Verifikasi Perhitungan Partial Wave untuk Hamburan !! n L’dy Mascow Abdullah! , Imam Fachruddin! , Agus Salam! 1. Departemen Fisika, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia 2. Departemen Fisika, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia 3. Departemen Fisika, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia email :
[email protected]
Abstrak Hamburan ! ! n dihitung dengan menggunakan teknik standar partial wave dan juga teknik tiga dimensi(3D). Hasil perhitungan partial wave dibandingkan terhadap hasil perhitungan 3D untuk mem-verifikasi konvergensi perhitungan partial wave. Observable yang dihitung yaitu penampang lintang diferensial, polarisasi, dan depolarisasi. Interaksi yang dipakai berdasarkan pertukaran meson dan hyperon sampai orde 2.
Partial-Wave Calculation Verification for !! n Scaterring Abstract ! ! n scattering is calculated by applying the standar partial wave technique and a 3D technique. The partial-wave calculations are compared to the 3D calculations in order to verify the convergence of the partial-wave calculations. The observables being calculated are differential cross section, polarization, depolarization. Interactions being used is the one based on meson and hyperon exchange up to second order. Keywords: K+n Scattering, 3D technique, Partial-Wave technique Gambar 1: Kinematika hamburan Kaon-Nukleon dalam kerangka laboratorium (kiri) dan kerangka pusat massa (kanan)
Verifikasi Perhitungan..., L Dy Mascow Abdullah, FMIPA UI, 2014
Pendahuluan Metode hamburan merupakan salah satu cara yang digunakan dalam penelitian fisika nuklir dan partikel. Pada tahun 1910-1911, Ernest Rutherford bersama muridnya Hans Geiger dan ErnstMarsden melakukan eksperimen dengan menembakan partikel alpha ke sebuah lempeng tipis yang terbuat dari emas. Hasil pengamatan Rutherford bahwa partikel memiliki inti. Eksperimen Rutherford memulai bidang baru dalam fisika, yaitu fisika nuklir. Seiring berjalannya waktu, eksperimen dengan metode hamburan menggunakan teknologi yang semakin canggih membuat para fisikawan mendapatkan data yang semakin akurat. Penelitian fisika nuklir dan partikel baik dengan eksperimen maupun teori terus dikembangkan hingga saat ini untuk mengetahui stuktur dan sifat dari partikel-partikel tersebut [1]. Pada penelitian ini kami menghitung hamburan partikel kaon-nukleon (K+n). Hamburan K+n merupakan salah satu contoh hamburan elastik [2]. Pada saat reaksi berlangsung, struktur partikel tidak berubah [3]. Pada hamburan ini dengan energi rendah dapat ditinjau menggunakan mekanika kuantum nonrelativistik. Persamaan untuk menghitung hamburan ini yaitu persamaan Lipmann-Schwinger untuk matriks T.
Teori Dasar Kinematika Dalam penelitian ini, kami menggunakan dua kerangka, yaitu kerangka laboratorium (Lab.) dan kerangka pusat massa (P.M.). Kami menyatakan !! adalah massa partikel satu yang merupakan massa proyektil dan !! adalah massa partikel dua yang merupakan massa target. Dalam kerangka Lab, !! adalah momentum awal partikel satu dan !! adalah momentum awal partikel dua. Dalam kerangka P.M, dimana momentum relatif awal adalah !. Dalam keadaan akhir,kami menggunakan !ʹ′ ! dan !ʹ′ ! sebagai momentum akhir dalam kerangka Lab. dan p′ dalam kerangka P.M. Hubungan antara momentum dalam kerangka laboratorium dan momentum dalam kerangka pusat massa adalah sebagai berikut:
Verifikasi Perhitungan..., L Dy Mascow Abdullah, FMIPA UI, 2014
!=
!! !! − !! !! !! !!
(1)
Pada keadaan awal, Kaon bergerak menuju Nukleon yang berada dalam keadaan diam relatif terhadap kerangka laboratorium. sehingga !! =0. Maka: ! != ! !! !
(2)
dimana µ adalah massa tereduksi: !=
!! !! !! + !!
(3)
Energi total dalam kerangka pusat massa !!.!. dan energi total dalam kerangka laboratorium !!"#. adalah: !
!!"#.
!
!!! !′ ! !′ ! = = + 2!! 2!! 2!!
(4)
!
!!.!.
!! !′ = = 2! 2!
(5)
Hubungan antara energi total dalam kerangka pusat massa dengan energi total dalam kerangka laboratorium adalah: !!"#. =
! ! !! !.!.
(6)
Pada gambar 2.1 bagian kiri adalah skema hamburan di kerangka Lab. dan pada bagian kanan adalah skema hamburan di kerangka P.M. Dalam proses hamburan, proyektil datang dari arah sumbu-z dengan momentum !! = !! ! dan ! = ! ! dan hamburan tersebut terjadi pada bidang !
Verifikasi Perhitungan..., L Dy Mascow Abdullah, FMIPA UI, 2014
!. Berikut adalah hubungan antara kedua sudut hamburan antara sudut hamburan kerangka laboratorium dengan sudut hamburan kerangka pusat massa: !! !!.!. = !!"#. + arcsin !"#!!"#. !!
(7)
dan sebaliknya: !!"#. = arctan
!"#!!.!.
!
!"#!!.!. + !!
(8)
!
Teknik Tiga Dimensi Keadaan Basis 3D Kami mulai dengan mendefinisikan suatu keadaan bebas yang terdiri dari bagian momentum dan bagian spin sebagai keadaan basis [4] !! = ! !!
(9)
Inilah yang dinamakan dengan dengan keadaan basis 3D dengan !! merupakan keadaan eigen (eigenstate) untuk operator spin-1/2 s yang terkuantisasi pada sumbu z, ! ⋅ ! !! = !! !! = ! !!
(10)
Keadaan basis 3D memiliki sifat ortogonalitas, !! !! = !! !′ !′ !! = ! !′ − ! !!′!
(11)
dan relasi kelengkapan, ! ! !! !! = 1
(12)
!
Elemen Matriks T Elemen matriks transisi pada keadaan basis 3D (9) didefinisikan sebagai berikut, !!′,! (!′ , !) ≡ !′ ! ! !!
(13)
yang memenuhi persamaan Lippmann-Schwinger dengan bentuk,
Verifikasi Perhitungan..., L Dy Mascow Abdullah, FMIPA UI, 2014
! !
! !′′ !!′!′′ (!′ , !′′ )!!! !!′!′′ (!′ , !′′ )
!!′! (!′ , !) = !!′! (!′ , !) + !′′ !!
(14)
! !
dengan !!! !! adalah free propagator, 1 !→! !! + !" − !!′′
!!! (!! ) = lim
(15)
!! dan !!′′ adalah energi non-relativistik, !! =
!! 2!
(16)
!
!!′′
!′′ = 2!
(17)
mengingat ! = !, !!′,! (!′ , !!) = !!′,! (!′ , !!) ! !
! !′′
+ lim
!→! !′′ !
! !
!!′! (!′ , !′′ ) ! ′ (!′′ , !!) !! + !"# − !!′′ ! !
(18)
Karena elemen matriks !!′! !′ , ! invarian terhadap rotasi, bergantung pada !′ ⋅ ! dan tidak bergantung pada !′ dan !secara terpisah. Hal ini menunjukan bahwa !′ dan ! mengarah kemanapun, nilai (!!′! (!′ , !)) tidak berubah selama !′ ⋅ ! tidak berubah. Dengan ! = ! kami akan mendapatkan bahwa elemen matriks !!′,! (!′ , !!) memiliki sifat azimutal, yaitu ′
′
!!′,! (!′ , !!) = ! !!(! !!)! !!′,! (!′ , !, !)
(19)
dengan ! !
!
!
!!! ,! (! , !, !) = !!! ,! (! , !, !) + lim
!→!
!!! ! (!! , !!! ) !! !! + !" − !!!! !!
!!! !
! !
Verifikasi Perhitungan..., L Dy Mascow Abdullah, FMIPA UI, 2014
′
′
′′
′′
′
′′
x ! !!! ! !! ! ! !!(! !! ) !!′,! (!′′ , !, ! ′′ )
(20)
Bisa didefinisikan suatu ekspresi elemen matriks potensial !!!′!′′ (!′ , !′′ , ! ′ , ! ′′ ) berupa, !!!′!′′ (!′ , !′′ , ! ′ , ! ′′ ) =
!! !
′
′
′′
′′
′
′′
! ! ′′ !!′! (!′ , !)! !!! ! !! ! ! !!(! !! )
(21)
sehingga persamaan (20) dapat kami sederhanakan menjadi, ! !
′
∞
′
!!′! (! , !, !) = !!′! (! , !, !) + 2! lim
!→!
!
x !!
!! ! !′′ ! !
!
!′′
′′
!
!! + !" − !′′
! cos ! !!!′!′′ (!′ , !′′ , ! ′ , ! ′′ )!!′!′′ (!′′ , !, !)
!
(22)
Kami juga dapat menentukan !!!′,!!′′ !′′ , !, ! yaitu ′
!!′!′′ (!′′ , !, !) = (−)! !! !!!′,!!′′ (!′′ , !, !)
(23)
Teknik Partial Wave Basis yang digunakan pada teknik Partial Wave adalah ! !
1 ; !" 2
(24)
Basis ini memiliki nilai momentum angular total J: !=!+! dengan s = 1/2 dan nilai m adalah proyeksi ! pada sumbu-z Elemen matriks-T dan potensial pada basis gelombang parsial: !′ ! ′
1 ′ ′ 1 ; ! ! |!|! ! ; !" 2 2
(25)
!′ ! ′
1 ′ ′ 1 ; ! ! |!|! ! ; !" 2 2
(26)
Karena konservasi momentum angular total J, maka matriks-T dan potensial bersifat diagonal untuk nilai j dan m:
Verifikasi Perhitungan..., L Dy Mascow Abdullah, FMIPA UI, 2014
!′ ! ′
1 ′ ′ 1 !" ; ! ! |!|! ! ; !" = !!! ′ !!!′ !!′! !′ , ! 2 2
(27)
!′ ! ′
1 ′ ′ 1 !" ; ! ! |!|! ! ; !" = !!! ′ !!!′ !!′! !′ , ! 2 2
(28)
!"
!"
dengan nilai !!′! !′ , ! dan !!′! !′ , ! !"
!!′! !′ , ! = !′ ! !"
!!′! !′ , ! = !′ !
1 1 ; !"|!|! ! ; !" 2 2
(29)
1 1 ; !"|!|! ! ; !" 2 2
(30)
Dengan demikian, persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-T (??), pada basis gelombang parsial menjadi: !"
!"
!!′! !′ , ! = !!′! !′ , ! + !′ ! ′ =
!" !!′!
1 1 ′ ′ ; ! ! |!!!! (!)!|! ! ; !" 2 2 ∞
′
! ′′ ! ′′ !′′ ! ′′′ ! ′′′ !′′′
× !′ ! ′ × !′′ ! ′′
!
! !′′ !!′′′ !′′ !′′′
! ,! +
!
!
1 ′ ′ 1 ; ! ! |!|!′′ ! ′′ ; ! ′′ !′′ 2 2
1 ′′ ′′ ! 1 ; ! ! |!! (!)|!′′′ ! ′′′ ; ! ′′′ !′′′ 2 2
× !′′′ ! ′′′
1 ′′′ ′′′ 1 ; ! ! |!|! ! ; !" 2 2
(31)
dengan menggunakan persamaan (28), !" !!′!
′
! ,! =
!" !!′!
∞ ′
! ,! +
× !′′ ! ′′
!" ! ′′ ! ′′′ !
!
!
! ′ !′
! !′′ !!′′′ !′′ !′′′ !!′!′′
!′ , !′′
1 ′ ′ ! 1 ; ! ! |!! (!)|!′′′ ! ′′′ ; !" 2 2
Verifikasi Perhitungan..., L Dy Mascow Abdullah, FMIPA UI, 2014
!"
×!!′′′! !′′′ , !
(32)
Sekarang kami akan mencari propagator dalam basis gelombang parsial ! !
! !
; !"
Karena propagator tidak berpengaruh pada spin, maka kami bisa mengerjakan dengan cara menggunakan relasi kelengkapan sebagai berikut:
Dengan memasukkan persamaan elemen matriks propagator (33) ke persamaan (32), menjadi: !"
!"
!!′! !′ , ! = !!′! !′ , ! ∞
+ 2! lim
!→!
′′ ′′ !
!! ! !
! ′′
!"
!!′! !′ , ! !! + !" −
!" ! !! ′ ! ′′ !
′
! ,!
(34)
Persamaan (34) merupakan persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-T pada basis gelombang parsial. Mengingat nilai j adalah bilang ganjil dikali 1/2 , maka |l′ − l| = 0 atau 1. Karena kekekalan parity hanya mengizinkan |l′ − l| = 0 atau l′ = l. Dengan demikian, persamaan (34) menjadi, !"
!!!
!"
!′ , ! = !!!
!′ , ! ∞
+ 2! lim
!→! !
! !′′ !′′
!
!"
!!!
!′ , !
!! + !" − !′′
!"
! !!!
!′ , !
(35)
Untuk menghitung observable diperlukan ! !, !, ! ′ . Elemen matriks ! !, !, ! ′ bisa diperoleh !"
dari elemen matriks partial wave !!!
!, ! dengan menggunakan relasi berikut:
Verifikasi Perhitungan..., L Dy Mascow Abdullah, FMIPA UI, 2014
!!′! !, !, ! ′ = !"
2! + 1 !!! ! !, ! ! 4! !!
(36)
1 1 ! !; (! − !′ )!′ ! ! !; 0! !!,!!!′ (! ′ , 0) 2 2
Besaran Spin (Spin Observables) Rumus umum untuk mencari besaran spin !!
!
1 = (4! ! !)! 2
!
! ! !" !(!, !, ! ′ )! ! ! ! (!, !, ! ′ )! !
(37)
!!!
dengan !, ! = 0,1,2,3
(38)
Persamaan (37) menghubungkan variasi polarisasi spin pada keadaan awal ! ! dan keadaan akhir ! ! , ! ! adalah matriks identitas 2 × 2 yang tidak terpolarisasi. sedangkan ! ! , ! ! , ! ! adalah operator spin Pauli. vektor satuan keadaan awal, ! = !! ! = !×!′ = !! ×!′ ! ! = !×!
(39)
dengan vektor satuan untuk keadaan akhir, !′ = !′! !′ = ! !′ = !′ ×!′
(40)
Besaran penampang lintang diferensial rata-rata spin (spin average differential cross section observables) dihitung dengan rumus, !! ≡
!" 1 = (4! ! !)! !" !(!, !, !)! ! (!, !, !) !!′ 2
Verifikasi Perhitungan..., L Dy Mascow Abdullah, FMIPA UI, 2014
= (4! ! !)!
!
!!! (!, !, !) + !!!! (!, !, !) !!
!
(41)
!!
Besaran lain yang dihitung adalah polarisasi Py yang dihitung ketika spin awal tidak terpolarisasi sedangkan keadaan akhir terpolarisasi kearah sumbu-y, maka menggunakan persamaan !! ≡ =
1 (4! ! !)! !" !(!, !, !)! ! (!, !, ! ′ )! ! 2!!
2 (4! ! !)! !" !!∗! (!, !, !)!!!! (!, !, ! ′ )! ! !! !! !!
(42)
Ketika spin awal dan spin setelah terhambur tidak terpolarisasi, besaran yang dihitung adalah depolarisasi !! ′ ! ≡ =
1 ′ (4! ! !)! !" !(!, !, ! ′ )! ! ! ! (!, !, !)! ! 2!!
1 (4! ! !)! !!
!
!!! (!, !, !) − !!!! (!, !, !) !!
!
!!
cos !!"#
+2!" !!∗! (!, !, !)!!!! sin !!"# !! ′ ! ≡
(43)
!!
!!
1 ′ (4! ! !)! !" !(!, !, ! ′ )! ! ! ! (!, !, !)! ! 2!!
1 = (4! ! !)! !!
!
! (!, !, !) − ! !! !!
!! ! !!
(!, !, !)
!
sin !!"#
−2!" !!∗! (!, !, !)!!!! cos !!"# !!
!!
!!! ≡
1 (4! ! !)! !" !(!, !, ! ′ )! ! ! ! (!, !, !)! ! 2!! =1
!! ′ ! ≡
(44)
(45)
1 ′ (4! ! !)! !" !(!, !, ! ′ )! ! ! ! (!, !, !)! ! 2!! = −!! ′!
(46)
Verifikasi Perhitungan..., L Dy Mascow Abdullah, FMIPA UI, 2014
!! ′ ! ≡
1 ′ (4! ! !)! !" !(!, !, ! ′ )! ! ! ! (!, !, !)! ! 2!! = !! ′ !
(47)
Isospin Kaon dan nukleon memiliki spin bernilai 1/2 , maka isospin total τ bisa bernilai 0 atau bernilai 1. Untuk komponen z isospin total ν bernilai 1 atau bernilai -1, maka isospin total yang mungkin hanya τ = 1. Untuk ν bernilai 0, isospin total yang mungkin τ = 0 dan τ = 1. Untuk sistem K+p ν isospin yang mungkin bernilai 1, untuk sistem K0n dan K−n ν isospin yang mungkin bernilai -1, sehingga yang mungkin hanya τ = 1. Untuk sistem K0p, K−p dan K+n ν = 0, sehingga yang mungkin τ = 0 dan τ =1. Karena penelitian ini menggunakan partikel K+n maka isospin total yang digunakan bernilai 0. Pada elemen matriks (V maupun T) perlu dibubuhkan label τ dan ν. ′ ′ !!!" ′ ! (! , !) ≡ !" !! ! ! ! !! !" .
(48)
′ ′ Begitu juga dengan !!!" ′ ! ! , !, ! .
Elemen matriks T akhir, yaitu yang dipakai untuk menghitung observables, adalah yang memperhitungkan semua isospin total yang mungkin untuk nilai ν tertentu. Jadi, untuk menghitung observables ambil T-matrix elements !!!′! (!′ , !, ! ′ )yang didefinisikan sebagai berikut: !
!!!′! (!′ , !, ! ′ ) ≡
!! !!!
11 !; !! !! ! !!!′! (!′ , !, ! ′ ). 22
(49)
Untuk ν = 1 atau ν = -1: ′ ′ !!!′! (!′ , !, ! ′ ) = !!!! ′ ! (! , !, ! ).
(50)
Untuk ν = 0: !!!′! (!′ , !, ! ′ ) =
1 !! ′ ′ ′ ! ′ (! , !, ! ′ ) + !!!" ′ ! (! , !, ! ) . 2 !!
(51)
Hal yang sama juga berlaku untuk perhitungan menggunakan teknik partial wave.
Verifikasi Perhitungan..., L Dy Mascow Abdullah, FMIPA UI, 2014
Metode Penelitian Diagram Feynmann Diagram Feynman merepresentasikan lintasan partikel dari suatu proses interaksi ,seperti hamburan. Lintasan partikel dapat berupa garis yang berlekuk atau yang lurus, tergantung jenis partikel apa yang berinteraksi. Dan sebuah titik dimana garis yang satu terhubung dengan garis yang lain disebut dengan verteks. Verteks merupakan simpul pertemuan dan interaksi antar partikel. Pada titik ini bisa terjadi pemancaran atau penyerapan partikel baru, pembelokan satu sama lain atau mengubah partikel[2]. Dalam penulisan diagram Feynman, bagian kiri merupakan kondisi awal sebelum tumbukan dan bagian kanan merupakan kondisi akhir setelah tumbukan. Sebuah bosonic propagator digambarkan oleh garis putus-putus. Sedangkan fermion propagator digambarkan oleh garis yang utuh[3]. Kami pilih model pertukaran meson dan hyperon untuk orde-dua yang terdapat pada [5]. Kami peroleh diagram feynman untuk model pertukaran meson dan hyperon yang ditunjukan pada gambar (2)
Gambar 2: Diagram Feynman Pertukaran Meson a) Skalar !, vektor !; ! b) pseudovektor !, !
Pertukaran skalar meson (!)
! !′ !′ ! !! (!) !!! =
!!!" !!!" !!!" (!!! )!!!" (!!! ) !"!!
× +
! (!! ! ′ ! )!
!! ! −
!′
!! !(!′ , !′ ! )!(!, !! )
1 ! − !! − !! + !"
1 !! ! − !! − ! ′ ! − !! + !"
(52)
Verifikasi Perhitungan..., L Dy Mascow Abdullah, FMIPA UI, 2014
Pertukaran vektor meson ω dan ρ (!) ! ! ! !! (!) ′ ′
!!!" !!!" (!!! )!!!" (!!! ) =− (!!!" + !!!" ) ! 32! ! (! ! ′ )!
!!!
!
!
×(! ′ ! + !! )! ! !′ , !′ ! !! !(!, !! ) ×(!′ ! + !! )! !(!′ , !′ ! )!(!, !! ) +
!!!" ′ ! + !! 2!! !
!
! !! !!! ′ ! !!! !!! !!"
1 !! ! − !! − ! ′ ! − !! + !"
(53)
dengan faktor isospin τ1 ・ τ2 untuk pertukuran ρ Pertukaran Baryon
dan (!)
!′ !′ ! !! (!) !!! =
! !!"# !!"# (!!! ) ! !(!′ , !′ ! )(!! !! − !! )!(!, !! ) 32! ! (! ! ′ )!! !
×
!! ! −
!′
!
1 ! − !! − !! + !"
!
!
!
!
(54)
dengan faktor isospin (1 + !! ⋅ !! ) [5] untuk Γ = Λ Dan (3 − !! ⋅ !! ) [5] untuk Γ = Σ.
Hasil dan Pembahasan Kami menampilkan hasil perhitungan penampang lintang difensial (differential cross section) , polarisasi (polarization), depolarisasi (depolarization) untuk beberapa energi, yaitu 50 MeV, 100 MeV, 150 MeV, hingga 500 MeV dengan menggunakan beberapa teknik, yaitu teknik 3D dan teknik PW.
Penampang Lintang Difensial Kami akan menampilkan data perhitungan penampang lintang difensial (differential cross section) menggunakan teknik 3D dan teknik PW. Data yang kami tampilkan menggunakan teknik 3D dan PW pada energi 50 MeV sampai 500 MeV dengan interval 50 MeV. Dari data tersebut, kami bisa melihat bahwa semakin besar nilai energi, grafik penampang lintang difensial (differential cross section) akan memiliki nilai (titik) puncak yang semakin tinggi dan pada sudut yang lebih kecil, jika energi semakin besar maka memiliki nilai yang lebih besar juga
Verifikasi Perhitungan..., L Dy Mascow Abdullah, FMIPA UI, 2014
kemungkinan terhamburnya proyektil pada sudut-sudut kecil. Penampang lintang difensial (differential cross section) akan mencapai konvergensi dengan momentum angular total yang berbeda-beda tiap energi. Kami menampilkan hasilnya pada tabel (1),
Kami membandingkan hasil perhitungan menggunakan teknik 3D dan menggunakan teknik PW. Dari grafik tersebut terlihat bahwa nilai Penampang lintang difensial (differential cross section) 3D lebih besar dengan teknik PW yang ditunjukan oleh gambar (3) - (5). Berikut kami tampilkan data hasil perhitungan, Pada gambar (6), kami membandingkan hasil penampang lintang total terhadap energi
Verifikasi Perhitungan..., L Dy Mascow Abdullah, FMIPA UI, 2014
Polarisasi dan Depolarisasi Kami akan menampilkan data perhitungan penampang lintang difensial (differential cross section) menggunakan teknik 3D dan teknik PW. Data yang kami tampilkan menggunakan teknik 3D dan PW pada energi 50 MeV sampai 500 MeV dengan interval 50 MeV. Untuk polarisasi, semakin besar nilai energi, semakin besar nilai polarisasinya yang berarti kemungkinan partikel neutron terhambur searah sumbu-y dan grafik polarisasi (polarization) akan mengalami penurunan pada sudut yang semakin besar. Karena kemungkinan terhamburnya searah sumbu-y lebih besar pada sudut kecil. Grafik depolarisasi xx menggambarkan peluang terjadinya depolarisasi dari arah x (sebelum hamburan) ke arah x (setelah terhambur), sedangkan grafik depolarisasi zx menggambarkan peluang depolarisasi dari arah x ke arah z. Berikut kami menampilkan data perhitungan polarisasi yang ditunjukan pada gambar (7) - (9), depolarisasi bidang xx yang ditunjukan pada gambar (10) - (12)dan depolarisasi bidang zx yang ditunjukan pada gambar (13) dan (15). Grafik tersebut merupakan hasil dari perhitungan menggunakan teknik 3D dan teknik PW. Polarisasi akan mencapai konvergensi dengan momentum angular total yang berbedabeda tiap energi Kami menampilkan hasilnya pada tabel (2),
Verifikasi Perhitungan..., L Dy Mascow Abdullah, FMIPA UI, 2014
Depolarisasi XX akan mencapai konvergensi dengan momentum angular total yang berbeda-beda tiap energi. Kami menampilkan hasilnya pada tabel (3),
Depolarisasi ZX akan mencapai konvergensi dengan momentum angular total yang berbeda-beda tiap energi. Kami menampilkan hasilnya pada tabel (4)
Verifikasi Perhitungan..., L Dy Mascow Abdullah, FMIPA UI, 2014
Verifikasi Perhitungan..., L Dy Mascow Abdullah, FMIPA UI, 2014
Kesimpulan dan Saran Kami mengerjakan persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks T dalam basis 3D dan basis PW. Lalu kami menghitung besaran seperti penampang lintang diferensial, polarisasi, dan depolarisasi. kami menyertakan form factor dalam perhitungan agar dalam perhitungan, mendapatkan hasil konvegen dengan jumlah np dan nx yang relatif sedikit. Semakin besar nilai energi semakin banyak juga jumlah np dan nx. Akan tetapi karena jumlah titik yang perlu ditambahkan pun relatif sedikit dan tidak memberikan pengaruh yang berarti pada efisiensi perhitungan numerik. Maka, perhitungan numerik tidak akan menjadi sangat jauh lebih lama jika kita menentukan np dan nx yang lebih banyak agar lebih konvergen dan grafik yang dihasilkan lebih halus. Semakin besar nilai energi, grafik penampang lintang difensial (differential cross section) akan memiliki nilai (titik) puncak yang semakin tinggi dan pada sudut yang lebih kecil, jika energi semakin besar maka memiliki nilai yang lebih besar juga kemungkinan terhamburnya proyektil pada sudut-sudut kecil.
Verifikasi Perhitungan..., L Dy Mascow Abdullah, FMIPA UI, 2014
Untuk polarisasi, semakin besar nilai energi, semakin besar nilai polarisasinya yang berarti kemungkinan partikel neutron terhambur searah sumbu-y dan grafik polarisasi (polarization) akan mengalami penurunan pada sudut yang semakin besar. Karena kemungkinan terhamburnya searah sumbu-y lebih besar pada sudut kecil. Sedangkan depolarisasi bidang XX dan bidang ZX, jika semakin besar nilai energi akan mengalami pergeseran fase. Perhitungan partial-wave dan perhitungan 3D semua nilai hampir sama. tetapi semakin besar nilai energi, kami membutuhkan nilai gelombang parsial yang lebih banyak untuk mencapai nilai yang konvergen. Pada energi sampai 500 MeV, perhitungan menggunakan teknik partial wave telah terverifikasi.
DAFTAR ACUAN 1. Krane, K.S. (1988). Introductory Nuclear Physics. Wiley, New York. 2. Davydov, A.S., dan Haar, D.T. (1976). Quantum Mechanics. Pergamon Press, New York. 3. Glockle, W. (1983). The Quantum Mechanical Few-Body Problem. Springer Verlag, Berlin. 4. Fachruddin, I., dan Salam, A. (2013). KN scattering in 3D formulation. Few-Body Systems 54, 1625, DOI: 10.1007/s00601-012-0557-1. 5. Buttgen, R., Holinde, K., Muller-Groeling, A., Speth, J., dan Wyborny, P. (1989). A Meson Exchange Model for the K+N Interaction. Nuclear Physics A 506, 586-614. 6. A. Mueller-Groeling, K. Holinde, and J. Speth., 1990, Nuc. Phys. A5113, 557
Verifikasi Perhitungan..., L Dy Mascow Abdullah, FMIPA UI, 2014