UNIVERSITAS INDONESIA
HUBUNGAN ANTARA LESI LITIK YANG DINILAI MELALUI BONE SURVEY DENGAN KADAR KALSIUM DARAH PADA PASIEN MIELOMA MULTIPEL
TESIS
KHAIRIDA RIANY 0906565835
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I RADIOLOGI JAKARTA MARET 2014
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
HUBUNGAN ANTARA LESI LITIK YANG DINILAI MELALUI BONE SURVEY DENGAN KADAR KALSIUM DARAH PADA PASIEN MIELOMA MULTIPEL
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Radiologi
KHAIRIDA RIANY 0906565835
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I RADIOLOGI JAKARTA MARET 2014
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
ii
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
iii
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam mencapai gelar Spesialis Radiologi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya menyadari jika tanpa bantuan dan bimbingan berbagai pihak, saya akan banyak mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, izinkanlah saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. dr. Kardinah, SpRad sebagai pembimbing radiologi yang telah menyediakan waktu, tenaga serta pikiran untuk membimbing saya dalam penyusunan tesis ini 2. Dr. dr. Noorwati Sutandyo, SpPD-KHOM sebagai pembimbing klinis yang telah menyediakan waktu, tenaga serta pikiran untuk membimbing saya dalam penyusunan tesis ini. 3. DR. dr. Joedo Prihartono, MPH sebagai pembimbing statistik yang telah menyediakan waktu, tenaga serta pikiran untuk membimbing saya dalam penyusunan tesis ini. 4. dr. Nyimas Diana Yulisa, SpRad (K) sebagai penguji pokja yang telah memberikan masukan dan arahan untuk menyempurnakan tesis ini. 5. DR. dr. Jacub Pandelaki, SpRad (K) sebagai penguji metodologi yang telah memberikan masukan dan arahan untuk menyempurnakan tesis ini. 6. dr. Aviyanti Djurzan, SpRad sebagai moderator yang telah memberikan masukan yang bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. 7. dr. Demak L Tobing, SpPK dan dr. Agus Kosasih, SpPK yang juga telah memberikan bantuan dan masukan yang bermanfaat dalam penyelesain tesis ini. 8. dr. Sawitri Darmiati, Sp.Rad (K) sebagai Ketua Program Studi Radiologi dan pembimbing akademik saya, yang telah memberikan bimbingan selama saya menjalani proses pendidikan. 9. dr. Indrati Suroyo, SpRad(K) selaku Kepala Departemen Radiologi FKUI/RSCM yang pada masa kepemimpinan beliau saya mendapat iv
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
kehormatan diterima sebagai PPDS Radiologi di bulan Juli 2009 serta menjalani masa pendidikan saya dan dr. Benny Zulkarnaien, Sp.Rad(K) selaku Kepala Departemen Radiologi saat ini, ketika saya menyelesaikan tugas akhir selaku PPDS. 10. Seluruh staf pengajar di RSUPN Cipto Mangunkusumo, RSPAD Gatot Subroto, RS Kanker Dharmais, RSUP Persahabatan, RSUP Fatmawati, RS Jantung Harapan Kita dan RSAB Harapan kita yang telah memberikan bimbingan selama saya menjalani pendidikan. 11. Seluruh radiografer, petugas rekam medis dan petugas litbang di RS Kanker Dharmais yang telah membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini serta seluruh
staf
dan
Mangunkusumo,
karyawan
RSPAD
Departemen
Gatot
Subroto,
Radiologi RSUP
RSUPN
Cipto
Fatmawati,
RSUP
Persahabatan, RS Jantung Harapan Kita, RSAB Harapan Kita, dan RS Kanker Dharmais yang telah membantu saya dalam masa pendidikan. 12. Orang tua dan mertua saya, H. Chairan Hasyim (alm), Hj.Asril Fachriah, H. Amrullah dan Hj. Rosni beserta keluarga besar yang selalu memberikan dukungan, semangat, kasih sayang dan doa yang tidak pernah putus dalam menjalani pendidikan ini. 13. Suami tercinta, dr. Adi Purnawarman, SpJP(K) FIHA,
dan anak-anakku
tersayang Qaisa Alya Riadi, Yasmin Danisha Riadi dan Syafiq Anaqi Adrian dengan segala kesabaran, dukungan, perhatian dan doa selama bunda menjalani pendidikan. 14. Rekan-rekan Residen Radiologi yang telah memberikan perhatian, dukungan seta bantuannya selama menjalani pendidikan ini, terutama rekan-rekan satu angkatan Juli 2009.
v
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
vi
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
vii
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
ABSTRAK Nama Program studi Judul
: Khairida Riany : Radiologi : Hubungan antara lesi litik yang dinilai melalui bone survey dengan kadar kalsium darah pada pasien mieloma multiple
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara lesi litik dan kadar kalsium darah pada pasien mieloma multipel dan faktor yang ikut mempengaruhi hubungan antara lesi litik dengan kalsium. Penelitian retrospektif menggunakan desain potong lintang dengan data sekunder bone survey dan hasil pemeriksaan kadar kalsium darah dari 45 pasien mieloma multipel yang menjalani pengobatan di RS Kanker Dharmais, dari Januari 2007 sampai Januari 2014. Dilakukan uji statistik chi-square untuk mengetahui hubungan antara lesi litik dengan kadar kalsium darah. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan antara lesi litik dengan kadar kalsium darah pada pasien mieloma multiple sehingga tidak dapat ditentukan faktor yang mempengaruhinya. Terdapat hubungan antara lesi litik dengan terjadinya fraktur pada pasien multipel mieloma. Didapatkan pula distribusi lesi litik paling sering ditemukan pada 4-6 tulang dengan lokasi tersering di tulang kalvaria, osteoporosis derajat 3 menurut indeks Singh dan derajat 4 menurut indeks Saville. Fraktur patologis yang paling sering ditemukan merupakan faktur kompresi pada korpus vertebra lumbal. Kata kunci: bone survey, mieloma multipel, lesi litik, kalsium
viii
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
ABSTRACT Name Study Program Title
:Khairida Riany : Radiology : The relationship between lytic lesions were assessed through surveys bone with blood calcium levels in patients with multiple myeloma
This study aims to determine the relationship between lytic lesions and blood calcium levels in patients with multiple myeloma and the factors that influence the relationship between lytic lesions with calcium. A retrospective study using crosssectional design with secondary data survey and examination of bone calcium blood levels of 45 multiple myeloma patients who undergo treatment Dharmais Cancer Hospital, from January 2007 to January 2014. This study use Chi-square statistical test to determine the relationship between lytic lesion with blood calcium levels. The results showed there was no correlation between lytic lesion with blood calcium levels in patients with multiple myeloma and can not be determined the factors that influence it. There is a relationship between a lytic lesion of fractures in patients with multiple myeloma. The lytic lesions most often found in 4-6 bone with the most common sites in the calvaria bones, osteoporosis grade 3 according to the index Singh and 4 degrees according to Saville index. Pathologic fractures are most commonly found an invoice compression on the lumbar vertebral bodies. Keywords: bone survey, multiple myeloma, lytic lesions, calcium
ix
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............... HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS HALAMAN PENGESAHAN ........................... KATA PENGANTAR ................................. HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... ABSTRAK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ABSTRACT . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . DAFTAR ISI ....................................... DAFTAR TABEL ....................................... DAFTAR GAMBAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . DAFTAR LAMPIRAN .................................
i ii iii iv vii viii ix x xiii xiv xv
1. PENDAHULUAN ................................. ................................. 1.1 . Latar belakang 1.2 . Rumusan masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1.3 . Hipotesis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1.4 .Tujuan penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1.4.1. Tujuan umum penelitian ..................... 1.4.2. Tujuan khusus penelitian ..................... 1.5 . Manfaat penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1 1 3 4 4 4 4 4
2. TINJAUAN PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2.1. Mieloma multipel . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2.1.1. Epidemiologi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2.1.2. Insidens ................................. 2.1.3. Patofisiologi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2.1.4. Faktor risiko . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2.1.5. Gejala klinis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................. 2.1.6. Stadium 2.1.7. Penatalaksanaan ........................... 2.1.8. Komplikasi ................................. 2.1.9. Prognosis ................................. 2.2. Anatomi dan fisiologi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2.2.1. Sumsum tulang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2.2.2. Kerangka manusia ........................... 2.3. Pembentukan, remodeling dan metabolisme tulang . . . . . . . . . 2.3.1. Pembentukan tulang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2.3.2. Bone modeling ........................... 2.3.3. Bone remodeling ........................... 2.4. Metabolisme tulang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
6 6 6 6 7 7 7 8 8 9 9 10 10 11 12 12 14 15 15
x
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
2.5. Metabolisme kalsium dan fosfor seluler serta intraseluler ....... 2.6. Mekanisme kerusakan tulang pada mieloma multipel ....... 2.7. Mekanisme osteoporosis pada mieloma multipel ........... 2.8. Teknik pemeriksaan bone survey ....................... 2.8.1. Radiografi schedel proyeksi anteroposterior dan lateral .... 2.8.2. Radiografi torak proyeksi anteroposterior ........... 2.8.3. Radiografi humerus proyeksi anteroposterior ............ 2.8.4. Radiografi vertebra torakal proyeksi anteroposterior dan lateral 2.8.5. Radiografi vertebra lumbal proyeksi anteroposterior dan lateral 2.8.6. Radiografi pelvis proyeksi anteroposterior ............. 2.8.7. Radiografi femur proyeksi anteroposterior ........... 2.9. Gambaran radiologi myeloma multipel .................. 2.9.1. Lesi litik .......................................... 2.9.2. Osteoporosis ..................................... 2.9.3. Lesi blastik ..................................... 2.10. Fraktur patologis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2.11. Kalsium . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2.11.1. Hiperkalsemia ..................................... 2.11.2. Metode pemeriksaaan kalsium ....................... 2.12. Kerangka teori ..................................... 2.13. Kerangka konsep . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................... 3. METODE PENELITIAN 3.1. Desain penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3.2. Tempat dan waktu . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3.3. Populasi ........................................... 3.4. Sampel ........................................... 3.5. Kriteria inklusi dan ekslusi ............................. 3.5.1. Kriteria inklusi .................................. 3.5.2. Kriteria ekslusi .................................. 3.6. Alur penelitian ...................................... 3.7. Cara kerja ........................................... 3.8. Batasan operasional .................................. 3.9. Analisis data ...................................... 3.10. Etika penelitian ...................................... 3.11. Pendanaan ......................................
16 17 19 20 20 21 22 22 23 24 25 25 26 26 28 28 29 29 30 32 33 34 34 34 35 35 35 35 36 36 36 37 40 40 40
4. HASIL PENELITIAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 41 4.1. Karakteristik subyek penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 41 4.2. Karakteristik hasil pemeriksaan bone survey . . . . . . . . . . . . . . . 42 4.3. Sebaran subyek menurut hasil pemeriksan kadar kalsium darah . . 47 4.4. Hubungan antara variable . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 47 5. PEMBAHASAN ..................................... 5.1. Karakteristik subyek penelitian ....................... 5.2. Analisis hubungan antara lesi litik dengan kadar kalsium darah . . . 5.3. Analisis hubungan antara banyaknya lesi litik dengan fraktur . . . xi
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
49 49 53 54
6. KESIMPULAN DAN SARAN ............................. 6.1. Kesimpulan ................................... 6.2. Saran ..........................................
56 56 56
DAFTAR REFERENSI
57
...................................
xii
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Sistem stadium durie Salmon ...................... ...................... Tabel 3.1. Jadwal kegiatan penelitian Tabel 3.2. Indeks Singh untuk osteoporosis ...................... Tabel 3.3. Indeks Saville untuk penilaian osteopenia pada vertebra . . . . . . Tabel 4.1. Sebaran subyek menurut karakteristik demografik ...... Tabel 4.2. Sebaran subyek berdasarkan lokasi lesi litik pada bone survey ............................................ Tabel 4.3. Sebaran subyek menurut luas lokasi litik dan kelompok umur . . Tabel 4.4. Nilai rerata dan standard deviasi usia menurut luasnya lokasi lesi litik ............................................ Tabel 4.5. Karakteristik osteoporosis pada pemeriksaan bone survey .... Tabel 4.6. Sebaran subyek berdasarkan fraktur pada bone survey .... Tabel 4.7. Karakteristik hasil pemeriksaan kadar kalsium darah .... Tabel 4.8. Hubungan kalsium dengan lesi litik .................. Tabel 4.9. Hubungan antara lesi litik dengan fraktur .................
xiii
8 34 38 39 41 42 44 44 45 46 47 47 48
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
DAFTAR GAMBAR
.......... Gambar 2.1. Peningkatan aktifitas osteoklas pada mieloma Gambar 2.2. Supresi osteoblast pada mieloma .......... Gambar 3.1. Klasfikasi semi-kuantitatif Genant .......... Gambar 4.1. Histogram usia subyek ....................... .......... Gambar 4.2. Persentasi lesi litik berdasarkan lokasi tulang Gambar 4.3. Derajat osteoporosis menurut indeks Saville .......... Gambar 4.4. Derajat osteoporosis menurut indeks Singh ..........
xiv
17 18 39 42 43 45 46
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran
1. Formulir Penelitian ........................ 2. Data Penelitian ........................ 3. Keterangan Lolos Kaji Etik Komite Etik FKUI ..... 4. Persetujuan Izin Penelitian RS Kanker Dharmais . . . . .
xv
61 62 66 67
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Mieloma multipel adalah suatu keganasan sel plasma B dengan karakteristik infiltrasi pada sumsum tulang dan produksi immunoglobulin monoklonal yang berlebihan.1 Mieloma multipel terhitung sekitar 1% dari semua keganasan dan 10% dari
seluruh keganasan hematologis.2,3
The American Cancer Society
memperkirakan sekitar 22.350 kasus baru mieloma multipel (12.440 pada lakilaki dan 9.910 pada wanita) akan terjadi selama tahun 2013 dan ini meningkat dibandingkan tahun 2009 yaitu 20.580 kasus mieloma multipel (11.680 pada lakilaki dan 8.900 pada wanita).4 Berdasarkan data registrasi dari Rumah Sakit Kanker Dharmais terjadi peningkatan kasus mieloma multipel setiap tahunnya, dilaporkan tahun 2011 terdapat 19 kasus sedangkan tahun 2012 meningkat mencapai 23 kasus.5 Nyeri tulang merupakan gejala klinis yang paling banyak dikeluhkan oleh pasien mieloma multiple dan hal ini berhubungan dengan kerusakan tulang.2 Mieloma multipel dapat mengenai tulang dengan frekuensi 80% - 90%.6 Lokasi tersering yaitu vertebra 66%, tulang iga 45%, tulang kalvaria 40%, sendi bahu 40%, tulang panggul 30%, dan tulang panjang 25%.1 Kerusakan tulang pada mieloma multipel disebabkan oleh peningkatan aktifitas osteoklas dan penghambatan aktifitas osteoblas akibat sekresi berbagai faktor hormon oleh sel mieloma sehingga memicu kedua keadaan tersebut.1,2,6 Peningkatan aktifitas osteoklas dan
penurunan aktifitas osteoblas ini
mengakibatkan destruksi tulang berbentuk lesi litik dengan batas tegas tanpa sklerotik di tepinya, dengan ukuran hampir seragam dan memberikan gambaran
1
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
2
“punch out”. Berbeda dengan metastasis yaitu selain menghasilkan faktor yang memicu osteoklas juga memicu reaksi tulang sehingga mengakibatkan kerusakan tulang yang ireguler dan ragged.7 Menurut G David Roodman, MD PhD, lesi litik yang terjadi pada pasien mieloma multipel mencapai 70-80% dan sering berkaitan dengan nyeri tulang dan fraktur.8 Selain gambaran lesi litik dapat juga ditemukan gambaran lesi blastik (sekitar 1%), osteopenia atau osteoporosis difus, dan fraktur patologis.1 Mekanisme terjadinya osteoporosis pada mieloma multiple belum jelas, tetapi menurut beberapa penelitian kemungkinan disebabkan oleh RANK ligand yang dihasilkan oleh sel mieloma. Terdapatnya osteoporosis ini dapat menyebabkan risiko fraktur dua kali lipat pada pasien mieloma multipel.9 Sekitar 60% pasien mieloma multipel akan mengalami fraktur serta yang terpenting adalah kerusakan tulang dapat terus berkembang bahkan ketika mieloma multipel telah mengalami remisi lengkap.10 Pasien dengan fraktur memiliki peningkatan mortalitas sebanyak 20% dibandingkan pasien tanpa fraktur.9 Selain itu terdapat perbedaan pembiayaan
pengobatan dan perawatan cukup signifikan antara pasien yang
mengalami fraktur dengan tidak mengalami fraktur.6 Kerusakan tulang luas menyebabkan kalsium yang tersimpan di dalam tulang akan keluar ke cairan ekstraseluler sehingga terjadi hiperkalsemia. Hiperkalsemia merupakan komplikasi metabolik yang paling sering, mencapai sekitar 15%. Keadaaan ini menyebabkan gangguan berbagai macam sistem yaitu sistem saraf, psikis, saluran cerna, jantung dan pembuluh darah serta ginjal.11 Angka kematian mencapai 50% pada pasien hiperkalsemia yang tidak diterapi dan harapan hidup kurang dari tiga bulan pada pasien hiperkalsemia dengan keganasan setelah diagnosis ditegakkan.10 Berbagai modalitas radiologi dapat dipergunakan untuk mendeteksi keterlibatan tulang yang terjadi pada mieloma multipel, yaitu bone survey, computed tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI) dan positron emission tomography (PET). Masing-masing modalitas ini memiliki keunggulan dan kekurangan, misalnya pemeriksaan CT sken memiliki sensitifitas yang lebih Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
3
tinggi dibanding bone survey dalam mendeteksi lesi litik kecil tetapi pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan karena paparan radiasi yang tinggi, harga pemeriksaan mahal serta terbatasnya ketersediaan alat.1 Penelitian Nanni et al, yang membandingkan FDG-PET CT dengan bone survey dan MRI dengan hasil sekitar 57% kasus lesi terdeteksi pada PET-CT tetapi 43% terdeteksi pada PET-CT dan bone survey. PET-CT lebih sensitif dibandingkan bone survey untuk mendeteksi lesi litik kecil tetapi memiliki sensitifitas yang sama dengan MRI untuk mendeteksi lesi di vertebra dan pelvis. Sedangkan kelemahan PET-CT antara lain lesi kecil dapat tidak terdeteksi dan dapat ditemukan positif palsu yang timbul dari proses inflamasi.10 Pemeriksaan bone survey merupakan modalitas utama dan modalitas yang paling umum digunakan untuk mendeteksi lesi tulang pada mieloma multipel.2 Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan radiologi yang sederhana, paparan radiasi lebih sedikit dibanding CT sken, biaya pemeriksaan lebih murah dibandingkan modalitas lain, tersedia diseluruh rumah sakit dan lebih sensitif dalam mendeteksi lesi pada korteks tulang dibandingkan MRI.1 Jika tidak ditemukan kelainan tulang pada pemeriksaaan bone survey tetapi klinis pasien mengarah kepada keterlibatan tulang maka
dilakukan pemeriksaan CT atau
MRI.12 Bone survey pada mieloma multipel meliputi radiografi tulang kalvaria, vertebra, pelvis, torak serta tulang-tulang panjang anggota gerak atas dan bawah.1,2 Penelitian mengenai
hubungan lesi litik dengan kadar kalsium darah belum
pernah dilakukan sebelumnya di Indonesia, sehingga belum ada data mengenai hal tersebut. Berdasarkan uraian diatas, perlu dilakukan penelitian tentang hubungan antara distribusi lesi litik dengan kadar kalsium darah sehingga kita dapat meningkatkan peranan bone survey
dalam
penatalaksanaan pasien dengan
mieloma multipel.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
4
1. Apakah terdapat hubungan antara distribusi lesi litik yang dinilai melalui modalitas bone survey dengan kadar kalsium darah pada pasien mieloma multipel? 2. Faktor-faktor apakah yang ikut mempengaruhi hubungan antara lesi litik dengan kalsium?
1.3 Hipotesis Pasien mieloma multipel yang memiliki lesi litik dengan distribusi yang luas akan mempengaruhi kadar kasium dalam darahnya.
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Penelitian Mengetahui hubungan antara lesi litik dengan kadar kalsium darah sehingga dapat meningkatkan peranan bone survey dalam penatalaksanaan mieloma multipel. 1.4.2. Tujuan Khusus Penelitian 1. Mengetahui kekuatan hubungan antara distribusi lesi litik dengan kadar kalsium darah pada pasien mieloma multipel 2. Mencari faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi hubungan antara lesi litik dan kalsium darah.
1.5 Manfaat Penelitian 1. Dari segi
pelayanan: penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan
peranan bone survey sebagai modalitas radiologi yang digunakan dalam penatalaksaan mieloma multipel. Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
5
2. Dari segi pendidikan: penelitian ini merupakan sarana dalam proses pendidikan, khususnya melatih cara pikir, menulis dan meneliti. 3. Dari segi pengembangan penelitian: hasil penelitian dapat menjadi acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mieloma multipel Mieloma multipel adalah suatu keganasan sel plasma B dengan karakteristik infiltrasi pada sumsum tulang dan produksi yang berlebihan dari immunoglobulin monoklonal.1
2.1.1 Epidemiologi The American Cancer Society memperkirakan sekitar 22.350 kasus baru mieloma multipel (12.440 pada laki-laki dan 9.910 pada wanita) akan terjadi selama tahun 2013.4 Secara keseluruhan ditemukan sekitar 102.000 kasus baru
mieloma
multipel dan 72.000 akan mengalami kematian.13 Keganasan ini umumnya dijumpai pada usia lebih dari 40 tahun dengan puncak usia dekade ke-5 hingga ke-7, dan jika ditemukan pada kelompok usia yang lebih muda merupakan suatu mieloma soliter.1,13
2.1.2 Insidens Insidens dan angka mortalitas lebih tinggi di negara industri dan relatif stabil di benua Asia. Angka kejadian mieloma multipel sekitar 6.6 per 100.000 pria dan 5.9 per 100.000 pada wanita di Eropa Barat. Menurut Surveillance, Epidemiology and End Results (SEER), angka insidens di Amerika Serikat sekitar 6.9 per 100.000 pada pria dan 4.5 per 100.000 wanita. Pada populasi African American, prevalensi dan insidens mieloma meningkat sekitar dua kali lipat dibandingkan populasi kaukasia.13
6
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
7
2.1.3 Patofisiologi Penyebab mieloma multipel sampai saat ini tidak diketahui secara pasti. Salah satu teori mengatakan keganasan terjadi akibat stimulasi kronis antigen pada sel plasma, yang menyebabkan transformasi sel plasma dan mieloma. Sel mieloma menghasilkan osteoclast-stimulating factor, sitokin, yang menyebabkan destruksi tulang. Plasma cell activating factor interleukin-6 (IL-6) ditemukan dalam sumsum tulang, dan menyebabkan proliferasi sel plasma. Respon osteoblasik pada mieloma disupresi sehingga menyebabkan demineralisasi berat dan destruksi tulang yang merupakan tanda khas penyakit ini.14
2.1.4 Faktor risiko Faktor risiko antara lain usia, jenis kelamin, ras/etnik, riwayat keluarga dengan mieloma multipel, monoclonal gammopathy of underteminated significance (MGUS), obesitas, konsumsi ikan yang rendah, kurang konsumsi sayuran hijau, acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), pekerjaan dan herpes zoster.12,15
2.1.5 Gejala klinis Gejala klinis mieloma multipel sangat bervariasi namun sekitar 30% tidak menunjukkan gejala pada awal diagnosis. Nyeri tulang merupakan gejala yang paling sering dialami pasien, hal ini disebabkan oleh kerusakan tulang lanjut.2 Mual, muntah, konstipasi, poliuri, dan lelah disebabkan hiperkalsemia terjadi sekitar 20% kasus. Anemia ditemukan sekitar 60% pasien,
gangguan ginjal
mencapai sekitar 20-25% pada awal diagnosis yang dapat meningkat sebanyak 20% selama perjalanan penyakit.2,16 Risiko infeksi mencapai 15-20% kasus, terutama pneumonia. Pada beberapa pasien yang mendapatkan pengobatan dengan thalidomide dan lenalidomide dapat meningkatkan risiko tromboemboli vena serta hiperviscositas jika kadar immunoglobulin terlalu tinggi.16
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
8
2.1.6 Stadium Sistem yang secara luas dan telah lama digunakan untuk menentukan stadium pasien mieloma multipel adalah sistem stadium Durie-Salmon.16,17 Tabel 2.1. Sistem stadium Durie-Salmon. Dikutip dari 2 Stadium Stadium 1
Kriteria - Nilai hemoglobin > 10 g/dL - Nilai serum kalsium < 12 mg/dL - Radiografi tulang tidak menunjukkan kelainan atau hanya ada 1 lesi - Kadar paraprotein rendah, nilai serum IgG < 5 g/dL, IgA < 3 g/dL urine light chain < 4g / 24 jam
Stadium 2
Hasil laboratorium dan radiologi antara stadium 1 dan stadium 3
Stadium 3
- Nilai hemoglobin < 8.5 mg/dL - Nilai serum kalsium > 12 mg/dL - Radiografi tulang menunjukkan lesi litik yang luas - Kadar paraprotein tinggi, nilai serum IgG > 7 g/dL, IgA < 5 g/dL urine light chain >12 g/ 24 jam
Berkaitan dengan
- A: nilai serum kreatinin < 2 mg/dL
keterlibatan ginjal
- B: nilai serum kreatinin > 2 mg/Dl
2.1.7. Penatalaksanaan Pasien dengan stadium I atau mieloma asimptomatik tidak membutuhkan terapi dengan segera. Pasien pada stadium ini harus di follow up setiap 3 sampai 6 bulan untuk melihat perkembangan penyakit. Jika progresif menjadi stadium II atau III maka dilakukan terapi sistemik. Mieloma multipel secara luas diterapi dengan melphalan dan kortikosteroid. Perbaikan juga telah dicapai dengan menggunakan terapi lainnya seperti lenalidomide, thalidomide, dan bortezomid disertai transplantasi sel stem autologus. Protokol transplantasi autologous meliputi
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
9
kemoterapi induksi, kemoterapi dosis tinggi, menggunakan deksametason dan thalidomide dengan atau tanpa bortezomid.16
2.1.8 Komplikasi Komplikasi paling menyakitkan dari mieloma multipel adalah fraktur. Fraktur sering mengenai tulang punggung, jarang di tulang panggul, lengan dan tungkai. Risiko fraktur osteoporosis juga dilaporkan meningkat dua sampai tiga kali lipat pada pasien mieloma multipel. Kerusakan tulang yang luas ini mengakibatkan pelepasan kalsium ke dalam darah sehingga menyebabkan hiperkalsemia.16 Infeksi berulang disebabkan karena penurunan immunoglobulin normal yang berfungsi melindungi tubuh dari infeksi. Terapi mieloma multipel juga mengakibatkan penurunan jumlah sel darah putih sehingga terjadi peningkatan risiko infeksi.16 Penurunan fungsi ginjal disebabkan oleh pengeluaran protein melalui ginjal. Terjadi penimbunan amyloid, mengakibatkan banyak protein hilang dalam urine termasuk albumin sehingga menyebabkan sindroma nefrotik. Apabila penurunan fungsi ginjal berlanjut perlu dipikirkan penyebab lain seperti infeksi ginjal, dehidrasi dan hiperkalsemia. Komplikasi lain yang dapat terjadi yaitu gangguan pembekuan darah akibat trombositopenia dan sindroma hiperviskositas.16-19
2.1.9 Prognosis Harapan hidup berkisar dari beberapa bulan hingga lebih dari 10 tahun.2 Prognosis dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu massa tumor, Bence Jones proteinuria, hiperkalsemia, dan gagal ginjal. Pengobatan konvensional memiliki harapan hidup sekitar 3 tahun sedangkan dengan transplantasi stem cell dan kemoterapi dosis tinggi harapan hidup 5 tahun lebih dari 50%.16-18
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
10
2.2 Anatomi dan fisiologi 2.2.1 Sumsum tulang Sumsum tulang merupakan organ terbesar ke-5 dari tubuh manusia dan berfungsi sebagai hematopoesis, pasokan optimal sirkulasi trombosit, sel darah putih serta sel darah merah untuk koagulasi, kekebalan, dan oksigenasi seluruh tubuh.20 Sumsum tulang normal terdiri dari sejumlah komponen, yaitu komponen osseus, komponen seluler, dan sistem pendukung. Komponen osseus terdiri dari tulang spongiosa yang mengandung trabekula primer dan sekunder. Komponen seluler termasuk hematopoesis, lemak, dan sel retikulum. Sistem pendukung sumsum tulang terdiri dari pembuluh darah, saraf, dan elemen limfatik.20 Sumsum merah disebut juga sebagai sumsum aktif (sumsum hematopoesis) mengandung sekitar 40% air, 40% lemak, 20% protein dan kaya pembuluh darah. Sumsum kuning disebut sumsum non aktif (sumsum lemak) mengandung sekitar 15% air, 80% lemak dan 5% protein.20 Sumsum merah terdapat diseluruh kerangka tulang pada saat lahir. Epifisis dan apofisis yang merupakan tulang rawan pada awal kehidupan dan seterusnya akan mengandung sumsum kuning. Sumsum merah pada kaput humerus dan kaput femur merupakan suatu variasi normal. Konversi fisiologis sumsum merah menjadi sumsum kuning diprediksi selesai pada usia 25 tahun. Konversi pada tulang anggota gerak terjadi dengan pola dari distal ke proksimal sedangkan pada tulang panjang konversi sumsum pertama terjadi di diaphysis, kemudian ke metafisis distal, dan berakhir ke metafisis proksimal.20 Distribusi sumsum tulang dewasa tercapai pada usia 25 tahun, ditandai dengan menetapnya sumsum merah pada kerangka aksial, humerus proksimal, dan femur proksimal. Terdapat penggantian lebih lanjut dari sumsum merah oleh sumsum kuning dengan bertambahnya usia, pada orang yang lebih tua daerah vertebra dan panggul didominasi oleh sumsum kuning. Tulang apendikular bagian distal memiliki distribusi sumsum kuning yang seragam pada orang dewasa.20
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
11
2.2.2 Kerangka manusia Kerangka manusia dewasa terdiri dari 213 tulang dan termasuk tulang sesamoid. Kerangka apendikularis memiliki 126 buah tulang, kerangka aksial 74 buah tulang, dan 6 buah tulang pendengaran. Tulang panjang terdiri dari diafisis dan metafisis yang berbentuk kerucut di bawah lempeng pertumbuhan, serta epifisis yang berada di atas lempeng pertumbuhan. Diafisis terdiri dari tulang kortikal yang padat sedangkan metafisis dan epifisis terdiri dari tulang trabekular yang dikelilingi oleh kortikal tulang yang padat.21,22 Kerangka manusia dewasa terdiri dari 80% tulang kortikal dan 20% tulang trabekular. Tulang kortikal yang padat dan solid mengelilingi sumsum tulang sedangkan tulang trabekular terdiri dari jaringan trabekular berbentuk seperti sarang lebah yang diselingi oleh sumsum tulang.21,22 Osteon tulang dikenal sebagai sistem Haversian. Sistem ini berbentuk silinder, dengan panjang sekitar 400 mm dan lebar 200 mm serta membentuk cabang jaringan di dalam korteks tulang. Osteon ini dimiliki oleh sumsum tulang maupun tulang kortikal.21,22 Kortikal tulang memiliki permukaan luar (periosteal) dan permukaan dalam (endosteal). Aktivitas periosteal penting bagi pertumbuhan dan perbaikan fraktur. Proses pembentukan tulang melebihi resorpsi tulang pada periosteal, sehingga diameter tulang akan meningkat sesuai dengan usia. Permukaan endosteal memiliki aktivitas remodeling yang tinggi dibanding periosteal, kemungkinan sebagai hasil dari biomekanik atau paparan sitokin yang lebih besar dari kompartemen sumsum tulang yang terdekat.21,22 Endosteum adalah struktur membran yang menutupi permukaan bagian dalam tulang kortikal, trabekular tulang, dan saluran pembuluh darah (kanal Volkman) yang terdapat pada tulang. Endosteum berhubungan langsung dengan
ruang
sumsum, tulang trabekular, dan saluran pembuluh darah serta mengandung pembuluh darah, osteoblas, dan osteoklas.21,22
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
12
Kerangka
berfungsi
sebagai
penyangga
struktur
tubuh,
memungkinkan
pergerakan, melindungi organ dalam dan struktur vital, pemeliharaan mineral homeostasis dan keseimbangan asam-basa, reservoir faktor pertumbuhan dan sitokin, serta memberikan tempat untuk hematopoiesis pada sumsum tulang.21,22
2.3 Pembentukan, remodeling, dan metabolisme tulang 2.3.1 Pembentukan tulang Pembentukan tulang merupakan proses essential dalam perkembangan tubuh manusia. Tulang akan mengalami pertumbuhan longitudinal dan radial, modeling serta remodeling.23 Ossifikasi merupakan suatu proses pembentukan tulang baru oleh sel osteoblas. Proses pembentukan tulang yang normal melalui 2 proses, yaitu: 1. Ossifikasi intramembran (mesenkimal) Ossifikasi intramembran ditandai dengan proses penulangan ke jaringan ikat primitif (mesenkim) yang menghasilkan pembentukan tulang kepala, klavikula serta mandibula. Ossifikasi ini juga terlihat pada proses penyembuhan fraktur tulang yang diterapi dengan menggunakan plat besi dan skrup. Terdapat beberapa langkah dalam ossifikasi ini yaitu pembentukan ossifikasi pusat, kalsifikasi, pembentukan trabekula dan perkembangan periosteum.23,24 2. Ossifikasi intrakartilaginous (endokondral) Pada proses ini tulang rawan bertindak sebagai prekursor dan terjadi pada tulang panjang misalnya tulang femur, humerus dan radius. Ossifikasi ini juga terdapat pada penyembuhan fraktur tulang yang diterapi dengan gips. Langkah–langkah dalam ossifikasi endokondral meliputi perkembangan model tulang rawan, pertumbuhan tulang rawan, perkembangan ossifikasi primer sentral, pembentukan sendi tulang rawan dan lempeng epifisis.23,24
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
13
Terdapat beberapa langkah dasar dalam proses osteogenesis yaitu sintesis matriks organik ekstraseluler, mineralisasi matriks yang memacu pembentukan tulang serta remodeling tulang oleh proses resorpsi dan reformasi.23 Tulang terdiri dari sel-sel penyangga (osteoblas dan osteosit), sel remodeling (osteoklas), matriks kolagen non mineral dan protein non kolagen yang dikenal sebagai osteoid dengan garam mineral inorganik yang tersimpan dalam matriks.23 2.3.1.1 Osteoblas Osteoblas berasal dari sel stem mesenkimal (sel osteoprogenitor) dari stroma sumsum tulang dan bertanggung jawab terhadap sintesis matriks tulang, mineralisasi, regulasi osteoklas dan deposisi matriks tulang.23 Osteoblas merupakan suatu sel mononukleat dengan bentuk bervariasi dan bertanggung jawab untuk membuat osteoid, sebagian besar terdiri dari kolagen. Osteoblas mengeluarkan alkaline phosphatase untuk membuat tempat kalsium dan fosfat sehingga memungkinkan kristal mineral tulang berada di situs tersebut. Pada tahap akhir osteoblas akan berada disepanjang permukaan tulang. Saat osteoblas berdiferensiasi maka ia memiliki kemampuan untuk mensekresi matriks tulang. Beberapa osteoblas akhirnya akan terjebak di dalam matriks tulang, menimbulkan osteosit yang kemudian secara bertahap akan berhenti mensekresi osteoid.23,24
2.3.1.2 Osteosit Osteosit merupakan diferensiasi dari osteoblas dan berfungsi dalam jaringan synctial untuk menyangga struktur dan metabolisme tulang. Osteosit berada dalam lakuna, di antara lamela dalam tulang. Berfungsi sebagai homeostasis
dan
mempertahankan tingkat mineral dalam tulang. Sel-sel ini saling berhubungan antara satu dengan yang lain dan juga berhubungan dengan permukaan tulang melalui proses seluler filipodial. Oleh karena itu, osteosit akan bertindak sebagai mekanosensor, menginstruksi osteoklas untuk melakukan resorpsi tulang dan osteoblas untuk proses pembentukan tulang.23,24
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
14
2.3.1.3 Osteoklas Osteoklas merupakan satu-satunya sel yang diketahui dapat melakukan resorpsi tulang dan berasal dari sel prekursor monosit-makrofag mononuklear. Sel prekursor monosit-makropag mononuklear ditemukan pada berbagai jaringan, tetapi sel prekursor monosit-makropag mononuklear sumsum tulang diperkirakan yang paling banyak menghasilkan osteoklas.19 Osteoklas akan menuju suatu tempat khusus di permukaan tulang dan mensekresikan asam fosfat sehingga kalsium dalam tulang mengalami kerusakan.24
2.3.1.4 Matriks tulang Struktur tulang terdiri dari komponen inorganik (69%) dan organik (22%). Komponen inorganik mengandung 99% hydroxypatite sedangkan komponen organik 90% mengandung kolagen dan nonkolagen yang terdiri dari proteoglikan, sialoprotein, gla serta 2HS-glykoprotein. Garam mineral yang terdapat dalam matriks osteoid yaitu kompleks kristalin kalsium dan fosfat ( hydroxyapatite), menyebabkan kekakuan dan kekerasan tulang.23
2.3.1.5 Mineral tulang Crystalline hydroxyapatite [Ca10(PO4)6(OH)2] merupakan komponen mineral utama tulang, mencapai sekitar seperempat volume dan setengah massa orang dewasa normal. Komponen kalsium dan fosfor kristal ini berasal dari plasma darah dan dipengaruhi oleh nutrisi. Metabolit vitamin D dan hormon paratiroid merupakan mediator untuk regulasi kalsium dan bila terjadi defisiensi vitamin D atau hiperparatiroid akan memicu deplesi mineral tulang.23,24
2.3.2 Bone Modeling Modeling merupakan suatu proses tulang mengubah bentuknya sebagai respon terhadap pengaruh fisiologis dan mekanik sehinnga menyebabkan penyesuaian bertahap pada kerangka tulang. Tulang dapat melebar atau mengubah sumbunya
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
15
dengan membuang atau menambahkan tulang pada permukaan yang sesuai dengan aktifitas osteoblas dan osteoklas dalam menanggapi kekuatan biomekanik. Pelebaran tulang normal sesuai dengan usia sebagai respon terhadap aposisi periosteal tulang baru dan resorpsi endosteal tulang yang sudah tua.23,24
2.3.3 Bone Remodeling Remodeling tulang merupakan proses seusiahidup, komponen tulang yang lama akan dibuang dan akan digantikan tulang baru. Proses ini mengendalikan pembentukan kembali atau penggantian tulang selama masa pertumbuhan, penyembuhan fraktur, tetapi juga terhadap kerusakan tulang mikro yang terjadi selama aktivitas. Kerangka tulang merupakan organ metabolik aktif yang mengalami renovasi terus menerus sepanjang hidup. Remodeling ini diperlukan untuk menjaga integritas struktur kerangka dan fungsi metabolik yaitu sebagai tempat penyimpanan kalsium dan fosfor. Adapun mediator untuk proses remodeling ini adalah osteoklas, osteoblas, RANK, osteoprotegerin dan sinyal sel parakrin.23,24
2.4 Metabolisme tulang Tulang membawa fungsi metabolik penting yaitu mineral reservoir, faktor pertumbuhan dan deposit sitokin, fat repository, acid base equilibruium, detoksifikasi dan fungsi endokrin.23 -
Mineral reservoir
Tulang bertindak sebagai reservoir hemostatis mineral yang penting bagi tubuh yaitu kalsium dan fosfor. Kedua mineral tulang ini dapat dimobilisasi untuk mempertahankan homeostasis mineral sistemik.23 Matrik
Faktor pertumbuhan dan deposit sitokin tulang
yang
mengalami
mineralisasi
berfungsi
sebagai
tempat
penyimpanan sejumlah sitokin dan faktor pertumbuhan, yang dapat dilepaskan
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
16
selama resorpsinya dan dapat mengakibatkan efek secara lokal dan sistemik, yaitu insulin-like growth faktor (IGF), transforming growth factor-b (TGF-b) dan bone morphogenetic protein (BMP).23 -
Repositori lemak
Sumsum tulang kuning bertindak sebagai gudang asam lemak.23 -
Keseimbangan asam basa
Tulang merupakan buffer darah terhadap perubahan pH yang berlebihan dengan penyerapan ataupun pelepasan garam alkali.23 -
Detoksifikasi
Jaringan tulang mampu menyimpan logam berat dan elemen asing lainnya sehingga mengurangi peredaran mereka dalam sirkulasi dan membantu mengurangi efeknya terhadap organ lain.23 Tulang
Fungsi endokrin mengendalikan
metabolisme
fosfat
dengan
melepaskan
faktor
pertumbuhan fibroblast (FGF-23), yang bekerja pada ginjal untuk mengurangi reabsorpsi fosfat. Osteokalsin yang dikeluarkan oleh tulang berkontribusi pada regulasi glukosa darah dan penumpukan lemak.23
2.5 Metabolisme kalsium dan fosfor seluler serta intraseluler. Kalsium dan fosfor ditransfer ke darah melalui tulang, ginjal, saluran pencernaan dan vice versa. Homeostasis mineral membutuhkan transport kalsium, magnesium dan fosfat menuju sel target mereka di tulang, usus dan ginjal. 99% kalsium, 85% fosfor dan 65% magnesium berada di dalam tulang. Regulasi tulang dan metabolisme mineral tulang merupakan hasil dari interaksi tiga hormon penting yaitu hormon paratiroid, kalsitonin dan vitamin D di tulang, ginjal dan saluran cerna, serta untuk regulasi mineral tulang (kalsium dan fosfor).23
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
17
Dalam kondisi hiperkalsemia akut atau hipokalsemia, kalsium secara cepat akan ditransfort ke dalam atau keluar dari tulang. Kalsium yang dilepaskan dari tulang akan bertindak sebagai koreksi jangka panjang kalsium terhadap tindakan metabolik osteoblas dan osteoklas, yang memasukkan atau melepaskan kalsium dari tulang. Secara studi in vitro menunjukkan bahwa sel-sel tulang juga langsung memberi respon terhadap peningkatan dan penurunan kalsium terlepas dari faktor sistemik tetapi mekanisme molekulernya tidak jelas.23
2.6 Mekanisme kerusakan tulang pada mieloma multipel Peningkatan kerusakan tulang pada kasus mieloma multipel bukan hanya disebabkan oleh sel tumor sendiri tetapi juga dimediasi oleh osteoklas. Selain itu, sel-sel mieloma menginduksi sel-sel dalam sumsum tulang untuk menghasilkan faktor yang memicu pembentukan osteoklas dan menekan pembentukan osteoblas. 1,6
Sel imun juga berkontribusi terhadap proses ini melalui produksi sitokin dan
adhesi molekul yang meningkatkan pertumbuhan sel mieloma dan kemoresistensi sel mieloma, meningkatkan osteoklastogenesis, menekan osteoblastogenesis dan polarisasi subset sel T yang berasal dari Th1- Th7.6,25
Gambar 2.1. Peningkatan aktifitas osteoklas pada mieloma Dikutip dari Galson DL, Silbermann R, Roodman GD. Mechanisms of multiple myeloma bone disease. BoneKey Reports. 2012;135
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
18
Sel mieloma menghasilkan faktor yang mengaktifkan osteoklas dan secara langsung meningkatkan aktifitas osteoklas, menstimulasi sel stromal sumsum dan sel T sehingga meningkatkan produksi osteoclast-activating factor dan menurunkan produksi osteoclast inhibitory factor. Osteoclast activating factor dihasilkan oleh sel mieloma termasuk receptor activator of nuclear factor-кB (RANKL), macrophage inflammatory protein-1α (MIP-1α), interleukin (IL)-3 dan tumor necrosis factor- α (TNF-α). IL-3 mengakibatkan aktivasi makrofak yang berkaitan dengan tumor untuk menghasilkan activin A yang pada akhirnya akan meningkatkan aktivitas osteoklas. Sel mieloma juga memicu sel stroma sumsum untuk memproduksi osteoclast activating factor, seperti: RANKL, macrophage colony-stimulating factor (MCSF), IL-6, annexin II, osteopontin, BAFF dan APRIL yang akan merangsang pertumbuhan tumor. Peningkatan proses destruksi tulang akan mengeluarkan faktor pertumbuhan (TGFβ, insulin like-growth factor (IGF), fibroblast growth factor (FGF), platelet– derived growth factor (PDGF), bone morphogenetic protein (BMP)) dari matriks tulang yang meningkatkan
pertumbuhan
sel
mieloma
sehingga
memperluas
proses
osteolitik.6,25
Gambar.2.2. Supresi osteoblast pada mieloma Dikutip dari Galson DL, Silbermann R, Roodman GD. Mechanisms of multiple myeloma bone disease. BoneKey Reports. 2012;135
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
19
Supresi osteoblas disebabkan oleh faktor inhibitor yang berasal dari tumor, contohnya sklerostin, dickkopf1 (DKK1), IL-3, IL-7, hepatocyte growth factor (HGF) dan TNF-α,
juga peranan
pertumbuhan tumor. IL-3 menstimulasi
pengeluaran activin A dari makrofak sumsum tulang untuk menghambat formasi osteoblas. Sel mieloma juga memicu perubahan sel stromal sumsum tulang yang meningkatkan faktor pendukung sel mieloma, misalnya IL-6, VEGF dan IG-1 melalui interaksi adhesi VCAM-1 sel stroma sumsum dan α4β1 sel meloma. Sinyal bidireksional antara ephrin B2 pada osteoklas dan reseptornya, EphB4 pada BMSC dan osteoblas merupakan kontrol negatif pembentukan osteoklas dan mendorong differensiasi osteoblas.6,25 Oleh karena kedua proses di atas maka kerusakan pada tulang merupakan lesi litik tanpa sklerotik karena peningkatan aktifitas osteoklas yang sangat tinggi dengan aktifitas osteoblas yang sangat rendah atau tidak ada sama sekali.1,6
2.7 Mekanisme osteoporosis pada mieloma multipel Osteoporosis menurut World Health Organization (WHO) merupakan suatu “penyakit tulang” yang ditandai dengan massa tulang yang rendah dan mikroarsitektur dari jaringan tulang, dengan peningkatan fragilitas tulang serta memicu kemungkinan terjadinya fraktur.26 Osteoporosis dibagi menjadi dua kelompok yaitu primer dan sekunder. Osteoporosis primer termasuk tipe I pada pasca menopause dan tipe II karena usia (Riggs dan Melton 1983). Osteoporosis sekunder didefinisikan sebagai osteoporosis yang dikaitkan dengan sesuatu yang diketahui penyebabnya, seperti penyakit ataupun reaksi terhadap obat misalnya mieloma multipel.26,27 Mekanisme terjadinya osteoporosis pada mieloma multipel masih belum jelas. Beberapa penelitian menyatakan bahwa hubungan antara seluler dan humoral sel mieloma dan sel-sel tulang menyebabkan osteoporosis dan mempengaruhi tulang terutama tulang aksial.9 Reseptor NF - kB ligan ( RANKL ) dan faktor proosteoklasogenik lainnya yang dihasilkan oleh sel-sel mieloma menyebabkan
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
20
peningkatan osteoklastogenesis dan resorpsi tulang , selain itu sel-sel mieloma mensekresi Dickkopf-1 yang berfungsi menekan differensiasi osteoblasik dan juga dapat memicu terjadinya osteoporosis.9,30 Penelitian Bucle et al pada tahun 2012 yang menggunakan tikus sebagai model percobaannya juga menyatakan bahwa soluble RANKL yang dihasilkan oleh sel mieloma dapat memicu pembentukan osteoklas dan osteoporosis.9
2.8 Tehnik pemeriksaan bone survey Bone survey merupakan modalitas yang paling sering digunakan dalam mendeteksi lesi tulang pada mieloma multipel dengan sensitivitas berkisar antara 42% hingga 79%. Bone survey meliputi radiografi kalvaria, vertebra, pelvis serta tulang-tulang panjang ekstremitas atas dan bawah.1,2
2.8.1 Radiografi schedel proyeksi anteroposterior dan lateral 2.8.1.1 Proyeksi Anteroposterior Menggunakan penerima gambar ukuran 24 x 30 cm, 70-80 kV, 18-20 mAs, jarak sumber sinar ke penerima gambar sekitar 40 inci (100 cm).28 Pasien dalam keadaan telentang dengan bidang midsagital tubuh terpusat pada grid. Bidang mid sagital dan meatal line tegak lurus dengan penerima gambar. Fokus sinar tegak lurus atau langsung ke arah hidung dengan sudut 15o kearah kranial. Kriteria evaluasi yaitu terlihat seluruh tulang kranial dan petrous ridge simetris.28,29 2.8.1.2 Proyeksi lateral Menggunakan penerima gambar dengan ukuran 24 x 30 cm (10 x 12 inci), grid yang yang bergerak atau stationer, 70-80 kV, 8 mAs, dan jarak sumber sinar ke penerima gambar 40 inci (100 cm).28
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
21
Pasien posisi semiprone atau berdiri dan letakkan bagian kepala pasien yang ingin diperiksa dekat dengan penerima gambar. Posisikan kepala pasien, bidang midsagital paralel dengan bidang penerima gambar.
Fleksikan leher pasien
sehingga IOML tegak lurus dengan penerima gambar. Periksa lagi posisi kepala hingga garis interpupiler tegak lurus dengan penerima gambar dan pasien diminta menahan napas. Fokus sinar tegak lurus sekitar 5 cm di atas meatus akustikus internus. Kriteria evaluasi yaitu harus terlihat seluruh kranium tanpa rotasi, atap orbita tumpang tindih dengan sphenoid wing, regio mastoid tumpang tindih dengan meatus akustikus internus, sendi temporomandibular terlihat tumpang tindih serta tidak terlihat tumpang tindih dari vertebra servikal ke mandibula28,29
2.8.2. Radiografi torak proyeksi posteroanterior Menggunakan penerima gambar ukuran 35 x 43 cm (14 x 17 inci), grid bergerak atau stationer, 110-125 kV, 3 mAs, jarak sumber sinar ke penerima gambar 180 cm. Fokus sinar tegak lurus ke bagian tengah penerima gambar,
pada level
vertebra torakal 7.28 Posisikan pasien dalam keadaan tegak (berdiri atau duduk) dengan punggung tangan berada dipinggang dan dada menempel di penerima gambar. Atur letak bagian atas penerima gambar dengan jarak sekitar 3,5 sampai 5 cm dari bagian atas bahu. Kemudian ekstensikan dagu pasien dan pasien diminta untuk menarik napas dalam. Pasien sebaiknya menggunakan pelindung gonad. Kriteria evaluasi yang harus terpenuhi yaitu terlihat seluruh lapangan paru dari apeks sampai sinus kostofrenikus, tidak terlihat rotasi, posisi trakhea ditengah, gambaran skapula berada diluar rongga dada, iga 10 posterior berada diatas diafragma, batas antara diafragma dan jantung jelas, bayangan iga dan vertebra torakal superior terlihat pada bayangan jantung.28,29
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
22
2.8.3 Radiografi humerus proyeksi AP Menggunakan penerima gambar ukuran 30 x 35 cm atau 35 x 43 cm, 70 +/- 6 kV, 6 mAs, jarak minimum sumber sinar ke penerima
gambar 100 cm, dapat
dilakukan dalam posisi berdiri, duduk tegak ataupun posisi supine.28 Pasien berdiri atau duduk tegak menghadap tabung sinar X, posisikan penempatan bagian atas penerima gambar sekitar 1,5 inci (3,8 cm) di atas kaput humerus. Abduksi ringan lengan dan supinasi tangan, epikondilus paralel dengan bidang penerima gambar. Gunakan pelindung gonad dan pasien diminta menahan napas. Fokus sinar tegak lurus ke titik tengah humerus dan bagian tengah penerima gambar. Kriteria evaluasi yaitu harus terlihat jelas sendi bahu dan siku, epikondilus tanpa rotasi, kaput humerus dan tuberkulum mayus in profile, bayangan tuberkulum minor berada diantara kaput humerus dan tuberkulum mayor, divergensi sinar mungkin menutupi sebagian sendi siku, serta tidak ada perbedaan densitas yang besar antara bagian proksimal dan distal humerus.28,29
2.8.4
Radiografi vertebra torakal proyeksi AP dan lateral
2.8.4.1 Proyeksi anteroposterior Menggunakan penerima gambar ukuran 35 x 43 cm atau 18 x 43 cm, grid yang menetap atau bergerak, 80 +/- 5 atau 90 +/-5 kV, 12 mAs atau 7 mAs. Fokus sinar tegak lurus ke torakal 7, yaitu sekitar 8-10 cm di bawah lengkung jugular atau 3-5 inci dari sudut sternum. Fokus sinar tegak lurus pada penerima gambar.28 Posisi pasien dalam keadaan supine atau berdiri dengan lengan pasien di samping badan, dan kedua bahu horizontal.
Posisikan midsagital tubuh dengan garis
tengah penerima gambar. Untuk posisi supine, fleksikan hip untuk menurunkan kifosis thorakal, jika tidak bisa fleksi, diberikan penyangga pada lutut. Apabila posisi tegak, maka berat badan pasien terdistribusi ke kaki sehingga dapat dicegah rotasi kolumna vertebralis. Pasien sebaiknya menggunakan pelindung gonad.
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
23
Kriteria evaluasi yaitu terlihat kedua belas kolumna vertebralis dan prosesus spinosus berada di garis tengah.28,29 2.8.4.2 Proyeksi lateral Menggunakan penerima gambar ukuran 35 x 43 cm atau 18 x 43 cm. 85 +/- 5 kV, 50 mAs, menggunakan grid bergerak atau stationer, fokus sinar ke torakal 7, jarak minimum 100 cm. 28 Posisikan pasien dalam keadaan miring, lebih baik bila pasien miring kekiri sehingga posisi jantung lebih dekat ke kaset, berguna untuk meminimalkan tumpang tindih
antara vertebra dan jantung. Letakkan kepala pada bantal
sehingga panjang aksis vertebra torakal horizontal. Atur bagian atas kaset sekitar 3,8 sampai 5 cm dari bagian atas bahu kemudian tekuk lutut untuk mencegah rotasi pelvis. Luruskan kedua lengan ke sisi kanan agar terjadi elevasi pada iga sehingga foramen intervertebralis jelas terlihat. Gunakan pelindung gonad pada pasien. Fokus sinar yaitu tegak lurus ke bagian sentral kaset pada level torakal 7 dan masuk kebagian tengah posterior torak.28 Kriteria evaluasi yaitu vertebra terlihat jelas melalui iga dan bayangan paru, kedua belas vertebra torakal berada ditengah kaset, jumlah vertebra yang tervisualisasi tergantung dari ukuran dan bentuk pasien serta diskus intervertebralis terbuka.28,29
2.8.5 Radiografi vertebra lumbal proyeksi anteroposterior dan lateral 2.8.5.1 Proyeksi anteroposterior Menggunakan penerima gambar ukuran 35 x 43 cm atau 30 x 35 cm, 75-80 kV (atau 85-92 kV dengan penurunan mAs), jika 80 kV menggunakan 15 mAs dan 92 kV dengan 8 mAs.28,29 Posisikan pasien dalam keadaan terlentang. Pusat bidang midsagital tubuh pasien berada pada garis tengah grid. Bahu pasien dan panggul berada pada bidang horizontal yang sama. Fleksikan siku pasien dan tempatkan tangan dibagian atas
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
24
dada. Fokus sinar yaitu tegak lurus pada kaset di level krista iliaca (lumbal 4) untuk pemeriksaan lumbosakral atau 3.8 cm diatas krista iliaka (lumbal 3) untuk pemeriksaan lumbal. Jarak minimum
sumber sinar dengan penerima gambar
adalah 100 cm.29 Kriteria evaluasi yaitu area dari vertebra torakal terbawah sampai sakrum, kolimasi sinar x ke tepi lateral otot psoas, tidak ada artefak dari pakaian pasien, semua struktur vertebra terpenetrasi oleh sinar X, sendi intervertebra terbuka serta vertebra terlihat simetris.29 2.8.5.2 Proyeksi lateral Menggunakan penerima gambar ukuran 35 x 43 cm atau 30 x 35 cm, grid bergerak atau stationer, 85-95 kV, 50-65 mAs. Jarak sumber sinar sinar ke penerima gambar 100 cm.28 Posisi pasien rekumben dengan lutut fleksi dan atur bidang midkoronal pasien kegaris tengah grid dan pastikan vertikal. Letakkan penyangga yang bersifat radiolusen di bawah torak untuk menjaga agar aksis panjang vertebra horizontal. Ketika menggunakan penerima gambar ukuran 35 x 43 cm, pusatkan pada bagian krista ilika (L4), jika menggunakan kaset 30 x 35 cm, pusatkan sekitar 3.8 cm diatas krista. Fokus sinar yaitu tegak lurus pada level krista iliaka (lumbal 4) jika menggunakan kaset 35 x 43 cm untuk lumbosakral dan atau 3.8 cm diatas krista iliaka jika menggunakan kaset 30 x 35 cm untuk vertebra lumbal.7,28 Kriteria evaluasi meliputi area vertebra torakalis terbawah sampai sakrum atau koksigeus, diskus intervertebralis terbuka, terdapat tumpang tindih tepi posterior dari masing-masing
korpus vertebra, tumpang tindih dari krista iliaka dan
prosesus spinosus.29
2.8.6
Radiografi pelvis proyeksi anteroposterior
Menggunakan penerima gambar ukuran 24 x 30 cm (10 x 12 inci) atau 35 x 45 cm (11 x 14 inci), 80 +/- kV, 10 mAs, jarak minimum sumber sinar ke kaset 100
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
25
cm.28 Posisikan pasien dalam keadaan supine dan pusatkan bidang midsagital tubuh ke midline grid. Kemudian lakukan rotasi medial pada kaki atau tungkai bawah sebanyak 150 - 200 sehingga kaput femur paralel dengan bidang kaset. Lakukan immobilisasi pada tungkai bawah dengan bantal pasir jika diperlukan.29 Kriteria evaluasi yaitu terlihat seluruh tulang pelvis dan femur bagian proksimal, trokhanter minor jika terlihat berada di sisi medial femur, leher femur terlihat ekstensi penuh, trokhanter mayor in profile, kolumna vertebralis lumbal bagian bawah terlihat pada bagian tengah radiografi, foramen obturator simetris dan ilium simetris.28,29
2.8.7 Radiografi femur proyeksi anteroposterior Menggunakan penerima gambar ukuran 18 x 43 cm atau 35 x 43 cm, 75 +/- 5 kV, 12 mAs, jarak minimum dari sumber sinar ke kaset 100 cm. Fokus sinar tegak lurus ke bagian tengah femur dan bagian tengah kaset.30 Posisi pasien dalam keadaan supine, panggul tidak rotasi dan bagian tengah tulang paha diposisikan pada bagian tengah kaset. Kriteria evaluasi yaitu harus terlihat mayoritas dari femur dan sendi terdekat dengan yang dicurigai adanya lesi, leher femur tidak terlihat memendek, trokhanter minor terlihat tidak melebihi tepi medial femur atau hanya terlihat sebagian kecil di femur proksimal dan sendi lutut tidak mengalami rotasi.28,29
2.9. Gambaran radiologi mieloma multipel Terdapat empat macam gambaran radiologis mieloma multipel yaitu lesi tunggal (plasmasitoma), keterlibatan tulang yang difus (mielomatosis), osteopenia/ osteoporosis difus, dan sklerotik.7,14
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
26
2.9.1 Lesi litik Lesi litik pada pasien mieloma multipel mencapai 70-80%. Lesi ini merupakan hallmark pada mieloma multipel dan tanda keganasan aktif.6,7,14 Lesi litik pada mieloma dapat memperlihatkan lesi litik tunggal ataupun difus. Lesi litik tunggal (plasmacytoma) murni tanpa reaksi sklerosis, kadang-kadang berupa lesi litik mouth-eaten atau permeative dan ekspansil. Paling sering dijumpai pada igae atau pelvis, namun dapat juga ditemukan pada tulang panjang.6,14 Lesi litik difus (Mielomatosis) paling sering ditemukan pada vertebra dan kalvaria, berupa lesi litik multipel, bentuk elips, batas tegas dengan ukuran yang hampir sama . Pola destruksi dapat geografis, moth-eaten ataupun permeatif. Pada kalvaria, karakteristiknya berupa area detruksi tulang berbentuk bulat “punchedout” dengan ukuran hampir seragam. Area destruksi pada iga berbentuk seperti renda dan lesi litik kecil dapat disertai massa jaringan lunak sedangkan di tulang pipih ataupun tulang panjang, dijumpai endosteal scalloping
tanpa reaksi
periosteal.6,7,14 Lesi litik pada mieloma multipel disebabkan karena peningkatan osteoklas yang mengakibatkan destruksi tulang dengan batas tegas dan litik, hal ini juga yang membedakannya dengan metastasis tulang. Metastasis tulang selain menghasilkan faktor yang memicu osteoklas tetapi cenderung memicu reaksi tulang sehingga mengakibatkan kerusakan tulang yang ireguler dan ragged. Perbedaan lain yaitu mieloma dapat mengenai diskus intervertebralis tetapi jarang terjadi pada metastasis tulang dan metastasis selalu mengenai pedikel tapi jarang pada mieloma.14
2.9.2 Osteoporosis Osteoporosis umumnya ditemukan pada vertebra dan dapat disertai dengan fraktur kompresi. Semakin tinggi derajat osteoporosis maka akan semakin tinggi kemungkinan dan jumlah fraktur kompresi. Gambaran utama osteoporosis pada radiografi adalah peningkatan radiolusensi dan penipisan korteks. Radiolusensi yang bertambah disebabkan oleh resorpsi dan penipisan ataupun hilangnya Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
27
trabekula sedangkan penipisan korteks merupakan hasil dari resorpsi osseus korteks.30 Ada beberapa metode yang digunakan untuk menilai osteoporosis ini yaitu indeks Saville dan indeks Singh. Indeks Saville di gunakan untuk penilaian osteoporosis pada korpus vertebra. Ada 4 derajat osteoporosis pada indeks ini yaitu: Derajat 1: densitas tulang sedikit menurun dengan endplate terlihat prominen. Derajat 2: garis vertikal pada korpus terlihat jelas dengan endplate menipis. Derajat 3 : lebih berat dari tahap 2, endplate tidak terlihat jelas Derajat 4: korpus vertebra terlihat seperti gambaran hantu, densitas hampir sama dengan jaringan lunak sekitar, tidak terlihat pola trabekular.30,31 Pada tahun 1972, indeks Singh digunakan untuk mendiagnosis osteoporosis berdasarkan asumsi bahwa trabekula di femur proksimal akan hilang secara berurutan sesuai ketebalan aslinya. Para peneliti mengatakan ketebalan dan ruang trabekula pada berbagai kelompok trajektorial tergantung pada intensitas tekanan pada trabekula ini, dan dengan bertambah hilangnya massa tulang maka hanya trabekula yang terlihat pada radiografi. Terdapat 6 tahapan gambaran trabekula pada proksimal femur, semakin berkurang trabekula maka semakin tinggi derajat osteoporosisnya.32 Tahap-tahap tersebut adalah: Tahap 6: Semua kelompok trabekular normal terlihat dan tulang femur proksimal sepenuhnya tampak ditempati oleh tulang cancellous. Tahap 5: Struktur utama trabekular tensil dan trabekular tekan terlihat. Segitiga Ward terlihat menonjol. Tahap 4: Trabekula tensil utama berkurang jumlahnya namun masih bisa ditelusuri dari korteks lateral ke bagian atas kolum femur Tahap 3: Terdapat diskontinuitas dari trabekula tensil utama Tahap 2: Hanya trabekula tekan utama yang jelas terlihat, trabekula yang lain kurang lengkap atau sedikit diserap.
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
28
Tahap 1: Trabekula tekan utama berkurang jumlahnya dan tidak lagi terlihat prominen.14,33
2.9.3 Lesi blastik ( sklerotik) Sclerosing mieloma memberikan gambaran lesi litik-blastik dengan tepi sklerotik, ditemukan terutama pada sindroma POEMS (Polineuropati, organomegali, endokrinopati, M protein dan perubahan kulit). Lesi sklerotik sangat jarang dijumpai pada mieloma yaitu kurang dari 1%. 34 Selain ditemukan adanya lesi litik, blastik dan osteoporosis sering ditemukan fraktur pada vertebra maupun tulang panjang, fraktur ini merupakan fraktur patologis.1,2
2.10 Fraktur patologis Fraktur adalah suatu disrupsi kontinuitas pada tulang, bisa komplit maupun tidak komplit.14 Fraktur patologis merupakan suatu fraktur yang terjadi pada tulang yang abnormal. Kelainan tulang dapat disebabkan oleh penyakit metabolik (misalnya osteoporosis, osteomalasia, atau penyakit Paget, lesi jinak, sarkoma, limfoma, metastasis dan mieloma.34 Pasien mieloma multipel dengan osteoporosis memiliki kecendrungan terjadi fraktur dua kali lipat dibandingkan yang tidak disertai osteopororis. Ditemukan fraktur kompresi berkorelasi dengan derajat osteoporosis, semakin tinggi derajat osteoporosis maka semakin tinggi pula fraktur yang terjadi. Fraktur secara umum merupakan wedge fracture ketika ketinggian korpus sisi anterior berkurang dibanding sisi posterior, endplate fracture ketika ketinggian korpus bagian tengah berkurang dibandingkan sisi posterior dan crush fracture ketika semua ketinggian korpus
vertebra
berkurang
dibandingkan
korpus
vertebra
terdekat.37
Suatu metode yang digunakan untuk menentukan fraktur kompresi yaitu metode Genant. Genant et al, membagi fraktur kompresi menjadi 4 tahap yaitu : - Tahap 0: tidak ditemukan fraktur kompresi - Tahap 1: fraktur ringan ( 20%-25% penurunan ketinggian korpus) Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
29
- Tahap 2: fraktur sedang (25%-40% penurunan ketinggian korpus) - Tahap 3: fraktur berat ( penurunan ketinggian komparatif > 40%).36 Prediksi terjadi fraktur pada destruki tulang yang disebabkan oleh metastastasis ataupun mieloma sangat penting dalam rangka edukasi kepada pasien. Indikasi klasik untuk impending fraktur patologis yaitu lebih dari setengah lebar tulang mengalami destruksi, ukuran destruksi tulang > 2.5 cm, avulsi dari trokanter minor dan nyeri yang tidak berkurang dengan radioterapi.37 2.11 Kalsium Kalsium pada tubuh orang dewasa mencapai sekitar 1-2 kilogram dan 99% berada di dalam tulang. Selebihnya berada di dalam sel dan cairan ekstraseluler.11 Ion kalsium memiliki peranan penting dalam fisiologi intraseluler dan ekstraseluler. Ion kalsium intraseluler merupakan regulator untuk fungsi sel, antara lain sekresi hormon, kontraksi otot, metabolisme glikogen dan pembelahan sel. Ion kalsium ekstraseluler berperan sebagai ko-faktor pada proses pembekuan darah, yaitu untuk faktor VII, IX, X dan protrombin, pemeliharaan mineralisasi tulang, stabilisasi membran, dan menjaga permeabilitas membran plasma terhadap ion natrium. Metabolisme kalsium diatur oleh tiga hormon utama yaitu hormon paratiroid (PTH), kalsitonin dan hormon sterol (1,25 dihidroksikolekalsiferol/ vitamin D).11,37 2.11.1 Hiperkalsemia Terdapat tiga dasar mekanisme patofisiologi pada hiperkalsemia yaitu peningkatan absorbsi kalsium dari sistem gastrointestinal, penurunan eksresi kalsium ginjal dan peningkatan resorpsi kalsium tulang.11 Hiperkalsemia merupakan komplikasi metabolik yang paling sering pada pasien mieloma. Penyebab utama dari hiperkalsemia ini adalah destruksi tulang yang luas. Resorpsi tulang menyebabkan keluarnya kalsium ke dalam cairan ekstraselular .
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
30
Patogenesis hiperkalsemia pada mieloma mungkin lebih kompleks karena tidak semua pasien dengan mieloma tulang signifikan mengalami hiperkalsemia. Hiperkalsemia paling sering terjadi pada pasien mieloma yang memiliki volume tumor yang besar ( lesi yang luas), terlepas dari status serum parathyroid hormone-related protein ( PTHrP ).
Keadaan
ini masih belum jelas, tetapi
mungkin terkait dengan jumlah tulang yang memiliki aktifitas resorbsi yang diproduksi oleh sel-sel mieloma serta keadaan filtrasi glomerulus. Terdapat
perbedaan antara hiperkalsemia yang terjadi pada mieloma dan
hiperkalsemia humoral klasik dari keganasan pada pasien dengan tumor solid. Pada pasien mieloma dengan hiperkalsemia PTHrP terlibat secara sporadis sedangkan hiperkalsemia keganasan humoral selalu karena peningkatan sekresi PTHrP oleh tumor. Pasien mieloma dengan hiperkalsemia hampir selalu disertai gangguan fungsi ginjal dan peningkatan serum fosfat yang berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus. Ketiga, penanda pembentukan tulang seperti serum alkaline phosphatase biasanya tidak meningkat pada pasien mieloma, karena pembentukan tulang sering tidak diubah dan mungkin sebenarnya ditekan untuk alasan yang tidak sepenuhnya jelas yang mungkin melibatkan Dickkopf-1( DKK ).11,38 Gejala klinis hiperkalsemia tidak spesifik, tergantung dari jumlah dan waktu perubahan kadar serum kalsium darah. Perubahan akut menyebabkan gejala klinis yang berat dibandingkan dengan perubahan kronis. Manifestasi klinis dari hiperkalsemia dapat mengenai berbagai macam sistem yaitu neurologi, psikis, saluran cerna, jantung dan pembuluh darah, ginjal serta muskuloskeletal. Angka kematian mencapai 50% pada pasien hiperkalsemia yang tidak diterapi dan harapan hidup kurang dari tiga bulan pada pasien hiperkalsemia dengan keganasan setelah diagnosis ditegakkan.11,38
2.11.2 Metode pemeriksaan kalsium Pemeriksaan kadar kalsium digunakan untuk mengukur konsentrasi kalsium di dalam darah, bukan yang berada di dalam tulang. Metode yang umum digunakan
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
31
untuk mengukur kadar kalsium total adalah pemeriksaan fotometrik secara Schwazenbach dengan o-cresolphthalein complexone. Prinsip dari metode ini yaitu: -
Kalsium bebas direaksikan dengan pereaksi warna dalam suasana basa, sehingga terbentuk ikatan komplek Ca2 - o-cresolphthalein complexone. alkaline Calcium + O-Cresolphthalein Complexone medium Calcium - Cresolphthalein Complexone Complex (warna ungu)
-
Intensitas warna pada kompleks proporsional secara langsung denagn konsentrasi kalsium.39
Hasil pemeriksaan: Kadar serum kalsium normal adalah 8-10,4 mg/dL. Hiperkalsemia ringan jika kadar kalsium serum 10.5-12 mg/dL, hiperkalsium sedang kadar kasium 12-14 mg/dL sedangkan hiperkalsemia krisis > 14 gr/dL. Tetapi kisaran hasil pemeriksaan ini juga tergantung dari masing-masing laboratorium, dipengaruhi oleh alat yang dipakai serta populasi lokal. 11,39
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
32
2.12 Kerangka teori Mieloma multipel
Peningkatan aktifitas osteoklas dan supresi osteoblast pada mieloma
Kerusakan tulang ( lesi litik, osteoporosis)
Fraktur patologis
Bone survey
Pemeriksaan laboratorium
Hiperkalsemia
Komplikasi jantung, ginjal, gastrointestinal dan neurologi
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
33
2.13 Kerangka konsep Mieloma multipel
Kerusakan tulang tulang
Bone survey
osteoporosis
Lesi litik, osteoporos is
Kadar kalsium
Normokalsemia Hiperkalsemia
Fraktur patologis
Lesi litik:
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Desain penelitian Penelitian dilakukan secara retrospektif menggunakan desain potong lintang untuk mengetahui hubungan antara gambaran lesi litik dengan kadar kalsium darah pada pasien mieloma multipel. Penelitian menggunakan data sekunder pasien mieloma multipel yang menjalani pemeriksaan di RS Kanker Dharmais. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Kanker “Dharmais” Jakarta bekerjasama dengan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam.
Jadwal
penelitian dapat dilihat pada tabel 3.1. Pengumpulan data akan dilakukan setelah lulus uji kaji etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tabel 3.1. Jadwal Kegiatan Penelitian Kegiatan Usulan penelitian Administrasi Perijinan Pengumpulan data Analisa data Pelaporan
Bulan I +
Bulan II +
Bulan III
Bulan IV
Bulan V
+
+
+ +
+ +
34
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
35
3.3 Populasi Populasi target penelitian adalah seluruh pasien multipel mieloma yang mengalami fraktur maupun tidak mengalami fraktur. Populasi terjangkau adalah populasi penelitian yang berobat ke RS Kanker Dharmais dan melakukan pemeriksaan bone survey di RSKD serta memiliki hasil kalsium darah. 3.4 Sampel Sampel adalah pasien yang termasuk populasi terjangkau serta memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Dasar rumus yang dipakai untuk menghitung jumlah sampel yaitu: n = Zα2PQ d2 Zα = kesalahan tipe I sebesar 5% , menjadi 1,96 P = prevalensi lesi litik dengan distribusi yang luas, 50% Q = 1-P = 50% d = kesalahan prediksi yang masih dapat diterima di tetapkan sebesar 15% Berdasarkan rumus diatas didapatkan sampel: n = 1,962 x 50 x 50 15 x 15 n = 42 ,68 ( dibulatkan menjadi 45)
3.5 Kriteria inklusi dan eksklusi 3.5.1 Kriteria inklusi Pasien dengan mieloma multipel yang menjalani pemeriksaan di RS Kanker Dharmais dan memiliki catatan medis yang lengkap yaitu nomor rekam medis, usia, jenis kelamin,
pemeriksaan bone survey yang
dilakukan di RSKD serta hasil pemeriksaan serum kalsium darah. Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
36
3.5.2 Kriteria eksklusi Pasien yang tidak memiliki catatan medis yang lengkap , pemeriksaan bone survey dan hasil serum kalsium darah.
3.6 Alur penelitian Pasien mieloma multipel yang menjalani pemeriksaan di RS kanker Dharmais
Kriteria eksklusi
Kriteria inklusi
Pembacaan ulang hasil bone survey
Pencatatan hasil pemeriksaan kalsium darah Tidak diteliti
Lesi litik, osteoporosis, fraktur patologis
Pencatatan data
Analisis data
3.7 Cara Kerja 1. Seleksi pasien dilakukan dari data pusat registrasi kanker di Rumah Sakit Kanker “Dharmais”. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dicatat data dasarnya seperti nomor rekam medis, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan laboratorium. 2. Radiografi bone survey subyek penelitian dibaca kembali dengan menggunakan picture archiving and communication systems (PACS) oleh peneliti dan spesialis radiologi yang berpengalaman. Apabila terdapat ketidaksesuaian hasil Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
37
pembacaan, maka dilakukan pembacaan kembali oleh dokter spesialis radiologi kedua. 3. Mencatat hasil pemeriksaan laboratorium dari subjek penelitian yaitu kadar kalsium darah dengan tanggal pemeriksaan yang berdekatan dengan tanggal pemeriksaan bone survey yaitu maksimal 5 hari setelah pemeriksaan bone survey. 4. Melakukan analisis data hasil pembacaan bone survey dengan hasil pemeriksaan kalsium
3.8 Batasan operasional 1. Usia pada penelitian ini adalah waktu saat seseorang didiagnosa menderita mieloma multipel. Dibagi menjadi 3 kelompok yaitu < 51 tahun, 51-60 tahun dan > 61 tahun. 2. Subyek penelitian adalah pasien mieloma multipel yang telah tegak diagnosanya dengan menggunakan baku emas pungsi sumsum tulang atau dengan menggunakan kriteria mayor dan kriteria minor mieloma multipel. 3. Bone survey adalah pemeriksaan radiologi pada tulang–tulang tubuh dengan menggunakan sinar X. Pemeriksaan bone survey yang dilakukan di RS Kanker Dharmais meliputi radiografi schedel proyeksi anteroposterior (AP) dan lateral, vertebra torakal serta lumbal proyeksi AP dan lateral, torak AP atau PA, humerus dan femur proyeksi AP serta pelvis proyeksi AP. 4. Pengaturan grayscale untuk pemeriksan bone survey di RS Kanker Dharmais yaitu window 00256 dan kontras 00128. 5. Lesi litik pada mieloma multipel berupa lesi litik bentuk elips atau bulat, batas tegas dengan ukuran yang hampir sama (punched-out)
dan pada tulang
panjang disertai dengan endosteal scalloping. Distribusi lesi litik yang dinilai pada penelitian ini meliputi tulang kalvaria, vertebra, skapula, klavikula, iga, humerus, pelvis dan femur. 6. Osteoporosis secara foto polos dinilai dengan menggunakan indeks Singh dan indeks Saville. Penilaian dengan indeks Singh digunakan pada daerah
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
38
proksimal femur, dapat dilihat pada tabel 3.2 dan indeks Saville digunakan pada vertebra, dapat dilihat pada tabel 3.3.
Tabel 3.2. Indeks Singh untuk osteoporosis. Dikutip dari 32 Gambaran
Detail Tahap 6: Semua kelompok normal trabekular terlihat dan atas ujung atas tulang paha sepenuhnya tampak ditempati oleh tulang cancellous
Tahap 5: Struktur utama trabekular tensil dan trabekular tekan terlihat. Segitiga Ward terlihat menonjol.
Tahap 4: Trabekula tensil utama berkurang jumlahnya namun masih bisa ditelusuri dari korteks lateral ke bagian atas leher femur Tahap 3: Terdapat diskontinuitas dari trabekula tensil utama
Tahap 2: Hanya trabekula tekan utama yang jelas terlihat, trabekula yang lain kurang lebih lengkap atau sedikit diserap.
Tahap 1: Trabekula tekan utama berkurang jumlahnya dan tidak lagi menonjol.
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
39
Table 3.3 . Indeks Saville untuk penilaian osteoporosis pada vertebra. Dikutip dari 40 Tahap
Gambaran radiologi
0
Densitas tulang normal
1
Densitas tulang sedikit menurun, end plates mulai terlihat menonjol, seperti di stempel
2
Garis vertical lebih terlihat jelas, end plate menjadi tipis
3
Gambaran lebih buruk dari tahap 2, end plate kurang terlihat
4
Badan vertebra seperti hantu; densitas hampir sama dengan jaringan lunak: tidak terlihat pola trabekular
7.
Fraktur patologis merupakan suatu fraktur yang terjadi pada tulang yang abnormal,
dapat
disebabkan
oleh
penyakit
metabolik
(misalnya
osteoporosis, osteomalasia, atau penyakit Paget), lesi jinak, sarkoma, limfoma, metastasis dan mieloma. 8. Fraktur adalah suatu disrupsi kontinuitas pada tulang, bisa komplit maupun tidak komplit. Fraktur kompresi yaitu terjadinya pengurangan ketinggian > 20% pada korpus vertebra dibandingkan dengan bagian korpus vertebra itu sendiri atau korpus yang terdekat. Penilaian dengan menggunakan klasifikasi Genant yang dapat dilihat pada gambar 3.1.
Gambar 3.1. Klasifikasi semi-kuantitatif Genant Dikutip dari Lenchik L, Rogers LF, Delmas PD, Genant HK. Diagnosis of osteoporotic vertebral fracture: Important of recognition and description by radiologist. AJR. 2004;183(4) Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
40
9. Kadar serum kalsium yang dinilai pada penelitian yaitu hipokalsemia (<8 mg/dL), normokalsemia
( 8-10,4 mg/dL) dan hiperkalsemia ( ≥ 10,5
mg/dL). 3.9 Analisis Data Seluruh data dari sampel penelitian dicatat pada formulir penelitian untuk diedit dan dikoding kemudian direkam pada komputer dan dilakukan validasi. Pada data yang sudah bersih dilakukan tabulasi dan diolah secara statistik menggunakan program SPSS versi 17. Data kuantitatif dilakukan penghitungan nilai rata-rata dan standar deviasi beserta tingkat kepercayaannya sebesar 95%. Dilakukan uji analisis Chi-Square untuk menilai hubungan antara lesi litik dengan kadar kalsium darah pada pasien mieloma multipel. 3.10 Etika Penelitian Penelitian dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Data-data pasien yang digunakan dalam penelitian ini diperlakukan dengan hormat dan rahasia. Data berupa identitas pasien tidak ditampilkan. Penelitian ini tidak dimintakan informed consent karena menggunakan data sekunder. Penelitian ini telah mendapatkan surat keterangan lolos kaji etik dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan no: 88/H2.F1/ETIK/2014 tanggal 10 Februari 2014.
3.11 Pendanaan Biaya pengadaan literatur, alat tulis kantor, USB, printer, cetak dan pengadaan laporan ditanggung sendiri oleh peneliti.
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
BAB 4 HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan mulai bulan November 2013 hingga Maret 2014 di Instalasi Radiologi bekerjasama dengan Departemen Penyakit Dalam RS Kanker Dharmais. Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu pemeriksaan bone survey serta hasil kalsium darah pasien mieloma multipel sesuai nomor rekam medis. Didapatkan sebanyak 119 pasien, dari bulan Januari 2007 sampai Januari 2014 dan yang termasuk kriteria inklusi hanya 45 subyek penelitian dengan 32 subyek yang belum mendapatkan terapi myeloma multiple. Penilaian bone survey dilakukan melalui sistem PACS dan pendataan hasil pemeriksaan kalsium darah didapatkan dari status pasien maupun dari bagian laboratorium RSKD.
4.1. Karakteristik subyek penelitian Tabel 4.1. Sebaran subyek menurut karakteristik demografik Karakteristik demografik Jenis kelamin
Kelompok usia (tahun)
Jumlah
Persentase
Laki-laki
29
64,4
Perempuan
16
35,6
< 51
3
6,7
51-60
25
55,6
> 61
17
37,8
Tabel 4.1. memperlihatkan, dari 45 subyek yang diteliti berdasarkan jenis kelamin didapatkan subyek terbanyak adalah jenis kelamin laki-laki yaitu berjumlah 29 subyek (64,4%) sedangkan
jenis kelamin perempuan berjumlah 16 subyek
(35,6%).
41
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
42
Berdasarkan kelompok usia didapatkan subyek terbanyak adalah kelompok usia 51–60 tahun yaitu berjumlah 25 subyek (55,6 %), diikuti kelompok usia > 61 tahun sebanyak 17 subyek (37,8 %) dan kelompok usia < 51 tahun sebanyak 3 subyek (6,7%). Gambar.4.1. Histogram usia subyek 12
10
8
6
4
2
Std. Dev = 7.73 Mean = 59.2 N = 45.00
0 40.0
45.0
50.0
55.0
60.0
65.0
70.0
75.0
AGE
Usia rerata subyek penelitian ini adalah 59,2 tahun, standar deviasi 7,73 dan nilai interval kepercayaan sebesar 95% dengan usia minimum 40 tahun dan usia maksimum 74 tahun.
4.2 Karakteristik hasil pemeriksaan bone survey Tabel 4.2. Sebaran subjek berdasarkan lokasi lesi litik pada bone survey Lokasi litik
Jumlah
Persentase
Tidak ada litik
3
6,7
1-3 lokasi
17
37,8
4-6 lokasi
18
40,0
7-8 lokasi
7
15,6
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
43
Tabel 4.2. memperlihatkan, dari 45 subyek yang diteliti, didapatkan 42 subyek (93,3%) memiliki lesi litik sedangkan 3 subyek (6,7%) tidak memiliki lesi litik pada sistem skeletal. Distribusi lesi litik terbanyak didapat pada 4-6 lokasi yaitu 18 subyek (40,0%), diikuti oleh 1-3 lokasi sebanyak 17 subjek (37,8%) dan 7-8 lokasi sebanyak 7 subyek (15,6%) dari seluruh subyek penelitian.
Gambar 4.2. Persentasi lesi litik berdasarkan lokasi tulang
Dari 45 subyek yang diteliti didapatkan lesi litik terbanyak di tulang kepala yaitu mencapai 40 subyek (88,9%), diikuti lesi litik di pelvis sebanyak 26 subyek (57,8%), tulang humerus dan tulang femur masing- masing sebanyak 25 subyek (55,6%), tulang iga sebanyak 21 subyek (46,7%), vertebra sebanyak 14 subyek (31,1%) serta yang paling sedikit yaitu di tulang klavikula dan skapula masingmasing 13 subyek (28,9%).
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
44
Tabel 4.3. Sebaran subyek menurut luas lokasi litik dan kelompok umur Lokasi litik
Kelompok usia < 51
51-60
Jumlah
>61
Tidak ada lesi litik
0
2
1
3
1-3 tulang
0
6
11
17
4-6 tulang
2
11
5
18
7-8 tulang
1
6
0
7
Jumlah
3
25
17
45
Tabel 4.4. Nilai rerata dan standard deviasi usia menurut luasnya lokasi litik Lokasi litik
Mean
Standard deviasi
Normal
58,67
4,04
1-3 tulang
63,06
6,44
4-6 tulang
57,72
8,30
7-8 tulang
53,57
6,45
Jumlah
59,16
7,73
Dari 43 subyek penelitian yang memiliki lesi litik didapatkan, lesi litik pada 1-3 lokasi tulang paling banyak ditemukan pada kelompok usia > 61 tahun yaitu 11 subyek (26,2%) dengan rerata usia 63,06 tahun. Lesi litik pada 4-6 lokasi tulang terbanyak ditemukan pada kelompok usia 51-60 tahun yaitu 11 subyek (26,2%) dengan rerata usia 57,72 tahun sedangkan lesi litik pada 7-8 tulang paling banyak juga ditemukan pada kelompok usia 51-60 tahun yaitu 6 subyek (13,9%) dengan rerata usia 53,57 tahun. Pada kelompok usia 51-60 tahun ini juga terdapat 2 subyek (4,4%) yang tidak memiliki lesi litik dari 45 subyek yang diteliti, dengan rerata usia 58,67 tahun.
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
45
Tabel 4.5. Karakteristik osteoporosis pada pemeriksaan bone survey Osteoporosis
Jumlah
Persentasi
0
0,0
Derajat 1
0
0,0
Derajat 2
13
28,9
Derajat 3
20
44,4
Derajat 4
12
26,7
Derajat 1
0
0,0
Derajat 2
0
0,0
Derajat 3
15
33,3
Derajat 4
30
66,7
Tidak ada osteoporosis Osteoporosis Singh
Osteoporosis Saville
Tabel 4.5 memperlihatkan dari 45 subyek penelitian, didapatkan bahwa seluruh subyek
mengalami osteoporosis (100%) baik menurut indeks Singh maupun
Saville. Berdasarkan indeks Singh, derajat osteoporosis yang paling banyak ditemukan yaitu derajat 3 yang terdapat pada 20 subyek (44,4%), diikuti derajat 2 sebanyak 13 subyek (28,9%) dan yang paling sedikit yaitu derajat 4 sebanyak 12 subyek (26,7%). Berdasarkan indeks Saville, derajat osteoporosis yang paling banyak ditemukan yaitu derajat 4 yang terdapat pada 30 subyek (66,7%) dan diikuti oleh derajat 3 sebanyak 15 subyek (33,3%).
a
b
Gambar 4.3. Contoh derajat osteoporosis menurut indeks Saville a.derajat 3, b. derajat 4
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
46
a
b
c
Gambar 4.4. Contoh derajat osteoporosis menurut indeks Singh a. derajat 4, b. derajat 3, c. derajat 2
Tabel 4.6. Sebaran subyek berdasarkan fraktur pada bone survey Karakteristik fraktur
Jumlah
Persentasi
Tidak ada fraktur
20
44,4
Fraktur kompresi
19
42,2
Fraktur tulang panjang
6
13,3
Dari 45 subyek penelitian, didapatkan 25 subyek (55,6%) mengalami fraktur sedangkan 20 subyek (44,4%) tidak mengalami fraktur. Fraktur kompresi merupakan fraktur yang paling banyak ditemukan yaitu mencapai 19 subyek (42,2%) sedangkan fraktur pada tulang panjang terdapat di 6 subyek (13,3%) dari seluruh sampel penelitian. Fraktur kompresi lebih banyak ditemukan pada vertebra lumbal yaitu 14 subyek (73,7%) dibandingkan vertebra torakal sebanyak 11 subyek (57,8%) dari 19 subyek yang mengalami fraktur kompresi, dengan lokasi paling banyak di vertebra L1 mencapai 10 subyek (52,6%), L5 mencapai 7 subyek (36,8%) , serta L2 dan T12 masing-masing sebanyak 6 subyek (31,5%)
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
47
4.3 Sebaran subyek menurut hasil pemeriksaan kadar kalsium darah Tabel 4.7. Karakteristik hasil pemeriksaan kadar kalsium darah Kadar kalsium darah
Jumlah
Persentase
Hipokalsemia
2
4,4
Normokalsemia
37
82,2
Hiperkalsemia
6
13,3
Tabel 4.7, dari 45 subjek yang diteliti, berdasarkan kadar kalsium darah didapatkan hasil terbanyak yaitu kadar kalsium normal (normokalsemia) yang terdapat pada 37 subyek ( 82,2%), kemudian diikuti oleh hiperkalsemia sebanyak 6 subyek (13,3%) dan 2 subyek ( 4,4%) dengan hipokalsemia. Keadaan hiperkalsemia didapatkan pada 5 subyek yang belum mendapatkan terapi dan 1 subyek dengan terapi sedangkan hipokalsemia didapatkan pada subyek yang mendapatkan terapi.
4.4. Hubungan antara variabel Tabel 4.8. Hubungan kalsium dengan lesi litik Lokasi litik Hipokalsemia Tidak litik*)
Nilai P
Kadar kalsium
ada
Normokalsemia
Hiperkalsemia
0
3
0
1-3 lokasi*)
1
14
2
4-6 lokasi**)
1
14
3
7-8 lokasi**)
0
6
1
Total
2
37
6
0,836
*) digabung pada uji statistik **) digabung pada uji statistik
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
48
Dari 45 subyek yang diteliti, didapatkan bahwa kelompok dengan 1-3 dan 4–6 lokasi litik masing-masing memiliki 14 subyek dengan normokalsemia. Keadaan hiperkalsemia terbanyak terdapat pada kelompok lesi litik 4-6 lokasi yaitu 3 subyek, diikuti kelompok 1-3 lokasi yaitu sebanyak 2 subyek sedangkan hipokalsemia terdapat masing-masing 1 subyek pada kelompok 1-3 dan 4-6 lokasi litik. Dari hasil uji chi square didapatkan p=0,836, menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara banyaknya lokasi litik dengan kadar kalsium darah. Tabel 4.9. Hubungan antara lesi litik dengan fraktur Fraktur tulang Nilai P
Lokasi litik Tidak ada litik*)
Tidak fraktur 3
Kompresi 0
Fraktur tulang panjang 0
1-3 lokasi*)
11
4
2
4-6 lokasi
5
11
2
7-8 lokasi
1
4
2
Total
20
19
6
0,036
*) digabung pada uji statistik
Dari 45 subyek penelitian, didapatkan bahwa fraktur tulang kompresi terbanyak pada kelompok 4-6 lokasi litik yaitu 11 subyek. Fraktur pada tulang panjang juga terjadi pada seluruh kelompok lokasi litik yaitu masing-masing 2 subyek sedangkan untuk subyek yang tidak mengalami fraktur terdapat paling banyak di kelompok 1-3 lokasi litik yaitu 11 subyek. Dari hasil uji chi square didapatkan p=0,036, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara banyaknya lesi litik dengan fraktur.
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
BAB 5 PEMBAHASAN
Mieloma multipel merupakan suatu keganasan sel plasma B dengan karakteristik infiltrasi pada sumsum tulang dan produksi immunoglobulin monoklonal yang berlebihan.1 Gejala klinis yang paling banyak ditemukan pada pasien mieloma multiple adalah nyeri tulang, dan secara umum berhubungan dengan kerusakan tulang.2 Kerusakan tulang yang terjadi pada mieloma multipel mencapai sekitar 80%-90%.6 Berbagai kerusakan tulang yang dapat ditemukan pada pemeriksaan bone survey yaitu lesi litik, lesi blastik, osteoporosis dan fraktur tulang.1 Kerusakan tulang luas dapat menyebabkan kalsium yang tersimpan di dalam tulang akan keluar ke cairan ekstraseluler sehingga terjadi hiperkalsemia.11,37 Pemeriksaan bone survey merupakan modalitas utama dan modalitas yang paling umum digunakan untuk mendeteksi lesi tulang pada mieloma multipel.2 Pemeriksaan ini merupakan modalitas radiologi yang sederhana, paparan radiasi lebih sedikit dibanding CT sken, biaya pemeriksaan lebih murah dibandingkan modalitas lain dan tersedia diseluruh rumah sakit. 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan jenis kelamin, pada penelitian ini ditemukan bahwa jenis kelamin terbanyak pada mieloma multiple adalah jenis kelamin laki-laki (64%). Dilihat dari kelompok usia, paling banyak didapatkan pada kelompok usia 51–60 tahun (55,6 %), diikuti kelompok usia > 61 tahun serta hanya terdapat 3 subyek pada kelompok usia < 51 tahun, dengan usia rerata subyek pada penelitian ini yaitu 59,2. Menurut beberapa literatur, insidens mieloma multipel lebih banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan dengan puncak usia dekade
49
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
50
ke 5 hingga ke 7 dan jarang ditemukan pada usia < 40 tahun. Jika ditemukan pada kelompok usia < 40 tahun sebagian besar merupakan plasmasitoma.1,13 Berdasarkan lesi litik, didapatkan sebanyak 42 subyek (93,3%) memiliki lesi litik dan 3 subyek penelitian tidak memiliki lesi litik pada pemeriksaan bone survey. Menurut G David Roodman, MD PhD, lesi litik yang terjadi pada pasien mieloma multipel mencapai 70-90%. 8,10 Lesi litik pada multiple mieloma ini terjadi karena peningkatan resorpsi tulang yang berhubungan dengan aktifitas osteoklas dan supresi osteoblas. Sel mieloma menghasilkan berbagai macam faktor yang mengaktifkan osteoklas dan secara langsung meningkatkan aktifitas osteoklas, menstimulasi sel stromal sumsum dan sel T sehingga meningkatkan produksi osteoclast-activating factor dan menurunkan produksi osteoclast inhibitory factor. Faktor inhibitor yang dihasilkan dari tumor ini juga dapat menghambat formasi osteoblas, contohnya
sklerostin, dickkopf1 (DKK1), IL-3, IL-7, hepatocyte
growth factor (HGF) dan TNF-α.6,25 Lokasi lesi litik terbanyak ditemukan pada tulang kepala (88,9%), diikuti tulang pelvis (57,8%), tulang humerus (55,6%), tulang femur (55,6%), iga (46,7%), vertebra (31,1%), klavikula (28,9%) dan skapula (28,9%). Distribusi lokasi lesi litik juga bervariasi, didapatkan terbanyak di kelompok 4-6 lokasi tulang (40%), diikuti 1-3 lokasi tulang (37,8%) dan 7-8 lokasi tulang (15,6%). Temuan lokasi litik terbanyak ini tidak sesuai dengan literatur yang pada umumnya terdapat di vertebra (49%), diikuti oleh tulang kepala (35%), tulang pelvis (34%), iga (33%), humerus (22%) dan femur (13%). Temuan ini disebabkan karena penelitian menggunakan radiografi bone survey, sedangkan penelitian-penelitian lainnya telah menggunakan modalitas CT ataupun MRI serta sulitnya untuk melihat lesi litik pada vertebra dengan derajat osteoporosis yang tinggi. Selain itu dengan menggunakan radiografi, lesi litik baru dapat dilihat jika sudah terjadi kehilangan trabekula tulang sebesar 30-50%.1,10 Penelitian Mahnken et al, yang membandingkan modalitas CT dengan bone survey
didapatkan hasil bahwa modalitas CT lebih superior dibandingkan
radiografi konvensional dalam menentukan lesi litik.1 Begitu juga penelitian Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
51
Leucovet EF et al, yang menyatakan bahwa MRI lebih superior untuk menentukan lesi litik di vertebra dan pelvis dibandingkan bone survey.41 Dari penelitian ini didapatkan bahwa distribusi lesi litik yang berada ≥ 4 lokasi paling banyak terdapat pada kelompok usia 51-60 tahun mencapai 17 subyek (40,5%). Untuk distribusi lesi litik < 3 lokasi paling banyak terdapat pada kelompok usia > 61 tahun mencapai 11 subyek. Hal ini terjadi karena pada jumlah subyek terbanyak dan jumlah lesi litik terbanyak terdapat pada kelompok usia 51-60 tahun serta sesuai dengan insidens multiple mieloma dengan peak usia berada pada dekade ke 5. Tetapi patofisiologinya belum jelas sampai saat ini. Berdasarkan temuan osteoporosis, dari penelitian ini didapatkan bahwa semua subyek penelitian mengalami osteoporosis. Sebagian besar memiliki derajat 4 (66,7%) menurut indeks Saville serta derajat 3 (44,4%) dan derajat 2 (28,9%) menurut indeks Singh. Osteoporosis sering menyertai mieloma multiple dan osteoporosis merupakan salah satu gambaran yang didapatkan pada mieloma multiple. Meskipun mekanismenya belum jelas, tetapi beberapa penelitian menyatakan bahwa hubungan antara seluler dan humoral sel mieloma dan sel-sel tulang menyebabkan osteoporosis dan mempengaruhi tulang terutama tulang aksial.9 Reseptor NF - kB ligan dan faktor pro-osteoklasogenik lainnya yang dihasilkan oleh sel-sel mieloma menyebabkan peningkatan osteoklastogenesis dan resorpsi tulang, selain itu juga disekresikan Dickkopf-1 yang dapat memicu terjadinya osteoporosis.9,25 Osteoporosis yang ditemukan pada subyek penelitian ini tidak bisa dipastikan apakah hanya disebabkan oleh mieloma multipel, faktor usia atau faktor lain yang dapat menyebabkan osteoporosis karena tidak terdapat data mengenai hal tersebut. Kim JN et al telah melakukan penelitian mengenai osteoporosis pada pasien myeloma multiple dengan membandingkan bone mineral density (BMD) dengan radiografi, MRI serta klinis, didapatkan kesimpulan bahwa terdapat penurunan
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
52
BMD pada pasien myeloma multiple dan indeks Saville memiliki korelasi yang signifikan dengan BMD.31 Untuk temuan fraktur, didapatkan 20 subyek (42,2%) yang tidak mengalami fraktur kompresi maupun fraktur pada tulang panjang. Fraktur kompresi merupakan temuan fraktur paling banyak ditemukan yaitu mencapai 19 subyek (42,2%) sedangkan fraktur tulang panjang terdapat di 6 subyek ( 15,6%). Fraktur kompresi lumbal ditemukan sebanyak 14 subyek (31,1%) sedangkan kompresi torakal sebanyak 11 subyek (24,4%) dengan lokasi paling banyak di vertebra L1 mencapai 10 subyek (52,6%), L5 mencapai 7 subyek (36,8%), serta L2 dan T12 sebanyak masing-masing 6 subyek (31,5%). Jumlah total korpus yang terkena dari seluruh subyek yang mengalami fraktur kompresi adalah 51 buah korpus. Tipe fraktur kompresi yang paling banyak ditemukan yaitu tipe baji dengan jumlah 33 buah korpus (64%), diikuti tipe bikonkaf sebanyak 15 buah korpus (29,41%) dan tipe crush 3 buah korpus ( 5,88%) dari seluruh fraktur kompresi. Derajat fraktur kompresi yang paling banyak ditemukan adalah derajat berat, mencapai 25 buah korpus (49,01%), diikuti kompresi sedang dan ringan dengan masing-masing 14 buah korpus (27,45%) dan 13 buah korpus (12,62%) dari seluruh fraktur kompresi. Pasien mieloma multipel dengan osteoporosis memiliki kecenderungan terjadi fraktur dua kali lipat dibandingkan yang tidak disertai osteoporosis. Fraktur kompresi ini berkorelasi dengan derajat osteoporosis, jadi semakin tinggi derajat osteoporosis maka semakin tinggi pula fraktur yang terjadi. Selain osteoporosis, adanya lesi litik pada korpus vertebra juga menyebabkan fraktur kompresi.36 Lokasi fraktur dominan terjadi di regio torakolumbal dengan lokasi diantara T12 sampai L2, keadaan ini disebabkan oleh zona transisi dari korpus vertebra torakal yang kaku dengan korpus vertebra lumbal yang relatif bergerak.36 Berdasarkan
kadar
kalsium
darah,
didapatkan
hasil
terbanyak
yaitu
normokalsemia yang terdapat pada 37 subyek sedangkan hiperkalsemia terdapat pada 6 subyek (13,3%) serta hipokalsemia pada 2 subyek. Hiperkalsemia pada penelitian ini terdapat pada 5 subyek yang tidak mendapatkan terapi dan 1 subyek Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
53
dengan terapi sedangkan hipokalsemia ditemukan pada subyek yang mendapat terapi. Sesuai dengan literatur bahwa keadaan hiperkalsemia dapat mencapai sekitar 1520% pada mieloma multipel dan merupakan komplikasi yang sering terjadi. Hiperkalsemia secara umum disebabkan oleh kerusakan tulang yang luas.10,11 Hipokalsemia dapat disebabkan karena pemberian terapi misalnya bisphosphonate atau pamidronate.42 5.2 Analisis hubungan antara lesi litik dengan kadar kalsium darah Pada penelitian ini, dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara distribusi lesi litik dengan kadar kalsium darah, sehingga tidak bermakna secara statistik. Lesi litik yang luas atau lesi litik minimal pada pasien myeloma multiple dapat diikuti oleh hiperkalsemia maupun sebaliknya. Kita ketahui bahwa patogenesis terjadinya hiperkalsemia pada mieloma multipel sangat kompleks. Penyebab utama hiperkalsemia pada pasien mieloma adalah destruksi tulang
luas yang sebagian besar disebabkan oleh resorpsi tulang
osteoklastik yang dihasilkan oleh ekspresi sitokin ataupun sekresi dari sel mieloma ( RANKL, makrofag protein inflamasi(MIP)-1α dan faktor nekrosis tumor) atau ekspresi berlebihan dari sel-sel lain sekitar tumor. Hiperkalsemia paling banyak dijumpai pada pasien myeloma yang memiliki volume tumor besar, terlepas dari kadar serum hormon paratiroid terkait protein (PTHrP) dan tahap penyakit lanjut. Namun hal ini masih belum jelas, mungkin terkait dengan jumlah aktivitas penyerapan tulang yang diproduksi oleh sel myeloma serta keadaan filtrasi glomerulus. Pasien myeloma sering memiliki gangguan fungsi ginjal yang ireversibel dan peningkatan reabsorpsi kalsium, sehingga menyebabkan peningkatan kadar kalsium serum.11,38 Berdasarkan keterangan diatas, terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi lesi litik dengan kadar kalsium darah yaitu luasnya kerusakan tulang yang terkena, hormon fungsi ginjal dan kadar serum hormon paratiroid terkait protein (PTHrP). Tetapi pada penelitian ini tidak dapat ditentukan faktor yang mempengaruhi Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
54
antara
hubungan antara lesi litik dengan kadar kalsium darah karena tidak
ditemukan hubungan yang bermakna antara lesi litik dengan kadar kalsium darah sehingga tidak dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor yang dapat mempengaruhi hal tersebut. Jika dilihat dari faktor luasnya lesi litik maka hiperkalsemia lebih banyak didapatkan pada lokasi lesi litik yang mengenai 4-6 lokasi dibandingkan dengan 7-8 lokasi sedangkan normokalsemia dan hipokalsemia juga didapatkan dengan jumlah subyek penelitian yang sama pada kelompok 1-3 lokasi dan 4-6 lokasi. Berdasarkan kelompok usia juga tidak terdapat perbedaan hiperkalsemia antara kelompok usia
51-60 tahun dengan
kelompok usia > 60 tahun, yaitu masing-masing sebanyak 3 subyek penelitian. Dari data tambahan kreatinin didapatkan pada 6 subyek hiperkalsemia, ditemukan 4 subyek dengan peningkatan kreatinin
serta 8 subyek pada keadaan
normokalsemia. Tidak terdapat data hasil pemeriksaan kadar serum hormon paratiroid terkait protein (PTHrP) dan sitokin sel mieloma.
5.3 Analisis hubungan antara banyaknya lesi litik dengan fraktur Dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan bermakna antara banyaknya lokasi lesi litik dengan fraktur baik fraktur kompresi maupun fraktur pada tulang panjang sehingga semakin banyak lesi litik maka semakin tinggi terjadi fraktur. Fraktur kompresi terdapat pada semua kelompok lokasi lesi litik tetapi paling banyak ditemukan pada kelompok 4-6 lokasi (11 subyek) sedangkan fraktur patologis tulang panjang ditemukan dengan jumlah yang sama ( 2 subyek) pada masing-masing kelompok lokasi lesi litik. Tidak semua fraktur kompresi yang terjadi disertai lesi litik, hanya terdapat 8 subyek dengan fraktur kompresi disertai lesi litik pada korpus vertebra yang terlibat sedangkan 11 subyek dengan fraktur kompresi disertai dengan derajat osteoporosis indeks Saville tahap 3 dan 4. Lesi litik pada korpus vertebra dengan derajat osteoporosis ini sangat sulit dievaluasi dan ini merupakan salah satu kelemahan dalam penelitian ini. Fraktur patologis
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
55
yang ditemukan pada tulang panjang dan iga semua disertai dengan lesi litik yang lebar. Menurut Leucovet et al, fraktur kompresi spinal terjadi sekitar 55%-70% pada pasien mieloma multipel dan fraktur ini dapat disebabkan oleh destruksi tulang karena massa fokal ataupun peningkatan osteolysis.2 Lesi litik yang luas mengenai 1 tulang dengan diameter semakin mendekati diameter tulang maka dapat mengakibatkan fraktur. Jadi semakin banyak tulang yang mengalami lesi litik maka akan semakin tinggi pula kemungkinan terjadi fraktur pada tulang tersebut.33 Kelemahan pada penelitian ini adalah semua pasien mieloma multipel baik yang belum mendapat terapi ataupun yang sudah mendapat terapi dimasukkan menjadi sampel penelitian karena keterbatasan kasus sehingga kemungkinan kadar kalsium sebagian besar berada dalam batas normal. Tidak lengkapnya data mengenai hasil laboratorium yang mendukung untuk mengetahui fungsi ginjal dan kadar serum hormon parathyroid sehingga tidak dapat ditentukan keadaan hiperkalsemia yang terjadi murni disebabkan oleh kerusakan tulang yang luas atau juga dipengaruhi oleh kedua faktor tersebut diatas. Selain itu juga tidak diketahui faktor-faktor yang dapat menyebabkan osteoporosis lain, misalnya status gizi dan status menopause pada subyek, sehingga dapat diketahui osteoporosis yang terjadi akibat proses degenerasi, mieloma dan akibat proses lainnya.
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan 1. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara lesi litik dengan kadar kalsium darah pada pasien mieloma multipel, banyak atau sedikit lokasi lesi litik tidak mempengaruhi kadar kalsium darah. 2. Terdapat hubungan yang bermakna antara lesi litik dengan fraktur patologis pada pasien mieloma multipel. 3. Tidak dapat ditentukan faktor-faktor yang mempengaruhi lesi litik dengan kadar kalsium pada penelitian ini karena tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara lesi litik dan kadar kalsium darah. 4. Pada kelompok usia 51 sampai 60 tahun dengan disertai lesi litik multipel pada kepala, osteoporosis derajat 3-4 menurut indeks Saville dan derajat 2-3 menurut Singh serta dengan atau tanpa fraktur kompresi dapat merupakan temuan radiologi yang mengarah ke mieloma multipel.
6.2 Saran 1. Diharapkan setelah penelitian ini ditetapkan suatu algoritme dalam penentuan diagnosis mieloma multiple dengan menggunakan pemeriksaan bone survey untuk identifikasi kelainan tulang. 2. Dengan memperhatikan kelemahan-kelemahan yang ada pada penelitian ini, masih diperlukan penelitian prospektif dengan subyek penelitian yang belum mendapatkan pengobatan, data klinis dan hasil laboratorium yang lengkap untuk mengetahui faktor-faktor apasaja yang dapat mempengaruhi lesi litik dengan kadar kalsium darah pada pasien myeloma multipel.
56
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
57
DAFTAR REFERENSI 1. Healy CF, Murray JG, Eustace SJ, Madewell J, O’Gorman PJ, O’Sullivan P. Multiple myeloma: A Review of Imaging Features and Radiological Techniques. Hindawi Publishing Corporation Bone Marrow Research. 2011; 2-9. 2. Angtuaco EJ, Fassas AB, Walker R, Sethi R, Barlogie B. Mieloma multipel: Clinical Review and Diagnostic Imaging. RSNA. 2004; 231:1122 3. Fadliah SAW. Fundamental in the management of myeloma multipel. Med J Malaysia. 2010; 65 (3):231-39. 4. American Cancer Society. What are the key statistics about myeloma multipel? February 2013. 5. Registrasi data Rumah Sakit Kanker Dharmais. Data pasien multiple myeloma tahun 2007-2012. 2013. 6. Galson DL, Silbermann R, Roodman GD. Mechanisms of mieloma multipel bone disease. BoneKey reports. 2012;135:1-7 7.
Chew FS. Malignant and aggressive tumors. Skeletal radiology: The bare bone. Lippincott. Williams & Willkins. 2010; 147-148
8. Roodman GD. Case management multiple myeloma. Physicians Practise IU health physicians. 2012;A1-7 9. Buckle CH, Leenheer ED, Lawson MA, Yong K, Rabin N, et al. Soluble RANK ligand produced by myeloma cell causes generalize bone loss in multiple myeloma. Plos one.2012;(7):1-10 10. Roodman GD. Skeletal imaging and management of bone disease. American society of hematology. 2008; 313-19 11. Ginayah M, Sanusi H. Hiperkalsemia. Continuing medical education. 2011;38(3):191-96 12. D’Sa S, Abildgaard N, Tighe J, Shaw P, Hall-Craggs M. Guidelines for the use of imaging in the management of myeloma. British Journal of haematology. 2007;137:49-63. 13. Saraf S, Patel P, Rondelli D. Epidemiology, biology, and outcome in myeloma multipel patients in different geographical areas of the world. Journal of advancs in internal medicine. 2012;01(1):20-32. Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
58
14. Adam G. Orthopedic Imaging; A Practical Approach, 4th ed. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins; 2004. 734-39 15. Alexander MD, Mink PJ, Adami HO, Cole P, Mandel JS, et al. Multiple myeloma: A review of the epidemiologic literature. Int J Cancer.2007;120:40-61 16. Multiple myeloma: The basic. Mieloma multipel: Treatment options for refractory or relapsed disease. PCE oncology e – round. 2009:1-16 17. Durie BGM, Kyle R, Belch A, Bensinger W, Blade J, et al. Myeloma management guidelines. A consensus report from the scientific advisor of the internasional mieloma foundation. 2003;1-60. 18. Shustik C. Complication of mieloma multipel. Mieloma Canada [internet].2013 [ cited 2013 Agust 18]. Available from: www.myelomacanada.ca/docs/myeloma_complications_en 19. Bird J, Owen R, d’Sa S. et al. Guidelines on the diagnosis and management of multipel myeloma. British Committee for standards in haematoloy in conjunction with the UK mieloma forum UKMF. 2010: 1-110. 20. Siegel MJ. MRI of bone marrow.[internet]. 2013 [cited 2013 Agust 17] Available from : www.arrs.org/shopARRS/products/pdf 21. Anatomy of the spine. Mayfield clinic dan spine institute. [internet]. 2012 [cited 2013 agust 20].Available from: www. mayfieldclinic.com. 22. Clarke B. Normal Bone Anatomy and physiologi. Clin J am soc Nephrol . 2008;3: S131-S39. 23. Kini U, Nandeesh BN. Physiology of bone formation, remodeling, and metabolism. Radionuclide and Hybrid bone imaging. Springer-velberg. Berlin Heodelberg: 2012: 29-59. 24. Formation and remodeling of bone. Univeersity of Cambridge. [internet] 2013 [cited 2013 Agust 24]. Available from: www.doitpoms.ac.uk
25. Giuliani N, Colla S, Rizzoli V. Update on the pathogenesis of osteolysis in multiple myeloma patients. Acta Bio Medica Ateneo Parmense. 2004;75:143-152
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
59
26. Guglielmi G, Muscarella S, Bazzocchi A. Integrated Imaging Approach to Osteoporosis: State of the art Review and Update. Radiographic. 2011; 1343-64 27. Banks AS, Castellano B. Radiology of osteoporosis evaluation and interpretation. p17-21 28. Hofbauer LC, Hamann C, Ebeling PR. Approach to the patient with secondary osteoporosis. European journal of endocrinology. 2010; 162:1009-20 29. Bontrager KL, Lampignano J. Textbook of radiographic positioning and related anatomy, 7th Ed.St.Louis: Mosby; 2009 30. Ballinger PW, Frank ED. Merrill’s atlas of radiographic positions and radiologic procedures, 10th Ed. Philadelphia: Mosby; 1999. 31. Kim NJ, Kwon ST, Song IC. Analysis of bone density in mieloma multipel: A comparison of bone mineral density with Plain radiography, Magnetic resonance imaging dan Clinical staging. J Korean Soc Radiology 2013;68(1);63-9. 32. Sontrapa S, Soontrapa S, Srinakarin J. Singh index screening for femoral neck osteoporosis. J Med Assoc Thai 2005; 88 (5):13-6 33. Damron TA. Oncology and basic science. Orthopaedic surgery essentials. Philadelphia: Lippincot William & Wilkins; 2008. 34. Walker RC, Brown TL, Jones-Jackson L, Blance LD, Bartel T. Imaging of mieloma multipel and related plasma cell dyscrasias. Society of nuclear medicine. 2012; 1091-1101. 35. Torbert JT. Lackman RD. Pathologic fractures. Fractures in the elderly, aging medicine. Springer science business media. 2011; 43-53. 36. Lenchik L, Rogers LF, Delmas PD, Genant HK. Diagnosis of osteoporotic vertebral fracture: Important of recognition and description by radiologist. AJR. 2004;183(4):949-58.
37. Sharan K, Siddiqui JA, Swarnkar G, Chattopadhyay N. Role of calciumsensing receptor in bone biology. Indian J Med Res 127. 2008: 274-86. 38. Oyajobi BO. Multiple myeloma/hypercalcemia. Artritis research & therapy. 2007;9(1):1-6 Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
60
39. Calcium colorimetric method TC matrix. Teco diagnostic. Lakeview Ave. diunduh tanggal 27 Desember 2013. 40. Baert AL, Grampp S. Radiology of Osteoporosis. 2nd ed. Springer-Verlag Berlin Heidelberg;2008. 41. Lecouvet FE, Malhem J, Michaux L, Maldaque B, Ferrant A, et al. Skeletal survey in advanced multiple myeloma: radiographic versus MR imaging survey. Br J Haematol,1999: 35-9 42. Ford PA, Glickman JD, Mastoris JD. Incidence of hypocalcemia in multiple myeloma patient after Autoloqous stem cell transplantation. Jounal of clinical Onkologi. Vol.23.16S.2005:6719
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
61
Lampiran 1
Formulir Data Penelitian DATA DASAR PASIEN Nomor rekam medis pasien : Jenis kelamin
:
Umur
:
PEMERIKSAAN BONE SURVEY Tanggal
:
Hasil
: Normal / tidak normal
Jika tidak normal Jenis lesi
: Litik / blastik/
Lokasi lesi
: Tulang kepala
:+/-
Skapula
:+/-
Klavikula
:+/-
Iga
: +/ -
Vertebra torakal
:+/-
Vertebra lumbal
:+/-
Pelvis
: +/ -
Humerus
:+/-
Femur
:+/-
Osteoporosis
: Ya / tidak. Jika ya, derajat :
Fraktur
: Ya / tidak
PEMERIKSAAN LABORATORIUM Tanggal
:
Nilai normal
:
Hasil
:
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
62
Lampiran 2
TABEL INDUK NO
MR
NAMA
LESI LITIK
UMUR
Jenis Kelamin
LESI LITIK
kepala
vertebrae
costa
scapula
clavikula
humerus
pelvis
femur
KADAR KALSIUM
1
123992
Tn. WS
70 thn
Lk
ya
ya
tidak
ya
ya
tidak
ya
ya
ya
normokalsemia
2
118266
Tn. TS
65 thn
Lk
ya
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
normokalsemia
3
150137
Ny. SN
74 thn
Pr
ya
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
normokalsemia
4
160110
Tn.S
44 thn
Lk
ya
ya
tidak
ya
tidak
tidak
ya
ya
ya
normokalsemia
5
133024
Ny. KK
52 thn
Pr
ya
ya
tidak
tidak
ya
tidak
ya
ya
ya
normokalsemia
6
143194
Ny. NM
57 thn
Pr
ya
ya
ya
ya
ya
ya
ya
ya
tidak
normokalsemia
7
152971
Tn. AW
60 thn
Lk
ya
ya
ya
ya
tidak
ya
ya
ya
ya
normokalsemia
8
154912
Tn. Y
40 thn
Lk
ya
ya
ya
ya
ya
ya
ya
ya
ya
normokalsemia
9
154788
Ny.S
68 thn
Pr
ya
ya
ya
ya
tidak
tidak
ya
ya
ya
hiperkalsemia
10
120494
Ny.NND
58 thn
pr
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
normokalsemia
11
151708
Tn. SP
71 thn
Lk
ya
ya
tidak
ya
tidak
ya
ya
tidak
ya
hipokalsemia
12
158226
Ny. W
62 thn
Pr
ya
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
normokalsemia
13
139039
Tn. RF
55 thn
Lk
ya
ya
ya
ya
tidak
ya
ya
ya
ya
normokalsemia
14
116135
Tn. S
74 thn
lk
ya
ya
ya
ya
ya
tidak
tidak
ya
tidak
hiperkalsemia
15
79631
Ny. TP
60 thn
pr
ya
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
ya
normokalsemia
16
155189
Tn. S
57 thn
lk
ya
ya
ya
ya
ya
tidak
tidak
ya
tidak
normokalsemia
17
139735
Ny. RN
60 thn
pr
ya
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
hiperkalsemia
18
150903
Tn.HH
60 thn
Lk
ya
ya
tidak
ya
ya
ya
tidak
ya
ya
normokalsemia
19
106093
Tn.M
65 thn
lk
ya
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
tidak
normokalsemia
20 21
136418
Tn. CH
58 thn
Lk
ya
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
ya
normokalsemia
161383
Tn. NHS
55 thn
lk
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
normokalsemia
22
164230
Ny. S
74 thn
pr
ya
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
ya
normokalsemia
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
63
23
150617
Tn. DOS
61 thn
lk
ya
ya
ya
tidak
tidak
tidak
ya
ya
ya
normokalsemia
24
122145
Ny. E
52 thn
pr
ya
ya
tidak
ya
tidak
tidak
ya
ya
ya
normokalsemia
25
129806
Ny. S
63 thn
pr
ya
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
normokalsemia
26
98627
Tn IDGTY
49 thn
lk
ya
ya
tidak
ya
ya
ya
ya
ya
tidak
normokalsemia
27
142756
Tn. AT
55 thn
lk
ya
ya
ya
ya
ya
ya
ya
ya
ya
normokalsemia
28
137102
Ny. L
63 thn
pr
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
normokalsemia
29
118909
Tn. JW
65 thn
lk
ya
ya
ya
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
normokalsemia
30
117564
Ny. SWFN
54 thn
pr
ya
ya
tidak
ya
tidak
ya
ya
ya
ya
normokalsemia
31
120345
Tn. MH
56 thn
lk
ya
ya
ya
ya
ya
ya
ya
ya
ya
hiperkalsemia
32
100324
Tn. K
56 thn
lk
ya
ya
ya
ya
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
normokalsemia
33
113324
Ny.H
51 thn
pr
ya
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
ya
normokalsemia
34
112176
Tn.BS
58 thn
lk
ya
ya
tidak
tidak
tidak
ya
ya
ya
ya
normokalsemia
35
85288
Tn.S
62 thn
lk
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
hipokalsemia
36
105236
Tn. BW
52 thn
lk
ya
ya
tidak
ya
ya
ya
ya
ya
ya
normokalsemia
37
102395
Tn. HB
52 thn
lk
ya
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
normokalsemia
38
120090
T. AS
55 thn
lk
ya
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
normokalsemia
39
107275
Tn. D
54 thn
lk
ya
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
normokalsemia
40
125737
Tn. HB
64 thn
lk
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
normokalsemia
41
115268
Ny.YD
58 thn
pr
ya
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
normokalsemia
42
75842
Tn. N
52 thn
lk
ya
ya
tidak
ya
tidak
tidak
ya
ya
ya
hiperkalsemia
43
147158
Tn. STA
72 thn
lk
ya
ya
tidak
ya
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
hiperkalsemia
44
122767
Tn. MS
52 thn
lk
ya
ya
ya
tidak
ya
tidak
ya
ya
tidak
normokalsemia
45
153215
Ny. MS
67 thn
pr
ya
ya
ya
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
normokalsemia
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
64
(Lanjutan)
TABEL INDUK NO
MR
NAMA
UMUR
Jenis Kelamin
OSTEOPOROSIS Sing
Saville
FRAKTUR
JENIS FRAKTUR kompresi
non kompresi
KOMPRESI torakal
NONKOMPRESI
lumbal
costa
femur
1
123992
Tn. WS
70 thn
Lk
2
4
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
2
118266
Tn. TS
65 thn
Lk
3
3
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
3
150137
Ny. SN
74 thn
Pr
3
4
ya
ya
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
4
160110
Tn.S
44 thn
Lk
4
4
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
5
133024
Ny. KK
52 thn
Pr
2
4
ya
ya
tidak
ya
ya
tidak
tidak
6
143194
Ny. NM
57 thn
Pr
4
3
ya
ya
tidak
ya
ya
tidak
tidak
7
152971
Tn. AW
60 thn
Lk
2
4
ya
ya
tidak
ya
ya
tidak
tidak
8
154912
Tn. Y
40 thn
Lk
2
4
ya
ya
tidak
ya
ya
tidak
tidak
9
154788
Ny.S
68 thn
Pr
2
4
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
10
120494
Ny.NND
58 thn
pr
4
3
ya
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
ya
11
151708
Tn. SP
71 thn
Lk
3
4
ya
ya
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
12
158226
Ny. W
62 thn
Pr
4
3
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
13
139039
Tn. RF
55 thn
Lk
2
3
ya
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
ya
14
116135
Tn. S
74 thn
lk
2
4
ya
ya
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
15
79631
Ny. TP
60 thn
pr
3
4
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
16
155189
Tn. S
57 thn
lk
2
4
ya
ya
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
17
139735
Ny. RN
60 thn
pr
4
3
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
18
150903
Tn.HH
60 thn
Lk
3
4
ya
ya
tidak
ya
ya
tidak
tidak
19
106093
Tn.M
65 thn
lk
3
4
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
20
136418
Tn. CH
58 thn
Lk
3
4
ya
ya
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
65
21
161383
Tn. NHS
55 thn
lk
3
3
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
22
164230
Ny. S
74 thn
pr
3
4
ya
ya
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
23
150617
Tn. DOS
61 thn
lk
2
4
ya
ya
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
24
122145
Ny. E
52 thn
pr
2
4
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
25
129806
Ny. S
63 thn
pr
3
4
ya
ya
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
26
98627
Tn IDGTY
49 thn
lk
3
3
ya
ya
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
27
142756
Tn. AT
55 thn
lk
2
4
ya
ya
tidak
ya
ya
tidak
tidak
28
137102
Ny. L
63 thn
pr
4
3
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
29
118909
Tn. JW
65 thn
lk
4
3
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
30
117564
Ny. SWFN
54 thn
pr
3
4
ya
ya
tidak
ya
ya
tidak
tidak
31
120345
Tn. MH
56 thn
lk
2
4
ya
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
ya
32
100324
Tn. K
56 thn
lk
3
4
ya
ya
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
33
113324
Ny.H
51 thn
pr
3
3
ya
tidak
ya
tidak
tidak
ya
tidak
34
112176
Tn.BS
58 thn
lk
3
4
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
35
85288
Tn.S
62 thn
lk
4
3
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
36
105236
Tn. BW
52 thn
lk
4
3
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
37
102395
Tn. HB
52 thn
lk
3
3
tidak
tdak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
38
120090
T. AS
55 thn
lk
4
4
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
39
107275
Tn. D
54 thn
lk
4
3
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
40
125737
Tn. HB
64 thn
lk
3
4
ya
ya
tidak
ya
ya
tidak
tidak
41
115268
Ny.YD
58 thn
pr
3
4
ya
tidak
ya
ya
tidak
tidak
tidak
42
75842
Tn. N
52 thn
lk
3
4
ya
tidak
ya
tidak
tidak
ya
tidak
43
147158
Tn. STA
72 thn
lk
2
4
ya
tidak
ya
tidak
tidak
ya
tidak
44
122767
Tn. MS
52 thn
lk
3
4
ya
ya
tidak
ya
ya
tidak
tidak
45
153215
Ny. MS
67 thn
pr
4
4
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
66
Lampiran 3
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014
67
Lampiran 4
Universitas Indonesia
Hubungan antara lesi ..., Khairida Riany, FK UI, 2014