JURNAL KOMUNIKASI
Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi
Volume 2, Nomor 2, Januari 2014
ISSN: 2087-0442
Jurnal Aspikom, terbit dua kali dalam setahun pada bulan Juli dan Januari. Tulisan difokuskan pada pemikiran kontemporer Ilmu Komunikasi, Media, Teknologi Komunikasi dan Komunikasi Terapan, dalam berbagai sudut pandang/perspektif. Susunan Redaksi Penasehat Dr. Atwar Bajari,M.Si Ketua Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi Indonesia (ASPIKOM) Penanggungjawab Penerbitan : Ketua Bidang Litbang ASPIKOM Ketua Penyunting Dr. Puji Lestari, SIP,M.Si. Wakil Ketua Penyunting Bonaventura Satya Bharata, M.Si Penyunting Pelaksana Agung Prabowo, M.Si Aswat Ishak,M.Si Fajar Junaedi, M.Si Frida Kusumastuti, M.Si Rini Darmastuti,M.Si Drs. Setio Budi HH, M.Si Yohanes Widodo,M.Sc
Mitra Bestari : Prof. Andre A Hardjana, Ph.D Prof. Dr. Ilya Sunarwinardi Prof. Pawito, Ph.D Prof. Dr. WE Tinambunan Prof. Dr. Engkus Kuswarno Dr. phil. Hermin Indah Wahyuni Dr. Eko Hari Susanto Dr. Antar Venus Dr. Turnomo Raharjo Dr. Sunarto,M.Si Dr. Iswandi Syahputra Promosi & Distribusi Disain grafis
(Universitas Atma Jaya Yogykarta) (Universitas Indonesia) (Universitas Negeri Sebelas Maret) (Universitas Negeri Riau) (Universitas Padjadjaran) (Universitas Gadjah Mada) (Universitas Tarumanagara) (Universitas Padjadjaran) (Universitas Diponegoro) (Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama) (Universitas Islam Negeri “Sunan Kalijaga”)
: Ririn Risnawati, M.Si. : ASPIKOM
Alamat Redaksi : ASPIKOM, Bidang Penelitian dan Pengembangan (LITBANG) Program Studi Ilmu Komunikasi, UAJY, Jl. Babarsari, 6, Sleman Yogyakarta. Telp : 0274 487711, pes 3232, fax 0274 4462794
DAFTAR ISI Kata Pengantar ................................................................................................................ iii Komunikasi dan Pola Asuh Anak Balita - Remaja dalam Keluarga Betawi Jakarta dan Bekasi Afrina Sari......................................................................................................................... 63 Distribusi dan Eksibisi Film Alternatif di Yogyakarta, Resistensi atas Praktek Dominasi Film di Indonesia Budi Dwi Arifianto, Fajar Junaedi ............................................................................... 74 Manajemen Redaksional Pada Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon (Studi Deskriptif Kualitatif Manajemen Redaksional pada Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon Periode Januari-Mei 2013) M. Irfan Fazryansyah, Heriyani Agustina, dan Nuruzzaman .................................. 85 Representasi Perempuan Indonesia Dalam Ajang Penghargaan Televisi (Studi Feminisme pada Penghargaan Indihome Women Award Di Metro TV) Ahmad Toni ..................................................................................................................... 103 Social and Cultural Identity Pendekatan Face Negotation Theory dan Public Relations Multikulturalism Negara Jerman-China dan Indonesia Dasrun Hidayat ............................................................................................................. 115 Urgensi Pemahaman Etika Komunikasi Islami pada Mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam dalam Mengurangi Dampak Negatif Penggunaan Facebook Prima Ayu Rizqi Mahanani ......................................................................................... 127
i
Kata Pengantar Salam Komunikasi Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena rakhmatNya, Jurnal Komunikasi Aspikom Volume 2 Nomor 2, Januari 2014 dapat diterbitkan. Pada volume ini dipaparkan berbagai kajian tentang ilmu komunikasi. Artikel pertama berjudul Komunikasi dan pola asuh balita – remaja dalam keluarga Betawi, Jakarta, dan Bekasi. Penelitian tersebut menunjukkan pola komunikasi dalam masyarakat Betawi-Jakarta lebih dipengaruhi oleh cara-cara komunikasi yang diperoleh dari generasi sebelumnya. Masyarakat Betawi-Bekasi lebih mengembangkan pola asuh yang didominasi oleh cara-cara Islami. Artikel ini ditulis oleh Afrina Sari. Artikel kedua mengkaji tentang strategi dan distribusi film alternatif berjudul “ngamen” di Yogyakarta. Melalui pendekatan diskriptif kualitatif, hasil penelitian menemukan bahwa komunitas film menjadi basis dalam distribusi film pendek di Yogyakarta. Artikel berjudul Distribusi dan Eksibisi Film Alternatif di Yogyakarta, Resistensi Atas Praktek Dominasi Film di Indonesia ini ditulis oleh Budi Dwi Afrianto dan Fajar Junaedi. Tulisan ketiga oleh M. Irfan Fazryansyah, Heriyani Agustina dan Nuruzzaman mendiskripsikan tentang manajemen redaksional Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon. Melalui pendekatan deskriptif kualitatif menemukan bahwa Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon melaksanakan setiap tahap perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, hingga pengawasan secara cermat. Ahmad Toni dalam artikel keempat mengkaji tentang Representasi perempuan dalam ajang penghargaan televisi melalui acara Indiehome Women Award di MetroTV. Hasil kajian dalam artikel ini menunjukkan adanya dualitas dan ambiguitas dalam merepresentasikan perempuan dimana sosokya dimanfaatkan sebagai produk kapitalis dalam meraup keuntungan bisnis. Melalui pendekatan face negotiation theory dan mulitkultural Public Relations, Dasrun Hidayat dalam artikel kelima ditemukan bahwa identitas sosial China – Indonesia menjunjung dimensi budaya kolektivitas, sedangkan indentitas sosial Jerman menjunjung dimensi budaya individualism. Artikel ini bejudul Social and Cultural Identity Pendekatan Face Negotation Theory dan Public Relations Multikulturalism Negara Jerman-China dan Indonesia. Urgensi pemahaman etika komunikasi Islami pada mahasiswa perguruan tinggi Agama Islam dalam mengurangi dampak negatif penggunaan facebook dari Prima Ayu Rizqi Mahanani menjadi artikel terakhir dalam jurnal ini. Dijelaskan bahwa mahasiswa STAIN Kediri memerlukan pemahaman tentang etika komunikasi Islami sebagai pondasi dalam mengunakan Facebook. Pengelola mengucapkan terimakasih kepada penulis, pihak sponsor (Dr.Atwar Bajari), segenap pengurus dan anggota ASPIKOM. Semoga jurnal ini bermanfaat memperkaya kajian-kajian komunikasi di Indonesia.
ii
Komunikasi dan Pola Asuh Anak Balita - Remaja dalam Keluarga Betawi Jakarta dan Bekasi Afrina Sari Magister Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur Jalan Salemba Ciledug Nomor 34-36Z Telephone (021) 5686666 Fax (021) 5633719 Jakarta, Email:
[email protected] Abstract This research aims to test the significant differences the use of family communication and the pattern of childcare toddlers and teenagers in families living in the Kampung Tugu in north Jakarta, Kampung Condet in East Jakarta and Ujung Harapan in bekasi. This study using quantitative methods of correlational. The results of research shows that the communication in childcare on the community in Kampung Tugu of north Jakarta, more affected from ways obtained from earlier the generations. The average betawi people in their religious pillar of the nazarenes, some are muslim. For people who follow the Islamic religion, they to develop a pattern of parenting in the family in Islamic way. The Betawi Community of Kampung Condet in East Jakarta, further develop ways a family tradition which are influenced by arab cultures ways. So they develop more into islamic ways. Also betawi people on Kampung Ujung Harapan in Bekasi, almost the entire community on Kampung Ujung Harapan Bekasi are moeslim. So that childcare more patterns dominated by islamic ways which were inherited from earlier generations. A pattern to the consistence of parenting in educating if compared between toddlers and teenagers, the community in Kampung Tugu more dominant educate young teen, while the Kampung Condet and Kampung Ujung Harapan directing consistency educate in toddlers and teenagers. Keyword: parenting, communication, people, Betawi Culture
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menguji perbedaan signifikan penggunaan komunikasi keluarga dan pola pengasuhan anak balita dan remaja pada keluarga yang tinggal di Kampung Tugu Jakarta Utara, Kampung Condet Jakarta Timur dan Kampung Ujung Harapan Bekasi. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif khususnya korelasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola komunikasi dalam pengasuhan anak pada masyarakat di Kampung Tugu Jakarta Utara, lebih dipengaruhi dari cara-cara yang didapat dari generasi sebelumnya. Rata-rata Masyarakat Betawi di Kampung Tugu beragama Nasrani, sebagian beragama Islam. Bagi Masyarakat yang beragama Islam mengikuti caracara Islam dalam mengembangkan pola pengasuhan pada keluarga. Masyarakat Betawi di Kampung Condet Jakarta Timur, lebih mengembangkan cara-cara tradisi keluarga yang dipengaruhi oleh cara-cara Budaya Arab. Sehingga lebih mengembangkan cara-cara kehidupan islami. Begitu juga Masyarakat Betawi di Kampung Ujung Harapan Bekasi, hampir seluruh masyarakat Ujung Harapan Bekasi adalah Islam. Sehingga pola-pola pengasuhan anak lebih didominasi dengan cara-cara Islam yang diwarisi dari generasi sebelumnya. Pola pengasuhan dengan konsistensi dalam mendidik jika dibandingkan antara balita dan remaja, masyarakat di Kampung Tugu lebih dominan mendidik anak remaja, sedangkan masyarakat Kampung Condet dan kampung Ujung Harapan mengarahkan konsistensi mendidik pada balita dan remaja. Kata kunci: pola pengasuhan, komunikasi, masyarakat, Budaya Betawi
63
64 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 63 -73 Pendahuluan Keragaman budaya yang mempengaruhi masyarakat Budaya Betawi baik yang tinggal di Jakarta dan Bekasi, berakibat kepada akan memunculkan banyak cara berkomunikasi dalam pengasuhan terhadap anak dan remaja dalam lingkungan keluarga. Sehingga akan memunculkan banyak polapola pengasuhan dan pola-pola berkomunikasi dalam keluarga. Selain keragaman budaya yang mempengaruhi budaya Betawi, kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa juga mempunyai peran penting dalam mempengaruhi masyarakat budaya Betawi dalam mentransformasikan nilai-nilai budaya kepada anak dan remaja pada keluarga Betawi Jakarta dan Bekasi. Sehingga akan memuncul beragam pola transformasi nilai-nilai yang dilakukan keluarga Betawi Jakarta dan Bekasi. Konsep komunikasi dan pola pengasuhan anak usia balita dan remaja dalam keluarga Betawi Jakarta dan Bekasi meliputi cara orangtua melakukan interaksi dengan anak balita dan remaja yang mereka miliki. Cara ini akan bisa muncul dengan bermacam ragam. Sehingga dampaknya adalah pada kepribadian anak dikala berinteraksi dengan orang lain di luar anggota keluarga. Penggunaan bahasa yang disertai logat, dialek dan tekanan nada akan mempengaruhi cara bicara anak saat bermain dengan teman sebayanya. Hal lain yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah penggunaan komunikasi nonverbal dalam setiap interaksi dengan anak usia balita dan remaja. Baumrind dalam Irmawati (2004) menganggap bahwa pola pengasuhan tertentu dalam keluarga akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka permasalahan pada penelitian ini adalah bagaimana perbedaan pola komunikasi yang dilakukan keluarga Betawi Jakarta dan Betawi Bekasi terhadap anak usia balita dan remaja,yang dibagi dalam tiga lokasi yaitu; Kampung Condet Jakarta Timur, Kampung Tugu
Jakarta Utara dan Kampung Ujung Harapan Bekasi. Tujuan penelitian ini adalah menguji perbedaan signifikan penggunaan komunikasi keluarga dan pola pengasuhan anak Balita dan remaja pada keluarga yang tinggal di Kampung Tugu Jakarta Utara, Kampung Condet Jakarta Timur dan Kampung Ujung H a r a p a n B e k a s i . Subjek penelitian ini berasal dari masyarakat Betawi baik yang tinggal di Jakarta maupun yang tinggal di Bekasi beragama Islam. Sebagian dari masyarakat tersebut ada yang memiliki kepercayaan kepada dunia gaib atau tahayul-tahayul. Akibatnya ada pencampuran ajaran Islam dengan upacara-upacara tradisional yang berkaitan dengan daur hidup. Terutama pada komunitas tertentu, selain percaya pada ajaran agamanya, mereka juga mempunyai kepercayaan terhadap hal-hal yang dianggap gaib (super natural), yaitu percaya kepada adanya hal-hal yang berada diluar batas kemampuan manusia (Supriatna, 2008:607). Tatanan sosial orang Betawi lebih didasarkan pada senioritas umur, artinya orang muda menghormati orang yang lebih tua. Hal ini dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari melalui komunikasi interpersonal. Pengertian Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang dilakukan oleh dua orang individu atau lebih dalam konteks kepentingan masing-masing individu. Komunikasi interpersonal antara orangtua dengan anak balita dan remaja pada masyarakat Betawi, dapat diperhatikan pada saat mereka melakukan aktivitas bersama. Komunikasi interpersonal terkadang tidak efektif apabila tidak ada tujuan yang jelas dalam melakukan proses komunikasi. Menurut DeVito (2007:38) faktor yang dapat mempengaruhi komunikasi interpersonal agar menjadi lebih efektif adalah: a) Keterbukaan: Sifat keterbukaan menunjukkan paling tidak dua aspek tentang komunikasi interpersonal. Aspek pertama yaitu, bahwa kita harus terbuka pada orangorang yang berinteraksi dengan kita. Dari sini orang lain akan mengetahui pendapat, pikiran dan gagasan kita. Sehingga komunikasi akan mudah dilakukan. Aspek kedua dari keterbukaan merujuk pada
Afrina Sari. Komunikasi dan Pola Asuh Anak Balita Asuh Anak Balita .... 65 kemauan kita untuk memberikan tanggapan terhadap orang lain dengan jujur dan terus terang segala sesuatu yang dikatakannya, demikian sebaliknya b) Empati: Empati adalah kemampuan seseorang untuk menempatkan dirinya pada peranan atau posisi orang lain. Mungkin yang paling sulit dari faktor komunikasi adalah kemampuan untuk berempati terhadap pengalaman orang lain. Karena dalam empati, seseorang tidak melakukan penilaian terhadap perilaku orang lain tetapi sebaliknya harus dapat mengetahui perasaan, kesukaan, nilai, sikap dan perilaku orang lain. c) Perilaku Sportif: Komunikasi interpersonal akan efektif bila dalam diri seseorang ada perilaku sportif, artinya seseorang dalam menghadapi suatu masalah tidak bersikap bertahan (defensif). Menurut DeVito (2007:58), keterbukaan dan empati tidak dapat berlangsung dalam suasana yang tidak sportif. Menurut Kohlberg dalam Crain (2007:107) tahapan moral ini berhubungan dengan kemajuan kognitif dan tingkah laku moral. Menurut Piaget dalam Crain (2007 :209), manusia tumbuh, beradaptasi dan berubah melalui perkembangan fisik, perkembangan kepribadian, perkembangan sosio-emosional, dan perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak memanipulasi dan aktif dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Ada tiga aspek perkembangan intelektual yaitu struktur, isi dan fungsi. Struktur atau skemata merupakan organisasi mental tingkat tinggi yang terbentuk pada individu waktu ia berinteraksi dengan lingkungannya. Isi merupakan pola perilaku khas anak yang tercermin pada responsnya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapi. Sedangkan fungsi adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuankemajuan intelektual. Fungsi itu sendiri terdiri dari organisasi dan adaptasi. Piaget dalam Crain (2007 : 221) menjelaskan bahwa perkembangan anak merupakan segala perubahan yang terjadi pada usia anak, yaitu pada masa (1) Infancy toddlerhood (usia 0-3 tahun),
(2) Early childhood (usia >3-6 tahun) dan (3) Middle childhood (usia >6-11 tahun). Perubahan yang terjadi pada diri anak tersebut meliputi perubahan pada aspek berikut: fisik (motorik), emosi, kognitif dan psikososial. Keluarga merupakan sistem sosialisasi bagi anak, dimana ia mengalami pola disiplin dan tingkah laku afektif. Walaupun seorang anak telah mencapai masa remaja dimana keluarga tidak lagi merupakan pengaruh tunggal bagi perkembangan mereka, keluarga tetap merupakan dukungan yang sangat diperlukan bagi perkembangan kepribadian remaja tersebut. Dengan demikian peran orangtua sangat dibutuhkan, terutama karena bertanggung jawab menciptakan sistem sosialisasi yang baik dan sehat bagi perkembangan moral remaja. Remaja sedang tumbuh dan berkembang, karena itu mereka memerlukan kehadiran orang dewasa yang mampu memahami dan memperlakukannya secara bijaksana (Hastuti, 2008 :52). Interaksi sosial awal terjadi di dalam kelompok keluarga. Anak belajar dari orangtua, saudara kandung, dan anggota keluarga lain apa yang dianggap benar dan salah oleh kelompok sosial tersebut. Dari penolakan sosial atau hukuman bagi perilaku yang salah, dan dari penerimaan sosial atau penghargaan bagi perilaku yang benar, anak memperoleh motivasi yang diperlukan untuk mengikuti standar perilaku yang ditetapkan anggota keluarga (Gunarsa, 2004 :19). Perhatian Utama dalam penelitian ini adalah komunikasi keluarga, pola pengasuhan, model transformasi nilai-nilai budaya pada Budaya Betawi. Penelitian ini dipetakan berdasarkan pemilihan lokasi penelitian pada Kampung Tugu Jakarta Utara, Kampung Condet Jakarta Timur, dan Kampung Ujung harapan Bekasi. Dalam penelitian ini variabel yang diteliti adalah: Komunikasi interpersonal orangtua kepada Anak balita dan Remaja yang meliputi: 1) Sikap keterbukaan, 2) Sikap empati 3) perilaku sportif. Dan peubah antara yang diamati meliputi 1) Komunikasi verbal:
66 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 63 -73
Gambar 1. Kerangka penelitian Komunikasi Keluarga, Pola Pengasuhan Anak Balita dan remaja pada Budaya Betawi (Sumber data Primer tahun 2013)
(bahasa, penggunaan kata-kata) dan 2) Komunikasi nonverbal: (belaian, sentuhan, kedekatan). Serta peubah terikat yaitu Pengasuhan Anak. Untuk lebih jelas dapat digambarkan pada gambar diatas Hipotesis Penelitian ini yaitu terdapat perbedaan signifikan antara pola komunikasi yang dilakukan keluarga Betawi Jakarta dan Betawi Bekasi terhadap anak usia balita dan remaja, yang dibagi dalam tiga lokasi yaitu; kampung Condet Jakarta Timur, Kampung Tugu Jakarta Utara dan Kampung Ujung Harapan Bekasi. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan Desain kuantitatif Deskriptif Korelasional. Pemilihan tempat dalam penelitian ini dilakukan secara purposive yaitu Kampung Ujung Harapan Bekasi, Kampung Tugu Jakarta Utara, Kampung Condet Jakarta Timur, dengan pertimbangan bahwa Kampung Ujung Harapan, Kampung Tugu dan Kampung Condet merupakan kampung yang masih memegang teguh nilai-nilai Budaya Betawi. Populasi penelitian adalah penduduk yang tinggal dalam suatu wilayah (Creswell 2002 : 112) dalam penelitian ini yaitu penduduk yang merupakan masyarakat Betawi di Jakarta dan penduduk Betawi di Bekasi yang memiliki anak usia 3-5 tahun dan memiliki anak remaja berusia 11-17 tahun yang di bagi dalam 2 kategori yaitu keluarga miskin dan keluarga mampu. Sampel dari penelitian ini adalah orangtua baik lakilaki ataupun perempuan.
Pengumpulan data primer untuk penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kuisioner yang di bagi dalam tiga bagian yaitu: bagian pertama berisikan tentang karakteristik keluarga dan anggota keluarga Betawi di tiga lokasi. Bagian kedua, berisikan tentang pola-pola komunikasi antara individu dalam keluarga pada keluarga Betawi di tiga wilayah penelitian. Bagian ketiga, berisikan bentuk-bentuk pengasuhan dan aktivitas pengasuhan yang dilakukan oleh keluarga Betawi di tiga lokasi penelitian. Data kualitatif untuk mendalami materi ataupun pengolahan data primer dilakukan dengan teknik wawancara mendalam dan observasi (Arikunto 2006 :86). Analisis data untuk data tahun pertama dilakukan dengan mengunakan analisis uji statistik Rank Spearman untuk melihat rangking pola komunikasi yang digunakan keluarga dalam pengasuhan anak dan remaja di keluarga Betawi. Juga menggunakan Analisis Wicolson untuk melihat perbedaan pola yang digunakan orangtua dalam pengasuhan anak balita dan remaja di tiga lokasi penelitian. Data penelitian tahun pertama di analisis menggunakan analisis statistik software SPSS version.18. Hasil Penelitian dan Pembahasan Karakteristik Responden Karakteristik personal responden meliputi: (1) usia (2) agama, (3) pendidikan, (4) pekerjaan. (5) penghasilan. Untuk menunjukkan nilai uji Korelasi dengan uji Rank Spearman disajikan dalam grafik 1 berikut:
Afrina Sari. Komunikasi dan Pola Asuh Anak Balita Asuh Anak Balita .... 67
Grafik 1. Karakteristik Responden
Berdasarkan Grafik 1, maka dapat dijelaskan bahwa nilai korelasi usia menunjukkan nilai 1,000, nilai korelasi agama 0,125, nilai korelasi pendidikan -0,013, nilai korelasi pekerjaan 0,14, dan nilai korelasi penghasilan 0,01. Nilai korelasi yang berhubungan secara signifikan adalah penghasilan dengan pendidikan nilai korelasi 0,319 (p<0.05). Pekerjaan dengan penghasilan juga mempunyai hubungan secara signifikan dengan nilai korelasi 0,139 (p<0,05). Artinya pendidikan dan pekerjaan menentukan penghasilan seseorang, terutama dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat penghasilan ditentukan oleh pendidikan dan pekerjaan yang dilakukan. Karakteristik Keluarga Karakteristik keluarga meliputi: (1) Kategori keluarga (2) Status rumah, (3) Belanja Pakaian (4) Kendaraan yang di miliki. Untuk menunjukkan nilai Uji Korelasi dengan Uji Rank Spearman disajikan dalam grafik 2 berikut:
Grafik 2. Karakteristik Keluarga
Berdasarkan Grafik 2, maka dapat dijelaskan bahwa, nilai korelasi kategori keluarga menunjukkan nilai 1,00, status rumah nilai korelasi -0,04, belanja pakaian nilai korelasi -0,02, dan kendaraan yang dimiliki nilai korelasi 0,064. Secara hubungan yang signifikan tidak menunjukkan ada hubungan antara variabel tersebut. Artinya dapat dikatakan bahwa variabel karakteristik keluarga tidak menunjukkan korelasi dengan kehidupan yang dilakukan responden.
Komunikasi Keluarga Kepada Anak Balita Komunikasi keluarga kepada anak Balita meliputi; 1) Sikap keterbukaan pada Balita, 2) Sikap empati pada Balita, 3) Sikap Sportif pada Balita. Untuk menunjukkan nilai Uji Korelasi dengan uji Rank Spearman disajikan dalam grafik 3 berikut:
Berdasarkan Grafik 3 diatas, maka dapat dijelaskan bahwa komunikasi keluarga kepada anak balita dan remaja sebagai berikut; nilai korelasi keterbukaan pada balita menunjukkan nilai 0,239, keterbukaan pada remaja nilai korelasi 0,006, sifat sportif pada balita nilai korelasi 0,019, sikap sportif pada remaja nilai korelasi 0,038. Sikap empati pada balita nilai korelasi 0,052, dan sikap empati pada remaja nilai korelasi 0,06. Secara hubungan yang signifikan menunjukkan ada hubungan antara variabel komunikasi keluarga dengan keterbukaan pada anak balita menunjukkan nilai korelasi yang signifikan 0,239 (p<0,05). Artinya dapat dikatakan bahwa variabel keterbukaan pada anak balita membuat komunikasi keluarga menjadi lebih baik. Komunikasi keluarga Kepada anak Remaja Komunikasi keluarga kepada anak remaja meliputi; 1) Sikap keterbukaan pada remaja, 2) Sikap empati pada remaja, 3) Sikap Sportif pada remaja. Untuk menunjukkan nilai Uji Korelasi dengan Uji Rank Spearman disajikan dalam grafik 4 berikut:
Grafik 4. Sikap Terbuka pada Remaja
68 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 63 -73 Berdasarkan Grafik 4, maka dapat dijelaskan bahwa sikap terbuka pada remaja sebagai berikut; nilai korelasi menjelaskan 0,146, nilai korelasi teruterang 0,187 dan nilai korelasi rahasia 0,002. Grafik menunjukkan bahwa ada hubungan sikap keterbukaan orangtua kepada remaja dengan cara menjelaskan yang dilakukan orangtua, begitu juga, sikap terbukaan pada anak remaja berhubungan dengan terusterang yang dilakukan orangtua kepada anak remaja signifikan dalam taraf p<0,05 Sikap empati pada remaja menunjukkan bahwa 147 orang (98%) menunjukkan baik dalam menunjukkan sikap empati pada anak remajanya. Sikap empati dikembangkan dengan memperhatikan remaja dengan masalah yang dihadapi anak remajanya. Orangtua juga memperhatikan aktivitas anaknya, dan marah saat mengetahui anak remajanya memiliki masalah yang lambat diketahui orangtua. Hal yang paling baik dilakukan orangtua adalah selalu memberikan contoh perilaku sopan dalam melakukan sesuatu setiap harinya. Untuk lebih jelasnya di sajikan pada grafik 5 berikut:
Grafik 4. Sikap Terbuka pada Remaja
Berdasarkan Grafik 5, maka dapat dijelaskan bahwa sikap empati remaja sebagai berikut; nilai korelasi masalah remaja -0,21, nilai korelasi aktivitas 0,142, nilai korelasi marah jika bermasalah -0,065 dan perilaku sopan 0,206. Grafik 6 menunjukkan bahwa ada hubungan sikap empati orangtua kepada anak remaja dengan masalah remaja, nilai korelasi -0,21 signifikan dalam taraf p<0,05, berarti bahwa jika masalah remaja yang dialami remaja, maka empati juga akan berkurang. Sikap empati pada remaja juga berhubungan signifikan dengan aktivitas remaja, terlihat nilai korelasi 0,142 (p<0,05). Juga berhubungan dengan perilaku sopan yang selalu dicontohkan oleh orangtua.
Sikap sportif pada remaja menunjukkan bahwa 142 orang (94,7%) menunjukkan baik dan bahkan sangat baik dalam menunjukkan sikap sportif pada anak remajanya. Sikap sportif dikembangkan dengan memperhatikan remaja dengan ajarkan untuk mengakui kesalahan, juga diajarkan minta maaf jika remaja melakukan kesalahan. Serta orangtua juga mengajarkan tanggungjawab. Untuk lebih jelas di sajikan dalam grafik 6 berikut:
Grafik 4. Sikap Terbuka pada Remaja
Berdasarkan Grafik 6, maka dapat dijelaskan bahwa sikap sportif pada remaja sebagai berikut; nilai korelasi akui kesalahan 0,032, nilai korelasi minta maaf 0,121, nilai korelasi tanggungjawab 0,0128. Grafik menunjukkan bahwa ada hubungan sikap sportif orangtua kepada anak remaja dengan sikap remaja yang minta maaf dan remaja yang memiliki tanggung jawab signifikan dalam taraf p<0,05. Pola pengasuhan Anak Balita Pola pengasuhan anak Balita meliputi; 1) Kosistensi mendidik 2) Pengamalan Agama 3) Penerapan Norma 4) Sikap orangtua. Konsistensi mendidik menunjukkan bahwa 145 orang (96,7%) cukup baik dan baik, 5 orang (3,3%) tidak baik. Konsistensi yang dilakukan orangtua kepada anak balitanya yaitu membuat kesepakatan dengan anak balita. Orangtua kemudian membuat peraturan yang harus ditaati oleh balitanya. Begitu juga orangtua mencoba konsekuensi menggunakan katakata kepada anak balita. Pengamalan agama menunjukkan bahwa 123 orang (75,4%) menunjukkan cukup baik dan kearah baik, 27 orang (24,6) menunjukkan tidak baik. Pengamalan agama dilakukan orangtua kepada anak balita yaitu dengan mencontohkan sholat, menunjukkan perbuatan baik, mencontohkan menolong orang lain. Sikap konsistensi penerapan
Afrina Sari. Komunikasi dan Pola Asuh Anak Balita Asuh Anak Balita .... 69 norma kepada balita menunjukkan 85 orang (56,3%) cukup baik, dan 65 orang (43,7%) baik. Sikap konsistensi penerapan norma dilakukan orang dengan ajarkan ucapkan kata-kata yang baik, marah jika anak balita tidak berperilaku sopan, orangtua juga mencontohkan perilaku sopan dan santun. Sikap orangtua menunjukkan sikap yang cukup baik dan bahkan cenderung sangat baik kepada anak balitanya, 61 orang (40,4%) menunjukkan sikap cukup baik dan 89 orang (59,6%) menunjukkan baik dan cenderung sangat baik. Sikap orangtua dalam keluarga kepada anak balita di tunjukkan dengan cara menuntun perilaku anak balita setiap hari, mengarahkan menggunakan mainan, orangtua juga memberikan hadiah sebagai penunjukkan rasa penghargaan kepada anak balita. Berikut ini di tunjukkan dalam grafik 7 berikut:
Begitu juga orangtua mencoba konsekuensi menggunakan kata-kata kepada anak remaja.Pengamalan Agama menunjukkan bahwa 69 orang (46%) menunjukkan cukup baik dan 81 orang ( 54%) kearah baik dan sangat baik. Pengamalan agama dilakukan orangtua kepada anak remaja yaitu dengan marah jika tidak sholat, mencontohkan amalan agama, ajak peduli pada orang susah. Sikap konsistensi penerapan norma kepada balita menunjukkan 143 orang (93,7%) cukup baik, baik dan cenderung sangat baik, 7 orang (4,6%) tidak baik. Sikap konsistensi penerapan norma dilakukan orangtua marah jika anak remaja ucapkan kata-kata yang tidak baik, ajarakan berperilaku sopan, orangtua juga marah jika tidak duduk dengan baik atau sopan. Sikap orangtua menunjukkan sikap yang cukup baik 41 orang (27,2%) menunjukkan sikap cukup baik dan 109 orang (72,8%) menunjukkan baik dan cenderung sangat baik. Sikap orangtua dalam keluarga kepada anak remaja dengan cara memberikan petunjuk beribadah, mengarahkan dalam bergaul, orangtua juga memberikan pujian dan hadiah sebagai penunjukkan rasa penghargaan kepada anak remaja. Berikut ini di tunjukkan dalam grafik 8 berikut:
Grafik 7. Pola Pengasuhan Anak Balita
Berdasarkan Grafik 7 diatas, maka dapat dijelaskan bahwa pola pengasuhan anak balita sebagai berikut; nilai korelasi konsistensi mendidik 0,03, nilai korelasi pengamalan agama 0,065, nilai korelasi penerapan Norma -0,052 dan nilai korelasi sikap orangtua -0,03. Grafik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan secara signifikan semua variabel tersebut dengan pola pengasuhan anak balita. Pola pengasuhan Anak Remaja Pola pengasuhan anak Remaja meliputi; 1) Kosistensi mendidik 2) Pengamalan Agama 3) Penerapan Norma 4) Sikap orangtua. Konsistensi mendidik menunjukkan bahwa 96 orang (64%) cukup baik dan 54 orang (36%) baik. Konsistensi yang dilakukan orangtua kepada anak balitanya yaitu membuat kesepakatan dengan remaja dalam aktivitas. Orangtua kemudian membuat peraturan yang harus ditaati oleh remaja.
Grafik 8. Pola Pengasuhan Remaja
Berdasarkan Grafik 8, maka dapat dijelaskan bahwa pola pengasuhan Anak remaja sebagai berikut; nilai korelasi konsistensi mendidik 0,04, nilai korelasi Pengamalan agama 0,22, nilai korelasi penerapan Norma -0,031 dan nilai korelasi Sikap orangtua 0,016. Grafik 9 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan secara signifikan semua variabel tersebut dengan pola pengasuhan anak remaja Komunikasi Keluarga di Kampung Condet Jakarta Timur Komunikasi keluarga yang terjadi di keluarga Betawi di Kampung condet Jakarta Timur meliputi; 1) Sikap keterbukaan pada
70 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 63 -73 Balita 2) sikap keterbukaan pada remaja, 3) sikap empati pada balita, 4) sikap empati pada remaja, 5) sikap sportif pada balita, 6) sikap sportif pada remaja. Untuk lebih lanjut di tunjukkan dalam grafik 9 berikut:
Komunikasi Keluarga di Kampung Tugu Jakarta Utara Komunikasi keluarga yang terjadi di keluarga Betawi di Kampung Tugu Jakarta Utara meliputi; 1) Sikap keterbukaan pada Balita 2) sikap keterbukaan pada remaja, 3) sikap empati pada balita, 4) sikap empati pada remaja, 5) sikap sportif pada balita, 6) sikap sportif pada remaja. Untuk lebih lanjut di tunjukkan dalam grafik 10 berikut:
Grafik 9. Komunikasi Keluarga di Kampung Condet
Berdasarkan grafik 9, dapat dikatakan bahwa; sikap keterbukaan pada balita menunjukkan nilai uji z -0,426 dengan asymp.sig 0,670, artinya tidak menunjukkan hubungan signifikansi dalam taraf p<0,05 dengan komunikasi keluarga dalam pengasuhan anak balita. Sikap keterbukaan pada remaja nilai uji z=0 dengan asymp.sig 1, artinya juga tidak menunjukkan hubungan signifikasi dalam taraf p<0,05 dengan komunikasi keluarga dalam pengasuhan anak balita. Sikap empati pada balita menunjukkan nilai uji z = -1,569 dengan asymp.sig 0,117. Artinya juga tidak menunjukkan hubungan signifikasi dalam taraf p<0,05 dengan komunikasi keluarga dalam pengasuhan anak balita. Sikap empati pada remaja menunjukkan nilai uji z=-3,128 dengan asymp.sig 0,002, artinya ada hubungan signifikasi dalam taraf p<0,01 dengan komunikasi keluarga dalam pengasuhan anak remaja di Kampung Condet Jakarta Timur. Sikap sportif pada anak Balita menunjukkan nilai uji z = -2,524 dengan asymp.sig 0,012. Artinya ada hubungan signifikansi dalam taraf p<0,05 dengan komunikasi keluarga dalam pengasuhan anak balita di Kampung Condet Jakarta Timur. Sikap sportif pada remaja menunjukkan nilai uji z = -1,886 dengan asymp.sig 0,059. Artinya tidak terlalu nampak hubungan signifikasi dalam taraf p<0,05 dengan komunikasi keluarga dalam pengasuhan anak remaja di Kampung Condet jakarta Timur.
Grafik 10. Komunikasi Keluarga di Kampung Tugu
Berdasarkan grafik 10, dapat dikatakan bahwa; sikap keterbukaan pada balita menunjukkan nilai uji z -1,043 dengan asymp.sig 0,297, artinya tidak menunjukkan hubungan signifikansi dalam taraf p<0,05 dengan komunikasi keluarga dalam pengasuhan anak balita. Sikap keterbukaan pada remaja nilai uji z = 0,00 dengan asymp.sig 1, artinya juga tidak menunjukkan hubungan signifikasi dalam taraf p<0,05 dengan komunikasi keluarga dalam pengasuhan anak balita. Sikap empati pada balita menunjukkan nilai uji z = 0,00 dengan asymp.sig 1,00. Artinya juga tidak menunjukkan hubungan signifikasi dalam taraf p<0,05 dengan komunikasi keluarga dalam pengasuhan anak balita. Sikap empati pada remaja menunjukkan nilai uji z = -1,499 dengan asymp.sig 0,134, artinya tidak ada hubungan signifikasi dalam taraf p<0,01 dengan komunikasi keluarga dalam pengasuhan anak remaja di Kampung Tugu Jakarta Utara.Sikap sportif pada anak Balita menunjukkan nilai uji z = -0,218 dengan asymp.sig 0,827. Artinya tidak ada hubungan signifikansi dalam taraf p<0,05 dengan komunikasi keluarga dalam pengasuhan anak balita di Kampung Tugu Jakarta Utara. Sikap sportif pada remaja menunjukkan nilai uji z = -2,013 dengan asymp.sig 0,044.
Afrina Sari. Komunikasi dan Pola Asuh Anak Balita Asuh Anak Balita .... 71 Artinya tidak terlalu nampak hubungan signifikasi dalam taraf p<0,05 dengan komunikasi keluarga dalam pengasuhan anak remaja di Kampung Tugu Jakarta Utara. Komunikasi Keluarga di Kampung Ujung Harapan Bekasi Komunikasi keluarga yang terjadi di keluarga Betawi di Kampung Ujung Harapan Bekasi meliputi; 1) Sikap keterbukaan pada Balita 2) sikap keterbukaan pada remaja, 3) sikap empati pada balita, 4) sikap empati pada remaja, 5) sikap sportif pada balita, 6) sikap sportif pada remaja. Untuk lebih lanjut di tunjukkan dalam grafik 11 berikut:
Grafik 11. Komunikasi Keluarga di Kampung Ujung Harapan
Berdasarkan grafik 11, dapat dikatakan bahwa; sikap keterbukaan pada balita menunjukkan nilai uji z -2,496 dengan asymp.sig 0,013, artinya menunjukkan ada hubungan signifikansi dalam taraf p<0,05 dengan komunikasi keluarga dalam pengasuhan anak balita. Sikap keterbukaan pada remaja nilai uji z = -0,626, dengan asymp.sig 0,532, artinya tidak menunjukkan hubungan signifikasi dalam taraf p<0,05 dengan komunikasi keluarga dalam pengasuhan anak balita. Sikap empati pada balita menunjukkan nilai uji z = -0,688 dengan asymp.sig 0,491. Artinya juga tidak menunjukkan hubungan signifikasi dalam taraf p<0,05 dengan komunikasi keluarga dalam pengasuhan anak balita. Sikap empati pada remaja menunjukkan nilai uji z= -0,229 dengan asymp.sig 0,819, artinya tidak ada hubungan signifikasi dalam taraf p<0,05 dengan komunikasi keluarga dalam pengasuhan anak remaja di Kampung Ujung Harapan Bekasi.
Sikap sportif pada anak Balita menunjukkan nilai uji z = -2,268 dengan asymp.sig 0,023. Artinya tidak ada hubungan signifikansi dalam taraf p<0,05 dengan komunikasi keluarga dalam pengasuhan anak balita di Kampung Tugu Jakarta Utara. Sikap sportif pada remaja menunjukkan nilai uji z = -3,277 dengan asymp.sig 0,001. Artinya ada hubungan signifikasi dalam taraf p<0,05 dengan komunikasi keluarga dalam pengasuhan anak remaja di Kampung Ujung Harapan Bekasi. Komunikasi Keluarga, Pola Pengasuhan dan Perkembangan Anak di Kampung Tugu Jakarta Utara, Kampung Condet Jakarta Timur dan Kampung Ujung Harapan Bekasi. Pembahasan hipotesis penelitian bahwa terdapat perbedaan signifikan penggunaan komunikasi keluarga dan pola pengasuhan anak balita dan remaja pada keluarga yang tinggal di Kampung Tugu Jakarta Utara, Kampung Condet Jakarta Timur dan Kampung Ujung Harapan Bekasi.” Untuk hal tersebut dilakukan uji Wicolson pada ketiga lokasi penelitian, hasil Uji Z menunjukkan bahwa ada perbedaan secara signifikan penggunaan komunikasi keluarga dan pola pengasuhan anak balita dan remaja pada keluarga di Kampung Tugu Jakarta Utara, Kampung Condet Jakarta Timur dan Kampung Ujung Harapan Bekasi. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 1 berikut:
72 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 63 -73 Tabel 1. Perbedaan penggunaan komunikasi, pola pengasuhan dan perkembangan anak
Berdasarkan Tabel 1, maka dapat dijelaskan bahwa komunikasi keluarga yang dilakukan di Kampung Condet kepada anak balita dan remaja, menunjukkan bahwa sikap empati pada remaja dan sikap sportif pada balita lebih signifikan terhadap perkembangan anak. Sikap empati orangtua kepada anak remaja lebih signifikan dengan nilai uji z -3,128 dengan nilai signifikan 0,002 yang berarti bahwa sikap empati kepada remaja signifikan dala taraf p<0,01. Sikap sportif kepada anak Balita menunjukkan nilai uji Z -2,524 dengan nilai signifikasi 0,012 yang berarti sikap sportif anak balita yang dikembangkan oleh orangtua signifikan dalam taraf p<0,05. Sementara Komunikasi Keluarga di Kampung Tugu menunjukkan bahwa sikap sportif pada remaja yang menunjukkan lebih signifikan dengan nilai uji Z -2,-13 dan nilai signifikasi 0,044 yang berarti signifikan dalam taraf p<0,05. Sedangkan Komunikasi Keluarga di Kampung Ujung Harapan menunjukkan
bahwa sikap terbuka pada anak balita, sikap sportif pada anak balita dan sikap sportif pada remaja. Sikap terbuka kepada anak balita menunjukkan nilai uji Z -2,196 dengan nilai signifikasi 0,013 yang berarti signifikasi dalam taraf p<0,05. Sikap Sportif kepada anak Balita menunjukkan nilai uji Z -2268 dengan nilai signifikasi 0,023 dalam taraf p<0,05. Sikap sportif pada remaja menunjukkan nilai Uji z-3277 dengan nilai signifikansi 0,001 dalam taraf p<0,01. Simpulan Pola komunikasi yang dilakukan keluarga Betawi di Kampung Condet Jakarta Timur menunjukkan bahwa komunikasi lebih mengembangkan sikap empati kepada remaja dan mengembangkan sikap sportif kepada anak balita. Pola komunikasi pada keluarga Betawi di Kampung Tugu menunjukkan bahwa keluarga mengembangkan sikap sportif remaja. Pola komunikasi keluarga pada
Afrina Sari. Komunikasi dan Pola Asuh Anak Balita Asuh Anak Balita .... 73 keluarga Betawi di Kampung Ujung Harapan menunjukkan bahwa keluarga mengembangkan sikap terbuka pada anak balita, mengembangkan sikap sportif pada anak balita dan sikap sportif pada remaja. Daftar Pustaka Arikunto S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi keenam. Yogyakarta: Rineka Cipta. Crain. (2007). Teori perkembangan anak, konsep dan aplikasi, Edisi ke Tiga, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Creswell J. W. (2002). Research design, desain penelitian qualitative and quantitative approaches. Jakarta: KIK Press. DeVito, Joseph. (2007). The Interpersonal Communication Book Elevent Edition. USA: Pearson Education. Gunarsa, S.D & Gunarsa, Y.S. (2004). Psikologi Praktis: Anak. Remaja. Dan Keluarga. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. Hastuti, D. (2008). Pengasuhan: Teori dan Prinsip serta Aplikasinya di Indonesia. Bogor (ID): Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Fakultas Ekologi Manusia IPB. Irmawati, (2004), Motivasi Berprestasi dan Pola Pengasuhan Pada Suku Bangsa Batak Toba Di Desa Parpareran II Tapanuli Utara; Makalah Seminar Temu Ilmiah Nasional & Kongres IX Himpunan Psikologi Indonesia Surabaya, 15-17 Januari 2004. Supriatna, (2008), Kepercayaan Tradisional dan Ketakwaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa dalam Sistem Sosial Budaya Masyarakat Betawi di DKI Jakarta, Jurnal Penelitian Vol.40 No.1 April 2008;607640.
Distribusi dan Eksibisi Film Alternatif di Yogyakarta, Resistensi atas Praktek Dominasi Film di Indonesia Budi Dwi Arifianto, Fajar Junaedi Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Jalan Lingkar Barat, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, (0274) 387656 E-mail:
[email protected],
[email protected]
Abstract This study attempts to describe the strategy and the distribution pattern of “Ngamen” cinema in Yogyakarta. The research methodology that is used is qualitative descriptive with data collection through in-depth interviews involving an offender of cinema in Yogyakarta, the literature study and relevant documents. This study found that was the film community as the basis distributor of short film or alternate in Yogyakarta. This community can come from campus and outside campus. In a line distribution filmmaker of Yogyakarta play the movie from one place to another place by the festival playback on a campus and screening outside campus. The development of the internet technology made it easier for in search of a sac culture and decent it can be used the movie. Through the internet on filmmaker of Yogyakarta looking for another film community who were willing to roll the the movie. Keyword: film, distribution, eksebisi
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi dan pola distribusi sinema ngamen di Yogyakarta. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pengumpulan data melalui wawancara mendalam yang melibatkan pelaku sinema di Yogyakarta, studi pustaka dan dokumen yang relevan. Penelitian ini menemukan data sebagai bahwa komunitas film menjadi basis dalam distribusi film pendek atau alternatif di Yogyakarta. Komunitas film ini bisa berasal dari kampus maupun luar kampus. Dalam jalur distribusi, penggiat film Yogyakarta memutar film dari satu tempat ke tempat lain dengan jalur festival, pemutaran di kampus dan pemutaran di luar kampus. Perkembangan teknologi internet memudahkan dalam mencari kantung budaya yang layak dan bisa dijadikan pemutaran film. Melalui internet, sineas Yogyakarta mencari komunitas film lain yang bersedia memutarkan filmnya. Kata kunci: film, distribusi, eksebisi.
74
Budi Dwi Arifianto, Fajar Junaedi. Distribusi dan Eksibisi Film ... 75 Pendahuluan Film bukan hanya berkaitan dengan ranah produksi saja, namun juga berada pada ranah distribusi dan eksebisi. Berbeda dengan media cetak dan media penyiaran, eksebisi dan distribusi film membutuhkan mekanisme yang lebih rumit bernama gedung sinema. Bandingkan dengan koran yang bisa dibaca dimanapun atau televisi yang bisa dengan mudah terdistribuskan melalui frekuensi. Di Indonesia, industri distribusi film berjalan dalam kondisi pasar yang jarang trasparan, kecuali pada masa AMPAI di era Orde Lama. Pada masa Orde Lama, importir film bergabung dalam AMPAI (American Motion Picture Association of Indonesia), yang pada hakikatnya adalah kepanjangan tangan dari asosiasi eksportir film Amerika Serikat. Pada era ini, perdagangan film berjalan dengan bebas, dengan konsekuensi setiap film menemukan pasarnya sendirisendiri. Bioskop kelas A diisi film-film AMPAI, sementara film nasional berada di bioskop kelas C. Walaupun berada di kelas bioskop yang tidak prestisius, jumlah volume film Indonesia yang tayang di bioskop kelas C berjumlah besar. Perdagangan yang terlihat bebas ini sebenarnya bukan tanpa imbalan bagi pihak Indonesia sebagai tuan rumah. Strategi yang dilakukan oleh Presiden Soekarno pada masa ini adalah menghimpun dana yang diperoleh melalui AMPAI untuk tetap beredar di Indonesia sebagai devisa yang ditahan (Sasono, 2011: 200). Pada tingkat distribusi, karena minimnya infrastruktur, sistem distribusi masih didominasi oleh sistem jual beli putus dan dijalankan oleh pengedar daerah yang merangkap sebagai broker dan booker. Pada dasarnya penyebutan broker yang berarti perantara atau calo merupakan plesetan yang merendahkan dari booker atau orang yang melakukan pemesanan dan penjadwalan suatu film di bioskop (Sasono,2011:201). Pendulum pemerintah Orde Lama yang semakin ke kiri dalam konteks politik menyebabkan tekanan terhadap film-film Amerika Serikat semakin menghebat.
Konfrontasi dengan Malaysia yang digelorakan oleh Presiden Soekarno melalui Dwikora menyebabkan sentimen anti Inggris, dan otomatis juga Amerika Serikat sebagai sekutu utamanya kian membara. Inggris dianggap sebagai otak di balik pembentukan negara Malaysia yang ditentang oleh Presiden Soekarno. Demonstrasi anti Inggris dan Amerika Serikat semakin membesar mendekati tahun 1965. Sentimen anti Amerika lebih mudah terjadi karena keterlibatan negara ini dalam mendukung pemberontakan separatis PRRI (Pemerintahan Revolusioner Indonesia) dan Permesta di Sumatera dan Sulawesi pada awal dekade 1960-an. Pemberontakan yang bermula dari kritik kaum oposisi, terutama Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), terhadap demokrasi terpimpin ala Soekarno berujung pada sentimen anti Amerika Serikat. Partai Komunis Indonesia, rival utama Masyumi dan PSI mengambil kesempatan untuk memukul kedua rivalnya di beragam bidang. Pada bidang perfilman, PKI mengambil momentum dengan mensponsori pendirian Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika (PAPFIAS) pada tahun 1962 – 1963. Sesuai namanya, serangan utama PAPFIAS adalah film-film impor yang berasal dari Amerika Serikat. AMPAI menjadi sasaran serangan PAPFIAS. Slogan yang populer di masa konfrontasi dengan Malaysia, “Inggris kita linggis, Amerika kita setrika” benar-benar diwujudkan dalam serangkaian aksi unjuk rasa PAPFIAS. Bioskop–bioskop yang masih menayangkan film dari Amerika Serikat, tentu saja terutama bioskop kelas A, diancam dibakar jika masih menayangkan film asal Amerika Serikat. Tepat pada hari kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1964, pemerintah Indonesia secara resmi menghentikan kegiatan AMPAI. Temuan dokumen yang mengaitkan direkur AMPAI, Bill Palmer sebagai mata–mata spionase Amerika Serikat di Indonesia digunakan pemerintah untuk memperkuat alasan melarang kegiatan AMPAI.
76 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 74 -84 Kekosongan layar sinema Indonesia dari film asal Amerika Serikat diisi dengan film yang berasal dari China dan negara-negara Eropa Timur yang berhaluan komunis. Namun, selera audiens tidak mudah dibentuk. Kunjungan audiens ke bioskop merosot. Anehnya, alih–alih kekosongan ini membuat film Indonesia bangkit, film Indonesia justru mengalami kemunduran. Produksi film Indonesia melorot hanya 1 – 2 film pada tahun 1965 (Sasono,2011:202). Ketiadaan film yang dipasok ke berbagai gedung bioskop akhirnya menyebabkan banyak bioskop yang gulung tikar. Kekosongan film Indonesia yang siap diputar di bioskop berada pada titik nadirnya di sekitar tahun 1965. Perubahan terjadi sejak Orde Baru berkuasa. Kehancuran infrastruktur perfilman Indonesia sejak peristiwa tahun 1965 menyebabkan pemerintah merasa perlu untuk membangkitkan industri film. Jalan instan dilakukan pemerintah dengan membuka kran impor film selebar-lebarnya. Ketiadaan pasokan film pasca tahun 1965 nyaris tidak mungkin bisa diisi oleh film dalam negeri dalam waktu singkat menyebabkan impor film menjadi pilihan yang paling rasional. Importir film memanfaatkan kesempatan untuk mengail keuntungan dalam aras politik yang berubah. Mereka segera mengelompokan diri dan bergabung dalam Gabungan Importir – Produsen Film Indonesia (GIPRODFIN). Berbeda dengan Orde Lama yang condong ke negara-negara Eropa Timur dan China, pemerintah Orde Baru mengambil kebijakan yang berbeda 180 derajat. Pemerintah Orde Baru meninggalkan kedekatan dengan Blok Timur, seiring tuduhan makar pada PKI dan larangan pada ajaran komunisme, dan mendekat pada Blok Barat. Film dari Blok Barat, terutama tentu saja adalah Amerika Serikat kembali hadir dalam layar bioskop Indonesia. Kembalinya Dominasi Importir Film Amerika Menteri Penerangan B.M. Diah berusaha memberikan insentif pada film Indonesia dengan mengeluarkan SK No. 71 tahun 1967 yang menyebutkan bahwa untuk
setiap film yang diimpor, importir film harus menyetor uang untuk dihimpun sebagai biaya pembuatan film nasional.Produser lalu dapat mengajukan proposal untuk dapat dibantu dengan biaya tersebut. Pada tahun 1971, SK Menteri Penerangan No. 124/1971 yang ditandatangani oleh Menteri Penerangan Budiharjo memperkuat SK yang dikeluarkan pada masa B.M. Diah, dengan memperluas penggunaan dana produksi yang ditarik dari importir tidak hanya untuk memproduksi film, namun juga untuk perfilman Indonesia secara keseluruhan (Sasono,2011:204). Pada era ini kebijakan yang terlihat menyolok adalah pengaturan pembagian wilayah edar, dan selanjutnya adalah pengelompokan importir film dalam asosiasiasosiasi. Pada tahun 1972, di bawah kepemimpinan Menteri Penerangan Boediarjo, mekanisme pengaturan tata niaga mulai mendapatkan masalah. Pada masa tersebut, Departemen Penerangan membuat edaran melalui surat bernomor 03/Kep/Dir—Df/1972 yang tertanggal 8 Juni 1972. Sebanyak 16 perusahaan importir film Mandarin menjadi heboh, disebabkan secara tiba–tiba CV Asia Baru mendapatkan hak tunggal dalam mengimpor film Mandarin. Pada kenyataannya, setiap anggota asosiasi dapat membeli filmnya sendiri, namun hanya bisa mengedarkan filmnya sendiri itu setelah mereka membayar semacam import fee (dana impor) kepada Asia Baru (Sasono,2011:204). Jelas sudah bahwa praktek monopoli dalam impor film terjadi pada masa permulaan Orde Baru. Kebijakan lain yang berkaitan dengan impor film adalah tekanan pemerintah pada importir film dengan mewajibkan mereka bergabung dalam badan-badan konsorsium yang dibagi dalam beberapa kategori yaitu Amerika Serikat – Eropa, Asia, Asia non Mandarin. Alasan pemerintah adalah bahwa hal ini berasal dari aspirasi para importir untuk mencegah kompetisi yang tidak sehat di antara para importir. Alasan pemerintah ini bertolah belakang dengan pengakuan dari importir bahwa mereka sebenarnya ditekan, yaitu bergabung dengan badan–badan tersebut atau izinnya dicabut (Sen, 1987). Kelompok importir film Mandari dipimpin oleh PT Suptan, dan kelompok Amerika
Budi Dwi Arifianto, Fajar Junaedi. Distribusi dan Eksibisi Film ... 77 Serikat – Eropa dipimpin oleh PT Archipelago Films dan kelompok Asia non Mandarin dipimpin oleh PT Adhi Yasa Films. Selang empat tahun kemudian, pemerintah membubarkan badan–badan konsorsium importir film dengan alasan keberadaannya tidak membuat suasana menjadi tenang. Menteri Penerangan yang baru, Marshuri membentuk empat Konsorsium Importir Film (KIF) yang terdiri dari 21 importir. Menteri Penerangan Mashuri, sebagaimana pendahulunya, berusaha menggunakan keuntungan dari impor film untuk menyuntik produktifitas produksi film Indonesia. Melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 51/Kep/Menpen/1976, dibuat aturan yang mewajibkan setiap importir film juga harus memproduksi film Indonesia. Secara lebih detail surat keputusan ini menyebutkan bahwa untuk setiap produksi film anggota KIF, yang bersangkutan diberi jatah mengimpor lima film impor. Pada tahun 1977/1978, jatah film
yang bisa diimpor anggota KIF untuk setiap satu produksi film mereka adalah tiga film.Bagi importir yang tidak melakukan produksi film Indonesia, diwajibkan membeli tiga buah sertifikat produksi dengan nilai nominal Rp. 3.000.0000,-- untuk setiap sertifikat produksi agar dapat mengimpor satu judul film melalui KIF masing-masing (Sasono,2011:204 – 205). Secara kasat mata, kebijakan yang diterapkan oleh Menteri Penerangan Mashuri memang berpotensi menaikan jumlah produksi film Indonesia. Kritik yang muncul bersuara mengenai orientasi produksi film Indonesia yang hanya dikejar oleh para importir agar dapat mengimpor film. Hal lain yang terabaikan adalah mengenai peredaran/distribusi. Pasar peredaran film dikuasai oleh broker dan spekulan, sehingga terjadi hubungan yang tidak baik antara produser dan eksebitor. Berikut ini adalah perbandingan sistem edar film nasional dan film impor.
Tabel 1. Perbandingan Sistem Edar Film Nasional dan Film Impor
Sumber : Nanang Junaedi dalam Sasono dkk (2012:297)
78 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 74 -84 Perlakuan khusus pada film Indonesia sebagaimana yang terlihat dalam tabel tersebut di atas seolah memberikan perlakuan yang khusus bagi film Indonesia, namun pada kenyataannya justru semakin memojokkan film Indonesia di negerinya sendiri. Film impor kian mendominasi layar bioskop sepanjang sejarah Orde Baru. Dasawarsa 1990-an, era dekade dimana diakhiri dengan kejatuhan Orde Baru, dominasi film impor semakin tidak terkendali. Produksi film Indonesia yang merosot pada dekade 1990-an berdampak pada semakin terbatasnya film Indonesia yang bisa ditayangkan di gedung bioskop. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, bumbu seks dan horor menjadi resep yang dipilih oleh film Indonesia pada dekade ini, namun gempuran film Hollywood semakin membenamkan film Indonesia. Di sisi yang lain, kehidupan budaya populer di pada dawasarsa 1990-an ditandai dengan munculnya stasiun televisi swasta pertama, RCTI yang mendapat ijin siaran dan bersiaran sejak tahun 1989. Audiens punya pilihan lain dalam budaya tontonan yaitu layar televisi. Memang pada dekade sebelumnya, budaya tontonan juga ditandai dengan kehadiran video berformat VHS dan Betacam, namun kehadirannya tidak sedahsyat televisi. Televisi swasta memberikan pilihan budaya tontonan yang bisa dinikmati di rumah, tanpa harus datang ke gedung bioskop maupun menyewa kaset. Teknologi digital pada dasawarsa 1990-an juga menghadirkan kepingan cakram digital yang disebut Video Compact Disk (VCD). Kehadiran VCD semakin mendesak film nasional karena bukan semata–mata teknologi digitalnya, namun juga karena pembajakan yang merajalela. Kepingan VCD dibajak secara luar biasa tanpa bisa diatasi oleh pemerintah. Kepingan VCD bajakan dengan mudah dijumpai dii pinggir jalan, dari kota besar sampai dengan kota kecamatan di daerah. Harga pemutar VCD (player) yang terjangkau, terutama produksi Tiongkok, semakin mempopulerkan VCD. Film Indonesia terus mengalami tekanan kuat dari pihak importir dan
pemilik hak distribusi di masa Orde Baru – dan berlanjut pada masa pasca 1998. Setelah Orde Baru lengser, jaringan bioskop 21 mulai memperlihatkan sikap yang melunak terhadap film nasional. Jika sebelumnya jaringan bioskop ini tidak menerima film nasional, mendadak film-film nasional mendapat tempat dengan ditandai dialokasikannya waktu jam tayang bagi film Indonesia. Akan tetapi hal ini bukan berarti tidak muncul persoalan baru. Spesifikasi teknis yang berkembang tidak diantisipasi oleh jaringan 21. Mereka hanya mau menerima format 35 mm, sebagai akibatnya film non 35 mm seperti Beth (2001) tidak dapat diputar di jaringan 21 (Sasono,2012:216). Memang film nasional memperlihatkan peningkatan produksi, namun kebijakan perdagangan Indonesia dan Ameika Serikat terus meninggalkan jejaknya dalam distribusi film di Indonesia. Film-film Hollywood terus menyerbu masuk. Sebagaimana yang terjadi di masa kolonial, ketakutan terhadap film Hollywood yang mendominasi masih terus menghantui. Tak ayal, layar bioskop mengalami gempuran film Hollywood sebagai bagian dari kebijakan perdagangan Indonesia dan Amerika Serikat. Menu utama film Indonesia yang paling mudah dijual dan serempak murah diproduksi (low budget) adalah film bergenre horor dan kekerasan yang didalamnya dibumbui seks (Sasono,2012:8384), hal ini bisa dilihat terutama pada dekade 1980-an sampai dengan 1990-an ketika produksi film nasional mengalami kemerosotan secara drastis. Gempuran film impor Amerika Serikat sebagai akibat kebijakan ekonomi “dagang sapi” dimana impor film Amerika Serikat dibuka lebar dengan imbalan pembukaan kran impor Amerika Serikat atas produk tekstil Indonesia menyebabkan film Indonesia harus berhadapan dengan film Hollywood. Di saat yang bersamaan distribusi film yang dikuasai Jaringan 21 menyebabkan film Indonesia semakin sekarat.Alasan bahwa liberalisasi perdagangan internasional tanpa persiapan yang memadai dari industri dunia film nasional telah memukul telak para produser film di Indonesia dan untuk melawan krisis maka horor, kekerasan dan seks menjadi genre pilihan untuk selamat dari krisis
Budi Dwi Arifianto, Fajar Junaedi. Distribusi dan Eksibisi Film ... 79 (Nugroho dan Herlina, 2013:277). Ini menyebabkan kualitas film Indonesia sekarat secara kualitas. Sekali lagi, hanya film kekerasanseks dan horor yang laku di pasar. Persaingan dengan teknologi digital menjadikan resep ini semakin laku dijual pada penonton. Faktor lain tidak bisa dilupakan adalah persaingan dengan televisi. Televisi dianggap sebagai media yang free to air dengan audiens yang tidak terbatasi oleh ruang, sehingga seks dan kekerasan menjadi tabu ditampilkan di televisi. Sebaliknya film dianggap terbatasi oleh ruang dengan penonton yang terbatas pula, sehingga menjual seks dan horor secara berlebihan dalam layar sinema di bioskop menjadi seolah–olah dibenarkan. Sejak dekade 1990-an, sarana dan prasarana pemutaran film alias bioskop di daerah, terutama kota kecil dan kabupaten semakin tidak terbendung. Banyak gedung bioskop yang terpaksa tutup karena beragam alasan. Faktor pasokan film impor yang semakin susah karena dipertahankan masatayangnya lebih lama di kota–kota besar, popularitas VCD bajakan yang semakin menjangkau ke desa–desa, ketidakmampuan pengelola bioskop mengikuti perkembangan teknologi yang semakin berkembang hingga nonton bioskop menjadi lain rasanya dibanding menonton di rumah dan tentu saja jangkauan televisi swasta yang semakin luas, merupakan beragam faktor yang menjadi alasan ditutupnya bioskop di daerah (Kristanto, 2007:XXII). Kehancuran bioskop di kabupaten juga diiringi dengan tumbuhan konglomerasi Jaringan 21. Kelompok usaha ini secara telak memonopoli distribusi dan eksebisi film di Indonesia. Berbeda dengan bioskop di daerah, Jaringan 21 membangun bioskop dengan sistem multipleks yaitu bioskop yang memiliki banyak layar, sehingga memungkinkan pemutaran beberapa film dalam waktu yang sama. Penonton memiliki pilihan film di bioskop dengan sistem multipleks. Berbeda dengan bioskop di daerah yang dibangun secara mandiri dan terpisah dari pusat hiburan lain, Jaringan 21 membangun bioskop multipleksnya di dalam pusat perbelanjaan modern.
Di berbagai mall di kota besar, multipleks milik Jaringan 21 dengan mudah dijumpai. Jaringan 21 pun menjadi percaya diri dalam menentukan selera tontonan film yang layak dieksibisikan pada audiens. Dua kasus yang melibatkan Jaringan 21 dengan sineas Indonesia bisa dilihat sebagai bukti rasa percaya diri dari Jaringan 21 dalam menentukan selera film yang layak dieksebisikan. Pertama yaitu pertama film Langitku Rumahku (1992) yang disutradarai Eros Jarot hanya tayang dua hari karena perintah manajemen sinepleks untuk menggantinya dengan film lain dari Hollywood yang dianggap lebih marketable. Eros Jarot memutuskan untuk maju ke pengadilan guna memperkarakan secara hukum, tapi sejarah mencatat Eros Jarot kalah. Kedua, film Identitas karya Arya Kusumadewa gagal ditayangkan di Jaringan 21 karena alasan teknis. Jaringan 21 membuat standar seluloid 35mm yang tidak dipenuhi oleh Arya Kusumadewa. Alih-alih mengikuti perkembangan teknologi, Jaringan 21 memilih bertahan dengan standar teknologi 35 mm. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Metode ini dipilih dengan alasan bahwa ini adalah metode yang sesuai untuk menjawab rumusan yang bersifat kualitatif, serta kemampuan metode ini menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah dengan holistik dan mendalam. Teknik pengumpulan data yang akan dikembangkan adalah dengan mengeksplorasi aktivitas, jaringan dan kegiatan komunitas film di Yogyakarta melalui wawancara mendalam dengan dilengkapi studi pustaka. Sedangkan teknik analisis data dilakukan sebagai sebuah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian yang bertujuan memberi penjelasan. Dengan tahap ini data diolah sedemikian rupa dengan tujuan untuk menggambarkan suatu keadaan dengan jelas dan tepat (Moeloeng, 2001: 103). Analisis data dilakukan dengan trianggulasi data yang
80 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 74 -84 didapatkan dari studi pustaka dan dokumen serta hasil wawancara. Data-data tersebut akan diolah dengan acuan untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini. Hasil Penelitian dan Pembahasan Resistensi Melalui Sinema Ngamen Penolakan para sineas Indonesia terhadap Jaringan 21 pun mengemuka. Sebenarnya, jauh sebelum gugatan terhadap Jaringan 21 mengemuka, beberapa sineas sudah menyampaikan keberatannya terhadap kondisi film Indonesia. Sineas yang idealis dan tidak tertampung kemudian memilih untuk melakukan jalur alternatif dalam distribusi yaitu dengan screening dari kampus ke kampus. Produksi pun dibuat berbeda dengan mainstream dimana teknologi digital dipilih, bukan analog (seluloid). Fenomena ini membawa implikasi baru dalam produksi film di Indonesia yang sebelumnya harus melibatkan teknologi analog bergerak menjadi digital. Sinema alternatif yang tayang dari kampus ke kampus, dari satu komunitas ke komunitas lain dalam pola berjaringan inilah yang disebut sebagai sinema ngamen. Produksinya tidak lagi menggunakan teknologi analog yang berbiaya mahal, namun memakai teknologi digital yang lebih terjangkau secara biaya. Di Jakarta, sinema model seperti ini banyak dilakukan oleh para mahasiswa dan dosen di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Pada perkembangannya, Yogyakarta juga memainkan peranan dalam resistensi terhadap dominasi importir film melalui distribusi dan eksebisi film di luar gedung bioskop. Sebagaimana yang pernah terjadi di IKJ, film-film yang diputar adalah karya sineas muda yang sedang tumbuh berkembang di Yogyakarta. Perkembangan teknologi internet semakin membuka jalan bagi sineas muda di Yogyakarta dalam membangun jejaring antar komunitas, sebagaimana yang bisa dilihat dari pernyataan berikut ini, “Teman-teman mau berkarya silakan, kemudian menetapkan tujuan film ini mau diputar dimana? Sebisa mungkin film kita bisa di akses di mana saja, salah satunya youtube ada distribusi yang fenomenal, kedua dibutuhkan ruang
pemutaran yang bisa diakses siapa saja misal Kinoki pada waktu itu.Yang ketiga film pendek dimaknai sebagai batu loncatan untuk ke industri tapi itu kembali bagaimana tujuan kita membuat film dan harus berfikir film ini akan dibawa ke mana? Problem itupun saya pernah mengalami. Dengan cara kita berjejaring dengan teman- teman membawa film kita ke luar negeri untuk bisa dititipkan dan membaginya di sana” (Aprisinyato, sutradara film, komunitas film De Javu (2000-2006)). Festival film menjadi distribusi alternatif yang dipilih sineas muda. Film pendek yang tidak terakomodasi di bioskop, terutama tentu saja di Jaringan 21, mendapatkan ruang distribusi, eksebisi dan publisis melalui festival film. Teknologi digital semakin memudahkan penyelenggaraan festival film. Jika dulu di masa analog harus menyediakan proyektor seluloid yang populasinya tidak banyak, maka dalam masa digital Liqiud Cristal Display (LCD) Projector menjadi pilihan utama dalam eksebisi film dalam penyelenggaraan festival. Format film yang juga dibuat dalam format digital semakin memudahkan integrasi produksi dan distribusi alternatif ini. Perkembangan teknologi ini berbarengan dengan kesadaran perlunya ruang pemutaran yang representatif di Yogyakarta. Aprisinyato menyebutkan sebagai berikut: “Untuk berbicara Jogja, Jogja itu kalau berbicara membuat film itu banyak sekali tentang audio visual pun sangat banyak sekali. saya pikir perlu satu ruang pemukaran yang representatif untuk teman-teman itu. Misal satu angkatan di ISI ada tugas audio visual ada berapa karya. harus dipikirkan tentang bioskop secara alternatif. Yang kedua adalah dengan screening ke kampus- kampus tapi yang melakukan ini adalah teman saya, dengan cara saya membawa film dan untuk masalah ticketing atau tak ticketing ga masalah yang penting saya ada share tiket.”
Budi Dwi Arifianto, Fajar Junaedi. Distribusi dan Eksibisi Film ... 81 Bioskop alternatif bermunculan sebagai bentuk resistensi atas bioskop arus utama secara mutlak dikuasai oleh Jaringan 21. Bioskop alternatif mampu menciptakan sebuah ranah publik yang tidak dapat diciptakan oleh bioskop mainstream. Secara nyata bioskop alternatif tersebut memungkinkan kontak antar manusia terus terjalin melalui berbagai acara. Bukan saja antara penyelenggara dengan penonton tetapi juga antara penonton itu sendiri yang menyebbakan terbentuknya komunitas – komunitas yang membicarakan sesuatu di dalam ruang tersebut (Marganingtyas, 2008;51). Jika perkembangannya maka seperti ini terlihat bahwa distribusi dan eksesbisi film alternatif, sekaligus juga film pendek, di Yogyakarta banyak menggunakan jalur alternatif, sehingga serempak bisa dinamai sebagai bioskop alternatif. Lokasi pemutaran film bisa berlangsung di ruang kuliah, ruang seminar di kampus, pendopo, kafe dan pusat kebudayaan yang ada. Pada masa awal pertumbuhan film pendek di Yogyakarta, proses distribusi dan eksebisi ditangani sendiri. Menurut Ifa Isfansyah inilah yang rentan menyebabkan kegagalan. Ifa Isfansyah menyebutkan demikian, “Kegagalan proses distribusi dan esibisi di kalangan film komunitas jaman itu adalah semua proses di-handle sendiri. Padahal mereka adalah kumpulan orang orang yang kompetensinya lebih ke bikin filmnya. Untuk berpikir promosi dan strategi kreatif bagaimana produk bisa sampai keaudiennya mereka tidak kompeten. Maka dari itu penting ada komunitas kajian, produksi, distribusi harus dibudayakan.”
Festival Film Salah satu festival film yang paling terkenal di Yogyakarta adalah JogjaNETPAC Asian Film Festival (JAFF). JAFF merupakan kolaborasi antara sutradara Indonesia yang mendapatkan pengakuan luas karena reputasinya, Garin Nugroho, Network for The Promotion of Asian Cinema (NETPAC) dan komunitas film yang ada di Yogyakarta (Habibi, 2012:129). Kolaborasi antara tiga pihak ini dimulai sejak tahun 2006 dan mendapatkan antusiasme dari sineas muda dari Yogyakarta dan kota – kota lain. Antusiasme audiens untuk datang juga menggembirakan. Mahasiswa, anak muda terdidik yang banyak bermukim di Yogyakarta, menjadi aset penting audiens. Tujuan dari JAFF adalah untuk mempromosikan sinema Asia baik pada tingkat Asia maupun pada tingkat dunia. Dengan kata lain, festival ini juga merupakan festival bagi semua komunitas film, baik dalam posisinya sebagai pembuat film, kritikus film maupun penonton film. Garin Nugroho melabeli event ini sebagai “ketika momentum penciptaan bertemu dengan momentum apresiasi”.JAFF memiliki beberapa program, seperti Asian Feature (kompetisi film utama Asia), Light of Asia (kompetisi film pendek), Public Lecture (seri seminar dan workshop tentang film), Jogja Camp (forum komunitas film) dan beberapa event yang berkolaborasi dengan organisasi lokal di Yogyakarta (Habibi, 2012:129).
Gambar 1. Poster JAFF yang diselenggarakan tahun 2006
Untuk lebih jelas, maka distribusi alternatif dari film non arus utama bisa dikelompokan dalam beberapa jalur yaitu festival film, pemutaran film di kampus dan pemutaran film di luar kampus. Gambar 2. Poster JAFF pertama yang diselenggarakan tahun 2013
82 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 74 -84 Dalam situs resmi JAFF disebutkan sebagai berikut : Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) is a premier Asian film festival in Indonesia focusing on the development of Asian cinema. This festival not only contributes to introducing Asian cinema to a wider public in Indonesia, but it also provides a space for the intersection of many sectors such as arts, culture, and tourism. Since its inception, JAFF has worked closely with NETPAC (Network for the Promotion of Asian Cinema),a worldwide organization of 30 member countries. Headquartered in Colombo Srilanka, NETPAC is a pan-Asian film and cultural organization involving critics, filmmakers, festival organizes and curators, distributors and exhibitors, as well as educators. It is considered a leading authority in Asian cinema. Each year, JAFF presents several awards to the best films in Asia such as Golden Hanoman Award, Silver Hanoman Award, NETPAC Award, Blencong Award and Geber Award to express the deepest appreciation for Asian cinema (jafffilmfest.org/ akses 10 September 2014). Pemutaran di Kampus Kampus menjadi salah satu pilihan alternatif distribusi film pendek / film indie/film alternatif yang tidak bisa masuk ke layar bioskop melalui pemutaran (screening) di lingkungan kampus. Ada juga yang sebenarnya dilakukan di luar kampus, namun diorganisir oleh mahasiswa sehingga bisa dimasukan dalam kategori pemutaran kampus. Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya, Jaringan 21 hampir secara mutlak menentukan selera budaya arus utama tentang film yang layak diputar di layar yang mereka miliki. Film yang tidak layak tayang oleh Jaringan 21 memilih kampus sebagai sebuah alternatif distribusi. Film Beth dan Identitas bisa disebut sebagai film panjang yang tidak diterima oleh Jaringan 21 bisa disebut sebagai contoh. Kedua film ini ditayangkan dari kampus ke kampus, sebuah metode ala sinema ngamen yang populer di tahun 1970–an. Di Yogyakarta, film Identitas diputar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.
Pengorganisasian pemutaran dan publikasi di tingkat lokal dikelola oleh komunitas film di masing – masing kampus: Cinema Komunikasi (Ciko) di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Kine Klub di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta. Audiens yang datang ke pemutaran film tersebut antusias sebagaimana yang terlihat dengan penuhnya ruangan kampus yang dipakai sebagai arena pemutaran. Salah satu hal yang menarik dalam pemutaran film di kampus adalah didatangkannya sutradara dan pemeran utama yang terlibat dalam produksi film. Mereka dihadirkan untuk menjadi pembicara dalam sesi yang dilangsungkan setelah pemutaran film. Film identitas misalnya, ketika pemutaran di kampus mendatangkan Aria Kusumadewa sebagai sutradara dan Dedy Mizwar sebagai pemeran film. Pengalaman distribusi dan eksebisi film pendek produksi Yogyakarta, Air Mata Surga menarik untuk disimak. Ifa Isfansyah (sutradara muda yang berangkat dari komunitas film Four Colors, kini dikenal luas dengan berbagai film panjangnya) menceritakan sebagai berikut, “Film ini (Air Mata Surga) sebagai contoh perencanaan yang sangat matang sekali dalam produksinya, tapi ternyata itu saja tidak cukup, ternyata kita hanyalah komunitas yang seneng produksi atau sadar. Ketika dihadapkan ke permasalahan distribusi kita sangat lemah. Film itu di - road show tapi tak sesuai dengan rencana di awal. Dapat diambil kesimpulan untuk masalah eksibisi bukan passion kita. Nah di sinilah infratruktur film yang masih kurang yaitu komunitas ataupun lembaga yang bergerak pada distribusi dan eksibisi. Screening di kantung-kantung budaya dan kampuskampus”. Pemutaran di Luar Kampus Pemutaran film pendek memerlukan jalur distribusi yang harus dibangun oleh rumah produksi. Teknologi internet ternyata bermanfaat untuk mencari komunitas film yang bisa dijadikan jalur distribusi sekaligus eksebisi. Ini diceritakan oleh Eko Budi Antara (produser Look Out Picture, mengenai pengalamannya dalam distribusi film Debt).
Budi Dwi Arifianto, Fajar Junaedi. Distribusi dan Eksibisi Film ... 83
“Ketika kita sedang shooting orangorang dari Look Out sudah roadshow duluan dengan cara mendatangi terlebih dahulu untuk lokasi roadshow nantinya dengan cara kita kasih uang terlebih dahulu dan men-chating dengan membrowsing nama-nama komunitas film yang ada di lokasi target roadshow kita dengan kontrprestasi dikasihkan spanduk, poster look 500 lembar, dibuatkan tiket dan ketika kita memutarkan film kita, mereka berhak mencari sponsor dan bukan kita yang meminta serta mereka berhak untuk menjual tiket dan uang itu kita tidak meminta sehingga tidak terbebani dan infuse kita jadi aman karena uang dari founding tadi. Kebanyakan teman–teman hadiran infuse mengandalkan dari tiket dan itu menjadi tidak tidak penting karena panitia penyelenggara sudah bertanggung jawab untuk mencari penonton. Dan dana kita sudah aman dari founding yang masuk ke kita. Proses eksebisinya yaitu dengan cara menghadirkan film maker dan founding untuk bisa hadir di depan para penonton sehingga teman-teman yang lain bisa tahu juga.” Eko Budi Antara menambahkan tentang distribusi Debt sebagai berikut, “Kita melakukan roadshow se-Jawa meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, ada Bandung, Cirebon, Purworejo, Semarang, banyak tempat di Yogya, Solo, Malang Surabaya dan itu terealisasi semua, untuk jakarta kita lepas karena kita berpatokan dengan poster yang kita cantumkan. Ketika film mengharapkan penghasilan dari distribusinya itu bisa di katakan gagal namun ketika film ini di distribusikan bisa sampai penonton itu berhasil. untuk pemilihan titik-titiknya yaitu dengan cara kita menjalin kerjasama dari temanteman kita yang ad di sana dengan membuka jaringan yang seluas-luasnya. Untuk harga tiket kita pasrahkan ke panitia penyelenggara yang penting kita di kasih tempat dan makan tapi bukan kelas hotel dengan titik-titik lokasi seperti
di kampus, taman budaya, dan event bazar, layar tancap juga, cafe. Ada kekuatan publikasi yang terbangun oleh founding produk itu. Kita juga masuk ke Bali TV, TA TV untuk pemutaran Debt ini dan ini juga masuk ke slot iklan membeli slot prime time iklan produk founding gagal dalam proses ditribusi karena kekehadiran infuse mengandalkan dari tiket dan itu menjadi tidak tidak penting karena panitia penyelenggara sudah bertanggung jawab untuk mencari penonton. Dan dana kita sudah aman dari founding yang masuk ke kita. Proses eksebisinya yaitu dengan cara menghadirkan film maker dan founding untuk bisa hadir di depan para penonton sehingga teman-teman yang lain bisa tahu juga.” Eko Budi Antara menambahkan tentang distribusi Debt sebagai berikut, “Kita melakukan roadshow se-Jawa meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, ada Bandung, Cirebon, Purworejo, Semarang, banyak tempat di Yogya, Solo, Malang Surabaya dan itu terealisasi semua, untuk jakarta kita lepas karena kita berpatokan dengan poster yang kita cantumkan. Ketika film mengharapkan penghasilan dari distribusinya itu bisa di katakan gagal namun ketika film ini di distribusikan bisa sampai penonton itu berhasil. untuk pemilihan titiktitiknya yaitu dengan cara kita menjalin kerjasama dari teman- teman kita yang ad di sana dengan membuka jaringan yang seluas-luasnya. Untuk harga tiket kita pasrahkan ke panitia penyelenggara yang penting kita di kasih tempat dan makan tapi bukan kelas hotel dengan titik-titik lokasi seperti di kampus, taman budaya, dan event bazar, layar tancap juga, cafe. Ada kekuatan publikasi yang terbangun oleh founding produk itu. Kita juga masuk ke Bali TV, TA TV untuk pemutaran Debt ini dan ini juga masuk ke slot iklan membeli slot prime time iklan produk founding.” Four Colours memiliki pengalaman dalam distribusi film Air Mata Surga dengan memilih distribusi pada kantung–kantung
84 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 74 -84 budaya, sebagaimana yang disampaikan oleh Ifa Isfansyah sebagai berikut, “Titik incaran yang menjadi tempat eksibisi Jakarta, Surabaya, dll dan yang penting ada jaringan komunitas dengan kita. Jaman dulu jaringan sosmed masih mengunakan Milis Yahoo. Disetiap daerah memiliki tempat alternatif yang bisa di pakai untuk pemutaran film. Misal di Jogja Societet Militer TBY. Air Mata Surga dengan berbagai publikasinya berhasil masuk sebagai film pembuka di Festival Film Confiden.” Simbiosis dengan sponsor melalui penerbitan novel cetak dalam distribusi dilakukan Look Out Picture dalam film Pejuang Lajang–lajang sebagai berikut, “Dalam era itu di Jakarta di garap dalam dan distribusi melalui novel, kemudian kita ketika merespon novel sangat tinggi akhirnya kita balik yaitu ketika karya itu jadi maka baru dinovelkan dengan basic banyak yang penulis dan menawari dengan memberikan novel dalamnya dikasih film kita. Maksudnya ketika 300 novel yang terjual maka film kita ada yang menonton 300 orang dengan mendapatkan fee atau royalty 1 kepingnya sekitar 1250 ketika sampai ke penonton pola distribusi ini sangat tercapa pola distribusinya. ketika kita melakukan distribusi kita sudah melakukan pola distribusi yang real dan kita bisa melakukannya”. Simpulan Pada dekade 1990-an, muncul alternatif gerakan untuk membangkitkan film nasional dengan model sinema ngamen, yaitu sinema yang diputar di luar jalur utama yang bernama sinema ngamen. Yogyakarta menjadi salah satu basis dari distribusi dan eksebisi sinema ngamen. Penelitian ini menemukan data menemukan bahwa distribusi dan eksebisi sinema ngamen diorganisir oleh komunitas film. Komunitas film ini bisa berasal dari kampus maupun luar kampus. Dalam jalur distribusi dan eksebisi, sineas Yogyakarta memutar filmnya dari satu tempat ke
tempat lain, seperti lokasi yang dianggap sebagai kantong budaya. Untuk menarik minat khalayak, sutradara dan pemain film dihadirkan dalam pemutaran film yang biasanya mereka akan menjadi pembicara dalam sesi diskusi setelah pemutaran film. Perkembangan teknologi internet memudahkan dalam mencari kantung budaya yang layak dan bisa dijadikan pemutaran film. Melalui internet, sineas Yogyakarta mencari komunitas film lain yang bersedia memutarkan filmnya. Kini, produksi film di Yogyakarta tidak semua berbasis komunitas karena kemudahan teknologi dalam produksi dan eksebisi film. Justru inilah yang menjadi tantangannya karena pengalaman menunjukan pentingnya komunitas sebagai forum belajar bersama para sineas. Daftar Pustaka Habibi, Zaki (2013). Speak Out Your Films: When Asian Independent Film Festivals Send Messages to The World, dalam Jurnal Komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012. Yogyakarta: Prodi Ilmu Komunikasi UII. Irawanto, Budi [ed] (2004). Menguak Peta Perfilman Indonesia. Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Kristanto, JB (2007). Katalog Film Indonesia. Jakarta: Nalar. Marganingtyas, Djati (2008). Menonton Bioskop di Yogyakarta, dalam Clea Berkala Film No. 11 tahun 2008. Nugroho, Agustinus Dwi (2012). Sekilas Sinema Indonesia, dalam Montase edisi Juni 2012. Nugroho, Garin dan Herlina, Dyna (2013). Paradoks dan Kontradiksi Film Indonesia. Jakarta: FFTV-IKJ. Rosenstone, Rober A. (2006). History on Film, Film on History : Concepts, Theories and Practice. London: Pearson. Sasono, Eric dkk (2012). Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia. Jakarta: Rumah Film dan TIFA. Sen, Krishna (1994). Indonesian Cinema: Framing The New Order. London: Zed Books Ltd.
Manajemen Redaksional Pada Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon (Studi Deskriptif Kualitatif Manajemen Redaksional pada Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon Periode Januari-Mei 2013) M. Irfan Fazryansyah, Heriyani Agustina, dan Nuruzzaman Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon Jl. Pemuda No. 32, Cirebon, Jawa Barat 45132 No. Telp (0231) 236742 Email:
[email protected] Abstract Mass media after the era of reform becomes the mass communication facility and instrument shaper of public opinion , it is helping in human life to exchanging ideas, sharing of experience and information in the volume of a relatively large. This research aims to understand planning, organizing, mobilizing and supervision in the management of editorial on daily newspaper of Radar Cirebon. A method of this research is descriptive qualitative, data was gathered by direct interview, observasion and availability of literature studies. Based on covered can be drawn conclusions that ( 1 ) In the planning stages, daily newspaper of Radar Cirebon well to plan, it is seen from the success of meeting and a meeting of the editor. ( 2 ) the organizing stages, the editor management has forming the organization structure and their duty to each personel.( 3 ) The mobilization phase is very important to editor management in daily newspaper of Radar Cirebon, because of mobilizarion, the management of material goes well, start from the reporting process, writing, editing till becoming the news. (4) In the phase supervision in editorial management of daily newspaper of Radar Cirebon conducted in the form of direct briefing to reporters during a news manuscript edited by the editor still experiencing a shortage of data. Keyword: editorial management, daily newspaper Abstrak Media massa setelah era reformasi menjadi sarana komunikasi massa dan alat pembentuk opini publik, sangatlah membantu dalam kehidupan manusia untuk saling bertukar pikiran, berbagi pengalaman, dan informasi dalam volume yang relatif besar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perencanaan, pengorganisasian, penggerakan serta pengawasan dalam manajemen redaksional pada Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon. Metode penelitian ini adalah deskriftip kualitatif, data dikumpulkan dengan menggunakan wawancara langsung, observasi dan studi kepustakaan. Dari hasil penelitan dapat ditarik kesimpulan bahwa (1) Pada tahap perencanaan, bidang redaksional Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon terencana dengan baik, hal ini terlihat dari terlaksananya rapat perencanaan liputan atau rapat redaksi. (2) Pada tahap pengorganisasian manajemen redaksional telah membentuk struktur organisasi dengan jabatan dan tugas masing-masing personil. (3) Tahap penggerakan merupakan tahap yang sangat penting dalam manajemen redaksional di Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon, karena dengan adanya penggerakan, proses pengelolaan materi pemberitaan berjalan dengan lancar, mulai dari proses peliputan, penulisan, sampai pada penyuntingan (editing) naskah berita. (4) Tahap pengawasan dalam manajemen redaksional pada Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon dilakukan dalam bentuk pengarahan langsung terhadap wartawan saat naskah beritanya diedit oleh redaktur masih mengalami kekurangan data. Kata kunci : manajemen redaksional, surat kabar
85
86 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 85 - 102 Pendahuluan Media massa merupakan sarana manusia untuk memahami realitas. Oleh sebab itu media massa dituntut mempunyai kesesuaian dengan realitas dunia yang sebenarnya. Maksudnya gambar realitas yang ada di benak khalayak tidaklah bias karena informasi media tidak kontekstual dengan realitas. Era reformasi yang ditandai dengan maraknya media massa sebagai sarana komunikasi massa dan alat pembentuk opini publik, sangat membantu dalam kehidupan manusia untuk saling bertukar pikiran, berbagi pengalaman, dan informasi dalam volume yang relatif besar. Media massa membuka mata dan hati manusia untuk mengetahui berbagai peristiwa yang terjadi di belahan dunia, baik melalui media massa cetak maupun media massa elektronik. Berbeda dengan media massa lainnya seperti televisi dan radio, media massa cetak merupakan media massa pertama yang dikenal manusia sebagai media yang memiliki ciri-ciri komunikasi massa, yaitu proses komunikasinya satu arah, komunikatornya melembaga dan heterogen, serta pesannya bersifat umum. Oleh karena itu kata pers yang melekat pada media massa cetak kemudian digeneralisasikan untuk menyebut media massa pada umumnya. Media massa cetak berbentuk surat kabar, tabloid, majalah, dan buletin, selain memiliki ciri-ciri komunikasi massa sebagai ciri umum, juga memiliki ciriciri khusus, yaitu: 1) Daya tampungnya tinggi, memiliki peluang untuk menambah halaman, 2) Daya dokumentasinya tinggi, mudah disimpan atau diperbanyak, dan 3) Jaringan distribusinya terbatas, karena sifatnya literer. Memproduksi suatu penerbitan pers, masing-masing bidang (bidang redaksional, bidang cetak, dan bidang usaha) mempunyai tanggung jawab, peran serta tujuan yang sama. Oleh karena itu manajemen penerbitan pers harus mampu menciptakan, memelihara, dan menerapkan sistem kerja yang proporsional dalam menumbuh-kembangkan rasa kebersamaan di antara sesama personil di sebuah organisasi atau perusahaan. Berkaitan dengan manajemen redaksional, Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon yang diterbitkan PT Wahana Semesta Cirebon (Group Jawa Pos), cukup lihai dalam mengolah materi pemberitaan yang sedemikian rupa, sehingga menjadi produk jurnalistik dalam bentuk berita yang
menarik dan lebih mudah dipahami oleh khalayak pembaca. Keahlian tersebut tampak dalam kreatifitasnya menampilkan kejelasan gambar atau foto, membuat caption (keterangan gambar), menyajikan grafis, menampilkan headline yang menarik, memilih kosa kata, dan menyusun kalimat dalam beritanya dengan menggunakan bahasa yang sederhana. Uniknya, meskipun Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon tergolong pers lokal, namun kehadirannya disambut hangat oleh masyarakat Pantura, khususnya wilayah III Cirebon. Hal ini demi memenuhi kebutuhan akan informasi, pendidikan, berita, dan hiburan. Sehingga berbagai berita yang termuat dalam Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon tidak hanya meliputi peristiwa-peristiwa yang terjadi di Kota Cirebon saja, melainkan juga peristiwa-peristiwa yang terjadi di wilayah III Cirebon seperti, Kabupaten Cirebon, Kuningan, Majalengka dan Indramayu. Hal ini tentunya diperlukan manajemen redaksional yang dapat menjaga kualitas produk. Surat Kabar Radar Cirebon juga harus mempertimbangkan beberapa aspek untuk menghasilkan produk yang berkualitas. Adapun pertimbangan yang digunakan bisa menyangkut aspek nilai berita, menarik tidaknya bagi pembaca, corak politik yang dianut penerbit pers tersebut, dan memperhatikan bahasa, akurasi, serta kebenaran tulisan beritanya agar tidak terjadi salah cetak. Komunikasi massa merupakan proses komunikasi melalui media massa, jelasnya merupakan singkatan dari komunikasi media massa (mass media communication). Media yang digunakan dalam komunikasi massa ini meliputi surat kabar, majalah, radio, televisi, atau film. (Effendy, 2002: 20). Komunikasi massa menyiarkan informasi, gagasan dan sikap kepada komunikan yang beragam dalam jumlah yang banyak dengan menggunakan media. Adapun karakteristik komunikasi massa adalah ; A. Komunikasi massa bersifat umum, bahwa pesan komunikasi yang disampaikan melalui media massa adalah terbuka untuk semua orang;
M. Irfan Fazryansyah, Heriyani Agustina, dan Nuruzzaman, Manajemen Redaksional .... 87
B.
C.
D.
Komunikan bersifat heterogen, bahwa massa dalam komunikasi massa terjadi dari orang-orang yang heterogen yang meliputi penduduk yang bertempat tinggal dalam kondisi yang berbeda, dengan kebudayaan yang beragam, berasal dari berbagai lapisan masyarakat, mempunyai pekerjaan yang berjenis-jenis, maka oleh karena itu mereka berbeda pula dalam kepentingan, standar hidup dan derajat kehormatan, kekuasaan, dan pengaruh; Media massa menimbulkan keserempakan. Yaitu keserempakan kontak dengan sejumlah besar penduduk dalam jarak yang jauh dari komunikator, dan penduduk tersebut satu sama lainnya berada dalam keadaan terpisah; Hubungan komunikan-komunikator bersifat non-pribadi karena komunikan yang anonim dicapai oleh orang-orang yang dikenal hanya dalam peranannya yang bersifat umum sebagai komunikator. (Effendy, 2000:79).
Meskipun setiap individu dalam masyarakat memiliki dunia persepsi dan pengalaman yang berbeda, namun kadang diperlukan persepsi yang sama terhadap suatu realitas tertentu sehingga membentuk kehidupan sosial yang baik. Di sinilah media massa berperan mengarahkan dan membentuk persepsi dan interpretasi masyarakat yang benar sehingga tercipta kehidupan sosial yang baik. Dalam proses komunikasi massa, peran media massa sangat penting. Media massa sebagai sebuah sarana atau media dimana pesan akan disalurkan dan disebarluaskan pada khalayak menurut Effendy, (2002:217). “Media massa (mass media) yaitu media komunikasi yang mampu menimbulkan keserempakan, dalam arti khalayak dalam jumlah yang relatif banyak secara bersamasama pada saat yang sama memperhatikan pesan yang dikomunikasikan melalui media tersebut, misalnya surat kabar, radio siaran, televisi siaran, dan sebagainya”.
Ada lima jenis media masa yang dikenal sebagai "The big five of mass media" yaitu televisi, film, radio, majalah dan koran dengan fungsi komunikasi yang saling melengkapi yaitu Social Function bersifat sosiologis dan Individual Function dalam bukunya Effendy. 1.
Social Function, yaitu fungsi komunikasi massa terhadap masyarakat, mencakup pengawasan lingkungan, korelasi antar bagian di dalam masyarakat untuk menanggapi lingkungannya, sosialisasi atau pewarisan nilai-nilai dan hiburan.
2.
Individual Function, yaitu fungsi komunikasi massa terhadap individu, mencakup pengawasan atau pencarian informasi, mengembangkan konsep diri, memfasilitasi dalam hubungan sosial, substitusi dalam hubungan sosial, membantu melegakan emosi, sarana pelarian dari ketegangan dan keterasingan, dan bagian dari kehidupan rutin atau ritualisasi.
Dampak pesan pada media massa meliputi dampak kognitif, afektif, dan konatif. Dampak pesan media massa yang berupa pola-pola tindakan, kegiatan atau perilaku yang dapat diamati, adalah dampak pesan media massa yang telah sampai pada tahap konatif. Secara teoritis dampak pesan media massa biasanya hanya sampai pada tahap kognitif dan afektif, tetapi ada beberapa kondisi yang menyebabkan dampak pesan media massa sampai pada tahap konatif yaitu: a) Exposure (jangkauan pengenaan), jika sebagian besar khalayak telah terekspos oleh media massa; b) Kredibilitas, jika pesan media massa mempunyai kredibilitas yang tinggi di mata khalayaknya dalam arti kebenarannya dapat dipercaya; c) Konsonasi, jika isi informasi yang disampaikan oleh beberapa media massa baik materi, arah serta orientasinya maupun dalam hal waktu, frekuensi dan cara penyajiannya sama atau serupa; d) Signifikansi, jika materi pesan media masa signifikan dalam arti berkaitan secara langsung dengan kepentingan dan kebutuhan khalayak; e) Sensitif, jika materi dan penyajian pesan media massa menyentuh hal-hal yang sensitive; f) Situasi kritis, jika ada ketidakstabilan struktural yang
88 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 85 - 102 menyebabkan masyarakat berada dalam situasi kritis; g) Dukungan komunikasi antar pribadi, jika informasi melalui media massa menjadi topik pembicaraan, karena didukung oleh komunikasi antar pribadi. (Effendy, 2002: 31). Media senantiasa menjadi pusat perhatian dalam membahas komunikasi massa manapun. Melalui media, pesan-pesan dapat disebarluaskan ke berbagai penjuru, dapat mempengaruhi, sekaligus mencerminkan budaya masyarakat dimana media tersebut hadir. Cara pandang media dalam menyajikan realitas sangat dipengaruhi oleh sistem politik yang berlaku pada masanya. Hal ini dapat terlihat dari hasil liputan media dalam mengangkat suatu realitas sosial. Kata media tentu saja menyiratkan arti mediasi atau sebagai perantara karena keberadaanya di antara audiens dan dunia sekitarnya (lingkungan). Denis Mc Quail dalam bukunya Teori Komunikasi Massa (1996: 27) misalnya menyebutkan beberapa perumpamaan untuk menjelaskan gagasan tersebut: “Media, misalnya merupakan jendela yang memungkinkan kita dapat melihat apa yang ada diluar lingkungan langsung kita, sebagai penterjemah yang dapat membantu kita memahami pengalaman baik langsung maupun secara simbolik, sebagai landasan atau pembawa informasi bagi para audiens dalam menentukan sikap, sebagai ramburambu yang yang memberikan instruksi dan arahan, penyaring bagian-bagian dari pengalaman, sekaligus menitikberatkan pada bagian yang lain, sebagai cermin yang memantulkan bayangan kita kembali pada kita sendiri dan sebagai penghalang yang merintangi kebenaran itu sendiri”. Media Massa (Mass media) yaitu media komunikasi yang mampu menimbulkan keserempakan, dalam arti khalayak dalam jumlah yang relatif banyak secara bersama-sama pada saat yang sama memperhatikan pesan yang dikomunikasikan melalui media tersebut, misalnya surat kabar, radio siaran, televisi siaran, dan sebagainya (Effendy, 2002:217). Adapun fungsi media massa adalah: a) Menyiarkan informasi, sebab masyarakat membeli media massa memerlukan informasi tentang berbagai hal yang terjadi di dunia ini;
b) Mendidik, artinya media massa menyajikan pesan-pesan atau tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan, serta sekaligus dijadikan media pendidikan massa; c) Menghibur, biasanya media massa menyajikan rubrik-rubrik atau programprogram yang bersifat hiburan; d) Mempengaruhi, melalui fungsi ini media massa memegang peranan penting dalam tatanan kehidupan masyarakat. Salah satu media massa yang berkemampuan memikat perhatian khalayak secara serentak (simultaneous) dan serentak (instantaneous) adalah pers. Pers merupakan media yang paling sering menimbulkan masalah dalam semua bidang kehidupan dan semakin lama semakin canggih akibat perkembangan teknologi, sehingga senantiasa memerlukan pengkajian yang seksama. Pers memiliki ciri khas dibandingkan media massa lainnya. Bukan hanya sifatnya yang merupakan media cetak, tetapi khalayak yang diterpanya bersifat aktif, tidak pasif seperti kalau mereka diterpa media radio, televisi, dan film. Pesan melalui media pers diungkap dengan huruf-huruf mati, yang baru menimbulkan makna apabila khalayak menggunakan tatanan mentalnya (mental set) secara aktif. Kelebihan pers lainnya ialah bahwa media cetak dapat didokumentasikan, dikaji ulang, dihimpun untuk kepentingan pengetahuan, dan dijadikan bukti otentik yang bernilai tinggi. Dampak komunikasi massa dalam tulisan ini akan dilihat dari dua aspek yaitu dampak yang berkaitan dengan media secara fisik dan dampak yang berkaitan dengan pesan media massa. Adapun dampak media massa sebagai obyek fisik diantaranya: a) Dampak Ekonomis, dimana kehadiran media massa dapat menggerakkan usaha dalam berbagai sektor seperti produksi, distribusi dan konsumsi jasa media massa; b) Dampak Sosial, dimana status pemilik (memiliki televisi atau radio, berlangganan surat kabar atau majalah) secara tidak langsung meningkat dengan kepemilikan media massa; c) Dampak pada penjadwalan kegiatan, dimana kegiatan sehari-hari khalayak dapat berubah dengan hadirnya media massa, misalnya jadwal tidur seseorang ,menjadi larut, karena ia selalu menonton tayangan televisi "Buletin Malam”;
M. Irfan Fazryansyah, Heriyani Agustina, dan Nuruzzaman, Manajemen Redaksional .... 89
d) Sebagai penyaluran perasaan tertentu, dimana tanpa mempersoalkan pesan yang disampaikan media massa orang menonton televisi atau memutar gelombang radio hanya untuk menghilangkan rasa kecewa, sedih, bosan atau perasaan lain (Effendy, 2002:137). Dukungan komunikasi antar pribadi, jika informasi melaui media massa menjadi topik pembicaraan, karena didukung oleh komunikasi antar pribadi. Jurnalisme merupakan keseluruhan proses dari pengumpulan, penulisan, penyuntingan, dan penyiaran berita (Effendy, 2000: 95). Sedang kegiatan jurnalistik merupakan keseluruhan proses mulai dari mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi berupa berita atau pendapat kepada khalayak pembaca. Menurut Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang pers: “Bahwa kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia”. Dasarnya inti dari jurnalistik adalah adanya suatu fakta yang direkonstruksi kembali oleh wartawan atau lembaga media yang disampaikan pada masyarakat luas. Merekonstruksi suatu fakta, wartawan maupun media juga harus menginterpretasikan fakta atau realitas sosial yang diperolehnya dengan benar dan sejelas mungkin. Selanjutnya, masyarakatlah yang berhak menginterpretasikan berita dan memberikan konteks tertentu atas informasi yang diterimanya. Wartawan maupun media massa harus mampu merangsang masyarakat untuk menginterpretasikan berita yang ada di surat kabar dan memberinya konteks. Hal itu bisa terjadi bila berita yang disajikan oleh media massa memiliki nilai sosial dan menguntungkan bagi kepentingan umum. Suatu nilai sosial dapat terpenuhi apabila media mampu mengakomodasikan kepentingan masyarakat dengan berita dan informasi yang disampaikannya. Penelitian ini mencoba untuk melihat dan mendeskripsikan manajemen
redaksional yang dilakukan Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon periode Januari-Mei 2013 sebagai media massa cetak yang mampu memberikan atau menyajikan informasi dalam bentuk berita yang menjadi kebutuhan khalayak pembaca. Metode Penelitian Penelitian ini mengacu pada penelitian jenis kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari individu atau kelompok yang perilakunya diamati. Sedangkan ditinjau dari sifatnya, penelitian ini termasuk penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan menggambarkan secara sistematis dan akurat, fakta dan karakteristik mengenai populasi atau bidang tertentu. Adapun pihak yang dijadikan Informan dan sumber data dalam penelitian ini adalah: a. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari narasumber. Dalam hal ini adalah Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi, dan staf bidang redaksional. b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari catatan atau dokumen Harian Radar Cirebon. Sedangkan fokus penelitian adalah pada manajemen redaksional Surat Kabar Harian Radar. Hasil Penelitian dan Pembahasan Memproses sebuah isu menjadi berita yang menarik. Ada beberapa elemen yang harus diperhatikan, salah satu di antaranya yaitu fungsi manajemen (function of management) yang dijalankan oleh media itu sendiri, baik cetak maupun elektronik (Totok Djuroto, 2006: 96). Sebuah media cetak mencari berita, menuliskan, mengedit naskah, hingga menyebarkan informasi. Pencari berita pada media catak dituntut bagaimana ia dapat mencari dan menuliskan berita dalam waktu yang relatif singkat dengan gaya bahasa berita langsung (straight news), tidak bertele-tele, singkat, dan jelas dengan data tentatif yang didapat dari lapangan. Hal tersebut dilakukan karena saat ini sebagian orang membutuhkan informasi yang cepat dan akurat. Jika fungsi manajemen tidak dijalankan dengan baik, tentulah akan terjadi
90 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 85 - 102 penumpukan kewajiban pada setiap bagian. Jika terjadi demikian, maka akan mengakibatkan lambannya informasi yang didapat oleh khalayak. Pada dasarnya, fungsi manajemen pada media catak yang dijalankan dengan sistematis dan terarah, akan menghasilkan produk (berita) yang baik, siap untuk menjadi suatu berita yang menarik pada Surat kabar harian Radar Cirebon. Berita-berita itu didapat dari dua sumber yaitu kantor berita dan reportase para wartawan di lapangan. Manajemen keredaksian mencakup perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan terhadap pengadaan, pengembangan, kompensasi, integrasi dan pemeliharaan orang-orang dengan tujuan membantu mencapai tujuan organisasi (pers), individual, dan masyarakat. (Stefanus Akim, http://stefanusakim.multiply.com/journal/ item/19/ manajemen keredaksian, di akses pada 19 April 2013 21:32:36) Terkait dengan definisi di atas, berikut akan dijelaskan lebih dalam lagi bagaimana penerapan delapan fungsi manajemen keredaksian yang dijalankan oleh Harian Umum Radar Cirebon, baik dari fungsi perencanaan hingga berita siap diterbitkan. Perencanaan Harian Umum Radar Cirebon merupakan organisasi media cetak yang telah mengandalkan teknologi baik dalam hubungan antar staf redaksi maupun dalam memproses berita hingga berita siap terbit. Perkembangan terus dilakukan oleh media ini, sehingga Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon dapat benar-benar menjalankan fungsi manajemen media dengan sistematis dan terarah, terlebih kepada fungsi perencanaan. Sebagai media cetak, Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon tentu menjalani fungsi perencanaan. Menekankan harus bertatap muka setiap harinya. Media ini lebih mengandalkan teknologi untuk berinteraksi antar redaksi. Rapat diadakan setiap hari, pada pagi dan sore hari. Rapat itulah yang wajib dihadiri oleh seluruh reporter. Tahap perencanaan dalam manajemen redaksional untuk surat kabar harian adalah penentuan kebijakan isi pemberitaan untuk esok pagi, dan membahas berita-berita yang perlu ditindaklanjuti. Berita yang baik adalah hasil perencanaan yang baik.
Prinsip ini berlaku bagi berita yang sifatnya diduga. Proses pencarian dan penciptaan berita dimulai di ruang redaksi melalui forum rapat proyeksi atau rapat perencanaan berita. Rapat biasanya diselenggarakan pagi dan sore atau malam hari, yang dihadiri beberapa redaktur dan pemimpin redaksi. Rapat proyeksi diusahakan singkat, tidak lebih dari 60 menit dan diselenggarakan secara rutin, setiap reporter atau wartawan mengajukan usulan liputan. Perencanaan akan dibahas mengenai pembagian tugas peliputan dan jumlah yang diutus untuk meliput berita tersebut. Fungsi perencanaan, sebagaimana telah diurai pada bagian sebelumnya, merupakan kegiatan yang dimulai dari pembahasan ide (gagasan) awal sampai dengan pelaksanaan proses pencarian berita. Begitu pun pada Harian Umum Radar Cirebon, menurut Redaktur pelaksana Rusdi, “Fungsi perencanaan menempati bagian terpenting dalam proses penyajian berita, karena menentukan berita yang akan di sajikan esok hari. Pembagian tugas menurut desk masingmasing rubrik dibagi dalam proses perencanaan di proyeksi harian yang di terapkan Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon”. Fungsi perencanaan, disebutkan bahwa dalam rapat redaksi rutinan, terjadi proses interaksi dan kreativitas para staf redaksi. Baik buruknya proses produksi berita juga sangat ditentukan oleh perencanaan yang dikonsep di atas kertas (outline) berupa pembagian tugas pencarian berita hingga berita siap terbit. Proses perencanaan ada beberapa langkah yang harus dilalui. Sebagaimana yang telah diurai, proses perencanaan dan penetapan mencakup beberapa langkah, berikut ialah pengaplikasiannya pada Harian Umum Radar Crebon: 1. Menetapkan peran dan misi. Dalam masalah visi dan misi, Harian Umum Radar Cirebon mengedepankan misi sebagai Koran diwilayah III Cirebon yang membutuhkan sebuah Koran harian yang terpercaya, yang mampu menjawab tantangan era globalisasi bersamaan dengan visinya yang probisnis.
M. Irfan Fazryansyah, Heriyani Agustina, dan Nuruzzaman, Manajemen Redaksional .... 91
1. M e n e n t u k a n w i l a y a h s a s a r a n . Wilayah sasaran Harian Umum Radar Cirebon, ditujukan untuk masyarakat Pantura dan Wilayah III Cirebon. 2. Tim Redaksi Harian Umum Radar Cirebon juga mengidenktifikasi dan menentukan indikator efektivitas (indicators of effectiveness) dari setiap pekerjaan yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan. 3. Menentukan hasil yang ingin dicapai Harian Umum Radar Cirebon berupa rencana yang harus dicapai dalam jangka panjang dengan selalu berinovasi. 4. Tim Redaksi Harian Umum Radar Cirebon juga mempersiapkan rencana tindakan yang terdiri dari langkahlangkah sebagai berikut: (a)Menentukan urutan tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan. Tindakan ini lebih ditegaskan saat rapat redaksi. (b)Penjadwalan (scheduling) menentukan waktu yang diperlukan untuk mencapai tujuan atau sasaran. Harian Umum Radar Cirebon menentukan penjadwalan dan penugasan untuk para reporter yang tergabung ke dalam newsroom agar mereka melaksanakan tugas peliputannya. (c)Anggaran (budgeting) menentukan sumber-sumber yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Harian Umum Radar Cirebon juga memperhitungkan dengan cermat masalah iklan masuk dan biaya- biaya lainnya seperti penugasan pemimpin redaksi maupun reporter untuk mengikuti perkembangan yang terjadi.(d) Pertanggungjawaban, menetapkan siapa yang akan mengawasi pemenuhan tujuan yaitu pihak yang menyatakan tujuan sudah tercapai atau belum.(e)Menguji dan merevisi rencana sementara (tentative plan). Tidak ada penerapannya pada Harian Umum Radar Cirebon.(f ) Membangun pengawasan, yaitu memastikan tujuan akan terpenuhi. Pengawasan secara detail hanya dilakukan oleh Kepala Bagian Marketing dan Pemimpin Redaksi Harian Umum Radar Cirebon. Kepala Bagian Marketing fokus pada masalah iklan, sedangkan redaksi fokus pada masalah pemberitaan.(g) Komunikasi-komunikasi
organisasi yang digunakan oleh Iing Casdirin sebagai pemimpin redaksi, terhadap para bawahannya tergolong cukup baik, sehingga para stafnya melakukan tugasnya dengan hati yang ikhlas dan senang. (h)Pelaksanaan, Tim Redaksi Harian Umum Radar Cirebon juga membuat persetujuan mengenai komitmen untuk menjalankan apa yang telah ditentukan. Upaya ini dilakukan namun tidak dalam betuk tertulis. Seperti diungkapkan Redaktur Pelaksana Rusdi menjelaskan: “Fungsi perencanaannya tim redaksi harus berkumpul jam 08.00 WIB setiap harinya untuk merencanakan pembagian tugas dan berita apa saja yang harus mereka liput, para tim redaksi pun menggunakan alat komunikasi (handphone) untuk berkoordinasi. Setelah itu jam 16.00 WIB memberikan pelaporan peliputan dalam meja rapat redaksi dan menulisnya setelah pelaporan selesai. Para staf redaksi Harian Umum Radar Cirebon tetap mengadakan rapat redaksi formil. Rapat itu biasanya dilakukan sebulan dua kali dan wajib dihadiri oleh seluruh reporter yang bertugas dan membahas mengenai bagaimana isi berita Harian Umum Radar Cirebon ke depannya dan evaluasi kinerja para reporter.” Pertemuan tatap muka akan merencanakan berita apa saja yang akan mereka liput. Iing Casdirin, selaku Pemimpin Redaksi Harian Umum Radar Cirebon bertugas mengarahkan dan memberikan tugas peliputan sesuai dengan job masingmasing dengan tetap memantau kinerja para reporternya. Adapun peristiwa-peristiwa yang tidak terduga yang sifatnya aktual wartawan harus cepat mendapatkan informasi tentang kejadian tersebut dengan segera meliputnya. Seusai rapat redaksi selesai, biasanya para reporter segera menuju lokasi masing-masing dan harus kembali lagi ke kantor redaksi. Setelah berhasil meliput berita yang didapat di lapangan. Pada rapat redaksi sore membahas angle mana yang akan sajikan ke depannya. Rapat itu juga wajib dihadiri oleh semua reporter yang bertugas. Dalam rapat sore wartawan melaporkan data yang telah diliput pada redakturnya dan membahas yang menarik yang akan diangkat dalam pengolahan berita.
92 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 85 - 102 Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa, fungsi perencanaan yang diterapkan pada Harian Umum Radar Cirebon dapat dikatakan baik dan maksimal. Baik, karena pertama perencanaan itu tetap ada. Kedua , perencanaan yang disusun pada akhirnya akan dijalani oleh setiap reporter yang bertugas di lapangan untuk meliput berita, terbukti dengan mampunya tim redaksi untuk memproduksi sekitar 200-250 berita perharinya. Ketiga, perencanaan yang diterapkan oleh pemimpin redaksi, namun pemimpin redaksi cukup memerintahkan berita mana yang harus reporter liput. Sedangkan maksimalnya karena ada jadwal tertulis perihal rapat rutin. karena bertemu tatap muka akan lebih terlihat ketegasan dan kesigapan reporter dibandingkan dengan memerintah hanya menggunakan alat komunikasi semata. Pengorganisasian Tahap pengorganisasian dalam manajemen redaksional adalah penyusunan struktur organisasi dan pembagian tugas pekerjaan serta penempatan orang berikut jabatannya di dalam struktur organisasi. Pada proses redaksional terdapat staffing yang berfungsi untuk melaksanakan aktifitas redaksional (Djuroto, 2006: 117). Fungsi pengorganisasian yang diterapkan dalam Harian Umum Radar Cirebon masih dijalankan secara normatif seperti media massa pada umumnya. Menurut Pemimpin Redaksi Iing Casdirin: “Perbedaan signifikannya terletak pada panduan untuk memonitor kinerja para staf redaksi, berupa tingkat kedisiplinan yang tinggi. Hal dapat mempengaruhi fungsi pengorganisasian dalam yang dijalani pemimpin redaksi Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon kepada para bawahan. Kita menggunakan Corporate Performance Management (CPM). Corporate Performance management (CPM) adalah usaha untuk mendapat hasil yang lebih baik, baik bagi organisasi, tim maupun individual dengan memahami dan memanaj performance dalam kerangka tujuan, standar dan kompetensi yang terencana dan telah disepakati bersama. CPM ini adalah standar untuk memonitor fungsi organisasi. Intinya
adalah untuk memonitor. Misalnya, marketing itu dianggap bagus sekali jika bisa mendapatkan revenue 15 Milyar per tahun.” Wartawan yang telah diberikan tugas dimonitor melalui proses perencanaan dan diukur dari apa yang telah mereka laksanakan. Ini dilakukan dengan membawa data yang akan diolah sesuai dengan proyeksi. Wartawan dituntut untuk bertanggung jawab penuh dalam melaksanakan tugas yang diberikan. Tujuan dari perencanaan dalam redaksional bisa tercapai sesuai dengan yang diinginkan. Namun pada bagian pemberitaan, redaktur mempunyai indikator sendiri, misalnya kecepatan pengiriman berita, kekuatan narasumber, dan bagus buruknya teks berita. Seperti yang telah diurai pada bagian sebelumnya, media penyiaran komersil, baik cetak, elektronik maupun online memiliki beberapa departemen atau bagian, yaitu sebagai berikut: a) Departemen Pemasaran. Departemen ini fokus dalam menangani kegitan yang terkait dengan pemasaran dan mempromosikan program maupun segala kegiatan kepada beberapa pihak atau partner kerja. Dalam Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon, departemen pemasaran dikepalai oleh Syahbana yang bertanggung jawab penuh terhadap iklan yang hendak masuk; 2) Departemen Program. Departemen ini tidak ada karena departemen ini sama seperti departemen berita yang sepaket dengan rubrik yang hadir di Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon; 3) Departemen Berita. Departemen ini dipimpin oleh seorang pemimpin redaksi. Departemen berita bertanggung jawab terhadap produksi program berita, olahraga, dokumenter dan program-program yang terkait dengan kepentingan khalayak. Harian Umum Radar Cirebon, departemen berita langsung ditangani oleh redaktur dengan persetujuan pemimpin redaksi untuk kemudian dipilih mana yang layak terbit; 4) Departemen Teknik. Departemen ini bertanggung jawab penuh terhadap segala hal yang terkait dengan peralatan siaran agar program atau berita dapat disiarkan. Jika dalam media TV para staf teknik mengoperasikan peralatan di control room , maka dalam Harian Umum Radar Cirebon layouter fokus mengurusi tampilan (layout) tersebut.
M. Irfan Fazryansyah, Heriyani Agustina, dan Nuruzzaman, Manajemen Redaksional .... 93
Fungsi pengorganisasian, mungkin akan berbeda antara satu perusahaan media satu dengan media lainnya. Namun tujuannya satu, agar kinerja para staf redaksi dapat termonitor dengan baik. Berkumpul untuk bertatap muka mengedepnkan kedisiplinan terus ditingkatkan secara maksimal. Dalam kesehariannya, Harian Umum Radar Cirebon memakai sistem Corporate Performance Management (CPM) sebagai pedoman untuk memonitor kinerja para staf redaksi Harian Umum Radar Cirebon. Di dalam CPM itulah terdapat peraturan yang harus dilaksanakan oleh para pimpinan, karyawan dari tingkat atas hingga bawah. Fungsi utama CPM ialah untuk memonitor semua fungsi organisasi dalam Harian Umum Radar Cirebon. Selain untuk memonitor, redaktur Harian Umum Radar Cirebon dengan mengacu kepada CPM mempunyai indikator (penilaian) untuk para reporter itu sendiri. Sedangkan untuk redaktur, Kepala Redaksi atau Bagian Operasional, terdapat beberapa orang (tim) lagi di atasnya untuk menilai kinerja mereka, begitu seterusnya. Sebagai media cetak, Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon mempunyai dua fungsi besar yaitu fungsi melayani dan fungsi bisnis. Fungsi melayani berarti Harian Umum Radar Cirebon wajib memberikan pelayanan yang baik yang dalam hal ini memberitakan sesuatu dengan berimbang dan sesuai fakta. Sedangkan fungsi bisnisnya, Harian Umum Radar Cirebon juga tetap menerima iklan yang masuk ke dalam Koran mereka tanpa harus berat sebelah dan netral (imparsialitas). Artinya, selama iklan itu baik dan menguntungkan, maka Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon akan meresponnya dan menerima dengan baik. Kebijakan ini diambil agar tidak hanya pendapatan yang diperoleh, namun juga sesuai dengan ideologi, visi, maupun misi media cetak yang probisnis. Selain itu, iklan yang hendak masuk terlebih dahulu dikoordinasikan dengan pihak pusat Harian Umum Radar Cirebon agar dapat ditentukan layak terima atau tidak. Dalam fungsi pengorganisasian, output yang dihasilkan ialah suatu struktur organisasi agar pembagian tugas lebih fokus. Oleh karenanya, di bawah ini akan dideskripsikan bagaimana struktur organisasi pada Harian Umum Radar Cirebon. Harian Umum Radar Cirebon dikepalai oleh seorang pemimpin redaksi .
Pempinan redaksi saat ini adalah Iing Casdirin. Pemimpin redaksi bertanggung jawab untuk memantau seluruh kinerja para stafnya juga bersedia membantu segala kesulitan yang mungkin ditemui oleh setiap karyawannya. Di bawah Pemimpin redaksi Harian Umum Radar Cirebon ada Kepala Bagian Redaksi. Kepala Bagian Operasional dipimpin oleh Rusdi, bertanggung jawab penuh terhadap segala hal yang berkaitan dengan pemberitaan. Dengan kata lain, Rusdi berkewajiban melakukan riset terhadap tulisan mana yang layak. Selanjutnya, Kepala Bagian Redaksi Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon yang bertanggung jawab penuh terhadap semua hal yang berkaitan dengan isi berita. Arif juga berkewajiban untuk mengingatkan para stafnya agar tidak lamban dalam bekerja, hal ini penting agar berita-berita pada Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon bisa berimbang. Rusdi membawahi semua reporter yang bertugas. Reporter inilah yang terkumpul ke dalam news room Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon untuk mencari dan menghimpun berita lalu menuliskan untuk kemudian dikirim ke redaktur. Selanjutnya, ada beberapa orang yang bertanggung jawab atas tampilan (layout) Harian Surat Kabar Umum Radar Cirebon. Tim layout bertugas mendesain Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon agar enak dilihat serta nyaman dibaca bagi seluruh pembca. Sebagai media cetak, Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon juga melaksanakan fungsi bisnis untuk mendapatkan pendapatan yang meningkat. Pemilihan iklan yang masuk tersebut bukan hanya berdasar karena royalti yang didapat. Namun, seluruhnya telah memenuhi syarat dan sesuai dengan visi misi Harian Umum Radar Cirebon. Kesemuanya telah dipilih dengan pertimbangan total dan maksimal. Pemilihan iklan partai pun bukan karena Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon berpihak pada partai tersebut, namun iklan-iklan itulah yang dirasa memenuhi persyaratan dan tidak keluar dari jalur visi dan misi Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon. Selain iklan di atas, Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon juga menjalin kerja sama dengan jenis iklan lain, misalnya iklan makanan, minuman, bank, dan lain sebagainya. Namun sebaliknya, jika pengiklan itu hendak masuk namun tidak sesuai dengan persyaratan yang
94 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 85 - 102 diajukan Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon dan tidak sesuai dengan visi misi Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon, maka akan ditolak dengan cara sewajarnya, meskipun income yang didapat begitu besar. Itulah, dalam hal ini tingkat keidealisan suatu media dipertaruhkan. Dengan kata lain, Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon bukan hanya ingin meraup keuntungan sebanyak mungkin, namun juga bagaimana keuntungan itu diperoleh dengan cara yang baik. Penilaian kinerja wartawan bisa dilihat dan dinilai. Nilainya itu setiap tulisan dan tiap bulan diakumulasi, belum lagi performance secara umum. Misalnya, wartawan ini tidak pernah masuk ke kantor, tidak pernah ikut rapat, hingga pernah datang rapat koordinasi. Menurut Rusdi, ketidakjujuran para reporter akan dapat diketahui dengan kedisiplinan mereka mengirim berita. Jadi, jika ada reporter yang mengaku dirinya sibuk dan tidak dapat meliput, akan dapat diketahui dari data intensitas mereka mengirim berita kepada para redakturnya dalam sebulan. Kedisiplinan inilah yang akan dinilai. Menurut Rusdi, masalah produktivitas memang tak dapat dibohongi. Hal itu pulalah yang menyebabkan kenaikan kompensasi dapat diraih jika karyawan berusaha untuk memenuhi indikator. Misalnya dalam pengiriman berita, semua itu ada indikatornya, berupa kecepatan, kekuatan narasumber dan redaksi teks. Seperti yang telah diurai sebelumnya, setelah kinerja staf redaksi termonitor melalui CPM, maka pimpinan mereka menggunakan CPM untuk memonitornya. Sehingga tingkat kedisiplinan menghadiri rapat, mengirim berita, performa keseharian di kantor redaksi, redaksi berita yang dikirim kepada redaktur mereka masing-masing dan lain sebagainya menjadi pertimbangan yang sangat mempengaruhi kenaikan kompensasi maupun jabatan untuk para staf Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon. Indikator tiaptiap desk berbeda. Bagian redaksi berkaitan dengan pengiriman berita, maka dalam bagian operasional, misalnya, bagian ini berkaitan dengan pendapatan pertahun. Dari uraian di atas, maka berikut ini akan dipaparkan mengenai deskripsi penilaian dari redaktur untuk para reporter beserta indikatornya: 1) Intensitas mengirim berita, 2) Kerapihan, 3) Kehadiran rapat bulanan, dan 4) Redaksi teks berita.
Keempat faktor di atas selanjutnya akan dikalkulasikan untuk kemudian ditetapkan berapa kompensasi bulanan yang patut diperoleh. Karena panduan CPM inilah tindak nepotisme sulit terjadi. Nepotisme yang dimaksud di sini ialah jika ada seorang staf yang diterima karena ia memiliki sanak saudara atau pun sebagainya, kompensasi mereka akan kecil jika kinerja mereka kurang baik. Begitupun sebaliknya, kompensasi mereka pun akan besar jika kinerja mereka bagus dengan kedisiplinan yang tinggi. Kompensasi tersebut diperoleh dengan berbeda-beda tiap bulannya karena kembali kepada kinerja perbulan mereka. Jika kita kembali kepada teori, menurut Totok Djuroto dalam bukunya Manajemen Penerbitan Pers , struktur organisasi sebuah media itu terbagi atas dua bagian besar yaitu bagian bisnis dan redaksi. Bagian bisnis ialah tugas seorang kepala bagian marketing, sedangkan bagian redaksi bertugas untuk memproduksi berita. Setelah kepala bagian redaksi, di bawah mereka ada redaktur yang bertugas mengedit berita dan para reporter yang bertugas. Dari uraian panjang lebar di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi pengorganisasian Harian Umum Radar Cirebon sudah tergolong dengan baik, sebab telah Harian Umum Radar Cirebon telah berpedoman pada Corporate Performance Management. Selain itu, fungsi pengorganisasian juga telah termonitor yang menyebabkan kinerja reporter selalu terpantau dan kemudian akan dinilai. Penggerakan Tahap penggerakan dalam manajemen redaksional adalah aktivitas yang menggerakkan orang-orang beserta fasilitas penunjangnya untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan, yaitu menghasilkan produk jurnalistik. Aktivitas tersebut meliputi peliputan, penulisan, dan penyunting berita. Penggerakan berarti fungsi yang dijalankan pada media massa berupa pengarahan seorang pemimpin agar para stafnya bersedia melaksanakan tugas, mendorong dan memotivasi bawahan, serta menciptakan iklim atau suasana pekerjaan yang kondusif, khususnya dalam metode komunikasi dari atas ke bawah atau sebaliknya, sehingga timbul saling pengertian yang baik serta
M. Irfan Fazryansyah, Heriyani Agustina, dan Nuruzzaman, Manajemen Redaksional ....95
menumbuhkembangkan disiplin kerja dan rasa saling memiliki. Begitu pula dengan tim redaksi Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon.Fungsi penggerakan menjadi penting bagi sebuah media massa karena setiap media idealnya mempunyai ideologi maupun visi misi masing-masing. Jika fungsi penggerakan dapat diterapkan secara terarah, maka para staf redaksi akan mengerti betul akan tujuan media yang mereka naungi termasuk menyusun redaksi berita yang mereka liput. Proses peliputan dalam manajemen redaksional adalah mencari berita (news hunting), atau meliput bahan berita. Aktivitas meliput berita dilakukan setelah melewati proses perencanaan dalam rapat proyeksiredaksi. Dalam meliput berita terdapat tiga teknik, yaitu reportase, wawancara, dan riset kepustakaan (studi literatur). Seorang reporter atau wartawan Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon akan mencari suatu data untuk didajikan berita dengan mengacu pada proyeksi yang sudah di berikan pada rapat redaksi pagi. Jika akan mengangkat isu yang sedang hangat terjadi sorang wartwan mencari data dengan reportase pada pihak yang terkait, bisa juga mengambil dari literature yang sudah ada. Adapun seorang wartawan menemui suatu peristiwa yang terjadi dari info ataupun proyeksi redaktur, seorang reporter/wartawan mencari data wawancara dengan pihak yang terlibat dalam kejadian atau peristiwa yang terjadi. Pengolahan data seperti berita isu membutuhkan ketepatan dengan nara sumber yang terkait, jika tidak akurat bias menjadi kendala dalam proses peliputan. Ini menjadi hambatan yang sering terjadi di lapangan. Menurut wartawan Surat Kabar Harian Radar Cirebon Ida Ayu Komang yang bertugas di bagian Kota Cirebon dalam desk kedinasan dan kebijakan pemerintah menuturkan: “Hal yang paling menjadi kendala dalam peliputan adalah menemui nara sumber yang terkait dengan isu yang sedang di bahas, seperti kebijakan, orang yang di jadikan narasumber seperti kepala dinas biasanya susah untuk di temui dan jika di temui enggan memberikan komentar terhadap isu yang terkait. Maka proses pendekatan perlu kepada narasumber untuk mendapatkan data, jika susah di
temui menghubungi lewat telepon menjadi cara terakhir untuk mengkonfirmasi isu yang berkembang.” Proses peliputan seperti isu membutuhkan suatu teknik pendekatan terhadap nara sumber yang terkait untuk bias mendapatkan data. Kemampuan seorang wartawan dituntut bisa melakukan hal pandai melakukan pendekatan agar narasumber bisa memberikan keterangan untuk isu yang sedang di angkat. Dalam peliputan peristiwa yang tidak terduga bisa melakukan pendekatan pihak terkait dengan peristiwa seperti saksi jika meliput suatu kejadian misalnya kebakaran. Peliputan suatu peristiwa yang tidak terduga menjadi proses yang harus segera di lakukan dindakan mencari data terkait. Misalnya suatu peristiwa kebakaran yang terjadi, seorang wartawan harus sigap dalam melakukan tindakan jika ada info terjadi kejadian kebakaran. Info yang di dapat harus segera di cek seperti mendatangi tempat kejadian. Jika benar terjadi hal yang pertama adalah mengambil gambar tempat kejadian. Aktivitas peliputan, akhir-akhir ini banyak media massa cetak yang tidak hanya menugaskan wartawan atau reporter saja untuk meliput berita, akan tetapi wartawan foto atau fotografer juga diikutsertakan di Surat Kabar Harian Umum radar Cirebon karena menyadari akan pentingnya dokumentasi. Para fotografer diberi keleluasaan untuk memotret, menyajikan rincian-rincian gambar yang sesuai dengan berita untuk melengkapi sebuah naskah berita yang sudah diarahkan kepada wartawan dan fotografer. Menurut Dedi Haryadi wartawan Kriminal Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon: “Meliput kejadian seperti kebakaran yang pertama di lakukan adalah datang ke lokasi kejadian memastikan info yang terjadi benar apa salah, mengambil gambar dengan segera saat peristiwa terjadi dan mencari data seperti mewawancarai saksi kejadian, dan pihak seperti pemadam kebakaran yang memadamkan api dengan bertanga sebab dari peristiwa terjadi, sampai akibat peristiwa tersebut.” Selanjutnya setelah seorang reporter/wartawan mendapatkan data dalam suatu peliputan, data tersebut diolah dalam kegiatan penulisan suatu berita. Penulisan berita biasanya menggunakan teknik melaporkan (to report), yang merujuk
96 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 85 - 102 pada pola piramida terbalik (inverted pyramid), dan mengacu pada rumusan 5W+1H. Berita ditulis dengan menggunakan rumus 5W+1H, agar berita menjadi lengkap, akurat, dan sekaligus memenuhi standar teknis jurnalistik. Setiap peristiwa yang dilaporkan, harus terdapat enam unsur dasar, yaitu what (peristiwa apa yang akan dilaporkan kepada khalayak), who (siapa yang menjadi pelaku dalam peristiwa berita itu), when (kapan peristiwa itu terjadi), where (dimana peristiwa itu terjadi), why (mengapa peristiwa itu sampai terjadi), dan how (bagaimana jalannya peristiwa atau bagaimana cara menanggulangi peristiwa itu). Dalam konteks Indonesia, para praktisi jurnalistik kerap menambahkan satu unsur lagi yaitu aman (safety, S), sehingga rumusannya menjadi 5W+1H (1S). Maksudnya, berita apa pun yang dipublikasikan, diyakini tidak akan menimbulkan dampak negatif bagi media massa bersangkutan dan masyarakat serta pemerintah. Teknik melaporkan (to report), reporter atau wartawan Surat Kabar Harian Radar Cirebon tidak boleh memasukkan pendapat pribadi dalam berita yang ditulis. Berita adalah laporan tentang fakta secara apa adanya (das sain), bukan laporan tentang bagaimana seharusnya (das sollen). Reporter atau wartawan Radar Cirebon melaporkan liputan dengan menulisnya di ruang redaksi dengan data yang di dapat menggunakan bahasa yang lugas seperti dalam teknik piramida terbalik berarti pesan disusun secara deduktif. Kesimpulan dinyatakan terlebih dahulu pada paragraf pertama, kemudian disusul dengan penjelasan dan uraian yang lebih rinci pada paragrafparagraf berikutnya. Setelah pelaporan suatu liputan itu diketik oleh seorang reporter atau wartawan Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon naskah di kirim dengan menggunakan jaringan yang ada di komputer yang terhubung dengan redaktur, karena proses penyuntingan akan dilakukan. Penyuntingan naskah atau editing adalah sebuah proses memperbaiki atau menyempurnakan tulisan secara redaksional dan substansial. Pelakunya disebut editor atau redaktur. Secara redaksional, editor memperbaiki kata dan kalimat supaya lebih logis, mudah dipahami, dan tidak rancu. Selain kata dan kalimat harus benar ejaan atau cara penulisannya, juga harus benar-benar mempunyai arti dan enak dibaca. Sedangkan secara substansial, editor harus memperhatikan fakta dan data agar
tetap terjaga keakuratan dan kebenarannya. Menurut redaktur Surat Kabar Harian Radar Cirebon Rusdi yang selaku Redaktur Pelaksana juga mengungkapkan: “Penyuntingan dalam hal ini proses editor dilakukan seorang redaktur akan memeriksa setiap tulisan wartawan yang masuk untuk diedit secara keseluruhan, terutama penngambilan judul. Dalam penentuan judul suatu brita harus menarik dengan memperharikan angle berita yang diambil, judul harus mengandung unsur ketertarikan, agar pembaca lebih penasaran membaca suatu berita yang disajikan. Dari pengambilan judul yang menarik seorang pembaca penasan dengan isi yang di sajikan dalam berita, sehingga tulisan yang tersedia di kolom yang tersedia akan dibaca dengan detail”. Berita yang di terbitkan harus memperhatikan nilai, sehingga berita yang disajikan layak untuk diterbitkan. Dengan acuan standar nilai suatu berita. Surat Kabar Harian Umum Radar Ciebon pun mempunyai standar (alat ukur) berita yang layak untuk di terbitkan, Rusdi menjelaskan : “Aktualitas (Timeliness), semakin aktual sebuah berita akan semakin bagus dan menarik karna kejadian masih hangat di bicarakan, kedekatan (Proximity) kejadian sekitar Cirebon akan lebih di utamakan karena Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon mengedepankan berita lokal, keterkenalan (Prominence) yang diberitakan itu cukup dikenal khalayak massa, berita itu pun semakin menarik seperti tokoh-tokoh pemerintahan di wilayah Cirebon, dampak (Consequence); berita yang mempunyai dampak dalam nilai berita juga berperan penting, seperti kebijakan-kebijakan pemerintah yang di keluarkan untuk masyarakat, karena media perperan sebagai kontrol sosial, dan tentunya tidak ketinggalan berita yang mengandung unsur human interest seperti permasalahan sosial, lifestyle.” Tahap Penggerakan berikutnya erat kaitannya dengan pengarahan, Pengarahan disini erat kaitannya dengan tanggung jawab seorang kepala perusahaan terhadap para bawahannya. Fungsi menggerakkan tertuju pada karyawan untuk melaksanakan tanggung jawab mereka. Menurut Morissan fungsi pengarahan, ada empat komponen
M. Irfan Fazryansyah, Heriyani Agustina, dan Nuruzzaman, Manajemen Redaksional .... 97
yang terkandung dalam fungsi pengarahan, yaitu: 1) Motivasi. Semakin tinggi tingkat kepuasan karyawan, maka karyawan memberikan kontribusi terbaiknya untuk mencapai tujuan. Dalam perjalanan panjangnya, pemimpin redaksi Harian Umum Radar Cirebon selalu berusaha memotivasi karyawannya agar bekerja lebih baik dan maksimal. Tidak hanya pemimpin redaksi, sesama karyawan satu dengan yang lain pun demikian. Bahkan dengan office boy sekalipun. Mereka saling memotivasi agar dapat memberikan yang terbaik untuk perusahaan;2) Komunikasi. Komunikasi adalah cara yang digunakan pimpinan agar karyawan mengetahui tujuan yang akan dicapai organisasinya. Dalam Harian Umum Radar Cirebon, karena motivasi dijalankan secara aktif baik dari pemimpin redaksi sampai staf tingkat bawah, maka komunikasi pun demikian. Pemimpin Redaksi Harian Umum Radar Cirebon Iing,selalu mengingatkan para stafnya. Begitu pun staf yang lain, juga saling mengingatkan dengan pendekatan komunikasi yang santun; 3) Kepemimpinan. Kepemimpinan merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk memengaruhi orang lain agar bekerja untuk mencapai tujuan. Menurut Stoner, kepemimpinan manajerial didefinisikan sebagai proses pengarahan pada kegitankegiatan dari sekelompok anggota yang saling berhubungan tugasnya. Dalam hal kepemimpinan, Iing selaku pemimpin redaksi mencoba untuk menjauhi gaya kepemimpinan yang kurang baik, karena akan menyebabkan karyawannya tidak nyaman; 4) Pelatihan. Pelatihan dalam suatu organisasi biasanya diberikan kepada karyawan yang baru lulus (fresh graduate) agar lebih menguasai teknik penyiaran dan visi misi media tersebut. Begitu pun dengan Harian Umum Radar Cirebon, pelatihan (training) untuk karyawan yang baru masuk dilaksanakan agar mereka paham betul akan visi dan misi Harian Umum Radar Cirebon. Selain itu, pelatihan atau berbagai workshop media cetak untuk meningkatkan kualitas Harian Umum Radar Cirebon agar lebih baik lagi selalu dilakukan untuk memberikan yang terbaik bagi khalayak setia Harian Umum Radar Cirebon.
Penggerakan dalam suatu media dilakukan secara berbeda-beda. Ada yang setiap kinerja terus menerus diarahkan, namun ada pula pengarahan tidak selalu dilaksanakan, namun tetap termonitor. Dalam hal ini, Harian Umum Radar Cirebon termasuk ciri yang kedua. Karena media ini tidak selalu memberikan pengarahan, namun dalam hal tertentu, misalnya perencanaan peliputan berita, maka pemimpin redaksi wajib mengarahi reporternya. Redaktur pun demikian, ia wajib memberikan pengarahan tentang bagaimana redaksi yang baik untuk proses peliputan berita berikutnya. Fungsi pengarahan yang diterapkan pada Harian Umum Radar Cirebon, sudah termasuk ke dalam fungsi pengorganisasian. Artinya, fungsi penggerakan pun pada Harian Umum Radar Cirebon ditekankan pada reporter baru yang ingin menjadi reporter tetap Harian Umum Radar Cirebon untuk intens mengikuti masa training selama tiga bulan. Masa training ini digunakan untuk mengarahkan para reporter baru agar paham akan visi dan misi Harian Umum Radar Cirebon. Selebihnya, pengarahan terus dilakukan seiring pekerjaan itu sedang maupun akan dilaksanakan. Selain itu, masa training yang ditujukan untuk reporter baru, selain menjelaskan secara mengenai visi misi dan ideologi Harian Umum Radar Cirebon, juga akan dilatih bagaimana menyusun angle yang biasa diterapkan Harian Umum Radar Cirebon yaitu mengedepankan dan mengemas berita dari sisi permasalahan yang terjadi di Wilayah Cirebon, bagaimana menulis berita yang berimbang dan tidak berpihak, hingga berita siap terbit. Pengarahan juga diterapkan saat rapat redaksi oleh pemimpin redaksi mengenai berita mana yang harus mereka liput, juga menyangkut angle mana yang harus ditentukan, dan mana yang harus diabaikan. Rapat redaksi ini juga ditentukan berapa reporter yang akan diutus dalam menghimpun berita. Jumlah yang diutus dalam meliput berita tergantung pada tingkat kesulitan peliputan dan besarnya event. Misalnya, jika berita Sea Games, maka yang diutus bisa mencapai tujuh sampai delapan reporter. Sedangkan untuk event yang tidak terlalu besar, cukup mengutus dua atau bahkan seorang saja.
98 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 85 - 102 . Fungsi penggerakan pada media cetak juga ditekankan untuk para reporter baru, pengarahan itu bertujuan agar reporter baru itu tidak salah jalan dan tidak salah persepsi mengenai visi dan misi Harian Umum Radar Cirebon itu sendiri yang mengedepankan asas modern dan keprofesionalan. Pengarahan seperti di atas itu dirasa perlu menurut Rusdi sebagai kordinator lapangan Harian Umum Radar Cirebon: “Karena tentunya, Harian Umum Radar Cirebon pasti berbeda dengan media lainnya yang tumbuh di Indonesia. Jika para reporter baru tidak diberikan pengetahuan secara dalam mengenai Harian Umum Radar Cirebon, ia pun akan salah langkah dan tak menutup kemungkinan akan membuat redaksi berita yang keluar dari sisi prinsip. Karena, selalu mengutamakan sisi menarik dalam setiap berita yang mereka tampilkan. Itulah satu alasan mengapa motto Harian Umum Radar Cirebon maju bersama Koran juara.” Artinya, informasi yang disajikan lebih diutamakan untuk masyarakat pantura dan Wilayah III Cirebon yang akan menyongsong era globalisasi dengan informasi yang terpercaya. Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi penggerakan pada Harian Umum Radar Cirebon sudah cukup baik sebab fungsi penggerakan tetap ada secara berkala. Namun pada intinya, pengarahan tetap dijalankan, khusus untuk reporter yang baru masuk untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang Harian Umum Radar Cirebon, dan pengarahan terhadap proses peliputan berita tetap dilaksanakan agar produksi berita dapat dilakukan terus menerus dan tidak terhenti. Begitu pun pengarahan bagi para staf yang bukan termasuk dalam tim redaksi, office boy misalnya. Mereka tetap diarahkan agar dapat bekerja dengan baik, maksimal dan perasaan yang ikhlas dan nyaman. Pengawasan Tahap pengawasan dalam manajemen redaksional adalah kegiatan untuk mengetahui apakah pelaksanaan kerja bidang redaksional telah sesuai dengan rencana semula atau tidak. Tahap pengawasan dalam bidang redaksional merupakan kegiatan penting karena adanya evaluasi dan penyuntingan hasil aktivitas sebuah berita yang akan diterbitkan. Pada tahap pengawasan hasil kerja bidang redaksional akan disesuaikan
dengan konsep berita dan kriteria umum nilai berita yang berlaku universal. Fungsi pengawasan dalam Harian Umum Radar Cirebon dilakukan oleh seluruh departemen. Dengan kata lain, seluruh staf memiliki tanggung jawab untuk mengawasi jalannya aktivitas pemberitaan sehari-hari, meskipun pengawasan yang vital dilaksanakan penuh oleh Kepala Bagian Marketing, Syahbana, untuk mengawasi jalannya periklanan, dan Pemimpin Redaksi Harian Umum Radar Cirebon Iing Casdirin untuk mengawasi seluruh kegiatan proses penyajian berita. Seperti yang telah diurai pada bab sebelumnya, pengawasan ialah suatu usaha sistematik untuk menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan-tujuan perencanaan, merancang system informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan digunakan dengan cara paling efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan-tujuan perusahaan. Pengawasan harus dilakukan berdasarkan hasil kerja atau kinerja yang dapat diukur agar fungsi pengawasan dapat berjalan secara efektif. Media cetak dapat tercermin dalam jumlah pembaca per hari yang mencakup komentar maupun bentuk komplain pembaca, berita tersebut juga dalam hal mengenai tingkat penjualan iklan, yang harganya tentu harus sesuai dengan keputusan bersama. Pengawasan terhadap jalannya kegiatan yang sudah terjadwal secara sistematis dalam sebuah media massa perlu diawasi oleh beberapa tim pengawas, atau pun seorang pengawas ahli. Pengawasan tersebut adakalanya dilaksanakan secara bersamaan, maupun dengan satu orang saja. Pada hakikatnya, pengawasan dalam media massa sangatlah vital. Jika pengawasan itu tidak dilaksanakan, tentunya fungsi-fungsi yang lain tidak akan berjalan secara maksimal. Fungsi pengawasan sangatlah penting dalam keberadaan sebuah media massa. Karena dalam sebuah organisasi media massa, harus ada beberapa orang yang mengawasi jalannya kegiatan.Kegiatan menghimpun berita, kegiatan penerimaan iklan, pemberian kompenasi, penerimaan reporter dan pekerja baru, dan lain sebagainya yang berhubungan langsung dengan media massa.
M. Irfan Fazryansyah, Heriyani Agustina, dan Nuruzzaman, Manajemen Redaksional .... 99
Begitu pula dengan fungsi Harian Umum Radar Cirebon. Fungsi manajemen dalam hal pengawasan pada Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon Menurut pemimpin Redaksi Iing Casdirin: “Mempunyai tujuan agar semua lini tetap on track, kerja sama tetap terjalin dengan baik, dan yang lebih utama, hubungan antar staf satu dengan lainnya tetap berhubungan baik. Fungsi pengawasan juga dilakukan oleh Kepala Bagian Operasional atau redaktur pelaksana Harian Umum Radar Cirebon dalam melayani masyarakat dan bisnis agar tidak berat sebelah. Artinya segala kegiatan yang dijalani harus proporsional.” Kegiatan pengawasan di atas tergambar pada penerimaan iklan yang telah penulis paparkan sebelumnya. Harian Umum Radar Cirebon mempunyai niatan yang sama yaitu agar semua kerja sama yang telah terjalin maupun akan terjalin tetap dapat diawasi dengan baik. Semua terlaksana secara proporsional dan seimbang, karena jika tidak seimbang maka akan terciptalah ketidakharmonisan dan fungsi pengawasan yang kurang baik. Fungsi pengawasan di sini dilakukan agar semua lini tetap on the track dan bisnis juga jalan. Jadi jangan sampai bisnis jalan tapi pemberitaan tidak. Fungsi pengawasan terbagi menjadi dua bagian, yaitu fungsi melayani dan fungsi bisnis. Fungsi melayani, karena Harian Umum Radar Cirebon ialah media massa penyampai informasi, sudah tentu Harian Umum Radar Cirebon harus melayani para pembacanya dengan baik berupa penyajian berita dengan bahasa sebaik mungkin dan tidak terkesan berpihak, mendengar masukan mereka, dan bersedia untuk berubah ke arah yang lebih baik jika itu keinginan khalayak pecintanya. Perubahan itu tercermin dari tampilan (layout) Harian Umum Radar Cirebon yang sudah berkali-kali menambah rubrik, karena selain ingin memenuhi keinginan masyarakat, Harian Umum Radar Cirebon juga tak ingin tertinggal dengan kecanggihan teknologi yang tengah terjadi. Itulah satu bentuk inovasi dari Harian Umum Radar Cirebon yang selalu ingin memenuhi keinginan pembacanya. Selain itu Harian Umum Radar Cirebon pun memberikan kesempatan agar pembaca memberikan kritik dan sarannya guna perubahan bagi Harian Umum Radar Cirebon ke arah yang lebih baik. Secara perlahan namun pasti, semua saran itu diterima dan akan direalisasikan jika saran tersebut dapat membuat perubahan baik dari
segi isi dan tampilan Harian Umum Radar Cirebon. Tentunya masukan dan kritik dari masyarakat itulah sangat berguna untuk Harian Umum Radar Cirebon dan kemudian diawasi secara berkesinambungan. Harian Umum Radar Cirebon juga selalu mengawasi dalam kegiatan memproses berita, yaitu memproduksi berita, menyiarkan berita, dan mengevaluasi berita. Ketiga kegiatan tersebut terus dilakukan secara kontinyu agar tugas memproduksi berita tidak terhenti di tengah jalan. Pengawasan dalam kegiatan memproduksi berita, dipimpin oleh seorang redaktur karena ia adalah orang yang paling bertanggung jawab untuk isi berita secara keseluruhan. Pemimpin Redaksi Surat Kabar Harian Radar Cirebn Iing Casdirin mengemukakan pengawasan dalam isi berita sangat penting yaitu: “Kegiatan menyiarkan berita pun demikian harus secara keseluruhan mendapat pengawasan. Berita yang telah dikirim oleh reporter dan diedit oleh redaktur mereka tidak serta merta disiarkan. Masih banyak tingkatan lagi yang harus dipenuhi, yaitu penyeleksian berita. Kegiatan penyeleksian seputar berita mana yang layak dan tidak layak dipublikasikan tergantung pada redaktur Harian Umum Radar Cirebon.” Tiap berita yang telah siar dievaluasi lagi dan dicari apa kekurangannya. Hal ini terus dilakukan agar media ini makin berkualitas. Setelah berita selesai diseleksi, berita pun siap dipublikasikan untuk selanjutnya dibaca oleh khalayak luas. Pemublikasian berita tersebut selanjutnya akan dievaluasi mengenai apa saja kekurangannya. Angle mana yang kurang cocok, dan bagian mana untuk berita selanjutnya yang lebih ditonjolkan. Begitu seterusnya. Hal tersebut dilakukan agar menghasilkan isi berita Harian Umum Radar Cirebon yang berkualitas dan mampu menginformasikan kepada khalayak mengenai kejadian yang sebenarnya. Dalam pemberitaan isu atau pun kebijakan harus secara detail dan di kroscek kebenarannya, siapa yang menjadi sumber yang berkompeten dalam hal pemberitaan isu, pengemasan pesannya pun harus diperhatikan agar informasi yang tersampaikan tidak simpang siur.
100 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 85 - 102 Fungsi bisnis pun harus mendapat pengawasan, Harian Umum Radar Cirebon mempertimbangkan kembali mengenai pengiklan yang masuk. Seperti yang telah dipaparkan penulis, jika iklan itu layak dijadikan partner kerja dan sesuai dengan visi, profesional dan modern yang diusung Harian Umum Radar Cirebon, iklan itu patut dipublikasikan. Namun jika tidak, Harian Umum Radar Cirebon berhak menolaknya. Selain itu, persaingan media yang kian ketat menyebabkan Harian Umum Radar Cirebon berusaha untuk memperbagus tampilan dan isi berita. Karena persaingan itulah Harian Umum Radar Cirebon selalu mencoba menghadirkan sesuatu yang baru, berinovasi dan terus menyajikan berita yang layak baca. Namun, persaingan yang demikian pesat itu tidak serta merta menjadikan Harian Umum Radar Cirebon menghalalkan segala cara untuk mendapatkan pembaca yang banyak, Harian Umum Radar Cirebon tetap bersaing secara sehat dengan pesaing-pesaing media cetak lainnya yang juga turut melakukan berbagai inovasi. Paparan di atas melukiskan bahwa fungsi pengawasan di Harian Umum Radar Cirebon telah tergolong baik karena tugas mengawasi dilakukan secara terus menerus. Kepala bagian marketing mengawasi jalannya kegiatan pasokan iklan yang hendak bekerja sama dengan Harian Umum Radar Cirebon. Sedangkan bagian redaksi, lebih tepatnya kepala bagian redaksi juga turut mengawasi jalannya proses peliputan berita, pengiriman berita, redaksi bahasa berita (menyunting naskah dari para reporter maupun berita yang didapat dari beberapa kantor berita dunia semisal Jawa pos, AFP, AP, REUTERS). Hal ini dilakukan agar bagaimana berita dapat dibaca dan dimengerti dengan baik hingga akhirnya berita siap akses, sehingga khalayak dapat segera mengetahui informasi terbaru. Pengembangan pasti dilakukan oleh tiap media massa dengan cara yang berbeda. Begitu pula dengan Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon . Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon selalu berinovasi karena kita media Cetak. Kita juga selalu mengikuti perkembangan. Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon selalu berusaha memberikan inovasi pengembangan tampilan dan pengembangan staf. Berangkat dari statemen tersebut, dapat disimpulkan bahwa fungsi pengembangan yang
diterapkan pada Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon terdiri atas dua bagian yaitu pengembangan dalam bentuk content (isi) dan pengembangan staf. Untuk pengembangan dalam bentuk content (isi), Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon melakukan berbagai perubahan dalam isi rubrik seperti penambahan rubrik yang bernuansa life style, pengembangan dalam isi berita, dan evaluasi berita yang telah dibuat. Dalam perkembangannya Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon juga selalu mendengar keluhan dan permintaan pencintanya. Sebagai media cetak yang telah dapat mempertahankan eksistensinya selama belasan tahun, Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon juga terus melakukan pengembangan untuk para stafnya. Beberapa di antaranya untuk mengikuti workshop mengenai perkembangan media cetak. Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi pengembangan pada Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon sudah tergolong bagus. Karena, pengembangan tampilan isi dan pengembangan para staf terus dilakukan. Pengembangan sangat penting dilakukan untuk meningkatkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap produk berita Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon, mengingat pembaca tak hanya dari kalangan domestik wilyah pantura dan wilayah III Cirebon, juga meningkatkan jumlah pembaca sehingga mereka tidak merasa bosan dan monoton jika informasi dan tampilan yang disajikan Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon tanpa sebuah inovasi berarti. Setiap perusahaan idealnya sangat menginginkan kesejahteraan bagi para stafnya. Tujuan itu berfungsi agar para staf merasa kerasan, tidak beralih ke perusahaan lain, dan memiliki sense of belonging yang tinggi. Bentuk kesejahteraan itu tercermin dari besarnya kompensasi yang didapat dari para staf dalam perusahaan tersebut. Namun, besar kecilnya kompensasi biasanya dipengaruhi oleh beberapa komponen, salah satunya tingkat kedisiplinan staf itu sendiri. Tingkat kedisiplinan itu akan dinilai dan nantinya akan diperhitungkan berapa kompensasi yang diperoleh. Begitu pun dengan Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon bahwa kompensasi adalah seluruh imbalan
M. Irfan Fazryansyah, Heriyani Agustina, dan Nuruzzaman, Manajemen Redaksional ....101
yang diterima karyawan atas hasil kerja karyawan tersebut pada organisasi. Kompensasi bisa berupa fisik maupun non fisik dan harus dihitung dan diberikan kepada karyawan sesuai dengan pengorbanan yang telah diberikannya kepada perusahaan tempat ia bekerja. Perusahaan dalam memberikan kompensasi kepada para pekerja terlebih dahulu melakukan penghitungan kinerja dengan membuat sistem penilaian kinerja yang adil dalam hal ini pun pengawasan terhadap karyawan perlu dilakukan. Sistem tersebut umumnya berisi criteria penilaian setiap pegawai. Simpulan Sebuah perusahaan media tentunya ingin selalu mempertahankan eksistensi mereka dalam dunia penyajian informasi yang baik, berimbang dan tidak berpihak. Untuk mencapai target tersebut, ada beberapa cara yang harus ditempuh. Maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: 1) Pada tahap perencanaan yang ada di bidang redaksional Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon telah terencana dengan baik, hal ini terlihat dari terlaksananya rapat perencanaan liputan atau rapat redaksi. Secara garis besar, dalam rapat tersebut menyangkut dua hal, yaitu penentuan liputan dan pembagian tugas para wartawan dalam meliput berita; 2) Pada tahap pengorganisasian manajemen redaksional Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon, telah terbentuk struktur organisasi dengan jabatan dan tugas masing-masing personil. Dalam proses pengelolaan materi pemberitaan, yang paling berperan di bidang redaksional Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon adalah pemimpin redaksi, hal ini terlihat dari tugas pemimpin redaksi yang merangkap menjadi redaktur; 3) Tahap penggerakan merupakan tahap yang sangat penting dalam manajemen redaksional di Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon, karena dengan adanya penggerakan, proses pengelolaan materi pemberitaan berjalan dengan lancar, mulai dari proses peliputan, penulisan, sampai pada penyuntingan (editing) naskah berita. Dalam hal ini tidak terlepas dari adanya fasilitas yang telah disediakan oleh perusahaan, adanya
pengarahan dari pemimpin redaksi dan coordinator peliputan, dan terjalinnya komunikasi antar staf bidang redaksional dalam menjalankan tugas keredaksionalan; 4) Tahap pengawasan dalam manajemen redaksional pada Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon dilakukan dalam bentuk pengarahan langsung terhadap wartawan saat naskah beritanya diedit oleh redaktur masih mengalami kekurangan data. Selain itu, diadakan pertemuan-pertemuan seperti rapat evaluasi kerja. Dalam rapat tersebut, juga membahas masalah-masalah yang dihadapi oleh bidang redaksional dan kendala-kendala yang dialami oleh wartawan dalam melaksanakan tugas, sehingga akan dibahas dan dicarikan solusinya. Selanjutnya pemimpin umum mengeluarkan kebijakankebijakan yang terkait dengan kelancaran proses redaksional. Setelah meneliti dan menganalisis data mengenai manajemen redaksional pada Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon, penulis ingin memberikan saran sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan manajemen redaksional Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon, antara lain adalah: 1). Dalam hal perwajahan, sebaiknya pembaharuan agar lebih variatif, dalam hal ini penambahan rurik yang menaik menjadi unsur yang perlu diperhatikan, selain beritaberita peristiwa dan isu, masalah human interest juga perlu di tingkatkan untuk menambah rubrik baru yang menarik sehingga perwajahan lebih bervariatit dan beragam; 2) Untuk masalah kuantitas tim redaksi, sebaiknya tim redaksi Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon ditambah jumlahnya. Sebab, tim redaksi yang lebih banyak memungkinkan akan terlaksananya penerapan fungsi manajemen redaksi pada Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon yang lebih baik lagi, dalam hal ini redaktur fokus untuk membawahi desk masing-masing tidak tercabang menangani desk suatu rubrik berita; 3) Terakhir, dalam hal kepemimpinan, sudah cukup baik, namun akan lebih baik lagi jika pemimpin redaksi Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon dapat lebih tegas namun tetap santun dalam mengarahkan para stafnya. Pergantian pemimpin redaksi juga nampaknya ditentukan berapa tahun sekali untuk peningkatan kualitas dan pengembangan Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon di masa yang akan datang; 4) Perlunya peningkatan evaluasi kualitas dan kuantitas, baik dari segi materi pemberitaan
102 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 85 - 102 maupun kerja dari masing-masing personil di bidang redaksional, dan menerapkan kedisiplinan dalam menjalankan tugas keredaksionalan. Daftar Pustaka Alwi, Fuadi M. (2004). Foto Jurnalistik. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Amsyah, Zulkii. (2005). Manajemen Sistem Informasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Djuroto, Totok. (2006). Manajemen Penerbitan Pers, cet. III. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Effendy, Onong Uchjana. (1993). Human Relations dan Public Relations. Bandung: Mandar Maju. Effendy, Onong U. (2000). Dinamika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Effendy, Onong U. (2002). Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Effendy, M. Manullah. (2002). Dasar-dasar Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia. Eko Indrajit, Richardus. (2001). Pengantar Konsep Dasar Manajemen Sistem Informasi dan Teknologi Informasi. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hasibuan, Malayu. (2005). Manajemen Dasar, Pengertian dan Masalah. Jakarta: Bumi Aksara Herujito, Yayat. (2001). Dasar-Dasar Manajemen. Jakarta: PT. Grasindo. Kriyantono, Rachmat. (2006). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Media. Kusumaningrat, Hikmat. (2006). Jurnalistik Teori dan Praktik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. M. Romli, Asep Samsul. (2005). Jurnalistik Praktis, cet VI. Bandung: Remaja Rosdakarya. Masduki. (2005). Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Jakarta: UII Press. Maleong, Lexy. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. McQuail, Dennis. (1996). Teori Komunikasi Massa. Bandung: Erlangga. Morissan. (2005). Media Penyiaran; Strategi Mengelola Radio dan Televisi. Jakarta: PT. Ramdina Prakarsa. Mubardjo. (2008). Strategi Manajemen Media Cetak. Jakarta: PT. Duta Karya Swasta.
Mumford, Alan. (2003). Mencetak Manajer Andal Melalui Coaching dan Monitoring. Jakarta: PT. Pustaka. Rakhmat, Jalaluddin. (2001). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Ruslan, Rosady. (2005). Manajemen Public R e l a t i o n s & M e d i a Komunikasi.Bandung: Rosdakarya. Santana, Septiawan. (2005). Jurnalisme Kontemporer. Jakarta: Yayasan Obor. Siagian, Sondang. (2006). Sistem Informasi Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara. Syamsul M. Romli, Asep. 2005. Jurnalistik Praktis. Bandung. Remaja Rosdakarya. Tebba, Sudirman. (2005). Jurnalistik Baru. Jakarta: Kalam Indonesia. Kamus Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka. Publikasi Tidak Diterbitkan Profil Company Surat Kabar Harian Umum Radar Cirebon Peraturan Perundangan Undang-undang Republik Indonesia tahun 1999 No 40 tentang Pers. Sumber Internet S t e f a n u s A k i m , http://stefanusakim.multiply.com/ journal/item/19/manajemen keredaksian, di akses pada 19 April 2013 21:32:36
Representasi Perempuan Indonesia Dalam Ajang Penghargaan Televisi (Studi Feminisme pada Penghargaan Indihome Women Award Di Metro TV) Ahmad Toni Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budiluhur Jalan Salemba Ciledug Nomor 34-36Z No. Telp. (021) 5686666 Fax (021) 5633719 Jakarta, Email:
[email protected] Abstract Television personality award for the motor marketing television programs itself, the need to raise the rating and share. The awards were recently held by MetroTV devoted to female finalists Indonesia called modern Kartini. This study aimed to describe the representation of women in the awards Indihome Women Award at Metro TV. The method used consciousness-raising method, a method to generate knowledge and awareness in terms of women's issues and women movement within the frame of the mass media (television). This study used a qualitative descriptive method with emphasis on the reality of the media that have a relationship or context with social reality in Indonesia. The results showed the awards event Indihome Women Award in Metro women disepresentasikan as duality and ambiguity in the system of nation building; (1) Women look no further indicate the identity and values alignment on national development map but are represented at the level of the worse off, (2) Women made a movement which is represented as a capitalist agent, (3) Women and the movement into the implementation of a number of representations of themselves and movements performed in the frame of self falsehood. Keyword: representation, women, capitalist comodity
Abstrak Penghargaan bagi insan pertelevisian menjadi motor pemasaran program stasiun televisi itu sendiri, kepentingan untuk menaikan rating dan share. Ajang penghargaan yang akhir-akhir ini diadakan oleh MetroTV dikhususkan untuk finalis perempuan Indonesia yang disebut dengan Kartini modern. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan representasi perempuan dalam ajang penghargaan Indihome Women Award di MetroTV. Adapun metode yang digunakan consciousness-raising method, metode untuk menimbulkan pengetahuan dan kesadaran dalam hal isu-isu perempuan dan gerakan perempuan dalam bingkai media massa (televisi). Penelitian ini sifatnya deskriptif kualitatif dengan menekankan pada realitas media yang mempunyai hubungan atau konteks dengan realitas sosial di Indonesia. Hasil penelitian menunjukan dalam ajang penghargaan Indihome Women Award di MetroTV perempuan disepresentasikan sebagai dualitas dan ambiguitas dalam sistem pembangunan bangsa dan negara; (1) Perempuan terlihat bukan semakin menunjukan jati diri dan nilai kesejajaran pada peta pembangunan nasional tetapi direpresentasikan pada level yang semakin terpuruk, (2) Perempuan dijadikan suatu gerakan yang direpresentasikan sebagai agen kapitalis, (3) Perempuan dan gerakannya menjadi implementasi atas sejumlah representasi dirinya dan gerakan yang dilakukan dalam bingkai kepalsuan diri. Kata kunci: representasi, perempuan, komoditas kapitalis
103
104 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 103 -114 Pendahuluan Berbagai ajang penghargaan yang diselenggarakan oleh sejumlah televisi nasional Indonesia dewasa ini membuat penonton tidak yakin akan objektivitas penyelenggara. Ajang pengharagaan televisi hanya sebagai marketing program acara yang mereka miliki, bahwa pemasaran media televisi dalam ajang penghargaan adalah pesta atas sejumlah para pengiklan yang dominan dalam berbagai macam program acara yang mereka punyai. Hubungan iklan dan program acara di televisi adalah hubungan materi keuntungan bagi pihak televisi dan sebagai bentuk penghargaan atas loyalitas sejumlah produk iklan yang setia memasang tayangan produk mereka di stasiun televisi tersebut. Pada substansinya ajang penghargaan yang terbesar yakni Panasonic Global Award pun sempat diboikot oleh beberapa stasiun televisi nasinal Karena diduga melakukan praktik illegal dengan pihak stasusn televisi penyelenggara yakni RCTI. SCTV, Trans TV dan Trans7 serta televisi lain memboikot objektivitas penilaian dan objektivitas penyelenggaraannya. Penghargaan bagi insan pertelevisian menjadi motor pemasaran program stasiun televisi itu sendiri, kepentigan untuk menaikan rating dan share salah satunya ialah dengan mengadakan ajang penghargaan. Strategi ini sangat efektif mengingat sejumlah artis, aktor dan aktris, pengusaha, perwakilan iklan dan lain-lain dapat berkesempatan untuk hadir secara bersama-sama. Praktik ajang penghargaan ialah praktik kepentingan bisnis media dalam menyongsong persaingan antar stasiun televisi dalam rangka meraih simpati publik. Ajang penghargaan saat ini bukan sekedar memberikan penghargaan, penghormatan, apresiasi atas capaian, prestasi yang sudah diraih, tapi penghargaan untuk dapat mencapai sesuatu yang lebih besar lagi bagi kepentingan materi, keuntungan perusahaan. Ajang penghargaan televisi akhir-akhir ini disiarkan oleh Metro TV sebagai media patner dalam momentum peringatan Hari Kartini. Ajang pengahargaan ini mencoba untuk menghadirkan sejumlah finalis dari berbagai bidang kehidupan dan dari berbagai wilayah di Indonesia. Penghargaan yang dikhususkan untuk finalis perempuan Indonesia yang disebut dengan Kartini modern. Kartini Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan bangsa ini muncul sebagai
panutan dan sekaligus menjadi tantangan bagi generasi muda Indonesia dalam memandang persaingan dalam globalisasi.Hadirnya nilai-nilai bangsa yang beriringan dengan segala dinamika kehidupan membuat sejumlah perempuan Indonesia melakukan hal-hal positif yang mampu memberikan inspirasi untuk segenap bangsa Indonesia. Perempuan Indonesia bukan hanya berkutat pada urusan keluarga, peran mereka dituntut lebih karena banyaknya aktivitas yang harus dilakukan sebagai komitmen perannya yang luar biasa pada keluarga, lingkungan dan sosialnya. Berdasarkan uraian diatas, permasalahan yang ingin diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana representasi perempuan dalam ajang penghargaan Indihome Women Award di Metro TV. Tujuan penelitian ini adalah memaparkan citra atau representasi perempuan dalam ajang penghargaan Indihome Women Award di Metro TV. Pada abad ke-18 dimana mula-mula proses industrialisasi bergerak cepat dan meninggalkan dampak yang paling besar pada perempuan borjuis terutama yang sudah menikah. Perempuan dalam kelompok ini ialah para perempuan yang merasakan tinggal di rumah dan tidak mempunyai pekerjaan poduktif dikarenakan mereka menikahi para kaum laki-laki profesional dan pengusaha yang berkecukupan. Wollstonecraft menyebut perempuan golongan ini sebagai perempuan-perempuan “beruntung” yang diharapkan dapat terinspirasi untuk mencapai cara bereksistensi yang lebih manusiawi (Tong, 2008:18). Perempuan kelas menengah yang selanjutnya disebut sebagai perempuan “peliharaan” jika dapat mengorbankan kesehatan, kebebasan dan moralitas untuk prestise, kenikmatan dan kekuasaan yang telah disediakan suaminya. Karena perempuan kelas menengah ini tidak diizinkan untuk berolahraga di luar rumah, dikawathirkan hal ini akan menggelapkan kulitnya yang putih seperti Bunga Lily, menjadi tubuh mereka tidak sehat.Dan karena mereka dihambat untuk mengembangkan kemampuan nalarnya dengan alas an hal yang terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan memanjakan diri
Ahmad Toni, Representasi Perempuan Indonesia Dalam Ajang .... 105 dan menyenangkan orang lain, terutama laki-laki (suami) dan anak-anak. Konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun secara kultural (Fakih, 1996:8). Semisal, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Sejarah perbedaan gender antara jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang dan terbentuknya konsep gender dibentuk, diasosiasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial dan kultural. Konsep gender kemudian melahirkan marginalisasi yang kemudian mengakibatkan kemiskinan, di banyak studi yang dilakukan dalam rangka membahas program pembangunan pemerintah yang menjadi penyebab kemiskinan. Dari pola yang dibentuk oleh legilitas negara dan lakilaki tersebut ialah pandangan gender yang ternyata menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Pandangan semacam ini yang menempatkan kaum perempuan sebagai kaum yang irassional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa memimpin yang kemudian berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Selanjutnya terjadi pelabelan atau stereotype yang menimbulkan ketidakadilan terhadap perempuan yang ditandakan sebagai kaum pinggiran dan lemah tidak mampu menggunakan logika untuk memandang memandang dunia. Karena diabaikan kesempatannya untuk mengembangkan diri dan kekuatan nalarnya, untuk menjadi manusia yang bermoral dan perhatian, motif dan komitmen yang jauh lebih besar dari sekedar kenikmatan pribadi, laki-laki juga seperti perempuan, akan menjadi sangat emosional. Para pemerhati feminimisme mengistilahkan hal tersebut sebagai hipersensitivitas narsisme yang ekstrim dan pemanjaan yang berlebihan.Feminsme membutuhkan suatu gerakan aksi sebagai perluasan wacana dalam masyarakat.
Ketidakadilan gender secara kongkret kita hadapi bersama dalam segala lini kehidupan. Keadaan hidup ini merupakan akibat dari ketimpangan gender yang berawal dari ketimpangan relasi antara perempuan dan laki-laki. Dalam sejarahnya kajian feminis yang banyak digunakan ialah dalam ruang konfigurasi sejarah dan budaya untuk penyadaran tentang kedudukan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. (Wiratmoko, 2006:45-46). Sementara John Stuart Mill dan Harriet Taylor Mill dalam Rosemarie (2008:30) menyatakan bahwa perkembangan feminisme pada abad ke-19, perempuan harus memiliki hak pilih agar dapat setara dengan laki-laki. Di dalam posisi tidak saja untuk mengekspresikan pandangan politik personal seseorang, tetapi juga untuk mengganti sistem, struktur dan sikap yang dapat memberikan kontribusi terhadap operasioperasi terhadap orang lain, atau operasi terhadap dirinya. Agela Devis menunjukkan bahwa gerakan-gerakan hak-hak perempuan abad ke-19 pada dasarnya merupakan urusan perempuan terdidik, kelas menengah dan (kulit) putih. (Rosmerie, 2008:31). Perempuan dapat berpartisipasi secara setara dengan lakilaki dalam berbagai perdagangan, profesi dan juga bisnis dan bahkan politik. Sejauh perkembangnya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan kajian utamanya hanya pada perempuan kulit putih. Pembicaraan persamaan hak perempuan kulit hitam hanya sebatas wacana dan masih mengkaji kontribusi perempuan kulit hitam untuk perjuangan kesetaraan peran dalam masyarakat. Selanjutnya pada abad ke-20 untuk mendapaatkan kebebasannya perempuan membutuhkan kesempatan ekonomi dan juga kebebasan sipil. Semangat yang mereka miliki ialah semangat revolusioner kiri, yang tujuannya bukan untuk mereformasi apa yang dianggap mereka sebagai sistem elitis, kapitalis, kompetitif dan individual, melainkan untuk segera menggantikannya dengan system yang egaliter, sosialistik, koorporatif, komuniter dan berdasarkan pada gagasan sisterhood-is-powerful (persaudaraan perempuan adalah kuat), yang kemudian dikenal dengan feminis radikal. (Rosmerie, 2003:34). Friedan menegaskan dalam The Second Stage adalah perbedaan antara seorang feminis yang percaya bahwa perempuan dapat menjadi setara dengan laki-laki jika
106 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 103 -114 masyarakat menghargai yang “feminism” dan “maskulin” secara keseluruhan. Penegasan berikutnya ketika feminimine mystique ialah jika perempuan menjadi lakilaki, ia tidak akan terbebaskan. Artinya manusia yang utuh, secara ringkas, ialah berpikir dan bertindak layaknya seperti lakilaki. Perkembangan selanjutnya penggembaran The Second Stage ialah sebagai penggambaran sebagai gaya pemikiran dan tindakan beta yang menekankan pada “uiditas, eksibelitas dan sensitivitas interpersonal” sebagai feminism secara budaya, dan menggambarkan gaya pemikiran dan tindakan alfa yang menekankan pada “hirarki, otoritas, kepemimpinan yang secara tegas berorientasi tugas berdasarkan rasionalistas instrumental dan teknologi sebagai feminis yang maskulin secara budaya”. Freidan menyimpulkan bahwa “hukum yang spesifik terhadap gender adalah lebih baik daripada hukum yang netral gender dalam memastikan kesetaraan di antara dua jenis kelamin”. (Rosmerie: 2008:45). Memperlakukan laki-laki dan perempuan secara setara berarti memperlakukan keduanya dengan cara yang sama. Jika laki-laki tidak seharusnya menerima perlakuan khusus karena jenis kelaminnya, maka perempuan pun tidak seharusnya menerima perlakuan khusus. Feminisme radikal-kultural dan radikal liberal, Gayle Rubin memaknai sistem seks atau gender adalah suatu rangkaian pengaturan yang digunakan oleh masyarakat untuk mentransformasikan seksualitas biologis menjadi produk kegiatan manusia. Masyarakat patriarkal menggunakan fakta mengenai fisiologi perempuan dan laki-laki sebagai dasar untuk membangun serangkaian identitas dan perilaku untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan perempuan. Konstruksi budaya telah jelas secara alamiah dan karena itu normalitas seseorang bergantung pada kemampuannya, untuk menunjukkan identitas gender secara kultural yang dihubungkan atas dasar jenis kelamin biologis seseorang. Aliran pertama mengklaim bahwa gender terpisah dari jenis kelamin, dan masyarakat patriarkal menggunakan peran gender yang kaku, untuk memastikan bahwa perempuan tetap pasif penuh kasih sayang, penurut, tanggap terhadap simpati dan persetujuan, ceria, baik dan ramah.
Di sisi lain laki-laki ditampilkan sebagai makhluk yang aktif, kuat, agresif, penuh rasa ingin tahu, ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab dan kompetitif. Karena itu cara untuk menghancurkan kekuasaan lakilaki yang tidak layak terhadap perempuan ialah dengan pertama-tama menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif dan kemudian mengembangkan kombinasi apa pun sifat feminisme dan sifat maskulin yang baik untuk dapat mereeksikan kepribadian unik yang dimilkinya masing-masing. Kate Millet berpendapat bahwa “seks adalah politis”. (Rosmerie, 2008:73). Sejauh pandangan mengenai seks ditujukan pada paradigma kekuasaan. Kasta sosial mendahului bentuk inegaliterianisme diantaranya ras, politik, ekonomi dan jika penerimaan terhadap laki-laki sebagai hak sejak lahir. Karena kendali laki-laki di dunia publik dan private terutama status, peran dan temperamen seksual. Munculnya feminisme sebagai bentuk apresiasi heterogenitas dunia maupun sebagai reeksi posisi subjek yang berbeda, tuntutan gender terus berusaha menghapus batas-batas kodrati yang harus dilewati. (Ben, 2005:215). Dalam konteks yang nyata dalam realitas keseharian perempuan menuntut adanya hak yang sama dengan lakilaki. Representasi kultural perempuan secara erat terkait dengan eksploitasi ekonomis dan politis pada perempuan itu sendiri. Semakin jauh dalam perkembangannya perempuan selalu menjadi objek dan sekaligus juga menjadi subjek yang prosentasenya kurang seimbang dengan dominasi kaum laki-laki dalam ranah kehidupan, baik kegiatan ekonomi, politik, struktural, lembaga dan di dalam rumah. Tujuan utamanya ialah perempuan memegang peranan penting dalam bingkai kehidupan. Peran tersebut berupaya memberikan nuansa untuk memunculkan suatu pandangan tentang perannya di dalam masyarakat. Ideologi laki-laki yang menekankan peran maskulin yang dominan sedangkan perempuan mempunyai peran subordinat (menerima). Hal ini dikonstruksi dari institusi akademi, agama dan peran keluarga. Seksualitas bagi ideologi laki-laki ialah lokus kekuasaan laki-laki yang merupakan tempat gender dan hubungan gender dikonstruksikan.Ideologi laki-laki yang kemudian menciptakan pandangan terhadap perempuan tertuang dalam aktivitas seksual,
Ahmad Toni, Representasi Perempuan Indonesia Dalam Ajang .... 107 mendorong laki-laki untuk memperlakukan perempuan sebagai warga negara kelas dua, bukan saja di dalam dunia pribadi di dalam kamar tidur, melainkan juga di dalam dunia publik di tempat kerja dan lingkungan, bersosial dan bernegara. Aliran kedua mengkritisnya dengan menyatakan bahwa feminis bukan hanya mengkaji perlakuan perempuan sebatas erotika dan thantika (publik). Hubungan seksual yang baik ialah lembut, menyentuh, bersisian (bukan satu di atas satu di bawah) yang kesemuannya menghasilkan hubungan seksual yang indah. Begitu pun peran dalam wilayah publik perempuan biasa memposisikan diri sebagai alur utama atau subjek bagi dirinya sendiri. Pemikiran Marxis tentang feminis cenderung menunjukkan identifikasi klasisme dan bukan pada seksime. (Rosmerie, 2008:139). Marx percaya bahwa modus produksi suatu masyarakat yaitu dorongandorongan produksinya bahan baku, alat dan pekerja yang secara aktual menghasilkan produk, ditambah hubungan produksinya yang kemudian menghasilkan suprastruktural: lapisan gagasan hukum, politik dan sosial atau klasis. Feminimime sosialis yang diwakili tokonya Louis Althusser dan Jurgen Habermas menegaskan penyebab fundamental opresi terhadap perempuan bukan klasisme atau seksisme melainkan suatu keterikatan yang sangat rumit antara kapilaisme dan patriarkal. (Rosmerie, 2008:139). Adalah sesuatu yang dikhawatirkan oleh Jaggar bahwa feminis pada pendekatan pekerja yang tereksploitasi tidak menderita dengan cara yang sama, seperti isteri dan pelacur yang teropresikan oleh keadaan patriarkal. Bagi aliran sosialis ketidaksetaraan kekayaan adalah penyeban pelacuran, sebagaimana hal yang sama terjadi pada kaum buruh. Selama masih ada kaum perempuan yang membutuhkan uang dan tanpa keahlian yang dapat dipasarkan, perempuaan-perempuan ini sangat mungkin akan memilih untuk menjual tubuhnya untuk menghidupi anak-anaknya. Karena itu, melawan kapitalisme adalah juga melawan pelacuran dalam bentuk apapun termasuk dalam bentuk “perkawinan”. Feminisme sosialis kontemporer menekan bahwa cara kapitalisme berinteraksi dengan patriarki secara jauh lebih buruk dengan laki-laki. Pembebasan perempuan bergantung pada penghapusan kapitalisme, kapitalisme dapat dihancurkan jika patriarki juga dihancurkan dan bahwa hubungan material dan ekonomi
manusia tidak dapat berubah kecuali jika ideologi mereka juga dirubah.Sentimen pertama kali muncul ketika pers pada sekitar tahun 1920-an mengadakan serangan katakata melalui media terhadap peran gender. Dengan cepat organisasi-organisasi feminis mulai terjungkal, dan kelompok perempuan yang tersisa dengan serta merta mencela amandemen persamaan hak atau dengan sederhananya mengubah diri menjadi klubklub sosial. Bagi Faludi dalam Ann Brooks (2006: 4) “agenda gerakan kaum feminis jelaslah diatur oleh media dan dirancang untuk meruntuhkan tujuan dan pencapaian kaum feminis. Media pada masa itu merancang dan mendeklarasikan bahwa feminisme adalah cita rasa dan posfeminisme adalah cerita baru”. Peran media sangat berpengaruh terhadap membingkai pemahaman umum yang negatif dan popular mengenai segala aspek perempuan. Pada tahun 1980-an penerbit di Amerika dari New York Time, Vanity Fair hingga The Nation telah mengeluarkan dan mengkonstruksi tuduhan yang senantiasa melawan gerakan perempuan dengan kepala berita “Ketika Feminisme Gagal”, “Kebenaran yang Mengerikan Tentang Pembebasan Perempuan”. Mereka menganggap kampanye untuk persamaan hak perempuan bertanggung jawab pada semua kesengsaraan yang telah mengkungkung perempuan, dari depresi sampai kekurangan tabungan, dari bunuh diri remaja ke penyakit ketidakberaturan makan sampai corak kulit yang buruk (Brooks, 2006:5). Selanjutnya dalam budaya kontemporer media massa dalam laporan-laporan feminisme ditulis kembali, dipolitisasi dengan bingkai feminisme tidak perlu antifeminis. Kontruksi perempuan terus berkembang seiring perkembangan kajian ilmu komunikasi terlebih lagi komunikasi yang sudah memakai visualisasi digital. Sebagai contoh konstruksi perempuan dalam bingkai konstruktivisme. Dalam paradigma komunikasi dimana konstruksivitas realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial, dimana kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif. (Hidayat, 1999:34).Penjelasan secara ontologis realitas sosial yang dikonstruksi berlaku sesuai dengan konteks yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Seperti yang dinyatakan oleh Burhan Bungin (2008:113) tidak sedikit orang mengangumi keindahan perempuan sebagai “karya seni”
108 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 103 -114 terindah di dunia. Kekuatan keindahan perempuan mengalahkan apapun di dunia ini,karena itulah dalam keindahan itulah tersimpan kehidupan yang menjadi pusat perhatian interaktif antara objek keindahan dan subjeknya. Keindahan perempuan menjadi stereotype perempuan dan memebawa mereka ke alam sifat keindahan, seperti perempuan harus selalu tampil menawan, cantik, wangi, pandai mengurus rumah tangga, memasak, tampil prima di setiap kesempatan, bersuara merdu, menyenangkan suami dan pantas diajak ke berbagai acara, cerdas serta sumber pengetahuan untuk keluarga. Sifat dan kecenderungan iklan ialah kecenderungan yang mendekati logika pembohong (Bungin, 2008:115). Berbohong dalam dunia iklan tidak ada hubungannya dengan maksud merugikan pemirsa, namun semata-mata sebagai pelajaran semiotika. Di sisi lain iklan juga dikonstruk untuk menembus dimensi waktu dan tempat. Sebagai sebuah bahasa komunikasi untuk mengkonstruk masyarakat iklan mempunyai struktur bahasanya sendiri. Pembohongan dan penipuan yang sering dituduhkan pada iklan, bagaimana pun harus disampaikan lewat “bahasa” (Piliang, 2005:280). Kekuatan iklan untuk mengkonstruksi masyarakat didasari atas sistem teknologi yang mempengaruhi jalan pikiran masyarakat. Penciptaan realitas tersebut menggunakan satu model produksi yang disebut sebagai simulasi, yakni penciptaan model-model nyata yang tanpa asal-usul atau tanpa realitas awal. (Piliang, 2005:228). Kemudian penciptaan model melahirkan proses penciptaan citra terhadap perempuan. Pada kenyataanya iklan media cetak dan disusul iklan media siar diproduksi atau diciptakan untuk maksud pencitraan. Pada umumnya pencitraan iklan televisi disesuaikan dengan kedekatan jenis objek iklan yang diiklankan, pencitraan itu antara lain: (1) Pencitraan perempuan, (2) Pencitraan maskulin, (3) Pencitraan kemewahan dan ekslusif, (4) Pencitraan kelas social, (5) Pencitraan kenikmatan, (6) Pencitraan manfaat, (7) Pencitraan persahabatan (8) Pencitraan seksisme dan seksualitas. Sebuah iklan biasanya menawarkan sebuah citra yang dalam konteks bahasa iklan dapat dijelaskan sebagai gambaran mental dari sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Citra digunakan untuk mengorganisir
relasi konsumsi, serta relasi sosial yang terbentuk. Citra akhirnya menjadi instrumen utama dalam menguasi jiwa, membentuk dan mengubah tingkah laku setiap orang yang dipengaruhinya. Landasan citra kemudian menjadi unsur dasar dalam memilih sebuah produk. Media massa berikutnya yang berkaitan dengan feminisme ialah film. Mayne dalam Ann Brooks (2008:125) menyatakan bahwa perkembangan simultan dari sinema dan psikoanalisis, secara obsesif lewat sinema yang diteorikan oleh psikoanalisis bagi sinema sebagai suatu manifestasi penjelasan Frued mengenai aparat psikis. Bagi feminis, kegunaan potensial dari psikoanalisis ialah mereeksikan penanaman yang bergairah dalam mengambil dan menegaskan perempuan sebagai subjek di dunia representasi, kepenontonan, kesarjanaan dan produksi (Brook, 2008:126). Salah satu kesulitan yang dihadapi feminis adalah kecenderungan psikoanalisis untuk mengambil wacana film ke dalam suatu orbit phalosentris dan menganggapnya berasal dari identitas sebagai permasalahan yang universal dan keterpaksaan yang kemudian menjadi suatu pandangan esensialis tentang kajian gender. Di dalam kajian film feminis bukanlah seperti keterikatan antara dimensi-dimensi kesejarahan dan ideologis, namun fakta kontemporer yakni hubungan imajiner dan simbolik yang menjadikan perbedaan seksual merupakan daya tarik penentu yang sentral.Hubungan yang telah diciptakan film feminis antara sinema klasik dan evaluasi terhadap suatu sinema perempuan alternatif merupakan corak dan nuansa feminis dalam film, yakni merepresentasikan dualisme yang ada antara sinema klasik dan sinema perempuan alternatif. Konsep dan teori film yang utama termasuk semiologi, teori psikoanalisis, realisme dan tatapan laki-laki (male gaze). Tujuan tersebut untuk mengembangkan kritik film feminis, khususnya masalah penyimpangan feminisme dan strukturalisme, psikoanalisis dan juga semiologi. Kaplan menyatakan dalam Ann Brooks (2008:127) konsep psikoanalisis berguna untuk mencari konstruksi perempuan dalam sinema Holywood klasik. Di mana psikoanalisis dan semiologi memungkinkan perempuan untuk membuka kunci budaya
Ahmad Toni, Representasi Perempuan Indonesia Dalam Ajang .... 109 patriarkal seperti ekspresi dalam representasi dominan yang dilakukan oleh laki-laki melalui kuasa sosial, politik, ekonomi dan seksual terhadap perempuan. Film merupakan sistem tanda yang berfungsi sebagian besar pada tingkat mitos. Tanda beroperasi melalui dua tingkat, yakni denotatif dan konotatif. Denotatif mereeksikan suatu penanda dan makna yang spesifik dan konotatif ialah sebuah reeksi atas proses memberikan makna dalam konteks kebudayaan atau ideologis tertentu. Dalam bahasanya Yasraf Piliang (2005:54) kedua tanda tersebut disebut sebagai “proper sign dan pseudo sign”. Proper sign ialah tanda yang sebanarnya, tanda yang mempunyai hubungan relatif simetris dengan konsep atau realitas yang direpresentasikannya. Sedangkan pseudo sign disebut sebagai tanda palsu, suatu tanda yang bersifat tidak tulen, tiruan berpretensi, gadungan yang di dalamnya berlangsung semacam reduksi realitas. Metode Penelitian Penelitian ini lebih menekan pada consciousness-raising method, metode untuk menimbulkan pengetahuan dan kesadaran dalam hal isu-isu perempuan dan gerakan pemermpuan dalam bingkai media massa (televisi). Penelitian ini sifatnya deskriptif kualitatif dengan menekankan pada realitas media yang mempunyai hubungan atau konteks dengan realitas sosial di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang ketidaksadaran perempuan dalam menentukandiri dalam pembangunan bangsa. Hasil Penelitian dan Pembahasan Gambaran Umum Kartini Masa Kini Perempuan masa kini bukanlah perempuan yang hanya berurusan pada urusan dapur, sumur dan kasur. Di era modern serba digital ini, perempuan secara aktif dapat melakukan berbagai aktivitas, dengan tetap berkomitmen pada perannya sebagai ibu, istri, sahabat, saudara dan sesama perempuan. Kartini masa kini dapat menjelajah dunia dengan akses internet melalui laptop, tablet, PC, ponsel dan smartphone. Media jejaring sosial seperti
facebook, twitter dan blog menjadi saluran mereka untuk berjuang, menjalin persahabatan, berbagi informasi, bertukar ide, menabur pengalaman inspriratif, hingga mengekspresikan segala kompetensi yang ada. Segala keterbatasan yang menyempitkan gerak perempuan pun bisa diretas dari rumah, perempuan menjelajah dunia, inilah perempan di era digital. Kriteria Umum Dalam Penghargaan Indihome Women Beberapa kriteria yang diukur dalam ajang penghargaan tersebut diantaranya: (a) Memiliki kontribusi positif terhadap lingkungannya, (b) Mampu menginspirasi banyak orang, (c) Kreatif dan inovatif, (d) Memiliki prestasi yang diakui msayarakat, (e) Konsisten di bidangnya, (f) Aktif menggunakan teknologi digital untuk memunjang bidang yang digelutinya (minimal 2 tahun terakhir di social media, blog, website), (g) Pelanggan indihome yang secara aktif menggunakan layanan Telkom, (h) Menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga yang baik. Proses Penjurian Dalam Penghargaan Indihome Women Proses penyaringan pemenang penghargaan ini dialkukan secara ketat dan kredibel dengan mengusung 363 kandidat yang kemudian disaring dengan verification data menjadi 105 kandidat kemudian disaring oleh dewan juri menjadi 49 kandidat. Dengan mengedepankan tiga tahap penjurian, yakni juri yang ditunjuk, juri social media dan juri public vote. Berikut ini adalah pemenang di setiap kategori yang dipilih berdasarkan pada keputusan dewan juri, antara lain:
110 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 103 -114 Tabel 1. Pemenang dan Kategori Penghargaan N am a Pem enang H e ra w a ti S u d o y o K e ri L e sta ri D a n d a n A le ta B a u n R u k m in i P a a ta T o h e k e M ita Ju lin a rta ti S ira it F a rh a C ic ie k K is w a n ty N u rsy id a S y a m Ju lly T je n d ra w a n S a frid a H a ra h a p T ri K ristia n in g sih A isy a h D a h la n M ia S u sa n to D e ssy S u p r ih a rtin i E sth i S u sa n ti H u d io n o L ia n G o g a li A ri S u n a rija ti H e ra w a ti S u d o y o Is H e lia n ti K e ri L e sta ri D a n d a n N a jw a S ih a b C h ristin e H a k im M e lly G o e sla w
K a te g o ri P e n g h a rg a a n In d ih o m e W o m en C u ltu r a l A rtis: P e le ta k D a sa r P e m e rik sa a n D N A F o re n sik In d ih o m e w o m en cu ltu ra l a rtis: Pem buat obat a n tid ia b e te s d a ri b u a h p a la In d ih o m e w o m en en v iro n m en ta lis: P e n y e la m a t h u ta n sa c ra l In d ih o m e w o m en en v iro n m e n ta lis: P e le s tra i a la m d a n adat In d ih o m e w o m en en v iro n m e n ta lis: P e n g g ia t lin g k u n g a n d a n d a u r u la n g sa m p a h In d ih o m e w o m en ed u ca to r: Penggagas ta n o k e r c o m m u n ity In d ih o m e w o m en ed u ca to r: P u sta k a w a n K e lilin g In d ih o m e w o m en ed u ca to r: P e n d iri se k o la h a la m a n a k n e g e ri d a n k lu b m e m b a c a p e re m p u a n In d ih o m e w o m en p ren eu r: C E O w o rld ro b o tic ex p lo re r In d ih o m e w o m en p ren e u r: P e m ilik o n lin e s h o p c a h a y a la m p u In d ih o m e w o m en p ren eu r: P e n g g e ra k e k o n o m i p ro d u k tif In d ih o m e w o m en h ea lt a ctiv ist: P e lita b a g i m a n ta n p e c a n d u n a rk o b a In d ih o m e w o m en h ea lt a ctiv ist: P e lo p o r A si In d o n e sia In d ih o m e w o m en h ea lt a ctiv ist: R e la w a n k e se h a ta n p a ru n g p a n ja n g In d ih o m e w o m en h u m a n ca re a ctiv ist: a k tiv is H IV , a n a k d a n p e re m p u a n In d ih o m e w o m en hum an ca re a ctiv ist: p e ju a n g p e rd a m a ia n In d ih o m e w o m en h u m a n care a ctiv ist: P e ju a n g b u ru h p e re m p u a n In d ih o m e w o m en S cien tist a n d T ech n o lo g y : P e le ta k d a sa r D N A fo re n s ic In d ih o m e w o m en S cien tist a n d T ech n o lo g y : p e n e liti re k a y a sa g e n e tik a e n z im In d ih o m e w o m en S cien tist a n d T ech n o lo g y : P e m b u a t o b a t a n tid ia b e te s d a ri b u a h P a la In d ih o m e In sp irin g w o m en : Ju rn a lis In d ih o m e In sp irin g w o m en : A k tris In d ih o m e In sp irin g w o m en : P e n y a n y i
Representasi Perempuan Dalam Penghargaan Indihome Women Representasi Pengguna Produk 'Telkom” Dalam penghargaan ini ada nuansa ketidakmurnian dalam penilaian, bahwa penghargaan adalah bentuk pemberian tanda atas jasa-jasa yang telah dilakukan u
oleh seseorang dan memberikan hal-hal positif kepada masyarakat sekitarnya tanpa dipandang apakah pelaku ataaktor perubahan tersebut pengguna produk Telkom atau bukan. Sebagai konsekuensi atas jasa yang telah diberikan tanpa pamrih, atas konsekuensi moralitas yang tanpa berbalas dari pihak mana pun
Ahmad Toni, Representasi Perempuan Indonesia Dalam Ajang .... 111 Kehadiran produk dalam penghargaan ini sebagai syarat penilaian atau kriteria yang menjadikan bahwa kekuasaan hadir menjadi bentuk representasi relasi kekuasaan produk sebagai agen kapitalis untuk menghegemoni kekuatan jasa-jasa para perempuan dalam menjalankan fungsi sosial masyarakatnya. Gerakan perempuan dalam pemberdayaan masyarakat atas segala daya dan kekuatannya menjadi termarginalkan, menjadi sub-ordinal dari kekuatan hegemoni kapitalis yang membutuhkan citra bagi kekuasaan modal yang dimilikinya. Dalam pandangan kaum kapitalis media, gerakan perempuan dan para feminis dipandang sebagai agen kelas kedua dalam bisnis mereka, bahwa kelas pertama dalam pandangan kaum kapitalis ialah perempuan yang menjadi kekuatan bagi industri bisnis yang mereka jalankan. Binis kapitalis yang dibungkus citra kekuasaan dan hegemoni ideologi mereka dengan menggandeng setiap hal-hal relasi sistem sosial itu adalah perempuan sebagai agen perubahan bisnis mereka, bahwa perempuan diadalah nilai jual dalam diri keluarga, tetangga, rekan dan sistem sosial yang melingkupinya. Perempuan direpresentasikan sebagai iklan berjalan yang mewajibkan aktivitas mereka dibungkusi ideologi produk. Ideologi produk yang telah memberi penghargaan bagi dirinya, maka penghargaan itu menjadi bagian commercial bagi produk pemberi penghargaan. Adapun konstruks yang terbangun dari penghargaan ini meliputi halhal sebagai berikut: (a) Perempuan citra, (b) Bintang iklan, (c) Intelektual komersil, (d) Pengakuan palsu, (e) Kesadaran pujian. Pada hakikatnya penghargaan ini lahir sebagai kebutuhan akan pigur-pigur pembawa citra yang dapat secara langsung bersentuhan dengan berbagai aspek kehidupan, baik secara ekonomi, sosial, politik dan budaya. Perempuan diorientasikan sebagai citra riil dalam kehidupan, citra yang dilahirkan oleh produk dan bertujuan untuk mengemban makna citra produk sebagai sebuah kegiatan rutinitas dirinya yang selalu membawa pesan informasi dari produk yang menghargai dirinya sebagai perempuan terpuji. Tugas yang diemban perempuan yang mendapatkan penghargaan dari daan bertema produk tertentu ialah perempuan selalu membawa corporate image sebagai nilai-nilai dirinya dan apa yang
dihasilkannya. Secara jelas posisi perempuan dalam tataran penghargaan ialah ia merupakan relasi ideologi kapitalis yang berusaha menyusup pada realita sosialnya. Ia sebenarnya menjali alat relasi ideologi atas kepentingan mempersuasi lingkungan dan sosialnya. Ia sama dengan alat ideologi (hegemoni) lain yang berusaha untuk merubah kestabilan realitas menjadi bentuk kestabilan realitas yang diinginkan oleh kaum kapitalis. Keadaan ini menaruh harapan bagi kaum kapitalis dalam merubah sistem sosial, ekonomi, pendidikan dan budaya kaum perempuan Indonesia menjadi sistem sosial, ekonomi, pendidikan dan budaya yang direkayasa oleh kaum kapitalis tersebut. Hal demikian bila tidak disadari oleh kaum perempuan, maka sistem sosial perempuan, realitas ekonomi perempuan, realitas pendidikan perempuan, realitas budaya perempuan menjadi realitas kapitalisme. Ruang gerak perempuan dalam hal ini dicoba untuk digerakan oleh kaum kapitalis sebagai ruang gerak yang menghasilkan materi, ruang yang memberikan keuntungan besar, ruang yang dapat memberikan hasil bagi pundi-pundi kaum kapitalis, mengingat perempuan yang sangat penting dalam sistem masyarakat Indoensia, perempuan sebagai penggerak segala lini kehidupan bangsa ini. Representasi Perempuan Indonesia Kartini era digital ialah bentuk konotasi yang sekaligus repesentasi perempuan pada era teknologi, bahwa kartini melakukan sebuah gerakan perempuan disegala bidang dan lini kehidupan. Gerakan atau feminisme yang lahir dari perempuan yang idealis dan membumi dan tentunya bisa dirasakan hal positifnya bagi masyarakat sekitarnya. Gerakan perempuan untuk dan dengan pemberdayaan kaumnya menjadi bukti bahwa perempuan Indonesia ialah bentuk perempuan yang menjadi masyarakat kelas utama dalam sistem pembangunan nasional dalam mengentaskan berbagai persoalan bangsa. Perempuan bukan sebagai subordinal dari kaum laki-laki dalam proses pembangunan bangsa dan negara. Perempuan Indonesia direpresentasikan sebagai daya kekuatan untuk mengelola asetaset penting bangsa dan negara, peran
112 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 103 -114 perempuan dalam berbagai lapisan sistem sosial tidak kalah penting dari peran laki-laki. Bahwa semangat materialisme yang dibawa oleh perempuan menggambarkan bahwa ide dan gagasan mereka lebih bersifat realistis dalam kehidupan dan realitas nyata. Representasi perempuan Indonesia merupakan dualism antara kekuatan produk dengan semangat yang dimilikinya yang lahir dari hati nurani, moral, cipta, karsa dan di implementasikan dalam kehidupan nyata bagi dirinya dan lingkungannya. Representasi perempuan sebagai kekuatan utama bangsa ini memberikan kesetaraan dalam peran dan fungsi antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan dalam sistem pembangunan bangsa. Pada hakikatnya perempuan direpresentasikan sebagai kaum yang kuat, berpendidikan dan merupakan pondasi sistem nilai dalam masyarakat Indonesia. Perempuan Indonesia diposisikan pada peranan strategis dalam membangun bangsa, juga diposisikan sebagai penggerak kesadaran intelektual, sehingga perempuan Indonesia beradas pada wilayah general yang setara dengan kaum yang lain. Namun konstruksi demikian hadir dan dihadirkan oleh kepentingan kapitalis (pemodal) dalam rangka kampanye produk, maka terdapat perbedaan yang sangat tipis pada hal ini antara lain: (A)Perempuan terpuji (pengharagaan) sebagai pengerak pemodal dalam menjalankan bisnisnya. Perempuanperempuan yang mendapatkan penghargaan tersebut ialah citra berjalan perusahaan yang membutuhkan kampanye produk secara riil dalam sistem masyarakat sebagai wujud kampanye komersil. Pada dataran ini perempuan dipandang pada level manfaat semata. Bahwa perempuan ialah alat yang sangat riil untuk mengkamapnyekan produk di dalam sistem masyarakat dengan agenda perusahaan yang berorientasi binis semata. Perempuan yang mendapatkan penghargaan ialah sama dengan bintang iklan di televisi yang berusaha untuk mempersuasi lingkungananya dengan segala kekuatan dirinya. (B) Perempuan terpuji (penghargaan) sebagai simbol budaya komersil yang diidentifikasikan pada nilai jual dirinya dalam sistem kaum patriarki. Dalam hal ini perempuan ialah lambang atas segala macam bentuk realitas, dengan hal ini maka perempuan ialah lambang dari kemakmuran bagi kaum patriarki. Perempuan dipandang sebagai objek kemakmuran dan kesuburan bagi dominasi patriarki. Sistem ini
menunjukan semakin jelas objek-objek eksploitasi (C) erempuan dalam bidang domestik. Relasi antara penghargaan dengan sistem komersialisasi perempuan sendiri ialah simbol matinya eksistensi perempuan dalam wilayah-wilayah domenstik dan wilayah general. Perempuan ditarik kearah general namun ia kemudian ditempatkan sebagai objek domestik dari suatu produk komersil sebagai perwujudan diri perempuan yang teropresikan oleh produk yang memberikannya ruang kebahagiaan semu. (D) Perempuan terpuji (pengharaan) ialah representasi atas kapitalisasi perempuan dalam mewujudkan tujuan, visi dan misi sebuah perusahaan yang dilatarbelakangi oleh sejumlah persoalan perempuan yang tersegmentasi atas dasar perwujudan perempuan semata. Fregmentasi penghargaan pada perempuan justeru menambah jurang perbedaan gender antara perempuan dan laki-laki. Perempuan dalam hal ini teroptasikan pada sistem-sistem keperempuanan yang mereka buat sendiri. Penghargaan yang berbasis perempuan ini menandakan bahwa perempuan membuat sekat perbedaan dengan alam kesadarannya dalam rangka memperjuangkan hak-hak mereka untuk setara dengan kaum laki-laki. Perjuangan yang memungkinkan perempuan terpuruk pada sistem yang mereka perjuangkan sendiri. (E) Perempuan terpuji (penghargaan) ialah sebuah gerakan untuk mensejajarkan, mendidik, memerdekaan hak-hak perempuan sebagai kaum yang turut berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya kesadaran kaum perempuan pada sistem-sistem dan alat perjuangan sebagai indikator perempuan sebagai kaum yang dinamis dalam perkembangan zaman. Usaha ini menempatkan perempuan sebagai motor penggerak sistem sosial, pendidikan, ekonomi dan juga budaya.( F) Perempuan terpuji (penghargaan) capaian perjuangan perempuan dalam mensejejarkan diri dengan elemen pembangunan secara holistik, eksistensi perempuan sebagai bentuk penghargaan setinggi-tingginya bagi kehidupan ini. Terjadi dualisme dan ambiguitas dalam representasi perempuan pada penghargaan Indihome Women. Perempuan dalam sisi idealisme mengusung nilai-nilai positif yang lahir dari semangat, ide, pemikiran, gagasan dan perspektif perempuan sebagai kekuatan utama dalam proses pembangunan bangsa. Gerakan atau semangat feminisme yang dilahirkan
Ahmad Toni, Representasi Perempuan Indonesia Dalam Ajang .... 113 dari konsepsi perempuan menjadi titik tolak dan tolak ukur dari kehadiran semangat murni dari dasar nilai-nilai humanisme yang dimiliki oleh perempuan. Perempuan menjadi nilai semangat, nilai inspirasi, nilai moralitas bagi generasi muda bangsa di era teknologi digital. Namun dilain sisi representasi perempuan sebagai agen produk dalam menginspirasi orang lain, dikarenakan hadirnya nilai produk 'telkom' menjadi bentuk representasi perempuan sebagai agen commercial dalam sistem masyarakat. Kedua representasi tersebut akan melahirkan hal-hal berikut ini: (1) Perempuan dalam gerakan membangun sistem sosial tidak lebih sebagai pelengkap agen kapitalis, (2) Perempuan dalam gerakan sosial menjadi kepanjangan nilai ekonomi korporasi, (3) Gerakan perempuan sebagai nilai jual perusahaan, (4) Gerakan perempuan sebagai komoditas of idea. Dari kelima elemen yang timbul diatas perempuan justeru diposisikan dalam posisi yang lemah dan termarjinalkan, sebuah bukti pelecehan atas gerakan perumpuan itu sendiri. Bahwa perempuan semakin dipandang sebagai kaum yang teropresikan dalam sistem modern dunia digital. Perempuan semakin dipandang sebagai kaum pelengkap sebuah produk. Gerakan perempuan pun adalah pelengkap atas produk itu sendiri sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam otoritas binsis. Perempuan dan gerakanya menjadi manifestasi atas sejumlah citra yang dibentuk dalam hegemoni kapitalis, mereka para perempuan dijadikan sebagai kanibalisme binis dan komoditas citra dari ide-ide kaum kapitalis yang secara sengaja membentuk citra dengan menjadikan perempuan kaum yang semakin lemah yang dikonstruksi oleh agenagen kapitalisme sebagai otoritas kesadaran palsu yang dibangun oleh produk. Kodrat perempuan yang menjadi ibu rumah tangga menjadi kebutuhan dasar atas alasan kaum kapitalis yang dengan kesengajaan melahirkan stigma perempuan pada level arus sosial yang menjadi takdirnya, perempuan tidak boleh meninggalkan kodrat dan takdirnya sebagai ibu rumah tangga, bahwa dalam budaya patriarki perempuan menjadi bagian dan perannya sangat sentral dalam mengurus rumah tangga. Dosa terbesar perempuan ketika rumah tangga yang dibinanya menjadi runtuh, dan banyak perempuan dipersalahkan atas kejadian
retaknya rumah tangga. Proses penilain dan indikator yang harus dimiliki oleh perempuan ini adalah mencerminkan perempuan sebagai nahkoda rumah tangga dan bertanggung jawab atas keutuhan rumah tangga. Laki-laki menjadi penilai atas nahkoda yang dijalankan oleh perempuan dan sangat memberikan ruang untuk menghakimi apa yang dilakukan oleh perempuan dalam menjalankan biduk rumah tangganya. Simpulan Dalam pandangan hegemoni kaum kapitalis dalam merepresentasikan perempuan sebagai dualitas dan ambiguitas dalam sistem pembangunan bangsa dan negara, bahwa perempuan direpresentasikan sebagai berikut: 1. P e r e m p u a n b u k a n s e m a k i n menunjukan jati diri dan nilai kesejajaran pada peta pebangunan nasional tetapi direpresentasikan pada level yang semakin terpuruk. 2. Perempuan sebagai suatu gerakan direpresentasikan sebagai agen kapitalis. 3. Perempuan dan gerakannya menjadi implementasi atas sejumlah representasi dirinya dan gerakan yang dilakukan dalam bingkai kepalsuan diri. Pada substansinya perempuan dijadikan alat ideologi atau disebut dengaan hegemoni bagi kaum kapitalis dalam rangka membuat realitas perempuan menjadi realitas yang direkayasa oleh kaum kapitalis. Realitas perempuan yang dapat menghasilkan pundipundi kekayaan kaum kapitalis, mengingat peran perempuan dalam sistem sosial, ekonomi, pendidikan dan budaya sangat sentral. Penempatan perempuan sebagai citra perusahaan (produk) tersebut ialah hal yang tepat untuk mengeruk keuntungan dari lingkungan perempuan, kaum kapitalis memposisikan perempuan sebagai kekayaan yang megandung ketidaksadaran diri. Daftar Pustaka Ann, Brooks. (2008). Posfeminisme dan Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutera. Burhan, Bungin. (2008). Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Deny, Hidayat. (1999). Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi. Jakarta: IKSI dan Rosda.
114 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 103 -114 Wiratmoko, Dheny dkk. (2006). Feminis Muda Membuat Perubahan. Yogyakarta: Kinasih Mansour, Fakih. (1996). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Rosemarie, Putnam Tong. (2008). Feminist Thought. Yogyakarta: Jalasutera. Yasraf, Amir Piliang. (2005). Hipersemiotika, Tafsir Cultural studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutera. _________________. (2005). Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutera. Internet http://www.indihomewomenaward.com/
Social and Cultural Identity Pendekatan Face Negotation Theory dan Public Relations Multikulturalism Negara Jerman-China dan Indonesia Dasrun Hidayat Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Bina Sarana Informatika Bandung Jalan Sekolah Internasional No. 1-6, Antapani, Bandung Telp/Hp 081322114521, Email:
[email protected] Abstract Research examines the focus of social identity and cultural identity of individuals between states of Germany, China and Indonesia. Building a sense of one's cultural identity is comprised of various identities that are interconnected with face negotiation theory perspective. Research constructive significance intersubjective phenomenology with qualitative constructivist paradigm. The study found that the inter-state identity constructed in a different manner. Germany builds social identity because of the role of government not of the family. Germany does not take into account the family so that the identity of individual awakes more independent. Chinese social identity constructed by social status, stratum or class. China still sees a group of men as dominant and women as a minority. Socially constructed male identity as it is considered more capable than women. Social identity of opposites so that social structures are built are also different. Similarly, Indonesia, social identity is built almost the same as China, only differentiating factor lies in obedience to carry out the norms and values prevailing in the social strata. Indonesia and China still uphold the cultural dimension of collectivity than Germany Individual dimensions. Using multicultural Public Relations function approach finally be able to recognize the cultural identity of each country and eah social identity Keyword: social identity, culture identity, multiculture Public Relations
Abstrak Penelitian ini bertujuan mengkaji identitas sosial dan identitas budaya individu negara Jerman, Cina dan Indonesia. Membangun makna terhadap identitas budaya seseorang yang terdiri dari berbagai identitas yang saling berhubungan melalui perspektif face negotation theory dan pendekatan Public Relations multikultur. Metode penelitian ini kualitatif dengan pendekatan intersubjektif fenomenologi atau paradigma konstruktivis. Hasil penelitian ini menemukan bahwa identitas antar negara dibangun melalui cara yang berbeda. Jerman membangun identitas sosial karena adanya peran pemerintah bukan dari keluarga. Jerman tidak memperhitungkan struktur budaya dari keluarga sehingga identitas individu terbangun lebih mandiri. Identitas sosial Cina dibangun berdasarkan status sosial, strata atau golongan. Cina masih memandang kelompok pria sebagai dominan dan wanita sebagai kaum minoritas. Identitas sosial pria dibangun karena dinilai lebih mampu ketimbang wanita, sehingga struktur sosial yang dibangun juga berbeda. Indonesia dan Cina masih menjunjung dimensi budaya kolektivitas dibanding Jerman dimensi Individual. Melalui pendekatan sekaligus fungsi dari Public Relations multikultur akhirnya dapat memahami identitas sosial serta mengenali identitas budaya setiap negara. Kata kunci: identitas sosial, identitas budaya, Public Relations multikultur
115
116 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 115 - 126 Pendahuluan Setiap individu membangun sebuah identitas sosial atau social identity, yakni sebuah identitas diri yang memandu bagaimana kita mengonseptualisasi dan mengevaluasi diri sendiri. Identitas sosial mencakup banyak karakteristik unik, seperti nama seseorang dan konsep diri, selain banyak karakteristik lainnya yang serupa dengan orang lain. Identitas sosial dibangun karena adanya keterlibatan atau interaksi dengan orang lain. Pada mulanya identitas sosial dibentuk dari kelurga yang dimulai sejak lahir atau identitas individu. Misalnya, orangtua mendidik bagaimana cara untuk makan, buang air dan sebagainya, adalah tahapan kita menjadi makhluk sosial sekaligus pembentukan identitas sosial. Bahkan, kita tidak mengetahui dia “cantik” tanpa adanya penilaian dari orang lain. Inilah hasil proses dari pembentukan identitas sosial seseorang. Identitas sosial, meliputi gender identity yakni identitas sosial yang merujuk pada bagaimana budaya tertentu membedakan peranan sosial feminim dan maskulin. Berhubungan dengan gambaran pribadi dan gambaran lain yang diharapkan dari seorang laki-laki dan perempuan. Budaya berpengaruh pada keindahan gender dan bagaimana hal yang ditampilkan diantara budaya. Selanjutnya, age identity, yakni identitas sosial terjadi berdasarkan pengelompokan usia. Racial and ethnic identity, dibangun karena faktor ras dan etnik tertentu. Religious identity, dibangun karena faktor agama. Class identity dibangun karena memperhitungkan kelas sosial yang dapat mendorong terjadinya konstruksi sosial budaya. Sedangkan individual identity atau identitas pribadi terdiri dari karakteristik yang membuat seseorang berbeda dari orang lain di kelompoknya. Markus dan Kitayama menyatakan bahwa “orang yang berasal dari budaya yang berbeda memiliki pandangan yang berbeda mengenai dirinya, orang lain, dan ketertarikan diantara keduanya”. Orang yang berasal dari budaya individualis, seperti Amerika serikat, dan eropa Barat menunjukan perbedaaan dengan orang lain, namun mereka yang berasal dari budaya kolektif cendrung menekankan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok atau hubungan mereka dengan yang lainnya. Identitas merupakan hal yang abstrak, konsep beraneka segi yang berperan penting dalam interaksi antar budaya Lahirnya era globalisasi, pernikahan antar budaya dan pola imigrasi menambah kerumitan identitas
budaya. Identitas merupakan konsep yang abstrak kompleks dan dinamis. Oleh karena itu, identitas tidak bisa diartikan sehingga banyak gambaran yang disediakan oleh para ahli ilmu komunikasi. Identitas sebagai definisi diri seseorang sebagai individu yang berbeda dan terpisah, termasuk prilaku, kepercayaan dan sikap. Identitas, merupakan satu unsur kunci dari kenyataan subyektif, yang berhubungan secara dialektis dengan masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial yang ditentukan oleh struktur sosial. Kemudian identitas tersebut dipelihara, dimodifikasi, atau bahkan dibentuk ulang oleh hubungan sosial. Sebaliknya, identitas-identitas yang dihasilkan oleh interaksi antara organisme, kesadaran individu, dan struktur sosial bereaksi dengan struktur yang sudah diberikan, memelihara, memodifikasi, atau bahkan membentuknya kembali. Struktur-struktur sosial historis tertentu melahirkan tipe-tipe identitas, yang bisa dikenali dalam kasus-kasus individual. Tipetipe identitas bisa diamati dalam kehidupan sehari-hari, dan untuk suatu pernyataan tertentu bisa disangkal oleh orang biasa dengan akal sehat. Kemudian dalam konteks sekarang, tipe-tipe identitas itu bisa diamati dan diverifikasi dalam pengalaman pra teoritis dan pra-ilmiah. Identitas merupakan suatu fenomena yang timbul dari dialektika antara individu dan masyarakat. Sebaliknya, tipe-tipe identitas merupakan produk-produk sosial semata-mata, unsur-unsur yang relatif stabil dari kenyataan sosial obyektif. Oleh karena itu, tipe-tipe identitas merupakan pokok dari suatu bentuk kegiatan berteori dalam tiap masyarakat, sekalipun tipe-tipe itu stabil, dan pembentukan identitas-identitas individu relatif tidak menimbulkan masalah. Metode Penelitian Penelitian ini sifatnya melakukan konstruksi makna-makna atas fenomena yang dikaji. Peneliti berada ditengah-tengah masalah penelitian untuk melakukan pemaknaan terhadap apa yang dilihat, dirasakan dan diketahui oleh peneliti secara subjektif. Artinya apa yang dideskripsikan adalah berdasarkan dari pemahaman peneliti yang kemudian diperkuat oleh kajian referensi relevan. Sifat penelitian mengacu pada cara pandang konstruktivis atau paradigma konstruktivis. Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis
Dasrun Hidayat. Social and Cultural Identity Pendekatan Face .... 117 sistematis terhadap social meaningful action melalui pengamatan langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara dan mengelola dunia sosial mereka (Denzin, 2009:08). Informan penelitian terdiri dari warga negara Jerman, Cina dan Indonesia. Tiga negara tersebut memiliki cara tersendiri dalam membangun identitas sosial. Untuk menjawab makna dibalik makna tersebut diperlukan penentuan kriteria yang tepat sehingga dapat menjaga kualitas hasil penelitian. Informan dipilih atas kesadarannya dengan teknik purposive sampling. Data fenomenologi dikumpulkan melalui wawancara untuk mengetahui pengalaman serta upaya yang dirasakan serta dilakukan informan hingga saat ini. Peneliti memahami atau mengonstruksi makna atas realitas yang diperoleh dari hasil penelitian tentang Social and Cultural Identity Perspective Face Negotation Theory dan Multiculture Public Relations antar negara Jerman, China dan negara Indonesia. Realitas tersebut tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya upaya dari peneliti untuk melakukan eksplorasi data kemudian diolah sampai pada tahapan deskripsi data. Untuk itu, penelitian ini sesuai dengan paradigma konstruktivis mengkonstruksi makna-makna yang sifatnya intersubjective exsperience with otherness atas pengalaman orang lain yang menjadi informan pada penelitian ini. Hasil Penelitian dan Pembahasan Social and Cultural Identity: Jerman Identitas, sebagai unsur kunci dari kenyataan subyektif tentang seseorang atau individu, dibentuk oleh lingkungan, masyarakat dan komunitasnya. Keluarga merupakan lingkungan terdekat dalam menentukan identitas individu sebelum terlibat pada lingkungan sosial dan membangun identitas sosial. “Identitas ssial orang Jerman kebanyakan terbentuk oleh kehidupan sosial yang dimulai sejak remaja, karena di Jerman anak-anak muda sudah di kerahkan kedalam bidang kehidupan sosial yang di biayai oleh pemerintah dari uang pajak. kehidupan sosial ini telah dibudayakan oleh pemerintah Jerman untuk mempertahankan tingginya taraf hidup masyarakat Jerman agar tetap ada dalam kehidupan yang layak dan stabil. Struktur keluarga di Jerman, tidak terlalu berfungsi
dalam membangun identitas sosial.” (wawancara informan X pada 3 November 2014). Identitas sosial juga dapat diukur dari pola budaya setempat. Demikian pula Jerman memiliki pola budaya yang kecenderungan individualisme. Hal ini terbentuk karena didorong oleh beberapa kondisi yang menjadi faktor pendukung seperti era globalisasi. Di masa ini modernisasi tentu saja mempengaruhi pola perilaku yang cenderung individualisme. Individualisme telah “menjadi salah satu variabel pola dasar yang menentukan tindakan manusia. Kecenderungan nilai individualistis dimanifestasikan pada struktur sosial mulai dari interaksi keluarga, sekolah, dan tempat kerja. Terdapat serangkaian proposisi yang mengkaji tentang perubahan individualitas. kedirian. Pertama, bahwa cara-cara orang mengalami dan menggunakan kedirian atau perubahan individualitas mereka sebagai bagian dari perubahan budaya yang lebih luas. Kedua, bahwa bahasa-bahasa individualitas dan identitas akan dengan sendirinya menjadi bagian dari proses-proses yang lebih luas dalam menggambarkan formasi dan perubahan status. Ketiga, dalam proses modernisasi, masyarakat barat telah mengembangkan bentuk-bentuk individualitas tertentu yang telah difokuskan pada dan diekspresikan melalui ruang-ruang tindakan sosial–seperti cita rasa, etiket, dan fashion-yang secara konvensional ditarik menjadi wilayah praktik-praktik gaya hidup. Dan, yang terakhir, bahwa ruang-ruang tindakan sosial tersebut telah menjadi semakin penting dalam memetakan kehidupan sosial sedangkan bentuk-bentuk pembedaan structural lainnya menjadi tampak kurang dominan (Robert & Byrne, 2004:83). Pola budaya individualisme di Jerman mengakibatkan budaya individu yang dominan. Namun demikian, pola budaya dominan ini diartikan positif bagi masyarakat Jerman untuk menjadi individu yang maju serta mandiri. Bahkan hal ini didukung oleh kebijakan pemerintah Jerman yang memberikan fasilitas pendidikan bagi setiap anak. Bahkan hampir keluarga di Jerman tidak memikirkan tugas pendidikan untuk anak mereka karena sudah ditanggung pemerintah setempat.
118 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 115 - 126 “Pembentukan identitas seseorang di Jerman tidak tergantung pada orang tua ataupun keluarga, dikarenakan di Jerman sejak kecil seorang anak dituntut untuk belajar mandiri, peran orangtua tidak terlalu berpengaruh dalam pembentukan identitas di Jerman. Intinya seorang anak yang dituntut belajar mandiri di Jerman dia akan membentuk kepribadian maupun budayanya sesuai dengan keinginannya dan ditentukan oleh lingkungan sosial. Orangtua tidak terlalu membatasi anaknya dalam memilih agama, ataupun cita-cita, jadi pada intinya peran keluarga hanyalah kontrol sementara si anak hingga usia 15 tahun.” (wawancara dengan informan X pada 25 Oktober 2014). Individualisme di Jerman, menghasilkan kesamaan kesempatan, memperoleh materi, pendidikan hingga pada kegiatan sosial. Kepemilikan material telah menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat Jerman. Bagaimanapun pemerolehan materi seperti rumah besar, beragam pakaian dalam setiap kesempatan, transportasi pribadi yang nyaman, dan banyak pilihan makanan, dianggap sebagai upah dari kerja keras. Masyarakat Jerman juga menghargai ilmu pengetahuan berdasarkan dua asumsi: realitas secara logika dapat diatur oleh manusia, dan pengaturan tersebut. Mereka sangat menjunjung kemandirian terhadap metode ilmiah dalam mengembangkan ilmu dan teknologi. Kemampuan sangat dihargai dan menentukan identitas sosial seseorang. “Identitas sosial yang dapat dibentuk oleh remaja Jerman sebagaimana dia mampu bekerja sukarela untuk masyarakat dan sebagaimana dia gigih dalam berusaha maka orang itu akan mendapatkan identitas yang baik dan akan mendapatkan anggapan yang baik juga dari masyarakat, tanpa memandang status sosial keluarga dari remaja tersebut.” (wawancara dengan informan X pada 25 Oktober 2014). Membedakan pola budaya juga dipertegas oleh Hofstade dalam Samovar (2010:237). Individualisme dapat mengidentifikasi komponen, pertama seorang pribadi merupakan unit terkecil utama dalam setiap
hubungan sosial. Kedua, kemandirian lebih ditekankan dibandingkan ketergantungan. Ketiga, prestasi pribadi sangat dihargai dan keunikan dari setiap individu merupakan nilai yang tertinggi. Demikian pula yang identitas sosial di Jerman. Pemerintah Jerman mampu bertanggung jawab, bahkan pemerintah Jerman sangat menghargai Hak Asasi Manusia (HAM). Pemerintah Federal Jerman sangat mementingkan penghargaan HAM dan perluasannya di seluruh dunia. Bersama mitranya di Uni Eropa diusahakannya secara konsekuen agar standar hak asasi dilindungi dan dikembangkan secara kontinu. Hal itu dilakukan dalam kerja sama erat dengan lembaga-lembaga Perserikatan BangsaBangsa, khususnya Komisaris Tinggi untuk Hak Asasi Manusia di Jenewa. Dalam menjalankan kebijakan hak asasi, Jerman didorong oleh kewajiban konkret yakni melindungi manusia terhadap pelanggaran hak dan kebebasan pokok mereka, dan menciptakan prasyarat yang menjamin bahwa penindasan, kesewenang-wenangan dan eksploitasi tidak terjadi di Jerman. “Kebanyakan orang tua di Jerman lebih memusatkan si anak untuk berkecimpung di kehidupan sosial di masyarakat yang di adakan oleh program pemerintah, yaitu kegiatan sosial. Masyrakat jerman kebanyakan ibu Tunggal, jadi hanya seorang ibu yang mendididik anaknya saja, bahkan hampir jika seorang ibu butuh pekerjaan lebih untuk memniayai keluarganya, terkadang anak-anak di Jerman di titipkan kepada ibu asuh ataupun tempat asuh anak.” (wawancara dengan informan X pada 25 Oktober 2014). Identitas sosial di negara Jerman juga diperkuat oleh kebijakan pemerintah serta pimpinan negara yang meletakkan pengaruh kekuasaan sebagai pola budaya. Di Jerman menerapkan pengaruh kekuasaan atau jarak kekuasaan dengan masyarakat Jerman secara rendah atau low power distance. Menurut Hofstade dalam Somovar (2010:243) mengatakan bahwa ketidak setaraan dalam masyarakat harus diminimalisasi. Pemimpin seringkali berbaur tanpa menjaga jarak
Dasrun Hidayat. Social and Cultural Identity Pendekatan Face .... 119 berinteraksi dengan bawahannya. Bawahan menganggap sama dengan bawahannya demikian pula sebaliknya. Demikan pula struktur sosial yang dibangun di Jerman lebih menekankan pada pergerakan taraf hidup masyarakat, untuk menciptakan masyarakat yang mandiri, makmur dan terus menerus meningkatakan para pemuda dalam bidang teknologi, untuk tercapainya taraf hidup yang tinggi sebagai negara maju. Jerman memberikan bantuan kepada masyarakat yang dinilai kurang mampu, bahkan jaringan jaminan sosial dilengkapi oleh uang bantuan sosial yang dibiayai oleh pajak. Tunjangan itu diberikan kepada warga yang tidak sanggup mengatasi keadaan susahnya dengan tenaga dan sarana sendiri atau dengan bantuan keluarganya. Di samping itu terdapat bantuan sosial pokok untuk orang lanjut usia atau orang invalid, begitu juga bantuan dari pihak negara untuk biaya hidup dan dalam situasi khusus. Manusia memperoleh dan mengembangkan identitas mereka melalui interaksi mereka dalam kelompok budaya mereka, perkembangan identitas selanjutnya, menjadi proses dalam keluarga dan sosialisasi budaya yang dipengaruhi oleh budaya lain, dan perkembangan pribadi. Identitas sosial dimulai dari keluarga, dimana seseorang belajar budaya mengenai kepercayaan, nilai, dan peranan sosial yang tepat, bimbingan dari anggota keluarga sudah di mulai ketika si anak masih muda, ketika mereka mengajarkan anak-anak perilaku yang pantas untuk laki-laki dan perempuan. Hal ini menanamkan identitas gender. Interaksi dengan anggota keluarga besar mengajarkan prilaku yang pantas anatar usia. Keluarga juga lah yang pertama menanamkan konsep identitas pribadi atau kelompok. Namun demikian, kelas sosial di Jerman tidak terlalu diperhitungkan dalam identitas sosial. Jerman lebih memperhatikan karakter individu yang mandiri dan dapat mengikuti perkembangan serta kemajuan, sehingga lepas dari ketergantungan pada keluarga. Kemampuan individu sangat penting dalam membangun interaksi sosial di Jerman.
proses dalam keluarga dan sosialisasi budaya yang dipengaruhi oleh budaya lain, dan perkembangan pribadi. Identitas sosial, dibangun dari identitas pribadi terdiri dari karakteristik yang membuat seseorang berbeda dari orang lain di kelompoknya. Karakteristik itu membuatnya unik dan bagaimana seseorag memandang dirinya sendiri. Markus dan Kitayama dalam Samovar (2010:192) menyatakan bahwa orang yang berasal dari budaya yang berbeda memiliki pandangan yang berbeda mengenai dirinya, orang lain, dan ketertarikan diantara keduanya. Orang yang berasal dari budaya individualis, seperti Amerika Serikat, dan Eropa Barat menunjukan perbedaaan dengan orang lain, namun mereka yang berasal dari budaya kolektif cendrung menekankan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok atau hubungan mereka dengan yang lainnya. Identitas diri sebagai susunan gambaran diri anda sebagai seseorang. Dalam budaya Yunani, identitas di pahami sebagai sesuatu yang bersifat pribadi dan seseorang melihat diri bertentangan atau berbeda dengan identitas yang lain. Menurut Michael Hecht dan koleganya, teori komunikasi tentang identitas tergabunglah konsep individu, komunal dan publik. Menurut teori tersebut identitas merupakan penghubung utama antara individu dan masyarakat serta komunikasi merupakan mata rantai yang memperbolehkan hubungan ini terjadi. Identitas adalah “kode” yang mendefinisikan keanggotaan dalam komunitas yang beragam kode-kode yang terdiri dari symbol-simbol seperti bentuk pakaian, dan kepemilikan, status dan kata-kata seperti deskripsi diri atau benda yang biasanya anda katakan dan makna yang anda dan orang lain hubungkan terhadap benda-benda tersebut.
Social and Cultural Identity: China dan Indonesia
Kondisi sosial China yang menekankan pada status sosial atau kelas sosial sangat relevan dengan pola budaya terhadap pengaruh kekuasaan yakni high power distance yakni kekuasaan atau kekuatan dijadikan sebagai alat untuk membuat kelompok atau individu yang lemah agar mengikuti
Manusia memperoleh dan mengembangkan identitas mereka melalui interaksi mereka dalam kelompok budaya mereka, perkembangan identitas selanjutnya, menjadi
“Identitas sosial warga asli Negara China lebih menekankan terhadap turunan ataupun titisan, apakah ada titisan ke kaisaran, ataupun pemerintahan, ataupun tidak.” (wawancara dengan informan Y, pada 25 November 2014).
120 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 115 - 126 keinginan yang berkuasa atau akibat pengaruh dari kekuasaan. Gudykunst menyimpulkan mengenai budaya dengan pengaruh kekuasaan yang tinggi ketika menuliskan “Individu dari budaya dengan pengaruh kekuasaan yang tinggi menerima kekuasaan sebagai bagian dari masyarakat. Jadi, penguasa menganggap bawahannya berbeda dari dirinya dan sebaliknya (Samovar, 2010: 188). Identitas sosial China juga menekankan terhadap perilaku dan pola pikir individu dan kelayakan taraf hidup individu. Masyarakat China memandang wanita itu sebagai kaum yang di minoritaskan untuk menunjang sebuah pendidikan, dikarenakan dalam masyarakat China laki-laki lebih dianggap mampu menjadi pemimpin disetiap sektor usaha. Hampir serupa dengan negara China, Indonesia juga menghormati kebersamaan untuk mufakat. Persaudaraan lebih dipentingkan daripada kesuksesan secara individu. Hubungan sosial di atas segalagalanya bagi orang Indonesia. Indonesia lebih mengacu pada perbedaan itu indah, meskipun terkadang menuju kebersamaan itu diperlukan usaha keras. Indonesia juga menganut pola budaya kolektivitas dan pengaruh kekuasaan tinggi. Kesamaan antara China dan Indonesia dalam membangun identitas sosial, karena keduanya merupakan negara asia. Identitas Sosial Budaya Jerman-ChinaIndonesia: Perspective Face Negotation Theory Berdasarkan pemaparan pada bagian sebelumnya bahwa antar negara Jerman, China dan Indonesia, memiliki kesamaan sekaligus perbedaan dalam membangun identitas sosial budaya. Fenomena ini dilatar belakangi oleh letak geografis, sejarah serta bentuk pemerintahan antar negara. Misalnya di Jerman, pemerintah sangat mendukung perubahan dan pengembangan sumber daya manusia, dimulai sejak anak-anak. Pemerintah memberikan fasilitas pendidikan layak dan gratis. Kondisi ini mendorong setiap orangtua di Jerman tidak ikut andil dalam pendidikan anaknya. Meskipun sering terjadi konik, hal itu tidak berdampak besar pada kebutuhan anak, karena dari awal orangtua tidak terlalu terlibat di dalamnya. Namun, hal ini terkadang terjadi konik karena identitas individu yang dibangun cenderung pada pola budaya individualisme.
Sementara itu, di negara Asia seperti China dan Indonesia, identitas sosial tidak menekankan pada nilai-nilai individual, namun kolektivisme. Kebersahajaan dan kebersamaan sering kali menjadi tujuan utama dalam interaksi sosial. Akan tetapi, di dua negara ini, dimensi budaya dalam memahami identitas budaya, masih memegang kelas identitas baik dari sosial eknomi maupun gender yang dibentuk. Perempuan masih dianggap sebagai kelompok atau kelas kedua setelah laki-laki. “Perempuan semakin tersingkir untuk menunjang dan merasakan pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Menurut Informan Y identitas sosial laki-laki dan perempuan sangat berbeda jauh, masyarakat China beranggapan bahwa laki-laki lebih mampu mengerjakan banyak pekerjaan ketimbang seorang wanita. Sehingga pembentukan identitas sosial dalam pendidikan pada perempuan hanya akan sampai pada tahap remaja saja, dan yang lainya hanya pembentukan idemtitas pribadi dari keluarga dan lingkungan sosialnya. Berbeda dengan pria. Seorang pria dapat membentuk identitas sosialnya selama ia sanggup, mampu dan mau untuk membentuk identitas sosial yang ia inginkan sepanjang hidupnya.” (wawancara dengan informan Y, pada 25 Oktober 2014). Konstruksi sosial di China tersebut tentu saja memancing adanya perbedaaan identitas gender. Identitas gender berbeda dengan identitas seks secara biologis. Gender merujuk pada bagaimana budaya tertentu membedakan peranan sosial Feminin dan maskulin. Ting–Toomey mengatakan, identitas gener singkatnya, merujuk pada pengertian dan intepretasi yang kita miliki yang berhubungan dengan gambaran pribadi dan gambaran lainyang diharapkan dari seorang laki-laki dan perempuan. Budaya berpengaruh pada keindahan gender dan bagaimana hal yang ditampilkan diantara budaya. Bahkan hal ini dapat berujung pada stereotype. Stereotype merupakan pengelompokan bentuk kompleks dari pengelompokan yang secara mental mengatur pengalaman seseorang dan mengarahkan sikap orang tersebut dalam menghadapi orang tertentu (Turner, 2008:159).
Dasrun Hidayat. Social and Cultural Identity Pendekatan Face .... 121 Stereotype tidak selamanya berujung negatif, karena ada kalanya stereotype memiliki makna positif. Misalnya di China termasuk di negara-negara Asia memiliki stereotype menjunjung tinggi kebersamaan atau kolektivitas. Pada konteks tertentu, kolektivitas tersebut masih diperlukan terutama untuk kebaikan orang lain. Somovar (2010:238) menjelaskan bahwa nilai yang digambarkan dari karakter masyarakat dengan budaya kolektivis adalah perhatian mereka terhadap hubungan. Dalam masyarakat kolektif seperti negara-negara asia, orang-orang lahir dalam keluarga atau kelas besar mendukung dan melindungi mereka sebagai ganti dari kesetiaan mereka. Budaya kolektivisme, ketergantungan merupakan hal yang sekunder. Dalam teori negosiasi identitas, atau face negotation theory, Stella Ting Toomey (2008:159) mengeksplorasi cara-cara di mana identitas dinegosiasi dalam interaksi dengan orang, terutama dalam berbagai budaya. Ting Toomey memfokuskan pada identitas etnik dan kebudayaan, terutama negosiasi yang terjadi ketika kita berkomunikasi di dalam dan di antara kelompok–kelompok kebudayaan. Ting Toomey memberikan tiga landasan dasar dalam teori negosiasi identitas yaitu: pertama, pengetahuan (knowledge) yaitu pemahaman akan pentingnya identitas etnik dan kemampuan melihat apa yang penting bagi orang lain. Artinya mengetahui sesuatu tentang identitas kebudayaan dan mampu melihat segala perbedaan. Kedua, kesadaran (mindfulness) yaitu secara sederhana berarti secara biasa dan teliti untuk menyadari. Hal ini berarti kesiapan berganti ke perspektif baru. Ketiga, kemampuan (skill) yaitu kemampuan untuk menegoisasi identitas melalui observasi yang teliti, menyimak, empati, kepekaan non verbal, kesopanan dan kolaborasi. Dalam masyarakat Cina terdapat dua prinsip dasar kosmologi, yaitu Yin dan Yang. Yin–Yang merupakan dua prinsip yang saling melengkapi. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti siapakah yang mengajarkan pertama kalinya dan sejak kapan ajaran ini diperkenalkan. Ajaran ini berakar cukup dalam bagi penganut Taoisme maupun Konfusianisme. Yin merupakan unsur
negatif seperti air, dingin, basah, pasif, gelap, bulan, dan bersifat perempuan, sedangkan Yang merupakan unsur positif seperti api, panas, kering, aktif, terang, matahari, dan bersifat laki-laki. Langit lebih banyak mempunyai unsur Yang dan bumi lebih banyak mempunyai unsur Yin. Yang merupakan daya cipta yang memberi gerak dan hidup pada sesuatu, sedangkan Yin adalah bahan atau zat yang diberi kemampuan bergerak dan hidup itu. Yang bersifat memberi dan memperbanyak, sedang Yin bersifat menerima dan menyimpan. Yang bergerak terus sedangkan Yin tetap diam (Robert&Byrne, 2004:35). Berdasarkan keterangan informan Y Identitas sosial remaja di masyarakat China lebih merujuk pada bidang teknologi, dikarenakan China lebih ingin menguasai dunia pada bidang industri dan teknologi. Di China mulai usai anak-anak telah diajarkan dalam beberapa hal tentang pembentukan teknologi, bahkan untuk menciptakan warga Negara yang tegas berani, tangguh, China telah menerapkan sekolah wajib militer setelah seorang anak dapat menyelesaikan sekolah wajibnya selama 12 tahun. Dalam identitas Negara China, China lebih menekankan masyarakatnya dalam hal pendidikan yang berteknologi, yang bertujuan untuk memajukan masyarakat China lebih maju dan untuk bersaing dengan negara-negara adi daya yang menguasai hampir seluruh sistem yang ada di dunia ini, bahkan ketegasan pemerintah China ditunjang dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih, bukan itu saja Law How Chun juga mengatakan bahwa teknologi di China di imbangi dengan pendidikan wajib militer yang dapat membentuk masyarakat China menjadi masyarakat yang berwibawa dan mampu bersaing di era globalisasi ini. Bahkan hampir semua dana pendidikan di China di tanggung oleh Pemerintah. Face Negotation Theory (Ting Toomey) mengasumsikan bahwa identitas diri penting di dalam interaksi interpersonal dan individu-individu menegoisasikan identitas mereka secara berbeda dalam budaya yang berbeda. Menurut teori tersebut manajemen konik dimediasi oleh “face” dan budaya Tindakan-tindakan tertentu mengancam citra diri seseorang yang ditampilkan. Ting Toomey melihat untuk mengatasi tindakan yang mengancam citra diri diperlukan upaya
122 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 115 - 126 pencitraan diri. Sedangkan individualis akan memdefinisikan dirinya sebagai seseorang yang independent. Bebas dari segala afiliasi kelompok atau group tertentu. Melakukan fungsi dan tujuannya dengan orientasi kepentingan dia sendiri, dan juga menilai dan tertarik mengenal orang lain berdasarkan kemampuan individu bukan latar belakang kelompok (Turner, 2008:159). Demikian pula di Jerman, China dan Indonesia, seringkali mencoba dan mempertahankan citra individu dan kelompoknya. Masing-masing negara meyakini identitas diri penting di dalam interaksi interpersonal untuk melakukan negosiasi dalam budaya yang berbeda. Setiap individu menyadari betul bahwa “muka” meminjam istilah Toomey dalam teorinya. “Muka” yakni metafora bagi citra publik yang ditampilkan oleh setiap individu. Untuk menjaga citra tersebut, tidak heran apabila hampir semua orang dibelahan dunia mencoba untuk menyelamatkan muka atau face saving, yaitu upaya untuk mencegah terjadinya kerentanan atau merusak citra seseorang. Dimensi pola budaya individualisme dan kolektivisme, keduanya rentan terjadi kehilangan “muka”. Contoh tindakan yang mengancam, dan akan mempengaruhi citra yaitu kasus konik antara Kubu Merah Putih dan Indonesia Hebat. Kedua-duanya mengklaim benar. Berbicara dihadapan publik bahwa yang mereka lakukan adalah untuk kepentingan rakyat. Tindakan ini sebagai contoh “pemulihan muka” atau face restoration. Menurut Ting Toomey, orang berusaha untuk memulihkan muka dalam respons akan suatu peristiwa. Identitas sosial yang dibangun melalui pendekatan “muka” sangat berkaitan dengan persepsi, karena dalam proses identitas sosial peran persepsi sangat penting. Keterikatan individu dalam suatu kelompok secara tidak langsung akan mempengaruhi persepsinya terhadap kelompok sendiri dan kelompok lain atau dikenal. Menurut Tajfel dan Turner (2008:159) manusia mempunyai kecenderungan untuk membuat kategorisasi sosial atau mengklasifikasikan individuindividu dalam kategori-kategori atau kelompok-kelompok sosial tertentu. Pada umumnya individu-individu membagi dunia sosial ke dalam dua kategori yang berbeda yakni “kita” dan “mereka”. “kita” adalah ingroup sedangkan out-group adalah mereka. Ketika terjadi persaingan antar dua kelompok, maka kelompok lain sebagai out-group
disepsepsikan sebagai musuh atau yang mengancam. Banyaknya kategori yang menyusun identitas sosial terkait dengan dunia interpersonal. Mereka mengindikasikan sejauh mana kita serupa dan tidak serupa dengan orang lain disekitar kita. Ketika konteks sosial seseorang berubah, membangun sebuah identitas baru dapat menjadi sumber stres yang besar. Individu mengatasi stres tersebut dengan berbagai cara yang berbeda. Dalam banyak kasus, setiap kelompok berusaha untuk menjadikan anggotanya memiliki identitas sosial yang kuat dan inheren terhadap kelompoknya. . Ketika seseorang telah memiliki identitas yang kuat terhadap kelompokya, maka secara psikologis, ia akat sangat terikat dan pada akhirnya aka melahirkan solidaritas dan komitmen terhadap kelompok. Hal senada juga disampaiikan oleh Vugt dan Hart, yang menyatakan bahwa identitias sosial akan mempengaruhi loyatis dan intergrias anggota kelompok. Beberapa kasus menunjukan bahwa solidaritas terhadap kelompoknya terkadang membawa individu ke arah perilaku yang melanggar norma-norma. Demikian pula Indonesia, sebagai negara Asia, memiliki banyak kesamaan dengan China. Indonesia dalam menerapkan pola budayanya kecenderungan memilih dimensi kolektivitas dan masih mempertimbangan identitas individu terkait dengan gender dan kelas sosial. Misalnya, dimensi gender, hampir semua aspek usaha dan industri swasta maupun pemerintah masih dikuasai oleh kelompok laki-laki. Selain karena faktor demografis agama dan etika ketimuran, Indonesia memang masih sangat kental memandang kelompok laki-laki lebih kuat dan hebat dibandingkan kelompok perumpuan. hal ini yang sering kali mengundang kecemburuan sosial di pemerintahan Indonesia, karena keterwakilan perempuan masih dinilai kurang. Misalkan kasus demonstrasi antar pendukung Prabowo dan Jokowi beberapa waktu lalu. Menurut Hogg dan Abram identitas sosial sebagai rasa keterikatan, peduli, bangga dapat berasal dari pengetahuan seseorang dalam berbagai kategori keanggotaan sosial dengan anggota yang lain, bahkan tanpa perlu memiliki hubungan personal yang dekat. Secara psikologis, identitas kelompok berpengaruh
Dasrun Hidayat. Social and Cultural Identity Pendekatan Face .... 123 terhadap perilaku anggotanya. Ada rasa kebanggaan dan perasaan senang dengan identitas yang dimilikinya. Identitas sosial yang yang tinggi nantinya bisa melahirkan sikap konformitas terhadap kelompok yang didasari pula oleh konsep kolektivitas tinggi. Identitas Budaya Jerman-China dan Indonesia: Perspective Public Relations Multikulturalism. Artikel bertajuk The Cultural Tribes of Public Relations, Leichty (2003: 278) menjelaskan bahwa Public Relations (PR) tidak hanya memberikan kontribusi untuk wacana budaya organisasi akan tetapi juga merupakan bagian dari sebuah kontes budaya yang sedang berlangsung di masyarakat. Public Relations adalah bidang multikultural yang memerlukan sebuah kompetisi yang sedang berlangsung dan kerjasama antar jumlah orang berbeda budaya. Leichty (2003:278) melalui artikel yang dipublikasikan di jurnal international Public Relations, memperkaya teori budaya bahwa budaya sebagai konstruksi sosial dari realitas beroperasi dalam batas ketentuan (Douglas, 1996). Hanya ada lima faktor pendukung terjadi persaingan budaya; hanya fatalisme, egalitarianisme, hirarki, individualisme, dan individualisme kompetitif cukup koheren untuk mencapai kelangsungan hidup jangka panjang (Thompson et al., 1990). Struktur topik adalah tema umum yang dapat digunakan untuk mengembangkan argumen persuasif dilakukan pada banyak topik. Sebuah topik budaya adalah argumen sistematik yang memperkuat pola hubungan sosial (Leichty & Warner, 2001). Kent dan Taylor (2003) dalam bukunya Public Relations in Global Culutueal Contexs tentang “How intercultural communication theory inform Public Relations practice in global setting” menjelaskan bahwa membangun hubungan adalah tujuan utama komunikasi Public Relations. Membangun hubungan sangat penting memperhatikan faktor budaya karena budaya sifatnya sangat cair sehingga diperlakukan secara dinamis. Kent dan Taylor menyebut Public Relations Budaya sebagai strategi Public Relations dalam membangun hubungan dengan memperhitungakan budaya sehingga Public Relations Budaya disebut pula kegiatan atau aktivitas Public Relations berbasis budaya dengan tujuan yang sama yakni pencitraan dan membangun hubungan internal maupun eksternal. Public Relations Budaya lebih luas dalam kajiannya, mencakup semua tatanan nilai, tidak dibatasi
oleh etnis atau ras. Sedangkan Public Relations Mulitikultur mengkaji citra publik berdasarkan konteks multikultur atau keragaman budaya itu hadir karena adanya perbedaan etnis atau ras. Parekh dalam bukunya Rethinking Multiculturalism (2008:17) menjelaskan bahwa istilah masyarakat multikultural dan multikulturalisme pada umumnya dipergunakan untuk merujuk pada satu masyarakat yang menunjukkan ketiga keanekaragaman yaitu subkultural, keaneka ragaman perspektif dan keanekaragman komunal. Seluruhnya serta keanekaragaman lainnya, satu yang menunjukkan dua terakhir yang lainnya, atau mengacu pada yang ditandai hanya oleh jenis keanekaragaman yang ketiga. Pada kajian ilmu komunikasi istilah Public Relations tidak begitu asing karena bahasan tentang Public Relations secara umum telah disampaikan pada awal perkulihan, terkcuali yang mengambil peminatan Public Relations. Keith Butterick dari Chartered Institute of Public Relations (CIPR) dalam Hidayat (2014:01) mendefinisikan bahwa Public Relations berbicara tentang reputasi hasil dari apa yang Anda lakukan, apa yang Anda katakan, dan apa yang orang lain katakan tentang Anda. Praktik Public Relations adalah disiplin ilmu yang bertugas menjaga reputasi dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman dan dukungan, serta memengaruhi opini dan perilaku. Kegiatan ini merupakan usaha yang terencana dan berkesinambungan untuk membangun dan mempertahankan niat baik dan saling pengertian antara kelompok, komunitas dengan masyarakat. Menurut Hidayat (2014:2) bidang kajian Public Relations disepakati sangat penting karena mati-hidupnya sebuah komunitas karena iklim hubungan yang dibangun. Istilah Ting Toomey, bahwa manajemen konik dapat dimediasi melalui budaya dan muka. Artinya, bahwa pencitraan publik terhadap seseorang atau etnis tertentu sangat diperlukan. Pada teknisnya, Public Relations bertanggung jawab dalam mengatur hubungan internal dan eksternal. Internal terkait dengan sistem yang ada di dalam organisasi masyarakat atau instansi formal maupun nonformal. Salah satu instansi nonformal adalah kelompok atau komunitas sosial. Komunitas dibangun karena adanya kesamaan sehingga membentuk budaya tersendiri.
124 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 115 - 126 hanya dibatasi pada instansi formal seperti perusahaan dan lembaga resmi pemerintahan. Akan tetapi, upaya membangun citra atau pencitraan justru diawali dari lingkungan masyarakat eksternal. Heath (2005:123) menjelaskan hubungan eksternal adalah ikatan Public Relations dengan masyarakat luas. Untuk itu, memperkenalkan identitas sosial juga merupakan bagian dari kegiatan PR. Apapun yang berkaitan dengan kepentingan umum, tentu saja merupakan wilayah kerja Public Relations dengan tujuan untuk pencitraan. Dengan demikian, setiap individu yang membawa identitas individu ke dalam identitas sosial berarti sedang melakukan fungsi Public Relations budaya yang dimilikinya. Fenomena identitas budaya Jerman, China dan Indonesia, merupakan upaya setiap individu untuk mengenalkan identitas budaya dalam lingkungan sosial. Jerman, berusaha untuk membangun citra dimasyarakat internal Jerman maupun masyarakat eksternal di luar Jerman, bahwa masyarakat Jerman memiliki kepintaran diatas rata-rata, mandiri dan semangat tinggi. Disamping menyampaikan nilai-nilai tentang kepedulian pemerintah Jerman terhadap pembentukan identitas sosial warga Jerman. Demikian pula China dan Indonesia, sebagai negara asia, keduanya memiliki banyak kesamaan. Sebagai negara yang menjunjung tinggi kolektivitas dan pola budaya high power distance atau pengaruh kekuasaan tinggi, mencoba memproklamirkan “muka” atau citra pada publik tentang identitas diri yaitu atribut pribadi individu. Terlepas adanya konik akibat pengaruh kekuasaan yang tinggi, seperti menilai kelompok perempuan sebagai kelompok nomor dua, namun dalam membangun identitas sosial, setiap individu mencoba untuk melakukan “pemulihan muka” atau face restoration setelah terjadi kehilangan muka. Misalnya, pencitraan terhadap kontroversi jumlah 30% keterwakilan perempuan di DPR. Terkadang untuk menyelamatkan “muka” setiap partai politik megklaim keterwakilan sudah terpenuhi, meskipun realitasnnya masih ada kekurangan dari setiap partai politik. Untuk menjaga “muka terhadap partai politik, masing-masing parpol “memasang” sederetan nama
artis perempuan. Semua upaya dilakukan untuk menjaga dan memulihkan citra ditengah konik dengan dimediasi oleh “muka” dan budaya. Masing-masing menginginkan “muka” positif, yakni keinginan untuk disukai dan dikagumi oleh orang lain. Proses interaksi sosial, memperkenalkan karakteristik budaya masing-masing adalah fungsi dari Public Relations Budaya, yaitu menyampaikan nilainilai yang dianut oleh setiap individu maupun kelompok sebagai cerminan budaya. Istilah Public Relations Budaya Budaya memang belum populer seperti Public Relations Corporate atau perusahaan, sehingga Public Relations sampai saat ini masih identik dan berkutat pada perusahaan. Beberapa jurnal Public Relations international, mengutip yang dimaksud Public Relations budaya adalah kajian tentang aktivitas masyarakat berlatar belakang budaya. Mengingat pentingnya hasil kajian tersebut, maka harus disampaikan kepada masyarakat luas. Public Relations budaya juga disebut sebagai kegiatan mengumpulkan, mengolah dan menyampaikan informasi berbasis budaya. Public Relations budaya dibentuk atas perilaku, sikap akan nilai-nilai, norma yang dianut oleh setiap individu yang dimediasi oleh budaya, sehingga memberikan cerminan terhadap identitas individu maupun identitas sosial. Penilaian terhadap identitas tersebut dibangun atas berbagai faktor terkait makna yang dibangun ditengah-tengah masyarakat atau kelompoknya. Proses pembentukan atau membangun makna tersebut adalah proses Public Relations Budaya. Secara sadar maupun tidak, apa yang dilakukan akan memberikan pencitraan kepada orang lain sebagai proses pembentukan atau menemukan identitas diri. Ting Toomey (2008:164) dalam teori mukanya atau Face Negotation Theory mempertegas bahwa setiap individu membutuhkann identitas diri dalam interaksi interpersonal untuk menegosiasikan identitas secara berbeda dalam budaya yang berbeda. Lebih lanjut Toomey menambahkan bahwa dalam proses negosiasi tersebut manajemen pesan dimediasi oleh muka dan budaya. “Muka” artinya citra publik yang ditampilkan. Jelas sudah bahwa Public Relations budaya adalah kegiatan Public Relations dalam konteks budaya sebagai faktor terbentuknya citra.Budaya, dalam artian yang luas adalah
Dasrun Hidayat. Social and Cultural Identity Pendekatan Face .... 125 tananan nilai yang terjadi dimasyarakat sehingga tidak dibatasi oleh institusi resmi seperti perusahaan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan Public Relations budaya adalah seluruh aktivitas setiap individu yang ditampilkan untuk mendaptkan pencitraan positif dari publik. Istilah dari Toomey yaitu “muka positif” yakni keinginan untuk disukai dan dikagumi oleh orang lain. Public Relations Budaya adalah kegiatan setiap individu yang merepresentasikan budaya yang dianutnya melalui sikap dan perilaku yang diperlihatkan. Public Relations Budaya membantu untuk membuat penjelasan tentang citra dan representasi dari setiap budaya yang ada di sekitar kita. Public Relations Budaya disebut pula sebagai Public Relations Multikulutur. Pembeda diantara keduanya terletak pada ruang lingkup kajian, jika Public Relations Budaya lebih membahas semua aspek tentang tanana nilai dimasyarakat dari aspek sesama etnis atau ras, namun memiliki kebiasaan yang berbeda. Sedangkan Public Relations Multikultur pendekatannya pada aspek keragaman etnis atau etnis di dalam suatu komunitas atau organisasi. Untuk itu, penelitian ini tepat disebut sebagai Public Relations Multikultur karena didasari oleh perbedaan antar etnis, ras, golongan dan negara meliputi Jerman, China dan Indonesia. Simpulan Identitas sosial merupakan hal yang pasti dimiliki oleh seseorang sejak Ia lahir hingga Ia meninggal. Identitas sosial Negara Asia, China dan Indonesia sangat ditentukan oleh identitas individual atau personal. Hubungan antara indentitas personal dengan identitas sosial sangat dekat, dalam artian identitas personal dapat menembus identitas sosial kelompok. Pengaruh kekuasaan dalam pola budaya asia sangat tinggi atau high power distance sehingga pengaruh kelompok terhadap individu sangat kuat. Bila kondisi kelompok tersebut mengalami suatu ketidakadilan maka rasa senasib dan sepenanggungan mengalahkan segalanya. Bila kondisi semacam itu terjadi, maka individu dalam kelompok akan cenderung patuh terhadap kelompok. Apa yang disuruh kelompok dilakukan. Walaupun hal itu
melanggar hukum. Dengan kata lain konformitas individu terhadap kelompok dapat berpotensi memunculkan perilaku agresif. Kondisi ini seperti digambarkan pada groupthink theory dari Irving Janis yakni gejala terjadi karena adanya konformitas tinggi mengalahkan kemampuan yang dimiliki. Demikian pula dengan identitas gender masih menjadi pola budaya asia yang menempatkan kelompok perempuan sebagai kelas ke dua setelah laki-laki. Mengatasi konik dimediasi “muka” dan budaya seperti yang dijelaskan Toomey dalam face negotation theory. Hubungan interpersonal maupun kelompok sangat diperhitungkan dalam identitas sosial China dan Indonesia. Lain halnya dengan Jerman, identitas sosial lebih dibangun secara mandiri, tanpa memperhitungkan orang lain. Demikian pula dengan identitas gender, diperlakukan sama antara laki-laki dengan perempuan. Termasuk status sosial ekonomi atau kelas sosial tidak mempengaruhi identitas sosial maupun identitas individu di Jerman. Warga Jerman, karena menganut low power distance sehingga faktor membangun hubungan dengan orang lain tidak terlalu ditonjolkan. Public Relations Multikultur sangat membantu dalam membangun hubungan melalui konteks perbedaan budaya atau antar budaya beda negara; etnis atau ras. Public Relations Multikultur sangat diperlukan bagi negara-negara yang masih menganut pola budaya individualisme maupun kolektivisme. Untuk itu, diharapkan pada kajian-kajian tentang budaya, tidak terkotakkotakan antara Public Relations Corporate dengan Public Relations Budaya maupun Public Relations Multikultur. Semuanya penting dalam pendekatan komunikasi sebagai alat, menjembatani bahkan menjadi solusi untuk mencapai drajat harmonisasi hubungan. Daftar Pustaka Denzin, Lincoln. (2012). Hand Book of Qualitative. Yogjakarta: Pustaka Pelajar Heath, Robert. (2005). Encyclopedian of Public Relations. London: A Sage Publication. Hidayat, Dasrun. (2014). Media Public Relations. Yogyakarta: Graha Ilmu.Kent, Michel. (2008). Public Relations in Global Contexs.USA: Sage
126 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 115 - 126 Robert A Baron, Donn Byrne. (2004). Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga. Samovar, Porter, McDaniel. (2010). Komunikasi Lintas Budaya; Communication Be t w e e n C u lu t r e s . J a k a r t a : Sa l e mb a Humanika.Turner, Weset. (2008). Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika.
Urgensi Pemahaman Etika Komunikasi Islami pada Mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam dalam Mengurangi Dampak Negatif Penggunaan Facebook Prima Ayu Rizqi Mahanani Dosen Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Jurusan Ushuluddin dan Ilmu Sosial STAIN. Kediri JL. Sunan Ampel, No. 7, 64127, No. Telp (0354) 686564 Abstract This study aims to see the urgency of understanding the ethics of Islamic communication in an effort to reduce the negative impact that hit Facebook where students of the State Islamic Institute (STAIN) Kediri. Because this situation is contrary to the vision STAIN Kediri who has committed a stabilization center aqidah, good morality, the development of science and a profession that is able to produce graduates who excel intellectually and morally, master of science and technology in order to create a good society. This study used a survey method. The result found that first, many students STAIN Kediri who has not shown good character when a user of Facebook. And secondly, Facebook is used by students STAIN Kediri to argue, in contempt, and a means of contention. An understanding of Islamic ethics of communication required by the students, in order to become the foundation for the user to access Facebook.
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melihat urgensi pemahaman etika komunikasi islami dalam upaya mengurangi dampak negatif keberadaan Facebook yang menerpa mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri. Karena keadaan ini bertolak belakang dengan visi STAIN Kediri yang memiliki komitmen sebagai pusat pemantapan aqidah, akhlaq karimah, pengembangan ilmu dan profesi yang mampu menghasilkan lulusan yang unggul secara intelektual dan moral, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka mewujudkan masyarakat yang khoiru ummah. Penelitian ini menggunakan metode survei. Hasilnya menemukan bahwa pertama, banyak mahasiswa STAIN Kediri yang belum menunjukkan akhlaqul karimahnya ketika menjadi pengguna Facebook. Dan kedua, Facebook digunakan oleh mahasiswa STAIN Kediri untuk berdebat, melakukan penghinaan, dan sarana pertengkaran. Pemahaman tentang etika komunikasi Islami diperlukan oleh mahasiswa, agar menjadi pondasi bagi user dalam mengakses Facebook. Kata kunci: etika komunikasi, mahasiswa, dampak negatif, facebook.
127
128 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 127 - 135 Pendahuluan Seorang pakar ilmu komunikasi massa, Marshall McLuhan pernah menyatakan bahwa dunia ini semakin berkembang ke arah global village, ke arah sebuah “kampung dunia”. Karena dunia yang dulunya dirasa luas ini semakin dirasa sekecil “kampung”, sebagai dampak kemajuan teknologi transportasi dan teknologi informasi komunikasi. Sebuah perkampungan global yang terintegrasi melalui komunikasi. Komunikasi media modern telah memberikan kesempatan kepada jutaan manusia di seluruh dunia saling berhubungan dengan nyaris seluruh tempat di muka bumi tanpa harus terbatasi lagi oleh ruang dan waktu, serta serempak juga memberi kesempatan untuk berinteraksi melalui media massa (Junaedi, 2007:12-13). Selain McLuhan, ada banyak pakar yang berpendapat bahwa modernisasi akan menciptakan atau setidak-tidaknya mengarah pada terciptanya suatu “budaya dunia” yang hampir seragam di mana-mana (Cahyani, 2003:3). Budaya dunia tersebut salah satunya adalah munculnya fenomena internet. Pemunculan internet ini sebagai akibat dari penggunaan komputer pribadi yang semakin banyak dan saling terhubung dalam sebuah jaringan komputer. Penemuan teknologi internet ini membawa dampak yang sangat besar bagi perkembangan dunia teknologi informasi komunikasi. Orang akan semakin mudah, murah, dan cepat memperoleh informasi tentang segala sesuatu yang akan, sedang, dan telah terjadi di sekitarnya bahkan di belahan dunia yang lain (Nugroho, 2008:4). Internet yang merupakan sebagian dari cyberspace menawarkan budaya baru kehidupan yang memungkinkan setiap orang untuk “menyelam” dalam dunia realitas tanpa batas yang lebih dari sekadar melihat gambar visual di dalamnya, melainkan lebih jauh merasakan pengalaman yang sangat kompleks dan “nyata” itu dengan sendirinya tanpa harus beranjak dari tempat duduk (Hadi, 2005:15). Internet adalah salah satu produk manusia yang kehadirannya telah membuat aktivitas lintas batas antarnegara dan penggunaan teknologi informasi dilakukan hampir dalam hitungan detik. Dan nampaknya, kehadiran internet tidak hanya melulu bicara tentang kecepatan dan kedekatan, namun juga telah menjungkirbalikkan cara berpikir dan
bertindak manusia. Ia memungkinkan setiap individu atau sekelompok kecil orang melakukan perubahan dalam skala global (Hidayat, 2009:1). Dari sebuah survei yang dilakukan oleh sebuah majalah pemasaran pada akhir tahun 2012, rata-rata pengguna internet mengakses internet selama tiga jam dalam sehari. Angka ini lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Ini juga tercermin pada mereka yang berusia anak-anak dan remaja. Seperti diketahui dewasa ini, balita dan usia sekolah, terutama mereka yang berasal dari keluarga kelas menengah, begitu akrab dengan media digital. Kelompok ini biasanya menggunakan internet rata-rata 1,5 jam hingga 3 jam sehari. Mereka begitu mudah menggunakan media digital untuk mengakses beragam informasi ataupun untuk sekedar mengunduh gambar maupun games kesayangannya. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang mulai berinteraksi dengan media sosial seperti Facebook. Ini yang bisa disebut sebagai generasi digital atau digital natives. Mereka lahir dan besar dengan “budaya” digital yang sudah sangat kuat (Nova, 2013:4). Facebook yang dengan mudah dapat diakses melalui internet ini merupakan situs pertemanan yang banyak dimanfaatkan oleh semua orang, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa, profesi tukang becak hingga presiden. Kesuksesan situs jejaring sosial ini bisa mengantarkan Barack Obama menjadi Presiden Amerika Serikat dalam menggalang simpati publik menyadarkan banyak orang bahwa jejaring sosial ala maya juga memiliki pengaruh yang tidak boleh dinomorduakan. Fenomena inilah yang mengilhami banyak politisi di tanah air untuk melakukan hal serupa. Tak heran mulai Pemilu 2009, para calon wakil rakyat banyak berkampanye ala Facebook. Para bakal calon presiden di Indonesia juga tidak mau ketinggalan. Hampir semuanya memanfaatkan jejaring yang sedang digandrungi banyak kalangan ini (Hidayat, 2009:26-27).Munculnya ide tulisan ini dilatarbelakangi fenomena yang terjadi di STAIN Kediri, di mana sebagian besar mahasiswa STAIN Kediri terjangkiti oleh virus media sosial. Dari hasil survey yang dilakukan penulis pada tahun 2013 lalu, diketahui mayoritas mahasiswa STAIN Kediri dari ketiga jurusan yang ada, yaitu Jurusan Ushuluddin dan Ilmu Sosial, Jurusan Tarbiyah, dan Jurusan Syariah menjatuhkan pilihannya pada Facebook yang tergolong media jejaring sosial atau
Prima Ayu Rizqi Mahanani, Urgensi Pemahaman Etika Komunikasi Islami .... 129 social media online. Seperti yang ditunjukkan dalam diagram batang di bawah ini:
Sumber: Data Primer Grafik 1. Media Sosial yang Dimanfaatkan Mahasiswa Jurusan Ushuluddin dan Ilmu Sosial
Sumber: Data Primer Grafik 2. Media Sosial yang Dimanfaatkan Mahasiswa Jurusan Tarbiyah
besar mahasiswa STAIN Kediri ketika bermedia sosial lebih memilih Facebook dibanding yang lainnya. Karena dengan Facebook mereka bisa berkenalan dengan teman-teman baru, menuangkan ide/gagasan, meluapkan kegalauan dan kesedihan/kekecewaan, curhat, menghibur diri, menghilangkan kejenuhan hingga ngisengin teman. Yang menjadi sorotan utama tulisan ini adalah mengkaji dampak negatif keberadaan Facebook yang menerpa mahasiswa STAIN Kediri. Karena keadaan ini bertolak belakang dengan visi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri yang memiliki komitmen sebagai pusat pemantapan aqidah, akhlaq karimah, pengembangan ilmu dan profesi yang mampu menghasilkan lulusan yang unggul secara intelektual dan moral, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka mewujudkan masyarakat yang khoiru ummah. Serta mempunyai tujuan yang salah satunya adalah menyiapkan sumber daya masyarakat yang memiliki kemantapan aqidah, kedalaman spiritual, keluasan ilmu pengetahuan agama Islam dan berakhlaqul karimah (STAIN, 2013:5-6). Sedangkan kenyataannya ditemukan banyak mahasiswa STAIN Kediri yang belum menunjukkan akhlaqul karimahnya ketika menjadi Facebooker. Pemahaman tentang etika komunikasi Islami oleh mahasiswa, setidaknya bisa menjadi pondasi bagi user dalam mengakses Facebook. Karena bila tidak direspon sejak awal, maka hal-hal negatif dari pemanfaatan Facebook akan terus muncul. Metode Penelitian
Sumber: Data Primer Grafik 3. Media Sosial yang Dimanfaatkan Mahasiswa Jurusan Syariah Deskripsi data tentang media sosial apa saja yang dimanfaatkan mahasiswa STAIN Kediri menunjukkan angka terbesar pada interaksi dengan Facebook sebanyak 361 orang. Angka tersebut menjelaskan bahwa sebagian
Penelitian ini menggunakan desain kuantitatif survei. Populasi penelitian adalah mahasiswa STAIN Kediri selanjutnya diambil sampel dari tiga jurusan yaitu, jurusan ushuludin dan ilmu sosial, jurusan tarbiyah, dan jurusan syariah. Pengumpulan data primer untuk penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kuisioner yang di bagi dalam tiga bagian yaitu: bagian pertama berisikan tentang alasan mahasisa menggunakan Facebook. Bagian kedua, berisikan tentang tujuan mahasiswa menggunakan Facebook. dan bagian ketiga, berisikan perbuatan negatif yang dilakukan mahasiswa dalam menggunakan Facebook.
130 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 127 - 135 Hasil Penelitian dan Pembahasan Fenomena Facebook di STAIN Kediri Di zaman modern dan serba canggih ini, siapa yang tidak mengenal Facebook? Tentunya hampir semua orang sudah familiar dengan Facebook. Dunia memang sudah terjangkiti virus Facebook yang juga melanda Indonesia sejak tahun 2009. Website ini diluncurkan oleh Mark Elliot Zuckerberg pada Februari 2004. Facebook merupakan penyempurnaan dari facemash. Facebook adalah suatu alat sosial untuk membantu orang berkomunikasi lebih efisien dengan teman lama, keluarga, maupun orang-orang yang baru dikenal. Facebook menawarkan navigasi yang mudah bagi para penggunanya. Setiap pemilik account dapat menampilkan foto dan melakukan hal lainnya seperti bisa berkirim pesan dan lain sebagainya. Banyaknya aplikasi yang bisa digunakan oleh anggotanya membuat Facebook digandrungi banyak orang. Konon hingga saat ini sudah lebih dari 20.000 aplikasi dimasukkan ke dalam Facebook yang bisa digunakan para anggotanya. Setidaknya ada 140 aplikasi baru ditambahkan ke Facebook setiap harinya dan 95% pemilik account Facebook telah menggunakan minimal satu aplikasi. Mulai dari permainan, simulasi saham, hewan peliharaan virtual, dan masih banyak lagi (Nurudin, 2012:68). Facebook menggunakan bahasa pemrograman Ajax yang bisa membuat kita menjelajahi Facebook lebih nyaman. Facebook memiliki jumlah pengguna yang besar dan beragam dengan segmen terbesar dari orang muda. Facebook sangat cocok bagi Anda yang ingin mencari teman dan ingin berbagi dengan teman-teman Anda. Anda dapat mengetahui apakah teman Anda ada yang sedang online di Facebook saat Anda juga sedang membuka Facebook. Anda dapat langsung chat di Facebook dengan teman Anda yang sedang online. Pengguna Facebook lebih banyak menggunakan nama asli mereka. Hal ini mempermudah Anda dalam mencari seseorang teman baik pada awal atau pada saat mereka sudah berada di daftar teman Anda. Pencarian orang lewat list publik Facebook menyediakan keterangan nama, foto profil, dan beberapa teman yang dimilikinya. Hal ini dapat dilakukan ketika orang tersebut mengizinkan profilnya dapat dicari lewat mesin pencarian eksternal seperti Google atau melalui Facebook sendiri. , Anda
Dengan begini Anda dapat mengetahui apakah orang tersebut bergabung di Facebook atau tidak (Hardianto, 2009:22-23). Facebook menyediakan fitur gabungan antara aplikasi social networking, chatting, blogging, multimedia, photo sharing dan bahkan email. Dengan satu akun Facebook, kita bisa melakukan beragam aplikasi tersebut. Facebook memudahkan pengguna mencari teman tanpa harus mengetahui nama belakang dan email teman tersebut. Untuk segi keamanan, tidak sembarang orang bisa melihat profil orang lain di Facebook. Anda bisa menentukan sendiri siapa-siapa saja yang akan bisa menjadi teman dan melihatlihat diri anda di profil. Di Facebook semua anggota bisa berkomunikasi dengan orang lain yang benar-benar dikenal atau diinginkan (Hidayat, 2009:22-23). Jutaan pengguna dengan beragam latar belakang pendidikan, profesi, pekerjaan, kasta dan banyak lagi yang lain akan bisa ditemukan di Facebook. Dari orang kebanyakan, pengusaha papan bawah dan atas, birokrat, sampai kalangan paling elit pun bisa ditemukan di sisni. Mereka bisa saling bertemu secara virtual dan membentuk kekerabatan atau komunitas baru sesuai dengan maksud dan tujuan yang diinginkan. Di sini, pengguna bebas menggunakan Facebook untuk alasan apapun. Mulai dari remeh temeh sampai soal yang sangat serius, iseng, bercanda, mencari teman satu kampung, mencari soulmate, memajang hasil karya, bisnis, dan lain-lain (Hidayat, 2009:25). Tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di STAIN Kediri, mahasiswa menggunakan Facebook dengan berbagai macam alasan dan tujuan. Seperti yang digambarkan dalam diagram batang berikut ini:
Sumber: Data Primer Grafik 4. Alasan Mahasiswa Jurusan Ushuluddin dan Ilmu Sosial Memanfaatkan Facebook
Prima Ayu Rizqi Mahanani, Urgensi Pemahaman Etika Komunikasi Islami .... 131
Sumber: Data Primer Grafik 6. Alasan Mahasiswa Jurusan Syariah Memanfaatkan Facebook Deskripsi data tentang alasan mahasiswa STAIN Kediri memanfaatkan Facebook tersebut menunjukkan angka terbesar pada alasan ingin tahu/penasaran sebanyak 147 orang, peringkat kedua pada alasan kepentingan pribadi sebanyak 113 orang dan peringkat ketiga pada alasan sedang trennya sebesar 44 orang. Sedangkan maksud/tujuan mereka setiap kali akan mengakses Facebook dapat dilihat pada diagram batang di bawah ini:
Sumber: Data Primer Grafik 9. Tujuan Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Memanfaatkan Facebook Deskripsi data tentang tujuan mahasiswa STAIN Kediri memanfaatkan Facebook menunjukkan angka terbesar sebanyak 197 orang pada tujuan ingin mendapatkan informasi/berita, peringkat kedua pada tujuan untuk berbagi infomasi sebanyak 117 orang, dan peringkat ketiga pada tujuan karena iseng saja sebesar 37 orang. Dapat disimpulkan bahwa fenomena Facebook di kalangan mahasiswa STAIN Kediri melahirkan beragam motivasi dalam memanfaatkannya. Diantaranya adalah karena ingin tahu/penasaran, kepentingan pribadi, sedang trennya, ingin mendapatkan informasi/berita, berbagi infomasi, dan iseng saja. Dampak Negatif Penggunaan Facebook
Sumber: Data Primer Grafik 7. Tujuan Mahasiswa Jurusan Ushuluddin dan Ilmu Sosial Memanfaatkan Facebook
Sumber: Data Primer Grafik 8. Tujuan Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Memanfaatkan Facebook
Facebook memang memiliki banyak manfaat bagi penggunanya. Meskipun begitu, Facebook juga memiliki efek negatif jika tidak digunakan sebagimana mestinya baik oleh si pengguna sendiri atau karena perbuatan iseng orang lain. Fenomena ini menunjukkan bahwa Facebook memiliki kekuatan sosial yang mempengaruhi mahasiswa STAIN Kediri untuk menggunakannya. Karena melalui media ini kita bisa mempengaruhi pemikiran, pengetahuan, pendapat/opini, sikap, perasaan, dan perilaku orang lain. Dampak dari munculnya Facebook telah mengubah cara berkomunikasi manusia. Frekuensi pertemuan langsung (face to face) jarang dilakukan. Komunikasi dengan teman, keluarga, kerabat, banyak berkurang secara langsung. Lebih mengandalkan jejaring sosial tersebut. Perubahan aktivitas individu bisa dilihat dari banyaknya orang yang mampu
132 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 127 - 135 menghabiskan hari-harinya dengan Facebook. Tak terkecuali update status dan saling comment di status sendiri maupun di status orang lain. Para penggiat Facebook tidak saja berubah tetapi juga terkadang melupakan kehidupan nyata, orang-orang di sekelilingnya pun diabaikan. Ia menyadari, Facebook di dunia maya lebih menarik dari kehidupan nyata. User mampu berkomunikasi dengan satu orang atau lebih tanpa terbatasi ruang dan waktu. Kecepatan inilah yang dimanfaatkan oleh beberapa orang yang memang kecanduan pada Facebook. Informasi sampah sering kali muncul dalam status Facebook seseorang. Misalnya status yang isinya marah-marah, mendendam, misuh (kata tidak pantas), atau menjelek-jelekan pihak lain (Nurudin, 2012:96-113). Fenomena yang terjadi di STAIN Kediri juga menunjukkan hal yang tidak jauh berbeda. Seperti yang digambarkan dalam diagram batang berikut ini:
Sumber: Data Primer Grafik 10. Perbuatan Negatif yang Dilakukan Mahasiswa Jurusan Ushuluddin dan Ilmu Sosial ketika Menggunakan Facebook
Sumber: Data Primer Grafik 12. Perbuatan Negatif yang Dilakukan Mahasiswa Jurusan Syariah ketika Menggunakan Facebook Deskripsi data tentang perbuatan negatif yang pernah dilakukan mahasiswa STAIN Kediri ketika menggunakan Facebook menunjukkan angka terbesar sebanyak 172 orang pada kegiatan berdebat, peringkat kedua pada perbuatan menghina sebanyak 58 orang, dan peringkat ketiga pada perbuatan bertengkar sebanyak 47 orang. Sedangkan berbohong sebanyak 38 orang menduduki peringkat keempat dan misuh (mengumpat) menduduki peringkat kelima sebanyak 33 orang. Perbuatan negatif lainnya yaitu aksi pornografi (6 orang), pencemaran nama baik (3 orang), dan selingkuh (1 orang). Facebook digunakan untuk iseng namun juga memicu perdebatan yang tidak jelas arahnya, digunakan sebagai ajang pornoaksi dan pornografi dengan mengunggah fotofoto “syur”. Digunakan untuk menghina dengan cara pemilik akun meng-update status ejekan untuk orang yang tidak disukainya. Digunakan untuk menunjukkan kenarsisan yang kebablasan seperti foto selfie tanpa menggunakan hijab. Digunakan untuk mengomentari suatu permasalahan sehingga mengundang pemilik Facebook lainnya untuk ikut berkomentar dan menyindir yang tidak ada bedanya dengan makna ghibah (menggosip). Serta digunakan untuk mencari selingkuhan dan menyalurkan hasrat seksual. Konsep Etika dalam Komunikasi Islami
Sumber: Data Primer Grafik 11. Perbuatan Negatif yang Dilakukan Mahasiswa Jurusan Tarbiyah ketika Menggunakan Facebook
Teori komunikasi menurut ajaran Islam selalu terikat kepada perintah dan larangan Allah swt atau Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad saw. Pada dasarnya agama sebagai kaidah dan sebagai perilaku adalah pesan (informasi) kepada warga masyarakat agar berperilaku sesuai dengan perintah dan larangan Tuhan. Dengan kata lain komunikasi menurut ajaran
Prima Ayu Rizqi Mahanani, Urgensi Pemahaman Etika Komunikasi Islami .... 133 agama sangat memuliakan etika yang dibarengi sanksi akhirat (Muis, 2001:5-9). Dalam Alquran juga kita temui tuntunan yang cukup bagus dalam etika komunikasi ini. Beberapa istilah yang ditemui adalah qawlan ma'rufan, qawlan sadidan, qawlan balighan, qawlan kariman, qawlan maisuran, dan qawlan laynan (Amir, 1999:85-96). Jadi peran komunikator Islami dalam memanfaatkan Facebook haruslah berpegang teguh pada prinsip berikut ini: 1. Q a w l a n s a d i d a n , y a i t u p r i n s i p kejujuran untuk mengatakan kebenaran sesuai fakta, akurasi, objektif, dan tidak manipulatif yang membohongi khalayak. 2. Qawlan balighan, yaitu prinsip kesesuaian pesan dengan kebutuhan khalayak dan dapat menyentuh kalbu/berbekas pada jiwa untuk mendekatkan diri kepadaNya. 3. Qawlan maysuran, yaitu menyajikan tayangan-tayangan yang sesuai/pantas dengan aqidah Islam. 4. Qawlan layyinan, yaitu prinsip berkata-kata yang lemah lembut, tidak provokatif, tidak menjatuhkan martabat orang lain. 5. Q a w l a n k a r i m a n , y a i t u p r i n s i p menjalin relasi yang baik dan membangun tata krama. 6. Qawlan ma'rufan, yaitu prinsip mensosialisasikan dan mengajak kepada kebaikan. Dapat disimpulkan bahwa dalam Islam sendiri sebenarnya mempunyai konsep terbaik yang bersumber dari Alquran yang dapat memandu kita untuk sukses dalam pergaulan sehari-hari, baik di kehidupan nyata maupun di dunia maya. Pergaulan dengan teman sangat banyak mengandalkan akhlak mulia. Karena dengan akhlak mulia pergaulan akan langgeng, hati saling bertaut dan segala ganjalan di dalam dada akan sirna (Syalhub, 2009:200). Beruntung sekali orang yang dikaruniai akhlak mulia oleh Allah. Karena setiap orang yang memilikinya pasti harum namanya dan tinggi martabatnya di mata manusia. Akhlak mulia ialah bermanis muka, siap menanggung derita, menahan amarah, dan hal-hal terpuji lainnya (Syalhub, 2009:198). Dengan berpedoman pada prinsip etika komunikasi Islami maka diharapkan
mahasiswa STAIN Kediri bisa memperbaiki dirinya untuk menjadi manusia yang sebaikbaiknya dan memberikan kemanfaatan bagi sekitarnya dengan mencontoh Nabi Muhammad saw yang merupakan manusia terbaik akhlaknya. Urgensi Etika Komunikasi Islami Pada Lembaga Pendidikan Secara komprehensif, kata “etika” dapat dimaknai dalam arti nilai-nilai dan normanorma moral yang menjadi pegangan moral bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, “etika” juga dapat diartikan sebagai kumpulan asas atau nilai moral, yang sering disebut sebagai kode etik. Ketiga, kata “etika” dapat berarti pula sebagai ilmu yang mempelajari mengenai hal yang baik dan buruk di masyarakat. Etika di sini dipahami sebagai moral (Junaedi, 2007:110-111). Menurut Profesor Fazlur Rahman, ajaran moral inilah yang merupakan inti daripada ajaran Alquran (Azizy, 2003: 9). Suparman Syukur menjelaskan secara terminologi, etika adalah ilmu normatif penuntun manusia, yang memberi perintah bagi manusia apa yang harus dikerjakan dalam batas-batas sebagai manusia. Itu menujukkan bahwa manusia harus memahami dengan siapa dan apa yang sebaiknya dilakukan. Maka, etika diarahkan menuju perkembangan manusia dan mengarahkannya menuju aktualisasi kapasitas terbaik. Jadi, etika adalah suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral (Amin, 2009:4-5). Untuk terwujudnya realitas masyarakat kita dengan perilaku moralitas, yang tidak dapat kita lupakan adalah lembaga pendidikan kita, sekolah/madrasah. Pendidikan adalah investasi masa depan bangsa (social investment), termasuk investasi untuk menancapkan perilaku sosial yang penuh dengan praktek etika. Oleh karena itu, lewat sekolah/madrasah, anak-anak kita dididik sekaligus dibiasakan untuk berperilaku yang etis dan menjunjung tinggi etika sosial di negara tercinta Indonesia. Bagi masyarakat beragama, yang terbaik adalah menjalankan nilai-nilai etika bersumber dari ajaran agama. Dengan demikian, bagi umat Islam akan menerima konsekuensi (reward) ganda di dunia dan di akhirat. Nilai-nilai etika dari praktek individual sampai dengan praktek sosial hendaknya dijalankan
134 Jurnal ASPIKOM, Volume 2, Nomor 2, Januari 2014, hlm. 127 - 135 dengan sungguh-sungguh sekaligus berniat untuk menjalankan ajaran agama kita, sehingga mempunyai konsekuensi di dunia dan akhirat (Azizy, 2003:86). Untuk konteks masalah dalam tulisan ini yang mengambil contoh kasus di STAIN Kediri, tentunya untuk mengurangi dampak negatif dari penggunaan Facebook diperlukan komitmen dan tekad yang sungguh-sungguh dari semua civitas akademika STAIN Kediri. Untuk mewujudkan pemahaman etika komunikasi Islami, dapat dilakukan dengan cara memasukkan materi tersebut ke dalam mata kuliah, misalnya adalah mata kuliah aplikasi komputer yang wajib di program oleh mahasiswa tingkat pertama di semester satu. Sesuai dengan pendapat Dr. A. Qodri A. Azizy, MA yang pada intinya meminta kita untuk kembali pada ajaran agama, sehingga mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang baik dan selamat di dunia dan akhirat. Perbuatan-perbuatan yang tercela haruslah dihindari, terlebih lagi perbuatan yang akan merugikan orang lain apalagi masyarakat umum. Pada dasarnya Allah swt telah menjamin kebaikan masyarakat dengan Alquran, namun jika kita tidak mau mengikutinya jelas kerusakan yang akan terjadi. Disinilah peran lembaga untuk berusaha merealisasikan semua itu dengan segala metode, pendekatan, dan cara sampai dengan evaluasinya (Azizy, 2003:105). Apalagi STAIN adalah perguruan tinggi Islam yang harus ikut bertanggung jawab terhadap kondisi akhlak mahasiswanya yang mengalami krisis moral. Dengan diajarkannya materi etika komunikasi Islami setidaknya bisa membentengi mental mahasiswa untuk tidak tenggelam semakin dalam pada perbuatanperbuatan negatif dan mahasiswa mengetahui adanya tuntunan Islami dalam berkomunikasi. Sehingga etika komunikasi Islami ini tidak sekedar menjadi wacana saja tapi bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Simpulan Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi pada era globalisasi ini dikhawatirkan akan terjadi pergeseran nilainilai moral bangsa Indonesia. Keberadaan Facebook yang tidak bisa kita tolak kehadirannya, mewajibkan kita untuk bisa memfilternya sendiri. Sudah menjadi kewajiban kita semua untuk kritis memaknai
Facebook dan jangan malah terhanyut dalam hiruk pikuknya hingga melupakan jati diri kita sebagai manusia atau acuh terhadap dampak negatif yang ditimbulkannya. Karena di tangan yang salah, Facebook dapat digunakan untuk kejahatan seperti pelecehan seksual, traficking, prostitusi, transaksi narkoba, penipuan, dan tindakan kriminal lainnya. Agar tidak semakin besar dampaknya maka perlu dicarikan solusinya dengan kembali kepada Al-quran dan sunnah agar tidak semakin parah akibat yang terjadi dengan adanya Facebook ini. Karena para user tentunya memberikan makna yang berbedabeda ketika berinteraksi dan berkomunikasi melalui media jejaring sosial ini. Sehingga penting untuk memberikan pemahaman materi etika komunikasi Islami pada mahasiswa STAIN Kediri pada saat mengikuti kuliah aplikasi komputer misalnya. Dengan maksud bisa menjadi rambu-rambu mereka ketika mengakases Facebook. Jangan malah semakin meninabobokan, sehingga harus tetap sadar, mempunyai kontrol diri dan tidak terlena. Daftar Pustaka Amir, M. Ag., Drs. H. Mafri. (1999). Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Amin, M. Ag., Prof. Dr. Muhammadiyah. (2009). Moral dan Etika Kepemimpinan Nasional. Gorontalo: IAIN Sultan Amai. Azizy, MA., Dr. A. Qodri A, (2003) Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial. Semarang: Aneka Ilmu. Buku Pedoman Akademik Program Strata 1 Tahun 2013-2014 STAIN Kediri. Cahyani, Alois A. Nugroho dan Ati. (2003) Multikulturalisme dalam Bisnis. Jakarta: Grasindo. Hadi, Astar . Matinya Dunia Cyberspace. (2005). Yogyakarta: LkiS. Hardianto, Arif. Berteman dan berbisnis dengan Facebook dan Blog. (2009) Yogyakarta: Tugu Publisher. Hidayat, Taufik. Lebih Dekat dengan Facebook. (2009) Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Junaedi, Fajar. Komunikasi Massa Pengantar Teoritis. (2007) Yogyakarta: Penerbit Santusta.
Prima Ayu Rizqi Mahanani, Urgensi Pemahaman Etika Komunikasi Islami .... 135 Muis S.H., Prof. Dr. Andi Abdul. Komunikasi Islami. (2001) Bandung: Remaja Rosdakarya. Nurudin. Media Sosial Baru dan Munculnya Revolusi Proses Komunikasi. (2012) Yogyakarta: Buku Litera. Nugroho, W. 3-2-1 Proteksi Gratis Saat Anak Ber-Internet. (2008) Jakarta: Prestasi Pustaka. Nova, Tabloid. (2013) Edisi Januari, Jakarta.
PETUNJUK BAGI (CALON) PENULIS JURNAL ILMU KOMUNIKASI ASPIKOM
1. 2.
3.
4.
5. 6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Artikel yang ditulis untuk JURNAL Ilmu Komunikasi ASPIKOM meliputi artikel hasil penelitian dan artikel konseptual (hasil telaah atau pemikiran) di bidang komunikasi. Artikel ditulis dengan Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. Naskah diketik dengan program Microsoft Word, huruf Times New Roman ukuran 12 pts, spasi ganda, marjin standar (batas kiri dan batas bawah 4 cm, sedangkan batas kanan dan batas atas 3 cm), dicetak pada kertas A4 dengan panjang 20-30 halaman. Sistematika artikel hasil penelitian adalah judul, nama penulis (disertai alamat institusi, nomor telepon, dan alamat e-mail), abstract, abstrak (disertai kata kunci), pendahuluan, metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, simpulan, dan daftar pustaka. Sistematika artikel konseptual adalah judul, nama penulis (disertai alamat institusi, telepon, dan alamat e-mail), abstrak (disertai kata kunci), pendahuluan, pembahasan ( berisi sub-judul-sub-judul (sesuai kebutuhan), penutup, dan daftar pustaka. Judul artikel dalam Bahasa Indonesia tidak lebih dari 12 kata, sedangkan dalam Bahasa Inggris tidak lebih dari 10 kata. Judul ditulis rata tengah, dengan ukuran huruf 16 pts. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik, disertai nama dan alamat lembaga asal, serta ditempatkan di bawah judul artikel. Dalam hal naskah ditulis oleh tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis utama harus mencantumkan alamat e-mail. Abstrak dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris). Panjang masing-masing abstrak 75-200 kata, disertai kata kunci sejumlah 3-5 kata. Abstrak minimal berisi masalah, tujuan, metode, konsep, dan hasil penelitian dan pembahasan. Bagian pendahuluan untuk artikel hasil penelitian berisi latar belakang, konteks penelitian, hasil kajian pustaka, dan tujuan penelitian. Bagian pendahuluan untuk artikel konseptual berisi paparan acuan konteks permasalahan berisi hal-hal menarik (kontroversial, belum tuntas, dan perkembangan baru) dan rumusan singkat hal-hal pokok yang akan dibahas. Seluruh bagian pendahuluan dipaparkan secara terintegrasi dalam bentuk paragraf-paragraf, dengan panjang 15-20% dari total panjang artikel. Bagian pendahuluan tidak perlu diberi sub-judul pendahuluan. Bagian metode berisi paparan dalam bentuk paragraf tentang rancangan penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, dan analisis data yang secara nyata dilakukan peneliti, dengan panjang 10-15% dari total panjang artikel. Bagian hasil penelitian berisi paparan hasil analisis yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian. Pembahasan berisi pemaknaan hasil dan pembandingan dengan teori dan/atau hasil penelitian sejenis. Panjang paparan hasil dan pembahasan 40-60% dari panjang artikel. Bagian inti atau pembahasan untuk artikel konseptual berisi paparan telaah atau pemikiran penulis yang bersifat analitis, argumentatif, logis, dan kritis. Paparan pembahasan memuat pendirian atau sikap penulis atas masalah yang dikupas. Panjang paparan bagian inti atau pembahasan 60-80% dari panjang artikel. Bagian simpulan berisi temuan penelitian yang berupa jawaban atas pertanyaan penelitian atau berupa intisari hasil pembahasan. Simpulan disajikan dalam bentuk paragraf. Panjang paparan bagian simpulan 5-10% dari panjang artikel. Bagian penutup berisi simpulan, penegasan pendirian atau sikap penulis, dan saran-saran. Penutup disajikan dalam bentuk paragraf. Panjang paparan penutup 10-15% dari panjang artikel.
136
14. Daftar rujukan hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk di dalam artikel, dan semua sumber yang dirujuk harus tercantum dalam daftar rujukan. Sumber rujukan minimal 80% berupa pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan yang digunakan adalah sumbersumber primer berupa artikel-artikel penelitian dalam jurnal atau laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis, disertasi). Artikel yang dimuat di Jurnal Ilmu Komunikasi disarankan untuk digunakan sebagai rujukan. 15. Perujukan dan pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama akhir, tahun). Pencantuman sumber pada kutipan langsung hendaknya disertai keterangan tentang nomor halaman tempat asal kutipan. Contoh: Baran (2009: 45). 16. Daftar rujukan disusun dengan tata cara yang merujuk APA Style edisi ke 6 seperti contoh berikut ini dan diuraikan secara alfabetis dan kronologis.
Buku: Littlejohn, S. W. (1992). Theories of human communication (4th ed). Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company. Rogers, E. M., & Rekha, A. R. (1976). Communication in organizations. New York, NY: The Free Press Cunningham, S., & Turner, G. (Eds.). (2002). The media in Australia. Sydney, Australia: Allen & Unwin E-book: McRobbie, A. (1998). British fashion design: Rag rade or image industry? London: Routledge. Tersedia dari:
Artikel dalam buku kumpulan artikel: Darmawan, Josep J. (2007). Mengkaji ulang keniscayaan terhadap berita (televisi). Dalam Papilon H. Manurung (ed), Komunikasi dan kekuasaan (h. 60-95). Yogyakarta: FSK. Artikel Jurnal: Giroux, H. (2000). Public pedagogy as cultural politics: Stuart Hall and the “crisis” of culture. Cultural Studies, 14(2), 341-360. Makalah Konferensi: Jongeling, S. B. (1988, September). Student teachers’ preference for cooperative small group teaching. Paper presented at the 3rd Annual 13 Research Forum of the Western Australian Institute for Educational Research, Murdoch University, Murdoch, Western Australia. Artikel dalam internet: Massy, W. F., & Robert, Z. (1996). Using information technology to enhance academic productivity. Diperoleh dari (www.educom.edu/program.nlii/keydoces/massy.htm) Artikel Surat Kabar: Ispandriarno, L. (2008, Mei 12). Memantau bus hijau. Koran Tempo, hal. 4. Tulisan/berita dalam surat kabar tanpa pengarang: Memantau bus. (2008, Mei 12). Koran Tempo, hal. 4. 137
Dokumen resmi: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1978). Pedoman Penulisan Laporan Penelitian. Jakarta: Depdikbud. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (1990). Jakarta: PT Armas Duta Jaya. Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian: Perbawaningsih, Y. (1998). Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku terhadap teknologi komputer: Analisis perbandingan budaya teknologi antara akademisi perguruan tinggi negeri dan swasta, kasus di UGM dan UAJY. (Tesis tidak diterbitkan). Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia. Website: Arstechnica: The art of http://arstechnica.com/index.ars
technology.
(2008).
Tersedia
dari:
Blog: Jaquenod, G. (2008, December 1). Birdie’s etsy flights. [Web log post] http://www.giselejaquenod.com.ar/blog/ Film atau Video: Deeley, M., & York, B. (Producers), & Scott, R. (Director). (1984). Bladerunner [Motion picture]. United States: Warner Brothers
17. Tata cara penyajian kutipan, rujukan, tabel, dan gambar dapat dicontoh langsung dari artikel yang telah dimuat Jurnal Ilmu Komunikasi ASPIKOM edisi terakhir. Artikel berbahasa Indonesia menggunakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan istilah-istilah yang dibakukan oleh Pusat Bahasa. 18. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (reviewers) yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi) naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari atau penyunting. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis. Penulis yang artikelnya dimuat akan mendapat imbalan berupa nomor bukti pemuatan sebanyak dua eksemplar cetak lengkap, dan tiga eksemplar cetak lepas. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis. 19. Segala sesuatu yang menyangkut perizinan pengutipan atau penggunaan software komputer untuk pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggung jawab penuh penulis artikel. 20. Naskah diserahkan dalam bentuk print-out sebanyak 3 eksemplar beserta softcopynya paling lambat 2 bulan sebelum penerbitan kepada: Jurnal Ilmu Komunikasi ASPIKOM (d.a. Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jl. Babarsari No. 6, Yogyakarta 55281). Pengiriman naskah juga dapat dilakukan sebagai attachment e-mail ke alamat: [email protected].
138