UPACARA TRADISI YANG MASIH BERKEMBANG DI MASYARAKAT SEPUTAR MAKAM TOKOH DI JAWA TENGAH Oleh Endah Sri Hartatik
UPACARA –
I. PENDAHULUAN Dalam setiap kesempatan banyak para ahli budaya, pemerhati budaya dan para praktisi budaya merasakan suatu keprihatinan yang luar biasa akan budaya masa lau yang telah mulai tergerus oleh budaya luar yang bukan merupakan budaya anak negeri. Keprihatinan tersebut terlihat dari sedikitnya generasi muda yang masih mengenal dan mengingat akan budaya leluhur yang dianggap tidak modern dan ketinggalan jaman. Setiap masyarakat baik itu yang berada di daerah yang terpencil maupun di daerah perkotaan memiliki warisan kebudayaan yang bervariatif dan memiliki ciri berbeda antara wilayah yang satu dengan lainnya. Warisan budaya terebut ada yang masih terlihat jelas sampai sekarang ada pula yang tinggal berupa benda/ artefak. Namun demikian warisan tersebut ada di sebagian masyarakat di Indonesia masih lestari dan terawat dengan baik sampai sekarang. Secara etimologi, kata “kebudayaan” berasal dari kata “budaya”, yang berasal dari kata “budi dan daya”. Berdasarkan etimologi itu, maka budaya berarti daya dari budi. Budi itu sendiri adalah mengacu pada pikiran. Kebudayaan dengan demikian merupakan sifat dari “daya suatu budi”. Silang pendapat masalah para ahli kebudayaan pada saat ini tentang definisi kebudayaan bukanlah hal yang baru. Perbedaan itu bukan sekedar masalah rumusan, tetapi sudah sampai pada tataran konseptual. Perbedaan konseptual ini membawa implikasi pada definisi operasional bagi peneliti kebudayaan. Tylor (1871) memberikan batasan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat-istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Ralph Linton (1940) memberikan definisi yang agak dekat dengan Tylor, kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan, sikap, dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat. Koentjaraningrat (1978/79) mengatakan bahwa kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Kebudayaan terdiri atas unsur-unsur universal, yaktu : bahasa, teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Koentjaraningrat juga memperinci kebudayaan atas tiga wujud, yakni : ideal, aktifitas, dan benda budaya. Goedenoegh (1951:61) mengemukakan bahwa kebudayaan merupakan pola (pattern) kehidupan dari suatu masyarakat yang berupa kegiatan dan pengaturan material dan sosial yang berulang secara teratur yang menjadi cirri khas suatu kelompok tertentu. Dalam hal ini kebudayaan merupakan isi atau bagian dalam dari benda-benda dan peristiwa yang bisa diamati. Keesing, (1989:68) berpendapat bahwa kebudayaan juga merupakan sistem pengetahuan dan kepercayaan yang digunakan sebagai pedoman dalam mengatur pengalaman dan persepsi mereka, menentukan tindakan, dan memilih alternatif yang ada. Konsep kebudayaan yang kedua merupakan konsep budaya yang lebih rasional dan
aplikatif. Kebudayaan tidak lagi dilihat pada tataran hal-hal yang kasat mata, tetapi yang ada dibalik hal-hal yang tidak kasat mata. Hal-hal yang kasat mata itu dipandang sebagai fenomena yang muncul dari kebudayaan masyarakatnya. Setiap masyarakat menciptakan gambaran-gambaran ideal yang diidam-idamkan mengenai bagaimana seharusnya anggota masyarakat berperilaku, baik dalam fikiran maupun tindakan. Gambaran-gambaran itu mengungkapkan visi mengenai kehidupan yang baik yang telah dicapai oleh masyarakat yang bersangkutan. Gambaran-gambaran itu memberikan bentuk kepada nilai budayanya. Nilai itu sendiri merupakan sesuatu yang dianggap ideal, suatu paradigma yang menyatakan realitas sosial yang diinginkan dan dihormati. Nilai-nilai itu menjadi ilham bagi warga masyarakat dalam berperilaku. Nilai pada hakekatnya adalah kepercayaan bahwa cara hidup yang diidealisasikan adalah cara yang terbaik bagi masyarakat. Oleh karena nilai adalah sebuah kepercayaan, maka ia berfungsi mengilhami anggota-anggota masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan arah yang diterima masyarakatnya. Sebagai gambaran ideal, nilai itu merupakan alat untuk menentukan mutu perilaku seseorang. Dalam hal ini, nilai berfungsi sebagai tolok ukur atau norma. (Gabriel,1991 : 143-44) Sebagai gambaran ideal dari sebuah komunitas atau masyarakat, nilai budaya membentuk sebuah sistem. Oleh karena itu dikenal adanya sistem nilai budaya. Dalam sistem nilai budaya, terdapat lima hal pokok dalam kehidupan manusia, yaitu: (1) masalah hakekat hidup manusia, (2) masalah hakekat karya manusia, (3) masalah kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) hakekat hubungan manusia dengan alam sekitar, dan (5) hubungan manusia dengan sesamaya (Koentjaraningrat, 1987:28). Sebagai sebuah nilai yang dihayati, kebudayaan diwariskan secara turun-temurun, dari satu generasi ke generasi. Proses pewarisan kebudayaan disebut sebagai proses enkulturasi. Proses enkulturasi berlangsung mulai dari kesatuan yang terkecil, yakni keluarga, kerabat, masyarakat, suku bangsa, hingga kesatuan yang lebih besar lagi. Proses enkulturasi ini berlangsung dari masa kanak-kanak hingga masa tua. Melalui proses enkulturasi ini, maka dalam benak sebagian besar anggota masyarakat akan memiliki pandangan, nilai yang sama tentang persoalan-persoalan yang dianggap baik dan dianggap buruk, mengenai apa yang harus dikerjakan dalam hidup bersama dan mengenai apa yang tidak harus dikerjakan. Media enkulturasi bermacam-macam. Pada masyarakat yang sudah mengenal tulisan, media enkulturasi berupa tulisan, rekaman video, tape recorder, dan alat teknologi lain. Pada masyarakat tradisional, media enkulturasi berupa tradisi lisan yang berlangsung dari generasi ke generasi. Tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat berupa nyanyian rakyat, puisi rakyat, isyarat dan gerak, serta upacara tradisional. Pada saat ini upacara tradisional yang merupakan tradisi penyampaian pesan budaya yang telah lama digunakan jauh sebelum manusia mengenal tulisan masih terus berlanjut. Sebagian besar masyarakat memelihara upacara tradisi itu untuk keperluan berbagai kepentingan. Masyarakat pendukung tradisi itu memelihara upacara tradisi sebagai hal yang sudah “lumrah”, atau biasa karena sejak lahir mereka telah mengikuti kebiasaan itu. Misalnya upacara Garebeg Maulud di Keraton Surakarta dan Yogyakarta, keluarga dari kedua istana itu tetap menjalankan upacara tradisi Garebeg Maulud karena hal itu sudah menjadi kebiasaan yang mereka warisi dari nenek moyangnya sejak zaman Sultan Agung. Masyarakat di Kabupaten Demak menyelenggarakan tradisi Garebeg Besar pada setiap bulan Besar menurut penanggalan Jawa karena tradisi itu telah mereka warisi secara turun-temurun, dan mereka tidak berani
meninggalkannya karena takut jika tidak melaksanaksannya terkena dampak negatif. Upacara –upacara tradisi yang masih berkembang dalam masyarakat di Jawa Tengah cukup banyak dan bervariatif antara lain yang berhubungan dengan alam, daur hidup manusia , makam tokoh yang suci dan lain sebagainya. Tulisan ini hanya membatasi diri pada upacara tradisi yang masih berlangsung dalam masyarakat di seputar makam tokoh suci yang ada di Jawa Tengah.
II. UPACARA TRADISI DI NEGARA AGUNG, MANCA NEGARA DAN PASISIRAN Ditinjau dari lingkungannya, upacara tradisi yang berkembang dalam masyarakat dapat dipilahkan menjadi berbagai cara. Berdasarkan lingkungan alamnya terdapat lingkungan pasisir, pedalaman, dan pegunungan. Berdasarkan lingkungan budayanya dapat dipilahkan menjadi Kota Kerajaan(kuthagara), Negara Agung, Mancanegara, dan Pasisiran. Upacara tradisi yang dekat dengan keraton dihubungkan dengan tokoh keraton/ istana sedangkan di wilayah jauh dengan istana /pasisiran berhubungan dengan tokoh agama. Upacara tradisi yang berkembang dalam masyarakat di Jawa Tengah yang berhubungan dengan makam tokoh berdasarkan lingkungan budaya tersebar baik yang ada di lingkup kuthagara sampai pasisiran masih banyak dilakukan akan tetapi berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan ada kecenderuangan upacara tersebut berhubungan dengan ulang tahun kematian (khol) dari tokoh yang dimakamkan dan upacara penggantian kelambu makam dari tokoh tersebut. dan lain. Hampir sebagaian besar pengunjung upacara tradisi tersebut mencari tuah dan berkah dari tokoh yang di makamkan. Implementasi tuah tersebut disimbolkan dalam bentuk potongan kelambu makam, makanan yang menjadi sesaji, air dari pensucian pusaka(jamasan), dan lain sebagainya. Tulisan ini mengambil sampel pelaksanaan upacara tradisi pada wilayah kabupaten Grobogan dan Sukoharjo yang mewakili daerah Negara Agung, Manca negara di wakili oleh wilayah kabupaten Kebumen dan Temanggung sedangkan Pasisiran diwakili oleh kota Tegal dan Kudus. Upacara tradisi di makam tokoh di wilayah kabupaten Grobogan dilaksanakan di makam Ki Ageng Selo yang merupakan upacara khol kematian beliau yang jatuh setiap bulan Syakban pada makam Ki Ageng Selo. Sedangkan di wilayah kabupaten Sukoharjo upacara tradisi yang berlangsung di seputar makam Ki Ageng Banyubiru (Ki Ageng Purwoto Sidiq). Sedangkan di wilayah Mancanegoro di laksanakan oleh masyarakat Kabupaten Kebumen terhadap khol tokoh kharismatik Syeh Ibrahim Asmorokondi setiap bulan Syuro.dan Malam Selikuran di Makam Kyai Ageng Mangkukuhan di Puncak Gunung Sumbing setiap tanggal 20/21 bulan Ramadan. Sedangkan di kabupaten Kudus dilaksanakan upacara buka luwur (penggantian kelambu) 10 Muharram di makam Sunan Kudus. Tradisi yang berlangsung di kota Tegal adalah Khol Mbah Panggung.setiap tanggal 6 bulan Syakban. III. PIHAK YANG TERLIBAT DAN PROSESI UPACARA
Dalam masyarakat agraris ada kecenderungan masyarakatnya masih mengemban dan melestarikan tradisi leluhur yang sudah berjalan berpuluh tahun yang lalu. Tradidi- tradisi tersebut ada yang masih murni sesuai dengan masanya, akan tetapi ada juga yang sudah mengalami pengurangan dan penambahan yang kesemuanya disesuikan dengan jaman dan sumber dananya. Perubahan- perubahan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah (1) jiwa jaman yang sudah berubah sehingga pelaksanaan upacara tradisi sangat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakatnya, (2) pendukung upacara tradisi yang sudah mengalami penurunan baik jumlah maupun tokoh yang terlibat, dan (3) Sumber dana, sebagai penyokong utama pelaksanaan upacara tradisi. Dalam setiap pelaksanaan kegiatan baik itu yang dilakukan secara besarbesaran maupun sederhana tentu membutuhkan keterlibatan beberapa pihak. Pihakpihak yang terlibat dalam pelaksanaan upacara tradisi khol di setiap wilayah penelitian antara lain adalah 1. Juru kunci, yang bertanggung jawab pada waktu diadakan syukuran dengan bancaan sego takir( nasi dalam tempat daun yang di buat sebagai alas ) dilengkapi dengan lauk pauk. Juru kunci ini biasanya berfungsi sebagai mediator para pengunjung yang datang untuk ziarah. 2. Takmir Masjid dimana upacara tradisi khol dilaksanakan 3. Panitia khol, yang terdiri dari dua bagian yaitu panitia pada waktu pengajian bil ghoib , panitia pengajian bil simak dan panitia pengajian umum. 4. Jamaah tahlil, yang terdiri dari warga masyarakat sebagai pendukung dana utama 5. Pejabat, Muspika setempat dan Kepala Desa yang diminta untuk memberikan sambutan pembukaan. 6. Masyarakat partisipan lain dari luar desa dan daerah yang turut hadir untuk mencari berkah dan masyarakat yang sudah berhasil cita- citanya berkat ziarah 7. Mubalig/ ustad yang memimpin pengajian akbar pada malam puncak acara tradisi khol Tokoh tang dimakamkan 8. Masyarakat di sekitar makam dan Desa di mana tokoh tersebut dimakamkan sebagai sponsor dan partisipan utama acara tersebut 9. Para penabuh robana yang datang dari dalam dan luar wilayah 10. Para pedagang yang datang karena memanfaatkan peluang untuk mencari rejeki dengan menjajakan dagangannya 11. Tukang parkir dadakan yang menyediakan jasa untuk mengamankan kendaraan yang digunakan oleh tamu dan partisipan yang datang dari berbagai daerah di mana upacara tradisi dilaksanakan A. Pelaksanaan Upacara Khol Ki Ageng Selo di Kabupaten Grobogan dan Kyai Ageng Banyubiru (Kyai Ageng Purwoto Sidiq) di Sukoharjo Tradisi khol yang dilaksanakan oleh masyarakat di Desa Selo Kecamatan Tawangharjo erat berhubungan dengan tokoh kharismatik Ki Ageng Selo yang oleh masyarakat kabupaten Grobogan sebagai tokoh yang mampu menangkap petir. Keahlian beliau ini sampai sekarang masih diyakini kebenarannya. Masyarakat Grobogan sampai sekarang masih mengucapkan kalimat “Cleret Putrane Ki Ageng Selo” apabila ada petir pada waktu hujan deras. Dengan mengucap kalimat itu mereka percaya akan dilindungi dari ancaman sambaran petir ganas tersebut. Terlepas dari kebiasaan penduduk yang masih
mempercayainya, ada tradisi yang masih berjalan sampai sekarang berhubungan dengan ulang tahun kematian beliau yang dilaksanakan setiap tanggal 15 malam 16 bulan Ruwah/ Syakban. Ulang tahun kematian beliau diperingati dengan jalan membaca Alqur’an dan tahlil secara bergantian di dalam masjid untuk mendoakan beliau. Pada masa sekarang puncak tradisi khol ini diakhiri dengan diadakan pengajian akbar dengan mengundang mubalig. Setiap melakukan suatu kegiatan pasti membutuhkan personal/ orang yang menjalankan kegiatan ini baik sebagai pemimpin acara maupun partisipan saja. Peringatan khol Ki Ageng Selo ini dapat terlaksana dengan baik dan lancar karena adanya kepanitiaan yang disusun secara tetap yaitu takmir masjid dalam komplek makam Selo. Upacara tradisi ini dilaksanakan dalam beberapa tahapan yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan upacara tradisi. Tahap pelaksanaan upacara ini juga terbagi dalam dua bagian yaitu pembacaan tahlil dan Alqur’an dan pengajian akbar. Secara teknis ulang tahun/ khol kematian Ki Ageng Selo tahapan acaranya adalah Pada tahap ini dilakukan kerja bakti membersihkan makam dan di seputar makam Ki Ageng Selo di pimpin oleh juru kunci makam beserta masyarakat. Sedangkan di masjid juga dilakukan kerja bakti membersihkan tempat itu dengan dipimpin oleh ketua pelaksana yang biasanya dipegang oleh ketua takmir masjid setempat beserta panitia dan masyarakat. Di halaman depan masjid juga di pasang tratak/ deklit yang digunakan untuk duduk para tamu undangan dan juga sekaligus membuat podium untuk pidato dan ceramah ustad. Sebagai tempat duduk para tamu undangan disediakan tempat duduk dari kursi-kursi yang berjajar sesuai dengan jabatannya. Sedangkan masyarakat kebanyakan pada waktu puncak acara tradisi khol ini, mereka ada yang duduk di kursi dan ada juga yang duduk di dalam masjid sambil mendengarkan ceramah pada waktu diadakannya pengajian akbar. Sejak dua tiga hari menjelang khol Ki Ageng Selo banyak masyarakat yang datang untuk berziarah ke makam untuk mendoakan beliau, biasanya orang- orang dari luar kota. Mereka datang sambil menunggu puncak perayaan khol pada tanggal 15 dan 16 Syakban. Ziarah ini dipimpin oleh juru kunci makam dan biasanya dilanjutkan dengan melakukan tahlil di makam beliau dan lek- lek-an bagi mereka yang ingin melakukannya. Pada saat inilah terjadi sinkretisme antara budaya Islam dan Hindu yaitu semedi dan membaca doa tahlil. Berdasarkan informasi dari juru kunci mereka yang melaksanakan ritual ini biasanya mempunyai keinginan sesuatu karena mereka percaya dengan berdoa di makam orang- orang suci doanya akan dikabulkan oleh Allah SWT. Sebagai bentuk kompensasi dari doa yang dikabulkan mereka akan dengan senang hati datang dan memberikan sumbangan pada waktu acara khol ini dilaksanakan. Pembacaan kitab suci Alqur’an 33 jus ini dilaksanakan dengan dua cara yaitu secara hapalan (Bin Qoib) dan secara membaca (bin Nazar). Sedangkan bacaan tahlil di lantunkan setelah membaca Alqur’an selesai. Pada tanggal 13 Syakban/ Ruwah di mulai engan membaca Alqur’an bin Nazar yang di mulai setelah Sholat Isya’. Mereka yang membaca Alqur’an ini bergiliran dari bacaaan jus pertama sampai yang terakhir dan biasanya dilakukan oleh 30 sampai 40 orang. Pada tanggal 14 Syakban dilaksanakan pembacaan Alqur’an dengan cara hapalan, pada momen ini tidak semua orang bisa melakukannya sehingga hanya beberapa orang saja dan didatangkan oleh panitia dari luar desa yaitu Desa Bandungsari kecamatan Wirosari atau dari desa Mayahan dan lain sebagainya karena di desa tersebut tidak ada yang hapal ayat suci tersebut. Bagi mereka yang tidak dapat membaca secara hapalan biasanya mendengarkan ayat suci tersebut
sambil membaca doa tahlil. Pembacaan ini juga dimulai setelah sholat Isya’ sampai pukul 1 dinihari karena dari jus pertama sampai 33. Pada saat inilah pembaca alqur’an mendapatkan makanan dari warga yang dikumpulkan dalam tempelang yang dibungkus daun pisang beserta lauk pauknya. Pengajian akbar ini dilaksanakan setelah sholat Isya’, para tamu undangan datang sedangkan acaranya sendiri dimulai kira- kira jam 8 malam. Adapun susunan acara dari khol Ki Ageng Selo itu sendiri adalah sebagai berikut: 1. Pembukaan, pada acara ini dilakukan dengan pembacaan ayat suci Alqur’an dan terjemahannya oleh panitia yang ditunjuk 2. Ketua panitia melaporkan pelaksanaan acara tersebut 3. Sambutan- sambutan yang dilakukan secara bergantian dari tamu undangan yang ditunjuk, pernah Bupati Grobogan besrsedia hadir pada acara tersebut yaitu tahun 2007 sehingga sambutan dilakukan oleh beliau baru kemudian dilakukan oleh pejabat teras di bawahnya yaitu Bapak Camat Tawangharjo dan kepala desa Selo. 4. Pembacaan Riwayat Singkat Ki Ageng Selo oleh Juru Kunci Makam 5. Selingan diisi dengan tampilan kesenian Robana yang di datangkan dari desa Jono dan Grobogan yang jumlahnya 20 orang penabuh dan penyanyi 6. Membaca tahlil massal yang dipimpin oleh ustad yang di undang 7. Pengajian Akbar yang dipimpin oleh Mubalig yang diundang. Tema yang diminta disesuaikan dengan kebutuhan. Biasanya tema yang diminta oleh panitia adalah tentang peningkatan keimanan, kerukunan antar umat dan wejangan untuk generasi muda supaya mau bekerja keras dan menghargai orang yang lebih tua dan lain sebagainya (Endah Sri Hartatik, dkk 2009 : 103-110) Upacara tradisi yang dilakukan di makam Ki Ageng Banyubiru atau dikenal juga dengan Kebo Kanigoro yang merupakan salah seorang putra Majapahit yang terletak di Dukuh Sarehan Jatingarang Kecamatan Weru Kabupaten Sukoharjo. Dalam Pelaksanaan Upacara tradisi ini mencapai puncaknya pada bulan ruwah pada peninggalan jawa dan dilaksanakan pada malam hari setelah tanggal dua puluh, misalnya selikur, telulikur, selawe dan lainnya yang yang jelas malam hitungan ganjil. Prosesi upacara ini diawali dengan penggantian kelambu/ puli langse, kemudian bancaan/ kondangan(selamatan) dan diakhiri dengan wayangan semalam suntuk dengan lakon yang telah ditentukan oleh panitia. Pada pelaksanaan upacara tradisi di makam Ki Ageng Banyubiru/ Ki Ageng Purwoto Sidiq sesuai dengan informasi yang berhasil di temukan dilapangan antara lain adalah pertama, Mengganti kelambu yang dipasang di makam tersebut setahun sekali sebagai bentuk rasa hormat pada tokoh yang dimakamkan, kedua, syukuran atas semua doa yang berhasil diraih dengan cara selamatan menyembelih hewan, membangun makam, pagar dan lainnya. Ketiga, berdoa dan berzikir dimakam yang dikeramatkan supaya apa yang didoakan terkabul, keempat pelestarian tradisi yang sudah berlangsung turun temurun. Di wilayah Kabupaten Sukoharjo bagian barat daya, tepatnya di Desa Banyubiru, Kecamatan Weru terdapat makam suci yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai ”Sarean Banyubiru”. Istilah sarean dalam tradisi Jawa dimaksudkan untuk menghormati arwah orang yang meninggal sebagai orang yang sedang ”tidur”. Sarean berarti tempat untuk tidur. Makam tempat orang suci umumnya disakralkan oleh masyarakat dengan kegiatan upacara tradsi nyekar atau nyadran. Demikian pula yang terjadi di Makam
Banyubiru atau Sarean tersebut. Upacara nyadran di Makam Banyubiru terkait dengan tokoh bersesarah yang makamnya dianggap keramat. Berdasarkan keterangan seorang informan yang bernama bapak Widodo, adik dari juru kunci makam Ki Ageng Purwoto Sidiq. Nama lain dari Ki Ageng Purwoto Sidiq adalah Kebo Kanigoro adalah putra Pengging, yang merupakan pakde dari Joko Tingkir
Gambar 1. Makam Kiageng Prawoto Sidiq, Banyubiru
Upacara tradisi yang terkait dengan makam Ki Ageng Purwoto Sidiq adalah Pulung Langse. Upacara Pulung Langse dilaksanakan setiap tahun di bulan Ruwah pada tanggal-tanggal kur-kuran, seperti tanggal limolasan atau selikuran, telulikuran, yanag dilakukan oleh juru kunci adalah membukak atau mengganti kain korden makam yang disebut dengan Pulung Langse. Dalam perkembangn tiga tahun terakhir upacara Pulung Langse ini dilaksanakan di bulan Syuro dengan acara wayangan yang tidak direncanakan, dengan dalang dari Kartosuro, tempat pelaksanaannya tetap di makam Ki Ageng Purwoto Sidiq dengan lakon Semar Mbangun Kapribaden. Pada intinya kegiatan ini sebagai penghormatan kepada para leluhur dan melaksanakan tradisi budaya para leluhur. Wayangan ini biasanya didanai oleh orang-orang yang selama ini merasa telah berhasil dari permohonannya melalui makam Ki Ageng Purwoto Sidiq dengan cara meditasi secara agama dan keyakinan masing-masing. Biasanya permohonannya antara lain permohonan kenaikan pangkat atau derajat, pedagang yang menginginkan agar dagangannya laris atau berhasil sebagai pedagang, ada juga yang telah berhasil mendapatkan jodoh. Selama tiga bulan dalam pelaksanaan upacara Pulung Langse ini biasanya masyarakat menyembelih sapi sebagai menu dalam kondhangan yang hasil masakan sapi dibagikan kepada seluruh warga setempat. Pada tahun 2007 kemarin dari hasil syukuran tersebut terkumpul dana untuk membeli sapi sebanyak 5 ekor. Hari pelaksanaan upacara di mulai pada jam 10.00 pagi, juru kunci membuka korden, dan mengganti dengan korden yang baru, korden yang ada selama ini adalah pemberian orang-orang yang telah berhasil dari permohonannya melalui tirakatan di makam Ki Ageng Purwoto Sidiq. Koeden- korden yang telah usang tidak diperebutkan sepertihalnya acara buka luwur dimakam Sunan Kudus dan Muria. Kelambu yang masih baik oleh juru kunci tetap disimpan untuk digunakan kembali. Pada saat acara ini, juru kunci telah menyiapkan sedekahan yang berupa antara lain: jangan menir, pecel pitik (srundeng dan suwiran ayam), pisang, nasi udhuk,
nasi golong, dan ayam ingkung. Makanan yang telah disediakan juru kunci tadi merupakan makanan kesenangan atau kareman Ki Ageng Kanigoro. Makanan sedekahan tadi oleh modin dan juru kunci lalu didoakan sesuai ujub atau tujuannya, baru setelah acara doa selesai maka makanan sedekahan tadi dimakan bersama-sama dengan menggunakan pincuk dari daun pisang. Tradisi ini juga mengalami masa perkembangan menuju kearah yang lebih sederhana tidak lagi seribet pada masa lalu. Dengan sentuhan perkembangan agama Islam, terutama Muhammadiyah, banyak warga masyarakat yang ada di sekitar wilayah ini yang lama kelamaan mulai meninggalkannya,. Hal tersebut dapat dipahami karena dalam agamaapapun juga sebenarnya niat nyadran ke makam orang yang dituakan atau tokoh sebenarnya adalah untuk mendoakan orang yang meninggal tersebut, bukan minta supaya keinginannya terpenuhi. Kondisi ini menurut juru kunci (Bapak Widodo) membawa pengaruh akan pelaksanaan upacara tradisi di tempat tersebut. Menurut beliau yang datang untuk melakukan upacara tradisi tersebut justru dari warga di luar wilayah setempat.(wawancara dengan Bapak Widodo tanggal 20 Mei 2008) Masyarakat paling banyak ikut terlibat dalam pelaksanaan upacara tersebut adalah pada waktu pelaksanaan selamatan dan pentas wayangan semalam suntuk. Biasanya lakon yang dipagelarkan dalam setiap tahun berbeda – beda tergantung dari masyarakat yang menyelenggarakan, misalnya untuk membuat generasi muda mau membangun daerahnya maka lakonnya adalah Semar Mbangun Kayangan dan lain sebagainya. Bagi mereka yang tidak mau terlibat tidak ada sanksi apaun dari pamong, karena sifatnya sukarela. (Rini Iswari, dkk.2008: 64-83)
B. Upacara Tradisi Khol Syeh Ibrahim Asmorokondi di Desa Kuwarasan Kab. Kebumen dan Malam Selikuran di Puncak Gunung Sumbing Upacara ini oleh masyarakat di desa Kuwarisan, Panjer disebut dengan Khol yang diselenggarakan pada malam Jum’at kliwon setiap bulan Syuro. Upacara ini diselenggarakan secara rutin bahkan untuk tahun ini masuk dalam MURI Indonesia karena berhasil membawa ingkung ayam jantan kampung sebanyak 6000-an di pelataran masjid Banyumudal. Banyaknya ingkung ayam tersebut dikarenakan dalam setiap kepala keluarga ada yang membawa ingkung lebih dari satu buah, karena ada tradisi dari masyarakat setempat yang berada diluar desa / berada diluar kota untuk menitipkannya kepada saudara yang tinggal di desa tersebut untuk dibawa ke masjid. Penyelenggaraan upacara tradisi yang berkembang di masyarakat Kuwarisan, Panjer tersebut adalah untuk berdoa bersama mencari keselamatan bagi semua warga yang ada di desa maupun yang berada di luar desa tersebut. Bahkan ada masyarakat yang menyebutnya sebagai upacara syukuran bagi keselamatan dan kesejahteraan yang mereka dapatkan kepada Allah S.W.T.( Wawancara dengan bapak Juharman tanggal 23 Mei 2005). Upacara tersebut pada puncaknya diselenggarakan di pelataran Masjid Banyumudal pada hari Jum’at Kliwon. Pada satu hari menjelang upacara dilaksanakan makam Syeh Ibrohim Asmorokondi ramai dikunjungi oleh para peziarah. Makam tersebut terletak di sebelah tenggara masjid. Dalam makam tersebut terdapat makam istri beliau dan sanak keluarganya yang berada di luar bangunan cungkup. Penyelenggara upacara ini adalah Takmir Masjid Banyumudal desa Kuwarisan
Panjer Kecamatan Kebumen. Adapun pihak yang terlibat dalam teknis pelaksanaannya adalah perangkat desa dan seluruh anggota masyarakat desa, terutama muda mudi untuk membantu dalam inventarisasi, kebersihan dan pelaksanaan upacara kol tersebut. Pada malam puncak upacara biasanya banyak para pedagang asongan yang ikut mengkais rejeki di arena tersebut bahkan seperti pasar malam. Mereka menjajakan makanan, pakaian, hasil kerajinan, dan lain sebagainya. Upacara kol ini di gunakan untuk mencari keselamatan dan ucapan rasa syukur kepada Allah s.w t atas karunia yang diberikan kepada umatnya. Upacara ini dalam tradisi Islam digunakan sebagai bentuk ucapan terimakasih kepada tokoh spiritual yang dilakukan pada malam jum’at kliwon bulan Muharam , Kyai Syeh Ibrohim Asmorokondi. Beliau dianggap sebagai tokoh Islam yang disegani karena ketauladanan dan kearifan beliau dalam masyarakat. Peringatan pada bulan Muharram tersebut dalam ajaran Islam biasa dilakukan bagi penganut aliran Syiah yang memperingati kematian Hasan/ Husien secara besar- besaran, apakah dalam tradisi ini ada hubungannya perlu penelitian lebih lanjut. Dalam aliran syiah peringatan 10 Muharam atas kematian sahabat nabi ini dilakukan, akan tetapi dalam kol di desa Kuwarisan ini ada sinkretisme dengan penanggalan jawa yaitu bukan tanggal 10 tetapi malam jum’at kliwon. Dalam tradisi masyarakat jawa malam jum’at kliwon tersebut merupakan malam sangat keramat dan diagungkan. Upacara kol ini didahului dengan ritual berziarah ke makam Syeh Ibrohim Asmorokondi pada Rabu Pon malam Kamis Wage dan penjamasan(pencucian) peninggalan beliau di rumah juru kunci, kemudian dilanjutkan dengan lek- lek-an di makam tersebut bagi orang yang ingin ngalap berkah. Sementara itu di masjid dikumandangkan puji-pujian semalam suntuk oleh para pemuda dan laki- laki dewasa yang dapat membaca Alqur’an. Pada pagi harinya kira- kira jam 10-an ibu- ibu membawa ingkung ayam tersebut ke masjid dengan dilapisi daun pisang dan baki. Setelah sholat jum’at upacara kol ini dilaksanakan, dengan mengiring ingkung tersebut keliling jalan desa dekat masjid . Sementara Bapak-bapak yang jum’atan pulang ke rumah selain takmir masjid ibu-ibu mendengarkan ceramah pengajian dengan mengundang penceramah baik dari dalam maupun luar kabupaten Kebumen. Tradisi membawa ingkung tersebut selain dilakukan oleh ibu- ibu juga oleh remaja puteri apabila jumlah ingkung yang dibawanya lebih dari satu setiap rumahnya. Setelah ingkung tersebut diupacarai/ didoakan kemudian dibawa pulang kerumah masing- masing untuk dimakan bersama anggota keluarga di rumah maupun dihantarkan kesanak keluarga yan berada diluar desa apabila jumlahnya banyak. Pada tahun 2005 ini jumlah ingkung yang dibawa oleh kepala keluarga melebihi jumlah KK yang ada di desa tersebut, hal ini terjadi karena banyak masyarakat Kuwarisan yang berada di luar desa dan berada di luar daerah datang ke acara tersebut setahun sekali untuk bertemu sanak keluarga maupun handai taulan. Bagi mereka yang tidak dapat pulang kampung biasanya menitipkan ingkung tersebut kepada sanak keluarga yang masih tinggal di desa tersebut. Tradisi membawa ingkung ayam jantan yang dibumbui oleh rempah-rempah kunyit, brambang, bawang, sereh, tumbar dan daun salam tersebut dengan kaki ayam yang terduduk dan utuh mempunyai arti bahwa orang Islam tunduk dan terduduk kepada Allah dengan pasrah diri. Ingkung ayam tersebut diletakkan diserambi masjid Banyumudal dan sisanya berada dihalaman dan jalan- jalan sekitar masjid. Pada hari jum’at tersebut segenap anggota keluarga datang ke masjid untuk pelaksanaan upacara
baik anak- anak, anak muda maupun orang dewasa untuk menyaksikan upacara tradisi tersebut.(Endah Sri Hartatik, dkk, 2007:112-121). Tradisi yang berkembang dalam masyarakat kabupaten Temanggung cukup bervariatif, salah satu yang masih berlangsung sampai sekarang adalah tradisi selikuran di Puncak Gunung Sumbing. Upacara tradisi tersebut dilaksanakan pada tanggal 20 malam 21 setiap bulan Ramadan. Mereka datang ke Puncak Gunung untuk berdoa semoga mendapatkan lailatul qodar dari Allah SWT karena di malam tersebut para malaikat akan turun ke bumi dari malam hingga pagi dan merupakan malam yang keberadaannya lebih baik dari 1000 bulan. Ada dugaan untuk memaknai ajaran tersebut , sebagian besar masyarakat di lereng Gunung tersebut dengan mencari tempat yang tinggi untuk berdoa dengan jalan melakukan pendakian ke puncak gunung yang memiliki ketinggian 3.371 meter ditas perkuaan laut. Sebenarnya upacara tradisi tersebut erat berhubungan dengan seorang tokoh yang konon ceritanya dimakamkan di Puncak Gunung Sumbing,. Tokoh tersebut di kenal dengan nama Ki Ageng Mangkukuhan, yang merupakan tokoh yang dihormati karena merupakan orang yang berjasa bagi masyarakat kabupaten khususnya dalam bidang pertanian yaitu cikal bakal tanaman tembakau yang merupakan primadona dan mascot kabupaten Temanggung. Konon cerita Ki Ageng banyak memberikan ajaran tentang cara bercocok tanam akan berhasil dengan baik apabila selalu memperhatikan tata musim atau pranoto mongso. Jika permulaan tahun Jawa jatuh pada hari ahad, maka tahun tersebu disebut sebagai tahun dite koenobo artinya tahun kelabang yang mana petani boleh menggarap sawah pada hari Rabu. Ajaran Ki Ageng yang lain adalah para petani apabila ingin menanam tanaman yang diambil daunnya misalnya bayam, kubis, tembakau dan lainnya maka hari baik untuk menanam adalah Senin atau Rabu. Akan tetapi apabila berkeinginan menanam padi, jagung, gandum dan sejenisnya maka dipilih hari Kamis. Wujud dari penghormatan masyarakat terhadap tokoh tersebut diwujudkan dengan melakukan ziarah di makam beliau pada malam selikuran tersebut. Ziarah dimakam beliau dilakukan penduduk dengan berbondongbondong dengan membawa bunga untuk nyekar selain mencari lailatul qodar. Upacara tradisi yang dilakukan di Puncak Gunung Sumbing tersebut merupakan bentuk ekspresi ucapan terima kasih dan penghormatan penduduk terhadap Ki Ageng Mangkukuhan karena telah berjasa bagi masyarakat di wilayah kabupaten Temangging umumnya dan penduduk Kedu khususnya yang telah mengubah daerah yang dulunya tandus menjadi daerah yang subur dan makmur. Tempat penyelenggaraan dilakukan di Puncak Gunung Sumbing tepatnya di makam Ki Ageng Mangkukuhan, yang merupakan tokoh sentral masyarakat kabupaten Temanggung. Pada tradisi masyarakat jawa pemanjatan doa akan lebih khusuk dan bermakna apabila dilaksanakan di makam atau tempat dimana tokoh ulama dan guru yang dituakan karena mereka yang berdoa akan mendapatkan tuah darinya. Selain itu apabila di hubungkan dengan tradisi kepercayaan ajaran agama Hindu/ Buhda maka puncak gunung merupakan tempat yang baik untuk melakukan bertapa dan berdoa karena tempat yang tinggi merupakan tempat dimana dewa-dewa tinggal dan bersemayam.Dengan keyakinan tersebut masyarakat berharap doanya di malam selikuran untuk mendapatkan lailatul qodar dapat terlaksana. Selain itu ada kepercayan yang berkembang dalam masyarakat bahwa semakin sering berziarah ke makam Ki Ageng maka akan semakin tenang kehidupannya. Menurut informan wisata ziarah minimal 7 kali maka kehidupan peziarah akan mengalami kesemprnaan. Seperti letah
dijelaskan sebelumnya tradisi selikuran tersebut merupakan pengaruh ajaran agama Islam yang mana di malam 10 hari menjelang Ramadan selesai terutama yang berangka ganjil maka Tuhan akan memberikan pengampunan dan ridho kepada umatnya. Tradisi ini dilaksanakan puncaknya pada tanggal 20 Ramadan malam 21 dalam setiap tahun (Kedaulatan Rakyat dan Suara Merdeka, 30 Nopember 2002). Upacara tradisi selikuran ini tidak sama dengan upacara tradisi lain karena perlengkapan upacara tidak banyak dan sifatnya tidak wajib. Kondisi ini diakibatkan karena merupakan wisata ziarah dan medan yang cukup tinggi sehingga perlengkapannyapun tidak banyak. Perlengkapan yang biasa dibawa olh peziarah adalah bunga setaman yang digunakan penyiarah untuk nyekar di makam Ki Ageng Mangkukuhan bagi penduduk/ masyarakat yang mempercayai, buku-buku doa missal yasin, dan lain sebagainya. Sedangkan bagi klup- klup pecinta alam atau pendaki yang tergabung di dalam SHC (Sumbing Hiking Clup) tentu segala peralatan pendakian mulai dari center, tenda ,tali, bekal makanan dan lainnya. Langkah awal dari tradisi selikuran ini dilakukan dengan melakukan pendakian menuju puncak Gunung Sumbing pada hari ke 20 malam 21 bulan Ramadan. Wisata ziarah dan pendakian ini tentu saja merupakan wisata petualangan yang menarik dan penuh dengan tantangan saat mendaki bukit- bukit terjal.Dengan wisata mendaki tersebut maka akan diperoleh keikmatan untuk menikmati pemandangan alam dengan panorama alam yang elok terutama pada saat terbitnya sang surya pada pagi hari diufuk timur. Secara fisik dataran yang berada di puncak gunung yang satu dengan lainnya memiliki kharakteristik dan pesoda yang berbeda- beda, Kasus di dataran puncak Gunung Sumbing, memiliki permukaan yang cekung menyerupai bathok/ tempurung kelapa yang terlentang sehingga puncak permukaan gunung Sumbing di kenal dengan “bathok mlumah”. Bagi para pendaki dan peziarah yang naik dari Kacepit(Kecamatan Bulu) mereka akan masuk ke kubangan puncak Sumbing dari pintu sisi bagian timur. Pada area tersebut akan terlihat hamparan padang pasir atau segara wedi yang luasnya hampir sama dengan lapangan sepak bola. Sedikit kearah barat akan ditemukan kawah yang sebelahnya terdapat gundukan batu yang diperkirakan sebagai makam Ki Ageng Mangkukuhan. Di tempat inilah upacara akan dimulai. Pada waktu datang para peziarah melakukan nyekar dengan menaburkan bunga yang dibawa diatas makam, sambil berdoa supaya arwah yang dimakamkan ditempat tersebut diterima disisi Tuhan Yang Maha Kuasa. Setelah itu para peziarah memanjatkan doa-doa semoga mendapatkan lailatul qodar dari Allah SWT. Namun terdapat juga pengunjung yang datang tidak melakukan ritual doa akan tetapi hanya menikmati indahnya puncak Gunung Sumbing pada malam tersebut sambil menikmati matahari pagi di ufuk timur.Bagi mereka yang datang memang untuk memanjatkan doa bagi tokoh yang dianggap pelopor dan yang dituakan di kabupaten Temanggung ini tradisi ini memiliki makna lain karena mereka mencari kanugrahan dari Tuhan pada malam selikuran tersebut. Prosesi upacara ini dipimpin oleh orang yang dituakan ditempat tersebut kemudian dilanjutkan dengan membaca doa- doa. selama semalaman sampai terbitnya sang fajar. Pada waktu pelaksanaan tradisi ini ada beberapa pihak yang terlibat antara lain adalah masyarakat sekitas, Tim SAR, jajaran Polres yang bertugas untuk menjaga keamana selama dilaksanakannya pendakian. Hingga di puncak gunung. Sistem pengamana dilakukan dengan cara pola patroli dan koordinasi dengan lintas sektoral.(Rini Iswari, Dkk, 2007: 56-62)
C. Upacara Tradisi Buka Luwur di Makam Sunan Kudus dan Khol Mbah
Panggung di Kota Tegal Buka Luwur adalah upacara tradisi yang terdapat di Kudus berupa prosesi penggantian luwur atau kain mori yang digunakan untuk membungkus jirat, nisan, dan cungkup Makam Sunan Kudus. Upacara ini sifatnya massal, dilaksanakan di Tajug Masjid Menara Kudus, di desa Kauman, Kecamatan Kota Kudus, pada setiap tanggal 10 Asyuro (Muharram) yang konon bertepatan dengan wafatnya Sunan Kudus. Dengan demikian, setiap tanggal 10 Asyuro telah ditetapkan sebagai waktu pelaksanaan khaul (ulang tahun wafatnya) Sunan Kudus untuk setiap tahunnya. Buka Luwur atau Buka Luhur adalah sebutan masyarakat untuk upacara ini, yang artinya membuka pusaka leluhur. Seusai Buka Luwur di Makam Sunan Kudus, biasanya diikuti pula dengan Buka Luwur di makam-makam lain, seperti di Makam Sunan Muria, dan makammakam ulama kharismatik lain yang terdapat di daerah Kudus.
Tujuan utama diadakannya upacara ini adalah untuk memperingati kebesaran jasa Ja’far Shadiq, nama asli Sunan Kudus, dalam syiar Islam di Kudus yang pada waktu itu masih didominasi oleh pengikut agama Hindu, serta peran beliau dalam membesarkan kota Kudus. Oleh karena itu, sebelum acara inti penggantian luwur pada Makam Sunan Kudus berlangsung, diselenggarakan terlebih dahulu penjamasan pusaka peninggalan Sunan Kudus, kemudian dilanjutkan dengan beberapa ritual yang berhubungan dengan syiar Islam seperti pembacaan Kitab Barzanji, tahlilan, khataman hafalan Al-Qur’an, serta pengajian, dan tak lupa adanya pembagian nasi jangkrik yang tidak menggunakan lauk daging sapi sebagai salah satu warisan kearifan Sunan Kudus dalam menjaga toleransi dengan masyarakat yang masih beragama Hindu pada zamannya, tetapi kemudian diganti dengan daging kerbau atau daging kambing. Upacara ini juga dimaksudkan sebagai salah satu syiar Islam, yaitu dalam rangka
memperingati tahun baru Hijriyah. Itulah yang menyebabkan diselenggarakannya pengajian umum pada malam hari sebelum penggantian luwur baru itu dilaksanakan oleh ulama kharismatik yang ditunjuk oleh Pengurus Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus, bisa ulama dari daerah Kudus setempat atau ulama dari tempat lain. Menurut masyarakat daerah Kudus, puncak upacara yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Asyura (Muharram) ini adalah khaul (ulang tahun wafatnya) Sunan Kudus, karena di dalam prosesi upacaranya selalu diikuti oleh pembacaan tahlil yang dipimpin oleh Imam Besar Masjid Menara yang diikuti oleh semua peserta upacara tersebut. Selain itu, masyarakat juga mempercayai bahwa pada upacara tersebut sebenarnya adalah upacara selamatan, karena di dalam bagian prosesi itu diakhiri dengan adanya pembagian nasi jangkrik kepada masyarakat yang mengikuti upacara tersebut. Selain untuk masyarakat yang mengikuti prosesi upacara, nasi jangkrik itu juga diperuntukkan bagi para donatur, tamu undangan, serta panitia penyelenggara. Karena jumlahnya terbatas, menyebabkan sering terjadi rebutan yang menyebabkan beberapa orang sempat pingsan akibat berdesak-desakan berebut nasi jangkrik itu. Upacara ini sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat, karena mereka menginginkan berkah dari potongan luwur lama yang diyakini mempunyai banyak khasiat. Proses penyelenggaraan upacara yang berlangsung setiap tahun ini dimulai beberapa bulan sebelum prosesi puncak dilaksanakan, yaitu dengan membuat kepanitiaan yang terdiri dari imam besar Masjid Menara, para anggota Pengurus Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus, juru kunci Makam Sunan Kudus, beberapa ulama sepuh, serta para donatur yang akan memberikan bantuan untuk pelaksanaan upacara buka luwur serta selamatan yang memerlukan beberapa ton beras dan beberapa ekor kerbau serta kambing. Dengan demikian, ada beberapa pihak yang terlibat di dalam pelaksanaan upacara ini. Juru kunci Makam Sunan Kudus pada kesempatan ini bertugas untuk menjamas pusaka peninggalan Sunan Kudus, khususnya yang berupa keris dan tombak. Prosesi ini berlangsung pada setiap bulan Dzulhijjah (Besar) atau pada bulan Muharram (Suro). Panitia yang terdiri dari Pengurus Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus, bertugas untuk menyelenggarakan beberapa kegiatan religius seperti menyelenggarakan kesenian Islam terbangan, pembacaan Kitab Barzanji, khataman Al-Qur’an, menyelenggarakan doa Rasul, menyelenggarakan santunan kepada anak yatim, serta tak kalah pentingnya adalah memasak nasi serta daging kerbau maupun kambing untuk membuat nasi jangkrik. Imam Besar Masjid Menara dalam hal ini bertugas membuka puncak upacara Buka Luwur, serta memimpin doa untuk kelancaran acara serta memimpin doa ketika upacara tersebut sudah selesai dilaksanakan di Makam Sunan Kudus. Acara yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Asyuro (Muharram) tersebut sebenarnya merupakan acara pemasangan luwur baru, sedangkan Buka Luwurnya sendiri sejak 6 tahun terakhir dilakukan pada setiap tanggal 1 Asyuro (Muharram). Puncak acara tersebut memberi kesan bagi masyarakat bahwa pada tanggal itulah hari wafatnya Sunan Kudus. Kesan ini timbul karena rangkaian acara pemasangan luwur selalu ditandai dengan acara tahlilan, yang identik dengan acara khaul pada umumnya. Padahal sebenarnya tanggal itu bukan tanggal wafatnya Sunan Kudus, karena tidak ada yang tahu secara pasti kapan tanggal wafatnya Sunan Kudus itu. Namun ada yang memperkirakan wafatnya Sunan Kudus sekitar tahun 1555 M
Sekitar seminggu sebelum pelaksanaan upacara Buka Luwur, diselenggarakan penjamasan pusaka peninggalan Sunan Kudus berupa keris Ciptoko dan sepasang tombak berbentuk trisula yang biasa diletakkan di sebelah kiri dan sebelah kanan mihrab (pengimaman) Masjid Menara. Sedangkan peninggalan yang lain berupa jubah putih, sajadah merah, sorban hijau, dan sapu tangan pembungkus ijazah wilayah (hadiah dari Amir Palestina), cukup dikeluarkan dari tempat penyimpanannya dan dijemur. Penjamasan itu selalu dihadiri oleh kerabat Sunan Kudus, para ulama, dan peziarah, yang setelah selesai mengikuti upacara tradisional tersebut bersama-sama mengikuti selamatan atau tahlilan. Dalam kesempatan itu peziarah mendapatkan bagian nasi kenduri, serta disyaratkan untuk mencicipi jajan pasar agar memperoleh berkah. Adapun yang bertindak sebagai penjamas pusaka adalah juru kunci Makam Sunan Kudus. Penjamasan pusaka-pusaka ini selalu dilaksanakan dalam bulan Besar (Dzulhijjah) atau Asyura (Muharram) dengan tanggal yang tidak dapat ditentukan. Akan tetapi untuk harinya sudah ditetapkan pada setiap hari Senin atau Kamis, sesudah hari Tasyriq, tanggal 11-13 Dzulhijjah. Konon, selama prosesi penjamasan ini keadaan cuaca selalu timbreng, yaitu kondisi cuaca tidak dalam keadaan terik, dan tidak pula mendung, apalagi hujan (Endah Sri Hartatik, dkk,2008: 123-135).
Setelah Embah Panggung meninggal dunia, beliau dimakamkan di desa Panggung dengan disebelah kanan kirinya makam dari dua anjing pengikutnya yaitu Iman dan Tokid. Untuk mengenang jasa-jasa beliau sampai sekarang masyarakat di
kota Tegal mulai tahun 1954 mengelar acara Khol disetiap tahunnya. Acara ini dimaksudkan untuk memohon berkah dari Pangeran Panggung agar kehidupan masyarakat kota Tegal pada umumnya dan masyarakat disekitarnya. Khol Mbah Panggung bertujuan untuk menghormati, mendoakan, mengingat mbah panggung sebagi pahlawan dunia akhirat. Mbah Panggung ada sebelum adanya Tegal. Dimana dulunya Tegal merupakan sebuah atol (pulau karang) yang dikelilingi oleh laut. Tegal muncul dari bergabungnya sebuah atol dengan pulau Jawa. Hal ini dikarenakan adanya paku bumi, ujung rusi yang dulunya terpisah. Atol inilah yang digunakan Mbah Panggung untuk munajad. Dimana pada masa sekarang ini wilayah atol tersebut terletak dikelurahan panggung . Mbah Munib dari Mranggen mengatakan bahwa Mbah Panggung merupakan penasehat spiritual dari kerajaan Demak. Mbah Panggung merupakan keturunan Arab dengan nama Syayid Syarif Abdulrochman, yang lebih dikenal dengan Abdulrochman. Mbah Panggung eksis pada masa kerajaan Demak sekitar tahun 1478. Tradisi upacara Khol pada makam Mbah Panggung ini dimulai tahun 2000-an dengan berbagai hambatan yang dihadapi. Pembiayaan dalam upacara khol ini berasal dari iuran sukarela dan sumbangan-sumbangan dari berbagai pihak. Upacara khol ini semula dilaksanakan pada tanggal 6 bulan Syaban. Dalam perkembangannya khol ini dilakukan pada bulan Syahban diambil pada malam minggu. Acara khol ini mulai dilakukan pada Sabtu sore, yang diikuti dengan acara sunatan massal. Kemudian sehabis magrib sebagian dari panitia dan juru kunci menuju (sowan) dimakam Mbah Panggung yang dilanjutkan dengan nglarung sesaji dilaut Tegal. Sesaji ini berisi antara lain kepala kerbau, jajan pasar dll. Sebagian lagi dari panitia setelah isya mengikuti pawai yang diiringi dengan terbangan. Pawai ini melalui jalan Pancasila – Kol. Sudiarto kemudian masuk ke jalan Arifin. Upacara nglarung sesaji ini mulai diadakan sejak adanya tradisi upacara khol. Panitia khol dari tahun 2000-2008 tetap yang terdiri dari Sembilan orang. Tahlil yang dilakukan pada malam harinya mulai pukul 21.00 – 23.30 (malam khol) yang dipimpin oleh Habib Abdullah al Hadad dari Pekalongan. Daging kerbau itu kemudian dimasak dan keesokan harinya dimakan bersama-sama pada acara tahlil akbar.selain kerbau untuk sesaji juga digunakan kepala kambing dan beraneka macam jajan pasar. Pagi harinya sekitar jam 8.00 diadakan upacara khol dengan pembacaan yasin, tahlil bersama-sama yang dipimpin oleh Habib Yahya Al Iyid dengan Habib Muhdor Al Jufri. Kemudian dalam perkembangannya setelah Habib Yahya Al Iyid meninggal digantikan oleh Habib Muhdor Al Jufri dengan Habib Muhsin Al Hamdan. Acara khol ini juga diisi dengan sunatan massal, pembacaan yasin, tahlil dan mujahadahan, tablig akbar, berbagai macam doa yang intinya untuk memohonkan maaf kepada yang kuasa atas kesalahan dari mbah panggung dan para leluhur sampai dengan diberikan keselamatan pada anak cucu dan desa tempat tinggal beliau. Dalam acara ini dihadiri oleh berbagai lapisan masyarakat dari berbagai golongan yang membaur menjadi satu. Dari acara ini tidak terlihat adanya perbedaan lapisan sosial masyarakat, yang terlihat hanyalah kerukunan, keharmonisan diantara mereka. Selain itu dari awal makam ini sudah dijadikan makam umum bagi warga. Makam ini merupakan makam kuno, hal ini terlihat masih adanya makam dari keturunan brawijaya. Selain itu setiap hari makam dari mabah Panggung sendiri juga dikunjungi warga yang ingin berziarah ditempat ini. Didaerah ini juga terdapat sumur yang dulunya digunakan untuk
mengambil sumpah seseorang dalam melakukan perbuatan dengan cara melemparkan sejumlah uang kedalam sumur. Sumur ini dipercaya oleh mayarakat dapat membantu menyelesaikan permasalahan mengenai nilai-nilai moral yang dimiliki oleh masyarakat (Rini Iswari, dkk.2009: 73-85). IV. MAKNA DIBALIK UPACARA TRADISI Pelajaran yang dapat ditarik dari pelaksanaan upacara tradisi khol di seputar makam tokoh di jawa Tengah adalah: 1. Melestarikan budaya dari leluhur yang masih tetap bertahan di tengah arus lobalisasi yang berkembang dalam masyarakat 2. Sikap menghargai kepada tokoh pendahulu yang menjadi panutan dan tuntunan hidup dengan mendoakan di makam beliau lewat lantunan bacaan tahlil dan Alqur’an 3. Sifat kerukunan dan kegotong-royongan yang masih terlihat lewat kerja bakti bersama, mempersiapkan makanan, iuran dana dan lain sebagainya yang sekarang sudah mulai terkikis dalam masyarakat perkotaan 4. Bentuk rasa syukur kepada Allah S.W.T yang diujudkan dengan berdoa bersama dan melaksanakan makan secara bersama pada waktu upacara tradisi dilaksanakan 5. Menambah ilmu agama dengan cara mendatangkan mubalig untuk memberikan pengetahuan agama dan kehidupan baik untuk orang tua maupun generasi muda. 6. Pelajaran bagi generasi muda supaya tetap menghormati dan mencintai budaya yang ada dalam masyarakat dan tetap mempertahankannya 7. Ajang silaturohim antara warga desa khususnya, pejabat dan partisipan lain yang datang apada acara tersebut
V. SIMPULAN Pelaksanaan upacara tradisi yang berlangsung di masyarakat Jawa Tengah di seputar tokoh yang berada dekat dengan wilayah keratin/ istana umumnya berhubungan dengan tokoh yang punya hubungan dengan kerajaan sedangkan yang berada jauh di lingkungan kerajaan biasanya berhubungan dengan tokoh agama. Pihak- pihak yang terlibat dalam upacara tradisi ini adalah juru kunci makam, takmir masjid, tokoh masyaraakat dan masyarakat umum baik yang ada di lingkungan makam tokoh, di luar desa dan daerah tetapi memiliki hubungan genealogis serta partisipan lain yang ingin mencari berkah dari pelaksanaan upacara tradisi tersebut. Sumber dana yang dikeluarkan untuk pelaksanaan upacara tradisi di hamper semua wilayah yang digunakan sebagai sample tulisan ini adalah sebagian besar hasil swadana masyarakat, hanya sebagian yang merupakan sumber dana dari partisipan di luar desa. Makna dan nilai- nilai yang dapat diambil dari pelaksanaan upacara tradisi di seputar tokoh ini adalah jiwa solidaritas social yang masih lestari di dalam masyarakat dengan dibuktikan semangat kerukunan dan kegotong-royongan dalam penyelenggaraan upacara tradisi Selain itu pelaksanaan upacara tradisi ini sebagai wujud masyarakat masih memegang teguh tradisi yang diwariskan oleh leluhur di masa lalu. Bagi generasi penerus pelaksanaan upacara tradisi merupakan bentuk refleksi masa lalu dan dapat digunakan sebagai bahan pelajaran mereka ke depan.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku
Hartatik, Endah Sri ,dkk,2007. Pengkajian dan Penulisan Upacara Kabupaten Kebumen, Semarang : Diknas Propinsi Jawa Tengah
Tradisi
di
--------------------------------, 2008. Pengkajian dan Penulisan Upacara Tradisi di Kabupaten Kudus ( Laporan Hasil Penelitian) Semarang: Diknas Propinsi Jawa Tengah ---------------------------------, 2009, Pengkajian dan Penulisan Upacara Kabupaten Grobogan ( Laporan Hasil Penelitian) Semarang: Propinsi Jawa Tengah
Tradisi di Dikbudpar
Iswari, Rini, 2007. Pengkajian dan Penulisan Upacara Tradisi di Kabupaten Temanggung ( Laporan Hasil Penelitian) Semarang: Diknas Propinsi Jawa Tengah ------------------, 2008. Pengkajian dan Penulisan Upacara Tradisi di Kabupaten Sukoharjo ( Laporan Hasil Penelitian) Semarang: Diknas Propinsi Jawa Tengah -------------------, 2009. Pengkajian dan Penulisan Upacara Tradisi di Kota Tegal ( Laporan Hasil Penelitian) Semarang: Dikbudpar Propinsi Jawa Tengah
Gabriel, Ralph H., 1991, Nilai-nilai Amerika Pelestarian dan Perubahan, Gadjah Mada University Press.
Koentjaraningrat, 1978/79, Pengantar Antropologi, Jakarta: Aksara Koentjaraningrat, 1987, Kebudayaan Mentalitas dan Gramedia.
Yogyakarta:
Baru.
Pembangunan,
Linton, Ralph, 1940, “Acculturation” dalam Linton (ed), Acculturation in American Indian Tribes, Gloucester, Mass: Peter Smith.
B. Surat Kabar Suara Merdeka, tanggal 30 Nopember 2002
------------------------------------
Jakarta:
seven
Gb.2. Tajug, bangunan di sebelah kiri pintu gerbang