar dengan adil dan bahwa mereka bekerja dalam kondisi yang aman, dengan cara melarang pekerja anak dan diskriminasi. 37 Berbeda dengan barang konvensional, barang FTM diproduksi karena adanya rasa tanggung jawab moral dalam mengkonsumsi barang. Penamaan Max Havelaar Foundation sebenarnya terinspirasi dari nama novel
Max Havelaar, of de koffie-veilingen der Nederlandse Handel-
Maatschappij yang diterbitkan pada tahun 1860 dan diterjemahkan kedalam bahasa Inggris pada tahun 1868 dengan judul Max Havelaar: Or the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company, yang menceritakan tentang sistem cultuurstelsel, yang dilaksanakan oleh Belanda di Hindia Belanda (Indonesia), khususnya mengenai tanam paksa gula dan kopi, tanpa menanam makanan pokok seperti beras. Sehingga, dari awal fokus dari pelabelan produk Fair Trade Movement adalah pelabelan produk makanan dan pertanian. Di Amerika Serikat, sertifikasi FTM sebagai Social Product Labels diselenggarakan oleh Transfair USA, yang diciptakan pada tahun 1998. Transfair USA dan Max Havelaar Foundation tergabung dalam Fairtrade Labelling Organizations (FLO), walaupun Transfair USA akhirnya berganti nama menjadi 37
Jeanine P. Stratton dan Matt J. Werner, “Consumer Behavior Analysis of Fair Trade Coffee: Evidence from Field Research,” The Psychological Record, 63, no. 2 (Spring, 2013), 364, http://search.proquest.com/docview/1352860908?accountid=17242 (diakses pada 4 Maret 2014). Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
20
Fair Trade USA dan keluar dari FLO. Fair Trade USA telah mengembangkan serangkaian standar FTM pada berbagai produk pertanian seperti kopi, teh, kakao, pisang, gula, beras, dan kapas. Standar tersebut berisi harga minimum bagi petani dan premi perdagangan yang adil; kondisi aman dan kebebasan berserikat bagi pekerja; larangan perekrutan pekerja anak; dan larangan atas tindakan diskriminasi. Sertifikat Fairtrade Certification Mark dikeluarkan oleh FLO dan digunakan oleh anggota FLO seperti Cafédirect, sedangkan Fair Trade USA menggunakan sertifikatnya sendiri yang bernama Fair Trade Certified Mark. Fair Trade USA memiliki slogan Fair Trade for All, namun tidak ada hubungannya dengan buku Stiglitz dengan nama yang sama, karena slogan Fair Trade for All tersebut menandakan perbedaan visi antara Fair Trade USA dengan anggota FLO. Perbedaan tersebut dikarenakan Fair Trade USA tidak hanya memberikan label Fair Trade Certified Mark kepada perkebunan kecil, tetapi juga kepada perkebunan berskala besar yang menurut FLO tidak berhak mendapatkan label Fair Trade, sehingga melahirkan publisitas negatif mengenai Fair Trade USA. Selain FLO, sebenarnya ada organisasi FTM lainnya seperti International Federation for Alternative Trade (IFAT), Network of European World Shops (NEWS!), dan European Fair Trade Association (EFTA). Keempat organisasi tersebut seringkali disingkat dengan nama FINE (diambil dari huruf depan nama masing-masing organisasi). Namun, studi ini hanya membahas Fair Trade USA dan Cafédirect karena studi ini akan membandingkan implementasi FTM antara anggota dan bekas anggota FLO. Tabel 2.2 akan menunjukkan pertumbuhan persentase kontribusi FTM di Amerika Serikat di berbagai sektor (khususnya sektor pertanian) dalam hal pembayaran premium kepada produsen negara-negara berkembang di dunia dari tahun 2011 sampai tahun 2012, sedangkan sejarah penjualannya juga diperlihatkan selama kurun waktu 1998–2012. Tabel tersebut, yang sesuai dengan publikasi laporan Fair Trade USA di Amerika Serikat pada tahun 2012, menampilkan sejarah dan tren kenaikan jumlah kontribusi pembayaran premium FTM kepada produsen di negara-negara berkembang dan LDCs di dunia dari tahun 1998 hingga 2012, dimana pembayaran produk (khususnya produk pertanian) yang lebih mahal dari harga pasar tersebut mungkin dapat membantu pembangunan di negara-negara berkembang dan LDCs. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
21
Tabel 2.2. Pembayaran Premium Fair Trade Movement di Amerika Serikat kepada Produsen di Negara-negara Berkembang dan LDCs (1998–2012)
Sumber: Fair Trade USA, “Fair Trade USA Almanac 2012,” http://fairtradeusa.org/sites/default/files/2012_Fair-Trade-USA_Almanac.pdf (diakses pada 3 Maret 2014). “Telah diolah kembali”. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
22
Secara umum, tabel 2.2 menunjukkan bahwa proporsi sektor pertanian, terutama kopi, mengalami peningkatan pembayaran premium yang cukup berarti sejak tahun 1998 sampai tahun 2012. Sepanjang periode tersebut, penurunan persentase kontribusi kopi hanya terjadi pada tahun 2009–2010. Perlu diketahui bahwa data pada tahun 1998–2010 menunjukkan pembayaran premium TransFair USA sebagai anggota FLO, sedangkan data pada tahun 2011–2012 menunjukkan pembayaran premium Fair Trade USA yang bukan bagian dari FLO. Karena harga kopi dan teh yang bersifat volatile, anggota FLO menetapkan harga pasar minimum (floor price) yang dibayarkan untuk membeli produk yang disertifikat oleh FTM, untuk menutupi biaya produksi komoditas pertanian. Sebagai contoh, harga minimum untuk jenis kopi Arabika adalah US$131/Pon. Maka, setiap kali harga pasar dunia melewati batas harga minimum ini, FTM akan menjamin pembelian harga yang lebih tinggi dibandingkan harga pasar dunia, melalui pembayaran social premium tambahan antara 5 dan 15 sen per kg, tergantung pada jenis produknya. Untuk kopi, ini sama dengan membayar harga pasar ditambah US$10/Pon. Melalui mekanisme penetapan harga ini, FTM bertujuan untuk menjamin komitmen jangka panjang berkelanjutan untuk petani, memberikan mereka lebih banyak kesempatan untuk merencanakan masa depan dan untuk berinvestasi di lahan pertanian dan komunitas mereka.38 Anggota FTM lainnya, seperti Cafédirect, juga harus berurusan dengan publisitas negatif tentang FTM yang muncul di media dari waktu ke waktu, seperti tuduhan bahwa FTM tidak menepati janjinya kepada petani atau bahwa FTM telah digerogoti oleh kepentingan MNC (dikarenakan produk Nestlé yang bernama Nescafé® Partners‟ Blend® diberikan sertifikat FTM, setelah Nestlé digeluti berbagai kontroversi). Organisasi FTM juga dikritik karena berkolusi dengan supermarket dengan menyetujui tingkat keuntungan supermarket dari produk FTM. Cafédirect bahkan telah dituduh mendestabilisasi pasar dengan melawan arus ekonomi pasar, sehingga seakan-akan mewakili proteksionisme dan merusak fondasi free trade di seluruh pasar kopi. Namun, argumen ini berasumsi bahwa free trade sudah bekerja sesuai dengan teori. Untuk petani kopi skala kecil yang hanya menerima sedikit dari penjualan produk mereka sehingga tidak sebanding 38
Iain A. Davies, Bob Doherty dan Simon Knox, “The Rise and Stall of a Fair Trade Pioneer: The Cafédirect Story,” Journal of Business Ethics, 92, no. 1 (2010), 128. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
23
dengan biaya yang mereka keluarkan untuk memproduksi secara berkelanjutan, sulit untuk melihat teori free trade dapat bekerja untuk masyarakat tersebut.39 Perkembangan FTM secara langsung bertanggung jawab terhadap peningkatan produk bersertifikat FTM dan pertumbuhan pangsa pasar mereka. Namun, akibat masalah kualitas data, akan sulit untuk menyajikan gambaran yang koheren tentang bagaimana sektor ini telah berkembang sejak awal tahun 1940-an. Pada tahun 1990-an semakin banyak konsumen yang dididik tentang keberadaan produk Fair Trade. Gambaran mengenai penjualan produk FTM menjadi lebih jelas sejak akhir 1990-an, dimana pada saat itu pangsa pasar produk FTM telah meluas secara dramatis. Sejak tahun 1999 penjualan produk bersertifikat FTM telah meningkat sebesar 319% di Eropa dan 440% di Amerika Utara. Kopi dan Pisang adalah dua produk FTM tertua yang dapat menggambarkan peningkatan penjualan produk FTM di Eropa. Sejak tahun 1999, pertumbuhan pangsa pasar FTM dalam komoditas pisang dan kopi telah meningkat secara pesat. Meskipun sulit untuk menarik kesimpulan umum hanya dari dua komoditas, kedua komoditas
tersebut
dapat
menggambarkan
tren
secara
keseluruhan.
40
Kesimpulannya, keterkaitan antara wacana FTM dengan proteksionisme dapat dilihat dari fakta bahwa baik Cafédirect dan Fair Trade USA sama-sama mengalami
publisitas
negatif
yang
mengatakan
bahwa
FTM
adalah
proteksionisme karena telah melawan arus ekonomi pasar.
2.2.2. Fair Trade Laws dan Proteksionisme
Robert Howse dan Michael J. Trebilcock mengatakan bahwa pendukung free trade melihat tuntutan standar lingkungan dan tenaga kerja oleh negara maju termotivasi oleh keinginan untuk melindungi pekerjaan di negara maju, dengan cara melawan kompetisi dari Dunia Ketiga. Pendukung free trade juga melihat pendukung FTL sebagai penipu (proteksionis yang menyamar sebagai moralis).41 Negara-negara yang tidak memiliki hambatan perdagangan berarti telah 39
Ibid., 141-142. Candace Archer dan Stefan Fritsch. Global Fair Trade: Humanizing Globalization and Reintroducing the Normative to International Political Economy, 9. 41 Robert Howse dan Michael J. Trebilcock, The Fair Trade-Free Trade Debate: Trade, Labour and the Environment (Toronto: Canadian Law and Economics Association, 1994), 61. Universitas Indonesia 40
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
24
mempraktikkan free trade, tetapi pada kenyatannya sebagian besar negara terlibat dalam beberapa bentuk proteksionisme. Kebijakan yang mempengaruhi baik impor atau ekspor disebut sebagai Commercial Policy.42 Ada lima kategori utama hambatan perdagangan, yaitu tarif, kuota, Voluntary Export Restraints (VER), hambatan nontarif lainnya, dan FTL. 43 Menurut Stiglitz, FTL juga menghukum perusahaan negara berkembang dan LDCs yang mengeksploitasi “buruh murah” di negaranya, dengan menggunakan Antidumping Laws dan Countervailing Duties. Negara-negara maju secara teratur menggunakan FTL sebagai tema Fair Trade karena mereka ingin melindungi pasar domestik mereka dari barang impor luar negeri yang lebih murah harganya dibandingkan dengan barang produksi sendiri. Sebagai contoh, biaya tenaga kerja yang lebih rendah atau peraturan lingkungan yang lebih lemah di negara berkembang dan LDCs telah menurunkan harga produk negara berkembang dan LDCs, sehingga daya saing negara berkembang dan LDCs meningkat di pasar global. Praktik-praktik ini dianggap telah meremehkan daya saing produsen di negara maju dan digunakan sebagai contoh bahwa produsen di negara berkembang dan LDCs tidak berdagang secara adil.
44
Sikap negara-negara maju ini sesuai dengan pernyataan Menteri
Perdagangan Amerika Serikat ke-26, Howard M. Baldrige, Jr., yang mengatakan bahwa “Our fair trade laws are the bedrock on which free trade stands.” 45 Kesimpulannya, keterkaitan antara FTL dengan proteksionisme, menurut Stiglitz, adalah dimasukkannya FTL sebagai bagian dari hambatan non-tarif.
2.2.3 Fair Trade Menurut Stiglitz dan Proteksionisme
Dalam diskursus Fair Trade menurut Stiglitz, Stiglitz dan Charlton mengusulkan bahwa putaran Doha harus menjadi putaran pembangunan dengan cara mengadopsi kebijakan yang mendorong pertumbuhan dan stabilitas di negara 42
Joseph E. Stiglitz dan Carl E. Walsh, Economics, 434-435. Joseph E. Stiglitz dan Carl E. Walsh, Economics, 435. 44 Candace Archer dan Stefan Fritsch, Global Fair Trade: Humanizing Globalization and Reintroducing the Normative to International Political Economy, 5. 45 James Bovard, “U.S. Fair Trade Laws Are Anything But Fair,” The Wall Street Journal (New York), 3 Juni, 1987. http://www.jimbovard.com/Bovard_Wall_Street_Journal_1987_US_Fair_Trade_Laws_Are_Anyt hing_But.htm (Diakses pada 2 Mei 2014). Universitas Indonesia 43
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
25
berkembang dan LDC. Fair Trade menurut Stiglitz terfokus kepada penghilangan subsidi pertanian, karena menurut mereka itu adalah isu yang paling penting untuk negara-negara berkembang dan LDCs. Stiglitz dan Charlton menganggap bahwa negosiasi Putaran Doha hanya membuat sedikit kemajuan dalam setiap pertemuan, karena negara maju tidak mau menghapus subsidi pertanian mereka. Stiglitz dan Charlton dengan bercanda menunjukkan bahwa sapi di Eropa memiliki pendapatan lebih dari setengah penduduk bumi, karena subsidi US$2 per hari yang diterima sapi Eropa sama dengan garis batas yang mendefinisikan kemiskinan. Contoh ini menggambarkan ketidakadilan nyata dari sistem perdagangan internasional saat ini. MNC dan pemerintah negara Eropa, Amerika, dan Jepang telah menyatakan mendukung free trade, tetapi mereka menolak untuk melepaskan subsidi pertanian. Hal ini sangat merugikan negara berkembang dan LDCs yang sangat bergantung kepada pertanian. Bahkan, Paul Alexander Baran pernah mengatakan bahwa ciri khas dari negara-negara ekonomi terbelakang adalah mayoritas penduduknya yang bergantung pada pertanian.
46
Negara
berkembang dan LDCs akan tertolong jika negara-negara maju berhenti mensubsidi pertanian mereka dan membuka pasar mereka terhadap impor dari negara berkembang dan LDCs. Stiglitz dan Charlton mendukung putaran pembangunan yang dipimpin oleh WTO dengan berfokus kepada negara berkembang dan LDC, tanpa terburu-buru dan secara buta mengadopsi free trade. Stiglitz mengatakan bahwa Fair Trade menurut Stiglitz lebih unggul dibandingkan free trade berdasarkan fakta bahwa free trade dapat membuat keadaan semua orang menjadi lebih buruk ketika pasar tidak berfungsi dengan efisiensi yang ideal. Kekayaan dan ukuran perusahaan berjalan seiringan dalam free trade, sehingga perusahaan besar telah membuat perusahaan yang lebih kecil cenderung mendapatkan keuntungan lebih sedikit dari pasar, apabila dibandingkan dengan keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan besar. Stiglitz mengklaim bahwa diterapkannya Fair Trade menurut Stiglitz akan membuat jumlah pemenang lebih besar dibandingkan pecundang, dan semua orang akan mendapat manfaat dari perdagangan dengan lebih rata. Stiglitz tidak ingin menghapus semua aspek free trade, melainkan menginginkan liberalisasi 46
Paul Alexander Baran, “A Morphology of Backwardness,” The Political economy of growth (New York: Monthly Review Press, 1962), 195-196. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
26
perdagangan dengan manajemen yang lebih baik. Tanpa manajemen yang lebih baik, perusahaan-perusahaan besar akan terus berjalan di atas perusahaanperusahaan kecil, kecuali
apabila perusahaan-perusahaan
besar tersebut
memberikan kompensasi kepada pecundang dari porsi keuntungan mereka, tetapi dengan sifat manusia saat ini sepertinya kompensasi tersebut tidak akan pernah terjadi (kecuali apabila FTM benar-benar altruis). Kesimpulannya, tidak ada keterkaitan antara wacana Fair Trade menurut Stiglitz dengan proteksionisme, karena Fair Trade menurut Stiglitz sebenarnya hanya menginginkan free trade dengan liberalisasi yang simetris, agar jumlah pemenang dari perdagangan internasional semakin banyak, sehingga kesejahteraan akan semakin merata. Ilustrasi dari penjelasan tentang keterkaitan FTM, FTL dan Fair Trade menurut Stiglitz dengan proteksionisme dirumuskan oleh studi ini pada gambar 2.4.
Gambar 2.4 Keterkaitan Fair Trade Movement, Fair Trade Laws, dan Fair Trade Menurut Stiglitz dengan Proteksionisme Sumber: Disarikan oleh penulis dari berbagai sumber
Setelah menganalisis perdebatan dan keterkaitan antara tiga jenis fair trade dengan proteksionisme dalam perdagangan internasional, bab selanjutnya akan membahas lebih spesifik wacana dan implementasi fair trade di sektor pertanian dalam kerangka AoA dengan membandingkan kondisi berbagai negara. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
27
BAB 3 FAIR TRADE DAN PROTEKSIONISME DI SEKTOR PERTANIAN DALAM KERANGKA AGREEMENT ON AGRICULTURE
Dari penjelasan di bab-bab sebelumnya kita telah mengetahui bahwa FTM mungkin proteksionisme, FTL adalah proteksionisme, dan Fair Trade menurut Stiglitz bukanlah proteksionisme. Selanjutnya, bab tiga ini akan menjelaskan mengenai perdebatan antara liberalisasi dan proteksionisme sektor pertanian di LDCs dan negara maju, dengan berfokus kepada AoA, dan dikaitkan kepada tiga tema fair trade yang sudah dijabarkan di bab-bab sebelumnya.
3.1. Proteksionisme Perdagangan Internasional Di Sektor Pertanian melalui Tiga Pilar Agreement on Agriculture
Perdebatan mengenai sektor pertanian di tingkat internasional selalu dikaitkan dengan dimensi perdagangan, karena perdagangan berpengaruh terhadap harga produk pertanian dan pendapatan petani. Selain itu, pada saat studi ini dibuat, dari 48 LDCs yang diakui UN dan WTO,46 sudah ada 33 LDCs yang menjadi anggota WTO. Subsidi pertanian negara maju telah mengurangi harga produk pertanian di tingkat internasional, sehingga mengurangi pendapatan petani di negara-negara berkembang dan LDCs. Kendala ini memaksa negara-negara berkembang dan LDCs untuk terus mengekspor komoditas pertanian mereka, tanpa memiliki kesempatan untuk mengembangkan industri transformasi mereka, terutama industri manufaktur (sektor sekunder) dan jasa (sektor tersier). 46
Seperti diketahui, WTO (1 Januari 1995) menggantikan GATT yang telah ada sejak tahun 1947 sebagai organisasi yang mengawasi sistem perdagangan multilateral. Awalnya, pemerintah negara yang telah menandatangani GATT secara resmi dikenal sebagai “pihak kontraktor GATT,” tetapi setelah penandatanganan perjanjian WTO (yang sekarang meliputi GATT 1994) mereka secara resmi dikenal sebagai “anggota WTO”. Anggota awal WTO adalah European Communities dan pihak-pihak yg mengadakan perjanjian GATT 1947, yang menyetujui Perjanjian Pendirian WTO (Marrakech Agreement Establishing the World Trade Organization); melampirkan Schedules of Concessions and Commitments pada GATT 1994; dan melampirkan Schedules of Specific Commitments pada GATS. Sedangkan untuk anggota baru sejak tahun 1995 (seperti Ekuador yang masuk pada tanggal 21 Januari 1996), Schedules of Concessions and Commitments dilampirkan pada Protocol of Accession. Teks asli GATT (GATT 1947) masih berlaku dalam kerangka WTO, dan tunduk pada modifikasi GATT pada tahun 1994 (GATT 1994). Schedules of Concessions adalah dokumen di mana komitmen khusus tercantum yang dilampirkan pada GATT dan, menurut Pasal II GATT, bersifat mengikat (bound). Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
28
Seperti diketahui, negosiasi WTO menghasilkan aturan umum yang berlaku untuk semua anggota, dan komitmen khusus yang dibuat oleh pemerintah anggota individu. Untuk perdagangan barang, menurut Stiglitz terdiri dari tingkat tarif maksimum (Ceiling). Sedangkan untuk perdagangan barang pertanian juga dimasukkan kuota tarif, batas terhadap subsidi ekspor, dan batas terhadap beberapa jenis bantuan domestik yang nantinya menjadi tiga pilar AoA. Terkait AoA, tiga pilar utamanya adalah bantuan domestik, akses pasar, dan subsidi ekspor. Pilar bantuan domestik mengatur subsidi yang diberikan pemerintah suatu negara kepada produsen (pemilik perkebunan di sektor pertanian), yang direpresentasikan dengan 4 kotak subsidi domestik dengan analogi lampu lalulintas (Merah, Kuning, Biru, dan Hijau). Pilar akses pasar meminta penurunan tarif di negara maju dan berkembang. Berdasarkan AoA, LDCs dibebaskan dari penurunan tarif tersebut, tetapi harus mengubah hambatan non-tarif menjadi hambatan tarif, melalui proses yang disebut dengan Tariffication, atau dengan cara menetapkan batas atas tarif bound (ceiling). Pada saat mendaftar menjadi anggota WTO, setiap negara (kecuali LDCs) diharuskan menetapkan batas atas tarif bound yang tidak boleh dan tidak akan bisa diubah. Apabila LDCs tidak mau melakukan tariffication, maka LDCs harus menetapkan batas atas tarif bound mereka. Dibebaskannya LDCs dari penurunan tarif adalah contoh dilaksanakannya ketentuan perlakuan khusus dan berbeda (Special and Differential Treatment). Di sisi lain, pilar subsidi ekspor (yang seharusnya masuk kedalam kotak merah di pilar bantuan domestik) beserta dengan kebijakan subsidi yang disediakan secara khusus baik kepada barang maupun non-barang, yang merupakan bagian dari Aggregate Measurement of Support (AMS) atau yang dikenal dengan nama Kotak Kuning dalam pilar bantuan domestik, harus dikurangi selama periode pelaksanaan yang ditetapkan dalam Putaran Uruguay.47 47
Pasal 9 ayat 1(c) AoA mendefinisikan subsidi ekspor sebagai pembayaran pada ekspor produk pertanian yang dibiayai berdasarkan tindakan pemerintah, dengan atau tanpa keterlibatan publik, termasuk pembayaran yang dibiayai dari hasil retribusi yang dikenakan pada produk pertanian yang bersangkutan atau pada produk pertanian dari mana produk yang diekspor berasal. Dalam kasus European Community-Sugar, ditafsirkan bahwa subsidi ekspor itu termasuk subsidi yang tidak ada pencairan dana pemerintah tetapi dibolehkan peraturan pemerintah atau bahkan pemberian subsidi oleh kelompok produsen. Patrick Low, Gabrielle Marceau dan Julia Reinaud, “The Interface between the Trade and Climate Change Regimes: Scoping the Issues,” Journal of World Trade, 46, no. 3 (2012), 531, http://search.proquest.com/docview/1035328836?accountid=17242 (diakses pada 18 Maret 2014). Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
29
Tujuan keseluruhan dari AoA adalah untuk mengintegrasikan barangbarang pertanian kedalam aturan WTO, termasuk kedalam GATT Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (SCM Agreement) yang sebelumnya sudah mengatur subsidi produksi (bantuan domestik) dan subsidi ekspor, serta agar negara anggota WTO berkomitmen mengurangi subsidi mereka dengan mematuhi pilar bantuan domestik.48 Namun dari tiga pilar tersebut, studi ini hanya akan memakai data dari pilar akses pasar dengan beberapa alasan. Pertama, pilar akses pasar menempati posisi penting karena akan dapat menunjukkan apakah kebijakan tarif suatu negara sudah sesuai dengan kebutuhan domestik mereka, terutama dalam kebutuhan makanan yang terkait dengan food security. Kedua, berdasarkan data pada tahun 2013, tidak ada LDCs yang mengadopsi kebijakan subsidi ekspor karena terlalu mahal untuk dilaksanakan. Dengan demikian tidak relevan untuk dibahas dalam konteks LDCs. Ketiga, bantuan domestik memiliki banyak rahasia, contohnya rumus konversi AGST (Agricultural Supporting Tables) ke AMS sampai sekarang belum diketahui publik, bahkan India dikabarkan mengubah rumus tersebut agar dapat terus memberi bantuan domestik. Selain itu, data AGST sejak base period paling pertama (1986-1988), menunjukkan bahwa base period AGST di setiap negara ternyata tidaklah sama, sehingga sulit dipakai untuk membandingkan tingkat proteksionisme antar-negara. Informasi AGST, yang sebagian besar berbentuk tabel memberikan informasi mengenai latar belakang data dan metode yang digunakan negara untuk memperoleh komitmen mereka dalam hal bantuan domestik dan subsidi ekspor, terutama mengenai informasi rinci tentang penyediaan bantuan domestik dan subsidi ekspor oleh anggota awal WTO selama periode tahun 1986-1988 sebagai dasar AMS. AGST memberikan rincian tentang tiga pilar komitmen anggota WTO dalam AoA, termasuk pilar bantuan domestik yang dibebaskan dari komitmen pengurangan (misalnya Kotak Hijau); pilar bantuan domestik yang mendistorsi perdagangan yang dikenal sebagai AMS (kadang-kadang disebut Amber Box atau kotak kuning); dan pilar subsidi ekspor yang tunduk pada komitmen pengurangan (LDCs dikecualikan dari komitmen subsidi ekspor 48
Patrick Low, Gabrielle Marceau dan Julia Reinaud, Journal of World Trade, 531. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
30
tersebut). Sesuai dengan alasan-alasan yang sudah dijabarkan sebelumnya, LDCs tidak mempublikasikan data rumus konversi AGST ke AMS dan tidak memakai subsidi ekspor, sehingga studi ini hanya akan melampirkan data terbaru mengenai komitmen LDCs kepada pilar akses pasar AoA. Untuk menerapkan komitmen pengurangan subsidi pertanian yang mendistorsi perdagangan, pilar bantuan domestik AoA diklasifikasikan menjadi beberapa kotak dengan menggunakan pendekatan lampu lalu lintas dimana warna merah untuk subsidi yang dilarang, warna kuning untuk subsidi yang harus diperlambat (dikurangi), dan warna hijau untuk subsidi yang tidak mendistorsi perdagangan. Namun, para negosiator memutuskan untuk memperlakukan subsidi ekspor secara terpisah, sehingga kotak merah menghilang, sementara dibuat kotak baru bernama “kotak biru” yang mengatur pembayaran langsung kepada produsen melalui program pembatasan produksi. Kotak kuning dinyatakan dalam Total AMS dan dihitung sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 6, Lampiran 3, dan Lampiran 4 dari AoA. Dasar untuk pengurangan bantuan domestik ditetapkan dengan melihat bantuan keuangan berdasarkan produk dan program selama base period AGST (1986-1988). Masing-masing negara anggota WTO sepakat untuk mengurangi bantuan berdasarkan base period AGST. 49 Walaupun, base period AGST untuk anggota-anggota baru WTO memakai periode yang berbeda (bukan 1986-1988). Notifikasi dalam WTO didefinisikan sebagai kewajiban transparansi yang mewajibkan pemerintah negara anggota WTO untuk melaporkan langkah-langkah perdagangan kedalam tubuh WTO yang relevan, apabila langkah-langkah tersebut mungkin memiliki efek pada anggota WTO lainnya. Prinsip-prinsip dasarnya dikodifikasikan pada saat penciptaan WTO, berdasarkan praktik dalam GATT yang telah berkembang sejak tahun 1947.50 Banyak negara berkembang dan LDCs yang mengalami masalah dalam pelaksanaan komitmen Putaran Uruguay, terutama dalam pelaksanaan pilar bantuan domestik dari AoA, sehingga mereka memberikan notifikasi kepada WTO mengenai posisi AMS-nya yang berada di 49
Cream Wright, “Youth and The Challenge of Food Security in Africa: Thoughts on The Potential Role of Talent Academies,” Development, 56, no. 2 (2013), 31. 50 Olivier Cadot, “How Much Light Do WTO Notifications Shed on NTMs,” Non-Tariff Measures: A Fresh Look At Trade Policy's New Frontier” (London: Centre for Economic Policy Research, 2012), 35-38. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
31
angka nol dan mengenai komitmen yang pengukurannya menggunakan mata uang domestik yang sudah terkikis oleh inflasi. Masalah lainnya adalah mengenai apakah kebijakan tertentu dapat memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam “kotak hijau” atau untuk langkahlangkah pembangunan negara yang dibebaskan dari aturan (Pasal 6.2 AoA). Hal ini sangat penting karena bantuan untuk “produsen berpenghasilan rendah atau miskin sumber daya” dalam pasal ini dibebaskan dari komitmen pengurangan. Namun tidak selalu jelas petani mana yang memenuhi syarat, sehingga usaha untuk membantu buruh tani sesuai dengan yang diinginkan oleh pendukung FTL dan FTM terganjal oleh ketakutan pemerintah negara melanggar AoA. Ada tiga jenis tarif Perdagangan, yaitu tarif bound (tarif yang disepakati diawal keanggotaan untuk negara Maju dan berkembang), tarif most favoured nation (MFN; tarif yang diberikan kepada negara anggota WTO yang memiliki status MFN), dan tarif preferential (tarif yang diberlakukan apabila terdapat FTA/PTA diantara negara yang biasanya diberlakukan dalam kerangka kerjasama regional). Dalam hal MFN, hal ini merupakan prinsip negara anggota WTO bahwa suatu negara tidak boleh memberikan keistimewaan yang menguntungkan hanya satu atau sekelompok negara tertentu. Menurut Stiglitz, anggota WTO harus memberikan status MFN kepada sesama anggota WTO, sehingga tarif yang diberikan suatu negara kepada anggota WTO lainnya cenderung sama, walaupun India dan Pakistan dikecualikan karena mereka dulunya adalah satu negara yang akhirnya terpisah. Pengecualian India dan Pakistan ini dijelaskan dalam Paragraf 11 dari GATT Pasal XXIV. Banyak negara yang senang mendapatkan status MFN, sehingga mereka bisa mengekspor komoditas pertanian dengan harga murah ke pasar Amerika Serikat, malah kehilangan industri pertanian lokal mereka. Hal ini disebabkan oleh subsidi ekspor dan domestik Amerika Serikat yang mencegah kompetisi dari LDCs, baik di tingkat internasional maupun domestik. Apabila dilihat dari nilai tarif maksimum, menurut Stiglitz jenis tarif dengan persentase paling maksimal adalah tarif bound.
Tarif MFN adalah
persentase tarif yang digunakan oleh sesama anggota WTO, yang awalnya dikecualikan untuk beberapa negara seperti India dan Pakistan. Sedangkan tarif preferential adalah persentase tarif paling minimum dan dapat dilaksanakan Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
32 kepada sesama negara yang mengadopsi PTA atau FTA.51 Perlu diketahui bahwa standar kategorisasi tarif ditetapkan oleh World Customs Organization (WCO). Lampiran 1 dari AoA menjelaskan produk yang termasuk ke dalam AoA, sesuai dengan standar
yang ditetapkan oleh WCO (lihat tabel 3.1). WCO
mengkategorikan produk dengan menggunakan Harmonized System (HS) 6 digit, dari HS Sub-pos 0101.10 (purebred breeding live horses, asses, and ninnies) sampai HS Sub-pos 9706.00 (antique works of art exceeding 100 years in age). Digit ke-7 dan seterusnya disebut dengan National Tariff Line Level (TLL) dan tidak diatur pengkategoriannya oleh WCO. Untuk kasus Indonesia, ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature (AHTN) mengatur digit ke-7 dan 8, sedangkan untuk digit ke-9 dan 10 diatur oleh Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI). GATT dan WTO menganggap bahwa negara anggota tidak akan dibebani melewati batas atas (ceiling) dari tarif bound. Pada kenyataanya, tarif bound akan menjadi tidak berarti jika biaya impor lainnya dapat bervariasi sesuai keinginan masing-masing negara.52 Ketentuan GATT mengakui bahwa tarif hanyalah salah satu jenis pajak impor, sedangkan yang penting bagi eksportir adalah tingkat perpajakan di perbatasan secara keseluruhan. 53 Sehingga, tarif bound akan menjadi tidak berarti jika biaya impor lainnya, seperti Other Duties and Charges (ODC),54 dapat bervariasi sesuai dengan keinginan masing-masing negara.55 ODC adalah stamp taxes, special customs taxes, revenue taxes, landing taxes, economic development taxes, special retribution taxes, commodity taxes, fiscal taxes, standard import taxes, maritime freight taxes, dan import surcharges. Anggota WTO diminta untuk menunjukkan ODC mereka sejak tanggal 15 April 1994 kepada Anggota WTO lainnya (yang pada saat itu masih bernama GATT). 51
The World Bank, “Types of Tariffs,” http://wits.worldbank.org/WITS/wits/WITSHELP/Content/Data_Retrieval/P/Intro/C2.Types_of_T ariffs.htm (diakses pada 12 Mei 2014). 52 Thomas Friedheim, “Domestic Taxes and Administrative and Technical Barriers to Trade on Goods and Services” dalam Implications of the Uruguay Round agreement for South Asia: the case of agriculture, eds. Benoit Blarel, et al. (Washington, D.C.: World Bank, 1999), 88. 53 Ibid. 54 ODC adalah hambatan yang bukan merupakan Bea maupun Tarif. Dalam beberapa sumber, kepanjangan dari ODC juga disebut Other Duties or Charges, yang sebenarnya sama dengan Other Duties and Charges, namun pemilihan pemakaiannya tergantung dari konteks dan aturan dalam Bahasa Inggris di beberapa sumber tersebut. 55 Thomas Friedheim, “Domestic Taxes and Administrative and Technical Barriers to Trade on Goods and Services” dalam Implications of the Uruguay Round agreement for South Asia: the case of agriculture, 88. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
33
ODC bukanlah bagian dari antidumping duties maupun countervailing duties, sehingga anggota WTO dapat dengan bebas memungut biaya ODC. Aturan yang berkaitan dengan biaya tersebut diuraikan dalam Pasal VIII GATT pada bagian “fees and formalities connected with importation and exportation.” 56 Namun, ODC suatu negara tidak boleh membebani negara lain melewati batas atas dari tarif bound yang sudah menjadi komitmen negara tersebut di WTO. Tabel di Lampiran I, II, dan III akan menunjukkan ODC yang diterapkan oleh LDCs dengan menghitung jumlah TLL dalam HS Sub-pos yang terkena ODC, sehingga kita tahu komoditas mana yang paling dilindungi LDCs dan yang paling tidak bisa distandarisasi oleh WTO pada saat studi ini dilakukan. ODC dapat dianggap sebagai hambatan tarif tersembunyi yang masih bisa dikurangi maupun ditambah oleh negara anggota WTO, selama jumlah dari ODC dan Tarif MFN yang dikenakan oleh sesama anggota WTO tidak melewati Ceiling dari Tarif Bound. Visualisasi potensi pemanfaatan ODC sebagai instrumen proteksionisme, dengan mengisi kekosongan antara Tarif MFN dan Bound, dapat dilihat pada gambar 3.1.
Gambar 3.1 Visualisasi Potensi ODC sebagai Instrumen Proteksionisme Sumber: The World Bank, “Types of Tariffs,” http://wits.worldbank.org/WITS/wits/WITSHELP/Content/Data_Retrieval/P/Intro/C2.Types_of_T ariffs.htm (diakses pada 12 Mei 2014). “Telah diolah kembali”. 56
Thomas Friedheim, “Domestic Taxes and Administrative and Technical Barriers to Trade on Goods and Services” dalam Implications of the Uruguay Round agreement for South Asia: the case of agriculture, 88. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
34
Tabel 3.1 Produk yang Termasuk Kedalam Agreement on Agriculture, Sesuai dengan Standarisasi WCO Nomor
Produk yang Termasuk Kedalam Agreement on Agriculture berdasarkan Kategorisasi Harmonized System-6 (HS-6)
1
Harmonized System Bab 1 sampai 24, kecuali ikan dan produk ikan
2
HS Sub-pos
2905.43
Manitol
3
HS Sub-pos
2905.44
D-glusitol (Sorbitol)
4
HS Pos
33.01
Minyak atsiri (mengandung terpena ataupun tidak), termasuk konkrit dan absolute
5
HS Pos
35.01 to 35.05
Zat albuminoidal, Pati yang dimodifikasi, Lem
6
HS Sub-pos
3809.10
Bahan untuk penyempurnaan
7
HS Sub-pos
3824.60
Sorbitol selain yang dimaksud dalam HS Sub-pos 2905.44
8
HS Pos
41.01 to 41.03
Jangat dan kulit
9
HS Pos
43.01
Kulit berbulu mentah, selain jangat dan kulit mentah dari HS Pos 41.01, 41.02 atau
10
HS Pos
50.01 to 50.03
41.03 Sutra mentah dan sisa sutra
11
HS Pos
51.01 to 51.03
Wol dan bulu hewan
12
HS Pos
52.01 to 52.03
Kapas mentah, sisa kapas , dan kapas digaruk ataupun disisir
13
HS Pos
53.01
Flax hemp (Lena), mentah atau sudah dikerjakan tetapi tidak dipintal
14
HS Pos
53.02
True hemp (Cannabis Sativa Linnaeus), mentah atau diolah tetapi tidak dipintal
Sumber: World Trade Organization, “Agreement on Agriculture,” http://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/14-ag_02_e.htm (diakses pada 15 April 2014). Telah diolah kembali berdasarkan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia tahun 2012 yang telah menterjemahkan 10025 nomor dalam Harmonized System-6.
Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
35
Perlu diketahui bahwa United Nations Office of the High Representative for the Least Developed Countries, Landlocked Developing Countries and Small Island Developing States (UN-OHRLLS) mengatur tiga kategori negara, yaitu LDCs, Landlocked Developing Countries (LLDCs), dan Small Island Developing States (SIDS). Sebagian anggota LLDCs dan SIDS adalah anggota LDCs, sehingga studi ini membagi LDCs menjadi tiga kategori, yaitu: Landlocked LeastDeveloped Countries (anggota LLDCs yang juga anggota dari LDCs), Small Island Least-Developed Countries (anggota SIDS yang juga anggota dari LDCs), dan Other Least-Developed Countries (anggota LDCs yang bukan anggota LLDCs maupun SIDS). Dari ketiga kategori negara yang diatur oleh UN-OHRLLS, hanya SIDS yang tidak memiliki definisi resmi. Ekspor pertanian di SIDS (termasuk Small Island Least-Developed Countries) terus menurun, karena kondisi mereka sebagai negara-negara kecil, rentan, dan terpencil, mengakibatkan SIDS hanya memproduksi beberapa produk pertanian. 57 Penurunan ekspor dan produksi komoditas pertanian ini dapat dilihat di Lampiran II, dimana terlihat bahwa Small Island Least-Developed Countries tidak memberikan ODC agar bisa mengimpor komoditas pertanian dengan lebih murah, sehingga kelompok ini akan dirugikan dari liberalisasi sektor pertanian di negara maju. Peningkatan transportasi logistik yang efisien dan hemat biaya sangatlah penting untuk pemasaran dan mengurangi harga komoditas pertanian. Namun, di Landlocked Least-Developed Countries, biaya transportasi dan logistik umumnya sekitar 9 persen lebih tinggi dibandingkan negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Peningkatan jasa logistik negaranegara di Benua Afrika (yang diukur dengan menggunakan Indeks Kinerja Logistik), akan memberikan manfaat paling besar dibandingkan perubahan komponen biaya perdagangan lainnya. Biaya transportasi dan logistik merupakan penentu variasi harga pangan negara pengimpor di tingkat domestik. Investasi dalam infrastruktur transportasi di Nepal terbukti mampu mengurangi biaya yang
57
Daneswar Poonyth dan Deep Ford. “The Future of SIDS’ Agricultural Trade,” Small island developing States: Agricultural Production and Trade, Preferences and Policy (Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations, 2004), 73. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
36 ditanggung konsumen.58 Lampiran I menunjukkan bahwa 12 negara Landlocked Least-Developed Countries berada di Afrika. Kesimpulan dari pembahasan mengenai tiga pilar AoA diatas adalah LDCs dan beberapa negara berkembang telah diberikan posisi yang menguntungkan dalam memproteksi sektor pertaniannya. Namun, banyak negara berkembang dan LDCs yang mengalami masalah dalam pelaksanaan komitmen Putaran Uruguay. Hal ini dikarenakan oleh berbagai faktor, seperti faktor geografis dan kurangnya infrastruktur yang memadai. Selain itu, perlu dicatat bahwa untuk praktik proteksionisme dalam bentuk hambatan non-tarif sulit dideteksi secara langsung. Hambatan non tarif seringkali baru diketahui ketika negara anggota WTO menotifikasi bahwa negara lain telah menerapkan hambatan non-tarif.
3.2. Perkembangan Gagasan Proteksionisme Sektor Pertanian di LDCs
Dalam buku Fair Trade for All, Stiglitz mengatakan bahwa free trade hanya akan menaikkan tingkat kemiskinan, apabila perusahaan besar terusmenerus mendapatkan keuntungan terbesar dari liberalisasi perdagangan. Free trade di negara-negara yang memiliki upah tinggi juga akan menurunkan upah pekerja yang kurang terampil, karena setiap perusahaan dapat membeli barang atau jasa darimana saja, sehingga upah kerja semua orang di seluruh dunia menjadi sama. Dari argumen Stiglitz, kita mengetahui bahwa free trade akan menyebabkan negara maju melakukan race to the bottom 59 hingga upah buruh mereka menyamakan upah LDCs, sehingga buruh negara maju di sektor pertanian akan terus mendukung FTL. Pernyataan Stiglitz yang seakan-akan anti terhadap free trade tersebut dibantah dalam salah satu tulisan Arvind Panagariya yang mengatakan bahwa Stiglitz sebenarnya hanya menuntut liberalisasi perdagangan secara bertahap dan penghilangkan hambatan perdagangan oleh negara-negara kaya, khususnya 58
International Bank for Reconstruction and Development, “Using Trade Policy to Overcome Food Insecurity,” Global Monitoring Report: Food Prices, Nutrition, and the Millennium Development Goals (Washington, D.C.: The World Bank, 2012), 131. 59 Race to the bottom adalah keadaan dimana terdapat penurunan upah pekerja di negara maju, karena perusahaan domestik di negara maju menekan biaya upah buruh dan pelestarian lingkungan serendah-rendahnya demi memenangkan kompetisi dalam pasar global. Race to the bottom membawa dampak negatif berupa kerusakan lingkungan dan penurunan kesejahteraan buruh. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
37
produk pertanian, dimana subsidi domestik dan ekspor negara maju akan merusak kepentingan negara-negara berkembang dan LDCs yang berpotensi menjadi eksportir neto produk pertanian.60 Mantan Kepala Ekonom Bank Dunia, Nicholas Stern, pernah meminta LDCs untuk tidak membuka pasarnya jika negara maju memproteksi pasarnya sendiri. 61 Menurut Panagariya, ini adalah buah pikiran yang keliru, karena walaupun negara-negara maju memproteksi pasarnya sendiri, LDCs secara unilateral harus meliberalisasi perdagangan demi mendorong pertumbuhan ekonomi. 62 Bahkan, hambatan perdagangan seringkali bentuknya berpori-pori dan tidak sepenuhnya keras, sehingga negara-negara dengan kebijakan perdagangan yang berorientasi keluar seringkali berhasil dalam memperluas ekspor, walaupun negara-negara mitra dagang mereka tidak sepenuhnya terbuka.
63
Panagariya juga mengatakan bahwa LDCs saat ini
sebenarnya lebih proteksionis (memiliki rata-rata hambatan tarif lebih tinggi) dibandingkan negara-negara maju. Sebagai contoh, tarif negara-negara maju terhadap produk industri sekunder rata-rata sekitar 3 persen, sedangkan di LDCs sebesar 13 persen. Namun, tidak semua LDCs mengadopsi kebijakan proteksionisme, bahkan ada beberapa LDCs yang lebih liberal dibandingkan negara-negara maju. 64 Terlebih lagi LDCs belum mampu untuk mengekspor produk industri sekunder, sehingga data yang diajukan Panagariya tersebut bukanlah dasar yang kuat untuk mendukung free trade. Dalam WTO, tidak ada kepastian mengenai definisi dari negara berkembang dan negara maju. Sehingga semua negara dapat memakai ketentuan WTO yang hanya diberikan kepada negara berkembang, seperti ketentuan dalam pilar akses pasar AoA dimana negara berkembang hanya diharuskan mengurangi tarif sebesar 24% sedangkan negara maju harus mengurangi tarif sebesar 36%, walaupun negara anggota WTO lainnya dapat menantang negara yang meminta ketentuan tersebut. Dalam tulisannya, Panagariya juga berargumen bahwa yang 60
Arvind Panagariya, “Trade Policy and Trade Liberalization” dalam Handbook of trade policy for development, eds. Arvid John Lukauskas, et al. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 437. 61 Arvind Panagariya, “In Defense of International Trade” dalam Debating Globalization: International Perspectives on The Global Economic and Social Order, ed. John M. Balonze (Bruxelles: TellerBooks, 2005), 17. 62 Ibid., 17-18. 63 Ibid., 17-18. 64 Ibid., 13. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
38
paling diuntungkan dari liberalisasi sektor pertanian adalah negara maju dan negara-negara berkembang yang merupakan anggota Cairns Group. Cairns Group adalah koalisi yang terdiri atas 19 negara pengekspor produk pertanian yang terdiri atas Argentina, Bolivia, Brasil, Chili, Kolombia, Kosta Rika, Guatemala, Indonesia, Malaysia, Selandia Baru, Pakistan, Paraguay, Peru, Filipina, Afrika Selatan, Thailand, dan Uruguay (dua anggota lainnya, Australia dan Kanada, menurut IMF termasuk negara maju). Oleh karena itu, Cairns Group mendukung masuknya liberalisasi pertanian dalam Deklarasi Punta del Este yang meluncurkan perundingan Putaran Uruguay.65 Nama Cairns Group dipilih karena, pada tahun 1986, mereka pertamakali mengadakan pertemuan di Kota Cairns, Australia. Sementara itu, untuk konteks LDCs, sebanyak 45 dari 48 LDCs adalah importir neto makanan dan 33 LDCs adalah importir neto pertanian. Ironisnya, beberapa LDCs dalam pertemuan WTO di Cancun, Meksiko pada tahun 2003 menuntut pengakhiran subsidi kapas, karena LDCs percaya dengan retorika populer bahwa subsidi negara kaya akan menyakiti LDCs.66 Sebagai importir neto, LDCs memiliki akses terhadap produk pertanian yang disubsidi oleh negara maju. Apabila subsidi ekspor negara maju tersebut dihapus, harga produk pertanian akan naik, sehingga merugikan LDCs yang mengimpor produk makanan dan pertanian.67 Panagariya mengatakan bahwa negara-negara maju harus mengadopsi kebijakan proteksionisme, karena hanya sebagian LDCs yang akan menjadi eksportir neto produk pertanian dan diuntungkan dari liberalisasi sektor pertanian oleh negara-negara maju. Contoh LDCs yang dirugikan dari penghapusan subsidi ekspor negara maju adalah Senegal, yang pada tahun 2001 menghabiskan US$450 juta untuk mengimpor makanan, yang setara dengan sekitar 10 persen dari GDP dan sepertiga dari pendapatan ekspor tahunan Senegal. Pada intinya, kemungkinan
65
Ibid., 16-17. Arvind Panagariya, “Agricultural Liberalisation and the Least Developed Countries: Six Fallacies,” The World Economy, 28, no. 9 (2005), 1289. 67 Arvind Panagariya, “Farm Liberalisation Will Hurt LDCs,” http://www.columbia.edu/~ap2231/ET/et76_March23_05.htm (diakses pada 2 Mei 2014). Universitas Indonesia 66
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
39
besar hanya negara berkembang anggota Cairns Group yang akan mendapatkan keuntungan dari liberalisasi sektor pertanian oleh negara-negara maju.68 Panagariya juga tidak setuju dengan argumen Stiglitz bahwa negara maju harus meliberalisasi sektor pertanian. Hal ini dikarenakan di bawah Generalized System of Preferences (GSP) 69 Uni Eropa yang bernama Everything But Arms (EBA),70 LDCs dapat menjual produk ekspor mereka dengan harga internal Uni Eropa. Apabila Uni Eropa melakukan liberalisasi, maka harga internal Uni Eropa tersebut akan sama dengan harga dunia, sehingga LDC menjadi semakin tidak mampu untuk melakukan ekspor. 71 Negara maju juga sudah meningkatkan hambatan non-tarif mereka dengan membentuk peraturan Sanitary dan Phytosanitary (SPS),72 yang akan menghambat beberapa komoditas LDCs apabila belum memenuhi syarat SPS tersebut.73 Kesimpulan dari tulisan-tulisan Arvind Panagariya adalah, liberalisasi secara unilateral oleh negara maju akan menguntungkan negara maju dan negara berkembang yang termasuk kedalam kelompok Cairns Group, karena ekspor mereka ke negara maju akan meningkat, dan merugikan LDCs yang harus bersaing dengan komoditas pertanian kelompok Cairns Group di pasar negara maju. Terlebih, liberalisasi secara unilateral oleh negara maju yang telah bergabung menjadi negara anggota Uni Eropa akan lebih menyakiti LDCs, karena akan menghapus inisiatif EBA, yang selama ini telah menguntungkan LDCs. Selain itu, dalam konteks hasil, produk pertanian seringkali mengalami penurunan tingkat pengembalian yang tidak memungkinkan suatu negara untuk sukses melaksanakan pembangunan. Produk pertanian
yang mengalami
peningkatan tingkat pengembalian hanyalah beberapa produk pertanian yang 68
Arvind Panagariya, In Defense of International Trade, 16. GSP adalah sistem tarif Preferential ciptaan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) yang membebaskan anggota WTO dari prinsip MFN, untuk meningkatkan impor mereka terhadap produk manufaktur dan pertanian dari negara berkembang dan LDCs, tanpa membuka pasar mereka terhadap produk negara maju. 70 EBA diatur dalam pasal 12 dan 13 GSP Uni Eropa dengan tujuan untuk membebaskan semua impor ke Uni Eropa dari LDCs, kecuali impor persenjataan, dari bea dan kuota impor. 71 Arvind Panagariya, Farm Liberalisation Will Hurt LDCs. 72 SPS adalah standar keamanan makanan yang harus dipatuhi oleh negara anggota WTO. Standar ini seringkali berdasarkan penelitian ilmiah negara maju, sehingga ada beberapa kasus dimana ekspor makanan LDCs dari spesies hewan tertentu dilarang, walaupun negara maju diperbolehkan mengekspor spesies hewan yang serupa. Standar yang tinggi juga harus ditanggung LDCs dengan biaya yang tinggi. 73 Arvind Panagariya, Farm Liberalisation Will Hurt LDCs. Universitas Indonesia 69
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
40
langka (seperti daging sapi Wagyu dari Jepang), produk khas (seperti keju swiss), dan bahan bakar hayati (biofuel). Produk yang dapat mengalami tingkat pengembalian yang tinggi sebagian besar diproduksi di sektor manufaktur dan jasa. Sehingga seorang ekonom Norwegia, yang bernama Erik Steenfeldt Reinert, mengkritik structural adjustment IMF dan World Bank yang seringkali meliberalisasikan sektor manufaktur negara berkembang dan LDCs, walaupun negara berkembang dan LDCs akhirnya dapat mengekspor komoditas pertanian ke negara maju. Sektor industri manufaktur sendiri dalam GATT dikategorisasikan sebagai sektor sekunder. 74 Dalam bukunya, Reinert mencontohkan Ekuador dan Afrika sebagai korban dari structural adjustment IMF dan World Bank. Pada tahun 1994, Bretton Woods Institutions (BWIs) menjanjikan hibah dan pinjaman kepada Presiden Ekuador, Sixto Durán Ballén, dengan syarat Ekuador menghapus tarif komoditas sektor manufaktur dan melakukan spesialisasi dalam mengekspor pisang ke pasar global. Akibatnya, terjadi proses deindustrialisasi yang telah menurunkan jumlah pekerjaan dan upah riil di Ekuador. Namun, hibah dan pinjaman yang dijanjikan BWIs tidak juga muncul, dan Uni Eropa malah memberikan bea impor yang berat pada pisang Ekuador. 75 Negara-negara di Benua Afrika juga telah melakukan deindustrialisasi secara besar-besaran. Akibatnya, banyak organisasi dan negaranegara maju yang memberikan kontribusi besar-besaran untuk meringankan penderitaan Afrika, tanpa menerapkan solusi jangka panjang yang, menurut Reinert, membutuhkan pengembangan industri di sektor manufaktur dan jasa. Hukum tingkat pengembalian yang menurun (law of diminishing returns) telah mengatakan bahwa ketika salah satu faktor produksi suatu industri diproduksi oleh alam (contohnya industri di sektor primer seperti pertanian, perikanan, atau pertambangan), maka pada titik tertentu menambah modal ataupun tenaga kerja akan menghasilkan pengembalian yang lebih kecil dibandingkan penambahan sebelumya.76 Saat ini, outsourcing produk yang tidak bisa dimekanisasi dari Amerika Serikat ke Meksiko dan negara-negara tetangga
74
Erik S. Reinert, “The Evolution of the Two Different Approaches,” How Rich Countries Got Rich and Why Poor Countries Stay Poor (London: Constable, 2007), EPUB edition, bab. 2. 75 Ibid. 76 Ibid. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
41
lainnya telah menurunkan rata-rata upah Meksiko, karena upah mereka lebih rendah dibandingkan upah buruh di industri tradisional. Contohnya adalah industri maquila di dekat perbatasan Amerika, yang tumbuh dengan mengorbankan industri tradisional. Efek maquila tersebut juga ditemukan di sektor pertanian, contohnya produk pertanian yang bisa dimekanisasi (gandum dan jagung) saat ini diambil alih oleh Amerika Serikat, sementara Meksiko mengkhususkan diri dalam memproduksi produk yang tidak bisa dimekanisasi
(stroberi, buah jeruk,
mentimun, dan tomat). Hal ini menyebabkan Meksiko menjadi bergantung pada kegiatan yang hanya memakai proses padat karya, dan mengurangi peluang Meksiko untuk melakukan inovasi, serta menghalangi Meksiko
untuk
mengembangkan teknologi.77 Pada tahun 1992, Francis Fukuyama memuji berakhirnya Perang Dingin dalam buku The End of History and the Last Man. Namun, pada tahun 2006, dalam buku After the Neocons: America at the Crossroads, Fukuyama menarik pujiannya, karena dia melihat kaum neo-konservatif percaya bahwa demokrasi adalah kondisi default masyarakat ketika terjadi perubahan dari rezim koersif, bukan sebagai proses jangka panjang dari pembangunan lembaga dan reformasi. Reinert lalu menciptakan argumen paralel tentang ekonomi, bahwa ekonom neoliberal percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan adalah kondisi default jika intervensi pasar telah dihapus, bukan sebagai hasil dari proses jangka panjang dalam membangun struktur ekonomi khusus.78 Menurut Reinert, pembangunan harus dilihat sebagai hasil dari kebijakan yang sadar dan terencana, bukan semata-mata dari penghapusan hambatan perdagangan.
79
Menurut pengalaman Reinert saat bekerja sama dengan
penggembala rusa Saami di Norwegia utara, para penggembala menjual kulit rusa mereka kepada penyamakan kulit di Swedia dengan harga 50 kroner, dan membeli kembali kulit yang sama yang sudah menjadi kulit samak dengan harga 500 kroner, sehingga Swedia memiliki industri manufaktur dengan multiplier sebesar 10. Keuntungan dari memproduksi produk manufaktur adalah terciptanya banyak
77
Ibid. Erik S. Reinert, “Introduction,” How Rich Countries Got Rich and Why Poor Countries Stay Poor (London: Constable, 2007), xviii-xix. 79 Ibid., xix-xx. Universitas Indonesia 78
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
42
lapangan kerja untuk buruh, laba yang meningkat untuk pengusaha, dan penghasilan pajak yang banyak untuk pemerintah.80 Saat ini retorika yang populer di WTO adalah LDCs tetap miskin karena negara
maju
melindungi
sektor
pertaniannya.
Reinert
berusaha
untuk
menunjukkan bahwa LDCs tidak akan menjadi kaya jika mereka hanya diizinkan untuk menjual produk makanan dan pertanian mereka ke negara maju. Reinert berpendapat bahwa harus dibuat kesepakatan dimana negara maju diperbolehkan untuk melindungi sektor pertaniannya (tetapi tidak boleh membuang surplus produksi pertanian ke pasar dunia), sedangkan LDCs diperbolehkan untuk melindungi sektor manufaktur dan jasa mereka.81 Namun, Reinert juga tidak secara buta mendukung dan meminta suatu negara mengadopsi proteksionisme. Oleh karena itu, Reinert membandingkan antara dua jenis proteksionisme yang ideal di dunia ini berdasarkan lokasi geografis, yaitu antara jenis proteksionisme di Asia Timur dan Amerika Latin. Dalam kaitannya dengan studi ini, Reinert mengatakan bahwa proteksionisme di Asia Timur menekankan investasi besar-besaran dalam kebijakan di sektor pendidikan dan industri, yang menciptakan permintaan besar untuk pendidikan, sehingga pasokan orang berpendidikan menjadi cocok dengan permintaan dari industri. Kebalikannya, proteksionisme di Amerika Latin kurang menekankan investasi pada pendidikan ataupun industri, sehingga tidak menyebabkan permintaan besar untuk pendidikan. Bahkan, investasi di bidang pendidikan malah cenderung mendorong emigrasi.82 Lebih jauh, Reinert ingin mencaritahu penyebab perbedaan pendapatan riil antara buruh yang berada di negara yang berbeda, tetapi tingkat produktivitas dan efisiensinya sama. Pada saat ini, ekonom mainstream cenderung mengklaim bahwa free trade adalah sistem dengan semua pemenang dan tanpa pecundang yang akan meningkatkan pemerataan ekonomi, serta meratakan upah antara yang kaya dan miskin di dunia ini. 83 Klaim-klaim tersebut tentu saja tidak tepat, sehingga Reinert berniat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh
80
Ibid., 316. Ibid., xxvi. 82 Ibid., 311. 83 Ibid., 2. 81
Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
43
pendukung FTL dan FTM, yaitu perbedaan upah antara negara maju dengan negara-negara lainnya dan eksploitasi yang mengakibatkan rendahnya upah buruh di LDCs dan negara berkembang. FTL ingin menaikkan upah buruh di LDCs dan negara berkembang, tetapi solusi Reinert akan mengakibatkan bertambahnya kompetitor bagi negara maju, sehingga tidak semua pendukung FTL yang memakai perspektif nasionalisme ekonomi akan mendukung ide-ide Reinert. Dengan mengambil contoh komoditas Gandum dan Arloji (merujuk teori Comparative Advantage) Reinert membuktikan bahwa negara yang memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi komoditas pertanian akan mengalami kerugian, karena masuk ke area tingkat pengembalian yang menurun (diminishing returns), sehingga memiskinkan petani. Namun, Reinert mengakui bahwa mekanisasi di sektor pertanian tidak akan memecahkan masalah kemiskinan di sektor pertanian, karena peningkatan produktivitas malah akan cenderung merendahkan harga ekspor produk pertanian, bukan menaikkan pendapatan petani. 84 Hal ini memperlihatkan bahwa teori keunggulan komparatif hanya menjanjikan keuntungan dari terlaksananya free trade kepada suatu negara secara keseluruhan, bukan untuk individu atau kelompok tertentu. Sehingga ada kemungkinan dimana perekonomian suatu negara secara keseluruhan mendapat keuntungan dari free trade, namun banyak orang di dalam negara tersebut yang kehilangan pendapatan mereka. Menurut Reinert, salah satu argumen yang kuat untuk mendukung free trade adalah perubahan teknologi dan inovasi, padahal tidak semua barang dan jasa dapat diproduksi dengan peningkatan tingkat pengembalian seiring dengan meningkatnya hasil produksi. Contohnya, salinan pertama dari produk Microsoft mungkin menghabiskan biaya US$100 juta untuk diproduksi, sedangkan salinan selanjutnya (jika didistribusikan secara elektronik) mungkin biayanya hanya beberapa sen US$ untuk diproduksi dan didistribusikan. Biaya tetap (fixed costs) yang tinggi menciptakan hambatan yang sangat tinggi untuk masuknya pesaing, dan mengarah kepada struktur pasar oligopolistik, akibatnya perusahaan dengan struktur biaya seperti Microsoft akan sangat sulit untuk disaingi oleh perusahaan
84
Ibid., 310. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
44 di LDCs.85 Sehingga salah satu penyebab perbedaan upah antar buruh di negara maju dan LDCs adalah tingginya biaya tetap dalam memproduksi beberapa jenis barang dan jasa. Buruh yang bekerja di industri pertanian dengan biaya tetap yang rendah, akan bersaing dengan buruh murah dan buruh ilegal. Oleh karena itu, tidak ada buruh di LDCs yang bisa mendekati tingkat pendapatan Bill Gates.86 Argumen ini memfalsifikasi asumsi yang dipakai teori keunggulan komparatif bahwa tidak ada perbedaan kualitatif diantara kegiatan ekonomi. Sehingga, jika dibiarkan, pasar akan menyamakan perbedaan, terutama perbedaan upah, antara pekerja Microsoft di Amerika Serikat dan penggembala kambing di Mongolia.87 Dani Rodrik memberikan contoh bagaimana proteksionisme mungkin dapat lebih membantu pembangunan LDCs, dengan membandingkan antara Vietnam dengan Haiti pada tahun 2001. Vietnam pada tahun 2001 terlibat dalam perdagangan antar-negara, walaupun belum menjadi anggota WTO, dengan tetap mempertahankan monopoli dan kuota impor, serta menerapkan tarif yang tinggi atas impor produk-produk pertanian dan industri sekunder (sekitar 30-50 persen). Di sisi lain, Haiti adalah anggota WTO yang telah memangkas tarif impor menjadi sekitar 15 persen dan menghapus semua kuota impor, serta mendapatkan pujian dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Hasilnya, Vietnam tidak hanya mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan mampu mengentaskan kemiskinan, tetapi juga lebih integrasi ke dalam ekonomi dunia meskipun hambatan perdagangannya tinggi. Di sisi lain, Haiti stagnan meskipun negara itu melakukan liberalisasi perdagangan pada periode 1994-1995.88 Kesimpulannya, kesenjangan upah dapat diselesaikan melalui FTL dengan meminta standar upah yang sama antara negara maju dengan negara berkembang dan LDCs (dalam rangka menciptakan level playing field, atau aturan yang sama mengenai upah di seluruh negara di dunia ini), sedangkan FTM menyelesaikan kesenjangan upah tersebut dengan memberikan kompensasi kepada petani di negara berkembang dan LDCs melalui harga premium saat konsumen di negara maju membeli komoditas pertanian dari negara berkembang dan LDCs. 85
Ibid. Erik S. Reinert, How Rich Countries Got Rich and Why Poor Countries Stay Poor, bab. 2. 87 Erik S. Reinert, How Rich Countries Got Rich and Why Poor Countries Stay Poor, 177. 88 Dani Rodrik, The Global Governance Of Trade: As If Development Really Mattered (New York: UNDP, 2001), 22-23. Universitas Indonesia 86
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
45
Namun, Reinert menolak kedua ide tersebut, karena buruh di negara berkembang dan LDCs tidak bisa dipaksa mendapatkan upah yang lebih tinggi apabila negara tersebut belum menciptakan industri dengan tingkat pengembalian yang tinggi. Reinert meminta agar negara berkembang dan LDCs meniru negara maju sebelum memilih keunggulan komparatif mereka, agar sektor manufaktur menjadi keunggulan komparatif mereka. Reinert justru mengajukan ide yang mirip dengan Fair Trade menurut Stiglitz, walaupun Reinert tidak berpikir bahwa liberalisasi sektor pertanian di negara maju akan secara otomatis menjadikan LDCs dan negara berkembang menjadi kaya raya.
3.3
Perkembangan Gagasan Proteksionisme Sektor Pertanian di Negara
Maju
Paparan selanjutnya akan mengupas mengenai sejarah liberalisasi dan proteksionisme sektor pertanian di negara-negara maju, lalu dilanjutkan dengan memfokuskan analisa kepada Amerika Serikat. Dalam sejarahnya, periode dari tahun 1820 ke 1879 adalah periode penurunan tingkat tarif di benua Eropa, yang dimulai di Inggris pada tahun 1820 dengan pengurangan bea dan hambatan perdagangan lainnya. Pada tahun 1846, penghapusan Corn Laws juga mengakhiri proteksionisme sektor pertanian di Inggris. Masa keemasan free trade dimulai pada tahun 1860, ketika Inggris dan Perancis menandatangani Cobden–Chevalier Treaty, yang hampir mengeliminasi seluruh hambatan perdagangan antara Inggris dan Perancis. Hal ini diikuti oleh serangkaian perjanjian perdagangan bilateral antara hampir semua negara di Eropa.89 Namun, gerakan menuju liberalisasi berbalik arah pada akhir tahun 1870an. Hanya Inggris, Belgia, Belanda, dan Swiss yang terus mengikuti kebijakan free trade sampai tahun 1880-an. Inggris lalu mulai membangun PTA di negara jajahannya pada tahun 1898. Amerika Serikat pada dasarnya proteksionis sepanjang abad kesembilan belas. Tarif tinggi yang dikenakan Amerika Serikat selama Perang Saudara dilanjutkan dengan pengecualian pada tahun 1890, bahkan 89
Stephen D. Krasner, “State Power and The Structure of International Trade” dalam International Political Economy Perspectives on Global Power and Wealth, fourth edition, ed. Jeffry A. Frieden (London: Routledge, 2000), 25. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
46
tidak ada pengurangan bea yang signifikan sebelum tahun 1914. Selama tahun 1920-an persentase tarif meningkat lebih lanjut, karena negara-negara Eropa Barat melindungi sektor pertanian mereka terhadap impor dari wilayah Danube, Australia, Kanada, dan Amerika Serikat, dimana perang telah mendorong peningkatan jumlah produksi di sektor pertanian.90 Sebuah pembenaran yang sering digunakan oleh suatu negara untuk melakukan proteksionisme adalah subsidi yang dilakukan oleh negara mitra dagang. Apabila negara mitra dagang mensubsidi produsen dalam yurisdiksinya, maka free trade dan spesialisasi produsen sesuai dengan keunggulan komparatif tidak akan terlaksana.
91
Biasanya tujuan subsidi ekspor adalah untuk
meningkatkan ekspor suatu negara relatif terhadap impor. Biaya subsidi tersebut ditanggung oleh warga negara yang pemerintahnya menggunakan subsidi, sedangkan manfaat dari subsidi dinikmati oleh mitra dagang negara yang mensubsidi.92 Negara maju seperti Amerika Serikat seringkali memproteksi sektor pertaniannya, walaupun warga negaranya menanggung biaya dari subsidi tersebut. Untuk membahas proteksionisme di sektor pertanian, kita harus memahami bahwa kebijakan luar negeri suatu negara tergantung kepada politik dalam negeri di negara tersebut. Contohnya, di Amerika Serikat, apabila partai demokrat menang maka kemungkinan besar tarif akan turun, sedangkan apabila partai republik menang maka kemungkinan besar tarif akan naik. Hal inilah yang menyebabkan munculnya Reciprocal Trade Agreement Act di Amerika Serikat yang merupakan salah satu FTL Amerika Serikat. Dalam membahas mengenai perkembangan gagasan proteksionisme sektor pertanian di negara maju, studi ini mengambil contoh Amerika Serikat, karena FTL seringkali digunakan oleh pemerintah Amerika Serikat dan AFL (American Federation of Labor) untuk menjustifikasi proteksionisme. Sejak tahun 1920, AFL diakui sebagai kelompok yang paling tangguh di Amerika Serikat, selain partai politik.93
90
Ibid. Donald J. Boudreaux, “Do Subsidies Justify Retaliatory Protectionism?,” Economic Affairs, 31, no. 3 (2011), 4. 92 Ibid., 5. 93 Barry Eichengreen, “The Political Economy of the Smoot-Hawley Tariff” dalam International Political Economy Perspectives on Global Power and Wealth, fourth edition, ed. Jeffry A. Frieden (London: Routledge, 2000), 39. Universitas Indonesia 91
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
47
Saat ini, aktor negara adalah sandera dari kelompok komoditas dan kepentingan khusus lainnya. Bahkan, ekonom Amerika Serikat yang bernama Barry Eichengreen mengatakan bahwa Amerika Serikat hanya perlu menghapus subsidi gandum, biji minyak, dan kapas domestik untuk meningkatkan pendapatan nasional dan internasional. Sedangkan penghapusan subsidi susu, tembakau, gula, dan kacang akan sulit dilakukan oleh Amerika Serikat. 94 Kebijakan komoditas pertanian domestik Amerika Serikat dan kebijakan perdagangan internasional di seluruh dunia tidak dapat dipisahkan, karena liberalisasi program komoditas domestik dan perdagangan internasional cenderung untuk berjalan bersama-sama, walaupun hubungan kausalitasnya belum diketahui.95 Pada tahun 2000, subsidi asuransi tanaman dan pendapatan Amerika Serikat mencapai sekitar US$2,5 miliar. Tanaman berasuransi ini terutama ditanam di daerah yang berisiko tinggi di negara bagian Great Plains seperti Texas dan North Dakota. Asuransi Tanaman dan pendapatan menyebabkan lebih banyak tanah yang dapat ditanam tanaman, dan menyebabkan lahan dapat ditanam lebih intensif.96 Namun, sebuah panel WTO memutuskan bahwa subsidi asuransi dan pembayaran langsung Amerika Serikat harus dihitung sebagai subsidi yang mendistorsi perdagangan. Oleh karena itu, notifikasi Amerika Serikat kepada WTO pada tahun 2010 seharusnya bukanlah US$4 miliar melainkan US$15 miliar. Great Plains sendiri disebut sebagai daerah yang berisiko tinggi untuk pertanian karena kurangnya curah hujan untuk pertumbuhan jagung, dan di bagian utara musim tanamnya pendek. Kesimpulannya, pemerintah Amerika Serikat menggunakan FTL dan subsidi karena dipaksa oleh kelompok komoditas dan kepentingan khusus lainnya, walaupun proteksionisme sektor pertanian akan merugikan sebagian besar warga negara Amerika Serikat. Namun, dapat dilihat bahwa baik free trade maupun proteksionisme akan sama-sama menciptakan pemenang dan pecundang. Sehingga FTM dan Fair Trade menurut Stiglitz muncul sebagai alternatif yang berusaha untuk menengahi free trade dan proteksionisme. Ilustrasi dari kesimpulan bab tiga ini dapat dilihat pada gambar 3.2. 94
Ibid., 90. Ibid. 96 Ibid., 93. 95
Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
48
Gambar 3.2 Visualisasi Mengenai Perdebatan Proteksionisme Sektor Pertanian di Negara Maju, Negara Berkembang, dan LDC Sumber: Disarikan oleh penulis dari berbagai sumber Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
49
BAB 4 KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang sudah dilakukan oleh studi ini, maka dapat disimpulkan bahwa FTL adalah proteksionisme, FTM belum tentu proteksionisme, dan Fair Trade menurut Stiglitz bukanlah proteksionisme. FTL adalah proteksionisme, karena merupakan bagian dari hambatan non-tarif. FTM mungkin proteksionisme, karena aktornya adalah non-negara (NGO/kelompok individu) yang dianggap melawan pemikiran nasionalis bahwa proteksi hanya dilakukan oleh aktor negara. Walau demikian diakui bahwa FTM telah melawan arus ekonomi pasar, yang mengakibatkan publisitas negatif. Sementara itu, Fair Trade menurut Stiglitz bukanlah proteksionisme, karena Fair Trade menurut Stiglitz sebenarnya hanya menginginkan free trade dengan liberalisasi yang simetris, agar jumlah pemenang dari perdagangan internasional semakin banyak, sehingga akan terjadi pemerataan kesejahteraan di seluruh dunia. Studi ini juga menemukan argumen yang menyatakan FTM mencegah negara berkembang dan LDCs masuk ke fase industrialisasi tidak sepenuhnya benar. Hal ini karena negara berkembang dan LDCs dapat menggunakan buruh di sektor pertanian yang semakin makmur (karena buruh tani mendapatkan kenaikan upah dari FTM) untuk dipindahkan ke sektor industri manufaktur ataupun jasa, dengan asumsi bahwa buruh tani tersebut berinvestasi di bidang pendidikan. Namun, FTM akan menjadi masalah apabila LDCs hanya memproduksi barang bersertifikat FTM dengan harga yang cenderung mahal, karena akan mengakibatkan permintaan produk pertanian dari LDCs menurun, dan hanya sedikit orang yang bersedia membeli barang bersertifikat FTM tersebut. Akibatnya, konsumen di negara maju rugi karena harus membayar dengan harga yang mahal, dan hanya produsen makanan serta pertanian terbaik di LDCs yang dapat terus menjual produk pertanian, sementara produsen yang bangkrut di LDCs tidak mendapatkan kompensasi dari kekalahan mereka dalam sistem FTM. Di sisi lain, pendukung FTL berpendapat bahwa keberadaan negara-negara dengan buruh yang memiliki upah rendah telah merusak level playing field. Sehingga, para pendukung FTL meminta upah yang sama antara buruh di negara Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
50
maju dan LDCs. Pada kenyataannya, LDCs tidak bisa menetapkan upah minimum buruh mereka setinggi di negara maju, dan negara maju tidak mau mengikuti race to the bottom hingga upah buruh mereka menyamakan upah LDCs, walaupun negara maju dapat melakukannya dengan cara menghapus subsidi di sektor pertanian. Oleh karena itu, pendukung FTL berusaha menghapus keunggulan komparatif LDCs terhadap negara maju dengan menggunakan antidumping laws dan countervailing duties. Lebih jauh, studi ini menemukan bahwa dari ketiga jenis fair trade yang sudah dibahas dalam studi ini, yang paling menguntungkan bagi LDCs adalah Fair Trade menurut Stiglitz, karena FTL hanya akan menuduh bahwa LDCs telah mensubsidi atau melakukan dumping, sedangkan FTM tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Di sisi lain, Fair Trade menurut Stiglitz dari awal berniat untuk membantu LDCs dalam situasi perdagangan bebas. Tidak hanya itu, Fair Trade menurut Stiglitz juga akan menguntungkan negara maju yang menghapus subsidi pertanian dan negara berkembang yang mengimpor komoditas makanan dan pertanian. Walaupun dihapuskannya EBA akibat liberalisasi Uni Eropa akan merugikan LDCs, Fair Trade menurut Stiglitz akan membuka pasar negara maju yang tadinya tertutup, sehingga Fair Trade menurut Stiglitz juga akan menguntungkan LDCs. Walaupun perhitungan keuntungan dan kerugian secara riil memerlukan penelitian lebih lanjut. Menurut Stiglitz, studi ini menyimpulkan bahwa proteksionisme akan meningkatkan biaya hidup konsumen yang berada di negara importir dan tidak berpartisipasi dalam FTM. Sebaliknya, free trade akan memberikan konsumen di negara importir kemampuan untuk membeli dan mengkonsumsi berbagai barang dan jasa dengan harga murah. Sehingga, konsumen di negara importir pada umumnya diuntungkan dari adanya free trade. Di sisi lain, free trade akan merugikan konsumen di negara eksportir, karena barang dalam negeri akan menghadapi inflasi harga, akibat lebih banyak barang yang diekspor daripada yang dikonsumsi di dalam negara. Sehingga ada pemenang dan pecundang dalam kedua kebijakan. Hal ini memperjelas kondisi bahwa baik free trade maupun proteksionisme akan menghasilkan kondisi yang merugikan sebagian pihak dan menguntungkan sebagian pihak lainnya. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
51
DAFTAR REFERENSI
Sumber Buku: Balaam, David N., dan Michael Veseth. Introduction to International Political Economy, second edition. Upper Saddle River: Prentice Hall, 2001. Baran, Paul A. The Political Economy of Growth. New York: Monthly Review Press, 1962. Cadot, Olivier. Non-Tariff Measures: A Fresh Look At Trade Policy's New Frontier‖. London: Centre for Economic Policy Research, 2012. Crocker, David Alan. ―Development Ethics, Democracy, and Globalization‖ dalam Democracy in a Global World: Human Rights and Political Participation in the 21st Century, ed. Deen K. Chatterjee, 27-70. Lanham: Rowman & Littlefield Publishers, 2008. Dunkley, Graham. The Free Trade Adventure: The WTO, the Uruguay Round and Globalism (London: Zed Books, 2001). Eichengreen, Barry. ―The Political Economy of the Smoot-Hawley Tariff‖ dalam International Political Economy Perspectives on Global Power and Wealth, fourth edition, ed. Jeffry A. Frieden, 42-52. London: Routledge, 2000. Friedheim, Thomas. ―Domestic Taxes and Administrative and Technical Barriers to Trade on Goods and Services‖ dalam Implications of the Uruguay Round Agreement for South Asia: the Case of Agriculture, eds. Benoit Blarel, Garry Pursell, dan Alberto Valdes, 87-100.Washington, D.C.: World Bank, 1999. Gilpin, Robert, dan Jean M. Gilpin. Global Political Economy Understanding the International Economic Order. Princeton: Princeton University Press, 2001. Howse, Robert dan Michael J. Trebilcock. The Fair Trade-Free Trade Debate: Trade, Labour and The Environment. Toronto: Canadian Law and Economics Association, 1994. International Bank for Reconstruction and Development. Global Monitoring Report: Food Prices, Nutrition, and the Millennium Development Goals. Washington, D.C.: The World Bank, 2012. Krasner, Stephen D. ―State Power and The Structure of International Trade‖ dalam International Political Economy Perspectives on Global Power and Wealth, fourth edition, ed. Jeffry A. Frieden, 23-41. London: Routledge, 2000. Mohan, Sushil. Fair Trade without the Froth: A Dispassionate Economic Analysis of ‘Fair Trade’. London: Institute of Economic Affairs, 2010. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
52 Panagariya, Arvind. ―In Defense of International Trade‖ dalam Debating Globalization: International Perspectives on The Global Economic and Social Order, ed. John M. Balonze, 11-22. Bruxelles: TellerBooks, 2005. ——, Arvind. ―Miracles and Debacles: An Extension‖ dalam Handbook of Trade Policy for Development, eds. Arvid John Lukauskas, Robert M. Stern, dan Gianni Zanini, 417-443. Oxford: Oxford University Press, 2013. Poonyth, Daneswar, dan Deep Ford. Small Island Developing States: Agricultural Production and Trade, Preferences and Policy. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations, 2004. Reinert, Erik S. How Rich Countries Got Rich and Why Poor Countries Stay Poor. London: Constable, 2007. EPUB edition. ——, Erik S. How Rich Countries Got Rich and Why Poor Countries Stay Poor. London: Constable, 2007. Rodrik, Dani. The Global Governance of Trade: As If Development Really Mattered. New York: UNDP, 2001. Stiglitz, Joseph E. Making Globalization Work. New York: W.W. Norton & Co, 2006. Stiglitz, Joseph E., dan Carl E. Walsh. Economics, fourth edition. New York: W.W. Norton, 2006. Stiglitz, Joseph E., dan Andrew Charlton. Fair Trade For All: How Trade Can Promote Development. Oxford: Oxford University Press, 2005. Tweeten, Luther G. Terrorism, Radicalism, and Populism in Agriculture. Ames: Iowa State Press, 2003.
Artikel Jurnal: Abboushi, Suhail. ―Trade Protectionism: Reasons and Outcomes‖. Competitiveness Review, Vol. 20, No. 5 (2010), 384-394. http://search.proquest.com/docview/756100864?accountid=17242 . Diakses pada 24 Maret 2014. Archer, Candace, dan Stefan Fritsch. ―Global Fair Trade: Humanizing Globalization and Reintroducing the Normative to International Political Economy‖. Review of International Political Economy, Vol. 17, No. 1 (2010), 103-128. Boudreaux, Donald J. ―Do Subsidies Justify Retaliatory Protectionism?‖. Economic Affairs, Vol. 31, No. 3 (2011), 4-6. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
53 Cleverdon, Robert, dan Angela Kalisch. ―Fair Trade in Tourism‖. The International Journal of Tourism Research, Vol. 2, No. 3 (2000), 171–187. http://search.proquest.com/docview/214524798?accountid=17242. Diakses pada 20 November 2013. Davies, Iain A., Bob Doherty dan Simon Knox, ―The Rise and Stall of a Fair Trade Pioneer: The Cafédirect Story‖. Journal of Business Ethics, Vol. 92, No. 1 (2010), 127-147. Ehrlich, Sean D. ―The Fair Trade Challenge to Embedded Liberalism‖. International Studies Quarterly, Vol. 54, No. 4 (2010), 1013–1033. Low, Patrick, Gabrielle Marceau dan Julia Reinaud. ―The Interface between the Trade and Climate Change Regimes: Scoping the Issues‖. Journal of World Trade, Vol. 46, No. 3 (2012), 485-544, http://search.proquest.com/docview/1035328836?accountid=17242. Diakses pada 18 Maret 2014. Marvel, Howard P. ―How Fair Is Fair Trade?‖. Contemporary Policy Issues, Vol. 3, No. 3 (Spring, 1985), 23–35, http://search.proquest.com/docview/237239840?accountid=17242. Diakses pada 9 Oktober 2013. Moore, Geoff. ―The Fair Trade Movement: Parameters, Issues and Future Research‖. Journal of Business Ethics, Vol. 53, No. 1-2 (2004), 73-86. Nollen, Stanley D., dan Dennis P. Quinn. ―Free Trade, Fair Trade, Strategic Trade, and Protectionism in the U.S. Congress, 1987–88‖. International Organization, Vol. 48, No. 03 (1994), 491-525. Ozkan, Gokhan. ―Emergence of International Political Economy as a SubDiscipline of International Relations and Impact of the Global Crisis on International Political Economy‖. International Journal of Business and Social Science, Vol. 3, No. 13 (2012), 198-204. http://search.proquest.com/docview/1022660703?accountid=17242. Diakses pada 4 Maret 2014. Panagariya, Arvind. ―Agricultural Liberalisation and the Least Developed Countries: Six Fallacies‖. The World Economy, Vol. 28, No. 9 (2005), 1277– 1299. Stratton, Jeanine P., dan Matt J. Werner, ―Consumer Behavior Analysis of Fair Trade Coffee: Evidence from Field Research‖. The Psychological Record, Vol. 63, No. 2 (Spring, 2013), 363-374, http://search.proquest.com/docview/1352860908?accountid=17242. Diakses pada 4 Maret 2014. Sumber Konferensi: Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
54 Hiscox, Michael J., dan Nicholas F. B. Smyth. ―Is There Consumer Demand for Improved Labor Standards? Evidence from Field Experiments in Social Labeling‖. Paper presented at the Murphy Institute of Political Economy Conference on the ‗New Political Economy of Globalization‘, New Orleans, Louisiana, 20-21 April, 2007. http://www.nottingham.ac.uk/gep/documents/conferences/2007/april07conf/his cox-april07.pdf. Diakses pada 9 Juni 2014. Sumber Elektronik: Bovard, James. ―U.S. Fair Trade Laws Are Anything But Fair.‖ The Wall Street Journal (New York), 3 Juni, 1987. http://www.jimbovard.com/Bovard_Wall_Street_Journal_1987_US_Fair_Trad e_Laws_Are_Anything_But.htm. Diakses pada 2 Mei 2014. Panagariya, Arvind. ―Farm Liberalisation Will Hurt LDCs‖. http://www.columbia.edu/~ap2231/ET/et76_March23_05.htm. Diakses pada 2 Mei 2014. Fair Trade USA. ―Fair Trade USA Almanac 2012‖. http://fairtradeusa.org/sites/default/files/2012_Fair-Trade-USA_Almanac.pdf. Diakses pada 3 Maret 2014. Office of the High Commissioner for Human Rights. ―International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights‖. http://www.ohchr.org/EN/ProfessionalInterest/Pages/CESCR.aspx. Diakses pada 10 Maret 2014. The World Bank. ―Types of Tariffs‖. http://wits.worldbank.org/WITS/wits/WITSHELP/Content/Data_Retrieval/P/In tro/C2.Types_of_Tariffs.htm. Diakses pada 12 Mei 2014. United Nations. ―Least Developed Countries Criteria‖. http://www.un.org/en/development/desa/policy/cdp/ldc/ldc_criteria.shtml#popu lation. Diakses pada 6 Mei 2014. United Nations Office of the High Representative for the Least Developed Countries, Landlocked Developing Countries and Small Island Developing States. ―Criteria for Identification and Graduation of LDCs‖. http://unohrlls.org/about-ldcs/criteria-for-ldcs/. Diakses pada 15 April 2014. World Trade Organization. ―Days 3, 4 and 5: Round-The-Clock Consultations Produce Bali Package‖. http://www.wto.org/english/news_e/news13_e/mc9sum_07dec13_e.htm. Diakses pada 4 Maret 2014. World Trade Organization. ―Least-Developed Countries‖. http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/org7_e.htm. Diakses pada 15 April 2014. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
Lampiran 1 Jumlah Other Duties and Charges Yang Dikenakan oleh Landlocked Least-Developed Countries Landlocked LeastDeveloped Countries
Tahun Masuk LDC
Status / Tanggal Masuk WTO
paling rinci (HS Sub-pos)
Jumlah TLL dalam HS Sub-pos yang terkena Other Duties and Charges (ODC)
Afganistan
1971
-
-
Bhutan
1971 Bukan anggota WTO -
-
Burkina Faso
1971
3 Juni 1995
EDIBLE VEGETABLES AND CERTAIN ROOTS AND TUBERS
61
Burundi
1971
23 Juli 1995
EDIBLE VEGETABLES AND CERTAIN ROOTS AND TUBERS
61
Republik Afrika Tengah
1975
31 Mei 1995
EDIBLE VEGETABLES AND CERTAIN ROOTS AND TUBERS
61
Chad
1971
19 Oktober 1996
Ethiopia
1971
Observer WTO
1971
2 Februari 2013
Malawi
1971
31 Mei 1995
Mali
1971
31 Mei 1995
Nepal
1971
23 April 2004
Niger
1971
13 Desember 1996
Rwanda
1971
22 Mei 1996
Uganda
1971
1 Januari 1995
Zambia
1991
1 Januari 1995
Republik Demokratik Rakyat Laos
Observer WTO
Jenis Produk dalam 6 digit kategorisasi produk HS-6 dalam bentuk
(tidak ada HS Sub-pos dengan jumlah ODC yang signifikan) -
0 -
(tidak ada HS Sub-pos dengan jumlah ODC yang signifikan) FISH AND CRUSTACEANS, MOLLUSCS AND OTHER AQUATIC INVERTEBRATES EDIBLE VEGETABLES AND CERTAIN ROOTS AND TUBERS (tidak ada HS Sub-pos dengan jumlah ODC yang signifikan) FISH AND CRUSTACEANS, MOLLUSCS AND OTHER AQUATIC INVERTEBRATES (tidak ada HS Sub-pos dengan jumlah ODC yang signifikan) MEAT AND EDIBLE MEAT OFFAL (tidak ada HS Sub-pos dengan jumlah ODC yang signifikan)
0
94 61 0 86 0 16 0
Sumber: World Trade Organization, ―Tariff Download Facility,‖ http://tariffdata.wto.org (diakses pada 15 April 2014). ―Telah diolah kembali‖.
Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
Lampiran 2 Jumlah Other Duties and Charges Yang Dikenakan oleh Small Island Least-Developed Countries
Small Island LeastDeveloped Countries
Tahun Masuk LDC
Status / Tanggal Masuk WTO
Jenis Produk dalam 6 digit
Jumlah National Tariff Line Level
kategorisasi produk HS-6
(TLL) dalam HS Sub-pos yang
dalam bentuk paling rinci (HS terkena Other Duties and Charges Sub-pos)
(ODC)
Komoro
1977
Observer WTO
-
-
Kiribati
1986
Bukan anggota WTO
-
-
1982
Observer WTO
-
-
Kepulauan Solomon
1991
26 Juli 1996
Timor-Leste
2003
Bukan anggota WTO
-
-
Tuvalu
1986
Bukan anggota WTO
-
-
Vanuatu
1985
24 Agustus 2012
Sao Tome dan Principe
(tidak ada HS Sub-pos dengan jumlah ODC yang signifikan)
(tidak ada HS Sub-pos dengan jumlah ODC yang signifikan)
0
0
Sumber: World Trade Organization, ―Tariff Download Facility,‖ http://tariffdata.wto.org (diakses pada 15 April 2014). ―Telah diolah kembali‖.
Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
Lampiran 3 Jumlah Other Duties and Charges Yang Dikenakan oleh Other Least Developed Countries Other Least-Developed Countries
Tahun Masuk LDC
Status / Tanggal Masuk Jenis Produk dalam 6 digit kategorisasi produk HS-6 dalam WTO
bentuk paling rinci (HS Sub-pos)
Jumlah TLL dalam HS Sub-pos yang terkena Other Duties and Charges (ODC)
FISH AND CRUSTACEANS, MOLLUSCS AND OTHER
Angola
1994
23 November 1996
Bangladesh
1975
1 Januari 1995
Benin
1971
22 Februari 1996
Kamboja
1991
13 Oktober 2004
(tidak ada HS Sub-pos dengan jumlah ODC yang signifikan)
0
1991
1 Januari 1997
(tidak ada HS Sub-pos dengan jumlah ODC yang signifikan)
0
Djibouti
1982
31 Mei 1995
Guinea Khatulistiwa
1982
Observer WTO
-
-
Eritrea
1994
Bukan anggota WTO
-
-
Gambia
1975
23 Oktober 1996
(tidak ada HS Sub-pos dengan jumlah ODC yang signifikan)
0
Guinea
1971
25 Oktober 1995
Guinea-Bissau
1981
31 Mei 1995
Republik Demokratik Kongo
AQUATIC INVERTEBRATES EDIBLE VEGETABLES AND CERTAIN ROOTS AND TUBERS EDIBLE VEGETABLES AND CERTAIN ROOTS AND TUBERS
FISH AND CRUSTACEANS, MOLLUSCS AND OTHER AQUATIC INVERTEBRATES
EDIBLE VEGETABLES AND CERTAIN ROOTS AND TUBERS FISH AND CRUSTACEANS, MOLLUSCS AND OTHER AQUATIC INVERTEBRATES
94
58
61
94
61
94
CHEWING TOBACCO, SNUFF AND OTHER MANUFACTURED TOBACCO AND MANUFACTURED TOBACCO SUBSTITUTES, AND TOBACCO POWDER, TOBACCO EXTRACTS AND ESSENCES (EXCL. CIGARS, CHEROOTS, CIGARILLOS AND CIGARETTES, SMOKING TOBACCO
Haiti
1971
30 Januari 1996
WHETHER OR NOT CONTAINING TOBACCO SUBSTITUTES IN ANY
6
PROPORTION, "HOMOGENIZED" OR "RECONSTITUTED" TOBACCO, NICOTINE EXTRACTED FROM THE TOBACCO PLANT AND INSECTICIDES MANUFACTURED FROM TOBACCO EXTRACTS AND ESSENCES)
Liberia
1990
Observer WTO
Madagaskar
1991
17 Nopember 1995
Mauritania
1986
31 Mei 1995
Mozambik
1988
26 Agustus 1995
Myanmar
1987
01 Januari 1995
(tidak ada HS Sub-pos dengan jumlah ODC yang signifikan)
0
Senegal
2000
01 Januari 1995
MEAT AND EDIBLE MEAT OFFAL
59
EDIBLE VEGETABLES AND CERTAIN ROOTS AND TUBERS EDIBLE VEGETABLES AND CERTAIN ROOTS AND TUBERS EDIBLE VEGETABLES AND CERTAIN ROOTS AND TUBERS
FISH AND CRUSTACEANS, MOLLUSCS AND OTHER
61
61
61
Sierra Leone
1982
23 Juli 1995
Somalia
1971
Bukan anggota WTO
-
-
Sudan Selatan
2012
Bukan anggota WTO
-
-
Sudan
1971
Observer WTO
-
-
Togo
1982
31 Mei 1995
1971
1 Januari 1995
(tidak ada HS Sub-pos dengan jumlah ODC yang signifikan)
0
1971
Observer WTO
-
-
Republik Persatuan Tanzania Yaman
AQUATIC INVERTEBRATES
EDIBLE VEGETABLES AND CERTAIN ROOTS AND TUBERS
94
61
Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
Lampiran 4 Pasal 6 Agreement on Agriculture (AOA) Part IV: Article 6 Domestic Support Commitments 1.
The domestic support reduction commitments of each Member contained in Part IV of its
Schedule shall apply to all of its domestic support measures in favour of agricultural producers with the exception of domestic measures which are not subject to reduction in terms of the criteria set out in this Article and in Annex 2 to this Agreement. The commitments are expressed in terms of Total Aggregate Measurement of Support and ―Annual and Final Bound Commitment Levels‖. 2.
In accordance with the Mid-Term Review Agreement that government measures of assistance,
whether direct or indirect, to encourage agricultural and rural development are an integral part of the development programmes of developing countries, investment subsidies which are generally available to agriculture in developing country Members and agricultural input subsidies generally available to low-income or resource-poor producers in developing country Members shall be exempt from domestic support reduction commitments that would otherwise be applicable to such measures, as shall domestic support to producers in developing country Members to encourage diversification from growing illicit narcotic crops. Domestic support meeting the criteria of this paragraph shall not be required to be included in a Member‘s calculation of its Current Total AMS. 3.
A Member shall be considered to be in compliance with its domestic support reduction
commitments in any year in which its domestic support in favour of agricultural producers expressed in terms of Current Total AMS does not exceed the corresponding annual or final bound commitment level specified in Part IV of the Member‘s Schedule. 4.
(a)
A Member shall not be required to include in the calculation of its Current Total AMS
and shall not be required to reduce: (i)
product-specific domestic support which would otherwise be required to be
included in a Member‘s calculation of its Current AMS where such support does not exceed 5 per cent of that Member‘s total value of production of a basic agricultural product during the relevant year; and (ii)
non-product-specific domestic support which would otherwise be required to be
included in a Member‘s calculation of its Current AMS where such support does not exceed 5 per cent of the value of that Member‘s total agricultural production. (b)
For developing country Members, the de minimis percentage under this paragraph shall
be 10 per cent. 5.
(a)
Direct payments under production-limiting programmes shall not be subject to the
commitment to reduce domestic support if: (i) (ii)
such payments are based on fixed area and yields; or such payments are made on 85 per cent or less of the base level of
production; or (iii) (b)
livestock payments are made on a fixed number of head.
The exemption from the reduction commitment for direct payments meeting the above
criteria shall be reflected by the exclusion of the value of those direct payments in a Member‘s calculation of its Current Total AMS.
Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
Lampiran 5 Lampiran 1 Agreement on Agriculture (AOA) Annex 1: Product Coverage
1.
This Agreement shall cover the following products:
(i) HS Chapters 1 to 24 less fish and fish products, plus* (ii) HS Code
2905.43
(mannitol)
HS Code
2905.44
(sorbitol)
2.
HS Heading 33.01
(essential oils)
HS
35.01 to
(albuminoidal substances, modified starches,
Headings
35.05
glues)
HS Code
3809.10
(finishing agents)
HS Code
3823.60
(sorbitol n.e.p.)
HS
41.01 to
(hides and skins)
Headings
41.03
HS Heading 43.01
(raw furskins)
HS
50.01 to
(raw silk and silk waste)
Headings
50.03
HS
51.01 to
Headings
51.03
HS
52.01 to
Headings
52.03
(wool and animal hair)
(raw cotton, waste and cotton carded or combed)
HS Heading 53.01
(raw flax)
HS Heading 53.02
(raw hemp)
The foregoing shall not limit the product coverage of the Agreement on
the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures. *The product descriptions in round brackets are not necessarily exhaustive.
Sumber: World Trade Organization, ―Agreement on Agriculture,‖ http://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/14-ag_02_e.htm (diakses pada 15 April 2014). Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
Lampiran 6 Lampiran 3 Agreement on Agriculture (AOA) Annex 3: Domestic support – Calculation of Aggregate Measurement of Support 1.
Subject to the provisions of Article 6, an Aggregate Measurement of Support (AMS) shall
be calculated on a product-specific basis for each basic agricultural product receiving market price support, non-exempt direct payments, or any other subsidy not exempted from the reduction commitment (―other non-exempt policies‖). Support which is non-product specific shall be totalled into one non-product-specific AMS in total monetary terms. 2.
Subsidies under paragraph 1 shall include both budgetary outlays and revenue foregone by
governments or their agents. 3.
Support at both the national and sub-national level shall be included.
4.
Specific agricultural levies or fees paid by producers shall be deducted from the AMS.
5.
The AMS calculated as outlined below for the base period shall constitute the base level for
the implementation of the reduction commitment on domestic support. 6.
For each basic agricultural product, a specific AMS shall be established, expressed in total
monetary value terms. 7.
The AMS shall be calculated as close as practicable to the point of first sale of the basic
agricultural product concerned. Measures directed at agricultural processors shall be included to the extent that such measures benefit the producers of the basic agricultural products. 8.
Market price support: market price support shall be calculated using the gap between a
fixed external reference price and the applied administered price multiplied by the quantity of production eligible to receive the applied administered price. Budgetary payments made to maintain this gap, such as buying-in or storage costs, shall not be included in the AMS. 9.
The fixed external reference price shall be based on the years 1986 to 1988 and shall generally be the
average f.o.b. unit value for the basic agricultural product concerned in a net exporting country and the average c.i.f. unit value for the basic agricultural product concerned in a net importing country in the base period. The fixed reference price may be adjusted for quality differences as necessary.
10.
Non-exempt direct payments: non-exempt direct payments which are dependent on a
price gap shall be calculated either using the gap between the fixed reference price and the applied administered price multiplied by the quantity of production eligible to receive the administered price, or using budgetary outlays. 11.
The fixed reference price shall be based on the years 1986 to 1988 and shall generally be
the actual price used for determining payment rates. 12.
Non-exempt direct payments which are based on factors other than price shall be
measured using budgetary outlays. 13.
Other non-exempt measures, including input subsidies and other measures such as
marketing-cost reduction measures: the value of such measures shall be measured using government budgetary outlays or, where the use of budgetary outlays does not reflect the full extent of the subsidy concerned, the basis for calculating the subsidy shall be the gap between the price of the subsidized good or service and a representative market price for a similar good or service multiplied by the quantity of the good or service. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
Lampiran 7 Lampiran 4 Agreement on Agriculture (AOA) Annex 4: Domestic support – Calculation of Equivalent Measurement of Support 1.
Subject to the provisions of Article 6, equivalent measurements of support
shall be calculated in respect of all basic agricultural products where market price support as defined in Annex 3 exists but for which calculation of this component of the AMS is not practicable. For such products the base level for implementation of the domestic support reduction commitments shall consist of a market price support component expressed in terms of equivalent measurements of support under paragraph 2 below, as well as any non-exempt direct payments and other non-exempt support, which shall be evaluated as provided for under paragraph 3 below. Support at both national and sub-national level shall be included. 2.
The equivalent measurements of support provided for in paragraph 1 shall
be calculated on a product-specific basis for all basic agricultural products as close as practicable to the point of first sale receiving market price support and for which the calculation of the market price support component of the AMS is not practicable. For those basic agricultural products, equivalent measurements of market price support shall be made using the applied administered price and the quantity of production eligible to receive that price or, where this is not practicable, on budgetary outlays used to maintain the producer price. 3.
Where basic agricultural products falling under paragraph 1 are the subject
of non-exempt direct payments or any other product-specific subsidy not exempted from the reduction commitment, the basis for equivalent measurements of support concerning these measures shall be calculations as for the corresponding AMS components (specified in paragraphs 10 through 13 of Annex 3). 4.
Equivalent measurements of support shall be calculated on the amount of
subsidy as close as practicable to the point of first sale of the basic agricultural product concerned. Measures directed at agricultural processors shall be included to the extent that such measures benefit the producers of the basic agricultural products. Specific agricultural levies or fees paid by producers shall reduce the equivalent measurements of support by a corresponding amount.
Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
Lampiran 8 Pasal 2 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994 Article II: Schedules of Concessions 1. (a)
Each contracting party shall accord to the commerce of the other contracting
parties treatment no less favourable than that provided for in the appropriate Part of the appropriate Schedule annexed to this Agreement. (b)
The products described in Part I of the Schedule relating to any contracting party,
which are the products of territories of other contracting parties, shall, on their importation into the territory to which the Schedule relates, and subject to the terms, conditions or qualifications set forth in that Schedule, be exempt from ordinary customs duties in excess of those set forth and provided therein. Such products shall also be exempt from all other duties or charges of any kind imposed on or in connection with the importation in excess of those imposed on the date of this Agreement or those directly and mandatorily required to be imposed thereafter by legislation in force in the importing territory on that date. (c)
The products described in Part II of the Schedule relating to any contracting party
which are the products of territories entitled under Article I to receive preferential treatment upon importation into the territory to which the Schedule relates shall, on their importation into such territory, and subject to the terms, conditions or qualifications set forth in that Schedule, be exempt from ordinary customs duties in excess of those set forth and provided for in Part II of that Schedule. Such products shall also be exempt from all other duties or charges of any kind imposed on or in connection with importation in excess of those imposed on the date of this Agreement or those directly or mandatorily required to be imposed thereafter by legislation in force in the importing territory on that date. Nothing in this Article shall prevent any contracting party from maintaining its requirements existing on the date of this Agreement as to the eligibility of goods for entry at preferential rates of duty.
2.
Nothing in this Article shall prevent any contracting party from imposing at any time
on the importation of any product: (a)
a charge equivalent to an internal tax imposed consistently with the
provisions of paragraph 2 of Article III* in respect of the like domestic product or in respect of an article from which the imported product has been manufactured or produced in whole or in part; (b)
any anti-dumping or countervailing duty applied consistently with the
provisions of Article VI;* (c)
3.
fees or other charges commensurate with the cost of services rendered.
No contracting party shall alter its method of determining dutiable value or of
converting currencies so as to impair the value of any of the concessions provided for in the appropriate Schedule annexed to this Agreement.
Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
Lampiran 8 (Lanjutan) Pasal 2 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994 4.
If any contracting party establishes, maintains or authorizes, formally or in effect, a
monopoly of the importation of any product described in the appropriate Schedule annexed to this Agreement, such monopoly shall not, except as provided for in that Schedule or as otherwise agreed between the parties which initially negotiated the concession, operate so as to afford protection on the average in excess of the amount of protection provided for in that Schedule. The provisions of this paragraph shall not limit the use by contracting parties of any form of assistance to domestic producers permitted by other provisions of this Agreement.*
5.
If any contracting party considers that a product is not receiving from another
contracting party the treatment which the first contracting party believes to have been contemplated by a concession provided for in the appropriate Schedule annexed to this Agreement, it shall bring the matter directly to the attention of the other contracting party. If the latter agrees that the treatment contemplated was that claimed by the first contracting party, but declares that such treatment cannot be accorded because a court or other proper authority has ruled to the effect that the product involved cannot be classified under the tariff laws of such contracting party so as to permit the treatment contemplated in this Agreement, the two contracting parties, together with any other contracting parties substantially interested, shall enter promptly into further negotiations with a view to a compensatory adjustment of the matter.
6.
(a)
The specific duties and charges included in the Schedules relating to contracting
parties members of the International Monetary Fund, and margins of preference in specific duties and charges maintained by such contracting parties, are expressed in the appropriate currency at the par value accepted or provisionally recognized by the Fund at the date of this Agreement. Accordingly, in case this par value is reduced consistently with the Articles of Agreement of the International Monetary Fund by more than twenty per centum, such specific duties and charges and margins of preference may be adjusted to take account of such reduction;provided that the CONTRACTING PARTIES (i.e., the contracting parties acting jointly as provided for in Article XXV) concur that such adjustments will not impair the value of the concessions provided for in the appropriate Schedule or elsewhere in this Agreement, due account being taken of all factors which may influence the need for, or urgency of, such adjustments. (b)
Similar provisions shall apply to any contracting party not a member of the Fund,
as from the date on which such contracting party becomes a member of the Fund or enters into a special exchange agreement in pursuance of Article XV.
7.
The Schedules annexed to this Agreement are hereby made an integral part of Part I of
this Agreement. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
Lampiran 9 Pasal 8 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1947 Article VIII: Fees and Formalities connected with Importation and Exportation* 1.
(a)
All fees and charges of whatever character (other than import and export duties
and other than taxes within the purview of Article III) imposed by contracting parties on or in connection with importation or exportation shall be limited in amount to the approximate cost of services rendered and shall not represent an indirect protection to domestic products or a taxation of imports or exports for fiscal purposes.
(b)
The contracting parties recognize the need for reducing the number and diversity
of fees and charges referred to in subparagraph (a).
(c)
The contracting parties also recognize the need for minimizing the incidence and
complexity of import and export formalities and for decreasing and simplifying import and export documentation requirements.*
2.
A contracting party shall, upon request by another contracting party or by the
CONTRACTING PARTIES, review the operation of its laws and regulations in the light of the provisions of this Article.
3.
No contracting party shall impose substantial penalties for minor breaches of customs
regulations or procedural requirements. In particular, no penalty in respect of any omission or mistake in customs documentation which is easily rectifiable and obviously made without fraudulent intent or gross negligence shall be greater than necessary to serve merely as a warning.
4.
The provisions of this Article shall extend to fees, charges, formalities and
requirements imposed by governmental authorities in connection with importation and exportation, including those relating to: (a)
consular transactions, such as consular invoices and certificates;
(b)
quantitative restrictions;
(c)
licensing;
(d)
exchange control;
(e)
statistical services;
(f)
documents, documentation and certification;
(g)
analysis and inspection; and
(h)
quarantine, sanitation and fumigation.
Sumber: World Trade Organization, ―The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT 1947),‖ http://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/gatt47_01_e.htm (diakses pada 15 April 2014). Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
Lampiran 10 Pasal 24 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1947 Article XXIV: Territorial Application — Frontier Traffic — Customs Unions and Free-trade Areas 1.
The provisions of this Agreement shall apply to the metropolitan customs territories of
the contracting parties and to any other customs territories in respect of which this Agreement has been accepted under Article XXVI or is being applied under Article XXXIII or pursuant to the Protocol of Provisional Application. Each such customs territory shall, exclusively for the purposes of the territorial application of this Agreement, be treated as though it were a contracting party; Provided that the provisions of this paragraph shall not be construed to create any rights or obligations as between two or more customs territories in respect of which this Agreement has been accepted under Article XXVI or is being applied under Article XXXIII or pursuant to the Protocol of Provisional Application by a single contracting party.
2.
For the purposes of this Agreement a customs territory shall be understood to mean
any territory with respect to which separate tariffs or other regulations of commerce are maintained for a substantial part of the trade of such territory with other territories.
3.
The provisions of this Agreement shall not be construed to prevent: (a)
Advantages accorded by any contracting party to adjacent countries in order
to facilitate frontier traffic; (b)
Advantages accorded to the trade with the Free Territory of Trieste by
countries contiguous to that territory, provided that such advantages are not in conflict with the Treaties of Peace arising out of the Second World War.
4.
The contracting parties recognize the desirability of increasing freedom of trade by the
development, through voluntary agreements, of closer integration between the economies of the countries parties to such agreements. They also recognize that the purpose of a customs union or of a free-trade area should be to facilitate trade between the constituent territories and not to raise barriers to the trade of other contracting parties with such territories.
5.
Accordingly, the provisions of this Agreement shall not prevent, as between the
territories of contracting parties, the formation of a customs union or of a free-trade area or the adoption of an interim agreement necessary for the formation of a customs union or of a free-trade area; Provided that: (a)
with respect to a customs union, or an interim agreement leading to a
formation of a customs union, the duties and other regulations of commerce imposed at the institution of any such union or interim agreement in respect of trade with contracting parties not parties to such union or agreement shall not on the Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
Lampiran 10 (Lanjutan) Pasal 24 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1947 whole be higher or more restrictive than the general incidence of the duties and regulations of commerce applicable in the constituent territories prior to the formation of such union or the adoption of such interim agreement, as the case may be; (b)
with respect to a free-trade area, or an interim agreement leading to the
formation of a freetrade area, the duties and other regulations of commerce maintained in each of the constituent territories and applicable at the formation of such free-trade area or the adoption of such interim agreement to the trade of contracting parties not included in such area or not parties to such agreement shall not be higher or more restrictive than the corresponding duties and other regulations of commerce existing in the same constituent territories prior to the formation of the free-trade area, or interim agreement as the case may be; and (c)
any interim agreement referred to in subparagraphs (a)and (b) shall include a
plan and schedule for the formation of such a customs union or of such a free-trade area within a reasonable length of time.
6.
If, in fulfilling the requirements of subparagraph 5 (a), a contracting party proposes to
increase any rate of duty inconsistently with the provisions of Article II, the procedure set forth in Article XXVIII shall apply. In providing for compensatory adjustment, due account shall be taken of the compensation already afforded by the reduction brought about in the corresponding duty of the other constituents of the union.
7.
(a)
Any contracting party deciding to enter into a customs union or free-trade
area, or an interim agreement leading to the formation of such a union or area, shall promptly notify the CONTRACTING PARTIES and shall make available to them such information regarding the proposed union or area as will enable them to make such reports and recommendations to contracting parties as they may deem appropriate. (b)
If, after having studied the plan and schedule included in an interim
agreement referred to in paragraph 5 in consultation with the parties to that agreement and taking due account of the information made available in accordance with the provisions of subparagraph (a), the CONTRACTING PARTIES find that such agreement is not likely to result in the formation of a customs union or of a free-trade area within the period contemplated by the parties to the agreement or that such period is not a reasonable one, the CONTRACTING PARTIES shall make recommendations to the parties to the agreement. The parties shall not maintain or put into force, as the case may be, such agreement if they are not prepared to modify it in accordance with these recommendations. (c)
Any substantial change in the plan or schedule referred to in paragraph 5
(c) shall be communicated to the CONTRACTING PARTIES, which may request the
Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014
Lampiran 10 (Lanjutan) Pasal 24 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1947 contracting parties concerned to consult with them if the change seems likely to jeopardize or delay unduly the formation of the customs union or of the free-trade area. 8.
For the purposes of this Agreement: (a)
A customs union shall be understood to mean the substitution of a single
customs territory for two or more customs territories, so that (i)
duties and other restrictive regulations of commerce (except, where
necessary, those permitted under Articles XI, XII, XIII, XIV, XV and XX) are eliminated with respect to substantially all the trade between the constituent territories of the union or at least with respect to substantially all the trade in products originating in such territories, and, (ii)
subject to the provisions of paragraph 9, substantially the same duties and
other regulations of commerce are applied by each of the members of the union to the trade of territories not included in the union; (b)
A free-trade area shall be understood to mean a group of two or more customs
territories in which the duties and other restrictive regulations of commerce (except, where necessary, those permitted under Articles XI, XII, XIII, XIV, XV and XX) are eliminated on substantially all the trade between the constituent territories in products originating in such territories.
9.
The preferences referred to in paragraph 2 of Article I shall not be affected by the
formation of a customs union or of a free-trade area but may be eliminated or adjusted by means of negotiations with contracting parties affected.* This procedure of negotiations with affected contracting parties shall, in particular, apply to the elimination of preferences required to conform with the provisions of paragraph 8 (a)(i) and paragraph 8 (b). 10.
The CONTRACTING PARTIES may by a two-thirds majority approve proposals
which do not fully comply with the requirements ofparagraphs 5 to 9 inclusive, provided that such proposals lead to the formation of a customs union or a free-trade area in the sense of this Article.
11.
Taking into account the exceptional circumstances arising out of the establishment of
India and Pakistan as independent States and recognizing the fact that they have long constituted an economic unit, the contracting parties agree that the provisions of this Agreement shall not prevent the two countries from entering into special arrangements with respect to the trade between them, pending the establishment of their mutual trade relations on a definitive basis.*
12.
Each contracting party shall take such reasonable measures as may be available to it
to ensure observance of the provisions of this Agreement by the regional and local governments and authorities within its territories. Universitas Indonesia
Wacana dan..., Sabil Perbawa, FISIP UI, 2014