Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
URGENSI PENDIDIKAN MORAL SUATU UPAYA MEMBANGUN KOMITMEN DIRI
1
2
Urgensi Pendidikan Moral
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
3
URGENSI PENDIDIKAN MORAL SUATU UPAYA MEMBANGUN KOMITMEN DIRI
Disusun Oleh: MD Susilawati, M.Hum., Ch. Suryanti, M.Hum., Dhanu Koesbyanto. JA
UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA 2010
4
Urgensi Pendidikan Moral
URGENSI PENDIDIKAN MORAL, Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri © 2010 MD Susilawati, M.Hum., Ch. Suryanti, M.Hum., Dhanu Koesbyanto. JA
Penerbit SURYA PERKASA Jl. Jambon III No. 10 Yogjakarta 55242 Telp. +62-274-552288 Bekerjasama dengan MPK UNIVERSITAS ATMA JAYA Jl. Babarsari No. 43 Telp. +62-274-487711 Yogjakarta Cetakan Pertama, Agustus 2009 Cetakan Kedua, Februari 2010 Editor: Dhanu Koesbyanto, JA Layuot: Bert Tallulembang
Hak Cipta dilindungi undang-undang All rights reserved Dilarang memperbanyak isi buku ini sebagian atau seluruhnyadalam bentuk dan dengan cara apapun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari Penulis. Dicetak oleh Percetakan PD Selamat, Yogyakarta
5
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ..................................................................
5
PENGANTAR ................................................................ 11 BAB: I PENDAHULUAN ......................................................... 15 1. Penjernihan Istilah.............................................. 15 2. Moral ..................................................................... 17 3. Etika ...................................................................... 18 3. Agama.................................................................... 19 5. Hukum................................................................... 19 BAB: II KEBEBASAN SEBAGAI DASAR TINDAKAN MORAL .......................................................................... 23 1. Determinisme ...................................................... 24 2 Kebebasan............................................................. 28 3. Tingkat Kebebasan dan Tanggung jawab ......... 31 4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pikiran... 32 5. Faktor-Fator Yang Mempengaruhi kehendak. 33 6. Kebebasan dan Tanggung jawab ........................ 36 7. Hubungan antara Kebebasan Eksistensial dan Sosial ....................................... 42
6
Urgensi Pendidikan Moral 8. Mempertanggungjawabkan Kebebasan............. 44 9. Otonomi Moral dan Heteronomi Moral ..................................................................... 47 10.Otonomi Moral dan Tiga Lembaga Normatif .............................................................. 49
BAB III: SUARA HATI PEDOMAN DAN TOLOK UKUR MORAL .......................................................................... 53 1. Arti Suara Hati .................................................... 54 2. Fungsi Suara Hati ............................................... 59 3. Mempertanggungjawabkan Suara Hati ............................................................ 60 4. Mengembangkan Suara Hati.............................. 61 5. Suara Hati Menyatakan Diri Berhadapan dengan Tiga Lembaga Normatif ............................................................... 62 6. Ketekadan Moral ................................................. 63 BAB IV: NORMA DAN NILAI ................................................... 65 1. Pengertian norma ............................................... 65 2. Pengertian Nilai .................................................. 68 3. Mengenal Etika Nilai Max Scheler.................... 69 BAB V: TAHAP-TAHAP PENALARAN MORALMENURUT LAWRANCE KOHLBERG ...... 73 1. Tingkat Pra-Adat (Pra-konvensional) ............... 76
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
7
2. Tingkat Adat (Konvensional) ............................. 77 3. Tingkat Pasca-Adat (Pasca-Konvensional) ...... 78 4. Kritik Pater Magnis Suseno atas Teori Kohlberg ..................................................... 84 BAB VI: TEORI-TEORI TENTANG KEBAIKAN .................... 89 1. Teori Hedonisme ................................................. 89 2. Dua macam Hedonisme ...................................... 90 3. Eudaimonisme Aristoteles ................................. 97 4. Teori Utilitarisme ............................................... 100 5. Teori Deontologi .................................................. 104 BAB VII : KEUTAMAAN MORAL ............................. 109 1. Macam-Macam Keutamaan Moral..................... 109 2. Egoisme Psikologis dan ...................................... 114 3. Egoisme Etis......................................................... 116 4. Dasar Moral Yang Paling Dalam ....................... 117 5. Tiga Prinsip Dasar Etika Normatif................... 119 BAB VIII: SEKS DAN SEKSUALITAS .................................. 125 1. Data Fisiologis...................................................... 126 2. Data Biologis ........................................................ 128 3 Data Psikologis .................................................... 129 4. Data Antropologis................................................ 133 5. Manusia adalah Makhluk Seksual..................... 138 6. Masalah-masalah Moral Seksual ....................... 141
8
Urgensi Pendidikan Moral
BAB IX: MORAL PERKAWINAN ............................................. 147 1. Perkawinan sebagai Lembaga Sosial ................ 149 2. Perkawinan sebagai Persekutuan Hidup dan Cinta .................................................. 150 3. Nilai-nilai Dasar Perkawinan ............................ 150 BAB X: MORAL SOSIAL EKONOMI....................................... 157 1. Ekonomi Mengabdi Manusia.............................. 157 2. Sistem Ekonomi ................................................... 158 3. Prinsip-prinsip Ekonomi .................................... 159 BAB XI: MORAL HIDUP............................................................. 163 1. Empat Alasan Membahas Moral Hidup..................................................................... 164 2. Dasar Etik Menghormati Hidup Manusia........ 165 3. Pandangan Tentang Awal Hidup Manusia....... 168 4. Penilaian Moral Mengenai Awal Hidup Manusia..................................................... 173 5. Pengguguran Kandungan ................................... 175 6. Tinjauan Hukum Kanonik .................................. 179 7. Penilaian Etik Dan Pemecahannya terhadap Abortus ..................... 180 8. Pengadaan Anak Secara Buatan ....................... 185 9. Prinsip-Prinsip Moral Bayi Tabung .................. 186 10. Pencegahan Kehamilan .................................... 190 11. Tema-tema Sekitar Tahap Akhir Hidup ........ 198
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
9
BAB XII: PERANAN ETIKA BAGI PEMBANGUNAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP ............................................................................ 203 1. Manusia dan Lingkungan Hidup ....................... 205 2. Pembangunan Yang Berkelanjutan................... 209 BAB XIII: MENUJU ETIKA GLOBAL ........................................ 219 1. Dua Wajah Agama ............................................... 220 2 Etika Global.......................................................... 221 3. Antara Etika dan Agama .................................... 222 4. Garis Besar Deklarasi Etika-Global.................. 224 5. Empat Kewajiban................................................. 227 6. Sebuah Transformasi Kesadaran ...................... 231
10
Urgensi Pendidikan Moral
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
11
PENGANTAR
P
ada era globalisasi ini ditandai oleh perubahan pesat di berbagai bidang kehidupan dalam masyarakat. Perubahan itu membawa kemajuan maupun kegelisahan pada banyak orang termasuk para mahasiswa. Proses transformasi tersebut tentu saja menimbulkan ketegangan dalam masyarakat. Kondisi seperti itu membuat masyarakat mengalami kebingungan. Salah satu hal yang menggelisahkan adalah masalah moral. Perubahan pesat di banyak bidang menimbulkan banyak pertanyaan sekitar moral. Banyak orang merasa tidak mempunyai pegangan lagi tentang norma kebaikan. Dalam situasi semacam ini dibutuhkan sikap dan komitmen yang jelas arahnya. Bagaimana kita harus merumuskan kembali norma-norma tradisional di bidang moral? Bagaimana hati nurani melihat norma-norma lama maupun perkembangan-perkembangan baru untuk menemukan kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan dengan baik? Ciri khas pendidikan di Universitas Atma Jaya Yogyakarta adalah mencetak atau menghasilkan sarjana yang unggul dalam bidangnya dan baik budinya, sehingga mampu memancarkan cahaya kebenaran di dalam profesi dan hidupnya sehari-hari dalam masyarakat.
12
Urgensi Pendidikan Moral
Buku ini dimaksudkan untuk membantu mahasiswa agar mendapatkan informasi yang memadai tentang moralitas yang seimbang dan berkualitas. Lebih dari itu buku ini dapat menjadi acuan bagi mahasiswa dalam pergulatan hidup sehari-hari, dan akhirnya mampu membuat komitmen diri dan dalam setiap tindakan yang selalu berhadapan dengan suatu pilihan. Dengan demikian mahasiswa diharapkan secara sadar mampu untuk memberikan penilaian mana yang baik untuk dilakukan dan yang tidak baik tidak dilakukan. Semua pemikiran dalam buku ini didasarkan pada asumsi bahwa moralitas itu merupakan aspek yang paling menentukan kualitas dari martabat kemanusiaan sekaligus kualitas hidup seseorang. Perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan yang berperan membangun lingkungan masyarakat ilmiah. Di samping terlibat dalam berbagai bidang pengetahuan ilmiah, Perguruan tinggi perlu memiliki sikap ilmiah dalam menyelenggarakan kegiatan-kegiatannya, sehingga dalam rangka pendidikan perkuliahan yang merupakan kegiatan pembelajaran pada mahasiswa juga perlu diselenggarakan dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Filsafat ilmu pengetahuan membimbing mahasiswa untuk merefleksikan kegiatan ilmu pengetahuan yang dilakukan, sehingga diharapkan mahasiswa tidak hanya melakukan kegiatan ilmu pengetahuan atas dasar kebiasaan-kebiasaan yang sering tidak disadari orientasinya. Dengan pemikiran yang rasional (kritis, logis, dan sistematis) diharapkan mahasiswa dapat menemukan kejelasan pemahaman tentang ilmu pengetahuan serta arah tujuan kegiatan ilmu pengetahuan yang dilakukan.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
13
Sebagai gambaran yang utuh dan menyeluruh tentang ilmu pengetahuan, kita perlu memahami ilmu pengetahuan tidak hanya sekadar suatu hasil (produk) kegiatan yang tinggal diinformasikan, melainkan perlu dipahami sebagai proses, prosedur, dan produk. Ilmu pengetahuan merupakan kegiatan kognitif dan rasional manusia yang berlangsung dalam suatu proses kegiatan ilmu pengetahuan terutama diketahui sebagai kegiatan akal budi manusia dengan melakukan pengamatan, observasi, dan penelitian untuk memeperoleh kebenaran pengetahuan dan penjelasan tentang lingkungan alam dan lingkungan kehidupan sosial agar manusia mampu membuat perhitungan, perkiraan dan mampu secara teknis mengendalikan, menguasai, serta memanfaatkannya bagi kesejahteraan hidup umat manusia. Semoga buku ini mampu membawa mahasiswa untuk berpikir secara kritis, rasional, logis, dan sistematis, sehingga melalui pendidikan tinggi, mahasiswa mampu menjadi ujung tombak peradaban dalam menghadapi perkembangan zaman.
14
Urgensi Pendidikan Moral
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
15
BAB I PENDAHULUAN
A
pa itu moral atau etika? Bidang moral dewasa ini menjadi subyek yang sedang menjadi pusat perdebatan dalam filsafat. Pengertian moral atau etika itu sendiri sering dicampuradukkan. Sebelum masuk ke masalah etika terapan akan membantu mengawalinya dengan pembedaan kedua istilah itu.
1. Penjernihan Istilah Konsep “moral” sering digunakan sinonim dengan “etika”. “Moral” selalu dikaitkan dengan kewajiban khusus, dihubungkan dengan norma sebagai cara bertindak yang berupa tuntutan relatif atau mutlak. “Moral” merupakan wacana normatif dan imperatif dalam kerangka yang baik dan yang buruk, yaitu keseluruhan dari kewajiban-kewajiban kita. Jadi kata “moral” mengacu pada baik-buruknya manusia terkait dengan tindakannya, sikapnya dan cara mengung-kapkannya. “Moral” mencoba menjawab pertanyaan: “Apa yang harus saya lakukan?” Konsep “moral” ini mengandung dua makna: 1)
16
Urgensi Pendidikan Moral
keseluruhan aturan dan norma yang berlaku, yang diterima oleh suatu masyarakat tertentu sebagai arah atau pegangan dalam bertindak, dan diungkapkan dalam kerangka yang baik dan yang buruk; 2) disiplin filsafat yang merefleksikan tentang aturan-aturan tersebut dalam rangka mencari pendasaran dan tujuan atau finalitasnya. Pengertian yang kedua ini lebih dekat dengan penggunaan konsep “etika”. “Etika” biasanya dimengerti sebagai refleksi filosofis tentang moral. Jadi etika lebih merupakan wacana normatif, tetapi tidak selalu harus imperatif, karena bisa juga hipotetis, yang membicarakan pertentangan antara yang baik dan yang buruk, yang dianggap sebagai nilai relatif. “Etika” ingin menjawab pertanyaan “Bagaimana hidup yang baik?” Jadi etika lebih dipandang sebagai seni hidup yang mengarah kepada kebahagian dan memuncak pada kebijaksanaan. Pendekatan Paul Ricoeur terhadap penggunaan istilah “moral” dan “etika” memberi nuansa baru. Dia mengaitkan kedua istilah tersebut pada dua tradisi pemikiran filsafat yang berbeda. istilah “moral” dikaitkan dengan tradisi pemikiran filosofis Emmanuel Kant (segi pandang deontologis). Moral mengacu pada kewajiban, norma, prinsip bentindak, suatu imperatif (“kategoris” = aturan atau norma yang berasal dari akal budi yang mengacu padi dirinya sendiri sebagai keharusan). Sedangkan “etika” dikaitkan dengan tradisi pemikiran filosofis Aristoteles yang lebih bersifat “teleologis” (dikaitkan dengan finalitas atau tujuan). Maka Paul Ricoeur mendefinisikan “etika” sebagai tujuan hidup yang baik bersama dan untuk orang lain di dalam
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
17
institusi yang adil. Tidak bisa disangkal bahwa moral mempunyai hubungan erat dengan etika, agama dan hukum. Dalam kehidupan sehari-hari baik di kalangan intelektual, masyarakat biasa maupun media massa kerancuan itu sering kita jumpai. Perdebatan mengenai istilah moral dan etika selalu terjadi sampai saat ini, karena kita sering menjumpai peristiwa-peristiwa paradoksal bahkan kontradiktif. Misalnya, agama tidak mengajarkan kekerasan tetapi kita sering menjumpai kekerasan atas nama agama; seseorang mengaku tidak beragama tetapi ia murah hati dan memiliki kepedulian terhadap orang-orang miskin dan tertindas; seorang ahli hukum tahu tentang keadilan dan hak asasi manusia tetapi ia melakukan korupsi, dsb. Maka muncul beberapa pertanyaan: apakah agama menjamin moralitas manusia? Apakah orang beragama pasti bermoral? Apakah moralitas bergantung pada hukum? Oleh karena itu, perlu ada penjernihan istilahistilah di atas.
2. Moral Hubungan moral dan etika amat erat. Moral menunjukkan tentang kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemanagat, bergairah, berdisiplin, dsb; tentang isi hati atau perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan (Kamus bahasa Indonesia, Jakarta ). Dengan demikian moral selalu menunjukkan baikburuknya perbuatan atau tingkah laku manusia sebagai manusia. Tolok ukur untuk menilai baik-buruknya tingkah laku manusia disebut norma. Prinsip moral yang amat penting adalah melakukan yang baik dan menolak yang buruk. Apabila prinsip ini tidak dimiliki maka tidak ada
18
Urgensi Pendidikan Moral
moralitas. Inilah kekhasan norma moral. Jika seseorang berkata: “pembantu rumah tangga itu amat jujur”, maka “jujur” merupakan kualitas moral, artinya kualitas manusia sebagai manusia. Bisa saja pembantu rumah tangga itu bodoh. “Jujur” merupakan penilaian moral, sedangkan bodoh merupakan penilaian kemampuan atau ketrampilan berpikir.
3. Etika Etika sering diartikan sama dengan moral. Namun demikian etika tidak dapat menggantikan moral. Etika merupakan salah satu cabang dari filsafat yang membahas moralitas manusia. Etika memberikan pemikiran kritis tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral, apakah ajaran dan pandangan moral tertentu dapat dipertanggungjawabkan, dan bagaimana kita mengambil sikap terhadapnya. Magnis Suseno mengibaratkan ajaran moral sebagai buku petunjuk bagaimana kita mengendarai dan memperlakukan sepeda motor dengan baik, sedangkan etika memberikan pengetahuan tentang struktur dan teknologi sepeda motor itu. (Etika Dasar, hal 14). Untuk bisa mengendarai motor dengan baik seseorang tidak perlu belajar tentang mesin. Demikian juga untuk menjadi orang baik, seseorang tidak perlu belajar etika atau menjadi seorang filsuf. Etika bisa membantu seseorang untuk mencari orientasi, agar mampu mempertanggungjawabkan hidupnya dan tidak memiliki gaya hidup masa (ikut arus). Tanpa orientasi manusia tidak tahu arah ke mana ia pergi dan bagaimana ia berbuat. Etika menggunakan akal budi dan pemikiran kritis bagaimana manusia harus hidup kalau ia mau menjadi baik. Maka etika sering disebut sebagai filsafat moral. Etika menjadi salah satu pegangan hidup.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
19
4. Agama Moral dan agama bukan merupakan dua hal yang terpisah. Setiap agama menawarkan ajaran moral. Dalam agama iman diungkapkan. Dalam moral iman diwujudnyatakan. Agama tanpa perbuatan adalah mati, tidak berguna bagi manusia. Kehidupan moral membuat agama semakin dihayati secara mendalam dan menjadi berarti, maka dibutuhkan orang beragama. Bagi orang beragama, kehidupan yang bernilai bukan berdasarkan kebaikan, melainkan berdasarkan iman. Moral adalah jawaban manusia terhadap panggilan Tuhan untuk berbuat baik dalam kaitannya dengan apa yang menjadi kewajibannya melalui praksis hidup (Harjana, 94). Dengan kehidupan moral manusia mempersatukan diri dengan Tuhan dan ikut serta dalam karya perbuatan baik Tuhan. Hal ini tentu membutuhkan usaha. Bentuk usaha manusia adalah membuat nilai-nilai moral menjadi pegangan hidup. Itulah sebabnya orang beragama juga diharapkan menggunakan akal budi dan metode-metode etika. Tetapi karena manusia makhluk terbatas maka agama dapat memberi jawaban terhadap persoalan-persoalan fundamental manusia yang tidak bisa dijawab dengan akal budi dan usahanya. Bagi orang beragama, berbuat baik saja belum cukup, karena perbuatan baik butuh landasan iman.
5. Hukum Kehidupan moral membutuhkan hukum. Hukum tidak dipakai untuk menilai baik-buruknya manusia, melainkan untuk menjamin ketertiban dan kebaikan umum, sehingga menciptakan kondisi-kondisi sosial yang memungkinkan setiap orang atau kelompok bisa hidup
20
Urgensi Pendidikan Moral
layak sebagai manusia dan berbuat baik. Dalam konteks ini hukum kodrat menjadi sangat penting. Thomas Aquinas memberikan definisi “hukum kodrat” sebagai partisipasi makhluk rasional di dalam hukum abadi. (Joseph de Torre, 35-36). Maka karakteristik hukum kodrat sebagai norma mutlak dan sumber ketaatan moral. Hukum kodrat adalah hukum yang mengikat kewajiban manusia untuk mencintai kebaikan dan menolak kejahatan. Hukum tidak bertentangan dengan kebebasan dan cinta, sebab cinta merupakan kodrat menuju kebaikan. Karena kodrat rasionalnya, manusia memiliki kebebasan untuk menentukan sikapnya sendiri dalam melakukan tindakan. Konsekuensinya jika semua hukum positif yang ada dalam masyarakat menuntut ketaatan moral, maka kekuatan tuntutan tersebut harus bersumber pada hukum kodrat. Singkatnya hukum kodrat menjadi norma tertinggi, menjadi asas segala hukum positif yang berhubungan langsung baik dengan manusia maupun dengan seluruh isi alam semesta. Kehidupan moral dan ketaatan terhadap hukum bukan terutama untuk mendapatkan pahala, melainkan untuk membuat hidup manusia semakin manusiawi (memiliki kualitas moral). Kehidupan moral yang melulu berdasarkan ketaatan pada hukum akan membuat hidup seseorang menjadi minimalis (legalis) karena kehidupan moral menjadi terbatas pada melaksanakan hukum. Yang penting hukum dilakukan dan tidak dilanggar. Kaum legalis ini akan cenderung menjadi egoistis, karena hukum sering dimanfaatkan sebagai dukungan untuk pemikiran, gagasan dan perbuatan mereka sendiri, Mereka memandang hukum berdasrkan untung rugi, bukan berdasarkan nilai-nilai moral. Jadi supaya hidup
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
21
manusia memiliki kualitas moral, dalam melaksanakan hukum juga dibutuhkan refleksi dan pertimbanganpertimbangan yang mempertegas kekhususan moralitas. Kita perlu mencari dasar pemikiran yang ada di balik norma-norma hukum, yang tersembunyi di dalam hukum.
Pertanyaan Reflektif: 1. Apa yang anda pahami tentang hubungan antara moral dan etika, dan dimana letak persamaan dan perbedaannya? 2. Moral dan Agama saling berhubungan, namun demikian diantara keduanya ada perbedaan. Bagaimana hal ini bisa dijelaskan! 3. Bagaimana moral dan hukum saling berhubungan? Apa yang membedakan keduanya, berilah argumentasi yang mendukung jawaban anda! 4. Apa yang anda pahami tentang perbuatan yang “baik?” Apa tolok ukur bahwa suatu perbuatan dinyatakan “baik?” 5. Apakah norma hukum tidak melanggar kebebasan manusia? Jelaskan. 6. Untuk apa kita bermoral? 7. Jelaskan apa ciri khas moral? 8. Apakah ada perbuatan yang tidak bernilai moral? Berilah contoh konkrit.
22
Urgensi Pendidikan Moral
Bahan Bacaan: Bertens, K, 1993 Etika, Jakarta: Gramedia. Harjana, AM, 1993 Penghayatan Agama, Yogyakarta: Kanisius. Janssens, L, Tth Saint Thomas Aquinas and the Question of Proportionality, dalam majalah Louvain Studies, Vol.IX. pp 26-46. Joseph de Torre, 1977 The Roots of Sociaty, Manila: Sinag-Tala Publishing, Magnis Suseno, Frans, 1987 Etika Dasar, Yogyakarta: Kanisius.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
23
BAB II KEBEBASAN SEBAGAI DASAR TINDAKAN MORAL
A
da tidaknya kebebasan pada manusia merupakan suatu masalah yang penting dalam dunia moral, karena apakah seseorang secara moral dapat dikatakan bertanggungjawab atas perbuatannya (Hook, 17). Misalnya, orang tidak dianggap bertang-gungjawab, atau secara moral tidak bisa dipersalahkan apabila (a) tindakan yang dia lakukan karena suatu paksaan, entah itu bersifat fisik atau psikologis; (b) ia sama sekali tidak tahu mengenai apa yang dilakukan (misalnya pada anak kecil dan orang yang mempunyai kelainan jiwa/gila). Sebelum kita membicarakan apa itu kebebasan yang diandaikan oleh tanggungja-wab moral perlulah kita perlu merefleksikan diri dan bertanya pada diri kita, apakah manusia memang bebas? Apabila kita mau menegaskan bahwa menuntut pertanggungan jawab moral itu perlu dan mungkin, maka kita terlebih dahulu mesti bisa menunjukkan bahwa manusia memang mempunyai kebebasan untuk memilih dan menentukan diri (Varga,45).
24
Urgensi Pendidikan Moral
1. Determinisme Paham atau aliran pemikiran yang menolak adanya kebebasan dalam diri manusia adalah determinisme. Menurut paham ini hanya nampaknya saja manusia itu bebas, karena sesungguhnya manusia dalam bertindak selalu ditentukan oleh berbagai macam faktor baik dalam kondisi fisik dan psikis dirinya sendiri maupun dalam dunia sekitarnya. Manusia dalam dirinya sendiri tidak bisa melepaskan diri dari penentuan tersebut. Dari segi jenis faktor atau faktor mana yang dianggap sebagai penentu arah tindakan manusia, bisa dibedakan empat macam aliran determinisme (Hook, 56), yakni 1) determinisme biologis; 2) determinisme psikologis; 3) determinisme teologis. 4) determinisme sosiologis. •
Determinisme Biologis
Aliran ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia ditentukan oleh faktor-faktor biologis keturunan; macam tubuh yang kita miliki, seluruh interaksi fisiologis dan hukum-hukum biologis, semuanya ini menentukan apa yang kita lakukan. Watak, kebiasaan, dan tingkah laku manusia menurut paham atau aliran pemikiran ini, bisa diterangkan berdasarkan struktur biologis orang itu. Orang yang suka mencuri, atau memperkosa, misalnya perlu diselidiki struktur biologisnya yang menyebabkan ia bertingkah demikian dan diobati. Hukuman dan sangsi massa rakyat lainnya tidak akan memecahkan persoalan. Kalau secara biologis memang cacat orang itu sebenarnya tidak bisa dihukum atau dimin-tai pertanggunganjawab atas tindakannya, melainkan pantas dikasihani dan dicarikan pengobatan.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
25
Sebagai contoh mereka yang menganut paham determin-isme biologis adalah para ‘behaviorists’ seperti B.F. Skiner misalnya ada yang menyatakan bahwa tingkah laku kita sebagai manusia ditetukan oleh lingkungan di mana kita berada. Watak dan tingkah laku setiap orang menurut Skiner adalah tidak lain hanyalah hasil penentuan dari lingkungan fisik dan sosial orang tersebut. Menurut teori ini tanggung jawab moral tidak ada artinya sama sekali. Tidak seorangpun boleh dihukum atau dipersalahkan, karena perbu-atannya yang di pandang tidak baik oleh masyarakat hanya-lah cerminan dari lingkungan tempat dia berada. Untuk mengubah tingkah laku atau pebuatannya agar menjadi baik, orang itu hanya harus dipindahkan ke lingkungan yang lebih baik. “It in the natural of an experi-mental analysis of human behavior that it should strip away the function presionsly assigned to autonomous man and transfer them one by one to the controlling envimorent...”(Knoft, 189). •
Determinisme Psikologis
Aliran ini yang dipelopori oleh Sigmund Freud. Determinisme psikologis beranggapan bahwa manusia dalam tingkah lakunya sangat ditentukan oleh unsurunsur bawah sadar. Hanya nampaknya saja manusia itu seakan-akan bisa bebas memilih tindakan mana yang diinginkan. Psikoanalisis telah menunjukkan, demikian anggapan para penganut paham determinisme psikologis, bahwa tekanan bawah sadarlah yang sebenarnya menjadi penyebab atau pendorong utama tindakan-tindakan manusia. Tingkah laku manusia ditentukan oleh dorongan yang terkuat di dalam dirinya (dalam pandangan Freud dorongan dasar pada manusia adalah
26
Urgensi Pendidikan Moral
libido (dorongan untuk mencari nikmat). Kalau kita bisa tahu manakah motif pendo-rong yang terkuat dalam diri seseorang, maka kita akan tahu tindakan mana yang akan diambil seseorang. Bagi penganut aliran determinisme psikologis tanggung jawab moral juga tidak ada artinya. Apa yang dilakukan seseorang seringkali bersifat kompulsif dan tak terkontrol lagi. •
Determinisme Teologis
Aliran pemikiran ini beranggapan bahwa manusia hidup di dunia ini bagaikan wayang-wayang ditangan sang dalang dalam suatu pagelaran lakon yang sudah dengan cermat ditentukan sebelumnya. Nasib manusia sudah tersurat dalam rencana kebijaksanaan yang Illahi. Ajaran predestinasi (penetapan terlebih dahulu oleh Allah mengenai apa saja yang akan terjadi/dilakukan oleh setiap ciptaan) atau ajaran tentang suratan nasib, menganggap bahwa segala tingkah laku manusia sudah ditentukan sebelumnya oleh Allah sehingga manusia hanyalah tinggal menjalankan saja apa yang sudah digariskan. Dalam pandangan ini manusia yang tampaknya bisa memilih ini dan itu dalam keillahian sebenarnya hanya tinggal menjalankan apa yang sudah digariskan sebelumnya. Sebagai contoh paham diteminisme teologis adalah ajaran predistinasi Calvin. Kadang-kadang Agustinus juga digolongkan sebagai orang yang mengajarkan predentinasi dan mengingkari adanya kebebasan. Namun, bacaan yang lebih teliti atas bukunya De libero Arbitrio (Reichmann, 1967) akan menunjukkan bahwa kendati ia mengajarkan paham tentang predestinasi Allah, ia berusaha untuk memberi tempat dan kebebasan manusia.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri •
27
Determinisme Sosiologis
Lingkungan ikut mempengaruhi tingkah laku seseorang dimana ia hidup dan dibesarkan. Tidak ditentukan sehingga ia tidak bisa bertindak sendiri. Selain menurut jenis faktor penentu determinisme juga biasa dibedakan menurut derajat penentuannya. Dalam pembedaan ini ada yang disebut aliran determinisme keras dan ada aliran determinisme lunak. Determinisme keras adalah paham yang tidak ragu-ragu adanya nasib suratan tangan manusia, adanya perbudakan kehendak oleh nafsu-nafsu sehingga orang tak bisa bebas lagi untuk memilih adanya keniscayaan tindakan. Paham ini menolak dengan tegas adanya kebebasan manusia dan bersama itu adanya tanggung jawab moral. Sebagai contoh paham detrminisme keras adalah Omar Khayam, Holbach, Robert Owen, Schopenhauer dan Freud. Determinisme lunak adalah paham determinisme yang menegaskan bahwa tak ada pertentangan antara determinisme dan kebebasan manusia. Determinisme dalam paham ini dimengerti sebagai aliran pemikiran yang berpendapat bahwa semua kejadian, termasuk tindakan manusia, pasti ada penyebabnya. Tak ada kejadian tanpa sebab. Bila manusia dikatakan sebagai pelaku bebas tindakannya, maka ini tidak dimaksudkan bahwa tindakannya tidak bisa diterangkan berdasarkan hukum penyebaban, melainkan bahwa ia tidak dipaksa dari luar; bahwa ia memang menginginkan apa yang dia buat. Sebagai contoh paham determinisme lunak adalah David Hume, John S. Mill, Moritz Schlick.
28
Urgensi Pendidikan Moral
2. Kebebasan •
Argumen untuk mendukung adanya kebebasan
Para pembela adanya kebebasan biasanya tidak menolak pandangan bahwa lingkungan, faktor keturunan seperti cacat badani yang menyangkut cacat susunan saraf, faktor-faktor kelainan psikologis seperti Kleptomonia (secara kompulsif cenderung untuk mencuri) Padophilia (Secara kompulsif ada rasa tertarik jasmaniah pada anak-anak kecil) dapat menjadi sangat kuat, sehingga orang yang bersangkutan sepertinya tidak bisa tidak melakukan apa yang dia lakukan. Meskipun demikian mereka tetap beranggapan bahwa manusia biasanya bebas dalam tindakan-tindakannya dan bahwa manusia bertanggungjawab atas perbuatnnya yang dengan sengaja dan tahu dilakukannya. Berikut ini adalah argumen-argumen yang biasanya diajukan sebagai pendukung. Kesadaran langsung akan adanya kebebasan Libertarian seperti C.A. Campbell misalnya menyatakan bahwa dalam pengalaman ‘godaan moral’ kita tidak bisa memungkiri adanya suatu fakta psikologis bahwa orang yang digoda itu secara langsung menyadari akan adanya kebebasan, karena ia menyadari akan adanya kekuatan, kehendaknya untuk tidak begitu saja menuruti dorongan-dorongan yang menyelewengkan tanggungjawabnya (Fisher, 1986). Manusia sebagai seorang pribadi (person) dalam keputusan-keputusannya yang penting sadar bahwa dia menentukan dirinya. Dalam situasi godaan moral, tergantung pada pribadi manusia yang digoda itu apakah ia akan mempergunakan daya
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
29
kemauannya untuk melawan godaan atau membiarkan diri dikuasai oleh dorongan-dorongan nafsunya. Alternatif tindakan terbuka bagi pribadi manusia tersebut sebagai pelaku tindakannya. •
Kesadaran secara tidak langsung akan adanya kebebasan.
Fakta bahwa sebelum melakukan tindakan tertentu orang membuat suatu pertimbangan pro dan kontra, bahwa dia bisa memilih yang satu dan meninggalkan yang lain, membawa ke kesadaran secara tidak langsung akan adanya kebebasan. Pertimbangan pro dan kontra dilakukan, karena sungguh tergantung dari kita (subyek pelaku) mana pilihan yang mau kita ambil. •
Keyakinan akan adanya tanggungjawab pribadi
Setiap pribadi yang dewasa menerima tanggung jawab atas tindakan-tindakan yang dengan sengaja dan tahu mereka lakukan. Dengan bertumbuhnya pribadi seseorang bertumbuh pula derajat tanggung jawab orang itu akan tindakan-tindakannya. Sebagaimana kita masing-masing menerima tanggungjawab menerima tindakan-tindakan kita, demikian pula kita mengharapkan orang lain berlaku demikian. Kehidupan dalam masyarakat baru bisa berjalan teratur kalau rasa tanggung jawab yang mengandaikan kebebasan ini ada dan terjamin. •
Adanya kebebasan adalah persyaratan akan adanya pelayanan keadilan.
Keteraturan dan kelangsungan kehidupan dalam masyarakat kita di dasarkan atas suatu keyakinan bahwa
30
Urgensi Pendidikan Moral
manusia itu bisa dituntut pertanggunganjawab atas tindakan-tindakannya, karena ia bebas. Bangsa yang berbudaya punya sistem peradilan yang memeriksa derajat pertanggunganjawaban seseorang atas tindakannya yang menyangkut nasib orang lain. Orang yang dituduh berbuat jahat biasanya diperiksa pula alasan-alasan mengapa perbuatan itu ia lakukan. Dalam pemeriksaan alasan ini terkandung suatu maksud untuk mengerti bebas/tidaknya orang tersebut dalam melakukan perbuatannya. Bila terbukti bahwa si pelaku ternyata tidak waras atau tidak dapat dikatakan sebagai sadar dan bebas, maka hal ini mempengarui putusan peradilan atas dirinya, karena hal itu erat berkaitan dengan derajat pertanggungjawaban orang tersebut.
• Pembedaan antara ‘dintentukan’ dan ‘dipengaruhi’ Lingkungan sosial dan budaya seseorang dengan sendirinya mempengaruhi cara berpikir, cara bertindak dan tata pernilaian seseorang. Kendati begitu pengaruh lingkungan tidaklah sedemikian rupa sampai merupakan paksaan bagi orang tersebut, sehingga ia sama sekali kehilangan kemam-puannya untuk menentukan diri. Para penganut paham determinisme tidak menyadari pembedaan antara ‘ditentukan’ dan ‘dipengaruhi’. Pengaruh lingkungan kenyataan yang tidak bisa kita hindarkan dan menjadi kondisi untuk penentuan diri kita. Namun kenyataan bahwa dengan menjadi dewasa banyak orang bisa mengubah pandangan-pandangan mereka, termasuk prasangka-prasangka yang sudah membatin sejak kecil merupakan bukti bahwa orang bisa mengambil jarak terhadap pengaruh lingkungan yang membentuk
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
31
dirinya. Pengaruh lingkungan tidak menghilangkan kemampuan kita untuk bisa menentukan diri. Prinsip yang sama berlaku terhadap dorongan-dorongan yang ada dalam diri kita. Kehendak kita tidak dipaksa oleh dorongan-dorongan tersebut, karena kita masih bisa mengambil sikap dorongan mana yang kita ikuti dan mana yang mau kita tolak.
3. Tingkat Kebebasan dan Tanggungjawab Bidang penyelidikan etika adalah tindakan manusia yang bebas dan dengan demikian juga yang bisa dimintai pertanggungan jawab. Di atas kita sudah melihat beberapa alasan yang mendukung adanya kebebasan untuk memilih. Namun masih bisa dipertanyakan apakah semua tindakan yang bebas itu memang semuanya sama-sama bebas ataukah ada tingkat-tingkat kebebasan, dan dengan sendirinya juga tingkat-tingkat tanggungjawab. Jawaban atas pertanyaan ini punya relevansi dengan moralitas pribadi dan pelayanan keadilan. Setiap tindakan bebas haruslah merupakan tindakan yang diketahui dan dimaui. Baik pikiran maupun kehendak manusia main peranan dalan penentuan tindakan bebas. Kedua unsur budi manusia ini bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mengakibatkan perbedaan tingkat kebebasan dan tanggung jawab seseorang. Berikut ini kita lihat beberapa faktor tersebut dan implikasi etisnya.
32
Urgensi Pendidikan Moral
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pikiran •
Penyimpangan pikiran atau hilang konsentrasi
Apabila kita merefleksikan pengalaman kita masing-masing kita menyadari bahwa pikiran kita kadang-kadang menyimpang dari arah yang menjadi pusat perhatian kita pada saat tertentu. Karena salah satu sebab kita bisa kehilangan konsentrasi. Kalau kehilangan konsentrasi ini bukan akibat kelalaian dan kesengajaan, maka faktor ini bisa mempengaruhi tingkat kebebasan seseorang dan dengan sendirinya juga tingkat tanggungjawab moralnya. Tidak semuanya penyimpangan pikiran atau kehilangan konsentrasi mengurangi tingkat kebebasan manusia. Seorang sopir yang nekad mengemudikan mobilnya kendati ia tahu bahwa dirinya lelah, ngantuk atau bahkan mabuk, kalau dia menabrak sesuatu karena hilang konsentrasinya, maka tetap bisa dipersalahkan. •
Ketidaktahuan
Ketidaktahuan merupakan faktor yang juga bisa mempengaruhi tingkat kebebasan kita dilihat dari faktor yang mempengaruhi pikiran. Ada dua macam ketidaktahuan; yang pertama ketidaktahuan yang tak dapat di atasi (invincibli ignorance) dan yang kedua adalah ketidaktahuan yang dapat diatasi (vincibli ignorance). Hanya ketidaktahuan yang tidak dapat diatasi merupakan faktor yang bisa membebaskan seseorang dari ikatan tanggungjawab moralnya. Seorang tukang pos yang setiap harinya mengantarkan surat dan bingkisan tidak bisa dipersalahkan kalau, karena ketidak-tahuannya, suatu hari menyampaikan suatu
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
33
bingkisan yang berisi bom dan membunuh orang yang menerima bingkisan tersebut. Ketidaktahuan yang timbul karena kelalaian tidak membebaskan pelakunya dari tanggungjawab. Seorang sopir truck yang tak pernah mengontrol kendaraannya dan suatu hari menabrak orang karena remnya blong tetap bertanggung-jawab atas perbuatannya. •
Ketakutan
Ketakutan dapat berarti suatu kekhawatiran atau antisipasi akan bahaya yang mengancam bila sesuatu tidak dilaku-kan bisa pula berarti suatu perasaan yang terjadi berkat paksaan atau ancaman yang dialami pada saat itu terjadi. Jenis ketakutan pertama, misalnya ketakutan seseorang mahasiswa untuk tidak lulus ujian membuat dia rajin bela-jar, adalah jenis ketakutan yang mempengaruhi pikiran. Jenis ketakutan ini tidak mempengaruhi kebebasan dan tanggungjawab seseorang. Jenis ketakutan kedua, misalnya orang yang diancam dengan senjata api tertodong pada kepala untuk membukakan brangkas sebuah bank dalam suatu perampokan, adalah ketakutan yang mempengaruhi kehendak. Jenis ketakutan ini bisa mempengaruhi kebebasan dan tanggungjawab seseorang.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehendak •
Nafsu
Nafsu adalah luapan emosi dan dorongan-dorongan untuk mengejar nikmat jasmaniah dan menghindarkan diri dari segala sesuatu yang tidak enak. Orang yang
34
Urgensi Pendidikan Moral
tidak pernah bersabar sedikitpun dan selalu marahmarah, orang yang tak mempedulikan orang lain dan sewenang-wenang, orang yang selalu mencari kenikmatan seks, makan, minum, sampai lupa diri dan sesama adalah orang-orang yang dikuasai oleh nafsu. Nafsu yang secara sengaja dirangsang dan ditimbul-kan (consequent passion) tidak mempengaruhi dan tidak menghilangkan tanggungjawab orang yang membuat kesalahan sebagai akibatnya. Nafsu yang secara sponta muncul dan tidak dibiarkan menguasai (antecedent passion), misalnya orang yang baru pembawaannya cepat marah bisa mengurangi derajat kebebasan dan tanggungjawab atas perbuatan yang di akibatkan oleh nafsu tersebut. Memang berkembang menjadi dewasa antara lain juga mesti nampak dalam usaha mengontrol diri dari kungkungan nafsu-nafsunya. •
Siksaan
Siksaan, baik fisik maupun psikis bisa begitu keras hingga orang yang disiksa, untuk mengurangi dan menghindarkan rasa sakit yang bukan kepalang, terpaksa melakukan suatu perbuatan yang di luar kehendaknya. Perbuatan macam ini tidak sepenuhnya bebas dan mengurangi tanggungjawab seseorang atas perbuatannya. Memang terpujilah sikap para martir dan pahlawan yang rela menanggung segala siksaan dan paksaan demi nilai yang mau diperjuangkan; mereka tetap teguh tidak mau melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan suara hatinya.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri •
35
Kebiasaan
Kebiasaan adalah pola tingkah laku tertentu yang senantiasa kembali karena perbuatan tertentu sudah sering dilakukan. Kebiasaan bisa buruk bisa baik. Kebiasaan yang diperoleh karena disengaja tidak mengurangi kebebasan dan tanggungjawab orang melakukan. Misalnya orang yang membiarkan diri ‘tergigit’ (addicted) oleh kebiasaan buruk mengisap ganja, menuman keras, main perempuan dan berjudi tidak bisa dikatakan bahwa ia tidak bertanggungjawab atas perbuatan yang keluar dari kebiasaan buruknya. Hanya kebiasaan yang tidak disengaja dan diluar kontrol pelakunya, misalnya sejak kecil (karena kurang pendidikan dalam keluarga). Biasa mengumpat dengan katakata kotor bisa mengurangi tingkat kebebasan dan tanggungjawab pelakunya. Memang dalam hal terakhir inipun kalau orang menjadi dewasa dan menyadari kebiasaan buruknya mesti ada usaha pula untuk mengatasi kebiasaan yang buruk tersebut. Kalau orang dengan sengaja karena kelalain dan kemalasan tidak mau memperbaiki diri, maka dia bertanggungjawab atas kebiasaan buruk itu. Demikianlah kita lihat beberapa faktor yang bisa mempengaruhi tingkat kebebasan dan tanggung jawab seseorang atas perbuatannya. Ilmu psikologi dan psikiatri telah menyelidiki beberapa faktor lain yang dapat mengurangi kebebasan kehendak. Neorosis dan psychosis dapat menghalangi kebebasan seseorang untuk bisa menentukan diri. Sulit untuk menentukan dengan pasti kapan orang bisa dikatakan bahwa sudah tidak normal dan perbuatannya keluar dari ketidak-normalan tersebut, sehingga ia dapat dikatakan tidak lagi bebas dan bertanggungjawab atas perbuatannya. Namun kiranya jelas
36
Urgensi Pendidikan Moral
bahwa kalau bisa ditunjukkan ketidaknormalan seseorang, maka perbuatannya tidaklah bebas dan dia tak dapat dituntut pertanggungan jawab atas perbuatannya. Kenyataan ini tidaklah merupakan sangkalan adanya kebe-basan manusia untuk memilih dan menentukan dirinya. Kata ‘tidak normal’ mengungkapkan bahwa orang-orang yang menderita neorosis dan psychosis nerupakan pengecualian, atau orang-orang sakit yang perlu disembuhkan kalau bisa dan bukan merupakan ukuran untuk kejadian-kejadian yang biasa.
6. Kebebasan dan Tanggungjawab •
Kebebasan
Etika dan moralitas berkaitan dengan peraturan. Adanya peraturan hanya masuk akal kalau manusia mempunyai kebebasan. Dalam kebebasan itu saya menyadari bahwa hanya sayalah yang harus bertanggung jawab atas perbuatan saya sendiri. Hanya karena saya memiliki kebebasan, saya dapat dibebani keharusan/ kewajiban itu. Binatang tidak dapat mengenal faham kewajiban dan tidak dapat dianggap bertanggungjawab, karena tidak mempunyai kebebasan. Tindakan dan reaksiya hanya ditentukan oleh insting atau dorongan naluriah lainnya. Sedangkan perangkat instingtual manusia umumnya lemah, terbuka dan tidak dapat membimbingnya. Sebagai makhluk yang berakal budi, manusia mempunyai pengertian. Pengertian itulah yang memungkinkan manusia memahami adanya alternatif-alternatif untuk bertindak. Maka, manusia dapat memilih berbuat ini atau itu secara bebas. Dan justru karena bebas itulah manusia dapat dibebani kewajiban.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
37
Apabila mendengar kata kebebasan, yang langsung biasanya dipikirkan adalah bahwa orang lain tidak dapat memaksa kita untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendak kita. Dibebaskan dari tahanan, bebas dari aturan, bebas pajak, bebas pulang dari kuliah. Atau bebas bila masyarakat tidak menghalang-halangi kita untuk berbuat apa saja yang ingin kita lakukan. Kata bebas sebenarnya mempunyai arti yang lebih mendasar ialah bahwa kita mampu untuk menentukan apa yang mau kita lakukan, berbeda dengan binatang yang tidak punya kemampuan untuk menentukan tindakannya sendiri (hanya berdasarkan insting). Jadi, kita dapat menentukan tindakan kita sendiri karena mempunyai kemampuan untuk itu. Maka, perlu dibedakan dua arti kebebasan yaitu: kebebasan eksistensial, kebebasan karena kita sendiri mampu untuk menentukan tindakan kita sendiri. Kebebasan sosial, kebebasan yang kita terima dari orang lain. Kebebasan eksistensial Kebebasan ini sifatnya positif, letaknya ada pada kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Tekanannya adalah bebas untuk, bukan bebas dari. Kebebasan mendapat wujudnya yang positif dalam tindakan yang disengaja. Tidak setiap kegiatan manusia merupakan tindakan (pernafasan, denyut jantung, nglindur/mengigau). Binatang tidak dapat bertindak. Kalaupun dapat berbuat, selalu didorong oleh desakan naluri, perangsang atau kebiasaan-kebiasaannya. Seekor kucing melihat ikan goreng di meja, tidak akan berfikir: ini milik siapa, boleh dimakan atau tidak, sebaiknya langsung dimakan atau disimpan dulu.
38
Urgensi Pendidikan Moral
Kebebasan bagi manusia pertama-tama berarti dapat menentukan apa yang mau dilakukan secara fisik: menggerakkan tubuhnya menurut kehendaknya sendiri sesuai dengan batas-batas kodratnya (ia tak akan dapat terbang kendati tangannya digerakkan cepat seperti sayap). Keterbatasan fisik manusia bukan sebagai pengekangan kebebasan, melainkan wujud khas kebebasan kita sebagai manusia. Yang mengekang kebebasan adalah paksaan. Paksaan berarti bahwa orang lain memakai kekuatan fisik yang lebih besar untuk menaklukkan kita (diborgol, dipenjara, dipasung). Paksaan fisik ternyata juga mempengaruhi kebebasan kehendak dan pikiran kita. Hal itu menunjukkan bahwa kebebasan jasmani sumbernya adalah kebebasan rohani. Kebebasan rohani sumbernya adalah akal budi kita. Kebebasan rohani adalah kemampuan untuk menentukan sendiri apa yang kita pikirkan, apa yang kita kehendaki, untuk bertindak secara terencana. Kebebasan rohani manusia seluas jangkauan pikiran dan emajinasi manusia. Secara langsung kebebasan rohani tidak dapat dilanggar oleh orang lain. Orang tidak dapat dipaksa memikirkan atau menghendaki sesuatu. Batin kita adalah kerajaan kita. Barangkali orang dapat ditekan, dibujuk, atau diancam untuk melakukan sesuatu, tetapi apa yang dipikirkan sesungguhnya tidak dapat diketahui. Kita juga tidak mungkin dipaksa untuk mencintai seseorang atau mempercayai sesuatu. Itulah sebabnya paksaan dalam hal agama tidak masuk akal dan tidak dibenarkan (juga kalau masuk biara atau menikah karena orang tua, menyebabkan tidak sah). Tekanan psikis atau siksaan fisik dapat membuat kita tak berdaya. Orang yang ditahan dalam isolasi dan tidak diizinkan tidur, lama kelamaan bisa kehilangan orientasi, bahkan bisa
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
39
meragukan apakah satu tambah satu benar-benar dua atau tidak, sampai akhirnya bisa meragukan adanya Tuhan (brainwashing, indoktrinasi). Antara kebebasan jasmani dan rohani terdapat hubungan yang sangat erat. Tindakan adalah kehendak yang menjelma menjadi nyata. Kehendak/kemauan adalah awal dari tindakan. Berbeda dengan keinginan. Keinginan termasuk dalam kotak yang sama dengan lamunan dan khayalan. Maka, “keinginan” tidak mempunyai bobot yang harus dipenuhi, sehingga tidak mewajibkan saya untuk melaksanakannya. Lain halnya dengan kemauan/ kehendak, kalau saya mau bekerja keras, maka tidak ada jalan lain kecuali memang saya harus bekerja keras. Banyak orang ingin menjadi rajin, pandai, saleh, terlibat, tetapi hanya sedikit saja yang betul-betul menghendakinya. Dalam arti itu, dosa dalam pikiran jauh lebih lemah daripada dosa dalam tindakan: dalam tindakan itulah kehendak jahat benar-benar terwujud. Jadi, kebebasan adalah tanda dan ungkapan martabat manusia. Karena kebebasannya, manusia adalah makhluk yang otonom, menentukan diri sendiri, dan dapat mengambil sikapnya sendiri. Pemaksaan pada orang lain tidak hanya buruk, menyakitkan atau menghina, tetapi juga mengabaikan martabatnya sebagai manusia. Kita merasa tersinggung bila dipaksa, dibujuk, atau diancam. Dan kita merasa dihormati ketika diminta atau dimohon kesediaannya. Kebebasan adalah mahkota martabat manusia. Itulah kebebasan yang menyatu dengan manusia dan biasanya sering tidak disadari. Baru disadari ketika ada orang lain yang membatasinya.
40 •
Urgensi Pendidikan Moral Kebebasan sosial
Kebebasan ini sifatnya negatif, tekanannya bebas dari. Tidak dapat disangkal bahwa banyak orang mempunyai kecenderungan untuk mengurangi kebebasan kita, artiya berkuasa atas kita. Berhadapan dengan ancaman itu, kita menjadi sadar akan nilai kemampuan kita untuk menentukan diri sendiri. Kebebasan sosial adalah keadaan dimana kemungkinan kita untuk bertindak tidak dibatasi oleh orang lain. Ada tiga macam kebebasan sosial: Pertama, Kebebasan Jasmani, merupakan kemampuan yang berakar dalam kehendak kita untuk dapat menentukan apa yang mau dilakukan secara fisik. Kebebasan ini bersumber pada kebebasan rohani dan sekaligus mengungkapkannya. Kebebasan Jasmani: dibatasi dengan paksaan fisik, artinya orang lain dapat memakai kekuatan fisik untuk membuat kita tidak berdaya. Yang dimaksud bebas dalam arti jasmani apabila tidak berada di bawah paksaan orang lain yang membuat kita tidak berdaya. Kebebasan jasmani merupakan kemampuan yang berakar dalam kehendak kita untuk dapat menentukan apa yang mau dilakukan secara fisik. Kebebasan ini bersumber pada kebebasan rohani dan sekaligus mengungkapkannya. Ada hubungan yang erat antara kebebasan jasmani dan rohani. Kebebasan jasmani bersumber pada kebebasan rohani dan sekaligus kebebasan jasmani mengungkapkan secara nyata kebebasan rohani (apa yang terwujud di dalam tindakan fisik merupakan pelahiran dari apa yang kita bayangkan/pikirkan). Keduanya merupakan nisbah/matra/dimensi dari kebebasan eksistensial. Bebas dalam arti ini ialah bahwa kita dapat dan sanggup untuk melakukan sesuatu.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
41
Kedua, Kebebasan Rohani, adalah kemampuan kita untuk menentukan sendiri apa yang kita pikirkan; untuk menghendaki sesuatu, untuk bertindak secara terencana. Kebebasan ini bersumber pada akal budi, karena akal budi melampaui keterbatasan fisik kita. Luasnya sama dengan jangkauan pikiran dan bayangan manusia. Kebebasan rohani yang dimaksud adalah bila kita bebas dari tekanan psikis, sehingga kemampuan kita untuk menentukan diri sendiri tidak dikurangi/ dibatasi. Campur tangan melalui tekanan psikis jauh lebih jahat. Misalnya saya dibuat kurang dapat berfikir dan tidak bebas mengarahkan kehendak saya. Ketiga, Kebebasan Normatif, yaitu kemampuan untuk menentukan sendiri apa yang hendak dilakukan dalam kaitannya dengan norma-norma moral yang berlaku di dalam masyarakat. Jadi kaitannya adalah dengan kewajiban dan larangan. Kebebasan normatif yang dimaksud apabila kita bebas dari kewajiban dan larangan. Kalau saya dipaksa secara psikis, kemampuan saya dikurangi. Tetapi kalau saya terkena larangan, kemampuan saya masih utuh, yang hilang hanya hak saya untuk berbuat lain. Jadi, kewajiban tidak menghapus, melainkan menantang kebebasan eksistensial saya (otonomi saya tetap utuh): meskipun dilarang pergi, saya tetap pergi. Apakah saya pergi atau tidak, tergantung keputusan saya. Kebebasan normatif hanya mau mengatakan kita boleh melakukan sesuatu atau tidak (entah ditaati entah tidak, lain perkara, misalnya dalam kaul para biarawan ada unsur normatif dan keputusan subyektif). Jadi, Kebebasan Sosial terjadi apabila seseorang tidak berada dibawah paksaan, tekanan, kewajiban dan larangan dari pihak lain. Pada hakekatnya ada dua alasan yang membenarkan pembatasan kebebasan manusia oleh masyarakat: 1) Hak
42
Urgensi Pendidikan Moral
semua manusia akan kebebasan yang sama menuntut agar apa yang kita tuntut bagi kita, juga kita akui sebagai hak orang lain. Jadi: hak saya atas kebebasanku menemukan batasnya pada hak sesamaku akan kebebasannya yang sama luasnya. Kebebasanku tidak boleh mengurangi kebebasan sesamaku yang sama luasnya. 2) Saya bersama semua anggota lain merupakan anggota masyarakat. Saya hidup berkat orang lain (masyarakat), demikian pula, masyarakat memerlukan sumbangan saya. Sehingga: masyarakat berhak untuk mem-batasi kebebasan kita, sejauh itu perlu untuk menjamin hak-hak semua anggota masyarakat dan demi kepentingan dan kemajuan masyarakat sebagai keseluruhan, menurut batas wewenang masingmasing.
7. Hubungan antara Kebebasan Eksistensial dan Sosial Kebebasan sosial merupakan ruang gerak bagi kebebasan eksistensial. Kita hanya dapat menentukan sikap dan tindakan kita sendiri, sejauh orang lain membiarkan kita mewujudkan tindakan kita tersebut. Kebebasan sosial (kebebasan yang diberikan lingkungan sosial kepada kita) merupakan batas kemungkinan kita untuk menentukan diri. Jadi: kebebasan eksistenial kita ada dalam batas-batas kebebasan sosial. Adanya kebebasan sosial berarti masyarakat menyediakan ruang bagi kebebasan eksistensial kita. Sehingga: kini kita bertanggungjawab untuk mengisinya, apakah ruang yang disediakan itu sungguh akan bermakna.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri •
43
Tanggung jawab
Tanggungjawab menyangkut dua hal, pertama, kitalah yang bertanggungjawab mempergunakan ruang yang disediakan masyarakat agar sungguh bernilai. Kedua, putusan itu sendiri harus dapat dipertanggungjawabkan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, terhadap tugas yang menjadi kewajiban kita dan terhadap harapan orang lain. Kebebasan dari paksaan, tekanan dan larangan itu merupakan ruang yang harus kita isi dengan kebebasan eksistensial kita. Masyarakat telah menyediakan ruang itu. Maka: melaksanakan kebebasan eksistensial kita berarti melaksanakan tanggungjawab yang dipercayakan masyarakat kepada kita. Kebebasan eksistensial berarti bahwa kita mengambil sikap tertentu, dan itu berarti pula kita harus mempertanggungjawabkan sikap yang kita ambil itu. Kebebasan eksistensial dan kebebasan sosial adalah dua hal yang berbeda, tetapi tidak terpisah karena merupakan satu kenyataan, yaitu kebebasan manusia. Kebebasan sosial merupakan ruang gerak bagi kebebasan eksistensial. Kita hanya dapat menentukan sikap dan tindakan kita sendiri, sejauh orang lain membiarkan kita. Maka, sejauh mana dan dengan cara mana, kebebasan kita boleh dibatasi? Kebebasan sosial kita terbatas sudah jelas dengan sendirinya. Dan memang kebebasan kita harus dibatasi, tetapi tidak berarti segala macam pembatasan dapat dibenarkan. Oleh sebab itu, yang perlu adalah agar pembatasan itu masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan. Ada dua alasan membatasi kebebasan manusia: Petama, hak setiap manusia atas kebebasan yang sama. Apa yang kita perlukan bagi diri sendiri pada prinsipnya juga menjadi hak orang lain. Jadi kebebasan saya tidak
44
Urgensi Pendidikan Moral
boleh sampai mengurangi kebebasan orang lain yang sama luasnya. Kedua, pembatasan kebebasan saya ialah bahwa saya bersama semua orang lain merupakan anggota masyarakat. Masyarakat berhak membatasi kesewenangan saya demi kepentingan bersama, baik dengan larangan maupun dengan kewajiban yang harus kita penuhi. Masyarakat berhak membatasi kebebasan kita sejauh itu perlu untuk menjamin hak-hak anggota masyarakat demi kepentingan dan kemajuan masyarakat secara keseluruhan, menurut batas wewenang masingmasing. Pembatasan itu tidak boleh melebihi apa yang perlu untuk mencapai tujuan itu. Masyarakat tidak boleh memberikan pembatasan yang sewenang-wenang. Pembatasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, tidak dapat dibenarkan.
8. Mempertanggungjawabkan Kebebasan Orang yang bertanggungjawab,berarti orang yang mampu menguasai diri, yang sanggup menuju tujuan yang disadarinya sebagai penting, meski berat. Maka orang tersebut semakin mampu menentukan dirinya, makin tangguh, bebas dan luas wawasannya. Agar pertanggungjawaban selalu dapat dituntut, pembatasan kebebasan sosial harus dilakukan secara terbuka dan terus terang. Tak perlu ditutup-tutupi. Peraturan atau larangan hendaknya dikemukakan secara jelas dan terbuka, sehingga masyarakat yang bersangkutan dapat menuntut pertanggug-jawaban seperlunya. Kalau tidak dapat dipertanggung-jawabkan, peraturan itu bersifat sewenang-wenang dan harus dicabut. Kita sering mendengar istilah kebebasan yang bertanggung jawab, apa artinya? Itulah ruang gerak yang disediakan
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
45
oleh masyarakat bagi kebebasan kita. Itupun perlu dipertanggungjawabkan. Sekarang ruang gerak itu menjadi tanggungjawab kita dalam mempergunakannya. Apakah ruang kebebasan itu bernilai atau tidak tergantung dari diri kita. Kita harus mengambil sikap. Kita sendirilah yang mengambil sikap. Kita sendirilah yang bertanggugjawab atas sikap dan tindakan yang kita ambil, dan bukan masyarakat. Kita tidak dapat lari dari tanggungjawab itu. Meskipun hanya ikut-ikutan dan tak berani ambil sikap, hal itupun menjadi tanggungjawab kita sendiri. Kebebasan eksistensial bukan hanya menjadi tanggungjawab kita, apa yang kita putuskan tidak bisa kita lemparkan begitu saja, melainkan keputusan itu sendiri harus dipertanggungjawabkan. Tidak sembarang keputusan dapat disebut bertanggungjawab. Adanya kebebasan eksistensial tidak berarti bahwa kita boleh memutuskan apa saja dengan seenaknya. Kebebasan sosial yang diberikan oleh masyarakat mempunyai arti bahwa kita dibebani tanggungjawab untuk mengisi ruang kebebasan secara bermakna. Tetapi kitapun dapat memutuskan untuk tidak bertanggungjawab. Secara eksistensial kita tetap bebas memilih. Dkl, kita punya kewajiban berat untuk mempergunakan kebebasan secara bertanggungjawab. Kadang-kadang orang menolak untuk bertanggung jawab dengan alasan tidak bebas lagi. Hal itu berarti bahwa tahu dan sadar tentang apa yang seharusnya dilakukan, tetapi tidak melakukannya juga. Mengapa tidak mau, padahal ia menyadari tanggungjawabnya? Ada banyak kemungkinan: karena malas (tidak bertanggung jawab lebih ringan dan enak), acuh tak acuh (tak mau
46
Urgensi Pendidikan Moral
tahu, ada urusan lain yang lebih menarik, tak mau susah), karena takut bahaya, ada yang tidak setuju, atau sedang tersinggung dan tidak dapat mengatasi emosinya. Sebenarnya ia tahu perbuatan apa yang paling bernilai baginya, yang pantas dan wajar, tetapi karena situasi tersebut, ia tidak kuat untuk melakukannya. Ia terlalu lemah untuk melakukan apa yang dilihatnya sendiri sebagai paling luhur dan penting. Jadi, menolak untuk bertanggungjawab tidak membuat kita semakin bebas, malah sebaliknya. Orang yang tidak bertanggungjawab adalah orang yang tidak kuat untuk melakukan apa yang dinilainya sendiri sebagai paling baik (loyo, tidak jantan, terkekang oleh emosi, atau kesenangan sendiri). Ia menjadi kurang bebas untuk menentukan dirinya sendiri, karena menjadi budak dan dikuasai oleh emosi, perasaan, rasa malas, kesenangan, dsb. Jadi, Menolak untuk bertanggungjawab berarti: 1) Tahu dan sadar akan apa yang seharusnya dilakukan, tetapi tidak melaksanakannya. Itu berarti bahwa orang tersebut tidak kuat untuk melakukan apa yang dinilainya sendiri terbaik. Sehingga kurang bebas untuk menentukan dirinya sendiri. 2) Akibat penolakan tanggung jawab: wawasannya makin sempit, tertutup dan hanya berputar di sekeliling diri sendiri, mudah menghindari tantangan. Orang menjadi semakin lemah, tidak bebas menentukan diri sendiri dan menjadi terbelengu, tak kuat menahan arus dan akhirnya kebebasan eksistensialnya justru memudar. Orang yang tidak mau bertanggungjawab menjadi semakin lemah, semakin tidak bebas lagi untuk menentukan dirinya sendiri. Ia semakin dikuasai oleh dorongan irasional. Ia menjadi terkekang dan menjadi budak, tidak
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
47
kuat lagi untuk melawan arus itu, karena tidak mau bertanggungjawab atas kebebasannya sendiri. Sebaliknya, orang yang bertanggungjawab semakin kuat dan bebas, karena semakin luas wawasannya. Ia kuat dan terlatih untuk mengatasi segala macam kelemahan dan halangan. Orang yang bertanggungjawab adalah orang yang menguasai dirinya, tidak ditaklukkan oleh perasaan ataupun emosi. Sanggup untuk mencapai tujuan yang disadarinya sebagai nilai luhur, meskipun berat. Jadi, semakin bertanggungjawab kita justru semakin bebas. Orang tidak menjadi dirinya sendiri dengan mengelak dari tanggungjawabnya, melainkan dengan mengakuinya dan berusaha melaksanakannya. Itulah kebebasan yang bertanggungjawab.
9. Otonomi Moral dan Heteronomi Moral Otonomi Moral (autos = sendiri; nomos = hukum) Sikap moral manusia yang mentaati kewajiban karena ia sadar akan kewajiban itu, bahwa dengan demikian ia taat pada dirinya sendiri. Bukan berarti bahwa kita menolak hukum yang dipasang orang lain, tetapi kita mngakui dengan rendah hati bahwa kita adalah anggota masyarakat, yang bersedia untuk hidup sesuai dengan aturan-aturannya. Jadi: sikap ini merupakan tanda kepribadian yang dewasa bahwa kewajiban bukan dipandang sebagai beban tetapi kita sadari sebagai sesuatu yang bernilai dan sebagai undangan untuk melaksanakan tanggungjawab kita dan menolak yang tidak baik sebagai yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Sikap ini memberikan kekuatan untuk mengambil sikap sendiri.
48
Urgensi Pendidikan Moral Heteronomi Moral (heteros = lain; nomos = hukum)
Sikap di mana orang memenuhi kewajibannya bukan karena insaf bahwa kewajiban itu pantas dipenuhi, tetapi karena tertekan, takut berdosa, takut dipersalahkan. Heteronomi merupakan penyimpangan dari sikap moral yang sebenarnya; di mana orang menaati peraturan tanpa melihat nilai dari maknanya. Heteronomi merendahkan manusia, membuat orang menjadi tidak bebas, tertekan, takut dan buta terhadap nilai-nilai dan tanggungjawab yang sebenarnya. •
Ciri-ciri Pribadi yang Otonom
a) Taat akan kewajiban karena ia sendiri sadar, bukan karena dibebankan dari luar/terpaksa. Ia menyadari ketaatannya itu sebagai ketaatan pada dirinya sendiri, sebagai sesuatu yang bernilai dan sebagai bentuk tanggungjawabnya. b) Tidak tunduk secara buta terhadap suatu hukum yang ditimpakan kepadanya, tetapi karena ia sendiri menyetujui dan ia menghendakinya (karena melihat nilai di baliknya). Sehingga: dalam menjalankan tugasnya, ia tidak merasa direndahkan, meski mungkin terasa berat. c) Menolak untuk mengakui sebagai kewajiban, sesuatu yang disadarinya sebagai sesuatu yang buruk, tidak jujur atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. d) Mampu bersikap rendah hati untuk menerima bahwa dirinya menjadi bagian dari masyarakat dan bersedia untuk hidup sesuai dengan aturan-aturan yang ada. Sadar bahwa hidup bersama itu memerlukan tatanan yang harus ditaati bersama.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
49
10.Otonomi Moral dan Tiga Lembaga Normatif Yang dimaksud tiga lembaga normatif adalah tiga fihak yang mengajukan norma-norma kepada kita: •
Masyarakat
Semua orang dan lembaga yang berpengaruh pada hidup kita; Keluarga (terutama bapak-ibu), tempat kita untuk pertama kalinya belajar mengenai apa yang boleh dan tidak, apa yang harus dianggap baik dan buruk, dsb. Sekolah, tempat memperoleh pengetahuan, belajar berdisiplin waktu, jujur dalam ujian, dsb. Agama, menuntut kepercayaan, tindakan-tindakan tertentu dan sikapsikap yang amat dasariah. Tempat kerja, melatih ketaatan pada peraturan dan juga kepada bos kocak. Negara dan juga lembaga-lembaga informal, yang dari padanya, kita belajar bagaimana harus bersikap dan bertindak. •
Superego
Perasaan moral spontan yang muncul karena pembatinan nilai-nilai moral sejak kita masih kecil. Superego itu menyatakan diri dalam perasaan bersalah atau malu apabila kita melanggar norma-norma moral yang telah kita batinkan itu. Superego tidak mempunyai norma asli, tetapi hanya menyuarakan norma-norma dari lingkungan sosial kita, atau dari ideologi (lembaga normatif ketiga).
50 •
Urgensi Pendidikan Moral Ideologi
Segala macam ajaran tentang makna kehidupan, nilai-nilai dasar dan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak. Arti pentingnya terletak pada tuntutan dan tuntunannya, bagaimana manusia harus hidup dan bertindak. Kekuatan ideologi terletak dalam hati dan akal kita. Ideologi tidal lepas dari masyarakat, tetapi harus dibedakan darinya karena bekerja secara abstrak, sebagai keyakinan dan kepercayaan seseorang yang dipegang teguh. •
Batas dan Wewenang Ketiga Lembaga Normatif
Dalam situasi normal, kita terpengaruh oleh ketiga lembaga normatif tersebut, dengan sendirinya kita akan bertindak sesuai dengan norma-norma moral dan nilainilai yang berlaku di dalam masyarakat dan sekaligus dibimbing oleh superego. Ideologi sering sudah tercampur dalam masyarakat. Dalam keadaan khusus; dimana norma-norma itu terasa bertentangan, nampaknya sesuatu yang penting: moralitas tidak senantiasa dapat dibatasi pada penyesuaian dengan tuntutan ketiga lembaga normatif tersebut. Kesimpulan, 1) Dalam keadaan normal, kita tidak banyak berefleksi tentang norma-norma mana yang harus kita akui, tetapi tentang apakah kita mau taat pada norma itu. Maka: pembatasan wewenang ketiga lembaga normatif diakui di dalam situasi ini. 2) Bila keadaan tidak normal, wewenang ketiga lembaga normatif itu perlu
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
51
ditinjau kembali pengaruhnya; apakah sesuasi dengan norma-norma moral. •
Otonomi Moral Berhadapan Dengan Ketiga Lembaga Normatif
Moral merupakan segi dari pribadi manusia yang sungguh otonom karena sikap itu diambil secara bebas dalam situasi konkret. Berhadapan dengan ketiga lembaga normatif tersebut, moral tetap menunjukkan otonominya. Ia tidak harus mengikuti arus yang menjerumuskan pada penyelewengan yang sering terjadi pada ketiga lembaga normatif tersebut; moral bebas menentukan sikap. Manusia harus membentuk penilaiannya sendiri; menyesuaikan diri dengan lembagalembaga tersebut atau menentangnya demi sesuatu yang lebih tinggi. Otonomi moral tetap terjamin di hadapan tiga lembaga normatif tersebut dan sama sekali tidak kehilangan identitasnya.’ Secara moral, manusia hanya berkewajiban untuk menaati ketiga lembaga tersebut, sejauh sesuai dengan suara hati.
Bahan Bacaan: Fisher,Martin, 1986Moral Resposibility, Ithaca and London: Cornell University Press. Hook, Sidney (ed.), 1979Determinism and freedom in the age of modern Science,New York: collier macmillan publishers. Knoft ., 1971 Beyond freedom and dignity, New York.
52
Urgensi Pendidikan Moral
Magnis Suseno, Frans, 1987 Etika Dasar, Yogyakarta: Kanisius. Reichmann,S.J.,James B. 1967 Willing and choosing, bab 9 dalam bukunya Philosophy of the human person, Chicago: Lo-yola University Press, 1985.Taylor, Paul W. (ed.) Moral Responsibility and free will,dalam Problems of Moral phisolophy: An introduc-tion to Ethics,Belmont, California Dickenson Publishing Company, Inc., p.294-352 Varga,Andrew C. 1979Free Will and Determinism, bab V bukunya Human: Principlec of Ethics, New York: Paulist Press, p.3-27.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
53
BAB III SUARA HATI PEDOMAN DAN TOLOK UKUR MORAL
P
enilaian moral adalah penilaian baik-buruknya tingkah laku manusia sebagai manusia. Kebaikan manusia dinilai dari segi lahiriah maupun batiniah. Untuk penilaian tersebut dibutuhkan alat atau tolok ukur, yakni ukuran moral. Ada dua ukuran yang berbeda, yakni suara hati sebagai ukuran dalam diri kita, dan norma sebagai ukuran yang dipakai oleh orang lain untuk menilai diri kita. Suara hati atau hati nurani menyediakan ukuran subyektif, sedangkan norma-norma menunjuk pada ukuran yang bersifat obyektif. Baik yang subyektif maupun obyektif mengandung ukuran yang benar atas moralitas manusia. Dalam menjalani hidupnya, manusia dipandu oleh dua macam pedoman moral. Pertama, pedoman objektif, yaitu dari luar dirinya yang disebut norma yang menggariskan mana yang baik atau buruk menurut persepsi kelompok atau masyarakat. Kedua, pedoman subjektif, yang datang dari dalam dirinya yaitu suara hati/hati nurani, yaitu yang
54
Urgensi Pendidikan Moral
menggariskan mana yang baik atau buruk menurut persepsi masing-masing subjek baik norma maupun hati nurani mempunyai arah sama, yaitu memberi pedoman atau petunjuk ke arah perilaku yang baik, yaitu sesuai dengan keluhuran martabat manusia dan mengarah pada summum Bonum (kebaikan tertinggi).
1. Arti Suara Hati Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan berkaitan dengan tiga lembaga normatif yang memberikan normanorma pada kita: Masyarakat, yang dimaksud adalah keluarga, lingkungan, sekolah, komunitas, tempat kerja, negara, dan sebagainya. Superego, adalah perasaan moral spontan. Perasaan malu, bersalah yang muncul secara otomatis dalam diri kita apabila kita melanggar normanorma yang telah kita batinkan. Perasaan itu juga muncul apabila tidak ada orang lain yang menyaksikan pelanggaran kita. Ideologi, yang dimaksud adalah segala macam ajaran tentang makna kehidupan, nilai-nilai dasar, dan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak. Kekuatan ideologi terletak pada hati dan akal kita. Agama bisa masuk dalam kelompok ini. Tiga lembaga normatif itu memperngaruhi bagaimana suara hati membuat suatu keputusan. Suara hati adalah kesadaran moral kita dalam situasi konkret. Dalam pusat kepribadiannya yang disebut hati, kita sadar apa yang sebenarnya dituntut dari kita. Mungkin ada banyak pihak yang mengatakan apa yang wajib kita lakukan, tetapi dalam hati sadar bahwa hanya kitalah yang mengetahuinya. Secara moral kitalah yang akhirnya harus memutuskan sendiri apa yang akan dilakukan. Kita tidak dapat melempar tanggungjawab itu pada orang lain, tidak boleh mengikuti begitu saja
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
55
pendapat orang, juga tidak secara buta menaati tuntutan ideologi tertentu, melainkan secara mandiri harus mencari kejelasan tentang kewajiban kita. Setiap orang dalam hatinya memiliki suatu kesadaran mengenai apa yang menjadi tanggungjawab dan kewajibannya. Kesadaran itu sering dilalaikan (perlu diasah, dikembangkan, dipertajam supaya tidak salah). Suara hati adalah kesadaran dalam batin saya mengenai kewajiban dan tanggungjawab saya sebagai manusia dalam situasi konkret. Suara hati harus selalu ditaati. Nilai kita sebagai manusia tergantung pada ketaatan terhadap suara hati. Kita merasa bersalah bila mengelak dari suara hati. Suara hati dapat keliru, tetapi kita harus selalu taat kepadanya, karena suara hati adalah kesadaran langsung mengenai kewajiban kita. Apa yang kita sadari sebagai kewajiban, dengan sendirinya harus kita lakukan, apapun pendapat orang lain. Suara hati adalah pusat kemandirian manusia. Tuntutan lembaga-lembaga normatif (masyarakat, ideologi, superego) tidak berhak mengikat hati kita begitu saja, meskipun apa yang mereka kemukakan tetap diperhatikan. Suara mereka wajib ditaati sejauh sesuai dengan suara hati. Tuntutan suara hati bersifat mutlak. Bagaimana menilai orang lain? Biasanya bertolak dari kelakuan yang dapat dilihat atau hasil perbuatannya. Penilaian bahwa orang itu berbudi luhur tidak hanya mengenai kelakuannya, tetapi juga orangnya, karakternya, sikap moralnya, dan motivasinya. Karena tindakan lahiriah dapat juga dilakukan dengan perhitungan dan pamrih. Atau sebaliknya maksudnya baik, tetapi kelakuannya salah. Maka, kita tidak mungkin menilai orang lain secara moral melulu dari tindakan-tindakan lahiriah. Untuk menilai watak, sikap dasar, dan mutu
56
Urgensi Pendidikan Moral
kepribadian, harus mengetahui motivasinya. Yang dapat kita nilai adalah sikap lahiriah, tetapi kita tidak berhak langsung menarik kesimpulan bahwa orang itu sendiri buruk atau baik. Kita juga tidak berhak memvonis orang lain berdosa, yang dapat kita katakan hanyalah bahwa kelakuan orang itu menurut hemat kita tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Dari sudut pandang agama kelakuannya salah, tetapi kita tidak bisa melihat dalam hatinya apakah hatinya berdosa. Hanya Tuhanlah yang dapat menilai. Namun demikian juga tidak dibenarkan bahwa yang penting adalah maksud baik dari tindakannya, bukan pelaksanaan konkret. Maksud baik tidak disertai usaha sekuat tenaga untuk melaksanakannya, maksud baik itu sendiri tidak pernah nyata, hanya angan-angan saja. Maksud baik tanpa usaha sepenuh kemampuan untuk merealisasikan, tidak bermutu, bahkan tidak ada maksud baik. Suara hati adalah kesadaran dalam diri manusia untuk mengetahui apakah perbuatannya baik atau buruk. Kesadaran moral kita dalam situasi konkret yakni mengenai apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban kita sebagai manusia. Kesadaran itu merupakan kesadaran dalam batin bahwa kita berkewajiban mutlak untuk selalu menghendaki bagi apa yang menjadi kewajiban dan tanggungjawab kita: Jadi, dari kehendak itulah tergantung kebijakan saya sebagai manusia dan bahwa diri sendirilah yang mengetahui apa yang menjadi tanggungjawab dan kewajiban. Suara hati bersifat mutlak, dalam arti, entah kita menuruti atau tidak, tuntutan tersebut tetap ada.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri •
57
Pengenalan dan kesadaran
Pengenalan adalah kemampuan yang diperoleh melalui panca indera. Pengenalan bukan monopoli manusia; binatang juga mampu mengenal. Misalnya anjing mampu mengenali bau lebih baik dari manusia. Kesadaran adalah kemampuan yang diperoleh melalui akal budi untuk mengenali diri. Contohnya saya menyadari bahwa saya sedang berada di kampus saat ini. Suara hati = kesadaran moral dalam situasi konkret dan aktual. Dikatakan “konkret”maksudnya keputusan suara hati terjadi dalam situasi nyata dan tertentu , bukan dalam situasi umum. Dikatakan “aktual”maksudnya keputusan suara hati hanya terjadi pada saat itu saja atau tak bisa diulangi. •
Suara hati bersifat personal
Dikatakan “personal” maksudnya suara hati selalu berkaitan erat dengan pribadi yang bersangkutan, diwarnai oleh kepribadian orang tersebut dan akan berkembang juga bersama dengan perkembangan kepribadiannya. Hati nurani hanya berbicara atas nama saya dan hanya memberi penilaian tentang perbuatan saya. Hati nurani tidak memberi penilaian tentang perbuatan orang lain. •
Suara hati bersifat adipersonal
Selain bersifat pribadi, suara hati juga seolah-olah melebihi pribadi kita atau seakan-akan merupakan instansi di atas kita. Dalam hati nurani seolah-olah ada
58
Urgensi Pendidikan Moral
cahaya dari luar yang menerangi hati dan budi kita. Terhadap hati nurani kita seolah-olah sebagai pendengar yang sedang membuka diri terhadapnya. Suara hati mempunyai aspek transenden yakni melebihi diri kita. Karena aspek adipersonal itulah, maka orang-orang beragama kerap kali menyatakan bahwa suara hati adalah suara Tuhan.
• Suara hati bersifat subyektif Kesadaran tiap pribadi tidak terwakili oleh orang lain, melainkan melekat pada dirinya masing-masing dan diwarnai oleh perkembangan atau kekayaan akal budinya. Keputusan akal budi hanya berlaku atau mendesak diriku.
• Suara hati sebagai norma moral subyektif Mengikuti suara hati merupakan hak dasar bagi setiap manusia. Tak ada orang lain yang berwenang campur tangan dalam putusan hati nurani seseorang. Dipandang dari sudut subyek hati nurani adalah norma terakhir untuk perbuatan-perbuatan kita. Putusan hati nurani adalah norma moral yang subyetif bagi tingkah laku subyektif.
• Suara hati dan Norma-norma. Norma memberitahukan padaku mana yang benarsalah, mana yang baik dan buruk. Suara hati: dengan tegas memberitrahukan kepadaku kebaikan yang harus kukejar, kulakukan.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
59
2. Fungsi Suara hati •
Suara hati berfungsi prospektif
Suara hati melihat ke masa depan dan menilai perbuatan kita yang akan datang, menunjuk apa yang harus dipilih atau dilakukan. Suara hati mengingatkan kita tentang akibat-akibat baik atau buruk kalau kita melakukan tindakan tersebut. •
Suara hati berfungsi introspektif
Suara hati berfungsi mawas diri, menilai suatu tindakan yang telah dilakukan sebagai baik atau buruk atau berfungsi mengadili diri. •
Suara hati berfungsi retrospektif.
Suara hati memberikan penilaian tentang perbuatanperbuatan yang telah terjadi di masa lalu. Suara hati menilai perbuatan-perbuatan yang telah lewat dan menyatakannya sebagai baik atau buruk. Hati nurani memberi hukuman bila tindakan kita buruk/salah berupa rasa salah, malu, gelisah, resah, bahkan muak dengan diri sendiri. Sebaliknya suara hati memberikan ganjaran bila tindakan kita baik/benar berupa rasa damai, puas, tenang. •
Fungsi suara hati terhadap norma.
Pertama, Suara hati merekam, membatinkan (internalisasi) norma-norma dan menyuarakannya kembali dalam situasi konkret. Kedua, suara hati menangkap nilai-nilai yang ada dibalik norma-norma lalu mempertimbangkannya, serta membuat urutan menurut
60
Urgensi Pendidikan Moral
bobotnya. Ketiga, Suara hati mendorong tindakan-tindakan yang mewujudkan nilai-nilai secara benar. Keempat, Membina otonomi atau kemandirian moral, yakni orang pada akhirnya memilih sesuatu, memutuskan sesuatu dan bertindak berdasarkan norma-norma yang diyakininya. Dengan suara hati tiap orang menentukan dirinya sendiri.
3. Mempertanggungjawabkan Suara Hati Suara hati tidak mempunyai jaminan bahwa tidak pernah keliru. Padahal mutlak harus ditaati. Maka, kita harus betul-betul berusaha agar suara hati kita tepat. Oleh karena itu keputusan suara hati harus dipertanggungjawabkan. Suara hati adalah kesadaran akan kewajiban kita dalam situasi konkret. Yang dilakukan oleh suara hati adalah memberikan penilaian moral. Suara hati dengan penilaian moralnya bukan sekedar perasaan, karena ada unsur rasionalitas dan obyektivitas, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan obyektif. Hal itu tidak berarti bahwa setiap pandangan moral harus dibuktikan dulu, tetapi harus terbuka bagi setiap argumen, sangkalan, pertanyaan, maupun keragu-raguan dari orang lain atau dari dalam hati kita sendiri. Kemudian kita bisa memberikan argumentasi yang masuk akal. Namun bila penilaian moral suara hati kelihatan sungguh-sungguh tak dapat dipertanggungjawabkan, kita harus bersedia mencari orientasi baru. Jadi yang diperlukan adalah sikap terbuka. Artinya, bersedia membiarkan pendapat sendiri dipersoalkan, bersedia memikirkan kembali pendirian kita, mencari segala informasi yang relevan, sehingga dapat menemukan keputusan mana yang paling tepat.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
61
4. Mengembangkan Suara Hati Untuk mencapai kematangan pribadi, kita harus mempertajam dimensi kognitif dan afektif agar suara hati dapat memberikan penilaian berdasarkan pengertian yang tepat. Dengan kata lain kita harus mendidik suara hati. Mengapa? Suara hati kita sangat dipengaruhi oleh perasaan moral yang terbentuk selama dalam pendidikan, pengaruh pandangan moral lingkungan yang sudah dibatinkan. Dengan mendidik suara hati kita berusaha membebaskan dari prasangka-prasangka, agar kita dapat mengambil jarak, dan menilainya dengan kritis. Mendidik suara hati berarti terus menerus bersikap terbuka, mau belajar, mau mengerti seluk beluk masalah yang kita hadapi, mau memahami pertimbangan-pertimbangan etis yang tepat, dan seperlunya membaharui pandangan kita, sehingga suara hati semakin sesuai dengan norma-norma moral obyektif dan struktur-struktur nyata persoalan yang kita hadapi. Usaha mendidik suara hati menuntut keterbukaan dan keinginan kita untuk belajar, juga demi perkembangan kepribadian kita. Apakah suara hati sama dengan suara Tuhan? Pertama, suara hati dapat keliru, sedangkan suara Tuhan tidak dapat keliru. Maka, sudah jelas bahwa suara hati tidak begitu saja boleh disamakan dengan suara Tuhan. Suara hati dengan amat jelas mencerminkan pengertian dan prasangka kita sendiri, sehingga jelas merupakan suara kita sendiri. Kedua, dalam suara hati memang ada unsur yang tidak dapat diterangkan dari realitas manusia saja, yaitu kemutlakannya. Suara hati memuat kewajiban yang mutlak harus kita lakukan tanpa syarat. Dari mana unsur mutlak itu, padahal manusia tidak mutlak, yang mutlak hanya satu, Allah. Jadi kemutlakan suara hati
62
Urgensi Pendidikan Moral
menunjuk pada Allah. Fenomen itu menjelaskan bahwa kita benar-benar memiliki pengalaman transendensi, tentang Dia yang mengatasi segala ciptaan. Suara hati paling tepat untuk memahami bahwa Allah itu ada (JH. Newman, 1997). Oleh karena suara hati bersifat subjektif, maka suara hati tidak selalu benar. Suara hati bisa salah, sesat, bahkan bisa buta dan tumpul. Suara hati perlu dibina terus menerus dengan cara, 1) Mawas diri, yaitu dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Orang perlu mencari tahu alasan-alasan mengapa baik, mengapa buruk. Mawas diri berarti orang dapat mempertimbangkan bobot nilai. 2) Mampu mempertimbangkan mana yang harus diutamakan (skala prioritas) pada saat kita menghadapi masalah-masalah moral. 3) Membiasakan diri untuk selalu peka dan mentaati suara hati, memperkaya diri dengan wawasan yang baik, dan mau belajar hidup dari siapa saja.
5. Suara Hati Menyatakan Diri Berhadapan dengan Tiga Lembaga Normatif Suara hati menyatakan diri lewat sikap yang kita ambil dalam menghadapi keadaan konkret di dalam hidup ini. Situasi konkret memaksa kita untuk bersikap; mengikuti atau sebaliknya (menolak) tuntutan ketiga lembaga normatif tersebut. Manusia secara moral, hanya berkewajiban menaatinya sejauh tuntutan itu sesuai dengan suara hatinya maka suara hati menjadi nyata dalam kebijaksanaan diri yang diambilnya di hadapan suatu peristiwa hidup yang konkret. Ketiga lembaga normatif itu menyediakan pengetahuan bagi putusanputusan suara hati, namun demikian, toh mereka tidak
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
63
berhak mengikat suara hati begitu saja, mereka tidak dapat menghapus tanggung jawab kita untuk akhirnya sendiri memutuskan apa yang menjadi kewajiban kita dalam situasi-situasi konkret yang kita hadapi.
6. Ketekadan Moral Yang perlu bagi kita sekarang adalah bagaimana bertindak sesuai dengan suara hati. Mengembangkan tekad untuk berpegang teguh pada suara hati dalam situasi apapun, berhadapan dengan situasi konkret: tekanan, bujukan, tawaran menggiurkan. Kemampuan mendengarkan suara hati dan bertindak sesuai dengannya, tergantung apakah kita mampu membebaskan diri dari penguasaan emosi, perasaan, dan dorongan irrasionil yang terus menerus merongrong kesatuan tekad kita. Dikuasai oleh perasaan irrasionil berarti orang panik, tidak dapat melihat atau mendengarkan apapun. Yang ada hanya kebingungan. Salah satu usaha terpenting bagi kekuatan batin kita ialah membebaskan diri dari cengkeraman kekuatan irrasionil (Jw: Pamrih). Manusia tidak dapat menjadi dirinya sendiri, menguasai diri, kecuali ia menjadi sepi ing pamrih, bebas dari pamrih. Ia akan bebas dari rasa gelisah, nafsu ingin memiliki, sehingga mampu mengontrol nafsu dan emosinya. Ia semakin dapat rame ing gawe, sanggup untuk memenuhi kewajiban dan tanggungjawab yang menantangnya. Dalam tradisi kerohanian sikap sepi ing pamrih dikenal dengan tiga upaya: Maksud lurus (recta intentio), pengaturan emosi-emosi (ordinatio affectuum), pemurnian hati (purificatio cordis). Melatih sikapsikap itu berarti meningkatkan kemampuan kita untuk menentukan diri, sehingga tidak mudah terombang-
64
Urgensi Pendidikan Moral
ambing oleh emosi, nafsu, dan perasaan dangkal lainnya. Sikap itu membuat kepribadian kita menjadi kuat, otonom, dan mampu menjalankan tanggungjawab dengan tekad kuat. Istilah lain untuk mendengarkan suara hati adalah rasa atau perasaan. Yaitu kemampuan untuk merasakan segala dimensi hidup dari perasaan inderawi sampai pada hubungan batin interpersonal. Rasa tidak lain adalah sikap moral dasar seseorang yang masih asli. Dalam tradisi rohani adalah melatih kepekaan. Mencapai rasa yang mendalam berarti sudah mantap dalam tekad untuk selalu memilih yang baik dan benar, dengan hati dan budi yang jernih.
Bahan Bacaan: Sociological Aspects of an Education in Values in School Life: dim. OIEC Bulletin, no. 62, Sept-Oct 1981.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
65
BAB IV NORMA DAN NILAI
1. Pengertian Norma Norma adalah aturan-aturan dan kaidah-kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai tindakan manusia. Tindakan yang sesuai dengan norma dinilai baik, benar; sebaliknya tindakan yang tidak sesuai norma-norma dinilai buruk atau salah. •
Fungsi norma
Norma mengatur tindakan manusia, mengarahkan tindakan manusia ke arah yang baik serta membatasi tindakan manusia dan memberitahukan yang baik dan yang buruk. •
Macam-macam Norma
Norma-norma dibedakan dalam dua jenis, pertama norma khusus yang berlaku spesifik dalam bidang tertentu misalnya olah raga (norma teknis), kedua, adalah bahasa/komunikasi (kaidah). Norma-norma khusus tidak dibicarakan di sini. Dalam rangka etika dibahas normanorma umum, yakni norma sopan santun, norma hukum dan norma moral.
66 •
Urgensi Pendidikan Moral Norma sopan santun atau etiket.
Norma sopan-santun adalah tatanan yang menyangkut sikap lahiriah manusia. Meskipun sikap lahiriah dapat mengungkapkan sikap hati dan karenanya berkualitas moral, tetapi norma ini tidak bersifat moral. Maka, orang yang melanggar norma ini karena tidak mengetahuinya atau karena dituntut oleh situasi, tidak melanggar norma moral dan ia tidak dapat ditindak. Norma ini terbatas pada lingkungan masyarakat setempat, dan lebih bersifat lisan. Tujuannya adalah mengatur hubungan dan suasana hidup yang nyaman, damai. Etiket banyak mengatur soal kesopanan, misalnya: cara berbicara, berpakaian, cara duduk, cara makan, cara berjalan, cara bertamu, cara bergaul dengan lawan jenis dan sebagainya. Yang menjadi dasar adalah nilai hormat dan penghargaan terhadap orang lain, maka hanya diindahkan pada saat berhadapan dengan orang lain. Sanksi yang akan diterima apabila tidak mengindahkan norma ini berupa tindakan langsung, misalnya ditegur, dicela, diperingatkan, dibentak, dimaki. •
Norma hukum.
Norma-norma yang dituntut dengan jelas oleh masyarakat karena dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Norma ini diundangkan oleh pihak yang berwenang dan tidak dibiarkan untuk dilanggar. Pelanggaran akan mendatangkan hukuman sebagai sangsinya. Norma ini terbatas pada wilayah hukum tertentu. Seharusnya, norma ini mengacu pada norma moral dan
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
67
malahan sebagai penjamin pelaksanaan norma moral. Aturan yang dibuat oleh penguasa masyarakat atau negara. Pelanggaran terhadap norma hukum akan ditindak secara pasti sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Namun hukum itu buatan manusia, maka pelaksanaanya banyak tergantung pula pada manusianya. Maka tidak heran jika di suatu negara hukum yang memiliki sistem hukum yang bagus namun banyak terjadi pelanggaran dan pelecehan hukum. Norma ini mempunyai bobot yang relatif tinggi karena menyangkut kepentingan umum yang cukup luas. •
Norma moral
Norma Moral merupakan tolok ukur yang dipergunakan untuk mengukur kebaikan seseorang atau untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia, dilihat dari baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu yang terbatas. Norma ini bersifat universal (mengingat bagi semua orang), memandang dan menghargai manusia sebagai manusia, untuk menentukan kualitas manusia. Maka, penilaian baik buruknya seseorang itu dilihat dari keseluruhan tindakannya sebagai manusia. Norma moral dibuat karena tuntutan martabat luhur manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan berkehendak bebas. Dengan akal budinya manusia mengerti baik-buruk suatu tindakan untuk menuju kesempurnaan. Sanksi yang akan diterima apabila norma ini dilanggar adalah berkaitan penilaian buruk sebagai manusia, baik dari diri sendiri atau orang lain. Apabila diketahui orang lain, akan dibenci, dijauhi, dicela, dikucilkan, dsb.
68
Urgensi Pendidikan Moral
Kalau tidak diketahui orang lain, akan cemas, gelisah, resah, tidak tenang, dan sebagainya. Sebagai manusia, norma moral bersifat mutlak artinya berhadapan dengan norma moral, norma-norma lain mengalah atau patut dipertimbangkan kembali. Dalam hidup sehari-hari sering terjadi benturan norma. Apabila terjadi benturan norma maka norma moral harus selalu diutamakan karena kedudukannya paling tinggi dan menyangkut martabat manusia. Contoh norma moral mengalahkan norma sopan-santun; seseorang bisa memberikan pernafasan buatan kepada orang lain walaupun mereka belum saling kenal. Contoh lain misalnya orang bisa masuk mendobrak orang tanpa permisi pada saat terjadi kebakaran sedangkan pemilik rumah tidak berada ditempat. Contoh norma moral mengalahkan norma hukum; Seseorang bisa melanggar lampu merah ketika sedang mengantar teman yang sedang dalam keadaan darurat karena serangan jantung. Bahan Diskusi : Berikan contoh kasus: •
Norma moral mengalahkan norma hukum
•
Norma moral mengalahkan norma sopan santun
•
Norma moral mengalahkan norma hukum sekaligus norma sopan-santun
2. Pengertian Nilai Nilai adalah sesuatu yang berarti dan patut dikejar, dimiliki dan dihayati dalam hidup manusia. Nilai dikejar dan diperjuangkan karena bermakna baik, menarik, menyenangkan, berguna bagi manusia sebagai individu
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
69
dan kelompok sosial atau komunitas. Nilai selalu berkonotasi positif dan tersembunyi di balik fakta atau obyek tertentu. Nilai baru muncul setelah fakta atau obyek ditafsirkan oleh subyek. Maka nilai bersifat subyektif. •
Ciri-ciri nilai
Nilai berkaitan dengan subyek. Jika tidak ada subyek yang menilai tidak ada nilai. Nilai tampil dan dihayati dalam suatu konteks praktis. Nilai menyangkut sifat-sifat yang “ditambah” oleh subyek pada sifat-sifat yang dimiliki obyek. Nilai tidak diimiliki obyek pada dirinya, karena obyek yang sama bagi berbagai subyek dapat menimbulkan nilai yang berbeda-beda. •
Macam-macam nilai
Ada bermacam-macam nilai dan klasifikasinya tergantung dari aspek apa subyek menafsirkan fakta atau obyek. Misalnya: Nilai biologis, nilai ekonomis, nilai psikis, nilai estetis, nilai religius, nilai kesehatan, nilai etis.dsb
3. Mengenal Etika Nilai Max Scheler Max menekankan obyektivitas. Biarlah obyek sendiri menyatakan dirinya. Etikanya tak bisa dipahami lepas dari formalisme dan regorisme Kant. Ia mau mengembangkan dan mengertik formalisme dalam etika materialnya. Ia mengakui unsur-unsur positif dalam Kant. Kant berusaha mengembalikan moral pada satu kaidah dasar saja, namun mereka berdua setuju pada pandangan bahwa moral harus didasarkan pada nilai.
70 •
Urgensi Pendidikan Moral Kritik Scheler terhadap Formalisme dan Regorisme Kant
Imperatif kategoris Kant terlalu formal atau umum, karena tidak memberikan petunjuk konkret ‘apa yang harus dilakukan oleh pelaku’. Tidak mengatakan apa … Itu berarti tidak ada isi materi di dalamnya. Kant tidak berhasil memberikan hukum konkret. Semua hanya dilakukan secara universal. Prinsip universalitas Kant merupakan syarat agar tindakan dapat dikatakan sebagai tindakan moral. Pemecahan Kant: harus dilakukan refleksi apakah tindakan itu memang dilakukan umum atau tidak. Rigorisme (orang bertindak moral kalau tindakannya melulu atas dasar ketaatan pada hukum). Tindakan ini menurut Max kurang rasional. Yang menghilangkan nilai moral adalah bila pelaksanaannya itu hanya karena demi keuntungan diri sendiri. Menurut Max, sebenarnya ada nilai di balik kewajiban itu. Melakukan bukan demi kewajiban, melainkan demi nilai di belakang kewajiban itu. •
Garis Besar Etika Nilai Material Max Scheler
Setiap tindakan itu mengandung nilai, yaitu apa yang membuat sesuatu yang baik itu menjadi lebih baik. Ada tiga unsur tentang pemahaman nilai; Pertama, bersifat material memiliki isi tertentu. Misalnya: jika saya makan tahu bacem dengan lombok rawit – maka enak. Nilai kekuatan – misalnya mengangkat beras kuat 50 kg. Kedua, bersifat obyektif ; tidak tergantung dari selera kita. Nilai suatu obyek tidak pertama-tama ditentukan oleh hubungannya dengan subyek, melainkan memang sudah punya nilai dalam dirinya sendiri.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
71
Misal: kapur tulis bernilai untuk menulis – namun untuk pak Amat yang penjual dawet akan lain nilainya. Ketiga, bersifat apriori; tidak tergantung dari wahana yang membawa nilai tersebut. Misalnya: kapur– kegunaan tidak tergantung pada satu-satunya yang mempersyaratkan adanya nilai. Nilai kecantikan dibawa oleh yang cantik, nilai enak dibawa oleh kue yang enak. •
Max Scheler membedakan empat jenjang nilai/ hierarki nilai :
1) Nilai kenikmatan inderawi (enak – tidak enak). Ini menyebabkan orang senang atau tidak senang. Misalnya: tidur itu menyenangkan. 2) Nilai kehidupan/ vital (kesehatan, keberanian, kekuatan, dan lain-lain). 3) Nilai rohani atau kejiwaan (kebenaran, pengetahuan, dan lain-lain); nilai estetis (keindahan); benar-salah; adil-tidak adil; pengetahuan murni (filsafat). 4) Nilai kerohanian atau religius (kesucian, keutamaan, nilainilai personal). Nilai moral tidak termasuk dalam empat hal itu, tapi tergantung dari orangnya apakah dia bisa memilih secara tepat satu di antara keempat macam nilai itu atau tidak. Kewajiban moral adalah kewajiban untuk memilih nilai yang lebih tinggi. Nilai kehidupan didahulukan dari nilai kenikmatan, nilai kerohanian didahulukan dari nilai kehidupan, dan lain-lain. •
Tanggapan Kritis atas teori Nilai Material Max Masalah Etika Nilai Max
Jasa atau segi positifnya: Berjasa dalam menunjuk kekurangan pokok nilai formal Kant. Menunjukkan bahwa pusat kewajiban moral bukan pada kewajiban itu
72
Urgensi Pendidikan Moral
sendiri, melainkan pada nilai yang mau diwujudkan oleh adanya kewajiban itu. Analisa terhadap jenjang nilai juga amat berjasa, karena bisa menunjukkan bahwa nilai moral hedonisme melupakan nilai-nilai lain yang lebih luhur. Kekurangan atau negatifnya: nilai dalam etika nilai material itu digambarkan seakan-akan sudah begitu jelas dengan dirinya sendiri. Padahal nilai tidak pernah lepas dari kegiatan manusia dengan tujuannya sendiri yang tidak lepas dari kegiatan kita. Etika nilai Max Scheler sulit menerangkan adanya kewajiban lepas dari kriteria nilai di luar. Jika nilai moral itu tergantung pada tindakan itu sendiri, semestinya nilai yang melekat dalam tindakan itu secara intrinsik lebih baik. (misalnya: nonton film – ada suster cari dana untuk panti asuhan). Bahan Diskusi Berikan contoh kasus : •
nilai estetika dikalahkan dan nilai ekonomi dimenangkan.
•
Nilai moral dimenangkan dan nilai religius dikalahkan.
•
Nilai psikis dimenangkan dan nilai ekonomi dikalahkan.
•
Nilai ekonomi dimenangkan dan nilai moral dikalahkan.
Bahan Bacaan: Bertens,K 1993 Etika,Jakarta,Gramedia. Magnis Suseno, 1987 Etika Dasar, YogYakarta,Kanisius.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
73
BAB V TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN PENALARAN MORAL MENURUT L. KOHLBERG
M
.
enurut Lawrence Kohlberg (1927-1988), seorang ahli pendidikan dan psikologi perkembangan yang telah mengadakan penelitian di pelbagai tempat di Amerika, Eropa dan Asia, mengemukakan bahwa kesadaran moral manusia mengalami perkembangan dari taraf yang sifatnya masih kekanak-kanakan sampai ke kesadaran moral yang dewasa. Ia membedakan tiga tingkat dan enam tahap perkembangan. Menurut Kohlberg tiga tingkat dan enam tahap ini berlaku universal dalam semua kebudayaan. Data-data penelitian empirisnya menunjukan bahwa pendapat relativisme moral yang menyatakan bahwa tak ada prinsip moral yang berlaku umum mengatasi batas-batas kebudayaan tertentu itu tak dapat dipertahankan. Yang berbeda dari satu individu ke individu yang lain adalah tahap mana yang menjadi tahap terakhir yang dicapai karena kebanyakan orang menurut Kohlberg dalam perkembangan kesadaran moral tidak mencapai tahap yang ke-6. Kenyataan bahwa seseorang mencapai tahap tertentu bukan berarti bahwa dia selalu menilai baik buruknya tindakan sesuai dengan
74
Urgensi Pendidikan Moral
kesadaran moral tahap itu, karana kadang-kadang orang bisa bergeser entah ke 1 tahap atasnya atau 1 tahap bawahnya. Dasar epistimologis penelitian Kohlberg adalah penelitian yang bermaksud untuk menyelidiki perkembangan kognitif sesuai dengan teori ’cognitive developmental psychologi’ (Munsey, 1980). Dasar epistimologis ini dengan sendirinya menolak paham emotivisme yang menganggap kesa-daran dan putusan moral hanyalah perkara perasaan belaka. Dasar-dasar pertimbangan dan putusan moral menurut Kohlberg mengandung proses pengertian akal budi atau bersifat rasional. Penahapan kesadaran moral manusia oleh Kohlberg dibagi menjadi enam tahap yang secara implisit mengandung pengertian bahwa makin tinggi tahap kesadaran moral seseorang, makin ‘dewasa’, ’matang’ dan ‘bertang-gungjawab’ dalam sikap-sikap moralnya. Penilaian bahwa tahap ke-6 adalah tahap yang tertinggi didasarkan atas kriteria keluasan persepsi mengenai norma-norma dan tanggung jawab moral, dari kemurnian/kenalaran motivasi untuk bertindak secara moral dan dari kebulatan identitas ego yang otonom. Teori Kohlberg terdiri dari 3 tingkat, dan masingmasing mempunyai 2 langkah. Tingkatan Pre-conventional berlaku untuk orang-orang yang merasa bahwa aturan masyarakat diluar dari konsep diri mereka (Kohlberg, 1976). Pada tingkatan ini, individu tidak benar-benar memahami dan menegakkan aturan masyarakat, melainkan mereka menahan diri dari perilaku yang ditentang dan menghindari hukuman atau untuk menerima hal positif pada diri mereka. Yang termasuk dalam tingkatan ini biasanya anak-anak dibawah 9 tahun tapi ada juga beberapa anak remaja dan para tahanan.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
75
Tingkatan Conventional merupakan pertimbangan dan pemikiran orang-orang yang mempunyai bagian dalam aturan masyarakat terutama bagi mereka yang mempunyai figur otoritas (Kohlberg, 1976). Orang yang termasuk dalam tingkatan ini berusaha menahan diri dari perilaku yang ditentang dan melakukan sesuatu yang tidak bertentangan dengan aturan untuk menghindari celaan dari orang lain dan memperoleh pujian dari yang, terutama orang-orang yang berada dalam kekuasaan. Kebanyakan anak remaja dan orang dewasa dalam masyarakat kita termasuk dalam tingkatan ini. Tingkatan Post-conventional, orang-orang yang termasuk dalam tingkatan ini relatif lebih sedikit dan mereka sudah dapat membedakan konsep diri mereka dari ketentuan-ketentuan masyarakat dan mereka dapat menggambarkan nilai-nilai dalam kaitan dengan pemilihan prinsip untuk diri mereka. Orang dalam tingkat ini berperilaku menurut prinsip mereka sendiri ketika aturan masyarakat sejalan dengan ajaran moral. Sebagian orang dewasa mencapai tingkatan ini dan mereka pada umumnya berumur 20 tahun. Individu pada masing-masing tingkat mempunyai perspektif sosiomoral berbeda. Perspektif sosiomoral seseorang “mengacu pada pandangan terhadap individu yang menerima penjelasan fakta sosial dan nilai-nilai sosiomoral atau sebaliknya (Kohlberg, 1976, p.33). Perspektif individual digunakan oleh orang yang memiliki tingkatan pre-conventional. Mereka hanya terkait dengan “Apakah hal ini terbaik bagi saya” termasuk tindakan yang dilakukan untuk menghindari hukuman. Orang yang termasuk dalam tingkatan conventional menunjukkan sebuah perspektif/pandangan pada suatu kelompok. Disini, mereka mempertahankan
76
Urgensi Pendidikan Moral
atuaran masyarakat dan hak istimewa figur otoritas tertinggi. Pandangan “prioritas sosial” dianut oleh orangorang pada tingkat post-conventional. Umumnya mereka secara alami memandang kedepan tentang aturan masyarakat. Berikut dipaparkan penjelasan singkat tentang tiga tingkat dan enam tahap perkembangan kesadaran moral menurut Kohlberg dan kemudian ditambahkan beberapa penilaian atas pendapat tersebut.
1. Tingkat Pra-Adat (Pre-conventional) Pada tahap ini anak menangkap pengertian aturan-aturan sosial dan sebutan baik-buruk, benarsalah, namun hanya sejauh itu dimengerti dalam kaitan dengan akibat fisik yang dirasakan. Sesuatu dianggap baik/benar kalau secara fisik mengenakkan, dan sebaliknya buruk/salah kalau itu tidak mengenakkan. Kepatuhan pada aturan hanya karena itu mendatangkan ganjaran dan menghindarkan dari hukum. Terhadap yang lebih kuasa anak bersikap taat karena takut hukuman dan mengharapkan ganjaran. Pandangan dasar adalah egois dan hedonistik. Identitas diri bersifat alamiah (bersifat perasaan inderawi spontan). •
Tahap 1: Orientasi hukuman dan ketaatan
Benar/salahnya tindakan ditentukan berdasarkan akibat fisik tindakan tersebut. Tidak ada perhatian terhadap arti manusiawi dan nilai lebih lanjut dari akibatakibat itu. Menghindari hukuman dan tunduk pada kekuasaan dengan sendirinya baik karena mengelakkan pengalaman tidak enak. kepentingan orang lain tak masuk perhitungan.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri •
77
Tahap 2: Orientasi perhitungan untung-rugi
Tindakan yang benar adalah tindakan yang secara instrumental menunjang kebutuhan dirinya dan kadangkadang kebutuhan orang lain. Hubungan dengan orang lain bersifat tawar-menawar seperti di pasar. Dalam tahap ini orang tetap bertolak dari kepentingannya yang egois untuk memperoleh yang enak dan menghindari yang tidak enak. Lain dengan tahap sebelumnya, sekarang ia sudah menyadari bahwa orang lain pun mempunyai perasaan dan kepentingan yang sama dan agar orang lain mau bersikap baik terhadapnya kepentingan tersebut juga perlu diperhatikan. Disini kepentingan orang lain diperhatikan sejauh itu menjadi syarat pemenuhan kepentingan sendiri. Prinsipnya adalah Do ut des.
2. Tingkat Adat (Conventional) Pada tingkat ini mempertahankan keselarasan dengan kelompok akrab seperti kesatuan keluarga, paguyuban, bangsa, dianggap sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya sendiri dan tak perduli apa akibatnya. Orang mengidentifikasikan diri dengan kelompok. Kewajiban dirasakan sebagai segala sesuatu yang memenuhi harapan kelompok, yang dipuji, yang membuatnya bersatu dengannya. Orang merasa loyal terhadap kelompoknya, bersedia memperahan-kan, mendukung dan membenarkan tatanannya. Kelompok tidak lagi dipandang sebagai sarana bagi pemenuhan kebutuhan egoisnya, melainkan bernilai pada diri sendiri. Identitas seseorang ditemukan dalam pengambilan peranan yang diberikan kepadanya oleh kelompok.
78 •
Urgensi Pendidikan Moral Tahap 3: Orientasi pada kelompok akrab
Dalam tahap ini tingkah laku yang dianggap baik adalah tingkah laku yang dapat memuaskan dan membantu serta dipuji oleh orang-orang yang dikenal baik, oleh kelompok yang akrab. Ia membenarkan apa yang mereka benarkan. Ia senang apabila dianggap sebagai “anak yang alim” (good boy, nice girl). Tingkah laku yang benar adalah tingkah laku yang sama dengan apa yang dianggap ‘cocok’ atau ‘pantas’/’tepat dalam kelompoknya. Orang dinilai menurut ‘maksud baik’nya. •
Tahap 4: Orientasi hukum dan tatanan
Dalam tahap ini orientasi diarahkan pada kekuasaan, hukum yang mapan dan pelestarian tatanan sosial. Perspek-tif meluas ke kesatuan sosial yang abstrak dan tidak lagi terbatas pada kelompok akrab: bangsa, masyarakat, negara dengan hukum dan kewajiban nasional, agama dan lain seba-gainya. Kelakuan yang baik adalah kelakuan yang sesuai dengan aturan/tuntutan kesatuan abstrak dan bukan hanya yang selaras dengan kelompok akrab. Tatanan sosial harus dipertahankan. Peraturan harus dilaksanakan tanpa diper-tanyakan. Diharapkan loyalitas tanpa pamrih terhadap kelompok abstrak. Masing-masing dituntut melaksanakan kewajiban sosialnya.
3. Tingkat Pasca-Adat (Post-conventional): tingkat individu otonom dan berprinsip umum Pada tingkat ini ada usaha jelas untuk memahami nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip kelakuan yang punya validity dan pengetrapan lebih luas daripada apa yang ditetapkan oleh yang berwenang dalam kelompok
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
79
atau kesa-tuan sosialnya sendiri. Nilai-nilai dan prinsipprinsip tersebut diterima karena dianggap benar pada dirinya sendiri. Identitas orang berdasarkan egonya (penghayatan kelakuannya berhadapan dengan manusia lain. •
Tahap 5: Orientasi perjanjian sosial dan keadilan
Pada dasarnya tahap ini bernada utilitarian. Tindakan benar cenderung untuk dirumuskan dalam arti standart atau patokan yang telah diperiksa secara kritis dan disetujui bersama oleh masyarakat. Orang sadar akan relativitas nilai-nilai serta norma-norma masyarakat. Ia merasa wajib menghormati hak orang lain dan memenuhi janji yang diberikan. Kewajiban berdasarkan kesadaran bahwa ia, seperti semua orang lain, hidup dalam dan dari masyarakat dan oleh karena itu harus mentaati hukum dan peraturan. Hukum tidak berlaku mutlak/dapat diubah. Orang merasa terikat oleh apa yang ditentukan bersama secara demokratis. •
Tahap 6: Orientasi pada prinsip-prinsip moral dan suara hati
Tindakan yang benar ditetapkan oleh putusan suara hati sesuai dengan prinsip moral yang dipilih sendiri atas dasar keluasan cakupannya secara logis, keberlakuan umumnya, dan konsistensinya. Prinsip-prinsip yang berlaku umum itu antar lain: prinsip keadilan, prinsip timbal balik dan kesamaan hak azasi manusia, hormat terhadap martabat manusia sebagai pribadi. Beberapa penilaian tentang teori Kohlberg. Untuk bisa bersikap kritis dan mampu menempatkan di mana
80
Urgensi Pendidikan Moral
titik kekuatan dan di mana titik kelemahan teori perkembangan kesadaran moral Kohlberg berikut ini di sajikan beberapa penilaian terhadap teori tersebut. •
Teori Kohlberg mengacu pada teori etika peraturan yang bersifat formal:
Karya Kohlberg dilatarbelakangi oleh teori etika normatif Kant yang bisa digolongkan ke dalam teori etika peraturan yang bersifat formal. Dalam paham etika macam ini suatu keputusan atau tindakan bersifat moral kalau memenuhi suatu kriteria formal tertentu, yakni bila sela-ras dengan suatu titik pandangan moral (the moral point of view). Titik pangkal pandangan moral oleh William Frankena misalnya dinyatakan bahwa bisa dijabarkan secara formal, yakni readiness to think and make practical decisions by reference to principles which one is willing to take as supreme, even in the light of the best available knowl-edge. A judgment,...., is moral only if it is made from this point of view, only if it is suported by reasons involving principles chosen in this spirit, whatever the content of these reasons may be. (Frankena, 1963:18) Pusat perhatian dalam teori etika formalis lebih diarahkan pada pembenaran (justification) atas suatu keputusan moral berdasarkan suatu peraturan atau prinsip-prinsip yang secara a priori bisa ditentukan oleh akal budi dan bukan pada proses pengambilan keputusan sendiri dalam segala kompleksitas permasalahannya. Paham ini disebut formal karena peraturan atau prinsip moral berlaku secara a priori, sehingga isi tindakan atau situasi dan kondisi empiris yang menjadi lingkup pengambilan keputusan moral tak berpengaruh terhadap penilaian benar/salahnya tindakan.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
81
Untuk menilai suatu tindakan cukuplah menempatkan tindakan tersebut dalam hubungan dengan peraturan atau prinsip moral; apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan peraturan/prinsip moral tersebut. Peraturan atau prinsip moral sebagai ketetapan akal budi manusia selalu berlaku di mana-mana dan menjadi prasyarat untuk menggo-longkan dan menilai apakah suatu tindakan bisa disebut tindakan moral atau tidak. Penilaian moral tak mungkin dilakukan lepas dari peraturan/prinsip moral di bawah mana satu tindakan tertentu bisa digolongkan. Teori etika peraturan biasanya dibedakan atau bahkan kadang-kadang dilawankan dengan teori etika tindakan. Dalam teori etika tindakan pusat perhatian lebih diarahkan pada proses pengambilan keputusan yang benar. Pertanggungjawaban keputusan moral tidak hanya menyangkut penilaian apakah suatu tindakan sesuai atau tidak dengan peraturan atau prinsip moral tertentu, melainkan juga apakah ada faktor-faktor lain dalam konteks tindakan yang perlu ikut dipertimbangkan. Dengan demikian isi atau situasi dan kondisi tindakan (fakta empiris yang melingkupi) juga ikut main peranan. Teori etika tindakan tidak bermaksud menyatakan bahwa perdebatan moral hanyalah berpangkal pada perbedaan pemahaman faktual sehingga kalau kedua belah pihak setuju mengenai fakta-faktanya maka akan sampai kepersetujuan putusan moral. Teori etika tindakan tetap menyadari bahwa ruang lingkup etika adalah bidang normatif atau apa yang semestinya dilakukan (what ought to be done/das Sollen) dan bukan perkara deskriptip atau apa yang senyatanya ada (what is/das Sein). Peryataan moral memang tidak sejajar dengan peryataan ilmu. Yang mau ditandaskan oleh teori
82
Urgensi Pendidikan Moral
etika tindakan adalah bahwa peraturan-peraturan/ prinsip-prinsip moral umum hanyalah berfungsi sebagai pedoman dan bukan penentu a priori benar/salahnya suatu tindakan secara moral. Benar/salahnya suatu tindakan secara moral perlu dilihat pula dari konteks faktual tindakan tersebut. Dengan mengacu pada teori etika peraturan paham Kohlberg tentang tahap-tahap kesadaran moral dengan sendirinya lalu juga bersifat formal dan mementingkan masalah pembenaran suatu tindakan moral dari pada proses pengambilan keputusan. Sebagaimana dikritik oleh Brenda Munsey, Bernard Rosen, dan Israela Ettenberg Aron. Teori Kohlberg kalau mau dipakai sebagai dasar pendidikan moral perlu dilengkapi dengan pendekatan yang lebih pragmatis dan mengacu pada teori etika tindakan sebagai terungkap misal-nya dalam teori etika John Dewey. Dalam pendidikan moral tidak cukup bahwa anak dididik dilatih untuk semakin memahami prinsip-prinsip moral yang berlaku umum dan semakin bertindak atas dasar pemahaman tersebut, melainkan juga perlu dilatih untuk melihat kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan seharihari dan dilatih bagaimana bisa mengambil keputusan secara bertanggung jawan dalam situasi konkret tersebut. Karena etika peraturan bersifat formal, seperti nampak dalam penyajian Kohlberg tentang kasus dilematis Heinz, kompleksitas permasalahan sebagaimana ada dalam konteks kehidupan konkret begitu disederhanakan sehingga jalan keluar dari dilema seakan-akan menjadi begitu jelas. Masalahnya seakan-akan tinggal bagaimana pemahaman seseorang akan prinsip-prinsip moral yang nalar dan berlaku umum bisa diterapkan dalam kasus tersebut. Padahal dalam kenyataan sehari-hari belum
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
83
tentu bahwa tindakan Heinz untuk mencuri obat (pelanggaran prinsip moral atas hak milik) untuk menyelamatkan nyawa istrinya (mengikuti prinsip moral hak azasi manusia untuk menpertahankan hidupnya) begitu saja jelas bahwa secara moral bisa dibenarkan. Sungguhkah dalam kenyataan konkret hanya ada dua pilihan itu?
• Teori Kohlberg bias pada paham moral laki-laki Karena tekanan pemahaman kognitif bersifat sentral dalam teori perkembangan kesadaran moral Kohlberg, penilaian mengenai kedewasaan kesadaran moral orang kurang menganggap penting nilai-nilai affektif. Menurut pandangan Carol Gilligan tahap-tahap kesadaran moral Kohlberg mengandung bias pada paham moral laki-laki. Perspektif memperhatikan dan memelihara (care perspective) misalnya yang cukup menonjol dan penting untuk pola sikap para wanita dalam teori perkembangan kesadaran moral Kohlberg masuk pada tahap ke-3. Menurut Gilligan tema-tema sikap moral seperti caring, responsibility atau response yang cukup menonjol pada wanita tidak kalah penting dengan tematema sikap moral yang oleh Kohlberg ditempatkan pada tahap terakhir (ke-6) yakni justice, fairness dan reproci-ty. Orang yang memperkembangkan gagasan Gilligan tentang pentingnya caring sebagai sikap moral adalah Nel Noddings dalam bukunya: Caring: A Feminine Approach to Ethics and Moral Education. (Munsey, 1980)
84
Urgensi Pendidikan Moral
4. Kritik Pater Magnis Suseno atas Teori Kohlberg Dalam bukunya Etika Jawa (Magnis, 1985) setelah menunjukkan bagaimana faham etika Jawa senada atau mengandung kemiripan dengan tahap ke-3 dalam teori perkembangan kesadaran moral Kohlberg, Pater Magnis menyatakan keraguan atas kebenaraan pendapat Kohlberg bahwa tingkat ke-6 mengandaikan dilaluinya semua tingkat sebelumnya, termasuk tingkat ke-4 dan ke-6. Menurut Magnis tahap kesadaran moral ke-3, sebagaimana terungkap dalam ciri-ciri paham etika Jawa (seperti sikap sepi ing pamrih lan rame ing gawe; sikap-sikap eling, pracaya, tresna, temen, adil, dan budiluhur) dapat juga terbuka dan menjadi prasyarat dan wahana suatu sikap dasar yang sejajar dengan tahap ke6, atau tahap kesadaran moral dewasa. Andaikata Kohlberg benar bahwa tingkat kesadaran moral dewasa (tahap ke-6) baru tercapai kalau orang sudah melewati tahap-tahap sebelumnya termasuk 4 dan 5, maka, demikian kata Magnis, “kita harus menerima kesimpulan aneh, bahwa baru dalam masyarakat kapitalis atau sosialis orang dapat mencapai tahap keenam, kesadaran moral yang sebenarnya. Dalam pandangan Magnis tahap 3,4,dan 5 adalah tahap-tahap etika masyarakat yang masing-masing sesuai dengan tipe masyarakat tertentu, dimana tipe pertama terpelihara dalam tipe kedua dan tipe kedua dalam tipe ketiga. Sedangkan tahap ke-6 adalah tahap kesadaran moral individual yang sudah matang dan bisa dicapai melalui salah satu dari ketiga tahap tersebut.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri •
85
Komentar atas Tanggapan di atas
Bagi penulis diskusi antara Kohlberg (dan pengikutnya) yang menekankan segi formal-kognitif dalam mengalami moralitas dengan Brenda Munsey (dkk.) yang menekankan segi material-affektif dalam memahami moralitas merupa-kan suatu ungkapan baru dari diskusi kuno tentang apa yang tetap/permanen dengan apa yang terus berubah/proses. Keduanya merupakan dua segi dari realita yang satu, sehingga kalau kita mau memelihara keutu-han realita segi yang satu sesungguhnya tidak bisa dikorbankan demi yang lain. Akhirnya tinggal soal penekanan; mana yang mau lebih diberi tekanan sesuai dengan keadaan konkret tempat teori mau diterapkan. Sudah jelas bahwa teori perkembangan kesadaran moral Kohlberg dilatarbelakangi oleh faham etika Kant yang bersifat deontologis. Sebagai teori etika paham ini mempunyai kekuatan dan kelemahan tersendiri, suatu kekuatan dan kelemahan yang dengan sendirinya akan mempengaruhi juga kekuatan dan kelemahan Kohlberg. Kekuatan teori etika deontologis terletak dalam kemam-puan untuk menerangkan rasionalita, keberlakuan umum dan kemutlakan kesadaran moral/suara hati yang dewasa. Kelemahannya terletak dalam kecenderungannya untuk menjadi formal dan tidak mengindahkan konteks/situasi konkret dengan segala kompleksitas masalah yang meling-kupi suatu pertimbangan dan putusan moral. Sebagai teori psikologi yang didasari oleh hasilhasil penelitian empiris teori perkembangan kesadaran moral Kohlberg bisa merupakan argumen kontra terhadap faham emotivisme moral (yang mengajarkan bahwa kesadaran dan penilaian moral hanya masalah
86
Urgensi Pendidikan Moral
perasaan saja) dan relativisme moral (yang mengajarkan bahwa tak ada norma moral yang berlaku mutlak dan umum di mana saja; yang ada hanyalah keberlakuan yang relatif terhadap suatu masyarakat/kebudayaan tertentu). Kedua paham terakhir ini seringkali mendasarkan argumen mereka pada data-data empiris. Kalau mau dipakai sebagai dasar kebijakan untuk pendidikan moral di ekolah teori perkembangan kesadaran moral Kohlberg memang perlu dilengkapi dengan pendekatan yang lebih memberi tempat pada latihan pengambilan keputusan dan tidak berhenti pada pemahaman kognitif tentang prinsip-prinsip. Pengetahuan memang penting untuk hidup bermoral, namun seperti sudah dinyatakan oleh Aristoteles, tahu apa itu keutamaan keberanian, atau ugahari, atau keadilan, belum berarti bahwa orang itu orang yang berkeutamaan berani, ugahari dan adil. Pembentukan dan pelatihan tekad moral tidak kalah penting dari pada pembinaan pengertian nalar tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Untuk Indonesia di mana penghayatan moral cenderung lebih bersifat affektif dan heteronom daripada kognitif dan otonom, sebagai penyeimbang, pendidikan moral yang mengacu pada teori perkembangan kesadaran moral menurut Kohlberg kiranya bisa amat bermanfaat. Penghayatan ketaatan pada peraturan dan hukum bisa ditingkatkan pada taraf kesadaran akan nilai-nilai yang mau dijamin oleh peraturan dan hukum tersebut dan bukan sekedar suatu ketaatan buta. Tanggapan Pater Magnis cukup perseptif dan kiranya senada dengan protes Carol Gilligan dkk. yang menyatakan bahwa sikap-sikap moral seperti sikap
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
87
tanggap, memelihara dan memperhatikan (caring), sikap kesetiaan (faithfullness), tidaklah kalah pentingnya bagi kesadaran moral yang dewasa daripada sifat-sifat yang ditonjolkan oleh Kohlberg.
• Sebuah Catatan: Tentang tahap 3, 4, dan 5 sebagai tahap-tahap etika masyarakat kiranya sudah merupakan suatu pengamatan antropologis dan terletak diluar jangkauan penelitian Kohlberg. Untuk pembenaran pernyataan tersebut perlu diadakan penelitian tersendiri tentang typoplogi sikap moral suatu masyarakat. Perlu diselidiki misalnya apakah memang ada kaitan kausal antara suatu tata sosial ekonomi suatu masyarakat dengan sikap moral para anggotanya. Penyimpulan para Antropolog dan etnolog itu tergesa-gesa, karena kenyataan yang mereka hadapi menyangkut perwujudan kongkret norma yang memang sudah sepantasnya ada perbedaan dari bangsa yang satu ke bangsa yang lain. Tetapi kalau diselidiki lebih dalam, maka akan menjadi nyata bahwa dibalik perbedaan terdapat kesamaan nilai-nilai dasar yang mau diwujudkan.
Bahan Bacaan: Aron, Israela Ettenberg, 1994 Moral Education: The Formalist Tradition and the Deweyan Alternative, University of California Press.
88
Urgensi Pendidikan Moral
Bertens, K, 1993 Etika, Jakarta: Gramedia. Frankena, William, 1963 Recent Conception of Morality, dalam Morality and the Language of Conduct, edited by H.N. Castaneda and Geoge Nakhnikian, Detroit: Wayne State University Press. Gilligan, Carol, 1982 In A Different Voice, Cambrige, Mass Harvard University Press. Kohlberg, L. 1981 Essays Moral Development, Vol. I. The Philosophy of Moral Development,San Francisco: Harper and Row. ----------------, 1984 Essays Moral Development, Vol. II. The Psychology of Moral Devolepment, San Francis-co: Harper and Row. Magnis-Suseno, Franz, 1985 Etika Jawa: Sebuah Analisa Filosofi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1985. Munsey, Brenda, 1980 Cognitive-Developmental Theory of Moral Development: Metaethical Issue dalam Moral Development, Moral Education, and Kohlberg, Birmingham Alabana: Religious Education Press. Rosen, Bernard, 1981 Moral Dilimmans and Their Treatmen, Cambrige, Mass: Harvard University Press
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
89
BAB VI TEORI-TEORI TENTANG KEBAIKAN
D
alam sejarah perkembangan filsafat banyak dikembangkan teori-teori etika tentang kebaikan. Dalam membahas teori atau pandangan tentang kebaikan tersebut manusia dituntut untuk bersikap kritis yaitu bisa membedakan mana yang baik dan mana mana yang buruk, supaya manusia dapat mengarah pada kebaikan dan tidak terjebak pada kesalahan yang mengakibatkan kerugian baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Beberapa teori tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Teori Hedonisme Kata hedonisme berasal dari bahasa Yunani “hedone” artinya nikmat, kesenangan. Hedonisme adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa manusia hendaknya hidup sedemikian rupa agar mencapai kenikmatan atau kesenangan. Kekhasan hedonisme adalah pahamnya yang menekankan pencarian dan pencapaian nikmat dan menghindari kesakitan-kesakitan. Menurut paham ini, manusia bagaimanapun akan menghindari penderitaan dan hanya mencari kenikmatan-kenikmatan dalam hidupnya. Paham Hedonisme sudah muncul sejak abad 4 sebelum masehi oleh Aristippos (433-355 SM).
90
Urgensi Pendidikan Moral
Menurutnya tujuan akhir manusia adalah mencapai kesenangan badaniah belaka. Sedangkan Epikuros (341210 SM) menekankan kesenangan badan dan jiwa sebagai tujuan kehidupan manusia. Paham hedonisme masih sangat populer sampai saat ini. Banyak orang mencari kesenangan karena banyak tawaran kenikmatan yang menggoda. Dimana-mana semakin banyak orang memilih sesuatu yang bersifat instan dan mudah, sehingga tidak perlu menempuh sesuatu yang sulit dan memerlukan proses, karena hal itu merupakan penderitaan atau kesakitan. Paham hedonisme menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari perasaan- perasaan menyenangkan sebanyak mungkin karena hal itu akan membawa kenikmatan, dan sebisa mungkin menghindari perasaan- perasaan yang tidak enak, karena menimbulkan penderitaan. Jelasnya carilah nikmat dan hindarilah perasaan- perasaan yang menyakitkan.
2. Dua Macam Hedonisme • Hedonisme Psikologis Adalah pandangan yang mendasarkan diri pada teori yang mengatakan bahwa manusia, bagaimanapun juga, selalu hanya mencari nikmat dan mau menghindari perasaan-perasaan yang tidak enak. Teori ini berbicara tentang motivasi dasar manusia. Di belakang tujuan yang luhur dan motivasi yang suci tindakan manusia terdapat motivasi yang hanya mencari nikmat. Manusia sebenarnya menipu diri sendiri dan mengira tindakannya itu suci serta demi yang lain. Aliran ini tak percaya bahwa manusia dapat tergerak oleh cita-cita luhur.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri •
91
Hedonisme Etis
Adalah etika yang membuat pencaharian kebahagiaan menjadi prinsip yang paling dasariah. Manusia hendaknya hidup sedemikian rupa sehingga dia dapat semakin bahagia. Pandangan ini berasal dari Yunani 2000 tahun yang lalu. Pertimbangan yang mendasarinya adalah bahwa kebahagiaan merupakan tujuan pada dirinya sendiri. Tidak ada yang mengatasinya. Orang yang sudah bahagia tidak memerlukan apa-apa lagi. Maka ia harus mencari perasaan-perasaan yang menyenangkan sebanyak mungkin dan menghindari perasaan-perasaan yang tidak enak. Nampaknya masuk akal kalau kehidupan kita, kita arahkan pada usaha untuk mencapai kebahagiaan. Kita tidak boleh mengikuti berbagai dorongan nafsu begitu saja, melainkan agar kita dalam memenuhi keinginan yang menghasilkan kenikmatan bersikap bijaksana dan selalu seimbang serta dapat menguasai diri. •
Tanggapan Kritis
Kiranya tidak seratus persen benar kalau hedonisme psikologis mengatakan bahwa manusia dalam segala usaha nya hanya mencari nikmat saja. Pada dasarnya manusia bertindak karena dua dorongan yaitu dorongan spontan irasional dan karena merasa tertarik oleh segala macam nilai. Maka sudah kelihatan bahwa dorongan spontan untuk mencari nikmat hanyalah salah satu dorongan diantara sekian dorongan yang ada. Ada dorongan agresi, pertahankan nyawa, dan lain-lain. Dari situ telihat bahwa dorongan-dorongan spontan irasional manusia ada bermacam-macam tidak hanya untuk mencari nikmat saja.
92
Urgensi Pendidikan Moral
Hedonisme piskologis tidak melihat bahwa manusia itu makhluk yang mempunyai banyak nilai. Manusia tidak hanya meminati nikmat, melainkan ada nilai-nilai lain dengan daya tarik yang barangkali lebih kuat. Tindakan manusia masing-masing mempunyai tujuan sendiri-sendiri yang sangat beraneka warna diantaranya ada yang baik dan buruk, sedangkan nikmat jasmani hanyalah perasaan puas yang menyertai sebagian kecil dari dorongan-dorongan yang tercapai manusia, yaitu pemuasan kebutuhan fisik. Manusia dapat bertindak secara rasional; di antara pelbagai kemungkinan atau alternatif ia dapat memilih mana yang akan dilaksanakan. Hedonisme psikologis tampak sebagai teori yang berdasarkan perasaan iri rupanya mereka tidak tahan untuk melihat orang yang betul-betul berbudi luhur. Apakah benar manusia hanya mencari nikmat saja? Manusia bertindak karena beberapa dorongan. Ada dorongan spontan irasionil misalnya isnting, nafsu-nafsu, dan ada pula dorongan rasional misalnya ketertarikan akan nilai-nilai misalnya kebenaran, keadilan, senibudaya, spiritualitas, tanggung jawab yang membuat manusia mau dan mampu menahan rasa sakit serta penderitaan untuk suatu pencapaian yang berarti dalam hidup. Penganjur paham hedonisme tidak melihat bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki banyak nilai yang hendak diwujudkan dalam hidupnya. Manusia mampu memilih, bertindak rasional (bukan instinktif), bermati raga, rela berkorban untuk sesuatu yang dianggapnya berarti dan luhur.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri •
93
Kesimpulan
Tidak bisa dipungkiri bahwa keinginan akan kesenangan atau kenikmatan merupakan dorongan yang sangat mendasar dalam hidup manusia. Namun paham hedonisme perlu dilihat secara komprehensif dan harus disikapi secara kritis. Paham hedonisme banyak dianut oleh manusia jaman ini, lebih-lebih kaum muda. Banyak kemudahan ditawarkan pada manusia untuk mencapai kesenangan dan kenikmatan, hal- hal yang serba instan menjadi gaya hidup masa kini yang banyak dipilih orang, sehingga banyak orang cenderung mengambil jalan pintas dan tidak menghargai proses. Dalam dunia pendidikan banyak mahasiswa yang menempuh jalan pintas dalam mengerjakan tugas, mereka tidak melalui dan tidak menghargai proses yang seharusnya ditempuh, akhirnya dapat mempengaruhi penurunan kualitas lulusan yang dihasilkan, sehingga mereka akan mengalami kesulitan dalam berkompetisi dalam meraih dunia kerja. Mengingat hal tersebut maka paham hedonisme harus disikapi secara kritis, agar manusia tidak terjebak pada kesenangan dan kenikmatan yang bersifat sementara. Pertama, apakah benar banwa manusia hanya mengejar kesenangan dan kenikmatan dalam tujuan hidupnya? apakah benar motivasi terakhir tindakan manusia hanya kesenangan dan kenikmatan? tentu tidak. Bukankah ada manusia yang membaktikan seluruh hidupnya demi kebaikan orang lain seperti halnya yang dilakukan oleh ibu Theresa dan banyak tenaga sukarelawan dalam berbagai bidang? Begitu banyak orang yang melakukan tindakan bukan hanya untuk mengejar
94
Urgensi Pendidikan Moral
kesenangan dan kenikmatan sebagai motivasi akhir melainkan mereka berjuang keras untuk kehidupan orang lain yang lebih layak, adil dan manusiawi. Maka paham hedonisme dalam hal ini tidak bisa sepenuhnya diterima oleh semua orang. Kedua, paham hedonisme secara logis tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena menyetarakan dengan moralitas yang baik. Jika manusia memang cenderung kepada kesenangan dan kenikmatan, apa yang membuktikan hal itu tentang kualitas etisnya? apabila manusia cenderung kepada kesenangan dan kenikmatan, apa yang menjamin bahwa kecenderungan itu baik? karena ada orang yang dalam mencapai kesenangan hanya memikirkan dirinya sendiri bahkan dengan cara merugikan dan mengorbankan orang lain sperti yang dilakukan oleh para teroris. Oleh karena itu kesenangan saja tidak cukup menjamin sifat etis suatu perbuatan. Ketiga, perlu dibedakan antara kesenangan atau kenikmatan dengan kebahagiaan. Kenikmatan merupakan kesenangan atau perasaan enak yang dirasakan apabila sebuah keinginan seseorang terpenuhi. Ada nikmat jasmani seperti makan enak, konsumsi narkoba, atau kenikmatan seksual. Banyak orang tergiur dengan makanan cepat saji yang serba instan dan nikmat rasanya, namun kenikmatan itu ternyata hanya bersifat sementara, karena makanan tersebut berdampak pada kesehatan manusia yaitu dengan munculnya berbagai penyakit yang berbahaya. Orang bilang konsumsi narkoba dapat membawa kenikmatan, menghilangkan kecemasan dan menimbulkan keberanian. Ternyata rasa nikmat itupun juga sifatnya sementara, karena dampak dari konsumsi narkoba membuat syaraf seseorang menjadi rusak,
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
95
sehingga berpengaruh pada phisik maupun psikis . Berhubungan seks sebelum menikah dan seks bebas dengan berganti-ganti pasangan merupakan gaya hidup yang banyak dilakukan oleh manusia jaman ini, dengan alasan untuk mendapatkan kenikmatan yang sensasional. Perlu diketahui bahwa kenikmatan tersebut hanya bersifat sementarfa karena dibalik kenikmatan sesaat itu ada dampak yang menimbulkan berbagai penyakit kelamin bahkan bisa terkena HIV yang dapat menggerogoti kekebalan tubuh manusia. Jadi ciri khas nikmat adalah bahwa ia berkaitan langsung dengan sebuah pengalaman, yaitu pengalaman terpenuhinya sebuah keinginan jasmaniah, begitu pengalaman itu selesai maka rasa nikmatpun habis. Dengan demikian kenikmatan atau kesenangan tersebut sifatnya hanya sementara. Berbeda dengan kebahagiaan. Kebahagiaan adalah sebuah kesadaran akan rasa puas dan gembira yang berdasar pada keadaan tertentu. Manusia dapat merasa bahagia tanpa adanya pengalaman nikmat tertentu, melainkan justru sebaliknya yaitu harus melalui proses pengorbanan dan perjuangan, misalnya mahasiswa harus belajar semaksimal mungkin untuk mendapatkan prestasi yang membahagiakan. Nilai dan pengalaman– pengalaman yang paling mendalam dan dapat membahagiakan seperti mampu mencintai orang lain, bisa membantu orang lain serta bisa berguna bagi banak orang walau harus memerlukan pengorbanan dan perjuangan, namun hal tersebut dapat memberikan rasa kepuasan dan kebahagiaan bagi seseorang. Kebahagiaan tersebut sifatnya tidak sementara seperti halnya kenikmatan, melainkan bersifat lebih lama dan lebih bernilai bagi hidup manusia.
96
Urgensi Pendidikan Moral
Karena manusia adalah makhluk yang bersifat jasmani sekaligus rohani maka kenikmatan atau kesenangan jasmaniah saja tidak cukup. Manusia adalah makhluk yang bermartabat luhur, maka perlu mengejar hal-hal yang bersifat rohani, dengan demikian paham hedonisme tidak tepat untuk dikejar karena tidak menunjukkan keluhuran martabat manusia. •
Etika pengembangan diri
Etika pengembangan diri mengajarkan bahwa tujuan akhir manusia adalah kebahagiaan. Menurut tokohnya, yakni Aristoteles (384-322 SM), manusia menjadi bahagia kalau ia secara aktif merealisasikan potensi dan bakatbakatnya. Jadi yang membuat manusia berbahagia adalah bila ia mengembangkan diri sedemikian rupa sehingga potensi dan bakatnya menjadi kenyataan. (Jadi yang membahagiakan adalah apabila seseorang dapat mengembangkan diri sedemikian rupa hingga bakat-bakat yang dimilikinya menjadi kenyataan). Manusia adalah makhluk yang mempunyai banyak potensi, namun potensi-potensi itu baru menjadi nyata apabila direalisasikannya. Kebahagiaan tercapai dalam mempergunakan atau mengaktifkan bakat- bakat dan kemampuan- kemampuannya. Maka salah satu kewajiban dasar manusia adalah mengembangkan diri. Semakin seseorang dapat mengembangkan potensinya semakin ia berbahagia. Persoalannya: bagaimana manusia berkembang? Apakah cukup dengan mengembangkan diri saja? Atau cukup dengan memikirkan diri saja? Manusia berkembang apabila ia tidak hanya memikirkan perkembangan diri saja, karena bila demikian
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
97
ia justru tidak berkembang. Jika manusia mau berkembang, ia harus membuka diri, dan memberikan diri sepenuhnya untuk pelayanan terhadap sesamanya. Manusia justru tidak berkembang apabila pengembangan dirinya dengan menggali potensi diri menjadi tujuan utama tanpa memperkembangkan orang lain. Seseorang dapat berkembang apabila ia berani untuk tidak hanya menggali potensi diri demi kepentingan pribadinya saja, melainkan orang-orang yang dapat menomorduakan kepentingannya sendiri dan memberikan diri sepenuhnya kepada perkembangan orang lain. Disinilah pengertian pengembangan diri yang sesungguhnya. Sebagai orang beriman, kebahagiaan merupakan rahmat Tuhan yang dicapai apabila manusia berkembang bersama sesamanya. Manusia tidak mungkin berkembang secara utuh menyeluruh apabila perspektifnya hanya terbatas pada diri sendiri dan pada kebahagiaan duniawi semata.
3. Eudaimonisme Aristoteles Prinsip: setiap hal mempunyai esensi atau forma yang menjadi prinsip bagi hidup pengada itu sendiri. Etika eudaimonisme ini merupakan etika yang bersifat teleologis karena mengarah kepada suatu tujuan yaitu kebahagiaan. Tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan. Kebahagiaan itu mengandung keutamaan yaitu keutamaan untuk mengembangkan diri, dengan segala macam potensi yang dimiliki. Aspek penentuan diri hanya ada dalam manusia. Orang harus melepaskan diri dari dirinya tak mungkin tercapai dengan sebaik-baiknya. Orang harus menerima diri adanya namun tidak menjadi pesimis kalau ternyata kedapatan suatu kelemahan dalam dirinya.
98
Urgensi Pendidikan Moral
Pengembangan diri itu merupakan sesuatu yang sangat membahagiakan karena dalam dirinya ada suatu natura (sesuatu yang baik). Yang baik demi kebahagiaan bagi Aristoteles adalah bersifat duniawi belaka. •
Mengembangkan Diri
Menurut Aristoteles manusia tidak akan mencapai kebahagiaan kalau ia pasif dan hanya mau menikmati segala-galanya, melainkan kita harus aktif merealisasikan bakat-bakat dan potensi kita. Orang kaya yang hanya menikmati saja tanpa ada perjuangan yang nyata akan sangat mudah bosan menikmati hidupnya. Jadi yang membahagiakan adalah kalau kita mengembangkan diri sedemikian rupa sehingga bakatbakat yang kita punyai akan menjadi kenyataan. Manusia adalah makhluk yang mempunyai banyak potensi, namun potensi itu baru menjadi nyata kalau manusia berusaha untuk merealisasikannya. Kebahagiaan tercapai dalam mengaktifkan dan mempergunakan bakat-bakat yang ada. Manusia adalah aufgabe dirinya sendiri. Maka salah satu kewajiban dasar manusia adalah mengembangkan diri. Ia akan semakin bahagia, apabila ia semakin mengembangkan diri. Pengembangan diri merupakan panggilan yang penting bagi manusia. •
Melepaskan diri
Bagaimana caranya manusia berkembang? Kita justru akan berkembang kalau kita tidak memikirkan diri kita sendiri dan segala perkembangannya. Selama kita masih prihatin dengan perkembangan diri kita sendiri, ita masih berputar dan mengintari diri sendiri. Ini ibarat
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
99
orang yang ada di puncak gunung mau melihat ke bawah namun ia hanya berputar terus di sekitar pohon yang besar yang ada di puncak gunung itu. Selama segala apa yang dilakukan hanya dihayati manusia dari segi kekhawatirannya, maka ia tidak akan berkembang. Jadi apabila ia mau berkembang, ia harus berani untuk tidak hanya berpegang pada diri sendiri saja, melainkan harus berani memberikan diri sepenuhnya pada berbagai tugas dan tanggungjawab yang menantang. Manusia berkembang tidak dengan terus menerus memandang dan berputar di sekitar pusarnya sendiri, melainkan dengan menghadapi tantangan hidupnya yang konkret. Manusia tidak akan berkembang kalau pengembangan dirinya dijadikan obsesinya. Perkembangan diri kita akan semakin terjadi kalau kita semakin merelakan diri, termasuk perkembangan diri, demi tanggung jawab kita. Jadi salah kalau pengembangan diri kita jadikan tujuan kehidupan kita. Kita berkembang dengan menghadapi segala tantangan hidup. Dengan demikian kita bisa mengatasi eudaimonisme Aristoteles yang paling besar yaitu bahwa perspektifnya masih berpusat pada kebahagiaan kita sendiri. •
Menerima diri
Manusia tidak mungkin berkembang dengan utuh, kalau perspektifnya terbatas pada kebahagiaan di dunia ini. Kebahagiaan kita adalah pemberian rahmat Tuhan. Maka justru demi pengembangan diri yang sebenarnya, kurang tepat kalau kita selalu kuatir tentang diri kita sendiri. Apabila perspektif kita tidak pada pengembangan diri, melainkan kepada tugas dan tanggungjawab kita obyektif, fakta bahwa kemampuan kita terbatas, samasekali tidak merupakan halangan.
100 •
Urgensi Pendidikan Moral Kekurangan pokok prinsip etika pengembangan diri
Prinsip ini terlalu menekankan apa yang disebut kebahagiaan duniawi dan kurang memandang kebahagiaan yang lebih tinggi. Aristoteles terlalu menekankan kebahagiaan diri sendiri tanpa menaruh perhatian kepada orang lain. Semua berpusat pada diri sendiri.
4. Teori Utilitarisme Kata Utilitarisme berasal dari bahasa Latin “utilis” artinya berguna. Paham utilitarisme mengajarkan bahwa manusia hendaknya hidup dan bertindak sedemikian rupa sehingga berguna bagi sebanyak mungkin orang. Menurut tokohnya, Jeremy Bentham (1748-1832) utilitarisme dimaksudkan sebagai sebagai dasar etis untuk membaharui hukum Inggris. Menurutnya tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah- perintah Illahi atau melindungi yang diklasifikasi kejahatan. Maka kesejahteraan manusia harus diutamakan. Bentham menekankan bahwa suatu perbuatan dapat dinilai baikburuk, sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan semua orang. Secara tegas prinsip utilitarisme mengatakan bahwa manusia wajib berusaha untuk selalu menghasilkan kelebihan akibat-akibat baik yang sebesarbesarnya terhadap akibat-akibat buruk apabila bertindak. Tindakan kejahatanan kalau ternyata tidak mendatangkan akibat buruk dan tidak mengganggu kesejahteraan manusia tidak perlu dinyatakan salah dan tidak perlu dijatuhi hukuman.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
101
Utilitarisme diperhalus oleh John Stuart Mill (18061873). Mill menekankan bahwa suatu perbuatan dinilai baik, jika kebahagiaan melebihi ketidakbahagiaan, dimana kebahagiaan semua orang yang terlibat dihitung dengan cara yang sama. Secara lebih tegas prinsip utilitarisme mengatakan bahwa manusia wajib berusaha untuk selalu menghasilkan kelebihan akibat-akibat baik yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang. Jadi Utilitarisme hampir sama dengan hedonisme yaitu mencari kebaikan atau kesenangan dan menghindari penderitaan atau kesakitan, hanya bedanya kalau hedonisme mencari kesenangan hanya untuk diri sendiri, jadi lebih bersifat egois, sedangkan utilitarisme kesenangan itu untuk sebanyak-banyaknya orang. Walaupun demikian kita tetap harus bersifat kritis terhadap paham utilitarisme karena prinsip kegunaan bahwa suatu perbuatan adalah baik kalau menghasilkan kebahagiaan terbesar untuk jumlah orang terbesar tidak selamanya benar. Seperti contoh ada seorang preman yang sangat merugikan masyarakat kampung setempat. Suatu saat preman tersebut dihajar oleh seluruh warga masyarakat setempat dan akhirnya dia mati. Kematian preman tersebut memberikan perasaan lega dan senang bagi seluruh warga kampung tersebut. Apabila kesenangan warga masyarakat itu melebihi penderitaan korban, maka menurut paham utilitarisme dianggap baik. Dalam hal inilah maka prinsip utilitarisme tidak dapat menjamin hak dan keadilan sebagai prinsip moral yang tinggi. Dalam contoh kasus di atas jelas bahwa si preman itu walaupun orang yang jahat namun dia juga punya hak asasi untuk hidup. Disamping itu si preman itupun juga berhak atas keadilan, yaitu proses pengadilan, bukannya main hakim sendiri seperti halnya yang dilakukan oleh warga masyarakat
102
Urgensi Pendidikan Moral
tersebut, apalagi negara ini negara hukum, dimana segala sesuatunya bisa diurus menurut hukum yang berlaku. •
Ciri Umum dan Macam Utilitarisme
Ciri Faham ini adalah: 1) Bersifat teleologis (telos: tujuan). Berusaha mengarah ke tujuan yakni menghasilkan akibat baik yang lebih besar dari pada akibat buruk. 2) Bersifat universal (lain dari hedonis dan egois). Akibat baik yang lebih besar bukan hanya berlaku untuk subyek pelaku saja, melainkan untuk semua saja yang secara langsung maupun tidak langsung terkena oleh akibat tersebut. 3) Sebagai dasar etika politik (kadang tidak disadari). Keputusan yang menyangkut orang banyak biasanya diambil berdasar kegunaan yang paling besar dibandingkan dengan kerugiannya. •
Utilitarisme Tidakan (the greatest happiness)
Tindakan yang benar ditentukan kasus per kasus. Mana tindakan yang menghasilkan kebaikan lebih banyak daripada buruknya. Benar-salahnya tindakan harus ditentukan menurut kasus tertentu atau tindakan tertentu. Bukan pada akibat baik atau buruk yang disebabkan oleh tindakan. Mereka menolak pandangan bahwa tindakan baik akan berakibat baik atau sebaliknya. •
Utilitarisme Peraturan (for the greatest number)
Faham yang lebih menekankan peraturan untuk mencapai tindakan moral manusia pada umumnya (tidak selalu) dalam memilih mana yang benar, selalu mengacu pada peraturan; mana peraturan yang menyebabkan tindakan yang baik itu yang akan membawa keuntungan
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
103
lebih besar bagi orang lain, dari pada akibat buruknya. Kualitas tindakan itu ada bermacam-macam, maka tidak bisa ditentukan secara kuantitatif belaka. Misalnya: orang yang selalu menepati janji akan membawa akibat baik lebih besar daripada akibat buruknya. •
Kritik Magnis Suseno:
Etika ini tidak memaksudkan asal tindakan itu baik bagi orang lain kemudian dilakukan, melainkan faham ini mempunyai juga motivasi yang mendasari orang berbuat itu. •
Kaidah Dasar Utilitarisme
Bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat tindakanmu itu membawa kebahagiaan lebih besar bagi semua pihak yang tersangkut dengan tindakan tersebut. Dengan kata lain kalau mau bertindak harus memperhitungkan mana akibat yang akan paling memajukan kepentingan semua orang yang dapat kita pengaruhi. Kaidah ini mengandaikan teori tentang baik buruk, atau teori nilai. Teori nilai yang ada di belakangnya adalah hedonistik. •
Tokoh-tokoh Faham ini
David Hume, dalam teori moralnya dia sudah mulai memperhitungkan kegunaan. Ia adalah pencetus ide tapi belum disistematisir. Jeremy Bartham – teori moral utilirarian mulai dirumuskan dan John Stuart Mill. •
Tanggung jawab Kritis atas Faham ini
Kekurangan prinsipiil faham utilitarisme tidak dapat menjamin keadilan dan hak-hak manusia (terutama
104
Urgensi Pendidikan Moral
hak azasi) karena hanya memperhatikan jumlah akibat baik dibandingkan akibat buruk, tanpa adanya aturan tentang bagaimana akibat baik itu harus tercapai. Terlalu menghalalkan segala cara untuk mencapai suau tujuan. Kesenangan bukan tujuan satu-satunya, maka tidak dapat menghalalkan segala cara. Orang harus diikat oleh apa yang lebih benar. •
Jasa Utilitarisme
Pertama, berkaitan dengan universalitas: besarnya jumah akibat baik yang dipertimbangkan tidak hanya demi pelakunya sendiri, namun demi banyak orang. Di sini tampak segi sosialismenya. Tanggungjawab terhadap sesama dan diri sendiri harus selalu mengambil sikap yang baik. Kedua, yang berkaitan dengan rasionalitas : dalam memilih tindakan kita tetap menggunakan pertimbangan. Kita bertanggungjawab atas akibat-akibat tindakan yang kita lakukan. Kita mempertimbangkan akibat yang paling sesuai dengan kepentingan, hak dan harapan sebanyak mungkin orang. Pada umumnya tidak hedonis dan tidak egois – arahnya tidak hanya pada si pelaku tindakan juga kepada orang lain.
5. Teori Deontologi Berasal dari kata “deon” artinya apa yang harus dilakukan, kewajiban. Tokohnya Immanuel Kant (17241808) mengajarkan bahwa yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Kehendak menjadi baik, bila manusia bertindak karena kewajibannya. Kant membedakan imperatif kategoris(mewajibkan begitu saja) dan imperatif hipotetis (mewajibkan dengan
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
105
suatu syarat).Imperatif kategoris menjiwai semua peraturan etis. Perbuatan yang sesuai dengan kewajiban yuridis disebut legalitas (heteronom). Sedangkan tindakan berdasarkan kesadaran kewajiban dari dalam diri sendiri disebut autonom. William David Ross seorang filsuf Inggris menerima pemikiran Kant, tetapi ia menambahkan bahwa kewajiban itu selalu merupakan kewajiban prima facie. Ini berarti suatu kewajiban hanya berlaku sampai timbulnya kewajiban yang lebih penting, mendesak dan bernilai tinggi yang mengalahkan kewajiban pertama. Dalam situasi konkret seseorang perlu menggunakan akal budinya untuk mempertimbangkan manakah kewajiban yang paling penting. •
Ajaran Pokok Teori Deontologis (Kant).
Ajaran itu mengandung ciri-ciri sbb: Pertama, moralitas suatu tindakan diukur apakah tindakan itu selaras atau tidak dengan prinsip kewajiban yang mengikat tanpa syarat. Ciri ini dilawankan dengan etika teleologis yang mengajarkan betul salahnya tindakan atas dasar membawa tidaknya ke tujuan akhir yaitu Allah sendiri. Kedua, menekankan akibat dari tindakan, sebab setiap tindakan ada yang dari dirinya sendiri bisa diklasifikasikan sebagai benar atau salah. Ketiga, akal budi dijadikan sebagai penentu prinsip moral. Betul salahnya tindakan, baik buruknya kelakuan tidak ditentukan oleh prinsip moral melainkan akal budi. Keempat, cukup kosisten dengan prinsip penalaran (universalitas) yakni “bertindak sedemikian rupa sehingga prinsip tindakanmu dapat kamu kehendaki sebagai prinsip yang berlaku umum”. Kelima, motivasi tindakan dari si pelaku menjadi kunci penentu motivasi
106
Urgensi Pendidikan Moral
tindakan tersebut. Secara lahir mungkin tindakan itu tampak sama, namun mungkin motivasinya sungguh berbeda. •
Kekuatan Teori Deontologi
Kekuatan teori deontologi Kant memberi dasar pokok bagi rasionalitas dan obyektivitas kesadaran moral. Karena etika ini menilai benar salahnya tindakan dan baik buruknya kelakuan tidak berdasarkan perasaan saja, melainkan berdasar rasio. Jadi penilaian itu tidak ditentukan oleh obyek tindakan, akibat dan kepentingan subjek pelaku, maka cukup kuat bagi dasar rasionalitas. Rasionalitas Kant ini melawan emotivisme dan obyektivitas Kant melawan subyektivitasme dan relativisme. Itu didasarkan pada prinsip kategoris. Teori deontologi Kant ini juga memberi tolok ukur yang amat penting bagi penilaian suatu tindakan secara moral, yakni prinsip universalitas (keberlakuan umum). Prinsip universalitas memang penting tapi tidak cukup. Tindakan moral yang baik mengacu kepada pemahaman bahwa tindakan yang benar bukan hanya berlaku bagi subyek pelaku, tetapi juga untuk rang lain. Selanjutnya teori ini juga menjamin otonom dan keluhuran martabat manusia. Etika deontologis yang menekankan akal budi sebagai hukum yang mutlak diterima, menolak segala heteronomi dari luar. Akal budi praktis menetapkan hukum bagi dirinya sendiri. Tuhan dalam filsafat Kant hanya dilihat sebagai postulat saja, tidak masuk dalam kategori moral. •
Kesulitan pokok Etika Deontologis kant Terlalu formal atau sangat umum. Dengan mengem-
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
107
balikan norma moral pada satu prinsip yaitu “bertindaklah ..” memang menghindarkan konflik moral, tetapi dia tidak memberi kejelasan mengenai penentuan normanorma konkret (apa yang menjadi wajib bagi saya). Konflik moral karena tabrakan pribadi, (misalnya, dokter – undangan – pasien). Kemutlakan norma tanpa mengindahkan akibat adalah tak sesuai dengan kenyataan hidup manusia di dunia (misal dirumah bersembunyi orang yang dikejar akan dibunuh – beritahukan atau tidak). Mengandaikan praktek moral yang sudah berlaku di dalam masyarakat.
• Keberlakuan Prima Facie Menurut WD Ross keberlakuan prima facie berarti suatu norma umum berlaku mengikat, bila tidak ada norma lain yang lebih tinggi atau mengikat. Kalau mulai ada tabrakan antara norma umum dan pribadi pelaku, maka semua keputusan ditentukan oleh pribadi pelaku ybs – yakni dengan memilih norma-norma yang lebih mengikat dirinya. Menurut dia, keberlakuan prima facie harus disesuaikan dengan situasi konkret yang melingkupi pengambilan keputusan itu. Prinsip moral mana yang secara konkret dan aktual mengikat. Memang norma secara prima facie mengikat, tetapi harus tetap dilihat situasi konkretnya. Ross menyusun sebuah daftar kewajiban prima facie: a
Kewajiban kesetiaan: menepati janji yang diadakan dengan bebas.
b
Kewajiban ganti rugi: melunasi utang materiil dan moril.
c
Kewajiban terima kasih.
d
Kewajiban keadilan.
108
Urgensi Pendidikan Moral
e
Kewajiban berbuat baik.
f
Kewajiban mengembangkan dirinya.
g
Kewajiban untuk tidak merugikan orang lain.
Deontologi juga harus disikapi secara kritis, karena berbuat baik akan lebih bernilai tinggi apabila dilakukan bukan berdasarkan kewajiban, melainkan berdasarkan kesadaran yang mengacu pada belas kasih atau cinta?
Pertanyaan Reflektif: 1. Benarkah manusia hidup hanya mementingkan aspek kenikmatan jasmaniah saja? Bagaimana tanggapan anda tentang hedonisme? Anda setuju atau tidak? Berikan argumentasi anda. Berikan pula contoh konkret pelaksanaan hedonisme di kalangan masyarakat saat ini. 2. Jelaskan pandangan anda tentang teori eudaimonisme menurut Aristoteles,anda setuju atau tidak, berikan pula alasannya. Berikan contoh konkrit dalam kehidupan nyata saat ini. 3. Bagaimana tanggapan anda tentang teori etika utilitarianisme? Anda setuju atau tidak, berikan argumentasinya. Berikan pula contoh konkrit utiliarisme dalam kehidupan nyata saat ini
Bahan Bacaan: Bertens, Kiss 1993 Etika. Jakarta: Gramedia. Magnis Suseno, Frans. 1987 Etika Dasar. Yogjakarta; Kanisius.
109
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
BAB VII KEUTAMAAN MORAL
Y
ang dimaksud keutamaan moral adalah Kekuatan kepribadian seseorang yang mantab dalam kesanggupannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai benar.
1. Macam-Macam Keutamaan Moral • Kejujuran Kujujuran adalah sesuatu yang penting. Kejujuran merupakan dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral. Tanpa kejujuran kita tidak pernah maju selangkahpun, karena belum berani menjadi diri sendiri. Tidak jujur berarti belum sanggup untuk mengambil sikap yang lurus. Tanpa kejujuran, keutamaan moral lainnya kehilangan nilainya. Sikap baik terhadap orang lain, tanpa kejujuran berarti kemunafikan dan sering menjadi racun. Bersikap jujur berarti terbuka, dan fair. Terbuka tidak dimaksudkan bahwa orang lain berhak tahu semua pikiran dan perasaan kita, melainkan bahwa kita selalu tampil sebagai diri kita sendiri sesuai dengan keyakinan kita dan tidak menyembunyikan wajah kita yang sebenarnya (bertopeng). Terbuka berarti orang boleh tahu siapa kita ini. Sikap wajar atau fair, berarti memperla-
110
Urgensi Pendidikan Moral
kukan orang lain menurut standar yang dipergunakan orang lain terhadap dirinya. Ia menghormati hak orang lain dan selalu memenuhi janji, tidak bertindak bertentangan dengan suara hati atau keyakinannya. Berkaitan dengan kejujuran sangat penting diperhatikan bahwa kita harus menjadi otentik. Otentik berarti asli, menjadi diri kita sendiri, bukan jiplakan, tiruan, membeo, atau hanya ikut mode. Manusia otentik adalah manusia yang menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keaslian dan kepribadian yang sebenarnya. Tidak otentik kalau kita dicetak dari luar, yang dicintai, dicita-citakan, dihargai atau dibenci dan ditolak bukan dari dirinya sendiri tetapi karena lingkungannya berbuat demikian. Hal itu bisa terjadi di segala bidang, bahkan di biara sekalipun. Maka untuk menguji keotentikan cita-cita, diperlukan percobaan: memasuki lingkungan lain dengan nilai-nilai lain, tanggungjawab dan inisiatifnya ditantang, diberi kesempatan untuk menunjukkan dirinya, dengan tidak terlalu diatur, dsb. •
Catatan Penting:
1) Orang dapat bersikap jujur terhadap orang lain, kalau dia dapat jujur pada dirinya sendiri. Berani tidak membohongi diri, berani melihat diri apa adanya. Tidak perlu minder dengan konpensasi macam-macam. Keontentikan diri penting. 2) Orang yang tidak jujur senantiasa ada dalam pelarian; ia lari dari orang lain yang diketahuinya sebagai ancaman dan dari diri sendiri karena tidak berani menghadapi kenyataan diri yang sebenarnya. Orang yang tidak jujur sulit menerima diri dan tidak berani melihat diri sendiri. •
Kesediaan Untuk Bertanggungjawab
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
111
Kejujuran menjadi operasional kalau orang bersedia untuk bertanggungjawab. Artinya: Pertama, kesediaan untuk melakukan apa yang harus dilakukan sebaik mungkin. Bertanggungjawab berarti mengambil suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita. Tugas itu dilaksanakan sebaik mungkin meskipun dituntut pengorbanan, ditentang maupun tidak menguntungkan. Bahkan andaikata tidak ada orang yang peduli atau melihatnya, kita tidak begitu saja puas karena pekerjaan sudah selesai. Kedua, sikap ini mengatasi segala etika peraturan. Etika peraturan hanya mempertanyakan apakah sesuatu boleh atau tidak, sedangkan bertanggung jawab merasa terikat pada yang memang perlu. Ia terikat pada nilai yang mau dihasilkan. Ketiga, wawasan orang yang bertanggungjawab secara prinsipial tidak terbatas. Ia tidak membatasi perhatiannya pada apa yang menjadi urusan dan kewajibannya saja, melainkan merasa bertanggungjawab di mana saja ia diperlukan. Bersedia mengerahkan tenaga dan kemampuan di mana ia ditantang untuk menyelamatkan sesuatu. Ia bersikap positif, kreatif, kritis, dan obyektif. Keempat, bertanggungjawab berarti juga bersedia untuk diminta memberikan pertanggungjawaban atas tindakannya, atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Kalau ternyata lalai atau salah, bersedia dipersalahkan. •
Kemandirian Moral
Kemandirian moral, berarti kita tidak pernah ikutikutan saja dengan perbagai pandangan moral di lingkungan kita, tetapi membentuk penilaian dan pendirian sendiri, lalu bertindak sesuai dengannya. Kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan bertindak sesuai dengan-
112
Urgensi Pendidikan Moral
nya. Mandiri secara moral artinya tidak dapat dibeli oleh mayoritas, dan tidak pernah akan rukun hanya demi kebersamaan, kalau kerukunan itu melanggar keadilan. •
Keberanian Moral
Keberanian moral, menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban, juga kalau tidak disetujui atau dilawan oleh lingkungan. Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam kesediaan untuk mengambil resiko konflik (tidak sama dengan bentrok fisik). Ia berpihak pada orang yang lebih lemah melawan yang kuat yang tidak adil. Berani secara moral tidak akan kompromi dalam hal kebenaran dan keadilan. Setiap kali orang berani mempertahankan sikap yang diyakini, ia merasa lebih kuat, berani dalam hatinya, dan semakin dapat mengatasi rasa takut dan malu yang sering mencekamnya. •
Kerendahan Hati
Kerendahan hati, kata itu sering kita bayangkan dengan sikap kerdil, tak mau debat, mengalah, tidak mau membela pendirian, merendahkan diri, dsb. Sikap-sikap itu sebenarnya tak ada sangkut pautnya dengan kerendahan hati. Kerendahan hati berarti melihat diri apa adanya. Kerendahan hati (bukan berarti merendahkan diri) adalah kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataannya. Orang rendah hati tidak hanya melihat diri kelemahannya, tetapi juga kekuatannya. Maka, ia menerima diri dan tahu diri dalam arti yang sebenarnya. Dalam kaitannya dengan moral berarti mampu memberikan penilaian moral terbatas, dan juga
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
113
sadar akan keterbatasan kebaikan kita. Berani memperhitungkan pendapat orang lain. Ia tahu atau dengan kata lain empan papan. Kerendahan hati tidak bertentangan dengan keberanian moral, justru menjadi prasyarat bagi kemurniannya. Tanpa kerendahan hati, keberanian moral mudah menjadi kesombongan atau kedok untuk menyembunyikan diri. Kerendahan hati menjamin kebebasan dari pamrih dalam keberanian. Kita tidak merasa kalah kalau pendapat kita tidak menang. Justru orang yang rendah hati sering menunjukkan daya tahan yang paling besar kalau ada perlawanan. Orang rendah hati tidak merasa diri penting (bukan karena rendah diri), karena itu berani mempertaruhkan diri dalam sikap dan tanggungjawabnya. •
Nilai-Nilai Otentik
Kita seharusnya otentik, artinya menjadi diri sendiri, bukan jiplakan, bukan tiruan, orang-orangan yang hanya membeo saja, yang tidak punya sikap dan pendirian sendiri karena ia dalam segala-segalanya mengikuti mode/ pendapat umum dan arah angin. Otentik berarti asli. Manusia otentik: manusia yang menghayati dan menunjukkan diri sendiri dengan keasliannya, dengan pribadi yang sebenarnya. Sedangkan manusia yang tidak otentik adalah yang hanya tiruan/jiplakan. Ketidak otentikan seseorang biasanya diakibatkan oleh rasa takut tak diakui kelompok, hanya ikut mode tanpa kreativitas sendiri. Ini berlaku juga dibidang religius (masuk biara), bidang estetik, dan lain-lain. Menjadi otentik berarti berani muncul engan diri sendiri, bukan perkiraan kita terhadap harapan orang.
114 •
Urgensi Pendidikan Moral Realistik dan Kritis
Realistik berarti mempelajari/melihat keadaan dengan serealis-realisnya supaya dapat kita sesuaikan dengan tuntutan prinsip-prinsip dasar, bukan berarti menerima begitu saja. Sikap ini tentunya dibarengi oleh sikap kritis. Kritis berarti tajam dalam menganalisa sesuatu, tidak mudah percaya dan selalu berusaha menemukan yang baik dan yang buruk. Sikap kritis perlu juga terhadap segala macam kekuatan, kekerasan dan wewenang dalam masyarakat, juga terhadap segala macam aturan moral dalam masyarakat. Tanggung jawab moral yang nyata, menuntut sikap realistik dan kritis dengan pedoman untuk menjamin keadilan dan menciptakan suatu keadaan masyarakat yang membuka kemungkinan lebih besar bagi warganya untuk membangun hidup yang lebih bebas dari penderitaan dan lebih bahagia. Segala peraturan dinilai secara kritis. Ada aturan yang mengatur dan perlu dinilai dari dalam.
2. Egoisme Psikologis Paham yang menyatakan bahwa manusia itu dari dirinya sendiri terdorong untuk melakukan sesuatu yang menguntungkan dirinya sendiri. Argumentasi paham egoisme psikologis dalam menolak kemungkinan adanya sikap altruis yang sungguh-sungguh adalah sbb: Manusia dalam tindakannya, sekalipun tindakan itu baik dan membawa untung bagi orang lain, tidak mungkin dia didasari oleh pengorbanan. Semua itu dijalankan hanya untuk kepentingan diri sendiri saja. Sikap altruis (sikap yang memperhatikan kepentingan orang lain) adalah tidak mungkin.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
115
Contoh: a) Seorang ibu yang menunggu anaknya semalam suntuk, pantas diragukan bahwa itu didasari sikap perhatian dan kasih sayang sejati itu hanya untuk cari kepuasan diri. b) Seorang pemadam kebakaran masuk dalam ruang yang terbakar. c) Seorang yang menyelam untuk menolong seorang anak kecil yang tenggelam. •
Pendekatan Thomas Hobbes atas “cinta kasih” dan “belas kasih” (menafsirkan kembali motivasi)
Ia tidak mengingkari bahwa orang bertindak dengan berdasar sikap altruis. Namun itu tidak jujur. Ia mengemukakan dan interpretasi. Cinta kasih: Hobbes mengatakan bahwa tindakan ini tidak jujur sebagai tindakan altruis, … sebenarnya hanya ingin menonjolkan diri saja, ingin dikenal. Tidak begitu saja percaya, itulah penilaian yang sebenarnya. Contoh. Di Yogjakarta ada bencana alam, lalu saya mencoba membantu dengan memberi dana, saya mengorbankan uang yang sebenarnya untuk nonton film. Ini tidak jujur sebenarnya, sebab orang hanya cari muka. Belas kasih: sebenarnya muncul hanya karena ada kekuatiran dalam diri saya, kalau saya mengalami hal seperti itu, jangan-jangan tidak dibantu. Arahnya adalah diri sendiri.
116 •
Urgensi Pendidikan Moral Kekeliruan pokok pahan egoisme psikologis (seperti tampak pada Hobbes)
Mengacaukan antara mencari diri (selfish) dengan menunjang kepentingan diri (self-interest). Self-interest tidak mesti selfish... Manusia mau tidak mau perlu memperhatikan kepentingan diri. Misal, saya sakit gigi ... Harus berobat (antara kepentingan diri dan kesehatan). Selfish, dirinya menjadi tujuan. Self-interest kebahagiaan sebagai side-effect (ada pencampur adukan antara sideeffect dengan tujuan). Mengacaukan antara merasa puas karena berbuat baik dan berbuat baik untuk mencari puas. Rasa puas muncul sebagai akibat dari tindakan berbuat baik itu – bukan tujuan dari berbuat baik. Sedangkan rasa puas memang dicari atau dituju lewat perbuatan baik itu (demi kepuasan diri). Sinisme, dalam hal ini akan berbahaya, sebab orang akan mengalami hidupnya tanpa rasa bahagia. Mereka punya tesis yang tak bisa dibantah dan dibuktikan.
3. Egoisme Etis Pendapat pokok paham egoisme etis adalah apa yang wajib dilakukan orang, itulah yang dapat mengembangkan orang itu sendiri. Semua yang dilakukan selalu dicari mana yang paling menguntungkan bagi diri sendiri. Tokoh yang menganut ini adalah Hobbes. Pendapatnya, yang utama adalah mengembangkan diri sendiri. Kelihatannya semua itu dilakukan demi orang lain, namun sebenarnya hanya demi diri sendiri. Kaitannya dengan egoisme psikologis: bila egoisme psikologis benar, maka... Setiap orang akan menimbang kepentingan bersama, jika
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
117
dia sendiri bisa mengejar kepentingan sendiri dengan sebaik-baiknya. Argumen untuk mendukung pendapat tersebut adalah bahwa perbuatan karitatif membuat orang lain menjadi obyek. Egoisme Etis menghormati orang sebagai individu. Sikap atau tindakan altruistis adalah tidak manusiawi. Paham ini bisa menerangkan bagaimana dan mengapa manusia menepati semua janji dan peraturan: yakni karena semua itu menguntungkan dirinya sendiri. •
Tanggapan kritis
Sosialitas manusia (sebagaimana ditolak oleh egoisme etis) bukan sesuatu yang aksidental saja, namun secara esensial merupakan bagian dari hidup manusia itu sendiri. Adaku selalu bersama dengan adanya orang lain. Mengembangkan prinsip keluar tidak berarti mengabaikan perkembangan diri. Namun mengembangkan prinsip keluar dari diri juga semakin mengembangkan diri sendiri.
4. Dasar Moral Yang Paling Dalam •
Pandangan Psiko-Sosiologis
Pandangan moral yang terdalam terletak pada pandangan yang ada dalam masyarakat yang munculnya dapat disesuaikan kebutuhan psikologis manusia (kebutuhan sosial manusia). Dasar keberlakuan moral terletak dalam kebutuhan individual dan sosial. Tidak ada nilai yang lebih tinggi dari apa yang akan dicapai oleh masyarakat. Contoh: Hobbes – negara dibentuk hanya untuk menjamin kebersamaan. Freud – agama ada hanya untuk
118
Urgensi Pendidikan Moral
memenuhi kebutuhanp psikologis saja. Masyarakat merupakan sumber dan asal kewajiban moral/otonomi tertinggi dari moralitas adalah masyarakat. •
Kritik:
Pandangan ini sifatnya reduksionistis, sebab mau mereduksikan keberlakuan moral sebagai realisasi kehidupan sosial yang ada. Hanya kebutuhan sosial saja dijadikan penentu keberlakuan moral, pada hal ada kebutuhan lain. Pandangan ini tidak cukup; sebab orang masih bisa bertanya terhadap apa yang dianggap baik oleh masyarakat, “mengapa ini baik?” – dengan kata lain orang masih bisa bersikap kritis (cat: kalau ini benar maka kita akan setuju dengan praktek A. partheid di Afrika Selatan). •
Pandangan immanentist
Keberlakuan norma moral ditentukan oleh manusia sendiri, berdasarkan kesadaran moral imanent (yang ada dalam dirinya). Apabila manusia mengikuti penentuan akal budinya, maka manusia akan menyadari normanorma yang mengikat dirinya untuk bertindak. Sehingga keberlaukan moral terbatas dalam dirinya (akal budi) di dunia ini. Tak ada dasar yang lebih dalam dari kehendak rasio manusia. Manusia akhirnya menjadi otoritas terakhir (tolok ukur) — Homo memura •
Segi positifnya.
Kenyataan bahwa yang baik adalah yang disadari oleh pemahaman akal budi kita. Itu benar. Apa yang baik itu bukan sesuatu yang langsung jelas dengan sendirinya dari luar diri kita, melainkan ditentukan oleh akal budi
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
119
kita. Konsistensi dan koherensi adalah soal yang dipahami oleh akal budi. •
Kritik
Kendati menunjuk satu aspek yang terdalam (yaitu akal budi) dari penentuan dasar aspek moral, tapi masih bisa dipertanyakan; “dari mana bisa bahwa akal budi menjadi penentu mutlak keberlakuan moral, padahal akal budi itu kontingen atau tidak mutlak?” pandangan ini masih mengandaikan adanya suatu penentu yang mengatasi akal budi. •
Pandangan transendentalist
Dasar moral yang paling dalam adalah Tuhan. KehendakNya menjadi norma yang secara kodrat mengikat manusia. Kehendak Tuhan menjadi sesuatu norma yang mutlak mengikat manusia. Di sini manusia sungguh dilihat sebagai pribadi, karena menjadi citra Allah sendiri. Meskipun akal budi penting, namun ada sesuatu yang terbuka yaitu terhadap yang transenden. Kodrat manusia (terluka) membuka diri bagi kenyataan yang mengatasi dirinya.
5. Tiga Prinsip Dasar Etika Normatif Prinsip Sikap Baik (principle of bonevolena) Prinsip ini dasariah karena orang tidak akan adil, hormat pada diri sendiri dan orang lain, jujur, dan lainlain; bila tak punya prinsip sikap baik ini. Prinsip ini mendasari dan mendahului semua prinsip moral yang
120
Urgensi Pendidikan Moral
lain. ( dengan prinsip pertama etika hukum kodrat yakni “buatlah yang baik dan hindarilah yang jahat”). Prinsip ini bukan hanya dipahami secara rasional, namun hendaknya mengungkapkan kecondongan dasariah yang memang sudah ada dalam watak kita. (kecenderungan untuk bersikap baik seharusnya dipakai dengan dasar dan dipupuk supaya mencapai kepenuhan). Dalam mencapai sikap baik perlulah orang bersikap sesuai dengan situasi konkret di mana prinsip itu mau diterapkan. Prinsip ini mendasari semua norma lain, karena hanya atas dasar prinsip ini menjadi masuk akal bahwa kita bersikap adil, jujur, hormat pada diri sendiri dan orang lain •
. Kritik atas prinsip ini
Prinsip ini tidak cukup karena dalam pengetrapannya harus tetap memperhatikan prinsip lain, misal : prinsip keadilan. Ada bahaya bahwa pengetrapan atau pengkonkretan prinsip sikap baik lalu menghalalkan segala cara. •
Prinsip Keadilan
Prinsip sikap baik belumlah cukup, perlu juga mempertimbangkan prinsip keadilan dan hormat terhadap hak milik orang lain. Contoh: mencuri susu di swalayan untuk memberi seorang ibu gelandangan yang terlantar. Itu tidak benar karena melanggar hak orang lain. Prinsip keadilan menjadi syarat operasionalitas prinsip sikap baik supaya dapat dilaksanakan secara benar. Adil berarti memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Dalam usaha mencapai keadilan perlu diperhatikan kebutuhan dan kemampuan se-
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
121
seorang. Dasar dari sikap adil adalah bahwa pada hakekatnya semua orang sama nilainya sebagai manusia, maka tuntutan pertama-tama adalah mem-perlakukan secara sama semua orang dalam situasi yang sama pula. Prinsip ini mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak orang ybs. Perlakuan yang tidak sama adalah tidak adil, kecuali bila ada alasan-alasan yang relevan. •
Prinsip hormat terhadap diri sendiri
Manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan paham bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, makhluk berakal budi. Prinsip ini mempunyai empat arah, yakni: 1) Agar kita tidak membiarkan diri diperas, diperalat, diperkosa atau diperbudak – karena kita mempunyai harga diri dan bermartabat. 2) Menyadarkan kita agar kita jangan menelantarkan diri. Walapun kita punya kewajiban terhadap orang lain, namun kita juga berkewajiban mengembangkan diri, tidak menyia-nyiakan bakat dan kemampuan yang dipercayakan kepada kita. 3) Orang punya kewajiban terhadap dirinya sendiri berarti kewajibannya terhadap orang lain harus diimbangi oleh perhatian yang wajar terhadap diri sendiri. 4) Kemampuan untuk menghargai dan menerima orang lain sama besar/kecilnya dengan kemampan kita untuk menerima diri. Jadi ada hubungan timbal-balik. Hanya orang yang kepribadiannya sangat kuat dan mantap dapat mengorbankan diri
122
Urgensi Pendidikan Moral
seluruhnya bagi orang lain, tanpa kehilangan harga dirinya. 5) Kebaikan dan keadilan yang kita tujukan pada orang lain, perlu dimbangi dengan sikap yang menghormati diri sebagai makhluk yang bernilai pada dirinya sendiri. Kita mau berbaik hati pada orang lain, tetapi tidak dengan membuang diri.
• Hubungan antara tiga prinsip dasar Prinsip keadilan dan hormat pada diri sendiri merupakan syarat pelaksaan sikap baik, sedangkan prinsip sikap baik, menjadi dasar mengapa seseorang bersedia untuk bersikap adil. Berbuat baik dengan melanggar keadilan atau melupakan harga diri tidak dapat dibenarkan secara moral. Sikap hati memang harus selalu baik, tetapi perwujudannya tidak boleh melanggar keadilan. Maka keadilan dapat saya kalahkan karena belas kasih, tapi sebaliknya keadilan tanpa sikap baik secara moral menjadi dingin dan kehilangan mutu. Begitu pula kita tidak perlu membiarkan diri hancur hanya demi orang lain dan tuntutan keadilan. Dalam praktek, kalau ada benturan harus diingat prinsip etika situasi dan keberlakuan prima facie, artinya sejauh tidak ada pertimbangan tambahan yang menuntut perlakuan khusus. Namun perlu juga kita perhatikan prinsip keseimbangan atau proporsionalitas antara yang dikorbankan dan yang diutamakan harus ada keseimbangan bobot.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
123
Bahan Bacaan: Piet Go, O.Carm.,dkk. 2004 Etos dan Moralitas Politik. Yogyakarta: Kanisius. James Rachels 2004 Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius. William Chang, Dr. OFM.Cap. 2002 Menggali Butir Butir Keutamaan. Yogyakarta: Kanisius. ——————— 2001 Pengantar Teologi Moral. Yogyakarta: Kanisius. Franz Magnis-Suseno. 1987 Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.
124
Urgensi Pendidikan Moral
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
125
BAB VIII SEKS DAN SEKSUALITAS
D
ewasa ini masyarakat terutama kaum muda cenderung ingin membebaskan diri dari normanorma di bidang seks. Mereka tidak lagi menganggap seks sebagai sesuatu yang bersifat tabu dan bernilai. Dengan begitu enaknya mereka yang sedang pacaran menunjukkan kemesraan di muka umum dan bahkan menganggap hubungan seks sebelum nikah adalah wajar-wajar saja. Hamil sebelum nikah sebagai masalah yang biasa. Maka perlulah kiranya pemahaman tentang seks diperdalam lagi, agar nilai-nilai seks tetap dilestarikan dan dijunjung tinggi. Seksualitas manusia adalah keseleruhan kesatuan dari macam-macam unsur - (biologis, antropologis, psikologis, sosiologis, etis, teologis) – yang saling berhubungan satu sama lain. Pemahaman seksualitas tidak cukup hanya diperkembangkan dari pemikiran eksak kodrati, melainkan juga dapat dan harus diperkembangkan dari pandangan teologis otentik. Pada kesempatan ini hanyalah akan diberikan beberapa butir pokok pengertian yang diharapkan dapat digunakan sebagai titik pangkal Bimbingan Pastoral dalam bidang seksualitas.
126
Urgensi Pendidikan Moral
1. Data Fisiologis Secara faali dalam tubuh manusia terdapat beberapa sistem alat tubuh, dan di antaranya adalah sistem seks, yang terdiri dari beberapa komponen: 1) Sistem genetik atau kromoson, yaitu sistem yang berhubungan dengan tata susunan kromosom yang menentukan jenis kelamin, misalnya : XX = wanita dan XY = pria. 2) Sistem gonad, yaitu sistem yang behubungan dengan type gonad yang de fakto terjadi yaitu ovarium dan testes. 3) Sistem fenotipik, yaitu sistem yang berkenaan dengan perkembangan selanjutnya, baik secara intern maupun ekstern berupa vagina dan penis dan scrotum. Dalam perkembangan normal selanjutnya sistem fenotipik inilah yang dengan jelas memberikan petunjuk keluar mengenai jenis seks yaitu wanita dan pria. Maka perkembangan yang normal terjadi sbb : dengan terjadinya fekundasi terbentuklah seks genetik atau seks kromoson, yang jenisnya mulai ditentukan dengan adanya kromoson Y, yang menentukan terjadinya seks gonad akan berupa ovarium bila tidak terdapat kromoson Y atau testes bila terdapat kromoson Y. Ovarium atau testes memproduksi hormon yang akan menentukan perkembangan seks fenotipik baik intern maupun ekstern, sehingga terciptalah organ seksual yang nampak, yaitu vagina atau penis dan scrotum. Begitu lahir biasanya sudah dapat dengan mudah ditentukan dan selanjutnya orang tua memberikan nama dan pakaian yang sesuai dengan jenis kelamin yang nampak dari luar tersebut. Setelah berkembang menjadi individu ia sendiri mengindentifikasi diri seperti ibu dan ayah. Kemungkinan terjadinya kelainan dalam perkembangan disebabkan beberapa hal, misalnya: Enviroental
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
127
insult: penceramaran lingkungan yang terjadi karena pengaruh dari luar individu sendiri misalnya obat-obatan, narkotik, nikotin, kafein, racun atau virus. Chromosomal aberation: kelainan yang mulai terdapat dalam seks genetik atau susunan kromoson sendiri, seperti misalnya: Turner syndrome: kehilangan salah satu lengan dari kromoson X sebagian atau seluruh sel tubuh sehingga terjadi Y palsu. Klinefeiter syndrome : mempunyai kromoson Y dan paling sedikit 2 x. Double fertilization :XX-XY – hermafrodit. Error of gonadal sex: kelainan terdapat mulai saat perkembangan gonad, misalnya: Hermafrodit tulen: di mana seorang individu mempunyai jaringan untuk ovarium dan untuk testes. Hermafrodit palsu: di mana seorang individu hanya mempunai satu jaringan gonad, tetapi mempunyai syndrome kebalikannya. xx male dan xy female. Error in Phenotypic Sex:kelianan yang terjadi pada tingkat fenotipik sehingga terjadi: Hermafrodit palsu pria: defective testoterone synthesis; defective androgen action; persistent mullerian syndrome. Hermafrodir palsu wanita: abnormal androgen production . Errors in gender role identification: terjadi kelainan berperan dalam bidang seksual, misalnya: Homosexual/lesbian: di mana orang mempunyai perasaan tertarik terhadap jenis kelamin yang sama, tetapi menyenangi sensansi atau rangsangan atas kelaminnya sendiri, sehingga tidak mempunyai keinginan untuk berganti kelamin. Transsexual : di mana orang merasa dirinya sebagai orang yang fisiologis terdapat dalam dirinya, dan mempunyai keinginan keras untuk menyelaraskan
128
Urgensi Pendidikan Moral
dengan alam perasaannya tersebut serta bersedia menempuh berbagai macam jalan pengobatan termasuk operasi penyempurnaan kelamin.
2. Data Biologis •
Lambatnya mencapai kemasakan seksual
Bila dibandingkan dengan binatang-binatang lain, manusia termasuk yang paling lambat dalam mencapai kemasakan seksual. sehingga memiliki “masa kanakkanak” relatif cukup panjang. Maka kemungkinan terjadinya gangguan yang menyebabkan adanya kelainan cukup banyak juga kalau masa kanak-kankan tersebut tidak terisi dengan baik demi perkembangan hidup seksual yang normal. Hal ini akan semakin jelas dalam pembahasan dimensi psikologis. •
Sikap dalam mengadakan hubungan seks.
Pada binatang kegiatan seks terbatas pada saat pihak betina dalam keadaan subur, sehingga tidak akan terjadi perkosaan.Batas yang demikian tidak terdapat dalam diri manusia. Rasa tertarik untuk mengadakan hubungan seks dalam diri manusia tidak mengenal batas. Tetapi dalam dunia binatang hubungan seks diatur oleh alam. pengaturan yang demikian tidak terdapat dalam dunia manusia, sehingga terdapat kemungkinan terjadinya “penyelewengan-penyelewengan”. Maka dibutuhkan norma-norma untuk mengaturnya demi persatuan dan demi keturunan.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri •
129
Variasi dalam mengadakan hubungan seks.
Bila dalam dunia binatang cara/ sikap dalam mengadakan hubungan seks sudah ditentukan dengan pasti oleh “kodrat”, sehingga tidak ada variasi, sebaliknya dalam dunia manusia terdapat cukup banyak variasi sikap/cara dalam mengadakan hubungan seks. Itu berarti dalam dunia manusia yang mengatur dalam bidang ini bukan hanya kodrat biologi demi keturunan, melainkan masih terdapat banyak kepentingan atau nilai lain yang turut menentukan norma yang mengaturnya. Dari sini sudah nampak bahwa manusia dalam mengadakan hubungan seks tidak cukup mengikuti naluri instingtif seperti yang terjadi dalam dunia binatang, melainkan banyak hal yang perlu dipelajari dan diperkembangkan demi nilai-nilai tertentu tanpa memperhitungkan dampak negatif yang dapat menghancurkan nilai/makna seksualitas keseluruhan. Nilai-nilai seks yang tidak bias diabaikan antara lain nilai kesehatan, kenikmatan, reproduksi dan keintiman [kemesraan dan kebahagiaan]. 3. Data Psikologis Pada bagian ini banyak dimanfaatkan hasil studi Freud, terutama mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masa kanak-kanak, yang akan mempunyai pengaruh dalam kehidupan seksual selanjutnya. Menurut Freud: Libido menjadi pendorong, pengarah, sumber kekuatan hidup. Libido mendorong individu mengejar yang nikmat dan menghindari yang tidak nikmat. Libido mendorong individu terus berkembang menuju kedewasaan hetero-seksual. Lingkungan, terutama dari orang tua sendiri, besar pengaruhnya terhadap proses perkembangan. Ling-
130
Urgensi Pendidikan Moral
kungan yang secara emosional sehat akan membantu proses perkembangan hidup emosio-seksual anak, sebaliknya suasana lingkungan yang kurang sehat hidup emosio-seksualnya juga akan mengganggu perkembangan hidup emoso-seksual anak yang bersangkutan. Dengan demikian nampak adanya kemungkinan perkembangan libido dapat terhambat/terhenti pada tahap perkembangan tertentu, yang suatu ketika akan menggejala dalam bentuk gangguan emosioseksual dalam usia dewasa nanti. Freud membagi perkembangan libido dalam beberapa periode: •
Periode oral (0-1 th)
Dalam periode ini semua kegiatan libido terpusatkan pada mulut. Unsur seksual dalam periode ini belum nampak jelas, namun jejaknya dapat dengan jelas teramati pada kegiatan seksual dalam periode dewasa nanti, dimana terdapat kegiatan seksual bersifat oral seperti cium, kecup, sampai ke “hubungan oral”. Ketidakberesan dalam melalui periode ini akan terulang dalam masa dewasa nanti dalam bentuk kelainan. •
Periode anal (1-3 th)
Dalam periode ini anak dapat memperoleh kenikmatan dari kegiatan “menahan/ mengeluarkan” faeces. Perkembangan dalam periode ini masih lebih terarah kepada diri sendiri serta fungsi organ. Maka juga disebut “periode harcisistis”. Bila anak tidak dapat dengan baik melewati periode berarti tidak lulus maka ada kemungkinan masih harus mengulangi/ “her”. Her tersebut akan berupa kelainan narcisistis pada usia dewasa nanti. Kemacetan perkembangan dapat terjadi bila anak hidup
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
131
dalam lingkungan sosial yang hidup emosioseksualnya kurang sehat. •
Periode phallic (sekitar 3 th)
Kecenderungan libido mulai terpusatkan pada organ seksual yaitu pada penis/klitoris. Anak mulai mendapatkan kenikmatan dalam mempermainkan organ tersebut. Karena mengalami kenikmatan si anak lalu ingin mengulangi – sehingga menimbulkan semacam kebiasaan mempermainkan organ seksual.Hal tersebut tidak perlu dipermasalahkan selama terjadi masih dalam periode phallic tersebut. Sebaliknya bila anak tidak berhasil melewati periode ini dengan baik akan menggejala kembali dalam periode-periode berikutnya sehingga dapat menimbulkan masalah pada usia dewasa nanti karena mempunyai kelainan: mencari kenikmatan seksual sendirian. •
Periode oedipal (4-7 th)
Dalam periode ini anak mulai memasuki “hubungan efektif seksual antar pribadi”. Anak mulai mengarahkan affeksi seksualnya ke jenis lain, tetapi belum berani kepada orang lain, maka lalu terarahkan kepada orang tua sendiri : anak putri kepada ayah dan anak putra kepada ibu. Maka periode ini merupakan pintu gerbang memasuki perkembangan seksual yang bersifat heteroseksual. Dari lain pihak periode tersebut juga merupakan periode konflik, maka apabila tidak mendapatkan udara segar dalam keluarga perkembangan ke arah heteroseksual akan terhambat, sehingga mungkin muncul kelainan ke arah homoseksual.
132 •
Urgensi Pendidikan Moral Periode latensy (7 th - selesai)
Dalam periode ini mulai tumbuh rasa tertarik kepada jenis lain sebagai jenis yang lain dari dirinya, yang sekaligus juga dibarengi adanya rasa malu terhadap jenis lain. Meskipun mereka dalam bermain masih mengelompok bersama jenis sendiri, tetapi mulai nampak adanya kegiatan-kegiatan yang berbau seksual dan mulai tertarik terhadap hal-hal yang bersifat seksual. Perasaan demikian dibarengi dengan terjadinya perubahan fisik sehingga dunia kanak-kanak seolah-olah berubah seluruhnya menuju dunia dewasa. Libido memasuki perkembangan tingkat akhir yang akan mengantar ke tingkat seksualitas dewasa atau tingkat genetal. •
Beberapa bentuk kelainan
Perkembangan seksual genital yang normal adalah hete-roseksual dan sebagai titik puncaknya mengarah hubungan seks dengan jenis lain. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa dalam perkembangan fisiologis terdapat macam-macam gangguan yang dapat menyebabkan terjadinya kelainan. Demikian juga dalam perkembangan seksual genitalpun terdapat macam-macam gangguan yang menyebabkan terjadinya kelainan, seperti misalnya : Narcisismus, terjadi perasaan erotis yang tertujukan pada diri sendiri atau tubuh sendiri menggejala antara lain dalam bentuk: onani, polusi, masturbasi. Voyeurismus, terjadi perasaan erotis hanya dengan “mengamati” jenis lain. Exhibisionismus, terjadi perasaan erotis dengan “mempertontonkan” organ seksualnya kepada jenis lain. Sadismus, mendapatkan kepuasan erotis dengan
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
133
“menyakiti” jenis lain. Pemerkosaan sedikit banyak terkena warna kelainan sadismus. Masochismus, mendapatkan kepuasan erotis justru dengan “menderita”. Transvestitismus, mendapatkan kepuasaan erotis dengan “memanfaatkan” pakaian jenis lain. Transseksual, mempunyai kecenderungan kuat untuk mengganti organ kelamin lalu berperan sebagai pribadi lain jenis dari yang de fakto dimiliki. Homoseks/lesbian, kecenderungan mendapatkan kepuasan seksual dengan mengadakan “hubungan seksual” dengan jenis yang sama : laki-laki dengan lakilaki, wanita dengan wanita.
4. Data Antropologis Yang dimaksud dengan data anthropologis adalah sikap manusia sebagai manusia terhadap seksualitas. Masalah seksualitas adalah sangat pribadi, sehingga tidak berlebihan dikatakan bahwa setiap orang dapat mempunyai sikap pribadi yang berbeda-beda. Namun demikian secara garis besar sikap pribadi yang berbedabeda tersebut dapat dikelompokkan kedalam dua golongan yaitu (1) sikap yang lebih tertutup dan menilai seks cenderung negatif, (2) sikap lebih terbuka dan menilai seks cenderung positif. •
Sikap tertutup cenderung negatif: Kotor penuh dosa
Tidak hanya masa lalu tetapi sekarangpun masih ada orang yang berpendapat bahwa seks adalah sesuatu yang kotor, jenes (jawa), yang tidak layak dibicarakan secara terbuka di hadapan umum. Semua pembicaraan dan
134
Urgensi Pendidikan Moral
perbuatan yang ada hubungan dengan seks dirasakan sebagai sesuatu yang kotor, tidak pantas, jenes, penuh dosa. Bahkan sampai ada anggapan bahwa satu-satunya dosa yang tidak pantas adalah dosa seksual sehingga ada istilah : “dosa kotor, penyakit kotor, dosa jenes, dosa tidak pantas”, yang dimaksud adalah dosa atau penyakit yang ada hubungan dengan seks. Kiranya ini pengaruh dari budaya puritanis. •
Sikap tabu
Tabu adalah penilaian irrasional mengenai dosa. Berbicara seks adalah tabu artinya menjadi pantangan, larangan yang tak boleh disentuh dan dibicarakan. Maka sikap gegabah dan irrasional apabila berpendapat bahwa dosa paling utama adalah dosa yang berhubungan dengan seks. Memang ada dosa berhubungan dengan seks, ya bahkan dosa berat, tetapi jelas kurang tepat berpendapat bahwa hukum yang terpenting adalah yang menyangkut seks sehingga disimpulkan bahwa dosa berhubungan dengan seks selalu “ex genere suo grave” sedangkan dosa yang langsung melawan cinta kasih dan keadilan dipandang enteng. •
Sikap farisiis
Bila diajak bicara serius terbuka menolak dengan alasan tidak pantas membicarakan masalah seks, tetapi dalam pembicaraan secara tersembunyi, tidak resmi dan porno dengan senang hati ambil bagian. Sikap parisiis juga terdapat dalam diri orang yang secara sembunyisembunyi melanggar aturan sendiri. Farisiis adalah sikap “sok suci”.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri •
135
Sikap main polisi
Sikap main polisi adalah sikap yang mau menyelesaikan segala masalah dengan memberikan hukum yang memaksa dari luar. Sehubungan dengan seks sanksi hukuman dapat berupa dosa. Usaha mengancam dengan sanksi dosa mungkin dapat berhasil dalam masyarakat tertutup, yang statis, tidak mempunyai aspirasi hidup. Tetapi untuk masyarakat yang sudah terbuka bagi kebudayaan luar kiranya resep-resep etik dengan acaman dosa tidak berfungsi lagi. Yang diharapkan adalah norma-norma yang menunjukkan nilai-nilai yang harus diperjuangkan. •
Sikap terbuka cenderung positif: Sikap pornografis
Seperti sikap tabu sikap pornografis juga mempunyai obsesi seksual. Hanya bedanya dalam sikap tabu terdapat obsesi negatif, melarang, sedangkan dalam sikap porno-grafis terdapat obsesi positif. Sikap pornografis jelas melihat nilai positif seks, hanya saja nilai positif tersebut disalahgunakan untuk memperoleh keuntungan material belaka. Maka mesti menilai positif seks sikap pornografis merendahkan seks karena tidak diarahkan ke hubungan personal dalam cinta kasih tetapi disalahgunakan untuk mendapatkan keuntungan material. Prostitusi dalam arti yang sebenarnya yaitu mengeksploatasi nilai positif seks. Sikap panseksualis Panseksualis merupakan bentuk lain obsesi seksual yang mau menerangkan semua nilai pribadi dari seks. Sifatnya bukan komersial seperti pornografi melainkan
136
Urgensi Pendidikan Moral
ilmiah. Sangat terkenal thesis Freud yang mengatakan dalam diri manusia, sedangkan realitas lain-lainnya seperti misalnya: agama. ilmu pengetahuan, kesenian, kebudayaan, hanyalah merupakan bentuk sublimasi dari realitas dasar tersebut. Para psikolog dewasa ini pada dasarnya sudah meninggalkan thesis Freud tersebut, akan tetapi masih terdapat sikap hidup kongkrit yang kurang lebih seperti itu. Sikap hidup yang demikian itu umumnya terbuka, sehingga mungkin diajak berdialog untuk bersama semakin mendekati kebenaran •
. Sikap romantis
Sikap yang terbuka terhadap seksualitas menghendaki manusiawi sepenuhnya. Berbeda dengan “amicitia platoni-ca/persahabatan platonis”, yaitu persahabatan melulu rohani, yang mengesampingkan apa saja yang berbau seks, sikap romantis mau menciptakan persahabatan sepenuhnya manusiawi, maka juga mengikutsertakan seksualitas. Cinta kasih yang paling murni sekalipun akan selalu mengikutsetakan seksualitas, karena cinta kasih yang sungguh otentik manusiawi pasti melibatkan seluruh manusia termasuk seksualitasnya. Mengikutsertakan seksualitas itu tidaklah sama dengan mengarah ke hubungan seksual, melainkan berarti melibatkan manusia yang selalu bercirikan seksual kongkrit yang adalah pria dan wanita •
Sikap higienis
Sikap menilai seks melulu dari segi kesehatan. Maka penilaian didasarkan hanya atas fenomin biologis, belum memperhitungkan fenomin manusiawi, apalagi fenomin religius. Gejala semacam iti nampak dalam propaganda
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
137
KB yang di sana sini nampak memperhitungkan manusia hanya dari segi biologis. Manusia dipandang hanya sebagai yang melahirkan anak. Asal produksi anak secepat mungkin dikurangi. Berhasilnya KB hanya diukur dengan tambahnya ekseptor KB Lestari, lahirnya anak ke 3 dimengerti sebagai pertanda bahwa KB gagal. Akhirakhir ini sikap higienis terhadap seks nampak dalam pembicaraan-pembicaraan sehubungan dengan AIDS. Yang menjadi pokok masalah adalah bagaimana menanggulangi ancaman AIDS yang semakin mengganas. Jelas terdapat unsur sangat positif dalam pandangan tersebut, akan tetapi belum lengkap. Manusia bukan hanya makhluk biologis. Maka seksualitas manusia juga bukan hanya masalah biologis melainkan masalah manusiawi. •
Sikap human-sosial
Seksualitas merupakan unsur konstitutif untuk menciptakan hubungan cintakasih antar manusia. Manusia hanya mungkin memperkembangkan diri dalam masyarakat yang bernafaskan cintakasih. Sikap human-sosial menggejala dengan adanya usaha menciptakan masyarakat di mana masing-masing anggota saling mengenal secara pribadi, sehingga memungkinkan adanya dialog untuk menciptakan suasana hidup bersama di mana masing-masing anggota saling mendukung, saling mencinta secara manusiawi sepenuhnya. •
Sikap religius
Sikap religius merupakan perkembangan sikap humansosial. Perkembangan tersebut didasarkan atas kesadaran bahwa usaha untuk menciptakan masyarakat cinta kasih itu suatu ketika akan kandas apabila tidak diba-
138
Urgensi Pendidikan Moral
rengi usaha mensublimasikannya didasarkan atas nilainilai religius. Gagalnya usaha membangun cinta kasih perkawinan antara lain juga disebabkan karena tiadanya motivasi religius. Dari satu pihak cinta kasih harus dihayati secara manusiawi sepenuhnya, bukan hanya “amicisia platonica”, tetapi dari lain pihak cinta kasih manusiawi tersebut masih perlu disublimasikan sehingga dimensi relegius dari cinta kasih manusiawi tersebut juga terkembangkan.
5. Manusia adalah Makhluk Seksual Sadar atau tidak manusia adalah makhluk seksual, artinya berjenis laki-laki atau perempuan. Bicara tentang seks berarti bicara tentang hidup manusia. Maka pembicaraan tentang moral seksual tidak bisa dilepaskan dari “hormat” dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Norma sosial yang dalam tradisi agama dikaitkan dengan perintah “jangan berzinah” sesungguhnya bukan hanya bersifat larangan saja, melainkan berbicara tentang “kehormatan dan kesetiaan”, sebab seks menuntut tanggung jawab sosial. Banyaknya aturan atau larangan belum menjamin terciptanyan hubungan yang mantap dan baik antara laki-laki dan perempuan, sebab hubungan mereka merupakan masalah kepercayaan. Mereka membutuhkan suatu keyakinan mendalam. Penilaian moral seksual tidak dapat diatur dengan sejumlah aturan, sebab seks menyangkut seluruh dimensi hidup manusia dan penghayatan hidup manusiawi. Maka moral seksual juga menyangkut iman. Adanya dua jenis kelamin: laki-laki dan perempuan, adanya hubungan seksual dan keturunan berasal dari Allah dan dimaksudkan supaya manusia ikut serta dalam karya penciptaan Allah.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri •
139
Seks dan Seksualitas
Sebagai makhluk seksual manusia perlu memahami seks dan seksualitas. Seks dan seksualitas merupakan satu kesatuan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Purwa Hadiwardaya menyebutkan bahwa seks adalah alat kelamin dan hal-hal yang langsung menyangkut alat kelamin, sedangkan seksualitas adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kepribadian laki-laki dan perempuan (Purwa hadi-wardaya,1990). Maka seksualitas jauh lebih luas dari seks. Seks atau alat kelamin mempunyai peranan untuk membuang air seni, mengeluarkan darah kotor (haid), membuang sperma melalui mimpi-mimpi basah, mengungkapkan cinta dan keturunan. Seksualitas merupakan ciri khas pribadi manusia. Sejak dalam kandungan ciri khas itu sudah ada. Seksualitas ikut menentukan hubungan yang sehat antar pribadi dan mewarnai seluruh kehidupan laki-laki dan perempuan. Jika kita melihat seksualitas secara komprehensif, maka nilai-nilai seks yang tetap perlu diperjuangkan dan dikembangkan adalah kesehatan, reproduksi, keintiman dan kenikmatan. (bdk. Cahill, lisa Sowle, Sex, Gender And Christian Ethics, New York:? Cambridge University Press, 1996, hal 71-72) Nilai-nilai itu harus dipandang dan ditempatkan dalam rangka membangun tata cara kehidupan masyarakat yang semakin adil dan manusiawi. Nilai-nilai itu akan menyimpang bila dibelokkan menjadi hubungan saling menguasai, manipulasi dan kekerasan. Misalnya reproduksi dilembagakan dalam perkawinan yang mengutamakan keturunan; kenikmatan dilembagakan dalam perkawinan yang mengutamakan kenikmatan seks; keintiman dilembagakan dalam
140
Urgensi Pendidikan Moral
perkawinan homoseksual. Nilai-nilai seksual harus dikembangkan dalam hubungan pribadi pasangan, dalam hubungan tanggungjawab sosial, dan kontribusi mereka terhadap pembangunan masyarakat. •
Hubungan Seksual yang Baik Secara Moral
Memperhatikan nilai-nilai seks diatas, maka hubungan seks bukan suatu naluri alam yang harus selalu mendapat pelepasan. Seks untuk manusia bukan manusia untuk seks. Hubungan seksual tidak semata-mata merupakan aktivitas phisik atau individu. Hubungan seksual harus dilihat dalam konteks keseluruhan hidup pribadi, maka perlu dihayati dan dikembangkan dalam kesatuan kasih. Hubungan seksual merupakan ungkapan cinta kasih sejati, dan baru menjadi penuh kalau keduanya “saling berjanji” setia seumur hidup dan dilindungi oleh perkawinan yang sah. Dalam perkawinan hubungan seks menjadi ungkapan cinta kasih yang khas dan eksklusif, ungkapan kejujuran dan penyerahan. Hubungan seks yang manusiawi dapat mengalahkan kepentingan pribadi, meningkatkan pertumbuhan pribadi dan kemampuan laki-laki dan perempuan untuk saling memberi dan menerima kasih. Hubungan macam ini dapat menjadi dasar perkawinan yang tunggal (monogami), eksklusif dan tak terceraikan (kesetiaan). Tidak dibenarkan jika hubungan seks hanya berdasarkan “hak” suami atau istri. Dengan demikian menjadi jelas bahwa dalam hubungan seks tidak dapat mengabaikan nilai-nilai seks. Keduanya saling membahagiakan (memberikan kepuasan), open to life (terbuka bagi keturunan), heteroseksual
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
141
6. Masalah-masalah Moral Seksual Banyak kaum muda suka bertanya tentang apa yang boleh dan tidak boleh dalam masalah seksual. Berikut akan diuraikan masalah-maslah seksual yang sering dipertanyakan. •
Masturbasi atau Onani
Masturbasi (latin: turbatio/gangguan dan manus: tangan) adalah suatu tindakan laki-laki atau perempuan yang menstimulasi dorongan hawa nafsu dengan mempermainkan alat kelamin demi kenikmatan. Dalam pandangan modern masturbasi tidak dapat dinilai sama rata bahwa semuanya secara moral bernilai buruk. Menurut ilmu psikologi perkembangan, masturbasi sudah biasa terjadi pada anak-anak. Misalnya, anak-anak biasa mempermainkan alat kelamin, mengempit bantal waktu tidur karena merasa tenang, nyaman dan terhibur. Mereka melakukan hal itu secara spontan tanpa pengetahuan dan dorongan seksual. Maka tindakan mereka secara moral tidak dapat dinilai baik atau buruk. Pada kaum remaja, kaum muda atau dewasa penilaian moral terhadap masturbasi juga tidak dapat disamaratakan, sebab penilaian moral terhadap tindakan masturbasi perlu mempertimbangkan situasi dan motivasi dari tindakan itu. (Purwa Hadiwardoyo, Al, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hal. 45) Kalau masturbasi itu dilakukan secara spontan, dilakukan oleh orang yang sedang tertekan dan suami-istri yang tinggal berjauhan, tanpa pengetahuan seks yang benar dan tidak secara terus menerus dilakukan, maka secara moral tindakan itu belum bisa dinilai buruk. Tetapi mereka perlu disadarkan bahwa tindakan mereka bisa
142
Urgensi Pendidikan Moral
berakibat buruk, sebab tindakan semacam itu memupuk sikap egois. Sedangkan kalau masturbasi itu dilakukan secara sengaja, tahu (bahwa seks untuk kemanusiaan), dan dilakukan secara terus menerus maka tindakan itu secara moral bernilai buruk. Oleh karena itu sejak dini pendidikan seks amat diperlukan. •
Homofilia dan Homoseksualitas.
Manusia adalah makhluk berjenis laki-laki atau perempuan. Secara seksual laki-laki atau perempuan yang normal akan tertarik pada lawan jenisnya. Maka ketika ada laki-laki atau perempuan yang tertarik dan menjalin hubungan dengan sesama jenis kelamin akan menimbulkan masalah moral dan dinilai buruk. Namun demikian, kita perlu hati-hati dalam memberikan penilaian moral terhadap tindakan mereka. Homoseksualitas perlu dibedakan dengan homofilia. Homofilia adalah pengalaman jatuh cinta kepada sesama jenis kelamin, tetapi cinta mereka baru diungkapkan dengan kemesraan ringan seperti saling merangkul, memeluk dan mencium tanpa permainan seksual (Purwa Hadiwardoyo, 1990:45) Sedangkan homoseksualitas yang juga disebut lesbianisme menyangkut ikatan cinta antara sesama jenis kelamin, yang sudah amat mendalam dan mencakup permainan seksual setingkat dengan hubungan suami-istri (Purwa Hadiwardoyo, 1990:45). Homofilia dan homoseksualitas secara moral sulit dinilai baik atau buruk. Tindakan macam ini kalau dilakukan oleh seseorang yang benar-benar bermental homo (homofilia dan homoseksualitas) secara moral tidak dapat dinilai buruk sebab pelaku memiliki kelainan mental seksual. Maka kepada mereka perlu diberikan
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
143
pendampingan dan kasih sayang yang tulus daripada teguran yang sinis dan menghakimi. Tetapi apabila tindakan itu sengaja dilakukan oleh orang yang normal dan demi kenikmatan seksual, maka secara moral tindakan itu buruk. Maka kepada mereka perlu ditegur dan dibantu untuk berani melepaskan diri dari partnernya. •
Seks bebas
Seks itu adalah anugerah Allah yang bersifat suci, indah dan sungguh amat baik untuk kemanusiaan. Seks menjadi buruk, jorok, memperbudak dan menghancurkan hidup manusia kalau disalahgunakan. Karena itu dalam semua tradiri masyarakat seks dihormati dan dilindungi oleh perkawinan. Menghormati seks berarti menghormati martabatnya sendiri. Menghormati martabatnya sendiri berarti menghormati sesama dan menghormati Allah. Seks bebas adalah hubungan atau tindakan seksual di luar perkawinan. Di depan telah diuraikan bahwa hubungan seksual menjadi ungkapan cinta kasih sejati dan penuh kalau keduanya “saling berjanji” setia seumur hidup dan dilindungi oleh perkawinan yang sah. Dalam perkawinan hubungan seks menjadi ungkapan cinta kasih yang khas dan eksklusif. Maka cinta dalam perkawinan memiliki beberapa kualitas moral, yaitu kesehatan, kejujuran, totalitas dan kesetiaan seumur hidup. Dengan demikian seks bebas secara moral bernilai buruk, karena seks bebas dapat dipandang sebagai penyalahgunaan seks, perendahan martabat manusia dan tidak menjamin kualitas moral. Dalam seks bebas tidak ada penalaran akal budi yang sehat, tidak menunjukkan cinta sejati, mengabaikan nilai kesehatan, dan lebih mengunggulkan kepentingan-kepentingan pribadi, maka harus dihindari dan ditolak.
144 •
Urgensi Pendidikan Moral Operasi Ganti Alat kelamin
Seks atau alat kelamin merupakan anugerah Allah, maka bersifat kodrat. Seks merupakan unsur hakiki manusia, maka tanpa seks manusia tidak bisa hidup secara wajar. Disamping untuk kesehatan, seks juga berfungsi untuk reproduksi, kenikmatan dan keintiman. Namun di jaman modern ini banyak kaum laki-laki yang melakukan operasi ganti kelamin. Masalahnya adalah apakah tindakan operasi alat kelamin secara moral dapat dinilai baik? Alat kelamin laki-laki sering disebut buah pelir atau zakar. Zakar adalah kelenjar kelamin laki-laki yang menghasilkan hormon khas laki-laki. Hormon inilah yang ikut menentukan ciri khas laki-laki. Zakar mempunyai kontruksi khusus. Dalam keadaan normal zakar berbentuk kecil dan lemas. Tetapi bila ada rangsangan seksual zakar akan berereksi: menjadi besar, tegang, keras dan tegang. Ereksi berguna untuk melakukan hubungan seksual. Alat kelamin perempuan sering disebut vagina. Vagina adalah saluran yang menghubungkan rahim dengan alat kelamin bagian luar, tempat melakukan hubungan seksual. Vagina juga memiliki kontruksi khusus, sesuai dengan fungsinya untuk mengandung, melahirkan dan menyusui. Vagina mencakup kedua indung telur yang menghasilkan hormon-hormon khas perempuan. Vagina bersifat elastis dan bisa menyesuaikan diri: kapan melakukan hubungan seksual dan kapan mengeluarkan cairan, lender, darah haid. Berdasarkan ciri khas alat kelamin laki-laki dan perempuan inilah, maka operasi ganti kelamin secara moral bernilai buruk bahkan dapat dipandang sebagai
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
145
suatu kejahatan, sebab melawan kodrat manusia, mematikan ciri khas kemanusiaan laki-laki atau perempuan. Secara DNA laki-laki tetap memiliki kromosom yang berbeda dengan perempuan. Secara kodrat seorang laki-laki tetaplah seorang laki-laki, seorang perempuan tetaplah seorang perempuan, karena jumlah kromoson yang diberikan Allah.
Pertanyaan Reflektif: 1. Jelaskan hubungan dan perbedaan antara seks dan seksualitas. 2. Sebutkan nilai-nilai seks yang seharusnya dihormati dan dikembangkan untuk pembangunan masyarakat yang lebih adil dan manusiawi. 3. Sebutkan beberapa perilaku seksual yang dianggap menyimpang dari nilai-nilai seks. Jelaskan mengapa menyimpang? 4. Dalam perkawinan hubungan seks menjadi ungkapan cinta kasih yang khas dan eksklusif. Jelaskan apa maksudnya? 5. Jelaskan, apakah seks itu bersifat sosial? 6. Berilah tanggapan kritis, bagaimana penilaian moral terhadap masalah-masalah moral berikut: a. Masturbasi/ Onani b. Homofilia dan Homoseksual c. Seks bebas d. Operasi ganti kelamin
146
Urgensi Pendidikan Moral
Bahan Bacaan: Lisa Sowle Cahill., 1996 Sex, Gender And Christian Ethics, New York: Cambridge University Press. Al. Purwa hadiwardaya, 1990 Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius, Adimassana, 1998 Moral Dasar,USD,Yogyakarta
147
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
BAB IX MORAL PERKAWINAN
P
esatnya perkembangan IPTEK tidak hanya mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup masyarakat masa kini, tetapi juga ikut mempengaruhi pemahaman kehidupan keluarga masa kini. Tidak jarang terjadi perselingkuhan dalam perkawinan, kawin cerai, poligami, perkawinan siri, perkawinan beda agama dsb. Oleh karena itu perlu pemaham yang mendalam tentang perkawinan dan keluarga.
1. Perkawinan sebagai Lembaga Sosial Semua tradiri masyarakat telah melembagakan perkawinan dan memberikan pedoman-pedoman moral perkawinan. Masyarakat mengakui bahwa perkawinan merupakan ikatan yang memberi hak hidup & moral suami-istri untuk hidup bersama, hidup serumah, berhubungan seksual, menurunkan dan mendidik anak. Maka perkawinan amat dijunjung tinggi dan dihormati. Namun demikian norma perkawinan dalam masyarakat perlu kita kritisi secara mendalam supaya tetap meningkatkan kualitas moral manusia. Semua negara mengakui, mengatur dan melindungi lembaga perkawinan warganya. Maka setiap lembaga
148
Urgensi Pendidikan Moral
negara baik itu swasta maupun negri memberi tunjangan keluarga (istri atau suami dan anak-anak). Negara juga menentukan sifat-sifat atau ciri-ciri perkawinan yang diharapkan. Misalnya monogami, tidak terceraikan, poligami, dan sebagainya. Namun demikian ketentuan negara tentang hukum perkawinan tidak menjadi pedoman moral, tetapi sebagai pengaturan dan ketertiban hidup bersama. Maka setiap warga negara perlu memperhatikan norma-norma yang lainnya. Sebagai norma hukum, agama juga menjadi pedoman moral perkawinan. Kebanyakan agama memandang perkawinan bersifat suci, karena perkawinan itu dikehendaki Allah. Maka perkawinan juga diteguhkan dan dirayakan dalam ibadat. Kebanyakan agama juga memandang perkawinan yang baik adalah perkawinan yang monogami dan tak terceraikan. Tetapi ada agama yang mengijinkan perceraian atau poligami, asal syarat-syarat yang ada dipenuhi. Walaupun perkawinan itu dikehendaki Allah, perkawinan bukan merupakan kodrat manusia, melainkan bersifat pilihan atau panggilan hidup. Hidup perkawinan memiliki beberapa tuntutan moral, yaitu kemampuan untuk berhubungan seksual, kemampuan untuk setia, kemampuan untuk menurunkan dan mendidik anakanak. Tuntutan ini perlu direfleksikan secara jujur oleh mereka yang akan menikah: Apakah mereka memiliki kemampuan untuk memenuhi tuntutan-tuntan di atas?. Dalam hal ini pemilihan partner pun sebaiknya direfleksikan dengan pertimbangan-pertimbangan moral, bukan pertimbangan untung rugi atau asal sama-sama suka.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
149
2. Perkawinan sebagai Persekutuan Hidup dan Cinta Dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes dijelaskan bahwa perkawinan sebagai persekutuan “hidup” dan “kasih” suami-istri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukumhukumnya, dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali (GS 48). Ini menunjukkan bahwa perkawinan menyatukan seluruh hidup pribadi: jiwa dan raga, mental dan spiritual suami-istri seumur hidup. Persekutuan ini akan lebih mudah dan lancar dicapai kalau suami-istri memeluk agama yang sama. Tetapi bukan berarti perkawinan beda agama secara moral dapat dinilai buruk, sebab dasar perkawinan yang utama dan pertama adalah cinta, bukan agama. Cinta suami-istri adalah bentuk cinta yang total, sebab cinta mereka memperlihatkan komitmen yang menyebabkan munculnya suatu komunitas yang disebut keluarga. Dalam keluarga cinta suami-istri terus menerus diuji: apakah mereka tetap saling memperhatikan dan menaruh kepedulian dalam hidup sehari-hari?, apakah mereka tetap bersatu hati dan satu jiwa dalam mencapai kesempurnaan manusiawinya? Paus Paulus II dalam Anjuran Apostolik Familiaris Consortio (FC) menyebutkan seksualitas hanya diwujudkan secara sungguh manusiawi bila merupakan suatu unsur integral dalam cinta kasih, yakni bila pria dan wanita saling menyerahkan diri seumur hidup. (FC 11). Cinta semacam ini memadukan segi manusiawi dan ilahi, mengantar suami-istri untuk saling memberi dan menerima, dan makin sempurna karena adanya kerelaan
150
Urgensi Pendidikan Moral
untuk berjerih payah dan tak kenal lelah dalam menjaga keutuhan keluarga. Maka cinta yang manusiawi jauh lebih unggul dari pada cinta erotis yang mengutamakan kepentingan pribadi. Cinta macam ini bersifat murah hati, jujur, total, sabar, tawakal, rendah hati, rela berkorban, pemaaf, kreatif, sederhana, tidak mengenal lelah, tekun dan sebagainya.
3. Nilai-nilai Dasar Perkawinan Hukum dasar perkawinan adalah cinta. Nilai-nilai dasar yang dapat menjamin cinta sejati dan kehidupan perkawinan yang manusiawi adalah monogami, tak terceraikan, heteroseksual dan keterbukaan terhadap hadirnya seorang anak. •
Monogami
Perkawinan monogami adalah perkawinan antara satu suami dan satu istri. Perkawinan macam ini bersifat utuh, total dan tak terbagi, maka dapat menjamin kesehatan, kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga. Dalam perkawinan monogami suami-istri memiliki ruang dan kemampuan untuk memberikan diri mereka secara total dan sempurna sebagai suami-istri dan sebagai ayah-ibu bagi anak-anak mereka. Dalam perkawinan monogami martabat dan tanggung jawab suami-istri tampak sama saja, tidak ada yang merendahkan atau direndahkan. Perkawinan poligami menunjukkan relasi yang tidak adil dan tidak manusiawi. Cinta dalam perkawinan poligami tidak utuh, tidak total dan terbagi, maka suamiistri tidak memiliki ruang dan kemampuan untuk memberikan diri mereka secara total pada pasangannya dan anak-anak mereka. Perkawinan poligami secara
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
151
moral dapat dinilai buruk, tidak menunjukkan kualitas moral. Barangkali secara agama tertentu dan negara perkawinan poligami dapat dipandang baik, tetapi pandangan ini tidak ada nuansa moralnya. Pelaku perkawinan poligami cenderung bersikap minimalis, legalis dan kurang manusiawi. •
Tak Terceraikan
Perceraian menunjukkan bahwa suami-istri gagal mengembangkan cinta sejati. Ini terjadi karena suamiistri sibuk dengan kepentingan-kepentingan pribadi. Cinta mereka bersifat egosentris. Akibatnya cinta kasih mereka menjadi lemah, karena kurang mendapat perhatian. Secara moral perceraian dinilai buruk dan layak ditolak oleh mereka yang menjunjung tinggi kesucian perkawinan dan kesetiaan suami-istri. Tetapi kalau dalam perkawinan itu terjadi kekerasan yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, mengancam ketenangan dan keselamatan suami atau istri, perceraian tidak bisa dinilai buruk, maka layak diterima. Cinta seperti tanaman bunga yang membutuhkan perhatian dan kelembutan, maka harus dikembangkan dan tumbuh menjadi kuat melalui perjalanan kehidupan perkawinan mereka. Cinta itu suatu pemberian, bukan permintaan, maka harus dinamis, kreatif, proaktif, kontekstual dan tahan uji. Setiap hari cinta harus membuat suami-istri menjadi sepasang pribadi, menjadi dirinya sendiri dan semakin diperkaya oleh partnernya. Saling marah, gerakan tutup mulut (neng-nengan), sikap acuh tak acuh adalah lonceng kematian bagi cinta. Supaya perkawinan dapat bertahan dan bersifat kekal, suami-istri harus saling berkomunikasi. Ada empat
152
Urgensi Pendidikan Moral
bahasa komunikasi, yaitu saling bertukar pikiran atau pendapat, saling mengungkapkan perasaan, bahasa badan (pandangan mata, sentuhan, gandengan tangan, ciuman dsb) dan hubungan seksual. (Gilarso, T; Membangun Keluarga Kristiani, Yogyakarta: Kanisius, 1996: Hal. 47-52) •
Subur
Perkawinan bersifat subur, artinya hubungan seksual suami-istri bersifat prokreatif, yaitu memunculkan suatu kehidupan baru atau anak. Hubungan seksual adalah tindakan dan ungkapan cinta yang khas antara suamiistri. Tindakan ini harus dipandang luhur dan terhormat. Anak adalah buah-buah cinta suami-istri, maka harus diterima dengan penuh keterbukaan dan kasih sayang yang tulus. Mereka tidak bisa menolak anak dari hasil hubungan seksual mereka. Mereka yang telah melakukan hubungan seksual tetapi menolak kehadiran anak, secara moral dinilai buruk, karena melanggar martabat perkawinan. Namun demikian nilai kesuburan perkawinan tidak terbatas pada keturunan, tetapi harus diperluas dan diperkaya dengan buah-buah cinta yang lainnya. •
Heteroseksual
Hubungan seks adalah ungkapan cinta sejati yang khas dan penuh antara suami-istri. Setiap orang baik laki-laki atau perempuan harus menjaga kesehatan dan menjaga dorongan seksualnya, sebab seks tidak hanya untuk kenikmatan. Salah satu fungsi hubungan seksual adalah reproduksi. Hubungan seks akan memiliki kualitas moral dan bernilai baik, adil dan manusiawi kalau dilakukan antara laki-laki dan perempuan.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
153
Perkawinan sejenis kelamin secara moral tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka bernilai buruk.
1. Peranan Keluarga Perkawinan memberi hak dan kewajiban tertentu kepada suami-istri. Dalam hal ini Paus Paulus Yohanes II merumuskan peranan keluarga sebagai berikut: (Bdk. Familiaris Consortio art. 18 – 54) •
Membangun persekutuan pribadi-pribadi.
Melalui perkawinan suami-istri membangun persekutuan pribadi-pribadi atas dasar cinta. Mereka tidak bisa hidup tanpa cinta. Hubungan antar anggota keluarga harus dihayati sebagai sebuah perjalanan hidup dan persahabatan sejati. Ayah-ibu dan anak harus saling bersahabat, saling memberi dan menerima, saling meneguhkan dan menyempurnakan. •
Melayani kehidupan
Untuk berkembang dengan baik anak-anak membutuhkan pelayanan dan pendidikan. Orang tua diharapkan mau dan mampu melayani dan mendidik anak-anak. Peran orang tua bersifat khas dan tak tergantikan oleh siapapun. Orang Tua adalah guru yang otentik, pertama dan utama. Guru yang baik bukan yang banyak bicara, melainkan yang banyak memberi “teladan” dalam hidup baik. Semangat berbagi suka dan duka yang dikembangkan dalam keluarga adalah pedagogi yang paling konkrit dan efektif. Singkatnya keluarga harus dihayati sebagai sekolah kemanusiaan. Prinsip dasar pendidikan orang tua adalah cinta. Kebenaran, keadilan dan kemanusiaan adalah wujud cinta yang konkret.
154 •
Urgensi Pendidikan Moral Ikut membangun masyarakat
Keluarga adalah sel masyarakat. Agar masyarakat menjadi sehat dan baik, keluarga juga harus hidup sehat dan baik: bertindak jujur, adil, berperikemanusiaan dan beriman (beragama). Dengan demikian keluarga dapat memberi kontribusi yang baik pada pembangunan masyarakat. Keluarga yang tidak sehat mudah rusak dan bisa menghancurkan kehidupan masyarakat. •
Ikut membangun iman(spiritual)
Manusia adalah makhluk jasmari yang rohani, dan makhluk rohani yang jasmani. Maka keluarga juga dipanggil untuk membangun kehidupan rohani atau kehidupan iman. Keluarga diharapkan secara aktif saling meneguhkan iman dengan membina hidup rohani dalam keluarga (misalnya berdoa bersama), mendidik anak-anak dalam beriman (beragama) yang benar, dan aktif ikut terlibat dalam kegiatan keagamaan. •
Pertanyaan Reflektif
1. Apa yang dimaksud dengan “perkawinan adalah persekutuan hidup dan cinta?” 2. Apakah perkawinan itu bersifat pribadi dan sosial? Jelaskan! 3. Apakah perkawinan itu bersifat eksklusif? Jelaskan. 4. Apakah agama dapat menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga? Mengapa? 5. Sebutkan nilai-nilai perkawinan yang seharusnya dihormati dan dikembangkan untuk membangun masyarakat yang adil dan manusiawi. 6. Apakah perkawinan itu merupakan lembaga agama?
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
155
Jelaskan. 7. Apakah perkawinan itu bersifat kodrat? Jelaskan 8. Bagaimana perkawinan yang “baik” menurut anda? Jelaskan! 9. Kiranya apa yang akan menjadi penghalang dalam membangun keluarga yang baik itu. Jelaskan!
Bahan Bacaan: Gilarso, T; 1996 Membangun Keluarga Kristiani, Yogyakarta: Kanisius. John Paul II, 1981 Familiaris Consortio: Apostolic Exhortation, 22 Nov. Vatican, Polyglot Press,. Purwa hadiwardaya, Al, 1990 Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius. Konsili Vatikan II, 1993 Gaudium et Spes, Dokpen KWI, Jakarta: Obor.
156
Urgensi Pendidikan Moral
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
157
BAB X MORAL SOSIAL EKONOMI
1. Ekonomi Mengabdi Manusia Dalam Konstitusi Gaudium et Spes disebutkan bahwa manusia adalah pencipta, pusat dan tujuan seluruh kehidupan ekonomi (GS art 63). Maka makna dan tujuan yang paling inti dari proses perkembangan ekonomi bukan hasil produksi, bukan pula keuntungan dan kekuasaan, melainkan pelayanan kepada manusia seutuhnya, melayani kebutuhan jasmani dan rohani manusia. Kehidupan ekonomi harus mengantar manusia kearah pengembangan diri sebagai makhluk pribadi dan sosial. Ini tidak cukup dimengerti dalam arti pengembangan kemakmuran masyarakat, tetapi harus mencakup pengertian yang lebih luas, yaitu pengembangan hubungan sosial masyarakat dalam tingkat ekonomi yang semakin baik. Untuk ini diperlukan kesadaran sosial dan solidaritas. Pembangunan ekonomi tidak ada artinya kalau manusia-manusianya menjadi miskin dalam segi kehidupan bermasyarakat. Untuk itu kita dipanggil untuk menawarkan nilai-nilai solidaritas. Solidaritas dalam kelaparan, solidaritas dalam ketelanjangan, solidaritas dalam kesakitan, dan sebagainya. Kemiskinan muncul akibat dari
158
Urgensi Pendidikan Moral
struktur masyarakat yang tidak sosial. Sikap sosial yang secara moral dapat dinilai buruk yaitu, misalnya sikap radikal, sikap membenci golongan yang dianggap menindas orang kecil, sikap acuh tidak acuh atau masa bodoh, sikap kasihan. Sikap-sikap macam ini tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka layak dihindari.
2. Sistem Ekonomi Ada beberapa sistem ekonomi, yaitu sistem ekonomi pasar bebas (kapitalis), sistem ekonomi komando (kolektif) dan sistem ekonomi campuran dari kedua sistem tersebut. (Bdk. Purwa Hadiwardoyo, 1990: 80-84) Secara moral sistem ekonomi kapitalis dapat dinilai buruk, karena sistem ini mengunggulkan kebebasan individu yang menimbulkan ketidakadilan sosial dan kesenjangan antara mereka yang miskin dan kaya semakin lebar. Dalam sistem ini nilai kebersamaan sebagai makhluk sosial diabaikan, tidak dihargai. Dalam sistem ekonomi kolektif nilai kebersamaan dijunjung tinggi, tetapi nilai kebebasan individu tidak mendapat ruang dan diabaikan. Milik pribadi menjadi milik bersama. Pasar tidak bebas. Penggunaan harta miliki diatur oleh komando atau pemimpin pemerintahan. Akibatnya masyarakat menjadi malas dan tidak memiliki etos kerja, karena bekerja atau tidak bekerja dapat imbalan sama. Secara moral sistem ekonomi macam ini bernilai buruk karena tidak menghargai nilai kebebasan pribadi. Sistem ekonomi yang secara moral dinilai baik adalah sistem ekonomi campuran dari kedua sistem ekonomi diatas. Dengan sistem ekonomi campuran nilai pribadi dan sosial manusia sebagai makhluk bermartabat
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
159
dihargai dan dijunjung tinggi. Dengan sistem ini kehidupan ekonomi menjadi tanggung jawab bersama, dan tidak tergantung pada pemerintah saja. Sistem ini juga dapat menumbuhkan etos kerja yang tinggi.
3. Prinsip-prinsip Ekonomi Supaya kehidupan ekonomi sehat dan dapat mengembangkan kehidupan manusia seutuhnya, maka perlu memperhatikan prinsip-prinsip dasar berikut ini, yaitu: (bdk. GS 67 – 72) •
Kerja
Kerja bersumber pada manusia, maka kerja menjadi unsur terpenting dalam kehidupan ekonomi. Kerja untuk manusia bukan manusia untuk pekerjaan. Kerja memiliki nilai pribadi, sosial dan keagamaan. Pekerjaan menjadi alat dan sarana untuk mewujudkan kemanusiaannya. Dasar untuk menilai pekerjaan bukan terutama pada hasil pekerjaan dan jenis pekerjaan yang sedang dilakukan manusia, tetapi bahwa yang melakukan pekerjaan itu adalah manusia. Setiap pekerja harus diberi upah layak dan kesempatan untuk tetap bebas, kreatif dan bertanggung jawab dalam pekerjaannya. Jika ketiga unsur ini tidak ada, maka secara moral dinilai buruk, karena pekerja diperlakukan sebagai alat pekerjaan dan martabatnya direndahkan. Nilai sosial dari pekerjaan adalah bahwa dengan bekerja manusia saling bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan bersama dan menciptakan kesejahteraan umum. Sedang nilai agama dari pekerjaan adalah bahwa dengan bekerja manusia ikut terlibat dalam pekerjaan Allah. Dengan bekerja manusia
160
Urgensi Pendidikan Moral
mengabdi Allah dan menjadi rekan kerja Allah dalam membangun dan menyelamatkan ciptaan-Nya. •
Partisipasi
Kehidupan ekonomi menjadi tanggungjawab bersama. Maka perlu dikembangkan peran serta aktif dari semua anggota masyarakat dalam kebijakan-kebijakan ekonomi. Hak-hak dasar kaum buruh perlu disebutkan, agar mereka dapat membentuk serikat-serikat buruh yang dapat mewakili mereka dan ikut membantu dalam mengatur kehidupan ekonomi. Dengan demikian mereka merasa dilibatkan dalam tatanan sosial ekonomi dan ketika terjadi konflik sosial ekonomi dengan mudah dapat diselesaikan secara damai, •
Pemerataan kekayaan
Beriman atau tidak kita percaya bahwa dunia dengan segala isinya ini oleh Allah disediakan untuk keselamatan semua manusia, bukan hanya untuk segelintir orang saja. Oleh karena itu pemerintah dan pemilik modal perlu menciptakan lapangan pekerjaan dan memberikan upah yang mencukupi hidup para pekerja sehingga mereka bisa hidup layak sebagai manusia. •
Harta milik
Sebagai makhluk pribadi dan sosial, harta milik manusia sekaligus bernilai pribadi dan sosial. Ini tidak hanya menyangkut harta milik yang bersifat jasmani, tetapi juga yang bersifat rohani, misalnya kemampuan intelektual, profesional, iman, dsb. Jika sifat sosial diabaikan maka harta milik manusia dapat menimbulkan
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
161
keserakahan dan kekacauan hidup masyarakat. Secara moral hal ini bernilai buruk, sehingga bisa menimbulkan perlawanan hak atas miliki pribadi. Harta milik diharapkan menjadi sarana menciptakan kesejahteraan umum. Tetapi setiap kali kesejahteraan umum mengambil alih harta milik pribadi perlu ditetapkan ganti rugi. Singkatnya, hak milik perlu dihayati dan dikembangan dalam semangat kemiskinan dan solidaritas. “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan dari bangsa manusia masa kini,teristimewa yang miskin atau yang dalam cara apa pun sengsara,adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus pula” (GS 1)
Pertanyaan Reflektif 1. Berilah tanggapan kritis terhadap masalah? a. Kemiskinan b. Pengangguran c. Ketidakadilan sosial d. Korupsi 2. Bagaimana caranya menciptakan tatanan sosial ekonomi yang baik secara moral 3. Kerja memiliki nilai pribadi, sosial dan keagamaan. Sebutkan dan jelaskan. 4. Saat ini kesenjangan kelompok kaya dan miskin semakin lebar. Jelaskan apa sebabnya. 5. Berilah tanggapan kritis terhadap kehidupan sosial eknomi di tanah air Indonesia saat ini. Jelaskan.
162
Urgensi Pendidikan Moral
Bahan Bacaan: Eduard R. Dopo, 1992 Keprihatinan Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius. Purwa hadiwardaya, Al, 1990 Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius. Konsili Vatikan II, 1993 Gaudium et Spes, Jakarta:? Obor, 1993. Manusia tidak hanya hidup dengan kebaikan dan ketertiban, tetapi juga butuh ekonomi: sandang, pangan dan papan. Berikut ini akan dipaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial ekonomi.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
163
BAB XI MORAL HIDUP
M
engapa bicara masalah Moral Hidup? Zaman ini ditandai oleh kemajuan yang begitu pesat dalam berbagai bidang kehidupan. Kemajuan yang membawa perubahan kehidupan masyarakat seolah-olah tidak terbendung. Perubahan tersebut memberi nilai positif bagi kehidupan manusia, yaitu manusia semakin terbuka akan banyak hal, adanya efisiensi dalam kehidupan, semakin berkembangnya kualitas hidup manusia yang didukung oleh mudahnya komunikasi antar manusia (bangsa). Kemajuan itu juga membawa dampak negatif bagi kehidupan: pola pikir cenderung praktis-ekonomis yang mengakibatkan banyak orang mengabaikan pertimbangan moral. Banyak orang cenderung menekankan kebebasan pribadi, sehingga kepentingan sesama kurang diperhatikan; arogansi kekuasaan, penindasan, penggusuran, budaya “suap”, dan sebagainya. Penyalahgunaan teknologi untuk menghancurkan sesama yang mengakibatkan semakin merosotnya penghargaan terhadap matabat manusia (pengguguran, kejahatan yang semakin canggih, merosotnya penghargaan terhadap nilai perkawinan, menyingkirkan orang yang dianggap kurang produktif secara ekonomis (euthanasia, dan lain-lain.). Dalam
164
Urgensi Pendidikan Moral
situasi demikian, banyak kegelisahan diantara manusia dan mulai menyadari pentingnya norma moral yang bisa dipegang dan dipertanggungjawabkan. Norma moral itu dibutuhkan sebagai tolok ukur untuk menentukan benar tidaknya sikap dan tindakan manusia dilihat dari baik buruknya manusia sebagai pribadi. Penilaian moral adalah penilaian terhadap baik buruknya manusia yang menyangkut inti kepribadiannya (hati, watak, perangai, dan tindakannya).
1. Empat alasan mengapa kita membahas soal moral hidup: •
Amanat seluruh agama
Semua agama mengajarkan bahwa Allah adalah sumber kehidupan, karenanya Allah sungguh menyayangi kehidupan. Allah mengasihi manusia dengan kerahiman-Nya dan menghendaki agar manusia mengalami kehidupan yang sejati. •
Nilai dan indahnya kehidupan
Hidup adalah anugerah Allah yang amat berharga. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha mempertahankan hidupnya dan memperjuangkannya untuk hidup bahagia. Kehidupan sungguh amat bernilai, indah, dan mengagumkan. Kekayaan dan keindahan dunia tidak sebanding dengan hidup manusia. Orang akan memberikan segala kepunyaannya sebagai ganti nyawanya. Kehidupan yang amat bernilai dan indah ini terancam oleh ulah manusia sendiri (senjata, nuklir, berbagai racun kehidupan, serta keserakahan manusia sendiri).
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri •
165
Moralitas kehidupan kerap kali dikacaukan
Moralitas kehidupan seringkali dikacaukan oleh sikap manusia yang sewenang-wenang terhadap sesamanya, oleh ketidakpastian hukum (salah-benar menjadi tidak jelas). Moralitas sering dikacaukan pula oleh situasi kehidupan yang teleologis (bahwa hidup selalu mempunyai tujuan tertentu, demi tujuan yang baik tidak menghalalkan segala cara). Semua orang ingin memperoleh kebahagiaan. Akan tetapi, pandangan dan pengertian mengenai kebahagiaan kadang keliru. Akibatnya, banyak orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan “kebahagiaan” dan menjadikan orang lain sebagai tumbal. •
Moralitas merupakan tuntutan hakiki hidup MANUSIA
Moralitas menyangkut hati, sifat, perangai, dan tingkah laku manusia. Moralitas berkaitan dengan baikburuknya manusia sebagai manusia (inti kepribadiannya). Moralitas merupakan tuntutan sikap hidup dalam kehidupan bersama di tengah masyarakat. Norma moral penting bagi kehidupan manusia, agar kehidupan bersama dapat berlangsung dengan baik dan masingmasing individu tetap dihargai martabatnya (tanpa dirugikan).
2. Dasar Etik Menghormati Hidup Manusia • Martabat Manusia Sebagai Pribadi. Sebagai pribadi manusia mempunyai kemampuan untuk mengadakan pertimbangan-pertimbangan dan kebebasan mengadakan pilihan berdasarkan pertimbangan tersebut serta bertang-gungjawab atas pilihan
166
Urgensi Pendidikan Moral
bebas tersebut. Manusia menjadi subyek atas perbuatan yang dipilih dengan bebas. Kemampuan tersebut menunjukkan adanya keterbukaan dalam diri manusia terhadap orienta-si ke arah yang tak terbatas, ke arah yang ilahi, ke arah Allah dan hanya dalam Allah menemukan kepenuhan adanya. Manusia sebagai subyek adalah unik, mempunyai hak atas diri sendiri, atas hidup sendiri, dan apa saja yang dibutuhkan untuk hidup tersebut dalam rangka memperkembangkan diri menuju kepenuhan hidupnya. Dari sini nampak adanya kewajiban untuk menghormati hidup sesama manusia. •
Martabat Manusia Sebagai Makluk Sosial
Dalam menghayati hidup sebagai pribadi manusia selalu berada dalam kebersamaan. Dalam kebersamaan tersebut masing-masing pribadi mempunyai peran unik tak tergantikan untuk saling membantu, saling mendukung, saling tolong menolong dan saling mencintai dalam usaha mem-perkembangkan diri. Maka demi nilai-nilai kebersamaan tersebut muncul kewajiban untuk menghormati hidup sesama manusia. Menghancurkan seorang manusia pada akhirnya justru menimbulkan kerugian bagi kesejahteraan bersama. •
Nilai Hidup Jasmani
Hidup jasmani merupakan nilai duniawi paling dasar dan paling pokok. Paling dasar artinya menjadi dasar dan prasyarat untuk mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai duniawi lainnya. Maka nilai-nilai duniawi hanya mungkin masih mempunyai nilai dan dapat diperkembangkan selama manusia masih hidup di dunia ini. Bila manusia sudah meninggal dunia = mati, semua nilai
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
167
duniawi sudah tidak mungkin dikembangkan dan tidak ada artinya lagi baginya. Paling pokok artinya bila hidup jasmani itu diakui sebagai nilai duniawi paling dasar maka tidak pernah boleh dikorbankan demi nilai-nilai duniawi lainnya. Dengan kata lain bila terjadi konflik antar nilai-nilai duniawi hidup jasmani selalu mendapat prioritas. •
Iman Kepercayaan
Pertimbangan rasional adanya kewajiban untuk menghormati hidup manusia tersebut semakin diperkuat oleh pertimbangan iman, khususnya iman kristiani. Manusia diciptakan oleh Allah menurut gambar dan rupa Allah sendiri. Sebagai puncak ciptaan Allah dan sebagai gambar Allah manusia mendapat tugas perutusan untuk memperkembangkan adanya dengan mengolah alam semesta. Meskipun karena bujukan setan manusia berbuat dosa dan karena dengki setan maut memasuki dunia, tetapi Allah tetap menyayangi kehidupan yang ada, khususnya hidup manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, dan melarang membunuh sesama manusia, bahkan mengajak untuk saling menga-sihi. Manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah tersebut, kendati rusak karena dosa, diangkat menjadi “anak Allah, dipanggil ikut ambil bagian dalam kehidupan Allah”. Makna panggilan pribadi untuk hidup dalam persekutuan dengan Allah itu mengatasi segala nilai duniawi, martabat manusia juga transenden sifatnya atau mengatasi segala nilai duniawi, tidak ter-gantung dari suku bangsa, jenis kelamin, umur, bakat, keturunan, kedudukan ataupun kualitas apapun. Dengan demikian
168
Urgensi Pendidikan Moral
kewajiban untuk menghormati hidup manusia mendapatkan dasar semakin kokoh dan kewajiban tersebut oleh Kristus diperkembangkan menjadi hukum cinta sebagai hukum yang pertama dan utama. Dari uraian di atas nampaklah bahwa hidup merupakan anugerah Allah yang amat berharga , oleh karena itu manusia terpanggil untuk memelihara dan melindungi kehidupan sejauh mungkin. Memelihara hidup juga merupakan wujud dari rasa syukur atas anugerah Allah tersebut. Mengapa hidup manusia harus dihormati ? karena manusia mempunyai martabat lebih tinggi dari pada makhluk ciptaan lainnya, maka manusia dalam keadaan apapun harus dihargai sesuai dengan martabatnya. Pemeliharaan hidup manusia harus diupayakan sejak awal kehidupan sampai pada akhir kehidupan. Moral hidup meliputi bidang yang membahas tentang pentingnya kita menghormati hidup misalnya : Dapatkah dibenarkan jika orang melakukan pengguguran kandungan? Dapatkah dibenarkan jika orang mengupayakan anak dengan cara rekayasa genetic seperti bayi tabung, cloning? Dapatkah dibenarkan pasangan suami istri melakukan pembatasan anak dengan motivasi yang tidak tepat dan menggunakan alat kontrasepsi buatan? Dapatkah dibenarkan jika orang dengan maksud baik membiarkan orang lain mati secara sengaja?
3. Pandangan Tentang Awal Hidup Manusia Abortus provocatus merupakan tindakan yang banyak dikecam oleh berbagai pihak, karena jelas membunuh janin yang tidak berdosa dan tidak berdaya.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
169
Pembahasan tentang abortus provocatus berkaitan erat dengan kapan dimulainya hidup manusia. Tindakan itu bisa disebut “abortus provocatus” kalau sudah terjadi kehidupan, sebaliknya apabila belum terjadi kehidupan, maka tindakan tersebut tidak bisa dikatakan “abortus provocatus”. Permasalahan terjadi karena ada banyak pandangan yang berbeda tentang sejak kapan dimulainya hidup manusia. Ada beberapa hipotesa pokok mengenai permulaan adanya hidup manusia menurut beberapa ahli seperti yang dipaparkan oleh Purwowidyana sebagai berikut: •
Enam minggu sesudah lahir.
Flamm adalah salah satu pendukung pandangan ini. Menurut Flamm bayi yang baru saja dilahirkan itu belum sebagai manusia aktual, melainkan hanyalah “manusia yang masih dalam potensi”. Alasannya bayi yang baru saja lahir belum memiliki kesadaran pribadi. Menghancurkan bayi yang baru saja lahir tidak bisa disamakan dengan pembunuhan dalam arti yang sebenarnya. •
Pada saat dilahirkan.
Pandangan ini mengatakan bahwa bayi yang baru saja lahir mendapatkan hak-hak manusia segera sesudah diserahkan dan diterima oleh ayahnya secara resmi. Pandangan ini berasal dari kebudayaan primitif. Theunissen dan Beggen berusaha memberikan argumentasi pandangan tersebut secara theologis dengan menghubungkan dengan kewajiban mempermandikan anak segera sesudah dilahirkan.
170 •
Urgensi Pendidikan Moral Sekitar 12 minggu sesudah pembuahan
Pandangan ini bertitik tolak pada pendapat Aristoteles. Menurut Aristoteles hidup manusia mempunyai 3 tahap, yaitu: Tahap hidup vegetatif, tahap hidup sensitive atau hewani, dan tahap hidup rasional atau manusiawi. Thomas Aquinas menerima pemikiran Aristoteles tersebut. Menurutnya “hidup rasional” janin harus sudah mempunyai otak kecil yang baru terbentuk ketika janin sudah berumur sekitar 12 minggu.
• Sekitar 13 hari sesudah pembuahan Pandangan ini mengatakan bahwa sebelum hari ketiga belas sesudah pembuahan masih ada kemungkinan terjadinya anak kembar dari satu sel telur, maka zygote jelas belum mempunyai individualitas yang pasti.
• Sekitar hari ke 6 sesudah pembuahan Pandangan ini mengatakan bahwa baru setelah terjadi nidasi atau sekitar hari ke 6 atau 7 setelah pembuahan. Pandangan tersebut didasarkan pada beberapa data biologis yaitu: pertama, berdasarkan pengamatan atas keterlambatan menstruasi diperkirakan sekitar 5060% telur yang sudah dibuahi tidak berhasil mengadakan nidasi atau terjadi keguguran spontan. Kedua, menurut Hellegers, nidasi merupakan peristiwa yang mutlak harus terjadi supaya telur yang sudah dibuahi bisa berkembang. Ketiga, sampai pada saat nidasi ini masih mungkin terjadi anak kembar dari satu telur, jadi sebelum nidasi belum ada individu, sebab keunikan individu adalah justru sifat tak terbagikan.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
171
• Sejak saat terjadinya pembuahan Pandangan ini mengatakan bahwa sejak saat terjadinya pertemuan antara sel telur dengan spermatozoa sudah terbentuk “Kromosom-Patron” yang sudah dapat dipastikan perkembangannya.Traffers seorang gynaecolog kenamaan mendukung pandangan tersebut. Menurut Traffers hidup yang sudah sejak awal saat pembuahan itu adalah hidup manusia, sebab struktur genetis dari sel-sel tersebut mempunyai sifat manusiawi (Purwawidyana, 1983, 35-38) Menurut deklarasi persekutuan tenaga medis sedunia di Genewa pada tahun 1948 seperti yang dikutip Purwawidyana, dikatakan bahwa hidup manusia itu sudah ada sejak saat pembuahan . Sedangkan menurut Purwa Hadiwardaya (1990, 23) mengelompokkan 3 pendapat yang mempunyai argumen kuat tentang mulainya hidup seorang manusia: Pendapat pertama, hidup seorang manusia sudah dimulai sejak pembuahan, ketika sperma dan sel telur bersatu serta membentuk “Zygote” (+12 jam setelah hubungan seksual). Alasanya, Zygote itu jelas hidup karena berkembang dengan melipat gandakan diri sel pertama itu sudah jelas laki-laki atau perempuan dan sudah memuat semua bakat pribadi. Sel telur: terdapat 23 kromosom. Terdiri dari 22 kromosom watak ibu dan 1 kromosom seks wanita (x)Sperma: terdapat 23 kromosom, terdiri dari 22 kromosom watak ayah dan 1 kromosom seks wanita / pria (y). Zygote : terdapat 46 kromosom. Terdiri 44 kromosom watak anak-anak dan 2 kromosom seks anak wanita x-x dan pria x+y.
172
Urgensi Pendidikan Moral
Pendapat kedua, Hidup seorang manusia barulah mulai sekitar 11 hari setelah pembuahan,tepatnya saat embrio terjadi dan menempel pada dinding rahim (nidasi) yakni ketika muncul individualitas (yang jelas) ketika kumpulan sel-sel itu tidak mungkin lagi terpisah menjadi beberapa anak kembar. Pendapat ini mengkritik pendapat yang pertama dengan alasan-alasan sebagai berikut: Pertama, sel pertama itu masih mudah mati secara spontan atau sekitar 50% akan mati secara spontan sebelum berusia 1 minggu. Apakah masuk akal bahwa Tuhan menciptakan manusia yang dalam waktu 1 minggu sudah mati secara spontan seperti itu? Alasan kedua, manusia berciri individual artinya besifat unik dan tak terbagikan menjadi dua atau tiga manusia. Padahal sel pertama itu masih dapat berkembang menjadi beberapa janin kembar. Jika sel pertama sudah manusia bagaimana mungkin dalam perkembangan selanjutnya ia dapat berubah menjadi beberapa manusia kembar? Sel pertama baru layak disebut manusia setelah mencapai taraf individualis yang tetap yakni sekitar 11 hari setelah pembuahan dan sel tersebut sudah mulai menempel pada rahim ibunya. Sedangkan pendapat ketiga, hidup khas manusia baru muncul ketika embrio berusia sekitar 20 sampai 40 hari, yakni bila embrio itu sudah berhasil membentuk otak dalam dirinya. Adapun alasanya: Pertama, manusia berbeda dari makhluk ciptaan lainya karena kemampuan mental dan spiritual. Kemampuan tersebut ada bila ia memiliki otak. Jadi sel-sel manusia baru dapat disebut manusia bila ia sudah memiliki otak. Alasan kedua, janin yang tidak berhasil membentuk otak dalam dirinya ternyata akan mati denga sendirinya. Hal itu ditafsirkan
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
173
sebagai kehendak Tuhan sendiri. Tuhan tidak menghendaki bahwa ada manusia yang tidak punya otak, maka janin yang tak berotak akan gugur dengan sendirinya.
4. Penilaian Moral Mengenai Awal Hidup Manusia Telah ditunjukkan beberapa hipotesa mengenai awal kehidupan manusia. Beberapa hipotesa itu perlu dilihat secara kritis. Pertama, harus disadari bahwa aspek hidup manusia sangat banyak. Bila masing-masing hanya menekankan salah satu aspek saja, kesimpulannya juga berbeda-beda dan kurang seimbang. Kedua, hidup manusia itu bukan fakta statis melainkan terus berkembang. Maka, telaah terhadap hidup manusia juga perlu memperhatikan hukum perkembangan. Analisis terhadap perkembangan janin berdasarkan data-data biologis seharusnya tidak berhenti pada data-data aktual melainkan juga memperhitungkan segi teleologis atau arah perkembangan kehidupan manusia secara menyeluruh. Ketiga, untuk dapat menentukan mulai kapan awal hidup manusia, perlu adanya kriteria yang dapat menunjukkan adanya hidup manusia sendiri. Perlu ditentukan kriteria yang dapat menunjukkan di sini sudah ada hidup manusia. Kesulitannya, kriteria itu tersembunyi dalam berbagai aspek hidup manusia. Contohnya, kalau yang digunakan kriteria itu otak kecil, bagaimana dengan orang idiot, sama-sama punya otak kecil tetap berbeda, orang gila, orang semaput, dsb. Keempat, kemungkinan yang dapat diberikan adalah menentukan ciri-ciri umum yang dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa pada saat tertentu sudah ada hidup
174
Urgensi Pendidikan Moral
manusia. Maka, pertama-tama berupa deskripsi yang menerangkan adanya hidup manusia dan bukan definisi mengenai hidup manusia itu sendiri. Deskripsi ini diharapkan bisa dijadikan landasan untuk menghormati manusia. Hidup Manusia itu terus berkembang, mulai saat pembuahan sampai mati. Perlu ditunjuk Unsur Minimum (yang menjadi elemen dasar pembangun hidup manusia yang pasti harus dimiliki oleh setiap manusia. MAKA, Berdasarkan pertimbangan point di atas dapat dinyatakan dengan meyakinkan bahwa: 1. SEJAK SAAT PEMBUAHAN sudah ada hidup manusia, karena dalam telur yang sudah dibuahi terdapat kromozom-patron yang sudah memiliki elemen dasar yaitu RNA (Ribonucleic Acid) dan informasi genetic yaitu DNA (Dioxyribonucleic Acid) untuk perkembangan hidup manusia selanjutnya. Kromozom-patron itu tidak memerlukan tambahan apa-apa dari luar untuk berkembang menjadi manusia. 2. Sejak saat pembuahan adanya manusia itu masih POTENSIAL: belum mempunyai sel differensiasi, masih mungkin terjadi bayi kembar, hanya hidup karena makanan dari tubuh ibu. 3. Setelah nidasi, potensi itu sungguh menjadi teraktualisasi (dinyatakan): janin mulai menjadi dirinya sendiri, ada interaksi dan relasi dengan ibu. Jadi, HIDUP MANUSIA itu secara POTENSIAL ada SEJAK SAAT PEMBUAHAN, dan secara AKTUAL SEJAK SAAT NIDASI.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
175
5. Pengguguran Kandungan Persoalan mengenai pengguguran kandungan merupakan persoalan yang terdapat dalam sepanjang sejarah manusia. Pada akhir-akhir ini, di mana kemajuan dalam bidang IPTEK berkembang dengan pesat, persoalan mengenai pengguguran juga meningkat dengan hebat. Di mana-mana pengguguran menjadi bahan pembicaraan, baik secara resmi dan serius maupun secara demonstratif dan emosional. Meningkatnya jumlah pengguguran kandungan bukan hanya disebabkan karena secara teknis cara mengadakan pengguguran semakin disempurnakan, sehingga resiko semakin dikurangi dan hasil baik semakin terjamin, melainkan kemajuan dalam bidang IPTEK khususnya dalam bidang BIOTEK, dapat dikatakan menyadi penyebab meningkatnya jumlah pengguguran kandungan. Berkat kemajuan IPTEK yang semakin mengagumkan manusia semakin menyadari peranan dan kemampuan dirinya untuk memperkembangkan dan mengusai alam semesta. Manusia tidak mau lagi ditentukan oleh kodrat, sebaliknya mau menguasai dan mengatur kodrat. Semangat dan sikap hidup yang demikian itu juga nampak jelas gejalanya dalam masalah kehidupan pada umumnya dan pengguguran khususnya. Manusia mau sepenuhnya mengusai dan mengatur kehidupan sejak awal proses terjadinya. Bila kodrat biologik bekerja tidak sesuai dengan rencana hidup yang ditentukan, misalnya terjadi kelamin yang tidak diinginkan, manusia akan menggagalkan proses perkembangan tersebut.
176 •
Urgensi Pendidikan Moral Pengertian Abortus
Kata “abortus” berasal dari bahasa Latin yang berarti keguguran sebelum waktunya; kata kerja “aborior” yaitu “aku gugur”. Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan keguguran atau pengguguran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Gugurnya atau pengguguran janin yang belum berbobot 1000 gram atau usianya kurang dari 28 minggu disebut abortus (P. GO. Carm, 1984, 279). Lebih lanjut Piet Go memerinci pengertian abortus baik spontaneous maupun provocatus. •
Abortus Spontaneus (Keguguran)
Abortus Spontaneus adalah gugurnya janin tanpa disebabkan oleh tindakan manusia, atau keguguran yang tidak disengaja. Ada beberapa macam Abortus Spontaneus: a. Abortus Habitualis, yaitu abortus spontaneous yang terjadi tiga kali atau lebih secara berturutturut. Penyebabnya sebagian besar belum diketahui, sehingga harus dilakukan pemeriksaan yang teliti dan lengkap. b. Abortus Imminens, yaitu adanya bahaya abortus yang tampak dari pendarahan pada kehamilan sebelum 28 minggu, dengan atau tanpa kontraksi kandungan yang nyata, tanpa adanya dilatasi cervix uteri, masih bisa diselamatkan. c. Abortus incipiens, adalah abortus yang sudah mulai terjadi pendarahan pada kehamilan sebelum 28 minggu, terjadi dilatasi cervix uteri secara meningkat, pendarahan bertambah, biasanya kehamilan kurang dari 12 minggu, kandungan harus dikosongkan.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
177
d. Abortus completus dan incompletes, Abortus completes artinya isi kandungan sudah keluar semua. Abortus incompletes artinya masih ada sisa yang harus dikeluarkan agar pendarahan berhenti. e. Missed Abortion, adalah kematian janin, tetapi janin tersebut tetap dalam kandungan selama 8 minggu atau lebih. Pengeluaranya berbahaya bagi keselamatan ibu. f.
Abortus cervicalis, adalah keluarnya hasil konsepsi yang terhalang oleh ostium uteri externum yang tidak membuka sehingga terkumpul dalam cannalis cervicalis dan cervix uteri membesar, sedikit pendarahan. Ostium uteri externum harus diperlebar dan hasil konsepsi harus dikeluarkan.
g. Abortus infectiosus dan abortus septicus, Abortus infectiosus adalah keguguran yang disertai infeksi genital, sedangkan abortus septicus merupakan abortus dengan infeksi yang berat disertai penyebaran kuman atau toksinya ke dalam peredaran darah atau peritoneum (Piet Go, 1984.) •
Abortus Provocatus (Pengguguran)
“Provocatus” berarti disengaja. Jadi “Abortus Provocatus” adalah gugurnya janin karena tindakan manusia yang disengaja. Ada berbagai macam Abortus Provocatus: a. Abortus terapheuticus/Medicinalis, adalah pengguguran yang dilakukan dengan indikasi medis demi kesehatan atau kehidupan ibu. Indikasi yang sering terdapat karena ibu mengalami sakit jantung berat, hipertensi berat, ginjal kronis, kanker cervix uteri, dan sebagainya
178
Urgensi Pendidikan Moral
b. Abortus eugenicus, adalah pengguguran yang dilakukan karena janin menderita cacat berat. c.
Abortus kriminologis, adalah pengguguran yang dilakukan karena terjadi kehamilan hasil tindak kejahatan (perkosaan, incest).
d. Abortus psikologis – sosial – ekonomis, adalah pengguguran yang dilakukan karena terjadi kehamilan yang dianggap dapat menimbulkan aib keluarga, belum siap secara ekonomi, pihak laki-laki tidak mau bertanggung jawab, dsb. Keguguran atau abortus spontaneous adalah gugurnya janin secara spontan atau tanpa disebabkan oleh tindakan manusia yaitu bersifat alamiah. Hal ini lepas dari penilaian moral atau tidak ada penilaian baik atau buruk atas fakta itu. Sebaliknya, pengguguran atau abortus provocatus adalah gugurnya janin yang disengaja atau akibat ulah manusia yang menghendakinya. Menurut ensiklopedi Indonesia, kata “abortus” berasal dari bahasa Latin atau “abortion” dari bahasa Inggris, artinya pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi 28 minggu atau sebelum mencapai berat 1000 gram. Pengertian abortus dapat dibedakan antara lain: Abortus spontan, yaitu abortus terjadi tanpa tindakan apapun; Abortus buatan, yaitu abortus terjadi sebagai akibat suatu tindakan; Abortus terapeutik, yaitu abortus buatan yang dilakukan atas alasan medis; Abortus non terapeutik, yaitu abortus buatan yang dilakukan tidak atas alasan medis(Ensiklopedi Indonesia).
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
179
6. Tinjauan Hukum Kanonik. Kitab Hukum Kanonik mengenakan hukuman ekskomunikasi pada setiap orang yang aktif terlibat dalam mengusahakan pengguguran kandungan yang berhasil yaitu pada KHK. kanon 1398. “Qui abortum procurat, effectu secuto, in excommunicationnem latae sententiae incurrit”. “Barang siapa melaksanakan pengguguran dan berhasil, terkena ekskomunikasi otomatis” (Kan. 1398] Yang dapat terkena hukuman dalam kanon tersebut adalah siapa saja yang terlibat dalam tindakan pengguguran, baik ibu itu sendiri atau pria yang menghamili dan mereka yang minta agar kandungannya digugurkan. Para pelaksana seperti: dokter, bidan atau dukun dan siapa saja yang terlibat. (Complices. Kanon. 1329, $. 2) Implikasi ekskomunikasi mengandung penolakan partisipasi dalam ibadat publik, termasuk misa. Penolakan segala partisipasi dalam sakramen-sakramen, baik menerimakan atau menerima. Orang yang terkena ekskomunikasi tak boleh menikmati jabatan gerejani. (KHK. kanon. 1331) Hukuman bukan berarti tanpa kesempatan untuk bertobat dan menerima pembebasan dari hukuman, maka ada absolusi dari ekskomunikasi. Pembebasan dari ekskomunikasi atas pengguguran tidak disebut dalam daftar reservasi oleh Paus, maka termasuk wewenang Waligereja. (KHK. kanon 1355).
180
Urgensi Pendidikan Moral
7. Penilaian Etik dan Pemecahannya Terhadap Abortus Provocatus Dalam Berbagai Indikasi Berdasarkan pada prinsip-prinsip yang dinyatakan oleh Magisterium Gereja, oleh firman Tuhan dalam Kitab Suci dan oleh Kitab Hukum Kanonik, berikut ini dipaparkan beberapa penilaian etik dan pemecahannya terhadap tindakan pengguguran yang dilakukan berdasarkan indikasi-indikasi berikut ini: •
Indikasi sosial-ekonomi
Pengguguran dilakukan karena adanya pertimbangan jika kandungan dibiarkan terus berkembang akan menimbulkan banyak kesulitan baik secara sosial, misalnya wanita yang mengandung berasal dari keluarga terhormat, orang tuanya mempunyai kedudukan dalam masyarakat dan pria yang menyebabkan kehamilan gadis tersebut tidak mau bertanggung jawab. Hal ini akan menjadikan aib bagi keluarga. Secara ekonomi kehamilan yang tidak dikehendaki tersebut juga menimbulkan persoalan atau kesulitan yaitu beaya-beaya yang dibutuhkan selama ibu mengandung, melahirkan, perumahan, pendidikan, dan sebagainya. Melakukan pengguguran dengan pertimbangan tersebut secara moral tidak dapat dibenarkan, karena hidup merupakan nilai yang sangat mendasar untuk dikorbankan sebagai sarana mengatasi keadaan sosial ekonomi. Masalah kesulitan sosial ekonomi harus dipecahkan sesuai dengan sarana sosial ekonomi, bukan dengan membunuh janin yang tidak berdosa dan tak berdaya. Upaya mengatasi aib keluarga dapat dilakukan wanita tersebut dengan cara menyingkir sementara waktu ke tempat famili yang jauh di mana ia
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
181
tidak dikenal. Upaya memecahkan masalah ekonomi seperti biaya kelahiran dan perawatan selanjutnya dapat dilakukan dengan cara menghubungi panti sosial dan panti asuhan. Setelah keadaan pulih, wanita tersebut dapat bekerja untuk memperoleh nafkah. •
Indikasi eugenis
Adanya kekhawatiran bahwa anak yang dikandung akan lahir cacad baik secara fisik maupun mental. Perkembangan teknologi kedokteran dewasa ini dapat mendeteksi secara dini perkembangan janin. Pertimbangan dari orang tuanya: daripada hidup di masyarakat menjadi beban keluarga maupun masyarakat sehingga hidupnya tidak bahagia, maka lebih baik janin itu digugurkan. Keberatan moral terhadap tindakan tersebut adalah bahwa ramalan dokter tidak bisa dipastikan seratus persen benar. Selain itu fakta menunjukkan bahwa orang cacad belum tentu tidak bahagia. Orang cacad bahkan dapat berkarya secara mengagumkan, misalnya ilmuwan Stephan Hawkin. Upaya untuk mencegah dan mengatasi kemungkinan janin lahir cacad dapat dilakukan, misalnya dilakukan cek up kesehatan secara seksama sebelum hamil. Ini perlu dilakukan untuk mendeteksi adanya virus rubella, toxoplasma, CMV yang dapat menyebabkan janin cacad. Selain itu, ditingkatkan pelayanan konsultasi genetis dan diagnostik prenatal agar cacad mental dan fisik bisa dicegah; juga ditingkatkan keamanan dan pengawasan produksi dan pemakaian obat-obatan terutama bagi wanita hamil.
182 •
Urgensi Pendidikan Moral Indikasi psikososial dan kriminologi.
Melakukan pengguguran karena ada penyebab-penyebab yang datang dari luar dirinya. Janin yang ada dalam kandungan itu merupakan sesuatu yang tidak dikehendaki karena menjadi korban kejahatan (incest, perkosaan, penipuan). Untuk menghilangkan trauma psikis pada peristiwa yang lalu dan agar tidak membekas maka ditempuh jalan abortus provokatus. Secara moral alasan ini tidak dibenarkan karena ketidak adilan yang satu (perkosaan, penipuan) diperbaiki dengan cara ketidak-adilan baru (pembunuhan janin). Di samping itu, yang bersalah adalah ayah atau ibunya, bukan anaknya yang dihukum. Upaya untuk mencegah hal tersebut, perlu dilakukan peningkatan keamanan, perlindungan dan kewaspadaan bagi wanita. Anak yang terlahir cacad dapat diserahkan kepada Panti Asuhan. Ibunya perlu memperoleh pendampingan keluarga dan agama serta menjalani psikoterapi. •
Indikasi Medis
Indikasi medis dibedakan menjadi dua, yakni indikasi medis yang fatal dan indikasi medis yang tidak fatal. Indikasi medis fatal adalah segala macam penyakit yang diderita oleh seorang wanita hamil yang berdampak timbal balik pada diri dan janinnya, sehingga penyakit tersebut tidak dapat disembuhkan. Jika penyakit tak dapat disembuhkan maka baik wanita hamil maupun janinnya akan mati. Dalam hal ini dokter melakukan intervensi medis berupa tindakan pengguguran janin. Indikasi medis fatal berhubungan dengan pasal 15 UU Kesehatan nomor 23 tahun 1992 dan penjelasannya. Indikasi medis yang tidak fatal ialah apabila penyakit
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
183
tersebut tidak akan menyebabkan akibat yang fatal bagi wanita hamil sampai ia melahirkan bayinya. Alasan indikasi medis yang tidak fatal tetap tidak dapat diterima secara moral sebagai alasan tepat untuk melakukan tindakan provocatus karena kandungannya tidak membahayakan hidup si ibu. Sedangkan alasan medis yang fatal oleh para moralis dipandang sebagai satu-satunya alasan yang dapat membenarkan dilakukannya tindakan medis tertentu. Dalam hal itu, pengguguran bukanlah sebagai tujuan melainkan sebagai akibat dari upaya medis untuk menyelamatkan kedua-duanya.Upaya untuk mengatasi hal tersebut, adalah meningkatkan penelitian di bidang kedokteran, perinatal sehingga situasi konflik makin berkurang. Meningkatkan pelayanan medis perinatal agar tidak timbul situasi konflik yang sebenarnya tidak perlu. •
Usaha-usaha mengurangi tindakan abortus provocatus
Abortus provocatus merupakan tindakan yang bertentangan moral dan martabat manusia. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya yang dapat mencegah abortus provocatus. Berikut ini cara-cara untuk mengurangi sebab-sebab pengguguran: 1. Perlu ada komunikasi dalam keluarga agar tercipta keterbukaan yang sehat di mana orang tua bisa sebagai teman dan sahabat bagi anak-anaknya.Segala sesuatu yang dialami oleh anak bisa diketahui oleh orang tuanya. 2. Pendidikan seks perlu diberikan di dalam keluarga, karena seks bukanlah sesuatu yang tabu. Pendidikan
184
Urgensi Pendidikan Moral seks yang benar dapat menumbuhkan sikap dan perilaku penuh tanggung jawab dalam menghayati kehidupan seksualitasnya.
3. Perlu penjelasan tentang metode-metode Keluarga Berencana (KB) yang aman dan dapat dipertanggung jawabkan dari berbagai sudut bagi suami-istri 4. Perlu dikembangkan suasana yang “pro life” dalam arti yang seluas-luasnya agar setiap orang tidak terdesak untuk menggugurkan kandungan. Seluruh struktur dan suasana dalam keluarga, masyarakat dan Gereja perlu mendukung penghargaan terhadap hidup dalam arti seluas-luasnya. 5. Perlu upaya perkembangan IPTEK kedokteran yang dapat mengatasi indikasi vital, medis dan eugenis. 6
Menciptakan kesadaran masyarakat untuk tidak menghakimi dan memandang rendah wanita yang telanjur hamil tanpa suami, sehingga masyarakat bisa memahami dan menerima dengan rasa kemanusiaannya.
Hidup adalah anugerah Allah yang sangat berharga dan patut disyukuri oleh manusia. Manusia diciptakan sesuai dengan citra Allah . Karena akal budinya, manusia memiliki martabat yang luhur. Maka hidup manusia harus dihormati. Awal hidup manusia dimulai sejak terjadi pembuahan atau ketika sel sperma bertemu dengan sel telur. Sejak konsepsi itulah manusia yang mempunyai hak hidup perlu dihormati dan dilindungi. Gereja Katolik menjunjung tinggi hak hidup manusia sejak terjadinya pembuahan, maka Gereja Katolik menentang tindakan abortus provocatus yang dilakukan berdasarkan alasan apapun. Untuk mencegah terjadinya tindakan abortus provocatus,
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
185
perlu diusahakan cara-cara yang positif agar dapat mengurangi timbulnya pengguguran, sehingga setiap orang mampu memiliki kesadaran yang tinggi untuk selalu menghormati kehidupan sekecil apapun.
8. Pengadaan Anak Secara Buatan Perkembangan IPTEK membawa dampak positif dan negatif bagi manusia. Salah satu perkembangan IPTEK di bidang medis yang menonjol saat ini adalah perkembangan teknologi reproduksi. Cara-cara baru ditemukan dalam upaya untuk mendapatkan anak secara buatan, seperti: bayi tabung, inseminasi, ectogenesis, dan cloning. •
Bayi tabung (In Vitro Fertilization)
In vitro fertilization yang lebih familiar di masyarakat dengan sebutan bayi tabung merupakan proses reproduksi buatan yang terjadi karena adanya kemajuan teknologi dalam bidang reproduksi yang ditujukan kepada pasangan yang sudah sekian lama menikah tetapi belum memiliki anak. Bayi tabung merupakan salah satu produk teknologi reproduksi yang dihasilkan melalui teknik fertilisasi in vitro yaitu proses pembuahan yang dilakukan di luar tubuh manusia (di dalam cawan petri), lalu dimasukkan ke dalam tabung hingga menjadi embrio. Kemudian dari 10 tabung diambil 3 embrio yang terbaik untuk dimasukkan ke rahim wanita baik yang ada hubungan darah maupun yang tidak. Dalam teknik ini muncul permasalahan moral ketika sperma berasal dari pria bukan suami atau dengan sengaja membeli sperma untuk menjadi single parent karena tidak bersuami. Masalah moral juga muncul apabila embrio kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain ( bukan pemilik
186
Urgensi Pendidikan Moral
ovum )yang siap untuk disewa rahimnya. Masalah lain juga muncul dengan dengan embrio yang tidak dipakai akan dibuang begitu saja, hal ini tidak bisa diterima secara moral karena mengandung unsur abortif.
9. Prinsip-Prinsip Moral Tentang Bayi Tabung •
Tidak mengandung unsur abortif
Yaitu tidak ada sisa embrio yang dibuang. Pada umumnya embrio yang jadi lebih dari satu, lalu dari embrio yang jadi tersebut dipilih beberapa (maksimal:3) lalu sisanya biasanya dibuang. •
Sel sperma dan sel telur bersifat homolog
Di Negara maju sudah ada Bank sperma dan Bank sel telur yang menyediakan bibit unggul. Pada umumnya salah satu sebab sulitnya mendapatkan anak secara alamiah karena sel sperma atau sel telurnya lemah, sehingga untuk mendapatkan anak dibutuhkan sel sperma atau sel telur donor. Hal ini secara moral tidak bisa diterima karena anak adalah buah kasih atau hasil cinta kasih antara suami istri. •
Tidak sewa rahim.
Pada umumnya wanita yang rahimnya lemah juga kesulitan untuk mendapatkan anak secara alamiah. Karena rahim tidak mampu mengandung sembilan bulan, maka dalam program bayi tabung pun ia akan membutuhkan rahim wanita lain. Secara moral juga tidak bisa diterima karena selama dalam kandungan anak dan ibu yang mengandung ada ikatan yang sangat dekat, dan tentang
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
187
sewa rahim juga sering menimbulkan permasalahan yang rumit. •
Inseminasi buatan
Inseminasi buatan adalah usaha untuk mengadakan pembuahan yang dilakukan bukan melalui hubungan seks suami–istri secara alamiah melainkan , peranan suami istri digantikan oleh alat yang dimasukkan ke rahim si ibu. •
Dua macam inseminasi buatan yaitu:
1. Inseminasi buatan yang homolog yaitu yang spermanya diambil dari suami sendiri . 2. Inseminasi buatan yang heterolog, yaitu yang spermanya diambil dari laki-laki donor. Teknik semacam ini ada tanggapan pro maupun kontra. Argumen yang pro terhadap inseminasi buatan karena memandang bahwa cara ini sangat baik bagi pasangan yang tidak mendapatkan anak, asalkan dilakukan secara homolog. Argumen- argumen yang kontra terhadap inseminasi buatan antara lain: walaupun inseminasi buatan dilakukan secara homolog namun ada persoalan moral tentang cara pengambilan sperma dari pihak suami. Apabila dengan cara masturbasi maka tidak bisa diterima secara moral. Walaupun secara homolog namun pembuahan tersebut tidak melalui hubungan seks antara suami-istri karena tanpa melalui persetubuhan. Bila inseminasi buatan dilakukan dengan menggunakan sperma donor sangat ditentang secara moral anak merupakan hasil cinta kasih antara suami- istri.
188 •
Urgensi Pendidikan Moral Ectogenesis
Ectogenesis adalah cara pengadaan anak yang sepenuhnya dilakukan di dalam tabung yang telah dilengkapi dengan segala hal yang dibutuhkan oleh si janin. Dalam teknik ini peranan suami istri hanya sebagai pendonor bibit saja, karena pembuahan dan pertumbuhan embrio sampai menjadi bayi sempurna dilakukan oleh alat-alat canggih. Masalah moral muncul karena seolaholah fungsi ayah dan ibu digantikan alat-alat canggih tersebut, sehingga bisa disebut sebagai “pabrik manusia”. Cara ini juga mengesampinkan peranan seorang ibu dalam mengandung anaknya, padahal selama seorang ibu mengandung banyak terjadi interaksi antara si ibu dan janinnya yang amat mempengaruhi perkembangan si anak. •
Cloning
Cloning adalah cara pengadaan anak hanya menggunakan sel telur yang dirangsang secara terus menerus lalu dipertemukan dengan sel inti dari orang yang mau diclon. Saat ini cloning manusia sudah terjadi walaupun banyak pihak menentang keras cloning manusia. Cloning manusia secara moral ditentang karena dengan beberapa alasan antara lain : (1) melecehkan keluhuran martabat manusia. (2) Cloning manusia melanggar hak mutlak Allah dalam penciptaan manusia. (3) Hasil cloning akan identik dengan orang yang dicloning, padahal Allah menciptakan manusia secara unik. (4) Cloning tidak melibatkan sperma dan peranan suami ditiadakan, padahal anak adalah hasil cinta kasih antara suami –istri.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
189
• Pembatasan Anak Anak adalah hasil cinta kasih antara suami- istri yang merupakan anugerah dari Allah, maka suami- istri harus siap untuk bertanggung jawab merawat anak dengan sebaik- baiknya. Agar suami-istri bisa mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga , maka perlu adanya persiapan dan perencanaan yang matang. Suami- istri sadar akan perlunya keseimbangan antara jumlah anak dan kemampuan dalam mendidik, menghidupi dan memperhatikan anak-anaknya. Untuk mengupayakan kesejahteraan dan kebahagiaan tersebut suami- istri perlu melakukan pembatasan anak. Setiap pasangan suami- isteri dapat menemukan pilihannya dalam merencanakan dan mengatur jumlah anak dan jarak antara kelahiran anak, yang berlandaskan pada kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap generasi sekarang maupun generasi mendatang. Dalam upaya pembatasan anak yang harus diperhatikan pertama-tama adalah motivasi atau tujuan harus benar, kemudian caranya atau metodenya juga harus benar. Motovasi yang benar hendaknya tidak diwarnai oleh egoisme atau materialisme, melainkan oleh rasa tanggung jawab sosial yang tinggi, misalnya demi kesejahteraan anak-anak yang sudah ada, demi pengembangan cinta kasih di dalam keluarga. Di samping itu caranya juga harus benar, yaitu yang tidak bertentangan dengan moral. Cara atau metode yang sangat dianjurkan adalah yang yang bersifat alamiah yaitu dengan cara pantang berkala. Apabila tidak bisa pantang berkala karena kondisi tubuh yang tidak stabil maka bisa menggunakan kontrasepsi buatan. Penggunaan kontrasepsi buatan secara moral bisa diterima sejauh tidak mengandung
190
Urgensi Pendidikan Moral
unsur abortif dan tidak terdapat intervensi medis yang tidak bersifat menyempurnakan. Cara pencegahan kehamilan yang masih menimbulkan perbedaan pendapat yang sangat tajam dalam bidang moral adalah penggunaan spiral (IUD) dan pemandulan. Penggunaan spiral (IUD) ditentang secara moral karena alat tersebut bersifat anti nidasi, tidak membunuh sperma melainkan membunuh embrio, sehingga mengandung unsur abortif. Pemandulan ditentang secara moral karena merupakan intervensi medis yang tidak bersifat menyempurnakan atau memperbaiki kondisi fisik, melainkan justru mengubah kondisi fisik yang sebenarnya normal. Pria atau wanita yang sebenarnya masih subur dibuat tidak subur secara radikal.
10.Pencegahan Kehamilan a. Cara alamiah (KBA) Pantang dari hubungan seksual secara total: Dalam jangka waktu tertentu; misalnya selama belum menghendaki lahirnya anak: tidak mengadakan persetubuhan. Untuk selamanya; misalnya karena alasan tertentu tidak menghendaki lahirnya anak lagi, lalu tidak mengadakan persetubuhan sama sekali. Catatan: Untuk mengadakan pantang total harus ada persetujuan dari keduabelah pihak. Aksi sepihak dalam hal ini tidak dapat dibenarkan dan pasti akan mendatangkan masalah bagi keutuhan hubungan suami-istri. Kiranya pantang total tidak mungkin dilakukan oleh pasutri yang masih “muda”. Pantang berkala: hanya mengadakan persetubuhan pada saat isteri dalam keadaan tidak subur,
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
191
sehingga tidak akan terjadi kehamilan. Untuk menentukan saat-saat tidak subur dapat menggunakan metode: 1) ogino-knaus/kalender. 2) temperatur: memanfaatkan kenaikan suhu badan yang terjadi sekitar ovulasi. 3) cara dr. Keefer yaitu dengan meraba atau melihat leher rahim lewat kaca. Pada saat tidak subur, leher rahim terasa lebih panjang, lancip, mulut tertutup dan kering; atau pada penglihatan lewat kaca tampak leher rahim lebih kecil; mulut tertutup dan kering. Pada masa subur: leher rahim terasa lebih pendek, melebar, lembut, mulut terbuka dan berlendir; atau pada penglihatan lewat kaca leher rahim nampak tambah lebar, mulut terbuka mengandung lendir cair jernih berkilau-kilauan. 4) cara dr Billings: setelah menstruasi berakhir wanita memeriksa diri sendiri dengan cara merasakan, meraba dan melihat liang senggama. Pada saat tidak subur liang senggama terasa kering dan tidak terlihat adanya lendir. Pada masa subur liang senggama terasa basah, nampak berlendir putih berkilau-kilauan dan elastis. 5) cara symto-termik merupakan kombinasi cara temperatur dan cara dr. Keefer atau dr. Billings, ditambah gejala klinik pada saat terjadi ovulasi.
Catatan: Dari segi medis cara untuk menentukan saat subur dan tidak subur semakin disempurnakan dan hampir selalu mendapatkan kepastian. Akan tetapi apa yang mungkin secara theoritis bagaimanapun mudah dan sederhanya, belum tentu selalu mungkin dilaksankan secara praktis oleh setiap orang. Terutama untuk orangorang yang tidak berpendidikan cara tersebut terasa sulit, karena membutuhkan ketelitian dan ketekunan tertentu.
192
Urgensi Pendidikan Moral
Keduanya yang perlu dicatat adalah bahwa pihak wanita justru pada saat subur secara naluriah mempunyai gairah besar untuk mengadakan persetubuhan. Maka cara ini memaksa wanita berkorban, yaitu harus berpantang justru pada saat sedang “in”. Diperlukan adanya kemauan kuat dan ketekunan dari suami-istri untuk memperjuangkan agar program bersama sukses. Tanpa adanya kerjasama rapi dan kemauan kuat dari kedua belah pihak program akan gagal. Untuk dapat mempelajari situasi secara tepat mereka dianjurkan berhubungan dengan bidan/tenaga medis. Metode-metode artifisial yang jelas 100% kontraseptif (tidak absortif) misalnya: kondom, obat pembunuh sperma, pil kontraseptif, hormon yang disuntikkan (3 bulan 1x), dutch cup, susuk, dan sebagainya
Catatan: Setiap obat mempunyai kontraindikasi, maka sebelumnya perlu pemeriksaan teliti, yang biasanya kurang diperhatikan karena mengejar target. Semakin aman dan terjamin hasilnya dari segi medis, pada umumnya juga semakin baik dari segi etis. Kemampuan orang yang mau mempergunakan perlu diperhitungkan: kemampuan jasmani (hygiene dan ekonomi), intelektual (untuk memahami), psikis (untuk menerima). Perlu diperhitungkan kemungkinan akibat sampingan yang mungkin timbul dari “alat artifisial” tersebut, baik dari segi medis maupun dari segi mental. Pada umumnya semakin dekat dengan kodrat biologi persetubuhan juga semakin kecil akibat sampingan yang mungkin timbul.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
193
Coitus interruptus atau senggama terputus, kalau hanya diperhitungkan dari perbuatannya, nilai moralnya sama dengan yang menggunakan kondom atau dutch cup. Kemungkinan akibat psikis lebih besar, sebab justru pada saat menjelang terjadi ejakulasi harus dihentikan sehingga terjadi semacam antiklimaks. Bahaya kegagalan sangat besar. Maka sebaiknya jangan digunakan . b. Cara Buatan • Kontranidatif IUD, terutama yang dengan lapisan logam, semakin jelas bahwa kerjanya tidak murni kontranidatif. Artinya bila terjadi pembuahan karena keadaan rahim yang dipasangi IUD itu bisa berubah suasananya, telur yang sudah dibuahi itu tidak berhasil mengadakan nidasi, sehingga terjadi keguguran pada saat awal terjadi pembuahan. Meskipun fakta keguguran semacam itu tidak selalu terjadi, tetapi orang yang menggunakan IUD yang sudah diketahui cara kerjanya mungkin kontranidasif, praktis juga menghendaki terjadinya keguguran bila sampai terjadi pembuahan, sehingga dapat dikatakan mempunyai sikap/ mental mau menggugurkan. Kejahatan menggagalkan nidasi memang tidak dapat terus disamakan begitu saja dengan kejahatan menggugurkan setelah terjadi nidasi, karena pertama diperkirakan berdasar-kan gejala terjadinya terlambat datang bulan terdapat sekitar 50% telur yang sudah dibuahi itu tidak berhasil mengadakan nidasi dan kedua karena adanya macam-macam hypothese mengenai kapan ada hidup manusia. Meskipun demikian kita tetap mempunyai kewajiban untuk menghormati dan melindungi potensi yang sungguh nyata, sel telur yang sudah dibuahi agar dapat terus berkembang menjadi manusia.
194
Urgensi Pendidikan Moral
MAP - Morning After Pill, yaitu pil yang diminum pada pagi sesudah mengadakan hubungan pada malam harinya, yang kerjanya menciptakan hormon untuk menggagalkan nidasi. Maka kerja MAP mirip dengan IUD yaitu antinidasif. Maka untuk dapat dipertanggungjawabkan secara etik penggunaan IUD dan MAP tersebut menuntut alasan lebih berat dan serius bila dibandingkan dengan alasan untuk menggunakan alat-alat artifisial yang murni kontraseptif kerjanya. •
Sterilisasi atau pemandulan
Yang dimaksud dengan sterilisasi adalah semua intervensi yang menyebabkan orang yang bersangkutan menjadi mandul, dapat bersifat sementara maupun tetap untuk selamanya. •
Terhadap laki-laki dengan:
Vasoligature: pengikatan saluran mani kuat-kuat, sehingga sperma yang diproduksir oleh testikel tidak dapat melewatinya. Vasectomia : pemotongan sebagian dari saluran mani lalu dikeluarkan; dapat terjadi setelah pemotongan lalu masing-masing puntat ditutup rapat dengan dijahit atau disimpulkan dan dipisahkan supaya tidak mungkin bertemu lagi. Penyinaran: yaitu dengan sinar X atau sinar radium pada testikel atau pada saluran mani sampai menjadi kering sehingga tidak mungkin berfungsi. •
Terhadap perempuan dengan: Hysterectomia: pengangkatan seluruh rahim sampai
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
195
akar-akarnya. Kadang-kadang bersama liang senggama lalu disebut: hysterocolpectomia. Defundatio uteri: pengangkatan rahim bagian atas bersama dengan saluran telur. Ovariotomia=ovariectomia=ophorectomia: pengangkatan keduabelah indung telur sampai ke akarnya. Promeroy = tube ligation: pengikatan saluran telur/ tuba falopi; banyak diusulkan sebagai post partum program (P3) Penyinaran: dengan sinar X atau radium pada indung telur atau tuba falopi sampai mengering sehingga tidak berfungsi.
Catatan: Prinsip umum: setiap operasi untuk menyembuhkan penyakit orang yang bersangkutan selalu dapat dipertanggung-jawabkan secara etis, bahkan mungkin diwajibkan, apabila operasi tersebut merupakan satu-satuinya jalan untuk menyembuhkan, meskipun operasi tersebut akan menyebabkan orang tersebut menjadi mandul. Maka sterilisasi yang bertujuan untuk menyembuhkan suatu penyakit yang sebanding selalu dapat dipertanggung-jawabkan. Penolakan suami-isteri menjadi bapa-ibu, hanya karena tidak mau bertanggung-jawab, merupakan pengingkaran terhadap panggilan hidup nyata, maka merupakan perbuatan jahat. Dari sebab itu sterilisasi yang diadakan melulu karena tidak mau bertang-
196
Urgensi Pendidikan Moral
gungjawab sebagai bapa-ibu, tidak dapat dipertanggungjawabkan. Karena integritas manusia sebagai pria dan wanita mempunyai makna tersendiri, maka orang tidak boleh berbuat semaunya terhadapnya, melainkan wajib menjaga dan mempertahankannya. Akan tetapi karena arti integritas biologis sebagai pria dan wanita itu relatif, yaitu demi panggilan menjadi bapa-ibu keluarga, maka demi keselamatan mereka sebagai bapa-ibu keluarga integritas sebagai pria-wanita tersebut dapat dikorbankan. Tegasnya bila seorang dokter yang sungguh kompetens dalam bidangnya bersama dengan pasien dapat menentukan bahwa dalam keadaan nyata seperti itu terjadinya kehamilan berdasarkan perhitungan medis sama sekali tidak dipertanggungjawabkan, dan sterilisasi merupakan pemecahan yang baik dalam kasus ini, maka sterelisasi dapat dipertanggungjawabkan dari segi etik. Tetapi sebelum keputusan diambil hendaknya diperhitungkan juga kemungkinan akibat sampingan yang akan timbul dari perbuatan tersebut. Secara teoritis memang mungkin diadakan sterilisasi yang sifatnya sementara, tetapi secara praktis setiap sterelisasi yang diadakan dalam rangka KB tetap sifatnya. Kalau hanya dilihat dari segi medis sterelisasi paling safe, untuk selamanya dan termasuk operasi ringan bila itu lakukan terhadap pria atau vasectomy. Tetapi kemungkinan terjadi akibat sampingan cukup nyata. Godaan untuk menyeleweng tambah besar. Akibat cukup fatal, sehingga seandainya kelak kemudian hari suami-isteri tersebut ingin mempunyai anak karena alasan mendesak tidak mungkin terpenuhi lagi. Maka untuk memilih cara sterelisasi sebagai jalan mengatur
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
197
kelahiran, meskipun secara teoritis hanya untuk sementara, perlu pertimbangan sungguh masak : alasan sungguh kuat, niat dari suami-isteri secara murni demi keutuhan keluarga bukan hanya demi kenikmatan egoistis, dan tahu benar kemungkinan adanya akibat sampingan cukup nyata. Untuk turut mensukseskan program KB pemerintah tidak bijaksana, maka tidak dapat dipertanggungjawabkan, kalau hanya mempropagandakan salah satu cara secara fanatik. Yang perlu terus ditanamkan adalah kesadaran akan perlunya tanggungjawab dalam membangun hidup berkeluarga. Rasa tanggungjawab tersebut dari dirinya akan menanamkan kesadaran perlunya mengatur kelahiran. Dengan sendirinya rasa tanggungjawab tersebut pada akhirnya juga akan sampai ke masalah memilih cara atau methode yang paling tepat baginya. Bagi seorang imam perlu pengertian yang pokokpokok sehubungan dengan methode-methode yang mungkin digunakan dan dipropagandakan di Indonesia. Sedangkan penjelasan lengkap mendetail dan praktis serahkan kepada para bidan atau tenaga medis yang kompetens dalam hal ini. Merekalah yang terpanggil untuk memberikan penjelasan mengenai methodemethode yang mungkin dilakukan di Indonesia ini dan akibat sampingan yang mungkin timbul dari setiap alat kontrasepsi artifisial. Hal tersebut perlu dijelaskan dengan jujur, agar aseptor tahu dan dapat dengan bebas memilih salah satu alat/methode, sehingga kalau de facto terjadi akibat sampingan yang tidak dikehendaki aseptor sudah siap menghadapi dan dengan demikian juga tidak akan membuat keributan dalam masyarakat. Salah faham dalam ini dapat menimbulkan kerugian besar dalam
198
Urgensi Pendidikan Moral
masyarakat sehubungan dengan program KB karena kebutan tersebut akan mengurangi kepercayaan masyarakat pada program KB. Informasi lengkap dan jujur akan membantu memberikan pengertian dan menanamkan rasa tanggungjawab pasutri sehubungan dengan KB, sehingga dapat diharapkan mereka sendiri akhirnya mampu memilih mana cara yang paling sesuai dan tetap menghargai martabat manusia. Dengan demikian intimitas hubungan suami-isteri juga tetap terhormat adanya. Penyuluhan mengenai KB tidak lagi dirasakan sebagai momok yang menghantui dan memaksa tetapi diterima sebagai uluran tangan dengan jujur menolong dan membantu membangun keluarga bahagia dan sejahtera.
11. Tema- tema sekitar tahap akhir hidup •
Euthanasia
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani “Eu” yang berarti : indah, bahagia, bagus, enak dan “tanatos” yang berarti “mati”. Secara etimologi euthanasia berarti mati dengan baik, atau mati secara secara enak, atau mati dengan tenang. Menurut Magnis Suseno (1991, 177 ) dibedakan beberapa pengertian tentang euthanasia sebagai berikut: a. Euthanasia pasif : Tidak semua kemungkinan teknik kedokteran yang sebetulnya tersedia untuk memperpanjang kehidupan seorang pasien dipergunakan. b. Euthanasia tidak langsung: usaha untuk memperingan rasa sakit dengan efek samping bahwa pasien barangkali meninggal lebih cepat.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
199
c.
Euthanasia aktif (mercy killing) : Proses kematian diperingan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung.
•
Tinjauan Moral Tentang Euthanasia
Euthanasia direk terhadap orang yang tidak berada dalam proses meninggal ( misalnya: mengusahakan kematian orang-orang yang dianggap tidak berguna seperti: orang-orang cacat, orang gila, gelandangan , orang jompo dan sebagainya. Menurut moral cara ini tidak bisa dibenarkan karena: Nilai hidup tidaklah terletak pada faktor kegunaan / ekonomis semata, melainkan hidup itu pada dirinya mempunyai nilai yang tinggi. Euthanasia direk tidak dapat dibenarkan secara moral karena melanggar hukum Illahi yaitu sama saja membunuh seseorang yang belum saatnya dipanggil oleh Tuhan . Euthanasia indirek aktif (misalnya memberikan jenis obat tertentu untuk meringankan derita pasien yang kesakitan, dengan akibat umur menjadi lebih pendek) Hal ini bisa diterima apabila tidak ada sarana lain yang dapat digunakan untuk memperingan penderitaannya. Euthanasia indirek pasif (misalnya menghentikan pengobatan pada pasien parah yang sudah tak ada harapan untuk disembuhkan) harus dipertimbangkan dulu: apakah suara hati si sakit dan keluarganya menyatakan ikhlas? Apakah hasil pengobatan yang dicapai masih memberi harapan ataukah keadaannya memang sudah tak ada harapan lagi? Apakah keluarganya memang sudah tak sanggup lagi menanggung beaya perawata? (Adimasana, 2001, 118)
200
Urgensi Pendidikan Moral
Bahan Bacaan Adi Massana, 2001 Moral Dasar, Reader, USD, Yogyakarta Bertens, K, 1993 Etika, Gramedia, Jakarta Gilarso, T, SJ., 1993, Moral Keluarga (bahan week-end moral), USD, Yogyakarta Go Piet, O. carm, 1985 Hidup dan Kesehatan, Widya Sasana Malang Go Piet, O. carm, 1989 Pengguguran Tinjauan moral Katolik, Hukum Kanonik dan Hukum Pidana, STFT Widya Sasana, Malang. Hadiwardoyo Purwa, AL, MSF., 1990 Moral dan masalahnya, Kanisius, Yogyakarta Magnis Suseno, Franz., 1987 Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta Magnis Suseno, 1991 Berfilsafat dari konteks, Gramedia, Jakarta. Purwawidyana, J.Chr, Pr, 1983 Capita Selecta, Ift Kentungan, Yogyakarta Poedjawiyatna, 1982 Etika Filsafat Tingkah Laku, Rineka, Jakarta Westlet, Dick, 1992 Morality and it’s beyond, Mystic, Twenty-third Publication Teichman Jenny,
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
201
1998 Etika Sosial, Kanisius, Yogyakarta Tridiatno, 2000 Masalah-masalah moral, Penerbit UAJY, Yogyakarta. Gregory C.Higgins, 2006, Dilema moral zaman ini Yogyakarta,Kanisius.
202
Urgensi Pendidikan Moral
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
203
BAB XII PERANAN ETIKA BAGI PEMBANGUNAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP
T
idak bisa kita pungkiri bahwa kerusakan lingkungan hidup dewasa ini sebagai akibat dari ulah manusia. Pembangunan di satu pihak dapat membuat manusia semakin mudah dan sejahtera, namun di pihak lain membawa dampak yang memprihatinkan bagi manusia dan lingkungan hidupnya. Ketimpangan sosial dan ekonomi serta eksploitasi alam sering kita lakukan tanpa kita sadari bahwa hal itu dapat menghancurkan martabat bangsa yang besar ini. Etika dapat membantu kita untuk lebih arif dan bijaksana dalam melaksanakan pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Ketentuan UU no.4 tahun 1982, pembangunan berwawasan lingkungan adalah sebagai upaya dalam menggunakan dan mengelola sumber daya secara benar dan bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Masa pembangunan dewasa ini peranan teknologi bagi keberhasilan pembangunan sudah tidak diragukan lagi. Masyarakat modern yang teknologis dan industrial,
204
Urgensi Pendidikan Moral
membawa perkembangan hidup manusia berjalan sesuai dengan kemampuan teknologi. Pada masyarakat modern ini peran ilmu pengetahuan dan teknologi terasa sangat menonjol dan berpengaruh besar bagi kehidupan manusia. Manusia mengandalkan rasio sebagai kekuatan, sehingga masyarakat modern lebih rasional. Teknologi yang menguasai segala aktivitas manusia berubah menjadi suatu sistem ideologi yang mengarahkan manusia pada kehidupan dengan ideologi yang satu dimensi, yaitu teknologis. Akhirnya segala sesuatu dikerjakan sesuai dengan sistem ideologis teknologis (Sri Suprapto, 1992). Di satu pihak kemajuan teknologi membawa manusia pada suatu kemudahan dan kenikmatan. Perekonomian membaik, sehingga orang modern menjadi lebih kaya dan makmur. Pembangunan dan kemajuan teknologi membawa masyarakat pada dunia yang serba kecukupan. Di lain pihak keadaan tersebut membawa dampak lain bagi manusia, yaitu lebih konsumtif, miskin kreatifitas dan melupakan nilai-nilai kemanusiaan, serta merusak lingkungan hidupnya. Etika berperanan penting bagi usaha memasukkan pertimbangan nilai-nilai, terutama nilai moral pada perencanaan pembangunan, tanpa perencanaan itu maka pembangunan kehilangan objektivitasnya. Manusia, baik sebagai pribadi maupun kelompok dalam mengelola lingkungan hidupnya, hendaknya menyadari bahwa ekosistem lingkungan harus tetap dijaga kelangsungannya. Campur tangan manusia yang dilakukan atas lingkungan hidupnya perlu dilandasi dengan norma moral atau etika, sehingga dapat membentuk sikap positif manusia terhadap lingkungannya.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
205
1. Manusia dan Lingkungan Hidupnya Dalam Pembangunan Pelaksanaan pembangunan Indonesia pada hakikatnya bertujuan untuk menaikkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat, sehingga tingkat hidup rakyat semakin bermutu, baik secara material maupun spiritual. Dalam upaya memperbaiki mutu hidup rakyat harus dijaga agar kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan pada tingkat yang lebih tinggi tidak menjadi rusak. Sebab kalau kerusakaan terjadi maka bukan lagi perbaikan mutu hidup yang akan dicapai, melainkan justru kemorosotan, bahkan mungkin secara ekstrim dapat berupa bencana yang mengancam umat manusia khususnya bangsa Indonesia (Kaelan, 1989,4). Menurut Dr. Anton Bakker manusia pada hakekatnya sebagai makhluk alamiah (naturwesen) yang merupakan bagian dari alam dan oleh karena itu memiliki sifat-sifat yang tunduk kepada alam (hukumhukum alamiah) pula, dan berstruktur timbal balik yang bersifat fisiko-kimik (Anton Bakker, 1987). Diantara manusia dengan alam mempunyai keterikatan kosmologis (Poespawardoyo, 1978). Manusia akan menjadi manusiawi bilamana ia hidup dalam hubungannya dengan alam jasmani yaitu alam seluruh lingkungan hidupnya (Driyarkara, tanpa tahun). Hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya baik yang bersifat biotik maupun a biotik adalah bersifat interpendency dan saling hidup menghidupi dalam suatu jaringan “ekosistem”. Dalam ekosistem ini terdapat pembagian fungsi dan pekerjaan (Emil Salim, 1986). Unsur ekologi pembangunan seperti kependudukan (manusia), lingkungan dan pembangunan merupakan
206
Urgensi Pendidikan Moral
unsur-unsur yang tidak dapat dipisahkan. Sikap peranan manusia dalam kaitannya dengan lingkungan adalah sebagai berikut : “Manusia baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok, hidup di dalam dan dengan lingkungannya. Dari hubungan yang erat dan timbal balik sifatnya, manusia menyesuaikan diri, memelihara serta mengelola lingkungannya. Dari hubungan yang dinamik antara manusia dengan lingkungannya itu dapat timbul suatu bentuk aktivitas atau kegiatan. Bentuk aktivitas ini menimbulkan beberapa perubahan yaitu perubahan perkembangan (development change), perubahan lokal (local change) dan perubahan tata laku (behavior change)”.(Bintarto, 1983). Perubahan tata laku pada lingkungan tidak hanya usaha mengimbangi hak dengan kewajiban terhadap lingkungan, tetapi juga usaha untuk membatasi tingkah laku dan usaha untuk mengendalikan berbagai kegiatan agar tetap berada dalam batas kepentingan lingkungan hidup. Bagi bangsa Indonesia pendekatan pengembangan lingkungan hidup sasaran pokoknya adalah manusia sendiri, maka perlu dikembangkan etika tentang lingkungan hidup yang merangsang manusia untuk memperhatikan dan mempertimbangkan segala dampak yang ditimbulkan dalam pengelolaan lingkungan hidup (Emil Salim, 1983). Manusia hidup di bumi ini tidak sendirian melainkan bersama dengan makhluk lain, yaitu tumbuh-tumbuhan, hewan dan jasad renik. Hidup manusia terkait erat dengan mereka, tanpa mereka manusia tidak akan bisa hidup. Manusia bersama tumbuhan, hewan dan jasad renik menempati suatu ruang tertentu. Kecuali makhluk
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
207
hidup, dalam ruang itu terdapat juga benda tak hidup, seperti misalnya tanah dan batu, udara yang terdiri atas bermacam-macam gas air dalam bentuk uap, cair dan padat. Ruang yang ditempati suatu makhluk hidup bersama dengan hidup dan benda tak hidup didalamnya disebut lingkungan hidup. Interaksi antara manusia dengan lingkungan hidupnya tidaklah sederhana, melainkan sangat kompleks, karena pada umumnya dalam lingkungan hidup terdapat banyak unsur. Pengaruh terhadap suatu unsur akan merambat pada unsur lain, sehingga pengaruhnya terhadap manusia sering tidak dapat dengan segera terlihat dan terasakan. Kelangsungan hidup manusia amat ditentukan oleh mutu lingkungan hidupnya. Pengertian mutu lingkungan adalah sangat penting karena merupakan pedoman dan dasar untuk mencapai tujuan pengelolaan lingkungan. Tidak mudah untuk menentukan mutu lingkungan yang baik membuat orang kerasan hidup dalam lingkungan tersebut. Inti permasalahan lingkungan hidup adalah hubungan makhluk hidup denngan lingkungan hidupnya. Ilmu tentang hubungan timbal balik makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya disebut ekologi. Oleh karena itu permasalahan lingkungan hidup pada hakikatnya ada pada permasalahan ekologi. Istilah ekologi pertama kali digunakan oleh Haeckel, seorang ahli ilmu hayat dalam pertengahan dasawarsa 1860-an. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani yaitu “Oikos” yang berarti rumah, dan “Logos” yang berarti ilmu. Karena itu secara harafiah ekologi berarti ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup.
208
Urgensi Pendidikan Moral
Pengelolaan lingkungan hidup pada hakikatnya kita lihat permasalahannya dari sudut kepentingan manusia. Kelangsungan hidup tumbuhan atau hewan dikaitkan dengan peranannya dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia baik material maupun non material. Tumbuhan dan hewan juga bisa dipergunakan untuk keperluan hari depan kita dan anak-anak kita. Oleh karena itu dalam pengelolaan lingkungan, ekologi yang kita butuhkan adalah ekologi manusia. Hal itu merupakan cabang khusus ekologi disamping ekologi tumbuhan, ekologi hewan, dan ekologi jasad renik. Ekologi manusia adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidupnya (Soemarwoto, 1987). •
Peranan Etika
Etika sebagai cabang ilmu pengetahuan merefleksi diri secara kritis tentang moral dan dasar-dasar moral, sehingga tidak menuntut individu atau sekelompok masyarakat bertindak sesuai dengan moralitas begitu saja, namun etika menuntut manusia bertindak yang seharusnya sesuai dengan harkat martabat dan eksistensinya (Sri Suprapto, 1992, 15). Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasaan, norma-norma dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut tanggungjawab dan tidak mengharapkan kerancuan. Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral begitu saja, melainkan menuntut agar pendapat-pandapat moral yang dikemukakan dipertanggungjawabkan. Etika berusaha menjernihkan permasalahan moral (Frans Magnis Suseno, 1975; 18).
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
209
Etika secara umum diartikan sebagai usaha yang sistematis dengan menggumakan rasio untuk menafsirkan pengalaman moral individual dan sosial agar dapat menetapkan aturan untuk mengendalikan perilaku manusia serta nilai-nilai yang berbobot untuk dijadikan pedoman dalam ketentuan-ketentuan, aturan-aturan dan nilai-nilai yang harus dipatuhi. Etika sebagai suatu pengetahuan manusia mengenai baik dan buruk, diharapkan mampu memupuk kesadaran lingkungan hidup dan menghindarkan kesewenangan tindakan manusia terhadap sesama manusia dan lingkungan hidupnya.
2. Pembangunan Yang Berkelanjutan Pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup. Interaksi antara pembangunan dan lingkungan hidup membentuk sistem ekologi yang disebut ekosistem. Ilmu yang mempelajari interaksi antara pembangunan dan lingkungan hidup disebut ekologi pembangunan. Manusia, baik sebagai subjek maupun objek pembangunan, merupakan bagian ekosistem. Pandangan holistik inilah yang dipakai dalam ekologi pembangunan (Otto Soemarwoto, 1983; 139). Pembangunan yang berkelanjutan, mengandung unsur-unsur ekologi seperti kependudukan (manusia), lingkungan dan pembangunan sebagai unsur-unsur yang tidak dapat dipisahkan. Pengertian tentang pembangunan yang berkelanjutan menurut World Commissian on Environment and Development ialah pembangunan yang berusaha memasuki kebutuhan hari ini tanpa mengurangi kemam-
210
Urgensi Pendidikan Moral
puan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka (Otto Soemarwoto, 1983; 7). Faktor lingkungan yang diperlukan untuk mendukung pembangunan yang berkesinambungan ialah : 1
Terpeliharanya proses ekologi yang essensial
2
Tersedianya sumber daya yang cukup
3
Lingkungan sosial budaya yang sesuai
Ketiga faktor diatas tidak saja mengalami dampak terhadap pembangunan. Maka untuk kesinambungan pembangunan tidak cukup hanya melakukan AMDAL yang hanya berlaku untuk perencanaan proyek pembangunan. Pengelolaan lingkungan untuk pembangunan harus didasarkan pada konsepsi yang lebih luas. Konsepsi itu harus mencakup dampak lingkungan terhadap proyek, pengelolaan lingkungan proyek yang sudah operasional dan perencanaan dini pengelolaan lingkungan untuk daerah yang mempunyai potensi besar untuk pembangunan tetapi belum mempunyai rencana pembangunan (Otto Soemarwoto, 1983, 143). Hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup akan dapat konsisten apabila ada tatanan moral yang mengaturnya, yaitu tatanan moral dalam hubungan manusia dengan lingkungan hidup. Tatanan moral hubungan manusia dengan lingkungan ini tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia. Manusia yang merupakan bagian terpenting dari lingkungan memberikan rumusan dalam perkembangan etika lingkungan yang sebagai moral lingkungan memberikan prasyarat untuk meletakkan landasan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup. Kenyatan perkembangan pembangunan di segala bidang dihadapkan pada tantangan-tantangan
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
211
baru, maka moral lingkungan secara ilmiah dan rasional perlu dirumuskan untuk memberi pemecahan, dan menjawab tantangan-tantangan permasalahan kebijaksanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Patokan moral ilmiah dan rasional adalah etika lingkungan yang merupakan tatanan baru secara normatif dalam lingkungan hidup. Pengelolaan lingkungan dalam pembangunan diharapkan berdasar pada etika lingkungan yang melandaskan pada hubungan keserasian alam dan manusia. Senada dengan itu Mohammad Soerjani berpendapat sebagai berikut : Untuk mencari keseimbangan atau keserasiaan dengan lingkungan ini perlu dikembangkan etika lingkungan yang merupakan berbagai prinsip moralitas lingkungan yakni suatu rumusan baru yang sesuai dengan moral manusia dan moral alam (Mohammad Soerjani, 1985, 17). Prinsip pengembangan lingkungan tidak dapat meninggalkan etika lingkungan, selain faktor-faktor fisik yang menopangnya. Etika lingkungan harus merupakan dasar bagi pembangunan dan kebijaksanaan pembangunan. Faktor-faktor kebijaksanaan lingkungan hidup tidak dapat meninggalkan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan jangka panjang dan tidak dapat meninggalkan kebersamaan unsur-unsur lingkungan hidup. Sasaran jangka panjang tidak dapat terlepas dari pembangunan dan unsur-unsur manusia, yaitu untuk membentuk manusia seutuhnya, baik mental maupun spiritual. Pelaksanaan pengelolaan kualitas lingkungan secara teoritis praktis dewasa ini telah mengembangkan AMDAL sebagai studi mikro lingkungan dan mengendalikan dampak pembangunan dalam lingkungan hidup.
212
Urgensi Pendidikan Moral
Sistem pengelolaan dan pengembangan lingkungan hidup dan pembangunan berwawasan lingkungan perlu dipertimbangkan pendekatan secara totalitas, yaitu pendekatan yang menyeluruh, yang merupakan penyatuan, sintetis dari pendekatan ini dikatakan pendekatan ekosistem, yang pada dasarnya merupakan kesadaran sistem ekologi manusia pada kehidupan lingkungan hidup (Mohammad Soerjani, 1985; 22). Kebijaksanaan pembangunan berwawasan lingkungan dimaksudkan untuk melaksanakan pembangunan yang berasaskan keseimbangan antara kebutuhan hidup manusia dan pelestarian lingkungan hidup. Pembangunan yang berwawasan lingkungan pada dasarnya untuk menentukan langkah pembangunan berikutnya, yaitu pembangunan antara generasi. Meningkatkan kemampuan generasi masa depan dalam mengelola sumber daya untuk meningkatkan kesejahteraannya. Proses pembangunan merupakan perubahan, yaitu merupakan perubahan secara langsung atau tidak langsung. Perubahan ini ada kecenderungan Man Made Enviroment, yaitu merubah ekosistem alami menjadi ekosistem buatan manusia. Proses perubahan manusia tidak mempunyai keutuhan sistem seperti halnya dalam perubahan sistem alami. Pembangunan yang berkelanjutan memerlukan pemikiran yang non sektoral, dengan melalui pendekatan yang multidisipliner serta tidak dapat terlepas dari nilainilai kemanusiaan. Dimensi waktu berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam harus mempertimbangkan tentang hak dan kepentingan generasi yang akan datang.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
213
Masalah-masalah lingkungan hidup bertumpu pada lima sumber daya ini yang dapat mempengaruhi perubahan dalam sistem lingkungan hidup. Akibat buruk yang ditimbulkan oleh adanya lima pokok lingkungan ini misalnya kekeringan, banjir, erosi, kerusakan hutan, perubahan suhu, kerusakan keanekaragaman biologi, pencemaran dan keracunan (Emil Salim, 1989, 79). Ekologi pembangunan merupakan analysis lingkungan yang bertujuan mengembangkan pembangunan berwawasan lingkungan hidup. Pembangunan yang tidak berorientasi pada pemgelolaan lingkungan hidup akan mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup yaitu mempengaruhi keseimbangan sistem lingkungan alamiah. Pembangunan berwawasan lingkungan ini menekan gangguan sekecil mungkin pengaruh perubahan sistem lingkungan dan mempertahankan sistem keseimbangan alam. Pembangunan yang berkelanjutan membutuhkan dasar, kerangka tanggungjawab moral yang tinggi dari semua pihak, baik dari pemerintah atau penguasa dan masyarakat. Permasalahan lingkungan hidup dalam meletakkan kebijaksanaan harus berpikir dalam kerangka moral lingkungan sebagai dasarnya. Otto Soemarwoto berpendapat sebagai berikut: Ilmu dan filsafat adalah merupakan disiplin ilmu yang mampu menaikkan kualitas hidup dengan sedikit mempertimbangkan materi sebagai dasar acuan. Tetapi filsafat dalam perkembangan dan pembangunan dewasa ini terdesak oleh teknologi. Ilmu dan filsafat yang tidak dapat menciptakan teknologi dianggap steril (Otto Soemarwoto, 1985, 37).
214
Urgensi Pendidikan Moral
Filsafat dan ilmu secara hakiki yang membedakan kehidupan manusia dengan kehidupan makhluk yang lain. Filsafat dalam pengembangan pembangunan dan pengelolaan lingkungan akan lebih bersikap arif dibandingkan dengan teknologi. Filsafat yang pertamatama mengembangkan wawasan nilai-nilai kemanusiaan. Pengembangan filsafat selalu mempertimbangkan nilainilai kemanusiaan dan martabat hidup manusia. Kebijaksanaan pembangunan dan pengembangan lingkungan hidup bertujuan untuk kesejahteraan manusia. Filsafat dikembangkan untuk kesejahteraan manusia dan keluhuran martabatnya, maka sudah seharusnya kebijaksanaan pembangunan menempatkan dasar pemikiran filsafat sebagai landasannya. •
Penutup, Suatu Catatan Akhir
Yang kerap terjadi ialah bahwa agama dipakai sebagai pembenaran bagi suatu kepentingan yang tidak agamawi. Hassan Hanafi, misalnya, menunjukkan bahwa konflik antara Arab dengan Israel bukanlah konflik antara agama Yahudi dan agama Islam, karena keduanya berakar pada iman Nabi Ibrahim yang satu. Konflik itu tetaplah konflik Arab dengan Israel menyangkut Dataran Tinggi Golan dan Libanon Selatan; sama halnya dengan perseteruan antara Israel dengan Palestina berkaitan dengan pendudukan atas Tepi Barat (Sungai Yordan) dan Yerusalem. Ini masalah politik dengan pembenaran agama, kata Hanafi, bukan per se perseteruan antar agama. Agama sungguh bisa menjadi kekuatan sosial yang luar biasa. ‘Serigala berbulu domba’ bisa saja memanipulasi suatu agama dan para pengikutnya demi
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
215
kepentingan-kepentingan tertentu, yang kerapkali justru bertentangan dengan semangat ajaran agama. Tetapi, setiap orang yang berkehendak baik, bersama-sama, bisa juga memakai agama demi perdamaian dunia. Tawaran etika global menunjuk pada satu kriteria yang patut direnungkan oleh semua umat beragama: agama yang sejati selalu mengarah kepada kebaikan (atau keselamatan, atau kesejahteraan, atau apapun istilahnya) bagi semua. Senada dengan kata-kata Ignatius dari Loyola, seorang mistikus Spanyol dari abad XVI, berkenaan dengan agama bisa juga dikatakan: semakin sesuatu itu bersifat universal, semakin ilahilah ia. •
Penutup
Etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku manusia yang dilakukan dengan sadar dilihat dari sudut baik buruk. Etika berkaitan erat dengan masalah-masalah nilai benar dan salah dalam arti susila dan tindak susila, baik dan tidak baik (Kattsoff, 1986). Etika sebagai pengetahuan tidak akan berguna tanpa dilandasi sikap tanggungjawab, sebab etika itu sendiri suatu perencanaan menyeluruh yang mengkaitkan daya kekuatan alam dan masyarakat dengan bidang tanggung jawab manusiawi (Van Peursen, 1976). Tanggungjawab dalam etika itu tidak sekedar ingin mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk dalam perbuatan, melainkan juga mempersoalkan bagaimana seharusnya meninggalkan yang buruk. Ketentuan UU No.4 tahun 1982, pembangunan berwawasan lingkungan adalah upaya dasar dalam menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana
216
Urgensi Pendidikan Moral
dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup. Jadi pembangunan yang berwawasan lingkungan tidak hanya menyangkut segi penggunaan sumber daya saja, tetapi sekaligus menyangkut pula segi pengelolaan sumber daya tersebut secara bijaksana. Tiga prinsip etis dalam pembangunan menurut Franz Magnis Suseno yaitu sebagai berikut: Pertama, pembangunan harus menghormati hak-hak asasi manusia. Hak asasi manusia melindungi manusia dari eksploitasi yang totalitaristik. Hak-hak tersebut harus dijunjung tinggi oleh setiap manusia. Segi-segi kehidupan seseorang tidak boleh dilanggar dan martabat manusia harus dihormati. Hormat terhadap hak-hak asasi manusia merupakan upaya agar pembangunan tetap berperike-manusiaan dan beradab. Kedua, pembangunan harus demokratis, artinya bahwa arah pembangunan ditentukan oleh seluruh masyarakat. Ketiga, pembangunan harus menciptakan taraf hidup minimal keadilan sosial (Magnis Suseno, 1984). Pembangunan dapat diharapkan sebagai sarana bagi pembangunan eksistensi manusia. Semua keputusan yang diambil harus melibatkan segenap lapisan masyarakat. Gerak majunya pembangunan menjadi otonom sifatnya, menjadi berakar pada dinamika masyarakat itu sendiri dan dapat bergerak atas kekuatannya sendiri. Pembangunan hanya dapat efektif bila dilaksanakan sebagai akibat interaksi demokratik antara perencanaanperencanaan, kelompok-kelompok sasaran dan pelaksana (Soejatmoko, 1988).
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
217
Manusia berperanan sangat menentukan dalam usaha pelestarian lingkungan hidup. Usaha ini memerlukan wawasan yang luas. Wawasan yang luas bukan hanya mengenai pengertian tentang pemakaian sumber daya, tata guna tanah dan kesempatan kerja saja, tetapi juga meliputi sikap mental manusianya. Untuk itu sangat penting usaha menumbuhkan sikap mental positif masyarakat mencintai lingkungan hidupnya.
Bahan Bacaan: Bakker Anton., 1987 Kosmos dan Oikosm Fak. Filsafat UGM, Yogyakarta. Bintarto, R., 1983 Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, Ghalia Indonesia, Jakarta. Emil Salim., 1983 Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Mutiara, Jakarta. Emil Salim., 1989 Menuju Tinggal Landas Tahun 2000, Kantor Menteri KLH, Jakarta. Kaelan, 1989 Peranan Etika Lingkungan Hidup Berdasarkan Pancasila Dalam Proses Pembangunan Dewasa ini, Laporan Penelitian, Fakultas Filsafat, Yogyakarta. Katsoff, Louis O, 1986 Pengantar Filsafat, Alih Bahasa : Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta.
218
Urgensi Pendidikan Moral
Magnis Suseno, Franz, 1975 Etika Umum, Kanisius, Yogyakarta. Magnis Suseno, Franz, 1984 Etika Jawa, PT Gramedia, Jakarta. Mohamad Soeryani, dkk, 1985 Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan, UI, Press, Jakarta. Otto Soemarwoto, 1983 Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jambatan, Jakarta. Otto Soemarwoto 1985 Dilema Pembangunan Berwawasan Lingkungan Hidup, Jambatan, Jakarta. Poespowardojo, S., 1978 Sekitar Manusia, Gramedia, Jakarta. Sri Soeprapto, 1992 Fungsi Etika Bagi Pembangunan Kota Yang Berwawasan Lingkungan, Laporan Penelitian, Fakultas Filsafat, Yogyakarta. Soejatmoko, 1988 Etika Pembangunan, LP.3ES, Jakarta. William Chang., 2001 Moral Yogyakarta.
Lingkungan
Hidup.
Kanisius,
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
219
BAB XIII MENUJU ETIKA GLOBAL
B
angsa kita sekarang ini sedang mengalami krisis fundamental; dalam bidang ekonomi, ekologi, sosial dan politik secara global. Kekurangan visi menyeluruh, membuat semakin kusutnya masalah-masalah yang akhirnya tak terpecahkan, kelumpuhan analisis, kepemimpinan politis yang sedang-sedang saja dengan insight dan foresight yang kecil, dan secara umum terlalu sedikit kepekaan bagi kesejahteraan bersama. Terlalu banyak jawaban klasik bagi tantangan-tantangan baru. Jutaan manusia bangsa kita menderita karena pengangguran, kemiskinan, kelaparan, dan kehancuran keluarga. Harapan bagi kedamaian abadi jauh dari kita. Ada ketegangan antara sexes dan generasi. Banyak orang mati, terbunuh dan dibunuh. Bangsa kita diguncang oleh korupsi dalam politik dan bisnis. Sebuah etik sudah eksis dalam ajaran-ajaran religius tentang dunia yang dapat melawan bahaya global. Tentu saja etik ini tidak memberikan solusi langsung bagi semua masalah bangsa yang luas, tetapi etik itu memberikan dasar moral bagi tatanan global dan individual yang lebih baik: suatu visi yang menuntut masyarakat jauh dari kekacauan. Kita adalah pribadi yang punya
220
Urgensi Pendidikan Moral
komitmen dan menjalankan agama-agama sehingga sudah ada konsensus diantara agama-agama yang dapat menjadi dasar bagi suatu etik global, sebuah konsensus fundamental minimal berkaitan dengan nilai-nilai yang mengikat, standar-standar yang tak dapat ditarik dan sikap moral fundamental.
1. Dua Wajah Agama Di satu pihak agama mengajarkan jalan keselamatan (atau perdamaian bagi semua orang, atau apa pun istilahnya), tetapi di lain pihak juga mengajarkan bahwa cara yang dipakai untuk itu ialah dengan mengangkat senjata melawan sesama, tentu agama semacam itu memuat suatu contradictio in terminis. Belum pernah terjadi dalam sejarah manusia bahwa dengan senjatalah kedamaian sejati tercipta, ialah perdamaian yang dialami oleh semua orang tanpa kecuali. Senada dengan keprihatinan Rajiv Gandhi sebagaimana dikutipkan di atas, kiranya bisa dikatakan secara afirmatif bahwa supaya terwujud apa yang menjadi hakekatnya yang sejati, agama seharusnya menjadi motor perdamaian. Sebuah keharusankah? Ya, karena masih saja ketidak-harmonisan antara apa yang diajarkan agama dengan apa yang de facto dilakukan para pemeluknya. Tak jarang agama dijadikan pembenaran bagi suatu pertumpahan darah. Agama dipolitisir. Masihkah agama bisa diharapkan untuk turut menciptakan terjadinya perdamaian di bumi ini? Inilah yang hendak dicoba-gagas dalam tulisan ini. Karena permasalahannya sangat luas, catatan singkat ini mencoba menyempitkannya dalam wacana etika global. Lebih sempit lagi, sebatas apa yang ditunjukkan dalam Deklarasi Menuju Etika Global (Declaration toward a to Global Ethic) pada sidang
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
221
Parlemen Agama-agama Dunia (The Parlement of the World’s Religions) di Chicago, 4 September 1993.
2. Etika Global Hans Kung, seorang pemikir dari Jerman yang sangat berperan aktif dalam Sidang Chicago, berkeyakinan bahwa dunia yang kita diami, supaya tetap survive, membutuhkan semacam konsensus berkenaan dengan nilai-nilai etis dasar di antara umat manusia, baik yang beragama maupun yang tidak. Dewasa ini, katanya, tak seorangpun masih bisa memiliki keraguan yang serius bahwa dunia kita yang sampai sekarang sudah dan masih dibentuk oleh politik, teknologi, ekonomi, dan peradaban, juga memerlukan etika yang bersifat global. Sebuah etikaglobal. Apakah etika-global itu? Parlemen Agama-agama Dunia dalam Deklarasi Chicago menyatukan bahwa yang dimaksud sebagai etika-global ialah konsensus fundamental atas apa yang dimaksud dengan nilai-nilai yang bersifat mengikat (bersama), norma-norma yang bersifat wajib dan mendasar, dan sikap-sikap yang bersifat pribadi. Apakah kemudian Parlemen memaksudkannya sebagai sebuah ideologi global? Tidak. Etika-global bukanlah sebuah ideologi global. Apakah etika-global kemudian menjadi (semacam) agama baru? Parlemen menegaskan bahwa etika-global juga bukan merupakan agama baru, atau sebuah- agamayang-disatukan (a single unified religion) yang mengatasi agama-agama yang sudah dan masih ada. Dan pasti, etika-global bukanlah suatu bentuk dominasi sebuah agama atas agama-agama yang lain. Agama-agama di dunia. ini begitu beraneka ragam. Satu sama lain memiliki perbedaan persepsi dalam mengartikan apa dan bagai-
222
Urgensi Pendidikan Moral
mana itu iman, dogma, simbol dan ritus. Karenanya, komentar Kung, pemaksaan untuk menyatukan agamaagama di dunia tentu akan sama sekali tak ada artinya, menjadi a distasteful syncretistic cocktail! Maka etikaglobal pun tidak bermaksud untuk menggantikan peran etika dalam agama-agama dengan sebuah minimalisme etis. Tidak. etika-global tidak mau menggantikan Taurat Musa, Sabda Bahagia (baca: Injil), Al-Qur’an, atau pun Bhagavadgita, Sabda Budha, maupun Perkataanperkataan Confusius. Jika etika-global bukanlah ideologi maupun agama baru, lantas apa yang menjadi tujuan etika-global? Etikaglobal, demikian Kung, berusaha mencari dan menemukan apa yang nyata-nyata sudah bersifat umum pada agama-agama di dunia saat ini, lepas dari perbedaanperbedaan ajaran mereka mengenai perilaku, nilai--nilai moral mapun keyakinan-keyakinan moral dasar. Dengan kata lain, tanpa bermaksud mereduksikan agama-agama menjadi sebuah minimalisme etis, etika-global berupaya mengemukakan kembali apa yang menjadi keyakinan bersama agama-agama di dunia dalam bidang etis. Maka etika-global tidak dimaksudkan untuk memusuhi apa dan siapa pun. Sebaliknya, dengan etika-global semua orang, baik yang beragama maupun tidak, didorrong untuk semakin menyadari bahwa prinsip-prinsip etis tersebut secara inhenren atau intrinsik sudah menjadi milik mereka dan bertindak sesuai dengannya, syukur lebih mengembangkannya.
3. Antara Etika dan Agama Mengapa etika-global mesti dibentuk melalui konsensus antar agama-agama? Ini pertanyaan menarik. Tapi sebelum menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
223
melihat di mana titik temu antara etika dengan agama. Kita bisa minta bantuan pemikir lain. Dalam Etika Dasar Magnis-Suseno menunjukkan bahwa ada dua masalah dalam bidang moral agama yang tidak dapat dipecahkan tanpa menggunakan metodemetode etika. Yang pertama ialah masalah intepretasi atas perintah atau hukum sebagaimana termuat dalam wahyu (baca: Kitab Suci), dan yang kedua mengenai bagaimana masalah-masalah aktual, yang tidak secara langsung dibahas dalam wahyu, dapat juga dipecahkan dengan semangat agama yang bersangkutan. Masalah pertama bukan terletak pada wahyu atau Kitab Suci tetapi pada manusia yang menafsirkannya. Keterbatasan manusia membuat penafsiran yang dibuamya tidak selalu 100% selaras dengan wahyu. Tak jarang dijumpai bahwa para ahli agama dari suatu agama yang satu dan sama memiliki intepretasi yang berbeda-beda atas pewahyuan yang satu dan sama. Justru karena hal inilah perlu dipakai alat bantu di luar agama, yakni metode-metode etika, untuk menemukan manakah dan bagaimanakah pesan wahyu yang sebenamya. Masalah kedua menyangkut bagaimana agama menanggapi masalah-masalah moral aktual, yang tidak ada pembahasan khusus dalam wahyu (Kitab Suci). Soal bayi tabung atau clonning, misalnya. Paling banter wahyu hanya memuat prinsip umum, dan ini pun kerapkali dalam bentuk kiasan. Maka agar bisa membuat sikap yang bisa dipertanggungjawabkan perlulah dipakai etika. Mengapa? Karena etika merupakan usaha manusia untuk memakai akal-budinya untuk memecahkan masalah tentang bagaimana ia mesti hidup kalau ia mau menjadi baik.
224
Urgensi Pendidikan Moral
Jadi, masih menurut Magnis-Suseno. etika tidak bisa menggantikan agama, tetapi sekaligus juga tidak bertentangan dengannya. Titik temu di antara keduanya ialah pada bidang moral, soal baik-buruknya suatu tindakan ketika seseorang dihadapkan pada nilai-nilai. Di sini ada asumsi bahwa manusia adalah makhluk etis, entah seseorang beragama entah tidak. Justru dalam bidang etis inilah setiap orang bisa saling “bertemu”. Orang bisa memakai pertimbangan akal budi sehat untuk melihat apakah suatu tindakan itu bermoral atau tidak. Kembali ke pertanyaan semula, mengapa etikaglobal mesti dibentuk melalui konsensus antar agamaagama, kiranya bisa dirunut alasannya. Setidaknya ada dua alasan. Pertama, di banyak negara di muka bumi ini agama masih merupakan kekuatan spiritual yang bisa mengubah wajah dunia menjadi lebih baik. Ini sangat potensial untuk sebuah gerakan global, juga dalam bidang etis. Kedua, ada dimensi etis dalam agama-agama, yang bisa ditinjau dari sudut ajaran agama maupun etika. Orang tidak perlu beragama untuk bisa menjadi manusia bermoral. Masalah etis bersifat universal, artinya menyangkut setiap diri manusia. Kiranya alasan kedua ini merupakan ruang-dialog antara mereka yang beragama dengan mereka yang mengklaim diri agnotis atau bahkan atheis, atau mereka yang tidak melihat “sistem-kepercayaan” mereka sebagai suatu agama.
4. Garis Besar Deklarasi Etika-Global Dalam deklarasinya, Parlemen lebih lanjut menguraikan prinsip-prinsip etika-global macam apa yang bisa menjadi acuan bersama. Berikut ini kita akan melihat garis besarnya.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri •
225
Tiada tatanan global yang baru tanpa adanya etika-global baru pula
Parlemen sampai pada keyakinan bahwa tiada tatanan global yang baru tanpa adanya etika-global yang baru pula. Keyakinan tersebut merupakan akumulasi keyakinan-keyakinan yang dipegang bersama, ialah bahwa semua orang tanpa kecuali bertanggung jawab untuk mengupayakan tatanan global yang lebih baik.Adalah mutlak perlu keterlibatan semua orang atas nama hak azasi manusia, kebebasan, keadilan, perdamaian maupun pemeliharaan bumi. Segala perbedaan tradisi religius maupun kultural bukanlah alasan untuk menghentikan kerjasama menentang segala bentuk dehumanisasi. Parlemen juga memiliki keyakinan bahwa etika-global yang tertuang dalam Deklarasi bersifat universal, artinya bisa diafirmasi oleh setiap orang yang memiliki kesadaran etis, entah is itu beragama, entah tidak. Parlemen yakin akan kesatuan fundamental keluarga besar umat manusia. Mengingat Deklarasi Hak Azasi Manusia yang diundangkan oleh PBB pada tahun 1948, Parlemen berkehendak menegaskan dan memperdalamnya dari perspektif etis atas apa yang dideklarasikan pada tataran hak tersebut, yakni martabat intrinsik pribadi manusia, kemerdekaan dan equalitas, solidaritas dan interdependensi satu sama lain. Maka, Parlemen berkeyakinan bahwa tatanan global yang lebih balk tidak bisa diciptakan oleh hukum dan kaidah belaka, bahwa perwujudan perdamaian dan keadilan tergantung pada kesediaan setiap orang untuk bertindak adil, bahwa hak dan kemerdekaan mengandaikan adanya kesadaran akan tanggungjawab dan kewajiban, dan bahwa hak tanpa moralitas tidaklah bisa bertahan.
226 •
Urgensi Pendidikan Moral Tuntutan fundamental: setiap manusia mesti diperlakukan secara manusiawi
Parlemen menyadari bahwa kita semua tidak luput dari kesalahan. Kita makhluk tidak sempurna dan terbatas. Parlemen pun menyadari realitas kejahatan (evil). Tapi persis karena kesadaran akan hal-hal inilah, dan juga keberanian untuk tidak menutup-mata terhadap perbedaan yang ada, Parlemen berkehendak mempertegas unsur-unsur etika-global sebagaimana diketemukan dalam tradisi religius maupun etis. Sekalipun agama tidak bisa langsung memecahkan masalah-masalah praktis berkenaan dengan lingkungan hidup, politik, sosial, ataupun ekonomi, namun agama bisa menyumbangkan apa yang khas. Apakah ini? Menurut Parlemen, ini ialah perubahan orientasi hidup batin, pertobatan hati. Umat manusia memang membutuhkan reformasi sosial dan ekologis. Namun, tak kalah mendesaknya ialah pembaharuan spiritual. Banyak.manusia diperlakukan secara tidak manusiawi di seluruh dunia. Kebebasan mereka dirampas, hakhak mereka diinjak-injak, martabat mereka dihina dan tak-diakui. Namun, might does not make right! (Kekuatan tidaklah membuat segala sesuatu halal!) Karenanya semakin disadari urgensi bahwa setiap manusia mesti diperlukakan secara manusiawi. Manusia bernilai pada dirinya. Maka Parlemen mengingatkan prinsip etis yang berlaku umum. yakni “Jangan lakukan kepada orang lain apa yang engkau sendiri tak menghendaki diperbuat atasmu!” Inilah the golden rule. Dari prinsip inilah merekah keempat perintah bagi perilaku kita, sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
227
5. Empat kewajiban (four irrevorcable directives) • Komitmen terhadap budaya anti-kekerasan dan hormat terhadap kehidupan Berangkat dari keprihatinan bahwa kekerasan merupakan ‘kekuatan dan ke-kuasaan’ destruktif yang kerapkali dijumpai di muka bumi ini, Parlemen mengajak semua untuk merenungkan satu perintah ini: Jangan membunuh! Atau, secara positif dinyatakan: Hormatilah kehidupan! Sebagaimana tak seorang pun dan/atau tak satu kelompok pun memiliki hak untuk diasingkan, dianiaya, didiskriminasikan, dan dimusnahkan; demikian tak seorang pun dan/atau tak satu kelompok pun berhak secara fisis maupun psikis melakukan hal-hal tersebut terhadap sesamanya. Parlemen pun menyadari bahwa dalam kehidupan bersama tentu ada perbedaan pendapat maupun konflik kepentingan. Akan tetapi konflik bukanlah alasan untuk keluar dari solusi damai dan kerangka keadilan. Jalan kekerasan bukanlah solusi atas konflik. Tak mungkin umat manusia akan bertahan bila tiada kedamaian global. There is no survival for humanity without global peace! Sebagai makhluk etis sudah semestinya setiap dari kita memiliki keprihatinan terhadap sesama dan siapsedia untuk menolong, mesti membina toleransi dan hormat kepada sesama. Minoritas di lingkungan kita justru berhak untuk dilindungi dan didukung. Demikian ajakan Parlemen.
228 •
Urgensi Pendidikan Moral Komitmen terhadap budaya solidaritas dan keteraturan ekonomi
Berangkat dari keprihatinan bahwa kemelaratan dalam pelbagai bentuk begitu menjerat sebagian besar umat manusia, sementara sebagian kecil umat manusia memelihara gaya hidup konsumeristis dalam kelimpahan mereka, Parlemen mengajak semua menyadari satu perintah ini: Jangan mencuri! Atau secara positip dinyatakan: Hidup dan bertindaklah dengan jujur dan adil! Maka, tak seorang dan/atau kelompok pun berhak merampok atau pun memeras orang dan/atau lain demi keuntunganya sendiri atau kelompoknya. Lebih lanjut, tak seorang pun berhak menggunakan kekuasaan secara sewenang-wenang. Kebutuhan masyarakat mesti menjadi yang utama. Manakala kemelaratan begitu menghimpit, keputusasaan akan merajalela. Tindak pencurian demi kelangsungan hidup pun akan merambah di mana-mana. Manakala kekuasaan dan kekayaan ditumpuk secara tidak halal, akan ada bertumbuh kemarahan dan kebencian yang mematikan dalam diri mereka yang dimarginalkan. Pemberontakan hampir pasti akan meledak. Janganlah seorang pun tertipu: Tak mungkin kedamaian global diciptakan tanpa dibarengi oleh keadilan global. There is no global peace without global justice. Jika kemelaratan hendak dientaskan, tatanan ekonomi dunia mesti dibangun secara lebih adil. Jelas bahwa ini tidak hanya ada dalam tataran keadilan individual saja. Dalam hal ini keterlibatan semua negara dan otoritas internasional dibutuhkan. Sebagai makhluk etis semua hendaknya meng-
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
229
gunakan kekuasaan ekonomis dan politis demi pelayanan kepada umat manusia. Mesti bertumbuh dalam diri kita compassion dengan siapa pun yang menderita. Kita mesti mengolah sikap saling hormat dan menghindari konsumerisme. •
Komitmen terhadap budaya toleransi dan hidup-penuh-kebenaran (truth-fulness)
Berangkat dari keprihatinan bahwa dunia kita dipenuhi oleh tipu daya dan manipulasi (entah dalam bidang politik, media massa, sains, maupun bahkan agama), Parlemen mengajak semua untuk merenungkan satu perintah etis ini: Jangan bersaksi dusta! Atau secara positif dinyatakan: Berbicara dan bertindaklah dalam kebenaran! Tak seorang pun, tak satu institusi pun (entah itu negara, entah agama) berhak untuk berdusta terhadap sesamanya. Secara khusus Parlemen menyapa mereka yang terlibat dalam kehidupan media massa, juga para artis, penulis, ilmuwan, para pemimpin negara dan politisi, dan tak ketinggalan para pemimpin agama. Parlemen mengingatkan bahwa tiada akan tercipta keadilan global jika tidak dibarengi oleh kebenaran dan perikemanusiaan. There is no global justice without truthfulness and humaneness! Generasi muda mesti belajar untuk berpikir, berbicara, dan bertindak dalam kebenaran. Mereka ini berhak untuk mendapat pendidikan etis yang akan membantu mereka dalam membentuk kehidupan mereka, yang membekali mereka sarana untuk memilah dan menyibakkan tipu daya di sekitar mereka. Sebagai manusia etis janganlah kita mengacaukan
230
Urgensi Pendidikan Moral
kebebasan dengan sikap indiferen terhadap kebenaran. Ketidakjujuran dan oportunisme mesti diganti dengan kebenaran. Kita mesti terus-menerus mencari dan mengusahakan kebenaran dan ketulusan hati. Kita mesti berkembang semakin hari menjadi orang yang patut dipercaya (trustworthy). •
Komitmen terhadap equalitas (equal rights) dan kemitraan (partnership)
Berangkat dari keprihatinan atas masih berkuasanya patriarkalisme dalam banyak segi kehidupan dan budaya, masih banyaknya pelecehan dan pemerkosaaan martabat perempuan dan anak-anak, Parlemen mengajak semua untuk merenungkan satu perintah ini: Janganlah berbuat zinah! Atau secara positif dinyatakan: Hormat dan kasihilah satu sama lain! Tak seorang pun berhak untuk menjadikan sesamanya objek seksual belaka atau menyesatkan dan mencengkeram sesamanya dalam dependensi seksual. Parlemen mengutuk segala bentuk eksploitasi seks maupun diskriminasi seksual, yang merupakan salah satu bentuk degradasi manusia yang paling jahat. Janganlah ada yang disesatkan: Tidak akan pernah ada kemanusiaan yang otentik tanpa kemitraan yang sederajat. There is no authentic humaneness without a living together in partnership! Generasi muda mesti belajar bahwa seksualitas pada dirinya bukanlah kekuatan yang negatif, destruktif maupun eksploitatif, tetapi kreatif dan afirmatif. Seksualitas sebagai sebuah pembentuk afirmasi-kehidupan bersama hanya akan menjadi efektif apabila setiap pasangan bertanggungjawab atas kebahagiaan satu sama lain.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
231
Kepenuhan hidup tidaklah sama dengan pemuasan nafsu seksual. Seksualitas mesti membantu orang untuk hidup dalam equalitas dan kemitraan antar gender. Pantang-sukarela atas hidup seksual juga merupakan ekspresi dari identitas dan kepenuhan hidup yang bermakna. Kehidupan perkawinan semestinya ditandai oleh kasih, kesetiaan dan permanensi (permanence).. Anakanak berhak atas pendidikan dan pemeliharaan. Orang tua tak berhak mengeksploitasi anak, dan sebaliknya. Sebagai makhluk etis semestinya kita mengembangkan kemitraan penuh hormat mesti selalu dibina dan diusahkan dalam hubungan antar gender. Sebagai ganti bentuk-bentuk penyalahgunaan seks dan nafsu posesif, mestilah kita bina budaya kesalingan dalam keprihatinan (concern), toleransi, kesiap-sediaan untuk rekonsiliasi, dan kasih. Dalam hal ini, pengalaman dalam keluarga menjadi basis utama untuk membangun hubungan antar bangsa dan antar agama.
6 Sebuah Transfromasi kesadaran Belajar dari pengalaman sejarah, Parlemen mengingatkan bahwa bumi tidak bisa diubah menjadi lebih baik jika manusia tidak sampai kepada tranformasi kesadaran, baik dalam tataran hidup individual maupun hidup komunal. Dengan tetap melihat secercah transformasi yang cukup fundamental yang mulai bertumbuh dalam bidang politik, ekonomi, dan ekologi, Parlemen juga menekankan betapa mendesaknya transformasi dalam bidang etika dan nilai. Sebagaimana setiap individu memiliki martabat dan hak azasi, demikian setiap individu pun memiliki tanggungjawab azasi. Mengapa? Karena setiap putusan dan tindakan, bahkan setiap keteledoran dan kegagalan, memiliki konsekuensi.
232
Urgensi Pendidikan Moral
Adalah tugas agama-agama untuk memelihara rasatanggungjawab ini, memperdalamnya, dan mewariskan dari generasi ke generasi. Dengan tetap realistis terhadap apa yang sudah bisa dicapai, Parlemen mendesak agar hal-hal berikut lebih diperhatikan: Pertama, kendati sebuah konsensus universal berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan moral fundamental (dalam bidang bioetika, etika seksual, etika media massa. etika ilmu pengetahuan, etika politik, dan etika ekonomi) sulit disepakati bersama, namun hendaknya tetaplah diusahakan suatu konsensus bersama berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang telah dicoba untuk dikembangkan di sini. Kedua, dalam banyak bidang telah merekah kesadaran akan tanggungjawab etis. Maka perlulah dibuat semacam kode etik dalam bidang-bidang profesional, yang bisa menjadi alat bantu (guidelines). Ketiga, sangat perlulah bagi setiap komunitas iman untuk merumuskan apa yang menjadi etika-khusus masing-masing. Umpama, apa yang dikatakan oleh tradisi iman-kepercayaan mereka berkenaan dengan makna hidup dan kematian, tentang penderitaan dan pengampunan, tentang pengorbanan, tentang compassion dan kegembiraan. Sebagai penutup Deklarasi, Parlemen sungguhsungguh mengajak semua penghuni planet bumi untuk bersama-sama mengadakan tranformasi kesadaran. Maka masing-masing hendaknya mengusahakannya dalam tataran individual maupun komunal. Caranya? Parlemen menyebut refleksi, meditasi, doa, berpikirpositif (positive thinking), sebagai cara-cara bagi pertobatan hati. Bersama-sama kita bisa menggeser gunung-
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
233
gemunung, demikian keyakinan seluruh Parlemen. Karenanya seluruh peserta Parlemen berkomitmen usaha untuk mengembangkan etika-global, pada usahausaha untuk saling-memahami, pada upaya memajukan cara hidup bersama yang berdampak baik bagi semakin banyak orang, yang menumbuhkan perdamaian dan yang ramah terhadap ibu buml. We invite all men and women, whether religious or not, to do the same. Nothing is more reprehensive than violence in the name of religion. Violence in the name of religion is the negation of religion (Rajiv Gandhi)
Bahan Bacaan: Hans Kung [Ed], 1996 Yes to a Global Ethic, SCM Press Ltd Magnis Suseno, Franz, 1987 Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta.
234
Urgensi Pendidikan Moral
Catatan:
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri
Catatan:
235
236
Urgensi Pendidikan Moral
Catatan: