BAB II ESTETIKA PERLAWANAN TIMUR TENGAH DALAM NOVEL UKHRUJ MINHA YA MAL’UN
Sastra merupakan salah satu cara yang digunakan untuk memaparkan gagasan agar sesuai dengan tujuan dan efek yang ingin dicapainya. Sastra tidak hanya mengacu pada lambang kebahasaan, melainkan juga pada berbagai macam bentuk sistem tanda yang secara potensial dapat digunakan untuk menggambarkan gagasan dengan berbagai kemungkinan efek estetis yang ditimbulkan (Aminudin: 1995). Penggunaan cara tersebut selain berfungsi memperkaya gambaran objek yang diacu, memperkaya gagasan yang disampaikan, juga untuk menciptakan gambaran peristiwa secara lebih hidup. Pembahasan pada bagian estetika perlawanan Timur Tengah dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un ini, dilakukan dengan mencari data dalam novel yang menyiratkan adanya berbagai bentuk perlawanan Timur Tengah terhadap Barat. Data-data tersebut dianalisis dengan tujuan untuk menemukan gambaran identitas Timur Tengah serta bentuk perlawanannya. Bagian ini akan memberi gambaran besar tentang hal-hal yang membangun dan membentuk identitas Timur Tengah. Bagian ini diberikan mengingat novel Ukhruj Minha Ya Mal’un memuat porsi besar terhadap dikotomi kebudayaan, sehingga lahirnya bentuk-bentuk penegasan sebuah identitas yaitu identitas masyarakat Timur Tengah. Akibatnya, timbulah kesadaran yang memicu lahirnya perlawanan. 2.1. Struktur Naratif Novel Ukhruj Minha Ya Mal’un Novel Ukhruj Minha Ya Mal’un memiliki latar tempat dunia Arab dan latar waktu yang tidak
jelas –tidak disebutkan. Pada bagian awal novel,
pengarang mengembangkan alur cerita melalui teknik flash back ke zaman dahulu, Ia menceritakan tentang peradaban-peradaban tinggi yang mencapai puncak kegemilangan pada zamannya, seperti peradaban Persia dan Irak. Peradaban-peradaban tinggi tersebut dilukiskan melalui wacana pencapaian
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
22
kemajuan yang terjadi 1500-1900 SM. Pada 1900 SM, aspal dengan kualitas baik telah ada sejak Peradaban Irak, bahkan pada zaman Assyuria Tengah sekitar 1400 SM telah ada keramik dengan kualitas tinggi. Dalam dimensi ruang dunia Arab, pengarang menggambarkan latar sosial budaya kehidupan masyarakat yang hidup dengan identitas budayanya yang unik. Atmosfer yang ditampilkan dalam novel ini menunjukan bahwa ketika itu masyarakat Arab sedang berada dalam kondisi damai dan tentram. Tetapi kemudian berubah menjadi perpecahan ketika mereka mulai mengenali kebudayaan di luar mereka. Datangnya suku asing yang diwakili oleh suku Romawi, menandai berakhirnya suasana damai dan tentram yang sebelumnya mereka rasakan. Hal tersebut terlihat ketika banyaknya konflik-konflik yang melahirkan perpecahan dan peperangan yang terjadi dalam masyarakat Arab tersebut. Tokoh utama dalam novel ini adalah Hasqil dan Lazzah. Hasqil digambarkan sebagai tokoh antagonis dengan watak licik, tamak, dan haus kekuasaan, sedangkan Lazzah digambarkan sebagai tokoh protagonis dengan watak tegas, cerdas, dan kuat. Tokoh Hasqil mewakili identitas budaya yang cair, sebaliknya Lazzah mewakili identitas budaya yang mengental. Kedua tokoh ini terbentuk karena adanya pergesekan kebudayaan dengan ciri dan identitas yang berbeda, sehingga menyebabkan kedua tokoh ini berada pada posisi yang bersebrangan. Sedangkan sudut pandang yang digunakan pengarang dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un ini adalah sudut pandang persona ketiga ‘dia’ maha tahu. Narator mengetahui berbagai hal termasuk tokoh, peristiwa, dan tindakan bahkan termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Oleh karenanya, ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindahpindah dari tokoh ‘dia’ ke ‘dia’ yang lain, bahkan hanya berupa pikiran, pandangan, perasaan, dan motivasi tokoh secara jelas seperti halnya ucapan dan tindakan nyata, seperti adanya ungkapan yang tidak merujuk pada satu tokoh dalam novel. Tema yang diangkat dalam novel adalah tentang persinggungan antara dua kebudayaan yang berbeda. Satu kebudayaan digambarkan sebagai kebudayaan
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
23
yang dominan –Romawi dengan berbagai upayanya untuk menguasai kebudayaan Arab, sedangkan satu kebudayaan lain –kebudayaan Arab digambarkan sebagai kebudayaan yang berada di bawah tekanan kebudayaan Romawi. Adanya kebaikan melawan kejahatan, kebenaran dan keadilan melawan kezaliman, upaya mempertahankan identitas, peleburan budaya, bahkan keberpihakan terhadap kebudayaan Romawi mewarnai novel ini. Novel Ukhruj MInha Ya Mal’un ini mengawali kisahnya dengan sejumlah peristiwa yang menggambarkan keadaan sosial budaya masyarakat Arab, dalam perjalanan ceritanya kemudian bertemu dengan konflik-konflik akibat pergesekan kebudayaan Arab dan berbagai konflik kepentingan dengan Romawi. Novel ini diakhiri dengan tumbangnya kebudayaan Romawi yang ditandai dengan hancurnya segala apa yang menjadi kebanggaannya. 2.2. Penggambaran Identitas Timur Tengah Identitas berkaitan dengan ciri-ciri, tanda-tanda, apa bendanya atau siapa orangnya. Identitas adalah usaha untuk mengenali kembali, jadi sebelumnya seolah-olah sudah pernah dikenal (Ratna, 2007: 383). Dalam pengertian tersebut bahwa identitas bersifat konstruktif, selalu mengalami perubahan. Dalam perumusan identitas, setidaknya Hall (Rutherford, 1990: 222) memberikan kontribusi terhadap pemaknaan identitas sebagai suatu produksi yang tidak pernah sempurna, dengan demikian bahwa identitas selalu berproses dan selalu membentuk di dalam representasi. Dalam praktiknya identitas dapat ditandai dengan adanya perbedaan dalam wujud representasi baik secara simbolik maupun secara sosial. Dalam upaya membangun identitas dalam bingkai ideologi, diperlukan upaya dalam mengekspresikan diri kelompok dan identitasnya karena identitas digunakan untuk menjelaskan berbagai cara diposisikan dan memposisikan diri secara aktif dalam narasi sejarah. Identitas dapat juga ditafsirkan sebagai budaya milik bersama –karena memiliki akar sejarah dan asal-usul yang sama- yang menjadi mata rantai sebagai bentuk usaha melestarian budaya masa lalu. Timur Tengah merupakan wilayah yang secara politis dan budaya merupakan bagian dari benua Asia atau Afrika-Eurasia. Timur Tengah telah
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
24
menjadi pusat terjadinya peristiwa-peristiwa dunia dan menjadi wilayah yang sangat sensitif baik dari segi wilayah, politik, ekonomi, kebudayaan, dan keagamaan karena merupakan tempat lahirnya pusat spiritual tiga agama besar yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam serta memiliki cadangan minyak dalam skala besar. Penggambaran masyarakat Timur Tengah sebagai sebuah identitas budaya melahirkan semangat yang diwujudkan dalam sebuah ajaran dan berbagai bentuk tradisi budaya yang dipegang kuat oleh masyarakat Timur Tengah. Sebagai sebuah konsep, penggambarkan identitas tersebut mengacu pada pembentukan dan pelanggengan batas-batas kultural dan memiliki penekanan pada sejarah dan budaya Timur Tengah. Oleh karena itu, yang kemudian ditawarkan adalah untuk mencari titik-titik persamaan, bukan perbedaan tujuannya adalah agar bersatu (Shimogaki, 1993: 133). Novel Ukhruj Minha Ya Mal’un bercerita tentang masyarakat Timur Tengah dengan kebudayaannya dalam menghadapi kebudayaan lain. Hal itu ditunjukan dengan adanya upaya keras dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya dan nilai-nilai sosial. Warisan tersebut telah mendarah-daging sehingga tidak bisa dipisahkan dari setiap jiwa masyarakat Timur Tengah. Warisan budaya dan nilai-nilai sosial tersebut adalah:
2.1.1 Tradisi masyarakat Timur Tengah dalam menjaga nilai-nilai religiusitas. Ketika Islam dipancangkan sebagai agama yang mengatur aspek spiritual, tauhid22 sering dipahami sebagai ‘keesaan Tuhan’ artinya segala sesuatu akan kembali pada Tuhan (Shimogaki, 1993: 17-18). Keberadaan manusia menjadi sangat relatif di hadapan Tuhan dan setiap manusia yang diciptakan mempunyai hubungan langsung dengan Tuhan. Nilai-nilai religiusitas yang terkandung dalam ajaran agama merupakan daya penggerak yang bersifat kulli23, yang menjadi tolok ukur dalam setiap 22
Tauhid asal kata dari wahhada yuwahhidu tauhiidan memiliki makna mengesakan, menyatukan, membuat manjadi satu, mengesakan bahwa tiada Tuhan selain Allah AW. Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 1542 23
Kulli asal kata dari kullun artinya menyeluruh, bersifat menyeluruh Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989) hlm. 380
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
25
pikiran dan tindakan dalam kehidupan sehari-hari (Al-Attas, 2001: ix). Al-Qur’an dalam hal ini menjadi sebuah tantangan yang monumental, ia diterjemahkan menjadi sebuah peristiwa, sebuah tindakan,
ketimbang semata-mata sebagai
pernyataan atas norma-norma. Hal senada juga dikemukakan oleh Hodgson (2002: 174-175) yang menyatakan bahwa apa yang seorang hamba lakukan dengan Al-Qur’an bukanlah semata-mata hanya untuk dibaca tetapi untuk beribadah melalui perantaranya, bukan untuk menerimanya secara pasif, tetapi mengukuhkannya dalam pikiran dan tindakan sebagai upaya menghidupkan afirmasi-afirmasi Qur’ani. Dengan demikian nilai-nilai religiusitas dalam masyarakat Timur Tengah memegang peranan yang sangat penting, nilai-nilai tersebut dijadikan dasar dan prinsip hidup. Hal ini tampak dari kuatnya pengaruh nilai-nilai religiusitas yang tercermin dalam sikap, pola pikir, dan tradisi dalam masyarakat Timur Tengah. Keyakinan terhadap nilai-nilai religiusitas tersebut merupakan konsistensi mutlak bagi setiap pemeluknya sebagai bentuk kesalehan24 pemeluk agama. Pada prinsipnya, tanpa acuan tersebut seorang pemeluk agama menjadi tidak bermakna dalam kehidupan, sebelum membuktikan keyakinannya terhadap agama melalui tindak kehidupan. Bagi masyarakat Timur Tengah menjaga dan menjauhkan diri dari sifat buruk seperti iri hati, pelit, dan tidak memiliki belas kasih terhadap saudara maupun orang lain adalah sebagai bentuk kepatuhan terhadap Tuhan. Hal tersebut terlihat dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un yang sarat dengan muatan nilai-nilai religiusitas. Gambaran masyarakat Arab yang masih menjadikan nilai-nilai religiusitas tercermin pada tokoh Ibrahim. Ibrahim adalah seorang yang sangat kuat memegang dan menjalankan nilai-nilai religiusitas, ia menjadi seorang pendakwah yang menyebarkan agama ke berbagai tempat, salah satu cara yang Ibrahim tempuh adalah dengan melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar semakin banyak masyarakat yang mengerti dan melaksanakan segala ketentuan yang termuat dalam ajaran agama. 24
Shaleh (shalih) asal kata dari shaluha-shalaha bermakna orang yang baik, yang patut, yang saleh terhadap agama. AW. Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 788-789
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
26
Ibrahim dikenal sebagai sosok yang sangat religius, oleh karenanya masyarakat yang berada di sekitar tempat tinggalnya, sangat menghormati Ibrahim. Sikap Ibrahim mencerminkan kedalaman pengetahuannya tentang agama. Agama bagi Ibrahim adalah tolok ukur yang menentukan cara berpikir, cara bersikap, dan cara bertindak dalam kehidupan. Sikap itu ditunjukan oleh Ibrahim ketika memberi nasehat kepada Hasqil. Ibrahim bersedih hati karena sikap Hasqil yang selalu menjadikan kedua saudaranya sebagai korban atas sikap buruknya. Hasqil selalu berbuat jahat kepada saudaranya sendiri dengan selalu menyakiti mereka, iri hati terhadap mereka, bersikap pelit –seperti tidak mau berbagi makanan, bahkan seringkali Hasqil memusuhi mereka jika keinginannya tidak dituruti. Kemarahan dan kekhawatiran Ibrahim akan sikap Hasqil, tidak lantas menjadikannya berbuat tidak adil. Ibrahim menasehati Hasqil dengan penuh rasa kasih sayang, ia mengingatkan Hasqil tanpa menghakiminya karena telah berbuat salah. Ibrahim memberi nasihat kepada Hasqil dengan mengingatkan bahwa hidup tanpa menjalankan ketentuan yang berasal dari Tuhan akan menjadi sia-sia. Ketentuan Tuhan baik yang berupa kewajiban-kewajiban terhadap-Nya yaitu perintah dan larangan-Nya sebagai seorang hamba Tuhan atau hak dan kewajiban sebagai manusia yang hidup secara sosial. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan ridla25 Tuhan yang menjadi tujuan hidup bagi setiap pemeluk agama, karena segala yang dimiliki termasuk harta kekayaan tidak akan memberikan kebahagiaan, ketenangan hidup, dan kedamaian jiwa, kecuali setelah ridla Tuhan dan manusia diberikan, sebagaimana dalam kutipan berikut: "ون-./ ا12345 67 8 آ:37 ;< =>? ،ً6?6B-7 CDE5 F< ،س6H< واI ا6J ر-LM5 F7"و ( 11 :FDL?)
25
Ridla asal kata dari radliya yardla ridlan-rudlan bermakna kerelaan, kesukaan, kesenangan. AW. Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 505
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
27
“Dan siapapun yang hidup tidak mendapatkan ridla Allah dan manusia maka hidupnya tidak akan bahagia (akan sengsara) meskipun memiliki kekayaan yang banyak”26 Sikap Ibrahim mencerminkan keteguhan dan kekuatan dalam menjadikan dan menjalankan nilai-nilai religiusitas sebagai prinsip hidup yang paling mendasar, bahwa hanya dengan keridlaan yang datang dari Allah yaitu dalam bentuk rahmat dan anugrah, manusia akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Sikap Ibrahim ini diperkuat oleh Abu Haidar ilyas (2003; 10-11) yang menyatakan bahwa ada dua syarat untuk berjumpa dengan Allah SWT dan meraih rahmat-Nya yang begitu luas, memperoleh kedamaian dan kebahagiaan duniaakhirat: pertama, beramal shaleh; kedua, bertauhid dan ikhlas dalam melakukan ibadah kepada-Nya. Kutipan diatas menunjukan butir pemikiran tentang sikap yang menjadikan nilai-nilai religiusitas menduduki posisi yang sangat penting dalam menjalani kehidupan. Pentingnya memiliki keyakinan terhadap Tuhan, akan berdampak besar pada sikap dan prilaku sebagai individu yang hidup dalam suatu masyarakat. Secara singkat hal itu dapat dikatakan, bahwa syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan hakiki dalam pandangan Islam adalah dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan tujuan untuk memperoleh ridla-Nya. Hanya dengan ketaatan sepenuhnya, manusia dapat memperoleh ridlaNya dan mendapatkan rahmat serta anugrah-Nya. Ibrahim memiliki keyakinan bahwa dalam ketentuan Allah yang termaktub dalam al-Qur’an baik yang berkaitan dengan ibadah ataupun bentuk muamalah lainnya selalu berlandas pada nilai-nilai sosial. Ibrahim berkeyakinan bahwa satusatunya jalan untuk bisa mencapai tingkat kebahagiaan hidup yang sempurna, baik dalam fungsinya sebagai seorang hamba ataupun makhluk sosial adalah dengan menjalankan segala ketetapan dan ketentuan Allah, karena dengannya manusia akan mencapai puncak kedekatan kepada Allah SWT. Sebagai manusia yang memiliki keyakinan terhadap Tuhan, Ibrahim menanamkan nilai-nilai religiusitas kepada cucu-cucunya semenjak dini. Dalam 26
Terjemahan dalam bahasa Indonesia ini adalah terjemahan penulis. Untuk mendapatkan terjemahan yang valid, penulis merujuk pada kamus untuk kemudian meng-compare dengan versi novel bahasa Indonesia. Hal ini berlaku untuk terjemahan-terjemahan pada kutipan berikutnya
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
28
setiap kesempatan, Ibrahim selalu membekali ketiga cucunya -Hasqil, Mahmud, dan Yusuf dengan bekal ilmu agama. Bagi Ibrahim, pendidikan agama pada masa kanak-kanak adalah waktu yang sangat tepat, karena pada masa itulah masa terbaik menyerap dan meniru, sebagaimana pepatah Arab mengatakan ‘belajar di waktu kecil bagaikan melukis di atas batu’. Dengan mendidik cucu-cucunya di masa kecil, Ibrahim berharap bahwa keyakinan terhadap Allah akan tertancap kuat dalam jiwanya. Semua nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari ajaran agama seperti kepatuhan terhadap Tuhan, kejujuran, pengorbanan, menolong sesama, dan nilai-nilai lainnya ditanamkan sejak kecil, maka nilai-nilai tersebut akan mengakar kuat dalam diri dan jiwanya. Hal ini akan melahirkan kesadaran yaitu sikap untuk selalu ingat akan asal usulnya, bahwa ia berasal dari yang Ilahi27dan dengan rendah hati akan menyadari keberadaan dirinya di dunia, hal ini terlihat dalam kutipan berikut: امR><S واF5T<دئ ا6W7 6X>7TY7 Z[ و،دئ6W4<= ا3\ ةTD^<_ اD`->< وا،TD^<اد اT\S ان ا،aEb (44 :FDL?) س6H<;ق اY? و،I;ق اYd` “Memang benar bahwa persiapan dan pendidikan yang paling baik adalah pendidikan yang mengajarkan dasar agama dan konsisten dalam menjalankan kewajiban terhadap Allah dan manusia (hak Allah dan hak sesama manusia)” Dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un ini, Hasqil digambarkan sebagai tokoh yang semenjak kecilnya tidak pernah memperdulikan Allah, walaupun Ibrahim dengan sekuat tenaga berusaha mengajari dan mengingatkannya. Usaha Ibrahim dalam mendidik Hasqil pun menjadi sia-sia, tetapi Ibrahim tidak pernah menyerah untuk selalu memberikan pendidikan terbaik untuk cucu-cucunya sampai cucu-cucunya menginjak usia dewasa, Ibrahim tidak berhenti memberikan pendidikan agama sebagai bekal hidup. Hasqil memiliki sifat yang berbeda dengan kedua saudaranya, Mahmud dan Yusuf. Hasqil seringkali mempertanyakan hal-hal yang dianggap tabu oleh
27
Illah bentuk jamaknya adalah alihatun bermakna Tuhan yang disembah. AW. Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 36
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
29
Ibrahim, tetapi Ibrahim selalu berusaha memberikan jawaban yang baik dan bijaksana. Suatu waktu Hasqil bertanya tentang wujud Allah, ia berkeinginan untuk membuat lambang Allah dari emas, hal itu dilakukan karena cinta Hasqil yang besar terhadap emas, kontan pertanyaan Hasqil telah membuat Ibrahim tersentak. Hasqil menunjukan hal itu dalam kutipan berikut: (21 :FDL?) ؟nTWEb و،f ذهF7 13E^H[ ،6HX
“Mengapa kita tidak membuat lambang menyerupai Tuhan kita dari emas lalu kita menyembahnya?” Bagi Ibrahim pertanyaan Hasqil telah melukai hatinya, apa yang Ibrahim jaga dan ajarkan telah diluluhlantahkannya terlebih itu dilakukan oleh cucunya sendiri, tetapi Ibrahim berusaha untuk sabar dan lapang dada atas tindakan tidak terpuji yang dilakukan Hasqil. Karena bagi Ibrahim menyekutukan Allah dengan membuat lambang adalah suatu dosa besar yang akan berakibat pada gugurnya keimanan, karena keimanan hanya akan terwujud ketika seorang hamba mengesakan Allah dengan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun termasuk membuat lambang penyerupaan Allah. Mengesakan Allah bagi Ibrahim bermakna bahwa Allah tidak berubah, pencipta abadi, dan tidak ada tandingan-Nya, karena Allah berada di luar jangkauan penjelasan apa pun dan tidak mungkin direpresentasikan melalui penggambaran serta Allah tidak dapat dikenai pertanyaan tentang siapa, bagaimana, dimana, kapan, dan lain sebagainya, yang mungkin hanyalah pernyataan tentang keesaan Allah tauhid. Hal yang dapat membuat Ibrahim menghela nafas panjang selain dengan tindak menyekutukan Allah adalah meragukan kekuasaan Allah. Meragukan kekuasaan Allah memiliki makna yang sama dan berakibat pada gugurnya keimanan sebagai seorang hamba Allah. Hasqil juga mempertanyakan ciptaan Tuhan yang menurutnya tidak penting, karena ia menganggap apa yang diciptakan Allah tidak memiliki manfaat, ini terlihat pada kutipan dalam novel sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
30
8sjH5 ذا643[ ..._؟3ML< اF7 aن أه6Lbi اrD< أ..._؟3ML< اF7 ST` ،6b6Lb إI اp3M5 a< ذا64<و ( 7-8:FDL?) _؟3Mt p3M` ن6Lb إp3. F\ Iا
“Mengapa Allah tidak menciptakan manusia saja sebagai pengganti anak kambing?…bukankah manusia lebih penting dari anak kambing?...dan kenapa Allah juga sibuk menciptakan anak kambing saat mencipta manusia?” Ibrahim sangat paham dengan watak Hasqil yang tidak akan puas dengan jawaban apapun, Hasqil melakukan itu semata-mata hanya ingin membuat keyakinan Ibrahim goyah. Kendatipun demikian Ibrahim tetap menunjukan kelapangannya dalam menghadapi Hasqil. Ibrahim memberi penjelasan kepada Hasqil bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah selalu mengandung manfaat karena tak satu pun ciptaan Allah yang tidak ada manfaat bagi makhluk lain terutama manusia. Ibrahim menyadari jika ia menyikapi sikap Hasqil dengan amarah bukan merupakan jalan keluar, karena marah bagi Ibrahim adalah sesuatu yang sangat dihindari kecuali terhadap musuh. Ibrahim selalu mengetengahkan pandangan Islam tentang sikap untuk bersabar, memaafkan, dan menahan marah dalam mengahadapi suatu masalah. Sikap Ibrahim ini mencerminkan bagaimana nilainilai religiusitas telah berakar kuat dalam dirinya, ia menyikapi pemahaman yang salah dan penyimpangan Hasqil dengan bersabar dan memaafkan tanpa harus memicu terjadinya perdebatan. Kenyataan inilah yang lantas menggugah kesadaran Ibrahim bahwa sebenarnya ia tidak dapat memaksakan pendapat dan pemahamannya tentang ajaran agama dengan cara memaksakannya kepada Hasqil -cucunya sendiri, Ibrahim berkeyakinan bahwa hanya dengan kesadaran yang berasal dari diri sendiri dan atas izin Allah maka seseorang akan berubah termasuk pada cucunya, Hasqil. Kendatipun demikian, Ibrahim berusaha mengingatkan Hasqil akan kebesaran Allah melalui ciptaan-ciptaan-Nya. Ibrahim mengajak Hasqil untuk melihat dan memperhatikan keadaan-keadaan sekitarnya agar Hasqil mau berfikir,
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
31
merenungi, dan menyadari akan kebesaran dan kekuasaan Allah, sebagai mana tergambar dalam kutipan berikut: ;انD? F7 ى-.vت ا6x;3M4< ا1< I اp3M5 أن-Dy F7 CDE5 أنkDz>L5 S ن6Lbiأن ا Z[ ن6Lbi اp3. أنIت ا65{ F7 ةT? ان وا8` ،;اءX<ء وا64<رض واv اp3. أنTE` ،ت6Wbو TE` ،6DbT<ة ا6Dd< اZ[ nف دور-ED< ،6XH7 =x أر13E و،ى-.vت ا6x;3M4< اt وa5;YB FL?أ ( 8:FDL?) "6XD3\ nRDD4>< I ا-2j5 ان “Manusia tidak bisa hidup sendiri, sehingga Allah (kekuasaan Allah) menciptakan makhluk lain yaitu binatang maupun tumbuhan setelah Allah menciptakan bumi, air, dan udara. Sebagai salah satu dari ‘ayat Allah’ (tanda kekuasaan Allah), manusia diciptakan sebaik-baik ciptaan dibanding makhluk lain, Allah menciptakan manusia lebih tinggi dibanding makhluk lain agar bisa memahami perannya dalam kehidupan dunia, mau bersyukur dan belajar” Ibrahim masih memegang kuat keyakinan terhadap nilai-nilai religiusitas yang tercermin dalam kata-kata dan perbuatannya. Hal ini mencerminkan pandangan umum bahwa masyarakat Timur Tengah begitu kental dalam menjaga dan melestarikan nilai luhur ketimurannya dengan menjadikan agama sebagai prinsip hidup, salah satunya adalah kesalehan terhadap Tuhan. Sebagai wujud keyakinan terhadap Tuhan, Ibrahim selalu melakukan perenungan diri dengan melakukan shalat sunnah28. Shalat merupakan dialog spiritual langsung seorang Muslim dengan Tuhannya (Shimogaki, 1993: 21). Ibrahim melakukan shalat disaat hatinya sedang bersedih dan pikiran sedang membeku karena permasalahan hidup yang dihadapinya. Bagi Ibrahim shalat tidak hanya bermakna kewajiban, tetapi merupakan jalan untuk mendapat ketenangan diri. Dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: 6l5;ا ا35 نv 15T<_ وو4D3? 6\ ود..=3م و6x a.. _EDWz< اZ[ 87>< اaDاه-`ود ا6\ (37 :FDL?)
28
Penulis menggunakan istilah shalat sunnah adalah untuk membedakannya dengan shalat wajib yang berjumlah lima waktu, yaitu subuh, zuhur, ashar, maghrib, dan isya.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
32
“Ibrahim merenungkan semesta, kemudian dia berdiri untuk menunaikan shalat. Ibrahim juga mengajak Halimah (istri Ibrahim) dan kedua anaknya untuk menunaikan shalat” Shalat merupakan salah satu upaya untuk mensucikan jiwa raga dan menjadi tolok ukur taqwa seorang Muslim. Kegiatan yang merupakan kewajiban bahkan menjadi sebuah kebutuhan bagi ketenangan jiwa. Shalat menjadi kewajiban sebagai bentuk kepatuhan diri dan jiwa terhadap Tuhan yang merupakan tanda kepasrahan aktif. Dengan shalat, Ibrahim merasakan
ketenangan
jiwa, sensitivitas
kemanusiaan menjadi lebih peka, segala nafsu akan mudah dikendalikan, dan tentunya akan selalu merasa dekat dengan Allah. Dalam keadaan seperti itu, stabilitas jiwa terjaga karena jiwa dan pikiran merasakan suatu ketenangan. Hal ini dapat dilihat ketika Ibrahim memberikan nasehat mengenai betapa pentingnya ketenangan jiwa ketika memulai melakukan dan memutuskan suatu perkara. Ketenangan jiwa akan hadir jika kepasrahan terhadap Tuhan telah dilakukan. Hal ini ditunjukan dalam kutipan berikut: 64< _^34<ورة ا-l<س ا6t= ا3\;ى وX< اF7 6هRH7 ،aBر-zJ اذا ا،aدآ6X>;ن ا25 ان (37 :FDL?) F5T< ا1W;>L5ة و6Dd< ا1Dl>YB “Jika dalam kondisi terpaksa yang mengharuskan kalian berijtihad29 maka harus bersih dari segala nafsu dan didasarkan kepada kebutuhan manusia dan ajaran agama” Dalam melakukan ijtihad, Ibrahim mengharuskan dirinya berada dalam kondisi tenang dengan menghindarkan diri dari nafsu yang akan membayakan kepentingan orang banyak. Ibrahim menjadikan agama sebagai pijakan dalam bertindak terlebih ketika ia harus mengambil sebuah keputusan. Hal ini selalu Ibrahim ajarkan dalam kegiatan dakwahnya sebagai upaya untuk menghindari dari segala bentuk konflik kepentingan.
29
Ijtihad asal kata jahada artinya bersungguh-sungguh. Maksudnya adalah usaha tekun memikirkan agama agar bisa operasional dalam kehidupan manusia AW. Munawwir, Kamus alMunawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 217
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
33
Penyerahan diri terhadap Allah menjadi suatu keharusan dalam setiap perbuatan yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di dalamnya hal yang seringkali luput dari perhatian, seperti berdoa sebelum dan sesudah makan, hal itu dilakukan sebagai wujud tanda rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang dianugrahkan, seperti tergambar dalam kutipan berikut: F4?-< اI اaL`» 6ًED4 <;ا6x وa<6t ;` أaXYWL5 ،م6Ez< إ<= اaX5T5ت أT>7 وا...د-` ادR<ا Fd< اF7 nT5 k[ ان رTE` ،a<6t ;`ل أ6x ،م6Ez<ول ا6HB F7 ;اX>b ا67TH\ و،«aD?-<ا ( 171:FDL?) FD4<6E< رب اI T4d< ا:_DHD<ا
“Makanan telah dingin… kemudian mereka mengambil makanan, Abu Salim memulai dan membaca ‘Bismillahi al-Rahman al-Rahim’ dan ketika selesai makan, Abu Salim mengangkat tangannya dari mangkuk Cina dan membaca “Alhamdulliahi Rabbil ‘alamin’, yang lain berbuat serupa” Bagi Ibrahim Islam adalah menyeluruh karena mengatur hal-hal yang dianggap kecil, hal ini berlaku dalam semua lini kehidupan termasuk dalam kehidupan sehari-hari seperti etika makan dan minum. Islam baginya merupakan sebuah cermin sosial yang mana pemeluknya satu sama lain berhubungan karena Allah, untuk mencari keridlaan-Nya. Dengan mengetahui beberapa peraturan dan melaksanakannya
akan
mendatangkan
keridlaan
Allah
dan
melahirkan
kebahagiaan dunia dan akhirat. Masalah yang bersifat spiritual adalah juga bersifat material, aksi yang duniawi adalah juga agamawi, dan yang individual sekaligus sosial. Dengan demikian jaringan relasional Islam yang tampak adalah didasarkan pada pandangan dunia tauhid dengan cara mematuhi segala ketetapan yang ditentukan oleh agama. Bahwa nilai-nilai religiusitas pada masyarakat Timur Tengah tidak bisa dipisahkan dari setiap sisi kehidupan. Hal tersebut mengandung arti bahwa orientasi hidup manusia hanyalah untuk mengabdi kepada Tuhan, hal inilah pun yang berlaku dalam masyarakat Timur Tengah. Pengabdian ini semata-mata hanya untuk kepentingan manusia sendiri –sebagai arus balik kepada manusia.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
34
Keyakinan yang berakar dari pandangan religius ini selalu dikaitkan dengan tindakan atau amal perbuatan manusia.
2.1.2 Tradisi menjaga nasab (garis keturunan) Garis keturunan dalam masyarakat Timur Tengah khususnya masyarakat Islam menduduki posisi penting, karena darinyalah asal-usul keturunan kembali kepada leluhurnya. Kesucian keturunan sangat dijaga untuk mempertahankan keaslian suatu garis keturunan, karena melaluinya suatu karakter akan terbentuk. Kecenderungan ini dilakukan dalam upaya untuk menjaga keutuhan identitas mereka sebagai masyarakat Timur Tengah yang khas dengan ciri budayanya, terutama ini dilakukan oleh mereka yang memiliki status sebagai golongan tertentu. Tradisi ini dikenal juga dengan istilah ashabiyah30dan berlaku sebelum Islam hadir di Timur Tengah. Loyalitas terhadap nasab menjadi syarat mutlak dalam sebuah suku, dengan tujuan menjaga kemuliaan dan nama baik. Hal ini pula yang dialami Lazzah, ketika dia menyadari bahwa ibunya berada pada posisi yang bersebrangan dengannya, hal itu disebabkan karena garis keturunan mereka yang berbeda. Darah ibu Lazzah tercampur dengan darah nonArab sehingga Lazzah berpikir bahwa ibunya tidaklah sama dengannya karena wataknya akan merujuk pada suku non-Arab. Perasaan Lazzah ini tergambar dalam kutipan berikut: =3\ [6? ان اZ 3\ ...6X3هv ;دEB _4E<6[ ،Z7 ا6Xb اay ر،6H7 LD< 6Xb ا،_W5-y 6Xb… ا (96 :FDL?) _3DWY< اZb6E7 “…Dia (ibuku) adalah perempuan asing, dia bukan dari golongan kami walaupun dia adalah ibuku, kesombongannya akan merujuk pada keluarganya… bukan pada suku ini, aku harus menjaga nila-nilai keluhuran suku ini”
Lazzah sangat kecewa terhadap ibunya yang tidak loyal terhadap suku yang telah membesarkannya, ia menjadi istri dari kepala suku yang sangat dihormati –ayah Lazzah. Setelah kekuasaan ayah Lazzah digulingkan oleh Hasqil, 30
Rasa kesukuan dengan pengertian lain, ikatan yang didasarkan atas kesamaan garis keturunan dalam suatu suku.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
35
Ibunya terpedaya oleh harta Hasqil sehingga ia rela menukar kehormatan dirinya dengan sesuatu yang hina. Dalam kondisi seperti ini, Lazzah tidak mampu berbuat banyak karena ia tahu musuhnya –Hasqil- telah berhasil memperdaya kelemahan Ibunya. Ibu Lazzah telah merusak tatanan nilai yang berlaku dalam masyarakat Arab karena dalam masyarakat Arab, istri kepala suku adalah panutan bagi para perempuan sukunya, bahkan bila istri kepala suku menyuruh perempuan sukunya untuk pisah ranjang dengan suami, maka mereka akan melakukan walaupun para suami menginginkan berhubungan. Hal itu didasarkan karena keputusan istri kepala suku sangat mempengaruhi sikap para perempuan sukunya. Kelicikan Hasqil tidak berhenti sampai disitu, Lazzah yang merupakan impian hasratnya terus dirayu dan diperdayakan, akan tetapi Lazzah telah mengenali watak dan kelicikan pribadi Hasqil. Lazzah berjuang seorang diri, tak sedikitpun rasa gentar ia rasakan. Kebahagiaan Lazzah telah direnggut oleh Hasqil dengan digulingkannya Ayah Lazzah sebagai kepala suku, diobrak-abriknya kesatuan sukunya, dan diperdayakannya Ibu yang telah melahirkannya. Luapan kemarahan Lazzah menjadi tenaga baginya untuk terus berjuang mempertahankan kesatuan sukunya, seperti pada kutipan berikut: (67 :FDL?) a^E<ت ا6H` -Dy ب-E<ت ا6H` ان:43\ وا:L6y 8 آj;ف اآt “Akan aku buka kedokmu dan akan aku tunjukan bahwa perempuan Arab berbeda dengan perempuan non-Arab”
Kekecewaan Lazzah terhadap Ibunya tidak dapat dibendung lagi setelah ia tahu posisi ibunya yang berada di pihak Hasqil, sehingga Lazzah menggolongkan ibunya sebagai perempuan yang berasal dari non-Arab. Darah yang mengalir di dalam tubuh ibunya telah tercampur dengan darah non-Arab sehingga wataknya tidak lagi mencerminkan watak perempuan Arab yaitu perempuan Arab sangat menjaga nilai-nilai keluhuran budayanya. Lazzah menganggap bahwa kesalahan terbesar adalah ketika terjadinya percampuran garis keturunan yang mengakibatkan timbulnya pertentangan karena tidak ada loyalitas di dalamnya sebagaimana yang dialami Ibunya. Bahkan
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
36
menurutnya sebaik atau setaat apapun orang Arab terhadap nilai-nilai budayanya, akan menjadi tidak berharga jika ia telah bercampur dengan non-Arab seperti melalui pernikahan yang dilakukan oleh kakeknya. Kekecewaan Lazzah ini diungkapkan dalam kutipan berikut: (96 :FDL?) _D4^\وج اRB 67TH\ اT? واz. f2B ار1H2<… “…Tetapi ada satu kesalahan yang dilakukan kakek, karena menikahi seorang perempuan non-Arab” Kakek Lazzah adalah seorang pembesar suku yang dikenal sebagai sosok yang sangat takwa, jujur, terpercaya, pemberani, luhur, dan bijaksana. Tetapi Lazzah melihat bahwa awal kehancuran suku dan segala permasalahan yang terjadi dalam sukunya adalah akibat kakeknya menikahi wanita yang bukan dari golongan Arab sehingga lahirlah ibunya. Menurut Lazzah watak yang dimiliki oleh Ibunya merujuk pada istri kakek Lazzah –nenek Lazzah. Dengan tegas Lazzah membedakan mana yang termasuk orang Arab dan mana yang termasuk non-Arab berdasarkan penilaiannya terhadap keteguhan dalam menjaga dan melaksanakan nilai-nilai budayanya sebagai seorang Arab, tidak peduli apakah ia adalah ibu kandungnya sendiri atau neneknya sendiri. Hal ini dilakukan Lazzah sebagai upaya menjaga dan melestarikan identitasnya sebagai seorang yang berasal dari suku Arab yang tercermin dalam sikap dan tindakannya. Upaya untuk menciptakan kesolidan dalam masyarakat Arab adalah salah satunya melalui tradisi menjaga garis keturunan (nasab) yang merupakan cikal bakal lahir dan terbentuknya karakter suatu individu. Rasa kebersamaan akan tercipta seiring dengan aliran darah yang berada dalam tubuh mereka untuk selalu berpegang
pada
identitas
budaya
sebagai
seorang
Arab
serta
untuk
menghindarkan diri dari ketidak-loyalan dan perpecahan karena percampuran darah.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
37
2.1.3 Tradisi nomaden Pencarian terhadap wilayah subur kerapkali diawali dengan perebutan, bahkan peperangan antar satu qabilah31 dengan qabilah yang lain. Pola hidup seperti ini kemudian menjadi karakter yang melekat pada masyarakat Arab. Sehingga wajar jika kemudian masyarakat Arab dikenal sebagai masyarakat yang ambisius, berani, mempunyai loyalitas ashabiyah (rasa kesukuan) yang tinggi karena latar wilayah yang tandus. Tandusnya wilayah Padang Pasir membuat masyarakat melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain demi mencari sumber air yang merupakan sumber kehidupan masyarakat dan ternak mereka, karena latar wilayah yang tandus dan kering. Tradisi berpindah-pindah tempat ini telah berlangsung sejak nenek moyang mereka ratusan tahun lalu dan masih dilestarikan oleh Ibrahim dan keluarganya. Ibrahim bersama keluarganya melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Perpindahan tempat ini dilakukan oleh Ibrahim tidak hanya untuk mencari sumber air sebagai sumber kehidupan, tetapi juga untuk menyebarkan misi dakwahnya. Karakter seperti ini ternyata mempermudah dan menguntungkan bagi dakwah Ibrahim, karena dengan waktu yang relatif singkat dakwah Ibrahim dapat menyebar ke berbagai kawasan. (27 :FDL?) ها6H7;5 =>? a ه6437 ،F7R< ا:< ذZ[ _5د6W< ا8دة اه6\ F7…و “…Dan yang menjadi kebiasaan orang nomaden zaman dahulu, bahkan ada yang dilestarikan sampai sekarang"
Tradisi hidup berpindah-pindah terutama yang dilakukan oleh Ibrahim dan keluarganya disebabkan oleh tanahnya yang terdiri dari gurun pasir yang kering dan sangat sedikit sekali turun hujan. Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat yang lain itu mengikuti tumbuhnya stepa atau padang rumput yang tumbuh secara sporadis di tanah Arab sekitar oasis atau genangan air setelah turun hujan.
31
Qabilah bentuk jamaknya qabail, qabilah memiliki makna suku, AW. Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 1088
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
38
Ibrahim memiliki alasan kuat dalam melakukan perpindahan ini yaitu untuk menyebarkan sayap penyebaran dakwahnya karena ia berkeyakinan bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan tertentu selain yang berupa materi yaitu kebutuhan akan pengetahuan spiritual dan alam akhirat, yang hanya dapat dipenuhi dengan mempelajari ilmu agama, menggali pengalaman orang lain, bahkan bekerja sama dengan orang lain. Interaksi yang timbul dalam masyarakat Arab karena adanya tradisi berpindah-pindah ini adalah adanya keterjalinan berdasarkan ketaatan dan kepatuhan terhadap ajaran agama. Selain itu, akan terciptanya rasa solidaritas, rasa saling membutuhkan satu sama lain, karena seseorang tidak akan mampu menjalani hidup sendiri dalam memenuhi segala kebutuhannya baik kebutuhan materi maupun maknawi. Tradisi nomaden merupakan suatu yang bukan tanpa nilai, ia memberikan nilai yang sangat luhur, karena dengannya dapat mengenali budaya wilayah lain. Akibatnya budaya masyarakat Timur Tengah berkembang dengan kekhasan budaya Timur Tengah sebagai sebuah wilayah yang telah membentuk suatu kebudayaan.
2.1.4 Tradisi Memuliakan Tamu Agama memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi kehidupan, salah satu satunya adalah budaya menyambut dan memuliakan tamu. Dalam tradisi yang berlaku dalam masyarakat Timur Tengah, menghormati tamu merupakan wujud cinta terhadap Tuhan, karena dengan memuliakan manusia yang merupakan makhluk ciptaan-Nya, berarti pula memiliki arti yang sama dengan memuliakan Tuhan. Tradisi memuliakan tamu mendapatkan landasan normatif-teologis sehingga dimaknai sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan dilanggengkan sebagai bentuk respons terhadap apa yang diyakininya sebagai pemeluk agama. Tradisi memuliakan tamu tercipta karena adanya tradisi hidup yang berpindah-pindah, sehingga kedatangan penduduk dari suku lain menjadi pemandangan yang biasa. Karena tradisi hidup berpindah-pindah inilah yang menciptakan keterjalinan satu suku dengan suku lainnya. Dalam novel Ukhruj
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
39
Minha Ya Mal’un tradisi memuliakan tamu tersebut terlihat dalam kutipan berikut: k7 ad< _EzY` ;اdD< ،f5-y DJ ون و;د-Ej>L5 67TH\ ون-ld5 ،?;الv ا8 آZ[و FD3آ/د اT\ ن6 أو إذا آ،ad< _Ezx =3\ ;لd<ر اEB إذا،fLd[ وادامT5- أو، وادامT5- (13 :FDL?) ad3< اkzx F7 -أآ “Dalam berbagai keadaan, mereka sering mendatangi tamu yang dianggap asing, untuk sekadar berbagi daging dan roti beserta lauknya, atau malah cuma roti dan lauk saja tanpa daging, Bahkan jika jumlah orang yang akan makannya berjumlah banyak, sepotong daging pun dibagi rata”
Hal ini terjadi ketika Ibrahim beserta keluarganya tiba pada satu tempat yang dihuni suatu suku, mereka mendatangi Ibrahim karena mereka tahu Ibrahim bukan penduduk suku tersebut. Kedatangan Ibrahim disambut baik oleh penduduk suku dengan menjamu Ibrahim dan keluarganya dengan jamuan yang baik. Sambutan hangat itu berupa penduduk suku tersebut mendatangi Ibrahim hanya untuk memberi makanan sebagai bentuk penghormatan mereka –seperti memberikan roti dan daging-, mengundang Ibrahim dan keluarganya untuk makan di rumah mereka, bahkan mereka menyembelih kambing hanya untuk menghormatinya. Keramahtamahan dalam memuliakan tamu tidak hanya berlaku bagi orang yang berasal dari sukunya saja, tetapi itupun dilakukan terhadap mereka yang berasal dari luar golongan suku mereka. Tak peduli sedikitnya makanan yang mereka miliki, tradisi membagi makanan sama rata menjadi hal yang biasa mereka lakukan. Merekapun membagi roti dan daging kepada tamunya –yang mengunjungi dan yang mereka kunjungi- yang merupakan makanan pokok mereka sebagai bentuk penghormatan. Sikap yang ditunjukan oleh masyarakat Arab ini mencerminkan cinta dan kasih sayang di tengah kehidupan mereka. Dimana seorang Muslim memiliki tugas dalam kesehariannya, baik terhadap keluarga maupun lingkungannya. Ia harus menemui, bersikap ramah, dan menyayangi mereka. Ia harus mengetahui kesulitan dan masalah yang dihadapi dan berusaha sekuat mungkin membantu Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
40
mereka dalam menyelesaikannya. Ia bersama mereka dalam suka maupun duka, sehati dengan mereka, hal ini memiliki arti bahwa kesusahan yang menimpa mereka adalah kesusahan dirinya karena seorang Muslim harus berperan dalam kebahagiaan mereka. Dalam bagian lain, tradisi memuliakan tamu ini ditunjukan oleh Lazzah, ketika ia memberikan makanan kepada tamu yang berkunjung ke rumahnya. Lazzah membekali tamu dengan makanan ketika tamu tersebut hendak pulang, seperti dalam kutipan di bawah ini: TDE` :>D` انk7 ،x;< ها اZ[ 6H>D` F7 Z-MB ان،_ّD. ا65 ^;ز5 ا..._؟b[ 65 ،^;ز ها5ا انF5TYB :H اS :<< ،_D`-\ b! ؟ ا:<6 واbم ا6Ez< اZ<و6H>B ان-Dy F7 ،6DWLb (131 :FDL?) !م6Ez<م اTYb fb ان8Wx FD-MB aهT? <; ر{ك ا،6H5RMB
“Apakah hal ini layak dilakukan, wahai saudariku?... Kamu tak boleh meninggalkan rumah kami begitu saja karena rumahmu jauh dari sini, kamu tak boleh pulang kalau tak membawa makanan untukmu dan untuk anak-anakmu. Kamu adalah orang Arab, jadi tak mau mempermalukan dan membuat kami bersedih hati. Jangan sampai ada yang pulang tanpa membawa makanan!” Lazzah
sangat
menghormati
nilai-nilai
budayanya
dengan
cara
mewujudkannya dalam tindakan nyata. Tradisi membagikan makanan kepada orang yang mengunjungi mereka adalah sesuatu yang harus mereka lakukan, bahkan jika hal itu tidak dilakukan terutama bagi mereka yang memiliki makanan lebih akan menjadi aib. Adalah suatu aib yang sangat memalukan ketika tamu yang berkunjung tidak mendapatkan makanan dari tuan rumah. Dengan pengertian tersebut, ada satu nilai yang penting bagi mereka, yaitu dengan tidak membiarkan tamu -termasuk didalamnya keluarga orang yang bertamumerasakan lapar karena tidak mendapatkan makanan. Dalam masyarakat Muslim berlaku ketentuan apabila seseorang diantara mereka mendapatkan kerabatnya dalam keperluan dan kelaparan, maka mereka tidak boleh menolak untuk menolongnya dengan apa yang tidak akan menambah apabila pertolongan ini tidak diberikan karena tidak akan berkurang karena memberikannya, menafkahkannya. Hal ini menggambarkan hubungan yang
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
41
berdasarkan
atas
kepeduliaan
yaitu
dengan
mendahulukan
kepentingan
saudaranya ketimbang dirinya. Sikap yang dilakukan oleh Lazzah dan penduduk suku dalam memuliakan tamu ini mengacu pada nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama. Menurut Ilyas (2003: 39) dalam hadits-hadits Islam menekankan sekali adanya silah alrahim. Silah al-rahim merupakan bagian dari agama, selain itu silah al-rahim dapat memanjangkan umur dan meluaskan rezeki, bahkan jalan menuju surga dan rahmat Allah. Pentingnya menjaga silah al-rahim mendapat landasan teologisnormatif dari agama, dalam beberapa hadits disebutkan yang artinya “sambunglah silah al-rahim walaupun dengan ucapan salam” dalam hadits lain disebutkan “sambunglah silah al-rahim walau dengan segelas air” Tidak hanya membagikan makanan kepada tamunya, tradisi makan bersamapun mereka lakukan. Tradisi makan bersama dalam masyarakat Timur Tengah
merupakan kebiasaan yang berlaku secara turun temurun sejak nabi
Ibrahim. Nabi Ibrahim yang tidak mau makan sendirian, begitu pula dengan orang-orang Arab apalagi jika mereka kedatangan tamu, mereka akan makan bersama tamunya. Memuliakan tamu merupakan ciri khas budaya Timur Tengah bahkan hal itu mendapat legitimasi secara normatif-teologis yang mencerminkan tingkat keimanan seseorang. Bertamu dalam Islam memiliki dasar dan aturan yang khusus yaitu etika dalam bertamu (Ilyas, 2003: 172-175). Etika tersebut meliputi: pertama, menurut Islam bahwa ukuran dan aturan yang penting yang harus dipandang dalam bertamu adalah taqwa dengan pengertian menjauhkan dari maksiat. Kedua, dalam memenuhi undangan, seorang tamu tidak harus membedakan antara orang yang miskin atau kaya seperti halnya dalam mengundang tamu. Ketiga, tamu undangan ketika memasuki rumah hendaknya tidak memilih-milih tempat yang terhormat atau paling depan. Keempat, tuan rumah tidak membebani tamu bahkan harus memuliakannya. Kelima, dalam melayani tamu, tuan rumah hendaknya tidak menyusahkan diri dan keluarganya. Keenam, di depan hidangan makanan, tuan rumah adalah orang yang paling pertama memulai menyantap makanan dan paling akhir selesai makan. Ketujuh, ketika tamu hendak keluar, maka tuan rumah
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
42
hendaknya mengantarkan tamunya sampai di pintu rumah. Di sisi lain tamu berpamitan dan mengucapkan salam.
2.1.5 Tradisi Hukuman Tradisi hukuman pada masyarakat Timur Tengah merupakan akumulasi dari tradisi asli yang berakar pada agama. Agama menjadi pijakan dalam menentukan hukuman terhadap tindak kejahatan yang dilakukan. Masyarakat Arab dikenal sebagai masyarakat yang keras dalam memegang titah agama, karena disanalah agama lahir. Aturan-aturan agama lahir dengan adanya kesesuaian dengan kondisi masyarakatnya, konteks terhadap bakunya aturan selalu berlandas pada kondisi yang melingkupinya. Nilai kehormatan bagi masyarakat Arab terletak pada diri dan anggota keluarganya, terutama pada kaum perempuan. Perempuan merupakan properti domestik yang keberadaannya dijaga secara ketat, maka menjadi aib jika perempuan menjalin hubungan khusus dengan lawan jenis tanpa ikatan sakral pernikahan. Sehingga tak jarang antara lelaki dan perempuan tidak saling mengenal, kecuali mereka yang memiliki hubungan kekerabatan atau pernikahan. Tradisi menjatuhkan hukuman pada setiap tindak kejahatan tidak hanya berlaku pada kaum laki-laki, tetapi juga kaum perempuan. Hukuman akan dijatuhkan sesuai dengan tindak kejahatan yang dilakukan, aturan yang keras dan baku terhadap hukuman tindak kejahatan ini, memiliki tujuan mulia yaitu untuk menjaga hak-hak manusia yang hidup dalam suatu lingkungan. Hasqil pernah mencoba melakukan tindak perkosaan terhadap anak kepala suku, kontan hal ini membuat Ibrahim dan keluarganya malu sekaligus terpukul, karena Ibrahim adalah pendatang pada suku tersebut. Kendatipun tidak perkosaan itu tidak terjadi, tetapi Hasqil berhasil mencoreng nama baik Ibrahim serta membuat kepala suku geram dan marah besar. Ibrahim segera memerintahkan Mahmud dan Yusuf untuk menangkap Hasqil kemudian diserahkan kepada kepala suku untuk mendapatkan ganjaran atas perbuatannya itu. Ibrahim menjelaskan kepada kepala suku bahwa hukuman bagi pelaku tindak kejahatan perkosaan terhadap wanita, maka pemerkosa akan mendapat hukuman berupa dibunuh, tetapi jika itu dilakukan atas dasar suka sama suka dan
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
43
tanpa ikatan pernikahan, maka hukuman untuk keduanya yaitu untuk pihak lakilaki dan perempuan adalah juga dibunuh, keterangan Ibrahim terlihat dalam kutipan berikut: 8>Y< وه; ا،ب-E< ا86Wx 8_ وآ3DWY< اn ه1D3\ دت6>\ ا67 رج6. ودةTd7 15T< _bو-4<;ن ا2Bو (31 :FDL?) 6ه6J-` ن6 اذا آ8-<أة وا-4< ا8>x و،6ه6Jف رM` أة-76` ش-d>5 F4<
“Dengan menerapkan aturan yang berlaku di sukunya dan suku-suku Arab yang lain, yaitu dibunuh bila memperkosa perempuan dan membunuh keduanya sekaligus bila dilakukan atas dasar suka sama suka” Setelah kepala suku mendengarkan penjelasan Ibrahim tentang hukuman, kemudian Ibrahim menyerahkan Hasqil kepada kepala suku, dengan penuh penghormatan kepala suku menyerahkan kembali Hasqil kepada Ibrahim. Hal itu dilakukan karena kepala suku merasakan keluhuran budi -keadilan Ibrahim dalam menghukum cucunya sendiri yang berbuat salah. Kepala suku memeluk Ibrahim kemudian ia berbisik bahwa ia memaafkan perbuatan Hasqil. Ibrahim membiarkan Hasqil pergi jauh dari kehidupannya dengan cara mengusir Hasqil, hal ini dilakukan sebagai hukuman pengganti yang diberikan Ibrahim kepada Hasqil. Walau demikian, Ibrahim memberi bekal Hasqil dengan seekor keledai. Perpisahan itu dilakukan karena perbedaan pandangan hidup, iman, dan moral keduanya yang sudah berbeda jauh, dan hal ini dilakukan Ibrahim sebagai upaya mendidik Hasqil. Peraturan yang ketat terhadap tindak kejahatan mendapat legitimasi dari ajaran agama, terutama yang dilakukan terhadap perempuan misalnya perkosaan. Hukuman terhadap tindak perkosaan sangatlah berat, hal ini dilakukan untuk menjaga kejelasan keturunan karena nasab menurut masyarakat Arab adalah penting. Bagi pelaku pemerkosa hukuman yang berlaku adalah dengan dibunuh, sedangkan jika itu dilakukan atas dasar suka sama suka maka keduanya dibunuh. Seperti halnya tindak perkosaan, ketika kepala suku mendapati tindakan kejahatan berupa pencurian ia memberikan hukuman yang berat yaitu dipotong tangan. Hukuman potong tangan dilakukan karena tradisi masyarakat yang nomaden, sehingga tidak dimungkinkan dilakukannya hukuman lain, ini
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
44
dilakukan untuk membuat efek jera. Tradisi hukuman potong tangan ini terlihat pada kutipan dalam novel berikut ini: (48 :FDL?) TD< اkzY` 6DbT< اZ[ 6X`6Y\ aه->H5 _x-t اءR “Adapun hukuman –yang berlaku di dunia- bagi pencuri adalah hukuman potong tangan”
Bagian tubuh yang dipotong karena tindak kejahatan pencurian ini adalah tangan dan kaki. Jika penjahat melakukan pencurian untuk pertama kali dan jumlah barang yang dicuri telah sesuai dengan ketentuan agama, maka hukumannya adalah dipotong pada tangan sebelah kanan. Jika tindak pencurian kembali dilakukan untuk kedua kalinya dan jumlah yang dicuri sesuai ketentuan, maka hukumannya adalah dipotong pada kaki sebelah kiri. Jika tindak pencurian dilakukan untuk ketiga kalinya, maka hukumannya adalah dipotong pada tangan sebelah kiri. Dan jika tindak pencurian itu kembali dilakukan untuk keempat kalinya, maka hukumannya adalah dipotong pada kaki sebelah kanan. Akan tetapi menurut Shihab (2008: 91) tradisi hukuman potong tangan merupakan pilihan hukuman terakhir atau maksimal, jadi masih ada bisa diganti dengan hukuman yang lebih rendah dari itu atas dasar pertimbangan rukhsah32. Tradisi hukuman yang keras inilah yang akan membuat efek jera bagi pelaku tindak kejahatan dan ini dilakukan untuk melindungi manusia atas hakhaknya hidupnya untuk merasa aman dan tenang. Kondisi wilayah yang keras dan tandus menyebabkan kehidupan yang keras pula, sehingga mempengaruhi tradisi hukuman bagi pelaku tindak kejahatan. Dalam upaya untuk melindungi setiap individu dari tindak kejahatan, maka diterapkannya hukuman adalah suatu keharusaan yang tidak bisa ditolelir. Hukuman sebagai cermin dari wujud ketegasan masyarakat Timur Tengah.
2.1.6 Etika berperang
32
Rukhsah asal kata dari rakhusa yarkhusu rukhsan dalam bahasa Arab kata ini bermakna keringanan, izin. Rukhsah memiliki arti yang sama dengan takhfif. AW. Munawwir, Kamus alMunawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 484
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
45
Kata atau pedang, inilah yang menjadi acuan bertindaknya suatu individu atau masyarakat di Timur Tengah. Kondisi wilayah yang panas menyebabkan kerasnya kehidupan, tradisi nomaden yang sedikit banyak melahirkan bibit hasrat untuk
berkuasa,
dan
dakwah
keagamaan
menjadikan
perang
menjadi
pemandangan yang biasa. Hal tersebut memicu lahirnya konflik antar satu suku dengan suku lain bahkan lebih luas lagi antar satu wilayah dengan wilayah lain. Tetapi dalam perjalanannya, meskipun mereka melakukan peperangan, perang yang dilakukan mereka tersebut tidak dengan tanpa aturan. Adanya aturan yang berupa etika dalam berperang yang berlaku dalam masyarakat Timur Tengah adalah dengan tidak melakukan peperangan atau tidak memerangi kaum awam. Etika berperang merujuk pada tradisi budaya para pendahulu mereka yang diturunkan secara turun temurun. Tradisi para pendahulu bagi masyarakat Timur Tengah adalah penting karena dengannya lahir pengetahuan dan prinsip-prinsip yang dijadikan pegangan hidup. Pokok pikiran tersebut terlihat dalam kutipan berikut: ء6EJ aXbو-W>E5 ف و-d<ب ا6dون اRs5 S ب-E< ان اa 17;x a3\ ;ن25 S ¡ 6<ن اv (70 :FDL?) وRy Z[ aX7;x رآ;ن6j5 Sو
“Setiap orang memperoleh pengetahuan dari tradisinya dan dalam tradisi Arab tidak akan memerangi orang-orang awam dan orang-orang lemah dengan tidak mengikutsertakan mereka dalam perang” Lazzah sangat geram dengan prilaku Hasqil yang selalu menciptakan peperangan di kalangan suku-suku Arab, Hasqil mengadudomba suku-suku agar tercipta peperangan yang akhirnya membuat pedang yang dibuatnya laris, sehingga ia memperoleh keuntungan. Hasqil tidak peduli apakah suku-suku yang diadu-domba adalah orang yang lemah atau tidak, karena baginya yang paling penting adalah keuntungan dari hasil penjualan pedangnya. Dalam tradisi Arab, ada beberapa kondisi yang dilarang dilakukan perang, seperti membunuh anak kecil, orang tua yang tidak berdaya, dan perempuan. Bahkan lebih dari itu, tidak diperbolehkan dalam berperang merusak tempat
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
46
ibadah, merusak fasilitas umum, dan mengganggu hak hidup tumbuhan. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan Hasqil, ketika ia berhasil menciptakan peperangan maka yang menjadi acuannya adalah keuntungan, bukan ketentuanketentuan sebagaimana yang berlaku dalam masyarakat Arab. Dikatakan aib dan tidak etis jika peperangan terjadi antara dua kekuatan yang tidak seimbang. Tujuan perang adalah menaklukan musuh, tetapi bukan berarti dilakukan secara membabi buta dan tanpa aturan. Kutipan berikut menunjukan adanya etika dalam berperang yang masih dijaga oleh Salim, dimana etika itu berakar pada tradisi para pendahulunya. Hal ini tergambar seperti dalam kutipan berikut: 1< -7 أ،1>dB F7 1t-[ aهT?ل اTH أو،وم-< اn; وF7 ا-DW آ6XD و8B6x 643 آ64<6t ان T? ا-L واذا آ، س-[ -X [;ق-D5 انTE` S ا1<6>x F7 F5-./ اkH7 و،13B6Y5 a< و،س-` 62L4>7 ZY` وnادT اF\ 6X? _3Dدة ا6\ n… وه13B6Y5 =>? T5T DL` 1< -7 أ1Dt ( 174:FDL?) 6X` “Salim tidak membunuh pemuka atau tentara Romawi kecuali mereka berada di atas kuda, ia tidak membunuhnya kecuali setelah ia memerintahkan kepada pemuka suku Romawi untuk menggunakan kuda, dan melarang untuk tidak melakukan pembunuhan kecuali setelah berada di atas kuda atau bila pedang mereka patah, Salim menyuruhnya memakai pedang lain sampai ia membunuhnya… Begitulah tradisi yang diwariskan dan dijaga”. Peperangan ini terjadi ketika Salim dan Lazzah melakukan penyerangan terhadap kekuasaan Hasqil yang bekerja sama dengan Romawi. Peperangan ini berlangsung sengit karena Salim harus menghadapi kekuatan Romawi yang dikenal sebagai suku terkuat. Kendatipun demikian, Salim tidak merasakan ketakutan ketika berhadapan dengan kepala suku Romawi. Ia tidak membiarkan lawannya berada dalam posisi tidak setara dengannya, ketika Salim mendapati pemuka Romawi terjatuh dari kuda, ia tidak lantas menggunakan kesempatan itu untuk membunuh pemuka Romawi sampai ia menyuruhnya untuk naik ke atas kuda. Salim menampakan keluhuran nilai budaya yang tercermin dalam tindakan terpuji. Hal ini dilakukan untuk menunjukan bahwa kebudayaan yang berlaku Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
47
dalam masyarakat Arab adalah kebudayaan luhur, yang sangat menghormati hakhak dalam setiap kondisinya, termasuk dalam kondisi perang sekalipun. Musuh tidak lantas menjadikan Salim memerangi secara membabi buta dan tidak mematuhi peraturan, justru dalam keadaan tersulitpun peraturan itu harus tetap dijaga dan dihormati. Etika dalam perang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Timur Tengah, kendatipun watak dasar mereka yang keras. Hal ini tidak menjadikan etika luput dari perhatian mereka, sehingga sangatlah wajar bila dalam berperang sekalipun mereka berlandaskan pada aturan-aturan yang berakar pada nilai-nilai yang diturunkan oleh tradisi yang masih mereka jaga dan berlakukan.
2.1.7 Etika Berjabat-tangan Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Timur Tengah apabila mereka bertemu dan bertegur sapa mereka berjabat tangan dan mengucapkan salam. Tradisi tersebut merupakan bentuk penghormatan dan menjadi suatu kebiasaan turun temurun, ucapan salam bermakna doa bukan hanya bagi yang menyapa, tetapi juga bagi yang disapa. Begitu juga berjabat tangan menjadi sebuah kelaziman dan memiliki ciri khas tersendiri. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan Hasqil ketika ia merayakan keberhasilan
saat
mengambil
harta
rampasan
perang
dan
kemudian
membagikannya kepada kepala suku Romawi sebagai upah atas bantuan Romawi kepada Hasqil. Hasqil menjabat tangan kepala suku Romawi dengan mengangkat tangannya ke atas, kebiasaan berjabat tangan ala kepala suku Romawi. Kutipan di bawah ini menggambarkan bagaimana Hasqil telah merubah sedikit demi sedikit kebiasaan yang berlaku dalam kebudayaannya. FD>EB-7 64اهT5 b6 وآ،;ةY` TD` اT5 6`-J و...8DYL? £[6D< nT5 وم-< ا¤D¥ k[ رa… دة6\ =3\ 6ً5- :< ذE[ ..._D`-E<_ اY5-z< ا64 آ،64XlE` =< إFDBودT47 6>LD<_ و46x `;رة (168 :FDL?) وم-<ا “…Kemudian kepala suku mengangkat tangannya untuk menjabat tangan Hasqil…keduanya bersalaman erat, kedua tangan yang bersalaman itu diangkat ke atas dan bukan menjulur lurus satu sama
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
48
lain sebagaimana yang menjadi kebiasaan orang-orang Arab…itu merupakan salah satu kebiasaan Romawi” Cara berjabat tangan yang dilakukan Hasqil dan kepala suku Romawi berbeda dengan yang berlaku dalam masyarakat Timur Tengah yaitu dengan menjulurkan tangan secara lurus dan tidak melepaskan tangannya terlebih dahulu pada saat berjabat tangan sebelum orang lain melepaskannya kemudian mencium pipi sebagai tanda kecintaan. Karena dalam ajaran agama hadits menjelaskan bahwa Tuhan akan memberi pengampunan kepada dua orang yang berjabat tangan selama tangan mereka masih bersatu. Dengan kata lain, semakin lama tangan bersatu, maka lebih banyak pengampunan yang diberikan. Etika berjabat tangan tersebut hanya berlaku bagi sesama jenis, sedangkan bagi yang berlainan jenis hal itu dilarang, bahkan diharamkan kecuali bagi suami istri atau yang memiliki hubungan darah. Selain itu, tradisi mencium tangan orang lain ketika berjabat tangan diperbolehkan bahkan dianjurkan terutama bagi seseorang yang memiliki kezuhudan, kesalehan, kemuliaan, dan kedalaman ilmu sebagai bentuk penghormatan. Tetapi jika mencium tangan yang dilakukan atas dasar kedudukan pangkat, kekayaan, dan kegagahan yang memicu lahirnya keangkuhan adalah tidak diperbolehkan. Secara keseluruhan penjelasan tersebut menyimpulkan bahwa etika Islam dalam bermasyarakat Islam berlandaskan pada kukuhnya kemuliaan, kesucian dan cinta, persaudaraan dan saling menghormati. Semua nilai dan kedudukan ini adalah dalam rangka untuk mencapai keridlaan Allah untuk menciptakan persatuan, sehati, dan sejalan. Sebaliknya, jika hal tersebut tidak menjadi dasar maka yang tercipta adalah perpecahan yang dapat menjauhkan mereka satu sama lain. Kemuliaan-kemuliaan itu tidak akan tercapai kecuali mereka sama-sama bersatu, satu keinginan, satu kedamaian hati, satu genggaman tangan, saling membela dan membantu serta memiliki satu tujuan. Ilyas (2003: 274-275) menyatakan bahwa tujuan-tujuan etika Islam yang mendasar dalam masyarakat adalah untuk: pertama, mewujudkan dan memelihara kekuatan, kemampuan, kemuliaan, dan kesucian umat islam melalui perwujudan persatuan dan kesatuan di antara kaum Muslim. Kedua, berusaha mengajak semua Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
49
umat menuju Islam melalui menjadi contoh dalam sikap dan prilaku sosial. Ketiga, saling membantu dan mewujudkan perkembangan dan keagungan kaum Muslim dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal ini dilakukan untuk menghindari dari ancaman yang akan menciptakan perpecahan, kebencian, dan permusuhan dalam tubuh kaum Muslim. Sebuah bagian penting dari bahasan ini adalah komunitas Islam yang menunjuk pada kelompok manusia yang terintegrasi dalam kategori agama, garis keturunan, dan kebudayaan. Kehidupan Muslim diatur oleh Syariah yang dibedakan dengan hukum dan konstitusi Barat. Empat sumber utama syariah adalah Al-Qur’an, Sunnah, Qiyas, dan Ijma (Shimogaki, 1993: 23). Dengan demikian prioritas pertama adalah firman Tuhan, yaitu Al-Qur’an dengan demikian yang menjadi pusat jaringan relasional Islam adalah syariah bukan di dalam negara seperti dalam bentuk negara-bangsa Barat. Dalam rangka menegaskan identitasnya, maka upaya membangun kembali identitas dengan kembali kepada nilai-nilai religiusitas, sosial, dan budayanya adalah suatu kelaziman untuk menciptakan kebudayaan yang khas. 2.3. Kesadaran Timur Tengah terhadap Bentuk Penjajahan Asing 2.3.1. Siasat penjajah; konflik adalah pemicu suburnya penjajahan Perebutan wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya alam menjadi daya tarik, bahkan menjadi alasan terjadinya pendudukan. Hal tersebut memicu lahirnya konflik yang tidak bisa dihindari, berbagai macam cara dilakukan untuk dapat menaklukkan wilayah yang dikehendaki baik dengan cara halus maupun kasar, seperti adanya usaha pemecah-belahan dalam tubuh suatu wilayah – kekuasaaan- dengan mengobarkan api pertentangan dan permusuhan. Berbagai intrik dan modus diciptakan Hasqil yang bekerja sama dengan Romawi dalam menjalankan aksinya, sehingga terpecah-pecahlah kelompok antara yang setuju dan tidak terhadap penguasa atau kebijakan yang berlaku. Tujuan utama mereka adalah terciptanya kelompok yang anti terhadap penguasa wilayah
setempat,
dengan
cara
memobilisasi
bahkan
dengan
cara
pengadudombaan untuk menciptakan perpecahan dalam tubuh sehingga memudahkan usaha Hasqil untuk melakukan penaklukan.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
50
Hasqil dan Romawi menciptakan politik adu domba, penyebaran rasa takut, dan perang urat saraf terhadap semua kelompok suku dan para penguasa wilayah, karena dalam pandangan Hasqil langkah-langkah tersebut merupakan langkah strategis untuk memperkokoh hegemoni kekuasaannya. Hasqil berusaha menggunakan kesempatan ini untuk menekan berbagai pihak yang tidak mendukung kepentingannya. Hasqil memiliki tujuan besar yang mendasari sikapnya, yaitu optimalisasi barang-barang yang diproduksinya yaitu berupa peralatan perang baik pedang, parang dan lainnya dan optimalisasi penguasaan pengaruh politiknya untuk menguasai setiap wilayah. Selain bersandar pada strategi politik, Hasqil menjadikan basis kekuatan ekonomi untuk semakin memperkokoh kekuasaannya. Ia semakin menampakan kelicikannya -ketika ia sukses membuat pedang dan parang, kemudian ia sengaja memancing perang antarsuku. Akhirnya suku-suku yang berperang pun banyak memesan pedang dan parangnya, pundi-pundi emas Hasqil pun semakin bertambah banyak. Dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un sikap Hasqil ini ditunjukan dalam kutipan berikut: ( 71 :FDL?) Z[;DL` س6H< اFD` اب->?S اk^¥و و اRs< اk^¥ ا...س6tS ها اZ3\و
“dalam kondisi begitu… aku akan menggerakan orang berperang dengan menggunakan pedangku” Kondisi tersebut merupakan sasaran empuk dan efektif untuk menguasai suatu wilayah. Selain keinginan untuk berkuasa, dalam hal ini motif ekonomi tidak bisa dikesampingkan. Banyak keuntungan yang dapat dimanfaatkan oleh penjajah yaitu Hasqil dalam kondisi perpecahan dan perang. Keuntungan yang diperoleh Hasqil akan semakin menggurita seiring dengan banyaknya perang yang berhasil ia ciptakan, karena dengannya akan semakin banyak pedang dan parang yang dibutuhkan untuk berperang. Tanpa harus ikut terlibat dalam peperangan secara langsung, Hasqil dapat menikmati keuntungan. Segala hal yang mendukung terjadinya perang akan mendapat dukungan Hasqil, misalnya dengan menyediakan peralatan perang. Karena kepentingan mereka, maka akan selalu diciptakan pertentangan demi
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
51
tercapainya hasrat untuk berkuasa. Yang menjadi korban atas usaha licik Hasqil ini adalah mereka yang berhasil diperdaya oleh Hasqil. Pada bagian lain, dalam novel ini ditegaskan bagaimana Hasqil dengan segala tipu dayanya berusaha untuk memunculkan konflik antarsuku sehingga yang muncul kemudian adalah perpecahan, ia lakukan itu dengan tanpa harus turun tangan, seandainya hal itu pun terjadi, semata-mata karena keadaan yang memaksanya untuk turun tangan. Hal ini terlihat seperti pada kutipan berikut: ( 71 :FDL?) ا-zl7 Sة إ-¥6W7 `;رةZDt مTM>t اS “Aku tidak akan menggunakan pedangku secara langsung kecuali bila dalam keadaan terpaksa”
Hasqil memiliki kepiawaian dalam memainkan perannya dan menjalankan strategi-strategi politik berkuasanya, ia menjadikan citra dirinya sebagai pemimpin yang kuat dan handal sepeti halnya ia mencitrakan Romawi sebagai suku terkuat dan terbesar serta tak terkalahkan. Ia meyakini bahwa zona aman posisinya tergantung pada kepiawaiannya dalam memainkan politik dan konfrontasi tanpa harus terlibat secara langsung. Hasqil dan Romawi melakukan penjajahan dengan tidak menggunakan kekuatan fisik semata. Keberhasilan dalam memainkan praktek penjajahan merupakan keberhasilan dalam menciptakan situasi konflik, sehingga tidak perlu menggunakan kekuatan fisik. Di sisi lain, selain mereka menggunakan kekuatan yang tersembunyi, kondisi aman menjadi kondisi yang sangat dihindari. Pengidentifikasian tersebut dipertegas dalam kutipan berikut: aXHD` 64D[ ل6>Y< اaX3sj5 64HD` Z>HX7 Z[ ا- آF5-. اFDL[6H7 Z< 8E^5 Tx ار-Y>tSان ا 1D[ رك6¥ اS F2<و وRs< اk^¥س ا6tS ها اZ3\ر وا<¨ر وTs<_ واx-< ا87_ \;اD4H>` ( 71 :FDL?) ة-¥6W7 “Kondisi damai hanya akan memunculkan banyak saingan baru bagiku (bagi Hasqil), dalam kondisi banyak terjadi perang aku akan mendukung, tetapi tidak ikut secara langsung”
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
52
Hasqil berusaha menyingkirkan kompetitor dan rival potensialnya karena baginya mereka adalah ancaman yang membahayakan posisi strategisnya sebagai penguasa. Hasqil juga menggunakan cara kooptasi untuk menjamin dukungan dari pendukungnya dengan memberikan kemudahan ekonomi, hal ini dilakukan untuk memperkuat
dan
menancapkan
kukunya
secara
dalam
agar
dapat
mempertahankan kekuasaan politiknya. Dalam keadaan konflik, maka kemudian yang muncul adalah adanya posisi suku tertentu yang redup, sementara di pihak lain akan bersinar. Bahkan terjadi pula perubahan dan pergantian di masa damai melalui proses perubahan kekuatan secara bertahap, sehingga antarsuku yang sedang konflik menjadi lemah, hanya saja peperangan lebih efektif daripada perdamaian. Karena begitu besarnya keuntungan yang akan diraih, maka pihak-pihak yang dengan sengaja menciptakan situsi konflik akan senantiasa menjauhkan wilayah yang menjadi sararannya jauh dari kata damai. Karena mereka menganggap dengan situasi damai, hanya akan melahirkan saingan terhadap kekuatannya dan tidak akan memberi mereka keuntungan.
2.3.2. Monopoli ekonomi dan hutang sebagai alat untuk menjajah Penjajahan tidak hanya menggunakan pendekatan politik dengan menggunakan strategi militer unuk menduduki suatu wilayah, melainkan dapat pula menggunakan pendekatan terhadap sektor ekonomi baik dengan cara melakukan monopoli bahkan motif hutang, karena melalui sektor tersebut, penjajah akan dengan mudahnya menguasai dan mengendalikan suatu keadaan dengan menerapkan kebijakan sesuai dengan kepentingan mereka. Ekonomi adalah jantung kekuatan (Musa, 2003: 15) berdasarkan pada pengertian tersebut bahwa kekuatan ekonomi memiliki potensi besar untuk berubah menjadi kekuatan untuk menguasai suatu wilayah. Kekuatan ekonomi suatu wilayah akan sangat tergantung kepada kekuatan mempengaruhi wilayah lain dengan cara memberikan pinjaman dan batuan ekonomi sampai pada tahap dimana pemberian bantuan telah menjadi taktik penjajahan. Strategi melalui jalur ekonomi tersebut dimaksudkan sebagai investasi untuk membangun kekuatan dan mengeksploitasi kekuatan sebagai kekuatan
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
53
potensial untuk menguasai suatu wilayah. Cara ini yang ditempuh Hasqil bersama sekutunya Romawi yang terus melakukan ekspansi ekonomi ke berbagai bidang dari mulai membuat usaha peralatan perang, pertukangan besi, minyak samin, dan lainnya sebagai salah satu wujud upaya untuk mengintimidasi wilayah yang akan ditaklukannya. Hal itu tampak pada kutipan di bawah ini: رة6^H<ادة واTd< اkD76^7 Z[ واT>45 و،_6. _اآ-¥ p[ وaXd<67 Z[ ;اEt;>5 = ان3\ S6^7 aX< £>5 S F7 و،86WY< ا82< >;ن5R< وا5R< واLW< واF4L< اkD`آ_ و6Dd<وا ( 89 :FDL?) _آ->j7 `;رة6`-? 1D3\ ;نHj5 aXd<64< “Mereka (Hasqil dan suku Romawi) tidak hanya mengembangkan hubungan persekutuan semata, tetapi mereka juga mendirikan lembaga pertukangan besi, usaha peralatan perang, minyak samin, dan minyak zaitun untuk setiap suku, bagi yang tidak mau tunduk pada kepentingan mereka maka akan diperangi”
Hasqil terus melebarkan basis ekonominya dengan mendirikan berbagai macam bentuk usaha sebagai alat melanggengkan kekuasaan dirinya. Ketika keadaan ekonomi kuat dan maju, maka akan melahirkan kekuatan untuk berkuasa. Usaha memperngaruhi kebijakan dan keputusan dalam hal ekonomi pun ditempuh oleh Hasqil dan sekutunya, dengan cara mendirikan agen-agen sebagai tempat mengekspor dan mengimpor barang. Semua suku-suku yang berada di bawah kekuasaan harus tunduk pada setiap kebijakan yang dibuatnya. Penguasaan terhadap basis ekonomi merupakan jaminan bagi Hasqil untuk menguasai arah kebijakan dan memperkuat perekonomian dengan membangun sektor-sektor ekonomi yang potensial dan strategis yang akan menjadikan kekuasaannya semakin menggurita. Setelah Hasqil berhasil menaklukan sektor ekonomi maka dengan mudah Hasqil akan membuat dan mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih menguntungkan kepentingannya untuk berkuasa. Wujud dari itu, mereka akan mendirikan tempat-tempat produksi di wilayah jajahan dengan memberdayakan rakyat di wilayah tersebut dengan upah yang sangat minim. Hasil produksi akan dijual melalui ekspor dan impor yang tentunya keuntungan menjadi milik penjajah. Karena semua barang yang datang
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
54
dan keluar dari wilayah kekuasaannya harus melewati agen-agen tersebut untuk dikenakan biaya. Hal ini diperkuat pada bagian lain dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un sebagai berikut: ( 89 :FDL?) 86WY< ا1EDWB ءZ¥ 8اد آ-D>t وا-5T>< _6. تS6;ا وآLt اaXbا “Mereka (Hasqil dan suku Romawi) mendirikan agen-agen khusus untuk mengekspor dan mengimpor semua barang antarsuku”
Dalam
usaha
untuk
menjaga
kepentingan
ekonominya,
mereka
memberlakukan sistem monopoli. Agar upaya tersebut efektif sehingga mempengaruhi mental dan pemikiran wilayah jajahan maka intimidasi tersebut harus bisa meyakinkan pihak wilayah jajahan untuk tidak melawan. Hasqil melakukan intimidasi agar wilayah yang berada dalam genggaman kekuasaannya patuh terhadap segala kebijakan yang dibuat Hasqil. Ia melakukan itu dengan berbagai macam bentuk ancaman, seperti ia akan menyerang siapapun yang melawan, akan mengenakan sanksi ekonomi berupa pajak bagi yang melanggar aturannya, dan akan menurunkan harga produk yang keluar-masuk agen-agen yang didirikannya. Dengan taktik seperti ini, Hasqil dan sekutunya semakin bertambah kuat untuk berkuasa dan semakin banyak keuntungan yang akan diraihnya, karena kelemahan ekonomi dari pihak yang menjadi lawannya, yang kemudian berubah menjadi wilayah jajahannya. Kelicikan Hasqil ini terlihat dalam kutipan berikut:
أو،6?t \;ا6>W5 انaXD3\ ;ا7-? 8` ،ب-E< ا86Wx F7 -= آ3\ وم-< وا8DYL? ض-[ Txو وم أو-< اF7 S ا،¤Wz< اZb و?>= أوا،_5وTD<ف ا-d<را\_ أو اR<;اع ادوات اb اF7 ;عb اي ( 90 :FDL?) 8DYL? “Hasqil dan Romawi mewajibkan sebagian besar suku Arab, bahkan melarang mereka menjual senjata, berbagai jenis peralatan pertanian, kerajinan tangan, sampai pada peralatan memasak, kecuali mereka menjual kepada Romawi dan Hasqil”
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
55
Setelah berhasil menguasai ekonomi dengan jalan memonopoli, maka dengan
mudahnya
penjajah
akan
membuat
kebijakan-kebijakan
yang
menguntungkan terutama bagi kepentingan mereka dan dengan mudahnya mereka mengambil alih kekuasaan. Bagi Hasqil, ekonomi adalah penopang kekuatannya untuk berkuasa, sementara uang adalah sentral ekonomi dan sarana stabilitasnya, oleh karenanya Hasqil berusaha keras untuk mendirikan lembaga perdagangan untuk menjamin hegemoninya dalam segala hal. Pemberian bantuan hutang pun menjadi strategi Hasqil untuk terus meraup keuntungan dan melebarkan wilayah jajahannya. Hal itu terjadi karena perekonomian Hasqil dalam keadaan tumbuh pesat, berkibar, dan menggurita dalam waktu singkat. Ia melihat dunia sebagai kawasan yang terkotak dalam berbagai daerah jajahan dan sebagai wilayah monopoli untuk Hasqil dan Romawi kuasai, keadaan ini tergambar dalam kutipan berikut: ،aXD3\ 67 دواTLD< اT\;7 حL< اF4 aXW3z5 F4< دT? ،_3DWY< ا¤D¥ 8DYL? ر6 انTE` Z<;>L5 راح8` ،ر6Y` وا8`م وا6Hy اF7 T 5TL>< اF\ R^\ F7 F5وي د6L5 67 =3\ =<;>tوا (88 :FDL?) T5TL>< اkDz>L5 S F7 =<ة اT6E< ا-Ej<;ت اD` =3\ “Setelah Hasqil menjadi kepala suku, dia menentukan harga senjata pesanan dan tempo pembayaran. Hasqil akan merampas domba, unta, dan sapi bahkan dia akan menyita rumah bagi siapa pun yang tidak bisa membayar hutang”.
Hal ini disadari bahwa dampak akibat berhutang begitu fatal, karena secara langsung hutang akan mengebiri dan membelenggu keleluasaan. Hutang menempati peran penting, menempuh cara dengan memberikan uang sebagai hutang adalah salah satu motif untuk melakukan intervensi yang kemudian mendudukinya atas alasan hutang tersebut. Faktor inilah yang memilki pengaruh cukup besar bagi penjajah untuk mencapai puncak kejayaan. Selain itu, dampak yang timbul dari hutang adalah dapat melemahkan, membahayakan, dan menyebabkan ketergantungan keuangan
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
56
bahkan hutang dijadikan senjata politik untuk memaksakan kebijakan politik maupun ekonomi.
2.3.3. Intervensi asing adalah awal kehancuran Salah satu langkah penting untuk menaklukkan sasaran adalah dengan melakukan campur tangan -intervensi. Intervensi tidak hanya merasuk ke dalam aturan dan kebijakan yang dapat menjelma menjadi kekuasaan yang tak terlihat invisible hand, tetapi lebih dari itu intervensi dapat berwujud menjadi intervensi militer. Sesungguhnya penggunaan kekuatan tersebut telah, selalu, dan akan tetap menempati posisi yang menonjol (Musa, 2003: 48). Dengan demikian setelah gagal dalam mengintimidasi dan menggunakan kekuatannya, maka upaya intervensi menjadi pilihan. Intervensi dilakukan dilakukan untuk membangun kekuatannya demi mempertahankan kepentingan, sama halnya dengan sebuah masyarakat yang didominasi oleh tatanan akibat adanya aspirasi kelompok yang paling dominan di dalamnya. Hasqil berusaha meruntuhkan tatanan dunia wilayah yang dikuasainya untuk segera melepaskan diri dari tata aturan dan kebijakan untuk kemudian mempersiapkan diri menerima campur tangan pihak luar. Bersamaan dengan itu perubahan dan penggantian pihak-pihak yang terlibat di dalamnya pun terjadi yang kemudian dikuasai oleh Hasqil dan Romawi. Hal itu ditandai dengan masuknya intervensi Romawi dalam berbagai kebijakan termasuk dalam hal ekonomi. Hasqil mengajak sekaligus memaksa wilayah yang dikuasainya untuk menerima campur tangan dari pihak Romawi, hal itu disebabkan karena kekuatan Romawi yang potensial untuk mendukung tercapainya tujuan Hasqil. Suku-suku yang berada di bawah genggaman kekuatan Hasqil dan Romawi pun menjadi porak poranda, terpecah-pecah menimbulkan pro-kontra antara yang mendukung dan menolak, sehingga pergesekan fisik tidak dapat dihindari. Situasi ini sangat disukai oleh Hasqil dan Romawi, karena situasi ini memberi banyak kemudahan bagi mereka untuk dengan cepat menguasai. Hasqil dengan sejuta kelicikannya, melakukan propaganda kepada wilayah-wilayah yang belum dikuasinya dengan mengiming-imingi bahwa
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
57
siapapun yang berada pada pihak Romawi maka ia akan menjadi suku terkuat dan tak terkalahkan. Hal ini dilakukan karena Romawi memiliki persenjataan yang kuat, pengaruh yang besar, dan perekonomian yang menggurita sehingga Hasqil memastikan bahwa Romawi adalah pusat kekuatan yang paling mumpuni untuk mengahadapi siapapun yang menjadi rivalnya. Hal ini terlihat dalam kutipan sebagai berikut: FLd5 و6H>3DWY< دي6>xS اkJ;<;ر اzDt 1b اF\ اT\ f3s5S 1E7 وم-<_ ا3DWx ;ن2B F7و _564? وT\;` Zdb انTE` 6b-DDsB Z3\ در6x -Dy 6H>5S وZ3\ ض->E5 F7 8E^5 و6H?t ( 79 :FDL?) n6^BSا اX` _Wyوم اي ر6Y5 ن6` 6H< وم-<_ ا3DWx ¤D¥
“Siapa pun yang bekerja sama dengan suku Romawi tak akan pernah terkalahkan, karena Suku Romawi akan mengontrol perekonomian suku kita dan mempercanggih persenjataan kita, dan siapapun yang berusaha menguasai kita tak akan mungkin bisa karena kepala suku Romawi pasti akan melindungi kita dan selalu mendukung langkah kita”
Hasqil berusaha membentuk opini publik pada wilayah yang menjadi targetnya untuk kemudian menggiring mereka pada kotak-kotak opini yang dibentuk dan diciptakan oleh Hasqil. Hal ini dilakukan untuk memudahkan proses dalam melemahkan, menaklukan, bahkan menguasai wilayah secara halus. Setidaknya ketika opini publik ini sudah dilempar, maka minimal akan lahir prokontra dalam menyikapi opini tersebut, dalam keadaan mulai terpecah ini maka tugas Hasqil hanya tinggal membumbui agar konflik diantara mereka tercipta dan akhirnya timbulah perpecahan. Pemusatan kekuatan suatu tatanan dunia sama artinya dengan adanya kekuatan yang diterima untuk memaksakan tatanan yang diberlakukan untuk semua. Adalah sangat jelas bahwa kekuatan seperti ini tidak mungkin ada, selama belum ada satu kekuatan yang mengusai dunia. Hasqil sangat mengakui kekuatan Romawi oleh karenanya ia ingin semua suku-suku berada dibawah panji kekuasaan Romawi. Sikap Hasqil ini mendapat sambutan dari para pendukungnya, yaitu mereka yang terperdaya oleh Hasqil dan Romawi. Para pendukung Hasqil dan
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
58
Romawi melakukan propaganda terhadap pihak-pihak yang berada pada posisi yang bersebrangan dengan mereka, gambaran sikap para pendukung Hasqil terlihat dalam kutipan berikut: (79 :FDL?) _d3t< 6H>6? Z ه64[ 6H>D3? ;ن2>t و8DYL? _D3? وم-<_ ا3DWx b6اذا آ “Jika suku Romawi adalah sekutu Hasqil berarti ia akan menjadi sekutu kita dengan begitu kita tak butuh persenjataan lagi (membeli senjata)”
Dalam konteks tersebut, penjajahan tidak hanya datang dan berkembang dengan sendirinya, adanya faktor pendukung seperti orang dalam dan kebijakan yang dapat membuat keberadaan penjajah semakin kuat. Dalam kondisi seperti itu, kekuasaan dari dalam tidak dapat berjalan dengan mulus, karena berbagai kepentingan baik itu politik maupun individual atau kelompok bermain di dalamnya. Berbagai upaya dilakukan oleh mereka yang mendukung langkah Hasqil dan Romawi, dengan upaya meracuni pikiran mereka yang menolak keberadaan Romawi. Mereka berupaya mencari-cari kesalahan-kesalahan untuk kemudian menjadikan Romawi sebagai pembenar, cara ini lambat laun akan meluluhkan hati mereka yang dianggap oleh pendukung Hasqil sebagai batu ganjalan dengan cara menggiring mereka pada posisi yang diharapkannya. Sikap para pendukung Hasqil dipertegas pada kutipan lain dalam novel, seperti terlihat dalam kutipan berikut:
ب-^H< و6WH 6H>7;4\ ك->H< 6H>7;4\ ء6H` ا6H>7;4\ ء6H` ا:<;x ار-2B F7 Z. ا65 6H\د ( 80 :FDL?) ZWHر ا6D>.ا “Sekali lagi jangan katakan putra suku kita wahai saudaraku, biarlah kita mengesampingkan putra suku kita untuk mencoba memilih orang dari luar suku kita (orang asing)”
Hal tersebut nampak jika pihak penguasa sudah tergantikan dengan orang luar –terintervensi- maka kekuatan sedikit demi sedikit akan meredup bahkan
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.
59
menghilang. Jika berbagai kepentingan dan intervensi telah merasuk maka yang akan terjadi hanya menunggu saat kehancuran. Campur tangan pihak luar dianggap sebagai alat yang menetukan kepentingan, tujuan pihak luar yang ingin menguasai mereka. Tetapi apa yang diusahakan Hasqil dan sekutunya tidak selalu berjalan mulus, berbagai perlawanan untuk menolak pun lahir. Upaya mempertahankan diri ditunjukan dengan pemahaman yang lebih menegaskan untuk munutup diri terhadap pihak luar. Bertolak dari hal tersebut, sesungguhnya setiap wilayah harus mempertahankan diri dari rongrongan pihak luar, sehingga tidak ada kesempatan pihak luar untuk menggoyahkannya. Kesadaran untuk tidak disetir dengan cara diintervensi oleh pihak luar melahirkan bentuk perlawanan. Pada tataran awal, perlawanan ini terwujud dalam bentuk kesadaran untuk tidak dicampur-tangani oleh pihak luar. Dalam novel Ukhruj Minha Ya Mal’un ini perlawanan terhadap pihak luar dianggap dapat menghindarkan diri dari kehancuran yang disebabkan oleh adanya campur tangan pihak luar. Perlawanan masyarakat Timur Tengah melalui upaya penarikan diri ini dimaknai sebagai sebuah resistensi terhadap pihak lain sebagai bentuk penyelamatan. Karena hal ini dapat membuka kemungkinan bagi mereka untuk menentukan arah tujuan tanpa bergantung kepada pihak lain. Dalam hal ini juga bisa dimasukan kekuatan propaganda. Sebab menurut tradisi yang berlaku dalam masyarakat Timur Tengah, propaganda yang dilakukan oleh berbagai pihak baik pihak yang berasal dari luar bahkan dari dalam tubuh mereka, tidak lain merupakan alat untuk menyebarkan nilai, pandangan, dan gaya hidup. Sejarah dan tradisi masa lalu yang berlaku dalam masyarakat Timur Tengah dijadikan arah dan pegangan yang memberikan dan menentukan serta mendesain orientasi mereka dalam berhadapan dengan pihak luar.
Universitas Indonesia
Perspektif oksidentalisme..., Ita Rodiah, FIB UI, 2010.