UNIVERSITAS INDONESIA
STRUKTUR KOMUNITAS DAN PEMANFAATAN BAMBU DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT KECAMATAN SRUMBUNG KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH
TESIS
SUYAMTO 0906576246
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI BIOLOGI DEPOK JUNI 2011
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
UNIVERSITAS INDONESIA
STRUKTUR KOMUNITAS DAN PEMANFAATAN BAMBU DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT KECAMATAN SRUMBUNG KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
SUYAMTO 0906576246
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI BIOLOGI
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: SUYAMTO
NPM
: 0906576246
Tanda tangan
:
Tanggal
: 30 Mei 2011
ii Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
JUDUL
: STRUKTUR KOMUNITAS DAN PEMANFAATAN BAMBU DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT KECAMATAN SRUMBUNG KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH
Nama
: SUYAMTO
NPM
: 0906576246
MENYETUJUI, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Elizabeth Anita Widjaja Pembimbing I
Drs. Wisnu Wardhana, M. Si Pembimbing 2
2. Penguji
Dr. Nisyawati Penguji I
Dr. Andi Salamah Penguji II
3. Ketua Pascasarjana Biologi FMIPA UI
4. Ketua Program Pascasarjana FMIPA UI
Dr. Luthfiralda Sjahfirdi, M. Biomed
Dr. Adi Basukriadi, M.Sc.
Tanggal Lulus: 30 Mei 2011 iii Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh: Nama
: Suyamto
NPM
: 0906576246
Program Studi
: Biologi
Judul Tesis
: Struktur Komunitas dan Pemanfaatan Bambu dalam Perspektif Masyarakat Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi, Program Pascasarjana Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing I
: Prof. Dr. Elizabeth Anita Widjaja
(.................................)
Pembimbing II
: Drs. Wisnu Wardhana, M.Si.
(.................................)
Penguji I
: Dr. Nisyawati
(.................................)
Penguji II
: Dr. Andi Salamah
(.................................)
Ditetapkan di
: Depok
Tanggal
: 30 Mei 2011
iv Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Suyamto
NPM
: 0906576246
Program Studi : Biologi Departemen
: Biologi
Fakultas
: Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Jenis karya
: Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonexclusive (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Struktur Komunitas dan Pemanfaatan Bambu dalam Perspektif Masyarakat Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonexclusive ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (data base), merawat dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal : 11 Januari 2011
Yang menyatakan
Suyamto
v Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
Name : Suyamto (0906576246)
Date : January, 11, 2011
Title : COMMUNITY STRUCTURE AND UTILIZATION OF BAMBOO IN THE PERSPECTIVE OF THE COMMUNITY OF SUBDISTRICT SRUMBUNG, MAGELANG DISTRICT CENTRAL JAVA PROVINCE Thesis Supervisors: Prof. Dr. Elizabeth Anita Widjaja ; Drs. Wisnu Wardhana, M.Si.
SUMMARY
Subdistrict Srumbung is an area that belongs to Magelang District where the bamboo species diversity has not been revealed. Subdistrict Srumbung is located at the southwest of Mount Merapi, with the coordinate 7o32’-7o34’S and 110o24’-110o25’E. The border of the west Srumbung is the Dukun District, where as the southern and eastern of Srumbung is Salam district of Sleman Yogyakarta Province. The annual average temperature reaches 26o-28oC, situated at an altitude of 800-1000 m above sea level. Study on the community structure and utilization of bamboo held in 40 plots in the Subdistrict Srumbung, Magelang District, Central Java Province. This research was conducted on October 2010. The method used was purposive sampling method, with a sampling size of 10x10m located in Srumbung Subdistrict. The second method with the technique of semi-structural interviews with the Participant Rural Appraisal (PRA). Tools and matterials required are the meter rolls, plot stakes, plastic tape, GPS, maps of Srumbung Subdistrict, scissors / knife, newspaper, sasak, plastic bags, data sheets, and others. The following parameters : the frequency, importance value, density, diversity index, evenness, and dominance of both distribution patterns of bamboo culm and bamboo groves where collected. Temperatures of the Subdistrict Srumbung ranged from 21.1o to 32.8oC. The average rainfall is 51-532 mm per year, relative humidity 72% - 85%. The total area of Subdistrict Srumbung 5.317 km2 , which is 4.9% Magelang district. Srumbung is located southwest of Mount Merapi, including in a dangerous area I of Mount Merapi which is active at the moment. The topography of Srumbung
vi Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
Subdistrict consists of plateaus and mountains adjacent to Mount Merapi, this condition makes the climate in the District Srumbung quite cool. Bamboo which is found in Subdistrict Srumbung are: Bambusa glaucophylla, Bambusa vulgaris var. striata, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Dendrocalamus asper, Gigantochloa atroviolacea, Gigantochloa atter, Gigantochloa apus, Gigantochloa sp., Phyllotachys aurea, Schizostachyum brachycladum. The highest abundance of bamboo culm and bamboo clump is Gigantochloa apus. The highest frequency was also found in Gigantochloa apus (0.5). The highest culm density recorded was Gigantochloa apus (2567.5 per ha), where are the highest clump recorded is Dendrocalamus asper (137.5 clumps per ha). Based on the culm and clump diversity, the highest recorded is found ats Gigantochloa apus (0.320), and Dendrocalamus asper (0.296). When the importance values was calculated, the highest record was Dendrocalamus asper (0.222), and the Gigantochloa atter (0.119) then followed by other species. The highest dominance values found at Gigantochloa apus (0.019), Dendrocalamus asper (0.016). The highest diversity of the clumps was recorded Dendrocalamus asper (0.00085), Bambusa vulgaris var. vulgaris (0.0002), followed by another species. The results obtained by Shannon Wiener diversity index showed that bamboo species diversity is low or slightly high because its value is less than 1. But if we calculated the total value of the index biodiversity to all kinds of bamboo in the studied area, its index biodiversity value is between 1 and 3 (1.2047 / when counted individually). Based on index value Morista both culm and clump, generally evenly distributed and clustered. The differences occur in Bambusa vulgaris var. vulgaris and Gigantochloa atter, calculated culm or clumps, a pattern opposite. Such a distribution pattern of bamboo is still relatively, because there are bamboo species whose life clumps into one so it will be difficult to distinguish individual bamboo species that constitute them. From this study, it is found that the largest diameter of the bamboo found on Dendrocalamus asper (up to 22 cm), the smallest is Phyllotachys aurea (only about 2.5 cm). Clump diameter will affect the population pattern and harvesting system. Based on this study, the diameter of the largest clump is found at
vii Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
Gigantochloa atter (reaching 480 cm). Where the smallest is Bambusa glaucophylla (up to 51 cm). In general, according to UVI test, the benefits value of bamboo found heavy construction material and it is collected from Gigantochloa sp., Dendrocalamus asper, Gigantochloa apus, Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea, Bambusa vulgaris var. vulgaris, where as the others do not have benefits value for heavy construction. For light construction, they use: Gigantochloa apus, Gigantochloa atroviolacea and Gigantochloa atter. For equipment / furnishings, they use: Gigantochloa sp., Gigantochloa apus, Phyllotachys aurea, Gigantochloa atter, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Dendrocalamus asper, Bambusa vulgaris var. striata, Gigantochloa atroviolacea. For matting / craft / rigging, they use: Gigantochloa apus, Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea, Dendrocallamus asper. For traditional technology, they use : Gigantochloa atter, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Gigantochloa apus, Bambusa vulgaris var. striata, Schizostachyum brachycladum, Dendrocalamus asper, Gigantochloa sp., Gigantochloa atroviolacea. They never used Phyllotachys aurea and Bambusa glaucophylla. For traditional furniture, they use : Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea, Bambusa vulgaris var. striata, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Gigantochloa sp., Gigantochloa apus, Phyllotachys aurea, Dendrocalamus asper. For ritual / custom / weapons / aesthetics, they use : Schizostachyum brachycladum, Gigantochloa apus, Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea; Bambusa vulgaris var. vulgaris, Bambusa vulgaris var. striata,Bambusa glaucophylla and Dendrocalamus asper. For fuel wood, they use : Gigantochloa sp., Schizostachyum brachycladum, Bambusa vulgaris var. striata, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Gigantochloa atter, Dendrocalamus asper, Gigantochloa apus, and Gigantochloa atroviolacea has been used. For food the shoots of : Dendrocalamus asper, Gigantochloa atter, Bambusa vulgaris var. vulgaris, and Gigantochloa atroviolacea has been used. Utilization of bamboo in the Subdistrict Srumbung perspective, the most widely mentioned in the category is Dendrocalamus asper and Gigantochloa apus.
xi + 73 hlm; gbr.; lamp.; tab. Bibl.: 38 (1981—2007) viii Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah berkat ridho Allah SWT akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1) Prof. Dr. Hj. Elizabeth Anita Widjaja selaku Pembimbing I dan Drs. Wisnu Wardhana M.Si., selaku Pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan, bantuan dan ilmu yang bermanfaat kepada Penulis. 2) Dr. Nisyawati selaku Penguji I dan Dr. Andi Salamah selaku Penguji II, atas kritik, saran, dan masukan yang sangat berguna bagi penulisan tesis ini. 3) Istri, ananda Naufal Ahmad Rizky Akbari dan Dzikri Novian Ahmad Raihan, keluarga di Srumbung dan Sleman yang telah menyemangati dalam penelitian maupun penyusunan tesis ini. 4) Teman-teman Pascasarjana Angkatan 09 UI, Pak Nas, Santi, Heni, Avi, Fauzan, Hendi dan seluruh teman-teman yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu. 5) Dr. Luthfiralda Sjahfirdi, M.Biomed., selaku Ketua Program Pascasarjana Biologi Universitas Indonesia. 6) Teman-teman pengajar Fakultas MIPA UNMA Banten, atas segala dukungan yang diberikan kepada Penulis. 7) Pengajar dan staf Pascasarjana Biologi UI atas ilmu yang diberikan, semoga bermanfaat untuk pengembangan Biologi Konservasi khususnya konservasi bambu di Indonesia. Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari kesempurnaan, namun Penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat, terutama untuk pengembangan konservasi bambu dengan pemanfaatannya secara berkelanjutan.
Depok 2011, Penulis
ix Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
DAFTAR ISI
SUMMARY ................................................................................................
vi
KATA PENGANTAR...................................................................................
ix
DAFTAR ISI ...............................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................
xi
PENGANTAR PARIPURNA ....................................................................
1
MAKALAH I : STRUKTUR KOMUNITAS BAMBU DI KECAMATAN SRUMBUNG KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH Pendahuluan .......................................................................... Metode Penelitian .................................................................. Hasil ....................................................................................... Pembahasan ..................................................................... Kesimpulan dan Saran .......................................................... Daftar Acuan .........................................................................
3 5 10 22 27 28
MAKALAH II: PEMANFAATAN BAMBU DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT KECAMATAN SRUMBUNG KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH Pendahuluan .......................................................................... Metode Penelitian .................................................................. Hasil ...................................................................................... Pembahasan ........................................................................... Kesimpulan dan Saran .......................................................... Daftar Acuan .........................................................................
36 38 42 53 57 58
DISKUSI PARIPURNA .............................................................................
61
RANGKUMAN KESMPULAN DAN SARAN...........................................
68
DAFTAR ACUAN ......................................................................................
71
x Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1
Peta lokasi penelitian Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah............................................. Gambar 1.2 Alat untuk penelitian ............................................................. Gambar 1.3 Letak plot sampling pada lokasi penelitian .......................... Gambar 1.4 Jenis-jenis bambu di Kecamatan Srumbung ......................... Gambar 1.4.1 Bambusa glauchophylla ......................................................... Gambar 1.4.2 Bambusa vulgaris var. striata ................................................ Gambar 1.4.3 Bambusa vulgaris var. vulgaris .............................................. Gambar 1.4.4 Dendrocalamus asper ............................................................. Gambar 1.4.5 Gigantochloa apus .................................................................. Gambar 1.4.6 Gigantochloa atroviolacea ..................................................... Gambar 1.4.7 Gigantochloa atter .................................................................. Gambar 1.4.8 Gigantochloa sp ...................................................................... Gambar 1.4.9 Phyllotachys aurea ................................................................. Gambar 1.4.10 Schizostachyum brachycladum ............................................ Gambar 2.1 Peta lokasi penelitian Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah .......................................... Gambar 2.2 Pemanfaatan bambu di Kecamatan Srumbung ..................... Gambar 2.2.1 Pemanfaatan G. atter dan G. apus .......................................... Gambar 2.2.2 Pemanfaatan G. apus dan G. atter .......................................... Gambar 2.2.3 Pemanfaatan G. atter dan G. apus .......................................... Gambar 2.2.4 Pemanfaatan G. apus .............................................................. Gambar 2.2.5 Pemanfaatan G. apus .............................................................. Gambar 2.2.6 Pemanfaatan G. apus dan D. asper ........................................ Gambar 2.2.7 Pemanfaatan berbagai jenis bambu ........................................
6 7 8 29 12 13 14 15 16 17 18 19 10 21 42 46 46 47 48 49 50 51 52
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.1 Parameter untuk analisis data jika bambu dihitung rumpun Lampiran 1.2 Parameter untuk analisis data jika bambu dihitung ndividu Lampiran 1.3a Diameter rumpun, diameter buluh, nilai indeks Morista Lampiran 1.3b Kerapatan bambu dalam buluh per rumpun ........................ Lampiran 1.3c Kerapatan bambu dalam buluh per rumpun dalam bentuk diagram ............................................................................... Lampiran 1.4 Deskripsi bambu di Kecamatan Srumbung ........................ Lampiran 2.1a Nilai manfaat lokal bambu di Kecamatan Srumbung ......... Lampiran 2.1b Pemanfaatan bambu dengan uji UVI (User Value Index) di Kecamatan Srumbung ......................................................... Lampiran 2.2 Data informan di Kecamatan Srumbung ............................. Lampiran 2.3 Pedoman wawancara semi struktural masyarakat Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah ................................................................................. Lampiran 2.4 Glosarium ............................................................................
32 33 34 34 34 35 62 62 54
57 59
xi Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
PENGANTAR PARIPURNA
Bambu merupakan salah satu kelompok rumput raksasa yang telah digunakan secara luas di Pulau Jawa. Bambu disini dipakai sejak lahir untuk memotong tali pusat bayi yang baru lahir hingga sebagai bahan bangunan, mebel, alat musik, makanan (rebung), keranjang anyaman, tikar, dinding rumah, perangkap ikan, senjata, pipa untuk saluran air dan untuk tanaman hias. Bambu diperoleh baik dari bambu liar maupun dari bambu yang ditanam di dekat pemukiman, terutama di daerah tebing yang tidak memungkinkan bagi penanaman tumbuhan lain (Whitten 1999). Bambu merupakan hasil hutan bukan kayu yang belum sepenuhnya dimanfaatkan, namun mempunyai potensi yang sangat besar. Menurut Widjaja (2007 lihat Indrawan dkk. 2007), di Indonesia terdapat 157 spesies bambu. Bambu yang sudah dimanfaatkan, antara lain: Gigantochloa pseudoarundinaceae, Bambusa blumeana. Gigantochloa nigrociliata, Gigantochloa robusta, Gigantochloa atter, dan Dendrocalamus asper. Dalam mengenal bambu orang sering mengalami kesulitan, karena kemiripan ciri-ciri morfologi yang ada. Untuk mendeskripsikan bambu, diperlukan ciri-ciri morfologi baik dari rebung, pelepah buluh dan daun, sistem percabangan rimpang dan perbungaan, walaupun bambu jarang berbunga. Bambu adalah tumbuhan yang batangnya beruas, berbuku, berongga, bercabang, berimpang. Rimpang bambu mempunyai 2 tipe, yaitu pakimorf (dicirikan oleh rhizome simpodial) dan leptomorf (dicirikan oleh rhizome monopodial). Buluh bambu berbentuk silinder, berdinding keras, berdiameter 0,5 – 20 cm, walaupun kadang-kadang diperoleh bambu yang berdiameter lebih dari 20 cm (Sutarno dkk. 1996; Chua et al. 1996). Struktur komunitas tumbuhan adalah suatu deskripsi atau pertelaan atau deskripsi masyarakat tumbuhan yang dapat memberi gambaran komposisi jenis dan kelimpahan. Struktur komunitas juga dapat mengetahui keanekaragaman jenis, struktur unit vegetasi, spesies dominan, frekuensi, daya adaptasi dan kondisi habitatnya (Wirakusuma 2003).
1 Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011 Universitas Indonesia
2
Kebutuhan bambu semakin hari semakin meningkat dan sudah menjadi komoditas ekspor yang cukup banyak pemanfaatannya. Hal tersebut dikarenakan kegunaan bambu yang multi manfaat serta semakin berkembangnya industri yang menggunakan bambu sebagai bahan baku. Adapun kegunaan bambu antara lain : pembuatan kertas, pembuatan konstruksi bangunan, alat pertanian, alat olah raga, alat rumah tangga, alat kesenian, mebel, industri anyaman, tanaman hias, dan bahan makanan (Dephut 1992). Kecamatan Srumbung adalah sebuah daerah Kabupaten Magelang yang mempunyai keanekaragaman bambu yang masih baik. Sampai tahun 1990-an jenis bambu yang sudah dikonservasi atau tumbuh secara alami, digunakan untuk menunjang kehidupan. Bambu ditanam di pekarangan, tegalan dan pada lahan marginal. Tepian sungai yang bertopografi miring hingga curam juga merupakan tempat penanaman bambu (Batubara 2002). Penelitian ini bertujuan untuk : 1) mengetahui struktur komunitas bambu di Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian akan memperlihatkan kerapatan, nilai keanekaragaman jenis bambu, dominansi, kesetaraan, dan pola persebaran bambu di Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah (Makalah I). 2) mengetahui keanekaragaman pemanfaatan bambu, jenis-jenis bambu yang dimanfaatkan dalam perspektif masyarakat Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah (Makalah II). Hasil penelitian akan memperlihatkan kerapatan, nilai keanekaragaman jenis bambu, dominansi, kesetaraan, dan pola persebaran bambu di Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian ini juga akan memperlihatkan/menggambarkan keanekaragaman pemanfaatan bambu, jenis-jenis bambu yang dimanfaatkan dalam perspektif masyarakat Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah dengan kajian etnobotani, melalui pendekatan emik dan etik.
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011 Universitas Indonesia
MAKALAH I STRUKTUR KOMUNITAS BAMBU DI KECAMATAN SRUMBUNG KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH COMMUNITY STRUCTURE OF BAMBOO IN SUB DISTRICT SRUMBUNG MAGELANG CENTRAL JAVA PROVINCE
Suyamto
[email protected]
ABSTRACT The study on the community structure of bamboo was done at sub district Srumbung Magelang Central Java Province. This study has been held on October 2010. Fourty plots have been made at sub district Srumbung. The research was done by using purposive sampling technique. From this study, it is shown that were 51 species of bamboo and non bamboo. There are 10 species of bamboo found in these plots. The highest frequency of bamboo Gigantochloa apus (0,5). The highest density is also Gigantochloa apus (2567,5 culm/ha) but Dendrocalamus asper (137,5 clump/ha). The highest density based on clump/ha is Gigantochloa apus (0,320 culm/ha) and Dendrocalamus asper (0,222 clump/ha). When the important value was calculated for clump/ha. The highest dominance is Gigantochloa apus (0,019 culm/ha), and Dendrocalamus asper (0,016 clump/ha). When the dominancy was calculated based on clump/ha. The diversity index showed a low diversity when calculated for culm/ha. The dispersal of bamboo culm and clump is colony and aggregate. The highest culm diameter is Dendrocalamus asper. The highest clump diameter is Gigantochloa atter. Key Words : Important value; Dendrocalamus asper; Gigantochloa apus; Gigantochloa atter; Diversity index.
PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi. Untuk kegiatan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan dibutuhkan pemahaman tentang potensi keanakeragaman hayati secara luas. Penelaahan ekologi ke berbagai ekosistem merupakan langkah awal pengumpulan data dasar potensi keanekaragaman tersebut (Partomihardjo & Rahajoe 2004).
3 Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
4
Keanekaragaman hayati (biodiversitas) adalah kekayaan hidup di bumi yang terdiri atas tumbuhan, hewan dan mikroorganisme, sedangkan keanekaragaman genetik tersebut disebabkan beranekaragamnya susunan genetiknya (Mc. Neely 1992; Rugayah dkk. 2004; Suprijatna 2008). Keanekaragaman hayati meliputi flora dan fauna di suatu kawasan (Sheil 2004) sebagai habitat hidupnya yang disebut keanekaragaman ekosistem (Indrawan dkk. 2007). Dalam penelitian ekologi tumbuhan, sering terjadi perbedaan terminologi, seperti tumbuh-tumbuhan, flora, dan vegetasi. Konsep komunitas tumbuhan dapat dipahami dari jenjang satuan biologi terbawah, seperti individu dan populasi. Sebaliknya konsep komunitas tidak merupakan penjumlahan populasi anggotanya (Ismal 1989; Wirakusumah 2003; Fachrul 2007; Indriyanto 2008). Struktur komunitas adalah susunan dari beberapa jenis atau spesies yang terorganisir membentuk komunitas. Struktrur komunitas memiliki karakteristik yang dapat diukur: keanekaragaman (biodiversitas), dominansi, persebaran, bentuk, dan struktur pertumbuhan serta kelimpahannya (Ewusie 1990; Wirakusumah 2003). Bambu merupakan tumbuhan bernilai ekonomi tinggi di Jawa, dan pemakaiannya sangat luas, baik untuk keperluan sehari-hari maupun untuk hasilhasil lain yang dapat diperdagangkan. Bambu termasuk dalam anak suku Bambusoideae suku Poaceae atau Gramineae atau suku rumput-rumputan (Widjaja 2001). Bambu oleh masyarakat suku Jawa dinamakan pring, suku Bali menamakan tiying, suku Sunda menamakan awi. Bambu merupakan tumbuhan bernilai ekonomi tinggi dan pemakaiannya sangat luas, baik untuk keperluan sehari-hari maupun produk yang dapat diperdagangkan. Hasil penelitian Widjaja (1997), menunjukkan bahwa bambu di Indonesia bertambah 43 jenis baru, yang terdiri atas 6 jenis Bambusa, 3 jenis Dendrocalamus, 4 jenis Dinochloa, 13 jenis Gigantochloa, 2 jenis Nastus, 2 jenis Racemobamboos, 11 jenis Schizostachyum dan 2 jenis dalam marga monotipe Parabambusa dan Pinga. Dua marga baru (Fimbribambusa dan Neololeba) merupakan hasil pemisahan dari marga Bambusa Schreb. Diperkirakan bambu di dunia ada 1.200 – 1.300 jenis. Berdasarkan data penelitian Widjaja (2001), bambu di Indonesia diketahui terdiri dari 160 jenis. Di Pulau Jawa diperkirakan
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
5
hanya ada 60 jenis, 26 jenis merupakan jenis introduksi, 934 jenis merupakan jenis yang asli. Menurut Indrawan dkk. (2007) keanekaragaman jenis bambu di Indonesia termasuk tinggi. Penelitian bambu di Indonesia dimulai dari Maluku oleh Rhumphius (1756), selanjutnya oleh Kurz (1876) juga melakukan penelitian bambu di Pulau Bangka. Saat ini baru tercatat ada 160 jenis bambu, dan masih ada lebih 20 jenis yang masih perlu diteliti lebih lanjut, 88 jenis diantaranya adalah jenis endemik di Indonesia (Widjaja, kom. pri.). Ada 48 jenis bambu di Indonesia yang potensial untuk industri, tetapi yang sudah diproses untuk aneka kegunaan yang komersial baru 9 jenis saja (Kasmudjo 2010). Struktur komunitas tumbuhan, termasuk bambu, memiliki sifat kualitatif maupun kuantitatif. Deskripsi struktur komunitas dapat dilakukan dengan parameter kualitatif dan parameter kuantitatif. Parameter kualitatif komunitas tumbuhan, antara lain, dominansi, penyebaran, distribusi, kerapatan berdasarkan penaksiran kualitatif tumbuhan. Parameter kuantitatif antara lain kerapatan, frekuensi, dominansi, indeks keanekaragaman dan nilai penting (Arief 1994; Soerianegara & Indrawan 1998; Indriyanto 2008). Penelitian bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas bambu di Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian akan memperlihatkan kerapatan, nilai keanekaragaman jenis bambu, dominansi, kesetaraan, dan pola persebaran bambu di Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Dengan demikian struktur komunitas dan pemanfaatan bambu dapat digambarkan sehingga dapat dijadikan kawasan konservasi di daerah Kecamatan Srumbung.
METODE PENELITIAN
Waktu dan lokasi penelitian
Penelitian lapangan dilakukan pada bulan Oktober 2010, sebelum erupsi besar Gunung Merapi. Lokasi penelitian dipilih di wilayah Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Kecamatan Srumbung terletak di
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
6
sebelah barat daya Gunung Merapi, dengan koordinat 7o32’-7o34’ LS dan 110o24’110o25’ BT. Kecamatan Srumbung berbatasan dengan Kecamatan Dukun, Kecamatan Salam serta Kabupaten Sleman Provinsi DIY. Suhu tahunan berkisar antara 26o-28oC, terletak di ketinggian 800-1000 m dpl.
Gambar 1.1 Peta Lokasi Penelitian Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah [Sumber: Dokumentasi pribadi].
Bahan dan Cara Kerja
Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian adalah kamera digital (Kodak C653), buku identifikasi bambu, meteran gulung, pathok, tali tambang, peta Kecamatan Srumbung skala 1 : 60.000 (lihat gb. 1.1), gunting, sabit, label gantung, kantung plastik, GPS (Global Positioning System), kertas koran, lembar data, alat tulis, penggaris, sampel organ bambu (lihat gambar. 1.2).
20 cm Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
7
Gambar 1.2 Alat untuk penelitian [sumber: Dokumentasi pribadi].
Cara kerja
Pengamatan pendahuluan dilakukan sebelum pengambilan data di lapangan, dengan tujuan mengenal lokasi dan mengenal jenis bambu sesuai nama lokal bambu. Kemudian ditentukan zona-zona terpilih berjumlah 40 plot, ukuran 10 m X 10 m. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik purposive sampling di Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah (lihat gb. 1.3) Analisis vegetasi, pengambilan data di lapangan dengan mengukur dan mencatat parameter, yaitu : nama jenis (spesies), frekuensi kehadiran setiap jenis, jumlah buluh, jumlah rumpun bambu, diameter buluh dan rumpun bambu, data lingkungan, yaitu kemiringan, topografi, kedudukan lokasi.
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
8
Gambar 1.3 Letak Plot Sampling pada Lokasi Penelitian “telah diolah kembali” [sumber: Google Earth, 2010] Pembuatan herbarium dilakukan dengan mengambil sampel tumbuhan yang terdiri dari cabang, ranting, daun dan bunga. Sampel bambu yang diambil, antara lain, clumpring (pelepahbuluh), ranting, dan cabang daun, serta foto bagian-bagian yang penting, misalnya rebung, buluh, serta tempat hidup. Identifikasi jenis-jenis tumbuhan dilakukan dengan mengacu pada Flora of Java, Flora Pegunungan di Jawa, dan hasil identikit jenis-jenis bambu di Jawa, dan diidentifikasikan di Herbarium Bogoriense Puslitbiologi LIPI Cibinong. Analisis Data 1.
Dihitung indeks nilai penting (INP) (Soerianegara & Indrawan 1998; Indriyanto 2008): a. Kerapatan
= Jumlah buluh dan/atau rumpun Luas plot
b. Kerapatan relatif (%) = Kerapatan dari suatu spesies bambu X 100% Kerapatan seluruh jenis bambu
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
9
c. Frekuensi
= Jumlah plot diketemukan suatu jenis bambu Jumlah seluruh plot
d. Frekuensi relatif (%) = Frekuensi dari suatu spesies bambu X 100% Frekuensi dari seluruh bambu
2.
Indeks keanekaragaman jenis bambu berdasarkan rumus Shannon Wiener (Soerianegara & Indrawan 1998): H = -∑Pi ln Pi H = indeks keanekaragaman jenis bambu; Pi = peluang kepentingan untuk setiap spesies bambu (=ni/N);
3.
Nilai penting dari bambu = kerapatan relatif + frekuensi relatif ni = nilai penting dari spesies bambu yang ditemukan; N = total nilai penting
4.
Indeks kesetaraan (eveness): J=H Hmax dimana : J = uji kesetaraan (eveness) H= indeks Shannon Wiener Hmax = lnS (S = jumlah total jenis)
5.
Pola distribusi bambu dengan Indeks Morista, yaitu |§ = N ∑X2 - ∑ X (∑X)2 - ∑X Dimana |§ = Indeks Morista, N = jumlah seluruh buluh atau rumpun, X = jumlah buluh atau rumpun per sampel.
6.
Indeks dominansi (ID) Shimpson (Indriyanto 2008), yaitu ID = ∑(ni/N)2 Dimana: ID = nilai indeks dominansi dari bambu; ni = nilai penting tiap spesies bambu ke –i; N = total nilai penting;
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
10
Kriteria Nilai Setelah diketahui nilai-nilai sesuai rumus di atas maka dianalisis kelas-kelas sesuai hasil perhitungan, yaitu untuk kerapatan, berhubungan dengan nilai kelimpahan berdasarkan penafsiran kualitatif, yaitu nilainya jarang (1-4), kadangkadang (5-14), sering (15-29), melimpah (30-90), sangat melimpah (>100) (Rugayah dkk. 2004; Indriyanto 2008). Untuk nilai indeks keanekaragaman jenis, kriterianya adalah H < 1 = keanekaragaman rendah; 1
3 = keanekaragaman tinggi. Untuk indeks kesetaraan kriterianya adalah 0 ≤ J ≤ 0,4 = kesetaraan rendah; 0,4 ≤ J ≤ 0,6= kesetaraan sedang; 0,6 ≤ J ≤ 1,0 = kesetaraan tinggi. Pola distribusi mengikuti kriteria : apabila nilai |§ = 1,00 pola distribusi acak, bila |§ < 1,00 pola distribusi merata dan bila |§ > 1,00 pola distribusi mengelompok. Untuk Indeks Dominansi Simpson kriterianya adalah 0 < C ≤ 0,5 = dominansi rendah; 0,5 < C ≤ 0,75 = dominansi sedang; 0,75 < C ≤ 1,00 = dominansi tinggi.
HASIL
Karakteristik Lingkungan Suhu udara di wilayah Kecamatan Srumbung berkisar 21,1 - 32,8o C. Curah hujan berkisar antara 51 – 532 mm per tahun, kelembapan udara relatif 72% - 85%. Luas total Kecamatan Srumbung 5.317 km2, merupakan 4,9% luas dari Kabupaten Magelang. Srumbung berada di sebelah barat daya Gunung Merapi, termasuk daerah Bahaya I dari ancaman Gunung Merapi yang masih aktif. Topografi wilayah Kecamatan Srumbung terdiri dari dataran tinggi, pegunungan dan berbatasan langsung dengan Gunung Merapi, kondisi demikian menjadikan iklim di Kecamatan Srumbung berudara sejuk (Depbudpar 2005). Menurut Dove & Martopo (1987) keadaan topografi di lereng Gunung Merapi, termasuk Kecamatan Srumbung tidak datar. Kemiringan tanah rata-rata mencapai 30%, dengan permukaan tanah banyak mengandung pasir dan batuan Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
11
vulkanik. Semakin mendekati Gunung Merapi, kandungan pasir semakin tinggi sehingga daya peresapan air tanah juga semakin tinggi. Apabila dilihat dari jenis tanah, tanah di Gunung Merapi digolongkan ke dalam 3 jenis tanah. Jenis tanah pertama adalah tanah alluvial kelabu yang memiliki tekstur tidak liat dan mengandung pasir. Jenis tanah ini terdapat di sepanjang aliran sungai. Jenis tanah yang kedua adalah tanah alluvial yang berwarna kelabu kekuning-kuningan dengan tekstur agak liat. Jenis tanah ketiga adalah tanah latozol cokelat tua kemerah-merahan. Bahan induk tanah tersebut terdiri dari tanah vulkanis intermedier. Tanah gembur hampir secara keseluruhan terdapat di lokasi penelitian. Data curah hujan kurang dari 60 mm sampai 100 mm (iklim tidak basah) (Triyoga 2010). Komposisi Floristik
Berbagai jenis tumbuhan, termasuk bambu, yang hidup dalam suatu habitat saling berinteraksi sesamanya dan lingkungannya akan membentuk komunitas. Komposisi floristik dapat diartikan variasi jenis flora yang menyusun komunitas. Daftar floristik sangat berguna sebagai salah satu parameter keanekaragaman jenis tumbuhan. Komposisi jenis tumbuhan, termasuk bambu, yang ditemukan di wilayah Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah, tercatat 51 (lima puluh satu) jenis yang tergolong dalam jenis bambu dan bukan bambu (lihat lampiran 1.1, 1.2). Tumbuhan berperawakan pohon yang tercatat di Kecamatan Srumbung yang berupa bambu dihitung sebagai buluh dan rumpun. Dalam kajian ekologi tumbuhan, famili Graminae (rumput-rumputan) dinyatakan sebagai rumpun. Adapun jenis-jenis bambu yang ditemukan di Kecamatan Srumbung adalah : Gigantochloa sp., Dendrocalamus asper, Gigantochloa atroviolacea, Gigantochloa atter, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Bambusa vulgaris var. striata, Gigantochloa apus, Phyllotachys aurea, Bambusa glaucophylla, dan Schizostachyum brachycladum.Adapun pohon lainnya adalah : Artocarpus heterophyllus, Mangifera odorata, Albizia sp, Albizia moluccana, Musa paradisiaca, Arenga pinnata, Areca catechu, Cocos nucifera, Dysoxylum parasiticum, Neolitsea zeylanica, Lansium domesticum, Eugenea malaccensis, Coffea arabica, Dalbergia latifolia, Citrus sp, Eugenea aquea, Pinus merkusii, Cananga ordorata, Hibiscus rosasinensis, Sauropus Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
12
rhamnoides, Mutinea calabura, Citrus aurantium, Manihot esculenta, Cinnamomum iners, Caesalpinia crista, Nephelium lappaceum, Eugenia cumini, Gnetum gnemon, Durio zibethinus, Baccaurea racemosa, Pithecellobium jiringa, Ficus ampelas, Melia azedarach, Swietenia macrophylla, Erythrina lithosperma, Erythrina ovalifolia, Codiacum variegatum, Morinda citrifolia, Salaca edulis, Hibiscus tiliaceus, dan Canophyllum inophyllum. Berdasarkan hasil penelitian dari 51 jenis tumbuhan hanya ditemukan 10 (sepuluh) jenis bambu. Untuk pembahasan selanjutnya hanya dibatasi pada bambu sebagai objek penelitian. Karakteristik khas jenis-jenis bambu yang ditemukan di Kecamatan Srumbung dapat dilihat dalam lampiran 1.4 dan gambar 1.4, sedangkan pertelaannya adalah : Bambusa glaucophylla : rumpun tegak padat, rebung hijau tertutup bulu hitam, tersebar tidak rapat, buluh muda hijau licin, pelepah buluh mudah luruh tertutup bulu cokelat tua hingga hitam, kuping pelepah buluh membundar dengan ujung agak melengkung keluar. Bambusa vulgaris var. striata: menyerupai Bambusa vulgaris var. vulgaris, hanya warna buluh kuning, rebung juga kuning. Bambusa vulgaris var. vulgaris : rumpun tumbuh tegak dan tidak terlalu rapat, warna buluh hijau, rebung hijau tertutup bulu cokelat hingga hitam, buluh muda hijau mengkilat, pelepah buluh tertutup bulu hitam hingga cokelat tua, kuping pelepah buluh membulat dengan ujung melengkung keluar. Dendrocalamus asper : rumpun tegak dan padat, rebung hitam keunguan tertutup bulu warna cokelat hingga kehitaman, buluh tegak dengan ujung melengkung, buku-bukunya dikelilingi akar udara, buluh muda bagian bawah tertutup bulu hitam seperti beludru, pelepah buluh mudah luruh. Gigantochloa apus : rumpun rapat dan tegak, rebung hijau tertutup bulu hitam dan cokelat, buluh muda hijau kekuningan tertutup bulu cokelat tersebar, pelepah buluh tidak mudah luruh. Gigantochloa atroviolacea : warna buluh hitam, rebung hijau kehitaman dengan pucuk jingga, buluh muda dengan bulu hitam hingga cokelat, pelepah buluh mudah luruh. Gigantochloa atter : warna buluh hijau, rebung hijau hingga keunguan tertutup bulu hitam, pelepah buluh tertutup bulu hitam, kuping pelepah buluh membulat. Gigantochloa sp. : buluh bambu padat, rebung warna hitam, ruas bagian atas pelepah buluh ditutupi oleh bulu cokelat yang lebat, sedangkan di bawah pelepah buluh ditutupi oleh bulu cokelat muda yang jarang, buku-bukunya ditutupi oleh akar udara, pelepah buluh berwarna hitam kecokelatan.
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
13
Phyllotachys aurea : rumpun tegak dengan cabang terdiri atas 2 cabang, rebung hijau dengan pelepah bertutul-tutul, pelepah buluh mudah luruh. Schizostachyum brachycladum: rumpun padat dan tegak, percabangan sama besar, warna buluh kuning, buluh muda tertutup bulu putih tersebar, pelepah buluh tertutup bulu cokelat, tidak mudah luruh.
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
12 Gambar 1.4. Jenis-jenis bambu di Kecamatan Srumbung:
10 cm
30 cm
(2)
(1)
2,5 cm
2,5 cm
(4) (3)
Gambar 1.4.1 Bambusa glaucophylla Keterangan: (1) Perawakan (2) Pelepah buluh dan ranting daun (3) Pelepah buluh yang masih melekat (4) Pelepah buluh Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
13
10 cm
100 cm
(1)
(2)
10 cm
9 cm
(3)
(4)
Gambar 1.4.2 Bambusa vulgaris var. Striata Keterangan: (1) Perawakan (2) Pelepah buluh (3) Percabangan (4) Rebung
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
14
25 cm 10 cm
(2)
(1)
10 cm
12 cm
(3)
(4)
Gambar 1.4.3 Bambusa vulgaris var. vulgaris Keterangan: (5) Perawakan (6) Pelepah buluh (7) Percabangan (8) Rebung Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
15
50 cm
18 cm
(2)
(1)
50 cm
(3)
16 cm (4)
Gambar 1.4.4 Dendrocalamus asper Keterangan: (1) Perawakan (2) Pelepah buluh (3) Perawakan yang berlumut (4) Rebung
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
16
150 cm 100 cm (1)
(2)
12 cm 12 cm
(3) (4)
Gambar 1.4.5 Gigantochloa apus Keterangan: (1) Perawakan (2) Tunas (3) Pelepah buluh (4) Rebung
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
17
10 cm
150 cm
(2)
(1)
45 cm
10 cm
11 cm
(4)
(3)
Gambar 1.4.6 Gigantochloa atroviolacea Keterangan: (1) Perawakan (2) Pelepah buluh (3) Diameter buluh (4) Rebung
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
18
10 cm
50 cm
(2)
(1)
3 cm 12 cm
21 cm
(3)
(4)
Gambar 1.4.7 Gigantochloa atter Keterangan: (1) Perawakan (2) Pelepah buluh (3) Ranting daun (4) Rebung
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
19
20 cm
12 cm
4 cm
(1)
(2)
13 cm
15 cm
(4)
(3)
Gambar 1.4.8 Gigantochloa sp. Keterangan: (1) Percabangan (2) Ranting daun (3) Pelepah buluh (4) Rebung
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
20
8 cm
50 cm
(2)
(1)
10 cm
(4) (3)
Gambar 1.4.9 Phyllotachys aurea Keterangan: (1) Perawakan (2) Percabangan (3) Ranting daun (4) Rebung
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
21
50 cm
10 cm
(1)
(2)
3 cm
40 cm
(3)
8 cm
(4)
Gambar 1.4.10 Schizostachyum rachycladum Keterangan: (1) Perawakan (2) Percabangan (3) Ranting daun (4) Pelepah buluh
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
22
PEMBAHASAN
Keanekaragaman bambu yang tersebar di seluruh dunia terdiri 77 genus dan 1.300 spesies. Wilayah Asia, daerah tropis dan sub tropis ada 24 genus, 270 spesies, mayoritas adalah Bambusa. Di Asia beriklim sedang terdapat 20 genus dan 320 spesies, mayoritas genus Sasa. Wilayah Afrika terdapat 3 genus dengan 3 spesies endemik, Madagaskar terdapat 6 genus 20 spesies endemik. Australia terdapat 2 genus dengan 3 spesies endemik, Pasifik terdapat 2 genus dengan 4 spesies dan di Amerika tropis terdapat 20 genus dan 410 spesies, mayoritas genus Chusquea (Dransfield & Widjaja 1995). Menurut Widjaja (2001), berbagai jenis bambu yang tumbuh di Pulau Jawa, hanya 14 jenis yang asli tumbuh liar, yaitu Bambusa blumeana, B. jacobsii, Dinochloa scandens, D. matmat, Fimbribambusa horsfieldii, Gigantochloa hasskarliana, G. manggong, G. nigrociliata, Nastus elegantissimus, Schizostachyum aequiramosum, S. iraten, S. silicatum, S. zollingeri, dan Schizostachyum sp. Di antara jenis-jenis asli yang tumbuh di Jawa tersebut, 9 jenis merupakan jenis endemik, yaitu B. jacobsii, Dinochloa scandens, D. matmat, Fimbribambusa horsfieldii, G. Manggong, Nastus elegantissimus, Schizostachyum aequiramosum, S. silicatum, dan Sizostachyum sp. Variasi struktur dan komposisi tumbuhan dalam suatu komunitas dipengaruhi antara lain oleh fenologi, natalitas, dan dispersal. Di Kecamatan Srumbung struktur komunitas juga dipengaruhi oleh faktor antroposentris. Untuk kelimpahan, bambu dibedakan menjadi rumpun dan buluh. Kelimpahan buluh tertinggi tercatat adalah Gigantochloa apus, dan Dendrocalamus asper. Kelimpahan menunjukkan nilai kehadiran buluh bambu di daerah tersebut banyak. Untuk kelimpahan rumpun yang tertinggi adalah Gigantochloa apus, dan Dendrocalamus asper. Rincian kelimpahan bambu baik buluh dan rumpun disajikan dalam lampiran 1.1, 1.2. Tingginya kelimpahan bambu dipengaruhi oleh kemampuan jenis dan buluh beradaptasi pada lingkungan, juga oleh campur tangan manusia. Frekuensi dipakai sebagai parameter yang dapat menunjukkan distribusi dan kehadiran jenis tumbuhan dalam ekosistem. Menurut Raunkiaer (lihat Fachrul
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
23
2007), frekuensi tumbuhan dibagi menjadi 5 (lima) kelas. Berdasarkan hasil penelitian bambu, semua nilai frekuensi termasuk kelas A, karena hanya 0 – 20% saja. Frekuensi tertinggi didapatkan pada Gigantochloa apus (0,5), dan Dendrocalamus asper (0,4) kemudian disusul bambu-bambu yang lainnya. Nilai frekuensi tersebut menunjukkan kehadiran Gigantochloa apus dapat ditemukan di hampir setiap plot penelitian, karena dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungannya selain itu adanya bambu tersebut yang bukan asli Indonesia namun tumbuh meliar, diperkirakan karena pernah digunakan sebagai pemukiman penduduk. Hal tersebut diperkuat dengan ditemukan bekas sumur dan bekas rumah. Nilai kerapatan dapat menggambarkan bahwa jenis bambu dengan kerapatan tinggi memiliki pola penyesuaian yang besar. Kerapatan rumpun tertinggi tercatat pada Dendrocalamus asper (137,5 rumpun per ha), Gigantochloa apus (105 rumpun per ha) kemudian disusul bambu-bambu yang lainnya. Nilai kerapatan buluh per rumpun tercatat tertinggi adalah Phyllotachys aurea (762.711,864 buluh/ha), Bambusa glaucophylla (484.848,485 buluh/ha), disusul jenis bambu lainnya (lihat lampiran 1.3b). Phyllotachys aurea, mempunyai rumpun yang lebih padat dengan diameter lebih kecil, diduga karena jarang dipanen. Bambu tersebut awal mulanya ditanam untuk mengurangi erosi di lereng Gunung Merapi kemudian baru dimanfaatkan pada tahun 1990-an. Dendrocalamus asper, Gigantochloa atroviolacea, Gigantochloa apus adalah bambu yang disukai oleh masyarakat, sehingga banyak dipanen. Oleh sebab itu kerapatannya lebih rendah dari Phyllotachys aurea. Dendrocalamus asper mempunyai kerapatan yang juga sedikit, karena bambu tersebut sering dipanen namun buluhnya pertumbuhannya lambat. Bila dihitung buluhnya, kerapatan tertinggi tercatat pada Gigantochloa apus (2.567,5 buluh/ha), Dendrocalamus asper (1.485 buluh/ha). Hal tersebut menunjukkan bahwa buluh bambu pada setiap plot mempunyai jumlah kehadiran tinggi, karena dapat menyesuaikan pada kondisi lingkungan tanah disekitarnya. Buluh bambu Gigantochloa apus yang mempunyai kerapatan tertinggi ditemukan pada tanah yang gembur dari bagian tanah vulkanik di daerah Kecamatan Srumbung. Bambu Dendrocalamus asper lebih disukai masyarakat karena
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
24
manfaatnya lebih banyak, misalnya untuk usuk dan reng, sisanya dipakai untuk lanjaran atau turus. Menurut Widjaja (2009) tingginya jumlah buluh dapat disebabkan karena keteraturan dalam penebangan, sehingga produktivitas buluh tinggi. Walaupun jenis tersebut banyak disukai oleh masyarakat untuk dipakai sebagai bahan berbagai keperluan. Dominansi adalah suatu jenis tumbuhan utama yang mempengaruhi komunitas karena banyaknya jumlah jenis, besarnya ukuran maupun pertumbuhan yang dominan. Nilai dominansi bambu dalam penelitian ini menggunakan Indeks Shimpson. Nilai dominansi tertinggi bila dihitung berdasarkan buluh adalah Gigantochloa apus (0,019), dan Dendrocalamus asper (0,016) (lihat lampiran 1.2). Bila dihitung dominansi rumpun nilai tertinggi tercatat adalah Dendrocalamus asper (0,00085), Bambusa vulgaris var. vulgaris (0,0002), baru disusul bambu-bambu yang lainnya (lihat lampiran 1.1). Gigantochloa apus dapat dikatakan dominan di antara bambu-bambu lain yang ada, walaupun nilainya kecil, tidak terjadi tekanan ekologis karena kondisi lingkungan yang baik (stabil). Nilai penting menentukan dominansi jenis tumbuhan terhadap jenis tumbuhan lain dalam suatu komunitas yang diteliti, dalam hal ini bambu. Karena dalam suatu komunitas bersifat heterogen, data parameter jenis dari nilai frekuensi, kerapatan, dan dominansi tidak dapat menggambarkan keseluruhan. Nilai penting bambu yang tercatat dalam penelitian bila dihitung buluh yang tertinggi adalah Gigantochloa apus (0,320), Dendrocalamus asper (0,296). Nilai tersebut menunjukkan bahwa Gigantochloa apus dapat dikatakan mendominasi bambu dibandingkan jenis bambu yang lain yang ada di Kecamatan Srumbung. Nilai penting akan mempengaruhi indeks keanekaragaman bambu, walaupun juga dipengaruhi oleh pemanfaatan atau alih fungsi lahan tanaman budidaya, misalnya salak. Bila dihitung rumpun nilai penting yang tercatat yang tertinggi adalah Dendrocalamus asper (0,222), Gigantochloa atter (0,119). Keanekaragaman jenis bambu di Pulau Sumba, sebagai pembanding ditemukan, antara lain Bambusa blumeana, Bambusa vulgaris, Dendrocalamus asper, Dinochloa costermansiana, Dinochloa sp., Gigantochloa atter, Nastus reholttumianus, Phyllostachys aurea, Schizostachyum brachycladum, dan Schizostachyum lima (Widjaja & Karsono 2004). Sementara itu hasil inventarisasi
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
25
jenis-jenis bambu di Tigawasa Bali, ditemukan jenis bambu yang sama di Kecamatan Srumbung yaitu Bambusa vulgaris, Dendrocalamus asper, Gigantochloa apus, dan Schizostachyum brachycladum (Arinasa 2009). Indeks keanekaragaman merupakan parameter yang sangat berguna untuk membandingkan berbagai komunitas tumbuhan. Dalam suatu komunitas umumnya terdapat berbagai jenis tumbuhan, maka makin tua atau semakin stabil suatu komunitas makin tinggi keanekaragaman jenis tumbuhannya. Hasil penelitian indeks keanekaragaman Shannon Wiener diperoleh bahwa keanekaragaman jenis bambu rendah atau sedikit karena nilainya kurang dari 1. Tetapi bila dihitung nilai total indeks keanekagaman seluruh jenis bambu dalam komunitas tumbuhan yang diteliti termasuk melimpah karena nilainya di antara 1 3 (1,2047 untuk indeks penghitungan buluh). Bila dihitung rumpun, walaupun jumlah nilai indeks keanekaragaman jenis bambu dijumlah total tetap termasuk keanekaragaman yang sedikit atau rendah (0,8393) (lihat lampiran 1.2). Indeks keanekaragaman yang ditunjukkan mempunyai nilai yang rendah, komunitas tumbuhan bambu dalam kondisi lingkungan stabil, kurang mengalami tekanan ekologis, disamping karena karakter bambu yang bisa hidup di lingkungan basah maupun kering. Keanekargaman bambu rendah, sebab rumpun bambu tidak bisa hidup antara bambu satu dengan yang lainnya, dan jenis tumbuhan lain tidak dihitung dalam keanekaragaman bambu tersebut. Pola persebaran dari jenis bambu dalam objek penelitian, menggambarkan letak dan kedudukan dari buluh atau rumpun terhadap buluh atau rumpun lainnya. Dalam suatu komunitas tumbuhan, pola persebaran populasi buluh/rumpun mempunyai pola tertentu pada habitatnya, ada 3 kemungkinan pola persebaran tersebut, yaitu acak (random), berkelompok (agregat) dan merata (teratur/seragam). Pola persebaran bambu berdasarkan nilai Indeks Morista baik buluh maupun rumpun, umumnya berpola merata dan mengelompok. Perbedaan mencolok terjadi pada Bambusa vulgaris var. vulgaris dan Gigantochloa atter, terjadi perbedaan nilai bila dihitung buluh atau rumpun, yang polanya berkebalikan. Pola persebaran bambu yang demikian masih bersifat relatif, karena ada jenis bambu yang hidupnya merumpun rapat menjadi satu sehingga akan sulit dibedakan buluh-buluh jenis bambu yang menyusunnya (lihat lampiran 1.3.a).
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
26
Pola persebaran bambu yang mencolok dipengaruhi oleh kerapatan buluh dalam rumpun, dan jenis Bambusa vulgaris var. vulgaris lebih dapat beradaptasi terhadap lingkungan dibandingkan Gigantochloa atter. Bambusa vulgaris var. vulgaris dapat hidup di lingkungan yang tergenang sewaktu-waktu, terbukti bambu tersebut banyak ditemukan di tepian sungai. Diameter buluh bambu akan mempengaruhi waktu pemanenan yang terbaik oleh penduduk. Dari hasil penelitian diameter buluh bambu yang terbesar adalah Dendrocalamus asper (hingga 22 cm), yang terkecil adalah Phyllotachys aurea (hanya mencapai 2,5 cm). Diameter rumpun dipengaruhi pola dan cara pemanenan oleh penduduk. Dari hasil penelitian diameter rumpun terbesar adalah Gigantochloa atter (mencapai 480 cm), terkecil adalah Bambusa glaucophylla (mencapai 51 cm) (lihat lampiran 1.3.a). Dendrocalamus asper mempunyai diameter terbesar bila hidup di lingkungan tanah yang gembur dan tanah vulkanis, bila hidup ditanah agak berpasir dengan batuan-batuan berdiameter kecil Dendrocalamus asper cenderung kecil. Berdasarkan hasil penelitian tercatat jenis-jenis bambu mempunyai nilai E mendekati 0, artinya jenis-jenis bambu tersebut semakin tidak merata. Nilai kesetaraan bambu dari hasil penelitian penyebarannya tidak merata, artinya tidak setiap di plot akan ditemukan jenis bambu tersebut. Dari keanekaragaman jenis bambu yang berjumlah 10, (yaitu Gigantochloa sp., Dendrocalamus asper, Gigantochloa atroviolacea, Gigantochloa atter, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Bambusa vulgaris var. striata, Gigantochloa apus, Phyllotachys aurea, Bambusa glaucophylla, dan Schizostachyum brachycladum), 2 jenis diantaranya merupakan jenis introduksi. Berdasarkan informasi penduduk, kedua jenis bambu introduksi tersebut adalah bambu kuning/gading (Schizostachyum brachycladum) dan bambu gringsing (Bambusa glaucophylla). Schizostachyum brachycladum merupakan bambu introduksi dari luar daerah karena dibawa oleh penduduk pada waktu acara adat pernikahan, secara tidak sengaja dibuang di kebun penduduk dan tumbuh menjadi rumpun bambu. Bambusa glaucophylla, merupakan bambu introduksi yang dibawa oleh penduduk untuk ditanam sebagai tanaman hias yang dibawa dari daerah lain. Padahal Phyllotachys aurea juga merupakan bambu introduksi pada
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
27
waktu zaman Jepang, yang berfungsi sebagai penahan erosi di kawasan lereng Gunung Merapi (Dransfield & Widjaja 1995). Menurut informasi penduduk Phyllotachys aurea dimanfaatkan sebagai alat-alat dalam keperluan sehari-hari, dan juga sebagai alat olah raga untuk lempar lembing. Tetapi pengambilan bambunya bukan berasal dari daerah penelitian, dan berasal dari wilayah kawasan lereng Gunung Merapi yaitu di Kecamatan Dukun. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1.
Komposisi floristik di wilayah Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah dari hasil penelitian, tercatat 51 jenis tumbuhan yang terdiri dari 10 jenis bambu dan 41 jenis non-bambu.
2.
Dari 10 jenis bambu yang tercatat, 7 jenis bambu merupakan bambu yang tumbuh alami di lokasi penelitian yaitu Bambusa vulgaris var. vulgaris, Bambusa vulgaris var. striasa, Dendrocalamus asper, Gigantochloa apus, Gigantochloa atroviolacea, Gigantochloa atter, dan Gigantochloa sp. 3 jenis bambu termasuk bambu introduksi, yaitu Schizostachyum brachycladum, Bambusa glaucophylla, dan Phyllotachys aurea.
3.
Kerapatan bambu yang tertinggi bila dihitung buluh yaitu Gigantochloa apus (2.567,5 per ha), bila dihitung rumpun yaitu Dendrocalamus asper (137,5 rumpun per ha). Nilai penting bambu yang tertinggi, bila dihitung buluh yaitu Gigantochloa apus (0,320), bila dihitung rumpun yaitu Dendrocalamus asper (0,222). Dominansi bambu yang tertinggi, bila dihitung buluh yaitu Gigantochloa apus (0,019), bila dihitung rumpun yaitu Dendrocalamus asper (0,00085). Gigantochloa apus merupakan jenis yang merajai di daerah Kecamatan Srumbung baik dalam hal jumlah rumpun maupun jumlah buluh.
4.
Indeks keanekaragaman bambu baik buluh maupun rumpun termasuk kategori rendah. Bila digabung nilai keanekaragaman seluruh jenis bambu termasuk kategori melimpah.
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
28
5.
Pola persebaran bambu umumnya berpola merata dan mengelompok, namun bila ditinjau dari nilai kesetaraannya (eveness) umumnya semakin rendah (mendekati nilai 0).
6.
Diameter buluh bambu yang terbesar yaitu Dendrocalamus asper (mencapai 22 cm), diameter rumpun terbesar yaitu Gigantochloa atter (mencapai 480 cm).
Saran 1.
Untuk kepentingan konservasi bambu diperlukan pemahaman pemanfaatan bambu yang berkelanjutan berdasarkan kondisi populasi bambu yang ada.
2.
Untuk mengetahui produktivitas bambu, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor kematian dari tunas bambu, sehingga pemanfaatan yang berkelanjutan bisa diprediksi.
DAFTAR ACUAN
Arief, A. 1994. Hutan, Hakikat dan pengaruhnya terhadap lingkungan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: xii + 152 hlm. Arinasa, I.B.K. 2004. Keanekaragaman dan penggunaan jenis-jenis bambu di Desa Tigawasa, Bali. Buletin Biodiversitas 6(1): 17—21. Arinasa, I.B.K. 2009. Etnobotani dan keanekaragaman jenis bambu yang digunakan sebagai bahan dinding di Bali. Ekakarya Bali - LIPI, Denpasar: 8 hlm. Batubara, R. 2002. Pemanfaatan bambu di Indonesia. USU, Medan: 6 hlm. Chua, K. S., B.C. Shoog & H.T.W Tan. 1996. The bamboos of Singapore. IPGRI, Singapura: v+70 hlm. Curtis, J.T. & G. Cottam. 1967. Plant ecology workbook, laboratory, field and reference manual. Minnesota USA: i+163 hlm. Depbudpar. 2005. Tempat-tempat spiritual di Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Klaten dan Kabupaten Magelang). Depbudpar: ii+252 hlm. Dove, M.R. & S. Martopo. 1997. Manusia dan Alang-alang di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta: ii+166 hlm
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
29
Dransfield, S. & E.A. Widjaja. 1995. Plants resources of South East Asia (7). Bamboos. Prosea. Bogor: 125 hlm. Ewusie, J.Y. 1990. Ekologi tropika. ITB. Bandung: 20a+362 hlm. Fachrul, M. F. 2007. Metode sampling bio ekologi. Bumi Aksara, Jakarta: vii+197 hlm. Harahap, S.A. 2009. Manual, survei & monitoring Endangered species di Taman Nasional Gunung Halimun Salak : iii+83 hlm. Indrawan, M., R. B. Primack & J. Supriyatna. 2007. Biologi konservasi. Yayasan Obor, Jakarta: xii+627 hlm. Indriyanto. 2008. Ekologi hutan. Bumi Aksara, Jakarta: v+209 hlm. Ismal, G. 1989. Ekologi Tumbuhan dan Tanaman Pertanian. Angkasa Raya. Padang: 188 hlm. KLH. 1994. Petunjuk pembibitan bambu dengan stek batang. KLH. Jakarta : ii+45 hlm. Kasmudjo. 2010. Teknologi Hasil Hutan. Cakrawala Media, Yogyakarta: xxv+239 hlm. LAPAN. 2006. Berita Indraja. Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional, Jakarta: 51 hlm. LAPAN. 2006. Pemantauan peningkatan aktivitas Gunung Api Merapi berdasarkan citra satelit penginderaan jauh. Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional, Jakarta: 10 hlm. Mangoendihardjo, S. 2000. Konservasi budidaya bambu dan salak dalam pengembangan wisata agro, alami dan budidaya di Kabupaten Sleman, DIY. Yayasan Kehati, Yogyakarta: 9 hlm. Martinus, S. & R.S. Hartono. 2008. Kamus nomenklatur zoologi dan botani. Andi, Yogyakarta: xi+173 hlm. Mc. Neely, D.A. 1992. Ekonomi dan keanekaragaman hayati. Yayasan Obor, Jakarta: xxvii+262 hlm. Mc. Neely, J.A. 1995. Biodiversity, bamboo and conservation in Asia. IV International Bamboo Congress. Bali. Indonesia: 17 hlm. Partomihardjo, T. & J.S. Rahajoe. 2004. Pengumpulan data ekologi tumbuhan. Litbang Biologi LIPI, Bogor: xii+138 hlm.
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
30
Rivai, M.A. 1993 Perikehidupan alam sepanjang jalan pegunungan. UNESCOMAB Indonesia, Bogor: iv+44 hlm. Rugayah, E.A. Widjaja & Praptiwi. 2004. Pedoman pengumpulan data keanekargaman flora. Pusat Penelitian Biologi LIPI,. Bogor: xii+138 hlm. Sastrapradja, D. 1980. Beberapa jenis bambu. LBN – LIPI, Bogor: 95 hlm. Sastrapradja, D., E.A. Widjaja, J.P. Mogea & E. Sudarmonowati. 2000. Diantara alunan bambu dan bisikan rotan. Naturindo, Bogor: vii+77 hlm. Simon, H. 2007. Metode inventore hutan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 562 hlm. Sheil, D. 2004. Mengeksplorasi keanekaragaman hayati, lingkungan dan pandangan masyarakat lokal mengenai berbagai lanskap hutan. CIFOR, Bogor: ix+38 hlm. Soerianegara, I. & A. Indrawan. 1998. Ekologi hutan Indonesia. IPB, Bogor: 83 hlm. Steenis, Van C.G.G.J. 2005. Flora untuk sekolah di Indonesia. Pradnya Paramita, Jakarta: xii+421 hlm. Steenis, Van C.G.G.J. 2006. Flora pegunungan Jawa. Puslitbang Biologi LIPI, Bogor: ix+253 hlm. Suprijatna, J. 2008. Melestarikan alam Indonesia. Yayasan Obor, Jakarta: ix +712 hlm. Sutarno, H., S.S. Harjadi & Sutiono. 1996. Paket modul partisipasif: budidaya bambu guna meningkatkan produktifitas lahan. Yayasan Prosea Indonesia, Bogor: v + 50 hlm. Triyoga, L.S. 2010. Merapi dan orang Jawa, persepsi dan kepercayaannya. Grasindo. Jakarta : xxiv + 186 hlm. Untung, K. 1998. Strategi nasional dan rancang tindak pelestarian bambu dan pemanfaatannya secara berkelanjutan di Indonesia. KLH, Jakarta: viii+39 hlm. Vivekanandan, K. , A.N. Rao & V. R. Rao. 1998. Bamboo and rattan genetic resources in certain Asian Countries. Serdang. Malaysia: ix+189 hlm. Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja & S.A. Afiff. 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Prenhallindo. Jakarta: ixx+949 hlm.
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
31
Widodo, J., I.G.S. Merta & N.N. Wadnyana. 2004. Ekologi dan potensi sumber daya perikanan Lembata NTT. Pusat Perikanan Tangkap Jakarta: iv+88 hlm. Widjaja, E.A. 1994. Ex situ conservation of Indonesian endemic bamboo. Kebun Raya Bogor: 135 hlm. Widjaja, E.A. 1997. New taxa Indonesia bamboos. Reinwardtia 11(2) : 57—152. Widjaja, E.A. 2001a. Identikit jenis-jenis bambu di Jawa. Puslitbang Biologi – LIPI, Bogor: xi+99 hlm. Widjaja, E.A. 2001b. Identikit jenis-jenis bambu di Kepulauan Sunda Kecil. Puslitbang Biologi – LIPI, Bogor: xi+35 hlm. Widjaja, E.A., I.P. Astuti, I.B.K. Arinasa & I.W. Sumantra. 2004. Panduan membudidayakan bambu. Puslitbang Biologi – LIPI, Bogor: vi+57 hlm. Widjaja, E.A., M.A. Rifai, B. Subianto & D. Nandika. 1994.Strategi penelitian bambu Indonesia. Yayasan Bambu Lingkungan Lestari, Bogor: 193 hlm. Widjaja, E.A., Sunaryo & Hamzah. 2009. Tegakan bambu di kebun rakyat Kota madya Salatiga. Berita Biologi 9(5): 629—635. Wirakusumah, S. 2003. Dasar-dasar ekologi bagi populasi dan komunitas. UI Press Jakarta: xvii+148 hlm. Yani, A.P. 1994. Pemanfaatan bambu di Provinsi Bengkulu. Universitas Bengkulu. Bengkulu: 4 hlm. Yayasan Kehati, 2009. Kloning lipatgandakan bambu. Yayasan Kehati. Yogyakarta: 2 hlm. Zar, J.H. 2010. Biostatistical analysis. New Jersey. USA: xi+678 hlm.
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
32
Lampiran 1.1 Parameter untuk analisis data jika bambu dihitung rumpun No.
Nama jenis
Nama lokal
% FR
KR
INP
Pi
F
ID
H
J
1
Gigantochloa sp.
bambu brongkol
0,007
0,019
0,026
0,025
0,011
0,000012
0,0496
0,0126
2
Dendrocalamus asper
bambu petung
0,119
0,013
0,222
0,400
0,092
0,00085
0,2195
0,0558
3
Gigantochloa atroviolacea
bambu wulung
0,037
0,056
0,033
0,125
0,014
0,00002
0,0598
0,0152
4
Gigantochloa ater
bambu legi
0,059
0,06
0,119
0,200
0,035
0,000012
0,1173
0,0298
5
Bambusa vulgaris var vulgaris
bambu ampel hijau
0,059
0,049
0,108
0,200
0,045
0,0002
0,1395
0,0355
6
Bambusa vulgaris var striata
bambu ampel kuning
0,015
0,013
0,028
0,050
0,012
0,000014
0,0531
0,0035
7
Gigantochloa apus
bambu apus
0,015
0,078
0,093
0,50
0,039
0,00015
0,1265
0,0322
8
Phyllotachys aurea
bambu cendani
0,022
0,019
0,041
0,075
0,017
0,00003
0,0693
0,0176
9
Bambusa glaucophylla
bambu gringsing
0,007
0,007
0,014
0,025
0,00058
4 x 10-7
0,0043
0,0011
10
Schizostachyum brachycladum
bambu kuning
0,007
0,019
0,00089
0,025
0,00004
1,6 x 10-7
0,0004
0,0001
11
Artocarpus heterophyllus
nangka
0,126
0,056
0,182
0,425
0,076
0,00058
0,1959
0,0498
12
Mangifera odorata
pakel
0,015
0,056
0,0206
0,050
0,00086
7,4 x 10-7
0,0061
0,002
13
Albizia sp
andra
0,037
0,172
0,203
0,125
0,085
0,00072
0,0996
0,0253
14
Albizia moluccana
sengon
0,037
0,017
0,054
0,125
0,022
0,000048
0,084
0,0214
15
Musa paradisiaca
pisang
0,074
0,069
0,143
0,250
0,059
0,00035
0,167
0,0425
16
Arenga pinnata
aren
0,022
0,009
0,024
0,075
0,00099
9,8 x 10-7
0,007
0,002
17
Areca catechu
pinang
0,015
0,013
0,035
0,050
0,015
0,00002
0,063
0,016
18
Cocos nucifera
kelapa
0,089
0,035
0,124
0,300
0,052
0,00027
0,1537
0,0391
19
Dysoxylum parasiticum
cepogo
0,03
0,009
0,039
0,100
0,016
0,000026
0,0598
0,0152
20
Neolitsea zeylanica
tejo
0,037
0,017
0,054
0,125
0,022
0,000048
0,084
0,0214
21
Lansium domesticum
duku
0,022
0,006
0,0276
0,075
0,011
0,000012
0,0496
0,0126
22
Eugenea malaccensis
jambu bol
0,007
0,019
0,00089
0,025
0,0004
1,6 x 10-7
0,0031
0,0008
23
Coffea arabica
kopi
0,081
0,091
0,172
0,275
0,072
0,00052
0,1894
0,0482
24
Dilbergia latifolia
sonokeling
0,022
0,007
0,029
0,075
0,012
0,000014
0,0531
0,0135
25
Citrus sp
jeruk
0,007
0,0019
0,00089
0,025
0,0004
1,6 x 10-7
0,0031
0,0008
26
Eugenea aquea
jambu air
0,015
0,0037
0,0187
0,050
0,00078
6,1 x 10-7
0,0056
0,0014
27
Pinus merkusii
cemara gunung
0,007
0,0019
0,00089
0,025
0,0004
1,6 x 10-7
0,0031
0,0008
28
Cananga ordorata
kenanga
0,007
0,0019
0,00089
0,025
0,0004
1,6 x 10-7
0,0031
0,0008
29
Hibiscus rosasinensis
kembang sepatu
0,007
0,0019
0,00089
0,025
0,0004
1,6 x 10-7
0,0031
0,0008
30
Sauropus rhamnoides
katuk
0,007
0,0019
0,018
0,025
0,00075
5,6 x 10-7
0,0053
0,0013
31
Mutinea calabura
talok
0,007
0,0019
0,00089
0,025
0,0004
1,6 x 10-7
0,0031
0,0008
32
Citrus aurantium
jeruk pecel
0,007
0,0019
0,00089
0,025
0,0004
1,6 x 10-7
0,0031
0,0008
33
Manihot esculenta
ketela pohon
0,007
0,039
0,046
0,025
0,019
0,000036
0,0753
0,0192 0,0192
34
Cinnamomum iners
sampang
0,037
0,009
0,046
0,125
0,019
0,000036
0,0753
35
Caesalpina crista
kelengkeng
0,007
0,0019
0,00089
0,025
0,0004
1,6 x 10-7
0,0031
0,0008
36
Nephelium lappaceum
rambutan
0,015
0,0037
0,0187
0,050
0,00079
6,2 x 10-7
0,005
0,0013
37
Eugenea cumini
salam
0,015
0,0037
0,0187
0,050
0,00079
6,2 x 10-7
0,005
0,0013
38
Gnetum gnemon
melinjo
0,022
0,056
0,079
0,075
0,032
0,0001
0,0068
0,0017
39
Durio zibethinus
durian
0,007
0,0037
0,0107
0,025
0,00045
2,025 x 10-7 0,0035
0,0009
40
Baccaurea racemosa
mundung
0,007
0,0019
0,00089
0,025
0,0004
1,6 x 10-7
0,0008
41
Pithecellobium jiringa
jengkol
0,007
0,0037
0,0107
0,025
0,00045
2,025 x 10-7 0,0035
0,001
42
Ficus ampelas
rempelas
0,03
0,0037
0,0337
0,100
0,014
0,00002
0,06
0,0153 0,0144
0,0031
43
Melia azedarach
mindi
0,007
0,024
0,031
0,025
0,013
0,00002
0,0565
44
Swietenia macrophylla
mahoni
0,007
0,0019
0,00089
0,025
0,0004
1,6 x 10-7
0,0031
0,0008
45
Erythrina lithosperma
dadap
0,007
0,026
0,033
0,025
0,0138
0,00002
0,0591
0,015
46
Erythina ovalifolia
cangkring
0,015
0,0037
0,0187
0,050
0,00078
6,1 x 10-7
0,0056
0,0014
47
Codiacum variegatum
puring
0,007
0,056
0,063
0,025
0,026
0,000068
0,0949
0,0241
48
Morinda citrifolia
pace
0,007
0,0019
0,00089
0,025
0,0004
1,6 x 10-7
0,0031
0,0008
49
Zalaca edulis
salak
0,015
0,099
0,114
0,200
0,047
0,00022
0,1437
0,0365
50
Hibiscus tiliaceus
waru
0,03
0,009
0,039
0,100
0,016
0,000026
0,0662
0,0168
51
Canophyllum inophyllum
nyamplung
0,007
0,0019
0,00089
0,025
0,0004
1,6 x 10-7
0,0031
0,0008
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
33
Lampiran 1.2 Parameter untuk analisis data jika bambu dihitung individu
No.
Nama lokal
Nama jenis
% FR
KR
INP
Pi
F
ID
H
J
1
Gigantochloa sp.
bambu brongkol
0,007
0,02
0,022
0,025
0,00095
9,025 x 10-7 0,0066
2
Dendrocalamus asper
bambu petung
0,119
0,177
0,296
0,400
0,128
0,016
0,2631
0,0669
3
Gigantochloa atroviolacea
bambu wulung
0,037
0,013
0,14
0,125
0,061
0,00037
0,1126
0,0286
4
Gigantochloa ater
bambu legi
0,059
0,0157
0,216
0,200
0,093
0,00087
0,221
0,0562
5
Bambusa vulgaris var vulgaris
bambu ampel hijau
0,059
0,076
0,135
0,200
0,058
0,00034
0,1651
0,042
6
Bambusa vulgaris var striata
bambu ampel kuning
0,015
0,017
0,032
0,050
0,014
0,00002
0,0598
0,0152
7
Gigantochloa apus
bambu apus
0,015
0,305
0,32
0,50
0,139
0,019
0,2741
0,0697
8
Phyllotachys aurea
bambu cendani
0,022
0,04
0,062
0,075
0,027
0,000074
0,0975
0,0248
9
Bambusa glaucophylla
bambu gringsing
0,007
0,0071
0,0141
0,025
0,00061
3,7 x 10-7
0,0045
0,0011
10
Schizostachyum brachycladum
bambu kuning
0,007
0,0024
0,00094
0,025
0,00004
1,6 x 10-9
0,0004
0,0001
11
Artocarpus heterophyllus
nangka
0,126
0,0097
0,1357
0,425
0,059
0,00035
0,167
0,0425
12
Mangifera odorata
pakel
0,015
0,0009
0,0159
0,050
0,00069
4,8 x 10-7
0,005
0,0013
13
Albizia sp
andra
0,037
0,027
0,064
0,125
0,0278
0,000077
0,0996
0,0253
14
Albizia moluccana
sengon
0,037
0,0027
0,397
0,125
0,017
0,000029
0,0693
0,0176
15
Musa paradisiaca
pisang
0,074
0,011
0,085
0,250
0,037
0,00014
0,122
0,031
16
Arenga pinnata
aren
0,022
0,0021
0,0241
0,075
0,00074
5,5 x 10-7
0,0053
0,0117
17
Areca catechu
pinang
0,015
0,0015
0,0165
0,050
0,01
0,0001
0,0461
0,00135
18
Cocos nucifera
kelapa
0,089
0,0056
0,0946
0,300
0,041
0,00016
0,131
0,0333
19
Dysoxylum parasiticum
cepogo
0,03
0,0015
0,0315
0,100
0,014
0,00002
0,0598
0,0152
20
Neolitsea zeylanica
tejo
0,037
0,0027
0,0397
0,125
0,917
0,00003
0,0693
0,0176
21
Lansium domesticum
duku
0,022
0,0009
0,0229
0,075
0,00099
9,8 x 10-7
0,0068
0,0017
22
Eugenea malaccensis
jambu bol
0,007
0,0003
0,0073
0,025
0,0003
9 x 10-10
0,0003
0,00008
23
Coffea arabica
kopi
0,081
0,0015
0,096
0,275
0,042
0,00018
0,1331
0,03385
24
Dilbergia latifolia
sonokeling
0,022
0,0012
0,0232
0,075
0,01
0,0001
0,0461
0,0136
25
Citrus sp
jeruk
0,007
0,0003
0,0073
0,025
0,00003
9 x 10-10
0,0003
0,00008
26
Eugenea aquea
jambu air
0,015
0,0006
0,0156
0,050
0,00068
4,6 x 10-7
0,005
0,0013
27
Pinus merkusii
cemara gunung
0,007
0,0003
0,00073
0,025
0,00003
9 x 10-10
0,0003
0,00008
28
Cananga ordorata
kenanga
0,007
0,0003
0,00073
0,025
0,00003
9 x 10-10
0,0003
0,00008
29
Hibiscus rosasinensis
kembang sepatu
0,007
0,0003
0,00073
0,025
0,00003
9 x 10-10
0,0003
0,00008
30
Sauropus rhamnoides
katuk
0,007
0,0015
0,0085
0,025
0,00004
1,6 x 10-9
0,0004
0,0001
31
Mutinea calabura
talok
0,007
0,0003
0,00073
0,025
0,00003
9 x 10-10
0,0003
0,00008
32
Citrus aurantium
jeruk pecel
0,007
0,0003
0,00073
0,025
0,00003
9 x 10-10
0,0003
0,00008
33
Manihot esculenta
ketela pohon
0,007
0,0006
0,012
0,025
0,00052
2,7 x 10-7
0,004
0,001
34
Cinnamomum iners
sampang
0,037
0,0015
0,0385
0,125
0,017
0,00029
0,0693
0,0176
35
Caesalpina crista
kelengkeng
0,007
0,0003
0,00073
0,025
0,00003
9 x 10-10
0,0003
0,00008
36
Nephelium lappaceum
rambutan
0,015
0,0006
0,0156
0,050
0,00068
4,6 x 10-7
0,005
0,0013
37
Eugenea cumini
salam
0,015
0,0006
0,0156
0,050
0,00068
4,6 x 10-7
0,005
0,0013
38
Gnetum gnemon
melinjo
0,022
0,0009
0,0229
0,075
0,00099
9,8 x 10-7
0,0068
0,0018
39
Durio zibethinus
durian
0,007
0,0006
0,00076
0,025
0,00003
9 x 10-10
0,0003
0,00008
40
Baccaurea racemosa
mundung
0,007
0,0003
0,00073
0,025
0,00003
9 x 10-10
0,0003
0,00008
41
Pithecellobium jiringa
jengkol
0,007
0,0006
0,00076
0,025
0,00003
9 x 10-10
0,0003
0,00008
42
Ficus ampelas
rempelas
0,03
0,0006
0,0306
0,100
0,013
0,000017
0,0565
0,0144
43
Melia azedarach
mindi
0,007
0,0004
0,00074
0,025
0,00003
9 x 10-10
0,0003
0,00008
44
Swietenia macrophylla
mahoni
0,007
0,0003
0,00073
0,025
0,00003
9 x 10-10
0,0003
0,00008
45
Erythrina lithosperma
dadap
0,007
0,0044
0,00074
0,025
0,00003
9 x 10-10
0,0003
0,00008
46
Erythina ovalifolia
cangkring
0,015
0,0006
0,0376
0,050
0,016
0,000026
0,0662
0,0168
47
Codiacum variegatum
puring
0,007
0,0009
0,0569
0,025
0,025
0,0000625
0,0622
0,0234
48
Morinda citrifolia
pace
0,007
0,0003
0,00022
0,025
0,00001
1,0 x 10-10
0,0001
0,000025
49
Zalaca edulis
salak
0,015
0,0158
0,1148
0,200
0,05
4,84 x 10-8
0,1498
0,0381
50
Hibiscus tiliaceus
waru
0,03
0,0015
0,0105
0,100
0,00046
6,76 x 10-10
0,0031
0,0008
51
Canophyllum inophyllum
nyamplung
0,007
0,0003
0,00022
0,025
0,00001
1,0 x 10-10
0,0001
0,000025
0,002
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
34
Lampiran 1.3a Diameter rumpun, diameter buluh, nilai indeks Morista No.
Jenis bambu
Nama lokal
Diameter (cm) Rumpun
Indeks Morista
Buluh
1
Gigantochloa sp.
bambu brongkol
60 - 151
2
Dendrocalamus asper
bambu petung
79 - 320
6 - 22
3
Gigantochloa atroviolacea
bambu wulung
31 - 245
5,5 - 14
4
Gigantochloa atter
bambu legi
70 - 480
5
Bambusa vulgaris var. vulgaris
bambu ampel hijau
Rumpun
11 - 15,5 0,071
Keterangan
Buluh
Keterangan
Merata
0,018 Merata
2,1553
Mengelompok
1,371 Mengelompok
0,6407
Merata
0,468 Merata
4 - 15
0,7291
Merata
30 - 220
4 - 15
4,8806
Mengelompok
0,257 Merata 0,013 Merata
1,86 Mengelompok
6
Bambusa vulgaris var. striata
bambu ampel kuning
120 - 190
6 - 11
0,0348
Merata
7
Gigantochloa apus
bambu apus
26 - 250
4 - 19
1,379
Mengelompok
4,097 Mengelompok
8
Phyllotachys aurea
bambu cendani
14 - 79
1 - 2,2
0,5581
Merata
0,071 Merata
12 - 51
2,5
0,0113
Merata
0,0022 Merata
220
6 - 10
0,0007
Merata
0,0025 Merata
9
Bambusa glaucophylla
bambu gringsing
10
Schizostachyum brachycladum
bambu kuning
Lampiran 1.3b Kerapatan Bambu dalam Buluh per Rumpun No.
Jenis Bambu
Nama lokal
1
Gigantochloa sp.
bambu brongkol
2
Dendrocalamus asper
3
Kerapatan (buluh/rumpun)
Luas Rumpun
∑ Buluh
m2
Buluh/m2
Ha
Buluh/Ha
-4
7,029
70.103,09
3,1603
31.595,75
9,7 x 10
68
9,674
bambu petung
594
187,9535
0,0188
Gigantochloa atroviolacea
bambu wulung
347
36,936
3,7 x 10-3
9,395
93.783,78
4
Gigantochloa ater
bambu legi
692
46,168
4,6 x 10-3
15,008
150.434,78
5
Bambusa vulgaris var vulgaris
bambu ampel hijau
257
41,915
4,2 x 10-3
6,131
61.190,48
6
Bambusa vulgaris var striata
bambu ampel kuning
-3 17,449 1,745 x 10
3,267
32.664,76
7
Gigantochloa apus
bambu apus
7,5 x 10-3
13,732
136.933,33
8
Phyllotachys aurea
bambu cendani
135
-4 1,767 1,77 x 10
76,401
762.711,86
9
Bambusa glaucophylla
bambu gringsing
24
-5 0,495 4,95 x 10
48,485
484.848,49
10
Schizostachyum brachycladum
bambu kuning
3,8 x 10-4
2,106
21.052,63
57 1.027
8
74,79
3,799
Lampiran 1.3c Kerapatan bambu dalam buluh per rumpun dalam bentuk diagram 1200 1000 800 600 400 200 0
Keterangan Lampiran: F : Frekuensi FR : Frekuensi Relatif KR : Kerapatan Relatif
Jumlah buluh Kerapatan buluh
INP : Pi : ID :
Indeks Nilai Penting Peluang kepentingan Indeks Dominansi
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
35
Lampiran 1.4a : Deskripsi bambu di Kecamatan Srumbung.
No.
Jenis Bambu
Nama lokal
Rebung hijau dengan buluh hitam tersebar, buluh agak berbiku-biku dengan diameter mencapai 2,5 cm, dinding tepis, gundul, percabangan muncul di seluruh buku-buku, cabang langsung tumbuh di bambu gringsing permukaan tanah, pelepah buluh mudah luruh, kuping pelepah buluh bercuping melengkung keluar, daun pelepah buluh tegak, dan menyegitiga dengan pangkal menyempit. Buluh tegak, warna kuning mengkilap, percabangan horizontal, rebung kekuningan, pelepah buluh bambu ampel kuning kuning, mudah luruh, kuping bercuping keluar, daun pelepah buluh tegak dengan pangkal melebar.
1
Bambusa glaucophylla
2
Bambusa vulgaris var striata
3
Bambusa vulgaris var vulgaris bambu ampel hijau
4
Dendrocalamus asper
bambu petung
5
Gigantochloa apus
bambu apus
6
Gigantochloa atter
bambu legi
7
Gigantochloa atroviolacea
bambu wulung
8
Gigantochloa sp.
bambu brongkol
9
10
Phyllotachys aurea
Ciri morfologi
bambu cendani
Schizostachyum brachycladum bambu kuning
Seperti Bambusa vulgaris var striata, hanya buluh berwarna hijau Mempunyai buluh yang ditumbuhi bulu-bulu coklat, bagian atas tertutup lilin putih; rebung hitam tertutup bulu hitam lebat; buluh tebal dan ujung melengkung, pelepah buluh mudah luruh, kuping pelepah buluh bercuping dengan bulu kejur, ligula terkoyak daun pelepah buluh terkeluk balik dengan pangkal sempit Rumpun rapat tegak dan lurus; rebung hijau tertutup bulu coklat dan hitam; cabang lateral lebih besar dari cabang lain, ujung buluh melengkung, pelepah buluh tertutup bulu hitam atau coklat, kuping pelepah buluh seperti bingkai dengan bulu kejur, gundul dengan ligula menggerigi dan daun pelepah buluh terkeluk balik, menyegitiga dengan pangkal sempit Rumpun padat tegak dan lurus; rebung hijau hingga keunguan, tertutup bulu hitam, buluh ujungnya melengkung, buluh muda dengan bulu hitam tersebar, gundul ketika tua; daun pelepah buluh terkeluk balik, mudah luruh, kuping pelepah buluh membulat, ligula menggeligi, daun pelepah buluh menyegitiga dengan pangkal sempit Rumpun tegak lurus dan rapat; rebung hijau kehitaman dengan ujung jingga tertutup bulu coklat hingga hitam, buluh muda dengan bulu hitam hingga coklat gundul ketika tua, percabangan tumbuh jauh di permukaan tanah, ujung melengkung pelepah buluh mudah luruh, kuping pelepah buluh membulat, daun pelepah buluh terkeluk balik, menyegitiga dengan pangkal menyempit Buluh padat, ruas atas pelepah buluh ditutupi bulu coklat lebat, bawah pelepah buluh ditutupi bulu coklat yang jarang, buku-bukunya ditutupi akar udara, pelepah buluh hitam kecoklatan Rumpun monopodial dan tegak; rebung hijau dengan pelepah bertutul tutul, pangkal buluh ruas bervariasi dengan ujung melengkung, buluh muda ditutupi lilin putih; pelepah buluh tipis bertutul hitam, kuping pelepah buluh tidak tampak, daun pelepah buluh menggaris, kecil, tersebar atau terkeluk balik Pelepah buluh kotor melekat pada buluhnya, rebung hijau dengan ujung pelepah buluh kecoklatan, buluh berdinding tipis, percabangan tumbuh jauh diatas permukaan tanah, pelepah buluh tertutup buluh coklat, tidak mudah luruh, daun pelepah buluh tegak
Ciri pembeda dengan yang lain
Daun bergaris putih Buluh berwarna kuning bergaris hijau Warna buluh hijau mengkilap dengan cabang horizontal Buluh muda dan rebung
berbeludru Pelepah buluh tidak mudah luruh Kuping pelepah buluh dengan
ujung melengkung keluar Warna buluh hijau ketika muda dan menjadi kehitaman atau keunguan dan kemudian hitam tua atau ungu tua ketika tua Rebung berwarna hitam Percabangan terdiri dari 2 cabang yang tumbuh mendatar (dikotom), kuping pelepah buluh tidak ada Percabangan sama besar, kuping pelepah buluh bercuping kecil tertutup bulu berkejur
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
36
MAKALAH II PEMANFAATAN BAMBU DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT KECAMATAN SRUMBUNG KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH THE BAMBOO UTILIZATION IN THE PERSPECTIVE OF THE COMMUNITY AT SUB DISTRICT SRUMBUNG, MAGELANG DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE
Suyamto [email protected]
ABSTRACT The utilization of Bamboo in the perspective community at sub district Srumbung, Magelang district, Central Java Province research was done at October 2010. Semistructural was used in this research. From this study, it showed that 121 bamboo have been utilized, with 22 emik category and 9 ethic category. The highest bamboo utilized is Gigantochloa apus then Dendrocalamus asper, although mostly bamboos have been utilized by Srumbung community. The highest utilization of bamboo in this community is for heavy construction. The uses of pranata mangsa of Javanese calender has been applied untill now to harvest bamboo in order to prevent the sterm borer and to get a better quality. Therefore, the conservation of bamboo will be controlled by harvesting system which need the traditional calendar and local wisdom.
Key words : Emik, Ethic, Pranata mangsa, Dendrocalamus asper, Gigantochloa apus
PENDAHULUAN Permasalahan mendasar dalam rangka konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari bambu adalah kurangnya informasi mengenai potensi dan kondisi ekologi bambu di suatu wilayah. Potensi dapat ditinjau dari pemanfaatan berkelanjutan, dan kondisi bambu dapat ditinjau dari cakupan data populasi dan produktivitas termasuk keanekaragaman jenis bambu. Bambu merupakan salah satu sumber daya alam dan sebagai salah satu plasma nutfah penyusun keanekaragaman hayati ekosistem alam, yang tumbuh secara alami atau dibudidayakan. Secara ekologis, bambu bermanfaat karena cepat
36
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011 Universitas Indonesia
37
tumbuh, sehingga dimanfaatkan untuk usaha konservasi tanah dan air, pencegah polusi dan meningkatkan peluang usaha. Karena kurang memperoleh perhatian dari pemerintah terutama pemerintah daerah setempat, dunia usaha dan masyarakat, upaya pengembangan dan pemanfaatan bambu dengan segala potensinya masih terbatas (Batubara 2002). Penelitian tentang bambu dan teknologi pengolahan bambu, kurang diminati peneliti. Keterbatasan informasi tentang bambu menyebabkan pengusaha besar tidak mengetahui prospek ekonomi pemanfaatan bambu. Bambu adalah salah satu tumbuhan kelompok rumput-rumputan (Gramineae) yang potensial dan banyak memberikan manfaat. Manfaat bambu antara lain untuk tanaman hias/taman, penangkal erosi, pagar, sumber makanan, konstruksi, kayu bakar, mebel dan kerajinan (Dransfield & Widjaja 1995; Batubara 2002; Dephut 2006; Kasmudjo 2010). Penduduk Indonesia memanfaatkan bambu sejak lahir sampai akhir hayat yakni digunakan untuk memotong tali pusat bayi, sunatan hingga kremasi jenazah. Kegunaannya sangat erat dengan budaya yang berada di Indonesia. Bambu terutama di Jawa dimanfaatkan oleh masyarakat setempat (Mangoendiharjo dkk. 1995; Widjaja 2001a; Widjaja 2001b; Widjaja 2004). Kegunaan bambu selain di Pulau Jawa belum banyak diungkap, karena budaya masyarakatnya yang agak berbeda. Penduduk di Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur) sudah memanfaatkan bambu untuk membuat rumah, penampi beras, kipas, alat penangkap ikan, kursi bambu (Widjaja 2001b). Penduduk pulau Bali dalam kehidupannya tidak bisa lepas dari bambu, karena bambu selalu diperlukan dalam berbagai acara dalam agama Hindu dan adat istiadat orang Bali (Widjaja 2005). Kehidupan masyarakat pedesaan di Bali, tidak dapat dilepaskan dari tanaman bambu. Bambu di Pulau Bali sudah dikenal sejak abad ke-9. Berbagai hasil kerajinan anyaman bambu terkenal di desa di Pulau Bali seperti dalam pembuatan gedek juga jenis produk anyaman bambu tertentu (Arinasa 2004; Arinasa 2009). Bambu merupakan salah satu hasil tanaman kayu yang bisa tumbuh di hutan sekunder dan hutan terbuka. Bambu juga merupakan salah satu tanaman ekonomi di Indonesia yang banyak tumbuh di kebun masyarakat dan pedesaan.
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011 Universitas Indonesia
38
Tumbuhan ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat secara intensif namun belum menjadi tumbuhan yang dapat meningkatkan devisa negara. Lima puluh persen jenis bambu di Indonesia telah dimanfaatkan oleh penduduk dan sangat berpotensi untuk dikembangkan (Widjaja & Karsono 2004; Wiratno dkk. 2004; Iskandar & Budiawati 2005). Menurut Suriawira (2003), bambu dapat dimanfaatkan sebagai penolak bala, penduduk ada yang sengaja menyimpan batangnya yang sudah kering di atas pintu atau jendela atau dijadikan bagian untaian kalung anak yang sakit-sakitan. Lebih dari 100 jenis bambu yang sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat seperti bambu petung (Dendrocalamus asper), bambu legi (Gigantochloa atter), bambu apus (Gigantochloa apus), bambu ampel (Bambusa vulgaris), bahkan rebungnya dapat dimakan dan diekspor (Zulkifli 1997; Batubara 2002). Menurut Chua et al. 1996 dan Mc. Neely 1995, bambu dapat dimanfaatkan dan bernilai budaya seperti untuk senjata, kesenian, lukisan, alat musik, konstruksi, makanan dan bahan-bahan industri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman pemanfaatan bambu, dan jenis-jenisnya yang dimanfaatkan masyarakat Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Dari hasil penelitian diharapkan akan diketahui keanekaragaman pemanfaatan bambu, jenis-jenis bambu yang dimanfaatkan dalam perspektif masyarakat Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah dengan kajian etnobotani, melalui pendekatan emik dan etik.
METODE PENELITIAN
Waktu dan lokasi penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2010, sebelum erupsi besar Gunung Merapi. Lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Kecamatan Srumbung terletak di sebelah barat daya Gunung Merapi, dengan koordinat 7o32’-7o34’LS dan 110o24’-110o25’BT. Perbatasan di sebelah barat adalah Kecamatan Dukun, sebelah selatan Kecamatan
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011 Universitas Indonesia
39
Salam serta sebelah timur Kabupaten Sleman Provinsi DIY. Suhu rata-rata tahunan mencapai 26o-28oC, terletak di ketinggian 800-1000 m dpl.
Gambar 2.1 Peta Lokasi Penelitian Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. [Sumber: Dokumentasi pribadi.]
Bahan dan Cara Kerja
Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian adalah kamera digital (Kodak C653), gambar organ bambu dalam kamera, pedoman wawancara (lihat lampiran 2.4), peta Kecamatan Srumbung skala 1 : 60.000 (lihat gb. 2.1), alat tulis, penggaris, sampel organ bambu.
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011 Universitas Indonesia
40
Cara kerja
Pengumpulan data dilakukan pada bulan Oktober 2010 di 40 zona yang diwakili 40 plot dengan wawancara semistruktural di Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Teknik yang dilakukan dengan PRA (Participant Rural Appraisal), dengan melibatkan partisipasi masyarakat melalui wawancara langsung di lokasi penelitian. Penelitian mencakup observasi dan koleksi semua jenis bambu yang dimanfaatkan, nama lokal, cara pemanfaatan juga mengumpulkan informasi bambu yang bermanfaat menurut persepsi masyarakat Kecamatan Srumbung. Wawancara semi struktur dilakukan terhadap masyarakat Kecamatan Srumbung untuk mengetahui bagaimana pengetahuan pemanfaatan bambu menurut persepsi mereka. Wawancara dilakukan dengan mengumpulkan dan membawa informan kunci yang dibawa ke plot-plot lokasi penelitian. Wawancara dilakukan di daerah unit plot sampling yang dekat dengan kebun bambu milik masyarakat. Mengikuti informan untuk menjelaskan pemanfaatan bambu adalah sebagai observasi partisipan. Informan diambil berdasarkan persepsi dari kategori usia, jenis kelamin, pekerjaan dan juga status sosial dalam masyarakat. Pemilihan para informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Awal penelitian mulai dari informan kunci kemudian informan lain baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Penetapan informan sesuai dengan kategori umur (lihat lampiran 2.4). Perbedaan antara informan dan responden, responden biasanya dengan kuesioner dan dengan wawancara langsung, informan biasanya dengan teknik wawancara langsung. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Deskripsi hasil penelitian berupa penyajian tabel yang berkaitan dengan pemahaman pemanfaatan berbagai jenis bambu dalam perspektif masyarakat Kecamatan Srumbung. Pendekatan masyarakat meliputi pendekatan emik yaitu berdasarkan informasi dari informan kunci, seperti tokoh adat, tokoh masyarakat atau masyarakat biasa. Kemudian analisa dilakukan dengan pendekatan etik yaitu persepsi masyarakat Kecamatan Srumbung berdasar kajian secara ilmiah sesuai data di lapangan.
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011 Universitas Indonesia
41
Pertanyaan yang dipakai sudah direncanakan Peneliti, misalnya nama lokal bambu, pemanfaatan bambu dalam persepsi masyarakat dan urutan pemanfaatan sesuai jawaban informan di lapangan. Dalam wawancara semi struktural, teknik dikombinasikan dengan metode PRA (Participant Rural Appraisal). Peneliti berperan sebagai fasilitator untuk mengetahui persepsi masyarakat Kecamatan Srumbung terhadap pemanfaatan bambu. Metode partisipasi masyarakat adalah bentuk peran aktif anggota masyarakat sebagai informan dalam pemanfaatan sumber daya/potensi bambu. Wawancara partisipasi masyarakat digunakan untuk mengumpulkan data bagaimana pemanfaatan jenis-jenis bambu menurut persepsi masyarakat Kecamatan Srumbung. Juga dapat untuk mengumpulkan informasi mengenai bagian organ bambu yang digunakan, fungsi bagian organ tersebut dalam persepsi masyarakat. Untuk mempermudah digunakan pedoman dan panduan wawancara semi structural (lihat lampiran 2.4). Pendekatan kualitatif pemanfaatan bambu di Kecamatan Srumbung dengan metode peringkat nilai manfaat. Luas area cuplikan disesuaikan dengan plot unit sampling pada waktu mencari nilai keanekaragaman jenis bambu. Wawancara semi struktural dilakukan dengan partisipasi dan pertanyaan yang sama. Misalnya 3 orang informan untuk setiap plot yang ditentukan. Kemudian dibuat matriks yang memuat jawaban yang berbeda terhadap pertanyaan yang sama tentang persepsi sesuai kategori dalam pemanfaatan bambu. Nilai manfaat bambu dapat ditentukan dengan rumus :
nis ∑Uis Uvis = t=1 nis Keterangan: Uvis
: pendugaan nilai manfaat setiap jenis bambu dari setiap informan
Uis
: manfaat yang disebut dari setiap jenis bambu di setiap kejadian oleh
setiap informan Nis
:jumlah kejadian dari setiap jenis bambu oleh setiap informan.
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011 Universitas Indonesia
42
Setelah ditentukan nilai manfaat bambu dalam persepsi masyarakat Kecamatan Srumbung kemudian dibuat matriks menurut definisi manfaat lokal (emik). Langkah selanjutnya dibuat pemanfaatan bambu sesuai keterangan informan dan dibuat hasil rata-rata untuk dianalisis.
HASIL
Kondisi Penduduk
Menurut BPS Kabupaten Magelang tahun 2007, penduduk Kecamatan Srumbung terdiri atas 3,74% dari penduduk Kabupaten Magelang. Jumlah penduduk dewasa/tua, laki-laki 16.138 orang, perempuan 16.268 orang; penduduk anak/remaja laki-laki 5.593 orang, perempuan 5.279 orang. Jumlah populasi penduduk Kecamatan Srumbung 43.278 orang. Menurut data tahun 2007, jumlah populasi penduduk Kecamatan Srumbung mengalami penurunan yaitu 31.170 orang dengan jumlah kepala keluarga 9.116 (BPS 2007). Mata pencaharian penduduk Kecamatan Srumbung pada usia produktif antara lain : petani, buruh tani, pedagang, buruh, pegawai negeri (sipil, TNI, POLRI). Tingkat pendidikan dimulai dari tidak sekolah, sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, sekolah lanjutan tingkat atas, perguruan tinggi (lihat lampiran 2.2). Sistem religi yang dianut sebagian besar adalah Islam, kemudian Kristen, Katolik, penganut kepercayaan tradisional yang sering disebut sebagai adat Kejawen.
Pemanfaatan Bambu dalam Perspektif Masyarakat Kecamatan Srumbung
Kajian etnobotani sebagai suatu konsep pendekatan dari segi etnologi dan botani belum banyak dilakukan. Segi etnologi menjelaskan hubungan yang erat antara kehidupan kelompok masyarakat dengan sumber daya alam tumbuhan yang ada di lingkungan, termasuk sejarah pemanfaatan dan penyebaran jenis tumbuhan tersebut. Segi botani, lebih menekankan konsep masyarakat terhadap tumbuhan yang dikenal, yang lebih utama adalah peran dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai sumber bahan pangan, perumahan, obat tradisional, bahan untuk ritual dan
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011 Universitas Indonesia
43
pelengkap berbagai upacara tradisional serta bahan teknologi tradisional (Wardah dkk. 2001). Pemanfaatan bambu di Indonesia terbanyak terdapat pada suku Jawa, Bali dan Melayu di Sumatera. Secara umum dapat dikatakan bambu banyak digunakan untuk bahan bangunan, termasuk diantaranya dinding, rangka atap, rangka dinding, jembatan dan tangga. Manfaat lain untuk membuat peralatan dalam kehidupan sehari-hari, untuk membuat kertas, yang dipakai dalam upacara keagamaan umat Budha dan Konghucu. Bambu telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat desa dan kota untuk menunjang keperluan dasar yang menunjang kehidupan, bahkan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia bambu digunakan sebagai salah satu senjata yang dikenal dengan bambu runcing, masyarakat Kecamatan Srumbung menyebut dengan nama tumbak cucukan. Meskipun termasuk dalam tumbuhan perdu, tetapi berkayu, beberapa jenis bambu yang secara ekonomi penting dapat ditanam pada jurang-jurang atau daerah-daerah yang rusak sebagai penahan erosi, masyarakat Srumbung menamakan sebagai tambak kali. Hampir semua bambu yang ditemukan bermanfaat sebagai penahan erosi terutama daerah tebing-tebing sungai. Sebagai tanaman yang merakyat, bambu memiliki status dan nilai sosial yang mendalam maknanya. Mengingat besarnya keanekaragaman budaya yang dimiliki suku-suku di Indonesia, pengalihan teknologi dan penyebarluasan budaya pemanfaatan bambu dari suatu daerah ke daerah lain tidaklah sama. Pemanfaatan bambu menurut perspektif masyarakat Kecamatan Srumbung, secara emik dikategorikan dalam 22 kategori dan secara etik dikategorikan menjadi 9, yang terdiri dari 121 macam manfaat (lihat lampiran 2.1). Sembilan kategori manfaat bambu, menurut Sheil dkk. 2004 adalah konstruksi berat (nilai 9), konstruksi ringan (nilai 8), peralatan/perkakas (nilai 7), anyaman/kerajinan/tali temali (nilai 6), teknologi tradisional (nilai 5), mebel tradisional (nilai 4), ritual/adat/senjata/estetika (nilai 3), kayu bakar (nilai 2) dan makanan (nilai 1). Bila nilainya 0 berarti tidak mempunyai nilai manfaat menurut persepsi masyarakat Kecamatan Srumbung dengan analisis UVI (User Value Index).
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011 Universitas Indonesia
44
Dua puluh dua kategori emik (lihat gambar 2.2) yang dimaksud adalah : 1. Konstruksi rumah : usuk, reng, kaso, gedek, blandar, tlikur, omah keong, pengeret, pyan. 2. Konstruksi kandang hewan : kandang ayam, kandang burung, kandang kambing, kandang unggas. 3. Keranjang (wadah) : keranjang untuk merumput, keranjang salak, keranjang mbako, wadah gereh, posong, wadah buah. 4. Makanan : rebung, sayuran. 5. Alat penghasil bunyi (musik) : kentongan, suling, angklung, gambang, koplokan. 6. Bahan/alat permainan : gangsing, kitiran, egrang, topeng mainan, pistol mainan, rangka layangan (lagrangan), meriam bambu (long bumbung). 7. Tiang (penyangga) : tiang cor, tiang antena, cagak, tiang bendera, penyangga pipa (pancuran). 8. Mebel tradisional dan sarananya : amben, lincak, kursi, brak, meja, galar, dingklik. 9. Alat dan sarana rumah tangga : alat-alat dapur, pogo, tompo, wakul, canthing minyak. 10. Kerajinan : tepas, besek, anyaman, hiasan, kepang, brongsong. 11. Konstruksi seperti rumah : gubuk, dangau, panggung, kakus, gapura. 12. Pegangan alat : gayoan, garan kelut, garan irus, garan payung, garan sapu. 13. Kayu bakar : umleng, ingis-ingis, romot. 14. Tali temali : tali (umum), tali slondokan, tali tempe, tali pincuk, biting, pasangan kebo, keloan sapi. 15. Senjata : bambu runcing, tumbak cucukan. 16. Sarana jemuran : ongkek, rigen, pemean. 17. Sarana/ritual keagamaan : conthang, geladak, sajen. 18. Sarana pertanian/perkebunan : turus/ anjaran, sujen, tutus, anjang-anjang, lemi. 19. Sarana makan : tusuk sate, sumpit. 20. Pagar : gethek, palangan salak. 21. Penunjang sarana rumah tinggal : payung topeng, payung mundhuk, tangga, ondho lanang. 22. Teknologi tradisional/manfaat lain : welat, pancuran, gapit, bumbung, wot, tambak kali, capitan, celengan, pathok, bei, ancik-ancik, portal, penutup sirtu, penutup kolam, gethekan, irig/krepyak, estetika, nama wilayah, tongkat pramuka. Sembilan kategori etik yang dimaksud adalah 1. Konstruksi berat : konstruksi rumah. 2. Konstruksi ringan : konstruksi kandang hewan, konstruksi seperti rumah. 3. Peralatan/perkakas : alat/bahan permainan, alat/sarana rumah tangga, pegangan alat, sarana jemuran, sarana pertanian/perkebunan, sarana makan, penunjang sarana rumah tangga. 4. Anyaman/kerajinan/tali temali : keranjang (wadah), kerajinan, tali temali. 5. Teknologi tradisional : pagar, tiang
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011 Universitas Indonesia
45
(penyangga), alat penghasil bunyi (musik). 6. Mebel tradisional. 7. Ritual/adat/senjata/estetika/manfaat lain. 8. Kayu bakar. 9. Makanan. Secara umum berdasarkan uji UVI, nilai manfaat bambu urutannya sebagai konstruksi berat adalah Gigantochloa sp., Dendrocalamus asper, Gigantochloa apus, Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea, Bambusa vulgaris var. vulgaris. Konstruksi ringan : Gigantochloa apus, Gigantochloa atroviolacea dan Gigantochloa atter. Peralatan/perkakas : Gigantochloa sp., Gigantochloa apus, Phyllotachys aurea, Gigantochloa atter, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Dendrocalamus asper, Bambusa vulgaris var. striata, Gigantochloa atroviolacea. Anyaman/kerajinan/tali temali : Gigantochloa apus, Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea, Dendrocalamus asper. Teknologi tradisional : Gigantochloa atter, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Gigantochloa apus, Bambusa vulgaris var. striata, Schizostachyum brachycladum, Dendrocalamus asper, Gigantochloa sp., Gigantochloa atroviolacea. Mebel tradisional : Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea, Bambusa vulgaris var. striata, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Gigantochloa sp., Gigantochloa apus, Phyllotachys aurea, Dendrocalamus asper. Ritual/adat/senjata/estetika : Schizostachyum brachycladum, Gigantochloa apus, Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea; Bambusa vulgaris var. vulgaris; Bambusa vulgaris var. striata dan Bambusa glaucophylla, Dendrocalamus asper. Kayu bakar : Gigantochloa sp., Schizostachyum brachycladum, Bambusa vulgaris var. striata, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Gigantochloa atter, Dendrocalamus asper dan Gigantochloa apus, Gigantochloa atroviolacea. Makanan : Dendrocalamus asper, Gigantochloa atter, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Gigantochloa atroviolacea.
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011 Universitas Indonesia
46
Gambar 2.2. Pemanfaatan bambu di Kecamatan Srumbung:
11 cm 50 cm (2)
(1)
60cm
Bambu
14 cm (4)
(3)
50 cm
100 cm
(5) (6) Gambar 2.2.1 Pemanfaatan G. atter dan G. Apus Keterangan: (1) Gigantochloa atter sebagai bahan gedek (2) G. atter dan G. apus sebagai conthang (3) G. atter sebagai antena
(4) G. atter sebagai kenthongan (5) G. atter dan G. apus sebagai wot (6) G. atter sebagai getekan
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011 Universitas Indonesia
47
40cm
18 cm
(1)
(2) 100 cm 120 cm
50 cm
(4)
(3)
100 cm 50 cm
(5)
(6)
Gambar 2.2.2 Pemanfaatan G. atter, G. apus, dan G. Atroviolacea Keterangan: (1) G. atter sebagai penutup sirtu; (4) G. atter dan G. apus sebagai bei (2) G. atter sebagai ondho lanang; (5) G. atter dan G. apus sebagai penahan tanah dan pagar (3) G. atter sebagai krepyak atau irig; (6) G. atter dan G. atroviolacea sebagai gapura
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011 Universitas Indonesia
48
10 cm
40 cm
(1)
(2)
30 cm 40 cm
(3)
(4)
12 cm
30 cm
(5)
(6)
Gambar 2.2.3 Pemanfaatan G. atter dan G. Apus Keterangan: (1) G. atter sebagai portal; (4) G. apus sebagai anyaman keranjang (2) Kulit G. apus sebagai gedek tipe anyaman kembar; (5) G. atter sebagai bahan gedek (3) G. apus sebagai pagar rumah; (6) G. apus sebagai tali tempe
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011 Universitas Indonesia
49
40 cm
70 cm
(2)
(1)
30 cm
10 cm
(4)
(3)
30 cm 25 cm
(5)
(6)
Gambar 2.2.4 Pemanfaatan Gigantochloa apus Keterangan (1) G. apus sebagai kandang ayam (2) G. apus sebagai bahan kandang (3) G. apus sebagai bahan kandang ayam
(4) G. apus sebagai gedek tipe sasag (5) G. apus sebagai umleng (6) G. apus sebagai gedek tipe nam kembar
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011 Universitas Indonesia
50
8 cm
10 cm
(1)
(2)
15 cm 30 cm
(3)
(4)
20 cm 40 cm (4) (6) Gambar 2.2.5 Pemanfaatan Gigantochloa apus Keterangan: (1) G. apus sebagai omah keong (2) G. apus sebagai wadah gereh (3) Kulit G. apus tua untuk gedek tipe sasag
(4) G. apus untuk posong (5) G. apus untuk tangga (6) G. apus untuk gethek
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011 Universitas Indonesia
51
60 cm
(1)
18 cm
(2)
30 cm
60 cm
(3)
(4)
25 cm
(5)
60 cm
(6)
Gambar 2.2.6 Pemanfaatan G. apus dan D. asper Keterangan: (1) G. apus sebagai bahan turus (4) D. asper sebagai turus (2) D. asper sebagai pengeret (5) D. asper sebagai baki (tempat benih) (3) G. apus sebagai bagian garu (6) D. asper sebagai usuk
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011 Universitas Indonesia
52
100 cm 18 cm 100 cm
(2)
(1)
12 cm 40 cm
(4)
(3)
60 cm
20 cm
(6)
(5)
Gambar 2.2.7 Pemanfaatan berbagai jenis bambu Keterangan:
(1) D. asper sebagai bumbung (2) G. atroviolacea sebagai nama daerah (3) D. asper sebagai kayu bakar
(4) B. vulgaris var.striata sebagai brak (5) B. vulgaris var.vulgaris sebagai pancuran (6) Bambu sebagai kandang ternak
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011 Universitas Indonesia
53
PEMBAHASAN
Pemanfaatan bambu di negara Asia sudah lama ada, seperti di India, bambu dimanfaatkan dalam obat, konstruksi, makanan, sayuran, penangkap ikan, mebel, kerajinan dan ritual keagamaan. Jenis bambu yang dimanfaatkan di daerah Andaman India antara lain Melocanna bambusoides, Bambusa arundinacea, dan Phyllostachys bambusoides (Vivekanandan et al. 1998). Menurut Chua et al. 1996, bambu juga dimanfaatkan oleh negara Singapura, misalnya alat-alat pertanian (Bambusa vulgaris), keranjang (Schizostachyum brachycladum), kerai (Bambusa vulgaris), gantungan (Bambusa vulgaris, Dendrocalamus asper), konstruksi (Bambusa vulgaris, Dendrocalamus asper), mebel dan hiasan rimpang (Bambusa vulgaris, Dendrocalamus asper), kerajinan (Schizostachyum brachycladum), obat (Bambusa vulgaris, Dendrocalamus asper), tanaman hias (Bambusa vulgaris, Schizostachyum brachycladum), bubur kertas dan kertas (Bambusa vulgaris, Dendrocalamus asper), ritual (Dendrocalamus asper). Penggunaan bambu sudah mendarah daging dalam diri orang di Jawa. Bambu dapat dimanfaatkan mulai dari akar hingga daun. Akar dimanfaatkan untuk ukiran bambu, buluh dimanfaatkan untuk konstruksi, jembatan, kerajinan tangan, keranjang, mebel, alat pertanian dan perikanan, pipa, tusuk sate, tusuk gigi, dan sebagainya; daunnya digunakan untuk bungkus nasi yang disebut bacang; pelepahnya digunakan orang di lereng Dieng sebagai bahan untuk pembuat jas hujan. Beberapa jenis bambu di Sumatra mengandung kristal, yang oleh penduduk setempat disebut biga. Biga dimanfaatkan sebagai campuran berbagai obat untuk penyakit asma, impotensi. Sumantra (1997) mengatakan berbagai jenis bambu dapat dimanfaatkan sebagai peralatan di Pulau Bali. Berbagai jenis peralatan tersebut dikombinasikan dengan jenis tanaman lain. Berdasarkan hasil inventarisasi bambu umumnya digunakan sebagai tiang, tali, anyaman, penarik yang lentur dan atau perangkap. Tercatat sebanyak 9 jenis bambu sebagai alat penangkap binatang di Pulau Bali, antara lain seperti Gigantochloa apus, G. ridleyii, G. atter, G. hasskarliana, G. nigrociliata, Dendrocalamus asper, Schizostachyum iraten, S. brachycladum, dan S. castaneum.
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
54
Pemanfaatan jenis bambu dalam perspektif masyarakat Kecamatan Srumbung, yang paling banyak disebut dalam kategori adalah Dendrocalamus asper dan Gigantochloa apus. Sebagai bahan makanan yang rasanya enak adalah rebung Dendrocalamus asper dan Gigantochloa atter, rebung yang rasanya sengir adalah Bambusa vulgaris var. vulgaris dan Gigantochloa atroviolacea. Rebung Bambusa vulgaris var. striata dan Bambusa vulgaris var. vulgaris dimanfaatkan sebagai sesaji oleh masyarakat Cina penganut Konghucu. Pemanfaatan bambu juga telah dilakukan oleh masyarakat Kendal Jawa Tengah, misalnya Bambusa vulgaris var. striata (bambu ampel kuning) digunakan untuk mencegah sakit kuning atau lever, obat sakit batuk. Pemanfaatan dilakukan dengan air rebusan dari rebung Bambusa vulgaris var. striata tersebut, dan bahkan digunakan untuk sayuran (Rudjiman & Inawati 1997). Beberapa jenis bambu yang dimanfaatkan oleh masyarakat Kecamatan Srumbung antara lain bambu apus sebagai konstruksi bangunan, karena masyarakat menganggap bambu mudah didapat, bahan kuat dan awet dengan catatan tidak berhubungan langsung dengan air. Sebagai bahan kerajinan anyaman, agar berkualitas harus sesuai umur waktu diolah. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan adalah bambu tidak boleh terlalu tua maupun terlalu muda, khususnya untuk bahan kerajinan anyaman. Bambu yang sudah tua mudah patah dan pecah, sebaliknya yang terlalu muda bisa mengerut (susut). Sehingga anyaman yang dihasilkan kurang rapat (renggang), tidak mengkilat dan tidak rapi. Bambu apus memiliki sifat yang bagus disamping ruasnya yang panjang, berserat padat dan kuat. Bila untuk membuat dinding (gedhek) yang bagus adalah mengambil bagian kulit luar sehingga iratannya kuat dan tahan lama. Masyarakat Tanggamus Provinsi Lampung telah memanfaatkan bambu dalam kehidupan sehari-harinya, seperti Gigantochloa apus untuk kerajinan tenggok, tambir, irig, wakul, tepas, kalo, besek, tangkai irus. Sementara itu bambu Dinochloa scandens dimanfaatkan sebagai obat batuk, yaitu dengan meminum air yang ada di buluh bambu tersebut (Purwantoro & Sukendar 1997). Menurut Batubara (2002), jenis bambu yang sering digunakan oleh masyarakat Jawa adalah bambu tali (Gigantochloa apus), bambu petung (Dendrocalamus asper), dan bambu hitam (Gigantochloa atroviacea). Bambu
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
55
petung (Dendrocalamus asper), bermanfaat sebagai konstruksi bangunan, karena batangnya kuat, besar dan tahan lama. Sedang rebungnya (iwung) enak dimakan, bisa sebagai bahan makanan tradisional seperti isi lumpia. Rebungnya tidak pahit, karena tidak mengandung HCN, mudah diiris setelah dibersihkan pelepah rebung yang muda. Rebung bambu petung lunak dan warnanya menarik. Untuk bahan kerajinan, biasanya yang diambil adalah bonggol yang masih terdapat akarakarnya. Bentuk yang unik dari bonggol tersebut dapat dibentuk seperti bebek, angsa yang bernilai ekonomi tinggi dan berkualitas ekspor. Clumpring (pelepah buluh) dapat dimanfaatkan sebagai alat permainan topeng anak, karena pelepah buluh lebar, tidak mudah rusak dan mudah dibentuk. Wulung (hitam) (Gigantochloa atrovioliacea) sangat banyak dimanfaatkan sebagai bahan tradisional khususnya kerajinan yang mempunyai nilai estetika yang tinggi serta unik. Selain warnanya yang menarik, kokoh dan dapat dibuat hiasan yang terkesan alami. Untuk pemanfaatan alat musik tradisional, bisa disesuaikan dengan nada dan alunan yang cocok dengan umur 2-3 tahun waktu ditebang, dan ditebang pada musim kemarau. Bambu wulung di daerah Jawa Barat disebut bambu hitam, karena diameternya kecil dapat dibuat alat musik suling (Dransfield & Widjaja 1995). Tetapi di daerah penelitian, karena diameternya besar sering dibuat mebel tradisional. Sebagai pembanding, untuk dikembangkan sebagai industri, Departemen Kehutanan (1992) telah menginventarisasi manfaat bambu, seperti industri kertas (Bambusa vulgaris), konstruksi (Bambusa vulgaris, Bambusa glaucophylla, Dendrocalamus asper, Schizostachyum brachycladum), alat pertanian (Gigantochloa atter, Gigantochloa verticillata), alat rumah tangga (Bambusa vulgaris, Gigantochloa apus, Gigantochloa atter), alat kesenian (Gigantochloa apus, Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviacea), anyaman (Bambusa vulgaris), tanaman hias (Schizostachyum brachycladum, Bambusa vulgaris, Phyllotachys aurea), dan bahan makanan (Dendrocalamus asper, Gigantochloa verticillata). Di Kabupaten Sleman, yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Srumbung banyak dijumpai kerajinan bambu oleh masyarakat. Variasi hasil kerajinan bambu sangat mendukung kota Yogyakarta sebagai daerah tujuan
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
56
wisata, kerajinan bambu dibuat dalam bentuk cindera mata. Di daerah Yogyakarta juga dijumpai kerajinan hiasan dinding berkualitas ekspor yang terbuat dari bambu wulung (Gigantochloa atroviacea). Potensi bambu khususnya di Kabupaten Sleman berasal dari lahan milik masyarakat, dan pemerintah daerah setempat berupaya melestarikan bambu-bambu yang tinggi keragamannya (Mangoendihardjo 2000). Pencirian bambu menurut penduduk Kecamatan Srumbung, berdasarkan warna buluh bambu, rebung dan juga clumpring. Gigantochloa atter (bambu legi), mempunyai nama lokal bambu lodong, Dendrocalamus asper, menurut penduduk dibedakan menjadi 2, yaitu : yang besar diameternya disebut bambu petung, yang kecil diameternya disebut bambu peting. Dalam hal konservasi bambu, penduduk Kecamatan Srumbung sudah mengenal pranata mangsa, yaitu musim pemanenan untuk pemanfaatan bambu sehingga konsep berkelanjutan sudah dikenal sebagai kearifan lokal daerah tersebut. Pranata mangsa adalah sistem kalender Jawa yang dipergunakan untuk memperhitungkan datangnya musim tanam, musim hujan, musim kemarau, dan musim panen. Dalam satu tahun terdapat 12 musim yang masing-masing mempunyai jumlah hari antara 23 hingga 40 hari dengan musim lainnya (Triyoga 2010). Penduduk Kecamatan Srumbung, memanen bambu untuk dimanfaatkan dihitung juga dari pasaran jawa, yaitu setiap hari pahing. Menurut mereka pasaran pahing, dalam memanen dan memanfaatkan bambu untuk menghindari serangan hama yang disebut bubukan. Pemanenan bambu dilakukan oleh penduduk Kecamatan Srumbung sudah muncul binatang garengpung / tonggeret, yang menandakan kadar air bambu rendah. Kearifan lokal termasuk di Kecamatan Srumbung, mempunyai kendala untuk digali, dikarenakan hambatan bahasa, tidak pernah tertulis, bersifat turun temurun, sehingga penjelasan ilmiah sulit dikemukakan.
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
57
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
1.
Pemanfaatan bambu dalam perspektif masyarakat Kecamatan Srumbung, secara emik dikategorikan menjadi 22, secara etik dikategorikan menjadi 9, serta terdiri dari 121 manfaat.
2.
Analisis UVI dikategorikan menjadi 9 kategori manfaat, yaitu konstruksi berat, konstruksi ringan, peralatan/perkakas, anyaman/kerajinan/tali temali, teknologi tradisional, mebel tradisional, ritual/adat/senjata/manfaat lain, kayu bakar dan makanan.
3.
Menurut masyarakat Kecamatan Srumbung seluruh bambu yang ditemukan mempunyai nilai manfaat walaupun ada beberapa jenis yang mempunyai manfaat lebih sedikit.
4.
Bambu yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Kecamatan Srumbung adalah Dendrocalamus asper dan Gigantochloa apus.
5.
Nilai manfaat dari kategori umur, jenis kelamin tidak signifikan dengan penyebutan nilai manfaat.
6.
Dalam konservasi masyarakat Kecamatan Srumbung mempunyai kearifan lokal, ketika memanen harus sesuai pranata mangsa dengan pertimbangan pemanfaatan yang berkelanjutan dan pencegahan hama secara tradisional.
7.
Pemanfaatan bambu di Kecamatan Srumbung berdasarkan jenis bambu, serat, mudah diraut, awet dan mempunyai nilai estetika.
Saran 1.
Kajian pemanfaatan bambu perlu dilakukan lebih lanjut, khususnya untuk bahan baku industri.
2.
Kajian etnobotani dan keanekaragaman pemanfaatan jenis bambu perlu dilakukan pasca erupsi Merapi yang berdampak pada bambu-bambu yang berada di wilayah Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang.
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
58
DAFTAR ACUAN
Adisasmita, R. 2006. Membangun desa partisipasif. Graha Ilmu, Yogyakarta: xi+193 hlm. Arinasa, I.B.K. 2004. Keanekaragaman dan penggunaan jenis-jenis bambu di Desa Tigawasa, Bali. Buletin Biodiversitas 6(1): 17—21. Arinasa, I.B.K. 2009. Etnobotani dan keanekaragaman jenis bambu yang digunakan sebagai bahan dinding di Bali. Ekakarya Bali - LIPI, Denpasar: 8 hlm. Batubara, R. 2002. Pemanfaatan bambu di Indonesia. USU, Medan: 6 hlm. Clua, K. S., B.C. Shoog & H.T.W Tan, 1996. The bamboos of Singapore. IPGRI, Singapura: v+70 hlm. Coulin, A. 2008. Etnometodologi. Genta Press, Yogyakarta : ix + 165 hlm. Daniel, M., Darmawati & Nieldelina. 2006. PRA, Participatory Rural Appraisal. Bumi Aksara, Jakarta: v+153 hlm. Depbudpar, 2005. Tempat-tempat spiritual di Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Klaten dan Kabupaten Magelang). Depbudpar, Magelang: ii+252 hlm. Dephut 2006. Inventarisasi hasil hutan non kayu. Dephut, Jakarta: 30 hlm. Dove, M.R. & S. Martopo. 1987. Manusia dan alang-alang di Indonesia. GMU Press, Yogyakarta: ii+166 hlm. Higuchi, T. 1981. Bamboo production and utilization. Japan Society of Bamboo Development and Protection, Kyoto: 191 hlm. Indrawan, M. 2007. Biologi konservasi. Yayasan Obor, Jakarta: xii+627 hlm. Iskandar, J. & B.S. Iskandar. 2005. Pengobatan alternatif ala Baduy. Humaniora, Bandung: xvii+161 hlm. Kasmudjo. 2010. Teknologi hasil hutan. Cakrawala Media, Yogyakarta: xxv+235 hlm. KLH. 1994. Petunjuk pembibitan bambu dengan stek batang. KLH, Jakarta: ii+45 hlm. LAPAN. 2006. Berita Indraja. Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional, Jakarta: 51 hlm.
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
59
Mangoendihardjo, S. 2000. Konservasi budidaya bamboo dan salak dalam pengembangan wisata agro, alami dan budidaya di Kabupaten Sleman, DIY. Yayasan Kehati, Yogyakarta: 9 hlm. Martin, G.J. 1995. Ethnobotany. Cambridge University, London: xx+263 hlm. Martin, G.J. 1998. Etnobotani. Universitas Kinabalu: xx+303 hlm. Mc. Neely, J.A. 1995. Biodiversity, bamboo and conservation in Asia. IV International Bamboo Congress. Bali: 17 hlm. Purwanto, Y. & E. Munawaroh. 1997. Pendekatan kuantitatif dalam studi etnomedicinal. Balitbang Biologi LIPI, Bogor: 19 hlm. Purwantoro, R.S. & Sukendar. 1997. Keanekaragaman tumbuhan berguna di Provinsi Lampung, studi kasus masyarakat Tanggamus. LIPI. Bogor: 8 hlm. Rivai, M.A. 1993 Perikehidupan alam sepanjang jalan pegunungan. UNESCOMAB Indonesia, Bogor: iv+44 hlm. Rudjiman & F.X. Inawati. 1997. Keanekaragaman tumbuhan obat yang digunakan oleh penduduk di sekitar kawasan cagar alam Pager Wunung, Kendal, Jawa Tengah. UGM. Yogyakarta: 9 hlm. Rugayah, E.A. Widjaja & Praptiwi. 2004. Pedoman pengumpulan data keanekaragaman flora. Pusat Penelitian Biologi LIPI,. Bogor: xii + 138 hlm. Sastrapradja, D. 1980. Beberapa jenis bambu. LBN – LIPI, Bogor: 95 hlm. Sastrapradja, D., E.A Widjaja, J.P. Mogea & E. Sudarmonowati. 2000. Diantara alunan bambu dan bisikan rotan. Naturindo, Bogor : vii+77 hlm. Sheil, D. 2004. Mengeksplorasi keanekaragaman hayati, lingkungan dan pandangan masyarakat lokal mengenai berbagai lanskap hutan. CIFOR, Bogor: ix+38 hlm. Soeharjono, M. Amien & Soedarjo. 1978. Pengaruh migrasi penduduk terhadap perkembangan kebudayaan Jawa Tengah. Depdikbud, Jakarta: ix+77 hlm. Suharso, E.P. Suwito & I.H. Gunadi. 1993. Kearifan tradisional dalam upaya pemeliharaan lingkungan hidup di daerah Jawa Tengah. Depdikbud Jawa Tengah, Semarang: viii+95 hlm. Sumantera, I. W. 1997. Pemanfaatan bambu sebagai alat penangkap binatang di Bali. LIPI. Bali: 9 hlm.
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
60
Suprijatna, J. 2008. Melestarikan alam Indonesia. Yayasan Obor, Jakarta: ix+712 hlm. Suriawira, U. 2003. Tanaman bernilai magis. Papas Sinar Sinarti, Jakarta: 82 hlm. Sutarno, H., S.S. Harjadi & Sutiono. 1996. Paket modul partisipasif: budidaya bambu guna meningkatkan produktifitas lahan. Yayasan Prosea Indonesia, Bogor: v+50 hlm. Thorburn, C. 1982. Teknologi kampungan. The Australia – Indonesia Institute. California, USA : 154 hlm. Triyoga, L.S. 2010. Merapi dan orang Jawa, persepsi dan kepercayaannya. Grasindo. Jakarta: xxiv+186 hlm. Untung, K. 1998. Strategi nasional dan rancang tindak pelestarian bamboo dan pemanfaatannya secara berkelanjutan di Indonesia. KLH, Jakarta: viii+39 hlm. Vivekanandan, K., A.N. Rao & V. R. Rao. 1998. Bamboo and rattan genetic resources in certain Asian Countries. Serdang. Malaysia: ix+189 hlm. Walizer, M.H. & P.H. Wiener. 1993. Metode dan analisis penelitian jilid I. Erlangga, Jakarta: xi+283 hlm. Walujo, E.B. 2009. Metode penelitian etnobotani dan etnobiologi. LIPI, Bogor: 8 hlm. Walujo, E.B. & Y. Purwanto. 2000. Prosiding seminar nasional etnobotani III. Yayasan Kehati, Jakarta: xv+476 hlm. Wardah, E.B. Walujo & A. Sujadi. 2001. Status pengetahuan dan pemanfaatan sumber daya tumbuhan dalam perspektif etnobotani masyarakat suku Baduy Dalam kawasan Pegunungan Kendeng Banten Selatan. Puslitbang Biologi LIPI, Bogor: 16 hlm. Widjaja, E.A. 1997. New taxa Indonesia bamboos. Reinwardtia. 11 (2): 57—152. Widjaja, E.A. 2001. Identikit jenis-jenis bambu di Jawa. Puslitbang Biologi – LIPI, Bogor : xi+99 hlm. Widjaja, E.A. 2001. Identikit jenis-jenis bambu di Keputauan Sunda Kecil. Puslitbang Biologi – LIPI, Bogor: xi+35 hlm. Widjaja, E.A., I.P. Astuti, I.B.K. Arinasa & I.W. Sumantra. 2004. Panduan membudidayakan bambu. Puslitbang Biologi – LIPI, Bogor: vi+57 hlm.
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
61
Widjaja, E.A., I.P. Astuti, I.B.K. Arinasa & I.W. Sumantra. 2005. Identikit bambu di Bali. Puslitbang Biologi – LIPI, Bogor : vii+35 hlm. Widjaja, E.A. & Karsono 2004. Keanekaragaman bambu di Pulau Sumba. Buletin Biodiversitas 6(1): 95–99. Wiratno, D. Indriyo, A. Syarifudin & A. Kartikasari. 2004. Berkaca di cermin retak, refleksi konservasi dan implikasi bagi pengelolaan taman nasional. The Gibon Foundation Indonesia, Jakarta : xxxiv+338 hlm. Yayasan Kehati, 2009. Kloning lipatgandakan bambu. Yayasan Kehati, Yogyakarta: 2 hlm. Zulkifli, H. 1997. Biologi lingkungan. Dirjen Dikti, Jakarta: 103 hlm.
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
62
Lampiran 2.1a Nilai Manfaat Lokal Bambu di Kecamatan Srumbung
No.
Kategori nilai rata-rata dari informan Spesies bambu
A (9)
B (8)
C (7)
D (6)
E (5)
F (4)
G (3)
H (2)
I (1)
1
Petung
22,5
1,167
6,5625
0,375
3,85
0,0833
0,0625
0,333
2
Wulung
4,7
1,333
1,87
1,8
3,17
2,4
0,5
0,133
0,3125 0,033
3
Legi
6,375
1,333
8,75
2
8,75
2,833
0,75
0,5
0,0833
4
Apus
8,85
3,333
12,72
12,3
6,67
0,67
0,9
0,333
0
5
Ampel hijau
0,75
0
8,167
0
7,292
2
0,5
0,583
0,042
6
Ampel kuning
0
0
5,25
0
6,25
2,35
0,5
1,165
0
7
Gading/kuning
0
0
0
0
4,19
0
2,5
1,67
0
8
Cendani
0
0
12,44
0
0,56
0,17
0
0
0
9
Grinsing
0
0
0
0
0
0
0,5
0
0
10
Brongkol
27
0
21
0
3,333
1,33
0
2,667
0
A : Konstruksi berat
F : Mebel Tradisional
B : Konstruksi ringan
G : Ritual/adat/senjata/manfaat
C : Peralatan/perkakas
lain
D : Anyaman/kerajinan/tali temali
H : Kayu bakar
E : Teknologi Tradisional
I : Makanan
Nilai angka pada kategori pemanfaatan manunjukkan urutan nilai sesuai kategori etik.
Lampiran 2.1b Pemanfaatan bambu dengan uji UVI (User Value Index) di Kecamatan Srumbung. No. 1 2 3
4 5
6
7
8
9
Nilai manfaat Konstruksi berat
Urutan spesies bambu Gigantochloa sp., Dendrocalamus asper, Gigantochloa apus, Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea, Bambusa vulgaris var. vulgaris Konstruksi ringan Gigantochloa apus, Gigantochloa atroviolacea, Gigantochloa atter Peralatan/perkakas Gigantochloa sp., Gigantochloa apus, Phyllotachys aurea, Gigantochloa atter, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Dendrocalamus asper, Bambusa vulgaris var. striata, Gigantochloa atroviolacea Anyaman/kerajinan/tali temali Gigantochloa apus, Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea, Dendrocalamus asper Teknologi tradisional Gigantochloa atter, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Gigantochloa apus, Bambusa vulgaris var. striata, Schizostachyum brachycladum, Dendrocalamus asper, Gigantochloa atroviolacea, Gigantochloa sp. Mebel tradisional Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea, Bambusa vulgaris var. striata, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Gigantochloa sp., Gigantochloa apus, Phyllotachys aurea, Dendrocalamus asper Ritual/adat/senjata/manfaat lain Schizostachyum brachycladum, Gigantochloa apus, Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Bambusa vulgaris var. striata, Bambusa glaucophylla, Dendrocalamus asper Kayu bakar Gigantochloa sp., Schizostachyum brachycladum, Bambusa vulgaris var. striata, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Gigantochloa atter, Dendrocalamus asper, Gigantochloa apus, Gigantochloa atroviolacea Makanan Dendrocalamus asper, Gigantochloa atter, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Gigantochloa atroviolacea
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
54
Lampiran 2.2 Data Informan masyarakat Kecamatan Srumbung No.
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Jenis Kelamin
1
Sugiyanto
Nama Informan
33
SLTA
Swasta
Laki-laki
2
Aris
27
SLTA
Swasta
Laki-laki
3
Sulistiyanto
18
SLTA
Swasta
Laki-laki
4
Damiri
53
SR
Buruh tani
Laki-laki
5
Mbak Yah
29
SLTP
Buruh
Perempuan
6
Pantes
41
Tidak sekolah
Buruh tani
Perempuan
7
Sirep
42
SD
Buruh tani
Perempuan
8
Maryanto
26
SLTP
Buruh
Laki-laki
9
Komedi
17
SLTP
Buruh
Laki-laki
10
Sarwiji
20
SLTP
Swasta
Laki-laki
11
Sri Widiati
29
SLTP
Swasta
Perempuan
12
Siti Nurjanah
16
SLTA
Pelajar
Perempuan
13
Sumardi
45
Tidak sekolah
14
Suwignyo
51
SR
Buruh Perajin gedek
Laki-laki
Laki-laki
15
Samsudin
24
SD
Buruh
Laki-laki
16
Sehono
28
SLTP
Tukang batu
Laki-laki
17
Mawardi
26
SLTP
Sopir
Laki-laki
18
Manyar
42
SD
Pedagang
Laki-laki
19
Rosminah
39
SD
Pedagang
Perempuan
20
Ningsih
32
SLTP
Pedagang
Perempuan
21
Suharto
48
SLTP
Buruh
Laki-laki
22
Abu
54
SR
Petani
Laki-laki Laki-laki
23
Suwarjo
51
SR
Petani
24
Jawadi
51
SR
Pengambil nira
Laki-laki
25
Sabar
38
SD
Petani
Laki-laki
26
Budiyanto
41
SD
Petani
Laki-laki
27
Ajib
17
SLTA
Pelajar
Laki-laki
28
Edi
18
SLTA
Pelajar
Laki-laki
29
Panut
39
SLTP
Pengambil nira
Laki-laki
30
Triyanto
40
SD
Buruh
Laki-laki Perempuan
31
Suharti
55
Tidak sekolah
Pembuat tempe
32
Jazilah
42
Tidak sekolah
Buruh
Perempuan
33
Trimah
43
Tidak sekolah
Petani
Perempuan
34
Nurwanto
37
SLTP
Petani
Laki-laki
35
Muhdi Karsono
38
SD
Petani
Laki-laki
36
Maryuti
18
SLTA
Pelajar
Perempuan
37
Supar
56
SR
Pensiunan
Laki-laki
38
Sudiharjo
64
SR
Petani
Laki-laki Perempuan
39
Sulastri
53
Tidak sekolah
Buruh tani
40
Marjono
49
SLTP
Pedagang
Laki-laki
41
Rianti
23
PT
Mahasiswa
Perempuan
42
Kodir Haryono
27
SLTA
Satpam
Laki-laki
43
Khatijah
45
SD
Buruh
Perempuan
44
Wijiati
28
SLTA
Swasta
Perempuan
45
Maryani
17
SLTA
Pelajar
Perempuan
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
55
No.
Nama Informan
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Jenis Kelamin
46
Eko Prasetyo
26
SLTA
Pedagang
Laki-laki
47
Suroto
44
SD
Kadus
Laki-laki
48
Muhari
56
S1
Guru
Laki-laki
49
Eri Setyawan
17
SLTA
Pelajar
Laki-laki
50
Monardi
32
SLTP
Petani
Laki-laki
51
Muniroh
32
SD
Perajin keranjang
Perempuan
52
Cokro Taruno
54
SR
Petani
Laki-laki
53
Usak
51
PGSLP
Guru
Laki-laki
54
Wahyudi
31
SLTA
Swasta
Laki-laki
55
Suyarno
18
SLTA
Pelajar
Laki-laki
56
Sriningsih
38
SD
Buruh
Perempuan
57
Regeng
41
SD
Petani
Laki-laki
58
Yatinah
39
SPG
Guru
Perempuan
59
Supriyanto
41
SLTA
Petani
Laki-laki
60
Parto Komplong
57
SR
Petani
Laki-laki
61
Supriyono
18
SLTA
Pelajar
Laki-laki Perempuan
62
Mukini
46
SD
Buruh
63
Slamet Narwoco
53
SD
Buruh
Laki-laki
64
Mukinah
50
SD
Pedagang
Perempuan
65
Mujini
49
SD
Buruh
Perempuan
66
Sunaryo
51
SD
Petani
Laki-laki
67
Suhanah
52
SR
Petani
Perempuan
68
Suhari
17
SLTA
Pelajar
Laki-laki
69
Suwardi
53
S1
Guru
Laki-laki
70
Sumari
34
SLTP
Buruh
Laki-laki
71
Tutik W
32
SLTA
Pedagang
Perempuan Laki-laki
72
Haryoto
38
D3
Swasta
73
Marsudi
42
SLTP
Petani
Laki-laki
74
Srikanti
40
SD
Pedagang
Perempuan
75
Pipin Susanti
18
SLTA
Pelajar
Perempuan
76
Yunia Astuti
17
SLTA
Pelajar
Perempuan
77
Sumarni
48
SD
Petani
Perempuan
78
Sutrisno
51
SPG
Guru
Laki-laki
79
Sismono
18
SLTA
Pelajar
Laki-laki
80
Yunarti
17
SLTA
Pelajar
Perempuan
81
Sariti
28
SLTP
Petani
Perempuan
82
Sanah
36
SD
Petani
Perempuan
83
Dalimah
53
SR
Buruh
Perempuan
84
Purwanti
29
D3
Pedagang
Perempuan
85
Heri Susetyo
18
SLTA
Pelajar
Laki-laki
86
Sunyoto
39
SLTP
Petani
Laki-laki
87
Mujiono
49
SLTP
Pedagang
Laki-laki
88
Sumidah
48
SD
Pedagang
Perempuan
89
Rudianto
17
SLTA
Pelajar
Laki-laki
90
Sardi
39
SD
Tukang batu
Laki-laki
91
Sarman
38
SD
Buruh
Laki-laki
92
Cokrorejo
59
Tidak sekolah
Buruh
Laki-laki
93
Pardi
18
SLTA
Pelajar
Laki-laki
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
56
No.
Nama Informan
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Jenis Kelamin
94
Sariman
41
SD
Buruh
Laki-laki
95
Sunarto
48
PGSLP
Guru
Laki-laki
96
Budiyono
18
SLTA
Pelajar
Laki-laki
97
Sukirno
53
SD
Petani
Laki-laki
98
Adi Susanto
37
SLTA
Buruh
Laki-laki
99
Santi
17
SLTA
Pelajar
Perempuan
100
Wawan
25
D3
Mahasiswa
Laki-laki
101
Aziz Mustopa
38
S1
Guru
Laki-laki
102
Burhanudin
38
SLTA
Swasta
Laki-laki
103
Bambang Waluyo
53
S1
Guru
Laki-laki
104
Edi Sulistiyono
48
D3
Guru
Laki-laki
105
Sulistiyono
39
S1
Guru
Laki-laki
106
Andi Turmudi
17
SLTA
Pelajar
Laki-laki
107
Siti Aisyah
54
SPK
Perawat
Perempuan
108
Fitri P
24
PT
Mahasiswa
Perempuan
109
MS Rojab
26
PT
Mahasiswa
Laki-laki
110
Febti T
25
PT
Mahasiswa
Perempuan
111
Evi Gerhanawati
28
D3
Bidan
Perempuan
112
Harti
36
S1
Perawat
Perempuan
113
Lestari Indrawati
38
S1
Swasta
Perempuan
114
Sugiyono
17
SLTA
Pelajar
Laki-laki
115
Sujadi
18
SLTA
Pelajar
Laki-laki
116
Mukidi
45
SLTP
Sopir
Laki-laki
117
Suryatin
53
SD
Buruh
Perempuan
118
Panut Bakalan
56
SD
Buruh
Laki-laki
119
Wanto
17
SLTA
Pelajar
Laki-laki
120
Suparno
37
SLTA
Tukang kayu
Laki-laki
[Sumber: Dokumentasi pribadi]
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
57
Lampiran 2.3 Pedoman wawancara semi struktural untuk pemanfaatan bambu dalam perspektif masyarakat Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah
Kategori informan
:
Usia
:
a. 15 – 18 tahun : masih muda belum banyak menerima nilai-nilai sosial budaya b. 24 – 50 tahun : dewasa/produktif, sudah matang dalam adaptasi nilai-nilai yang diterimanya c. > 50 tahun Jenis kelamin
: tua, kemampuan mengingat semakin menurun :
Jumlah laki-laki
: .... orang
Jumlah perempuan
: .... orang
Hari/tanggal
:
Lokasi penelitian
:
Identitas informan untuk wawancara : 1.
Nama
:
2.
Jenis kelamin
: L/P
3.
Alamat/tempat tinggal
:
4.
Umur
:
5.
Pekerjaan
6.
Pendidikan
:
7.
Status perkawinan
:
tahun
:
Daftar pertanyaan : 1.
Apa persepsi Anda tentang hutan/kebun bambu ? Alasannya ?
2.
Bambu apa saja yang Anda kenal di dalam plot ini ?
3.
Bagaimana ciri-ciri dan sifat-sifat bambu dan membedakan jenis bambu yang Anda kenal tadi ?
4.
Manfaat apa saja yang Anda peroleh dari jenis bambu yang Anda kenal tersebut ?
5.
Bagian dari bambu yang mana saja yang dimanfaatkan ?
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
58
Misalnya : Akar untuk ... Rebung (buluh muda) untuk ... buluh/batang untuk ... Dahan/ranting untuk ... Daun untuk ... Bunga untuk ... Pelepahbuluh/clumpring untuk ... 6.
Bambu apa saja yang paling bermanfaat dari yang Anda kenal ?
7.
Misalnya : manfaat utama : ..., manfaat tambahan : ...
8.
Bagaimana penggolongan/klasifikasi bambu menurut persepsi Anda ?
9.
Berapakah rata-rata panjang bambu, panjang buluh, diameter bambu, ruas bambu yang Anda tahu (dalam satuan meter) ?
10. Apa warna bagian bambu yang Anda kenal ? (misalnya : daun, buluh, rebung, clumpring) 11. Apa bentuk dari daun, buluh, rebung, akar, pelepah buluh dari bambu yang Anda kenal ?
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
59
Lampiran 2.4 Glosarium
1.
Amben : kursi tradisional dari bambu
2.
Anjang-anjang : tempat untuk tumbuh tanaman budidaya
3.
Bei : hampir sama dengan getekan, bentuknya lebih kecil
4.
Bendo : alat pemanen bambu
5.
Blandar : penyangga rangka atap
6.
Bubukan : serangan oleh hama bambu sehingga cepat rusak
7.
Bumbung : tempat untuk menyadap nira
8.
Capit : alat untuk mengambil
9.
Contang : alat penanda sementara orang yang baru dikebumikan
10.
Cumpring : Pelepahbuluh bambu
11.
Dingklik : kursi kecil untuk duduk di dapur
12.
Egrang : macam permainan anak-anak
13.
Ewot/kretek : jembatan
14.
Galar : penutup amben, lincak, brak
15.
Garan : pegangan alat-alat rumah tangga
16.
Garu : alat untuk membajak sawah
17.
Gayoan : pegangan kail
18.
Gedek : dinding rumah
19.
Getekan : alat atau sarana untuk pembangun rumah
20.
Gethek : pagar
21.
Ingis-ingis : sisa hasil serutan bambu untuk kayu bakar
22.
Kampak : seperti wadung, bisa dibentuk dari 2 arah
23.
Kentongan : alat untuk menghasilkan bunyi tanda pemanggilan
24.
Koplokan : alat penghasil bunyi untuk mengusir burung
25.
Lincak : seperti amben biasanya digunakan untuk duduk di teras
26.
Mangsa kasanga : musim kesembilan dalam hitungan kalender Jawa
27.
Ondo lanang : semacam tangga dengan induk tangga satu ditengah-tengah anak tangga
28.
Ongkek : alat untuk menjemur pakaian
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
60
29.
Omah keong : bagian segitiga pada dinding rumah serotong (tipe rumah penduduk)
30.
Pahing : nama pasaran kalender Jawa
31.
Payung mundok : seperti payung topen yang biasanya digunakan untuk menggembala bebek
32.
Payung topen : payung yang bahan dasarnya dari clumpring
33.
Pengeret : penyambung blandar
34.
Pogo : tempat penyimpan kayu bakar
35.
Pranjen : kandang unggas
36.
Reng : bagian rangka atap
37.
Romot : kumpulan umleng
38.
Sirtu : pasir batu
39.
Sujen : alat penjepit dalam menanam cabe
40.
Tali tempe : pengikat bungkus tempe
41.
Tepas : kipas
42.
Tlikur : pasak
43.
Turus / lanjaran : alat pembelit tanaman budidaya
44.
Tutus : seperti sujen bentuknya lebih besar
45.
Umleng : kumpulan dari ingis-ingis
46.
Usuk : bagian rangka atap
47.
Wadah gereh : tempat untuk ikan asin
48.
Wadung : alat pemanen bambu
49.
Welat : kulit bambu paling luar yang berfungsi sebagai pemotong
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
DISKUSI PARIPURNA
Diperkirakan ada 1.300 lebih spesies bambu yang termasuk 80 genus di dunia. Dua ratus spesies diantaranya ditemukan di Asia Tenggara dan terdiri dari 20 genus. Genus tersebut antara lain Bambusa, Cephalostachyum, Dendrocalamus, Gigantochloa, Meloccana, Phyllostachys, Schizostachyum dan Thyrsostachys (Dransfield & Widjaja 1995). Keanekaragaman bambu Indonesia banyak ditemukan di Pulau Sumatra (56 spesies), Pulau Kalimantan (23 spesies) dan 14 spesies di Pulau Sulawesi dan Indonesia bagian timur (Widjaja 1994). Jenis-jenis bambu yang sudah ditanam di Pulau Jawa antara lain Bambusa bambos (diduga berasal dari India), B. glaucophylla (diduga berasal dari Singapura), B. maculata, B. multiplex (dari Cina), B. oldhamii (dari Taiwan), B. tuldoides (dari Singapura), Dendrocalamus latiflorus (dari Taiwan), Phyllostachys aurea (dari Jepang). Hanya ada 1 jenis bambu, yaitu Bambusa vulgaris yang tumbuh tersebar di seluruh kawasan tropika, baik di Indonesia, Amerika, Afrika maupun Asia (Widjaja 2001). Berdasarkan hasil penelitian, di wilayah Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah terdapat 51 jenis tumbuhan yang termasuk dalam bambu dan bukan bambu. Tumbuhan tersebut tersebar pada 40 zona sebagai lokasi penempatan plot penelitian. Kelimpahan buluh maupun rumpun tertinggi tercatat pada Gigantochloa apus. Kelimpahan berhubungan dengan nilai kerapatan. Frekuensi tertinggi (0,5). didapatkan pada Gigantochloa apus. Hal tersebut mungkin disebabkan karena Gigantochloa apus lebih disukai masyarakat, dan sudah ditanam sejak dahulu. Menurut Mangoendihardjo dkk. 2000, keanekaragaman yang ada di perbatasan Kecamatan Srumbung yaitu Kabupaten Sleman adalah Gigantochloa apus (bambu apus), Gigantochloa atroviacea (bambu wulung), Gigantochloa atter (bambu legi), Bambusa vulgaris (bambu ampel), Bambusa spinosa (Ori), dan Dendrocalamus asper (bambu petung). Nilai kerapatan buluh tertinggi yang tercatat adalah Gigantochloa apus (2.567,5 per ha), bila dihitung rumpun kerapatan tertinggi yang tercatat adalah Dendrocalamus asper (137,5 rumpun per ha). Nilai penting bambu yang tercatat
61 text]FMIPAUI, 2011 Universitas Indonesia Struktur komunitas...,[Type Suyanto,
62
dalam penelitian bila dihitung buluh yang tertinggi adalah Gigantochloa apus (0,320), Dendrocalamus asper (0,296). Bila dihitung rumpun nilai penting yang tercatat yang tertinggi adalah Dendrocalamus asper (0,222), Gigantochloa atter (0,119) baru disusul jenis bambu yang lainnya. Dominansi tertinggi yang tercatat bila dihitung buluh adalah Gigantochloa apus (0,019), Dendrocalamus asper (0,016). Bila dihitung rumpun nilai tertinggi tercatat adalah Dendrocalamus asper (0,00085), Bambusa vulgaris var. vulgaris (0,0002), baru disusul bambu-bambu yang lainnya. Kerapatan bambu bila dihitung buluh per rumpun cenderung berbeda dengan bila dihitung rumpun per ha maupun buluh per ha. Dalam perhitungan buluh atau rumpun per ha pada plot-plot yang ditemukan masih ada ruang yang tidak ada bambu dan juga ditumbuhi tumbuhan bukan bambu. Kerapatan tertinggi buluh per rumpun adalah Phyllotachys aurea (762.711,864 buluh/ha) disusul Bambusa glaucophylla (484.848,485 buluh/ha). Ini disebabkan oleh faktor pemanenan dan diameter rumpun serta diameter buluh. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman Shannon Wiener diperoleh bahwa keanekaragaman jenis bambu rendah atau sedikit karena nilainya kurang dari 1. Tetapi bila dihitung nilai total indeks keanekagaman seluruh jenis bambu dalam komunitas tumbuhan yang diteliti termasuk melimpah karena nilainya diantara 1 - 3 (1,2047/bila dihitung buluh). Bila dihitung rumpun, walaupun jumlah nilai indeks keanekaragaman jenis bambu dijumlah total tetap termasuk keanekaragaman yang sedikit atau rendah (0,8393). Bambu yang lebih disukai masyarakat dan seringkali dimanfaatkan mempunyai nilai keanekaragaman rendah. Hal ini disebabkan bambu sering dipanen, pertumbuhan lambat atau terjadi kompetisi antara bakal tunas yang menjadi rebung. Faktor lain adalah jarang bahkan hampir tidak ada pohon selain bambu tumbuh dalam rumpun bambu. Keanekaragaman jenis bambu signifikan dengan pemanfaatan bambu, juga alih fungsi lahan bambu dengan tanaman budidaya terutama salak pondoh. Sebagai perbandingan, berdasarkan hasil kerja lapangan dan informasi yang diperoleh penduduk di Pulau Bali, diketahui ada 42 jenis bambu dari 12 marga. Diantara 42 jenis tersebut ada 18 jenis yang merupakan tanaman introduksi, yaitu Dinochloa kostermansiana, Fimbribambusa sp., Nastus reholtumianus dan Otatea acuminata (Widjaja dkk. 2005). Menurut Widjaja
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
63
(2001) di Pulau Flores memiliki 10 jenis bambu, 2 jenis diantaranya merupakan jenis introduksi dan 2 jenis lagi merupakan jenis endemik yang hanya tumbuh di pulau ini. Pola persebaran bambu berdasarkan nilai Indeks Morista baik buluh maupun rumpun, umumnya berpola merata dan mengelompok. Perbedaan mencolok terjadi pada Bambusa vulgaris var. vulgaris dan Gigantochloa atter, terjadi perbedaan nilai bila dihitung buluh atau rumpun, yang polanya berkebalikan. Pola persebaran bambu yang demikian masih bersifat relatif, karena ada jenis bambu yang hidupnya merumpun rapat menjadi satu sehingga akan sulit dibedakan buluh-buluh jenis bambu yang menyusunnya. Dari hasil pengukuran diameter buluh bambu yang terbesar adalah Dendrocalamus asper (mencapai 22 cm), yang terkecil adalah Phyllotachys aurea (hanya mencapai 2,5 cm). Diameter rumpun akan mempengaruhi pola dan cara pemanenan penduduk. Dari hasil pengukuran diameter rumpun terbesar adalah Gigantochloa atter (mencapai 480 cm), terkecil adalah Bambusa glaucophylla (mencapai 51 cm). Diameter buluh dipengaruhi oleh jenis tanah, dimana bambu tumbuh. Misalnya diameter bambu Gigantochloa atroviolacea di daerah penelitian lebih panjang dibanding yang tumbuh di Jawa Barat, sehingga bambu tersebut dapat dimanfaatkan sebagai alat musik (seruling). Diameter bambu Schizostachyum bracycladum di daerah Jawa Barat lebih pendek dibandingkan di Kecamatan Srumbung, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pembungkus makanan khas lemang dan daunnya dapat dimanfaatkan sebagai pembungkus bacang (Dransfield & Widjaja 1995). Berdasarkan hasil penelitian tercatat jenisjenis bambu mempunyai nilai E mendekati 0, artinya jenis-jenis bambu tersebut semakin tidak merata. Bambu telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat desa dan kota untuk menunjang keperluan dasar yang menunjang kehidupan, bahkan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia bambu digunakan sebagai salah satu senjata yang dikenal dengan bambu runcing, masyarakat Kecamatan Srumbung menyebut dengan nama tumbak cucukan. Meskipun termasuk dalam perdu berkayu, beberapa jenis bambu secara ekologi penting dapat ditanam pada jurang-jurang atau daerah-daerah yang rusak
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
64
sebagai penahan erosi, masyarakat Srumbung menamakan sebagai tambak kali. Hampir semua bambu yang ditemukan bermanfaat sebagai penahan erosi terutama daerah tebing-tebing sungai. Sebagai tanaman yang merakyat, bambu memiliki status dan nilai sosial yang mendalam maknanya. Di Yunani, Bambusa vulgaris (bambu ampel) dapat sebagai bahan mentah alternatif untuk membuat papan, karena mempunyai ketebalan tinggi variasi panjang juga kerapatan partikelnya padat. Bambusa vulgaris juga dapat digunakan untuk desain interior (Papadopoulos et al. 2004). Di negara Cina dan Jepang, berbagai jenis bambu dapat dimanfaatkan sebagai bahan kertas, bahan sikat, shampo yang digemari para selebriti, pengganti kayu, konstruksi, mebel, dan kerajinan (Takayoshi 1981). Menurut Mc Neely (1995), bambu juga dapat dimanfaatkan sebagai papan laminasi dan obat anti lever. Pemanfaatan bambu menurut perspektif masyarakat Kecamatan Srumbung, secara emik dikategorikan dalam 22 kategori dan secara etik dikategorikan menjadi 9, yang terdiri dari 121 macam manfaat (lihat lampiran). Sembilan kategori manfaat bambu, menurut Sheil dkk. adalah konstruksi berat (nilai 9), konstruksi ringan (nilai 8), peralatan/perkakas (nilai 7), anyaman/ kerajinan/tali temali (nilai 6), teknologi tradisional (nilai 5), mebel tradisional (nilai 4), ritual/adat/senjata/estetika (nilai 3), kayu bakar (nilai 2) dan makanan (nilai 1). Bila nilainya 0 berarti tidak disebut dalam wawancara sesuai kategori yang ada, baik emik maupun etik. Menurut Chua et al. 1996 di negara-negara Cina, India, Indocina, Jepang dan Asia Tenggara, bambu dapat dimanfaatkan sebagai alat tulis, mebel, makanan, bahan bangunan, alat-alat rumah tangga, keranjang, ritual, obat dan senjata. Di negara Bangladesh Bambusa vulgaris (bambu ampel) dimanfaatkan sebagai alat pertanian, konstruksi rumah, kerajinan, dan bahan bakar. Di Taiwan bambu dimanfaatkan untuk alat produksi dan penahan angin. Secara umum berdasarkan uji UVI, nilai manfaat bambu urutannya (lihat lampiran 2.1b) sebagai konstruksi berat adalah Gigantochloa sp., Dendrocalamus asper, Gigantochloa apus, Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea, Bambusa vulgaris var. vulgaris, sedangkan bambu lainnya tidak mempunyai nilai. Konstruksi ringan : Gigantochloa apus, Gigantochloa atroviolacea dan
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
65
Gigantochloa atter, bambu lainnya tidak mempunyai nilai. Peralatan/perkakas: Gigantochloa sp., Gigantochloa apus, Phyllotachys aurea, Gigantochloa atter, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Dendrocalamus asper, Bambusa vulgaris var. striata, Gigantochloa atroviolacea. Anyaman/kerajinan/tali temali : Gigantochloa apus, Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea, Dendrocalamus asper. Teknologi tradisional : Gigantochloa atter, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Gigantochloa apus, Bambusa vulgaris var. striata, Schizostachyum brachycladum, Dendrocalamus asper, Gigantochloa sp., Gigantochloa atroviolacea. Mebel tradisional : Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea, Bambusa vulgaris var. striata, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Gigantochloa sp., Gigantochloa apus, Phyllotachys aurea, Dendrocalamus asper. Ritual/adat/senjata/estetika : Schizostachyum brachycladum, Gigantochloa apus, Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea; Bambusa vulgaris var. vulgaris; Bambusa vulgaris var. striata dan Bambusa glaucophylla, Dendrocalamus asper. Kayu bakar : Gigantochloa sp., Schizostachyum brachycladum, Bambusa vulgaris var. striata, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Gigantochloa atter, Dendrocalamus asper dan Gigantochloa apus, Gigantochloa atroviolacea. Makanan : Dendrocalamus asper, Gigantochloa atter, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Gigantochloa atroviolacea. Sebagai perbandingan pemanfaatan bambu di daerah lain, misalnya bambu Gigantochloa apus, Gigantochloa atter, Gigantochloa atroviolacea, dimanfaatkan sebagai bahan gedek (Arinasa 2009). Gigantochloa apus, dimanfaatkan sebagai obat batuk oleh masyarakat Suku Baduy Banten, dengan mengambil air yang ada di dalam ruas-ruas batang (Iskandar & Iskandar 2005). Pemanfaatan bambu dalam perspektif masyarakat Kecamatan Srumbung, yang paling banyak disebut dalam kategori adalah Dendrocalamus asper dan Gigantochloa apus. Sebagai bahan makanan yang rasanya enak adalah rebung Dendrocalamus asper dan Gigantochloa atter, rebung yang rasanya sengir adalah Bambusa vulgaris var. vulgaris dan Gigantochloa atroviolacea. Rebung Bambusa vulgaris var. striata dan Bambusa vulgaris var. vulgaris dimanfaatkan sebagai sesaji oleh masyarakat Cina penganut Konghucu.
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
66
Keanekaragaman pemanfaatan jenis bambu di Bengkulu berasal dari jenisjenis bambu antara lain Bambusa vulgaris, Bambusa multiplex, Dendrocalamus asper, Gigantochloa apus, Gigantochloa atter, Schizostachyum brachycladum (Yani 1994 dalam Widjaja dkk. 1994). Sementara itu, di Kabupaten Sleman, DIY, jenis bambu yang sering dimanfaatkan adalah bambu apus (Gigantochloa apus), bambu wulung (Gigantochloa atroviceae), bambu ampel (Bambusa vulgaris), bambu legi (Gigantochloa atter), dan bambu petung (Dendrocalamus asper). Sebenarnya variasi jenis bambu yang lain masih banyak dijumpai namun kurang dimanfaatkan. Walaupun Bambusa vulgaris (bambu ampel) kurang disukai untuk konstruksi bangunan rumah, namun jenis ini banyak dipakai untuk perabot rumah tangga karena penampilannya yang beragam. Bambu tersebut, ada yang berbuluh kuning, kuning dengan garis hijau, hijau mengkilat atau berbintik-bintik hitam atau tutul (Mangoendihardjo dkk. 2000). Pemanfaatan bambu apus sebagai konstruksi bangunan, karena masyarakat menganggap bambu mudah didapat, bahan kuat dan awet dengan catatan tidak berhubungan langsung dengan air. Sebagai bahan kerajinan anyaman, agar berkualitas harus sesuai umur waktu diolah. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan adalah bambu tidak boleh terlalu tua maupun terlalu muda, khususnya untuk bahan kerajinan anyaman. Bambu yang sudah tua mudah patah dan pecah, sebaliknya yang terlalu muda bisa mengerut (susut). Sehingga anyaman yang dihasilkan kurang rapat (renggang), tidak mengkilat dan tidak rapi. Bambu apus memiliki sifat yang bagus disamping ruasnya yang panjang, berserat padat dan kuat. Bila untuk membuat dinding (gedheg) yang bagus adalah mengambil bagian kulit luar sehingga iratannya kuat dan tahan lama. Bambu petung (Dendrocalamus asper), bermanfaat sebagai konstruksi bangunan, karena batangnya kuat, besar dan tahan lama. Sedang rebung enak dimakan, bisa sebagai bahan makanan tradisional seperti isi lumpia. Rebung tidak pahit, karena tidak mengandung HCN, mudah diiris setelah dibersihkan pelepah rebung yang muda. Rebung bambu petung lunak dan warnanya menarik. Untuk bahan kerajinan, biasanya yang diambil adalah bonggol yang masih terdapat akarakarnya. Bentuk yang unik dari bonggol tersebut dapat dibentuk seperti bebek, angsa yang bernilai ekonomi tinggi dan berkualitas ekspor. Pelepahbuluh dapat
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
67
dimanfaatkan sebagai alat permainan topeng anak, karena daunnya lebar, tidak mudah rusak dan mudah dibentuk. Pencirian bambu menurut penduduk Kecamatan Srumbung, berdasarkan warna buluh bambu, rebung dan juga clumpring. Gigantochloa atter (bambu legi), mempunyai nama lokal bambu lodong, Dendrocalamus asper, menurut penduduk dibedakan menjadi 2, yaitu : yang besar diameternya disebut bambu petung, yang kecil diameternya disebut bambu peting. Penduduk Kecamatan Srumbung sudah mengenal mangsa, yaitu musim pemanenan untuk pemanfaatan bambu sehingga konsep berkelanjutan sudah dikenal sebagai kearifan lokal daerah tersebut. Musim untuk panen biasanya dilakukan pada mangsa kasanga, dan setiap pasaran pahing, sesuai pasaran Jawa. Menurut mereka, pasaran pahing dan mangsa kasanga dalam pemanenan bambu, menghindarkan terkena serangan bubukan. Hal tersebut ditandai dengan munculnya garengpung/tonggeret, dimana pada waktu itu kadar air dalam bambu rendah. Pemanenan pada pasaran Pahing waktu pagi hari, dimaksudkan supaya bambu mudah dibuat iratan dan mudah dibelah. Kondisi bambu pasca erupsi Gunung Merapi, di dekat pemukiman dan lahan penduduk kebanyakan roboh karena menahan hujan abu, bambu di tepian sungai yang dilewati lahan dingin terutama Sungai Putih tertimbun pasir dan batu. Kondisi demikian bisa pulih kembali dalam waktu yang agak lama, dan dapat hidup kembali kalau rimpang bambu masih baik.
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
68
RANGKUMAN KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Komposisi jenis tumbuhan yang ditemukan di wilayah Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah, tercatat 51 (lima puluh satu) jenis yang tergolong dalam jenis bambu dan bukan bambu. Sepuluh jenis bambu yang ditemukan di Kecamatan Srumbung adalah : Gigantochloa sp., Dendrocalamus asper, Gigantochloa atroviolacea, Gigantochloa atter, Bambusa vulgaris var. vulgaris, Bambusa vulgaris var. striata, Gigantochloa apus, Phyllotachys aurea, Bambusa glaucophylla, dan Schizostachyum brachycladum. Kelimpahan buluh tertinggi tercatat adalah Gigantochloa apus, Dendrocalamus asper, baru disusul bambu-bambu lainnya. Untuk kelimpahan rumpun yang tertinggi adalah Gigantochloa apus, Dendrocalamus asper. Tingginya kelimpahan bambu dipengaruhi oleh kemampuan jenis dan buluh beradaptasi pada lingkungan, juga oleh campur tangan manusia. Frekuensi tertinggi didapatkan pada Gigantochloa apus (0,5), Dendrocalamus asper (0,4) kemudian disusul bambu-bambu yang lainnya. Bila dihitung buluh kerapatan tertinggi yang tercatat adalah Gigantochloa apus (2567,5 per ha), Dendrocalamus asper (1485 per ha). Bila dihitung rumpun kerapatan tertinggi yang tercatat adalah Dendrocalamus asper (137,5 rumpun per ha), Gigantochloa apus (105 rumpun per ha) kemudian disusul bambu-bambu yang lainnya. Nilai penting bambu yang tercatat dalam penelitian bila dihitung buluh yang tertinggi adalah Gigantochloa apus (0,320), Dendrocalamus asper (0,296). Bila dihitung rumpun nilai penting yang tercatat yang tertinggi adalah Dendrocalamus asper (0,222), Gigantochloa atter (0,119) baru disusul jenis bambu yang lainnya. Nilai dominansi bambu dalam penelitian ini menggunakan Indeks Shimpson. Nilai tertinggi yang tercatat bila dihitung buluh adalah Gigantochloa apus (0,019), Dendrocalamus asper (0,016). Bila dihitung rumpun nilai tertinggi tercatat adalah Dendrocalamus asper (0,00085), Bambusa vulgaris var. vulgaris (0,0002), baru disusul bambu-bambu yang lainnya.
Universitas Indonesia
68 FMIPAUI, 2011 Struktur komunitas..., Suyanto,
69
Hasil perhitungan indeks keanekaragaman Shannon Wiener diperoleh bahwa keanekaragaman jenis bambu rendah atau sedikit karena nilainya kurang dari 1. Tetapi bila dihitung nilai total indeks keanekagaman seluruh jenis bambu dalam komunitas tumbuhan yang diteliti termasuk melimpah karena nilainya diantara 1 dan 3 (1,2047/bila dihitung buluh). Bila dihitung rumpun, walaupun jumlah nilai indeks keanekaragaman jenis bambu dijumlah total tetap termasuk keanekaragaman yang sedikit atau rendah (0,8393). Pola persebaran bambu berdasarkan nilai Indeks Morista baik buluh maupun rumpun, umumnya berpola merata dan mengelompok. Diameter buluh bambu yang terbesar adalah Dendrocalamus asper (sampai dengan 22 cm), yang terkecil adalah Phyllotachys aurea (hanya mencapai 2,5 cm). Dari hasil penelitian diameter rumpun terbesar adalah Gigantochloa atter (mencapai 480 cm), terkecil adalah Bambusa glaucophylla (mencapai 51 cm). Berdasarkan hasil penelitian tercatat jenis-jenis bambu mempunyai nilai E mendekati 0, artinya jenis-jenis bambu tersebut semakin rendah. Menurut informasi penduduk Kecamatan Srumbung terdapat 3 jenis bambu introduksi. Ketiga jenis bambu introduksi tersebut adalah bambu kuning/gading (Schizostachyum brachycladum), bambu gringsing (Bambusa glaucophylla), dan bambu cendani (Phyllotachys aurea). Hampir semua bambu yang ditemukan bermanfaat sebagai penahan erosi terutama daerah tebing-tebing sungai. Pemanfaatan bambu dalam perspektif masyarakat Kecamatan Srumbung, yang paling banyak disebut dalam kategori adalah Dendrocalamus asper dan Gigantochloa apus. Sebagai bahan makanan yang rasanya enak adalah rebung Dendrocalamus asper dan Gigantochloa atter, rebung yang rasanya sengir adalah Bambusa vulgaris var. vulgaris dan Gigantochloa atroviolacea. Rebung Bambusa vulgaris var. striata dan Bambusa vulgaris var. vulgaris dimanfaatkan sebagai sesaji oleh masyarakat Cina penganut Konghucu. Pencirian bambu menurut penduduk Kecamatan Srumbung, berdasarkan warna buluh bambu, rebung dan juga clumpring. Gigantochloa atter (bambu legi), mempunyai nama lokal bambu lodong, Dendrocalamus asper, menurut penduduk
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
70
dibedakan menjadi 2, yaitu : yang besar diameternya disebut bambu petung, yang kecil diameternya disebut bambu peting. Dalam hal konservasi bambu, penduduk Kecamatan Srumbung sudah mengenal pranata mangsa, yaitu musim pemanenan untuk pemanfaatan bambu sehingga konsep berkelanjutan sudah dikenal sebagai kearifan lokal daerah tersebut. Saat memanen bambu untuk pemanfaatan juga dihitung dari pasaran jawa, yaitu setiap hari pahing. Pemanenan dan pemanfaatan bambu dalam hitungan tersebut untuk menghindarkan terkena serangan hama yang disebut bubukan.
SARAN
1. Untuk keperluan data bambu diperlukan penelitian bambu pasca erupsi Merapi, terutama di daerah aliran sungai yang terkena lahar dingin Merapi. 2. Untuk keperluan bahan baku industri, perlu dilakukan penelitian bambu yang melimpah. 3. Diperlukan penelitian lanjutan tentang kearifan lokal di Kecamatan Srumbung untuk aspek konservasi bambu secara tradisional.
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
71
DAFTAR ACUAN
Arinasa, I.B.K. 2004. Keanekaragaman dan penggunaan jenis-jenis bambu di Desa Tigawasa, Bali. Buletin Biodiversitas 6 (1) : 17-21. Arinasa, I.B.K. 2009. Etnobotani dan keanekaragaman jenis bambu yang digunakan sebagai bahan dinding di Bali. Ekakarya Bali- LIPI : 8 hlm. Batubara, R. 2002. Pemanfaatan bambu di Indonesia. USU, Medan : 6 hlm. Chua, K. S., B.C. Shoog & H.T.W Tan. 1996. The bamboos of Singapore. IPGRI, Singapura : v+70 hlm. Departemen Kehutanan, 1994. Petunjuk pembibitan bambu dengan stek batang. KLH, Jakarta : ii + 45 hlm. Dransfield, S. & E.A. Widjaja, 1995. Plants resources of South East Asia (7). Bamboos. Prosea, Bogor: 125 hlm. Fachrul, M. F. 2007. Metode sampling bio ekologi. Bumi Aksara. Jakarta : vii + 197 hlm. Higuchi, T. 1981. Bamboo production and utilization. Japan Society of Bamboo Development and Protection, Kyoto : 191 hlm. Indriyanto. 2008. Ekologi hutan. Bumi Aksara, Jakarta : v + 209 hlm. Iskandar, J. & B.S. Iskandar. 2005. Pengobatan alternatif ala Baduy. Humaniora, Bandung : xvii+161 hlm. KLH, 2009. Kloning lipatgandakan bambu. Yayasan Kehati. Yogyakarta : 2 hlm. LAPAN. 2006. Pemantauan peningkatan aktivitas Gunung Api Merapi berdasarkan citra satelit penginderaan jauh. Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional, Jakarta: 10 hlm. Martin, G.J. 1995. Ethnobotany. Cambridge University, London : xx + 263 hlm. Martin, G.J. 1998. Etnobotani. Natural History Publications (Borneo), Kinabalu: xx+303 hlm. Mangoendihardjo, S. 2000. Konservasi budidaya bambu dan salak dalam pengembangan wisata agro, alami dan budidaya di Kabupaten Sleman, DIY. Yayasan Kehati, Yogyakarta : 9 hlm. Mc Neely, J.A. 1995. Biodiversity, bamboo and conservation in Asia. IV International Bamboo Congress, Bali, Indonesia 19-22 Juni 1995: 17 hlm.
71 Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
Universitas Indonesia
72
Papadopoulos, A.N., C.A.S. Bill, A.Gkaraveli, G.A.Ntalos & S.P. Karastergiou. 2004. Bamboo chips (Bambusa vulgaris) as an alternative lignocellulosic raw material for particleboard manufacture. Holz Roh Werkst 62:36—39. Purwantoro, R.S. & Sukendar. 1997. Keanekaragaman tumbuhan berguna di Provinsi Lampung, studi kasus masyarakat Tanggamus. LIPI, Bogor: 8 hlm. Rivai, M.A. 1993 Perikehidupan alam sepanjang jalan pegunungan. UNESCOMAB Indonesia, Bogor : iv+44 hlm. Rudjiman & F.X. Inawati. 1997. Keanekaragaman tumbuhan obat yang digunakan oleh penduduk di sekitar kawasan cagar alam Pager Wunung, Kendal, Jawa Tengah. UGM, Yogyakarta: 9 hlm. Sastrapradja, S, E.A. Widjaja, S. Prawiroatmodjo, S. Sunarto 1980. Beberapa jenis bambu. LBN – LIPI, Bogor: 95 hlm. Sastrapradja, S, E.A. Widjaja, J.P. Mogea & E. Sudarmonowati 2000. Diantara alunan bambu dan bisikan rotan. Naturindo, Bogor: vii+77 hlm. Soerianegara, I. & A. Indrawan 1998. Ekologi hutan Indonesia. IPB, Bogor: 83 hlm. Sumantera, I. W. 1997. Pemanfaatan bambu sebagai alat penangkap binatang di Bali. LIPI, Bali: 9 hlm. Suriawira, U. 2003. Tanaman bernilai magis. Papas Sinar Sinarti, Jakarta: 82 hlm. Sutarno, H., S.S. Harjadi & Sutiono. 1996. Paket modul partisipasif: budidaya bambu guna meningkatkan produktifitas lahan. Yayasan Prosea Indonesia, Bogor: v+50 hlm. Untung, K. 1998. Strategi nasional dan rancang tindak pelestarian bambu dan pemanfaatannya secara berkelanjutan di Indonesia. KLH, Jakarta: viii+39 hlm. Vivekanandan, K., A.N. Rao & V.R. Rao. 1998. Bamboo and rattan genetic resources in certain Asian Countries, IBRD, Serdang : ix+189 hlm. Walujo, E.B. & Y. Purwanto. 2000. Prosiding seminar nasional etnobotani III 1998. Denpasar Bali, Yayasan Kehati, Jakarta : xv+476 hlm. Whitten, T, R.E. Soeriaatmadja & S.A. Afiff. 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Prenhallindo, Jakarta : ixx + 949 hlm.
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011
73
Widjaja, E.A. 1994. Ex situ conservation of Indonesian endemic bamboo. Kebun Raya Bogor: 135 hlm. Widjaja, E.A., M.A. Rifai, B. Subianto & D. Nandika. 1994.Strategi penelitian bambu Indonesia. Yayasan Bambu Lingkungan Lestari, Bogor: 193 hlm. Widjaja, E.A. 1997. New taxa Indonesia bamboos. Reinwardtia 2(2): 57—152. Widjaja, E.A. 2001a. Identikit jenis-jenis bambu di Jawa. Puslitbang Biologi – LIPI, Bogor: xi+99 hlm. Widjaja, E.A. 2001b. Identikit jenis-jenis bambu di Kepulauan Sunda Kecil. Puslitbang Biologi – LIPI, Bogor : xi+35 hlm. Widjaja, E.A., I.P. Astuti, I.B.K. Arinasa & I.W. Sumantra. 2004. Panduan membudidayakan bambu. Puslitbang Biologi – LIPI, Bogor: vi+57 hlm. Widjaja, E.A. & Karsono. 2004. Keanekaragaman bambu di Pulau Sumba. Buletin Biodiversitas 6(1): 95—99. Yani, A.P. 1994. Pemanfaatan bambu di Provinsi Bengkulu. Universitas Bengkulu, Bengkulu: 4 hlm.
Universitas Indonesia
Struktur komunitas..., Suyanto, FMIPAUI, 2011