Policy Paper No. 1 Agustus 2010
Perlukah Pemerintah Memberikan Subsidi LGV/Vi-Gas Tahun 2011? Studi Kasus Angkutan Umum Taksi di Jakarta Agunan Samosir
Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI
Policy Paper No. 1 Agustus, 2010
Perlukah Pemerintah Memberikan Subsidi LGV/Vi-Gas Tahun 2011? Studi Kasus Angkutan Umum Taksi di Jakarta
Policy Paper No. 1
Perlukah Pemerintah Memberikan Subsidi LGV/Vi-Gas Tahun 2011? Studi Kasus Angkutan Umum Taksi di Jakarta
Agunan Samosir
Diterbitkan oleh
Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI Agustus 2010
Perlukah Pemerintah Memberikan Subsidi LGV/Vi-Gas Tahun 2011? Studi Kasus Angkutan Umum Taksi di Jakarta Penulis Penyunting Pendesain Sampul Penata Letak
: Agunan Samosir : Almizan Ulfa : Ikhwanurrakhman : Ikhwanurrakhman
Redaksi/ Penerbit Pusat Kebijakan APBN, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI Jl. Dr. Wahidin No. 1 Gedung R.M. Notohamiprodjo Lantai 5 Jakarta Pusat 10710 Telepon : (021) 3866119 Website : http://www.fiskal.depkeu.go.id
Cetakan Pertama, Agustus 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
ii
Kata Pengantar Sebagai upaya mendesiminasikan berbagai pemikiran yang berkembang tentang kebijakan Pemerintah di bidang ekonomi dan keuangan negara, terutama kebijakan fiskal di kalangan peneliti, pegawai Kementerian Keuangan dan para pengamat ekonomi yang ingin berpartisipasi, maka Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (PKAPBN), Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan RI (Kemenkeu) menerbitkan Policy Paper Series untuk disirkulasikan baik kepada masyarakat maupun kepada instansi-instansi Pemerintah. Policy Paper Series merupakan serial penerbitan tidak berkala yang merupakan karya tulis yang tidak terlalu panjang, namun original berisi pandangan-pandangan penulisnya tentang bagaimana kebijakankebijakan seharusnya atau sebaliknya dilakukan, tentang issue-issue penting yang berkembang dimasyarakat. Dalam era reformasi dan birokrasi saat ini, para penulis Policy Paper Series dapat mengutarakan pendapat pribadinya yang mungkin bersifat kritis terhadap kebijakan yang ada, namun sudah menjadi kebijakan penerbit bahwa secara keseluruhan pandangan-pandangan tersebut harus merupakan sumbangan yang bersifat konstruktif terhadap penegakan good governance di Indonesia. Oleh karena itu, proses seleksi dalam penerbitan Policy Paper dilakukan cukup ketat. Pandangan-pandangan yang ada dalam Policy Paper Series dan akibat yang timbul daripadanya semata-mata merupakan pandangan dan tanggung jawab pribadi penulis yang bersangkutan, dan bukan merupakan pandangan penerbit atau instansi Kementerian Keuangan RI. iii
Policy Paper berjudul “Perlukah Pemerintah Memberikan Subsidi LGV/Vi-Gas Tahun 2011?: Studi Kasus Angkutan Umum Taksi di Jakarta yang ditulis saudara Agunan Samosir, Peneliti Madya pada PKAPBN, BKF, Kemenkeu RI merupakan Policy Paper pertama yang diterbitkan oleh PKAPBN, BKF dan diharapkan akan diikuti oleh para penulis selanjutnya. Akhirnya, kepada penulis, saudara Lukas Ciptadi (Kepala Bidang Kebijakan Subsidi, PKAPBN), saudari Yani Farida (Kepala Subbidang Energi BBM, PKAPBN) dan semua pihak yang telah membantu terbitnya Policy Paper Series ini, kami ucapkan terima kasih. Dan semoga Policy Paper Series ini dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya.
Kepala Pusat Kebijakan APBN
Askolani
iv
Daftar Isi Kata Pengantar...................................................................................... iii Daftar Isi ............................................................................................... v Abstraksi ............................................................................................... 1 I. Pendahuluan ................................................................................... 2 II. Penggunaan LGV di Beberapa Negara............................................... 6 III. Penggunaan LGV di Indonesia .......................................................... 9 IV. Penurunan Subsidi BBM Melalui Pemberian Subsidi LGV .................. 11 V. Kesimpulan dan Rekomendasi.......................................................... 19 VI. Daftar Pustaka ................................................................................. 22
v
vi
Perlukah Pemerintah Memberikan Subsidi LGV/Vi-Gas Tahun 2011? Studi Kasus Angkutan Umum Taksi di Jakarta Oleh: 1 Agunan Samosir
Abstraksi Tuntutan pemberian subsidi BBM lebih tepat sasaran merupakan pilihan yang tidak dapat ditawar lagi dalam APBN 2011. Selama ini, pemberian subsidi BBM banyak dinikmati oleh kelompok rumah tangga dan bisnis yang tidak berhak. Disisi lain, kesulitan menurunkan subsidi BBM mengalami pertentangan yang cukup tinggi apakah dengan menaikkan harga eceran BBM atau memberikan subsidi kepada yang berhak. Dalam policy paper ini, penulis mengulas keuntungan atau penghematan yang diperoleh dari pemberian subsidi LGV/Vi-Gas terhadap penurunan subsidi BBM Premium yang merupakan pengembangan dari kajian yang pernah dilakukan penulis pada tahun 2008 di Badan Kebijakan Fiskal. Berdasarkan pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa perlu adanya pemberian subsidi LGV/Vi-Gas oleh Pemerintah kepada angkutan umum taksi di Jakarta sebesar Rp600 per LSP. Pemberian subsidi ini dapat menurunkan subsidi BBM Premium sebesar Rp275,52 miliar pada tahun 2011. Oleh karena itu, syarat pemberian subsidi LGV harus memiliki selisih harga 1
Peneliti pada Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan. Penulis berterima kasih kepada Lukas Ciptadi dan Yani Farida atas sumbangan pemikirannya dalam penulisan policy paper ini. 1
sebesar Rp1.500 atau 2/3 dari harga eceran BBM bersubsidi (BBM Premium). Syarat lainnya adalah (i) keamanan atau keselamatan menggunakan konverter kit terjamin, (ii) harga LGV/Vi-Gas murah, dan (iii) ketersediaan gas. Pemberian subsidi tersebut harus diikuti dengan aturan hukum bahwa angkutan umum taksi yang telah memperoleh subsidi LGV tidak diperkenankan membeli BBM bersubsidi (punishment) melainkan membeli BBM Pertamax atau sejenisnya dengan harga keekonomian atau harga yang berlaku di pasaran. Selanjutnya, bila penerapan subsidi LGV ini berhasil di wilayah Jakarta maka dapat diperluas pada kendaraan dinas Pemda dan Pemerintah Pusat. Selanjutnya program ini bisa dilanjutkan pada angkutan umum lainnya seperti mikrolet, metromini, kopaja dan bis besar. Penulis juga menyarankan agar pemerintah dapat memperluas pemberian subsidi LGV kepada angkutan umum di luar Jakarta.
I. Pendahuluan Saat pemerintah menyampaikan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun 2011 (PPKF), maka salah satu asumsi yang penting dan menjadi acuan bagi subsidi BBM adalah patokan harga minyak internasional yang diperkirakan US$ 80 – US$ 85 per barel. Harga patokan tersebut dianggap realistis dan mencerminkan perilaku harga minyak internasional sebelumnya. Walaupun harga minyak internasional saat ini telah mengalami penurunan dibandingkan tahun 2008 yang rata-rata sebesar US$ 97 per barel menjadi sekitar US$ 61,58 per barel tahun 2009 dan diperkirakan rata-rata harga minyak internasional naik menjadi US$ 76,7 per barel pada tahun 2010.2
2
Buku Saku APBN & Indikator Ekonomi, Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan, 15 April 2010. 2
Setiap perubahan harga minyak internasional baik turun maupun naik akan secara langsung mempengaruhi besaran subsidi BBM. Semakin tinggi kenaikan harga minyak internasional maka semakin besar beban subsidi BBM yang ditanggung dalam APBN tahun bersangkutan. Tahun 2010, asumsi ICP yang telah ditetapkan bersama DPR yaitu US$ 80 per barel dalam APBN P, maka beban subsidi BBM diperkirakan mencapai Rp88,9 triliun. Dengan demikian, tahun 2011 dengan asumsi harga minyak internasional mengalami kenaikan sampai dengan US$ 85 per barel dan tidak ada perubahan atau kenaikan harga jual eceran BBM bersubsidi, maka beban subsidi tahun 2011 3
lebih dari Rp90 triliun.
Adanya kenaikan harga minyak internasional jelas akan semakin memberatkan beban APBN 2011 tanpa ada perubahan kebijakan subsidi BBM. Bila pemerintah menaikkan harga jual BBM seperti pada bulan Juni 2008 hal ini tentu sangat membebani masyarakat terutama masyarakat miskin yang selalu terkena dampak akibat perubahan kebijakan tersebut. Bila tidak dinaikkan, maka beban subsidi menjadi tinggi dan dapat menyulitkan ruang gerak pemerintah dalam mengalokasikan belanja diluar subsidi BBM. Ada tidaknya perubahan kebijakan akan menyebabkan dilematis bagi kebijakan publik. Padahal, hampir seluruh pihak mengetahui bahwa pemberian subsidi BBM tidak tepat sasaran dan kurang efisien karena hanya menguntungkan beberapa pihak. Untuk mengurangi beban subsidi BBM bukanlah pekerjaan mudah. Argumentasi yang dikemukakan pemerintah kepada DPR seringkali tidak sejalan dengan harapan-harapan seluruh stakeholders. Begitu banyak
3
RPJM 2010-2014 menyebutkan bahwa subsidi BBM, LPG dan BBN tahun 2011 sebesar Rp59,64 triliun dengan asumsi (i) kurs = Rp9.750 / US$ dan ICP US$ 70 / barrel. 3
penolakan dari pihak-pihak tertentu bila pemerintah bermaksud mengurangi subsidi dan memberikannya kepada yang berhak. Dan realitasnya, subsidi masih terus dipertahankan dengan segala kondisi ekonomi yang terjadi di Indonesia. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pemberian subsidi terutama subsidi BBM pada tahun-tahun selanjutnya dapat dikurangi? Dalam PPKF 2011 secara jelas telah disampaikan oleh pemerintah bahwa salah satu prioritas pembangunan di bidang energi adalah kebijakan energi yang menitikberatkan pada nilai keekonomian agar tercipta efisiensi ekonomi dengan tetap memperhatikan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat dan mengurangi ketergantungan yang berlebihan terhadap minyak bumi melalui penganekaragaman energi primer. Beberapa
kebijakan
pemerintah
untuk
mulai
mengurangi
ketergantungan terhadap minyak bumi adalah konversi minyak tanah ke LPG 3 kilogram sejak tahun 2007. Program ini berhasil mengurangi beban subsidi BBM minyak tanah dengan mengalihkan beban subsidinya ke subsidi LPG 3 kilogram. Namun, dalam perjalanannya program baru berhasil di kota-kota besar dan seluruh pulau Jawa dan Bali. Keberlanjutan program tersebut ke daerah-daerah lainnya seperti Sumatera dan Sulawesi masih mengalami hambatan. Demikian halnya dengan program penggunaan energi lainnya seperti liquid gas vehicle (LGV), bioethanol, biosolar dan panas bumi menjadi tertunda karena belum siapnya infrastruktur dan ketersediaan energi tersebut. Pakar ekonomi dan energi (Umar Said, 2008) mengatakan bahwa kondisi saat ini perlu dicermati dan dianalisis dengan baik. Ketergantungan terhadap energi fosil sudah selayaknya dikurangi, sedangkan penggunaan energi yang ramah lingkungan dan terbarukan yang memiliki potensi yang 4
sangat besar di Indonesia perlu ditingkatkan. Kebijakan pro green atau go green dalam rangka diversifikasi energi dan mengurangi subsidi energi merupakan kebijakan yang dapat diterapkan pada masa yang akan datang. Salah satu alternatif penggunaan energi (bahan bakar) yang murah dan ramah lingkungan terhadap kendaraan bermotor adalah liquid gas vehicle (LGV). Saat ini pemerintah daerah (Pemda) yang mulai menerapkan penggunaan LGV adalah Pemda DKI Jakarta melalui Keputusan Gubernur nomor 141/2007 tentang penggunaan bahan bakar gas untuk angkutan umum dan kendaraan operasional pemerintah daerah. Keunggulan menggunakan LGV dibandingkan premium secara teknis cukup menguntungkan yaitu ramah lingkungan, biaya operasional murah, umur mesin lebih panjang dan bebas timbal serta nilai oktannya sangat tinggi lebih dari 98. Kelebihan lainnya seperti harganya yang stabil dan tidak terlalu terpengaruh harga gas internasional. Namun, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya kebijakan ini masih berjalan ditempat dan perluasan penggunaan LGV belum memperoleh hasil yang menggembirakan. Jumlah pengguna LGV justru cenderung tetap atau menurun. Taksi yang telah menggunakan LGV masih menggunakan BBM bersubsidi sebagai bahan bakar kendaraannya. Dari sisi kepentingan pemerintah dalam upaya mewujudkan priortas pembangunan tahun 2011 yaitu mengurangi subsidi dan diversifikasi energi serta mendorong terciptanya ketahanan energi Indonesia. Tulisan ini mengemukakan alternatif penggunaan LGV dan hambatannya sebagai bahan bakar kendaraan bermotor pada angkutan umum taksi di Jakarta yang dapat digunakan sebagai alternatif penggunaan energi primer selain minyak bumi dan diharapkan dapat mengurangi subsidi BBM.
5
II. Penggunaan LGV di Beberapa Negara Penggunaan LGV atau LPG telah menjadi salah satu alternatif penggunaan bahan bakar baik untuk memasak maupun kendaraan bermotor dibeberapa negara. Ketergantungan terhadap bahan bakar seperti premium dan solar dengan harga yang terus meningkat membuat banyak negara mengembangkan penggunaan energi yang sesuai dengan potensi energi, kondisi alam dan tipologi negara tersebut. Disamping itu, tuntutan menggunakan energi yang ramah lingkungan akibat pemanasan global menjadi kebijakan energi yang tidak dapat ditunda untuk masa yang akan datang. Berbagai kelebihan penggunaan LGV seperti ketersediaan energi, ramah lingkungan, efisien, cukup aman, tidak tergantung jaringan pipa gas dan biayanya murah menjadikan bahan bakar tersebut digunakan di beberapa negara. Negara yang banyak menggunakan gas sebagai bahan bakar utama memasak dan kendaraan bermotor adalah negara maju di Eropa (OECD). Penggunaan energi tersebut mulai digalakkan karena semakin berkurangnya dan semakin mahalnya BBM premium serta solar (minyak mentah). Ketergantungan premium dan solar membuat negara-negara tersebut tidak memiliki daya tawar terhadap harganya. Ada kecendrungan harga yang dijual pada pasar internasional lebih ditentukan oleh para produsen minyak (OPEC). Untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar memasak dan kendaraan bermotor maka banyak negara yang mencari alternatif bahan bakar agar ketahanan energi masing-masing negara dapat tercapai. Selain negara-negara eropa yang menggunakan LGV, LPG dan compressed natural gas (CNG), negara Jepang, Korea Selatan dan Thailand (Asia) merupakan negara tetangga yang berinisiatif dan cukup sukses dalam 6
penggunaan energi alternatif. Jumlah kendaraan bermotor yang menggunakan LPG di Korea Selatan saat ini (2008) mencapai 2.187.066 unit (13,37% dari total kendaraan bermotor). Peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang menggunakan LPG diimbangi dengan peningkatan jumlah SPBG yaitu sebanyak 1.415 lokasi. Sedangkan penggunaan CNG yang menggunakan jalur pipa dibatasi kepada kendaraan bermotor besar seperti Bus dan Truk (Itochu, 2008). Demikian halnya di negara Jepang, penggunaan LPG sebagai bahan bakar gas pada kendaraan bermotor telah dimulai sejak tahun 1970 terutama kendaraan taxi. Saat ini kendaraan bermotor umum yaitu taksi yang menggunakan LPG mencapai 90 persen dari total taksi di Jepang. Berbagai kemudahan yang diberikan pemerintah dan alternatif penggunaan energi selain bahan bakar minyak (premium) kendaraan bermotor diluar taksi telah bertambah banyak diberbagai kota di Jepang yang mencapai 52.300 unit. Kota Tokyo merupakan pengguna terbesar LPG yaitu sekitar 7.300. SPBG di Jepang sebanyak 2.000 lokasi pengisian dan terbesar di kota Tokyo yaitu 102 lokasi untuk melayani kendaraan bermotor yang menggunakan LPG atau LGV (Itochu, 2008). Di Thailand, taksi yang menggunakan bahan bakar gas (BBG) sebanyak 50.000 unit yang didominasi LPG/LGV sebanyak 40.000, sedangkan yang menggunakan CNG sebanyak 10.000 unit taksi. Kendaraan bermotor dinas pemerintah dan pribadi yang menggunakan LPG sebanyak 20.000. Penggunaan LPG/CNG di kota Bangkok, Thailand sangat populer. Hal ini disebabkan dukungan dari Pemerintah Thailand sangat besar dalam menerapkan harga yang lebih rendah dibandingkan harga bensin (gasoline)
7
yaitu harga eceran LPG 1/3 dari harga bensin. Perbandingannya: harga LPG BAHT 9.5 - 9.8 per liter sementara bensin BAHT 25.59 per liter. Disamping itu, penyediaan pengisian LPG (SPBG) terus meningkat dan mencapai 300 lokasi untuk di kota Bangkok (Itochu, 2008). Penggunaan LPG pada kendaraan bermotor di kota Bangkok merupakan pengguna terbesar untuk kota-kota besar di ASEAN. Dukungan pemerintah untuk menggunakan alternatif energi selain BBM merupakan pilihan yang ditawarkan ke pengguna kendaraan bermotor dengan memperhitungkan potensi ketersediaan gas, dan kemudahan pajak (insentif fiskal) pada kendaraan bermotor. Dukungan tersebut dilakukan dengan mewajibkan angkutan umum (taksi) untuk menggunakan LPG/LGV atau CNG sebagai bahan bakar kendaraan dan menetapkan harga yang lebih rendah dibandingkan harga bensin melalui subsidi LPG. Pada awalnya harga LPG untuk kendaraan lebih mahal daripada harga LPG untuk rumah tangga karena tidak ada subsidi untuk LPG kendaraan. Banyak pengendara yang menggunakan LPG rumah tangga untuk kendaraan, hal ini menyebabkan banyak terjadinya kecelakaan, karena LPG rumah tangga tidak cocok untuk kendaraan. Untuk mencegah terjadinya kecelakaan Pemerintah Thailand melakukan dua kebijakan yaitu: (i) memberikan subsidi LPG mobil, sehingga harga LPG rumah tangga sama dengan LPG untuk mobil, dan (ii) mengadopsi standar internasional untuk LPG kendaraan, baik untuk komponen dan stasiun guna menjamin perbaikan lingkungan, keamanan dan kualitas.
8
III.
Penggunaan LGV di Indonesia Dalam pelaksanaannya, masyarakat Indonesia seringkali kesulitan
membedakan liquid petroleum gas (LPG) dengan liquid gas vehicle (LGV). Kedua istilah ini sebenarnya hampir sama dalam pemanfaatannya. Namun, yang membedakannya adalah peralatan dan mesin yang menggunakan kedua energi tersebut. LPG biasanya dikenal masyarakat dengan penggunaan kompor gas yang menggunakan tabung 3 kilogram atau 12 kilogram berisi cairan gas bumi olahan. Sedangkan kendaraan bermotor menggunakan LGV sebagai bahan bakarnya dalam tabung yang berisi sekitar 40 kilogram atau 48 liter setara premium (LSP). Saat ini penggunaan gas di Indonesia untuk kendaraan bermotor lebih dikenal dengan bahan bakar gas (BBG) atau CNG yang sering digunakan pada bis besar dan busway di Jakarta. Perbedaan yang mencolok LGV dengan CNG adalah tekanan dalam tangki (tabung) di CNG lebih besar dibandingkan LGV. Selain itu, stasiun pengisian CNG hampir semua menggunakan jaringan pipa untuk mendistribusikan gas buminya. Sedangkan stasiun pengisian LGV hampir sama dengan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dengan tangki yang dapat ditanam (under ground) atau diatas tanah (upper ground). Pemerintah daerah yang telah menggunakan bahan bakar gas sebagai bahan bakar kendaraan bermotor adalah DKI Jakarta dan Kota Palembang. Adapun perda yang digunakan DKI Jakarta adalah (i) Instruksi Gubernur DKI Nomor 28 tahun 1990 yaitu minimal 20 persen dari armada yang dimiliki perusahaan angkutan umum / taksi harus menggunakan bahan bakar gas, (ii) Perda DKI Nomor 2 tahun 2005 Pasal 20 yaitu seluruh sarana transportasi umum dan pemerintah daerah harus berbahan bakar gas, dan (iii) Keputusan 9
Gubernur DKI Jakarta nomor 141 tahun 2007 tentang penggunaan bahan bakar gas (BBG) untuk angkutan umum dan kendaraan operasional pemerintah daerah. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa Pemda DKI memberikan insentif kepada pengguna BBG yaitu CNG dan LGV/LPG dengan pengurangan pajak kendaraan bermotor (PKB), insentif bagi investor stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG), dan bengkel pemasangan dan perawatan instalasi sistem pemakaian gas. Melalui program langit biru (blue sky), angkutan taksi di Jakarta yang telah menggunakan BBG sebanyak 2.360 dan 400 angkutan lainnya seperti Bajaj. Jumlah kendaaraan yang menggunakan BBG masih sangat rendah karena berbagai hal antara lain : (i) ketersediaan SPBG di wilayah DKI Jakarta yang masih sedikit, (ii) keraguan pengelola taksi untuk menggunakan LPG sebagai bahan bakar terkait masalah keamanan dan efisiensi, dan (iii) harga konverter kit yang sangat mahal.
10
Tabel 1. Jumlah Kendaraan Umum di DKI Jakarta 2009 No.
Jenis Kendaraan
Total Kendaraan
Kendaraan Umum Yang Menggunakan
Bus Besar a. Bus (Non Busway) 4,540 b. Busway (Koridor 1-8) 420 2 Bus Sedang 4,979 3 Kendaraan a. Angkot (mikrolet) 6,746 b. KWK 6,238 4 Bemo 1,096 5 Taksi 24,256 6 Bajaj 14,424 7 Lain-lain 23,827 Total 86,526 Sumber: Dinas Perhubungan, Pemda DKI Jakarta, 2009
Gas
BBM
%
1
329 -
4,540 91 4,979
0% 78% 0%
150 2,360 400 3,239
6,596 6,238 1,096 21,896 14,024 23,827 83,287
2% 0% 0% 10% 3% 0% 4%
IV. Penurunan Subsidi BBM Melalui Pemberian Subsidi LGV Pada saat krisis energi tahun 2008 yang ditandai dengan naiknya harga minyak internasional yang mencapai rata-rata US$ 97,2 per barel telah meningkatkan beban subsidi pada tahun tersebut menjadi Rp 139,1 triliun. Beban subsidi tersebut membengkak karena ketergantungan terhadap BBM yaitu Solar, Premium dan Minyak Tanah masih tinggi, walaupun sejak bulan Agustus 2007 pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pengalihan (konversi) penggunaan minyak tanah (mitan) ke LPG 3 kg terhadap pengguna minyak tanah di kalangan rumah tangga dan usaha mikro. Namun, sampai saat ini pelaksanaan dari program tersebut masih mengalami hambatan dan masih banyak daerah yang belum beralih menggunakan LPG 3 kg. Oleh karena itu, beban subsidi minyak tanah masih tetap tinggi sampai saat ini yaitu lebih dari Rp13 triliun pada tahun 2010 (APBN P).
11
Tabel 2. Perkembangan Subsidi BBM 2007 - 2010 JENIS SUBSIDI TOTAL SUBSIDI BBM (Triliun Rp) 1. Subsidi BBM -Premium -Minyak Tanah -Solar
2007
2008
2009
2010 APBN
APBN-P
83.8 83.8 25.3 39.5 19.1
139.1 135.2 43.6 47.6 44.1
45.0 37.1 15.2 11.5 10.4
68.7 57.4 24.3 12.5 20.6
88.9 74.7 36.6 13.7 24.4
2. Subsidi LPG
-
3.9
7.9
11.4
14.7
3. Subsidi BBN
-
-
2,226.0
2,226.0
38,643 17,929 9,850 10,864
39,176 19,529 7,855 11,792
37,723 21,120 4,569 12,035
36,505 21,454 3,800 11,251
36,505 21,454 3,800 11,251
545,936
1,774,653
2,973,342
2,973,342
Volume BBM dan LPG BBM (ribu kl) -Premium -Minyak Tanah -Solar LPG (ribu kg) Sumber: Kementerian Keuangan, 2010
PKAPBN, BKF (2008) menyebutkan bahwa biaya penyelenggaraan program konversi mitan ke LPG 3 kg masih lebih besar dibandingkan penghematan yang diharapkan pada tahun 2008 dan 2009. Kebijakan tersebut belum efektif dalam waktu jangka pendek (1 - 2 tahun) dan daerah yang telah ‘close’ programnya masih terbatas pada Pulau Jawa, Bali dan sebagian Sumatera.4 Namun, bila program ini dapat dilaksanakan pada wilayah-wilayah yang banyak menggunakan mitan, maka penurunan subsidi mitan akan berkurang secara signifikan. Program konversi ini belum berhasil karena ketersediaan stasiun pengisian LPG daerah-daerah yang terkonversi masih 4
Skenario biaya anggaran program konversi (pengadaan + verifikasi + pengawasan) tahun 2009 sebesar Rp5,43 triliun, sedangkan penghematan yang terjadi berdasarkan survei PKAPBN, BKF sebesar Rp5,25 triliun. Hal ini dapat dimaklumi bahwa penghematan subsidi belum dapat dirasakan karena Pemerintah perlu mengalokasikan dana terhadap penyelenggaraan program tersebut. 12
terbatas menyebabkan kelangkaan dan mitan bersubsidi tidak
ada lagi
dipasaran. Selain itu, harga LPG 3 kg yang masih disubsidi menyebabkan cukup banyak pengguna LPG 12 kg beralih ke LPG 3 kg karena harganya lebih murah. Hal yang menarik perhatian dari program tersebut adalah keamanan (safety) dari tabung LPG 3 kg yang belakangan ini sering bermasalah yaitu menyebabkan kebakaran dan pengguna LPG meninggal dunia karena tabung tersebut meledak.5 Berdasarkan hambatan-hambatan tersebut diatas inilah yang menyebabkan program konversi LPG 3 kg belum berhasil dengan baik dalam pelaksanaannya. Dalam kebijakan APBN yang disepakati pemerintah dengan DPR, pemberian subsidi tetap diberikan namun memperhatikan siapa yang berhak (target sasaran) menerima subsidi dan berapa besarannnya. Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mengurangi subsidi BBM (Premium) adalah dengan mengalihkan penggunaan BBM Premium bersubsidi ke bahan bakar LGV pada kendaraan bermotor (angkutan umum) taksi. LGV adalah energi bebas timbal yang memiliki oktan yang sangat tinggi (> 98) dibandingkan BBM premium bersubsidi dengan oktan sekitar 80. Dengan oktan yang tinggi akan menyebabkan umur mesin menjadi lebih panjang dan awet serta mengurangi biaya perawatan.
5
Berbagai mass media seperti Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, Metro-tv, Tvone dan lain-lain memberitakan kejadian terbakar dan meledaknya tabung LPG 3 kg sejak bulan Mei – Juli 2010. 13
Tabel 3. Asumsi Harga, Biaya, Volume Penggunaan dan Subsidi BBM 2010 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Uraian Harga LGV/Vi-Gas (Rp/Ltr) *) Harga Premium Bersubsidi (Rp/Ltr) Harga Pertamax 95 (Rp/Ltr) *) Harga Pertamax 92 (Rp/Ltr) *) Biaya Instalasi Konverter (Rp/Tabung) **) Rata-rata penggunaan bahan bakar (km/ltr) ***) Volume Premium + BBN Bersubsidi (ribu kl) ****) Subsidi BBM Premium + BBN (rp miliar) ****) Subsidi BBM Premium (Rp/liter)
Premium 4,500 6,950 6,350 10 21,454 36,559.2 1,704
LGV 3,600 12,000,000 10 -
Ket. LSP Liter Liter Liter Tabung Km/ Ltr
Ket: * Harga per 1 Juli 2010 **) Sumber: Pertamina & KPPB, April 2010 ***) Sumber: Lemigas, ESDM, 2008 ****) Sumber: APBN P 2010
Dalam penggunaan LGV atau Vi-Gas, terdapat biaya tambahan untuk pemasangan konverter kit (tabung dan peralatannya) yang cukup besar yaitu Rp12 juta per unit. Asumsi harga yang dipakai adalah menggunakan harga yang tertinggi dipasaran untuk kualitas tinggi. Biasanya harga yang rendah mengindikasikan kualitas yang rendah pula pada konverter kit. Namun, harga tersebut akan menurun secara otomatis bila pasar konverter kit semakin kompetitif. Kelebihan dari penggunaan konverter ini adalah dapat di switching ke BBM baik Premium maupun Pertamax bila LGV habis dan tidak tersedia stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG). Berdasarkan hasil kajian Lemigas, ESDM (2008), penggunaan 1 LSP LGV/Vi-Gas pada jalan dalam kota (city road test) dapat menempuh jarak yang hampir sama dengan menggunakan BBM Premium bersubsidi yaitu sekitar 10 14
km per liter. Harga jual LGV/Vi-Gas lebih murah dibandingkan harga jual eceran BBM bersubsidi yaitu Rp3.600 per LSP atau lebih rendah Rp900 dibandingkan harga BBM Premium bersubsidi. Harga tersebut jauh lebih murah dibandingkan harga BBM Pertamax 95 non subsidi yaitu Rp6.950 per liter dan Pertamax 92 non subsidi yaitu Rp6.350 per liter. Dalam APBN P 2010, subsidi yang diberikan kepada BBM Premium adalah sebesar Rp1.704 per liter, sedangkan LGV/Vi-Gas sampai saat ini tidak memperoleh subsidi. Dengan menggunakan asumsi-asumsi diatas, keuntungan yang diperoleh APBN dan pengguna LGV/Vi-Gas di wilayah Jakarta pada tahun 2011 dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4. Perbandingan Penggunaan BBM Premium Bersubsidi Dengan LGV/Vi-Gas Tahun 2011
Parameter
Jenis Energi Premium
LGV /LPG /Vi-Gas
Rata-rata Harga Patokan (Rp/ltr)
5,617
2,941
Harga Retail (Rp/ltr) Harga sbl m Pajak (Rp/ltr)
4,500 3,913
3,600 3,130
Subsidi (Rp/l tr) Penghematan Subsidi (Rp/ltr)
1,704
1,704
24,256
24,256
300 30 265,603,200 452,587,852,800
300 33 295,114,667 -
Jumlah Taxi Rata2 Jarak Tempuh (km/hari ) Rata2 Penggunaan (ltr/hari) (LSP/hr) Vol . Penggunaan (ltr/th) (LSP/thn) Total Subsidi (Rp/th) Total Penghematan Subsidi (Rp/th)
452,587,852,800
Sumber dan Catatan : -
Penetapan Harga Jual Vi-Gas sejak Januari tahun 2009 ICP = US$ 80 / barrel, Kurs = Rp9.200 / US$ (APBN P 2010) Harga patokan gas = 0,817*Harga Retail Vi -Gas tidak ada subsidi, harga ditentukan ol eh PT. Pertamina (harga keekonomian) Harga konverter kit + tabung sebesar Rp 12.000.000 di kompensasi pada selisih harga Premi um thd LGV yai tu Rp 900 / ltr (Rp 15.000 / hari ), (Rp 5.040.000 / tahun)
15
Berdasarkan asumsi yang digunakan pada tahun 2010 (APBN P) dan seluruh taksi yang berada di wilayah Jakarta tidak menggunakan BBM Premium bersubsidi, maka terjadi penghematan atau penurunan subsidi BBM Premium tahun 2011 sebesar Rp 452,58 miliar. Bila operator taksi atau supir membeli konverter kit dengan biaya sendiri, maka pengembalian modal pembelian peralatan tersebut akan kembali sekitar dua tahun empat bulan (26 bulan). Hal ini didasarkan pada penggunaan LGV dalam sehari menghemat sebesar Rp15.000, sebulan sebesar Rp 420.000 dan setahun sebesar Rp 5.040.000.6 Melihat hasil perhitungan tersebut diatas, maka seharusnya Pemerintah dan Operator Taksi/Supir akan menggunakan LGV/Vi-Gas sebagai alternatif untuk mengurangi subsidi BBM. Namun, realitas yang terjadi sejak tahun 2008 sampai saat ini penggunaan LGV/Vi-Gas mengalami hambatan yang cukup berat dalam pelaksanaannya. Ketersediaan SPBG yang sangat terbatas di wilayah Jakarta, harga konverter yang sangat mahal dan jaminan keselamatan penggunaan LGV menjadi penyebab terhambatnya penggunaan LGV/Vi-Gas pada kendaraan bermotor yaitu angkutan umum Taksi. Operator Taksi dan Supir tidak memiliki modal yang cukup untuk membeli konverter kit yang harganya Rp12 juta per unit. Disamping itu, tingkat pengembalian pembelian tabung dan peralatan memakan waktu yang cukup lama bagi operator Taksi dan supir. Supir juga mengkhawatirkan keselamatan dirinya dan penumpang bila menggunakan LGV sebagai bahan bakar kendaraannya. Kekhawatiran tersebut dipengaruhi berbagai kejadian meledaknya LPG 3 kg pada rumah tangga dan usaha kecil. Selain itu, keseriusan dari Pemerintah
6
Asumsi rata-rata penggunaan taksi dalam sebulan = 28 hari.
16
untuk menggalakkan penggunaan LGV dan LPG tidak diikuti ketersediaan gasnya. Hal yang menarik ditemui dilapang adalah Operator Taksi Express untuk kendaraan kalangan atas yaitu Toyota Alphard justru menggunakan LGV/Vi-Gas sebagai bahan bakar kendaraannya. Pengisian LGV pada SPBG Rasuna Said, Jakarta Selatan merupakan bukti nyata bahwa operator Taksi Express lebih suka menggunakan LGV/Vi-Gas dibandingkan BBM Pertamax karena harganya sangat murah (lihat tabel 3). Selain itu, waktu pengisian LGV/Vi-Gas tidak memakan waktu yang lama atau sekitar 2 menit untuk 40 7
LSP. Dengan demikian, biaya pembelian konverter kit menjadi lebih murah dan tingkat pengembaliannya jauh lebih cepat dibandingkan taksi yang menggunakan BBM Premium bersubsidi. Manfaat lain yang diperoleh pengguna LGV/Vi-Gas bersifat non biaya adalah ramah lingkungan, dan diversifikasi energi (switching fuel). Bila menggunakan asumsi harga LGV/Vi-Gas sebesar Rp3.000 per LSP atau ada subsidi yang diberikan ke LGV/Vi-Gas sebesar Rp600 per LSP, maka penggunaan LGV/Vi-Gas memiliki nilai tambah dan sangat menguntungkan bagi operator dan supir taksi yaitu terjadinya penghematan sebesar Rp35.000 per hari atau Rp980.000 per bulan (28 hari) atau Rp11.700.000 per tahun. Bila asumsi perhitungan harga jual eceran BBM Premium dan subsidi BBM Premium per liternya tetap pada tahun 2011, maka harga konverter kit sebesar Rp12 juta dapat dikompensasi dari penghematan penggunaan LGV/Vi7
Penulis hampir setiap saat melakukan wawancara dengan supir Taksi Express tentang kelebihan dan kelemahan penggunaan LGV/Vi-Gas pada mobil Toyota Alphard sejak tahun 2009 – 2010. Pengisian BBM Premium/Pertamax sebanyak 30 liter pada kendaraan bermotor roda empat membutuhkan waktu sekitar 1,25 menit. 17
Gas hanya dalam waktu satu tahun. Dengan demikian, pada tahun selanjutnya (tahun 2012), pengguna LGV/Vi-Gas (operator taksi) akan menerima manfaat yang lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya. Penerapan harga LGV/ViGas harus lebih rendah sekitar 30 persen dibandingkan harga BBM Premium atau duapertiga (2/3) dari harga BBM Premium (lihat tabel 5). Disisi APBN, adanya pemberian subsidi ke LGV/Vi-Gas sebesar Rp600 per LSP justru menurunkan subsidi (penghematan) BBM Premium sebesar Rp275,52 miliar tahun 2011 di wilayah Jakarta.
Tabel 5. Perbandingan Penggunaan BBM Premium Bersubsidi Dengan LGV/Vi-Gas Bersubsidi Tahun 2011 Parameter
Jenis Energi Premium
LGV / LPG / Vi-Gas
Rata-rata Harga Patokan (Rp/ltr) Harga Retail (Rp/ltr) Harga sblm Pajak (Rp/ltr)
5,617 4,500 3,913
2,941 3,000 2,550
Subsidi (Rp/ltr) Penghematan Subsidi (Rp/ltr)
1,704
600 1,104
24,256 300 30
24,256 300 33
265,603,200
295,114,667
452,587,852,800
177,068,800,000
Jumlah Taxi Rata2 Jarak Tempuh (km/hari) Rata2 Penggunaan (ltr/hari) (LSP/hr) Vol. Penggunaan (ltr/th) (LSP/thn) Total Subsidi (Rp/th) Total Penghematan Subsidi (Rp/th)
Sumber dan Catatan : - Penetapan Harga Jual Vi-Gas sejak Januari tahun 2009 - ICP = US$ 80 / barrel, Kurs = Rp9.200 / US$ (APBN P 2010) - Harga patokan gas = 0,817*Harga Retail - Vi-Gas tidak ada subsidi, harga ditentukan oleh PT. Pertamina (harga keekonomian) - Harga konverter kit + tabung sebesar Rp 12.000.000 dikompensasi pada selisih harga Premium thd LGV yaitu Rp 1.500 / ltr (Rp 35.000 / hari), (Rp 11.700.000 / tahun)
18
275,519,052,800
V. Kesimpulan dan Rekomendasi Berdasarkan pengalaman pelaksanaan konversi minyak tanah (mitan) ke LPG 3 kg sejak tahun 2007 sampai saat ini, maka untuk menerapkan penggunaan LGV/Vi-Gas pada kendaraan bermotor terutama angkutan taksi memerlukan analisis dan kajian yang mendalam terutama sisi supply dan demand. Bila suatu kebijakan atau program diimplementasikan pada tahun 2011 maka ketersediaan terhadap sumber energi yaitu gas sudah sepatutnya memperhatikan permintaan yang ada dilapangan atau program konversi yang sedang dan telah berjalan. Dalam rangka penurunan subsidi BBM Premium dan diversifikasi penggunaan energi, maka penggunaan LGV/LPG sebagai bahan bakar angkutan umum (taksi) dapat dilakukan dengan (i) menyediakan LGV/Vi-Gas pada tahun 2011 dan tahun-tahun selanjutnya. Menyediakan LGV/Vi-Gas dapat dilakukan industri lainnya diluar Pertamina, (ii) menambah stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) di Jakarta untuk mengurangi kemacetan atau antrian pengisian, dan (iii) membuat SPBG di masing-masing pool taksi untuk memudahkan supir taksi saat mengisi LGV/Vi-Gas. Untuk mendorong pelaku usaha (operator taksi) dan supir beralih dari bahan bakar premium ke LGV/Vi-Gas, maka harga LGV/Vi-Gas harus lebih murah daripada harga BBM Premium bersubsdi. Seperti halnya yang terjadi dinegara Thailand yang menerapkan harga LGV/LPG hanya 1/3 dari harga premium, seluruh armada taksi di Bangkok menggunakan bahan bakar gas (80% LGV dan 20% CNG), dampak lainnya adalan banyak kendaraan pribadi yang menggunakan LGV. Oleh karena itu, harga yang layak bagi LGV/Vi-Gas di Jakarta adalah 2/3 dari harga BBM Premium atau lebih rendah sebesar minimal Rp. 1.500 dibandingkan harga BBM Premium bersubsidi.
19
Dengan diberikannya subsidi LGV/Vi-Gas sebesar Rp600 per LSP justru menurunkan subsidi BBM Premium sebesar Rp275,52 miliar di wilayah Jakarta. Selain itu, pelaku usaha juga akan memperoleh tambahan keuntungan pada tahun kedua sebesar Rp 11,76 juta. Dengan demikian, pelaku usaha akan beralih menggunakan LGV/Vi-Gas sebagai bahan bakar kendaraannya. Adanya pemberian pengurangan pajak kendaraan bermotor (PKB) oleh Pemda DKI sebesar 30 persen akan menjadi insentif bagi operator dan supir taksi untuk menggunakan bahan bakar gas sebagai bahan bakar kendaraannya. Pemberian subsidi dan insentif lainnya juga dapat mengurangi biaya angkutan penumpang di Jakarta. Berbagai subsidi dan kemudahan yang diberikan pemerintah (reward) harus diikuti dengan pemberlakuan kepada angkutan umum taksi yang telah menggunakan LGV/Vi-Gas sebagai bahan bakar kendaraannya untuk tidak diperbolehkan membeli BBM Premium bersubsidi (punishment). Guna memudahkan pengawasan melalui taksi yang telah menggunakan LGV/Vi-Gas dapat diberikan tanda khusus pada kendaraannya seperti hologram, stiker atau tanda lain yang dapat diketahui secara mudah oleh petugas SPBU. Bila
Pemerintah
berkomitmen
untuk
menerapkan
kebijakan
penggunaan dan pemberian subsidi LGV/Vi-Gas pada tahun 2011, maka semester II tahun 2010 rancangan kebijakan seperti (i) ketersediaan gas yaitu LGV/Vi-Gas terjamin pada tahun 2011 dan tahun-tahun selanjutnya, (ii) penetapan harga LGV/Vi-Gas harus lebih rendah Rp1.500 atau 2/3 dari harga BBM Premium bersubsidi. Oleh karena itu, pemberian subsidi LGV/Vi-Gas sebesar Rp600 dapat diberikan kepada LGV/Vi-Gas, dan (iii) adanya jaminan
20
keselamatan atau rasa aman menggunakan converter kit LGV/Vi-Gas bagi supir dan penumpang taksi. Selanjutnya, perluasan (coverage) penggunaan dan pemberian subsidi LGV/Vi-Gas dapat diberikan kepada taksi yang berdomisili di luar Jakarta seperti Depok, Tangerang, Bekasi dan Bogor. Semakin banyak taksi yang menggunakan LGV/Vi-Gas, maka semakin besar penurunan subsidi BBM Premium. Untuk Jakarta dapat diperluas kendaraan dinas Pemda DKI dan Pemerintah Pusat yang jumlahnya cukup besar sekitar 29.000 unit. Bila program ini berhasil dapat dilanjutkan pada angkutan umum lainnya seperti mikrolet dan bus.8 Sebaiknya program pengalihan (konversi) BBM ke LGV/Vi-Gas dievaluasi setiap triwulan, semester atau tahunan untuk mengetahui hambatan-hambatan yang terjadi dilapang dan dapat dilakukan perbaikan yang cepat dan tepat terhadap kendala-kendala tersebut. Bila program ini telah berhasil di Jakarta dan sekitarnya, maka program ini dapat diperluas pada kota-kota besar di Jawa, Bali dan Sumatera sesuai karakteristik daerahnya.
8
Pemda DKI, 2010. Kendaraan dinas Pemda DKI sekitar 9.237 unit dan Pemerintah Pusat sekitar 20.000 unit 21
VI. Daftar Pustaka Badan Kebijakan Fiskal, (2008), “Laporan Evaluasi Pelaksanaan Konversi Mitan ke LPG 3 kg”. Badan Kebijakan Fiskal (2008), ‘Laporan Efektivitas dan Efisiensi Kebijakan Subsidi Tahun 2008’ Instruksi Presiden No.10 Tahun 2005 tentang Penghematan Energi. Itochu Corporation, (2008),”Prospek Penggunaan LPG Sebagai Bahan Bakar Alternatif Yang Murah dan Ramah Lingkungan” September 2008. Kementerian Keuangan, (2010),”Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2011. Keputusan Menteri Kelestarian Lingkungan Hidup No.15 Tahun 1996 tentang Program Langit Biru (Blue Sky Program). Keputusan Menteri Kelestarian Lingkungan Hidup No.141 Tahun 2003 tentang Pemberlakuan Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Sesuai Dengan Standar Euro II. Keputusan Gubernur DKI No.141/2007 tentang Penggunaan Bahan Bakar Gas untuk Angkutan Umum dan Kendaraan Operasional Pemerintah Daerah. KPPB, (2010),”Antara Memangkas Emisi Sektor Transportasi dan Utopia BBG” dalam workshop pemanfaatan gas untuk transportasi, Kementerian Lingkungan Hidup 1 April 2010 Peraturan Menteri ESDM No.31 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penghematan Energi Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pertamina, (2010),”Benefit Penggunaan Gas Untuk Transportasi: Vi-Gas dan BBG”, dalam workshop pemanfaatan gas untuk transportasi, Kementerian Lingkungan Hidup 1 April 2010. Said, Umar, (2008), ”Ketahanan Energi Nasional dalam seminar RPJMN 2010 – 2014 di Bappenas 4 November 2008 . Jakarta 22
Sinaga, Elly (2010),”Kebijakan Penggunaan Bahan Bakar Gas Untuk Transportasi” dalam workshop pemanfaatan gas untuk transportasi, Kementerian Lingkungan Hidup 1 April 2010. SK Dirjen Minyak & Gas No.2527.K/24/DJM/2007 tentang Spesifikasi LPG untuk Kendaraan Bermotor. SK Dirjen Perhubungan Darat No.SK.78/AJ.006/DRJD/2008 tentang Pemakaian Bahan Bakar Gas Jenis Liquefied Gas for Vehicle (LGV) pada Kendaraan Bermotor.
23
Agunan Samosir lahir di Medan, 20 Agustus 1968. Meraih gelar Sarjana Ekonomi (SE) di Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya pada tahun 1992. Menyelesaikan pendidikan Magister Perencanaan Kebijakan Publik (MPKP) dengan gelar ME di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 2007. Saat ini penulis menjabat sebagai Peneliti Madya pada Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI dan aktif melakukan penelitian serta menulis di bidang kebijakan publik terutama bidang subsidi dan PSO.
Agunan Samosir ISBN 9786029562422
9 786029 562422