PENCEGAHAN KEJAHATAN BERBASIS KOMUNITAS TERHADAP TERORISME OLEH MASYARAKAT DESA CEMANI KECAMATAN GROGOL KABUPATEN SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH Kunto Hedy Nugroho Dadang Sudiadi Program Studi Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, 16425, Indonesia e-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini berfokus pada hubungan antara komunitas, kohesi sosial, kontrol sosial, dan Community Crime Prevention untuk mencegah terorisme. Studi kasus penelitian ini ada di Desa Cemani sebagai sebuah tempat yang dikenal memiliki masalah dengan terorisme dengan melihat penerapan dari cetak biru pencegahan terorisme BNPT yang dianalisis dengan teori pembangunan Community Crime Prevention Whitzman. Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa ketiga konsep tersebut memiliki hubungan. Selain itu, di dalam penelitian ini juga ditemukan anomali atas hubungan ideal dari yang seharusnya terjadi. Kata kunci: Komunitas, Kohesi Sosial, Kontrol Sosial, Community Crime Prevention, dan Tindak Pidana Terorisme dan Radikalisme
Abstract This research focusing on the connection between community, social cohesion, social control, and community crime prevention. This research focusing on the Cemani Village terrorism case which is well known for its terrorism problem by researching on the application of BNPT blueprint of terrorism prevention analyzed by Whitzman theory on how to build community crime prevention. This research found that the three concepts has connection to one each other. Beside that, this research found some anomalic connection than the ideal connection betweet those concept.. Keywords: Utilization; Social Cohesion, Social Control, Community Crime Prevention, Terrorism anda Radicalism.
PENDAHULUAN Saat ini terorisme menjadi satu dari tiga kejahatan luar biasa yang mendapatkan perhatian khusus oleh negara. Kedudukan terorisme menjadi sejajar dengan korupsi dan narkotika karena dampak dari kejahatan ini begitu besar, tidak hanya dari segi materi melainkan juga nyawa. Sejarah mencatat tindak terorisme telah terjadi mulai dari tingkat lokal hingga internasional Tidak hanya terjadi di luar negeri, tindak terorisme juga acap kali terjadi di Indonesia. Beberapa kasus
cukup menyita perhatian dunia internasional karena turis asing yang sedang berada di Indonesia turut menjadi korban kejahatan terorisme. Terkait maraknya tindak terorisme yang terjadi, Deputi 1 bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulan Terorisme (BNPT), Mayor Jenderal Agus Surya Bakti melakukan pemetaan terhadap wilayah-wilayah rawan terorisme di Indonesia. Hasil pemetaan tersebut menunjukkan bahwa wilayah Solo dan sekitarnya (Soloraya) merupakan salah satu dari 12
Pencegahan kejahatan..., Kunto Hedy Nugroho, FISIP, 2014
daerah yang rawan akan aksi terorisme1. Berbagai peristiwa seperti penembakan terhadap polisi, penangkapan terhadap pelaku perencanaan terorisme hingga pengeboman terjadi di wilayah Soloraya. Selain itu, wilayah ini juga dikenal sebagai wilayah asal beberapa pelaku yang melakukan tindak terorisme di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satu peristiwa terorisme yang cukup terkenal adalah ledakan yang terjadi pada hari Minggu, 25 September 2011 di GBIS Kepunton, Solo, Jawa Tengah.2 Modus tindak kejahatan ini dilakukan dengan bom bunuh diri yang meledak tepat setelah khotbah selesai dilaksanakan dalam ritual kebaktian. Akibat peristiwa tersebut, pelaku yang diindikasikan bernama Ahmad Yosefa tewas mengenaskan dan 28 orang lainnya terluka. Peristiwa tersebut memunculkan kebijakan dari pihak pemerintah setempat, salah satunya adalah penyisiran terhadap gereja-gereja di Solo diperketat pada setiap perayaan hari besar keagamaan, hingga 2 tahun setelah pengeboman terjadi.3 Selain pengeboman, bentuk terorisme yang terjadi adalah penembakan terhadap polisi yang dilakukan oleh seorang pria bernama Firman. 4 Firman secara sah terbukti melakukan penembakan kepada dua orang polisi di Pos Polisi Gladag, Singosaren, Solo. Sebagai hukuman atas tindak terorisme yang dilakukannya, Firman, yang melakukan penyerangan dengan alasan ingin menunjukkan eksisteNsi kelompok terorismenya, dipenjara selama delapan tahun. Sukoharjo, sebagai salah satu bagian dari wilayah Soloraya juga tidak luput dari peristiwa terorisme. Salah satu peristiwa yang cukup terkenal adalah
penangkapan Herniyanto pada tahun 2003, seorang warga Sukoharjo yang dicurigai terlibat dalam peristiwa bom Bali 1.5 Selain penangkapan pelaku tindak terorisme, Sukoharjo diketahui menjadi lokasi kegiatan beberapa tindak pidana terorisme Seluruh fakta yang telah disebutkan memperlihatkan bahwa tindak terorisme memerlukan suatu penanganan khusus agar kejahatan ini dapat diminimalisasi dan dapat dicegah ke depannya. Penanggulangan terorisme yang dilakukan di Indonesia sendiri adalah melalui operasi intelijen, investigasi, dan peranan Densus 88.6 Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT Brigjen Pol Tito Karnavian, pada bulan Agustus tahun 2011 menyatakan bahwa dalam penanggulangan terorisme, intelijen memiliki peranan hingga tujuh puluh persen, investigasi memiliki peranan sebanyak dua puluh persen dan sepuluh persen sisanya merupakan peranan dari Densus 88. Peran serta masyarakat dalam pencegahan terorisme sebenarnya juga sudah diwacanakan dalam rapat kerja antara Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan pada tanggal 31 Agustus 2009. 7 Namun, sebagaimana yang diakui oleh Kementrian Pertahanan, pelibatan peran masyarakat ini masih dianggap kurang maksimal. Berbagai pemberitaan media menunjukkan bahwa penanggulangan terorisme di Indonesia sampai sekarang masih berpusat pada tindakan penegakan hukum yang dilakukan oleh Intelijen, POLRI, dan TNI.8 Hal tersebut mendukung pernyataan Ansyad
5
1
http://news.okezone.com/read/2013/09/05/337/8611 54/bnpt-ada-12-wilayah-rawan-teror. Diakses pada 09 Januari 2014 pukul 07.02 2 http://www.tribunnews.com/nasional/2011/09/25/kr onologi-bom-gereja-kepunton-solo diakses pada 28 Desember 2013 pukul 04.47 3 http://www.tempo.co/read/news/2013/12/24/058539 852/Natali-Polisi-Sterilkan-Gereja-Kepunton-Solo. Diakses pada 14 April 2014 pukul 0.20 4 http://www.merdeka.com/peristiwa/terorispenembak-polisi-singosaren-solo-divonis-8tahun.html . Diakses pada 08 Januari 2014 pukul 22.09
http://www.tempo.co/read/news/2002/12/03/055334 13/Polisi-Kembali-Geledah-Rumah-OrangtuaHerniyanto-di-Solo. Diakses pada 04 Februari 2014 pukul 06.39 6 http://infopublik.kominfo.go.id/read/5373/70persen-penanganan-teroris-peran-intelijen.html. Diakses pada 04 Februari 2014. 7
http://www.bnpt.go.id/index.php/profile?showall=1& limitstart=. Diakses pada 15 April 2014 pukul 09.25 8
http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/konse psi-pencegahan-dan-penanggulangan-terorisme-diindonesia-dalam-rangka-menjaga-keutuhan-. Diakses pada 15 April 2014 pukul 09.31
Pencegahan kejahatan..., Kunto Hedy Nugroho, FISIP, 2014
Mbai (kepala BNPT), bahwa metode penanggulangan terorisme yang dilakukan di Indonesia masih belum efektif.9 Pelibatan masyarakat di beberapa negara seperti Belanda, Inggris, Singapura, Saudi Arabia, dan Yaman dalam pencegahan terorisme adalah dengan memperkuat pencegahan ideologi radikal yang memunculkan terorisme. Informasi ini dikemukakan dalam artikel jurnal yang berjudul Re-imagining counter-terrorism: the importance of counter ideology as part of the wider response to terrorism. Selain itu peran masyarakat adalah untuk memberikan informasi kepada pihak berwenang atas berbagai hal yang mencurigakan memiliki keterkaitan dengan masalah terorisme. Masyarakat diharapkan mampu menjadi “mata” bagi intelijen untuk aktif memberikan informasi. Informasi ini dapat ditemukan dalam artikel jurnal yang berjudul policing uncertainty: countering terror through community intelligence and democratic policing. Penanaman paham radikal yang bisa berlanjut pada tindak terorisme, juga menjadi permasalahan di Indonesia. Dalam hal ini, paham-paham radikal biasanya ditanamkan dalam suatu komunitas atau kelompok tertentu yang sayangnya berafiliasi dengan ajaran agama. Pondok pesantren sebagai salah satu komunitas pengajaran agama, seringkali diidentikkan oleh masyarakat sebagai site yang rentan terhadap pengaruh paham-paham radikal yang disusupi melalui pengajaran agama. Namun, Kapolda Jawa Tengah menyatakan bahwa pondok pesantren dan terorisme sebenarnya tidak memiliki hubungan.10 Ia menekankan bahwa pengajaran agama yang lurus dan sesuai dengan kaidah, tidak mungkin menyesatkan ke tindakan radikal seperti terorisme. Masalah dari munculnya terorisme dalam konteks pendidikan bukanlah tempat pendidikannya. Akar masalah dari terorisme adalah paham radikal yang disusupi dalam pengajaran agama yang melenceng.
Meskipun demikian, terdapat sebuah lokasi pesantren yang memang sering menjadi bahan pemberitaan media massa karena keterkaitan alumni-alumninya dengan tindakan terorisme. Pesantren tersebut adalah Pondok Pesantren Al-Mukmin, berada di wilayah Desa Cemani, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo.11 Pesantren ini didirikan oleh Abu Bakar Baasyir dan kawan-kawan pada tahun 1974. Pesantren ini dikenal memiliki keterkaitan dengan peristiwa terorisme yang dilakukan oleh alumni-alumni mereka.12 Berikut adalah beberapa pelaku terorisme yang pernah menimba ilmu di pondok pesantren Al-mukmin, Ngruki.13 Wilayah Desa Cemani tempat berdirinya pesantren Al-Mukmin, berdasarkan berita-berita di media massa juga menjadi tempat asal beberapa individu yang terlibat masalah terorisme. Salah satu pelaku terorisme yang berasal dari Desa Cemani adalah Nanang Ndut14. Nanang Ndut tertangkap di Madiun karena terlibat bom cirebon. Disamping munculnya beberapa warga yang tertangkap karena memiliki masalah terorisme, di Desa Cemani juga pernah muncul sekelompok orang yang memiliki pemahaman radikal15. Kelompok tersebut melakukan berbagai penertiban masyarakat dengan melakukan kekerasan. Bahkan, kelompok tersebut pernah terlibat tawuran dengan kelompok lain yang mengakibatkan suasana mencekam. 11
http://www.almukminngruki.com/index.php?option=com_content&view=a rticle&id=59&Itemid=86. Diakses pada 08 Januari 2014. Pukul 14.38 12 http://www.voaindonesia.com/content/pondokpesantren-ngruki-enggan-dikaitkan-denganterorisme/1512140.html. Diakses pada 08 Januari 2013 pukul 16.45. 13 International Crisis Group. 2006. Terorisme di Indonesia: Jaringan Noordin Top. Asia Report No 114. 14
9
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/471092menag--awasi-pesantren-nu--strategi-melawanterorisme-tak-tepat. Diakses pada 02 Februari 2014. Pukul 10.32
http://news.detik.com/read/2011/10/21/185420/17498 00/10/ayah-nang-ndut-alhamdulillah-nanangtertangkap?nd771104bcj. Diakses pada 31 Desember 2014.
10
15
http://www.suaramerdeka.com/harian/0211/27/nas10. htm diakses pada 23 Maret 2014. Pukul 01.17
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/12/17/0 027.html. Diakses pada 29 Desember 2014
Pencegahan kejahatan..., Kunto Hedy Nugroho, FISIP, 2014
Kelompok yang menamakan diri “Laskar Jihad” yang memiliki markas di Desa Cemani melakukan penertiban terhadap berbagai tempat hiburan dengan melakukan kekerasan. Kelompok tersebut ketika melakukan sweeping membawa senjata tajam dan merusak tempat hiburan. Bahkan, Toni dan Ikhsan sebagai pendatang di Desa Cemani juga sering melakukan sweeping kepada warga sekitar untuk melakukan penertiban sebelum tertangkap karena masalah terorisme16. Ihsan ditemukan bersama beberapa benda mencurigakan yang kemungkinan dapat dibuat menjadi bom. Benda-benda yang ditemukan oleh pihak kepolisian tersebut antara lain adalah HP, pedang, plastik berisi arang, kaset, plastik berisi semen, plastik berisi serbuk, bendel kertas berisi cara merakit bom, buku harian warna cokelat dan plastik berisi arang. Ihsan juga diduga turut membantu Roki yang kabur dari tahanan Polda Metro Jaya pada tanggal 06 November 2012. Selain itu, pada tahun 2013 Desa Cemani juga pernah menjadi tempat perencanaan pengeboman Pos Polisi di Gladag Solo17. Perencanaa itu dilakukan di Gedung Serba Guna Cemani di Jalan Pinang Cemani, Grogol, Sukoharjo. Kepolisian sewaktu melakukan rekonstruksi kejadian membawa lima dari enam terduga teroris, yakni Bayu Setiono, Muchsin, Farhan, Firman Firmansyah, dan Zaenal Ali. Mereka dinaikkan ke barracuda dan dikawal ketat Brimob dibantu personel TNI. Dalam pertemuan itu, mereka merencanakan penyerangan Pospam Lebaran, Pos Polisi Gladag, dan Pos Polisi Singsosaren Plasa. Penyerangan tersebut menewaskan anggota Polsek Serengan, Aipda Dwi Data. Melalui rekonstruksi tersebut tergambar para terduga teroris merencanakan matang serangan demi serangan, termasuk siapa yang ditunjuk sebagai eksekutor. Mereja juga menggambarkan skema hasil pemantauan ke lokasi-lokasi target serangan. Kemudian, lima terduga teroris tersebut
16
http://joglosemar.co/2012/12/otak-teroris-polsekdibekuk.html. Diakses pada 29 Desember 2014 17
membubarkan diri. Rekontruksi digelar tim Mabes Polri di tiga kota dan kabupaten, yaitu Sukoharjo, Solo, dan Karanganyar. Berdasarkan data yang tercantum pada latar belakang penelitian, Sukoharjo merupakan salah satu kota yang tersinyalir memiliki kaitan erat dengan berbagai tindak terorisme. Pemberitaan menyebutkan bahwa Sukoharjo menjadi lokasi persembunyian pelaku teror hingga perencanaan berbagai tindak terorisme yang terjadi di Indonesia. Bahkan beberapa alumni sebuah pondok pesantren di Sukoharjo juga terlibat sebagai pelaku tindak terorisme. Pihak kepolisian setempat juga acap kali menemukan berbagai jenis bom rakitan. Dari berbagai tempat di Sukoharjo, desa Cemani yang terletak di wilayah kecamatan Grogol merupakan lokasi yang paling mendapatkan sorotan dalam masalah terorisme di Sukoharjo. Berbagai penangkapan pelaku terorisme terjadi di wilayah Cemani. Perencanaan tindak terorisme juga pernah dilakukan di wilayah tersebut. Pondok pesantren Almukmin yang terletak di wilayah tersebut juga dikenal sebagai salah satu pesantren yang memiliki keterkaitan dengan terorisme. Berdasarkan berita yang penulis kumpulkan dari media seperti solopos, website Kementrian Informasi dan Informatika, dan Kompas, berbagai upaya pencegahan terorisme telah dilakukan dengan penegakkan hukum, operasi intelijen, serta investigasi kejahatan. Meski demikian, hal tersebut belum mampu menghapuskan berbagai bentuk tindak terorisme di Sukoharjo tepatnya di Desa Cemani Sukoharjo. Fakta tersebut menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan oleh pihak berwenang tidaklah cukup, peran masyarakat dalam bentuk pencegahan dibutuhkan sebagai bentuk lain upaya penanggulangan tindak terorisme. Penelitian ini memperlihatkan bagaimana upaya masyarakat desa Cemani dalam pencegahan terorisme melalui teori pembangunan pencegahan kejahatan berbasis komunitas. Konsep ini penulis pilih karena pencegahan kejahatan berbasis komunitas bertolak pada pelibatan komunitas untuk berpartisipasi dalam ranah lokal untuk melakukan
http://news.okezone.com/read/2013/04/03/511/78549 0/rencana-penyerangan-pospam-dirapatkan-digedung-cemani. Diakses pada 31 Desember 2014
Pencegahan kejahatan..., Kunto Hedy Nugroho, FISIP, 2014
pencegahan kejahatan18. Komunitas bersama institusi sosial bekerjasama untuk melakukan perbaikan terhadap lingkungan sosial bertolak pada tindakantindakan yang dilakukan untuk mengubah keadaan sosial maupun situasional yang menyebabkan berlangsungnya kejahatan yang ada di lingkungan tersebut tetap ada. Berdasarkan penjelasan yang sudah dipaparkan di dalam masalah penelitian, pertanyaan yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah upaya pencegahan kejahatan berbasis komunitas terhadap terorisme oleh masyarakat Desa Cemani Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah ditinjau dengan teori pembangunan community crime prevention Whitzman? Penelitian ini diharapkan mampu menggambarkan upaya masyarakat Desa Cemani Kabupaten Sukoharjo dalam melakukan pencegahan terorisme berikut memberikan masukkan perbaikan atas upaya pencegahan terorisme yang sudah dilaksanakan, sehingga potensi terjadinya tindak terorisme di Indonesia, khususnya di Desa Cemani Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo dapat ditekan.
TINJAUAN TEORITIS Tindak terorisme dalam penelitian ini merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 2002 pasal 6 yang sudah dijadikan undang-undang melalui UU nomor 15 Tahun 2003. Tindak pidana terorisme menurut Perpu no.1 tahun 2002 adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Perpu tersebut. Unsur-unsur tindak pidana yang penulis pergunakan merujuk pada pasal enam dan tujuh. Terorisme menurut dua pasal tersebut adalah tindak kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau
fasilitas internasional, obyek vital, lingkungan publik, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional. Selain itu penulis juga memasukan berbagai tindak yang berhubungan tindak terorisme seperti pemilikan senjata api, bahan peledak, dan bahan berbahaya lain yang bertujuan untuk tindakan teror (pasal sembilan), pemberian bantuan kepada orang yang melakukan tindak terorisme berupa pendanaan, pemberian kemudahan orang yang melakukan tindak pidana terorisme baik bantuan pinjaman uang, penyembunyian pelaku tindak terorisme, dan penyembunyian informasi tentang tindak pidana terorisme (pasal tiga belas). Pelaku yang menjadi otak tindak terorisme (pasal empat belas), orang yang terlibat perencanaan tindak pidana terorisme (pasal lima belas). Radikalisme merupakan tindakan yang melekat pada seseorang atau kelompok yang menginginkan perubahan baik sosial, politik dengan menggunakan paham kekerasan dan bertindak ekstrim19. Radikalisme menjadi poin penting dalam tindak pidana terorisme karena tindak pidana terorisme muncul dari paham radikal. Oleh karena itu, untuk mencegah terorisme maka diperlukan pencegahan perkembangan terhadap paham radikal sebagai sebuah komponen pencegahan terorisme. Penelitian ini memiliki kelemahan di bagian bias data antara “terorisme” dan “radikalisme” sebagai sesuatu yang dicegah. Bias tersebut diketahui setelah pengambilan data dilaksanakan. Oleh karena itu, penulis mengacu kembali pendefinisian dan posisi antara “radikalisme” dan “terorisme” yang diterangkan di cetak biru BNPT. Menurut Whitzman, komunitas merupakan sekelompok manusia yang berbagi teritorial geografis, dan juga memiliki kesamaan budaya dan institusi20. Area geografis yang dimaksud Whitzman biasanya ditemukan di sebuah perumahan atau sebuah area ketetanggaan maupun sebuah area perkotaan. Kebudayaan yang sama menurut
19 18
Tim Hope, “Community Crime Prevention: Crime and Justice”, Vol.19, (Building a safer society: Strategic Approach to Crime: 1995), hlm. 21 – 89.
BNPT, Blue Print Pencegahan Terorisme, hlm. 6. Carolyn, Whitzman. 2008. The Handbook of Community Safety, Gender and Violence Prevention. hlm.12 20
Pencegahan kejahatan..., Kunto Hedy Nugroho, FISIP, 2014
Whitzman dalam sebuah komunitas biasanya dimiliki dalam konteks pengalaman yang sama. Selain itu, komunitas juga memiliki sebuah sistem dalam sebuah pemerintahan tertentu yang sama. Definisi dari Whitzman ini penulis ambil mengingat bahwa penelitian ini akan mempergunakan teori dari Whitzman. Menurut Beauvais dan Jenson, kohesi sosial merupakan sebuah perasaan memiliki keterikatan terhadap keluarga, kelompok sosial, ruang ketetanggaan, tempat kerja, negara atau sebuah kelompok.21 Perasaan kepemilikan tersebut haruslah inklusif, terikat oleh sebuah identitas, dan rasa kepemilikan terhadap kelompok haruslah ditekankan. Definisi ini juga diperkuat oleh definisi dari Jane Jenson, yang menyatakan kohesi sosial sebagai sebuah proses pelibatan perasaan komitmen untuk hidup bersama di dalam harmoni. Melalui berbagai definisi yang dikemukakan oleh ahli, penelitian ini menyimpulkan bahwa kontrol sosial merupakan setiap tindakan yang bertujuan untuk menjaga ketertiban dan keteraturan atas penyimpangan yang terjadi. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Rose yang menekankan pada keteraturan sosial sebagai tujuan dari kontrol sosial. Berger secara tidak langsung menyatakan bahwa keteraturan menjadi tujuan dari kontrol sosial. Hal ini dapat dilihat melalui pendapatnya bahwa kontrol sosial merupakan setiap tindakan yang berguna untuk menarik orang agar kembali mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan. Maka, hal itu sangat berhubungan dengan keteraturan agar orang tidak melakukan penyimpangan. Pendapat ini hampir senada dengan pendapat Parson yang menyatakan kontrol sosial sebagai alat pengatur atas penyimpangan yang terjadi. Lalu, Ritzer juga menekankan hal sama, yaitu keteraturan. Innes, juga menyatakan hal yang senada dengan Berger dan Parson yang menyatakan kontrol sosial sebagai upaya penanggulangan tindakan yang menyimpang.
Whitzman dalam bukunya menawarkan beberapa definisi dari community crime prevention. Penulis dalam penelitian ini merujuk pada definisi community crime prevention yang disebutkan Whitzman sebagai sebuah bentuk pencegahan segala bentuk perlukaan, termasuk perlukaan yang disengaja seperti kekerasan, kejahatan, dan pembunuhan dimana pemain utama dari pencegahan kejahatan tipe ini dilakukan oleh komunitas tersebut sendiri22. Pendefinisian dari Whitzman ini mementingkan bagaimana peran komunitas untuk “menciptakan” pengamanan mereka sendiri.
KERANGKA TEORI Penelitian ini mempergunakan dasar teori Community Crime Prevention yang dikemukakan oleh Whitzman23. Whitzman merupakan salah satu ahli pengamanan perkotaan dari Universitas Melbourne. Teori ini membahas bagaimana cara membangun sebuah Community Crime Prevention melalui beberapa tahapan. Teori ini telah diterapkan Whitzman di beberapa tempat seperti di Toronto Kanada, Papua New Guinea, Pakistan, Wales, dan beberapa tempat lain. Teori ini penulis pilih karena teori ini memberikan penjelasan praktis bagaimana cara membangun sebuah Community Crime Prevention yang terstruktur. Teknis pembangunan community crime prevention menurut teori Whitzman dapat dipergunakan siapa saja yang ingin membangun pencegahan kejahatan berbasis komunitas. Jika menilik pada cara pembangunan community crime prevention menurut Whitzman, maka mereka yang dapat membangun community crime prevention antara lain adalah para leader berupa kelompok pemerintahan, non pemerintahan, swasta seperti Kepolisian, Pemerintah, Organisasi Kemasyarakatan maupun Kelompok Pendidikan. Selain leader, Whitzman mengangkat kosep “champion” sebagai individu yang memiliki pengaruh dalam sebuah komunitas untuk menggerakkan masyarakat melakukan pencegahan kejahatan. Leader maupun champion memiliki peran penting dalam pembangunan CCP karena para leader 22
21
James, Jupp, dan John Neiwenhuysen. 2007. Social Cohesion in Australia. Melbourne: Cambridge University Press.
Op.cit Whitzman hlm.11 http://msd.unimelb.edu.au/people/carolynwhitzman. Diakses pada 20 Desember 2014 pukul 10.28 WIB. 23
Pencegahan kejahatan..., Kunto Hedy Nugroho, FISIP, 2014
atau para champion inilah yang akan menginisiasi sebuah CCP. Whitzman mendefinisikan komunitas sebagai kumpulan manusia yang saling berbagi teritorial geografi, dan mereka yang memiliki kesamaan budaya dan institusi24. Teori untuk melakukan pencegahan kejahatan berbasis komunitas menurut Whitzman memiliki enam langkah: 1. Developing Partnership Around a Problem Langkah pertama yang sangat penting dilakukan adalah membangun kerjasama berdasarkan masalah. Untuk membentuk perencanaan maka diperlukan sebuah kesepahaman terhadap masalah yang dihadapi. Setiap pihak yang terlibat haruslah merasakan bahwa apa yang dihadapi merupakan sebuah masalah. Selain itu, kesepahaman masalah yang dihadapi haruslah sama. Pewacanaan awal mengenai permasalahan yang ada dapat diutarakan melalui pemimpin komunitas yang memiliki pengaruh untuk menggerakkan komunitas agar disampaikan kepada kelompoknya bahwa terdapat sebuah masalah yang sedang dihadapi. Ketika komunitas sudah merasakan adanya masalah, maka diskusi mengenai permasalahan yang sedang dihadapi haruslah dilakukan. Setiap kelompok berbeda dalam sebuah komunitas dipersilahkan memberikan pendapat atas apa yang sedang dihadapi. Pandangan-pandangan berbeda tersebut dicarikan benang merah. Setiap kelompok dipersilahkan untuk memberikan pendapat baik sebagai korban, maupun sebagai pihak yang sudah melakukan pencegahan atas kejahatan yang sedang dibahas. Pemimpin kelompok diharapkan menjadi pembangun koNseNsus atas masalah yang sedang dihadapi. Halhal prinsip yang harus diperhatikan ketika diskusi yang dilakukan adalah pelarangan kritik terhadap orang yang diperbolehkan hanyalah kritik terhadap ide, pendorongan agar setiap kelompok bersedia membagikan informasi yang dimiliki, dan terakhir adalah dorongan untuk melakukan kompromi.
24
Carolyn Whitzman, Handbook of Community Safety, Gender, and Violence Prevention: Practical Planning Tools, (London: Earthscan, 2008), hlm. 148.
Langkah lain yang dilakukan ketika ditemukan adanya masalah adalah pembentukan steering committee. Komite inilah yang akan membuat perencanaan. Komite ini diisi oleh berbagai pemimpin dari kelompok berbeda. Dengan adanya keterwakilan dari kelompok berbeda maka pandangan yang ada akan representatif sesuai dengan kebutuhan masing-masing kelompok. Pemilihan pemimpin dari kelompok berbeda akan mempermudah sosialisasi hasil kebijakan dan hasil keputusan. Berbagai kelompok potensial untuk diajak melakukan pembangunan pencegahan berbasis komunitas antara lain adalah kelompok dari pemerintahan yang terdiri dari politisi, kelompok pendidikan, kelompok pekerja sosial, kelompok kesehatan, polisi, penulis, dan lain sebagainya. Kelompok non pemerintahan yang terdiri dari kelompok organisasi keagamaan, kelompok pelayanan, kelompok ketetanggaan, kelompok olahraga, kelompok kepemudaan, dan lain sebagainya. Ketiga, dari kelompok swasta seperti kelompok bisnis, perdagangan, media, dan lembaga donor swasta. Selain itu, individu-individu yang berpengaruh di dalam sebuah komunitas secara kultural juga dapat dilibatkan untuk mendorong munculnya kesepahaman atas suatu masalah tertentu. Bagi Whitzman, individu-individu berpengaruh tersebut disebut dengan julukan ”Champions”. 2. Diagnostic Tools and Community Consultation Langkah kedua adalah diagnosa kebutuhan dan kepentingan komunitas. Kebutuhan pengamanan dibicarakan lebih lanjut, selain itu sumberdaya yang ada di masyarakat perlu didiagnosa pula. Kebutuhan akan pengamanan yang didiskusikan antara lain masalah kejahatan apa yang sedang terjadi berikut perasaan tidak nyaman yang mereka rasakan. Tahapan ini dapat membantu untuk menerapkan mobilisasi komunitas agar semakin kuat. Hal ini disebabkan karena anggota komunitas dilibatkan dalam pencarian data. Mereka dilatih dalam pencarian data, kepemimpinan, mengorganisasi data, dan menganalisa informasi yang sudah ada. Data dapat ditemukan di statistik kepolisian, survey korban, maupun sumber lain seperti melalui diskusi yang dilakukan pada tahapan pertama. Tahapan ini juga mengumpulkan seluruh data demografis seperti
Pencegahan kejahatan..., Kunto Hedy Nugroho, FISIP, 2014
wilayah geografis, data kelompok, sosio ekonomi, usia, struktur masyarakat, data pekerjaan, dan data penting lainnya. Dugaan-dugaan mengapa masalah tersebut bisa terjadi berikut upaya penanggulangan yang sudah dilakukan dengan disertai koreksi juga menjadi sangat penting untuk diketahui. Selain dampak, akibat-akibat dari kejahatan yang terjadi menjadi hal yang tentu tidak dapat dilupakan. 3. Developing work plans based on a logic framework Langkah ketiga merupakan membangun rencana kerja berdasarkan logika kerangka kerja. Kerangka kerja tersebut haruslah SMART (specific, measurable, realistic, and timely). Setiap langkah yang sudah direncanakan haruslah tertulis dan ditandatangani oleh setiap pihak yang terlibat. Perencanaan yang sudah tertulis haruslah dipastikan untuk diterima setiap orang yang terlibat maupun pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengendalian kejahatan. Perencanaan yang dibuat harus pula menjabarkan tujuan dari perencanaan itu dibuat. Perencanaan itu haruslah memuat bagaimana keadaan masyarakat setelah perencanaan dilakukan. Indikator keberhasilan haruslah jelas dimunculkan dalam perencanaan tersebut. Kerangka waktu pembatas juga menjadi komponen yang tidak bisa ditinggalkan. Selain itu, kerangka rencana haruslah dibuat secara realistis sesuai dengan kemampuan komunitas. 4. Implementation and Monitoring Langkah keempat adalah implementasi dan monitoring. Perencanaan dilakukan dengan sebaikbaiknya. Setiap kejadian dicatat. Pengawasan dilakukan oleh steering committe untuk memastikan bahwa perencanaan dilakukan dengan matang dengan memantau dan membahas perkembangan setiap jangka waktu tertentu. Laporan diberikan setiap dalam jangka waktu tertentu. Laporan diharapkan diberikan kepada setiap pihak yang berkepentingan agar mereka dapat melihat perkembangan perencanaan yang sudah dilakukan. 5. Evaluation Langkah kelima adalah evaluasi. Tahapan ini merupakan sebuah proses objektif untuk melihat relevansi dari program, efektivitas, dan dampak dari rencana kerja yang sudah dibuat. Tujuan dari evaluasi
adalah untuk melihat tujuan mana yang sudah dan belum tercapai, strategi apa yang sudah dan belum tercapai, dan aktivitas seperti apakah yang sudah diimplementasikan sesuai dengan rencana yang telah dibuat. 6. Modification, Maintenance, and Mainstreaming Langkah keenam merupakan modifikasi, perawatan, dan pengarusutamaan. Modifikasi dilakukan untuk selalu menyesuaikan rencana dan implementasi agar selalu sesuai dengan keadaan yang selalu berubah. Perawatan merupakan sebuah bentuk pemberian perhatian dan tindakan terhadap hal-hal yang memerlukan tindakan sehingga tetap berjalan baik. Pengarusutamaan merupakan tindakan yang dilakukan agar masalah ini tetap mendapatkan perhatian. Melalui tindakan-tindakan tersebut, maka diharapkan program pencegahan kejahatan dapat terus berjalan dengan baik. Pengarus utamaan dapat dilakukan dengan memberikan edukasi maupun kampanye untuk mempertahan kan CCP yang sudah terbentuk. Bentuk dari CCP dalam praktik yang sudah dilakukan oleh Whitzman, antara lain adalah penerapan CPTED, penggunaan CCTV, neighbourhood watch, patroli komunitas, dan pengawasan akses masuk. Asumsi dari strategi ini adalah bahwa masalah berasal dari luar lalu yang akan menghalau mereka kemungkinan adalah keluarga, tetangga, atau diri kita sendiri. Strategi ini akan meningkatkan kapasitas komunitas untuk menghadapi masalah.
METODOLOGI Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini penulis ambil untuk mendapatkan gambaran secara utuh mengenai suatu fenomena yang terjadi di masyarakat. Penelitian ini tidak dibatasi oleh beberapa variabel saja yang akhirnya membatasi penjelasan fenomena strategi pencegahan terorisme yang sedang terjadi di wilayah Sukoharjo. Creswell mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai suatu pendekatan atau penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami suatu gejala sentral. Oleh karena itu, untuk mengerti gejala sentral tersebut penulis mewawancarai partisipan dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Informasi yang didapatkan dari partisipan itu kemudian dikumpulkan
Pencegahan kejahatan..., Kunto Hedy Nugroho, FISIP, 2014
dan dianalisis. Hasil analisis tersebut dapat berupa penggambaran atau deskripsi25. Penulis dalam penelitian ini akan menjadi alat ukur utama atas kerangka pikir yang dibangun dalam penelitian ini. Penulis akan melihat upaya pencegahan kejahatan terorisme yang dilakukan oleh masyarakat desa Cemani kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo menggunakan kerangka pemikiran hubungan antara komunitas, kohesi sosial, terorisme, kontrol sosial, dan community crime prevention. Dalam penelitian penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan fenomena sosial dengan tujuan menyajikan gambaran yang lengkap mengenai seting sosial dan hubunganhubungan yang terdapat dalam penelitian. Jenis penelitian deskriptif juga didasarkan pada pertanyaan mendasar, yaitu bagaimana. Dengan data deskriptif, maka penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai kondisi sosial budaya, kontrol sosial, dan kemampuan masyarakat Sukoharjo dalam menangani masalah terorisme ini. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi literatur, observasi, dan wawancara tidak terstruktur. Studi literatur dipergunakan sebagai landasan awal pencarian data yang dikembangkan melalui observasi untuk diperkuat dengan wawancara tidak terstruktur. Narasumber yang dipilih merupakan representasi dari leader yang akan diklarifikasi melalui observasi dan wawancara tidak terstruktur. Narasumber yang dipilih antara lain adalah dari pihak militer, kepolisian, dan Pihak ormas keagamaan. Setelah didapatkan informasi dari para leader maka penulis melakukan klarifikasi terhadap masyarakat atas apa yang dilakukan para leader.
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Menurut Wood, kontrol sosial merupakan elemen penting dalam komunitas untuk pencegahan kejahatan26. Wood menilai bahwa komunikasi dan pertemuan informal akan sangat membantu terjadinya kontrol sosial dalam komunitas. Menurut dia, ketiadaan kontrol sosial merupakan salah satu penyebab terjadinya kejahatan dalam sebuah komunitas. Salah satu bentuk kontrol sosial dalam menanggulangi kejahatan adalah pencegahan kejahatan27. Kontrol sosial jenis ini menekankan bagaimana intervensi dilakukan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Intervensi jenis ini dilakukan dengan memberikan sentuhan langsung terhadap kejahatan jenis tertentu supaya tidak terjadi. Upaya pencegahan kejahatan digolongkan sebagai sebuah kontrol sosial karena pencegahan kejahatan merupakan sebuah bentuk upaya memunculkan ketertiban di dalam masyarakat. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kerangka dari salah satu bentuk pencegahan kejahatan yang dilakukan melalui upaya komunitas yaitu yang disebut sebagai Community Crime Prevention. Salah satu ahli yang memiliki perhatian terhadap keselamatan komunitas adalah Carolyn Whitzman28. Ia memaparkan langkah yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam melakukan pencegahan kejahatan yang mengandalkan partisipasi dari masyarakat itu sendiri. Dalam konteks Desa Cemani, penulis mencoba untuk mengaplikasikan langkah-langkah tersebut untuk membangun Community Crime Prevention untuk mencegah kejahatan terorisme seperti yang dipaparkan dalam teori Whitzman. 5.3.1 Developing Partnership Around a Problem Langkah pertama yang dilakukan adalah membangun kerjasama berdasarkan pada masalah. Pada tahapan ini diperlukan kesepahaman terhadap masalah yang dihadapi. Setiap pihak yang diajak dalam menyelesaikan masalah harus merasakan bahwa terhadap masalah yang harus dihadapi dan sepakat bahwa masalah ini harus dihadapi. Pada tahapan ini 26
Loc. Cit. Innes. Loc.Cit. Innes 104. 28 http://msd.unimelb.edu.au/people/carolynwhitzman. Diakses pada 20 Desember 2014 pukul 10.28 27
25
John W Cresswell, “Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2008), hlm. 19.
Pencegahan kejahatan..., Kunto Hedy Nugroho, FISIP, 2014
dapat dilakukan pembentukan steering committee yang akan memimpin perencanaan pencegahan kejahatan. Berbagai pihak yang terdiri dari kelompok pemerintahan seperti kepolisian, TNI, lembaga pendidikan, maupun pemerintahan maupun pihak swasta seperti LSM, organisasi sosial, lembaga pendidikan yang dalam teori Whitzman disebut sebagai Leader dapat dilibatkan. Pencegahan terorisme yang dilakukan oleh masyarakat dalam penelitian ini difokuskan pada pengawasan terhadap aktivitas mencurigakan sehingga masyarakat dapat berperan menjadi “intel” untuk pihak yang berwenang dalam pencegahan terorisme dan pencegahan terhadap paham radikal yang dianggap memunculkan aktivitas terorisme. Bentuk tersebut penulis ambil dari paparan dua buah artikel jurnal yang penulis review yang berjudul “Importance of Counter Ideology as Part of the Wider Response to Terrorism” dan Policing Uncertainty: Countering Terror Through Community Intelligence and Democratic Policing . Sebagai bagian dari radikalisme, untuk konteks Indonesia terdapat kelompok teroris yang melakukan teror dengan alasan ingin mendirikan negara Islam. Oleh karena itu, komponen penerimaan terhadap Nasionalisme dan Pancasila menjadi penting untuk dibahas dalam penelitian ini. Masalah ini dapat dilihat pada jurnal yang berjudul berjudul Jemaah Islamiyah: of Kin and Kind. Sebelum memasuki analisis, ditemukan dalam penelitian ini bahwa leader community crime prevention untuk masalah terorisme antara lain adalah Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, Kodim (TNI), Polres, dan NU. Selain itu, terdapat leader potensial seperti pondok pesantren Al-Mukmin, Muhammadiyah, Majelis Mujahidin. Masalah dari leader potensial antara lain adalah Pihak Muhammadiyah dan Pihak MMI tidak bersedia untuk melakukan dakwah secara eksternal atau mereka lebih tertarik untuk melakukan dakwah kepada kalangan internal mereka. Sedangkan, masalah dari Ponpes Al-mukmin adalah masalah pemahaman terhadap Nasionalisme dan Pancasila yang ada di pemahaman santri mereka yang belum selesai. Langkah pertama Developing Partnership Around a Problem. Tahap ini merupakan tahapan dimana
kesamaan persepsi atas permasalahan yang terjadi harus ada. Permasalahan haruslah diperbincangkan bersama-sama. Setiap kelompok yang ada di komunitas tersebut haruslah memahami bahwa terdapat sebuah bentuk permasalahan di lingkungan tersebut. Langkah pertama ini belum dilaksanakan oleh masyarakat Desa Cemani. Hal ini dapat dilihat dari berbagai wawancara yang dilakukan oleh penulis. Komentar-komentar tersebut merupakan cerminan bagaimana adanya warga yang merasa terganggu dengan masalah terorisme yang terjadi namun juga ada masyarakat yang tidak terganggu dengan berbagai masalah yang memiliki keterkaitan dengan terorisme terjadi. Pemahaman yang sama akan masalah terorisme yang terjadi di lingkungan mereka menjadi penting karena jika masyarakat tidak bersepakat atas permasalahan yang terjadi di desa mereka, maka seluruh sumberdaya untuk melakukan pencegahan terorisme tidak dapat dikerahkan bahkan bisa mengganggu. Walaupun kesepakatan akan permasalahan ini terkesan tidak penting, akan tetapi, pemahaman seperti ini perlu diketahui oleh masyarakat sebagai aktor utama pencegahan kejahatan berbasis komunitas ini. Oleh karena itu, sebelum masuk ke perencanaan upaya pencegahan terorisme yang akan dilakukan, maka penyamaan persepsi atas permasalahan terorisme di Desa Cemani ini perlu diperhatikan terlebih dahulu. Jika memang masalah terorisme di Desa Cemani ini merupakan masalah yang mengkhawatirkan maka perlu diselesaikan bersama, jika tidak mengkhawatirkan seperti pendapat dari Kodim, maka perlu dipertanyakan kembali seperti apakah program ketahanan wilayah yang perlu diterapkan di Desa Cemani sudah mencukupi padahal permasalahan munculnya lambang ISIS dan tertangkapnya Ustadz Afif memunculkan bukti bahwa masalah terorisme masih ada di Desa Cemani karena lemahnya pengawasan lingkungan dan masih adanya paham radikal yang mengarah pada terorisme. Setelah dicapai satu kesepakatan pemahaman terhadap masalah ini oleh para Leader, maka pembahasan masalah ini dapat dilakukan bersama dengan penduduk Desa Cemani. Langkah praktis adalah dengan melakukan pembicaraan mengenai masalah terorisme ini di tingkat RT. Berbagai gambaran masalah yang sudah terjadi maupun yang sedang hangat terjadi seperti
Pencegahan kejahatan..., Kunto Hedy Nugroho, FISIP, 2014
penangkapan Ustadz Afif dan munculnya lambang ISIS perlu dibicarakan bersama. Setelah ditemukan kata sepakat, pembentukan steering committee dapat dilakukan. SC dapat merupakan perwakilan dari setiap RT jika memang memmungkinkan ditambah para leader. Akan tetapi, jika perwakilan SC dari RT terlalu besar, maka pembentukan SC dari perwakilan setiap RW dapat menjadi solusi yang baik. Desa Cemani belum melaksanakan langkah pertama untuk membangun Community Crime Prevention. Desa Cemani belum memperlihatkan sebuah bentuk pembangunan komunitas yang bertujuan mencegah terorisme. Pembicaraan mengenai masalah terorisme belum dilaksanakan. Apalagi, pembentukan sebuah steering committee. Walaupun terdapat sebuah kerjasama para leader dalam pencegahan terorisme seperti yang ditunjukkan ketika NU melakukan deklarasi anti ISIS dengan melibatkan TNI dan Polri, akan tetapi belum ada pembentukan SC di Desa Cemani. Setiap elemen cenderung melaksanakan tugasnya tanpa sinergisitas dari elemen pencegahan terorisme lain. TNI dengan metode Binter, Polri dengan upaya sambang Desa, NU dengan pengajian melaksanakan upaya pencegahan terorisme tanpa sinergisitas. Munculnya kelompok masyarakat yang tidak sepakat dengan tindakan Densus 88 dan tidak sepakat untuk mengibarkan bendera haruslah diperhatikan. Masalah dari kelompok masyarakat ini haruslah diselesaikan mengingat bahwa Densus 88 merupakan salah satu alat negara untuk mencegah terorisme. Kelompok warga yang belum sadar akan masalah terorisme yang sedang terjadi di Desa Cemani juga harus disadarkan. Tanpa penyadaran bahwa masalah terorisme memang menjadi masalah di Desa Cemani, maka maksimalisasi sumberdaya tidak akan dapat dilaksanakan untuk mencegah terorisme. 5.3.2 Diagnostic Tools and Community Consultations Langkah kedua adalah Diagnostic Tools and Community Consultations. Tahapan ini merupakan salah satu tahapan dimana masyarakat mulai melakukan pemetaan masalah dan sumberdaya. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pertemuan dengan seluruh warga untuk membicarakan masalah terorisme. Masyarakat perlu diberikan pemahaman yang jelas mengenai tindakan terorisme dan akar
pemikiran radikalisme yang berbahaya. Kutipan wawancara mengenai pemahaman terorisme yang masih buruk dari warga mengenai masalah terorisme sudah disebutkan di dalam temuan data dan lampiran. Sumberdaya yang dimaksud dapat berupa langkahlangkah apa saja yang sudah dilakukan oleh kelompok masyarakat yang sadar bahwa masalah terorisme sudah terjadi di lingkungan mereka dan mereka sudah melakukan pencegahan supaya hal itu tidak terjadi diwilayah mereka. Masalah-masalah seperti ketidaktahuan masyarakat terhadap masalah identifikasi siapa teroris dapat dikonsultasikan dengan berbagai pihak seperti Kepolisian, Kodim, maupun NU. Jika memang dimungkinkan juga dapat dibicarakan dengan ormas lain seperti Muhammadiyah, MMI, atau lembaga pendidikan seperti Pondok Pesantren Al-mukmin. Pemetaan berbagai sumberdaya seperti siapa saja yang dapat dilibatkan juga penting untuk dilakukan. Berbagai kelompok berbeda mengirimkan perwakilan untuk membentuk Steering Committee. Masalah penting yang harus dibahas dalam penelitian ini adalah ketidaksetujuan sekelompok warga Desa Cemani terhadap apa yang dilakukan oleh Densus 88. Selain itu, salah satu komponen yang harus mendapatkan perhatian serius adalah terdapatnya sekelompok masyarakat yang kurang setuju dengan Nasionalisme dan Pancasila. Oleh karena itu, dua masalah ini dapat dibahas dalam tahapan ini. Masalah lain yang perlu dibahas dalam tahapan ini adalah teror yang diterima warga Desa Cemani ketika mengeluarkan pernyataan mengenai masalah terorisme. Walaupun hanya satu orang yang penulis temukan mengalami kejadian tersebut, akan tetapi hal ini perlu dijadikan sebuah hal yang dibicarakan dalam tahapan pemetaan sumberdaya dan masalah untuk membangun Community Crime Prevention untuk mencegah terorisme. Selain itu, masalah lain yang ditemukan ketika langkah pertama dilakukan juga dapat dibicarakan di dalam langkah tahap ini.
5.3.3 Developing Works Plans Based on a Logic Framework
Pencegahan kejahatan..., Kunto Hedy Nugroho, FISIP, 2014
Setelah pemetaan sumberdaya dan masalah selesai maka dapat dilakukan berbagai upaya perencanaan pemecahan masalah yang terjadi melalui pelaksanaan tahap ketiga yaitu Developing works plans based on a logic framework. Semua rencana haruslah spesifik, dapat diukur, realistis, dan sesuai waktu. Seluruh pihak yang turut dilibatkan haruslah turut serta menandatangani perencanaan yang sudah dilakukan. Hal ini sudah dilakukan oleh kelompok ronda RW 10. Akan tetapi, perencanaan ronda tersebut kurang menitikberatkan pada masalah terorisme. Kelompok ronda RW 10 membuat surat kesepakatan melakukan ronda yang ditandatangani ketua RT dan RW. Disitu disebutkan kewajiban dan sanksi terhadap warga yang taat maupun melanggar perjanjian. Pada tahapan ini dibahas apa yang akan dilakukan, siapa yang bertanggung jawab, kapan implementasi mulai dilakukan, kapan evaluasi dilakukan, dan penentuan parameter yang akan dipergunakan untuk evaluasi. Perencanaan yang matang penting dilakukan mengingat bahwa hasil yang maksimal harus dicapai sehingga masalah tidak akan terjadi lagi. Pada tahapan ini, harus dipastikan bahwa rencana yang akan dilakukan dapat diterima oleh setiap komponen masyarakat Desa Cemani. Penerimaan dari masyarakat penting mengingat bahwa pemikiran community crime prevention adalah menjadikan masyarakat sebagai aktor utama pencegahan kejahatan. 5.3.4 Implementation and Monitoring Setelah perencanaan dilakukan, maka langkah keempat dapat dilakukan. Implementasi dilakukan oleh seluruh pihak yang dilibatkan. Pengawasan atau monitoring dilakukan oleh steering committee. Setiap perencanaan yang disepakati haruslah dilakukan bersama oleh masyarakat Desa Cemani. Para leader seperti Kodim 0726, Polres, Pemkab, maupun NU dapat melakukan monitoring. Monitoring dilakukan supaya pelaksanaan benar dilaksanakan. Monitoring SC dapat dipisah, seperti pada bagian pengawasan lingkungan dapat menjadi tanggung jawab dari Kodim dan Polres ataupun representasi mereka di wilayah Desa Cemani. Sedangkan, pihak NU dan Pemkab dapat melakukan upaya edukasi supaya tidak ada lagi warga Desa Cemani yang tersangkut oleh paham yang berpotensi mendorong munculnya tindak terorisme.
Tanpa ada perencanaan yang baik, masyarakat Desa Cemani memang melaksanakan upaya pencegahan terorisme. Akan tetapi apa yang dilakukan reaktif dan tanpa perencanaan yang baik. Monitoring juga tidak ada, hal itu disebabkan karena tidak ada yang bertanggung jawab secara langsung atas apa yang dilakukan terhadap steering committee. Walaupun setiap kejadian terdapat laporan yang diberikan kepada Babinsa maupun Babinkamtibmas, akan tetapi apa yang dilakukan bukanlah sebuah bentuk monitoring sesuai dengan kerangka pemikiran Whitzman karena monitoring harus dilakukan oleh steering committee. Upaya pencegahan terorisme di Desa Cemani ada, akan tetapi terkesan reaktif atau diarahkan saja. Contoh bentuk tindakan reaktif yang dilakukan warga adalah dengan menutup tempat berkumpulnya orang yang diduga memiliki keterkaitan dengan terorisme. Penutupan itu tidak dilakukan dengan perencanaan yang baik. Lalu, bentuk upaya pencegahan terorisme yang diarahkan saja oleh pihak lain seperti TNI, Polri adalah pengawasan pendatang. Bentuk pengarahan juga dilakukan oleh pihak-pihak tertentu saja. Lalu, pencegahan terorisme berupa mewajibkan pendatang untuk membawa surat boro merupakan sebuah bentuk pengarahan langsung dari leader community crime prevention. Berdasarkan kerangka Whitzman, monitoring dilakukan oleh steering committee, akan tetapi di dalam upaya pencegahan terorisme yang dilaksanakan oleh warga Desa Cemani memang terdapat Babinsa dan Babinkamtibmas, akan tetapi kekuatan mereka untuk memberikan masukkan kepada masyarakat tidak akan sekuat jika memang masyarakat memiliki komitmen untuk membangun masyarakat yang mencegah terorisme. 5.3.5 Evaluation Setelah upaya pencegahan terorisme dilaksanakan, evaluasi sebagai langkah kelima dapat dilaksanakan oleh masyarakat Desa Cemani. Evaluasi dilakukan secara objektif. Disinilah berbagai pelaksanaan maupun hasil yang diharapkan yang tidak sesuai dapat dibicarakan bersama. Setiap permasalahan diselesaikan bersama. Evaluasi tidak ada, hal itu disebabkan karena berdasarkan wawancara dengan
Pencegahan kejahatan..., Kunto Hedy Nugroho, FISIP, 2014
Komandan Kodim, Polres, dan Koordinator Ronda salah satu RW menyatakan bahwa apa yang mereka lakukan sudah efektif. Evaluasi atas upaya pencegahan terorisme belum dilaksanakan. Hal itu dapat dilihat dari pendapat TNI, dan Polri yang menyatakan bahwa apa yang mereka lakukan sudah efektif untuk mencegah berbagai permasalahan yang ada. 5.3.1 Modification, Maintenance, and Mainstreaming Modifikasi, perbaikan, dan pengarusutamaan tidak dilakukan karena evaluasi tidak dilakukan. Setiap komponen yang melakukan upaya pencegahan terorisme menyatakan bahwa apa yang mereka lakukan sudah efektif. Oleh karena itu, perbaikan dan modifikasi tidak ada. Akan tetapi, pengarusutamaan tetap ada. Para Babinsa dan Babinkamtibmas masih melakukan pengawasan terhadap Desa Cemani. Selain itu, mereka masih berlanjut untuk melakukan sosialisasi berbagai masalah yang mungkin terjadi di Desa Cemani termasuk masalah terorisme. EVALUASI ATAS PELAKSANAAN PENCEGAHAN TERORISME OLEH MASYARAKAT DESA CEMANI Meskipun pelaksanaan upaya pencegahan terorisme yang terstruktur seperti disebutkan oleh Whitzman belum dilakukan oleh masyarakat Desa Cemani, akan tetapi sudah terdapat beberapa upaya pencegahan terorisme yang dilaksanakan oleh beberapa kelompok masyarakat Desa Cemani yang dilakukan sesuai dengan jurnal yang sudah penulis review. Upaya pencegahan terorisme yang dilaksanakan oleh beberapa masyarakat Desa Cemani antara lain adalah 1. Ronda malam 2. Pengawasan terhadap pendatang 3. Penutupan tempat berkumpulnya orang yang melakukan tindakan radikal. 4. Pemberian informasi kepada pihak TNI dan Polri terhadap hal-hal yang mencurigakan 5. Penguatan Nasionalisme dan Pancasila 6. Munculnya warga NU yang melakukan pengajian di Desa Cemani
Walaupun sudah ada upaya pencegahan terorisme, namun upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat Desa Cemani masih parsial. Ronda malam yang dilakukan oleh sebuah kelompok RW memang ditujukan untuk melakukan pencegahan terhadap terorisme, akan tetapi ronda yang dilakukan di tempat lain tidak dilakukan untuk mencegah terorisme. Sebagian wilayah masih melakukan ronda secara mandiri pada tingkat satuan RT. Sedangkan sebagian wilayah dilakukan pada tingkat satuan RW. Akan lebih baik lagi jika ronda malam atau siskamling dilakukan dengan mensinergiskan seluruh komponen di Desa Cemani. Oleh karena itu, sebagaimana yang telah dikemukakan dalam langkah membangun community crime prevention, maka langkah pertama untuk membangun hubungan berdasarkan masalah perlu dilakukan dilanjutkan dengan mengikuti langkah analisis yang sudah disampaikan pada poinpoin analisis diatas. Dari semua upaya pencegahan pencegahan terorisme sesuai dengan jurnal yang berjudul “Counter Terrorism Through Community Intelligence”, hanya pengawasan terhadap pendatang saja yang dilakukan secara serentak. Setiap tempat maupun individu yang penulis teliti ataupun menjadi sumber informasi, maka didapatkan informasi bahwa setiap pendatang harus memenuhi persyaratan administrasi supaya dapat tinggal di Desa Cemani. Selain terdapat peran dari ketua RT dan administrasi dari kelurahan, terdapat pula peran warga masyarakat untuk mengingatkan pendatang supaya memenuhi persyaratan administrasi. Kelengkapan administrasi dimiliki oleh setiap RT dan dimiliki oleh pemerintah Desa. Penguatan Nasionalisme, pemberian informasi kepada TNI maupun Polri, penguatan nasionalisme dan Pancasila, penutupan tempat berkumpulnya orang yang melakukan tindakan radikal merupakan hal-hal yang penulis masukkan sebagai upaya pencegahan terorisme. Namun, tidak semua warga masyarakat melakukannya. Padahal, langkah langkah tersebut saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Langkah-langkah diatas merupakan langkah yang diambil dari pengalaman masing-masing daerah yang memiliki masalah tersendiri mengenai terorisme. Upaya-upaya diatas merupakan bentukbentuk sumberdaya yang dapat dilakukan untuk
Pencegahan kejahatan..., Kunto Hedy Nugroho, FISIP, 2014
mencegah terorisme oleh masyarakat Desa Cemani. Selain itu, upaya-upaya seperti penanaman Nasionalisme dan Pancasila oleh Pemerintah Desa sebenarnya bukanlah sebuah bentuk upaya pencegahan terorisme. Hal itu disebabkan karena penguatan Nasionalisme dan Pancasila yang dilakukan tidak memiliki niatan untuk mencegah terorisme meskipun upaya tersebut secara tidak langsung dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk pencegahan terorisme melalui penghilangan niatan untuk merubah bentuk NKRI.
terorisme yang pernah terjadi di Desa Cemani tidak pernah dibicarakan. Selain itu, meskipun sadar bahwa di Desa Cemani terdapat masalah terorisme, akan tetapi terdapat warga desa yang tidak bersedia untuk turut serta dalam pencegahan masalah terorisme. Padahal, dari kasus terakhir Desa Cemani memiliki masalah dengan munculnya lambang ISIS dan tertangkapnya salah satu warga karena memiliki hubungan dengan ISIS semakin memperkuat bahwa memang masalah terorisme harus mendapatkan perhatian lebih.
Lalu, dari sekian bentuk upaya pencegahan, hanya satu upaya yang dilakukan oleh kelompok warga Desa Cemani yang langsung berhubungan dengan pencegahan terorisme terorisme melalui pencegahan paham radikal. Upaya tersebut dilakukan oleh warga NU yang tinggal di Desa Cemani walaupun dalam lingkup terbatas. Upaya-upaya lain lebih didasarkan pada pembatasan pergerakan fisik para pelaku, sedangkan penyebab terorisme yang berasal dari pemikiran baru dilakukan secara fokus oleh pihak NU.
Disini masih terdapat masalah yang perlu diselesaikan. Oleh karena itu, mengingat bahwa masalah terorisme di Desa Cemani ini ada karena terdapat permasalahan yang sudah terjadi dan masalah yang sedang hangat seperti masalah munculnya lambang ISIS, dan tertangkapnya warga yang diduga memiliki hubungan dengan ISIS, maka permasalahan yang memiliki hubungan dengan terorisme ini perlu disikapi dengan serius oleh masyarakat Desa Cemani dengan memperkuat diri supaya mampu mencegah terorisme baik dari pemikiran maupun pergerakan di Desa Cemani.
Setiap upaya pencegahan diatas tidaklah direncanakan dengan baik. Walaupun sudah ada upaya pencegahan, akan tetapi apa yang dilakukan terkesan reaktif. Selain itu, kendala akan beberapa masalah seperti cara identifikasi siapa itu teroris juga belum dipahami oleh warga. Oleh karena itu, perencanaan yang baik akan membuat upaya pencegahan terhadap terorisme akan lebih baik lagi sehingga masalah tertangkapnya warga Desa Cemani yang tersangkut dengan masalah terorisme dan munculnya lambang-lambang organisasi berpaham radikal yang berpotensi memunculkan terorisme di Desa Cemani dapat terhindarkan. Masalah terakhir yang muncul merupakan kombinasi dari kurangnya pencegahan paham yang memiliki hubungan dengan terorisme dan kurangnya pengawasan lingkungan sehingga muncul warga yang tertangkap. Selain itu, masalah lain yang perlu diungkap adalah tingginya tingkat kohesivitas akan tetapi upaya pencegahan terorisme yang rendah. Hal itu dibuktikan dengan ketiadaan pembicaraan secara khusu mengenai masalah terorisme. Hal ini sungguh ironis mengingat tingkat kohesivitas warga Desa Cemani yang begitu tinggi dan warga desa memiliki kontrol sosial yang baik akan tetapi masalah
Leader dan champion dalam konsep Whitzman untuk membentuk sebuah community crime prevention diposisikan sebagai pemicu. Mereka diperankan sebagai “pemimpin” di dalam masyarakat untuk membentuk CCP. Desa Cemani memiliki beberapa leader yang menjadi pemicu warga masyarakat untuk melaksanakan pencegahan terorisme. Tidak munculnya champion di Desa Cemani karena para champion mendapat legitimasi untuk menjadi pimpinan formal. Para champion diangkat menjadi leader dengan menduduki jabatan formal seperti Kepala Desa, Ketua RW, Ketua RT, beserta perangkat. Walaupun dalam konsep Whitzman Leader hanya diperankan untuk membangun CCP. Akan tetapi para leader di Desa Cemani juga melaksanakan pembangunan kohesi sosial dan kontrol sosial juga. Para leader menjadi inisiator agar warga berkumpul dan melaksanakan kegiatan bersama hingga tercipta kohesi sosial dan kontrol sosial. Peran leader untuk mengumpulkan warga untuk melaksanakan pertemuan, inisiasi untuk bekerja bersama, dan melakukan kontrol sosial di tingkatan
Pencegahan kejahatan..., Kunto Hedy Nugroho, FISIP, 2014
masing-masing sangat penting. Merekalah yang menjadi pemimpin untuk membuat warga Desa Cemani “bergerak”. Yang perlu dilakukan selanjutnya adalah menstrukturisasi kerjasama yang lebih baik antara para leader. Pembentukan steering committee untuk mengarahkan warga Desa Cemani supaya menjadi lebih baik dalam melakukan pencegahan terorisme harus dilakukan mengingat terorisme menjadi masalah yang harus diseriusi mengingat munculnya lambang ISIS di wilayah tersebut dan tertangkapnya Ustadz Afif. Munculnya lambang ISIS menunjukkan lemahnya pengawasan lingkungan sedangkan tertangkapnya Ustadz Afif menunjukkan bahwa penyebaran paham yang berpotensi memunculkan tindak terorisme perlu diperhatikan. Oleh karena itu, langkah pembentukan kohesifitas dan pembentukan CCP perlu dilakukan supaya koordinasi dan pengerahan sumberdaya dapat membentuk perencanaan yang baik supaya dapat diimplementasikan dengan pengawasan yang jelas disertai dengan pengarusutamaan yang konsisten. Salah satu leader dalam pencegahan terorisme di Desa Cemani adalah TNI. Salah satu program yang dimiliki oleh TNI adalah pembinaan teritorial. Pelaksanaan pembinaan teritorial merupakan perwujudan nyata dari pelibatan masyarakat untuk melakukan pencegahan berbagai masalah yang ada di lingkungan mereka. Oleh karena itu, masalah pencegahan terorisme berdasarkan pada Pembinaan Teritorial menurut penulis dapat dikatakan sebagai sebuah perwujudan nyata community crime prevention untuk mencegah terorisme yang ada di Indonesia secara umum, dan dipraktikkan di wilayah Desa Cemani secara khusus walaupun belum sejalan secara penuh sesuai dengan pendapat dari Whitzman. Oleh karena itu, modal awal untuk membentuk CCP yang baik sudah ada. Untuk selanjutnya, tinggal para leader bertemu untuk segera membicarakan pembangunan kohesi sosial, kontrol sosial, dan CCP supaya lebih baik. Tanpa adanya kerjasama para leader terlebih dahulu, maka pembentukan CCP yang lebih baik akan sulit dilaksanakan. Kohesi sosial di Desa Ceemani berpusat pada RT dan RW. Sedangkan, kohesi sosial di tingkatan Desa belum nampak. Oleh karena itu, modal awal ini perlu diperluas oleh para leader. Sehingga, adanya
kelompok wilayah yang tidak bersedia mengibarkan bendera merah putih dapat diatasi.
KESIMPULAN DAN SARAN Kohesi sosial yang terbentuk di Desa Cemani sudah cukup bagus. Hal ini dibuktikan dengan munculnya kegiatan bersama antar warga masyarakat. Namun, kohesi sosial yang muncul baru ada di tataran RT maupun RW. Kohesi sosial di tingkatan desa belumlah ada. Oleh karena itu, pengembangan kohesi sosial hingga ke tataran desa perlu dibentuk. Pembangunan kohesi sosial di Desa Cemani tidaklah sesuai dengan langkah yang dikemukakan dalam Mosaic Partnership Program. Hal itu disebabkan karena tahapan pertama dalam pembentukan kohesi sosial berupa pembangunan modal sosial tidak dilaksanakan. Jadi kohesi sosial dibangun langsung bersamaan dengan melakukan pekerjaan bersamasama. Upaya kontrol sosial yang ada di Desa Cemani juga sudah cukup bagus. Hal ini dapat dilihat pada upaya ronda malam, upaya pemberian syarat surat boro kepada pendatang, dan penarikan anggota masyarakat yang tidak mengikuti kesepakatan warga dengan berbagai mekanisme. Masalah dari bentuk kontrol sosial yang ada terpengaruh oleh keadaan kohesi sosial yang berpusat di tataran RT dan RW. Hal itu menyebabkan kontrol sosial yang ada baru terbentuk di tataran RT dan RW juga. Oleh karena itu, pembentukan kohesi sosial di tingkatan desa harus dilakukan agar upaya kontrol sosial dapat dibentuk hingga menuju pada tataran tingkatan desa. Upaya pencegahan terorisme di Desa Cemani yang sesuai dengan kerangka kerangka Community Crime Prevention (CCP) menurut Whitzman secara teori belum terlaksana. Namun, melihat upaya kontrol sosial yang dilaksanakan di Desa Cemani, sudah terdapat upaya pencegahan terorisme sesuai dengan bentuk pencegahan terorisme yang dilakukan oleh masyarakat di beberapa negara. Hal ini dapat menjadi modal awal pembangunan CCP yang baik sesuai dengan kerangka pemikiran Whitzman. Namun, untuk membentuk CCP berdasar kerangka Whitzman masih diperlukan kerjasama para leader. Hal ini penting dilakukan mengingat bahwa leader
Pencegahan kejahatan..., Kunto Hedy Nugroho, FISIP, 2014
memiliki peran penting untuk membangun CCP. Leader berperan untuk membangun kesadaran dan kemampuan teknis masyarakat. Masalah utama tidak adanya pencegahan terorisme yang fokus adalah karena langkah pertama dari Whitzman belum dilakukan. Padahal langkah pertama ini vital untuk dilakukan. Oleh karena itu, pembicaraan mengenai masalah terorisme di Desa Cemani ini penting untuk segera dibicarakan bersama dengan pihak-pihak terkait dalam pencegahan terorisme. Pertemuan para leader CCP untuk melakukan pencegahan terorisme perlu segera dilakukan. Setiap pihak dapat melakukan tugas masing-masing sebagai pihak yang memahami masalah dan memiliki sumberdaya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Setelah itu, pembicaraan bersama yang diinisiasi di tingkat desa perlu dilakukan untuk segera
mendapatkan bentuk upaya CCP yang baik seperti pada teori Whitzman. TNI, Polri, Bersama perangkat Desa dapat melakukan inisiasi pemahaman masalah mengenai permasalahan terorisme yang ada di Desa Cemani. Masyarakat difasilitasi untuk memusyawarahkan. TNI, Polri bertugas untuk menyadarkan bahwa masalah ini perlu diberi perhatian serius. Setelah itu langkah kedua hingga terakhir dari pembangunan CCP dari Whitzman dapat dilakukan. Namun, sebelum membangun CCP untuk mencegah terorisme, maka diperlukan sebuah bentuk upaya pembentukan kohesi sosial terlebih dahulu di tingkatan desa. Dengan begitu diharapkan muncul bentuk bentuk kontrol sosial di tingkatan desa yang nanti diharapkan akan bisa dijadikan sebagai modal awal pembentukan CCP untuk mencegah terorisme.
TINJAUAN PUSTAKA Tim Hope, “Community Crime Prevention: Crime and Justice”, Vol.19, (Building a safer society: Strategic Approach to Crime: 1995), hlm. 21 – 89. BNPT, Blue Print Pencegahan Terorisme, hlm. 6. Carolyn, Whitzman. 2008. The Handbook of Community Safety, Gender and Violence Prevention. hlm.12 James, Jupp, dan John Neiwenhuysen. 2007. Social Cohesion in Australia. Melbourne: Cambridge University Press. http://msd.unimelb.edu.au/people/carolyn-whitzman. Diakses pada 20 Desember 2014 pukul 10.28 WIB. Carolyn Whitzman, Handbook of Community Safety, Gender, and Violence Prevention: Practical Planning Tools, (London: Earthscan, 2008), hlm. 148. John W Cresswell, “Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2008), hlm. 19. http://msd.unimelb.edu.au/people/carolyn-whitzman. Diakses pada 20 Desember 2014 pukul 10.28 http://news.okezone.com/read/2013/09/05/337/861154/bnpt-ada-12-wilayah-rawan-teror. Diakses pada 09 Januari 2014 pukul 07.02 http://www.tribunnews.com/nasional/2011/09/25/kronologi-bom-gereja-kepunton-solo diakses pada 28 Desember 2013 pukul 04.47 http://www.tempo.co/read/news/2013/12/24/058539852/Natali-Polisi-Sterilkan-Gereja-Kepunton-Solo. Diakses pada 14 April 2014 pukul 0.20 http://www.merdeka.com/peristiwa/teroris-penembak-polisi-singosaren-solo-divonis-8-tahun.html . Diakses pada 08 Januari 2014 pukul 22.09 http://www.tempo.co/read/news/2002/12/03/05533413/Polisi-Kembali-Geledah-Rumah-Orangtua-Herniyanto-diSolo. Diakses pada 04 Februari 2014 pukul 06.39 http://infopublik.kominfo.go.id/read/5373/70-persen-penanganan-teroris-peran-intelijen.html. Diakses pada 04 Februari 2014. http://www.bnpt.go.id/index.php/profile?showall=1&limitstart=. Diakses pada 15 April 2014 pukul 09.25 http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/konsepsi-pencegahan-dan-penanggulangan-terorisme-di-indonesiadalam-rangka-menjaga-keutuhan-. Diakses pada 15 April 2014 pukul 09.31
Pencegahan kejahatan..., Kunto Hedy Nugroho, FISIP, 2014
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/471092-menag--awasi-pesantren-nu--strategi-melawan-terorisme-taktepat. Diakses pada 02 Februari 2014. Pukul 10.32 http://www.suaramerdeka.com/harian/0211/27/nas10.htm diakses pada 23 Maret 2014. Pukul 01.17 http://www.almukmin-ngruki.com/index.php?option=com_content&view=article&id=59&Itemid=86. Diakses pada 08 Januari 2014. Pukul 14.38 http://www.voaindonesia.com/content/pondok-pesantren-ngruki-enggan-dikaitkan-dengan-terorisme/1512140.html. Diakses pada 08 Januari 2013 pukul 16.45. International Crisis Group. 2006. Terorisme di Indonesia: Jaringan Noordin Top. Asia Report No 114. http://news.detik.com/read/2011/10/21/185420/1749800/10/ayah-nang-ndut-alhamdulillah-nanangtertangkap?nd771104bcj. Diakses pada 31 Desember 2014. http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/12/17/0027.html. Diakses pada 29 Desember 2014 http://joglosemar.co/2012/12/otak-teroris-polsek-dibekuk.html. Diakses pada 29 Desember 2014 http://news.okezone.com/read/2013/04/03/511/785490/rencana-penyerangan-pospam-dirapatkan-di-gedung-cemani. Diakses pada 31 Desember 2014
Pencegahan kejahatan..., Kunto Hedy Nugroho, FISIP, 2014