V. IDENTIFIKASI KROMOSOM PADA ANYELIR (Dianthus caryophyllus Linn.) MUTAN Pendahuluan Latar belakang Dalam rangka memperbaiki kualitas tanaman hias atau bunga dan menciptakan keragaman, berbagai upaya telah dilakukan diantaranya dengan pemuliaan konvensional, mutasi dan rekayasa genetika.
Pada tanaman hias, program pemuliaan terutama
ditujukan untuk mendapatkan tanaman yang mempunyai bunga dengan warna, ukuran dan bentuk yang unik dan beragam, sehingga dihasilkan jenis tanaman yang bernilai estetika dan komersial yang tingi. Pemuliaan mutasi merupakan salah satu cara yang relatif mudah dilakukan untuk memperbaiki karakter tanaman dan menghasilkan keragaman, serta mempunyai keuntungan dibandingkan dengan metode persilangan. Persilangan antar varietas atau spesies kurang efisien karena adanya beberapa masalah seperti sifat inkompatibilitas dan sterilitas (van Harten 2002). Mutasi adalah perubahan genetik secara tiba-tiba yang tidak disebabkan oleh segregasi dan rekombinasi normal (van Haten 2002). Perubahan genetik ini dapat terjadi baik pada tingkat gen maupun kromosom
(Chaudhari 1971).
Mutasi dimulai dari
perubahan pada satu sel. Posisi serta perkembangan sel yang termutasi pada tanaman tersebut akan menentukan diwariskan tidaknya suatu mutasi.
Pewarisan ini juga
dipengaruhi oleh kemampuan sel mutan untuk bertahan hidup, terutama di antara sel-sel yang tidak termutasi (Broertjes dan van Harten 1988). Mutagen (baik mutagen fisik maupun mutagen kimia) mengakibatkan tiga macam pengaruh pada jaringan yang dikenainya, yaitu kerusakan fisologis, mutasi gen (mutasi titik), dan mutasi kromosom (Gaul 1977). Kerusakan fisiologi biasanya hanya terjadi pada generasi pertama. Pengaruh terpenting dari kerusakan fisiologi ini misalnya adanya penghambatan pertumb uhan dan kematian. Studi tentang hal ini sudah banyak dilakukan oleh Sparrow (1979). Mutasi kromosom adalah mutasi yang perubahannya dapat dilihat pada tingkat kromosom, sedangkan mutasi gen adalah mutasi yang tingkat perubahannya terjadi di tingkat gen (De Robets et al. 1960). Mutasi gen yang terjadi pada satu pasang DNA
96 disebut point mutation atau mutasi titik. Mutasi pada tingkat kromosom secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu mutasi yang menyebabkan perubahan struktur kromosom dan mutasi yang menyebabkan perubahan jumlah kromosom (Jusuf 2001). Jadi mutasi dapat dianalisa secara fisiologis dengan mengamati hambatan pertumbuhan atau letalitas, atau secara genetis dengan mengamati adanya aberasi kromosom, atau adanya perubahan ukuran dan jumlah kromosom. Menurut Darnaedi (1990) informasi kromosom dapat menerangkan tingkat fertilitas, tipe reproduksi, mengamati evolusi dan membahas hubungan kekerabatan (taksonomi) suatu kelompok tumbuhan. Selain itu, informasi kromosom juga dibutuhkan untuk menunjang perbaikan genetik dan juga digunakan untuk menganalisa perubahan genetik yang terjadi. Selanjutnya Darnaedi (1990) menyebutkan lima perbedaan penting dari informasi kromosom, yaitu variasi ukuran absolut, variasi pada reaksi pewarnaan, variasi bentuk kromosom, variasi ukuran relatif dan variasi jumlah kromosom.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman genetik secara sitologi pada mutan akibat iradiasi sinar gamma yang telah terseleksi, melalui pengujian di tingkat kromosom.
97 Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU)-IPB, kampus Darmaga, Bogor dan Laboratorium Herbarium Bogoriense, pada Bulan Desember 2004 sampai Februari 2005.
Bahan dan Alat Bahan tanaman ya ng digunakan adalah ujung akar dan pucuk meristem tanaman anyelir baik tanaman mutan maupun tanaman normal, dari tiap-tiap genotipe anyelir yang dicobakan. Bahan kimia yang diperlukan meliputi 8- hydroxyquinolin 0.002 M untuk pra perlakuan, asam asetat 45%, larutan former (15 ml asam asetat glasial + 45 ml alkohol absolut) untuk fiksasi, HCl 1N untuk maserasi dan aceto orcein 2% untuk pewarnaan. Pengamatan kromosom mutan dilakukan menggunakan mikroskop merk Olymphus. Pemotretan dilakukan dengan camera foto Nikon Fx-35 WA, menggunakan film merk Kodak asa 400.
Metode Percobaan Metode pengerjaan analisis kromosom ini dibagi dalam dua tahap, yaitu (1) tahap persiapan larutan dan (2) tahap pengamatan mitosis. (1) Persiapan larutan. Larutan 8-hydroxyquinolin 0.002 M dibuat dengan cara melarutkan 0.3 g 8hydroxyquinolin dalam 1 liter aquadesh pada suhu 700 C, kemudian diaduk dengan menggunakan magnetic stirer selama 1 jam sampai terlihat warna kekuningan. Larutan disimpan dalam wadah tertutup, di dalam lemari es. Larutan former dibuat dengan cara mencampur 15 ml asam asetat glasial dengan 45 ml alkohol absolut (3:1). Aseto orcein 2% dibuat dengan cara memanaskan 22.5 ml asam asetat dalam gelas reaksi sampai mendidih, diangkat, lalu dimasukkan 1 g tepung orcein sambil wadah digoyanggoyangkan selama 10 menit (suhu dipertahankan 90-950 C).
Setelah agak dingin,
ditambahkan 27.5 ml aquadesh, dan dibiarkan hingga suhu mencapai 200 C. Lalu dilakukan filtrasi di gelas lain, untuk kemudian disimpan di ruang gelap.
98 (2) Pengamatan mitosis. Pembuatan preparat dilakukan dari ujung akar dan pucuk meristem daun. Pada pembuatan preparat dari akar, bagian ujung akar diambil dengan memilih bagian ujung akar yang aktif yang berwarna keputihan, kemudian dipotong hingga 1 cm. Kotoran pada akar dibuang dengan merendam dalam air dan dibersihkan bagian yang kotor, lalu ujung akar dimasukkan dalam 0,8-hydroxyquinolin selama 3-5 jam. Untuk perlakuan fiksasi sebelum pengamatan, ujung akar dimasukkan dalam air bersih, kemudian tud ung akar dibuang dan dimasukkan pada larutan (1 N HCl: acetic acid 45% = 3:1) yang terendam air bersuhu 60°C selama 1-3 menit. Setelah itu ujung akar diangkat dan dimasukkan dalam orcein. Setelah dipindahkan ke gelas preparat, ujung akar dipotong bagian ujungnya hingga 1-2 mm, kemudian ditetesi orcein. Preparat ditutup dengan cover glass, kemudian ditekan dan dipukul halus dengan pensil berkaret, setelah itu dipanaskan. Preparat dipukul halus lalu dipanaskan kembali, setelah itu preparat diamati. Pada bagian pucuk meristem daun, pembuatan preparat dilakukan dengan mengupas bagian pucuk daun sehingga diperoleh bagian daun yang paling muda. Bagian tersebut dimasukkan dalam 0,8-hydroxyquinolin 20° C selama 3 jam dan dipindahkan dalam larutan carnoy. Kemudian
disiapkan
tempat
lain berisi kertas tissue yang
dibasahi 45% asam asetat. Orcein hydrochlorite (1% Orcein : 1 N HCl = 9:1) disiapkan kemudian materi tanaman dalam preparat diambil, lalu diurai di atas gelas preparat, di bawah binokuler dengan bantuan jarum dan ditetesi orcein sampai terendam. Materi tanaman dimasukkan pada tempat yang berisi 45% asam asetat yang sudah disiapkan sebelumnya, lalu dibiarkan selama 10-20 menit. Kemudian materi tanaman disimpan di atas preparat, ditutup cover glass, ditekan atau dipukul halus dengan pensil berkaret, dilewatkan pada api bunsen, lalu diketuk–ketuk lagi dengan karet pinsil secara hati- hati, ditekan dengan ibu jari, dan kemudian preparat siap diamati di bawah mikroskop.
Pengamatan Pada saat pengamatan, preparat yang penyebaran kromosomnya tampak baik, dilakukan pemotretan. Dari hasil pemotretan ini secara deskriptif diamati terjadinya penyimpangan-penyimpangan kromosom seperti terbentuknya bridges, clumping, laggards akibat pemisahan yang terlalu cepat atau terlambat, dan sebagainya.
99 Pengamatan pada Analisis Kromosom Pengamatan kromosom dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali (40 x 10). Pada preparat yang memiliki penyebaran kromosom yang baik dilakukan pengamatan dengan perbesaran 1000 kali lalu dilakukan pemotretan dengan mikroskopfoto Nikon Fx-35 WA dengan perbesaran 8 kali. Gambar hasil foto ini lalu discanning, diperbesar dan dicetak dengan Corel Draw versi 12. Hasil cetak gambar kromosom tersebut diperbesar untuk
pengamatan
jumlah dan bentuk kromosom. Rumus
penghitungan luas bidang pandang yang diamati adalah : X
=
F A x B x F/G
X = 1 Bar (bidang pandang mikroskop pada foto) A = Perbesaran kamera B = Perbesaran mikroskop F = Lebar foto (mm) G = Lebar negatif film (mm) Pengukuran kromosom dilakukan dengan satuan milimikron. Cara menentukan konversi dari satuan centimeter pada foto ke satuan milimikron, ditentukan dengan menggunakan rumus berikut ini : Y =
X F
Y = Panjang objek ( ìm) X = 1 Bar (bidang pandang mikroskop pada foto) F = Lebar foto (cm) Contoh penghitungannya adalah : X= Lebar negatif film Lebar foto Perbesaran mikroskop Perbesaran kamera
126.5 mm = 0.03 mm 8 x 100 x 126.5/24
= 24 mm = 126.5 mm = 100 kali = 8 kali
Y = 0.03 mm = 2.37 ìm 12.65 cm Dari rumus diatas diperoleh konversi 1 cm dalam gambar foto yang setara dengan 2,37 milimikron, yaitu ukuran sel sebenarnya. Tiap-tiap kromosom yang telah diamati
100 diberi pegenotipean dan digunting. Kemudian dilakukan pengukuran terhadap lengan panjang dan pendek kromosom, lalu dihitung rasio lengan kromosom, rumusnya adalah : C= p q
dimana
Contoh penghitungannya :
C = Rasio lengan kromosom p = Lengan pendek kromosom ( ìm) q = Lengan panjang kromosom (ìm)
C = 0.25 = 0.5 0.5
dimana : p = 0.25 ìm q = 0.5 ìm
Dari nilai rasio lengan ini dapat diperoleh kategori bentuk kromosom. Fukui (1996) meyatakan bahwa pengelompokkan bentuk kromosom ditentukan berdasarkan besar rasio lengan kromosom.
Bentuk-bentuk kromosom berdasarkan rasio lengan
kromosom tertera pada tabel 31 berikut (Modifikasi dari Fukui 1996): Tabel 31. Bentuk Kromosom Berdasarkan Rasio Lengan Kromosom Bentuk Kromosom
Rasio Lengan Kromosom
Metasentrik (M)
0.59 < x < 1.00
Submetasentrik (sm)
0.33 < x < 0.59
Akrosentrik atau subtelosentrik (t)
0.14 < x < 0.33
Telosentrik (T)
x < 0.14
Diagram Pencar Selanjutnya dibuat diagram pencar antara nilai rasio lengan sebagai sumbu x dan nilai panjang total kromosom sebagai sumbu y, untuk setiap genotipe kromosom. Kromosom yang terletak pada titik-titik yang berdekatan pada diagram pencar dikelompokkan sebagai kromosom homolog dan dipasangkan. Setelah diperoleh panjang kromosom lalu ditentukan panjang relatif kromosom. Fungsi panjang relatif untuk menentukan kisaran ukuran kromosom yang sama antar kromosom. Cara mendapatkan panjang relatif adalah 1000 kali panjang kromoson tertentu dibagi panjang set kromosom haploid. PR = (p+q) X 1000 Panjang set kromosom haploid PR = Panjang relatif p = Lengan pendek kromosom ( ìm ) q = Lengan panjang kromosom ( ìm )
101
Contoh penghitungannya : PR = (0,25 ìm + 0,5 ìm) X 1000 = 98,2921 p = 0,25 ìm 7,3251 ìm q = 0,5 ìm Panjang set kromosom haploid = 7,3251 ìm Kariotipe dan idiogram Pada pembentukan kariotipe, pasangan kromosom diurutkan berdasarkan panjang total kromosom terbesar sampai yang terkecil, dan rasio panjang lengan dari yang terkecil sampai yang terbesar. Idiogram dibuat berdasarkan data kariotipe ini. Penyusunannya dilakukan dengan mengurutkan kromosom yang memiliki satelit dengan lengan pendek ke lengan panjang, dilanjutkan dengan kromosom yang tidak memiliki satelit, dimulai dari lengan terpendek sampai lengan pendek terpanjang. Rumus kariotipe ditentukan setelah pasangan kromosom didapatkan. Setiap pasangan kromosom dihitung menurut letak sentromernya. Pasangan kromosom yang sama letak sentromernya dijumlahkan lalu ditambahkan dengan jumlah pasangan kromosom lain yang memiliki letak sentromer berbeda dengan pasangan kromosom sebelumnya. Pasangan kromosom yang memiliki satelit digolongkan pada golongan tersendiri dan diberi keterangan ’SAT’ (SAT= Sine Acido Thymonucleinico= without thymonucleic acid).
102 Hasil dan Pembahasan Keadaan Umum Secara umum dapat dikatakan bahwa studi mutasi secara sitologis terhadap kromosom anyelir, telah berhasil dilakukan. Walaupun demikian, mengingat kecilnya ukuran kromosom anyelir, maka pengamatan kromosom anyelir yang diambil dari ujung akar (baik planlet maupun stek pucuk) tidak dapat dilihat dengan baik. Semua kromosom yang berhasil dibuat preparatnya adalah berasal dari pucuk meristem tanaman anyelir di lapangan. Uji kromosom dilakukan pada semua genotipe anyelir mutan, namun karena tingkat kesulitan pembuatan preparat kromosom anyelir sangat tinggi (ukuran kromosom sangat kecil), maka genotipe-genotipe mutan yang berhasil dianalisis kromosomnya tidak sama antara genotipe anyelir. Analisis kromosom yang berhasil dilakukan adalah terhadap mutan anyelir genotipe 10.8 mutan akibat iradiasi 10 dan 30 Gy; anyelir mutan genotipe 11.10 akibat perlakuan iradiasi 30 dan 60 Gy; anyelir mutan genotipe 24.1 akibat perlakuan iradiasi 15, 30, 50 dan 60 Gy, anyelir mutan genotipe 24.14 akibat iradiasi 30 dan 40 Gy, serta anyelir mutan 24.15 akibat iradiasi 30 Gy. Sebagai perbandingan terhadap kromosom tanaman kontrol (anyelir normal, tanpa iradiasi), digunakan hasil penelitian Widyarti (2005). Gambar kromosom normal dari masing- masing genotipe anyelir ditunjukkan pada Gambar 33 – 37.
Gambar 33. Kromosom Anyelir 10.8 Normal
Gambar 34. Kromosom Anyelir 11.10 Normal
Gambar 36 Kromosom Anyelir 24.14 Normal
Gambar 35. Kromosom Anyelir 24.1Normal
Gambar 37 Kromosom Anyelir 24.15 Normal
103 Diagram Pencar Berdasarkan pengukuran terhadap lengan panjang dan lengan pendek diperoleh nilai rasio lengan masing- masing kromosom. Diagram pencar dibuat dengan meletakkan nilai rasio lengan pada sumbu X dan nilai panjang total kromosom pada sumbu Y untuk masing- masing genotipe kromosom. Kromosom yang terletak pada titik yang sama merupakan kromosom yang benar-benar homolog. Kromosom yang tidak berpasangan dipasangkan dengan kromosom yang terletak pada titik terdekatnya. Dari hasil pengukuran terhadap rasio dan panjang lengan masing- masing genotipe, anyelir genotipe 10.8 normal hanya memiliki 7 pasang kromosom yang terletak pada titik yang sama, sedangkan anyelir genotipe 11.10 normal memiliki 13 pasang kromosom yang benar-benar homolog, karena terletak pada titik yang sama. Demikian pula dengan anyelir genotipe 24.1 normal memiliki 8 pasang kromosom yang sama, sedangkan baik anyelir genotipe 24.14 normal maupun genotipe 24.15 normal, keduanya memiliki 10 pasang kromosom yang terletak pada titik yang sama. Diagram pencar untuk masing- masing genotipe genotipe anyelir baik kromosom normal maupun kromosom mutan, dibuat untuk membantu perpasangan kromosom tersebut.
Pada Lampiran 8,
ditampilkan contoh hasil diagram pencar untuk kromosom normal. Selanjutnya hasil dari diagram pencar ini digunakan untuk membuat kariotipe kromosom. Jumlah Kromosom Dalam setiap set kromosom anyelir (Dianthus caryophyllus Linn.) terdapat 15 buah kromosom (x= 15). Jadi dalam keadaan diploid, kromosom anyelir berjumlah 30 (2n= 2x= 30). Menurut Darlington dan Wylie (1955), Dianthus caryophyllus memiliki tingkat ploidi yang cuk up tinggi, bisa mencapai hexaploid. Dalam keadaan hexaploid maka kromosomnya mencapai jumlah 90 kromosom (2n= 6x= 90). Namun semua genotipe anyelir normal yang digunakan pada penelitian ini memiliki kromosom diploid. Hasil pengamatan kromosom lima genotipe anyelir normal ini menunjukkan bahwa semua genotipe anyelir yang dicobakan mempunyai jumlah kromosom yang sama, yaitu 2n = 2x = 30 (Gambar 33-37). Penghitungan jumlah kromosom pada kromosomkromosom mutan anyelir disajikan pada Tabel 32. Analisis kromo som anyelir genotipe 10.8 yang termutasi dilakukan pada mutan akibat iradiasi 10 Gy dan 30 Gy. Jumlah kromosom yang diamati pada anyelir mutan
104 genotipe 10.8 akibat iradiasi 10 Gy (untuk seterusnya ditulis 10.8-10Gy) adalah 2n = 30 (mempunyai 15 pasang kromosom bivalen), sehingga mutan masih bersifat diploid seperti kromosom normalnya. Namun kromosom anyelir mutan genotipe 10.8-30Gy memiliki kromosom 2n–1–1 = 28, atau pasangan kromosom 13II + 2I (13 pasang bivalen dan 2 pasang univalen) sehingga ind ividu ini diduga menjadi monosomi ganda. Tabel 32. Jumlah Kromosom Beberapa Mutan Anyelir Akibat Iradiasi Sinar Gamma Genotipe 10.8 11.10 24.1
24.14 24.15
Dosis Iradiasi Sinar Gamma (Gy) 10 30 30 60 15 30 50 60 30 40 30
Jumlah Kromosom 2n = 2x = 30 2n = 2x – 1 – 1 = 28 2n = 2x = 30 2n = 2x = 30 2n = 2x + 1 + 1= 32 2n = 2x = 30 2n = 2x = 30 2n = 2x = 30 2n = 2x = 30 2n = 2x + 1 = 31 2n = 2x = 30
Pasangan Kromosom 15 II 13 II + 2 I 15 II 15 II 15 II + 2 I 15 II 15 II 15 II 15 II 15 II + 1 I 15 II
Tingkat ploidi Diploid Monosomi ganda Diploid Diploid Trisomi ganda Diploid Diploid Diploid Diploid Trisomi Diploid
Pengurangan jumlah kromosom anyelir mutan genotipe 10.8-30gy menjadi 2n–1– 1 = 28 terjadi akibat adanya kromosom yang kehilangan salah satu pasangannya yaitu pada pasangan kromosom genotipe 14 dan pasangan kromosom genotipe 15 (Gambar 38).
Iradiasi bisa menyebabkan aberasi kromosom akibat terjadinya patahan pada
kromosom, patahan pada kromatid, patahan pada subkromatid, patahan pada isokromatid, patahan yang menyatu kembali, pembelahan sentromer secara transversal, translokasi, inversi, dup likasi atau delesi (Sparrow 1979). Hal ini lebih lanjut akan menyebabkan terjadinya perubahan jumlah kromosom, terbentuknya sel binukleus atau multinukleus, dampak pada sentromer, bahkan menyebabkan kematian inti sel (Suryo 1995). Dalam analisis sitologi terhadap daun bougenvillea dan Lantana depressa mutan (daun menjadi variegata akibat iradiasi sinar gamma), Datta, Dwivedi dan Banerji (1995) mendapatkan frekuensi kromosom abnormal yang
tinggi pada sel-sel mutan, seperti clumping,
micronuclei, cytomixis, bridges, laggard dan binucleate; Sementara pada kultivar asalnya, pembelahan sel somatik terlihat normal.
Pengaruh iradiasi sinar gamma
105 terhadap jumlah kromosom krisan mutan telah dipelajari oleh Datta dan Banerji (1993). Berdasarkan hasil pengamatannya ternyata dari 38 krisan mutan yang diamati, terdapat penyimpangan jumlah kromosom (aneuploidy) pada sembilan kultivar krisan mutan. Mutan pada anyelir genotipe 11.10 yang dilakukan analisis kromosomnya adalah mutan akibat iradiasi 30 Gy dan 60 Gy. Tingkat ploidi kedua mutan ini masih sama dengan tanaman normalnya, yaitu diploid, karena jumlah kromosomnya 2n = 2x = 30. Anyelir genotipe 24.1 menghasilkan mutan akibat iradiasi sinar gamma yang terbanyak, dibandingkan genotipe- genotipe anyelir lainnya. Pada analisis kromosom ini diuji mutan 24.1 akibat iradiasi 15, 30, 50 dan 60 Gy. Pada keempat mutan ini, hanya mutan akibat perlakuan 15 Gy yang memperlihatkan perubahan, yaitu munculnya 2 buah kromosom tambahan, atau terdapat dua kromosom yang tidak berpasangan, sehingga pasangan kromosom menjadi 15II + 2I (15 pasang bivalen dan dua pasang univalen). Penambahan kromosom bisa terjadi karena adanya patahan akibat iradiasi. Patahan yang terjadi akibat paparan sinar gamma dapat menimbulkan kromosom yang berbeda ukurannya dengan kromosom normal, dan juga dapat menghasilkan kromosom tambahan pada salah satu inti sel anakan, namun berkurang pada inti sel anakan yang lain. Fenomena ini dikemukakan pada teori Breakage-fusion-bridge Cycle oleh McClintock (1941) pada jagung (Schulz dan Scheffer 1980). Dalam teori ini dijelaskan bahwa kromosom cincin yang terbentuk akibat patahan/ delesi interstitial, pada saat profase akan terjadi duplikasi sehingga memiliki dua sentromer, yang masing- masing sentromer akan pergi ke kutub yang berbeda saat anafase. Akibatnya terbentuk jembatan sehingga kedua kutub saling tarik menarik, dan kembali terjadi patahan. Bila patahan ini tidak seimbang, maka kromosom pada anak sel yang terbentuk akan tidak sama, sehingga kromosom pada satu sel mengalami delesi, sedangkan pada sel lain mengalami duplikasi. Kromosom Anyelir Mutan Genotipe 24.14 juga mengalami perubahan akibat iradiasi sinar gama 40 Gy, yaitu mengalami penambahan satu buah kromosom. Mekanisme serupa dengan mutan 24.1-15Gy bisa terjadi pada mutan 24.14-40Gy ini. Panjang Kromosom Salah satu ciri morfologi yang biasa digunakan untuk menandai suatu genotipe kromosom yaitu ukuran panjang kromosom. Secara umum panjang total kromosom
106 kelima genotipe anyelir ini berada pada kisaran antara 0.2-0.6 µm. Tabel 33 memperlihatkan ukuran lengan panjang dan pendek, panjang total, dan panjang relatif kromosom lima genotipe anyelir normal dan mutan. Fukui (1996) menyatakan bahwa berdasarkan ukuran rata-rata panjang kromosom, kromosom dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu kromosom tipe besar (large type atau L-type) dan tipe kecil (small type atau S-type). Kromosom yang termasuk dalam kelompok tipe besar adalah kromosom yang mempunyai rata-rata panjang kromosom antara 8-10 µm atau lebih seperti pada genus Lilium, Tritic um, dan Secale. Kromosom tipe kecil adalah kromosom yang mempunyai rata-rata panjang antara 1-3 µm atau lebih kecil lagi, seperti pada genus Zea dan Chrysanthemum. Berdasarkan pengelompokkan tersebut tanaman anyelir termasuk dalam kelompok tanaman dengan tipe kromosom kecil. Panjang pasangan kromosom homolog untuk masing- masing genotipe anyelir normal dan mutan disajikan pada tabel Lampiran 9, Tabel 9A-9P. Tabel 33. Kisaran Ukuran Kromosom Beberapa Genotipe Anyelir Normal dan Mutan Akibat Iradiasi Sinar Gamma Genotipe Perlakuan 10.8 kontrol 10.8-10 Gy 10.8-30 Gy
Lengan Panjang (µ µ M) 0.120 – 0.380 0.220 – 0.490 0.170 – 0.520
Lengan Panjang Pendek (µ µM) kromosom( µ M) 0.070 – 0.180 0.190 – 0.500 0.130 – 0.370 0.380 – 0.830 0.110 – 0.280 0.310 – 0.670
Panjang Relatif 34.36-90.42 44.68-95.74 42.92-92.27
11.10 kontrol 11.10-30 Gy 11.10-60 Gy
0.210 – 0.460 0.144 – 0.447 0.131 – 0.369
0.090 – 0.210 0.105 – 0.184 0.105 – 0.157
0.330 – 0.650 0.249 – 0.617 0.236 – 0.526
49.11-96.73 40.38-100.1 39.97-89.09
24.1 kontrol 24.1-15 Gy 24.1-30 Gy 24.1-50 Gy 24.1-60 Gy
0.140 – 0.280 0.094 – 0.402 0.112 – 0.214 0.095 – 0.237 0.127 – 0.356
0.070 – 0.220 0.071 – 0.206 0.081 – 0.122 0.095 – 0.118 0.076 – 0.176
0.210 – 0.500 0.165 – 0.532 0.193 – 0.336 0.141 – 0.332 0.203 – 0.508
36.21-98.43 31.66-102.1 48.03-83.62 37.89-88.58 38.05-95.22
24.14 kontrol 24.14-30 Gy 24.14-40 Gy
0.330 – 0.740 0.094 – 0.255 0.124 – 0.240
0.070 – 0.400 0.075 – 0.113 0.071 – 0.115
0.400 – 1.020 0.169 – 0.349 0.195 – 0.320
35.09-89.47 41.77-86.26 52.25-85.75
24.15 kontrol 24.15-30 Gy
0.120 – 0.340 0.150 – 0.250
0.080 – 0.150 0.070 – 0.130
0.200 – 0.490 0.220 – 0.380
39.92 – 97.8 48.03-82.97
107 Pada Tabel 33, tampak panjang total, panjang lengan panjang maupun panjang lengan pendek pada kromosom anyelir 10.8 mutan yang diradiasi sinar gamma 10 Gy maupun 30 Gy berada pada kisaran yang lebih panjang dari kromosom normalnya. Begitu pula dengan panjang relatifnya, memiliki kisaran yang relatif lebih panjang dari kromosom normalnya. Beberapa kemungkinan yang dapat mengakibatkan ukuran kromosom memanjang bisa terjadi, misalnya akibat terjadinya peristiwa duplikasi, karena perlakuan mutagen dapat menginduksi terjadinya duplikasi kromosom (IAEA 1977).
Walaupun
kemungkinannya kecil, tapi duplikasi terminal pada kedua utas DNA dapat mengakibatkan pemanjangan kromosom. Hal ini dapat terjadi akibat pengulangan materi kromosom dalam kromosom homolognya. Studi duplikasi gen pada Pisum sp. (Lamprect 1953 dalam IAEA 1977) menunjukkan dari 10 pasang kromosom, 7 pasang memiliki morfologi yang sama, 2 pasang agak beda dan 1 pasang sama sekali beda dari tetuanya. Iradiasi sinar gamma dengan dosis 30 dan 60 Gy pada genotipe 11.10 dan dosis 30 dan 40 Gy pada genotipe 24.14 tampak menghasilkan kromosom dengan ukuran yang lebih pendek dibandingkan ukuran kromosom normalnya (Tabel 33). Mutagen dapat menyebabkan aberasi kromosom, yang dapat mengakibatkan perubahan yang dapat dilihat sampai pada tingkat morfologi, dapat menurunkan viabilitas, bahkan dapat menyebabkan kematian.
Pengurangan ukuran kromosom bisa diakibatkan oleh delesi pada seluruh
lengan kromosom dalam kejadia n gagal berpisah, delesi pada segmen panjang dari satu lengan kromosom, atau delesi pada satu kromomer dari sebuah kromosom (IAEA 1977). Pada mutan anyelir genotipe 24.1, perlakuan iradiasi 60 Gy secara visual belum memperlihatkan akibat yang jelas terhadap ukuran kromosom, namun pada perlakuan 30 dan 50 Gy, tampak ukuran kromosom yang diha silkan cenderung lebih pendek dibandingkan kromosom normalnya. Fase sel pada saat pembuatan preparat kromosom dilakukan juga harus diperhatikan. Pada profase awal, ukuran kromosom akan relatif lebih panjang dibandingkan dengan saat metafase dimana semua benang kromosom sudah berada di bidang ekuator, kromosom menebal dan memendek. Menurut Suryo (1995) panjang relatif sebuah kromosom adalah sama dengan 1000 kali panjang kromosom tertentu dibagi dengan jumlah panjang set kromosom haploid. Ukuran panjang relatif ini berguna untuk mengetahui kisaran ukuran kromosom
108 yang sebenarnya. Jika dilihat dari ukuran panjang relatif, tidak terdapat perbedaan yang terlalu menyolok. Panjang relatif pada kromosom anyelir 10.8 normal berkisar antara 34.36-90.42, sedangkan panjang relatif kromosom anyelir mutan 10.8-10gy berkisar antara 44.68 – 95.74; dan panjang relatif mutan 10.8-30gy berkisar antara 42.92– 92.27. Panjang relatif kromosom pada mutan 11.10-30gy menghasilkan kisaran yang lebih lebar, menunjukkan semakin bervariasinya ukuran kromosom dalam sel mutan tersebut, dibanding tanaman normalnya.
Deskripsi kromosom anyelir lima genotipe anyelir
normal dan mutannya dapat dilihat pada Lampiran 9. Bentuk dan Kariotipe Berdasarkan letak sentromernya, terdapat tiga macam bentuk kromosom tanaman anyelir ini, yaitu metasentrik, subme tasentrik, dan akrosentrik (Lampiran 9, Tabel 9A9P). Namun sebagian besar kromosom anyelir normal berbentuk submetasentrik (sekitar 50 % di tiap genotipe), yaitu bentuk kromosom dengan rasio lengan antara 0.33-0.59 µm. Tabel 34. Rumus Kariotipe Beberapa Genotipe Anyelir Normal dan Kromosom Mutannya Akibat Iradiasi Sinar Gamma Genotipe -perlakuan 10.8 kontrol 10.8-10 Gy 10.8-30 Gy
Rumus Kariotipe 2n = 2x = 30 = 2m + 8sm + 1sm (SAT) + 4 t 2n = 2x = 30 = 8m + 1m(SAT) + 5sm + 1 t 2n = 2x -1-1 = 28 = 4m + 1 m(SAT) + 9 sm + 1 t
11.10 kontrol 11.10-30 Gy 11.10-60 Gy
2n = 2x = 30 = 3m + 1m (SAT) + 11 sm 2n = 2x = 30 = 6m + 7 sm + 1sm (SAT)+ 1 t 2n = 2x = 30 = 3m + 1m (SAT) + 11 sm
24.1 kontrol 24.1-15 Gy 24.1-30 Gy 24.1-50 Gy 24.1-60 Gy
2n = 2x = 30 = 4m + 10sm + 1sm (SAT) 2n = 2x + 1 + 1 =32= 6m +7sm + 1 sm(SAT) +1 t 2n = 2x = 30 = 4m + 10 sm + 1 sm (SAT) 2n = 2x = 30 = 4m + 9 sm +1 sm (SAT) + 1 t 2n = 2x = 30 = 5m + 8 sm + 1sm (SAT) 1 t
24.14 kontrol 24.14-30 Gy 24.14-40 Gy
2n = 2x =30 =2 m+ 6 sm +1 sm (SAT) +5 t +1 t (SAT) 2n = 2x = 30 = 5m + 9 sm + 1sm (SAT) 2n = 2x + 1 = 31 = 2m + 1m (SAT)+ 12 sm
24.15 kontrol 2n = 2x = 30 = 1m + 13sm + 1sm (SAT) 24.15-30 Gy 2n = 2x = 30 = 7m + 7 sm + 1sm (SAT) SAT:satelit, m:kromosom metasentrik, sm: submetasentrik, t: akrosentrik, T: telosentrik
109 Kromosom dengan bentuk akrosentrik hanya ditemukan pada anyelir normal genotipe 10.8 dan 24.14. Dari kelima genotipe anyelir normal, anyelir genotipe 24.1, 24.14, dan 24.15 mempunyai bentuk kromosom yang rata-rata hampir sama. Namun diantara ketiga genotipe ini, genotipe 24.1 dan 24.15 mempunyai kesamaan terbanyak pada bentuk kromosom. Menurut Sharp (1943) dan Jusuf (2001) kariotipe adalah gambar satu gugus lengkap kromosom yang telah disusun berdasarkan pasangan homolognya. Berdasarkan letak sentromer dan ada tidaknya satelit, maka dapat diperoleh komposisi kariotipe untuk masing- masing genotipe anyelir baik pada kromosom normal maupun mutannya. Rumus kariotipe untuk masing- masing genotipe anyelir normal dan mutannya diperlihatkan pada Tabel 34.
Terdapat perbedaan antara kariotipe kromosom normal dengan mutan-
mutannya, walaupun hal itu tidak selalu terjadi pada setiap mutan. Perbandingan Kariotipe Anyelir Genotipe 10.8 Normal dan Mutan Terdapat tiga macam bentuk kromosom pada anyelir mutan genotipe 10.8 baik akibat iradiasi 10 Gy maupun 30 Gy (Tabel Lampiran 9A, 9B dan 9C). Berdasarkan letak sentromer maka rumus kariotipe mutan 10.8-10Gy adalah 2n = 30 = 8 m +1 m (SAT) + 5 sm + 1 t, sedangkan rumus kariotipe mutan 10.8-30Gy adalah 2n -1-1 = 2x = 28 = 5m + 8 sm + 1 sm(SAT) + 1 t. Maksud notasi m adalah kromosom metasentrik, SAT adalah satelit kromosom, sm adalah kromosom sub metasentrik dan t adalah kromosom akrosentrik atau subtelosentrik. Penggolongan kategori kromosom tertera pada Tabel 31. Satelit kromosom normal yang semula terletak pada kromosom nomor 5 (bentuk submetasentrik), berubah menjadi terletak pada kromosom nomor 1 (bentuk metrasentrik) pada mutan 10.8-10Gy dan pada kromosom nomor 3 (bentuk metasentrik)
0.4µm
10.8 Normal
0.38µm
Mutan 10.8-10Gy
0.4 µm
Mutan 10.8-30Gy (13 II+2 I )
Gambar 38. Kariotipe Kromosom Anyelir Genotipe 10.8 Normal dan Mutannya (panah biru: satelit; panah ungu: kromosom monosomi primer)
110 pada mutan 10.8-30Gy (panah biru, Gambar 38).
Informasi detail tentang bent uk
masing- masing kromosom disajikan pada Lampiran 9, Tabel 9A-9P. Tampak pada Gambar 38, dua kromosom anyelir 10.8 mutan akibat iradiasi 30 Gy kehilangan pasangannya (tanda panah ungu, kromosom nomor 14 dan 15). Jika ditinjau dari pasangan kromosom, maka pada mutan 10.8-30Gy ini terdapat 13 pasang kromosom bivalen dan dua kromosom univalen (tidak berpasangan) atau ditulis 13 II + 2 I. Fase pengamatan kromosom anyelir genotipe 10.8-30Gy adalah pada metafase, sehingga penampakan kromosom sangat jelas karena disini kromosom berada dalam bentuk paling pendek dan paling tebal, tersebar di sekitar bidang ekuator (Gambar 39). Bentuk dari kromosom yang salah satu pasangannya hilang adalah submetasentrik pada kromosom 14 dan metasentris pada kromosom 15.
Kromosom 10.8-10Gy kromosom 10.8 -30Gy Gambar 39. Kromosom Anyelir Mutan Genotipe 10.8 Worland & Law (1991, dalam Suryo 1995) menggunakan fast neutron untuk meradiasi benih gandum, ternyata dapat menon-aktifkan gen- gen yang rentan terhadap penyakit karat kuning, karat coklat dan powdery mildew (busuk tepung) pada gandum heksaploid. Analisis monosomik pada galur-galur resisten dapat mengidentifikasi mutasi pada kromosom 4B, 4D dan 5D. Identifikasi lebih lanjut dengan RLFP menjelaskan bahwa terjadi delesi pada kromosom 5D dan pada lengan panjang kromosom 5B. Pada kasus mutan 10.8-30Gy ini, beberapa kemungkinan juga bisa terjadi, seperti misalnya delesi pada satu pasangan kromosom yang mengakibatkan terjadinya kromosom asentrik (kromosom tanpa sentromer) yang akhirnya akan hilang di sitoplasma.
Dengan demikian kromosom yang tertinggal masing- masing menjadi
kekurangan satu pasangannya.
Peristiwa hilangnya satu kromosom dari kromosom
111 pasangannya, dan kromosom yang homolog dengan kromosom yang hilang itu mempunyai struktur normal, disebut monosomi primer. Monosomi adalah keadaan dimana suatu organisme kekurangan satu kromosom dibandingkan dengan normal diploidnya. Suryo (1995) menyebutkan terdapat tiga macam monomi, yaitu monosomi primer (satu kromosom hilang), mosomi sekunder (satu pasang kromosom homolog hilang) dan monosomi tersier. Jika dua lengan kromo som non homolog yang patah di daerah sentromer, masing- masing bersatu membentuk kromosom baru dengan sentromer yang kembali berfungsi, maka akan terbentuk kromosom tersier. Individu dari turunan kromosom tersier ini akan menjadi monosomi tersier.
Dalam hal ini, karena dua
kromosom pada mutan 10.8-30Gy mengalami kehilangan pasangan kromosomnya, dan pasangan yang tertinggal itu mempunyai struktur normal dan berfungsi, maka fenomena ini disebut monosomi primer. Perbandingan Kariotipe Anyelir Genotipe 11.10 Normal dan Mutan Pada mutan anyelir genotipe 11.10 akibat iradiasi 30 Gy, didapatkan bentuk kromosom akrosentrik sebanyak satu buah (kromosom nomor 4, panah hijau), sedangkan pada kromosom normal maupun kromosom mutan 11.10-60gy tidak ditemukan adanya kromosom akrosentrik. Kariotipe kromosom anyelir mutan genotipe 11.10-30gy dan 11.10-60gy dibandingkan dengan kariotipe kromosom 11.10 normalnya disajikan pada Gambar 40.
0.59µm
11.10 Normal
0.57µm
Mutan 11.10-30Gy
0.53µm
Mutan 11.10-60Gy
Gambar 40. Kariotipe Kromosom Anyelir Genotipe 11.10 Normal dan Mutannya (panah biru: satelit; panah hijau: kromosom akrosentrik) Satelit yang terletak di kromosom nomor 5 pada anyelir genotipe 11.10 normal (kromosom berbentuk metasentrik), berubah menjadi terletak di kromosom nomor 2 pada mutan 11.10-30Gy dengan bentuk kromosom submetasentrik. Akan tetapi posisi satelit
112 tetap tak berubah pada mutan 11.10-60Gy, yaitu pada kromosom nomor 5, dengan bentuk kromosom tetap metasentrik seperti normalnya (Gambar 40, panah biru). Tidak terdapat perbedaan jumlah, dan juga tidak terdapat perbedaan yang menyolok antara kromosom 11.10 normal dengan kedua mutannya.
Gambar kromosom kedua mutan
anyelir genotipe 11.10 ditunjukkan pada Gambar 41.
11.10 -30Gy
11.10-60Gy
Gambar 41. Kromosom Anyelir Mutan Genotipe 11.10 Perbandingan Kariotipe Anyelir Genotipe 24.1 Normal dan Mutan Anyelir genotipe 24.1 merupakan anyelir yang terbanyak menghasilkan tanaman mutan di lapang.
Dari hasil pengamatan terhadap kromosom mutan, diperoleh satu
kromosom mutan yang memperlihatkan adanya penyimpangan, akibat perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 15 Gy. Penyimpangan tersebut berupa adanya dua buah kromosom tambahan (Gambar 42, panah merah).
0.39µm
24.1 Normal
0.47µm
Mutan 24.1-15Gy
0.41µm
Mutan 24.1-30Gy
0.47µm
Mutan 24.1-50Gy
0.51µm
Mutan 24.1-60Gy
Gambar 42. Kariotipe Kromosom Anyelir Genotipe 24.1 Normal dan Mutannya (panah biru: satelit; panah merah: kromosom tambahan)
113
Dengan demikian rumus kariotipe kromosom mutan ini berubah dari kromosom normal 2n = 2x = 30 menjadi 2n = 2x + 1 + 1 = 32, atau disebut juga trisomi ganda. Kemungkinan yang terjadi sehingga munculnya kromosom tambahan ini, antara lain akibat adanya patahan pada lengan kromosom, yang bisa menyebabkan terjadinya delesi segmen kromosom. Patahan yang menyebabkan delesi biasanya terjadi karena pengaruh iradiasi yang kuat (Suryo 1995). Segmen patahan kromosom yang mengalami gagal berpisah akan membentuk bridge pada saat anafase, yang akhirnya akan bergerak ke salah satu anak sel (sementara anak sel lainnya kosong) sehingga menghasilkan kromosom tambahan yang bukan merupakan pasangan kromosom homolog.
Iradiasi
sinar gamma juga dapat menyebabkan aberasi kromosom yang bisa menimbulkan terjadinya translokasi resiprok (akibat patah di dua tempat), yang pada akhirnya akan mengakibatkan terbentuknya kromosom yang tidak berpasangan ini.
Berdasarkan
pasangan kromosomnya, maka kromosom mutan ini dituliskan 15 II + 2 I (15 pasang bivalen dan 2 pasang univalen, kromosom yang tidak berpasangan) Perbandingan Kariotipe Anyelir Genotipe 24.14 Normal dan Mutan Pada kromosom mutan genotipe 24.14 akibat iradiasi 40 Gy juga mengalami penambahan sebuah kromosom (panah merah pada Gambar 43), yang kemungkinan kejadiannya mempunyai alasan yang sama dengan mutan genotipe 24.1-15gy. Berdasarkan pasangan kromosom yang terbentuk, maka mutan 24.14-40Gy memiliki rumus pasangan kromosom: 15 II + 1 I (15 pasang bivalen dan satu kromosom univalen).
0.95µm
24.14 Normal
0.38µm
Mutan 24.14-30Gy
0.36µm
Mutan 24.14-40Gy
Gambar 43. Kariotipe Kromosom Anyelir Genotipe 24.14 Normal dan Mutannya (panah biru: satelit; panah merah: kromosom tambahan, panah hijau: kromosom akrosentrik)
114 Maluszynski, Ahloowalia dan Sigurbjoernsson (1995) menyatakan bahwa perlakuan mutagenik dapat menyebabkan rearrangement chromosom atau mengubah beberapa gen menjadi bentuk alel yang baru. Kromosom normal yang semula memiliki dua buah satelit (terletak pada kromosom nomor 4 dan 8), menjadi hanya satu buah pada masing- masing kromosom mutannya, yaitu terletak di kromosom nomor 5 pada mutan 24.14-30Gy, dan di kromosom nomor 3 pada kromosom mutan 24.14-40Gy. Kromosom berbentuk akrosentrik yang didapatkan enam buah pada kromosom normalnya, menjadi tidak ada sama sekali kromosom berbentuk akrosentrik pada kedua mutannya. Perbandingan Kariotipe Anyelir Genotipe 24.15 Normal dan Mutan Pada kariotipe anyelir genotipe 24.15 mutan akibat iradiasi 30 Gy sinar gamma, secara visual tidak ditemukan adanya penyimpangan kromosom di bawah mikroskop. Hanya satelit yang semula terletak di kromosom nomor 5 pada kromosom normalnya, berubah menjadi terletak di kromosom nomor 2 pada kromosom mutannya (panah biru, Gambar 44).
0.39µm
24.15 Normal
0.45µm
Mutan 24.15-30Gy
Gambar 44. Kariotipe Kromosom Anyelir Genotipe 24.15 Normal dan Mutannya (panah biru: satelit) Idiogram Idiogram merupakan gambar satu gugus genom. Bentuk idiogram kelima genotipe anyelir hampir sama. Posisi kromosom yang mempunyai satelit diletakkan paling depan. Menurut Schulz dan Schaeffer (1980) pada idiogram, kromosom yang mempunyai satelit diletakkan pada bagian depan dan diatur sesuai panjang satelitnya. Urutan kromosom diatur sesuai panjang lengan pendeknya, yaitu disusun dari kromosom dengan lengan
115 pendek terpendek sampai lengan pendek terpanjang dengan satelit, lalu kromosom dengan lengan pendek terpendek sampai terpanjang tanpa satelit. Satelit adalah segmen pendek di ujung kromosom yang letaknya dipisahkan dari lengan kromosom oleh lekukan sekunder. Di lekukan sekunder ini kerapkali ditemukan nukleolus, sehingga lekukan ini disebut juga Nucleus Organizer (pengatur nukleolus). Belum jelas apa fungsi satelit, tetapi ada dugaan bahwa nukleolus mempunyai peranan dalam sintesa protein yaitu r-RNA dan diawasi oleh lokus tertentu yang mempunyai hubungan dengan lekukan sekunder (Suryo 1995).
Pada idiogram, satelit dijadikan
sebagai penanda, yang membedakan kromosom satu dengan lainnya. Perbandingan Idiogram Anyelir Genotipe 10.8 Normal dan Mutan Walaupun dari lima genotipe genotipe anyelir normal hanya anyelir genotipe 10.8 yang mempunyai satelit pada lengan pendek saja, namun letak satelit pada idiogram keempat genotipe anyelir normal lainnya tetap diletakkan pada lengan pendek. Gambar 45 memperlihatkan idiogram dari anyelir genotipe 10.8 normal, sedangkan susunan kromosom anyelir genotipe 10.8 mutan dalam bentuk idiogram dapat dilihat
pada
Gambar 46-47. Lengan pendek
Lengan Panjang
Pasangan Kromosom
Gambar 45. Idiogram Kromosom Anyelir Genotipe 10.8 Normal Jika dibandingkan antara idiogram kromosom 10.8 normal (Gambar 45) dengan idiogram kromosom mutan 10.8-10Gy (Gambar 46) maka terlihat bahwa susunan mulai dari
116 kromosom lengan pendek terpendek ke kromosom lengan pendek terpanjang pada kromosom normal berubah di kromosom mutannya. µm Lengan pendek
Lengan Panjang Pasangan Kromosom
Gambar 46. Idiogram Kromosom Anye lir Mutan Genotipe 10.8-10 Gy Satelit merupakan ciri khas suatu kromosom individu, bahkan spesies tertentu. Letak satelit yang biasanya dijadikan pembeda antar kromosom mengalami perubahan dalam letak susunan idiogramnya. Mutan 10.8-30 Gy tidak dapat digambarkan idiogramnya karena ada kromosom yang kehilangan pasangannya sehingga idiogram tidak mewakili keadaan diploid yang sebenarnya.
µm Lengan pendek
Lengan Panjang
Genotipe Pasangan Kromosom
Gambar 47. Idiogram Kromosom Anyelir Genotipe 11.10 Normal
117
Pada kromosom anyelir genotipe 11.10, juga tidak terlihat perbedaan yang menyolok dengan idiogram kromosom mutannya (Gambar 47 dibandingkan dengan Gambar 48 dan Gambar 49). Hanya posisi satelit yang ada di kromosom nomor 5 pada kariotipe kromosom normal, menjadi berubah terletak pada kromosom ke-2 pada mutan 11.10-30Gy. Pada mutan 11.10-60Gy satelit tetap kerkedudukan di kromosom nomor 5.
Lengan pendek
Lengan Panjang
Genotipe Pasangan Kromosom
Gambar 48. Idiogram Kromosom Anyelir Mutan Genotipe 11.10 - 30 Gy
Lengan pendek
Lengan Panjang
Genotipe Pasangan Kromosom
Gambar 49. Idiogram Kromosom Anyelir Mutan Genotipe 11.10 – 60 Gy
118 Perbandingan Idiogram Anyelir Genotipe 24.1 Normal dan Mutan Idiogram merupakan gambaran kromosom dalam keadaan haploidnya.
Oleh
karena itu, kromosom mutan pada anyelir genotipe 24.1-15Gy tidak dapat digambarkan idiogramnya karena memiliki kromosom tambahan yang tidak berpasangan.
Lengan pendek
Lengan Panjang
Genotipe Pasangan Kromosom
Gambar 50. Idiogram Kromosom Anyelir Genotipe 24.1 Normal
Lengan pendek
Lengan Panjang
Genotipe Pasangan Kromosom
Gambar 51. Idiogram Kromosom Anyelir Mutan Genotipe 24.1-30 Gy
119 Antara idiogram kromosom 24.1 normal dan mutannya tampak tidak terlalu banyak perubahan kecuali tata letak atau susunan kromosom, termasuk letak satelit. Juga terlihat bahwa ukuran lengan panjang kromosom pada kromosom normal lebih panjang (ada delapan kromosom yang berukuran > 0.2 µm) dibandingkan panjang lengan panjang kromosom mutannya (Gambar 50, 51, 52 dan 53). Terjadinya delesi atau patahan pada kromosom bisa mengakibatkan memendeknya ukuran lengan kromosom mutan.
Lengan pendek
Lengan Panjang
Genotipe Pasangan Kromosom
Gambar 52. Idiogram Kromosom Anyelir Mutan Genotipe 24.1-50 Gy Lengan pendek
Lengan Panjang
Genotipe Pasangan Kromosom
Gambar 53. Idiogram Kromosom Anyelir Mutan Genotipe 24.1-60 Gy
120
Pada kromosom normal anyelir genotipe 24.14, terdapat dua buah satelit. Dalam Schulz dan Schaeffer (1980) disebutkan bahwa pada kasus tertentu, satelit dapat digunakan sebagai penanda tingkat ploidi suatu organisma. Satu satelit yang berada dalam susunan kromosom menandakan organisma tersebut diploid, dua satelit menandakan tetraplod, begitu seterusnya.
Lengan pendek
Lengan Panjang
Genotipe Pasangan Kromosom
Gambar 54. Idiogram Kromosom Anyelir Genotipe 24.14 Normal
Lengan pendek
Lengan Panjang
Genotipe Pasangan Kromosom
Gambar 55. Idiogram Kromosom Anyelir Genotipe 24.14-30 Gy
121 Akan tetapi pada kasus anyelir ini, hal tersebut tidak dapat diterapkan mengingat semua kromosom pada kelima genotipe anyelir yang digunakan pada penelitian ini diploid (Gambar 33-37). Genotipe 24.14 ini juga tetap diploid walaupun memiliki dua buah satelit (Gambar 54). Idiogram mutan anyelir genotipe 24.14-40Gy tidak dapat dibuat, karena iradiasi sinar gamma pada anyelir genotipe 24.14 menyebabkan adanya penambahan sebuah kromosom, sehingga kromosom 24.14-40Gy menjadi kromosom trisomik. Perbandingan Idiogram Anyelir Genotipe 24.15 Normal dan Mutan Seperti pada kromosom anyelir 10.8 dan 11.10 normal, kromosom anyelir genotipe 24.15 normal pun memiliki satelit pada kromosom nomor 5. Pada mutannya akibat iradiasi sinar gamma 30 Gy, satelit berpindah menjadi terletak pada susunan kromosom ke 3 pada kariotipenya.
Kemungkinan kromosom bersatelit tersebut
mengalami aberasi kromosom sehingga terjadi perubaha n ukuran, dengan demikian tata letak dalam kariotipe juga mengalami perubahan susunan. Jika dilihat dari ukuran masing- masing kromosom pada 25.15 normal dan 24.15 mutan, terlihat bahwa ukuran kromosom mutan menjadi relatif lebih pendek dibandingkan ukuran kromosom normalnya (Gambar 56 dan 57). Peristiwa tumbukan secara fisik akibat iradiasi sinar gamma umumnya menyebabkan patahan pada kromosom sehingga terjadi delesi yang dapat mengakibatkan memendeknya ukuran kromosom.
122
Lengan pendek
Lengan Panjang
Genotipe Pasangan Kromosom
Gambar 56. Idiogram Kromosom Anyelir Genotipe 24.15 Normal
Lengan pendek
Lengan Panjang
Genotipe Pasangan Kromosom
Gambar 57. Idiogram Kromosom Anyelir Mutan Genotipe 24.15- 30 Gy
Pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap jumlah dan bentuk kromosom pada krisan mutan telah dipelajari oleh Datta dan Banerji (1993).
Berdasarkan hasil
123 pengamatannya ternyata dari 38 krisan mutan yang diamati, terdapat penyimpangan jumlah kromosom (aneuploidy) pada sembilan kultivar krisan mutan. Demikian pula pada penelitian ini, dari 11 mutan yang diamati, terbukti ada penyimpangan kromosom pada tiga mutan. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi akibat perlakuan iradiasi sinar gamma, adalah benar terjadi secara genetik karena perubahan penampilan morfologi tersebut juga didukung dengan adanya penyimpangan pada level kromosomnya pula. Perubahan morfologi tanaman yang tidak terdeteksi pada level kromosom, kemungkinan terjadi mutasi pada tingkat gen (DNA) sehingga tidak dapat dideteksi hanya dengan pengamatan dibawah mikroskop saja. Untuk itu disarankan agar dilakukan juga uji atau pengamatan di tingkat molekuler seperti dengan teknik RFLP atau RAPD, atau di tingkat protein, seperti misalnya dengan teknik isozim.
124 Kesimpulan dan Saran Dari hasil penelitian ini terbukti bahwa perubahan morfologi yang terjadi pada mutan- mutan anyelir yang terbentuk akibat iradiasi sinar gamma adalah mutasi akibat perubahan genetik, yang dapat diidentifikasi keragaman genetiknya melalui uji sitologi, yaitu dengan adanya perubahan pada struktur kromosom tanaman mutan. Iradiasi
sinar
gamma
dapat
menyebabkan
patahan
kromosom
yang
mengakibatkan perubahan dalam jumlah, bentuk dan ukuran kromosom anyelir mutan. Perubahan jumlah terjadi pada kromosom anyelir genotipe 10.8 yang diradiasi sinar gamma pada dosis 30 Gy, anyelir genotipe 24.1 dengan iradiasi sinar gamma 15 Gy, dan genotipe 24.14 dengan dosis iradiasi sinar gamma 40 Gy. Mutan 10.8 yang diradiasi 30 Gy menjadi
monosomik ganda, mutan 24.1 yang diradiasi 15 Gy menjadi trisomik
ganda, dan mutan 24.14 yang diradiasi 40 Gy menjadi trisomik. Beragam
variasi
perubahan
bentuk
terjadi
pada
mutan- mutan anyelir,
menghasilkan bentuk kromosom akrosentrik atau subtelosentrik pada mutan 24.1 akibat iradiasi 15 Gy, mutan 24.1 akibat iradiasi 50 Gy, mutan 24.1 akibat iradiasi 60 Gy, serta pada mutan 11.10 akibat iradiasi 30 Gy. Beberapa kromosom mengalami pemendekan karena patahan kromosom akibat iradiasi. Pada pembuatan preparat untuk mengamatan mitosis, bagian ujung akar ternyata tidak menghasilkan preparat yang dapat diamati dengan jelas pembelahannya. Untuk itu, maka disarankan pada penelitian selanjutnya menggunakan bagian pucuk meristem untuk mengamati pembelahan mitosisnya. Juga disarankan melakukan pengamatan pada fase meiosis untuk melengkapi studi kromosom ini. Disarankan juga agar dilakukan uji atau pengamatan di tingkat molekuler seperti dengan teknik RFLP atau RAPD, atau di tingkat protein, seperti misalnya dengan teknik isozim, sehingga dapat terdeteksi kemungkinan terjadi mutasi pada level DNA.