Mumtäz Vol. 02 No. 1 Tahun 2011
Penanggung Jawab Direktur Program Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta Dewan Editorial Nasaruddin Umar Hamdani Anwar M. Darwis Hude Zaimudin Nur Rofi’ah Hamka Hasan Muhbib A. Wahab Redaktur Utama Abdul Muid Nawawi Asisten Redaktur Sholihin M. Sidik Penerbit Program Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta Jl. Batan I/2 Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta 12440 Telp. (021) 7690901 & 75904826 Faks. (021) 7690901 Website: www.ptiq.ac.id E-mail:
[email protected]
ISSN: 2087-8125
Daftar Isi WACANA UTAMA Perspektif Al-Qur’an Seputar Kesetaraan Gender dalam Konservasi Lingkungan Nur Arfiyah Febriani —1— Eskatologi dalam Alkitab dan Al-Quran: Sebuah Upaya Reinterpretasi Mahful Muis —25— Konsep Cinta dan Kasih Sayang dalam Al-Qur’an dan Implementasinya dalam Keluarga Nurhidayat Muh. Said —40— Bahasa Arab Menafsirkan Cahaya Tuhan: Tafsir Perbandingan Surah Al-Nur [24]:35 Izza Rohman —59— WACANA LEPAS Modus Suksesi Kepemimpinan dalam Politik Islam: Sebuah Pendekatan Sejarah Andi Rahman —74—
iii
MUMTAZ, No. 01 TH. I Maret 2011
000 layout daftar isi 2.pmd
3
09/05/2012, 8:40
iv
000 layout daftar isi 2.pmd
MUMTAZ, No. 01 TH. I Maret 2011
4
09/05/2012, 8:40
Perspektif Al-Qur’an Seputar Kesetaraan Gender dalam Konservasi Lingkungan
WACANA UTAMA
Perspektif Al-Qur’an Seputar Kesetaraan Gender dalam Konservasi Lingkungan Nur Arfiyah Febriani1 Alumni Program Doktor Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta E-mail:
[email protected] Abstract: The issue of ecological devastation become one of the troubling global issue for the world community today. Some research on earth damage done by McElroy, WALHI, and the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) at the end of 2007. Recent natural disasters in Indonesia in October 2010 in the form of floods in Wasior reportedly killed as many as 162 people were killed, seriously injured as many as 86 people who suffered minor injuries and as many as 3374 people, while material losses estimated at Rp 277, 9 billion. This is presumably due to the narrowness of understanding of religious texts, is accused of causing mindset anthropocentric and egocentric man against nature. This interaction leads to a lack of respect for the existence of human nature. One of the interesting paradigm in looking at the problem of ecological damage is, a paradigm of ecofeminist about factor ecological damage from a gender perspective. Nawal Amar and Jean Shinoda Bolen said that, hypermasculinity character of men in managing the environment became one of the factors causing ecological damage. Keywords Ecological Devastation, Paradigm of Ecofeminist, Ecological Damage
1
Penulis adalah Doktor dalam bidang Pengkajian Agama Islam, konsentras Tafsir Hadits, di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pembahasan lebih lengkap tentang materi ini dapat dilihat dalam disertasi penulis yang telah dibukukan dengan judul: Ekologi Berwawasan Gender dalam Perspektif al-Qur’an (Jakarta: YPM, 2011). Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected].
1
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
001 Kesetaraan Jender (Nurarfiah).pmd
1
27/03/2012, 23:33
Wacana Utama
A. Pendahuluan Perbedaan biologis tentang anatomi tubuh laki-laki dan perempuan memang tidak dapat disamakan, namun implikasi dari perdebatan seputar pengaruh perbedaan biologis laki-laki dan perempuan terhadap klasifikasi potensi emosional bagi perempuan dan potensi intelektual bagi laki-laki, menyisakan diskursus yang sangat atraktif sampai kepada masalah faktor penyebab kerusakan ekologi dan upaya konservasi lingkungan. Unger, Garai dan Scheinfield,2 Eagly,3 Wright,4 Bernard,5 Miller,6 dan McGrath7 misalnya, adalah para tokoh yang mengklasifikasikan karakter maskulin yang dimiliki laki-laki dengan karakter: dominatif, aktif, independen, logis, kompetitif, agresif dan berbagai karakter yang memiliki arti positif. Sebaliknya karakter feminin yang dimiliki perempuan adalah karakter yang dinilai subordinatif, pasif, dan sensitif. Konsekuensi logis dari klasifikasi karakter ini, memuluskan jalan laki-laki untuk tampil di dunia publik, sementara steorotip feminin yang terkesan “lebih rendah” dari maskulin ini, praktis berimplikasi negatif pada peran perempuan baik di sektor publik bahkan dalam sektor domestik.8 Sebaliknya, Shinoda Bolen juga mengklasifikasikan steorotip negatif karakter maskulin bagi laki-laki yang eksploitatif, ambisius dan arogan, membuat laki-laki layak disalahkan dalam isu kerusakan lingkungan. Sementara karakter feminin yang lemah lembut, penyayang, pendidik dan submisif juga dianggap lebih mampu berperan terhadap fungsi pemeliharaan lingkungan.9 Klasifikasi karakter yang selalu positif bagi maskulin dan selalu negatif untuk karakter feminin atau sebaliknya, senyatanya tidak didapati dalam ayat-ayat al-Qur’an. Al-Qur’an justru memberikan deskripsi keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam dalam tiap individu
2 3 4 5 6 7 8
9
Garai dan Scheinfield, “Sex Differences in Mental and Behavioral Traits,” Genetic Psychology Monographs, 77 (1968), 169. A.H. Eagly, “The Science and Politics of Comparing Woman and Man,” American Psychologist, 50 (1995), 145-158. D. Wright, The Psychology of Moral Behaviour (Harmondsworth: Penguin, 1971). J Bernard, “The Rosenzweig Picture Prustation-Study: I. Norms, Reliability and Statistical Evaluation”, Journal of Psychology, 28 (1949), 325-332. Miller, Toward a New Psychology of Women (Boston, MA: Beacon, 1986). E. McGrath et al., “Women and Depression: Risk Factors and Treatment Issues,” American Psychological Association (1990). Ironisnya, steorotip negatif ini diamini kebanyakan perempuan dengan pasrah karena berbagai dalih. Salah satunya, berdalih legitimasi teks keagamaan. Dalam pandangan Islam, jika ajaran yang terdapat dalam kitab suci dan sunnah Rasulullah saw dipahami secara lebih komprehensif, maka akan didapati ajaran universal yang mengusung semangat kesetaraan dan hubungan yang harmonis bagi seluruh manusia. Dalam Islam, seorang muslim dapat meraih kesempatan yang sama dalam mengejar prestasi, demikian dengan motifasi berbuat yang terbaik demi kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, digambarkan tanpa pandang perbedaan dari kedua jenis kelamin manusia (Q.S. al-Nahl [16]: 97). Lihat pembagian karakter maskulin (laki-laki) dan feminin (perempuan) dalam buku karangan: Rhoda K Unger, Female and Male Psychological Perspectives (New York, t.p: 1979) 30. Bandingkan dengan Hilary M. Lips, Sex and Gender an: Introduction (California: Mayfield Publishing Company, 1993), 6. Pembagian karakter tersebut akan disajikan dalam pembahasan jurnal ini. Lihat kesan negatif bagi karakter maskulin yang dimiliki laki-laki dan kesan yang positif bagi karakter feminin yang dimiliki perempuan dalam buku karangan: Jean Shinoda Bolen, Crossing to Avalon, A Woman’s Midlife Quest for the Sacred Feminine (San Fransisco: Harper Collins, 2004), cet. X.
2
001 Kesetaraan Jender (Nurarfiah).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
2
27/03/2012, 23:33
Perspektif Al-Qur’an Seputar Kesetaraan Gender dalam Konservasi Lingkungan
manusia. Uniknya, yang membedakan baik buruknya kualitas karakter maskulin dan feminin dalam diri manusia ini adalah, nilai/sisi positif dan negatif bagi masing-masing karakter feminin dan maskulin. Al-Qur’an mengisyaratkan tentang keseimbangan karakter feminin dan maskulin yang memiliki nilai/sisi positif dalam tiap individu manusia. Keseimbangan karakter ini menjadi hal yang niscaya, demi terciptanya manusia yang memiliki kecakapan holistik yang memang menjadi potensi laten yang harus dioptimalkan dalam kehidupannya. Hal ini akan dapat menunjang eksistensi manusia dalam interaksi vertikalnya kepada Sang Pencipta, maupun interaksi horizontalnya kepada sesama manusia, dan yang tidak kalah pentingnya adalah interaksi harmonis manusia kepada lingkungan sekitarnya sebagai salah satu upaya dalam usaha konservasi lingkungan.
B. Kesetaraan Gender dalam Konservasi Lingkungan a.
Keseimbangan Karakter feminin dan maskulin dalam setiap Individu Manusia Al-Qur’an mengisyaratkan tentang keseimbangan karakter feminin dan maskulin bagi setiap individu manusia. Isyarat al-Qur’an ini sangat penting untuk dianalisa, mengingat berbagai diskurus seputar pemisahan karakter maskulin yang dikhususkan bagi laki-laki dan feminin bagi perempuan terus menyisakan permasalahan yang terus berkepanjangan. Perdebatan para ahli yang mengklasifikasikan karakter negatif yang hanya ditujukan bagi laki-laki/perempuan saja, tentu tidak akan pernah menjadi solusi dari permasalahan ketimpangan gender. Karena permasalahan ketimpangan gender, memang salah satunya berawal dari steorotip seputar karakter negatif bagi laki-laki dan perempuan. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Unger, yang berpendapat bahwa perbedaan anatomi biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki dan perempuan memiliki implikasi terhadap perkembangan emosional dan kapasitas intelektual antara laki-laki dan perempuan.10 Pendapat Unger tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut: Gambar I Klasifikasi Karakter Feminin dan Maskulin Versi Unger
10
Lihat: Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, 42.
3
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
001 Kesetaraan Jender (Nurarfiah).pmd
3
27/03/2012, 23:33
Wacana Utama
Pendapat Unger di atas senada dengan yang diungkapkan Garai dan Scheinfield,12 Eagly,13 Wright,14 Bernard,15 Miller,16 dan McGrath.17 Namun selain steorotip negatif di atas, perempuan masih memiliki nilai positif karena dinilai lebih baik dalam relasi sosial karena perempuan memiliki karakter lebih ramah.18 Oleh sebab itu, laki-laki lebih dinilai dominan pada object oriented, sedangkan perempuan pada people oriented.19 Sementara Spence dan Helmrich, membagi karakter feminin dalam karakter yang emosional, sensitif, ekspresif dan pemeliharaan/pengasuhan. Sedangkan maskulin dengan karakter kompetitif, aktif, independen dan instrumental.20
4
001 Kesetaraan Jender (Nurarfiah).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
4
27/03/2012, 23:33
Perspektif Al-Qur’an Seputar Kesetaraan Gender dalam Konservasi Lingkungan
Sebaliknya, tokoh ekofeminis seperti Jean Shinoda Bolen juga mengagungkan kualitas feminin dan menganggap kualitas maskulin dalam artian negatif. Menurut Bolen, laki-laki yang dikatakan lebih dominan unsur logika dari pada emosionalnya menjadikan laki-laki berkarakter dominatif dan ambisius. Sementara budaya patriarki membentuk laki-laki menjadi sosok yang berkarakter arogan pada hubungan sosialnya dengan sesama manusia dan interaksinya dengan alam. Selanjutnya menurut Bolen, budaya patriarki ini memaksa perempuan selalu dibawah tekanan laki-laki dalam segala aspek dalam kehidupannya. Perempuan yang dianggap lebih
11
12 13 14 15 16 17 18
19
20
Lihat: Rhoda K Unger, Female and Male Psychological Perspektives (New York, t.p: 1979), 30. Bandingkan dengan Hilary M. Lips, Sex and Gender an: Introduction (California: Mayfield Publishing Company, 1993), 6. Dengan klasifikasi karakter yang dikemukakan Unger ini, praktis menjadikan perempuan menyandang segudang steorotip yang sama sekali tidak memberikan nilai positif bagi karakter yang dimiliki perempaun. Walhasil, sebagaimana hasil dari kesimpulan penelitian yang dilakukan Benjamin Beit, dengan segala steorotip negatif tentang perempuan menjadikan perempuan dihilangkan dan ditindas dalam berbagai situasi sosial. Lihat: Benjamin Beit-Hallami dan Michael Argyle, The Psychology of Religious Behavior Belief and Experience (London: Routledge, 1997), cet. I, 147. Kalangan feminis dan Marxis menolak anggapan di atas dan menyebutnya hanya sebagai bentuk steorotip gender. Mereka membantah adanya skematisasi perilaku manusia berdasarkan jenis kelamin. Mereka berkeyakinan bahwa perbedaan peran gender tersebut bukan karena kodrat atau faktor biologis (devine creation), tetapi karena faktor budaya (cultural construction). Para feminis menunjuk beberapa faktor yang ditunjuk sebagai agen pemasyarakatan (agents of socialization) steorotip gender, antara lain pengaruh bahasa, suasana keluarga, kehidupan ekonomi, dan suasana sosial politik. Lihat: Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, 43. Penulis lebih cenderung kepada pendapat Sachiko Murata. Bagi Murata, karakter yang dimiliki masing-masing individu manusia, tidak terlepas dari sifat negatif dan positif. Ia menyebutnya dengan karakter feminin yang positif (untuk hal-hal baik) atau negatif (untuk hal-hal yang buruk), demikian sebaliknya dengan karakter maskulin yang juga memiliki sifat positif dan negatif. Lihat: Ratna Megawangi dalam kata sambutan dalam buku karangan Sachiko Murata, The Tao of Islam, 10. Bagi penulis, pembagian karaker positif dan negatif ini lebih logis, ketimbang hanya memposisikan laki-laki dalam posisi dominatif yang selalu positif dan perempuan pada posisi subordinatif yang selalu negatif, sebagaimana persepsi Unger dan Lips di atas. Senyatanya, tidak ada satupun individu manusia yang selalu berbuat/berkarakter negatif atau sebaliknya. Garai dan Scheinfield, “Sex Differences in Mental and Behavioral Traits,” Genetic Psychology Monographs, 77 (1968), 169. A.H. Eagly, “The Science and Politics of Comparing Woman and Man,” American Psychologist, 50 (1995), 145-158. D. Wright, The Psychology of Moral Behaviour (Harmondsworth: Penguin, 1971). J Bernard, “The Rosenzweig Picture Prustation-Study: I. Norms, Reliability and Statistical Evaluation”, Journal of Psychology, 28 (1949), 325-332. Miller, Toward a New Psychology of Women (Boston, MA: Beacon, 1986). E. McGrath et al., “Women and Depression: Risk Factors and Treatment Issues,” American Psychological Association (1990). H.A. Turner, “Gender and Social Support: Taking the Bad with the Good?,” Sex Roles, 30 (1994), 521-541. Lihat juga: D. Belle, “The Stress of Caring: Womens as Providers of Social Support”, (1982), dalam: L. Goldberger dan S Breznitz (ed.) Handbook of Stress: Theoritical and Clinical Aspect. New York Free: Press. Mcguinnes, “Gender Differences in Cognitive Style: Implication for Mathematics Performance and Achievement,” dalam LA Penner (ed.), “The Challenge of Mathematics and Science Education: Psychology Response. Washington, DC. American Psychological Association (1993). Lihat: Spence, J., & Helmrich, R., Masculinity and Feminity Their Psichological Dimentions Correlates and Antecedent (Austin: Universitas of Texas Press, 1978). Lihat juga: Eileen Fischer & Stephen J Arnold, Sex, Gender Identity, Gender Role Attitudes, and Consumer Behavior, Psychology & Marketing (1986-1998); Mar/Apr 1994; 11, 2; ABI/INFORM Research, 163.
5
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
001 Kesetaraan Jender (Nurarfiah).pmd
5
27/03/2012, 23:33
Wacana Utama
dominan unsur emosional dibanding logikanya, terpaksa digiring menjadi mahluk domestik yang pasif dengan segudang pekerjaan yang mengandalkan potensi emosional perempuan yang penyabar, penyayang, pemelihara dan submisif.21 Ungkapan Rees lebih menarik, penelitiannya membuktikan ada pengaruh besar bagi suatu penganut agama dari pemahamannya terhadap sosok Tuhan yang disembahnya, terhadap cara pandangnya dalam menilai ciri karakter dari lawan jenis. Penganut agama, (dalam hal ini Kristen Protestan dan Katolik yang dikaji) menilai karakter manusia (lawan jenisnya) berdasarkan imaginasi sosok Tuhan yang disembahnya. Bagi umat Katolik, yang lebih mengagungkan perawan Mariyam, Tuhan lebih identik seperti ibu. Hal ini membuat mereka mengimajinasikan Tuhan sebagai sosok penyembuh, penyayang dan bijak. Oleh sebab itu, perempuan sebagai jenis yang sama dengan Maryam, diidentikan dengan karakter yang dimiliki Maryam.22 Dari sini, “Tuhan Ibu” dengan segenap karakter femininnya yang diidentikkan dengan perempuan, menjadikan perempuan praktis hanya memiliki karakter feminin dalam dirinya (feminine oriented). Sebaliknya bagi umat Protestan, menjadikan Tuhan Yesus sebagai objek utama yang disembah. Sebagai “Tuhan Bapak yang maskulin”, maka karakter Yesus digambarkan sebagai karakter yang aktif, visioner dan kompetitif seperti seorang ayah.23 Dengan demikian, karakter bagi laki-laki dalam Protestan adalah sebagaimana karakter Yesus (masculine oriented). Namun secara umum, bagi perempuan penganut agama Kristen, mereka memiliki pandangan bahwa Tuhan identik dengan karakter penyembuh dan suportif, penyayang, pemaaf dan menyenangkan.24 Sedangkan laki-laki memandang Tuhan sebagai sosok yang super, berkuasa, aktivator, perencana, dan pengontrol.25 Ada perbedaan mendasar dalam memahami karakter Tuhan dalam perspektif Kristen dan Islam. Bagi saudara kita dari agama Kristen yang mengakui adanya “trinitas” dalam konsep ketuhanan mereka, maka dengan demikian, gambaran dan pemahaman mereka mengenai
21
22 23 24
25
Disarikan dari: Jean Shinoda Bolen, Crossing to Avalon, 267-270. Bagi penulis, pernyataan kontradiktif di atas masih subyektif, mengingat pembagian karakter ini hanya berdasar pada pembagian karakter yang terlanjur merekat dan membudaya di masyarakat. Rees D.G., “Denominational Concepts of God” (MA Tesis di Universitas Liverpool, 1967). Dechoncy, “God and Parental Images: The Masculine and Feminine in the Religion Free Association,” (1968) dalam: A. Godin (ed.) From Cry to Word. Brussels: LumenVitae. Lihat: Nelsen et al., “Gender Differences in Images of God,” Journal for the Scientific Study of Religion, 24 (1985), 396402. Oleh sebab itu, perempuan merasa lebih dekat kepada Tuhan dengan menganggap Tuhan sebagai pribadi feminin. Lihat: K. Tamminen, “Religious Experiencess in Childhood and Adolescence: A View Point of Religious Development Between the Age of 7-20. International Journal for the Psychology of Religion,” 4 (1994), 61-85. Wright D dan Cox, E., “A Study of the Relationship Between Moral Judgement and Religious Belief in a Sample of English Adolescent,” The Journal of Social Psychology 72 (1967), 135-144. Oleh sebab itu, dalam aspek aktivitas agama, laki-laki memiliki peran predominatif, demikian dalam jabatan kenegaraan. Lihat: J.M. Yinger, The Scientific Study of Religion (London: Collier-Macmillan, 1970). Selain itu, jabatan pendeta juga hanya boleh dipegang oleh laki-laki dalam kebanyakan agama di seluruh dunia. Lihat: Max Weber, The Sociology of Religion (Boston, MA; Beacon Press, 1963).
6
001 Kesetaraan Jender (Nurarfiah).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
6
27/03/2012, 23:33
Perspektif Al-Qur’an Seputar Kesetaraan Gender dalam Konservasi Lingkungan
karakter Tuhanpun akan berbeda-beda, tergantung pada sosok “Tuhan Anak,26 atau Tuhan Ibu” yang disembah mereka. Sebagaimana diungkap di atas, hal ini mempengaruhi para penganut agama Kristen dalam mengklasifikasikan karakter feminin dan maskulin Tuhan, yang kemudian diidentikan dengan karakter manusia. Jadi dari sini dapat dipahami bahwa, karakter Tuhan yang diklasifikasikan dari jenis kelaminnya, juga mempengaruhi penganutnya dalam mengklasifikasikan karakter manusia yang tergantung dengan jenis kelaminnya. Dalam Islam, umat Islam hanya mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan Yang Maha Sempurna. Maka oleh sebab itu, dari sini jelas terdapat perbedaan pandangan Islam dalam memandang sifat/karakter Tuhan. Menurut Imam Ghazali dan Muhammad Quraish Shihab, sifat Allah yang berjumlah 99 (sembilan puluh sembilan), yang disebut dengan nama yang baik/asmâ’ al-husnâ, memiliki makna yang sangat dalam dan sangat sulit untuk dapat ditafsirkan ke dalam bahasa manusia, mengingat keterbatasan manusia dalam mengungkap kedalaman makna yang tersembunyi di dalamnya.27Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah memiliki karakter yang sempurna dalam
26 27
Dalam kepercayaan Kristen, Yesus dikatakan sebagai anak dari Tuhan”. Lihat: Nelsen H.M., et al. Gender Differences in Images of God, Journal for the Scientific Study of Religion, no. 24: 1985. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah memiliki karakter yang sempurna dalam asmâ‘ al-husnâ, Allah berfirman: Hanya milik Allah asmâ‘ al-husnâ, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmâ‘ al-husnâ itu dan tinggalkanlah orangorang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. al-A’râf [7]: 180). Dalam tesis penulis, berzikir dengan asmâ‘ al-husnâ, menjadikan seorang muslim berharap bahwa ia akan dapat mengikuti/ meneladani sifat Allah yang disebut dan diingatnya serta mengaktualisasikan sifat tersebut dalam kepribadiannya. Jika seseorang berzikir dengan nama Allah “al-Lathîf” (Yang Maha Lembut), maka sang muslim berharap ia juga akan meneladani sifat tersebut sehingga ia memiliki karakter yang lemah lembut dan agar ia dapat bersifat lebih bijak. Jika seorang muslim berzikir dengan lafaz “al-Rahmân” (Yang Maha Pengasih), maka ia akan berusaha untuk meneladani sifat tersebut dan berharap akan memiliki sifat yang senantiasa mengasihi dan memberi kebaikan pada seluruh makhluk ciptaan Allah. Lihat: Nur Arfiyah Febriani, “Hubungan antara Dzikir Allah dengan Kesehatan Fisik dan Kesehatan Mental”, 81. Dalam hadis Nabi, Nabi mengajarkan tentang keutamaan manusia berzikir dengan asmâ‘ al-husnâ, Rasulullah saw bersabda: Dari Abu Hurairah ra. berkata ia, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama/100 kurang satu, barang siapa yang menghapalnya niscaya akan masuk surga. Lihat hadis ini dalam riwayat: Bukhari, Kitâb: al-Syurûth Bâb: Mâ Yajûz min al-Ashtirâth wa al-Thanâyâ fî al-Iqrâr wa alSyurûth, CD Room, hadits no. 2531. Hadits ini juga diriwayatkan dalam kitab hadits riwayat: Muslim, Kitâb: al-Dzikr wa alDu’â‘ wa al-Tawbât. Tirmidzi, Kitab: al-Da’wah ‘an Rasûlillâh, hadits no. 3428, Ibnu Majah, Kitab; al-Du’â’‘, hadits no. 3850 dan Imam Ahmad, Bâqi al-Musnad al-Mukathirîn, hadits no. 7189. Redaksi yang memiliki arti, “barang siapa yang menghapalnya niscaya akan masuk surga,” dapat dipahami dalam arti bahwa, orang yang meneladani sifat Allah dalam asmâ` al-husnâ dan berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan mengaplikasikan makna yang terkandung dalam sifat Allah tersebut dalam hidupnya, akan menjadikan orang tersebut memiliki karakter yang baik dan menyenangkan. Sebagai seorang hamba, ia akan menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup, yang akan selalu berusaha menjalani segala perintah-Nya dan menjauhi segala macam bentuk larangan-Nya. Sedang sebagai makhluk sosial ia akan memiliki karakter yang sempurna dan dicintai makhluk Allah yang lain. Kepribadian yang baik ini, secara otomatis akan mendapatkan tempat yang sesuai janji Allah di dalam surga (Q.S. Âli ‘Imrân [3]: 133 dan al-Hadîd [57]: 21). Untuk mengetahui secara lengkap hadis tentang asmâ‘ al-husnâ, dapat dirujuk dalam kitab Sunan Turmidzi, Kitab: al-Da’wah ‘an Rasûlillâh, Bab: Mâ Jâ‘a fî ‘Aqdi Tasbîh bi al-Yad, CD Room, hadits no. 3429.
7
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
001 Kesetaraan Jender (Nurarfiah).pmd
7
27/03/2012, 23:33
Wacana Utama
asmâ ‘al-husnâ, Allah berfirman: Hanya milik Allah asmâ ‘al-husnâ, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asmâ‘ al-husnâ itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. al-A’râf [7]: 180). Dalam tesis penulis, berzikir dengan asmâ‘ al-husnâ, menjadikan seorang muslim berharap bahwa ia akan dapat mengikuti/meneladani sifat Allah yang disebut dan diingatnya serta mengaktualisasikan sifat tersebut dalam kepribadiannya. Jika seseorang berzikir dengan nama Allah “al-Lathîf” (Yang Maha Lembut), maka sang muslim berharap ia juga akan meneladani sifat tersebut sehingga ia memiliki karakter yang lemah lembut dan agar ia dapat bersifat lebih bijak. Jika seorang muslim berzikir dengan lafaz “al-Rahmân” (Yang Maha Pengasih), maka ia akan berusaha untuk meneladani sifat tersebut dan berharap akan memiliki sifat yang senantiasa mengasihi dan memberi kebaikan pada seluruh makhluk ciptaan Allah. Lihat: Nur Arfiyah Febriani, “Hubungan antara Dzikir Allah dengan Kesehatan Fisik dan Kesehatan Mental”, 81. Dalam hadis Nabi, Nabi mengajarkan tentang keutamaan manusia berzikir dengan asmâ‘ al-husnâ, Rasulullah saw bersabda:
Dari Abu Hurairah ra. berkata ia, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama/100 kurang satu, barang siapa yang menghapalnya niscaya akan masuk surga. Lihat hadis ini dalam riwayat: Bukhari, Kitâb: al-Syurûth Bâb: Mâ Yajûz min al-Ashtirâth wa al-Thanâyâ fî al-Iqrâr wa al-Syurûth, CD Room, hadits no. 2531. Hadits ini juga diriwayatkan dalam kitab hadits riwayat: Muslim, Kitâb: al-Dzikr wa al-Du’â‘ wa al-Tawbât. Tirmidzi, Kitab: al-Da’wah ‘an Rasûlillâh, hadits no. 3428, Ibnu Majah, Kitab; al-Du’â’‘, hadits no. 3850 dan Imam Ahmad, Bâqi al-Musnad al-Mukathirîn, hadits no. 7189. Redaksi yang memiliki arti, “barang siapa yang menghapalnya niscaya akan masuk surga,” dapat dipahami dalam arti bahwa, orang yang meneladani sifat Allah dalam asmâ‘ al-husnâdan berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan mengaplikasikan makna yang terkandung dalam sifat Allah tersebut dalam hidupnya, akan menjadikan orang tersebut memiliki karakter yang baik dan menyenangkan. Sebagai seorang hamba, ia akan menjadikan Allah sebagai satusatunya tujuan hidup, yang akan selalu berusaha menjalani segala perintah-Nya dan menjauhi segala macam bentuk larangan-Nya. Sedang sebagai makhluk sosial ia akan memiliki karakter yang sempurna dan dicintai makhluk Allah yang lain. Kepribadian yang baik ini, secara otomatis akan mendapatkan tempat yang sesuai janji Allah di dalam surga (Q.S. Âli ‘Imrân [3]: 133 dan al-Hadîd [57]: 21). Oleh sebab itu menurut kedua tokoh ini, manusia hanya dapat sebatas memahami/ mendekatkan makna dan mencoba untuk meneladani sifat-sifat Allah yang baik, kemudian mengaktualisasikannya dalam kehidupan. 28 Sehingga dengan ini, manusia dapat lebih
8
001 Kesetaraan Jender (Nurarfiah).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
8
27/03/2012, 23:33
Perspektif Al-Qur’an Seputar Kesetaraan Gender dalam Konservasi Lingkungan
memandang indah makna kehidupan dan menuntunnya menjadi sosok hamba yang senantiasa “bertaqarrub” dengan-Nya dengan lebih mengenal-Nya dan meneladani sifat-sifat-Nya.29 Memang dalam kajian teologi Islam, para tokoh seperti Sachiko Murata menyatakan, dari sifat-sifat Allah yang berjumlah sembilan puluh sembilan ini, terdapat keseimbangan karakter Allah, karena Allah memiliki sifat feminin (jamâl), artinya sifat yang berhubungan dengan keindahan,30 dan sifat maskulin (jalâl), artinya sifat yang berhubungan dengan keagungan,31 yang menjadikan Allah dinilai dan memang sempurna (kamâl). 32 Hal yang sama juga diungkapkannya, dalam menyatakan terdapat keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam alam raya. Namun, tentu bukan dipahami sebagai penganalogian sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya di alam raya.
28
29
30
Mendekatkan makna sifat Allah yang baik dan anjuran bagi manusia untuk berusaha meneladaninya, setidaknya dapat dipahami dari isyarat Allah dalam al-Qur’an yang mengajak manusia untuk mempelajari sifat-sifat Allah agar bisa diteladani dan diaktualisasikan dalam interaksi sosialnya. Allah memiliki sifat al-Razzâq/Maha Pemberi (Q.S. 24/38), manusia juga diperintahkan Allah untuk saling berbagi (Q.S: 2/254 dan 8/3), al-Haqq/Allah Maha Benar, manusia juga diperintahkan untuk berlaku obyektif (Q.S: 49/15 dan 14/17), al-‘Adl/Allah Maha Adil, manusia juga diperintahkan untuk berbuat Adil (Q.S: 4/58, 16/90, 5/42, 49/9, dan 60/8), al-Shabûr/Allah Maha Sabar, manusia juga diperintahkan untuk bersabar dalam saling nasihat menasihati dan berbuat kebenaran (Q.S: 2/45, 90/17, 103/3, dan 2/153), al-‘Afuww/Allah Maha Pemaaf (Q.S. 22/60 dan 58/2), manusia juga Allah perintahkan untuk saling memaafkan jika ada seseorang yang berbuat salah (Q.S. 7/199), dan sebagainya. Dari beberapa contoh asmâ` al-husnâ /nama-nama Allah yang baik yang memiliki arti keindahan dan keagung ini, ada isyarat Allah yang seakan ingin menyampaikan kepada manusia, berbuat baiklah sebagaimana Allah berbuat baik kepada manusia, dan Allah memang memerintahkan manusia untuk berbuat kebaikan (Q.S. 28/77). Bahkan yang menarik dalam tradisi Islam, orang tua yang di karunia anak, akan memberikan nama-nama yang indah untuk diberikan kepada anaknya. Para orang tua, di antaranya banyak yang mengambil nama-nama keindahan dan keagungan Allah, seperti: Abd al-Rahman, Abd al-Razzaq, Abd Ra’uf, Abd al-Samad, Rasyid Rida, dan lain lain. Hal ini sesuai dengan anjuran Nabi, bahwa salah satu kewajiban orang tua kepada anak, bahwa orang tua harus memberikan makna yang indah dari nama yang akan diberikan kepada anaknya. Hal ini dilakukan, agar anak dapat bercermin dan mempresentasikan dirinya, sesuai dengan nama yang diberikan kepadanya. Lihat: Hujjat al-Islam Abu Hamid al-Ghazali, Syarah Asmâ‘ Allah al-Husnâ, dalam edisi terjemahan oleh: Abdullah Zaky al-Kaaf, Asmâ’ al-Husnâ Perspektif al-Ghazali (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002), cet. I. lihat juga: Muhammad Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi Asmâ‘ al-Husnâ dalam Perspektif al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2006), cet. VII, ix. Di antara sifat feminin (jamâliah) Allah adalah: 1) al-Rahmân, yaitu: Maha Pengasih-yang senantiasa mengasihi dan memberi kebaikan pada seluruh ciptaan. 2) al-Rahîm, yaitu: Maha Penyayang-sumber kasih sayang yang Maha luas bagi orang-orang beriman, di dunia dan akhirat. 3) al-Quddûs, yaitu: Maha Suci-Maha Suci dan bersih dari segala noda ataupun kelemahan. 4) al-Bâri’, yaitu: Maha Penata-yang menata ciptaan dengan keselarasan yang sempurna. 5) al-Ghafûr, yaitu: Maha Pengampun-yang menerima permohonan taubat manusia. 6) al-‘Adl, yaitu: Maha Adil-yang adil secara mutlak dan memelihara kedamaian, keseimbangan dan keselarasan. 7) al-Lathîf, yaitu: Maha Lembut-yang maha halus, baik, ramah dan indah yang menciptakan berbagai macam bentuk keindahan. 8) al-Halîm, yaitu: Maha Penyantun-yang menangguhkan hukuman dari kaum yang bersalah; memberi mereka waktu untuk menyadarinya dan bertaubat. 9) al-Syakûr, yaitu: Maha Mensyukuri- yang membalas perbuatan perbuatan baik dengan balasan yang jauh lebih besar. 10) al-Hafîz, yaitu: Maha Pelestari- yang memperhatikan, melindungi dan memelihara seluruh yang lampau, kini, dan akan datang. 11) alKarîm, yaitu: Maha Pemurah-yang balasan dan ampunan-Nya melampaui segala pengharapan. 12) al-Wadûd, yaitu: Maha Mencintai-yang semata layak dicintai, dan yang memberi manusia kemampuan untuk mencintai Tuhan dan para Nabinya. 13) al-Barr, yaitu: Maha Membawa Kebaikan-seluruh kebaikan dan karunia, spiritual dan materi berasal dariNya. 14) al-Muqsith, yaitu: Maha Menyetarakan-yang menyalurkan karunianya kepada ciptaan-Nya secara adil dan merata. 15) al-Shabûr, yaitu: Maha Sabar- yang mencintai kesabaran. 16) al-Mushawwir, yaitu: Maha Pembentuk-yang menciptakan pada segala sesuatu bentuk yang terunik dan terindah.
9
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
001 Kesetaraan Jender (Nurarfiah).pmd
9
27/03/2012, 23:33
Wacana Utama
Untuk karakter manusia, al-Qur’an juga mengisyaratkan adanya keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam tiap individu manusia. Mengenai perdebatan stereotip negatif bagi karakter perempuan dan laki-laki dari para ahli seperti Unger dan Jean Shinoda Bolen di atas, di dalam al-Qur’an dideskripsikan sebagai sisi negatif dari karakter maskulin yang dominatif, dan sisi negatif dari karakter feminin yang mengikuti hawa nafsu (nafsu ammârah bi al-sû’). Artinya, ada nilai/sisi positif dan negatif dari kedua karakter feminin dan maskulin yang menentukan nilai baik buruknya dari karakter tersebut.33 Oleh sebab itu, al-Qur’an memberikan keluasan bagi manusia dalam memilih karakter feminin dan maskulin yang memiliki sisi/nilai positif atau negatif yang akan merepresentasikan kepribadiannya. Namun perlu digaris bawahi bahwa, klasifikasi karakter maskulin dan feminin manusia yang penulis elaborasi dari objek penelitian dalam Disertasi yang telah penulis rampungkan ini, sama sekali bukan untuk mempersamakan antara sifat Allah dengan manusia dan makhluk
31
32
33
Di antara sifat maskulin (jalâliah) Allah adalah: 1) al-Mâlik, yaitu: Maha Raja-pemilik dan penguasa mutlak seluruh ciptaan. 2) al-Salâm- Maha Sejahtera-Tuhan adalah satu-satunya penjaga, karena hanya Tuhanlah satu-satunya yang terbebas dari segala kesalahan dan kelemahan; segala sesuatu selain-Nya yang dijadikan sandaran manusia akan musnah dan mengecewakan manusia. 3) al-Muhaimin, yaitu: Maha Memelihara-yang melihat dan menjaga perputaran dan pertumbuhan seluruh ciptaan. 4) al-‘Azîz, yaitu: Maha Perkasa-yang kekuatannya meliputi segala sesuatu, dan kekuasaanNya selalu memperoleh kemenangan. 5) al-Mutakabbir, yaitu: Maha Besar- kebesaran-Nya tampak dalam segala sesuatu, dan pada setiap saat. 6) al-Khâliq, yaitu: Maha Pencipta, yang menciptakan sesuatu dari ketiadaan. 7) al-Khabîr, yaitu: Maha Mengetahui- yang peka terhadap setiap peristiwa yang paling tersembunyi di dalam segala sesuatu, di setiap tempat, dan yang kepekaannya sungguh mampu menenmbus segala sesuatunya. 8) al-Jalîl, yaitu: Maha Luhur- Tuhan yang agung dan kuat, sumber dari segala kebaikan dan kesempurnaan. 9) al-Raqîb, yaitu: Maha Mengawasi- yang memeriksa dengan cermat setiap detil dalam ciptaan dan yang melindungi segala hak. 10) al-Haq, yaitu: Maha Benar-yang tidak pernah berubah maupun terpengaruh oleh apapun. 11) al-Matîn, yaitu: Maha Tangguh-yang kekuasaan-Nya tidak dapat dilawan ataupun terlemahkan, yang kekuatan-Nya menembus segalanya. 12) al-Shamad, yaitu: Maha Dibutuhkan-yang memenuhi seluruh kebutuhan makhluk-Nya, yang tiada memiliki kebutuhan. 13) al-Nâfi’, yaitu: Maha Pemberi Manfaatyang memberikan anugerah yang terbaik bagi seluruh ciptaan-Nya. 14) al-Hâdi, yaitu: Maha Pemberi Petunjuk-yang menciptakan petunjuk dan mengarahkan kita pada kebaikan dan kebenaran. 15) al-Muntaqîm, yaitu: yang menghukum manusia yang melawan dan membahayakan ciptaan Tuhan. 16) al-Hakîm, yaitu: Maha Menetapkan Hukum-yang mengeluarkan perintah, keadilan dan kebenaran, yang mengadili secara sempurna dan menegakkan keadilan yang sempurna. Lihat lebih jauh pembahasan tentang asmâ‘ al-husnâ dalam perspektif sufi dari Barat dalam: Robert Frager, Heart, Self and Soul: The Sufi Spychology of Growth, Balance and Harmony, dalam edisi terjemahan oleh: Hasmiyah Ro’uf, Hati, Diri dan Jiwa Psikologi Sufi untuk Transformasi (Jakarta: Serambi, 2002), cet. III, 238-248. Lihat juga: Ahmad Mukhtar ‘Umar, al-Asmâ‘ al-Husnâ Dirâsah fî al-Binyah wa al-Dilâlah (Mesir: Maktabah al-Usrah, 2000). Hal ini sebagaimana ungkapan ahli fenomenolog agama Annemarie Schimmel, seorang dosen pada fakultas teologi Islam (Ilâhiyat Facultesi) di Ankara Turki, yang sangat tertarik pada keistimewaan sifat Allah yang Maha Sempurna (kamâl), karena memiliki keseimbangan karakter feminin (yin/jamâl), dan karakter maskulin (yang/jalâl). Annemarie tidak merasa ada kesulitan dalam menamakan kekuasaan (keagungan) sebagai sifat maskulin (jalâl), dan aspek kecintaan dan keindahan sebagai sifat feminin (yin/jamâl). Lihat: Annemarie Schimmel, dalam kata pengantar buku karangan Sachiko Murata, The Tao of Islam, vii-viii. Imam Ghazali membagi dua sifat manusia, kepada karakter yang baik (husn al-khulq) dan karakter yang buruk (sû‘ alkhulq). Akhlak yang baik adalah akhlak terpuji yang didasari dari pemahaman terhadap ajaran agama. Sedangkan akhlak yang buruk adalah kebalikan dari akhlak terpuji, artinya akhlak yang buruk adalah akhlak yang merepresentasikan karakter manusia yang tidak disenangi oleh komunitasnya. Lihat: Imam Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali, Ihyâ‘ ‘Ulûm al-Dîn (Kairo: Maktabah al-Imam li al-Nusyur wa al-Tauzi’, 1417 H/1996 M), cet. I, juz. III, 77-78.
10
001 Kesetaraan Jender (Nurarfiah).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
10
27/03/2012, 23:33
Perspektif Al-Qur’an Seputar Kesetaraan Gender dalam Konservasi Lingkungan
Allah yang lain. Dalam pandangan Islam, tentu sangat tidak sepadan menganalogikan karakter Tuhan dengan karakter makhluk ciptaan-Nya. Jelas, Allah tidak memiliki kesamaan dalam Dzat, Sifat dan Perbuatan-Nya.34 Namun yang dimaksud di sini adalah kesan yang dipahami dari beberapa ayat yang dikaji yang mengisyaratkan bahwa manusia juga memiliki keseimbangan sifat/karakter maskulin (jalâl/yang) dan sifat feminin (jamâl/yin) dalam dirinya. Hal ini sebagaimana kesan yang dipahami oleh para ahli seperti Ibnu ‘Arabi, Kasyani, Sachiko Murta, Annemarie Schimmel, dan Suhrawardi Saikh al-Isyraqi yang diteliti Imam Kanafi dalam Disertasinya, ketika menangkap adanya isyarat keseimbangan karakter feminin dan maskulin tersebut dalam makrokosmos. Pemahaman dari para tokoh ini selanjutnya penulis kembangkan, sesuai dengan isyarat yang penulis temukan dalam al-Qur’an mengenai keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam individu manusia. Identifikasi karakter feminin dan maskulin bagi manusia dalam perspektif al-Qur’an pernah dilakukan oleh Sachiko Murata dengan menyatakan: karakter maskulin memiliki ciri has yang aktif dan melimpahkan, sedangkan karakter feminin memiliki ciri has pasif, menerima dan berserah diri. Di dalam al-Qur’an, menurut Murata kedua karakter ini ada dalam setiap individu manusia. Selanjutnya Murata menjelaskan, hirarki vertikal dalam diri manusia adalah raga, jiwa (nafs) dan ruh. Ruh adalah cahaya keilahian yang harus diraih oleh setiap manusia. Murata menyatakan, jiwa yang “meyerahkan” dirinya pada yang “lebih rendah” (materi, dunia, sifatsifat negatif dan sebagainya) adalah sifat “feminin yang negatif” (sifat yang menerima dan menyerah tidak mampu melawan yang rendah). Sedangkan jiwa yang “menyerahkan” dirinya pada yang “lebih tinggi”, yaitu akal, ruh dan Tuhan adalah “sifat feminin positif” (menyerah hanya pada yang lebih tinggi). Sebaliknya, jiwa yang “berkuasa”, mendominasi, meninggikan diri, mempertuhankan diri, adalah sifat “maskulin negatif”. Sementara jiwa yang ingin “mengalahkan nafsu amarah” dan ingin naik mencapai nafsu mutmainnah yang damai bersama Tuhan adalah sifat “maskulin positif”.
34
Dalam Islam, memahami makna tentang sifat-sifat Allah dari asmâ‘ al-husnâ, bukan untuk menyamakan antara sifat Allah dan sifat manusia. Akan tetapi, sebagai bentuk upaya meneladani dan mendekati (taqârub) kepada sifat-sifat Allah, agar dapat diaktualisasikan ke dalam kepribadian manusia. sebagaimana penjelasan yang penulis kutip dari Muhammad Quraish Shihab, tentang sifat al-Rahmân dan al-Rahîm Allah. Al-Rahmân adalah sifat Allah yang mencurahkan rahmat yang bersifat sementara di dunia ini, sedangkan al-Rahîm adalah rahmat-Nya yang bersifat kekal. Rahmat-Nya di dunia yang sementara ini meliputi seluruh makhluk, tanpa kecuali dan tanpa membedakan antara mukmin dan kafir. Sedangkan rahmat yang kekal adalah rahmat-Nya di akhirat, tempat kehidupan yang kekal yang hanya akan dinikmati oleh makhlukmakhluk yang mengabdi kepada-Nya). Kedua kata tersebut (al-Rahmân dan al-Rahîm) berakar dari kata “rahim” yang juga telah masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, dalam arti “peranakan”. Apabila disebut kata “rahim”, maka yang dapat terlintas di benak adalah “ibu dan anak” dan ketika itu juga dapat kita bayangkan betapa besar cucuran kasih sayang yang diberikan seorang ibu kepada anaknya. Tetapi jangan disimpulkan bahwa sifat rahmat Tuhan sepadan dengan sifat rahmat ibu, betapapun besarnya kasih sayang ibu, karena jelas Allah tidak memiliki persamaan dalam dzat, sifat dan perbuatan-Nya dengan makhluk-Nya. Lihat: Muhammad Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbâh, Vol. I, 21-23.
11
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
001 Kesetaraan Jender (Nurarfiah).pmd
11
27/03/2012, 23:33
Wacana Utama
Jiwa yang tenang dan damai bersama Tuhan ini adalah jiwa kesatria yang telah melebur dengan Ruh/Akal. Manusia ini telah menjadi ruh aktif (maskulin positif) yang dapat mengontrol dan menguasai jiwa dan raga agar selaras dengan cahaya Ruh dan Akal.35 Dari penjelasan Murata di atas dapat dipahami bahwa, bagi jiwa (nafs), baik buruk nilainya tergantung pada pilihan sisi/nilai positif atau negatif dari karakter maskulin dan feminin yang dipilih manusia untuk merepresentasikan jiwa atau karakternya. Jiwa yang mengalah pada yang lebih rendah/nafsu, maka dikategorikan sebagai feminin negatif. Sedang jiwa yang mengalah pada yang lebih tinggi/akal dan ruh, maka dikategorikan dalam feminin positif. Sebaliknya, jiwa yang dominatif dan menuhankan diri, dikategorikan dalam maskulin negatif. Sedang jiwa yang mengalahkan nafsu ammârah/ammârah bi al-sû’, dikategorikan pada maskulin positif. Untuk lebih mengklarifikasi isyarat identitas karakter feminin dan maskulin dalam alQur’an yang telah ditemukan, telah dispesifikasikan pembagian karakter maskulin dan feminin dalam Disertasi penulis. Hemat penulis, karakter maskulin bagi manusia adalah karakter yang berhubungan dengan sifat kemuliaan (jalâliyah). Oleh sebab itu, ciri has karakter maskulin adalah karakter yang berhubungan dengan karakter yang aktif, independen, obyektif, responsif, progresif dan visioner masuk dalam kategori karakter maskulin. Sedang karakter feminin, adalah karakter berhubungan dengan keindahan (jamâliah). Oleh sebab itu, karakter yang berhubungan dengan perasaan kasih sayang, menyenangkan, memberi, submisif, keteraturan, kreatifitas dan instrumental masuk dalam kategori karakter feminin.36 Selanjutnya, dalam analisa penulis mengenai isyarat ekualitas antara karakter feminin dan maskulin yang memiliki nilai/sisi positif dan negatif dalam individu seseorang dalam al-Qur’an, secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
35
36
Lihat: Sachiko Murata, The Tao of Islam, A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought, Albaniy, N. Y. State: University of New York Press, 1992. Lihat juga: Ratna Megawangi, dalam kata pengantar buku karangan Sachiko Murata, The Tao of Islam, Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam (Bandung: Mizan, 1996), 10. Dalam proses kehidupan segala makhluk di alam raya, setiap orang tahu, bahwa hanya dengan penyatuan kedua prinsip inilah kehidupan dapat terus ada. Kehidupan tidak mungkin ada tanpa systole dan diastole detak jantung, tanpa menghirup dan menghembuskan, atau kerja listrik tanpa adanya dua kutub, dan seterusnya. Disarikan dari: Annemarie Schimmel, dalam kata pengantar buku karangan Sachiko Murata, The Tao of Islam, vii-viii.
12
001 Kesetaraan Jender (Nurarfiah).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
12
27/03/2012, 23:33
Perspektif Al-Qur’an Seputar Kesetaraan Gender dalam Konservasi Lingkungan
Gambar II Tabel Klasifikasi Keseimbangan Karakter Feminin dan Maskulin dalam setiap Individu Manusia dalam Perspektif al-Qur’an
37
13
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
001 Kesetaraan Jender (Nurarfiah).pmd
13
27/03/2012, 23:33
Wacana Utama
Dari tabel di atas dapat dipahami bahwa, dapat diketahui beberapa isyarat ayat al-Qur’an yang mendeskripsikan tentang berbagai macam karakter yang umum dimiliki manusia, tanpa memisahkan apakah mereka berjenis kelamin laki-laki atau perempuan.
37
Dalam ayat ini, sosok pemimpin di dalam al-Qur’an dijelaskan bukan hanya dari kalangan laki-laki, akan tetapi juga dari kalangan perempuan, seperti ratu Balqis seorang pemimpin di sebuah negeri bernama Saba’. Selain itu, juga banyak sekali sosok wanita yang diisyaratkan al-Qur’an dan hadis yang memiliki berbagai macam keistimewaan, seperti Ibu Nabi Musa, Siti Aisyah. Mariah Qibtiyyah dan lain-lain. Lihat: Muhammad Bakr Isma’il, Mu‘minât Lahunn ‘inda Allâh Sya’nun (Kairo: Dar al-Manar, 1422 H/2001 M), cet. I.
14
001 Kesetaraan Jender (Nurarfiah).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
14
27/03/2012, 23:33
Perspektif Al-Qur’an Seputar Kesetaraan Gender dalam Konservasi Lingkungan
Dari beberapa contoh karakter feminin dan maskulin dalam diri manusia di atas, dapat diketahui bahwa al-Qur’an mengisyaratkan kepada manusia akan adanya keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam diri manusia, yang memiliki nilai/sisi positif dan negatif. Dari redaksi umum yang digunakan al-Qur’an dapat dipahami bahwa, al-Qur’an memberikan keluasan berfikir bagi manusia untuk menentukan karakter feminin dan maskulin yang memiliki nilai/sisi positif atau negatif untuk merepresentasikan kepribadiannya. Bagi individu yang menginginkan menjadi sosok manusia yang sempurna, al-Qur’an memberikan petunjuk untuk menyeimbangkan antara karakter feminin dan maskulin, dengan keseimbangan karakter ini manusia bisa dikatakan sebagai sosok individu yang sempurna (sifat kamâliah/insân al-kâmil). Ini dengan catatan bahwa manusia masih harus dengan bijak untuk memilih nilai/sisi yang positif dari kedua karakter feminin dan maskulin tersebut. Dari seluruh perdebatan para ahli mengenai steorotip negatif bagi karakter feminin dan maskulin di atas, hemat penulis kata kunci dari ketimpangan penilaian kualitas karakter bagi laki-laki dan perempuan di atas, terletak pada pemisahan antara potensi intelektual dan emosional bagi manusia. Bagi yang membedakan potensi intelektual sebagai ciri has dari karakter maskulin yang dimiliki laki-laki, maka cara pandang terhadap karakter laki-laki secara total bernilai positif, dan ironis bagi kebalikannya. Dari gambaran di atas, dapat diketahui bahwa al-Qur’an memandang kesatuan potensi intelektual dan emosional dalam diri manusia adalah suatu hal yang nyata, tidak ada perbedaan bagi laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, pada dasarnya Islam tidak mengenal perbedaan karakter berdasarkan jenis kelamin yang dihubungkan dengan potensi intelektual dan emosional yang dimiliki masing-masing individu manusia. Dari pemahaman ini, laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki potensi intelektual dan emosional yang sejajar. Sedang untuk steorotip yang negatif bagi masing-masing jenis, hal ini disebabkan karena manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan hal negatif, selain hal positif. Dominasi dari nilai negatif inilah, yang telah membentuk steorotip negatif bagi laki-laki dan perempuan. Demi menghilangkan ironi yang telah membudaya ini, tak pelak lagi paradigma ini harus direkonstruksi.38 b.
Konservasi Lingkungan Berwawasan Gender dalam al-Qur’an Sebagaimana diungkapkan, isu kerusakan ekologi dan hubungannya dengan ketimpangan gender yang di alami perempuan dalam 4 dekade ini,39 menyebabkan potensi intelektual laki-
38
39
Lihat penafsiran tentang beberapa contoh dari karakter feminin dan maskulin yang sama-sama memiliki nilai positif dan negatif dalam: Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawasan Gender, 134-168. Lihat juga: Nur Arfiyah Febriani, Perspektif al-Qur’an tentang Keseimbangan Karakter Feminin dan Maskulin dalam Diri Manusia, Jurnal Studi Gender Yin Yang, vol 6, no. 1, Januari-Juni, 2011, 37-57. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Chris J. Cuamo, yang menyatakan bahwa: “Feminist writers and activists began explicitly articulating abstract analyses and practical politics that paid close attention to the similarities and connection between patriarchal mistreatment of woman and the mistreatment of nature in the 1970.” Lihat: Chris J. Cuamo, Feminism and Ecological Communities an Ethic of Flourishing (New York: Rotledge, 1998), 23.
15
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
001 Kesetaraan Jender (Nurarfiah).pmd
15
27/03/2012, 23:33
Wacana Utama
laki yang membuat mereka dinilai bersikap ambisius dan otoriter, sering dituduh sebagai biang keladi rusaknya tatanan alami alam. Perempuanpun merasa lebih potensial dalam menyembuhkan gejala penyakit yang dialami bumi.40 Dari berbagai perbenturan pemikiran di atas, bermunculan diskursus seputar ekologi dan kaitannya dengan cabang ilmu yang lain, para ahli berusaha mencari solusi kerusakan alam berdasarkan keahlian masing-masing. Menariknya, dari sekian aktifis gender muncul aliran baru bernama ekofeminis. Aliran ini lahir dari keprihatinan mereka terhadap isu kerusakan lingkungan yang memiliki korelasi dengan perlakuan dikriminatif yang dialami kaum perempuan. Aliran ekofeminis ini terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu: ekofeminis radikal,41 liberal42 dan sosial.43 Linda Vance44 dan Agarwal Bina45 menyatakan, kesatuan pemikiran para tokoh ekofeminis dari berbagai aliran tersebut terletak pada kesamaan pendapat bahwa dominasi budaya patriarki laki-laki atas perempuan yang pararel dengan dominasi patriarki laki-laki terhadap alam. Baik
40 41
42
43
Lihat: Jean Shinoda Bolen, Crossing To Avalon. Ciri has dari gerakan ekofeminis radikal adalah mengkritik dan menolak segala bentuk dominasi laki-laki atas perempuan dalam berbagai bidang. Bagi ekofeminis radikal, budaya patriarki harus dihapuskan karena budaya inilah yang menjadi penyebab utama keterbatasan bagi perempuan, meskipun ada upaya pemerintah dalam membuat kebijakan pemberdayaan perempuan, sebagai upaya improvisasi posisi perempuan dalam berbagai lini dalam kehidupannya. Lihat: Betty Plewes dan Ricky Stuart, Women and Development Revisited: The Case for a Gender and Development Approach (Toronto: Between The Lines, 1991), 107-132. Starhawk seorang tokoh ekofeminis radikal mengungkapkan, aliansi perempuan dengan alam dikarenakan perempuan memiliki kapabilitas reproduksi, kualitas emosi, dan aktifitas yang berhubungan dengan pemeliharaan, predikat ini nyaris mengisolasi perempuan untuk hanya beraktifitas pada bidang yang berkaitan dengan tiga hal tersebut. Lihat: Starhawk, Truth or Dare (New York: Harper and Row, 1987), 1. Tokoh ekofeminis radikal lainnya seperti Ynesta King menganggap steorotipe perempuan yang selalu dalam dominasi laki-laki, menyatakan adanya “dual subordinasi” antara perempuan dan alam sebagai korban dari budaya patriarki. Lakilaki sering menjadikan alibi reproduksi perempuan menjadi keterbatasannya dalam mengembangkan potensi diri, oleh sebab itu laki-laki juga merendahkan eksistensi bumi dan senang membahayakan kelangsungan hidup manusia dan berbagai spesies di muka bumi dengan sikap dominasinya. Lihat: Melody Hessing, Woman and Sustainbility: Ecofeminist Perspectives, Alternatives, Waterloo: Aug 1993. Vol. 19, Iss. 4; 3. Ekofeminis liberal mencoba membangkitkan semangat kaum perempuan untuk meningkatkan kualitasnya melalui pendidikan agar dapat menunjang eksistensi sosialnya, yang pada akhirnya akan membawa kesamaan akses bagi lakilaki dan perempuan dalam struktur ekonomi dan politik. Hal ini tentu saja dengan tetap responsibel terhadap tugas kerumahtanggaan, agar terpelihara antara keadilan sosial dan pribadi. Lihat: Melody Hessing, Woman and Sustainbility: Ecofeminist Perspectives, Alternatives, Waterloo: Aug 1993. Vol. 19, Iss. 4; 9. Sementara ekofeminis sosial yang diilhami oleh Marxisme dengan budaya kapitalisnya, menganggap subordinasi perempuan tidak hanya disebabkan devaluasi dari laki-laki, akan tetapi sebagai tujuan dari upaya pemeliharaan stabilitas, dan rendahnya upah bagi tenaga kerja perempuan sekaligus sebagai pemelihara rumah. Ekofeminis sosial menyadari, mayoritas inisiatif kebijakan politik untuk terus melanjutkan menyerahkan kepercayaan ini kepada perempuan sebagai sosok pribadi yang ramah agar sistem kapitalis dapat terus berjalan. Oleh sebab itu ekofeminis sosial berkonsentrasi pada korelasi antar kemiskinan kaum perempuan dan peningkatan polarisasi global. Mereka menghubungkan antara ekspansi dan peningkatan mobilitas perusahaan multinasional dengan terkikisnya antara hak asasi manusia dan kualitas lingkungan. Lihat: Melody Hessing, Woman and Sustainbility: Ecofeminist Perspectives, Alternatives, Waterloo: Aug 1993. Vol. 19, Iss. 4; 11. Lihat karakteristik perjuangan para tokoh feminis dari ketiga aliran ini dalam: Agarwal Bina, The Gender and Environment Debate: Lesson from India, Feminist Studies. College Park: Spring: 1992. Vol. 18, Iss. I.
16
001 Kesetaraan Jender (Nurarfiah).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
16
27/03/2012, 23:33
Perspektif Al-Qur’an Seputar Kesetaraan Gender dalam Konservasi Lingkungan
perempuan dan alam telah dikontrol dan dimanipulasi untuk memenuhi hasrat laki-laki. Menurut Ynestra King dan Carolyn Merchant,46 argumen ini disebabkan karena anggapan bahwa perempuan secara ideologi dikonstruksikan lebih dekat dengan alam karena faktor biologis mereka.47 Dari seluruh perdebatan di atas, penulis menyimpulkan hubungan antara dominasi perempuan dan alam didasari dari ideologi, yang menjadi akar dari sebuah sistem, nilai dan kepercayaan, yang menempatkan perempuan dan makhluk selain manusia secara hirarki dibawah laki-laki. Ini mengundang laki-laki dan perempuan untuk merekonseptualisasikan diri mereka, dan hubungan mereka kepada sesama manusia dan kepada selain manusia (alam), dalam cara yang non-hirarki.48 Oleh sebab itu, sebagai akar dari permasalahan kesalahpahaman manusia terhadap teks keagamaan yang berimbas pada pola interaksi manusia terhadap sesamanya bahkan terhadap alam, perlu dilakukan rekonstruksi pemahaman seputar anggapan tersebut. Kedua steorotip bagi perempuan dan laki-laki di atas adalah tuduhan yang harus dibaca dan dianalisa dengan lebih cermat. Dalam al-Qur’an, motifasi al-Qur’an kepada umat Islam baik laki-laki dan perempuan untuk hidup harmonis, sekaligus menjadi pribadi yang aktif dan progresif, dapat dilacak di antaranya pada Q.S. al-Zalzalah [99]: 7-8, al-Nisâ‘ [4]: 124, al-An’âm [6]: 132, Yûnus [10]: 9, al-Fushshilat [41]: 46, al-Kahfi [18]: 1-2, al-Ahzâb [33]: 47, al-Jâtsiyah [45]: 15, Fâthir [35]: 10, Âl ‘Imrân [3]: 30, al-Zumar [39]: 70, al-Thûr [52]: 21, Thâhâ [20]: 112, al-Anbiyâ‘ [21]: 94, al-Isrâ‘ [17]: 19, al-Kahf [18]: 30, dan al-Mu‘min [40]: 40. Keduanya dideskripsikan sebagai pribadi yang masingmasing memiliki kualitas/karakter feminin dan maskulin dalam dirinya. Dengan keseimbangan karakter dan berbagai potensi yang sama-sama dimiliki laki-laki dan perempuan, keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk meraih prestasi, kesuksesan di dunia dan akhirat.
44 45 46
47
48
Linda Vance, Ecofeminism and Wilderness, NWSA Journal. Bloomington: Fall 1997. Vol. 9, Iss. 3; 1. Lihat juga: Karen J. Warren, Ecological Feminism (New York: Routledge, 1994). Agarwal Bina, The Gender and Environment Debate: Lesson from India, Feminist Studies. College Park: Spring: 1992. Vol. 18, Iss. I, 2. Carolyn Merchant’s, dalam bukunya yang berjudul “The Death of Nature”, yang dipublikasikan pada 1980, menjelaskan tentang efek dari revolusi saintifik mengenai konsep perempuan dan alam. Penelitiannya menyajikan argumen secara historis dan saintifik untuk membenarkan kecenderungan para feminis untuk memiliki pemahaman terhadap solidaritas dengan dunia selain manusia (alam raya), dan terhadap teori yang menganalisa tekanan yang dihadapai oleh kaum perempuan sebagai bagian yang terbesar dari skema dominasi, penganiayaan dan eksploitasi bagi perempuan. Lihat: Chris J. Cuamo, Feminism and Ecological Communities an Ethic of Flourishing, (New York: Rotledge, 1998), 24. Lihat juga: Mary Daly, Gyn/Ecology: The Metaethics of Radical Feminism, (Boston: Beacon Press, 1978), 21. Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Fransisco: Harper and Row, 1980), 144. Lihat juga: Susan Griffin, Woman and Nature: The Roaring within Her (New York: Harper and Row, 1978). Lebih ironis lagi, menurut Vandana Shiva kekerasan dan penganiayaan terhadap perempuan bukan hanya secara ideologi akan tetapi secara materi. Lihat: Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology and Survival (London: Zed Books, 1988), 39. Hal ini senada dengan pendapat Agarwal Bina dalam tulisannya yang berjudul: The Gender and Environment Debate: Lesson from India, Feminist Studies. College Park: Spring: 1992. Vol. 18, Iss. I, 2.
17
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
001 Kesetaraan Jender (Nurarfiah).pmd
17
27/03/2012, 23:33
Wacana Utama
Pada pembahasan sebelumnya dinyatakan, al-Qur’an tidak memisahkan kualitas feminin dan maskulin dalam diri manusia. Pemisahan karakter kualitas feminin yang khusus bagi perempuan dan karakter maskulin yang hanya bagi laki-laki-lah, yang menurut penulis menjadi dasar pertikaian, mengenai siapa makhluk yang lebih unggul antara laki-laki dan perempuan. Salah satu ayat yang sangat menarik untuk dapat merekonstruksi ideologi masyarakat di atas tentang steorotip negatif bagi perempuan dan laki-laki adalah firman Allah: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Âli ‘Imrân [3]: 104). Menurut Rasyid Ridha, ayat di atas menjelaskan tentang, ajaran Allah kepada umat Islam, agar kembali menyatukan visi dan misi meski dalam keadaan berbeda pendapat. Allah melarang umat Islam untuk bercerai berai setelah Allah memerintahkan umat Islam untuk bersatu. Ayat ini mengajarkan kepada umat Islam untuk senantiasa melaksanakan amar ma’rûf nahî munkar, sebagai formula pemelihara kehidupan masyarakat yang harmonis dalam kesatuan dan persatuan.49 Dalam ayat ini, umat Islam baik laki-laki dan perempuan dimotifasi menjadi umat yang senantiasa mengajak kepada kebaikan dan melarang perbuatan yang munkar. Umat dengan kriteria ini, mencerminkan umat yang memiliki karakter visioner, progresif, konsisten,50 empatik, koperatif dan egaliter.51 Karakter yang mencerminkan keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam setiap individu manusia. Redaksi yang mengungkapkan tentang anjuran kepada kebaikan dan mencegah perbuatan yang munkar dalam bentuk umum, memiliki arti universal. Dalam ayat ini tidak diperinci, jenis amar ma’rûf nahî munkar, artinya segala anjuran untuk berbuat baik dan mencegah perbuatan yang mengakibatkan kemunkaran, harus dilakukan secara obyektif52 dan adil53 jika ingin menjadi umat yang terbaik.54 Jika ajaran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad ini dapat diimplementasikan dengan baik, akan membawa umatnya menjadi umat yang terdepan dan terbaik. Ini dengan catatan, bahwa ajaran Nabi yang agung tersebut harus dilaksanakan dalam rangka kerjasama
49
50 51 52 53 54
Muhammad Rashid Rida, Tafsîr al-Manâr (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999 M/1420 H), juz. IV, 22. Lihat juga penafsiran senada dalam: Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj (Damaskus: Dar al-Fikr, 1418 H/1998 M), juz. III-IV, 32. Visioner, progresif, dan konsisten adalah ciri karakter maskulin positif. Empatik, koperatif dan egaliter merupakan representasi dari karakter feminin positif. Karakter ini masuk dalam karakter maskulin positif. Karakter ini masuk dalam karakter maskulin positif. Dalam kaidah tafsir juga diungkapkan, Al-Qur’an menganjurkan sifat adil, sederhana dan seimbang, dan mencela sifat lalai, berlebihan dan melampaui batas. Al-Qur’an memerintahkan memberikan hak kepada pemiliknya, dan kepada segala sesuatu. Hak hendaknya ditunaikan dengan cara yang benar dan baik, sebab ia merupakan bagian dari hak Allah SWT juga. Lihat: Shaikh ‘Abd al-Rahman Nasir al-Sa’d, al-Qawâ’id al-Hisân li Tafsîr al-Qur`ân (Riyad: Maktabah al-Ma‘arif, 1400 H/1980 M), 87-89.
18
001 Kesetaraan Jender (Nurarfiah).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
18
27/03/2012, 23:33
Perspektif Al-Qur’an Seputar Kesetaraan Gender dalam Konservasi Lingkungan
dan keterpaduan/kesatuan di antara umatnya. Hal ini karena semboyan saling melaksanakan amar ma’rûf nahî munkar di antara umat Islam, tidak akan dapat berjalan dan mencapai kesuksesan tanpa kesatuan dan kebersamaan di antara mereka. 55 Sebagaimana Nabi mendeskripsikan hal ini dalam hadisnya yang berbunyi:
Selain itu, Allah juga mengisyaratkan tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam berbuat amal yang terbaik demi menunjang kehidupannya di baik di dunia bahkan sampai di akhirat. Firman Allah: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman. Maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. al-Nahl [16]: 97). Motifasi untuk seorang mukmin kepada baik laki-laki dan perempuan untuk secara kontinu berusaha melakukan usaha terbaik dalam hubungan vertikal dan horizontalnya, sangat ditekankan dalam ayat ini. Hubungan harmonis secara vertikal dengan Allah akan menambah rasa iman dan ketenangan dalam kehidupannya, sedang hubungan secara horizontalnya kepada sesama manusia dan sesama makhluk Allah lainnya, akan menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera bagi manusia dan alam lingkungannya. Dalam konteks kehidupan sosial, menurut Nasarudin Umar ayat di atas mengisyaratkan konsep kesetaraan jender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karier profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal. Meskipun kenyataan dalam masyarakat konsep ideal ini masih membutuhkan proses dan sosialisai.57 Menurut Muhammad Quraish Shihab, ayat ini merupakan salah satu ayat yang menekankan persamaan antara pria dan wanita. Sebenarnya kata man/siapa pada awal ayat ini sudah dapat menunjuk kepada kedua jenis kelamin –lelaki dan perempuan- tetapi guna penekanan dimaksud, sengaja ayat ini menyebut secara tegas kalimat –baik laki-laki maupun perempuan. Ayat ini
55
56 57
Lihat: Abi al-Qasim ‘Abd al-Karim Ibn Hawazin Ibn Abi Malik al-Qusyairi al-Naisaburi al-Syfi’i, Tafsîr al-Qusyairî alMusammâ Lathâ`if al-Isyârât (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1420 H/2000 M), juz. I, 165-167. Ma’rûf adalah: segala perbuatan yang mendekatkan manusia kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan manusia dari pada-Nya. H.R. Bukhari, Bab: al-Shalâh, Bab: Tasybîk al-Ashâbi’ fî al-Masjid, hadis no. 459. Lihat: Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, 265.
19
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
001 Kesetaraan Jender (Nurarfiah).pmd
19
27/03/2012, 23:33
Wacana Utama
juga menunjukkan betapa kaum perempuan juga dituntut agar terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, baik untuk diri dan keluarganya, maupun untuk masyarakat dan bangsanya, bahkan kemanusiaan seluruhnya.58 Selain ayat di atas, Nabi juga bersabda tentang stimulus manusia baik laki-laki dan perempuan untuk mengajak kepada kebaikan, dan melarang mengajak orang pada jalan yang tidak dibenarkan dalam syari’at agama Islam. Hal ini sebagaimana sabda nabi dalam sebuah hadis yang diriwayatkan:
Salah satu contoh perbuatan baik yang diajarkan nabi adalah, menghormati alam dengan interaksi yang harmonis dan tidak merusak tatanan alami alam, bahkan dalam suasana perang sekalipun. Dari beberapa ayat dan hadis di atas dapat dipahami bahwa, Allah dan Rasulnya menegaskan, baik laki-laki dan perempuan yang konsisten dalam melaksanakan ajaran amar ma’rûf nahî munkar dan senantiasa bernaung dalam kesatuan umat Islam yang kokoh, akan mendapatkan balasan dan hasil sesuai dengan apa yang dilakukannya, tanpa dikurangi ganjarannya bahkan hanya untuk perbuatan semisal atompun sebagai partikel yang dianggap terkecil di dunia saat ini. Dalam karakter muslim yang dapat mengajak amar ma’rûf nahî munkar seperti beberapa ayat dan hadis yang diungkap di atas, dapat diketahui Nabi ingin umatnya memiliki sifat obyektif, komunikatif, aktif, ekspresif, visioner, progresif, independen,60 empati, egaliter, mau menerima saran, koperatif, dan yang terpenting adalah ikhlas terhadap apa yang dikerjakan. 61 Ciri has dari karakter feminin dan maskulin yang memiliki nilai/sisi positif di atas, suatu hal niscaya yang harus dimiliki oleh setiap manusia, jika manusia mendambakan adanya
58
59 60 61
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 7, 343. Lihat juga penjelasan tentang isim isyarat yang digunakan sebagai sighat yang menunjukkan makna umum, salah satunya yaitu lafaz “man” yang ada pada ayat di atas, dalam: Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân (t.tp: Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, 1973), cet. III, 315. H.R. Muslim, Kitab: al-‘Ilm, Bab: Man Sanna Sunnah Hasanah aw Sayyi’ah wa Man Da’â ilâ al-Hudâ, no. 3831. Obyektif, komunikatif, aktif, ekspresif, visioner, progresif, dan independen adalah ciri karakter maskulin yang positif. Empati, egaliter, mau menerima saran, kopertif dan ikhlas, adalah ciri karakter feminin positif. Lihat kembali deskripsi keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam setiap individu manusia.
20
001 Kesetaraan Jender (Nurarfiah).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
20
27/03/2012, 23:33
Perspektif Al-Qur’an Seputar Kesetaraan Gender dalam Konservasi Lingkungan
keseimbangan karakter dalam dirinya. Dari keseimbangan karakter ini, akan menimbulkan keharmonisan dalam diri sendiri, interaksinya dengan Tuhan, interaksi sosial dengan sesama manusia dan juga alam raya. Keharmonisan hubungan vertikal dan horizontal yang digambarkan al-Qur’an dan hadis di atas, akan melahirkan kesuksesan bagi manusia secara pribadi dan akan meraih kesuksesan bersama dengan masyarakat sekitarnya.
C. Kesimpulan Dari analisa terhadap beberapa ayat al-Qur’an dan hadis di atas dapat dipahami dan ditekankan bahwa, pemahaman tentang keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam diri manusia dalam perspektif al-Qur’an ini, akan dapat merubah secara fundamental steorotip negatif bagi masing-masing jenis kelamin yang menjadi salah satu akar permasalahan ketimpangan gender. Karena sebagaimana dijelaskan bahwa, steorotip negatif bagi laki-laki dan perempuan digambarkan sebagai sisi negatif yang dimiliki masing-masing karakter feminin dan maskulin, yang sebenarnya ada dalam tiap diri manusia. Oleh sebab itu, al-Qur’an mempersilahkan kecerdasan manusia untuk dapat memilih sisi/nilai yang positif dari karakter maskulin dan feminin yang akan dapat merepresentasikan karakter/kepribadiannya. Selanjutnya, butuh kerjasama seluruh umat manusia, tanpa harus memandang perbedaan jenis kelamin laki-laki atau perempuan dalam usaha kerjasama meraih kesuksesan dalam bidang apapun, termasuk dalam konservasi alam. Apa yang dapat dilakukan, maka harus kerjakan, bukan menambah masalah dengan saling menyalahkan atau bahkan berpangku tangan. Hal ini sesuai dengan kaidah penafsiran yang berbunyi, al-Qur’an menuntun kaum muslim untuk menegakkan seluruh kemaslahatan mereka, dan jika kemaslahatan tidak dapat dicapai dengan melibatkan semua pihak, maka hendaknya dikerjakan oleh orang yang sanggup dan hendaknya orang tersebut meluangkan waktunya agar kemaslahatan dapat tegak dan pandangan mereka menyatu. Seandainya semua umat Islam sepakat untuk menempuh jalan ini, niscaya keadaan mereka menjadi lurus, semua urusan menjadi baik dan akan terwujud kebahagian bagi semua pihak.62
Daftar Pustaka Argyle, Benjamin Beit-Hallami dan Michael, The Psychology of Religious Behavior Belief and Experience (London: Routledge, 1997), cet. I. Bernard, J, “The Rosenzweig Picture Prustation-Study: I. Norms, Reliability and Statistical Evaluation”, Journal of Psychology, 28 (1949).
62
Syaikh ‘Abd al-Rahman Nasir al-Sa’d, al-Qawâ’id al-Hisân li Tafsîr al-Qur’ân, 170-171.
21
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
001 Kesetaraan Jender (Nurarfiah).pmd
21
27/03/2012, 23:33
Wacana Utama
Bina, Agarwal, The Gender and Environment Debate: Lesson from India, Feminist Studies. College Park: Spring: 1992. Vol. 18, Iss. I. Bolen, Jean Shinoda, Crossing to Avalon, A Woman’s Midlife Quest for the Sacred Feminine, San Fransisco: Harper Collins, 2004, cet. X. CD Room, Mausû‘ah al-Hadîts al-Syarîf, edisi kedua. Cuamo, Chris J., Feminism and Ecological Communities an Ethic of Flourishing, New York: Rotledge, 1998. D. G., Rees “Denominational Concepts of God” (MA Tesis di Universitas Liverpool, 1967). D., Wright dan Cox, E., “A Study of the Relationship Between Moral Judgement and Religious Belief in a Sample of English Adolescent,” The Journal of Social Psychology 72 (1967). Daly, Mary, Gyn/Ecology: The Metaethics of Radical Feminism, Boston: Beacon Press, 1978. Dechoncy, “God and Parental Images: The Masculine and Feminine in the Religion Free Association,” (1968) dalam: A. Godin (ed.) From Cry to Word. Brussels: LumenVitae. Eagly, A. H., “The Science and Politics of Comparing Woman and Man,” American Psychologist, 50 (1995). Febriani, Nur Arfiyah, “Hubungan antara Dzikir Allah dengan Kesehatan Fisik dan Kesehatan Mental”, Tesis Di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. —————, Ekologi Berwawasan Gender dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta: YPM, 2011. —————, Perspektif al-Qur’an tentang Keseimbangan Karakter Feminin dan Maskulin dalam Diri Manusia, Jurnal Studi Gender Yin Yang, vol 6, no. 1, Januari-Juni, 2011. Fischer, Eileen & Stephen J Arnold, Sex, Gender Identity, Gender Role Attitudes, and Consumer Behavior, Psychology & Marketing (1986-1998); Mar/Apr 1994; 11, 2; ABI/ INFORM Research. Frager, Robert, Heart, Self and Soul: The Sufi Spychology of Growth, Balance and Harmony, dalam edisi terjemahan oleh: Hasmiyah Ro’uf, Hati, Diri dan Jiwa Psikologi Sufi untuk Transformasi (Jakarta: Serambi, 2002), cet. III. Garai dan Scheinfield, “Sex Differences in Mental and Behavioral Traits,” Genetic Psychology Monographs, 77 (1968). al-Ghazali, Hujjat al-Islam Abu Hamid, Syarah Asmâ‘ Allah al-Husnâ, dalam edisi terjemahan oleh: ‘Abdullah Zaky al-Kaaf, Asmaaul Husna Perspektif al-Ghazali (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002), cet. I. —————, Ihyâ‘ ‘Ulûm al-Dîn, Cairo: Maktabah al-Imam li al-Nusyur wa al-Tauzi’, 1417 H/ 1996 M, cet. I. Griffin, Susan, Woman and Nature: The Roaring within Her, New York: Harper and Row, 1978. Hessing, Melody, Woman and Sustainbility: Ecofeminist Perspectives, Alternatives, Waterloo: Aug 1993. Vol. 19, Iss. 4. Isma’il, Muhammad Bakr, Mu‘minât Lahunn ‘inda Allâh Sya’nun, Kairo: Dar al-Manar, 1422 H/2001 M, cet. I. Lips, Hilary M., Sex and Gender an: Introduction, California: Mayfield Publishing Company, 1993.
22
001 Kesetaraan Jender (Nurarfiah).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
22
27/03/2012, 23:33
Perspektif Al-Qur’an Seputar Kesetaraan Gender dalam Konservasi Lingkungan
McGrath, E., et al., “Women and Depression: Risk Factors and Treatment Issues,” American Psychological Association (1990). Mcguinnes, “Gender Differences in Cognitive Style: Implication for Mathematics Performance and Achievement,” dalam LA Penner (ed.), “The Challenge of Mathematics and Science Education: Psychology Response. Washington, DC. American Psychological Association (1993). McKibben, Bill, The End of Nature, New York: Random House, 1989, cet, II. Megawangi, Ratna, dalam kata pengantar buku karangan Sachiko Murata, The Tao of Islam, Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, Bandung: Mizan, 1996. Merchant, Carolyn, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution, San Fransisco: Harper and Row, 1980. Miller, Toward a New Psychology of Women, Boston, MA: Beacon, 1986. Murata, Sachiko, The Tao of Islam, A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought, Albaniy, N. Y. State: University of New York Press, 1992. Nelsen H. M., et al. Gender Differences in Images of God, Journal for the Scientific Study of Religion, no. 24: 1985. Plewes, Betty dan Ricky Stuart, Women and Development Revisited: The Case for a Gender and Development Approach, Toronto: Between The Lines, 1991. al-Qaththan, Manna’ Khalil, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, t.tp: Manshurat al-‘Ashr al-Hadits, 1973. Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsîr al-Manâr, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999 M/1420 H. al-Sa’d, Shaikh ‘Abd al-Rahman Nasir, al-Qawâ‘id al-Hisân li Tafsîr al-Qur’ân, Riyad: Maktabah al-Ma‘arif, 1400 H/1980 M. Schimmel, Annemarie, dalam kata pengantar buku karangan Sachiko Murata, The Tao of Islam, Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, Bandung: Mizan, 1996. Shihab, Muhammad Quraish, Menyingkap Tabir Ilahi Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif alQur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2006, cet. VII. ————-, Tafsîr al-Mishbâh, Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2005),Vol. I. Shiva, Vandana, Staying Alive: Women, Ecology and Survival, London: Zed Books, 1988. Spence, J., & Helmrich, R., Masculinity and Feminity Their Psichological Dimentions Correlates and Antecedent, Austin: Universitas of Texas Press, 1978. Starhawk, Truth or Dare, New York: Harper and Row, 1987. Sudarsono, Menuju Kemapanan Lingkungan Hidup Regional Jawa, Jogyakarta: PPLHRJ, 2007, 129. al-Syafi’i, Abi al-Qasim ‘Abd al-Karim Ibn Hawazin Ibn Abi Malik al-Qusyairi al-Naisaburi, Tafsîr al-Qusyairî al-Musammâ Lathâ`if al-Isyârât, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1420 H/2000 M.
23
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
001 Kesetaraan Jender (Nurarfiah).pmd
23
27/03/2012, 23:33
Wacana Utama
Tamminen, K., “Religious Experiencess in Childhood and Adolescence: A View Point of Religious Development Between the Age of 7-20. International Journal for the Psychology of Religion,” 4 (1994). Tucker, Mary Evelyn dan Jhon A, Grim, Introduction: “The Emerging Alliance World Religions and Ecology,” Daedalus (2001): vol. 130, Iss. 4. Turner, H. A., “Gender and Social Support: Taking the Bad with the Good?,” Sex Roles, 30 (1994), 521-541. Lihat juga: D. Belle, “The Stress of Caring: Womens as Providers of Social Support”, (1982), dalam: L. Goldberger dan S Breznitz (ed.) Handbook of Stress: Theoritical and Clinical Aspect. New York Free: Press. Umar, Ahmad Mukhtar, al-Asmâ‘ al-Husnâ Dirâsah fî al-Binyah wa al-Dilâlah, Mesir: Maktabah al-Usrah, 2000. Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2002, cet. II. Unger, Rhoda K., Female and Male Psychological Perspectives (New York, t.p: 1979). Vance, Linda, Ecofeminism and Wilderness, NWSA Journal. Bloomington: Fall 1997. Vol. 9, Iss. 3; 1. Lihat juga: Karen J. Warren, Ecological Feminism (New York: Routledge, 1994). Weber, Max, The Sociology of Religion, Boston, MA; Beacon Press, 1963. Wright, D., The Psychology of Moral Behaviour, Harmondsworth: Penguin, 1971. Yinger, J. M., The Scientific Study of Religion, London: Collier-Macmillan, 1970. al-Zuhaili, Wahbah, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, Damaskus: Dar al-Fikr, 1418 H/1998 M. http://www.antaranews.com/berita/1288049703/17-tim-kesehatan-mimika-layani-korbanbanjir-wasior. Pada 6 September 2010. http://www.detiknews.com/read/2010/10/25/222347/1474741/10/kerugian-sementarabanjir-wasior-capai-rp-2779-miliar. Pada tanggal 6 September 2010.
24
001 Kesetaraan Jender (Nurarfiah).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
24
27/03/2012, 23:33
Eskatologi dalam Alkitab dan Al-Quran: Sebuah Upaya Reinterpretasi
Eskatologi dalam Alkitab dan Al-Quran: Sebuah Upaya Reinterpretasi Mahful Muis STAI DDI Pangkep, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected] Abstract: Eschatology is a fundamental thing in the faith of Abrahamic religions (Judaism, Christianity, and Islam), even in nearly all religions in this world. Eschatology is also a fundamental doctrine in each of the Abrahamic religions because it regulates all things about the end of human life, as a death, heaven and hell, rewarding and punishment or often called the day of judgement or the final day. It also becomes one of the key themes in every mission of prophets, as written in the Scripture, both in the Bible (Old Testament and New Testament) and the al-Qurân. It is also interesting in the matter of eschatology is nubuat (nubuwwah; prediction; news) about the events that will happened before the coming of the Day of judgement. This problem is consciously chosen authors to be studied and used as material intelligent dialogue in various paradigms of thought that existed before. Effort to reinterpretation and explore the alternative understanding of eschatology which is then writer wants to dialogue to readers. Keywords Eschatology, theology, Bible, al-Qurân, Reinterpretation, Dialogue.
A. Pendahuluan Iman kepada eskatologi adalah hal fundamental dalam iman agama-agama Abrahamik (Yahudi, Kristen dan Islam), bahkan hampir pada semua agama dunia. Tidak heran jika salah satu perdebatan penting dalam teologi adalah soal eskatologi. Salah satu penyebabnya karena Kitab Suci tidak berbicara masalah waktu dalam arti kuantitatif eskatologi (tanggal, hari, bulan
25
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
002 Rethinking Eskatologi (Mahful).pmd
25
27/03/2012, 23:34
Wacana Utama
dan tahun) melainkan dalam arti kualitatif (misalnya penyebutan istilah waktu untuk lahir, waktu untuk menanam, waktu untuk menyembuhkan, waktu untuk meratap, waktu untuk damai, waktu penderitaan; waktu percobaan; waktu pembalasan; waktu penghakiman; waktu kebangkitan dan sebagainya). Hal inilah yang membuat mayoritas penganut agama tidak dapat memahami makna esensisal (spirit) dari eskatologi (akhir zaman; akhir dunia) yang tertera dalam Kitab Suci. Apakah saat Yesus mewartakan soal Injil, yakni kabar baik akan waktu datangnya Kerajaan Allah yang sudah dekat sebagai masa kini (di masa hidupnya) atau masa datang? Johannes Weiss dalam bukunya Jesus’ Proclamation of the Kingdom of God. Weiss berpendapat bahwa bagi Yesus, kerajaan itu merupakan suatu konsep eskatologis dan mesti ditafsirkan dengan latar belakang pengharapan eskatologis Yahudi abad pertama. 1 Begitupun apakah saat Muhammad berbicara soal dekatnya hari qiyâmah adalah dalam makna kekinian (di masa hidupnya) atau masa datang yang entah kapan tibanya? Apakah makna eskatologi dalam Alkitab dan al-Qurân itu bermakna harfiyah (tekstual) ataukah bermakna metaforis (simbolik)? Masalah ini dengan sadar dipilih penulis untuk dikaji dan didialogkan secara cerdas dan santun dalam berbagai paradigma pemikiran yang telah ada sebelumnya. Meskipun dalam pandangan main stream kaum agamis, khususnya umat Muslim, hal ini diyakini sebagai hal ta’abbudiyah yang telah final dan tertutup untuk diperdebatkan secara ilmiah. Kegelisahan intelektual dan spiritual selama ini yang mendorong penulis untuk melakukan penafsiran ulang atas ayat-ayat eskatologi, baik yang terdapat dalam Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru maupun dalam al-Qurân. Hal ini ditujukan agar Kitab Suci yang notabene adalah wahyu Ilahi masih tetap mampu eksist sebagai Kitab Petunjuk yang aplikatif dan rasionil, bukan buku fiksi yang irrasional. Alternatif pemahaman dari masalah eskatologi tersebut yang kemudian ingin didialogkan kepada para pembaca.
B. Pembahasan 1.
Eskatologi dalam Alkitab a. Rumusan Eskatologi Masalah eskatologi dipahami dan diyakini sebagai hal gaib yang akan terjadi di zaman akhir kehidupan manusia di alam semesta. Eskatologi termasuk masalah gaib yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindera dan akal manusia, namun keberadaannya wajib diimani oleh setiap umat beragama, khususnya kaum Muslim. Bahkan keimanan kepadanya sebagai salah satu tanda orang yang bertakwa dan pengingkaran terhadapnya adalah kekufuran. Dari segi waktu terjadinya, eskatologi dipahami terjadi dimulai dari hancurnya alam semesta ini beserta seluruh mahluk yang ada di dalamnya,
1
Orang-orang Yahudi yang hidup sezaman dengan Yesus (Isa) mengimani bahwa proses sejarah sedang mencapai zaman akhir, klimaks dan final. Sesuatu yang dramatis dan perubahan dahsyat akan terjadi. Tuhan orang Israel akan ikut campur dalam urusan manusia untuk menghapus kezaliman dan membereskan segala hal di bumi.
26
002 Rethinking Eskatologi (Mahful).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
26
27/03/2012, 23:34
Eskatologi dalam Alkitab dan Al-Quran: Sebuah Upaya Reinterpretasi
yang sering disebut dengan sebutan kiamat. Tak seorang pun yang tahu kapan terjadinya peristiwa luar biasa itu. Semuanya adalah rahasia Allah Yang Kuasa. Nabi Musa, Yesus Kristus (Isa al-Masih) dan Muhammad Saw. juga tidak mampu menjawab ketika ditanya oleh umatnya soal hari tersebut.2 Istilah Eskatologi berasal dari susunan kata Bahasa Yunani, ó÷áôï ò (eschatos) yang berarti “terakhir” dan logi yang berarti “ilmu”. Jadi, eskatologi adalah suatu ilmu tentang akhir zaman; yaitu bagian dari teologi dan filsafat yang berkaitan dengan peristiwa-perisitwa terakhir dalam sejarah dunia, atau nasib akhir dari seluruh ummat manusia, yang biasanya dirujuk sebagai akhir dunia (kiamat dunia).3 Dalam pengertian yang lebih luas, eskatologi dapat mencakup konsep-konsep terakhir seperti konsep Mesias atau zaman Mesianik (akhir zaman). “Eskatologi” dalam bahasa Yunani berarti “terakhir” atau “final”. Jadi, eskatologi adalah cabang pemikiran teologi yang mengurai tentang perenungan akan peristiwa-peristiwa terakhir di dunia dan sejarah manusia. Semua naskah tentang pengharapan dan dugaan akan “penghabisan dunia” atau eskatologis ini dirangkum dalam “naskah apokaliptik”.4 Menurutnya, Yesus ikut menganut asa-asa eskatologis ini dan sebagai akibatnya, dia memproklamirkan tentang akan datangnya Kerajaan Allah dalam waktu dekat, yaitu suatu zaman keemasan yang akan didirikan Allah bagi orang-orang Yahudi yang bertobat. Pandangan ini diterima di kalangan cendekiawan. Tegasnya, konsep Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus berwatak eskatologis.5 Istilah lain eskatologi dalam bahasa Bahasa Yunani yang juga sering digunakan adalah kata á0þí (aeon); “abad” (konotasi “zaman”), dapat diterjemahkan sebagai “akhir suatu masa (atau periode sejarah)” dan bukan “akhir dunia”. Pembedaan waktu ini juga mempunyai signifikansi teologis; sementara akhir zaman dalam tradisi-tradisi mistis berkaitan dengan kelepasan dari penjara realitas “yang ada”, sebagian agama percaya dan mengkuatirkannya sebagai penghancuran fisik dari planet bumi (atau semua mahluk hidup yang ada) – sementara ummat manusia bertahan dalam suatu bentuk yang baru, sehingga mengakhiri “zaman” keberadaan yang ada sekarang. Misalnya, menurut keyakinan Ibrani kuno, kehidupan berlangsung dalam garis linear (dan bukan siklus); dunia dimulai dengan Allah dan terus-menerus menuju kepada tujuan penciptaan yang telah ditetapkan Allah.
2 3
4
5
Dalam Alqurân, misalnya, dapat dilihat dalam surat al-A’râf (6): 187; Luqmân (31): 34; Al-Ahzâb (33): 63. Dalam Alkitab Perjanjian Baru, Kitab Matius 24: 36 Dalam mistisisme, ungkapan ini merujuk secara metaforis kepada akhir dari realitas biasa dan kesatuan kembali dengan Yang Ilahi, dalam banyak agama tradisional konsep ini diajarkan sebagai kejadian sesungguhnya di masa depan yang dinubuatkan dalam Kitab Suci atau cerita rakyat. Apokaliptik berasal dari bahasa Yunani “apocalypses”, yang merupakan kata pertama dari kitab Wahyu dalam Perjanjian Baru. Literatur apokaliptik penuh dengan simbolisme dan kepercayaan bahwa sejarah dunia sedang mendekati klimaks atau final akhirnya. Kitab Daniel dalam Perjanjian Lama dan Kitab Wahyu dalam Kitab Perjanjian Baru adalah contoh litertatur apokaliptik.. Calyton Sullivan, Selamatkan Yesus dari Orang Kristen! Sebiuah Perlawanan Orang Dalam, terj. M. Hasyim, Jakarta: Serambi, 2002, hal. 24. Rudolf Bultmann, Jesus Christ and Mythology, New York: Charles Scribner’s Sons, 1958, hal. 13
27
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
002 Rethinking Eskatologi (Mahful).pmd
27
27/03/2012, 23:34
Wacana Utama
Akhir zaman atau yawm al-qiyâmah (hari kebangkitan; hari tegaknya Kerajaan Allah) umumnya merujuk kepada naskah-naskah eskatologis, khususnya dalam tiga agama Ibrahimi: Yahudi, Kristen, dan Islam. Umumnya, akhir zaman (atau umumnya dimaknai kiamat) selalu digambarkan sebagai suatu zaman yang diwarnai oleh kesengsaraan hidup yang mendahului kedatangan kembali sang Mesias (Al-Masih) atau Imam Mahdi6 (Pemimpin yang diberi petunjuk) –dalam teologi sunni dan syi’ah— yang telah dinubuatkan. Mesias adalah tokoh yang akan mengantarkan datangnya Kerajaan Allah dan mengakhiri penderitaan dan kejahatan. Meski demikian, gambaran terinci tentang eskatologi tergantung pada iman masing-masing. Sejumlah agama dan tradisi iman memiliki keyakinan tersendiri tentang akhir zaman, yang menghasilkan beraneka sistem keyakinan, tradisi dan perilaku.7 b.
Eskatologi Dalam Iman Yahudi dan Kristen Dalam eskatologi Yahudi, akhir zaman biasanya disebut Akhir hari-hari (aharit hayamim, àçøéú äéîéí), sebuah ungkapan yang beberapa kali muncul dalam Tanakh. Meskipun gagasan tentang bencana mesianik memiliki tempat yang menonjol dalam pemikiran Yahudi, gagasan ini bukanlah suatu proses yang tak dapat berubah yang berdiri sendirian, melainkan ditemukan bersama-sama dengan gagasan tentang penebusan tanpa penderitaan. Kedua gambaran ini kadang-kadang dilihat sebagai dua kemungkinan yang berbeda untuk masa depan Israel. Kaum Yahudi mengimani bahwa eskatologi akan didahului dengan kejadian apokaliptik, yaitu kejadian-kejadian penuh penderitaan dan bencana (fisik) yang akan melululantahkan tatanan dunia yang lama. Hal ini didasari dari beberapa ayat dalam Alkitab Perjanjian Lama. Misalnya dalam Kitab Ulangan 4: 29-39 berikut ini:8 4:29 Dan baru di sana engkau mencari TUHAN, Allahmu, dan menemukan-Nya, asal engkau menanyakan Dia dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu. `4:30 Apabila engkau dalam keadaan terdesak dan segala hal ini menimpa engkau di
6
7
8
Dalam tulisan ini, penulis tidak akan membahsa soal mesianisme atau mahdiisme karena tidak menjadi fokus bahasan penulis dan hal ini sudah banyak buku yang membahasnya, baik sebagai materi utama maupun sub bahasan buku. Lihat misalnya, Jaber Bolushi, Oktober 2015 Imam Mahdi Akan Datang, Penerj. Ali Shofie & Hamid Haddar, Jakarta: Papyrus Publishing, 2008. Buku ini berusaha menjelaskan kapan tahun kedatangan dari Imam Mahdi dengan menggunakan rumus hitungan angka peninggalan tradisi Arab kuno. Buku ini menjelaskan bahaya asteroid yang akan menghantam bumi di tahun 2014, 2019 dan 2029 yang akan menyebabkan terjadinya bencana alam dahsyat. Termasuk membahas soal kedatangan Al-Masih pada tahun 2018. Lihat juga, Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1999, hal. 99-117. Eskatologi bukanlah monopoli iman agama Ibrahimi tetapi juga agama-agama lainnya di dunia bahkan dari zaman kuno telah meramalkan tentang datangnya zaman akhir. Misalnya, eskatologi dalam agama Budha, Hindu, Zoroaster, Maya dan lain-lain. Ulasan singkat soal ini dapat dilihat pada http://id.wikipedia.org/wiki/Apokalips. Eskatologi dalam Alqurân silakan baca, Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, hal. 154-177 Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab: Perjanjian Lama, Jakarta: LAI, 2001, hal. 198
28
002 Rethinking Eskatologi (Mahful).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
28
27/03/2012, 23:34
Eskatologi dalam Alkitab dan Al-Quran: Sebuah Upaya Reinterpretasi
`
kemudian hari, maka engkau akan kembali kepada TUHAN, Allahmu, dan mendengarkan suara-Nya. 4:31 Sebab TUHAN, Allahmu, adalah Allah Penyayang, Ia tidak akan meninggalkan atau memusnahkan engkau dan Ia tidak akan melupakan perjanjian yang diikrarkanNya dengan sumpah kepada nenek moyangmu. 4:32 Sebab cobalah tanyakan, dari ujung langit ke ujung langit, tentang zaman dahulu, yang ada sebelum engkau, sejak waktu Allah menciptakan manusia di atas bumi, apakah ada pernah terjadi sesuatu hal yang demikian besar atau apakah ada pernah terdengar sesuatu seperti itu. 4:33 Pernahkah suatu bangsa mendengar suara ilahi, yang berbicara dari tengahtengah api, seperti yang kaudengar dan tetap hidup? 4:34 Atau pernahkah suatu allah mencoba datang untuk mengambil baginya suatu bangsa dari tengah-tengah bangsa yang lain, dengan cobaan-cobaan, tanda-tanda serta mukjizat-mukjizat dan peperangan, dengan tangan yang kuat dan lengan yang teracung dan dengan kedahsyatan-kedahsy yang besar, seperti yang dilakukan TUHAN, Allahmu, bagimu di Mesir, di depan matamu? 4:35 Engkau diberi melihatnya untuk mengetahui, bahwa Tuhanlah Allah, tidak ada yang lain kecuali Dia. 4:36 Dari langit Ia membiarkan engkau mendengar suara-Nya untuk mengajari engkau, di bumi Ia membiarkan engkau melihat api-Nya yang besar, dan segala perkataanNya kaudengar dari tengah-tengah api. 4:37 Karena Ia mengasihi nenek moyangmu dan memilih keturunan mereka, maka Ia sendiri telah membawa engkau keluar dari Mesir dengan kekuatan-Nya yang besar, 4:38 untuk menghalau dari hadapanmu bangsa-bangsa yang lebih besar dan lebih kuat dari padamu, untuk membawa engkau masuk ke dalam negeri mereka dan memberikannya kepadamu menjadi milik pusakamu, seperti yang terjadi sekarang ini. 4:39 Sebab itu ketahuilah pada hari ini dan camkanlah, bahwa Tuhanlah Allah yang di langit di atas dan di bumi di bawah, tidak ada yang lain. Gambaran akhir zaman (eskatologi) juga dilukiskan dalam Kitab Yesaya 2: 1-5 seperti berikut:9 2:1 Firman yang dinyatakan kepada Yesaya bin Amos tentang Yehuda dan Yerusalem. 2:2 Akan terjadi pada hari-hari yang terakhir: gunung tempat rumah TUHAN akan berdiri tegak di hulu gunung-gunung dan menjulang tinggi di atas bukit-bukit; segala bangsa akan berduyun-duyun ke sana, 2:3 dan banyak suku bangsa akan pergi serta berkata: “Mari, kita naik ke gunung TUHAN, ke rumah Allah Yakub, supaya Ia mengajar kita tentang jalan-jalan-Nya,
9
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab: Perjanjian Lama, hal. 729
29
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
002 Rethinking Eskatologi (Mahful).pmd
29
27/03/2012, 23:34
Wacana Utama
dan supaya kita berjalan menempuhnya; sebab dari Sion akan keluar pengajaran dan firman TUHAN dari Yerusalem.” 2:4 Ia akan menjadi hakim antara bangsa-bangsa dan akan menjadi wasit bagi banyak suku bangsa; maka mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang. 2:5 Hai kaum keturunan Yakub, mari kita berjalan di dalam terang TUHAN! Dan juga peristiwa apokaliptik pada hari-hari terakhir (akhir zaman) di atas dapat pula ditemukan dalam Kitab Mikha 4: 1-5 berikut ini:10 4:1 Akan terjadi pada hari-hari yang terakhir: gunung rumah TUHAN akan berdiri tegak mengatasi gunung-gunung dan menjulang tinggi di atas bukit-bukit; bangsabangsa akan berduyun-duyun ke sana, 4:2 dan banyak suku bangsa akan pergi serta berkata: “Mari, kita naik ke gunung TUHAN, ke rumah Allah Yakub, supaya Ia mengajar kita tentang jalan-jalan-Nya dan supaya kita berjalan menempuhnya; sebab dari Sion akan keluar pengajaran, dan firman TUHAN dari Yerusalem.” 4:3 Ia akan menjadi hakim antara banyak bangsa, dan akan menjadi wasit bagi sukusuku bangsa yang besar sampai ke tempat yang jauh; mereka akan menempa pedangpedangnya menjadi mata bajak, dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang. 4:4 Tetapi mereka masing-masing akan duduk di bawah pohon anggurnya dan di bawah pohon aranya dengan tidak ada yang mengejutkan, sebab mulut TUHAN semesta alam yang mengatakannya. 4:5 Biarpun segala bangsa berjalan masing-masing demi nama allahnya, tetapi kita akan berjalan demi nama TUHAN Allah kita untuk selamanya dan seterusnya. Sedangkan dalam eskatologi Kristen11 banyak merujuk pada Alkitab Perjajian Baru. Tema eskatologis dalam Alkitab Perjanjian Baru juga merefleksikan tema “penderitaan” yang sama dalam Alkitab Perjanjian Lama. Dalam Alkitab Perjanjian Baru, Yesus merujuknya dengan istilah “penderitaan besar”, “penyiksaan”, dan “hari-hari
10 11
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab: Perjanjian Lama, hal. 1001 Dalam agama Kristen, terdapat doktrin tentang adanya hari kiamat dan hari kebangkitan. Keadaan setelah mati di dalam Kristen dibagi menjadi dua: pertama, The Ultimate future (hari akhir), yang terdiri dari kebangkitan kembali dari kematian, kembalinya Kristus, perhitungan akhir dan kehidupan abadi. Dan kedua, The Penultime Future (kehidupan setelah mati), yang terdiri dari historical sign dan post mortem existence. Lihat Gabriel Farcke. “Eschatology and Systematics”, dalam Robert A. Guelich (Ed.), Ex Auditu: An International Journal of Theological Interpretation of Scripture, California: Chicago Press, hal. 101-116
30
002 Rethinking Eskatologi (Mahful).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
30
27/03/2012, 23:34
Eskatologi dalam Alkitab dan Al-Quran: Sebuah Upaya Reinterpretasi
pembalasan.” Sebagai contoh pernyataan nubuat akhir zaman tentang penderitaan ini dapat dilihat dalam Injil Matius 24: 15-22 berikut ini:12 “Jadi apabila kamu melihat Pembinasa keji berdiri di tempat kudus, menurut firman yang disampaikan oleh Nabi Daniel—para pembaca hendaklah memperhatikannya— maka orang-orang yang di Yudea haruslah melarikan diri ke pegunungan. Orang yang sedang di peranginan di atas rumah janganlah ia turun untuk mengambil barang-barang dari rumahnya, dan orang yang sedang di ladang janganlah ia kembali untuk mengambil pakaiannya. Celakalah ibu-ibu yang sedang hamil atau yang menyusukan bayi pada masa itu. Berdoalah, supaya waktu kamu melarikan diri itu jangan jatuh pada musim dingin dan jangan pada hari Sabat. Sebab pada masa itu akan terjadi siksaan yang dahsyat seperti yang belum pernah terjadi sejak awal dunia sampai sekarang dan yang tidak akan terjadi lagi. Dan sekiranya waktunya tidak dipersingkat, maka dari segala yang hidup tidak akan ada yang selamat; akan tetapi oleh karena orang-orang pilihan waktu itu akan dipersingkat. Demikian pula kejadian akhir zaman tersebut dapat dijumpai dalam Injil Markus 13: 14-20:13 “Apabila kamu melihat Pembinasa keji berdiri di tempat yang tidak sepatutnya — para pembaca hendaklah memperhatikannya— maka orang-orang yang di Yudea haruslah melarikan diri ke pegunungan. Orang yang sedang di peranginan di atas rumah janganlah ia turun dan masuk untuk mengambil sesuatu dari rumahnya, dan orang yang sedang di ladang janganlah ia kembali untuk mengambil pakaiannya. Celakalah ibu-ibu yang sedang hamil atau yang menyusukan bayi pada masa itu. Berdoalah, supaya semuanya itu jangan terjadi pada musim dingin. Sebab pada masa itu akan terjadi siksaan seperti yang belum pernah terjadi sejak awal dunia, yang diciptakan Allah, sampai sekarang dan yang tidak akan terjadi lagi. Dan sekiranya Tuhan tidak mempersingkat waktunya, maka dari segala yang hidup tidak akan ada yang selamat; akan tetapi oleh karena orang-orang pilihan yang telah dipilih-Nya, Tuhan mempersingkat waktunya. Dan juga gambaran akhir zaman itu disebutkan dalam Injil Lukas 21: 20-33 sebagai berikut:14 “Apabila kamu melihat Yerusalem dikepung oleh tentara-tentara, ketahuilah, bahwa keruntuhannya sudah dekat. Pada waktu itu orang-orang yang berada di Yudea harus melarikan diri ke pegunungan, dan orang-orang yang berada di dalam kota harus mengungsi, dan orang-orang yang berada di pedusunan jangan masuk lagi ke dalam
12 13
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab: Perjanjian Baru, hal. 32 Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab: Perjanjian Baru, hal.60
31
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
002 Rethinking Eskatologi (Mahful).pmd
31
27/03/2012, 23:34
Wacana Utama
kota, sebab itulah masa pembalasan di mana akan genap semua yang ada tertulis. Celakalah ibu-ibu yang sedang hamil atau yang menyusukan bayi pada masa itu! Sebab akan datang kesesakan yang dahsyat atas seluruh negeri dan murka atas bangsa ini, dan mereka akan tewas oleh mata pedang dan dibawa sebagai tawanan ke segala bangsa, dan Yerusalem akan diinjak-injak oleh bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, sampai genaplah zaman bangsa-bangsa itu.” “Dan akan ada tanda-tanda pada matahari dan bulan dan bintang-bintang, dan di bumi bangsa-bangsa akan takut dan bingung menghadapi deru dan gelora laut. Orang akan mati ketakutan karena kecemasan berhubung dengan segala apa yang menimpa bumi ini, sebab kuasa-kuasa langit akan goncang. Pada waktu itu orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya. Apabila semuanya itu mulai terjadi, bangkitlah dan angkatlah mukamu, sebab penyelamatanmu sudah dekat.” Lalu Yesus mengatakan perumpamaan ini kepada mereka: “Perhatikanlah pohon ara atau pohon apa saja. Apabila kamu melihat pohon-pohon itu sudah bertunas, kamu tahu dengan sendirinya bahwa musim panas sudah dekat. Demikian juga, jika kamu melihat hal-hal itu terjadi, ketahuilah, bahwa Kerajaan Allah sudah dekat. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya angkatan ini tidak akan berlalu, sebelum semuanya terjadi. Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu.” Bagi mereka, semua nubuat tentang kejadian-kejadian apokaliptik di atas akhirnya nanti akan menciptakan suatu tatanan kehidupan baru pada zaman baru di mana Allah secara universal diakui sebagai Penguasa atas seluruh ciptaan-Nya, termasuk setiap orang dan segala sesuatu. Sedangkan, eskatologi dalam iman Gereja Katolik Roma pada umumnya menganut aliran pemikiran Amilenial, yang dikemukakan oleh Augustinus dari Hippo dalam karyanya “Kota Allah”. Augustinus mengklaim sebuah penggenapan nubuat yang tidak harfiah. Tentang saat kedatangan eskatologi ini, ummat Nasrani selalu merujuk kepada Injil Matius 24: 36 di mana Yesus mengatakan:15 Tetapi tentang hari dan saat itu tidak seorang pun yang tahu, malaikat-malaikat di surga tidak, dan Anak pun tidak, hanya Bapa sendiri. Sementara sebagian yang percaya akan penafsiran harfiah terhadap Alkitab menegaskan bahwa nubuat/nubuatan (nubuwwah; ramalan) tentang tanggal-tanggal atau waktu itu sia-sia, dan sebagian penulis lainnya percaya bahwa Yesus meramalkan tanda-tanda yang akan menunjukkan bahwa “akhir zaman” sudah dekat. Sebagian dari tanda-tanda ini adalah gempa bumi, bencana alam, bencana sosial, resesi ekonomi,
14 15
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab: Perjanjian Baru, hal.103 Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab: Perjanjian Baru, hal. 33
32
002 Rethinking Eskatologi (Mahful).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
32
27/03/2012, 23:34
Eskatologi dalam Alkitab dan Al-Quran: Sebuah Upaya Reinterpretasi
peperangan, dan bencana-bencana lain. Namun tentang kapan persisnya semua itu akan terjadi, ia akan datang “seperti pencuri di malam hari”. Nubuat (ramalan) tentang tanda-tanda datangnya zaman akhir dan munculnya zaman baru tersebut telah disebutkan Yesus dalam Injil Matius 24: 3-14 sebagai permulaan penderitaan. Secara lengkap nubuat tersebut tertulis sebagai berikut:16 Ketika Yesus duduk di atas Bukit Zaitun, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya untuk bercakap-cakap sendirian dengan Dia. Kata mereka: “Katakanlah kepada kami, bilamanakah itu akan terjadi dan apakah tanda kedatangan-Mu dan tanda kesudahan dunia?” Jawab Yesus kepada mereka: “Waspadalah supaya jangan ada orang yang menyesatkan kamu! Sebab banyak orang akan datang dengan memakai nama-Ku dan berkata: Akulah Mesias, dan mereka akan menyesatkan banyak orang. Kamu akan mendengar deru perang atau kabar-kabar tentang perang. Namun berawas-awaslah jangan kamu gelisah; sebab semuanya itu harus terjadi, tetapi itu belum kesudahannya. Sebab bangsa akan bangkit melawan bangsa, dan kerajaan melawan kerajaan. Akan ada kelaparan dan gempa bumi di berbagai tempat. Akan tetapi semuanya itu barulah permulaan penderitaan menjelang zaman baru. Pada waktu itu kamu akan diserahkan supaya disiksa, dan kamu akan dibunuh dan akan dibenci semua bangsa oleh karena nama-Ku, dan banyak orang akan murtad dan mereka akan saling menyerahkan dan saling membenci. Banyak Nabi palsu akan muncul dan menyesatkan banyak orang. Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin. Tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat. Dan Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya.” Demikian gambaran iman eskatologi dalam agama Yahudi dan Kristen, yang secara umum memiliki kesamaan dengan iman eskatologi ummat Islam. Hanya saja dalam iman Islam, hari kiamat itu dibagi kepada kiamat besar (kubrâ) dan kiamat kecil (shughrâ).17 Sayangnya, mayoritas kaum Muslim memahami ayat-ayat eskatologi dalam al-Qurân dalam pengertian tekstual (bendawi) bukan dalam makna yang filosofis-metaforis. Akibatnya, ayat-ayat eskatologi yang umumnya termasuk dalam ayat-ayat makkiyah menjadi petunjuk yang abstrak (gaib) dan hampa dari nilai-nilai petunjuk, kecuali sebatas mengambil nilai-nilai moral darinya.
16 17
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab: Perjanjian Baru, hal. 31-32 Kaum Muslim meyakini bahwa datangnya hari kiamat itu disertai oleh tanda-tanda. Misalnya yang diuraikan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim. Nabi Muhammad mengatakan bahwa tanda-tanda kiamat itu adalah: apabila budak perempuan telah melahirkan tuannya, apabila orang-orang yang telanjang kakinya dan badannya serta pekerjaannya mengembalakan kambing bermegah-megah dalam gedung-gedung yang besar. Selanjutnya, tanda-tanda kedatangan hari akhir itu memiliki tanda-tandanya yang kecil dan yang besar. Lihat, Syahminan Zaini, Pedoman Aqidah Islam, Bekasi: Pustaka Darul Fikri, 2006, hal. 294-296
33
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
002 Rethinking Eskatologi (Mahful).pmd
33
27/03/2012, 23:34
Wacana Utama
2.
Eskatologi dalam al-Quran Setelah penulis membahas pandangan iman Yahudi dan Kristen di atas, bagian ini khusus mengkaji eskatologi dalam al-Qurân. Dalam Islam, iman kepada eskatologi (qiyâmah; hari akhir) menjadi salah satu dari rukun iman. Secara global, rukun iman itu bermuara pada dua rukun iman utama, yaitu iman kepada Allah (yang sudah meliputi iman kepada para Rasul, para malaikat, semua Kitab Suci, qadha dan qadar) dan iman kepada zaman akhir.18 Dalam al-Qurân sendiri, masalah kebangkitan mendapat perhatian yang cukup banyak. Juz ketiga puluh dalam al-Qurân bisa disimpulkan sebagai juz tentang hari kiamat, karena sebagian besar nama surat dan kandungannya bercerita tentang informasi serta keadaan tentang hari kiamat. Tema eskatologi ini dalam al-Qurân menempati posisi pertama dalam penamaan surat-surat al-Qurân. Istilah “qiyâmah” dengan berbagai penamaannya menjadi nama pada sepuluh surat al-Qurân, yang kesemuanya tergolong surat Makkiyah, yaitu: surat al-wâqi’ah (hari kiamat), al-Hâqqah (yang pasti terjadi), al-Qiyâmah (kiamat; hari tegaknya hukum Allah), al-Nabâ’ (berita besar), al-Takwîr (yang menggulung), al-Infithâr (terbelah), al-Insyiqâq (terbelah), al-Ghâsyiyah (hari pembalasan; peristiwwa yang dahsyat), al-Zalzalah (kegoncangan), dan al-Qâri’ah (yang memukul dengan keras).19 Di samping itu, ada juga surat yang sebagian kandungannya berisi tentang keadaan sesudah mati, seperti surat Yâsîn dan Qâf. Artinya, berita tentang hari akhir atau datangnya zaman baru dalam da’wah Muhammad adalah sebuah berita ancaman (bagi mereka yang kafir kepadanya) sekaligus berita gembira (bagi mereka yang mengimaninya). Setiap Nabi yang diutus oleh Allah memiliki zamannya masing-masing; mulai dari zaman Nabi Adam, zaman Nabi Noah (Nuh), zaman Nabi Abraham, zaman Nabi Yusuf, zaman Nabi Musa, zaman Nabi Yesus, zaman Nabi Muhammad, dan tentu zaman akhir. Sudah jelas bahwa setiap zaman memilki awal dan akhir. Ketika Yesus Kristus lahir sebagai sang Mesias, dia datang memberitahukan akan berakhirnya kehidupan dunia yang disebut dengan “akhir zaman” atau “hari akhir” dan akan datangnya “zaman baru” dengan tegaknya Kerajaan Allah. Dalam naskah gulungan laut mati diistilahkan dengan “Hari Terakhir”, yaitu zaman peperangan akhir antara Kuasa Terang dan Kuasa Kegelapan, antara Kebenaran dan Kejahatan.20 Lalu apa sesungguhnya yang dimaksud dengan eskatologi (akhir zaman; hari akhir atau qiyâmah) itu? Secara bahasa, kata “qiyâmah” adalah bentuk isim mashdar (kata benda) dari kata “qâmayaqûmu-qiyâman wa qiyâmatan”; yang berarti berdiri atau tegak. Jika kata ini ditujukan kepada suatu benda, berarti benda yang berdiri tegak. Dan jika kata ini dikenakan pada kata kerja atau sifat, berarti terjadi; terwujud. Misalnya, kata “an aqîmû ad-dîn” berarti tegakkan dîn (hukum),
18 19 20
Dalam Alqurân, Allah seringkali hanya menyebut dua rukun iman tersebut sebagai barometer keimanan. Misalnya, dalam surat al-Mujâdilah (58) ayat 22. Mengenai istilah-istilah lainnya yang digunakan Alqurân dalam menceritakan masalah hari akhirat, lebih lanjut baca Syahminan Zaini, Pedoman Aqah Islam, hal. 284-286 Lebih jelasnya baca, Michael O. Wise, Martin G. Abegg Jr, dan Edward M. Cook, Naskah Laut Mati, Penerj. FX. Dono Sunardi, Jakarta: Serambi, 2008. Khususnya teks 25, “Akhir Zaman: Sebuah Komentar Atas Ayat-ayat Pilihan” hal. 476484 dan teks 28, “Hari Terakhir: Sebuah Penafsiran atas Ayat-ayat Tertentu” hal. 495-502.
34
002 Rethinking Eskatologi (Mahful).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
34
27/03/2012, 23:34
Eskatologi dalam Alkitab dan Al-Quran: Sebuah Upaya Reinterpretasi
yakni berlakukan hukum (Allah). Salah satu istilah eskatologi dalam al-Qurân adalah “yawmu ad-dîn”; hari pembalasan, yakni hari ditegakkannya hukum Allah sebagai balasan atas perbuatan seseorang. Hari tegaknya hukum Allah ini identik dengan hari kemenangan para Rasul Allah di satu pihak dan hari dihancurkannya musuh-musuh Allah di pihak lain. Dalam bahasa Injil disebut dengan “hari datangnya Kerajaan Allah”. Pertanyaan orang-orang kafir tentang bilakah saat datangnya Kerajaan Allah atau saat datangnya hari qiyâmah adalah dalam kerangka tersebut; yakni saat datangnya hari kemenangan millah Abraham (hari tegaknya Kerajaan Allah di dunia), bukan eskatologi dalam dimensi akhir zaman yang diawali oleh kehancuran bumi dan alam semesta. Kejadian-kejadian yang sifatnya bencana fisik yang melanda dunia (bumi beserta isinya) akan terjadi dalam skala tertentu tetapi tidak akan membuat planet bumi ini hancur (seperti gambaran kaum agamis). Kenapa? Karena bumi dan langit sesungguhnya telah tunduk patuh (aslama) pada sistem yang telah ditetapkan Allah untuknya menurut titik mizannya masingmasing . Hanya saja titik itu telah dirusak oleh ulah tangan-tangan manusia zalim, sehingga mengakibatkan Dia Sang Pengatur alam semesta harus mengembalikan alam ini pada titik mizannya. Dalam proses kembali ke titik mizannya tersebut, terjadilah apa yang sering disebut oleh manusia “bencana alam”. Semua Nabi melalui Kitab Suci mengakui bahwa saat pasti tibanya akhir zaman yang akan berganti dengan zaman baru itu tidak diketahui oleh mereka, dan hanya Allah sajalah yang tahu kapan hari H (h day) dari eskatologi tersebut. Meski demikian, banyak sekte agama yang sudah berani meramalkan kapan akan terjadinya hari akhir (akhir zaman; eskatologi) itu, misalnya, kelompok Indian dari suku Maya kuno dan modern.21 Menurut Albert Nolan,22 eskatologi atau peristiwa yang akan datang yang menentukan harus dipahami sebagai “cakrawala sejarah dunia” atau apa yang disebut “tanda-tanda zaman”. Para Nabi terdorong untuk membaca firman Allah bagi zaman mereka dalam tanda-tanda zaman. Pemahaman yang istimewa yang dimiliki oleh para Nabi mengenai waktu di mana seseorang hidup inilah yang membuat dia disebut Nabi (pewarta; penubuat; peramal); memberitakan sesuatu yang akan terjadi di masa datang, baik sesuatu yang masih akan dialami olehnya atau tidak, atas dasar wahyu Ilahi seperti nubuat eskatologi di atas. Meski para Nabi dan Rasul Allah tidak bisa memastikan kapan waktu pasti dari datangnya akhir zaman (munculnya zaman baru) tersebut, tetapi mereka diberikan kemampuan lebih untuk
21
Kelompok Indian dari suku Maya kuno dan modern percaya bahwa jagad raya pernah diperbarui empat kali sebelumnya. Namun upaya pertama menghasilkan binatang; upaya kedua menghasilkan manusia yang diciptakan dari tanah liat yang pada akhirnya akan menjadi serangga-serangga tertentu (misalnya semut dan lebah); upaya ketiga menghasilkan kera; dan yang keempat menghasilkan kita: “manusia sejati.” Masing-masing upaya sebelumnya untuk menciptakan manusia dihancurkan oleh berbagai bencana yang melenyapkan jagad raya. Kalender Maya yang berbasis astronomi akan mencapai siklus penuhnya yang besar selama sekitar 5.200 tahun pada 21 Desember 2012. Meskipun tidak ada bukti-bukti yang kuat bahwa bangsa Maya kuno menganggap tanggal ini signifikan, banyak orang yang telah menduga bahwa inilah “akhir seluruh Jagad raya” menurut perspektif Maya, dan yang lainnya percaya bahwa bangsa Maya memaksudkannya sebagai lambang dari “datangnya perubahan besar.” Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Apokalips.
35
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
002 Rethinking Eskatologi (Mahful).pmd
35
27/03/2012, 23:34
Wacana Utama
mengetahui tanda-tanda akan datangnya akhir zaman itu, seperti yang telah disebutkan dalam beberapa ayat di atas, baik dari Alkitab Perjanjian Lama maupun dari Alkitab Perjanjian Baru. Seperti halnya dalam Yahudi dan Kristen, masalah eskatologi juga merupakan bahasan sentral dalam dunia Islam (termasuk Kitab al-Qurân). Demikian juga tanda-tanda zaman akan datangnya hari akhir itu banyak disebutkan dalam al-Qurân. Misalnya, dalam surat al-Qiyâmah (75) ayat 6-12 berikut ini: Ia bertanya: “Bilakah hari qiyamah itu?” Maka apabila mata terbelalak (ketakutan), dan apabila bulan tidak bersinar lagi, dan disatukannya matahari dan bulan (gerhana total), pada hari itu manusia berkata: “Ke mana kita akan menyelamatka diri?” Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat untuk berlindung! Hanya kepada Rabbmu sajalah pada hari itu tempat berlindung. Seringkali manusia dalam mengarungi kehidupannya merasa terlepas dari kuasa Allah, sehingga mereka bebas melakukan apa saja yang diinginkannya demi memenuhi kebutuhan syahwat nafsu pribadi, kelompok atau bangsanya. Mereka tidak segan-segan melakukan kezaliman kepada orang lain, kelompok lain atau bangsa lain, karena melihat dirinya lebih superior. Lebih jauh, mereka beranggapan bahwa kekuasaan yang dipegangnya akan ditentukan sendiri oleh kemampuan dan keahliannya tanpa ada campur tangan Yang Kuasa di dalamnya. Sekali lagi, Allah yang Maha Kuasa tidak pernah lalai mengatur kehidupan manusia, termasuk di dalam mengawasi perbuatan penguasa bangsa yang zalim. Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. (QS. Ibrâhîm (14): 42) Perlu diingatkan kembali, bahwa baik mereka yang berjalan di garis kebenaran maupun yang di garis kebatilan, semuanya di dalam genggaman Sang Kuasa. Allah sejatinya hanya memberikan waktu yang dipergilirkan di antara keduanya untuk memakmurkan bumi. Bagai silih bergantinya malam dan siang meliputi bumi, maka dunia ini pun tidak selamanya malam (karena dikuasai oleh kekuasaan zalim) dan begitu pula dunia tidak selamanya siang (karena dikuasai oleh kekuasaan Ilahi). Sama halnya dengan kehidupan peradaban manusia, kekuasaan kafir tidak selamanya berkuasa, tetapi akan berganti dengan kekuasaan Ilahi. Merujuk pada tanda-tanda datangnya akhir zaman, yang berarti akan datangnya zaman baru atau dalam istilah al-Qurân “yawm al-âkhir”,23 seperti yang disebutkan Yesus, maka sesungguhnya yang dimaksud Yesus dengan “akhir zaman” adalah akhir dari zaman kekuasaan Herodes yang akan berganti dengan zaman baru, yaitu zaman tegaknya Kerajaan Allah di mana Yesus duduk sebagai Raja dan para pengikut setianya duduk sebagai Hakim bagi kedua belas suku Israel. Ini berarti bahwa penamaan waktu kualitatif (akhir zaman) yang dimaksud dalam
22 23
Albert Nolan OP, Yesus Bukan Orang Kristen? Rekonstruksi Singkat, Akurat, dan Seimbang tentang Hidup Yesus Historis, terj. Suharyo, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hal. 141-142. Fazlur Rahman mengistilahkan al-âkhirat dengan saat kebenaran. Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, hal. 154
36
002 Rethinking Eskatologi (Mahful).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
36
27/03/2012, 23:34
Eskatologi dalam Alkitab dan Al-Quran: Sebuah Upaya Reinterpretasi
Kitab Suci bersifat kekinian, yakni akan terjadi dalam waktu dekat (segera), baik di zaman Musa, di zaman Yesus, maupun di zaman Muhammad. Dengan demikian, kejadian eskatologi (alqiyâmah) sudah sering kali terjadi pada setiap saat ajal suksesi pergantian peradaban dunia (kebangkitan dan kejatuhan sebuah kekuasaan peradaban). Inilah yang disebut sebagai sunnatullah (tradisi Tuhan) yang berlaku sepanjang zaman dan tak akan berubah seperti pergantian malam dan siang, gelap dan terang. Fenomena yang menurut Fazlur Rahman harus kita pandang sebagai fakta yang “natural”.24 Salah satu tradisi Tuhan atau sunnatullah yang senantiasa dan pasti terjadi dalam sejarah perjalanan pergumulan ummat manusia termasuk generasi spiritual millah Abraham adalah diutusnya kembali sang Mesias (al-Masih) sebelum datangnya akhir zaman. Dia akan datang untuk membalas mereka yang tak setia kepada-Nya. Penegasan ini, misalnya, dikatakan dalam al-Qurân surat Al-Qashash (28) ayat 58-59 berikut ini: Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang telah Kami binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya; maka itulah tempat kediaman mereka yang tiada didiami (lagi) sesudah mereka, kecuali sebahagian kecil. Dan Kami adalah pewarisnya. Dan tidak adalah Rabb-mu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman. Jika merujuk pada teks ayat di atas, maka sesungguhnya tugas kerasulan untuk menyampaikan dan menjelaskan wahyu (ayat-ayat) Allah itu tidaklah pernah berakhir. Yang menyatakan hal itu telah berakhir di zaman Muhammad adalah sesuatu yang sifatnya utofis dengan latar teologis yang sangat Arabis. Karena jika tugas kerasulan itu berakhir, maka tugas Allah pun sebagai Pengatur alam semesta di mana manusia hidup di dalamnya juga telah selesai dan malaikat Jibril pun telah lama pensiun dini dari pengabdiannya kepada Tuannya.
C. CATATAN PENUTUP Dari kajian singkat di atas tentang Eskatologi dalam pandangan lintas iman; yakni iman Yahudi, Kristen dan Islam yang mewakili perspektif teologis, yang didasari oleh teks-teks Alkitab dan al-Qurân, terlihat jelas adanya pengaruh kuat dari pemikiran teologis (dan filosofis) dari iman Yahudi-Kristen ke dalam iman Islam. Bisa dikatakan, eskatologi Muslim terpengaruh oleh alam pemikiran dan keimanan ahlu kitab, khususnya dalam hal peristiwa apokaliptik dan kebahagiaan abadi di alam surga. Terlepas dari pro dan kontra berbagai pendapat mengenai eskatologi dan hal-hal yang terkait dengannya, satu hal yang pasti bahwa kebenaran tentang hakikat dari eskatologi itu sendiri tetap menjadi rahasia Allah semata dan Ia hanya membukakan sedikit celah pintu bagi manusia untuk mencoba membuka dan menyingkapnya secara utuh. Dengan argumen rasional dan dukungan dari Kitab Suci, tentu akan menambah keyakinan umat beragama akan adanya kehidupan setelah kehidupan di dunia. Kendati argumen rasional itu dan berita dari Kitab Suci
37
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
002 Rethinking Eskatologi (Mahful).pmd
37
27/03/2012, 23:34
Wacana Utama
mampu memperkuat keimanan seseorang yang beragama, belum tentu argumen itu memuaskan bagi penganut agnostisisme dan ateisme. Penganut ateisme akan berusaha menangkis argumen tersebut dengan berbagai alasan. Namun, untuk sekedar bahan pertimbangan, kaum ateis perlu merenungkan pandangan sebagai berikut, “Seandainya hari pembalasan itu tidak ada, maka penganut agama dan ateis sama-sama selamat. Artinya, skor sama-sama kosong karena, baik mereka yang percaya dan tidak percaya kepada hari kebangkitan, sama-sama tidak merugi. Namun, kalau hari pembalasan benar-benar terjadi, maka yang teis selamat dan yang ateis tidak selamat, sehingga hasil skornya berubah menjadi satu kosong untuk kemenangan penganut teisme.” Meski demikian, bila kita melihat ke sekeliling untuk mengetahui kondisi dunia (dalam berbagai segi kehidupan), kita akan menarik kesimpulan yang jelas dan sejalan dengan ramalanramalan Kitab Suci akan eskatologi. Situasi dunia secara umum menyerupai situasi zaman dalam kisah-kisah Nabi tentang hari-hari terakhir sebelum datangnya zaman baru. Karenanya, dalam perspektif sunnatullah (tradisi Tuhan), tampak jelas bahwa sesungguhnya Tuhan Allah (YHWH) sedang mempersiapkan penciptaan tatanan dunia baru yang lebih baik bagi mereka yang setia (iman) kepada-Nya. Dalam setiap situasi seperti inilah doktrin akan datangnya sang Mesias atau Imam Mahdi akan menjadi tema teologis yang sering dikedepankan. Akhirnya, bila kita membaca dan mencerdasi beberapa tanda-tanda zaman yang dinubuatkan dalam Kitab Suci dan dikaitkan dengan kondisi zaman dunia saat ini yang dilanda krisis global serta melihatnya dalam frame tradisi Tuhan (sunnatullah), akan semakin menambah keyakinan akan akhir zaman dan datangnya zaman baru. Maka kiranya tidaklah berlebihan, jika secara spiritual, penulis “mewartakan” kembali tentang berita Injil (kabar gembira) tentang sudah dekatnya kedatangan Kerajaan Allah. Atau meminjam bahasa al-Qurân, “iqtarabati al-sâ’ah”; saat atau hari datangnya “Hari Pembalasan” sudah dekat. Suksesi kekuasaan peradaban dunia sudah dekat. Bilakah datangnya? Hanya Allah, Tuhan semesta alam, semata yang tahu.
TAMAN PUSTAKA Abdullah, Taufik, dan M. Rusli Karim (Ed.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1990 Amin, Ahmad, Hayy bin Yaqzan li Ibn Sina wa Ibn Tufail wa al-Suhrawardi, Kairo: Dâr alMa’ârif, 1966 Azra, Azyumardi, Konteks Berteologi di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1999 al-Bâqîy, Muhammad Fu’âd Abd, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qurân, Baerut: Dâr alFikr, 1981
38
002 Rethinking Eskatologi (Mahful).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
38
27/03/2012, 23:34
Eskatologi dalam Alkitab dan Al-Quran: Sebuah Upaya Reinterpretasi
Bolushi, Jaber, Oktober 2015 Imam Mahdi Akan Datang, Penerj. Ali Shofie & Hamid Haddar, Jakarta: Papyrus Publishing, 2008 Bultmann, Rudolf, Jesus Christ and Mythology, New York: Charles Scribner’s Sons, 1958 el-Ehwany, Ahmed Fuad, “Al- Kindi”, dalam MM. Sharif (Ed.), A History of Muslim Philosophy, Wiesbaden: Otto Harrossowitz, 1963 Farcke, Gabriel, “Eschatology and Systematics”, dalam Robert A. Guelich (Ed.), Ex Auditu: An International Journal of Theological Interpretation of Scripture, California: Chicago Press H., Wiknyosastro, “Fisiologi Janin”, dalam: Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka, 1981: Edisi kedua Iqbal, Muhammad, The Reconstruction of Religious Thougth in Islam, New Delhi: Kitab Bhavan, 1981 al-Jauziyah, Ibn Qayyim, Rawdah al-Muhibbin wa Nuzah al-Mushtaqin, Kairo: Dâr al-Fikr al’Arabî ……., Kitâb al-Rûh, ditahkikkan oleh Sayyid Jamili, Bairut: Dâr al-Kitâb al-’Arabî, 1986 JJ., Endjun, Ultrasonografi Dasar Obstetri dan Ginekologi; Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007 Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, Jakarta: LAI, 2001 Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2008 OP, Albert Nolan, Yesus Bukan Orang Kristen? Rekonstruksi Singkat, Akurat, dan Seimbang Tentang Hidup Yesus Historis, terj. Suharyo, Yogyakarta: Kanisius, 1991 Rahman, Fazlur, Tema Pokok Al-Qur’an, Penerj. Anas Mahyuddin, Bandung: Penerbit Pustaka, 1996 Rayyan, Muhammad Ali Abu, Al- Falsafah al-Islâmiyyah: Syakhshiyatuhâ wa Madzâhibuhâ, Iskandaria: Dâr al-Qawmiyyah, 1967 Sullivan, Clayton, Selamatkan Yesus dari Orang Kristen! Sebuah Perlawanan Orang Dalam, Jakarta: Serambi, 2002 Wise, Michael O., Martin G. Abegg Jr, dan Edward M. Cook, Naskah Laut Mati, Penerj. FX. Dono Sunardi, Jakarta: Serambi, 2008 Zaini, Syahminan, Pedoman Aqidah Islam, Bekasi: Pustaka Darul Fikri, 2006 http://id.wikipedia.org/wiki/Apokalips.
39
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
002 Rethinking Eskatologi (Mahful).pmd
39
27/03/2012, 23:34
Wacana Utama
Konsep Cinta dan Kasih Sayang dalam Al-Qur’an dan Implementasinya dalam Keluarga Nurhidayat Muh. Said Fakultas Dakwah, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar E-mail:
[email protected] Abstract: This paper discusses the concept of love and affection in the Qur’an. From the results of the discussion it is found that the expression of the meaning of the word that contains many expressions of love spread over a number of verses of the Qur’an. In the Qur’an it is found a variety of terms are closely related to love. Distribution of expression of love is assumed to have its own meaning and its own direction. Term of the Qur’an that directly refers to the love is mahabbah and mawaddah. Term mahabbah in its various forms repeated 95 times and mostly in the form of “verb now” or fi’il mudâri’/ present continuous tense (yuhibb). The culprit is addressed to God and the human groups that have good personal integrity. This means that God is always and persistently spread His love to His creatures, especially humans by maintaining and providing his needs and provide clues to human life to be safe, peaceful, and peace. Disclosure of love does not always have to be in the form of objects or materials, but more important is in the form of attitudes and behaviors. For example, friendly attitudes, polite behavior, occasionally kidding, go together and so on. Keywords Love, Hubb, Safe, Peaceful
40
003 Konsep Cinta dan Kasih Sayang (Hidayat).pmd 40
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
27/03/2012, 23:36
Konsep Cinta dan Kasih Sayang dalam Al-Qur’an
Pendahuluan Konsep cinta dan kasih sayang dalam Al-Qur’an sangat ideal sekiranya dapat diimplementasikan dalam pola sikap dan perilaku sehari-hari baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam masyarakat. Cinta kepada Allah hendaklah menjiwai cinta kepada yang lain.1 Hanya dengan rasa cinta dan kasih sayang yang tulus yang dijiwai oleh iman kepada Allah, berbagai benturan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat dapat dicegah dan dikurangi,2 karena pada dasarnya sumber segala keburukan adalah rasa benci yang dibiarkan dalam diri manusia.3 Sarumpaet menyatakan: Jiwa yang tidak mempunyai kasih mustahil tenteram. Cinta adalah syarat mutlak untuk memiliki hidup tenteram. Hidup yang penuh damai hanya diperoleh dengan menempuh cinta kasih. Jika anda dapat mengasihi setiap orang yang anda gauli, anda akan lebih gembira dan hidup lebih tenteram.”4 Dalam kehidupan sehari-hari, manusia umumnya tidak lepas dari tiga lembaga kemasyarakatan yang utama, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dalam kaitan dengan itu, uraian berikut akan menjelaskan bagaimana mengimplementasikan ajaran cinta dan kasih sayang yang diajarkan dalam Al-Qur’an keluarga.
Cinta dan Kasih Sayang dalam Keluarga Keluarga, yang dalam bahasa Arab disebut usrah atau ‘â’ilah dan dalam bahasa Inggris disebut family, merupakan unit terkecil dalam suatu masyarakat. Suatu keluarga biasanya terdiri
1
2
3
4
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, ada 8 cinta manusia yang alami (mahabbah tabî‘iyyah) yaitu: 1) cinta kepada ayah ibu atau cinta anak kepada ibu-bapaknya; 2) cinta orangtua terhadap anak-anaknya; 3) cinta saudara terhadap saudaranya yang lain; 4) cinta teman hidup atau suami terhadap istrinya dan sebaliknya; 5) cinta antarkaum famili atau kerabatnya; 6) cinta perniagaan yang dikhawatirkan akan kerugiannya; 7) cinta tempat tinggal atau kediamannya; dan 8) cinta harta atau kekayaan. Lih. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1964), Jilid I, h. 158-160. Sementara Tabab‘taba‘î menyebutkan 5 obyek cinta yang ada pada manusia yaitu: makanan, wanita, harta, kedudukan, dan ilmu (hubb al-gaŸâ wa hubb al-nisâ’ wa hubb al-mâl wa hubb al-jâh wa hubb al-‘ilm). Lih. Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 2, h. 409-410. Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat Madani, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), cet. ke-1, h. 254-255. Lihat pula Edi Petebang, Dayak Sakti, Ngayau, Tariu, Mangkok Merah (Konflik Etnis di Kalbar 1996-1997), (Pontianak: Institut Dayakologi, 1999), cet. ke-2, h. 102-134. Kuswaidi Syafi’ie menyatakan: “cinta merupakan cahaya segala amal… bobot segala upaya, … pamor segala tindakan. Tanpa cinta, segala apapun yang diperbuat dan disuguhkan manusia pada kehidupan akan menguap secara sia-sia…” (lih. Kuswaidi Syafi’ie, Tafakur di Ujung Cinta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet. ke-1, h. vi-vii. Cf. Muhammad Fauzil Adhim, Disebabkan oleh Cinta Kuserahkan Rumahku Padamu, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002), cet. ke-8 pada halaman sampul belakang dikatakan: “Jika ada surga di dunia, maka itu adalah pernikahan yang bahagia. Akan tetapi, jika ada neraka di dunia, itu adalah rumah yang penuh pertengkaran. Maka menjaga rumah kita dari kerusakan adalah perkara penting.” Sarumpaet, Hidup Tenteram dan Sukses, (Bandung: Indonesia Publishing House, 1996), cet. ke-18. Cf. L. Murbandono, Pemikir Besar Dunia, Ucapan dan Kebijaksanaan, (Jakarta: Grasindo, 2004), h. 13. Anatole France (1844-1924 M.), seorang penulis, berkata: “Bermain cintalah sekarang, siang dan malam, di musim dingin dan di musim panas. Hanya untuk itulah Anda Hidup. dan selebihnya adalah kehampaan, ilusi dan kesia-siaan. Hanya ada satu kekayaan, cinta; hanya satu tujuan, cinta. Mencinta dan bercinta adalah hukum segala sesuatu. Hal semacam itulah nabi-nabi.” Tidak ada penjelasan cinta semacam apa yang dimaksud.
41
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
003 Konsep Cinta dan Kasih Sayang (Hidayat).pmd 41
27/03/2012, 23:36
Wacana Utama
dari suami, istri, dan anak. Dalam ajaran Islam, pembentukan suatu keluarga dilakukan melalui pernikahan. Nikah merupakan perintah Allah dan sunah Nabi. Perintah nikah dapat dilihat dalam Surah al-Nisâ’/4:3:
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.5 Yusuf Ali memberikan komentar pada ayat di atas sebagai berikut: Notice the conditional clause about orphans, introducing the rules about marriage. This reminds us of the immediate occasion of the promulgation of this verse. It was after Uhud, when the Muslim community was left with many orphans and widows and some captives of war. Their treatment was to be governed by principles of the greatest humanity and equity. The occasion is past, but the principles remain. Marry the orphans if you are quite sure that you will in that way protect their interests and their property, with perfect justice to them and to your own dependants if you have any. If not, make other arrangements for the orphans.6 John M. Shepard memberikan batasan keluarga (family) sebagai: “a family is a group of people related by marriage, blood, or adoption.”7 Menurutnya, di Amerika Serikat lebih dari 90 % orang dewasa melakukan pernikahan dan membentuk keluarga sendiri. Dengan
5
6 7
8
Pada catatan kaki dijelaskan bahwa berlaku adil ialah dalam meladeni istri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriah. Dijelaskan lagi bahwa Islam membolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Poligami juga pernah dilakukan para vabi sebelum Muhammad. Ayat ini juga bersisi pembatasan poligami yaitu maksimal 4 istri. Menurut Fazlur Rahman, ajaran Islam pada dasarnya monogami berdasar Surah al-Nisâ’:129 di mana dijelaskan bahwa seseorang tak akan mampu berbuat adil walaupun ia ingin sekali untuk berlaku seperti itu, terutama adil dalam hal cinta. Cf. Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1410/ 1990), cet. ke-2, h. 89-90. Yusuf Ali, The Holy Quran…, komentar no. 508. John M. Shepard, Sociology, (St. Paul, New York, Los Angles, San Fransisco: West Publishing Company, 1984), 2nd Edition, h. 388. Cf. Hammudah Abdallah, Islam in Focus, (Singapura: Muslim Youth Asembly-Himpunan Belia Islam, 1980), 4th Printing, h. 113: “The family is a human social group whose members are bound together by the bond of blood ties and or marital relationship”. John M. Shepard, Sociology, h. 388.
42
003 Konsep Cinta dan Kasih Sayang (Hidayat).pmd 42
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
27/03/2012, 23:36
Konsep Cinta dan Kasih Sayang dalam Al-Qur’an
demikian, keluarga merupakan sebuah lembaga yang akan mempengaruhi anggotanya dalam kehidupan yang akan datang.8 Selanjutnya, ia membedakan suatu keluarga menjadi dua: a family of orientation dan a family of procreation. Yang pertama ialah keluarga di mana kita dilahirkan, sedang yang kedua ialah keluarga yang kita bangun ketika kita menikah. 9 Selanjutnya berdasar besar-kecilnya anggota keluarga, ia membagi kepada empat tipe, yaitu: nuclear family, extended family, joint extended family, dan stem extended family. Keluarga tipe pertama ialah sekelompok terkecil individu yang terdiri dari seorang ayah, seorang ibu, dan anak-anak. Dalam perkembanganya sekarang banyak terdapat kelompok yang lebih kecil yang hanya terdiri dari seorang ayah atau seorang ibu dengan anaknya. Hal terakhir ini disebabkan makin rapuhnya ikatan keluarga sebagai akibat modernisasi yang kurang menghargai lembaga perkawinan sehingga banyak terjadi perceraian. Banyaknya perceraian, disinyalir salah satu penyebabnya ialah banyaknya para wanita atau istri yang telah memiliki penghasilan sendiri sehingga tidak takut atau khawatir untuk bercerai. Dalam Islam perceraian merupakan sesuatu yang halal, tetapi sangat dibenci Allah sebagaimana sabda Nabi:
Artinya: Perkara halal yang sangat dibenci oleh Allah ialah thalaq.10 Dibencinya perceraian karena hal ini memang tidak disenangi oleh umumnya pasangan suami-sitri dan lebih-lebih lagi oleh anak-anak.11 Akan tetapi, semakin tingginya mobilitas manusia dan berkembang-pesatnya informasi dan komunikasi serta semakin terbukanya
9
10
11
John M. Shepard, Sociology, h. 388. Ia juga menjelaskan tentang fungsi keluarga (functions of the family) yang mencakup reproduction, yaitu untuk melahirkan generasi penerus; socialization, yaitu untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang diperlukan dalam rangka mengembangkan pribadi dan kemampuan menyesuaikan diri di lingkungan masyarakatnya; socioemotional maintenance, yaitu untuk proses belajar mengajar anak tentang apa saja yang diperlukan untuk pengembangan pribadi atau watak agar dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat; sexual regulation yaitu mengatur hubungan seks di mana berlaku norma-norma yang erat kaitannya dengan masalah seks dalam keluarga dan masyarakat; transmission of social status yaitu menjelaskan kedudukan keluarganya dalam strata masyarakat. Lih. John M. Shepard, Sociology, h. 389-392. Lih. al-Jâmi‘ al-Sagîr hadis no. 53. Menurut al-Suyûtî hadis tersebut sahih dan dapat ditemukan juga dalam al-Mustadrak oleh al-Hakim dari Ibn ‘Umar. Cf. Ibn Hajar al-‘Asqalânî, al-‘Allâmah al-Kabîr, Bulûg al-Marâm min Adillah al-Ahkâm, (Bandung: Syarîkah al-Ma‘ârif li al-Tabâ‘ah wa al-Nasyr, tt), h. 246. Hukum Perkawinan di Indonesia telah mengalami pembaruan dengan dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1974. Pada pasal 38 dijelaskan bahwa perkawinan dapat putus disebabkan karena kematian atau perceraian atau putusan pengadilan. Tidak seperti masa lalu di mana perceraian hanya ditentukan oleh pihak laki-laki, dalam undang-undang ini percerain harus melalui putusan pengadilan. Bagi wanita juga diberi hak untuk mengajukan perceraian dengan istilah “gugatan perceraian” (pasal 40). Lih. Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Benika Cipta, 1994), cet. ke-2, h. 271278, 297-298.
43
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
003 Konsep Cinta dan Kasih Sayang (Hidayat).pmd 43
27/03/2012, 23:36
Wacana Utama
peluang kerja bagi wanita, di samping sebab-sebab lain, maka hal ini dapat memicu semakin tingginya kasus perceraian.12 Tipe kedua ialah sebuah keluarga yang terdiri dari dua generasi orang dewasa atau lebih, membentuk suatu rumah tangga yang sama dan menyediakan kebutuhan ekonomi bagi anggotanya. Tipe ketiga ialah keluarga yang terdiri dari dua atau lebih keluarga model pertama dipimpin oleh beberapa laki-laki yang bersaudara. Tipe keempat ialah keluarga yang terdiri dari tiga atau lebih generasi terdiri dari keluarga yang sama dan menyediakan keperluan hidup bersama dipimpin oleh seorang yang paling tua.13 Sampai sekarang, keluarga masih merupakan tempat atau lembaga pendidikan anak-anak, terutama pendidikan moral dan agama. Ayah dan ibu merupakan pendidik pertama dan utama dalam setiap keluarga. Oleh karena itu, dalam proses pemilihan pasangan (mate) hendaklah didasari rasa cinta (mahabbah/mawaddah/love) satu sama lain. Beth B. Hess dalam Sociology mengupas tentang cinta dalam kaitannya dengan pemilihan pasangan (mate selection). Ia menyebutkan adanya “romantic love syndrome” yang muncul sebagai suatu dasar atau alasan yang baru dalam memilih suami atau istri (a new basis for choosing a husband or a wife). Tegasnya istilah di atas digunakan bagi setiap orang yang hanya menekankan cinta sebagai satu-satunya alasan dalam memilih pasangan hidup (focuses on love as the sole reason for choosing a mate).14 Dalam kaitannya dengan cinta ini Allah berfirman dalam Surah al-Rûm/30:21:
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesung-guhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.15 Dari ayat di atas dijelaskan bahwa hidup berkeluarga merupakan dorongan fitri manusiawi yang berasal dari Allah dan perlu penyaluran secara sehat. Dengan penyaluran berbagai
12
13
14
Muhammad Fauzil Adhim, Disebabkan oleh Cinta Kupercayakan Rumahku Padamu, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002), cet. ke-8, h. 111-194 menyebutkan banyak penyebab perceraian di antaranya hubungan suami istri cenderung bersifat permukaan, kepercayaan yang sulit dibangun, tak ada saling pengertian, dan pada gilirannya anak menjadi korban. Selanjutnya ia menyarankan dalam mengatasi konflik dan perceraian diperlukan kesabaran dari kedua belah pihak, berdialog secara terbuka, dan perlunya penengah yang dipercaya kedua belah pihak. Lih. Muhammad Fauzil Adhim, Disebabkan oleh Cinta Kupercayakan Rumahku Padamu, h. 220-225. John M. Shepard, Sociology, h. 392-393. Tipe keluarga ke 2, 3, dan 4 banyak ditemukan dalam masyarakat agraris. Dengan adanya perubahan dari masyarakat agraris ke industri, maka makin jarang tipe keluarga semacam itu dan cenderung berubah menjadi keluarga tipe pertama sebagai akibatnya. Beth B. Hess et. al., Sociology, (New York: Macmillan Publishing Company, 1985), 2nd Ed., h. 263 et seq.
44
003 Konsep Cinta dan Kasih Sayang (Hidayat).pmd 44
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
27/03/2012, 23:36
Konsep Cinta dan Kasih Sayang dalam Al-Qur’an
dorongan seperti seks, berkomunikasi, bertanggung jawab, mempertahankan keturunan, mencintai dan dicintai, dan sebagainya, maka jiwa menjadi tenang dan tenteram. Dari ayat di atas diperoleh petunjuk bahwa cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah) dapat saja datang setelah terjadi pernikahan. Walaupun begitu, terdapat kesulitan untuk menentukan atau memastikan bahwa pilihannya benar-benar berdasarkan cinta.16 Tidak sedikit orang, baik pihak laki-laki maupun perempuan dengan mudah menyatakan jatuh cinta kepada pihak lain, padahal mungkin saja pihak-pihak tersebut sekedar tertarik kepada penampilan luar seperti kecantikan, atau karena harta, atau pangkat atau yang lain. Menarik untuk dikemukakan di sini sebuah polling yang dilakuakn oleh Harian Tempo bahwa lebih dari 50 % menilai daya tarik wanita pada selera humor, 27 % menganggap bahwa daya tarik wanita pada kecantikan wajahnya, sementara itu 2 % menganggap bahwa daya tarik wanita pada ukuran payudaranya.17 Dalam ajaran Islam masalah keluarga diatur berdasar Al-Qur’an dan sunnah Nabi dan di Indonesia tertuang dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Walaupun sumber ajarannya sama yaitu Al-Qur’an dan sunah, namun terjadi perbedaan para mujtahid dalam menentukan syarat, rukun dan lain-lain dalam pernikahan. Perbedaan pendapat ulama itulah yang kemudian menimbulkan beberapa mazhab dalam fikih di antaranya yang terkenal ialah Hanafiah, Malikiah, Syafi‘iah, dan Hanabilah. Dalam sebuah hadisnya, Rasulullah menyampaikan suatu pesan yang cukup penting dalam hal pemilihan pasangan.
Artinya: Wanita dinikahi karena empat perkara: (1) karena harta bendanya, (2) karena keturunannya, (3) karena cantiknya, dan (4) karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang memiliki agama, pasti kamu beruntung. (H.R. Abu Dawud r.a.).18
15
16
17
Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 644. M. Quraish Shihab menjelaskan berkenaan dengan ayat ini bahwa ada empat talitemali pengikat perkawinan yaitu: cinta, mawaddah, rahmah dan amânah. Menurutnya cinta sejati antarmanusia terjalin bila ada sifat-sifat pada yang dicintai, yang terasa oleh yang mencintai. Menurutnya ada lagi sesuai yang di atas cinta yaitu mawaddah dan rahmah. Mawaddah adalah “cinta plus”. Ia membuat orang berlapang dada dan hatinya kosong untuk berbuat buruk. Rahmah membuat orang bersabar, murah hati, tidak cemburu, tidak angkuh, tidak pemarah dan tidak juga dendam. Amânah membuat orang lain merasa aman, tenteram dapat dipercaya. Lihat M. Qurash Shihab, Untaian Permata buat Anakku, (Bandung: Al-Bayan, 1421/2001), cet. ke-8, h. 41-53. Abu Al-Ghifari mengemukakan banyak tanda-tanda cinta antara lain: curi pandang, salah tingkah, suka tersenyum sendiri, sering dan senang mengingatnya, cemburu, suka melamun, memenuhi keinganannya, menyukai yang disukai kekasih, merasa ingin dekat, dan lain-lain. Lih. Abu Al-Ghifari, Remaja & Cinta, Memahami Gelora Cinta Remaja dan Menyelamatkannya dari Berhala Cinta, (Bandung: Mujahid, 1424/2003), cet. ke-3, h. 53-61. Lih. TEMPO, tanggal 6 Agustus 2002, h. B. 1.
45
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
003 Konsep Cinta dan Kasih Sayang (Hidayat).pmd 45
27/03/2012, 23:36
Wacana Utama
Menurut hemat penulis, agama (dîn)19 di sini mencakup faktor batin sebagai lawan yang disebutkan sebelumnya yang bersifat lahiriah. Dîn di sini bukan sekedar rajin salat dan puasa, tetapi termasuk pribadi, watak dan sifat kejiwaan yang positif, termasuk rasa cinta, kecocokan perasaan dan pikiran, dan idealnya sebagaimana integritas pribadi dan watak golongan-golongan yang dicintai Allah di atas. Di zaman modern ini memang banyak orang yang mudah mengucapkan cinta sebagai alat pemikat, padahal sebenarnya dasar utamanya bukan itu. Oleh karena itu, tidak sedikit pasangan muda-mudi yang belum juga dapat dikatakan lama menjalin pernikahan telah dirundung percekcokan dan kemudian memutuskan untuk bercerai.20 Akan tetapi, harus diakui juga bahwa di zaman yang semakin modern ini semakin banyak pula faktor-faktor yang dapat dengan mudah mengubah cinta menjadi benci atau sebaliknya. Tidak mudah orang merawat tali cinta yang dengan mudah telah diucapkan ketika awal bertemu, walaupun dapat juga rasa cinta itu datang kemudian. Cinta dapat juga tumbuh dan berkembang setelah terjadi pernikahan. Buktinya tidak sedikit pasangan suami istri di pedesaan, yang pernikahannya sekedar dijodohkan oleh orangtua, dapat hidup rukun bahagia sampai mereka tua. Sebaliknya, tidak sedikit muda-mudi di perkotaan yang hafal banyak lagu-lagu cinta, dan banyak menonton film atau sinetron bertema cinta, bahkan mungkin ia pelaku (aktris dan aktornya) ternyata gagal dalam membina rumah tangga. Memang diakui tidak terhitung faktor yang dapat dijadikan penyebab kegagalan keluarga dan perceraian tidak selalu sebagai bukti kegagalan.21
18
19
20
21
Lihat al-Jâmi’ al-Shagîr oleh al-Suyûtî hadis no. 3372 dan 2114 dan dinilainya sahîh. Dapat dilihat juga pada Sunan Abî Dâwûd hadis no. 2047. Cf. Abu Al-Ghifari, Remaja…, h.85. Ia menguraikan secara singkat 6 tingkatan cinta, 16 tandatanda remaja jatuh cinta, 20 jenis cinta di rimba modern, 14 cinta yang ternoda, dan lain-alin. Menurutnya “cinta suci ialah cinta yang bersih atau murni dari kepentingan-kepentingan pribadi atau yang lainnya. Seorang pria yang telah mencintai seorang wanita lantas menumpahkan segala kasih sayangnya tanpa pamrih, termasuk jenis manusia yang menghargai cinta. Karena cinta bukan menerima tapi memberi” (h.84). Dengan kata lain, cinta suci ialah cinta yang abadi, tidak cepat luntur, baik sipencinta dan yang dicintai merasa bahagia sepanjang masa, percekcokan dan pertengkaran sekedar sebagai bumbu-bumbu dan variasi kehidupan. Dîn juga diartikan sebagai inti agama yang semuanya sama, sedang yang berbeda adalah syarî‘ah (jalan) dan manhaj (cara). Cf. Mun‘im A. Sirrî, (ed.), Fikih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004), cet. ke-1, h. 20. Inti agama ialah: iman kepada Tuhan, penyerahan diri, mengajak yang baik dan mencegah yang buruk (pen.). Inilah sebagai akibat cinta spontan atau cinta buta, cinta pamrih. Abu Al-Ghifari mengutip pendapat Kahlil Gibran bahwa “cinta adalah keindahan sejati yang terletak pada keserasian spiritual.” Sedang John Gray berpendapat: “Cinta berarti memberi bukan menerima. Cinta jauh dari saling memaksakan kehendak. Cinta tidak menuntut, tetapi menegaskan dan menghargai cinta tidak akan pernah tercipta selagi kita belum bisa menerima perbedaan” (halaman sampul belakang). Bagi Aa Gym kunci baiknya manusia ada pada hati dan kemampuan menata hati atau istilahnya Manajemen Qalbu yang dikembangkan di pesantren Daarut Tauhiid. Pada dasarnya orang hendaklah memahami benar dirinya sendiri dan kemudian mampu mngendalikan diri. Hati mampu menunjukkan siapa sebenarnya diri kita. Hati juga harus bersih, bening dan jernih yang akan merefleksi pada penampilan setiap orang. Menurutnya sebagai umat Islam hedaknya berteladan kepada Rasulullah. Dengan demikian, hidup menjadi lebih mudah dan indah, lebih mulia dan terhormat, lebih disukai dan disayangi orang lain, lebih berprestasi, akan dicintai Allah dan Rasulnya dan akan masuk surga. Tampaknya Aa Gym berpegang pada hadis: Lihat Hernowo, M. Deden Ridwan (ed.), Aa Gym dan Fenomena Daarut Tauhiid, (Bandung: Mizan, 1423/2002), cet. ke4, h. 25, 116-121.
46
003 Konsep Cinta dan Kasih Sayang (Hidayat).pmd 46
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
27/03/2012, 23:36
Konsep Cinta dan Kasih Sayang dalam Al-Qur’an
Senada dengan Beth di atas, Norman Goodman dan Gary T. Marx dalam Society Today menyatakan bahwa banyak masyarakat kita yang percaya bahwa perkawinan yang paling baik ialah yang dilandasi rasa cinta (few societies share our belief that the best marriage is one based on love). Akan tetapi, ia juga mengatakan bahwa: “the belief that marriages should be based on love, or even that love in a precondition for marriage is not universal.” Ia mengajukan alasan bahwa: “love may be as a desireable result (not precondition) of betrothal or marriage.” Baginya yang ideal ialah apa yang disebut “conjugal love” yaitu “the love that can developed between spouses on the basis of companionship, mutual understanding, and shared experience.”22 Namun, untuk di Amerika, ia mengatakan bahwa cinta lebih banyak menuju seks dari pada menuju pernikahan (that in our society love leads to sex more often than it leads to marrage).23 Untuk mengetahui kebenaran cinta dari kedua belah pihak, diperlukan waktu untuk saling berkenalan bahkan mengenal pribadi, sifat dan watak masing-masing.24 Sayangnya masa perkenalan (pacaran) sering disalahgunakan dan tak terkendali sehingga sering terjadi hal-hal yang tak diinginkan oleh berbagai pihak, termasuk yang terlibat langsung. Tidak dapat disangkal bahwa dalam keluarga, orangtua, terutama ayah dan ibu sangat besar peranannya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi:
22 23
24
Norman Goodman and Gary T. Marx, Society Today, (New York: Random House, 1982, 4th Edition, h. 325-330. Norman Goodman and Gary T. Marx, Society Today…, h. 326. Pesatnya kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di barat mengakibatkan masyarakat cenderung rasionalis, materalis, individualis, kurang berpegang pada nilainilai moral dan agama. Selain makin banyaknya perceraian karena rapuhnya ikatan kelurga, mereka juga menganut seks bebas (free sex) dan hubungan kelamin sebelum nikah (pre-marital sex) bukan hal yang tabu. Budaya demikian telah pula menyebar di berbagai penjuru dunia termasuk di dunia yang sedang berkembang seperti Asia dan Afrika. Akibat lebih jauh dari fenomena ini ialah berjangkitnya Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) yang cukup mengerikan. Pada Suplemen Khusus Media Indonesia, Kamis, 18 Desember 2003 diprediksi tahun 2010 Indonesia akan dilanda bencana AIDS. Dikemukakan bahwa sampai September 2003 jumlah kasus AIDS mencapai 1.239 (laki-laki 954, perempuan 270 dan 15 tak diketahui jenis kelaminnya. Jumlah kasus AIDS berdasar ptrovinsi: DKI, 338 (mati 88); Papua, 388 (mati 143); Jwa Timur, 190 (mati 55); Riau 52 (mati 25); Bali, 49 (mati 12); Jawa Barat, 59 (mati 18). Sementara itu perkiraan penderita HIV/AIDS akhit 2003 adalah: Amerika Utara (790.000-1,2 juta), Eropa Barat (520.000-680.000), Erope Timur dan Asia Tengah (1,2-1,8 juta); Afrika Utara & Timur Tengah, (470.000-730.000); Asia Temggara dan Selatan (4,6-8,2 juta); Karibia, (350.000-590.000); Amerika Latin (1,3-1,9 juta); Sub Sahara Afrika (25,0-28,2 juta); Australia & Selandia Baru, (12.000-18.000). Di sampuing penyebabnya seks bebas juga ada kecenderungan melalui jarum suntik yang digunakan bersama di kalangan pecandu narkoba. Boleh jadi kecilnya jumlah penderita HIV/ AIDS karena masyarakatnya sebagai penganut ajaran Islam yang melarang perzinahan dan free sex. Pribadi atau “personality consists of relatively long-lasting behavior patterns that yield fairly consisten reactions to a number of different situation.” (Lih. F.B. Macmahon and J.D. Macmahon, Psychology: The Hybrid Science, (Chicago, Illinois: The Dorsey Press, 1986), 6th Ed., h. 486. Sedangkan watak atau karakter ialah: “Struktur rohani yang tampak pada kelakuan dan perbuatannya” Lihat Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1976), h. 320. Ilmu tentang watak manusia disebut karakterologi (lih. h. 139-140). Watak atau karakter “sifatnya dapat dikembangkan oleh faktor-faktor pembawaan (endogeen) dan faktor-faktor luar (exogeen) seperti alam sekitar, pendidikan dan pengaruh dari luar pada umumnya.”
47
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
003 Konsep Cinta dan Kasih Sayang (Hidayat).pmd 47
27/03/2012, 23:36
Wacana Utama
Artinya: Tidaklah anak itu dilahirkan kecuali atas dasar fitrah (bakat), maka terserahlah pada ayah ibunya yang menjadikan anaknya beragama Yahudi, Nasrani ataupun Majusi.25 Hadis ini tampaknya paralel dengan teori meja lilin (tabula rasa) yang dikemukakan oleh seorang sarjana Inggris, John Locke (1632-1704) yang isinya menekan bahwa perkembangan manusia sangat ditentukan oleh lingkungan atau pendidikan. Baik buruknya seseorang ditentukan oleh pendidikan.26 Pada masa anak-anak, keluarga merupakan lingkungan utama dan orangtualah yang pertama kali memberikan pendidikan, terutama pendidikan moral dan agama.27 Dalam hal peran orangtua terhadap pendidikan moral dan agama pada anak dapat dilihat dalam Surah Luqmân/31:13-15:
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-
25
26 27
Lihat Sahîh al-Bukhârî hadis no. 4497 juga 1319 dan al-Jâmi’ al-Sagîr oleh al-Suyûti hadis no. 6352. Cf. M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 4 dan 29-30. Pada hal. 4 dinyatakan hadis itu diriwa-yatkan oleh al-Bukhârî sedang pada hal. 29 dinyatakan diriwayatkan oleh Muslim. Menurutnya berdasar hadis ini, maka pendidikan dalam Islam menganut aliran konvergensi yaitu perpaduan antara pembawaan (bakat) dengan lingkungan (pendidikan). Cf. Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi…, h. 159. Lihat Allan C. Ornstein, Daniel U. Levine, An Introduction to the Foundation of Education, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1985), 3rd Edition, h. 113. Ia seorang penganut aliran empiris dalam pendidikan (empericist educator). Allan C. Ornstein, Daniel U. Levine, An Introduction …, h. 123: “Herbart’s aim was to produce an educated individual pf good character and high morals” Cf. Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. Afandi dan Hasan Asari, (Jakarta: Logos Publishing House, 1994), cet. ke-1, h. 56. Ilmu-ilmu agama untuk perguruan tinggi yang dipelajari mencakup Ilmu Al-Qur’an, tafsir, hadis, fikih, zikir, zuhud, tasawuf, dan syahadah.
48
003 Konsep Cinta dan Kasih Sayang (Hidayat).pmd 48
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
27/03/2012, 23:36
Konsep Cinta dan Kasih Sayang dalam Al-Qur’an
Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.28 Dari ayat-ayat di atas dapat diringkas isinya sebagai berikut: pertama, orangtua berkewajiban mendidik anak-anaknya; kedua, pendidikan yang utama ialah pendidikan agama atau keimanan, yaitu mengesakan Tuhan; ketiga, orangtua juga harus menyadarkan anak agar hormat kepada orangtua, terutama kepada ibunya yang telah mengandungnya dan merawatnya dengan penuh kasih sayang, sementara bapak mencari nafkah untuk kebutuhan keluarga; keempat, walaupun begitu, jika orangtua memaksanya untuk mempersekutukan Tuhan, tidak boleh diikutinya; kelima, walaupun demikian hubungan dengan orangtua tetap harus dilakukan dengan baik. Pada ayat 17 menjelaskan bahwa orangtua juga berkewajiban memerintahkan anaknya untuk salat, amar makruf nahi mungkar, bersabar dalam menghadapi musibah. Pada ayat 18 menjelaskan bahwa orangtua juga hendaknya melarang anak berbuat congkak atau angkuh, tetapi hendaklah bersikap sopan dan santun dan berbudi luhur. Kedua orangtua hendaknya menjadi contoh dan teladan bagi anak-anak. Orangtua yang guyup dan rukun akan mengakibatkan kehidupan yang tenteram bagi anak-anak. Sebaliknya orangtua yang kerap berselisih dan bertengkar akan menggelisahkan anak-anak, apalagi bila anak menjelang dewasa/remaja. Akhirnya anak tidak betah di rumah dan keluar rumah untuk menghindari apa yang tidak enak dilihat dan didengar dari pertengkaran orangtua. Dalam hal merawat cinta kasih suami istri ini, Ibrahim Amini dalam Principle of Marriage Ethics menjelaskan perlunya seorang istri mengungkapkan rasa cintanya kepada suami. Hal ini perlu karena setiap orang ingin dicintai dan disayangi, lebih-lebih seorang suami dari istrinya. Orang yang tidak mendapat rasa cinta dan kasih sayang dari orang lain akan merasa sepi dan terasing. Sebaliknya seorang suami yang merasa dicintai dan disayangi oleh istrinya ia akan merasa bangga dan bersemangat dalam hidup dan bekerja, perasaan mejadi lega dan puas.29 Rasa cinta tidak cukup disimpan dalam hati, tetapi perlu diungkapkan dengan sikap dan perilaku. Jika cinta hanya disimpan dalam hati, suami tidak tahu kalau istrinya cinta. Walaupun begitu, menurut Erich Fromm tidak baik jika seseoramg hanya akan menuntut untuk dicintai, tetapi sebaliknya hendaklah masing-masing berusaha untuk memberikan cintanya kepada pihak lain
28
Al-Qur’an dan…, h. 654-655. Pada catatan kaki dijelaskan bahwa selambat-lambatnya waktu menyapih ialah setelah umur 2 tahun. Cf. Yusuf Ali dalam komentarnya: 3595. Luqman is held up as a pattern of wisdom, because he realized the best in a wise life in this world, as based upon the highest Hope in the inner life. To him, as in Islam, true human wisdom is also divine wisdom: the two cannot be separated. The beginning of all wisdom, therefore, is conformity with the Will of Allah (xxxi. 12). That means that we must understand our relations to Him and worship Him aright (xxxi. 13). Then we must be good to mankind, beginning with our own parents (xxxi. 14). For the two duties are not diverse, but one. Where they appear to conflict, there is something wrong with the human will (see n. 3597).
49
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
003 Konsep Cinta dan Kasih Sayang (Hidayat).pmd 49
27/03/2012, 23:36
Wacana Utama
dengan tulus. 30 Jika orang menekankan untuk dicintai hampir selalu akan mengalami kekecewaan. Sebab hampir tidak ada seorangpun yang merasa telah memperoleh cinta yang sepenuhnya. Akhirnya berbagai perbedaan dari kedua pihak akan dinilai sebagai tidak atau kurang mencintai. Sementara cinta itu sendiri merupakan lawan kata benci sehingga bisa bertambah atau berkurang sampai ke titik benci. Hal tersebut dapat diperuncing jika komunikasi tersumbat, tak mampu mengendalikan emosi, pikiran manjadi sempit, saling menyalahkan, apalagi jika kemudian mendapat angin dari orang ketiga dan terjadi perselingkuhan. Ibrahim Amini juga menjelaskan perlunya suami mengungkapkan cintanya kepada istri agar cinta itu terjadi timbal balik. Jika suami tidak mau menyatakan mencintai istrinya, maka mungkin istri akan mencari cinta dari orang lain atau berselingkuh. Dalam kaitan ini Allah memperingatkan dalam Surah al-Isrâ’/17:32:
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.31 Ayat di atas memperingatkan manusia agar hati-hati dalam hal perselingkuhan dan perzinaan yang akan merusak keluarga dan pada gilirannya juga merusak anak-anak yang akan
29
30
31
Ibrahim Amini, Principle of Marriage Ethics, (Jakarta:1984).h. 22, 131 Cf. Hernowo, M. Deden Ridwan (Ed.), Aa Gym dan Fenomena Rdarut Tauhid, Memeprbaiki Diri lewat mnajemen Qalbu, (Bandung: Mizan, 1423/2002), cet. ke-4, h. 210. Menurut AA Gym pernikahan dalam Islam pada dasarnya untuk membentuk keluarga sakînah, mawaddah dan rahmah, yaitu keluarga yang aman, tenteram, penuh cinta dan kasih sayang. Menurutnya, sebelum itu harus meluruskan niat bahwa mernikah hendaklah dijadikan ladang beramal, menyempurnakan ibadah dan menuju ridha Allah (h. 211). Selanjutnya agar pernikahan menjadi indah dan menenteramkan kalbu diperlukan persiapan: 1) keluarga akan kukuh, kuat dan mantap jika suami istri mencintai ilmu. Ia kemudian mengutip suatu hadis yang intinya berisi bahwa barangsiapa ingin dunia, maka memerlukan ilmu dan yang menginginkan akherat juga perlu ilmu dan barang siapa yang menginginkan keduanya juga perlu ilmu tentang keduanya (Man arâda al-dunyâ fa‘alaihi bi al-‘ilm wa man arâda al-âkhirah fa ‘alaihi bi al-‘ilm wa man arâdahumâ fa‘alaihi bi al-‘llm); 2) Gemar beramal. Setelah bekal ilmu, jelas diperlukan pengamalannya. Ia menegaskan bahwa “jangan menuntut sesuatu kepada orang lain, tetapi tuntutlah terlebih dahulu diri kita untuk berbuat suatu kebaikan semaksimal mungkin; 3) ikhlas. Ikhlas di sini ialah ikhlas li Allâh, semata-mata mencari kerelaan Allah. Jika Allah merelai amal kita, maka Allah akan memberi jalan keluar yang baik (Q.S. 65/al-Talâq: 2: barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar atau way out). Erich Fromm, The Art of Loving, terj. Syafi’ Alielha, (Jakarta: Fresh Bokks, 2002), cet. ke-1, h. 2: “Sikap aneh ini berakar dari sejumlah pandangan yang beberapa di antaranya masih dipertahan-kan hingga sekarang. Dalam masalah cinta, kebanyakan orang pertama-tama melihatnya sebagai persoalan dicintai ketimbang mencintai atau kemampuan untuk mencintai. Oleh karena itu, persoalan terpenting bagi kebanyakan orang adalah bagaimana agar dicintai, atau bagaimana bisa dicintai.” Selanjutnya dijelaskan berbagai upaya yang ditempuh orang agar dicintai (to be loved). Al-Qur’an dan…, h. 429. Cf. Komentar Yusuf Ali terhadap ayat tersebut: 2215. Adultery is not only shameful in itself and inconsistent with any self-respect or respect for others, but it opens the road to many evils. It destroys the basis of the family: it works against the interests of children born or to be born; it may cause murders and feuds and loss of reputation and property, and also loosen permanently the bonds of society. Not only should it be avoided as a sin, but any approach or temptation to it should be avoided.
50
003 Konsep Cinta dan Kasih Sayang (Hidayat).pmd 50
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
27/03/2012, 23:36
Konsep Cinta dan Kasih Sayang dalam Al-Qur’an
menjadi generasi penerus. Sebanarnya yang dilarang adalah berbuat zina, tetapi karena zina merupakan perbuatan yang dinilai keji dan banyak mudaratnya, maka mendekatinya atau berbuat yang akan menjurus kepada zina sudah dilarang. Para ulama menyebutnya sebagai penutup jalan (sadd al-Ÿarî’ah). Pengungkapan cinta memang tidak selalu harus dalam bentuk benda atau materi, tetapi yang lebih penting adalah dalam bentuk sikap dan perilaku. Misalnya muka yang manis, perilaku yang sopan, sekali-sekali bersendau-gurau, pergi bersama dan sebagainya. Suami istri yang sudah berlangsung lama biasanya dihinggapi penyakit kejenuhan. Untuk itu diperlukan kedua belah pihak aktif dan kreatif mencari cara-cara menghilangkan atau mengurangi kejenuhan dan suasana menjadi segar. Suami istri yang sering bertengkar atau jarang pergi bersama berarti alamat rasa cinta dari kedua belah pihak mulai berkurang, lama kelamaan akan hilang dan berubah menjadi kebencian.32 Walaupun demikian, cinta suami istri ini bukanlah satu-satunya dan segala-segalanya. Cinta suami istri hendaklah dijiwai oleh cinta Ilahi. Dalam kaitan ini Allah berfirman dalam Surah al-Taubah/9:24:
Artinya: Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.33
32
33
Menurut Quraish Shihab dalam rangka menjaga keutuhan rumah-tangga perlu diperhatikan tali temali pengikat perkawinan yaitu cinta, mawaddah, rahmah dan amânah. Dikatan bahwa cinta ada masa kelahirannya dan ada saat perkembangannya, baik menurun maupun menanjak, dan bisa juga ada masa kematiannya. Di atas cinta ada yang seharusnya mengikat suami istri yaitu mawaddah dan rahmah. Mawaddah dinilai sebagai cinta plus yaitu kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Dengan mengutip Ibarahim al-Biqa’y dikatakan bahwa mawaddah adalah “cinta yang tampak dampaknya pada perlakuan.” Sementara “rahmah menghasilkan kesabaran, murah hati, tidak cemburu, pemiliknya tidak angkuh, tidak mencari keuntungan sendiri, tidak juga pemarah apalagi pendendam.” Lihat M. Quraish Shihab, Untaian Permata Buat Anakku (Pesan Al-Qur’an untuk Mempelai), (Jakarta: Al-Bayan, 1421/2001), cet. ke-8, h. 40-51. Al-Qur’an dan…, h. 281. Cf. Yusuf Ali dalam komentarnya: 1272. Man’s heart clings to (1) his own kith and kin-parents, children, brothers and sisters, husbands or wives, or other relatives, (2) wealth and prosperity, (3) commerce or means of profit and gain, or (4) noble buildings, for dignity or comfort. If these are a hindrance in Allah’s cause, we have to choose which we love most. We must love Allah even if it involves the sacrifice of all else.
51
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
003 Konsep Cinta dan Kasih Sayang (Hidayat).pmd 51
27/03/2012, 23:36
Wacana Utama
Ayat di atas memang tidak melarang mencintai orangtua, istri, anak-anak dan benda-benda lain yang bermanfaat bagi kehidupan di dunia, tetapi semua itu hendaklah tidak melebihi cintanya kepada Allah, Rasul dan berjuang di jalan Allah. Orang yang hanya mengutamakan cinta keduniaan dinilai sebagai orang fasik, yaitu orang yang melampaui batas atau orang yang kafir setelah iman.34 Yang sulit dalam suatu keluarga ialah merawat dan menjaga kelangsungan cinta serta bagaimana menjaga keseimbangan antara upaya untuk mencintai dengan tuntutan untuk dicintai. Kerap kali seseorang hanya selalu menuntut untuk dicintai yang tidak jelas ukurannya sementara ia sendiri lupa telah sejauhmana memberikan cintanya kepada pihak lain. Menjaga keharmonisan suami-istri, merawat cinta-kasih, sangat tergantung kematangan emosi dan pikiran kedua belah pihak yang biasanya paralel dengan bertambahnya usia dan pengalaman. Yang tidak kalah pentingnya dalam hubungan suami sitri ialah masih banyaknya anggapan bahwa istri harus taat dan patuh sepenuhnya kepada suami dan kurang dipandang sebagai mitra sejajar. Hal itu sebagai akibat budaya paternalistik yang masih berlaku di mana-mana. Karena itu banyak suami yang selalu ingin menang sendiri dan berlaku sewenang-wenang. Padahal banyak ayat yang menunjukkan kesejajaran suami istri atau laki-laki dengan wanita sebagaimana firman Allah dalam Surah al-Nahl/16:97:
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.35 Ayat lain yang senada isinya ialah firman Allah dalam Surah al-Nisâ’/4:124:
34
35
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1416/1995), cet. ke-11, h. 289 (fisq). Menurut Toshihiko Izutsu fasiq merupakan sinonim dari kafir. Fisq ialah khurûj ‘an al-tâ‘ah atau tidak taat kepada perintah Tuhan atau tidak satunya kata dengan perbuatan. Lebih rincinya lihat Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an, (McGill University Press, 1966). Edisi Indonesia diterjemahkan berjudul: Etika Beragama dalam Qur’an, terj. Mansuruddin Djoely, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), cet. ke-2. Al-Qur’an dan…, h. 417. Pada catatan kaki terdapat penjelasan bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama, di samping itu amal saleh harus disertai iman. Dalam kaitan ini ‘Alî ‘Abd al-Wâhid Wâfi menyatakan: Lih. ‘Ali ‘Abd al-Wâhid Wâfî, Al-Musâwâh fi al-Islâm, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1965, cet. ke-3, h. 30.
52
003 Konsep Cinta dan Kasih Sayang (Hidayat).pmd 52
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
27/03/2012, 23:36
Konsep Cinta dan Kasih Sayang dalam Al-Qur’an
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.36 Idealnya pasangan suami istri hendaknya yang telah matang jasmani (balîg) dan rohani (rusyd) yang dengan sendirinya diikuti kematangan emosi. Di antara tanda-tanda kematangan emosi dan berpikir ialah: tidak cepat senang atau sedih dengan sesuatu yang dihadapi; tidak terlalu cepat bertindak/beraksi sebelum mempertimbangkan dengan masak akibatnya; jujur dalam berkata dan berbuat; terbuka dan obyektif dengan bersedia menerima kritik dari pihak lain dan mengakui kesalahan diri sendiri dan kebenaran orang lain; rela minta maaf dan memberi maaf kekeliruan orang lain; tabah dan sabar menghadapi problema dengan keyakinan bahwa tak ada problema yang tak terpecahkan; hidup optimis, tidak putus asa, dan mensyukuri apa yang telah didapat; berpegang teguh kepada nilai-nilai agama dan moral masyarakat. Dalam hal menahan emosi dan rela memberi maaf ini Allah berfirman dalam Surah Âl ‘Imrân/3: 134:
Artinya: (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.37
36
37
Al-Qur’an dan…, h. 142. Dalam hal persamaan antara laki-laki dan wanita ini dapat juga dilihat Q.S. 4/al-Nisâ’: 32 (tentang perolehan usaha); Q.S. 24/al-Nûr: 2 (tentang pidana zina); Q.S. 5/al-Mâ’idah: 38 (tentang pidana pencurian). Lihat Komentar Yusuf Ali dalam hal ini: 2137. Faith, if sincere, means right conduct. When these two confirm each other, Allah’s grace transforms our life. Instead of being troubled and worried, we have peace and contentment; instead of being assailed at every turn by false alarms and the assaults of evil, we enjoy calm and attain purity. The transformation is visible in this life itself, but the “reward” in terms of the Hereafter will be far beyond our deserts. Al-Qur’an dan…, h. 98. Cf. Komentar Yusuf Ali: 453. Another definition of the righteous (vv. 134-35). So far from grasping material wealth, they give freely, of themselves and their substance, not only when they are well-off and it is easy for them to do so, but also when they arc in difficulties, for other people may be in difficulties at the same time. They do not get ruffled in adversity, or get angry when other people behave badly, or their own good plans fail. On the contrary they redouble their efforts. For the charity-or good deeds all the more necessary in adversity. And they do not throw the blame on others. Even where such blame is due and correction is necessary, their own mind is free from a sense of grievance, for they forgive and cover other men’s faults. This as far as other people is concerned. But we may be ourselves at fault, and perhaps we brought some calamity on ourselves. The righteous man is not necessarily perfect. In such circumstances his behavior is described in the next verse.
53
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
003 Konsep Cinta dan Kasih Sayang (Hidayat).pmd 53
27/03/2012, 23:36
Wacana Utama
Ayat di atas sebenarnya berkaitan dengan ayat sebelumnya tentang sifat orang-orang yang bertakwa (al-muttaqûn) yaitu dermawan, tidak permarah, pemaaf. Hubungan orangtua dengan anak juga sangat penting agar anak tumbuh dan berkembang sehat jasmani dan rohani, tertanam rasa cinta kepada ibu bapak serta kakak adik. Anak harus selalu diajak berdialog secara terbuka tanpa ada rasa takut. Sebenarnya setiap pasangan suami istri idealnya telah dibekali pengetahuan atau ilmu bagaimana cara menghadapi anak dengan baik. Apa saja yang diperlukan bagi partumbuhan jasmani agar sehat. Dan yang lebih penting lagi ialah pengetahuan bagaimana memperlakukan anak agar rohaninya berkembang dengan sehat. Sehu-bungan dengan hak anak terhadap orangtua dapat dilihat sabda Nabi:
Artinya: Hak-hak anak terhadap orangtua itu ada tiga macam: 1) dibaguskan namanya bila telah dilahirkan; 2) diajarkan al-Kitab bila telah dapat mempergunakan akalnya; dan 3) dikawinkannya bila telah dewasa.38 Kekeliruan perlakuan orangtua terhadap anak sangat menentukan masa depan anak.39 Menurut Erich Fromm, cinta ibu berbeda dengan cinta bapak terhadap anak. Seorang itu mencintai anaknya tanpa harapan imbalan apapun, hanya semata-mata karena dia anaknya. Sementara cinta ayah terhadap anaknya hanya jika anak patuh atas segala perintahnya, dan mampu menunjukkan prestasi yang diinginkan dari anaknya. Jika tidak demikian, maka kebencian dan celaan yang akan diterima anak.40
38 39
Lihat al-Jâmi‘ al-Sagîr hadis no. 3742 dan 3745 yang dinilai oleh al-Suyûti sebagai hadis lemah (da‘îf). Cf. Fatchurrahman, al-Hadiš al-Nabawî, (Kudus: Menara, tt.), h. 153. Dalam hal pendidikan anak dapat dilihat contoh Luqman dalam Q.S. 31/Luqmân: 13, 14, 15, 17, 18, dan 19 yang intinya: pertama, diajarkan keimanan tauhid; kedua, dilarang menyekutukan Allah dengan apapun karena hal itu merupakan aniaya yang besar; ketiga, bersyukur kepada Allah atas rahmat dan karunianya yang tak terhitung jumlah dan nilainya; keempat; berterimakasih kepada ibunya yang telah mengandung dan melahirkannya dengan berat serta mempertaruhkan jiwa raganya, menyusui dan mengasuhnya; kelima, berterimakasih kepada bapak yang telah menyediakan keperluan keluarga seperti biaya pendidikan dan perawatannya; keenam, tidak perlu mematuhi orangtua jika untuk menyekutukan Allah atau hal negatif lainnya, tetapi tetap bergaul dengan baik; ketujuh, bersikap kasih dan sayang serta tunduk dan hormat kepada ibu bapak; kedelapan, dilarang berkata dan berlaku kasar kepada orangtua apalagi jika keduanya telah lanjut usia; kesembilan, rajin melakukan salat; kesepuluh berani mengajak melakukan yang baik dan mencegah yang munkar; kesebelas tabah dan sabar dalam menghadapi kesulitan dan cobaan; kedua belas, bersikap sopan santun dalam pergaulan, tidak congkak atau sombong. ketigabelas, bersikap dan betutur kata yang lembut serta rendah hati (tawaddu‘) tidak bersikap kasar; dan keempatbelas, selalu mendoakan kedua orangtua agar keduanya senantiasa memperoleh rahmat dan kerunia Allah serta diampuni segala dosanya (lihat juga Q.S. 17/al-Isrâ’: 23,24).
54
003 Konsep Cinta dan Kasih Sayang (Hidayat).pmd 54
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
27/03/2012, 23:36
Konsep Cinta dan Kasih Sayang dalam Al-Qur’an
Dalam kaitan ini kiranya perlu diperhatikan pendapat Dorothy Law Nolte dalam bukunya Children Learn What They Live sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat, Anak Anak Belajar dari Kehidupannya. Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakukan, ia belajar keadilan Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.41 Jalaluddin juga mengutip pembicaraan kepala kabilah Bani al-Aqra’ yang heran Nabi mencium anaknya, padahal ia tidak pernah mencium anaknya. Dalam kaitan ini Nabi menjawab: “Aku bukan seperti kamu, karena Allah telah mencabut cinta dari jantungmu.” Di tempat lain juga disebutkan pendapat ahli Hikmah: Jika kami belum melihat kalian, maka yang paling kami cintai ialah yang paling bagus namanya. Bila kami sudah melihat kalian, maka yang paling bagus wajahnya. Bila kami sudah mendengar kalian, maka yang paling bagus pembicaraanya. Bila kami sudah memeriksa kalian, maka yang paling kami cintai adalah yang paling bagus akhlaknya. Adapun batin kalian, biarlah itu urusan kalian dengan Tuhan kalian.42 Dikemukakan pula pendapat Peter Anderson dalam bukunya Menuju Hidup Sehat dan Sejahtera.
40
41
42
Erich Fromm, The Art of…, h. 65-75. Model cinta ayah dan cinta ibu ini juga mempengaruhi konsep kepercayaan orang terhadap Tuhan. Kepercayaan yang mother centered beranggapan bahwa Tuhan mencintai tanpa pilih kasih, menolong dan melindungi tanpa mengharap imbalan apapun. Kepercayaan father centered beranggapan bahwa Tuhan memiliki banyak perintah dan larangan yang harus dipatuhi, jika tidak, Tuhan akan menghukumnya. Perkembangan selanjutnya Tuhan dianggap sebagai simbol prinsip keadilan, kebenaran dan cinta kasih. (lihat h. 105-114). Cf. Pendapat Ratna Megawangi dalam Sachiko Murata, The Tao of Islam…, h. 8-9 dengan istilah Tuhan Maskulin (“the Father God”) dan Tuhan Feminin (“the Mother God”). Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, (Bandung: Mizan, 1412/1992), cet. ke-4, h. 187. Cf. Herry Tjahjono, Menjadi Pendekar di atas Pendekar (Cinta, Cinta dan Cinta), (Jakarta: PT Elex Media Komputerindo, 2002), cet. ke-1, h. 100. Ia mengatakan bahwa kekeliruan menghadapi anak dapat berakibat anak suka mencerca (to condemn), pemalu atau rendah diri (to be shy), dan merasa serba salah dan apatis (to feel guilty). Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, h. 186. Dikemukakan sabda Nabi: “Bukan umatku orang yang tidak menghormati yang tua dan tidak menyayangi yang kecil”. Sabda Nabi yang lain: “Orang yang paling baik di antara kamu ialah orang yang paling penyayang terhadap keluarganya; dan aku adalah orang yang paling sayang kepada kelurgaku”.
55
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
003 Konsep Cinta dan Kasih Sayang (Hidayat).pmd 55
27/03/2012, 23:36
Wacana Utama
Pikiran seorang anak, demikian pula fisiknya, memerlukan bantuan untuk pertumbuhannya. Ada tiga macam makanan yang penting untuk pertumbuhan pikirannya yaitu bahasa, bermain, dan kasih sayang. Sejak bulan pertama kehidupannya, seorang anak perlu diajak bercakap-cakap, disekap, dan diasuh dengan penuh kasih sayang, diberi senyuman, didengarkan dan dirangsang untuk memberikan reaksi dengan bunyi-bunyian atau gerakan. Mereka perlu sentuhan, teman bicara, teman tertawa, memberikan respons dan menerima respons. Kurangnya perhatian akan membuat mereka tidak bahagia. Anak yang kurang perhatian akan kehilangan semangat hidup, kehilangan selera makan, sehingga pikiran dan badannya tidak tumbuh dengan baik.43 Karena cinta Nabi kepada putrinya ia menggelari Fatimah dengan ummu abihâ, ibu yang merawat ayahnya, sebagai sanjungan atas perhatiannya kepada ayah. Dengan Hasan dan Husain, Nabi juga sangat sayang dan biasa digendong dan diciumnya. Garry Martin dan Grayson Osborne setuju dengan apa yang dilakukan oleh Nabi. Ia menulis dalam bukunya Psychology Adjustment and Everyday Living: Semua orang dapat didukung untuk melakukan apa saja, dan tidak terkecuali anak-anak. Secara istilah tindakan mendukung itu adalah kata halus dari peneguhan positif. Peneguh (reinforcer) yang paling berarti untuk manusia, terutama anak-anak, adalah peneguh sosial. Hal ini biasanya berbentuk pujian atau boleh juga apa saja yang mengungkapkan perhatian, senyuman, pelukan, kecupan, dekapan, perhatian yang mendalam, dan mendengarkan yang baik”.44 Pentingnya pendidikan akhlak, agama, dan etika bagi anak yang sedang tumbuh juga dikemukakan oleh Muhammad Munir Mursa. Dikatakan bahwa agama merupakan sumber utama akhlak.45 Itulah sebabnya Rasulullah Saw. Juga sangat menekankan bahwa jika seseorang
43
44
45
Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, h. 189. Dalam budaya Jawa, hubungan anak dengan orangtua cukup kental sebagaimana dikenal istilah “mikul duwur mendem jero” yang maksudnya anak hendaklah mampu menjunjung tinggi derajat orangtua dan menyimpan dalam-dalam aibnya atau hal-hal yang tidak baik. Dalam nyanyian (tembang) yang dinyanyikan seorang penyanyi Jawa (pesinden) Tjondrolukito (almarhum) yang direkam dalam kaset dan banyak beredar di masyarakat, di antaranya dikemukakan: “putri putra bektia mring ibu rama-yekti lantarane sira kepareng dumadya-lair neng ngalam donya den labuhi lara lapa-iku nyata”. Maksudnya ialah anak laki-laki dan perempuan hendaknya berbakti kepada ibu bapak, sebab lantaran keduanya engkau tercipta, lahir di dunia dengan pengorbanan yang susah payah, itulah kenyataannya. Ada juga istilah lain “den labuhi lara pati” yang artinya dengan pengorbanan sakit atau meninggal. Pada tempat lain disebutkan: “sumungkem padaning Gusti, rina wengi” yang artinya sujud kepada Tuhan siang dan malam. Pesan ini paralel dengan Q.S. 31/Luqmân: 13, 14, 15, 17, 18, 19 dan Q.S. 17/al-Isrâ’: 23, 24 sebagaimana tersebut di atas. Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual, h. 190-191. Ia juga mengemukakan pendapat Ali bin Abi Talib: “Siapa yang dicintai keluarganya, ia akan dicintai kaumnya”. Dalam teori tabula rasa (meja lilin) dikatakan bahwa anak yang lahir ibarat kertas yang putih bersih (meja lilin) dan lingkunganlah yang amat menentukan, terutama kedua orangtuanya (lihat Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi…, h. 294). Teori ini tidak jauh berbeda dengan sebuah hadis yang isinya bahwa anak dilahirkan suci bersih, selanjutnya kedua orangtuanya amat besar pengaruhnya: kullu maulûdin yûladu ’alâ alfitrah fa abawâhu yuhawidânihi au yunassirânihi au yumajjisânihi. (H.R. al-Tabrânî dan al-Baihaqî) Versi lain hadis ini ada yang dimulai dengan mâ min maulûd illâ dan yang lain ada juga tambahan hattâ ya‘rubu ‘anhu lisânuhu. Muhammad Munir Mursa, Al-Tarbiyah al-Islâmiyyah, Usûluhâ wa Tatawwuruhâ fi al-Bilâd al-‘Arabiyyah, (Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 1982), h. 98, 138, 139.
56
003 Konsep Cinta dan Kasih Sayang (Hidayat).pmd 56
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
27/03/2012, 23:36
Konsep Cinta dan Kasih Sayang dalam Al-Qur’an
ingin mencari pasangan hidup maka utamakanlah agamanya, karena dengan dasar agama yang kuat semuanya dapat diatasi dalam membangun sebuah rumah tangga menuju keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.
Penutup Sampai sekarang, keluarga masih merupakan tempat atau lembaga pendidikan anak-anak, terutama pendidikan moral dan agama. Ayah dan ibu merupakan pendidik pertama dan utama dalam setiap keluarga. Oleh karena itu, dalam proses pemilihan pasangan (mate) hendaklah didasari rasa cinta (mahabbah/mawaddah/love) satu sama lain. Yang sulit dalam suatu keluarga ialah merawat dan menjaga kelangsungan cinta serta bagaimana menjaga keseimbangan antara upaya untuk mencintai dengan tuntutan untuk dicintai. Kerap kali seseorang hanya selalu menuntut untuk dicintai yang tidak jelas ukurannya sementara ia sendiri lupa telah sejauhmana memberikan cintanya kepada pihak lain. Menjaga keharmonisan suami-istri, merawat cinta-kasih, sangat tergantung kematangan emosi dan pikiran kedua belah pihak yang biasanya paralel dengan bertambahnya usia dan pengalaman. Yang tidak kalah pentingnya dalam hubungan suami istri ialah masih banyaknya anggapan bahwa istri harus taat dan patuh sepenuhnya kepada suami dan kurang dipandang sebagai mitra sejajar. Hal itu sebagai akibat budaya paternalistik yang masih berlaku di mana-mana. Karena itu banyak suami yang selalu ingin menang sendiri dan berlaku sewenang-wenang.
DAFTAR PUSTAKA Abdallah, Hammudah, Islam in Focus, Singapura: Muslim Youth Asembly-Himpunan Belia Islam, 1980 Adhim, Muhammad Fauzil Disebabkan oleh Cinta Kupercayakan Rumahku Padamu, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002 Al-Ghifari, Abu, Remaja & Cinta: Memahami Gelora Cinta Remaja dan Menyelamatkannya dari Berhala Cinta, Bandung: Mujahid, 1424/2003 Wâfî, Ali ‘Abd al-Wâhid, al-Musâwâh fî al-Islâm, Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1965, cet. ke-3. Ornstein, Allan C., Daniel U. Levine, An Introduction to the Foundation of Education, Boston: Houghton Mifflin Company, 1985. Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1410/1990 Amini, Ibrahim, Principle of Marriage Ethics, Jakarta: t.p., 1984. Arifin, M., Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, Jakarta: Bulan Bintang, 1975 .
57
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
003 Konsep Cinta dan Kasih Sayang (Hidayat).pmd 57
27/03/2012, 23:36
Wacana Utama
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Al-Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1964. Baso, Ahmad, Civil Society versus Masyarakat Madani, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999 Hess, Beth B., et. al., Sociology, New York: Macmillan Publishing Company, 1985 MacMahon, F.B., and J.D. MacMahon, Psychology: The Hybrid Science, Chicago, Illinois: The Dorsey Press, 1986 Fatchurrahman, al-Hadiš al-Nabawî, Kudus: Menara, tt., h. 153. Fromm, Erich. The Art of Loving, terj. Syafi’ Alielha, Jakarta: Fresh Bokks, 2002 Hernowo, M. Deden Ridwan (ed.), Aa Gym dan Fenomena Daarut Tauhiid, Bandung: Mizan, 1423/2002. Hernowo, M. Deden Ridwan (ed.), Aa Gym dan Fenomena Rdarut Tauhid, Memeprbaiki Diri lewat mnajemen Qalbu, Bandung: Mizan, 1423/2002 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, al-‘Allâmah al-Kabîr, Bulûg al-Marâm Min Adillah al-Ahkâm, Indonesia, Bandung: Syarîkah al-Ma‘ârif li al-Tabâ‘ah wa al-Nasyr, tt. Izutsu, Toshihiko. Ethico-Religious Concepts in the Qur’an, McGill: McGill University Press, 1966. Edisi Indonesia diterjemahkan berjudul: Etika Beragama dalam Qur’an, terj. Mansuruddin Djoely, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, cet. ke-2. Shepard, John M., Sociology, St. Paul, New York, Los Angles, San Fransisco: West Publishing Company, 1984. Mursa, Muhammad Munir, Al-Tarbiyah al-Islâmiyyah, Usûluhâ wa Tatawwuruhâ fi al-Bilâd al-‘Arabiyyah, Kairo: Alam al-Kutub, 1982. Murbandono, Pemikir Besar Dunia, Ucapan dan Kebijaksanaan, Jakarta: Grasindo, 2004 Goodman, Norman and Gary T. Marx, Society Today, New York: Random House, 1982. Petebang, Edi, Dayak Sakti, Ngayau, Tariu, Mangkok Merah (Konflik Etnis di Kalbar 19961997), Pontianak: Institut Dayakologi, 1999 Poerbakawatja, Soegarda, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1976 Rakhmat, Jalaluddin, Islam Aktual, (Bandung: Mizan, 1412/1992 Sarumpaet, Hidup Tenteram dan Sukses, Bandung: Indonesia Publishing House, 1996 Shihab, M. Quraish, Untaian Permata Buat Anakku (Pesan Al-Qur’an untuk Mempelai), Jakarta: Al-Bayan, 1421/2001. Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1416/1995 Shihab, M. Quraish, Untaian Permata buat Anakku, Bandung: Al-Bayan, 1421/2001. Sirrî, A. Mun’im. (ed.), Fikih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, 2004, Stanton, Charles Michael. Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. Afandi dan Hasan Asari, Jakarta: Logos Publishing House, 1994 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Benika Cipta, 1994. Syafi’ie, Kuswaidi. Tafakur di Ujung Cinta, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003 Tjahjono, Herry. Menjadi Pendekar di atas Pendekar (Cinta, Cinta dan Cinta, (Jakarta: Elex Media Komputerindo, 2002
58
003 Konsep Cinta dan Kasih Sayang (Hidayat).pmd 58
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
27/03/2012, 23:36
Menafsirkan Cahaya Tuhan: Tafsir Perbandingan Surah Al-Nur [24]:35
Menafsirkan Cahaya Tuhan: Tafsir Perbandingan Surah Al-Nur [24]:35 Izza Rohman1 Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka E-mail:
[email protected]
Abstract: This essay looks into the depth and the complex meanings of the “light verse” in the Qur’an, i.e. al-Nûr [24]: 35, through comparing many interpretations— classical as well as modern but not necessarily derived from tafsîr literatures—of some themes and keywords as well as the metaphor mentioned in the verse. Approaching the interpretation of the verse more in a thematic and comparative manner but predominantly involving Sufis and philosophers, the author implies that the understanding of the verse has been varied and largely involves ta’wîl of the apparent meaning (zhâhir). Keywords Metaphor in the Qur’an, the Light Verse, Comparative Interpretation, al-Ghazâlî.
Dalam sejarah penafsiran al-Qur’an telah dikenal berbagai upaya untuk menggali makna batin ayat-ayat al-Qur’an, atau menggabungkan makna lahirnya dengan makna batinnya. Salah satu ayat yang sering “menggoda” para penafsir untuk menyeberang (crossing over) dari makna permukaan ke makna rahasia adalah ayat ke-35 dalam surah al-Nûr, yang acap disebut sebagai ayat cahaya:
1
Izza Rohman ialah tenaga pengajar di Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UHAMKA.
59
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
004 Ayat Cahaya (Izza).pmd
59
27/03/2012, 23:38
Wacana Utama
Artinya: “Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah ibarat misykât yang di dalamnya terdapat pelita. Pelita itu di dalam relung kaca, dan relung kaca itu bagaikan bintang (yang bercahaya), seperti mutiara yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh, tidak di sebelah timur (sesuatu), juga tidak di sebelah barat-(nya); yang minyaknya (saja) nyaris menerangi, walaupun tidak disentuh oleh api. Cahaya (itu) di atas (segala) cahaya. Allah membimbing kepada cahayaNya siapa saja yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (al-Nûr [24]: 35) Ayat yang mengandung “perumpamaan nan agung” ini tersisip setelah deretan ayat yang merupakan bimbingan khusus mengenai keluarga dan kehidupan sosial yang beradab;2 sebuah isyarat akan adanya keterkaitan antara ajaran Islam yang satu dengan yang lain. Membahas ayat ini sejatinya memerlukan tak hanya “pengetahuan” yang berpijak pada nalar burhânî ataupun bayânî, tetapi juga yang ‘irfânî; tak hanya rasio atau intelek, tetapi juga dzawq dan “pengalaman berpetualang di alam ma‘rifah”. Betapa tidak, kesulitan demi kesulitan tak ayal akan ditemui dalam proses memahami kedalaman maknanya. Tingkat kesukarannya agaknya hanya bisa diatasi oleh orang yang bashîrah-nya telah dihiasi cahaya hakikat – ‘ârif bi Allâh dalam bahasa kaum sâlik. Sepintas, perumpamaan yang dikandung ayat ini memang tiada susah dimengerti. Namun, justru karena ia merupakan perumpamaan (matsal, metafor), maka maksud sesungguhnya tak mudah diraba. Pasal ayat ini, Abdullah Yusuf Ali3 berkomentar, “no notes can do adequate justice to its full meaning” (tak ada keterangan yang bisa memberikan penilaian yang pas mengenai artinya
2
3
Ayat-ayat dalam sûrah al-Nûr sebelum ayat ini menerangkan hukum bagi orang yang tidak dapat menjaga kemaluannya dan hal-hal yang berkait dengan perzinaan, seperti menuduh orang berbuat zina, kisah seputar tuduhan terhadap ‘Â’isyah istri Nabi saw. (qishshat al-ifk), perintah memejamkan mata, anjuran melangsungkan pernikahan agar kemaluan terpelihara, dan perintah menjaga kesucian bagi orang yang belum mampu nikah, serta larangan memaksakan wanitawanita untuk melakukan pelacuran. Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an; Translation and Commentary (Islamic Propagation Centre International, 1946), h. 907.
60
004 Ayat Cahaya (Izza).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
60
27/03/2012, 23:38
Menafsirkan Cahaya Tuhan: Tafsir Perbandingan Surah Al-Nur [24]:35
yang sebenarnya). Sa‘îd Hawwa 4 pun menandaskan, “sesungguhnya tidaklah sanggup memahami ayat ini selain orang yang mengombinasikan ilmu dan sulûk (pencarian) kepada Allah.” Nyatanya pun, kita bisa mendapati banyak sekali ragam penafsiran dan penakwilan terhadap ayat ini, yang umumnya tak tergambar bila hanya dari pencermatan sekilas terhadap apa yang tersurat. Karenanya, tulisan ini mencukupkan diri untuk menjadi upaya menggali pemahaman yang lebih mendalam mengenai ayat ini melalui pendekatan tafsir muqâran (perbandingan), sekaligus melihat suatu contoh bagaimana makna-makna lahir dan maknamakna batin dimunculkan oleh para penafsir, khususnya terkait ayat ini. Tafsir tematik (maudhû‘î) yang paling luas mengupas “rahasia cahaya Ilahi” dalam ayat ini boleh jadi adalah karya al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr fî Tawhîd al-Jabbâr. Dalam kitab ini, alGhazâlî menyelaraskan ayat tersebut dengan sabda Rasulullah saw.:
Artinya: “Sesungguhnya Allah memiliki tujuh puluh ribu hijâb (penghalang) berupa cahaya dan kegelapan. Seandainya Dia membukanya, niscaya cahaya wajah-Nya akan membakar siapa saja yang melihat-Nya.” Menariknya, al-Ghazâlî sampai pada kesimpulan bahwa cahaya pun bisa menjadi hijâb (penghalang) bagi manusia untuk sampai pada Tuhannya. Namun, cahaya-cahaya mempunyai ranking. Cahaya itu terus membumbung naik hingga mencapai sumber cahaya pertama, yakni Cahaya itu sendiri. Allah-lah yang merupakan cahaya hakiki; selain-Nya adalah cahaya majazi. Pemahaman-pemahaman al-Ghazâlî itu merepresentasikan sosoknya selaku seorang sufi-filsuf. Menimbang posisinya ini, dan sisi menarik kitabnya, penulis akan sedikit lebih-banyak merujuknya, dibandingkan para mufassir atau sufi yang lain, pada bahasan tafsir tematikperbandingan sebuah ayat “sufistik” ini.
Cahaya dalam al-Qur’an Kata “nûr” dalam al-Qur’an terulang sebanyak 43 kali. Dalam bentuk ma‘rifah bi-”al” (alnûr) 13 kali, dalam bentuk ma‘rifah bi al-idhâfah 14 kali, dan dalam bentuk nakirah 16 kali. Adakalanya langsung dinisbatkan kepada Allah, adakalanya dinisbatkan kepada Kitab-kitabNya (al-Qur’an, Taurat, dan Injil), ada pula yang dinisbatkan kepada orang-orang mukmin atau orang-orang munafik, dan ada yang dinisbatkan kepada bulan, serta ada yang berdiri sendiri. Sedikit sulit menentukan satu akar pengertian atau makna yang seragam untuk kata-kata nûr
4
Sa‘îd Hawwa, Al-Asâs fî al-Tafsîr (Dâr al-Salâm, 1989), h. 3774.
61
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
004 Ayat Cahaya (Izza).pmd
61
27/03/2012, 23:38
Wacana Utama
yang digunakan dalam al-Qur’an. Memang, agaknya kata-kata itu memiliki makna yang berbedabeda. Hanya saja sering kali kata nûr dalam al-Qur’an identik dengan keimanan, sedangkan kata zhulumât5 – yang sering dilawankan dengan nûr – identik dengan kekufuran. Cukup menarik bahwa al-Qur’an selalu menggunakan kata nûr (cahaya) dalam bentuk tunggal, berbeda dengan “kegelapan” (zhulumât) yang selalu dalam bentuk jamak. Yang demikian boleh jadi memberi isyarat bahwa “cahaya” sesungguhnya satu atau tak berbilang/ terbagi atau satu sumbernya, sementara “kegelapan” itu banyak dan berbilang, tidak satu sumbernya. Baik cahaya (nûr) maupun kegelapan (zhulumât) sama-sama “dijadikan”, dan bukannya “diciptakan”. Al-Qur’an selalu (tercatat dalam tujuh tempat) menyebut kata kerja (dari fi‘l mâdhî) “ja‘ala” ketika mengacu hubungan antara Allah dengan keduanya. Ini berbeda dengan, misalnya, saat al-Qur’an memakai kata kerja “khalaqa” untuk merujuk relasi antara Allah dengan langit (samâwât) dan bumi (ardh) (lihat surah al-An‘âm [6]: 1). Perbandingan antara cahaya dan kegelapan dalam al-Qur’an disepadankan dengan perbandingan antara “orang yang melihat” (bashîr) dan “orang yang buta” (a‘mâ) (lihat surah al-Ra‘d [13]: 16 dan surah Fâthir [35]: 20). Sementara perpindahan dari cahaya menuju kegelapan atau sebaliknya oleh al-Qur’an disebut sebagai proses “keluar” (khurûj) karena alQur’an selalu (tercatat dalam tujuh tempat) memakai kata kerja dari fi‘l mâdhî “kharaja” atau “akhraja”. Konsep cahaya dalam al-Qur’an juga berkait dengan “kesempurnaan” (tamâm). Terhitung tiga kali al-Qur’an mengkaitkannya (lihat surah al-Tawbah [9]: 32, al-Shaff [61]: 8, dan alTahrîm [66]: 8). Agaknya hal itu merupakan penegasan bahwa ada cahaya yang sempurna dan ada yang belum sempurna. Al-Qur’an tampak membedakan arti nûr dan dhiyâ’ meski sama-sama bermakna “cahaya” (sinonim). Ditemukan bahwa kata dhiyâ’ atau yang terangkai dari huruf-huruf yang sama digunakan untuk cahaya yang bersumber dari dirinya sendiri. Karenanya, matahari oleh Allah dijadikan dhiyâ’ sebab cahayanya bukan pantulan seperti halnya bulan yang dijadikan nûr (lihat surah Yûnus [10]: 5). Menurut Mahmûd al-Alûsî, dhiyâ’ merupakan sesuatu yang memencar, sementara nûr tidak; atau bisa juga: nûr adalah asal dari dhiyâ’.6 Akan tetapi, merujuk surah al-An‘âm [6]: 1, kentara bahwa dhiyâ’ dan semua cahaya pada hakikatnya adalah nûr, pantulan dari sumber cahaya yang tidak redup (Allah).7 Cahaya menurut al-Qur’an merupakan anugerah Allah kepada orang-orang yang beriman. Cahaya berlapis-lapis sebagaimana orang beriman juga bertingkat-tingkat. Ayat 35 dari surah al-Nûr disusul dengan tiga ayat yang menjelaskan ciri-ciri kaum mukmin yang mendapat pancaran cahaya ilahi dan kemudian dua ayat yang menerangkan keadaan kaum kafir yang
5 6 7
Kata ini terulang sebanyak 22 kali dalam al-Qur’an dan dalam 11 tempat disebut bersamaan dengan kata nûr. Mahmûd al-Alûsî, Rûh al-Ma‘ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa al-Sab‘ al-Matsânî (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), j. 10, h. 235. M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi (Jakarta: Lentera Hati, 1998), h. 414-5.
62
004 Ayat Cahaya (Izza).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
62
27/03/2012, 23:38
Menafsirkan Cahaya Tuhan: Tafsir Perbandingan Surah Al-Nur [24]:35
tenggelam dalam kegelapan. Bila ayat 35 menjelaskan bahwa cahaya berlapis-lapis, maka ayat 40 mengisyaratkan bahwa kegelapan (tempat orang kafir) juga berlapis-lapis.
Artinya: “Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diikuti oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (al-Nûr [35]: 40).
Allah sebagai Cahaya Allah (adalah) nûr langit dan bumi. Para mufassir berselisih pendapat tentang makna dan maksudnya. Sedikitnya ada sepuluh pendapat8: 1) Allah adalah Pemberi hidayah (hâdî) langit dan bumi,9 2) Allah adalah Pengatur (mudabbir) langit dan bumi, 3) Allah adalah Penerang (munawwir) langit dan bumi, 4) Allah adalah Cahaya asal (dhiyâ’) langit dan bumi,10 5) Allah adalah Pemilik cahaya (dzû nûr) langit dan bumi,11 6) Allah adalah Pencipta (khâliq) cahaya yang ada di langit dan bumi, 7) Allah adalah Penampak (muzhahhir) langit dan bumi, 8) Allah adalah Sumber (mashdar) cahaya langit dan bumi, 9) Allah adalah Penata (nâzhim) langit dan bumi, dan 10) Allah adalah Cahaya (nûr) langit dan bumi, tetapi bukan seperti cahaya yang dikenal. Beberapa pemaknaan terlihat selaras (sehingga para mufassir kadang menyepakati dua atau tiga pendapat), meski memiliki argumentasinya masing-masing. Toh, semua sahih untuk disandarkan kepada Allah. Cahaya dalam ayat ini memang bisa dimaknai sebagai cahaya inderawi (al-nûr al-hissî), juga bisa sebagai cahaya maknawi (al-nûr al-ma‘nawî).12
8
9 10 11 12
Diinventarisir dari Abu al-Hasan ‘Alî al-Mâwardî, Al-Nukat wa al-‘Uyûn: Tafsîr al-Mâwardî (Beirut: Mu’assasat alKutub al-Tsaqâfiyyah, t.t.), j. 4, h. 102; Wahbah al-Zuhaylî, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî‘ah wa al-Manhaj (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu‘âshir, 1991), j. 18, h. 242-4; Muhammad al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), j. 12, h. 225; Ahmad al-Shâwî, Hashiyah ‘ala Tafsîr al-Jalâlayn (Beirut: Dâr al-Fikr, 1993), j. 3, h. 171; Abu al-Faraj ‘Abd al-Rahmân al-Jawzî, Zâd al-Masîr fî ‘Ilm al-Tafsîr (Beirut: Dâr al-Fikr, 1987), j. 5, h. 260; dan Quraish, Menyingkap…, h. 413. Pendapat ini dibantah oleh (misalnya) Muhammad Mahmûd Hijâzî, Al-Tafsîr al-Wâdhih (Beirut: Dâr al-Jayl, 1993), j. 2, h. 683 . Pendapat ini dibantah oleh (misalnya) al-Mâwardî, al-Nukat…, j. 4, h. 101 . Pendapat ini dibantah oleh (misalnya) ‘Abd al-Karîm al-Khathîb, Al-Tafsîr al-Qur’ânî li al-Qur’ân (Dâr al-Fikr al-‘Arabî, t.t.), j. 7, h. 1282. Wahbah, Al-Tafsîr al-Munîr, h. 244.
63
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
004 Ayat Cahaya (Izza).pmd
63
27/03/2012, 23:38
Wacana Utama
Dalam beberapa riwayat seperti dari Zayd ibn ‘Alî, Abu Ja‘far, dan ‘Abd al-‘Azîz al-Makkî, tidak dibaca “nûr” tetapi “nawwara” (menerangi). Hal ini turut menyebabkan kata perbedaan pemahaman seperti yang telah disebut. Ayat ini sering dijadikan dalil untuk asma Allah, al-Nûr (Cahaya). Namun, tentu antara pernyataan “Allâh huwa al-Nûr” (Allah itu Cahaya) dan “Allâh nûr al-samâwât wa al-ardh” (Allah itu Cahaya langit dan bumi) perlu sedikit dibedakan. Yang dimaksud oleh ayat di muka adalah cahaya sebagai metafor Tuhan, bukan sebagai nama atau sifat-Nya. Beberapa mufassir semisal al-Thaba’thaba’î, mengingatkan bahwa Allah bukan (berwujud) cahaya. Nûr dalam ayat ini tidak menunjukkan bahwa Allah berwujud cahaya, melainkan cahaya itu adalah sesuatu yang dinisbatkan kepada-Nya. Kata nûruhu dan li nûrihi pada ayat ini mendukung pernyataan itu.13 Sebenarnya, cahaya alam berbeda dengan cahaya Tuhan. Perihal ini, Abdullah Yusuf Ali memberi catatan, cahaya alam tak lain merupakan pantulan Cahaya-yang-sebenarnya dalam alam kenyataan, dan Cahaya-yang-sebenarnya itu adalah Tuhan. Kita hanya dapat berpikir tentang Tuhan dengan bahasa pengalaman fenomena kita, dan dalam dunia fenomena, cahaya adalah sesuatu yang paling murni, paling lembut yang pernah kita ketahui. Tetapi cahaya alam memiliki kekurangan: 1) ia tergantung pada sumber dari luar, 2) ia adalah suatu gejala sepintas; kalau kita mengambilnya sebagai bentuk gerakan atau energi ia tidak stabil; seperti gejala alam lainnya, 3) ia tergantung pada ruang dan waktu, dengan kecepatan 186.000 mil per detik. Cahaya Tuhan yang sempurna bebas dari cacat seperti itu.14 Tetapi, mengapa Allah menyebut atau memetaforkan dirinya dengan cahaya? Beberapa ulama peduli dengan pertanyaan ini. ‘Abd al-Karim al-Khathîb15 menyatakan, itu karena cahaya merupakan sesuatu yang lembut, tidak berjasad selamanya, paling cepat tampak, tidak semayam di suatu tempat, dan tidak terikat oleh waktu. Khwaja Mir Dard16 (1725-85) menyatakan cahaya adalah nama yang paling tepat bagi Allah. Ia mempersamakan Tuhan dengan cahaya. Bagi Muhammad Iqbâl,17 metafor cahaya yang dikenakan pada konsepsi Tuhan harus dipakai untuk menyatakan kemutlakan Tuhan, bukan kemahahadiran Tuhan. Sebab menurut doktrin ilmu fisika modern, kecepatan cahaya tak terlampaui. Sehingga, di dunia fenomena, cahaya merupakan pendekatan (approach) yang paling mirip dengan Yang Mutlak. Iqbâl menerapkan persamaan Tuhan dengan cahaya bukan pada keberadaan Tuhan di mana-mana, melainkan pada kenyataan bahwa kecepatan cahaya merupakan ukuran mutlak di dunia kita.
13 14 15 16 17
Muhammad Husayn al-Thaba’thaba’î, Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân (Beirut: Mu’assasah al-A‘lâ li al-Mathbû‘ât, 1991), j. 15, h. 123. A. Yusuf Ali, The Holy…, h. 907. Al-Khathîb, Al-Tafsîr al-Qur’ânî…, h. 1287. Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono et al.(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 477. Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 192; dan Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi: Memahami Islam Secara Fenomenologis, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1997), h. 49.
64
004 Ayat Cahaya (Izza).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
64
27/03/2012, 23:38
Menafsirkan Cahaya Tuhan: Tafsir Perbandingan Surah Al-Nur [24]:35
Sachiko Murata18 menulis, cahaya adalah salah satu nama dari Esensi Tuhan, maka ia menunjukkan perangai ilahiah yang sesungguhnya. Seperti matahari yang bersinar karena ia matahari, Tuhan bercahaya sebab Dia adalah Tuhan. Cahaya-Nya sendiri merupakan Zat-Nya, sementara perwujudannya adalah eksistensi kosmos, “segala sesuatu selain Tuhan.” Lain halnya dengan al-Ghazâlî yang ketika dihadapkan dengan pertanyaan tadi langsung menjawab bahwa Allah adalah cahaya yang hakiki. Tidak ada cahaya selain Dia, dan Dia-lah cahaya seluruh wujud ini. Dia adalah cahaya yang paling meliputi dan paling sempurna.19
Antara Cahaya dan Kegelapan Cahaya memainkan peranan utama dalam seluruh tradisi agama (Islam).20 Ini misalnya dibuktikan dari masyhurnya mitos Muhammad makhluk bercahaya, yang cahayanya (nûr Muhammad) adalah benda pertama yang diciptakan Tuhan. Kelahirannya pun dinyatakan ditandai oleh kejadian-kejadian “bercahaya”. Tak mengherankan bila para mufassir awal menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “ceruk” (misykât) ialah Muhammad.21 Peranan penting konsep “cahaya” juga dapat diukur dari sejumlah besar karya keagamaan yang judul-judulnya berkaitan dengan cahaya dan pencerahan, semisal kumpulan hadis Masyâriq al-Anwâr (Titik-Titik Naiknya Cahaya-Cahaya) karya al-Shaghanî atau Mashâbîh al-Sunnah (Lampu-Lampu Sunnah) karya al-Baghawî, hingga karangan-karangan seperti Kitâb al-Luma’ (Buku tentang Percikan-Percikan yang Cemerlang) karya al-Sarrâj, Lama‘ât (Kilauan) karya al-‘Irâqî, dan Lawâ’ih (Kilat) karya al-Jâmî. “Cahaya” juga menjadi sangat penting bagi para sufi-filsuf terutama al-Suhrawârdî yang kesohor dengan filosofi cahaya (hikmat al-isyrâq atau filsafat iluminasi)-nya. 22 Terdapat bermacam-macam definisi cahaya yang pernah dibuat.23 Dalam penggunaannya yang paling umum, cahaya ialah sesuatu yang tampak, menampakkan dirinya dan membuat tampak sesuatu yang lain. Dalam hal ini, mata inderawi amat berperan. Namun, ulama sekelas al-Ghazâlî menyebut yang demikian sebagai pengertian cahaya menurut orang awam. Pasalnya, cahaya seperti itu hanya menjadi pembantu bagi mata yang melihat, padahal mata melihat dengan kemampuan yang sangat terbatas. Al-Ghazâlî mengemukakan tujuh kelemahan mata inderawi.24 Pengarang Mafâtîh al-Ghayb menambahkannya menjadi dua puluh.25 Keduanya membandingkannya dengan akal (mata hati) dan berkesimpulan bahwa akal lebih patut disebut cahaya. Al-Ghazâlî akhirnya mengatakan,26
18 19 20 21 22 23 24 25 26
Sachiko Murata, The Tao of Islam, terj. Rahmani Astuti dan M.S. Nasrullah (Bandung: Mizan, 1996), h. 315. Abu Hâmid al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, ed. Abu al-‘Alâ ‘Afîfî (Kairo: al-Maktabah al-‘Arabiyyah, 1964), h. 56. Pendapat Toshihiko Izutsu yang dikutip oleh Schimmel, Rahasia…, h. 47. Schimmel, Rahasia…, h. 47-48. Schimmel, Rahasia…, h. 48-49. Mufassir yang peduli dengan banyak perbedaan pendapat tentang apa itu cahaya adalah Mahmûd al-Alûsî, Rûh…, h. 235-9. Al-Ghazâlî, Misykât…, h. 43-7. Al-Râzî, Mafâtîh al-Ghayb, h. 226-9. Al-Ghazâlî, Misykât…, h. 48.
65
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
004 Ayat Cahaya (Izza).pmd
65
27/03/2012, 23:38
Wacana Utama
“Dengan demikian dapat dimengerti bahwa “mata” masih lebih utama daripada cahaya yang sudah dikenal dan dirasakan, dibanding indera lainnya. Anda pun tahu bahwa “akal” masih lebih utama dibanding cahaya mata. Di antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat besar, sehingga kita dapat mengatakan, “akal” jauh lebih utama dan bahkan lebih berhak untuk dinamakan “cahaya”. Namun, akal pun tak luput dari kelemahan dan kekeliruan. Kesalahan akal, menurut alGhazâlî, tersingkap setelah empunya mati.27 Al-Ghazâlî selanjutnya membedakan cahaya alam syahadah (al-‘âlam al-hiss wa almusyâhadah) dan cahaya alam malakut. Di alam syahadah, mataharilah cahaya yang paling terang dan mata-lahirlah yang melihat. Sedangkan di alam malakut, al-Qur’an dan Kitabullah lainnyalah yang merupakan cahaya dan mata-batin (akal)-lah yang melihat.28 Dalam pemikiran para filsuf muslim (termasuk al-Ghazâlî dan al-Suhrâwardî), cahaya acapkali dimaknai sebagai “eksistensi” (wujûd), sedangkan kegelapan adalah “ketiadaan” (‘adam). Terdapat sebuah riwayat hadis yang tampaknya sesuai dengan pemaknaan ini, yakni:29
Artinya: “Sesungguhnya Allah Taala menciptakan makhluk-Nya dalam keadaan gelap, kemudian memberinya sebagian cahaya-Nya. Siapa yang mendapat sebagian cahaya-Nya, ia mendapat petunjuk, dan siapa yang tidak, ia tersesat. Karenanya aku berkata, tinta telah kering karena ilmu Allah azza wa jalla. (Riwayat Ahmad). Allah merupakan wujud yang sebenarnya (al-Haqq). Karenanya, Dialah Cahaya yang sebenarnya. Sementara makhluk atau alam pada dasarnya tidak ada (‘adam). Karenanya, ia pada dasarnya adalah “kegelapan”. Wujud alam yang nisbi bergantung pada wujud Allah. Dalam riwayat Ibn ‘Athâ’illâh 30, seluruhnya gelap, kemudian disinari oleh Penciptanya, maka terwujudlah alam dengan wujud Allah. Pada dirinya sendiri, kosmos adalah kegelapan karena “pada dirinya sendiri” – tanpa bantuan Allah – ia sebenarnya tidak ada. Namun, sejauh kosmos dikatakan ada dan menjadi
27 28 29 30
Al-Ghazâlî, Misykât…, h. 47. Al-Ghazâlî, Misykât…, h. 49. Alam syahadah adalah contoh atau percikan dari alam malakut yang lebih sempurna. (Misykât, h. 50-51). Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), j. 3, h. 355. Al-Shâwî, Hashiyah..., h. 171; dan Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî, Shafwat al-Tafâsîr (Kairo: Dâr al-Shâbûnî, t.t.), j. 2, h. 340.
66
004 Ayat Cahaya (Izza).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
66
27/03/2012, 23:38
Menafsirkan Cahaya Tuhan: Tafsir Perbandingan Surah Al-Nur [24]:35
tempat manifestasi tanda-tanda Allah, maka ia adalah campuran antara cahaya dan kegelapan, yang sering kali disebut “kecemerlangan” (dhiyâ’).31 Cahaya dan kegelapan kadang ditafsirkan sebagai dua hal yang saling mengharuskan keberadaan lainnya. Dikatakan, kegelapan mempunyai suatu aspek tertentu sebab cahaya tidak dapat mewujudkan dirinya sendiri tanpa kegelapan. Dalam batasan ini, wajar Ibn ‘Arabî berkata, “kegelapan itu sejenis cahaya”.32 Senada dengan ini, Sachiko Murata menafsirkan pendapat ‘Azîz al-Dîn al-Nasafî, bahwa di dalam kosmos, cahaya dan kegelapan saling membutuhkan dan tidak terpisahkan satu sama lain. Kendati cahaya secara inheren terwujud, dalam dirinya sendiri – dalam Tuhan – ia tidak dapat dilihat dikarenakan intensitas perwujudannya. Jadi kegelapan adalah yin yang memungkinkan cahaya yang untuk muncul. Dan dalam surah alNûr [24]: 35, cahaya menjadi terwujud hanya dalam sebuah ceruk, yang merupakan kegelapan.33 Dalam hikmat al-isyrâq-nya,34 al-Suhrâwardî, yang – menurut Fazlur Rahman35 – berusaha menerjemahkan fenomena kognisi ke dalam istilah “cahaya”, mengelompokkan cahaya dalam dua kategori. Pertama, cahaya dalam realitas dirinya sendiri (nûr fî haqîqat nafsih). Yang ini, ia bagi lagi menjadi: 1) cahaya aksidental (al-nûr al-‘âridh) yang merupakan “bentuk/kondisi” (hay’ah) sesuatu yang lain, terkandung dalam sesuatu itu, seperti cahaya matahari dan api; 2) cahaya asli (al-nûr al-mahdh), yaitu cahaya yang menghidupi sendiri, tak tercampur dan tak inheren dalam sesuatu yang lain, yaitu Cahaya Segala Cahaya. Kedua, yang bukan cahaya dalam dirinya sendiri. Yang ini ia bagi lagi menjadi: 1) “substansi gelap” (jawhar ghâsiq), sesuatu yang tidak memerlukan tempat (mustaghnî ‘an al-mahall); 2) “bentuk gelap” (hay’ah zhulmâniyyah), yang merupakan keadaan/bentuk bagi sesuatu yang lain; 3) yang merupakan perantara atau “objek pertengahan” (barzakh), yakni badan. Yang terakhir ia bagi lagi menjadi: 1) yang menjadi gelap ketika cahaya menghilang darinya; 2) yang gelap tetapi memenuhi diri ketika cahaya menghilang darinya; dan 3) yang tak pernah terpisah dari cahaya. Al-Suhrâwârdî juga meyakini bahwa cahaya mempunyai gradasi. Cahaya bersifat “mesti” pada suatu tataran (martabah) dan “mungkin” (mumkin) pada tataran lain; substansi pada suatu tataran dan aksiden pada tataran lain.36 Dikatakan, segala sesuatu dalam kosmos merefleksikan cahaya dalam tataran yang berbeda. Ada hirarki yang amat luas, jika bukan tak erhingga.37
31 32 33 34
35 36 37
Murata, The Tao…, h. 57. Murata, The Tao…, h. 217. Murata, The Tao…, h. 216. Hossein Ziai, Suhrawardi dan Filsafat Illuminasi; Pencerahan Ilmu Pengetahuan, terj. Afif Muhammad & Munir (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), h. 153; dan Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Hudhuri: Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, dari Suhrawardi via Wittgenstein, terj. Ahsin Mohamad (Bandung: Mizan, 1994), h. 118. Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, terj. Munir A. Muin (Bandung: Pustaka, 2000), h. 284. Murtadha Muthahhari, “Garis Besar Sumbangan Kaum Muslim kepada Filsafat”, terj. M.S. Nasrulloh (Jurnal Al-Hikmah No. 10, Muharram-Rabi‘ al-Awwal 1414/ Juli-September 1993), h. 114. Murata, The Tao..., h. 57.
67
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
004 Ayat Cahaya (Izza).pmd
67
27/03/2012, 23:38
Wacana Utama
Perumpamaan Cahaya Allah Pada ayat sebelum ayat cahaya, yakni al-Nûr [24]: 34, Allah menjelaskan bahwa Ia menurunkan âyât mubayyinât dan matsal. Ayat ini seolah menjadi pembatas bagi hukumhukum Allah yang gamblang dijelaskan pada ayat-ayat sebelumnya dengan perumpamaanperumpamaan yang tertuang pada ayat-ayat selanjutnya. Berikut akan kita tengok beberapa pendapat di seputar tasybîh tamtsîlî yang dikandung ayat 35 dengan berpatokan pada beberapa kata kuncinya, seperti ceruk, lampu, kaca, bintang, pohon, timur dan barat, minyak, serta api. Akan tetapi, perlu diketahui, sesungguhnya terdapat empat pendapat para mufassir mengenai penisbatan cahaya dalam ayat ini (dalam frase “matsal nûrih”), yakni: 1) cahaya Allah (di hati Muhammad atau di hati mukmin), 2) cahaya Muhammad (di hati mukmin), 3) cahaya mukmin (di hati mereka), dan 4) cahaya al-Qur’an (di hati Muhammad).38 Hanya saja, mayoritas mufassir memegang pendapat bahwa yang dimaksud frasa itu ialah cahaya Allah (di hati orang beriman). Dari Ibn ‘Abbâs diriwayatkan takwil bahwa hati Nabi saw. disamakan dengan bintang yang bercahaya (al-kawkab al-durrî). Pohon yang berbarokah melambangkan Ibrahim a.s. “Tidak timur dan tidak barat” bermakna bukan Nasrani yang shalat menghadap ke timur, bukan pula Yahudi yang shalat menghadap ke barat. “Minyak yang jernih” melambangkan agama Ibrahim a.s. yang hanîf itu.39 Al-Ghazâlî memahami perumpamaan itu sebagai gambaran tentang potensi daya tangkap manusia. Misykât ibarat ruh inderawi atau panca indera (sensory spirit), pelita ibarat akal (rûh ‘aqlî, intelligential spirit) yang menerima informasi dari panca indera kemudian mengolahnya sehingga melahirkan makna-makna dan ide-ide (yang dibatasi oleh “kaca”), kaca ibarat daya imajinasi manusia (rûh khayâlî) yang menampung ide-ide (membatasi dan memberi bentuknya), pohon ibarat nalar logika (ratiocinative spirit) yang memperoleh data dari akal dan menggabungkan semuanya serta menyimpulkan pengetahuan yang abstrak, sementara minyak ibarat ruh suci kenabian (rûh al-quds al-nabawî), yakni wahyu, ilham atau intuisi.40 Ruh suci kenabian secara spesifik minyaknya nyaris bersinar, walaupun tidak pernah disentuh api. Bila telah disentuh api, ruh itu menjadi “cahaya di atas cahaya”. Sementara api adalah perumpamaan yang paling tepat untuk “ruh ilahiah” yang berdiam di alam atas. Api inilah yang juga dimisalkan dengan api yang menampakkan diri kepada Nabi Musa a.s. di balik gunung Sinai.41 Beberapa waktu sebelum al-Ghazâlî, Ibn Sînâ sudah merenungkan makna ayat ini. Menurutnya, ceruk adalah kemampuan reseptivitas (quwwah isti‘dâdiyyah). Pohon zaitun adalah kontemplasi. Minyak dari pohon zaitun adalah dugaan. Kaca adalah akal habitual. Sedangkan api adalah Akal Aktif.42
38 39 40 41 42
Al-Mâwardî, al-Nukat..., h. 102. Al-Alûsî, Rûh..., h. 250. Al-Ghazâlî, Misykât..., h. 76-81. Al-Ghazâlî, Misykât..., h. 52. Haeri Yazdi, Ilmu Hudhuri…, h. 35.
68
004 Ayat Cahaya (Izza).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
68
27/03/2012, 23:38
Menafsirkan Cahaya Tuhan: Tafsir Perbandingan Surah Al-Nur [24]:35
Al-Nasafî,43 mirip-mirip dengan al-Ghazâlî, juga memahami perumpamaan itu sebagai padanan untuk ruh-ruh yang dimiliki oleh manusia. Menurutnya, manusia mempunyai lima ruh: 1) ruh alamiah yang terletak di dalam hati sisi kanan, 2) ruh hewan yang terletak di dalam jantung sisi kiri, 3) ruh psikis dalam otak, 4) ruh manusia dalam ruh psikis, dan 5) ruh suci dalam ruh manusia. Ruh suci seperti api, ruh manusia seperti minyak, ruh psikis seperti sumbu, ruh hewan seperti kaca, dan ruh alamiah seperti ceruk. Lain lagi persamaan yang dipakai ‘Abd al-Razzâq al-Kasyânî.44 Menurut pendapatnya dalam Ta’wîlât, hati ibarat “kaca” dan “bintang bercahaya”, ruh ibarat “lampu”, jiwa ibarat “pohon”, sedangkan badan ibarat “relung kaca” sebab ia gelap dan menjadi bercahaya akibat cahaya dari ruh. Sementara indera adalah ibarat terali jendela (badan), dan cahaya bersinarnya dari balik terali. “Kaca” adalah kiasan bagi hati yang disinari oleh ruh dan menerangi segala sesuatu di sekelilingnya dengan jalan menyinarkan cahayanya pada mereka. “Barat” berarti dunia badan, “timur” berarti dunia ruh, “api” adalah Akal Aktif (sumber cahaya dan petunjuk yang harus diterima), sedangkan “minyak” (zayt) ialah persiapan jiwa untuk menerima cahaya suci yang berkaitan dengan perangai aslinya yang tersembunyi di dalam dirinya sendiri. Adapun “hampir berkilauan” artinya hampir muncul dalam aktualitas dan mencapai kesempurnaannya melalui dirinya sendiri. Al-Kasyânî membedakan ruh, hati, dan jiwa; hati berada di tengah dua lainnya. Ibn ‘Arabî,45 dalam tafsir yang kabarnya ditulis oleh muridnya, memiliki pandangan sendiri. Baginya, misykât melambangkan jasad, lampu melambangkan ruh, kaca melambangkan hati, pohon melambangkan jiwa suci (al-nafs al-qudsiyyah), dan api melambangkan “akal fa‘al” (alaql al-fa‘‘âl), sedangkan barat adalah alam jasad dan timur alam ruh. Kaca (hati) disamakan dengan bintang karena cahayanya yang sedang dan tempatnya yang tinggi. Adapun keberkahan dari pohon (jiwa suci) menunjuk pada faidah, manfaat, dan buahnya yang berupa akhlak, amal, serta pengetahuan. Sementara itu, bila menengok tafsir kontemporer non-sufistik, kita akan mendapat penafsiran seperti dari Wahbah al-Zuhaylî bahwa: lampu adalah al-Qur’an, kaca adalah hati mukmin, misykât adalah lisan dan pemahamannya, pohon adalah pohon wahyu, “hampir saja menerangi” artinya hujah-hujah al-Qur’an hampir matang walau belum dibaca.46
Mendaki Lapisan Cahaya Al-Ghazâlî menjelaskan maksud “cahaya di atas cahaya” dalam al-Nûr [24]: 35 sebagai berikut,47
43 44 45 46 47
Murata, The Tao..., h. 307. Murata, The Tao..., h. 389-90. Muhyî al-Dîn ibn ‘Arabî, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Beirut: Dâr al-Yaqzhah al-‘Arabiyyah, 1968), j. 2, h. 140. Al-Zuhaylî, Al-Tafsîr al-Munîr, h. 247. Al-Ghazâlî, Misykât…, h. 60.
69
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
004 Ayat Cahaya (Izza).pmd
69
27/03/2012, 23:38
Wacana Utama
“Seluruh alam ini dipenuhi oleh cahaya-cahaya lahiriah yang dapat dilihat oleh mata, dan cahaya-cahaya batiniah yang dapat ditangkap oleh akal. “Cahaya bawah” keberadaannya saling memancarkan cahayanya kepada lainnya, seperti pancaran cahaya pelita. Pelita itu adalah cahaya suci kenabian. Cahaya ini memperoleh pancaran cahaya dari alam atas, sebagaimana pelita mendapat limpahan cahaya dari api. Setiap cahaya atas itu saling menerima tingkatan cahaya dari yang lainnya, sesuai dengan maqamnya masing-masing. Dan itu berurutan hingga sampai pada “cahaya dari segala cahaya” sebagai sumber dari segala cahaya, yaitu cahaya pertama dan utama, Allah Swt., yang tiada sekutu bagi-Nya. Dengan demikian, cahaya-cahaya yang ada hanyalah pinjaman dari-Nya, dan cahaya hakiki hanyalah cahaya-Nya.” Ayat itu dengan demikian menunjukkan bahwa cahaya itu memiliki tingkatan-tingkatan atau berlapis-lapis. Bagi para mufassir-sufi, ini berarti bahwa sesungguhnya manusia membutuhkan “perjuangan” untuk sampai kepada “Cahaya di atas cahaya”. Perjuangan itu akan menjadi sangat berat bila harus dimulai dari lorong kegelapan. Perjuangan ini menurut alSuhrawârdî adalah tugas manusia. Menurutnya, tugas manusia adalah kembali dari sumur gelap di “pengasingan” barat di mana dia terpenjara oleh materi menuju timur yang penuh cahaya, dan nasib masa depannya akan ditentukan oleh tingkat cahaya yang berhasil diperolehnya sepanjang hidupnya.48 Untuk sampai ke Sumber cahaya, seperti diisyaratkan hadis yang dikutip di awal pembahasan, terdapat hijâb yang demikian banyaknya, dan yang uniknya cahaya pun termasuk hijâb itu. Tak pelak, sangat mungkin kita akan terjebak dengan terangnya suatu cahaya padahal ada lapisan cahaya lagi di atasnya yang perlu didaki. Di sinilah, al-Ghazâlî melihat bahwa cahaya menjadi hijab ketika manusia tertipu oleh kecerahannya sehingga mengira tidak ada cahaya lagi yang lebih terang.49 Namun, al-Nûr [24]: 35 juga menyatakan bahwa “Allah memberi petunjuk kepada cahayaNya siapa saja yang Dia kehendaki.” Ini bisa berarti bahwa seorang salik akan melewati “pendakian” dengan berbagai tanjakan. Al-Ghazâlî menggambarkannya mirip dengan pengalaman Nabi Ibrahim a.s. dalam mencari Tuhannya. Menurut al-Ghazâlî, tingkatan pertama yang akan dilewatinya adalah sesuatu yang sederajat dengan bintang. Pada tingkatan ini dia akan menyaksikan pancaran cahaya bintang dan terbuka baginya bahwa alam-bawah berada di bawah kekuasaan dan cahayanya. Dengan terbukanya pesona keindahan itu, akan membuatnya berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi, setelah menyaksikan cahaya yang lebih tinggi tingkatannya, seperti tingkatan cahaya bulan yang membuat redup cahaya bintang, maka dia berkata: “…Aku tidak menuhankan benda yang cahayanya bisa hilang.” Begitu seterusnya hingga dia mencapai tingkatan cahaya matahari dan melihat matahari lebih besar dan lebih tinggi daripada bulan.
48 49
Schimmel, Rahasia..., h. 48-9. Komentar Osman Bakar dalam al-Ghazâlî: Tafsir Ayat Cahaya dan Telaah Kritis Pakar, terj. Hasan Abrori dan Masyhur Abadi (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), h. x.
70
004 Ayat Cahaya (Izza).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
70
27/03/2012, 23:38
Menafsirkan Cahaya Tuhan: Tafsir Perbandingan Surah Al-Nur [24]:35
Sekalipun matahari dapat dijadikan perumpamaan, namun perumpamaan dari sesuatu yang memiliki kekurangan – seperti matahari – merupakan suatu kekurangan pula. Makanya, dia berkata: “Kuhadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi sebagai orang yang condong kepada kebenaran (hanîf), dan aku tidak tergolong orang-orang yang menyekutukan Allah.” (al-An‘âm [6]: 79).50 Demikianlah al-Ghazâlî berhasil memunculkan “makna batin” dari kisah pencarian Tuhan oleh Ibrahim yang dituturkan dalam al-Qur’an. Sebelum menerangkan hal tersebut, al-Ghazâlî sempat mengatakan bahwa siapa pun tak akan bisa mendekatkan diri kepada Allah sebelum menginjakkan kakinya ke arena hadhîrat alquds. Yang ia maksudkan dengan hadhîrat al-quds adalah alam yang tidak dapat disadap oleh indera penglihatan maupun khayalan. Secara global, ia adalah kawasan di mana sesuatu yang asing tidak bisa masuk, dan yang di dalam tidak bisa keluar. Secara majazi, ia dapat diartikan “ruang kesucian Ilahi”.51 Namun, al-Ghazâlî tidak merinci lagi penjelasannya tentang ini. Wa Allâh a‘lam.
Benang Merah Di balik banyak dan beragamnya makna yang dimunculkan para penafsir dalam memahami al-Nûr [24]: 35, tergambar jelas betapa tak mudah manusia memahami perumpamaan-Nya. Kita harus ingat firman-Nya:
Artinya: “Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia, dan tidaklah memahaminya kecuali orang-orang yang mengetahui.” (al-‘Ankabût [29]: 43) Dari beragamnya tafsir ayat yang kaya perumpamaan seperti al-Nûr [24]: 35, tampak sekali bahwa manusia telah dibuat “kalang-kabut” (ka al-‘ankabût) hanya untuk memahami makna “matsal nûrihi” dalam satu ayat al-Qur’an saja. Para pengungkap makna-batin ayat ini telah membantu kita sampai pada pemahamanlebih-baik yang dengan baik tersirat dan terikhtisarkan dalam syair-syair Jalâl al-Dîn al-Rûmî: Tuhan memercikkan Cahaya-Nya atas semua jiwa manusia, namun hanya orang yang dikaruniailah yang menyingsingkan lengan bajunya ‘tuk menerimanya; Dan, setelah memperoleh karunia cahaya itu, mereka memalingkan wajahnya dari segala kecuali Tuhan.52
50 51 52
Al-Ghazâlî, Misykât…, h. 68. Al-Ghazâlî, Misykât…, h. 66. Dikutip dari Reynold A. Nicholson, Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi, terj. Sutejo (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 16.
71
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
004 Ayat Cahaya (Izza).pmd
71
27/03/2012, 23:38
Wacana Utama
Duhai Cinta yang terlalu besar untuk berada di langit… Kenapa engkau dapat berada di dalam hatiku yang tertabiri? Engkau masuk ke rumah hati, lalu menutup pintunya di dalam Cerukku, gelasku, dan “cahaya di atas Cahaya”-ku.53
Daftar Pustaka Ali, Abdullah Yusuf, The Holy Qur’an; Translation and Commentary (Islamic Propagation Centre International, 1946), h. 907. al-Alûsî Mahmûd, Rûh al-Ma‘ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa al-Sab‘ al-Matsânî (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), j. 10, al-‘Arabî, Muhyî al-Dîn ibn, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Beirut: Dâr al-Yaqzhah al-‘Arabiyyah, 1968), j. 2 Bakar, Osman, al-Ghazâlî: Tafsir Ayat Cahaya dan Telaah Kritis Pakar, terj. Hasan Abrori dan Masyhur Abadi (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999) al-Ghazâlî, Abu Hâmid, Misykât al-Anwâr, ed. Abu al-‘Alâ ‘Afîfî (Kairo: al-Maktabah al‘Arabiyyah, 1964) Hawwa, Sa‘îd, Al-Asâs fî al-Tafsîr (Dâr al-Salâm, 1989) Hijâzî, Muhammad Mahmûd, Al-Tafsîr al-Wâdhih (Beirut: Dâr al-Jayl, 1993) Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), j. 3 al-Jawzî, Abu al-Faraj ‘Abd al-Rahmân, Zâd al-Masîr fî ‘Ilm al-Tafsîr (Beirut: Dâr al-Fikr, 1987) al-Khathîb, ‘Abd al-Karîm, Al-Tafsîr al-Qur’ânî li al-Qur’ân (Dâr al-Fikr al-‘Arabî, t.t.), j. 7 al-Mâwardî, Abu al-Hasan ‘Alî, Al-Nukat wa al-‘Uyûn: Tafsîr al-Mâwardî (Beirut: Mu’assasat al-Kutub al-Tsaqâfiyyah, t.t.), j. 4 Murata, Sachiko, The Tao of Islam, terj. Rahmani Astuti dan M.S. Nasrullah (Bandung: Mizan, 1996) Muthahhari, Murtadha, “Garis Besar Sumbangan Kaum Muslim kepada Filsafat”, terj. M.S. Nasrulloh (Jurnal Al-Hikmah No. 10, Muharram-Rabi‘ al-Awwal 1414/ Juli-September 1993)
53
Dikutip dari Annemarie Schimmel, Akulah Angin, Engkaulah Api: Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi, terj. Alwiyah Abdurrahman dan Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1995), h. 227.
72
004 Ayat Cahaya (Izza).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
72
27/03/2012, 23:38
Menafsirkan Cahaya Tuhan: Tafsir Perbandingan Surah Al-Nur [24]:35
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999) Nicholson, Reynold A., Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi, terj. Sutejo (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Rahman, Fazlur, Filsafat Shadra, terj. Munir A. Muin (Bandung: Pustaka, 2000) al-Râzî, Muhammad, Mafâtîh al-Ghayb (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), j. 12, Schimmel, Annemarie, Rahasia Wajah Suci Ilahi: Memahami Islam Secara Fenomenologis, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1997) Schimmel, Annemarie, Akulah Angin, Engkaulah Api: Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi, terj. Alwiyah Abdurrahman dan Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1995) Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono et al.(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000) al-Shâbûnî, Muhammad ‘Alî, Shafwat al-Tafâsîr (Kairo: Dâr al-Shâbûnî, t.t.), j. 2 al-Shâwî, Ahmad, Hashiyah ‘ala Tafsîr al-Jalâlayn (Beirut: Dâr al-Fikr, 1993), j. 3 Shihab, M. Quraish, Menyingkap Tabir Ilahi (Jakarta: Lentera Hati, 1998) al-Thaba’thaba’î, Muhammad Husayn, Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân (Beirut: Mu’assasah alA‘lâ li al-Mathbû‘ât, 1991), j. 15 Yazdi, Mehdi Hairi, Ilmu Hudhuri: Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, dari Suhrawardi via Wittgenstein, terj. Ahsin Mohamad (Bandung: Mizan, 1994) Ziai, Hossein, Suhrawardi dan Filsafat Illuminasi; Pencerahan Ilmu Pengetahuan, terj. Afif Muhammad & Munir (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998) al-Zuhaylî, Wahbah, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî‘ah wa al-Manhaj (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu‘âshir, 1991), j. 18
73
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
004 Ayat Cahaya (Izza).pmd
73
27/03/2012, 23:38
Wacana Lepas
WACANA LEPAS
Modus Suksesi Kepemimpinan dalam Politik Islam: Sebuah Pendekatan Sejarah Andi Rahman1 Fakultas Ushuluddin, Institut PTIQ Jakarta E-mail:
[email protected] Abstract: Discourse about the relationship between religion and state (Islam and politics) raises three schools. First, that Islam as a religion does not recognize the existence of complete separation between religion and state and that Muslim must apply Islamic political system. Second, that Islam is understood as a religion according to western terminology, in which it just set morals and did not care about politics. Third, that Islam does not teach a particular constitutional system, but it has a set of ethical and moral order in politics. This article talks about the mode of succession of leadership in Islam. The author uses the approach of history that found that in the Khilafat rasyidun age, and also Umayyads and Abbasid dynasty, Muslims use different mode of succession. So that it can be concluded that Islam acknowledges the diversity of political systems and state. Keywords Mode of succession, governance, secularism, imamat, empire, monarchy, Republicans, Sunnis, Shiites, Ghadir Khum, syûrâ, ahl al-hall wa al-‘aqd
1
Penulis adalah dosen di IPTIQ dan beberapa perguruan tinggi lainnya (
[email protected])
74
005 Modus Suksesi dalam Islam (Andi Wacana 74 Lepas).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
09/05/2012, 8:33
Modus Suksesi Kepemimpinan dalam Politik Islam: Sebuah Pendekatan Sejarah
Memang cukup menggelitik pikiran, ketika masalah sehari-hari yang tidak menyangkut kepentingan dan hajat hidup orang banyak, agama menggariskan banyak peraturan dan tata etika. “Makanlah dengan tangan kanan!” 2 “Makanlah makanan yang halal”.3 Demikian agama mengatur masalah makanan. “Setelah makanan dicerna oleh lambung, dan kamu hendak membuang hajat, maka dahulukanlah kaki kiri saat masuk ke toilet. Dan jangan menghadap ke kiblat saat buang air!” demikian aturan agama ‘memasuki’ toilet. Makan, ‘ritual’ toilet, mendidik anak, transaksi ekonomi, berwudhu, dan hal-hal yang berhubungan dengan ritual peribadatan dan rutinitas sehari-hari tiap orang diatur oleh agama. Lalu bagaimana dengan sistem ketatanegaraan, yang menyangkut kepentingan dan hajat hidup orang banyak? Apakah agama memiliki suatu sistem ketatanegaraan yang baku? Tulisan ini menjawab pertanyaan tersebut, dengan menelaah sistem dan modus suksesi kepemimpinan yang pernah diterapkan umat Islam sebagai salah satu sub dari sistem ketatanegaraan Islam.
Konsep Ketatanegaraan Dalam Islam Di kalangan umat Islam, mulai masa klasik shahabat sampai sekarang terdapat tiga pendapat mengenai hubungan antara Islam dan sistem ketatanegaraan: Pertama, pendapat yang berpendirian bahwa Islam adalah agama sempurna dan paripurna yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Tokoh-tokoh kontemporer antara lain Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Rasyid Ridha dan al-Maududi adalah penganut pendapat ini. Menurut mereka, Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik. Islam adalah agama yang memiliki sistem perpolitikan yang khas. Umat Islam harus kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam itu, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. Sistem politik yang menjadi anutan adalah sistem yang dipergunakan oleh Rasulullah dan Khulafa‘ Rasyidun. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa Islam adalah agama menurut terminologi yang berkembang di Barat, yaitu agama yang mengajak umat manusia kepada kemuliaan hidup dan keluhuran budi pekerti. Sebagai nabi, Rasulullah tidak memiliki misi mendirikan sebuah negara dan sistem perpolitikan. Kehidupan sosial dan politik umat diserahkan kepada mereka, tanpa campur tangan agama yang bersifat normatif dan mengikat. Tokoh-tokoh seperti Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husain adalah pendukung pendapat ini.
2 3
Dalam sebuah Hadis disebutkan Rasulullah bersabda, “Ketika kalian makan, maka makanlah dengan tangan kanan, demikian juga ketika kalian minum. Karena syaitan makan dan minum dengan tangan kiri”. (HR. Muslim) “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al-Baqarah: 168) “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS. Al-Maidah: 88) “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-Nya menyembah.” (QS. Al-Nahl: 114)
75
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
005 Modus Suksesi dalam Islam (Andi Wacana 75 Lepas).pmd
09/05/2012, 8:33
Wacana Lepas
Ketiga, pendapat yang menolak keparipurnaan Islam dan sekularisme Barat sekaligus. Dalam konteks ketatanegaraan, pendapat terakhir ini mencoba bersikap moderat melalui pernyataannya bahwa Islam tidak mengajarkan sistem ketatanegaraan tertentu, tetapi ia memiliki seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Umat Islam tidak harus mengikuti sistem pemerintahan Khulafa‘ Rasyidun atau meniru Barat secara totalitas, melainkan bebas memilih dan menerapkan sistem dan bentuk negara dan pemerintahan yang sesuai dengan konteks zaman dan tempatnya masing-masing. Muhammad Husain Haikal adalah salah seorang pendukung pendapat ini.4
Konsep Teori Suksesi Kepemimpinan Para cendekiawan Muslim dengan berbagai sektenya mengategorikan konsepsi pemilihan kepala negara dalam dua macam: imâmah yang ditetapkan berdasarkan nash, dan khilâfah dilakukan melalui mekanisme pemilihan. Pendukung pendapat pertama adalah golongan Syi’ah Imamiyah (Itsna ‘Asyariah) dan Jarudiyah, serta Rawandiyah Abbasiyah, yang menyatakan bahwa imâmah atau kepemimpinan adalah prinsip dasar dalam Islam yang tidak mungkin diabaikan. Menurut mereka, Rasulullah secara eksplisit dan implisit telah memberi wasiat kepada Ali bin Abu Thalib untuk menjadi penggantinya. Wasiat ini diteruskan kepada keturunan Ali. Sementara golongan Sunni mengusung pendapat kedua yang menyatakan bahwa klaim wasiat ini tidak benar, dan sesungguhnya Rasulullah tidak pernah menetapkan secara definitif sosok orang yang akan menggantikannya menjadi pemimpin umat. Masing-masing pendapat memiliki landasan argumentasinya yang dibangun berdasarkan intepretasi nash, dan nalar logika. Dalam ranah teologis, analisa perbandingan antara dua pendapat mendapatkan porsi yang besar, bahkan konon polarisasi umat dalam sekte-sekte juga bermula dari perbedaan konsepsi tentang tata cara pengangkatan kepala negara. 5 Penulis tidak ingin mengulas perbedaan-perbedaan itu, karena selain akan “mempertontonkan film lama” yang sudah berulang kali disaksikan orang, kajian ini telah banyak ditulis oleh ulama. Dengan membaca kilasan sejarah tentang modus suksesi pemerintahan yang pernah terjadi dalam dunia Islam, kita akan mendapatkan gambaran pendapat mana yang faktual dan memiliki dasar argumentasi lebih kuat. a.
Modus Suksesi Khulafa Rasyidun Khulafa‘ Rasyidun, atau khalifah-khalifah yang cerdas sering diasosiasikan kepada empat sosok khalifah besar, yaitu: Abu Bakar bin Abu Quhafah, Umar bin al-Khathab,
4 5
Lihat: Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1993, hal. 1-2; lihat juga Ensiklopedi Tematis dunia Islam, entri: Ajaran, hal. 202 Al-Sayid Ahmad Ibrahim Hamur, Syadzrat min Tarikh al-Daulah al-Umawiyah fi al-Syarq, (Cairo: Dar al-Thiba’ah alMuhammadiyah, 1998), cet. IV, hal. 115
76
005 Modus Suksesi dalam Islam (Andi Wacana 76 Lepas).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
09/05/2012, 8:33
Modus Suksesi Kepemimpinan dalam Politik Islam: Sebuah Pendekatan Sejarah
Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib. 6 Keempatnya memimpin umat Islam di era shahabat yang dinyatakan oleh Rasulullah sebagai era yang terbaik yang pernah ada dalam perjalanan sejarah.7 Menarik untuk mempelajari sistem pemilihan pemimpin atau khalifah dalam Islam pada masa Khulafa’ Rasyidun. Pasalnya sistem yang digunakan tidak baku dan berubahubah. Dan setidaknya ada tiga mekanisme pemilihan khalifah yang pernah dijalankan pada masa shahabat.8 Pertama, mekanisme pemilihan langsung yang dijalankan pada pemilihan Khalifah Abu Bakar,9 dan Khalifah Ali bin Abu Thalib.10 Sayidina Ali pernah ditanya, “Apakah anda tidak akan mengangkat orang sebagai pengganti anda (sebagai khalifah)?” Pola ini diejewantahkan berupa pemilihan (pembaiatan) langsung oleh rakyat kepada khalifah yang mereka kehendaki, tanpa adanya penunjukkan dari khalifah sebelumnya. Ketika Rasulullah mangkat, elit politik kaum Anshar berkumpul di Saqifah Bani Saidah. Mereka bermusyawarah seputar pengangkatan salah seorang dari mereka untuk menjadi khalifah yang menggantikan Rasulullah mengatur masalah politik umat Islam. Musyawarah itu hampir menetapkan sebuah kemufakatan untuk mengangkat Sa’d bin Ubadah sebagai khalifah. Umar bin al-Khathab yang mendengar adanya pertemuan itu mengajak Abu Bakar untuk mendatangi Saqifah Bani Saidah.
6
7 8 9
10
Dalam sebuah Hadis Rasulullah menyatakan bahwa khilâfah sesudahnya akan berlangsung selama 30 tahun. Jika penghitungan dimulai semenjak wafatnya beliau, yaitu 12 Rabi’ul Awal tahun 11 Hijriyah, maka seharusnya al-Hasan bin Ali masuk dalam kategori khulafa‘ rasyidun, karena beliau lengser dari kekhalifahan pada tahun 41 Hijriyah. Dan dalam beberapa Hadis ditemui isyarat kepemimpinan al-Hasan, misalnya Hadis yang menyatakan bahwa al-Hasan adalah pemimpin (sayyid) yang akan mendamaikan dua kelompok besar umat Islam. Dan sejarah mencatat bahwa lengsernya al-Hasan dari kursi kekhalifahan telah menghentikan (sementara) pertikaian politik dan militer antara pendukung Ali bin Abu Thalib dan Mu’awiyah. Tahun 41 Hijriyah dikenal sebagai ‘Am al-Jama’ah I (tahun persatuan I). Diskursus masuknya al-Hasan dalam kategori khulafa‘ rasyidun memang kurang populer, bahkan kalah populer dibanding wacana masuknya Umar bin Abdul Aziz ke dalam kategori khulafa‘ rasyidun, walaupun jelas-jelas kekhilâfahannya berlangsung jauh setelah “30 tahun” pasca kemangkatan Rasulullah, dan lama kekhilâfahannya selama 2 tahun yang artinya jumlah total kekhalifahan yang disebut Rasulullah menjadi tiga puluh satu tahun lebih beberapa bulan. Dalam sebuah Hadis Rasulullah bersabda, “Sebaik-baiknya umatku adalah generasiku (generasi shahabat), kemudian generasi setelah mereka, kemudian generasi setelah mereka…” (HR. Muslim) Silahkan membaca buku karya Al-Sayid Ahmad Ibrahim Hamur, Syadzrat min Tarikh al-Daulah al-Umawiyah fi alSyarq, hal. 39-40 Dalam sebuah Hadis dikisahkan beberapa Shahabat bertanya kepada Rasulullah tentang orang yang akan menggantikan beliau, “Ya Rasulullah, tidakkah Anda menunjuk orang yang akan menjadi pengganti Anda?” tanya mereka. Rasulullah menjawab tidak, “Kalau aku menunjuk seorang pengganti (sebagai khalifah) kemudian kalian mendurhakainya, maka kalian akan tertimpa azab” (HR. al-Bazzar) Sayidina Ali pernah ditanya, “Apakah anda tidak akan mengangkat orang sebagai pengganti anda (sebagai khalifah)?” “Rasulullah tidak menunjuk orang sebagai penggantinya, lalu (bagaimana mungkin) aku mengangkat orang sebagai penggantiku?!” Jawab Sayidina Ali, “Tetapi kalaulah Allah Menghendaki kebaikan bagi manusia, maka Ia akan mengumpulkan manusia sesudahku dalam kepemimpinan manusia yang terbaik, seperti Allah telah mengumpulkan manusia atas orang yang terbaik (di bawah kepemimpinan orang yang terbaik, maksudnya Abu Bakar). (HR. AlHakim)
77
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
005 Modus Suksesi dalam Islam (Andi Wacana 77 Lepas).pmd
09/05/2012, 8:33
Wacana Lepas
Abu Bakar yang sedang sibuk mengurus jenazah Rasulullah, semula menolak ajakan Umar. Namun setelah diberitahukan apa yang sebenarnya berlangsung, Abu Bakar berkenan menuruti ajakan Umar. Di tengah perjalanan, mereka berdua bertemu Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Sesampainya di Saqifah, terjadi perdebatan sengit seputar sosok yang akan menjadi khalifah. Kaum Anshar menawarkan independensi politik penuh bagi kaum Muhajirin dan Anshar, di mana masing-masing akan mengangkat seorang khalifah. Perdebatan semakin sengit ketika Umar yang memiliki sifat keras dan tegas ikut memberikan usul rembuk, dan hampir saja perselisihan itu berujung kepada pertumpahan darah. Abu Bakar menyatakan bahwa kepemimpinan harus berasal dari suku Quraisy, dengan pertimbangan bahwa Rasulullah berasal dari suku Quraisy, dan selama ini bangsa Arab secara de facto telah mengangkat Quraisy sebagai suku pemimpin. Pertimbangan lain yang kemudian menyurutkan keinginan pihak Anshar adalah adanya persaingan dan perselisihan laten yang dahulu terjadi antara kabilah Aus dan Khazraj. Jika khalifah terpilih berasal dari Khazraj, maka besar kemungkinan kabilah Aus akan menolaknya. Resistensi dari Aus ini akan memicu penolakan dari kabilah-kabilah lain di luar Anshar. Hal yang sama juga akan terjadi jika khalifah yang terpilih berasal dari Aus. Maka negara yang baru berumur sebelas tahun itu berada di ambang disintegrasi. Ucapan Abu Bakar tersebut mampu meredam gejolak kaum Anshar. Semula Abu Bakar menawarkan kepada forum untuk membaiat Umar bin al-Khathab atau Abu Ubaidah. Namun justru Umar yang bergegas menghampiri Abu Bakar untuk membaiatnya sebagai khalifah, setelah sebelumnya Umar menyebutkan kelebihan-kelebihan Abu Bakar sebagai dasar pertimbangan kelayakan Abu Bakar sebagai khalifah. Pembaiatan ini diikuti segenap shahabat yang hadir di Saqifah, yang keesokan harinya dilanjutkan pembaiatan kaum muslimin di masjid Nabawi. Mekanisme pemilihan langsung juga diterapkan saat pengangkatan Ali bin Abu Thalib. Namun ada beberapa perbedaan antara proses pemilihan Ali dengan Abu Bakar, misalnya resistensi umat terhadap kekhilâfahan Ali jauh lebih besar dari pada yang terjadi terhadap Abu Bakar. Pihak-pihak yang semula menolak pengangkatan Abu Bakar di waktu kemudian menyatakan pembaiatannya, sementara pihak-pihak yang menolak Ali seperti Mu’awiyah (gubernur Syam) tetap tidak mau membaiatnya. Perbedaan ini juga nampak dari pihak yang mengusung masing-masing khalifah, di mana Abu Bakar diusulkan oleh shahabat berpengaruh seperti Umar dan Abu Ubaidah, sementara Ali pada awalnya diusung oleh kelompok pemberontak yang sebelumnya telah membunuh khalifah Usman. Ketika khalifah Usman mangkat, beberapa shahabat berkumpul dan menemui Ali guna menyatakan urgensi untuk segera mengangkat khalifah pengganti. Namun Ali menyatakan ketidakinginannya menjadi khalifah. Tawaran serupa juga dinyatakan para pemberontak, namun Ali kembali menyatakan keengganannya menduduki kursi kekhalifahan apalagi jika yang mengusungnya adalah pemberontak yang tidak layak menjadi representasi bagi umat Islam. Ali kemudian menyarankan diadakan pertemuan para veteran perang Badar, yang merupakan shahabat-shahabat berpengaruh dan memiliki kredibilitas tinggi. Nampaknya
78
005 Modus Suksesi dalam Islam (Andi Wacana 78 Lepas).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
09/05/2012, 8:33
Modus Suksesi Kepemimpinan dalam Politik Islam: Sebuah Pendekatan Sejarah
Ali menganggap para veteran Badar merupakan golongan yang layak dianggap sebagai representasi umat Islam. Hasil pertemuan para mantan pejuang Badar menetapkan Ali sebagai khalifah. Kedua, mekanisme formatur yang digunakan oleh khalifah Umar bin al-Khathab dalam memilih orang yang akan mengantikannya. Umar menunjuk enam orang pemuka shahabat— yang masih tersisa dari sepuluh orang yang diridhai Rasulullah dan dijamin masuk surga olehnya—untuk bermusyawarah guna memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi khalifah.11 Orang-orang yang duduk di kursi formatur ini merupakan shahabat-shahabat pilihan yang memiliki kredibilitas tinggi, keluasan ilmu dan pengalaman, serta merupakan panutan dan sosok yang berpengaruh dalam masyarakat. Rasulullah sendiri menjamin kualitas diri para anggota formatur lewat pernyataan beliau bahwa mereka adalah orangorang yang pasti masuk surga. Dalam masa kritis setelah mendapat tikaman, Umar diminta menunjuk orang yang akan menggantikannya menjadi khalifah. Ada usulan agar Umar mengangkat puteranya yang bernama Abdullah sebagai putera mahkota. Namun usulan ini ditolak karena ia menganggap puteranya tidak memiliki ketegasan. Menurut Umar, bagaimana mungkin puteranya menjadi khalifah sementara ia tidak berani menceraikan istrinya.12 Namun, Umar mengikutsertakan puteranya itu dalam tim formatur yang memiliki hak memilih tanpa diberi hak untuk dipilih. Kebanyakan anggota tim yang berjumlah enam orang yang ditunjuk Umar, pada awalnya cenderung memilih Abdurrahman bin Auf, namun Abdurrahman mencabut hak dipilihnya dan menyatakan bahwa dirinya tidak layak bersaing dengan yang lain dalam “perebutan” kursi khilâfah. Mekanisme formatur ini menetapkan Utsman sebagai khalifah. Ketiga, pola monarki yang dipilih oleh Khalifah Abu Bakar saat menunjuk Sayidina Umar bin al-Khathab sebagai khalifah penggantinya. Kebijakan ini diambil Abu Bakar dengan pertimbangan menjaga persatuan umat Islam. Beliau khawatir “Tragedi Saqifah Bani Saidah” terjadi lagi, di mana saat itu kaum Muhajirin dan Anshar berdebat sengit masalah orang yang berhak menjadi khalifah Rasulullah. Perdebatan ini hampir membawa disintegrasi umat Islam, karena masing-masing kelompok bersikukuh menggolkan “jagonya” menjadi khalifah. Bahkan bisa jadi, fitnah yang timbul akibat perselisihan masalah kekhalifahan, lebih besar dari pada fitnah riddah (murtadnya banyak kaum muslimin).13
11 12 13
Al-Sayid Ahmad Ibrahim Hamur, Syadzrat min Tarikh al-Daulah al-Umawiyah fi al-Syarq, hal. 35 Taqiyuddin al-Nabhany, Sistem Pemerintahan Islam: Doktrin Sejarah dan Realitas Empirik, (Bangil: al-Izzah, 1996), cet. I, hal 102 Abdul Wahhab al-Najjar, al-Khulafa‘ al-Rasyidun, (Beirut: dar al-Fikr), tth, hal. 109. Sependek pembacaan penulis, penunjukan putera mahkota yang dilakukan seorang khalifah bukanlah alat legitimasi keabsahan terhadap kehalifahan seseorang. Kekhalifahan bersifat legitimated dan absah ketiak telah mendapatkan baiat dari seluruh atau sebagian besar kaum muslimin. Penunjukan yang dilakukan khalifah sebelumnya hanya bersifat tawaran sosok orang yang akan dibaiat oleh kaum muslimin sepemangkatannya.
79
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
005 Modus Suksesi dalam Islam (Andi Wacana 79 Lepas).pmd
09/05/2012, 8:33
Wacana Lepas
Perlu diingat bahwa walaupun terkesan otoriter, mekanisme penunjukan yang dipilih Abu Bakar ini dilakukan setelah beliau bermusyawarah dengan banyak shahabat, sehingga ketetapan yang diambil sesungguhnya merupakan kehendak mayoritas umat Islam, kalau tidak mau dikatakan sebagai kehendak semua shahabat. Ketika Abu Bakar merasa ajalnya sudah dekat, ia memanggil Abdurrahman bin Auf untuk menanyakan penilaiannya terhadap Umar bin al-Khathab. Abdurrahman menganggap bahwa Umar adalah orang yang paling cocok menggantikan Abu Bakar, hanya saja Umar adalah sosok orang yang sangat keras. Abu Bakar menyatakan bahwa Umar akan melunak jika ia menjadi khalifah, sebagaimana dirinya yang lembut bisa menjadi keras dan tegas saat memerangi kaum murtaddin dan pembangkang zakat. Abu Bakar juga menanyakan kelayakan Umar kepada Usman bin Affan, dan jawaban senadapun diberikan Usman. Secara intensif, Abu Bakar juga meminta pendapat shahabat-shahabat lain seputar niatnya menunjuk Umar sebagai khalifah setelahnya. Sebagian shahabat awalnya menolak penunjukan Umar karena khawatir akan sifat keras dan tegasnya, namun setelah bermusyawarah dengan Abu Bakar akhirnya mereka menerima pencalonan itu. Ada sementara pihak yang menyatakan bahwa penunjukkan Umar sebagai upaya balas budi Abu Bakar yang saat peristiwa Saqifah Bani Saidah dibaiat oleh Umar yang kemudian diikuti oleh seluruh kaum muslimin. Tuduhan ini tidak beralasan jika kita melihat kronologis peristiwa itu. Dalam khutbahnya, Umar berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa seseorang di antara kalian berkata: Demi Allah, jika Umar wafat maka saya akan membaiat si fulan! Maka janganlah ada orang yang terpedaya hingga ia mengatakan bahwa pembaiatan Abu Bakar itu tergesa-gesa dan telah selesai (direncanakan sebelumnya). Ketahuilah bahwa pembaiatan itu memang demikian, dan Allah telah mencegah terjadinya keburukan. Dan siapa yang membaiat seseorang tanpa musyawarah umat Islam maka pembaiatan itu tidak benar, dan orang yang membaiat maupun yang dibaiat dapat dibunuh. Sesungguhnya Abu Bakar adalah orang terbaik di antara kita ketika Rasulullah wafat.”14 b.
Modus Suksesi Bani Umayah Bani Umayah (di timur) berkuasa selama sekitar sembilan puluh tahun (41-132 H). Kedinastian Bani Umayah dibangun atas kepemimpinan keturunan Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan Marwan bin Hakam. Sistem pemerintahan yang dipilih Bani Umayah bersifat monarkis, dengan masih menggunakan syûrâ bersama pihak-pihak terbatas. Beberapa raja (khalifah) masih memerlukan masukan, saran dan pertimbangan keluarga besar Bani Umayah untuk menentukan siapa calon putera mahkota, misalnya Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang meminta saran dan kepastian dukungan dari Hajaj bin Yusuf ketika ia hendak menentukan Yazid sebagai penggantinya.
14
Ali Ahmad al-Salus, Imâmah dan Khilâfah dalam Tinjasuan Syar’i, (Jakarta, Gema Insani Press, 1997), cet. I, hal. 19
80
005 Modus Suksesi dalam Islam (Andi Wacana 80 Lepas).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
09/05/2012, 8:33
Modus Suksesi Kepemimpinan dalam Politik Islam: Sebuah Pendekatan Sejarah
Walau sama-sama menggunakan sistem putera mahkota sebagai sistem suksesi pemerintahan, namun dalam prakteknya terdapat perbedaan, di mana Mu’awiyah dan keturunannya menetapkan satu orang sebagai putera mahkota, sementara Marwan bin Hakam dan keturunannya menunjuk dua orang sebagai putera mahkota. 15 Namun ada juga khalifah/dinasti Bani Umayah yang tidak menunjuk putera mahkota, misalnya Mu’awiyah II bin Yazid bin Mu’awiyah, al-Walid I bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz, dan Ibrahim bin al-Walid. Mu’awiyah II bin Yazid tidak menunjuk penggantinya karena intimidasi Marwan dan keluarga besarnya. Pasca kemakzulan Mu’awiyah II dan kemangkatannya, kekuasaan politik umat Islam berpindah ke tangan keluarga Marwan bin Hakam. Al-Walid I bin Abdul Malik tidak sempat menentukan putera mahkotanya karena Sulaiman bin Abdul Malik, saudaranya, menentang penentuan putera mahkota itu. Umar bin Abdul Aziz juga tidak menentukan siapa yang akan menjadi penggantinya karena Sulaiman bin Abdul Malik yang menjadi pendahulunya telah menetapkan Yazid bin Abdul Malik sebagai putera mahkota kedua yang akan menggantikan Umar bin Abdul Aziz sepemangkatannya. Hal yang serupa dengan kasus Umar bin Abdul Aziz, terjadi pada Ibrahim bin al-Walid.16 Dan dalam perjalanannya, ada empat khalifah/raja yang menduduki kursi kekuasaan tanpa mekanisme putera mahkota. Keempat orang ini, yaitu Mu’awiyah I bin Abu Sufyan, Marwan I bin al-Hakam, Yazid III bin al-Walid I, dan Marwan II bin Muhammad menjadi khalifah/raja lewat kudeta.17 Sistem putera mahkota yang dijalankan Bani Umayah mendapat banyak kritikan, selain meninggalkan mekanisme syûrâ (dalam pengertian memberikan umat hak memilih mereka baik secara langsung maupun secara perwakilan), terkadang orang yang ditetapkan sebagai putera mahkota tidak memiliki kredibilitas dan kecakapan memimpin. Misalnya Yazid I bin Mu’awiyah yang menunjuk Mu’awiyah II bin Yazid I sebagai putera mahkota, di mana sebagian sejarawan menyatakan umur Mu’awiyah II saat menjadi khilâfah belumlah dewasa, usianya saat itu 13 tahun atau 21 tahun. Dan orang yang hidup dalam kemewahan, kebanyakan belum memiliki kedewasaan saat ia berumur remaja. Yazid II bin Abdul Malik menunjuk al-Walid bin Yazid sebagai putera mahkota saat ia berumur 11 tahun, yang kemudian menjadi khalifah/raja saat berumur 15 tahun. Al-Walid II bin Yazid menunjuk dua anaknya (al-Hakam dan Utsman) sebagai putera mahkota, padahal keduanya masih anak-anak. Sistem monarki yang diterapkan Bani Umayah juga seringkali tidak mengindahkan aspirasi rakyat kebanyakan. Sementara sejarawan menganggap sistem yang dipakai dinasti ini bersifat sewenang-wenang. Hal ini yang di kemudian hari menjadi faktor kunci
15 16 17
Al-Sayid Ahmad Ibrahim Hamur, Syadzrat min Tarikh al-Daulah al-Umawiyah fi al-Syarq, hal. 53 Al-Sayid Ahmad Ibrahim Hamur, Syadzrat min Tarikh al-Daulah al-Umawiyah fi al-Syarq, hal. 54 Al-Sayid Ahmad Ibrahim Hamur, Syadzrat min Tarikh al-Daulah al-Umawiyah fi al-Syarq, hal. 55
81
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
005 Modus Suksesi dalam Islam (Andi Wacana 81 Lepas).pmd
09/05/2012, 8:33
Wacana Lepas
keruntuhan Bani Umayah. Penyelewengan yang ada dalam sistem suksesi Bani Umayah, sedikit banyak telah menyebabkan instabilitas negara, yang tidak jarang berakhir dengan kudeta yang dilakukan oleh kalangan keluarga khalifah/raja itu sendiri. c.
Modus Suksesi Bani Abbasiyah Keruntuhan Bani Umayah pada tahun 749 H. menjadi momentum berdirinya dinasti Bani Abbasiyah. Instabilitas negara sebagai diakibatkan sistem monarki yang sewenangwenang, menjadi faktor yang mendukung propaganda Bani Abbasiyah untuk melakukan kudeta. Bani Abbasiyah membawa jargon “cinta keluarga Rasulullah” untuk mendapat simpati rakyat kebanyakan, termasuk golongan Alawiyin (Syi’ah). Dinasti yang berumur lebih dari enam abad ini (132-749 H/656-1258 M), memiliki pasang surut kekuasaan dan kajayaan. Dinasti ini didirikan oleh Abu al-‘Abbas Abdullah yang dijuluki al-Saffâh. Pendiri dinasti ini terkenal dengan kebijakan tangan besinya, akibat banyaknya pihak yang menentang dinasti yang baru didirikannya. Al-Saffah menunjuk dua orang putera mahkota, yaitu saudaranya Abu Ja’far al-Manshur dan keponakannya yang bernama Isa bin Musa. Isa bin Musa selayaknya akan menjadi khalifah/raja setelah Abu Ja’far al-Manshur. Namun setelah al-Manshur resmi menjadi khalifah/raja, ia berkehendak mengangkat anaknya yang bernama al-Mahdi sebagai putera mahkota. Isa bergeming untuk tetap menjadi putera mahkota sebagaimana ketetapan ASaffah sebelumnya. Al-Manshur melakukan berbagai cara agar Isa rela mencabut haknya, dan memberikannya kepada al-Mahdi, dan akhirnya keinginan al-Manshur tercapai setelah Isa menyatakan kerelaannya menjadi putera mahkota kedua setelah al-Mahdi. Al-Mahdi kemudian menjadi pengganti ayahnya, dan segera melucuti hak Isa bin Musa. Sebagai gantinya, ia menunjuk dua puteranya, Musa al-Hadi kemudian Harun al-Rasyid sebagai putera mahkota. Setelah al-Mahdi mangkat, Musa al-Hadi selaku penggantinya segera melucuti hak Harun al-Rasyid dan mengangkat Ja’far bin al-Hadi, putera al-Hadi, sebagai putera mahkota. Namun, ketika al-Hadi wafat, Harun al-Rasyid lah yang kemudian dibaiat menjadi penggantinya. Setelah memerintah selama 23 tahun, Harun al-Rasyid mangkat setelah mengangkat 3 puteranya sebagai putera mahkota, yaitu: al-Amin, al-Makmun, dan al-Mu’taman. Dengan demikian, selama pemerintahan Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, setidaknya telah terjadi tiga macam pengangkatan putera mahkota dilihat dari jumlah orang yang menjadi putera mahkota. Pada masa Dinasti Umayyah dari keturunan Mu’awiyah, yang ditunjuk sebagai putera mahkota hanya seorang, sementara pada Dinasti Umayyah dari keturunan Marwan bin Hakam dan Dinasti Abbasiyah sebelum Harun al-Rasyid, jumlah orang yang ditunjuk sebagai putera mahkota ada dua. Dan pada zaman Harun al-Rasyid, putera mahkota yang ditetapkan ada tiga orang.18 Berdasarkan kilasan sejarah di atas, nampak bahwa Islam tidak memiliki cara dan aturan baku mengenai pemilihan dan pengangkatan pemimpin negara. Elastisitas ini sejalan
82
005 Modus Suksesi dalam Islam (Andi Wacana 82 Lepas).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
09/05/2012, 8:33
Modus Suksesi Kepemimpinan dalam Politik Islam: Sebuah Pendekatan Sejarah
dengan dinamika sosiopolitik umat Islam, di mana sebuah sistem dan aturan mungkin cocok untuk masa waktu tertentu, sementara di masa lain bisa jadi ada cara lain yang lebih cocok dan relevan untuk diterapkan. Dengan demikian dapat disimpulkan untuk sementara, bahwa Islam tidak memiliki aturan baku tentang suksesi kepemimpinan. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana, tidak ada modus suksesi kepemimpinan yang Islami.
Konsep Khilâfah dan Imâmah Khilâfah atau khalîfah secara etimologis bermakna “(orang yang) berada di belakang”. Kata ini kemudian identik dengan makna kepemimpinan umat, seperti ungkapan yang dipakai Nabi Musa saat menjadikan Nabi Harun sebagai pemimpin sementara bagi Bani Israil selama dirinya melakukan miqat.19 Sementara Imâmah menurut etimologi bermakna “menjadi pelindung atau panutan” yang kemudian juga identik dengan kepemimpinan, karena pemimpin adalah orang yang pelindung yang dianut. Kata ini bersifat netral di mana dapat diasosiasikan positif 20 dan negatif2121 “…Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang kafir itu…” (QS. Al-Taubah: 120) . Kata imam dalam kedua konotasinya selain disandangkan secara hakiki, dapat juga dipahami secara majazi (metafor), misalnya ungkapan bahwa al-Qur’an adalah imam bagi kaum muslimin karena al-Qur’an memuat ajaran dan tata nilai yang harus dijadikan pedoman dan anutan. Karena dalam tinjauan terminologis, kata imâmah diartikan sebagai pemimpin politik umat Islam, Abu Zahrah menyamakan imâmah dengan khalifah. 22 Selain khilâfah dan imâmah, ada istilah imârah yang dalam ranah politik ketiganya sering dipahami sebagai sinonim. Orang yang memiliki otoritas imârah disebut amîr. Beberapa khalifah mendapat julukan amîr al-mu’minîn (pemimpin kaum beriman) sebagai titel resmi kenegaraan.
18 19 20
21
22
Al-Sayyid Ahmad Ibrahim Hamur, al-Daulah al-‘Abbasiyah al-‘Ashr al-‘Abbasy al-Awwal: ‘Ashr al-Quwwah wa alNufudz wa al-‘Amal, (Cairo: dar al-Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1998), cet. III, hal. 144 Allah berfirman, “…Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku…” (QS. Al-A’raf:142) Allah berfirman, “…(Allah) berfirman: Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia…” (QS. Al-Baqarah: 124); “Dan telah Kami jadikan mereka sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami…” (QS. Al-Anbiya`: 73) “…Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang kafir itu…” (QS. Al-Taubah: 120) “Dan telah Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka. Dan pada hari Kiamat mereka tiadalah ditolong” (QS. Al-Qashash: 41). Ali Ahmad al-Salus, Imâmah dan Khilâfah dalam Tinjasuan Syar’I, hal. 14
83
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
005 Modus Suksesi dalam Islam (Andi Wacana 83 Lepas).pmd
09/05/2012, 8:33
Wacana Lepas
Dalam tinjauan historis, sebenarnya istilah amîr telah ada lebih dahulu dari pada khalîfah atau imâm. Dalam pertemuan Saqifah Bani Saidah, kaum Anshar pada awalnya menghendaki adanya keamiran di kalangan mereka yang terpisah dari keamiran kaum Muhajirin. Kaum Anshar menawarkan opsi mengangkat amîr dari pihak mereka sendiri sementara Muhajirin dipersilahkan melakukan hal yang sama. Namun Abu Bakar mengingatkan bahwa keamiran berada di tangan Qurasiy yang nota benenya adalah inti golongan Muhajirin, sementara kementerian (wizârah) merupakan bagian yang akan diisi oleh golongan Anshar. Penggunaan titel amîr al-mu’minîn pertama kali diberlakukan pada masa Umar bin al-Khathab, karena penggunaan titel “khalifahnya khalifah Rasulullah” baginya terasa menyusahkan, apalagi bagi orang yang akan menjadi khalifah sesudahnya akan mendapat julukan “khalifahnya khalifah-khalifah Rasulullah. Semakin ke belakang, semakin banyak kata “khalifah” digunakan, sehingga nampaknya titel amîr al-mu’minîn lebih memudahkan. Adapun penggunaan titel al-imâm, maka ia baru berlaku pada masa Ali bin Abu Thalib.23 Selain tiga istilah di atas, umat Islam juga mengenal istilah sulthân dan mâlik (raja). Namun kata khilâfah dan imâmah lebih dominan dalam diskursus politik Islam dan teologi Islam. Pengertian khilâfah, imâmah dan imârah, ketiganya menunjuk institusi politik menggantikan Rasulullah dalam urusan agama dan politik. Sunni menilai institusi khilâfah, imâmah, atau imârah memiliki fleksibilitas yang signifikan, di mana terkadang seorang khalifah di waktu yang sama juga mendapat panggilan khalifah, imam dan amîr al-mu’minîn, misalnya Ali bin Abu Thalib. Ubaidullah al-Mahdi, pendiri dinasti Fathimiyah, juga menyebut dirinya amîr al-mu’minîn di samping khalîfah al-muslimîn dan imâm al-millah. Dalam catatan sejarah, penggunaan tiga istilah ini (khalîfah, imâm dan amîr) seringkali mengalami pergeseran, misalnya pada masa dinasti Umayah, istilah “amîr” disandang oleh pemimpin provinsi, sementara pada pemerintahan Saljuk, Ayubiyah dan Mamluk di Mesir para pejabat militerlah yang mendapat julukan amîr. Hal ini berbeda dengan Syi’ah yang memahami imâmah secara dogmatis dan tidak berubah sampai sekarang. Syi’ah memahami bahwa imâmah yang selamanya memiliki dimensi spiritual dan politis. Sifatnya yang sakral menjadikannya bukan jabatan politis yang dapat ditetapkan melalui mekanisme pemilihan. Teori imâmah memang identik dengan Syi’ah, namun demikian golongan Sunni juga menggunakan gelar ini. Ada asumsi bahwa Sunni menghendaki pengaburan makna imâmah yang ada di kalangan Syi’ah, dengan cara mempararelkannya dengan gelar amîr atau khalîfah.
23
Al-Sayid Ahmad Ibrahim Hamur, Syadzrat min Tarikh al-Daulah al-Umawiyah fi al-Syarq, hal. 144
84
005 Modus Suksesi dalam Islam (Andi Wacana 84 Lepas).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
09/05/2012, 8:33
Modus Suksesi Kepemimpinan dalam Politik Islam: Sebuah Pendekatan Sejarah
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, perbedaan konsepsi tentang kepemimpinan umat Islam pasca kemangkatan Rasulullah telah memicu timbulnya sekte Sunni dan Syi’ah yang dalam catatan sejarah sering terlibat dalam pertikaian fisik (peperangan). Kedua belah pihak, baik Sunni maupun Syi’ah, dengan argumentasinya masing-masing bersikukuh memegang keyakinannya. Dalil-dalil yang diutarakan kedua golongan telah menjadi perdebatan klasik yang hingga kini masih ramai dibicarakan. Syi’ah dengan metodologi istimbath hukumnya, menyampaikan dalil-dalil berupa intepretasi ayat dan riwayat-riwayat hadis yang dibantah oleh Sunni. Bahkan tidak jarang kedua belah pihak menggunakan dalil yang sama yang tentunya dipahami secara berbeda.
Peristiwa Ghadir Khum Nampaknya, kontroversi peristiwa Ghadir Khum menjadi titik awal kemunculan konsep imâmah dalam sekte Syi’ah. Seorang Syi’ah Ja’fariyah menulis buku al-Ghâdir fî al-Kitâb wa al-Sunnah wa al-Adab setebal 16 jilid yang isinya semata ulasan terhadap peristiwa Ghadir Khum. Syi’ah Ja’fariyah berpendapat bahwa penetapan khilâfah bagi Ali berlangsung pada hari Ghadir Khum tanggal 18 Dzulhijjah. Bagi sekte Ja’fariyah, Rasulullah tidak mungkin melupakan salah satu rukun Iman, sementara Allah telah menyempurnakan Agama-Nya dan Rasulullah telah menyampaikan Khutbah Wada’ (pamitan). 24 Ibn Numair bercerita kepada kami dari Abdul Malik, dari Abdurrahman al-Kindi dari Zadzan Abu Umar ia berkata, “Saya mendengar Ali di al-Rahbah bertanya kepada orangorang: Siapakah yang menyaksikan Rasulullah pada hari Ghadir Khum mengatakan sesuatu? Maka tiga orang berdiri dan menyatakan mendengar Rasulullah bersabda: Siapa yang menjadikan diriku (Rasulullah) sebagai pemimpin baginya, maka Ali adalah pemimpin baginya”. 25 Dan masih ada beberapa riwayat lain yang serupa. Ali Ahmad al-Salus menyatakan sanad hadis itu kualitasnya dha`îf, tetapi matannya shahih karena adanya banyak riwayat yang mendukungnya. Bahkan menurut sementara ahli hadis, riwayat ini bersifat masyhur dan mutawatir.26 Perlu disinggung, bahwa Hadis yang memiliki kualitas sanad baik (shahîh atau hasan) memerlukan kajian matan (isi Hadis) sebelum ia menjadi hujjah. Dari sini sebenarnya polemik itu muncul, tepatnya pada pemaknaan “mawlâ” yang dalam bahasa Arab memiliki banyak arti, dan apakah arti-arti itu tepat jika diasumsikan sebagai penunjukkan Ali sebagai khalifah atau hanya sebatas penjelasan keutamaan Ali. Di waktu yang sama, Sunni dan Syi’ah sama-sama menilai Ali sebagai sosok shahabat yang memiliki keutamaan yang luhur.
24 25 26
Ali Ahmad al-Salus, Imâmah dan Khilâfah dalam Tinjasuan Syar’I, hal. 122 Ali Ahmad al-Salus, Imâmah dan Khilâfah dalam Tinjasuan Syar’i, hal. 147 Ali Ahmad al-Salus, Imâmah dan Khilâfah dalam Tinjasuan Syar’i, hal. 151
85
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
005 Modus Suksesi dalam Islam (Andi Wacana 85 Lepas).pmd
09/05/2012, 8:33
Wacana Lepas
Masalah yang kemudian muncul adalah keabsahan khilâfah Abu Bakar, Umar dan Utsman. Karena jika khilâfah memang telah ditetapkan untuk Ali, maka ketiga khalifah itu tentu tidak memiliki legitimasi, padahal sejarah mencatat pembaiatan yang dilakukan Ali terhadap ketiganya. Seandainya memang penunjukkan itu sah, maka Ali yang terkenal memiliki keberanian tentu akan menuntut apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Terjadinya peristiwa Saqifah Bani Saidah juga merupakan indikator bahwa klaim penunjukkan Ali merupakan hal yang dibuat-buat, pasalnya kalaulah penunjukkan itu benar ada niscaya para shahabat tidak meributkan siapa shahabat yang menjadi khalifah pascakemangkatan Rasulullah. Adanya keterlambatan Ali dalam membait Abu Bakar, dijelaskan sendiri oleh Ali, “Sesungguhnya kami mengerti keutamaanmu dan sesuatu yang diberikan Allah kepadamu. Kami tidak akan mampu mengungguli kebaikan yang diberikan Allah kepadamu. Namun kamu tidak bermusyawarah kepada kami tentang urusan ini, sedangkan kami sebagai kerabat Rasulullah memiliki bagian di dalamnya.”27 Hal yang menjadi titik temu antara Sunni dan Syi’ah adalah kesepakatan dalam konsep keimanan terhadap kenabian Rasulullah. Hanya saja Sunni tidak mengakui kontinuitas wahyu Tuhan atas para imam yang makshum, atau yang dikenal sebagai konsep pewarisan khilâfah.28 Sunni meyakini bahwa umat memilki hak memilih khalifah, di waktu yang sama khalifah wajib menjalankan hukum-hukum syariah melalu mekanisme syûrâ (demokrasi) bersama kolektivitas orang yang merepresentasikan umat. Orang-orang ini terlembagakan dalam ahl ‘aqd wal hall, yang pada masa Rasulullah disebut Ahl Syûrâ, dan yang di dalam alQuran dinamakan uli al-amr. Sunni mengukuhkan juga konsep ijma’ (kemufakatan/ konsnsus) yang diperoleh melalui perwakilan (representatif).29 Mirip dengan dengan Sunni, Khawarij klasik juga menyatakan bahwa khilâfah merupakan hak setiap Muslim, dengan standar kelayakan berdasarkan kualitas keimanan, bukan semata genetalia suku Quraisy.
Konsep Syûrâ Kata “Syûrâ” atau “musyawarah” berasal dari bahasa Arab, dan nampaknya tidak ada perbedaan substantif antara pemaknaannya dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia. Dalam ranah politik nasional Indonesia kontemporer, kata “Dewan Syûrâ” sudah lazim digunakan sebagai nama lambaga tertinggi di beberapa partai politik yang berbasiskan umat Islam.
27 28 29
Ali Ahmad al-Salus, Imâmah dan Khilâfah dalam Tinjasuan Syar’i, hal. 153 Manzooruddin Ahmed, al-Nazhariyat al-Siyasiyah al-Islamiyah fi al-‘Ashr al-Hadis; al-Nazhariyah wa al-Tathbiq , (Karachi: Saad Publications, 1983) hal. 46. Manzooruddin Ahmed, al-Nazhariyat al-Siyasiyah al-Islamiyah fi al-‘Ashr al-Hadis; al-Nazhariyah wa al-Tathbiq . hal46-47.
86
005 Modus Suksesi dalam Islam (Andi Wacana 86 Lepas).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
09/05/2012, 8:33
Modus Suksesi Kepemimpinan dalam Politik Islam: Sebuah Pendekatan Sejarah
Dalam perspektif agama, Syûrâ bukan semata prosedur dan mekanisme yang direkomendasikan, tetapi ia merupakan perintah. Rasulullah sebagai manusia yang disinari wahyu Ilahi, senantiasa melakukan Syûrâ sebelum menetapkan sebuah kabijakan sosial dan politis. Hal ini nampaknya dimaksudkan sebagai pengajaran dan pengejewantahan dari sistem Syûrâ yang diajarkan al-Qur’an. Allah berfirman, “Dan (bagi) orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka” (al-Syûrâ/42:8) “…Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” (Âl `Imrân/3:159) Idealnya, syûrâ dilakukan secara efektif dan umum, dalam artian melibatkan semua pihak yang dianggap dapat memberikan sumbang saran, tidak terbatas representasi rakyat yang dilembagakan dalam ahl al-hall wa al-‘aqd. Rasulullah sendiri tidak hanya mengikuti satu pola dalam bermusyawarah, di mana kerap kali beliau meminta bermusyawarah dengan beberapa shahabat senior, dan tidak jarang juga beliau meminta pendapat orang-orang yang ahli atau kalangan professional dalam membahas suatu persoalan. Misalnya saat menjelang Perang Badar, Rasulullah memutuskan posisi tentara Muslimin, yaitu di sebuah tempat dekat mata air. Salah seorang shahabat dari golongan Anshar yang bernama Hubab bin Mundzir menanyakan apakah keputusan itu berdasarkan wahyu atau sekedar strategi hasil ijtihad pribadi Rasulullah. Rasulullah menyatakan bahwa hal itu berdasarkan perhitungan beliau, dan wahyu dari Allah. Hubab kemudian mengusulkan perubahan posisi pasukan, yaitu maju ke muka, ke mata air yang paling depan untuk mengisi logistik air. Kemudian mata air itu ditutup dengan pasir sehingga musuh tidak dapat minum saat kehausan sementara tentara Muslimin memiliki persediaan air yang cukup. Rasulullah menerima saran Hubab.30 Perlu diingat bahwa tidak semua hal dapat disyûrâkan, misalnya ajaran pokok Islam yang sudah berada di luar “kewenangan” manusia. Bahkan jika materi seperti Rukun Iman dan Rukun Islam dimusyawarahkan, hal ini bisa berakibat kepada kekufuran dan bid’ah. Dalam prakteknya, seorang pemimpin dapat saja menafikan hasil syûrâ jika ia menganggap ada pendapat lain yang lebih baik, atau jika hasil syûrâ ternyata bertentangan dengan konstitusi atau ketentuan hukum tertinggi, misalnya nash ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (dalam konteks negara Islam). Tentunya, perlu penjelasan lebih lanjut, tentang kewenangan khalifah untuk menetapkan sebuah kebijakan yang bertolak belakang dengan hasil syûrâ.
30
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, hal. 17
87
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
005 Modus Suksesi dalam Islam (Andi Wacana 87 Lepas).pmd
09/05/2012, 8:33
Wacana Lepas
Saat Rasulullah dan sekitar seribu empat ratus shahabat berkehendak umrah pada tahun 7 H, kaum kafir Quraisy menghalangi mereka masuk kota Mekkah. Meskipun berkali-kali ditegaskan bahwa Rasulullah hanya bertujuan untuk umrah, namun kaum musyrik tetap menolak. Akhirnya Rasulullah berhenti dan berkemah di dataran Hudaibiyah, dan mulai mengadakan pendekatan diplomatik dengan pihak kafir Quraisy, yang akhirnya menghasilkan kesepakatan Hudaibiyah. Suhail bin ‘Amr yang menjadi delegasi Quraisy menolak penyebutan “Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang” dan “Muhammad Rasulullah”. Sebagai gantinya, Suhail menginginkan redaksinya diubah menjadi “Dengan nama-Mu ya Tuhan” dan “Muhammad putera Abdullah”. Mayoritas shahabat marah dan protes, namun Rasulullah mengabaikan keberatan para shahabat. Dengan demikian, aspirasi mayoritas dapat diabaikan pemimpin jika ada kemashlahatan yang lebih besar. 31 Pengabaian saran mayoritas juga terjadi di awal pemerintahan Abu Bakar yang menolak saran mayoritas shahabat mengenai tindakan pemerintah atas kriminalitas murtad dan pembangkangan zakat. Kebanyakan shahabat menyarankan pendekatan persuatif dari pada pengerahan kekuatan militer. Namun Abu Bakar bergeming untuk menggunakan kekuatan militer. Abu Bakar tidak menggunakan logika ijtihadnya semata, melainkan menyandarkannya kepada nash, 32 yang dalam hal ini hadis yang menyatakan bahwa hukuman para murtaddin adalah hukuman mati, setelah mereka secara tegas menolak untuk bertobat. Dalam hal ini, nash dianggap sebagai konstitusi tertinggi, yang tidak bisa diabaikan oleh mekanisme musyawarah. Mekanisme syûrâ tidak semerta menghasilkan keputusan yang mufakat. Perbedaan yang muncul saat syûrâ merupakan hal yang lumrah, karena setiap orang tentu memiliki pola pikir dan informasi yang berbeda. Dari sini diperlukan sikap besar hati untuk menerima hasil permusyawaratan selama hal itu diambil berdasarkan mekanisme yang benar. Ali bin Abu Thalib menganggap dirinya orang yang paling berhak menduduki kekhilafahan pasca kemangkatan Umar, namun dia tetap berkenan mengikuti mekanisme syûrâ yang diikutinya bersama 6 orang shahabat lain. Saat kecenderungan tim formatur menuju kepada pengangkatan Usman, Ali berkata bahwa dirinya dan seluruh ahl al-bayt adalah buah, sementara Quraisy adalah pohonnya. Buah adalah sebaik-baik apa yang ada di dalam pohon. 33 Namun ia bersikap legawa saat Ustman yang terpilih menjadi khalifah. Al-Qur’an tidak memperinci pola dan tata cara syûrâ. Rasulullah pun tidak memberikan aturan baku terhadap prisnip dan mekanisme syûrâ. Hal ini memiliki kesan bahwa model, pola, tata cara dan etika syûrâ diserahkan kepada masing-masing komunitas masyarakat
31 32 33
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, hal. 18-19 Manzooruddin Ahmed, al-Nazhariyat al-Siyasiyah al-Islamiyah fi al-‘Ashr al-Hadis; al-Nazhariyah wa al-Tathbiq , hal. 172 Al-Sayid Ahmad Ibrahim Hamur, Syadzrat min Tarikh al-Daulah al-Umawiyah fi al-Syarq, hal. 117
88
005 Modus Suksesi dalam Islam (Andi Wacana 88 Lepas).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
09/05/2012, 8:33
Modus Suksesi Kepemimpinan dalam Politik Islam: Sebuah Pendekatan Sejarah
sesuai kesepakatan yang mereka tetapkan. Dinamisasi sistem syûrâ ini menjadikan sistem ini dapat beradaptasi dengan segala masyarakat di setiap kurun waktu. Allah berfirman: “…Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang” (alMâ’idah/5:48)
Ahl al-Hall wa al-‘Aqd Ahl al-Hall wa al-‘Aqd (AHA) secara kebahasaan bermakna orang atau pihak yang mempunyai kewenangan mengurai dan mengikat. Istilah ini diformulasikan sebagai orang atau sekelompok orang yang bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan aspirasi dan hak politik mereka. AHA bertugas antara lain untuk memilih khalifah dan pemimpin tertinggi politik umat Islam secara langsung. Karenanya, al-Maududi menyebutnya sebagai ahl al-ikhtiyâr (golongan yang berhak memilih). Dalam prakteknya, sistem AHA sudah diterapkan saat pemilihan khalifah pada era Khulafâ’ Râsyidûn. Abu Bakar yang terpilih dalam peristiwa Saqifah Bani Saidah dipilih oleh AHA yang saat itu diasosiasikan kepada Umar bin al-Khathab, Abu Ubaidah, dan para elit politik Anshar. Utsman bin Affan terpilih menjadi khalifah setelah “tim formatur” melakukan sidang selama tiga hari, yang pada prinsipnya tim formatur ini dapat disamakan dengan AHA. Kemudian Ali bin Abu Thalib baru berkenan menjadi khalifah setelah para veteran perang Badar membuat kemufakatan untuk mengangkatnya sebagai khalifah, setelah sebelumnya Ali menolak pengangkatan dirinya sebagai khalifah yang dilakukan oleh pihak pemberontak dengan alasan mereka bukan orang-orang yang memiliki hak untuk memilih. Pada awalnya, orang-orang yang masuk dalam kategori AHA bukan hasil pemilihan rakyat secara resmi. Para peserta “sidang” Saqifah Bani Saidah tidak bukan orang-orang yang dipilih umat Islam karena pada masa Rasulullah tidak pernah diadakan pemilihan AHA. Namun demikian, pengaruh politis yang mereka miliki di tengah-tengah umat Islam menggambarkan konstituen yang mereka wakili. Mereka ini sebelumnya telah menjadi orang-orang yang diajak bermusyawarah oleh Rasulullah guna menetapkan beberapa kebijakan negara. Ini artinya saat Rasulullah masih hidup, mereka sudah menjadi AHA secara de facto, sehingga hasil sidang mereka di Saqifah Bani Saidah mendapat legitimasi yang kuat dari rakyat. AHA dalam masa Rasulullah dikenal sebagai ahl al-Syûrâ. Berdasar dengan uraian di atas, AHA dapat dipahami sebagai lembaga pemilih yang merepresentasikan rakyat. Dan generasi awal umat Islam nampak lebih cenderung menggunakan pemilihan khalifah melalui mekanisme AHA. Seiring perjalanan waktu, dan bertambah luas daerah yang dikuasai umat Islam serta banyaknya jumlah populasi kaum muslimin, AHA menjadi sistem yang nampaknya lebih tepat untuk diterapkan saat ini. Hal ini tentunya jika disepakati bahwa tugas AHA bukan semata memilih khalifah, melainkan juga sebagai lembaga representasi rakyat yang akan memberikan saran rembuk atas arah kebijakan pemerintah. Karena secara kasat mata, nampak sebuah kemustahilan untuk mengumpulkan seluruh rakyat di satu tempat dalam waktu yang bersamaan untuk bermusyawarah.
89
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
005 Modus Suksesi dalam Islam (Andi Wacana 89 Lepas).pmd
09/05/2012, 8:33
Wacana Lepas
Sejarah mencatat, pemerintahan yang meninggalkan sistem syûrâ relatif tidak stabil dan rentan perpecahan internal. Bani Umayah yang menerapkan sistem monarkis yang sewenang-wenang mengalami keruntuhan sebelum umurnya genap satu abad. Sementara Bani Abbasiyah yang diberkahi dengan masa pemerintahan lebih dari 6 abad tidak melakukan sempat melakukan perluasan wilayah yang berarti karena sibuk meredam konflik internal negara.
Ikhtitam Dengan membaca guratan sejarah seputar sistem dan modus suksesi yang pernah diterapkan dalam dunia Islam, nampak bahwa Islam mengakui adanya keragaman konseptual tentang sistem pemerintahan. Dalam hal ini, penulis cenderung mendukung pendapat Muhammad Husain Haikal yang menyatakan bahwa Islam tidak memiliki konsep pemerintahan dan mekanisme suksesi yang baku dan permanen. Agama “hanya” memberikan aturan global dan seperangkat etika seputar pengangkatan pemimpin dan sistem pemerintahan. Umat Islam bebas menganut sistem pemerintahan yang bagaimanapun selama sistem yang dipilih menjamin hak-hak rakyat, menggunakan sistem syûrâ dan berpegang pada tata nilai dan dan seperangkat etika yang ditetapkan agama. Bahkan dalam kondisi tertentu, sistem pemerintahan sekuler yang belum pernah diterapkan dalam pemerintahan Islam klasik, bisa juga dianggap Islami. Ibn Khaldun menyatakan jika umat mendapati kesulitan untuk mewujudkan khilâfah dengan bentuknya yang klasik, maka sebaiknya didirikan hukum duniawi yang mengukuhkan chauvinisme lokal (‘ashabiyah al-thâ’ifah al-hakîmah) sesuai dengan pedoman rasionalistik (qawânîn ‘aqliyah).34 Kini umat Islam hidup di bawah berbagai bentuk pemerintahan yang merdeka dan berdaulat: bentuk kerajaan atau monarki seperti Arab Saudi, Yordania, dan Maroko; bentuk keamiran seperti Kuwait; san bentuk republik seperti Indonesia, Iran, dan Pakistan. Sistem pemilihan kepemimpinan masing-masing negara juga berbeda. Kalau asumsi di atas benar, bahwa keragaman sistem pemilihan dan kepemimpian negara dibenarkan oleh Islam, maka seluruh umat Islam sekarang hidup dalam “pemerintahan yang Islami”. Pemikiran politik umat Islam baru mengalami perkembangan menjelang abad XIX. Oleh karenanya, umat Islam tidak usah bersikap apriori terhadap sistem politik Barat yang telah berkembang sebelumnya. Dengan pengkajian yang selektif dan kritis, umat Islam bisa saja mengadopsi beberapa nilai dari sistem perpolitikan Barat yang sesuai dengan nilainilai yang diajarkan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Bukankah hikmah adalah milik orang
34
Manzooruddin Ahmed, al-Nazhariyat al-Siyasiyah al-Islamiyah fi al-‘Ashr al-Hadis; al-Nazhariyah wa al-Tathbiq, hal 135.
90
005 Modus Suksesi dalam Islam (Andi Wacana 90 Lepas).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
09/05/2012, 8:33
Modus Suksesi Kepemimpinan dalam Politik Islam: Sebuah Pendekatan Sejarah
beriman yang hilang?! Jadi, ambillah hikmah itu walaupun dari tangan kaum kafir. Wa Llah A‘lam. (10/05/2006).
Daftar Pustaka Mushaf al-Qur’an al-Karim Ahmed, Manzooruddin, al-Nazhariyyât al-Siyâsiyah al-Islâmiyyah fî al-‘Ashr al-Hadîts: al-Nazhariyah wa al-Tathbîq, Karachi: Saad Publications, 1983. Bas‘yuni, Kamal, Qâ‘id al-Fikr al-Islâmî: ‘Umar bin al-Khathâb Juz I Syakhsiyah ‘Umar wa Fikruh, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1993, cet. I. —————, Qâ‘id al-Fikr al-Islâmî: Umar bin al-Khathâb Juz III Qiyadah Umar Li al-Syu‘un al-Harbiyah wa al-Siyasah al-Kharijiyah, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1993, cet. I —————, Qâ‘id al-Fikr al-Islâmî: Umar bin al-Khathâb Juz IV Idârah ‘Umar li al-Siyâsah al-Dâkhiliyah wa al-Syu’ûn al-Ijtimâ‘iyyah, Kairo: Maktabah al-Nahdhah alMishriyyah,1993, cet. I al-Bazzar, Ahmad bin ‘Amr, Musnad al-Bazzâr, (Beirut: Mu`assasah ‘Ulum al-Qur’an, 1409 H.), cet. I . al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il, Shahîh al-Bukhârî, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), cet. III. al-Busty, Muhammad bin Hibban, Shahîh ibn Hibbân, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993), cet. II. Hamur, Al-Sayid Ahmad Ibrahim, Syadzrat min Târîkh al-Dawlah al-Umawiyah fî alSyarq, (Cairo: Dar al-Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1998), cet. IV. —————, al-Dawlah al-‘Abbâsiyah al-‘Ashr al-‘Abbâsî al-Awwal: ‘Ashr al-Quwwah wa al-Nufûdz wa al-‘Amal, (Cairo: dar al-Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1998), cet. III, Khathab, Mahmud Syit, Qadah al-Fath al-Islâmy, (Beirut: Dar Maktabah al-Hayah), tth, cet. II. —————, Umar bin al-Khaththâb: al-Fârûq al-Qâ‘id, (Beirut: Dar Maktabah al-Hayah), tth, cet. III al-Nabhany, Taqiyuddin, Sistem Pemerintahan Islam: Doktrin Sejarah dan Realitas Empirik, (Bangil: al-Izzah, 1996), cet. I al-Naysabury, Muhammad bin Abdullah, al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhayn, (Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiah, 1990), cet. I . al-Naysabury, Muslim bin al-Hajjaj, Shahîh Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Araby), tth.
91
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
005 Modus Suksesi dalam Islam (Andi Wacana 91 Lepas).pmd
09/05/2012, 8:33
Wacana Lepas
al-Najjar, Abdul Wahhab, al-Khulafâ‘ al-Râsyidûn, (Beirut: dar al-Fikr), tth. Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1993), cet. V al-Suyuthi, Abdurrahman bin Abu Bakar, Târîkh al-Khulafâ‘, (Beirut: Dar al-Fikr), tth. Syalabi, A., Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2003), cet. VI. al-Thabrany, Sulaiman bin Ahmad, al-Mu’jam al-Kabîr, (Musol: Maktabah al-‘Ulum wa alHikam, 1983), cet. II al-Tirmidzi, Muhammad bin Isa, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Araby), tth. Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), cet. XVI
92
005 Modus Suksesi dalam Islam (Andi Wacana 92 Lepas).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
09/05/2012, 8:33
Modus Suksesi Kepemimpinan dalam Politik Islam: Sebuah Pendekatan Sejarah
93
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
005 Modus Suksesi dalam Islam (Andi Wacana 93 Lepas).pmd
09/05/2012, 8:33
Wacana Lepas
Pedoman Penulisan A.
Format Naskah Naskah diharapkan dapat diserahkan dalam bentuk MS Word dengan format naskah adalah sebagai berikut 1. Spasi 1,5 pada kertas ukuran A4 2. Batas/margin atas dan kiri: 3 cm 3. Batas/margin bawah dan kanan: 2 cm 4. Font Times New Roman 5. Dilengkapi dengan transliterasi
B.
Penulisan Naskah 1. Jumlah halaman naskah 15-30 halaman, artikel bahasa Indonesia disertai abstrak bahasa Inggris dan sebaliknya. 2. Jumlah halaman itu di luar Cover, Daftar Pustaka, dan Biodata Penulis. 3. Kutipan yang lebih dari 4 baris harap diketik dengan spasi tunggal 4. Kata asing yang belum diubah menjadi kata Indonesia atau belum menjadi istilah teknis diketik dengan italic 5. Hindari menggunakan singkatan kecuali untuk istilah teknis dan istilah yang telah diterangkan sebelumnya. 6. Keterangan atau kata yang akan diberi footnote diberi nomor berturutturut dalam seluruh naskah. 7. Daftar Pustaka ditulis pada halaman terpisah dan diurut berdasarkan nama terakhir pengarang secara alfabetik. 8. Harap menyertakan Biodata Penulis lengkap dengan nomor kontak dan alamat e-mail
C.
Pengiriman Naskah Naskah dikirim dalam bentuk soft copy melalui e-mail:
[email protected] atau
[email protected]
94
005 Modus Suksesi dalam Islam (Andi Wacana 94 Lepas).pmd
Mumtäz, Vol. 02 No. 2 Tahun 2011
09/05/2012, 8:33