Volume 4 Nomor 3, Desember 2015
Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum. Jurnal RechtsVinding terbit secara berkala tiga nomor dalam setahun di bulan April, Agustus, dan Desember. Pembina Adviser
: Prof. Dr. Enny Nurbaningsih , S.H., M.Hum Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
Pemimpin Umum Chief Executive Officer
: Pocut Eliza, S.Sos., S.H., M.H. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional BPHN
Wakil Pemimpin Umum : Widya Oesman, S.H., M.H. Vice Chief Executive Officer Pemimpin Redaksi Editor in Chief
: Apri Listiyanto, S.H. (Hukum Pidana, BPHN, Jakarta)
Anggota Dewan Redaksi Editorial Board
: Mosgan Situmorang, S.H., M.H. (Hukum Acara, BPHN, Jakarta) Arfan Faiz Muhlizi, S.H., M.H. (Hukum Tata Negara, BPHN, Jakarta) Henry Donald Lb. Toruan, S.H., M.H. (Hukum Perdata, BPHN, Jakarta)
Mitra Bestari Peer Reviewer
: Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo S.H., M.S. (Hukum Acara, Kapuslitbang Kumdil MA, Jakarta) Dr. Suhariyono AR, S.H., M.H. (Hukum Tata Negara, Jakarta) Dr. Zainal Arifin Hoesein, S.H., M.H. (Hukum Tata Negara, Universitas Islam Assyafiiyah, Jakarta) Prof. Dr. Sulistyawati Irianto, S.H.,L.L.M. (Antropologi Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta) Prof. Dr. H. Muhammad Fauzan, S.H., M.Hum. (Hukum Tata Negara, Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto) Dr. Taufiqurrohman Syahuri, S.H., M.H. (Hukum Tata Negara, Komisi Yudisial, Jakarta)
Redaktur Pelaksana Managing Editor
: Fabian Adiasta Nusabakti Broto, S.H.
Sekretaris Secretaries
: Tyas Dian Anggraeni, S.H., M.H Endang Wahyuni Setyawati, S.E.
Tata Usaha Administration
: Dwi Agustine K, S.H., M.H. Nunuk Febriananingsih, S.H.,M.H. Febriani Triwijayanti, S.H. Viona Wijaya, S.H. Lewinda Oletta, S.H. Yerico Kasworo, S.H. Sakti Maulana, S.H., M.H.
Desain Layout Layout and cover
: Iis Trisnawati, S.H.
Alamat: Redaksi Jurnal RechtsVinding Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI Jl. Mayjen Sutoyo No. 10 Cililitan Jakarta, Telp.: 021-8091908 ext.105, Fax.: 021-8011754 e-mail:
[email protected];
[email protected];
[email protected] website: www.rechtsvinding.bphn.go.id
Isi Jurnal RechtsVinding dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya (Citation is permitted with acknowledgement of the source)
Volume 4 Nomor 3, Desember 2015
PENGANTAR REDAKSI
BP HN
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
Dengan mengucap syukur ke hadirat Allah SWT, atas karunia-Nya, Jurnal Rechtsvinding (JRV) Volume 4 Nomor 3 Tahun 2015 ini dapat terbit tepat waktu. Pada edisi penghujung tahun 2015 ini JRV menyajikan artikel-artikel bertema “Dinamika Politik Legislasi di Indonesia”. Tema ini dimaksudkan memberi gambaran pada khalayak bahwa proses politik legislasi di Indonesia senantiasa dinamis dan berupaya menemukan bentuk ideal dalam konteks pembangunan sistem hukum nasional. Kebutuhan terhadap reformasi regulasi pada setiap sektor memicu desakan untuk melakukan kembali penataan politik legislasi ke dalam bingkai kepentingan Bangsa Indonesia sehingga diharapkan akan menghasilkan regulasi yang tepat dan mampu mewujudkan tertib sosial serta mengoptimalkan kinerja penyelenggara negara.
lR ec hts V
ind
Sebagai pembuka edisi kali ini Bisariyadi berusaha menemukan legitimasi konseptual atas keterlibatan lembaga peradilan dalam politik legislasi dengan melihat pada konsep judicialisation of politics melalui putusan-putusan peradilan yang di hasilkan oleh Mahkamah Konstitusi yang pada proyeksi mendatang sebuah lembaga peradilan akan semakin cenderung terlibat dalam perkara-perkara menyangkut proses pengambilan kebijakan yang menyangkut kepentingan orang banyak, yang pada saat ini proses tersebut merupakan kewenangan eksklusif dari legislatif. Contoh nyata dari pandangan tersebut dibuktikan di dalam tulisan Anna Triningsih yang menggambarkan perubahan politik legislasi dengan adanya kewenangan konstitusional yang diperoleh DPD, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, untuk turut serta secara imbang dalam proses Legislasi. Penguatan peran DPD juga ditunjukan dalam pandangan Abdurrachman Satrio melalui studi komparasinya yang mencoba membandingkan fungsi legislasi antara DPD dan Bundesrat yang terdapat di Jerman, beliau berpandangan bahwa fungsi legislasi DPD yang ada saat ini seharusnya lebih dapat diperkuat. Terkait dengan dinamika politik legislasi Muh. Risnain mencoba mengingatkan kita dengan melakukan evaluasi terhadap kuantitas dan kualitas Prolegnas, yang hingga saat ini masih ditemukan banyak faktor pengahambat, melalui gagasannya beliau menawarkan sebuah konsep guna mengupayakan peningkatan kuantitas dan kualitas Prolegnas 2015-2019. Upaya peningkatan ini sebangun dengan pandangan Budi Suhariyanto yang mendobrak pemikiran bahwa Putusan Hakim disebut sebagai upaya pembentukan hukum, dan jika hal tersebut dilakukan secara konstan oleh Hakim lain maka dapat dijadikan sebagai sumber hukum formil dalam sistem hukum nasional, dengan berbagai pandangan tersebut jelas menunjukan adanya dinamika politik legislasi.
Jur
na
Dinamika politik legislasi juga terjadi di daerah, hal ini dikemukakan oleh Suharyo yang menggambarkan dinamika penggunaan sanksi pidana dalam pembentukan Perda yang masih perlu dievaluasi efektifitas implementasinya di tengah-tengah masyarakat. Begitu pula yang terjadi di Kabupaten Maluku Tengah yang dikaji oleh Dayanto dan Asma Karim yang menilai urgensi untuk menghadirkan Peraturan Daerah yang berperspektif legislasi responsif, termasuk Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi. Dari pemikiran tersebut diperlukan adanya penguatan sistem hukum nasional yang mengakar ke seluruh lapisan masyarakat untuk mencapai tujuan dan melindungi kebutuhan dan kepentingan masyarakat, hal ini secara lugas dituangkan oleh Wenda Hartanto, yang mengamati terjadinya proses relasi antara kesadaran hukum dan politik hukum dalam proses legislasi,
i
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
serta bagaimana konsep ideal untuk mengakomodir kesadaran hukum masyarakat dalam proses legislasi. Dan jurnal ini ditutup dengan tulisan Akhyar Ari Gayo yang mengulas dinamika perkembangan legislasi di bidang Hukum Islam, khususnya terhadap pembentukan hukum perikatan syariah. Semoga gagasan-gagasan yang tertuang dalam beragam bingkai pemikiran pada edisi Jurnal Volume 4 Nomor 3 Tahun 2015 ini dapat menambah ragam pemikiran hukum dan sekaligus bermanfaat sebagai media informasi perkembangan hukum khususnya terhadap dinamika politik legislasi yang terjadi dan dibutuhkan ditengah-tengah bangsa Kita.
Jur
na
lR ec hts V
ind
ing
Redaksi
ii
DAFTAR ISI
BP HN
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Pengantar Redaksi………………………………………………………………………………………………….............………..… Daftar Abstrak
i–ii
345–364
Politik Hukum Kewenangan Konstitusional Dewan Perwakilan Daerah dalam Proses Legislasi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 Anna Triningsih ............................................................................................................................
365–381
Fungsi Legislasi Majelis Tinggi di Indonesia dan Jerman: Perbandingan antara DPD dengan Bundesrat Abdurrachman Satrio ..................................................................................................................
383–398
Konsep Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Program Legislasi Nasional: Rekomendasi Konseptual dan Kebijakan Pada Prolegnas 2015-2019 Muh. Risnain................................................................................................................................
399–411
Eksistensi Pembentukan Hukum oleh Hakim dalam Dinamika Politik Legislasi di Indonesia Budi Suhariyanto..........................................................................................................................
413–430
lR ec hts V
ind
ing
Keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam Politik Legislasi Nasional Bisariyadi .....................................................................................................................................
Pembentukan Peraturan Daerah, dan Penerapan Sanksi Pidana serta Problematikanya Suharyo .......................................................................................................................................
431–447
Pembentukan Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi di Kabupaten Maluku Tengah menurut Perspektif Legislasi Responsif Dayanto dan Asma Karim.............................................................................................................
449–467
Kesadaran Hukum sebagai Aspek Dasar Politik Hukum Legislasi: Suatu Tinjauan Filsafat Wenda Hartanto .........................................................................................................................
469–483
Dinamika Legislasi Hukum Islam: Analisa atas Upaya Pembentukan Hukum Perikatan Syariah Akhyar Ari Gayo .........................................................................................................................
485–499
Jur
na
Biodata Penulis Indeks Pedoman Penulisan Jurnal RechtsVinding
iii
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
UDC:34.07 Bisariyadi Keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam Politik Legislasi Nasional Jurnal Rechtsvinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm.345–363
BP HN
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.
lR ec hts V
ind
ing
Politik legislasi tidak semata berkutat di parlemen, prinsip pemisahan kekuasaan tidak lagi dimaknai secara kaku. Kecenderungan lembaga peradilan untuk terlibat dalam politik legislasi semakin besar dengan diadopsinya kewenangan judicial review. Beragam produk legislasi yang menyangkut hajat hidup orang banyak diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini bermaksud mencari bagaimana legitimasi konseptual atas keterlibatan lembaga peradilan dalam politik legislasi dengan melihat pada konsep judicialisation of politics melalui putusan-putusan peradilan di MK. Oleh sebab itu, penting untuk menganalisa putusan-putusan MK yang bernuansa politis dan mampu mempengaruhi politik legislasi nasional. Dengan menggunakan pendekatan nornatif, penelitian ini menunjukkan bahwa dengan diadopsinya kewenangan pengujian UU terhadap UUD, MK telah menembus batas prinsip pemisahan kekuasaan. MK juga menjalankan fungsi legislasi dengan bertindak sebagai positive legislator. Legitimasi konseptual juga telah ditawarkan oleh para ahli hukum dan politik dengan merumuskan konsep judicialisation of politics. Dimasa mendatang, lembaga peradilan akan semakin cenderung terlibat dalam perkara-perkara menyangkut proses pengambilan kebijakan yang menyangkut kepentingan orang banyak dimana awalnya proses itu merupakan kewenangan eksklusif dari legislatif. Kata Kunci: pengujian undang-undang, mahkamah konstitusi, politik legislasi
UDC: 340.134
Anna Triningsih
Politik Hukum Kewenangan Konstitusional Dewan Perwakilan Daerah dalam Proses Legislasi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 Jurnal Rechtsvinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 365–381
Jur
na
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai memiliki problem substantif/materil akibat materi muatannya bertentangan dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), yang mengakibatkan kerugian konstitusional terhadap Dewan Perwakilan Daerah (DPD), meliputi dikuranginya kewenangan DPD untuk dapat mengajukan (Rancangan Undang-Undang) RUU, dikuranginya kewenangan DPD untuk membahas RUU dan dikuranginya kewenangan DPD dalam kedudukannya sebagai lembaga perwakilan daerah. Hal ini menunjukan bahwa pembentukan UU MD3 nyata-nyata tidak menghormati putusan MK yang diberi mandat UUD NRI 1945 sebagai lembaga penafsir dan penjaga konstitusi, dengan tidak menghormati, mematuhi, dan melaksanakan putusan MK ini menunjukkan ketidakpatuhan terhadap putusan lembaga negara yang telah ditunjuk konstitusi untuk mengawal kemurnian pelaksanaan konstitusi. Penelitian ini menggunakan metode normatif menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan historis (historical approach). Ketidaktaatan penyusunan UU MD3 pada putusan MK merupakan pengingkaran UUD NRI 1945 dan perkembangan ini merupakan langkah mundur reformasi. Pembentuk Undang-Undang, dalam hal ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden harus segera melakukan perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan berpijak pada rambu-rambu konstitusional Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012. Kata Kunci: kewenangan, Dewan Perwakilan Daerah, putusan Mahkamah Konstitusi
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
UDC: 34.07 Abdurrachman Satrio
BP HN
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.
Fungsi Legislasi Majelis Tinggi di Indonesia dan Jerman: Perbandingan antara DPD dengan Bundesrat Jurnal Rechtsvinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 383–398
lR ec hts V
ind
ing
Dinamika politik legislasi di tingkat nasional saat ini cenderung meminggirkan kepentingan daerah dan lebih mendahulukan kepentingan politik. Menurut penulis salah satu alasannya disebabkan karena Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai majelis tinggi dan representasi teritorial di tingkat nasional dalam menjalankan fungsinya yang utama yaitu fungsi legislasi tidak memiliki kewenangan yang kuat, terutama bila dibandingkan dengan DPR sebagai majelis rendah dan representasi politik. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba menemukan dasar argumentasi perlunya penguatan terhadap kewenangan konstitusional DPD sebagai majelis tinggi dalam menjalankan fungsi legislasi dengan membandingkan fungsi legislasi yang dimiliki DPD dengan Bundesrat di Jerman sebagai majelis tinggi lainnya yang juga berperan sebagai representasi teritorial di tingkat nasional. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan menitikberatkan adanya kesenjangan antara harapan (das sollen) dan kenyataan (das sein), melalui studi perbandingan akan ditemukan persamaan-persamaan (similiarities) serta perbedaan (contrast) di antara keduanya. Dari perbandingan tersebut terlihat bahwa Bundesrat memiliki fungsi legislasi yang jauh lebih kuat dibandingkan DPD, padahal secara teoritis seharusnya DPD memiliki fungsi legislasi yang lebih kuat sebagai majelis tinggi dibandingkan dengan Bundesrat. Kata Kunci: Bundesrat, majelis tinggi, fungsi legislasi
UDC: 340.131 Muh. Risnain
Konsep Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Program Legislasi Nasional: Rekomendasi Konseptual dan Kebijakan Pada Prolegnas 2015-2019 Jurnal Rechtsvinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm.399–411
Jur
na
Rendahnya capaian Prolegnas baik dari sisi kuantitas maupun kualitas pada dua periode Program Legislasi Nasional (Prolegnas): periode 2005-2009 dan periode 2010-2014, merupakan persoalan krusial pembangunan hukum yang harus dipecahkan. Dampaknya bukan saja minimnya capaian Prolegnas, tetapi pada eksistensi negara hukum Indonesia. Penelitian mengidentitifikasi dua permasalahan, Pertama, apa saja hal-hal yang menghambat tercapainya target Prolegnas pada periode 2005-2009 dan periode 2010-2014? Kedua, bagaimanakah konsep peningkatan kualitas dan kuantitas Prolegnas pada masa yang akan datang? Jenis penelitian adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa untuk meningkatkan kualitas Prolegnas, maka ketika pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) oleh DPR, Pemerintah dan DPD hendaknya memperhatikan hal-hal: harmonisasi vertikal materi RUU dengan UUD NRI 1945 dan harmonisasi horizontal RUU dengan peraturan perundang-undangan, tingkat urgensitas dan kompatibilitas materi muatan undang-undang, dan peningkatan kapasitas legislative drafting anggota legislatif. Untuk menjamin peningkatan kuantitas Prolegnas, maka hendaknya ketika penyusunan RUU yang masuk menjadi bagian Prolegnas DPR, Pemerintah maupun DPD memperhatikan kapasitas kelembagaan DPR dengan target Prolegnas yang akan dicapai, mengkaji secara mendalam kerangka konseptual, landasan filosofis, landasan yuridis maupun landasan sosiologis keberadaan RUU, dan komitmen politik secara kelembagaan baik Pemerintah, DPR maupun DPD dalam menyelesaikan Prolegnas. Kata Kunci: peningkatan, prolegnas, integratif
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
UDC: 340.130 Budi Suhariyanto
BP HN
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.
Eksistensi Pembentukan Hukum oleh Hakim dalam Dinamika Politik Legislasi di Indonesia Jurnal Rechtsvinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 413–430
lR ec hts V
ind
ing
Secara normatif hakim Indonesia disebut sebagai Penegak hukum dan keadilan tidak sebatas corong undang-undang. Hakim wajib untuk menemukan, menggali dan membentuk hukum yang sesuai dengan nilai dan rasa keadilan masyarakat. Secara teoritis pembentukan hukum oleh Hakim pun diakui sebagai salah satu sumber hukum formil dalam sistem hukum Indonesia dan dapat diakomodasi oleh DPR (Positif Legislator) dalam pembaruan undang-undang. Tulisan ini bermaksud untuk meneliti masalah eksistensi pembentukan hukum oleh hakim dalam dinamika politik legislasi (baik yang bersifat positif legislasi sebagaimana diwenangi oleh DPR bersama Presiden maupun negatif legislator yang diperankan oleh putusan Mahkamah Konstitusi). Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, diperoleh kesimpulan bahkan dalam konteks tertentu Hakim didorong untuk melakukan pembentukan hukum baru yang berfungsi sebagai a tool of social engineering. Jika pembentukan hukum oleh Hakim diikuti secara konstan oleh Hakim lain maka dapat dijadikan sebagai sumber hukum formil dalam sistem hukum nasional (yurisprudensi). Kata kunci: pembentukan hukum, hakim, politik legislasi
UDC: 340.111.5 Suharyo
Pembentukan Peraturan Daerah, dan Penerapan Sanksi Pidana serta Problematikanya Jurnal Rechtsvinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 431–477
Jur
na
Era Otonomi Daerah secara nyata, jelas dan tegas dilaksanakan di Indonesia sejak adanya reformasi di segala bidang, hal ini merupakan perwujudan pelaksanaan demokrasi lokal diseluruh Indonesia, dengan berbagai kemandirian dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tetap pada koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan otonomi daerah di wilayahnya tiap daerah memiliki kewenangan pembentukan Peraturan Daerah (Perda), selain mengatur hubungan sosial kemasyarakatan yang berisi kewajiban dan larangan, Perda acapkali dilengkapi dengan sanksi pidana. Berangkat dari hal tersebut penelitian ini bermaksud mencari bentuk pembentukan Perda yang ideal dan aspiratif dan melihat efektivitas penerapan sanksi pidana dalam produk Perda di tengah masyarakat. Dengan menggunakan metode yuridis normatif dapat disimpulkan bahwa diperlukan pelibatan warga masyarakat mulai dari pembentukan Raperda termasuk dalam pembahasan penetapan sanksi pidana. Terhadap perumusan sanksi pidana di dalam Perda harus menghindari adanya pengaturan pidana kurungan. Oleh sebab itu guna efektifitas pelaksanaan Perda diperlukan sosialisasi yang intensif dengan cara-cara kekeluargaan dan perlunya strategi persuasif, preventif, akomodatif, dan simpatik dalam penegakan Perda. Kata Kunci: perda, penerapan sanksi pidana
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
UDC: 340.134 Dayanto dan Asma Karim
BP HN
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.
Pembentukan Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi di Kabupaten Maluku Tengah menurut Perspektif Legislasi Responsif Jurnal Rechtsvinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 449–467
lR ec hts V
ind
ing
Adanya kebijakan desentralisasi yang berbasis pada otonomi yang luas maka urgensi untuk menghadirkan Peraturan Daerah yang berperspektif legislasi responsif menjadi kebutuhan, termasuk Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi. Perspektif legislasi responsif bertolak dari indikator proses pembentukan yang partisipatif dan materi muatan yang aspiratif, sehingga permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah apakah proses pembentukan serta materi muatan Peraturan Daerah mengenai pajak dan retribusi di Kabupaten Maluku Tengah berperspektif legislasi responsif. Dengan tipe penelitian hukum normatif-empiris ini ditemukan bahwa Peraturan Daerah mengenai pajak dan retribusi di Kabupaten Maluku Tengah proses pembentukannya belum menunjukan adanya partisipasi masyarakat yang memadai dan materi muatannya belum mengakomodir aspirasi masyarakat, sehingga penelitian ini menyimpulkan bahwa pembentukan Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi di Kabupaten Maluku Tengah belum berperspektif legislasi responsif. Agar praktik pembentukan Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi di Kabupaten Maluku Tengah dapat berkesesuaian dengan tujuan otonomi daerah maka pembentukannya harus didasarkan pada perspektif legislasi responsif. Kata Kunci: peraturan daerah responsif, pajak, retribusi
UDC: 340.12
Wenda Hartanto
Kesadaran Hukum sebagai Aspek Dasar Politik Hukum Legislasi: Suatu Tinjauan Filsafat Jurnal Rechtsvinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 469–483
Jur
na
Manusia seperti entitas lainnya, juga bereksistensi. Namun, eksistensi manusia berbeda karena memiliki kesadaran. Sedangkan hukum memiliki tujuan yang mulia yaitu untuk membentuk masyarakat berada dalam tatanan hukum dan berperan sebagai sarana rekayasa sosial demi kemajuan. Namun kesadaran hukum sebagai suatu entitas yang tunggal dibenturkan pada masyarakat plural dengan pandangan-pandangan yang majemuk. Suatu kumpulan individu yang majemuk juga memunculkan kaidah hukum jika disepakati dapat dianggap memiliki aspek moralitas dan kesadaran hukum oleh suatu golongan, tetapi tidak demikian oleh golongan yang lain. Dalam keadaan yang semacam itu, menjadi sangat penting untuk mengetahui bagaimana terjadinya proses relasi antara kesadaran hukum dan politik hukum dalam proses legislasi, serta bagaimana konsep ideal untuk mengakomodir kesadaran hukum masyarakat dalam proses legislasi. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif bisa dilihat bahwa proses legislasi merupakan aktualisasi politik hukum yang berdasarkan kesadaran hukum masyarakat untuk mencapai tujuan dan melindungi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Indonesia sebagai negara bangsa yang majemuk memerlukan suatu sistem hukum modern yang mampu mengantisipasi serta mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin akan timbul. Nilainilai Pancasila hadir untuk mengakomodir dimensi kepentingan politik, ekonomi, sosial dan politik manusia sebagai subjek didalam bernegara. Kata Kunci: kesadaran hukum, politik legislasi, Pancasila
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
UDC: 340.13 Akhyar Ari Gayo
BP HN
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.
Dinamika Legislasi Hukum Islam: Analisa atas Upaya Pembentukan Hukum Perikatan Syariah Jurnal Rechtsvinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 485–499
Jur
na
lR ec hts V
ind
ing
Dalam perkembangan ekonomi Syariah saat ini tidak dilengkapi dengan regulasi yang memadai, padahal jenis-jenis dan volume transaksi atau kontrak dengan sistem Syariah semakin banyak. Oleh karenanya sangat diperlukan satu aturan yang baku yang dapat dijadikan pegangan bagi para pihak terutama para hakim di pengadilan agama dalam menerima, memeriksa dan memutus perkara sengketa ekonomi Syariah. Tulisan ini mengkaji bagaimana sebaiknya pengaturan perikatan Syariah ini dibuat. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode kepustakaan dan didukung beberapa hasil penelitian perikatan Syariah yang telah ada. Dari penulisan ini diperoleh pentingnya politik legislasi yang mendukung perikatan Syariah melalui pembentukan Undang-Undang Perikatan Syariah. Hal ini untuk menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat yang menggunakan kontrak dengan sistem Syariah. Kata kunci : legislasi, perikatan, Syariah
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
UDC: 34.07 Bisariyadi
BP HN
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.
The Engagement of Constitutional Court in Political Process of National Legislation Rechtsvinding Journal, Vol. 4 No. 3, December 2015, page 345–364
lR ec hts V
ind
ing
Political process of legislation is not only struggling in the parliament, the principle of separation of powers is no longer interpreted rigidly. The tendency of courts to engage political process of legislation are increasing with the adoption of a judicial review authority. Several different product of legislation concerning the lives of many people had been tested by the Constitutional Court. This study intends to find out how the conceptual legitimacy of the judiciary is involved in political process of legislation set out from the judicialisation of politics concept through decision of the Constitutional court. Therefore, it is important to analyze decisions made by The Constitutional Court with some political issues and able to influence political process of the legislation. Using normative approach, this study shows with adopting the power to examine Law against the Constitution, the Constitutional Court has been through the boundaries the principle of separation of powers. The Court also carry out its legislative function by acting as a positive legislator. Conceptual legitimacy has been offered by the legal and political experts to formulate the judicialisation of politics concept. In the future, the judiciary will be more likely to engage in policy making concerning the interests of the people which initially is exclusive authority of the legislative. Keywords: judicial review, the constitutional court, political process of legislation
UDC: 340.134
Anna Triningsih
Politics of Law of The Constitutional Authority of Regional Representatives Council In The Legislative Process after the Constitutional Court Decision Number 92/PUU-X/2012 Rechtsvinding Journal, Vol. 4 No. 3, December 2015, page 365–381
Jur
na
Law Number 17 Year 2014 on the People’s Consultative Assembly, House of Representatives, Regional Representatives Council, and the Regional House of Representatives (MD3 Law) after the decision of the Constitutional Court (MK) is considered to have a substantive problem due to the substance that is contrary to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (the 1945 Constitution), which resulted in the constitutional loss of Regional Representatives Council (DPD), including the reduction of DPD authority to propose draft bills, to discuss draft bills and the reduction in its authority as the regional representative institution. This shows that the drafting of MD3 Law is obviously not respecting the decision of the Court that is mandated by the 1945 Constitution as the interpreter and guardian institution of the constitutional, by not respecting, obeying and implementing MK’s decision which indicates non-compliance with the decision of the state institution that has been designated to guard the purity of the constitution implementation of the constitution. This study uses normative method with statute approach, conceptual approach and a historical approach. The noncompliance of the drafting of MD3 Law towards the MK’s decision is a denial of MK and this development is a step back of Reformation. The legislators, in this case, the House of Representatives (DPR) and the President should immediately amend the Law Number 12 Year 2011 on the Establishment of Laws and Regulations based on the MK’s Decision No. 92/PUU-X/2012. Keywords: authority, Regional Representatives Council, Constitutional Court Decision
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
UDC: 34.07 Abdurrachman Satrio
BP HN
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.
Legislative Function of Upper House in Indonesia and Germany: Comparison Between DPD and Bundesrat Rechtsvinding Journal, Vol. 4 No. 3, December 2015, page 383–398
lR ec hts V
ind
ing
The dynamic-political process of legislation in national level at this time, tends to ignore a local interest and give precedence to political interest. In my opinion one of the reason is because Dewan Perwakilan Daerah (DPD) as a territorial representative at national level in order to run the main function that is legislative function has no powerful authority, compare to DPR as a lower house and as political representative. That’s why, this research try to find basic argumentation the need to strengthen the constitutional authority of DPD as upper house to run legislative function by comparing with German upper house (Bundesrat) which has capacity as territorial representative in national scale. This research is conducted in normative-jurist method which focuses on the existence of expectation (das sollen) and reality (das sein), through this comparison it will be found the similarities and differences in those two. From this comparison we find that Bundesrat has a stronger legislative function than DPD well in fact, theoritically legislative function of DPD must be stronger as a upper house compares to Bundesrat. Keywords: Bundesrat, upper house, legislative function
UDC: 340.131 Muh. Risnain
The Concept of Improving the Quantity and Quality of the National Legislative Program: A Conceptual and Policy Recommendation for National Legilative Program 2015-2019 Rechtsvinding Journal, Vol. 4 No. 3, December 2015, page 399–411
Jur
na
Low Prolegnas achievements both in terms of quantity and quality in the two periods of the National Legislation Program (Prolegnas): 2005-2009 and 2010-2014, is a crucial issue of law development that must be solved. The impact is not only the lack of achievement Prolegnas but the existence of the state of Indonesian law. This research identified two problems, first, what are the things that hinder the achievement of the Prolegnas target in the period 2005-2009 and the period 2010-2014? Second, how is the concept of improving the quality and quantity of Legislation in the future? This type of research is a normative juridical research. The study concluded that in order to improve the quality of Prolegnas then the Government and Regional Representatives Council (DPD) in the discussion of each bill by the House of Representatives (DPR), should pay attention to things, such as: the vertical harmonization of each Draft Bill’s substance with the 1945 Constitution and the horizontal harmonization with legislation, the level of urgency and the compatibility of the laws’ substance, and the legislative drafting capacity of legislatures. To improve the quantity of Prolegnas, in the drafting of each Draft Bill that is in the Prolegnas, the Government and the DPD should pay attention to things, such as: the institutional capacity of the DPR with the Prolegnas target to be achieved, do an in depth conceptual framework studies, philosophical, juridical and sociological basis of the existence of the Draft Bill, and institutional political commitment of the Government, DPR and DPD in resolving Prolegnas. Keywords: improving, national legislative program, integrative
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
UDC: 340.130 Budi Suhariyanto
BP HN
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.
The Existence of the Judge Made Laws in Dynamic Political Process of Legislation in Indonesia Rechtsvinding Journal, Vol. 4 No. 3, December 2015, page 413–430
lR ec hts V
ind
ing
Normatively in Indonesia, a judge is also known as the law and justice enforcement agency, not just decided cases based on written law. Judges are obliged to discover, explore and establish a legal system that suitable with local values and sense of justice. Theoretically Judge Decisions (known also as Jurisprudence) are also recognized as one of the source of formal lawsin the Indonesian legal system and can be accommodated by the Parliament (Positive Legislators) in the renewal of the law. This paper intends to examine the existence of the Judge made laws in dynamic-political process of legislation (whether positive legislation that is ruled by the House of Representatives and the President or negative legislator who are ruled by the Constitutional Court). Using a normative-legal research method, the conclusion even in the context of a particular judges are encouraged to establish anew legal construction that intended as a tool of social engineering. If the judge-made law is followed constantly by other judges, it can be used as a source of formal law in the national legal system (jurisprudence). Keywords: establishment of law, judges, political process of legislation
UDC: 340.111.5 Suharyo
Establishment of Regional Regulation and Enforcement of Criminal Sanctions and Its Difficulties Rechtsvinding Journal, Vol. 4 No. 3, December 2015, page 431–447
Jur
na
The Regional Autonomy era is tangibly, clearly and firmly held in Indonesia since reformasi period (reform) in all fields, this is the manifestation of the implementation of local democracy throughout Indonesia, with a variety of self-reliance in the context of the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI), which remained at the corridor of applicable law. In implementing regional autonomy, each region has the authority to establish the Regional Regulation (Perda) that regulates social relationships which isstated obligations and prohibition. It is also often comes with criminal sanctions. Toward those facts, this research intends to seek the ideal form to establish regional regulation and to observe the effectiveness ofenforcing criminal sanctions in society as a product of regional regulation. Using normative-jurist method can be concluded that it needs the involvement of citizens in making draft regional regulations (Raperda) and also in establishing criminal sanctions. While developing a formula for criminal sanctions in regional regulation, it should avoid an imprisonment. Therefore, for the implementation of the regional regulation to be effective, there should be an intensive dissemination in relationship way and the need for persuasive strategies, preventive, accommodating and sympathetic in enforcing the regional regulation. Keywords: regional regulation, enforcement of criminal sanction
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
UDC: 340.134 Dayanto dan Asma Karim
BP HN
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.
The Formation of Local Regulation About Tax and Retribution District of Maluku Tengah Based on Responsive Legislation Perspective
ing
Rechtsvinding Journal, Vol. 4 No. 3, December 2015, page 449–467
lR ec hts V
ind
The policy of decentralization based on autonomy brings the necessity and urgency to make the Local Regulation with responsive legislation perspective, including the Local Regulation on Tax and Retribution. Responsive legislation perspective based itself on some indicators like a participative process on forming the regulation and an aspirative subject matters. Therefore the issues raised in this research is whether the formation process and subject matters of Regional Regulations on Tax and Retribution in district of Maluku Tengah has already had a responsive legislation perspective. This normative-empirical legal research found that the Local Regulation on Tax and Retribution in district of Maluku Tengah has not shown enough public participation in its formation process and has not accommodate public aspirations in its subject matters, so this research concluded that the formation of Local Regulations on Tax and Retribution in district of Maluku Tengah has not had a responsive legislation perspective. To make the formation of Local Regulations about Tax and Retribution in district of Maluku Tengah compatible with the objective of local autonomy, the formation should be based on the responsive legislation perspective. Keywords: responsive local regulation, tax, retribution
UDC: 340.12
Wenda Hartanto
Legal Awareness as Basis of Legal Policy on Legislation: a Philosophical Overview Rechtsvinding Journal, Vol. 4 No. 3, December 2015, page 469–483
Jur
na
Humans like other entities, also exist. However, human existence is different because it has consciousness. While the law has a noble purpose which is to establish a community within the legal system and to serve as tools of social engineering for progression. However, legal awareness as a single entity collides with a plural society with diverse views. A group of diverse individuals make some law ,which is agreed by some group, can be considered to have morality aspects and legal awareness by that groups, but not by the other groups. In such circumstances, it becomes very important to understand the process of the relationship between legal awareness and legal policy in the legislation process, and what the ideal concept to accommodate the public legal awareness in the legislation process. By using the normative legal research method, it can be seen that the legislation process is an actualization of legal policy which is based on public legal awareness which aims to protect public needs and interests. Indonesia as a plural nation state require a modern legal system which is able to anticipate and overcome every problems that may arise. Pancasila Values exists here to accommodate the dimensions of political, economic, and social interests of human being as the subject of state. Keywords: legal awareness , legislation policy, Pancasila
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
UDC: 340.13 Akhyar Ari Gayo
BP HN
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.
Islamic Law Legislation Dynamic: Analysis on the Means of Forming Sharia Law of Obligations Rechtsvinding Journal, Vol. 4 No. 3, December 2015, page 485–499
Jur
na
lR ec hts V
ind
ing
The development of sharia economic law has not followed by adequate regulations, even though the types and volumes of the transactions and contracts which use sharia system are keep on increasing. Therefore, there is needs of fixed regulations that can be a guide for every party, especially for the judges in the Religious Court when taking in, examining, and judging disputes relating to sharia economic law. This writing reviews on how this sharia law of obligations should be formed. The method use in this writing is literature method and also supported by some existing research on sharia law of obligations. This writing shows the importance of the legislation policy on supporting sharia law on obligations by making a sharia law on obligations act. This is need to guarantee protection and legal certainty for those who make contract with sharia system. Keywords: legislation, law of obligations, Sharia
Volume 4 Nomor 3, Desember 2015
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
KETERLIBATAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM POLITIK LEGISLASI NASIONAL
(The Engagement of Constitutional Court in Political Process of National Legislation) Bisariyadi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat, 10110 e-mail:
[email protected]
ing
Naskah diterima: 17 September 2015; revisi: 24 November 2015; disetujui: 2 Desember 2015
lR ec hts V
ind
Abstrak Politik legislasi tidak semata berkutat di parlemen, prinsip pemisahan kekuasaan tidak lagi dimaknai secara kaku. Kecenderungan lembaga peradilan untuk terlibat dalam politik legislasi semakin besar dengan diadopsinya kewenangan judicial review. Beragam produk legislasi yang menyangkut hajat hidup orang banyak diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini bermaksud mencari bagaimana legitimasi konseptual atas keterlibatan lembaga peradilan dalam politik legislasi dengan melihat pada konsep judicialisation of politics melalui putusan-putusan peradilan di MK. Oleh sebab itu, penting untuk menganalisa putusan-putusan MK yang bernuansa politis dan mampu mempengaruhi politik legislasi nasional. Dengan menggunakan pendekatan nornatif, penelitian ini menunjukkan bahwa dengan diadopsinya kewenangan pengujian UU terhadap UUD, MK telah menembus batas prinsip pemisahan kekuasaan. MK juga menjalankan fungsi legislasi dengan bertindak sebagai positive legislator. Legitimasi konseptual juga telah ditawarkan oleh para ahli hukum dan politik dengan merumuskan konsep judicialisation of politics. Dimasa mendatang, lembaga peradilan akan semakin cenderung terlibat dalam perkara-perkara menyangkut proses pengambilan kebijakan yang menyangkut kepentingan orang banyak dimana awalnya proses itu merupakan kewenangan eksklusif dari legislatif. Kata Kunci: pengujian undang-undang, mahkamah konstitusi, politik legislasi
Jur
na
Abstract Political process of legislation is not only struggling in the parliament, the principle of separation of powers is no longer interpreted rigidly. The tendency of courts to engage political process of legislation are increasing with the adoption of a judicial review authority. Several different product of legislation concerning the lives of many people had been tested by the Constitutional Court. This study intends to find out how the conceptual legitimacy of the judiciary is involved in political process of legislation set out from the judicialisation of politics concept through decision of the Constitutional court. Therefore, it is important to analyze decisions made by The Constitutional Court with some political issues and able to influence political process of the legislation. Using normative approach, this study shows with adopting the power to examine Law against the Constitution, the Constitutional Court has been through the boundaries the principle of separation of powers. The Court also carry out its legislative function by acting as a positive legislator. Conceptual legitimacy has been offered by the legal and political experts to formulate the judicialisation of politics concept. In the future, the judiciary will be more likely to engage in policy making concerning the interests of the people which initially is exclusive authority of the legislative. Keywords: judicial review, the constitutional court, political process of legislation
Keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam Politik Legislasi Nasional (Bisariyadi)
345
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
na
lR ec hts V
ind
Legislasi merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Inggris “legislation” yang diterjemahkan sebagai sebuah proses pembentukan peraturan perundang-undangan atau dapat juga diartikan sebagai hukum atau perundang-undangan itu sendiri.1 Penggunaan kata “legislasi” seringkali digunakan secara bebas untuk merujuk pada peraturan perundang-undangan. Padahal, yang disebut peraturan perundang-undangan di Indonesia memiliki jenis dan hirarki, dimulai dari Undang-Undang Dasar hingga Peraturan Daerah. Sejatinya, pemaknaan kata “legislasi” memiliki ruang lingkup yang lebih sempit. Kata “legislasi” hanya dapat disematkan untuk pembuatan peraturan perundang-undangan yang melibatkan parlemen yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai pihak yang memegang kewenangan untuk membuatnya. Kata “legislasi” adalah dimaksudkan untuk merujuk pada produk hukum yang dihasilkan oleh DPR atau DPRD yaitu Undang-Undang (UU) ditingkat pusat atau Peraturan Daerah (Perda) ditingkat daerah. Di Indonesia, legislasi berada dalam ranah kewenangan parlemen.2 Ditingkat nasional, legislasi merupakan salah satu fungsi DPR disamping fungsi lainnya sebagaimana diatur pada Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki
fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan”. Pengaturan demikian merupakan konsekuensi dari perubahan UUD 1945 yang menggeser kekuasaan membentuk undangundang dari tangan Presiden kepada DPR. Akan tetapi, dalam penelitian Saldi Isra pergeseran kekuasaan legislatif tidak berdampak pada menguatnya peran legislasi yang dihasilkan oleh DPR, eksekutif (Presiden) masih mendominasi pembuatan undang-undang.3 Jimly Asshiddiqie mengamati bahwa sesungguhnya terdapat kecenderungan yang terjadi di berbagai negara dimana fungsi legislatif dianggap tidak lebih penting dibanding fungsi pengawasan, karena pembuatan undang-undang merupakan fungsi yang bersifat teknis sedangkan fungsi pengawasan lebih bernuansa politis.4 Ditingkat daerah, fungsi legislasi dijalankan oleh parlemen daerah, yaitu DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dengan menghasilkan Peraturan Daerah. Pembentukan legislasi daerah merupakan mandat konstitusional yang diatur dalam Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 dimana dinyatakan bahwa “[p]emerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Titik berat pembentukan legislasi daerah diletakkan pada
ing
A. Pendahuluan
Akar kata legislation berasal dari bahasa latin “leges” yang berarti hukum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “legislasi” diartikan sebagai pembuatan undang-undang. 2 Lihat Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. 3 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, ( Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010, cet. 1) 4 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konpress, 2006) cet. Kedua, hlm. 315. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi berbagai Negara, (Jakarta: UI Press, 1996 )
Jur
1
346
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 345-364
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
Persetujuan berbeda dengan pengesahan. Dalam hal pengesahan, Presiden tidak memiliki kewenangan sebesar persetujuan. Syarat adanya persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam pembahasan RUU adalah hal yang mutlak, bila salah satu pihak tidak setuju maka RUU tidak dapat diajukan lagi pada masa sidang DPR yang sama.10 Berbeda halnya dengan pengesahan. Konstitusi memandatkan Presiden untuk mengesahkan RUU yang telah mendapat persetujuan bersama.11 Namun bila Presiden tidak mengesahkan RUU tersebut dalam jangka waktu 30 hari sejak RUU memperoleh perse tujuan bersama maka UU tersebut tetap sah dan wajib diundangkan dalam lembaran negara.12 Diadopsinya kewenangan judicial review menambah keterlibatan lembaga negara dalam proses legislasi. Produk legislasi yang dihasilkan oleh parlemen dimungkinkan untuk diuji oleh lembaga peradilan bila aturan legislasi melanggar hak-hak warga negara. Lembaga peradilan disini termasuk didalamnya Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Baik MK maupun MA diberikan kewenangan secara konstitusional untuk menguji peraturan perundang-undangan (judicial review). MK diberikan mandat untuk menguji UU terhadap UUD13 sedangkan MA berwenang untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU.14 Dengan demikian,
6 7 8
Jur
9
Pasal 96 ayat (1) UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan “DPRD provinsi mempunyai fungsi: a. Pembentukan Perda provinsi; b ...” Pasal 149 ayat (1) UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan “DPRD kabupaten/ kota mempunyai fungsi: a. Pembentukan Perda kabupaten/kota; ...” Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945 Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 Pasal 20 ayat (3) UUD 1945 Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 http://www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/9567/1781/., (diakses 26 februari 2015)9 I b i d , hlm. 42.
na
5
lR ec hts V
ind
pundak perlemen daerah yaitu DPRD Provinsi5 dan DPRD Kabupaten/Kota6. Penyusunan legislasi merupakan sebuah proses politik. Pembahasan legislasi merupakan proses yang melibatkan banyak kepentingankepentingan yang perlu diakomodasi. Anggota parlemen yang juga merupakan anggota partai politik memiliki tugas untuk menyampaikan aspirasi konstituennya agar dapat tertuang dalam produk legislasi. Tidak hanya kepentingan-kepentingan yang diwakili oleh masing-masing anggota parlemen namun dalam proses penyusunan hingga pengesahan, terdapat lembaga-lembaga negara lain yang terlibat dalam proses legislasi. Ditingkat nasional, ada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) salah satunya. DPD diberikan kewenangan secara konstitusional untuk terlibat dalam proses penyusunan legislasi bersama dengan DPR dengan mengajukan serta ikut membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah.7 Selain DPD, Presiden juga memiliki hak inisiatif untuk mengajukan RUU kepada DPR.8 Ditambah lagi, peran Presiden dalam proses legislasi juga sedemikian besar terutama dalam hal mencapai kesepakatan suatu produk legislasi. Produk legislasi baru dapat menjadi undang-undang bila telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.9
10 11 12 13 14
Keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam Politik Legislasi Nasional (Bisariyadi)
347
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
hak uji materiil yang diterima MA sebanyak 83 perkara. Namun, jumlah perkara judicial review Perda yang diterima MA tidaklah signifikan dibanding dengan jumlah daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia. Letak persoalan rendahnya perkara judicial review Perda yang diterima oleh MA, dalam pengamatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) disebabkan mekanisme prosedur pengajuan dan persidangan di MA menyulitkan masyarakat seperti adanya pembatasan waktu pengajuan Perda, pembebanan biaya pendaftaran dan penanganan perkara, jangka waktu pemeriksaan dan transparansi dalam pemeriksaan permohonan.16 Persoalan ini kemudian menjadi elemen penghambat minat pemohon untuk mengajukan judicial review Perda. Kedua, pengaruh kehadiran MK dalam kancah ketatanegaraan terutama dalam ranah politik legislasi sangatlah diperhitungkan. Beberapa putusan yang dikeluarkan MK mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara. Lingkup putusan MK itu tidak hanya dalam kancah lokal namun juga nasional. Oleh sebab itu, penting untuk menganalisa putusanputusan MK yang bernuansa politis dan mampu mempengaruhi politik legislasi nasional.
B. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif dengan menitikberatkan pada studi kepustakaan yang menggunakan data-data sekunder. Beberapa literatur hukum akan digunakan sebagai sumber kepustakaan, terutama dalam mengkaji
Jur
na
lR ec hts V
ind
MK berwenang untuk menguji produk legislasi nasional dalam bentuk UU sedangkan MA berhak untuk menguji produk legislasi daerah dalam bentuk Perda. Penelitian ini bermaksud untuk melihat keterlibatan lembaga peradilan dalam politik legislasi. Fenomena ini merupakan sebuah anomali. Lembaga peradilan diidentikkan dengan hukum yang biasa dipisahkan dari proses politik. Namun dengan diadopsinya judicial review, hukum menjadi berkelindan dalam proses politik. Sebenarnya, bagaimana hubungan antara hukum dan politik dan apakah ada justifikasi teoritis yang menangkap fenomena ini. Bagian pertama pembahasan dalam tulisan ini akan mengulas permasalahan tersebut dengan menggunakan pendekatan konsep judicialisation of politics. Kemudian, bagian kedua akan melihat bagaimana konsep tersebut terterapkan dalam praktek peradilan di Indonesia melalui putusan-putusan peradilan di MK. Bagian kedua ini akan dibatasi dengan memotret pada praktek judicial review di MK karena beberapa alasan. Pertama, keterlibatan MA dalam politik legislasi daerah dapat dikatakan rendah. Indikasinya adalah jumlah perkara judicial review perkara yang diperiksa MA dari tahun ke tahun sangatlah sedikit. Pada tahun 2013 MA menerima perkara hak uji materiil (judicial review) sebanyak 76 perkara. Dari jumlah tersebut, perkara yang menyangkut judicial review Perda adalah 11 perkara.15 Jumlah penerimaan perkara hak uji materiil Perda mengalami peningkatan pada tahun 2014 sebanyak 17 perkara dari keseluruhan perkara
Mahkamah Agung, Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia 2013, hlm. 41. M. Nur Solikin, Ronald Rofiandri, dkk, “Laporan Kajian tentang Implementasi Pengawasan Perda oleh Pemerintah dan Mahkamah Agung”, (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia: 2011), hlm. 68.
15 16
348
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 345-364
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
politik.17 Mahfud menjelaskan bahwa perbedaan pola hubungan politik dan hukum disebabkan oleh perbedaan cara para ahli memandang kedua subsistem kemasyarakatan tersebut. Para ahli memandang hukum baik dari sudut das sein (keharusan) atau pun sudut das sollen (kenyataan), berpulang pada perspektifnya masing-masing.18 Lebih lanjut, Mahfud MD menawarkan hubungan hukum dengan politik pada tiga macam pola hubungan, yaitu
ing
“... pertama hukum determinan politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturanaturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturanaturan hukum.”19
lR ec hts V
ind
konsep dan teori. Sebagaimana disebutkan diatas, maka bagian pertama tulisan ini akan lebih mengedepankan pada kajian teoritis dan konseptual. Hal ini dilakukan untuk mencaritahu hubungan antara hukum dan politik serta apa yang dimaksudkan dengan judicialisation of politics. Pendekatan konsep judicialisation of politics adalah untuk menjawab tema besar yang diusung penelitian ini mengenai keterlibatan lembaga peradilan dalam politik legislasi. Kemudian, bagian kedua pembahasan penelitian ini mencoba memotret praktek keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam politik legislasi nasional melalui kajian atas putusanputusan yang pernah dikeluarkan MK. Oleh karenanya, pendekatan yang dilakukan dalam membahas persoalan ini adalah pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Yang dimaksud dengan pendekatan kasus adalah perkara-perkara pengujian UU terhadap UUD yang ditangani MK sedangkan pendekatan perundang-undangan adalah melihat norma dalam UU yang diuji oleh MK.
C. Pembahasan
1. Mencari Hubungan Hukum dan Politik
Jur
na
Para pakar senantiasa mempertanyakan hubungan antara hukum dan politik, bahkan cenderung berupaya untuk memisahkan hukum dan politik secara diametral. Namun demikian, upaya pemisahan hukum dan politik secara diametral selalu berujung pada ketidakmungkinan pemisahan hukum dan
Ada pula pola hubungan lain antara politik dan hukum yang disebut hubungan saling kebergantungan sebagaimana yang diungkapkan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa “politik dan hukum itu interdepedensi, sebab politik tanpa hukum itu zalim sedangkan hukum tanpa politik itu lumpuh.”20 Dalam konteks hubungan politik dan hukum dalam sistem ketatanegaraan dengan pendekatan konsep trias politika maka kegiatan legislatif (pembuatan UU) lebih banyak membuat keputusan politik dibandingkan pekerjaan yang bersifat hukum. Lembaga legislatif lebih
19 20 17 18
Barry Friedman, “The Politics of Judicial Review,” Texas Law Review, (Volume 84, No. 2, Desember 2005), hlm. 264. Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet.4 (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) hlm. 16. Ibid. Sebagaimana dikutip oleh Mahfud MD, dalam Ibid, hlm. 5. Keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam Politik Legislasi Nasional (Bisariyadi)
349
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
lR ec hts V
ind
“The Constitution divides the power of the government which it establishes into the three departments -- the executive, the legislative, and the judicial -- and unlimited power is conferred on no department or officer of the government. It is essential to the successful working of the system that the lines which separate those departments shall be clearly defined and closely followed, and that neither of them shall be permitted to encroach upon the powers exclusively confided to the others.”22
melanjutkan bahwa hampir tidak mungkin untuk melimpahkan pembuatan undangundang kepada “satu lembaga tersendiri” dan mengecualikan organ-organ lainnya. Tidak pernah ada dalam praktek dimana fungsi legislasi dilakukan secara eksklusif oleh satu lembaga yang disebut legislatif.24 Kelsen melandaskan argumennya dengan menyatakan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah distribusi kekuasaan dan bukanlah pemisahan kekuasaan. Ketika konstitusi suatu negara menyatakan dengan tegas mengadopsi prinsip pemisahan kekuasaan, pada kenyataannya fungsi legislatif tetap didistribusikan diantara beberapa organ, tetapi hanya satu organ saja yang diberi nama lembaga “legislatif”.25 Bagi Kelsen, pengadilan yang menjalankan kewenangan untuk menguji Undang-Undang merupakan bentuk nyata dari penyimpangan atas prinsip pemisahan kekuasaan.26 Ketika pengadilan menguji UU maka pada dasarnya pengadilan melakukan fungsi legislasi. Pada saat yang sama pengadilan terlibat dalam politik legislasi.
ing
dekat dengan politik daripada dengan hukum itu sendiri.21 Akan tetapi, memisahkan fungsi legislatif dengan memberikan kepada satu organ saja yang berwenang untuk membuat legislasi adalah sama tidak mungkinnya. Pandangan ideal yang mendasarkan pada prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) senantiasa merujuk pada pola sistem ketatanegaraan Amerika Serikat. Perumusan prinsip pemisahan kekuasaan ini adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat
“ ...all courts are part of politics to the extent that they make authoritative, policy relevant choices. Constitutional courts — by the very nature of the norms they are required to interpret and enforce — are highly visible in, and unusually generative of, legislative politics.”27
na
Dalam pandangan Kelsen, prinsip pemisahan kekuasaan tidaklah dapat diterapkan dalam praktek. Kelsen berpendapat bahwa fungsi negara adalah dalam hal pembentukan dan pelaksanaan hukum. Kedua fungsi ini disusun secara berjenjang sehingga tidak mungkin menentukan batas-batas antara kedua fungsi ini karena perbedaan antara pembentukan dan penerapan hukum bersifat relatif.23 Kelsen
Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Sinar Baru, 1985) hlm. 79, sebagaimana dikutip dalam Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, cet.4 , 2011) hlm. 16. 22 Kilbourn v. Thompson, 103 US 168 (1880), hlm. 169. 23 Hans Kelsen, Teori umum Hukum dan Negara, (Jakarta: Bee Media, 2007, cet. 1), hlm. 330. 24 Ibid. 25 Ibid., hlm. 333. 26 Ibid, hlm. 329. 27 Alec Stone Sweet “The Politics of Constitutional Review in France and Europe,” International Journal of Constitutional Law, (Volume 5, Issue 1, January 2007. pp. 69–92),hlm. 72.
Jur
21
350
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 345-364
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
2. Konsep Judicialisation of Politics
ing
Dengan dibekali kewenangan untuk menguji UU, peradilan terlibat dalam pengubahan kebijakan yang selama ini menjadi urusan parlemen dan pemerintah. Pengadilan terlibat dalam penyelesaian persoalan perlindungan hak konstitusional warga negara mengenai kebebasan berserikat, kebebasan warga negara dalam menyatakan pendapat dan berekspresi, hak dan kedudukan warga negara yang sama dalam hukum dan pemerintahan, kebebasan memeluk agama dan kepercayaan, hingga penyelesaian perkara mengenai kebijakan publik yang menyangkut prosedur dalam hukum acara pidana, perdagangan, sistem pendidikan, ketenagakerjaan, kehutanan sampai dengan persoalan kebijakan mengenai lingkungan hidup. Karenanya Ran Hirschl mendefinisikan yudisialisasi politik sebagai“... the ever-accelerating reliance on courts and judicial means for addressing core moral predicaments, public policy questions, and political controversies.”30 Yudisialisasi politik telah menjadi suatu konsep ilmiah yang meyakinkan, dimana banyak ditemukan artikel ilmiah yang mengulas mengenai peran lembaga peradilan dalm kajian teoritik.31 Begitu pula kajian-kajian ilmiah dengan melalui pendekatan komparatif
lR ec hts V
ind
Kelsen membedakan fungsi legislasi yang dilakukan oleh parlemen dan pengadilan. Parlemen merupakan positive legislators, sebab parlemen memiliki kewenangan konstitusional untuk membuat hukum berdasarkan dasar pijakan kebijakannya sendiri. Sedangkan peradilan yang memiliki kewenangan untuk menguji UU adalah negative legislators sebab peradilan tersebut menjalankan fungsi legislatif dalam rangka membatalkan UU. Suatu tindakan yang oleh Kelsen dianggap sebagai pembuatan UU secara negatif.28 Meskipun demikian, Kelsen sejak awal telah memberikan peringatan bahwa pembedaan fungsi legislasi parlemen dengan peradilan sebagai positive legislators dan negative legislators akan menjadi pudar ketika peradilan masuk dalam wilayah untuk melindungi hak konstitusional warga negara. Peradilan ketika memeriksa perkara dalam rangka melindungi hak konstitusional akan mendalami dan mencari ukuran ruang lingkup dari hak-hak konstitusional. Dalam konteks ini, peradilan akan menjadi omnipotent superlegislators.29 Prediksi Kelsen ini menjadi kenyataan. Dalam prakteknya, mahkamah konstitusi diberbagai negara yang bertugas melindungi hak konstitusional warga negara berubah menjadi positive legislators.
Op. Cit., Kelsen, hlm. 327-328. Hans Kelsen, The Jurisdictional Protection of the Constitution, sebagaimana dikutip dalam Alec Stone Sweet, Op. Cit. hlm. 84. 30 Ran Hirschl, “The New Constitution and the Judicialization of Pure Politics Worldwide”, Fordham Law Review, (Vol. 75, Issue 2, 2006), hlm. 721-754. 31 Lihat C. Neal Tate & Torbjorn Vallinder (eds.), The Global Expansion of Judicial Power,( New York, London: New York University Press, 1995) ; Martin Shapiro & Alec Stone Sweet, On Law, Politics, and Judicialization, ( Oxford, 2002 ); John Ferejohn, “Judicializing Politics, Politicizing Law”, 65 Law & Contemporary Problems, (Volume 65 Issue 41, 2002); Ran Hirschl, “Resituating the Judicialization of Politics: Bush v. Gore as a Global Trend”, Canadian Journal of Law and Jurisprudence, ( Volume. 15, Issue 2, 2002), hal 191; Richard H. Pildes, “The Supreme Court, 2003 Term: Foreword: The Constitutionalization of Democratic Politics”, Harvard Law Review , (Volume. 118, Issue 29, 2004).
na
28
Jur
29
Keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam Politik Legislasi Nasional (Bisariyadi)
351
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Konstitusi
MK yang dibentuk pada Agustus 2003 hingga saat ini telah memeriksa ratusan perkara
BP HN
3. Terlibatnya Mahkamah Dalam Fungsi Legislasi
pengujian UU. Keterlibatan MK dalam proses legislasi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tren peningkatan jumlah penerimaan permohonan perkara pengujian UndangUndang terhadap UUD 1945 bisa dilihat dari grafik 1. Bila diperhatikan, terdapat penurunan penerimaan perkara pengujian UU diujung grafik tersebut. Namun demikian, data yang disajikan adalah hingga Agustus 2015 sehingga besar kemungkinan jumlah penerimaan perkara pengujian UU akan meningkat pada akhir tahun 2015.
ing
misalnya, kajian yudisialisasi politik di kawasan Amerika Latin,32 di kawasan Asia,33 dan di kawasan Asia Tenggara terutama menyoroti Filipina.34 Banyak juga kajian yudisialisasi politik yang terjadi di sebuah negara seperti di Brazil,35 Mesir,36 Jerman,37 Israel,38 Belanda,39 Korea Selatan,40 dan Indonesia.41
lR ec hts V
ind
Grafik 1. Tren Penerimaan Permohonan Perkara Pengujian UU dari 2003 s.d. Agustus 2015
Sumber: diolah dari data Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi
Rachel Sieder (eds.), The Judicialization of Politics in Latin America, (New York: Palgrave Macmillan, 2005). Bjoern Dressel (ed.), The Judisialization of Politics in Asia,( Routledge Law in Asia, 2012), 34 C. Neal Tate, “The Judicialization of Politics in the Philippines and Southeast Asia,” International Political Science Review, ( Volume 15, no. 2, April 1994), hlm. 187-197. 35 Estefânia Maria De Queiroz Barboza dan Katya Kozicki, “Judicialization of Politics and the Judicial Review of Public Policies by the Brazilian Supreme Court”, Revista Direito GV, (Volume 8, no. 1, 2012 ), hlm. 59-85. 36 Tamir Moustafa, “Law versus the State: The Judicialization of Politics in Egypt”, Law & Social Inquiry, (Volume 28, Issue 4, 2003), hlm. 883–930. 37 Christine Landfried. “The Judicialization of Politics in Germany,” International Political Science Review,( Volume 15, Issue 2, 1994), hlm. 113-124. 38 Martin Edelman, “The Judicialization of Politics in Israel.” International Political Science Review, (Volume 15, Issue 2, 1994), hlm. 177-186. 39 Jan Ten Kate, dan Peter J. Van Koppen, “Judicialization of Politics in the Netherlands: Towards a Form of Judicial Review.” International Political Science Review, (Volume 15, Issue 2, 1994), hlm. 143-151. 40 Jonghyun Park, “The Judicialization of Politics in Korea,” Asian-Pacific Law & Policy Journal, (Volume 10, Number 1, 2008), hlm. 62. 41 Bisariyadi, Yudisialisasi Politik dan Sikap Menahan-diri: Peran Mahkamah Konstitusi dalam menguji UndangUndang,( Jurnal Konstitusi, Volume 12, No. 3, 2015). 32
Jur
na
33
352
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 345-364
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Hal ini menunjukkan tren positif atas antusiasme warga negara untuk terlibat dalam proses bernegara dengan mengajukan judicial review produk legislasi ke MK. Sebagai sebuah lembaga peradilan, MK terikat dengan asas-asas yang diadopsi dari Hukum Acara Perdata bahwa hakim bersifat menunggu. Artinya, MK tidak dapat mengambil inisiatif untuk memeriksa suatu UU yang disinyalir melanggar konstitusi. MK harus menunggu warga negara atau pihak lain yang masuk dalam kompetensi sebagai pemohon42 untuk mengajukan permohonan mengenai adanya pelanggaran konstitusional dari suatu norma dalam UU. Disisi lain, MK ketika mengadili perkara judicial review terlibat dalam sebuah proses legislasi. Oleh karenanya, dalam memeriksa perkara MK senantiasa menghadirkan pemerintah
lR ec hts V
ind
ing
BP HN
dan parlemen sebagai pembentuk UU dalam persidangan. Pemerintah dan DPR hadir dalam persidangan untuk memeberikan keterangan mengenai latar belakang pengambilan suatu kebijakan yang kemudian dituangkan dalam UU. Putusan-putusan yang dikeluarkan oleh MK jelas memiliki dampak yang signifikan terhadap kehidupan politik berbangsa dan bernegara. Ilustrasi rekapitulasi putusan yang pernah dikeluarkan MK (tabel 1.) tidak dapat memperlihatkan besar kecilnya dampak putusan MK di masyarakat. Namun, data tersebut paling tidak memberikan gambaran sekilas mengenai variasi dan dinamika putusan judicial review atas produk legislasi. Variasi antara putusan yang menolak dan mengabullkan permohonan demikian beragam dari tahun ke tahun sehingga tidak terlihat adanya tren yang konsisten.
Tabel 1. Rekapitulasi Putusan Pengujian UU terhadap UUD 1945 tahun 2003 s.d. Agustus 2015 No
Tahun
Kabul
Tolak
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
4 35 28 29 27 34 51 61 94 97 110 131 90
0 11 10 8 4 10 15 18 21 30 22 29 12
0 9 14 8 11 12 18 22 29 31 52 41 27
Tidak Diterima 1 11 4 11 7 7 11 16 35 30 22 37 39
791
190
274
231
na
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Putusan
Jumlah Putusan
Jur
Jumlah
Ketetapan
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 6 2
Tarik Kembali 3 4 0 2 5 5 7 5 9 6 12 17 9
Tidak Berwenang 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1
9
84
3
Gugur
Sumber: Data Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi
Pasal 51 ayat (1) UU nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan atas UU nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
42
Keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam Politik Legislasi Nasional (Bisariyadi)
353
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
sangat beragam. Sebuah penelitian pernah memetakan variasi keberagaman putusan MK ini.49 Dalam penelitian tersebut, putusan MK dikategorisasikan pada 5 model, yaitu (1) model putusan yang secara hukum membatalkan dan menyatakan tidak berlaku (Legally Null and Void); (2) model putusan konstitusional bersyarat (conditionally constititional); (3) model putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstititional); (4) model putusan yang menunda pemberlakuan putusannya (limited constitutional) dan (5) model putusan yang merumuskan norma baru. Jenis model putusan dalam kategori (2) sampai dengan (5) merupakan kelompok putusan yang tidak berdampak langsung. Dalam pendekatan komparatif, penelitian yang sama pernah dilakukan oleh Christian Behrendt.50 Penelitiannya berkutat pada modelmodel putusan yang dikembangkan oleh Mahkamah Konstitusi di Belgia, Perancis dan Jerman dimana putusan peradilan mengandung perintah kepada parlemen untuk menyusun ketentuan legislasi sesuai dan berdasarkan putusan dimaksud. Model putusan ini disebutnya dengan istilah injunctions. Dalam kesimpulan akhir, Behrendt secara tegas menyampaikan bahwa tiada pilihan lain kecuali mengabaikan teori negative legislator. Kesimpulan ini mengarahkan bahwa peran pengadilan yang
na
lR ec hts V
ind
Gambaran utuh mengenai dampak putusan MK, justru akan terlihat jelas bilamana dikaji dari tiap-tiap putusan yang pernah dikeluarkan MK. Secara umum, dampak putusan MK dapat lihat dalam dua kategori yaitu, dampak langsung dan dampak tidak langsung. Yang dimaksud dengan dampak langsung adalah konsekuensi yang timbul secara serta-merta setelah putusan MK dikeluarkan. Jenis dampak putusan ini terlihat dengan jelas ketika MK bertindak sebagai negative legislators dengan membatalkan keberlakuan materi muatan dalam ayat, pasal dan/atau bagian UU, bahkan membatalkan keberlakuan seluruh UU. Hingga kini, terdapat 6 (enam) UU yang dibatalkan keberlakuannya atas putusan MK, yaitu: UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU Nomor 27 Tahun 2004),43 UU Ketenagalistrikan (UU Nomor 20 Tahun 2002),44 UU Badan Hukum Pendidikan (UU Nomor 9 Tahun 2009),45 UU Perkoperasian (UU Nomor 17 Tahun 2012),46 UU Sumber Daya Air (UU Nomor 7 Tahun 2004),47 dan UU Perubahan Kedua dari UU MK (UU Nomor 4 tahun 2014).48 Disisi lain, putusan MK pun memiliki dampak tidak langsung. Yang dimaksud dengan imbas putusan M yang tidak langsung adalah bahwa putusan tidak serta merta dapat berlaku. Terdapat tahapan dan proses tindak lanjut dari putusan MK tersebut. Variasi putusan MK yang memiliki dampak tidak langsung ini
45 46 47 48 49
Putusan Nomor 006/PUU-IV/2006, tanggal 7 Desember 2006. Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, bertanggal 15 Desember 2004. Putusan Nomor 11-14-21-126-136/PUU-XI/2013, bertanggal 31 Maret 2010. Putusan Nomor 28/PUU-XI/2013, bertanggal 28 Mei 2014. Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013, bertanggal 18 Februari 2015 Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014, bertanggal 13 Februari 2014 Syukri Asy’ari, Meyrinda Hilipito dan Moh. Mahrus Ali, “Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012)”, (Jakarta: Pusat P4TIK MK, 2013). 50 Christian Behrendt, Le Juge Constitutionnel, Un Législateur – Cadre Positif [The Constitutional Judge: A Positive Lawmaker-Framework] (2005) (disertasi yang tidak dipublikasikan, University of Paris I), sebagaimana dikutip dalam Alec Stone Sweet. 43
Jur
44
354
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 345-364
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Lingkup wilayah kewenangan MK yang memiliki nuansa politik yang paling kental adalah ketika MK sebagai sebuah lembaga peradilan terlibat dalam perkara yang menentukan proses demokratisasi sebuah bangsa. Tidak hanya dalam menilai proses yang berlangsung tetapi MK juga terllibat dalam menentukan hasil dari pemilu itu. Dalam menangani perkara yang berkaitan dengan proses dan hasil pemilu ada dua kewenangan konstitusional yang diperankan oleh MK, yaitu dalam hal pengujian UU terhadap UUD dan kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu. Dalam hal proses pemilu, perkara pengujian UU terhadap UUD yang berkaitan dengan norma aturan penyelenggaraan pemilu menjadi perhatian utama para pemohon terutama disaat-saat menjelang pemilu. Aturan mengenai syarat pencalonan, hal-hal yang memungkinkan partai politik menjadi peserta pemilu, mekanisme pemungutan suara, hingga tata cara penghitungan suara pernah diputus oleh MK. Syarat pencalonan seseorang untuk ikut dalam pemilu menjadi perkara yang banyak diperiksa dan diadili oleh MK. Persoalan syarat yang dinilai diskriminatif menjadi alasan yang mengemuka dalam judicial review kasus syarat pencalonan. Diantaranya persyaratan yang melarang bekas anggota Partai Komunis Indonesia sebagai anggota parlemen,53 syarat yang mengharuskan seorang calon anggota Dewan Perwakilan
Jur
na
lR ec hts V
ind
Bilamana mencermati putusan-putusan MK dapat ditarik kesimpulan bahwa keterlibatan MK dalam politik legislasi tidak hanya dalam hal perkara-perkara politik legislasi sehari-hari yang bersifat sederhana. Beberapa perkara yang ditangani oleh MK masuk dalam ranah politik yang luar biasa karena kebijakan yang diadili oleh MK menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia dan melibatkan nasib kebanyakan warga negara. Ran Hirschl menyebutnya dengan istilah “mega-politics”.51 Yang dimaksud dengan kasus mega-politics menurut Hirschl adalah “... core political controversies that define the boundaries of the collective or cut through the heart of entire nations.”52 Kategorisasi kasuskasus yang termasuk dalam mega politics adalah (1) perkara berkaitan dengan proses dan hasil pemilu; (2) Kewenangan inti dari pemerintahan; (3) Perkara memberi legitimasi atas perubahan rezim kekuasaan; (4) Perkara yang berkenaan dengan keadilan transisional; dan (5) Pendefinisian jati diri bangsa. Berikut ini akan diuraikan perkara-perkara politik legislasi yang pernah diputus oleh MK berdasarkan kategorisasi kasus mega politics yang dirumuskan oleh Ran Hirschl.
BP HN
4. Putusan MK dalam Perkara Politik Legislasi
a. Perkara Berkaitan dengan Proses dan Hasil Pemilu
ing
telah sedemikian besar dalam proses legislasi menandaskan kedudukan pengadilan yang juga menjadi positive legislator.
Ran Hirschl, “The Judicialization of Mega-Politics and the Rise of Political Courts”. Annual Review of Political Science, Vol. 11, 2008. diunduh SSRN: http://ssrn.com/abstract=1138008. 52 Ibid., hlm. 5 53 Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 bertanggal 24 Februari 2004 tentang Pengujian Pasal 60 huruf g UndangUndang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 51
Keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam Politik Legislasi Nasional (Bisariyadi)
355
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
terkandung dalam perkara ini merupakan perkara yang besar melibatkan jaminan perlindungan atas hak memilih warga negara dalam pemilu maka MK bertindak sebagai positive legislators. Dalam putusannya, MK mengabaikan aturan legislasi yang menentukan bahwa pemilih wajib terdaftar dalam DPT. Sebaliknya, MK membuka lebar hak memilih warga negara sebagai pemilih meskipun tidak terdaftar dalam DPT dengan mempersyaratkan (1) menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; (2) dilengkapi dengan Kartu Keluarga (KK) atau sejenisnya; (3) hanya berlaku di Tempat Pemungutuan Suara yang berada dalam lingkungan sesuai dengan KTP; (4) harus mendaftarkan diri terlebih dulu; dan (5) hanya dapat dilakukan satu jam sebelum selesainya waktu pemungutan suara. Selain itu, MK juga terlibat dalam politik legislasi dalam tata cara penghitungan suara.58 Ketika itu aturan penghitungan suara pemilu legislatif 2009 memunculkan beragam tafsir.59
lR ec hts V
ind
Daerah untuk dapat mengikuti pemilu dari domisilinya di provinsi yang akan diwakili,54 kemudian syarat yang melarang mantan narapidana mengikuti pemilu.55 Tidak hanya dalam persoalan syarat pencalonan seseorang untuk ikut dalam pemilu, MK juga terlibat dalam merumuskan persoalan mekanisme pemungutan suara. Putusan perkara mengenai perumusan mekanisme pemungutan suara bagi warga negara yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) merupakan suatu hal yang monumental.56 Pemilu legislatif tahun 2009 memiliki persoalan dalam hal warga negara yang tidak tercantum dalam DPT tidak dapat memberikan suaranya dalam biliki-bilik suara. Persoalan ini perlu segera diselesaikan dalam penyelenggaraan pemilu Presiden/Wakil Presiden tahun 2009 yang hanya berjarak 4 bulan.57 Yang lebih monumental adalah MK memutus perkara ini pada tanggal 6 Juli 2009, 3 hari sebelum penyelenggaran pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Mengingat tenggang waktu yang sedemikian sempit serta persoalan yang
Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 bertanggal 1 Juli 2008 tentang pengujian Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD). 55 Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 bertanggal 24 Maret 2009 tentang pengujian Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dan Pasal 58 huruf f UU Pemda. Kemudian MK mempertimbangkan kembali dalam Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 bertanggal 9 Juli 2015 dimana MK berpendapat bahwa syarat tersebut tidak lagi diperlukan dengan alasan bahwa seorang mantan narapidana yang telah secara berani dan terbuka mengemukakan statusnya tersebut tidak sepatutnya diperikan hukuman tambahan dengan menunggu jeda hingga 5 tahun. Oleh karenanya, syarat batas jangka waktu 5 tahun sejak selesai menjalani hukuman tidak lagi berlaku. 56 Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 bertanggal 6 Juli 2009. 57 Pemilu legislatif tahun 2009 diselenggarakan pada tanggal 9 April 2009 dan pemilu Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pada tanggal 9 Juli 2009. 58 Putusan Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009, bertanggal 7 Agustus 2009. 59 Paragraf [3.26] Putusan Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 menyatakan frasa “suara” dalam Pasal 205 ayat (4) UU 10/2008 menimbulkan multitafsir yang dapat dikelompokkan menjadi tiga penafsiran: Pertama, yang dimaksud dengan suara adalah termasuk suara yang diperoleh partai politik yang telah diperhitungkan pada tahap pertama secara keseluruhan; Kedua, suara yang dimaksud dalam frasa tersebut adalah sebagai sisa suara dari seluruh suara yang diperoleh partai politik setelah dikurangi dengan BPP atau kelipatannya yang telah dikonversi menjadi kursi; Ketiga, suara dari partai yang tidak mencapai BPP tetapi perolehan suaranya sama atau melebihi 50% BPP sebagai dasar penghitungan tahap kedua;
Jur
na
54
356
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 345-364
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
APBN untuk memutus konstitusionalitas anggaran pendidikan sebesar 20%.61 MK empat kali menguji perkara konstitusionalitas anggaran pendidikan dalam APBN antara periode 20052008.62 Dalam pengujian perkara ini, MK seolah mengingatkan perlunya proses perubahan anggaran secara bertahap. Pada putusan pertama pengujian anggaran pendidikan dalam APBN, MK menyatakan bahwa UU APBN bertentangan dengan UUD karena tidak memenuhi alokasi anggaran pendidikan yang ditentukan konstitusi. Namun demikian, MK mempertimbangkan bahwa pembatalan UU APBN tidak mungkin diterapkan, dengan alasan
ing
Atas dasar pertimbangan tersebut, MK merumuskan tata cara penghitungan suara yang seharusnya dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Adanya kewenangan MK untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu juga menjadikan MK terlibat dalam politik. Setidaknya, pelaksanaan kewenangan ini masuk dalam kategorisasi mega-politics menurut Ran Hirschl. Setiap 5 tahun sekali, MK kebanjiran perkara pemilu legislatif. Akan tetapi, pembahasan mengenai kewenangan MK untuk menyelesaikan perkara pemilu berada diluar dari konteks keterlibatan MK dalam politik legislasi karena obyek perkara yang diperiksa oleh MK bukanlah produk legislasi melainkan keputusan penyelenggara pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Perkara politik yang tergolong besar adalah ketika lembaga peradilan terlibat dalam penentuan kebijakan yang biasanya hanya menyangkut pada kewenangan eksekutif semata seperti keamanan nasional, politik luar negeri dan kebijakan fiskal.60 Dalam konteks ini, salah satu contoh kasus yang dapat diuraikan adalah ketika MK terlibat dalam politik legislasi penyusunan anggaran yang tertuang dalam
Oleh karenanya, UU APBN tahun 2005 tetap dinyatakan berlaku. Pada putusan kedua dan ketiga, MK mengambil langkah yang berbeda. MK menyatakan bahwa dengan adanya putusan 012/PUU-III/2005, pembentuk UU sudah seharusnya mengetahui dengan persis bahwa anggaran pendidikan yang kurang dari 20% bertentangan UUD 1945. Akan tetapi pada kenyataannya pembentuk UU tetap tidak
lR ec hts V
ind
b. Kewenangan Inti dari Pemerintahan
“ ... akan menimbulkan kekacauan (governmental disaster) dalam administrasi keuangan negara, yang dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan bahkan akibatnya dapat akan lebih buruk apabila ternyata anggaran pendidikan pada APBN sebelumnya lebih kecil jumlahnya.”63
Op. Cit. h. 9. Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 62 Keempat putusan MK mengenai pengujian UU APBN yang menyangkut anggaran pendidikan adalah: (i) Putusan Nomor 012/PUU-III/2005 bertanggal 19 Oktober 2005 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005; (ii) Putusan Nomor 026/PUU-III/2005 bertanggal 22 Maret 2006 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2005 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006; (iii) Putusan Nomor 026/PUU-IV/2006 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2006 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2007. (iv) Putusan Nomor 13/PUU-VI/2008 bertanggal 13 Agustus 2008 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 (UU APBN 2008) 63 Putusan Nomor 012/PUU-III/2005, h. 62 60
Jur
na
61
Keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam Politik Legislasi Nasional (Bisariyadi)
357
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
1945.70 Oleh karenanya, UU APBN Perubahan tahun 2008 harus dinyatakan inkonstitusional secara keseluruhan karena tidak memenuhi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20%. Akan tetapi, dengan mempertimbangkan faktor potensi resiko kekacauan administrasi keuangan negara putusan MK tidak secara serta merta dinyatakan berlaku sejak diucapkan melainkan dinyatakan berlaku hingga dibuatnya UU APBN baru untuk tahun anggaran 2009. Pernyataan tegas MK dalam kalimat terakhir putusan menyatakan bahwa “Untuk mendorong agar semua daerah (provinsi, kabupaten/ kota) memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dalam APBD-nya, dan mencegah pengurangan terhadap makna Indonesia sebagai negara hukum, serta menghindari terjadinya delegitimasi terhadap konstitusi sebagai hukum tertinggi, maka Mahkamah perlu sekali lagi mengingatkan pembentuk undang-undang untuk selambat-lambatnya dalam UU APBN Tahun Anggaran 2009 harus telah memenuhi kewajiban konstitusionalnya menyediakan anggaran sekurang-kurangnya 20% untuk pendidikan.”71
lR ec hts V
ind
memenuhi ketentuan batas terendah anggaran pendidikan dalam UU APBN tahun 2006 dan UU APBN tahun 2007. Oleh karenanya, MK membatalkan aturan yang memberi akibat hukum atas inkonstitusionalitas anggaran pendidikan secara terbatas, yaitu tentang batas tertinggi dan bukan terhadap keseluruhan UU APBN demi menghindari kemacetan dan kekacauan dalam penyelenggaraan pemerintahan.64 Oleh karena itu, pada putusan kedua MK membatalkan aturan “sepanjang menyangkut anggaran pendidikan sebesar 9,1% (sembilan koma satu persen) sebagai batas tertinggi.”65 Pada putusan ketiga, MK membatalkan aturan “sepanjang menyangkut anggaran pendidikan sebesar 11,8% (sebelas koma delapan persen) sebagai batas tertinggi.”66 Setelah putusan-putusan ini terdapat salah satu putusan yang menyangkut anggaran pendidikan sehingga penting untuk dikutip yaitu putusan nomor 24/PUU-V/2007 dimana MK menetapkan gaji pendidik sebagai bagian dari komponen pendidikan dimasukkan dalam penyusunan APBN dan APBD.67 Pertimbangan memasukkan komponen gaji pendidik akan memudahkan pembuat UU untuk memenuhi kewajiban menetapkan anggaran pendidikan sekuruangkurangnya 20% dalam APBN.68 Pada putusan MK yang keempat mengenai pengujian anggaran pendidikan dalam APBN,69 MK mengambil langkah yang lebih tegas. MK menilai adanya kesengajaan pembentuk UU melanggar UUD
c. MK Memberi Legitimasi Perubahan Rezim Kekuasaan
na
Contoh kasus yang mudah dirujuk menyangkut keterlibatan MK dalam penentuan legitimasi atas perubahan rezim kekuasaan adalah ketika MK memeriksa dan memutus perkara perselisihan hasil pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam setiap pemilu
66 67 68 69 70 71 64
Putusan Nomor 026/PUU-III/2005, h. 86. Amar Putusan Nomor 026/PUU-III/2005. Amar Putusan Nomor 026/PUU-IV/2006. Paragraf [3.16.10], Putusan nomor 24/PUU-V/2007 bertanggal 20 Februari 2008. Paragraf [3.16.9], Putusan nomor 24/PUU-V/2007 bertanggal 20 Februari 2008 Putusan Nomor 13/PUU-VI/2008 bertanggal 13 Agustus 2008 Paragraf [3.14], Putusan Nomor 13/PUU-VI/2008 bertanggal 13 Agustus 2008 Paragraf [3.16], Putusan Nomor 13/PUU-VI/2008 bertanggal 13 Agustus 2008
Jur
65
358
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 345-364
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
Putusan yang menjadi landmark, dalam hal politik legislasi untuk menentukan perubahan sebuah rezim pemerintahan adalah ketika MK diminta untuk menafsirkan Pasal 6A UUD 1945.75 Pada pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 hanya memunculkan 2 pasangan calon yang akan mengikuti pemilu. Padahal, Konstitusi tidak mengatur kondisi pemilu dimana hanya terdapat 2 pasangan calon. Hal ini diamini oleh MK, ketika menelusuri original intent penyusunan Pasal 6A UUD 1945 melalui risalah rapat pembahasan perubahan UUD 1945.76 Penyusunan Pasal 6A UUD 1945 dikonstruksikan hanya untuk kondisi dimana terdapat pasangan calon peserta pemilu lebih dari 2 pasangan. Oleh karenanya, syarat utnuk menang dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak hanya faktor suara terbanyak, tetapi juga faktor persebaran suara pemilih yang merata. MK berpendapat bahwa prinsip yang paling penting untuk ditegakkan adalah prinsip kedaulatan rakyat sehingga Presiden terpilih memiliki legitimasi yang kuat. Pada akhirnya, MK memutuskan bilamana hanya terdapat dua pasangan calon peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden maka tidak perlu dilakukan pemilihan putaran kedua. Prinsip representasi keterwakilan dan persebaran jumlah pemilih yang merata dari seluruh daerah di Indonesia telah dipenuhi ketika tahap pencalonan pasangan tersebut diajukan dan didukung oleh gabungan partai politik nasional.77
Jur
na
lR ec hts V
ind
Presiden dan Wakil Presiden, MK senantiasa memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hasil pemilu ini. Pada pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004, MK menerima perkara perselisihan hasil pemilu yang diajukan oleh pasangan Wiranto – Salahuddin Wahid.72 Kemudian, pada pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009, MK mengadili perkara pemilu yang diajukan oleh pasangan Jusuf Kalla – Wiranto, sebagai Pemohon I, dan pasangan Megawati Soekarnoputri – Prabowo Subianto, sebagai Pemohon II, dimana dalam putusannya MK menggabungkan kedua perkara ini.73 Paling mutakhir adalah perselisihan hasil pemilu 2014 dimana pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa menggugat pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla.74 Bila ditarik pada tingkat daerah, MK juga berpengaruh dalam menentukan perubahan rezim kekuasaan daerah ketika mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah antara tahun 2008-2014. Catatan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa dalam kurun waktu itu, MK telah memutus 698 perkara. Jumlah ini tidak identik dengan jumlah daerah yang mengajukan perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah namun setidaknya data ini menunjukkan banyaknya rezim kekuasaan daerah yang ditentukan melalui meja majelis hakim konstitusi. Namun demikian, contoh perkara diatas adalah pelaksanaan kewenangan MK dalam konteks yang berbeda dengan politik legislasi.
74 75 76 77 72 73
Putusan Nomor 062/PHPU.B-II/2004 tanggal 9 Agustus 2004. Putusan Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009. Putusan Nomor 1/PHPU.PRES-XII/2014. Putusan Nomor 50/PUU-XII/2014 tanggal 3 Juli 2014. Paragraf [3.20], Putusan Nomor 50/PUU-XII/2014 tanggal 3 Juli 2014. Ibid.
Keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam Politik Legislasi Nasional (Bisariyadi)
359
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
lR ec hts V
ind
Mengapa kategorisasi ini termasuk dalam mega-politic? Menurut Ran Hirschl, keberadaan MK yang dimaksudkan untuk melindungi hak konstitusional warga negara berupaya untuk memperbesar lingkup wilayah pengaruh dan peranannya tersebut.78 Terlebih, diberbagai belahan dunia pembentukan mahkamah konstitusi adalah seiring dengan adanya proses perubahan dari rezim yang otoritarian. Dalam rezim otoritarian, pelanggaran HAM kerap terjadi. Dengan demikian, kehadiran MK adalah untuk memulihkan kondisi hak-hak warga negara yang terkoyak dimasa lalu. Hal demikian juga terjadi di Indonesia. Ada 3 putusan MK yang penting dalam mekanisme keadilan transisional. Dua putusan MK terkait dengan keberadaan pengadilan HAM79 sedangkan satu putusan adalah mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi.80 Pada putusan mengenai pengadilan HAM, keduanya diajukan oleh terpidana kasus pelanggaran HAM. Adalah Abilio Jose Osorio Soares81 dan Eurico Guterres82 yang menjadi pemohon pengujian UU mengenai pengadilan HAM. Pengujian pertama mengenai keberadaan pengadilan HAM diajukan oleh Abilio Jose Soares. Pemohon mempertanyakan keberadaan pengadilan HAM yang menabrak
asas non-retroaktif. Pada pertimbangannya, MK berpendapat bahwa “...mekanisme keadilan transisional (transitional justice), terlepas dari sedikit banyaknya, pasti mengandung elemen pengesampingan asas non-retroaktif.”83 Dengan demikian, keberadaan pengadilan HAM adhoc adalah konstitusional meskipun mengesampingkan asas non-retroaktif. Akan tetapi, pembentukan pengadilan HAM harus memenuhi syarat yang sangat ketat, yaitu (i) hanya atas peristiwa tertentu yang locus delicti dan tempus delicti-nya dibatasi; (ii) peristiwa tersebut harus dinilai oleh DPR terlebih dahulu; dan (iii) dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden atas usul DPR.84 Sedangkan, permohonan yang diajukan oleh Eurico Guterres adalah untuk menegaskan mekanisme penilaian yang diberikan oleh DPR tersebut. MK berpendapat dalam memberikan rekomendasi pembentukan pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang berwenang, yaitu Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik.85 Selain pembentukan pengadilan HAM ad hoc, upaya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu juga dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi (KKR) sebagai lembaga ekstra yudisial.86 Pembentukan KKR digugat keberadaannya oleh para pemohon
BP HN
dengan
ing
d. Perkara yang Berkenaan Keadilan Transisional
Op. Cit., Hirschl. h. 12. (i) Putusan Nomor 065/PUU-II/2004, Tanggal 3 Maret 2005; dan (ii) Putusan Nomor 18/PUU-V/2007, tanggal 21 Februari 2008 . 80 Putusan Nomor 006/PUU-IV/2006, tanggal 7 Desember 2006. 81 Pemohon perkara 065/PUU-II/2004, terpidana pelanggaan HAM berat Timor Timur dipidana berdasarkan putusan kasasi MA No. 04K/PID.HAM/ AD.HOC/2003 tanggal 1 April 2004. 82 Pemohon perkara 18/PUU-V/2007, terpidana pelanggaran HAM berat Timor Timur dipidana berdasarkan putusan kasasi MA Nomor 06 K/PID.HAM AD HOC/2005 tanggal 13 Maret 2006. 83 Putusan Nomor 065/PUU-II/2004, h. 38. 84 Ibid. h. 35 85 Putusan Nomor 18/PUU-V/2007, paragraf [3.27] 86 Dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
na
78
Jur
79
360
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 345-364
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
yang menentukan jati diri suatu bangsa. Di Turki, misalnya, mahkamah konstitusi memberikan penafsiran resmi mengenai prinsip sekularisme (dalam bahasa Turki disebut laiklik) yang diadopsi dalam konstitusi negara.88 Di negaranegara yang mayoritas Islam, pertanyaan mengenai kedudukan syariah dalam hukum negara seringkali diajukan pada muka peradilan. Di Pakistan persoalan kedudukan syariah dalam negara ini dipertimbangkan dalam putusan Mahkamah Agung tahun 2002.89 Begitu pula di Mesir, mahkamah konstitusi Mesir terlibat sangat dalam mengenai identitas nasional Mesir ketika memeriksa perkara mengenai larangan mengenakan hijab (niqab) ditahun 1996.90 Selain itu, penting juga untuk dikutip mengenai Putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung Kanada dalam hal penetapan status bilingualism dan masa depan negara bagian Quebec dalam hubungannya dengan negara federal Kanada.91 Di Indonesia belum ada putusan MK yang memiliki kandungan penentuan jati diri bangsa sebesar putusan-putusan yang telah dikutip diatas. Salah satu putusan yang memiliki obyek perkara berkaitan dengan bangsa adalah ketika MK memutus mengenai kedudukan Pancasila.92 Akan tetapi, putusan MK hanya berkutat persoalan semantik mengenai apakah Pancasila itu dapat dikatakan sebagai “pilar” berbangsa padahal Pancasila adalah “dasar”
na
lR ec hts V
ind
yang terdiri dari beberapa lembaga swadaya masyarakat, seperti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) m dan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial). Dalam putusannya, MK menyorot aturan menjadi jiwa dalam UU KKR yaitu mengenai mekanisme pemberian kompensasi dan rehabilitasi sebagai cara menuju rekonsiliasi.87 MK menilai bahwa pemberian kompensasi dan rehabilitasi yang digantungkan pada keberhasilan permohonan amnesti kepada Presiden adalah dua pendekatan yang tidak saling terkait. Amnesti adalah hak prerogatif Presiden. Pengabulan atau penolakan amnesti adalah hak subyektif Presiden. Sedangkan, pemberian kompensasi dan rehabilitasi dalam upaya rekonsiliasi sejatinya ditekankan pada korban dan bukan pada keberhasilan permohonan amnesti. Oleh karenanya, aturan pemberian kompensasi dan rehabilitasi yang didasarkan pada amnesti merupakan aturan yang inkonstitusional. Selanjutnya, karena aturan ini merupakan jiwa yang menaungi seluruh aturan dalam UU KKR maka MK membatalkan keberlakuan UU KKR secara keseluruhan. e. Pendefinisian Jati Diri Bangsa Di berbagai negara, lembaga peradilan bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan politik
Putusan Nomor 006/PUU-IV/2006, hal 120-122. Turkish Constitutional Court Decision, No. Perkara: 1970/53, No. Putusan: 1971/76, Tanggal Putusan 21 Oktober 1971. 89 Constitution Petition No.15 of 2002, Jamaat-e-Islami Pakistan Mansoora v. General Pervez Musharraf. 90 Nathan J. Brown & Clark B. Lombardi, Translation: The Supreme Constitutional Court of Egypt on Islamic Law, Veiling and Civil Rights: An Annotated Translation of Supreme Constitutional Court of Egypt Case No. 8 of Judicial Year 17 (May 18, 1996); Lihat juga diskusi mendalamnya pada Luna Droubi, “The Constitutionality of the Niqab Ban in Egypt: A Symbol of Egypt’s Struggle for a Legal Identity”, New York Law School Law Review, (Volume 56 | 2011/12) , hlm. 687-709. 91 Reference re Secession of Quebec, [1998] 2 S.C.R. 217. 92 Putusan Nomor 100/PUU-XI/2013, tanggal 3 April 2014. 87
Jur
88
Keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam Politik Legislasi Nasional (Bisariyadi)
361
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
D. Penutup
ing
BP HN
putusan judicial review yang dijatuhkan MK juga tidak dapat dinilai sebagai politik rendah (lowpolitics) karena putusan MK menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia. Kandungan dalam beberapa putusan MK bernilai sangat strategis dan mengacu pada istilah yang dikemukakan Ran Hirschl sebagai mega-politics. Fenomena ini bukanlah suatu keadaan unik yang hanya terjadi di Indonesia. Berbagai negara juga mengalami fenomena serupa, terutama di negara-negara dimana lembaga peradilannya mengadopsi kewenangan judicial review. Legitimasi konseptual juga telah ditawarkan oleh para ahli hukum dan politik dengan merumuskan konsep judicialisation of politics. Dimasa mendatang, lembaga peradilan akan semakin cenderung terlibat dalam perkaraperkara menyangkut proses pengambilan kebijakan yang menyangkut kepentingan orang banyak dimana awalnya proses itu merupakan kewenangan eksklusif dari legislatif. Sisi positifnya adalah warga negara memiliki saluran untuk mengekspresikan ketidaksetujuannya atas produk legislasi melalui dialog konstitusional yang difasilitasi oleh mahkamah konstitusi.
ind
negara. Salah satu butir yang dapat dikutip dalam putusan MK adalah pertimbangan bahwa “... Pancasila memiliki kedudukan yang tersendiri dalam kerangka berpikir bangsa dan negara Indonesia yaitu disamping sebagai dasar negara, juga sebagai dasar filosofi negara, norma fundamental negara, ideologi negara, cita hukum negara.”93 Sayangnya, pertimbangan MK tidak menguraikan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan konsep-konsep tersebut dan mengapa MK memandang perlu untuk membedakan konsep-konsep tersebut. MK dalam pertimbangannya langsung pada kesimpulan “...menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar dapat mengaburkan posisi Pancasila dalam makna yang demikian itu.”94
Jur
na
lR ec hts V
Perkembangan praktek ketatanegaraan sangatlah dinamis. Pemahaman atas prinsip pemisahan kekuasaan tidak dapat dimaknai secara kaku dimana lembaga-lembaga negara terutama para pemegang tiga cabang kekuasaan terpisah antara satu dengan yang lain. Praktek menunjukkan bahwa batas-batas pemisah antara pemegang cabang kekuasaan semakin memudar. Salah satunya adalah dalam pola hubungan legislatif dengan yudisial. Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan diadopsinya kewenangan pengujian UU terhadap UUD, MK telah menembus batas prinsip pemisahan kekuasaan. MK juga menjalankan fungsi legislasi dengan bertindak sebagai positive legislator. Beragam putusan yang dikutip dalam penelitian ini telah menunjukkan fakta bahwa MK terlibat dalam fungsi legislasi. Kadar politis dalam
DAFTAR PUSTAKA Buku Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konpress, 2006) cet. Kedua. Asshiddiqie, Jimly, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi berbagai Negara, (Jakarta: UI Press, 1996) Dressel, Bjoern (ed.), The Judisialization of Politics in Asia, (Routledge Law in Asia, 2012) Isra, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem
Putusan Nomor 100/PUU-XI/2013, paragraf [3.12]. Ibid.
93 94
362
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 345-364
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ind
Asyari, Syukri, Meyrinda Hilipito dan Moh. Mahrus Ali, “Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian UndangUndang (Studi Putusan Tahun 2003-2012)”, Jakarta: Pusat P4TIK MK, 2013. Barboza, Estefânia Maria De Queiroz dan Katya Kozicki, “Judicialization of Politics and the Judicial Review of Public Policies by the Brazilian Supreme Court”, Revista Direito GV, Vol. 8, no. 1, 2012, hal 59-85 Bisariyadi, Yudisialisasi Politik dan Sikap Menahandiri: Peran Mahkamah Konstitusi dalam menguji Undang-Undang, Jurnal Konstitusi, Vol. 12, No. 3, 2015 Droubi, Luna, “The Constitutionality of the Niqab Ban in Egypt: A Symbol of Egypt’s Struggle for a Legal Identity”, New York Law School Law Review, VOLUME 56 | 2011/12, h. 687-709. Edelman, Martin, “The Judicialization of Politics in Israel.” International Political Science Review, Vol. 15, Issue 2, 1994, hal. 177-186. Friedman, Barry, “The Politics of Judicial Review,” Texas Law Review, Vol. 84, No. 2, December 2005. Hirschl, Ran, “The Judicialization of Mega-Politics and the Rise of Political Courts”. Annual Review of Political Science, Vol. 11, 2008. diunduh SSRN: http://ssrn.com/abstract=1138008 Hirschl, Ran, “The New Constitution and the Judicialization of Pure Politics Worldwide”, Fordham Law Review, Vol. 75, Issue 2, 2006, hal. 721-754. Landfried, Christine, “The Judicialization of Politics in Germany,” International Political Science Review, Vol. 15, Issue 2, 1994, hal. 113-124. Mahkamah Agung, Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia 2013. Moustafa, Tamir, “Law versus the State: The Judicialization of Politics in Egypt”, Law & Social Inquiry, Vol. 28, Issue 4, 2003, hal 883–930.
BP HN
Makalah/Artikel/Laporan/Hasil Penelitian
Park, Jonghyun, “The Judicialization of Politics in Korea,” Asian-Pacific Law & Policy Journal, Vol. 10, Number 1, 2008. Solikin, M. Nur,, dkk, “Laporan Kajian tentang Implementasi Pengawasan Perda oleh Pemerintah dan Mahkamah Agung”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia: 2011, Stone Sweet, Alec, “The Politics of Constitutional Review in France and Europe,” International Journal of Constitutional Law, Vol. 5, Issue 1, January 2007. h. 69–92 Tate, C. Neal, “The Judicialization of Politics in the Philippines and Southeast Asia,” International Political Science Review, vol. 15, no. 2, April 1994, hal. 187-197 Ten Kate, Jan dan Peter J. Van Koppen, “Judicialization of Politics in the Netherlands: Towards a Form of Judicial Review.” International Political Science Review, Vol. 15, Issue 2, 1994, hal 143-151.
ing
Presidensial Indonesia, cet. 1 (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010) Kelsen, Hans, Teori umum Hukum dan Negara, cet. 1, (Jakarta: Bee Media, 2007) Mahfud MD, Moh., Politik Hukum di Indonesia, cet.4 (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) Rahardjo, Satjipto, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Sinar Baru, 1985)
Peraturan
Jur
na
lR ec hts V
Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 bertanggal 24 Februari 2004 tentang Pengujian Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 bertanggal 1 Juli 2008 tentang pengujian Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD). Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 bertanggal 24 Maret 2009 tentang pengujian Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dan Pasal 58 huruf f UU Pemda. Putusan Nomor 012/PUU-III/2005 bertanggal 19 Oktober 2005 perihal Pengujian UndangUndang Nomor 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005 Putusan Nomor 026/PUU-III/2005 bertanggal 22 Maret 2006 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2005 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006 Putusan Nomor 026/PUU-IV/2006 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2006 tentang
Keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam Politik Legislasi Nasional (Bisariyadi)
363
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
Turkish Constitutional Court Decision, No. Perkara: 1970/53, No. Putusan: 1971/76, Tanggal Putusan 21 Oktober 1971. Constitution Petition No.15 of 2002, Jamaat-e-Islami Pakistan Mansoora v. General Pervez Musharraf Reference re Secession of Quebec, [1998] 2 S.C.R. 217 Kilbourn v. Thompson, 103 US 168 (1880)
Jur
na
lR ec hts V
ind
ing
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2007. Putusan Nomor 13/PUU-VI/2008 bertanggal 13 Agustus 2008 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 (UU APBN 2008)
364
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 345-364
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
POLITIK HUKUM KEWENANGAN KONSTITUSIONAL DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PROSES LEGISLASI PASCA PUTUSAN MK NOMOR 92/PUU-X/2012
(Politics of Law of The Constitutional Authority of Regional Representatives Council In The Legislative Process after the Constitutional Court Decision Number 92/PUU-X/2012) Anna Triningsih MK Republik Indonesia Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat 10110
ing
Naskah diterima: 15 Oktober 2015; revisi: 27 November 2015; disetujui: 2 Desember 2015
lR ec hts V
ind
Abstrak Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai memiliki problem substantif/materil akibat materi muatannya bertentangan dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), yang mengakibatkan kerugian konstitusional terhadap Dewan Perwakilan Daerah (DPD), meliputi dikuranginya kewenangan DPD untuk dapat mengajukan (Rancangan Undang-Undang) RUU, dikuranginya kewenangan DPD untuk membahas RUU dan dikuranginya kewenangan DPD dalam kedudukannya sebagai lembaga perwakilan daerah. Hal ini menunjukan bahwa pembentukan UU MD3 nyata-nyata tidak menghormati putusan MK yang diberi mandat UUD NRI 1945 sebagai lembaga penafsir dan penjaga konstitusi, dengan tidak menghormati, mematuhi, dan melaksanakan putusan MK ini menunjukkan ketidakpatuhan terhadap putusan lembaga negara yang telah ditunjuk konstitusi untuk mengawal kemurnian pelaksanaan konstitusi. Penelitian ini menggunakan metode normatif menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan historis (historical approach). Ketidaktaatan penyusunan UU MD3 pada putusan MK merupakan pengingkaran UUD NRI 1945 dan perkembangan ini merupakan langkah mundur reformasi. Pembentuk Undang-Undang, dalam hal ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden harus segera melakukan perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan berpijak pada rambu-rambu konstitusional Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012. Kata Kunci: kewenangan, Dewan Perwakilan Daerah, putusan Mahkamah Konstitusi
Jur
na
Abstract Law Number 17 Year 2014 on the People’s Consultative Assembly, House of Representatives, Regional Representatives Council, and the Regional House of Representatives (MD3 Law) after the decision of the Constitutional Court (MK) is considered to have a substantive problem due to the substance that is contrary to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (the 1945 Constitution), which resulted in the constitutional loss of Regional Representatives Council (DPD), including the reduction of DPD authority to propose draft bills, to discuss draft bills and the reduction in its authority as the regional representative institution. This shows that the drafting of MD3 Law is obviously not respecting the decision of the Court that is mandated by the 1945 Constitution as the interpreter and guardian institution of the constitutional, by not respecting, obeying and implementing MK’s decision which indicates non-compliance with the decision of the state institution that has been designated to guard the purity of the constitution implementation of the constitution. This study uses normative method with statute approach, conceptual approach and a historical approach. The noncompliance of the drafting of MD3 Law towards the MK’s decision is a denial of MK and this development is a step back of Reformation. The legislators, in this case, the House of Representatives (DPR) and the President should immediately amend the Law Number 12 Year 2011 on the Establishment of Laws and Regulations based on the MK’s Decision No. 92/PUU-X/2012. Keywords: authority, Regional Representatives Council, Constitutional Court Decision
Politik Hukum Kewenangan Konstitusional Dewan Perwakilan Daerah dalam Proses Legislasi ... (Anna Triningsih)
365
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
Pengaturan lebih lanjut mengenai kewe nangan DPD tersebut diatur dalam UndangUndang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 27/2009) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). DPD dalam kurun waktu Oktober 2004 sampai dengan Oktober 2014 telah mengajukan 57 (lima puluh tujuh) RUU, 237 (dua ratus tiga puluh tujuh) Pandangan dan Pendapat, 74 (tujuh puluh empat) Pertimbangan dan 138 (seratus tiga puluh delapan) hasil pengawasan. Seluruh RUU tersebut telah disampaikan kepada DPR namun tidak semua ada tindak lanjutnya. Beberapa RUU tersebut telah menjadi undangundang namun bukan merupakan merupakan RUU usul inisiatif DPD dan keterlibatan DPD dalam pembahasan RUU tersebut sangat terbatas, hanya RUU Kelautan yang menjadi usul inisiatif DPD dan akhirnya menjadi undangUndang yang pembahasannya dilakukan secara 3 (tiga) pihak (tripatrit) yaitu: DPR, Pemerintah dan DPD.4 Dalam rangka mendudukan fungsi legislasi DPD sesuai dengan UUD NRI 1945, pada tanggal
na
lR ec hts V
ind
Setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), fungsi legislasi dalam arti sempit (membentuk Undang-Undang) dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sistem bikameral dalam pembentukan Undang-Undang ini mengatur kewenangan yang seimbang antara DPR dan DPD. DPD merupakan lembaga negara yang memiliki kedudukan yang sama dengan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.1 DPD juga merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara yang terdiri dari wakil-wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum tanpa melibatkan peranan partai politik. Pembentukan DPD sebagai salah satu institusi negara yang baru bertujuan memberikan kesempatan kepada orang-orang daerah untuk ikut mengambil kebijakan dalam tingkat nasional, khususnya yang terkait dengan kepentingan daerah.2 Berdasarkan ketentuan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945, DPD memiliki kewenangan dalam hal prakarsa pembuatan Undang-Undang dan pembahasan Rancangan Undang-Undang, walaupun terdapat pembahasan Rancangan Undang-Undang. Keberadaan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pelem bagaan fungsi representasi. Dalam rangka pe lembagaan fungsi representasi itu, dikenal ada nya 3 (tiga) sistem perwakilan yang dipraktekkan diberbagai negara demokrasi yaitu:
a. sistem perwakilan politik (political representative); b. sistem perwakilan teritorial (teritorial representative); dan c. sistem perwakilan fungsional (fungsional representative).3
ing
A. Pendahuluan
Firmansyah Arifin, dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) bekerjasama dengan MKRepublik Indonesia (MKRI), 2005), hlm. 75. 2 Ibid. 3 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, 2006), hlm. 32-44. 4 Sekretariat Jenderal DPD RI, Profil Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Tahun Sidang 2014-2015, (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPD RI), hlm. 14.
Jur
1
366
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 365-381
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
Badan Legislasi melainkan diperlakukan setara dengan RUU yang diajukan oleh Presiden dan harus tetap dianggap sebagai RUU yang diajukan oleh DPD. Putusan ini dipandang mengembalikan jati diri DPD sebagai lembaga negara yang dalam legislasi kedudukannya setara dengan DPR dan Presiden. Seirama dengan putusan tersebut, Pasal 18 huruf (g), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (1) UU P3 dinyatakan dianggap berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang ditambahkan frasa “DPD”, yang artinya mengakui keberadaan DPD sebagai lembaga negara yang memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan lembaga negara lainnya yaitu DPR dan Presiden untuk mengajukan RUU. Pasal 143 ayat (5) UU 27/2009 juga dianggap dinyatakan berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang ditambahkan frasa, “...kepada pimpinan DPD untuk RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.” Hal serupa berlaku pula terhadap Pasal 144 UU 27/2009 dimana pasal ini dianggap berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang ditambahkan frasa, “... dan kepada pimpinan DPD untuk RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.”
lR ec hts V
ind
14 September 2012, DPD telah menyampaikan permohonan Pengujian Undang-Undang atas UU 27/2009 dan UU P3 terhadap UUD NRI 1945 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang kemudian diregistrasi dalam nomor perkara 92/ PUU-X/012. Permohonan uji materi dimaksud, dilakukan untuk memperoleh penafsiran yang lebih tepat dan pasti bagi kepentingan bersama dalam sistem legislasi antara DPR, DPD, dan Presiden. Melalui beberapa kali sidang, akhirnya pada hari Rabu, tanggal 27 Maret 2013, pukul 15.20 WIB, MK memutus perkara tersebut, yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2013. Dalam putusannya itu, MK telah menegaskan 5 (lima) hal keterlibatan DPD dalam proses legislasi5, yaitu: a. dalam mengajukan RUU yang berkaitan dengan daerah, DPD setara dengan DPR dan Presiden; b. Hak/kewenangan DPD sama dengan DPR dan Presiden dalam membahas RUU; c. DPD ikut membahas RUU tetapi tidak ikut memberi persetujuan terhadap RUU menjadi UU; d. DPD ikut menyusun Program Legislasi Nasional; dan e. DPD memberikan pertimbangan tanpa ikut serta dalam pembahasan RUU. Dalam hal ini, DPR dan Presiden wajib untuk meminta pertimbangan DPD atas RUU APBN.
Jur
na
Dalam putusan tersebut MK dengan tegas menyatakan bahwa Pasal 102 ayat (1) huruf a, huruf d, huruf e, dan huruf h, serta Pasal 147 UU 27/2009 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal tersebut berarti setiap RUU yang diajukan oleh DPD tidak lagi melalui proses di
5
Putusan MKNomor 92/PUU-X/2012.
Politik Hukum Kewenangan Konstitusional Dewan Perwakilan Daerah dalam Proses Legislasi ... (Anna Triningsih)
367
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
sebagaimana yang dipraktikkan di banyak negara. Menyebut lemah dan tidak imbangnya posisi DPD dibandingkan DPR dalam proses legislasi tersebut, M. Fajrul Falakh menggolongkannya ke dalam asymetric bicameralism. Menurut Giovanni Sartori, asymmetric bicameralism atau weak bicameralism atau soft bicameralism menunjuk pada kondisi apabila kekuatan salah satu kamar jauh lebih dominan atas kamar lainnya.7 Menurut sejarahnya, DPD dihadirkan dalam ketatanegaraan Indonesia untuk menciptakan sistem checks and balances yang baik dalam proses legislasi. Sebagai representasi rakyat daerah, DPD seharusnya memiliki posisi yang penting dalam pengambilan kebijakan negara melalui legislasi. Namun dalam kenyataannya, DPD tidak diberikan peran signifikan sebagaimana mestinya dalam proses legislasi. Menurut Stephen Sherlock, DPD merupakan contoh tidak lazim dalam praktik lembaga perwakilan rakyat dengan sistem bikameral karena merupakan kombinasi dari lembaga dengan kewenangan yang amat terbatas dan legitimasi tinggi (represents the odd combination of limited powers and high legitimacy).8 Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 19459 yang menyatakan bahwa putusan MK bersifat final. Hal ini berarti putusan MK telah
lR ec hts V
ind
Dalam amarnya, Putusan MK Nomor 92/ PUU-X/2012 menyebutkan pula bahwa Pasal 150 ayat (3) UU 27/2009 berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai ”DPD mengajukan Daftar Isian Masalah (DIM) atas RUU yang berasal dari Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.” Berdasarkan amar tersebut dapat disimpulkan bahwa DPD berwenang untuk terlibat dan membahas RUU mulai dari tahap pengantar musyawarah, tahap pengajuan dan pembahasan DIM, dan tahap pendapat mini. Putusan MK ini juga berlaku bagi pasal-pasal dalam UU P3 yang pengaturannya satu nafas dengan pasal-pasal dalam UU 27/2009 yang dianulir MK tersebut. Putusan tersebut disambut gembira, terutama oleh DPD yang dalam proses legislasi selama ini dianggap sekedar menjadi bayangbayang karena didudukkan inferior berada di bawah dominasi DPR.6 Inferioritas DPD dalam proses legislasi telah sejak lama menjadi sorotan, bahkan sejak awal-awal keberadaan DPD sendiri. Inferioritas DPD tersebut dianggap sebagai anomali dalam sistem bikameral
Jur
na
“DPD Sambut Baik Putusan MK soal Kewenangan Legislasi”, Rabu, 23 Maret 2013. http://nasional.kompas.com/ read/2013/03/27/18574762/DPD.Sambut.Baik.Putusan.MK.soal.Kewenangan.Legislasi. (diakses 22 Maret 2014). 7 Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes, (New York: New York University Press, 1997), hlm. 184. 8 Stephen Sherlock, Indonesia’s Regional Representative Assembly: Democracy, Representation and the Regions, (Australia: Centre for Democratic Institutions Research School of Social Sciences, Australian National University, 2005). 9 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24C ayat (1): “MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. 6
368
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 365-381
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
B. Metode Penelitian
ing
BP HN
menaati Putusan MK. Pendekatan konsep dilakukan mulai dari mendalami konsep negara hukum, konsep kedaulatan rakyat. Pendekatan historis dilakukan dengan cara meneliti latar belakang dan argumentasi hukum MK dalam Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 dan materi kewenangan DPD yang tertuang dalam UU MD3. Dalam penelitian hukum normatif, pengolahan data pada hakikatnya merupakan kegiatan untuk mensistematisasi bahan hukum. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.12 Analisis bahan hukum dilakukan melalui tiga tahapan. Pertama, bahan hukum atau fakta yang dikumpulkan disistematisir yakni ditata dan disesuaikan dengan obyek yang diteliti. Kedua, bahan yang telah disistematisir dieksplikasi atau diuraikan dan dijelaskan sesuai obyek yang diteliti berdasarkan teori. Ketiga, bahan yang telah dieksplikasi dilakukan evaluasi, dinilai dengan menggunakan ukuran ketentuan hukum yang berlaku sehingga ditemukan ada yang sesuai dan ada tidak sesuai (bertentangan) dengan hukum yang berlaku.13
ind
memiliki kekuatan hukum tetap dan memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan oleh semua orang, Lembaga Negara dan badan hukum dalam yurisdiksi Indonesia. Pada tanggal 8 Juli 2014, rapat paripurna DPR mengesahkan RUU perubahan UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPD, dan DPRD menjadi UU MD3. Materi ayat, pasal dan/atau bagian dari UU MD3 tersebut tidak sesuai dengan UUD NRI 1945 dan Putusan MK yang menyangkut kedudukan DPD. Ketidaktaatan penyusunan UU MD3 pada putusan MK merupakan pengingkaran UUD NRI 1945 dan perkembangan ini merupakan langkah mundur reformasi.
C. Pembahasan 1. Teori Negara Hukum
Istilah konstitusi telah lama dikenal sejak zaman Yunani Kuno, diduga konstitusi Athena yang ditulis oleh Xenophon (abad 425 SM) merupakan konstitusi pertama dipandang
Jur
na
lR ec hts V
Penelitian ini merupakan penelitian terhadap Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 dengan menggunakan metode normatif. Penelitian hukum normatif mendasarkan pada hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Norma dalam hal ini mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin Penelitian ini menggunakan (ajaran).10 pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan historis (historical approach).11 Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah berbagai peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya yang mengatur tentang kewajiban untuk
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 34. 11 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia, 2005), hlm. 302. 12 Sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 251252. 13 Abdul Latif, Fungsi MKdalam Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, (Yogyakarta: Total Media, 2007), hlm. 61. 10
Politik Hukum Kewenangan Konstitusional Dewan Perwakilan Daerah dalam Proses Legislasi ... (Anna Triningsih)
369
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
mencakup 4 (empat) elemen penting yaitu: 1) perlindungan hak asasi manusia; 2) pembagian kekuasaan; 3) pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan 4) peradilan tata usaha negara.16 A.V. Dicey menguraikan ada 3 (tiga) ciri penting dalam negara yang disebut dengan istilah “the rule of law” yaitu: 1) supremacy of law; 2) equality before the law; dan 3) due process of law.17 Memasuki abad XX, konsep negara hukum mengalami perkembangan yang menginginkan kehidupan yang lebih demokrasi. Menurut Scheltema, ada 4 (empat) unsur negara hukum yaitu: 1) adanya kepastian hukum; 2) asas persamaan; 3) asas demokrasi; dan 4) asas pemerintahan untuk rakyat.18 Perubahan UUD NRI 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara dilakukan dengan mempertegas kekuasaan dan wewenang lembaga negara berdasarkan fungsi penyelenggaraan negara yang dibangun dalam sistem hubungan checks and balances. Perubahan tersebut membawa implikasi konstitusional yang mendalam yang tercermin pada sistem penyelenggaraan kekuasaan negara setelah perubahan. Jika kedaulatan rakyat sebelum perubahan dilakukan sepenuhnya oleh MPR, maka setelah perubahan kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD NRI 1945 yang didalamnya diatur mekanisme penyelenggaraan kedaulatan rakyat sesuai dengan fungsi dan kewenangannya. Dalam hal ini DPR, DPD dan Presiden menyelenggarakan kedaulatan rakyat
na
lR ec hts V
ind
sebagai alat demokrasi yang sempurna. Dapat diduga bahwa pemahaman orang tentang apa yang diartikan konstitusi, sejalan dengan pemikiran orang-orang Yunani Kuno tentang negara. Hal ini dapat diketahui dari paham Socrates yang kemudian dikembangkan oleh muridnya Plato, dalam bukunya politea atau negara, yang memuat ajaran-ajaran Plato tentang negara atau hukum, dan bukunya Nomoi atau undang-undang dan juga tulisan Aristoteles dalam bukunya politica yang membicarakan tentang negara hukum atau negara (keadilan).14 Ide negara hukum, selain terkait dengan konsep rechtsstaats dan the rule of law, juga berkaitan dengan konsep nomocracy yang berasal dari kata nomos dan cratos. Kata nomokrasi dapat dibandingkan dengan demos dan cratos aau kratein dalam demokrasi. Nomos berarti norma, sedangkan cratos adalah kekuasaan. Faktor penentu dalam kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide keadulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah yang dikembangkan A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang dikembangkan di Amerika Serikat menjadi jargon “the rule of law, and not of man”. Sesungguhnya yang dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang.15 Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebutnya dengan istilah rechtsstaats ini
14
Jur
15
Titik Triwulan Tutik, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD NRI 1945, Cetakan Kedua, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 43. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta: Konpress, 2006), hlm. 151. Ibid, hlm. 152. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Bernegara: Praksis Kenegaraan Bermartabat dan Demokratis, (Malang: Setara Press, 2015), hlm. 86. Untuk uraian prinsip–prinsip the rule of law di Inggris, lihat A.V. Dicey, Inroduction to the study of the law of the constitution, Tenth Edition, London: Macmillan Education LTD, 1959. Dewan Perwakilan Daerah RI, Konstitusi Republik Indonesia Menuju Perubahan Kelima, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Grafitribudi Utami, 2009), hlm. 14.
16 17
18
370
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 365-381
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
lR ec hts V
ind
Menurut J Jacques Rousseau, konsep kedaulatan bersifat kerakyatan dan didasarkan pada kemauan umum (volunte generale) rakyat yang menjelma melalui perundangundangan. Oleh sebab itu, menurutnya, konsep kedaulatan mempunyai sifat-sifat yaitu19: 1) kesatuan (unite), bersifat monistis; 2) bulat dan tidak berbagi (individisibilite); 3) tidak dapat dialihkan (inalienabilite); dan 4) tidak dapat berubah (imprescriptibilite). Teori ini juga diikuti oleh Immanuel Kant, mengatakan bahwa tujuan negara itu adalah menegakkan hukum dan menjamin kebebasan daripada para warga negaranya.Dalam hal pengertian bahwa kebebasaan-kebebasan disini adalah kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan, sedangkan undang-undang disini yang berhak membuat adalah masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, undang-undang merupakan penjelmaan dari pada kemauan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang mewakili kekuasaan tertinggi atau kedaulatan.20 Indonesia adalah satu negara yang menjadikan demokrasi sebagai aturan dasarnya. Sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, dengan ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa pemilik kedaulatan dalam
BP HN
2. Teori Kedaulatan Rakyat
negara Indonesia adalah rakyat, pelaksanaan kedaulatan ditentukan menurut UUD NRI 1945.21 Pelaksanaan kedaulatan negara Indonesia menurut UUD NRI 1945 adalah rakyat dan lembaga-lembaga negara yang berfungsi menjalankan tugas-tugas kenegaraan sebagai representasi kedaulatan rakyat. UUD NRI 1945 menentukan, bahwa rakyat dapat secara langsung melaksanakan kedaulatan yang dimilikinya. Keterlibatan rakyat sebagai pelaksana kedaulatan di dalam UUD NRI 1945 ditentukan dalam hal: a. Mengisi keanggotaan MPR, karena anggota MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang terpilih melalui pemilihan umum, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1). b. Mengisi keanggotaan DPR melalu pemilihan umum, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (1). c. Mengisi keanggotaan DPD, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 22C ayat (1). d. Memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam satu pasangan secara langsung, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6A ayat (1).
ing
dibidang legislasi sesuai dengan ketentuan UUD NRI 1945.
na
UUD NRI 1945 menentukan secara tegas bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum,22 yang jumlahnya sama untuk setiap provinsi serta seluruh anggota DPD tidak lebih dari sepertiga anggota DPR.23 Penegasan jumlah wakil yang sama dari
19 20
Jur
21
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, 2006, hlm. 152. Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Kenegaraan Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 104. Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 ayat (2): “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 22C ayat (1) “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum”. Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 22C ayat (2) “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat”.
22 23
Politik Hukum Kewenangan Konstitusional Dewan Perwakilan Daerah dalam Proses Legislasi ... (Anna Triningsih)
371
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
3. Tugas dan Fungsi DPD dalam Sistem Ketatanegaraan
Jur
na
BP HN
lR ec hts V
ind
DPD sebagai lembaga perwakilan rakyat dari daerah yang ada di pusat dalam menyalurkan aspirasi rakyat harus memiliki fungsi yang jelas. Menurut Jimly Asshiddiqie, fungsi parlemen dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu fungsi pengaturan (legislasi), fungsi pengawasan (kontrol), fungsi perwakilan dan representasi.24 Pengaturan mengenai fungsi DPD ini dijabarkan dalam Pasal 22D UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa: (1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaa sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. (2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undangan yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. (3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai; otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
ing
setiap provinsi mengandung maksud bahwa setiap provinsi di Indonesia diperlakukan sama menurut UUD NRI 1945, sekecil apapun daerah provinsi itu merupakan bagian dari wilayah Indonesia yang menjadikan Indonesia bersatu. Anggota DPD tidak lebih dari sepertiga anggota DPR, dimaksudkan agar ada perimbangan keanggotaan MPR yang terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD.
Pengaturan fungsi DPD ini pun dijabarkan dalam Pasal 223 ayat (1) UU 27/2009, yang mengatur bahwa DPD mempunyai fungsi: a. pengajuan usul kepada DPR mengenai rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; b. ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm.160.
24
372
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 365-381
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
pertimbangan kepada DPR terkait RUU APBN, RUU berkaitan dengan pajak, pendidikanm dan agama dan pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam hal pengawasan, tugas dan fungsi DPD pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai pertimbangan untuk ditindak lanjuti terkait dengan bidang otonomi daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat dan daerah, pelaksanaan APBN, pajak, pendidika dan agama dan menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan BPK. Mengenai fungsi anggaran, merupakan fungsi khusus yang dirangkum ketiga fungsi diatas terkait masalah keuangan dan anggaran. Mempunyai tugas dan wewenang dapat mengajukan RUU tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah (legislasi), memberikan perimbangan terhadap RUU APBN (konsultasi), melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan APBN (kontrol), perimbangan keuangan pusat dan daerah, terkait RUU APBN, serta pelaksanaan APBN.
ind
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; c. pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; dan d. pengawasan atas pelaksanaan undangundang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
4. Politik Hukum Kewenangan Legislasi DPD Pasca Putusan MK Nomor 92/ PUU-X/2012
Legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Dengan
Jur
na
lR ec hts V
Kewenangan DPD dalam Pasal 22D ayat (1) UUD NRI 1945, dibatasi hanya dapat mengajukan rancangan undang-undang tertentu kepada DPR, DPD tidak memiliki kewenangan membahas sampai dengan memutuskan suatu rancangan undang-undang, bahkan yang terkait langsung dengan daerah, sehingga DPD tidak dapat secara optimal mengawal aspirasi masyarakat dan daerah dalam pembentukan Pengawasan atas legislasi nasional.25 pelaksanaan undang-undang yang dilakukan DPD sebagaimana ketentuan Pasal 22D ayat (3) tidak efektif karena hasil pengawasan DPD tidak secara langsung disampaikan kepada pemerintah tetapi disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan.26 Terkait fungsi pertimbangan (konsultasi) DPD mempunyai tugas dan wewenang untuk memberikan
Kelompok DPD di MPR RI, Eksistensi DPD RI 2009-2013 Untuk Daerah dan NKRI, Cetakan Kedua, (Jakarta: Kelompok DPD di MPR RI, 2013), hlm. 53. 26 Ibid, hlm. 54. 25
Politik Hukum Kewenangan Konstitusional Dewan Perwakilan Daerah dalam Proses Legislasi ... (Anna Triningsih)
373
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
sebagai implementasi dari putusan tersebut, tetap saja memuat ketentuan pasal-pasal yang mereduksi, bahkan mengikis kewenangan konstitusional sebagaimana telah ditegaskan oleh MK. Tidak menghormati, mematuhi dan melaksanakan putusan MK yang bersifat erga omnes berarti menunjukkan ketidakpatuhan terhadap konstitusi itu sendiri. Secara umum substansi UU MD3 yang mengatur aspek kelembagaan antara DPR dan DPD sangat timpang, padahal dalam sistematika UUD NRI 1945 kedua lembaga ini adalah lembaga negara yang dipergunakan untuk mengimplementasikan checks and balances dalam paradigma demokrasidesentralistik. Demokrasi desentralistik adalah konsep partisipasi atau keikutsertaan daerah (teritorial) dalam perumusan kebijakan publik ditingkat nasional. UU MD3 pasca putusan MK dinilai memiliki problem substantif/ materil akibat materi muatannya bertentangan dengan UUD NRI 1945 yang mengakibatkan kerugian konstitusional terhadap DPD, meliputi dikuranginya kewenangan DPD untuk dapat mengajukan RUU, dikuranginya kewenangan DPD untuk membahas RUU dan dikuranginya kewenangan DPD dalam kedudukannya sebagai lembaga perwakilan daerah.
Jur
na
lR ec hts V
ind
demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam pembukaan UUD NRI 1945.27 Pendapat Mahkamah yang dituangkan dalam putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 bahwa Mahkamah menyatakan seluruh ketentuan UU 27/2009 dan UU P3 yang telah mereduksi atau mengurangi kewenangan DPD yang ditentukan oleh UUD NRI 1945 atau telah mengurangi fungsi, tugas, dan kewenangan DPD sebagaimana yang telah dikehendaki oleh konstitusi dan sebagaimana dimaksudkan pada saat DPD dibentuk dan diadakan dalam konstitusi haruslah dinyatakan inkonstitusional dan diposisikan sebagaimana mestinya sesuai dengan UUD NRI 1945. Seluruh ketentuan yang mereduksi atau mengurangi kewenangan DPD dalam kedua undang-undang tersebut, yang berkaitan dengan kewenagan DPD harus dinyatakan bertentangan dengan UndangUndang dan dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD NRI 1945 apabila tidak sesuai dengan pemahaman atau penafsiran yang diberikan oleh MK. Terhadap penjelasan umum dan penjelasan pasal-demi pasal kedua undang-undang tersebut yang berkaitan dengan kewenangan DPD, harus pula dianggap menyesuaikan dengan pemahaman atau penafsiran yang diberikan oleh mahkamah.28 UU MD3 yang dibentuk pasca putusan MK
a. Dikuranginya Kewenangan DPD Untuk Dapat Mengajukan RUU
Kewenangan DPD untuk dapat mengajukan RUU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D ayat (1) UUD NRI 1945 telah direduksi atau dirugikan oleh ketentuan-ketentuan dalam UU MD3 yaitu Pasal 166 ayat (2), Pasal 167
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 1. Indonesia, Putusan MKNomor 92/PUU-X/2012.
27 28
374
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 365-381
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
“dalam keadaan tertentu, DPR, DPD, atau Presiden dapat mengajukan RUU diluar Prolegnas mencakup:
1) Untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam; dan 2) Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan materi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum”.
ing
Pasal 277 ayat (1)31 UU MD3, dalam pasal ini, surat kepada Presiden hanya bersifat tembusan, padahal berdasarkan putusan MK Nomor 92/ PUU-X/2012 butir 1.17.532 dan butir 1.18.1433, yang artinya MK telah mendudukan kedudukan DPR dan Presiden dalam RUU dari DPD adalah setara. Kerugian kewenangan yang diderita DPD terkait dengan surat yang bersifat tembusan tersebut adalah terkuranginya kedudukan kese taraan DPD dengan DPR dan Presiden dalam pengajuan RUU. Pasal 277 ayat (2) tersebut sa ngat berbeda bila dibandingkan dengan Pasal 278 ayat (2)34 UU MD3, walaupun sama-sama disampaikan kepada Presiden yang bukan merupakan tembusan tetapi surat langsung.
lR ec hts V
ind
ayat (1), Pasal 276 ayat (1), dan Pasal 277 ayat (1), untuk dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, hal ini dikarenakan Pasal 166 ayat (2)29 dan Pasal 167 ayat (1)30 UU MD3. Ketentuan-ketentuan tersebut mengakibatkan pemasungan konstitusional terhadap DPD karena RUU yang diajukan DPD difilter oleh pimpinan DPR untuk disampaikan kepada Presiden mengingat tidak ada norma yang memerintahkan DPD untuk menyampaikan RUU beserta naskah akademik kepada Presiden. Dalam Pasal 276 ayat (1) UU MD3, ketentuan ini mereduksi wewenang DPD karena menyebabkan DPD hanya dapat mengajukan RUU yang ada dalam Prolegnas. Padahal Pasal 22D ayat (1) UUD NRI 1945 yang ditafsirkan MK melalui putusannya bahwa DPD dapat mengajukan RUU berdasarkan pada daftar kumulatif terbuka:
Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, Pasal 166 ayat (2) “Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta naskah akademik disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR”. 30 Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, Pasal 167 ayat (1) “Rancangan Undang-Undang beserta naskah akademik yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR”. 31 Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, Pasal 277 ayat (1) “Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (3) beserta naskah akademik disampaikan dengan surat pengantar pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden”. 32 Indonesia, Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 butir 1.17.5 halaman 254 “Rancangan Undang-Undang beserta penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan kepada Presiden dan harys disertai naskah akademik”. 33 Indonesia, Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 butir 1.18.14 halaman 258 “Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan kepada Presiden dan harus disertai naskah akademik”. 34 Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, Pasal 278 ayat (2) “Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada DPR dan Presiden dengan surat pengantar pimpinan DPD”.
Jur
na
29
Politik Hukum Kewenangan Konstitusional Dewan Perwakilan Daerah dalam Proses Legislasi ... (Anna Triningsih)
375
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
lR ec hts V
ind
Untuk kewenangan ini, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D ayat (2) UUD NRI 1945 direduksi/dirugikan oleh ketentuanketentuan dalam Pasal 71 huruf c, Pasal 165, Pasal 166, Pasal 170 ayat (5), Pasal 171 ayat (1) dan Pasal 249 huruf b. UU MD3 telah mengurangi kewenangan DPD yang terkait untuk ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya adalam dan sumber daya ekonomi lainnya. Hal ini tertuang dalam Pasal 71 huruf c35, dimana DPD dirugikan dengan adanya ketentuan tersebut. Ketentuan tersebut hanya mengatur dalam hal RUU dari Presiden dan DPR. Untuk RUU yang diajukan DPD tidak ada pengaturannya dalam Pasal 71. Pasal 165 dan Pasal 166 UU MD3 hanya mengatur penyampaian RUU untuk dibahas yang diajukan oleh Presiden dan DPD untuk RUU berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah, tidak diatur untuk disampaikan kepada DPD. RUU dari DPR berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah tidak diatur untuk disampaikan kepada DPD. Akibatnya, kewenangan DPD terkait hal ini tidak ada atau dikurangi. Ketentuan Pasal 170 ayat (5)36 UU MD3 mendelegitimasi kewenangan DPD dalam pembahasan RUU karena bersifat under estimate keberadaan DPD. Di dalam putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 sebenarnya ketentuan Pasal 170 ayat (5)37 dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945. Dengan adanya ketentuan tersebut, DPD dirugikan kewenangannya karena tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pernyataan akhir. Padahal pernyataan akhir itu penting, sebagai bentuk akuntabilitas publik dalam suatu pembahasan RUU, bukan dalam konteks persetujuan atau penolakan RUU. Begitupun dengan Pasal 249 huruf b UU MD3, ketentuan ini mengaburkan pihak yang menjadi subjek RUU sehingga mengurangi kewenangan DPD dalam proses RUU. Dibandingkan dengan
ing
b. Dikuranginya Kewenangan DPD Untuk Ikut Membahas RUU
na
Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, Pasal 71 huruf c “DPD berwenang (c) membahas RUU yang diajukan Presiden dan DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya adalam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama anatar DPR dan Presiden”. 36 Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, Pasal 170 ayat (5) “Dalam hal DPD tidak menyampaikan pandangan sebagaimana dimkasud pada ayat (2) huruf b dan d dan/atau tidak menyampaikan pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan”. 37 Indonesia, Putusan MKNomor 92/PUU-X/2012 berbunyi “Pasal 150 ayat (5) UU 27/2009 serta Pasal 68 ayat (5) UU P3 telah mereduksi kewenangan DPD dengan mengatur bahwa pembahasan RUU tetap dilaksanakan meski tanpa keterlibatan DPD”.
Jur
35
376
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 365-381
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
lR ec hts V
ind
Kewenangan DPD sebagai lembaga perwakilan daerah sebagaimana dimaksud dalam BAB VIIA DEWAN PERWAKILAN DAERAH Pasal 22C dan Pasal 22D UUD NRI 1945 direduksi/dirugikan oleh ketentuan-ketentuan dalam UU MD3yaitu Pasal 72, Pasal 174 ayat (1), Pasal 174 ayat (4), Pasal 174 ayat (5), Pasal 250 ayat (1), Pasal 245 ayat (1), Pasal 252 ayat (4), Pasal 281, Pasal 305, dan Pasal 307 ayat (2). Pasal 72 UU MD339 belum mengakomodasi tugas DPR untuk membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang dilakukan oleh DPD. Selain itu juga belum memasukkan tugas DPR membahas dan menindaklanjuti pertimbangan DPD terhadap calon anggota BPK. Tidak diaturnya kedua hal tersebut, merugikan
BP HN
c. Dikuranginya Kewenangan DPD Dalam Kedudukannya Sebagai Lembaga Perwakilan Daerah
kewenangan DPD sebagaimana yang telah dijamin UUD NRI 1945. Ketentuan Pasal 174 ayat (1)40 dan Pasal 174 ayat (4)41 UU MD3membatasi kewenangan DPD untuk memberikan pertimbangan mengenai RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama karena berupa pertimbangan tertulis. Pertimbangan DPD harusnya sudah masuk dalam tahap pembahasan antara DPR dan Presiden. Frasa pertimbangan tentu tidak hanya sekedar pertimbangan secara tertulis, melainkan juga harus disampaikan didalam tahap penjelasan. Apabila hanya tertulis dan dilakukan sebelum memasuki tahap pembahasan antara DPR dan Presiden. Penyampaian secara tertulis hanya bermakna pemenuhan syarat formalitas belaka, maka proses semacam ini jelas mengelabui kewenangan dan tugas DPD sebagaimana amanat Pasal 22D ayat (2) UUD NRI 1945. Pasal 174 ayat (5) UU MD3 merugikan DPD karena kedudukan DPD masih tetap dianggap
ing
Pasal 224 ayat (1) huruf b dan c UU 27/2009,38 ketentuannya lebih jelas.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, Pasal 224 ayat (1) huruf b “DPD ikut serta membahas bersam DPR dan Presiden RUU yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud huruf a”. Sedangkan huruf c “DPD ikut membahas bersama DPR dan Presiden RUU yang diajukan oleh Presiden dan DPR, yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a”. 39 Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, Pasal 72 “DPR bertugas: a. menyusun, membahas, menetapkan, dan menyebarluaskan Program Legislasi Nasional; b. menyusun, membahas, dan menyebarluaskan rancangan undang-undang; c. menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah; e. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK; f. memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara; g. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; dan h. melaksanakan tugas lain yang diatur dalam undang-undang”. 40 Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, Pasal 174 ayat (1) “DPR menerima dan menindaklanjuti pertimbangan tertulis mengenai RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama yang disampaikan oleh DPD sebelum memasuki tahap pembahasan antara DPR dan Presiden”. 41 Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, Pasal 174 ayat (4) “Pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan secara tertulis melalui pimpinan DPR paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya surat pimpinan DPR, kecuali RUU tentang APBN dsampaikan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden”.
Jur
na
38
Politik Hukum Kewenangan Konstitusional Dewan Perwakilan Daerah dalam Proses Legislasi ... (Anna Triningsih)
377
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota MPR yang berasal dari DPR yang disangka melakukan tindak pidana dilakukan dengan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan DPR. Dengan demikian, terjadi diskriminasi antar anggota lembaga perwakilan. Ketentuan Pasal 250 ayat (1) UU MD3 berbeda sifat kewenangan penyusunan anggaran bagi MPR dan DPR sebagaimana diatur Pasal 6 ayat (1) bahwa MPR memiliki kemandirian dalam menyusun anggaran dan Pasal 75 ayat (1) DPR memiliki kemandirian.43 Berbeda dengan Pasal 250 ayat (1) UU MD3yang mengatur DPD tidak ada pengaturan kemandirian DPD dalam menyusun anggaran. Ketentuan ini juga merugikan DPD karena bersifat diskriminatif. Dalam Pasal 252 ayat (4) UU MD3, DPD mempunyai kantor di ibukota provinsi daerah pemilihannya.44 Namun DPD dirugikan karena tidak ada kepastian waktu (time frame) pembangunan kantor dimaksud. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 402 UU 27/2009 yang telah dihapus dimana penyediaan kantor DPD disetiap ibukota provinsi dilakukan secara bertahap oleh pemerintah paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang diundangkan. Untuk Pasal 28145 UU MD3, mereduksi kewenangan dalam memberikan pertimbangan
lR ec hts V
ind
subordinasi dari DPR, karena pertimbangan yang diberikan oleh DPD tidak dalam forum tripatrit kelembagaan, melainkan di dalam forum DPR melalui alat kelengkapan DPR.42 Begitupun dengan ketentuan Pasal 224 ayat (5) dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3, kedua ketentuan tersebut mendelegitimasi kewenangan DPD dalam kedudukan sebagai lembaga perwakilan daerah karena menciptakan ketidakseimbangan kedudukan antar lembaga perwakilan. Dengan adanya persetujuan tertulis dari mahkamah kehormatan dewan dalam hal pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sedangkan bagi anggota DPD yang berdasarkan Pasal 289 ayat (1) UU 27/2009 harus mendapat persetujuan dari Presiden, dihapus, maka terjadi perlakuan yang diskriminatif antar lembaga perwakilan. Demikian pula ketika anggota DPD menjadi anggota MPR, dengan dihapuskannya Pasal 66 UU 27/2009 berpengaruh kepada penyidikan terhadap anggota MPR yang berasal dari DPD. Pengaruhnya adalah pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota MPR yang berasal dari anggota DPD yang disangka melakukan tindak pidana tanpa melalui persetujuan tertulis dari Presiden. Sedangkan pemanggilan dan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, Pasal 174 ayat (5) “Pada Rapat Paripurna DPR berikutnya, pimpinan DPR memberitahukan kepada anggota DPR perihal diterimanya pertimbangan DPD atas RUU sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan meneruskannya kepada Badan Musyawarah untuk dditeruskan kepada alat kelengkapan DPR yang akan membahasnya”. 43 Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, Pasal 250 ayat (1) “Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249, DPD menyusun anggaran yang dituangkan dalam program dan kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. 44 Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, Pasal 252 ayat (4) “Anggota DPD dalam menjalankan tugasnya berdomisi didaerah pemilihannya dan mempunyai kantor di ibukota provinsi daerah pemilihannya”. 45 Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, Pasal 281 “DPD memberikan pertimbangan terhadap RUU sebagaiman dimaksud dalam Pasal 253 ayat (1)huruf c kepada pimpinan DPR”.
Jur
na
42
378
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 365-381
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
DPR dan Presiden; b) Hak/kewenangan DPD sama dengan DPR dan Presiden dalam membahas Rancangan Undang-Undang tertentu; c) DPD ikut membahas RUU, tetapi tidak ikut memberi persetujuan terhadap RUU menjadi UU; d) DPD ikut menyusun Program Legislasi Nasional; dan e) DPD memberikan pertimbangan tanpa ikut serta dalam pembahasan RUU. Dalam hal ini, DPR dan Presiden wajib untuk meminta pertimbangan DPD atas RUU APBN. Hal tersebut telah dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang dengan dikeluarkannya UU MD3. Akan tetapi ketentuanketentuan UU MD3 tersebut telah merugikan hak konstitusional DPD di bidang legislasi sebagaimana telah dijamin UUD NRI 1945. Hal ini menunjukan bahwa pembentukan UU MD3 nyata-nyata tidak menghormati putusan MK yang diberi mandat UUD NRI 1945 sebagai lembaga penafsir dan penjaga konstitusi, tidak menghormati, mematuhi, dan melaksanakan putusan MK ini menunjukkan ketidakpatuhan terhadap putusan lembaga negara yang telah ditunjuk konstitusi untuk mengawal kemurnian pelaksanaan konstitusi. Terlepas dari pelanggaran yang secara sengaja dilakukan pembuat UU sebagaimana dimaksud di atas, maka terdapat 2 (dua) formalitas yang dilanggar dalam proses pembuatan UU MD3. Pertama, keikutsertaan DPD untuk mengajukan RUU dan membahasa serta menyetujui RUU MD3 yang menyangkut kedudukan, susunan dan kewenangan DPD. Sebagaimana putusan MK
lR ec hts V
ind
RUU sebagaimana amanat UUD NRI 1945 karena pertimbangannya disampaikan kepada pimpinan DPR. Pentingnya kepada DPR bukan kepada pimpinan DPR karena DPD dalam mengajukannya tidak ditentukan oleh undangundang tersebut oleh pimpinan DPD. Pasal 30546 UU MD3ini juga bersifat diskriminatif sehingga merugikan DPD karena hanya ditujukan kepada anggota DPD, sedangkan ketentuan serupa untuk DPR telah dihapus. Begitupun dalam hal terkait dengan ketentuan pergantian antar waktu dalam Pasal 307 ayat (2)47 UU MD3huruf d hanya ditujukan kepada anggota DPD. Ketentuan serupa untuk anggota DPR telah dihapus. Bahwa kewenangan konstitusional DPD tersebut telah sangat merugikan dengan berlakunya UU MD3. Kerugikan tersebut bersifat spesifik dan potensial berdasarkan penalaran yang wajar dipastikan akan terjadi serta mempunyai hubungan kausal dengan berlakunya pasalpasal dalam undang-undang tersebut.
D. Penutup
na
Politik hukum legislasi pasca Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 ialah dengan melakukan revisi UU 27/2009, UU P3, yang berkaitan dengan 5 (lima) hal substansial sebagaimana yang terdapat dalam Putusan MK Nomor 92/ PUU-X/2012, yaitu: a) dalam mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berkaitan dengan daerah, DPD setara dengan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, Pasal 305 “Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan DPD dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPD yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 262 dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302”. 47 Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, Pasal 307 ayat (2) huruf d “Tidak menghadiri sidang parpurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah”.
Jur
46
Politik Hukum Kewenangan Konstitusional Dewan Perwakilan Daerah dalam Proses Legislasi ... (Anna Triningsih)
379
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, 2006) Asshiddiqie, Jimly, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007) Dewan Perwakilan Daerah, Konstitusi Republik Indonesia Menuju Perubahan Kelima, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Grafitribudi Utami, 2009) Dicey, A.V., Inroduction to the study of the law of the constitution, Tenth Edition (London: Macmillan Education LTD, 1959) Fajar, Mukti, dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia, 2005). Kelompok DPD di MPR RI, Eksistensi DPD RI 20092013 Untuk Daerah dan NKRI, Cetakan Kedua, (Jakarta: Kelompok DPD di MPR RI, 2013) Latif, Abdul, Fungsi MK dalam Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi (Yogyakarta: Total Media, 2007) Mahfud MD, Moh., Dasar dan Struktur Kenegaraan Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001) Mahfud MD, Moh., Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2011) Sartori, Giovanni, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes (New York: New York University Press, 1997) Sekretariat Jenderal DPD RI, Profil Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Tahun Sidang 20142015, (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPD RI, 2015) Sherlock, Stephen, Indonesia’s Regional Representative Assembly: Democracy, Representation and the Regions, (Australia: Centre for Democratic Institutions Research School of Social Sciences, Australian National University, 2005) Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986) Tutik, Titik Triwulan, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD NRI 1945, Cetakan Kedua (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006)
lR ec hts V
ind
Nomor 92/PUU-X/2012 yang telah menafsirkan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945 memberi kedudukan DPD yang setara dengan Presiden dan DPR, maka pengesampingan DPD dalam proses pengajuan dan pembahasan UU MD3 merupakan pelanggaran terhadap UUD NRI 1945. Setiap pembahasan yang tidak mengikutsertakan DPD dalam pembuatan undang-undang yang menyangkut dirinya, merupakan pembentukan undang-undang yang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD (cacat prosedural), akan berakibat bahwa undang-undang demikian tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan. Kedua, perintah konstitusi untuk mengatur susunan dan kedudukan DPD “dengan UndangUndang”, memberi indikasi bahwa undangundang dimaksud akan dibuat secara tersendiri dan tidak rada dalam satu undang-undang yang sama dengan MPR, DPR, DPRD. Pembentuk Undang-Undang dalam hal ini DPR dan Presiden harus segera melakukan perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan dengan berpijak pada ramburambu konstitusional Putusan MK Nomor 92/ PUU-X/2012.
DAFTAR PUSTAKA Buku
Jur
na
Arifin, Firmansyah, dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) bekerjasama dengan MK Republik Indonesia (MKRI), 2005) Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi Bernegara: Praksis Kenegaraan Bermartabat dan Demokratis, (Malang: Setara Press, 2015) Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta: Konpress, 2006)
380
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 365-381
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Peraturan
DPD Sambut Baik Putusan MK soal Kewenangan Legislasi”, Rabu, 23 Maret 2013. http://nasional. kompas.com/read/2013/03/27/18574762/DPD. Sambut.Baik.Putusan.MK.soal.Kewenangan. Legislasi. (Diakses 22 Maret 2014)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPD, dan DPRD Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPD, dan DPRD Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/ PUU-X/2012.
Jur
na
lR ec hts V
ind
ing
BP HN
Internet
Politik Hukum Kewenangan Konstitusional Dewan Perwakilan Daerah dalam Proses Legislasi ... (Anna Triningsih)
381
lR ec hts V
ind
ing
BP HN
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Jur
na
”Halaman ini dikosongkan”
382
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 21-41
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
FUNGSI LEGISLASI MAJELIS TINGGI DI INDONESIA DAN JERMAN: PERBANDINGAN ANTARA DPD DENGAN BUNDESRAT (Legislative Function of Upper House in Indonesia and Germany: Comparison Between DPD and Bundesrat) Abdurrachman Satrio Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Jl. Dipatiukur No. 35, Bandung Email:
[email protected]
ing
Naskah diterima: 5 Agustus 2015; revisi: 25 November 2015; disetujui: 2 Desember 2015
lR ec hts V
ind
Abstrak Dinamika politik legislasi di tingkat nasional saat ini cenderung meminggirkan kepentingan daerah dan lebih mendahulukan kepentingan politik. Menurut penulis salah satu alasannya disebabkan karena Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai majelis tinggi dan representasi teritorial di tingkat nasional dalam menjalankan fungsinya yang utama yaitu fungsi legislasi tidak memiliki kewenangan yang kuat, terutama bila dibandingkan dengan DPR sebagai majelis rendah dan representasi politik. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba menemukan dasar argumentasi perlunya penguatan terhadap kewenangan konstitusional DPD sebagai majelis tinggi dalam menjalankan fungsi legislasi dengan membandingkan fungsi legislasi yang dimiliki DPD dengan Bundesrat di Jerman sebagai majelis tinggi lainnya yang juga berperan sebagai representasi teritorial di tingkat nasional. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan menitikberatkan adanya kesenjangan antara harapan (das sollen) dan kenyataan (das sein), melalui studi perbandingan akan ditemukan persamaan-persamaan (similiarities) serta perbedaan (contrast) di antara keduanya. Dari perbandingan tersebut terlihat bahwa Bundesrat memiliki fungsi legislasi yang jauh lebih kuat dibandingkan DPD, padahal secara teoritis seharusnya DPD memiliki fungsi legislasi yang lebih kuat sebagai majelis tinggi dibandingkan dengan Bundesrat. Kata Kunci: Bundesrat, majelis tinggi, fungsi legislasi
Jur
na
Abstract The dynamic-political process of legislation in national level at this time, tends to ignore a local interest and give precedence to political interest. In my opinion one of the reason is because Dewan Perwakilan Daerah (DPD) as a territorial representative at national level in order to run the main function that is legislative function has no powerful authority, compare to DPR as a lower house and as political representative. That’s why, this research try to find basic argumentation the need to strengthen the constitutional authority of DPD as upper house to run legislative function by comparing with German upper house (Bundesrat) which has capacity as territorial representative in national scale. This research is conducted in normative-jurist method which focuses on the existence of expectation (das sollen) and reality (das sein), through this comparison it will be found the similarities and differences in those two. From this comparison we find that Bundesrat has a stronger legislative function than DPD well in fact, theoritically legislative function of DPD must be stronger as a upper house compares to Bundesrat. Keywords: Bundesrat, upper house, legislative function
Fungsi Legislasi Majelis Tinggi di Indonesia dan Jerman ... (Abdurrachman Satrio)
383
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
1
5 3
BP HN
Jur
4
C.F. Strong, Modern Political Constitutions, (London: Sidgwick & Jackson, 1972), hlm. 177. Hal ini dibuktikan dengan survey yang dilakukan oleh National Democratic Institute pada tahun 1986 bahwa kebanyakan negara yang memiliki kondisi geografis yang luas dan populasi besar memilih sistem bikameral (pengecualian hanya terhadap Swiss). Lebih jelasnya lihat National Democratic Institute, “One Chamber or Two? Deciding Between a Unicameral And Bicameral Legislature”, Legislative Research Series, Paper #3, (1998): 9. Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Jakarta: FH UII Press, 2003), hlm. 58. Ibid. Penulis memilih menggunakan istilah majelis tinggi dan majelis rendah ketimbang kamar kedua dan kamar pertama dalam menyebut masing-masing kamar yang terdapat dalam sistem bikameral, sebab dalam praktiknya tidak semua negara menganggap majelis rendah yang dipilih secara langsung berdasarkan populasi sebagai kamar pertama, terdapat pula negara-negara yang menganggap bahwa majelis tinggi yang tidak dipilih secara langsung sebagai kamar pertama. Lebih jauh lihat K.C. Wheare, Legislatures, (London: Oxford University Press, 1963), hlm. 198. Jeremy Waldron, “Bicameralism”, Public Law & Legal Theory Research Paper Series Working Paper No. 12-19, New York University School of Law, (2012): 5.
na
2
lR ec hts V
ind
Pada umumnya di dunia ini model-model sistem perwakilan terklasifikasi menjadi dua yaitu sistem perwakilan bikameral (dua kamar) dan sistem perwakilan unikameral (satu kamar). Namun kebanyakan negara-negara besar di dunia ini menganut sistem perwakilan dua kamar sebagaimana hal itu diungkapkan oleh C.F. Strong dalam bukunya bahwa “In the history of great states unicameral constitutionalism is a comparatively rare, and generally temporary, phenomenon, and bicameralism is characteristic of most important states today”,1 sedangkan di negara-negara kecil yang memiliki luas wilayah lebih kecil dan memiliki populasi yang lebih sedikit umumnya memilih sistem perwakilan satu kamar.2 Meskipun besar atau kecilnya suatu negara mempengaruhi dipilihnya model sistem perwakilannya, akan tetapi dipilihnya sistem bikameral itu sendiri tidak dipengaruhi oleh landasan bernegara tertentu, bentuk negara, bentuk pemerintahan, atau sistem pemerintahan tertentu, sebab tiap negara mempunyai pertimbangannya masing-masing.3 Contohnya adalah Inggris yang menganut bentuk pemerintahan kerajaan, bentuk negara kesatuan, dan memiliki sistem pemerintahan
parlementer menjalankan sistem bikameral dengan pertimbangan kesejarahan. Berbeda dengan Inggris, Amerika Serikat yang menganut bentuk pemerintahan republik, bentuk negara federal, dan menganut sistem pemerintahan presidensil memilih sistem bikameral atas hasil kompromi antara negara bagian yang berpenduduk banyak dengan yang berpenduduk sedikit.4 Meski tiap negara memiliki pertimbangan masing-masing dalam menganut sistem bikameral, namun pada dasarnya kunci utama dalam setiap sistem bikameral adalah adanya perbedaan keterwakilan antara kedua kamar yakni majelis tinggi dengan majelis rendah,5 sebab sebagaimana dikemukakan oleh Waldron apabila tidak terdapat perbedaan keterwakilan diantara keduanya maka keberadaan suatu sistem bikameral menjadi sia-sia saja.6 Dalam setiap sistem bikameral itu sendiri pada umumnya terdapat suatu kesamaan dimana majelis rendah atau kamar pertama pengisian keanggotaannya dipilih secara langsung dengan berdasarkan pada populasi dan merupakan keterwakilan politik, sehingga umumnya majelis rendah memiliki kekuasaan yang lebih dominan dibanding kamar kedua atau majelis
ing
A. Pendahuluan
6
384
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 383-398
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
c. Wakil daerah menjadi bagian dari pelaksanaan fungsi parlemen (membentuk undang-undang, mengawasi pemerintah, menetapkan APBN, dan lain-lain). Dengan demikian diharapkan segala kepentingan daerah akan terintegrasi dalam kegiatan parlemen. d. Sistem dua kamar akan lebih produktif karena segala tugas dan wewenang dapat dilakukan setiap unsur.
Namun sayangnya selama jalannya pembahasan di MPR, ide bikameralisme atau sistem perwakilan dua kamar tersebut mendapatkan tantangan yang sangat kuat dari kalangan konservatif yang menolak perubahan UUD 1945, sehingga hasilnya seperti yang kita lihat saat ini merupakan hasil kompromi politik dari kepentingan-kepentingan politik yang bertentangan selama proses pembahasan berlangsung.11 Akibatnya rumusan yang ada saat ini tidak dapat disebut bikameral sama sekali karena lemahnya fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPD,12 padahal apabila berbicara mengenai fungsi lembaga perwakilan dalam suatu negara demokratis maka fungsi yang paling utama adalah fungsi pembentukan undang-undang (fungsi legislasi), sebab mandat yang didapat dari rakyat yang memilih membuat suatu
Jur
8
Lihat Arend Lijphart, Pattern of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Country, (New Haven and London: Yale University Press, 1984), hlm. 91; Lihat juga Alan R. Ball, Modern Politics and Government (Fourth Edition), (London: Macmillan Education, 1988), hlm. 149. TA. Legowo, Keterwakilan Politik dan Tipe Parlemen dalam Perspektif Teoritis dan Sejarah, dalam Gagasan Amandemen UUD 1945 Suatu Rekomendasi, disusun oleh Mohammad Fajrul Falaakh (ed), (Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, 2008), hlm. 223. Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), hlm. 140. Bagir Manan, Op. Cit, hlm. 59. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 69. Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, hlm. 140.
na
7
lR ec hts V
ind
tinggi.7 Sebaliknya majelis tinggi secara umum amat beragam baik dalam keterwakilannya maupun model rekrutmen atau pengisian keanggotaannya.8 Di Indonesia pada saat dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebanyak empat kali pada tahun 1999-2002, muncul gagasan untuk mengubah model sistem perwakilan Indonesia yang terdiri dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dimana MPR tersebut terdiri dari tiga unsur yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Utusan Daerah, dan Utusan Golongan menjadi sistem perwakilan bikameral yang terdiri dari DPR sebagai majelis rendah dan cerminan representasi politik, dengan DPD sebagai majelis tinggi dan cerminan prinsip representasi regional.9 Keinginan untuk menganut sistem dua kamar dengan DPD sebagai kamar kedua dan representasi regional sebagaimana diutarakan oleh Bagir Manan didasari oleh beberapa pertimbangan yaitu:10 a. Sistem dua kamar merupakan suatu mekanisme check and balances antara kamar-kamar dalam satu badan perwakilan. b. Penyederhanaan sistem badan perwakilan tingkat pusat, sehingga hanya ada satu badan perwakilan tingkat pusat yang terdiri dari dua unsur yaitu unsur yang mewakili seluruh rakyat dan unsur yang mewakili daerah.
9
10 11
12
Fungsi Legislasi Majelis Tinggi di Indonesia dan Jerman ... (Abdurrachman Satrio)
385
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang isinya mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah menjadi secara langsung oleh rakyat.16 Berdasarkan contoh tersebut, maka terlihat bahwa saat ini kepentingan daerah cenderung terpinggirkan oleh kepentingan politik dalam dinamika politik legislasi di tingkat nasional yang salah satu sebabnya dikarenakan lemahnya fungsi legislasi yang dimiliki DPD sebagai majelis tinggi yang merupakan representasi daerah, oleh karena itulah agar kedepannya dinamika politik legislasi di tingkat nasional tidak bersifat reaksioner dan cenderung mementingkan kepentingan politik maka dalam artikel ini penulis mencoba mengemukakan argumentasi mengenai perlunya penguatan terhadap fungsi legislasi DPD yang terdapat di UUD 1945 dengan membandingkan fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPD tersebut dengan fungsi legislasi dari majelis tinggi lainnya yang ada di dunia. Dalam pada itu penulis memilih membandingkan fungsi legislasi DPD dengan fungsi legislasi dari Bundesrat sebagai majelis tinggi yang terdapat di Jerman, dimana penulis akan membandingkan fungsi legislasi dari dua majelis tinggi tersebut yang terdapat di masing-masing konstitusinya untuk menemukan perbedaan-perbedaan serta persamaan-persamaan yang terdapat diantara keduanya, yang mana nantinya perbandingan tersebut akan dikontekstualkan dan dijadikan dasar argumentasi mengenai
na
lR ec hts V
ind
lembaga perwakilan diserahi tanggungjawab untuk mengatur di wilayah-wilayah publik.13 Karena lemahnya fungsi legislasi DPD sebagai majelis tinggi atau kamar kedua yang berperan sebagai representasi daerah di tingkat nasional tersebut, maka tak mengherankan apabila dinamika politik legislasi di tingkat nasional yang memiliki dampak besar terhadap daerah cenderung bersifat reaksioner dan tanpa suatu perencanaan yang matang karena lebih mengutamakan kepentingan politis serta meminggirkan kepentingan daerah, contohnya dapat dilihat dari diundangkannya UndangUndang (UU) Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota setahun yang lalu, yang mana UU tersebut mengganti mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat menjadi tidak langsung melalui DPRD. Sebenarnya tidak terdapat suatu alasan yang kuat mengapa mekanisme pemilihan kepala daerah tersebut diganti, karena sesungguhnya penggantian mekanisme pemilihan kepala daerah lewat UU tersebut merupakan suatu akrobat politik dari partai-partai pendukung Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdapat di DPR.14 Hasilnya pun tak mengherankan bila kemudian UU Nomor 22 Tahun 2014 mendapatkan penolakan yang luas dari berbagai elemen masyarakat.15 Penolakan dan tekanan yang luas dari masyarakat tersebut akhirnya menyebabkan pemerintah terpaksa bertindak cepat dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Bivitri Susanti et.al, Semua Harus Terwakili, Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR, dan Lembaga Perwakilan di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2000), hlm. 66. 14 Lihat Saldi Isra, Merampas Daulat Rakyat, Kompas, 12 September 2014. 15 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt543258707db2a/ini-isi-lengkap-perppu-pilkada-langsung (diakses 26 Juli 2015). 16 http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/01/150120_perppu_pilkada_sah (diakses 26 Juli 2015).
Jur
13
386
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 383-398
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
B. Metode Penelitian
BP HN
dari majelis tinggi yang terdapat di Indonesia dan di Jerman. Dari hasil analisis tersebut akan ditemukan persamaan-persamaan (similiarities) serta perbedaan (contrast) di antara keduanya, yang nantinya akan dirumuskan untuk membentuk bagaimana seharusnya fungsi legislasi yang ideal dari DPD di Indonesia.
C. Pembahasan
ing
1. Kedudukan dan Fungsi Legislasi DPD
Sebagai lembaga yang merupakan representasi teritorial dalam tipologi sistem parlemen di Indonesia, maka boleh dikatakan bahwa pembentukan DPD dimaksudkan sebagai upaya institusionalisasi representasi teritorial dalam tipologi sistem parlemen kita, karena sebelumnya apabila kita kaji secara historis representasi teritorial telah terdapat dalam UUD 1945 sebelum amandemen yaitu dalam Utusan Daerah yang merupakan bagian dari MPR, hanya saja tidak dilembagakan.18 Namun sayangnya keinginan untuk menciptakan DPD sebagai kamar kedua yang berperan sebagai representasi teritorial justru menghasilkan parlemen bikameral yang memiliki watak timpang yang luar biasa.19 Hal itu dapat dilihat dalam rumusan mengenai wewenang DPD sebagaimana terdapat dalam Pasal 22D UUD 1945 hanya terbatas terhadap hal-hal berikut: a) DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan: Otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
ind
perlunya penguatan konstitusional terhadap fungsi legislasi DPD agar nantinya DPD mampu mencapai tujuan ketika dibentuknya yaitu mengintegrasikan kepentingan daerah di tingkat nasional. Oleh karena itulah, berdasarkan latar belakang tersebut maka dalam artikel ini terdapat tiga rumusan masalah yang perlu dijawab oleh penulis, yakni: (1) Bagaimana kedudukan dan fungsi legislasi dari DPD sebagai majelis tinggi di Indonesia? (2) Bagaimana kedudukan dan fungsi legislasi dari Bundesrat sebagai majelis tinggi di Jerman? Dan (3) Seperti apa perbandingan keduanya sebagai majelis tinggi?
Jur
na
lR ec hts V
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yaitu suatu metode yang menitikberatkan penelitian karena adanya kesenjangan antara harapan (das sollen) dan kenyataan (das sein). Metode penelitian yuridis normatif dilakukan melalui studi kepustakaan yang menelaah data sekunder, baik yang berupa peraturan perundang-undangan maupun hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lain17 serta pendapat ahli yang berkaitan dengan fungsi legislasi dan kedudukan majelis tinggi di Indonesia dengan Jerman. Kemudian berdasarkan data-data yang didapat tersebut dilakukan analisis kualitatif terhadap teori-teori mengenai fungsi legislasi dan majelis tinggi. Selanjutnya dianalisis bagaimana perbandingan antara teori dan konsep mengenai fungsi legislasi
Ronni Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukun dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 10. Mohammad Fajrul Falakh, “Susunan dan Kedudukan DPD”, dalam DPD dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, disusun oleh Janedri M. Gaffar dkk (eds), (Jakarta: Sekertariat Jenderal MPR, 2003), hlm. 54. 19 Ibid. 17 18
Fungsi Legislasi Majelis Tinggi di Indonesia dan Jerman ... (Abdurrachman Satrio)
387
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
apakah suatu RUU dapat menjadi UU, padahal bagaimanapun juga fungsi legislasi harus dilihat secara utuh yakni dimulai dari proses pengajuan sampai menyetujui sebuah rancangan undangundang.23 Sebetulnya ketimpangan fungsi legislasi antar kamar dalam sistem bikameral bukanlah sesuatu yang aneh, akan tetapi ketimpangan tersebut selalu diupayakan dengan memberi kompensasi kepada kamar lain yang lebih lemah, lazimnya majelis tinggi apabila tidak berhak mengajukan rancangan undang-undang diberi hak konstitusional untuk mengubah, mempertimbangkan, atau menolak rancangan undang-undang yang berasal dari majelis rendah.24 Sekiranya hak tersebut tidak ada, majelis tinggi diberikan hak konstitusional untuk menunda pengesahan rancangan undangundang.25 Sayangnya dalam kewenangannya yang diberikan oleh Pasal 22 UUD 1945 tersebut DPD tidak diberikan hak untuk mengubah dan menolak rancangan undang-undang, bahkan juga tidak diberikan hak untuk menunda pengesahan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Hal ini diperparah karena dalam praktiknya kedudukan DPD semakin “dilemahkan” dalam menjalankan fungsi legislasi, dimana hal itu dapat kita lihat dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan karena kedua UU tersebut semakin melemahkan
ind
daya alam serta sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.20 b) DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan: Otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam serta sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Serta memberi pertimbangan dalam RUU yang berkaitan dengan RAPBN, pajak, pendidikan, dan agama.21
na
lR ec hts V
c) DPD dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU mengenai: Otonomi daerah, pembentukan pemekaran serta penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Hasil pemeriksaan tersebut kemudian disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.22 Berdasarkan wewenang-wewenang terse but, tampak bahwa DPD sebagai lembaga legislatif tidak memiliki kedudukan yang kuat terutama dalam menjalankan fungsinya yang utama yaitu fungsi legislasi karena kewenangannya terbatas hanya sekedar mengajukan, membahas, dan mengawasi RUU tertentu, tidak sampai pada memutuskan
22 23
Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945. Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945. Pasal 22D Ayat (3) UUD 1945. Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi (Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial di Indonesia), (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 257. 24 Ibid, hlm. 258. 25 Ibid, hlm. 259.
Jur
20 21
388
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 383-398
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
DPR, karena anggota DPD sebagaimana DPR sama-sama dipilih oleh rakyat, dimana daerah pemilihan untuk menjadi anggota DPD adalah provinsi dengan kuota masing-masing empat orang untuk tiap-tiap provinsi. Sedangkan untuk anggota DPR daerah pemilihannya meliputi wilayah di bawah provinsi seperti kabupaten dan kota dengan jumlah kursi yang lebih banyak dibanding DPD. Hal inilah yang menyebabkan pakar hukum tata negara Saldi Isra mengatakan bahwa gagasan untuk menciptakan lembaga perwakilan yang mampu menyalurkan aspirasi daerah telah gagal sebagaimana dikutip dalam tulisannya: “With this limited power, DPD acts only as a sub-ordinate of DPR. Such a limitation gives rise to the opinion that the idea to create two chambers in order to provide a way for a new kind of representative from the regions to enter into the world of decisionmaking in the national level has failed. This failure will bring impact to the weakness of local political articulation in any stage of the national decision making process.”28
lR ec hts V
ind
kewenangan DPD dalam mengajukan dan ikut membahas suatu rancangan undang-undang, meskipun akhirnya beberapa ketentuan dalam kedua UU tersebut dibatalkan oleh MK dalam Putusan Nomor 92/PUU-X/2012 yang mengembalikan kedudukan DPD sehingga dapat ikut membahas RUU bersama-sama dengan DPR dan Presiden, serta dipertegas kembali dalam UU 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang merupakan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut. Akan tetapi tetap saja dalam praktiknya kedudukan DPD masih lemah dibandingkan DPR dalam menjalankan fungsi legislasi karena memang secara konstitusional Pasal 22 UUD 1945 telah membatasi kewenangan DPD. Melihat lemahnya kedudukan DPD dalam fungsi legislasi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa peran DPD hanya bersifat penunjang atau auxiliary terhadap fungsi DPR di bidang legislasi karena perannya hanya sebatas colegislator,26 bahkan Stephen Sherlock dengan tegas menyatakan bahwa berdasarkan kewenangannya tersebut DPD tidak dapat disebut sebagai majelis tinggi melainkan hanya suatu “badan pertimbangan” (advisory body) karena bahkan dalam area dimana DPD dapat memberikan pertimbangan (advice) pun juga dibatasi,27 tentu saja hal ini tampak tidak sebanding dengan persyaratan untuk menjadi anggota DPD yang lebih berat dari pada persyaratan untuk menjadi anggota
na
Gagalnya gagasan untuk menjadikan DPD sebagai lembaga perwakilan yang mampu mengintegrasikan kepentingan daerah tersebut menunjukan bahwa keberadaan suatu majelis tinggi tidaklah menjamin akan terciptanya suatu representasi regional yang efektif,29 sehingga saat ini muncul keinginan agar dilakukannya amandemen kelima terhadap UUD 1945, keinginan tersebut digulirkan oleh DPD, dengan didasari oleh dua alasan yakni:
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, hlm. 142. Stephen Sherlock, Indonesia’s Regional Representative Assembly: Democracy, Representation and the Regions, (Canberra: Center for Democratic Institutions, 2005), hlm. 9. 28 Saldi Isra, “The Role of the Second Chamber In the UK and Indonesia”, (makalah merupakan tugas akhir ketika mengikuti Short Course “What Democracy Means” di University of Birmingham UK Januari-April 2006), diselenggarakan oleh Chevening Fellowship, UK, hlm. 6. 29 Lihat William B. Heller and Diana M. Branduse, “The Politics of Bicameralism”, dalam The Oxford Handbook of Legislative Studies, disusun oleh Shane Martin (eds), (Oxford: Oxford University Press, 2014), hlm. 6. 26
Jur
27
Fungsi Legislasi Majelis Tinggi di Indonesia dan Jerman ... (Abdurrachman Satrio)
389
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
dan
Fungsi
Legislasi
BP HN
2. Kedudukan Bundesrat
ing
Apabila dibandingkan dengan Jerman yang juga menganut sistem bikameral dengan Bundesrat sebagai majelis tinggi yang dibentuk dengan tujuan agar Lander (negara bagian) ikut berpartisipasi dalam kegiatan eksekutif dan legislatif yang dilakukan oleh pemerintahan federal,32 maka akan tampak bahwa kedudukan DPD amat lemah dibandingkan dengan kedudukan Bundesrat, sebab meskipun Konstitusi Jerman (Basic Law) tidak meletakan Bundesrat dalam posisi yang setara dengan Bundestag yang merupakan majelis rendah yang dipilih oleh rakyat dan merupakan parlemen tertinggi negara, namun Bundesrat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam seluruh proses legislasi nasional,33 bahkan tidak hanya itu Bundesrat juga dapat ikut berpartisipasi dalam proses administrasi yang dilakukan oleh pemerintahan federal serta hal-hal yang menyangkut keanggotaan Jerman di Uni Eropa.34 Kuatnya kedudukan Bundesrat untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan eksekutif dan legislatif yang dilakukan oleh pemerintahan federal Jerman membuatnya menjadi majelis tinggi yang unik di dunia. Keunikan tersebut muncul lantaran keanggotaan Bundesrat diisi oleh anggota dari pemerintah Lander dan tidak
lR ec hts V
ind
Pertama, ketidaksetaraan DPD dengan DPR. Dimana DPD hanya berperan sebagai pelengkap belaka dalam fungsi legislasi, dimana DPR boleh menunda atau tidak menerima pertimbangan atau usul DPR. Kedua, tata susunan DPR, DPD, dan MPR tidak mencerminkan cita-cita membentuk sistem dua kamar (bicameral), karena seharusnya dalam sistem dua kamar hanya terdapat satu badan perwakilan yang terdiri dari dua unsur perwakilan.30 Sayangnya gagasan untuk melakukan amandemen kelima terhadap sistem dua kamar dalam UUD 1945 tersebut gagal dilakukan karena kurangnya dukungan politik dari anggota-anggota DPR, yang menyebabkan tidak tercapainya kuorum 1/3 anggota MPR untuk mengajukan amandemen terhadap UUD 1945. Meskipun gagal namun adanya keinginan untuk melakukan amandemen kelima terhadap sistem perwakilan tersebut membuktikan bahwa terdapatnya banyak pandangan yang beranggapan bahwa perlunya DPD diberdayakan agar mampu mencapai tujuan ketika dibentuknya yakni mewadahi kepentingan dan aspirasi daerah, yang salah satunya adalah dengan memperkuat fungsi legislasinya.31
Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, Memahami Konstitusi (Makna dan Aktualisasi), (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 231. 31 Lihat pernyataan dari pakar hukum tata negara Sri Soemantri yang menyatakan bahwa “Perlunya sebuah lembaga yang yang dapat memenuhi serta mewadahi kepentingan dan aspirasi daerah. Untuk itu maka perlunya lembaga DPD ini diberdayakan. Dan sebetulnya para pendiri negara kita telah memahami betul adanya kenyataan ini.” (dalam Figur Edisi XII, Tahun 2007). 32 Francois Venter, Constitutional Comparison (Japan, Germany, Canada & South Africa As Constitutional State), (Cape Town: Juta & CO, 2000), hlm. 232. 33 Donald P. Kommers, The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany, (Durham and London: Duke University Press, 1997), hlm. 97. 34 Lihat Article 50 (Chapter IV) German Basic Law: “The States (Lander) participate through the Bundesrat in the legislation and administration of the Federation and in European Union matters.”
Jur
na
30
390
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 383-398
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
di Jerman dikenal dengan istilah “Bundestreue” atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai “federal loyalty”. Pada prinsipnya konsep ini bermakna bahwa hubungan antara federasi dan komponen-komponennya (yang dalam hal ini adalah Lander), serta antar masingmasing komponen dalam memenuhi urusannya haruslah bersifat timbal-balik dan mendukung persatuan dari federasi,39 sehingga amat penting untuk menjaga ikatan antara pemerintah pusat dengan Lander yang mana salah satu cara untuk menjaga ikatan tersebut adalah dengan dibentuknya Bundesrat. Dalam menjalankan kewenangannya untuk berpartisipasi dalam proses legislasi Bundesrat memiliki hak untuk mengajukan rancangan undang-undang sebagaimana pemerintah federal Jerman dan Bundestag, namun kebanyakan rancangan undang-undang yang ada diajukan oleh pemerintah. Bagi rancangan undang-undang yang diajukan oleh pemerintah maka pemerintah harus mengajukan terlebih dahulu kepada Bundesrat sebagai majelis tinggi, yang mana Bundesrat memiliki waktu enam minggu untuk meresponnya.40 Apabila rancangan undang-undang diajukan oleh Bundestag, maka mereka harus mengajukan terlebih dahulu pada Bundesrat.41 Sedangkan apabila rancangan undang-undang diajukan oleh Bundesrat maka terlebih dahulu rancangan undang-undang tersebut harus diajukan kepada
na
lR ec hts V
ind
dipilih langsung sebagaimana halnya anggota Bundestag, pemerintah Lander lah yang memutuskan siapa yang akan menjadi anggota Bundesrat (lazimnya menteri dari pemerintah Lander yang menjadi anggota dari Bundesrat) karena pengisian jabatannya tersebut, maka Bundesrat menjadi lembaga permanen tanpa periode jabatan lembaga legislatif pada umumnya, dan komposisi keanggotaannya hanya berubah setiap kali Lander melakukan pemilihan umum. Dengan kata lain para pemilih dalam pemilihan umum Lander hanya bisa mempengaruhi komposisi keanggotaan Bundesrat secara tidak langsung.35 Mekanisme pengisian keanggotaannya tersebutlah yang membuat Bundesrat menjadi majelis tinggi yang unik, sebab dengan keanggotaannya tersebut Bundesrat bukan hanya merupakan lembaga legislatif, tetapi sekaligus berperan sebagai eksekutif dari Lander, dan juga bukan merupakan bagian dari parlemen, karena hanya Bundestag lah parlemen di Jerman.36 Keunikan yang dimiliki oleh Bundesrat tersebut pada dasarnya didasari oleh alasan pembentukannya yang dimaksudkan untuk menjamin agar tidak terjadinya kontradiksi antara pemerintah pusat dan negara bagian.37 Sebab konsep federalisme yang dianut di Jerman sebagaimana dikemukakan oleh Matthias Platzeck mantan Presiden Bundesrat didasari oleh ide solidaritas,38 konsep ini sendiri
Frank Feulner, “Menguatkan Demokrasi Perwakilan di Indonesia: Tinjauan Kritis Terhadap DPD”, Jurnal Jentera, Edisi 8 Tahun III, Maret (2005), hlm. 30. 36 Arthur Gunlicks, The Lander and German Federalism, (Manchester and New York: Manchester University Press, 2003), hlm. 339. 37 Konrad Reuter, The Bundesrat and The Federal System (14th Edition), (Berlin: Secretary General of the Bundesrat, 2009), hlm. 11. 38 Ibid. (Dengan frasa asli “The Basic Law takes the idea of federalism based on solidarity.”) 39 Francois Venter, Op. Cit, hlm. 234. 40 Lihat Article 76 (2) (Chapter VII) German Basic Law 41 Lihat Article 77 (Chapter VII) German Basic Law mengenai prosedur legislatif. 42 Arthur Gunlicks, Op. Cit, hlm. 347.
Jur
35
Fungsi Legislasi Majelis Tinggi di Indonesia dan Jerman ... (Abdurrachman Satrio)
391
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
oleh Bundestag.45 Hal ini disebabkan meski Bundesrat memiliki kewenangan untuk memveto rancangan undang-undang, tetapi fungsi utamanya adalah untuk mengajukan argumen baru dan argumen tambahan yang nantinya akan menghasilkan kesepakatan terbaik.46 Meskipun pada awalnya keberadaan Bundesrat oleh para perumus Basic Law tidak dimaksudkan untuk menjadi majelis tinggi yang setara dengan Bundestag, namun dalam prakteknya peran Bundesrat dalam proses legislasi nasional semakin berkembang hingga menjadi setara dengan Bundestag, sebagaimana hal itu dibuktikan dengan pernyataan David Conradt bahwa: “Originally the framers of the Basic Law anticipated that only about 10 percent of all federal legislation would require Bundesrat approval and hence be subject to Bundesrat veto. In practice, however, through bargaining in the legal comittees in each house, and judicial interpretation, the scope of the Bundesrat absolute veto power has been enlarged to the point where it can now veto roughly 60 percent of all federal legislation. This unforeseen development occured largely because many federal laws which refer to matters not subject to veto nonetheless contain provisions that set forth how the states are to administer and implement the legislation. Citing Article 84 of
na
lR ec hts V
ind
pemerintah federal, setelah itu barulah kepada Bundestag.42 Dalam pembahasan rancangan undang-undang yang umumnya diajukan pemerintah, maka pada tingkat pertama Bundesrat melakukan kajian dan diskusi pada setiap rancangan undang-undang, sebelum nantinya rancangan undang-undang tersebut dibawa kepada Bundestag beserta pengantar dari Bundesrat dan penilaian dari pemerintah. Rancangan undang-undang yang disetujui oleh Bundestag kemudian dikritisi oleh Bundesrat dalam pembahasan tingkat kedua. Dan kesepakatan atau resolusi untuk rancangan undang-undang disetujui oleh suara terbanyak dalam sidang bersama dengan Bundestag. Meski memiliki kewenangan untuk menyetujui dan mem-veto (menolak) suatu rancangan undang-undang, namun kekuatan Bundesrat tidak sama dengan Bundestag.43 Sebab Basic Law telah menentukan rancangan undangundang mana saja yang diharuskan mendapat persetujuan Bundesrat, yaitu rancangan undang-undang untuk mengamandemen konstitusi, rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pelaksanaan administrasi Lander, serta rancangan undang-undang yang mempengaruhi kondisi keuangan negara.44 Dalam rancangan undang-undang lainnya selain yang telah ditentukan Basic Law harus mendapat persetujuan Bundesrat, maka penolakan (veto) dari Bundesrat dapat dikalahkan (overriden)
Arthur Gunlicks, Op. Cit, hlm. 347. Frank Feulner, Op. Cit, Hlm. 30. 44 Penolakan (veto) dari Bundesrat terhadap rancangan undang-undang yang telah ditentukan oleh Basic Law harus mendapatkan persetujuan Bundesrat dikenal sebagai absolute veto, veto jenis ini tidak dapat dikalahkan oleh Bundestag. 45 Penolakan (veto) jenis ini dikenal sebagai suspensive veto, sebagaimana dikemukakan Arthur Gunlicks: “If the veto represents a majority of the Bundesrat, i.e., at least 35 of 69 votes, it can be overridden by an absolute majority vote of the Bundesrat. But if the suspensive veto represents a two-thirds majority of the Bundesrat, i.e., 46 votes, the Bundestag can override only by a two-thirds vote” Lebih jelasnya lihat Arthur Gunlicks, Op. Cit, hlm. 349. 46 Frank Feulner, Op. Cit, hlm. 31. 42
Jur
43
392
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 383-398
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
justru tidak digunakan untuk mengakomodir kepentingan dari Lander melainkan untuk kepentingan partai politik, hal ini terjadi ketika mayoritas representasi Lander di Bundesrat berasal dari partai oposisi pemerintah federal.49 Akibat dari kritik dan kekecewaan tersebut pada akhirnya menyebabkan pada tahun 2006 diadakan reformasi atau amandemen terhadap ketentuan mengenai federalisme yang terdapat dalam Konstitusi Jerman, dimana reformasi tersebut dimaksudkan untuk mengurangi peran Bundesrat yang amat besar dalam proses legislasi federal dengan memberikan kewenangan legislasi yang lebih besar terhadap Lander, serta menambahkan ketentuan baru dalam ranah prosedur administratif.50 Reformasi tersebut dapat dilihat dalam Article 84 (1) Basic Law dimana ketentuan dalam Article tersebut sebelum amandemen mengatur bahwa pembentukan undang-undang federal yang substansinya mempengaruhi pelaksanaan administrasi dari pemerintahan Lander mengharuskan adanya persetujuan dari Bundesrat terlebih dahulu, dan pemerintah Lander tidak diperbolehkan membuat aturan pelaksana atau undangundang Lander yang menyimpang dari ketentuan undang-undang federal yang telah mendapat persetujuan Bundesrat tersebut, pasca amandemen ketentuan tentang keharusan adanya persetujuan Bundesrat terhadap setiap rancangan undang-undang federal yang substansinya mempengaruhi pelaksanaan administrasi Lander tersebut
Jur
na
lR ec hts V
ind
the Basic Law, the states have argued that, since they are instructed as to how the federal legislation is to be administered, the legislation, in both its substantive and procedural aspects, require Bundesrat approval.”47 Akibat dari semakin kuatnya peran Bundesrat tersebut, pada akhirnya justru banyak memunculkan krtik dan kekecewaan terutama dari partai-partai politik yang menguasai suara mayoritas di Bundestag. Kritik dan kekecewaan terhadap Bundesrat tersebut pada dasarnya dilandasi oleh beberapa alasan: Pertama, terjadinya pergeseran paradigma mengenai pandangan federalisme kooperatif yang dianut Jerman. Dimana pandangan tersebut dicerminkan oleh peran Bundesrat untuk memberi persetujuan terhadap suatu rancangan undang-undang federal. Dalam perkembangannya saat ini di Jerman, pandangan tersebut justru dianggap membuat lambatnya pembuatan suatu kebijakan (slower decision making), berkurangnya transparansi dalam pembuatan kebijakan, serta semakin meningkatnya lobby-lobby politik dalam pembuatan suatu kebijakan, yang menyebabkan semakin sulitnya rakyat mengetahui siapa yang bertanggungjawab atas suatu kebijakan.48 Kedua, keikutsertaan secara langsung pemerintah Lander dalam proses legislasi federal melalui Bundesrat cenderung makin mengaburkan pentingnya isu-isu mengenai Lander di pemilu Lander, dan justru merubah pemilu Lander menjadi pemilu untuk duduk di majelis tinggi. Ketiga, dalam praktiknya peran Bundesrat
Dalam Donald P. Kommers, Op. Cit, hlm. 101. Greg Taylor, “Upper House Reform in Germany: the Comission for the Modernization of the Federal System”, Constitutional Forum Constitutionnel, Volume 17, Number 1 (2008), hlm. 27 ,http://ssrn.com/abstract=no.1599438 (Diakses 10 April 2015). 49 Ibid, hlm. 28. 50 Konrad Reuter, Op. Cit, hlm. 40. 47 48
Fungsi Legislasi Majelis Tinggi di Indonesia dan Jerman ... (Abdurrachman Satrio)
393
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
sama dibentuk untuk mencerminkan prinsip representasi daerah (regional representation) dalam proses pembentukan kebijakan di tingkat nasional, yaitu DPD mewakili provinsi di Indonesia sedangkan Bundesrat mewakili Lander di Jerman. Akan tetapi meski samasama dibentuk untuk mencerminkan prinsip representasi daerah, dalam prakteknya justru Bundesrat lah yang mampu mengintegrasikan prinsip tersebut karena memiliki kewenangan yang kuat untuk turut serta dalam seluruh proses legislasi di tingkat nasional, sebaliknya DPD justru tidak memiliki kewenangan yang kuat untuk ikut serta dalam menjalankan proses legislasi. Padahal apabila ditinjau dari segi keanggotaannya, dimana keanggotaan DPD diisi melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat di tiap-tiap provinsi, sedangkan keanggotaan dari Bundesrat tidak diisi melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat dari tiap Lander maka seharusnya DPD memiliki peran yang lebih besar dalam menjalankan fungsi legislasi yang dimilikinya sebagai majelis tinggi dibandingkan dengan Bundesrat, sebab sebagaimana dinyatakan oleh Arend Lijphart:54 “The actual political importance of second chambers (upper house) depends not only on
lR ec hts V
ind
dihapuskan dan memperbolehkan Lander membuat undang-undang Lander yang bertentangan dengan undang-undang federal,51 solusi tersebut diharapkan dapat mengurangi pengaruh Bundesrat serta meningkatkan keberagaman dan kompetisi diantara masingmasing Lander.52 Memang amandemen tersebut terbukti mengurangi penggunaan persetujuan (absolute veto) Bundesrat terhadap rancangan undang-undang federal, dimana sebelum tahun 2006 hampir 60% rancangan undangundang federal membutuhkan persetujuan Bundesrat, setahun setelah amandemen terjadi pengurangan dimana hanya 42,7% rancangan undang-undang federal saja yang membutuhkan persetujuan dari Bundesrat.53 Meskipun berhasil mengurangi peran Bundesrat, namun tetap saja fungsi legislasi Bundesrat di Jerman masih dapat dikatakan kuat karena kemampuannya untuk ikut serta dalam seluruh proses legislasi.
3. Perbandingan Fungsi Legislasi DPD dengan Bundesrat
Dari penjelasan di atas maka memban dingkan DPD di Indonesia dengan Bundesrat di Jerman sebagai majelis tinggi maka terdapat persamaan dimana keduanya sama-
Pasca amandemen pada tahun 2006 Article 84 (1) Basic Law menjadi berbunyi: “Where the Lander execute federal statutes as matter of their own concern, they provide for establishment of authorities and the regulation of administrative procedures. If federal statutes provide something else, the Lander may adopt divergent regulation. If a Lander has adopted divergent regulation according to Sentence 2, federal regulation adopted later regarding the establishment of authorities and the regulation of administrative procedures will enter into force no earlier then six months after promulgation, provided nothing else is prescribed with approval by the Bundesrat. Article 72 III R is applicable. In exceptional cases, the Federation may, because of particular need for federal uniformity, adopt regulation without the Lander power to deviate. These statutes require approval by the Bundesrat. Federal statutes may not delegate powers to communes or associations of communes.” Sebelumnya ketentuan tersebut berbunyi: “Where the Lander execute federal statutes as matter of their own concern, they provide for establishment of authorities and the regulation of administrative procedures, insofar as federal statutes consented to by the Bundesrat do not otherwise provide” 52 Greg Taylor, Op. Cit, hlm. 29. 53 Ibid, hlm. 30. 54 Arend Lijphart, Op. Cit, hlm. 97.
Jur
na
51
394
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 383-398
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
legislatif saja baik itu majelis tinggi atau majelis rendah, keterlibatan dari eksekutif hanya sebatas mengajukan rancangan undang-undang dan mengajukan hak veto saja, namun di Indonesia terdapat keganjilan karena Presiden sebagai eksekutif memiliki kewenangan untuk membahas dan terlibat dalam pengambilan keputusan untuk undang-undang bersama dengan DPR sebagai majelis rendah, sedangkan DPD sebagai majelis tinggi yang mewakili suara rakyat di daerah tidak memiliki hak untuk itu.57 Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka dapat dikatakan bahwa meski keanggotaan dari anggota DPD memiliki legitimasi demokratis yang lebih besar dibandingkan Bundesrat, serta didukung oleh sistem pemerintahan yang cenderung memperkuat kedudukannya sebagai majelis tinggi, dalam kenyataannya justru Bundesrat lah yang benar-benar berhasil menjalankan fungsinya sebagai representasi teritorial dalam proses legislasi, begitu kuatnya peran Bundesrat dalam proses legislasi tersebut membuat Lijphart mendeskripsikannya sebagai “one of the most powerful upper chambers in the world”.58 Seperti yang dikemukakan oleh Hansko Broeksteeg dalam sistem perwakilan bikameral majelis tinggi atau kamar kedua memiliki dua peran dalam menjalankan fungsi legislasi yaitu “rivalry” dan “assistance”. “Rivalry” memiliki arti apabila majelis tinggi memiliki peran atau kekuatan yang sama dalam pembentukan
na
lR ec hts V
ind
their formal constitutional powers but also on their method of selection... Second chambers that are not directly elected lack the democratic legitimation.” Selain itu alasan lainnya mengapa fungsi legislasi yang dimiliki DPD seharusnya lebih kuat dibandingkan Bundesrat disebabkan Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil, sedangkan Jerman menganut sistem pemerintahan parlementer, sebagaimana dikatakan oleh Wheare dalam karya klasiknya yang berjudul “Legislatures” sistem pemerintahan yang dianut suatu negara amat mempengaruhi hubungan antara kedua kamar dalam sistem perwakilan bikameral, menurutnya negara yang tidak menganut sistem pemerintahan parlementer atau cabinet government cenderung memiliki majelis tinggi dengan kekuatan yang setara dengan majelis rendah,55 sebab dalam sistem parlementer (cabinet government), kabinet (eksekutif) hanya dapat bertanggungjawab kepada satu kamar saja, dan tanggungjawab tersebut sudah pasti kepada majelis rendah atau kamar yang dipilih secara langsung berdasarkan populasi sehingga lazimnya majelis rendah memiliki peran yang lebih dominan dalam proses legislasi.56 Berbeda dengan itu dalam sistem presidensil yang didasari oleh konsep pemisahan kekuasaan (separation of powers) karena adanya pemisahan antara eksekutif dan legislatif sudah seharusnya fungsi legislasi menjadi mutlak dimiliki oleh lembaga
Dalam pendapatnya tersebut Wheare mencontohkan Senate di Amerika Serikat dan Council of States di Swiss sebagai majelis tinggi yang memiliki kekuatan yang setara dalam fungsi legislasi dengan majelis rendahnya, kedua negara tersebut tidak menganut sistem pemerintahan parlementer. Lebih jelasnya lihat K.C. Wheare, Op. Cit, hlm. 204. 56 Ibid, hlm. 201. 57 Enny Nurbaningsih, “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dan Alternatif Model Hubungan Kelembagaan Terkait Pembentukan Undang-Undang”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 27, Nomor 1, Februari (2015), hlm. 2. 58 Arend Lijphart, Op. Cit, hlm. 98.
Jur
55
Fungsi Legislasi Majelis Tinggi di Indonesia dan Jerman ... (Abdurrachman Satrio)
395
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
(bikameral lemah).61 Tipe strong bicameral terjadi dalam dua kondisi yaitu jika kekuasaan masing-masing kamar relatif seimbang dalam menjalankan fungsi legislasi dan komposisi kedua kamar terdiri dari perwakilan yang berbeda.62 Sedangkan suatu sistem perwakilan dianggap sebagai weak bicameral apabila kekuasaan antara kedua kamar tidak seimbang, serta komposisi perwakilan dan cara pengisiannya sama.63 Maka dari itu dari perannya dalam menjalankan fungsi legislasi yang bersifat effective rivalry sekaligus effective assistance tersebut, serta komposisi keanggotaannya yang berbeda dapat dikatakan bahwa Jerman menganut sistem bikameral dengan tipe strong bicameral, sedangkan Indonesia menganut sistem bikameral dengan tipe weak bicameral karena lemahnya fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPD. Oleh karena itu melihat bahwa fungsi legislasi dari Bundesrat dan DPD yang berbanding terbalik tersebut maka dapat dikatakan bahwa keberadaan kedua majelis tersebut dalam sistem bikameral merupakan contoh yang unik dan tidak lazim, sebab DPD sebagaimana dikemukakan oleh Sherlock bahwa “is thus a quite example of a second chamber because it represents the odd combination of limited powers and high legitimacy” yang mana kombinasi tersebut menurutnya tidak ditemukan dimanapun di dunia.64 Sebaliknya
na
lR ec hts V
ind
kebijakan dengan majelis rendah. Sedangkan “assistence” memiliki arti apabila majelis tinggi memiliki fungsi legislasi yang lebih lemah dan peranannya hanyalah untuk membantu majelis rendah seperti mengoreksi dan memberi pertimbangan dalam membentuk undangundang.59 Dan melihat lemahnya fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPD di Indonesia karena secara konstitusional kewenangannya yang terbatas hanya sekedar mengajukan, membahas, dan mengawasi RUU tertentu, tidak sampai pada memutuskan apakah suatu RUU dapat menjadi UU, maka dapat dikatakan bahwa fungsi legislasi yang dimiliki DPD pun paling jauh hanya sampai kepada peran “assistence”. Sebaliknya Bundesrat di Jerman, meski kewenangannya sedikit dikurangi pada saat dilakukannya amandemen terhadap Basic Law di tahun 2006, namun tetap memiliki kewenangan yang kuat dalam menjalankan fungsi legislasi karena tetap dapat mengajukan rancangan undang-undang serta memveto suatu rancangan undang-undang yang diajukan oleh pemerintah atau majelis rendah, sehingga perannya dalam fungsi legislasi dapat dikatakan bersifat “effective rivalry” sekaligus “effective assistance”60. Sebagaimana dijelaskan oleh Lijphart, bahwa pada umumnya sistem bikameral terklasifikasi menjadi dua tipe yakni strong bicameral (bikameral kuat) dan weak bicameral
Lihat Hansko Broeksteeg and Erik Knippenberg, “The Role of the Senate in the Legislative Process”, Maastricht Journal of European and Comparative Law, Vol. 13, No. 2 (2006), hlm. 21. 60 Ibid. 61 Arend Lijphart, Op. Cit, hlm. 99. 62 Menurut Lijphart: Strong bicameralism depends on two conditions: the chambers have to be incongruent in their composition, and they must be symmetrical or only moderately asymmetrical with regard to their respective legislative power. Lebih jauh dapat dibaca dalam Ibid, hlm. 99. 63 Susi Dwi Harijanti, “Reformasi Sistem Perwakilan Indonesia”, Jurnal Konstitusi PSKN FH Universitas Padjadjaran, Volume I Nomor 1, November (2009), hlm. 18. 64 Stephen Sherlock, Op.Cit, hlm. 9.
Jur
59
396
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 383-398
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
mengintegrasikan kepentingan daerah di tingkat nasional.
Daftar Pustaka Buku
Jur
na
lR ec hts V
ind
Berdasarkan pembahasan di atas, tampak bahwa peran DPD di Indonesia dengan Bundesrat di Jerman dalam menjalankan fungsi legislasi amatlah berbanding terbalik. Dimana terlihat bahwa peran DPD sebagai majelis tinggi dalam menjalankan fungsi legislasi paling jauh hanya sebatas memberikan “assistance” bagi DPR sebagai majelis rendah. Sedangkan Bundesrat sebagai majelis tinggi dalam perannya menjalankan fungsi legislasi tidak hanya bersifat “effective assistance” tetapi sekaligus sebagai “effective rivalry” bagi Bundestag yang merupakan majelis rendah karena kemampuannya untuk ikut serta dalam seluruh proses legislasi. Padahal apabila ditilik dari mekanisme pengisian jabatannya serta sistem pemerintahan yang terdapat di Indonesia, sudah seharusnya DPD memiliki fungsi legislasi yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan Bundesrat sebab memiliki mekanisme pengisian jabatan yang lebih demokratis serta sistem pemerintahan yang lebih mendukung agar DPD memiliki fungsi legislasi yang kuat. Maka dari itu agar dinamika politik legislasi di tingkat nasional di Indonesia tidak lagi mengutamakan kepentingan politik semata dan meminggirkan kepentingan daerah, maka diperlukan amandemen kelima terhadap UUD 1945 untuk memperkuat kewenangan konstitusional DPD dalam melakukan fungsi legislasi, agar nantinya DPD sesuai dengan gagasan yang dicita-citakan ketika dibentuknya mampu menjadi suatu lembaga yang dapat
Asshiddiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006) Ball, Alan R.,Modern Politics and Government (Fourth Edition), (London: Macmillan Education, 1988) Fajrul Falakh, Mohammad, “Susunan dan Kedudukan DPD”, dalam DPD dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, disusun oleh Janedri M. Gaffar dkk (eds), (Jakarta: Sekertariat Jenderal MPR, 2003) Gunlicks, Arthur, The Lander and German Federalism, (Manchester and New York: Manchester University Press, 2003) Isra, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislasi (Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia), (Jakarta: Rajawali Pers, 2013) Kommers, Donald P., The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany, (Durham and London: Duke University Press, 1997) Legowo, TA., “Keterwakilan Politik dan Tipe Parlemen dalam Perspektif Teoritis dan Sejarah”, dalam Gagasan Amandemen UUD 1945 Suatu Rekomendasi, disusun oleh Mohammad Fajrul Falaakh (ed), (Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, 2008) Lijphart, Arend,Pattern of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Country, (New Haven and London: Yale University Press, 1984) Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) Manan, Bagir,Teori dan Politik Konstitusi, (Jakarta: FH UII Press, 2003) Manan, Bagir dan Susi Dwi Harijanti, Memahami Konstitusi (Makna dan Aktualisasi), (Jakarta: Rajawali Pers, 2014) Martin, Shane and Thomas Saalfeld (eds), The Oxford Handbook of Legislative Studies, (Oxford: Oxford University Press, 2014)
ing
D. Penutup
BP HN
Bundesrat juga merupakan contoh yang tidak lazim karena memiliki legitimasi yang rendah namun memiliki peran yang kuat dalam fungsi legislasi.
Fungsi Legislasi Majelis Tinggi di Indonesia dan Jerman ... (Abdurrachman Satrio)
397
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ind
Makalah/Artikel/Prosiding/Hasil Penelitian Broeksteeg, Hansko and Erik Knippenberg, “The Role of the Senate in the Legislative Process”, Maastricht Journal of European and Comparative Law, Vol. 13, No. 2, (2006) Feulner, Frank, “Menguatkan Demokrasi Perwakilan di Indonesia: Tinjauan Kritis Terhadap DPD”, Jurnal Jentera, Edisi 8, Tahun III, Maret (2005) Harijanti, Susi Dwi, “Reformasi Sistem Perwakilan Indonesia”, Jurnal Konstitusi PSKN FH Universitas Padjadjaran, Volume I Nomor 1, November (2009) Isra, Saldi The Role of the Second Chamber In the UK and Indonesia, (Makalah merupakan tugas akhir ketika mengikuti Short Course “What Democracy Means” di University of Birmingham UK, Januari-April 2006, diselenggarakan oleh Chevening Fellowship, UK) Isra, Saldi, Merampas Daulat Rakyat, Kompas, 12 September 2014.
BP HN
Venter, Francois,Constitutional Comparison (Japan, Germany, Canada & South Africa As Constitutional State), (Cape Town: Juta & CO, 2000) Wheare, K.C.,Legislatures, (London: Oxford University Press, 1963)
National Democratic Institute, One Chamber or Two? Deciding Between a Unicameral And Bicameral Legislature, (Legislative Research Series, Paper #3, 1998) Nurbaningsih, Enny, “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dan Alternatif Model Hubungan Kelembagaan Terkait Pembentukan UndangUndang”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 27, Nomor 1, Februari (2015) Sherlock, Stephen, Indonesia’s Regional Representative Assembly: Democracy, Representation and the Regions (A Report on the Dewan Perwakilan Daerah), (Canberra: Center for Democratic Institutions, 2005) Waldron, Jeremy,Bicameralism, (Public Law & Legal Theory Research Paper Series Working Paper No. 12-19, New York University School of Law, 2012).
ing
Reuter, Konrad, The Bundesrat and The Federal System (14th Edition), (Berlin: Secretary General of The Bundesrat, 2009) Soemitro, Ronni Hanitijo, Metode Penelitian Hukun dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998) Strong, C.F., Modern Political Constitutions, (London: Sidgwick & Jackson, 1972) Susanti, Bivitri et.al, Semua Harus Terwakili, Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR, dan Lembaga Perwakilan di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2000)
Peraturan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 German Basic Law (The Constitution of the Federal Republic of Germany 1949)
Jur
na
lR ec hts V
Internet Taylor, Greg,“Upper House Reform in Germany: the Comission for the Modernization of the Federal System”, Constitutional Forum Constitutionnel, Vol 17, No 1, (2008), http://ssrn.com/ abstract=no.1599438 (Diakses 10 April 2015) http://www.hukumonline.com/berita/baca/ lt543258707db2a/ini-isi-lengkap-perppu-pilkada-langsung (diakses pada 26 Juli 2015) http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/01/150120_perppu_pilkada_sah (diakses pada 26 Juli 2015)
398
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 383-398
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
KONSEP PENINGKATAN KUANTITAS DAN KUALITAS PROGRAM LEGISLASI NASIONAL: REKOMENDASI KONSEPTUAL DAN KEBIJAKAN PADA PROLEGNAS 2015-2019 (The Concept of Improving the Quantity and Quality of the National Legislative Program: A Conceptual and Policy Recommendation for National Legilative Program 2015-2019)
ing
Muh. Risnain Fakultas Hukum Universitas Mataram Jl. Majapahit No.62 Mataram-NTB. Email:
[email protected] dan
[email protected]
Naskah diterima: 15 Oktober 2015; revisi: 27 November 2015; disetujui: 2 Desember 2015
lR ec hts V
ind
Abstrak Rendahnya capaian Prolegnas baik dari sisi kuantitas maupun kualitas pada dua periode Program Legislasi Nasional (Prolegnas): periode 2005-2009 dan periode 2010-2014, merupakan persoalan krusial pembangunan hukum yang harus dipecahkan. Dampaknya bukan saja minimnya capaian Prolegnas, tetapi pada eksistensi negara hukum Indonesia. Penelitian mengidentitifikasi dua permasalahan, Pertama, apa saja hal-hal yang menghambat tercapainya target Prolegnas pada periode 2005-2009 dan periode 2010-2014? Kedua, bagaimanakah konsep peningkatan kualitas dan kuantitas Prolegnas pada masa yang akan datang? Jenis penelitian adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa untuk meningkatkan kualitas Prolegnas, maka ketika pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) oleh DPR, Pemerintah dan DPD hendaknya memperhatikan hal-hal: harmonisasi vertikal materi RUU dengan UUD NRI 1945 dan harmonisasi horizontal RUU dengan peraturan perundang-undangan, tingkat urgensitas dan kompatibilitas materi muatan undang-undang, dan peningkatan kapasitas legislative drafting anggota legislatif. Untuk menjamin peningkatan kuantitas Prolegnas, maka hendaknya ketika penyusunan RUU yang masuk menjadi bagian Prolegnas DPR, Pemerintah maupun DPD memperhatikan kapasitas kelembagaan DPR dengan target Prolegnas yang akan dicapai, mengkaji secara mendalam kerangka konseptual, landasan filosofis, landasan yuridis maupun landasan sosiologis keberadaan RUU, dan komitmen politik secara kelembagaan baik Pemerintah, DPR maupun DPD dalam menyelesaikan Prolegnas. Kata Kunci: peningkatan, prolegnas, integratif
Jur
na
Abstracts Low Prolegnas achievements both in terms of quantity and quality in the two periods of the National Legislation Program (Prolegnas): 2005-2009 and 2010-2014, is a crucial issue of law development that must be solved. The impact is not only the lack of achievement Prolegnas but the existence of the state of Indonesian law. This research identified two problems, first, what are the things that hinder the achievement of the Prolegnas target in the period 2005-2009 and the period 20102014? Second, how is the concept of improving the quality and quantity of Legislation in the future? This type of research is a normative juridical research. The study concluded that in order to improve the quality of Prolegnas then the Government and Regional Representatives Council (DPD) in the discussion of each bill by the House of Representatives (DPR), should pay attention to things, such as: the vertical harmonization of each Draft Bill’s substance with the 1945 Constitution and the horizontal harmonization with legislation, the level of urgency and the compatibility of the laws’ substance, and the legislative drafting capacity of legislatures. To improve the quantity of Prolegnas, in the drafting of each Draft Bill that is in the Prolegnas, the Government and the DPD should pay attention to things, such as: the institutional capacity of the DPR with the Prolegnas target to be achieved, do an in depth conceptual framework studies, philosophical, juridical and sociological basis of the existence of the Draft Bill, and institutional political commitment of the Government, DPR and DPD in resolving Prolegnas. Keywords: improving, national legislative program, integrative
Konsep Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Program Legislasi Nasional ... (Muh. Risnain)
399
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
Jur
na
lR ec hts V
ind
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagai instrumen pembentukan peraturan perundang-undangan nasional sering menjadi sorotan publik hampir setiap tahun karena dikaitkan dengan penilaian kinerja DPR dan Pemerintah sebagai lembaga yang diberi wewenang untuk membentuk undang-undang1. Sebagai lembaga legislasi, kinerja DPR dalam menghasilkan rancangan undang-undang (RUU) sering disoroti karena undang-undang yang dihasilkan tidak mencapai target yang ditetapkan baik target tahunan atau target lima tahunan. Buruknya kinerja DPR dalam menghasilkan undang-undang selalu dikaitkan dengan fasilitas dan gaji yang diperoleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang begitu besar, tetapi tidak sebanding dengan prestasi kerja di bidang legislasi yang begitu minim2. Dua hal pokok yang menjadi sorotan publik adalah kuantitas dan kualitas undang-undang yang dihasilkan. Persoalan kuantitas fokus pada jumlah undang-undang yang dihasilkan tidak mencapai target yang ditetapkan dalam Prolegnas. Persoalan kualitas berkaitan dengan kualitas undang-undang yang rendah. Indikatornya adalah seringnya Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan undang-undang yang ditelah disahkan. Persoalan Prolegnas di atas harus diselesaikan agar tidak berimbas pada keberadaan Indonesia sebagai negara hukum. Negara hukum yang menghendaki adanya legalitas pada semua kebijakan Pemerintah dalam menjalankan roda
Pemerintahan harus didasarkan pada undangundang akan terhambat karena undang-undang yang dibutuhkan tidak kunjung disahkan oleh DPR dan Pemerintah. Kehidupan kenegaraan yang sangat kompleks dipengaruhi globalisasi dan hukum internasional saat ini perlu mendapatkan regulasi hukum nasional untuk menjamin kehidupan ekonomi, bisnis, sosial, budaya dan politik berjalan dengan baik. Di samping itu, jika undang-undang yang dihasilkan cenderung bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945), maka berimbas pada terlanggarnya hak-hak warga negara dan terganggunya sistem hukum3. Kondisi Prolegnas saat ini tidak boleh dibiarkan terus berlanjut karena berdampak pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara khususnya DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Pemerintah yang menyusun Prolegnas. Banyak pihak menganggap Prolegnas tidak lain adalah daftar kemauan DPR, tetapi tidak didukung oleh kemampuan untuk menyelesaikan pembahahasan sampai akhir masa sidang. Bahkan Prolegnas dianggap sebagai dokumen “macan kertas” yang hanya “gagah “ di atas kertas, tetapi tidak mampu direalisasikan oleh lembaga yang menyusunnya sendiri (DPD, DPR dan Pemerintah).4 Oleh karena itu, perlu sebuah gagasan untuk mendesain peningkatan kualitas dan kuantitas Prolegnas yang dapat mewujudkan cita negara hukum yang tertuang dalam Konstitusi.
ing
A. Pendahuluan
1
4 2 3
400
Andi Mattalata, Peran Program Legislasi Dalam Pembangunan Hukum Nasional, dalam Badan Pembangunan Hukum Nasional, Tiga Dekade Program Legislasi Nasional dan BPHN, (Jakarta, BPHN: 2004 ) hlm. 7. Junaedi S, DPR dan Ambisi Legislasinya, opini pada www.antara.com, Rabu, 30 Desember 2009. Lili Rasjidi dan I.B.Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung, Mandar Maju: 2003) hlm. 66. Fajri Nursyamsi, Menggagas Prolegnas Berkualitas, opini dalam www.pshk.com
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 399–411
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
menemukan konsep6 kebijakan peningkatan kualitas dan kuantitas Prolegnas ke depan. Sejalan dengan jenis penelitian ini, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan perundangundangan dan pendekatan konseptual. Pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Prolegnas. Pendekatan konseptual dilakukan dengan mengkaji konsep kebijakan yang dapat mendukung peningkatan capaian Prolegnas. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Bahan-bahan hukum tersebut diperoleh melalui studi kepustakaan (library research). Metode analisis yang digunakan untuk membedah masalah dalam penelitian dan menemukan konsep adalah dengan menggunakan analisis yuridis kualitatif. Pada analisis demikian bahan hukum tidak dianalisis dengan menggunakan rumus dan metode statistik yang menggunakan metode kuantitatif, tetapi menggunakan metode analisis hukum melalui pendekatan penafsiran hukum dan konstruksi hukum dengan cara berpikir deduktif7.
lR ec hts V
ind
Tulisan ini berusaha membangun konsep peningkatan kualitas dan kuantitas Prolegnas dalam mewujudkan cita negara hukum5. Untuk mendesain konsep tersebut, maka tulisan ini distrukturisasi dengan komponen pembahasan sebagai berikut: rasion’d etra Prolegnas, refleksi Prolegnas 2004-2009, Prolegnas 2010-2014, serta Prolegnas 2015-2019, pada bagian dari pembahasan akan dikonstruksi sebuah konsep pembahasan Prolegnas ke depan yang dapat menjamin kuantitas dan kualitas peraturan perundang-undangan. Rendahnya capaian Prolegnas baik dari sisi kuantitas maupun kualitas pada dua periode Prolegnas (periode 2005-2009 dan periode 2010-2014) merupakan persoalan krusial pembangunan hukum yang harus dipecahkan. Dampaknya bukan saja minimnya capaian Prolegnas, tetapi pada eksistensi negara hukum Indonesia. Penelitian mengidentifikasi permasalahan dalam penelitian: Pertama, apakah hal-hal yang menghambat tercapainya target Prolegnas pada periode 2005-2009 dan periode 2010-2014? Kedua, bagaimanakah konsep peningkatan kualitas dan kuantitas Prolegnas pada masa yang akan datang?
B. Metode Penelitian
C. Pembahasan 1. Rasion D’ etre Prolegnas: Membangun Politik Hukum Sistimatis dan terencana dalam Bingkai Negara Hukum.
Prolegnas merupakan instrumen peren canaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan
Jur
na
Jenis penelitian adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian ini berusaha mendeskripsikan dan merefleksikan hambatan-hambatan capaian Prolegnaspada periode 2005-2009 dan periode 20102014 khususnya terkiat dengan kualitas dan kuantitas perundang-undangan dan berusaha
5
6 7
Moh.Mahfud MD, Permasalahan Aktual Koordinasi Prolegnas, Makalah disampaikan dalam lokakarya “ 30 tahun Tahun Prolegnas, yang diadakan BPHN Kemenkumham RI, Hotel Sahid Jakarta, tanggal 19 s/d 21 oktober 2008, hlm. 2. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar (Jogjakarta: Liberty, 2003) hlm. 32. Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Konsep dan Metode, (Malang: Setara Press, 2013), hlm. 52. Konsep Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Program Legislasi Nasional ... (Muh. Risnain)
401
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara (supremasi hukum), persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law), serta menjadikan hukum sebagai landasan operasional dalam menjalankan sistem kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara10. Dalam pembangunan nasional, supremasi hukum ditempatkan secara strategis sebagai landasan dan perekat bidang pembangunan lainnya serta kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui satu sistem hukum nasional. Untuk mewujudkan pembangunan hukum sebagai suatu sistem, maka Prolegnas dihajatkan juga untuk terealisasinya fungsifungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial/ pembangunan (law as a tool of social engeneering), instrumen penyelesaian masalah (dispute resolution) dan instrumen pengatur perilaku masyarakat (social control). Supremasi hukum bermakna pula sebagai optimalisasi perannya dalam pembangunan, memberi jaminan bahwa agenda pembangunan nasional berjalan dengan cara yang teratur, dapat diramalkan akibat dari langkah-langkah yang diambil (predictability), yang didasarkan pada kepastian hukum (rechtszekerheid), kemanfaatan, dan keadilan (gerechtigheid). Pada fungsi yang lain pembangunan hukum yang dibentuk melalui Prolegnas diharapkan sebagai perekat kehidupan berbangsa dan bernegara11. Pertimbangan pembentukan Prolegnas dapat kita lihat pada Prolegnas2005-2009
Jur
na
lR ec hts V
ind
sistematis. Prolegnas dalam tataran operasional memuat daftar RUU yang disusun berdasarkan metode dan parameter tertentu serta dijiwai oleh visi dan misi pembangunan hukum nasional8. Pada tataran filosofis, Prolegnas merupakan bagian pembangunan hukum yang bertujuan mewujudkan tujuan negara yang tertuang dalam konstitusi yaitu melindungi segenap rakyat dan bangsa, serta seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial melalui pembangunan hukum nasional. Sebagai bagian dari pembangunan hukum nasional, Prolegnas dilakukan karena dua alasan, pertama, perubahan konstitusi yang mengukuhkan negara hukum sebagai pilar konstitusionalisme yang berimplikasi pada perubahan sistem ketatanegaraan. Kedua, perkembangan globalisasi yang dilegalkan melalui berbagai perjanjian internasional berimplikasi pada perubahan pola hubungan antara negara dengan maupun hubungan antara negara dan warga negara9. Keberadan Prolegnas dalam pembangunan nasional dihadirkan untuk menata sistem hukum nasional secara menyeluruh dan terpadu, tidak dapat dilepaskan cita negara hukum (rechtstaat) yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Prinsip-prinsip negara hukum dimana menjadi instrumen
Rachmad Maulana Firmansyah, et, al, Catatan Kinerja DPR 2012: Fondasi Tahun Politik (Jakarta: PSHK, 2013), hlm. 16. 9 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya, 2000), hlm. 206. 10 Saldi Isra , Kekuasaan dan Perilaku Korupsi: catatan Hukum, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009), hlm. 48. 11 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan: Kumpulan Karya Tulis Prof.Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH.,LL.M (Bandung: Alumni, 2002), hlm.3-4. 8
402
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 399–411
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
lembaga hukum yang kuat dan terintegrasi14. Komponen budaya hukum yaitu masih rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum yang ditandai dengan terputusnya hubungan atau terjadi kesenjangan antara norma-norma hukum dan perilaku masyarakat15. Ketiga problem pembangunan sistem hukum di atas disebabkan karena pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengabaikan pentingnya kegiatan inventarisasi, sinkronisasi, harmonisasi seluruh peraturan perundang-undangan, serta kurang melakukan diseminasi peraturan perundangundangan untuk membuka akses dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang. Oleh karena itu, pembentukan undang-undang melalui Prolegnas menurut Ketua Baleg, 2009-2014, Ignatius Mulyono16, dihajatkan untuk dapat mewujudkan konsistensi undang-undang, serta meniadakan pertentangan antar undangundang (vertikal maupun horizontal) yang bermuara pada terciptanya hukum nasional yang adil, berdaya guna, dan demokratis. Selain itu dapat mempercepat proses penggantian materi hukum yang merupakan peninggalan masa kolonial yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat17. Pada aspek yang lain Prolegnas merupakan instrumen perencanaan hukum yang
na
lR ec hts V
ind
yang akan ditampilkan di bawah. Pada bagian pendahuluan disebutkan bahwa urgensitas Prolegnas didasarkan pada kondisi objektif pelaksanaan program pembangunan nasiona hukum pada awal-awal reformasi (2000-2004) secara umum menggambarkan masih belum menunjukkan hasil pembangunan hukum yang sesuai dengan harapan dan rasa keadilan masyarakat, yaitu hukum yang sungguhsungguh memihak kepentingan rakyat, hukum yang tidak hanya melindungi kepentingan orang perseorangan dan kelompok/golongan tertentu, hukum yang tetap mengimplementasikan nilainilai hukum yang hidup di dalam masyarakat12. Pertimbangan teoritis lahirnya Prolegnas mengikuti komponen sistem hukum yang dikemukakan Lawrence Friedman yaitu aspek substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Komponen materi hukum masih ditemukan materi hukum yang saling tumpang tindih dan tidak konsisten, baik secara vertikal maupun horizontal, belum menunjukkan komitmen dan karakter yang responsif terhadap masalah perlindungan hak asasi manusia, masyarakat lemah dan marjinal, nilai keadilan jender, serta proses pembentukannya yang kurang aspiratif dan partisipatif13. Komponen aparatur hukum antara lain kurang memadainya integritas, moral dan profesionalisme aparat penegak hukum, serta belum terwujudnya
Moh.Mahfud M.D, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta: Pustaka LP3ES , 2006) hlm.5. Ni,matul Huda, Politik ketatanegaraan Indonesia: kajian terhadap dinamika perubahan UUD 1945, (Yogyakarta: FH UII, 2002,) hlm. 49. 14 Satya Arinanto,Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca reformasi, Jurnal Konstitusi Volume 3 Nomor 3 September 2006, (2006), hlm. 79. 15 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Sekjen MK RI,2006) hlm. 34. 16 Igantius Mulyono, Kebijakan Penyusunan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2011, Makalah disampaikan dalam Rapat Pembahasan Tahunan Program Legislasi Nasional Tahun 2010, Badan pembinaan Hukum NasionalKementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bogor, 12 -14 Oktober 2010 hlm. 3. 17 Jimly Assidiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 50. 12
Jur
13
Konsep Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Program Legislasi Nasional ... (Muh. Risnain)
403
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
1) Prolegnas 2005-2009.
ing
Prolegnas 2005-2009 merupakan Prolegnas pertama yang disusun berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pada tahun 2005, DPR bersama Pemerintah telah menetapkan Prolegnas long list, 20052009 sebanyak 284 RUU. Secara filosofikal, Prolegnas periode ini disusun berdasarkan pada isi pembangunan hukum nasional, yaitu “ Terwujudnya negara hukum yang adil dan demokratis melalui pembangunan sistem hukum nasional dengan membentuk peraturan perundang-undangan yang aspiratif, berintikan keadilan dan kebenaran yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk melindungi segenap rakyat dan bangsa, serta tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945”. Pada Prolegnas periode ini ditentukan arah kebijakan Prolegnas yang dimaksudkan untuk: a) membentuk peraturan perundangundangan di bidang hukum, ekonomi, politik, agama, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, sosial budaya, pembangunan daerah, sumber daya alam dan lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan, sebagai pelaksanaan amanat UUD NRI 1945;
ind
menggambarkan sasaran politik hukum yang memuat daftar RUU yang dibentuk selaras dengan tujuan pembangunan hukum nasional18. Oleh karena itu, sasaran politik hukum nasional berkorelasi dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang dilakukan secara bertahap untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanatkan oleh UUD NRI 1945. Prolegnas diperlukan sebagai potret politik undang-undang atau substansi politik hukum nasional untuk mencapai tujuan negara dalam kurun waktu tertentu, baik dalam membuat undang-undang baru maupun dalam mencabut atau mengganti undang-undang lama19.
2. Refleksi Prolegnas 2005-2009 dan Prolegnas 2010-2014.
Jur
na
lR ec hts V
Perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan melalui Prolegnas telah dilakukan pada tiga periode jabatan DPR terakhir (2004-200920 dan 2009-201421). Pada dua masa jabatan itu pula kinerja DPR dalam capaian Prolegnas menjadi sorotan publik karena capaian lima tahunan (long list) maupun satu tahunan (short list) tidak tidak sesuai dengan target. Menurut penulis untuk memahami problematika yang mewarnai proses legislasi pada masing-masing periode jabatan legislatif tersebut penting untuk dikemukakan sebagai dasar untuk mengkonstruksi konsep peningkatan kualitas dan kuantitas Prolegnas.
Maria Farida S, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm.2. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Legislasi: Aspirasi atau Transaksi: Catatan Kinerja DPR 2011, (Jakarta: PSHK, 2012), hlm.11. 20 Prolegnas 2005-2009. 21 Prolegnas 2010-2014. 18 19
404
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 399–411
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
Dalam sebuah lokakarya yang diadakan di Bandung tahun 2009, yang kebetulan diikuti penulis, Ketua Badan Legislasi DPR periode 2004-2009, FX Soekarno menulis dalam makalahnya bahwa Prolegnas 2005-2009 telah menetapkan Prolegnas RUU Prioritas Tahun Anggaran (short list). Tahun 2005 ditetapkan sebanyak 55 RUU, tahun 2006 sebanyak 43 RUU, tahun 2007 sebanyak 32 RUU, tahun 2008 sebanyak 31 RUU dan tahun 2009 sebanyak 36 RUU. Dalam daftar Prolegnas Prioritas RUU terdapat daftar kumulatif terbuka, misalnya Pembentukan Daerah Otonom, Ratifikasi Perjanjian Internasional, Dampak Putusan MK dan Reformasi Agraria masing-masing dengan satu judul RUU22. Namun pada akhir masa jabatan DPR 20042009, target legislasi sebanyak 284 RUU tidak tercapai. Menurut data yang disampaikan Baleg pada Juni 2009, target pembahasan RUU menjadi UU baru mencapai 160 undang-undang (56,33 %). Menurut penelitian yang dilakukan Richo Wahyudi pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia diperoleh data bahwa dari 284 RUU Prolegnas yang dapat disahkan menjadi undangundang sampai akhir masa jabatan DPR hanya 193 Undang-undang (71.7). Selain persoalan kuantitas yang tidak sesuai dengan target, Prolegnas 2005-2009 menghadapi masalah kualitas undang-undang yang dihasilkan. Penelitian Richo Wahyudi kembali menjelaskan perincian undang-undang yang dihasilkan. Terdapat 58 RUU dengan kategori RUU tentang Pembentukan Daerah Otonom, 4 (empat) RUU tentang Pembentukan
Jur
na
lR ec hts V
ind
b) mengganti peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang ada yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman; c) mempercepat proses penyelesaian RUU yang sedang dalam proses pembahasan dan membentuk undang-undang yang diperintahkan oleh undang-undang; d) membentuk peraturan perundangundangan yang baru untuk mempercepat reformasi, mendukung pemulihan ekonomi, perlindungan hak asasi manusia dan pemberantasan korupsi kolusi dan nepotisme dan kejahatan transnasional; e) meratifikasi secara selektif konvensi internasional yang diperlukan untuk mendukung pembangunan ekonomi, demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia serta pelestarian lingkungan hidup; f) membentuk peraturan perundangundangan baru sesuai dengan tuntutan masyarakat dan kemajuan jaman; g) memberikan landasan yuridis bagi penegakan hukum secara tegas profesional dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan jender; dan h) menjadikan hukum sebagai sarana pembaruan dan pembangunan di segala bidang yang mengabdi kepada kepentingan rakyat, bangsa dan negara guna mewujudkan prinsip keseimbangan antara ketertiban, legitimasi dan keadilan.
FX. Soekarno, Arah Kebijakan Penyusunan Prolegnas 2010 – 2014, Makalah disampaiakan pada Lokakarya Prolegnas Tahun 2009, yang diselenggarakan oleh BPHN, Departemen Hukum dan HAM, tanggal 10 Juni 2009, di Bandung, Jawa Barat, hlm.
22
Konsep Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Program Legislasi Nasional ... (Muh. Risnain)
405
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
2007 RUU yang ditargetkan 78 RUU namun yang dapat disahkan adalah 40 Undang-undang. Pada tahun 2008 target legislasi sebanyak 81 namun yang dicapai sebesar 61 undangundang. Pada akhir masa jabatan tahun 2009 RUU yang ditargetkan sebanyak 76 RUU, namun yang disahkan hanya 39 Undang-undang. Tidak tercapainya target legislasi 2005-2009 menurut ketua Badan Legislasi DPR RI tahun 2004-2009 disebabkan karena: 1) Penentuan jumlah RUU sebanyak 284 RUU pada tahun 2005 belum sepenuhnya menggunakan kriteria yang jelas dan tepat, dikaitkan dengan kebutuhan hukum yang ada. Penentuan judul yang masuk tidak disertai alasan mengenai urgensi RUU bahkan ada beberapa RUU yang memiliki kesamaan atau kedekatan substansi materi yang akan diatur. 2) Penentuan prioritas tahunan belum sepenuhnya memperhitungkan kapasitas dan ketersediaan waktu legislasi DPR. DPR
Jur
na
lR ec hts V
ind
Pengadilan Tinggi Agama sebanyak 4 RUU, 9 RUU Kumulatif terbuka tentang pengesahan perjanjian internasional, 7 RUU Kumulatif terbuka akibat putusan MK sebanyak 7 RUU, RUU tentang APBN sebanyak 16 RUU, dan RUU tentang penetapan PERPU sebanyak 12 RUU. Semua kategori RUU tersebut secara substansi tidak membutuhkan pembahasan yang mendalam atau RUU copy paste saja, yang berbeda dengan kategori RUU Prolegnas yang pembahasannya perlu pendalaman yang serius. Hasil penelitian PSHK tahun 2005-2009 menunjukkan rendahnya capaian target legislasi yang telah ditetapkan. Prolegnas periode pertama 2005-2009 menunjukkan tingkat capaian legislasi tahunan legislasi yang jauh dari harapan. Pada tahun 2005, target target legislasi 55 RUU, namun yang dapat disahkan hanya 14 undang-undang. Kondisi yang sama terjadi pada tahun 2006, dengan target legislasi sebanyak 76 RUU, namun yang disahkan menjadi undangundang hanya 39 undang-undang. Pada tahun
406
Sumber: PSHK, 2014.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 399–411
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
c) mewujudkan lembaga hukum yang mandiri, kredibel, adil, imparsial dan terintegrasi dalam satu sistem hukum; dan d) mewujudkan aparatur hukum yang bersih, taat hukum, profesional, dan bertanggung jawab.
ing
Prolegnas 2010-2014 disusun dengan maksud dan tujuan tertentu. Berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 41 A/DPR RI/ I/2009-2010 Tentang Persetujuan Penetapan ProlegnasTahun 2010 – 2014 maksud Penyusunan Prolegnas Tahun 2010 – 2014 sebagai berikut: a) Memberikan landasan perencanaan dan arahan yang sistematis dan berkelanjutan terhadap pembangunan jangka menengah yang berlandaskan kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mewujudkan masyarakat adil makmur. b) Mengintegrasikan pembangunan nasional di bidang hukum yang secara spesifik diarahkan pada pembenahan dan penguatan sistem hukum nasional yang didasarkan pada UUD NRI 1945, tuntutan reformasi, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi; c) Meningkatkan sinergi antar lembaga yang berwenang membentuk undang-undang di tingkat pusat.
lR ec hts V
ind
menjadwalkan hari legislasi 2 hari kerja dalam setiap minggu pada setiap Masa Persidangan. 3) Parameter yang digunakan untuk menentukan RUU yang akan dimasukan dalam Prolegnas sering kalah oleh kepentingan politik. 4) Komitmen terhadap Prolegnas sebagai satu-satunya instrumen perencanaan pembentukan undang-undang, belum sepenuhnya ditaati baik oleh Pemerintah maupun DPR, masih sering terjadi masuknya RUU yang sebelumnya tidak tercantum dalam daftar Prolegnas. 5) Mekanisme pembahasan RUU di lingkungan DPR membutuhkan waktu yang panjang, karena keharusan adanya DIM lebih dulu dan harus mendapatkan persetujuan semua fraksi dan Pemerintah. 2) Prolegnas 2010-2014.
Jur
na
Pada periode ke-2 Prolegnas (2010-2014), DPR dan Pemerintah telah menetapkan sebanyak 247 (dua ratus empat puluh tujuh) RUU dan 5 (lima) RUU Kumulatif Terbuka. Penyusunan Prolegnas Tahun 2010-2014 didasarkan pada visi: mewujudkan negara hukum yang demokratis melalui pembangunan sistem hukum nasional dengan membentuk peraturan perundang-undangan yang aspiratif, berintikan keadilan dan kebenaran”.Untuk menjalankan visi tersebut ditentukan misi Prolegnas sebagai berikut: a) mewujudkan materi hukum yang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat; b) mewujudkan partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundangundangan;
Adapun tujun yang hendak dicapai Prolegnas 2010 – 2014 adalah: a) mewujudkan negara hukum yang demokratis melalui pembangunan sistem hukum nasional dengan membentuk undangundang yang menjamin kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan, dan ketertiban; b) mewujudkan supremasi hukum yang menjunjung tinggi rasa keadilan dan nilai-
Konsep Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Program Legislasi Nasional ... (Muh. Risnain)
407
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
a. Konsep Peningkatan Kualitas Prolegnas.
Bangunan konsep peningkatan kualitas legislasi didasarkan pada kenyataan bahwa undang-undang sebagai produk legislasi selalu bermasalah pada tataran substansi. Indikatornya adalah undang-undang yang lahir sering menjadi objek judicial review di MK oleh warga negara, materi muatan yang tidak layak diatur dalam undang, materi muatan undangundang yang bertentangan satu sama lain (tidak harmonis dan tidak sinkron), dan minimnya kapasitas legislative drafting anggota DPR. Elemen-elemen konsep yang dibangun dalam peningkatan kualitas Prolegnas, pertama, harmonisasi vertikal materi RUU dengan UUD NRI 1945. Hal ini penting dilakukan ketika proses pembahasan RUU pada pembicaraan tingkat I yang biasanya dilaksanakan oleh Panitia Khusus (Pansus) atau panitia kerja (Komisi) di DPR. Ketika pembahasan Pansus harus memastikan bahwa pasal-pasal dalam RUU berpotensi bertentangan dengan konstitusi. Penulis berpandangan pada tataran praktis Daftar Isian Masalah (DIM) yang disampaikan fraksi-fraksi di DPR harus fokus pada mengkaji setiap pasal dengan ketentuan konstitusi. Ketentuan RUU pasal harus disandingkan dengan pasal-pasal dalam konsistensi. Kedua, pendalaman materi muatan yang menjadi lingkup pengaturan undang-undang. Selama ini seringkali terjadi materi muatan yang diatur dalam undang-undang sebenarnya materi muatan yang cukup diatur dalam
Jur
na
lR ec hts V
ind
Uraian refleksi capaian Prolegnas di atas menunujukkan berbagai problematika yang menyelimuti Prolegnas yang harus ditemukan solusinya. Pada tulisan ini Penulis mengemukakan sebuah konsep peningkatan kualitas dan kuantitas Prolegnas. Konsep peningkatan kualitas maksudnya adalah bangunan konsep yang dikonstruksi dari berbagai elemen /postulat pendukung konsep. Begitu juga pada konsep peningkatan kuantitas dibangun dengan konstruksi berbagai elemen/ postulat pendukung konsep23. Pada pembahasan dua aspek Prolegnas di atas, penulis membagi pembahasan dalam dua fokus pembahasan yaitu konsep peningkatan kualitas dan konsep peningkatan kuantitas. Walaupun terkesan terjadi dikotomi antara kedua konsep ini, tetapi tujuannya sama yaitu mewujudkan Prolegnas yang memiliki kualitas yang bagus, tetapi juga memiliki kuantitas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pada akhirnya konsep yang ditawarkan pada tulisan ini adakah konsep Prolegnas integratif, yang
BP HN
3) Konsep Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Prolegnas: Rekomendasi Konseptual dan Kebijakan Prolegnas 2015-2019.
mengintegrasikan aspek kualitas dan kuantitas produk legislasi24.
ing
nilai hukum yang hidup dalam masyarakat; dan c) menyempurnakan undang-undang agar sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat, serta berorientasi pada pengaturan perlindungan hak asasi manusia dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan jender.
Ahmad M. Ramli, sistem satu pintu dalam penyusunan program legislasi nasional Yang integratif dan koordinatif, dalam BPHN, Tiga Dekade… op.cit, hlm. 227. 24 Hikmahanto Juwana, prolegnas sebagai potret politik Hukum nasional, dalam Ibid. hlm. 260. 23
408
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 399–411
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
peraturan perundang-undangan yang mumpuni. Oleh karena itu, menurut penulis penting bagi lembaga DPR untuk melakukan peningkatan kapasitas bagi anggota DPR di bidang legislative drafting. b. Konsep Peningkatan Kuantitas Prolegnas
ing
Untuk membangun konsep peningkatan kuantitas output Prolegnas, maka dimulai dari elemen-elemen pendukung konsep tersebut. Bangunan konsep itu berangkat dari kondisikondisi yang menghambat tercapainya targettarget legislasi yang telah ditetapkan dalam Prolegnas. Menurut penulis, kondisi-kondisi yang menghambat tercapainya Prolegnas berangkat dari beberapa penyebab, yaitu: pertama, RUU yang diajukan pengusul tidak disertai dengan kajian mendalam mengenai landasan konseptual, landasan filosofis, sosiologis, atau yuridis. Seringkali RUU yang diajukan hanya judul RUU saja tanpa disertai alasan konseptual yang menjadi landasan berpikir dan pijakan26. Kedua, mekanisme kerja pembahasan RUU di DPR yang tidak sistimatis. Penyediaan hari kerja untuk legislasi di DPR tidak proporsional dibandingkan dengan beban kerja legislasi. Penyediaan 2 (dua) hari kerja setiap minggu untuk legislasi belum proporsional dibandingkan dengan hari pengawasan, hari anggaran dan hari fraksi (jum’at). Belum lagi dengan banyaknya waktu reses dan jadwal kunjungan kerja DPR baik di dalam maupun luar negeri menjadikan energi DPR untuk legislasi menjadi berkurang. Ketiga, komitmen politik yang minim. Seringkali terjadi terhambatnya capaian
Jur
na
lR ec hts V
ind
peraturan Pemerintah atau undang-undang yang lahir telah didelegasikan melalui Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu, untuk menghindari over regulation yang menimbulkan tumpang tindih pengaturan, maka ketika pengajuan RUU untuk dimasukkan dalam Prolegnas harus dikaji secara mendalam tingkat urgensitasnya dan tingkat koherensi dengan undang-undang yang lain. Jika memang beberapa materi muatan yang memiliki materi yang sama atau bersinggungan, maka cukup digabung dalam satu undang-undang saja. Begitu juga jika materi muatan yang diatur dalam Undangundang sebenarnya adalah materi muatan peraturan Pemerintah yang telah di delegasikan dalam undang-undang, maka tidak perlu diatur dengan undang-undang, tetapi cukup dengan peraturan Pemerintah saja25. Ketiga, sinkronisasi materi muatan undangundang dengan undang-undang yang sederajat (sinkronisasi horizontal). Ini penting dilakukan untuk membangun kualitas undang-undang karena undang-undang yang tidak harmonis berdampak pada tumpang tindih kewenangan dalam Pemerintahan. Oleh karena itu, ketika pembahasan RUU pada tingkat pertama sinkronisasi horizontal menjadi penting dilakukan untuk menjamin bahwa undangundang yang lahir kemudian tidak bertentangan dengan sistem yang telah dibentuk yang tentu akan menyulitkn jalannya Pemerintahan. Keempat, peningkatan kapasitas legislative drafting anggota DPR. Pemikiran ini didasarkan pada pertimbangan bahwa tidak semua anggota DPR memiliki latar belakang pendidikan hukum atau memahami teknik dan teori penyusunan
Sunaryati Hartono, Program Legislasi Nasional Antara Kenyataan Dan Harapan, dalam Ibid, hlm. 266. Sri Soemantri, Penyusunan Naskah Akademik Pengharmonisan Draf Ruu Dalam Mengantisipasi Potensi Judicial Review Oleh Mahkamah Konstitusi, dalam Ibid, hlm. 266.
25 26
Konsep Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Program Legislasi Nasional ... (Muh. Risnain)
409
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
D. Penutup
ing
Faktor yang menghambat tercapainya target Prolegnas baik dari sisi kualitas maupun kuantitas pada periode 2005-2009 dan periode 2010-2014 adalah: pada sisi kualitas, terjadi kondisi disharmonis antara materi muatan undang-undang dengan UUD NRI 1945, materi muatan undang-undang yang tidak layak diatur dalam undang-undang, materi muatan undangundang yang bertentangan satu sama lain (tidak harmonis dan tidak sinkron), dan minimnya kapasitas legislative drafting anggota DPR. Pada sisi kuantitas. Faktor yang menghambat tercapainya target legislasi nasional adalah: RUU yang diajukan pengusul tidak disertai dengan kajian mendalam mengenai landasan konsepsional, landasan filosofis, sosiologis maupun yuridis, mekanisme kerja pembahasan RUU di DPR yang tidak sistimatis dan komitmen politik yang minim untuk menyelesaikan Prolegnas. Konsep yang ditawarkan dalam peningkatan Prolegnas adalah konsep penyusunan Prolegnas integratif, yang menggabungkan aspek kualitas dan kuantitas produk legislasi. Pada konsep demikian hambatan-hambatan yang terdapat dalam Prolegnas baik dari sisi kualitas maupun kuantitas diharapkan dapat diatasi. Guna meningkatkan kualitas Prolegnas, maka ketika pembahasan RUU oleh DPR, Pemerintah dan DPD hendaknya memperhatikan hal-hal: harmonisasi vertikal materi RUU dengan UUD NRI 1945 dan harmonisasi horizontal RUU dengan peraturan perundang-undngan, tingkat urgensitas dan kompatibilitas materi muatan undang-undang, dan peningkatan kapasitas legislative drafting anggota legislatif. Dan untuk menjamin peningkatan kuantitas Prolegnas, maka hendaknya ketika penyusunan RUU yang masuk menjadi bagian Prolegnas DPR,
Jur
na
lR ec hts V
ind
Prolegnas karena kurangnya kemauan politik dari anggota DPR, fraksi, alat kelengkapan DPR maupun Pemerintah untuk menyelesaikan tugas-tugas legislasi. Seringkali terjadi anggota DPR atau Pemerintah malas untuk menghadiri rapat pembahasan karena kesibukan tugas masing-masing atau sengaja tidak mau menghadiri rapat. Oleh karena itu penulis berpendapat untuk meningkatkan kuantitas legislasi, maka perlu dibangun elemen-elemen konseptual untuk memperbaiki kondisi yang ada. Pertama, RUU yang diajukan pengusul harus disertai kajian konseptual yang mendalam ketika sebuah RUU diusulkan untuk masuk dalam Prolegnas. Keberadaan kajian konseptual awal menghilangkan kesan bahwa masuknya RUU dalam Prolegnas bukan karena titipan institusi tertentu, tetapi menjadi landasan bagi DPR dan Pemerintah dalam mendesaian Naskah Akademik dan RUU. Kedua, membangun mekanisme kerja legislasi yang efisien dan sistimatis. Mekanisme kerja yang efektif dan efisien dilakukan dengan menyediakan perhatian kelembagaan Pemerintah dan DPR untuk memberikan porsi waktu yang lebih banyak pada hari legislasi dari hari-hari kerja yang lain di DPR. Ketiga, komitmen politik institusi dan anggota DPR yang maksimal. Tingginya komitmen politik institusional baik Pemerintah maupun DPR untuk menyelesaikan tugas-tugas konstitusional merupakan modal penting dalam mendukung tercapainya Prolegnas. Komitmen politik tersebut lahir dari komitmen individual anggota DPR, fraksi-fraksi di DPR, alat kelengkapan maupun Pemerintah dalam memaksimalkan capaian target legislasi.
410
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 399–411
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
DAFTAR PUSTAKA Buku
BP HN
Makalah/Artikel/Prosiding/Hasil Penelitian Soekarno, FX., Arah Kebijakan Penyusunan Prolegnas 2010 – 2014, Makalah disampaiakan pada Lokakarya Prolegnas Tahun 2009, yang diselenggarakan oleh BPHN, Departemen Hukum dan HAM, tanggal 10 Juni 2009, di Bandung, Jawa Barat Mulyono, Ignatius, Kebijakan Penyusunan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2011, Makalah disampaikan dalam Rapat Pembahasan Tahunan ProlegnasTahun 2010, Badan pembinaan Hukum Nasional-Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bogor, 12 -14 Oktober 2010 Mahfud MD, Moh., Permasalahan Aktual Koordinasi Prolegnas, Makalah disampaikan dalam lokakarya “ 30 tahun Tahun Prolegnas, yang diadakan BPHN Kemenkumham RI, Hotel Sahid Jakarta, tanggal 19 s/d 21 oktober 2008 Arinanto, Satya, Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca reformasi, Jurnal Konstitusi Volume 3 Nomor 3 September 2006, (2006)
Jur
na
lR ec hts V
ind
Asshiddiqie, Jimly, Perihal Undang-Undang (Jakarta: Konstitusi Press, 2006) Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Sekjen MK RI,2006) Badan Pembangunan Hukum Nasional, Tiga Dekade Prolegnasdan BPHN (Jakarta, BPHN: 2004 ) Farida S, Maria, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan (Yogyakarta: Kanisius, 2007) Firmansyah, Rachmad Maulana, et, al, Catatan Kinerja DPR 2012: Fondasi Tahun Politik (Jakarta: PSHK, 2013) Huda, Ni’matul, Politik ketatanegaraan Indonesia: kajian terhadap dinamika perubahan UUD 1945 (Yogyakarta: FH UII, 2002) Isra, Saldi, Kekuasaan dan Perilaku Korupsi: catatan Hukum (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009) Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan: Kumpulan Karya Tulis Prof.Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH.,LL.M (Bandung: Alumni, 2002)
Mahfud M.D, Moh., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006) Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar (Jogjakarta: Liberty, 2003) Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Legislasi: Aspirasi atau Transaksi: Catatan Kinerja DPR 2011 (Jakarta: PSHK, 2012) Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya, 2000) Rasjidi, Lili, dan I.B.Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem (Bandung, Mandar Maju: 2003). Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum: Konsep dan Metode (Malang: Setara Press, 2013)
ing
Pemerintah maupun DPD memperhatikan: kapasitas kelembagaan DPR dengan target Prolegnas yang akan dicapai, mengkaji secara mendalam kerangka konsepsional, landasan filosofis, landasan yuridis maupun landasan sosiologis keberadaan RUU, dan komitmen politik secara kelembagaan baik Pemerintah, DPR maupun DPD dalam menyelesaikan Prolegnas.
Konsep Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Program Legislasi Nasional ... (Muh. Risnain)
411
lR ec hts V
ind
ing
BP HN
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Jur
na
”Halaman ini dikosongkan”
412
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 21-41
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
EKSISTENSI PEMBENTUKAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM DINAMIKA POLITIK LEGISLASI DI INDONESIA
(The Existence of the Judge Made Laws in Dynamic Political Process of Legislation in Indonesia) Budi Suhariyanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan MA-RI Jl. Jend. Ahmad Yani Kav.58 Jakarta Pusat Email:
[email protected]
ing
Naskah diterima: 30 September 2015; revisi: 25 November 2015; disetujui: 2 Desember 2015
lR ec hts V
ind
Abstrak Secara normatif hakim Indonesia disebut sebagai Penegak hukum dan keadilan tidak sebatas corong undang-undang. Hakim wajib untuk menemukan, menggali dan membentuk hukum yang sesuai dengan nilai dan rasa keadilan masyarakat. Secara teoritis pembentukan hukum oleh Hakim pun diakui sebagai salah satu sumber hukum formil dalam sistem hukum Indonesia dan dapat diakomodasi oleh DPR (Positif Legislator) dalam pembaruan undang-undang. Tulisan ini bermaksud untuk meneliti masalah eksistensi pembentukan hukum oleh hakim dalam dinamika politik legislasi (baik yang bersifat positif legislasi sebagaimana diwenangi oleh DPR bersama Presiden maupun negatif legislator yang diperankan oleh putusan Mahkamah Konstitusi). Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, diperoleh kesimpulan bahkan dalam konteks tertentu Hakim didorong untuk melakukan pembentukan hukum baru yang berfungsi sebagai a tool of social engineering. Jika pembentukan hukum oleh Hakim diikuti secara konstan oleh Hakim lain maka dapat dijadikan sebagai sumber hukum formil dalam sistem hukum nasional (yurisprudensi). Kata kunci: pembentukan hukum, hakim, politik legislasi
Jur
na
Abstract Normatively in Indonesia, a judge is also known as the law and justice enforcement agency, not just decided cases based on written law. Judges are obliged to discover, explore and establish a legal system that suitable with local values and sense of justice. Theoretically Judge Decisions (known also as Jurisprudence) are also recognized as one of the source of formal lawsin the Indonesian legal system and can be accommodated by the Parliament (Positive Legislators) in the renewal of the law. This paper intends to examine the existence of the Judge made laws in dynamic-political process of legislation (whether positive legislation that is ruled by the House of Representatives and the President or negative legislator who are ruled by the Constitutional Court). Using a normative-legal research method, the conclusion even in the context of a particular judges are encouraged to establish anew legal construction that intended as a tool of social engineering. If the judge-made law is followed constantly by other judges, it can be used as a source of formal law in the national legal system (jurisprudence). Keywords: establishment of law, judges, political process of legislation
Eksistensi Pembentukan Hukum oleh Hakim dalam Dinamika Politik Legislasi di Indonesia (Budi Suhariyanto)
413
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
na
BP HN
lR ec hts V
ind
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) menegaskan bahwa “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Dalam penjelasannya, ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan Hakim Konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Berdasarkan ketentuan yang demikian, hakim dituntut tidak hanya menegakkan hukum a quo (undangundang) semata, tetapi diwajibkan untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai dan rasa keadilan masyarakat. Pada konteks ini UU Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa hakim Indonesia bukanlah corong undangundang semata. Melalui penegasan normatif yang demikian, secara legal formal terbuka ruang penemuan hukum oleh hakim. Kewenangan penemuan hukum dibuka untuk memberikan penjelasan terhadap ketentuan undang-undang yang belum jelas atau melengkapi pengaturan normatif yang tidak lengkap dan dimungkinkan untuk mengisi kekosongan hukum dari suatu undangundang. Ketidak-lengkapan, ketidak-jelasan dan kekosongan hukum ini merupakan konsekuensi dari sebuah realitas bahwa “teks” undangundang yang tidak selalu sempurna. Apalagi laju undang-undang yang statis dibandingkan dengan perkembangan masyarakat maka
sifatnya sebatas moment opname sehingga harus di”kontekstualisasi”kan oleh hakim. Dalam hal ini hakim harus menafsirkan dan atau menggali kandungan norma yang terdapat di dalam undang-undang itu1 sehingga sesuai dengan perkembangan nilai dan rasa keadilan masyarakat. Jika hakim tidak diberikan kewenangan untuk melakukan penemuan hukum maka kekosongan hukum yang terjadi akibat tidak sempurnanya undang-undang tersebut akan dapat berubah menjadi kekacauan.2 Oleh karenanya dalam melakukan usaha pencapaian terhadap nilainilai keadilan, hakim diberikan keleluasaan untuk melakukan penafsiran-penafsiran, penemuan-penemuan hukum bahkan menurut aliran progresif hakim dimungkinkan untuk melakukan penciptaan hukum jika kenyataan telah mengharuskan itu.3 Dalam konteks yang demikian, muncul pemikiran yang berpendapat bahwa adil tidaknya suatu undang-undang berada di pundak hakim.4 Sehingga hakim dimungkinkan melakukan pembentukan hukum yang selanjutnya dalam kondisi tertentu (diikuti secara konsisten oleh hakim lain) dapat dikategorikan sebagai salah satu sumber hukum formil. Kedudukan hakim sebagai pembentuk hukum ini berbeda dengan pembentuk undang-undang (legislator). Hakim melalui kuasa pembentukan hukumnya dapat diikuti oleh hakim lainnya. Meskipun Indonesia tidak menganut precedent, namun pembentukan
ing
A. Pendahuluan
Luhut M.P. Pangaribuan, Lay Judges & Hakim Ad Hoc: Suatu Studi Teoritis mengenai Sistem PeradilanPidana Indonesia (Jakarta: Fakultas Hukum Pasca Sarjana Universitas Indonesia & Papas Sinar Sisanti, 2009), hlm. 188. 2 Ansyahrul, Pemuliaan Peradilan: dari Dimensi Integritas Hakim, Pengawasan, dan Hukum Acara (Jakarta: Mahkamah Agung, 2011), hlm. 134 3 Darmoko Yuti Witanto & Arya Putra Negara Kutawaringin, Diskresi Hakim: Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara-Perkara Pidana. (Bandung: Alfabeta, 2013), hlm. 26. 4 Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012), hlm. 211.
Jur
1
414
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 413-430
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
Selain itu dihubungkan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam judicial review (yang notabene berfungsi sebagai negatif legislator), pembentukan hukum oleh hakim pada Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya juga berhubungan secara dinamis. Politik legislasi (dalam membatalkan suatu norma undang-undang yang dibuat oleh DPR bersama Presiden sebagai representasi fungsinya sebagai the guardian of constitution dan the final interpreter of the costitution serta the guardian of the democratic process dan the protector of human right)5 di Mahkamah Konstitusi tidak sepenuhnya statis dilaksanakan atau diikuti oleh Hakim Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya. Padahal putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mempunyai daya ikat kepada seluruh orang dan organ negara (erga omnes) termasuk hakim pada Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya. Dalam praktik ditemukan beberapa kasus pembentukan hukum oleh hakim pada Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya tidak selalu berkorelasi secara positif dan sinergis dengan produk “hukum” yang ditetapkan oleh pemegang kuasa negatif legislator. Misalnya meskipun sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa penerapan sifat melawan hukum materiil dalam frase penjelasan pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah tidak mengikat, namun Mahkamah Agung dalam sebagian putusannya tidak mengindahkannya dengan pertimbangan dasar mempedomani yurisprudensi.
Jur
na
lR ec hts V
ind
hukum oleh hakim ini dalam praktek dapat dipedomani hakim lainnya di masa yang akan datang. Secara praktis pembentukan hukum oleh hakim ini juga dapat diikuti oleh penegak hukum dan secara akademis diterima oleh akademisi hukum sebagai salah satu khasanah pengembangan ilmu hukum. Meskipun demikian, hasil pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim ini, dalam konteks politik legislasi belum tentu dapat diterima secara otomatis dalam bentuk pembaruan undangundang atau pengaturan norma yang baru. Dewan Perwakilan Rakyat (selain Presiden) sebagai pemegang kuasa dan pelaksana fungsi legislasi merupakan sebuah institusi politik. Dalam optik politik, keberadaan pembaruan hukum (undang-undang) yang dibidangi oleh DPR ini bersifat sangat dinamis. Suatu hukum bisa dirupakan dalam undang-undang, harus melalui sebuah konsensus diantara anggotanya. Secara fungsional, berbagai pertimbangan politis, ekonomi dan sosiologis dari konfigurasi konsensus tersebut berpengaruh terhadap konstelasi hukum yang akan dibuat. Dalam konteks ini, dinamika politik legislasi tidak dapat dihindarkan pengaruhnya terhadap hukum. Karenanya eksistensi pembentukan hukum oleh hakim itu tidak selalu berpengaruh secara positif terhadap dinamika politik legislasi. Meskipun demikian, tidak sedikit yang menginspirasi dan diakomodir sebagai revisi undang-undang oleh para legislator, semisal penerapan sifat melawan hukum materiil dalam Pasal 2 UndangUndang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang notabene mengakomodasi Yurisprudensi Mahkamah Agung.
5
Malik, “Telaah Makna Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat”, Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 1 (2009), hlm. 93. Eksistensi Pembentukan Hukum oleh Hakim dalam Dinamika Politik Legislasi di Indonesia (Budi Suhariyanto)
415
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
ing
B. Metode Penelitian
berupa literatur dan hasil penelitian. Data sekunder diperoleh dan dikumpulkan melalui metode sistematis guna memudahkan analisis terhadap pokok-pokok permasalahan. Bahanbahan tersebut dikumpulkan dan diklasifikasi sesuai dengan permasalahannya, asas-asas, argumentasi, implementasi yang ditempuh, alternatif pemecahannya dan lain sebagainya. Selanjutnya untuk mendapatkan kesimpulan atas permasalahan yang dibahas digunakan sebuah analisis yang bersifat yuridis kualitatif. Adapun kepustakaan yang dominan dipergunakan adalah kepustakaan dalam bidang hukum khususnya mengenai pembentukan hukum oleh hakim dalam dinamika politik legislasi di Indonesia. Lokasi penelitian kepustakaan dilakukan di beberapa tempat antara lain di Perpustakaan Balitbangdiklat Kumdil Mahkamah Agung RI, Perpustakaan Mahkamah Agung RI, Perpustakan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Universitas Indonesia serta perpustakaan lain yang menyediakan data sekunder yang sesuai dan diperlukan dalam penelitian ini.
ind
Berdasarkan latar belakang di atas maka menarik untuk diteliti masalah eksistensi pembentukan hukum oleh hakim dalam dinamika politik legislasi (baik yang bersifat positif legislasi sebagaimana diwenangi oleh DPR bersama Presiden maupun negatif legislator yang diperankan oleh putusan Mahkamah Konstitusi). Dalam tulisan ini dapat diuraikan dalam beberapa pokok permasalahan (i) bagaimana eksistensi pembentukan hukum oleh hakim dalam sistem hukum Indonesia? (ii) bagaimana eksistensi pembentukan hukum oleh hakim dalam dinamika politik legislasi?
Jur
na
lR ec hts V
Metode penelitian untuk mengkaji masalah eksistensi pembentukan hukum oleh hakim dalam dinamika politik legislasi di Indonesia ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pada penelitian hukum normatif ini, digunakan beberapa pendekatan masalah diantaranya yaitu pendekatan perundangundangan (Statute Approach) dan pendekatan kasus (Case Approach). Pendekatan perundangundangan digunakan untuk mengkaji masalah secara normatif baik dari perspektif ius constitutum maupun ius constituendum. Sedangkan pendekatan kasus digunakan untuk mengkaji masalah dari segi praktek peradilan yang berkembang dalam merespon dan mengaktualisasikan isu hukum secara in concreto. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta bahan hukum sekunder
6
416
C. Pembahasan 1. Eksistensi Pembentukan Hukum oleh Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia
Pembentukan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah apa yang dimaksud dengan penemuan hukum lazimnya adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa konkret.6 Berdasarkan pendapat yang demikian, Sudikno Mertokusumo menegaskan bahwa tidak hanya hakim yang memiliki
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014), hlm. 49
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 413-430
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
disebutnya badan kekuasaan kehakiman atau yudikatif, yakni antara lain adalah pembentukan hukum oleh hakim.9 Pembentukan hukum oleh hakim inilah yang memegang peran penting dalam konteks penegakan hukum, karena dalam setiap putusannya terkandung penafsiran terhadap undang-undang. Memang hakim bukan satu-satunya yang menafsirkan undang-undang, Tetapi menurut Bagir Manan harus diakui peranan hakim sangat penting. Mengapa? Pertama, hakim yang mewujudkan hukum (dalam arti) konkrit. Melalui putusan hakim, ketentuan undang-undang (hukum) yang abstrak menjadi suatu kenyataan. Kedua, hakim bukan hanya menyatakan (menetapkan) hukum bagi yang berperkara (menciptakan hukum bagi pihakpihak), tetapi dapat juga menciptakan hukum yang berlaku umum. Ketiga, hakim menjamin aktualisasi hukum, termasuk mengarahkan perkembangan hukum.10 Atas peran yang demikian, kedudukan hakim sangat strategis dalam sebuah negara hukum. Pada dasarnya dalam suatu negara hukum (rechtstaat) seperti Indonesia, hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan merupakan salah satu sendi dasar yang pokok dan utama.11 Melalui representasi hakim yang demikian, pemaknaan negara hukum ini tidak diartikan sebagai supremasi undang-undang, tetapi yang dihendaki oleh konstitusi adalah supremasi hukum. Dalam konteks ini sesuai dengan
na
lR ec hts V
ind
kewenangan membentuk hukum, aparat hukum atau pejabat lainnya pun dalam menerapkan peraturan hukum dapat dikategori sebagai pembentuk hukum. Berkaitan dengan hal tersebut, W Van Gerven memperkenalkan adanya tiga jenis model pembentukan hukum yaitu: (1). Pembentukan hukum preventif adalah yang dilakukan oleh pakar hukum perusahaan, notariat dan pakar hukum pemerintahan; (2). Pembentukan hukum reflektif yang dilakukan oleh ilmuwan hukum dan Guru Besar hukum; (3). Pembentukan hukum conflichtif adalah yang dilakukan oleh praktisi hukum seperti halnya, hakim, jaksa dan advokat.7 Sementara itu J.J Bruggink mengemukakan bahwa di dalam masyarakat yang memiliki kewenangan pembentukan hukum, termasuk di dalamnya adalah Badan Pembentuk Undang-Undang (legislatif), Badan Kehakiman (yudikatif), dan Badan Pemerintahan (eksekutif).8 Kepada para pengemban kewenangan hukum tersebut diberikan kewenangan (tugas) untuk berdasarkan kesadaran hukum mereka memberikan suatu bentuk yang positif berkepastian hukum. Tanpa mempersoalkan pendapat pertama dan yang kedua di atas, namun yang pasti dapat disimak bahwa ketiga jenis model pembentukan hukum dilihat dari segi sumbernya tersebut, maka yang menjadi sasaran perhatian adalah pembentukan hukum conflichtif, yang oleh pendapat J. J Bruggink
Nurul Qamar, Percikan Pemikiran Tentang Hukum (Makassar: Pustaka Refleksi, 2011), hlm. 43-44. Ibid, hlm. 44. Ibid. 10 Bagir Manan, Penafsiran sebagai Bentuk Penemuan Hukum, dalam Idris, dkk. (Ed), Penemuan Hukum Nasional dan Internasional (dalam rangka Purna Bakti Prof. Dr. Yudha Bhakti, SH., MH). (Bandung: Fikahati Aneska, 2012), hlm. 84. 11 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Indonesia: Suatu Tinjauan Khusus terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), hlm. 54. 7
9
Jur
8
Eksistensi Pembentukan Hukum oleh Hakim dalam Dinamika Politik Legislasi di Indonesia (Budi Suhariyanto)
417
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
pilihan hukum atau politik hukum lembaga pembentuk undang-undang tetapi di pihak lain tidak membelenggu hakim atas acuan dasar keadilan dan kemanfaatan.12 Kedudukan hakim Indonesia yang demikian tercermin secara normatif dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Ketentuan ini harus diartikan sebagai sebuah kewajiban bagi hakim karena hakim merupakan perumus dan penggali nilainilai hukum yang hidup dikalangan rakyat.13 Sebagaimana diketahui bahwa tidak ada hukum atau perundang-undangan yang sangat lengkap. Peraturan hukum yang tidak jelas harus dijelaskan, yang tidak lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukumnya agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya.14 Selain itu pasal 10 ayat (1) UndangUndang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Ketentuan ini didasarkan atas asas ius curia novit. Apabila hakim tidak menemukan hukum tertulis atau suatu peraturan perundang-undangan belum jelas mengaturnya, hakim harus bertindak berdasarkan insiatifnya
Jur
na
lR ec hts V
ind
pasal 24 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Termasuk dalam kategori kemerdekaan yang dimaksudkan adalah kemerdekaan dalam hal memaknai nilai-nilai hukum dan rasa keadilan, sehingga hakim Indonesia tidak mutlak terikat dengan undang-undang (bukan corong undang-undang) sebagaimana sistem hukum Eropa-kontinental. Meskipun sistem hukum Indonesia dalam beberapa bagian dipengaruhi sistem hukum Eropa-kontinental tetapi pada bagian lain ternyata juga terdapat pengaruh sistem common law. Maka dari itu dalam memposisikan hakim, berbeda dengan kedua sistem tersebut secara parsial. Pada satu sisi tidak serta merta mengikuti sistem hukum Eropa-kontinental yang memandang bahwa hukum itu didasarkan pada prinsip kodifikasi dan kepastian dalam konteks ini hukum itu disamakan dengan undang-undang sehingga hakim seakan seperti corong undang-undang. Sementara itu di sisi lain juga tidak mutlak mengikuti sistem hukum common law yang menetapkan bahwa kaidah hukum didasarkan pada putusan hakim yang disertai precedent dan menempatkan hukum yang hidup (living law) menjadi rujukan dalam perumusan hukumnya. Pada kenyataannya lembaga peradilan Indonesia menyerap kedua sistem tersebut dan memadukannya dengan pendekatan urgensi peristiwa hukum kongkrit yang notabene di satu pihak bergantung pada
Zainal Arifin Hoesein, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia (Yogyakarta: Imperium, 2013), hlm. 171-172. Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif Teoritis dan Praktik. (Bandung, Alumni. 2012), hlm. 378379. 14 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan (Yogyakarta: UII Press, 2012), hlm. 50-51. 12 13
418
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 413-430
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
sendiri berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pasal 22 A.B ini kemudian menjadi dasar putusan hakim lainnya di kemudian hari untuk mengadili perkara yang memiliki unsur-unsur yang sama, selanjutnya putusan hakim tersebut menjadi sumber hukum di pengadilan. Putusan hakim yang demikian itu disebut “Hukum Yurisprudensi”,19 yang akan menjadi hukum objektif yaitu hukum objektif yang didasarkan kepada kebiasaan yang selalu diikuti, yang menjadi keyakinan hukum umum dan berlaku sebagai hukum positif. Dengan demikian, dapat menjadi pengaruh timbal balik antara hakim dan pembentuk undang-undang, yaitu suatu pembentukan hukum melalui putusan pengadilan, yang telah menjadi yurisprudensi tetap, yang dapat digunakan atau dapat menjadi umpan balik dalam proses pembentukan hukum oleh pembuat undang-undang.20 Dihubungkan dengan penjelasan di atas maka cukup relevan pendapat Bagir Manan yang menyatakan bahwa bagi hakim, ada tiga hal yang dihadapi. Pertama, hakim wajib memutus menurut hukum. Setiap putusan harus didasarkan pada kaidah hukum tertentu yang telah ada pada saat peristiwa hukum terjadi (bukan saat akan memutus). Kedua, hakim dilarang menolak memutus atas alasan
lR ec hts V
ind
sendiri menyelesaikan perkara tersebut. Hakim harus berperan menentukan apa yang merupakan hukum, sekalipun peraturan perundang-undangan belum jelas.15 Dalam konteks ini, hakim harus aktif berperan untuk menemukan hukum dan membentuk hukum baru serta mengembangkan hukum.16 Jika hakim tidak aktif dalam menemukan dan membentuk hukum hingga menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili, sebagaimana diatur dalam pasal 22 A.B (Algemen Bepalingen van wetgeving voor Indonesia).17 Olehnya hakim diberikan hak dan kewenangan untuk menciptakan hukum (Judge Made Law), terutama terhadap kasus-kasus yang sama sekali belum ada hukumnya, tetapi telah masuk di pengadilan. Bahkan hakim juga mempunyai kewenangan untuk menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang telah ada dan telah usang ketinggalan zaman sehingga tidak lagi mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat (Contra Legem).18 Bilamana keputusan hakim yang berisikan suatu pertimbangan-pertimbangan hukum
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai ..Op Cit, hlm. 378. Atja Sonjaya, Peranan Pengadilan dalam Penemuan Hukum, dalam Idris, dkk. (Ed), Penemuan Hukum Nasional dan Internasional (dalam rangka Purna Bakti Prof. Dr. Yudha Bhakti, SH., MH). (Bandung: Fikahati Aneska, 2012), hlm. 68. 17 Pemerintah Hindia Belanda, pada tanggal 30 April 1847 mengeluarkan Algemen Bepalingen van wetgeving voor Indonesia, disingkat A.B (ketentuan-ketentuan umum tentang Peraturan perundang-undangan untuk Indonesia) dalam Staatsblad 1847 No. 23 yang sampai saat ini masih berlaku berdasarkan ketentuan pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang-Dasar ini.” Lihat dalam Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 8-9. 18 Ibid, hlm. 9. 19 Ibid, hlm. 9. 20 Pontang Moerad, Pembentukan Hukum melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 85. 15
Jur
na
16
Eksistensi Pembentukan Hukum oleh Hakim dalam Dinamika Politik Legislasi di Indonesia (Budi Suhariyanto)
419
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
ind
2. Eksistensi Pembentukan Hukum oleh Hakim dalam Dinamika Politik Legislasi
dengan yang dikendaki oleh negara (elit perumus kebijakan penyelenggara negara). Sebagaimana teori legisprudence kritis yang menempatkan posisi negara dan masyarakat dalam dinamika politik yang tidak saling berbenturan, kompromistik, dan bisa saling berbagi peran dalam proses pembentukan hukum. Rubin (ahli hukum Amerika Serikat), ketika menganalisis proses legislasi dalam pembentukan “Truth in Lending Act” (UndangUndang Kebenaran dalam Pemberian Pinjaman) di Amerika Serikat, menggunakan bahasa teori pluralisme dan/atau teori pilihan masyarakat. Teori yang menyatakan adanya tawar-menawar dari kekuatan relatif dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekelompok legislator yang memiliki jumlah suara besar di parlemen.23 Dalam konteks ini dinamika politik legislasi secara internal tidak dapat dihindarkan. Secara fungsional dinamika politik legislasi ini juga tidak imun (kebal) dari berbagai intervensi ekstra legislatif. Sebagaimana dikritisi oleh teori legisprudence kritis bahwa tafsir dan proses pembentukan hukum melalui kelembagaan negara, dan mengabsahkannya sebagai satu-satunya proses politik perundangundangan. Teori ini meyakini bahwa proses “via negara” tidak semata-mata dibawa dan dikawal oleh pemegang kekuasaan dalam badan legislatif, tetapi banyak dipengaruhi oleh pengetahuan, peran, kepentingan, dan tafsir-tafsir yang mengerubuti badan legislatif ataupun aktor-aktornya, untuk dipilahpilah mana yang didorong “via negara” dan mana yang tidak. Artinya, pembentukan
ing
tidak tersedia kaidah hukum atau aturan yang ada tidak jelas. Ketiga, hakim wajib memutus dengan cepat, mengingat ungkapan yang mengatakan “justice delayed, is justice denied”. Untuk mengatasi masalah-masalah ini, tidak mungkin semata-mata diandalkan kepada pembentuk kaidah hukum yang lamban (butuh waktu). Apalagi di Indonesia. DPR yang semestinya bekerja penuh (harian) membentuk undang-undang, lebih banyak bekerja untuk urusan lain. Suatu anomali dari begitu banyak anomali penyelenggaraan negara dan pemerintahan kita.21
Jur
na
lR ec hts V
Meskipun secara normatif, pembentukan hukum oleh hakim didudukkan sebagai pengisi atau penjelas hukum (undang-undang) dalam arti yang kongkrit. Namun keberadaannya tidak sepenuhnya berada dalam posisi “mapan” untuk dijadikan bahan baku pembaruan hukum (undang-undang). Karena di Indonesia pembaruan hukum acap kali masih saja diperbincangkan dalam konsepnya yang terbatas sebagai legal reform (pembaruan undangundang atau pembaruan sistem perundangundangan belaka). Dalam konsepsinya seperti ini, pembaruan hukum akan berlangsung sebagai aktivitas legislatif yang umumnya hanya sempat melibatkan pemikiran-pemikiran kaum politisi atau pemikiran para elit profesional yang memiliki akses lobi.22 Tidak semata-mata konstruksi keterwakilan rakyat secara fundamental dapat sinergis
Bagir Manan, Penafsiran Sebagai Bentuk Penemuan Hukum, dalam Idris dkk (Ed), Op Cit, hlm. 79. Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana, (Jakarta: Grassindo, 2008), hlm.4-5.. 23 Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, (Bandung:Pustaka Setia, 2011), hlm. 143. 21 22
420
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 413-430
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
dijelaskan oleh Satjipto Rahardjo bahwa hukum itu juga bisa bersifat kriminogen, artinya menjadi sumber bagi kejahatan. Kelalaian atau ketidakseksamaan mengatur masyarakat yang begitu majemuk, seperti Indonesia ini, sangat berpotensi menimbulkan pengaturan yang kriminogen tersebut. Sekalipun legislatif “bermaksud baik”, tetapi karena kurang cermat memahami keaneka-ragaman sosial dan budaya Indonesia, maka produk yang dihasilkannya bisa menimbulkan persoalan besar pada waktu diterapkan di salah satu bagian dari negeri ini.26 Untuk menutupi celah kesenjangan dan keberpihakan dalam proses politik legislasi yang menghasilkan kontra produktif dengan kepentingan dan kebutuhan rakyat atau masyarakat terhadap hukum yang aktual dan kongkret, maka hakim harus mengambil peranan. Melalui penemuan hukum, hakim dapat menghindarkan rakyat dari ketertindasan pelaksanaan produk hukum (undang-undang) yang tidak adil. Bahkan melalui pembentukan hukum baru, hakim juga berperan secara strategis melindungi budaya masyarakat dari efek kriminogen yang ditimbulkan oleh praktek politik legislasi yang tidak “membumi” secara kultural. Dalam konteks inilah law reform yang dikendalikan oleh hakim mendapatkan wilayah perjuangan yang vital. Berkaitan dengan kondisi dinamika politik legislasi di atas, pembentukan hukum oleh hakim harus dibuka peran dan eksistensinya guna menjembatani antara teks normatif hasil produk politik legislasi yang notabene bersifat abstrak dan statis, dikontekstualisasikan
Jur
na
lR ec hts V
ind
hukum tidak lagi bergantung di bawah doktrin pemisahan kekuasaan, sebagaimana digambarkan Montesquieu, serta tidak lagi bisa mengklaim politik perundang-undangan sebagai satu proses prosedural mekanistik.24 Oleh karenanya proses politik dalam dinamisasi legal reform ini merupakan sebuah keniscayaan dan terkonfigurasi dalam politik hukum dari penyelenggara kekuasaan negara. Secara struktural jika kita melihat legal reform ini dari kajian semiotika hukum, pembaruan itu tidaklah akan bisa mengikuti keterlibatan khalayak ramai yang awam. Berada dalam satu lingkungan yang disyaratkan oleh pengalaman budaya dan pengalaman berbahasa yang amat sangat berbeda, khalayak ramai ini akan sulit untuk memasuki suatu wacana yang dikuasai oleh apa yang disebut dengan linguistic domination system para elit politisasi dan elit profesional yang dengan itu mampu mendominasi percaturan hukum formal. Di samping itu, legal reform akan lebih gampang merespon kepentingan mereka yang mapan untuk berkuasa daripada kepekaan pada kepentingan mereka yang berkedudukan marjinal dan mempunyai keadaan hidup yang sangat rawan.25 Dalam konteks ini rawan sekali terjadi monopoli dan kapitalisme hukum. Selain itu secara kultural, dinamisasi politik legislasi dalam konteks legal reform tidak selesai dan berhenti sebatas diundangkannya produk hukum (undang-undang) yang dihasilkan. Tetapi lebih daripada itu pasca diterbitkannya hasil konsensus legislator tersebut, berpeluang menjadi aktor kriminogen. Sebagaimana
Ibid. Yesmil Anwar dan Adang, Op Cit, hlm. 5. 26 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 63-64. 24 25
Eksistensi Pembentukan Hukum oleh Hakim dalam Dinamika Politik Legislasi di Indonesia (Budi Suhariyanto)
421
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
kepastian terhadap perkembangan hukum sebagai alat evolusi sosial. Dalam konteks ini fungsi kreatif dari hakim yang akan berkembang dalam sistem-sistem hukum kebijaksanaan. Karenanya menjadikan perkembangan hukum oleh pengadilan yang kreatif bertambah penting.28 Sebagai contoh adalah pertimbangan hukum dari Putusan Nomor 55/PK/Pid/1996 yang secara kreatif dan progresif memainkan fungsi social engineering. Jika sebelumnya negara melalui legislasi mengatur bahwa Korban baik dalam arti individu maupun masyarakat (a quo kepentingan umum) serta kepentingan negara tidak memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali sebagaimana diatur secara eksplisit dalam pasal 263 KUHAP. Namun seiring dengan perkembangan ilmu viktimologi dan hak asasi manusia, terlihat nyata bahwa hukum produk legislasi tidak memberikan keadilan atau keberpihakan pada hak-hak Korban yang asasi dalam sistem peradilan pidana. Karenanya hakim berkehendak mengubah dan menyempurnakannya sesuai dengan rasa keadilan masyarakat yaitu dengan menyeimbangkan hak individu Pelaku di satu sisi dengan Korban di sisi yang lain. Setelah adanya putusan ini, penegasan tentang artinya perlindungan hukum terhadap Korban dalam sistem peradilan pidana mendapatkan tempat dalam diskursus wacana keadilan publik hingga membentuk paradigma baru tentang urgensi hak-hak Korban. Implikasinya pembentukan hukum oleh legislator menyambut “bola” keyakinan umum tersebut dalam bentuk pembaruan hukum
Jur
na
lR ec hts V
ind
dengan realitas yang ada dan bersifat dinamis. Oliver Wendel Homes mengatakan bahwa hukum bukanlah suatu sistem teks normatif yang tertutup. Menjaga kemurnian hukum dengan menutup diri dari pengaruh kontekskonteksnya adalah suatu upaya yang tidak hanya sia-sia akan tetapi juga tidak realistis. Seorang hakim (setiap hakim) yang bertanggungjawab memformulasikan hukum lewat keputusankeputusannya, harus selalu berdasarkan pada keyakinan yang benar, akan kebenaran pernyataan bahwa hukum bukanlah sesuatu “omnipresent in the sky” melainkan sesuatu yang senantiasa hadir dalam situasi-situasi kongkrit “to meet the social need”.27 Setelah teks tersebut dikontekskan dalam situasi kongkrit, maka persoalan ketertinggalannya dengan arus perkembangan masyarakat semakin nyata, karenanya hakim harus menyesuaikannya. Demikian pula jika terjadi kejumudan hukum dengan realitas yang ada, atas dorongan moralitas dan itikad baik untuk menghadirkan konstruksi keadilan yang visioner (substantif justice) maka “hukum” dari putusan hakim dapat berperan membuka loronglorong perubahan sosial (stimulus perubahan paradigma nilai yang mewujud pada kebaruan perilaku dan kebiasaan). Implikasinya terbuka peluang untuk menambah daya guna putusan hakim menjadi a tool of social engineering. Sebagaimana dikehendaki oleh Roscoe Pound bahwa fungsi social engineering (rekayasa sosial) dari hukum maupun putusan hakim pada setiap masyarakat (kecuali masyarakat totaliter), ditentukan dan dibatasi oleh kebutuhan untuk menyeimbangkan antara stabilitas hukum dan
Yesmil Anwar dan Adang, Op Cit, hlm. 7-8. Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 159.
27 28
422
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 413-430
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
putusan semacam ini yang terbanyak kita temukan. 2. Penemuan hukum oleh hakim yang merupakan karya hakim untuk menyesuaikan hukum yang dianggap usang atau ketinggalan terhadap perubahan masyarakat atau masyarakat yang telah mengalami perubahan. 3. Penemuan hukum oleh hakim yang merupakan karya hakim untuk memerankan hukum sebagai “a tool of social engineering”. Jenis ini yang paling sedikit di antara keseluruhan putusan hakim. Pada dasarnya dalam penemuan hukum dikenal adanya aliran progresif dan aliran konservatif. Aliran progresif berpendapat bahwa hukum dan peradilan merupakan alat untuk mencapai perubahan-perubahan sosial, sedangkan aliran konservatif berpendapat bahwa hukum dan peradilan itu hanyalah alat untuk mencegah kemerosotan moral dan nilai-nilai lain.30 Menurut Ahmad Rifa’i, dalam diri hakim diemban amanah agar peraturan perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil, dan apabila penerapan peraturan perundang-undangan akan menimbulkan ketidak-adilan, maka hakim wajib berpihak pada keadilan (moral justice) dan mengenyampingkan hukum atau peraturan perundang-undangan (legal justice). Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law) yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (social justice). Keadilan yang dimaksudkan di sini, bukanlah keadilan prosedural (formil), akan
Jur
na
lR ec hts V
ind
baru yang responsif terhadap hak-hak Korban, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit dalam norma peraturan perundang-undangan. Diantara eksistensi pembaruan atau rekonstruksi kedudukan dan hak-hak Korban tersebut berwujud Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban berikut secara institusional dibentuk Lembaga khusus Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Demikian besar dampak dan hubungan positif atas eksistensi pembentukan hukum oleh hakim yang berfungsi a tool of social engineering, hingga bisa menggerakkan diskursus publik dan membentuk keyakinan umum serta menginspirasi pembaruan hukum dalam politik legislasi. Atas peran dan hasil dari pembentukan hakim yang demikian maka dapat dikatakan bahwa hakim pun sejatinya adalah salah satu aktor pembaru hukum dan pihak yang juga berpengaruh dalam dinamika politik legislasi di negeri ini. Meskipun demikian tidak semua putusan hakim itu mengandung fungsi a tool of social engineering yang dapat berpengaruh secara positif dalam politik legislasi. Menurut Achmad Ali, jika dikaji semua putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan yang pasti (kracht van gewijsde) dan yang merupakan hasil produk penemuan hukum hakim, maka kita dapat membedakan sebagai berikut:29 1. Penemuan hukum oleh hakim yang hanya sekedar menjadi jalan bagi hakim untuk menerapkan hukum dalam kasus kongkrit, tetapi sama sakali tidak mempunyai efek terhadap penyesuaian hukum pada perubahan masyarakat maupun efek melakukan perekayasaan masyarakat. Jenis
Ibid, hlm. 160. Ibid, hlm. 158.
29 30
Eksistensi Pembentukan Hukum oleh Hakim dalam Dinamika Politik Legislasi di Indonesia (Budi Suhariyanto)
423
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya pengertian melawan hukum yang seharusnya dipergunakan didalam pembuktian tindak pidana korupsi adalah hanya terbatas kepada pengertian melawan hukum formil. Meskipun Mahkamah Konstitusi berpandangan demikian, namun putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K/Pid/2006 tanggal 16 Agustus 2006 atas nama terdakwa Hamdani Amin dan putusan Mahkamah Agung Nomor 1974 K/Pid/2006 tanggal 13 Oktober 2006 atas nama terdakwa Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira SH, putusan Mahkamah Agung No. 1144/K-Pid/2006 tanggal 13 September 2007 dalam perkara ECW Neloe, putusan Mahkamah Agung No. 2065/K/Pid/2006 tanggal 21 Desember 2006 atas nama Drs. Kuncoro Hendartomo, dan putusan No. 207 K/Pid/2007 tanggal 28 februari 2007 atas nama Ir. Ishak, serta dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1280/Pid.B/2009/Pn.JKT.Sel atas nama Ir. Brahmantyo Irawan Kuhandoko dan Ir. Achmad Fachrie, ternyata pengadilan masih menerapkan unsur melawan hukum materiil.
Jur
na
lR ec hts V
ind
tetapi keadilan subtantif (materiil), yang sesuai dengan hati nurani hakim.31 Selain berhubungan dengan dinamika politik legislasi pembuat undang-undang (positif legislator), dalam konteks tertentu pembentukan hukum oleh hakim (Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya) juga berinteraksi secara dinamis dengan pemegang kuasa negatif legislator yaitu Mahkamah Konstitusi. Pada asasnya putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat secara umum (erga omnes) setara dengan undang-undang. Namun ternyata tidak serta merta dapat mengikat atau dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Ditinjau dari perspektif asas yang lain, hakim pada Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya bukanlah corong undang-undang, karenanya memiliki kewenangan melakukan penafsiran terhadap undang-undang (pun juga terhadap putusan Mahkamah Konstitusi) untuk diterapkan terhadap perkara yang ditanganinya. Apalagi dalam konteks law in concreto, para hakim pada Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnyalah yang menerapkan dan mengkontekstualisasikan ketentuan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kasus dan fakta perkara yang ditanganinya. Misalnya dalam hal penerapan sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi yang notabene oleh putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 tentang judicial review terhadap penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo. Undang Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memutuskan bahwa ”Yang dimaksud
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 127-128.
31
424
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 413-430
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
sesuai norma yang hidup dalam masyarakat (living law) dengan tetap mempergunakan parameter asas keadilan.34 Berdasarkan penerapan sifat melawan hukum materiil dalam putusan-putusan yang diacu sebagai yurisprudensi tersebut kemudian diakomodir oleh DPR dalam rumusan penjelasan pasal 2 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo. Undang Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya dikemudian hari dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam konteks ini tersimpul dinamika politik legislasi antara Mahkamah Agung melalui putusan pembentukan hukumnya di satu sisi dengan pembentuk undang-undang (DPR) yang secara positif merespon yurisprudensi dan Mahkamah Konstitusi selaku negatif legislator yang membatalkan hasil hubungan positif dari putusan Mahkamah Agung dan DPR tersebut. Kemudian pasca putusan Mahkamah Konstitusi, sebagian putusan Mahkamah Agung tidak mengindahkannya dengan tetap menerapkan sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi berdasarkan pada yurisprudensi tetap. Dalam konteks ini penerapan perbuatan melawan hukum materiil seolah terasa “hidup kembali”35 dan dihidupkan oleh Mahkamah Agung meskipun bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Kondisi yang demikianlah membuat hubungan pembentukan hukum oleh hakim (Mahkamah Agung dan badan peradilan di
Jur
na
lR ec hts V
ind
Adapun pertimbangannya yurisprudensi dan doktrin masih dipandang sebagai sumber hukum yang diikuti dalam praktek sebagai acuan oleh badan peradilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung) dalam penanganan kasus konkrit yang dihadapinya, agar terbina konsistensi penerapannya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, karena sudah sesuai dengan kesadaran hukum dalam masyarakat, kebutuhan hukum masyarakat, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.32 Pada dasarnya Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya sudah sejak lama telah menerapkan “materiele wederrechtelijkeheid” dalam berbagai putusan perkara tindak pidana korupsi, baik dalam fungsinya negatf maupun positif seperti terlihat pada putusan No. 42 K/ Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966, putusan No. 81 K/Kr/1973 tanggal 30 Maret 1977, putusan No. 275 K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983, putusan No. 25 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983, putusan No. 24 K/Pid/1984 tanggal 6 Juni 1985, dan putusan No. 241 K/Pid/1987 tanggal 21 Januari 1989.33 Konsekuensi logis dimensi demikian membawa suatu polarisasi pemikiran bahwa Mahkamah Agung ingin menjatuhkan hukuman sesuai nuansa dan paradigma asas keadilan yang walaupun tidak diatur dalam undang-undang akan tetapi karena praktik di masyarakat dianggap sebagai sebuah perbuatan tercela, maka aspek demikian tidak dapat dibiarkan dan pelakunya harus dijatuhi hukuman
Marwan Effendy, Kapita Selekta Hukum Pidana: Perkembangan dan Isu-Isu Aktual dalam Kejahatan Finanasial dan Korupsi (Jakarta: Referensi, 2012), hlm.116-117. 33 Ibid, hlm. 115. 34 Lilik Mulyadi, “Perbuatan Melawan Hukum” dalam Tipikor pada Putusan MA, (Majalah Mahkamah Agung Nomor 3 Edisi September 2013), hlm. 68. 35 Ibid. 32
Eksistensi Pembentukan Hukum oleh Hakim dalam Dinamika Politik Legislasi di Indonesia (Budi Suhariyanto)
425
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
perbedaan penafsiran terhadap undangundang tersebut benar-benar terjadi, maka yang semestinya diikuti adalah penafsiran yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Sebab, penafsiran Mahkamah Konstitusi didasarkan pada norma konstitusi. Dalam hal ini, sumber validitas penafsiran Mahkamah Konstitusi adalah konstitusi. Sementara sumber valitasi penafsiran Mahkamah Agung adalah undangundang itu sendiri. Mahkamah Agung sesuai kewenangan tidak dapat memasuki ranah penafsiran konstitusi. Sebab, Mahkamah Agung pun mesti tunduk pada penafsiran yang dilakukan Mahkamah Konstitusi terhadap UUD 1945 dalam menilai dan menafsirkan sebuah atau bagian undang-undang tertentu.36 Lebih lanjut Saldi Isra menjelaskan bahwa sebagaimana setiap peraturan perundangundangan dianggap mempunyai daya laku serta daya ikat bagi setiap orang atau semua pihak. Seiring dengan sifat keberlakuan undangundang, maka pada saat undang-undang atau bagian dari undang-undang tersebut dibatalkan melalui proses pengujian undang-undang, maka ketidakberlakukan norma tersebut juga berlaku umum. Ketidakberlakuan undangundang bukan hanya bagi Pemohon yang mengajukan pengujian undang-undang, juga bukan hanya bagi pembentuk undang-undang semata, melainkan berlaku untuk semua pihak. Karena itu, tidak ada alasan untuk menolak putusan Mahkamah Konstitusi yang telah menghilangkan keberlakuan sebuah norma di dalam undang-undang37 (termasuk alasan atas dasar yurisprudensi)
Jur
na
lR ec hts V
ind
bawahnya) dengan politik legislasi (dari kuasa negatif legislator) berlangsung secara dinamis dan berpengaruh terhadap penegakan hukum di Indonesia. Apakah masih menggunakan dan perlu diterapkan sifat melawan hukum materiil dalam penegakan hukum Tipikor ataukah tidak? Kebingungan dari aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Komisi Pemberantasan Korupsi) sudah pasti akan terjadi. Belum lagi polemik dan kontroversi di masyarakat. Bagi yang pro terhadap putusan Mahkamah Agung yang bersikukuh mempedomani yurisprudensi beralasan bahwa tindak pidana korupsi sudah ditetapkan sebagai ekstra ordinary karenanya penanganannya pun harus di luar kewajaran (khusus), salah satunya dengan penerapan sifat melawan hukum materiil. Sementara bagi yang kontra berpendapat bahwa sebagai bentuk ketaatan pada norma konstitusi yang telah memberikan mandat kepada Mahkamah Konstitusi dalam rangka memutuskan validitas dan konstitusionalitas norma undang-undang, maka dari itu Mahkamah Agung harus mentaati dan mengikuti setiap putusan Mahkamah Konstitusi sepahit apapun itu (tidak sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat yang menghendaki progresivitas pemberantasan korupsi) berdasarkan asas res judikata pro veritate habetur. Pada konteks ini tidak terhindarkan perbedaan penafsiran normatif dan sosiologis serta filosofis diantara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, karenanya para pakar hukum pun terbelah dalam memaknainya. Saldi Isra berpendapat bahwa apabila
Saldi Isra, Titik Singgung Wewenang Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi, (Makalah dalam Seminar “Titik Singgung Wewenang antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi”, diadakah oleh Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, Jakarta, 13 November 2014), hlm. 10. 37 Ibid, hlm. 9. 36
426
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 413-430
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
mengujinya, tetapi jika ketentuan undangundang tidak diikuti oleh penegak hukum dan Mahkamah Agung sendiri yang mengawalinya, maka doktrin dan yurisprudensi tersebut akan tetap diikuti oleh pengadilan di bawahnya.39 Pada asasnya perbedaan pandangan tentang kedudukan pembentukan hukum oleh hakim terhadap eksistensi yurisprudensi di satu pihak dan undang-undang (putusan Mahkamah Konstitusi yang setara dengan undang-undang) di pihak lain didasarkan juga atas masalah eksistensi dan penerapan sumber hukum formil. Menurut Sudikno Mertokusumo, sumber utama penemuan hukum adalah peraturan perundangundangan, kemudian hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional barulah doktrin. Jadi terdapat hierarki atau keseradaan dalam sumber hukum, ada tingkatan-tingkatan. Oleh karena itu, kalau terjadi konflik dua sumber, maka sumber hukum yang tertinggi akan melumpuhkan sumber hukum yang lebih rendah.40 Artinya, jika mengikuti pendapat Sudikno Mertokusumo di atas, maka putusan Mahkamah Agung yang tidak mengindahkan putusan Mahkamah Konstitusi yang notabene setara dengan undang-undang tersebut dengan mendahulukan atau mendasarkan yurisprudensi adalah tidak benar. Secara konstruksi sumber hukum formil, dengan kedudukan yurisprundensi yang ditempatkan nomor urut ketiga maka memberika sebuah konsekuensi bahwa sepanjang telah diatur dalam undang-undang (a quo putusan Mahkamah Konstitusi) maka yurisprudensi tidak dapat menyimpangkannya. Kecuali jika
Jur
na
lR ec hts V
ind
Jika dimaknai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi setara dengan keberlakuan undangundang sehingga berlaku mengikat umum, maka menurut Lilik Mulyadi bahwa dikaji dari perspektif kebijakan pidana hakim selaku pemegang kebijakan aplikatif harus menerapkan peraturan perundang-undangan. hakim tidaklah harus berarti menjadi penyambung lidah atau corong undang-undang (bousche de la loi/mouth of the laws) akan tetapi hakim harus dapat menerapkan sebagai filter dan mengimplementasikan peraturan tersebut yang masih bersifat abstrak terhadap kasus konkrit. Konsekuensi logis dimensi demikian hakim dihadapkan kepada pilihan keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Di satu sisi perbuatan korupsi secara formal (perbuatan melawan hukum formal) tidak ada, akan tetapi di sisi lainnya secara materiil (perbuatan melawan hukum materril) ada maka hakim sebagai kebijakan aplikasi harus menggali, memahami dan menghayati norma-norma hukum yang hidup di dalam masyarakat. Apabila dijabarkan lebih jauh paradigma konteks di atas dikarenakan hakim hidup di masyarakat, menggali dan menetapkan hukum untuk masyarakat, peraturan dibuat untuk suatu masyarakat dan juga tentu harus menjatuhkan hukuman sesuai dengan dimensi keadilan kepada masyakarat pendukungnya di mana hukum itu hidup (living law). Dalam paradigma modern sekarang dapat disebutkan dengan paradigma bahwa, “hakim tidak hidup dalam menara gading”. 38 Adanya polemik tersebut memang dilematis, mengingat doktrin dan yurisprudensi memang bukan domain Mahkamah Konstitusi untuk
Lilik Mulyadi, “Perbuatan Melawan Hukum” ...Op Cit, hlm. 68. Marwan Effendy, Op Cit, hlm. 117. 40 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2010), hlm. 63-64. 38 39
Eksistensi Pembentukan Hukum oleh Hakim dalam Dinamika Politik Legislasi di Indonesia (Budi Suhariyanto)
427
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
jika para hakim didaulat sebagai aktor pembaru hukum. Dalam konteks ini dapat dimungkinkan Hakim Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya melakukan interpretasi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang notabene setara dengan undang-undang (negatif legislator), bilamana perkembangan dan rasa keadilan masyarakat mengalami perubahan. Sebagai bagian dari hukum, putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan cara pandang para Hakimnya melekat erat dengan konteks suatu keadaan, kedudukan dan kekinian serta budaya masyarakat. Oleh karenanya tidak lahir dari kehendak bebas (arbitary act of a legislator), tetapi dibangun dan dapat ditemukan di dalam jiwa masyarakat. Budaya dan kebiasaan merupakan produk dari kesadaran sejarah masyarakatnya. Kesadaran sejarah bukan sesuatu yang statis, tetapi senantiasa berkembang seiring dengan perubahan sosial dan munculnya pemikiran-pemikiran baru.42 Sesaat ketika undang-undang atau putusan Mahkamah Konstitusi ditetapkan, saat itulah menjadi “teks” yang keberadaannya dalam perkembangan masyarakat berikutnya akan mengalami dinamika. Karenanya di masa yang akan datang dimungkinkan hakim menjelaskan atau mengisinya bilamana terdapat hal yang kurang jelas atau terdapat kekosongan hukum dengan melakukan kontekstualisasi penerapan undang-undang atau putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sehingga sesuai dengan nilai dan rasa keadilan serta perkembangan masyarakat.
Jur
na
lR ec hts V
ind
tidak terdapat dalam undang-undang maka yurisprudensi dapat diterapkan sepajang hukum kebiasaan terlebih dahulu yang diutamakan (karena secara berurutan kebiasaan di urutan nomor 2 dan di atas yursiprudensi) sebelum penggunaan yurisprudensi. Berbeda halnya dengan pendapat Sudikno Mertokusumo yang secara struktural menempatkan sumber hukum formil dalam sebuah hirarki hingga secara positivis menempatkan undang-undang di atas pembentukan hukum hakim, Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa ketentuan yang menentukan hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat itu, bisa ditafsirkan sebagai pemberian kekuasaan kepada pengadilan untuk menentukan sendiri apa yang menurut pendapatnya layak diterima sebagai hukum di negeri ini. Konsekuensi penerimaan terhadap tafsiran tersebut adalah pengadilan bisa menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila peranan pengadilan tersebut dapat diterima, maka sumbangan lembaga hukum ini terhadap perubahan sosial yang terjadi di negeri ini akan besar sekali. Pendapat ini didasarkan kepada keadaan yang sudah menjadi klasik, yaitu pembuatan undang-undang itu ditakdirkan untuk tertinggal di belakang, apalagi masyarakat yang bersangkutan sedang mengalami perubahan sosial yang besar seperti halnya Indonesia.41 Berkaitan dengan pendapat Satjipto Rahardjo di atas maka tidak berlebihan kiranya
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia,(Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. 161. 42 Todung Mulya Lubis, dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati: Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, (Jakarta: Kompas, 2009), hlm. xii. 41
428
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 413-430
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
ind
Pasal 24 UUD 1945 menyatakan bahwa “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Termasuk dalam kategori kemerdekaan yang dimaksudkan adalah kemerdekaan dalam hal memaknai nilainilai hukum dan rasa keadilan di masyarakat, sehingga hakim Indonesia tidak mutlak terikat dengan undang-undang (bukan corong undangundang). Sebagaimana hakikat undang-undang yang selalu tertinggal dengan perkembangan masyarakat, maka kewenangan penemuan hukum dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman merupakan keniscayaan. Bahkan dalam konteks tertentu hakim didorong untuk melakukan pembentukan hukum baru yang berfungsi sebagai a tool of social engineering. Jika pembentukan hukum oleh hakim diikuti secara konstan oleh hakim lain maka dapat dijadikan sebagai sumber hukum formil dalam sistem hukum nasional (yurisprudensi). Tidak sedikit yurisprudensi yang telah menimbulkan berbagai perubahan besar dalam praktek penegakan dan pengembangan hukum sehingga menginspirasi pembaruan hukum dalam politik legislasi (DPR). Namun tidak semua yurisprudensi berpengaruh secara positif dan diakomodasi dalam pembaruan undang-undang oleh DPR. Sebagai institusi politik, DPR secara substantif tidak “imun” terhadap tawar-menawar kepentingan internal maupun eksternal anggotanya, sehingga konsensusnya selalu dinamis, baik dalam konteks fungsional, struktural maupun kultural. Selain itu dalam konteks politik legislasi lainnya, hubungan yurisprudensi dengan Negatif Legislator (putusan Mahkamah Konstitusi) pun tidak selalu statis. Putusan Mahkamah
Konstitusi yang bersifat final, mengikat umum (erga omnes) dan setara dengan undangundang, tidak serta merta dilaksanakan dan diikuti oleh Mahkamah Agung dengan alasan dasar mempedomani yurisprudensi atau pertimbangan membentuk tafsir hukum yang baru. Selayaknya undang-undang, putusan Mahkamah Konstitusi ditafsirkan oleh hakim untuk dikontekstualisasi dengan perkembangan nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat sehingga ada kalanya berbeda secara tekstual dengan yang dikehendaki Perumus. Dalam konteks ini pembentukan hukum oleh hakim diakui eksistensinya dalam dinamika politik legislasi, baik yang bersifat positif maupun negatif.
ing
D. Penutup
Daftar Pustaka
Jur
na
lR ec hts V
Buku
Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011) Ansyahrul, Pemuliaan Peradilan: dari Dimensi Integritas Hakim, Pengawasan, dan Hukum Acara (Jakarta: Mahkamah Agung, 2011) Effendy, Marwan, Kapita Selekta Hukum Pidana: Perkembangan dan Isu-Isu Aktual dalam Kejahatan Finanasial dan Korupsi (Jakarta: Referensi, 2012) Hoesein, Zainal Arifin, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia (Yogyakarta: Imperium, 2013) Idris, dkk. (Ed), Penemuan Hukum Nasional dan Internasional (dalam rangka Purna Bakti Prof. Dr.Yudha Bhakti,SH.,MH) (Bandung: Fikahati Aneska, 2012) Kamil, Ahmad dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi (Jakarta: Kencana, 2008) Kamil, Ahmad, Filsafat Kebebasan Hakim (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012) Lubis, Todung Mulya, dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati: Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi (Jakarta: Kompas, 2009) Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum (Yogyakarta: Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2010)
Eksistensi Pembentukan Hukum oleh Hakim dalam Dinamika Politik Legislasi di Indonesia (Budi Suhariyanto)
429
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
Sutiyoso, Bambang, Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan (Yogyakarta: UII Press, 2012) Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana (Jakarta: Grassindo, 2008) Yuti Witanto, Darmoko dan Arya Putra Negara Kutawaringin, Diskresi Hakim: Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam PerkaraPerkara Pidana. (Bandung: Alfabeta, 2013)
Makalah/Artikel/Prosiding/Hasil Penelitian
ing
Isra, Saldi, Titik Singgung Wewenang Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi, (Makalah dalam Seminar “Titik Singgung Wewenang antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi”, diadakan oleh Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, Jakarta, 13 November 2014) Malik, Telaah Makna Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat, Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 1 (2009) Mulyadi, Lilik, “Perbuatan Melawan Hukum” dalam Tipikor pada Putusan MA, (Majalah Mahkamah Agung Nomor 3 Edisi September 2013)
lR ec hts V
ind
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014) Moerad, Pontang, Pembentukan Hukum melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana (Bandung: Alumni, 2005) Mulyadi, Lilik, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif Teoritis dan Praktik (Bandung, Alumni, 2012) Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Pidana Indonesia: Suatu Tinjauan Khusus terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012) Pangaribuan, Luhut M.P., Lay Judges & Hakim Ad Hoc: Suatu Studi Teoritis mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Jakarta: Fakultas Hukum Pasca Sarjana Universitas Indonesia dan Papas Sinar Sisanti, 2009) Praja, Juhaya S., Teori Hukum dan Aplikasinya (Bandung: Pustaka Setia, 2011) Qamar, Nurul, Percikan Pemikiran Tentang Hukum (Makassar: Pustaka Refleksi, 2011) Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoritis serta PengalamanPengalaman di Indonesia (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009) Rahardjo, Satjipto, Penegakan Hukum Progresif (Jakarta: Kompas, 2010) Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif (Jakarta: Sinar Grafika, 2011)
Peraturan
Jur
na
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
430
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 413-430
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH, DAN PENERAPAN SANKSI PIDANA SERTA PROBLEMATIKANYA (Establishment of Regional Regulation and Enforcement of Criminal Sanctions and Its Difficulties) Suharyo Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Email:
[email protected]
ing
Naskah diterima: 29 September 2015; revisi: 26 November 2015; disetujui: 2 Desember 2015
lR ec hts V
ind
Abstrak Era Otonomi Daerah secara nyata, jelas dan tegas dilaksanakan di Indonesia sejak adanya reformasi di segala bidang, hal ini merupakan perwujudan pelaksanaan demokrasi lokal diseluruh Indonesia, dengan berbagai kemandirian dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tetap pada koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan otonomi daerah di wilayahnya tiap daerah memiliki kewenangan pembentukan Peraturan Daerah (Perda), selain mengatur hubungan sosial kemasyarakatan yang berisi kewajiban dan larangan, Perda acapkali dilengkapi dengan sanksi pidana. Berangkat dari hal tersebut penelitian ini bermaksud mencari bentuk pembentukan Perda yang ideal dan aspiratif dan melihat efektivitas penerapan sanksi pidana dalam produk Perda di tengah masyarakat. Dengan menggunakan metode yuridis normatif dapat disimpulkan bahwa diperlukan pelibatan warga masyarakat mulai dari pembentukan Raperda termasuk dalam pembahasan penetapan sanksi pidana. Terhadap perumusan sanksi pidana di dalam Perda harus menghindari adanya pengaturan pidana kurungan. Oleh sebab itu guna efektifitas pelaksanaan Perda diperlukan sosialisasi yang intensif dengan cara-cara kekeluargaan dan perlunya strategi persuasif, preventif, akomodatif, dan simpatik dalam penegakan Perda. Kata Kunci: perda, penerapan sanksi pidana
Jur
na
Abstract The Regional Autonomy era is tangibly, clearly and firmly held in Indonesia since reformasi period (reform) in all fields, this is the manifestation of the implementation of local democracy throughout Indonesia, with a variety of self-reliance in the context of the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI), which remained at the corridor of applicable law. In implementing regional autonomy, each region has the authority to establish the Regional Regulation (Perda) that regulates social relationships which isstated obligations and prohibition. It is also often comes with criminal sanctions. Toward those facts, this research intends to seek the ideal form to establish regional regulation and to observe the effectiveness ofenforcing criminal sanctions in society as a product of regional regulation. Using normative-jurist method can be concluded that it needs the involvement of citizens in making draft regional regulations (Raperda) and also in establishing criminal sanctions. While developing a formula for criminal sanctions in regional regulation, it should avoid an imprisonment. Therefore, for the implementation of the regional regulation to be effective, there should be an intensive dissemination in relationship way and the need for persuasive strategies, preventive, accommodating and sympathetic in enforcing the regional regulation. Keywords: regional regulation, enforcement of criminal sanction
Pembentukan Peraturan Daerah, dan Penerapan Sanksi Pidana serta Problematikanya (Suharyo)
431
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
2
BP HN
Jur
na
Lihat Pasal 236 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 (LN No.244 TLN No.5587 Tahun 2014). (1) Untuk menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan, daerah membentuk Perda. (2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. (3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan: a. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan b. Penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis Peraturan Daerah Provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Lihat Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Qanun Kabupaten/Kota adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Lihat pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006. (LN No.62 TLN No.4633 Tahun 2006). Materi muatan Qanun mengandung asas: a. Pengayoman; b. Kemanusiaan; c. Kebangsaan d. Kekeluargaan e. Keanekaragaman f. Keadilan g. Nondiskriminasi h. Kebersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. Keseimbangan, keserasian, kesetaraan, dan keselarasan. Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Qanun dapat memuat asas lain sesuai dengan materi muatan Qanun yang bersangkutan. Lihat pasal 237 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Lihat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. (LN No.135 TLN No.4151 Tahun 2001). Pada pasal 29 (1) Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP. (2). Perdasi dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur
lR ec hts V
1
ind
Produk Peraturan daerah (Perda)1, merupakan kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Utamanya sejak pelaksanaan Otonomi daerah melalui Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah jo Undangundang Nomor 32 Tahun 2004, jo UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014. Di samping itu, khusus untuk Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk Provinsi Aceh, sesuai dengan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh2. Penamaan Perda, sedikit berbeda menjadi Peraturan Daerah Khusus (Perdasus). Untuk Provinsi Papua, termasuk Provinsi Papua Barat sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.3 Era Otonomi Daerah yang secara nyata, jelas dan tegas dilaksanakan di Indonesia sejak adanya reformasi di segala bidang, diawali dari eksistensi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah sebagai perwujudan pelaksanaan demokrasi lokal diseluruh Indonesia, dengan berbagai kemandirian dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pada gilirannya mengacu pada seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
ing
A. Pendahuluan
3
432
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 431-447
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
masing daerah, termasuk daerah pemekaran, baik yang mempunyai otonomi khusus di Aceh dan Papua, serta daerah Istimewa Yogyakarta, dan DKI Jakarta berlomba untuk membuat Perda. Dalam negara hukum yang demokratis, pembentukan Perda sebagaimana ditegaskan dan diharuskan dalam peraturan perundangundangan pemerintahan daerah, diperlukan dan diwajibkan adanya kerjasama antara DPRD dengan Pemerintah daerah, serta partisipasi aktif warga masyarakat di daerah. Suatu partisipasi warga masyarakat dalam produk proses pembuatan Perda, dapat berlangsung sesuai yang diharapkan ataupun warga masyarakat justru mereka tidak diberi tahu bahkan tidak didengar dan direspon dalam menyikapi rencana pembuatan Perda. Suatu dinamika yang dapat terjadi, berkenaan pembuatan Perda adalah keterkaitan antara interaksi politik lokal dengan teknis pembuatan peraturan perundang-undangan, yang batasannya tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945, serta peraturan perundangundangan diatasnya. Keterbatasan sumber daya manusia (SDM) anggota DPRD, bahkan jajaran Pemerintah Daerah sendiri, dapat menghasilkan Perda yang bermasalah. Implikasi dari Perda yang bermasalah dapat di gugat oleh warga masyarakat, serta dapat dibatalkan oleh pemerintah pusat. Sebagaimana ditegaskan dalam UndangUndang Dasar 1945, Indonesia adalah negara hukum.5 Edie Toet Hendratno mengutip Padmo Wahyono yang menyatakan, negara hukum adalah negara yang menjamin hak-hak
Jur
na
lR ec hts V
ind
Sesuai dinamika ketatanegaraan yang terus berkembang, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, kemudian dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, sekarang UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014. Dan otonomi daerah memberikan keleluasaan yang besar pada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Perubahan Undang-undang Dasar 1945, yang diantaranya dalam aspek pembentukan peraturan perundang-undangan dilaksanakan melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, memberikan peluang bagi daerah untuk membentuk Perda. Perda dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang dibahas bersamasama dengan Kepala Daerah untuk memperoleh persetujuan bersama. Dalam konteks ini, pembahasan dan persetujuan bersama atas Perda yang dibentuk itu berlangsung di DPRD. Pembentukan Perda tidaklah begitu saja, melainkan diawali dengan proses Penyusunan Rancangan Perda. Karena itu, kualitas suatu Perda dan pengambilan keputusan atas Rancangan Perda menjadi Perda sangat ditentukan oleh bagaimana dan dengan cara bagaimana Rancangan Perda itu disusun. Disinilah dibutuhkan kearifan bersama antara Pemerintah Daerah, DPRD, dan masyarakat dalam membuat Perda4. Adanya perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, secara implisit tidak merubah dan tidak membatasi kewenangan daerah dalam membentuk Perda. Dapat dipastikan masing-
4 5
Jazim Hamidi dan Kemilau Mutik. Legislative Drafting (Yogyakarta: Tatasmedia, 2011), hlm. 5. Edie Toet Hendratno. Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme (Yogyakarta, Graha Ilmu 2009), hlm. 117. Pembentukan Peraturan Daerah, dan Penerapan Sanksi Pidana serta Problematikanya (Suharyo)
433
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
dicantumkan dalam produk Perda itu sendiri. Pemerintah Daerah tidak selamanya konsisten menegakkan Perda. Pembiaran terhadap pelanggaran Perda oleh warga masyarakat, bahkan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan elit birokrasi dan politik di daerah banyak terjadi. Khusus upaya penegakan Perda yang melibatkan pelanggaran oleh kelompok besar warga masyarakat, Satuan Polisi Pamong Praja, justru tidak berdaya. Yang pada gilirannya pasti meminta bantuan pada Polri7, bahkan meminta perkuatan TNI.8 Berangkat dari latar belakang di atas penelitian ini mencoba menemukan bagaimana pembentukan Perda yang ideal dan aspiratif dan melihat efektivitas penerapan sanksi pidana dalam produk Perda di tengah masyarakat.
ind
asasi. Negara hukum merupakan pengertian yang ideal sekali dan merupakan syarat untuk (conditio sine quanon). Negara hukum dianggap sebagai pelengkap dari negara demokrasi. Produk Perda yang di dalamnya mengatur perizinan dan/atau kewajiban warga masyarakat dalam konteks tertentu, utamanya di samping untuk terwujudnya keamanan dan ketertiban umum, dan keserasian serta keberhasilan, juga mendukung pemasukan uang bagi pembangunan daerah. Pada gilirannya, dalam Perda-perda tersebut, dicantumkan pasal-pasal tentang kewajiban dan larangan, yang berujung pada sanksi-sanksi pidana. Perkembangan hukum pidana ternyata semakin banyak digunakan dan diandalkan dalam rangka mengatur dan mentertibkan masyarakat melalui peraturan perundangundangan. Dinamika hukum dapat terlihat dari adanya kebijakan penggunaan sanksi pidana melalui pencantuman bab tentang “ketentuan sanksi pidana” pada bagian akhir sebagian besar produk peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pencantuman bab tentang ketentuan sanksi pidana tersebut tidak hanya terlihat dalam produk peraturan perundangundangan pusat yaitu Undang-undang, melainkan dapat terlihat pula dalam produk peraturan perundang-undangan lokal yang berbentuk “Perda”.6 Implementasi penegakan hukum terhadap Perda, tidak selamanya berjalan sesuai yang
lR ec hts V
B. Metode Penelitian
Teguh Prasetyo. “Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana” (Bandung, Nusa Media.2010), hlm. 159. Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara (LN No. 2, TLN No.4168 Tahun 2001). Pada Pasal 13 Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum; dan c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Lihat Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (LN No. 127 TLN No. 4439 Tahun 2004). Pada Pasal 7 (2) b. Operasi Militer Selain Perang, yaitu untuk 9. Membantu tugas pemerintahan di daerah.
Jur
7
na
6
Dalam penulisan ilmiah berjudul “Pembentukan Perda dan Penerapan Sanksi Pidana Serta Problematikanya”, metode penelitian hukum yang dipakai adalah yuridis normatif, yang merupakan penelitian kepustakaan (library research). Dalam konteks penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan data dari surat kabar peraturan perundang-undangan dan berbagai materi sekunder pilihan serta menganalisis secara mendalam dan komprehensif. Pendekatan normatif sangat selaras guna menganalisis produk pembentukan Perda, penerapan sanksi
8
434
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 431-447
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Walaupun tidak termasuk sebagai produk hukum yang pembentukannya dalam domain Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang Dasar 1945 merupakan produk konstitusi yang tertulis dan produk hukum yang tertinggi di Indonesia dan sebagai dasar hukum setiap pembentukan produk hukum dibawahnya. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, pada pasal 1 ayat 1 menyebutkan: “Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundangundangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangannya”. Di samping teori pembentukan peraturan perundang-undangan, juga didukung oleh teori penegakan hukum. Menurut Soerjono Soekanto, ketergantungan pada kaitan yang serasi dari paling tidak empat faktor, yaitu: Baik buruknya hukum yang berlaku; Baik buruknya
Jur
na
lR ec hts V
ind
Pembentukan hukum akan mengikuti struktur sosial politik dari masing-masing negara. Bagi negara yang menganut konfigurasi politik otoriter, maka pembentukan hukumnya akan memperlihatkan ciri yang otoritarian juga. Manakala proses pembentukan hukum (legislasi) tersebut ditempatkan dalam konteks struktur sosial politik dari negara demokrasi, niscayanya didalamnya akan terjadi kompromi dari konflik-konflik nilai dan kepentingan yang berbeda-beda dalam masyarakat.9 Menurut Satjipto Rahardjo10, dapat diketengahkan bahwa proses pembentukan hukum (legislasi) merupakan proses yang relatif sangat penting sebagaimana relatif pentingnya melihat proses implementasi dan enforcement dari hukum itu sendiri. Proses-proses yang terjadi dalam pembentukan hukum bagaimanapun juga akan ikut mempengaruhi proses implementasi dan penegakan hukumnya. Kekeliruan dalam proses pembentukan hukum bisa berakibat fatal, sebab dari proses pembentukan hukum yang keliru tersebut bisa melahirkan produk hukum yang bersifat kriminogen dalam pergaulan bersama masyarakat. Jeremy Benthan sebagaimana dikutip oleh A. Hamid S Atamimi mengemukakan, pembentukan peraturan perundang-undangan harus menghindari antara lain: Arti ganda; Kekaburan; Terlalu luas; Ketidaktepatan ungkapan.11
BP HN
C. Pembahasan
Dalam Undang-undang Dasar 45 ditegaskan pada Pasal 20, diantaranya: (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang (2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu, tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu
ing
pidana, di tengah problematikanya dalam negara hukum yang demokratis.
9
10 11
Anis Ibrahim. Legislasi dan Demokrasi. Interaksi dan Konfigurasi Politik Hukum Dalam Pembentukan Hukum di Daerah (Malang: In Trans Publishing, 2008) hlm. 104. Satjipto Rahardjo. Sisi-sisi Lain Hukum di Indonesia (Jakarta. Buku Kompas, 2003) hlm. 146. A. Hamid S. Attamini Peran Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan (Jakarta Disertasi FH.UI, 1990) hlm. 325. Pembentukan Peraturan Daerah, dan Penerapan Sanksi Pidana serta Problematikanya (Suharyo)
435
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
c. Sanksi negatif dapat diterapkan tanpa mengakibatkan terjadinya kerugiankerugian; d. Kemungkinan-kemungkinan lain tidak dapat dianggap sebagai suatu alternatif yang sederajat dengan penerapan sanksi negatif.
ing
Khusus tentang sanksi pidana, menurut Supanto dalam Hukum Pidana untuk menangani perkara, yang penting adalah adanya sanksi pidana. Pelanggaran administrasi diselesaikan secara administratif, penyelesaian pidana secara materiel harus ada yang melanggar/ menyimpangi ketentuan hukum pidana, dan akan diberi sanksi pidana.15
ind
mentalitas penegak hukum; Fasilitas yang cukup atau kurang; Taraf kesadaran dan kepatuhan hukum warga masyarakat.12 Dalam implementasi produk Perda dapat menemui berbagai kendala. Sebagai fenomena umum, kendala dimaksud adanya kecenderungan dari mentalitas penegang hukum yaitu Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang membiarkan pelanggaran selalu terjadi. Di samping itu secara mendasar bahwa kesadaran hukum masyarakat masih kurang serta lebih mementingkan diri sendiri. Adapun teori pemidanaan yang diselaraskan dengan Perda penerapan sanksi pidana, tidak lain adalah teori relatif (teori tujuan), berporos pada dua tujuan pemidanaan yaitu preventif dan deterrence. Hal ini dikemukakan oleh tokoh aliran klasik Jeremy Benthan yang dikutip oleh M Sholehuddin13 yaitu: Mencegah semua pelanggaran; Mencegah pelanggaran yang paling jahat; Menekan Kejahatan; Menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya. Berkenaan dengan penerapan sanksi pidana dalam produk Perda, teori efektivitas sanksi negatif dari RD Schwartz dan S Orleans sebagaimana dikutip oleh Suryono Sukanto, dapat dipakai, dengan beberapa uraian sebagai berikut:14 a. Sanksi negatif (hukuman) mengurangi pelanggaran, baik yang dilakukan pelanggar maupun pihak-pihak lainnya; b. Semakin keras sanksi negatif, semakin tinggi derajat efektivitasnya;
1. Pembentukan Peraturan Daerah
Adapun materi muatan Perda menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dinyatakan dalam, Pasal 14 materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan
Jur
na
lR ec hts V
Sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, menurut Pasal 7 (1) jenis dan hirarki peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Pers, 1982), hlm. 90. M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System & Impelentasinya (Jakarta:Rajawali Press, 2007), hlm, 40. 14 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum (Jakarta, CV Rajawali, 1982), hlm. 234. 15 Supanto, Kejahatan Ekonomi Global dan Kebijakan Hukum Pidana (Bandung, Alumni: 2010), hlm. 265. 12 13
436
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 431-447
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
lR ec hts V
ind
Pasal 236 (1) Untuk penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Perda. (2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah. (3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan: a. Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan b. Penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
berpedoman pada ketentuan perundangundangan. (3) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan Perda. (4) Pembentukan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara efektif dan efisien. Pasal 238 (1) Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan/ pelaksanaan Perda seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (3) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (4) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perda dapat memuat ancaman sanksi yang bersifat mengembalikan pada keadaan semula dan sanksi administrarif. (5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa: a. Teguran lisan; b. Teguran tertulis; c. Penghentian sementara kegiatan; d. Penghentian tetap kegiatan; e. Pencabutan sementara izin; f. Pencabutan tetap izin; g. Denda administratif; dan/atau h. Sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
ing
tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Pada pasal 15 (1) materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam a. Undang-Undang, b. Peraturan Daerah Provinsi, atau c. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota. Sedangkan Pembentukan Perda, menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, antara lain sebagai berikut:
Jur
na
Pasal 237 (1) Asas pembentukan dan materi muatan Perda berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2) Pembentukan Perda mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan, dan pengundangan an
Langkah awal penyusunan Perda, berupa Rancangan Peraturan Daerah (Raperda). Pada
Pembentukan Peraturan Daerah, dan Penerapan Sanksi Pidana serta Problematikanya (Suharyo)
437
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
perkembangan kemudian, melalui Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor M.HH.01.PP.01.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan, pada pasal 1 ayat (1) Naskah Akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, tujuan yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, obyek, atau arah pengaturan substansi rancangan peraturan perundang-undangan. (2) Penyusunan Naskah Akademik adalah pembuatan Naskah Akademik yang dilakukan melalui suatu proses secara cermat, komprehensif, dan sistematis. Dalam praktik pembinaan dan pembangunan nasional, di Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI produk Naskah Akademis, diawali dengan suatu penelitian dan pengkajian hukum. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistemtika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tertentu, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.16 Penelitian hukum dimulai dengan penelusuran terhadap bahan-bahan hukum sebagai dasar untuk membuat suatu keputusan hukum (legal decission making) terhadap kasuskasus hukum yang konkret. Pada sisi lainnya, penelitian hukum juga merupakan kegiatan hukum untuk memberikan refleksi dan penilaian
Jur
na
lR ec hts V
ind
pasal 56 (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011: “Rancangan Peraturan daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademis”. Sesuai Pasal 1 ayat (11) Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hokum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu rancangan undang-undang, rancangan peraturan daerah provinsi, atau rancangan peraturan daerah kabupaten/kota sebagai solusi permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Pembuatan Naskah Akademis merupakan langkah awal yang tidak terpisahkan dalam pembentukan peraturan perundangundangan, termasuk dalam pembentukan Perda. Kedudukan hukum naskah akademis yang semula pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 masih bersifat pilihan ataupun fakultatif, setelah diundangkannya UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011, menjadi wajib. Walaupun dalam perkembangan yang ada, pada pembuatan RUU KUHP baru disusun naskah akademis perubahan KUHP setelah RUU KUHP selesai pada tahun 2011. Akhirnya naskah akademis RUU KUHP, dan RUU KUHP telah diserahkan kepada DPR Mei 2015. Khusus untuk produk Naskah Akademis yang dibuat di Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia merupakan konsep dasar suatu RUU, dengan penjelasan secara akademis produk RUU yang dibuat, yang kemudian disertai dengan perumusan pasal demi pasal. Dalam
Soerjono Soekanto, Op.cit. hlm.43.
16
438
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 431-447
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
dan diberi kesempatan untuk mencermati produk peraturan yang akan dibuat. Karena pada gilirannya yang akan terkena baik secara langsung atau tidak langsung adalah warga masyarakat sendiri. Beranjak dari hasil ini, pada pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dinyatakan: “Penyebarluasan Prolegda dilakukan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah sejak penyusunan Prolegda, Penyusunan Rancangan Peraturan daerah, Pembahasan rancangan Peraturan daerah, hingga pengundangan Peraturan Daerah”. Pada ayat (2): “Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk dapat memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat dan para pemangku kepentingan”. Pakar Hukum Administrasi Negara Universitas Airlangga Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa: “Konsep partisipasi masyarakat berkaitan dengan konsep keterbukaan. Dalam artian, tanpa keterbukaan pemerintahan tidak mungkin masyarakat dapat melakukan peran serta dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan”. Keterbukaan baik openheid maupun openbaar “heid” sangat penting artinya bagi pelaksanaan pemerintahan yang baik dan demokratis. Dengan demikian, keterbukaan dipandang sebagai suatu asas ketatanegaraan mengenai pelaksanaan wewenang secara layak.18 Partisipasi masyarakat, hanya dapat tumbuh dan berkembang di negara demokratis. Ada semacam gugatan yang kurang mempercayai sistem demokrasi perwakilan yang diterapkan di banyak negara, termasuk Indonesia. Menurut Frans Magnis Suseno demokrasi perwakilan
Jur
na
lR ec hts V
ind
terhadap keputusan-keputusan hukum yang telah dibuat terhadap kasus-kasus hukum yang pernah terjadi atau akan terjadi.17 Pengkajian hukum, sebagai produk asli sejak awal tahun 1980-an di Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dalam implementasinya adalah sebagai kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan analisa tertentu, yang bertujuan untuk menjawab gejala hukum tertentu, dengan melibatkan secara mendalam disiplin hukum dan disiplin ilmu lainnya, serta pihak-pihak yang saling terkait, dengan memberikan rekomendasi atas gejala hukum dan permasalahan yang timbul. Pembuatan Perda melibatkan jajaran DPRD dengan Pemerintah Daerah. Interaksi politik dan hukum dalam hal pembuatan Perda, dalam hal terdapat keterbatasan SDM pada DPRD dan Pemerintah Daerah, terkadang ditemui produk Perda diserahkan pada kalangan akademisi di berbagai Fakultas Hukum baik swasta maupun negeri. Di samping itu, Divisi Hukum pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga memberikan supervisi dan perbantuan untuk mendukung pembuatan Perda. Sebagai negara hukum yang demokratis, aspirasi masyarakat terhadap berbagai aspek yang akan diatur dalam Perda, juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat sendiri. Eksistensi lembaga perwakilan rakyat baik yang terwujud mulai DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR dan DPD, dapat diartikan bahwa seluruh kepentingan masyarakat telah diserahkan secara total kepada perwakilannya. Warga masyarakat luas harus diberi tahu
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia, 2006), hlm. 299. Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), hlm. 4-5.
17 18
Pembentukan Peraturan Daerah, dan Penerapan Sanksi Pidana serta Problematikanya (Suharyo)
439
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
Hal itu dapat diukur secara universal oleh Fuller tentang delapan asas yang disebut principles of legality yang dikutip Satjipto Rahardjo, yaitu:21 1) Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, maksudnya ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan yang bersifat ad hoc. 2) Peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan; 3) Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, karena apabila yang demikian itu tidak ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk menjadi pedoman tingkah laku. Membolehkan peraturan secara berlaku surut berarti merusak integrasi peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang; 4) Peraturan harus disusun dalam rmusan bahasa baku, bahasa yang dapat dimengerti oleh masyarakat; 5) Sistem tidak boleh mengandung peraturan yang bertentangan satu sama lain. 6) Peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan; 7) Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah-ubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi; 8) Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari. Kesiapan daerah untuk membentuk Perda di Kabupaten/Kota, dan provinsi, juga banyak terkendala, dan tentu saja pada daerah
Jur
na
lR ec hts V
ind
mempunyai dua kelemahan, yaitu, pertama, rakyat tidak langsung dapat membuat undangundang, melainkan melalui wakil-wakil yang mereka pilih. Keputusan-keputusan yang paling penting dalam kenyataannya diambil oleh beberapa orang saja. Maka dalam demokrasi perwakilan akan muncul unsur elitisme. Elitisme ini ditandai dengan terbatasnya implementasi asas keterbukaan dan akhirnya terbatas juga partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Kedua, Demokrasi perwakilan dapat menjadi totaliter jika mayoritas rakyat memutlakkan kehendaknya, dan tidak menutup kemungkinan menjadi oligarkis jika minoritas memutlakkan kehendaknya terhadap mayoritas.19 Idealisme partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan publik, perlu didukung oleh budaya politik yang berkembang di lingkungan masyarakat itu sendiri. Menurut Rusadi Kantaprawira, budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik yang inheren (melekat) pada setiap masyarakat yang terdiri dari individu yang hidup, baik dalam sistem politik tradisional, transisional, maupun moderen.20 Sebagai negara hukum yang demokratis, secara implisit dan eksplisit seluruh produk peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Dengan perkataan lain, sistem hukum Indonesia berasaskan Pancasila dan UUD 1945.
Franz Magnis Suseno, Etika Politik. Prinsip-prinsip Moral Dalam Kenegaraan Moderen (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), hlm. 290-294. 20 B. Heru Cipto Handoyo, Prinsip-prinsip Legal Drafting & Desain Naskah Akademik, Edisi Revisi (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014), hlm. 172. 21 Zainuddin Ali. Filsafat Hukum (Jakarta, Sinar Grafika, 2006) hlm.123. 19
440
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 431-447
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
dan daerah secara teoritis menurut Clarke dan Stewart, dapat dibedakan menjadi: 25 Pertama, The Relative Authonomy Model, memberikan kebebasan yang relatif besar kepada pemerintah daerah dengan tetap menghormati eksistensi pemerintah pusat. Penekanannya adalah pada kebebasan bertindak bagi pemerintah daerah dalam rangka kekuasaan/tugas dan tanggung jawab yang telah dirumuskan oleh peraturan perundangundangan. Kedua, The Agency Model. Model dimana pemerintah daerah tidak mempunyai kekuasaan yang cukup berat sehingga keberadaannya terlihat sebagai agen pemerintah pusat yang bertugas untuk menjalankan kebijaksanaan pemerintah pusatnya. Pada model ini berbagai petunjuk rinci dalam peraturan perundangundangan sebagai meksnisme kontrol sangat menonjol. Pada model ini pendapatan asli daerah bukanlah hal yang penting dan system keuangan daerahnya didominasi oleh bantuan dari pemerintah pusat. Ketiga, The Interaction Model. Merupakan suatu bentuk model dimana kebebasan dan peran pemerintah daerah ditentukan oleh interaksi yang terjadi antara pemerintahpusat dan pemerintah daerah. Dalam artian eksistensi negara, kewenangan Pemda dan DPRD dalam membuat Perda, disamping secara langsung diwakili oleh pemerintah pusat, juga diwakili oleh warga masyarakatnya.
Jur
na
lR ec hts V
ind
pemekaran yang baru dibentuk. Demikian pula halnya dengan keterkaitannya dengan pelaksanaan otonomi khusus di Papua, sebagaimana dikemukakan oleh Barnabas Suebu yaitu: “Masih banyaknya peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 dalam bentuk peraturan daerah provinsi (Perdasi) maupun peraturan khusus (Perdasus) yang belum disusun.22 Dalam enam tahun pertama implementasi otonomi khusus di Papua, perangkat hukum dalam bentuk Perdasi dan Perdasus yang sudah dirumuskan dan ditetapkan hanya 4 Perdasi, sementara Undang-Undang Otonomi Khusus Papua mengamanatkan pembuatan 17 Perdasi dan 11 Perdasus”.23 Menurut Hari Sabarno, mantan Menteri Dalam Negeri 2001-2004 menyatakan: “Dalam prakteknya pembentukan Peraturan Daerah cenderung mengabaikan sistem hukum nasional dan menerapkan jenis dan bentuk materi muatan yang berbeda-beda berdasarkan kebutuhan dan kepentingan daerah sendiri. Di samping itu, pembentukan peraturan daerah tidak sesuai dengan tujuan, situasi dan kondisi nasional, sehingga kadangkala menimbulkan pertentangan dengan ketentuan diatasnya.24 Pembentukan Perda sebagaimana mengacu pada peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku sejak reformasi 1999 sampai dengan undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, yang didalamnya ada fungsi-fungsi, dan represif, sebagai perwujudan The Interaction Model. Model hubungan antara pemerintah pusat
Muhadam Labolo. Desentralisasi Asimetrik di Indonesia. Peluang, Tantangan dan Recovery (Jakarta: Wadi Press 2014). hlm.132). 23 Ibid, hlm.173. 24 Hari Sabarno, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 197. 25 Ni’matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Yogyakarta, FH UII Pers, 2007), hlm. 1-2. 22
Pembentukan Peraturan Daerah, dan Penerapan Sanksi Pidana serta Problematikanya (Suharyo)
441
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
a. Pembentukan
Dalam hukum pidana positif di Indonesia, legislator memberikan peluang dan kebebasan yang relatif kepada hakim untuk memiliki jenis pidana, berat dan ringannya pidana dan cara bagaimana pidana tersebut akan dilaksanakan. Dalam hal jenis sanksi pidana, peluang dan kebebasan hakim untuk memilih bentuk sanksi yang dikehendakinya, teridentifikasi dari pencantuman sanksi pidana yang menggunakan baik sistem alternatif maupun kumulatif di dalam perundang-undangan pidana positif. Perumusan jenis sanksi pidana dalam KUHP pada umumnya memakai dua pilihan, misalnya
Jur
na
lR ec hts V
ind
Sesuai pasal 238 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 dalam produk Perda, ancaman pidana kurungan atau sanksi denda, sanksi yang bersifat mengembalikan pada keadaan semula, dan sanksi administratif”. Fenomena pencantuman sanksi pidana pada Perda, di samping untuk menegakkan efektivitas Perda yang dibuat, juga disesuaikan dengan keselarasan dan proporsionalitas bahwa pelanggar Perda dapat/layak diberi sanksi pidana. Menurut Pasal 10 KUHP, Pidana terdiri atas: Pidana Pokok yang terdiri dari Pidana mati; Pidana penjara; Pidana kurungan; Pidana denda; Pidana tutupan. Dan Pidana Tambahan, yang terdiri dari Pencabutan hak-hak tertentu; Perampasan barang-barang tertentu; 27 Pengumuman putusan hakim. Pembentukan Perda oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, yang mencantumkan ancaman pidana kurungan atau denda merupakan kebijakan kriminalisasi. Menurut Barda Nawawi Arief, proses kriminalisasi harus memperhatikan berbagai aspek, yaitu:28
BP HN
2. Sanksi Pidana
1) Penggunaan hukum pidana harus mempergunakan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan sepiritual berdasarkan Pancasila. 2) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan atau spiritual) atas warga masyarakat; 3) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefid principles) juga sosial cost atau biaya sosial; 4) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan smapai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
ing
Pentingnya ranah publik (public sphere) dalam pengawasan seperti dikatakan oleh Jurgen Habermas, bahwa negara yang secara organisasi mempunyai wewenang yang sangat besar dalam membuat dan melaksanakan kebijaksanaannya akan dikontrol oleh elemen yang sebenarnya merupakan pemilik sah suatu negara tersebut.26
Imam Anshori Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman. Upaya Memperkuat Kewenangan Konstitusional Komisi Yudisial dalam Pengawasan Peradilan (Malang: Setara Pers, 2014), hlm. 244.. 27 KUHP & KUHAP Beserta Penjelasannya (Bandung: Citra Umbara, 2009). hlm. 5.. 28 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1986), hlm. 33-34. 26
442
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 431-447
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
dimungkinkan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Sebelum dibentuknya UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tersebut, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Perda yang didalamnya terdapat sanksi pidana biasanya menyangkut Perda Tentang Kebersihan, Perda Tentang Kebersihan Umum, Perda Tentang Ijin Mendirikan bangunan, dan terkadang Perda yang Berisi pungutan (pajak). Penerapan atau implementasi Perda yang berupa pungutan, misalnya PBB, Pajak kendaraan Bermotor, Perizinan, dan Parkir, biasanya dapat berlangsung sesuai yang diharapkan. Warga masyarakat sadar dan terpanggil kewajibannya dalam membayar pajak. Dan aparatur pemerintah daerah, baik yang melakukan kerjasama dengan bank dan kelompok warga masyarakat yang memenuhi syarat, selalu siap sedia menerima pembayaran pajak. Pada Perda yang lain, misalnya kebersihan, ketertiban umum dan keamanan masyarakat, dan ijin mendirikan bangunan, larangan merokok di tempat umum, dan banyak terjadi di wilayah hukum indonesia, pada umumnya perdaperda tersebut tidak diimplentasikan dengan baik. banyak kendala yang menghadang, dan Satuan Polisi Pamong Praja, yang ditugasi untuk menegakkan Perda di kabupaten/Kota tertentu ataupun Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi yang ditugasi menegakkan Perda Provinsi tertentu, seringkali tidak berdaya ataupun justru membiarkan pelanggaran terhadap Perda. Dan kalaupun harus menegakkan Perda, yang berpotensi timbulnya perlawanan keberatan
lR ec hts V
ind
“pidana penjara” atau “denda” (sistem alternatif).29 Pembentukan Perda yang di dalamnya ditetapkan sanksi pidana, di dalam negara hukum yang demokratis sesungguhnya merupakan detterent factor (faktor pencegah) agar warga masyarakat dapat lebih mengerti bahwa pelanggaran terhadap Perda pun, dapat dipidana. Sanksi pidana dalam Perda merupakan sanksi yang ringan, dan secara implisit hakim dapat bahkan wajib memilih bentuk sanksi yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Jika dikorelasikan dengan tujuan pemidanaan dalam perkembangan yang ada, menurut Muladi, tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individu dan sosial (individual dan social damages) yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri dari seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi, dengan catatan, bahwa tujuan manakan yang merupakan tidak berat sifatnya kasusistis. Perangkat tujuan pemidanaan yang dimaksudkan diatas adalah (1) pencegahan (umum dan khusus), (2) perlindungan masyarakat, (3) memelihara solidaritas masyarakat, (4) pengimbalan/pengimbangan. Istilah ini digunakan oleh Soedarto yang dalam hal ini mengatakan bahwa “vergellen” bukannya membahas atau membalas dendam, tetapi pengimbalan atau pengimbangan.30 b. Penerapan
Jur
na
Penetapan sanksi pidana dalam Perda, secara mendasar sangat dimungkinkan, dan mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah. Terakhir, juga
M. Sholehuddin, Opcit. Hlm. 189. Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat (Bandung: Alumni, 2004), hlm. 61.
29 30
Pembentukan Peraturan Daerah, dan Penerapan Sanksi Pidana serta Problematikanya (Suharyo)
443
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Jur
na
lR ec hts V
ind
Pemerintahan daerah Kabupaten/Kota. Dan Provinsi yang tersebar di seluruh Wilayah Indonesia, sangat menikmati kebijakan negara tentang otonomi daerah serta otonomi khusus di Aceh, Papua, dan Yogyakarta. Pendapatan daerah, potensi daerah, sarana dan prasarana, ekonomi daerah, serta sumber daya manusia, serta profesionalisme anggota DPRD yang secara minimal berpendidikan SLTA, dan jajaran pemerintah daerah sendiri, tentu tidak sama. Terdapat daerah yang sangat maju ekonominya dan sangat menjanjikan, SDM, baik warga masyarakat termasuk anggota DPRD, dan jajaran pemerintah daerah profesional. Namun sebaliknya tidak sedikit daerah lain, banyak diwarnai keterbatasan dan kekurangan di banyak hal. Dalam produk pembentukan Perda juga terkendala, termasuk dalam implementasinya. Pada gilirannya, jika terdapat pembentukan Perda, tidak jarang mencari jalan pintas meng-copy Perda dari Kabupaten/Kota lainnya, yang sudah sukses dilaksanakan tanpa melihat kondisi senyatanya daerah/kota yang meng-copy Perda tersebut. Dengan dilatarbelakangi keberadaan masyarakat, adat istiadat, cara pandang, sarana dan prasarana, dan perekonomian, agama, serta iklim yang berbeda-beda, mengcopy Perda di daerah lain untuk diterapkan di Kabupaten/ Kota bahkan Provinsi yang berbeda, tentu dapat menimbulkan permasalahan. Secara minimal, Perda tersebut tidak dapat diterapkan.
BP HN
3. Implementasi Penggunaan Sanksi Pidana di dalam Peraturan Daerah
Pada periode 2010 s/d 2013, dinamika Perda bermasalah adalah sebagai berikut:31 Perda bermasalah tahun 2010: Perda masuk 3000, bermasalah 407; Perda bermasalah tahun 2011: Perda masuk 9000, bermasalah 351; Perda bermasalah tahun 2012: Perda masuk 3000, bermasalah 173; Perda bermasalah tahun 2013: Perda masuk 2500, bermasalah 215. Sebanyak 255 Perda bermasalah dari Januari – Oktober 2014 yang ditanda tangani Menteri Dalam negeri Gamawan Fauzi dan sebanyak 100 Perda bermasalah dari November – Desember 2014 yang ditanda tangani Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo, dengan total jumlah Perda bermasalah yang sudah diklasifikasi melalui Surat Menteri Dalam Negeri sampai 2014 sebanyak 355 Perda. Perda bermasalah yang dibatalkan paling banyak berkaitan dengan pajak dan/retribusi-retribusi, selebihnya terkait diskriminasi. Kementerian Dalam Negeri mempersiapkan Elektronik Peraturan daerah (e-Perda) untuk meminimalisasi banyak Perda bermasalah. Penerapan sanksi, termasuk sanksi pidana dalam Perda sangat jarang terjadi. Pembiaran oleh pemerintah daerah kabupaten/kota, dan provinsi terhadap pelanggaran Perda merupakan fenomena umum. Satuan Polisi Pamong Praja tidak berdaya untuk melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang bersifat massal. Pada gilirannya, Polri harus memperkuat penegakan hukum yang dalam kasus-kasus tertentu, justru dibantu lagi oleh TNI. Sebagai gambaran umum, sarana dan prasarana dalam penegakan hukum Perda, serta sarana dan prasarana yang yang dibuat oleh
ing
dari warga masyarakat, pada gilirannya mereka sudah didukung oleh Polri dan TNI.
Koran Sindo, “Pragmatisme Picu Perda Bermasalah”. (Senin, 31 Agustus 2015), hlm.2.
31
444
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 431-447
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
4) Kepolisian Negara Republik Indonesia berkedudukan langsung di bawah Presiden.
ing
Dalam implementasi sanksi pidana yang terdapat pada Polri, model pemidanaan biasanya berupa denda, dan angka nominalnya masih dapat dijangkau oleh para pelanggarnya. Memang terdapat juga fungsi pembinaan para pelanggar Perda ada yang ditempatkan di Dinas Sosial, seperti model diasramakan dalam waktu tertentu. Dan yang paling banyak terjadi, para pelanggar Perda, langsung dibebaskan setelah diberi teguran dan pengarahan agar tidak mengulangi perbuatannya.
D. Penutup
ind
pemerintah daerah kabupaten/kota setempat., agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Perda, juga kurang bahkan tidak ada. Taraf kesadaran hukum masyarakat untuk mematuhi Perda, juga terbatas. Dengan berbagai alasan dari yang rasional sampai irrasional, mereka tidak merasa melanggar Perda. Permintaan bantuan dari Pemerintah daerah Kabupaten/Kota, Provinsi pada Polri untuk menegakkan Perda, menurut Farouk Muhammad32 “Dengan mekanisme yang telah disepakati bersama, kepala daerah bahkan dapat menggunakan dan/atau memegang pimpinan atas Kepolisian dalam rangka menegakkan keamanan dan/atau peraturan daerah”. Berkaitan dan berkenaan tentang peran, tugas dan wewenang Polri dalam mendukung penegakan Perda, yang terjadi di indonesia, antara lain:33 1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberi pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat; 2) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan lembaga pemerintah yang mempunyai tugas pokok menegakkan hukum, ketertiban umum, dan memelihara keamanan dalam negeri; 3) Fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah salah satu fungi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan huku, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Jur
na
lR ec hts V
Dari berbagai uraian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pembentukan Perda di tengah kompleksitas kehidupan masyarakat, dan berbagai keterbatasan di seluruh wilayah hukum kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia, bukan pekerjaan yang mudah. Sumber daya manusia jajaran DPRD, sumber daya manusia jajaran pemerintah daerah kabupaten/Kota, Provinsi, interaksi politik, dan harus patuh pada rambu-rambu di dalam negara hukum yang demokratis, serta ke-Indonesia-an, sangat memerlukan keseriusan dan pemahaman yang mendalam bagi kesejahteraan masyarakat. Sejak awal, warga masyarakat harus didengar, mulai pembentukan Raperda termasuk adanya penetapan sanksi pidana, Pembahasan di DPRD, Pengundangan Perda, serta sosialisasi yang intensif dengan cara-cara kekeluargaan, masih sangat terbatas. Beranjak dari kesimpulan tersebut dapat diberikan suatu saran atau rekomendasi
Farouk Muhammad, Menuju Reformasi Polri (Jakarta: PTIK Pers & CV Restu Agung, 2003), hlm. 72. Sadjijono, Fungsi Kepolisian Dalam Pelaksanaan Good Governance (Yogyakarta: Laksbang 2010), hlm. 246.
32 33
Pembentukan Peraturan Daerah, dan Penerapan Sanksi Pidana serta Problematikanya (Suharyo)
445
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
Huda, Ni’matul, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Yogyakarta: FH UII Press, 2007) Ibrahim, Anis, Legislasi dan Demokrasi. Interaksi dan Konfigurasi Politik Hukum dalam Pembentukan Hukum di Daerah (Malang: In Trans Publishing 2008). Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayu Media, 2006). Imam Anshori, Soleh, Konsep Pengawasan Kehakiman upaya memperkuat Kewenangan Konstitusional Komisi Yudisial Dalam Pengawasan Peradilan (Malang: Setara Pers, 2014) Jazim, Hamidi dan Kemilau Mutik, Legislatif Drafting (Yogyakarta: Total Media, 2011) Labolo, Muhadan, Desentralisasi Asimetrik dI Indonesia. Peluang, Tantangan dan Recovery (Jakarta: WADI Press, 2014) Muhammad Farouk, Menuju Refortmasi Polri (Jakarta: PTIK Pers & CV Restu Agung, 2002) Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat (Bandung: Alumni, 2004) Prasetyo, Teguh, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana (Bandung: Nusa Media, 2010) Rahardjo, Satjipto, Sisi-sisi Lain Hukum di Indonesia (Jakarta: Buku Kompas, 2003) Sabarno, Hari, Memandu Otonomi daerah Menjaga Kesatuan Bangsa (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) Sadjijono, Fungsi Kepolisian Dalam Pelaksanaan Good Governance (Yogyakarta: Laksbang, 2010) Sholehuddin, M, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. Ide Dasar Double Track System & Implementasinya (Jakarta: Rajawali Pers, 2007) Soekanto, Soerjono, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 1982) Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Pers, 1982) Supanto, Kejahatan Ekonomi Global dan Kebijakan Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 2010) Suseno, Franz Magnis, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Moderen (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990) Zainudin, Ali, Filsafat Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2006)
lR ec hts V
ind
bahwa penegakan Perda dengan mengimple mentasikan sanksi pidana bagi para pelang garnya, merupakan pilihan terakhir yang harus dilaksanakan. Pilihan tersebut, tidak serta merta dapat dilaksanakan. Penerapan sanksi pidana sebagai ultimum remedium pada pelanggar Perda, utamanya pidana kurungan harus dihindari, selama da pilihan-pilihan lain yang dapat dimungkinkan oleh Perda itu sendiri yaitu pidana denda. Sebagai negara hukum yang demokratis dengan prinsip-prinsip kekeluargaan, selalu ada jalan tengah yang baik dan positif dalam menegakkan pelanggaran terhadap Perda. Strategi persuasif, preventif, akomodatif, dan simpatik dalam penegakan Perda, dapat menghindari konflik antara petugas dengan warga masyarakat yang melanggar. Permintaan bantuan untuk menegakkan keamanan dan ketertiban pada Polri, adalah sangat wajar. Namun permintaan bantuan pada TNI, harus dilihat sebagai upaya untuk menghindari konflik kekerasan antara Satpol PP bersama Polri, dengan warga masyarakat dan pendukungnya pelanggar Perda.
Daftar Pustaka Buku
Jur
na
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung: PT Citra Aditya Bakti; 1986) Attamini S, A Hamid, Peran Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan (Jakarta: Disertasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990) Hadjon M.,Philipus, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia (Surabaya: Bina Ilmu, 1987) Handoyo, B. Hestu Cipto, Prinsip-prinsip Legal Drafting & Desain Naskah Akademik Edisi Reisi (Yogakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014) Hendratno, Edie Toet, Negara Kesatuan, Desentrealisasi dan Federalisme, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009)
446
Makalah/Artikel/Prosiding/Hasil Penelitian Koran Sindo, “Pragmatisme Picu Perda Bermasalah” (Senin, 31 Agustus 2015)
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 431-447
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
tentang tentang tentang tentang
Jur
na
lR ec hts V
ind
ing
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Otonomi Khusus Papua Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 Kepolisian Negara Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
BP HN
Peraturan
Pembentukan Peraturan Daerah, dan Penerapan Sanksi Pidana serta Problematikanya (Suharyo)
447
lR ec hts V
ind
ing
BP HN
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Jur
na
”Halaman ini dikosongkan”
448
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 21-41
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH MENGENAI PAJAK DAN RETRIBUSI DI KABUPATEN MALUKU TENGAH MENURUT PERSPEKTIF LEGISLASI RESPONSIF*
(The Formation of Local Regulation About Tax and Retribution District of Maluku Tengah Based on Responsive Legislation Perspective)
ing
Dayanto dan Asma Karim Fakultas Hukum Universitas Darussalam Ambon Jl. Raya Tulehu KM. 24 Ambon-Maluku email:
[email protected]
Naskah diterima: 7 Oktober 2015; revisi: 27 November 2015; disetujui: 2 Desember 2015
lR ec hts V
ind
Abstrak Adanya kebijakan desentralisasi yang berbasis pada otonomi yang luas maka urgensi untuk menghadirkan Peraturan Daerah yang berperspektif legislasi responsif menjadi kebutuhan, termasuk Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi. Perspektif legislasi responsif bertolak dari indikator proses pembentukan yang partisipatif dan materi muatan yang aspiratif, sehingga permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah apakah proses pembentukan serta materi muatan Peraturan Daerah mengenai pajak dan retribusi di Kabupaten Maluku Tengah berperspektif legislasi responsif. Dengan tipe penelitian hukum normatif-empiris ini ditemukan bahwa Peraturan Daerah mengenai pajak dan retribusi di Kabupaten Maluku Tengah proses pembentukannya belum menunjukan adanya partisipasi masyarakat yang memadai dan materi muatannya belum mengakomodir aspirasi masyarakat, sehingga penelitian ini menyimpulkan bahwa pembentukan Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi di Kabupaten Maluku Tengah belum berperspektif legislasi responsif. Agar praktik pembentukan Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi di Kabupaten Maluku Tengah dapat berkesesuaian dengan tujuan otonomi daerah maka pembentukannya harus didasarkan pada perspektif legislasi responsif. Kata Kunci: peraturan daerah responsif, pajak, retribusi
Jur
na
Abstract The policy of decentralization based on autonomy brings the necessity and urgency to make the Local Regulation with responsive legislation perspective, including the Local Regulation on Tax and Retribution. Responsive legislation perspective based itself on some indicators like a participative process on forming the regulation and an aspirative subject matters. Therefore the issues raised in this research is whether the formation process and subject matters of Regional Regulations on Tax and Retribution in district of Maluku Tengah has already had a responsive legislation perspective. This normativeempirical legal research found that the Local Regulation on Tax and Retribution in district of Maluku Tengah has not shown enough public participation in its formation process and has not accommodate public aspirations in its subject matters, so this research concluded that the formation of Local Regulations on Tax and Retribution in district of Maluku Tengah has not had a responsive legislation perspective. To make the formation of Local Regulations about Tax and Retribution in district of Maluku Tengah compatible with the objective of local autonomy, the formation should be based on the responsive legislation perspective. Keywords: responsive local regulation, tax, retribution
*
Artikel ini merupakan sebagian Hasil Penelitian/Riset yang dilaksanakan atas biaya DIPA Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat DIKTI Nomor DIPA-023.04.1.673453/2015, Tanggal 14 November 2014. Peneliti mengucapkan terima kasih 3 (Tiga) mahasiswa: M. Alim Tomu, Syuaib Hermanses, dan Swanda Angkotasan atas partisipasinya dalam Penelitian ini. Pembentukan Peraturan Daerah Mengenai Pajak dan Retribusidi ... (Dayanto dan Asma Karim)
449
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
Jur
na
lR ec hts V
ind
Keberadaan Peraturan Daerah (Perda) mengenai Pajak dan Retribusi merupakan konsekwensi logis dari diterapkannya kebijakan desentralisasi yang berbasis pada otonomi yang luas sebagaimana yang awalnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 maupun penggantinya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang telah diganti pula dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kebijakan desentralisasi ini memberikan kewenangan yang luas kepada daerah termasuk dalam hal meningkatkan Pendapatan Asli Daerah melalui Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sesuai dengan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Otonomi daerah merupakan esensi pemerintahan desentralisasi yang mencakup makna membuat perundang-undangan sendiri (zelfwetgeving) serta pemerintahan sendiri (zelfbestuur). Dimana Zelfwetgeving mencakup membuat Perda sebagai dasar untuk mengatur rumah tangga sendiri (eigen huishouding).1 Dalam pemerintahan desentralisasi yang berbasis pada otonomi yang luas itulah, tuntutan untuk menghadirkan produk Perda yang responsif menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan. Sebab, agar kinerja penyelenggaraan otonomi daerah dapat berlangsung secara baik maka diperlukan kapasitas responsif yang dua arah atau timbal balik dari unsur pemerintahan daerah dengan masyarakatnya.
Kapasitas responsif dari unsur pemerintahan daerah ditandai dengan adanya DPRD dan Kepala Daerah yang akomodatif terhadap setiap aspirasi logis dari masyarakat dalam keseluruhan proses pengambilan kebijakan daerah, sedangkan kapasitas responsif dari masyarakat ditandai dengan kemampuannya untuk terlibat dalam melakukan pengawasan ataupun memberikan input secara partisipatif dalam keseluruhan proses pengambilan kebijakan tersebut, termasuk dalam hal kebijakan membuat peraturan perundangundangan sendiri (zelfwetgeving). Akan tetapi, dalam mengaktualisasikan makna membuat perundang-undangan sendiri (zelfwetgeving) itu justru dijumpai begitu banyak Perda yang telah diundangkan oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota dalam kategori bermasalah. Diungkapkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Harian Kompas Tanggal 25 Juli 2011 bahwa sejauh ini sekitar 4.000 Perda di Indonesia. Akibat pembatalan tersebut, dana senilai Rp. 1,2 Triliun yang dipakai untuk membuat Perda itupun hilang. Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pembatalan Perda dan Keputusan Kepala Daerah Tahun 2005-2009, untuk beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku pada sepanjang tahun 2002 sampai 2009 jumlah Perda yang dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri, antara lain: Kota Ambon sebanyak 8 Perda, Kabupaten Maluku Tenggara sebanyak 2 Perda, Kabupaten Maluku
ing
A. Pendahuluan
Dari sudut pandang pemerintahan dan masyarakat daerah, nilai utama kebijakan desentralisasi ini adalah perwujudan political equality, yakni terbukanya partisipasi masyarakat dalam berbagai aktivitas politik di tingkat nasional. Nilai kedua adalah local accountablity, yakni kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak masyarakat di tingkat lokal. Dan nilai ketiga adalah local responsiveness, yakni pemerintah daerah dianggap mengetahui lebih banyak tentang berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya. Hikmawati, Partisipasi Masyarakat Dalam Perumusan Kebijakan Publik, Jurnal Politik Profetik, Vol. 1 No. 1 (2013):73.
1
450
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 449-467
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
bahwa salah satu kriteria sebuah Perda dikategorikan sebagai Perda Bermasalah yakni Perda tersebut dibuat dan dilaksanakan tidak memperhatikan prinsip-prinsip dasar ekonomi/ investasi dengan kata lain meningkatkan pajak secara berlebihan sehingga mengakibatkan timbulnya hight cost economy.4
BP HN
Tenggara Barat sebanyak 24 Perda, Seram Bagian Barat sebanyak 20 Perda, termasuk Kabupaten Maluku Tengah sebanyak 21 Perda. Secara nasional, Perda yang dibatalkan berdasarkan jenis pajak daerah, retribusi daerah dan Perda lainnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini2:
Tabel 1. Daftar Perda Berdasarkan Jenis Pajak, Retribusi, dan Lain-Lain Pajak
Retribusi
Lain-Lain
Jumlah
2007
9
123
38
170
17
2006
9
2008
40
2009
134
2009*
83
JUMLAH
292
74
97
151
29 3
37
ind
2005
ing
Tahun
445
253
233
1.123
90
450
109
228
832
406
1.865
lR ec hts V
Sumber : Biro Hukum Kemendagri, Tahun 2010 (Hattu, 2010) NB : 2009*: Pembatalan sesuai Program 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu II
120
Hendrik Hattu, Model Undang-Undang Berkarakter Responsif (Studi Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah), Ringkasan Disertasi (Makassar: Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, 2010), hlm. 78. Bandingkan dengan H. M. Jusup, “Perda Pajak Dan Retribusi Daerah Di Era Otonomi Daerah”, Jurnal Ekonomi , Vol. 1 No. 1 (September-Desember 2012): 102. Lihat Isrok, “Korelasi Antara Peraturan Daerah (Perda) bermasalah dengan Tingkat Investasi Ke Daerah”, Jurnal Hukum, Vol. 16 No. 4 (Oktober 2009): 566. Ibid
Jur
2
Selain itu, Perda Bermasalah juga meliputi Perda-Perda yang tidak dirancang atau disusun sesuai dengan prinsip-prinsip pembuatan peraturan perundang-undangan (legislative drafting) yang sedang berlaku serta Perda-Perda itu hanya dibuat oleh pihak eksekutif daerah atau legislatif daerah tanpa melibatkan cukup partisipasi rakyat (stake holders) yang pada dasarnya mengerti kondisi apa yang mereka aspirasikan dan sesuai dengan kondisi daerah.5
na
Data pada Tabel di atas mendeskripsikan bahwa dari total 1.865 Perda yang diproduk sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 terdapat 292 Perda mengenai Pajak dan 1.123 Perda mengenai Retribusi yang dibatalkan. Dampak serius yang ditimbulkan dari banyaknya Perda tentang Pajak dan Retribusi daerah, adalah melambatnya arus investasi di daerah, karena para investor menganggap pajak-pajak dan retribusi-retribusi tersebut sangat membebani mereka.3 Hal ini sejalan dengan pandangan
3
4
5
Pembentukan Peraturan Daerah Mengenai Pajak dan Retribusidi ... (Dayanto dan Asma Karim)
451
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
tentang penerapan hukum in abstracto dalam kenyataan (in concrito) di masyarakat. Hukum in abstracto dimaksud adalah konsep tentang indikator legislasi reponsif serta norma yang terkandung dalam Ketentuan tentang partisipasi masyarakat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Data primer dalam penelitian ini dikumpulkan melalui wawancara mendalam (indepth interview) dengan informan wajib pajak dan wajib retribusi serta Pimpinan Badan Pembentukan Perda dan Pimpinan Bagian Hukum Kabupaten Maluku Tengah yang dipilih secara purposive. Adapun data sekunder antara lain: Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Produk-Produk Perda Kabupaten Maluku Tengah mengenai Pajak dan Retribusi, dan Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten Maluku Tengah, yang dikumpulkan melalui penelusuran dokumen. Selain itu digunakan studi kepustakaan (library research) terhadap kajian-kajian hukum dan non hukum yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif.
lR ec hts V
ind
Tidak bisa dipungkiri bahwa untuk menye lenggarakan pemerintahan Daerah, suatu Daerah Otonom berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat dalam bentuk Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah melalui suatu Perda. Sehingga wajar bila peningkatan Pendapatan Asli Daerah dijadikan salah satu indikator kesiapan daerah dalam menjalankan kebijakan otonomi6, termasuk dalam hal kewenangan pengelolaan keuangan dalam bentuk diterbitkannya Perda mengenai Pajak dan Retribusi. Namun, yang harus diperhatikan ialah pengenaan Pajak dan Retribusi hendaknya seiring dengan tingkat pendapatan masyarakat serta pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah.7 Dengan demikian, dalam pembentukan Perda mengenai Pajak dan Retribusi tersebut haruslah tetap mencerminkan adanya partisipasi dan akomodasi aspirasi para wajib Pajak dan Retribusi serta stakeholder lainnya agar materi Perda tersebut dapat efektif berlaku. Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini akan membahas apakah proses pembentukan Perda mengenai Pajak dan Retribusi di Kabupaten Maluku Tengah berperspektif legislasi responsif, serta apakah materi muatan Perda Mengenai Pajak dan Retribusi di Kabupaten Maluku Tengah berperspektif legislasi responsif.
B. Metode Penelitian
Jur
na
Penelitian yang berlokasi di Kabupaten Maluku Tengah ini mengacu pada tipe penelitian hukum normatif-empiris yakni penelitian
6 7
452
Lihat Adian Sutedi, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hlm.5. Ibid.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 449-467
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Dalam tipe hukum responsif, pluralisme hukum diakui, tidak disetujuinya kecenderungan para positivis untuk mengubah setiap bentuk penataan sosial menjadi suatu pelaksanaan otoritas negara. Salah satu dampak pluralisme hukum adalah memperluas kesempatan dalam proses hukum untuk berpartisipasi dalam pembuatan hukum. Dengan cara ini, arena hukum menjadi sebuah bentuk forum politik tertentu. dan partisipasi hukum melibatkan dimensi politik. Dengan kata lain, tindakan hukum menjadi kenderaan bagi sekelompok orang atau organisasi untuk berpartisipasi dalam menetapkan kebijakan publik.12 Berdasarkan konsepsi tipe hukum responsif tersebut maka dikonseptualisasi indikator karakter hukum responsif yang mana hal ini
lR ec hts V
ind
Menurut Nonet dan Selznick8, tipe hukum yang responsif itu adalah hukum yang siap mengadopsi paradigma baru dan meninggalkan paradigma lama. Dengan demikian, di dalam hukum yang responsif terbuka lebar ruang dialog dan wacana serta adanya pluralistik gagasan sebagai sebuah realitas. Dikemukakan oleh F.X. Adji Samekto, Ide dasar hukum responsif yang dikemukakan oleh Nonet dan Selznick adalah menafsirkan dan mereformulasi ketentuan-ketentuan hukum sesuai dengan fakta (to interpret and reformulated rules in light of their actual consequences). Nonet dan Selznick selanjutnya juga menyatakan: in the ideal of responsive law, law is fasBerangkan dari ilitator of response of social needs and aspiration.9 Berangkat dari pandangan Nonet dan Selznick, Mukhtie Fadjar10 mengemukakan bahwa tipe Hukum Responsif, berdasar pada sifat responsif yang dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan tidak oleh pejabat
BP HN
1. Proses Pembentukan Peraturan Daerah Tentang Pajak Di Maluku Tengah
melainkan oleh rakyat. Tipe Hukum Responsif tidak membuang ide tentang keadilan formal, tetapi memperluasnya agar mencakup keadilan substantif, dua ciri yang menonjol dari Tipe Hukum Responsif, yakni: a) Pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan; dan b) Pentingnya watak kerakyatan (populis) baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.11
ing
C. Pembahasan
Rodiyah, “Aspek Demokrasi Pembentukan Peraturan Daerah Dalam Perspektif Socio-Legal”,Jurnal MMH, Jilid 41 No. 1(2012):149-150. Nonet dan Selznick, dalam bukunya berjudul Law and Society in Transition, Toward Responsive Law mengemukakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara sistem pemerintahan sebuah negara dengan hukum yang dianutnya. Dalam sistem pemerintahan yang otoriter, hukum menjadi subordinasi dari politik. Artinya, hukum mengikuti politik. Dengan kata lain, hukum digunakan hanya sekadar menunjang politik penguasa. Sebaliknya dalam sistem pemerintahan yang demokratis, hukum terpisah secara diametral dari politik. Artinya, hukum bukan menjadi bagian dari politik, akan tetapi hukum menjadi acuan berpolitik dari sebuah bangsa. Lihat Henry Arianto, “Hukum Responsif dan Penegakkan Hukum Di Indonesia”, Jurnal Lex Jurnalica, Vol. 7 No.2 (April 2010): 116. 9 Lihat F.X. Adji Samekto, “Relasi Hukum dengan Kekuasaan: Melihat Hukum Dalam Perspektif Realitas”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13 No. 1 (Januari 2013): 94. 10 Mukhtie Fadjar, Teori-Teori Hukum Kontemporer (Malang: Setara Press, 2013), hlm, 55. 11 Ibid. 12 Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Penerjemah (Raisul Muttaqien), Cetakan Kedua (Bandung: Nusa Media, 2008), hlm. 107-108.
Jur
na
8
Pembentukan Peraturan Daerah Mengenai Pajak dan Retribusidi ... (Dayanto dan Asma Karim)
453
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
Nomor 12 Tahun 2011, yang menegaskan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Secara konsepsional, partisipasi merupakan suatu konsep yang merujuk pada keikutsertaan seseorang dalam berbagai aktivitas 15 pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan Perda dapat dikategorikan sebagai partisipasi politik, yang menurut Huntington dan Nelson partisipasi politik adalah kegiatan warga negara sipil (privat citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.16 Mengenai partisipasi masyarakat dalam pembentukan Perda, Jazim Hamidi, dkk, mendefenisikan partisipasi sebagai peran serta atau keikutsertaan (mengawasi, mengontrol, dan mempengaruhi) masyarakat dalam suatu kegiatan pembentukan Perda mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi pelaksanaan Perda.17
lR ec hts V
ind
berhubungan dengan konfigurasi politik dan sistem hukum pemerintahan suatu negara. Moh. Mahfud MD mengatakan bahwa politik seringkali mengintervensi pembuatan dan pelaksanaan hukum, sehingga tidak selalu menjamin kepastian hukum, penegakkan hak-hak masyarakat atau penjamin keadilan. Konfigurasi politik demokratis akan menciptakan hukum responsif, sedangkan konfigurasi politik otoriter akan menciptakan produk hukum konservatif.13 Lebih lanjut Moh. Mahfud MD14 memberikan eksplanasi bahwa produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipatif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat serta dilihat dari fungsinya maka hukum yang berkarakter responsif bersifat aspiratif. Artinya memuat materi-materi yang secara umum sesuai dengan aspirasi atau kehendak masyarakat yang dilayaninya. Dengan demikian produk legislasi responsif dalam penelitian ini didasarkan pada indikator: proses pembuatan atau pembentukannya yang partisipatif dan materi muatannya bersifat aspiratif. Indikator responsif ini sejalan dengan urgensi partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang
a. Analisis Partisipasi Masyarakat pada Tahap Perencanaan Peraturan Daerah
Berdasarkan indikator legislasi responsif di atas, maka proses pembentukan Perda yang memenuhi karakter responsif ditandai dengan proses pembentukannya yang partisipatif.
Lihat Iza Rumesten R.S, “Model Ideal Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah”, artikel dalam Jurnal Dinamika Hukum,Vol. 12 No. 1 (Januari 2012): 136. Lihat pula Hendrik Hattu, “Tahapan UndangUndang Responsif”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 23 No.2 (2011): 410. 14 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 31-32. 15 Iza Rumesten R.S, “Strategi Hukum dan Penerapan Partisipasi Masyarakat dalam Penyelesaian Sengketa Batas Daerah di Sumatera Selatan”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 20 No. 4 (Oktober 2013):618. Bandingkan dengan Tomy M Saragih, “Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Rencana Detail Tata Ruang dan Kawasan”, JurnalSasi, Vol. 17 No. 3 (2011):11. 16 Muhammad Syaifuddin, et.al, “Demokratisasi Peraturan Daerah: Pengembangan Model Ideal Pembentukan Peraturan Daerah Demokratis di Bidang Ekonomi di Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan”, artikel dalam JurnalMMH, Jilid 39, No. 2 (2010):113. 17 Jazim Hamidi, et.al, Panduan Praktis Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2008), hlm. 48.
Jur
na
13
454
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 449-467
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
dalam proses perencanaan/program legislasi daerah khusunya yang berkaitan dengan rencana pembentukan Perda mengenai Pajak dan Retribusi19, hal ini senada dengan yang diakui oleh Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Maluku Tengah bahwa proses perencanaan/program legislasi daerah selama inimasih merupakan pembicaraan dan kesepakatan dua pihak antara DPRD dan Pemerintah Daerah dimana partisipasi masyarakat belum dilibatkan dalam proses ini20. Hal ini menunjukan bahwa sejak awal yakni pada tahap perencanaan pembentukan Perda mengenai Pajak dan Retribusidi Kabupaten Maluku Tengah masihtidak menunjukan berkarakter yang responsifdimana peranan lembaga-lembaga negara (dalam hal ini DPRD dan pemerintah daerah) sangat dominan dalam menentukan rencana dan arah pembentukan Perda mengenai Pajak dan Retribusi.
lR ec hts V
ind
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dirumuskan bahwa Pembentukan Peraturan Perundangundangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pemba hasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Praktik partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembentukan Perda dapat dicermati dalam proses penyusunan program legislasi daerah sebagai awal Pembentukan Perda. Ketentuan Pasal 1 angka 10 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa: “Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis”.18 Dalam praktiknya, proses perencanaan tentang Perda mengenai Pajak yang dituangkan dalamprogram legislasi daerah sama sekali tidak melibatkan partisipasi masyarakat sebagaimana diungkapkan oleh responden wajib Pajak dan Retribusi bahwabelum pernah terlibat
b. Analisis Partisipasi Masyarakat dalam Penelitian atau Pengkajian
Dalam kaitannya denganpenyusunan rancangan Perda perlu dilakukan penelitian atau pengkajian21 yang nantinya berujung pada
Dalam proses penyusunan program legislasi daerah ini Badan Pembentuk Peraturan Daerah DPRD dan Bagian Hukum Pemerintah Daerah memegang peranan penting, terutama dalam mengkoordinasi penyusunan program legislasi daerah antara DPRD dan Pemerintah Daerah. Di tahapan perencanaan ini baik pemerintah daerah maupun DPRD sama-sama mengusulkan rencana Peraturan Daerah yang nantinya akan dibahas secara terencana, terpadu dan sistematis. 19 Hasil wawancara mendalam dengan Risal (Wajib Pajak Hotel), 17 April 2015 dan Ratih Sumantri (Wajib Pajak Restoran), 19 April 2015, serta Anyong Paiman(Wajib Retribusi Pelayanan Pasar), 18 April 2015. 20 Hal ini sangat berbeda dengan rencana legislasi daerah yang berkaitan dengan isu dan kebutuhan pemekaran Desa atau Negeri yang cenderung muncul sebagai respon terhadap aspirasi yang berkembang di masyarakat yang membutuhkan pemekaran tersebut, sehingga partisipasi masyarakat dalam perumusan program legislasi daerah mengenai pemekaran Desa atau Negeri tersebut sudah dapat dirasakan. Hasil wawancara mendalam dengan Z. atekay, S.H. (Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Maluku Tengah), 21 April 2015. 21 Tahap penelitian atau pengkajian merupakan tahap awal dalam penyusunan rancangan Peraturan Daerah.
Jur
na
18
Pembentukan Peraturan Daerah Mengenai Pajak dan Retribusidi ... (Dayanto dan Asma Karim)
455
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
dan pengkajian yang nantinya berujung pada rumusan naskah akademik sebagaimana yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 itu linier dengan dalam teori perancangan peraturan perundang-undangan yang disebut sebagai The Three Pilars of quality of Legal Product, jika divisualisasi seperti gambar di di bawah ini:.23
ing
laporan penelitian berupa naskah akademik22 yang menjadi acuan dalam penyusunan materi muatan suatu produk hukum. Isyarat perlunya penelitian atau pengkajian tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana yang ditekankan dalam Ketentuan Pasal 1 angka 11 mengenai naskah akademik sebagai laporan hasil penelitian atau pengkajian. Konsepsi yang dikonstruk oleh ketentuan yang mengandaikan adanya urgensi penelitian
na
lR ec hts V
ind
Gambar 1. Teori Perancangan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan: The Three Pillars of Quality of Legal Productoleh Achmad Ruslan
Naskah akademik merupakan media nyata bagi peran serta masyarakat dalam proses pembentukan atau penyusunan peraturan perundang-undangan bahkan inisiatif penyusunan atau pembentukan naskah akademik dapat berasal dari masyarakat. Harry Alexander dalam Abdul Basyir, “Pentingnya Naskah Akademik Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Untuk Mewujudkan Hukum Aspiratif Dan Responsif”, Jurnal Ius, Vol. II No.5 (Agustus 2014):291. 23 Achmad Ruslan, Teori dan Panduan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia (Yogyakarta: Mahakarya Rangkang Offset, 2011), hlm. 145.
Jur
22
456
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 449-467
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
prosedural formal sebagai dokumen pelengkap semata dalam proses pembahasan di DPRD (baik pada tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota), akan tetapi merupakan suatu dokumen yang memiliki kesinambungan dan kesatuan prinsip dasar kajian dalam pembentukan Rancangan Perda yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.25 Dengan demikian, pada tahapan ini tidak terdapat partisipasi masyarakat. Padahal partisipasi masyarakat dalam bentuk penelitian atau pengkajian dalam rangka perancangan Perda mengenai Pajak dan Retribusi dapat dilakukan baik oleh instansi Pemerintah atau kerjasama antara instansi pemerintah dengan masyarakat atau dilakukan secara mandiri oleh masyarakatterutama oleh kalangan Perguruan Tinggi atau Lembaga Swadaya Masyarakat dengan melibatkan para ahli atau pakar yang kompeten sesuai dengan substansi Perda yang akan dirancang.
c. Analisis Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Naskah Rancangan Perda
Pada tahap penyusunan naskah Rancangan Perda urgensi partisipasi masyarakat secara eksplisit disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 92 ayat (1) dan (2) menyebutkan: 1) Pasal 92 ayat (1): Penyebarluasan Prolegda dilakukan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah sejak penyusunan Prolegda, penyusunan Rancangan Peraturan Daerah, pembahasan
Jur
na
lR ec hts V
ind
Perda mengenai Pajak dan Retribusi secara umum memiliki fungsi:24 Pertama,perda pajak dan retribusi adalah fungsi anggaran yang erat kaitannya dengan fungsi perencanaan. Kedua,perda pajak dan retribusi sehubungan dengan anggaran adalah fungsi pengaturan. Ketiga, perda pajak dan retribusi sebagai instrumen anggaran adalah fungsi distribusi. Berkaitan dengan fungsi-fungsi tersebut maka, pembentukan Perda mengenai Pajak dan Retribusi diperlukan suatu pengkajian dan penelitian yang mendalam, sehingga Perda tersebut dapat memiliki kekuatan filosofis, kekuatan sosiologis, kekuatan yuridis secara sekaligus yang pada gilirannya tidak berakhir sebagai Perda yang dikategorikan bermasalah. Berdasarkan penelusuran peneliti bahwa dalam praktiknya penyusunan rancangan Perda tidak ada satupun Rancangan Perda mengenai Pajak dan Retribusi di Kabupaten Maluku Tengahyang disertai dengan naskah akademik. Rancangan Perda yang diajukan untuk dibahas tersebut hanya disertai dengan keterangan. Ini menjelaskan bahwa dalam proses perancangan Perda mengenai Pajak dan Retribusi tidak melalui suatu kegiatan penelitian atau pengkajian. Padahal, sebagaimana yang dikemukakanRia Casmi Arrsa, praktik politik legislasi dalam proses pembentukan Rancangan Perda berbasis riset merupakan suatu kemutlakan untuk melahirkan Perda yang berkualitas dan memiliki dasar keabsahan baik secara yuridis maupun akademis. Pelembagaan naskah akademik ke depan tidak semata-mata ditempatkan pada kerangka
Himawan Estu Bagijo, “Pajak Dan Retribusi Daerah Sebagai Sumber Pendapatan Daerah (Studi Kasus Di Kabupaten/Kota Dan Pemerintah Propinsi Di Jawa Timur)”, Jurnal Perspektif, Vol. XVI No. 1 (2011): 13. 25 Ria Casmi Arrsa, “Restorasi Politik Legislasi Pembentukan Peraturan Daerah Berbasis Riset”, JurnalRechtsvinding, Vol. 2 No. 3, (Desember 2013): 413-414. 24
Pembentukan Peraturan Daerah Mengenai Pajak dan Retribusidi ... (Dayanto dan Asma Karim)
457
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
Walaupun pelibatan masyarakat sudah terlihat dalam tahap penyusunan naskah Raperda mengenai Pajak dan Retribusi, namun dari aspek kuantitatif masih minim dan dari aspek pelaku partisipasi masih sangat terbatas. Hal ini tentu menyebabkan artikulasi aspirasi dari masyarakat dalam proses penyusunan naskah Raperda mengenai Pajak dan Retribusi Daerah itu menjadi sangat tidak memadai. Padahal partisipasi yang merupakan hak masyarakat sebagai warga negara tersebut merupakan kebutuhan yang wajib dipenuhi oleh negara dalam hal ini DPRD dan pemerintah daerah.
lR ec hts V
ind
Ketentuan tersebut kemudian dipertegas lagi pada Pasal 96 ayat (1) dan (2) yang menye butkan : 1. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundanganundangan. 2. Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui (a) rapat dengan pendapat umum, (b) kunjungan kerja, (c)sosialisasi dan/atau (d) seminar, lokakarya dan/atau diskusi.
Selama ini kita baru pernah dipanggil satu kali untuk dengar pendapat oleh Komisi yang membidangi persoalan Pajak dan Retribusi ini sekitar 2 (dua) Tahun lalu. Itupun hanya beberapa pengusaha yang hadir walaupun yang diundang sangat banyak. Pada saat itu, sebagai pengusaha Hotel kami memberikan masukan agar nilai Pajak 10 % dapat dipertimbangkan agar seimbang dengan kemampuan ekonomi pengunjung dan kondisi ekonomi daerah saat ini. Namun ternyata, yang diputuskan adalah besar nilai Pajak 10 % dengan alasan untuk membiayai pembangunan daerah.27
ing
Rancangan Peraturan Daerah, hingga Pengundangan Peraturan Daerah. 2) Pasal 92 ayat (2) : Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk dapat memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat dan para pemangku kepentingan.
Jur
na
Hasil penelitian menunjukan, pada tahap penyusunan naskah Rancangan Perda mengenai Pajak Kabupaten Maluku Tengah, pelibatan partisipasi masyarakat umumnya mulai terlihat bahwa masyarakat yang terkena dampak kebijakan Perda dilibatkan dalam forum dengar pendapat untuk memberi masukan dan mengkritisi Rancangan Perda mengenai Pajak dan Retribusi, dimana salah satu isu yang mendapatkan perhatian khusus pada forum tersebut adalah mengenai besar nilai tarif Pajak.26 Mengenai tahap penyusunan naskah Rancangan Perda mengenai Pajak Daerah diungkapkan oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Hotel Maluku Tengah bahwa:
d. Analisis Partisipasi Masyarakat pada Tahap Pembahasan
Pada ketentuan Pasal 92 ayat (1) UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan menjadi landasan normatif bagi urgensipartisipasi masyarakat sejak perencanaan, pembahasan, penetapan, pengesahan, hingga Pengundangan Perda. Mekanisme tersebut kemudian disesuaikan
Hasil wawancara mendalam dengan Risal(Wajib Pajak Hotel), 20 April 2015 maupun dengan Ratih Sumantri (Wajib Pajak Restoran), 19 April 2015. 27 Wawancara, 17 April 2015. 26
458
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 449-467
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
melibatkan masyarakat.28 Hal ini menunjukan proses pembentukan Perda di Kabupaten Maluku Tengah, termasuk Perda tentang Pajak dan Retribusi bersifat sangat elitis yakni tanpa sedikitpun melibatkan partisipasi masyarakat. Padahal, sesungguhnya partisipasi masyarakat dalam tahap pembahasan merupakan tahapan yang sangat penting, mengingat pada tahap inilah suatu rancangan Perda akan memasuki ranah kepentingan politik yang dilakukan oleh DPRD sebagai pemegang kekuasaan fungsi legislasi daerah.
ing
dengan Tata Tertib DPRD dengan akses partisipasi memungkinkan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi atau menyumbangkan pemikirannya terhadap suatu kebijakan yang akan diambil oleh Pemeritah Daerah. Dalam Pasal 150 ayat (1) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 01 Tahun 2009 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Maluku Tengah, dirumuskan bahwa: “Pembahasan Raperda dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama
lR ec hts V
ind
Gambar 2. Tahapan Perkembangan Naskah Rancangan Peraturan Daerah
Jur
na
Bupati”.Peraturan ini kemudian diganti dengan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nomor 01 Tahun 2014 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat, yang mana pengaturan tentang pembahasan Perda terdapat dalam Pasal 90 ayat (1) bahwa “Rancangan peraturan yang berasal dari DPRD atau Bupati dibahas oleh DPRD dan Bupati untuk mendapatkan persetujuan bersama”. Hasil yang ditemukan oleh peneliti bahwa pada tahapan pembahasan ini pihak DPRD Kabupaten Maluku Tengah berpandangan bahwa peraturan tata tertib hanya mengikat internal DPRD, dimana tahap pembahasan Raperda merupakan pembicaraan antara DPRD dan Bupati sehingga tidak ada kewajiban untuk
Dalam tahap pembahasan ini, Raperda terlebih yang menggunakan naskah akademik akan diuji oleh kekuatan-kekuatan politik yang duduk di DPRD. Sebab DPRD adalah lembaga politik yang keanggotaannya berasal dari perwakilan partai-partai politik yang berhimpun dalam berbagai fraksi politiknya masing-masing. Karena masing-masing partai politik memiliki kepentingan, visi, agenda yang berbeda-beda, maka sangat mungkin dalam proses pembahasan ini suatu Raperda memasuki wilayah kontestasi politik yang merepresentasikan kepentingan masing-masing perwakilan partai politik tersebut. Pada tahap pembahasan ini pula nasib aspirasi masyarakat yang telah disalurkan
Hasil wawancara mendalam dengan M. Nur Nukuhehe, S.H. (Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPRD Kabupaten Maluku Tengah), 15 April 2015.
28
Pembentukan Peraturan Daerah Mengenai Pajak dan Retribusidi ... (Dayanto dan Asma Karim)
459
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
e. Analisis Partisipasi Masyarakat Pada Tahap Pengundangan Peraturan Daerah
BP HN
pada tahap sebelumnya terutama pada tahap penyiapan naskah Raperda dipertaruhkan. Tahapan ini mengandaikan dua kemungkinan sekaligus apakah aspirasi itu terus diperjuangkan hingga akhir pembahasan ataukah direduksi bahkan diabaikan sama sekali akibat dominasi kepentingan DPRD atau Bupati. Dengan tertutupnya akses partisipasi masyarakat pada tahap pembahasan dalam Tata Tertib DPRD, maka nasib kepentingan masyarakat yang telah
ing
Tempat pengundangan resmi Perda dilakukan dalam Lembaran Daerah, untuk menempatkan secara resmi berbagai Perda agar diketahui oleh masyarakat luas. Adapun produk Perda mengenai Pajak dan Retribusi berdasarkan tahun pengundangannya di Kabupaten Maluku Tengah, yakni:
Tabel 2. Jumlah Produk Perda Kabupaten Maluku Tengah Mengenai Pajak dan Retribusi Tahun Pengundangan
1.
2007
2.
2009
3.
2012
Total
Pajak Daerah
Retribusi Daerah
6
9
15
-
9
9
6
9
15
12
27
39
lR ec hts V
Total
Perihal
ind
No
Sumber: Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Maluku Tengah (Diolah Peneliti, 2015)
Partisipasi masyarakat dalam tahapan ini tidak terlihat. Hal ini disertai pula dengan terbatasnya publikasi dan sosialisasi produk Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang telah di undangkan dalam lembaran daerah. Publikasi hanya dilakukan dalam bentuk buku yang dicetak secara terbatas untuk kalangan internal DPRD dan Pemerintah Daerah sedangkan sosialisasi sejauh ini belum pernah dilakukan.29 Padahal pada tahap inilah suatu produk Perda mempunyai makna dalam kehidupan riil masyarakat. Sebab, dengan pengundangannya
Jur
na
diaspirasikan pada tahap sebelumnya menjadi tidak jelas. Adapun bentuk partisipasi masyarakat yang dapat dilakukan pada tahap ini untuk menjamin adanya tahapan pembahasan Raperda yang responsif adalah dalam bentuk (i) audiensi/ Rapat Dengar Pendapat Umum; (ii) mengajukan Raperda Alternatif; (iii) memberikan masukan melalui media cetak; (iv) memberikan masukan melalui media elektronik; (v) melakukan unjuk rasa; dan (vi) melakukan diskusi, lokakarya, dan seminar.
Hasil wawancara mendalam dengan Ketua Asosiasi Pengusaha Hotel Maluku Tengah, 17 April 2015, begitu pula hasil wawancara dengan M. Nur Nukuhehe, S.H. (Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPRD Kabupaten Maluku Tengah), 15 April 2015 dan Z. Latekay, S.H. (Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Maluku Tengah), 21 April 2015.
29
460
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 449-467
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
2. Materi Muatan Peraturan Daerah Mengenai Pajak di Maluku Tengah
BP HN
ind
a. Jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang Dapat Diatur oleh Kabupaten Maluku Tengah
berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.30 Pajak Daerah dibedakan atas Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Jenis Pajak Provinsi terdiri atas: (a) Pajak Kenderaan Bermotor; (b) Bea Balik Nama Kenderaan Bermotor; (c) Pajak Bahan Bakar Kenderaan Bermotor; (d) Pajak Air Permukaan; dan (e) Pajak Rokok. Sedangkan jenis Pajak Kabupaten/Kota meliputi: (a) Pajak Hotel; (b) Pajak Restoran; (c) Pajak Hiburan; (d) Pajak Reklame; (e) Pajak Penerangan Jalan; (f) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; (g) Pajak Parkir; (h) Pajak Air Tanah; (i) Pajak Sarang Burung Walet; (j) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaaan dan Perkotaan; serta (k) Pajak Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Berdasarkan hal tersebut, jenis Pajak Daerah yang menjadi kewenangan pengaturan oleh Kabupaten Maluku Tengah adalah seluruh jenis Pajak yang termasuk dalam Jenis Pajak Kabupaten/Kota. Sedangkan, Retribusi daerah merupakan pengutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.31 Adapun penggolongan Retribusi Daerah dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah sebagai berikut:32
ing
di lembaran daerah maka Perda sebagai produk hukum secara positif memiliki sifat formil untuk berlaku. Agar tahapan pengundangan Perda dapat dilaksanakan menjadi tahapan yang responsif, maka bentuk partisipasi masyarakat yang dapat dilakukan adalah dalam bentuk: (i) unjuk rasa terhadap Perda yang baru; (ii) tuntutan uji materiil terhadap Perda; dan (iii) melakukan sosialisasi Perda.
Jur
na
lR ec hts V
Secara normatif, materi muatan yang terdapat dalam Perda Kabupaten Maluku Tengah mengenai Pajak dan Retribusi merupakan kesatuan tata norma dalam sistem perundangundangan Indonesia, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 14 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa: “Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi”. Pajak Daerah dirumuskan sebagai kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pasal 1 angka 64 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 32 Dalam Pasal 150 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditegaskan bahwa selain yang ditetapkan dalam Pasal 110 ayat (1), Pasal 127, dan Pasal 141 dapat dipungut dengan kriteria sebagaimana yang telah ditentukan. 30 31
Pembentukan Peraturan Daerah Mengenai Pajak dan Retribusidi ... (Dayanto dan Asma Karim)
461
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Perizinan Tertentu
Rertribusi Izin Mendirikan Bangunan Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol Retribusi Izin Gangguan Retribusi Izin Trayek, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan
ing
Rertribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Retribusi Pasar Grosir dan/ atau Pertokoan Retribusi Tempat Pelelangan Retribusi Terminal Retribusi Tempat Khusus Parkir Retribusi Tempat Penginapan atau Pesanggrahan atau Villa Retribusi Rumah Potong Hewan Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga Retribusi Penyeberangan di Air, dan Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah
lR ec hts V
Retribusi Pelayanan Kesehatan Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta Retribusi Penyediaan dan/ atau Penyedotan Kakus Retribusi Pengolahan Limbah Cair Retribusi Pelayanan Tera/ Tera Ulang Retribusi Pelayanan Pendidikan, dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
Jasa Usaha
ind
Jasa Umum
BP HN
Tabel 3. Penggolongan Retribusi Daerah
Sumber : Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah (Diolah Peneliti, 2015)
Jur
na
Mengacu pada ketentuan itu, maka sumber normatif pengaturan materi muatan Peraturan Daerah Mengenai Pajak dan Retribusi adalah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah sekaligus penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dengan demikian, keberadaan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menjadi landasan kewenangan baik secara formil maupun materiil bagi Kabupaten Maluku Tengah sebagai daerah
462
otonom dalam menerbitkan Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi. b. Analisis Akomodasi Aspirasi Masyarakat dalam Materi Muatan Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Mengenai Pajak dan Retribusi
Selain proses pembentukan yang partisipatif, indikator legislasi responsif berkaitan dengan materi muatannya yang aspiratif yakni materimateri yang diatur dalam suatu Peraturan Daerah secara umum sesuai dengan aspirasi atau kehendak masyarakat yang dilayaninya.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 449-467
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
Daerah dimaksud. Dalamforum dengar pendapat tersebut isu yang mendapatkan perhatian khusus adalah mengenai besar nilai tarif Pajak. Namun, pada tahap selanjutnya yakni pembahasan, pengesahan, penetapan, dan pengundangan, aspirasi masyarakat yang mengedepan di forum dengar pendapat mengenai besar nilai tarif yang diharapkan untuk disesuaikan dengan kemampuan ekonomi pengunjung dan kondisi ekonomi daerah saat ini dalam kenyataannya tidak diakomodir. Besar nilai tarif Pajak Hotel dan Pajak Restoran yang diharapkan oleh masyarakat di forum itu adalah sekitar 5 %, tetapi yang disepakati dan ditetapkan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah tetap mengacu pada nilai maksimal yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yakni sebesar 10 %.33 Adapun Produk Peraturan daerah berdasarkan Jenis Pajak dan Retribusi yang telah diundangkan dalam Lembaran daerah Kabupaten Maluku Tengah, sebagai berikut:
Jur
na
lR ec hts V
ind
Dalam konteks ini, perspektif legislasi responsif berkaitan dengan jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diatribusikan kewenangan pengaturannya melalui Peraturan Daerah mengakomodasi adanya aspirasi masyarakat dalam materi muatannya. Berdasarkan temuan Peneliti, pada tahap perencanaan Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi tidak menampakkan adanya aspirasi masyarakat. Hal ini disebabkan karena pada tahap penyusunan program legislasi daerah Kabupaten Maluku Tengah sama sekali tidak melibatkan sedikitpun partisipasi masyarakat. Padahal idealnya, sejak pada tahap perencanaan ini, program legislasi daerah sudah dapat mencerminkan aspirasi masyarakat tentang rencana legislasi yang diprioritaskan termasuk rencana Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi. Adapun pada tahap penyusunan Rancangan Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi khususnya pada tahap penelitian dan pengkajian menunjukan kenyataan yang sama, yakni tidak ada aspirasi masyarakat yang berkaitan dengan landasan akademis dari rancangan Peraturan Daerah dimaksud. Hal ini berkaitan dengan tidak adanya partisipasi masyarakat terutama dari kalangan akademisi ataupun para pakar yang kompeten dalam bidang yang akan diatur oleh Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi. Sedangkan pada tahap penyusunan naskah Rancangan Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi, pada umumnya sudah terlihat adanya partisipasi masyarakat dalam bentuk forum dengar pendapat (public hearing) untuk memberi masukan tentang rancangan Peraturan
Hasil wawancara mendalam dengan Ketua Asosiasi Pengusaha Hotel Maluku Tengah, 17 April 2015.
33
Pembentukan Peraturan Daerah Mengenai Pajak dan Retribusidi ... (Dayanto dan Asma Karim)
463
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Jumlah Pasal
Besar Tarif Pajak/ Retribusi
Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Pajak Air Tanah
38 Pasal
20 %
2.
Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 16 Tahun 2012 Tentang Pajak Hiburan
41 Pasal
Variatif berdasarkan jenis hiburan
Lembaran Daerah Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2012 Nomor 122
3.
Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Pajak Hotel
41 Pasal
10 %
Lembaran Daerah Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2012 Nomor 123
4.
Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
40 Pasal
25 %
Lembaran Daerah Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2012 Nomor 124
5.
Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 19 Tahun 2009 Tentang Pajak Restoran
41 Pasal
6.
Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 20 Tahun 2012 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
7.
1.
Lembaran Daerah
Lembaran Daerah Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2012 Nomor 121
ing
Nama Peraturan Daerah
ind
No
Lembaran Daerah Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2012 Nomor 125
37 Pasal
5%
Lembaran Daerah Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2012 Nomor 126
Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 21 Tahun 2012 Tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan
20 Pasal
Variatif berdasarkan jenis usaha perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Lembaran Daerah Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2012 Nomor 127
8.
Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 22 Tahun 2012 Tentang Retribusi Tempat Penginapan/ Pesanggrahan/Vila
24 Pasal
Variatif berdasarkan jenis fasilitas, lokasi, jangka waktu pemakaian.
Lembaran Daerah Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2012 Nomor 128
9.
Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 23 Tahun 2012 Tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga
22 Pasal
Variatif berdasarkan frekuensi, jenis, dan jangka waktu layanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
Lembaran Daerah Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2012 Nomor 129
na
lR ec hts V
10 %
Jur 464
BP HN
Tabel 4. Produk Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Mengenai Pajak dan Retribusi Tahun 2012
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 449-467
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Jumlah Pasal
Besar Tarif Pajak/ Retribusi
Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 24 Tahun 2012 Tentang Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan
25 Pasal
Variatif berdasarkan, jangka waktu pemakaian, jenis pelayanan dan volume
Lembaran Daerah Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2012 Nomor 130
11
Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 25 Tahun 2012 Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
34 Pasal
Variatif berdasarkan tingkat penggunaan jasa, jenis bangunan, dan harga dasar bangunan atau rencana anggaran biaya (RAB)
Lembaran Daerah Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2012 Nomor 131
12
Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 26 Tahun 2012 Tentang Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol
20 Pasal
Variatif berdasarkan jenis minuman beralkohol yang dijual
Lembaran Daerah Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2012 Nomor 132
13
Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Retribusi Pasar Grosir dan / Pertokoan
21 Pasal
Variatif berdasarkan jenis, luas ukuran dan jangka waktu pemakaian pasar grosir dan /pertokoan
Lembaran Daerah Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2012 Nomor 133
14
Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Retribusi Pelayanan Pasar
22 Pasal
Variatif berdasarkan jenis, luas ukuran, dan jangka waktu pemakaian dari masingmasing fasilitas serta kelas pasar yang digunakan
Lembaran Daerah Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2012 Nomor 134
15
Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 29 Tahun 2012 Tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta
23 Pasal
Variatif berdasarkan setiap sentimeter persegi peta dan jenis bahan kertas peta yang disediakan
Lembaran Daerah Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2012 Nomor 135
BP HN
Lembaran Daerah
ing
10.
ind
Nama Peraturan Daerah
lR ec hts V
No
Sumber: Bagian Hukum Setda Kabupaten Maluku Tengah (Diolah Penulis, 2015)
Jur
na
Dengan demikian, jika dicermati substansi yang dikehendaki oleh masyarakat dalam forum dengar pendapat pada tahap perancangan Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi terlihat bahwa forum dengar pendapat atau public hearing tersebut hanya bersifat formalitas belaka sebab pada tahapan selanjutnya yakni pembahasan, pengesahan, penetapan, dan pengundangan, aspirasi masyarakat tentang besar nilai Tarif tidak terealisir sebagaimana yang dikehendaki.
Sekalipun secara umum substansi materi muatan Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah di atas tidak aspiratif, namun dalam tahap pengundangan tidak terdapat respon atau reaksi masyarakat untuk mengkritisi ataupun menolak Peraturan Daerah tersebut baik dalam bentuk unjuk rasa ataupun mengajukan tuntutan uji materiil terhadap Peraturan Daerah.
Pembentukan Peraturan Daerah Mengenai Pajak dan Retribusidi ... (Dayanto dan Asma Karim)
465
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Jur
na
BP HN
lR ec hts V
ind
Berdasarkan hasil penelitian dan analisisnya dapat dirumuskan kesimpulan bahwa: Pertama, Proses pembentukan Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi di Kabupaten Maluku Tengah belum berperspektif legislasi responsif, sebab secara umum, dalam keseluruhan tahapan pembentukan Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi tersebut belum terlihat adanya partisipasi masyarakat yang memadai. Pada tahap penyusunan rancangan Peraturan Daerah terdapat partisipasi masyarakat dalam bentuk forum dengar pendapat (public hearing), namun dari aspek kuantitatif masih minim dan dari aspek pelaku partisipasi masih bersifat terbatas. Sedangkan pada tahap selanjutnya yakni tahap pembahasan dan pengundangan, sama sekali tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Kedua, adapun materi muatan yang terkandung dalam Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi di Kabupaten Maluku Tengah belum berperspektif legislasi responsif, sebab aspirasi masyarakat yang mengemuka di forum dengar pendapat (public hearing) pada tahap penyusunan naskah rancangan Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi tidak diakomodir dalam tahap pembahasan maupun pengundangannya di Lembaran Daerah. Sebelumnya, pada tahap perencanaan Peraturan Daerah dalam wujud program legislasi daerah juga tidak mencerminkan adanya aspirasi masyarakat dalam menentukan prioritas legislasi mengenai Pajak dan Retribusi yang akan di bentuk. Berdasarkan hal tersebut maka untuk dapat mewujudkan suatu Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi yang berperspektif legislasi responsif yang pada gilirannya dapat berkesesuaian dengan tujuan otonomi daerah,
maka hendaknya dalam proses pembentukan Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi di Kabupaten Maluku Tengah harus melibatkan partisipasi amsyarakat mulai dari perencanaan, pembahasan, dan pengundangannya di Lembaran Daerah. Begitu juga materi muatan Peraturan Daerah haruslah seluas mungkin dapat mengakomodir aspirasi atau kehendak masyarakat. Untuk dapat mewujudkan hal ini, maka prioritas pembenahan perlu dimulai dari merevisi Peraturan DPRD Kabupaten Maluku Tengah Nomor 01 Tahun 2014 tentang Peraturan Tata Tertib DPRD sehingga memungkinkan adanya akses partisipasi masyarakat pada keseluruhan tahapan proses pembentukan Peraturan Daerah serta transformasi dan pemberdayaan kultur politik masyarakat yang masih bersifat top down atau konservatif menjadi kultur politik yang button up atau responsif.
ing
D. Penutup
466
DAFTAR PUSTAKA Buku Fadjar, Mukhtie, Teori-Teori Hukum Kontemporer (Malang: Setara Press, 2013) Hamidi, Jazim et.al, Panduan Praktis Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2008) Mahfud, Moh M.D, Politik Hukum Di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009) Nonet, Philippe dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Penerjemah (Raisul Muttaqien), Cetakan Kedua (Bandung: Nusa Media, 2008) Ruslan, Achmad, Teori dan Panduan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia (Yogyakarta: Mahakarya Rangkang Offset, 2011) Sutedi, Adian, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008)
Makalah/Artikel/Prosiding/Hasil Penelitian Arianto, Henry, “Hukum Responsif dan Penegakkan Hukum Di Indonesia”, Jurnal Lex Jurnalica, Vol. 7 No. 2, April (2010)
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 449-467
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
Rumesten, Iza R.S, “Model Ideal Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah”, Jurnal Dinamika Hukum,Vol. 12 No.1, Januari (2012) Rumesten, Iza, R.S, “Strategi Hukum dan Penerapan Partisipasi Masyarakat dalam Penyelesaian Sengketa Batas Daerah di Sumatera Selatan”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 20 No. 4 (2013) Saragih, Tomy M, “Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Rencana Detail Tata Ruang dan Kawasan”, Jurnal Sasi, Vol. 17, No. 3 (2011) Syaifuddin, Muhammad, et.al, “Demokratisasi Peraturan Daerah: Pengembangan Model Ideal Pembentukan Peraturan Daerah Demokratis di Bidang Ekonomi di Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan”, Jurnal MMH, Jilid 39 No. 2 (2010)
ind
Arrsa, Ria Casmi, “Restorasi Politik Legislasi Pembentukan Peraturan Daerah Berbasis Riset”, Jurnal Rechtsvinding, Vol. 2 No. 3, Desember (2013) Bagijo, Himawan Estu, “Pajak Dan Retribusi Daerah Sebagai Sumber Pendapatan Daerah (Studi Kasus Di Kabupaten/Kota Dan Pemerintah Propinsi Di Jawa Timur)”, Jurnal Perspektif, Vol. XVI No. 1 (2011) Basyir, Abdul, “Pentingnya Naskah Akademik Dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan Untuk Mewujudkan Hukum Aspiratif Dan Responsif”, Jurnal Ius, Vol. II No.5, Agustus (2014) Hattu, Hendrik, “Tahapan Undang-Undang Responsif”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 23 No. 2, Tahun (2011) Hattu, Hendrik, 2010. Model Undang-Undang Berkarakter Responsif (Studi Atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah), Ringkasan Disertasi (Makassar: Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, 2010) Hikmawati, “Partisipasi Masyarakat Dalam Perumusan Kebijakan Publik”, Jurnal Politik Profetik, Vol. 1 No. 1 (2013) Isrok, “Korelasi Antara Peraturan Daerah (Perda) bermasalah dengan Tingkat Investasi Ke Daerah”, Jurnal Hukum, Vol. 16 No. 4 (2009) Jusup,H.M, “Perda Pajak Dan Retribusi Daerah Di Era Otonomi Daerah, Jurnal Ekonomi , Vol. 1 No. 1 September-Desember (2012) Rodiyah, “Aspek Demokrasi Pembentukan Peraturan Daerah Dalam Perspektif Socio-Legal”, Jurnal MMH, Jilid 41 No. 1 (2012)
Peraturan
Jur
na
lR ec hts V
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 01 Tahun 2009 Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Maluku Tengah. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 01 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten Maluku Tengah. Keputusan Menteri Dalam Negeri Tentang Pembatalan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah Tahun 2005-2009
Pembentukan Peraturan Daerah Mengenai Pajak dan Retribusidi ... (Dayanto dan Asma Karim)
467
lR ec hts V
ind
ing
BP HN
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Jur
na
”Halaman ini dikosongkan”
468
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 21-41
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
KESADARAN HUKUM SEBAGAI ASPEK DASAR POLITIK HUKUM LEGISLASI: SUATU TINJAUAN FILSAFAT (Legal Awareness as Basis of Legal Policy on Legislation: a Philosophical Overview) Wenda Hartanto Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Riau Jl.Jend.Sudirman No.233 Pekanbaru Email :
[email protected]
ing
Naskah diterima: 14 Oktober 2015; revisi: 27 November 2015; disetujui: 2 Desember 2015
lR ec hts V
ind
Abstrak Manusia seperti entitas lainnya, juga bereksistensi. Namun, eksistensi manusia berbeda karena memiliki kesadaran. Sedangkan hukum memiliki tujuan yang mulia yaitu untuk membentuk masyarakat berada dalam tatanan hukum dan berperan sebagai sarana rekayasa sosial demi kemajuan. Namun kesadaran hukum sebagai suatu entitas yang tunggal dibenturkan pada masyarakat plural dengan pandangan-pandangan yang majemuk. Suatu kumpulan individu yang majemuk juga memunculkan kaidah hukum jika disepakati dapat dianggap memiliki aspek moralitas dan kesadaran hukum oleh suatu golongan, tetapi tidak demikian oleh golongan yang lain. Dalam keadaan yang semacam itu, menjadi sangat penting untuk mengetahui bagaimana terjadinya proses relasi antara kesadaran hukum dan politik hukum dalam proses legislasi, serta bagaimana konsep ideal untuk mengakomodir kesadaran hukum masyarakat dalam proses legislasi. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif bisa dilihat bahwa proses legislasi merupakan aktualisasi politik hukum yang berdasarkan kesadaran hukum masyarakat untuk mencapai tujuan dan melindungi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Indonesia sebagai negara bangsa yang majemuk memerlukan suatu sistem hukum modern yang mampu mengantisipasi serta mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin akan timbul. Nilai-nilai Pancasila hadir untuk mengakomodir dimensi kepentingan politik, ekonomi, sosial dan politik manusia sebagai subjek didalam bernegara. Kata Kunci: kesadaran hukum, politik legislasi, Pancasila
Jur
na
Abstract Humans like other entities, also exist. However, human existence is different because it has consciousness. While the law has a noble purpose which is to establish a community within the legal system and to serve as tools of social engineering for progression. However, legal awareness as a single entity collides with a plural society with diverse views. A group of diverse individuals make some law ,which is agreed by some group, can be considered to have morality aspects and legal awareness by that groups, but not by the other groups. In such circumstances, it becomes very important to understand the process of the relationship between legal awareness and legal policy in the legislation process, and what the ideal concept to accommodate the public legal awareness in the legislation process. By using the normative legal research method, it can be seen that the legislation process is an actualization of legal policy which is based on public legal awareness which aims to protect public needs and interests. Indonesia as a plural nation state require a modern legal system which is able to anticipate and overcome every problems that may arise. Pancasila Values exists here to accommodate the dimensions of political, economic, and social interests of human being as the subject of state. Keywords: legal awareness , legislation policy, Pancasila
Kesadaran Hukum sebagai Aspek Dasar Politik Hukum Legislasi: Suatu Tinjauan Filsafat (Wenda Hartanto)
469
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
Jur
na
lR ec hts V
ind
Pengetahuan manusia bersifat paradoks. Dikatakan demikian karena kedua jenis pengetahuan yaitu prapengetahuan (yang implisit dan kabur, namun tak terbatas dan ekshautif) dan pengetahuan (yang bersifat eksplisitasi terang, namun terbatas) tidak pernah terpisahkan yang implisit dan eksplisit, yang mutlak dan relatif serta ilahi dan manusiawi tak pernah terlepas satu dengan yang lainnya. Pertanyaan tentang apakah manusia merupakan pertanyaan yang tiada henti-hentinya digarap oleh para filsuf, salah satunya Jean-Paul Sartre. Sartre melihat manusia berada dalam konflik eksistensial antara Ada dan Tiada. Sartre adalah seorang filsuf eksistensialis Perancis. Eksistensialisme merupakan filsafat yang bergulat dalam perkara eksistensialis, khususnya eksistensi manusia. Sartre menyatakan bahwa eksistensi tersebut mendahului esensi. Menurut Sartre, manusia lebih tinggi derajatnya dari pada entitas lainnya, karena manusia tidak memiliki kodrat yang sudah ditentukan sebelumnya. Manusia seperti entitas lainnya, juga bereksistensi. Namun, eksistensi manusia berbeda karena memiliki kesadaran1. Hukum memiliki tujuan yang mulia yaitu untuk membentuk masyarakat beradadalam tatanan hukum. Pengandaian paling pokok terkait pentingnya kesadaran hukum untuk manusia adalah bahwa manusia adalah makhluk yang tak cukup diri. Hal ini berbeda dengan binatang. Situasi ketidak-cukupan ini mendorong manusia menciptakan struktur eksternal supaya bisa hidup dengan lebih baik.
Hukum dan segala aturan adalah struktur virtual atau struktur yang tak kelihatan sebagai penyokong hidup manusia tadi. Melihat sifat dasar individu manusia tadi, masyarakat yang mendasarkan pada hukum yang minimal itu biasanya bersifat statis. Pada umumnya manusia itu bersifat malas dan enggan sakit, kemajuan sosial tidak bisa terjadi secara spontan. Hukum lalu bisa berperan sebagai rekayasa sosial demi kemajuan itu. Dalam hal ini kesadaran hukum menjadi pengikat atau bahasa bersama sebagai trust system maupun sebagai cita-cita. Hukum pada awalnya berfungsi untuk mengatur tingkah laku manusia dan mempertahankan pola-pola kebiasaan yang sudah ada dalam masyarakat, tetapi dalam perkembangannya hukum berfungsi sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Hukum dimanapun akan tumbuh dari cara hidup, pandangan hidup dan kebutuhan hidup masyarakatnya, sehingga hukum akan tumbuh dan berkembang bersama masyarakatnya, Hal ini sebagaimana diajarkan Rescoe Pound, bahwa hukum itu adalah lembaga kemasyarakatan untuk memenuhi kebutuhan sosial2. Garis penyeimbang akan semakin tersajikan didalam kehidupan jika manusia tersebut dapat merelasikan nilai didalam pola pikirnya yang diejawantahkan kedalam pola tindaknya, jadi titik tekan untuk kesadaran hukum ini adalah kesinergisan antara pola pikir dan pola tindak manusia. Melalui filosofi rasionalisme dan empirisme, masyarakat dipahami sebagai kesatuan dari individu-individu terpisah yang membangun ikatan pribadi sebelum munculnya masyarakat
ing
A. Pendahuluan
1 2
470
Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), hlm. 162. Sebagaimana dikutip Sunarjati Hartono, Capita Selecta Perbandingan Hukum (Bandung: Alumni, 1968), hlm. 58.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 469-483
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
ketidaktertiban antar anggota dalam masyarakat. Hal ini mengingatkan pada eksponen mazhab sejarah Von Savigny juga mengatakan hukum tidak dibuat oleh negara, melainkan ditemukan di dalam masyarakat itu sendiri. Konsekuensi logis yang harus diterima sebagai negara hukum adalah setiap kebijakan publik (public policy) selalu berkait dengan perundang-undangan. Hukum sebagai perangkat kaidah sosial yang salah satu tugasnya menciptakan pergaulan hidup damai, dalam penegakannya kerap kali juga mesti memperhatikan pertimbanganpertimbangan etis yang dapat dijadikan sebagai patokan agar tidak terjadi konflik ketika terjadi benturan-benturan penerapan beberapa perangkat hukum (aturan). Persoalan pembentukan hukum dan penerapan hukum di masyarakat ditentukan oleh hubungan yang saling terikat antara kesadaran hukum dan politik hukum. Kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran akan nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia, tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan suatu penilaian (menurut) hukum terhadap kejadiankejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan. Kalau dilihat sejarahnya bahwa hukum ada karena manusia, rumusan fungsional akan tampak lebih originalitas setidaknya secara kronologis, dibanding rumusan secara esensial. Selain itu, ada kaitan yang saling mengandaikan antara hukum dan masyarakat. Hukum adalah keniscayaan (conditio sine qua non) bagi masyarakat. Apalagi di zaman modern ini, tidak ada masyarakat tanpa hukum. Sebaliknya pula, hukum tidak ada tanpa masyarakat,
Jur
na
lR ec hts V
ind
itu sendiri. Pencarian akan analisis rasional mengenai masyarakat dimulai dengan fenomena tunggal yang bisa diamati yang dijumpai dalam sejarah dan kehidupan sosial. Dengan kata lain pandangan mekanistik dan atomistic mempengaruhi cara memahami hubungan politik dan sosial3. Berdasarkan hubungan ini, kesadaran sebagai suatu nilai diandaikan eksis dan seharusnya tercermin dalam hukum. Tetapi menjadi persoalan, kesadaran hukum sebagai suatu entitas yang tunggal dibenturkan pada masyarakat plural dengan pandanganpandangan yang majemuk. Suatu kumpulan individu yang majemuk juga memunculkan kaidah hukum jika disepakati dapat dianggap memiliki aspek moralitas dan kesadaran hukum oleh suatu golongan, tetapi tidak demikian oleh golongan yang lain. Apakah dengan demikian kesadaran hukum sejatinya bukanlah entitas yang tunggal, tetapi justru suatu ide yang relatif? Jika demikian tentunya merupakan suatu kesia-siaan untuk mendiskusikan antara kesadaran hukum dalam pembentukan norma hukum. Oleh karena itu dibutuhkan teori yang menawarkan metode untuk memecahkan kebuntuan tersebut dengan adanya pencapaian kesepahaman terhadap nilai-nilai yang universal. Manusia dalam kehidupan sehari-hari hampir di segala bidang diatur oleh hukum kemudian hukum dikristalisasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya lebih merupakan tata aturan hubungan hukum antara individu dengan negara atau antar individu dan apabila ditelisik lebih dalam, gagasan pembentukan peraturan perundangundang bermula ketika ada konflik atau muncul
3
George Ritzer dan Barry Smart, Hand Book Teori Sosial, (Jakarta: Nusamedia,2012), hlm. 25. Kesadaran Hukum sebagai Aspek Dasar Politik Hukum Legislasi: Suatu Tinjauan Filsafat (Wenda Hartanto)
471
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
tujuan Negara tersebut, maka faktor politik hukum juga akan sangat menentukan. Peranan politik hukum dalam konteks sosio-antropoligis memegang peranan yang strategis. Melalui kacamata politik hukum, hukum yang dibentuk pun setidaknya akan menghasilkan faktorfaktor dan implikasi yang bersifat dualisme atau bernilai positif dan negatif dalam pembentukan, penerapan, dan keberlakuannya terhadap kepentingan masyarakat banyak sebagai respon dari kesadaran hukum masyarakat. Dalam pergeseran analisis nantinya kelihatan adanya momentum gerak pergeseran dari yang semula menurut sudut pandang teoritisanalogis kepada penilaian praktis-aksiologis. Filsafat sebagai sebuah ilmu yang mengkaji hakekat, secara ontologis tidak lagi menjadi tujuan tersendiri atau berakhir di titik kajian seperti itu, tetapi supaya selanjutnya hasil kajian ontologis itu dapat juga dimanfaatkan secara epistemologis sebagai alat atau sarana untuk meneruskan lalu merekayasa suatu strategi untuk hari depan. Itu berarti adanya perkembangan baru pada kebutuhan akan pengkajian nilainilai yang hidup dalam kehidupan masyarakat dengan cara pandang strategis dan futuristik, perkembangan nilai-nilai kesadaran hukum dan politik hukum harus dievaluasi. Ini berarti bahwa manusia dan kita sebagai bangsa bernegara dalam rangka pengelolaan kehidupan bangsa, harus mempersoalkan masih sah berlakunya nilai kesadaran hukum yang kini eksis, lalu mengadakan evaluasi dan mengangkat hasilnya menjadi policy atau kebijakan secara proaktif, untuk menyambut masa depan yang serba ketidakpastian.
Jur
na
lR ec hts V
ind
karena hukum bersifat relasional. Seorang manusia yang hidup sendirian di suatu pulau tidak perlu hukum. Kaitan erat antara hukum dengan masyarakat ini bisa menjadi garis bawah dari pentingnya dimensi fungsional atau instrumental hukum. Dengan kata lain, hukum tidak mempunyai tujuan pada dirinya sendiri. Tujuan hukum diisi oleh masyarakat pembuatnya berdasarkan konfigurasi politik yang terjadi ditengah kondisi dan keadaan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Tentu saja, isi tujuan itu juga tergantung pada pemahaman diri dan kesadaran hukum masyarakat itu sendiri untuk merealisasikannya menjadi sebuah kebijakan hukum yang berdasarkan kesadaran hukum komunal. Krabbe mengatakan bahwa sumber segala hukum adalah kesadaran hukum4. Politik hukum merupakan legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pem buatan hukum atau norma baru maupun dengan peng gantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kese muanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 19455. Merupakan suatu keharusan bagi suatu negara tatkala merumuskan suatu peraturan perundangundangannya senantiasa memperhatikan pada aspek tujuan negara (national interests). Selain kesadaran hukum masyarakat sebagai landasan ideal dalam proses pembentukan peraturan perundang-undanganuntuk dapat mencapai
4
5
472
Sebagaimana dikutip Singkeru Rukka, “Kearifan Lokal Dan Kesadaran Hukum”, Jurnal Al-Risalah, Volume 13 Nomor 1 Mei (2013): 174. Mahfud, M.D, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 20.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 469-483
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
Dalam keadaan yang semacam itu, norma yang mengatur ragam pola aktivitas apakah kompatibel dan punya semangat yang sama antara kesadaran hukum dan politik hukum tersebut tentu jika ditelusuri asal-usul, hubungan sebab akibat, dalam kerangka pemikiran pembentukan dan implikasi sebuah norma menjadi fokus tulisan ini yaitu melihat bagaimana terjadinya proses relasi antara kesadaran hukum dan politik hukum dalam proses legislasi, bagaimana konsep ideal untuk mengakomodir kesadaran hukum masyarakat dalam proses legislasi tersebut serta peran filsafat hukum di dalam politik hukum dalam pembentukan hukum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
ind
Peraturan perundang-undangan sebagai suatu cara pembuatan hukum secara sadar dengan sengaja dianggap sebagai suatu aktivitas yang tidak wajar, sehingga sesungguhnya tidak lebih hanya memberikan pengesahan dan legiltimasi saja terhadap norma-norma yang di bentuk secara informal oleh pergaulan hidup itu sendiri6. Oleh karena itu terbentuknya institusi perwakilan individu yang formal, seperti kecenderungan menyatunya pola kehidupan dalam satu kepentingan yang serupa sebagaimana penyatuan visi dan misi dari seluruh kesadaran hukum individu yang berbeda. Setiap kesadaran akan suatu nilai dan norma yang berkembang didalam masyarakat diharapkan dapat menjadi pedoman atau acuan bagaimana tingkahlaku seharusnya atau seharusnya dilakukan. Ketika nilai atau norma akan dipatuhi tanpa disadari atau seperti terpaut dengan kebiasaan atau suatu refleksi yang bersyarat dalam tiap-tiap kelompok terdapat susunan dan proses sosial yang berkorelasi sesuai dengan kaedah-kaedah norma itu. Individu atau kelompok akan didorong kearah persesuaian, akan tetapi dorongan tersebut dapat berubah menjadi paksaan sehingga kepatuhan akan sebuah kesepakatan tereduksi oleh pengaruh perubahan kepentingan, kebutuhan, dan kebiasaan di dalam proses sosial kehidupan masyarakat, akhirnya pengaruh itu berubah menjadi pelaksanaan kekuasaan yang mutlak dan kesadaran menjadi perbuatan yang tidak disadari hampir tanpa refleksi.
B. Metode penelitian
na
lR ec hts V
Berdasarkan permasalahan dan latar belakang di atas maka metode yang digunakan adalah Penelitian hukum normatif7 yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder Dalam model penelitian hukum ini terdapat konsep-konsep: konsistensi, deduktif, analisis, apriori, konkritisasi, interpretasi dan data kualitatif melalui library research. Target penelitian model ini adalah mendeskripsikan obyek sehingga disebut penelitian deskriptif.
Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1980 ) hlm.112. Bandingkan dengan pandangan Soetandyo yang mengatakan bahwa old societies untuk masyarakat/komunitas lokal dan hukum lokal sebelum menuju nation state, dalam Soeandyo Wignyosoebroto, Hukum, paradigm, Dan Dinamika Masalahnya-Masalah Pluralisme Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Elsam, 2002), hlm. 301. 7 Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yaitu menggambarkan gejala-gejala di lingkungan masyarakat terhadap suatu kasus yang diteliti, pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan kualitatif yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Lebih jauh Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke – 11. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 13–14.
Jur
6
Kesadaran Hukum sebagai Aspek Dasar Politik Hukum Legislasi: Suatu Tinjauan Filsafat (Wenda Hartanto)
473
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
lR ec hts V
ind
Martin Heidegger8 mengklasifikasikan eksistensialisme beberapa bagian, antara lain: Pertama, Eksistentialisme menekankan kesadaran “ada” (being)9, dan eksistensi. Nilai kehidupan nampak melalui pengakuan terhadap individual, yakni “I (aku)” dan bukan “It”. Kedua, Eksistentialisme percaya bahwa tak ada pengetahuan yang terpisah dari subyek yang mengetahui. Kita mengalami kebenaran dalam diri kita sendiri. Kebenaran tidak dapat dicapai secara abstrak. Ketiga, kebenaran itu subyektif, Ketiga, alam tidak menyediakan aturan moral. Prinsip-prinsip moral dikontruksi oleh manusia dalam konteks bertanggungjawab atas perbuatan mereka dan perbuatan selainnya; Keempat, perbuatan individu tidak dapat diprediksi; Kelima, individu mempunyai kebebasan kehendak secara sempurna; Keenam, individu tak dapat membantu melainkan sekedar membuat pilihan; dan Ketujuh, individu
BP HN
1. Relasi Antara Kesadaran Hukum dan Politik Legislasi
dapat secara sempurna menjadi selain dari pada keberadaannya. Menimbang dari kriteria di atas maka manusia satu-satunya makhluk yang dibimbing oleh suatu pengetahuan yang samar tentang ‘ada’. Manusia adalah ada yang unik, keunikan yang membedakannya dengan benda-benda dan membuatnya mampu mempersoalkan ‘ada‘. Karena manusia bukan benda maka Heidegger memilih istilah dasein untuk menunjukkan ‘ada’ manusia. Pemikiran Heidegger berporos pada suatu distingsi yang disebut pembedaan ontologi, yakni antara sein (ada) dan seinde (mengada)10. Fenomena pemikiran di atas menunjukkan kepada kita bahwa manusia, eksistensi manusia berbeda dengan yang bukan manusia di alam semesta dikarenakan adanya kesadaran yang ada pada manusia. Menurut teori fusion of forizons dan hermeneutical circle dari Gadamer11, dalam menafsirkan sebuah teks, seseorang harus selalu berusaha memperbarui prapemahaman relevansinya dengan teori ―penggabungan
ing
C. Pembahasan
Peter A. Angeles, A Dictionary of Philisophy, (London: Harper & Row Publishers, 1981), hlm. 88. F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian; Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit (Jakarta: KPG Kepustakan Populer Gramedia, 2003), hlm. 31-45. 10 Mengada atau seinde hanya berlaku pada benda-benda yang bukan manusia yang jikalau dipandang pada dirinya sendiri artinya: terpisah dari segala yang lain, hanya berdiri sendiri. Manusia sebenarnya juga berdiri sendiri, namun manusia dapat menanyakan ada karena memiliki hubungan dengan ada-nya. Tidak seperti mengada-mengada lain yang tidak sadar akan ada-nya. Hubungan dengan adanya itu yang disebut eksistensi. Eksistensi manusia atau dasein berbeda dengan benda-benda. Benda-benda tidak bisa mengambil jarak dengan keberadaannya, sedangkan manusia dapat mengambil jarak dan mempersoalkan. Menurut Heidegger, Dasein adalah benda-benda mengada dalam sang dunia (being-in-the-world) yang ditegaskan Heidegger di sini merupakan suatu ―fenomena kesatuan‖ (unitary phenomenon). Artinya, ―ada‖ dasein dan dunia tidak terpisah dan berhadapan satu sama lain. Heidegger, Being and Time…, 78. Sedangkan dalam buku lain arti kata sein dan seinde di artikan dengan ―berada‖ untuk sein dan ―yang ber berada‖ untuk seinde. Lihat Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 150. 11 Menurut Gadamer, human sciences selalu berusaha mendekati teks dari suatu posisi yang dijaga berjarak dari teks itu sendiri, yang disebut alienation, yang menghapuskan ikatan-ikatan yang sebelumnya telah dimiliki oleh interpreter dengan objek yang sedang diinterpretasikan. Menurut Gadamer, jarak tersebut dapat diatasi dan ikatan-ikatan tersebut dapat dibangun kembali (re-fusion) melalui mediasi kesadaran akan efek historis (consciousness of the effects of history). Lebih jauh lihat W. Poespoprodjo, Interpretasi—Beberapa Catatan Pendekatan Filosofisnya (Bandung: Remadja Karya, 1987), hlm. 93-118. 8
Jur
na
9
474
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 469-483
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
waktu dan selalu mengikut sertakan pelakunya (subjek dan objek tindakan) serta mempunyai tujuan tertentu15. Dalam kerangka perasaan senasib dan sepenanggungan di dalam perjuangan bangsa, bahkan haruslah lebih didominankan bagaimana visi dan misi yang diwujudkan secara sadar bersama-sama sebagai satu kelompok komu nitas bangsa, dapat dibangun dengan mencer minkan kepribadian dan identitas nasional, yakni kepribadian Pancasila. Di sini personifikasi bangsa dapat didefinisikan sebagai ”kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang unik, ba ik yang tercermin dalam kesadaran, pema haman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang dalam kelompok kehidupan berbangsa. Politik Hukum merupakan aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat dengan cara meneliti perubahan-perubahan mana yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada agar memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru di dalam kehidupan masyarakat. Dalam proses dan pembentukan peraturan perundang-undangan
lR ec hts V
ind
atau asimilasi horison (fusion of horizons)12. Teori ini menganggap bahwa proses penafsiran seseorang dipengaruhi oleh dua horison, yakni horison makna teks dan horison makna pembaca. Kedua horison ini selalu hadir dalam setiap proses pemahaman dan penafsiran13. Teori ini memaknai kesadaran manusia sebagai satu kesatuan antara subjek dan objek yang saling berkaitan diantara jarak dan ikatan objek kesadaran manusia di dalam pemahaman tentang eksistensi kesadaran manusia. Perwujudan sikap yang memiliki kesadaran selaras dan saling harmonis dengan tindakan yang diambil baik dalam pemahaman ontologis dan tindakan dalam arti sebenarnya. Paul Ricoeur menyebutkan bahwa tindakan selalu memiliki serangkaian makna yang dapat dimengerti oleh pelaku tindakan tersebut maupun oleh orang lain yang terkait dengan kejadian tindakan. Karakter tindakan seperti ini disebutkan Ricoeur dengan karakter yang dapat dibaca sebagai padanan dari tindakan yang bermakna (Max Webber).14 Artinya, suatu tindakan menjadi dapat dibaca dan dipahami oleh yang lainnya karena tindakan tersebut selalu meninggalkan jejak dan menjadi inskripsi sosial. Ini karena tindakan terjadi dalam konteks
Ide dasar yang disampaikan oleh Gadamer adalah bahwa pendekatan kita terhadap sebuah fenomena historis (karya seni, karya sastra, teks, dan lain-lain) telah ditentukan lebih dulu oleh pemahaman awal (preunderstandings) dari interpreter-interpreter sebelumnya. Jadi, dengan melepaskan ikatan-ikatan kita sendiri terhadap objek, dan menggantinya dengan hasil interpretasi dari para interpreter sebelumnya, maka kita telah berada pada suatu jaringan interpretasi (interpretational lineage). Dan melalui kesadaran akan efek historis ini, dua titik yang semula terpisah, yaitu subjek dan objek, menjadi tersatukan menyeluruh. Proses ini oleh Gadamer dinamakan fusi horizon (fusion of horizons). Ibid. 13 A. Khozin Afandi, Langkah Praktis merancang Proposal,(Surabaya: Pustakamas, 2011), hlm. 216-220. 14 Bagi Weber tindakan yang bermakna merupakan tindakan sesorang yang mempunyai pengaruh bagi individu lain dalam interaksi sosial. Menurut Weber, tindakan adalah memahami pikiran dan perasaan-perasaan para pelaku sosial. Untuk itu, kemudian Weber membedakan tindakan sosial dengan tingkah laku pada umumnya lihat Max Weber. Economy and Society (Los angeles: Universty of California Press, 1956), hlm. 1375-1380. 15 Paul Ricoeur, From Teks to Action edited by John B. Thomson (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 77-78. Lihat juga, Suhermanto Ja‘far, Islam, Ideologi dan Kesadaran Sosial: Sebuah Refleksi Teologi Kontekstual (Surabaya: eLKAF, 2002), hlm. 61-82.
Jur
na
12
Kesadaran Hukum sebagai Aspek Dasar Politik Hukum Legislasi: Suatu Tinjauan Filsafat (Wenda Hartanto)
475
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
menyelesaikan masalah bahkan seringkali menimbulkan masalah baru sehingga revisi undang-undang tentang tindak pidana korupsi tersebut sampai sekarang masih dalam prokontra yang belum memilki kesimpulan. Dengan adanya interaksi antara kesadaran hukum dan pembentukan hukum dalam kerangka tersebut maka kesadaran atau rasahukum yang hidup adalah sumber satu-satunya dari pada hukum belum tercermin dari hukum yang dijelmakan melalui peraturan perundangundangan yang kemudian H.Krabbe mengatakan dalam karangannya “De Modern Staat” dari semua hukum itu entah hukum undang-undang, hukum kebiasaan, hukum yang tidak tertulis, kesadaran hukum itulah yang merupakan basis dari pada hukum16. Didalam relasi politik hukum dan kesadaran hukum masyarakat yang demikian didalam proses pembentukan hukum seperti hal diatas terdapat kesadaran hukum masyarakat yang acapkali menjadi pertimbangan politis bagi sebagian pihak yang tidak dapat diabaikan didalam proses legislasi. Jika memang terjadi fenomena pertentangan dalam memahami kesadaran hukum masyarakat dalam konteks hal di atas, apakah harus membuat suatu peraturan perundang-undangan yang malah menimbulkan pergolakan lain yang merasa peraturan tersebut tidak adil dan menumpulkan senjata pemberantasan korupsi, misalnya seperti isu penyadapan harus melalui izin hakim, pemisahan penuntutan, dan adanya surat penghentian penyidikan didalam kasus tindak pidana korupsi. Keadaan yang dilukiskan di atas yaitu bahwa orang disatu pihak, acuh tak acuh atau hilang kepercayaan terhadap hukum, tetapi dilain pihak memiliki kesadaran yang naif
Jur
na
lR ec hts V
ind
sebagian masyarakat Indonesia masih banyak menimbulkan perdebatan, diperbincangankan oleh masyarakat, komunitas paguyuban tertentu, kalangan mahasiswa dan akademisi serta pertanyaan-pertanyaan yang mendalam, dalam hal ini peraturan perundang-undangan salah satunya adalah rencana revisi undangundang tentang tindak pidana korupsi dikalangan penggiat anti korupsi menyadari bahwa revisi belum diperlukan karena undang-undang tersebut sudah efektif untuk memberantas korupsi dari sisi yuridis formal, sedangkan pihak legislatif meminta agar revisi terhadap undangundang tentang tindak pidana korupsi dilakukan untuk melakukan penguatan dan kontrol kelembagaan KPK dalam melakukan proses hukum tentang penyelidikan dan penindakan hingga penuntutan tidak melanggar hukum yang berlaku. Di kalangan akademisi, organisasi masyarakat maupun aktivis anti korupsi, rencana revisi undang undang ini banyak menim bulkan perdebatan permasalahan dan tidak dapat diterima, buktinya masyarakat banyak melakukan aksi pertentangan baik dilakukan dengan unjuk rasa maupun ‘perang’ dimedia sosial, arus penolakan untuk direvisi sangat terasa pada saat ini dengan menolak untuk dilakukan revisi terutama pelemahan terhadap kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut. Kekecewaan dan ketidakpuasan atas produk hukum yang akan berlaku itu seringkali muncul dalam pemberitaan di media cetak maupun elektronik, bahkan sampai pada pembicaraan di kalangan masyarakat umum. Produk hukum berupa peraturan perundangan, peraturan kebijakan, keputusan atau ketetapan, sampai surat edaran, dianggap tidak dapat
John Z Loudoe, Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, (Jakarta : Bina Aksara, 1985), hlm. 161.
16
476
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 469-483
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
Kesadaran hukum sebenarnya mengandung dua sisi, sisi yang satu adalah suatu kategori dari keadaan batin individual dan sisi yang lain merupakan penentuan bersama dari suatu lingkungan tertentu, jika ada pihak diperlakukan tidak adil kemudian mengadakan reaksi maka dengan reaksi tersebut bahwa kesadaran hukumnya telah berontak sedangkan dari sisi yang lain, jika kesadaran hukum menuntut perbaikan atau ketertiban sosial dan nilaietika di masyarakat. Perbedaannya dengan peraturan-etis adalah bahwa kesadaran hukum yang individual bukan saja mencela sesuatu perbuatan atau keadaan, tetapi mengharapkan agar masyarakat pun akan bertindak terhadap perbuatan atau keadaan demikian17. Asumsi bahwa kesadaran hukum warga masyarakat terhadap hukum yang ius constitutum mengakibatkan para warga masyarakat mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya, apabila keadaran hukum warga masyarakat terhadap hukum rendah, derajat kepatuhannya juga rendah. Hukum berasal dari masyarakat dan hidup serta berproses di dalam masyarakat, maka kesadaran didalam pembaharuan hukum tidak mungkin dilepaskan secara mutlak dari masyarakat. Ini berarti bahwa yang dihadapi adalah kenyataan-kenyataan sosial dalam arti yang luas. Kenyataan yang ada seperti yang dihadapi indonesia yaitu masyarakatnya yang heterogen dengan tingkat bentuk masyarakat yang berbeda-beda, mulai dari yang sederhana sampai pada masyarakat yang komplek, maka akan dihadapkan pada pola diferensiasi yang berbeda-beda pula yang akhirnya membawa akibat pada struktur masing-masing masyarakat.Pada masayarakat yang sederhana,
Jur
na
lR ec hts V
ind
terhadap kekuatan yang seakan-akan menjadi Religious-magis dari pada hukum mencirikan cara berpikir kita umumnya tentang nilai-nilai yang hidup di dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial masyarakat. Jika memang terjadi fenomena pertentangan dalam memahami kesadaran hukum masyarakat dalam konteks keadaan di atas, apakah harus membuat suatu peraturan perundangundangan yang malah menimbulkan pergo lakan lain yang merasa peraturan tersebut tidak adil dan menumpulkan senjata pemberantasan korupsi, misalnya seperti issu penyadapan harus melalui izin hakim, pemisahan penuntutan, dan adanya surat penghentian penyidikan di dalam kasus tindak pidana korupsi dalam arti yang sebenarnya. Ditinjau dari sisi substansi hukum, kita tidak dapat memastikan bahwa materi daripada kesadaran hukum bukanlah suatu hukum karena belum pernah didapat suatu bukti bahwa isi dari kesadaran hukum adalah memang benar adanya. Kita tidak berhak untuk menyatakan misalnya bahwa kesadaran hukum sesuatu lingkungan hidup misalnya benar-benar ada atau kesadaran hukum dari seluruh anggota masyarakat ataupun dari sebagian terbesarnya menuntut suatu hal. Kita buta mengenai hal tersebut. Jadi kesadaran hukum itu adalah tidak lain daripada bayangan atau anggapan yang samar mengenai apa itu ‘seharusnya’ menurut hukum atau sekedar opini publik. Untuk mewujudkan buktinya maka kita harus menguasai segala keadaan dan harus dipertimbangkan sebelumnya semua factor yang mengarah pada jurusan itu. Hal tersebut dapat ditempuh dengan melakukan penelitian yang mendalam.
Ibid. Hal.162.
17
Kesadaran Hukum sebagai Aspek Dasar Politik Hukum Legislasi: Suatu Tinjauan Filsafat (Wenda Hartanto)
477
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
bersangkutan ke dalam perangkat berbagai aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses (perilaku birokrasi pemerintahan dan warga masyarakat mengandung arti bahwa pada hakikatnya hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat berakar pada gagasan, rasa, karsa, cipta dan pikiran dari masyarakat itu sendiri). Perubahan sosial dari suatu konfigurasi politik, sama halnya dengan perubahan yang bisa menyebabkan perubahan kesadaran hukum. Suatu golongan yang dominan dan dekat dengan penguasa politik, itulah yang memperoleh kekuasaan untuk menerapkan hukum tertentu dan membuat kebijakan-kebijakan lainya. Secara a contrario masyarakat tidak patuh pada hukum karena masyarakat tersebut dihadapkan pada dua tuntutan kesetiaan dimana antara kesetiaan yang satu bertentangan dengan kesetiaan lainnya. Misalnya masyarakat tersebut dihadapkan pada kesetiaan terhadap hukum atau kesetiaan terhadap “kepentingan pribadinya” yang bertentangan dengan hukum, seperti banyaknya pelanggaran lalu lintas, korupsi, dan anarkisme. Apalagi masyarakat menjadi berani tidak patuh pada hukum demi kepentingan pribadi karena hukum tidak mempunyai kewibawaan lagi, dimana penegak hukum karena kepentingan pribadinya pula tidak lagi menjadi penegak hukum yang baik. Adanya kekerasan horizontal dan vertikal pada dasarnya disebabkan melemahnya penerapan nilai-nilai budaya dan kesadaran hukum masyarakat yang mengakibatkan rendahnya kepatuhan masyarakat terhadap hukum dan timbulnya berbagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan dan penyalahgunaan wewenang. Demikian juga kurangnya sosialisasi peraturan
Jur
na
lR ec hts V
ind
hukum timbul dan tumbuh bersama-sama dengan pengalaman-pengalaman hidup warga masyarakatnya. Disini penguasa lebih banyak mengesahkan atau menetapkan hukum yang sebenarnya hidup dimasyarakat. Akan tetapi hal yang sebaliknya agaknya terjadi pada masyarakat yang kompleks. Kebhinekaan masyarakat yang kompleks menyebabkan sulit untuk memungkinkan timbulnya hukum dari bawah. Diferensiasi yang tinggi dalam strukturnya membawa konsekuensi pada aneka macam kategori dan kepentingan dalam masyarakat dengan kepentingan-kepentingan yang tidak jarang saling bertentangan. Walaupun hukum datang dan ditentukan dari atas, sumbernya tetap dari masyarakat. Rumusan umum mengenai reaksi daripada kesadaran hukum dalam hal yang konkrit kemudian dijadikan ketentuan umum daripada kesadaran hukum adalah hal yang sulit karena kesadaran hukum baru bereaksi jika manusia sadar akan tanggung jawabnya dalam membuat putusan mengenai sesuatu hal. BTer Haar Bzn dalam karangannya de echtspraak van de landraden naar ongeschreven recht18 menulis bahwa kepala adat tidak mampu memberikan keterangan mengenai isi daripada sesuatu lembaga adat selama belum menghadapi suatu peristiwa yang konkrit dimana mereka harus memberikan suatu putusan. disini terlihat bahwa menggali hukum bukannya kesadaran hukum dari pada rakyat yang menentukan akan tetapi akan terlihat tangungjawab dari mereka yang memutuskan hal tersebut. Didalam tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawantahan cita hukum yang dianut dalam masyarakat yang
Sebagaimana dikutip Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis (Jakarta: Gunung Agung Tbk., 2002), hlm. 12.
18
478
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 469-483
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
dalam domain diskursus19. Prinsip universalitas menekankan bahwa nilai-nilai dan norma memiliki karakter yang universal didalam masyarakat yang majemuk dan plural. Adanya kepentingan dari perwujudan sebuah ide yang berdasarkan tujuan tertentu untuk diakui dan dihormati hak-haknya sebagai manusia secara individu pribadi ataupun kolektif, masyarakat yang memiliki kepentingan hukum yang bersangkutan, akan mengarah kepada perlindungan hukum terhadap keberadaan dan pelaksanaan proses legislasi dengan tetap mencegah adanya disintegrasi. Ketika Keadaan belum mengakui, mengakomodir dan memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat yang mayoritas ataupun masyarakat yang termarginalisasikan justru merupakan potensi konflik bahkan ancaman terjadinya disintegrasi bangsa. Dalam melindungi kepentingannya masing-masing, maka manusia di dalam masyarakat harus mengingat, memperhitungkan, menjaga dan menghormati kepentingan manusia lain, jangan sampai terjadi pertentangan atau konflik yang merugikan orang lain. Tidak boleh kiranya dalam melindungi kepentingannya sendiri, atau dalam melaksanakan haknya, berbuat semaunya, sehingga merugikan kepentingan manusia lain (eigenrichting). Bagi masyarakat yang sedang berkembang, termasuk masyarakat Indonesia, bahwa masalah kesadaran hukum kian bertambah rumitnya, oleh karena faktor yaitu bahwa masyarakatnya sedang mengalami masa transisi di mana sistem norma-norma yang lama ingin ditinggalkan sedangkan pembentukan norma hukum baru melalui fase
lR ec hts V
ind
perundang-undangan baik sebelum maupun sesudah ditetapkan baik kepada masyarakat umum maupun kepada penyelenggara negara untuk menciptakan persamaan persepsi, seringkali menimbulkan kesalahpahaman antara masyarakat dengan penyelenggara negara termasuk aparat penegak hukum. Upaya yang akan dilakukan adalah dengan meningkatkan pemahaman dan penyadaran hukum di semua lapisan masyarakat terhadap pentingnya hakhak dan kewajiban masing-masing individu yang pada akhirnya diharapkan akan membentuk budaya hukum yang baik. Sebagai salah satu contoh pembentukan peraturan daerah yang bernuansa religius dengan tujuan ketertiban atau meningkatkan rasa kesadaran dalam beragama tentunya sumber ide yang dijelmakan dalam sebuah peraturan daerah memiliki ide yang kontra produktif dengan interaksi sosial yang berbeda pemahaman dan hal ini menjadi sebuah pertanggungjawaban politik masyarakat tersebut sebagai lokomotif ide terhadap produk hukum yang telah dilahirkan tersebut.
2. Pancasila Sebagai Landasan Ideal untuk Mengakomodir Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Politik Hukum Legislasi
Jur
na
Perlunya pengakuan terhadap prinsip universalitas merupakan sebuah kondisi mutlak bagi terciptanya sebuah kesepakatan dalam diskursus yang bukan semata-mata kompromi. Prinsip universalitas menjadi basis bagi terciptanya kesepahaman dalam diskursus. Yang dimaksud prinsip universalitas adalah bahwa setiap norma-norma memiliki peluang untuk dapat memperoleh pengakuan umum
Thomas McCarthy, Teori Kritis Jurgen Habermas, Terjemahan dari The Critical Theory of Jurgen Habermas, Alih bahasa oleh Nurhadi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006), hlm, 403.
19
Kesadaran Hukum sebagai Aspek Dasar Politik Hukum Legislasi: Suatu Tinjauan Filsafat (Wenda Hartanto)
479
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
menimbulkan nilai-nilai sosial kultural yang berbeda-beda di setiap daerah dan hal ini harus dihargai oleh negara bahkan hal ini haruslah dilindungi bukan malah sebaliknya. Hal inilah yang harus diperhatikan ketika mengakomodir kemajemukan dan pluralisme di negeri ini untuk selalu memikirkan sosial kultural yang ada di Indonesia karena hal ini sudah ada sebelum Indonesia merdeka dan hal ini tidak dapat dihilangkan begitu saja. Secara filosofi hakikat kedudukan Pancasila sebagai paradigma sumber pembangunan hukum mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek pembentukan dan pembangunan hukum nasional kita harus mendasarkan pada haki-kat nilai-nilai silasila Pancasila. Oleh karena hakikat nilai silasila Pancasila mendasarkan diri pada dasar ontologis manusia sebagai subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila sekaligus sebagai pendukung pokok negara. Hal ini berdasarkan pada kenyataan objektif bahwa Pancasila dasar negara dan negara adalah organisasi (persekutuan hidup) manusia. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 mengandung butir-butir pasal yang tidak hanya merupakan pintu gerbang masuknya norma-norma hukum yang secara kuantitatif maupun kualitatif sangat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, karena sifatnya sangat membuka diri bagi masuknya nilai-nilai agama dalam sistem hukum maupun hukum positifnasional kita, sekaligus juga akan menjadi motor pendorong, lahirnya sebuahsistem
lR ec hts V
ind
program legislasi di tingkat lembaga negara acapkali berbenturan baik itu secara politik, kepentingan, dan tarik ulur pembahasan. Masalah nilai dan asas sebagai landasan bagi pembentukan suatu peraturan perlu mendapat perhatian yang utama, karena asas mengandung nilai moral dan etis masyarakat memegang peranan penting, bahkan sampai pada prosesnya untuk mencapai tujuan hukum yang hakiki, yaitu memberikan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang20 Di samping itu hal yang mesti diperhatikan agar meminimalisir benturan tersebut, dalam politik hukum legislasi sudah seharusnya pembentukan peraturan perundang-undangan perlu dipegang teguh tiga prinsip, yaitu21: a. kesetiaan kepada cita-cita sumpah pemuda, proklamasi kemerdekaan, nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam Pancasila, serta nilainilai konstitusional sebagaimana termaktub dalam UUD NRI Tahun 1945; b. terselenggaranya negara hukum Indonesia yang demokratis, adil, sejahtera, dan damai; dan c. dikembangkannya norma-norma hukum dan pranata hukum baru dalam rangka mendukung dan melandasi masyarakat secara berkelanjutan, tertib, lancar, dan damai serta mengayomi seluruh tumpah darah dan segenap bangsa Indonesia.
Jur
na
Kemuncul an Pancasila sebagai dasar kesetiaan warga negara terhadap bangsa dan negara di Indonesia ialah merupakan suatu cikal bakal keanekaragaman yang secara otomatis keanekarangan itu akan selalu muncul dan akan
Ismi Warassih, Mencari Model Ideal Penyusunan UU Yang Demokrasi, (Semarang: FH UNDI, 1999), hlm. 30. Pataniari Siahaan, Membangun Kerangka Politik Perundang-undangan yang jelas dan terarah melalui prolegnas, dikases dari http://www.parlemen.net/ sites/ default/ files/ dokumen/ Membangun% 20Kerangka% 20Politik% 20Perundang-undangan%2026Mei08.pdf (diakses 26 Mei 2008).
20 21
480
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 469-483
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
dan Tuhan, manusia dan sesama manusia, serta manusia dan alam semesta yang berintikan keyakinan tentang tempat manusia individual di dalam masyarakat dan alam semesta (Pembangunan hukum dimulai dari pondasinya dan jiwa paradigma bangsa Indonesia, Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum (Staatsfundamentalnorm), yang dipertegas dalam Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terutama Pasal 2 yang menyatakan Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum bagi kehidupan hukum di Indonesia, maka hal tersebut dapat diartikan bahwa “Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap proses pembentukan, materi peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila”. Kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara merupakan grundnorm dalam sistem hukum Indonesia yang memberikan arah dan jiwa serta menjadi paradigma normanorma dalam pasal-pasal UUD 1945. Cita hukum dan falsafah hidup serta moralitas bangsa yang menjadi sumber segala sumber hukum negara akan menjadi satu fungsi krisis dalam menilai kebijakan hukum (legal Policy) atau dapat dipergunakan sebagai paradigma yang menjadi landasan pembuatan kebijakan (policy making)
lR ec hts V
ind
hukum positif nasional pada masa-masa mendatang22. Karena itu setiap penyusunan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan cita-cita moral dan cita-cita hukum sebagaimana diamanatkan didalam konstitusi. Adapun nilainilai yang bersumber pada pandangan filosofi konstitusi, yakni23: a. Nilai-nilai religius bangsa Indonesia yang terangkum dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. b. Nilai-nilai hak-hak asasi manusia dan penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan sebagaimana terdapat dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. c. Nilai-nilai kepentingan bangsa secara utuh, dan kesatuan hukum nasional seperti yang terdapat dalam sila Persatuan Indonesia. d. Nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat. Sebagaimana terdapat di dalam sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. e. Nilai-nilai keadilan, baik individu maupun sosial seperti yang tercantum dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jur
na
Pancasila yang oleh para Bapak Pendiri Negara Republik Indonesia ditetapkan sebagai landasan kefilsafatan dalam menata kerangka dan struktur dasar organisasi negara sebagaimana dirumuskan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pancasila adalah pandangan hidup bangsa Indonesia yang mengungkapkan pandangan bangsa Indonesia tentang hubungan antara manusia
Hartono Mardjono, Menegakkan Syariat Islam Dalam Konteks Keindonesiaan: Proses Penerapan Nilai-Nilai Islam, Dalam Aspek Hukum, Dan Lembaga Negara, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 28. 23 Mohammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta:Djambatan, 1952), hlm.75. 22
Kesadaran Hukum sebagai Aspek Dasar Politik Hukum Legislasi: Suatu Tinjauan Filsafat (Wenda Hartanto)
481
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
Indonesia sebagai negara bangsa yang majemuk memerlukan suatu sistem hukum modern yaitu seperangkat atau suatu sistem hukum yang mampu mengantisipasi serta mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin akan timbul. Salah satu dimensi mutlak dalam pembentukan sistem hukum Indonesia yang modern adalah senantiasa mencerminkan dan mengedepankan rasa keadilan dan kesadaran masyarakat Indonesia dan sesuai cita hukum dan cita-cita moral dalam nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI tahun 1945. Nilai-nilai Pancasila dijadikan sarana untuk mengakomodir dimensi kepentingan politik, ekonomi, sosial dan politik manusia sebagai subjek didalam bernegara.
ind
dibidang hukum dan perundang-undangan maupun bidang sosial, ekonomi, dan politik. Serta harus sejalan beriringan dengan tatanan nilai-nilai kehidupan di dalam berbangsa dan bernegara, ada yang disebut sebagai nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis. Nilai dasar adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang kurang lebih mutlak. Nilai dasar, berasal dari nilai-nilai kultural atau budaya yang berasal dari bangsa Indonesia itu sendiri, yaitu yang berakar dari kebudayaan, sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 yang mencerminkan hakikat nilai kultural. Nilai instrumental adalah pelaksanaan umum nilai-nilai dasar, biasanya dalam wujud norma sosial atau norma hukum, yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam lembaga yang sesuai dengan kebutuhan tempat dan waktu. Nilai instrumental, meskipun lebih rendah daripada nilai dasar, tetapi tidak kalah penting karena nilai ini mewujudkan nilai umum menjadi konkret serta sesuai dengan zaman. Nilai instrumental merupakan tafsir positif terhadap nilai dasar yang umum. Nilai praksis adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Semangatnya nilai praksis ini seyogyanya sama dengan nilai dasar dan nilai instrumental.
DAFTAR PUSTAKA Buku
lR ec hts V
Adian, Donny Gahral, Percik Pemikiran Kontemporer, (Yogyakarta: Jalasutra, 2006) Afandi, A. Khozin, Langkah Praktis merancang Proposal, (Surabaya : Pustakamas, 2011) Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta: Gunung Agung Tbk., 2002) Angeles, Peter A., A Dictionary of Philisophy, (London: Harper & Row Publishers, 1981), Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 2002) Hardiman, F. Budi, Heidegger dan Mistik Keseharian; Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, (Jakarta: KPG Kepustakan Populer Gramedia, 2003) Hartono, Sunarjati, Capita Selecta Perbandingan Hukum, (Bandung, Alumni, 1968) Ja‘far, Suhermanto, Islam, Ideologi dan Kesadaran Sosial: Sebuah refleksi Teologi Kontekstual, (Surabaya: eLKAF, 2002) Loudoe, John Z, Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, (Jakarta: Bina Aksara, 1985) M.D, Mahfud,. Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 2012 Mardjono, Hartono, Menegakkan Syariat Islam dalam Konteks Keindonesiaan, Proses Penerapan Nilai-Nilai Islam, dalam Aspek Hukum, dan Lembaga Negara, (Bandung: Mizan, 1997)
D. Penutup
Jur
na
Proses legislasi merupakan aktualisasi politik hukum yang berdasarkan kesadaran hukum masyarakat untuk mencapai tujuan dan melindungi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Upaya untuk memelihara tertib hukum, dan ketaatan terhadap hukum yang telah dibentuk tidak hanya dipengaruhi oleh faktor juridis semata, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor non juridis seperti kesadaran hukum, budaya hukum masyarakat sebagai pemegang peranan dalam aplikasi dan implikasinya.
482
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 469-483
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
Makalah/Artikel/Prosiding/Hasil Penelitian Rukka, Singkeru, “Kearifan Lokal Dan Kesadaran Hukum”, Jurnal Al-Risalah, Volume 13 Nomor 1 Mei (2013)
Internet
ing
Siahaan, Pataniari, Membangun Kerangka Politik Perundang-undangan yang jelas dan terarah melalui prolegnas, dikases dari http://www. parlemen.net/ sites/ default/ files/ dokumen/ Membangun% 20Kerangka% 20Politik% 20Perundang-undangan%2026Mei08.pdf (diakses 26 Mei 2008)
Peraturan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Jur
na
lR ec hts V
ind
McCarthy, Thomas, Teori Kritis Jurgen Habermas, Terjemahan dari The Critical Theory of Jurgen Habermas, Alih bahasa oleh Nurhadi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006) Poespoprodjo, W., Interpretasi: Beberapa Catatan Pendekatan Filosofisnya, (Bandung: Remadja Karya, 1987) Rahardjo, Satjipto, Hukum Dan Masyarakat, (Bandung, Angkasa, 1980) Ritzer, George dan Barry Smart, Hand Book Teori Sosial, (Jakarta: Nusamedia, 2012) Saifritlah, Reflekssi Sosiologi Hukum, (Bandung: PT.Refika Aditama,2007) Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke – 11. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009) Warassih, Ismi, Mencari Model Ideal Penyusunan UU Yang Demokrasi, (Semarang: FH UNDI, 1999) Yamin, Mohammad, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1952)
Kesadaran Hukum sebagai Aspek Dasar Politik Hukum Legislasi: Suatu Tinjauan Filsafat (Wenda Hartanto)
483
lR ec hts V
ind
ing
BP HN
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Jur
na
”Halaman ini dikosongkan”
484
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 21-41
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
DINAMIKA LEGISLASI HUKUM ISLAM: ANALISA ATAS UPAYA PEMBENTUKAN HUKUM PERIKATAN SYARIAH
(Islamic Law Legislation Dynamic: Analysis on the Means of Forming Sharia Law of Obligations) Akhyar Ari Gayo Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Email:
[email protected]
ing
Naskah diterima: 29 September 2015; revisi: 26 November 2015; disetujui: 2 Desember 2015
ind
Abstrak Dalam perkembangan ekonomi Syariah saat ini tidak dilengkapi dengan regulasi yang memadai, padahal jenis-jenis dan volume transaksi atau kontrak dengan sistem Syariah semakin banyak. Oleh karenanya sangat diperlukan satu aturan yang baku yang dapat dijadikan pegangan bagi para pihak terutama para hakim di pengadilan agama dalam menerima, memeriksa dan memutus perkara sengketa ekonomi Syariah. Tulisan ini mengkaji bagaimana sebaiknya pengaturan perikatan Syariah ini dibuat. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode kepustakaan dan didukung beberapa hasil penelitian perikatan Syariah yang telah ada. Dari penulisan ini diperoleh pentingnya politik legislasi yang mendukung perikatan Syariah melalui pembentukan Undang-Undang Perikatan Syariah. Hal ini untuk menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat yang menggunakan kontrak dengan sistem Syariah. Kata kunci : legislasi, perikatan, Syariah
Jur
na
lR ec hts V
Abstract The development of sharia economic law has not followed by adequate regulations, even though the types and volumes of the transactions and contracts which use sharia system are keep on increasing. Therefore, there is needs of fixed regulations that can be a guide for every party, especially for the judges in the Religious Court when taking in, examining, and judging disputes relating to sharia economic law. This writing reviews on how this sharia law of obligations should be formed. The method use in this writing is literature method and also supported by some existing research on sharia law of obligations. This writing shows the importance of the legislation policy on supporting sharia law on obligations by making a sharia law on obligations act. This is need to guarantee protection and legal certainty for those who make contract with sharia system. Keywords: legislation, law of obligations, Sharia
Dinamika Legislasi Hukum Islam: Analisa atas Upaya Pembentukan Hukum Perikatan Syariah (Akhyar Ari Gayo)
485
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
na
BP HN
lR ec hts V
ind
Perencanaan pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaharuan hukum dengan tetap memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku yang mencakup upaya untuk meningkatkan kesadaran hukum, kepastian hukum, perlindungan hukum, penegakan hukum, dan pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib dan teratur, serta penyelenggaraan pembangunan nasional. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam RPJP Nasional 2005 – 2025, bahwa pembaharuan materi hukum dengan tetap memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian hukum dan perlindungan hukum. Selanjutnya dalam Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, bahwa Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional (PPHN) yaitu Program Prioritas 2015 – 20191, diarahkan kepada pembangunan hukum bidang hukum perdata, hukum kontrak dan hukum ekonomi. Khusus dibidang hukum perdata prioritas pembangunan hukum diarahkan untuk mengganti materi hukum yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat yang ada pada saat ini dan pada masa yang akan datang. Sedangkan di bidang hukum ekonomi diarahkan pada materi pembaharuan berkaitan dengan perbankan, lembaga non perbankan dan instrumen hukum lainnya2, sehingga
dimungkinkan hukum perikatan Syariah dapat diusulkan dalam program skala prioritas,3 yang merupakan kebutuhan masyarakat4. Sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin kompleks di masa modern ini, berkembang pula jenis resiko dalam melakukan berbagai transaksi keuangan dan hal ini semakin berpotensi untuk menjadi ancaman bagi para pihak, juga terhadap transaksi-transaksi yang menggunakan sistem Syariah. Kenyataan inilah yang mendorong pentingnya memperoleh perlindungan hukum bagi para pihak terhadap harapan-harapan sah yang ingin dicapai melalui transaksi-transaksi yang dibuatnya (the protection of the legitimate expectations of the parties), khususnya dalam mengantisipasi terjadinya risiko-risiko yang dapat menghambat upaya tersebut. Untuk mewujudkan tujuan-tujuan kontrak tual itulah maka dikembangkan norma-norma hukum dalam bentuk sekumpulan asas dan aturan hukum yang umumnya dipahami sebagai hukum perjanjian yang diharapkan dapat meningkatkan kepastian, keadilan, dan prediktabilitas (predictability) dan pada saat yang bersamaan menjadi alat bagi para pihak untuk mengelola risiko (risk management tool). Prinsip-prinsip Syariah yang pada dasarnya dikenal dalam kegiatan ekonomi tradisional, kini sudah mulai masuk dalam kegiatan ekonomi modern seperti perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun dan sebagainya. Prinsip jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam,
ing
A. Pendahuluan
Pasal 16 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Preraturan Perundang-undangan menyebutkan, perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas. 2 Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional 2015 – 2019, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Kemneterian Hukum dan Ham RI, Jakarta, 2012. hal,. 155-156. 3 Pasal 17 UU No. 12 Tahun 2011, Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 merupakan skala prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan system hukum nasional. 4 Pasal 18 huruf h UU No. 12 Tahn 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Jur
1
486
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 485-499
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
Di sisi lain, perkembangan ekonomi Syariah dalam aplikasinya tidak selamanya berjalan dengan baik, melainkan di dalamnya terdapat potensi konflik antara pihak-pihak yang saling berhubungan yang mungkin terjadi pada saat pelaksanaan perjanjian (akad) maupun konflik dalam hal penafsiran isi suatu perjanjian (akad). Dan perjanjian (akad) yang ada perlu dirancang di bawah satu payung hukum nasional dengan tetap memelihara kesesuaian dengan Syariah. Juga lembaga penegak hukum yang mampu menjadi benteng terakhir (the last resort) bagi para pihak yang bermasalah terkait dengan ekonomi Syariah. Problematika mendasar dari operasional ekonomi Syariah saat ini adalah apakah penyelenggaraan kegiatan usaha baik perbankan, asuransi, pasar modal, obligasi dan praktek ekonomi Syariah lainnya telah sesuai dengan perjanjian (akad) yang dikenal dalam fiqh Islam atau hanya sekedar penggantian nama/istilah yang dikenal luas dalam sistem ekonomi konvensional dengan istilah Islam. Nampaknya istilah muamalah dimodifikasi sesuai dengan sistem ekonomi konvensional yang dikenal selama ini. Dengan demikian menghadapi tuntutan perkembangan ekonomi Syariah terutama bersinggungan dengan perjanjian (akad) agar memiliki aturan hukum untuk memenuhi kebutuhan dan kepastian hukum utamanya masyarakat Muslim, melalui pengkajian ini maka persoalan yang diangkat apakah diperlukan pengaturan tersendiri terhadap perikatan Syariah? Kemudian, seperti apa pengaturan perikatan Syariah nantinya dibuat dengan cara mengkodifikasikan ketentuan-ketetuan yang
Jur
na
lR ec hts V
ind
ternyata kesemuanya cocok untuk diaplikasikan ke dalam kegiatan-kegiatan ekonomi moderen saat ini. Adanya hal tersebut yang didukung oleh perkembangan dibidang hukum, yaitu pada tataran peraturan perundang-undangan seperti Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dengan diberlakukannya undang undang ini, industri perbankan Syariah berkembang dengan cepat, tidak hanya menyangkut produk dan jasa yang ditransaksikan, melainkan juga nilai transaksinya. Begitupun juga dengan lahirnya UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, terjadi perubahan berupa penambahan kewenangan sebagaimana bunyi Pasal 49: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ekonomi Syariah. Perluasan kewenangan itu sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim di Indonesia. Karena bagaimanapun harus ada kesinambungan yang simetris antara perkembangan masyarakat dengan pengaturan hukum agar tidak ada pertentangan antara persoalan di masyarakat dengan cara dan wadah penyelesaian persoalan dimaksud5. Demikian juga dengan beberapa ketentuan lainnya,Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-undang tentang Penyelenggaraan Haji, ketentuan mengenai pasar modal, dan gadai, semakin memperkokoh kegiatan ekonomi Syariah modern dewasa ini.
5
Yusna Zaidah, Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan dan Arbitrase Syariah di Indonesia (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), hlm. 11-12.
Dinamika Legislasi Hukum Islam: Analisa atas Upaya Pembentukan Hukum Perikatan Syariah (Akhyar Ari Gayo)
487
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
lR ec hts V
ind
Pengkajian ini bersifat yuridis normatif atau doktrinal, dengan melakukan analisa terhadap norma-norma hukum,6 khususnya peraturan perundang-undangan tertentu 7 atau hukum tertulis. Adapun hukum tertulis yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah mengenai norma-norma hukum Syariah yang terkandung dalam Al Qur’an dan Hadist di bidang perjanjian/kontrak. Adapun metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan dan norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
BP HN
B. Metode Penelitian
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama…”. Beberapa ungkapan baik dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh UUD 1945 menunjukkan betapa tinggi, terhormat, penting dan mulianya agama di Indonesia, yang salah satu konsekuensi logisnya ialah memandang tinggi, terhormat, penting dan mulia hukum agama, yang dalam bidang muamalah (hubungan antar manusia) perlu diatur oleh Negara, yaitu hukum berdasarkan Syariah. Para ahli hukum Islam membedakan antara Syariah dan fiqih. Syariah diartikan segala kitab Allah SWT yang berhubungan dengan tindakantindakan manusia. Ada juga yang memberikan arti bahwa Syariah adalah hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah SWT kepada hambanya untuk diikuti dalam hubungannyanya dengan Allah dan hubungannya sesama manusia.8 Sedangkan Fiqih diartikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalildalil yang tafsili9. Dalam literatur hukum dalam Islam tidak ditemukan kata “hukum Islam”, yang biasa dipergunakan dalam pembahasan hukum Islam adalah syaria’t Islam. Definisi ini lebih dekat kepada arti syari’at Islam. Islamic Law sering didefenisikan keseluruhan kitab Allah SWT yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya. Defenisi ini lebih dekat kepada arti syaria’at Islam, padahal secara materi terlihat bahwa Islamic Law yang ditulis oleh Barat itu bukanlah syari’at, tetapi fiqih
ing
telah ada ataukah membuat hukum baru dengan memasukkan norma yang telah ada mengenai pejanjian (akad) Syariah yakni melalui suatu proses legislasi? Hal ini yang mendorong minat Penulis di dalam melakukan kajian tersebut.
C. Pembahasan
1. Dinamika Legislasi Hukum Islam
Jur
na
Hukum Islam sebagai salah satu bagian Sistem Hukum Nasional yang berlaku saat ini telah diakui keberlakuannya, apalagi dengan adanya Amandemen UUD 1945 pada ayat (2) Pasal 28 j menyatakan “dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang…untuk memenuhi tuntutan
8 6 7
9
488
H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2009), hlm. 24. Ibid., hal. 25. Amir Syarifuddin dalam Dr. H. Abdul Manan, SH.,S.IP,M.,Hum, Aspes-aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 46-47. Ibid, hlm. 48.
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 485-499
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
Diantara kaedah-kaedah dan pola berpikir itu antara lain, pertama, hukum Islam memudahkan, dan menghilangkan kesulitan; kedua, memerhatikan tahapan masa, ketiga, turun dari nilai ideal menuju realita dalam situasi darurat; keempat, segala hal yang mendatangkan kerugian atau kesengsaraan umat harus dilenyapkan atau dihilangkan; kelima, kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan; keenam, kemudharatan yang bersifat khas digunakan untuk kemudharatan yang bersifat umum; ketujuh, kemudharatan yang ringan, digunkan untuk menolak kemudharatan yang berat; kedelapan, keadaan terpaksa memudahkan perbuatan atau tindakan terlarang; kesembilan, apa yang diperbolehkan karena terpaksa, diukur menurut ukuran yang diperlukan; kesepuluh, menutup sumber kerusakan didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.11 Di samping itu juga, perkembangan Bisnis Syariah di Indonesia mempunyai prospek yang baik, dipengaruhi diantaranya disebabakan karena, yaitu12: a) Hancurnya sistem ekonomi sosialis b) Perkembangan ekonomi Syariah di Indonesia yang sangat signifikan c) Tumbuhnya lembaga pendidikan menengah dan tinggi yang membuka program studi Syariah/bisnis Syariah d) Tumbuhnya wacana ekonomi Syariah di berbagai forum ilmiah, seperti seminar, loka karya, diklat, dan lain-lain Menurut Masdar F. Mas’udi13, kenyataannya sebagai warga negara, di samping terikat pada
Jur
na
lR ec hts V
ind
yang telah dikembangkan oleh fuqaha dalam situasi dan kondisi tertentu. Tampaknya kata hukum Islam yang berkembang di Indonesia merupakan terjemahan dari Islamic Law tersebut. Dengan demikian hukum Islam adalah hukum yang berdasarkan kepada wahyu Allah SWT, dan menurut pengertian ini maka hukum Islam mencakup hukum syara’ dan juga mencakup hukum fiqih karena arti syara’ dan fiqih terkandung di dalamnya. Syariah mempunyai dua pengertian, yakni pengertian dalam arti agama dan pengertian dalam arti hukum fiqih. Syariah dalam pengertian hukum fiqih terbagi dua, yaitu Syariah ilahi dan Syariah wadhi’. Syariah ilahi adalah ketentuanketentuan hukum yang berlangsung dinyatakan secara ekplisit dalam Al-Quran dan Al-Hadis. Norma-norma hukum tersebut berlaku secara universal untuk semua tempat dan waktu, tidak bisa berubah karena tidak ada kompeten untuk mengubahnya. Di samping itu ada hukum fiqih yang tertuang secara eksplesit dalam Al-Quran masih memerlukan penjelasan aplikasinya dari Rasulullah SAW, dan disinilah sunnah-sunnah Nabi yang merupakan operasional terhadap ayat-ayat Al-Quran. Apabila masalah-masalah sosial kemasyarakat perlu penjelasannya dilanjutkan melalui pengkajian ijtihad, maka produk pemikiran tersebut dinamakan fiqih atau juga disebut Syariah wadh’i. Hukum Islam terpancar dari sumber yang luas dan dalam, yang memberikan kepada manusia sejumlah hukum yang positif dan dapat dipergunakan pada setiap masa dan tempat.10
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy,dalam Op.Cit., hlm. 48.. Yusuf al-Qardhawi, dalam Op.Cit., hlm. 49 12 M. Ismail Yusanto dan M. Arif. Yunus dalam Mardan, Hukum Bisnis Syariah (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hlm. 69. 13 Menurut Masdar F. Mas’udi dalam DR. Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung: PT.Vitra Aditya Bakti, 2005), hlm. 4. 10 11
Dinamika Legislasi Hukum Islam: Analisa atas Upaya Pembentukan Hukum Perikatan Syariah (Akhyar Ari Gayo)
489
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
na
lR ec hts V
ind
Hukum agama (Islam) adalah bagian dari materi ajaran Islam, yang mengatur perilaku manusia dalam ibadat dan berbagai hubungan muamalat antar manusia15. Di Indonesia, hukumhukum agama Islam dikenal dengan sebutan Syari’at, Fiqih, dan Hukum Islam. Sebutan lain yang berkonotasi muatan materi hukum Islam ialah qanun, putusan qadli/hakim, fatwa, hasil ijtihad, siyasah syar’iyah, dan lain-lain. Secara elektis, para pembentuk aturan hukum di Indonesia pada tingkat Pusat dan Daerah, memilih dan menetapkan materi hukum dari macam-macam sumber hukum Agama (Islam), Hukum Adat, Hukum Barat, dan lain-lain16. Mereka memilih materi hukum dari berbagai sumber hukum tersebut yang dipandang paling tepat untuk diterapkan di Indonesia. Dengan elektisisme ini, hukum agama Islam menjadi salah satu sumber utama tempat pengambilan materi hukum, baik yang kemudian menjadi bagian dari substansi aturan
BP HN
2. Politik Legislasi melalui Pembentukan Perundang-undangan Berdasarkan Syariah
hukum yang dikaitkan dengan nama Syari’ah atau tidak. Beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia yang berdasarkan hukum Syariah yang sudah ada yakni, antara lain17: 1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria (masuknya masalah wakaf: Pasal 49 ayat (3) saat ini menjadi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang Wakaf 3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, sebagaimana telah dirubah dengan UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaima dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama; 5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji; 6) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,; 7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional; 8) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otsus Bagi Provinsi di Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Naggroe Aceh Darussalam. Pemberlakuan Qanun
ing
hukum agama, Muslim juga terikat pada hukum negaranya. Dalam hubungan ini menurut Rifyal Ka’bah, bahwa hukum menurut Qur’an adalah ketetapan, dan perintah yang berasal dari Allah dan legislasi manusia yang bertujuan untuk menegakan keadilan dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara14.
Rifyal Ka’bah dalam Ibid, hlm. 5. Secara istilah, Syariah adalah hukum-hukum dan aturan-aqturan yang ditetapkan Allah untuk hamba-Nya agar diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungannnya sessama manusia, Hasbi ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 29. 16 Ketiga Sistem hukum tersebut berfungsi sebagai bahan baku materi pembangunan hukum nasional Indonesia di samping hukum-hukum lain yang dapat dipergunakan sebagai bahan pembentukan hukum nasional, Dr. Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Yayasan Nadiya, 2004), hlm. 24. 17 Rifyal Ka’bah, Hukum Ekonomi Syari’ah Di Indonesia (Mahkamah Agung RI, 2013), hlm. 20. 14
Jur
15
490
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 485-499
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
3. Dinamika Perikatan (Akad) Syariah
ind
Sedangkan peraturan daerah dan surat edaranyang dikeluarkan daerah-daerah, antara lain18: 1) Qanun di Aceh 2) Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 03 Tahun 2002 tentang Penertiban dan Larangan penjualan Minuman Keras 3) Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 02 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat, Infak dan Sodakoh 4) Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 05 Tahun 2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah 5) Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 06 Tahun 2005 tentang Pandai Baca Tulis AlQuran, Busana Muslim, dan Pengelolaan Zakat 6) Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 09 Tahun 2005 tentang Zakat Profesi 7) Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 18 Tahun 2001 tentang Larangan Peredaran Minuman Beralkohol 8) Surat Edaran Kabupaten Cianjur Nomor 06 Tahun 2896/Org tentang Anjuran Pemakaian Seragam Kerja (Muslim/Muslimah) Pada Hari-hari Kerja 9) Instruksi Walikota Padang Nomor 451.442/ Binsos-III/2005 tentang Kewajiban Berbusana Muslim 10) Surat Gubernur Provinsi Riau Nomor 0031/ UM/081 tentang Pembuatan Papan Nama Arab-Melayu
Menilik keberlakuan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang didasarkan hukum Syariah di atas, menunjukkan adanya dukungan baik dari masyarakat, pemerintah, legeslatif terhadap pemberlakuan hukum Syariat Islam di Indonesia. Melihat perkembangan politik legislsi sekarang, tidak mustahil jumlah undang-undang maupun Perda Syari’at Islam akan bertambah di masa depan. Legislasi perundang-undangan berdasarkan syariat Islam pada tingkat pusat maupun daerah di masa depan merupakan salah satu perwujudan sistem hukum di negeri ini.
ing
9) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tetang Kompilasi Hukum Islam
Jur
na
lR ec hts V
Berbagai istilah yang sering dipakai sebagai rujukan di samping istilah “Hukum Perikatan” untuk menggambarkan ketentuan hukum yang mengatur transaksi dalam masyarakat. Ada yang menggunakan istilah “Hukum Perutangan”, “Hukum Perjanjian” ataupun “Hukum Kontrak”, Akad (hukum Islam). Masing-masing istilah tersebut memiliki titik tekan yang berbeda satu dengan lainnya. Secara tradisional Perjanjian atau Kontrak dapat dipahami sebagai: “kesepakatan di antara dua atau lebih orang yang memuat sebuah janji atau janji-janji yang bertimbal balik yang dapat ditegakkan berdasarkan hukum, atau yang pelaksanaannya berdasarkan hukum sampai tingkat tertentu diakui sebagai kewajiban” Perjanjian juga dikatakan sebagai perbuatan hukum (juridical act) dua pihak yang mengandung unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain, dan
18
Akhyar Ari Gayo, “Hukum Islam Dalam Perkembangan Pluralisme Hukum Di Indonesia”Makalah disampaikan dalam Seminar tentang Plurarisme Hukum dan Tantangannya Bagi Pembentukan Sistem Hukum Nasional, yang diselenggarakan BPHN Departemen Hukum danm Ham bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin di Makasar tanggal 1-3 Mei (2007), hlm. 9-13.
Dinamika Legislasi Hukum Islam: Analisa atas Upaya Pembentukan Hukum Perikatan Syariah (Akhyar Ari Gayo)
491
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
Hubungan kedua orang yang bersangkutan mengakibatkan timbulnya suatu ikatan yang berupa hak dan kewajiban kedua belah pihak atas suatu prestasi. Sedangkan M. Yahya Harahap21, “Suatu perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melaksanakan prestasi”. Dan menurut R. Wirjono Prodjodikoro22, “Perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. Jika dilihat dari hukum Islam, perjanjian (kontrak, akad) adalah sebagaimana menurut para ahli hukum Islam (fuqaha), kata akad didefinisikan sebagai hubungan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariat yang menetapkan adanya pengaruh (akibat) hukum dalam objek perikatan. Rumusan akad mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus. Akad ini diwujudkan, pertama, dalam ijab dan qabul. Kedua, sesuai dengan kehendak syariat. Ketiga, adanya akibat hukum pada objek perikatan23. Hal ini senada dengan pandangan Hirsamuddin, perjanjian (kontrak, akad) adalah sebagai berikut: Menurut para ahli hukum Islam, kata
na
lR ec hts V
ind
masing-masing pihak itu terikat pada akibatakibat hukum yang timbul dari janji-janji itu karena kehendaknya sendiri. Kontrak sebagai suatu hubungan personal yang berkelanjutan, tidak banyak berbeda dari hubungan-hubungan personal lain, pada dasarnya diatur oleh seperangkat norma-norma. Norma-norma tersebut dapat memerintahkan, mewajibkan atau melarang perilaku-perilaku tertentu. Pelaksanaan perilaku tertentu seringkali digantungkan pada perilaku-perilaku atau kondisi-kondisi tertentu. Perilaku yang menyimpang dapat diancam suatu sanksi, dan perilaku yang baik dapat menerbitkan hak untuk memperoleh insentif. Namun demikian, berbeda dari transaksitransaksi nonkontraktual pada umumnya, sebagian besar dari transaksi-transaksi dan perikatan karena perjanjian diatur secara tertulis di dalam kontrak-kontrak. Dengan perkataan lain, sebuah kontrak membentuk suatu entitas privat di antara para pihak pembuatnya di mana masing-masing pihak memiliki hak secara yuridis untuk menuntut pelaksanaan serta kepatuhan terhadap pembatasan-pembatasan yang telah disepakati oleh pihak yang lain secara sukarela. Sebagai sebuah konsep hukum, paradigma kontrak berdasarkan teori klasikal menunjukkan beberapa karakteristik19. Menurut R. Subekti20, “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana ada seorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.
BPHN, “Laporan Akhir Penyusunan Naskah Akademis Rancangan Undang-undang Hukum Kontrak Tahun 2012”, hlm. 34-35. 20 R. Subekti, Aneka Perjanjian (Bandung: PT. Alumni, 1984), hlm. 1. 21 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perikatan (Bandung: PT. Alumni, 1982), hlm. 3. 22 R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Madju, 2000), hlm.19. 23 https://adjhis.wordpress.com/2012/12/05/perkembangan-terakhir-hukum-islam-di-indonesia (diakses 5 Oktober 2015).
Jur
19
492
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 485-499
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
timbul antar para pihak dalam perjanjian (akad) Syariah.
4. Arah Politik Legislasi Perikatan Syariah
Pengaturan
ing
Perkembangan Hukum Islam di Indonesia sesungguhnya juga dapat dilihat dari Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yaitu memberlakukan penyelesaian sengketa menyangkut Ekonomi Syariah. Hal tersebut berkait dengan masalah bank syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah, bisnis syari’ah dan lembaga keuangan mikro syari’ah. Hanya yang menjadi persoalan adalah rujukan para hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam menyelesaikan masalah ekonomi Syariah. Berbeda dengan masalah Hukum Perkawinan, Kewarisan, wasiat, hibah dan perwafan, hukum materil yang menjadi rujukan para hakim adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sementara menyangkut ekonomi Syariah belum ada hukum materil khusus yang tertuang dalam satu kodifikasi seperti KHI. Itu berarti para hakim akan lebih banyak mengambil banyak rujukan dengan mengambil pendapat para ulama hingga memungkinkan berijtihad. Memperhatikan dengan semakin ber kembangnya ekonomi Syariah yang diiringi dengan dikeluarkannya beberapa undangundang yang mengaturnya, namun dalam praktek pelaksanaanya masih menggunakan cara-cara tranplantasi hukum terutama dalam
Jur
na
lR ec hts V
ind
akad didefinisikan sebagai hubungan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariat yang menetapkan adanya pengaruh (akibat) hukum dalam objek perikatan. Rumusan akad di atas mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus. Akad ini diwujudkan, pertama, dalam ijab dan qabul. Kedua, sesuai dengan kehendak syariat. Ketiga, adanya akibat hukum pada objek perikatan24. Dari beberapa pengertian tersebut, tampak adanya kaitan yang erat antara Hukum Perikatan (yang bersifat hubungan perdata) dengan prinsip kepatuhan dalam menjalankan ajaran agama Islam yang ketentuannya terdapat dalam sumber-sumber Hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW (As-Sunnah). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum adalah aturan nilai yang berisi tentang baik atau buruk, boleh atau tidak, salah atau benar, yang ditentukan oleh pembuat hukum yang diwujudkan kedalam sutau peraturan perundang-undangan nasional. Berpijak pada pengertian hukum tersebut terlihat bahwa keberadaan hukum sangatlah penting. Pendekatan hukum untuk mewujudkan hukum periktan Islam dalam bentuk tersedianya hukum positif yang memberikan pedoman bagi para pihak dalam melakukan transaksi Syariah, memberikan jaminan kepastian hukum, perlindungan hukum bagi para pihak, dan landasan hukum (law enforcement) apabila terjadi pelanggaran atau penyimpangan dalam transaksi. Selain itu hukum juga harus menyediakan sarana untuk meyelesaikan sengketa atau perselisihan yang mungkin
Hirsanuddin, Hukum Perbankan Syariat di Indonesia (Pembiayaan Bisnis dengan Kemitraan), (Yogyakarta: Genta Press, 2008), hlm. 7.
24
Dinamika Legislasi Hukum Islam: Analisa atas Upaya Pembentukan Hukum Perikatan Syariah (Akhyar Ari Gayo)
493
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
Lebih lanjutnya dari hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa perlu atau tidaknya kodifikasi hukum kontrak Syariah, (100%) dari masyarakat yang ditanyakan menyatakan setuju dengan alasan yaitu27: a. Supaya ada keseragaman hukum, b. Agar tercipta kesatuan hukum sehingga memudahkan untuk menelusurinya, c. Untuk memberikan kekuatan hokum yang lebih pasti dan menjadi rujukan ketika terjadi sengketa d. Karena aturan mengenai hal itu masih memungkinkan untuk memedomani AlQur’an, Hadis, pendapat ahli dan bukubuku yang membahas tentang ekonomi Syariah, dan peraturan BI, sehingga hal ini cukup menjadi sumber pembentukan aturannya dan disparitas putusan hakim kecil kemungkinan terjadi e. Sebagai rujukan utama dalam praktek ekonomi syari’ah, keempat, memberikan kepastian hukum bagi investor dan seluruh stakeholder yang berkaitan dengan ekonomi Syariah f. Penting, hal ini sangat membantu dan memudahkan bagi masyarakat luas g. Untuk mendalami dan memahami serta mempelajari lebih mendalam tentang
lR ec hts V
ind
hal perikatan (akad) sehingga menimbulkan keraguan, ketidakpastian dan ketidakadilan bagi para pihak yang mengadakan transaksi khususnya bagi umat muslim. Munculah keinginan untuk membuat satu aturan yang khusus mengenai perikatan Islam. Hal ini untuk menghindari transplantasi hukum dan untuk menjamin perlindungan dan kepastian hukum di masyarakat. Adapun mengenai bentuk aturan yang akan dibuat apakah dalam bentuk kodifikasi ataupun undang-undang tersendiri mengenai perikatan Islam. Menurut penulis sebaiknya perikatan Syariah dibuat dalam bentuk undang-udang tersendiri dengan penamaan undang-undang perikatan Syariah. Apabila diatur dalam sebuah Kodifikasi akan memakan waktu lama dan biaya cukup besar25. Penting dan perlunya pengaturan perikatan Syariah ini juga didukung dari hasil penelitian yang dilakukan Gemala Dewi26, bahwa sebagaian besar masyarakat (85%) responden menjawab materi hukum kontrak (akad) Syariah sebaiknya dibuat dalam undang-undang terpisah. Sedangkan (15%) responden lain menjawab materi hukum kontrak (akad) Syariah dibuat menyatu saja di dalam Undang-Undang Hukum Kontrak Nasional.
Akhyar Ari Gayo, “Pembentukan Hukum Perikatan Syariah Sebagai Antisipasi Perkembangan Ekonomi Syariah”, makalah disampaikan dalam Facus Group Discussion yaitu “Suatu Pemikiran Kearah Kodifikasi Perikatan Islam yang tepat di Indonesia dalam rangka antisipasi perkembangan Ekonomi Syariah di Era Globalisasi”. Diadakan oleh Lembaga Djokosoetono Research Center FHUI bekerjasama dengan Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam (LKIHI) FHUI (tanggal 25 Nopember 2014), hlm. 10. 26 Gemala Dewi, “Suatu Pemikiran Kearah Kodifikasi Perikatan Islam yang tepat di Indonesia dalam rangka antisipasi perkembangan Ekonomi Syariah di Era Globalisasi”, makalah disampaikan dalam Facus Group Discussion yaitu Diadakan oleh Lembaga Djokosoetono Research Center FHUI bekerjasama dengan Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam (LKIHI) FHUI (tanggal 25 Nopember 2014), hlm. 6. 27 Gemala Dewi, “Suatu Pemikiran Kearah Kodifikasi Perikatan Islam yang tepat di Indonesia dalam rangka antisipasi perkembangan Ekonomi Syariah di Era Globalisasi”, makalah disampaikan dalam Facus Group Discussion yaitu Diadakan oleh Lembaga Djokosoetono Research Center FHUI bekerjasama dengan Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam (LKIHI) FHUI (tanggal 25 Nopember 2014), hlm. 5.
Jur
na
25
494
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 485-499
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
lain bahwa pengaturan dalam bentuk undangundang ini akan akan menjadi payung hukum dari hukum perikatan Syariah. Pembentukan hukum perikatan (perjanjian) Syariah sebagai bagian dari hukum nasional, nantinya dibuat dengan tidak bertentangan atau melanggar larangan yang sudah ditentukan dalam alqur’an dan sunah Nabi Muhammad SAW. Inilah yang memungkinkan Hukum Perikatan Syariah mengikuti perkembangan di era globalisasi saat ini. Pada akhirnya dengan pembentukan undang-undang perikatan Syariah akan tercipta pertama, kepastian hukum. Kepastian hukum adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Kedua, penyederhanaan hukum. Penyederhahaan hukum sangat penting untuk memudahkan masyarakat dalam memahami peraturanperaturan yang dibuat oleh pemerintah. Sehingga penegak hukum dan masyarakat dapat melaksanakan peraturan sesuai dengan fungsinya. Selanjutnya, sesuai dengan prosedur dan proses pembentukan peraturan perundangundangan seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, pembentukannya dengan terlebih dahulu memasukan usulan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang disampaikan baik melalui pemerintah maupun DPR. Pasal
lR ec hts V
ind
akad Syariah, dan bagi praktisi agar lebih memudahkan dalam menjalankan tugas dan menjawab persoalan yang muncul dimasyarakat h. Agar dapat menjadi guidelines bagi para Hakim Pengadilan Agama dalam memutus sengketa ekonomi Syariah i. Untuk pengetahuan masyarakat j. Kodifikasi menghasilkan kejelasan, keteraturan atas parameter sistem sehingga kodifikasi menjadi sumber dalam pembuatan kontrak-kontrak perjanjian atas akad- akad tersebut. Kodifikasi hokum kontrak Syariah sangat penting, sehingga seluruh stakeholder yang terkait dengan industry Syariah memiliki pemahaman dan referensi yang sama. k. Bagi saya (sebagai hakim), ini menjadi penting untuk menghindari terjadinya disparitas hukum dan putusan dalam kasus yang sama. l. Karena akan sangat memudahkan dan bermanfaat bagi Hakim dan masyarakat luas. m. Tentu penting, sebab hal itulah yang nanti menjadi acuan semua pihak, baik pelaku kontrak maupun pengadilan
Jur
na
Kemudian, apabila akan dibentuk dalam suatu undang-undang, maka bentuk undangundang ini nantinya akan mengatur hal-hal yang bersifat umum seperti misalnya mengatur mengenai asas-asas28, pengertian perikatan, prinsip-prinsip perikatan dan syarat-syarat sahya perikatan Syariah. Bentuk undang-undang semacam ini akan memudahkan dalam penyusunannya dan tidak akan memakan waktu cukup lama. Dengan kata
Lihat Mardani, Hukum Perikatan Syariah Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 20.
28
Dinamika Legislasi Hukum Islam: Analisa atas Upaya Pembentukan Hukum Perikatan Syariah (Akhyar Ari Gayo)
495
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
mengandalkan kitab-kitab fiqih produk ijtihad para Imam Madzhab sebagai bahan rujukan utamanya. Sehingga para hakim membutuhkan aturan yang baku menjadi pedoman dalam menerima, memeriksa dan memutus sengeta ekonomi Syariah29. Diungkapkan Bagir Manan30, bahwa dewasa ini, marak tuntutan untuk memberlakukan hukum Islam dalam berbagai segi kehidupan. Tetapi dipihak lain nampaknya masih belum ada kesepahaman yang utuh, tentang keseluruhan aspek yang disebut dengan hukum Islam. Apakah hukum Islam dalam pengertian keseluruhan nash Al-Quran dengan Sunnah Rasulnya. Ataukah termasuk pula hukum-hukum yang tumbuh dan berkembang kemudian, berdasarkan aktivitas nalar dan penginderaan manusia (ijtihad) dalam rangka memudahkan membumikannya. Dalam menyikapi perkembangan ekonomi Syariah di era globalisasi tersebut, di samping masih belum ada kesepahaman yang utuh, tentang keseluruhan aspek yang disebut dengan hukum Islam, belum memadainya aturan hukum yang ada, faktor lain menjadi tantangan/ hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan bisnis Syariah, yaitu, antara lain31: 1) Rendahnya kesadaran umat Masih rendahnya kesadaran umat Islam tentang bisnis Syariah, bahkan banyak di antara umat Islam yang tidak mengetahui konsep bisnis Syariah
na
lR ec hts V
ind
43 angka (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa setiap Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik. Selanjutnya di dalam Pasal 1 angka 11 (Ketentuan Umum) menyebutkan bahwa Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undangundang (RUU). Seperti yang telah di uraikan di atas bahwa seiring dengan pesatnya perkembangan lembaga-lembaga ekonomi yang berbasis syari’ah perlu payung hukum yang cukup memadai dalam mengatur perilaku bisnis yang berlandaskan syari’ah, tidak cukup hanya berbekal pada doktrin hukum (fiqih) semata, terutama bagi hakim-hakim di pengadilan agama dalam menangani sengketa-sengketa ekonomi Syariah. Sebab sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, kendatipun Pengadilan Agama telah lama diakui eksistensinya namun hakimnya masih belum memiliki buku standar yang dapat dijadikan rujukan secara bersama layaknya KUHP, apalagi kewenangan di bidang ekonomi syari’ah adalah kewenangan yang baru, praktis Hakim Pengadilan Agama masih
https://adjhis.wordpress.com/2012/12/05/perkembangan-terakhir-hukum-islam-di-indonesia/ (diakses 5 Oktober 2015). 30 Susi Dwi Haijanti, Editor “Negara Hukum Yang Berkeadilan” Kumpulan Pemikiran Dalam Rangka Purnabakti Prof. DR. H. Bagir Manan, S.H.,M.CL,. Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, (2011), hlm. 304-305. 31 M. Ismail Yusanto dan M. Arif. Yunus dalam Mardan, Hukum Bisnis Syariah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hlm. 69.
Jur
29
496
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 485-499
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
diidentifikasi dan mudah diketemukan kembali; c. Struktur dan sistematika peraturan perundang-undangan lebih jelas sehingga memungkinkan untuk diperiksa kembali dan diuji baik segi-segi formal maupun materi muatannya; d. Pembentukan dan pengembangan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan. Faktor ini sangat penting bagi negaranegara yang sedang membangun termasuk membangun sistem hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
Meski peran peraturan perundang-undangan sedemikian penting, tetapi pemanfaatan peraturan perundang-undangan juga menga lami masalah-masalah, karena peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikan peraturan perundangundangan dengan perkembangan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tata cara tertentu. Sementara itu masyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya maka terjadi semacam jurang antara peraturan perundang-undangan dan masyarakat. Hal mana sebagaimana dikatakan Satjipto Rahardjo bahwa hukum adalah istrumentasi dari putusan atau keinginan politik sehingga pembuatan undangundang sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu, dan dengan demikian medan pembuatan undang-undang menjadi medan perbenturan dan pergumulan kepentingan-
ind
2) Rendahnya sumber daya manusia Masih cukup banyaknya praktisi lembaga keuangan Syariah yang pengetahuanmereka tentang konsep bisnis Syariah 3) Dukungan sistem Walaupun sudah berlaku dual system economic, yaitu ekonomi konvensional dan ekonomi Syariah, tetapi masih banyak lembaga keuangan Syariah yang masih belum mempunyai peraturan perundangundangan tersendiri, seperti pengadaian Syariah, asuaransi Syariah, pasar modal Syariah, perikatan Syariah dan lain sebagainya 4) Globalisasi Era globalisasi mejadi tantangan tersendiri bagi bisnis Syariah yang sampai sekarang dikuasai oleh bisnis konvensioal (kapitalis)
Jur
na
lR ec hts V
Perundang-undangan dan kegiatan legislasi dalam sistem hukum Indonesia khususnya hukum Syariah menjadi sangat penting karena menjadi pendukung utama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Besarnya peranan peraturan perundang-undangan terjadi karena beberapa hal:32 a. Peraturan perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang mudah dikenali (diidentifikasi), mudah diketemukan kembali, dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah hukum tertulis, bentuk, jenis dan tempatnya jelas. Begitu pula proses pembentukan serta pembuatnya; b. Peraturan perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang lebih nyata karena kaidah-kaidahnya mudah
Bagir Manan dalam Wicipto Setiadi, Keynote Speech Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Dalam Acara Dialog Urgensi Penelitian Dan Pengkajian Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Cirebon, (20 Mei 2014), hlm. 3.
32
Dinamika Legislasi Hukum Islam: Analisa atas Upaya Pembentukan Hukum Perikatan Syariah (Akhyar Ari Gayo)
497
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
DAFTAR PUSTAKA Buku
ing
Ali, H. Zainuddin, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2009) Harahap, M. Yahya, Segi-segi Hukum Perikatan (Bandung: PT. Alumni, 1982) Hasbi, ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001) Hirsanuddin, Hukum Perbankan Syariat di Indonesia (Pembiayaan Bisnis dengan Kemitraan), (Yogyakarta: Genta Press, 2008) Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung: PT.Vitra Aditya Bakti, 2005) Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: PT.Vitra Aditya Bakti, 2005) Ka’bah, Rifyal, Hukum Ekonomi Syari’ah Di Indonesia (Mahkamah Agung RI, 2013) Manan, Dr. H. Abdul, Aspes-aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2005) Mardan, Hukum Bisnis Syariah (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014) Mardani, Hukum Perikatan Syariah Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) Prodjodikoro, R. Wirjono, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Madju, 2000) Subekti, R., Aneka Perjanjian (Bandung: PT. Alumni, 1984) Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Yayasan Nadiya, 2004) Yusanto, M. Ismail, dan M. Arif. Yunus dalam Mardan, Hukum Bisnis Syariah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014) Zaidah, Yusna, Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan dan Arbitrase Syariah di Indonesia (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015)
lR ec hts V
D. Penutup
transaki (akad) Syariah dalam bentuk undangundang khusus mengenai perikatan Syariah.
ind
kepentingan33. Dalam keadaan demikian, masyarakat akan menumbuhkan hukum sendiri sesuai dengan kebutuhan. Bagi masyarakat yang tidak mampu menumbuhkan hukum-hukum sendiri akan “terpaksa” menerima peraturan perundang-undangan yang sudah “ketinggalan” atau pun tidak sesuai dengan hati nuraninya. Penerapan peraturan perundang-un dangan yang tidak sesuai itu dapat dirasakan sebagai “ketidakadilan” dan dapat menjadi hambatan perkembangan masyarakat. Dan juga peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi segala peristiwa hukum atau tuntutan hukum, dan ini menimbulkan apa yang lazim disebut sebagai kekosongan hukum atau “rechtsvacuum” atau lebih tepat disebut kekosongan peraturan perundang-undangan (wetsvacuum).
Jur
na
Bahwa seiring berkembangnya kegiatan praktek ekonimi Syariah, bertambah banyak pula traksaksi-transaksi atau kontrak (akad) Syariah yang dilakukan para pihak. Dan dalam praktek pelaksanaanya kegiatan ekonomi Syariah saat ini masih menggunakan cara-cara tranplantasi hukum dalam perikatan (akad) Syariah, sehingga menimbulkan keraguan, ketidakpastian dan ketidakadilan. Dan untuk memenuhi keinginan para pihak yang mengadakan transaksi-transaski (akad) Syariah tersebut sangat dibutuhkan undang-undang yang mengatur tentang transaksi-transaksi Syariah. Oleh karena itu perlu dibuatkan segera satu aturan hukum yang pasti megenai transaksi-
Makalah/Artikel/Laporan/Hasil Penelitian Ari Gayo, Akhyar, “Pembentukan Hukum Perikatan Syariah Sebagai Antisipasi Perkembangan Ekonomi Syariah” “, makalah disampaikan dalam Facus Group Discussion yaitu “Suatu Pemikiran
Satjipto Rahardjo, dalam Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: PT.Vitra Aditya Bakti, 2005), hlm. 5.
33
498
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 485-499
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
Peraturan
BP HN
Syariah di Era Globalisasi”, makalah disampaikan dalam Facus Group Discussion yaitu Diadakan oleh Lembaga Djokosoetono Research Center FHUI bekerjasama dengan Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam (LKIHI) FHUI (tanggal 25 Nopember 2014), hlm. 6. Susi Dwi Haijanti, Editor “Negara Hukum Yang Berkeadilan” Kumpulan Pemikiran Dalam Rangka Purnabakti Prof. DR. H. Bagir Manan, S.H.,M.CL,. Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, (2011)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasonal (RPJPN) 2005 – 2025 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
ind
Kearah Kodifikasi Perikatan Islam yang tepat di Indonesia dalam rangka antisipasi perkembangan Ekonomi Syariah di Era Globalisasi”. Diadakan oleh Lembaga Djokosoetono Research Center FHUI bekerjasama dengan Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam (LKIHI) FHUI (tanggal 25 Nopember 2014) Ari Gayo, Akhyar, “Hukum Islam Dalam Perkembangan Pluralisme Hukum Di Indonesia”Makalah disampaikan dalam Seminar tentang Plurarisme Hukum dan Tantangannya Bagi Pembentukan Sistem Hukum Nasional, yang diselenggarakan BPHN Departemen Hukum danm Ham bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin di Makasar tanggal 1-3 Mei (2007) Manan, Bagir, dalam Wicipto Setiadi, Keynote Speech Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Dalam Acara Dialog Urgensi Penelitian Dan Pengkajian Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Cirebon, (20 Mei 2014) BPHN, “Laporan Akhir Penyusunan Naskah Akademis Rancangan Undang-undang Hukum Kontrak Tahun 2012” Dewi, Gemala, “Suatu Pemikiran Kearah Kodifikasi Perikatan Islam yang tepat di Indonesia dalam rangka antisipasi perkembangan Ekonomi
Jur
na
lR ec hts V
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Ekonomi Syariah
Dinamika Legislasi Hukum Islam: Analisa atas Upaya Pembentukan Hukum Perikatan Syariah (Akhyar Ari Gayo)
499
lR ec hts V
ind
ing
BP HN
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Jur
na
”Halaman ini dikosongkan”
500
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 21-41
ing
BP HN
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ind
UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA MITRA BESTARI
lR ec hts V
Segenap pengelola Jurnal RechtsVinding menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas sumbangsih: Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, S.H., M.S. Dr. Suhariyono AR, S.H., M.H.
Dr. Zainal Arifin Hoesein, S.H., M.H.
Jur
na
sebagai Mitra Bestari yang telah melakukan peer review terhadap naskah Jurnal RechtsVinding Volume 4 Nomor 3, Desember 2015.
lR ec hts V
ind
ing
BP HN
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Jur
na
”Halaman ini dikosongkan”
502
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 21-41
BIODATA PENULIS
BP HN
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Bisariyadi, lahir di Jakarta, 3 Januari 1979. Meraih gelar Sarjana Hukum (S.H) dari Universitas Indonesia pada tahun 2003. Kemudian gelar Master (LL.M) dari University of Melbourne School of Law pada tahun 2013. Saat ini bertugas sebagai PNS di lingkungan Mahkamah Konstitusi sebagai Peneliti. Selain itu juga mendirikan Lembaga Kajian Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah (LKHK-OtDa) dan membangun Center for Law Information (www.theceli.com). Penulis juga aktif dalam melakukan editorial buku. Penulis dapat dihubungi pada alamat email:
[email protected]
ind
ing
Anna Triningsih, Menyelesaikan pendidikan Program Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan melanjutkan Program Pascasarjana Magister Hukum (S-2) pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saat ini Penulis menjabat sebagai Peneliti Muda pada Pusat Penelitian Pengkajian Perkara dan Pengelolaan Teknologi Informasi Komunikasi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Penulis juga sebagai pengajar pada perguruan tinggi, antara lain Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam (2005-2010) Batam dan Fakultas Hukum Esa Unggul (2013-sekarang) Jakarta. Selain itu Penulis juga aktif sebagai Editor buku salah satunya “Konstitusi Bernegara, Praksis Kenegaraan Bermartabat dan Demokratis”, Penerbit Setara, Malang 2015. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]
lR ec hts V
Abdurrachman Satrio, lahir di Bandung, 5 Januari 1994, saat ini sedang menempuh pendidikan Sarjana Hukum di Universitas Padjajaran Bandung, selain itu aktif juga pada organisasi Padjadjaran Law Research and Debate Society (Pleads), dan pernah mendapatkan penghargaan Juara 1 Lomba Legislative Drafting Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas Brawijaya, serta aktif menulis dengan karya terbaru yaitu “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan Hasil Pemilu Sebagai Bentuk Judicialization of Politics” Jurnal Konstitusi Volume 12 Nomor 1, Maret 2015, yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]
na
Muh. Risnain, penulis Lahir di Bima 30 Desember 1980. Ia menyelesaikan Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Mataram tahun 2003. Tahun 2006 ia menyelesaikan studi Magister Hukum di Program Pascasrjana UNPAD dengan Konsentrasi Hukum Internasional. Pada bulan juli 2014 menyelesaikan pendidikan Doktor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum UNPAD Bandung. Setelah tamat S2 ia mengajar di sebagai Dosen Luar Biasa pada Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten (2006-2007). Pada tahun yang sama ia juga mengajar sebagai Dosen Luar Biasa pada FH UNRAM (2007). Sejak Tahun 2008 sampai awal 2011 menjadi Tenaga Ahli DPR RI yang membidangi Hubungan Internasional, Pertahanan dan Komunikasi/Komisi I DPR RI (2008-2009), kemudian ditugaskan mendampingi anggota DPR RI yang duduk di Komisi IX (Komisi Kesehatan dan Ketenagakerjaan). Awal 2011 diangkat menjadi Dosen Hukum Internasional dan Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Mataram. Penulis dapat dihubungi melalui email :
[email protected] dan risnain82@ gmail.com
Jur
Budi Suhariyanto, lahir di Jember, Jawa Timur, 2 Mei 1983. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum di FH Univ. Jember tahun 2006, dan Magister Hukum di UNPAD Bandung tahun 2009. Bekerja sebagai Peneliti Muda bidang Hukum dan Peradilan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI. Penulis aktif melakukan kegiatan penelitian baik di (internal) Mahkamah Agung maupun kerjasama lintas Lembaga/Kementerian lain (eksternal). Penulis juga aktif menulis di beberapa jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi maupun yang tidak terakreditasi serta telah menulis buku yang berjudul “Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime)”. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
Suharyo, lahir di Kendal 8 Mei 1955, meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila di tahun 1988, dan menempuh Program Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia di tahun 2004. Saat ini aktif sebagai Peneliti Madya di Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Pada tahun 2006 s/d 2011 pernah menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Hukum Universitas Islam Attahiriyah Jakarta dengan mata kuliah Hukum Tata Negara, Hukum Pemerintahan Daerah / OTDA, Pancasila, dan Kewarganegaraan. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]
ing
Dayanto, lahir di Lesane, Maluku Tengah, 6 April 1983, meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Hasanuddin pada 2005 dan Magister Hukum di Universitas Hasanuddin pada 2011, saat ini aktif sebagai Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Darussalam Ambon, selain itu aktif juga melakukan penelitan dengan judul penelitian terakhir “Efektifitas Fungsi Parlemen Dewan Perwakilan Daerah Dalam Mewakili Aspirasi Masyarakat Daerah Maluku” dan juga aktif menulis di berbagai jurnal ilmiah. Dan sudah menghasilkan buku yang berjudul Negara Hukum dan Demokrasi: Pergulatan Paradigmatik dan Kritik Realitas dalam Meluruskan Jalan Bernegara yang diterbitkan oleh Deepublish Yogyakarta di Tahun 2014. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]
lR ec hts V
ind
Asma Karim, lahir di Papilawe, 10 April 1981, meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Pattimura pada 2005 dan Magister Hukum di Universitas Universitas Jenderal Soedirman pada 2012, saat ini aktif sebagai Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Darussalam Ambon, selain itu aktif juga melakukan penelitan dengan judul penelitian terakhir “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Upacara Adat Penggal Kepala Suku Naulu Di Kabupaten Maluku Tengah” dan juga aktif menulis di berbagai jurnal ilmiah. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected] Wenda Hartanto, lahir di Dumai, 3 Juni 1982, meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Riau pada 2005, saat ini aktif sebagai Perancang Pertama Peraturan Perundang-Undangan pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Riau. Penulis dapat dihubungi melalui email: wendahartanto@ yahoo.com
Jur
na
Akhyar Ari Gayo, lahir di Takengon, 21 April 1966, meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Islam Djakarta pada tahun 1991, kemudian gelar magister hukum pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum “IBLAM” ditahun 2002. Saat ini aktif sebagai Peneliti Utama pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional. Penulis juga aktif menulis dibeberapa jurnal ilmiah dan aktif menjadi pengurus organisasi yakni Sekretaris Jenderal Ikatan Peneliti Hukum Indonesia periode 2012-2015 dan Ketua Bidang Hukum Himpunan Peneliti Indonesia periode 2013 – 2016. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ind
ing
Anders Lidström 66 Andi Mattalata 400 Andrea Goldstein 211 Andy Ramses 3 Anis Ibrahim 435 Anki Dellnäs 68 Ann O'M. Bowman 68 Anna Triningsih 365 Ansyahrul 414 Anthony I. Ogus 265 Anthony J. Venables 212 Arend Lijphart 385, 394, 395 Ari Pradhanawati 69, 126 Arif Maulana 125 Arifin P. Soeria Atmadja 263 Arthur Gunlicks 391, 392 Arya Putra Negara Kutawaringin 414 Asma Karim 449 Atja Sonjaya 419 Atje Misbach Muhjidin 334 August Mellaz 111
Jur
na
lR ec hts V
A A. Khozin Afandi 479 A.M. Fatwa 106 A.Malik Madaniy 124 Abdul Latif 369 Abdul Manan 488 Abdul Nasir 244 Abdullah Dahlan 114, 121 Abdurrachman Satrio 383 Abrar Saleng 214 Achmad Ali 273, 422, 423, 478 Achmad Jazuli 181 Achmad Ruslan 456 Adang 420, 421, 422 Adi Sulistiyono 272 Adian Sutedi 452 Aditia Syaprillah 295 Adriaan W. Bedner 225 Adrian Sutedi 271 Agus Djojosoekarto 2 Agus Pramono 338 Agus Sugiyono 182 Agussalim Andi Gadjong 62 Ahmad Kamil 414, 419 Ahmad M. Ramli 408 Ahmad Redi 199, 267 Ahmad Rifai 424 Ahmad Sudiro 329 Ahmad Ubbe 296 Akhyar Ari Gayo 485, 491, 494 Akinkugbe O 201 Al Mar Idris Sarong 302 Alan R. Ball 385 Alan Wall 167, 169 Alec Stone Sweet 350, 351, 354 Alexander Lay 428 Ali Maskur Musa 14 Ali Taher Parasong 153 Amin Tohari 291 Aminuddin Ilmar 264 Amir Syarifuddin 488 Amiruddin 108, 164, 186 Amrizal 264 Amy Gutmann 24, 25, 28, 36 Ana Rokhmatussadyah 258 Ananda Prima Yurista 311
BP HN
INDEKS PENGARANG
B B. Heru Cipto Handoyo 440 B. Napitupulu 264 Bagir Manan 34, 53, 55, 384, 385 Bambang Sugiri 220 Bambang Susantono 332 Bambang Sutiyoso 133, 418 Bambang Waluyo 164 Bambang Widjojanto 135, 148 Barda Nawawi Arief 442 Barry Friedman 349 Barry Smart 471 Bayu Dwi Anggono 269 Bernard L Tanya 153 Bhenyamin Hoessein 64 Bilal Dewansyah 21, 23 Bintan R. Saragih 11, 14 Bisariyadi 345, 352 Bivitri Susanti 386 Bjoern Dressel 352 Bruce Ackermann 26. 28, 29, 37 Bruce Mitchell 302 Budi Suhariyanto 413 Bungasan Hutapea 1
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
ing
F F. Budi Hardiman 474 F.X. Adji Samekto 453 Fajar Sugianto 274 Fajri Nursyamsi 400 Farouk Muhammad 445 Firmansyah Arifin 366 Francois Venter 390, 391 Frank Feulner 391, 392 Frank Hendriks 66 Franz Magnis Suseno 440 Fredrik Jörgensen 171 FX. Soekarno 405 G Gemala Dewi 494 George Ritzer 471 Giovanni Sartori 368 Graeme Orr 25 Graham Sansom 70 Greg Taylor 393, 394
lR ec hts V
D D. Sidik Suraputra 331 Dahlan Thaib 50, 63, 69 Daniel Johnston 244 Darmoko Yuti Witanto 414 Daud Silalahi 185 David M. Thomas 66 David N. Biette 66 David Y Miller 68 Dayanto 449 Dempsey Paul Stephen 332 Dennis F. Thompson 24, 25, 40 Desmond Hutagaol 328 Dian Agung Wicaksono 157, 311 Diana M. Branduse 389 Diana Yusyanti 85 Didik Sukriono 153 Didik Supriyanto 113, 114 Djoehermansyah Djohan 92 Djoko Muriatmodjo 340 Donald P. Kommers 390, 393 Donni Edwin 132 Donny Gahral Adian 470 Dwi Andayani Budisetyowati 65 Dwi Nofi Andhiyantama 185 Dyah Mutiarin 125
Estefânia Maria De Queiroz Barboza 352 Etty R Agoes 334
ind
C C. Neal Tate 351 C.F. Strong 384 C.F.G. Sunaryati Hartono 242, 261, 275 Chad Vickery 166, 167 Christian Behrendt 354 Christine Landfried 352 Clark B. Lombardi 361 Clifford Geertz 100
Jur
na
E E. Saefullah Wiradipradja 328, 331, 334 Eddy Purnama90 Edie Toet Hendratno 433 Edwin 221 Eileen Martin 64 Eleanor Cashin Ritaine 170 Endang Puji Lestari 327 Endaryanta 221 Enny Nurbaningsih 395 Eric Kerrouche 67 Erik Knippenberg 396 Erlangga Djumena 313 Esmi Warasih 289, 299
H H. Abdurahman 89 H. M. Jusup 451 H. Zainuddin Ali 488 H.K. Martono 329 Hamdan Zoelva 52, 114, 154 Hamdesa Tuso 292, 293 Hamid S. Attamimi 435 Hans Kelsen 350, 351 Hansko Broeksteeg 395, 396 Hari Sabarno 441 Harison Citrawan 279 Hartono Mardjono 481 Harun Hadiwijono 474 Harun M. Husein 187 Heidegger 474 Hendra Nurtjahyo 95 Hendrik Hattu 451, 454 Henry B. Mayo 13 Henry Donald Lbn. Toruan 255 Hestu Cipto Handoyo 62 Hikmahanto Juwana 408 Hikmawati 450 Hilman Hadikusuma 89 Himawan Estu Bagijo 457 Hirsanuddin 493
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Hotma P. Sibuea 270 Huala Adolf 213, 338 Hubert Heinelt 66
BP HN
ing
K K.C. Wheare 384, 395 Karna Wijaya 318 Katya Kozicki 352 Kelik Pramudya 123 Kemilau Mutik 433 Khoirunnisa Agustyati 111 Kholid O Santoso 95 Kilbourn v. Thompson 350 Koesnadi Hardjasoemantri 187, 299, 300 Konrad Reuter 391, 393 Kuntana Magnar 49 Kusnu Goesniadhie 119
ind
I I Gde Pantja Astawa 64 I Nyoman Nurjaya 232 I.B.G. Suryatmaja M 14 I.B.Wyasa Putra 400 Ibrahim Z. Fahmi Badoh 139 Ifransko Pasaribu 186 Ignatius Mulyono 403 Imam Anshori Saleh 442 Imam Koeswahyono 225 Indra 183 Indra Hendrawan 139 Indra Ismawan 121 Ismi Warassih 480 Isrok 451 Iwan Satriawan 128 Iza Rumesten R.S 454
Joko J. Prihatmoko 4, 109 Jonghyun Park 352 Joseph Bessette 70 Juhaya S. Praja 420 Jujur S. Suriasumantri 165 Juli Panglima Saragih 246 Jumina 318 Jürg Steiner 23, 38
L Leo Agustino 65, 109 Lia Wulandari 113, 114, 118 Lili Rasjidi 400 Lili Romli 17 Lilik Mulyadi 417, 419, 425, 427 Lincolin Arsyad 274, 275 Lomba Sultan 126 Loura Hardjaloka 59 Luhut M.P. Pangaribuan 414 Luna Droubi 361 Lusiana Tijow 187
Jur
na
lR ec hts V
J J. Eric Oliver 67 J. Hayward 27 Jacob Rowbottom 39 James Manor 66 James S. Fishkin 25 Jan M. Smits 170, 171 Jan Ten Kate 352 Jan Torpman 171 Janedjri M Gaffar 44, 148, 387 Janpatar Simamora 19, 125 Jazim Hamidi 433 Jazuni 489, 498 Jean Bodin 91 Jeremy J. Kingsley 131 Jeremy Waldron 384 Jimly Asshiddiqie 3, 46, 64, 273, 333, 346, 366, 370 Joakim Öjendal 68 Joel Krieger 69 Johannes Kananaen 70 John Ferejohn 351 John H. Beckstrom 170 John Kincaid 67 John Loughlin 66 John Pitney 70 John Stuart Mill 24, 29 John Uhr 24 John Z Loudoe 476 Johny Ibrahim 369, 439
M M Sholehuddin 436 M. Arif. Yunus 489 M. Ilham F Putuhena 237 M. Ismail Yusanto 496 M. Mahrus Ali 127, 132 M. Noor Azis 3 M. Nur Solikin 348 M. Yahya Harahap 492 M.Kholid Syeirazi 244 Madjedi Hasan 201, 202 Mahfud MD 45, 60, 64, 229, 243, 349, 350, 371, 385 Majda El-Muhtaj 115 Malik 415
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
Nurhasan Ismail 282 Nurul Qamar 417
O Oentoeng Wahjoe 339 Ola Anisa Ayutama 157 Olle Tornquist 22 Oscar W Gabriel 67
ind
ing
P Pandji Anoraga 262 Parsudi Suparlan 47 Pataniari Siahaan 480 Patrialis Akbar 16, 140 Paul Rowland 14 Paulus Effendi Lotulung 143 Peter A. Angeles 474 Peter Forsyth 339 Peter J. Van Koppen 352 Peter Mahmud Marzuki 163, 164 Peter Mahmud Marzuki 204 Peter McKinlay 70 Philip M. Hadjon 270 Philip Selznick 453 Philippe Nonet 453 Philipus M. Hadjon 439 Pierre Legrand 171 Pontang Moerad 419 Pramono Anung Wibowo 111 Priyatna Abdurrasyid 329
lR ec hts V
Marbun 72 Marcia L. Godwin 69 Mardan 489, 495, 496 Mardani 495 Maria Farida S 404 Maria S.W. Sumardjono 165 Mark Kesselman 69 Martin De Jong 171 Martin Edelman 352 Martin Shapiro 351 Marwan Effendy 425, 427 Mas Achmad Santosa 193 Masdar F. Mas’udi 489 Max Weber 475 Meyrinda Hilipito 354 Michele Ruta 212 Mieke Komar Kantaatmadja332, 335 Miranda Risang Ayu 28 Miriam Budiardjo 113 Misuzu Otsuka 211 Mochtar Kusumaatmadja 333, 334 Moerdiono 50 Moh. Iksan Tatang 338 Moh. Kusnardi 11 Moh. Mahrus Ali 354 Mohamad Soerjani 182, 186 Mohammad Fajrul Falakh 389 Mohammad Yamin 481 Momon Soetisna Sendjaja 69 Muh. Risnain 339, 399 Muhadam Labolo 441 Muhammad Syaifuddin 454 Muhammad Yamin 21, 48, 49 Mukhtie Fadjar 453 Muladi 443 Munafrizal Manan 154 Mustafa Lutfi 127
Jur
na
N N. Canefe 283 N.F. Sinaga 315 Nandang Sudrajat 262 Nanik Trihastuti 257, 262 Nasikun 101 Nathan J. Brown 361 Neil C. M. Elder 66 Ni,matul Huda 92, 335, 403 Nico Steytler 67 Nicolaas Warouw 22 Noore Alam Siddiquee 66 Nur Aisyah Kotarumalos 312
R R. Subekti 492 R. Wirjono Prodjodikoro 492 R.M. Gatot P. Soemartono 186, 187, 189 Rachel Sieder 352 Rachmad Maulana Firmansyah 402 Rahadi T. Wiratama 111 Ramelan Surbakti 13 Ran Hirschl 351, 355, 357, 360, 362 Raymond Cox 68 Ria Casmi Arrsa 219, 457 Riana, T 187 Ricard Dutu 203 Richard C Crook 66 Richard C. Kearne 68 Richard H. Pildes 351 Richard M Auty 201 Richard M. Buxbaum 261 Rifyal Ka’bah 490 Rikardo Simarmata 225
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
ing
T T. Gayus Lumbun 299 T. Mulya Lubis 261 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy 489 TA. Legowo 385 Tamir Moustafa 352 Teguh Prasetyo 434 Thomas McCarthy 479 Thompson 24, 27 Titik Triwulan Tutik 16, 370 Todung Mulya Lubis 133, 428 Tommi A. Legowo 2 Torbjorn Vallinder 351 Toto T Suriaatmadja 339
Jur
na
lR ec hts V
S S. Asikin 315 Sabina Tuca 201 Sadjijono 445 Safdari Mehdi 213 Safri Nugraha 271 Saldi Isra 346, 387, 402, 426 Salim H. S. 245 Saltford, J 282 Samuel Humes 64 Samuel P. Huntington 12, 13 Samugyo Ibnu Redjo 29 Sara Staino 167 Sarundajang 65 Satjipto Rahardjo 132, 229, 350, 402, 421, 435 Satya Arinanto 403 Sean D. Foreman 69 Shahryar213 Shang E. Ha 67 Sherry R. Arnstein 299 Silke I Keil 67 Singkeru Rukka 472 Siska Amelie F. Deil 313 Siti Sundari Rangkuti 182 Sjachran Basah 69 Sodikin 43 Soemarwoto, O. 186 Soerjono Soekanto 4, 88, 126, 242, 258 Soetandyo Wignjosoebroto 224, 401 Solichin Abdul Wahab 270 Sri Mamudji 88, 164, 242 Sri Soemantri 60, 115, 390, 409 Stela Dima 200 Stephanie Lawson 284 Stephen Sherlock 368, 389 Stephen Thomsen 211
Subekti 268 Sudikno Mertokusumo 401, 416, 427, 428 Suharizal 5, 14, 55, 86, 125 Suharyo 431 Sulistyowati Irianto 225 Sumaryo Suryo Kusumo 340 Sunaryati Hartono 409 Supanto 436 Suratman 258 Suriansyah Murhanini 301 Susi Dwi Harijanti 28, 390, 395 Suteki 222, 231, 233 Syahrizal 490 Syamsuddin Haris 91 Syaukani 71 Syprianus Aristeus 190 Syukri Asy’ari 354
ind
Rista Rama Dhany 318 RM. A.B. Kusuma 48 Robert A. Dahl 11, 13, 29 Robert Gilpin 261 Rodiyah 453 Ronald Rofiadri 348 Ronni Hanitijo Soemitro 24, 186, 242, 387 Roscoe Pound 170 Ruba Abu Shihab214, 215 Rubén Hernández Valle 169 Rudi Hauter 2 Rudi M. Simamora 244 Ruslan Abdulgani 96 Ryna Frensiska 105
V Valina Singka Subekti 53, 106 Virginie Mamadouh 171 W W Khadduri 202 W. Poespoprodjo 474 Wenda Hartanto 469 Wicipto Setiadi 487 William B. Heller 389 William Case 69 William Joseph 69 William Tordoff 158 Willy Purna Samadhi 22 Wong Hock Tsen 200
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Jur
na
lR ec hts V
ind
ing
Y Yaddy Supriyadi 329 Yesmil Anwar 420, 421, 422 Yulianto Achmad 369 Yusna Zaidah 487 Yusuf al-Qardhawi 489
Z Zachary Callen 67 Zainal Arifin Hoesein 110, 418 Zainal Asikin 108, 164, 186 Zainuddin Ali 440, 488 Zaroki 213
BP HN
X Xavier Bertrana 66
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
Bawaslu 9, 153, 155, 159, 175 Bea cukai 202 Bea masuk 202 Beheersdaad 224, 233, 248 Belanda 4, 18, 66, 71, 352, 419 Beleid 224, 233, 248 Benchmarking 167, 170 Bhutan328 Bij de wet geregeld 174 Bikameral 366, 384, 396 Bilateral 191, 331, 342 Bilingualism 361 Blok 202, 239, 267 BPH MIGAS 207, 247 Brazil 166, 168, 173, 352 Budaya 188, 282, 296, 309 Budi daya 183 Bulukerto 222 BUMD 226, 240, 265, 313 Bumi 183, 220, 222 Bumi aji 222, 234 BUMN 226, 251, 265 Bundesrat 383, 386, 387 Bundestag 390, 391, 392 Bupati 2, 16, 22, 34, 44
na
lR ec hts V
ind
A Aceh 432, 444, 490 Ad hoc 157,174, 175 Adil 3, 7, 48, 110, 112 Adjudicative body 168 Adjudikasi 162, 163, 166, 169, 171 Adversarial 21, 23, 29, 39, Advisory body 389 Afdelingan 4 Afghanistan 328 Afrika 222 Agraria 185, 281, 291, 330 Akad 476, 487, 491, 492 Akademisi 32, 36, 132, 156, 175 Akuntabilitas 3, , 17, 53, 86, 102 Al Qur’an 488 Algemen bepalingen 419 Ambang batas 160, 226 Ambon 449, 450 Amerika latin 222, 352 Amerika Serikat 26, 37, 68, 120, 203, 262, 328, 350, 370, 384 Amnesti 361 Anomali 368, 420 APBD 9, 3, 38, 160 APBN 9, 160, Arbitrasi 289 Aset 238, 244, 271, 273 Asia 222, 352, 362 Aspirasi 3, 12, 53, 62, 64, 82, 347, 372, 389, 439 Asymetric bicameralism 368 Athena 369 Atomistic 471 Atribut 328 Australia 328 Austria 328 Authority 63, 81 Auxiliary 389
BP HN
INDEKS SUBYEK
Jur
B Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 193 Bandung 23, 26, 35, 37 Bangsa 183, 192, 203 Banten 222 Basic law 392, 396 Batubara 201, 208, 209 Bauksit 203
C Cabotage 329 Case approach 163 Case approach 349, 416 Certainty 201, 211, 273, 333 Checks and balances 368, 374 Cina 200 Cirahab 222 Citizen participative 299 Citizen’s Initiative Review (CIR) 26 Collective informed consent 28 Common law 418 Complete and exclusive 328, 329, 330 Conceptual approach 163 Conceptual approach 330 Conditio sine quanon 434 Conditionally constititional 354 Conditionally unconstititional 354 Conflichtif 417 Constitutional rights 222, 224 Contra legem 419
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
na
BP HN
lR ec hts V
ind
D Darurat 199 Das sein 349 Das sollen 349, 387 Decentralisatie 4, 71 Decentralisation 66, 158 Degradasi 113, 185, 197, 338 Dekolonisasi 283 Dekonsentrasi 4, 55, 63, 64 Delegate power 299 Delegatie provisio 174 Deliberatif 21, 23, 24, 26 Demokrasi 2, 22, 44, 63, 86, 190, 220, 242, 300, 366, 370, 405 Departamental 167 Depok 143, 144, 145 Desentralisasi 2, 7, 18, 30, 60, 86, 191, 280 450 Deterrence 436 Devisa 232, 238 Devolusi 158 Dialog 23, 28, 31 Diametral 349, 453 Diferensiasi 477, 478 Dimensi 182, 215, 284 Dinamika 181, 225, 273 Diskresi 249 Diskriminatif 355, 378, 379 Dispute resolution 402 Distingsi 474 DKPP 17, 154, 156, 175, 177 Domestik 200, 201, 275, 339 DPR 2, 34, 44, 45, 61, 87, 229, 243, 252 DPRD 2, 52, 87, 93, 108 Due process of law 370
Ekosistem 187, 230 Ekplorasi 220 Eksekutif 60, 64, 93, 99, 126, 166 Ekshautif 470 Eksploitasi 184, 220 Ekstraktif 230, 231 Elected official 126 Electoral boards 167, 168 Electoral court 167, 168, 169 Electoral judges 168 Electoral justice system 168 Electoral law 166 Elitis 17, 21, 25, 40, 114 Elitisme 440 Emisi 182, 185, 257 Enclosure 290 Energi 187, 202, 238, 311 Entitas 361, 470, 492 Environmental base line study 246 Equality before the law 370, 402 Equilibrium 247 Erga omnes 374 Eropa 222, 283 Etno-linguistik 283 Eurico guterres 360
ing
Contradictio in propositum 320 Corte electoral 166 Cost recovery 202, 244, 245 Costa Rica 166, 169, 173 Curug Goong 222
Jur
E Efektif 191, 227, 228, 239, 245, 261 Efisiensi 22, 34, 160, 175, 192 Effective assistance 396, 397 Effective rivalry 396, 397 Eigen huishouding 450 Ekologi 185, 186, 187 Ekonomi 182, 185, 188, 189, 222
F Fait accompli 300 Federal 361, 384, 390 Filipina 352, 328 Filsafat 469, 472 Finansial 246, 261, 318, 319 Fiqih 488, 496 Fluktuasi 201 Foreign legal solutions 171 Forum 23, 25, 35, 175 Freeport 203, 256, 262, 270, 276 Fungsional representative 366 Fuqaha 489, 492 G Gas bumi 201, 202, 239, 244 Gender 141 Geografis 212, 328 Gerechtigheid 402 Gewesten 4 Global village 200 Globalisasi 200, 201, 203, 222 Grundnorm 481 Gubernur 2, 22, 44, 64, 88
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
J Jaminan 206, 220, 245, 280, 295 Jawa Timur 97, 147 Jepang 328 Jepang 4, 18, 69, 71 Jerman 352, 383, 386, 387 Joint enterprise 263 Joint venture 263 Joko widodo 269, 280, 359 Judicial review 225, 347, 348, 415, 424 Judicialisation of politics 348, 351, 362 Juntas electorales 167 Justice delayed 362, 420 Justiciabellen 133 Justiciable 175 Jusuf kalla 359
lR ec hts V
ind
H Habibie 91, 92 Hadist 488 Hak Asasi Manusia 90, 105, 108, 119, 220, 233, 280, 285 Hak kolektif 220, 282, 286 Hak konstitusional 351, 360, 379 Hak menguasai 183, 226, 232, 314, 335 Hak penguasaan 224, 271, 327 Hakim 353, 359, 413 Hakim konstitusi 414, 418 Harmonisasi 230, 234 Hatta Rajasa 359 Hayati 183, 190, 211 High cost 241 High risks 241 Hight cost economy 451 Hilir 207, 209, 246, 315 Historismus 274 Hukum 30, 21, 43, 59, 108, 128. Hulu 202, 237, 315 Hutan 204, 287, 295
Interdepedensi 349 Internal displaced person 290 International companies 261 Interpretasi 298 Investasi 200, 220, 255, 318 Islam 361, 385, 487, 488 Islamic law 488, 489 Israel 352 Ius constituendum 416 Ius constituendum 24 Ius constitutum 416, 477
ing
Guntyoo 5 Gunung watuputih 223
Jur
na
I Implementation failure 193 Independen 36, 69, 95, 140, 166 India 328 Individual 220 Indonesia 1, 22, 43, 47, 60, 86, 106, 183, 200, 222, 240, 260, 346, 367, 383 Industri 185, 205, 230, 275 Industrialisasi 223 Inferioritas 368 Informasi 193, 195, 241, 291, 322 Inggris 328, 346, 384, 391 Inisiasi 66, 157, 163, 166 Initiative election 26 Injunctions 354 Inklusif 25, 36, 38, 39 Insersi 171 Inskripsi 475 Institusi 185, 225, 292 Institutional failure 194 Instrumen 28, 55, 158 Integrasi 192, 200, 339 Integratif 399 Integratif 192 Interaksi 187, 201
K Kabotase 332, 338, 340 Kalimantan timur 241 Kalkulasi 28 Kamboja 328 Kampanye 21, 27, 28, 29, 102 Kanada 361 Kandidat 26, 28, 31, 132 Karibia 222 Kawasan 183, 296, 301, 322 Kazakstan 328 Keamanan 281, 302, 329, 337 Keberlanjutan 182, 196, 222, 232 Kebijakan 11, 17, 36, 77, 86 Kebijakan 182, 199, 228, 248, 327 Kedaulatan 2, 18, 48, 95, 106, 126, 219, 224, 249 Kekuasaan 2, 49, 62, 90, 106 Kemiskinan 185, 315 Kemitraan 301, 308 Kendeng 223, 231 Kentyoo 5, 71 Kepentingan 4, 68, 86, 113, 125
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
ing
BP HN
Legal policy 373, 472 Legal policy 229, 329 Legal reform 420, 421 Legal research 141, 163 Legal standing 166 Legally null and void 354 Legislasi 22, 221, 223, 248, 345, 355, 366, 386 Legislative 69, 141 Legislative drafting 408, 410, 451 Legisprudence 420 Legitimasi 358, 378, 405 Liberalisasi 199, 327 Limitatif 67, 129, 134, 140 Limited constitutional 354 Linguistic domination system 421 Liquefied natural gas 206 Long list 404 Low-politics 362
ind
Keputusan 11, 26, 66 Kesadaran hukum 417, 425, 445, 469 Kesejahteraan 402, 404, 445 Kesejahteraan 238, 242, 256, 296 Keserentakan 157, 163 Kesetaraan 25, 69 Ketahanan 203, 214, 311 Ketatanegaraan 366, 372, 402, 433 Ketenagakerjaan 351 Keterwakilan 359, 384, 420 Keuangan 357, 367, 372, 486 Kewenangan 346, 350, 362, 376 Klasifikasi 164 Klausula 207, 319 Koalisi 34, 44, 386 Kolektivitas 47, 58 Komisi 193, 248, 291 Komisi Pemilihan Umum (KPU) 357 Komodifikasi 213, 216 Komoditas 196, 200, 227 Komparasi 166, 169 Kompensasi 361, 388 Kompetensi 353 Konferensi 182 Konfigurasi 415, 421, 435, 454 Konflik 7, 13, 45, 88, 185, 221, 279, 291 Koninklijk desluit 4 Konsentrat 203, 212 Konservasi 183, 190, 297 Konservatif 385, 423, 454 Konsesi 227, 248, 250 Konstituen 17, 23, 35, 115 Konstitusi 208, 220, 256, 262, 345, 367, 389, 400 Kontradiksi 391 Kontrak karya 244, 256, 262 Kontraproduktif 157, 162, 166 Korea Selatan 352 Korupsi 7, 111, 126, 133 KPU 31, 35, 97 Kuorum 390 Kutyoo 5
na
lR ec hts V
M Mafia 341 Mahakam 202, 240 Mahkamah Agung 127, 131, 141, 347, 361, 415 Mahkamah Konstitusi 56, 65, 207, 223, 237, 345, 367, 389 Majelis rendah 384, 390, 395, 396 Majelis tinggi 383, 385, 386, 389 Malaysia 328 Maluku Tengah 449, 453, 459, 460 Maluku Tenggara 450 Masif 25, 127, 147 Masyarakat hukum adat 194, 281 Materiele wederrechtelijkeheid 425 Mayoritas 361, 393, 440, 479 Medan 166 Mediasi 289, 292 Mega-politics 355, 357 Megawati Soekarnoputri 359 Meksiko 166 Melanesia 280 Merauke 256, 290 Mesir 352, 361 Milieu beschermingsrecht 188 Milieuhygienerecht 188 Mineral 201, 263, 313 Minyak bumi 207, 311 Misuse of civil aviation 232 Mobilisasi 7, 13, 22, 33 Mojokerto 97, 98 Moment opname 414 Momentum 99, 158 Money politic 15, 64, 102, 125
Jur
L Lander 390, 391, 393 Land-locked stated 326 Landmark 359 Laos 328 Lapindo 194, 241 Law in concreto 424 Legal 373, 414, 421 Legal engineering 170 Legal importance 161
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
lR ec hts V
O Omnipotent superlegislators 351 Omnipresent in the sky 422 Onderafdelingan 4 Ontologi 472, 474, 480 Open government 193 Open sky policy 327, 329, 340 Orde baru 3, 6, 70, 81, 90, 106 Oregon 26 Original intent 129, 140 Osamu sirei 4 Otonomi 5, 34, 51, 194, 280, 313 Otoritarian 360, 435
ing
N Narapidana 356 Naskah akademis 438 National electoral office 167 National interests 472 Natural resources law 188 Negative legislators 351, 354 Nepal 328 Nigeria 166 Nikel 203 Nomocracy 370 Nomokrasi 243 Non participative 299 Non renewable 203 Non-retroaktif 360
Pembangunan 182, 280 Pembiayaan 160, 167 Pemekaran 367, 372, 375, 376 Pemerintah 184, 202, 220, 256 Pemerintahan 2, 33, 53 Pemilihan Umum (Pemilu) 2, 44, 46 Pemungutan suara 10, 22, 56 Pemurnian 242, 272, 276 Penataan ruang 188, 191 Pencemaran 183, 185, 188 Pendanaan 9, 30, 111 Pendelegasian 159 Penemuan hukum 414, 416, 423, 429 Penerbangan 327, 329, 331 Penetapan 5, 38, 72 Pengadilan 74, 123, 128 Pengangguran 201, 275 Pengarusutamaan 184 Pengawasan 188, 193, 226, 250 Pengelolaan 183, 202, 220, 238 Peradilan 347, 348, 355 Perak 203, 257 Peraturan daerah 346, 432 Perdata 353, 486, 493 Perikanan 185, 190, 275 Perikatan 485, 491, 495 Perkebunan 202, 210, 231, 296 Perlemen 347 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 222, 282 Perspektif 416, 424, 449, 453 Pertahanan 192, 328, 332 Pertamina 240, 244, 251, 313 Perwakilan 11, 24, 45 Pesisir 183, 191 Petahana 7, 8, 10 Petrokimia 206 Pigmentational 284 Pilkada 6, 21, 85 Pluralisme 185, 420, 453 Policy failure 193 Polisi Pamong Praja 434, 443, 444 Politic cost 113, 114 Political decentralization 158 Political representative 366, 383 Politik 2, 23, 112, 345, 383, 399, 413 Politik hukum 210, 220, 241, 311 Politik legislasi 345, 355, 386, 415 Politik otoriter 454 Positive legislators 351, 356 Prabowo Subianto 359 Praksis 370, 482 Praktis-aksiologis 472
ind
Monopoli 107, 225, 246 Muamalah 487, 488 Multinasional 222, 261 Multinational corporation 261 Multinational enterprise 261 Multipartai 166, 168, 169
Jur
na
P Padarincang 222 Pakistan 328 Panas bumi 201, 209, 210, 214 Pancasila 361, 404, 440, 480 Papua 270, 239, 432, 433, 441 Paradoks 470 Paripurna 79, 125, 159 Parlementer 384, 395 Partai politik 347, 355, 359, 393 Participating interest 240, 316, 321 Partisipan 35, 37, 39 Partnership 299 Paspor 356 Pelumas 206
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
ing
S Sabang 256 Salahuddin Wahid 359 Sanctity of contract 267 Sejarah 220, 238, 283 Semantis 62 Sengketa 98, 123, 131 Sentralistik 90, 106 Separation of power 350, 395 Separatism 281, 283, 290 Serang 222 Short list 404, 405 Sidoarjo 194, 227 Sinkronisasi 230, 234, 403, 409 Sistematis 7, 102, 127 Sityoo 5, 71 Skema 245, 263 SKK Migas 247, 250, 252 Smelter 272, 274, 276 Social control 402 Social engineering 422, 423, 429 Sociolegal 219, 225, 234 Soeharto 91, 92, 109 Sotyoo 5 Special treatment 280 Spesies 186 Staatsambten 60 Staatsorganen 60 Stakeholders 302
lR ec hts V
Q Quasi-presidentialism 166 Quebec 361 Quo vadis 319
Rekonsiliasi 354, 361 Rekonstruksi 231, 234 Rekrutmen 385 Relevan 165, 167, 169 Religi 185 Relinquishment 245 Rembang 223 Remedy 288, 291, 292 Representasi 3, 35, 39, 70, 359, 366, 371, 372 Represif 341 Res commune 226, 233 Resiprokal 23, 32, 39 Responsibilitas 3 Retribusi 202, 444, 449 Rezim 3, 34, 46, 208, 215, 313 Right to life 227, 235 Right to water 222 Risalah 258 Risk management tool 486 Royalti 201, 202, 263, 272 Ruang udara 328, 332, 337
ind
Precedent 414, 418 Predictability 402, 486 Prerogatif 361 Presiden 188, 247, 262, 280 Presidensil 88, 384, 395 Preventif 341, 417, 436 Pribumi 4, 18 Primordial 283, 290 Primordialisme 100, 102 Principal 256, 272 Privat citizen 454 Privatisasi 221, 222, 226, 233 Procedural justice 152 Production sharing contract 244, 245, 262 Produksi 192, 202, 213, 231 Program Legislasi Nasional 240, 399, 400 Promotif 29 Property rights 193 Provinsi 208, 288, 316 Public policy 13, 351, 471 Publik 4, 21, 87 Putusan 4, 34, 112
Jur
na
R Ramperenrecht 188 Rancangan Undang-Undang 347, 372 Rasialis 283 Rasion’d etre 401 Rasional 28, 39 Raw materials 203, 212 Reaksioner 386 Recht betreffende 188 Rechtsstaats 370 Rechtszekerheid 402 Reciprocity 339 Recognition 284, 288 Redress 288 Referendum 26, 69, 167 Reflektif 417 Reformasi 2, 22, 27, 192, 227, 296, 341 Regelendaad 224, 233, 248 Regional 385, 389, 394 Regional 200, 296, 332 Regional electoral tribunals 168 Rehabilitasi 183, 190, 297, 303, 361 Rekonsepsi 327, 340
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
ing
U Uji materiil 348, 461, 465 UNCLOS 330 Undang-Undang 346, 365, 385 Uni Soviet 283 Unitry State 63, 81 Unskilled worker 318 Upeti 4, 18, 71 Urgensi 157, 163, 165 Uruguay 166, 167, 173 Utility 273, 274 Utusan Daerah 385, 387 Utusan Golongan 385 UUD NRI 1945 365, 400, 410 Uzbekistan 203, 328 V Value added 275, 276 Veto 39, 395, 396 Viktimologi 422 Visioner 422 Volunte generale 371
Jur
na
lR ec hts V
T Tana Toraja 97 Tarakan 395, 297, 298 Tata kelola 182 Tata Usaha Negara 151, 154, 162, 173 Tembaga 203, 257 Tenaga kerja 213, 267, 317, 322 Tenurial 193, 196, 297 Teoritis-analogis 472 Teritorial representative 366 Territorial 282, 332 The agency model 441 The interaction model 441 The relative authonomy model 441 The rule of law 370 Threshold 160 Timbal balik 187, 339 Tindak pidana 185 Tipologi 169 Toezichthoudensdaad 224, 248 Tokenism 299 Toli-Toli 97 Trading 318 Tradisional 185, 285, 309, 355, 360, 440 Transnational enterprises 261 Transplantasi hukum 171 Transportasi 317, 322 Trias politika 349
Tribunal superior eleitoral 168 Tribunal supremo de elecciones 169
ind
State responsibility 220, 234 Statute approach 126, 163, 298, 330, 349, 369, 401, 416 Stockholm 182, 184 Strategis 183, 195, 246, 309 Strong bicameral 396 Substantive justice 152 Sui generis 262 Sulawesi Selatan 97, 98, 145 Sulawesi Tengah 97 Sumber Daya Alam 367, 372, 388, 404 Sumur tua 311, 313, 321 Superior electoral tribunal 168, 169 Supremacy of law 370 Surat suara 143, 147 Susilo Bambang Yudhoyono 17, 61, 77 Sustainable development 189, 312 Sustainable forest management 301 Swiss 328 Syariah 361, 385, 487, 488, 489 Syuu 5, 71 Syuutyoo 5
W Waardenbeoordelen 188 Wadh’i 489 Walikota 2, 32, 44 Wawasan nusantara 333, 334 Weak bicameral 396 Wedana 4 Wiranto 359 World bank 246 World Health Organization (WHO) 222 Y Yogyakarta 61, 77, 432, 433, 444 Yudikatif 155, 167, 169 Yudisialisasi 351, 352 Yugoslavia 283 Yunani 11, 186, 369, 370 Yuridis kualitatif 401, 416 Yurisprudensi 415, 419, 425, 427 Z Zelfbestuur 450 Zelfwetgeving 450
lR ec hts V
ind
ing
BP HN
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Jur
na
”Halaman ini dikosongkan”
518
Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 21-41
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
PETUNJUK PENULISAN NASKAH JURNAL RECHTSVINDING
Jurnal RechtsVinding merupakan media caturwulanan di bidang hukum, terbit sebanyak 3 (tiga) nomor dalam setahun (April; Agustus; dan Desember). Jurnal RechtsVinding diisi oleh para pakar hukum, akademisi, penyelenggara negara, praktisi serta pemerhati dan penggiat hukum. Redaksi Jurnal RechtsVinding menerima naskah karya tulis ilmiah di bidang hukum yang belum pernah dipublikasikan di media lain dengan ketentuan sebagai berikut:
ing
1. Redaksi menerima naskah karya tulis ilmiah bidang Hukum dari dalam dan luar lingkungan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
2. Jurnal RechtsVinding menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaksi. Dewan Redaksi dan Mitra Bestari akan memeriksa naskah yang akan masuk dan berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan.
Hasil Penelitian; Kajian Teori; Studi Kepustakaan; dan Analisa / tinjauan putusan lembaga peradilan.
lR ec hts V
a. b. c. d.
ind
3. Naskah dikirim berbentuk Karya Tulis Ilmiah berupa:
4. Judul naskah harus singkat dan mencerminkan isi tulisan serta tidak memberikan peluang penafsiran yang beraneka ragam, ditulis dengan huruf kapital dengan posisi tengah (centre) dan huruf tebal (bold). Judul ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Apabila naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia maka judul dalam Bahasa Indonesia ditulis di atas Bahasa Inggris, begitu juga sebaliknya. Judul kedua ditulis miring (italic) dan di dalam kurung. 5. Abstrak memuat latar belakang, permasalahan, metode penelitian, kesimpulan dan saran. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia (maksimal 200 kata) dan Bahasa Inggris (maksimal 150 kata). Abstrak ditulis dalam 1 (satu) alinea dengan spasi 1 (satu) dan bentuk lurus margin kanan dan kiri / justify. Abstrak dalam Bahasa Inggris ditulis dengan huruf cetak miring (italic). Di bawah abstrak dicantumkan minimal 3 (tiga) dan maksimal 5 (lima) kata kunci. Abstract dalam Bahasa Inggris diikuti kata kunci (Keywords) dalam Bahasa Inggris. Abstrak dalam Bahasa Indonesia diikuti kata kunci dalam Bahasa Indonesia. Hindari pengunaan singkatan dalam abstrak.
Jur
na
6. Urutan dan Sistematika Penulisan: Penulisan harus memenuhi secara berurutan hal-hal sebagai berikut: - Judul; - Nama Penulis (diketik di bawah judul ditulis lengkap tanpa menyebutkan gelar. Jika penulis terdiri lebih dari satu orang maka harus ditambahkan kata penghubung ’dan’ (bukan lambang ’&’); - Nama Instansi Penulis (tanpa menyebutkan jabatan atau pekerjaan di instansi yang ditulis; - Abstrak; - Kata Kunci; - Pendahuluan (berisi latar belakang dan permasalahan);
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
- -
Metode Penelitian (berisi cara pengumpulan data, metode analisis data, serta waktu dan tempat jika diperlukan); Pembahasan; Penutup (berisi diskripsi kesimpulan dan saran).
Sistematika penulisan artikel adalah sebagai berikut: A. Pendahuluan
BP HN
-
Pendahuluan berisi diskripsi latar belakang dan permasalahan. B. Metode Penelitian
C. Pembahasan
ing
Metode Penelitian berisi cara pengumpulan data, metode analisis data, serta waktu dan tempat jika diperlukan);
D. Penutup
ind
Pembahasan berisi analisa atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian sebagaimana tertuang dalam pendahuluan. Jumlah pokok-pokok bahasan disesuaikan dengan jumlah permasalahan yang diangkat. Penutup berisi diskripsi kesimpulan dan saran atau rekomendasi. 7. Aturan Teknis Penulisan:
lR ec hts V
a. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, diserahkan dalam bentuk naskah elektronik (soft copy) dalam program MS Office Word serta 2 (dua) rangkap dalam bentuk cetakan (print out). b. Jumlah halaman naskah 20 s.d. 25 halaman, termasuk abstrak, gambar, tabel dan daftar pustaka. Bila lebih dari 25 halaman, redaksi berhak untuk menyunting ulang, dan apabila dianggap perlu akan berkonsultasi dengan penulis. c. Ditulis dengan menggunakan MS Office Word pada kertas ukuran A4 (210 mm x 297 mm), font Calibri ukuran 12, spasi 1,5 (satu koma lima), kecuali tabel (spasi 1,0). Batas / margin atas, batas bawah, tepi kiri dan tepi kanan 3 cm. d. Penyebutan istilah di luar Bahasa Indonesia (bagi naskah yang menggunakan Bahasa Indonesia) atau Bahasa Inggris (bagi naskah yang menggunakan Bahasa Inggris) harus ditulis dengan huruf cetak miring (italic). e. Penyajian Tabel dan Gambar:
- Judul tabel ditampilkan di bagian atas tabel, rata kiri (bukan center), ditulis menggunakan font Calibri ukuran 12;
na
- Judul gambar ditampilkan di bagian bagian bawah gambar, rata kiri (bukan center), ditulis menggunakan font Calibri ukuran 12; - Tulisan ’Tabel’ / ’Gambar’ dan ’nomor’ ditulis tebal (bold), sedangkan judul tabel ditulis normal; - Gunakan angka Arab (1, 2, 3, dst.) untuk penomoran judul tabel / gambar;
Jur
- Tabel ditampilkan rata kiri halaman (bukan center); - Jenis dan ukuran font untuk isi tabel bisa disesuaikan menurut kebutuhan (Times New Roman atau Arial Narrow ukuran 8—11) dengan jarak spasi tunggal);
- Pencantuman sumber atau keterangan diletakkan di bawah tabel atau gambar, rata kiri, menggunakan font Calibri ukuran 10.
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
BP HN
f. Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (foot note). Penulisan model catatan kaki menggunakan font Cambria 10. Penulisan model catatan kaki dengan tata cara penulisan sebagai berikut:
- Buku (1 orang penulis): Wendy Doniger, Splitting the Difference (Chicago: University of Chicago Press, 1999), hlm. 65.
- Buku (2 orang penulis): Guy Cowlishaw and Robin Dunbar, Primate Conservation Biology (Chicago: University of Chicago Press, 2000), hlm. 104–7. - Buku (4 orang atau lebih penulis): Edward O. Laumann et al., The Social Organization of Sexuality: Sexual Practices in the United States (Chicago: University of Chicago Press, 1994), hlm. 262. - Artikel dalam Jurnal: John Maynard Smith, ”The Origin of Altruism,” Nature 393 (1998): 639.
ing
- Artikel dalam jurnal on-line: Mark A. Hlatky et al., ”Quality-of-Life and Depressive Symptoms in Postmenopausal Women after Receiving Hormone Therapy: Results from the Heart and Estrogen/ Progestin Replacement Study (HERS) Trial,” Journal of the American Medical Association 287, no. 5 (2002), http://jama.ama-ssn.org/issues/v287n5/rfull/joc10108.html#aainfo (diakses 7 Januari 2004).
ind
- Tulisan dalam seminar: Brian Doyle, ”Howling Like Dogs: Metaphorical Language in Psalm 59” (makalah disampaikan pada the Annual International Meeting for the Society of Biblical Literature, Berlin, Germany, 19-22 Juni 2002).
lR ec hts V
- Website / internet: Evanston Public Library Board of Trustees, ”Evanston Public Library Strategic Plan, 2000–2010: A Decade of Outreach,” Evanston Public Library, http://www.epl.org/library/ strategic-plan-00.html (diakses 1 Juni 2005). g. Penulisan Daftar Pustaka:
- Bahan referensi yang dijadikan bahan rujukan hendaknya menggunakan edisi paling muktahir; - Penulisan daftar pustaka diklasifikasikan berdasarkan jenis acuan yang digunakan, misal Buku; Makalah / Artikel / Prosiding / Hasil Penelitian; Internet dan Peraturan; - Penulisan daftar pustaka disusun berdasarkan alphabet; - Penggunaan referensi dari internet hendaknya menggunakan situs resmi yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya. - Penulisan model Daftar Pustaka dengan tata cara penulisan sebagai berikut: • Buku (1 orang penulis): Doniger, Wendy, Splitting the Difference (Chicago: University of Chicago Press, 1999). • Buku (2 orang penulis): Cowlishaw, Guy and Robin Dunbar, Primate Conservation Biology (Chicago: University of Chicago Press, 2000).
na
• Buku (4 orang atau lebih penulis): Laumann, Edward O. et al., The Social Organization of Sexuality: Sexual Practices in the United States (Chicago: University of Chicago Press, 1994).
• Artikel dalam Jurnal: Smith, John Maynard, ”The Origin of Altruism,” Nature 393 (1998).
Jur
• Artikel dalam jurnal on-line: Hlatky, Mark A. et al., ”Quality-of-Life and Depressive Symptoms in Postmenopausal Women after Receiving Hormone Therapy: Results from the Heart and Estrogen/ Progestin Replacement Study (HERS) Trial,” Journal of the American Medical Association 287, no. 5 (2002), http://jama.ama-ssn.org/issues/v287n5/rfull/joc10108.html#aainfo (diakses 7 Januari 2004). • Tulisan dalam seminar: Brian Doyle, ”Howling Like Dogs: Metaphorical Language in Psalm 59” (makalah disampaikan pada the annual international meeting for the Society of Biblical Literature,
Berlin, Germany, 19-22 Juni 2002). • Website / internet: Evanston Public Library Board of Trustees, ”Evanston Public Library Strategic Plan, 2000–2010: A Decade of Outreach,” Evanston Public Library, http://www.epl.org/library/ strategic-plan-00.html (diakses 1 Juni 2005). 8. Naskah dikirimkan dalam bentuk elektronik (softcopy) dan cetakan (hardcopy) yang dilampiri dengan biodata lengkap (CV) penulis, copy KTP/identitas yang berlaku, alamat e-mail, nomor telepon, naskah dapat dikirim melalui:
[email protected];
[email protected] dan jurnalrechtsvinding@ gmail.com (harus dikirim ketiga alamat email tersebut). 9. Naskah dapat dikirimkan atau diserahkan secara langsung kepada: Redaksi Jurnal RechtsVinding Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI Jl. Mayjen Sutoyo No. 10 Cililitan Jakarta, Telp.: 021-8091908 ext.105; Fax.: 021-8011754. 10. Naskah yang belum memenuhi format dan ketentuan di atas tidak akan diseleksi. Dewan Redaksi berhak menyeleksi dan mengedit artikel yang masuk tanpa mengubah substansi. Kepastian atau penolakan naskah akan diberitahukan kepada penulis. Prioritas pemuatan artikel didasarkan pada penilaian substansi dan urutan naskah yang masuk ke Dewan Redaksi Jurnal RechtsVinding.