LAPORAN PENELITIAN KELOMPOK
UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA: EVALUASI TERHADAP IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN PUBLIK
Oleh: RIRIS KATHARINA HANDRINI ARDIYANTI DEBORA SANUR LINDAWATY DEWI SENDHIKASARI
TIM POLITIK DALAM NEGERI PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DPR RI JAKARTA 2016
Executive Summary Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa hadirnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU tentang Pelayanan Publik) yang diharapkan dapat menghadirkan pelayanan publik yang layak, berkualitas, dan prima kepada masyarakat tidak memperlihatkan hasil yang memuaskan hingga lebih dari 5 (lima) tahun pemberlakuannya. Survei untuk melihat peringkat kemudahan berbisnis (Ranking Doing Business) yang dilakukan oleh International Finance Cooperation (IFC) yang dirilis pada tahun 2013 menempatkan Indonesia pada peringkat 120 dari 180 negara. Tingkat kompetitif yang dirilis oleh Index Global Competitiveness Report memperlihatkan Indonesia berada pada peringkat 34 dari 144 negara. Survei untuk menentukan peringkat korupsi yang dilakukan oleh Political Economic Risk Consultancy (PERC) menempatkan Indonesia dengan skor 9,27 dari skala 0-10 di bawah Vietman, Filipina, Thailand, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Macau, Jepang, Hong Kong, dan Singapura. Di level ASEAN Indonesia masih berada di bawah Singapura, Malaysia dan Thailand untuk Indeks Persepsi Korupsi yakni Peringkat 107 dari 175 negara. Bahkan, observasi yang dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia terhadap tingkat kepatuhan penyelenggara pelayanan publik terhadap kewajiban yang diatur dalam UU tentang Pelayanan Publik pada tahun 2015 memperlihatkan adanya kecenderungan masalah di level pemerintah kabupaten/kota (65,79% berada dalam kategori merah). Padahal, salah satu upaya untuk mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik pada level pemerintah kabupaten/kota sudah dilakukan melalui penataan daerah, yang salah satunya dilakukan melalui pemekaran daerah Sejalan dengan observasi Ombudsman Republik Indonesia, evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri memperlihatkan bahwa kebijakan pemekaran daerah cenderung gagal mewujudkan tujuan pembentukannya. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat mengambil langkah melakukan moratorium pemekaran daerah. Dengan diberlakukannya moratorium pemekaran daerah sebagai salah satu upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik, berarti perlu dilakukan upaya maksimal dalam mengimplementasikan UU tentang Pelayanan Publik ini. Berdasarkan observasi dan survei yang dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia (ORI), berarti masih ada masalah yang dihadapi dalam implementasi UU ini. Penelitian ini mengangkat permasalahan apa kendala yang dihadapi dalam implementasi UU tentang
Pelayanan Publik. Penelitian ini selanjutnya memberikan rekomendasi terkait upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di masa mendatang. Penelitian ini menggunakan pemikiran New Public Service sebagai kaca mata utama dalam melihat masalah yang dihadapi dalam implementasi UU tentang Pelayanan Publik. Penggunaan teori New Public Service sejalan dengan roh UU tentang Pelayanan Publik yang menekankan pada kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan pelayanan publik yang berkualitas yang harus dipenuhi oleh negara dalam rangka mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana dimuat dalam UU tentang Pelayanan Publik. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan grounded theory. Metode kualitatif ini akan menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati dan gambar yang menyajikan informasi dalam bentuk gambar. Pengumpulan data dilakukan melalui berbagai kegiatan, yaitu studi pustaka, Focus Group Discussion, observasi di lapangan, dan wawancara dengan informan yang relevan dan kompeten. Teknik observasi yang dipilih yaitu observasi tidak berstruktur. Informan dalam penelitian ini terdiri dari stakeholder di Pusat, yaitu Kementerian PAN dan RB, Kementerian Dalam Negeri, KPK, ORI, serta Kantor Staf Presiden (KSP); informan di daerah penelitian yaitu Rumah Sakit Umum Daerah, Dinas Kesehatan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Dinas Perizinan, dan ORI Perwakilan. Daerah penelitian yang dipilih Kota Yogyakarta dan Kabupaten Lombok Utara. Alasan pemilihan daerah, Kota Yogyakarta sebagai sampel kota yang terbentuk sudah lama (lebih dari 10 tahun) dan memperoleh predikat kepatuhan terhadap pelayanan publik masuk dalam kategori hijau (baik), sedangkan Kabupaten Lombok Utara merupakan kabupaten yang masuk dalam kategori baru (kurang dari 10 tahun), memperoleh predikat kepatuhan terhadap pelayanan publik dalam kategori merah (rendah), namun meraih peringkat terbaik daerah otonom baru versi Kemendagri. Pengumpulan data di lapangan dilakukan pada bulan April 2016 di Kota Yogyakarta dan pada bulan Juli 2016 di Kabupaten Lombok Utara. Teknik analisa data dilakukan dengan menentukan masalah awal berupa persoalan yang dihadapi dalam implementasi UU tentang Pelayanan Publik. Masalah awal ini ditentukan berdasarkan pengumpulan data yang diperoleh dari studi awal kepustakaan dengan mempelajari berbagai informasi yang tersedia secara tertulis, termasuk peraturan
perundang-undangan, berita, dan laporan penelitian. Selanjutnya dengan teori New Public Service, hasil temuan dari lapangan dianalisis. Hasil analisis data akan dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan dan juga memberikan rekomendasi dalam menyusun kebijakan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pertama, peraturan pelaksana untuk mengimplementasikan UU belum seluruhnya dibuat. Peraturan Presiden yang mengatur mengenai mekanisme ganti rugi belum ada hingga saat ini. Padahal, UU mengatur paling lambat 6 (enam) bulan sejak UU ini disahkan, peraturan presiden tersebut harus sudah ada. Kedua, standar pelayanan publik sebagaimana diatur dalam UU tentang Pelayanan Publik belum seluruhnya dipatuhi oleh penyelenggara pelayanan publik. Hal ini mengindikasikan bahwa jika standar pelayanan publik saja belum dapat dipenuhi, berarti kualitas pelayanan publik yang baik masih sulit diperoleh masyarakat. Ketiga, dalam perspektif New Public Service, masyarakat merupakan pusat perhatian dari pelayanan publik. Oleh karena itu, penyelenggara layanan seharusnya memberi perhatian terhadap upaya-upaya yang mendorong kepuasan masyarakat. Namun, penelitian memperlihatkan bahwa penyelenggara pelayanan publik belum sepenuhnya berorientasi pada kepuasan masyarakat. Hal ini ditandai dengan belum dilakukannya survei kepuasan masyarakat pada setiap layanan; pemerintah kurang melibatkan kelompok masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik; dan orientasi terhadap keberadaan kantor masih cukup besar. Hal ini tampak dari posisi kantor pemberi layanan perizinan ditempatkan di tempat yang lebih strategis dan lebih nyaman ketimbang kantor pelayanan administrasi kependudukan dan catatan sipil. Keempat, ada banyak institusi negara dan pemerintah yang melakukan survei terkait pelayanan publik. Kementerian PAN dan RB melakukan survei terkait Inovasi Pelayanan Publik; ORI melakukan survei Standar Pelayanan Publik; Kementerian Dalam Negeri melakukan survei Standar Pelayanan Minimal; dan KPK melakukan survei Integritas Sektor Publik. Keseluruhan survei ini dimaksudkan untuk memberikan masukan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik. Namun, instansi penyelenggara pelayanan publik di daerah mengeluhkan bahwa kegiatan tersebut menghabiskan waktu mereka.
Kelima, hasil penelitian memperlihatkan bahwa keberhasilan implementasi UU tentang Pelayanan Publik sangat bergantung kepada beberapa faktor. Satu, faktor pimpinan politik, terutama kepala daerah. Komitmen kepala daerah yang tinggi terhadap pelayanan publik menjadi pendorong utama meningkatnya kualitas pelayanan publik di suatu daerah. Ada kecenderungan juga bahwa kepala daerah yang baru terpilih cenderung memberikan perhatian yang besar terhadap pelayanan publik. Kampanye isu pelayanan publik dinilai efektif mendorong meningkatnya suara pemilih. Komitmen kepala daerah akan berimbas pada lahirnya kebijakan yang dilakukan pejabat aparatur di bawahnya. Misalnya, merekrut pegawai tidak tetap untuk melayani di front liner (agar lebih ramah), mengadakan pelatihan pelayanan prima bagi para pemberi layanan (agar lebih profesional), atau melakukan inovasi pelayanan jemput bola langsung ke masyarakat (lebih inovatif). Dua, anggaran. Faktor anggaran juga mempengaruhi kemampuan pemberi layanan memberikan pelayanan berkualitas. Kurangnya anggaran sering dituding aparatur sebagai penyebab kurang terlayaninya masyarakat sesuai yang diinginkan. Tiga, kepedulian masyarakat. Dalam daerah yang masyarakatnya kritis dalam menyuarakan tuntutannya, pelayanan publik suatu daerah cenderung lebih baik dibandingkan daerah yang masyarakatnya kurang memahami haknya atau kurang mampu menyuarakan kehendaknya. Penelitian ini merekomendasikan, pertama, segera disahkan peraturan presiden yang mengatur mengenai mekanisme ganti rugi. Kedua, pengawasan oleh DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota terhadap pelaksanaan pelayanan publik sesuai dengan kewenangannya perlu diintensifkan. Pengawasan terhadap implementasi standar pelayanan publik harus dilakukan secara menyeluruh, baik dari internal maupun eksternal. Untuk itu perlu dibentuk gugus tugas untuk memantau pelaksanaan UU tentang Kebijakan Publik, baik di DPR, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota maupun di penyelenggara pelayanan publik di K/L dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab langsung kepada kepala daerah. Ketiga, Kementerian PAN dan RB melalui inovasi pelayanan publik dapat mendorong pelayanan publik berbasis informasi teknologi dalam rangka mendorong pelayanan publik yang mobile. Hal ini dapat membantu daerah yang bermasalah dalam pelayanan publik karena kondisi geografi yang sulit. Keempat, Kementerian PAN dan RB dapat ditunjuk menjadi lembaga yang mensinergikan kerja seluruh lembaga yang melakukan survei terkait pelayanan publik.
Agar tidak membebani kerja aparatur pemerintah di daerah untuk menyediakan data, sebaiknya sudah jelas sejak awal data yang dibutuhkan untuk memantau pelaksanaan kerja pelayanan publik, dan hal tersebut dibuat dalam sebuah aplikasi. Dengan demikian, seluruh K/L dan instansi pemerintah daerah dapat memasukkan data ke dalam aplikasi yang sudah ada. Selanjutnya pengambil kebijakan dapat menentukan kebijakan yang strategis yang diperlukan untuk perbaikan pelayanan publik. Kelima, untuk menyelesaikan praktek pungli atau pelayanan berbelit dan lambat dalam pelayanan publik, perlu diselesaikan melalui sistem penganggaran. Jumlah anggaran yang tidak ideal antara jumlah kegiatan yang terkait dengan pelayanan publik dalam rangka pemberian barang, jasa, dan administrasi dengan banyaknya masyarakat yang hendak dilayani, akan terus dijadikan alasan untuk membenarkan praktek pungli.