2
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
Terbit Sejak 1993
S
ahabat, pembaca Media Pustakawan yang setia. Tak terasa 5 bulan kita jalani tahun 2011 dengan berbagai kesan dan makna. Selama kurun waktu tersebut kami menyadari bahwa kepuasan pembaca perlu ditingkatkan. Untuk meningkatkan kepuasan pembaca, memasuki edisi pertama tahun 2011 Media Pustakawan, kami melakukan perubahan tampilan, mulai dari cover, layout, kualitas kertas, tiras, dan tata letak. Perubahan tersebut kami lakukan agar tampilan Media Pustakawan terlihat lebih menarik dan fresh. Perubahan tampilan dapat dilihat mulai nomor perdana tahun 2011 ini, dan selanjutnya kami akan selalu berusaha melakukan peningkatan kualitas terbitan majalah kesayangan kita. Saran dan masukan dari para pembaca kami tunggu demi penyempurnaan terbitan Media Pustakawan. Pada nomor ini, kami tampilkan 9 artikel yang menarik untuk dibaca. Yang pertama, sengaja kami tampilkan artikel yang ditulis oleh Dwi Surtiawan tentang kepustakawanan Indonesia dengan judul : Membangun Budaya Kepustakawanan Indonesia : reaktualisasi atau reborn? Tulisan ini menarik untuk dibaca di tengah kegelisahan para insan perpustakaan terhadap perkembangan kepustakawanan kita yang belum terlihat arahnya. Tulisan tentang kepustakawanan ini akan lebih lengkap dengan membaca artikel yang ditulis oleh Muhammad Muhtar Arifin Sholeh berjudul: Pengembangan kepustakawanan Indonesia : bagaimana seharusnya? Mudah-
mudahan kedua tulisan ini dapat menjadi bahan perenungan kita untuk perkembangan kepustakawanan Indonesia ke depan. Selain kedua tulisan tersebut, kami sajikan 4 artikel yang membahas tentang profesi pustakawan, yaitu : Meningkatkan Profesionalisme Sebagai Langkah Awal Peningkatan Citra Positif Pustakawan oleh Purwani Istiana; Meretas kebuntuan Profesi Pustakawan Indonesia oleh Kalarensi Naibaho; Entrepreneurship Pustakawan di Era persaingan Global oleh Rinawati, dan Pustakawan Ideal: memadukan aspek profesionalisme dan aspek perilaku oleh Rahayuningsih. Kami sajikan pula tiga tulisan lain yang tak kalah menarik yaitu : Analisis Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi terhadap Kinerja Pustakawan Perpustakaan Nasional RI oleh Wuri Setya Intarti; Kerangka Analisis Kinerja IPI dengan menggunakan Balanced Score Card oleh Luthfiaty Makarim; dan Two Way of Information : Paradigma Baru Pengelolaan Informasi dan Perpustakaan Berdasarkan UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan dalam Perspektif Library 2.0. Mudah-mudahan apa yang sudah kami lakukan untuk meningkatkan kualitas terbitan Media Pustakawan memperoleh respon positif para pembaca, sehingga majalah ini tetap menjadi bacaan pilihan yang tidak membosankan. Menapaki sisa tahun 2011 ini marilah kita isi dengan karya nyata yang membanggakan sehingga citra positif profesi pustakawan akan tercapai. Selamat membaca. P
Pemimpin Redaksi.
Membangun Budaya Kepustakawanan Indonesia: Reaktualisasi atau Reborn? Oleh : Dwi Surtiawan
41
Pustakawan Ideal: Memadukan Aspek Profesional dan Aspek Perilaku Oleh : Rahayuningsih
11
Analisis Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Terhadap Kinerja Pustakawan Perpustakaan Nasional Oleh : Wuri Setya Intarti
47
Meningkatkan Profesionalisme Sebagai Langkah Awal Peningkatan Citra Positif Pustakawan Oleh : Purwani Istiana
21
Kerangka Analisis Kinerja Ikatan Pustakawan Indonesia dengan Pendekatan Balanced Scorecard Oleh : Luthfiati Makarim
53
Entrepreneurship Pustakawan di Era Persaingan Global Oleh : Rinawati
28
Meretas Kebuntuan Profesi Pustakawan Indonesia Oleh : Klarensia Naibaho
57
34
Pengembangan Kepustakawanan Indonesia : Bagaimana Seharusnya? Oleh : Muhammad Muhtar Arifin Sholeh
Two Way Flow of Information: Paradigma Baru Pengelolaan Informasi dan Perpustakaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan dalam Perspektif Library 2.0 Oleh : Yulianti
5
BULETIN MEDIA PUSTAKAWAN Penasihat Kepala Perpustakaan Nasional RI, Deputi Bidang Pembangunan Sumber Daya Perpustakaan, Penanggung Jawab Kepala Pusat Pengembangan Pustakawan Pemimpin Redaksi Dra. Titiek Kismiyati, M.Hum Redaktur Pelaksana Rohadi, S.Sos., Sri Sumiarsi, S.Sos., Akhmad Priangga, S.Sos., Sadarta, S.Sos. Editor Dra.Titiek Kismiyati, M.Hum., Drs.Nurcahyono,M.Si, Harjo, S.Sos., Dra.Opong Sumiati,M.Si., Novi Herwati, S.Sos. Desain Grafis Catur Wijiadi, S.Sos., Suhendar Agus Prabowo, S.Kom. Sekretariat Rudianto, S.Kom., Joko Sumarto, Ferico Haryanto, Ismawati, Dede Sumarti, Sutarti, Istilah Daerah, Etika Wahyuni, Triningsih, Suripto Alamat Redaksi Pusat Pengembangan Pustakawan Perpustakaan Nasional RI, Jl. Medan Merdeka Selatan No.11, Jakarta Pusat, Tlp.(021) 3812136,3448813,375718, Ext. 218,220 Fax. :345611, Email :
[email protected], ISSN : 1412-8519
KONTEN NASKAH DILUAR TANGGUNG JAWAB REDAKSI
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
3
editorial
Profesionalisme Pustakawan di Tengah Budaya Organisasi Pembelajar
F
rancis Bacon, dalam buku “Pengantar Ilmu Perpustaka an” yang ditulis oleh SulistyoBasuki, mengatakan bahwa “tenaga profesional” adalah tenaga yang telah menjual teknik intelektual dan isi intelektual khusus. Sejalan dengan itu, pengertian “profesi” dalam Kamus Besar Ilmu Penge tahuan berarti “Jabatan yang memerlukan pendidikan khusus untuk mendapatkannya. Istilah ini menurunkan istilah profesional yang berarti orang yang mengerjakan sesuatu bukan hanya dorongan rasa senang tapi juga karena merupakan pekerjaan, jabatan, atau profesi yang diemban sebagai sumber mata pencaharian”. Berkaitan dengan itu, Soerjono Trimo, salah seorang pakar Ilmu Perpustakaan mengungkapkan bahwa Pustakawan merupakan salah satu pekerjaan profesional, karena memerlukan pemilikan keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan kemampuan (ability) yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan secara formal, baik oleh pemerintah atau asosiasi profesi pustakawan. Pernyataan tersebut dipertegas oleh pendapat Soekarman, bahwa selain ketiga unsur di atas, profesionalisme membutuhkan pula kedewasaan psikologis dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Kedewasaan psikologis mengan dung arti adanya kesiapan mental untuk melaksanakan tanggung
4
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
jawab atas pekerjaannya, meng embangkan secara terus-menerus skill, knowledge dan ability-nya, bersikap terbuka (open minded), dan menjunjung tinggi semangat korps serta pada akhirnya berperilaku sesuai dengan kode etik yang ditetapkan oleh asosiasinya. Mengacu pada kriteria dan tuntutan di atas, ternyata profesi “Pustakawan” bukanlah pekerjaan yang mudah diperoleh. Profesi ini memerlukan pengetahuan dan keterampilan kepustakawanan yang hanya didapat dari jalur pendidikan formal dan atau pendidikan non formal yang terprogram secara komprehensif dan berkelanjutan. Bahkan, Pustakawan dituntut untuk selalu mengkaji dan mengikuti perkembangan ilmunya, mengingat lmu perpustakaan tidak statis akan tetapi senantiasa dinamis, selalu berkembang mengikuti tingkat peradaban dan teknologi masyarakat, dan lingkungannya. Berbicara tentang profesi, ternyata banyak hal yang mempengaruhi profesionalisme Pustakawan. Bekal ilmu pengetahuan yang didapat dari bangku pendidikan merupakan salah satu kunci profesionalisme. Akan teteapi, sikap profesionalitas akan berkembang dengan sehat apabila ditunjang oleh kondisi dan tradisi budaya lingkungan sekitarnya. Etos keja suatu organisasi dipengaruhi dan sekaligus mempengaruhi budaya positif organisasi tersebut. Organisasi yang sehat adalah organisasi yang memiliki budaya pembelajar yang
positif, yaitu suatu organisasi yang para anggotanya terbiasa untuk selalu berubah ke arah perbaikan dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan pengalaman praktis yang dinamis. Jones, Gareth R. dalam bukunya Organizational Theory, Design, and Change: Text and Cases, yang diter bitkan Pearson di New Jersey memperlihatkan tingkat dan keterkait an komponen dalam pembelajaran organisasi, yaitu: Tingkat PembelajaranOrganisasi Interorganizational Organizational Group Individual
Sumber: Jones, 2004 : 377
Dengan demikian, semua pem belajaran mulai dari motivasi individu, yang dapat memperkuat kelompoknya, sehingga organisasi memiliki etos dan budaya kerja yang kuat guna mensukseskan hubungan antar organisasi sejenis atau terkait lainnya. Mencermati hubungan antar komponen dan modal dasar di atas, profesinalitas seorang pustakawan akan tumbuh dengan baik apabila yang bersangkutan memiliki sikap positif sehingga menumbuhkan budaya organisasi yang dapat mendukung pengembangan kariernya.
Oleh : Dwi Surtiawan
Membangun Budaya Kepustakawanan Indonesia:
Reaktualisasi atau Reborn? Pendahuluan Terminologi budaya (culture) dalam banyak penelitian, diskusi ilmiah, perbincangan (talkshow) dapat diibaratkan keranjang sampah. Hampir semua permasalahan dapat dikaitkan dengan budaya. Pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat mempunyai beberapa pendekatan, salah satunya pendekatan kebudayaan. Kalangan ahli dan praktisi manajemen kontemporer banyak sekali membahas budaya organisasi (organizational culture) sebagai keunggulan dalam bersaing. Konflik antar etnis di Indonesia diselesaikan dengan pendekatan kebudayaan. Bahkan korupsi di Indonesia oleh almarhum Bung Hatta sudah sampai pada taraf budaya. Rendahnya tingkat literasi di Indonesia, selalu dikaitkan dengan rendahnya budaya baca. Begitu luas dan lenturnya terminologi budaya, maka kita harus tepat memaknainya. Kebudayaan untuk apa? dalam kontek apa digunakan? dan bagaimana pendekatan kebudayaan itu dilakukan? Dalam pembahasan mengenai budaya, tujuan umum yang hendak dicapai adalah kemakmuran bagi sebesar mungkin masyarakat. Di level sosial kemasyarakatan, budaya lebih menyoroti kondisi tertentu dan
pola interaksi yang terjadi, sehingga pertautan kepentingan individu dengan masyarakat dapat tercapai baik. Demikian halnya pada perusahaan/organisasi, prinsip utama organisasi di antaranya agar mampu bertahan dan berkembang lebih baik. Dalam skala yang sangat mikro, kebudayaan dimaknai sebagai upaya individu dalam menjalani kehidupannya secara manusiawi. Muara dari itu semua adalah perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan (change) merupakan suatu keniscayaan. Tidak ada yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Untuk itu tinggal bagaimana menyikapi, mengelola dan memperoleh manfaat dari perubahan. Pendekatan kebudayaan dalam perusahaan /organisasi merupakan persoalan yang kompleks dan selalu menarik perhatian. Banyak buku telah diterbitkan dan selalu laris. Banyak pembicara dengan bayaran sangat tinggi memberi materi tentang budaya organisasi. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa khalayak menyadari perubahan merupakan kepastian. Budaya organisasi terdapat di semua lembaga, demikian pula di organisasi perpustakaan. Budaya organisasi perpustakaan di Indonesia, secara spesifik belum begitu tampak, karena perpustakaan di Indonesia
kepemilikannya didominasi oleh pemerintah. Pemerintah selalu diidentikkan dengan birokrasi. Dan birokrasi di Indonesia mempunyai stigma yang kurang bagus. Di benak orang tentang birokrasi di Indonesia antara lain: korupsi, lamban, minta dilayani bukan melayani, mempersulit bukan mempermudah. Untuk perpustakaan, pandangan yang ada dalam benak masyarakat bahkan lebih buruk lagi. Masyarakat awam mempersepsikan perpustakaan sebagai gedung tua, angkuh, angker, serius, tempat orang yang mempunyai masalah, dan banyak predikat buruk lainnya. Sudarsono (2001) mendefinisikan kepustakawanan sebagai semangat dan praktik (penghayatan) dalam melaksanakan tugas perpustaka an yang dilandasi oleh teori yang ada dalam ilmu perpustakaan. Pakar perpustakaan lain mem batasi kepustakawanan sebagai ilmu dan profesi di bidang pem binaan, pengembangan dan penyelenggaraan perpustakaan, dokumentasi dan informasi. Dalam artikel ini seringkali disamakan antara perpustakaan, pustakawan, dan kepustakawanan. Hal itu dimungkinkan karena dua alasan. Pertama karena perpustakaan dan pustakawan merupakan perwujudan dari kepustakawanan. Dan kedua, dalam membahas kebudayaan, maka
(Pustakawan UPT Perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta) Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
5
ketiga terminologi tersebut dalam banyak kontek dapat disamakan. Dari pembukaan di atas terdapat beberapa permasalahan yang layak untuk dikaji, di antaranya: bagaimana menciptakan budaya organisasi perpustakaan yang memberi identitas baru, semangat baru, persepsi baru dengan pendekatan kebudayaan? Dalam konteks keIndonesiaan, adakah budaya dalam kepustakawanan Indonesia? Jika jawabnya ada, seperti apa dan mengapa budaya tersebut tidak mampu memunculkan semangat ke arah perbaikan? Jika jawabnya tidak ada, pustakawan dan pemerhati perpustakaan mempunyai pekerjaan untuk membuat suatu identitas budaya perpustakaan yang positif. Harus digali budaya yang mampu membawa perpustakaan menjadi suatu institusi yang keberadaannya membawa pengaruh yang signifikan. Pendekatan Kebudayaan Dalam Organisasi Dalam membahas budaya, Smireich (1983) membagi dalam dua perspektif. Pertama budaya sebagai variabel, yang mana keberadaannya sebagai sesuatu yang dimiliki oleh organisasi. Dan yang kedua, budaya dilihat sebagai instrumen yang mengkonseptualisasikan organisasi, dalam hal ini budaya tidak lain adalah organisasi itu sendiri. Banyak definisi mengenai budaya organisasi. Budaya menurut antropolog Clifford Geertz merupakan kegiatan berbagi pemahaman, pengertian, dan perasaan. Dalam pandangan kulturalis kebudayaan dipandang sebagai seperangkat nilai statis dan baku yang ada di masyarakat. Dalam pendekatan ini terlihat kuat adanya metafora yang sifatnya memanfaatkan kekeluargaan untuk menggalang komitmen kerja. Dalam konteks organisasi, budaya organisasi oleh Schein dinyatakan sebagai:
6
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
“A pattern of shared basic assumption that group learned as it solved its problem of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefor, to be taught to new members as the correct way to perceive, think, and feel in relations to those problame” Sedangkan Dr. Farid Elashmawi, seorang konsultan manajemen dari Amerika Serikat menyatakan bahwa budaya organisasi sebagai nilai umum yang disepakati orangorang dalam perusahaan, tetapi masing-masing individu mempunyai subbudaya masing-masing. Budaya organisasi juga merupakan refleksi dari budaya suatu negara. Dan setiap negara juga mempunyai karakteristik budaya yang khas. Robbins (1996) mengartikan budaya sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota yang membedakan organisasi itu dengan organisasi yang lain. Budaya organisasi memiliki potensi sebagai sumber keunggulan kompetitif. Oleh karena itu budaya organisasi harus didesain sedemikian rupa sehingga menjadi suatu “bentuk” yang bernilai, unik, dan tidak dapat ditiru pesaingnya. Setiap organisasi harus memiliki kekhasan. Penting bagi para pendiri dan pemimpin perusahaan untuk menjadikan budaya sebagai strategi bersaing. Dalam masyarakat global, banyak perusahaan yang sangat dikenal karena budaya organisasi/ perusahaannya. Misalnya restoran cepat saji Mac Donald mempunyai tiga nilai utama yaitu kualitas produk, kualitas layanan, dan kualitas kebersihan. Tiga nilai utama ini berlaku di semua restoran cepat saji Mac Donald di negara manapun. Sedangkan perusahaan otomotif Toyota, posisioning dalam benak awam adalah keunggulan sistem manufacturenya, sampai dunia
internasional menyebutnya sebagai Toyota Ways. Di Indonesia, Harian Kompas dikenal dengan kejujurannya dalam menjalankan bisnis media massa, sehingga kepada kontributor atau penulis dari luar, faktur pajak honorarium penulisan ditunjukkan. Manajemen Harian Kompas menyadari bila berita yang diberikan tidak jujur, maka akan merusak kredibilitasnya dan itu merupakan awal kehancuran. Kasali (2005) menyatakan bahwa budaya organisasi terdiri dari dua lapisan utama. Lapisan pertama yang umumnya mudah dilihat dan sering dianggap sebagai budaya organisasi/perusahaan secara menyeluruh. Lapisan ini terdiri dari cara orang berperilaku, berbicara, berdandan, simbol-simbol, slogan, logo, figur-figur kepahlawanan, aturan protokoler. Sedangkan lapisan kedua sering tidak terlihat, tetapi mempunyai peran sebagai pondasi yang harus kokoh menopang lapisan pertama yang selalu dilihat orang. Lapisan tersebut terdiri dari nilai-nilai dasar (value), keyakinan (believe), asumsi, kepercayaan, sikap, perasaan, dan sejarah organisasi/perusahaan. Membangun Budaya Kepustakawanan dengan Pendekatan Kultural. Mengadopsi konsep yang dikembangkan oleh Rhenald Kasali, maka sangat perlu dibentuk suatu budaya perpustakaan, yang mampu membalikkan semua pandangan miring yang ada di masyarakat tentang perpustakaan. Setidaknya ada tiga alasan mengapa perlu menciptakan budaya perpustakaan. Yang pertama positioning perpustakaan di benak masyarakat masih belum menguntungkan. Kedua, perubahan yang terjadi di perpustakaan sangat cepat, bukan saja sistem operasi dan organisasi, tetapi sampai pada level paradigma. Dan ketiga, tanpa ada perubahan
yang signifikan, bukan tidak mungkin gigih dalam mencari dokumen untuk lawan-lawan politiknya diakui baik eksistensi perpustakaan akan hilang disimpan di perpustakaan kerajaan. oleh kawan maupun lawan. Semua karena kalah bersaing dengan Demikian pula Raja Iskandar epos tersebut sangat penting lembaga informasi yang baru. Zulkarnaen (The Great Alexander) dikenalkan kepada anak-anak, karena Terminologi “membangun“ juga merupakan pengumpul sumber pikiran, daya tangkas dan daya ingat menurut Kamus Besar Bahasa informasi yang tiada duanya. Di anak-anak masih sangat bagus. Indonesia mempunyai tiga arti. jaman modern pada negara maju, Membangun diartikan sebagai : 1. perpustakaan menempati posisi B. Nilai dasar dan Keyakinan Mendirikan (misalnya, mengadakan yang strategis. Library of Congress Nilai-nilai dasar (values) dan gedung baru); 2. Membina dan 3. merupakan pusat peradaban utama keyakinan (believe) merupakan (bersifat) memperbaiki. Terminologi di Amerika Serikat. Para kepala pondasi sebuah identitas membangun lebih tepat digunakan negara pasti memiliki perpustakaan perpustakaan. Nilai dasar adalah daripada kata “menciptakan” pribadi di istana negara. Seringkali sesuatu yang memaknai jati atau “membentuk” budaya mantan Presiden AS Bill Clinton diri seseorang sebagai anggota kepustakawanan. Perpustakaan menerima tamu di perpustakaannya. sebuah organisasi. Perpustakaan sebagai suatu institusi tentu tidak Di Irak artefak-artefak dan monograf sebagai penyedia informasi, maka muncul dan ada begitu saja. Ada peninggalan nenek moyang yang pustakawan merupakan figur yang proses dan rangkaian peristiwa hancur karena konflik Perang Teluk haus informasi dan bangga bisa yang menemaninya. menyediakan Semua proses informasi yang tersebut merupakan dibutuhkan Sangat perlu dibentuk suatu budaya bahan penting untuk pemustaka. perpustakaan, yang mampu membalikkan membentuk dan Perpustakaan semua pandangan miring yang ada di memperbaiki budaya identik dengan kepustakawanan. ilmu pengetahuan, masyarakat tentang perpustakaan. Upaya intelektual, dan menciptakan budaya kemerdekaan perpustakaan melalui pendekatan sangat ditangisi kerusakannya. Bukan berfikir, sehingga nilai-nilai yang kebudayaan antara lain dapat dengan saja oleh warga Irak, dunia, bahkan identik harus selalu dikembangkan. mengaktualisasikan beberapa hal banyak warga AS juga sedih dan Pustakawan harus memiliki antara lain: mengecam atas hancurnya bukti sistem nilai di mana berbagi peradaban tersebut. ilmu pengetahuan merupakan A. Sejarah Perpustakaan Dalam konteks Indonesia, kebanggaan dan memiliki nilai Perlu dikembangkan di kisah-kisah perjuangan pendiri duniawi maupun akherat. Berbagi masyarakat bahwa perpustakaan bangsa bukan saja melalui kekuatan ilmu pengetahuan tidak menjadikan menempati posisi yang penting fisik, tetapi juga didukung oleh ilmu yang dibagikan akan berkurang, di negara maju dan kerajaan kemampuan fikir. Kemampuan tetapi justru akan bertambah. besar di masa lalu. Perpustakaan fikir tersebut pasti memerlukan Berbagi ilmu pengetahuan akan selalu ditempatkan dekat dengan sumber pengetahuan, dan sumber membawa keuntungan bersama pusat kekuasaan. Bangunan pengetahuan tersebut diperoleh di dengan tidak merugikan satu pihak perpustakaan selalu megah karena perpustakaan. Bagaimana Bung Hatta manapun. Berbagi ilmu pengetahuan raja, pemuka agama, para pangeran, lebih mementingkan buku-buku dalam konteks perpustakaan dan petinggi kerajaan sangat koleksinya saat diasingkan di Boven saat ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan perpustakaan untuk Digul, Papua oleh Belanda. Berpetiberkolaborasi untuk mendapatkan menciptakan keunggulan. Mereka peti diperlukan untuk membawa ilmu pengetahuan. Kolaborasi mengagungkan dan menghargai koleksi perpustakaan pribadi Bung itu dilakukan baik antar sesama lembaga perpustakaan. Anak-anak Hatta. Pahlawan Nasional Agus Salim perpustakaan/pustakawan, atau perlu diingatkan bagaimana sejarah secara otodidak mampu menguasi dengan profesi/organisasi lain perpustakaan nasional di banyak 5 bahasa asing dari kegemarannya seperti arsiparis, peneliti, dosen/guru. negara dibangun, dikelola, dan membaca. Meskipun tidak memasuki Adagium bahwa tidak mungkin suatu dimanfaatkan oleh masyarakat. Raja pendidikan formal, kepiawaian Agus perpustakaan mampu memenuhi Ashurbanipal di Sumeria sangat Salim berdiplomasi, berdebat dengan kebutuhan informasi pemustakanya,
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
7
maka kerjasama dengan perpustakaan lain merupakan hal yang mutlak. Berbagi informasi memerlukan sikap dan kemauan, untuk itu pemimpin harus menanamkan sejak memasuki profesi pustakawan. Bahkan idealnya sejak di bangku kuliah sudah ditanamkan budaya berbagi ilmu pengetahuan. Kungkungan birokrasi yang mengkotak-kotak akan runtuh dengan kuatnya budaya berbagi ilmu pengetahuan oleh semua pustakawan dan perpustakaan. Pada kasus perpustakaan perguruan tinggi, pimpinan institusi biasanya menciptakan hambatan untuk mau berbagi dengan institusi yang lain. Kegiatan pendokumentasian juga harus menjadi satu nilai lebih pustakawan. Dokumentasi merupakan akar dari kegiatan perpustakaan di samping temu kembali informasi dalam dokumen. Dengan perkembangan teknik dokumentasi yang berkembang sangat pesat, maka perpustakaan harus merumuskan paradigma baru dokumentasi. Sumber informasi telah mengalami perubahan bentuk dan cara penggunaan dengan pesatnya teknologi informasi dan komunikasi. Internet akan banyak memberi warna bagi aktifitas perpustakaan di masa depan. Perubahan tersebut harus diantisipasi dengan
Foto: sxc.hu
8
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
selalu meningkatkan kemampuan yang komplementer dengan bidang TIK. Kegiatan dokumentasi yang dahulu memerlukan perjuangan fisik dan waktu yang besar akan menjadi jauh berkurang. Keadaan yang muncul saat ini adalah banjir informasi yang memerlukan manajemen pengetahuan yang baik. Pustakawan juga dituntut harus selalu meningkatkan kualitas diri. Ciri seorang yang cerdas adalah selalu mau belajar, meningkatkan kualitas diri, adaptif dan bermanfaat bagi sesama. Pustakawan mempunyai peluang yang paling luas untuk meningkatkan diri secara mandiri. Belajar dapat dilakukan baik melalui pendidikan formal maupun non formal. Hanya pribadi yang berkeinginan maju yang akan mampu meningkatkan kualitas dirinya. Terdapat satu kisah yang mampu membangkitkan semangat seorang pekerja pada profesi yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Sahdan ada seorang tua penyapu jalan. Dia sejak habis subuh dengan tekun menyapu jalan dan selalu dilakukan sejak puluhan tahun. Ketika ditanya mengapa menjiwai pekerjaannya, kakek tua penyapu jalan itu berkata: “ menyapu jalanan saya anggap sebagi kegiatan seorang pelukis yang sedang melukis di atas kanvas. Jalanan adalah kanvas, sapu adalah kuas. Jari-jari saya akan menari di atas kanvas dengan sepenuh jiwa sehingga menghasilkan lukisan yang mampu dihargai oleh orang banyak. Sapuan lidi hingga menjadikan jalan bersih merupakan lukisan indah yang dapat dinikmati banyak orang”
Nilai dan keyakinan merupakan harta yang paling berharga bagi pribadi dan organisasi/perusahaan. Kondisi eksternal yang begitu menggoncangkan perusahaan akan dapat dihadapi dan memenangi persaingan bila nilai dan keyakinan telah tertanam kuat di semua elemen organisasi. C. Simbol yang Kasat Mata Perlu dipikirkan juga mengenai simbol, benda, logo atau bangunan kasat mata yang mampu menciptakan positioning bagus mengenai perpustakaan. Perpustakaan di luar negeri selalu di pajang patung-patung filosof terkenal, seperti Rene Decartes, Plato, Aristoteles yang dipersonifikasikan sebagai sosok yang mengedepankan budaya pikir, haus akan ilmu pengetahuan dan teguh dalam prinsip. Bangunan yang megah dan modern sudah harus dibuat untuk perpustakaan. Arsitektur dan tata ruang dibuat untuk mengakomodasi kepentingan layanan perpustakaan. Bukan asal gedung yang sudah tidak terpakai atau bekas gudang. Letak yang strategis dan dekat dengan pusat kegiatan merupakan point tersendiri. Di era pesatnya kemajuan TIK, maka alat-alat modern dan terbaru akan sangat membantu dalam kegiatan layanan perpustakaan. Keunggulan TIK akan memperlihatkan sosok pustakawan yang adaptif dengan perubahan TIK dan dapat menjadi pelopor. Perpustakaan merupakan penyimpan khasanah budaya, sejarah perkembangan budaya, masyarakat maupun teknologi. Sudah sewajarnya perpustakaan juga yang harus menjadi pelopor kemajuan teknologi. Pustakawan dan banyak pelaku suatu profesi sering mengabaikan makna suatu logo. Logo yang baik akan menjadi spirit untuk meraihnya. Ada makna yang dalam di balik
sebuah logo. Tidak mengherankan jika ada perusahaan harus mengeluarkan biaya puluhan miliyar rupiah untuk membuat logo baru. Pakaian seragam juga merupakan simbol yang kasat mata. Pakaian, dalam hal ini tidak semata baju, tetapi dengan aksesoris, dandanan dan tampilan luar. Stereotip pustakawan yang berkaca mata tebal dengan warna pakaian yang konservatif masih menancap kuat di benak masyarakat, sehingga perubahan dan penyesuaian harus tetap dilakukan. D. Bahasa dan Ritual Yang dimaksud bahasa dapat berupa semboyan, lagu, atau anekdot yang mampu membuat pemustaka tertarik terhadap perpustakaan. Iklan dan poster-poster perlu dibuat dengan menarik dan memiliki konsep yang jelas. Contoh yang perlu ditiru sebagaimana yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional Singapura. Perpustakaan Nasional Singapura melakukan survey untuk mengetahui gaya hidup (lifestyle) pemakai dan calon pemakainya. Survey terakhir pada tahun 2004 dinamakan “ Nonuser Survey and Segmentation Study) Setelah diketahui siapa pemakai dan calon pemakai berkaitan demografi,
psikografi dan lifestyle, maka dibuat program yang mengarah pada misi dan visi Perpustakaan Nasional Singapura sebagai penunjang Negara Pembelajar (Learning National). Dari survey yang periodik dilakukan, program yang fokus, pemanfaatan program pemasaran ada banyak kemajuan tercapai. Jumlah anggota aktif meningkat dari 1,7 juta menjadi hampir 2,3 juta. Total kunjungan meningkat dari 5,5 juta pada tahun 1994 menjadi 34,7 juta di tahun 2003. Indeks kepuasan pemustaka meningkat dari 3,63 di tahun 1999 menjadi 4,24 di tahun 2003. Angka ini lebih tinggi dari indeks kepuasan rata-rata layanan publik. Padahal Singapura merupakan salah satu negara dengan birokrasi pemerintahan terbaik, efektif, dan jujur. Perpustakaan Nasional Singapura membuat iklan cetak dan televisi. Iklan tersebut dibuat dengan perencanaan dan eksekusi matang. Perpustakaan Nasional Singapura selalu menjuarai lomba iklan tingkat Asia pada lima tahun terakhir. Perpustakaan menjadi lembaga yang berwibawa di Singapura. Yang dimaksud ritual disini adalah sebuah kegiatan yang
bersifat ekspresif dan dilakukan melalui serangkaian langkah serial yang konsisten secara rutin dan konsisten, kalau di militer selalu ada acara setiap pelantikan atau memasuki penugasan baru. Militer juga mempunyai spirit satu korps (corsa). Ritual dan semangat itu selalu terpelihara bahkan sampai purna tugas. Beberapa contoh yang dapat dilakukan di perpustakaan dengan memilih pustakawan terbaik bulan tertentu, diberi penghargaan dan insentif yang menarik. Dapat pula ditambah dengan memajang foto pegawai tersebut di tempat yang strategis. Kegiatan ini dapat merangsang kompetisi di antara pustakawan. Darimana Memulainya? Langkah penting yang harus ditentukan dalam membentuk budaya kepustakawanan bagaimana memulai dan dengan cara apa. Kreitner dan Kinicki (1992) membuat suatu bagan untuk menjelaskan bagaimana budaya organisasi dibentuk. Ada tiga tahapan yang dilalui yaitu metode yang digunakan, intervening dan outcome yang hendak diraih. Bagan tersebut dapat dilihat pada gambar 1 di bawah.
METHODS
INTERVENING
1. Elaboration on history 2. Communication on and by “heroes” and others
DEVELOP A SENSE OF HISTORY (H)
3. Leadership and role modelling 4. Communicating norms and values
CREATE OF SENSE OWNESS (O)
5. 6. 7. 8.
PROMOTE OF SENSE MEMBERSHIP (M)
Reward systems Carier management and job security Recruiting and staffing Training and development
9. Member contact 10. Participation decicion making 11. Intergroup coordinating and personal excange
OUTCOMES COHESIVE ORGANIZATIONAL CULTURE
INCREASE EXCHANGE AMONG MEMBER (E)
Gambar 1. Pembentukan Budaya Organisasi (sumber Kreitner and Kinicki (1992). Organizational Behavior, 2nd ed. Irwin Boston p. 714-715)
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
9
daftarpustaka Budaya organisasi sangat dipengaruhi oleh figur pimpinannya. Pada level mikro, pada satu institusi perpustakaan misalnya perpustakaan perguruan tinggi, peran pimpinan menjadi unsur terpenting. Tetapi pada level yang besar, misalnya kepustakawanan Indonesia, maka unsur pendidikanlah yang memegang peran utama. Perguruan tinggi yang mempunyai program studi ilmu perpustakaan mempunyai peran untuk mengenalkan budaya perpustakaan sejak dini. Tidak boleh dilupakan pendidikan pada saat setelah bekerja. Pembaruan dan perbaikan selalu menjadi budaya bagi perpustakaan. Robbins (1996) menyatakan bahwa untuk membangun budaya organisasi setidaknya ada tiga hal utama yang harus diperhatikan. Pertama proses seleksi atau recruitment anggota. Sistem recruitment yang baik akan menghasilkan kandidat sesuai budaya dan kebutuhan organisasi. Yang kedua, pimpinan puncak terutama pendiri. Microsoft yang sangat gencar dalam mengembangkan bisnis perangkat lunaknya karena terinsiprasi oleh pendirinya, Bill Gates yang merupakan sosok yang agresif, kompetitif, dan disiplin. Hal ketiga adalah sosialisasi. Sosialisasi dan komunikasi yang baik, terprogram dan terencana akan mampu mencapai sasaran yang diharapkan. Membuat perubahan merupakan sesuatu yang berat dan sulit. Apalagi banyak pihak yang harus dilibatkan. Sementara itu perpustakaan hanya merupakan sub sistem dari satu sistem birokrasi, budaya, dan kenegaraan yang ada di Indonesia. Posisi tawar yang dimiliki perpustakaan juga tidak tinggi, sehingga ketergantungan lingkungan eksternal sangat besar. Tetapi bagaimanapun beratnya membuat perubahan, apabila
10
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
dilakukan dari dalam dengan keyakinan tinggi, visi jelas dan kekohesifan organisasi yang solid akan mampu membawa ke arah perbaikan. Perubahan akan dapat berjalan dengan kuat bila kesadaran dari dalam telah muncul dan berkeinginan kuat untuk berubah. Dalam bahasa yang sederhana, Abdullah Gymnastiar selalu menekankan semboyan : dari diri sendiri dari hal-hal yang kecil dan dari sekarang. Penutup Membangun budaya kepustakawanan di Indonesia merupakan langkah yang barangkali bukan merupakan tindakan popular. Membangun budaya memerlukan waktu yang relatif lama, perhatian dari semua pihak dalam dan luar organisasi, kesabaran dan multidimensional. Tetapi bila budaya organisasi telah terbangun, maka organisasi akan mampu berkompetisi dan terus eksis. Pustakawan dan pemerhati perpustakaan di Indonesia mungkin belum tertarik atau menyadari pentingnya membangun budaya kepustakawanan Indonesia. Menjadi kewajiban bersama khususnya pustakawan untuk menggali, mereaktualisasi prinsip kepustakawanan menjadi budaya sebagai keunggulan. Ketertinggalan profesi pustakawan dari profesi lain mungkin disebabkan oleh tidak adanya budaya kepustakawanan. Pentingnya budaya dalam organisasi sebagaimana dijelaskan oleh Schermerhorn, Hunt dan Osborn (1997) mempunyai dua fungsi. Pertama sebagai external adaptation yaitu petunjuk pencapaian tujuan dan pedoman menghadapi tantangan dari luar. Dan yang kedua sebagai internal integration di mana instrumen budaya mampu sebagai pelekat collective identity dan finding ways yang mengelaborasi metode kerja dan kehidupan bersama. Bukankah dua tantangan tersebut sudah ada di depan mata dan merupakan tantangan bersama kepustakawanan di Indonesia? Ataukah kepustakawanan di Indonesia selalu terlambat mengantisipasi perubahan yang ada? Merupakan tantangan untuk mampu melaluinya.
A.S. Munandar (2002) Antara budaya organisasi, budaya lingkungan, dan produktifitas : Majalah Manajemen edisi Februari 2002 hal. 48 – 50 Blasius Sudarsono (2006) Antologi kepustakawanan Indonesia, editor Joko Santoso . Jakarta : Sagung Seto Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (2005) Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka Farid Elashwami (2002) Menciptakan budaya perusahaan yang unggul : Majalah Manajemen, edisi Februari 2002 hal 38-40 Geertz, Clifford and Pacanowsky (1990) Cultural approach to organization, Boston : McGraw-Hill p. 289 – 299 Kreitner and Kinicki (1992). Organizational behavior, 2nd ed. Boston : Irwin p. 714-715 Robbins, S.P. (1996) Perilaku organisasi : Konsep, kontroversi, aplikasi. Jilid 1, edisi Bahasa Indonesia . Jakarta : Prenhallindo …………….. (1996) Perilaku organisasi : Konsep, kontroversi, aplikasi. Jilid 2, edisi Bahasa Indonesia. Jakarta : Prenhallindo Rhenald Kasali (2006), Change : Tak peduli berapa jauh jalan anda jalani, putarlah arah sekarang juga (Manajemen perubahan dan harapan), Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Schermerhorn, Hunt dan Osborn (1997) Organizational behavior, 6th ed. New York : John Wiley and Sons Smireich, L. (1983) Concept of culture and organizational analysis. Administrative Science Quarterly, Sept. 367 – 489 Varaprasad, N; Paul, John and Lena, Kua. (2003) Gaining mindshare and timeshare: marketing public library (diunduh dari www.sricbi. com/VALS Senin 2 April 2007)
Oleh : Wuri Setya Intarti
Analisis Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Terhadap Kinerja Pustakawan Perpustakaan Nasional ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengetahui ada atau tidak pengaruh yang nyata antara kepemimpinan dan motivasi secara bersama-sama maupun parsial terhadap kinerja pustakawan Perpustakaan Nasional RI. Dan 2) Mengetahui variabel mana yang lebih dominan berpengaruh terhadap kinerja pustakawan Perpustakaan Nasional RI. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah 55 orang pustakawan Perpustakaan Nasional RI. Adapun metode pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah metode metode teknik simple random sampling. Sedangkan metode analisis datanya menggunakan analisis regresi linier berganda, yaitu untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh kepemimpinan dan motivasi terhadap kinerja pustakawan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Hasil uji F didapat nilai F hitung sebesar 25.646 dengan tingkat signifikansi 0,000. Karena probabilitas 0,000 lebih kecil dari 0,05 maka hasil dari model regresi menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan secara bersama-sama antara variabel kepemimpinan (X1) dan motivasi (X2) terhadap kinerja pustakawan Perpustakaan Nasional RI. 2) Hasil uji t menunjukkan bahwa nilai probabilitas variabel kepemimpinan (X1) sebesar 0,013 < 0,05, dan variabel motivasi (X2) sebesar 0,000 < 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa variabel kepemimpinan (X1) dan variabel motivasi (X2) secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja pustakawan Perpustakaan Nasional RI. Dan 3) Adapun variabel yang mempunyai pengaruh paling dominan terhadap kinerja pustakawan adalah variabel motivasi (X2), dimana berdasarkan hasil koefisien determinasi parsial variabel motivasi (X2) mempunyai nilai yang paling tinggi yaitu sebesar (r2 = 0.690)2 = 0,476 atau 47,6%.
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perpustakaan Nasional adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Tugas pokok yang diembannya adalah membantu Presiden dalam menyelenggarakan pengembangan, pembinaan, dan pendayagunaan semua jenis perpustakaan di instansi atau lembaga pemerintah maupun swasta, dalam rangka pelestarian bahan pustaka sebagai hasil budaya serta pelayanan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan, (Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 50 Tahun 1997 tentang Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan Keputusan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia No. 44 Tahun 1998 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perpustakaan Nasional Republik Indonesia). Pustakawan adalah seorang profesional, idealnya pustakawan didalam menjalankan tugasnya bisa melaksanakan dengan baik dan bisa memberikan layanan prima kepada pemustaka. Namun demikian kondisi di lapangan pustakawan tidaklah selalu memberikan layanan yang memuaskan
(Pustakawan Madya Perpustakaan Nasional RI) Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
11
12
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
melaksanakan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. dalam melaksanakan suatu kegiatan tersebut perlu adanya seorang pemimpin yang memiliki pengaruh besar dan berani mengambil resiko serta selalu bereksperimen dengan didasarkan atas perhitunganperhitungan yang jelas. Keberhasilan pemimpin itu pada umumnya diukur dari produktivitas dan efektivitas pelaksanaan tugas-tugas yang dibebankan pada dirinya. Bila produktivitas naik dan semua tugas dilaksanakan secara efektif, maka ia disebut sebagai pemimpin yang berhasil sedangkan apabila produktivitasnya menurun dan kepemimpinannya dinilai tidak
efektif dalam jangka waktu tertentu, maka ia disebut sebagai pemimpin yang gagal. Kepemimpinan sebagai salah satu penentu arah dan tujuan organisasi harus mampu menyikapi perkembangan jaman ini. Pemimpin yang tidak dapat mengantisipasi perkembangan yang ada pada saat ini, atau setidaknya tidak memberikan respon, besar kemungkinan akan memasukkan organisasinya dalam situasi stagnasi dan akhirnya mengalami keruntuhan. Memang untuk memastikan keberhasilan kepemimpinan seseorang secara tepat dan cermat adalah sulit sekali : 1. Sukar sekali menilai tingkah laku manusia yang “tersembunyi”,
Foto: sxc.hu
kepada pemustaka, tentunya hal ini disebabkan oleh banyak faktor. Dalam hal ini peneliti hanya akan menyoroti dari faktor motivasi dan kepemimpinan terhadap kinerja pustakawan. Disamping itu, Seperti diketahui, bahwa perpustakaan belumlah terkenal dan melekat di hati masyrakat, sedangkan tujuannya jelas yaitu membantu pemerintah dalam memajukan dan mencerdaskan masyarakat Indonesia melalui koleksi karya cetak dan karya rekam. Oleh karena itu ada baiknya masalah ini diangkat ke permukaan supaya lebih diketahui dan dikenal masyarakat agar memanfaatkan perpustakaan tersebut. Dengan demikian, merupakan tugas berat bagi Pustakawan dalam mewujudkan tujuan yang besar dalam menjalankan tugas yang mulia tersebut. Tugas utama pustakawan adalah pelayanan informasi (koleksi karya cetak dan karya rekam) kepada masyarakat. Layanan diperlukan kinerja, dan kinerja ditentukan oleh SDM (Sumber Daya Manusia). SDM (pustakawan) memiliki karakter/ watak-watak yang diwujudkan pada motivasi dan SDM (pustakawan) akan berkualitas bila memiliki pemimpin yang berkompeten. Apabila kepemimpinan dan motivasi rendah, maka berakibat pada kinerja pustakawanpun rendah pula. Oleh karena itu kepemimpinan, motivasi, dan kinerja perlu disusun dan ditingkatkan dari jajaran Perpustakaan Nasional RI karena akan mendapat penilaian masyarakat yang berdampak pada pengguna jasa perpustakaan. Apabila kualitas layanan (kinerja) rendah, maka pengguna jasanya pun rendah atau sedikit, hal ini akan berdampak pada penilaian keberhasilan institusi. Dalam kehidupan sehari-hari setiap individu berada dalam lingkungan masyarakat, organisasi maupun perusahaan, dimana dalam suatu perkumpulan tersebut
tertutup dan tidak terduga-duga. 2. Sulit untuk menentukan kriteria obyektif sebagai panutan untuk menilai. 3. Sulit menilai “keberhasilan” karena harus ditinjau dan dikaitkan dengan macam-macam aspek, yaitu aspek teknis, administratif, manajerial dan sosial atau manusiawi. Namun untuk ke arah itu tidaklah mudah karena ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan, salah satunya adalah dalam memotivasi individu dalam bekerja dan selanjutnya akan menghasilkan kinerja yang diharapkan. Setiap individu pasti memiliki kejenuhan dalam melaksanakan tugasnya. Kejenuhan tersebut selalu terjadi dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam dunia kerja kejenuhan tersebut perlu diperhatikan karena kejenuhan tersebut merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kinerja karyawan. Untuk menghindari kejenuhan tersebut perlu adanya motivasi karyawan untuk meningkatkan kinerjanya. Motivasi tersebut dapat timbul dari intern maupun ekstern. Untuk membantu memotivasi karyawan adalah dengan memahami apa yang memotivasi mereka. Para karyawan dapat dipicu semangat kerjanya dan dapat bekerja dengan sangat keras dan harus sesuai dengan tujuan organisasi maupun perusahaan, karena itu para Pemimpin, Manajer maupun Penyelia harus mengetahui apa yang mereka inginkan dari para karyawannya. Untuk mendukung motivasi karyawan kita harus mengetahui bahwa karyawan memiliki kekuatan yang kokoh untuk menentukan sasaran dan tujuan mereka dan bahwa sasaran tersebut harus sesuai dengan tujuan organisasi. Kunci untuk mendukung motivasi karyawan adalah dengan memahami
apa yang memotivasi mereka masing-masing tiap individu dimotivasi oleh berbagai macam hal. Untuk mengatasi semuanya perusahaan harus dapat menyiapkan para karyawan agar dapat bekerja dengan baik dan tanggap untuk mengatasi segala permasalahan yang timbul secara efektif dan efisien. Berdasarkan pengamatan peneliti, pengaruh kepemimpinan dan motivasi di dalam peningkatan kinerja karyawan pada Perpustakaan Nasional RI, sementara ini masih belum berjalan dengan baik, hal ini dapat dilihat dari produktivitas kerja yang semakin menurun, para karyawan yang kurang disiplin dan ada beberapa karyawan yang tidak masuk kerja tanpa alasan sehingga semua itu dapat menghambat dalam pelaksanaan dan penyelesaian tugas. Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan, dan motivasi terhadap kinerja pustakawan Perpustakaan Nasional RI, sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui ada atau tidak pengaruh yang nyata antara kepemimpinan dan motivasi secara bersama-sama terhadap kinerja pustakawan Perpustakaan Nasional RI. 2. Mengetahui ada atau tidak pengaruh yang nyata antara kepemimpinan dan motivasi secara parsial terhadap kinerja pustakawan Perpustakaan Nasional RI. 3. Mengetahui variabel mana yang lebih dominan berpengaruh terhadap kinerja pustakawan Perpustakaan Nasional RI. II. TINJAUAN PUSTAKA Kepemimpinan Pemimpin merupakan faktor penentu dalam sukses atau gagalnya suatu organisasi dan usaha. Baik di dunia bisnis maupun di dunia
pendidikan, kesehatan, perusahaan, religi, sosial, politik, pemerintahan negara, dan lain-lain, kualitas pemimpin menentukan dalam keberhasilan lembaga atau organisasi yang dipimpinnya. Kepemimpinan ini pada umumnya berfungsi atas dasar kekuasaan pemimpin untuk mengajak dan menggerakkan orang lain guna melakukan sesuatu demi pencapaian satu tujuan tertentu. Dengan kata lain pemimpin itu ada jika orang yang dapat diajak untuk berkelompok mencapai satu tujuan. Jika keberadaan pemimpin selalu ada di tengah-tengah kelompoknya. Dalam barisan perjuangan, pemimpin harus berjalan paling depan menjadi ujung tombak untuk dapat memberikan arah dan tujuan yang jelas demi tercapainya usaha secara bersama-sama. Dalam perjalanan sejarah manusia yang panjang ini, pemimpin hampir selalu menjadi fokus dari semua gerakan, aktivitas, usaha, dan perubahan menuju pada kemajuan di dalam kelompok atau organisasi. Kepemimpinan merupakan kekuatan aspirasional, kekuatan semangat, dan kekuatan moral yang kreatif, yang mampu mempengaruhi para anggotanya untuk mengubah sikap, sehingga mereka menjadi sepakat dengan keinginan pemimpinnya. Tingkah laku kelompok atau organisasi menjadi searah dengan kemauan dan aspirasi pemimpin oleh pengaruh interpersonal pemimpin terhadap anak buahnya. Orang yang mempengaruhi mengarahkan kepada tercapainya sesuatu tujuan. Seorang pemimpin harus dapat membuat perencanaan, pengorganisasian dan pengawasan serta keputusan yang efektif. Kepemimpinan yang efektif tergantung dari landasan manajerial yang kokoh. Menurut Chapman yang dikutip Dale Timpe dalam Hasibuan (1996:260) kepemimpinan yang
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
13
kokoh adalah: a. Cara berkomunikasi b. Pemberian motivasi c. Kemampuan pemimpin d. Pengambilan keputusan e. Kekuasaan yang positif Selanjutnya indikator dari seseorang pemimpin dapat diketahui melalui ciri-cirinya. Untuk ciri yang umum menurut Rodger D. Collons seperti yang dikutip oleh Timpe adalah: a. Kelancaran berbahasa b. Kemampuan untuk memecahkan masalah c. Kesadaran akan kebutuhan d. Keluwesan e. Kecerdasan f. Kesediaan menerima tanggung jawab g. Ketrampilan sosial h. Kesadaran akan diri dan lingkungan. Untuk menjalankan peranperan seperti yang diuraikan di atas, seorang pemimpin harus mempunyai sarana, yaitu: a. Kewenangan formal b. Pengetahuan dan pengalaman yang dapat ditambah c. Ganjaran dan hukuman untuk karyawan bawahannya d. Komunikasi dengan bawahannya e. Perintah untuk bawahannya Tercapai atau tidaknya tujuan dari organisasi sangat ditentukan oleh kecakapan dan kewibawaan seorang pemimpin dalam melaksanakan kepemimpinannya dalam mengerahkan para staf atau bawahannya. Demi efisiensi dan adaptasi terhadap lingkungan yang berubah cepat, seorang pemimpin harus pula mau melakukan pendelegasian tugas dan memerankan fungsinya antara lain: a. Memelihara struktur kelompok, menjamin interaksi yang lancar dan memudahkan pelaksanaan tugas-tugas. b. Mensinkronkan ideologi, ide, pikiran dan ambisi anggota-
14
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
c.
d.
e.
f.
g.
anggota kelompok dengan pola keinginan pemimpin. Memberikan rasa aman dan status yang jelas kepada setiap anggota, sehingga mereka bersedia memberikan partisipasi penuh. Memanfaatkan dan mengoptimalkan kemampuan, bakat dan produktivitas semua anggota kelompok untuk berkarya dan berprestasi. Menegakkan peraturan, larangan, disiplin dan norma-norma kelompok agar tercapai kepaduan kelompok, meminimalisir konflik dan perbedaan-perbedaan. Merumuskan nilai-nilai kelompok dan memilih tujuan-tujuan kelompok, sambil menentukan sarana dan cara-cara operasional guna mencapainya. Mampu memenuhi harapan, keinginan dan kebutuhankebutuhan para anggota, sehingga mereka merasa puas.
Motivasi Motivasi adalah hal yang sangat penting dalam meningkatkan kegairahan atau semangat kerja karyawan yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan produktivitas individu dan tentunya juga berdampak pada peningkatan produktivitas organisasi. Dalam mengelola suatu organisasi, seorang pemimpin seharusnya mampu melakukan fungsi penggerakan (Actuating) terhadap karyawannya dengan baik agar para bawahannya dapat bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Penggerakan merupakan fungsi dari manajemen, sehingga apabila organisasi ingin berjalan dengan baik, maka fungsi actuating tersebut tentunya juga harus dikelola dengan baik. Untuk dapat melakukan penggerakkan (Actuating) bawahan dengan baik maka membutuhkan
cara memotivasi para bawahan dengan cara yang baik pula. Karena bila dilakukan secara radikal pengertian motivasi (menggerakkan) sama halnya dengan pengertian actuating itu sendiri. Motivasi sebagai proses psikologis dalam diri seseorang akan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut dapat dibedakan atas faktor intern dan ekstern yang berasal dari karyawan, (Sutrisno 2010:116). Faktor intern dapat mempengaruhi pemberian motivasi pada seseorang antara lain: 1. Keinginan untuk dapat hidup, merupakan kebutuhan setiap manusia yang hidup dimuka bumi ini. Untuk mempertahankan hidup ini orang mau mengerjakan apa saja, apakah pekerjaan itu baik atau buruk, apakah halal atau haram, dan sebagainya. Misalnya untuk mempertahankan hidup manusia perlu makan, dan untuk memperoleh makan ini amnusia mau mengerjakan apa saja asal hasilnya dapat memenuhi kebutuhan untuk makan. Keinginan untuk hidup meliputi kebutuhan untuk Memperoleh kompensasi yang memadahi; Pekerjaan yang tetap walaupun penghasilan tidak begitu memadahi; Kondisi kerja yang aman dan nyaman. 2. Keinginan untuk dapat memiliki, yang dapat mendorong seseorang untuk mau melakukan pekerjaan. Hal ini banyak kita alami dalam kehidupan kita sehari-hari, bahwa keinginan yang keras untuk dapat memiliki itu dapat mendorong orang untuk mau bekerja. Contohnya, keinginan untuk memiliki sepeda motor dapat mendorong seseorang untuk mau melakukan pekerjaan. 3. Keinginan untuk memperoleh penghargaan untuk diakui,
4. Keinginan untuk memperoleh pengakuan, meliputi peng hargaan terhadap prestasi; hubungan kerja yang harmonis dan kompak; Pimpinan yang adil dan bijaksana; dan Perusahaan tempat bekerja dihargai oleh masyarakat. 5. Keinginan untuk berkuasa, Keinginan untuk berkuasa akan mendorong seseorang untuk bekerja. Kadang-kadang keinginan untuk berkuasa ini dipenuhi dengan cara-cara tidak terpuji, namun cara-cara dilakukannya itu masih termasuk bekerja juga. Apalagi keinginan untuk
berkuasa atau menjadi pimpinan itu dalam arti positif, yaitu ingin dipilih menjadi ketua atau kepala, tentu sebelumnya sipemilih telah melihat dan menyaksikan sendiri bahwa orang itu benar-benar mau bekerja, sehingga pantas untuk dijadikan penguasa dalam unit organisasi/kerja. Faktor ekstern, yang juga tidak kalah peranannya dalam memotivasi kerja seseorang. Faktor-faktor ekstern itu adalah : 1. Kondisi lingkungan kerja, Lingkungan pekerjaan adalah keseluruhan sarana dan prasarana kerja yang ada disekitar karyawan yang sedang melakukan pekerjaan yang dapat mempengaruhi pelaksanaan pekerjaan. Lingkungan kerja ini, meliputi tempat bekerja, fasilitas dan alat bantu pekerjaan, kebersihan, pencahayaan, ketenangan, termasuk juga hubungan kerja antara orang-orang yang ada ditempat tersebut. Lingkungan kerja yang baik dan bersih, mendapat cahaya yang cukup, bebas dari kebisingan dan gangguan, jelas akan memotivasi tersendiri bagi para karyawan
dalam melakukan pekerjaan dengan baik. Namun lingkungan kerja yang buruk, kotor, gelap, pengap, lembab, dan sebagainya akan menimbulkan cepat lelah dan menurunkan kreativitas. Oleh karena itu, pimpinan perusahaan yang mempunyai kreativitas tinggi akan dapat menciptakan lingkungan kerja yang menyenangkan bagi para karyawan. 2. Kompensasi yang memadahi, merupakan sumber penghasilan utama bagi para karyawan untuk menghidupi diri beserta keluarganya. Kompensasi yang memadahi merupakan alat motivasi yang paling ampuh bagi perusahaan untuk mendorong para karyawan bekerja dengan baik. Adapun kompensasi yang kurang memadahi akan membuat mereka kurang tertarik untuk bekerja keras, dan memungkinkan mereka bekerja tidak tenang. Dari sini jelaslah bahwa besar kecilnya kompensasi sangat mempengaruhi motivasi kerja para karyawan. 3. Supervisi yang baik dalam suatu pekerjaan adalah memberikan
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
15
Foto: sxc.hu
dihormati, oleh orang lain. Untuk memperoleh status sosial yang tinggi, orang mau mengeluarkan uangnya, untuk memperoleh uang itu pun ia harus bekerja keras. Jadi harga diri, nama baik, kehormatan yang ingin dimiliki itu harus diperankan sendiri, mungkin dengan bekerja keras memperbaiki nasib, mencari rezeki, sebab status untuk diakui sebagai orang terhormat tidak mungkin diperoleh bila yang bersangkutan pemalas, tidak mau bekerja, dan sebagainya.
pengarahan, membimbing kerja para karyawan, agar dapat melaksanakan kerja dengan baik tanpa membuat kesalahan. Dengan demikian posisi supervisi sangat dekat dengan para karyawan, dan selalu menghadapi para karyawan dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Bila supervisi yang dekat para karyawan ini menguasai liku-liku pekerjaan dan penuh dengan sifat-sifat kepemimpinan, maka suasana kerja akan bergairah dan bersemangat. Akan tetapi, mempunyai supervisor yang angkuh, mau benar sendiri, tidak mau mendengarkan keluhan para karyawan, akan menciptakan situasi kerja yang tidak mengenakkan, dan dapat menurunkan semangat kerja. Dengan demikian peranan supervisor yang melakukan pekerjaan supervisi amat mempengaruhi motivasi kerja para karyawan. 4. Adanya Jaminan Pekerjaan, sehingga setiap orang akan mau bekerja mati-matian mengorbankan apa yang ada pada dirinya untuk perusahaan, kalau yang bersangkutan merasa ada jaminan karier yang jelas dalam melakukan pekerjaan. Mereka bekerja bukannya untuk hari ini saja, tetapi mereka berharap akan bekerja sampai tua cukup dalam satu perusahaan saja, tidak usah sering kali pindah. Hal ini akan dapat terwujud bila perusahaan akan memberikan jaminan karier untuk masa depan, baik jaminan akan adanya promosi jabatan, pangkat, maupun jaminan pemberian kesempatan untuk mengembangkan potensi diri. Sebaliknya, orang-orang akan lari meninggalkan perusahaan bila jaminan karier ini kurang jelas dan
16
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
kurang diinformasikan kepada mereka. 5. Status dan Tanggung jawab dalam jabatan tertentu merupakan dambaan setiap karyawan dalam bekerja. Mereka bukan hanya mengharapkan kompensasi semata, tetapi pada suatu masa mereka juga berharap akan dapat kesempatan menduduki jabatan dalam suatu perusahaan. Dengan menduduki jabatan, orang akan merasa dirinya akan dipercaya, diberi tanggungjawab, dan wewenang yang besar untuk melakukan kegiatan-kegiatan. Jadi status dan kedudukan merupakan dorongan untuk memenuhi kebutuhan sense of achievement dalam tugas sehari-hari. 6. Peraturan yang fleksibel bagi perusahaan besar, biasanya sudah ditetapkan sistem dan prosedur kerja yang harus dipatuhi oleh seluruh karyawan. Sistem dan prosedur kerja ini dapat kita sebut dengan peraturan yang berlaku dan bersifat mengatur dan melindungi para karyawan. Semua ini merupakan aturan main yang mengatur hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan termasuk hak dan kewajiban para karyawan, pemberian kompensasi, promosi, mutasi, dan sebagainya. Oleh karena itu biasanya peraturan bersifat melindungi dan dapat memberikan motivasi para karyawan untuk bekerja lebih baik. Hal ini terlihat dari banyak perusahaan besar yang memperlakukan sistem prestasi kerja dalam dalam memberikan kompensasi kepada para karyawannya, yang penting semua peraturan yang berlaku dalam perusahaan itu perlu diinformasikan sejelas-jelasnya
kepada para karyawan, sehingga tidak lagi bertanya-tanya, atau merasa tidak mempunyai pegangan dalam melakukan pekerjaan. Kinerja Suatu organisasi atau perusahaan sangat perlu mengetahui berbagai aspek kelemahan dan kelebihan para karyawannya. Hal ini dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan mutu pekerjaan dan pengembangan karyawan tersebut. Untuk itu diperlukan suatu kegiatan penilaian kinerja yang dilakukan secara periodik yang berorientasi pada masa lalu atau pada masa yang akan datang, dengan mengevaluasi kinerja karyawan secara obyektif dan akurat. Pengukuran tersebut berarti memberikan kesempatan pada karyawan untuk lebih mengetahui tingkat kinerja mereka. Kinerja karyawan yang meningkat akan turut mempengaruhi atau meningkatkan prestasi organisasi tempat karyawan yang bersangkutan bekerja, sehingga tujuan organisasi yang telah ditentukan sebelumnya dapat tercapai. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja yang dalam penelitian ini sebagai indikator kepuasan kerja, dikemukakan oleh Armstrong dan Baron (1998:16) yaitu sebagai berikut: a. Personal factors, ditunjukkan oleh tingkat keterampilan, kompetensi yang dimiliki, motivasi, dan komitmen individu. b. Leadership factor, ditentukan oleh kualitas dorongan, bimbingan dan dukungan yang dilakukan manajer dan team leader. c. Team factors, ditunjukkan oleh kualitas dukungan yang diberikan oleh rekan sekerja. d. System factors, ditunjukkan oleh adanya sistem kerja dan fasilitas yang diberikan organisasi. e. Contextual/situational factors, ditunjukkan oleh tingginya
tingkat tekanan dan perubahan lingkungan internal dan eksternal. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian dan teori yang relevan dengan penelitian, maka hipotesis yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah: 1. Diduga ada pengaruh yang nyata antara kepemimpinan dan motivasi secara bersama-sama terhadap kinerja pustakawan Perpustakaan Nasional RI. 2. Diduga ada pengaruh yang nyata antara kepemimpinan dan motivasi secara parsial terhadap kinerja pustakawan Perpustakaan Nasional RI. III. METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah pustakawan Perpustakaan Nasional RI yang berlokasi di Jalan Salemba Raya No. 28 A Jakarta, keadaan tahun 2010 yang berjumlah 164 pustakawan (Sumber: Pusat
Pengembangan Pustakawan, Deputi Bidang Pengembangan Sumber daya Perpustakaan, Perpustakaan Nasional RI). Adapun sampel yang diambil adalah pustakawan Perpustakaan Nasional RI yang berjumlah 55 orang, sedangkan metode pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan metode teknik simple random sampling (teknik sampel sederhana). Variabel Penelitian Untuk menjelaskan permasalahan yang menjadi objek penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu dua variabel bebas dan satu variabel terikat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan dan motivasi terhadap kinerja karyawan. Adapun variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Variabel Bebas (Independent Variable) (X) Variabel bebas adalah
variabel yang menjadi penyebab timbulnya atau berubahnya variabel independent. Dalam penelitian ini variabel bebasnya adalah : 1. Kepemimpinan (X1) adalah kepemimpinan adalah tindakan memotivasi orang lain atau menyebabkan orang lain melakukan tugas tertentu dengan tujuan untuk mencapai tujuan spesifik. (Boone dan Kurtz dalam Pandji dan Suyati (1995:78)). Indikatornya terdiri dari: kemampuan untuk pemecahan masalah, memberikan arahan, komunikasi, baik dan sopan, pimpinan sebagai figure “Bapak”, keluwesan, karyawan sebagai mitra kerja, pendidikan tinggi, memberikan dorongan, kepercayaan, bertanggung jawab dan bijaksana. 2. Motivasi (X2). Motivasi mempersoalkan bagaimana cara mendorong gairah kerja bawahan, agar mereka mau bekerja keras dengan
Kerangka Pikir Penelitian
Kepemimpinan (X1)
Motivasi Kerja (X2)
- Kemampuan untuk pemecahan masalah - Memberikan arahan - Komunikasi - Baik dan sopan - Pimpinan sebagai figure “Bapak” - Keluwesan - Karyawan sebagai mitra kerja - Pendidikan tinggi - Memberikan dorongan - Kepercayaan - Bertanggung jawab - Bijaksana.
1. Intern a. Keamanan dalam bekerja b. Keinginan untuk dapat hidup c. Keinginan untuk memperoleh penghargaan d. Keinginan untuk memperoleh pengakuan e. Keinginan untuk berkuasa 2. Ekstern a. Kondisi lingkungan kerja b. Kompensasi yang memadahi c. Supervisi yang baik d. Adanya Jaminan Pekerjaan e. Status dan Tanggung jawab f. Peraturan yang fleksibel
Kinerja Pustakawan (Y) 1. 2. 3. 4. 5.
Personal factors Leadership factor Team factors System factors Contextual / situational factors
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
17
memberikan semua kemampuan dan ketrampilan untuk mewujudkan tujuan perusahaan. (Hasibuan dalam Sutrisno 2010: 110). Indikatornya terdiri dari motivasi internal dan eksternal. b. Variabel Terikat (Dependent Variable) (Y) Kinerja merupakan hasil kerja yang dihasilkan oleh karyawan atau perilaku nyata yang ditampilkan sesuai dengan peranannya dalam organisasi. Indikatornya terdiri dari: personal factors, leadership factor, team factors, system factors, dan contextual/ situational, factors Metode Pengukuran Variabel Metode yang digunakan dalam pengukuran variabel adalah dengan menggunakan skala Likert, yaitu dengan pemberian skor dalam bentuk angka, yaitu: 5 (lima) untuk jawaban sangat setuju, 4 (empat) untuk jawaban setuju, 3 (tiga) untuk jawaban kurang setuju, 2 (dua) untuk jawaban tidak setuju dan 1 (satu) untuk jawaban sangat tidak setuju. Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi dua jenis yakni data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dengan cara kuesioner. Uji Validitas dan Reliabilitas Validitas instrumen dalam penelitian ini diuji dengan cara menghitung korelasi Pearson dari skor tiap item pertanyaan dengan skor totalnya. Sedangkan untuk reliabilitas menggunakan Alpha Chronbach > 0,60. Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode pengolahan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah dengan SPSS (Statistical Package For Social Sciences) versi 17.
18
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan analisis regresi linier berganda. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Tentang Responden Dalam penelitian ini penulis mengemukakan dan memberikan gambaran mengenai profil dari responden yang berjumlah 55 orang pustakawan Perpustakaan Nasional RI, sebagai berikut: 1. Sebagian besar responden berjenis kelamin wanita yaitu sebanyak 42 orang atau dengan prosentase sebesar 76,4%. 2. Sebagian besar responden berusia antara 40 – 49 tahun sebanyak 29 orang atau sebesar 52,7%. 3. Sebagian besar berpendidikan S1 sebanyak 40 orang atau sebesar 72,7%. 4. Sebagian besar responden yang memiliki masa kerja 10 – 19 tahun sebanyak 24 orang atau sebanyak 43,6%. 5. Sebagian besar memiliki golongan kepangkatan III sebanyak 39 orang atau sebesar 70,9%. Hasil Kuesioner Berdasarkan penyebaran kuesioner yang telah diisi oleh responden didapatkan hasil sebagai berikut: Simbol X1 X2 Y
pernyataan tersebut memiliki nilai r ≥ 0.3, sedangkan nilai reliabilitasnya ≥ 0.6. Hal tersebut memiliki arti bahwa seluruh indikator pernyataan pendapat responden dianggap valid dan reliabel, sehingga dapat dilakukan analisa data lebih lanjut. Analisis Regresi Linier Berganda Adapun model persamaan regresi linier berganda sebagai berikut: Y = 18.680 – 0.236X1 + 0.809X2 Dari persamaan regresi di atas dapat diketahui besarnya pengaruh masing-masing variabel, yaitu kepemimpinan (X1) mempunyai pengaruh yang negatif sedangkan motivasi (X2) ternyata mempunyai pengaruh yang positif, menunjukkan adanya hubungan searah antara variabel bebas dengan variabel terikatnya. Nilai konstanta 18.680 mempunyai arti yaitu jika nilai X1 dan X2 sama dengan nol, maka besarnya nilai kinerja pustakawan adalah 18.680. Nilai koefisien regresi kepemimpinan (X1) sebesar -0.236 mempunyai arti jika variabel kepemimpinan (X1) dinaikkan persatu satuan maka akan mengakibatkan penurunan pada variabel terikat Y (kinerja pustakawan) sebesar -0.236 (pola hubungan negatif ) dengan
Tabel 1. Hasil Analisis Deskriptif Variabel Penelitian Variabel Penelitian Means Kategori Kepemimpinan 3,468 Cukup Motivasi 3,790 Cukup Kinerja 4,011 Tinggi
Analisis Hasil Penelitian Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Hasil uji validitas dan reliabilitas menunjukkan bahwa semua indikator pernyataan baik pada variabel kepemimpinan (X1), motivasi (X2) dan kinerja pustakawan (Y), dengan nilai total dari masing-masing
anggapan bahwa X2 adalah tetap. Sedangkan nilai koefisien regresi motivasi (X2) sebesar 0.809, mempunyai arti jika variabel motivasi (X2) dinaikkan persatu-satuan maka akan mengakibatkan kenaikkan pada variabel terikat Y (kinerja pustakawan) sebesar 0.809 (pola
Hasil Uji Hipotesis Uji Statistik F (ANOVA) Dari uji F, didapat nilai F hitung sebesar 25.646 dengan tingkat signifikansi 0,000. Karena probabilitas 0,000 lebih kecil dari 0,05 maka hasil dari model regresi menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan secara bersama-sama antara variabel kepemimpinan (X1) dan motivasi (X2) terhadap kinerja pustakawan Perpustakaan Nasional RI. Dengan kata lain model regresi layak dipakai untuk memprediksi struktur modal berdasarkan masukan variabel bebasnya. Uji Statistik Adapun uji statistik t digunakan untuk mengetahui masing-masing sumbangan variabel bebas secara
parsial terhadap variabel terikat. Hasil uji t didapatkan hasil sebagai berikut: 1. Variabel Kepemimpinan (X1) Hasil uji t, menunjukkan bahwa nilai probabilitas variabel kepemimpinan (X1) sebesar 0,013 < 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa variabel kepemimpinan (X1) secara parsial signifikan pada α = 5%. Artinya variabel kepemimpinan (X1) secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja pustakawan Perpustakaan Nasional RI. 2. Variabel Motivasi (X2) Hasil uji t, menunjukkan bahwa nilai probabilitas variabel motivasi (X2) sebesar 0,000 < 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa variabel motivasi (X2) secara parsial signifikan pada α = 5%. Artinya variabel motivasi (X2) secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja pustakawan Perpustakaan Nasional RI. Adapun variabel yang mempu nyai pengaruh paling dominan ter hadap kinerja pustakawan adalah variabel motivasi (X2), dimana berdasarkan hasil koefisien deter minasi parsial variabel motivasi (X2) mempunyai nilai yang paling tinggi yaitu sebesar (r2 = 0.690)2 = 0,476 atau 47,6%.
Pengujian Asumsi Klasik Hasil uji asumsi klasik menunjuk kan bahwa data linier dan normal, tidak terjadi multikolinieritas, tidak terjadi heteroskedastisitas dan autokorelasi tidak dapat disimpulkan. Pembahasan a. Berdasarkan hipotesis pertama yang diajukan oleh penulis yaitu: “Diduga ada pengaruh yang nyata antara kepemimpinan dan motivasi secara bersama-sama terhadap kinerja pustakawan Perpustakaan Nasional RI”. Hasilnya adalah bahwa hipotesis pertama tersebut diterima dan terbukti kebenarannya. Dari uji F, didapat nilai F hitung sebesar 25.646 dengan tingkat signifikansi 0,000. Karena probabilitas 0,000 lebih kecil dari 0,05 maka hasil dari model regresi menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan secara bersama-sama antara variabel kepemimpinan (X1) dan motivasi (X2) terhadap kinerja pustakawan Perpustakaan Nasional RI. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Siswantoro (1994), Wirawan (2003), dan Via Wuviani (2004), yang menunjukkan hasil bahwa secara bersama-sama variabel kepemimpinan dan motivasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Kepemimpinan melibatkan kemampuan mempengaruhi.
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
19
Foto: sxc.hu
hubungan positif ) dengan anggapan bahwa X1 adalah tetap. Adapun hasil nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,705, mengandung arti bahwa adanya hubungan yang kuat dan searah antara variabel bebas dengan variabel terikatnya. Sedangkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,497, mengandung arti bahwa kontribusi variabel kepemimpinan dan motivasi terhadap kinerja pustakawan sebesar 49,7% sedang sisanya 50,3% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti.
Kemampuan mempengaruhi orang lain ini mempunyai maksud, yaitu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain tujuan dari kepemimpinan adalah mempengaruhi orang lain, dalam hal ini pegawai atau bawahan untuk mencapai misi organisasi atau seni kemampuan mempengaruhi prilaku manusia dan kemampuan mengendalikan orang-orang dalam organisasi agar prilaku mereka sesuai dengan prilaku yang diinginkan oleh pemimpin organisasi. Sebagai seorang pustakawan yang tugasnya memberikan layanan prima kepada pemustaka membutuhkan sosok pemimpin yang tegas dan bijaksana serta bisa memberikan motivasi yang tinggi bagi para pustakawannya, sehingga mereka dapat mengerjakan tugasnya dengan baik. Apabila kepemimpinan dan motivasi rendah, maka berakibat pada kinerja pustakawan-pun rendah pula. Sumber Daya Manusia (pustakawan) salah satu aset yang sangat penting dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Karena begitu pentingnya Sumber Daya Manusia yang harus dikelola dengan baik maka secara tidak langsung faktor Sumber Daya Manusia ini sebagai penentu keunggulan suatu usaha ataupun negara. b. Hipotesis yang kedua menyatakan bahwa ”Diduga ada pengaruh yang nyata antara kepemimpinan dan motivasi secara parsial terhadap kinerja pustakawan Perpustakaan Nasional RI”. Hasilnya adalah bahwa hipotesis kedua tersebut diterima dan terbukti kebenarannya. Hasil uji t menunjukkan bahwa bahwa variabel kepemimpinan (X1) dan motivasi (X2) secara parsial signifikan pada α = 5%. Artinya variabel kepemimpinan (X1) dan motivasi (X2) secara parsial berpengaruh signifikan terhadap
20
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
kinerja pustakawan Perpustakaan Nasional RI. Secara parsial variabel kepemimpinan (X1) berpengaruh signifikan terhadap kinerja pustakawan Perpustakaan Nasional RI. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa arah koefisien korelasi dari variabel kepemimpinan (X1) adalah negatif dan signifikan, artinya hasil dari pelaksanaan kepemimpinan yang dijalankan belum tentu mempunyai dampak yang selalu positif atau baik bagi karyawannya, sebab semakin tinggi pelaksanaan kepemimpinan dilakukan, maka akan berdampak pada penurunan kinerja karyawan dari waktu ke waktu. Pelaksanaan aktivitas kepemimpinan yang lebih banyak ke arah menekan karyawan bisa saja menyebabkan seorang karyawan dapat mencapai tingkat kinerja dalam bekerja, tetapi belum tentu dapat membawa pengaruh yang positif dalam pembentukan kepribadian bawahan untuk ikhlas bekerja mencapai tujuan organisasi. Hasil penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh Siswantoro (1994), Wirawan (2003), dan Via Wuviani (2004). Secara parsial variabel motivasi (X2) berpengaruh signifikan terhadap kinerja pustakawan Perpustakaan Nasional RI. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa arah koefisien korelasi dari variabel motivasi (X2) adalah positif dan signifikan, arti nya motivasi kerja memang sangat diperlukan oleh seorang karyawan untuk dapat mencapai kinerjanya yang tinggi. Motivasi merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mendorong kinerja karyawan, karena dengan adanya motivasi diharapkan setiap karyawan mau bekerja keras dan antusias untuk mencapai kinerja yang tinggi seperti yang diharapkan oleh perusahaan. Kemampuan, kecakapan dan keterampilan yang dimiliki oleh seorang karyawan tidak ada artinya apabila mereka tidak mau bekerja
dengan giat. Hasil penelitian ini sesuai dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh Siswantoro (1994), Wirawan (2003), dan Via Wuviani (2004). V. KESIMPULAN Berdasarkan analisis data dan hasil penelitian serta pengujian hipotesis yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan: 1. Variabel kepemimpinan (X1) dan motivasi (X2) secara bersamasama berpengaruh signifikan terhadap kinerja pustakawan Perpustakaan Nasional RI. 2. Variabel kepemimpinan (X1) dan motivasi (X2) secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja pustakawan Perpustakaan Nasional RI. 3. Adapun variabel yang mempunyai pengaruh paling dominan terhadap kinerja pustakawan Perpustakaan Nasional RI adalah variabel motivasi (X2).
daftarpustaka Hasibuan, Malayu, S.P. 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia Dasar dan Kunci Keberhasilannya. Gunung Agung. Jakarta. Siswantoro. 1994. Faktor-faktor Motivasi dan Kepemimpinan Terhadap Semangat Kerja Karyawan di Kandatel – Surabaya. Tesis. Tidak Dipublikasikan. Sutrisno, Edy. 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia: Edisi revisi. Kencana Predana Media Group. Jakarta. Via Wuviani. 2004. Pengaruh Kualifikasi, Motivasi Kerja Guru dan Kepemimpinan Kepala Sekolah Terhadap Kinerja Guru SMAN di Kota Bandung. Tesis. perpustakaan@upi. edu. Tidak Dipublikasikan. Wirawan. 2003. Pengaruh Faktor-faktor Motivasi dan Kepemimpinan terhadap Kinerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur. Tesis. Tidak Dipublikasikan.
Oleh : Luthfiati Makarim Penulis adalah pustakawan Bidang Layanan Koleksi Umum, Perpustakaan Nasional RI
Kerangka Analisis Kinerja Ikatan Pustakawan Indonesia dengan Pendekatan Balanced Scorecard Abstrak Untuk mengetahui kinerja organisasi selama ini, IPI perlu mengevaluasi kinerjanya secara menyeluruh. Salah satu metode penilaian kinerja organisasi yang menyeluruh adalah balanced scorecard, yaitu model pengukuran kinerja organisasi yang mampu menerjemahkan visi dan strategi organisasi ke dalam seperangkat ukuran kinerja yang terpadu dan ke berbagai tujuan dan ukuran yang terukur; terdiri dari empat perspektif, yaitu finansial, pelanggan, proses bisnis internal serta pembelajaran dan pertumbuhan. Hasil yang diperoleh dapat memberi informasi tentang faktor yang mendorong keberhasilan organisasi saat ini dan di masa datang. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja organisasi IPI sehingga diketahui aspek apa yang sudah baik dan aspek apa yang perlu ditingkatkan. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif (eksplanatif) dengan memakai data sekunder dari organisasi IPI, data primer dari kuesioner terstruktur yang diberikan kepada responden serta wawancara untuk mendapatkan informasi dan data yang relevan dengan penelitian. Responden meliputi anggota dan pengurus IPI. Data yang terkumpul diukur dengan menggunakan skala Likert lalu dianalisis dengan menghitung skor total masing-masing variabel dan indikatorindikatornya lalu ditabulasikan. Hasil penilaian atas kinerja organisasi IPI dapat terlihat dari skor total masing-masing variabel dan indikator-indikatornya.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikatan Pustakawan Indonesia (selanjutnya disingkat IPI) adalah organisasi profesi yang menaungi profesi pustakawan di Indonesia. IPI didirikan pada tanggal 6 Juli 1973 dalam Kongres Pustakawan Seluruh Indonesia yang diselenggarakan di Ciawi, Bogor tanggal 5-7 Juli 1973. Kongres ini merupakan realisasi kesepakatan para pustakawan dalam pertemuan yang diadakan di Bandung tanggal 21 Januari 1973. Organisasi pustakawan yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah Asosiasi Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Indonesia (APADI) yang berdiri tahun 1962, Himpunan Perpustakaan Chusus Indonesia (HPCI) - berdiri tahun 1969 dan Perkumpulan Perpustakaan Daerah Istimewa Yogyakarta (PPDIY) (Harahap, 1998: 1). Dengan demikian, IPI saat ini telah memasuki usia 34 tahun. Pada usia ke 34 tahun ini, akan sangat bermanfaat bila IPI melakukan introspeksi dan evaluasi kiprahnya, khususnya kinerja IPI untuk para pustakawan dan kemajuan bidang pusdokinfo
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
21
di Indonesia. Banyak harapan pustakawan dan masyarakat kepada IPI, antara lain kiprah IPI diharapkan lebih nyata manfaatnya bagi seluruh pustakawan Indonesia, mampu menjadi organisasi profesi yang memberi kontribusi positif kepada kemajuan bangsa Indonesia dan seterusnya menjadi organisasi profesi yang disegani karena profesionalitas dan kontribusi positif para pustakawan anggotanya. Berbagai harapan pustakawan dan masyarakat kepada IPI tampaknya belum sepenuhnya terwujud saat ini, bahkan perjuangan untuk mewujudkan berbagai harapan tersebut masih berat dan panjang. Seluruh anggota dan terutama pengurus IPI – dari setiap tingkatannya – harus berjuang bersama, bersinergi mewujudkan berbagai harapan tersebut. Tulisan ini bermaksud untuk memberi kontribusi nyata dalam upaya tersebut dengan membuatkan kerangka analisis kinerja IPI yang bersifat ilmiah dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard. B. Perumusan Masalah Masalah umum penelitian dirumuskan umum sebagai berikut: “Bagaimanakah kinerja organisasi Ikatan Pustakawan Indonesia bila diukur dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard, dilihat dari perspektif kepuasan pelanggan (stakeholders), proses bisnis internal, pertumbuhan dan pembelajaran serta keuangan.” Rumusan umum tersebut perlu dirinci dan diuraikan agar penelitian ini lebih fokus dengan pertanyaanpertanyaan kunci berikut ini: 1. Bagaimanakah kinerja organisasi IPI dilihat dari aspek reputasi dan kepuasan anggota dan stakeholder lainnya (selanjutnya disebut pelanggan) terhadap berbagai kegiatan dan layanan IPI?;
22
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
2. Bagaimanakah kinerja organisasi IPI dilihat dari aspek proses bisnis internal organisasi yang meliputi proses operasi penyampaian produk berupa berbagai kegiatan dan layanan kepada pelanggannya serta inovasi untuk kemajuan organisasi ?; 3. Bagaimanakah kinerja organisasi IPI dilihat dari aspek pertumbuhan dan proses pembelajaran, meliputi tingkat kemampuan/pengetahuan pengurus pada setiap levelnya, tingkat sistem informasi organisasi, tingkat penerapan pembelajaran (dinamika belajar, pembaruan organisasi, pemberdayaan individu, pengelolaan pengetahuan dan penerapan teknologi) ?; 4. Bagaimanakah kinerja organisasi IPI dilihat dari aspek kepuasan pelanggan terhadap berbagai kegiatan dan layanannya ?; 5. Bagaimana kinerja keuangan organisasi IPI selama tiga tahun terakhir, apabila diukur dengan menggunakan rasio-rasio keuangan?, bila memungkinkan. C. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja organisasi IPI sehingga diketahui aspek apa yang sudah baik dan aspek apa yang perlu ditingkatkan demi peningkatan kinerja IPI di masa datang. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui kinerja organisasi terhadap pelanggannya, dilihat dari tingkat kepuasan mereka; 2. Untuk mengetahui kinerja proses bisnis internal di IPI, dilihat dari aspek operasi dan inovasi organisasi; 3. Untuk mengetahui kinerja pertumbuhan dan pembelajaran dilihat dari tingkat kemampuan pengurus, sistem informasi organisasi dan tingkat penerapan pembelajaran; 4. Untuk mengetahui kinerja
keuangan di organisasi IPI dilihat dari rasio-rasio keuangan. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian mencakup berbagai pihak terkait, yaitu: 1. Bagi peneliti: penelitian yang baru berupa kerangka penelitian ini memberi informasi dan horison baru, memperkuat kemampuan analisis kinerja dengan metode balanced scorecard serta menambah pengetahuan yang lebih luas mengenai kelemahan dan kekuatan penerapan alat ukur kinerja organisasi ini; 2. Bagi IPI: kerangka peneli tian ini diharapkan memberi masukan positif yang dapat membangun organisasi IPI. Hasil penelitian yang bersifat ilmiah
diharapkan dapat meningkatkan kinerja IPI di masa datang sehingga dapat menjadi organisasi profesi yang memiliki nilai-nilai kompetitif untuk dapat bersaing di masa datang; 3. Bagi pemerintah (dalam hal ini Perpustakaan Nasional RI sebagai lembaga pembina perpustakaan dan pustakawan di Indonesia): penelitian ini memberi masukan dan input sebagai bahan pertimbangan untuk melihat sejauh mana kinerja organisasi profesi pustakawan IPI ini dengan menggunakan alat ukur balanced scorecard sehingga terlihat mana aspek yang sudah baik dan mana aspek yang harus ditingkatkan; 4. Bagi peneliti selanjutnya: penelitian ini menjadi referensi untuk masalah yang relevan, khususnya penelitian tentang organisasi publik dengan alat ukur balanced scorecard.
E. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif (eksplanatif ) dengan memakai data sekunder dari organisasi IPI serta data primer yang diperoleh melalui kuesioner terstruktur yang diberikan kepada responden serta wawancara untuk mendapatkan informasi dan data yang relevan dengan penelitian. Responden penelitian meliputi anggota dan pengurus IPI. F. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah seluruh anggota dan pengurus IPI. Sedangkan sampel penelitian ditetapkan peneliti sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peneliti, sebagaimana yang dikatakan oleh Sugiyono (2000: 58): “Bila populasi besar dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu.” Dengan demikian, peneliti dapat menetapkan jumlah sampel yang akan diambil berdasarkan pertimbangannya. Sampel dapat diambil dari seluruh Pengurus Pusat IPI (100%), setengah dari jumlah pengurus tingkat wilayah dan daerah (50%), serta 10 orang anggota masing-masing dari wilayah yang berbeda, misalnya Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah. II. LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS A. Landasan Teori 1. Pengukuran Kinerja Organisasi Bagi suatu organisasi, pengukuran kinerja sangat penting karena ukuran kemanfaatan organisasi bagi anggotanya dapat dilihat dan ditunjukkan dengan kinerja atau produktivitasnya. Menurut Siegal, et al (dalam Sudarso, 2003: 4), pengukuran kinerja
adalah proses penentuan efektivitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi dan karyawan/pengurusnya berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan yang dilakukan secara periodik. Menurut Lynch dan Cross (dalam Yuwono, dkk, 2002: 29), penilaian kinerja yang baik akan memberi manfaat sebagai berikut: 1. Menelusuri kinerja organisasi terhadap harapan pelanggan sehingga dapat membawa organisasi lebih dekat pada pelanggannya dan membuat seluruh orang dalam organisasi terlibat dalam upaya memberi kepuasan pelanggan; 2. Memotivasi pegawai (baca: pengurus) untuk melakukan pelayanan sebagai bagian dari mata rantai pelanggan dan pemasok internal; 3. Mengidentifikasi berbagai pemborosan sekaligus mendorong upaya-upaya pengurangan terhadap pemborosan tersebut (reduction of waste); 4. Membuat suatu tujuan strategis yang biasanya masih kabur menjadi lebih kongkret sehingga mempercepat proses pembelajaran organisasi; 5. Memberi motivasi yang jelas dalam merealisasikan visi dan misi organisasi; 6. Membangun konsensus untuk melakukan suatu perubahan dengan memberi reward atas perilaku yang diharapkan tersebut. Suatu organisasi dinyatakan memiliki kinerja yang baik bila dia berhasil menjalankan tujuan dan mencapai strategi yang ditetapkan (Ganie, 2002: 13). Banyak aspek yang harus diperhatikan dalam menilai kinerja sebuah organisasi, terlebih bagi organisasi publik dan nirlaba. Organisasi publik dan nirlaba menitikberatkan kegiatannya pada misi dan jasa yang mereka sampaikan. Pelayanan jasa sendiri merupakan
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
23
sesuatu yang tidak nyata (intangible) dan sulit untuk diukur dimana masing-masing stakeholders memiliki standar penilaian sendiri. Pelanggan yang menerima jasa dan staf profesional/pengurus yang menyediakan jasa memiliki perbedaan dalam menilai mutu pelayanan. Begitu pula dengan donor sebagai pihak yang menyediakan dana juga memiliki standar penilaian sendiri. Oleh karenanya, bagi organisasi yang bergerak dalam pelayanan jasa publik, manajemen strategis dan perencanaan menjadi sangat berperan untuk menjawab tantangan pengukuran kinerja (Joyce, 1999: 60). Balanced Scorecard merupakan salah satu metode pengukuran kinerja organisasi yang bersifat komprehensif dan strategis. 2. Balanced Scorecard Balanced scorecard yang dikembangkan pertama kali oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton dalam artikelnya di Harvard Business Review terbitan JanuariFebruari 1992 dengan judul ”The Balanced Scorecard – Measures that Drive Performance” adalah salah satu model pengukuran kinerja organisasi dengan dasar pemikiran bahwa saat ini perusahaan/organisasi di seluruh dunia mentransformasikan diri mereka untuk mampu berkompetisi di lingkungan yang kompleks. Untuk itu mereka membutuhkan kerangka kerja dan instrumen yang komprehensif yang dapat mengarahkan mereka kepada keberhasilan kompetitif di masa datang. Instrumen yang mampu menerjemahkan visi dan strategi organisasi ke dalam seperangkat ukuran kinerja yang terpadu dan ke berbagai tujuan dan ukuran yang terukur. Tujuan dan ukuran tersebut dibagi ke dalam empat perspektif, yaitu finansial, pelanggan, proses bisnis internal serta pembelajaran dan pertumbuhan. Diharapkan
24
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
hasilnya dapat memberi informasi tentang faktor yang mendorong keberhasilan saat ini dan yang akan datang (Kaplan and Norton, 1996: 75). Metode balanced scorecard dapat diterapkan pada entitas komersial seperti organisasi swasta (private sector) maupun entitas non-komersial yang berorientasi non-profit seperti instansi atau organisasi pemerintah (public organization) (Kaplan and Norton, 1996: 134), termasuk organisasi Ikatan Pustakawan Indonesia. Namun berbeda dengan organisasi swasta yang berorientasi laba (profit seeking) dimana aspek finansial ditempatkan pada hirarki paling atas dalam penyusunan asli scorecard, maka penyusunan balanced scorecard untuk organisasi publik (non-profit seeking) harus dimodifikasi (re-arranged) arsitekturnya dengan menempatkan misi dan atau tujuan organisasi atau pelanggan pada level paling atas dalam hirarki balanced scorecardnya. Berikut adalah kerangka adaptasi balanced scorecard untuk organisasi publik sebagaimana yang digambarkan oleh Kaplan dan Norton (2000: 135): 3. Organisasi Fokus Strategi Balanced scorecard sebagai sistem manajemen mencakup tiga dimensi yang saling terkait satu sama lain. Ketiga dimensi tersebut adalah strategi, fokus dan organisasi. Strategi merupakan agenda sentral suatu organisasi yang dideskripsikan, dijabarkan dan dikomunikasikan secara berjenjang melalui balanced scorecard. Fokus dengan balanced scorecard merupakan alat navigasi untuk menyelaraskan dan menyerasikan sumber daya dan aktivitas sehingga fokus pada strategi yang telah ditetapkan. Sedangkan organisasi dalam konteks ini merupakan sarana memobilisasi sumber daya manusia
agar bertindak dengan cara yang berbeda secara fundamental. Berikut adalah lima prinsip dasar organisasi fokus strategi menurut Kaplan dan Norton (2000: 1-17): 1. Menerjemahkan strategi ke dalam bentuk-bentuk operasional; 2. Menyelaraskan organisasi dengan strategi; 3. Menjadikan strategi sebagai pekerjaan rutin pegawai; 4. Menjadikan strategi sebagai sebuah proses yang berkesinambungan; 5. Memobilisasi perubahan melalui kepemimpinan eksekutif. 4. Organisasi Pembelajar (Learning Organization) Organisasi pembelajar adalah organisasi yang terus-menerus belajar secara bersama-sama serta terus mentransformasikan dirinya agar dapat mengoleksi, mengelola dan menggunakan pengetahuannya secara lebih baik bagi keberhasilan organisasi tersebut (Sudarso, 2003: 53). Senada dengan definisi di atas, hakekat organisasi pembelajar adalah organisasi yang secara terus-menerus dari waktu ke waktu membentuk siklus belajar sehingga memungkinkan pengembangan keahlian dan kemampuan lebih lanjut bagi organisasi itu sendiri dan bagi para anggotanya. Dengan kata lain, organisasi pembelajar adalah suatu proses pengembangan kemampuan secara terus-menerus oleh organisasi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik (Senge, 2002: 24). Untuk dapat menciptakan masa depan yang lebih baik bagi IPI, saat ini dirasakan sangat mendesak bagi IPI untuk mengevaluasi kinerjanya selama ini dan menjadikannya sebagai organisasi pembelajar yang fokus pada strategi. Terlebih dalam mukadimah AD/ART-nya, IPI telah berikrar untuk bersatu guna bersamasama memberi sumbangan dalam
III. PEMBAHASAN Pembahasan dimulai dengan melakukan operasionalisasi keem pat aspek balanced scorecard sebagai sistem manajemen strategik dalam organisasi IPI dan menjadi variabelvariabel penelitian ini.
pembangunan negara dan bangsa di bidang pendidikan, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Semua itu didorong oleh rasa tanggung jawab untuk ikut serta dalam usaha mencapai tujuan kemerdekaan Indonesia, khususnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang dilandasi pada pengertian, keinsafan dan keyakinan bahwa perpustakaan dengan segala aspek kegiatannya mempunyai fungsi dan peranan penting dalam membangun bangsa dan negara Indonesia (Ikatan Pustakawan Indonesia, 1999: 1).
A. Variabel Kinerja Pelanggan Perspektif utama yang digunakan untuk mengukur kinerja organisasi publik IPI dengan pendekatan balanced scorecard adalah perspektif pelanggan. Perspektif ini memiliki satu indikator, yaitu kepuasan pelanggan atau anggota IPI. Untuk mendapatkan data mengenai indikator ini digunakan teori service quality dari Valerie A. Zeithaml (1990: 26). Menurut Zeithaml, kualitas layanan mencakup lima hal, yaitu: (1) tangibility atau tampilan fisik; (2) reliability atau kapabilitas mewujudkan janji; (3) responsiveness atau kemampuan organisasi dalam memberikan layanan yang cepat dan memuaskan; (4) assurance atau kemampuan organisasi memberikan jaminan pelayanan; (5) empathy, yaitu kemampuan organisasi dalam memahami kebutuhan pelanggan. Untuk mengukur tingkat layanan organisasi, disebarkan kuesioner yang berhubungan dengan kelima kualitas kelompok layanan di atas. Kuesioner
B. Hipotesis Berdasarkan uraian latar belakang masalah, batasan masalah dan landasan teori yang ada, maka hipotesis pembahasan ini adalah: 1. Kinerja organisasi IPI kurang baik sehingga tujuan organisasi belum tercapai; 2. Pelanggan belum merasa puas atas layanan yang diberikan IPI; 3. Proses pertumbuhan dan pembelajaran dalam organisasi IPI belum berjalan; 4. Proses bisnis internal belum berjalan baik; 5. Aspek keuangan perlu diperbaiki pengelolaannya.
”Untuk mencapai visi kita, bagaimana seharusnya kita tampil kepada pelanggan kita ?” ”Untuk memuaskan pelanggan, proses bisnis seperti apa yang harus kita jalankan?”
TUJUAN
PELANGGAN UKURAN TARGET
PROSES BISNIS INTERNAL TUJUAN
UKURAN
TARGET
INITIATIVES
”Untuk berhasil secara finansial, bagaimana seharusnya kita tampil kepada shareholders kita ?”
Visi & Strategi
TUJUAN
berisi pertanyaan-pertanyaan tertutup dengan lima pilihan jawaban, yaitu: sangat tidak puas, tidak puas, hampir puas, puas dan sangat puas. Masingmasing pilihan jawaban memiliki bobot berbeda dimana pilihan pertama memiliki bobot paling rendah dan pilihan kelima memiliki bobot paling tinggi. Jawaban hasil kuesioner dihitung dengan menggunakan skala Likert. Sedangkan untuk mengukur tingkat layanan organisasi, dilakukan dengan menggunakan rumus berikut ini: Tingkat layanan = skor persepsi x 100% organisasi IPI
Langkah yang sama juga diterapkan untuk mengukur kinerja kepuasan pelanggan, yaitu membandingkan skor harapan pelanggan dengan skor persepsi pelanggan terhadap kenyataan layanan yang diterima dari organisasi. Hasil pengukuran tingkat layanan organisasi dan kinerja kepuasan pelanggan akan ditampilkan dalam bentuk tabulasi. B. Variabel Kinerja Proses Bisnis Internal Indikator variabel ini adalah operasi dan inovasi. Kinerja indikator pertama
INITIATIVES
”Untuk mencapai visi, bagaimana kita dapat menjaga kemampuan kita untuk berubah dan bertumbuh ?”
KEUANGAN UKURAN TARGET
skor harapan
PERTUMBUHAN & PEMBELAJARAN TUJUAN
UKURAN
TARGET
INITIATIVES
INITIATIVES
Sumber: Kaplan dan Norton. The Strategy Focused Organization: How Balanced Scorecard Companies Thrive in the New Business Environment, 2000: 134.
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
25
Foto: sxc.hu
sesuai dengan jumlah sampel yang ditetapkan. Jawaban yang diberikan akan ditabulasi dan selanjutnya dengan menggunakan skala Likert akan diketahui sejauh mana tingkat penerapan lima indikator variabel pembelajaran di organisasi IPI.
(operasi) diukur dengan cara membandingkan antara biaya operasional yang dianggarkan IPI dan realisasinya dengan waktu pengerjaan produk, yaitu jasa layanan yang dilakukan IPI. Dalam hal ini akan diukur waktu pengerjaan produk/jasa yang berkaitan dengan lamanya pelayanan. Sedangkan untuk pengerjaan produk/jasa, akan diukur dengan mempergunakan waktu antara proses pengerjaan permintaan layanan dengan waktu pelayanan dilakukan. Dengan membuat perbandingan ini, akan diketahui perbedaan waktunya. Lama pemprosesan permintaan layanan ini akan menjadi tolok ukur kepuasan pelanggan. Untuk mendapatkan data mengenai hal ini, disebarkan kuesioner yang berkaitan dengan aspek kecepatan layanan. Data yang terkumpul akan diukur dengan menggunakan skala Likert dan hasilnya ditampilkan dalam bentuk tabulasi. C. Variabel Pertumbuhan dan Pembelajaran Tujuan dari perspektif ini adalah menyediakan infrastruktur yang memungkinkan visi, misi dan tujuan organisasi dari ketiga perspektif lainnya dapat tercapai. Dengan demikian, variabel ini sangat penting dan menjadi leading factor dalam pengukuran kinerja ini.
26
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
1. Variabel Pertumbuhan Variabel ini memiliki dua indikator, yaitu: (1) tingkat kapabilitas pengurus IPI; (2) kapabilitas sistem informasi untuk menyelaraskan organisasi IPI. Masing-masing indikator dalam variabel ini kemudian diturunkan menjadi indikator-indikator yang lebih detail dan spesifik menjadi sub-variabel sebelum dikembangkan menjadi pertanyaan-pertanyaan terstruktur dalam kuesioner. Hasil kuesioner akan diukur dengan menggunakan skala Likert dan hasilnya ditampilkan dalam bentuk tabulasi. 2. Variabel Pembelajaran Variabel ini memiliki lima indikator, yaitu: (1) tingkat penerapan dinamika belajar; (2) tingkat pembaruan organisasi; (3) tingkat pemberdayaan individu; (4) tingkat mengelola pengetahuan; dan (5) tingkat penerapan teknologi. Masing-masing indikator pembelajaran tersebut selanjutnya diturunkan menjadi pertanyaanpertanyaan dalam kuesioner untuk dijadikan acuan pengukuran. Setiap pertanyaan dalam kuesioner memiliki lima pilihan jawaban, yaitu belum diterapkan, diterapkan pada sebagian organisasi, ditrapkan pada bagian-bagian tertentu organisasi, diterapkan pada sebagian besar organisasi dan terakhir diterapkan secara menyeluruh pada organisasi. Kuesioner tersebut akan disebarkan kepada seluruh stakeholders IPI
D. Variabel Kinerja Keuangan Variabel terakhir ini diperkirakan cukup sulit untuk diukur, namun tetap penting untuk diketahui kinerjanya karena mempengaruhi kinerja organisasi secara keseluruhan. Untuk mengetahui kinerja keuangan organisasi IPI, peneliti dapat menggunakan laporan keuangan IPI yang telah diaudit oleh akuntan publik selama tiga tahun terakhir. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan rasio-rasio keuangan. IV. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pemba hasan di atas, maka dapat diperoleh beberapa kesimpulan yang masih bersifat garis besar. Berikut garis besar kesimpulan analisis kinerja organisasi IPI dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard: 1. Kinerja pelanggan (yang menjadi prioritas utama organisasi IPI) memiliki kinerja sangat baik apabila memiliki nilai skor yang berada dalam range skor tertinggi, begitu pula sebaliknya. Sebelumnya berdasarkan metode penelitian, telah ditentukan skor minimal dan skor tertinggi untuk aspek kinerja pelanggan. Tingkat layanan IPI kepada pelanggannya dikatakan baik apabila tingkat persepsi pelanggan atas layanan IPI memiliki skor rata-rata lebih tinggi dibandingkan skor rata-rata tingkat harapan pelanggan atas layanan IPI, begitu pula sebaliknya; 2. Kinerja proses bisnis internal memiliki kinerja baik apabila skor yang diperoleh mendekati skor
daftarpustaka maksimal yang ditentukan. Kinerja ini memiliki dua aspek, yaitu inovasi dan operasi. Kemampuan inovasi IPI dikatakan baik apabila memiliki skor yang mendekati skor maksimal, yaitu ditandai dengan adanya kebijakan dari pengurus pusat yang mengarahkan pada pengembangan atau kemajuan organisasi. Sedangkan operasional organisasi IPI dikatakan baik bila proses pengerjaan order layanan dengan waktu tindakan yang dilakukan IPI atas order tersebut cukup cepat. Begitu pula sebaliknya; 3. Kinerja pertumbuhan dan pembelajaran organisasi publik IPI dikatakan baik apabila total skor indikatorindikator pertumbuhan dan pembelajaran mendekati total skor maksimal, begitu pula sebaliknya; 4. Kinerja finansial organisasi publik IPI dikatakan baik apabila skor komponen rasio-rasio penilaian keuangan mendekati skor maksimal, begitu pula sebaliknya. B. Saran Berdasarkan temuan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, dapat diberikan beberapa saran bagi peningkatan kinerja organisasi IPI sebagai berikut ini: 1. IPI perlu merumuskan visi, misi dan strategi organisasinya secara tertulis agar dapat menjadi organisasi pembelajar yang fokus pada strategi sehingga mampu eksis dan berkompetisi di masa depan; 2. Guna lebih meningkatkan kinerja aspek pelanggan, dalam hal ini aspek kualitas
layanan dan kepuasan pelanggan, maka sebaiknya IPI lebih memahami, memperhatikan dan lebih responsif terhadap berbagai kebutuhan layanan bagi pustakawan anggota IPI pada khususnya dan pustakawan Indonesia pada umumnya; 3. Perlu adanya prosedur operasional standar bagi pemberian layanan kepada anggota, sehingga layanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan dan dapat terlaksana secara cepat dan efisien; 4. Penerapan organisasi belajar perlu lebih ditingkatkan melalui pengembangan dinamika belajar organisasi, pembaruan organisasi, pemberdayaan individu/ anggota, pengelolaan pengetahuan dan penerapan teknologi; 5. Mengelola keuangan secara lebih baik dan transparan sehignga dapat mendukung gerak operasional organisasi secara berkelanjutan; 6. Agar secara konsisten melakukan evaluasi terhadap kinerja organisasi dari seluruh aspek; 7. Mengkomunikasikan penerapan pengukuran kinerja organisasi dengan pendekatan balanced scorecard secara intensif kepada seluruh pengurus di setiap tingkatannya untuk memberikan motivasi yang jelas dalam merealisasikan visi dan misi organisasi IPI.
Ganie, Ade Siti Chadidjah. 2002. Analisis kinerja British Council Indonesia: menggunakan pendekatan Performa Scorecard. Depok: Universitas Indonesia. Harahap, Basyral Hamidy, J.N.B. Tairas, Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia Periode 1995-1998. 1998. Kiprah pustakawan: seperempat abad Ikatan Pustakawan Indonesia 1973-1998. Jakarta: Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia. Ikatan Pustakawan Indonesia. 1999. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI). Jakarta: IPI. Joyce, Paul. 1999. Strategic management for the public services. Buckingham: Open University Press. Kaplan, Robert S, Norton, David P. 1996. The Balanced scorecard: translating strategy into action. Boston: Harvard Business School Press. ______________. 1996. “Using the Balanced scorecard as a strategic management system”. Harvard Business Review, January-February. ______________. 2000. The Strategy focused organization: how balanced scorecard companies thrive in the new business environment. Boston: Harvard Business School Press. Senge, Peter M et al. 2002. Buku pegangan Disiplin Kelima (The Fifth discipline fieldbook): strategi dan alat-alat untuk membangun organisasi. Jakarta: Interaksara. Sudarso. 2003. Aspek-aspek balanced scorecard pada Asosiasi Pertekstilan Indonesia. Depok: Universitas Indonesia. Sugiono. 1999. Metode penelitian administrasi. Bandung: Alfabeta. Yuwono, Sony, Edi Sukarno, Muhammad Ichsan. 2002. Petunjuk praktis penyusunan Balanced Scorecard menuju organisasi yang berfokus pada strategi. Jakarta: Gramedia. Zeithaml, Valerie A, A. Parasunaman. 1990. Delivering Quality Service. New York: The Free Press Situs Internet: http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op =read&id=ijptuncen-gdl-proc-1988-ac-919 pustakawan diunduh tanggal 3 Juni 2007 http://eprints.rclis.org/archive/00004281/01/IPIardi-otokritik.pdf diunduh tanggal 3 Juni 2007 http://eprints.rclis.org/archive/00008595/01/profprofesi.pdf diunduh tanggal 3 Juni 2007 http://www.blogigo.com/Oky/PustakawanMendambakan-UU-Profesinya/1/ diunduh tanggal 3 Juni 2007 http://www.consal.org.sg/webupload/forums/ attachments/2280.doc diunduh tanggal 3 Juni 2007 http://www.consal.org.sg/webupload/forums/ attachments/2281.doc diunduh tanggal 3 Juni 2007 http://www.ipi.or.id/ diunduh tanggal 3 Juni 2007
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
27
Oleh : Klarensia Naibaho Pustakawan Universitas Indonesia
Meretas Kebuntuan Profesi
Pustakawan Indonesia A. Pengantar Profesi pustakawan sering menimbulkan polemik di tengah masyarakat, bahkan di kalangan pustakawan sendiri. Tak banyak orang yang mengenal dan mengetahui siapa itu pustakawan dan apa pekerjaannya. Masyarakat umumnya tahu bahwa di perpustakaan ada pekerja yang memberikan layanan informasi, namun seringkali mereka tidak tahu siapakah yang disebut pustakawan itu. Bahkan mendengar kata ‘pustakawan’ saja pun mungkin jarang. Hal ini mudah sekali diketahui, tanyakanlah kepada masyarakat umum: ”siapakah yang bekerja di perpustakaan?” Hampir dapat dipastikan, jawabannya adalah: ”petugas perpustakaan, atau karyawan.” Atau coba tanyakan kepada anak-anak yang masih kecil: ’kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?’ Seringkah atau pernahkah Anda mendengar ada anak yang menjawab: ”aku mau jadi pustakawan!” Jawaban yang lazim terdengar adalah: ”aku mau jadi dokter, pilot, pramugari, presiden, guru, artis.” Menjadi pustakawan memang tidak mudah. Selain tidak populer, pekerjaan ini juga ditengarai tidak menjamin kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik. Berbeda jauh dari profesi dokter misalnya. Seorang dokter, sekalipun sedang
28
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
menganggur, tapi apresiasi masyarakat terhadap profesinya tak pernah surut. Mendengar kata: ”dia itu dokter lho”, rasanya orang sudah hormat padanya. Artinya, status sosial seorang dokter, sekalipun dalam kondisi tidak berpenghasilan, tetap lebih layak dan lebih terhormat. Lalu jika dibandingkan dengan profesi guru pun, pustakawan tetap kalah populer. Guru, sekalipun dianggap profesi yang tidak menjamin kehidupan ekonomi yang lebih baik, tapi di mata masyarakat tetap memiliki kesan tersendiri. Masyarakat hormat pada guru. Bahkan menyebutnya sebagai ’pahlawan tanpa tanda jasa’. Banyak juga penghormatan simbolis yang ditujukan kepada guru, seperti hari guru, lagu-lagu untuk guru, dan kata-kata mutiara tentang guru. Pustakawan? Masih jarang terdengar hal-hal seperti itu. (Red: di lingkungan Pustakawan sudah ada Mars Pustakawan, Hari Perpustakaan, Hari kunjung Perpustakaan, Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca, dan Duta Baca). Lalu, di mana sebetulnya letak persoalannya? Mengapa profesi pustakawan tidak sepopuler profesi lain yang notabene sama-sama memberikan layanan kepada masyarakat? Apa yang harus dilakukan oleh pustakawan untuk mendapat pengakuan dari masyarakat bahwa mereka eksis?
B. Profesi Pustakawan Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dsb.) tertentu. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990 : 702). Sedangkan profesional adalah hal-hal yang berkaitan dengan profesi; memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya; mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya (lawan amatir). Pada awalnya pengertian profesionalisme hanya dimonopoli oleh pekerjaan-pekerjaan yang menuntut adanya kemandirian. Artinya tanpa bantuan pihak lain, pekerjaan itu bisa dilakukan oleh seorang profesional. Dalam pengertian ini, maka profesionalisme sering melekat pada diri dokter atau pengacara, karena mereka memiliki keahlian tertentu dan menjalankan pekerjaannya sendiri, tanpa bantuan pihak lain. Para dokter dan pengacara masing-masing membentuk organisasi profesional, yang biasanya disebut asosiasi. Tugasnya, selain untuk meningkatkan kualiatas kerja, juga melakukan pengawasan terhadap kode etik profesi masingmasing. Bidang lain, seperti jurnalis (wartawan), arsitek, akuntan, dalam perkembanganya juga mengembangkan visi profesionalisme seperti yang terjadi
pada profesi dokter dan pengacara. Orang-orang di tiga profesi tersebut juga mengandaikan, bahwa mereka bisa bekerja mandiri tanpa bantuan dan atau terikat dengan pihak lain. Mereka membangun standarisasi kerja dan kode etik profesi melalui organisai asosiasi yang dibentuknya. Seiring dengan perkembangan zaman, di mana masyarakat industri berkembang menjadi semakin kompleks, semakin sulit pula diartikan apa yang disebut dengan pekerjaan mandiri. Demi efisiensi dan efektivitas kerja, orang-orang profesional lebih memilih bekerja secara berkelompok. Para pemilik modal mendirikan perusahaanperusahaan yang memperkerjakan
lembaga yang berwewenang dan memberikan hak kepada orang yang bersangkutan untuk berhubungan dengan klien atau nasabah. Artinya, profesi harus dilandasi oleh jenjang pendidikan tinggi. Profesi tidak diperoleh dari pengalaman. Sudarsono (1991 : 1) menguraikan 4 hal penting mengenai profesi, yaitu: 1) Profesi yang ideal dicirikan dengan memberikan jasa yang amat penting bagi masyarakat 2) Pendidikan dijadikan landasan dalam pencapaian kesuksesan profesi 3) Karena pekerjaan memerlukan spesialisasi, masyarakat mengakui hak profesi untuk memberikan jasa, serta kekuasaan untuk
perorangan yang tinggi, memiliki kode etik yang diakui dan diterima oleh seluruh warganya. Profesi juga dapat dikatakan sebagai panggilan bagi seseorang dan pekerjaan merupakan jalan hidupnya, serta secara sungguh-sungguh memikirkan penampilan dan perkembangan profesinya. Profesi berkaitan dengan pekerjaan profesional, artinya segala pekerjaan yang berkaitan dengan atau merupakan bagian dari profesi (Sulistyo-Basuki, 1991 : 147). Menurut Joseph (1991 : 19) pekerjaan profesional memiliki ciriciri sebagai berikut : 1) Memiliki pengetahuan khusus yang diperoleh melalui pendidikan formal.
kaum profesional. Dan dalam perkembangannya kemudian, para pekerja profesional banyak yang bekerja pada perusahaan-perusahaan tersebut. Menurut Sulistyo-Basuki (1991:147) profesi merupakan sebuah pekerjaan yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari teori dan bukan saja praktik, dan diuji dalam bentuk ujian sebuah universitas atau
menerima anggota baru dengan mengevaluasi serta mengatur penampilan kerja dan perilaku anggotanya, 4) Pekerjaan profesi mencakup pengambilan keputusan dan pemecahan soal yang harus didasarkan pada pengetahuan profesi serta kebutuhan masingmasing pemakai jasa. Artinya : pekerjaan profesi menuntut derajat otonomi
2) Memiliki hak otonomi, yaitu kebebasan untuk menentukan keputusan berdasarkan wewenang atau kepentingan yang dimiliki. 3) Memiliki komitmen yang tinggi dan berminat terus dalam mengembangkan profesi, sehingga ahli pada profesi yang digelutinya. 4) Memiliki tanggungjawab pada etika yang telah ditentukan
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
29
profesi dalam menjalankan tugas. 5) Memiliki tanggungjawab untuk menjalankan dan mempertahankan standar profesi yang berlaku. 6) Memiliki kemampuan bersosialisasi dengan kelompok profesional lainnya. Dari beberapa pernyataan di atas, jelas bahwa profesi harus berlandaskan pada jenjang pendidikan formal dan memiliki etika tertentu yang menjadi panduan dalam menjalankan profesi tersebut. Makna profesi berbeda dengan pekerjaan. Menurut Howsan (dalam Wirawan, 1996 : 1) pekerjaan adalah setiap aktivitas kerja yang menghasilkan imbalan atau tidak berimbalan, sedangkan profesi adalah pekerjaan dalam arti khusus dan dengan persyaratan tertentu. Profesi memerlukan beberapa syarat, yaitu : 1) Profesi merupakan jasa yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi masyarakat (kesejahteraan, kesehatan, keadilan, pendidikan dan sebagainya). 2) Profesi untuk melayani klien (pemakai), yaitu individu dan masyarakat, bukan untuk kepentingan diri profesional. 3) Untuk melaksanakan profesi diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi tertentu, bukan hanya sekedar keterampilan dan pengalaman. Eksistensi tenaga profesional pustakawan telah diakui pemerintah secara resmi dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No.18/MENPAN/1988 tentang Angka Kredit Bagi Jabatan Pustakawan. Para ahli atau pemerhati pustakawan pun secara jelas mengakui eksistensi pustakawan sebagai suatu profesi.
30
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
Benge (1972 : 222) berpendapat bahwa kepustakawanan adalah suatu kata benda yang berarti suatu profesi atau suatu badan ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari atau merupakan aplikasi ilmu pengetahuan terhadap kegiatan praktis. Kegiatan yang tercakup dalam kepustakawanan adalah : 1) Pengumpulan bahan pustaka 2) Pelestarian bahan pustaka 3) Pengorganisasian bahan pustaka 4) Penyebaran sumber informai yang dikandung bahan pustaka Jika ditilik dari segi kualifikasinya pustakawan dibagi menjadi pustakawan profesional, semiprofesional, dan teknisi (Sulistyo-Basuki, 1991 : 151-203). Pustakawan profesional adalah tenaga yang memiliki sertifikat atau diploma setingkat diploma 2 dalam ilmu perpustakaan, sedangkan teknisi merupakan tenaga perpustakaan yang berpendidikan SLTA ke bawah dengan pendidikan kepustakawanan satu tahun atau kurang. Hal senada dinyatakan oleh Tjitropranoto (1995 : 29-30) yang menggambarkan tenaga profesional pustakawan berdasarkan keahlian dan keterampilan dengan ciri sebagai berikut : 1) Mempunyai metodologi, teknik analisis, seta teknik dan prosedur kerja yang didasarkan pada disiplin ilmu pengetahuan dan atau pelatihan teknis tertentu dengan sertifikasi. 2) Memiliki etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi. 3) Dapat disusun dalam suatu jenjang jabatan berdasarkan : tingkat keahlian bagi jabatan fungsional keahlian, tingkat keterampilan bagi jabatan fungsional keterampilan. 4) Pelaksanaan tugas bersifat mandiri. 5) Jabatan fungsional tersebut diperlukan dalam pelaksanaan
tugas pokok dan fungsi organisasi. Menurut Kast (1990), pustakawan termasuk jenis profesi yang mengandung unsur inklusif yaitu jasa profesi yang secara langsung menyentuh semua lapisan masyarakat. Sama dengan dokter, pustakawan berkewajiban melayani kebutuhan informasi semua masyarakat, tanpa memandang status apapun. Senada dengan itu, SulistyoBasuki mendefinisikan profesi pustakawan mempunyai ciri sebagai berikut : 1) Adanya sebuah asosiasi atau organisasi keahlian. 2) Adanya struktur dan pola pendidikan yang jelas. 3) Adanya kode etik. 4) Adanya tingkat kemandirian. 5) Profesi pustakawan berorientasi pada jasa. Maka dapat dikatakan bahwa profesi pustakawan adalah suatu profesi yang menunjukkan tugas, tanggungjawab, wewenang, dan hak pustakawan didasarkan pada keahlian dan atau keterampilan dalam melaksanakan kegiatan perpustakaan, dokumentasi dan infomasi yang bersifat mandiri. Keahlian dan keterampilan di bidang perpustakaan atau kompetensi memadai yang dipersyaratkan di bidang perpustakaan menandakan profesi pustakawan menempati posisi dalam kategori profesi profesional. Menurut Steers (1991 : 180) aspek profesionalitas pustakawan tidak berbeda dengan profesi lainnya dengan tolok ukur sebagai berikut : 1) Keterampilan, kemampuan dan pengetahuan. Keterampilan mengacu pada kualitas penampilan dalam pelaksanaan aktivitas kerja. Kemampuan menunjukkan ketajaman berpikir dalam mengemas dan menyelesaikan pekerjaan
dengan tepat. Pengetahuan berkaitan dengan wawasan di bidang perpustakaan serta bidang lainnya sebagai landasan terciptanya daya kreasi, gagasan atau prinsip-prinsip yang diperlukan dalam pekerjaan. 2) Kedewasaan psikologis, berhubungan dengan kesiapan mental pustakawan dalam menghadapi tugas serta tanggungjawab atas hasil serta konsekuensi pekerjaannya, selalu bersikap terbuka dalam menerima masukan atau kritik yang konstruktif. Sosiolog terkenal Amerika, William J. Goode (1996 : 152) berpendapat bahwa setiap pekerjaan berusaha berkembang menjadi profesi. Akan tetapi pustakawan belum layak menjadi profesi dan tidak akan pernah menjadi profesi karena pustakawan mempunyai kekuasaan yang sangat lemah terhadap kliennya. Berkaitan dengan itu, Putu L. Pendit mengusulkan suatu model kepustakawanan Indonesia dengan melihat kaitannya dengan nilainilai yang dianut suatu masyarakat serta kemampuan masyarakat mengartikulasikan nilai-nilai tersebut (Pendit, 1991 : 4). Sebagai profesi, sebetulnya kepustakawanan mempunyai fungsi tradisional dan fungsi sosial yang bertujuan menopang kehidupan dan perkembangan masyarakat. Fungsi tradisional kepustakawanan berupa fungsi yang melekat pada profesi tersebut yaitu mengumpulkan, memproses, menyimpan dan memberikan layanan bahan pustaka kepada pengguna. Sedangkan fungsi sosial kepustakawanan ialah fungsi yang menopang semua aspek kehidupan dan perkembangan masyarakat. Pada kenyataannya, khususnya di Indonesia fungsi yang pertamalah yang lebih
menonjol. Sedangkan fungsi kedua, yang justru mengandung filosofi kepustakawanan, masih jarang disentuh. Atau bahkan belum dipahami pustakawan sendiri. B. Mencari Akar Permasalahan Sejujurnya tidak banyak perubahan akan kondisi kepustakawanan Indonesia. Sejak jaman orde baru, posisi pustakawan sebagai elemen pelengkap di lembaga mana pun tidak banyak berubah ke arah yang lebih baik. Di Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, pustakawan ’hanyalah’ unsur pendukung. Di sisi lain, pustakawan sendiri seperti tidak peduli dengan eksistensinya. Tidak banyak pustakawan yang memikirkan persoalan-persoalan global dan mendasar di luar rutinitas masing-masing. Pustakawan lebih sibuk dan fokus dengan pekerjaan rutin mereka : memilih koleksi, mengolah koleksi, melayani pengguna, menyebarkan informasi. Hanya segelintir orang yang peduli dengan ’nasib’ pustakawan itu sendiri. Ironisnya, segelintir yang peduli inipun seringkali jusru bukan dari kalangan pustakawan, tapi dari kalangan pengamat perpustakaan atau praktisi di bidang lain yang sering bersentuhan dengan dunia kepustakawanan. Tentu tak dapat disalahkan seratus persen jika pustakawan tidak memiliki fokus perhatian pada pengembangan profesi mereka. Masalahnya, pengembangan profesi merupakan salah satu cara untuk mempertahankan eksistensi suatu profesi. Lihat saja IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Asosiasi ini sangat aktif dalam mengembangkan profesionalisme dokter. Mereka juga melakukan perlindungan terhadap para anggotanya dengan berbagai cara. Mereka fokus menjaga kode etik dan mengembangkan visi profesionalisme dokter melalui
asosiasinya. Dari berbagai literatur atau hasil penelitian terhadap profesi pustakawan, serta melihat kondisi di lapangan, penulis menganggap bahwa persoalan utama pustakawan ada pada diri pustakawan sendiri. Banyak pustakawan tidak yakin dengan profesi yang diembannya. Bahkan mungkin tidak memahami fungsi dan tanggungjawabnya. Rasa percaya diri pustakawan, apalagi jika berhadapan dengan profesi lain, rendah! Itu pula sebabnya, banyak pustakawan yang lebih suka menyebut dirinya “information specialist’, “broker information”, “information provider”, dan sebagainya. Semua upaya ini adalah dalam rangka menegakkan eksistensi pustakawan. Namun di sisi lain, istilah-istilah tersebut justru menenggelamkan istilah ’pustakawan’ itu sendiri. Hal lain yang patut disorot adalah kurangnya pemahaman masyarakat tentang tugas dan tanggungjawab seorang pustakawan. Sangat lazim terdengar bahwa masyarakat menganggap pustakawan adalah petugas yang bekerja di perpustakaan, melayani pengguna yang ingin meminjam buku. Kenapa ini terjadi? Jawabannya cukup jelas: karena masyarakat jarang melihat atau mengetahui pustakawan mengerjakan hal-hal lain di luar itu. Bahkan dalam pelayanan sehari-hari pun jamak terdengar keluhan dari pengguna: ”petugas perpustakaannya tidak profesional!” Pertanyaannya adalah siapa yang paling bertanggungjawab? Faktor berikutnya adalah kebijakan yang tidak berpihak pada pustakawan, baik secara nasional maupun di lembaga. Posisi pustakawan belum memungkinkan untuk memiliki bargaining position yang kuat. Hal ini terlihat jelas
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
31
dalam struktur organisasi di lembaga-lembaga pendidikan atau instansi lain yang menempatkan pustakawan pada posisi di bawah level manajer. Bahkan banyak lembaga yang tidak memunculkan pustakawan dalam struktur organisasinya! C. Asosiasi Saja Tidak Cukup! Pengembangan profesi memang efektif dilakukan melalui pembentukan asosiasi. Seperti halnya komunitas dokter, IDI sangat berperan dalam melanggengkan profesi dokter. Namun asosiasi saja tidaklah cukup. Berbicara tentang asosiasi, sesungguhnya berbicara tentang orang-orangnya juga. Sebuah asosiasi akan eksis jika orang-orangnya memiliki komitmen yang tinggi terhadap profesinya. Saat ini, pustakawan Indonesia memiliki banyak organisasi kepustakawanan. IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia) dan ISIPII (Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia), hanyalah dua contoh organisasi profesi pustakawan yang ada. Namun harus diakui bahwa ke dua asosiasi tersebut belum berbuat banyak untuk pustakawan Indonesia. Carut marut kepengurusan dan kurangnya komitmen pustakawan sendiri justru menjadi persoalan utama. Di sisi lain, banyak pustakawan yang menaruh harapan pada asosiasi tersebut. Tapi menaruh harapan saja takkan pernah menyelesaikan masalah, jika tidak terlibat langsung mewujudkan harapan itu. Adalah mustahil jika hanya menggantungkan harapan pada orang lain tanpa memiliki kontribusi untuk mewujudkan harapan tersebut. D. Apa yang dapat dilakukan? Sesungguhnya banyak hal yang dapat dilakukan oleh pustakawan Indonesia untuk memperkuat
32
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
eksistensinya di tengah-tengah profesi lain. Beberapa hal mendasar yang perlu disadari adalah sebagai berikut : 1) Visi kepustakawanan. Setiap pustakawan idealnya memahami visi kepustakawanan Indonesia, sehingga dalam mengerjakan pekerjaannya, pustakawan yakin betul bahwa apa yang dilakukannya adalah untuk mencapai visi itu. 2) Fungsi sosial pustakawan. Adalah keliru jika mengatakan pekerjaan pustakawan hanya berkaitan dengan hal-hal teknis. Fungsi sosial kepustakawanan sebagai fungsi yang menopang semua aspek kehidupan dan perkembangan masyarakat seharusnya menjadi fokus pengembangan pustakawan sehingga masyarakat dapat melihat langsung peran pustakawan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu pustakawan harus menyadari bahwa setiap komponen pekerjaan dan layanan yang ada di perpustakaan harus ditujukan untuk mendukung pencapaian kualitas hidup masyarakat yang lebih baik. Perpustakaan harus dapat menjadi tempat di mana tercipta pemelajar seumur hidup. Kompetensi yang dibutuhkan untuk ini berkaitan dengan pemahaman akan budaya dan nilai-nilai sosial masyarakat. Pustakawan adalah budayawan! 3) Sifat pekerjaan pustakawan. Pekerjaan pustakawan tergolong pekerjaan altruisme, yaitu pekerjaan yang lebih mementingkan kepentingan orang lain. Sifat ini menuntut adanya ciri ’jiwa melayani’ pada pustakawan serta memiliki empati yang tinggi. Kompetensi
yang dibutuhkan untuk ini menyangkut kemampuan berkomunikasi yang efektif, pengenalan berbagai karakter manusia dan komitmen yang tinggi untuk membantu orang lain. E. Darimana Harus Diawali? Ke tiga faktor di atas dapat diretas sejak dini di bangku sekolah atau kuliah, khususnya di program studi perpustakaan. Kurikulum di bidang perpustakaan harus diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki visi kepustakawanan Indonesia, memahami fungsi sosial dan sifat pekerjaan pustakawan. Saat ini, ke tiga hal ini justru baru disadari ketika pustakawan sudah hampir pensiun! Selain melalui jalur pendidikan formal, ke tiga aspek tersebut di atas juga dapat diberikan dalam materi pelatihan atau program Pendidikan dan Pelatihan (DIKLAT) yang dikelola oleh Perpustakaan Nasional RI juga dapat mengembangkan suatu program yang bersifat sustainable yang bertujuan membentuk pustakawan yang memiliki visi, fungsi sosial dan sifat altruisme, misalnya melalui program bimbingan langsung atau melalui buku-buku. Hal ini dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan asosiasi, lembaga pendidikan dan perpustakaan umum daerah. F. Siapa yang Harus Memulai? Tanggungjawab kepustakawanan tetap ada pada pustakawan. Adalah tidak fair jika pustakawan hanya mengandalkan ’kebaikan’ pemerintah dalam mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapinya. Sejarah kepustakawanan memang tidak lepas dari kepentingankepentingan politis pemerintah,
tapi bahwa kepustakawanan Indonesia tumbuh dan berakar di tengah-tengah masyarakat, adalah suatu kenyataan yang tidak perlu disangkal. Pengembangan kurikulum tentu menjadi tanggungjawab lembaga pendidikan khususnya perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi. Di tengah-tengah derasnya perkembangan ilmu, lembaga penyelenggara pendidikan ilmu perpustakaan harus lebih proaktif dan peka terhadap tuntutan masyarakat. Bukan saatnya lagi ’sembunyi’ dari dunia luar dan berkutat di ruang kuliah, mencetak para sarjana perpustakaan yang hanya mengerti cara mengkatalog koleksi! (kompetensi akademis). Kemampuan teknis pustakawan tetap diperlukan, namun harus disadari bahwa dalam kenyataannya keterampilan tersebut dapat dilakukan orang lain dalam jangka waktu relatif singkat. Lulusan sekolah perpustakaan harus memiliki keunggulan atau kelebihan lain di luar katalogisasi yaitu kompetensi personal. Di samping lembaga pendidikan, sesungguhnya Perpustakaan Nasional RI menduduki posisi sangat strategis. Dengan dukungan dana dan ’power’ yang dimilikinya, Perpustakaan Nasional RI dapat berbuat banyak untuk memperkuat eksistensi pustakawan dalam kancah kepentingan nasional bangsa. Menjalin kerjasama dengan departemen terkait, seperti Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Komunikasi dan Informatika, serta lembagalembaga lain, memungkinkan Perpustakaan Nasional RI membuka jalur hubungan komunikasi yang lebih intens dengan para pengambil kebijakan. Perpustakan Nasional RI seharusnya tidak hanya
berkutat dengan urusan-urusan atau kegiatan-kegiatan bersifat rutin di perpustakaan, namun lebih fokus pada pembentukan visi kepustakawanan dan pencapaiannya. Perpustakaan Nasional RI harus membuka ’jalan’ bagi asosiasi pustakawan dan para pustakawan untuk lebih mengembangkan diri. Membuka program beasiswa pada pustakawan yang kompeten, atau memberikan insentif untuk kegiatan yang bersifat kajian dan penelitian di bidang kepustakawanan, adalah beberapa contoh kecil yang seharusnya dapat dilakukan oleh Perpustakan Nasional RI. (Red: Perpustakaan Nasional RI menyediakan anggaran bagi Pustakawan yang akan melakukan kajian atau penelitian di bidang kepustakawanan melalui hibah kompetitif ). G. Penutup Profesi pustakawan Indonesia hanya akan eksis jika dilakukan oleh sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang tepat. Di bidang apapun, kualitas SDM selalu menjadi penentu tak terkecuali pustakawan. Asosiasi pustakawan perlu mempertimbangkan jenjang pendidikan sebagai persyaratan menjadi seorang pustakawan. Asosiasi juga harus memberi peluang dan kesempatan bagi para generasi yang lebih muda untuk mengembangkan profesi kepustakawanan sesuai visi yang ditetapkan. Para pustakawan sendiri harus memiliki pemahaman mengenai kepustakawanan Indonesia dan perannya sebagai anggota profesi pustakawan. Satu hal yang tidak kalah penting adalah profesi atau asosiasi apapun, sangat penting menjalin hubungan dengan profesi atau asosiasi lain. Pustakawan misalnya, dapat menjalin hubungan baik dengan
para ilmuwan, pengembangan teknologi perpustakaan dan kalangan pengguna. Demikian juga asosiasi. Kiprah pustakawan Indonesia belum terlihat nyata di tengahtengah masyarakat, apalagi di dunia internasional. Adalah tugas dan tanggungjawab semua pustakawan Indonesia untuk mengurai kebuntuan yang dialami profesi pustakawan saat ini, sehingga di masa depan pustakawan diakui sebagai salah satu komponen utama dalam pembentukan masyarakat pemelajar seumur hidup. Semuanya kembali kepada pustakawan. Siapkah Anda....?
daftarpustaka Benge, Ronald C. 1972. Libraries and Cultural Change. USA : The Shoe String Press. Goode, William J. 1996. The Librarian: from Occupation to Profession: Teachers, Nurse, Social Worker. New York : The Free Press. Kast, Fremont E. 1990. Organisasi dan Manajemen. Jakarta : Bumi Aksara. Pendit, Putu Laxman. 1991. Kelompok Profesional atau Gerombolan Tukang? Majalah Perpustakaan & Informasi, 1(1): 3-5. Steers, Richard M. and Porter, Lyman W. 1991. Motivation and Work Behavior. New York: McGraw-Hill. Sudarsono, Blasius. 1994. Peran Pustakawan dalam Pembangunan Nasional Indonesia. Majalah Ikatan Pustakawan Indonesia. Vol. 16, Nomor 1-2. Sulistyo-Basuki. 1991. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta : Gramedia. Tjitropranoto, Prabowo. 1995. Kriteria Sumber Daya Manusia di Perpustakaan. Jurnal Perpustakaan Pertanian. Vol. IV (2). Wirawan. 1996. Profesi Pustakawan Indonesia dalam Era Globalisasi. Makalah pada Semiloka Perpustakaan Lembaga Pendidikan Tinggi Swasta 11-14 Nopember 1996 di Jakarta.
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
33
Oleh : Muhammad Muhtar Arifin Sholeh
Dosen di UNISSULA Semarang, Mantan Kepala UPT Perpustakaan UNISSULA, Sedang studi S-3 di Information School, University of Sheffield, United Kingdom
Pengembangan Kepustakawanan Indonesia :
Bagaimana Seharusnya? I. PENDAHULUAN Kecenderungan masyarakat sekarang adalah membentuk pola hidup masa kini dan masa depan. Kecenderungan itu adalah pergeseran dari ekonomi industri ke ekonomi informasi. Dalam ekonomi industri, kapital merupakan sumber yang sangat strategis; sedangkan dalam ekonomi informasi, sumber yang paling strategis adalah informasi itu sendiri. Pada era global, informasi menjadi kekuatan yang harus diperhitungkan. Mereka yang dapat menguasai ekonomi informasi akan menjadi pemenang dalam persaingan hidup. Misalnya, informasi yang disebarluaskan surat kabar dapat memberi kekuatan masyarakat untuk semakin peka terhadap lingkungan, semakin kritis terhadap fenomena sosial, dan semakin waspada terhadap penyimpangan pembangunan. Pergeseran pola hidup tersebut menunjukkan bahwa saat ini masyarakat, khususnya masyarakat kampus, telah menjadi masyarakat informasi (Information society). Information society ditandai dengan kesadaran masyarakat tentang nilai informasi (information awareness), ledakan jumlah informasi (information bombing), kebutuhan informasi (information need), dan cara-cara efektif - efisien dalam melacak informasi (information retrieval). Information awareness dapat dilihat di mana berbagai
34
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
tempat para anggota masyarakat membaca koran/majalah, dan di warnet-warnet (warung internet) mereka mencari informasi lewat internet. Information bombing dapat diketahui dengan semakin marak penerbitan buku, koran, majalah, tabloid, dsb., dan menjamurnya internet yang menyediakan samudra informasi yang begitu luas. Information need seseorang didasarkan pada kebutuhan (kepentingan) dan keahlian (keilmuan)-nya. Information retrieval harus dilakukan secara efektif dan efisien karena ledakan informasi yang dahsyat dan meluas. Tingkat ”melek huruf” di Indonesia yang memang membanggakan menunjukkan betapa besar usaha pemerintah maupun masyarakat untuk mewujudkan masyarakat Indonesia menjadi educated society (masyarakat terdidik), yaitu masyarakat yang telah dewasa dalam berpikir, bertingkah, dan berperasaan secara ilmiah (berdasar ilmu). Walaupun pemerintah telah mencanangkan bulan September sebagai Bulan Gemar Membaca, bulan Mei sebagai Bulan Buku Nasional, dan tanggal 14 September sebagai Hari Kunjung Perpustakaan, kebanggaan itu belum didukung dengan baik, yaitu masyarakat belum mendukung dengan memperkuat budaya baca (reading culture), padahal reading culture merupakan salah satu
indikator kemajuan suatu bangsa. Mayoritas warga bangsa Indonesia adalah muslim. Bangsa Indonesia seharusnya mempunyai reading culture yang kuat karena agama Islam sangat mendorong budaya baca, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran berikut :
Artinya : Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan (1) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (3) Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (4) Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (5) (QS. al-Alaq 96:1-5). Walaupun tingkat “melek huruf” di Indonesia membanggakan, tingkat
kebiasaan membaca (reading habits) warga bangsa ini masih sangat memprihatinkan. Keprihatinan ini karena ; budaya lisan (oral culture) yang masih kuat ; buku yang kalah bersaing dengan televisi, video, atau film ; Jumlah buku yang diterbitkan tiap tahun yang relatif sedikit (Taryadi -1995- menyebutkan bahwa jumlah buku yang diterbitkan tiap tahun di Indonesia sekitar 5000 buku, padahal di Jepang dapat mencapai 100.000 buku per-tahun) ; Sistem pendidikan di Indonesia yang kurang mendukung reading culture; motivasi berprestasi dan rasa ingin tahu (curiousity) yang rendah ; dan daya beli buku yang rendah karena kemiskinan akibat banyak koruptor. Karena reading culture merupakan salah satu indikator kemajuan suatu bangsa, budaya baca yang rendah menyebabkan kualitas SDM (sumber daya manusia) yang rendah pula. Selain budaya baca yang rendah dan jumlah terbitan buku yang sedikit, permasalahan kepustakawanan di Indonesia adalah pustakawan merupakan profesi yang kurang diminati, terbatasnya kualitas dan kuantitas pustakawan, dan bahkan ada kesan bahwa perpustakaan merupakan tempat “pembuangan” pegawai yang tidak terpakai. Problema inilah yang dihadapi oleh kepustakawanan Indonesia yang harus terus berkembang untuk mengatasi problema tersebut. Bagaimana seharusnya kepustakawanan Indonesia dikembangkan ?
sifat pustaka, pola perpustakaan, dan karakter pustakawan. Bagian penting dalam librarianship adalah sifat pustaka, yang menjadi bahan olahan pekerjaan para pustakawan. Pustakawan harus memperhatikan sifat (kriteria) bahan pustaka (buku, jurnal, majalah, koran, dan sebagainya) yang dibutuhkan oleh para pemakai perpustakaan seperti siswa, guru, mahasiswa, dosen, peneliti, dan sebagainya. Peranan bahan pustaka dalam kehidupan masyarakat tidak diragukan lagi. Ia berperan sebagai media (perantara), properti (kekayaan), pencipta suasana, dan sebagai sumber untuk memperkaya diri. Ia dapat mengarahkan, mendorong, mengajak, dan memberi pandangan serta penilaian terhadap sesuatu hal. Bahan pustaka adalah kekayaan yang sangat berharga, yang tidak ternilai, karena merupakan sumber ilmu pengetahuan. Ia bisa menciptakan suasana akrab sehingga mampu mempengaruhi perkembangan dan karakter seseorang menjadi baik. Ia mampu mendorong kreatifitas, bahkan dapat menjadi sumber kreatifitas, yang tentunya dengan banyak membacanya. Tidak semua bahan pustaka menyenangkan. Dengan kata lain, ada orang yang baru membaca judulnya saja sudah tidak tertarik, tetapi juga ada orang yang mampu membaca berlembar-lembar
bahkan berbuku-buku. Memang ada beberapa faktor penentu apakah suatu buku itu baik, menarik, dan tepat atau tidak. Faktor-faktor tersebut antara lain faktor usia, minat (kebutuhan), kemampuan (ilmu, keterampilan), bisnis, dan penampilan bahan pustaka. Namun demikian, faktor yang paling menentukan adalah faktor minat dan kemampuan pemakai bahan pustaka tersebut. Walaupun begitu, bagi anak-anak (khususnya usia dini) penampilan bahan pustaka (warna cerah, gambar indah, tata letak yang artstik) biasanya menjadi perhatian utama. Pola perpustakaan ialah model perpustakaan yang mencakup model gedung / bangunan, model pengolahan koleksi, dan model pelayanannya. Model bangunan perpustakaan hendaknya memperhatikan, misalnya ; ukuran bangunan yang proporsional terhadap jumlah koleksi dan pemakai; fungsi-fungsi ruang untuk pengolahan dan pelayanan koleksi; penerangan ruangan yang cukup; unsur keindahan dan keamanan. Model pengolahan koleksi dapat dilakukan secara manual atau elektronik. Model pelayanan dilakukan secara terbuka (open service system), artinya pemakai bebas mencari senddir koleksi yang dinginkan, dan atau secara tertutup (close service system), yatu pemakai tidak bebas mencari koleksi tetapi
II. PARADIGMA KEPUSTAKAWANAN Menurut Pocket Oxford Dictionary (1992:645), kata paradigm (paradigma) secara etmologis berarti berarti example (contoh) atau pattern (pola); Sedangkan dalam Kamus Inggris Indonesia (2003:417), kata tersebut berarti model atau pola. Kata librarianship (kepustakawanan) adalah kata benda (noun) yang berasal dari kata librarian (pustakawan) dan akhiran ship. Akhiran ship dalam bahasa Inggris menunjukkan sifat atau karakter sesuatu yang menunjukkan model (pola)-nya, termasuk karakternya. Paradigma kepustakawanan meliputi
Foto: sxc.hu
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
35
dibantu oleh staf perpustakaan. Karakter pustakawan dapat dilihat dari peranannya. Dalam tulisan berjudul the Library Profession and the Intemet : Implications and Scenarios for Change (1997), June Abbas menyatakan beberapa peran pustakawan sebagai gerbang baik menuju masa depan maupun masa lalu, yaitu ; sebagai guru atau yang memberdayakan ; sebagai pengelola pengetahuan ; sebagai pengorganisasi jaringan sumber daya informasi ; sebagai penyokong pengembangan kebijakan informasi ; sebagai rekan kerja masyarakat ; sebagai mitra kerja sama dengan penyedia jasa teknologi ; sebagai teknisi perpustakaan ; dan sebagai konsultan informasi. Pustakawan hendaknya mempunyai karakter bagus yang menunjukkan good PERSONALITY, yang merupakan singkatan dari ; - P : Pleasant (menyenangkan, menyedapkan, menyegarkan) - E : Eager (berkeinginan besar untuk berkembang dan berprestasi) - R : Respect (rasa hormat dan menjaga kehormatan terhadap siapa pun) - S : Sense of responsibility (rasa tanggung jawab besar terhadap tugas) - O : Objective (obyektif, apa adanya, jujur) - N : Neat (rapi dan bersih dalam kerja dan penampilan) - A : Accurate (akurat, tepat dalam pikiran dan perhitungan) - L : Loyal (setia terhadap pekerjaan dan tempat kerja) - I : Intellectual (pandai, cerdas, kuat ingatan, pikiran kreatif ) - T : Taft (keras dalam bekerja, tangguh dalam usaha) - Y : Youthful (berjiwa muda, giat, rasa ingin tahu tinggi, dinamis) Dari sisi latar pendidikan formal, kebanyakan pustakawan Indonesia masih berpendidikan diploma (D3 atau D2), namun sebagian S1, dan sangat sedikit mereka yang berpendidikan S2, dan S3 masih langka. Di Amerika dan Kanada seorang pustakawan biasanya berpendidikan master degree (S2),
36
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
sedangkan di Inggris pendidikan mereka biasanya bachelor degree(S1) atau master degree (S2). Dalam Wikipedia Encyclopedia (dapat diakses di internet) dinyatakan : In the United States and Canada, a librarian normally has a one or two-year master’s degree in library and information science, library science or information science (called an MLS, MALIS, MSLS, MIS, MS-LIS, MISt, MLIS, or MILS) from an accredited university. In the United Kingdom and some other countries, a librarian can have a three- or fouryear bachelor’s degree in library and information studies or information science; separate master’s degrees in librarianship, archive management, and records management are also available. III. KEILMUAN PUSTAKAWAN Dalam Kitab Suci al-Quran disebutkan,
Artnya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya; Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. al-Israa’ 17:36). Inti ayat ini adalah bahwa orang yang melakukan atau mengikuti sesuatu harus memahami apa yang dilakukan atau diikutinya itu. Dengan kata lain, seseorang harus mempunyai ilmu tentang apa yang dilakukan atau diikuti. Ilmu (berilmu) sebenarnya merupakan inti profesionalisme dan disiplin dalam dunia akademik. Seorang pustakawan yang tentunya bekerja di perpustakaan harus mempunyai ilmu-ilmu tentang apa yang dikerjakan di tempat kerjanya. Ilmuilmu bagi pustakawan tersebut
dikatakan sebagai five main sciences of librarianship (FMSL – baca ef-emes-el), yang dijelaskan pada bagian berikut. A. Ilmu Nila-nilai ( Value Science) Nilai adalah standar kualitas sesuatu yang menunjukkan baikburuk, benar-salah, halal-haram, sopan-sitak sopan, dan sebagainya. Pustakawan hendaknya benarbenar menghayati, memahami, dan mengamalkan nila-nilai agama, nilai-nilai moralitas masyarakat, dan nilai-nilai hukum yang berlaku di negaranya. Nilai-nilai kemanusiaan harus dijunjung tinggi, seperti nilai kebenaran, keadilan, dan nilai keindahan. Mereka harus taat beribadah, beriman kuat, dan berbudi luhur (akhlaqul-karimah). Dalam hal ini motivasi yang tinggi komunkasi yang baik harus diwujudkan. Tujuan utama ilmu nilainilai ini adalah agar manusia menjadi berbudi luhur (akhlaqul-karimah).
B. Ilmu Informasi ( Information Science ) Ilmu informasi (information science) yang harus dikuasai oleh para pustakawan mencakup konsep informasi, jenis informasi, kualitas informasi, sumber informasi, dan manajemen informasi. Tujuan utama ilmu ini adalah agar pustakawan mempunyai pengetahuan luas tentang informasi dan kesadaran informasi yang tinggi. Selain itu, mereka harus mampu mengevaluasi / menilai kualitas informasi, benar atau salah, bermanfaat atau tidak. C. Ilmu Perpustakaan ( Library Science ) Ilmu perpustakaan (library science) adalah ilmu yang mempelajari tentang konsep perpustakaan, jenis perpustakaan, fungsi perpustakaan, manajemen perpustakaan, dan pelayanan perpustakaan. Tujuan
utama ilmu perpustakaan adalah agar pustakawan mempunyai wawasan yang luas tentang perpustakaan dan keterampilan kerja yang baik di perpustakaan, baik di bagian pengolahan maupun pelayanan koleksi. D. Ilmu Bahasa Inggris ( English Science) Karena tuntutan jaman, pengetahuan dan keterampilan berbahasa Inggris bagi pustakawan menjadi keharusan. Reading comprehension (pemahaman bacaan), dengan penguasaan kosa kata (vocabulary) yang kuat, penerjemahan (translation) yang baik, dan pemahaman tata bahasa (grammar; phrase, clause, sentence) yang mendalam, merupakan bagian utama bahasa Inggris yang harus dikuasai oleh pustakawan. Walaupun demikian, keterampilan menulis (writing), berbicara (speaking), dan mendengar (listening) dalam bahasa Inggris menjadi tuntutan yang sangat perlu. Bagi pustakawan kemampuan berbahasa Inggris ini sangat penting untuk memperlancar kerjanya, seperti dalam pengolahan koleksi, untuk melacak informasi di internet, dan untuk berkomunikasi di dunia internasonal. E. Ilmu Teknologi InformasiKomunikasi ( ICT Science) ICT (information-communicaton technology) yang harus dikuasai secara teori maupun praktik oleh pustakawan adalah tentang microsoft word (untuk mengetik), microsoft excel (untuk membuat tabel penghitungan), microsoft power point (untuk membuat bahan presentasi), dan internet (browsing, e-mail). Pustakawan juga harus terampil melacak informasi secara online seperti browsing di internet atau di CD-ROM (compact disc read only memory). Selain itu, pustakawan juga harus mampu mengoperasionalisasikan program otomasi perpustakaan (library software) di tempat kerjanya. IV. PRAKTEK KEPUSTAKAWANAN A. Akuisisi (Acquisition) Akuisisi adalah proses masuknya koleksi ke perpustakaan. Proses ini
mencakup identifikasi kebutuhan pemakai, seleksi daftar koleksi, pemesanan koleksi, pembayaran, dan pengirman koleksi pesanan. Proses akuisisi dapat dilakukan secara online atau offline (manual). Online acquisition menuntut jaringan internet di perpustakaan dan di penerbit (percetakan), dan juga menuntut kesiapan pustakawan untuk mengoperasionalkannya. B. Inventarisasi (Inventarisation) Inventarisasi adalah proses pencatatan koleksi perpustakaan yang berupa identitas buku (catatan bibliografis) atau koleksi lain ke dalam buku induk perpustakaan yang mencakup pencatatan nomor aksesi, tanggal pencatatan, judul, pengarang, penerbit (nama dan tempat), dan tahun terbit. Setiap item (eksemplar) koleksi nomer aksesi tersendiri (unique). C. Klasifikasi (Classification) Klasifikasi adalah pengelompokan yang sistematis dari sejumlah obyek, gagasan, buku, atau benda-benda lain ke dalam kelas atau golongan tertentu berdasarkan ciri-ciri yang sama. Dalam pekerjaan ini bahan pustaka diklasifikasi dengan pedoman yang standar seperti Dewey Decimal Classification (DDC). Bahan pustakan dapat juga digolongankan dengan berdasar pada ciri tertentu seperti isi (subyek), bentuk phisik, dan penggunaan bahan pustaka. D. Katalogisasi (Cataloguing) Katalogisasi adalah proses pembuatan katalog, baik katalog judul, pengarang, maupun, subyek. Katalog biasanya berbentuk kartu, lalu kartu ini dimasukkan dalam kotak sehingga disebut kotak katalog; Namun katalog dapat juga merupakan katalog elektronik, atau disebut OPAC (Online Public Access Catalogue). E. Labelisasi (Labeling) Labelisasi adalah proses penempelan nomor klasifikasi (Dewey Decimal Classification - DDC misalnya) pada buku dan pembuatan slip / kartu kontrol. Pekerjaan yang terkait dengan labelisasi adalah
penyampulan buku dan perbaikan buku yang rusak. F. Pelestarian Koleksi (Preservation of collection) Pelestarian koleksi ialah upaya untuk menjaga keteraturan penempatan koleksi perpustakaan agar mudah ditemukan kembali, memperkecil kerusakan, dan memperpanjang usia bahan pustaka. Kegiatan ini meliputi menata, melindungi, memelihara, dan mengawetkan atau mereproduksi kembali bahan pustaka di perpustakaan. G. Pelayanan Informasi (Information Service) Kegiatan pelayanan informasi dalam praktek kepustakawanan meliputi pelayanan sirkulasi, pelayanan rujukan, pelayanan perpustakaan keliling, pelayanan pandang dengar, penyediaan bahan pustaka, penelusuran literatur, bimbingan membaca, bimbingan pemakai perpustakaan, pembinaan kelompok pembaca, penyebaran informasi terbaru / cepat / terseleksi, pembuatan analisis kepustakaan, pelayanan cerita kepada anak, dan pelayanan statistik. Hal-hal yang terkait dengan pelayanan koleksi perpustakaan adalah jenis-jenis pelayanan, sikap pelayanan, metode pelayanan, dan dampak pelayanan. Jenis-jenis pelayanan di perpustakaan antara lain adalah pelayanan peminjaman, baca di tempat, temu balik informasi, konsultasi pemakai (reader adviser), photo kopi, akses internet / CD-ROM, akses audio-visual, dan sebagainya. Pelayanan yang lebih variatif akan lebih disenangi oleh para pemakai perpustakaan, misalnya variasi dalam judul koleksi buku, variasi dalam koleksi CD ROM, dan sebagainya. Sikap pelayanan akan sangat menentukan apakah para pemakai perpustakaan puas atau tidak. Sikap pelayanan yang dipenuhi dengan senyum, sapa, salam, sopan, dan santun akan sangat menyenangkan dan memuaskan para pemakai perpustakaan. Para pustakawanan hendaknya menghindari sikap pelayanan yang cemberut, cuek,
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
37
egois, marah, sombong, dan tidak jujur. Sifat-sifat buruk itulah yang akan menghancurkan perpustakaan. H. Temu Balik Informasi (Information Retrieval ) Temu balik informasi merupakan istilah umum yang yang mengacu pada temu balik dokumen atau sumber data dari fakta yang dimiliki oleh unit informasi. Temu Balik Informasi meliputi sejumlah kegiatan yang bertujuan menyediakan dan memasok informasi bagi pemakai sebagai jawaban atas permintaan pemakai (Sulistyo-Basuki, 1992). Sistem temu balik informasi adalah proses yang berhubungan dengan representasi, penyimpanan, pencarian, dan pemanggilan informasi yang relevan dengan kebutuhan informasi yang diinginkan pemakai. Information Retrieval merupakan suatu proses yang dilakukan untuk menemukan dokumen yang sesuai dengan kebutuhan informasi pemakai secara efektif dan efisien, baik secara manual maupun online, sehingga dapat memberikan kepuasan baginya. Informaton retrieval harus dilakukan secara efektif dan efisien karena ledakan informasi yang dahsyat dan meluas. I. Promosi Perpustakaan dan Budaya Baca (Library and Reading Culture Promotion) Promosi perpustakaan dan budaya baca adalah upaya memperkenalkan sistem perpustakaan yang meliputi koleksi, kegiatan, dan sarana pra sarana perpustakaan, dan upaya membangun kebiasaan membaca (reading habits) sehingga membudaya (reading culture). Tujuan promosi ini adalah: Mendorong masyarakat untuk berkunjung dan memanfaatkan perpustakaan ; Mengenalkan kepada masyarakat tentang kegiatan perpustakaan, fasilitas, tujuan dan fungsi perpustakaan ; Menciptakan terobosan-terobosan baru untuk memajukan perpustakaan.; dan Meningkatkan minat baca, budaya baca masyarakat, dan mendidik belajar sepanjang masa.
38
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
J. Komunikasi (Communication) Komunikasi merupakan proses pertukaran informasi antara satu orang dengan orang lain dengan menggunakan media tertentu, agar pada gilirannya mereka saling mengerti tentang apa yang dimaksud. Dalam konteks ini komunikasi yang dimaksud adalah komunkasi antara para pustakawan dengan pemakai perpustakaan secara khusus dan dengan masyarakat secara umum, termasuk dengan rekan sekerja. Dalam hal ini, pustakawan harus mempunyai rasa empati, tulus-ikhlas, siap membantu, percaya diri, jujur, bahasa yang jelas, sopan-santun, ramah, dan rasa hormat. V. APLIKASI TEKNOLOGI INFORMASI-KOMUNIKASI Saat ini banyak lembagalembaga di berbagai bidang berinvestasi dalam TIK (teknologi informasi komunikasi). Mengapa mereka berinvestasi TIK ? Zorkoczy menjawabnya sebagai berikut (Zorkoczy, 1990:55) : 1. Memperoleh keunggulan kompetitif (to gain competitive advantage) 2. Meningkatkan produktifitas dan penampilan (to improve productivity and performance) 3. Memfasilitasi cara baru dalam mengatur dan mengorgansir (to facilitate new ways of managing and organizing) 4. Mengembangkan bisnis (urusan) yang baru (to develop new business) Apa yang dimaksud dengan TIK ? Martin (1988) mendefinisikan Teknologi Informasi Komunikasi sebagai berikut : Information technology is the acquisition, processing, storage, dissemination, and use of vocal, pictorial, textual, and numerical information by a microelectronicsbased combination of computing and telecommunication (Martin, 1988:24) – (teknologi informasi adalah akuisisi, pemrosesan, penyimpanan, penyebaran, dan penggunaan informasi angka, teks, gambar, dan informasi suara, dengan menggunakan kombinasi computer
dan telekomunikasi yang berbasis mikrielektronik). Aplikasi teknologi informasikomunikasi meliputi seluruh fungsi perpustakaan, yaitu acquisition, inventarisation, classification, catalogisation, circulation, dan OPAC (Online Public Access Catalogue. Teknologi informasi-komunikasi juga dapat menghubungkan perpustakaan dengan dunia luar perpustakaan yang berupa faksimil, telepon, televisi, dan komputer. Dalam Wikipedia Encyclopedia (dapat diakses di internet) dinyatakan : The increasing role of technology in libraries has a significant impact on the changing roles of librarians. New technologies are dramatically increasing the accessibility of information, and librarians are adapting to the evolving needs of users that emerge from the adoption of these new technologies. The most significant example of how technology has changed the role of librarians in the last 50 years has been the move from traditional card catalogs to online public access catalogs (OPACs). Pertimbangan untuk aplikasi teknologi informasi-komunikasi di perpustakaan adalah sebagai berikut: 1. Pertimbangan kebutuhan dan kemanfaatan 2. Pertimbangan finansial (dana, biaya) 3. Pertimbangan brainware (sumber daya manusia) 4. Pertimbangan hardware (perangkat keras) 5. Pertimbangan software (perangkat lunak) 6. Pertimbangan daya dukung dari berbagai pihak, dan sebagainya VI. KEPROFESIONALAN PUSTAKAWAN Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, profesional adalah bersangkutan dengan profesi, yaitu memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, atau mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya. Profesi merupakan bidang pekerjaan yang dilandasi dengan pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan) tertentu. Menurut Abraham Flexner, yang dikutip Wirawan (1993), profesi
harus memenuhi lima persyaratan, yaitu : 1. Merupakan pekerjaan intelektual, yaitu menggunakan intelegensia 2. Merupakan pekerjaan saintifik yang berdasarkan pengetahuan 3. Merupakan pekerjaan praktikal, bukan hanya teori tetapi dapat dipraktekkan 4. Terorganisasi secara sistematis, yaitu ada standar cara melaksanakan dan mempunyai tolok ukur hasilnya; 5. Merupakan pekerjaan altruisme, berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya
lain dan memberi manfaat kepada orang banyak, seperti empati (empathy), ramah (friendly), suka membantu (helpful), dan suka menebar senyum (smile). 3. Kompetensi professional (professional Competence) : kewenangan seseorang yang bekerja secara professonal menurut ilmu dan ijasahnya (science & certificate). 4. Kompetensi Metodologi (Methodological Competence) : kewenangan seseorang yang bekerja atas dasar ketrampilan (Skill) yang dimiliki.
Supriyanto (2006:10), dengan mengutip rumusan standar kompetensi pustakawan yang dikehendaki oleh Organisasi Profesi Pustakawan di Amerika Serikat yaitu The US Special Libraries Association (US-SLA), menyatakan bahwa kompetensi pustakawan setidaknya meliputi dua kompetensi, yaitu : 1. Kompetensi Profesional; terkait dengan pengetahuan bidang sumber-sumber informasi, teknologi, manajemen, pelatihan dan kemampuan menggunakan pengetahuan sebagai dasar layanan perpustakaan dan informasi. 2. Kompetensi Individual; merupakan satu kesatuan ketrampilan, perilaku dan nilai yang dimiliki pustakawan agar dapat bekerja effektif, jadi komunikator yang baik, meningkat pengetahuannya, memperlihatkan nilai lebih, dapat bertahan terhadap perubahan dan perkembangan dalam dunia kerjanya.
Pustakawan yang ideal harus memenuhi 15 sifat / karakter emas (fifteen gold characters of librarian FGCL – baca ef-ji-si-el ) berikut : 1. Religious ; taat beragama, rajin ibadah, kuat iman, akhlaqulkarimah 2. Knowledgeable ; berpengetahuan luas terutama tentang informasi dan perpustakaan 3. Skillful & experienced ; terampil dan berpengalaman dalam bidangnya 4. Intelligent ; pandai, cerdas, kuat ingatan 5. Critical thinking ; berpikir kritis, analitis, dan aktif 6. Emotional Quotient ; kedewasaan emosi, pengendalian emosi baik 7. Interpersonal skills ; keterampilan berhubungan dengan orang secara baik 8. Commitment ; komitmen (keteguhan) dalam kebenaran dan keadilan 9. Sense of creativity ; sifat kreatif dalam berpikir, berbuat, dan bersikap 10. Communicative & Dialogic ; mampu berkomunikasi dan dialog dengan baik 11. Ethical ; etis, sopan-santun, ramah, membedakan baik-buruk / halal-haram 12. Aesthetical ; keindahan dalam berbuat, bersikap, dan penampilan. 13. Open to innovations ; sikap terbuka untuk pembaharuan 14. Transparent ; transaparan,
Pustakawan ideal harus memenuhi empat kompetensi, yaitu : 1. Kompetensi pribadi (personal competence), yaitu kompetensi yang berhubungan dengan kebaikan pribadi (kebaikan jasmani maupun rohani), sehat jasmani-rohani, berbudi pekerti luhur atau akhlaqul-karimah (good character). 2. Kompetensi social (social competence), yaitu kemampuan berhubungan baik dengan orang
terbuka, jujur, apa adanya 15. Accountable / Responsible; bertanggung jawab, berperan yang seharusnya VII. ORGANISASI PROFESI Organisasi profesi adalah organisasi yang menampung para professional seperti PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), IDI (Ikatan Dokter Indonesia), SPI (Serikat Pengacara Indonesia), IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia). Visi-misi utama organisasi profesi adalah mengembangkan dan memberdayakan para profesional anggotanya, sehingga mereka lebih berkualitas dan berperan aktif dalam pembangunan bangsa dan masyarakat.. Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI, baca : I-PE-I), yang lahir pada tanggal 7 Juli 1977. Usia hampir 34 tahun merupakan usia yang sudah cukup matang untuk mengembangkan diri. Walaupun demikian, IPI masih meng hadapi berbagai problem, antara lain : 1. Kegiatan IPI Pusat yang paling menonjol hanyalah kongres dan rapat kerja pusat, kegiatan lain kurang dioptimalkan. 2. Tidak semua IPI Daerah dan Cabang aktif dalam kegiatan, bahkan ada yang konggres daerah saja tidak lancar (rutin). 3. Sense of belonging (rasa memiliki) dari pustakawan terhadap IPI masih terasa kurang, sehingga partisipasinya untuk menghidupkan IPI terasa kecil. 4. IPI Pusat dan Daerah masih kurang optimal dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah pusat maupun daerah 5. Ilmu bagi pustakawan masih terasa kurang, terutama ilmu ICT dan bahasa asing (Inggris). 6. Kemampuan pustakawan dalam menulis, terutama karya ilmiah, juga terasa kurang. Menurut Supriyanto, hal-hal yang harus dilakukan oleh IPI dari pusat sampai cabang adalah : 1. Merespon arus kesejagadan (globalisasi), yaitu memperhatikan peluang, tantangan, ancaman, dan sebagainya. 2. Menunjang kelancaran program Otda (otonomi daerah) /
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
39
daftarpustaka desentralisasi, yaitu berupaya keras mewujudkan good governance 3. Bersinerji dengan asosiasi atau institusi lain seperti IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia), PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), dan sebagainya. 4. IPI perlu lebih bersifat extrovert (terbuka) bagi/untuk siapapun dan siap bekerja sama dengan pihak mana pun; Jika tak kenal maka tak sayang. 5. Sebaiknya Ketua Umum IPI Pusat dijabat dari luar Perpustakaan Nasonal RI, karena perpusnas sebagai pembina IPI) 6. IPI hendaknya Bisa ikut serta aktif dalam Forum Organisasi Perpustakaan Intrernasional (FOPI). Akhirnya, kepustakawanan Indonesia selama ini masih menghadapi berbagai problem seperti kualitas pustakawan yang belum memuaskan, peraturan perpustakaan yang belum mantap, anggaran perpustakaan yang rendah, minat baca-tulis yang masih kecil, dan penggunaan teknologi komunikasi informasi yang masih sangat terbatas. Untuk mengatasi problem tersebut, solusi harus segera dimunculkan dari berbagai pihak secara simultan (bersama-sama) seperti dari pemerintah, wakil rakyat, perusahaan, penerbit, sekolah, kampus, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan, dan setiap keluarga di Indonesia, agar kepustakawanan Indonesia mampu memajukan negeri ini dengan baik.
40
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
Abbas, June (1997), The Library Profession and the Internet: Implications and Scenarios for Change. Lihat di http://edfu.lis.uitic.edu/ review/5abbas.htm1. Al-Quran dan Terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia, 1989 Amstrong, Michael, The Art of HRD: Managing People: A Practical Guide for Line Managers, Volume 4 : Kogan, 2002 Anton M. Moeliono, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-3, Balai pustaka: Jakarta, 1990 Barrett, A., “The information-seeking habits of graduate student researchers in the humanities”, Journal of Academic Librarianship, Vol. 31 No. 4, 2005 Basuki, Sulistyo, Pengantar Ilmu Perpustakaan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991 -------------------, Periodisasi Perpustakaan Indonesia, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994 -------------------, Teknik dan Jasa Dokumentasi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992 Campbell, Jane E., Kebiasaan Membaca, makalah disampaikan pada Seminar Kebiasaan Membaca di UPT Perpustakaan UNDIP, 29 Juli 1996 Creth, Sheila D (1996), The Electronic Library: Slouching toward the Future or Creating a New Information Environment, London, Cavendish Conference Centre, 30 September 1996. Lihat di http://www.ukoln. ac.uk/services/papers /follett/crethpaper. html Departemen Pendidkan Nasional RI. Perpustakaan Perguruan Tinggi : Buku Pedoman. Edisi ketiga. Jakarta, Dirjen Pendidikan Tinggi, 2004 Echols, John M. & Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta, 2003 Endang Ernawati, Kinerja dan Pengembangan Perpustakaan Berbasis Kompetensi, Makalah disampaikan pada seminar “Sistem Nasional Perpustakaan dan Dampaknya bagi Pening katan Kinerja Perpustakaan”. Kerja sama Kantor Perpusda Jawa tengah dan FPPTI JASAPUSPERTI. Semarang, 10 Agustus 2006. Foster, A., “A nonlinear model of informationseeking behavior”, Journal of the American Society for Information Science and Technology, Vol. 55 No. 3, 2004. Gea, A.A., Wulandari, A.P.Y., & Barbari, Yohanes. Character Building I : Relasi dengan Sendiri. Jakarta, PT Gramedia, 2003 Hathom, Clay (1997), The Librarian is Dead, Long Live the Librarian. PreText Magazine. Lihat di http://www.pretext.com/oct97/features/ story4. him
Kismiyati, Titiek, “Standar Kompetensi Pustakawan” dalam Media Pustakawan Vol. 13 No. 1 dan 2 Juni 2006. Jakarta, Perpustakaan Nasional, 2006 Martin, William J., The Information Society, Aslib, London, 1988 Pocket Oxford Dictionary, new edition, Oxford University Press, Oxford, 1992 Rowley, Jennifer E., Organizing Knowledge, 2nd.ed., Ashgate Publishing Company, Vermont USA, 1992 Sholeh, Muhammad Muhtar Arifin, Designing Online Public Access Catalogue (OPAC) for Islamic University Libraries: a Proposal for ‘Sultan Agung’ Islamic University Library of Semarang-Indonesia, disertasi S-2 Department of Information and Library Studies, University of Wales, Aberystwyth, United Kingdom, 1994 Sri Suryaningsih, Evaluation of User Education in University Libraries: with Particular Reference to Catholic University Libraries in Indonesia; A thesis submitted for the degree of Master of Arts in Information Studies, University of North London, London, 1994 Supriyanto, Peran Perpustakaan dalam Pemberdayaan Masyarakat Gemar Membaca, makalah disampaikan pada Muscab IPI Semarang dan Seminar Ilmiah di Semarang, 19 September 1996 ---------, Meningkatkan Eksistensi IPI dalam Pengembangan Profesionalisme Pustakawan, makalah disampaikan dalam “Rakerda IPI Jawa Tengah”. Perpustakaan Daerah Jawa Tengah, Semarang, Hotel Pandanaran, 9 Agustus 2006. Taryadi, Alfons, “Problema dan Prospek Dunia Penerbitan Buku”, dalam Buku Membangun Kualitas Bangsa: Bunga Rampai sekitar Perbukuan di Indonesia, tanpa editor, Kanisius, Yogyakarta, 1997 ---------, Indonesia Book Industry, the paper presented at the Regional Seminar on the Promotion of Habit of Reading by ASEAN Libraries, 3-6 April 1995 Tedd, Lucy A., An Introduction to Computer-Based Library Sistems, 3rd.ed., John Wiley & Sons Ltd., Chichester England, 1993 Thompson, Della (editor), The Pocket Oxford Dictionary Of Current English, 8-th.edition, Clarendon Press, Oxford, 1992 Wiranto, Supriyanto, dan R.M. Sri Suryaningsih (editor), Kepustakawanan Indonesia dan Sumbangannya kepada Masyarakat (Seri Pengembangan Perpustakaan 4), Unika Soegijapranata, Semarang, 1998 Wiranto, Supriyanto, dan R.M. Sri Suryaningsih (editor), Perpustakaan Menjawab tantangan Jaman (Seri Pengembangan Perpustakaan 3), Unika Soegijapranata, Semarang, 1997 Wirawan, Profesi Kepustakawanan : Suatu analisa. Makalah disampaikan pada Rapat Kerja Pusat IPI di Mataram, NTB, 21-23 Juli 1993 Zorkoczy, Peter, Information Technology : an Introduction, Pitman Publishing, London, 1990
Oleh : Rahayuningsih
Perpustakaan Universitas Sanata Dharma
Pustakawan Ideal:
Memadukan Aspek Profesional dan Aspek Perilaku Abstrak Pustakawan adalah orang yang mempunyai tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk melaksanakan kerja di unit perpustakaan, dokumentasi dan informasi. Pustakawan yang ideal terbentuk dari aspek profesionalisme dan aspek perilaku. Profesionalisme pustakawan mengacu kepada kemampuan untuk merencanakan, mengkoordinasikan, dan melaksanakan fungsinya secara efisien, motivatif, lentur, dan mempunyai etos kerja tinggi sesuai dengan tuntutan penyelesaian tugas kepustakawanan berdasarkan ilmu yang diperoleh dari pendidikan profesi. Perilaku mengacu kepada nilai, norma moral dan kode etik, dalam hal ini kode etik pustakawan, dalam memberikan layanan terbaik kepada pengguna. Kata Kunci: pustakawan ideal, profesionalisme pustakawan, perilaku pustakawan
A. PENDAHULUAN Pustakawan adalah seorang yang melaksanakan kegiatan fungsi perpustakaan, dokumentasi dan informasi dengan jalan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tugas lembaga induknya berdasarkan ilmu pengetahuan perpustakaan, dokumentasi dan informasi yang dimilikinya melalui pendidikan (Pengurus Pusat IPI, 1999). Berdasarkan pengertian tersebut, pembicaraan mengenai pustakawan sedikitnya menyangkut dua hal, yaitu pendidikan dan pelayanan kepada masyarakat. Unsur pendidikan termasuk aspek profesional pustakawan dan unsur pelayanan kepada masyarakat termasuk aspek perilaku pustakawan. Aspek profesional berkaitan dengan unsur pendidikan profesi yang harus dimiliki oleh pustakawan, baik bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi maupun unsur-unsur pendukung yang lain. Hal ini dianggap penting karena dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta adanya ledakan informasi dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan informasi, pustakawan harus mempunyai pengetahuan dan keterampilan dalam menemukan, mengolah dan menyebarkan informasi kepada masyarakat. Aspek perilaku berkaitan dengan tindakan-tindakan pustakawan dalam pelayanan kepada masyarakat, khususnya pengguna perpustakaan. Pelayanan merupakan salah tolok ukur keberhasilan sebuah perpustakaan. Perpustakaan akan dinilai baik secara keseluruhan oleh penggunanya jika mampu memberikan pelayanan terbaik bagi mereka, dan dinilai buruk secara keseluruhan jika pelayanan yang diberikannya buruk. Hal itu karena kegiatan pelayanan merupakan kegiatan yang mempertemukan langsung pustakawan dengan penggunanya, sehingga penilaian pengguna akan muncul ketika kegiatan pelayanan tersebut dilangsungkan. Kedua aspek di atas jika dimiliki dan dikembangkan oleh seorang pustakawan, niscaya akan menghasilkan sosok pustakawan yang ideal. Pustakawan ideal adalah sosok pustakawan yang akan senantiasa didambakan. Pustakawan ideal sebenarnya adalah sosok pustakawan yang memiliki kepribadian, perilaku, kompetensi, dan kecakapan. Kepribadian dan perilaku berasal dari dalam diri orang yang bersangkutan, sedangkan kompetensi dan kecakapan diperoleh melalui pengalaman, pelatihan dan pendidikan. Tulisan mengenai pustakawan ideal ini berfokus pada pustakawan yang memiliki
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
41
pendidikan profesi dan berperilaku baik. Selanjutnya akan dijelaskan lebih detail mengenai pustakawan ideal, yaitu memadukan aspek profesional dan aspek perilaku pustakawan. B. ASPEK PROFESIONAL PUSTAKAWAN 1. Profesi Pustakawan Istilah profesi berkaitan dengan bidang tertentu atau jenis pekerjaan yang memerlukan pendidikan, keahlian dan tanggungjawab. Banyak orang bekerja tetapi belum tentu dikatakan memiliki profesi yang sesuai. Keahlian yang diperoleh dari pendidikan formal belum cukup untuk dapat disebut profesi jika tidak diterapkan dalam praktek kerja sesuai teori yang diperoleh. Orientasi utama profesi adalah menggunakan keilmuan dan keahlian yang dimiliki untuk melayani kepentingan masyarakat, disertai dengan tanggungjawab, sehingga profesi tidak disalahgunakan. Pustakawan adalah profesi, sesuai ketentuan dalam SK MENPAN No. 18/MENPAN/1988 dan diperbaharui dengan SK MENPAN No. 33/ MENPAN/1998, dan SK MENPAN No. 132/KEP/M.PAN/12/2002. Seperti halnya profesi yang lain, misalnya dokter, hakim, wartawan, dll, profesi pustakawan mempunyai ciri-ciri sebuah profesi, antara lain: a. Memiliki pendidikan profesi Ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh seorang profesional diperoleh dari lembaga pendidikan profesional khusus dalam bidangnya. Pendidikan profesi bidang ilmu perpustakaan di
42
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
Indonesia sudah banyak dibuka di perguruan tinggi, antara lain di UGM, UIN, UI, UNPAD, UNAIR, UNS, dan lain-lain. b. Memiliki kemandirian Mandiri berarti seorang profesional harus dapat mengambil keputusan sendiri tanpa campur tangan pihak lain, dan memiliki integritas yang tinggi. Tingkat kemandirian pustakawan dapat dilihat pada saat harus mengambil keputusan, memutuskan penggunaan anggaran belanja. Unsur kemandirian ini seringkali sulit dilakukan oleh pustakawan yang bekerja di instansi pemerintah, karena terikat pada tatanan birokrasi, sehingga seringkali harus mengambil keputusan tidak atas dasar pertimbangan profesional. c. Memiliki organisasi profesi Organisasi profesi diperlukan oleh sebuah profesi, karena organisasi ini yang menjadi media untuk mengembangkan profesi, memajukan kualitas, mengusahakan kesejahteraan, mengarahkan profesionalisme anggota, dan menerapkan kode etik. Semua profesi memiliki organisasi profesi, termasuk pustakawan. Di Amerika ada organisasi pustakawan dengan nama ”American Library Association” (ALA) yang berdiri pada tahun 1876 dan berkedudukan di Philadelphia. Di Inggris organisasi pustakawannya bernama ”Library Association” (LA) yang berdiri pada tahun 1877 dan berkedudukan di London. Di Indonesia organisasi pustakawan
adalah ”Ikatan Pustakawan Indonesia ” (IPI) yang dibentuk dalam konggres pustakawan seIndonesia di Ciawi, Bogor pada tanggal 5-7 Juli 1973. d. Memiliki kode etik Kode etik disusun untuk mengembangkan dan mengarahkan per-kembangan profesi. Kode etik memuat sistem norma, nilai dan aturan tertulis yang menyatakan secara tegas apa yang benar dan baik, serta apa yang tidak benar dan tidak baik. Ikatan Pustakawan Indonesia telah memiliki Kode Etik Pustakawan Indonesia. (Sulistyo-Basuki, 1991; SulistyoBasuki, 1998) Di Indonesia, profesi pustakawan belum banyak diketahui orang. Perpustakaan seringkali identik dengan gudang atau penyedia buku-buku, dalam hal ini buku-buku kuno, bau dan berdebu, sehingga pemahaman tentang pustakawan juga identik dengan sosok yang kaku, kuno, tua, tidak menyenangkan, tidak ceria dan mahal senyum. Dewasa ini, meningkatnya kesadaran akan pentingnya perpustakaan dan peran pustakawan untuk memajukan ilmu pengetahuan, serta tersedianya fasilitas modern, informasi modern dan keberagaman pelayanan perpustakaan, telah mengubah image masyarakat terhadap perpustakaan dan pustakawan. Kendati image masyarakat terhadap perpustakaan dan pustakawan telah berubah, tetapi dalam perjalanannya masih menghadapi beberapa kendala, antara lain: a. Profesi pustakawan belum sepenuhnya diakui masyarakat Masyarakat lebih mengakui keberadaan profesi dokter, notaris, wartawan, atau guru daripada profesi pustakawan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan keadaan ini, antara lain: - Profesi pustakawan di Indonesia relatif masih baru dibandingkan dengan profesi yang lain. - Pada masa lalu pendidikan hanya dimiliki oleh kalangan atas/istana, sehingga pengenalan akan buku dan perpustakaan juga terbatas
pada kalangan atas. - Budaya yang berkembang di masyarakat Indonesia adalah budaya oral, sehingga kurang adanya penanaman budaya untuk membaca, atau memanfaatkan sumber informasi di perpustakaan. - Perpustakaan walaupun perannya sangat besar dalam memajukan dunia pendidikan, tetapi beberapa lembaga lebih cenderung menjadikan perpustakaan sebagai pelengkap, bukan utama. - Di tingkat lembaga pendidikan pada saat ini, staf pengajar kurang membiasakan siswa bereksplorasi di perpustakaan. - Perpustakaan sendiri seringkali kurang melakukan usaha promosi untuk mengenalkan perpustakaan kepada masyarakat, karena terbentur kurangnya dana dan sumber daya manusia. b. Profesi pustakawan belum menunjukkan kinerja yang profesional Banyak pustakawan yang belum melaksanakan kerja secara maksimal karena: kurang memiliki tanggungjawab, kurang memiliki kemandi-rian, kurang kreatif, kurang berwawasan ke depan dan kurang memiliki motivasi kerja. c. Terjadi kesenjangan internal antara pustakawan yang berkedudukan sebagai PNS dan yang bukan Hal ini lebih dikarenakan oleh faktor adanya jabatan fungsional di PNS bagi pustakawan, sementara sebagian besar instansi swasta tidak memberlakukan jabatan fungsional pustakawan. Tidak diberlakukan-nya jabatan fungsional di instansi swasta bisa disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya kurangnya pengakuan atas profesionalisme pustakawan, terbatasnya anggaran yang dimiliki lembaga. Tentu saja hal ini merugikan pustakawan yang ingin meniti jenjang karir dengan lebih cepat, karena kenaikan golongan disamakan antara
semua orang tanpa memandang pendidikan, kemandirian, dan kedinamisan kerja. d. Kemajuan dan perkembangan pustakawan dalam keilmuan belum menonjol. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pustakawan yang berpendidikan strata 3, strata 2 dan strata 1 bidang ilmu perpustakaan masih amat kecil. Selain itu jumlah lulusan diploma bidang ilmu perpustakaan sudah cukup banyak, tetapi jumlah lulusan strata 1 bidang ilmu perpustakaan masih sedikit, kebanyakan memiliki pendidikan sarjana bidang bukan ilmu perpustakan Walaupun menghadapi kendala dalam perjalanannya, seiring dengan meningkatnya kesadaran mayarakat akan pentingnya informasi untuk peningkatan ilmu pengetahuan, dan kesadaran masyarakat akan peranan perpustakaan dan pustakawan dalam memajukan dunia pendidikan, tidak dapat dipungkiri bahwa profesi pustakawan sudah mulai dihargai, diminati dan diincar orang. a. Profesi pustakawan mulai dihargai - Di beberapa instansi sengaja didirikan perpustakaan untuk menunjang kegiatan dan pengembangan instansi tersebut. - Beberapa instansi sudah tidak lagi menganggap perpustakaan sebagai tempat pembuangan staf yang dinilai tidak produktif, tetapi justru dipandang sebagai tempat yang perlu dikembangkan. Staf perpustakaan yang belum berpendidikan perpustakaan dikursuskan atau disekolahkan. - Di beberapa instansi pustakawan merupakan unsur yang tidak pernah dilupakan dalam suatu pertemuan untuk membahas kemajuan lembaga. b. Profesi pustakawan mulai diminati atau diincar orang - Adanya permintaan akan lulusan bidang ilmu perpustakaan pada berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta. - Beberapa perguruan tinggi mulai membuka jurusan/program
studi bidang ilmu perpustakaan bahkan sampai jenjang strata 2 maupun strata 3. - Diminatinya jurusan/program studi bidang ilmu perpustakan di beberapa perguruan tinggi. 2. Profesionalisme Pustakawan Profesionalisme merupakan hal yang senantiasa disebutsebut pada saat perpustakaan akan mencoba memperbaiki kinerja dan meningkatkan kepuasan pengguna, terlebih jika perpustakaan dihadapkan pada peru-bahan penampilan dalam mengimbangi kemajuan teknologi, ledakan informasi dan kesadaran masyarakat akan informasi. Pada intinya perpustakaan perlu dikelola oleh tenaga-tenaga yang profesional di bidang perpustakaan. Secara garis besar ada tiga pekerjaan pokok di perpustakaan yang memerlukan pengelolaan secara profesional, yaitu pengembangan koleksi, pengolahan koleksi, dan pelayanan pengguna. Profesionalisme dimaksudkan sebagai kemampuan untuk merencanakan, mengkoordinasikan, dan melaksanakan fungsinya secara efisien, motivatif, lentur, dan mempunyai etos kerja tinggi. (Tjokrowinoto, 1996). Profesionalisme pustakawan adalah kemampuan untuk merencanakan, mengkoordinasikan, dan melaksanakan fungsinya secara efisien, motivatif, lentur, dan mempunyai etos kerja tinggi sesuai dengan tuntutan penyelesaian tugas kepustakawanan berdasarkan ilmu yang diperoleh dari pendidikan profesi. Tugas-tugas kepustakawanan yang menuntut profesionalisme adalah sebagai berikut: a. Pengorganisasian dan pendayagunaan koleksi bahan pustaka/sumber informasi, meliputi: pengembangan koleksi, pengolahan bahan pustaka, penyimpanan dan pelestarian
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
43
bahan pustaka, pelayanan informasi b. Pemasyarakatan perpustakaan, dokumentasi dan informasi, meliputi: penyuluhan, publisitas, pameran c. Pengkajian dan pengembangan perpustakaan, dokumentasi dan informasi, meliputi: pengkajian, pengembangan, analisis/ kritik karya kepustakawanan, penelaahan pengembangan di bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi (Perpustakaan Nasional RI, 2003) Selain unsur-unsur di atas, ditinjau dari aspek profesional pustakawan juga dituntut untuk memiliki hal-hal sebagai berikut: a. Cerdas dan mampu menyerap ilmu lain b. Berwawasan luas dan berorientasi ke depan c. Mempunyai motivasi tinggi dan kreatif d. Berorientasi pada data e. Cepat tanggap dan trampil f. Gemar membaca C. ASPEK PERILAKU PUSTAKAWAN 1. Perilaku Perilaku mencerminkan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seseorang. Perilaku manusia dalam hidup dibatasi oleh nilai atau norma moral, yang disebut etika. Nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan. Ada tiga macam norma umum, yaitu norma kesopanan atau etiket, norma hukum, dan norma moral. Norma kesopanan atau etiket adalah norma yang menjadi tolok ukur untuk menentukan apakah perilaku kita sopan atau tidak dan hal itu belum tentu sama dengan etis atau tidak. Norma hukum merupakan norma penting yang menjadi kenyataan dalam setiap masyarakat. Norma moral menentukan apakah perilaku kita baik atau tidak dari sudut etis. Bertens dalam bukunya yang berjudul Etika, menyampaikan pengertian etika menjadi tiga arti. Pertama, etika diartikan sebagai nilainilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang
44
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya, jika orang berbicara tentang ”etika suku-suku di India” atau ”etika agama Budha”. Kedua, etika sebagai kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Ketiga, etika sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk. Jadi etika akan menuntun seseorang untuk bertindak atau berperilaku dengan tepat sesuai norma yang berlaku dalam kelompok masyarakat atau profesi tertentu. Berdasarkan pengertian kedua dari etika tersebut, kode etik pustakawan akan menuntun seorang pustakawan untuk bertindak/berperilaku dengan tepat sesuai norma yang berlaku dalam kelompok masyarakat maupun profesi pustakawan. Ada dua kecenderungan perilaku yang dilakukan oleh manusia termasuk pustakawan, yaitu perilaku tidak baik dan perilaku baik. 2. Perilaku Tidak Baik Pustakawan Dalam melaksanakan tugas kepustakawanan di suatu lembaga pusdokinfo, seringkali muncul keluhan yang ditujukan kepada perilaku pustakawan yang tidak baik atau menyimpang dari yang seharusnya. Beberapa perilaku tidak baik pustakawan yang sering dilakukan adalah: a. Tidak memiliki tanggung jawab terhadap tugas-tugas perpustakaan Pustakawan seringkali melakukan hal-hal yang tidak bertanggungjawab terhadap tugas-tugas perpustakaan, misalnya: - Banyak koleksi rusak atau sudah kadaluwarsa di jajaran rak dibiarkan saja - Meninggalkan kantor untuk sesuatu yang tidak penting pada saat jam kerja - Menerima telepon yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan dinas dengan mengabaikan tugas atau pengguna yang antri - Tidak menepati janji pada rekan kerja atau pengguna pada saat menangani keluhan. b. Tidak memiliki tanggung jawab terhadap pengembangan ilmu
perpustakaan Pustakawan seringkali melakukan hal-hal yang tidak bertanggungjawab terhadap pengembangan ilmu perpustakaan, misalnya: - Tidak mau berbagi pengetahuan dengan rekan yang lain - Tidak mau mengikuti perkembangan teknologi untuk kemajuan ilmu perpustakaan c. Tidak memiliki tanggung jawab terhadap pengembanganan profesi Pustakawan seringkali melakukan hal-hal yang tidak bertanggungjawab terhadap pengembangan profesi, misalnya: - Tidak mau membuat karya tulis ilmiah di bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi - Tidak mau melakukan tugas sebagai ketua kelompok/ koordinator pustakawan atau memimpin unit perpustakaan - Tidak mau memberi konsultasi kepustakawanan yang bersifat konsep d. Tidak ramah, terkesan judes/galak Sering terjadi pada saat berhadapan dengan rekanan atau pengguna, pustakawan melayani dengan muka judes, tidak ramah karena menumpuknya beban kerja atau terbawa oleh persoalan pribadi dari rumah. e. Bersikap masa bodoh terhadap kemajuan perpustakaan Pustakawan seringkali bersikap masa bodoh terhadap kemajuan atau perkembangan perpustakaan, misalnya tidak kreatif, tidak punya ide pengembangan, dan, dan yang dipikirkan hanyalah bekerja untuk mencari uang. f. Takut untuk melangkah karena takut dianggap paling pintar atau paling jagoan Situasi dan kondisi seperti ini, seringkali dijumpai pada pustakawan yang kurang percaya diri. Di satu sisi ingin memberikan sumbangan tenaga atau pikiran, tetapi di sisi yang lain tidak ada keberanian untuk melaksanakan atau mengungkapkan. Bisa
jadi situasi seperti ini juga dipengaruhi lingkungan kerja yang kurang kondusif, misalnya dipe-ngaruhi oleh senioritas. g. Tidak berani mengambil resiko Pustakawan seringkali tidak berani mengambil sikap yang lain dari pada yang lain, tetapi berjalan apa adanya karena tidak berani mengambil resiko, misalnya takut dikritik. Dampak dari perilaku menyimpang yang dilakukan pustakawan tersebut adalah menurunnya citra pustakawan dan citra perpustakaan. Pustakawan pada akhirnya tidak lagi dijadikan sosok ideal bagi masyarakat, dan perpustakaan pada akhirnya tidak lagi dijadikan sebagai tempat nyaman yang akan selalu dikunjungi orang. Pada kondisi demikian, image masyarakat terhadap pustakawan dan perpustakaan akan merosot. 3. Perilaku Baik Pustakawan Selain harus bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beberapa aspek perilaku baik pustakawan adalah: a. Bermoral Pancasila b. Menjunjung tinggi etika profesi pustakawan Indonesia c. Memiliki etos kerja dan disiplin tinggi d. Memiliki tanggung jawab terhadap tugas-tugas perpustakaan, pengembangan ilmu perpustakaan dan pengembangan profesi e. Memiliki percaya diri dan kemandirian tinggi f. Loyalitas yang tinggi kepada profesi g. Komunikatif, luwes, ramah dan simpatik h. Terbuka terhadap kritik dan saran i. Tanggap terhadap kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi D. SOSOK PUSTAKAWAN IDEAL 1. Pengertian Pustakawan Ideal Pustakawan ideal adalah sosok pustakawan yang mampu memadukan aspek profesional dan aspek perilaku. Arti yang lebih mendalam, bahwa pustakawan
ideal adalah sosok yang memiliki kemampuan untuk merencanakan, mengkoordinasikan, dan melaksanakan fungsinya secara efisien, motivatif, lentur, dan mempunyai etos kerja tinggi sesuai dengan tuntutan penyelesaian tugas kepustakawanan berdasarkan ilmu yang diperoleh dari pendidikan profesi, cerdas dan mampu menyerap ilmu lain, berwawasan luas dan berorientasi ke depan, mempunyai motivasi tinggi dan kreatif, berorientasi pada data, cepat tanggap, trampil dan gemar membaca. Selain itu pustakawan ideal juga harus bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bermoral Pancasila, menjunjung tinggi etika profesi pustakawan Indonesia, memiliki etos kerja, tanggung jawab, disiplin, memiliki percaya diri, kemandirian tinggi, loyalitas kepada profesi, komunikatif, luwes, ramah dan simpatik, terbuka terhadap kritik dan saran, serta tanggap terhadap kemajuan dan perkembangan iptek. Idealisme adalah cita-cita. Citacita tidak akan mungkin dapat dicapai secara sempurna oleh manusia. Idealisme atau cita-cita hanya dapat diraih dengan usaha terarah yang dilakukan secara konsisten. Demikian pula dengan pustakawan ideal merupakan idealisme yang ingin dicapai. Tidak seorangpun dapat mencapai sosok ideal secara sempurna, namun tetap diperlukan usaha terarah secara konsisten untuk mencapainya. 2. Usaha Mewujudkan Sosok Pustakawan Ideal Mewujudkan sosok pustakawan ideal sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. a. Faktor Internal Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari seorang pribadi untuk mewujudkan sosok pustakawan ideal, meliputi: - Peningkatan kemampuan pribadi Pustakawan diharapkan senantiasa meningkatkan kemampuan pribadi, misalnya peningkatan kemampuan IT, berkomunikasi, berperilaku, berbahasa, menulis dan membaca, dan lain-lain.
Semua kegiatan tersebut dapat diperoleh dengan jalan mengikuti pelatihan/kursus/ seminar/worskshop, misalnya kursus komputer/jaringan, pelatihan komunikasi, pelatihan kepribadian, kursus bahasa Inggris, seminar menulis. - Pendekatan keimanan Pustakawan diharapkan berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama yang dianut dan taat menjalankan perintah agama. Dengan cara ini, setiap tindakan yang akan dilakukan diselaraskan dengan ajaran agama sehingga tidak menyimpang. - Menanamkan jiwa SMART Pustakawan harus Siap mengutamakan pelayanan, Menyenangkan dan menarik, Antusias/bangga pada profesi, Ramah dan menghargai pengguna jasa, dan Tabah ditengah kesulitan (Mustafa, 2003). - Tampil penuh percaya diri Pustakawan ideal harus memiliki “percaya diri” yang baik, dengan demikian tidak takut untuk tampil di masyarakat atau di muka umum, baik di dalam maupun di luar negeri. Percaya diri pustakawan harus ditunjukkan dengan bangga menyandang profesi pustakawan di manapun dan dalam situasi apapun. - Mengikuti perkembangan jaman, kreatif, dan mengembangkan inovasi-inovasi demi kepuasan pengguna. Pustakawan ideal harus selalu belajar dan mengikuti perkembangan terbaru, sehingga mendukung kinerja dan percaya diri. Selain itu juga harus kreatif serta mengembangkan inovasiinovasi, sehingga apa yang dilakukan benar-benar dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat atau pengguna, selain bangga kepada diri sendiri karena dapat melakukan hal-hal yang baru.
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
45
daftarpustaka - Mengembangkan unsur-unsur yang dapat diakronimkan dengan WISDOM, sebagai berikut: W: Watak. Pustakawan hendaklah memiliki watak berbudi luhur serta dapat melaksanakan nilainilai luhur. I: Ingin mencapai tujuan yang sesuai. Dalam melaksanakan tugas, pustakawan diharapkan tidak asal bekerja, tetapi betulbetul termotivasi untuk mencapai target yang telah ditentukan. S: Siasat/strategi untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Strategi atau siasat dalam bekerja juga harus dikembangkan, sehingga usaha untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dapat terlaksana secara efektif dan efisien. D: Didik-diri. Pustakawan harus senantiasa berusaha untuk membina dan mengembangkan diri untuk meningkatkan pelaksanaan tugasnya di perpustakaan. O: Otak dan otot. Diharapkan pustakawan bersikap rasional, mampu menerima kritik dengan tidak emosional, dan sekaligus suka bekerja keras. M: Manajemen-diri. Pandai mengatur diri dan menentukan priori-tas dalam melaksanakan pekerjaan. b. Faktor Eksternal Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari pihak luar yang turut mendukung mewujudkan sosok pustakawan ideal, meliputi: - Pemerintah Dukungan pemerintah nyata terhadap pustakawan, yaitu dengan adanya pengakuan terhadap pustakawan sebagai jabatan fungsional. - Organisasi profesi Dalam hal ini organisasi profesi IPI, sedapat mungkin melakukan kegiatan yang dapat mendukung pustakawan untuk menjadi lebih baik. Misalnya secara kontinyu melakukan evaluasi kinerja pustakawan, melaksanakan pelatihan-pelatihan.
46
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
- Pimpinan perpustakaan/lembaga Pimpinan perpustakaan sedapat mungkin melakukan monitoring terhadap kinerja pustakawan, mengevaluasi kegiatan dan perilaku pustakawan, dan melakukan pendekatan secara personal kepada pustakawan, terlebih yang berdasarkan evaluasi mengalami halhal yang sekiranya dapat menurunkan citra diri. Selain itu memberikan dukungan pada pustakawan untuk berkembang, melaksanakan atau mengikutsertakan pustakawan dalam kegiatan pelatihan, seminar atau kursus. - Teman seprofesi Dukungan teman seprofesi, terlebih dalam hal memberikan motivasi, memberikan saran dan masukan merupakan usaha yang baik untuk mempertahankan sosok pustakawan yang ideal. - Masyarakat Dukungan masyarakat, terlebih pengakuannya terhadap peran pustakawan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. E. PENUTUP Kepustakawanan minimal menyangkut dua hal, yaitu pendidikan dan pelayanan kepada masyarakat. Unsur pendidikan merupakan aspek profesional pustakawan, selain unsur–unsur lain yang mendukung. Unsur pelayanan kepada masyarakat merupakan aspek perilaku. Paduan kedua unsur tersebut lahir sosok pustakawan ideal, yaitu pustakawan yang profesional dan memiliki perilaku yang baik. Sosok pustakawan ideal adalah cita-cita yang didambakan setiap orang. Sosok pustakawan ideal tidak dapat dicapai secara sempurna oleh manusia. Pencapaian sosok pustakawan ideal diperlukan usaha pribadi dan dukungan pihak luar. Dengan usaha terarah yang dilakukan secara konsisten seorang putakawan dan adanya dukungan pihak luar, niscaya sosok pustakawan ideal benar-benar dapat terwujud.
Adi, Ida Rochani. (2005). Interaksi Pustakawan dan Pemakai. Disampaikan dalam seminar nasional “Smilling Librarians: Mmembangun Image Pustakawan”. Di Gedung University Center UGM, 03 Maret 2005. Bertens, K. (2002). Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Lasa HS. (2001). Etika & Fungsional Pustakawan. Buletin Ikatan Pustakawan Indonesia, Daerah Propinsi DIY, Vol. XIII No. 3 April 2001, Hal. 98-112 Mustafa, B. (2003). Layanan Perpustakaan dalam Mendukung Mutu Pendidikan. Makalah Disampaikan dalam Seminar tentang Peran Perpustakaan dalam Melaksanakan Jaminan Mutu (Quality Assurance) Pendidikan. Di Gedung UC UGM, tanggal 6 Maret 2003. Pengurus Pusat Ikatan Pustakawan Indonesia. (1999). Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI). Jakarta: The British Council. Perpustakaan Nasional RI. (2003). Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. Priyanto, Ida F. (2005). Image, Karir dan Pengembangan Pustakawan. Disampaikan dalam seminar nasional “Smilling Librarians: Membangun Image Pustakawan”. Di Gedung University Center UGM, 03 Maret 2005. Rahayuningsih, F. (2006). Profesionalisme Pustakawan Dalam Menghadapi Tuntutan Kemajuan Teknologi. Info Persadha, Vol.I, No. 1, Hal 2-8. Sulistyo-Basuki. (1991). Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pus-taka Utama. --------------------. (1998). Pustakawan Sebagai Profesional Informasi Modern: Tantangan dan Peluang. Dalam: Dinamika Informasi dalam Era Global. Bandung: Rosdakarya. -------------------. (2001). Kode Etik dan Organisasi Profesi. Makalah disampaikan pada rapat kerja PB IPI. Jakarta, 05-07 November 2001. Sungguh, As’ad. (2000). 25 Etika Profesi. Jakarta: Sinar Grafika. Tjokrowinoto. (1996). Pembangunan: Dilema dan Tantangan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Oleh : Purwani Istiana
Pustakawan di Perpustakaan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
Meningkatkan Profesionalisme Sebagai Langkah Awal Peningkatan Citra Positif Pustakawan INTISARI Kepuasan pemustaka merupakan cikal bakal dalam membentuk citra positif pustakawan dan perpustakaan. Membangun citra positif pustakawan mustahil tanpa adanya profesionalisme dalam diri pustakawan. Citra positif terbangun seiring dengan sikap profesional yang ditunjukkan ketika memberikan pelayanan kepada pemustaka. Pustakawan adalah sebuah profesi. Untuk meningkatkan profesionalisme pustakawan hal penting yang harus diperhatikan adalah pustakawan harus bekerja berdasarkan ilmu dan terus mengembangkan kemampuannya, memiliki kemampuan intrapersonal sehingga memiliki kepribadian yang kuat, mampu mensikapi berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat, memiliki kemampuan interpersonal yaitu kemampuan seseorang berinteraksi dengan orang lain, dan membangun hubungan baik dengan individu lain. Pandangan masyarakat tentang profesi pustakawan akan tergantung bagaimana pustakawan dapat menanggapi dan mampu memberikan perubahan yang lebih berkualitas.
Pendahuluan Seperti telah kita ketahui bersama bahwa saat ini perhatian masyarakat terhadap keberadaan perpustakaan telah meningkat. Lembaga-lembaga induk yang memiliki perpustakaan telah melakukan banyak pembenahan, sarana dan prasarana perpustakaan. Koleksi ditambah, ruangan disiapkan lebih nyaman, jam layanan diperpanjang, dan sumber daya manusia juga ditingkatkan kualitasnya. Perpustakaan sekolah, perpustakaan perguruan tinggi maupun perpustakaan daerah, banyak berbenah, demi meningkatkan kualitas layanan kepada pemustakanya. Diharapkan dengan meningkatkan kualitas layanan kepada pemustaka, akan meningkatkan pula kepuasan pemustaka. Kepuasan pemustaka tidak akan pernah dicapai perpustakaan hanya dengan memiliki gedung yang luas dan nyaman dan koleksi yang lengkap, namun harus pula didukung oleh sumber daya manusia (pustakawan) yang kompeten di bidangnya. Dengan arti lain, dibutuhkan profesionalisme pustakawan dalam memberikan layanan kepada pemustaka. Betapapun mewah desain dan perabot perpustakaan, lengkap dengan koleksi yang mendukung, tanpa pustakawan yang profesional melayani pemustaka, maka kepuasan pemustaka tidak akan tercapai. Apakah definisi kepuasan pemustaka, dan kapan pemustaka merasa puas terhadap layanan yang diberikan perpustakaan? Kepuasan pemustaka merupakan tingkat kesepadanan antara kebutuhan yang ingin dipenuhi dengan kenyataan yang diterima (Sutardji, 2006). Pelayanan dikatakan tidak memuaskan (mengecewakan) jika pelayanan yang diterima tidak sesuai dengan harapan pemustaka. Jika pelayanan yang diterima sesuai dengan apa yang diharapkan, maka pemustaka puas, dan jika pelayanan yang diterima melebihi apa yang diharapkan maka
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
47
Foto: sxc.hu
pemustaka merasa sangat puas. Sebagai contoh, ketika seorang pemustaka membutuhkan informasi, dan informasi tersebut diperolehnya, maka dia akan merasa puas. Jika pustakawan dalam memberikan layanan tersebut penuh perhatian, dengan sikap santun dan ramah, maka hal ini merupakan nilai plus, yang akan berdampak positif bagi pustakawan dan perpustakaan. Dan jika hal ini terjadi maka pemustaka akan menyatakan bahwa dia sangat puas dengan layanan yang diberikan oleh pustakawan. Pemustaka yang merasa puas dengan layanan yang diberikan oleh pustakawan dan perpustakaan, akan menceritakan hal tersebut kepada orang lain, demikian juga sebaliknya jika mendapat perlakuan yang kurang nyaman. Perlakuan yang diterima akan sangat mempengaruhi keputusan pemustaka untuk kembali atau tidak kembali memanfaatkan jasa perpustakaan. Perpustakaan yang tidak berupaya untuk selalu mengevaluasi dan memperbaiki kualitas layanannya akan ditinggalkan oleh pemustakanya. Kepuasan pemustaka merupakan cikal bakal dalam membentuk citra positif pustakawan. Ketika sosok
48
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
pustakawan dalam memberikan layanan bersikap profesional, maka kepuasan pemustaka akan tercapai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peran pustakawan sangat menentukan dalam membentuk atau meningkatkan citra profesi dirinya maupun citra positif perpustakaan di mana dia bekerja. Citra positif maupun negatif tentang pustakawan terbentuk melalui pengalaman pemustaka ketika berinteraksi dengan pustakawan. Oleh karena itu pustakawan harus mampu berinteraksi dengan pemustaka, agar dapat memberi apa yang diharapkan pemustaka, sehingga dapat membangun dan mengembangkan citra positif pustakawan. Pustakawan Adalah Sebuah Profesi Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan (keahlian) tertentu. Disebutkan bahwa kriteria profesi antara lain: 1. Merupakan pekerjaan yang memerlukan persyaratan intelektual berupa penguasaan ilmu pengetahuan tertentu. 2. Pekerjaan itu ditujukan untuk orang lain
3. Keberhasilan pekerjaan diukur dari seberapa jauh para pemakai jasa terpenuhi kebutuhannya. Dengan kata lain berorientasi kepada kepentingan masyarakat. (Brandes, 1914 dalam Lasa, 2004) Sumber lain menyebutkan bahwa profesi memerlukan penguasaan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan tinggi, memiliki organisasi, berorientasi pada jasa, dan memiliki kode etik (Septiyantono,2003). Berdasarkan pemaparan mengenai kriteria profesi di atas, maka pustakawan adalah profesi. Sebagai profesi, pustakawan melaksanakan tugas berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Seseorang yang akan terjun pada profesi ini memerlukan pendidikan. Pendidikan bagi tenaga perpustakaan diselenggarakan melalui jalur formal (jenjang pendidikan profesional dan akademis) dan jalur nonformal (diklat, penataran). Ada perbedaan penekanan pada jenjang pendidikan profesional dan jenjang akademik. Pendidikan profesional lebih ditekankan pada kemampuan penguasaan ketrampilan atau keahlian teknis dengan program
D2 dan D3. Pendidikan jenjang akademik meliputi S1 atau S2 dan dapat dilanjutkan ke program doktor atau S3. Melalui pendidikan jenjang akademik, diharapkan pustakawan menjadi tenaga profesional yang menguasai teori dan mampu mengembangkan bidang kepustakawanan. Kenyataannya, masih cukup banyak pegawai yang ditempatkan di perpustakaan tanpa memiliki kemampuan di bidang perpustakaan. Kondisi ini merupakan sebuah kesalahan, karena pustakawan hanya dianggap sebagai tenaga administrasi dan penjaga buku. Hal itu diperparah dengan ditempatkannya pegawai di perpustakaan karena tidak dapat diterima di unit kerja lain. Kenyataan ini, semakin memperburuk citra pustakawan. Mempunyai kompetensi di bidang perpustakaan merupakan syarat yang semestinya tidak dapat ditawar dalam penempatan sumber daya manusia di perpustakaan. The right man on the right place, menempatkan seseorang sesuai dengan bidang keahliannya. Dengan pengetahuan dan kemampuan teknis di bidang perpustakaan yang dimilikinya, seorang pustakawan diharapkan dapat mengelola sumber informasi yang ada di perpustakaan dengan baik. Disebutkan pula di atas bahwa kriteria sebuah profesi antara lain bahwa hasil pekerjaannya berorientasi kepada kepentingan masyarakat pemustaka. Dengan demikian dalam melakukan penyediaan sumber informasi harus didasarkan pada kebutuhan pemustaka. Sumber informasi yang disediakan dengan pertimbangan
bahwa sumber informasi tersebut benar-benar dibutuhkan oleh pemustaka. Akan lebih baik jika sebelumnya dilakukan survei minat dan kebutuhan pemustaka. Melalui survei minat dan kebutuhan pemustaka ini maka sumber informasi akan benar-benar sesuai dengan kebutuhan pemustaka. Pengolahan bahan pustaka/ sumber informasi, penyebarannya serta pelestariannya pun harus mempertimbangkan kepentingan pemustakanya. Sebagai contoh, ketika melakukan pengolahan buku, maka pertimbangannya adalah buku tersebut akan mudah ditemukembalikan oleh pemustaka, namun tetap sesuai dengan ilmu yang telah dipelajari, seperti nomor
lain. Profesi dokter, bagaimana memberikan perlakuan dengan obat dan sebagainya agar si pasien sembuh dari sakit yang dideritanya, sedangkan pustakawan melalui informasi yang dimiliki dan dikelolanya bagaimana informasi tersebut dapat dimanfaatkan oleh pemustaka secara cepat dan tepat. Tuntutan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan informasi adalah tidak cukup dilayani seorang pustakawan yang tahu/paham dasar ilmu perpustakaan saja. Pemustaka/ pengguna tetap akan merasa senang dan memberikan penghargaan kepada pustakawan, walaupun tidak memperoleh informasi yang dibutuhkan, tetapi dilayani dengan ramah dan cerdas (Damayani,2005). Oleh karena itu, selain memiliki keahlian di bidang perpustakaan dan informasi, pustakawan dituntut untuk mengembangkan beberapa ketrampilan dan kemampuan. Kemampuan apa saja yang perlu dikembangkan oleh pustakwan, sehingga mampu bersikap profesional dalam memberikan pelayanan?
Mempunyai kompetensi di bidang perpustakaan merupakan syarat yang semestinya tidak dapat ditawar dalam penempatan sumber daya manusia di perpustakaan. klasifikasi yang sesuai, penulisan label yang benar, dan penyusunan buku di rak sesuai dengan kaidah ilmu perpustakaan. Sebagai sebuah profesi, pustakawan memiliki pula organisasi profesi yaitu IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia). IPI dibentuk di Ciawi Bogor dalam Kongres Pustakawan se-Indonesia pada tanggal 5-7 Juli 1973. Seperti juga organisasi profesi lain, seperti dokter, wartawan, hakim dan sebagainya yang memiliki kode etik, pustakawan juga memiliki Kode Etik Pustakawan Indonesia yang diikrarkan oleh IPI. Paparan di atas, penulis sajikan untuk menggambarkan bahwa profesi pustakawan sama juga seperti profesi guru, wartawan, dokter dan profesi-profesi yang
Profesionalisme dan Citra Positif Pustakawan Perpustakaan merupakan salah satu unit kerja yang memberikan jasa layanan kepada pemustaka, sehingga memerlukan sumber daya manusia, dalam hal ini pustakawan, yang benar-benar memiliki kemampuan yang memadai dalam memberikan pelayanan kepada pemustaka. Untuk menjadi tenaga profesional, seorang pustakawan perlu memiliki kompetensi, kepribadian, dan kecakapan. Sebagai tenaga profesional, pustakawan harus antusias atau bangga pada profesi,
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
49
punya motivasi yang kuat untuk belajar dan terus memperbaiki diri, menyenangkan dan menarik dalam memberikan pelayanan, serta ramah dan menghargai pemustaka. Dengan demikian pustakawan dituntut terus mengembangkan sikap-sikap profesional demi terwujudnya citra positif pustakawan Profesionalisme pustakawan mengandung arti pelaksanaan kegiatan yang didasarkan pada keahlian, rasa tanggung jawab dan pengabdian, serta kualitas hasil kerja yang tidak dapat dihasilkan oleh tenaga yang bukan pustakawan. Dia selalu berusaha mengembangkan kemampuan dan keahliannya untuk memberikan hasil kerja yang lebih bermutu dan sumbangannya yang lebih besar kepada masyarakat pemakainya (Septiyantono,2003). Beberapa hal penting yang harus diperhatikan untuk meningkatkan profesionalisme pustakawan yaitu : 1. Bekerja berdasarkan ilmu Pustakawan harus menguasai pengetahuan dasar ilmu perpustakaan, mulai dari menghimpun bahan pustaka, mengolah, menyebarkan, dan melestarikan sumber informasi. Bekerja berdasarkan ilmu, seorang pustakawan dituntut terus menambah ilmu yang dimiliki, memperluas wawasan, mengetahui dan segera menyikapi perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat. Sebagai contoh, pustakawan memiliki pengetahuan tentang katalogisasi, dengan berbagai aturan yang ada. Sudah tidak memungkinkan lagi saat ini pemustaka membuka satu persatu kartu katalog. Hal ini sungguh tidak nyaman bagi pemustaka. Bila pustakawan, tidak mau/tidak siap dengan perubahan-perubahan yang semestinya dilakukan, maka tinggal menghitung hari tenggelamnya profesi pustakawan.
50
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
Pustakawan harus mampu menunjukkan bahwa keahlian yang dimilikinya merupakan dasar dalam menelurkan hasil kerja yang tidak setiap orang mampu menghasilkannya. Seorang pustakawan harus mampu memberikan hasil kerja yang berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap profesi pustakawan dan pada gilirannya akan meningkat pula penghargaan masyarakat pada pustakawan. 2. Kemampuan intrapersonal Kemampuan intrapersonal adalah kemampuan seseorang untuk memahami dirinya sendiri. Karakteristik orang yang memiliki kemampuan intrapersonal mencakup: a. Memiliki tanggung jawab, b. Mampu mengenali perasaannya, dan mengarahkan emosi pribadinya, c. Mempunyai kepercayaan diri, d. Berani mengambil keputusan, e. Mampu memotivasi diri-sendiri, f. Mampu mengintropeksi diri dan memperbaiki kekurangannya. Kemampuan bertanggungjawab pada diri sendiri diwujudkan dalam ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mampu melaksanakan apa yang telah menjadi keputusannya. Mampu mengenali perasaannya dan mengarahkan emosi pribadinya, menjadikan pustakawan mampu memikirkan tindakan yang sebaiknya dilakukan. Sebagai contoh, pustakawan yang sedang merasa sedih atau kecewa karena sesuatu hal, dia tidak memperlihatkannya ketika berhadapan dengan pemustaka atau rekan kerjanya. Dia harus dapat menyembunyikan perasaannya. Dengan kata lain, dia dapat mengelola emosinya dengan baik. Perasaan percaya diri harus
dimiliki oleh seorang pustakawan. Pustakawan harus selalu tampil percaya diri. Hal ini akan meningkatkan kepercayaan pihak lain pada profesi ini. Dengan penampilan yang selalu terlihat bersih dan rapi, akan meningkatkan kepercayaan pihak lain terhadap kualitas pustakawan. Percaya diri perlu pula dibarengi dengan upaya peningkatan kemampuan diri. Pihak lain yang berinteraksi dengan pustakawan tidak akan yakin dengan kemampuan pustakawan, jika tidak tampil percaya diri. Seorang pustakawan juga harus mampu memotivasi diri sendiri, sehingga akan tumbuh sebagai pribadi yang tangguh. Memotivasi diri untuk terus belajar, mengevaluasi diri, dan termotivasi untuk memperbaiki kekurangannya. Dengan demikian dia akan selalu terbuka terhadap berbagai masukan yang diberikan kepadanya dan selalu berusaha mengembangkan kemampuan dan keahliannya untuk memberikan hasil kerja yang lebih berkualitas. Pustakawan juga harus selalu mengintrospeksi diri dan tidak merasa gerah atas kritik membangun yang disampaikan kepadanya. Untuk meningkatkan profesionalismenya, pustakawan diharapkan dapat memiliki kemampuan intrapersonal, sehingga profesi pustakawan merupakan pribadi-pribadi yang handal. Pustakawan yang memiliki kepribadian yang kuat akan mampu menyikapi berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat. Sosok pustakawan yang memiliki kemampuan intrapersonal akan muncul sebagai pribadi yang memiliki ciri-ciri antara lain (Nurhayati,2004): a. Selalu tampil rapi, bersih, penuh percaya diri, b. Kreatif dan terus memperbaiki kualitas dirinya, c. Senang dengan pekerjaannya,
d. Bangga apabila pekerjaan telah dilaksanakan dengan baik, e. Bersemangat mencari hal-hal yang baru (melalukan inovasi), f. Selalu meningkatkan kinerjanya dan memiliki dorongan untuk berprestasi. Motivasi berprestasi yang tumbuh dari diri sendiri, dapat membentuk jiwa kepemimpinan yang akan memunculkan pemimpin yang kuat dan mampu menetapkan target kinerja yang tinggi (Nurhayati, 2004). Kemampuan lain yang harus dimiliki oleh pustakawan, selain memiliki ciri kepribadian di atas dengan kemampuan/keahlian di bidang perpustakaan, adalah kemampuan interpersonal. 3. Kemampuan Interpersonal Kemampuan interpersonal berkaitan dengan kemampuan seseorang berinteraksi dengan orang lain dan membangun hubungan baik dengan individu lain. Seseorang dengan profesi apapun sangat membutuhkan kemampuan ini, tak terkecuali pustakawan. Profesi pustakawan merupakan pekerjaan yang harus melakukan kontak dengan orang lain yang termasuk kemampuan interpersonal. Ketika pustakawan berinteraksi dengan pemustaka, dia memerlukan kemampuan berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi harus dilatih supaya proses penyampaian pesan berhasil dan memberikan kesan positif. Pustakawan dituntut mampu menciptakan komunikasi yang menyenangkan. Perlu dipertanyakan pada diri pustakawan dalam melatih kemampuan berkomunikasi (Murniaty, 2006), yaitu: Apakah saya telah menyampaikan pesan dengan ramah dan bersahabat? Apakah saya terkesan tergesagesa dalam melakukan komunikasi dengan pemustaka? Apakah jawaban
saya membuat pemustaka merasa puas? Kondisi pustakawan yang mau secara terus-menerus mengevaluasi dirinya ketika berkomunikasi dengan pemustaka, akan meningkatkan kemampuannya dalam berkomunikasi. Kemampuan dalam berkomunikasi akan membawa dampak pada hasil pekerjaan pustakawan. Suasana perpustakaan terkesan kaku, karena terbatasnya interaksi antara pustakawan dengan pemustaka. Pustakawan kadang enggan berbicara dan hanya menjawab singkat atas pertanyaan pemustaka. Mereka beranggapan bahwa hal itu yang seharusnya dilakukan agar tidak mengganggu ketenangan pemustaka lain, padahal mungkin justru para pemustaka memerlukan banyak penjelasan, karena keterbatasan pengetahuannya. Pustakawan berpikir bahwa dengan memberikan layanan sistem terbuka (open library system) dan dilengkapi papan informasi, pemustaka dianggap telah paham apa yang harus dilakukan. Pertanyaan yang disampaikan kepada pustakawan akan dijawab singkat, terkesan berat hati sehingga tidak memberikan kenyamanan bagi pemustaka. Hal tersebut akan memberikan citra buruk pada pustakawan dan perpustakaan. Perilaku/sikap yang harus diperhatikan ketika berkomunikasi adalah: 1. Mendengarkan dengan seksama dan penuh perhatian. Dengan demikian diharapkan tidak akan timbul kesalahpahaman. Pustakawan harus mengerti pesan apa yang disampaikan pemustaka (pihak lain). 2. Mencoba mengerti perasaan pemustaka ketika membutuhkan informasi tersebut. Berpikir dengan kerangka berpikir
pemustaka. Misalnya, apakah pemustaka merasa tergesagesa, sehingga membutuhkan jawaban singkat dan segera, ataukah sebaliknya. 3. Menciptakan kesan positif ketika berkomunikasi, misalnya menjawab setiap pertanyaan dengan ramah dan santun. Kemampuan pustakawan membangun hubungan baik dengan individu lain diperlukan dalam memberikan layanan sesuai keinginan pemustaka. Pemberian layanan yang sesuai dengan keinginan pemustaka diharapkan dapat meningkatkan citra pustakawan. Untuk itu pustakawan perlu mengembangkan kemampuan beradaptasi dan tanggap akan keinginan pemustaka. Menciptakan hubungan baik dengan individu lain, mustahil tanpa adanya sikap positif terhadap beragamnya kebutuhan dan keinginan pemustaka. Sikap positif akan terlihat dari sorot mata pustakawan, pilihan kata yang digunakan, dan sikap santun dalam berkomunikasi. Menyampaikan sapaan yang hangat dan bersahabat, membuat pemustaka merasa nyaman dan tidak merasa salah alamat, walaupun pada akhirnya dia tidak memperoleh informasi yang dibutuhkan. Selain menciptakan hubungan baik dengan pemustaka, pustakawan juga perlu mengembangkan hubungan baik dengan atasan, rekan kerja, dan profesi lain. Pustakawan harus berinteraksi dengan profesi lain, pegawai di unit lain, dan dengan pejabat struktural lembaga induk di mana perpustakaan bernaung ketika mengelola perpustakaan. Oleh karena itu, kemampuan bekerja dalam sebuah tim atau bekerja sama dengan orang lain sangat diperlukan.
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
51
daftarpustaka Citra Positif Pustakawan Citra merupakan seperangkat kesan atau image di dalam pikiran seseorang atau masyarakat terhadap sesuatu objek (Pudjiono). Sedangkan citra pustakawan dikatakan sebagai pandangan yang diberikan masyarakat terhadap profesi pustakawan. Pustakawan akan memperoleh kesan yang baik/positif maupun negatif dari pihak yang berhubungan. Hal ini logis karena pustakawan dalam aktivitasnya selalu berhubungan dengan berbagai pihak. Perlu diperhatikan bahwa ketika pustakawan berinteraksi dengan pemustaka, hal itu dilakukan atas nama perpustakaan. Oleh karena itu, jika pustakawan memperlakukan pemustaka dengan buruk, maka kesan buruk pula yang akan melekat pada perpustakaan di mana dia bekerja. Bekerja berdasarkan ilmu dengan terus memperhatikan perkembangan ilmu dan teknologi, memiliki kepribadian yang tangguh, dan mampu berinteraksi dengan orang lain, membangun hubungan baik dengan orang lain merupakan kunci keberhasilan dalam mewujudkan citra positif pustakawan. Dengan terus mengembangkan ilmu pengetahuan, kemampuan intrapersonal, dan interpersonal akan meningkatkan profesionalisme pustakawan. Peningkatan citra pustakawan dapat ditingkatkan dengan berkomunikasi dengan baik dan selalu memberikan kualitas terbaik kepada pemustaka dan pihak yang terkait dengan perpustakaan. Sikap pustakawan yang pasif, membiarkan pemustaka kebingungan bagaimana memperoleh informasi, dan tidak tahu harus bertanya kepada siapa,
52
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
sudah harus menjadi bagian sejarah masa lalu, yang tidak boleh diulang. Terakhir, kita semua berharap citra positif terhadap pustakawan akan terus meningkat seiring dengan upaya pustakawan mengembangkan dirinya. Penutup Pandangan masyarakat tentang profesi pustakawan akan berubah tergantung bagaimana pustakawan mampu menanggapi dan melakukan perubahan yang lebih berkualitas sesuai tuntutan pemustakanya. Penerapan sikap profesional dalam menjalani profesi sebagai pustakawan akan memberikan kepuasan kepada pemustaka. Semakin tinggi tingkat kepuasan pemustaka terhadap layanan perpustakaan, maka semakin tinggi pula penghargaan pemustaka terhadap perpustakaan dan pustakawan di mana hal itu akan meningkatkan citra positif pustakawan. Ada tiga sikap profesional harus terus dipupuk dan dibina, yaitu bekerja berdasarkan ilmu dan terus mengembangkan kemampuan diri, memiliki kemampuan intrapersonal, dan terus meng embangkan kemampuan interpersonal. Sebagai seorang pustakawan harus mempunyai komitmen untuk selalu meningkatkan profesionalisme, baik di lingkungan kerja, maupun ketika kita berinteraksi dengan profesi lain. Di lingkungan kerja, seorang pustakawan harus mampu menunjukkan keahlian di bidangnya. Seorang pustakawan juga harus mampu memberikan ide, pemikiran yang terbaik bagi institusinya, dan terus mengembangkan potensi diri, mengevaluasi diri, dan selalu belajar untuk menambah pengetahuan.
Damayani, Ninis Agustini. 2005. Interpersonal skill dalam pelayanan perpustakaan. Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi 1 (1) Juni hal: 23-28. Departemen Pedidikan dan Kebudayaan, 1989. Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Lasa, HS. 2004. Menuju ke kemandirian Pustakawan. Media Informasi XIII (18) hal: 1-10. Murniaty. 2006. Membangun image pustakawan melalui ketrampilan berkomunikasi. http://library.usu.ac.id/ download/fs/06009264.pdf. Diakses tanggal 13 Juni 2007, pukul 15.00 wib. Nurhayati.2004. Motivasi Kerja bagi pustakawan sebagai penyedia jasa informasi. Media Pustakawan XIII (18) hal: 11-18. Pudjiono. Membangun Citra: Perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia menuju perpustakaan bertaraf internasional. http://www.lib.ui.ac.id/files/Pudjiono. pdf. Diakses tanggal 13 Juni 2007, pukul 17.00 wib. Septiyantono, Tri. 2003. Dasar-dasar ilmu perpustakaan dan informasi. Yogyakarta: Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga. Sutardji dan Sri Ismi Maulidyah, 2006.Analisis beberapa faktor yang berpengaruh pada kepuasan pemustaka: studi kasus di Perpustakaan Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Jurnal Perpustakaan Pertanian 5 (2) hal: 32-3.
Entrepreneurship Pustakawan di Era Persaingan Global Oleh : Rinawati
Staff Perpustakaan Universitas Bhayangkara, Surabaya
Abstrak Pengaruh dunia cyber yang memanjakan pengguna informasi menuntut kemampuan merubah paradigma kepustakawanan, dengan semboyan berikan layanan pengguna dengan informasi yang tepat pustakawan harus berani melakukan insiatif dan aksi hingga terbentuk jiwa entrepreneurship. Nilai bisnis kepustakawanan sebagai usaha mendapatkan peluang dan tantangan baru pada bisnis jasa informasi dengan kenyakinan dan komitmen sebagai wujud keikutsertaan pustakawan pada persaingan global.
Pendahuluan “Cyber Mania” yang merasuk kedalam semua gerak peradaban manusia, berpengaruh pada perpustakaan yang disebut dengan pusat sumber informasi, Kehadiran internet dianggap dewi fortuna sebagai pemecahan solusi hambatan jarak, ruang, birokasi dan waktu hadir dengan berbagai kehandalan seperti electronik mailnya (disingkat e-mail) maupun hadirnya teknologi html (hypertext machine language) yang dapat menyimpan segala macam bahan pustaka baik tulisan, maupun gambar dalam dunia maya. Atas dasar analogi tersebut muncullah perpustakaan elektronik (electronic library) atau perpustakaan maya (virtual library) yang berbasis website. Kehadiran perpustakaan maya dengan berbagai kemampuan fleksibilitas merupakan suatu inovasi baru yang memanjakan pengguna akan kebutuhan informasi dengan pilihan beragam dan mutakhir dapat diakses secara cepat dan akurat tanpa batasan ruang dan waktu dengan jaringan kerja (networking) restrukturisasi (restructuring) otomasi tingkat global, kemudahan akses informasi berjalan-jalan di dunia maya yang mengaksyikan, digitalisasi akses pengguna terhadap sumber informasi
secara online maupun offline, serta penyediaan layanan yang lebih berorentasi kepada pengguna. Sementara kepustakawanan kita masih berkutat dengan masalah sentralnya seperti anggaran, kebijakan pimpinan terkait, birokrasi, setumpuk tuntutan profesionalisme rendahnya kualitas sumber daya perpustakaan dan sebagainya, menjadikan citra perpustakaan belum dapat disejajarkan dengan profesi yang lain seperti guru, dosen, bidan dan sebagainya. Evolusi era digital tersebut seharusnya menjadi dorongan untuk mengubah peran pustakawan lebih kepada fungsi manajer, bukan penjaga atau perawat buku saja seperti yang terjadi selama ini. Pustakawan harus bangkit dari keterpurukan dan sanggup memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat akan informasi. Kemandirian pustakawan dalam menghadapi tantangan maupun resiko sesuai kondisi dan lingkungannya sebagai modal utama dalam mengikuti persaingan global. Tulisan ini mencoba menggali kembali fenomena pustakawan di tengah persaingan global, dimana pustakawan sebagai mediator antara manusia dengan pengetahuan
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
53
harus tanggap akan posisinya serta mampu menyakinkan dengan jiwa wirausaha atau entrepreneurship menunjukkan keikutsertaan dalam persaingan global dewasa ini. Sesuai latar belakang profesi penulis sebagai pengelola perpustakaan, maka konsep wirausaha atau entrepreneurship diarahkan pada peran pustakawan yang berada dalam organisasi kepustakawanan.
dan spesialisasi. Kondisi ini akan mempengaruhi visi, misi, dan tujuan perpustakaan maupun pustakawan dengan pesaing bidang/ ilmuwan lain seperti pustakawan maya, broker cyber media dan sebagainya. Mengahadapi kondisi tersebut diperlukan kesiapan dan atisipasi bahwa nantinya akan ada perpustakaan yang bubar ditengah jalan dan ada perpustakaan yang ramai dimanfaatkan pemakai karena memiliki spesifikasi tersendiri misalnya :koleksi, sarana, kemudahan akses dan sebagainya. Hakekat kinerja pustakawan adalah sebagai mediator antara masyarakat dan sumber informasi, dalam kegiatan pustakawan harus berusaha mendayagunakan secara
information, right users and right now dalam mengantisipasi tuntutan dan banjir informasi sehingga pustakawan mendapat kesan tersendiri dari penggunanya serta sebagai wujud keikutsertaan mengikuti persaingan global.
B. Entrepeneuship Kepustakawan Entrepreneurship terjemahan dari kewirausahaan, dilontarkan tahun 1975 dan mulai diantara A. Pergeseran Paradigma anggota Entrepreneur Development Kepustakawanan Program – Development Technology Apabila kita bayangkan keadaan Centre (EDP-DTC) ITB berpendapat sekarang ini sulitnya merencanakan bahwa entrepreneurship spirit, yang masa depan yang penuh ketidak intinya menciptakan nilai atau pastian, karena berbagai faktor manfaat melalui inovasi diperlukan di yang saling mempengaruhi. kalangan organisasi kemasyarakatan Lingkungan antara lain perubahan maupun organisasi yang memberikan politik, lingkungan pelayanan publik sosial, strutur yang legal, (Astamoen. 2005:50). situasi ekologi, bencana Entrepreneurship dari kata Hakekat kinerja pustakawan adalah alam, kondisi budaya. entrepreneur yang diambil sebagai mediator antara masyarakat Lingkungan khusus dari bahasa Perancis, dan sumber informasi, dalam juga mempengaruhi dimaksudkan mereka kegiatan pustakawan harus berusaha perpustakaan sebagai yang berusaha itu berani mendayagunakan secara maksimal lembaga /unit yang melakukan pekerjaan yang relevan bagi organisasi/ sulit, dengan keberanian sumber-sumber informasi sesuai lembaga penaungnya melakukan inisiatif dan aksi kebutuhan masyarakat. dalam mencapai tujuan (Lasa Hs: 2006). (Lasa Hs: 2006). Revolosi digital Kondisi lain yang mendorong maksimal sumber-sumber informasi mendorong perpustakaan sebagai pergeseran paradigma disinyalir sesuai kebutuhan masyarakat. organisasi harus mengalami akibat dari telah mendunianya Akibat globalisiasi informasi perubahan, dimana setiap organisasi politik ekonomi dunia yang dimana informasi dapat diperoleh yang menginginkan perubahan lebih kapitalistik dan menjadi hegenomi dengan cepat, tepat dan mudah baik pasti mengalami tantangan. dunia dengan cepat meresap ke sehingga muncul paradigma Kompetensi dan komitmen sangat setiap sektor kehidupan manusia, baru kepustakawanan berbagai dibutuhan dalam menghadapi sehingga konsep setulus hati dalam sebutan seperti perpustakaan tantangan untuk mewujudkan bekerja sulit dipertahankan. Hal maya, perpustakaan tanpa dinding, suatu harapan. Kompetensi yaitu inilah yang menyebabkan semua perpustakaan digital dan lainpengetahuan, ketrampilan, dan institusi menerapkan konsep lain telah mewarnai kehidupan perilaku yang harus dimiliki serta mempertahankan untuk tetap hidup. perpustakaan. komitmen menurut Michael yaitu Pesatnya perkembangan ilmu Marginalisasi pustakawan harus kegiatan yang berhubungan dengan pengetahuan dan teknologi serta menjadi bagian dari perkembangan kesetiaan terhadap organisasi bidang lain akan terjadi saling kepustakawanan atas dampak yang terdiri dari tiga komponen interaksi dan saling mendukung, aplikasi TI yaitu dengan memberikan 1) Indentifikasi dengan organisasi dalam proses ini akan lahir ilmu layanan pengguna dengan informasi (tujuan, nilai), 2) Keinginan tetap maupun bidang baru dan dalam yang tepat (right information for the berkarya diorganisasi tempat bekerja; perkembangannya bidang-bidang right users) maksudnya pustakawan 3) Kemauan untuk bekerja keras demi itu, akan menuju pada spesifikasi harus memiliki semboyan right organisasi dimana mereka bekerja
54
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
tentang: - Visi, misi dan tujuan perpustakaan - Skill yang memadai - Insentif yang layak - Sumber daya yang sesuai - Rencana kerja yang matang c. Perubahan sikap dan penampilan (perfonmance) petugas Mereka (petugas) yang terlibat dalam kegiatan perpustakaan harus merubah sikap dan berkeyakinan bahwa mereka (pemakai/pengguna) itu adalah pelanggan yang berhak mendapat pelayanan informasi sebagai tujuan untuk kepuasan pelanggan.
Foto: sxc.hu
d. Penataan ruangan dan sarana Tata ruang dan sarana perpustakaan merupakan suatu kebutuhan ruangan yang langsung dirasakan oleh kepustakawanan untuk memperlancar usaha /kegiatannya dalam mencapai tujuan itu perlu diusahakan keamanan dan kenyamanan bagi para pelanggannya.
(Ernawati, Endang: 2004) yang baik mampu membentukan pustakawan yang mandiri sikap atau jiwa entrepreneuship. Sejalan dengan entrepneurship kepustakawanan dalam persaingan global diperlukan langkah-langkah antara lain: a. Restrukturisasi Organisasi Organisasi dalam arti dinamis yaitu menyoroti aktivitas atau kegiatan yang ada di dalam organisasi, serta segala macam aspek yang berhubungan dengan usaha pencapaian tujuan yang hendak dicapai (Wursanto: 2003:42) dimaksudkan suatu unit kerja/ kegiatan terdapat beberapa orang atau kelompok yang saling berhubungan/berinteraksi dengan suatu sistem untuk merealisir tujuan
yang telah disepakati. Penyusunan struktur organisasi yang tepat dengan menempatkan orang sesaui perannya berpengaruh pada kinerja sehingga perpustakaan akan mendapat citra tersendiri di hati masyarakat. b. Penataan manajemen Maju mundurnya suatu lembaga sangat dipengaruhi sistem manajemen yang diberlakukan terutama pada top manager, untuk perlu memperhatikan penugasan jabatan pimpinan harus didasarkan pada kemampuan manajerial serta penempatan orang dengan peran yang sesuai (the right man on the right place). Dalam penataan manajemen perpustakaan perlu rumusan
e. Indentitas Usaha Selain jasa layanan sebagai nilai bisnis kepustakawanan, maka entrepreneurship (jiwa kemandirian) kepustawanan harus jeli mencari peluang lain agar tidak ditinggalkan oleh pelanggannya C. Nilai Bisnis Kepustakawanan Komersialisasi seperti sudah tidak asing dalam kehidupan masyarakat kita, mulai dari barang, jasa hingga informasi. Apalagi kemajuan Iptek khususnya teknologi informasi dimana perpustakaan sebagai pusat sumber informasi memiliki peluang bisnis dengan layanan jasa informasi, akan tetapi sebagian kepustakawanan tradisional masih berpikiran kuno bahwa haram bagi pustakawan untuk menyetuh aspek bisnis, sehingga ketika teknologi informasi menyentuh kehidupan masyarakat kepustakawanan tradisional ketakutan bahwa lahan mereka diambil alih oleh para pemain
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
55
bisnis. Pandangan keliru penyebab ketakutan tanpa alasan secepatnya harus ditinggalkan. Komersialisasi informasi kenapa tidak?, Menurut David W Levis dalam “Bringing the Market to Libraries” berpendapat bahwa layanan perpustakaan yang dapat dikomersiilkan adalah: ♦ Inter library loan (pinjam antar perpustakaan) ♦ Penelusuran terpasang (on line) ♦ Layanan referensi ♦ Bibliografi ♦ Salinan bahan (foto copy) ♦ Layanan antar bahan koleksi ♦ Jasa kesiagaan informasi Namun sesuai perkembangan zaman dengan masuknya konsep perpustakaan maya (virtual library), maka terjadi pergeseran bahwa pada kenyataannya semua layanan itu dapat dikomersilkan, diantaranya: ♦ Menjadi anggota (member) ♦ Pinjam buku ♦ Mendownload koleksi ♦ Layanan antar bahan koleksi ♦ Kemas ulang bahan koleksi ♦ Suart elektronik (e-mail) ♦ Chatting sampai forum bila tersedia Dalam menerapkan sistem perpustakaan komersial pihak pengelola perpustakaan maupun semua pemain bisnis didunia maya perlu memperhatikan aspek-aspek penting seperti: ♦ Bentuk permintaan pemakai yang sering diminta ♦ Sistem keamanan informasi pribadi anggotanya ♦ Kecanggihan sistem outomasi perpustakaan ♦ Hingga studi kelayakan kepuasan pemakai (lebih pada user studies) Sejalan dengan target kinerja yang dinyatakan dalam Balance Scorecard, dengan target kinerja SDM yang dinyatakan dengan HR Scorecard, maka akan diperoleh matriks nilai SDM yang terkait dengan operasional perpustakaan,
56
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
hal ini bisa disebut Business Value of Librarian, contohnya adalah: 1. Customer statisfacation Operational excellence, menggam barkan ketersediaan pustakawan andal yang dapat meningkatkan kepuasan pengguna 2. Internal Business Process User orientation, menggambarkan tingginya tingkat kepuasan pustakawan karena mereka berhasil menyelenggarakan proses internal dengan baik 3. Financial Figure Future orenentation, memperlihatkan bagaimana di masa depan keberadaan pustakawan mampu memberikan keuntungan bagi perpustakaan dan lembaga penanungnya. 4. Learning and Growth Corporate Contribution, memperlihatkan implemen tasi pustakawan yang mampu membuat perpustakaan berkembang pesat karena dapat meningkatkan layanan dan mampu berfungsi sebagai sumber pendapatan (profit centre) Kepustakawanan harus berbangga hati sesungguhnya peluang mewujudkan perpustakaan bisnis, seperti IDLN (Indonesia Digital Library Nework) yang dibangun oleh intelektual ITB, perkembangan baru model pembelajaran e-library e-learning bentuk program hibah kopetensi perguruan tinggi inhernt (jaringan pembelajaran), kemudian bermunculanan penawaran jaringanjaringan baru yang berhubungan dengan pustaka seperti e-book OCLC serta penawaran lain yang berhubungan dengan informasi pustaka. Untuk itu diperlukan kesiapan kepustakawanan kita serta pihak-pihak yang berkompeten dan bertanggung jawab dalam menangani masalah ini. Penutup Kepustakawanan kita harus berubah sesuai tuntuntan masya
rakatnya agar tidak ditinggal kan penggunanya. Pesatnya perkembangan Iptek di tengah ketatnya persaingan global saat ini diperlukan kenyakinan dan komitmen untuk menjadi jiwa entrepreneurship (kewirausahaan) kepustakawan terus dibina, terus belajar, berusaha, mencari peluang dan tantangan baru untuk kepentingan diri sendiri maupun profesionalisme yang lebih baik. sehingga kepustakawan kita mendapat citra baik masyarakat sejajar dengan profesi dosen, dokter, guru dan sebagainya.
daftarpustaka Alma, Buchari (2005), Kewirausahaan untuk mahasiswa dan umum, Bandung: Alfabeta Astamoen, Moko P (2005), Entrepreneurship dalam prespektif kondisi bangsa Indonesia, Bandung: Alfabeta Ernawati, Endang (2004) Kompetensi, komitmen, dan intrapreneurship pustakawan dalam mengelola perpustakaan di Indonesia, Makalah yang disampaikan dalam seminar ilmiah FPPTI di Universitas Indonusa Esa Unggul Jakarta Hartono (2004) Perpustakaan dalam praktek knowledge enabler: prespektif pustakawan, artikel lepas on line Lasa HS (2004), Mewirausahakan perpustakaan: suatu pemikiran, Yogyakarta: UGM. Artikel lepas on line Simanjuntak, Melling (1995), Kepustakawanan alternatif, makalah disampaikan pada Konggres IPI VII di Jakarta Soetardi, Ilham Prisgunanto, Menciptakan perpustakaan yang berorentasi bisnis, Jakarta: Harian umum Sinar Harapan 1 Desember 2001 Sudarsono, B, Peran pustakawan di abad elektronik: impian dan kenyataan, disampaikan pada seminar sehari “Peran pustakawan di abad elektronik: Impian dan kenyataan, Jakarta: PDII-LIPI, 2 Juni 2000
Oleh: Yulianti Pustakawan Perpustakaan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
Two Way Flow of Information:
Paradigma Baru Pengelolaan Informasi dan Perpustakaan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan dalam Perspektif Library 2.0 Pendahuluan Keberadaan perpustakaan tidak dapat dipisahkan dari peradaban dan budaya umat manusia. Perpustakaan adalah sebuah organisasi yang hidup. Sebagai sebuah organisasi yang hidup, perpustakaan akan senantiasa berkembang mengikuti segala perubahan yang terjadi di masyarakat. Sekecil apa pun perubahan yang terjadi, pasti akan membawa dampak pada perpustakaan, baik dalam aspek layanan teknis maupun sisi manajemen secara keseluruhan. Perkembangan dunia perpustakaan juga didukung oleh perkembangan teknologi informasi. Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan telah mengantisipasi dengan cermat mengenai hal ini. Ada 2(dua) Pasal
yang secara eksplisit menyatakan dukungan dan antisipasi pemerintah terhadap perkembangan yang terjadi di dunia perpustakaan, yakni yang terkait dengan pelayanan teknis (Bab V, pasal 14, ayat 3) yang berbunyi: “Setiap perpustakaan mengembangkan layanan perpustakaan sesuai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi”, serta yang terkait dengan manajemen dan pengelolaan secara keseluruhan (Bab VI, pasal 19, ayat 2), yang berbunyi : “Pengembangan perpustakaan dilakukan berdasarkan karakteristik, fungsi dan tujuan, serta dilakukan sesuai dengan kebutuhan pemustaka dan masyarakat dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.” Kedua pasal tersebut di atas membawa konsekuensi yang cukup “menantang “ bagi dunia informasi dan perpustakaan. Konsekuensi untuk tetap memberikan yang
terbaik kepada pemustaka, apapun dan bagaimanapun perkembangan yang terjadi. Hal ini didorong juga oleh bunyi Pasal 14 dalam Undang-Undang yang sama, yang menyebutkan bahwa layanan perpustakaan dilakukan secara prima dan berorientasi bagi kepentingan pemustaka. User oriented. Ya! Semua upaya yang dilakukan perpustakaan adalah untuk kepentingan pemustaka. Begitu pula ketika perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mengalami pergeseran paradigm dan pergeseran titik pandang, maka perpustakaan memiliki konsekuensi untuk berusaha menyesuaikan diri terhadap perubahan tersebut, dengan tetap mengedepankan kepentingan pemustaka. Bahkan pemustaka bisa menjadi dasar pijakan utama bagi setiap jengkal perubahan dan perkembangan perpustakaan (usercentered development)
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
57
Paradigma Lama vs Paradigma Baru Pengelolaan informasi dan perpustakaan berkembang bertahap sesuai perkembangan yang terjadi di masyarakat. Perkembangan perpustakaan dimulai dari perpustakaan tradisional yang hanya terdiri dari kumpulan buku saja. Kemudian tahap selanjutnya digunakan katalog manual. Setelah itu berkembang katalog elektronik. Penelusuran informasi dilakukan secara elektronik, begitu pula dengan pengelolaan koleksi perpustakaan. Terakhir, berkembang digital library, yaitu pengelolaan informasi dan perpustakaan secara digital. Perpustakaan mengelola semua sumberdaya yang dimlikinya secara digital, walaupun masih satu arah. Pihak pengelola perpustakaan tidak begitu memperhatikan bagaimana efek atau respon dari pengguna perpustakaan tersebut. Satu arah. Itu adalah ungkapan yang paling tepat ditujukan kepada paradigma lama pengelolaan informasi dan perpustakaan ini. Sebenarnya, pihak pengelola bisa saja memperhatikan segala efek dan respon yang muncul (setidaknya efek atau respon yang terlihat langsung), namun dalam paradigm lama, hal ini belum menjadi pusat perhatian dari para pengelola informasi dan perpustakaan. Sehingga antara pengelola sebagai penyedia layanan dan pemustaka sebagai pengguna layanan, keduanya berjalan masing-masing. Satu arah saja. Tidak ada interaksi yang bersifat mutualisme. Tahap perkembangan selanjutnya adalah tahapan di mana teknologi informasi mutakhir telah berhasil menggabungkan teknologi telekomunikasi konvensional yang bersifat massif dengan teknologi komputer yang bersifat interaktif. Perkembangan terkini dari teknologi informasi dan komunikasi, atau Rogers (1986) menyebutnya sebagai
58
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
new media)- ini dikenal dengan sebutan media convergence, yaitu “the integration of mass media, computers and telecommunications..” Konvergensi media ini muncul melalui perpaduan beberapa produk secara bersama-sama dalam satu produk baru yang memiliki kemampuan multifungsi. Mekanisme baru dalam berkomunikasi, ditandai dengan penggunaan mutimedia di mana teks, suara, gambar atau grafis dapat diakses sekaligus ke dalam seperangkat media, telah mendorong
perpustakaan dan pemustakanya. Paradigma lama komunikasi mereka hanya berlangsung satu arah. Umpan balik atau respon dari informasi yang disampaikan tidak dapat langsung diketahui oleh sang pengirim informasi (pengelola perpustakaan). Paradigma baru tidak demikian. Di bawah ini adalah perbedaan proses komunikasi menurut paradigma lama dan paradigma baru antara pengelola perpustakaan dengan penggunanya (pemustaka). Catatan :
Paradigma Lama Komunikator
Pesan
Media
Komunikan
Pesan
Media
Komunikan
Paradigma Baru Komunikator
Efek/Respon perubahan di berbagai aktivitas industri komunikasi. Konvergensi menyebabkan perubahan radikal dalam penanganan, penyediaan, distribusi dan pemrosesan seluruh bentuk informasi baik visual, audio, data dan sebagainya. Kunci dari konvergensi adalah digitalisasi, kerena seluruh bentuk informasi maupun data diubah dari format analog ke format digital dan dikirim ke dalam satuan bit (binary digit). Karena informasi yang dikirim merupakan format digital, konvergensi mengarah pada penciptaan produk-produk yang aplikatif dan mampu melakukan fungsi audiovisual sekaligus komputasi. Maka tidak heran jika sekarang komputer dapat difungsikan sebagai pesawat televisi, atau telepon genggam dapat menerima suara, tulisan, data maupun gambar tiga dimensi. Selanjutnya, ada perubahan yang cukup mendasar dalam metode berkomunikasi antara pengelola
Komunikator : Pengelola informasi dan perpustakaan Pesan : Informasi atau layanan yang diberikan Media : Alat komunikasi yang digunakan oleh Pengelola informasi dan perpustakaan Komunikan : Pengguna perpustakaan (pemustaka) Efek : Respon dari penyampaian informasi Maka, apabila dianalogikan menjadi komunikasi antara pengelola perpustakaan dan pemustaka, prosesnya menjadi : Pada paradigma lama, pengelola informasi dan perpustakaan menyampaikan informasinya melalui jasa layanan kepada pemustaka. Setelah itu selesai. Umumnya respon atau efek yang muncul kemudian pada diri pemustaka tidak lagi menjadi perhatian pengelola informasi dan perpustakaan. Meskipun mungkin mereka bertemu dan bertatap muka, namun semuanya berlangsung satu
Paradigma lama interaksi pengelola informasi dan pemustaka Pengelola Perpustakaan
Informasi
Jasa Layanan
Pemustaka
Paradigma baru interaksi pengelola informasi dan pemustaka Pengelola Perpustakaan
Informasi
Jasa Layanan
Pemustaka
Respon/Tanggapan
arah saja. Sedangkan pada paradigma baru, setelah pengelola informasi dan perpustakaan menyampaikan informasinya melalui jasa layanan kepada pemustaka, kemudian pemustaka memberikan responnya, sehingga pengelola informasi dan perpustakaan bisa melihat efek yang ditimbulkan dari informasi yang disampaikannya. Hal ini terlepas dari kendala tempat dan waktu. Jadi, di mana pun dan kapan pun seorang pemustaka memberikan responnya, maka pengelola informasi dan perpustakaan akan segera mengetahuinya. Pengelola informasi dan perpustakaan bisa segera memperbaiki kualitas layanan yang diberikannya tersebut sesuai keinginan pemustaka. Dalam paradigma baru ini, pengelola informasi dan perpustakaan bahkan dipaksa untuk melihat efek atau respon yang terjadi. Hal ini dikarenakan respon yang datang tersebut itu mampu mempengaruhi keseluruhan pengelolaan perpustakaan tersebut. Bahkan pada satu kasus, tanggapan atau respon pemustaka (pengguna jasa) yang tidak ditanggapi akan menjadi bomerang bagi institusi perpustakaan itu sendiri. Jadi, pengelola mau tidak mau harus memperhatikan efek dari informasi (layanan) yang diberikannya. Semuanya terbuka dan mudah diukur.
Paradigma Baru Pengelolaan Informasi dan Perpustakaan dalam Perspektif Library 2.0 Participatory information services. Itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan paradigma pengelolaan informasi dan perpustakaan dalam perspektif Library 2.0. Dalam Library 2.0, keterlibatan pemustaka sangat signifikan. Layanan informasi dan perpustakaan benarbenar dilakukan berdasarkan atas masukan, tanggapan dan evaluasi yang disampaikan oleh pemustaka. Pemustaka terlibat dan diperhitungkan dalam setiap perubahan dalam proses pengembangan layanan. Hal ini didorong oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan pengelola dan pemustaka untuk berinteraksi di mana saja dan kapan saja secara langsung. Dalam Library 2.0, pemustaka diberdayakan secara maksimal. Perubahan adalah sesuatu yang pasti dan terjadi terus menerus. Satu hal pokok yang menjadi ciri khas Library 2.0, yang membedakannya sebagai patokan paradigm baru dalam pengelolaan informasi dan perpustakaan adalah sifatnya yang two way flow of information. Pada awalnya, sifat ini terdorong oleh karakteristik teknologi informasi dan komunikasi baru (new media) seperti internet yang interaktif. Namun pada perkembangan selanjutnya, bila two way flow of information ini menjadi
patokan semangat perubahan layanan perpustakaan, maka proses komunikasi informasi dua arah ini bisa melalui berbagai media, mulai dari kuesioner, survey, kotak saran sampai interaksi langsung seperti internet. Konsep Library 2.0 merupakan konsep baru yang terkait dengan perubahan dalam pengelolaan lembaga informasi dan perpustakaan yang melibatkan pengguna. Perubahan yang terjadi akan berlangsung secara bertahap dan sedikit demi sedikit namun secara terus menerus sesuai perkembangan dan evaluasi pengguna terhadap jasa layanan yang diberikan. Dampak Pergeseran Paradigma Paradigma baru pengelolaan informasi dan perpustakaan dalam perspektif Library 2.0 yang bersifat two way flow of information membawa dampak yang nyata. Dampak yang tidak hanya bagi setiap individu (pustakawan dan pemustaka), tetapi juga dampak bagi institusi perpustakaan secara keseluruhan. Dampak secara individu dari berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi ini dijelaskan juga oleh Rogers (1986:134) sebagai berikut : 1. Umumnya individu akan menjadi more cosmopolite, yakni kemampuan atau kecenderungan khalayak untuk berorientasi keluar sistem sosial mereka dan lebih aktif mencermati sistem sosial di sekitar mereka. 2. Memiliki kemampuan untuk lebih expose terhadap chanelchanel media massa. Komunikasi antarpersona secara langsung secara signifikan akan mengalami penurunan, tapi bukan berarti hilang sama sekali (Tubb,2001). Setidaknya suatu segmen penduduk atau sejumlah transaksi tatap muka akan diperantarai oleh komputer dan televisi interaktif. 3. Lebih aktif berkomunikasi (antarpersona) melalui jaringan komunikasi global (internet).
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
59
4. Memiliki kesempatan langsung yang lebih luas untuk berinteraksi dengan segala sumber informasi di mana pun dan kapan pun secara interaktif. 5. Memiliki empati yang lebih baik terhadap lingkungan sekitarnya. 6. Bersifat lebih terbuka terhadap kemajuan dan hal-hal baru (less dogmatism) 7. Memiliki kemampuan untuk kerjasama yang tinggi dengan lingkungan sekitarnya. 8. Lebih bersikap rasional dalam melihat sesuatu fenomena. Secara umum gambaran khalayak pemustaka adalah akan bersikap lebih inovatif serta menjadi active info seeker. Sedangkan dampak terhadap kerja organisasi pengelola juga digambarkan Rogers (1986:164) sebagai berikut :
Dalam gambar di atas terlihat bahwa inovasi teknologi dalam komunikasi organisasional suatu institusi membawa dampak yang signifikan dan sangat berpengaruh terhadap keseluruhan kerja organisasi. Pada konteks lembaga informasi dan perpustakaan dalam perspektif Library 2.0, meskipun perubahan yang terjadi bersifat bertahap sesuai perkembangan evaluasi dan tanggapan pemustaka, namun dampak yang terjadi hampir sama dan membawa konsekuensi yang sama pula. Namun selanjutnya, dampak pada masyarakat umum secara keseluruhan adalah terjadinya information gaps. Natan Katzman (dalam Rogers,1986:169) mengatakan bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ini akan memberikan dampak terhadap
Adoption of the innovation
Direct Impact (desirable & anticipated)
Office automation
New industries
Indirect Impact(undesirable & unanticipated) First-Order impacts
Information overload
Ability to communicate via networks
Teleworjing
Second-Order impacts
Decreased empleymenat
Work role changes for male bosses and female secretaries Greater office productivity
kehidupan sosial secara keseluruhan sebagai berikut : 1. Perkembangan dan pertumbuhan informasi yang luar biasa terhadap seluruh individu dalam masyarakat. 2. Perkembangan dan pertumbuhan informasi bagi para information-rich jauh dibandingkan perkembangan dan pertumbuhan informasi bagi para informationpoor. Hal ini memperluas pertumbuhan gap antara yang “kaya” informasi dengan yang “miskin” informasi. 3. Munculnya information overload. Terutama di kalangan information rich. 4. Memungkinkan terjadinya fenomena terbentuknya information gap yang baru sebelum gap yang lama hilang.
Higher status for secretarial workers
Invasion of privacy
Computer crime
Computer addiction
Gb. Dampak sosial adopsi teknologi informasi dan komunikasi dalam kerja organisasi
60
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
Konsekuensi Pergeseran Paradigma bagi Pengelola Jasa Informasi dan Perpustakaan Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam perspektif Library 2.0 mengandung sebuah konsekuensi yang berat bagi para pustakawan dan para pengelola jasa informasi dan perpustakaan. Setelah mempertimbangkan segala dampak yang timbul dari adopsi teknologi informasi dan komunikasi ini, maka seorang pustakawan atau pengelola jasa layanan informasi dan perpustakaan memiliki tanggung jawab untuk memberikan informasi yang akurat kepada pemustakanya dan sebagai seorang ahli informasi, ia dituntut untuk : 1. Selalu siap dan open mind atau bersikap terbuka terhadap segala perubahan yang terjadi. Selalu diingat, bahwa pada saat ini pemustaka adalah individuindividu yang inovatif dan active info seeker. Keberadaannya signifikan dan harus diperhitungkan dalam setiap kancah perubahan organisasi informasi dan komunikasi perpustakaan. 2. Lebih selektif lagi dalam menyajikan informasi. Pada era ini, informasi akan datang membludak seperti banjir informasi. Setiap orang harus sangat selektif terhadap informasi yang datang. 3. Bersikap inovatif dalam mengadopsi media. 4. Berperan aktif dalam proses komunikasi yang terjadi. Media baru atau Rusmana (2003) menyebutnya sebagai jasa layanan mayantara, merupakan sebuah “ruang transaksi” di mana setiap orang yang “berkumpul” di dalamnya memiliki peran sebagai pemberi (sender), dan pencari (retriever) atau pengambil (downloader), maka tugas
ideal pelaku/praktisi dalam komunikasi mayantara ini adalah menyediakan, menyebarkan, dan mengumpulkan informasi. Bukanlah sebuah peran yang baik apabila pelaku/praktisi komunikasi hanya melakukan downloading data dan informasi tanpa pernah secara seimbang berbagi dengan apa yang ia
berkata: “You can’t not communicate. Everything you say or do or don’t say and don’t do sends a message to other.”, maka seorang pustakawan harus menyadari bahwa segala gerak geriknya, bahkan ketika ia terdiam, itu adalah bentuk komunikasi dan akan “terbaca” oleh pemustaka. 58% komunikasi didominasi oleh fisik atau bahasa tubuh, dimana hal ini akan memberi dampak baik bagi pustakawan atau pemustaka.
(Percival,http//www.2-in-2-1.co.uk)
Gb. Dominasi bahasa tubuh dalam proses komunikasi miliki. Karena investasi untuk terlibat dalam komunikasi mayantara tidaklah sedikit, maka pemanfaatan ruang transaksi ini harus mampu menghasilkan manfaat ilmu atau lebih jauh, keuntungan financial. Dan cara yang tepat adalah berperan aktif menjadi sumber atau penyalur data dan informasi, berbisnis komunikasi seperti yang dilakukan oleh Hotmail dan Yahoo. 5. Bersikap lebih peduli dan komunikatif terhadap pemustaka. Dalam konteks ini pustakawan dan para pengelola jasa informasi dan perpustakaan juga berperan untuk meminimalkan gap yang ada antara yang “kaya” informasi dengan yang “miskin” informasi. Salah satu bekal yang wajib dimiliki adalah kemampuan berkomunikasi yang baik. Sebagaimana John Woods
Selain itu, kemampuan mendengar juga tak kalah pentingnya. Bahkan mungkin 80% pekerjaan pustakawan adalah mendengarkan, yakni mendengarkan dengan seksama apa yang menjadi kebutuhan pemustakanya. Kemampuan mendengar yang harus dikembangkan adalah mendengar yang aktif dan tulus dari hati. Komunikasi efektif yang dilakukan pustakawan dan para pengelola informasi dan perpustakaan ini akan senantiasa ”terbaca” dan dapat dirasakan oleh pemustaka meskipun jarak di antara keduanya terpaut jauh sebagai konsekuensi dari teknologi saat ini. Nada suara yang terdengar atau yang disampaaikan melalui tulisan, akan tetap ”terbaca” oleh pemustaka. Sehingga, dalam semua situasi, para pengelola jasa informasi dan perpustakaan harus selalui tanggap dengan sepenuh hati dalam melayani pemustaka.
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
61
(Percival,http//www.2-in-2-1.co.uk)
Gb. Perbedaan good listening dengan bad listening Kesimpulan Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam bidang perpustakaan dan Informasi dilihat dari perspektif Library 2.0, membawa konsekuensi yang tidak mudah bagi pustakawan dan para pengelola jasa informasi dan perpustakaan. Pustakawan dituntut harus selalu aktif, peduli dan professional dengan pekerjaannya. Aktif, dalam arti selalu berfikiran terbuka dan senantiasa mencari informasi terbaru terkait perkembangan keilmuan bidang informasi dan perpustakaan. Peduli, dalam arti pustakawan harus selalu siap membantu pemustaka dengan segala kebutuhan informasinya kapan dan di mana pun mereka berada. Pustakawan dituntut sabar dan mempelajari dengan seksama segala evaluasi, saran dan masukan yang disampaikan oleh pemustakanya. Pustakawan juga harus professional, dalam arti semua pekerjaannya dilakukan seoptimal mungkin, sebagaimana layaknya seorang professional yang handal. Namun satu yang pasti, paradigma Library 2.0 menuntut pustakawan untuk lebih mengenal pemustakanya, serta berinteraksi aktif dengan mereka. Librarian serve people,not books!
62
Vol. 18 No. 1 & 2 Tahun 2011
daftarpustaka Buckland, Michael K. 1998. Library Sercices in Theory and Context. New York: Pergamon Press. Draft Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan. Erwina, Wina. 2008. Jasa Layanan Perpustakaan. Modul perkuliahan Jasa Layanan Perpustakaan. Program Pascasarjana Ilmu Informasi dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Gerard, David. 1978. Library in Society. London : Clive Bingley. Godden, Iren P. 1984. Library Technical Services: Operation and management. London: Academic Press. http://sambungjaring.blogspot. com/2008/03/library-20-konseppengembangan.html. “Konsep Library 2.0”. Diakses tanggal18 Mei 2009. http://www. .sage-ereference.com/ communication/Article_n54.html. “Traditional and New Media”. Diakses tanggal 10 September 2009. http://www.isipii-librarian-indonesia. blogspot.com/2009/05/hasil-talkshowlibrary-20-sabtu-16-mei.html. “Hasil Talkshow Library 2.0, Sabtu, 16 Mei 2009. Diakses 18 Mei 2009. http://www.meredith.wolfwater.com/ wordpress/2008/01/24/the-essence-oflibrary-20/ http://www.unpad.ac.id. Kualitas sebagai Kata Kunci Pelayanan. Artikel. Diakses tanggal 9 Oktober 2008. Liz Percival. How We Communicate. http// www.2-in-2-1.co.uk. Diakses tanggal 12 Juni 2008.
Rakhmat, Jalaluddin. 2003. Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosdakarya. Rogers, Everett M.1986. Communication Technology:The new media in Society. New York: The Free Press. Rusmana, Agus. Cyber Communication: A New Concept to Communicate?. Jurnal Komunikasi dan Informasi. Volume 3 No.1 April 2001. Rusmana, Agus. Komunikasi dalam Dunia Kita. Bandung: Jurnal Komunikasi dan Informasi Fikom Unpad. 2003. Setiadi, Rahmad. Menyambut Konvergensi Media: Tantangan Baru Media Massa. Diktat Kuliah program Magister Manajemen Komunikasi Universitas Indonesia. http://www. scrib.com Sutarno, NS. 2005. Tanggung Jawab Perpustakaan. Jakarta: Sagung Seto. Sutarno, NS. 2006. Perpustakaan dan Masyarakat. Jakarta: Sagung Seto. Sutarno, NS.2006. Manajemen Perpustakaan. Jakarta : Sagung Seto. Trimo, Soejono. 1997. Pedoman Pelaksanaan Perpustakaan. Bandung: Rosda karya. Tubbs, Stewarr L dan Moss, Sylvia. 1986. Human Communication:Prinsipprinsip Dasar . Bandung: Rosdakarya.1996. Rogers, Everett M. Communication Technologu: The New media in Society. New York: The Free Press. Tubbs, Stewart L. 2001. Human Communication:Konteks-Konteks Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Media Pustakawan dibaca oleh para pustakawan, Pengelola Perpustakaan, dan Pakar Bidang Perpustakaan.
Wahana Efektif bagi Pemasang Iklan Media Pustakawan diterbitkan oleh Pusat Pengembangan Pustakawan Perpustakaan Nasional sejak tahun 1993. Kehadirannya selalu dinantikan, karena media ini menyajikan warna lain di kalangan pustakawan. Kemasannya yang khusus namun tetap elegan, membuat Media Pustakawan selalu tampil beda. Kini, Ketika Media Pustakawan membuka kesempatan bagi Anda, untuk beriklan di media komunikasi antar pustakawan ini, apalagi yang ditunggu? Tangkaplah peluang emas itu. Pastikan bahwa di Media Pustakawan, iklan Anda tepat sasaran, efektif, dan efisien!
Distribusi di seluruh Perpustakaan di Indonesia
Rate Iklan Media Pustakawan Halaman
Ukuran
Harga
1 hal full colour 1/2 hal full colour 1 hal hitam putih 1/2 hal hitam putih
21 x 10.5 21 x 10.5
Rp. 2.000.000,Rp. 1.500.000,Rp. 1.000.000,Rp. 500.000,-
29,7 cm x 14,85 cm 27,5 cm x 14,85 cm
PERSYARATAN TEKNIS Materi iklan : Separasi warna, Optical disc, CD, Print out , Final Artwork. Deadline Penyerahan Materi Iklan : 10 hari sebelum terbit. Iklan akan dipasang setelah ada bukti pembayaran yang sah. Pembayaran tunai maupun transfer melalui rekening: Bagi Peminat mohon mengirimkan biaya dan draf iklan kepada: Sdri. Sri Sumiarsi Perpustakaan Nasional RI Jl. Medan Merdeka Selatan No. 11, Jakarta Tlp. (021) 345611 Ext. 220218 Fax: (021) 345611 E-mail:
[email protected]
Kirimkan artikel Anda dengan ketentuan: naskah diketik pada kertas kuarto dengan jarak dua spasi maksimal 6 (enam) halaman, lengkapi dengan abstrak, daftar pustaka dan foto Anda. Pastikan bahwa tulisan adalah karya Anda. Artikel dan foto dapat juga Anda kirim melalui email
[email protected] Redaksi berhak mengedit setiap tulisan yang masuk. Seluruh tanggung jawab akibat dari tulisan yang dimuat sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Artikel yang dimuat disediakan honorarium sekedarnya, sedangkan artikel yang Vol. disertai 18 No. 1 &perangko. 2 Tahun 2011 63 tidak dipublikasikan akan dikembalikan apabila