UNIVERSITAS INDONESIA
PERSPEKTIF OKSIDENTALISME HANAFI DALAM NOVEL UKHRUJ MINHA YA MAL’UN KARYA SADDAM HUSSEIN
TESIS
ITA RODIAH NPM 0806435671
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU SUSASTRA DEPOK JULI 2010
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
PERSPEKTIF OKSIDENTALISME HANAFI DALAM NOVEL UKHRUJ MINHA YA MAL’UN KARYA SADDAM HUSSEIN
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora
ITA RODIAH NPM 0806435671
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU SUSASTRA DEPOK JULI 2010
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberi kekuatan lahir dan bathin sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Humaniora Program Studi Ilmu Susastra pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, tesis ini tidak akan tersusun sebagaimana wujudnya saat ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada: 1. Dr. Bambang Wibawarta, Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. 2. Dr. phil. Lily Tjahjandari Prajanto, M.Hum selaku pembimbing penulis, atas kerja sama yang baik ditengah-tengah waktu sibuknya, keterbukaannya untuk menerima pendapat, kesediaannya dalam mengkaji perspektif Timur Tengah, dan juga kritik-kritiknya membuka kesempatan lebih luas bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini, tanpa bantuan Ibu Lili mungkin penulis belum bisa menyelesaikan studi tepat waktu. 3. Prof. Dr. Titik Pudjiastuti selaku penguji, atas masukan berupa kritik dan saran yang bermanfaat dalam penyusunan akhir tesis ini. 4. Dr. Fauzan Muslim selaku penguji, atas masukan berupa penyempurnaan penerjemahan dan saran yang sangat berharga dalam penyusunan akhir tesis ini. 5. Bapak dan Mimih (M. Tadjuddin Anshary dan Yoyoh Anshary), inspirator terbesar dalam kehidupan. Kakak-kakak dan adik Tersayang: Neneng Paridah, STP, Hendra Gunawan, SE, Enung Nurjanah, S.Pd, Sofyan, ST, Ika Puspitasari, SS, Rahmat Bahagia, SE, dan M. Asep Zaenal Anshary yang sedang menempuh impian di industri perminyakan ITB. Keponakanku yang cerdas, Nazla Primanita Gunawan dan Haura Ifraluma Gunawan, terima kasih atas segalanya.
v Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
6. Irma Yuliawati, SS yang telah membantu penulis dalam membuka pandangan baru dalam melihat dunia, terima kasih atas segala doa dan dukungannya. Syarifah HR. Daeng Tuju, SS, Haliza Fauziyah, SS, Anissa Aliyani, SS, Rosikah, SS, Nurkholidah, STH, Ida Suryani, S.Sos dan sahabat-sahabat lain yang tak henti-hentinya mendukung penulis. 7. Dr. Oman Fathurahman, Maman S Mahayana, M.Hum, Dr. Syukron Kamil, Prof. Dr. Musdah Mulia, Prof. Dr. Abdul Hadi WM, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, Dr. Yudi Latif, Alm Dr. M. Zafar Iqbal, Mulyadi, MA, Siti Anshariyah, MA, Hamsad Rangkuti terima kasih atas kesediaan waktu super sibuknya untuk penulis ganggu. 8. Kawan-kawan seperjuangan, Pak Yoyok SW, Reni, Mb Cici, Mb Maftuha, Mbah Arif Wibowo, Zaki Khairul Umam, Zen Maarif, Rijal, Maria Ulfah, Mami Turita, Pak Asep, Rahman, Sidik, Hatta, Taufik, Kak Jamal, Mas Zoel, Pak Amri, Gindo, Mb Indah, Mb Dina, Kak Zaki, Chandra, Mb Eli, Edria, dan lainnya yang tak disebut, terima kasih penulis ucapkan. 9. Keluarga besar BSA, ICAS-Paramadina, Yappika, LSI, Laksmi, ICC, PSQ, KC, terima kasih atas asupan keilmuannya.
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Depok, Juli 2010
Ita Rodiah
vi Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
DARTAR ISI
...................................................
HALAMAN JUDUL SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................ LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. KATA PENGANTAR ..................................................................................... LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ....................... ABSTRAK ...................................................................................................... ABSTRACT .................................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
i ii iii iv v vii viii ix x xii
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian …………................................................................. 1.4 Kemaknawian Penelitian ..................................................................... 1.5 Kerangka Teori .................................................................................... 1.5.1 Identitas dan Representasi ....................................................... 1.5.2 Oksidentalisme ........................................................................ 1.6 Metode Penelitian ................................................................................ 1.7 Sistematika Penulisan ..........................................................................
1 12 12 12 13 13 16 18 19
2. ESTETIKA PERLAWANAN TIMUR TENGAH DALAM NOVEL UKHRUJ MINHA YA MAL’UN 2.1 Struktur Naratif novel Ukhruj Minha Ya Mal’un ................................ 2.2 Penggambaran Identitas Timur Tengah .............................................. 2.2.1 Tradisi menjaga nilai-nilai religiusitas .................................... 2.2.2 Tradisi menjaga nasab ............................................................ 2.2.3 Tradisi nomaden ...................................................................... 2.2.4 Tradisi memuliakan tamu ........................................................ 2.2.5 Tradisi hukuman ...................................................................... 2.2.6 Etika berperang ....................................................................... 2.2.7 Etika berjabat tangan ............................................................... 2.3 Kesadaran Timur Tengah terhadap Bentuk Penjajahan Asing............. 2.3.1 Siasat penjajah ......................................................................... 2.3.2 Monopoli ekonomi dan hutang ............................................... 2.3.3 Intervensi asing .......................................................................
21 23 24 34 37 38 42 44 47 49 49 52 56
3. NOVEL UKHRUJ MINHA YA MAL’UN DALAM KAJIAN OKSIDENTALISME 3.1 Oksidentalisme Hanafi ........................................................................ 60 3.2 Kajian atas novel Ukhruj Minha Ya Mal’un ....................................... 64 3.2.1 Perspektif Oksidentalisme Hanafi dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un 3.2.1.1 Keterputusan dengan tradisi lama ............................... 65
x Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
3.2.1.2 Keterkaitan dengan tradisi lama .................................. 3.2.2 Novel Ukhruj Minha Ya Mal’un sebagai pembangun kesadaran kolektif Timur Tengah ........................................... 3.2.2.1 Nilai-nilai sosial dan budaya ....................................... 3.2.2.2 Penegasan identitas .....................................................
71 74 75 79
4. KESIMPULAN ........................................................................................ 84 DAFTAR REFERENSI ................................................................................ 88
xi Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Keterangan Istilah (Glosarium) .................................................. 92 Lampiran 2. Transliterasi ................................................................................. 99 Lampiran 3. Ringkasan Novel Ukhruj Minha Ya Mal’un ................................ 100 Lampiran 4. Novel Ukhruj Minha Ya Mal’un .................................................. 103
xii Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
ABSTRAK
Nama
: Ita Rodiah
Program Studi
: Ilmu Susastra
Judul
: PERSPEKTIF OKSIDENTALISME HANAFI DALAM NOVEL UKHRUJ MINHA YA MAL’UN KARYA SADDAM HUSSEIN
Tesis ini mengkaji novel berjudul Ukhruj Minha Ya Mal’un, sebuah novel yang ditulis oleh Saddam Hussein, dengan perspektif Oksidentalisme Hanafi. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Penelitian dalam tesis ini menjawab beberapa hal yang terkait dengan masalah penelitian. Pertama, novel ini sebagai kritik terhadap dominasi budaya dengan menyiratkan adanya gambaran tentang hal-hal yang membangun dan membentuk identitas budaya Timur Tengah serta perlawanannya terhadap Barat. Kedua, novel ini sebagai alternatif yang menawarkan kembalinya kesadaran kolektif masyarakat Timur Tengah yang tercermin dalam dua bagian besar, yaitu upaya membangun kesadaran melalui nilai-nilai sosial budaya dan penegasan identitas Timur Tengah. Hal ini terlihat dari tokoh-tokoh yang digambarkan dalam novel seperti terbagi ke dalam dua kelompok yaitu ada tokoh-tokoh yang masih kuat menjaga dan mempertahankan tradisi lama yang diwakili oleh tokoh Lazzah, Salim, dan Ibrahim, dalam terminologi Hanafi fenomena ini disebut keterkaitan terhadap tradisi lama shilah al-ittishal serta tokoh yang meninggalkan tradisi lama yang diwakili oleh Hasqil, dalam terminologi Hanafi fenomena ini disebut keterputusan terhadap tradisi lama shilah al-inqitha’.
Kata kunci: Oksidentalisme, dominasi budaya, identitas, shilah al-ittishal, shilah al-inqitha’
viii Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
ABSTRACT
Name
: Ita Rodiah
Study Program
: Literature Studies (Arabic Literature)
Judul
: HANAFI’S OCCIDENTALISM PERSPEKTIVE IN UKHRUJ MINHA YA MAL’UN NOVEL BY SADDAM HUSSEIN
This thesis analyzes Saddam Hussein’s novel entitled Ukhruj Minha Ya Mal’un using Hanafi’s occidentalism perspective. This research is qualitative descriptive. It discusses the problem of research questions. First, this novel as a critic toward culture domain showed about the way to build and construct cultural identity of Middle East Societies with their resistance to West. Second, this novel as an alternative offered the return of collective consciousness in Middle East societies that showed into two big parts that is the way to construct the consciousness with social cultural values and the resolution of Middle East identity. It can be seen of characters which is showed in this novel that divided into two parts, there are characters which keeps and maintains old tradition, it is reflected by Lazzah, Salim, and Ibrahim character, in Hanafi’s terminology this phenomena is called as continuity of old tradition shilah al-ittishal, and character which leave old tradition, it is reflected by Hasqil, in Hanafi’s terminology this phenomena is called as shilah al-inqitha’.
Keywords: Occidentalism, culture domain, identity, shilah al-ittishal, shilah al-inqitha’
ix Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Karya seni khususnya karya sastra memiliki peranan yang besar dalam
mempengaruhi kehidupan manusia. Pengaruh karya sastra tidak hanya nampak ketika pengarang masih hidup, bahkan semakin kuat setelah ia tiada. Karya sastra tidak berhenti pada teks, tetapi memiliki potensi luar biasa dalam mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Apalagi ketika karya tersebut menjadi sebuah ikon yang menginspirasi lahirnya kesadaran dan sikap kritis dalam bentuk pergerakan, perjuangan, perlawanan, bahkan simbol kebebasan. Damono (1994: 2-3) mengemukakan bahwa di Rusia, novel Doctor Zhivago1 karya Boris Pasternak pada awalnya dapat dibaca oleh siapapun dengan leluasa, namun kemudian dilarang karena penulisnya memberikan kritik tajam pada pemerintah. Sama halnya dengan Pasternak, Anna Akhmatova2 dan Alexander Solzhenitsyn3 pun mendapat kecaman dari pemerintah, karena karyakarya mereka dianggap tidak sejalan dengan pemerintah bahkan dianggap mengancam pemerintahan. Kegeraman terhadap kehadiran karya sastra juga terjadi pada Salman Rusdie, seorang sastrawan Inggris peranakan Pakistan. Ia dikutuk kemudian dituntut hukuman mati oleh Ayatullah Ruhullah Khomeini4, karena karyanya yang berjudul The Satanic Verses dianggap menghina agama dan umat Islam. 1
Novel ini berkisah mengenai revolusi Rusia yang diramu dengan kisah cinta segi tiga yang mengharukan. Pada tahun 1958 novel ini mendapat Hadiah Nobel dan Pasternak mendapat kesulitan dengan Hadiah Nobel tersebut, mula-mula ia bersedia menerima hadiah itu, tetapi kemudian ia mendapat tekanan dari pemerintah untuk menolak Hadiah Nobel tersebut. Sapardi Djoko Damono, Sastra, Politik, dan Ideologi (Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1994) hlm. 2 2 Penyair wanita yang sangat populer pada zamannya, ia dituduh telah menyebarluaskan puisi yang dekaden, mistik, dan pesimistik dan karenanya dapat merusak tingkah laku pemuda serta tidak memperdulikan politik pemerintah saat itu. Sapardi Djoko Damono, Sastra, Politik, dan Ideologi (Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1994) hlm. 2-3 3 Pada tahun 1974 Solzhenitsyn pernah diusir dari negerinya karena pada tahun 1970 ia menerima Hadiah Nobel atas karya-karyanya yang mencerminkan sikap kritis terhadap struktur politik negerinya. Sapardi Djoko Damono, Sastra, Politik, dan Ideologi (Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1994) hlm. 2 4 Khomeini adalah pemimpin tertinggi Islam Iran. Ia seorang ulama yg sangat dihormati dan dikagumi di Iran terutama bagi kalangan Muslim Syi’ah. Khomeini mendapat gelar yang sangat tinggi dan mulia yaitu Ayatullah Ruhullah.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
2
Khomaeni tidak sendiri karena jutaan umat Muslim di seluruh dunia bergerak bersama-sama mengutuk karya Rusdie tersebut. Dalam sejarah sastra Arab, dikenal pula sastrawan yang dianggap kontroversial yaitu Najib al-Mahfudz.5 Karya sastra Mahfudz banyak mendapat kecaman dari berbagai kalangan, karena ia terus berfokus pada protes dan kritik sosial yang ia gaungkan melalui karya-karyanya. Karya sastranya banyak mengangkat tema pertentangan kemanusiaan yang dihadapkan pada masalah kerohanian. Di Indonesia, pada masa rezim orde baru teks-teks sastra Pramoedya Ananta Toer pernah dianggap dapat merusak mental generasi muda. Negara melarang secara resmi karya-karya mereka diterbitkan, diedarkan, dan dibaca oleh masyarakat secara luas. Semua kegiatan kesusastraan yang dianggap tidak sejalan dengan selera, sikap, dan ideologi penguasa kemudian dipasifkan –dibungkamsecara sistematis dengan cara dimarjinalkan, dilarang, distereotipkan, bahkan dipenjarakan hanya karena para penguasa negeri tidak berkenan terhadap penulis karya tersebut. Pemerintah pun membonsai kreativitas dan kebebasan para penulis
5
Mahfudz adalah sastrawan Mesir tersohor. Ia disegani sebagai pengarang yang produktif, ia menghasilkan sekitar 40 novel dan ratusan cerpen. Peraih Nobel Sastra 1988 ini mulai menulis sejak usia tujuh belas tahun. Debut novelnya terbit pada 1932, dan lebih dari sepuluh novel telah ia tulis sebelum Revolusi 1952—era ia berhenti menulis untuk beberapa tahun. Pada 1957, Mahfudz menerbitkan “trilogi Kairo” (Bayn al-Qashrain, Qashr al-Syawq, al-Sukkariyyah), yang melambungkan namanya di seantero dunia Arab. Berkat karya trilogi itu, ia dikenal sebagai pemerhati kehidupan masyarakat urban tradisional. Setelah lama tak mencipta karya, Mahfudz mulai menulis lagi. Di era pasca Revolusi 1952 ini, ia kerap menyusupkan pandangan politiknya secara terselubung dalam wujud kiasan dan simbol di setiap tulisannya. Karya-karya Mahfudz pada era kedua ini antara lain The Thief and the Dogs (1961), Autumn Quail (1962), Small Talk on the Nile (1966), dan Miramar (1967), serta beberapa kumpulan cerpen. Hingga wafat di usia 94 tahun, Mahfudz telah menulis hampir 40 novel dan ratusan cerpen. Mahfudz menekuni kariernya sebagai pegawai negeri sipil hingga 1972. Mulanya, untuk waktu yang lama, ia bekerja di kantor Kementerian Agama dan Urusan Wakaf, sebelum akhirnya menjabat Direktur Pengawasan pada Biro Seni, Departemen Kebudayaan. Ia juga pernah menjadi Direktur Lembaga Perfilman Nasional Mesir. Kemudian, Mahfudz mengakhiri kariernya di birokrasi pemerintahan sebagai Penasehat Menteri Kebudayaan. Di luar birokrasi pemerintahan, Mahfudz pernah bekerja sebagai wartawan al-Risalah, dan menjadi kontributor pada al-Ahram. (http://www.dinamikaebooks.com/author.php) diakses 26 Juni 2010
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
3
dan penyair lainnya seperti Ki Pandjikusmin,6 WS Rendra, Linus Suryadi AG, dan Emha Ainun Nadjib7 juga tidak terhindar dari permasalahan semacam tersebut. Gambaran peristiwa-peristiwa di atas menunjukan bahwa pengaruh karya sastra tidak hanya nampak dalam bentuk sikap kritis semata, tetapi juga mampu meningkatkan kepekaan diri -perasaan, mendidik, membangkitkan kesadaran, dan memperluas pengetahuan tentang kehidupan- terhadap situasi yang terjadi dan berkembang, karena nilai estetis yang terkandung di dalam karya sastra dapat meningkatkan ketajaman jiwa, sehingga banyak yang memahami bahwa etika sangat diperlukan dalam berhubungan sosial. Ketika segala bentuk kekerasan, baik secara fisik maupun simbolik membuat manusia membeku, sastra menawarkan norma-norma dari yang bersifat estetis menuju pada lahirnya etika dalam hubungan antar umat manusia. Karya sastra adalah cermin kehidupan sosial (Damono 1984: 1). Hal ini perlu disadari bahwa sastra tidak terlepas dari kondisi sosial dan politik dimana ia lahir, bahkan sastra juga sebagai arena untuk merefleksikan keadaan sosial politiknya. Membaca sastra dalam konteks seperti ini, berarti mensituasikan karya sastra tersebut dalam relasi-relasi sosial-ekonomi-politik pada zamannya. Dengan menempatkan sastra pada posisi seperti ini, penganalisaan tentang kuasa yang ada dibalik
sastra
akan
terungkap,
karena
sastra
selalu
mengajak
untuk
mempertanyakan segala ketetapan, norma-norma yang baku, dan tatanan kekuasaan. Terlepas dari itu, bahwa karya sastra adalah kenyataan artistik yang diciptakan melalui proses kreatif, karena karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya yang melingkupinya. Kenyataan dalam karya sastra bersumber dari kenyataan dalam dunia sesungguhnya, tetapi kenyataan dalam karya sastra telah menampilkan dan menciptakan kenyataan baru berdasarkan kemampuan pengarang dalam mengolah dan memadukan imajinasi-kenyataan.
6
Ki Pandjikusmin dengan Langit Makin Mendung-nya mendapat kecaman dari pemerintah dan dituntut untuk diadili karena karyanya dianggap menyinggung sendi-sendi kepercayaan agama. Sapardi Djoko Damono, Sastra, Politik, dan Ideologi (Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1994) hlm. 4 7 Rendra, Linus, dan Emha mendapatkan kesulitan dalam perizinan dan mereka dilarang mengadakan pementasan dan pembacaan di depan khalayak ramai. Sapardi Djoko Damono, Sastra, Politik, dan Ideologi (Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1994) hlm. 3
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
4
Sebuah karya dapat menyampaikan ideologinya dengan cara yang khas secara implisit dan imajinatif, bahkan sebuah karya dapat dikatakan sebagai refleksi budaya dan representasi ideologi pengarang. Setiap pengarang memiliki pretensi bahkan harapan atas sesuatu yang terkandung di dalam karyanya. Pretensi tersebut tergantung pada latar belakang budaya, keadaan sosial-politik, dan ideologi yang dianutnya. Karya sastra mengurai hubungan-hubungan yang rumit antara ideologi dan cara reproduksi dimana sastra pada masa tertentu tidak bisa dipisahkan dari cara hidup yang berlangsung dan menandai adanya kaitan-kaitan yang terjalin antara penilaian estetis, moral, maupun sosial yang mencerminkan posisi tertentu. Keterkaitan antara sastra, politik, dan ideologi bukan hal yang sederhana, karena medan sastra selalu menarik bahkan meriah jika dikaitkan dengan politik dan ideologi. Kejadian politik akan meninggalkan kesan bagi para pelakunya, karena hakikat berpolitik adalah bagaimana meraih dan mempertahankan kekuasaan. Menurut Damono (1994; 6-7) politik diartikan sebagai tindakan atau kegiatan yang digunakan untuk mendapatkan kekuasaan dalam negara, masyarakat, atau lembaga bahkan juga berarti tindakan yang dianggap dapat menjamin kekuasaan dilaksanakan dengan cara tertentu. Sedangkan ideologi diartikan sebagai seperangkat keyakinan yang menjadi landasan bagi orang, masyarakat, atau negara dalam bertindak. Dengan demikian, pandangan ini juga menyatakan bahwa sastra tidak dapat dipisahkan dari sikap politik dan ideologi pencipta, penerbit, dan pembacanya. Sesungguhnya ruang sastra bukanlah alat, tetapi akan berubah menjadi alat ketika sastra dipahami sebagai praksis politik. Dalam pengertian ini, sastra digunakan untuk mendapatkan, bahkan mempertahankan kekuasaan yang mencerminkan sikap politik pengarangnya. Yang menarik dan kemudian menjadi penting adalah bagaimana jika seorang pengarang adalah ia yang berkuasa, dimana ia menggunakan ruang sastra sebagai alat ekspresinya.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
5
Hal ini pula yang terlihat dalam salah satu novel Arab yang berjudul Ukhruj Minha Ya Mal’un karya seorang mantan presiden Irak, Saddam Hussein.8 Ukhruj Minha Ya Mal’un dalam bahasa Indonesia memiliki makna “Enyahlah kalian
yang
terkutuk
atau
Enyahlah
wahai
yang
dilaknat”9.
Hussein
menyelesaikan novel dengan tebal 176 halaman ini pada tanggal 18 Maret 2003, dua hari sebelum invasi Amerika ke Irak. Pada tahun 2004, Al-Syarq al-Ausath10 memuat novel Ukhruj Minha Ya Mal’un. Adalah dokter pribadi Hussein, Alla Bashir yang menyerahkan naskah novel ini ke meja redaksi Al-Syarq al-Ausath (Salim, 2006: 7). Bukan hanya di London, naskah novel ini pun terbit di Beirut, Lebanon, dan beberapa negara Arab lainnya atas upaya Raghad –putri Hussein. Novel dengan potret wajah Hussein ini mendapat sambutan, walaupun di beberapa negara seperti Amman dan Yordania peredaran novel ini kurang mendapat sambutan hangat Melalui karyanya, Hussein tampil lebih sebagai sosok pahlawan politik – penguasa- sehingga tersirat bahwa sesungguhnya Hussein menganggap sastra hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Dia ingin pesannya cepat diterima dan bisa berpengaruh menuju perubahan yang diharapkannya. Cita-cita Hussein melalui novel-novelnya adalah perubahan bagi negerinya, ia mengisahkan bentuk perlawanan dengan meniupkan ruh keagamaan dan nasionalisme sebagai lokomotif
pencapaian
tujuan.
Semangat
keagamaan
dan
nasionalisme
mengindikasikan adanya harapan untuk menumbuhkan, bahkan memperkuat identitas ketimur-tengahan sebagai bentuk perlawanan terhadap musuh yang menggerogoti kekuasaannya –Amerika. 8
Saddam Hussein Abdul al-Majid al-Tikriti (bahasa Arab: GHIJKHL اNOPQL اNRS TOUV امNX) lahir 28 April 1937 dan wafat 30 Desember 2006. tampil sebagai Presiden Irak pada periode 16 Juli 1979 hingga 9 April 2003. Dalam bahasa Arab, nama Saddam berarti orang yang keras kepala atau dia yang menantang (di Irak nama ini juga digunakan sebagai istilah untuk bemper mobil). Nama Hussein (juga dibaca Husayn dan Hussain) adalah nama kecil ayahnya, Abd al-Majid adalah nama kakeknya, dan at-Tikriti berarti ia dilahirkan dan dibesarkan di (atau dekat) Tikrit. 9
Ukhruj Minha Ya Mal’un jika diuraikan secara etimologi adalah Ukhruj bermakna perintah yaitu ‘keluarlah’. Minha bermakna ‘darinya’, kata ganti –nya mengindikasikan agar ‘yang dilaknat’ atau ‘yang dikutuk’ keluar dari masyarakat Arab, dalam bentuk penolakan dan pengusiran terhadap segala bentuk penjajahan yang dilakukan oleh penjajah –Barat terhadap Irak khususnya dan masyarakat Arab umumnya. Ya Mal’un bermakna ‘yang dilaknat’ atau ‘yang terkutuk’. 10 Koran berbahasa Arab yang terbit di London
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
6
Dalam konteks tersebut, Hussein menggunakan pendekatan keagamaan dan nasionalisme yang merupakan isu sensitif untuk membangkitkan semangat kebersamaan -persatuan. Di dalamnya terdapat sebuah solidaritas kuat dari susunan solidaritas suku bangsa –ethnic, keagamaan, dan nilai-nilai sosial. Ikatan tersebut menjadi penting, karena rasa kebanggaan yang berlandas pada semangat kebersamaan berhasil disatukan. Komitmen dan keinginan untuk mengikatkan diri dalam isu sensitif ini dapat melahirkan kesetiaan yang tinggi, bahkan kerelaan mengorbankan jiwa raga untuk membela bangsa, negara, dan agama. Nasionalisme dapat dipahami sebagai sebuah sikap yang mencakup komitmen, kesetiaan, emosi, perasaan, dan rasa memiliki terhadap bangsa dan negara, bahkan nasionalisme seringkali dijadikan strategi sosial-politik-budaya yang digunakan sebagai kendaraan untuk berbagai kepentingan. Dalam hal ini, Anderson (2008: 8) mengatakan bahwa bangsa (nation) adalah suatu komunitas politik yang dibayangkan (imagined communities).11 Komunitas politik itu dikatakan sebagai imagined communities, karena suatu komunitas tidak mungkin mengenal seluruh warganya, tidak mungkin saling bertemu, atau saling mendengar. Akan tetapi, mereka memiliki gambaran atau bayangan yang sama tentang komunitas mereka. Suatu bangsa dapat terbentuk, jika sejumlah warga dalam suatu komunitas mau menetapkan diri sebagai suatu bangsa yang mereka angankan atau bayangkan. Sebuah
bangsa
merupakan
sebuah
komunitas
individu
yang
mempersatukan diri dalam angan dan citraan. Berangkat dari gagasan ini, Hussein menggunakan bahasa tentang nasionalisme dan keagamaan dengan dengan katakata ‘Hidup Bangsa Arab! Allahu Akbar!’ (...JRا` اآ
...بJ\L^ش اS) . Dalam novel
Ukhruj Minha Ya Mal’un, Hussein bertutur tentang perjuangan melawan dominasi kultural, dimana terjadi persinggungan antar kebudayaan yang berbeda. Cerita dengan latar dunia Arab ini merupakan sebuah metafora perlawanan terhadap Barat –khususnya Amerika. Hussein melukiskan sebuah suku yang berada di 11
Bangsa menurut Anderson sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali pun tidak bakal tahu dan tak akan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka bahkan mungkin tidak akan mendengar tentang mereka, namun dalam benak orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka. Benedict Anderson, Imagined Communities; Komunitas-komunitas Terbayang (Jogjakarta: INSIST, 2008), hlm 8
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
7
bawah pengaruh dan kekuatan asing. Berdasarkan hal itu dan dengan mempertimbangkan bahwa novel Ukhruj Minha Ya Mal’un ini dapat dilihat dari kacamata Timur, maka novel ini dipilih sebagai objek penelitian. Dalam perspektif ini, Ukhruj Minha Ya Mal’un dapat dilihat sebagai karya yang mencoba mengingatkan dan membangun identitas kolektif Timur Tengah12 dalam hal sebagai upaya untuk memerdekakan diri dari segala bentuk kolonialisme baik secara fisik maupun mental-intelektual-moral. Identitas kolektif yang dimaksud adalah menciptakan rasa ke-kita-an berdasarkan kemiripan ciri dan atribut tertentu yang dimiliki oleh masyarakat Timur Tengah. Berdasarkan hal tersebut, novel ini mencoba menghadirkan Timur Tengah dengan ciri dan identitas budayanya yang berbeda dengan budaya lain (Barat), membangkitkan ingatan kolektif bahwa Timur Tengah tetaplah Timur Tengah, serta menekankan adanya persatuan dalam diri seorang Timur Tengah yang menjadikan Islam sebagai ideologi dan pandangan hidup yang tercermin dalam cara berfikir, sikap, dan tindakan. Selain itu, novel Ukhruj Minha Ya Mal’un menyiratkan adanya konflik kepentingan, keteguhan dalam menjaga identitas, perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan, dan berbagai bentuk perlawanan dalam upaya membebaskan diri dari cengkeraman budaya dominan. Budaya dominan merujuk pada keunggulan superiority. Barat sebagai ikon negara penjajah - kolonial, sedangkan Timur sebagai negara yang dijajah -dikolonisasi. Kecenderungan tersebut diperkuat oleh pendapat Hanafi (Shimogaki, 1993: 35) yang mengatakan bahwa kolonialisme merupakan kejahatan terbesar dalam sejarah kemanusiaan yang dilakukan Barat atas bangsa-bangsa non-Barat. Beragam konflik termasuk perlawanan akan lahir sebagai bentuk reaksi. Kekerasan fisik juga simbolik –pemaksaan ideologi- menandai lahirnya pihak penguasa-yang dikuasai, pusat-pinggiran, beradab-tak beradab, self-other, bahkan Timur-Barat. Konsep pusat center dan pinggir pheri-pheri telah melahirkan ‘Pihak Lain’ The Other. Rasionalitas -dalam hal ini Barat- adalah pusat, 12
Istilah Timur Tengah ini penulis gunakan sebagai terminologi pembatasan wilayah negara Arab Islam lebih tepatnya yaitu yaitu masyarakat Muslim Arab. Penggunaan kata ini dimaksudkan sebagai pembeda antara Arab Islam dengan Arab non-Islam, karena tidak semua masyarakat Arab beragama Islam. Dalam hal ini mengacu pada masyarakat Timur Tengah khususnya Arab yang beragama Islam terlepas apakah dia seorang sunni atau syi’i.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
8
sementara selain Barat dianggap irrasional, tak beradab, karena itu mereka adalah The Other. Perangkat dasar ini memicu lahirnya hubungan kekuasasaan yang antagonistik dan hal ini yang menjadi dasar legitimasi kolonialisme. Kolonialisasi
bukanlah
usaha
yang
dilakukan
secara
kebetulan,
kolonialisasi dilakukan secara terencana dengan mekanisme yang kompleks, melibatkan berbagai kepentingan meliputi ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan. Pengertian tersebut didasarkan atas pendapat Sianipar (2004: 13) yang menyatakan bahwa kolonialisme dipahami sebagai wahana ekspansi pemikiran Barat terhadap pemikiran masyarakat dunia ketiga the third-world society. Dengan demikian berbagai teks yang dihasilkan Barat tidak mungkin terlepas dari berbagai prasangka dan kepentingan untuk menguasai dunia Timur. Turner (2008: 54-55) menyatakan bahwa orientalisme memiliki tujuan yaitu sebagai upaya mereduksi kompleksitas kenyataan Timur ke dalam susunan karakter-karakter dan ketentuan-ketentuan tertentu yang dilakukan oleh Barat. Dalam
pengertian
ini,
Turner
menyiratkan
bahwa
karya-karya
yang
menggambarkan Timur adalah produk kultural dari dominasi Barat. Hal ini mengindikasikan bahwa orientalisme adalah sebagai upaya mengungkapkan keunggulan Barat atas budaya lain other cultures. Terdapat pengertian yang berbeda mengenai istilah Timur al-syarq13 dengan ketimuran –orientalisme al-istisyraq
14
. Pengertian pertama, al-istisyraq
sebagai studi wilayah, yaitu studi tentang bahasa, antropologi, dan sosiologi mengenai dunia Timur, yang disebut sebagai kajian ketimuran. Pengertian kedua, menganggap adanya perbedaan ontologis -orang Barat dan orang Timur- dan perbedaan epistemologi -model dan cara berpikir- antara Barat dan Timur. Pengertian ketiga, al-istisyraq dipahami sebagai pandangan atau teori-teori yang didefinisikan secara historis dan kultural oleh para intelektual Barat (Said, 2003: 2-3). 13
Al-syarq merupakan bentuk masdar dari asal kata syaraqa yasyruqu syarqan yang bermakna terbit. Istilah al-syarq dalam bahasa Indonesia memiliki makna Timur. AW. Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 713-714 14 Al-istisyraq asal kata istasyraqa yastasyriqu istisyraqan yang bermakna mempelajari atau mengkaji Timur. Al-istisyraq atau orientalisme adalah paham dan pengetahuan Barat tentang dunia Timur, Orientalisme bukan hanya sebuah wacana akademis, tetapi juga memiliki akar-akar politis, ekonomis, dan bahkan religius. AW. Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 715
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
9
Hal ini yang mengundang orang-orang Barat untuk mengkaji, memahami, dan menyimpulkan Timur al-mustasyriqun15. Dalam perkembangannya, kajian ketimuran lalu berubah menjadi kolonialisasi dan hegemonisasi Timur oleh Barat. Bahwa hakikat al-istisyraq secara keseluruhan tidak lebih sebagai alat penjajahan bangsa-bangsa Barat atas bangsa-bangsa Timur, khususnya Timur Tengah –Islam. Menurut Azra (2002: 186) semua motif dan kepentingan al-mustasyriqun ini dibungkus dengan ‘wacana ilmiah dan akademis’ yang tercermin dalam slogan mission civilatrice atau misi pembudayaan terhadap dunia Timur yang dianggap terbelakang. Kolonialisme adalah sistem kekuasaan yang sudah berkembang berabadabad. Usia, semangat, dan ideologinya bahkan lebih tua dibandingkan dengan dimulainya penjajahan. Al-istisyraq dalam pengertian yang lebih luas, sudah menjadi ideologi bagi Barat. Dalam paradigma tersebut, ideologi diinvestasikan dalam cara pandang Barat dengan mendegradasikan bahkan menguburkan identitas ketimuran. Said mengkritisi bagaimana imaji Barat tentang Timur dan bagaimana kuasa dan pengetahuan saling terkait dalam tulisan kaum orientalis almustasyriqun (2003; 2-3). Al-istisyraq adalah suatu cara memahami dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa. Bagi mereka, Timur bukan hanya dekat, tetapi juga merupakan tempat kolonikoloni terbesar, terkaya dan tertua, dan sumber peradaban. Timur menjadi tempat yang eksotik, kekayaan alam, dan tradisi yang mistik. Lebih dari itu, kritik Said terhadap al-istisyraq mendorong kalangan sarjana Muslim untuk mengembangkan sebuah ilmu baru yang kemudian disikapi secara ilmiah oleh Hassan Hanafi16 dengan kemunculan bukunya berjudul 15
Al-mustasyriqun merupakan bentuk ism al-fail dari asal kata istasyraqa yastasyriqu istisyraqan yang bermakna mempelajari atau mengkaji Timur. Istilah al-mustasyriqun dalam bahasa Indonesia memiliki makna orang yang mengkaji Timur orientalist. AW. Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 715 16 Dr. Hasan Hanafi adalah seorang pemikir Muslim modernis dari Mesir, ia merupakan salah satu tokoh yang akrab dengan gerakan pembaharuan Islam seperti Islam kiri, oksidentalisme dan lain sebagainya. Tema-tema tersebut ia kemas dalam rangkaian proyek besar pembaharuan pemikiran Islam dalam upaya membangkitkan umat Islam dari ketertinggalan dan kolonialisme modern. Secara umum proyek tradisi dan pembaharuan –al-turast wa al-tajdid- merupakan proyek pemikiran Hanafi yang berisi sikapnya terhadap tradisi Arab Islam, tradisi Barat, dan realitas yang dihadapi.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
10
Oksidentalisme al-istighrab17 (dalam bahasa Arab Muqaddimah fi Ilm alIstighrab yang berarti pengantar ilmu oksidentalisme).18 Kritik pedas Hanafi terhadap
al-istisyraq
adalah
karena
kahadirannya
mengukuhkan
proses
kolonialisme dan supremasi politik dunia Barat. Al-istisyraq mengkonseptualisasi dan mengkonstruksi Timur sehingga mudah dikendalikan. Kemunculan oksidentalisme di akhir abad ke-20 sendiri memang diorientasikan untuk menuntut pembebasan diri –Timur- dari cengkeraman Barat. Selain itu, lahirnya oksidentalisme dimaksudkan untuk membendung westernisasi –perpanjangan tangan dari al-istisyraq- dan menjelaskan bagaimana kebudayaan Barat telah merasuk dalam gaya kehidupan Timur Tengah, karena menurut Hanafi (1991: 24) westernisasi kebudayaan secara lambat laun akan berubah menjadi keberpihakan terhadap Barat. Meskipun banyak pemikir lain yang tidak kalah vokal menyuarakan semangat kebangkitan ini, seperti Muhammad Arkoun, Husein Nasr, atau Ali Enginer, tetapi Hassan Hanafi lebih berpengaruh, apalagi ketika dia berhasil mencetuskan gagasannya tentang Kiri Islam al-yasar al-islami19, yang praktis membawa perdebatan khusus dan apresiasi hangat dari kalangan Intelektual muslim dan intelektual Barat yang kontra orientalisme. Wahid (Shimogaki, 1993: xviii) menyatakan bahwa oksidentalisme bermaksud mengetahui peradaban Barat sebagaimana adanya, termasuk kekuatan17
Al-istighrab merupakan bentuk masdar dari asal kata istaghraba yastaghribu istighraban yang bermakna yang asing atau yang tak dikenal. Istilah al-istighrab dalam bahasa Indonesia memiliki makna mempelajari atau mengkaji Barat. AW. Munawwir, Kamus alMunawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 1000 18 Istilah oksidentalisme dipopulerkan oleh Hasan hanafi seorang pemikir dari Mesir dan juga penulis al-Yasar al-Islam - Islam Kiri, Oksidentalisme adalah kebalikan (antonim) dari istilah orientalisme yang dalam pengertian umum, orientalisme adalah suatu kajian komprehensif dengan meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat Timur. Yang disebut Timur meliputi kawasan yang luas, termasuk Timur Jauh (negara-negara Asia yang jauh dari Eropa, seperti Jepang dan Cina), Timur Dekat (negara-negara Asia yang dekat dengan Benua Eropa, seperti Turki), dan Timur Tengah (negara-negara Asia yang terletak di antara keduanya, seperti negara-negara Arab). Dalam penelitian ini, penulis mengkhususkan batasan istilah Timur dengan Timur Tengah. 19 al-yasar al-islami atau dengan nama lain shahwa al-islam atau yaqdha al-islam merujuk pada kebangkitan islam. Al-yasar al-islami menyiratkan kesadaran yang dibangun oleh gerakan reformisme agama dengan maksud mentransformasikan kesadaran individual menjadi kesadaran kolektif. Al-yasar al-islami mendapat terinspirasi dari keberhasilan revolusi Islam akbar di Iran yang mengejutkan dunia, dimana rakyat muslim tegak kokoh melawan tekanan militer dan menumbangkan rezim Syah Iran atas nama ‘Islam dan kekuatan ‘Allah’ untuk menumpas kaum otoriter. Kazuo Shimogaki, Kiri Islam; antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis atas Pemikiran Hasan Hanafi, ( Jogjakarta: LKis, 1993), hlm. 86-92.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
11
kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang dimilikinya. Dengan demikian bahwa oksidentalisme
berupaya
meredam
mitos
kebudayaan
kosmopolit
yang
menyatukan semua bangsa Barat dan mengklaim bahwa kebudayaan tersebut adalah kebudayaannya yang harus diadopsi oleh semua bangsa di dunia. Oleh karena itu apabila ingin mencapai kemajuan dan kemodernan, maka Timur harus mengambil segala hal dari Barat. Menurut Hanafi (1991: 29), Barat mengidap kompleksitas superioritas superiority complex atau dalam terminologi Hanafi disebut murakkab al‘uzhma20, sehingga kajian al-istisyraq tersebut mengandung muatan ideologis. Latar belakang tumbuhnya al-istisyraq didorong oleh kebutuhan negara-negara Barat untuk memahami Islam dan masyarakatnya. Kebutuhan tersebut juga seiring dengan upaya penundukkan the other -negara terjajah. Karena itu, oksidentalisme dimaksudkan
untuk
mengembalikan
Barat
pada
posisinya.
Pendekatan
oksidentalisme menjadi penting sebagai pijakan dalam penelitian ini dengan melihat bagaimana sesungguhnya Timur memandang Barat. Oksidentalisme ingin mengurai superioritas semacam itu dengan cara menjadikan peradaban Barat sebagai objek kajian -the other. Karena itu Oksidentalisme dimaksudkan untuk mengembalikan Barat pada posisinya. Sebagaimana diketahui bahwa peradaban barat bukanlah peradaban tunggal, karena ia mencakup seluruh model-model eksperimentasi umat manusia dan akumulasi pengetahuan manusia mulai dari Timur sampai ke Barat. Pandangan dunia Timur Tengah terhadap Barat secara umum juga tampak dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un di mana Barat menilai dirinya sebagai peradaban yang unggul –superioritas, sedangkan Timur Tengah di samping kelebihannya yang juga diakui Barat, memerlukan pertolongan Barat agar dapat maju seperti peradaban Barat. Dalam pemikiran dunia Timur, ada suatu perasaan curiga terhadap kajian-kajian orientalisme bahwa kajian yang mereka lakukan
20
Istilah murakkab al-‘uzhma yang dimaksud oleh Hanafi adalah bahwa Barat benarbenar merasa dirinya superioritas dibanding kebudayaan lain other cultures. Kata murakkab merupakan bentuk ism al-maf’ul dari kata rakkaba yurakkibu takbiran bermakna yang tersusun. Istilah murakkab dalam bahasa Arab memilki makna rangkap, benar-benar. Contohnya jahlun murakkabun dalam bahasa Indonesia artinya ‘kebodohan yang rangkap, orang bodoh yang merasa dirinya pandai’. AW. Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 526
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
12
memiliki motif-motif terselubung, bahkan terkesan mengerdilkan semua yang berbau Timur, walaupun ada beberapa orientalis yang objektif dalam mengkaji ketimuran.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas dan berkaitan
dengan pendekatan yang penulis gunakan, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana novel Ukhruj Minha Ya Mal’un menggambarkan estetika perlawanan Timur Tengah terhadap Barat? 2. Bagaimana perspektif oksidentalisme Hanafi tercermin dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un karya Saddam Hussein?
1.3
Tujuan Penelitian Berkaitan dengan masalah penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya,
tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengungkapkan gambaran estetika perlawanan Timur Tengah terhadap Barat dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un. 2. Mengungkapkan perspektif oksidentalisme Hanafi yang tercermin dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un karya Saddam Hussein.
1.4
Kemaknawian Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu
sastra, yaitu: 1. Menambah khazanah keilmuan bidang kajian dan kritik sastra sehingga menjadi lebih beragam dan variatif. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat membuktikan sejauh mana konsep oksidentalisme Hanafi dapat diaplikasikan pada karya sastra, dalam hal ini novel Arab berjudul Ukhruj Minha Ya Mal’un karya Saddam Hussein yang dapat diungkap dengan analisis kesusastraan.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
13
2. Kajian tentang Timur terhadap Barat sudah banyak dilakukan, tetapi kajian tentang Timur terhadap Barat melalui kajian sastra belum banyak yang melakukan.
1.5
Kerangka Teori 1.5.1 Identitas dan Representasi Menurut Moeliono (1998: 319), identitas adalah ciri-ciri atau keadaan
khusus seseorang; jati diri. Identitas merupakan konstruksi yang berdasar pada konteks sosio-kultural bukan merupakan sesuatu yang terberi, identitas mencakup kesatuan kemanusiaan dalam lingkup yang luas akan tetapi di dalamnya mencakup beragam identitas yang secara serentak dimiliki oleh individu. Sen (2007: 3-8) mengungkapkan bahwa rasa memiliki suatu identitas bukan hanya bisa menjadi sumber lahirnya kebanggaan dan kebahagiaan, melainkan pula sumber tumbuhnya kekuatan dan kepercayaan diri. Dengan mengetahui identitas maka akan dengan mudah mengetahui diposisikan dan memposisikan diri. Menurut Hall (1990: 222), identitas adalah: “Identity is not as transparent or unproblematic as we think… Identity as a ‘production’, which is never complete, always in process, and always constituted within, not outside, representation”.
Merujuk pada pengertian di atas, bahwa identitas adalah suatu produksi yang selalu mengalami proses yang tidak berkesudahan karena pembatasan dalam lingkup pengertian tidak akan pernah tercapai. Identitas di sini tidak bersifat baku, namum lebih dipahami sebagai konstruksi, sesuatu yang mana individu bertanggung jawab atas pembentukannya. Dalam hal ini, bertanggung jawab atas pembentukan identitas dapat dipandang sebagai sebuah tindakan anti kolonial, sebuah upaya untuk melampaui mekanisme
diskriminasi
dan
penyangkalan
yang
dirumusbakukan
oleh
kolonialisme. Sutrisno (2004: 176) menyatakan bahwa identitas selalu menjadi proses negosiasi dalam kemajemukan, sebuah strategi, yang mana melaluinya identitas senantiasa berada dalam gerak perubahan melampaui batas kebangsaan, ras, kesukuan, agama, dan gender.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
14
Persoalan identitas kerap kali muncul karena adanya penegasan identitas yang berlainan diantara kelompok-kelompok yang berbeda, sebab konsep identitas mempengaruhi pikiran dan tindakan melalui berbagai cara. Pertikaian politik dan kekerasan terhadap identitas dipandang sebagai suatu kewajaran akibat adanya perbedaan agama atau budaya. Identitas keagamaan atau peradaban memiliki signifikasi, namun identitas tersebut hanyalah satu diantara banyak identitas lainnya. Budaya-budaya sakral menyatukan konsepsi komunitas yang beragam dengan teritori yang demikian luas melalui wahana bahasa sakral dan kitab tertulis. Misalnya, kategorisasi keagamaan tidak bisa dengan pas masuk ke dalam klasifikasi negara dan peradaban. Memandang perorangan berdasarkan afiliasi keagamaan mereka telah cukup umum dalam analisis budaya dewasa ini karena menjadi suatu cara yang bermanfaat untuk memahami manusia. Identitas keislaman barang kali merupakan satu diantara berbagai identitas yang dianggap penting oleh seseorang -krusial, tanpa menafikan bahwa ada identitas-identitas lain yang juga penting. Apa yang disebut dunia islam sebagian besar penduduknya adalah Muslim, namun beragam orang yang semuanya Muslim bisa memiliki pandangan yang beragam pula dalam berbagai hal, misalnya nila-nilai sosial-politik, pendekatan ekonomi dan sastra, bahkan sikap terhadap Barat. Pertanyaan yang mesti diajukan bukan apakah Islam adalah agama yang cinta damai atau suka berseteru, melainkan bagaimana seorang muslim yang saleh dapat memadukan keyakinan dan praktik keagamaannya dengan segi-segi lain dari identitas pribadi, komitmen, dan nilai lainnya (Sen, 2007: 86). Beragamnya pandangan tersebut dapat melahirkan sebuah identitas dalam wujud representasi dirinya. Representasi adalah sebuah produksi makna dari konsep-konsep yang terdapat dalam pikiran melalui media bahasa, menghubungkan antara konsep dan bahasa yang mengacu pada suatu objek manusia atau peristiwa, bahkan objekobjek, manusia, dan peristiwa dalam dunia imajinatif. Dengan
demikian,
dalam
menjalankan
fungsinya,
representasi
melibatkan dua proses -sistem representasi. Proses yang pertama melibatkan apa
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
15
yang disebut dengan ‘sistem’, yang dengannya berbagai objek, manusia dan peristiwa dikorelasikan dengan seperangkat konsep atau representasi mental yang ada dalam ‘kepala’ kita. Proses yang kedua, sistem representasi dengannya tidak hanya melibatkan konsep-konsep individual tetapi juga cara-cara yang berbeda dalam mengorganisasikan, mengklasifikasikan, dan mengatur konsep-konsep serta memperlihatkan relasi yang kompleks didalamnya (Hall, 1997: 17-18). Dalam pengertian ini, Representasi dipahami sebagai gambaran sesuatu yang akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti to present, to image, atau to depict. Representasi merupakan sebuah cara dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan. Konsep mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang digambarkan. Hal ini terjadi antara representasi dan benda yang digambarkan berlawanan dengan pemahaman standar itu, dengan demikian representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia. Representasi menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna yang berbeda dan tidak ada jaminan bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Dengan kata lain, representasi dapat diartikan sebagai cara memberi pernyataan
atasnya,
mengabsahkan
pandangan-pandangan
tentangnya,
melukiskannya, mangajarinya, mengaturnya, serta menguasainya. Bentuk-bentuk pengertian ini dimungkinkan menciptakan motif tertentu yang direproduksi secara mekanis dengan menghilangkan bagian lain dan dengan begitu menciptakan pengertian tertentu yang bisa dibakukan yang bisa dipakai untuk mencapai kelompok-kelompok rakyat yang beragam. Dengan demikian realitas dikontruksi, dalam istilah Anderson sebagai hal yang dibayangkan (2008: 8). Realitas yang diangkat hanyalah representasi, yang mengandung implikasi. Artinya, ada hal-hal tertentu dari realitas yang dihilangkan atau ditambah. Hal ini memungkinkan terciptanya suatu komunitas terbayang, di mana sebagian besar orang-orang itu tidak pernah bertemu tetapi mampu disatukan. Penyatuan subjek kolonial ini sebagai suatu komunitas
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
16
terbayang dikuatkan oleh adanya nasib bersama yang membentuk kepentingan bersama. Pengenaan representasi identitas kolektif upaya yang dilatarbelakangi komunitas ras, suku-bangsa -etnis, agama membentuk komunitas negara-bangsa. Konsepsi semacam inilah dipahami sebagai imagined communities atau komunitas imajiner, dimana ikatan-ikatan kolektif dalam suatu komunitas politik bukan hanya suatu konstruksi politik semata, melainkan juga sebagai konstruksi budaya. Disini, ikatan terhadap kolektivitas bukan lagi didasari oleh kontakkontak langsung secara fisik sebagaimana yang membuat kita terikat dengan komunitas di lingkungan sekitar atau di dalam suatu organisasi. Melainkan diciptakan oleh makna yang diproduksi melalui simbol-simbol dan praktekpraktek budaya yang saling dibagi bersama. 1.5.2 Oksidentalisme Oksidentalisme –cara Timur memandang Barat- hadir sebagai antitesis dari orientalisme. Jika orientalisme adalah kajian tentang peradaban Islam oleh peneliti dari peradaban lain yang memiliki struktur emosi yang berbeda dengan struktur peradaban yang dikajinya, maka oksidentalisme adalah ilmu yang berseberangan bahkan bertentangan dengannya (Hanafi, 1991: 29). Dalam definisinya, Oksidentalisme adalah sebuah bidang kajian yang hendak menjadikan Barat sebagai objek kajian dan Timur sebagai subjek pengkajinya; yang dalam tataran akademis dimaksudkan sebagai pemikiran alternatif dalam rangka membaca Barat. Ia adalah sebuah disiplin yang berkembang sebagai respon pasca merebaknya studi Orientalisme. Dalam oksidentalisme, posisi subjek objek menjadi terbalik. Timur sebagai subjek pengkaji dan Barat sebagai objek kajian. Dalam Oksidentalismenya, Hanafi menawarkan ajakan untuk membaca Barat secara holistik dan komprehensif, tak hanya sekadar melihat Barat dalam satu dasawarsa belakangan ini. Tetapi sebuah pembacaan yang harus berangkat dari abad pertama hingga sekarang. Karena seperti halnya peradaban lain, menurutnya Barat memiliki kelebihan dan kekurangan, keistimewaan dan kelemahan, yang tak bisa dibaca dalam sikap radikalistik dan ekstrim.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
17
Mungkin bagi kalangan antropolog Barat, oksidentalisme bukan merupakan istilah baru. Secara historis, gagasan oksidentalisme ini merupakan keharusan epistemologis yang diperhadapkan pada orientalisme. Oksidentalisme bisa menjadi sebuah pendekatan dan konsep yang berguna untuk membuka ketidakjujuran Barat dalam melihat Islam. Hidayat (2000: xvi) mengatakan bahwa tampaknya terdapat sebuah konspirasi rasial dan ideologis yang berkedok akademis untuk menempatkan masyarakat Barat lebih hebat, lebih berperadaban, dan lebih berhak memimpin dunia ketimbang bangsa Timur, khususnya orang muslim yang diidentikkan dengan bangsa Arab. Asumsi ini tidaklah berlebihan karena banyak bukti yang menunjukkan hal itu. Dengan proyek Oksidentalisme, Hanafi berniat mengakhiri dan sekaligus meruntuhkan mitos Barat yang dianggap sebagai satu-satunya representasi -kekuatan dunia (Hanafi, 1991: 42), di mana selama ini telah menghipnotis Timur -Islam dengan pemahaman semu bahwa Barat adalah pusat kekuatan dunia, pusat ilmu pengetahuan, pusat gaya hidup, pusat ekonomi, pusat peradaban, dan karenanya menjadi sandaran peradaban lain. Sikap masyarakat Dunia Ketiga terhadap Barat sebenarnya beragam. Ada yang menghadapi Barat dengan penolakan dan keterputusan -diskontinuitas. Gerakan Islam kontemporer berada di garda depan dalam sikap semacam ini. Mereka memutuskan hubungan dengan tradisi Barat dan mengaitkan hubungan dengan tradisi Arab-Islam. Identitas memang berhasil mereka selamatkan dari westernisasi, namun ketertutupan terhadap the other menjadi ongkos penolakan mereka dan yang tersisa pada mereka hanya solipsisme21 yang tidak teruji dan ekslusivisme (Hanafi, 1998: 456). Sebaliknya ada pula yang menyikapi Barat dengan penerimaan mutlak dan keterkaitan -kontinuitas. Pihak-pihak yang menganut paham sekulerismeilmiah memilih sikap ini. Bagi mereka, Barat adalah prototype pembaharu dan sumber pengetahuan. Semua yang berasal dari Barat diterima, sementara produk21
Solipsisme adalah teori yang mengatakan bahwa satu-satunya pengetahuan yang mungkin adalah pengetahuan diri sendiri. Dengan bahasa lain, solipsisme merupakan paham yang menganggap dirinya paling benar. Bryan Turner, Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat; Bongkar Wacana atas Islam Vis a Vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme, (Jakarta: ar Ruzz, 2008), hlm. 28
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
18
produk tradisi cenderung ditinggalkan. Di satu sisi mereka unggul dalam keterbukaan pada liyan –other- namun di sisi lain mereka cenderung mengorbankan identitas dan tergerus dalam westernisasi serta eropasentrisme (Hanafi, 1998: 458). Persoalan identitas merupakan salah satu persoalan pokok dalam menghadapi westernisasi yang berbeda intensitasnya antara satu daerah dengan daerah lain. Oksidentalisme bagi Hanafi adalah alternatif untuk kaum Muslim modern dalam memandang Barat dengan perspektif baru. Baginya: jika selama ini umat Islam telah menjadi objek kajian lewat wacana Orientalisme yang diciptakan Barat, sudah seharusnya kini umat Islam membangun ilmu dengan berlandaskan epistemologi baru lewat diskursus Oksidentalisme.
1.6
Metode Penelitian Mengacu pada rumusan masalah serta tujuan penelitian, maka metode
yang akan dipakai adalah metode kualitatif. Metode penelitian kualitatif melihat hubungan antar kata atau kalimat yang membentuk suatu makna tertentu. Kata atau kalimat merupakan suatu sistem tanda yang mengurai data-data dimana dengan penghayatan yang dalam akan tercapai suatu pemahaman yang baik. Metode ini dipandang sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif ini juga mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang dikaji secara empiris, dan bersifat deskriptif yaitu data terurai dalam bentuk kata-kata yang merupakan sistem tanda yang memberikan pemahaman yang lebih komprehensif (Endraswara: 2003, 8). Konsep oksidentalisme akan diterapkan dalam penelitian ini, kritik Hanafi atas oksidentalisme menjadi tolok ukurnya. Sebagai pendukung metode kualitatif, teori ini digunakan sebagai strategi pembacaan yang diharapkan dapat mengungkapkan pemaknaan baru. Novel Ukhruj Minha Ya Mal’un adalah karya sastra yang dapat dipandang sebagai teks yang mengandung dimensi wacana Timur dan Barat dalam hal ini bagaimana Timur memandang Barat sehingga pemakaian konsep oksidentalisme Hanafi tepat digunakan.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
19
Metode analisis dengan menggunakan pendekatan oksidentalisme digunakan untuk menunjukkan gambaran Timur dalam memandang Barat yang terdapat dalam novel ini. Pendekatan oksidentalisme yang digunakan dipusatkan pada wacana Timur dan Barat dengan mengaitkannya dengan sikap tokoh yang tercermin dalam karya sastra. Pemikiran tentang oksidentalisme diharapkan dapat ditemukan melalui pemikiran dan tindakan tokoh, peristiwa-peristiwa yang terjadi, dan lainnya. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Menempatkan teks Ukhruj Minha Ya Mal’un dalam konteks wacana oksidentalisme. Dalam tahap ini, akan diungkapkan (1) estetika perlawanan Timur Tengah terhadap Barat yang tergambar dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un, (2) perspektif oksidentalisme Hanafi yang tercermin dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un . 2. Mengkaji teks Ukhruj Minha Ya Mal’un dengan metode membaca cermat (close reading). Pengkajian yang dilakukan antara lain: a. Bagaimana sikap tokoh dalam cerita dihadirkan untuk mengungkap perlawanan Timur Tengah sekaligus merepresentasikan Timur Tengah dengan identitas kolektifnya terhadap Barat. b. Melihat bagaimana teks Ukhruj Minha Ya Mal’un mewujudkan orientasi budaya para tokoh dan kondisi yang dialami para tokoh dengan orientasi budayanya. 3. Menarik kesimpulan dari analisis yang telah dilakukan
1.7
Sistematika Penulisan Tesis secara garis besar terbagi menjadi empat bagian. Bagian pertama,
merupakan pendahuluan tesis yang mencakup latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kemaknawian penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penelitian. Bagian kedua, menjelaskan estetika perlawanan Timur Tengah terhadap Barat dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un, yang meliputi ringkasan struktur naratif novel Ukhruj Minha Ya Mal’un, penggambaran identitas Timur Tengah,
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
20
dan kesadaran Timur Tengah terhadap berbagai bentuk penjajahan yang dilakukan oleh pihak asing. Bagian ketiga, berisi kajian oksidentalisme atas novel Ukhruj Minha Ya Mal’un meliputi konsep oksidentalisme Hanafi, perspektif oksidentalisme Hanafi dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un, dan novel Ukhruj Minha Ya Mal’un sebagai pembangun kesadaran kolektif Timur Tengah. Bagian keempat, menyajikan kesimpulan atas analisis yang telah dilakukan
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
BAB II ESTETIKA PERLAWANAN TIMUR TENGAH DALAM NOVEL UKHRUJ MINHA YA MAL’UN
Sastra merupakan salah satu cara yang digunakan untuk memaparkan gagasan agar sesuai dengan tujuan dan efek yang ingin dicapainya. Sastra tidak hanya mengacu pada lambang kebahasaan, melainkan juga pada berbagai macam bentuk sistem tanda yang secara potensial dapat digunakan untuk menggambarkan gagasan dengan berbagai kemungkinan efek estetis yang ditimbulkan (Aminudin: 1995). Penggunaan cara tersebut selain berfungsi memperkaya gambaran objek yang diacu, memperkaya gagasan yang disampaikan, juga untuk menciptakan gambaran peristiwa secara lebih hidup. Pembahasan pada bagian estetika perlawanan Timur Tengah dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un ini, dilakukan dengan mencari data dalam novel yang menyiratkan adanya berbagai bentuk perlawanan Timur Tengah terhadap Barat. Data-data tersebut dianalisis dengan tujuan untuk menemukan gambaran identitas Timur Tengah serta bentuk perlawanannya. Bagian ini akan memberi gambaran besar tentang hal-hal yang membangun dan membentuk identitas Timur Tengah. Bagian ini diberikan mengingat novel Ukhruj Minha Ya Mal’un memuat porsi besar terhadap dikotomi kebudayaan, sehingga lahirnya bentuk-bentuk penegasan sebuah identitas yaitu identitas masyarakat Timur Tengah. Akibatnya, timbulah kesadaran yang memicu lahirnya perlawanan. 2.1. Struktur Naratif Novel Ukhruj Minha Ya Mal’un Novel Ukhruj Minha Ya Mal’un memiliki latar tempat dunia Arab dan latar waktu yang tidak
jelas –tidak disebutkan. Pada bagian awal novel,
pengarang mengembangkan alur cerita melalui teknik flash back ke zaman dahulu, Ia menceritakan tentang peradaban-peradaban tinggi yang mencapai puncak kegemilangan pada zamannya, seperti peradaban Persia dan Irak. Peradaban-peradaban tinggi tersebut dilukiskan melalui wacana pencapaian
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
22
kemajuan yang terjadi 1500-1900 SM. Pada 1900 SM, aspal dengan kualitas baik telah ada sejak Peradaban Irak, bahkan pada zaman Assyuria Tengah sekitar 1400 SM telah ada keramik dengan kualitas tinggi. Dalam dimensi ruang dunia Arab, pengarang menggambarkan latar sosial budaya kehidupan masyarakat yang hidup dengan identitas budayanya yang unik. Atmosfer yang ditampilkan dalam novel ini menunjukan bahwa ketika itu masyarakat Arab sedang berada dalam kondisi damai dan tentram. Tetapi kemudian berubah menjadi perpecahan ketika mereka mulai mengenali kebudayaan di luar mereka. Datangnya suku asing yang diwakili oleh suku Romawi, menandai berakhirnya suasana damai dan tentram yang sebelumnya mereka rasakan. Hal tersebut terlihat ketika banyaknya konflik-konflik yang melahirkan perpecahan dan peperangan yang terjadi dalam masyarakat Arab tersebut. Tokoh utama dalam novel ini adalah Hasqil dan Lazzah. Hasqil digambarkan sebagai tokoh antagonis dengan watak licik, tamak, dan haus kekuasaan, sedangkan Lazzah digambarkan sebagai tokoh protagonis dengan watak tegas, cerdas, dan kuat. Tokoh Hasqil mewakili identitas budaya yang cair, sebaliknya Lazzah mewakili identitas budaya yang mengental. Kedua tokoh ini terbentuk karena adanya pergesekan kebudayaan dengan ciri dan identitas yang berbeda, sehingga menyebabkan kedua tokoh ini berada pada posisi yang bersebrangan. Sedangkan sudut pandang yang digunakan pengarang dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un ini adalah sudut pandang persona ketiga ‘dia’ maha tahu. Narator mengetahui berbagai hal termasuk tokoh, peristiwa, dan tindakan bahkan termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Oleh karenanya, ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindahpindah dari tokoh ‘dia’ ke ‘dia’ yang lain, bahkan hanya berupa pikiran, pandangan, perasaan, dan motivasi tokoh secara jelas seperti halnya ucapan dan tindakan nyata, seperti adanya ungkapan yang tidak merujuk pada satu tokoh dalam novel. Tema yang diangkat dalam novel adalah tentang persinggungan antara dua kebudayaan yang berbeda. Satu kebudayaan digambarkan sebagai kebudayaan
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
23
yang dominan –Romawi dengan berbagai upayanya untuk menguasai kebudayaan Arab, sedangkan satu kebudayaan lain –kebudayaan Arab digambarkan sebagai kebudayaan yang berada di bawah tekanan kebudayaan Romawi. Adanya kebaikan melawan kejahatan, kebenaran dan keadilan melawan kezaliman, upaya mempertahankan identitas, peleburan budaya, bahkan keberpihakan terhadap kebudayaan Romawi mewarnai novel ini. Novel Ukhruj MInha Ya Mal’un ini mengawali kisahnya dengan sejumlah peristiwa yang menggambarkan keadaan sosial budaya masyarakat Arab, dalam perjalanan ceritanya kemudian bertemu dengan konflik-konflik akibat pergesekan kebudayaan Arab dan berbagai konflik kepentingan dengan Romawi. Novel ini diakhiri dengan tumbangnya kebudayaan Romawi yang ditandai dengan hancurnya segala apa yang menjadi kebanggaannya. 2.2. Penggambaran Identitas Timur Tengah Identitas berkaitan dengan ciri-ciri, tanda-tanda, apa bendanya atau siapa orangnya. Identitas adalah usaha untuk mengenali kembali, jadi sebelumnya seolah-olah sudah pernah dikenal (Ratna, 2007: 383). Dalam pengertian tersebut bahwa identitas bersifat konstruktif, selalu mengalami perubahan. Dalam perumusan identitas, setidaknya Hall (Rutherford, 1990: 222) memberikan kontribusi terhadap pemaknaan identitas sebagai suatu produksi yang tidak pernah sempurna, dengan demikian bahwa identitas selalu berproses dan selalu membentuk di dalam representasi. Dalam praktiknya identitas dapat ditandai dengan adanya perbedaan dalam wujud representasi baik secara simbolik maupun secara sosial. Dalam upaya membangun identitas dalam bingkai ideologi, diperlukan upaya dalam mengekspresikan diri kelompok dan identitasnya karena identitas digunakan untuk menjelaskan berbagai cara diposisikan dan memposisikan diri secara aktif dalam narasi sejarah. Identitas dapat juga ditafsirkan sebagai budaya milik bersama –karena memiliki akar sejarah dan asal-usul yang sama- yang menjadi mata rantai sebagai bentuk usaha melestarian budaya masa lalu. Timur Tengah merupakan wilayah yang secara politis dan budaya merupakan bagian dari benua Asia atau Afrika-Eurasia. Timur Tengah telah
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
24
menjadi pusat terjadinya peristiwa-peristiwa dunia dan menjadi wilayah yang sangat sensitif baik dari segi wilayah, politik, ekonomi, kebudayaan, dan keagamaan karena merupakan tempat lahirnya pusat spiritual tiga agama besar yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam serta memiliki cadangan minyak dalam skala besar. Penggambaran masyarakat Timur Tengah sebagai sebuah identitas budaya melahirkan semangat yang diwujudkan dalam sebuah ajaran dan berbagai bentuk tradisi budaya yang dipegang kuat oleh masyarakat Timur Tengah. Sebagai sebuah konsep, penggambarkan identitas tersebut mengacu pada pembentukan dan pelanggengan batas-batas kultural dan memiliki penekanan pada sejarah dan budaya Timur Tengah. Oleh karena itu, yang kemudian ditawarkan adalah untuk mencari titik-titik persamaan, bukan perbedaan tujuannya adalah agar bersatu (Shimogaki, 1993: 133). Novel Ukhruj Minha Ya Mal’un bercerita tentang masyarakat Timur Tengah dengan kebudayaannya dalam menghadapi kebudayaan lain. Hal itu ditunjukan dengan adanya upaya keras dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya dan nilai-nilai sosial. Warisan tersebut telah mendarah-daging sehingga tidak bisa dipisahkan dari setiap jiwa masyarakat Timur Tengah. Warisan budaya dan nilai-nilai sosial tersebut adalah:
2.1.1 Tradisi masyarakat Timur Tengah dalam menjaga nilai-nilai religiusitas. Ketika Islam dipancangkan sebagai agama yang mengatur aspek spiritual, tauhid22 sering dipahami sebagai ‘keesaan Tuhan’ artinya segala sesuatu akan kembali pada Tuhan (Shimogaki, 1993: 17-18). Keberadaan manusia menjadi sangat relatif di hadapan Tuhan dan setiap manusia yang diciptakan mempunyai hubungan langsung dengan Tuhan. Nilai-nilai religiusitas yang terkandung dalam ajaran agama merupakan daya penggerak yang bersifat kulli23, yang menjadi tolok ukur dalam setiap 22
Tauhid asal kata dari wahhada yuwahhidu tauhiidan memiliki makna mengesakan, menyatukan, membuat manjadi satu, mengesakan bahwa tiada Tuhan selain Allah AW. Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 1542 23
Kulli asal kata dari kullun artinya menyeluruh, bersifat menyeluruh Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989) hlm. 380
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
25
pikiran dan tindakan dalam kehidupan sehari-hari (Al-Attas, 2001: ix). Al-Qur’an dalam hal ini menjadi sebuah tantangan yang monumental, ia diterjemahkan menjadi sebuah peristiwa, sebuah tindakan,
ketimbang semata-mata sebagai
pernyataan atas norma-norma. Hal senada juga dikemukakan oleh Hodgson (2002: 174-175) yang menyatakan bahwa apa yang seorang hamba lakukan dengan Al-Qur’an bukanlah semata-mata hanya untuk dibaca tetapi untuk beribadah melalui perantaranya, bukan untuk menerimanya secara pasif, tetapi mengukuhkannya dalam pikiran dan tindakan sebagai upaya menghidupkan afirmasi-afirmasi Qur’ani. Dengan demikian nilai-nilai religiusitas dalam masyarakat Timur Tengah memegang peranan yang sangat penting, nilai-nilai tersebut dijadikan dasar dan prinsip hidup. Hal ini tampak dari kuatnya pengaruh nilai-nilai religiusitas yang tercermin dalam sikap, pola pikir, dan tradisi dalam masyarakat Timur Tengah. Keyakinan terhadap nilai-nilai religiusitas tersebut merupakan konsistensi mutlak bagi setiap pemeluknya sebagai bentuk kesalehan24 pemeluk agama. Pada prinsipnya, tanpa acuan tersebut seorang pemeluk agama menjadi tidak bermakna dalam kehidupan, sebelum membuktikan keyakinannya terhadap agama melalui tindak kehidupan. Bagi masyarakat Timur Tengah menjaga dan menjauhkan diri dari sifat buruk seperti iri hati, pelit, dan tidak memiliki belas kasih terhadap saudara maupun orang lain adalah sebagai bentuk kepatuhan terhadap Tuhan. Hal tersebut terlihat dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un yang sarat dengan muatan nilai-nilai religiusitas. Gambaran masyarakat Arab yang masih menjadikan nilai-nilai religiusitas tercermin pada tokoh Ibrahim. Ibrahim adalah seorang yang sangat kuat memegang dan menjalankan nilai-nilai religiusitas, ia menjadi seorang pendakwah yang menyebarkan agama ke berbagai tempat, salah satu cara yang Ibrahim tempuh adalah dengan melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar semakin banyak masyarakat yang mengerti dan melaksanakan segala ketentuan yang termuat dalam ajaran agama. 24
Shaleh (shalih) asal kata dari shaluha-shalaha bermakna orang yang baik, yang patut, yang saleh terhadap agama. AW. Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 788-789
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
26
Ibrahim dikenal sebagai sosok yang sangat religius, oleh karenanya masyarakat yang berada di sekitar tempat tinggalnya, sangat menghormati Ibrahim. Sikap Ibrahim mencerminkan kedalaman pengetahuannya tentang agama. Agama bagi Ibrahim adalah tolok ukur yang menentukan cara berpikir, cara bersikap, dan cara bertindak dalam kehidupan. Sikap itu ditunjukan oleh Ibrahim ketika memberi nasehat kepada Hasqil. Ibrahim bersedih hati karena sikap Hasqil yang selalu menjadikan kedua saudaranya sebagai korban atas sikap buruknya. Hasqil selalu berbuat jahat kepada saudaranya sendiri dengan selalu menyakiti mereka, iri hati terhadap mereka, bersikap pelit –seperti tidak mau berbagi makanan, bahkan seringkali Hasqil memusuhi mereka jika keinginannya tidak dituruti. Kemarahan dan kekhawatiran Ibrahim akan sikap Hasqil, tidak lantas menjadikannya berbuat tidak adil. Ibrahim menasehati Hasqil dengan penuh rasa kasih sayang, ia mengingatkan Hasqil tanpa menghakiminya karena telah berbuat salah. Ibrahim memberi nasihat kepada Hasqil dengan mengingatkan bahwa hidup tanpa menjalankan ketentuan yang berasal dari Tuhan akan menjadi sia-sia. Ketentuan Tuhan baik yang berupa kewajiban-kewajiban terhadap-Nya yaitu perintah dan larangan-Nya sebagai seorang hamba Tuhan atau hak dan kewajiban sebagai manusia yang hidup secara sosial. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan ridla25 Tuhan yang menjadi tujuan hidup bagi setiap pemeluk agama, karena segala yang dimiliki termasuk harta kekayaan tidak akan memberikan kebahagiaan, ketenangan hidup, dan kedamaian jiwa, kecuali setelah ridla Tuhan dan manusia diberikan, sebagaimana dalam kutipan berikut: "ون-./ ا12345 67 8 آ:37 ;< =>? ،ً6?6B-7 CDE5 F< ،س6H< واI ا6J ر-LM5 F7"و ( 11 :FDL?)
25
Ridla asal kata dari radliya yardla ridlan-rudlan bermakna kerelaan, kesukaan, kesenangan. AW. Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 505
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
27
“Dan siapapun yang hidup tidak mendapatkan ridla Allah dan manusia maka hidupnya tidak akan bahagia (akan sengsara) meskipun memiliki kekayaan yang banyak”26 Sikap Ibrahim mencerminkan keteguhan dan kekuatan dalam menjadikan dan menjalankan nilai-nilai religiusitas sebagai prinsip hidup yang paling mendasar, bahwa hanya dengan keridlaan yang datang dari Allah yaitu dalam bentuk rahmat dan anugrah, manusia akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Sikap Ibrahim ini diperkuat oleh Abu Haidar ilyas (2003; 10-11) yang menyatakan bahwa ada dua syarat untuk berjumpa dengan Allah SWT dan meraih rahmat-Nya yang begitu luas, memperoleh kedamaian dan kebahagiaan duniaakhirat: pertama, beramal shaleh; kedua, bertauhid dan ikhlas dalam melakukan ibadah kepada-Nya. Kutipan diatas menunjukan butir pemikiran tentang sikap yang menjadikan nilai-nilai religiusitas menduduki posisi yang sangat penting dalam menjalani kehidupan. Pentingnya memiliki keyakinan terhadap Tuhan, akan berdampak besar pada sikap dan prilaku sebagai individu yang hidup dalam suatu masyarakat. Secara singkat hal itu dapat dikatakan, bahwa syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan hakiki dalam pandangan Islam adalah dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan tujuan untuk memperoleh ridla-Nya. Hanya dengan ketaatan sepenuhnya, manusia dapat memperoleh ridlaNya dan mendapatkan rahmat serta anugrah-Nya. Ibrahim memiliki keyakinan bahwa dalam ketentuan Allah yang termaktub dalam al-Qur’an baik yang berkaitan dengan ibadah ataupun bentuk muamalah lainnya selalu berlandas pada nilai-nilai sosial. Ibrahim berkeyakinan bahwa satusatunya jalan untuk bisa mencapai tingkat kebahagiaan hidup yang sempurna, baik dalam fungsinya sebagai seorang hamba ataupun makhluk sosial adalah dengan menjalankan segala ketetapan dan ketentuan Allah, karena dengannya manusia akan mencapai puncak kedekatan kepada Allah SWT. Sebagai manusia yang memiliki keyakinan terhadap Tuhan, Ibrahim menanamkan nilai-nilai religiusitas kepada cucu-cucunya semenjak dini. Dalam 26
Terjemahan dalam bahasa Indonesia ini adalah terjemahan penulis. Untuk mendapatkan terjemahan yang valid, penulis merujuk pada kamus untuk kemudian meng-compare dengan versi novel bahasa Indonesia. Hal ini berlaku untuk terjemahan-terjemahan pada kutipan berikutnya
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
28
setiap kesempatan, Ibrahim selalu membekali ketiga cucunya -Hasqil, Mahmud, dan Yusuf dengan bekal ilmu agama. Bagi Ibrahim, pendidikan agama pada masa kanak-kanak adalah waktu yang sangat tepat, karena pada masa itulah masa terbaik menyerap dan meniru, sebagaimana pepatah Arab mengatakan ‘belajar di waktu kecil bagaikan melukis di atas batu’. Dengan mendidik cucu-cucunya di masa kecil, Ibrahim berharap bahwa keyakinan terhadap Allah akan tertancap kuat dalam jiwanya. Semua nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari ajaran agama seperti kepatuhan terhadap Tuhan, kejujuran, pengorbanan, menolong sesama, dan nilai-nilai lainnya ditanamkan sejak kecil, maka nilai-nilai tersebut akan mengakar kuat dalam diri dan jiwanya. Hal ini akan melahirkan kesadaran yaitu sikap untuk selalu ingat akan asal usulnya, bahwa ia berasal dari yang Ilahi27dan dengan rendah hati akan menyadari keberadaan dirinya di dunia, hal ini terlihat dalam kutipan berikut: امR><S واF5T<دئ ا6W7 6X>7TY7 Z[ و،دئ6W4<= ا3\ ةTD^<_ اD`->< وا،TD^<اد اT\S ان ا،aEb (44 :FDL?) س6H<;ق اY? و،I;ق اYd` “Memang benar bahwa persiapan dan pendidikan yang paling baik adalah pendidikan yang mengajarkan dasar agama dan konsisten dalam menjalankan kewajiban terhadap Allah dan manusia (hak Allah dan hak sesama manusia)” Dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un ini, Hasqil digambarkan sebagai tokoh yang semenjak kecilnya tidak pernah memperdulikan Allah, walaupun Ibrahim dengan sekuat tenaga berusaha mengajari dan mengingatkannya. Usaha Ibrahim dalam mendidik Hasqil pun menjadi sia-sia, tetapi Ibrahim tidak pernah menyerah untuk selalu memberikan pendidikan terbaik untuk cucu-cucunya sampai cucu-cucunya menginjak usia dewasa, Ibrahim tidak berhenti memberikan pendidikan agama sebagai bekal hidup. Hasqil memiliki sifat yang berbeda dengan kedua saudaranya, Mahmud dan Yusuf. Hasqil seringkali mempertanyakan hal-hal yang dianggap tabu oleh
27
Illah bentuk jamaknya adalah alihatun bermakna Tuhan yang disembah. AW. Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 36
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
29
Ibrahim, tetapi Ibrahim selalu berusaha memberikan jawaban yang baik dan bijaksana. Suatu waktu Hasqil bertanya tentang wujud Allah, ia berkeinginan untuk membuat lambang Allah dari emas, hal itu dilakukan karena cinta Hasqil yang besar terhadap emas, kontan pertanyaan Hasqil telah membuat Ibrahim tersentak. Hasqil menunjukan hal itu dalam kutipan berikut: (21 :FDL?) ؟nTWEb و،f ذهF7 13E^H[ ،6HX
“Mengapa kita tidak membuat lambang menyerupai Tuhan kita dari emas lalu kita menyembahnya?” Bagi Ibrahim pertanyaan Hasqil telah melukai hatinya, apa yang Ibrahim jaga dan ajarkan telah diluluhlantahkannya terlebih itu dilakukan oleh cucunya sendiri, tetapi Ibrahim berusaha untuk sabar dan lapang dada atas tindakan tidak terpuji yang dilakukan Hasqil. Karena bagi Ibrahim menyekutukan Allah dengan membuat lambang adalah suatu dosa besar yang akan berakibat pada gugurnya keimanan, karena keimanan hanya akan terwujud ketika seorang hamba mengesakan Allah dengan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun termasuk membuat lambang penyerupaan Allah. Mengesakan Allah bagi Ibrahim bermakna bahwa Allah tidak berubah, pencipta abadi, dan tidak ada tandingan-Nya, karena Allah berada di luar jangkauan penjelasan apa pun dan tidak mungkin direpresentasikan melalui penggambaran serta Allah tidak dapat dikenai pertanyaan tentang siapa, bagaimana, dimana, kapan, dan lain sebagainya, yang mungkin hanyalah pernyataan tentang keesaan Allah tauhid. Hal yang dapat membuat Ibrahim menghela nafas panjang selain dengan tindak menyekutukan Allah adalah meragukan kekuasaan Allah. Meragukan kekuasaan Allah memiliki makna yang sama dan berakibat pada gugurnya keimanan sebagai seorang hamba Allah. Hasqil juga mempertanyakan ciptaan Tuhan yang menurutnya tidak penting, karena ia menganggap apa yang diciptakan Allah tidak memiliki manfaat, ini terlihat pada kutipan dalam novel sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
30
8sjH5 ذا643[ ..._؟3ML< اF7 aن أه6Lbi اrD< أ..._؟3ML< اF7 ST` ،6b6Lb إI اp3M5 a< ذا64<و ( 7-8:FDL?) _؟3Mt p3M` ن6Lb إp3. F\ Iا
“Mengapa Allah tidak menciptakan manusia saja sebagai pengganti anak kambing?…bukankah manusia lebih penting dari anak kambing?...dan kenapa Allah juga sibuk menciptakan anak kambing saat mencipta manusia?” Ibrahim sangat paham dengan watak Hasqil yang tidak akan puas dengan jawaban apapun, Hasqil melakukan itu semata-mata hanya ingin membuat keyakinan Ibrahim goyah. Kendatipun demikian Ibrahim tetap menunjukan kelapangannya dalam menghadapi Hasqil. Ibrahim memberi penjelasan kepada Hasqil bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah selalu mengandung manfaat karena tak satu pun ciptaan Allah yang tidak ada manfaat bagi makhluk lain terutama manusia. Ibrahim menyadari jika ia menyikapi sikap Hasqil dengan amarah bukan merupakan jalan keluar, karena marah bagi Ibrahim adalah sesuatu yang sangat dihindari kecuali terhadap musuh. Ibrahim selalu mengetengahkan pandangan Islam tentang sikap untuk bersabar, memaafkan, dan menahan marah dalam mengahadapi suatu masalah. Sikap Ibrahim ini mencerminkan bagaimana nilainilai religiusitas telah berakar kuat dalam dirinya, ia menyikapi pemahaman yang salah dan penyimpangan Hasqil dengan bersabar dan memaafkan tanpa harus memicu terjadinya perdebatan. Kenyataan inilah yang lantas menggugah kesadaran Ibrahim bahwa sebenarnya ia tidak dapat memaksakan pendapat dan pemahamannya tentang ajaran agama dengan cara memaksakannya kepada Hasqil -cucunya sendiri, Ibrahim berkeyakinan bahwa hanya dengan kesadaran yang berasal dari diri sendiri dan atas izin Allah maka seseorang akan berubah termasuk pada cucunya, Hasqil. Kendatipun demikian, Ibrahim berusaha mengingatkan Hasqil akan kebesaran Allah melalui ciptaan-ciptaan-Nya. Ibrahim mengajak Hasqil untuk melihat dan memperhatikan keadaan-keadaan sekitarnya agar Hasqil mau berfikir,
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
31
merenungi, dan menyadari akan kebesaran dan kekuasaan Allah, sebagai mana tergambar dalam kutipan berikut: ;انD? F7 ى-.vت ا6x;3M4< ا1< I اp3M5 أن-Dy F7 CDE5 أنkDz>L5 S ن6Lbiأن ا Z[ ن6Lbi اp3. أنIت ا65{ F7 ةT? ان وا8` ،;اءX<ء وا64<رض واv اp3. أنTE` ،ت6Wbو TE` ،6DbT<ة ا6Dd< اZ[ nف دور-ED< ،6XH7 =x أر13E و،ى-.vت ا6x;3M4< اt وa5;YB FL?أ ( 8:FDL?) "6XD3\ nRDD4>< I ا-2j5 ان “Manusia tidak bisa hidup sendiri, sehingga Allah (kekuasaan Allah) menciptakan makhluk lain yaitu binatang maupun tumbuhan setelah Allah menciptakan bumi, air, dan udara. Sebagai salah satu dari ‘ayat Allah’ (tanda kekuasaan Allah), manusia diciptakan sebaik-baik ciptaan dibanding makhluk lain, Allah menciptakan manusia lebih tinggi dibanding makhluk lain agar bisa memahami perannya dalam kehidupan dunia, mau bersyukur dan belajar” Ibrahim masih memegang kuat keyakinan terhadap nilai-nilai religiusitas yang tercermin dalam kata-kata dan perbuatannya. Hal ini mencerminkan pandangan umum bahwa masyarakat Timur Tengah begitu kental dalam menjaga dan melestarikan nilai luhur ketimurannya dengan menjadikan agama sebagai prinsip hidup, salah satunya adalah kesalehan terhadap Tuhan. Sebagai wujud keyakinan terhadap Tuhan, Ibrahim selalu melakukan perenungan diri dengan melakukan shalat sunnah28. Shalat merupakan dialog spiritual langsung seorang Muslim dengan Tuhannya (Shimogaki, 1993: 21). Ibrahim melakukan shalat disaat hatinya sedang bersedih dan pikiran sedang membeku karena permasalahan hidup yang dihadapinya. Bagi Ibrahim shalat tidak hanya bermakna kewajiban, tetapi merupakan jalan untuk mendapat ketenangan diri. Dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: 6l5;ا ا35 نv 15T<_ وو4D3? 6\ ود..=3م و6x a.. _EDWz< اZ[ 87>< اaDاه-`ود ا6\ (37 :FDL?)
28
Penulis menggunakan istilah shalat sunnah adalah untuk membedakannya dengan shalat wajib yang berjumlah lima waktu, yaitu subuh, zuhur, ashar, maghrib, dan isya.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
32
“Ibrahim merenungkan semesta, kemudian dia berdiri untuk menunaikan shalat. Ibrahim juga mengajak Halimah (istri Ibrahim) dan kedua anaknya untuk menunaikan shalat” Shalat merupakan salah satu upaya untuk mensucikan jiwa raga dan menjadi tolok ukur taqwa seorang Muslim. Kegiatan yang merupakan kewajiban bahkan menjadi sebuah kebutuhan bagi ketenangan jiwa. Shalat menjadi kewajiban sebagai bentuk kepatuhan diri dan jiwa terhadap Tuhan yang merupakan tanda kepasrahan aktif. Dengan shalat, Ibrahim merasakan
ketenangan
jiwa, sensitivitas
kemanusiaan menjadi lebih peka, segala nafsu akan mudah dikendalikan, dan tentunya akan selalu merasa dekat dengan Allah. Dalam keadaan seperti itu, stabilitas jiwa terjaga karena jiwa dan pikiran merasakan suatu ketenangan. Hal ini dapat dilihat ketika Ibrahim memberikan nasehat mengenai betapa pentingnya ketenangan jiwa ketika memulai melakukan dan memutuskan suatu perkara. Ketenangan jiwa akan hadir jika kepasrahan terhadap Tuhan telah dilakukan. Hal ini ditunjukan dalam kutipan berikut: 64< _^34<ورة ا-l<س ا6t= ا3\;ى وX< اF7 6هRH7 ،aBر-zJ اذا ا،aدآ6X>;ن ا25 ان (37 :FDL?) F5T< ا1W;>L5ة و6Dd< ا1Dl>YB “Jika dalam kondisi terpaksa yang mengharuskan kalian berijtihad29 maka harus bersih dari segala nafsu dan didasarkan kepada kebutuhan manusia dan ajaran agama” Dalam melakukan ijtihad, Ibrahim mengharuskan dirinya berada dalam kondisi tenang dengan menghindarkan diri dari nafsu yang akan membayakan kepentingan orang banyak. Ibrahim menjadikan agama sebagai pijakan dalam bertindak terlebih ketika ia harus mengambil sebuah keputusan. Hal ini selalu Ibrahim ajarkan dalam kegiatan dakwahnya sebagai upaya untuk menghindari dari segala bentuk konflik kepentingan.
29
Ijtihad asal kata jahada artinya bersungguh-sungguh. Maksudnya adalah usaha tekun memikirkan agama agar bisa operasional dalam kehidupan manusia AW. Munawwir, Kamus alMunawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 217
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
33
Penyerahan diri terhadap Allah menjadi suatu keharusan dalam setiap perbuatan yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di dalamnya hal yang seringkali luput dari perhatian, seperti berdoa sebelum dan sesudah makan, hal itu dilakukan sebagai wujud tanda rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang dianugrahkan, seperti tergambar dalam kutipan berikut: F4?-< اI اaL`» 6ًED4 <;ا6x وa<6t ;` أaXYWL5 ،م6Ez< إ<= اaX5T5ت أT>7 وا...د-` ادR<ا Fd< اF7 nT5 k[ ان رTE` ،a<6t ;`ل أ6x ،م6Ez<ول ا6HB F7 ;اX>b ا67TH\ و،«aD?-<ا ( 171:FDL?) FD4<6E< رب اI T4d< ا:_DHD<ا
“Makanan telah dingin… kemudian mereka mengambil makanan, Abu Salim memulai dan membaca ‘Bismillahi al-Rahman al-Rahim’ dan ketika selesai makan, Abu Salim mengangkat tangannya dari mangkuk Cina dan membaca “Alhamdulliahi Rabbil ‘alamin’, yang lain berbuat serupa” Bagi Ibrahim Islam adalah menyeluruh karena mengatur hal-hal yang dianggap kecil, hal ini berlaku dalam semua lini kehidupan termasuk dalam kehidupan sehari-hari seperti etika makan dan minum. Islam baginya merupakan sebuah cermin sosial yang mana pemeluknya satu sama lain berhubungan karena Allah, untuk mencari keridlaan-Nya. Dengan mengetahui beberapa peraturan dan melaksanakannya
akan
mendatangkan
keridlaan
Allah
dan
melahirkan
kebahagiaan dunia dan akhirat. Masalah yang bersifat spiritual adalah juga bersifat material, aksi yang duniawi adalah juga agamawi, dan yang individual sekaligus sosial. Dengan demikian jaringan relasional Islam yang tampak adalah didasarkan pada pandangan dunia tauhid dengan cara mematuhi segala ketetapan yang ditentukan oleh agama. Bahwa nilai-nilai religiusitas pada masyarakat Timur Tengah tidak bisa dipisahkan dari setiap sisi kehidupan. Hal tersebut mengandung arti bahwa orientasi hidup manusia hanyalah untuk mengabdi kepada Tuhan, hal inilah pun yang berlaku dalam masyarakat Timur Tengah. Pengabdian ini semata-mata hanya untuk kepentingan manusia sendiri –sebagai arus balik kepada manusia.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
34
Keyakinan yang berakar dari pandangan religius ini selalu dikaitkan dengan tindakan atau amal perbuatan manusia.
2.1.2 Tradisi menjaga nasab (garis keturunan) Garis keturunan dalam masyarakat Timur Tengah khususnya masyarakat Islam menduduki posisi penting, karena darinyalah asal-usul keturunan kembali kepada leluhurnya. Kesucian keturunan sangat dijaga untuk mempertahankan keaslian suatu garis keturunan, karena melaluinya suatu karakter akan terbentuk. Kecenderungan ini dilakukan dalam upaya untuk menjaga keutuhan identitas mereka sebagai masyarakat Timur Tengah yang khas dengan ciri budayanya, terutama ini dilakukan oleh mereka yang memiliki status sebagai golongan tertentu. Tradisi ini dikenal juga dengan istilah ashabiyah30dan berlaku sebelum Islam hadir di Timur Tengah. Loyalitas terhadap nasab menjadi syarat mutlak dalam sebuah suku, dengan tujuan menjaga kemuliaan dan nama baik. Hal ini pula yang dialami Lazzah, ketika dia menyadari bahwa ibunya berada pada posisi yang bersebrangan dengannya, hal itu disebabkan karena garis keturunan mereka yang berbeda. Darah ibu Lazzah tercampur dengan darah nonArab sehingga Lazzah berpikir bahwa ibunya tidaklah sama dengannya karena wataknya akan merujuk pada suku non-Arab. Perasaan Lazzah ini tergambar dalam kutipan berikut: =3\ [6? ان اZ 3\ ...6X3هv ;دEB _4E<6[ ،Z7 ا6Xb اay ر،6H7 LD< 6Xb ا،_W5-y 6Xb… ا (96 :FDL?) _3DWY< اZb6E7 “…Dia (ibuku) adalah perempuan asing, dia bukan dari golongan kami walaupun dia adalah ibuku, kesombongannya akan merujuk pada keluarganya… bukan pada suku ini, aku harus menjaga nila-nilai keluhuran suku ini”
Lazzah sangat kecewa terhadap ibunya yang tidak loyal terhadap suku yang telah membesarkannya, ia menjadi istri dari kepala suku yang sangat dihormati –ayah Lazzah. Setelah kekuasaan ayah Lazzah digulingkan oleh Hasqil, 30
Rasa kesukuan dengan pengertian lain, ikatan yang didasarkan atas kesamaan garis keturunan dalam suatu suku.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
35
Ibunya terpedaya oleh harta Hasqil sehingga ia rela menukar kehormatan dirinya dengan sesuatu yang hina. Dalam kondisi seperti ini, Lazzah tidak mampu berbuat banyak karena ia tahu musuhnya –Hasqil- telah berhasil memperdaya kelemahan Ibunya. Ibu Lazzah telah merusak tatanan nilai yang berlaku dalam masyarakat Arab karena dalam masyarakat Arab, istri kepala suku adalah panutan bagi para perempuan sukunya, bahkan bila istri kepala suku menyuruh perempuan sukunya untuk pisah ranjang dengan suami, maka mereka akan melakukan walaupun para suami menginginkan berhubungan. Hal itu didasarkan karena keputusan istri kepala suku sangat mempengaruhi sikap para perempuan sukunya. Kelicikan Hasqil tidak berhenti sampai disitu, Lazzah yang merupakan impian hasratnya terus dirayu dan diperdayakan, akan tetapi Lazzah telah mengenali watak dan kelicikan pribadi Hasqil. Lazzah berjuang seorang diri, tak sedikitpun rasa gentar ia rasakan. Kebahagiaan Lazzah telah direnggut oleh Hasqil dengan digulingkannya Ayah Lazzah sebagai kepala suku, diobrak-abriknya kesatuan sukunya, dan diperdayakannya Ibu yang telah melahirkannya. Luapan kemarahan Lazzah menjadi tenaga baginya untuk terus berjuang mempertahankan kesatuan sukunya, seperti pada kutipan berikut: (67 :FDL?) a^E<ت ا6H` -Dy ب-E<ت ا6H` ان:43\ وا:L6y 8 آj;ف اآt “Akan aku buka kedokmu dan akan aku tunjukan bahwa perempuan Arab berbeda dengan perempuan non-Arab”
Kekecewaan Lazzah terhadap Ibunya tidak dapat dibendung lagi setelah ia tahu posisi ibunya yang berada di pihak Hasqil, sehingga Lazzah menggolongkan ibunya sebagai perempuan yang berasal dari non-Arab. Darah yang mengalir di dalam tubuh ibunya telah tercampur dengan darah non-Arab sehingga wataknya tidak lagi mencerminkan watak perempuan Arab yaitu perempuan Arab sangat menjaga nilai-nilai keluhuran budayanya. Lazzah menganggap bahwa kesalahan terbesar adalah ketika terjadinya percampuran garis keturunan yang mengakibatkan timbulnya pertentangan karena tidak ada loyalitas di dalamnya sebagaimana yang dialami Ibunya. Bahkan
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
36
menurutnya sebaik atau setaat apapun orang Arab terhadap nilai-nilai budayanya, akan menjadi tidak berharga jika ia telah bercampur dengan non-Arab seperti melalui pernikahan yang dilakukan oleh kakeknya. Kekecewaan Lazzah ini diungkapkan dalam kutipan berikut: (96 :FDL?) _D4^\وج اRB 67TH\ اT? واz. f2B ار1H2<… “…Tetapi ada satu kesalahan yang dilakukan kakek, karena menikahi seorang perempuan non-Arab” Kakek Lazzah adalah seorang pembesar suku yang dikenal sebagai sosok yang sangat takwa, jujur, terpercaya, pemberani, luhur, dan bijaksana. Tetapi Lazzah melihat bahwa awal kehancuran suku dan segala permasalahan yang terjadi dalam sukunya adalah akibat kakeknya menikahi wanita yang bukan dari golongan Arab sehingga lahirlah ibunya. Menurut Lazzah watak yang dimiliki oleh Ibunya merujuk pada istri kakek Lazzah –nenek Lazzah. Dengan tegas Lazzah membedakan mana yang termasuk orang Arab dan mana yang termasuk non-Arab berdasarkan penilaiannya terhadap keteguhan dalam menjaga dan melaksanakan nilai-nilai budayanya sebagai seorang Arab, tidak peduli apakah ia adalah ibu kandungnya sendiri atau neneknya sendiri. Hal ini dilakukan Lazzah sebagai upaya menjaga dan melestarikan identitasnya sebagai seorang yang berasal dari suku Arab yang tercermin dalam sikap dan tindakannya. Upaya untuk menciptakan kesolidan dalam masyarakat Arab adalah salah satunya melalui tradisi menjaga garis keturunan (nasab) yang merupakan cikal bakal lahir dan terbentuknya karakter suatu individu. Rasa kebersamaan akan tercipta seiring dengan aliran darah yang berada dalam tubuh mereka untuk selalu berpegang
pada
identitas
budaya
sebagai
seorang
Arab
serta
untuk
menghindarkan diri dari ketidak-loyalan dan perpecahan karena percampuran darah.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
37
2.1.3 Tradisi nomaden Pencarian terhadap wilayah subur kerapkali diawali dengan perebutan, bahkan peperangan antar satu qabilah31 dengan qabilah yang lain. Pola hidup seperti ini kemudian menjadi karakter yang melekat pada masyarakat Arab. Sehingga wajar jika kemudian masyarakat Arab dikenal sebagai masyarakat yang ambisius, berani, mempunyai loyalitas ashabiyah (rasa kesukuan) yang tinggi karena latar wilayah yang tandus. Tandusnya wilayah Padang Pasir membuat masyarakat melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain demi mencari sumber air yang merupakan sumber kehidupan masyarakat dan ternak mereka, karena latar wilayah yang tandus dan kering. Tradisi berpindah-pindah tempat ini telah berlangsung sejak nenek moyang mereka ratusan tahun lalu dan masih dilestarikan oleh Ibrahim dan keluarganya. Ibrahim bersama keluarganya melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Perpindahan tempat ini dilakukan oleh Ibrahim tidak hanya untuk mencari sumber air sebagai sumber kehidupan, tetapi juga untuk menyebarkan misi dakwahnya. Karakter seperti ini ternyata mempermudah dan menguntungkan bagi dakwah Ibrahim, karena dengan waktu yang relatif singkat dakwah Ibrahim dapat menyebar ke berbagai kawasan. (27 :FDL?) ها6H7;5 =>? a ه6437 ،F7R< ا:< ذZ[ _5د6W< ا8دة اه6\ F7…و “…Dan yang menjadi kebiasaan orang nomaden zaman dahulu, bahkan ada yang dilestarikan sampai sekarang"
Tradisi hidup berpindah-pindah terutama yang dilakukan oleh Ibrahim dan keluarganya disebabkan oleh tanahnya yang terdiri dari gurun pasir yang kering dan sangat sedikit sekali turun hujan. Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat yang lain itu mengikuti tumbuhnya stepa atau padang rumput yang tumbuh secara sporadis di tanah Arab sekitar oasis atau genangan air setelah turun hujan.
31
Qabilah bentuk jamaknya qabail, qabilah memiliki makna suku, AW. Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 1088
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
38
Ibrahim memiliki alasan kuat dalam melakukan perpindahan ini yaitu untuk menyebarkan sayap penyebaran dakwahnya karena ia berkeyakinan bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan tertentu selain yang berupa materi yaitu kebutuhan akan pengetahuan spiritual dan alam akhirat, yang hanya dapat dipenuhi dengan mempelajari ilmu agama, menggali pengalaman orang lain, bahkan bekerja sama dengan orang lain. Interaksi yang timbul dalam masyarakat Arab karena adanya tradisi berpindah-pindah ini adalah adanya keterjalinan berdasarkan ketaatan dan kepatuhan terhadap ajaran agama. Selain itu, akan terciptanya rasa solidaritas, rasa saling membutuhkan satu sama lain, karena seseorang tidak akan mampu menjalani hidup sendiri dalam memenuhi segala kebutuhannya baik kebutuhan materi maupun maknawi. Tradisi nomaden merupakan suatu yang bukan tanpa nilai, ia memberikan nilai yang sangat luhur, karena dengannya dapat mengenali budaya wilayah lain. Akibatnya budaya masyarakat Timur Tengah berkembang dengan kekhasan budaya Timur Tengah sebagai sebuah wilayah yang telah membentuk suatu kebudayaan.
2.1.4 Tradisi Memuliakan Tamu Agama memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi kehidupan, salah satu satunya adalah budaya menyambut dan memuliakan tamu. Dalam tradisi yang berlaku dalam masyarakat Timur Tengah, menghormati tamu merupakan wujud cinta terhadap Tuhan, karena dengan memuliakan manusia yang merupakan makhluk ciptaan-Nya, berarti pula memiliki arti yang sama dengan memuliakan Tuhan. Tradisi memuliakan tamu mendapatkan landasan normatif-teologis sehingga dimaknai sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan dilanggengkan sebagai bentuk respons terhadap apa yang diyakininya sebagai pemeluk agama. Tradisi memuliakan tamu tercipta karena adanya tradisi hidup yang berpindah-pindah, sehingga kedatangan penduduk dari suku lain menjadi pemandangan yang biasa. Karena tradisi hidup berpindah-pindah inilah yang menciptakan keterjalinan satu suku dengan suku lainnya. Dalam novel Ukhruj
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
39
Minha Ya Mal’un tradisi memuliakan tamu tersebut terlihat dalam kutipan berikut: k7 ad< _EzY` ;اdD< ،f5-y DJ ون و;د-Ej>L5 67TH\ ون-ld5 ،?;الv ا8 آZ[و FD3آ/د اT\ ن6 أو إذا آ،ad< _Ezx =3\ ;لd<ر اEB إذا،fLd[ وادامT5- أو، وادامT5- (13 :FDL?) ad3< اkzx F7 -أآ “Dalam berbagai keadaan, mereka sering mendatangi tamu yang dianggap asing, untuk sekadar berbagi daging dan roti beserta lauknya, atau malah cuma roti dan lauk saja tanpa daging, Bahkan jika jumlah orang yang akan makannya berjumlah banyak, sepotong daging pun dibagi rata”
Hal ini terjadi ketika Ibrahim beserta keluarganya tiba pada satu tempat yang dihuni suatu suku, mereka mendatangi Ibrahim karena mereka tahu Ibrahim bukan penduduk suku tersebut. Kedatangan Ibrahim disambut baik oleh penduduk suku dengan menjamu Ibrahim dan keluarganya dengan jamuan yang baik. Sambutan hangat itu berupa penduduk suku tersebut mendatangi Ibrahim hanya untuk memberi makanan sebagai bentuk penghormatan mereka –seperti memberikan roti dan daging-, mengundang Ibrahim dan keluarganya untuk makan di rumah mereka, bahkan mereka menyembelih kambing hanya untuk menghormatinya. Keramahtamahan dalam memuliakan tamu tidak hanya berlaku bagi orang yang berasal dari sukunya saja, tetapi itupun dilakukan terhadap mereka yang berasal dari luar golongan suku mereka. Tak peduli sedikitnya makanan yang mereka miliki, tradisi membagi makanan sama rata menjadi hal yang biasa mereka lakukan. Merekapun membagi roti dan daging kepada tamunya –yang mengunjungi dan yang mereka kunjungi- yang merupakan makanan pokok mereka sebagai bentuk penghormatan. Sikap yang ditunjukan oleh masyarakat Arab ini mencerminkan cinta dan kasih sayang di tengah kehidupan mereka. Dimana seorang Muslim memiliki tugas dalam kesehariannya, baik terhadap keluarga maupun lingkungannya. Ia harus menemui, bersikap ramah, dan menyayangi mereka. Ia harus mengetahui kesulitan dan masalah yang dihadapi dan berusaha sekuat mungkin membantu Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
40
mereka dalam menyelesaikannya. Ia bersama mereka dalam suka maupun duka, sehati dengan mereka, hal ini memiliki arti bahwa kesusahan yang menimpa mereka adalah kesusahan dirinya karena seorang Muslim harus berperan dalam kebahagiaan mereka. Dalam bagian lain, tradisi memuliakan tamu ini ditunjukan oleh Lazzah, ketika ia memberikan makanan kepada tamu yang berkunjung ke rumahnya. Lazzah membekali tamu dengan makanan ketika tamu tersebut hendak pulang, seperti dalam kutipan di bawah ini: TDE` :>D` انk7 ،x;< ها اZ[ 6H>D` F7 Z-MB ان،_ّD. ا65 ^;ز5 ا..._؟b[ 65 ،^;ز ها5ا انF5TYB :H اS :<< ،_D`-\ b! ؟ ا:<6 واbم ا6Ez< اZ<و6H>B ان-Dy F7 ،6DWLb (131 :FDL?) !م6Ez<م اTYb fb ان8Wx FD-MB aهT? <; ر{ك ا،6H5RMB
“Apakah hal ini layak dilakukan, wahai saudariku?... Kamu tak boleh meninggalkan rumah kami begitu saja karena rumahmu jauh dari sini, kamu tak boleh pulang kalau tak membawa makanan untukmu dan untuk anak-anakmu. Kamu adalah orang Arab, jadi tak mau mempermalukan dan membuat kami bersedih hati. Jangan sampai ada yang pulang tanpa membawa makanan!” Lazzah
sangat
menghormati
nilai-nilai
budayanya
dengan
cara
mewujudkannya dalam tindakan nyata. Tradisi membagikan makanan kepada orang yang mengunjungi mereka adalah sesuatu yang harus mereka lakukan, bahkan jika hal itu tidak dilakukan terutama bagi mereka yang memiliki makanan lebih akan menjadi aib. Adalah suatu aib yang sangat memalukan ketika tamu yang berkunjung tidak mendapatkan makanan dari tuan rumah. Dengan pengertian tersebut, ada satu nilai yang penting bagi mereka, yaitu dengan tidak membiarkan tamu -termasuk didalamnya keluarga orang yang bertamumerasakan lapar karena tidak mendapatkan makanan. Dalam masyarakat Muslim berlaku ketentuan apabila seseorang diantara mereka mendapatkan kerabatnya dalam keperluan dan kelaparan, maka mereka tidak boleh menolak untuk menolongnya dengan apa yang tidak akan menambah apabila pertolongan ini tidak diberikan karena tidak akan berkurang karena memberikannya, menafkahkannya. Hal ini menggambarkan hubungan yang
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
41
berdasarkan
atas
kepeduliaan
yaitu
dengan
mendahulukan
kepentingan
saudaranya ketimbang dirinya. Sikap yang dilakukan oleh Lazzah dan penduduk suku dalam memuliakan tamu ini mengacu pada nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama. Menurut Ilyas (2003: 39) dalam hadits-hadits Islam menekankan sekali adanya silah alrahim. Silah al-rahim merupakan bagian dari agama, selain itu silah al-rahim dapat memanjangkan umur dan meluaskan rezeki, bahkan jalan menuju surga dan rahmat Allah. Pentingnya menjaga silah al-rahim mendapat landasan teologisnormatif dari agama, dalam beberapa hadits disebutkan yang artinya “sambunglah silah al-rahim walaupun dengan ucapan salam” dalam hadits lain disebutkan “sambunglah silah al-rahim walau dengan segelas air” Tidak hanya membagikan makanan kepada tamunya, tradisi makan bersamapun mereka lakukan. Tradisi makan bersama dalam masyarakat Timur Tengah
merupakan kebiasaan yang berlaku secara turun temurun sejak nabi
Ibrahim. Nabi Ibrahim yang tidak mau makan sendirian, begitu pula dengan orang-orang Arab apalagi jika mereka kedatangan tamu, mereka akan makan bersama tamunya. Memuliakan tamu merupakan ciri khas budaya Timur Tengah bahkan hal itu mendapat legitimasi secara normatif-teologis yang mencerminkan tingkat keimanan seseorang. Bertamu dalam Islam memiliki dasar dan aturan yang khusus yaitu etika dalam bertamu (Ilyas, 2003: 172-175). Etika tersebut meliputi: pertama, menurut Islam bahwa ukuran dan aturan yang penting yang harus dipandang dalam bertamu adalah taqwa dengan pengertian menjauhkan dari maksiat. Kedua, dalam memenuhi undangan, seorang tamu tidak harus membedakan antara orang yang miskin atau kaya seperti halnya dalam mengundang tamu. Ketiga, tamu undangan ketika memasuki rumah hendaknya tidak memilih-milih tempat yang terhormat atau paling depan. Keempat, tuan rumah tidak membebani tamu bahkan harus memuliakannya. Kelima, dalam melayani tamu, tuan rumah hendaknya tidak menyusahkan diri dan keluarganya. Keenam, di depan hidangan makanan, tuan rumah adalah orang yang paling pertama memulai menyantap makanan dan paling akhir selesai makan. Ketujuh, ketika tamu hendak keluar, maka tuan rumah
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
42
hendaknya mengantarkan tamunya sampai di pintu rumah. Di sisi lain tamu berpamitan dan mengucapkan salam.
2.1.5 Tradisi Hukuman Tradisi hukuman pada masyarakat Timur Tengah merupakan akumulasi dari tradisi asli yang berakar pada agama. Agama menjadi pijakan dalam menentukan hukuman terhadap tindak kejahatan yang dilakukan. Masyarakat Arab dikenal sebagai masyarakat yang keras dalam memegang titah agama, karena disanalah agama lahir. Aturan-aturan agama lahir dengan adanya kesesuaian dengan kondisi masyarakatnya, konteks terhadap bakunya aturan selalu berlandas pada kondisi yang melingkupinya. Nilai kehormatan bagi masyarakat Arab terletak pada diri dan anggota keluarganya, terutama pada kaum perempuan. Perempuan merupakan properti domestik yang keberadaannya dijaga secara ketat, maka menjadi aib jika perempuan menjalin hubungan khusus dengan lawan jenis tanpa ikatan sakral pernikahan. Sehingga tak jarang antara lelaki dan perempuan tidak saling mengenal, kecuali mereka yang memiliki hubungan kekerabatan atau pernikahan. Tradisi menjatuhkan hukuman pada setiap tindak kejahatan tidak hanya berlaku pada kaum laki-laki, tetapi juga kaum perempuan. Hukuman akan dijatuhkan sesuai dengan tindak kejahatan yang dilakukan, aturan yang keras dan baku terhadap hukuman tindak kejahatan ini, memiliki tujuan mulia yaitu untuk menjaga hak-hak manusia yang hidup dalam suatu lingkungan. Hasqil pernah mencoba melakukan tindak perkosaan terhadap anak kepala suku, kontan hal ini membuat Ibrahim dan keluarganya malu sekaligus terpukul, karena Ibrahim adalah pendatang pada suku tersebut. Kendatipun tidak perkosaan itu tidak terjadi, tetapi Hasqil berhasil mencoreng nama baik Ibrahim serta membuat kepala suku geram dan marah besar. Ibrahim segera memerintahkan Mahmud dan Yusuf untuk menangkap Hasqil kemudian diserahkan kepada kepala suku untuk mendapatkan ganjaran atas perbuatannya itu. Ibrahim menjelaskan kepada kepala suku bahwa hukuman bagi pelaku tindak kejahatan perkosaan terhadap wanita, maka pemerkosa akan mendapat hukuman berupa dibunuh, tetapi jika itu dilakukan atas dasar suka sama suka dan
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
43
tanpa ikatan pernikahan, maka hukuman untuk keduanya yaitu untuk pihak lakilaki dan perempuan adalah juga dibunuh, keterangan Ibrahim terlihat dalam kutipan berikut: 8>Y< وه; ا،ب-E< ا86Wx 8_ وآ3DWY< اn ه1D3\ دت6>\ ا67 رج6. ودةTd7 15T< _bو-4<;ن ا2Bو (31 :FDL?) 6ه6J-` ن6 اذا آ8-<أة وا-4< ا8>x و،6ه6Jف رM` أة-76` ش-d>5 F4<
“Dengan menerapkan aturan yang berlaku di sukunya dan suku-suku Arab yang lain, yaitu dibunuh bila memperkosa perempuan dan membunuh keduanya sekaligus bila dilakukan atas dasar suka sama suka” Setelah kepala suku mendengarkan penjelasan Ibrahim tentang hukuman, kemudian Ibrahim menyerahkan Hasqil kepada kepala suku, dengan penuh penghormatan kepala suku menyerahkan kembali Hasqil kepada Ibrahim. Hal itu dilakukan karena kepala suku merasakan keluhuran budi -keadilan Ibrahim dalam menghukum cucunya sendiri yang berbuat salah. Kepala suku memeluk Ibrahim kemudian ia berbisik bahwa ia memaafkan perbuatan Hasqil. Ibrahim membiarkan Hasqil pergi jauh dari kehidupannya dengan cara mengusir Hasqil, hal ini dilakukan sebagai hukuman pengganti yang diberikan Ibrahim kepada Hasqil. Walau demikian, Ibrahim memberi bekal Hasqil dengan seekor keledai. Perpisahan itu dilakukan karena perbedaan pandangan hidup, iman, dan moral keduanya yang sudah berbeda jauh, dan hal ini dilakukan Ibrahim sebagai upaya mendidik Hasqil. Peraturan yang ketat terhadap tindak kejahatan mendapat legitimasi dari ajaran agama, terutama yang dilakukan terhadap perempuan misalnya perkosaan. Hukuman terhadap tindak perkosaan sangatlah berat, hal ini dilakukan untuk menjaga kejelasan keturunan karena nasab menurut masyarakat Arab adalah penting. Bagi pelaku pemerkosa hukuman yang berlaku adalah dengan dibunuh, sedangkan jika itu dilakukan atas dasar suka sama suka maka keduanya dibunuh. Seperti halnya tindak perkosaan, ketika kepala suku mendapati tindakan kejahatan berupa pencurian ia memberikan hukuman yang berat yaitu dipotong tangan. Hukuman potong tangan dilakukan karena tradisi masyarakat yang nomaden, sehingga tidak dimungkinkan dilakukannya hukuman lain, ini
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
44
dilakukan untuk membuat efek jera. Tradisi hukuman potong tangan ini terlihat pada kutipan dalam novel berikut ini: (48 :FDL?) TD< اkzY` 6DbT< اZ[ 6X`6Y\ aه->H5 _x-t اءR “Adapun hukuman –yang berlaku di dunia- bagi pencuri adalah hukuman potong tangan”
Bagian tubuh yang dipotong karena tindak kejahatan pencurian ini adalah tangan dan kaki. Jika penjahat melakukan pencurian untuk pertama kali dan jumlah barang yang dicuri telah sesuai dengan ketentuan agama, maka hukumannya adalah dipotong pada tangan sebelah kanan. Jika tindak pencurian kembali dilakukan untuk kedua kalinya dan jumlah yang dicuri sesuai ketentuan, maka hukumannya adalah dipotong pada kaki sebelah kiri. Jika tindak pencurian dilakukan untuk ketiga kalinya, maka hukumannya adalah dipotong pada tangan sebelah kiri. Dan jika tindak pencurian itu kembali dilakukan untuk keempat kalinya, maka hukumannya adalah dipotong pada kaki sebelah kanan. Akan tetapi menurut Shihab (2008: 91) tradisi hukuman potong tangan merupakan pilihan hukuman terakhir atau maksimal, jadi masih ada bisa diganti dengan hukuman yang lebih rendah dari itu atas dasar pertimbangan rukhsah32. Tradisi hukuman yang keras inilah yang akan membuat efek jera bagi pelaku tindak kejahatan dan ini dilakukan untuk melindungi manusia atas hakhaknya hidupnya untuk merasa aman dan tenang. Kondisi wilayah yang keras dan tandus menyebabkan kehidupan yang keras pula, sehingga mempengaruhi tradisi hukuman bagi pelaku tindak kejahatan. Dalam upaya untuk melindungi setiap individu dari tindak kejahatan, maka diterapkannya hukuman adalah suatu keharusaan yang tidak bisa ditolelir. Hukuman sebagai cermin dari wujud ketegasan masyarakat Timur Tengah.
2.1.6 Etika berperang
32
Rukhsah asal kata dari rakhusa yarkhusu rukhsan dalam bahasa Arab kata ini bermakna keringanan, izin. Rukhsah memiliki arti yang sama dengan takhfif. AW. Munawwir, Kamus alMunawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 484
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
45
Kata atau pedang, inilah yang menjadi acuan bertindaknya suatu individu atau masyarakat di Timur Tengah. Kondisi wilayah yang panas menyebabkan kerasnya kehidupan, tradisi nomaden yang sedikit banyak melahirkan bibit hasrat untuk
berkuasa,
dan
dakwah
keagamaan
menjadikan
perang
menjadi
pemandangan yang biasa. Hal tersebut memicu lahirnya konflik antar satu suku dengan suku lain bahkan lebih luas lagi antar satu wilayah dengan wilayah lain. Tetapi dalam perjalanannya, meskipun mereka melakukan peperangan, perang yang dilakukan mereka tersebut tidak dengan tanpa aturan. Adanya aturan yang berupa etika dalam berperang yang berlaku dalam masyarakat Timur Tengah adalah dengan tidak melakukan peperangan atau tidak memerangi kaum awam. Etika berperang merujuk pada tradisi budaya para pendahulu mereka yang diturunkan secara turun temurun. Tradisi para pendahulu bagi masyarakat Timur Tengah adalah penting karena dengannya lahir pengetahuan dan prinsip-prinsip yang dijadikan pegangan hidup. Pokok pikiran tersebut terlihat dalam kutipan berikut: ء6EJ aXbو-W>E5 ف و-d<ب ا6dون اRs5 S ب-E< ان اa 17;x a3\ ;ن25 S ¡ 6<ن اv (70 :FDL?) وRy Z[ aX7;x رآ;ن6j5 Sو
“Setiap orang memperoleh pengetahuan dari tradisinya dan dalam tradisi Arab tidak akan memerangi orang-orang awam dan orang-orang lemah dengan tidak mengikutsertakan mereka dalam perang” Lazzah sangat geram dengan prilaku Hasqil yang selalu menciptakan peperangan di kalangan suku-suku Arab, Hasqil mengadudomba suku-suku agar tercipta peperangan yang akhirnya membuat pedang yang dibuatnya laris, sehingga ia memperoleh keuntungan. Hasqil tidak peduli apakah suku-suku yang diadu-domba adalah orang yang lemah atau tidak, karena baginya yang paling penting adalah keuntungan dari hasil penjualan pedangnya. Dalam tradisi Arab, ada beberapa kondisi yang dilarang dilakukan perang, seperti membunuh anak kecil, orang tua yang tidak berdaya, dan perempuan. Bahkan lebih dari itu, tidak diperbolehkan dalam berperang merusak tempat
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
46
ibadah, merusak fasilitas umum, dan mengganggu hak hidup tumbuhan. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan Hasqil, ketika ia berhasil menciptakan peperangan maka yang menjadi acuannya adalah keuntungan, bukan ketentuanketentuan sebagaimana yang berlaku dalam masyarakat Arab. Dikatakan aib dan tidak etis jika peperangan terjadi antara dua kekuatan yang tidak seimbang. Tujuan perang adalah menaklukan musuh, tetapi bukan berarti dilakukan secara membabi buta dan tanpa aturan. Kutipan berikut menunjukan adanya etika dalam berperang yang masih dijaga oleh Salim, dimana etika itu berakar pada tradisi para pendahulunya. Hal ini tergambar seperti dalam kutipan berikut: 1< -7 أ،1>dB F7 1t-[ aهT?ل اTH أو،وم-< اn; وF7 ا-DW آ6XD و8B6x 643 آ64<6t ان T? ا-L واذا آ، س-[ -X [;ق-D5 انTE` S ا1<6>x F7 F5-./ اkH7 و،13B6Y5 a< و،س-` 62L4>7 ZY` وnادT اF\ 6X? _3Dدة ا6\ n… وه13B6Y5 =>? T5T DL` 1< -7 أ1Dt ( 174:FDL?) 6X` “Salim tidak membunuh pemuka atau tentara Romawi kecuali mereka berada di atas kuda, ia tidak membunuhnya kecuali setelah ia memerintahkan kepada pemuka suku Romawi untuk menggunakan kuda, dan melarang untuk tidak melakukan pembunuhan kecuali setelah berada di atas kuda atau bila pedang mereka patah, Salim menyuruhnya memakai pedang lain sampai ia membunuhnya… Begitulah tradisi yang diwariskan dan dijaga”. Peperangan ini terjadi ketika Salim dan Lazzah melakukan penyerangan terhadap kekuasaan Hasqil yang bekerja sama dengan Romawi. Peperangan ini berlangsung sengit karena Salim harus menghadapi kekuatan Romawi yang dikenal sebagai suku terkuat. Kendatipun demikian, Salim tidak merasakan ketakutan ketika berhadapan dengan kepala suku Romawi. Ia tidak membiarkan lawannya berada dalam posisi tidak setara dengannya, ketika Salim mendapati pemuka Romawi terjatuh dari kuda, ia tidak lantas menggunakan kesempatan itu untuk membunuh pemuka Romawi sampai ia menyuruhnya untuk naik ke atas kuda. Salim menampakan keluhuran nilai budaya yang tercermin dalam tindakan terpuji. Hal ini dilakukan untuk menunjukan bahwa kebudayaan yang berlaku Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
47
dalam masyarakat Arab adalah kebudayaan luhur, yang sangat menghormati hakhak dalam setiap kondisinya, termasuk dalam kondisi perang sekalipun. Musuh tidak lantas menjadikan Salim memerangi secara membabi buta dan tidak mematuhi peraturan, justru dalam keadaan tersulitpun peraturan itu harus tetap dijaga dan dihormati. Etika dalam perang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Timur Tengah, kendatipun watak dasar mereka yang keras. Hal ini tidak menjadikan etika luput dari perhatian mereka, sehingga sangatlah wajar bila dalam berperang sekalipun mereka berlandaskan pada aturan-aturan yang berakar pada nilai-nilai yang diturunkan oleh tradisi yang masih mereka jaga dan berlakukan.
2.1.7 Etika Berjabat-tangan Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Timur Tengah apabila mereka bertemu dan bertegur sapa mereka berjabat tangan dan mengucapkan salam. Tradisi tersebut merupakan bentuk penghormatan dan menjadi suatu kebiasaan turun temurun, ucapan salam bermakna doa bukan hanya bagi yang menyapa, tetapi juga bagi yang disapa. Begitu juga berjabat tangan menjadi sebuah kelaziman dan memiliki ciri khas tersendiri. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan Hasqil ketika ia merayakan keberhasilan
saat
mengambil
harta
rampasan
perang
dan
kemudian
membagikannya kepada kepala suku Romawi sebagai upah atas bantuan Romawi kepada Hasqil. Hasqil menjabat tangan kepala suku Romawi dengan mengangkat tangannya ke atas, kebiasaan berjabat tangan ala kepala suku Romawi. Kutipan di bawah ini menggambarkan bagaimana Hasqil telah merubah sedikit demi sedikit kebiasaan yang berlaku dalam kebudayaannya. FD>EB-7 64اهT5 b6 وآ،;ةY` TD` اT5 6`-J و...8DYL? £[6D< nT5 وم-< ا¤D¥ k[ رa… دة6\ =3\ 6ً5- :< ذE[ ..._D`-E<_ اY5-z< ا64 آ،64XlE` =< إFDBودT47 6>LD<_ و46x `;رة (168 :FDL?) وم-<ا “…Kemudian kepala suku mengangkat tangannya untuk menjabat tangan Hasqil…keduanya bersalaman erat, kedua tangan yang bersalaman itu diangkat ke atas dan bukan menjulur lurus satu sama
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
48
lain sebagaimana yang menjadi kebiasaan orang-orang Arab…itu merupakan salah satu kebiasaan Romawi” Cara berjabat tangan yang dilakukan Hasqil dan kepala suku Romawi berbeda dengan yang berlaku dalam masyarakat Timur Tengah yaitu dengan menjulurkan tangan secara lurus dan tidak melepaskan tangannya terlebih dahulu pada saat berjabat tangan sebelum orang lain melepaskannya kemudian mencium pipi sebagai tanda kecintaan. Karena dalam ajaran agama hadits menjelaskan bahwa Tuhan akan memberi pengampunan kepada dua orang yang berjabat tangan selama tangan mereka masih bersatu. Dengan kata lain, semakin lama tangan bersatu, maka lebih banyak pengampunan yang diberikan. Etika berjabat tangan tersebut hanya berlaku bagi sesama jenis, sedangkan bagi yang berlainan jenis hal itu dilarang, bahkan diharamkan kecuali bagi suami istri atau yang memiliki hubungan darah. Selain itu, tradisi mencium tangan orang lain ketika berjabat tangan diperbolehkan bahkan dianjurkan terutama bagi seseorang yang memiliki kezuhudan, kesalehan, kemuliaan, dan kedalaman ilmu sebagai bentuk penghormatan. Tetapi jika mencium tangan yang dilakukan atas dasar kedudukan pangkat, kekayaan, dan kegagahan yang memicu lahirnya keangkuhan adalah tidak diperbolehkan. Secara keseluruhan penjelasan tersebut menyimpulkan bahwa etika Islam dalam bermasyarakat Islam berlandaskan pada kukuhnya kemuliaan, kesucian dan cinta, persaudaraan dan saling menghormati. Semua nilai dan kedudukan ini adalah dalam rangka untuk mencapai keridlaan Allah untuk menciptakan persatuan, sehati, dan sejalan. Sebaliknya, jika hal tersebut tidak menjadi dasar maka yang tercipta adalah perpecahan yang dapat menjauhkan mereka satu sama lain. Kemuliaan-kemuliaan itu tidak akan tercapai kecuali mereka sama-sama bersatu, satu keinginan, satu kedamaian hati, satu genggaman tangan, saling membela dan membantu serta memiliki satu tujuan. Ilyas (2003: 274-275) menyatakan bahwa tujuan-tujuan etika Islam yang mendasar dalam masyarakat adalah untuk: pertama, mewujudkan dan memelihara kekuatan, kemampuan, kemuliaan, dan kesucian umat islam melalui perwujudan persatuan dan kesatuan di antara kaum Muslim. Kedua, berusaha mengajak semua Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
49
umat menuju Islam melalui menjadi contoh dalam sikap dan prilaku sosial. Ketiga, saling membantu dan mewujudkan perkembangan dan keagungan kaum Muslim dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal ini dilakukan untuk menghindari dari ancaman yang akan menciptakan perpecahan, kebencian, dan permusuhan dalam tubuh kaum Muslim. Sebuah bagian penting dari bahasan ini adalah komunitas Islam yang menunjuk pada kelompok manusia yang terintegrasi dalam kategori agama, garis keturunan, dan kebudayaan. Kehidupan Muslim diatur oleh Syariah yang dibedakan dengan hukum dan konstitusi Barat. Empat sumber utama syariah adalah Al-Qur’an, Sunnah, Qiyas, dan Ijma (Shimogaki, 1993: 23). Dengan demikian prioritas pertama adalah firman Tuhan, yaitu Al-Qur’an dengan demikian yang menjadi pusat jaringan relasional Islam adalah syariah bukan di dalam negara seperti dalam bentuk negara-bangsa Barat. Dalam rangka menegaskan identitasnya, maka upaya membangun kembali identitas dengan kembali kepada nilai-nilai religiusitas, sosial, dan budayanya adalah suatu kelaziman untuk menciptakan kebudayaan yang khas. 2.3. Kesadaran Timur Tengah terhadap Bentuk Penjajahan Asing 2.3.1. Siasat penjajah; konflik adalah pemicu suburnya penjajahan Perebutan wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya alam menjadi daya tarik, bahkan menjadi alasan terjadinya pendudukan. Hal tersebut memicu lahirnya konflik yang tidak bisa dihindari, berbagai macam cara dilakukan untuk dapat menaklukkan wilayah yang dikehendaki baik dengan cara halus maupun kasar, seperti adanya usaha pemecah-belahan dalam tubuh suatu wilayah – kekuasaaan- dengan mengobarkan api pertentangan dan permusuhan. Berbagai intrik dan modus diciptakan Hasqil yang bekerja sama dengan Romawi dalam menjalankan aksinya, sehingga terpecah-pecahlah kelompok antara yang setuju dan tidak terhadap penguasa atau kebijakan yang berlaku. Tujuan utama mereka adalah terciptanya kelompok yang anti terhadap penguasa wilayah
setempat,
dengan
cara
memobilisasi
bahkan
dengan
cara
pengadudombaan untuk menciptakan perpecahan dalam tubuh sehingga memudahkan usaha Hasqil untuk melakukan penaklukan.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
50
Hasqil dan Romawi menciptakan politik adu domba, penyebaran rasa takut, dan perang urat saraf terhadap semua kelompok suku dan para penguasa wilayah, karena dalam pandangan Hasqil langkah-langkah tersebut merupakan langkah strategis untuk memperkokoh hegemoni kekuasaannya. Hasqil berusaha menggunakan kesempatan ini untuk menekan berbagai pihak yang tidak mendukung kepentingannya. Hasqil memiliki tujuan besar yang mendasari sikapnya, yaitu optimalisasi barang-barang yang diproduksinya yaitu berupa peralatan perang baik pedang, parang dan lainnya dan optimalisasi penguasaan pengaruh politiknya untuk menguasai setiap wilayah. Selain bersandar pada strategi politik, Hasqil menjadikan basis kekuatan ekonomi untuk semakin memperkokoh kekuasaannya. Ia semakin menampakan kelicikannya -ketika ia sukses membuat pedang dan parang, kemudian ia sengaja memancing perang antarsuku. Akhirnya suku-suku yang berperang pun banyak memesan pedang dan parangnya, pundi-pundi emas Hasqil pun semakin bertambah banyak. Dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un sikap Hasqil ini ditunjukan dalam kutipan berikut: ( 71 :FDL?) Z[;DL` س6H< اFD` اب->?S اk^¥و و اRs< اk^¥ ا...س6tS ها اZ3\و
“dalam kondisi begitu… aku akan menggerakan orang berperang dengan menggunakan pedangku” Kondisi tersebut merupakan sasaran empuk dan efektif untuk menguasai suatu wilayah. Selain keinginan untuk berkuasa, dalam hal ini motif ekonomi tidak bisa dikesampingkan. Banyak keuntungan yang dapat dimanfaatkan oleh penjajah yaitu Hasqil dalam kondisi perpecahan dan perang. Keuntungan yang diperoleh Hasqil akan semakin menggurita seiring dengan banyaknya perang yang berhasil ia ciptakan, karena dengannya akan semakin banyak pedang dan parang yang dibutuhkan untuk berperang. Tanpa harus ikut terlibat dalam peperangan secara langsung, Hasqil dapat menikmati keuntungan. Segala hal yang mendukung terjadinya perang akan mendapat dukungan Hasqil, misalnya dengan menyediakan peralatan perang. Karena kepentingan mereka, maka akan selalu diciptakan pertentangan demi
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
51
tercapainya hasrat untuk berkuasa. Yang menjadi korban atas usaha licik Hasqil ini adalah mereka yang berhasil diperdaya oleh Hasqil. Pada bagian lain, dalam novel ini ditegaskan bagaimana Hasqil dengan segala tipu dayanya berusaha untuk memunculkan konflik antarsuku sehingga yang muncul kemudian adalah perpecahan, ia lakukan itu dengan tanpa harus turun tangan, seandainya hal itu pun terjadi, semata-mata karena keadaan yang memaksanya untuk turun tangan. Hal ini terlihat seperti pada kutipan berikut: ( 71 :FDL?) ا-zl7 Sة إ-¥6W7 `;رةZDt مTM>t اS “Aku tidak akan menggunakan pedangku secara langsung kecuali bila dalam keadaan terpaksa”
Hasqil memiliki kepiawaian dalam memainkan perannya dan menjalankan strategi-strategi politik berkuasanya, ia menjadikan citra dirinya sebagai pemimpin yang kuat dan handal sepeti halnya ia mencitrakan Romawi sebagai suku terkuat dan terbesar serta tak terkalahkan. Ia meyakini bahwa zona aman posisinya tergantung pada kepiawaiannya dalam memainkan politik dan konfrontasi tanpa harus terlibat secara langsung. Hasqil dan Romawi melakukan penjajahan dengan tidak menggunakan kekuatan fisik semata. Keberhasilan dalam memainkan praktek penjajahan merupakan keberhasilan dalam menciptakan situasi konflik, sehingga tidak perlu menggunakan kekuatan fisik. Di sisi lain, selain mereka menggunakan kekuatan yang tersembunyi, kondisi aman menjadi kondisi yang sangat dihindari. Pengidentifikasian tersebut dipertegas dalam kutipan berikut: aXHD` 64D[ ل6>Y< اaX3sj5 64HD` Z>HX7 Z[ ا- آF5-. اFDL[6H7 Z< 8E^5 Tx ار-Y>tSان ا 1D[ رك6¥ اS F2<و وRs< اk^¥س ا6tS ها اZ3\ر وا<¨ر وTs<_ واx-< ا87_ \;اD4H>` ( 71 :FDL?) ة-¥6W7 “Kondisi damai hanya akan memunculkan banyak saingan baru bagiku (bagi Hasqil), dalam kondisi banyak terjadi perang aku akan mendukung, tetapi tidak ikut secara langsung”
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
52
Hasqil berusaha menyingkirkan kompetitor dan rival potensialnya karena baginya mereka adalah ancaman yang membahayakan posisi strategisnya sebagai penguasa. Hasqil juga menggunakan cara kooptasi untuk menjamin dukungan dari pendukungnya dengan memberikan kemudahan ekonomi, hal ini dilakukan untuk memperkuat
dan
menancapkan
kukunya
secara
dalam
agar
dapat
mempertahankan kekuasaan politiknya. Dalam keadaan konflik, maka kemudian yang muncul adalah adanya posisi suku tertentu yang redup, sementara di pihak lain akan bersinar. Bahkan terjadi pula perubahan dan pergantian di masa damai melalui proses perubahan kekuatan secara bertahap, sehingga antarsuku yang sedang konflik menjadi lemah, hanya saja peperangan lebih efektif daripada perdamaian. Karena begitu besarnya keuntungan yang akan diraih, maka pihak-pihak yang dengan sengaja menciptakan situsi konflik akan senantiasa menjauhkan wilayah yang menjadi sararannya jauh dari kata damai. Karena mereka menganggap dengan situasi damai, hanya akan melahirkan saingan terhadap kekuatannya dan tidak akan memberi mereka keuntungan.
2.3.2. Monopoli ekonomi dan hutang sebagai alat untuk menjajah Penjajahan tidak hanya menggunakan pendekatan politik dengan menggunakan strategi militer unuk menduduki suatu wilayah, melainkan dapat pula menggunakan pendekatan terhadap sektor ekonomi baik dengan cara melakukan monopoli bahkan motif hutang, karena melalui sektor tersebut, penjajah akan dengan mudahnya menguasai dan mengendalikan suatu keadaan dengan menerapkan kebijakan sesuai dengan kepentingan mereka. Ekonomi adalah jantung kekuatan (Musa, 2003: 15) berdasarkan pada pengertian tersebut bahwa kekuatan ekonomi memiliki potensi besar untuk berubah menjadi kekuatan untuk menguasai suatu wilayah. Kekuatan ekonomi suatu wilayah akan sangat tergantung kepada kekuatan mempengaruhi wilayah lain dengan cara memberikan pinjaman dan batuan ekonomi sampai pada tahap dimana pemberian bantuan telah menjadi taktik penjajahan. Strategi melalui jalur ekonomi tersebut dimaksudkan sebagai investasi untuk membangun kekuatan dan mengeksploitasi kekuatan sebagai kekuatan
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
53
potensial untuk menguasai suatu wilayah. Cara ini yang ditempuh Hasqil bersama sekutunya Romawi yang terus melakukan ekspansi ekonomi ke berbagai bidang dari mulai membuat usaha peralatan perang, pertukangan besi, minyak samin, dan lainnya sebagai salah satu wujud upaya untuk mengintimidasi wilayah yang akan ditaklukannya. Hal itu tampak pada kutipan di bawah ini: رة6^H<ادة واTd< اkD76^7 Z[ واT>45 و،_6. _اآ-¥ p[ وaXd<67 Z[ ;اEt;>5 = ان3\ S6^7 aX< £>5 S F7 و،86WY< ا82< >;ن5R< وا5R< واLW< واF4L< اkD`آ_ و6Dd<وا ( 89 :FDL?) _آ->j7 `;رة6`-? 1D3\ ;نHj5 aXd<64< “Mereka (Hasqil dan suku Romawi) tidak hanya mengembangkan hubungan persekutuan semata, tetapi mereka juga mendirikan lembaga pertukangan besi, usaha peralatan perang, minyak samin, dan minyak zaitun untuk setiap suku, bagi yang tidak mau tunduk pada kepentingan mereka maka akan diperangi”
Hasqil terus melebarkan basis ekonominya dengan mendirikan berbagai macam bentuk usaha sebagai alat melanggengkan kekuasaan dirinya. Ketika keadaan ekonomi kuat dan maju, maka akan melahirkan kekuatan untuk berkuasa. Usaha memperngaruhi kebijakan dan keputusan dalam hal ekonomi pun ditempuh oleh Hasqil dan sekutunya, dengan cara mendirikan agen-agen sebagai tempat mengekspor dan mengimpor barang. Semua suku-suku yang berada di bawah kekuasaan harus tunduk pada setiap kebijakan yang dibuatnya. Penguasaan terhadap basis ekonomi merupakan jaminan bagi Hasqil untuk menguasai arah kebijakan dan memperkuat perekonomian dengan membangun sektor-sektor ekonomi yang potensial dan strategis yang akan menjadikan kekuasaannya semakin menggurita. Setelah Hasqil berhasil menaklukan sektor ekonomi maka dengan mudah Hasqil akan membuat dan mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih menguntungkan kepentingannya untuk berkuasa. Wujud dari itu, mereka akan mendirikan tempat-tempat produksi di wilayah jajahan dengan memberdayakan rakyat di wilayah tersebut dengan upah yang sangat minim. Hasil produksi akan dijual melalui ekspor dan impor yang tentunya keuntungan menjadi milik penjajah. Karena semua barang yang datang
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
54
dan keluar dari wilayah kekuasaannya harus melewati agen-agen tersebut untuk dikenakan biaya. Hal ini diperkuat pada bagian lain dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un sebagai berikut: ( 89 :FDL?) 86WY< ا1EDWB ءZ¥ 8اد آ-D>t وا-5T>< _6. تS6;ا وآLt اaXbا “Mereka (Hasqil dan suku Romawi) mendirikan agen-agen khusus untuk mengekspor dan mengimpor semua barang antarsuku”
Dalam
usaha
untuk
menjaga
kepentingan
ekonominya,
mereka
memberlakukan sistem monopoli. Agar upaya tersebut efektif sehingga mempengaruhi mental dan pemikiran wilayah jajahan maka intimidasi tersebut harus bisa meyakinkan pihak wilayah jajahan untuk tidak melawan. Hasqil melakukan intimidasi agar wilayah yang berada dalam genggaman kekuasaannya patuh terhadap segala kebijakan yang dibuat Hasqil. Ia melakukan itu dengan berbagai macam bentuk ancaman, seperti ia akan menyerang siapapun yang melawan, akan mengenakan sanksi ekonomi berupa pajak bagi yang melanggar aturannya, dan akan menurunkan harga produk yang keluar-masuk agen-agen yang didirikannya. Dengan taktik seperti ini, Hasqil dan sekutunya semakin bertambah kuat untuk berkuasa dan semakin banyak keuntungan yang akan diraihnya, karena kelemahan ekonomi dari pihak yang menjadi lawannya, yang kemudian berubah menjadi wilayah jajahannya. Kelicikan Hasqil ini terlihat dalam kutipan berikut:
أو،6?t \;ا6>W5 انaXD3\ ;ا7-? 8` ،ب-E< ا86Wx F7 -= آ3\ وم-< وا8DYL? ض-[ Txو وم أو-< اF7 S ا،¤Wz< اZb و?>= أوا،_5وTD<ف ا-d<را\_ أو اR<;اع ادوات اb اF7 ;عb اي ( 90 :FDL?) 8DYL? “Hasqil dan Romawi mewajibkan sebagian besar suku Arab, bahkan melarang mereka menjual senjata, berbagai jenis peralatan pertanian, kerajinan tangan, sampai pada peralatan memasak, kecuali mereka menjual kepada Romawi dan Hasqil”
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
55
Setelah berhasil menguasai ekonomi dengan jalan memonopoli, maka dengan
mudahnya
penjajah
akan
membuat
kebijakan-kebijakan
yang
menguntungkan terutama bagi kepentingan mereka dan dengan mudahnya mereka mengambil alih kekuasaan. Bagi Hasqil, ekonomi adalah penopang kekuatannya untuk berkuasa, sementara uang adalah sentral ekonomi dan sarana stabilitasnya, oleh karenanya Hasqil berusaha keras untuk mendirikan lembaga perdagangan untuk menjamin hegemoninya dalam segala hal. Pemberian bantuan hutang pun menjadi strategi Hasqil untuk terus meraup keuntungan dan melebarkan wilayah jajahannya. Hal itu terjadi karena perekonomian Hasqil dalam keadaan tumbuh pesat, berkibar, dan menggurita dalam waktu singkat. Ia melihat dunia sebagai kawasan yang terkotak dalam berbagai daerah jajahan dan sebagai wilayah monopoli untuk Hasqil dan Romawi kuasai, keadaan ini tergambar dalam kutipan berikut: ،aXD3\ 67 دواTLD< اT\;7 حL< اF4 aXW3z5 F4< دT? ،_3DWY< ا¤D¥ 8DYL? ر6 انTE` Z<;>L5 راح8` ،ر6Y` وا8`م وا6Hy اF7 T 5TL>< اF\ R^\ F7 F5وي د6L5 67 =3\ =<;>tوا (88 :FDL?) T5TL>< اkDz>L5 S F7 =<ة اT6E< ا-Ej<;ت اD` =3\ “Setelah Hasqil menjadi kepala suku, dia menentukan harga senjata pesanan dan tempo pembayaran. Hasqil akan merampas domba, unta, dan sapi bahkan dia akan menyita rumah bagi siapa pun yang tidak bisa membayar hutang”.
Hal ini disadari bahwa dampak akibat berhutang begitu fatal, karena secara langsung hutang akan mengebiri dan membelenggu keleluasaan. Hutang menempati peran penting, menempuh cara dengan memberikan uang sebagai hutang adalah salah satu motif untuk melakukan intervensi yang kemudian mendudukinya atas alasan hutang tersebut. Faktor inilah yang memilki pengaruh cukup besar bagi penjajah untuk mencapai puncak kejayaan. Selain itu, dampak yang timbul dari hutang adalah dapat melemahkan, membahayakan, dan menyebabkan ketergantungan keuangan
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
56
bahkan hutang dijadikan senjata politik untuk memaksakan kebijakan politik maupun ekonomi.
2.3.3. Intervensi asing adalah awal kehancuran Salah satu langkah penting untuk menaklukkan sasaran adalah dengan melakukan campur tangan -intervensi. Intervensi tidak hanya merasuk ke dalam aturan dan kebijakan yang dapat menjelma menjadi kekuasaan yang tak terlihat invisible hand, tetapi lebih dari itu intervensi dapat berwujud menjadi intervensi militer. Sesungguhnya penggunaan kekuatan tersebut telah, selalu, dan akan tetap menempati posisi yang menonjol (Musa, 2003: 48). Dengan demikian setelah gagal dalam mengintimidasi dan menggunakan kekuatannya, maka upaya intervensi menjadi pilihan. Intervensi dilakukan dilakukan untuk membangun kekuatannya demi mempertahankan kepentingan, sama halnya dengan sebuah masyarakat yang didominasi oleh tatanan akibat adanya aspirasi kelompok yang paling dominan di dalamnya. Hasqil berusaha meruntuhkan tatanan dunia wilayah yang dikuasainya untuk segera melepaskan diri dari tata aturan dan kebijakan untuk kemudian mempersiapkan diri menerima campur tangan pihak luar. Bersamaan dengan itu perubahan dan penggantian pihak-pihak yang terlibat di dalamnya pun terjadi yang kemudian dikuasai oleh Hasqil dan Romawi. Hal itu ditandai dengan masuknya intervensi Romawi dalam berbagai kebijakan termasuk dalam hal ekonomi. Hasqil mengajak sekaligus memaksa wilayah yang dikuasainya untuk menerima campur tangan dari pihak Romawi, hal itu disebabkan karena kekuatan Romawi yang potensial untuk mendukung tercapainya tujuan Hasqil. Suku-suku yang berada di bawah genggaman kekuatan Hasqil dan Romawi pun menjadi porak poranda, terpecah-pecah menimbulkan pro-kontra antara yang mendukung dan menolak, sehingga pergesekan fisik tidak dapat dihindari. Situasi ini sangat disukai oleh Hasqil dan Romawi, karena situasi ini memberi banyak kemudahan bagi mereka untuk dengan cepat menguasai. Hasqil dengan sejuta kelicikannya, melakukan propaganda kepada wilayah-wilayah yang belum dikuasinya dengan mengiming-imingi bahwa
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
57
siapapun yang berada pada pihak Romawi maka ia akan menjadi suku terkuat dan tak terkalahkan. Hal ini dilakukan karena Romawi memiliki persenjataan yang kuat, pengaruh yang besar, dan perekonomian yang menggurita sehingga Hasqil memastikan bahwa Romawi adalah pusat kekuatan yang paling mumpuni untuk mengahadapi siapapun yang menjadi rivalnya. Hal ini terlihat dalam kutipan sebagai berikut: FLd5 و6H>3DWY< دي6>xS اkJ;<;ر اzDt 1b اF\ اT\ f3s5S 1E7 وم-<_ ا3DWx ;ن2B F7و _564? وT\;` Zdb انTE` 6b-DDsB Z3\ در6x -Dy 6H>5S وZ3\ ض->E5 F7 8E^5 و6H?t ( 79 :FDL?) n6^BSا اX` _Wyوم اي ر6Y5 ن6` 6H< وم-<_ ا3DWx ¤D¥
“Siapa pun yang bekerja sama dengan suku Romawi tak akan pernah terkalahkan, karena Suku Romawi akan mengontrol perekonomian suku kita dan mempercanggih persenjataan kita, dan siapapun yang berusaha menguasai kita tak akan mungkin bisa karena kepala suku Romawi pasti akan melindungi kita dan selalu mendukung langkah kita”
Hasqil berusaha membentuk opini publik pada wilayah yang menjadi targetnya untuk kemudian menggiring mereka pada kotak-kotak opini yang dibentuk dan diciptakan oleh Hasqil. Hal ini dilakukan untuk memudahkan proses dalam melemahkan, menaklukan, bahkan menguasai wilayah secara halus. Setidaknya ketika opini publik ini sudah dilempar, maka minimal akan lahir prokontra dalam menyikapi opini tersebut, dalam keadaan mulai terpecah ini maka tugas Hasqil hanya tinggal membumbui agar konflik diantara mereka tercipta dan akhirnya timbulah perpecahan. Pemusatan kekuatan suatu tatanan dunia sama artinya dengan adanya kekuatan yang diterima untuk memaksakan tatanan yang diberlakukan untuk semua. Adalah sangat jelas bahwa kekuatan seperti ini tidak mungkin ada, selama belum ada satu kekuatan yang mengusai dunia. Hasqil sangat mengakui kekuatan Romawi oleh karenanya ia ingin semua suku-suku berada dibawah panji kekuasaan Romawi. Sikap Hasqil ini mendapat sambutan dari para pendukungnya, yaitu mereka yang terperdaya oleh Hasqil dan Romawi. Para pendukung Hasqil dan
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
58
Romawi melakukan propaganda terhadap pihak-pihak yang berada pada posisi yang bersebrangan dengan mereka, gambaran sikap para pendukung Hasqil terlihat dalam kutipan berikut: (79 :FDL?) _d3t< 6H>6? Z ه64[ 6H>D3? ;ن2>t و8DYL? _D3? وم-<_ ا3DWx b6اذا آ “Jika suku Romawi adalah sekutu Hasqil berarti ia akan menjadi sekutu kita dengan begitu kita tak butuh persenjataan lagi (membeli senjata)”
Dalam konteks tersebut, penjajahan tidak hanya datang dan berkembang dengan sendirinya, adanya faktor pendukung seperti orang dalam dan kebijakan yang dapat membuat keberadaan penjajah semakin kuat. Dalam kondisi seperti itu, kekuasaan dari dalam tidak dapat berjalan dengan mulus, karena berbagai kepentingan baik itu politik maupun individual atau kelompok bermain di dalamnya. Berbagai upaya dilakukan oleh mereka yang mendukung langkah Hasqil dan Romawi, dengan upaya meracuni pikiran mereka yang menolak keberadaan Romawi. Mereka berupaya mencari-cari kesalahan-kesalahan untuk kemudian menjadikan Romawi sebagai pembenar, cara ini lambat laun akan meluluhkan hati mereka yang dianggap oleh pendukung Hasqil sebagai batu ganjalan dengan cara menggiring mereka pada posisi yang diharapkannya. Sikap para pendukung Hasqil dipertegas pada kutipan lain dalam novel, seperti terlihat dalam kutipan berikut:
ب-^H< و6WH 6H>7;4\ ك->H< 6H>7;4\ ء6H` ا6H>7;4\ ء6H` ا:<;x ار-2B F7 Z. ا65 6H\د ( 80 :FDL?) ZWHر ا6D>.ا “Sekali lagi jangan katakan putra suku kita wahai saudaraku, biarlah kita mengesampingkan putra suku kita untuk mencoba memilih orang dari luar suku kita (orang asing)”
Hal tersebut nampak jika pihak penguasa sudah tergantikan dengan orang luar –terintervensi- maka kekuatan sedikit demi sedikit akan meredup bahkan
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
59
menghilang. Jika berbagai kepentingan dan intervensi telah merasuk maka yang akan terjadi hanya menunggu saat kehancuran. Campur tangan pihak luar dianggap sebagai alat yang menetukan kepentingan, tujuan pihak luar yang ingin menguasai mereka. Tetapi apa yang diusahakan Hasqil dan sekutunya tidak selalu berjalan mulus, berbagai perlawanan untuk menolak pun lahir. Upaya mempertahankan diri ditunjukan dengan pemahaman yang lebih menegaskan untuk munutup diri terhadap pihak luar. Bertolak dari hal tersebut, sesungguhnya setiap wilayah harus mempertahankan diri dari rongrongan pihak luar, sehingga tidak ada kesempatan pihak luar untuk menggoyahkannya. Kesadaran untuk tidak disetir dengan cara diintervensi oleh pihak luar melahirkan bentuk perlawanan. Pada tataran awal, perlawanan ini terwujud dalam bentuk kesadaran untuk tidak dicampur-tangani oleh pihak luar. Dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un ini perlawanan terhadap pihak luar dianggap dapat menghindarkan diri dari kehancuran yang disebabkan oleh adanya campur tangan pihak luar. Perlawanan masyarakat Timur Tengah melalui upaya penarikan diri ini dimaknai sebagai sebuah resistensi terhadap pihak lain sebagai bentuk penyelamatan. Karena hal ini dapat membuka kemungkinan bagi mereka untuk menentukan arah tujuan tanpa bergantung kepada pihak lain. Dalam hal ini juga bisa dimasukan kekuatan propaganda. Sebab menurut tradisi yang berlaku dalam masyarakat Timur Tengah, propaganda yang dilakukan oleh berbagai pihak baik pihak yang berasal dari luar bahkan dari dalam tubuh mereka, tidak lain merupakan alat untuk menyebarkan nilai, pandangan, dan gaya hidup. Sejarah dan tradisi masa lalu yang berlaku dalam masyarakat Timur Tengah dijadikan arah dan pegangan yang memberikan dan menentukan serta mendesain orientasi mereka dalam berhadapan dengan pihak luar.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
BAB III NOVEL UKHRUJ MINHA YA MAL’UN DALAM KAJIAN OKSIDENTALISME
3.1. Oksidentalisme Ketika terjadi ketidakseimbangan antar dua peradaban yang berbeda maka upaya mempertahankan identitas diri menjadi sebuah keniscayaan. Jika dicermati, perhatian
intelektual-akademis Timur terhadap Barat terasa tidak seimbang
apabila dibandingkan dengan perhatian intelektual Barat terhadap Timur. Selama ini kedudukan Barat sebagai pengkaji Timur telah menimbulkan stereotipstereotip dan kompleksitas tertentu yang melahirkan sikap superioritas. Sebaliknya keberadaan Timur sebagai objek kajian Barat telah menimbulkan kompleksitas antara lain sikap inferioritas. Polarisasi antara Utara dan Selatan, Barat dan Timur, negara maju dan berkembang, rasional dan irrasionsional, dan lainnya masih berlangsung dalam berbagai bentuk. Fenomena westernisasi yang menjadikan sejarah dan kebudayaan Barat sebagai kerangka rujukan tidak bisa dikesampingkan dalam hal ini. Westernisasi memiliki pengaruh kuat tidak hanya pada budaya dan konsepsi, lebih dari itu westernisasi dapat mengancam kemerdekaan suatu peradaban, bahkan merambah pada gaya hidup. Shimogaki (1993: 106) menyebutkan bahwa imperialisme kebudayaan dilakukan dengan cara menyerang kebudayaan dari dalam untuk kemudian melepas afiliasi umat atas kebudayaannya sendiri sehingga umat tercerabut dari akarnya. Keterbukaan ekonomi memaksa untuk membuka diri terhadap kapitalisme internasional, komunikasi antar negara (wilayah) membuka hadirnya hubungan baik bahkan ketegangan, serta persinggungan kebudayaan yang berbeda yang memicu lahirnya oposisi biner. Persoalan identitas merupakan persoalan pokok dalam menghadapi westernisasi (Hanafi, 1991: 25). Hal ini tergantung pada kencangnya gempuran westernisasi terhadap kebudayaan yang dituju. Ketika serangan westernisasi tidak
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
61
begitu kuat, maka upaya untuk mempertahankan nilai-nilai kebudayaan pun tidak sungguh-sungguh dilakukan, bahkan bisa jadi akan terbaratkan, lain halnya ketika serangan itu kuat untuk menghapus sebuah identitas, maka reaksi keras akan muncul dengan berpegang pada nilai-nilai dan kebudayaan. Lahan luas kebudayaan menjadi agen peradaban lain, bahkan menjadi perpanjangan tangan dari aliran-aliran Barat seperti sosialisme, Marxisme, liberalisme, dan –isme lainnya (Hanafi, 2000: xix). Hal ini memiliki dampak, tak seorang pun yang mampu menjadi intelektual atau ilmuan kecuali jika ketika ia berafiliasi dengan mazhab tertentu. Dalam pengertian ini, dengan atau tanpa kesadaran, kita telah
memposisikan diri sebagai pihak yang berseberangan,
terpecah menjadi suatu kelompok atau golongan, dan sibuk mencari orisinalitas yang lenyap. Hal ini pun akan terjadi ketika westernisasi kebudayaan berubah wujud menjadi keberpihakan terhadap Barat, pada gilirannya kondisi tersebut akan melahirkan sebuah revolusi untuk menegaskan identitas. Menurut Hanafi (1991: 25-26), sikap yang diperlukan dalam menghadapi persoalan ini adalah bagaimana mempertahankan identitas tanpa harus terperosok ke dalam bahaya isolasi diri dengan menafikan dan menolak andil orang lain, serta bagaimana menghadapi kebudayaan masa kini (modernisme) tanpa harus terjatuh pada taqlid33 buta. Musa (2003; 15) menambahkan bahwa ideologi akan membentuk personalitas ummat, artinya ia juga akan membentuk kehidupannya dengan cara yang khas. Hanafi
(1991:
12)
telah
meletakkan
konsep
dasar
pemikiran
oksidentalisme dengan melakukan pembebasan diri dari pengaruh pihak lain agar terdapat kesetaraan antara al-ana34 yakni dunia Islam dan Timur pada umumnya, dan al-akhar35 yakni dunia Barat dan Eropa. Oksidentalisme hadir sebagai sebuah dialektis yang saling mengisi dan melakukan kritik antara yang satu terhadap yang lain, sehingga terhindar dari relasi hegemonik dan dominatif dari dunia Barat atas dunia Timur.
33
Taqlid asal kata dari qallada, bermakna mengikuti orang lain tanpa mengetahui landasan argumentasinya AW. Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 1147 34 Al-Ana yang dimaksud adalah dunia Timur khususnya Islam 35 Al-Akhar yang dimaksud adalah dunia Barat dan Eropa
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
62
Penawaran pemikiran yang diajukan oleh Hanafi melalui konsep oksidentalismenya, dapat menjadi sebuah pendekatan yang berguna untuk membuka selubung ketidakjujuran Barat dalam melihat Timur, khususnya orang Muslim yang diidentikan dengan bangsa Arab. Istilah, spirit, dan pemikiran oksidentalisme memiliki akar sejarah yang dapat dilacak, tetapi Hasan Hanafi merupakan salah satu dari sekian intelektual Muslim yang secara serius memperkenalkan istilah ini ke dalam dunia Islam dalam bukunya Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab. Menurut Hanafi (1991: 25-26) penegasan identitas memiliki makna sebagai penegasan orisinalitas dalam menghadapi dominasi kebudayaan Barat. Adalah suatu kenaifan jika terjatuh dalam dualisme kebudayaan yang saling berseteru karena hanya akan menciptakan sikap saling menyalahkan pihak lain dan menjadikan keabadian dan kehidupannya terletak pada kebinasaan dan kematian pihak yang lain. Fenomena inilah yang menjadi perhatian besar Hanafi, sebagai upaya untuk mencegah hal itu adalah dengan melahirkan konsep oksidentalisme. Wahid (Shimogaki, 1993: xviii) yang menyatakan bahwa oksidentalisme dimaksudkan untuk mengetahui peradaban Barat sebagaimana adanya, sehingga dari pendekatan ini akan muncul kemampuan mengembangkan kebijakan yang diperlukan umat Muslim dalam ukuran jangka panjang. Melalui pandangan ini, Hanafi memberikan harapan dunia Islam untuk menjadi mitra bagi peradaban lain. Hal ini diperkuat oleh Hidayat (Hanafi, 2000: xx) yang menyatakan oksidentalisme dapat dipandang sebagai suatu cara untuk menciptakan keseimbangan kepada tujuan-tujuan eksploitatif dan manipulatif terhadap Barat. Menurut Hanafi (1991: 31) bahaya yang ditimbulkan dari asumsi bahwa peradaban Barat merupakan sumber segala ilmu pengetahuan, menjadi tempat bergantung peradaban lain, menjadi tempat bersandar bagi eksistensi madzhab dan teori, dapat diseimbangkan. Sikap semacam ini telah mengakibatkan penyelewengan peradaban-peradaban Timur, kebergeseran dari posisi realistisnya, ketercerabutan dari akarnya, keterikatan dengan peradaban Barat, dan masuk ke dalam atmosfirnya dengan anggapan bahwa peradaban Barat adalah produk terakhir dari eksperimentasi manusia.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
63
Hal
inilah
yang
menjadi
tugas
oksidentalisme
yaitu
dengan
mengembalikan Timur pada tempat asalnya, menghilangkan keterasingannya, mengaitkan kembali dengan akar lamanya, menempatkannya pada posisi realistisnya untuk kemudian menganalisanya secara langsung dan mengambil satu sikap terhadap peradaban Barat dan Eropa yang dianggap sebagai sumber ilmu pengetahuan. Oksidentalisme berupaya mematahkan mitos kebudayaan kosmopolit yang menyatukan seluruh bangsa Barat dan diklaim sebagai kebudayaannya dan harus diadopsi seluruh bangsa di dunia jika ingin meninggalkan fase imitasi dan mencapai kemodernan (Hanafi, 1991: 36). Sesungguhnya kebudayaan bermacammacam, bahwa kebudayaan Barat bukan tradisi universal yang mencakup seluruh model-model eksperimentasi manusia dan bukan pula warisan pengalaman panjang eksperimentasi manusia yang berhasil mengakumulasi pengetahuan mulai dari Timur sampai ke Barat, melainkan sebuah pemikiran yang lahir dari lingkungan dan situasi tertentu. Dengan kata lain, tradisi Barat adalah pemikiran yang merefleksikan lingkungan partikular peradabannya. Tugas lain oksidentalisme adalah menghapus dikotomi sentrisme dan ekstremisme pada tingkat kebudayaan dan peradaban (Hanafi, 1991: 37). Karena selama kebudayaan Barat menjadi sentris dan kebudayaan non-Barat menjadi ekstremis maka hubungan keduanya akan tetap merupakan hubungan monolitik. Hal ini megakibatkan terabaikannya karakteristik bangsa lain dan eksperimentasi independennya, serta bermuara pada monopoli Barat atas hak inovasi eksperimentasi baru dan hak sebagai contoh kemajuan. Akulturasi dianggap Barat sebagai dialog dan pertukaran kebudayaan atau pencerahan, padahal sebenarnya akulturasi dimaksudkan untuk membunuh peradaban lokal, menyebarkan kebudayaan Barat ke batas alaminya, mengontrol kebudayaan
lain, serta
membangun citra bahwa Barat satu-satunya contoh kemajuan peradaban. Hanafi (1991: 14-15) dalam bukunya Muqaddimah Fi ‘Ilm al-Istigrab menyatakan bahwa kesadaran peradaban dan kebudayaan personal terkadang mempunyai posisi yang menafikan tradisi lama, sehingga memaksa seseorang berpaling kepada tradisi Barat dan menemukan dirinya di dalam tradisi tersebut. Setiap kali keterputusasaan pada tradisi lama meningkat, maka akan semakin kuat
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
64
seseorang “terbaratkan”. Kondisi semacam ini akan melahirkan keterikatan terhadap kebudayaan Barat dan terasing dengan kebudayaannya sendiri. Kemudian akan timbul kesadaran berbalik dengan sikap diatas, sebagai reaksi atas kesadaran peradaban yang berpegang pada tradisi lama seluruhnya dan menolak tradisi kontemporer. Hal ini akan menciptakan keterasingan diri dari kebudayaan lain. Dalam pengertian tersebut, kesadaran peradaban personal dapat dikatakan memiliki sikap positif terhadap tradisi lama, tetapi akan menimbulkan sikap negatif terhadap tradisi Barat atau sebaliknya memiliki sikap positif terhadap tradisi Barat dan menimbulkan sikap negatif terhadap tradisi lama. Hanafi (1991: 14-15), melalui konsep oksidentalisme mengemukakan tentang kondisi umat yang terpolarisasi tersebut ke dalam dua kelompok yaitu; pertama, mereka yang memandang dengan tradisi lama sebagai keterputusan; kedua, kelompok yang memandang hubungannya dengan tradisi lama sebagai hubungan keterkaitan. 3.2. Kajian atas novel Ukhruj Minha Ya Mal’un 3.2.1. Perspektif Oksidentalisme Hanafi dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un Kebudayaan merupakan salah satu bentuk sistem representasi karena di dalamnya terdapat proses saling membagi antara kode-kode kebudayaan yang sama seperti sistem kepercayaan, bahasa, tradisi yang dipegang serta pengalaman yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Konsep kebudayaan lahir dari proses penciptaan karena makna yang terbentuk sangat tergantung dari cara merepresentasikannya. Mengacu pada pada pemahaman tersebut, representasi tidak bersifat mutlak yang tidak bisa diganggu-gugat, tetapi menjadi hal yang bersifat konstruktif karena pemaknaan tergantung pada subjek yang memberi makna. Kebudayaan tidak bersifat statis artinya kebudayaan selalu berproses, tradisi lama dalam suatu kebudayaan akan memicu lahirnya reaksi yang berbeda, salah satunya adalah memicu lahirnya tradisi baru. Dalam praktiknya, reaksi terhadap kebudayaan yang terwujud dalam bentuk representasi tidak dengan serta
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
65
merta berjalan tanpa hambatan, ini dapat diartikan bahwa selalu ada perbedaan dalam menyikapi sebuah kebudayaan. 3.2.1.1. Sikap yang memandang hubungan dengan tradisi lama sebagai keterputusan Berdasarkan konsep oksidentalisme Hanafi (1991: 14), sikap yang memutuskan hubungan dengan tradisi lama dan mengaitkan hubungan dengan tradisi baru merupakan bentuk penolakan sebagai suatu keterputusan terhadap tradisi lama. Keterputusan ini terjadi karena tidak lagi menjadikan tradisi lama sebagai tolok ukur dengan tidak mengindahkan segala ketentuan yang berlaku dalam tradisi lama sebagai sebuah prinsip yang mendasar. Dengan kata lain, reaksi tersebut secara jelas menampakkan pemutusan hubungan dengan tradisi lama. Dalam hal ini, Tradisi baru menjadi prototipe pembaruan dan sumber pengetahuan, karena semua yang datang dari tradisi baru diterima sementara produk-produk tradisi lama ditinggalkan. Kondisi seperti ini melahirkan keterbukaan terhadap tradisi baru, tetapi mengorbankan identitas. Sikap yang menafikan tradisi lama secara tidak langsung akan memaksa berpaling kepada tradisi baru dan menemukan dirinya di dalamnya. Setiap kali rasa keterputusan terhadap tradisi lama meningkat, maka keterkaitan dengan tradisi baru akan semakin kuat. Dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un, menunjukan adanya usaha untuk menggambarkan fenomena Hasqil yang mengalami pencairan budaya dengan tradisi budayanya. Pencairan budaya tersebut menciptakan jarak, bahkan terlepas dari ikatan tradisi budaya Timur Tengah yang menjadi budaya awal Hasqil, atau dalam terminologi Hanafi fenomena itu disebut sebagai keterputusan terhadap tradisi lama shilah al-inqitha’. Tradisi lama yang dimaksud adalah nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat Timur Tengah yang berakar pada warisan leluhur atau para pendahulu dan dijadikan sebagai prinsip hidup, seperti tradisi masyarakat Timur Tengah dalam memegang nilai-nilai religiusitas, tradisi menjaga nasab, dan lainnya yang mencerminkan tradisi budaya yang memiliki nilai. Fenomena pencairan budaya Hasqil terhadap tradisi lama menggambarkan adanya gagasan terminologi Hanafi yang nampak dalam novel. Beberapa data-
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
66
data tersebut bertujuan untuk menajamkan mengenai adanya tarik menarik antara dua tradisi budaya yang berbeda, yaitu tradisi lama dan tradisi baru dalam diri Hasqil, baik sebagai seorang individu maupun sebagai seorang pemimpin. Tak pelak lagi, bahwa keberhasilan yang diraih Hasqil baik dalam menguasai wilayah jajahannya secara politik dan ekonomi, tidak terlepas dari upaya penarikan diri dari tradisi lama untuk kemudian berbaur dengan tradisi baru. Bagi Hasqil, keberadaan tradisi lama adalah tidak untuk dipatuhi, karena dalam tubuh tradisi lama terjangkiti penyakit inferioritas yang menyebabkannya tertinggal jauh dari tradisi baru secara politik dan ekonomi. Bagi Hasqil, ketertarikan terhadap tradisi baru dan penarikan diri dari tradisi lama dilandasi oleh dua hal penting:
Pertama, tradisi baru telah
dimanfaatkan untuk kepentingan politik berkuasa. Kedua, tradisi baru telah menghujamkan kemajuan ekonomi dan politik sehingga menjadi suku besar yang sangat berpengaruh yang diwakili Romawi. Dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un, fenomena ini dapat dilihat seperti dalam kutipan berikut: ( 89 :1234) ذ ا! وم؟$%& *)رة و+, -,)&ذي ا$%& وان “Bukankah kesuksesanku ini juga sebab dibantu oleh Romawi?”
Kutipan di atas menunjukan adanya butir pemikiran tentang keterputusan dengan tradisi Lama. Pencairan budaya yang dilakukan Hasqil telah menjadikannya semakin jauh tercerabut dan terasing dalam tradisi budayanya sendiri. Hasqil tidak menjadikan nilai-nilai budaya yang ada dalam tradisi lamanya menjadi sesuatu yang berarti, karena atas kepentingan pribadi, Hasqil menggadaikan martabat budayanya. Dalam hal ini, kaitan antara kepentingan dan kekuasaan sangat jelas terlihat. Hasqil berusaha untuk meniru Romawi yang mencapai kegemilangan secara ekonomi dan politik yang menggenggam otoritas dunia. Keberhasilan yang dicapai Hasqil, tak lain adalah berkat bantuan dan dukungan Romawi, sehingga ia
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
67
menjadikan Romawi sebagai tolok ukur dan dasar bagi pijakan orientasi budayanya. Fenomena keterputusan ini dapat dilihat pula pada bagian lain, seperti kutipan berikut: ( 89 :1234) ؟9: <; ا،س$?@ 2A 1, BC2DE! واF2D! اBE2* ;,و “Wahai saudaraku, apa artinya kepala suku (pemuka suku) tanpa uang?”
Hasqil di sini mencoba menampilkan cara pandang dan cara bersikap yang berbeda, tidak seperti sikap yang ditunjukan oleh masyarakat yang memegang tradisi lama yang sangat menjaga diri dari serbuan kebendaan karena lebih mengutamakan nilai-nilai religiusitas dengan hidup sederhana, Hasqil berada pada garis depan sebagai pelopor yang menjadikan kekayaan seperti emas dan harta lainnya sebagai tujuan utama. Tak ayal Hasqil menjadikan cara apapun menjadi halal. Di sisi lain, kemajuan tradisi baru yang merasuk kuat dalam diri Hasqil menyebabkannya mengusahakan berbagai bentuk untuk membangun hegemoni tradisi baru dalam dirinya, baik sebagi individu maupun sebagai pemimpin. Ia memobilisasi wilayah yang berada dibawah kekuasaannya untuk ikut serta mengikuti jejaknya. Sikap Hasqil mencerminkan adanya proses konstruksi budaya menuju budaya baru. Kebudayaan baru –tradisi baru dipandang sebagai acuan perkembangan dan model bagi kebudayaan lain. Sikap Hasqil yang telah melepaskan tradisi lama sebagai pegangan terlihat ketika ia menjadikan kekayaan sebagai tujuan hidup dan menjadikan emas berada sejajar dengan Tuhan. Sikap Hasqil ini terlihat dalam kutipan berikut:
BOEI ;,)CQ3, ، اقO!;م واD!د اTK U أهU آ$XدJI GY آ...G* ع وIJK ة2L وة آN GOEP! [;لEb ل$c< `OE3< 1, ي وآ;نd, ![;ل اEQ! ه\ا ا9@ BE;ه3, *;درU آ1, ]?^_ ،`Y<)ي ودa ( 22 :1234) ] ذه1,
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
68
“Aku akan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat mungkin… aku akan mengajak semua penduduk Syiria dan Irak membuat patung emas. Saat itu aku akan bilang ‘kita akan punya patung emas’ dan orang-orang yang mendengar akan ikut bilang patung emas” Kekayaan bagi Hasqil adalah penopang kekuatannya untuk terus berkuasa, sementara uang dan emas baginya adalah wujud kekayaan dan sarana stabilitasnya, oleh karenanya Hasqil berusaha keras untuk melanggengkan hegemoninya dalam segala hal termasuk dalam ekonomi. Hasqil ingin mencoba menggantikan Tuhan dengan patung emas untuk mengajak orang lain menyembahnya. Ia tidak lagi peduli dengan nilai-nilai yang telah diajarkan oleh Ibrahim, bahkan tindak menyekutukan Allah yang berakibat pada gugurnya keimanan pun tak digubrisnya. Bahkan dalam bagian lain penafian terhadap tradisi lama nampak semakin jelas, misalnya pola perdagangan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam tradisi lama, pola perdagangan ini terlihat dalam kutipan di bawah ini: (90 :1234) ;K ! ا1, ;;هe;cQ< آ;ن9Q! اBD4;%!;ح اKرg ا1X )اX B2!ThQIg` اb;رPb 9@… “…dalam monopoli perdagangan tidak memperdulikan untung riba”
Perdagangan Hasqil meliputi pengembangkan lembaga pertukangan besi, usaha peralatan perang, minyak samin, dan minyak zaitun. Hasqil sungguh telah melupakan asal-usulnya sebagai orang Timur Tengah bahkan dia telah terputus dari apa yang telah kakeknya –Ibrahim- ajarkan kepadanya semasa kecil. Penguasaan Hasqil terhadap basis ekonomi dengan sistem monopoli merupakan jaminan bagi Hasqil untuk menguasai arah kebijakan dan memperkuat perekonomian dengan membangun sektor-sektor ekonomi yang potensial dan strategis yang akan menjadikan kekuasaannya semakin menggurita, misalnya dengan tidak memperdulikan boleh atau tidaknya halal-riba’ berdasar pada ajaran agama.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
69
Setelah Hasqil berhasil menaklukan sektor ekonomi maka dengan mudah Hasqil
akan
membuat
dan
mengeluarkan
kebijakan
yang jauh
lebih
menguntungkan kepentingannya untuk berkuasa. Hasqil menjadi budak dari kekayaan, Hasqil tidak akan pernah mengizinkan siapapun menyentuh kekayaannya apalagi memberikannya secara cuma-cuma. Seandainya Hasqil memberikannya pun itu karena terpaksa dan akan menjadi hutang yang mesti dibayar. Tradisi memuliakan tamu yang selazimnya dilakukan -yang berlaku dalam masyarakatnya pun tak digubris Hasqil, karena Hasqil tak akan mengindahkan apapun termasuk tradisi budayanya kecuali itu menguntungkan untuknya. Ketika yang dilakukan masyarakat dalam memuliakan tamu seperti menghidangkan dan membekali tamu, Hasqil malah menghitung setiap apa yang dikeluarkan dengan hartanya untuk kemudian dijadikan hutang yang akan ditagih setelah mereka berada di bawah kekuasaannya. Sikap kikir dan licik Hasqil terlihat dalam kutipan berikut: Um! ]3n<...`X;LjK [bJ< وk;ورP< 1E! 9Q4 )ويO!;K UcQY< UCK 1, `YX وفO, ;, ;درA ( 77 :1234) `K;34 س$?@
“Walau Hasqil terkenal pelit, tetapi dalam pertemuan ia seakan-akan bisa melepaskan sifat pelitnya… karena Hasqil akan selalu menghitung setiap uang yang dikeluarkannya”
Berbagai upaya terus dilakukan guna menumpuk harta, peperangan terhadap suku-suku Arab menjadi lahannya untuk menggeruk kekayaan alam. Dalam melakukan peperangan pun, Hasqil sudah keluar jauh dari kebiasaan yang menjadi adat yang harus dijaga, Hasqil memerangi siapapun dan apapun yang ia temukan. Etika berperang yang diwariskan secara turun temurun pun, tidak mendapat tempat dalam diri Hasqil. Hasqil melakukan penaklukan dengan menciptakan situasi konflik, untuk menyingkirkan kompetitor dan rival potensialnya karena baginya mereka adalah ancaman yang membahayakan posisi strategisnya sebagai penguasa. Ia memerangi secara membabi buta dengan merusak apa pun yang berada Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
70
disekitarnya, termasuk apa yang dilarang –berlaku dalam masyarakat arab seperti membunuh anak kecil, orang tua yang tidak berdaya, dan perempuan. Bahkan lebih dari itu, tidak diperbolehkan dalam berperang merusak tempat ibadah, merusak fasilitas umum, dan mengganggu hak hidup tumbuhan. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan Hasqil, ketika ia berhasil menciptakan peperangan maka yang menjadi acuannya adalah keuntungan, bukan ketentuan- ketentuan sebagaimana yang berlaku dalam masyarakat Arab. Gambaran sikap Hasqil yang menunjukan keterputusan dengan tradisi lama ini terlihat dalam kutipan berikut: Up;Lc?! ازdQKل واThQI ا1, `2?X ;داQX; ا!\ي اEr?EX 9@ ا! ومB?2L* F2s وU2c34 EQIا 9sا$E! اUQ* `Y, و،;سY!;K اذى1, k;cn!; ا, tA ر،;ErK;cX اu?X ; رداY; هErYm! ...;ورةPE!ا 12,وdr, ;ErX;Lb ردا واw! ذ+, وU2CY! ا+j*;ت وXروdE! ق ا4; وr2?X ءT2QIgاو ا (93 :1234) ;ل%^g;ء وا3Y! اuQ4 trY, t?3< t! و...BP2QY!;K “Hasqil dan kepala suku Romawi terus melakukan penjajahan atas suku yang lain, mereka membabat habis siapa saja yang menghalangi langkah mereka. …keduanya melampiaskan perlawanan dengan cara membunuh ternak-ternak dan merampasnya, membakar hasil pertanian, dan menebangi pohon-pohon kurma… bahkan membunuh perempuan dan anak-anak”
Hasqil tak sama sekali memperdulikan etika dalam berperang merujuk pada tradisi budaya para pendahulunya yang diturunkan secara turun temurun. Tradisi para pendahulu bagi masyarakat Timur Tengah adalah penting karena dengannya lahir pengetahuan dan prinsip-prinsip yang dijadikan pegangan hidup, tetapi bagi Hasqil tidak demikian. Bagi Hasqil, keberhasilan yang telah diraihnya dalam berkuasa secara politik yaitu dengan menguasai wilayah jajahannya atau secara ekonomi sehingga mengantarkannya pada posisi penting sebagai pemimpin tidak akan tercapai jika tidak ada bantuan dari pihak Romawi. Dengan alasan itu, Hasqil manjadikan Romawi sebagai tolok ukur dan landasan bagi orientasi budayanya. Dari penjelasan di atas, sangatlah jelas bahwa Hasqil telah mengalami keterputusan
dengan
tradisi
lama
shilah
al-inqitha’
sehingga
Hasqil
mengorbankan identitasnya. Romawi dijadikan sebagai prototipe pembaharuan
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
71
dan sumber pengetahuan baginya bahkan bagi kepentingannya. Dalam konsep oksidentalisme bahwa keterputusan terhadap tradisi lama adalah suatu kesalahan karena tradisi lama seharusnya berada pada posisi penting dalam menentukan arah. Tradisi lama menentukan suatu identitas, keberadaan dan ketiadaan suatu identitas tergantung pada mati hidupnya tradisi lama. 3.2.1.2. Sikap yang memandang hubungan dengan tradisi lama sebagai keterkaitan Sikap yang mengaitkan hubungan dengan tradisi lama dan memutuskan hubungan dengan tradisi baru merupakan bentuk penerimaan sebagai suatu keterkaitan terhadap tradisi lama. Reaksi ini secara jelas menampakkan pemutusan hubungan dengan tradisi baru, fenomena inilah yang disebut Hanafi dengan istilah shilah al-ittishal’. Dalam hal ini, penegasan identitas menjadi penting sebagai usaha mempertahankan dan menyelamatkan diri dari tradisi baru, penegasan identitas terhadap tradisi asing/baru menjadi suatu yang tak dapat terelakkan sebagai upaya pertahanan diri, upaya resistensi diri. Lazzah menggambarkan bagaimana identitas budayanya telah tertancap kuat sehingga ia tegas dalam melihat tradisi baru. Akan tetapi pemutusan terhadap tradisi baru secara menyeluruh akan mengakibatkan terbentuknya sikap eksklusif sebagai bentuk penolakan dan akhirnya hanya akan sampai pada solipsisme. Keterkaitan terhadap tradisi lama memiliki makna keterkaitan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi lama, misalnya dengan menolak orang luar untuk ikut mengatur ke dalam kebijakan dan mencampuri urusan. Adanya upaya untuk mempertahankan tradisi lama, misalnya dengan upaya untuk menolak kehadiran Hasqil sebagai pemimpin mereka. Upaya Lazzah yang menunjukan keterkaitan dengan tradisi lama ini terlihat dalam kutipan berikut: ن$m< ز أن$P< g ...\اr ي آ2z, نJs 9@ B{;: ،kر$|nK ;Y&}وs ~nL& ز أن$P< g ( 83 :1234) ;Y2?X ;ًC2s أو،;Yار&; ه$4 u?X ;ً@ D, U2c34
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
72
“Jangan sampai kehadirannya (Hasqil) mengatur urusan kita, khususnya urusan masa depan kita…bahkan jangan sampai Hasqil menjadi kepala suku kita” Lazzah selalu berada pada baris terdepan untuk menolak hal-hal yang berkaitan dengan tradisi baru, kehidupan Lazzah merefleksikan nilai-nilai al-ana dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambilnya. Dalam rangka mewujudkan al-ana pada posisi penting, Lazzah selalu merujuk kepada pengentalan identitasnya untuk menghadapi al-akhar. Tradisi lama tidak hanya mencakup aturan-aturan atau nilai-nilai yang bersifat personal, ia mencakup yang lebih luas daripada itu yaitu menyangkut sistem sosial yang menentukan setiap keputusan. Keputusan tidaklah menjadi hak individu karena nilai-nilai yang mengakar kuat dalam sebuah tradisi menjadi pegangan. Pengkhianatan terbesar bagi Lazzah adalah ketika meninggalkan tradisi lama al-ana sebagai dasar hidup yang menentukan cara berpikir dan cara bertindak. Sikap Lazzah yang menunjukan masih memegang tradisi lama ini terlihat dalam kutipan berikut: `2!; إY?{; و, u!; إY?{ وuQ4 ،;Yp;K)اد&; وa;ت أ2n|b و،;YN اb; وYC<;رQ! B&;2: ان ه\ا ( 82 :1234)
“Ini adalah penghianatan terhadap sejarah dan tradisi kita. Langkah ini benar-benar mengkhianati apa yang pernah dilakukan nenek moyang kita.” Pengingkaran terhadap suatu tradisi berarti pengkhianatan yang tidak bisa ditolerir, ini disebabkan karena sikap yang menjaga, melestarikan, dan menjungjung tinggi nilai-nilai luhur budayanya sehingga menjadi landasan hidup yang membentengi diri dari pengaruh luar. Pengingkaran ini terjadi karena telah menjadi al-akhar sebagai acuan dan tolok ukur yang kemudian ditiru dan dijadikan prototipe cara berpikir dan bertindak. Ketika Lazzah mendapati sebagian sukunya menerima tradisi baru yaitu ketika Hasqil diterima sebagai kepala suku atas kesediaan sebagian sukunya yang mendukung, maka Lazzah berusaha untuk menarik diri untuk kemudian
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
73
memikirkan cara agar mereka kembali pada tradisi budayanya. Lazzah berusaha untuk tenang dan mencoba menyadarkan mereka. Upaya Lazzah untuk mempertahankan tradisi lama terlihat pula pada bagian lain, seperti kutipan di bawah ini: ،;&)ادa; وأYp;K )2!;cQK ا$,dQ?b و،tm&;, زu?X ا$nzb uQ4 tm!dY, 1X 9!dY, لdXJIو ( 84 :1234) ;rp;دL, وB?2Lc!ق ا$c4 ا$, Qnbو “Aku akan menjauh dari rumah kalian sampai kalian sadar dan mau mengikuti tradisi nenek moyang kita, mau menghormati prinsip, dan kewajiban suku ini.”
Kuat atau tidaknya suatu suku atau kelompok dalam suatu masyarakat merupakan cerminan dari kuat atau tidaknya dalam memegang teguh sebuah tradisi, hal ini telah tercatat dalam sejarah tentang pencapaian-pencapaian yang dilahirkan dari rahim tradisi lama. Pengaruh tradisi lama juga tampak dalam hubungan yang mengatur antar individu. Menurut tradisi sangatlah aib jika perempuan belum melakukan pernikahan padahal dia telah memiliki pasangan. Maka menjadi suatu kewajiban atasnya untuk segera meresmikan hubungan melalui jalur pernikahan, guna menghindari dari kehinaan, tradisi lama yang masih dipertahankan oleh masyarakat Arab ini terlihat dalam kutipan berikut: ;r3E?< t! 1EX ~nL< ;س انY! ا1, EY!;دة ه\ا اX 1, و_ن،;r3%& 1, `YmEb t! ان !\ة ( 90 :1234) “Seharusnya gadis seumur Lazzah tidak lagi sendiri ,sebagaimana kebiasaan manusia (suku kita) sudah dicarikan pendamping”
Dalam masyarakat Timur Tengah hubungan laki-laki dan perempuan tidak terjadi kecuali dalam ikatan darah dan pernikahan. Pernikahan merupakan jalan ketika keterjalinan hubungan dengan lawan jenis sebagai upaya untuk menjaga nama baik dan menjalankan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
74
Bagi masyarakat Arab, nilai kehormatan terletak pada diri dan anggota keluarganya, terutama pada kaum perempuan. Perempuan merupakan harta – kekayaan, kemuliaan yang keberadaannya harus dijaga, maka menjadi aib jika perempuan menjalin hubungan khusus dengan lawan jenis tanpa ikatan sakral pernikahan. Sehingga tak jarang antara lelaki dan perempuan tidak saling mengenal, kecuali mereka yang memiliki hubungan kekerabatan atau pernikahan. Berdasarkan kutipan dan penjalasan di atas, penegasan identitas menjadi begitu penting sebagai usaha mempertahankan dan menyelamatkan diri dari tradisi baru. Ketertutupan terhadap tradisi baru menyebabkan terkungkungnya kreativitas kemanusiaan. Dalam pandangan oksidentalisme, keterkaitan hubungan dengan tradisi lama sehingga menyebabkan terputusnya dengan tradisi baru juga merupakan suatu kesalahan karena seharusnya tradisi baru menjadi alat banding dan saling mengisi.
3.2.2. Novel Ukhruj Minha Ya Mal’un Sebagai Pembangun Kesadaran Kolektif Timur Tengah Sebagai upaya untuk menggiring opini publik dari lunturnya kesadaran yang memiliki sejarah dan ikatan kuat yang ada dalam budaya masyarakat Timur Tengah, novel ini pun terlahir sebagai alternatif yang menawarkan kembalinya kesadaran kolektif masyarakat Timur Tengah. Media sastra merupakan pilihan yang tepat, karena dengannya diharapkan muncul pengaruh yang dapat menjadi inspirasi bagi mereka yang memiliki ikatan emosional dengan budaya Timur Tengah untuk melakukan perlawanan kembali kepada Amerika, bahkan dapat menjadi mesin penggerak bagi mereka dalam memegang teguh warisan budaya dan mempertahankan identitas budaya Timur Tengah. Selain berdampak pada mereka yang memiliki ikatan emosional dengan budaya Timur Tengah, kekhawatiran terhadap lenyapnya identitas budaya menjadi bagian penting dari lahirnya novel ini. Tidak dapat dipungkiri, ketika terjadi persentuhan budaya maka sedikit banyak akan mempengaruhi budaya asli. Ini dapat diartikan bahwa lambat laun, tidak menutup kemungkinan masyarakat
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
75
Timur Tengah berpaling kepada kebudayaan dan tradisi baru (dalam hal ini adalah budaya asing). Hal ini pun berlaku pula pada tokoh-tokoh yang digambarkan dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un, tokoh-tokoh yang ada di dalamnya seperti terbagi ke dalam dua kelompok, yakni ada yang meninggalkan tradisi lama dan ada juga yang mempertahankannya. Nampak jelas terlihat, novel ini membangun kesadaran kolektif masyarakat Timur Tengah melalui tokoh-tokoh yang masih mempertahankan identitas ketimur-tengahannya. Penampakan bentuk-bentuk kesadaran terlihat pada munculnya gerakan untuk mempertahankan diri dari rongrongan yang datang dari luar sebagai bentuk perlawanan dan ideologi-ideologi yang berdasar pada nilai-nilai ketimur-tengahannya yang berakar kuat. Adapun dalam novel ini kesadaran kolektif masyarakat Timur Tengah tercermin dalam dua bagian besar, yaitu upaya membangun kesadaran melalui nilai-nilai sosial budaya dan upaya membangun kesadaran melalui penegasan identitas Timur Tengah. Hal ini tampak dalam gambaran tokoh-tokoh yang masih kuat menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya Timur Tengah.
3.2.2.1. Membangun kesadaran melalui nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat Timur Tengah Novel Ukhruj Minha Ya Mal’un menampilkan gambaran sebuah kelompok masyarakat yang masih kental dalam menjaga dan melestarikan tradisi budayanya, sebuah penggambaran yang mencerminkan bahwa kehidupan masyarakat sangat bergantung pada nilai-nilai budaya yang mereka yakini seperti, pengaruh nilai religiusitas yang menyentuh sisi budaya mereka. Adanya keterkaitan secara sosial dan kultural yang menjadi cikal bakal pembentukan watak kolektif masyarakat Timur Tengah. Tradisi dan budaya yang telah melembaga begitu lama karena telah terbentuk berabad-abad silam menjadi kebanggaan dalam sanubari masyarakat. Paham keberagamaan dan ideologi penguasa adalah penentunya karena keberadaan seorang pemimpin merupakan perpanjangan tangan Tuhan di bumi. Berhasil atau tidaknya suatu suku (masyarakat, secara lebih luas) ditentukan oleh
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
76
kepiawaian pemimpin dalam membawa sukunya. Awal kehancuran sebuah suku adalah ketika pemimpinnya seorang yang lemah, yang tidak mampu mengayomi rakyatnya, dan tidak memiliki ikatan kuat dengan tradisi budayanya, hal ini tergambar dalam kutipan berikut: u!; إr&Js |;ءلb uQ4 ،; ه,ة أg وو،;rه$a; ووr:$2s Oe +, O|b )أتK ;rYm! … )واc@ ) أنOK ،;;هE4; وrb ا2: 1X; وrYX ا$O@ أن <)اu?X 1< *;در2A ;r!;a) ا!\ي {;ر رn!ا ]z& ; أنr!g; وإذrK الdr! اU{ وuQ4 …9LYa_; اrK ;نrQI;@ ،;r2&;O, B&;2{ u?X )رةc!ا (152 :1234) ;r2?X T ً 2c34 9LYa_ا “…Kalau para pemimpin dan para pemuka adalah orang-orang lemah, suku ini pun akan lemah pula. Sampai pada akhirnya pemimpinnya tak bisa lagi mengayomi bagi rakyatnya sebab dia tak bisa menjaga nuraninya. Di saat itulah dia akan meminta bantuan asing ikut campur urusan suku dan memeras rakyat demi memenuhi kebutuhan asing itu… sampai pada batas penghambaan dan perendahan diri kepada pihak asing seperti yang dilakukan Hasqil.”
Dalam kutipan tersebut disinggung tentang pola kepemimpinan dan pengaruhnya yang sangat penting dalam menentukan suatu sikap atau kebijakan. Jika sifat pemimpin tersebut lemah dan tidak tegas, maka pihak asing sangat berpeluang luas untuk ikut campur dalam urusan internal. Lazzah memberi gambaran tentang pentingnya posisi seorang pemimpin –posisi strategis seorang pemimpin, dalam menjadikan yang dipimpinnya berada pada posisi lemah atau kuat. Jika seorang pemimpin adalah seorang yang lemah maka saat itulah sang pemimpin akan meminta bantuan pihak asing akibat kelemahannya dalam memimpin dan karena tidak bisa menjaga nuraninya sebagai bagian dari budaya masyarakatnya. Upaya Lazzah untuk menghindari keadaan ini adalah dengan mengembalikan kepada nilai-nilai tradisi budayanya al-ana, bahwa seorang pemimpin hendaklah seorang yang kuat, yang berasal dari budayanya, dan yang menjadikan nilai-nilai luhur budayanya sebagai landasan bagi setiap sikap dan keputusan yang akan diambilnya.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
77
Seorang pemimpin yang telah terkontaminasi oleh pikiran-pikiran dan sifat-sifat yang berasal dari tradisi baru bagi Lazzah adalah awal kehancuran, karena baginya hal itu akan memicu lahirnya pertentangan dalam tubuh kelompok, suku, atau wilayah yang dipimpinnya, sebagaimana yang terjadi pada pola kepemimpinan Hasqil, hal itu dipertegas dalam kutipan berikut: ةs;O, 1, اء$I ،;Y2&;O,; وY&;E< اu?X G32! B2LYa;ع اLjK t;رهm@ واtrX;L^ ?QCb ;,)YX )Pb g B!}و: او..u&دg)ه; ا4 B2!;O! ا9&;OE! ا1, %nb g B!}و: 1, ;< * <] اوObو :1234) ;r2?X @;nY! 9n|& وCQ%&; وrK dQO& 9Q! ا9&;OE!)&; وا2!;cb u! ا9EQYb ;r3%& ( 153 “Ketika jiwa dan pikiran mereka dirasuki sifat-sifat memalukan sebab pikiran dan tabiat mereka dicemari dengan tabiat asing yang bertentangan dengan keimanan kita, sama halnya dengan ketidakmampuan dalam menjaga nilai-nilai luhur yang kemudian menjadi hina…dan ketidakmampuan dalam menjaga nilai-nilai luhur inilah yang menjadi penyebabnya”.
Masyarakat Timur Tengah sangat kental terhadap tradisi lamanya seperti sangat menjaga keimanannya, mereka tidak mau tradisi mereka dicemari dengan tabiat asing yang bertentangan dengan tradisinya. Bahkan jika sampai tercemari, mereka menganggap itu adalah sebuah kesalahan. Karena kelompok asing dengan sejuta tak-tiknya untuk terus berupaya menancapkan kukunya dengan kolonisasi ideologi bawah sadar tanpa menimbulkan konfrontasi, suatu cara yang memberikan keuntungan ganda kepada mereka untuk berkuasa. Upaya penguasaan pihak asing terhadap suku-suku tidak hanya dalam bentuk kekerasan fisik yang terlihat, tetapi dengan berbagai kekerasan yang sifatnya simbolik. Ketidakmampuan dalam berpegang pada tradisi atau budayanya menyebabkan semakin terperosok dalam budaya asing, sehingga tidak sadar lagi dengan budaya yang melahirkannya. Upaya Lazzah untuk melakukan seruan kembali kepada nilai-nilai luhur budaya al-ana adalah untuk membebaskan diri dan memperoleh kemerdekaan baik secara fisik ataupun mental, spiritual, dan moral. Bagi Lazzah, tradisi budaya al-ana memuat sejarah yang besar tentang pengalaman nenek moyang mereka
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
78
yang pernah menjadi pusat kebudayaan dan peradaban untuk kembali diwujudkan –reinkarnasi, dihidupkan kembali dengan menjaga dan tetap menjadikannya sebagai acuan. Upaya Lazzah ini tergambar dalam kutipan berikut: ،BK;r, وdX 1, ;rI;& `2?X ;, )رcK ،BK;r, وdX ;ه; ذوE4 و،)2P, F<;رb ; ذاتYQ?2L* إن :1234) ;ًE2X ًا و2L ًا آ2@ و12OEa;س أY! ه; ا!\ي أ{;ب ا2: وآ;ن،;r!;a رtrQ,)c, 9@و ( 152 “Suku kita memiliki sejarah yang besar. Suku ini dipimpin oleh orangorang yang punya harga diri dan wibawa tinggi. Penduduknya adalah orang-orang yang menjungjung harga diri dan kemuliaan”. Rasa kebanggan yang tinggi terhadap harga diri dan wibawa yang dimiliki oleh pemimpinnya menandakan bahwa sukunya adalah yang paling hebat. Itu berarti bahwa pemimpinnya sangat layak dipilih oleh rakyatnya karena telah memenuhi kriteria untuk menjadi seorang pemimpin dari suku yang hebat. Terlebih lagi mereka sangat mendahulukan pemimpin yang berasal dari putra suku sendiri yang dianggap bisa menentukan nasib yang lebih baik bagi sukunya. Hal ini disebabkan karena mereka tidak mau mengulang nasib buruk yang serupa dengan pemimpin terdahulu yang notabane tidak memiliki ikatan emosional yang sama. Yang pada akhirnya mereka jatuh ke tangan asing, dan terpecahlah suku mereka. Keberadaan al-akhar di tengah-tengah al-ana bagi Lazzah hanya menyisakan perpecahan, karena dengannya al-ana tidak dapat menemukan harapan-harapan indahnya, kehidupannya, masa kininya, masa depannya, sehingga hanya menciptakan sejarah muram bagi al-ana. Kemunculan al-akhar disikapi Lazzah dengan cara membedakannya secara prinsipil agar tidak mengkotori al-ana. Kondisi semacam ini mununjukan bahwa kesadaran kolektif yang tercermin dalam penyadaran sebuah identitas lebih cenderung dimediasi oleh citra-citra yang ditampilkan yang memiliki peran besar dalam proses kontruksi identitas. Sehingga novel ini merupakan salah satu bentuk yang menjadi alat
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
79
untuk melakukan kategorisasi, identifikasi, dan pembandingan sosial dalam proses konstruksi identitas. Pembebasan dari pengaruh asing menjadi suatu ideologi yang tidak hanya diproyeksikan sebagai ideologi pembebasan dari segala bentuk kolonialisasi terhadap bangsa Arab, tapi juga landasan politik yang memproyeksikan terangkatnya derajat keunggulan dan keutamaan bangsa Arab di atas bangsa lainnya.
3.2.2.2. Membangun kesadaran melalui penegasan identitas Timur Tengah Identitas Timur Tengah yang digambarkan dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un tidak hanya dicitrakan sebagai sebuah identitas an sich yang membedakannya dengan yang lain, lebih dari itu identitas yang digambarkan seakan ingin menunjukan sebagai sebuah identitas yang memiliki nilai. Persoalan yang muncul terkait dengan pengandaian identitas tunggal ini, tentu saja bukan tanpa hambatan. Kendatipun demikian, generalisasi kebudayaan memiliki efektivitas luar biasa dalam membentuk cara berpikir masyarakat. Persoalan identitas bagi Hanafi merupakan salah satu permasalahan pokok dalam menghadapi tradisi baru dan pengaruhnya. Penegasan identitas berarti penegasan al-ana dalam menghadapi al-akhar, dengan melakukan penegasan orisinalitas dalam menghadapi kebudayaan-kebudayaan baru. Semakin kuat gempuran tradisi baru maka semakin kuat pula keteguhan dalam memelihara dan menjaga identitas. Penegasan identitas itu muncul dalam novel seperti tampak pada kutipan berikut ini:
( 150:1234) B?2Lc! اF2s ان$YX UEnb w& أtA ر،;YQ?2L* 1, G3! و،9LYa أ،U2c34 ;< ،G&أ “Hasqil, kamu adalah orang asing kamu bukan bagian dari suku ini, meski kamu bergelar kepala suku”
Kutipan tersebut seolah-olah mengingatkan bahwa walaupun Hasqil orang Timur Tengah dan berasal dari asal suku yang sama, tetapi karena Hasqil bersekutu dengan orang Romawi dan mengikutinya, maka dia dianggap sebagai Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
80
orang asing, yang tidak pantas memimpin sukunya. Hasqil telah meninggalkan identitas budaya untuk kemudian melebur pada budaya lain dalam lingkupnya sebagai seorang individu maupun seorang pemimpin. Keterputusan dengan akar budaya dan keterpecahan kepribadian membuat Hasqil menjadi ‘yang lain’ al-akhar. Untuk menyikapi hal tersebut, Lazzah menyandarkan diri pada akar budayanya sebagai kerangka rujukan dalam memahami dan menyikapi Hasqil. Lazzah menampilkan bahwa al-ana memiliki kerangka rujukan teoritis tersendiri yang bersumber pada nilai-nilai tradisi budayanya dalam memandang al-akhar dengan menjadikan al-akhar disandarkan kepada kerangka rujukan teoritis tersebut secara kontinu. Lazzah
dalam
pandangan
oksidentalisme
Hanafi,
telah
berhasil
menjadikan tradisi lama sebagai kerangka rujukan awal dan akhir bagi setiap serbuan tradisi baru. Lazzah melakukan ini dengan cara mengembalikan kepada tradisi lama untuk kemudian menegaskan identitas budayanya. Penegasan identitas yang dilakukan oleh Lazzah mencerminkan bahwa ia termasuk kepada kelompok yang mengaitkan diri dengan tradisi lama shilah al-ittishal. Hal ini merupakan pencerminan bahwa penegasan identitas yang terjadi pada masyarakat Arab merupakan upaya untuk membendung dari serbuan tradisi baru. Lazzah tidak berkenan sukunya –kaumnya dipimpin oleh asing. Ia sangat keras terhadap asing karena ia sadar bahwa keberadaan dan campur tangan asing hanya menyisakan masalah untuk mereka. Dalam bagian lain, penegasan identitas juga tampak seperti pada kutipan di bawah ini: 1, `2?X G&; أ, u?X ن$mQ! `X;^ أ1E! ;ًX;j, ً ا,)ر أz< ا! وم أنB?2L* F2s ;عjQIا ( 151 :1234) ;Y2?X 2! وwX;^ أ1, u?X ،B?2Lc! اF2s ;ل4و{ و “Kepala suku Romawi bisa memberikan titah bagi orang yang mau tunduk padanya, bukan bagi kami”
Kata “kami” merupakan penegasan identitas bahwa sebagai masyarakat yang memiliki akar budaya, tidak mau tunduk atau menuruti asing, termasuk kepada Romawi -suku terkuat dan tak bisa terkalahkan. Mereka menganggap
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
81
asing tidak akan mengerti tentang apa yang mereka butuhkan karena asing tidak memiliki asal-usul yang sama dengan mereka. Jelas terlihat perbedaan dalam menyikapi tradisi baru antara mereka yang menjadikan kepentingannya di atas segalanya dan yang menjadikan nilai-nilai dalam tradisi budayanya sebagai acuan yang mendasari tindakannya. Mereka yang menjadikan kepentingan pribadinya sebagai acuan, maka sikap yang muncul ketika berhadapan dengan tradisi baru adalah dengan meleburkan dirinya untuk kemudian menemukannya terasing di dalam tradisi tersebut. Sedangkan bagi mereka yang menjadikan tradisi budayanya sebagai acuan, mereka akan lebih tegas dan jelas dalam melihat tradisi baru yang dipenuhi dengan muatan-muatan kepentingan tertentu. Penegasan Identitas tersebut terlihat dalam kutipan di bawah ini: ;Y3%&;K ;Y&Js Un& ; امYC2D! ;&;ر2Q:` اa$<; وYQD*;Y, 9?X 9LYa ف اD< نJK ULc& Uه ( 81 :1234) ;؟YQ,$EX ;ءYK ا1, )4 اف واs;Kو “Apakah kita bisa menerima orang asing mengarahkan urusan kita serta mengarahkan pemilihan kepala suku kita atau kita akan menyelesaikan persoalan kita sendiri dengan arahan salah seorang dari suku kita?”
Hal ini dapat dipahami bahwa penegasan identitas terhadap tradisi asing/baru menjadi suatu yang tak dapat terelakkan sebagai upaya pertahanan diri, upaya resistensi diri. Lazzah menggambarkan bagaimana identitas budayanya telah tertancap kuat sehingga ia tegas dalam melihat budaya asing yang datang. Ketika kekuasaan asing telah merasuk ke dalam jaringan pikiran individu maka identitas akan jadi taruhannya. Dia tak lagi melihat tradisi asal sebagai bagiannya dan tak perlu ditaati, bahkan akan menjadi asing dalam tradisinya sendiri. Kondisi ini melahirkan kekeroposan dan kekosongan yang terjadi karena penggerogotan dari dalam tubuh. Para pemuda menjadi bagian penting karena akan dijadikan agen penerus gerak bawah tangannya untuk melumpuhkan baik dari dalam maupun dari luar. Lazzah berusaha membangun kesadaran para
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
82
pemuda untuk turut serta melakukan penolakan terhadap kekuasaan Hasqil dan Romawi dengan melakukan penyadaran-penyadaran yang berakar pada tradisi budayanya. Seorang pemegang kekuasaan yang bukan berasal dari suku yang dipimpinnya cenderung akan mengutamakan kepentingannya sendiri. Mereka hanya akan megorbankan orang lain baik dari suku yang dipimpinnya sendiri atau yang lain karena mereka tidak mau mengorbankan dirinya sendiri. Sedangkan pemimpin yang berasal dari sukunya akan memiliki prinsip megutamakan suku yang dipimpinnya. Hal ini diperkuat seperti pada kutipan berikut ini: ( 121 :1234) …;دئLE!;ب اn{ & ة ا2A ...!;zE!;ب اn{ان & ة ا "Pandangan orang yang mengedepankan kepentingan…berbeda dengan pandangan orang yang berprinsip...”.
Cara pandang masyarakat Timur Tengah ini menunjukan penolakan mereka terhadap kekuasaan yang datang dari luar tubuhnya. Hal ini ditunjukan dengan bentuk-bentuk prilaku yang mengharuskan mereka untuk tidak menerima apapun yang datang dari luar. Upaya yang selalu dilakukan sebagai dasar penolakan itu adalah dengan mengembalikan kepada sejarah dan tradisi budaya leluhur mereka. Keunggulan suatu kebudayaan akan sangat tergantung pada pemegang tampuk kekuasaan yang bekerja sama dengan masyarakat dalam membangun kebudayaannya yang mengacu pada nilai-nilai budaya yang dimilikinya. Hal ini akan berbeda jika pemegang kekuasaan tidak berasal dari kelompok yang sama, hal itu terjadi karena tidak adanya kesamaaan sehingga tidak terbentuk rasa emosional terhadap kelompok yang dipimpinnya. Gambaran yang menjadikan sejarah kegemilangan dalam tradisi lama terlihat dalam kutipan berikut: ;,)YX …;هdX وB?2Lc!;ة اE4 ا$&; آ2 وآt)ادآa)ي وأa *$, وB2X$& ن$@ Ob tmYm!… (153 :1234) ;r2?X trb;2!}و3, ن$I;رE< ;ت%z! اw?b u?X ا$&;آ
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
83
“…Kalian tahu bagaimana sikap kakekku dan kakek kalian bagaimana mereka menjaga dan memuliakan suku ini… karena mereka menjaga sifat-sifat mulia dan bertanggung jawab.”
Sejarah bagi masyarakat Timur Tengah memiliki makna yang sangat penting sebagai sebuah acuan dalam kehidupan. Romantisme kegemilangan sejarah masa lalu dijadikan alat dalam upaya melakukan berbagai bentuk penolakan terhadap budaya yang datang dari luar. Menurut mereka hanya
dengan
melakukan
perlawanan terhadap
imperialisme dalam bentuk berpegang pada tradisi dan menegaskan identitaslah, maka suku-suku Arab akan terbebas dari cengkeraman kekuasaan asing. Kenyataan ini membuka kesadaran baru yaitu pembebasan bangsa Arab dari pengaruh luar. Dalam hal ini, identitas Timur Tengah menjadi suatu hal yang penting yang menjadi basis perlawanan. Pembatasan diri atas pengertian tersebut terlihat seperti sebuah sistem yang menunjukan pola budaya yang kaku dengan cara menutup diri dari budayabudaya luar. keterbukaan terhadap kebudayaan luar senantiasa terpagari oleh sistem budaya tersebut. Tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan adanya keberhasilan dalam proses keterbukaan budaya, jika terdapat kesediaan dalam melihat bahwa di luar kebudayaan mereka terdapat kebudayaan lain. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan terhadap teks Ukhruj Minha Ya Mal’un melalui konsep Hanafi, nampak bahwa kekakuan budaya masyarakat Timur Tengah menjadi sebuah bentuk pembelaan diri terhadap inferioritas mereka yang berhadapan dengan kekuatan budaya luar. Pengentalan identitas yang mereka upayakan ditujukan untuk meredam kekuatan budaya yang tidak sanggup mereka bendung. Pola budaya tersebut memeberlakukan budaya yang mengisolasi diri dengan cara menjaga jarak dari budaya luar dan mereka menolak sesuatu yang seharusnya sesuai dengan ketentuan budaya mereka. Anggapan bahwa dengan cara menegaskan identitas melalui pengentalan budaya dan kemudian menutup diri secara tidak langsung menjadikan mereka semakin asing ditengah-tengah kebudayaan dunia yang heterogen.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
BAB IV KESIMPULAN
Terdapat dua hal penting dalam penelitian perspektif oksidentalisme Hanafi dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un karya Saddam Hussein. Hal penting tersebut adalah estetika perlawanan Timur Tengah terhadap Barat serta perspektif oksidentalisme Hanafi yang terlihat dalam novel tersebut yang tercermin dalam sikap tokoh dalam menghadapi kebudayaan Barat. Representasi Timur Tengah dalam karya sastra Arab merupakan penggambaran dunia Timur Tengah dengan memakai kerangka berpikir Timur. Penggambaran masyarakat Timur Tengah sebagai sebuah identitas budaya melahirkan semangat yang diwujudkan dalam sebuah ajaran dan berbagai bentuk tradisi budaya yang dipegang kuat oleh masyarakatnya. Untuk melihat dua hal penting dalam penelitian ini dilakukan dua tahap. Pertama, estetika perlawanan Timur Tengah terhadap Barat dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un didapat dengan analisis deskriptif dengan pendekatan identitas budaya, yang didalamnya termuat penggambaran identitas Timur Tengah. Kedua, perspektif oksidentalisme Hanafi yang terlihat dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un diperoleh dengan analisis terhadap data-data dalam novel yang didasarkan pada konsep oksidentalisme Hanafi. Dalam upaya membangun identitas tersebut, diperlukan upaya ekspresi diri kelompok dengan ciri identitasnya. Identitas digunakan untuk menjelaskan berbagai cara diposisikan dan memposisikan diri. Sebagai sebuah konsep, penggambaran identitas tersebut mengacu pada pembentukan dan pelanggengan batas-batas kultural dan memiliki penekanan pada sejarah dan budaya masyarakat Timur Tengah. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan terhadap teks novel Ukhruj Minha Ya Mal’un, ditemukan bahwa pola yang menonjol dalam kajian adalah proses pengentalan identitas Timur Tengah dalam berhadapan dengan kebudayaan lain. Anggapan ini membuat mereka mencoba menegaskan identitas budaya yang dianggap esensial, yang ditunjukan dengan adanya upaya keras dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya dan nilai-nilai sosialnya. Warisan tersebut telah
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
85
mendarah-daging sehingga tidak bisa dipisahkan dari setiap jiwa masyarakat Timur Tengah. Pembahasan pada bagian estetika perlawanan Timur Tengah dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un ini menyiratkan adanya berbagai bentuk penegasan identitas budaya mereka dan perlawanannya terhadap Barat. Pada bagian ini terdapat gambaran besar tentang hal-hal yang membangun dan membentuk identitas Timur Tengah. Penegasan identitas budaya yang diasumsikan sebagai sesuatu yang utuh melalui fundamentalisme religius, tradisi menjaga nasab, tradisi menerapkan hukuman, tradisi hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lain guna mencari sumber kehidupan, tradisi dalam memuliakan tamu, etika berperang, dan lain sebagainya yang ditampilkan memiliki sifat yang baku. Akibatnya, timbulah kesadaran
yang memicu
lahirnya berbagai
bentuk
kesadaran
terhadap
cengkeraman budaya dominan. Hal ini terjadi karena jendela budaya yang berbeda, sehingga kehadiran budaya lain tak ayal dianggap sebagai saingan yang harus diwaspadai. Berdasarkan hal itu, kesadaran akan identitas diri memicu lahirnya kesadaran untuk tidak dijajah, maka munculah kesadaran lanjutan seperti konflik sebenarnya adalah siasat penjajah dalam upaya memicu lahirnya penjajahan, penjajahan ekonomi dengan cara memonopoli dan memberikan bantuan dalam bentuk pinjaman yang akhirnya hanya akan membuat semakin lemah, serta keterbukaan terhadap intervensi asing melahirkan kehancuran bagi yang diintervensi. Kesadaran-kesadaran itu timbul karena adanya upaya untuk melihat kembali identitas budayanya dan kemudian disikapi dengan menjalankan dan menjaga nilai-nilai yang ada didalamnya. Konsep kebudayaan lahir dari proses penciptaan karena makna yang terbentuk sangat tergantung dari cara merepresentasikannya. Kebudayaan tidak bersifat statis artinya kebudayaan selalu berproses, tradisi lama dalam suatu kebudayaan akan memicu lahirnya reaksi yang berbeda, salah satunya adalah memicu lahirnya tradisi baru. Dalam praktiknya, reaksi terhadap kebudayaan yang terwujud dalam bentuk representasi tidak dengan serta merta berjalan tanpa
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
86
hambatan, ini dapat diartikan bahwa selalu ada perbedaan dalam menyikapi sebuah kebudayaan. Hal ini terlihat dari tokoh-tokoh yang digambarkan seperti terbagi ke dalam dua kelompok, yakni ada yang meninggalkan tradisi lama dan ada juga yang mempertahankannya. Tradisi lama berakar pada nilai-nilai religiusitas dan nilai-nilai sosial yang diturunkan secara turun temurun yang berlaku dan dijaga dalam masyarakat Timur Tengah sebagai pedoman hidup. Sedangkan tradisi baru adalah tradisi yang lahir di luar tradisi lama, tradisi ini berakar pada tradisi budaya lain dan lahir sebagai reaksi penolakan terhadap tradisi lama. Sikap yang memutuskan hubungan dengan tradisi lama dan mengaitkan hubungan dengan tradisi baru merupakan bentuk penolakan sebagai sikap keterputusan terhadap tradisi lama. Keterputusan ini terjadi karena tidak lagi menjadikan tradisi lama sebagai tolok ukur dengan tidak mengindahkan segala ketentuan yang berlaku dalam tradisi lama sebagai sebuah prinsip yang mendasar. Sikap yang mengaitkan hubungan dengan tradisi lama dan memutuskan hubungan dengan tradisi baru merupakan bentuk penerimaan sebagai suatu keterkaitan terhadap tradisi lama. Reaksi ini secara jelas menampakkan pemutusan hubungan dengan tradisi baru. Upaya-upaya menentang terhadap tradisi baru melalui penegasan identitas dan pembentukan identitas kolektif sebagai jalan keluar menghadapi serangan-serangan dominasi tradisi baru. Hal ini dapat terjadi karena adanya tindakan-tindakan yang menjadikan tradisi lama sebagai jalan hidup. Tradisi lama menjadi bukan sekadar berisi ajaran-ajaran luhur yang transenden, melainkan juga sebagai petunjuk dalam melakukan tindakantindakan sehari-hari. Nampak jelas terlihat, novel ini membangun kesadaran kolektif masyarakat Timur Tengah melalui tokoh-tokoh yang masih mempertahankan identitas ketimur-tengahannya. Penampakan bentuk-bentuk kesadaran terlihat pada munculnya gerakan untuk mempertahankan diri dari rongrongan yang datang dari luar sebagai bentuk perlawanan dan ideologi-ideologi yang berdasar pada nilai-nilai ketimur-tengahannya yang berakar kuat. Dengan demikian, sebagai upaya untuk mengingatkan dari lunturnya kesadaran yang memiliki sejarah dan ikatan kuat yang ada dalam budaya
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
87
masyarakat Timur Tengah, upaya ini tercermin dalam dua bagian besar, yaitu upaya membangun kesadaran melalui nilai-nilai sosial budaya dan upaya membangun kesadaran melalui penegasan identitas Timur Tengah. Gambaran sebuah kelompok masyarakat yang masih kental dalam menjaga dan melestarikan tradisi budayanya, sebuah penggambaran yang mencerminkan bahwa kehidupan masyarakat Timur Tengah sangat bergantung pada nilai-nilai budaya yang mereka yakini seperti, pengaruh nilai religiusitas yang menyentuh sisi budaya mereka menjadi cikal bakal pembentukan watak kolektif masyarakat. Demikianlah pembahasan tentang representasi Timur Tengah dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un karya Saddam Hussein. Masih banyak aspek yang dapat dikaji lebih lanjut, salah satunya adalah visi atau pemikiran Saddam Hussein dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un dikaitkan dengan latar belakang kehidupannyanya sebagai mantan Presiden yang dikalahkan oleh musuh politiknya. Semoga penelitian ini dapat menjadi sumbangan dalam rangka penelitian representasi Timur Tengah yang tercermin dalam karya sastra Arab.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
88
DAFTAR REFERENSI
Abdalla, Ulil Abshar. (2002). Islam dan Barat; Demokrasi dalam Masayarakat Islam, Jakarta: Friedrich-Naumann-Stiftung (FNS) Indonesia dan Pusat Studi Islam Paramadina. Al Attas, Syed Muhammad Naquib. (2001). Risalah; untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: Institut Antarabangsa Pemikiran dan Tamaddun Islam. Al Faruqi, Ismail Raji. (1999). Seni Tauhid; Esensi dan Ekspresi Estetika Islam. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Al Mudarris, ‘Alauddin, (2004). Huru Hara Irak; Isyarat Akhir Zaman, terjemahan dari judul Tahta Ramaad al Harb al ‘Ashifah; Asraar Harb al ‘Iraq oleh Tim SAFIR Medan, Jogjakarta: Cahaya Hikmah. Allen, Roger. (2008). Arab dalam Novel, terjemahan dari The Arabic Novel; An Historical and Critical Introduction oleh Irfan Zakki Ibrahim, Jogjakarta: eNusantara. Aminuddin. (1995). Stilistika; Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra, Semarang: IKIP Semarang Press. Anderson, Benedict. (2008). Imagened Communities; Komunitas-komunitas Terbayang, Jogjakarta: Insist Press. Arifin, Zaenal. (2007). Biografi Saddam Hussein; Inspirasi Perlawanan terhadap Amerika Serikat, Jogjakarta: Narasi. Atmazaki, (1990). llmu Sastra; Teori dan terapan, Padang: Angkasa raya. Azra, Azyumardi. (2002). Historiografi Islam Kontemporer; Wacana, Aktualitas, dan Akar Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Damono, Sapardi Djoko. (1984) Sosiologi Sastra, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. ____________________. (1994). Sastra, Politik, dan Ideologi, Pidato Disampaikan pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap pada Fakultas Sastra Uinversitas Indonesia Depok. Eagleton, Terry. (2006). Teori Sastra; Sebuah Pengantar Komprehensif, terjemahan dari judul Literary Theory: An Introduction, 2nd Edition oleh Harfiah Widyawati dan Evi Setyarini, Jogjakarta: Jalasutra. Endraswara, Suwardi. (2003). Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi, Jogjakarta: FBS Universitas Negeri Jogjakarta. Haikal, Muhamad Husein. (1990). Pemerintahan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
89
Hall. Stuart. (1990). Cultural Identity and Diaspora dalam J. Rutherford (ed.), Identity, Community,Culture, Difference. London: Lawrence and Wishart. __________. (1997). Representation; Cultural Representation and Signifying Practices, New Delhi; Sage Publication. Hanafi, Hasan. (1991). Muqaddimah Fi Ilm al Istigrab, Mesir: Dar al Faniyah _____________. (2000). Oksidentalisme; Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, Jakarta: Paramadina. _____________. Humum al Fikr wa al Wathan, vol. II, Kairo: Dar Kebaa Bookshop, 1998. Hodgson, Marshall G.S. (2002). The Venture of Islam; Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia Masa Klasik Islam. Jakarta: Paramadina. Hussein, Saddam. (2003). Ukhruj Minha Ya Mal’un, Baghdad ______________. (2006). Tarian Setan (Abdurahman, Penerjemah), Jogjakarta: Jalasutra. Ilyas, Abu Haidar dan Abdurahman Imran. (2003). Etika Islam; dari Kesalehan Individual Menuju Kesalehan Sosial, Jakarta: al Huda. Kuncahyono, Trias. (2004). dari Damascus ke Baghdad; Catatan Perjalanan Jurnalistik, Jakarta: Kompas. Madjid, Nurcholish. (1995). Islam Agama Peradaban; Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina. Martinus, Surawan. (2001). Kamus Kata Serapan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Moeliono, Anton M. (1988). Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaks. Mujani, Saiful dan Jajat Burhanudin. (2005). Benturan Peradaban; Jakarta: PPIM UIN Jakarta. Muthahhari, Murtadha. (1995). Kritik atas Konsep Moralitas Barat; Falsafah Akhlak, Bandung: Pustaka Hidayah. Kuncahyono, Trias. (2004). dari Damascus ke Baghdad; Catatan Perjalanan Jurnalistik, Jakarta: Kompas.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
90
Muzakki, Akhmad. (2006). Kesusastraan Arab; Pengantar Teori dan Terapan, Jogjakarta: Ar Ruzz. Ratna, Nyoman Kutha. (2007). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ___________________ . (2007). Estetika Sastra dan Budaya, Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Rutherford, Jonathan. (1990). Identity; Community, Culture, Difference, London: Lawrence and Wishart. Said, Edward W. (1995). Kebudayaan dan Kekuasaan; Membongkar Mitos Hegemoni Barat, terjemahan dari judul Culture and Imperialism oleh Rahmani Astuti, Bandung: Mizan. _____________. (1991). Orientalism, England: Penguin Books.
_____________. (1986). Penjungkirbalikan Dunia Islam, terjemahan dari judul Covering Islam oleh Asep Hikmat, Bandung: Pustaka. Safari, Muhammad. (2003). Perang Irak-AS; Hegemoni Baru AS di Timur Tengah dan Dampak Globalnya, Jakarta: Center for Middle East Studies. Sen, Amartya. (2006). Kekerasan dan Ilusi tentang Kekerasan, terjemahan dari Identity and Violence; The Illusion of Destiny oleh Arif Susanto, Jakarta: Margin Kiri. Shihab, Quraish. (2008). Tafsir al Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an, Jilid 3 cet ke-12, Jakarta: Lentera Hati. Shimogaki, Kazuo. (1993). Kiri Islam; Antara Modernisme dan Postmodernisme Telaah Kritis atas Pemikiran Hasan Hanafi, Yogyakarta: LKis. Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. (2004). Hermeneutika Pascakolonial; Soal Identitas, Jakarta: Kanisius. Sutiasumarga, Males. (2000). Kesusastraan Perkembangannya, Jakarta: Zikrul Hakim.
Arab;
Asal
Mula
dan
Taimiyah, Ibnu. (2000). Siyasah Syar’iyah; Etika Politik Islam (Rofi’ Munawwar, penerjemah), Surabaya: Risalah Gusti. Turner, Bryan S. (2008). Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat; Bongkar Wacana atas Islam Vis a Vis Barat, Orientalisme, Posmodernisme, dan Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
91
Globalisme (Sirojuddin Arief, M. Syukri, dan Inyiak Ridwan Muzir, penerjemah), Jogjakarta: Ar Ruzz.
Referensi lain: Dinamika e-book, (21 April 2010). Najib al Mahfudz, 02 april 2010. http://www.dinamikaebooks.com/author.php Munawwir, AW. (1997). Kamus al Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif. Salim, Erwin Y. (28 Desember 2006). Novel Terakhir Saddam Hussein, Gatra. 30 Januari 2008. http://www.gatra.com/artikel.php?pil=23&id=100729 Yunus, Mahmud. (1989). Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya Agung.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
Lampiran 1. Keterangan Istilah (Glosarium)
KETERANGAN ISTILAH (GLOSARIUM)
Al-Akhar al-Akhar dalam bahasa Arab bermakna ‘pihak lain’ atau the other. Istilah al-akhar yang dimaksud dalam terminologi Hanafi adalah dunia Barat dan Eropa. Sumber: Muqaddimah Fi Ilm al-Istighrab, Hasan Hanafi, Dar al-Faniyah, 1991.
Al-Ana Al-Ana dalam bahasa Arab bermakna ‘saya’. Istilah Al-Ana yang dimaksud dalam terminologi Hanafi adalah dunia Timur khususnya dunia Islam. Sumber: Muqaddimah Fi Ilm al-Istighrab, Hasan Hanafi, Dar al-Faniyah, 1991.
Al-Istighrab Al-istighrab merupakan bentuk masdar dari asal kata istaghraba yastaghribu istighraban yang bermakna yang asing atau yang tak dikenal. Istilah al-istighrab dalam bahasa Indonesia memiliki makna mempelajari atau mengkaji Barat. Sumber: Kamus Al-Munawwir, AW. Muanwwir, Pustaka Progressif, 1997.
Al-Mustasyriqun Al-mustasyriqun merupakan bentuk ism al-fail dari asal kata istasyraqa yastasyriqu istisyraqan yang bermakna mempelajari atau mengkaji Timur. Istilah al-mustasyriqun dalam bahasa Indonesia memiliki makna orang yang mengkaji Timur orientalist. Sumber: Kamus Al-Munawwir, AW. Muanwwir, Pustaka Progressif, 1997.
Al-Syarq
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
Al-syarq merupakan bentuk masdar dari asal kata syaraqa yasyruqu syarqan yang bermakna terbit. Istilah al-syarq dalam bahasa Indonesia memiliki makna Timur Sumber: Kamus Al-Munawwir, AW. Muanwwir, Pustaka Progressif, 1997. Kamus Arab Indonesia, Mahmud Yunus, Hidakarya Agung, 1989.
Alim Alim asal kata dari alima ya’lamu ilman yang bermakna mengetahui sesuatu. Alim adalah bentuk ism al-fail yang bermakna orang yang berilmu, orang yang mengetahui sesuatu ilmu. Sumber: Kamus Al-Munawwir, AW. Muanwwir, Pustaka Progressif, 1997. Kamus Arab Indonesia, Mahmud Yunus, Hidakarya Agung, 1989.
Al-Yasar al-Islami Al-Yasar al-islami atau dengan nama lain shahwa al-islam atau yaqdha al-islam merujuk pada kebangkitan islam. Al-yasar al-islami menyiratkan kesadaran yang dibangun oleh gerakan reformisme agama dengan maksud mentransformasikan kesadaran individual menjadi kesadaran kolektif. Al-yasar al-islami terinspirasi dari keberhasilan revolusi Islam akbar di Iran yang mengejutkan dunia, dimana rakyat muslim tegak kokoh melawan tekanan militer dan menumbangkan rezim Syah Iran atas nama ‘Islam dan kekuatan ‘Allah’ untuk menumpas kaum otoriter. Sumber: Kiri Islam; antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis atas Pemikiran Hasan Hanafi , Kazuo Shimogaki, LKis, 1993.
Ashabiyah Ashabiyah dalam pengertian ini bermakna rasa kesukuan dengan pengertian lain, ikatan yang didasarkan atas kesamaan garis keturunan dalam suatu suku. Menurut Ibn khaldun, elan vital bagi kebangkitan dan kemajuan peradaban adalah apa yang disebutnya ashabiyah, istilah ini sudah digunakan sejak masa pra-Islam tetapi dengan konotasi negatif, yakni fanatisme kekabilahan yang sempit yang menghalalkan segenap cara untuk mencapai tujuan mereka sendiri. Ashabiyah seperti sangat dikecam Nabi Muhammad karena bisa menjadi chauvinistis dan bahkan rasis. Ashabiyah dalam pengertian Ibn Khaldun mengandung beberapa pengertian, seperti rasa solidaritas, kesetiaan kelompok, bahkan nasionalisme. Ibn
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
Khaldun membedakan istilah Ashabiyah ini ke dalam dua kelompok yaitu Ashabiyah yang berkaitan dengan kelompok manusia berbudaya hadhar dan Ashabiyah yang berkaitan dengan kelompok manusia primitif badw. Sumber: Historiografi Islam Kontemporer; Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah, Azyumardi Azra, Gramedia Pustaka Utama, 2002. Kamus Arab Indonesia, Mahmud Yunus, Hidakarya Agung, 1989. Muqaddimah Fi Ilm al-Istighrab, Hasan Hanafi, Dar al-Faniyah, 1991.
Ijtihad Ijtihad asal kata dari ijtahada yajtahidu ijtihadan artinya berusaha dengan sungguh-sungguh. Dalam konteks ini ijtihad dipahami sebagai usaha tekun memikirkan agama agar bisa operasional dalam kehidupan manusia Sumber: Kamus Al-Munawwir, AW. Muanwwir, Pustaka Progressif, 1997. Kamus Arab Indonesia, Mahmud Yunus, Hidakarya Agung, 1989.
Illah Illah bentuk jamaknya adalah alihatun bermakna Tuhan yang disembah. Sumber: Kamus Al-Munawwir, AW. Muanwwir, Pustaka Progressif, 1997. Kamus Arab Indonesia, Mahmud Yunus, Hidakarya Agung, 1989.
Kulli Kulli asal kata dari kullun artinya menyeluruh, bersifat menyeluruh Sumber: Kamus Al-Munawwir, AW. Muanwwir, Pustaka Progressif, 1997. Kamus Arab Indonesia, Mahmud Yunus, Hidakarya Agung, 1989.
Murakkab al-‘uzhma
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
Istilah murakkab al-‘uzhma yang dimaksud oleh Hanafi adalah bahwa Barat benar-benar merasa dirinya superioritas dibanding kebudayaan lain other cultures. Kata murakkab merupakan bentuk ism al-maf’ul dari kata rakkaba yurakkibu takbiran bermakna yang tersusun. Istilah murakkab dalam bahasa Arab memilki makna rangkap, benar-benar. Contohnya jahlun murakkabun dalam bahasa Indonesia artinya ‘kebodohan yang rangkap, orang bodoh yang merasa dirinya pandai’. Sumber: Kamus Al-Munawwir, AW. Muanwwir, Pustaka Progressif, 1997.
Oksidentalisme Istilah oksidentalisme dipopulerkan oleh Hasan Hanafi –seorang pemikir muuslim modernis Mesir. Oksidentalisme secara sederhana dapat didefinisikan sebagai paham, pengetahuan, atau pandangan dunia Timur terhadap Barat atau lebih khusus lagi oksidentalisme bermakna pandangan dan pengetahuan dunia islam tentang dunia Barat. Oksidentalisme hadir sebagai antitesis dari orientalisme. Jika orientalisme adalah kajian tentang peradaban Islam oleh peneliti dari peradaban lain yang memiliki struktur emosi yang berbeda dengan struktur peradaban yang dikajinya, maka oksidentalisme adalah ilmu yang berseberangan dengannya. Hal ini yang menjadi tugas oksidentalisme yaitu dengan mengembalikan Timur pada tempat asalnya, menghilangkan keterasingannya, mengaitkan kembali dengan akar lamanya, menempatkan pada posisi realistisnya untuk kemudian menganalisanya secara langsung dan mengambil satu sikap terhadap peradaban Barat. Sumber: Muqaddimah Fi Ilm al-Istighrab, Hasan Hanafi, Dar al-Faniyah, 1991. Historiografi Islam Kontemporer; Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah, Azyumardi Azra, Gramedia Pustaka Utama, 2002. Kiri Islam; Antara Modernisme dan Postmodernisme Telaah Kritis atas Pemikiran Hasan Hanafi, Kazuo Shimogaki, Lkis, 1993. Orintalisme – al-istisyraq Orintalisme – al-istisyraq adalah Paham dan pengetahuan Barat tentang dunia Timur, Orientalisme bukan hanya sebuah wacana akademis, tetapi juga memiliki akar-akar politis, ekonomis, dan bahkan religius. Menurut Turner, tujuan orientalisme adalah mereduksi kompleksitas kenyataan Timur ke dalam susunan tipe-tipe, karakter-karakter, dan ketentuan-ketentuan yang pasti. Dengan begitu sejumlah karya yang menggambarkan Timur yang eksotik dalam bentuk tabeltabel informasi yang sistematis sebenarnya adalah produk kultural yang tipikal dari dominasi Barat. Hal ini secara tidak langsung menyiratkan keunggulan Barat
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
dan sebaliknya menunjukan kekurangan formasi sosial yang lain. Dengan pemahaman lain, bahwa orientalisme mengungkapkan ciri-ciri progresif Barat dan menunjukan kemandekan sosial masyarakat Timur. Sumber: Kamus Al-Munawwir, AW. Muanwwir, Pustaka Progressif, 1997. Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat; Bongkar Wacana atas Islam Vis a Vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme, Bryan Turner, ar Ruzz, 2008.
Qabilah Qabilah bentuk jamaknya adalah qabail memiliki makna kabilah, suku. Sumber: Kamus Al-Munawwir, AW. Muanwwir, Pustaka Progressif, 1997. Kamus Arab Indonesia, Mahmud Yunus, Hidakarya Agung, 1989.
Ridla Ridla asal kata dari radliya yardla ridlan-rudlan bermakna kerelaan, kesukaan, kesenangan. Sumber: Kamus Al-Munawwir, AW. Muanwwir, Pustaka Progressif, 1997. Kamus Arab Indonesia, Mahmud Yunus, Hidakarya Agung, 1989.
Rukhsah Rukhsah asal kata dari rakhusa yarkhusu rukhsan dalam bahasa Arab kata ini bermakna keringanan, izin. Rukhsah memiliki arti yang sama dengan takhfif Sumber: Kamus Al-Munawwir, AW. Muanwwir, Pustaka Progressif, 1997. Kamus Arab Indonesia, Mahmud Yunus, Hidakarya Agung, 1989.
Shaleh
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
Shaleh (shalih) asal kata dari shaluha-shalaha bermakna orang yang baik, yang patut, yang saleh terhadap agama. Sumber: Kamus Al-Munawwir, AW. Muanwwir, Pustaka Progressif, 1997. Kamus Arab Indonesia, Mahmud Yunus, Hidakarya Agung, 1989.
Shilah al-inqitha’ Kesadaran peradaban dan kebudayaan personal terkadang mempunyai posisi yang menafikan tradisi lama, sehingga memaksa seseorang berpaling kepada tradisi baru dan menemukan dirinya di dalam tradisi baru tersebut. Sikap yang memutuskan hubungan dengan tradisi lama dan mengaitkan hubungan dengan tradisi baru merupakan bentuk penolakan, kondisi semacam ini akan melahirkan keterkaitan terhadap tradisi baru dan terasing dari tradisi lama. Keterputusan ini terjadi karena tidak lagi menjadikan tradisi lama sebagai prinsip yang mendasar. Fenomena keterputusan ini dalam terminologi Hanafi disebut dengan shilah alinqitha’. Sumber: Muqaddimah Fi Ilm al-Istighrab, Hasan Hanafi, Dar al-Faniyah, 1991.
Shilah al-ittishal Sikap yang mengaitkan hubungan dengan tradisi lama dan memutuskan hubungan dengan tradisi baru menrupakan bentuk penerimaan sebagai suatu keterkaitan terhadap tradisi lama. Reaksi ini secara jelas menampakan pemutusan hubungan dengan tradisi baru. Fenomena keterputusan ini dalam terminologi Hanafi disebut dengan shilah al-ittishal’. Sumber: Muqaddimah Fi Ilm al-Istighrab, Hasan Hanafi, Dar al-Faniyah, 1991.
Solipsisme Solipsisme adalah teori yang mengatakan bahwa satu-satunya pengetahuan yang mungkin adalah pengetahuan diri sendiri. Dengan pengertian lain, solipsisme merupakan paham yang menganggap dirinya paling benar. Sumber:
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat; Bongkar Wacana atas Islam Vis a Vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme, Bryan Turner, ar Ruzz, 2008.
Syahiid Syahiid bentuk jamaknya adalah syuhada bermakna mati sahid, yang gugur sebagai syahid (di jalan Allah), orang yang terbunuh di medan perang. Sumber: Kamus Al-Munawwir, AW. Muanwwir, Pustaka Progressif, 1997. Kamus Arab Indonesia, Mahmud Yunus, Hidakarya Agung, 1989.
Taqlid Taqlid merupakan bentuk masdar dari kata qollada yuqollidu taqlidan bermakna mengikuti orang lain tanpa mengetahui landasan argumentasinya Sumber: Kamus Al-Munawwir, AW. Muanwwir, Pustaka Progressif, 1997. Kamus Arab Indonesia, Mahmud Yunus, Hidakarya Agung, 1989.
Tauhid Tauhid asal kata dari wahhada yuwahhidu tauhiidan memiliki makna mengesakan, menyatukan, membuat manjadi satu, mengesakan bahwa tiada Tuhan selain Allah Sumber: Kamus Al-Munawwir, AW. Muanwwir, Pustaka Progressif, 1997. Kamus Arab Indonesia, Mahmud Yunus, Hidakarya Agung, 1989.
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
Lampiran 2. Transliterasi Arab-Indonesia
TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA
Pedoman Transliterasi Arab-Indonesia berdasarkan Surat Keputusan bersama Meneri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tanggal 22 Jauari 1988. Arab
Latin
Arab
Latin
Arab
Latin
ا ب
` b
ز س
z s
ق ك
q k
ت
t
ش
sy
ل
l
ث ج
ts j
ص ض
sh
d
م ن
m n
ح
h
ط
t
و
w
خ
kh
ظ
z
"
h
د
d
ع
‘
ء
‘
ذ
Ŝ
غ
g
ي
y
ر
r
ف
f
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
-
Lampiran 3. Ringkasan Cerita
RINGKASAN CERITA
Ukhruj Minha Ya Mal’un adalah novel yang menceritakan tentang masyarakat Timur Tengah. Masyarakat Timur Tengah dikenal sebagai masyarakat Islam yang menjadikan agama sebagai pegangan dan prinsip hidup, hal itu dapat dilihat dari budaya masyarakat yang masih menjalankan dan menjaga nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Timur Tengah. Ibrahim, adalah seorang alim36 yang sangat dihormati oleh masyarakat yang berada disekitarnya, karena kedalaman ilmu pengetahuannya tentang agama. Ia memilki tiga orang anak dan masing-masing memiliki satu anak laki-laki, yaitu Hasqil, Mahmud, dan Yusuf. Takdir mengharuskan ketiga anak itu kehilangan orang tua mereka, karena menjadi syahiid37 di medan perang. Bersama istrinya Halimah, Ibrahim membesarkan dan mendidik cucu-cucu mereka dengan bekal pendidikan agama. Dalam perjalanan selanjutnya, watak masing-masing cucunya mulai tampak seiring dengan pertambahan usia mereka. Hasqil, sebagai anak yang paling tua diantara mereka, sering menampakan sikap tidak baik. Ia tumbuh menjadi anak yang memiliki rasa iri yang besar dan kikir terhadap kedua saudaranya dan teman-teman disekitarnya. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Ibrahim agar Hasqil memperbaiki sikap buruknya, tetapi upaya Ibrahim pun siasia, ia tidak mampu mengendalikan Hasqil. Berbeda dengan kedua saudaranya, Mahmud dan Yusuf yang sangat penurut kepada Ibrahim Tahun pun berganti, kini cucu-cucu Ibrahim telah dewasa. Hasqil semakin sering membuat masalah, ia tidak hanya iri kepada kedua saudara dan temantemanya tetapi juga iri terhadap apa yang mereka miliki. Terlebih setelah Hasqil pergi ke pasar, keinginan itu semakin menjadi-jadi karena melihat para pedagang emas yang menyilaukan matanya. Keinginan itu pun tumbuh semakin kuatnya. 36
Alim asal kata dari alima ya’lamu ilman yang bermakna mengetahui sesuatu. Alim adalah bentuk ism al-fail yang bermakna orang yang berilmu, orang yang mengetahui sesuatu ilmu. perang AW. Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 966. 37 Syahiid bentuk jamaknya adalah syuhada bermakna mati sahid, yang gugur sebagai syahid (di jalan Allah), orang yang terbunuh di medan perang AW. Munawwir, Kamus alMunawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 747
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
Semakin hari tabiat Hasqil semakin buruk, ia mencoba melakukan perkosaan terhadap seorang anak gadis kepala suku dan dengan terpaksa Ibrahim mengusirnya. Semakin beranjak dewasa, ulah Hasqil semakin tak terkendali sehingga Ibrahim memutuskan untuk berada jauh dari Hasqil karena seringkali ia dipermalukan oleh ulah Hasqil. Tidak hanya sampai disitu, Hasqil menukarkan sejumlah unta, sapi, dan domba Ibrahim dengan emas. Suatu hari ia pergi ke pandai besi, saat itu masih jarang orang Arab menggeluti profesi ini sebab itulah tak ada yang melarangnya saat ia berusaha ikut menggeluti. Hasqil mulai membuat sepatu kuda, bila butuh tempat pacuan, orang akan sepakat mencari yang aman, tetapi Hasqil malah mengumpulkan batu-batu yang dipecahnya menjadi kecil, sebagian sebagian dibuatnya lancip sehingga pada saat pacuan batu-batu itu pun bisa melukai kaki kuda, dengan demikian kaki kuda itu pun butuh dibuatkan sepatu besi dan Hasqilah satu-satunya orang yang mempu membuatnya. Ia mematok harga yang tinggi, seringkali ia membuat sepatu kuda yang tidak pas atau membuatnya dengan mutu yang rendah agar mudah rusak saat dipakai. Dengan cara itu permintaan terus bertambah dan kekayaannya pun berlimpah. Ketika usaha sepatu kudanya sudah mapan, Hasqil membuat pabrik pedang dan parang serta pabrik perhiasan. Sukses membuat pedang dan parang, ia sengaja memancing perang antarsuku. Akhirnya orang-orang banyak memesan pedang dan parangnya. Pundi-pundi emas Hasqil pun semakin banyak. Berkat kelicikannya pula, Hasqil berhasil menggulingkan sebuah suku dan kemudian ia menduduki kursi kepala suku. Padahal dalam tradisi suku-suku di Arab, kepala suku mesti putra asli, tak pernah pendatang. Ia menjalin hubungan dengan istri dari salah satu kepala suku untuk dijadikan alat demi tercapai hasratnya untuk berkuasa. Berbagai intrik dan tipu daya ia lancarkan hingga istri kepala suku itu pun tak mampu berkutik, dengan modal kepiawaian dalam negosiasilah ia dapat mengatur semua dengan mudahnya. Ia berencana menikahi istri dari kepala suku dengan iming-iming sejumlah emas yang akan diberikannya. Dalam menjalankan hasratnya, Hasqil menjalin hubungan dengan kepala suku Romawi –Romawi merupakan suku terkuat dan tak terkalahkan. Akibat
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
kerjasama tersebut, Hasqil mendapat dukungan penuh dalam setiap langkah hasrat berkuasanya termasuk penaklukan-penaklukan suku-suku dan pemerasan rakyat. Hasqil dan kepala suku Romawi mendirikan menara kembar, tempat menimbun harta hasil memeras rakyat dan simbol kekayaan miliknya dari hasil menghisap ekonomi rakyat. Sudah menjadi kelaziman bahwa sebuah kekuasaan akan melahirkan antikekuasaan. Lazzah berdiri bersebrangan dengan Hasqil, Lazzah adalah anak kepala suku yang lahir dari seorang ibu non-Arab a’jamiy’, ia perempuan yang tetap menjaga nilai-nilai budaya, oleh karenanya ia tak dapat mentolelir kejahatan dan kelicikan Hasqil. Lazzah tidak sendiri, dengan bantuan Salim mereka mencoba melakukan perlawanan. Lazzah mengumpulkan kekuatan dengan melakukan agitasi terhadap kaum perempuan di sukunya dan Salim melakukannya kepada kaum laki-laki. Setahap demi setahap, mereka memperoleh simpati rakyat, hingga pada saat yang tepat mereka bersatu melawan Hasqil yang dibantu Romawi. Kekalahan Hasqil ditandai dengan robohnya menara kembar yang ia banggakan. Menara kembar itu hancur luluh lantar digempur oleh kekuatan pasukan yang dipimpin Lazzah dan Salim, kekuatan dari bersatunya suku-suku Arab akhirnya berhasil mengalahkan kekuatan Hasqil dan Romawi.
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
Lampiran 4. Teks novel Ukhruj Minha Ya Ml’un
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010