J Kedokter Trisakti
September-Desember 2002, Vol 21 No.3
Vibrio cholerae O1, viable but nonculturable Murad Lesmana Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
ABSTRACT Vibrio cholerae O1 is capable of entering a dormant state, that is, viable but nonculturable. Representing a spore-like stage, without formation of a true spore coat, dormant V. cholerae cells can survive changes in temperature, salinity, or availability of organic matter. Viable but nonculturable V. cholerae O1 contribute to the occurence of seasonal epidemics because the organism can persist for a long time in the aquatic environment. The implications of dormancy of V. cholerae serogroup O1 are both significant and relevant, considering that dormant, viable but nonculturable, forms are not recoverable on conventional bacteriologic system. In addition, V. cholerae O1 are associated with chitinaceous zooplankton and shelfish. This association has proven to be a key factor in the global nature of cholera epidemics. Keywords : Vibrio cholerae, viable, nonculturable
ABSTRAK Vibrio cholerae O1 dapat berada dalam stadium dorman, yaitu keadaan hidup tetapi tidak dapat dibiak (viable but nonculturable). Stadium ini menyerupai stadium spora, tetapi tidak terdapat pembentukan spora. Sel V. cholerae yang dorman ini dapat bertahan hidup terhadap perubahan-perubahan seperti suhu, salinitas, atau ketersediaan bahan-bahan organik. Vibrio cholerae yang viable but nonculturable berperan dalam terjadinya epidemi musiman karena organisme ini dapat dijumpai dalam jangka waktu lama di lingkungan akuatik. Implikasi fenomena ini pada V. cholerae O1 adalah signifikan dan relevan, mengingat pada stadium viable but nonculturable V. cholerae O1 tidak dapat diisolasi dengan cara sistem bakteriologik konvensional. Lagi pula, telah diketahui bahwa V. cholerae O1 dapat ditemukan bersama dengan zooplankton yang mempunyai khitin dan dengan kerangkerangan. Hubungan ini terbukti merupakan suatu faktor kunci dalam sifat global epidemi kolera. Kata kunci : Vibrio cholerae, hidup, tidak dibiak
PENDAHULUAN Kolera adalah penyakit diare yang disebabkan oleh Vibrio cholerae O1, yang dalam bentuknya yang berat dapat menyebabkan dehidrasi dan kematian pada orang dewasa dan anak-anak. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di banyak negara terutama di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Hingga beberapa tahun terakhir kemampuan untuk membiakkan mikroorganisme pada media artifisial di laboratorium menjadi bukti dari viabilitasnya. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa keterbatasan yang paling besar di dalam penelitian ekologi mikrobial adalah kegagalan untuk
menumbuhkan dan mengisolasi sejumlah besar bakteri dari lingkungan alam bebas pada sistem biakan, termasuk V. cholerae O1 karena mikroorganisme tersebut berada dalam keadaan hidup tetapi tidak dapat dibiak (viable but nonculturable). Pada waktu bakteri dipindahkan dari suatu lingkungan ke lingkungan yang lainnya, terjadi perubahan yang meliputi perubahan suhu, konsentrasi nutrien, salinitas, tekanan osmotik, pH dan berbagai faktor lainnya. Meskipun demikian, sel-sel bakteri sanggup secara dinamis beradaptasi terhadap perubahan parameter lingkungan dengan 111
Lesmana
berbagai mekanisme genotipik dan fenotipik. Secara konstitutif, bakteri dapat mengatasi keterbatasan nutrisi untuk tumbuh dan menyesuaikan diri atau mengalihkan proses metabolismenya untuk menghindarkan dari disrupsi yang disebabkan oleh limitasi nutrien yang spesifik. Mereka sanggup mengatur derajat sintesis untuk mempertahankan struktur dan fungsi selnya. Kemampuan adaptif ini, memberikan suatu mekanisme pada sel bakteri sehingga mereka sanggup mengatasi perubahan lingkungan di sekelilingnya dan bertahan hidup. Sel-sel bakteri yang utuh dan hidup menurut kriteria metabolik, tetapi tidak dapat diisolasi secara kultural dengan sistem biakan rutin yang menggunakan media bakteriologis, telah dideteksi pada mikroorganisme yang berasal dari lingkungan terestrial maupun akuatik, dan baru-baru ini juga yang berasal dari klinik. Ahli-ahli mikrobiologi pangan (food microbiologist) menyebut keadaan di atas tersebut sebagai cedera (injury) dan resusitasi bakteri, namun tidak dapat memberikan hipotesis yang memuaskan mengenai fenomena itu.(1) Roszak dkk.(2) adalah orang yang pertama memberikan istilah viable but nonculturable kepada bakteri yang menunjukkan fungsi metabolik yang masih utuh tetapi tidak dapat dibiakkan dengan berbagai metode konvensional yang ada. Jadi, istilah viable but nonculturable ini merupakan keadaan dorman dari bakteri yang menunjukkan ketahanan hidup dan persistensi mikrobial di lingkungan alam bebas. FENOMENA VIABLE BUT NONCULTURABLE Valentine dan Bradfield(3) mengusulkan istilah viable dalam menjelaskan sel-sel yang berkemampuan untuk memperbanyak diri dan membentuk koloni, sedangkan istilah live diusulkan untuk digunakan pada sel-sel yang dalam keadaan bernapas tetapi tidak mampu untuk membelah-diri di bawah kondisi yang sama. Postgate dan Hunter(4) menyatakan bahwa bakteri yang mati (dead) adalah yang tidak membelah-diri, namun mereka juga menyatakan bahwa bakteri yang tidak membelahdiri mungkin dalam arti tertentu adalah hidup (alive) 112
Viable-nonculturable Vibrio cholerae
karena bakteri-bakteri ini masih memiliki barier osmotik. Istilah dormancy atau dalam keadaan tidur sering digunakan di kalangan ahli-ahli mikrobiologi untuk menggambarkan mikroorganisme yang membentuk spora atau kista. Spora dan kista yang diproduksi beberapa mikroorganisme tanah merupakan suatu mekanisme pertahanan hidup. Keaadan istirahat ini ditemukan bila bakteri berada dalam kondisi nutrisi yang kurang. Baik mikroba akuatik maupun tanah mampu berfungsi pada derajat metabolik rendah misalnya pada waktu keadaan linkungan sangat ekstrem. Kurath dan Morita(5) mendukung definisi yang dibuat oleh Valentine dan Bradfield(3) untuk sel yang viable tetapi menggunakan nonviable untuk sel-sel yang kehilangan kemampuan membentuk koloni. Mereka juga mengakui bahwa jumlah sel yang bernapas tetapi nonviable adalah 10 kali lebih besar dari pada sel yang mampu memperbanyak diri. Setelah membandingkan berbagai metode yang ada mengenai isolasi dan deteksi sel, Roszak dkk.(2) sampai pada istilah viable but nonculturable untuk menjelaskan Salmonella enteritidis pada stadium dimana organisme tersebut dapat dideteksi dengan cara direct viable count tetapi tidak secara biakan konvensional. Mereka dapat menghidupkan kembali (resusitasi) sel-sel yang dianggap sudah mati di dalam air laut, dan memastikan bahwa sel-sel yang tidak dapat dibiakkan (nonculturable) itu adalah viable. Tiga tahun kemudian, Roszak dan Colwell(6) mengajukan istilah somnicell untuk stadium istirahat pada bakteri negatif-gram. Keadaan ini analog dengan stadium terbentuknya spora pada bakteri positif-gram. Bakteri yang memiliki tingkat kemampuan paling besar untuk bertahan hidup pada suasana miskin makanan mempunyai ukuran kecil dan derajat metaboliknya lebih rendah. Tingkat metabolik yang rendah ini dijumpai pada spora yang menunjukkan ketahanan hidup dengan cara menghentikan hampir semua aktivitas metaboliknya, namun tetap hidup. Gejala di mana sel menjadi bulat (ovoid) diikuti dengan reduksi volume sel, dijumpai pada Vibrio pada keadaan kekurangan makanan, misalnya lingkungan yang relatif bebas dari nutrien organic.(7) Dalam periode stres ini sel-sel Vibrio menyesuaikan diri dengan
J Kedokter Trisakti
melakukan perubahan fisiologis yang diperlukan diikuti dengan perubahan bentuk sel. Perubahan morfologik yang terjadi seperti membulatnya sel dan mengecilnya ukuran sel dapat sampai 15-300 kali dari normalnya, tergantung dari besar derajat stres nutrisional yang dialami.(8) Dengan cara filtrasi melalui filter yang mempunyai pori-pori berukuran 0,10 µm – 0,22 µm, Xu dkk.(9) berhasil mengisolasi V. cholerae O1 viable but nonculturable Adanya perbedaan protein membran luar isolat V. cholerae O1 yang berasal dari klinik dan dari lingkungan alam dilaporkan oleh Huq dkk.(10) pada percobaan menggunakan sodium dodecyl sulfatepolyacrylamide gel electrophoresis. Suatu pita protein sebesar 22-kDA terlihat pada galur (strain) berasal dari lingkungan sedangkan pada galur klinik pita ini tidak tampak. Penurunan konsentrasi yang signifikan dari beberapa pita protein, termasuk pita 22 k-DA terjadi pada galur lingkungan setelah dipasasi melalui rabbit ileal loop. Ini menunjukkan adanya kemungkinan terjadinya perubahan yang dialami oleh V. cholerae O1 yang diakibatkan oleh kondisi lingkungan. Adaptasi lingkungan dan ketahanan hidup V. cholerae O1 Sampai akhir tahun 1970-an dan awal 1980an, V. cholerae O1 dianggap sangat tergantung pada pejamu dan tidak berkemampuan untuk tahan hidup lebih dari beberapa jam atau hari di luar saluran cerna manusia. Tetapi laporan terakhir menunjukkan bahwa toxigenic V. cholerare O1dapat bertahan dalam jangka waktu lama di dalam mikrokosmos air di laboratorium.(11) Juga, dari berbagai penelitian selama 10 tahun terakhir terbukti bahwa V. cholerae O1 adalah penghuni yang bersifat autochthonus di lingkungan sistem estuarin dan air payau(12) Sifat autochthonus dari V. cholerae O1 merupakan faktor yang sangat penting di dalam epidemiologi kolera dan juga mempunya makna yang berarti di daerah yang endemik kolera. Temuan yang meyakinkan pada dekade yang lalu telah menunjukkan adanya suatu stadium dorman atau somnambulan dari V. cholerae O1 sebagai respon terhadap perubahan lingkungan berupa deprivasi nutrien. Fenomena ini sekaligus membuka pandangan baru tentang arti ketahanan
Vol 21 No.3
hidup dari V. cholerae O1; bahwa sel kuman ini tidak harus menjadi mati bila dilepaskan di lingkungan akuatik. Sebaliknya, V. cholerae O1 mampu untuk berubah menjadi bentuk yang dapat dibiakkan jika kondisi lingkungan menguntungkannya. Implikasi keadaan dorman dari V. cholerae O1 mempunyai makna penting dan relevan dari segi epidemiologi mengingat bentuk dorman atau viablenonculturable ini tidak dapat diisolasi dengan media bakteriologik konvensional yang secara rutin dipakai untuk membiakkan V. cholerae O1. Namun bentuk yang nonculturable ini dapat dideteksi dengan menggunakan rabbit ileal loop atau pengujian pada manusia relawan. Sebelum tahun 1970-an, penelitian-penelitian kolera didasarkan pada metode isolasi dan karakterisasi V. cholerae O1 yang sebenarnya dikembangkan untuk diagnosis klinik. Metode ini tidak sesuai untuk diterapkan terhadap sampel lingkungan. Pada sampel klinik, jumlah V. cholerae O1 yang sedang aktif tumbuh adalah besar sekali, sedangkan sampel lingkungan mengandung sel-sel yang berada dalam keadaan stres dan harus beradaptasi terhadap berbagai kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan seperti rendahnya konsentrasi nutrisi, fluktuasi suhu dan pH, variasi tekanan oksigen dan paparan sinar ultraviolet. Temuan bahwa V. cholerae O1 dari sampel lingkungan tidak dapat tumbuh pada media biakan yang lazim digunakan secara rutin di laboratoium adalah hal yang sangat penting karena dengan cara konvensional tersebut V. cholerae O1 yang viable but nonculturable tidak dapat dideteksi. Dengan metode deteksi yang sesuai seperti misalnya teknik biologi molekuler, metode imunologik atau teknik mikroskopik, secara meyakinkan terbukti bahwa V. cholerae O1 yang viable but nonculturable dapat dideteksi. Argumentasi tradisional yang mendukung pendapat bahwa V. cholerae O1 tidak dapat bertahan hidup di lingkungan (air) sehingga merupakan sebab tidak dapatnya organisme ini diisolasi dari air kecuali ada kasus kolera di sekitarnya, adalah tidak benar. Demikian pula pendapat yang dahulu mengatakan bahwa wabah kolera hanya bisa terjadi apabila ada kasus kolera di sekitar tempat kejadian, tidak dapat 113
Lesmana
dipertahankan lagi. Huq dkk. (13) dengan menggunakan teknik mikroskopi imunofluoresen menunjukkan bahwa V. cholerae O1 dapat dideteksi dari sumber air sepanjang tahun, meskipun dengan metode biakan organisme ini tidak dapat diisolasi. Jelaslah bahwa V. cholerae O1 mampu untuk beradaptasi dan mempertahankan diri dalam lingkungan akuatik melalui suatu bentuk yang tidak dapat dideteksi oleh metode konvensional. Adaptasi bakterial terhadap kondisi lingkungan yang tidak optimal untuk reproduksi sel ditunjukkan melalui beberapa penelitian. (2,9,13) Respons morfologik terhadap kekurangan nutrisi yang diamati dengan mikroskop elektron tampak seperti berikut: pada 24 jam, sel menjadi padat, vibroid dan berukuran normal (1,5 x 0,38 µm). Pada 48 jam, suatu daerah kecil transparan terdapat di pinggir sel, ukuran dan bentuknya tidak berubah selama beberapa waktu dan disebut sebagai round body. Pada hari ke-18, sel-sel menjadi bulat (spherical), padat di bagian tengah, dikelilingi sisa-sisa dinding sel. Tanda-tanda lain yang penting pada sel yang mengalami deprivasi nutrien adalah konservasi dari struktur ribosom, menghilangnya granul sel, dan kompresi daerah inti ke pusat inti dikelilingi sitoplasma yang lebih padat. Apabila sel ini kemudian diberi suplemen nutrien berupa pepton dan yeast extract, maka dalam 2 jam bentuk kokoid sel akan berubah menjadi vibroid dan besarnya menjadi normal. Awal dari proses perubahan kembali sel ini terjadi 10 menit setelah diberikan bahan-bahan nutrien. Dalam waktu 4-5 jam sel tampak mulai membelah diri. Kapasitas V. cholerae dalam mengatasi kekurangan nutrien serta kemampuannya untuk memasuki stadium viable but nonculturable menyebabkan organisme ini tahan hidup di dalam lingkungan alam selama bertahun-tahun dan harus diperhitungkan sebagai sumber epidemi kolera. EKOLOGI V. CHOLERAE O1 Pengaruh suhu dan salinitas Isolasi V. cholerae O1 dari lingkungan akuatik sangat sulit karena konsentrasi mikroorganisme ini sangat bervariasi. Akan tetapi, kebanyakan Vibrio spp., termasuk V. cholerae O1, mempunyai korelasi linier dengan salinitas dan suhu air. Salinitas optimal untuk V. cholerae O1 adalah di antara 5-25‰, 114
Viable-nonculturable Vibrio cholerae
meskipun demikian, V. cholerae O1 adalah salah satu dari sedikit Vibrio spp. yang dapat bertahan pada kondisi salinitas 0‰ asalkan ada ion Na+.(16) Oleh karena dapat bertahan pada salinitas rendah, V. cholerae O1 mampu dengan baik beradaptasi pada lingkungan air tawar maupun air payau di daerah endemis seperti misalnya di Bangladesh. Akan tetapi, intrusi air laut (air garam) yang terjadi secara periodik di daerah tersebut merangsang ketahanan hidupnya. Di daerah-daerah yang endemik, kasus-kasus kolera cenderung memperlihatkan suatu pola musiman (seasonal) yang nyata. Pola ini sangat erat kaitannya dengan ekologi V. cholerae O1 di lingkungan alam di mana sel mengalami peningkatan dalam jumlah besar ketika suhu air menjadi hangat dan zooplankton berkembangbiak.(14) Penelitian tentang pengaruh suhu air dan salinitas terhadap ketahanan hidup V. cholerae O1 serta kaitannya dengan zooplankton menunjukkan bahwa suhu air sebesar 300C, dengan salinitas 15‰ serta pH 8,5 meningkatkan perlekatan dan multiplikasi V. cholerae O1 di dalam zooplankton. Perkembang-biakan zooplankton yang diikuti dengan meningkatnya jumlah V. cholerae O1 memberi risiko kemungkinan terjadinya epidemi. Progenitor dari V. cholerae O1 yang sifatnya nontoksigenik selama masa dorman atau stadium nonculturable di lingkungan di daerah-daerah pantai ini akan berubah menjadi galur yang toksigenik.(15) Dinamika ini menjelaskan mengapa epidemi yang besar bermula di daerah-daerah pantai seperti yang terjadi di India, Bangladesh, Amerika Selatan (teluk Meksiko, Peru). Hubungan simbiotik phyto- dan zooplankton dengan V. cholerae O1 Fenomena viable but nonculturable dari V. cholerae O1 dan hubungannya dengan phyto- dan zooplankton serta ketahanan hidupnya di lingkungan alam adalah penting dalam ekologi organisme ini. Data yang terkumpul selama 20 tahun membuktikan kebenaran hipotesis tentang adanya suatu hubungan komensal atau simbiotik antara V. cholerae O1 dan plankton. Faktor-faktor abiotik seperti cahaya matahari, suhu dan nutrien mempengaruhi kehidupan plankton dan tumbuhtumbuhan air yang kemudian mengubah susunan
J Kedokter Trisakti
O2 dan CO2 yang terlarut di dalam air sehingga mengubah pH air di sekelilingnya. Kondisi lingkungan ini memberikan dampak kepada populasi V. cholerae O1. Cockburn dan Cassanos(17) untuk pertama kalinya mengajukan teori bahwa kolam atau rawa-rawa di Bangladesh adalah sumber utama dari infeksi kolera. Mereka menyatakan bahwa pH di rawa atau kolam tersebut meningkat cukup besar pada satu musim sehingga V. cholerae O1 tumbuh lebih baik daripada bakteri lain dan mencapai dosis infeksi. Secara eksperimental, mereka menujukkan hubungan antara peningkatan pH dan timbulnya kasus-kasus kolera yang juga dikaitkan dengan waktu, suhu, cahaya dan presipitasi. Penyebab yang mendorong perubahan pH secara temporal pada hipotesis mereka adalah phytoplankton yang dalam proses fotosintesis-nya menyebabkan sekuestrasi CO2 dan meningkatkan pH. Perubahan ini paling besar terjadi pada saat suhu air meningkat dengan turbiditas rendah dan cukup cahaya. Observasi ini memberikan dasar penting tentang dinamika kolera di dalam kondisi lingkungan, akan tetapi masih kurang menjelaskan mengenai faktor-faktor kritis lainnya yang berperan dalam ekologi V. cholerae O1. Peran tumbuh-tumbuhan air sebagai reservoir V. cholerae O1 dikemukakan oleh Islam dkk.(18) yang melaporkan tentang hubungan komensal antara V. cholerae O1 dengan algae Rhizoclonium fontanum dan Anabaena variabilis. Vibrio cholerae O1 melekat pada sarung musilaginosa dari A. variabilis. Di dalam sarung musilaginosa ini, V. cholerae O1 berada pada stadium nonculturable tetapi melakukan pembelahan sel dan berkelompok di sekitar heterocyst yang dikenal sebagai tempat fiksasi nitrogen atmosfer. Dalam hubungan ini, A. variabilis memberikan oksigen hasil proses fotosintesisnya kepada V. cholerae O1 untuk digunakan dalam respirasi aerobik kuman; sebaliknya V. cholerae O1 menyediakan CO 2 yang dimanfaatkan A. variabilis untuk fotosintesis. Adhesi V. cholerae O1 pada kitin dari berbagai jenis zooplankton seperti copepods, ampihipods dan lain-lain crustacea dilaporkan oleh Nalin dkk.(19) Di samping menjadi sumber makanan bagi V. cholerae O1, kitin juga melindunginya dari suhu rendah dan kondisi asam. Ada kemungkinan terjadi
Vol 21 No.3
suatu efek sinergistik antara phyto-dan zooplankton dengan kolonisasi V. cholerae O1 pada kitin. Suatu kenaikan dari pH lingkungan menjadi 8,5 sering berkaitan dengan berbiaknya algae dan keadaan ini memberikan pengaruh yang positif untuk perlekatan V. cholerae O1 pada copepods. Sekali sel V. cholerae O1 telah melekat pada zooplankton, ia akan terlindung dari berbagai pengaruh eksternal dan mulai berproliferasi. Proses proliferasi dimungkinkan oleh adanya bahan-bahan nutrisi yang berasal dari phytoplankton yang mengalami desintegrasi dan melepaskan nitrogen ke dalam air di sekelilingnya. Pada waktu musim hujan di India, yaitu sekitar bulan Juni dan Juli, populasi zooplankton menurun karena berkurangnya jumlah nutrien, akan tetapi pada bulan Agustus dan September, setelah musim hujan tingkat nutrien ini meningkat secara bermakna dan phytoplankton mulai berkembang biak diikuti zooplankton. Periode ini berkaitan dengan meningkatnya insidens diare dan kolera, khususnya di India dan Bangladesh. Jelaslah bahwa copepods mempunyai peranan penting di dalam ketahanan hidup, multiplikasi dan transmisi V. cholerae O1 di lingkungan akuatik. DETEKSI V. CHOLERAE O1 YANG VIABLE BUT NONCULTURABLE Sel V. cholerae O1 yang viable but nonculturable tidak akan tumbuh dan membentuk koloni di media agar atau di biakan kaldu. Metode isolasi yang konvensional ini tidak dapat digunakan untuk mendeteksi fenomena di atas. Metode alternatif yang umum digunakan untuk ini adalah immunofluorescence microscopy. Dengan cara ini V. cholerae O1 dari sampel lingkungan dapat dideteksi walaupun secara biakan tidak terdeteksi dan dianggap tidak viable. Cara lain adalah dengan ligated ileal loop assays. Di sini sampel yang mengandung nonculturable V. cholerae O1 disuntikkan ke dalam usus kelinci yang diikat (ligated ileal loops) dan memberi hasil positif. Sel bakteri nonculturable yang secara konvensional dianggap telah mati ini, ternyata masih utuh, tetap hidup dan metabolik aktif selama beberapa bulan sampai beberapa tahun dan dapat menimbulkan gejala-gejala apabila masuk ke dalam saluran cerna manusia. Sifat patogen yang tetap dimiliki oleh sel 115
Lesmana
bakteri meskipun berada dalam keadaan dorman dan tidak dapat dideteksi secara biakan ini dibuktikan oleh Colwell(1) melalui percobaannya terhadap relawan yang diberi V. cholerae nonculturable secara oral dan menimbulkan gejala-gejala klinis. Sekitar 20% dari penderita-penderita yang secara klinis dipastikan kolera, mengandung nonculturable V. cholerae O1.(1) Ini berarti satu dari 5 kasus-kasus kolera klinis, hasil biakan tinjanya akan negatif karena pada lempeng agar biakan tidak ada pertumbuhan kuman. Dengan demikian, sejumlah kasus kolera akan terlewatkan, tidak terdiagnosis, apabila metode deteksi hanya menggunakan sistem kultural saja. Metode nonkultural lainnya yang sudah diuji dan digunakan secara terbatas, tetapi memberikan hasil yang cukup baik dalam mendeteksi V. cholerae O1 stadium nonculturable adalah Cholera Screen, Cholera SMART dan PCR. Cholera Screen dan Cholera SMART adalah suatu rapid test-kit yang menguji antigen bakteri dan bukan culturable cells sehingga memiliki kelebihan dibandingkan metode biakan.(1) KESIMPULAN V. cholerae O1 sudah lama dikenal sebagai suatu patogen fekal-oral dan derajat infeksi kolera secara bermakna adalah paling besar di daerahdaerah dengan sanitasi buruk. Namun demikian, telah terbukti bahwa V. cholerae O1 adalah penghuni alamiah di tempat-tempat yang bersuhu hangat, di air payau. Bukti-bukti selama dua dekade menunjukkan bahwa banyak sampel lingkungan (air) yang diperiksa secara laboratoris tidak memberikan hasil biakan V. cholerae O1 positif karena kuman ini berada dalam stadium viable but nonculturable. Dampak dari keadaan ini adalah, jutaan orang mungkin menggunakan sumber air yang mengandung viable but nonculturable V. cholerae O1 karena secara kultural dianggap aman, akan tetapi pada lingkungan yang baru, di dalam tubuh manusia, galur ini berubah menjadi viable dan ini menyebabkan terjadinya kasus-kasus primer kolera. Bagaimana sekuens yang sebenarnya dari peristiwa yang ada di dalam siklus hidup V. cholerae O1masih perlu penelitian lebih jauh, namun hubungannya dengan zoo-dan phytoplankton telah 116
Viable-nonculturable Vibrio cholerae
memberikan dasar prediksi mengenai pola terjadinya epidemi kolera di tempat-tempat tertentu di dunia. Daftar Pustaka 1.
2.
3.
4. 5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12. 13.
Colwell RR. Viable but nonculturable bacteria: a survival strategy. J Infect Chemother 2000; 6: 121-5. Roszak DB, Grimes DJ, Colwell RR. Viable but non-recoverable stage of Salmonella enteritidis in aquatic systems. Can J Microbiol 1984;30:334-8. Valentine RC, Bradfield JRG. The urea method for bacterial viability counts with the electron microscope and its relation to other viability counting methods. J Gen Microbiol 1954; 11: 348-57. Postgate JR, Hunter JR. The survival of starved bacteria. J Gen Microbiol 1962; 29:233-63. Kurath G, Morita Y. Starvation-survival physiological studies of marine Pseudomonas sp. Appl Environ Microbiol 1983; 45:1206-11. Roszak DB, Colwell RR. Survival strategies of bacteria in the natural environment. Microbiol Rev 1984; 51:365-79. Kondo K, Takeda A, Amako K. Morphology of the viable but nonculturable Vibrio cholerae as determined by the freeze fixation technique. FEMS Micxrobiol Lett 1994; 123:179-84. Wai SN, Mizunoe Y, Yoshida S. How Vibrio cholerae survive during starvation. FEMS Microbiol Lett 1999; 180:123-31. Xu H-S, Roberts N, Singleton FL, Atwell RW, Grimes DJ, Colwell RR. Survival and viability of non-culturable Escherichia coli and Vibrio cholerae in the estuarine and marine environment. Microb Ecol 1982; 8:313-23. Huq A, Parveen S, Qadri F, Colwell RR. Comparison of V. cholerae O1 serotype O1 isolated from patient and aquatic environment. J Trop Med Hyg 1993; 96:86-92. Islam MS, Drasar BS, Bradley DJ. Survival of toxigenic Vibrio cholerae O1 with common duckweed, Lema minor in artificial aquatic ecosystem. Trans R Soc trop Med Hyg 1990; 84:422-4. Kaper JB, Morris JG Jr, Levine MM. Cholera. Clin Microbiol Rev 1995; 8:48-86. Huq A, Colwell RR, Rahman R, Ali A, Chowdhury MAR, Parveen S, et al. Detection of Vibrio cholerae O1 in the aquatic environment by
J Kedokter Trisakti
fluorescent-monoclonal antibody and culture methods. Appl Environ Microbiol 1990; 56: 2370-3. 14. Lobitz B, Beck L, Huq A, Wood B, Fuchs G, Faruque ASG, et al. Climate and infectious disease: use of remote sensing for detection of Vibrio cholerae by indirect measurement. Proc Natl Acad Sci USA 2000; 97:1438-43. 15. Chakraborty S, Mukhopadhyay AK, Badra RK, Ghosh AN, Mitra R, Shimada T, et al. Virulence genes in environmental strains of Vibrio cholerae. Appl Environ Microbiol 2000; 66:4022-8. 16. Lipp EK, Huq A, Colwell. Effects of global climate
Vol 21 No.3
on infestious disease: the cholera model. Clin Microbiol Rev 2002; 15:757-70. 17. Cockburn TA, Cassanos JG. Epidemiology of endemic cholera. Publ Health Rep 1960; 75: 791-803. 18. Islam MS, Draser BS, Bradley DJ. Attachment of toxigenic Vibrio cholerae O1 to various freshwater plants and survival with filamentous green algae Rhizoclonium fontanum. J Trop med Hyg 1989; 92:396-401. 19. Nalin DR, Daya V, Reid A, Levine MM, Cisneros L. Adsorption and growth of Vibrio cholerae on khitin. Infect Immun 1979; 25:768-70.
117