V. EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR ABSTRAK Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan di Provinsi Jawa Barat dengan kasus, Kabupaten Indramayu di pantai utara dan Kabupaten Ciamis di pantai Selatan. Penelusuran mengemukakan adanya UU dan PP yang dijadikan acuan yaitu UU No 32 Thn 2004, UU No 33 Thn 2004 dan PP No 25 Thn 2000. Fenomena dilapangan menunjukkan bahwa aspek ekonomi seperti pemanfaatan pesisir untuk tambak ikan, wisata, pelabuhan dan permukiman serta industri banyak dijumpai menggantikan ekosistem hutan mangrove yang berfungsi ekologis. Proses evaluasi diselesaikan menggunakan teknik KBMS yaitu transfer knowledge seorang atau lebih knowledge expert melalui diskursus dengan menggunakan sistem teknologi transformasi Di pesisir Utara pemerintah memberikan perhatian kepada sektor perikanan dan sektor yang relatif baru yaitu migas , di pesisir Selatan pemerintah memberikan perhatian kepada sektor perikanan dan pariwisata Teknik KBMS didukung oleh 7(tujuh) parameter yaitu Optimalisasi pelaksanaan tata ruang dan lingkungan, Ketersediaan prasarana dan sarana, Pembangunan industri berbasis wilayah pesisir, Proporsi dana pembangunan wilayah pesisir dalam APBD, Rejim penguasaan pemerintah, Program pemberdayaan masyarakat melalui CSR dan Pengembangan sektor pariwisata, perikanan, pertanian, perkebunan dan migas yang berperspektif mitigasi bencana. Berdasarkan pengelompokan parameter dan permutasi diperoleh 24 rule base dengan hasil diskursus yang menyimpulkan bahwa kebijakan pengembangan wilayah pesisir di Jawa Barat khususnya Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis masih perlu diarahkan pada konsep pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management ), karena masih sektoral dan bias daratan sehingga belum optimal pemanfaatannya. Selanjutnya di Kabupaten Indramayu perencanaan pengembangan wilayah pesisir dan penguasaan pemerintah melalui program pemberdayaan masyarakat bantuan Pertamina sudah cukup baik, kecuali di dalam pengembangan sektor pariwisata yang kurang mendapat perhatian dengan baik. Di Kabupaten Ciamis, pengembangan sektor pariwisata dan perikanan sudah merupakan salah satu sektor unggulan dalam pengembangan wilayah pesisir. Kata Kunci : transfer knowledge, diskursus, terpadu
5.1.
teknologi informasi, parameter, rule base,
Pendahuluan Dalam kaitannya dengan pembangunan sumberdaya pesisir, pemerintah
pusat membuat kebijakan yang strategis dan antisipatif, yaitu dengan menjadikan sektor laut sebagai sektor tersendiri. Setiap kebijakan yang ada, perlu di tindak lanjuti oleh pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang berkelanjutan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki kebijakan pengembangan wilayah pesisir dan laut yang disusun dalam pembangunan kelautan, mengacu pada beberapa peraturan dan perundangan yang secara bertahap telah mengubah sistem pembangunan yang berlaku selama ini. Undang-undang tersebut antara lain UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah serta PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan
82
Pemerintah
dan
Kewenangan
Provinsi
sebagai
Otonom,
memberikan
kewenangan yang luas, nyata, demokratis, dan bertanggung jawab kepada daerah dalam pengaturan pembagian sumberdaya nasional.
Pengaruh
pemberlakuan UU tersebut tidak terbatas pada pengelolaan sumberdaya alam, tetapi juga berpengaruh terhadap sistem pemerintahan dan pembangunan. Kebijakan pengembangan daerah wilayah pesisir dan laut tidak hanya berorientasi pada peningkatan pendapatan masyarakat, tetapi juga berorientasi pada pemeliharaan ekosistem pesisir. Namun demikian implementasi kebijakan pengelolaan kawasan pesisir pada umumnya masih dititik beratkan pada peningkatan ekonomi. Fenomena dilapangan menunjukkan bahwa aspek ekonomi antara lain peningkatan pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja di sektor Perikanan dan Pertanian, seringkali lebih diprioritaskan dibandingkan aspek sosial dan ekologi. Sejak tahun 1970 an, perubahan pemanfaatan wilayah pesisir pantura Jawa untuk tambak ikan, wisata, pelabuhan dan permukiman serta industri banyak dijumpai menggantikan ekosistem hutan mangrove yang berfungsi ekologis (Prasetya, 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan di Provinsi Jawa Barat.
5.2.
Metode Analisis Implementasi Kebijakan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berkelanjutan
Pengembangan
Evaluasi implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan di Provinsi Jawa Barat akan dilakukan dengan menggunakan metode Knowledge Based Management System (KBMS). Setiarso (2006) menyebutkan bahwa knowledge management adalah pengelolaan pengetahuan dimana orang-orang dari berbagai tempat yang berbeda mulai saling bicara tentang pengelolaan tersebut. Sistem pengelolaan berbasis pengetahuan (KBMS) memerlukan empat fungsi yaitu: creating knowledge, finding knowledge, using knowledge, dan packaging knowledge yang akan membentuk suatu pengetahuan untuk menjawab pertanyaan mengenai know-how, know-what, dan know-why. Untuk itu diperlukan upaya membangun knowledge sharing, yang dalam hal ini adalah dari para knowledge expert atau pakar kepada knowledge engineer atau peneliti.
Selanjutnya disebutkan bahwa salah satu tantangan
knowledge management adalah menjadikan manusia senang berbagi knowledge
83
mereka. Menghadapi tantangan tersebut disarankan untuk menggunakan tiga C yaitu: culture, co-opetition (menyatukan kerjasama dengan persaingan) dan commitment. Dengan demikian penelitian yang menggunakan metode KBMS ini mengutamakan kepercayaan sepenuhnya (trust fall) kepada pakar (knowledge expert) yang dipastikan akan berbagi pengetahuan (knowledge sharing) tentang wilayah pesisir dan mitigasi bencana. Deetz dalam Darmanagara dan Fardiaz (2007) mengusulkan empat discourse alih-alih paradigma. Discourse tersebut adalah: normative, interpretive, critical and dialogic. Selanjutnya dilakukan klasifikasi knowledge dan bentuk knowledge management yaitu discourse normative menitikberatkan penggunaan knowledge untuk kegiatan problem solving dan decision making dengan pemanfaatan teknologi informasi. Discourse n i terpretive menitikberatkan pada pemanfaatan knowledge oleh individu daripada knowledge itu sendiri. Discourse critical menitikberatkan perimbangan hak akses terhadap knowledge dan aspek sosio-politik dalam hal kesamaan hak dalam memperoleh knowledge. Discourse dialogic menitikberatkan proses transformasi budaya berbicara/berkomunikasi yang menerapkan teknologi informasi dalam proses knowledge managementnya. Dalam penelitian ini, yang akan dipergunakan adalah discourse normative dan dialogic karena sesuai dengan tujuan penelitiannya yaitu melakukan evaluasi implementasi kebijakan yang sedang berjalan. Ignizio dalam Yunanto (2007) mengemukakan bahwa keahlian pakar dalam memecahkan suatu masalah diperoleh dengan cara merepresentasikan pengetahuan seorang atau beberapa orang pakar dalam format tertentu dan menyimpannya dalam basis pengetahuan. Sistem pengelolaan berbasis pengetahuan (KBMS) adalah sistem yang menggunakan kaidah (rules) untuk merepresentasikan pengetahuan di dalam basis pengetahuannya. Mesin inferensi (inference engine) merupakan bagian yang bertindak sebagai pencari solusi dari suatu permasalahan berdasar pada kaidah-kaidah yang ada dalam basis pengetahuan. Selama proses inferensi, mesin inferensi memeriksa status dari basis pengetahuan dan memori kerja (working memory) untuk menentukan fakta apa saja yang diketahui dan untuk menambahkan fakta baru yang dihasilkan ke dalam memori kerja tersebut. Fakta-fakta yang merupakan hasil dari proses inferensi disimpan dalam memori kerja sebagai data. Data evaluasi implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir merupakan basis data yang terdiri dari parameter-parameter yang menjadi dasar
84
penilaian dalam melakukan evaluasi. Parameter ini disusun sesuai dengan keadaan lokasi penelitian berkaitan dengan keberhasilan program pembangunan dalam kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang telah diimplementasikan di tempat lain. Guna menyamakan persepsi dalam diskursus (discourse normative dan dialogic) antara pakar (knowledge expert) dengan peneliti (knowledge engineers), telah dipilih suatu proceeding pertemuan ilmiah internasional yang diselenggarakan pada tahun 2006 di Thailand dengan tema Perlindungan Pesisir setelah Tsunami: Apa peran hutan dan pohon?. Dari sejumlah tulisan dalam pertemuan ilmiah tersebut, terpilih yang paling sesuai untuk disandingkan yaitu Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir (Preuss, 2006) dengan kasus Rencana Pemulihan Pesisir Keaukaha di Hawai. Pesisir Keaukaha pernah hancur dilanda tsunami pada tahun 1946 dan 1960, serta dihantam badai musim dingin pada tahun 1961. Proyek pemulihan tersebut berpedoman pada optimalisasi pelaksanaan penataan
ruang dan
lingkungan pesisir. Hal ini dapat terlihat dengan telah ditetapkannya zona-zona Industri, pariwisata, resort, kepadatan rendah, terbuka, kebun buah-buahan, pengelolaan sepanjang pantai dan penataan batas kepemilikan /peruntukan sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 22. Lokasi situasi proyek pembangunan oleh publik dan swasta wajib mematuhi
persyaratan landskap
dan harus
mundur dibelakang batas keamanan terhadap gelombang badai dan tsunami dengan tidak memperdulikan siapapun pemiliknya. Penanaman pohon di lokasi pariwisata dan industri lainnya tetap harus dilaksanakan dan menjadi tanggungjawab pemiliknya. Kepadatan pepohonan ini
dimaksudkan sebagai
perlindungan terhadap badai dan tsunami. Oleh karena referensi ini berasal dari proceeding FAO 2006 yang merupakan kumpulan tulisan dari para pakar yang reputable sehingga falsifikasi (anomali informasi) tidak akan terjadi dan prosedur koroborasi (perkuatan referensi) penelitian sudah terpenuhi.
85
Gambar 22. Rencana tata ruang dan lingkungan Keukaha Sumber
: Hawaii County, 1978 dalam Preuss (2006)
Berdasarkan diskursus normatif/dialogik tersebut telah berlangsung knowledge aqcuisition dan evaluasi implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir akan dapat diselesaikan oleh KBMS dengan menggunakan basis data yang terdiri dari parameter-parameter yang menjadi dasar penilaian dalam melakukan evaluasi. Parameter ini disusun sesuai dengan keadaan lokasi penelitian dan kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan wilayah pesisir yang telah diimplementasikan. Tiga kriteria penilaian dapat ditetapkan, yaitu (i) rendah, (ii) sedang, dan (iii) tinggi. Selain itu, diperlukan juga data untuk membangun aturan atau kaidah dasar (rule base) yang merupakan rekomendasi basis data yang bersifat normatif (Marimin, 2007). Komponen
basis
pengetahuan
dalam
KBMS
selain
dapat
direpresentasikan dengan pengetahuan statik (declarative knowledge), bisa juga direpresentasikan dengan pengetahuan dinamik (procedural knowledge), yaitu representasi menggunakan kaidah produksi dan representasi logika. Teknik berbasis
kaidah/aturan
(rule
base)
yaitu
teknik
pengembangan
yang
86
menggunakan pernyataan-pernyataan IF premis (pernyataan) dan THEN aksi/kesimpulan.
Kaidah produksi digunakan untuk pengetahuan prosedural
yang distrukturisasi ke dalam bentuk: Jika, suatu keadaan tertentu (kondisi), maka keadaan lain dapat terjadi (aksi) dengan tingkat kepastian tertentu (certainty factor) yang ditulis CF dengan nilai positif dan benar, agar pengguna tidak dapat memberikan nilai negatif dari suatu parameter saat pelacakan. Nilai CF ditentukan dengan pernyataan yang benilai benar, yaitu nilai CF lebih besar atau sama dengan 0,2. (Kristanto, 2004; Arhami, 2005). Knowledge acquisition para pakar direpresentasikan dalam bentuk program komputer menggunakan rule base berdasarkan kriteria if, then dan else.
5.3.
Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berkelanjutan
5.3.1. Kebijakan-Kebijakan terkait Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menghendaki adanya keberlanjutan (sustainability) dalam pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah pesisir memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan. Melihat hal-hal tersebut, diperlukan suatu kebijakan dalam pengelolaannya sehingga sumberdaya yang terkandung di dalamnya dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Beberapa dasar hukum pengelolaan wilayah pesisir antara lain : 1) UUD 1945 pasal 33, menyebutkan bahwa sumber daya alam dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat 2) UU No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup 3) UU No. 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah 4) UU No. 33 tahun 2004, tentang
Perimbangan
Keuangan
antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah 5) UU No. 7 tahun 2004, tentang Pengelolaan Sumber Daya Air 6) UU No. 24 tahun 2007, tentang Penanggulangan Bencana 7) UU No. 26 tahun 2007, tentang Penataan Ruang 8) UU No. 27 tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil 9) Perpres No. 19 tahun 2006 RKP 2007, salah satu prioritasnya adalah Mitigasi dan penanggulangan bencana. 10) Perpres No. 18 tahun 2007, tentang RKP 2008, salah satu prioritasnya adalah Penanganan bencana dan pengurangan risiko bencana.
87
11) PP No. 69 tahun 1996, tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang. 12) PP No.25 tahun 2000 , tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Otonom. 13) Keputusan Presiden RI No. 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. 14) Permendagri No. 8 tahun 1998, tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah. 15) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu. 16) Berbagai Peraturan Daerah yang relevan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, bahwa unsur-unsur utama pengelolaan pesisir terpadu terdiri dari : 1) Penyusunan rencana strategis (strategic plan); 2) Penyusunan rencana zonasi ruang pesisir (zoning plan); 3) Penyusunan rencana pengelolaan zona spesifik/kawasan (management plan); 4) Rencana kegiatan (action plan) sebagai penjabaran dari rencana strategis yang sudah ada. Jika dikaitkan dengan topik penelitian yaitu pengembangan wilayah pesisir secara berkelanjutan berperspektif mitigasi bencana alam, maka dari sekian peraturan yang telah disebutkan di atas, hanya empat peraturan yang terkait dengan substansi mitigasi pada undang-undang kebencanaan (Forum Mitigasi Bencana, 2007) yaitu : 1) UU No. 07 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air (SDA), 2) UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (PB), 3) UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (TR), dan 4) UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Oleh karena berbagai UU tersebut ternyata masih memiliki berbagai hal yang perlu diselaraskan terutama dalam hal terminologi dan substansi (Lampiran 1), maka upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah bukan dengan melakukan judicial review
terhadap UU tersebut. Akan lebih baik jika pemerintah
88
secepatnya menyusun serangkaian PP yang
dapat menutupi berbagai
kekurangan yang terdapat dalam UU tersebut. Wilayah pesisir dan lautan di Jawa Barat memiliki sumberdaya alam yang cukup melimpah, namun demikian terdapat berbagai permasalahan yang perlu ditangani secara terpadu, salah satunya adalah masalah degradasi lingkungan yang mempengaruhi potensi perekonomian yang ada (Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2007) Untuk mencapai pengelolaan secara terpadu bagi setiap pengguna (stakeholder), maka diperlukan data dasar yang akurat dan selalu aktual (up to date), sehingga para pengambil keputusan memiliki landasan yang kuat dalam menetapkan kebijakan pengelolaan di wilayah pesisir yang terintegrasi dengan baik, baik dari segi sumberdaya alam dan lingkungannya maupun bagi kepentingan pembangunan ekonomi masyarakatnya. Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menetapkan salah satu core business pesisir selatan Provinsi Jawa Barat sebagai daerah yang memiliki potensi perikanan maupun wisata bahari Kabupaten Ciamis merupakan salah satu daerah di Selatan yang sangat terkenal dengan perikanan tangkap dan wisata pantai khususnya Pangandaran. Namun demikian, pemerintah juga menyatakan pesisir Selatan merupakan wilayah rawan bencana alam, khususnya tsunami. Sementara pesisir Utara Jawa Barat secara umum memiliki potensi sumberdaya yang dapat pulih seperti hutan mangrove, terumbu karang, budidaya tambak, budidaya laut, wisata bahari, perikanan laut dan konservasi serta sumberdaya yang tidak dapat pulih dan relatif baru yaitu migas. Berdasarkan hal ini maka perhatian terhadap pesisir Utara khususnya perikanan dan migas merupakan hal yang wajar (Bapeda Jabar, 2007). Pemanfaatan sumberdaya pesisir Jawa Barat yang tidak memenuhi kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan secara signifikan mempengaruhi ekosistemnya. Kegiatan pembangunan di kawasan ini akan dapat mempengaruhi produktivitas
sumberdaya
akibat
proses
produksi
dan
residu,
karena
pemanfaatan yang berbeda dari sumberdaya pesisir sering menimbulkan konflik yang dapat berdampak timbal balik. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk tujuan pembangunan nasional akan berhasil jika dikelola secara terpadu
(integrated
coastal
zone
management,
ICZM).
Pengalaman
membuktikan bahwa pengelolaan atau pemanfaatan kawasan pesisir secara sektoral tidaklah efektif (Dahuri et. al 1996) Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu adalah suatu proses iteratif dan evolusioner untuk mewujudkan
89
pembangunan kawasan pesisir secara optimal dan berkelanjutan. Tujuan akhir dari ICZM bukan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi (economic growth) jangka pendek, melainkan juga menjamin pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati secara adil dan proporsional oleh segenap pihak yang terlibat (stakeholders) dan memelihara daya dukung serta kualitas lingkungan pesisir, sehingga pembangunan dapat berlangsung secara lestari. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka unsur esensial dari ICZM adalah keterpaduan (integration) dan koordinasi (Peng et al., 2006). Setiap kebijakan dan strategi dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir harus berdasarkan kepada: (i) pemahaman yang baik tentang proses-proses alamiah (eko-hidrologis) yang berlangsung di wilayah pesisir yang sedang dikelola; (ii) kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat; dan (iii) kebutuhan saat ini dan yang akan datang terhadap barang (produk) dan jasa lingkungan pesisir. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu penting dilakukan mengingat banyaknya kegiatan yang dapat diimplementasikan, sehingga perlu dirumuskan suatu konsep penataan ruang (strategic plan) serta berbagai pilihan objek pembangunan
yang
serasi.
Keterpaduan
pengelolaan
wilayah
pesisir
sekurangnya mengandung tiga dimensi: (i) sektoral, (ii) bidang ilmu dan (iii) keterkaitan ekologis. Keterpaduan secara sektoral berarti diperlukan adanya suatu kooordinasi tugas, wewenang, dan tanggung jawab antarsektor atau instansi (horizontal integration); dan antartingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi sampai pemerintah pusat (vertical integration). Sedangkan keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang melibatkan berbagai bidang ilmu yang relevan. Hal ini wajar mengingat wilayah pesisir pada dasarnya merupakan pertemuan berbagai sistem yang terjalin secara kompleks dan dinamis.
5.3.2. Analisis Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Jawa Barat Wilayah pesisir Provinsi Jawa Barat memiliki nilai strategis karena selain merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, juga memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang kaya. Mengingat nilai yang terkandung di dalamnya cukup besar, maka pengelolaannya layak dilakukan secara terpadu dengan melibatkan berbagai sektor terkait. Pemerintah Provinsi Jawa Barat menekankan perlunya pengelolaan secara terpadu sebagaimana diamanatkan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 10 tahun
90
2002, kenyataanya pengelolaan pesisir Jawa Barat masih bersifat sektoral dan bias daratan. Kebijakan pengelolaan pesisir Jawa Barat sama dengan kebijakan pesisir lainnya yang sektoral dan bias daratan, sehingga menjadikan laut sebagai kolam sampah raksasa. Pratikto (2005) mengemukakan bahwa dari sisi sosial-ekonomi, pemanfaatan kekayaan laut masih terbatas oleh kelompok pengusaha besar dan pengusaha asing belum oleh nelayan sebagai jumlah terbesar merupakan kelompok profesi paling miskin. Selama ini, kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir hanya dilakukan berdasarkan pendekatan sektoral yang didukung UU tertentu yang menguntungkan instansi sektor dan dunia usaha terkait. Akibatnya, pengelolaan pesisir cenderung eksploitatif, tidak efisien, dan tidak berkelanjutan.
Ini disebabkan oleh faktor ambiguitas pemilikan dan
penguasaan sumberdaya, ketidakpastian hukum, dan konflik pengelolaan. Ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir masih sering terjadi di berbagai tempat. Biasanya sumberdaya pesisir dianggap tanpa pemilik (open access property), sementara dalam pasal 33 UUD tahun 1945 dinyatakan sebagai milik pemerintah (state property). Di beberapa wilayah pesisir atau pulau masih dipegang teguh sebagai milik kaum atau masyarakat adat (common property) bahkan ada indikasi di beberapa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terjadi pemilikan pribadi (quasi private proverty) (Pratikto, 2005). Dari sisi daratan, penguasaan/pemilikan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil masih mengalami ketidakpastian hukum. Di dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) hanya mengatur sebatas pemilikan/ penguasaan tanah sampai pada garis pantai sedangkan wilayah pesisir yang merupakan wilayah pantai dan laut tidak diatur dalam UU ini. Secara khsusus terdapat ketentuan tentang hak pemeliharaan dan penangkapan ikan di dalam UU tersebut, tetapi baru sekadar disebutkan saja tanpa ada rincian pengaturannya.
5.3.3. Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir 5.3.3.1. Penentuan Kaidah Dasar (Rule Base) Untuk
mengevaluasi implementasi kebijakan pengembangan wilayah
pesisir khususnya di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis, dapat dilihat dari tujuh parameter hasil diskursus normative dialogik dengan pakar terkait (Lampiran 2) yang meliputi :
91
Parameter 1. Optimalisasi pelaksanaan tata ruang dan lingkungan pesisir Parameter 2. Ketersediaan prasara dan sarana pesisir Parameter 3. Pembangunan industri berbasis wilayah pesisir Parameter 4. Proporsi dana pembangunan wilayah pesisir dalam APBD Parameter 5. Rejim penguasaan pemerintah (state propertyregime) Parameter 6. Program pemerintah tentang pemberdayaan masyarakat melalui CSR/Sharing Parameter 7. Pengembangan perkebunan dan
sektor
pariwisata,
perikanan,
pertanian,
pertambangan yang berperspektif mitigasi
bencana. Berdasarkan akuisi pengetahuan (knowledge acquisition) pakar tersebut, ketujuh parameter tersebut disarankan dikelompokan kedalam tiga kelompok besar yang memiliki kesamaan yaitu (i) kelompok pertama adalah optimalisasi pelaksanaan tata ruang pesisir, ketersediaan sarana dan prasarana dan pembangunan industri berbasis wilayah pesisir dan proporsi dana pembangunan wilayah pesisir dalam
APBD (Parameter 1, 2, 3, dan 4) (Preuss, 2006), (ii)
kelompok kedua adalah peran Pemerintah
yang meliputi Rejim penguasaan
pemerintah untuk memproteksi kawasan pesisir (Marine Protected Area) dan program pemberdayaan masyarakat melalui CSR (Parameter 5 dan 6) (Tobey and Torell, 2006), (iii) kelompok ketiga adalah pengembangan sektor pariwisata, perikanan, pertanian, perkebunan dan migas yang berperspektif mitigasi bencana (Parameter 7) (Wind dan Kock, 2002). Hal ini dilakukan untuk mempermudah pemahaman terhadap knowledge yang di transfer oleh pakar dalam KBMS. Selanjutnya berdasarkan diskursus dengan para pakar (2008), tiga kelompok parameter tersebut dengan menggunakan rumus permutasi yaitu penggabungan beberapa objek dari suatu grup dengan memperhatikan urutan. Rumus tersebut yaitu (n r ) (Wikipedia, 2008), dimana n adalah jumlah kelompok parameter (tiga kelompok parameter) dan r adalah jumlah yang harus dipilih dalam urutan permutasi (dalam hal ini tiga urutan permutasi adalah tinggi, sedang, dan rendah). Berdasarkan hal tersebut maka akan terbentuk 27 urutan permutasi. Namun berdasarkan hasil diskursus dengan pakar, hanya 24 rule base (teknik berbasis kaidah-kaidah) yang sesuai dan memadai untuk menjadi dasar evaluasi implementasi kebijakan wilayah pesisir di Provinsi Jawa Barat.
92
5.3.3.2. Aplikasi Metode KBMS dalam Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Provinsi Jawa Barat Hasil
penjajakan
pendapat
dengan
pakar
dan
praktisi
dalam
mengevaluasi implementasi kebijakan pengembangan pesisir di Kabupaten Indramayu seperti pada Gambar 23 terlihat bahwa praktisi memberikan penilaian optimalisasi pelaksanaan tata ruang dalam penyediaan prasarana dan sarana berbasis industri pesisir serta proporsi dana pembangunan wilayah pesisir dalam APBD ‘sedang’, rejim penguasaan pemerintah di pesisir mengutamakan program pemberdayaan masyarakat
‘sedang’, dan pengembangan sektor pariwisata
dengan nilai ‘rendah’.
Gambar 23. Manajemen dialog pakar dengan KBMS dalam mengevaluasi implementasi kebijakan wilayah pesisir di Kabupaten Indramayu Berdasarkan hasil analisis pendapat praktisi melalui Manajemen Dialog dalam KBMS tersebut dapat disimpulkan temuan sebagai berikut: 1. Optimalisasi pelaksanaan tata ruang dan lingkungan pesisir, ketersediaan prasara dan sarana pesisir, pembangunan industri berbasis wilayah pesisir, dan proporsi dana pembangunan wilayah pesisir dalam APBD dinilai ‘sedang’. Hal ini dikarenakan kegiatan ekonomi yang berkembang terkonsentrasi di wilayah pantura sejak 1970-an telah mengabaikan perencanaan tata ruang wilayah pesisir sehingga mengakibatkan konversi hutan mangrove menjadi kolam tambak dan kegiatan permukiman lainnya serta menimbulkan kemerosotan kualitas lingkungan pesisir pantura. Pencemaran pesisir dan laju
93
abrasi yang tinggi (nomor dua setelah pesisir NAD) (Setyawan, 2007) serta jumlah anggaran yang dialokasikan untuk penanganan selama sepuluh tahun terakhir (Prasetya, 2006) menunjukkan kompleksitas tekanan yang terjadi terhadap wilayah pesisir pantura. 2. Rejim
penguasaan pemerintah (state propertyregime) dan program
pemerintah tentang pemberdayaan masyarakat melalui CSR/Sharing dinilai ‘sedang’. Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah yang sering mengabaikan kepentingan masyarakat pesisir seperti kasus pengerukan pasir sekitar 3 juta m 3 dari Pulau Gosong seluas 20 ha untuk kepentingan pembangunan instalasi kilang minyak Balongan seluas 250 ha hektar dengan mengabaikan kegiatan tradisional kultural masyarakat setempat yang memanfaatkan Pulau Gosong untuk berlabuh dan menangkap ikan termasuk dampak gelombang pasang. Selain itu kompensasi pemerintah yang kurang wajar terhadap masyarakat pesisir seperti program CSR yang secara resmi baru ditandatangani pada tahun 2007 antara Pertamina Unit IV dengan masyarakat wilayah pesisir dengan jumlah yang relatif kecil (Pemerintah Kabupaten Indramayu, 2007). Sesungguhnya CSR dapat dilakukan lebih intensif oleh Pertamina Unit IV Balongan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan aparat pesisir Indramayu yang melibatkan perguruan tinggi lokal (Universitas Wiralodra) dan LSM untuk menjadi pendamping masyarakat. Diharapkan melalui CSR akan terbuka arus informasi dan akses kepada pasar serta sumber pendanaan, sehingga selain akan dapat meningkatan kemampuan ekonomi masyarakat pesisir juga akan meningkatkan kepedulian masyarakat dan aparat terhadap kelestarian ekosistem pesisir Indramayu. 3. Pengembangan
sektor
dan pertambangan
pariwisata,
yang
perikanan,
berperspektif
pertanian,
mitigasi
perkebunan
bencana
dinilai
‘rendah’. Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah didalam penanganan pencemaran akibat kebocoran pipa SBM yang dalam sepuluh tahun terakhir sudah terjadi delapan kali pencemaran dan menggenangi pesisir sepanjang 15 km sangat kurang memadai (Uliyah, 2008).
Akibatnya mengganggu pengembangan
sektor perikanan karena pendapatan nelayan merosot dan semakin terpuruknya sektor pariwisata dengan pantainya yang sebelumnya sudah rusak akibat abrasi. Untuk Kabupaten Ciamis, hasil analisis pendapat pakar
94
dan praktisi dalam mengevaluasi implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir mendapatkan temuan (Gambar 24) sebagai berikut :
Gambar 24. Manajemen dialog pendapat pakar dengan KBMS dalam mengevaluasi implementasi kebijakan wilayah pesisir di Kabupaten Ciamis 1. Optimalisasi penataan ruang pesisir, penyediaan prasarana dan sarana pesisir,
pembangunan
industri
berbasis
pesisir
dan
proporsi
dana
pembangunan wilayah pesisir dalam APBD dinilai ‘sedang’. Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah kurang terintegrasi yang berdampak terhadap kegiatan antarsektor sebagaimana dijelaskan berikut ini (Puradimaja, 2007) : •
Rencana tata ruang daerah belum terintegrasi dengan kawasan pesisir
•
Penegakan hukum yang masih lemah dalam mengatasi penyimpangan rencana tata ruang wilayah (RTRW)
•
Kurangnya kuantitas dan kualitas prasarana jalan penghubung ke dan dari jalur tengah dan utara
•
Pelabuhan nusantara di Pelabuhan Ratu sedang masa transisi menuju ke pelabuhan samudra
•
Belum terdapat pelabuhan udara yang siap secara operasional
2. Rejim penguasaan pemerintah (state propertyregime) dan program pemerintah tentang pemberdayaan masyarakat melalui CSR/Sharing dinilai ‘sedang’, Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah didalam pengendalian penguasaan atas lahan di Pesisir Ciamis dinilai kurang memadai. Sebagai contoh,
95
dikuasainya kawasan antara semenanjung cagar alam dengan daratan di belakangnya oleh swasta. Kawasan tersebut merupakan pertemuan antara pantai barat dan pantai timur yang memiliki lansekap indah dan strategis dalam upaya penanggulangan bencana.
Pada
waktu
tsunami
melanda
pantai Pangandaran, kawasan ini tergenang oleh air ± 2 meter sehingga menyulitkan gerakan penyelamatan diri. Oleh karena di Ciamis tidak ada perusahaan besar seperti Pertamina di pesisir Indramayu, maka upaya meningkatkan ketahanan ekonomi setiapsektor hendaknya dilakukan dengan sharing kepentingan diantara stakeholder (para pemangku kepentingan) wilayah pesisir. Karena bagaimanapun juga, seluruh manfaat pesisir memiliki keterkaitan ke dalam maupun ke luar antar sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana konsep bioregion yang bisa mencapai ribuan hingga ratus ribuan hektar, tetapi bisa juga tidak lebih dari luas daerah tangkapan air atau seluas satu provinsi (CicinSain dan Knecht, 1998). 3. Pengembangan sektor pariwisata, perikanan, pertanian, perkebunan dan pertambangan yang berperspektif mitigasi bencana dinilai ‘tinggi’. Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah melalui Perda No.1 tahun 2004 tentang Renstra Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang mengisyaratkan bahwa pengembangan dan pembangunan sektor pariwisata memegang peranan penting dalam pengembangan wilayah. Perencanaan tata ruang telah menekankan kepada jalur selatan, dimana Ciamis sebagai primadona Kawasan Wisata Unggulan (KWU) Provinsi. Secara internal pengembangan sektor kepariwisataan diharapkan dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, dan secara eksternal diharapkan mampu menjadi sektor utama yang memberikan dampak menyebar pada wilayah sekitarnya demi menciptakan pemerataan wilayah.
5.4.
Kesimpulan Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Dari berbagai peraturan perundangan yang terkait dengan pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis, hanya empat peraturan perundangan yang terkait langsung dengan kebencanaan dan mitigasinya di wilayah pesisir yaitu UU No. 07 tahun 2004 tentang Sumber
96
Daya Air, UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU no. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 2. Oleh karena berbagai UU tersebut ternyata masih memiliki berbagai hal yang perlu diselaraskan terutama dalam hal terminologi dan substansi, maka upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah bukan dengan melakukan judicial review
terhadap UU tersebut. Tetapi lebih baik jika pemerintah
secepatnya menyusun serangkaian PP yang dapat menutupi berbagai kekurangan yang terdapat dalam UU tersebut. 3. Analisis pendapat pakar dan praktisi dalam mengevaluasi implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir menunjukkan •
Kelompok
pertama,
yaitu
parameter
1,2,3,dan
4
(optimalisasi
pelaksanaan tata ruang pesisir, ketersediaan sarana dan prasarana dan pembangunan industri berbasis wilayah pesisir dan proporsi dana pembangunan wilayah pesisir dalam APBD) untuk Kabupaten Indramayu dinilai ‘sedang’ dan untuk Kabupaten Ciamis dinilai ‘sedang’; yang berarti akan menerapkan pendekatan pembangunan berkelanjutan. •
Kelompok kedua, yaitu parameter 5 dan 6 (peran pemerintah
yang
meliputi rejim penguasaan pemerintah untuk memproteksi kawasan pesisir (m arine protected area dan program pemberdayaan masyarakat melalui CSR) untuk Kabupaten Indramayu dinilai ‘sedang’ dan untuk Kabupaten Ciamis ‘sedang’; yang juga berarti akan menerapkan pendekatan pembangunan berkelanjutan. •
Kelompok ketiga, yaitu parameter 7 (pengembangan sektor pariwisata, perikanan, pertanian, perkebunan dan migas yang berperspektif mitigasi bencana) untuk Kabupaten Indramayu dinilai ‘rendah’ yang berarti belum menerapkan
pendekatan
pembangunan
berkelanjutan
dan
untuk
Kabupaten Ciamis ‘tinggi’ yang berarti sudah menerapkan pendekatan pembangunan berkelanjutan.
4. Kebijakan pengembangan wilayah pesisir di Jawa Barat khususnya Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis masih perlu diarahkan menuju pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (integrated coastal zone management) dan menerapkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).