2
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
Terbit Sejak 1993
P
ara pembaca yang budiman, kami sam paikan bahwa Bu Titiek Kismiyati kini tidak bertugas di Pusat Pengembangan Pustakawan lagi, akan tetapi telah beralih tugas ke unit kerja lain. Beliau dipromosikan menjadi Kepala Pusat Pengembangan Koleksi dan Pengolahan Bahan Pustaka, Perpusta kaanNasional RI, sehingga mulai edisi ini be liau tidak mengemban sebagai pengasuh buletin kita lagi. Walau pun demikian, kami tetap menjalin komunikasi, koordinasi dan berkonsultasi dengan beliau tentang materi maupun berbagai hal yang berkaitan dengan penerbitan buletin ini. Hal ini dilakukan agar tetap ada kesinambungan dalam mewujudkan visi dan misi buletin tercinta ini.Oleh karena itu, pembaca buletin yang setia tidak usah khawatir, marilah kita doakan agar karir beliau dapat lebih berkembang sehingga dapat menyumbangkan pemikiran dan karya di bidang kepustakawanan lainnya dengan lebih luas lagi, guna kemajuan bangsa dan tanah air Indonesia. Pembaca yang kami banggakan, gaung sertifikasi begitu menggema dan semarak diperbincangkan di kalangan profesio nal Indonesia, termasuk profesional perpustakaan (pustakawan). Fenomena ini sangat menggembirakan, karena telah tumbuh semangat akan perlunya pengakuan formal terhadap kompetensi pustakawan. Tentunya, kesempatan yang baik ini dapat diguna kan pemerintah dengan sebaik-baiknya guna mendukung tereali sasinya sertifikasi berbagai profesi di Indonesia. Akan tetapi, hal ini perlu diwaspadai pula, karena akan menjadi bumerang yang menyulitkan apabila para peminat sertifikasi ini dikecewakan. Padahal, ternyata banyak hal yang perlu dipersiapkan dan dilalui oleh para instansi teknis dan pembina guna terselenggaranya
5 13 19 23 32
sistem sertifikasi yang dapat merangkul berbagai kebutuhan pe mangku kepentingan, pengguna maupun pemegang sertifikat. Berkaitan dengan itu, pada nomor ini kami turunkan be berapa artikel yang berhubungan dengan sertifikasi pustakawan seperti dari: Blasius Sudarsono (Pustakawan Utama), Titiek Kis miyati (Kepala Pusat Pengembangan Koleksi dan Pengolahan Bahan Pustaka, Perpustakaan Nasional RI juga sebagai Sekretaris Tim Penyusun Standar Kompetensi Pustakawan) dan Ninis Agus tini Damayani (Pengajar Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung). Ketiganya merupakan makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional Perpustakaan yang bertema: Kompetensi dan Sertifikasi Pustakawan dalam Menghadapi Tantangan dan Persaingan Global, di Bogor pada tanggal 14 September 2011. Selain itu, dapat pula pembaca simak berbagai karya tu lis rekan pustakawan kita lainnya, seperti: Gaya Komunikasi Pustakawan Terhadap Pengguna Jasa Layanan Perpustakaan, dari Sri Endah Pertiwi; Kinerja Pustakawan dalam Mata Rantai Informasi di Perpustakaan (Suatu Studi Di PDII – LIPI), oleh: Ade Kohar; Digital Library: Penerapan Teknologi Informasi (TI) Di Perpustakaan, oleh: Lutriani; Learning Society Di Kampung Boss cha: Praktek Kepustakawanan Di Rw 10 Kampung BosschaDesa Lembang, Jawa Barat, dari Elyani Sulistialie,; Rekonstruksi Peran Pustakawan Indonesia: Persiapan Menghadapi Era Perpustakaan Digital, oleh: Salmubi; dan Startegi Pembinaan SDM Perpusta kaan: Pengintegerasian Manajemen Sumber Daya Manusia dan Pengembangan Organisasi, oleh: Hapsari Mundriani Sugeng. Itulah ragam artikel nomor edisi kali ini. Selamat berkarya men jelang tahun anggaran 2012, semoga keselamatan menyertai kita semua dan kesuksesan dapat diraih dengan gemilang. Amin. P Pemimpin Redaksi
Pustakawan dan Perpustakaan Dalam Menghadapi Tantangan di Era Global Oleh : Blasius Sudarsono
38
Digital Library : Penerapan Teknologi Informasi (Ti) di Perpustakaan Oleh : Lutriani
Kesiapan Sertifikasi Pustakawan Oleh : Titiek Kismiyati
45
Learning Society Di Kampung Bosscha: Praktek Kepustakawanan di Rw 10 Kampung Bosscha Desa Lembang, Jawa Barat Oleh : Elyani Sulistialie
Kompetensi dan Sertifikasi Pustakawan: Ditinjau dari Kesiapan Dunia Pendidikan Ilmu Perpustakaan Oleh : Ninis Agustini Damayani
50
Kinerja Pustakawan Dalam Mata Rantai Informasi di Perpustakaan (Suatu Studi di Pdii – Lipi) Oleh: Ade Kohar
56
Rekonstruksi Peran Pustakawan Indonesia: Persiapan Menghadapi Era Perpustakaan Digital Oleh : Salmubi
Gaya Komunikasi Pustakawan Terhadap Pengguna Jasa Layanan Perpustakaan Oleh : Sri Endah Pertiwi Startegi Pembinaan SDM Perpustakaan: Pengintegerasian Manajemen Sumber Daya Manusia dan Pengembangan Organisasi Oleh: Hapsari Mundriani Sugeng
BULETIN MEDIA PUSTAKAWAN Penasehat: Kepala Perpustakaan Nasional RI, Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan | Penanggungjawab: Kepala Pusat Pengembangan Pustakawan | Redaktur: Dra.Opong Sumiati, M.Si | Penyunting: Dra. Titiek Kismiyati, M.Hum., Dra.Opong Sumiati, M.Si, Drs. Nurcahyono,M.Si, Catur Wijiadi, S.Sos., Harjo, S.Sos., Novi Herawati, S.Sos., | Redaktur Pelaksana: Rohadi, S.Sos., Sri Sumiarsi, S.Sos., Sadarta, S.Sos. Akhmad Priangga, S.Sos. | Desain Grafis: Rudianto, S.Kom., Suhendar Agus Prabowo, S.Kom., | Sekretariat: Joko Sumarto, Ferico Hardiyanto, Ismawati, Dede Sumarti, Sutarti, Istilah Daerah, Etika Wahyuni, Triningsih, Suripto. Alamat Redaksi: Pusat Pengembangan Pustakawan Perpustakaan Nasional RI, Jl. Medan Merdeka Selatan No.11, Jakarta Pusat, Tlp.(021) 3812136,3448813,375718, Ext. 218,220 Fax. :345611, Email:
[email protected], ISSN: 1412-8519
KONTEN NASKAH DILUAR TANGGUNG JAWAB REDAKSI
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
3
Sertifikasi Kompetensi Pustakawan M
enurut teori struktur penge tahuan (theory of knowledge structures) yang dikemu kakan Korossy (1997), kompetensi berarti keahlian atau kemampuan yang memungkinkan orang untuk memecahkan masalah. Kompetensi ini tidak dapat diamati secara langsung, akan tetapi yang dapat diamati ada lah kinerja, yaitu perilaku seseorang. Terdapat hubungan yang erat antara kompetensi dan kinerja. Seseorang yang memiliki kompetensi yang baik cenderung menghasilakan kinerja yang bermutu. Sebaliknya, bagi yang tidak memiliki kompetensi yang dibu tuhkan untuk melakukan tugas atau pekerjaan tertentu, otomatis kinerja nya atau hasil kerjanya akan tidak sesu ai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, kompetensi merupakan tun tutan yang memang sudah semestinya dimiliki seseorang untuk menghasilkan kinerja tertentu Kompetensi yang dimiliki oleh seseorang itu bukan bawaan lahir, akan tetapi komptensi tertentu dapat dipelajari baik dari bangku pendidikan formal, informal atau dari pengalaman langsung. Dengan demikian, semua orang dapat melakukan uji kom petensi apabila yang bersangkutan telah memenuhi kualifikasi yang diper syaratkan dan memiliki kompetensi yang akan diujikan kepadanya sesuai dengan standar yang berlaku. Tidak dipungkiri, euforia sertifika si profesi yang berkembang saat ini bukan semata merupakan alasan tuntutan ekonomi dan kesejateraan saja, namun perlu dipahami oleh para profesional, bahwa sertifikasi sudah merupakan tuntutan profesionalisme pada masyarakat modern. Hal ini
4
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
terjadi karena melalui sertifikasi inilah keprofesionalan seseorang dapat diterima masyarakat profesional. Peng akuan dari lembaga sertifikasi pro fesi yang terakreditasi dapat menjadi jaminan bahwa yang bersangkutan telah diakui keprofesionalannya. Uji kompetensi dilakukan secara langsung kepada asesi (pengaju uji kompetensi) terhadap semua unit kompetensi yang ditawarkan lembaga sertifikai pro fesi atau dapat juga asesi memilih uji kompetensi secara bertahap perunit kompetensi ataupun perklaster (cluster), tergantung pada kesiapan asesi masing-masing. Menanggapi gejolak dan semangat para profesional untuk mendapatkan pengakuan legal dan tertulis saat ini, merupakan salah satu dorongan ke pada pemerintah khususnya instansi pembina, teknis dan asosiasi profesi untuk segera mengembangkan sistem sertifikasi profesi yang menjadi tang gungjawabnya. Perpustakaan Nasional RI, sebagai instansi teknis atau pem bina pustakawan di Indonesia bertang gungjawab bersama dengan lembaga terkait untuk mengembangkan dan membina profesi pustakawan. Dalam upaya mewujudkan konsekuensi sebagai instansi teknis/pembina pro fesi pustakawan, pada akhir tahun ini Perpustakaan Nasional RIsedang berkonsentrasi pada penetapan Rancangan Standar Sertifikasi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI) bidang Perpustakaan menjadi SKKNI bidang Perpustakaan oleh Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. SKKNI ini merupakan modal utama untuk dapat menerapkan sistem sertifikasi profesi pustakawan. Terdapat beberapa pihak yang
memerlukan SKKNI bidang Perpustaka an, di antaranya adalah lembaga diklat yang menyelenggarakan Diklat Kom petensi Pustakawan. Kurikulum diklat tersebut mau tidak mau harus mengacu pada SKKNI bidang perpustakaan yang diterbitkan Perpustakaan Nasional RI. Semua unit kompetensi yang ditawar kan uji sertifikasi dalam SKKNI harus ter tampung dalam silabus diklat tersebut. Tentunya, demikian pula perguruan tinggi yang menyelenggarakan Jurusan Ilmu Perpustakaan, sebagai produsen pustakawan utama. Ia harus menyesu aikan kurikulumnya dengan apa yang menjadi tuntutan uji kompetensi pusta kawan dalam SKKNI. Selain diklat dan perguruan tinggi, SKKNI juga menjadi sumber utama para asesor kompetensi. Para asesor menyusun dan mengem bangkan instrumen uji kompetensi se suai dengan masing-masing kriteria un juk kerja pada masing-masing elemen kompetensi dalam unit kompetensi di SKKNI bidang Perpustakaan. Berdasar kan SKKNI pula para manajer Lembagai Sertifikasi Profesi (LSP) Pustakawan harus bersiap diri menyediakan tempat uji yang memiliki sarana dan prasarana yang sesuai dengan apa yang tercan tum dalam SKKNI tersebut. Dengan demikian, pengembangan standar kompetensi pustakawan Indo nesia ditujukan untuk mendefinisikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dibutuhkan untuk melakukan tugas kepustakawanan sesuai dengan tuntutan pasar dan hasil kesepakatan semua pemangku kepentingan bidang kepustakawanan. Sehingga standar ini berguna, baik bagi pustakawan se bagai pribadi, instansi pengguna jasa pustakawan dan para produsen pus takawan. P
DOK PRI.
Oleh : Blasius Sudarsono Pustakawan Utama pada Instansi PDII-LIPI
Pustakawan dan Perpustakaan Dalam Menghadapi Tantangan di Era Global Pendahuluan Penulis menemukan empat kata kunci atas judul yang diberikan oleh Panitia Seminar. Empat kata kunci tersebut adalah: Pustakawan, Perpustakaan, Tantangan, dan Era Global. Sebenarnya begitu banyak yang dapat dibahas dengan judul tersebut. Oleh karena itu perlu upaya memaknai ke empat kata kunci tersebut untuk membatasi agar bahasan dapat lebih fokus pada hal yang mendasar saja. Secara logis, kata kunci yang dominan dari judul tersebut adalah pengertian dan makna Era Global. Apa yang sebenarnya dimaksud dengan istilah tersebut? Apa yang mungkin dapat terjadi dalam Era Global itu? Apa saja yang menyebabkannya? Selanjutnya mana saja yang menjadi tantangan bagi perpustakaan dan pustakawan? Dari pertanyaan tentang arti dan makna era global saja sebenarnya sudah dapat dibayang kan betapa luas bahasan yang mungkin disampaikan. Hal ini juga menyangkut begitu banyak tafsir atas istilah era global atau proses terkait, yaitu globalisasi. Perlu juga dipertanyakan apakah memang kita telah sepakat dengan apa yang dimaksud itu sebenarnya?
Ataukah kita hanya terjebak dengan kelatahan menyebut era global atau globalisasi itu? Apakah pustakawan di Indonesia sudah menyepakati pengertian tersebut ditinjau dari sudut kepustakawanan? Jelas hal ini sudah dapat menjadi satu topik untuk dibahas secara mendalam. Dari bahasan mendalam inilah sebenarnya Pustakawan Indonesia dapat menyepakati arti dan makna yang jelas saat menyebut istilah tersebut. Namun adakah kemauan kita untuk tidak terjebak pada budaya sesaat (instant) dan/atau pola taken for granted, sehingga mau secara sareh membahasnya? Dengan memahami pengertian Era Global atau Globalisasi maka dapatlah dipikirkan apa saja yang mungkin terjadi dan penyebabnya. Begitu banyak yang mungkin terjadi. Dari berbagai kejadian tersebut mana yang menjadi ancaman dan mana yang menjadi peluang bagi perpustakaan dan pustakawan? Lalu bagaimana Perpustakaan dan Pustakawan harus menghadapi beragam kejadian itu? Dalam hal ini diperlukan strategi dan kebijakan untuk menghadapinya. Perumusan strategi dan kebijakan menuntut pemahaman akan berbagai kejadian
yang mungkin terjadi tersebut serta sebab-sebabnya. Yang jelas, kemampuan membedakan atas ancaman dan peluang menjadi mutlak diperlukan. Namun yang lebih penting adalah bagaimana mengubah ancaman menjadi peluang. Inilah sebagian kemam puan yang harus dimiliki pustakawan dalam membuat rencana strategis (renstra). Sebagian kemampuan lainnya adalah dalam hal mengubah kelemahan menjadi kekuatan. Kelemahan atau kekuatan adalah milik Perpustakaan dan Pustakawan. Jika kebanyakan memakai analisis SWOT, penulis lebih memilih pendekatan TOWS. Apakah secara sadar Perpustakaan dan Pustakawan selalu berusaha untuk meningkatkan kemampuannya? Pada dasarnya sebuah Perpustakaan adalah Pustakawannya. Jadi semua yang menyangkut kehidupan sebuah Perpustakaan sangat tergantung pada Pustakawannya. Terutama jika pustakawan sudah dianggap atau diterima sebagai Profesional merekalah yang harus menentukan hidup matinya Perpustakaan. Sayang belum semua lembaga menerima Pustakawan sebagai
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
5
Jabatan Profesional. Dalam lingkup (dasawarsa 1990-an), bahkan jauh jargon dalam setiap pembicaraan Kantor Pemerintah saja yang sudah sebelumnya. Sebagai contoh, Allan meski mungkin tidak disadari menerima tugas Pustakawan Megill bahkan menyebut konsep sepenuhnya arti dan maknanya. dalam Jabatan Fungsional belum globalisasi sebenarnya telah ada Menurut Hamelink, bahkan Anthony sepenuhnya sadar akan konsekuensi dalam The Communist Manifesto Giddens (sosiolog Inggris) sendiri dengan adanya jabatan tersebut. (1848). Dia menunjukkan kalimat menyatakan sangat sedikitnya Konsekuensi ini salah satunya dalam manifesto itu : the bourgeoisie pemahaman yang benar atas istilah adalah dengan mengubah pola has through its exploitation of the itu. Untuk memahami konsep organisasi. Ternyata banyak world-market given a cosmopolitan globalisasi, Hamelink membedakan organisasi Lembaga Pemerintah character to production and dua pendekatan yaitu : 1) sebagai alat masih menerapkan pola Birokrasi consumption in every country. analisis dan 2) sebagai agenda politis. yang sangat kuat. Padahal dengan Selanjutnya dia terangkan bahwa Dikatakannya bahwa sebagai alat mengakui adanya Jabatan banyak pemikir abad sembilan belas analisis konsep globalisasi digunakan Fungsional, selayaknya pola yang mengindentifikasi munculnya sebagai alat untuk mendiskripsikan organisasi harus diubah dan menafsirkan proses sosial menjadi Organisasi kontemporer. Hasilnya Jadi semua yang menyangkut Profesional, atau ada dua kelompok. minimal berpola kehidupan sebuah Perpustakaan sangat Pertama adalah yang Birokrasi Profesional mendukung globalisasi tergantung pada Pustakawannya. (Sudarsono, 2005). dan kelompok kedua Terutama jika pustakawan sudah Selayaknya ada kerjasama yang meragukan dianggap atau diterima sebagai yang benar antara Pejabat globalisasi. Berikut adalah Struktural dan Pejabat contoh pro dan kontra yang Profesional, merekalah yang Fungsional Pustakawan. Hal diidentifikasi Hamelink. harus menentukan hidup matinya ini justru belum digarap, Kelompok pendukung Perpustakaan. bahkan kecenderungan melihat globalisasi yang terjadi ialah pola organisasi dengan pandangan prositif Lembaga Pemerintah semakin kuat seperti : ekonomi pasar bebas menuju sifat birokratis feodalistis. hubungan Eropa dengan dunia menguntungkan masyarakat luas; Tidak terkecuali juga lembaga luar Eropa, dalam arti upaya Eropa perdagangan dunia meningkat; perpustakaan yang dimiliki mendominasi dunia luar Eropa percepatan pertumbuhan pasar Pemerintah. Namun pertanyaan yang melalui perdagangan dan industri finansial dunia; peningkatan sangat mendasar justru tertuju lebih yang dikatakannya sebagai proses mobilitas penduduk dunia; bentuk dahulu pada diri Pustakawan. Apakah universal. Upaya membuat dan baru perusahaan dunia yang Pustakawan mau mengupayakan meyakinkan dunia luar Eropa dengan memeratakan proses industri dirinya bertransformasi menuju konsep Eropa itulah sebenarnya awal dan menggantikan perusahaan Pribadi Profesional? Dengan memiliki dari globalisasi. Roh awal globalisasi multi nasional yang monopolistis; kepribadian itu akan memungkinkan adalah pada kekuatan negara dan globalisasi adalah proses sosial Perpustakaan melakukan perekonomian yang digunakan yang mengintensifkan kesadaran transformasi dalam era global. Secara Eropa untuk melakukan ”perang” dunia; kesalingtergantungan sederhana Pustakawan seharusnya menaklukkan dunia luar Eropa. (interdependence) ekonomis akan melakukan peran utama, dan tidak Kini konsep globalisasi ternyata merangsang kesalingtergantungan hanya sekedar melakukannya dengan tidak jauh meninggalkan roh awal sosial dunia yang akan memperkokoh benar namun terlebih melakukan tersebut. Maka tidak mengherankan eratnya persahabatan antar bangsa; yang benar dalam menjawab setiap jika terjadi pro and kontra atas meningkatnya interaksi budaya akan perubahan kejadian. globalisasi. Meskipun demikian lebih menjadikan saling memahami nampaknya globalisasi telah dan menghargai antar bangsa yang Era Global (Globalisasi) menjadi keniscayaan. Bahkan sangat berbudaya berbeda, dll. Istilah Era Global dan/atau tidak mungkin membicarakan Di pihak lain, kelompok yang Globalisasi sebenarnya sudah perkembangan sosial akhir-akhir menentang atau meragukan pada dibicarakan dan didengar saat kita ini tanpa merujuk pada globalisasi konsep globalisasi jelas berbeda akan memasuki milenium ketiga (Hamelink, 1999). Globalisasi menjadi pendapat tentang apa yang diyakini
6
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
oleh kelompok pendukung globalisasi. Apa yang disampaikan oleh kelompok pendukung dapat disebut masih sebatas ”teori” yang indah. Namun apa yang sebenarnya terjadi? Globalisasi sudah berjalan menghasilkan dampak pada kehidupan masyarakat dunia. Memang jelas ada yang diuntungkan, namun banyak juga yang dirugikan. Pihak pro menganggap yang mendorong globalisasi adalah perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi. Pihak kontra sepakat, namun toh lebih menentukan adalah keputusan yang dibuat oleh institusi publik maupaun swasta. Dalam hal ini yang terpenting memang perlunya kebijaksanaan dalam menjawab globalisasi. Globalisasi sebagai agenda politis juga menimbulkan pro dan kontra. Pihak pendukung menyatakan bahawa globalisasi menciptakan keterbukaan dunia dan pasar yang lebih kompetitif yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan dunia. Hal ini disang gah oleh kelompok yang menolak karena agenda globalisasi adalah agenda politis neoliberal, jelas akan menguntungkan pihak yang memang sudah kuat. Ditekankan bahwa globalisasi tidak menuju kepada kesejahteraan dunia, namun justru menduniakan kemiskinan. Dalam bidang budaya dikatakan oleh pihak pendukung bahwa globalisasi akan mempromosikan keberagaman budaya. Di pihak lain pihak penentang mengatakan bahwa yang terjadi adalah pengemasan baru ide lama dari imperialisme budaya. Hemelink menyebut tiga agenda terpenting untuk menjawab proses globalisasi yang sudah terjadi. Tiga hal tersebut adalah: 1) Globalisasi
sebagai kepedulian kemanusiaan, 2) Globalisasi sebagai tantangan moral, dan 3) Globalisasi sebagai tantangan politis. Menurutnya, konsep globalisasi dapat digunakan untuk menyatakan aspirasi masyarakat dunia yang harus selalu menghormati hak asasi manusia, kepekaan dunia atas pentingnya solidaritas global, serta pengakuan dan penerimaan keberagaman sosiokultural. Aspirasi ini mensyaratkan program dunia dalam pengembangan atas budaya hak asasi manusia (human right culture). Hal ini menjadi keniscayaan. Dikatakan kita harus belajar menjadi warga dunia (global citizens). Manusia perlu memperlajari kepekaan untuk hidup dalam dunia multikultur. Kewargaduniaan (global citizenship) bukan bawaan genetika namun hanya dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan yang ekstensif. Oleh karena itu kita harus mulai terlebih dahulu mendidik diri kita masing-masing dan menghayatinya. Globalisasi memunculkan tantangan moral. Mengutip Richard Rorty, Hamelink menyatakan tidak
ada jaminan bahwa penerapan teknologi akan menjadikan keluarga di negara (kurang) berkembang cukup kaya untuk membesarkan anak-anaknya seperti terjadi pada negara maju. Dengan pertanyaan lain: ”Apakah keluarga kaya di negara maju mau berbagi sebagian kekayaannya untuk ikut membesarkan anak-anak di negara berkembang jika dapat mengakibatkan ancaman bagi anakanak mereka sendiri di kemudian hari?” Hanya satu jalan bagi pihak kaya dapat berpikir diri mereka adalah bagian masyarakat moral yang sama dengan masyarakat miskin, jika dan hanya jika ada skenario yang memberikan harapan bagi anak-anak miskin tanpa menimbulkan ancaman bagi anakanak mereka. Dengan kata lain: si kaya hanya mau berbuat sesuai prinsip moral solidaritas kemanusiaan yang menjamin kepentingannya tidak akan terganggu atau bahkan terancam. Yang menjadi tantangan moral adalah bahwa aspirasi globalisasi bagi pihak miskin tidak
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
7
dapat direalisasikan tanpa adanya konsep yang secara serius membatasi prospek pihak kaya. Dalam hal inilah terjadi tarik-menarik kepentingan. Perlu adanya rumusan moral untuk dapat dipakai sebagai pandangan hidup bersama antara si kaya dan si miskin. Jika keduanya tetap hidup dalam nilai moral berbeda, maka pendidikan untuk menghasilkan kewargaduniaan akan gagal. Suatu konsep moral baru perlu dikembangkan dan dipakai sebagai pandangan hidup masyarakat baru dunia global. Niat ini menjadi salah satu tantangan politis globalisasi. Tentang tantangan politis globalisasi, Hamelink mengatakan diperlukan negara yang kuat dan proaktif untuk menanggulangi dampak negatif globalisasi di bidang tertentu seperti kesempatan kerja dan jaminan sosial. Jika perdagangan global diharapkan mengarah pada terciptanya keseimbangan ekonomi dan perkembangan sosial, maka jelas diperlukan adanya institusi publik yang kuat. Diperlukan mobilisasi dari masyarakat sipil dunia (global civil society) agar menjadi kekuatan sentral untuk mewujudkan kedaulatan warga dunia. Kedaulatan warga masyarakat saja kini terancam oleh mekanisme negara moderen dan pola perekonomian dan aliran modal. Ancaman ini selayaknya dihadapi dan dikawal oleh warga sendiri. Beruntunglah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sangat bermanfaat dan menjadi tulang punggung interaksi warga dunia. Tik Dan Perpustakaan Di atas telah disebut oleh Hamelink bahwa teknologi transportasi dan telekomunikasi disepakati baik oleh pihak pro maupun kontra globalisasi sebagai faktor pendorong utama. Pernyataan itu adalah kondisi
8
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
pada Tahun 1999. Nampaknya meski teknologi transportasi tetap menjadi utama, namun ternyata teknologi informasi kini lebih dominan. Sehingga tidak salah jika teknologi informasi dan telekomunikasi (TIK) menjadi tulang punggung interaksi warga dunia. Selain menjadi tulang punggung, TIK terbukti juga menjadi pemacu interaksi tersebut. Hal-hal yang dahulu masih menjadi anganangan kini sudah terwujud. Bahkan yang dahulu tidak pernah terpikirkan justru sekarang muncul karena adanya TIK. Dapat dibayangkan betapa kini keseharian hidup kita ternyata sangat tergantung TIK. Salah satu contoh adalah penggunaan telepon selular Perpustakaan juga tidak luput dari pengaruh TIK. Bahkan saat sekarang perpustakaan tanpa TIK dapat disebut perpustakaan ”kuno”. Keadaan ini jauh berkembang
dibanding dasawarsa 1980-an, saat PDII-LIPI mulai menerapkan sebagian proses dokumentasinya dengan bantuan komputer. Masih ada pendapat dari tokoh pustakawaan yang mengatakan bahwa perpustakaan belum memerlukan komputer. Kebalikannya, kini dapat dikatakan kebanyakan pustakawan melihat komputerisasi sebagai tolok ukur utama kemajuan. Juga seakan menjadi kewajiban perpustakaan tampil dalam jaringan internet. Banyak perpustakaan membangun situsnya. Namun belum semua perpustakaan menyediakan akses atas pustaka yang dimiliki. Situs yang dikembangkan pada umumnya masih terbatas pada deskripsi perpustakaan saja. Kelambatan atas upaya akses pada koleksi yang dimiliki perpustakaan, menyebabkan kalah bersaing dengan situs yang dikembangkan oleh pihak non-perpustakaan yang sudah menyediakan akses pada informasi yang mereka miliki. Atau dengan situs yang memang khusus menyediakan akses informasi maupun pengetahuan. Tidak mengherankan jka ada pendapat yang mengatakan bahwa kini tidak diperlukan lagi perpustakaan karena semua informasi dapat ditemukan di Internet. Secara bergurau sering juga didengar pernyataan: ”Dari pada tanya pustakawan, kenapa tidak tanya pada mbah Google jika memerlukan informasi?” Pertanyaan itu merupakan tantangan langsung pada pustakawan. Jawabnya tentu tergantung pada pustakawan sendiri apakah manusia mau dikalahkan oleh sekedar mesin pencari informasi (search engine)? Bagaimana perpustakaan akan menghadapi perkembangan internet dapat dirujuk juga tulisan yang penulis
sampaikan pada tahun 2009 • menyediakan data dan bahwa konsentrasi konsep 2.0 adalah (Sudarsono, 2009 a). jasa dalam format yang pada teknologi. Padahal yang benar Teknologi web sendiri juga memungkinkan dipadukan oleh yang pertama adalah partisipasi, sudah berkembang begitu cepat. pihak lain; untuk meluaskan dan menguatkan Kini generasi web kedua atau lebih • menciptakan keunggulan partisipasi ini diperlukan teknologi dikenal dengan Web 2.0 sudah jaringan dengan memakai yang mendukung. menjadi platform kerja. Fenomena arsitektur yang cocok untuk Web 2.0 terbukti juga mengubah ini berawal pada tahun 2004 dengan partisipasi banyak pihak; pola penyelenggaraan perpustakaan. diselenggarakannya konferensi • melebihi kemampuan Web Dengan teknologi ini memungkinkan mengenai Web yang diprakarsai Tim 1.0 karena diperkaya oleh pustakawan membangun cara baru O’Reilly dan MediaLive International. pengalaman para pengguna. penyelenggaraan perpustakaan Menurut Paul Graham, nama 2.0 dengan istilah Perpustakaan 2.0 muncul dari sebuah brainstorming Kriteria di atas menunjuk pada (Library 2.0). Pengenalan akan untuk memberi nama konferensi dua hal yang saling mendukung konsep Perpustakaan 2.0 (P 2.0) tentang Web, yang berbeda dengan dan menguatkan yaitu sisi teknologi telah penulis sampaikan dalam konferensi atau pertemuan tentang dan sisi hubungan manusia dalam majalah Visi Pustaka nomor Agustus Web lain yang pernah dilakukan. bentuk partisipasi. Sisi teknologi 2008 (Sudarsono, 2008). Sedang Mereka berpendapat bahwa sesuatu diwakili dengan kelompok peranti langkah penerapannya telah juga yang baru akan muncul. Dan inilah blogs, wikis, podcast, RSS, feeds, penulis sampaikan dalam tulisan yang terjadi munculnya konsep Web dll. Sisi sosial adalah dengan berjudul Menerapkan Perpustakaan 2.0 meski masih memiliki banyak terbentuknya jejaring sosial yang 2.0 (Sudarsono, 2009 b). Ide P 2.0 ragam interpretasi. muncul dari Michael E. Casey Awalnya Web 2.0 dalam blognya yang Perpustakaan juga tidak luput dari dimaksudkan untuk bernama Library Crunch. menjadikan Web Dikatakannya bahwa pengaruh Teknologi Informasi dan sebagai landasan perpustakaan pada Telekomunikasi (TIK), bahkan saat kerja (using the umumnya, terutama sekarang perpustakaan tanpa TIK dapat Web as a platform). perpustakaan khusus disebut perpustakaan ”kuno”. Makna awal Web 2.0 dapat memanfaatkan ini tidak berumur berbagai kelebihan Web panjang (Graham, 2005). 2.0. Pergeseran makna muncul tahun akhir-akhir ini semakin meluas. Dalam konferensi Internet berikut-nya (2005) dalam suatu sesi Dengan kata lain web 2.0 adalah Librarian pada 2005 isu ini mulai dipimpin Tim O’Reilly yang mencoba kecanggihan teknologi dan diperdebatkan di kalangan pusta mendefinisikan ulang Web 2.0. kekuatan partisipasi. kawan. Seperti layaknya ide baru Dengan dua hal tersebut wajar tentu ada pihak yang pro dan kontra. Batasan yang muncul adalah sederet bahwa ada pihak yang menaruh Pihak kontra mengatakan bahwa kriteria berikut : minat hanya pada teknologi, tidak ada perubahan mendasar • web 2.0 menggunakan jaringan namun juga wajar jika ada pihak dalam praktik kepustakawanan sebagai landasan kerja yang yang menaruh minat hanya pada dengan menerapkan Web 2.0. menjangkau semua peralatan partisipasi. Idealnya dua-duanya Sedang pihak yang mendukung terkoneksi; harus seimbang. Namun dalam mengatakan bahwa dengan • penerapan web 2.0 suatu organisasi tidak semua orang menerapkan Web 2.0 maka ada ben memanfaatkan keunggulan memiliki dua kemampuan tadi tuk baru dari layanan perpustakaan. intrinsik landasan kerja tersebut; secara seimbang. Dalam hal inilah Casey dan Laura C. Savastinuk, • menyediakan peranti lunak yang tugas manajer untuk membangun dalam Library Journal, 9/1/2006 secara kontinyu diperbaiki karena tim dengan memadukan dua yang berjudul Library 2.0 : Service semakin banyak pengguna yang kekuatan tersebut. Karena sifatnya, for the next-generation library. berpartisipasi dalam upaya itu; teknologi selalu harus baru sedang mengatakan bahwa P 2.0 dapat • memakai dan memadukan data partisipasi adalah klasik sehingga merevitalisasi cara kita berinteraksi dari beragam sumber termasuk mudah membosankan. Oleh sebab dan melayani pengguna kita. dari setiap individu pemakai; itu banyak orang yang menyangka Jantung P 2.0 adalah perubahan
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
9
yang berpusat pada pengguna. Merupakan model layanan perpustakaan yang mendorong perubahan berkelanjutan yang berguna, dengan mengundang partisipasi pemakai dalam mencipta serta mengevaluasi baik layanan fisik maupun virtual yang mereka kehendaki. Juga berupaya mencari pengguna baru dan melayani pengguna yang sudah ada dengan lebih baik. Batasan yang diberikan oleh Sarah Houghton tentang P 2.0 secara singkat adalah membuat ruang perpustakaan (baik fisik maupun virtual) menjadi lebih interaktif, kolaboratif, dan didorong oleh kebutuhan masyarakat pemakai. Awal upaya antara lain dengan menggunakan blogs, permainan (games), dan situs foto bersama. Hal yang mendasar adalah agar orang kembali menggunakan perpustakaan; dengan membuat perpustakaan sesuai dengan kehendak dan kebutuhan hidup keseharian para pemakai. Membuat perpustakaan sebagai tujuan utama dan bukan pilihan akhir. Semua itu secara ringkas dinyatakan oleh Blyberg dengan rumus: library 2.0 = (books and stuff + people + radical trust) x participation atau Perpustakaan 2.0 = (koleksi + orang + kepercayaan radikal) x partisipasi Hal yang sudah menjadi lazim dalam perpustakaan adalah koleksi dan orang. Namun parameter partisipasi agak langka, apalagi kepercayaan radikal. Padahal menurut persamaan di atas, partisipasi menjadi sangat menentukan karena sebagai faktor pengali. Meski nilai buku, orang, maupun kepercayaan radikal adalah tinggi, jika nilai partisipasi nol maka
10
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
Manifesto Pustakawan 2.0 Posted by Laura Cohen on November 8, 2006 01:01 PM | Permalink Library 2.0: An Academic Librarian’s Perspective http://liblogs.albany.edu/library20/2006/11/a_librarians_20_manifesto.html
• I will recognize that the universe of information culture is changing fast and that libraries need to respond positively to these changes to provide resources and services that users need and want.
• Saya menyadari bahwa semesta budaya informasi selalu cepat berubah, dan perpustakaan perlu menjawabnya secara posi-tif dalam menyediakan sumber daya dan layanan yang diperlukan dan diinginkan pengguna.
• I will educate myself about the information culture of my users and look for ways to incorporate what I learn into library services.
• Saya akan mendidik diri sendiri tentang budaya informasi pengguna perpustakaan saya dan mencari jalan untuk menyertakan apa yang saya pelajari dalam layanan perpustakaan saya.
• I will not be defensive about my library, but will look clearly at its situation and make an honest assessment about what can be accomplished.
• Saya tidak akan bersifat defensif tentang perpustakaan saya, namun akan menyimak dengan jelas situasinya dan melakukan pengkajian secara jujur tentang apa yang dapat dicapai.
• I will become an active participant in moving my library forward.
• Saya akan aktif berpartisipasi dalam memajukan perpustakaan saya.
• I will recognize that libraries change slowly, and will work with my colleagues to expedite our responsiveness to change.
• Saya menyadari bahwa perpustakaan lambat berubah, dan akan bekerja bersama kolega untuk mempercepat tanggap kami pada perubahan itu.
• I will be courageous about proposing new services and new ways of providing services, even though some of my colleagues will be resistant.
• Saya akan berani mengusulkan layanan, serta cara baru dalam menyediakannya, meski ada kolega yang menolak.
• I will enjoy the excitement and fun of positive change and will convey this to colleagues and users.
• Saya akan menikmati gairah dan kegembiraan atas perubahan positif dan akan menyampaikannya kepada sejawat maupun pengguna.
• I will let go of previous practices if there is a better way to do things now, even if these practices once seemed so great.
• Saya akan mengganti cara lama jika ditemukan cara yang lebih baik dalam mengerjakan sesuatu, meski cara lama itu pernah hebat.
• I will take an experimental approach to change and be willing to make mistakes.
• Saya akan melakukan percobaan untuk berubah dan akan siap jika melakukan kesalahan.
• I will not wait until something is perfect before I release it, and I’ll modify it based on user feedback.
• Saya tidak akan menunggu sesatu menjadi sempurna sebelum saya meluncurkannya, dan akan mengubahnya berbasis masukkan pengguna.
• I will not fear Google or related services, but rather will take advantage of these services to benefit users while also providing excellent library services that users need.
• Saya tidak akan takut pada Google dan layanan terkait, namun akan berupaya mengambil manfaatnya untuk keuntungan pengguna, sam bil tetap memberikan layanan prima yang diperlukan oleh pengguna.
• I will avoid requiring users to see things in librarians’ terms but rather will shape services to reflect users’ preferences and expectations.
• Saya akan menghindari mensyarat kan pengguna dengan jargon pustakawan, namun akan mengubah layanan yang mencerminkan pilihan dan harapan pengguna.
• I will be willing to go where users are, both online and in physical spaces, to practice my profession.
• Saya akan bersedia menghampiri pemakai baik online maupun dalam ruang fisik dalam mempraktikkan profesi saya.
• I will create open Web sites that allow users to join with librarians to contribute content in order to enhance their learning experience and provide assistance to their peers.
• Saya akan membuat situs web terbuka yang memungkinkan pengguna bersama pustakawan menyumbang isi dalam rangka meningkatkan pengalaman pembelajaran dan memberikan bantuan pada para kelompok ahli.
• I will lobby for an open catalog that provides personalized, interactive features that users expect in online information environments.
• Saya akan melobi untuk membuat katalog terbuka yang menyediakan fitur personal dan interaktif seperti yang diharapkan pengguna dalam lingkungan sistem informasi online
• I will encourage my library’s administration to blog.
• Saya akan mendorong administrasi (manajemen) perpustakaan saya untuk membuat blog.
• I will validate, through my actions, librarians’ vital and relevant professional role in any type of information culture that evolves.
• Saya akan mencocokkan melalui kegiatan saya peran profesional baik vital maupun terkait dalam setiap budaya informasi yang berubah.
hasil persaman di atas juga nol besar! Jadi kunci dari P 2.0 adalah partisipasi baik pustakawan maupun pengguna perpustakaan. Tentang kepercayaan radikal yang juga masih langka dapat penulis uraikan bahwa :
• Tidak sembarang & asal percaya • Idealnya kepercayaan yang saling menumbuhkan • Berawal dari interaksi menumbuhkan perkenalan mengembangkan kepercayaan
dan berpuncak pada kepercayaan yang saling menumbuhkan sebagai syarat perpustakaan 2.0 Reorganisasi atas lembaga perpustakaan menjadi keharusan bagi yang menerapkan P 2.0. Tidak saja reorganisasi, bahkan dituntut untuk merevisi tugas dan kewajibannya secara mendasar. Dapat dikatakan P 2.0 akan meruntuhkan ortodoksi dan konservatisme perpustakaan. Ini akan menimbulkan perbedaan pendapat bahkan pertentangan dengan pihak otoritas. Jelas diperlukan keahlian khusus dalam menghadapi pihak otoritas. Seperti telah disebut sebelumnya bahwa P 2.0 tidak sekedar memperbaharui tampilan saja. Diperlukan perubahan radikal dari cara kerja pihak pemasok sistem perpustakaan dan informasi. Dengan P 2.0 memungkinkan dan memerlukan kerjasama perpustakaan. Adagium yang selama ini dianut perpustakaan adalah tidak ada satu perpustakaanpun yang dapat memenuhi kebutuhan, meski kebutuhan sendiri. Artinya perpustakaan masih memerlukan perpustakaan lain untuk memperoleh informasi yang diperlukan. P 2.0 menjadikan kerjasama antar perpustakaan selain lebih mudah namun juga sebuah keniscayaan. Kenyataan itulah yang terjadi dalam perkembangan perpustakaan. Mungkin dapat dikatakan sebagai revolusi yang mendasar bagi keberlanjutan hidup perpustakaan. Revolusi ini lebih berupa revolusi menyangkut konsep keterbukaan sebuah perpustakaan. Sejauh mana keterbukaan itu? Blyberg menyebut perlunya delapan keterbukaan meliputi: ruang, standar, data, sumber, pikiran, pertemuan, proses, dan dialog yang terbuka. Dengan delapan keterbukaan itu sebuah perpustakaan siap mengundang
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
11
pengguna untuk memanfaatkan jasanya. Sebuah undangan: ”Silakan masuk kami sudah siap melayani”. Transformasi Pustakawan Telah penulis sebut di muka bahwa pada dasarnya perpustakaan adalah pustakawannya. Sehingga semua perubahan atau perkembangan sebuah perpustakaan selalu berawal dari diri pustakawannya. Dengan kata lain pustakwan selayaknya bertransformasi menuju pola pikir dan pola tindak baru yang mendukung perubahan tersebut. Dalam kaitannya dengan konsep P 2.0, diperlukan juga transformasi menjadi Pustakawan 2.0. Terminologi ini pertama kali disampaikan oleh Laura Cohen. Berikut adalah manifesto pustakawan 2.0 dan terjemahan penulis. Diharapkan manifesto ini dapat digunakan sebagai check list bagi pustakawan agar dapat selamat dalam perang di era global. Penutup Era global tidak dapat dipisahkan dengan konsep dan gerakan globalisasi. Tidak jarang banyak yang sebenarnya tidak memahami sepenuhnya atas fenomena tersebut. Tidak jarang pula anggapan bahwa semua orang dengan sendirinya sudah mengerti dan memahaminya. Bahwa konsep globalisasi bukanlah konsep baru juga kurang disadari. Harus disadari bahwa globalisasi pada dasarnya adalah kompetisi antar bangsa yang semakin tajam (untuk tidak menggunakan kata perang). Semakin tajamnya kompetisi ini memang tidak lepas dari kepentingan masing-masing. Semua pihak berupaya untuk menang. Maka tidak mengherankan jika selalu ada agenda tersembunyi dibalik teori yang indah tentang globalisasi. Agenda tersembunyi itu selalu
12
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
ada upaya menyamarkannya dengan memanfaatkan kemajuan teknologi yang memang tidak dapat ditolak. Teknologi dalam hal ini adalah TIK. Berarti juga dapat dikatakan bahwa pihak yang lebih menguasai TIK adalah pihak yang berpotensi untuk menang. Meski persoalan era global dan globalisasi tidak hanya menyangkut TIK, namun terbukti bahwa proses di era global dan globalisasi memang menjadi semakin cepat dengan penerapan TIK. Sehingga meski TIK pada dasarnya hanyalah alat, namun ternyata TIK mempengaruhi pola pikir dan pola tindak manusia. Tidak berlebihan jika dikatakan TIK menjadi alat dan pemacu perkembangan budaya kontemporer saat kini. Salah satu perkembangan TIK adalah adanya jaringan komputer dan komunikasi global yang dikenal dengan nama internet. Internet telah menjadi media sosial dalam dunia komunikasi. Hidup keseharian baik aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, maupun pertahanan sudah tiak dapat mengingkari pentingnya internet. Perpustakaan sebagai salah satu media komunikasi pengetahuan tidak terlepas juga dari kecanggihan internet. Bagaimana dapat mendayagunakan intertnet secar benar adalah persoalan yang dihadapi perpustakaan. Harus diingat bahwa antar perpustakaan (selain kerja sama), juga ada kompetisi bahkan perang untuk menang, baik di lingkup lokal, nasional, maupun internasional. Apakah kita pustakawan Indonesia menyadari hal ini? Penyelenggaraan perpustakaan harus berubah menyesuaikan semua kemajuan era global. Banyak perpustakaan di Indonesia masih terjebak dengan karakter bangsa kita yang lebih konsumtif. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan pengadaan koleksi perpustakaan dari luar negeri,
namun mengabaikan kelengkapan dokumentasi pustaka karya lembaga sendiri. Sudah sering dinyatakan bahwa banyak koleksi Indonesiana yang berada di luar negeri dan justru tidak ada di Indonesia. Jika perpustakaan Indonesia akan menang, jelas diperlukan transformasi para pustakawan Indonesia sendiri. Meningkatkan diri, mengembangkan pengetahuan dan kemampuannya. Manifesto Pustakawan Dua Titik Nol menjadi rujukannya. P
*) Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Perpustakaan dengan tema: Kompetensi dan Sertifikasi Pustakawan dalam Menghadapi Tantangan dan Persaingan Global Bogor, 14 September 2011
daftarpustaka Graham, P. 2005. Web 2.0. http://www. paulgraham.com/Web20.html Hamelink, C.J. 1999. The Elusive Concept Of Globalisation. Global Dialogue. Nicosia : Summer, Vol. 1. Iss. 1. Megill, A. 2005. Globalization And The History Of Ideas. Journal of the history of ideas. Baltimore : Apr 2005, Vol. 66. Iss. 2. Sudarsono, B. 2005. Mekanisme Kerja Pustakawan. Disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Jabatan Fungsional Pustakawan. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 23 –24 November. _____________. 2009a. Perpustakaan Menyikapi Keberadaan Internet. Disampaikan dalam seminar nasional perpustakaan Teknologi informasi di perpustakaan: antara trend dan kebutuhan. Kerjasama Unika Soegijapranata - Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah. Semarang, Kamis 28 Mei. ______________. 2009b. Menerapkan Konsep Perpustakaan 2.0. Disampaikan pada: Workshop Library 2.0: Challenge and Opportunities to Library Management. Semarang, Universitas Diponegoro, 11 Agustus.
DOK PRI.
Oleh : Titiek Kismiyati Kepala Pusat Pengembangan Koleksi dan Pengolahan Bahan Pustaka, Perpustakaan Nasional RI; Sekretaris Tim Penyusun Standar Kompetensi Pustakawan.
Kesiapan
Sertifikasi Pustakawan
Latar Belakang Setiap melakukan sosialisasi jabatan fungsional pustakawan, pertanyaan yang selalu diajukan pustakawan adalah “Kapan pustakawan akan disertifikasi?”. Apa yang menjadi harapan pustakawan terhadap pelaksanaan sertifikasi ternyata sebagian besar bukan masalah sertifikasinya tetapi “reward” setelah dilaksanakannya sertifikasi. Padahal jika bicara tentang “reward” akan beragam bentuknya, bisa dalam bentuk kenaikan jabatan/pangkat, peningkatan peran, maupun dalam bentuk finansial. Berdasarkan berbagai kajian, ternyata sebagian besar pustakawan lebih tertarik pada “reward” secara finansial dalam bentuk tunjangan. Tunjangan inilah yang banyak diinginkan para pustakawan seperti yang diterima guru dalam bentuk tunjangan profesi yang besarnya sangat menggiurkan. Pemikiran seperti itu tidaklah salah, namun yang tidak dipikirkan mereka apakah sertifikasi pustakawan akan sama dengan yang dilakukan terhadap guru? Sudah siapkah pustakawan disertifikasi? Apa saja yang harus dipersiapkan untuk menuju sertifikasi? Sertifikasi kompetensi pada dasarnya adalah proses pemberian sertifikat yang dilakukan secara
sistematis dan objektif melalui asesmen kerja nasional Indonesia dan/atau internasional (PBNSP 2002/2009). Sertifikasi merupakan bentuk pengakuan bahwa seseorang mampu melakukan pekerjaan yang menjadi lingkup sertifikasi. Sertifikasi bagi pustakawan menjadi ramai dibicarakan setelah terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan yang menyatakan bahwa Pustakawan harus memenuhi kualifikasi sesuai standar nasional perpustakaan, yang mencakup kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikasi. Proses sertifikasi itu sendiri ternyata memerlukan beberapa tahapan untuk mempersiapkan infrastrukturnya. Terbitnya UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan menjadi bukti bahwa masalah kompetensi pustakawan ini dianggap penting oleh pemerintah untuk mewujudkan pustakawan yang profesional dan memiliki kompetensi yang terukur. Kebutuhan Pustakawan yang memiliki kompetensi sangat diperlukan mengingat perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat, dan kebutuhan pengguna informasi yang semakin meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya. Seiring
dengan meningkatnya kebutuhan informasi pengguna yang sangat bervariatif dan kompleks tersebut, maka sudah waktunya ditetapkan persyaratan kompetensi bagi Pustakawan yang bekerja di bidang kepustakawanan ini (Kismiyati, 2008). Persyaratan kompetensi yang dimaksud ditetapkan dalam standar kompetensi yang saat ini sedang disusun oleh Perpustakaan Nasional RI. Standar kompetensi ini berlaku bagi semua pustakawan baik yang bekerja di instansi pemerintah maupun swasta. Demikian pula pelaksanaan sertifikasi tentunya akan diberlakukan juga bagi semua pustakawan. Kompetensi Pustakawan Kompetensi pada dasarnya adalah pengetahuan, keterampilan, kemampuan, atau karakteristik yang berhubungan dengan tingkat kinerja suatu pekerjaan seperti pemecahan masalah, pemikiran analitik, atau kepemimpinan. dan merupakan persyaratan minimal yang harus dipenuhi oleh seseorang yang memegang suatu jabatan (Depnakertrans. 2007). Definisi kompetensi lain adalah diartikan sebagai pengetahuan dan ketrampilan yang dituntut untuk melaksanakan dan menunjang
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
13
pelalaksanaan pekerjaan yang merupakan dasar bagi penciptaan nilai dalam suatu oraganisasi (Mirabile, dalam Kismiyati, 2004). Kompetensi dianggap penting, sehingga para pimpinan lembaga perpustakaan mulai mensyaratkan kompetensi bagi Pustakawan dengan tujuan : 1. Menstimulasi keunggulan layanan. 2. Memperbarui antusiasme para pustakawan terhadap profesinya. 3. Menyediakan dokumen yang membantu pengembangan uraian tugas (job description) dan sarana mengevaluasi jabatan profesional. 4. Membantu perencanaan program pengembangan pegawai secara berkelanjutan. 5. Menyediakan dokumen yang dapat digunakan dalam pengembangan kebijakan, terutama yang berhubungan dengan oragnisasi dan susunan
14
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
pegawai perpustakaan. 6. Mengajarkan masyarakat, lembaga pemerintahan, dan lembaga donor tentang pentingnya ketrampilan dan pengetahuan bagi pustakawan profesional (NJLA. 2005). Kompetensi pustakawan yang sampai saat ini banyak diacu adalah kompetensi pustakawan khusus abad 21 yang dirumuskan oleh The Special Library Association (SLA) pada tahun 2003 yang dibagi 2 (dua) jenis, yaitu : 1. Kompetensi profesional, yaitu yang terkait dengan pengetahuan pustakawan di bidang sumber-sumber informasi, teknologi, manajemen dan penelitian, dan kemampuan menggunakan pengetahuan tersebut sebagai dasar untuk menyediakan layanan perpustakaan dan informasi. 2. Kompetensi personal/individu yang menggambarkan satu
kesatuan keterampilan, perilaku dan nilai yang dimiliki pustakawan agar dapat bekerja secara efektif, menjadi komunikator yang baik, selalu meningkatkan pengetahuan, dapat memperlihatkan nilai lebihnya, serta dapat bertahan terhadap perubahan dan perkembangan dalam dunia kerjanya. Dalam (R)PP) Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan kompetensi pustakawan juga dibagi menjadi dua yaitu kompetensi profesional dan kompetensi personal. Kompetensi profesional mencakup aspek pengetahuan, keahlian, dan sikap kerja, sedangkan kompetensi personal mencakup aspek kepribadian dan interaksi sosial. Kompetensi pustakawan ini akan dijabarkan lebih lanjut dalam standar kompetensi pustakawan yang saat ini sedang dalam proses
penyusunan. Sertifikasi Pustakawan Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui asesmen kerja nasional Indonesia dan/atau internasional (Pedoman BNSP 202 Rev.2-2009). Bagi pustakawan yang melalui proses sertifikasi dan lulus uji kompetensi kepada mereka akan diberikan sertifikat. Sertifikasi dapat dibedakan menjadi : 1. Sertifikasi terhadap kompetensi profesi: dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Personil/Profesi, berlaku apabila masih kompeten. Sertifikasi ini berlaku untuk kompetensi yang dimiliki paling akhir (current competence).
Manfaat Sertifikasi Mengapa sertifikasi dianggap begitu penting bagi suatu profesi? Sebelumnya sudah disebutkan bahwa sertikat kompetensi adalah bentuk pengakuan bahwa seseo rang mampu melakukan suatu pekerjaan. Ibarat Surat Ijin Menge mudikan (SIM) dimana pemegang SIM tersebut sudah dianggap mampu dan mempunyai lisensi mengemudikan mobil. Di dunia perpustakaan, sertifikasi bermanfaat untuk mengembangkan tenaga per pustakaan sesuai dengan kebutuhan masing-masing pihak di antaranya : 1. Pustakawan
2. Sertifikasi untuk mendapat status profesi: dilakukan organisasi profesi, biasa disebut juga lisensi/ registrasi profesi. Kadang lisensi ini dikeluarkan setelah yang bersangkutan memiliki sertifikat nomor 1 di atas. 3. Sertifikat pelatihan: oleh lembaga pelatihan, biasa disebut juga Certificate of attainment, berlaku selamanya. Sertifikasi yang akan diberlakukan bagi pustakawan adalah sertifikasi terhadap kompetensi profesi. Sertifikasi bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme pustakawan, menentukan kelayakan seorang pustakawan dalam memberikan layanan informasi, serta meningkatkan layanan perpustakaan. Sertifikasi juga akan menghilangkan dikotomi pustakawan PNS dan pustakawan swasta. Para pustakawan yang tersertifikasi akan memiliki kedudukan yang sama terhadap pengakuan kemampuan mereka, karena sudah ada lembaga penjamin mutu (quality assurance).
lebih suka mengejar gelar dengan cara instan daripada menambah pengetahuan. Namun pada kenyataannya lembaga pendidikan masih banyak yang belum dapat dipercaya sebagai penjamin mutu, terbukti biasanya pengguna tenaga kerja terpaksa melakukan testing sendiri (baik dilakukan sendiri maupun dengan cara outsourching) terhadap sejumlah besar pelamar, yang memakan biaya tidak sedikit. Setelah itu masih harus dilakukan pelatihan pendahuluan yang juga tidak murah biayanya. Hal tersebut juga terjadi di dunia perpustakaan. Pustakawan yang selesai mengikuti pelatihan pun setelah kembali ke tempat kerja ternyata masih banyak yang belum menunjukkan peningkatan kemampuan seperti yang diharapkan (Kismiyati, 2008).
Bagi pustakawan, sertifikasi menjadi bukti atau pengakuan terhadap kemampuan mereka. Dengan sertifikat kompetensi, mereka dapat memilih peluangpeluang untuk pengembangan karir yang cocok dan sesuai. Dengan demikian sertifikasi dapat menjadi sarana untuk meningkatkan jenjang karier dan memacu diri agar lebih profesional dan mencapai hasil pekerjaan yang berkualitas dan dapat dipertanggung-jawabkan. Dengan memiliki sertifikat kompetensi, para pustakawan akan memiliki kepercayaan tinggi dalam melakukan penawaran posisi jabatan atau pekerjaan dengan pihak pengguna. Berbekal sertifikat kompetensi, para pustakawan juga tidak akan canggung berkomunikasi dengan rekan seprofesi.
2. Lembaga perpustakaan
Bagi lembaga perpustakaan, sertifikasi sangat bermanfaat dalam melakukan rekruitmen pustakawan. Selama ini jaminan mutu SDM lebih banyak dilakukan melalui sistem ijazah sekolah atau sertifikasi pelatihan. Hal ini mengakibatkan seseorang
Selama ini persyaratan pengalaman kerja selalu menjadi kendala bagi pencari kerja. Pengalaman sebenarnya bukan jaminan mutu. Pengalaman adalah proksi atau perwakilan perkiraan kemampuan. Dengan adanya sertifikasi kompetensi yang menjamin kemampuan, persyaratan pengalaman menjadi kurang relevan lagi. Ke depan, diharapkan dengan adanya sertifikasi, lembaga perpustakaan tidak sulit mencari pustakawan yang kompeten. Cukup dengan menyebutkan jenis dan tingkat sertifikasi pustakawan yang dibutuhkan, maka pustakawan yang dimaksud akan segera didapatkan. Bahkan cukup hanya menyebutkan jenis dan tingkat sertifikasi pustakawan tersebut.
3. Lembaga pendidikan perpustakaan
Bagi lembaga pendidikan,
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
15
mereka dapat membentuk 1. Standar kompetensi sertifikasi menjadi dasar dalam Lembaga Sertifikasi Profesi menyediakan paket-paket Standar kompetensi merupakan untuk mensertifikasi para pendidikan profesi bagi para syarat utama yang harus ada pustakawan. Wacana ini sering pustakawan dengan kurikulum sebelum dilaksanakannya dilontarkan, namun sebelumnya yang mengacu pada standar sertifikasi. Standar kompetensi terlebih dahulu perlu dipelajari kompetensi yang ditetapkan. adalah rumusan kemampuan dan dipersiapkan persyaratan Untuk lembaga pendidikan kerja yang mencakup aspek pembentukannya. formal, sertifikasi menjadi tolok pengetahuan, ketrampilan ukur keberhasilan program dan/atau keahlian serta sikap Langkah-Langkah Sertifikasi pendidikan yang mereka kerja yang relevan dengan Langkah-langkah apakah selenggarakan. Jika lulusan pelaksanaan tugas dan syarat yang harus dilakukan sebelum mereka ternyata banyak jabatan yang ditetapkan sesuai dilakukannya sertifikasi? Pada yang lulus uji kompetensi dengan ketentuan peraturan dasarnya pelaksanaan sertifikasi dan memperoleh sertifikat perundang-undangan yang dapat dilakukan dengan cara kompetensi, maka lembaga berlaku (PBNSP 202 Rev.2-2009). uji kompetensi secara langsung pendidikan tersebut memperoleh Standar kompetensi berisi atau berdasarkan portofolio. Uji nilai plus dan otomatis akan rumusan tentang kompetensikompetensi secara langsung memperoleh pengakuan dari kompetensi yang dibutuhkan adalah menguji pustakawan untuk para peserta didiknya. Jika untuk melaksanakan suatu setiap unit kompetensi yang pengakuan tersebut sudah pekerjaan atau tugas sesuai sudah ditetapkan dalam standar dimiliki, maka dampaknya dengan kriteria unjuk kerja kompetensi. Sedangkan portofolio lembaga pendidikan seperti yang dipersyaratkan. Dengan adalah menguji berdasarkan berkas ini akan lebih mudah men dikuasainya kompetensi tersebut yang berisi sekumpulan informasi cari peserta didik. Bagi para oleh seseorang maka yang pribadi yang merupakan catatan pustakawan yang merasa kompe bersangkuttan akan mampu : dan dokumentasi atas pencapaian tensinya belum mencukupi a. Bagaimana mengerjakan prestasi seseorang dalam pendidikan untuk mengikuti sertifikasi suatu tugas atau mereka dapat pekerjaan. mengikuti paketSertifikasi adalah proses pemberian b. Bagaimana paket pendidikan mengorganisasikannya sertifikat yang dilakukan secara profesi yang dise agar pekerjaaan lenggarakan oleh sistematis dan objektif melalui tersebut dapat lembaga pendidikan asesmen kerja nasional Indonesia dan/ dilaksanakan. non formal yang atau internasional c. Apa yang harus menyelenggarakan dilakukan bilamana pelatihan profesi. (Pedoman BNSP 202 Rev.2-2009). terjadi sesuatu yang berbeda dengan 4. Organisasi profesi rencana semula. kepustakawanan maupun pekerjaan yang berkaitan
Adanya sertifikasi akan mempermudah organisasi profesi kepustakawanan dalam menyusun program pengembangan karier bagi anggotanya. Organisasi profesi mempunyai tanggungjawab mempersiapkan anggotanya dalam menghadapi sertifikasi dengan cara melakukan kegiatan pemasyarakatan, bimbingan, maupun asistensi. Bahkan jika organsasi profesi sudah kuat,
16
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
dengan profesinya. Ada beraneka portofolio mulai dari rapor / ijasah hingga dokumen-dokumen lainnya seperti sertifikat, piagam penghargaan, karya tulis, dan lainlain sebagai bukti pencapaian hasil kerja seseorang. Berbeda dengan guru, sertifikasi pustakawan akan dilakukan secara langsung dengan menguji tiap unit kompetensi yang sudah ditetapkan dalam standar kompetensi. Secara garis besar tahapan tersebut adalah:
d. Bagaimana menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah atau menjalankan tugas dalam kondisi yang berbeda.
Pustakawan sebagai profesi harus profesional dalam bidangnya. Ciri-ciri sebagai satu profesi adalah terlatih, memberi jasa kepada umum, bersertifikat, dan menjadi anggota organisasi profesi
(BNSP, 2011). Untuk mendapatkan predikat profesional seorang pustakawan harus memiliki kompetensi sesuai standar yang sudah ditentukan. Seseorang yang dianggap profesional tidak cukup hanya dengan memiliki ijazah akademik saja, tetapi harus memiliki sertifikat berdasarkan standar kompetensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Standar kompetensi juga digunakan sebagai acuan untuk menyusun uraian pekerjaan, menyusun dan mengembangkan program pelatihan, menilai unjuk kerja seseorang, dan sertifikasi profesi di tempat kerja.
Standar kompetensi pustakawan saat ini sedang dalam proses menuju konvensi dan ditargetkan tahun ini sudah ditetapkan. Penyusunan standar kompetensi pustakawan dilakukan oleh tim penyusun dan tim teknis yang dibentuk oleh Perpustakaan Nasional RI dengan Surat Keputusan (SK). Tim penyusun dan tim teknis terdiri dari berbagai unsur antara lain organisasi profesi, BNSP, Kemenakertrans,
Kemenpan, BKN, para pakar perpustakaan dan lembaga pendidikan perpustakaan. Penyusunan standar kompetensi pustakawan sampai saat ini belum selesai karena masih menunggu penyelesaian PP Pelaksanaan UU Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan sebagai payung dalam menyusun standar tenaga perpustakaan yang antara lain berisi tentang standar kompetensi pustakawan. Standar ini mendesak untuk segera direalisasikan, karena di Indonesia belum ada standardisasi dan sertifikasi kompetensi pustakawan yang bersifat nasional dan diakui oleh semua pihak sehingga masing-masing lembaga/instansi perpustakaan mengatur dan menentukan standar sendiri. Ditargetkan tahun 2011 standar kompetensi ini akan segera dikonvensikan dan ditetapkan, karena PP direncanakan terbit pada bulan November 2011. 2. Lembaga Sertifikasi Profesi
Lembaga Sertifikasi profesi (LSP) adalah lembaga
independen sebagai pelaksana kegiatan sertifikasi profesi yang mendapatkan lisensi dari BNSP. LSP inilah yang akan melakukan uji kompetensi pustakawan. Pembentukan LSP harus memenuhi persyaratan antara lain memiliki panduan/pedoman mutu, materi uji kompetensi, tempat uji kompetensi, dan asesor yang mengujinya. Saat ini sedang dipersiapkan pembentukan LSP Pustakawan dengan mulai disusunnya pedoman mutu dan lampiran-lampirannya. Pembentukan LSP memerlukan anggaran operasional yang cukup besar. Idealnya anggaran operasional LSP tergantung pada biaya sertifikasi yang dibayar oleh asesi (pustakawan yang mengikuti uji kompetensi). Saat ini pembiayaan seperti itu belum mungkin diterapkan, karena pustakawan akan merasa terbebani mengingat ”reward” yang akan mereka terima setelah sertifikasi belum ditetapkan. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika biaya operasional LSP sementara disediakan oleh instansi pembina yaitu Perpustakaan Nasional RI
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
17
walaupun secara struktural LSP tidak akan berada di bawahnya.
apakah layak atau tidak. Saat ini sudah tersedia tenaga asesor kompetensi dan asesor lisensi yang diikutkan diklat oleh BNSP.
3. Materi Uji Kompetensi
Materi Uji Kompetensi (MUK) disusun oleh LSP dan menjadi dokumen yang terkendali atau rahasia. MUK disusun berdasarkan standar kompetensi yang sudah ditetapkan. Saat ini MUK sudah mulai disusun secara simultan dengan penyusunan standar kompetensi, dan panduan mutu LSP. Penyusunan MUK memerlukan waktu dan sangat tergantung pada penyelesaian standar kompetensi.
4. Tempat Uji Kompetensi
Tempat Uji Kompetensi (TUK) adalah suatu tempat kerja profesi atau tempat simulasi yang memiliki sarana dan prasarana dengan kriteria setara dengan tempat kerja profesi yang diverifikasi oleh LSP untuk menjadi Tempat Asesmen/Uji Kompetensi. TUK direncanakan dibentuk di setiap provinsi yang mengajukan usul pembentukan dan memenuhi syarat.
5. Asesor
Asesor terdiri dari asesor kompetensi dan asesor lisensi. Asesor kompetensi adalah seseorang yang mempunyai kualifikasi yang relevan dan kompeten untuk melaksanakan dan/atau asesmen/penilaian kompetensi. Asesor ini nantinya yang akan menguji para pustakawan yang mengikuti uji kompetensi. Asesor lisensi adalah seseorang yang mempunyai kualifikasi yang relevan dan kompeten untuk melaksanakan dan/atau asesmen sistem manajemen mutu. Asesor lisensi bertugas menilai LSP dan TUK
18
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
6. Tunjangan
Jika guru yang tersertifikasi memperoleh tunjangan profesi sebesar gaji pokok, karena dalam UU Guru dan Dosen telah diatur hal itu. Sementara kita baru memiliki UU tentang Perpustakaan yang secara jelas mengaitkan sertifikasi dengan penerimaan tunjangan profesi. Untuk mengatasi hal tersebut, maka kaitan antara sertifikasi dan tunjangan diatur dalam (R)PP Pelaksanaan UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.
Penutup Terbitnya UndangUndang Nomor 43 Tahun 2007 menumbuhkan harapan para pustakawan untuk meningkatkan karier dan kesejahteraannya. Jika sertifikasi kompetensi Pustakawan sudah digunakan sebagai tolok ukur pemberian rekognisi atau penghargaan kepada Pustakawan dalam bentuk jabatan, karier, penggajian/tunjangan dan penghargaan lainnya, maka hal ini akan dapat mengembangkan nilai-nilai baru dan mengubah cara pandang masyarakat terhadap jalur karier di dunia perpustakaan. Profesi pustakawan di masa yang akan datang diharapkan sejajar dengan profesi lain atau profesi di tingkat nasional maupun internasional. Apalagi globalisasi pasar kerja, baik di forum WTO, APEC maupun AFTA, akan lebih banyak diwarnai oleh persaingan kualitas dan profesionalisme tenaga kerja. Akibatnya, segmentasi pasar kerja akan bergeser dari pendekatan wilayah ke pendekatan bidang profesi atau kompetensi. Hal tersebut juga akan segera mengimbas kepada
profesi Pustakawan. Jika masingmasing negara telah menjalin kerjasama kesetaraan standar dan sertifikasi kompetensi, sangat mungkin terjadi para pustakawan di luar negara kita akan segera ikut bersaing dengan pustakawan kita. Untuk menghadapi hal tersebut, kita perlu mempersiapkan diri dengan cara meningkatkan kompetensi dan profesionalisme. Jangan sampai kita menjadi penonton di negeri kita sendiri, sementara bidang yang menjadi ladang pekerjaan kita diambil alih oleh tenaga dari luar. P *) Disampaikan pada Seminar Nasional Perpustakaan dalam rangka Dies Natalis IPB ke 48, tanggal 14 September 2011, di Bogor.
daftarpustaka Special Libraries Association. 2003. Competencies For Information Professionals: Competencies For Information Professionals Of The 21th Century, revised edition, June 2003. http://www.sla.org. Republik Indonesia. 2007. Peraturan dan Perundang-undangan. UndangUndang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan. Republik Indonesia. 2007. Peraturan dan Perundang-undangan. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanan Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan. Dicetak terbatas. Republik Indonesia. 2007. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Peraturan Menteri Tenaga dan Transmigrasi RI Nomor : PER.21/MEN/ X/2007 tentang Tata cara Penetapan Standar Kompetensi kerja Nasional Indonesia. Republik Indonesia. 2009. Badan Nasional Sertifikasi Personil. Pedoman BNSP 202 Rev.2-2009. Kismiyati, T. 2008. Kompetensi Pustakawan Perguruan Tinggi. Makalah disampaikan pada Rapat Kerja Nasional FPPTI, Seminar Ilmiah, dan Workshop, tanggal 21 Agustus, di Cibogo, Bogor. Kismiyati, T. 2004. Standar Kompetensi Pustakawan. Makalah disampaikan pada Temu Ilmiah Perpustakaan Perguruan Tinggi, tanggal 12 Juni 28 September di Cisarua, Bogor.
DOK PRI.
Oleh : Ninis Agustini Damayani Dosen Jurusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran.
Kompetensi dan Sertifikasi Pustakawan:
Ditinjau dari Kesiapan Dunia Pendidikan Ilmu Perpustakaan Pendahuluan Era globalisasi yang salah satu tandanya adalah kehadiran informasi dalam jumlah yang sangat besar secara terus menerus dari berbagai penjuru dunia, merupakan fenomena yang terjadi begitu saja tanpa seorangpun dapat menghindarinya. Globalisasi 3.0 yang terjadi pada tahun 2000 telah menyusutkan dunia yang kecil menjadi sangat kecil namun sekaligus menjadi kekuatan baru yang ditemukan untuk bekerjasama dan bersaing secara individual di kancah global. Fenomena tersebut oleh Friedman (2006:10) dikatakan sebagai tatanan dunia datar (flat-world-platform) yaitu konvergensi antara komputer pribadi dimana setiap individu dapat menjadi komunikator sekaligus komunikate tanpa menghiraukan jarak antar mereka, sehingga memungkinkan mereka secara bersama-sama mengerjakan suatu materi digital atau berbagi informasi secara online. Kekuatan individu dan kelompokkelompok kecil sebagai motor penggerak globalisasi semakin
nyata dengan adanya mesin pencari seperti google, yahoo dan lain-lain serta maraknya jejaring sosial seperti facebook, twitter dan lain-lain. Mereka secara individual maupun berkelompok menghilangkan batas negara untuk berinteraksi, membahas dan menyelesaikan satu masalah yang sama secara bersama-sama. Namun demikian, hadirnya informasi yang begitu beragam dan dalam jumlah yang begitu besar secara terus menerus ternyata tidak selalu membuat hidup menjadi lebih mudah. Memilih dan menentukan informasi yang paling dibutuhkan dengan skala prioritas ternyata sulit dan butuh keahlian. Globalisasi 3.0 amat membutuhkan hadirnya seseorang yang memiliki kompetensi mengelola informasi agar informasi yang tepat dapat sampai pada orang yang tepat, pada waktu yang tepat, dan dengan format dan cara yang tepat, serta di tempat yang tepat pula. Orang bijak mengatakan bahwa keputusan yang tepat diambil atas dasar informasi yang tepat. Kemudian siapakah seseorang
dengan kompetensi seperti itu? Di Indonesia dia biasa disebut sebagai pustakawan. Sebutan bagi seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/ atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan.1) Mengapa Pustakawan? karena Penyelenggara Pendidikan Ilmu Perpustakaan di Indonesia pada prinsipnya mengha silkan lulusan yang memiliki kemam puan mengelola informasi mulai dari collecting, processing, disseminating and preserving of information. Kompetensi Ada beberapa pengertian kompetensi yang digunakan di Indonesia: 1. UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas penjelasan pasal 35 (1): Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengeta huan, dan keterampilan sesuai dengan standard nasional yang telah disepakati.
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
19
2. UU No. 13/2003 tentang Ketena gakerjaan : pasal 1 (10) Kompetensi adalah kemampuan kerja setiap individu yang menca kup aspek pengetahuan, keteram pilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan 3. Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 46A Tahun 2003 Tanggal 21 Nopember 2003 Kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki seorang Pegawai Negeri Sipil berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku yg diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya, sehingga Pegawai Negeri Sipil tersebut dapat melaksanakan tugasnya secara professional, efektif, dan efisien. 4. Surat Keputusan Mendiknas nomor 045/U/2002. tentang Kurikulum Inti Perguruan Tinggi mengemukakan : Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu 5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 101 Tahun 2000, Tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan pegawai Negeri Sipil Kompetensi adalah kemampuan dan karateristik yang dimiliki oleh Pegawai Negeri Sipil berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap – prilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya. Dari pengertian-pengertian di atas maka kompetensi dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mencapai keberhasilan dalam melaksanakan tugas yang mencakup
20
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku. Sekarang bagaimana dengan kompetensi pustakawan? Kompetensi Pustakawan Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa pustakawan harus memilki kemampuan mengelola informasi yang mencakup; 1. Collecting of Information Mengumpulkan tidak lagi berarti harus menyimpan dalam satu ruangan/gedung tertentu tetapi tahu dimana informasi berada dan bagaimana mengaksesnya sesuai yang dibutuhkan pemus taka sasaran. Oleh karenanya Pustakawan harus memiliki: pengetahuan tentang sumbersumber informasi, pengetahuan, keterampilan, sikap perilaku penelusuran informasi, pengeta huan, keterampilan, sikap perilaku penggunaan/pengoperasian teknologi informasi dan komuni kasi, pengetahuan, keteram pilan, sikap perilaku mengenal pemustaka sasaran dan kebutuh an informasinya. Stueart dan Moran (2002:8-9) menjelaskan bahwa telah terjadi pergeseran paradigm pada sumber-sumber informasi seperti berikut; jika dulu perpustakaan harus memiliki sendiri koleksinya dan disimpan dalam bentuk media cetak, maka dewasa ini koleksi pepustakaan juga ada yang bersifat virtual dan media yang digunakan untuk menyimpan informasi dapat berbentuk cetak dan non cetak. Selain itu perpustakaan tidak perlu memiliki sendiri semua informasi. Perpustakaan harus membangun jejaring dengan berbagai lembaga informasi, dan pihak penyedia informasi agar dapat menyediakan informasi untuk pemustaka sasarannya. Perubahan ini juga memerlukan kesiapan mental
untuk berbagi informasi dengan yang lain serta kesadaran akan adanya desentralisasi informasi. Selanjutnya literasi informasi juga merupakan kemampuan penting yang harus dimiliki pustakawan agar dapat merujuk pada informasi yang akurat. 2. Processing of Information Memproses atau mengolah informasi berarti membuat informasi yang dibutuhkan mudah ditemukan kembali oleh pemustaka sasaran. Sistem informasi apapun yang digunakan prinsipnya adalah user friendly. Oleh karenanya pustakawan harus memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap perilaku pengolahan informasi, seperti katalogisasi, klasifikasi baik secara manual maupun berbasis teknologi. Pustakawan juga harus memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap perilaku penggunaan/ pengoperasian teknologi informasi dan komunikasi. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sedemikian rupa telah membawa perpustakaan pada tatar Library 3.0, dimana seseorang secara lebih cepat, lebih simpel dapat terhubung dengan semua meta data yang tersedia di seluruh penjuru dunia. Fenomena belantara informasi ini tentu menuntut pustakawan memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap perilaku yang dapat mempertemukan, menghubungkan pemustaka sasaran dengan informasi yang dibutuhkannya baik dalam bentuk cetak ataupun non cetak. 3. Disseminating of Information Menyebarkan informasi berarti memberikan layanan informasi seperti yang diinginkan pemustaka sasaran yang diperoleh melalui riset pasar. Oleh karenanya
pustakawan harus memiliki membangun kesamaan makna komunitas atau kelompok pengetahuan, keterampilan, dengan cara yang sesuai dengan yang memiliki kebutuhan dan sikap perilaku melaksanakan stakeholder. Roberts and Rowley peminatan yang sama menjadi penelitian/kajian/identifikasi (2004:39-40) menjelaskan, bahwa penting ketika pengetahuan pemustaka guna memperoleh “excellent interpersonal skills are dikonstruksi bersama orang gambaran yang jelas tentang essential not only when managing lain. Dengan kata lain menjadi karakteristik pemustaka sasaran staff but when fostering productive literat merupakan usaha yang sehingga dapat dirancangkan relationship at all levels – with dibangun bersama orang lain. model layanan informasi yang users both within and outside an Oleh karenanya pustakawan harus sesuai dan tepat sasaran. Selain organization”. Konstruksi makna menjadi kreator, fasilitator, dan itu pustakawan harus memiliki bersama yang dibangun lewat motivator bagi terbangunnya pengetahuan, keterampilan, pertukaran simbol baik verbal pemustaka-pemustaka yang sikap perilaku marketing agar maupun non-verbal, secara literat. (Damayani,2011). produk perpustakaan, baik itu langsung ataupun melalui media berbentuk barang, jasa, dan ide ditujukan untuk memenuhi 4. Preserving of Information yang disediakan/ditawarkan harapan pemustaka sasaran. Menyelamatkan hasil pikir diketahui dan dimanfaatkan Seperti dijelaskan oleh Totterdell manusia yang terekam dan pemustaka sasaran. Pergeseran (2005:99), bahwa “library and terdokumentasikan melalui paradigm layanan informasi yang information staff need to be polite cara-cara yang aman bagi semula hanya pasif menyimpan (but never obsequious on the one kepentingan pengembangan informasi/koleksi pustaka, pengetahuan dan peradaban menjadi aktif menekankan juga menjadi tanggung jawab Orang bijak mengatakan pada nilai tambah, pustakawan. Mengoptimalkan kekhususan, keunikan dari usia pendayagunaan koleksi bahwa keputusan yang tepat layanan informasi/koleksi pustaka/informasi dari diambil atas dasar informasi pustaka yang disediakan/ generasi satu ke generasi lain yang tepat. ditawarkan. Pergeseran menjadi penting mengingat paradigm juga terjadi manusia mengembangkan pada orientasi pemustaka, diri melalui pengetahuan dimana kebutuhan dan keinginan hand or patronizing on the other), yang diperolehnya dari hasil pikir mereka menjadi fokus dari semua friendly (but always professional) manusia-manusia terdahulu. perencanaan, implementasi, dan and always able to behave in a Oleh karenanya pustakawan evaluasi kegiatan perpustakaan courteous, patient and tactful harus memiliki pengetahuan, (Stueart dan Moran, 2006:10manner”. Selanjutnya Totterdel ketrampilan serta sikap perilaku 11). Seperti juga dijelaskan oleh menambahkan, bahwa “library preservasi preventif yang Roberts and Rowley (2004:129) and information staff need to give memadai mulai dari seleksi bahwa “collecting data and the user their complete attention – akuisisi, penyimpanan, dan information on customers provide with proper but not excessive eye diseminasi koleksi pustaka/ basis for forming groups or segments contact – during the interaction”. informasi untuk menghindari atau of customers, so that it is possible to meminimalkan kerusakan. consider their different expectations, Membangun pemustaka yang needs and value sets and to respond literat juga merupakan hal Melalui pemaparan tentang accordingly”. paling penting dari layanan kompetensi pustakawan maka dapat perpustakaan/informasi yang disimpulkan bahwa kompetensi Selanjutnya pengetahuan, dapat dilakukan melalui kegiatanberupa kemampuan yang harus keterampilan, sikap perilaku kegiatan yang kreatif, inovatif dimiliki pustakawan terdiri dari hard komunikasi baik dalam bentuk dan mengedepankan selera skill dan soft skill. Hard skill berupa komunikasi interpersonal, pemustaka. Prinsip one game kemampuan kerja mengelola kelompok, organisasi ataupun one customer dapat diadaptasi informasi (collecting, processing, massa juga harus dimiliki untuk memberikan kepuasan disseminating, preserving) secara pustakawan sebagai upaya layanan perpustakaan/informasi. teknis, termasuk berbasis teknologi menjalin hubungan dan Menjadi bagian dari sebuah informasi dan komunikasi, bagi
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
21
terselenggaranya kegiatan layanan perpustakaan/informasi. Adapun soft skill berupa kemampuan membangun relasi, interaksi dan bekerjasama dengan dengan orang lain dalam mengelola informasi (collecting, processing, disseminating, preserving), seperti communication skill, interpersonal skill, entrepreneurship, leadership. Sertifikasi. Pemberian serifikasi telah diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2004, tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Dalam PP No. 23 Tahun 2004 ini menjelaskan, bahwa Sertifikasi kompetensi kerja merupakan suatu proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistimatis dan objektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi kerja nasional Indonesia dan atau Internasional. Adapun Standar Kompetensi Nasi onal Indonesia adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.2) Adapun sertifikasi pustakawan merupakan pengakuan terhadap kemampuan seseorang dalam bi dang kepustakawanan dan informasi oleh suatu asosiasi profesi /lembaga. Sertifikasi pustakawan sebagi bentuk pengakuan pengetahuan, keterampilan, sikap perilaku di bidang ilmu informasi dan perpustakaan menjadi sangat penting di tengah isyu kegalauan eksistensi pustakawan dan perpustakaan serta keilmuannya. Dengan adanya sertifikasi diharapkan semua pihak baik pemberi sertifikasi dan penerima sertifikasi memahami betul perlunya tenaga pustakawan yang kompeten di bidangnya untuk
22
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
mengantar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang literat yaitu bangsa yang cerdas, kritis dan etis. Sertifikasi pustakawan dapat merupakan titik balik bagi kepedulian yang dalam pada pustakawan, perpustakaan dan keilmuannya. Adapun pihak-pihak yang melakukan uji kompetensi dalam rangka pemberian sertifikasi pustakawan, (dapat diusulkan) merupakan gabungan unsur praktisi pustakawan dan akademisi bidang Ilmu informasi dan Perpustakaan. Kesiapan Penyelenggara Pendidikan Ilmu Perpustakaan Penyelenggara Pendidikan Ilmu Informasi dan Perpustakaan memiliki peran besar untuk menghasilkan pustakawan-pustakawan yang memiliki kompetensi yang sang gup menjawab tantangan dan persaingan global. Namun tak kalah penting tangan-tangan dingin dan pengalaman para pustakawan senior di tempat mereka bekerja akan melengkapi pengetahuan, keterampilan, serta sikap perilaku mereka agar sesuai standar yang ditetapkan. Penyelenggara Pendidikan Ilmu Informasi dan Perpustakaan di Indonesia berjumlah lebih kurang 23 dan terdiri dari jenjang D3, S1, dan S2. Meski ma sing-masing Program Studi Ilmu Pepustakaan ini tidak berada pada Fakultas yang sama, seperti JIIP UNPAD dibawah FIKOM, sedang JIIP UI dibawah FIB dll, namun perbedaan tersebut justru merupakan nilai tambah bagi masing-masing PRODI yang akan memberi warna khas pada lulusannya. Penutup Persaingan global merupakan tantangan berat bagi semua profesi termasuk pustakawan. Kebutuhan informasi dan cara memperoleh informasi yang semakin beragam karena perbedaan karakteristik pemustaka membutuhkan pustaka
wan-pustakawan yang memiliki kompetensi tinggi baik hard skill dan soft skill. Peningkatan pengetahuan, keterampilan, serta sikap perilaku dalam pengelolaan informasi mela lui pendidikan dan juga pelatihan merupakan keharusan bagi pusta kawan agar lebih berkualitas dan siap tersertifikasi. Selanjutnya pengembangan pustakawan berkualitas dan memiliki sertifikasi pustakawan harus menjadi bagian dari pengembangan perpustakaan itu sendiri. P
*) Disampaikan pada Seminar Nasional Perpustakaan dengan tema “Kompetensi dan Sertifikasi Pustakawan dalam Menghadapi Tantangan dan Persaingan Global” yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Institut Pertanian Bogor, pada hari Rabu, tanggal 14 September 2011, di IPB-ICC Bogor. 1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan. 2) http://www.pu.go.id/satminkal/itjen/hukum/ pp23-04.htm, diakses 4 September 2011.
daftarpustaka Friedman, T L. 2006. The World is Flat: Sejarah Ringkas Abad Ke-21. (Terjemahan). Jakarta: Dian Rakyat. Roberts, S. and Rowley, J. 2004. Managing Information Services. London: Facet. Rubin, Richard E. 2004. Foundations of Library and Information Science. 2d.ed. New York: Neal-Schuman. Stueart, R D. and Moran, B B. 2002. Library and Information Center Management. 6th.ed. Westport: Greenwood. Totterdell, A. 2005. Library and Information Work. London: Facet. Damayani, N A. 2011. Komunitas Literer Bandung: Studi Fenomenologi pada Individu yang Terlibat dalam Pergerakan Literasi Informasi. Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran. Perpustakaan Nasional RI. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2007 Tentang Perpustakaan.
DOK PRI.
Oleh: Ade Kohar Pustakawan Madya di Instansi PDII - LIPI
Kinerja Pustakawan Dalam Mata Rantai Informasi di Perpustakaan (Suatu Studi di Pdii – Lipi) Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja pustakawan dalam mendukung pemakai perpustakaan menciptakan informasi yang baru. Obyek penelitiannya adalah para pengunjung yang datang sehari-hari di Perpustakaan PDII-LIPI. Untuk itu diambil sample sebanyak 30 orang yang menjadi responden penelitian dengan cara acak. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara terstruktur terhadap responden yang menyatakan dirinya sering berkunjung ke PDII-LIPI. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja pustakawan dalam mendukung pemakai perpustakaan menciptakan informasi baru masih terpaku pada layanan informasi secara fungsional di perpustakaan. Dalam hal ini pustakawan mempunyai kinerja yang baik untuk melayani kebutuhan informasi pemakai perpustakaan. Pemakai perpustakaan pada umumnya pernah mendapatkan bimbingan pustakawan dalam mengakses informasi dan penjelasan infomasi mutakhir di perpustakaan. Walaupun pustakawan relatif belum pernah melakukan pemantauan terhadap pemanfaatan informasi dari perpustakaan oleh pemakai perpustakaan. Di pihak lain pustakawan belum menunjukkan kinerja yang nyata dalam menyampaikan ide penciptaan informasi yang baru bagi pemakai perpustakaan. Pada umumnya pemakai perpustakaan tidak pernah mendapatkan ide penulisan ilmiah dan penelitian dari pustakawan. Dengan demikian pustakawan belum mempunyai peran aktif dan inovatif dalam menciptakan siklus informasi baru yang menjadi sasaran mata rantai informasi di perpustakaan.
Pendahuluan Latar Belakang Sejarah peradaban manusia saat ini sudah masuk di dalam abad atau era informasi setelah melampaui era pertanian dan industrialisasi. Era informasi ini oleh Alvin Toffler disebut juga gelombang ketiga. Fungsinya adalah membuat semua warisan budaya manusia menjadi pengetahuan dan informasi. Informasi tersebut sangat diperlukan oleh setiap orang dalam menjalani kehidupan masyarakat modern yang semakin kompleks. Berlangsungnya era informasi informasi ditandai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Di era informasi, peran informasi menjadi sangat penting bagi masyarakat dalam meraih kehidupan yang lebih baik. Melek informasi merupakan modal bagi setiap orang untuk memasuki berbagai persaingan hidup. Misalnya kegiatan manusia mengisi pasaran kerja, tahu atau tidak tahu informasi menentukan posisi seseorang dalam memperoleh kerja. Orang yang menguasai informasi dapat membina karir dan prestasi kerja sampai pada posisi yang setinggi-tingginya. Begitu pula keberhasilan hidup selanjutnya punya atau tidak punya bagi seseorang pasti dipengaruhi oleh penguasaannya
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
23
Penyelidikan Charles Scheiber menyimpulkan hanya sekitar 15% kecerdasan, informasi dan pengetahuan seseorang diperoleh melalui pendidikan formal. Sedangkan 85% selebihnya diserahkan pada usaha setiap individu dalam mengembangkan ilmu pengetahuannya melalui membaca, termasuk di dalamnya membaca di perpustakaan. (Harian Jayakarta, 22 September 1990) terhadap informasi atau ilmu pengetahuan. Kapasitas seseorang menguasai informasi dan ilmu pengetahuan tidak hanya diperoleh melalui pendidikan formal, tetapi ditunjang pula oleh semua kegiatan, ineteraksi, pengalaman dan cara mengejar pengatahuan selanjutnya. Penyelidikan Charles Scheiber menyimpulkan hanya sekitar 15% kecerdasan, informasi dan pengetahuan seseorang diperoleh melalui pendidikan formal. Sedangkan 85% selebihnya diserahkan pada usaha setiap individu dalam mengembangkan ilmu pengetahuannya melalui membaca, termasuk di dalamnya membaca di perpustakaan (Harian Jayakarta, 22 September 1990). Dengan demikian perpustakaan mempunyai andil yang sangat besar dalam peranannya mengembangkan kecerdasan, pemilikan informasi dan pengetahuan masyarakat. Perpustakaan adalah suatu sistem informasi yang menyediakan dan menawarkan jasa layanan informasi untuk kepentingan masyarakat pemakai. Informasi secara fisik datang di perpustakaan setelah melewati beberapa mata rantai mulai dari pencipta, penerbit dan broker informasi. Kemudian perpustakaan
24
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
itu sendiri menjadi suatu mata rantai yang bertugas mengalirkan informasi sampai ke mata rantai berikutnya, yaitu masyarakat pemakai informasi. Dalam posisi seperti itu perpustakaan mempunyai tugas untuk mencapai sasaran mata rantai informasi secara keseluruhan, yaitu terciptanya siklus pengembangan informasi dan pengetahuan baru. Dengan kata lain perpustakaan bertugas menjadikan informasi yang dikelolanya bermanfaat bagi masyarakat pemakai dalam menciptakan informasi yang baru. Kemudian pustakawan yang berkiprah di dalamnya dituntut untuk berperan aktif dalam melaksanakan tugas yang disandang perpustakaan. Pustakawan harus menunjukkan kinerja yang nyata dalam mendukung tercapainya sasaran mata rantai informasi di perpustakaan. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui kinerja pustakawan dalam mata rantai informasi di perpustakaan. Sedangkan tujuan khususnya adalah untuk mengetahui upaya pustakawan dalam mendukung pemakai perpustakaan menciptakan informasi yang baru. Upaya
pustakawan di sini menyangkut aktifitas dalam memberikan layanan informasi dan ide untuk menciptakan informasi yang baru. Khususnya bagi masyarakat pemakai perpustakaan di PDII – LIPI. Rumusan Masalah Peran perpustakaan sebagai mata rantai informasi adalah turut serta di dalam menciptakan siklus informasi yang dikelolanya bermanfaat bagi para pemakai dalam menciptakan informasi baru kemudian mengalirkannya kembali mengikuti mata rantai informasi yang ada. Pustakawan adalah pelaku yang bertanggungjawab untuk melaksanakan peran dan tugas perpustakaan tersebut. Masalahnya sekarang adalah bagaimana kinerja pustakawan dalam mendukung pemakai perpustakaan menciptakan informasi yang baru. Pustakawan yang dimaksud terbatas pada pustakawan yang bertugas melayani informasi secara langsung di unit Jasa Layanan Perpustakaan PDII - LIPI. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak perpustakaan khususnya di PDII – LIPI, yaitu sebagai berikut : 1. Menjadi bahan kebijakan bagi pengembangan dan pembinaan kinerja pejabat fungsional pustakawan dalam melayani pemakai perpustakaan. 2. Menjadi bahan kebijakan bagi pengembangan peran perpustakaan sebagai mata rantai informasi. Rantai Informasi Kekuatan informasi terutama informasi tertulis atau terekam telah menjadi tanda peralihan dari zaman pra-sejarah ke zaman sejarah. Peradaban manusia yang mengiringi
zaman tersebut dikelompokkan sesuai dengan budayanya, sejauh mana mereka menguasai informasi. Masyarakat atau bangsa yang banyak menguasai, memiliki dan mengakses informasi, itulah masyarakat atau bangsa yang telah mempunyai peradaban yang tinggi (Rada, 1996 : 25-26). Di era globalisasi saat ini, struktur informasi global akan mempunyai suatu dampak yang penting terhadap kehidupan manusia. Contohnya, struktur informasi akan membantu manusia dalam : penggalian sumber informasi, penemuan baru, belajar, penerbitan, pengorganisasian dan pelestarian informasi, pemanfaatan informasi, pendidikan dan sebagainya (Bearman, 1996 : 37). Untuk itu terciptalah aliran informasi melalui berbagai simpul mata rantai yang saling berkaitan. Rantai informasi muncul dengan dilandasi oleh konsep rantai nilai (value chain) yang dikembangkan oleh Michael Porter di tahun 1980. Porter mengenalkan rantai nilai untuk menjelaskan hubungan antara konsumen, penyalur, produsen dan organisasi bisnis pada umumnya dalam menyikapi distribusi poduk barang atau jasa. Rantai nilai produksi ini secara grafis melukiskan aktifitas yang berlainan dari masing-masing pelaku ekonomi produksi. Biaya yang timbul di dalamnya dijadikan dan diidentifikasi sebagai nilai yang harus ditanggung oleh masingmasing pelaku. Model pemasaran produk sebagai mata rantai akhir sebelum mencapai konsumen harus mampu mengeksploitasi biaya guna memberikan masukkan bagi modi fikasi dan pengembangan produk baru (Cisco & Strong , 1999 : 1). Kini konsep rantai nilai produksi dapat diterapkan dalam berbagai bidang organisasi, termasuk di dalamnya organisasi pengelola informasi. Nilai dapat didefinisikan sebagai kegunaan. Rantai
intai nilai adalah model untuk menggambarkan peningkatan keguanaan atau nilai tambah aktifitas dalam suatu proses. Untuk itu rantai nilai manajemen informasi menekankan pada berbagai aktifitas yang memerlukan biaya untuk memberikan nilai tambah terhadap informasi. Dalil atau usulan nilai adalah untuk meningkatkan kegunaan informasi pada tingkat pemakai akhir. Pengelola informasi harus mampu membantu para pemakainya membuat keputusan yang lebih baik, terutama di dalam mengembangkan informasi dan pengetahuan baru. Untuk itu di dalam organisisasi pengelolaan informasi dilakukan serangkaian aktifitas yang berkaitan dengan kepentingan pemakai sebagai mata rantai informasi terakhir. Aktifitas tersebut mencakup beberapa tahapan sebagai berikut (Cisco & Strong, 1992 : 2) : 1. Pengumpulan, data atau dokumen berkaitan dengan informasi dan pengetahuan diciptakan dan dikumpulkan. 2. Pengubahan, informasi yang terkumpul dipilah, disusun, diindeks, dan diorganisir. 3. Penyimpanan, informasi pengetahuan dipelihara dalam tempat penyimpanan. 4. Pengalihan, informasi disebarkan dan dipresentasikan. 5. Pemakaian, informasi digunakan untuk mendukung keputusan dan aktifitas organisasi atau kepentingan lainnya. Menurut Adams (2003 : 1) seseorang mengambil keputusan seadanya bukan karena informasi relevan yang mendukung tidak ada, tapi karena ada kemungkinan informasi tersebut tidak ditemukan. Karena itu perlu ada upaya untuk memperkuat setiap mata rantai informasi, mulai dari publikasi, distribusi, koleksi, penyimpanan
dan penyebaran, temu kembaIi sampai pada pemanfaatan informasi. Sehingga informasi dimanapun berada dapat ditemukan dan digunakan oleh pemakai yang memerlukannya. Werner Gitt mengutarakan beberapa prinsip empiris untuk menjaga kekuatan dan kelancaran aliran rantai informasi, diantaranya adalah : (1) Informasi ada karena adanya pencipta dan penyalur, (2) Mata rantai informasi ada karena adanya kemurnian mental pengelola, dan (3) Informasi ada karena adanya kemauan pemakai (Baldwin, 2006 :1-2) Berdasarkan prinsip empiris tersebut dapat disimpulkan bahwa, informasi baru akan erus bertambah, berkembang dan berkesinambungan. Persyaratannya adalah para pengelola informasi harus mempunyai mempunyai komitmen dan moral professional untuk tetap mengalirkan informasi kepada pihak pemakai yang berkepentingan. Dengan demikian akan membangun sikap, kemauan dan optimisme pemakai informasi untuk terus mengembangkan karya cipta informasi dan pengetahuan baru di dalam berbagai bentuk dokumen. Karya cipta itulah yang akan terus mengalir menjadi materi dalam perpustaran informasi melalui mata rantai yang ada. Pengertian Informasi Secara sederhana informasi bisa berarti pesan atau keterangan yang dapat diterima oleh seseorang. Informasi mempunyai kekuatan bagi manusia dalam membentuk cara berpikir, pendekatan realita dan membuka pintu pengembangan logika, metode ilmiah serta ketahanan konsep ilmiah atau ilmu pengetahuan. Lebih jauh lagi kita dapat melihatnya secara runtun dan pragmatik keterkaitan antara fakta, data, informasi dan pengetahuan. (Bauwens, 1996 : 49-50)
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
25
1. Fakta, setiap individu manusia pasti merasakan berbagai rangsangan dari luar yang ada di sekelilingnya. Semua rangsangan yang datang dan diterima menjadi fenomena serta perhatian inti setiap orang selanjutnya disebut fakta. 2. Data, fakta dapat diterjemahkan ke dalam berbagai simbol seperti tulisan, gambar dan sebagainya yang dalam kehidupan sehari-hari disebut data. Data tersebut dapat dipilih, disaring, diproses dan disebarluaskan kepada khalayak ramai yang memerlukannya. Dengan kata lain data merupakan informasi awal yang masih bersifat kasar dan belum diproses. 3. Informasi, informasi adalah data yang dikumpulkan dan diolah hingga mempunyai struktur wujud yang berarti serta dapat menolong dalam memecahkan masalah yang dihadapi seseorang. 4. Pengetahuan, bila informasi yang baru diterima seseorang berakumulasi dengan pengetahuan serta pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya, maka informasi tersebut akan menjadi pengetahuan. Dengan pengetahuan selanjutnya manusia dapat membangun intelegensi dan kebijakan. Orang yang bijak adalah orang yang mampu menghilangkan kesenjangan dalam dirinya antara pengetahuan yang telah dimiliki dengan apa yang dilakukannya. Mata Rantai Informasi Mata rantai informasi adalah simpul-simpul berkaitan yang dilalui oleh aliran informasi mulai dari pencipta sampai dengan para pemakainya. Informasi dapat dianggap sebagai benda yang
26
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
mempunyai wujud dalam berbagai bentuk kemasan seperti : buku, majalah, basis data dan bentuk kemasan lainnya yang dapat dilihat fisiknya secara nyata(darmono dan Yunaldi, 1996 : 26). Untuk itu informasi dapat diciptakan, dialihkan dan disebarluaskan melalui berbagai mata rantai yang ada. Menurut Melis (1996:31) ada lima aktor informasi yang masing-masing mempunyai peran dalam membentuk mata rantai informasi, yaitu sebagai berikut: 1. Pencipta Pencipta adalah setiap individu penulis atau pengarang yang menghasilkan informasi baru, baik informasi berupa hasil aktualisasi gagasannya secara orisinil maupun hasil kelanjutan mengkonsumsi informasi yang telah ada. 2. Penerbit Penerbit merupakan lembaga atau instansi yang membuat naskah para pencipta menjadi suatu terbitan editorial yang atraktif seperti : buku, majalah dan bentuk rekaman informasi lainnya. 3. Broker Informasi Ini merupakan mata rantai informasi antara penerbit sebagai produsen dengan pengumpul informasi seperti : pusat informasi, pusat dokumentasi, perpustakaan dan sebagainya. Broker informasi merupakan penyalur terbitan dari penerbit kepada para pelanggan. 4. Perpustakaan Perpustakaan dan pusat informasi lainnya adalah lembaga yang bertugas mengumpulkan, mengolah, menyimpan, menyediakan dan menyebarluaskan informasi untuk kepentingan para pemakainya. Perpustakaan dapat berkonsentrasi pada penyediaan
bahan informasi berikut sistem aksesnya, sehingga pemakai perpustakaaan dengan mudah dan cepat dapat menemukan informasi yang diinginkannya. 5. Profesionalis Informasi Profesionalis informasi yang dimaksudkan adalah para pencipta atau pemakai informasi yang aktif memanfaatkan perpustakaan untuk menelusur informasi yang relevan dan berguna dalam menghasilkan informasi baru dengan berbagai bentuk dokumen. Sasaran Mata Rantai Informasi Sebelum membahas masalah sasaran mata rantai informasi, ada baiknya dikemukakan bagaimana terjadinya ranntai informasi. Dulu rantai informasi dianggap sebagai suatu proses linear. Artinya informasi bergulir dan mengalir lurus dari mulai pencipta, penerbit, broker, perpustakaan dan sampai kepada pemakai. Seperti diungkapkan oleh Cisco & Strong (1999:1), aliran informasi merupakan suatu garis lurus produksi dalam mengubah data ke dalam pengetahuan untuk mengambil keputusan dan kegiatan lainnya. Konversi informasi ke dalam pengetahuan itu memerlukan input, penerimaan, penyaringan, pengorganisasian, penggabungan, penggunaan dan sintesis beberapa bentuk data dan dokumen. Dengan adanya perkembangan komputer dan teknologi komunikasi, rantai informasi lebih merupakan proses melingkar. Teknologi komputer dapat menciptakan komunikasi informasi yang mudah dan cepat di antara semua mata rantai informasi. Dari perpustakaan sebagai sumber, para profesional atau pemakai dapat mengakses dan memperoleh informasi yang diperlukannya. Berdasarkan informasi tersebut selanjutnya mereka dapat
menciptakan atau merekayasa informasi baru dan menyerahkannya kembali ke penerbit untuk dikemas menjadi terbitan baru. Dengan demikian informasi bergulir berulang-ulang secara melingkar melalui mata rantai informasi yang berkaitan. Dalam rantai informasi itu tersirat suatu sasaran utama yang harus dicapai oleh semua mata rantai informasi, yaitu terciptanya siklus infromasi dan pengetahuan baru yang berkesinambungan. Pencipta informasi mesti berperan sebagai pemakai informasi dan kembali menjadi pencipta untuk menghasilkan informasi yang baru.
memainkan peranannya harus memperhatikan perubahanperubahan tersebut. 1. Media informasi Saat ini sudah sampai pada era multi media yang mampu merekam informasi berupa gambar, suara, teks dan grafik dengan kemampuan menyebarkan informasi atau ilmu pengetahuan luar biasa cepatnya. Di samping lembaran cetak, kini berkembang berbagai media rekam informasi elektronik seperti : kaset suara, kaset video, CDROM, dan laser disc. Media rekam informasi tersebut tersebar luas di
pasaran yang menandai era multi media dengan digitalisasi suara dan gambar. Dengan demikian perpustakaan harus mampu menyediakan berbagai pilihan media informasi yang diperlukan pemakai sesuai dengan fisik informasi yang diinginkannya. 2. Substansi Setiap saat ilmu pengetahuan terus berkembang dengan topik kajian dan hasil karya ilmiah yang semakin spesifik. Untuk itu perpustakaan harus mampu menyediakan berbagai pilihan informasi mutakhir dari mulai
Peran Perpustakaan Menurut Murdjito (1996: 5-10), perpustakaan sebagai organisasi yang terbuka menerima masukan berbagai informasi dari lingkungannya, dan kemudian mentransformasikannya untuk menghasilkan luaran yang dapat dimanfaatkan oleh para pemakai. Sulistyo-Basuki (1991) menyebutkan dalam kegiatan informasi, pustakawan dan pengelola perpustakaan pada umunya adalah penerima, pengumpul dan penyebar informasi. Selain itu mereka berperan pula sebgai juru bicara tentang informasi kepada lingkungan masyarakat. Peran perpustakaan kelihatannya tidak berubah dari mulai konsep perpustakaan tradisional sampai ddengan perpustakaan modern yang ditandai dengan pemakaian berbagai fasilitas teknologi informasi. Peran sentral perpustakaan masih tetap tertumpu menyangkut pada penyediaan informasi. Aspek yang yang berubah adalah informasinya sendiri, baik yang menyangkut jenis media rekam, substansi, sistem temu kembali, teknik reproduksi, maupun siklus pengembangannya. Perpustakaan modern dalam
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
27
topik yang umum sampai dengan topik yang spesifik apapun sesuai dengan kebutuhan masyarakat pemakai dan cakupan bidang kerja perpustakaan. 3. Sarana akses Perpustakaan harus menyediakan berbagai sarana akses atau penelusuran informasi seperti: katalog, indeks, abstrak dan sebagainya. Sarana akses informasi tersebut sudah berkembang dari bentuk lembaran tercetak ke dalam bentuk media elektronik yang penggunaannya memerlukan perangkat komputer. Pemanfaatan komputer di perpustakaan memberikan kesempatan kepada para pemakai agar dapat mengakses informasi secara lokal, nasional atau internasional. 4. Reproduksi Sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan multi media, perpustakaan harus mampu menyediakan berbagai pilihan fasilitas reproduksi artikel atau dokumen yang dipesan oleh para pemakai. Perpustakaan selain menyediakan fasilitas
mesin fotokopi, perlu juga menyediakan fasilitas reproduksi elektronik yang memungkinkan pemakai dapat memperoleh informasi melalui down load data komputer, surat elektronik, fax atau jaringan pencetak. 5. Siklus informasi Selain itu perpustakaaan masih mempunyai peran lanjutan sebagai mata rantai informasi. Perpustakaan harus turut berperan dalam mencapai sasaran mata rantai informasi secara keseluruhan, yaitu terciptanya siklus informasi dan pengetahuan baru yang berkesinambungan. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang berupaya mengungkapkan fakta yang ada mengenai kinerja pustakawan. Khususnya di dalam melaksanakan peran dan tugas perpustakaan sebagai mata rantai informasi. Objek penelitiannya adalah pengunjung yang datang sehari-hari di perpustakaan PDII-LIPI. Dengan demikian penelitian ini sekaligus merupakan kajian pemakai yang dapat mengungkapkan pendapatnya
terhadap kinerja pustakawan PDIILIPI. Lamanya penelitian berlangsung selama satu bulan, yaitu pada bulan Juli 2007. A. Pengambilan Sampel Populasi penelitian ini adalah semua pengunjung yang datang sehari – hari di perpustakaan PDIILIPI. Berdasarkan laporan terakhir tercatat rata – rata 2.200 orang berkunjung setiap bulannya. Jumlah populasi tersebut cukup besar, sehingga pengambilan dan jumlah sampel ditentukan secara purposif sesuai dengan pendapat dan pertimbangan ( judgment sample ) yang dapat memberikan kemudahan dalam pelaksanaan penelitian.
B. Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara terstruktur terhadap pengunjung perpustakaan. Wawancara terstruktur artinya kepada responden diberikan beberapa pertanyaan dan alternatif pilihan jawabannya. Kemudian responden tinggal memilih jawaban yang tepat menurut pendapatnya untuk setiap pertanyaan. Wawancara tersebut dilakukan secara tatap muka terhadap setiap responden yang menyatakan dirinya sering berkunjung ke PDII-LIPI.
28
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
Dengan metode purposif peneliti dapat menentukan jumlah dan bentuk sampel sesuai dengan kepentingan. Selanjutnya tehnik pengambilan sampel penelitian dilakukan secara acak sampai mendapatkan ukuran sample kecil sebanyak 30 orang. Sampel tersebut terdiri dari penelitian, mahasiswa, dosen, konsultan dan karyawan pada umumnya.
Untuk memudahkan jalannya wawancara dibuat pedoman
berbentuk kuesioner sederhana yang tertulis. Setiap pertanyaan dan pilihan jawaban dibacakan langsung oleh peneliti, responden menyebutkan jawaban pilihannya, dan kemudian peneliti memberikan tanda lingkaran pada setiap jawaban yang dipilih oleh responden. C. Analisa Data Semua data yang sudah terkumpul diolah dianalisis secara deskriptif kualitatif. Data tersebut diberi arti atau makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian. Langkah – langkah analisis data tersebut meliputi beberapa tahap sebagai berikut : 1. Data dikelompokan, dideskripsikan, dan dicari arah kecenderungannya. 2. Tiap kecenderungan data diberikan interprestasi atau pembahasan kualitatif menurut pengetahuan, nuansa dan pemikiran yang berkaitan dengan topik penelitian. 3. Mengambil kesimpulan dari rangkaian deskripsi dan interprestasi data. Hasil dan Pembahasan Setelah semua data hasil wawan cara dikelompokan dan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian, maka akan diketahui kinerja pusta kawan dalam mendukung pemakai perpustakaan untuk menciptakan informasi baru, khususnya di PDIILIPI. Berikut ini dikemukakan hasil pengumpulan dan analisis data yang berkaitan dengan topik penelitian. A. Bimbingan akses Informasi Kepada 30 responden ditanyakan apakah pernah mendapatkan bimbingan petugas dalam melakukan akses informasi pada basis data perpustakaan
PDII-LIPI. Jawabannya 83,33 % responden menyatakan pernah, dan 16,67 % sisanya menyatakan tidak pernah. Hal ini menunjukan bahwa, pemakai perpustakaan pada umumnya pernah mendapatkan bimbingan pustakawan dalam mengakses informasi pada basis data di perpustakaan. Kemampuan akses informasi merupakan suatu faktor penting bagi pemakai perpustakaan dalam memperoleh informasi yang diperlukan untuk menciptakan informasi yang baru dalam peran bimbingan akses informasi ini, pustakawan yang bertugas sudah menunjukkan kinerjanya yang cukup tinggi. B. Penjelasan Informasi Mutakhir Kepada 30 responden ditanyakan apakah pernah mendapatkan penjelasan petugas mengenai informasi mutakhir seperti majalah ilmiah dan laporan penelitian dalam koleksi perpustakaan yang berkaitan dengan bidang minat responden. Jawabannya 76,67 % responden menyatakan pernah, dan 23,33 % sisanya menyatakan tidak pernah. Hal ini menunjukan bahwa, pemakai perpustakaan pada umumnya pernah mendapatkan penjelasan pustakawan mengenai informasi mutakhir yang berkaitan dengan bidang minatnya. Pustakawan mempunyai perhatian yang cukup tinggi dalam memberikan layanan informasi mutakhir kepada para pemakai perpustakaan. Penjelasan dan pemberian informasi mutakhir diharapkan dapat membangkitkan dan mengembangkan minat pemakai perpustakaan untuk menciptakan informasi yang baru. C. Evaluasi Pemanfaatan informasi
Dari 30 responen sebanyak 70% diantaranya menyatakan tidak pernah mendapatkan pertanyaan dari petugas mengenai pemanfaatan informasi yang mendapatkan pertanyaan yang sama. Hal ini berarti pemakai perpustakaan pada umumnya tidak pernah mendapatkan pemantauan pustakawan dalam memanfaatkan informasi di pero lehnya dari perpustakaan. Soal informasi mau dijadikan bahan tulisan ilmiah atau pengetahuan biasa, itu semua menjadi urusan pemakai perpustakaan.
Padahal pemantauan pustakawan terhadap pemanfaatan informasi oleh para pemakai perpustakaan merupakan sarana evaluasi pemakaian informasi diperpustakaan. De ngan demikian pustakawan akan mengetahui sejauh mana informasi yang baru atau keperluan lainnya. Selanjut nya pustakawan akan dapat memberikan masukan bagi penyusunan kebijakan pengem bangan koleksi perpustakaan yang mendukung kebutuhan pemakai, khususnya untuk menciptakan informasi yang baru.
D. Penyampaian ide Penulisan Ilmiah. Kepada 30 responden ditanyakan apakah petugas pernah menyampaikan ide penulisan ilmiah yang berkaitan dengan bidang yang diminati responden. Jawabannya 90 % responden menyatakan tidak pernah dan 10 % responden, jawabannya pernah. Hal ini menunjukan bahwa, pemakai perpustakaan pada umumnya tidak pernah mendapatkan ide penulisan ilmiah dari pustakawan. Pustakawan belum aktif mendukung pemakai
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
29
perpustakaan secara langsung dalam membuat tulisan ilmiah sebagai bentuk informasi yang baru. Penulisan ilmiah merupakan rekayasa ulang pemakai dalam memanfaatkan informasi dari perpustakaan kedalam berbagai bentuk tulisan yang baru. Dengan penguasaan informasi yang dikelolanya pustakawan sebenarnya perpustakaan sesuai dengan bidang minatnya. E. Penyampaian Ide Penelitian Kepada 30 responden ditanyakan apakah petugas pernah menyampaikan ide penelitian yang berkaitan dengan bidang minat responden. Sebanyak 93,33% responden diantaranya menjawab tidak pernah, dan 6,67% selebihnya menjawab pernah. Hal ini menunjukan bahwa, pemakai perpustakaan pada umumnya tidak pernah mendapatkan ide penelitian dari pustakawan. Pustakawan belum mendukung pemakai perpustakaan secara langsung dalam merumuskan ide dan merencanakan penelitian untuk menciptakan informasi yang baru.
Penelitian merupakan aktivitas penciptaan dan pengembangan informasi ilmiah yang baru. Kare na dapat menghasilkan prototif. Kumulasi ilmu pengetahuan dan publikasi informasi ilmiah. Pada saat menyampaikan ide penelitian, sebenarnya pustakawan dengan profesionalisme dan penugasan informasi yang dikelolanya dapat memberikan masukan berupa : bahan perencanaan, informasi pendukung, dan berbagai alternatif metode penelitian kepada para pemakai perpustakaan.
Diskusi Kinerja Pustakawan Berdasarkan hasil analisis data
30
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
dapat didiskusikandan dibahas dua aspek yang berkaitan dengan kinerja pustakawan sesuai dengan topik penelitian. Kedua aspek tersebut meliputi tuntutan dan melembagakan penyampaian ide penciptaan informasi yang baru, sehingga pustakawan dapat berperan aktif dan inovatif dalam mencapai sasaran mata rantai informasi di perpustakaan. A. Tuntutan Penyampaian Ide Dalam mendukung para pemakai perpustakaan untuk menciptakan informasi yang baru, pustakawan dituntut untuk menyampaikan ide penulisan ilmiah dan peneli tian kepada mereka. Ide penulisan ilmiah dan penelitian yang diberikan oleh pustakawan dapat meningkatkan kepekaan atau sentitivitas pemakai perpustakaan terhadap gejala, kejadian dan perkembangan ilmiah di lingkungannya. Selanjutnya bisa dipastikan pemakai perpustakaan akan lebih produktif dalam mewujudkan ide tersebut ke dalam berbagai tulisan sebagai informasi yang baru. Adanya tuntutan penyampaian ide kepada pustakawan ini dikarenakan beberapa alasan sebagai berikut : 1. Pustakawan mengetahui peta dan kekayaan informasi yang dikelolanya, sehingga dia akan mampu mensintesiskannya menjadi berbagai ide bagi pemakai perpustakaan untuk menciptakan informasi yang baru. Menurut Adams ( 2003 : 4 ) sekarang ini banyak literatur primer yang memuat informasi ilmiah tanpa pengawasan kualitas dari mitra bestari (peer review) untuk itu pustakawan terutama spesialis subjek dengan keahliannya dapat
berperan seperti mitra bestari dalam melakukan evaluasi dan memberikan ide atau informasi berkualitas bagi kepentingan pemakai perpustakaan. 2. Pustakawan adalah pelaksana perpustakaan yang mempunyai fungsi penelitian. Selama ini fungsi penelitian di perpustakaan hanya berjalan sebatas menjadikan perpustakaan sebagai pusat studi literatur dan penyedia bahan – bahan mutakhir hasil penelitian. Untuk itu perlu ada peran aktif dan inovatif dari pustakawan dalam menyampaikan ide penelitian dan penulisan ilmiah bagi pemakai perpustakaan atas dasar informasi yang dikuasainya. 3. Pemakai perpustakaan di PDII-LIPI utamanya adalah peneliti di lingkungan LIPI dan peneliti dari lembaga lainnya. Oleh karena itu ide – ide penelitian yang disampaikan oleh pustakawan akan memperkaya bahan – bahan perencanaan penelitian bagi para peneliti. Sehingga para peneliti dapat menghasilkan publikasi ilmiah yang baru yang produktif B. Melembagakan Penyampaian Ide Kinerja pustakawan dalam menyampaikan atau memberikan ide penciptaan informasi baru kepada pemakai perpustakaan di PDII-LIPI masih tergolong rendah. untuk itu perlu ada upaya meningkatkan kinerja pustakawan tersebut diantaranya dengan cara melembagakan penyampaian ide yang berkaitan. Dalam lembaga ini pustakawan dengan keahliannya
mengelola informasi dapat melaporkan perkembangan dan peta informasi mutakhir, perkembangan hasil penelitian, bahan perencanaan penelitian dan berbagai ide penulisan ilmiah serta penelitian pada umumnya. Begitu pula pemakai perpustakaan dapat menyam paikan berbagai aspek atau keperluan yang berkaitan pula pemakai perpustakaan dapat menyampaikan berbagai aspek atau keperluan yang berkaitan dengan penciptaan informasi yang baru.
Adapun upaya melembagakan penyampaian ide tersebut dapat dilakukan melalui dua hal sebagai berikut : 1. Unit Organisasi Formal Tugas pustakawan dalam memberikan atau menyam paikan ide penciptaan informasi baru bagi pemakai perpustakaan dapat dilakukan melalui unit organisasi formal di meja informasi jangan hanya sebatas memberikan jawaban atas informasi yang ditanyakan pemakai perpustakaan. Tapi pustakawan dituntut aktif dan inovatif memberikan ide dalam melayani serta mendukung pemakai perpustakaan menciptakan informasi yang baru. 2. Jumpa pemakai Pustakawan bisa melakukan komunikasi informasi penyampaian ide penciptaan informasi baru melalui pertemuan berkala dalam bentuk jumpa pemakai perpustakaan, misalnya sebulan sekali, tiga bulan sekali, atau periode waktu lainnya, tentu saja dengan topik atau bidang informasi
yang dibahas berkaitan de ngan bidang minat pemakai perpustakaan secara bergantian. Kesimpulan Kinerja pustakawan dalam mata rantai informasi di perpustakaan khususnya di PDII-LIPI tertuju pada upaya mendukung pemakai perpustakaan dalam menciptakan informasi yang baru. Dukungan pustakawan itu masih terpaku pada aktivitas memberikan layanan informasi secara fungsional di perpustakaan. Dalam hal ini pustakawan mempunyai kinerja yang baik untuk melayani kebutuhan informasi pemakai perpustakaan mengenai akses informasi dan penjelasan informasi mutakhir yang berkaitan dengan bidang minat pemakai. Walupun pustakawan belum aktif memantau sejauh mana informasi dari perpustakaan dimanfaatkan pemakai untuk menciptakan informasi baru. Di pihak lain pustakawan belum menunjukan kinerja yang nyata dalam menyampaikan ide penciptaan informasi yang baru bagi pemakai perpustakaan. Pada umumnya pemakai perpustakaan tidak pernah mendapatkan ide penulisan ilmiah dan penelitian dari pustakawan. Dengan demikian pustakawan belum mempunyai peran aktif dan inovatif dalam menciptakan silus informasi yang menjadi sasaran mata rantai informasi di perpustakaan. Saran Berdasarkan hasil penelitian ada tiga saran yang dapat disampaikan kepada PDII-LIPI, yaitu sebagai berikut : 1. Hendaknya dalam mendukung pembinaan kinerja kebijakan dalam melembagakan dan inovatif dalam mendukung pemakai perpustakaan menciptakan informasi yang baru.
2. Hendaknya dilakukan penyusunan kebijakan dalam melembagakan penyampaian ide penciptaan informasi baru bagi para pemakai perpustakaan. 3. Hendaknya dilakukan penelitian lanjutan yang memberikan sampel yang lebih banyak dan profesional sesuai dengan jumlah populasi pemakai perpustakaan. P *) Artikel Pemenang hiburan ke 1 pada Lomba Penulisan Karya Ilmiah Tahun 2006
daftarpustaka Adams, S. 2003. Information Quality, And Corrections. Online, 27 (5) 2003 : 1-8. http : /www.onfodat.com/online/ sep03/adams.shtml.5/22/2007. Baldwin, R. 2006. Information Theory And Creationism Werner Gitt. http://www. talkorigins.org / faqs/information/ gitt.html.5/22/2007. Bauwens, M. 1996. Knowledge Transfer In Cyberspace : A Model For Future Business Practices. FID News Bulletin, 46 (1/2) 1996 : 46-54. Bearman, T. C. 1996. United States Policy on the national and global information infrastructure. FID News Bulletin, 46 (1/2) 1996 : 37-44. Darmono dan Yunaldi. 1996. Kajian Pemakai Informasi: Prospek Dan Peranannya Dalam Lingkup Kepustakawan Di Indonesia. Majalah Ikatan Pustakawan Indonesia. Majalah Ikatan Pustakawan Indonesia, 18 (1-2) 1996 : 23-43. Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1989. Jakarta ; Cipta Adi Pustaka. Melis, F. 1996. Six Engines TM To Build A Business Network In On Line Services. FID News Bulletin, 46 (1/2) 1996: 30-35. Mudjio. 1996. Pengembangan Organisasi Perpustakaan. Jakarta : Yayasan LIA. Nasir, M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Rada, J. F. The Metamorphosis of the word: Libraries With A Future. FID News Bulletin, 46 (1/2) 1996 : 25-29 Sulistyo-Basuki. 1991. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
31
DOK PRI.
Oleh : Salmubi Kepala Perpustakaan B.J. Habibie Politeknik Negeri Ujung Pandang
Rekonstruksi Peran Pustakawan Indonesia: Persiapan Menghadapi Era Perpustakaan Digital Pendahuluan Penyelenggaraan perpustakaan pada awal abad milenium ini tidak pernah terbayangkan sebelumnya akan terjadi, seperti apa yang kita saksikan hari ini sungguh sangat berbeda. Kemajuan Teknologi Informasi (TIK) dan komunikasi atau Information Communication Technologies (ICTs) lewat kehadiran Personal Computer (PC) dan internet telah merevolusi penyelenggaraan perpustakaan. Penggunaan teknologi ini telah memungkinkan informasi disimpan dan ditelusur secara elektronik. Kehadiran internet yang diikuti dengan perkembangan pesat world wide web (www) semakin dirasakan kontribusinya di perpustakaan. Akses informasi secara instan via internet mengakibatkan tersedianya data dan informasi dalam jumlah besar dan dengan berbagai format yang asalnya dari berbagai penjuru dunia. Keadaan ini pula telah mengubah cara pemustaka mengakses, menelusur, dan menggunakan sumber informasi. Untuk akses informasi, TIK telah menghilangkan tirani
32
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
ruang dan waktu (time and space tyranny) selama bertahun-tahun menjadi penghambat (barrier) terhadap akses informasi yang berada di tempat lain, sangat jauh secara geografis. Kemajuan TIK pada tahap selanjutnya kembali menunjukkan ‘keperkasaannya’ dengan penggunaan teknologi nir kabel (wireless). Teknologi ini memungkinkan kita dapat mengakses informasi dan juga berkomunikasi via internet tanpa harus menggunakan jaringan kabel. Sebagai trend global perubahan dan perkembangan mempengaruhi dunia perpustakaan Indonesia. Meskipun dampaknya tidak sedahsyat yang dirasakan perpustakaan di negara maju. Dunia perpustakaan Indonesia baru memasuki tahap awal implementasi TIK di perpustakaan. Namun demikian sudah banyak perpustakaan di Indonesia telah memanfaatkan TIK di perpustakaan secara integral dan komprehensif. Bahkan ada yang telah melanggan electronic collection (e-collection) berupa jurnal elektronik dan
buku elektronik. Selanjutnya pengembangan digital library sudah menjadi hal umum dan merupakan rencana masa depan pengembangan perpustakaan di Indonesia. Kemajuan TIK berdampak luas terhadap perpustakaan dan layanan informasinya, tetapi juga telah mengubah peran pustakawan dan pada saat bersamaan memuculkan ekspektasi baru pemustaka terhadap pustakawan. Pada era digital Pustakawan melakukan sejumlah tugas dan pekerjaan baru di samping tugas tradisionalnya yang dijalankan selama ini. Dari aspek pendanaan perpustakaan ‘dipaksa’ menyediakan anggaran tambahan untuk menyediakan infrastruktur teknologi informasi dan pengadaan peralatan pendukung lainnya guna pelaksanaan tugas dan pekerjaan baru pustakawan. Tambahan dana juga dibutuhkan guna pelaksanaan program pengembangan. Sumber Daya Manusia (SDM) seperti anggaran pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan
pustakawan dapat menggunakan ICTs secara efektif dan efisien. Anggaran yang dibutuhkan untuk merespon sejumlah trend baru tersebut jumlahnya tidak sedikit. Namun hal itu menjadi sangat penting untuk menjamin perpustakaan tetap eksis, survive, dan tidak ditinggalkan hanya karena perpustakaan tidak mampu memenuhi kebutuhan pemustakanya yang sesuai dengan perkembangan mutakhir. Pustakawan Indonesia Menghadapi perkembangan dan perubahan yang berlangsung cepat di luar lingkungan perpustakaan, mengharuskan pustakawan Indonesia tampil cerdas (smart), kreatif, dan inovatif guna merespon berbagai perkembangan yang ada. Karena bentuk respon yang akan diberikan menentukan keberhasilan penyelenggaraan perpustakaan, terutama untuk mendapatkan
kesesuaian antara kebutuhan pemustaka (user needs) dan layanan perpustakaan yang tersedia. Sekarang pustakawan Indonesia masih mengalami sejumlah kendala signifikan dalam merespon berbagai perkembangan mutakhir yang turut menentukan operasional perpustakaan. Tidak berlebihan adanya bila persoalan atau kendala yang selama ini dialami pustakawan dikatagorikan sebagai sebuah masalah klasik (classical problems). Classical problems kelihatan sederhana, tetapi memiliki pengaruh signifikan terhadap penyelenggaraan kepustakawanan di Indonesia. Pengalaman penulis dan juga pustakawan lainnya, terutama yang biasa ikut dalam forum diskusi, seminar perpustakaan dan atau kegiatan sejenis lainnya diperoleh konklusi sementara bahwa persoalan seperti status pustakawan (jabatan fungsional), angka kredit, minimnya dukungan dari
pimpinan, keterbatasan anggaran perpustakaan, marginalisasi status atau posisi perpustakaan di dalam struktur organisasi lembaga induk perpustakaan dan sejumlah persoalan lain masih menjadi tema sentral dan bahan diskusi hangat di dalam forum dunia perpustakaan Indonesia. Persoalan tersebut di atas masih menjadi pekerjaan rumah utama kepustakawanan di Indonesia. Sebagai masalah klasik, bisa jadi persoalan ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kepustakawanan Indonesia ‘jalan di tempat’ dan bahkan tertinggal jauh dari negara berkembang lainnya, seperti Malaysia. Bila persoalan klasik dan kompleks mengkristal dan ‘kekal’ di dalam alam bawah sadar para pustakawan Indonesia dapat berakibat munculnya persepsi under estimate terhadap diri pustakawan dan juga profesinya. Akhirnya kondisi itu akan mengakibatkan rendahnya
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
33
inisiatif, inovasi, etos kerja, dan produktivitas pustakawan. Bila demikian halnya agenda yang lebih besar dan bersifat strategis tidak akan terpikirkan secara proporsional. Contoh kita agak sulit mendapatkan pustakawan yang menghabiskan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk membuat master plan pengembangan perpustakaan tempatnya bekerja. Atau pustakawan yang merencanakan dan menetapkan sejumlah program kerja perpustakaan yang dilengkapi dengan indicator performance (indikator kinerja) menjadi sasaran yang harus dicapai dari sejumlah program yang akan dilaksanakan. Dengan kata lain pustakawan Indonesia belum terbiasa dengan skenario pengembangan perpustakaan secara sistematis, terorganisir, dan terukur. Kegiatan penelitian atau pengkajian tentang perpustakaan dan informasi tidak banyak
34
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
tersentuh oleh pustakawan Indonesia. Tidak berlebihan kalau kemudian dinyatakan bahwa jumlah pustakawan yang melakukan aktivitas penelitian bidang perpustakaan dan informasi jumlahnya masih sangat terbatas. Bahkan jumlahnya mungkin masih bisa dihitung jari. Padahal kegiatan penelitian dan kajian sangat bermanfaat dan berkontribusi besar untuk mengangkat citra dunia perpustakaan dan pustakawan itu sendiri. Kelemahan pustakawan berikutnya adalah minimnya kemampuan untuk menuangkan (menuliskan) ide-ide pengembangan perpustakaan dalam bentuk proposal diperlukan guna mendapatkan dana penyelenggaraan perpustakaan bersumber dari dana hibah kompetisi atau sumbangan dari lembaga donatur. Misalnya salah satu syarat utama proposal untuk mendapatkan dana hibah kompetisi adalah proposal harus berisi analisis data
kuantitatif dan kualitatif serta kajiankajian komprehensif dan integral dari setiap permasalahan di perpustakaan. Kemudian hal itu mampu dirumuskan dalam berbagai rencana (program kerja) yang realistis dan terukur. Kalau paradigma pemberian anggaran penyelenggaraan perpustakaan pada masa datang tetap didasarkan pada kemampuan pustakawan membuat proposal yang layak, hal ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi pustakawan Indonesia. Ketertinggalan kepustakawanan Indonesia selama ini tidak terlepas dari terbatasnya kajian terhadap ilmu perpustakaan dan informasi yang dilakukan oleh pustakawan sebagai ‘lokomotif’ utama pengembangan perpustakaan. Kalau pun ada kajian dari trend terbaru, biasanya hanya berakhir sebagai wacana (discourse) yang nir-implementasi. Di sisi lain pustakawan sangat sibuk dengan rutinitasnya. Akibatnya trend terbaru yang inovatif tentang
penyelenggaraan perpustakaan tidak banyak ditemukan di Indonesia. Sementara praktek inovatif bidang perpustakaan di negara lain telah lama diterapkan dan berdampak positif terhadap pustakawan dan perpustakaan mereka. Fakta lain dapat dilihat dengan minimnya jumlah pustakawan yang memiliki kemampuan menelaah literatur asing terutama yang berbahasa Inggris. Ini perlu, karena ilmu perpustakaan dan informasi umumnya lebih banyak ditulis dalam bahasa Inggris. Kalaupun ada pustakawan memiliki kemampuan bahasa Inggris, jumlahnya sangat terbatas. Literatur terjemahan tentang ilmu perpustakaan dan informasi pun tidak tersedia dalam jumlah memadai. Kondisi ini diperburuk adanya fakta bahwa jumlah penulis literatur ilmu perpustakaan dan informasi pun sangat terbatas. Sehingga sangat wajar bila kemudian praktik kreatif dan inovatif penyelenggaraan perpustakaan masih sangat minim jumlahnya. Persoalan di atas juga tidak terlepas dari masalah yang melilit organisasi profesi pustakawan, Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI). Seharusnya organisasi ini memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pencitraan pustakawan di masyarakat dan di antara organisasi profesi yang ada. Kita tentu saja tidak bisa membandingkan bagaimana ‘power’ yang dimiliki Ikatan Pustakawan Australia (Australian Library and Information Association) yang berhak menentukan naik atau turunnya level suatu program studi ilmu perpustakaan dan informasi di perguruan tinggi Australia. Atau kita mengkomparasikan IPI dengan American Library Association (ALA) yang berkontribusi dominan terhadap sejarah perkembangan kepustakawanan Amerika Serikat.
Belajar dari pengalaman organisasi profesi pustakawan di negara lain adalah hal penting bagi IPI. IPI perlu mengagendakan adanya pembenahan dan pembaharuan organisai dengan menguatkan konsolidasi internal agar posisi tawar (bargaining position) IPI terhadap para pemangku kepetingan menguat. Pada saat yang bersamaan IPI harus menyusun master plan pengembangan dunia perpustakaan Indonesia yang integral dan komprehensif. Dari perspektif SDM (pustakawan), IPI dari sekarang harus memikirkan penyusunan dokumen tentang standar kompetensi pustakawan sebelum seseorang diangkat dalam jabatan profesi sebagai pustakawan. Standar kompetensi akan memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan citra pustakawan di antara profesi lainnya dan juga citranya di dalam masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa profesi pustakawan belum dikenal secara luas oleh masyarakat. Bahkan oleh unsur yang ada di pemerintahan dan badan legislatif. IPI memiliki pekerjaan rumah yang tidak sedikit, terutama untuk mengangkat citra pustakawan dan dunia perpustakaan Indonesia. Pada masa datang, tema dan atau agenda kepustakawanan Indonesia diharapkan tidak hanya muncul dan ramai dibicarakan pada forum resmi sebagai wacana belaka. Tetapi hal itu mesti ditindaklanjuti dengan tindakan nyata, meskipun dalam skop kecil dan sederhana, tetapi tindakan itu tepat sasaran dan berkontribusi tehadap penyelesaian berbagai persoalan klasik dan kekinian bagi kepustakawanan Indonesia. Pustakawan Era Digital Sejumlah karakteristik lingkungan baru (era digital) sebagai akibat dari perkembangan ICTs, menghadapkan
pustakawan pada sejumlah fakta yang tak terhindarkan, seperti akses lebih besar terhadap berbagai jenis informasi, kecepatan perolehan akses informasi, kompleksitas temuan informasi, analisis dan hubungan informasi, teknologi yang berubah secara konstan dan terus menerus, investasi dana untuk teknologi informasi, pustakawan bertanggung jawab menjamin efesiensi dan efektivitas perjalan informasi dari berbagai sumber hingga dimanfaatkan pengguna informasi (pemustaka). Fakta dan tanggung jawab itu mengharuskan pustakawan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan secara berkelanjutan berhubungan dengan tugas dan tanggung jawabnya. Di sisi lain peningkatan pengetahuan dan keterampilannya sangat diperlukan, karena pustakawan era digital telah menyandang sejumlah tugas dan tanggung jawab baru yang harus dilakukan agar responsif terhadap perubahan yang terjadi akibat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Pustakawan pada era digital ini harus lebih visioner mampu melihat jauh ke depan dan lebih proaktif mempersiapkan tindakan antisipatif terhadap perkembangan terbaru yang sedang dan akan terjadi. Di samping visioner dan proaktif, pustakawan harus menjadi pembelajar seumur hidup (lifelong learner). Itu semua diperlukan karena kepustakawanan adalah dunia yang dinamis dan sarat dengan perubahan. Kedinamisan menumbuhkan pembaruan secara terus menerus. Sehingga pengetahuan, keterampilan dan pengalaman pustakawan tetap relevan dengan kebutuhan zaman. Fleksibilitas tinggi, kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang terus berubah, multidisiplin atau generalis, dan memiliki komitmen tinggi terhadap profesi merupakan
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
35
hal yang harus dimiliki pustakawan era digital. Meskipun era digital telah melahirkan sejumlah tugas-tugas baru yang menjadi tanggung jawab pustakawan. Hal itu tidak berarti bahwa tugas konvensional pustakawan selama ini dilaksanakan akan ditinggalkan secara total. Tugas lama pustakawan akan tetap menjadi pondasi dan elemen dasar dari profesinya sebagai pustakawan untuk kemudian tetap eksis dan survive di dalam lingkungan yang terus berubah. Untuk itu pustakawan harus memiliki keterampilan interpersonal, keterampilan komunikasi, kemampuan berbahasa asing, kemampuan bekerja dalam tim, bersahabat (ramah tamah), dan berorientasi kepada kebutuhan pemustaka. Keberadaan ICTs di perpustakaan, tidak hanya mengubah peran pustakawan menjadi lebih kompleks, tetapi juga memunculkan pekerjaan baru yang berhubungan dengan aspek organisasi, penyebaran informasi, dan akses terhadap sumber informasi. Untuk saat ini dan masa datang pustakawan tidak tepat bila hanya diposisikan sebagai penyedia informasi (information provider) semata atau hanya sekedar sebagai penjaga ilmu pengetahuan (the keeper of knowledge). Tetapi pustakawan adalah penyedia akses informasi (information access
provider). Hal itu sejalan dengan pernyataan Crowford and Gorman (1995) bahwa pustakawan saat ini adalah bertugas: “To acquire, give access to, and safeguard carriers of knowledge and information in all forms and to provide instruction and assistance in the use of the collection to which their users have access … [libraries] are about the preservation, dissemination, and use of recorded knowledge in whatever form it may come” Pernyataan Crowford dan Gorman relevan dengan pendapat Rusbridge (1998) sebagaimana termuat dalam artikel yang berjudul “Towards the hybrid library”. Rusbridge menyatakan bahwa: “The role of the library is to select, acquire, organize and make available an appropriate subset of … resources… The library has a role here in the digital world as with print – not just in excluding access to rubbish, but in encouraging access paths to quality”. Masih tentang peran perpustakaan dan pustakawan dalam era elektronik yang dimuat dalam laporan yang berjudul “The Role of Libraries in the Modern World” (The 7th Catalan Congress on Documentation, November, 5, 1999) disampaikan kepada Parlemen Eropa, yakni: “The unique function of libraries is to acquire, organize, offer for
Tabel 1. Peran Pustakawan Konvensional dan Pustakawan Era Digital Pustakawan Konvensional
Pustakawan Era Digital
Collection Builder
Knowledge Prospector
Classifier, Cataloger, Indexer
Metadata Developers and Publisher
Information Retrieval Specialist
Knowledge Navigators and Expedition Guides
Reference Librarian
Information Analysis/Knowledge Interpreter
Information Provider
Information Access Provider
Information Manager
Knowledge Manager
Sumber : The Evolving Roles of Information Professionals in the Digital Age (Anderson, D.)
36
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
use and preserve publicly available material irrespective of the form in which it is packaged (print, cassette, CD-ROM, network form) in such a way that, when it is needed, it can be found and put to use” Dari ketiga pernyataan tersebut di atas, memperlihatkan adanya indikasi kuat bahwa peran perpustakaan dan pustakawan sekarang ini telah berubah secara dramatis. Pustakawan mengadakan sumber informasi relevan dalam berbagai format dan konteks. Sumber informasi yang tersedia diorganisasikan dan diintergrasikan ke dalam koleksi perpustakaan. Selanjutnya sarana akses informasi disediakan agar dapat dimanfaatkan oleh pemustaka. Agar terjadi efisiensi dan efektivitas terhadap akses informasi yang tersedia di perpustakaan, pemustaka harus diberdayakan lewat berbagai pendidikan dan pelatihan perpustakaan. Program pemberdayaan pemustaka lewat kegiatan pendidikan dan pelatihan memang menjadi salah satu pekerjaan penting pustakawan di era digital. Hal ini dilakukan karena dampak era digital tidak hanya bagi pustakawan, tetapi juga terhadap pemustaka. Pemustaka harus terus didorong dan diberdayakan agar menjadi pemustaka yang lebih mandiri (independent) dalam memanfaatkan seluruh fasilitas dan layanan perpustakaan. Independensi pemustaka diperlukan karena sumber informasi telah menjadi lebih ‘open access’, dan layanan perpustakaan bersifat ‘self-access services’. Salah satu respons utama terhadap perkembangan dalam era informasi yang ada yakni pelaksanaan program literasi informasi (information literacy program). Program ini dimaksudkan agar pemustaka (pengguna
informasi) memiliki pengetahuan tentang kapan informasi diperlukan. Pemustaka juga harus mampu menemukan informasi, mampu mengevaluasinya dan menggunakannya secara efektif guna meningkatkan kualitas hidupnya. Dengan demikian pustakawan bukan hanya sebagai door opener, gateway, collector, preserver dari sumber informasi yang ada atau pustakawan hanya menjadi tempat bertanya bagi setiap pemustaka. Tetapi pustakawan pada hakikatnya adalah guru (teacher) dan pendidik (educator) yang bertugas memberdayakan pemustaka dalam menggunakan sumber informasi perpustakaan secara efektif dan efisien. Peran dan tugas pustakawan yang kompleks pada era digital harus dibarengi peningkatan kemampuan pustakawan untuk bertindak sebagai peneliti, perencana, pembimbing, manajer informasi, assessor, bahkan problem solver. Artinya pustakawan masa kini menjadi orang yang ‘serba bisa’. Keserbabisaan pustakawan dapat ditunjukkan lewat penguasaan (pengetahuan) dan kemampuannya terhadap masalah-masalah seperti keuangan, teknologi, standar, peraturan, ketentuan hukum dan hal lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan perpustakaan, baik langsung maupun tidak langsung. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang berkontribusi terhadap terciptanya peran baru pustakawan dalam era digital ini tersaji dalam tabel 1. Peran baru pustakawan dalam era digital ini hanya akan berhasil dengan baik, bila pustakawan dapat menjadi seorang manajer yang efektif memiliki kemampuan membangun kerja sama, kolaborasi, dan kemitraan dengan kolega seprofesi, pemustaka, dan dengan para stakeholder perpustakaan. Tentu saja pustakawan harus memiliki
pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan produk teknologi informasi dan program aplikasi yang relevan dengan bidang tugas dan tanggung jawab pustakawan dalam era digital ini. Kesimpulan Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah mempengaruhi secara signifikan penyelenggaraan perpustakaan. Pustakawan sebagai bagian penting dalam penyelenggaraan perpustakaan harus melakukan rekonstruksi terhadap sejumlah peran konvensional yang dimainkan selama ini. Namun hal itu tidak berarti bahwa peran tradisional pustakawan akan ditinggalkan sama sekali. Peran baru pustakawan setidaknya bersumber dari tiga faktor, yakni (1) perkembangan teknologi (2) ekspektasi pemustaka, dan (3) ekspektasi organisasi. Ketiga hal ini seharusnya menjadi concern utama pustakawan Indonesia. Apalagi dunia perpustakaan Indonesia juga telah memasuki era baru, era perpustakaan digital yang berkontribusi terhadap transformasi pelaksanaan tugas, tanggung jawab, dan peran pustakawan yang ada selama ini. Pustakawan Indonesia harus lebih cerdas, arif, fleksibel, dan adaptif terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Pustakawan harus mampu menggunakan berbagai pendekatan agar persoalan yang ada dapat teratasi sekaligus merespon ekspektasi masyarakat pemustaka. Selanjutnya pustakawan harus meningkatkan kompetensinya agar tetap eksis dan survive dalam melaksanakan tugas, tanggung jawab dan peran barunya di dalam penyelenggaraan perpustakaan masa kini. P *) Artikel Pemenang hiburan ke 2 pada Lomba Penulisan Karya Ilmiah Tahun 2006
daftarpustaka Anderson, D. and Gesin, J. The Evolving Roles of Information Professionals in the Digital Age. http://www.educause. edu/ir/library/html/cnc9754/ cnc9754.html. Competencies for Information Professional of the 21st Century. 2003. Revised Edition. http://www. sla.org/content/SLA/professional/ meaning/competency.cfm. Core Competencies for Librarians. 2006. http://www.hjla.org/resources/ competencies.html.diunduh 8 Desember 2006. Crawford, W. and Gorman, M. 1995. Future Libraries Dreams, Madness, and Reality, American Library Association, Chicago. Deegan, M. and Tanner, S. 2002. Digital Futures: Strategies for the Information Age. Landon: Library Association. Gulati, A. and Raina, R.L. 2000. Prafessional Competencies Amang Librarians and Information Professional in the Knowledge Era. http://www.wordlib.org/ vol10no01-2/gulati_v10n1-2.shtml. Hatua, S.R. Future Role of Librarians: Will They Be Cyberians? http://www. geocities.com/sudiphatua/cyber/ html. Hernandono. 2005. Meretas Kebuntuan Kepustakawan Indonesia: Dilihat dari sisi Sumber Daya Tenaga Perpustakaan. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia: Jakarta Hashim, L. and Mokhtar, W.N.H.W. Trend and Issues in Preparing New Era Librarians and Information Professionals, http://www.lib.usm.my/ elmu-equip/conference/Documents/ ICOL%202005%20Paper%203%20 Laili%20Hashim%20&%20Wan%20 Nor%20Haliza.pdf. Kumaravel, J.P.S. University Librarian: Changing Roles. https://www.sla.org/ Documents/conf/toronto/Kumaravel. doc. Rachman, H.S. dan Zenm Z. 2006. Etika Kepustakawanan: Suatu Pendekatan terhadap Pustakawan Indonesia. Jakarta: Sagung Seto Rusbridge, C. 1998. Toward Hybrid Library. D-Lib Magazine, July/August, http://www.dlib.org/dlib/july98/ rusbridge/07rusbridge.html. The Role of Libraries in the Modern World 1999. 7th Catalan Congress on Documentation. http://www.cobdc. org/jornades/7JCD/ryynanen.pdf.
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
37
DOK PRI.
Oleh : Lutriani Pustakawan Muda di Perpustakaan Universitas Jambi
Digital Library : Penerapan Teknologi Informasi (Ti) di Perpustakaan Pendahuluan Pada kenyataannya perkembangan perpustakaan tidak terlepas dari sejarah manusia, karena perpustakaan itu sendiri adalah produk manusia. Dalam sejarahnya manusia mula-mula hidupnya selalu berpindah-pindah (nomaden), membuka lahan satu ke lahan yang lain, mengembara dan mengandalkan hidup hanya bertumpu pada alam. Pada perkembangan berikutnya mereka mulai menetap dengan cara bertani, dan sebagai lauk pauknya mereka berburu agar bisa makan daging atau ikan. Komunikasi yang mereka pakai mula-mula menggunakan bahasa isyarat, dan sesuai perkembangannya komunikasi melalui bahasa isyarat berubah menjadi bahasa lisan yang lebih efektif dan dalam penggunaannya dalam menafsirkan berbagai pesan dari orang lain. Dengan berbagai pengalaman hidup tersebut, lambat laun mereka menemukan cara terbaik dalam rangka merekam berbagai keunikan, kejadian luar biasa yang mereka alami, dan sejarah lainnya yaitu dengan memberi tanda pada batu, pohon, daun, lempengan atau
38
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
benda-benda lainnya yang dapat bermanfaat dalam menyampaikan pesan atau berita kepada orang lain atau generasi berikutnya. Sejarah perkembangan perpustakaan adalah setelah banyak ditemukannya penemuan-penemuan berupa tulisan mengenai sejarah suatu suku, daerah atau kerajaan yang dikumpulkan dan dikelola dengan baik walaupun hanya sederhana. Perpustakaan sudah dikenal di Sumeria dan Babylonia sejak 3000 tahun yang lalu, perkembangan lainnya adalah di Mesir sekitar 4000 tahun SM, daerah lainnya adalah Yunani tahun 1500 SM, Byzantium Tahun 324 M, Arab serta adanya renaissance. Perkembangan perpustakaan tidak terlepas dari perkembangan manusia, juga sebaliknya perkembangan manusia sedikit banyak terpengaruh juga dengan adanya perpustakaan. Perpustakaan dapat dikatakan sebagai cermin dari suatu bangsa atau masyarakat dilihat dari segi sosial, ekonomi, kultural (budaya), juga pendidikan masyarakat. Selama berabad-abad eksistensi perpustakaan tetap dipertahankan
walaupun banyak mengalami pasang surut dan berbagai hambatan, perpustakaan tetap dipertahankan karena memiliki fungsi yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Fungsi perpustakaan yang sangat menonjol adalah sebagai sarana penyimpanan karya manusia seperti karya cetak, di antaranya: buku, majalah, brosur, jurnal, koran, dan karya cetak lainnya yang dianggap harus disimpan sebagai dokumen warisan bangsa. Karya manusia lainnya adalah karya rekam, di antaranya: piringan hitam, kaset, compact disc, video dan karya rekam lainnya. Fungsi lainnya adalah sebagai pengolahan dan penyebaran informasi, fungsi rekreasi yang dapat mendukung dunia pendidikan baik formal maupun non formal. Perpustakaan sebagai fungsi kultural adalah tempat untuk mendidik dan mengembangkan apresiasi budaya masyarakat dengan menggunakan berbagai media dan metode seperti; ceramah, pameran, pertunjukan kesenian, story telling, dan lain sebagainya dengan maksud mendidik masyarakat agar mengetahui dan mengenal budayanya sendiri.
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju dengan didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah banyak bermunculan teknologiteknologi baru yang mau tidak mau harus berusaha untuk dapat mengetahui dan memanfaatkannya agar dapat mengikuti perkembangan era perkembangan teknologi dan informasi yang semakin canggih. Penerapan teknologi informasi (TI) saat ini telah menyebar hampir di semua bidang, Teknologi informasi yang dilukiskan sebagai perpaduan antara teknologi komputer dan teknologi komunikasi telah mempengaruhi corak hidup manusia. Teknologi informasi mengubah cara berkomunikasi manusia satu dengan yang lainnya, seperti halnya komputer yang merupakan pusat dari teknologi mampu menyimpan informasi dalam jumlah yang besar, padahal kalau dilihat dari fisiknya cukup sederhana, apalagi dipadukan dengan peralatan komunikasi atau jaringan, sungguh sangat luar biasa fungsi dari teknologi informasi tersebut. Dewasa ini teknologi informasi memadukan informasi yang disimpan dalam bentuk dokumen dengan informasi yang dapat dilihat pada layar monitor yang terdiri dari kata, angka, diagram, grafik, dan gambar. Model komunikasi dapat dilakukan melalui sambungan langsung (dengan berbagai jenis kabel) atau melalui penyiaran (broadcast) dengan informasi yang disajikan berbentuk statis atau dinamis. Pengguna dapat berinteraksi dengan informasi tersebut dan dapat mengubahnya atau memberikan respon atau jawaban. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dewasa ini antara lain ditandai dengan perubahan prilaku dalam pencarian informasi yang berdampak bagi lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang jasa informasi,
tak terkecuali perpustakaan. Perpustakaan sebagai lembaga yang berfungsi menyimpan, mengolah dan mendistribusikan informasi dituntut agar mampu memberdayakan pengetahuan dengan menggali potensi yang dimiliki perpustakaan. Dewasa ini seiring dengan kemajuan teknologi, informasi mengalami perubahan format dalam bentuk digital. Hampir seluruh aspek kehidupan tersentuh oleh digital. Data-data dulu awalnya batu tulis, pahatan tulang, papirus sampai ke bentuk buku yang menjadi media utama dalam penyampaian informasi ilmu pengetahuan, kini mulai tergantikan menjadi versi elektronik. Memasuki era paperless perubahan format ini membuka peluang besar bagi kemudahan dalam mengakses informasi, apalagi dengan membuatnya dapat diakses secara online. Dengan modal komputer kita dapat menjelajahi dunia cyber yang kaya akan informasi dan tanpa batas, dengan informasi digital tersebut perpustakaan tidak boleh ketinggalan, peluang dan harapan harus diraih agar perpustakaan
Perpustakaan sudah dikenal di Sumeria dan Babylonia sejak 3000 tahun yang lalu, perkembangan lainnya adalah di Mesir sekitar 4000 tahun SM, daerah lainnya adalah Yunani tahun 1500 SM, Byzantium Tahun 324 M, Arab serta adanya renaissance.
tetap eksis dan tidak kehilangan kesempatan. Digital Library : Penerapan TI di Perpustakaan Setelah ribuan tahun hidup dengan teknologi cetak, dan ratusan tahun dengan teknologi analog elektronik, kelahiran dan perkembangan pesat teknologi digital menimbulkan revolusi cukup mendasar di era teknologi ini, dan kepustakawanan khususnya kata perpustakaan merujuk ke satu medium penentu peradaban manusia yaitu buku. Untuk waktu yang sangat lama buku dan produk tercetak lainnya adalah satu-satunya sumberdaya pengetahuan yang dihimpun oleh perpustakaan. Beberapa waktu belakangan ini “dunia teks” tiba-tiba mendapat tantangan dari teknologi baru yang menghadirkan teks linear dan teks berkaitan (hypertext), tidak hanya gambar mati, tapi gambar hidup dan gambar imajinasi yang seakan-akan hidup. Kalau bisa dijabarkan dari teknologi cetak berkembang ke teknologi analog, lalu teknologi elektronik dan berkembang kemudian ke teknologi digital sampai teknologi multi media. A. Ridwan Siregar (2006), dalam makalahnya “Pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Pemasaran Perpustakaan: Implikasinya Terhadap Pustakawan” mengatakan bahwa perpustakaan yang secara tradisional merupakan sumber daya utama produk informasi yang sebahagian besar dalam bentuk tercetak, tidak luput dari pengaruh teknologi ini. Perubahan peran teknologi informasi memperluas peran perpustakaan tradisional melampaui koleksi buku dan pelayanan berbasis cetak yang menjadi citranya hingga kini. Perpustakaan modern dewasa ini menyediakan spektrum menyeluruh produk dan pelayanan informasi, baik yang berbasis cetak maupun
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
39
elektronik. Suatu kenyataan di Indonesia bahwa perpustakaan kurang berkembang dengan baik jumlah maupun mutu layanannya. Jumlah perpustakaan yang ada belum mampu menjangkau semua masyarakat. Perpustakaan yang sudah ada pada umumnya kurang berdaya untuk meningkatkan mutu pelayanannya sehingga sulit untuk berkembang mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat. Keadaan perpustakaan terkesan terbelakang dibandingkan dengan perkembangan di bidang lainnya. Kondisi seperti ini diperkirakan penyebab utamanya rendahnya mutu sumberdaya manusia perpustakaan. Para manajer puncak perpustakaan dan pustakawan mungkin kurang peka terhadap perkembangan yang terjadi di sekitarnya, termasuk perkembangan di bidang teknologi informasi. Mereka sibuk dengan rutinitas yang dapat mematikan kreativitas dan daya innovasi mereka, sehingga mereka tidak mampu mencari terobosan (breakthrough) untuk meningkatkan pelayanan perpustakaan. Ketidakmampuan tersebut menyebabkan ketidakberdayaan perpustakaan untuk memenuhi keinginan masyarakat, dan pada akhirnya bermuara pada ketidakberhasilan perpustakaan untuk memberdayakan masyarakat. Salah satu aspek dalam manajemen perpustakaan adalah pemasaran produk dan pelayanannya. Lembaga induk perpustakaan yang
40
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
biasanya juga sebagai penyedia dana, meminta perpustakaan untuk membuktikan bahwa dana yang diberikan telah dimanfaatkan secara efektif dan efisien. Statistik penggunaan sumberdaya perpustakaan merupakan senjata, setidaknya untuk mempertahankan jumlah dana yang diterima, dan seharusnya dapat pula dijual kembali untuk mendapatkan jumlah dana yang lebih besar baik kepada lembaga induknya maupun kepada donor. Pemanfaatan teknologi informasi untuk memasarkan produk perpustakaan telah digunakan secara luas terutama di negara yang lebih maju. Penyediaan katalog talian (online) yang dapat diakses tidak saja di dalam perpustakaan tetapi juga dari luar gedung perpustakaan merupakan salah satu contoh nyata yang dapat meningkatkan penggunaan sumberdaya yang dimiliki oleh perpustakaan. Dengan penyediaan fasilitas seperti itu, kesan masyarakat tentang perpustakaan
dapat berubah sehingga mereka lebih tertarik untuk menggunakannya. Creth (1996) mengatakan bahwa teknologi informasi telah menciptakan informasi dengan mutu interaktif dan ekspansif yang tidak dialami sebelumnya, kemudian menjadikan informasi sebagai komoditi utama. Informasi tidak lagi bersifat statis, tetapi secara terus menerus dapat bertambah, nilainya berkembang sebagai data orisinal, pesan atau idenya semakin meluas. Disamping itu kecepatan dan sambungan jaringan telah membuka saluran komunikasi di dalam organisasi dan selanjutnya menyebrangi batas organisasi dan seterusnya menyediakan suatu komunikasi seketika (real time) diantara manusia di seluruh dunia. Disamping itu teknologi informasi telah menciptakan rasa penting dan membuka peluang baru untuk mengembangkan produk dan penyampaian layanan. Pada saat yang bersamaan pengaruh teknologi
informasi dalam proses komunikasi menantang asumsi dasar tentang struktur organisasi, hubungan kerja, dan sifat dan mutu pelayanan. Beberapa ciri lingkungan informasi sekarang dan yang tumbuh, dimana pustakawan harus berperan termasuk: • Akses terhadap berbagai informasi • Kecepatan yang meningkat dalam pemerolehan informasi • Kekompleksan yang lebih besar dalam mencari, menganalisis dan menghubungkan informasi • Teknologi yang berubah terus menerus • Rendahnya standarisasi perangkat keras dan lunak • Belajar terus menerus bagi pengguna dan staf perpustakaan • Investasi dana yang besar untuk teknologi Kenyataan bahwa apapun label yang digunakan untuk menggambarkan keadaan lingkungan sekarang seperti information age, global information village, pustakawan harus mencari jalan agar tetap tanggap secara efektif dan innovatif terhadap suatu lansekap yang beragam dalam memenuhi harapan pengguna. Ini diperlukan agar pustakawan dan perpustakaan mampu tetap berkembang dan survive di dalam institusi mereka. Pustakawan harus melihat dirinya sendiri dan perpustakaannya sebagai jembatan penyedia pada masa lalu dan gerbang ke masa depan. Mereka harus membentuk kemitraan, koalisi dan koneksi baik secara teknologi pribadi maupun secara organisasi untuk memastikan suatu peran sentral untuk masa datang. Informasi digital hampir tidak dapat terlepas dari kehidupan kita sehari-hari, sebagaimana contoh yang di atas dewasa ini buku, data observasi dan dokumentasi penelitian
juga telah lazim ditransfer ke dalam bentuk digital. Keuntungan informasi disajikan dalam bentuk digital antara lain sebagai berikut: 1. Kompresi data Ini adalah kelebihan terbesar dari bentuk digital. Sebuah CD ROM yang kapasitasnya 700 MB dapat memuat buku dengan ketebalan lebih dari 4 ribu halaman. Dapat dibayangkan berapa besar tempat yang dapat dihemat oleh sebuah perpustakaan, apabila literaturnya berupa file elektronik. Contoh lain: portable harddisk logitec LHD-PBA20U2 berukuran 7.6 x 1.5 x 13 cm, berat sekitar 180 gram, kapasitas sekitar 20 GB. Harddisk sebesar telapak tangan ini dapat memuat buku lebih dari 100 ribu halaman dalam format PDF, atau kira-kira sama dengan 151 jilid kamus bahasa Inggris-Indonesia, tiap jilid setebal 660 halaman, total berat 151 Kg, yang kalau disusun berjajar membutuhkan ruang sepanjang 6 m. 2. Portabilitas Data yang telah dikompresi akan berukuran jauh lebih kecil daripada aslinya. Akan lebih ringan dan lebih mudah membawa sebuah CD ROM daripada membawa informasi dalam bentuk buku. Pada ilustrasi di atas lebih mudah untuk membawa hard disk Portable Logitec yang beratnya hanya 180 gram dan bisa dimasukkan ke saku, padahal isinya sama dengan buku dalam 1 almari di perpustakaan. 3. Mudah untuk di edit, diolah dan ditransfer ke media lain Di masa lampau kita memerlukan penghapus, stypo, tip-ex, untuk melakukan koreksi tulisan. Jika
tulisan berada dalam format elektronik, kita akan sangat mudah melakukan koreksi, menambahkan baris, mengatur lay out tulisan. Proses transferpun menjadi mudah, jika dulu harus memakai mesin foto kopi untuk membuat salinan suatu artikel atau buku, saat ini lebih mudah mengkopi dokumen dalam bentuk file elektronik ke dalam disket atau ke dalam hard disc komputer. Berbagai macam kelebihan dapat kita peroleh jika informasi disajikan berupa digital. Buku yang berjilid-jilid dapat disimpan dalam bentuk file yang cukup dimuat dalam sekeping CD ROM. Proseding seminar yang dulu biasa dibagikan dalam bentuk cetak dan beratnya kadang bisa sekitar 5 Kg, saat ini lebih populer dibagikan dalam bentuk CD ROM. Akan tetapi informasi seperti ini masih tersedia dalam bentuk offline, yaitu tidak terkoneksikan ke internet. Kalau ada kolega kita di kota lain memerlukan data tersebut, mau tidak mau kita harus memakai jasa pos untuk mengirim CD ROM tersebut. Jalan lain yang lebih mudah untuk mentransmisikan informasi tersebut, menurut Nugroho (2006) mengatakan bahwa kelebihan informasi digital adalah kompresi dan kemudahan untuk ditransfer ke media elektronik lain. Kelebihan ini dimanfaatkan secara optimal oleh teknologi internet, misalnya dengan menaruhnya ke suatu website atau umumnya disebut dengan mengupload. Cara seperti ini disebut membuatnya online di dunia cyber. Pengiriman informasi dalam CD ROM yang tadinya harus dikirimkan lewat pos, sekarang telah dapat dilakukan secara elektronik, sehingga jauh lebih cepat. Buku yang berada di perpustakaan di Jepang, apabila dibuat dalam bentuk digital dan ditaruh di hard disc komputer yang
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
41
tersambung internet, dapat langsung dinikmati oleh pelajar dan masyarakat di Indonesia. Dahulu apabila membutuhkan suatu artikel ilmiah yang ditulis oleh profesor di AS, perlu memesan ke perpustakaan dan harus menunggu yang kadang lamanya bermingguminggu untuk dapat memperoleh artikel yang dibutuhkan. Saat ini proses mencari literatur menjadi jauh lebih mudah. Kita cukup online ke internet, dan mendownload file tersebut dari situs yang menyediakan artikel yang dimaksud. Kadangkadang penulis artikel itu menaruh artikel di websitenya agar mudah diakses oleh peneliti lain. Cara mengirimkan CD ROM lewat pos adalah konvensional, yaitu memindahkan atom dari satu tempat ke tempat lain. Sedangkan cara kedua dengan mengonlinekan isi CD ROM tersebut di internet, berarti mentransmisikan informasi berupa bit dari satu terminal komputer ke yang lain. Secepat-cepatnya kita mengirim barang, misalnya dengan Fedex atau EMS, dari Jepang ke Indonesia memerlukan waktu sekitar tiga hari. Akan tetapi proses transmisi bit pada koneksi internet jauh lebih cepat. Dari Indonesia kita dapat mendownload suatu file diperpustakaan digital di Amerika hanya dalam satu detik. Dapat disimpulkan bahwa mengonline-kan suatu informasi berarti melakukan potong kompas terhadap jarak dan waktu: dua buah dimensi yang selama ini sangat membatasi aktivitas manusia. Informasi online membuat akses semakin luas, dan transfer informasi semakin cepat dan akurat. Komunitas akademik dewasa ini telah terbiasa melakukan komunikasi lewat internet. Diskusi, pengiriman artikel, pemesanan buku, pengiriman data observasi dan berbagai aktifitas lain dapat dilakukan dari sebuah PC yang terkoneksikan ke internet. Akses informasi yang dapat dilakukan kapan
42
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
saja, siapa saja, di mana saja, telah memberikan kontribusi signifikan terhadap berkembangnya ilmu pengetahuan. Perpustakaan merupakan sumber literatur utama bagi seorang peneliti untuk mengikuti perkembangan bidang yang ditekuninya. Sebagian besar waktu dihabiskan untuk membaca jurnal ilmiah, laporan penelitian, prosiding seminar, yang tersedia dalam bentuk buku, disimpan di perpustakaan. Hal yang paling sulit adalah bagaimana memilih informasi yang diperlukan di antara ribuan atau jutaan halaman yang tersedia, padahal waktu yang ada sangat terbatas. Masalah ini dapat dipecahkan apabila journal, laporan, buku dan informasi lain yang dicari tersebut berada dalam format elektronik (misalnya format PDF, Word, postscript dsb.), sehingga dapat diakses online melalui internet. Misalnya situs journal IEEE (http://www.ieee.org), PubMed, dll. Dengan adanya sumber online, peneliti lebih mudah mencari literatur dan informasi terbaru dalam bidangnya. Ada layanan yang mempermudah memilih informasi online yang diperlukan, yaitu searching engine di internet. Yang sangat populer adalah http://vivisimo.com memiliki kelebihan dengan mengelompokkan hasil searching ke dalam beberapa group (cluster) menurut kata kunci pada situs tersebut. Tersedianya informasi di internet dan semakin canggihnya alat pencari membuat peneliti menjadi lebih cepat dalam mencari informasi yang diperlukannya. Apakah efek kemudahan mendapatkan informasi di internet? Salah satu penelitian menarik dilakukan oleh Steve Lawrence yang dimuat di journal penelitian terkemuka Nature memberikan kesimpulan bahwa frekuensi rujukan terhadap artikel yang dimuat online (ditampilkan di internet),
ternyata lebih banyak daripada artikel yang dimuat secara offline (tidak ditampilkan di internet). Lawrence mengamati sekitar 120 ribu artikel ilmiah di bidang komputer, yang dipublikasikan dari tahun 1989 sampai tahun 2000. Data menunjukkan bahwa artikel yang ditampilkan secara online rata-rata 7.03 kali dijadikan rujukan oleh peneliti lain, sedangkan artikel offline hanya sekitar 2.74. fakta ini membuat Lawrence berkesimpulan bahwa peningkatan kemampuan akses terhadap suatu paper meningkatkan kesempatan bagi peneliti lain untuk menemukan informasi yang diperlukan. Hal ini akan berdampak nyata pada berkembangnya suatu disiplin ilmu. Contoh lain adalah tersedianya data hasil observasi di internet agar dapat dimiliki bersama. Misalnya sebagaimana yang lazim dilakukan dalam bidang bioinformatika. Bioinformatika merupakan bidang baru yang merupakan perkawinan antara biologi dan teknologi informasi. Dalam hal ini istilah teknologi informasi tidak terbatas pada internet saja, melainkan pada proses pengolahan informasi secara umum. Dengan demikian aspek teknologi informasi dalam bioinformatika melibatkan juga teknologi database, pattern recognition, softcomputing, expert system, kecerdasan buatan, dsb. Dewasa ini seiring dengan selesainya Human Genome Project, susunan DNA tubuh manusia telah dapat dipetakan. Dalam era post genome project ini minat penelitian ditujukan untuk menemukan fungsi dari gen pada tubuh manusia, dan aplikasinya pada dunia medis. Misalnya pemilihan terapi penyakit yang tepat bagi individu yang sering disebut dengan tailormade medicine. Artikel ilmiah maupun data yang dipakai dalam penelitian tersebut umumnya tersedia secara online,
dan dapat diakses oleh peneliti yang lain. Dengan demikian terbuka kesempatan bagi anggota komunitas bioinformatika yang lain untuk membahas dan menganalisa data sesuai dengan spesialisasi masingmasing. Hal ini turut mendorong ditemukannya metoda-metoda komputasi baru yang menjadi feedback positif bagi peneliti tersebut. Dari contoh-contoh di atas dapat dirangkumkan bahwa usaha meng-online-kan informasi memiliki beberapa manfaat penting, antara lain: 1. Artikel ilmiah yang dimuat secara online, memiliki potensi akses yang lebih besar dan lebih sering dipakai sebagai rujukan. 2. Semakin luasnya kesempatan akses pada suatu informasi, pada gilirannya dapat memberikan feedback positif bagi pemilik awal informasi tersebut. 3. Data dan informasi yang dimuat secara online dapat membantu akselerasi perkembangan suatu cabang ilmu pengetahuan baru. Seperti diketahui bahwa pemanfaatan teknologi informasi sebagai sarana dalam meningkatkan kualitas layanan dan operasional telah membawa perubahan yang besar di perpustakaan. Itu dapat diukur dengan telah diterapkannya/ digunakannya teknologi informasi sebagai sistem informasi manajemen (SIM) perpustakaan dan perpustakaan digital (digital library) (Pudjiono, 2006). Sistem informasi manajemen (SIM) perpustakaan merupakan pengintegrasian antara bidang pekerjaan administrasi, pengadaan, inventarisasi, katalogisasi, pengolahan, sirkulasi, statistik, pengelolaan anggota perpustakaan, dan lain-lain. Sistem ini sering dikenal juga dengan sebutan sistem otomasi perpustakaan. Saat ini hampir semua
perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia telah menerapkan sistem otomasi perpustakaan. Sebagai contoh LARIS (Library Automation and Retrieval Information System) untuk otomasi di Perpustakaan Universitas Airlangga Surabaya, LASer (Library Automation Service) untuk otomasi di Perpustakaan Unviersitas Muhammadiyah Malang, New Spektra untuk otomasi di Perpustakaan Universitas Kristen Petra Surabaya, InSLA (Integration System for Library Automation) untuk otomasi di Perpustakaan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, dan lain sebagainya. Sedangkan perpustakaan digital (digital library) menurut Zainal A. Hasibuan (2005) merupakan konsep menggunakan internet dan teknologi informasi dalam manajemen perpustakaan. Sedangkan menurut Ismail Fahmi (2004) perpustakaan digital adalah sebuah sistem yang terdiri dari perangkat hardware dan software, koleksi elektronik, staf pengelola, pengguna, organisasi, mekanisme kerja, serta layanan dengan memanfaatkan berbagai jenis teknologi informasi. Pengembangan perpustakaan digital atau e-library bagi tenaga pengelola perpustakaan dapat membantu pekerjaan di perpustakaan melalui fungsi sistem otomasi perpustakaan, sehingga proses pengelolaan perpustakaan lebih efektif dan efisien. Fungsi sistem otomasi perpustakaan menitikberatkan pada bagaimana mengontrol sistem administrasi layanan secara otomatis/ terkomputerisasi. Sedangkan bagi pengguna perpustakaan dapat membantu mencari sumber-sumber informasi yang diinginkan dengan menggunakan catalog online yang dapat diakses melalui intranet maupun internet, sehingga pencarian informasi dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun berada.
Menurut Zainal A. Hasibuan (2005) dalam makalahnya “Pengembangan Perpustakaan Digital”, metodologi untuk membangun perpustakaan digital mengikuti langkah-langkah yang disebut dengan istilah Fast Methodology yang meliputi 6 (enam) fase yaitu (1) requirement analysis phase, (2) decision analysis phase, (3) design phase, (4) construction phase, (5) implementation phase, dan (6) operation and support phase. Sedangkan menurut Ikhwan Arif (2004) dalam makalahnya “Konsep dan Perancangan dalam Otomasi Perpustakaan”, tahapan membangun sistem otomasi perpustakaan terbagi dalam tujuh (7) tahap, yaitu (1) persiapan, (2) survei, (3) desain (4) pembangunan, (5) uji coba, (6) training, dan (7) operasional. Dengan langkah-langkah seperti tersebut di atas diharapkan sistem perpustakaan digital dan sistem otomasi perpustakaan yang dibangun dapat berjalan sesuai dengan yang dikehendaki. Program yang digunakan dapat berupa program open source yang kemudian dikembangkan dan didesain sesuai dengan keinginan perpustakaan maupun program yang dikembangkan secara mandiri oleh tim teknologi informasi perpustakaan. Sebagai implementasinya, pengembangangan sebuah perpustakaan dari bentuk konvensional ke bentuk digitalisasi koleksi perpustakaan memerlukan biaya yang tidak sedikit karena untuk mendigitalisasi sebuah dokumen dari bentuk cetak ke bentuk digital diperlukan beberapa tahap. Tahap pertama adalah proses scanning, yaitu merubah dari bentuk cetak kedalam bentuk digital, kemudian proses editing, yaitu mengedit data yang telah diubah dalam bentuk digital untuk kemudian siap disajikan kepada para pengguna. Di dalam
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
43
proses editing ini juga diberikan keamanan sehingga tidak dapat dirubah oleh pengguna, seperti contoh pada koleksi skripsi, tesis, laporan penelitian, dan disertasi perlu diberikan keamanan agar copyright tetap ada pada sipenulis/ pembuat. Setelah mempunyai koleksi digital, maka kita memerlukan komputer yang mempunyai performa atau kapasitas yang cukup tinggi sebagai sarana untuk menyimpan serta melayani pengguna dalam mengakses koleksi digital. sebuah komputer dengan processor pentium 4 dengan hard disk sebesar 40 giga, memory 256 megabytes adalah spesifikasi komputer minimal. Selain itu kita juga memerlukan sebuah software untuk manajemen koleksi digital. selain itu diperlukan jaringan internet (layanan lokal) maupun internet (layanan global). Dengan dikembangkan perpustakaan yang berbasis pada teknologi informasi dan komunikasi (ICT based) baik dalam sistem informasi manajemen (SIM) perpustakaan, maupun digital library, maka dapat memberikan kenyamanan kepada anggota perpustakaan juga memberikan kemudahan kepada tenaga pustakawan dan pengelola perpustakaan baik dalam layanan maupun pengolahan dan sekaligus kemudahan untuk menerapkan strategi-strategi pengembangan perpustakaan serta dapat meningkatkan citra dalam memberikan layanannya terhadap pemakai di lingkungannya, dan dengan begitu perpustakaan akan tetap eksis di era digital information. Penutup Tantangan baru teknologi informasi khususnya untuk para penyedia informasi adalah bagaimana menyalurkan informasi dengan cepat, tepat, dan global.
44
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
Perpustakaan sebagai salah satu penyedia informasi yang keberadaannya sangat penting di dunia informasi, mau tidak mau harus memikirkan kembali bentuk yang tepat untuk menjawab tantangan ini. Salah satunya adalah mewujudkan digital library yang terhubung dengan jaringan komputer. Seperti diketahui bahwa pemanfaatan teknologi informasi sebagai sarana dalam meningkatkan kualitas layanan dan operasional telah membawa perubahan yang besar di perpustakaan. Itu dapat diukur dengan telah diterapkannya/ digunakannya teknologi informasi sebagai sistem informasi manajemen (SIM) perpustakaan dan perpustakaan digital (digital library). Digital library (DL) atau perpustakaan digital adalah satu perpustakaan yang menyimpan data baik itu buku/tulisan, gambar, suara, dalam bentuk file elektronik dan mendistribusikannya dengan menggunakan protokol elektronik melalui jaringan komputer. Pengembangan perpustakaan digital atau e-library bagi tenaga pengelola perpustakaan dapat membantu pekerjaan di perpustakaan melalui fungsi sistem otomasi perpustakaan, sehingga proses pengelolaan perpustakaan lebih efektif dan efisien. Fungsi sistem otomasi perpustakaan menitikberatkan pada bagaimana mengontrol sistem administrasi layanan secara otomatis/ terkomputerisasi. Sedangkan bagi pengguna perpustakaan dapat membantu mencari sumber-sumber informasi yang diinginkan dengan menggunakan catalog on-line yang dapat diakses melalui intranet maupun internet, sehingga pencarian informasi dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun berada. Dengan dikembangkan perpustakaan yang berbasis pada teknologi informasi dan
komunikasi (ICT based) baik dalam sistem informasi manajemen (SIM) perpustakaan, maupun digital library, maka dapat memberikan kenyamanan kepada anggota perpustakaan juga memberikan kemudahan kepada tenaga pustakawan dan pengelola perpustakaan baik dalam layanan maupun pengolahan dan sekaligus kemudahan untuk menerapkan strategi-strategi pengembangan perpustakaan serta dapat meningkatkan citra dalam memberikan layanannya terhadap pemakai di lingkungannya, dan dengan begitu perpustakaan akan tetap eksis di era digital information. Itulah yang disebut dengan eksistensi perpustakaan di era digital information. P *) Artikel Pemenang hiburan ke 5 pada Lomba Penulisan Karya Ilmiah Tahun 2006
daftarpustaka Creth, S.D. 1996. The electronic library; slouching toward the future or creating a new information environment. Follet Lecture Series, September. Fahmi, I. 2004. Innovasi jaringan perpustakaan digital: Network of Networks NeONs. Makalah: Seminar dan workshop Sehari Perpustakaan dan Informasi Universitas Muhammadiyah. Malang, 4 Oktober 2004. Hasibuan, Z.A. 2005. Pengembangan perpustakaan digital: Studi kasus perpustakaan Universitas Indonesia, Makalah Pelatihan Pengelola Perpustakaan Perguruan Tinggi. Cisarua Bogor 17–18 Mei 2005. Nugroho, A.S. 2006. Informasi Online dalam Dunia Riset dan Pendidikan. Surakarta. Pudjiono. 2006. Membangun Citra: Perpustakaan Perguruan Tinggi di Indonesia Menuju Perpustakaan Bertaraf Internasional. Universitas Airlangga Surabaya. Siregar, A.R. 2006. Pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Pemasaran Perpustakaan: Implikasinya Terhadap Pustakawan. Makalah: Program Studi Perpustakaan dan Informasi Universitas Sumatera Utara.
Learning Society Di Kampung Bosscha:
Praktek Kepustakawanan di Rw 10 Kampung Bosscha Desa Lembang, Jawa Barat Oleh : Elyani Sulistialie Seorang Sarjana Perpustakaan yang bekerja di Observatorium Bosscha, Bandung
Pendahuluan Pustakawan adalah orang yang bekerja di perpustakaan dan bertugas untuk memberikan layanan informasi kepada pengguna perpustakaan. Mengacu pada fungsi dan jenis per pustakaan maka layanan tersebut bersifat informatif, pendidikan, riset dan rekreatif. Pekerjaan pustakawan biasanya berkaitan dengan aspek teknis, layanan dan administrasi, yang berhubungan dengan pengadaan dan pemanfaatan informasi. Di per pustakaan yang kecil, semua aspek pekerjaan perpustakaan ditangani oleh satu orang, sedangkan di perpustakaan yang besar, ada spesial isasi pekerjaan, yakni katalogisasi, klasifikasi, pelayanan referens, biblio grafi, administrasi, dan sebagainya. Masyarakat dan pengguna perpustakaan memanfaatkan perpustakaan dengan bantuan pustakawan. Sudah sewajarnya jika seorang pustakawan adalah seorang yang ramah dan ringan tangan, gemar membaca dan belajar, serta mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dipergunakan untuk
mengorganisasi dan mengelola bahan pustaka sedangkan keramahan pustakawan melayani pengguna perpustakaan, dan fasilitas yang ada dapat membuat pengguna betah untuk belajar di perpustakaan, sehingga dapat tercipta masyarakat yang gemar belajar. Belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu; berubahnya tingkah laku dan pandangan yang disebabkan oleh pengalaman. Dengan belajar masyarakat akan menjadi tahu dan lebih tahu, serta lebih terampil dan diharapkan menjadi bijaksana. Di Kampung Bosscha Lembang, terdapat Observatorium Bosscha, sebagai lembaga yang menyelenggarakan kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat. Selain itu, di Kampung Bosscha terdapat kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan belajar dan membaca. Tulisan ini berkaitan dengan pembinaan minat baca di Kampung Bosscha Desa Lembang. Pembinaan minat baca merupakan salah satu dari praktek kepustakawanan.
Sekilas Kegiatan Observatorium Bosscha Untuk menunjang kegiatannya, Observatorium Bosscha yang menempati area seluas 6 hektar, memiliki 6 buah teropong, ruang ceramah, bengkel, perpustakaan, ruang baca, ruang komputer dan ruang kantor. Observatorium Bosscha merupakan laboratorium Astronomi yang menunjang proses belajar mengajar dan riset mahasiswa dan staf Astronomi ITB, memiliki perpustakaan yang up to date karena selain memiliki buku-buku astronomi yang lengkap juga berlangganan beberapa jurnal. Koleksi yang dimiliki berupa buku teks kurang lebih 4.800 eksemplar, 4000 volume jurnal langganan, 106 volume jurnal hasil download dari internet, 2500 koleksi non buku dan hampir 20.000 publikasi dari berbagai observatorium di dunia. Perpustakaan memiliki koleksi yang sangat penting dan bersejarah yaitu “Annalen from Bosscha Observatory” yang berisi sejarah pendirian Observatorium serta hasil pengamatan bintang pada waktu
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
45
Kegiatan di Observatorium Bosscha: 1. Penelitian astronomi, kolokium, seminar dan pertemuan internasional. Penelitian yang dilakukan tahun 2007 di antaranya bintang ganda, matahari, bintang, bulan, dan sebagainya. Pertemuan ilmiah diselenggarakan untuk mengkomunikasikan dan menghimpun hasil penelitian. Hasil dari pertemuan tersebut melengkapi koleksi perpustakaan, seperti halnya skripsi hasil
46
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
IST
itu. Tradisi menulis ilmiah dalam skala internasional lain terangkum dalam “Contribution from Bosscha Obsbervatory” dan “Report of the Year” sejak tahun 1920. Koleksi perpustakaan Observatorium Bosscha dapat dianggap memiliki koleksi terlengkap di Asia Tenggara, mengingat buku yang terlama terbitan tahun 1640 hingga terkini terhimpun di perpustakaan. Berbagai instansi dan perorangan mencari informasi dan referensi dari Observatorium Bosscha, termasuk dari Negara tetangga, Malaysia. Jurnal yang dilanggan pada tahun 2007 adalah: The Astronomical Journal, The Astrophysical Journal, The Astrophysical Journal Supplement Series, Publications of the Astronomical Society of the Pacific, Sky and Telescope, Science, Scientific American, Revista Mexicana (Publications & Conf. Series), Astronomy & Astrophysics, Astronomisches Nachrichten, Astrophysics and Space Science, BAA Journal & Newsletter, Monthly Notices of the Royal Astronomical Society Society (MNRAS), Nature, The Observatory, The Astronomical Herald, New Scientist, Publications of the Astronomical Society of Japan dan The Embo Journal. Sebagian besar biaya langganan jurnal tersebut berasal dari LKBF, beberapa diantaranya diterima langsung dari penerbit dan hanya satu judul dilanggan dengan biaya sendiri, yaitu Scientific American.
penelitian dari mahasiswa selain Astronomi yang melaksanakan penelitian di Observatorium Bosscha. Tahun 2008, Indonesia ditunjuk menjadi tuan rumah penyelenggara pertemuan Olimpiade Astronomi Internasional pada bulan Agustus. 2. Layanan kunjungan publik. Masyarakat dapat mengunjungi Observatorium Bosscha setiap hari Selasa sampai Sabtu pada jam 09:00, 12:00 dan 15:00 WIB dan pada malam-malam tertentu. Setelah mendengarkan ceramah dan penjelasan, ada diantara pengunjung yang mencari informasi tentang astronomi di perpustakaan untuk memenuhi keingintahuannya. 3. Pelatihan Astronomi. Diantaranya adalah Pelatihan Hisab Rukyat yang diselenggarakan bersama Departemen Agama; Persiapan Olimpiade Astronomi Nasional dan Internasional untuk siswa
SMP dan SMA bekerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional. Referensi dan bahan pustaka sangat menunjang pelaksanaan kegiatan tersebut. Kegiatan Astrocamp yang dilaksanakan pada saat liburan membangkitkan minat siswa untuk mencari informasi lebih jauh tentang astronomi. 4. Kerjasama luar negeri. Observatorium Bosscha mendapat buku-buku dan jurnal dari Yayasan Bosscha di Belanda (Leids Kerkhoven Bosscha Fonds). Menteri Pendidikan dan Sains Belanda telah mendonasikan dana untuk perawatan teleskop dan gedung. Dengan Jepang, Observatorium Bosscha mendapat hibah teleskop GAO dan mengundang staf dari Observatorium Bosscha mengadakan pengamatan di sana. Beberapa astronom tamu, dari Jerman, Perancis, Belanda berkunjung ke Observatorium memberikan kuliah astronomi. Dengan bantuan IAU (The
International Astronomical Union) dan Departemen Luar Negeri, astronom Indonesia menjadi anggota IAU dan mendapatkan buku-buku untuk perpustakaan. Pertemuan Astronomi Internasional yang dihadiri astronom Indonesia sebagian besar didanai oleh IAU. 5 Tulisan di media massa dan penerbitan bulletin serta sharing informasi. Staf dan mahasiswa astronomi menulis artikel astronomi di media massa, sedangkan kliping artikel dihimpun oleh perpustakaan. Penerbitan Buletin merupakan kelanjutan dari Warta Astronomi, dikirimkan ke lembaga dan masyarakat di Lembang serta ITB dan penggemar serta pemerhati Astronomi. Sehubungan dengan sharing informasi, beberapa data dan informasi yang diterima Observatorium Bosscha juga dimanfaatkan lembaga lain misalnya Alamanak Astronomi digunakan oleh Lembaga Geodesi AD, Univeristas di Yogyakarta. Ruang Baca perpustakaan terbuka 24 jam bagi mahasiswa dan tamu yang menginap di Observatorium Bosscha. 6. Belajar untuk semua orang. Setiap pegawai yang telah mengikuti pendidikan, kursus atau seminar ditugaskan untuk melaporkan hasilnya baik berupa presentasi kepada rekan-rekan maupun rangkuman. Kegiatan ini mendukung proses belajar sepanjang hayat. Selain itu, pegawai juga pernah mendapat pelatihan berbahasa Inggris dan menggunakan komputer. Untuk menunjang tugas dan pekerjaan sampingan pegawai, Observatorium Bosscha berlangganan majalah “Trubus” dan menyediakan koleksi buku-
buku pertanian. Diharapkan pegawai dapat menambah pengetahuan tentang tanaman, selain untuk menunjang tugas juga sebagai pengetahuan untuk pekerjaan sampingan. Bagi pelajar yang tinggal di sekitar Observatorium, koleksi surat kabar yang dilanggan kantor dapat dipergunakan, jika mereka mendapat tugas dari sekolah untuk membuat kliping.
Dalam rangka Community Development, kursus komputer bagi pelajar dilaksanakan bulan Agustus dan September 2007, dengan instruktur mahasiswa Astronomi dan pegawai Observatorium. Setelah itu direncanakan kursus bahasa Inggris dengan menggunakan multimedia.
Demikian kegiatan yang dilaksanakan di Observatorium Bosscha. Semua kegiatan tersebut mengarah pada masyarakat belajar atau Learning Society. Jumlah pegawai Obsevatorium Bosscha 17 orang terdiri dari 14 laki-laki dan 3 perempuan (2 orang berpendidikan S2/asisten peneliti, 1 orang S1/pustakawan, 8 orang SMA dan 6 orang SMP) dibantu dengan 7 orang Satpam. Semua pegawai disiapkan untuk menjawab pertanyaan publik, baik tentang tata cara berkunjung ke Observatorium Bosscha maupun fenomena alam semesta, baik melalui telepon maupun bertemu langsung. Kegiatan Belajar Pada Masyarakat Di Kampung Bosscha Karena Observatorium Bosscha ITB terletak di Kampung Bosscha, maka tidak dapat dielakkan lagi adanya interaksi masyarakat dengan civitas academika ITB. Mahasiswa yang menginap di rumah mahasiswa
karena belajar atau melaksanakan pengamatan bintang, dilaporkan secara tertulis kepada ketua RW, sebagai pemberitahuan. Masyarakat sering diundang ke Observatorium Bosscha untuk berdialog jika ada permasalahan yang perlu diketahui, misalnya tentang lingkungan atau kegiatan yang akan diselenggarakan. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan di Kampung Bosscha yang berhubungan dengan upaya menambah pengetahuan adalah: 1. Khotbah Jumat dan Sholat Ied. Mahasiswa tingkat akhir, baik S1 dan S2 yang mondok di sekitar komplek Observatorium Bosscha biasanya diminta memberikan khotbah Jumat kepada masyarakat Kampung Bosscha pada waktu tertentu. Tak jarang dosen maupun pegawai Observatorium Bosscha yang memberikan khotbah Jumat atau Sholat Ied. Di Masjid tersebut disediakan bacaan, walaupun jumlahnya terbatas, namun dapat dibaca oleh jamaah maupun anakanak pengajian. 2. Les Bahasa Inggris dan Latihan Menggambar Beberapa tahun yang silam, siswa SD dan SMP biasanya mengikuti les bahasa Inggris pada Minggu sore, di rumah salah seoarang warga, yang kebetulan pustakawan Observatorium Bosscha. Kini, siswa biasanya meminta bantuan dalam mengerjakan PR nya yang sulit pada malam hari. Kegiatan lain pada waktu luang adalah latihan menggambar, yang diadakan Minggu pagi di taman, di halaman rumah salah seorang Staf Pengajar Astronomi. 3. Pengajian Ibu dan Anak Setiap Kamis malam, ibu-ibu di Kampung Bosscha mengadakan pengajian di masjid. Sedangkan
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
47
pengajian pelajar bertempat di rumah salah seorang Staf Pengajar Astronomi. Pengajian pelajar dimulai pada bulan Maret 2007, dengan tutor 4 orang, tiga diantaranya lulusan IKIP/UPI dan seorang dari IAIN. Materi yang disampaikan berupa pengajian Al Quran dan Iqro, ceramah baik oleh pengajar maupun tamu, pemutaran CD, diskusi dan mengupas buku serta mengikuti Majlis Taklim di Bandung. Pelajar yang mengikuti pengajian Rabu malam adalah siswa SD kelas 4 keatas sebanyak 17 orang dan SMP sebanyak 15 orang, Pengajian untuk pelajar SMA sebanyak 14 orang dilaksanakan setiap Kamis malam. Buku-buku bacaan disediakan untuk anakanak pengajian. Jika teman atau guru mereka berminat, buku tersebut dapat dipinjamkan. pelajar SD setingkat Madrasah Ibtidaiyah pernah mengikuti Sains Camp di Masjid Salman pada tanggal 2-4 Juli 2007. Dalam kegiatan tersebut, kelompok putri meraih juara pertama atau menjadi kelompok terbaik. Anakanak TK dan kelas 1 sampai 3 SD mengaji di Masjid setiap sore. 4. Keterampilan Membuat Makanan Ringan Ibu-ibu dari Kampung Bosscha berlatih membuat kripik, kue dan makanan ringan di Balai Desa sebagai usaha binaan. Kemauan belajar dan berusaha para ibu perlu mendapat perhatian dan dukungan. Selain itu, secara mandiri para ibu belajar membuat kue dan makanan juga sering dilakukan diantara ibu-ibu. 5. Sepak bola Hampir setiap sore, anak laki-laki berlatih sepak bola di lapangan tenis milik Observatorium Bosscha. Diantara mereka adalah
48
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
siswa SD Pancasila yang terpilih menjadi pemain bola andalan dan sering bertanding di luar kota. Dalam pemilihan pemain sepak bola, terdapat pelajar SMA yang tinggal di Kampung Bosscha, terpilih sebagi pemain Persib Muda. Semboyan “dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang kuat” diharapkan dapat menyemangati dan memudahkan mereka untuk terus belajar. 6. Lomba Menggambar Anak Pada bulan Maret 2007 Observatorium Bosscha mengadakan “open house” yang diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis ITB. Pada kesempatan tersebut warga Lembang diundang untuk berkunjung dan diadakan perlombaan menggambar bagi siswa TK dan SD di Lembang. Lomba menggambar di Kampung Bosscha tanggal 3 Juni 2007, khusus diadakan bagi anak-anak yang tinggal di RT 1-3, RW 10 Kampung Bosscha, untuk mengisi waktu senggang dan melatih kreativitas. Semangat berlomba dan daya juang anak, diharapkan dapat memicu anak untuk terus belajar dengan lebih baik. 7. Pembinaan Minat Baca. Kaum ibu diajak mengikuti perlombaan merangkum buku, mengarang kisah sejati dan membaca puisi Sunda Pembinaan Minat Baca Di Kampung Bosccha Dalam tugas sehari-hari merawat anak dan rumah tangga, hendaknya Ibu meluangkan waktu untuk menambah pengetahuan dengan membaca. Anak akan senang dan merasa diperhatikan, jika dibacakan dongeng oleh ibunya. Anak bagaikan kertas putih, Ibu dan orang dewasalah yang mewarnai kehidupan mereka
dan membentuk watak mereka. Kegiatan lomba merangkum buku, mengarang pengalaman pribadi dan membaca puisi Sunda bagi Ibu diharapkan menimbulkan dampak positif pada keluarga. Kegiatan ini dikemas dalam acara silaturahmi ibu-ibu RW 10 Kampung Bosscha Lembang yang diselenggarakan tanggal 5 Agustus 2007 di halaman Observatorium Bosscha. Diikuti oleh 28 orang ibu, terkumpul 11 rangkuman buku, 6 karangan pengalaman sejati dan ada 14 orang ibu yang mengikuti lomba membaca puisi Sunda. Dalam hal teknis perlombaan, tiap peserta mendapat buku tulis dan pulpen serta fotocopy buku yang akan dirangkum, sejak tanggal 16 Juli 2007. Adapun puisi diambil dari buku pelajaran sekolah, koran dan dari internet. Peserta berlatih membaca puisi dan menulis rangkuman buku di rumah masing-masing. Pedoman menulis rangkuman disedikan panitia atau dapat mencari sendiri (Lampiran 3). Rangkuman dan hasil karangan dikumpulkan tanggal 4 Juli 2007 untuk dinilai oleh 3 oarng Juri. Pembacaan puisi dan pengumuman dilaksanakan tanggal 5 Agustus 2007 dalam acara silaturahmi. Terjadi pemandangan yang lain dari biasanya menjelang acara perlombaan. Ibu-ibu muda yang mengantar dan menunggui anaknya sekolah, selama kurang lebih dua minggu, tampak membawa kertas atau buku bacaan. Mereka menghapalkan puisi atau membaca buku untuk dirangkum. Jika kegiatan membaca ibu dapat menjadi kebiasaan, akan menularkan kebiasaan tersebut pada keluarga. Sebagai tindak lanjut dari lomba untuk para ibu ini, hasil rangkuman buku akan dibagikan kepada semua peserta agar mereka dapat terus membaca dan berdiskusi di antara mereka. Untuk menciptakan masyarakat
gemar membaca dan belajar, kiranya perlu diadakan acara lain, misalnya lomba membaca dongeng atau lomba membuat cerita anak, dan lain-lain. Kursus memasak atau belajar bahasa Inggris bagi kaum ibu juga layak dipertimbangkan. Masyarakat harus belajar karena masa depan penuh dengan perubahan yang tak dapat dihindarkan. Tintin Sastraatmadja menyatakan “Dalam upaya menggapai masyarakat Information Literacy, dibutuhkan masyarakat (SDM) kreatif dan inovatif yang hanya dapat diperoleh melalui semangat untuk terus menerus mengikuti pendidikan seumur hidup (long life education) agar proses akumulasi iptek dapat meningkat secara berkelanjutan. Demikian pula belajar sepanjang hayat (long life learning), membaca sepanjang hayat (long life reading) dan long life writing perlu terus dikembangkan”. Perlu adanya pembinaan yang terus menerus agar masyarakat gemar belajar dan membaca. Kesimpulan: Praktek kepustakawanan yang dilaksanakan di Kampung Bosscha, terdapat di dua tempat yakni di Observatorium Bosscha yang memiliki perpustakaan astronomi dan dalam masyarakat itu sendiri. a. Di perpustakaan Observatorium Bosscha, kegiatan kepustakawanan meliputi aspek teknis, administrasi dan pelayanan yang ditangani oleh seorang pustakawan. Perawatan koleksi dan penjilidan dilakukan oleh dua orang pegawai. Sistem penelusuran buku menggunakan CDS ISIS dan kartu catalog serta kardex. Sebagian besar koleksi perpustakaan Observatorium Bosscha merupakan jurnal, oleh karenanya upaya preservasi diantaranya dengan menjilid volume yang sudah lengkap. Untuk penambahan koleksi
selain dari LKBF dan IAU, juga dilakukan penggandaan atau pembelian. Down load jurnal menambah kelengkapan koleksi yang sudah ada. Pengguna perpustakaan adalah mahasiswa astronomi, mahasiswa selain astronomi yang membuat skripsi tentang Observatorium Bosscha juga tamu dan peneliti dari luar negeri. Penyebaran informasi dilaksanakan dengan pengiriman bahan informasi melalui pos dan e-mail. Sebagai Current Awareness Services daftar isi jurnal baru diumumkan, seperti halnya daftar buku baru. Adapun jurnal yang sudah didisplay di Ruang Baca Observatorium Bosscha selama 2 minggu akan dipinjamkan ke Program Studi Astronomi di Bandung untuk didisplay. b. Praktek kepustakawanan dalam masyarakat Kampung Bosscha meliputi, bimbingan belajar dalam rangka menciptakan masyarakat belajar yakni dengan memberikan pelajaran tambahan bahasa Inggris dan agama, bimbingan membaca dan rekreatif. Bukubuku agama yang merupakan koleksi mesjid, diharapkan dapat mengisi kekosongan rohani masyarakat sehingga mereka dapat memilah mana yang baik dan buruk. Bimbingan minat baca pada Ibu sangat penting agar mereka berwawasan luas karena tugas mereka berkaitan dengan pembentukan watak generasi penerus. c. Kegiatan pembinaan minat baca melalui lomba merangkum buku dan mengarang atau yang sejenis perlu terus diadakan agar dapat menimbulkan gairah kaum ibu untuk terus membaca dan belajar. Belajar merupakan kunci untuk mampu menghadapi tantangan masa depan, meski memiliki
pendidikan formal yang terbatas. Harapan: a. Perpustakaan Observatorium Bosscha memiliki ruangan tambahan sehubungan dengan semakin banyaknya koleksi. Untuk kemudahan pengguna, ada baiknya difasilitasi dengan mesin foto kopi. Alat pemindai atau scanner serta tambahan komputer cukup penting dalam upaya yang mengarah pada digital library. Pustakawan agar terus diberi kesempatan menambah pengetahuan dengan mengikuti seminar dan pelatihan. b. Ada peningkatan koleksi perpustakaan masjid, agar dapat menimbulkan minat baca masyarakat. Perlu kegiatan pengembangan minat baca dan belajar masyarakat yang dilaksanakan secara terus menerus, dalam bentuk yang beraneka ragam. c. Kegiatan kepustakawanan, yakni menyampaikan informasi dan membina minat baca diharapkan dapat turut menciptakan masyarakat yang cerdas serta sejahtera lahir dan batin, menciptakan generasi muda yang tangguh dan berprestasi, mempunyai banyak pengetahuan dan bertaqwa. P *) Artikel Pemenang hiburan ke 4 pada Lomba Penulisan Karya Ilmiah Tahun 2006
daftarpustaka Alwasilah, Chaedar dan Senny A. 2005. “Pokoknya Menulis”. Bandung: Kiblat Buku Utama. Rika. 2007 “Masyarakat Indonesia Perlu Menumbuhkan Reading Society”. Pikiran Rakyat 3 Januari. Sastraatmadja, T. 2007. “Kiat Sukes Masyarakat Menggapai Information Literacy. Makalah Muscab IPI, 25 Juli.
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
49
Gaya Komunikasi Pustakawan Terhadap Pengguna Jasa Layanan Perpustakaan Oleh : Sri Endah Pertiwi Pustakawan pada UPT Perpustakaan Universitas Diponegoro
Pendahuluan Perpustakaan adalah pusat informasi dan dokumentasi ilmiah di Perguruan Tinggi. Ketersediaan bahan pustaka di perpustakaan merupakan sarana yang menunjang proses belajar mengajar. Di lingkungan Universitas Diponegoro Semarang terdapat satu perpustakaan pusat dan beberapa perpustakaan fakultas dan jurusan sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing. Fasilitas tersebut disediakan bagi civitas akademika yang membutuhkan demi menunjang kelangsungan belajar. Mengingat pentingnya fungsi perpustakaan, hal ini tak bisa lepas dari peran pustakawan dalam mengatur, mengelola dan memberikan pelayanan optimal bagi pengguna jasa perpustakaan terutama mahasiswa Universitas Diponegoro. Berdasarkan hal tersebut pemahaman gaya komunikasi pustakawan dan pengaruhnya dalam kegiatan membaca mahasiswa merupakan bahan-bahan penting untuk dibahas dan diteliti lebih lanjut. Gaya komunikasi atau Communicator Style menurut Robert Norton adalah seperangkat perilaku antar pribadi yang terspesialisasi
50
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
yang digunakan dalam suatu situasi tertentu. Gaya komunikasi itu dimunculkan untuk mendapat respon dari anggota-anggota organisasi maupun individu-individu lain yang terlibat dan terkait dengan kegiatan organisasi. Di lingkungan perpustakaan Perguruan Tinggi dimana pustakawan adalah staf perpustakaan yang terspesialisasi menekuni bidang ini dan sehari-hari bekerja di ruang lingkup perpustakaan. Optimalisasi perpustakaan dapat dipengaruhi oleh gaya komunikasi pustakawan dalam berinteraksi dengan mahasiswa. Bagaimana pustakawan menstimulus mahasiswa agar mereka datang, membaca dan meminjam koleksi buku-buku di perpustakaan. Gaya komunikasi pustakawan yang digunakan secara strategis dapat menghasilkan efek yang bermanfaat bagi perpustakaan. Pustakawan sebagai komunikator dan mahasiswa sebagai komunikan melakukan komunikasi yang efektif dan bermanfaat. Pengguna jasa layanan perpustakaan dalam hal ini mahasiswa berkeinginan datang ke perpustakaan untuk mencari
informasi yang mereka perlukan. Informasi adalah bahan pokok dalam komunikasi (Siahaan, 1991 : 29). Samuel Eilon dalam bukunya Some Notes on Information Processing menjelaskan informasi itu pernyataan yang menjelaskan suatu peristiwa (obyek, konsep) untuk lebih mudah memahaminya (Siahaan, 1991 : 30). Mahasiswa membutuhkan informasi dalam kegiatan belajarnya sehingga mereka datang ke perpustakaan. Perpustakaan sebagai sumber informasi dan pusat dokumentasi ilmiah sangat menunjang hal itu. Mahasiswa datang untuk membaca, meminjam dan memfotokopi bahan pustaka yang mereka perlukan. Komunikasi akan berjalan efektif apabila ada feedback atau umpan balik dari komunikan. Umpan balik yang diharapkan akan tercapai bila pesan dari komunikator dapat dicermati isinya. Dengan demikian makna pesan dapat pula dimengerti oleh komunikan. Tujuan yang hendak dicapai dalam komunikasi yang efektif adalah menekankan pengertian bersama antara pustakawan dengan mahasiswa. Pustakawan mendorong mahasiswa agar tumbuh minat
untuk membaca dan memanfaatkan koleksi perpustakaan sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing. Gaya komunikasi yang dipakai oleh komunikator bertujuan sebagai pelaksana integrasi, artinya menjaga kesatuan individu serta bagianbagian yang ada dalam organisasi dalam hal ini perpustakaan. Interaksi antara pustakawan dan mahasiswa bertujuan untuk menjaga pertukaran informasi, pertukaran pendapat dan sikap agar mahasiswa dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pustakawan dalam berkomunikasi menjalankan fungsi informatif yaitu melakukan informasi kepada users. Disamping itu juga mengadakan fungsi regulative atau Control of Direct by Role yaitu mengarahkan users dalam mematuhi peraturan yang ada di perpustakaan. Selain itu dengan gaya komunikasi tertentu, mereka melakukan persuasif yaitu mengajak dan mendorong mahasiswa untuk memanfaatkan koleksi perpustakaan. Pustakawan berusaha menanamkan kepercayaan dan mempengaruhi perilaku mahasiswa untuk datang dan memanfaatkan koleksi yang ada di perpustakaan. Gaya Komunikasi Pustakawan Pustakawan adalah orang yang ahli dalam bidang perpustakaan (Sudjatmoko, 1992 : 142). Pustakawan menggunakan komunikasi formal dan komunikasi non formal dalam berinteraksi dengan mahasiswa. Komunikasi formal adalah komunikasi yang terjadi di antara para anggota organisasi yang secara tegas diatur oleh struktur organisasi. Komunikasi informal yaitu komunikasi yang dilakukan bila komunikasi formal mengalami kemacetan atau buntu. Komunikasi ini sebagai perwujudan dari keinginan manusia untuk bergaul atau bersosialisasi dengan sesama. Sesuai pendapat Sir Geral Barry bahwa komunikasi adalah berunding.
Bahwa dengan berkomunikasi orang memperoleh pengetahuan, informasi dan pengalaman. Karena itu saling mengerti percakapan, keyakinan, kepercayaan dan kontrol sangat diperlukan.(Widjaja, 2000: 15). Komunikator dalam hal ini pustakawan yang bertugas di bagian pelayanan sirkulasi, karya Ilmiah, referensi, buku tandon maupun pelayanan serial yaitu majalah dan surat kabar dalam kegiatan seharihari melayani kepentingan users khususnya mahasiswa. Menurut Wilbur Schramm, komunikasi ialah usaha untuk mengadakan persamaan dengan orang lain (Widjaja, 2000: 15). Pustakawan dalam hal ini bertindak sebagai komunikator, memiliki gaya dalam berkomunikasi dengan mahasiswa. Tiap pustakawan memiliki gaya komunikasi yang berbeda. Masing-masing mempunyai ciri khas yang merupakan modal agar komunikasi berlangsung efektif. Pustakawan mempertahankan gaya yang dimiliki dan berusaha memperbaiki kelemahannya agar terjadi komunikasi yang baik dengan mahasiswa. Gaya komunikasi pustakawan sebagai jalan bagi interaksi verbal, non verbal dan para verbal yaitu memberi tanda bagaimana arti diterima, diinterpretasi, disaring atau dimengerti. Dapat diartikan bahwa gaya adalah suatu pesan tentang isi. (Norton, 1983: 19). Pustakawan memiliki perilaku yang terspesialisasi, yang digunakan dalam situasi tertentu yaitu pada saat memberikan pelayanan mahasiswa di perpustakaan. Gaya ini dimunculkan untuk mendapat respon dari users khususnya mahasiswa yang memanfatkan jasa layanan perpustakaan. Komunikator dalam hal ini pustakawan yang bertugas di bagian pelayanan sirkulasi, pelayanan karya Ilmiah, pelayanan referensi, pelayanan RB maupun pelayanan serial yaitu majalah dan surat
kabar. Kegiatan sehari-hari mereka adalah melayani kepentingan users khususnya mahasiswa. Sementara itu, pengertian kegiatan (activity) adalah proses yang dikendalikan oleh perilaku. (Kridalaksana, 1993: 103). Giat bisa berarti rajin dan bersemangat (tentang perbuatan, usaha dan sebagainya). Kegiatan dapat diartikan kekuatan dan ketangkasan (dalam berusaha) atau usaha yang giat. (Poerwadarminta, 1995: 322). Pengertian yang lain, kegiatan adalah aktifitas, kegairahan, usaha, pekerjaan. Kegiatan berasal dari kata giat, artinya berusaha dengan sungguh-sungguh. (Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa, 1983: 676). Membaca merupakan aktifitas aktif, memberi tanggapan terhadap arti apa yang dibaca. Apabila perhatian kita fokuskan pada bahan yang kita baca maka gagasan dan gambaran tentang isi bacaan akan nampak jelas dan mudah kita pahami. (Soedarso, 1993: 49-50). Baca atau membaca adalah melihat tulisan dan mengerti atau dapat melisankan apa yang tertulis itu, misalnya baca buku, surat. (Poerwadarminta, 1985: 71). Pengguna Jasa Layanan Perpustakaan Pengguna jasa layanan perpustakaan adalah mahasiswa, mereka ini adalah orang-orang yang sedang melakukan studi atau menuntut ilmu pengetahuan di lembaga-lembaga pendidikan untuk pengembangan dan kemajuan studi mereka masing-masing. Dalam hal ini bahan-bahan informasi (ilmu pengetahuan) sangat penting bagi mereka untuk menunjang kegiatan studi masing-masing. Dalam hal ini bahan-bahan informasi (ilmu pengetahuan) sangat penting bagi mereka untuk menunjang kegiatan studi masing-masing. (P. Sumardji, 1992: 59-60). Menjadi mahasiswa tidak cukup
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
51
hanya mengandalkan pendengaran pada waktu kuliah, namun yang justru mempunyai nilai unggul adalah mempelajarinya melalui bahan informasi tertulis di perpustakaanperpustakaan (Yusuf, 1995: 11). Mahasiswa sangat membutuhkan informasi tertulis berupa buku, jurnal, majalah, karya ilmiah untuk menunjang proses belajar dan menambah ilmu pengetahuan. Informasi apa saja bisa diperoleh melalui perpustakaan, terutama yang sudah direkam dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, kemanusiaan, sosial dan bidang informasi lain yang menyangkut kepentingan kehidupan manusia. (Yusuf, 1995: vii). Mahasiswa melakukan aktifitas membaca dalam menunjang proses belajarnya. Kegiatan ini dilakukan di perpustakaan dimana banyak tersedia buku-buku ilmiah yang menjadi referensi. Kegiatan membaca
52
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
mahasiswa dilakukan selama jam pelayanan mulai pukul 08.00 s/d 16.00 WIB untuk pendaftaran kartu anggota perpustakaan, pelayanan serial dan referensi serta pojok BNI. Selanjutnya jam buka pelayanan berlangsung mulai pukul 08.00 s/d 18.00 WIB khusus pelayanan sirkulasi, pelayanan RB (Reserve Book), Sampoerna Corner. Istilah perpustakaan atau dalam Bahasa Inggris library bersumber pada perkataan latin libraries, yang secara harfiah berarti kumpulan buku. (Effendi, 1986: 254). Terlepas dari faktor sistem yang ada, perpustakaan Perguruan Tinggi umumnya lebih banyak dikunjungi para mahasiswa, baik dari Perguruan Tinggi yang bersangkutan maupun dari Perguruan Tinggi lain. Kunjungan mereka tiada lain untuk mencari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupannya sebagai mahasiswa. (Yusuf, 1995: 1). Sesuatu itu berupa berbagai jenis informasi akademik
sebagai bahan pendukung tugastugasnya. Tugas-tugas akademik ini berdasarkan kurikulum Perguruan Tinggi yang bersangkutan yang mengacu pada Tridharma Perguruan Tinggi. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa fungsi perpustakaan tidak lagi semata-mata sebagai sarana edukatif dan rekreatif tetapi sebagai sarana informatif, kreatif dan inovatif sejalan secara simbiosis dengan perkembangan masyarakat dan kemajuan teknologi. Korelasi perpustakaan tidak hanya dengan penemuan-penemuan baru dalam bidang teknologi informasi tetapi juga dengan jumlah penduduk, tingkat literasi dan kebiasaan membaca. Konsekuensinya ialah jika jumlah penduduk membengkak, tingkat literasi harus meninggi, taraf kebiasaan membaca mesti meningkat dan pada gilirannya wajar pula jika perpustakaan berkembang (Effendi, 1986 : 254). Komunikasi yang melibatkan mahasiswa da lam kampus ialah komunikasi tatap muka antar persona (face to face interpersonal communication) (Effendi, 1986: 250). Komunikasi tatap muka dipergunakan apabila kita mengharapkan efek perubahan tingkah laku (behavior change) dari komunikan. Mengapa demi kian, karena kita sewaktu berko munikasi memer lukan umpan balik langsung (immediate
feedback) (Effendi, 1986 : 39). Komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam hal upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku seseorang karena sifatnya dialogis berupa percakapan (Effendi, 1986: 9). Penelitian ini difokuskan pada tataran Komunikasi Interpersonal yaitu komunikasi antara dua orang atau lebih dimana pustakawan bertindak sebagai komunikator dan mahasiswa sebagai komunikan dan keduanya saling bertukar pesan dalam suatu komunikasi yang efektif. Mereka berinteraksi satu sama lain dalam mencapai hasil yang bermanfaat bagi pengguna jasa layanan yaitu mahasiswa Undip. Pada komunikasi antar pribadi antara pustakawan dengan mahasiswa diperlukan umpan balik langsung misalnya umpan balik dapat diperoleh dengan cara menyusun layanan sedemikian rupa dimana pemakai harus terlibat dalam hubungan dengan unit informasi sesudah mereka memperoleh layanan. Secara teknis dengan cara mengirimkan formulir pada pemustaka sehingga mendorong adanya tambahan layanan atau memberi kesempatan bagi mereka untuk mengemukakan pendapatnya tentang layanan yang diberikan (Basuki, 1992: 178). Pustakawan UPT Perpustakaan Undip memberikan informasi berkaitan dengan pelayanan users. Pemberian informasi adalah salah satu bentuk/cara yang relatif tidak sukar. Oleh karena itu orang dengan persiapan relatif minim dapat juga melaksanakannya. Disamping itu ada banyak kasus-kasus yang memerlukan bentuk pertolongan ini. Diantara mahasiswa ada kebutuhan untuk memperoleh informasi tentang fasilitas-fasilitas yang ada di kampus atau di luar kampus (Loekmono et al., 1985: 48). Gaya komunikasi pustakawan adalah cara komunikator
menyampaikan pesan kepada komunikan. Gaya komunikasi ini dimunculkan untuk mendapat respon atau umpan balik dari komunikan, dimana dalam kegiatan sehari-hari staf perpustakaan memberikan pelayanan pada para mahasiswa. Gaya komunikasi pustakawan memberikan bentuk arti yang harfiah dalam menjalankan tugasnya seharihari. Masing-masing pustakawan memiliki gaya yang berbeda-beda dalam menyampaikan pesan kepada komunikan. Gaya ini akan diklasifikasikan dalam beberapa gaya yang berbeda dan sesuai dengan karakteristik UPT Perpustakaan Undip. Hubungan antara gaya komunikasi pustakawan dengan kegiatan membaca mahasiswa akan diteliti lebih lanjut. Penelitian ini mengacu pada Robert Norton dalam Communicator Style, dengan memilih 4 gaya yang sesuai dengan karakteristik pustakawan. Indikator yang digunakan dalam meneliti gaya komunikasi pustakawan adalah : Terbuka, artinya pustakawan mau menerima kritik dan saran dari mahasiswa dan memberikan pelayanan yang memuaskan bagi mereka. Memberi semangat yaitu pustakawan dalam memberikan pelayanan selalu melakukan dengan senang hati sehingga dapat memberi semangat pada mahasiswa untuk belajar dan membaca di perpustakaan. Suka berdebat, dapat diartikan pustakawan bersikap mencurigai mahasiswa bahwa mereka mempunyai niat tidak baik dan bersikap galak/keras terhadap mahasiswa yang melanggar tata tertib perpustakaan. Penuh perhatian, yaitu pustakawan bersikap bijaksana, sopan dan berusaha mengerti kebutuhan mahasiswa yang melakukan aktifitas membaca di perpustakaan.
Kegiatan Membaca Mahasiswa Kegiatan membaca adalah suatu perilaku mahasiswa yang dapat diamati oleh orang lain yang terjadi dalam waktu tertentu. Kegiatan ini berlangsung terus menerus selama jam pelayanan UPT Perpustakaan yaitu pukul 08.00 s/d 16.00 WIB. Kegiatan membaca mahasiswa akan diukur dalam fase-fase tertentu yaitu jumlah kunjungan dalam satu bulan, jumlah buku yang dibaca, jenis buku yang dimanfaatkan, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membaca buku tersebut dan sebagainya. Kegiatan membaca mahasiswa berupa nilai yang diberikan terhadap pengakuan verbal mahasiswa tentang kebiasaannya membaca di perpustakaan, meliputi : jumlah kunjungan dalam satu bulan, jumlah buku yang dibaca, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membaca dan sebagainya. Responden yaitu mahasiswa yang pernah datang, membaca dan meminjam bahan pustaka di perpustakaan. Mereka diminta menjawab S untuk aktifitas yang disukai, SS untuk sangat disukai, TT untuk tidak tahu, TS untuk aktifitas tidak disukai dan STS untuk aktifitas sangat tidak disukai. Dari kuesioner tersebut kita mampu menganalisa item-item yang membeberkan tanggapan mahasiswa terhadap kegiatan membaca koleksi perpustakaan. Tipe Data Responden Penelitian eksplanatif dengan menggunakan metode survey. Penelitian explanation berusaha untuk menjelaskan sebab akibat yang ada diantara fenomenafenomena yang dipelajari, dalam hal ini antara gaya komunikator dengan kegiatan membaca mahasiswa. Explanatory Studies berusaha menjawab pertanyaan why dan menguji hipotesis kausal (Soehardi Sigit, 1992: 31). Pada penelitian ini
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
53
berusaha menjelaskan hubungan yang ada diantara pengaruh gaya komunikasi pustakawan terhadap kegiatan membaca mahasiswa di perpustakaan. Populasi adalah semua variabel yang menyangkut masalah yang diteliti. Populasi identik dengan ruang sampel (sampel space) permasalahan (Rafi’i, 1986: 6). Populasi pada penelitian ini adalah mahasiswa Undip yang terdiri dari 10 fakultas yaitu Kedokteran, Teknik, Kesehatan Masyarakat, Perikanan dan Kelautan, Peternakan, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Hukum, Ekonomi, Fisip, Sastra angkatan 1998, 1999, 2000 dan 2001. Populasi seluruhnya 22.866 mahasiswa. Responden dalam penelitian ini adalah para mahasiswa Undip yang melakukan aktifitas membaca di UPT Perpustakaan. Sampel diambil dengan cara random sebanyak 50 orang. Lima puluh orang ini akan diteliti kegiatan membaca melalui isian kuisioner dan wawancara langsung. Hasil Penelitian Untuk mengetahui kegiatan membaca mahasiswa diketahui dari pertanyaan 1 – 8. Pada pertanyaan 1, jumlah kunjungan satu sampai dengan lima kali dalam satu bulan menunjukkan 60% responden berkunjung ke perpustakaan kurang dari lima kali dalam satu bulan. Hal ini menunjukkan perpustakaan belum mendapat tempat di hati mahasiswa dan kurangnya kesadaran mereka akan pentingnya membaca koleksi perpustakaan. Data 2, menunjukkan 44% responden menyatakan penolakannya kalau kunjungan ke perpustakaan antara 1-5 kali sebulan. Hal ini memperlihatkan mahasiswa yang datang di UPT Perpustakaan sebagian besar kurang dari lima kali setiap bulan. Fenomena yang terjadi mahasiswa belum sepenuhnya
54
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
memanfaatkan koleksi perpustakaan. Pertanyaan 3, 46% responden menyatakan ketidaksetujuannya bahwa waktu yang diperlukan untuk membaca kurang dari 30 menit. Mahasiswa memerlukan waktu lebih dari setengah jam untuk mencari dan membaca buku guna menunjang kegiatan belajar. Kuesioner 4, sebesar 52% mahasiswa menerima pernyataan bahwa mereka membaca di perpustakaan membutuhkan waktu lebih dari 30 menit. Hasil data pertanyaan 3 dan 4 menunjukkan realitas yang sama. Data 5 ternyata 44% responden menyatakan mereka membaca
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara gaya komunikasi pustakawan dengan kegiatan membaca mahasiswa.
sebanyak 1 – 5 eksemplar buku setiap kali berkunjung di UPT Perpustakaan Undip. Data 6, terdapat 60% menolak pernyataan bahwa mereka membaca lebih dari lima buku tiap kali berkunjung ke perpustakaan. Data 5 dan 6 menunjukkan korelasi positif. Data 7 ternyata ada 54% mahasiswa tidak hanya membaca buku-buku teks di perpustakaan. Bahan bacaan selain buku seperti jurnal ilmiah, majalah, karya ilmiah dosen, surat kabar juga menarik mahasiswa untuk membaca koleksi tersebut. Data 8 ada 64% mahasiswa membaca koleksi selain buku teks di perpustakaan.
Responden adalah mahasiswa yang pernah datang dan melakukan kegiatan membaca di UPT Perpustakaan, maka penelitian ini diasumsikan semua responden sudah pernah berinteraksi dengan para pustakawan. Sehingga mereka mengetahui dan menerima perlakuan dari para pustakawan sesuai dengan pengalamannya masing-masing. Data 9 menunjukkan 42% responden menyatakan bahwa pustakawan bersikap terbuka dalam memberikan informasi tentang perpustakaan dan mau menerima kritik dan saran dari mahasiswa. Hal ini memperlihatkan fenomena yang baik karena sebagian besar responden menyatakan positif bahwa pustakawan UPT Perpustakaan memiliki gaya keterbukaan. Data 10 menyatakan 42% dalam melayani mahasiswa umumnya melakukan dengan senang hati. Variabel gaya keterbukaan terdapat pada pernyataan nomor 9 dan 10. Data 11 ada 38% mahasiswa menolak pernyataan pustakawan dalam melayani mahasiswa punya sikap suka bertengkar atau suka berdebat. Data 12 diketahui 40% mahasiswa menolak statemen bahwa pustakawan dalam melayani mahasiswa mempunyai sikap mempersulit kepentingan mereka. Pernyataan 11 dan 12 mengungkapkan gaya suka bertengkar/ berdebat. Data 13 diketahui 34% menyatakan pustakawan bersikap member semangat sehingga mendorong mereka rajin membaca di perpustakaan. Data 14 sebanyak 38% mahasiswa berpendapat pustakawan bersikap memberi motivasi dan dorongan semangat sehingga mereka rajin membaca dan belajar di perpustakaan. Pernyataan 13 dan 14 merupakan perilaku gaya memberi semangat. Data 15 sejumlah 48% mahasiswa
mengutarakan pustakawan memenuhi kebutuhan informasi berkaitan dengan masalah koleksi. Data 16, 52% mahasiswa menolak pernyataan pustakawan bersikap apatis dalam memenuhi kebutuhan informasi berkaiatan masalah koleksi. Pada umumnya pustakawan berusaha aktif menolong mahasiswa yang kesulitan dalam penelusuran informasi. Jumlah responden 44% pada data 17 menolak pernyataan meminta pertolongan pustakawan untuk mencari buku yang diinginkan. Mereka lebih senang dan leluasa mencari dan memilih sendiri bukubuku yang diperlukan. Hal ini sesuai dengan sistim pelayanan di sana yaitu open acces atau sistim terbuka yakni users diperbolehkan mencari sendiri pustaka yang akan dibaca atau dipinjam keluar. Data 18, diketahui 52% mahasiswa minta bantuan pustakawan dalam penelusuran informasi dari jurnal ilmiah, karya penelitian berupa tesis dan disertasi. Sebanyak 48% responden pada pernyataan 19 berpendapat jam pelayanan di UPT Perpustakaan sudah tepat waktu baik jam buka maupun jam tutup. Tingkat kedisiplinan cukup baik sehingga kepercayaan terhadap pustakawan makin besar. Gaya penuh perhatian terdapat pada pernyataan nomor 15 – 19. Pada data 20 responden menyangkal selama ini pustakawan bersikap marah bila mahasiswa melakukan kesalahan atau melanggar tata tertib perpustakaan. Umumnya pustakawan memperingatkan dengan halus dan bahasa sopan serta tidak menyinggung perasaan. Pernyataan nomor 21 sejumlah 46% mahasiswa menolak pernyataan bahwa selama ini pustakawan bersikap ketus dan memberi penjelasan yang berbelit-belit jika diminta kesediaannya membantu
mencari buku. Berdasarkan jawaban nomor 11, 12, 20, 21 responden tidak setuju, menunjukkan gaya komunikasi suka bertengkar atau suka berdebat tidak terdapat pada pustakawan di UPT Perpustakaan Undip. Mahasiswa sebanyak 52% pada statement 22, sependapat dengan pernyataan gaya komunikasi pustakawan dalam berinteraksi dengan mahasiswa dapat berpengaruh terhadap kegiatan membaca di perpustakaan. Sebaliknya gaya komunikasi negatif yang diperlihatkan pustakawan akan berpengaruh pada keengganan mahasiswa untuk datang dan memanfaatkan koleksi perpustakaan. Kesimpulan Berdasarkan analisa dan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa gaya komunikasi pustakawan di UPT Perpustakaan Undip ada tiga yaitu gaya keterbukaan, gaya memberi semangat dan gaya penuh perhatian. Sedangkan gaya suka berdebat/suka bertengkar tidak sesuai dengan karakteristik pustakawan di tempat tersebut. Kegiatan membaca mahasiswa di UPT Perpustakaan Undip kurang intensif disebabkan jumlah kunjungan hanya 1-5 kali dalam satu bulan dan tiap kali berkunjung jumlah buku yang dibaca hanya 1-5 eksemplar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara gaya komunikasi pustakawan dengan kegiatan membaca mahasis wa di UPT Perpustakaan Undip. Penutup Pustakawan dalam menjalankan tugas maupun saat melakukan aktifitas di lingkungan perpustakaan diharapkan mengembangkan gaya komunikasi yang positif karena hal itu merupakan sikap proaktif agar mahasiswa tertarik untuk datang dan
melakukan kegiatan membaca bahan pustaka. Komunikasi positif tersebut misalnya memberikan informasi yang jelas dan transparan mengenai koleksi, pelayanan dan penelusuran informasi serta mengembangkan gaya keterbukaan, ramah tamah, penuh perhatian dan memberi semangat pada saat memberikan pelayanan sehari-hari. P *) Artikel Pemenang hiburan ke 3 pada Lomba Penulisan Karya Ilmiah Tahun 2006
daftarpustaka Cangara, H. 2000. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. De Vito, J.A. 1996. Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: Professional Books. Effendy, O.U. 1986. Dinamika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Loekmono, L. 1985. Saling Menolong Antar Mahasiswa. Semarang: Satya Wacana. Lunandi, A.G. 1987. Komunikasi Mengena: Meningkatkan efektifitas komunikasi antar pribadi. Yogyakarta: Kanisius. Norton, R. 1983. Communicator Style: Theory, Applications And Measures. Beverly Hills: Sage Publications. Siahaan, A.M. 1991. Komunikasi: Pemahaman Dan Penerapannya. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Soedarso. 1993. Sistem Membaca Cepat Dan Efektif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sulistyo-Basuki. 1992. Teknik dan Jasa Dokumentasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sumardji, P. 1992. Pelayanan Referensi Di Perpustakaan. Yogyakarta: Kanisius. Supratiknya, A. 1995. Komunikasi Antar Pribadi: Tinjauan Psikologis. Yogyakarta: Kanisius. Widjaja, H.A.W. 2000. Ilmu Komunikas : Pengantar Studi. Jakarta: Rineka Cipta. Yusuf, P.M. 1995. Pedoman Praktis Mencari Informasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
55
Startegi Pembinaan SDM Perpustakaan: Pengintegerasian Manajemen Sumber Daya Manusia dan Pengembangan Organisasi Oleh: Hapsari Mundriani Sugeng Kepala UPT Perpustakaan Universitas INDONUSA Esa Unggul
Pendahuluan Perubahan fungsi sumber daya manusia (SDM) di dalam organisasi merupakan tanggungjawab yang strategik di luar kegiatan operasional dan administratif. Pengelolaan perubahan tersebut memerlukan penanganan praktisi SDM yang berkeahlian dan bertanggungjawab di bidang pengembangan organisasi (organizational development (OD)), yang meliputi desain ulang tugas dan tanggungjawab, pengembangan sistem manajemen kinerja, pengelolaan perubahan, serta desain ulang tugas dan restrukturisasi organisasi. Ada empat macam strategi yang diperlukan untuk mengintegrasikan SDM dan OD, yaitu analisis jabatan, desain ulang tanggungjawab, pembentukan tim, dan manajemen perubahan. Organisasi apapun, seperti halnya perpustakaan juga mengalami perubahan. Pergeseran angkatan
56
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
kerja dan demografi pasar tenaga kerja, teknologi, globalisasi, ketidakpastian perekonomian, dan persaingan yang makin ketat merupakan faktor-faktor yang memerlukan desain ulang terhadap fungsi SDM agar dapat memenuhi tuntutan kebutuhan organisasi. Pada sebagian besar organisasi, departemen SDM secara tradisional memainkan dua macam peranan utama, yaitu kegiatan administratif dan transaksi penanganan operasional, yaitu: penetapan tunjangan proses pembayaran gaji dan status karyawan, yang kesemuanya telah menjadi kegiatan inti dari departemen SDM. Sementara peranan tersebut penting dan diperlukan, teknologi dan skema outsourcing telah memungkinkan departemen SDM mencapai efisiensi dalam berbagai kegiatan berbasis transaksi SDM (Drinan, 2002b). Dengan pola administratif dan
operasional yang telah berjalan secara efisien, maka perhatian profesional di bidang SDM telah beralih ke aspek lain, yaitu manajemen SDM. Menghadapi perubahan yang konstan dan cepat, banyak organisasi yang mencari cara-cara perbaikan produktifitas angkatan kerja agar dapat tetap berada pada keunggulan kompetitif, dengan beralih ke profesional di bidang SDM yang dapat mendesain ulang fungsi SDM secara fundamental. Menurut Butteriss (1998), peranan utama yang strategik dari SDM telah berubah, semula dari ‘hanya sebagai penyedia layanan transaksi menjadi konsultan ahli. Praktisi SDM melanjutkan pengelolaan kegiatan operasional dan administratif sambil menambahkan tanggungjawab baru yang terkait dengan pengembangan dan manajemen strategik dalam rangka peningkatan kinerja serta
kemampuan instuisi karyawan. Selama dasawarsa terakhir, peranan profesional SDM telah berubah menjadi lebih strategik. Mereka menerapkan pengetahuan tentang kecenderungan pengetahuan SDM yang berhubungan dengan organisasi di mana staf dapat bekerja lebih dekat lagi dengan manajemen senior, sehingga secara bersamasama dapat mengembangkan rencana jangka panjang yang terkait dengan tujuan SDM dan tujuan organisasi. Bila tujuan departemen SDM benar-benar mendukung keseluruhan tujuan organisasi, maka harus departemen SDM benarbenar mendukung keseluruhan tujuan organisasi, maka harus ada pengintegrasian antara manajemen SDM dan OD. Menyatukan konsep dan teknik-teknik OD ke dalam kegiatan SDM melalui strategi analisis jabatan, desain ulang tanggungjawab, pembentukan tim, dan manajemen perubahan akan mewujudkan peningkatan kinerja dan kemampuan organisasi beserta
personilnya (Meisinger, 2003). Manajemen SDM Perpustakaan Manajemen SDM adalah “desain sistem formal dalam suatu organisasi yang menjamin pemanfaatan bakat SDM secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi” (Society of Human Resource Management, 2002a). Seperti organisasi-organisasi lainnya, semua jenis peerpustakaan memiliki kegiatan SDM yang dilakukan secara tradisional, seperti rekrutmen dan seleksi, kompensasi, pemberian tunjangan, pelatihan dan pengembangan, kesehatan dan keselamatan kerja, karyawan dan hubungan kerja, tenaga magang atau sukarela. Pada perpustakaan-perpustakaan riset, nasional, perguruan tinggi, umum dan khusus fungsi SDM terstruktur dan mencerminkan ukuran suatu perpustakaan dan pandangan filosofis SDM. Departemen SDM pada organisasi induk memiliki sebagian atau seluruh fungsi SDM dari unit perpustakaan. Ada beberapa perpustakaan yang
memiliki departemen SDM internal dan staf yang menangani seluruh atau sebagian fungsi-fungsi SDM perpustakaan, bekerjasama dengan departemen SDM lembaga induknya. Posisi yang lazim adalah kepala departemen SDM, kepala pengembangan staf, atau kepala OD. Di samping itu, tingkat kedudukan pejabat departemen SDM beragam, dari pustakawan atau profesional, hingga manajer perpustakaan, atau asisten direktur perpustakaan, dengan pelaporan hubungan kerja yang juga bervariasi. Apapun pola struktur yang mendukung manajemen SDM perpustakaan, sebagian besar departemen dan profesional di bidang perpustakaan meningkatkan peranan strategik dengan mendesain ulang tugas pekerjaan, mengembangkan sistem manajemen kinerja, manajemen perubahan, dan mendesain serta merestrukturisasi organisasi. Pergesaran dari kegiatan administratif dan operasional seperti kebutuhan tugas, tinjauan uraian, dan proses kebutuhan personil hingga fungsi yang lebih strategik merupakan kenyataan dari hakikat tugas profesional di bidang SDM perpustakaan yang mencerminkan kegiatan pengembangan. Dengan adanya pergeseran ke arah peranan yang lebih strategik, maka praktisi SDM memfokuskan pada berbagai macam kegiatan dan tanggung jawab yang berbeda. Dengan menggunakan analisis jabatan dan metode desain ulang pekerjaan untuk menetapkan kebutuhan pekerjaan, maka jenis pekerjaan dan pengaturan
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
57
pekerjaan merupakan prioritas tinggi. Pengembangan keterampilan perorangan pada semua tingkat untuk berkerja secara efisien dan efektif merupakan hal yang penting bagi perpustakaan dalam menghadapi persoalan, seperti: jumlah personil yang lebih sedikit, penangguhan pensiun, dan kekurangan pekerja. Sementara itu langkah-langkah OD berkembang dari upaya manajemen perubahan pada saat perpustakaan mencari cara untuk merestrukturisasi organisasi, mendesain ulang tugas pekerjaan, meningkatkan proses dan aliran kerja, serta meningkatkan kemampuan kinerja organisasi agar dapat bertahan dan maju pesat di dunia yang sedang berubah. Menurut The Society for Human Resource Management (2000b), tujuan utama OD adalah memperkuat organisasi. Strategi OD menjadi 3 kategori, yaitu: antar pribadi, teknologi, dan struktural. Strategi antar pribadi dipusatkan pada hubungan kerja antar perorangan dan kelompok dengan mengambil tema komunikasi. Strategi teknologi dipusatkan pada proses yang meliputi: kegiatan seperti desain pekerjaan dan analisis arus kerja, serta faktor manusia dalam berkomunikasi antar unit kerja. Sedangkan strategi struktural mempelajari struktur organisasi apakah mendorong atau mengahalangi organisasi untuk mencapai tujuan, serta masalah rentang kendali dan pelaporan hubungan kerja. Mendelow dan Liebowitz (1989) mengklaim bahwa “interversi OD pada masa sekarang lebih bervariasi dan sistemik dibandingkan dengan waktu yang lampau. Dahulu, inter vensi dikonsentrasikan pada per orangan, namun sekarang melibat kan struktur organisasi. Tanggung jawab OD dianggap sebagai bagian dari fungsi manajemen SDM.”
58
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
Strategi Pengintegrasian Manajemen SDM dan OD Beer (1980) mendefinisikan OD sebagai suatu proses yang meliputi pengumpulan data, diagnosa, perencanaan kegiatan, intervensi, perubahan, serta kajian atas tujuan OD untuk meningkatkan kesesuaian antara strategi organisasi, proses, manusia, dan budaya, kegiatan OD dapat diintegrasikan ke dalam kegiatan manajemen SDM yang mendukung rencana strategik dan tujuan organisasi (Mendelow & Liebowitz, 1989). Peranan strategi yang baru adalah pengembangan kemampuan
untuk memperkuat kapasitas personil sebagai aset organisasi yang merupakan pusat perhatian penting bagi profesional SDM. Pergeseran tersebut mengakibatkan peningkatan kebutuhan SDM. Hal tersebut dirumuskan dalam langkahlangkah strategik yang dijabarkan dalam program peningkatan kemamapuan organisasi merekrut dan mempertahankan karyawan yang memiliki kemampuan untuk berinovasi untuk menghadapi perubahan yang konstan secara efektif. Empat strategi yang diciptakan diluar fungsi-fungsi tradisional manajemen SDM dan
konsep OD mencerminkan pilihan pada saat SDM mendukung keseluruhan tujuan organisasi. Keempat strategi tersebut adalah analisis jabatan, desain ulang pekerjaaan, pembentukan tim, dan manajemen perubahan yang didukung oleh metodemetode peningkatan kinerja dan kemampuan organisasi beserta personilnya. Analisis Jabatan Institusi perpustakaan mengalami perubahan besar seperti yang dialami lainnya. Bergesernya pasar tenaga kerja, kendala anggaran, teknologi maju, layanan perpustakaan yang baru, penghapusan layanan lainnya, dan kebutuhan pelanggan memerlukan praktisi SDM Perpustakaan yang secara berkelanjutan dapat menggunakan keahlian mereka untuk menganalisis tugas pekerjaan tenaga perpustakaan serta tingkat pemenuhan kebutuhan unit dan SDM perpustakaan. Analisi jabatan telah menjadi kegiatan yang sangat mendasar dan merupakan “cara yang sistematis untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi mengenai persyaratan personil dalam konteks pekerjaan yang dilaksanakan “ (Mathis & Jackson, 1997). Analisis jabatan memberikan informasi bagi rekrutmen dan seleksi yang dapat berpengaruh pada pemberian kompensasi, kinerja, indetifikasi kebutuhan pelatihan pengembangan, serta berdampak pada struktur organisasi (Lynch & Robles-Smith, 2001). Manfaat dari analisis jabatan yang efektif diuraikan sebagai berikut: 1. Dapat mengetahui pekerjaan yang ada, jumlah pekerjaan yang sedang dilakukan, kebutuhan yang harus dipenuhi, serta membantu perencanaan SDM. Pekerjaan dapat didesain
2.
3.
4.
5.
dan didesai ulang untuk mengeliminasi tugas-tugas yang tidak perlu, atau mengkombinasi tanggungjawab ke dalam kelompok-kelompok kerja sesuai dengan kebutuhan dan prioritas. Menjamin bahwa rekrutmen dan seleksi didasarkkan pada kriteria yang valid dan terkait dengan pengetahuan, keterampilam, dan kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas, pekerjaan, dan tanggung jawab yang tercantum dalam uraian tugas. Informasi tersebut dapat pula membantu identifikasi rekrutmen karyawan yang potensial. Menetapkan kompensasi serta menghindarkan inkonsistensi dan ketidakadilan dalam pemberian kompensasi. Di samping itu, informasi tersebut dapat membantu mengklasifikasi posisi karyawan. Membantu merumuskan uraian tugas dan standar-standar kinerja yang bermafaat bagi pelatihan, pengembangan, dan manajemen kinerja. Mengidentifikasi kesehatan dan keselamatan kerja melalui pelatihan khusus.
Analisis jabatan memerlukan pengumpulan informasi mengenai karakteristik jabatan melalui berbagai cara, yaitu: observasi, wawasan, kuesioner, atau metode analisis jabatan yang khusus, seperti analisis jabatan skruktural atau jabatan fungsional. Kombinasi metode analisis jabatan tersebut kadang-kadang digunakan oleh organisasi (Mathis & Jackson, 1997; McDermott, 1987). Pengumpulan informasi mengenai jabatan yang dilakukan oleh praktisi SDM seringkali digunakan untuk mempelajari aspek-aspek kegiatan kerja, perilaku, struktur departemen atau unit
kerja, interaksi antar unit, standar kinerja, peralatan, kondisi kerja, pengawasan yang diberikan dan yang diterima, pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dipersyaratkan dalam pekerjaan. Dari data tersebut akan diperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan spesifikasi dan rincian tugas. Spesifikasi tugas seperti: Pengetahuan, Keterampilan, dan kemampuan kerja memainkan peranan penting dalam rekrutmen, seleksi, dan penetapan kompensasi. Sedangkan uraian tugas mengidentifikasikan jenis tugas, latar belakang, lokasi/tempat kerja, dan cara-cara melakukan tugas yang merupakan inti pengembangan standar kinerja yang berdampak pada manajemen kinerja. Analisis jabatan yang digunakan secara sistematis dapat menentukan jabatan yang definitif dan hal tersebut jauh lebih strategik daripada sekedar mencatat atau memutakhirkan uraian tugas yang telah ada. Melaksanakan analisis jabatan secara berkala atau pada kondisi tertentu dapat membantu para manajemen memastikan bahwa suatu pekerjaan dilaksanakan. Desain Ulang Pekerjaan Strategi lain untuk melengkapi analisis jabatan adalah melakukan desain ulang pekerjaan, yaitu mengintegrasikan manajemen SDM dan OD. Sementara analisis jabatan dipusatkan pada pekerjaan perorangan, maka desain ulang pekerjaan lebih memiliki proses analisis yang lebih luas dan dapat mengetahui pekerjaan yang telah dilakukan di seluruh departemen atau unit kerja dalam organisasi pada semua tingkat. Hawthorne (2004) menyatakan bahwa desain ulang pekerjaan ditujukan untuk menciptakan suatu lingkungan kerja yang dapat memberikan daya tarik bagi
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
59
orang-orang yang berbakat. Desain ulang dapat juga digunakan di perpustakaan pada saat terjadi penggabungan (merging) unitunit, munculnya layanan baru, atau terjadi pengurangan anggaran perpustakaan. Di samping itu, teknologi informasi dan layanan elektronik baru merupakan faktor-faktor yang seringkali mempengaruhi perlunya dilakukan desain ulang pekerjaan melalui implementasi sistem baru dengan mengubah alur dan proses pekerjaan, atau melalui pengenalan layanan baru dalam format digital. Mendesain ulang pekerjaan sama dengan memproses perbaikan kerja dan dapat digunakan sebagai sarana yang dinamis yang melibatkan karyawan untuk melakukan pembelajaran, perbaikan, dan perubahan orientasi kepada kebutuhan pelanggan. Di dunia kerja, desain ulang pekerjaan seringkali digunakan untuk memperpendek proses, meningkatkan efesiensi dan produktifitas, mengurangi biaya, serta memelihara mutu, layanan, dan persaingan kerja. Langkah-langkah dalam mendesain ulang pekerjaan agar dapat memberikan hasil-hasil yang diharapkan adalah peningkatan produktifitas dan keluar (output) per karyawan, semangat kerja, menurunnya angka ketidakhadiran, meningkatnya keselamatan kerja, inisiatif, menurunnya biaya inventaris barang, siklus kerja yang lebih cepat, mengurangi pemborosan, dan meningkatnya kepuasan pelanggan. Keterlibatan karyawan dan manajemen dalam desain ulang pekerjaan dapat meningkatkan layanan, efesien, mengurangi biaya, serta meningkatkan kemampuan karyawan dan organisasi. Pembentukan Tim Di perpustakaan dapat dibentuk
60
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
tim yang merupakan unit kerja penting. Kontribusi tim memberikan pengaruh positif, namun ada kalanya tim belum berhasil mencapai tujuan atau menguasai proses kerja secara bersama-sama dan efektif. Untuk mendukung organisasi, Joinson (1999) dan Yandrick (2001) menegaskan bahwa perbedaan antara keberhasilan dan kegagalan suatu tim ditentukan oleh pelatihan bagi anggota tim dalam hal keterampilan antar personal, komunikasi yang efektif, mendengarkan secara aktif, mengatasi persoalan, dan resolusi konflik. Tampaknya keberadaan tim di perpustakaan dianggap sebagai suatu departemen atau panitia. Pada umumnya jumlah anggota tim tidak banyak, berjumlah kurang dari 12 orang. Tim harus memiliki tujuan bersama, pencapain serangkaian sasaran kinerja yang spesifik, sesuai dengan kesepakatan bersama yang dipertanggungjawabkan secara bersama-sama pula. Tanggungjawab bersama mungkin merupakan perbedaan yang signifikan. Pada kelompok kerja lainnya, pertanggungjawaban ditujukan langsung kepada penyelia yang mengawasi kelompok kerja atau perorangan yang diangkat dalam kepanitiaan. Namun bertanggungjawab kepada kelompok atau tim sangat berbeda. Perbedaan besar antara tim dan kelompok kerja jenis lain adalah bahwa kelompok kerja atau panitia dapat melaksanakan tugasnya seperti tim tetapi sebaliknya tim tidak dapat dilaksanakan tugas seperti kelompok kerja atau panitia. Sebagaimana organisasi yang menggunakan tim, perpustakaan dan staf perpustakaan terkadang berjuang bertransisi menjadi tim. Keberhasilan transisi bervariasi pada masing-masing jenis perpustakaan dan bergantung pada perorangan yang terlibat. Serta daya penerimaan
dan kemauan untuk mempelajari keterampilan baru. Quinn (1995) menggambarkan perbedaan antara panitia dan tim (Tabel 1) dalam enam (6) aspek, yakni: tanggungjawab, wewenang, manajeman, tujuan, proses, dan informasi. Berdasarkan analisis tersebut, Quinn mengklaim bahwa “tim merepresentasikan suatu model yang sangat berbeda untuk mengatur tenaga perpustakaan dan suatu perubahan dari unit yang dikelola menjadi unit yang dapat mengelola sendiri. Pemanfaatan tim untuk tujuan tertentu di perpustakaan bervariasi. Dalam beberapa hal perpustakaan mungkin hanya memiliki satu tim yang bertugas, misal pengembangan koleksi, pemrograman, atau materi pelatihan. Di pihak lain, tim berada di beberapa departemen. Di dalam perpustakaan, tim ganda dapat dimanfaatkan sebagai unit kerja inti. Pengembangan keterampilan tim dan dukungan pada kegiatan pembentukan tim dalam perpustakaan untuk aspek pelatihan dan pengembangan memerlukan dukungan dari SDM. Pemanfaatan tim dapat menggunakan pengetahuan perorangan, keterampilan, kemampuan, dan kompetensi, sambil membangun kapasitas organisasi dan fleksibilitas untuk memecahkan permasalahan melalui cara-cara yang inovatif. Manajemen Perubahan Lebih dari satu dasa warsa, perpustakaan telah menghadapi tantangan dan dilema baru, peluang dan ancaman, serta lingkungan yang berubah dengan cepat. Tanggapan dari akademik, publik, sekolah, dan perpustakaan khusus adalah perubahan substantif yang mengarah pada cara yang dilakukan perpustakaan untuk menyampaikan layanan kepada pengguna, serta pembinaan koleksi, pengelolaan
Tabel 1 – Perbedaan Antara Panitia dan Tim
Aspek
Panitia
Tim
Tanggungjawab
- Bertanggungjawab atas proyek atau tugas khusus - Anggota dipilih atau sukarela - Tingkat partisipasi anggota tergantung pada inisiatif individu - Keterlibatan anggota bervariasi
- Bertanggungjawab atas keseluruhan proses kerja - Anggota dipilih berdasarkan peranan dalam proses kerja - Tingkat partisispasi cenderung lebih tinggi - Seluruh anggota diharapkan terlibat dalam tugas
Wewenang
- Wewenang kurang - Bersifat konsultatif atau saran - Pada umumnya merekomendasikan atau menyarankan, tetapi tidak membuat keputusan
- Lebih berwewenang - Berpartisipasi dalam mengatasi masalah dan mengambil keputusan
Manajemen
- Lebih bersifat pasif dan reaktif - Ketua panitian biasanya ditunjuk, bukan dipilih oleh kelompok - Disiplin dan tanggungjawab menjadi beban eksternal
- Lebih proaktif dan kurang reaktif - Ketua tim bertindak selaku fasilitator dan dapat dipilih oleh tim - Disiplin dan tanggungjawab menjadi beban internal
Tujuan
- Dipusatkan pada proyek atau tugas khusus - Tujuan kurang jelas/samar-samar - Tujuan biasanya ditetapkan dari luar panitia
- Dipusatkan pada tujuan khusus - Tujuan ditetapkan dengan jelas - Tujuan yang telah ditetapjkan dapat disempurnakan oleh tim
Proses
- - - -
- - - - - -
Informasi
- Mengandalkan manajemen informasi - Terbatas dan dikendalikan
Dilakukan secara formal tetapi tidak sering Tingkat ketergantungan jauh lebih rendah Lebih dipusatkan pada proses Terpusat pada pengumpulan data dari pada penyelesaian tugas
Dilakukan secara reguler dan lebih sering Tingkat ketergantungan tinggi Lebih terpusat pada tugas Tidak terpusat pada unit kerja Kekuasaan bersama Tingkat motivasi tinggi
- Informasi dihimpun dari kelompok, sumbersumber lain, dan manajemen - Anggota tim lebih memilki pengetahuan dibandigkan dengan orang lain - Mengandalkan pelatihan untuk menganalisis masalah dan mencari solusi - Pelatihan keterampilan tim memungkinkan tim mendokumentasikan resolusi konflik, membangun konsensus, mengambil keputusan, dan kerjasam yang disepakati
Sumber: Quinn, B. “Understanding the differences between committees and teams.” Library Administration & Management, 9 (2): 112-115, 1995.
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
61
operasional perpustakaan, rencana strategik, serta budaya dan struktur organisasi. Seperti halnya organisasiorganisi lainnya, perpustakaan telah memasuki manajemen mutu secara keseluruhan, (total quality management), atau proses perbaikan yang berkesinambungan. Rekayasa ulang, Menciptakan kembali, berfikir secara sistemik, dan pembelajaran organisasi telah muncul di perpustakaan. Hal tersebut tampak dari seberapa jauh perpustakaan secara sadar mengelola perubahan serta mempersiapkan untuk menangani perubahan yang sedang berlangsung. Berbagai perpustakaan mengintergrasikan manajemen SDM dan OD melalui suatu pembelajaran organisasi yang memfokuskan pada pembangunan kapasitas organisasi agar dapat berubah dan mengelola perubahan dengan sukses. Pengalamanpengalaman perpustakaan tersebut mencerminkan keinginan perpustakaan dan perpustakaan yang konsisten dan releven. Bagi kebanyakan perpustakaan, langkah-langkah manajemen perubahan adalah memperkenalkan konsep OD dalam organisasi. Dalam banyak hal, perubahan tersebut meningkatkan kebutuhan kegiatan manajemen SDM dalam pelatihan dan pengembangan seiring dengan munculnya keterampilanketerampilan baru. Profesional SDM menanggapi dengan menyelenggarakan pelatihan secara langsung atau menyediakan jasa konsultatif OD dan instruktur yang diperlukan. Peranan praktisi SDM meningkat menjadi lebih konsultatif disesuaikan dengan kebutuhan pengelolaan perubahan secara efektif dalam organisasi yang sedang berkembang. Hasilnya adalah profesional
62
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
SDM membantu pengelola perpustakaan dan manajer dalam perencanaan dan pengelolaan langkah-langkah perubahan sebagai bagian atau keseluruhan organisasi, dan melibatkan pekerjaan OD yang merupakan manajemen perubahan. Tujuan OD adalah meningkatkan produktifitas (efektifitas dan efesien), kepuasan orang terhadap mutu pekerjaannya, kemampuan organisasi merevitalisasi dan mengembangkannya sepanjang waktu, serta proses dan keluaran organisasi (SHRM, 2002b) Dengan demikian, langkahlangkah manajemen perubahan di perpustakaan terkait erat dengan SDM dan pengembangan SDM yang merupakan aspek fungsional utama dari manajemen SDM. Langkahlangkah tersebut dilaksanakan secara keseluruhan, mulai dari konsolidasi departemen atau perpustakaan, modifikasi layanan dan cara penyampaiannya kepada pengguna, memperkenalkan jenis layananlayanan baru dan perubahan struktur organisasi, sehingga menciptakan pekerja dan organisasi yang lebih fleksibel dan responsif. Dari berbagai langkah tersebut,
pengembangan SDM merupakan aspek yang logik bagi OD, karena sesuai dengan upaya-upaya pengembangan SDM, yaitu menjamin bahwa keterampilan, pengetahuan, kemampuan, dan kinerja personil dapat memenuhi kebutuhan organisasi dan perorangan, baik saat ini maupun yang akan datang. Secara tradisional, manajemen SDM dan pengembangan SDM mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu: pelatihan dan pengembangan, OD, dan pengembangan karir dengan tujuan yang berbeda sebagai berikut: 1. Pelatihan dan Pengembangan Pelatihan dan pengembangan difokuskan pada ”pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang spesifik untuk tugas atau pekerjaan tertentu” (SHRM, 2002b). Fokus pelatihan adalah kegiatan jangka pendek dan mengajarkan keterampilan yang dapat segera diaplikasikan, misal: mempelajari tugas atau prosedur kerja, cara mengoperasikan peralatan kerja atau software. Sedangkan fokus kegiatan pengembangan lebih luas dan
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan karyawan dalam pelaksanaan pekerjaan saat ini dan masa mendatang untuk jangka panjang, misal: pendidikan formal, bimbingan, penugasan khusus. 2. Organizational Development (OD). OD merupakan peningkatan efektifitas organisasi dan kesejahteraan orangorangnya melalui campur tangan yang direncanakan dengan tujuan utama, yaitu mengelola perubahan yang dapat meningkatkan efektifitas organisasi atau hubungan antar kelompok atau perorangan (SHRM, 2002b). 3. Pengembangan karir Pengembangan karir adalah dimana kemajuan individu dicapai melalui serangkaian tahapan karir yang ditandai oleh masalah, tugas, dan tema yang relatif unik (SHRM, 2002b). Pada umumnya departemen SDM perpustakaan secara tradisional memfokuskan upaya-upaya
pengembangan SDM melalui penyelenggaraan pelatihan dan pengembangan. Makin banyak jenis perpustakaan dan profesioanl SDM perpustakaan yang melakukan peningkatan fungsi pengembangan SDM termasuk OD. Alasan utama tersebut, organisasi mencerminkan lingkungan dan persaingan pasar, dan perubahan lingkungan yang lebih luas berdampak pada organisasi. Pada tahun 1998, suatu studi dilakukan oleh Butteriss dengan mewawancarai sejumlah eksekutif dari berbagai bidang untuk mengetahui tantangan yang dihadapi organisasi. Ada 3 faktor penting yang diidentifkasikan sebagai penyebab penyebaran perubahan pada berbagai jenis organisasi, yakni globalisasi, persaingan yang meningkat dan perubahan-perubahan dalam saran bisnis, khususnya teknologi informasi yang membutuhkan fleksibilitas dan redukasi pekerjaan yang sedang berlangsung. Dengan adanya perubahan tersebut para eksekutif yang diwawancarai tersebut mengusulkan agar peranan departemen SDM dapat mendukung organisasinya untuk memenuhi
kebutuhan bisnisnya saat ini dan mendatang. Dari hasil wawancara dan riset tersebut, Butteriss (1998) mengidentifikasikan tujuh macam cara penting bagi SDM untuk membantu organisasi mengatasi dan mengelola perubahan di tempat kerja sebagai berikut: 1. Menciptakan visi organisasi dan sistem nilai. 2. Mengembangkan personil berbasis kompetensi. 3. Melakukan penilaian dan pengembangan kepemimpinan. 4. Menggerakan orang-orang dalam organisasi menjadi unggul. 5. Menjamin tersedianya keanekaragaman kerja agar berhasil dalam globalisasi. 6. Menangani masalah perubahan. 7. Merekayasa ulang fungsi SDM korporat menjadi model yang lebih konsultatif dengan cara menunjuk SDM sebagai konsultan manajemen yang diberi tugas untuk merumuskan usulan untuk menyewa, melatih, mengelola, menggaji, dan mengembangkan tenaga kerja.
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
63
Sebagian besar butir-butir tersebut menggambarkan berbagai jenis langkah-langkah manajemen perubahan yang berlangsung di perpustakaan. Masing-masing butir tersebut terkait dengan fungsi penting SDM, yakni: rencana strategik, penempatan tenaga, susunan kepegawaian, klasifikasi dan kompensasi, pelatihan dan pengembangan. Dari hasil riset tersebut, ternyata bahwa pengintegrasian OD ke dalam manajemen SDM di perpustakaan sangat dimungkinkan dan diperlukan untuk mengelola perubahan dan meningkatkan keseluruhan efektifitas institusi.
adalah memberikan tanggungjawab, fungsi, dan penugasan kepada Organisasi apapun, seperti profesional SDM yang halnya perpustakaan juga kredibel, setingkat manajer senior. Berbagai perusahaan mengalami perubahan. telah melakukannya Pergeseran angkatan dengan mengangkat wakil presidennya. Di kerja dan demografi pasar perpustakaan, peranan tenaga kerja, teknologi, tersebut dapat diberikan globalisasi, ketidakpastian kepada asisten atau wakil direktur. perekonomian, dan Pelatihan dan persaingan yang makin ketat pengembangan bagi manajer SDM, staf, merupakan faktor-faktor dan manajer operasi yang memerlukan desain yang mengawal upaya ulang terhadap fungsi manajemen SD/OD dapat meningkatkan kemampuan SDM agar dapat memenuhi perorangan dan organisasi tuntutan kebutuhan Kesimpulan untuk mengelola upayaorganisasi. Profesional SDM mengalami upaya pembinaan SDM/ sepuluh macam kesulitan dalam OD. Para praktisi yang mencoba mengintegrasikan telah diberikan pelatihan OD ke dalam manajemen SDM menjadi lebih kredibel untuk dan strategi organisasi secara mengklasifikasikan maksud 10. Kurangnya keterampilan keseluruhan, yakni: dan tujuan OD bagi semua marketing/sales dari profesional tingkatan staf, mengatasi resistensi, 1. Kurangnya komitmen OD. mengkuantifikasikan hasil-hasil OD manajemen puncak dan dalam kaitannya dengan pencapaian operasional. Untuk mengatasi kendala tujuan dan sasaran organisasi, serta 2. Rencana strategik yang kurang potensial tersebut diperlukan mengaitkan OD dengan struktur memadai. profesional SDM yang dapat reward yang formal. Pengintegrasian mengupayakan agar OD menjadi 3. Ketidakberhasilan mencermati konsep OD ke dalam kegiatan bagian yang integral dari struktur OD sebagai proses jangka manajemen SDM akan memberikan organisasi. Upaya dimulai dari panjang. kemudahan bagi perpustakaan tingkat tertinggi dari organisasi untuk meningkatkan kinerja personil 4. Keinginan pimpinan puncak agar berhasil menjamin bahwa agar dapat mengelola perubahan untuk mendapatkan hasil yang orhganisasi mencermati upaya secara efektif. cepat. OD sebagai bagian strategi jangka Melakukan eksperimen dengan 5. Kesulitan mengkuantifikasikan panjang. Manajemen SDM/fungsi tim untuk mengembangkan hasil-hasil OD. dan langkah-langkah OD merupakan keterampilan tim antar unit bagian penting dari rencana 6. Ketidakberhasilan mengaitkan kerja yang diharapkan dapat strategik, bukan dengan cara OD dengan struktur reward yang meningklatkan kemampuan mengadakan perombakan secara formal. organisasi untuk menangani cepat. masalah, menggali solusi, 7. Kurangnya kejelasan mengenai Langkah-langkah OD perlu dan mengelola sumber daya hakekat OD. diamati sebagai langkah-langkah secara efektif dan efisien. Tim 8. Konflik terhadap perubahan. yang terintegrasi ke dalam dapat dimanfaatkan untuk keseluruhan program dan kegiatan 9. Kurangnya kredibilitas mengembangkan keanekaragaman organisasi. Satu cara pencapaian profesional SDM. inisiatif serta fleksibilitas organisasi
64
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
dalam penempatan tenaga, serta memastikan bahwa distribusi tugas pekerjaaan dilakukan secara proporsional. Peningkatan keterampilan tim dapat dirumuskan dalam materi pelatihan, sehingga staf memperoleh kesempatan untuk mempelajari keterampilan yang diperlukan untuk meningkatkan efektifitas perorangan dan organisasi dalam bentuk kolaborasi dan kerjasama antar semua tingkatan dalam organisasi. Saran Pengintegrasian manajemen SDM dan OD dapat dilakukan oleh perpustakaan melalui berbagai cara yang direkomendasikan berikut ini. 1. Melakukan analisis jabatan untuk memastikan bahwa jabatan tercermin dalam uraian tugas dan struktur organisasi. 2. Menggunakan analisis jabatan untuk merevisi dan merestrukturisasi jabatan dan mengembangkan uraian tugas yang berdampak pada rekrutmen dan seleksi, pemberian kompensasi, klasifikasi, pelatihan dan pengembangan, manajemen kinerja dan struktur organisasi. 3. Merumuskan penegakan nilainilai organisasi. 4. Mengembangkan kompetensi personil. 5. Merencanakan pengembangan kepemimpinan. 6. Mengelola pemberian kompensasi secara adil. 7. Menganalisis jabatan fungsional dengan memanfaatkan keahlian para manajer dan profesional SDM perpustakaan. Sedangkan manajer SDM pada organisasi induk, misal atau universitas dapat memberikan bimbingan perencanaan analisis jabatan, pengembangan rencana analisis
jabatan secara berkala, atau melakukan analisis jabatan untuk perpustakaan sesuai dengan kebutuhan. 8. Melakukan desain ulang pekerjaan secara selektif, misal: tinjauan terhadap katalogisasi atau pengadaan pustaka secara sistematis, proses kerja, alur kerja, layanan referensi, dan pembinaan koleksi yang harus didesain ulang untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi agar dapat memenuhi kebutuhan pelanggan. 9. Menyelenggarakan pengembangan staf yang meliputi: pengetahuan, keterampilan, kemampuan, bakat, dan kompetensi sesuai dengan kebutuhan organisasi. 10. Mengelola proses perubahan secaraa proaktif. Perpustakaan hendaknya dapat mengelola perubahan secara efektif agar dapat bertahan dan berkembang dengan baik dalam lingkungan masa kini. 11. Mengelola proses perubahan secara sadar atas layanan, administrasi dan manajemen perpustakaan, fasilitas, personil dan anggaran, meskipun perubahan berdampak hanya pada sebagian atau keseluruhan organisasi. 12. Menggabungkan strategi OD ke dalam keseluruhan program SDM yang akan menciptakan situasi win-win dimana rasa kepercayaan antara para manajer dan staf akan semakin meningkat, menerimainformasi lebih banyak, serta berpartisipasi dalam penangan masalah dan pengambilan keputusan. P *) Artikel Pemenang hiburan ke 6 pada Lomba Penulisan Karya Ilmiah Tahun 2006
daftarpustaka Beer, M. 1980. Organization Change And Development: A System View. Santa Monica, CA: Goodyear. Butteriss, M. (Ed.). 1998. Re-inventing HR: Changing Roles To Create The HighPerformance Organization. New York : Wiley. Drinan , H. G. 2002. “HR Outsourcing: Opportunity Or Threat ?” HR Magazine, 47(2): 8. Hawthorne, P. 2004. “Redesigning Library Human Resources: Integrating Human Resources Management And Organizational Development. “Library Trends 53(1): 172. Joinson, C. 1999. “Teams At Work: Gertting The Best From Teams Requires Work On The Teams Themselves”. HR Magazine, 44(5): 30-36. Liebowitz, S. J. and Mendelow, A. L. 1988. “Directions For Development: LongTerm Organizational Change Requires Corporate Vision Andpatience.” Personnel Anministrator, 33: 116-130. Lynch, B. P. and Robles-Smith. K. 2001. “ The Changing Nature Of Work In Academic Libraries.” College & Research Libraries, 62 (5): 407-420. Mathis, R. L. and Jackson, J. H. 1997. Human Resource Management (8th ed.). Minneapolis/ St. Paul, MN: West Publishing. McDermott, L. C. 1987. “Effective Use Of A Job Analysis System In Strategic Planning.” Journal of Compensation & Benefits, 2(4): 202-207. Meisinger, S. 2003. “Strategic HR Means Translating Plans Into Action“ HR Magazine, 48(3): 8. Mendelow, A. L., and Liebowitz, S.J. 1989. “Difficulties In Making OD A Part Of Organizational Strategy.” Human Resource Planning, 12(4): 317-329. Quinn, B. 1995. “Understanding The Differences Between Committees And Teams.” Library Administration & Managemen, 9(2): 111-116. Society for Human Resource Managemen (SHRM). 2002a. SHRM Learning System. Module 1: Strategic Management. Alexandria, VA: SHRM. _____________________. 2002b. SHRM Learning. Module 3: Human Resouece Development. Alexandria, VA: SHRM. Yandrick, R. M. 2001. “A Team Effort: The Promise Of Teams Isn’t Achieved Without Attention To Skills And Traing.” HR Manazine, 46(6): 136-141.
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
65
Media Pustakawan dibaca oleh para pustakawan, Pengelola Perpustakaan, dan Pakar Bidang Perpustakaan.
Wahana Efektif bagi Pemasang Iklan Media Pustakawan diterbitkan oleh Pusat Pengembangan Pustakawan Perpustakaan Nasional sejak tahun 1993. Kehadirannya selalu dinantikan, karena media ini menyajikan warna lain di kalangan pustakawan. Kemasannya yang khusus namun tetap elegan, membuat Media Pustakawan selalu tampil beda. Kini, Ketika Media Pustakawan membuka kesempatan bagi Anda, untuk beriklan di media komunikasi antar pustakawan ini, apalagi yang ditunggu? Tangkaplah peluang emas itu. Pastikan bahwa di Media Pustakawan, iklan Anda tepat sasaran, efektif, dan efisien!
66
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
Distribusi di seluruh Perpustakaan di Indonesia
Rate Iklan Media Pustakawan Halaman
Ukuran
Harga
1 hal full colour 1/2 hal full colour 1 hal hitam putih 1/2 hal hitam putih
21 x 10.5 21 x 10.5
Rp. 2.000.000,Rp. 1.500.000,Rp. 1.000.000,Rp. 500.000,-
29,7 cm x 14,85 cm 27,5 cm x 14,85 cm
PERSYARATAN TEKNIS Materi iklan : Separasi warna, Optical disc, CD, Print out , Final Artwork. Deadline Penyerahan Materi Iklan : 10 hari sebelum terbit. Iklan akan dipasang setelah ada bukti pembayaran yang sah. Pembayaran tunai maupun transfer melalui rekening: Bagi Peminat mohon mengirimkan biaya dan draf iklan kepada: Sdri. Sri Sumiarsi Perpustakaan Nasional RI Jl. Medan Merdeka Selatan No. 11, Jakarta Tlp. (021) 345611 Ext. 220218 Fax: (021) 345611 E-mail:
[email protected]
Kirimkan artikel Anda dengan ketentuan: naskah diketik pada kertas kuarto dengan jarak dua spasi maksimal 6 (enam) halaman, lengkapi dengan abstrak, daftar pustaka dan foto Anda. Pastikan bahwa tulisan adalah karya Anda. Artikel dan foto dapat juga Anda kirim melalui email
[email protected] Redaksi berhak mengedit setiap tulisan yang masuk. Seluruh tanggung jawab akibat dari tulisan yang dimuat sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Artikel yang dimuat disediakan honorarium sekedarnya, sedangkan artikel yang tidak dipublikasikan akan dikembalikan apabila disertai perangko.
Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011
67