HUBUNGAN ANTARA KADAR CD4 DENGAN LESI PRAKANKER SERVIKS PADA WANITA TERINFEKSI HIV
dr. A A N Jaya Kusuma SpOG (K)
BAGIAN /SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2010
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Virus HIV ialah RNA virus yang termasuk lentivirus famili retrovirus, menyerang komponen sistem imun manusia, yakni sel limfosit T-CD4, makrofag, dan sel langerhans. Infeksi dari virus ini akan menyebabkan kadar sel CD4 semakin lama semakin menurun melalui mekanisme tertentu. Pada saat kadar CD4 mencapai kadar kurang dari 200 sel/mm³, maka terjadilah kegagalan fungsi dari sistem imun sebagai proteksi, yang pada akhirnya akan membuat tubuh lebih mudah terserang infeksi oportunistik dan keganasan, keadaan inilah yang disebut dengan AIDS (Nasronudin, 2007). Angka kejadian HIV/AIDS di Indonesia terus meningkat dan telah terjadi fenomena gunung es, jumlah penderita yang ada lebih banyak daripada yang dilaporkan. Hal ini dapat terlihat dari perbedaan pelaporan jumlah penderita HIV/AIDS antara Badan Intel CIA Amerika Serikat dengan Ditjen PPM & PL Depkes RI. Menurut Badan Intel CIA Amerika Serikat, di Indonesia, jumlah Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) pada tahun 2007 adalah sebesar 270.000 kasus yang menduduki peringkat ke-25 di dunia dengan angka kematian dilaporkan sebanyak 8.700 kasus yang merupakan peringkat ke-36 di dunia. Sedangkan dari data yang didapatkan pada Ditjen PPM & PL Depkes RI, angka kematian oleh karena AIDS dari tahun 1987 sampai dengan tahun 2009 adalah 3806 kasus. Propinisi Bali merupakan propinsi dengan prevalensi AIDS terbanyak ke-dua sampai dengan bulan
2
Agustus 2010 sebesar 49,16%. Populasi umur 20-29 tahun adalah populasi terbanyak pengidap HIV/AIDS dan lebih dari 25% penderita AIDS adalah wanita. Pada tahun 1993, US Centers for Disease Controls (CDC) melaporkan bahwa Kanker serviks merupakan kanker yang paling banyak (1,3%) ditemukan pada para wanita penderita AIDS sehingga Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat menambahkan kanker serviks sebagai salah satu kategori klinis dari stadium AIDS. Dibandingkan dengan keganasan lain yang terjadi pada penderita AIDS, kanker serviks dilaporkan memiliki keadaan klinis dan status imun yang lebih baik (Maiman et al, 1997). Oleh karena itu, diagnosa kanker serviks sering terlambat ditegakkan maupun terlewatkan dan kanker serviks didapatkan tiga kali lebih banyak pada wanita yang terinfeksi HIV dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi (Chiasson et al, 1998). Kanker serviks sendiri merupakan kanker yang terbanyak kedua yang terjadi pada wanita di dunia, hampir 80% di antaranya terjadi di negara berkembang. Hal ini disebabkan karena belum adanya program skrining untuk kanker serviks (Chirenje, 2005). Angka kejadian kanker serviks di Amerika Serikat telah berkurang sebanyak 70% karena adanya program skrining nasional sehingga lesi prakanker serviks dapat terdeteksi dan diterapi lebih dini (Stier et al, 2003). Program skrining kanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV berbeda dengan wanita yang tidak terinfeksi. Program skrining pada wanita yang terinfeksi HIV menurut CDC Amerika Serikat tahun 2006, dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun setelah seseorang dinyatakan
3
terinfeksi HIV, sedangkan di Indonesia sampai saat ini belum ada pedoman untuk skrining kanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV. Seperti yang telah diketahui, etiologi dari lesi prakanker serviks dan kanker serviks adalah infeksi laten dari virus HPV (Human PapilommaVirus) pada serviks uteri. Infeksi HPV terdeteksi pada 99,7% kanker serviks. Virus HPV berdasarkan risiko menyebabkan kanker terdiri atas 3 klasifikasi, yaitu risiko tinggi, kemungkinan risiko tinggi, dan risiko rendah. Kelompok risiko tinggi adalah HPV tipe 16 dan 18, sedangkan risiko rendah adalah HPV tipe 6 dan 11 (Andrijono, 2009). Hubungan antara infeksi kedua virus, yakni HPV dan HIV merupakan hal yang unik, kedua hal tersebut terjadi pada wanita yang memiliki gaya hidup sosial berisiko tinggi, seperti hubungan seksual yang dimulai sejak usia muda, berganti-ganti pasangan seksual, dan wanita dengan pasangan seksual yang berisiko tinggi. Jenis HPV yang banyak menginfeksi pada penderita HIV merupakan HPV risiko tinggi, yaitu HPV tipe 18 (Johnson et al, 1992). Hal ini disebabkan karena sistem imun pada penderita HIV tidak dapat berfungsi dengan baik untuk melawan virus HPV tersebut sehingga timbulah lesi prakanker serviks (Bucccalon et al, 1996). Wanita yang terinfeksi HIV mempunyai risiko dua hingga dua belas kali lebih banyak didapatkannya lesi prakanker serviks daripada yang tidak terinfeksi (Chirenje, 2005). Prevalensi lesi prakanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV di Spanyol sebesar 17,7 % dan 40% pada wanita yang telah memasuki stadium AIDS, sedangkan pada wanita yang tidak terinfeksi HIV sebesar 3,08%. Gangguan pada sistem imun tubuh yang terjadi akibat infeksi dari virus HIV merupakan penyebab tingginya
4
prevalensi terjadinya lesi prakanker serviks (Careras et al, 1997). Indikator yang digunakan dalam menentukan status imun pada penderita HIV adalah jumlah limfosit T – CD4. Sampai pada saat ini, hubungan antara CD4 dengan prevalensi terjadinya lesi prakanker serviks masih menimbulkan kontroversi. Pada sebuah penelitian di Bordeaux, Perancis yang mencari hubungan antara kejadian lesi prakanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV dengan faktor-faktor risikonya, dilaporkan prevalensi lesi prakanker serviks pada wanita yang memiliki kadar limfosit T – CD4 > 500/mm³ sebesar 13,6% sedangkan pada limfosit T – CD4 < 500/mm³ sebesar 38,7%. Pada penelitian ini dapat terlihat bahwa semakin rendahnya status imun penderita HIV, semakin tinggi prevalensi terjadinya lesi prakanker pada serviks (Hocke et al, 1998). Sedangkan pada penelitian di Italia, yang mencari hubungan kadar CD4 dengan prevalensi terjadinya lesi prakanker serviks pada pasien HIV melaporkan bahwa tidak didapatkannya hubungan antara penurunan jumlah CD4 dengan peningkatan prevalensi maupun derajat dari lesi prakanker serviks (Sopracordevole et al, 1994) Hubungan antara status imun tubuh wanita yang terinfeksi HIV dengan kejadian lesi prakanker pada serviks sangatlah menarik untuk dilakukan penelitian, mengingat penelitian ini masih merupakan suatu kontroversi dan belum pernah dilakukan di Indonesia, khususnya di Propinsi Bali. Sampai saat ini di Indonesia belum didapatkan pelaporan mengenai prevalensi lesi prakanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV. Sedangkan program standar skrining kanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV juga belum dijumpai di Indonesia.
5
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
penelitian sebagai berikut: Apakah terdapat hubungan antara kadar CD4 dengan prevalensi lesi prakanker serviks pada wanita terinfeksi HIV ? 1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan umum : Mengetahui hubungan antara kadar CD4 dengan prevalensi lesi prakanker
serviks pada wanita terinfeksi HIV. 1.3.2
Tujuan khusus :
1. Mengetahui prevalensi lesi prakanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV dengan kadar CD4 ≥ 500. 2. Mengetahui prevalensi lesi prakanker pada serviks pada wanita yang terinfeksi HIV dengan kadar CD4 < 500. 3. Mengetahui rasio prevalens kejadian lesi prakanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV dengan kadar CD4 ≥ 500 dan CD4 < 500 1.4
Manfaat Penelitian :
1.4.1. Manfaat akademik 1. Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman tentang hubungan penurunan sistem imun pada wanita yang terinfeksi HIV yang ditandai oleh kadar CD4 dengan prevalensi lesi prakanker serviks. 2. Sebagai data dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai lesi prakanker serviks pada wanita terinfeksi HIV.
6
1.4.2
Manfaat praktis Diharapkan hasil penelitian dapat digunakan sebagai pedoman skrining
kanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV yang pada akhirnya dapat mencegah timbulnya kanker serviks.
7
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1
Human Immunodeficiency Virus 2.1.1
Virus HIV AIDS merupakan suatu sindroma yang disebabkan oleh infeksi virus HIV,
ditandai dengan terjadinya suatu immunosupresi yang pada akhirnya menyebabkan renatannya tubuh terhadap infeksi opurtunistik, keganasan, wasting syndrome, dan degenerasi sistem saraf pusat. Sampai dengan saat ini dikenal dua tipe virus HIV, yaitu virus HIV-1 dan HIV-2. Virus HIV yang pertama kali diidentifkasi oleh Luc Montainer di Institut Pasteur, Paris tahun 1983 dan diketahui karakteristiknya secara sepenuhnya oleh Robert Gallo dan Jay Levy, peneliti di Amerika Serikat pada tahun 1986. Sedangkan virus HIV-2 diisolasi dari pasien di Afrika Barat pada tahun 1986 (Nasronudin, 2007). HIV adalah virus sitopatik diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus Lentivirus. Berdasar strukturnya, HIV termasuk famili retrovirus, termasuk virus RNA dengan berat molekul 9,7 kb (kilobases). Secara morfologik HIV berbentuk bulat dan terdiri atas bagian inti (core) dan selubung (envelope). Inti dari virus terdiri atas suatu protein sedangkan selubungnya terdiri atas suatu glikoprotein. Protein dari inti terdiri atas genom RNA dan suatu enzim yang dapat mengubah RNA menjadi DNA pada waktu replikasi virus yang disebut dengan enzim reverse transcriptase. Genom virus pada dasarnya terdiri atas gen , bertugas memberikan kode baik bagi pembentukan protein inti, enzim reverse transcriptase ,
8
maupun glikoprotein dari selubung. Sedangkan selubung yang terdiri atas glikoprotein, ternyata memiliki peran yang penting dalam terjadinya infeksi oleh karena mempunyai afinitas yang tinggi terhadap resptor spesifik CD4 dari sel host. Melalui mikroskop elektron, dapat terlihat bahwa HIV memiliki banyak tonjolan eksternal yang dibentuk oleh dua protein utama envelope virus gp 120 di sebelah luar dan gp 41 yang terletak pada transmembran (Abbas, 2010).
Gambar 2.1: Morfologi Virus HIV-1 Sumber : Abbas, 2010
2.1.2
Patofisiologi infeksi HIV HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai macam cara yaitu
secara vertikal, horizontal, dan transeksual. HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan diperantarai benda tajam yang menembus pembuluh darah
9
maupun tidak langsung melalui kulit atau mukosa yang tidak intak. Begitu memasuki sirkulasi sistemik, Virus HIV dapat dideteksi di dalam darah dalam waktu 4-11 hari sejak paparan pertama. Selama di dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut. Keadaan ini disebut sindroma retroviral akut, dimana terjadi penurunan CD4 dan peningkatan HIV-RNA Viral-load. Viralload akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi dan selanjutnya akan menurun sampai titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, Viral-load akan kemudian meningkat perlahan dan CD4 akan menurun (Holmes, 2008). Pada fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Berbagai sel dapat menjadi sel target dari HIV yaitu limfosit T-CD4, makrofag, dan sel dendritik, akan tetapi HIV virion (virus-virus baru) cenderung menyerang limfosit T. Jumlah limfosit T tersebut penting untuk menentukan progresivitas dari penyakit. HIV cenderung memilih target limfosit T karena pada permukaan limfosit T terdapat reseptor CD4 yang merupakan pasangan ideal bagi gp 120 pada permukaan envelope dari HIV. Meskipun telah terjadi kompleks gp 120 dan reseptor CD4, virus HIV ini masih belum dapat masuk ke dalam limfosit T melalui proses internalisasi karena proses ini membutuhkan peran dari co-receptor CCR5 dan CXCR4 yang juga berada di permukaan limfosit T. Peran dari CCR5 dan CXCR4 memperkuat stabilitas dan intensitas ikatan gp 120 dan CD4 pada regio V terutama V3. Semakin kuat dan meningkatnya intensitas ikatan tersebut akan diikuti oleh proses interaksi lebih lanjut yaitu terjadi fusi membran HIV dengan membran sel target atas peran gp 41. Dengan peran gp 41 transmembran, maka permukaan luar dari HIV terjadi fusi dengan
10
membran plasma limfosit T-CD4. Sedangkan inti HIV selanjutnya masuk ke dalam limfosit T sambil membawa enzim reverse transcriptase. Begitu memasuki sitoplasma limfosit T-CD4 yang terinfeksi, bagian inti HIV yaitu RNA (single stranded RNA) akan berusaha menyesuaikan dengan konfigurasi double-stranded DNA dengan bantuan enzim reverse-transcriptase yang telah dipersiapkan tersebut. Selanjutnya terjadi penyatuan virion dengan DNA polimerase, terbentuklah cDNA atau proviral DNA (Abbas, 2010). Begitu terbentuk proviral DNA, proses berikutnya adaalah upaya memasuki ke dalam inti limfosit T, menyatu dengan kromosom sel host dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan transkripsi dan translasi. Kondisi ini disebut dengan keadaan laten dan untuk mengaktifkan provirus ini diperlukan aktivasi dari sel host. Bila sel host ini teraktivasi oleh induktor seperti antigen, sitokin, atau faktor lain maka sel akan memicu nuclear factor κB (NF-κB) sehingga menjadi aktif dan berikatan pada 5’ LTR (Long Terminal Repeats) yang mengapit gen-gen tersebut. LTR berisi berbagai elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NF-κB menginduksi replikasi DNA. Induktor NF-κB sehingga cepat memicu replikasi HIV adalah intervensi mikroorganisme lain. Mikroorganisme lain yang memicu infeksi sekunder dan mempengaruhi jalannya replikasi adalah bakteri, jamur, virus, maupun protozoa. Dari keempat golongan mikroorganisme tersebut, yang paling berpengaruh terhadap percepatan replikasi HIV adalah virus non-HIV, terutama adalah virus DNA (Abbas, 2010).
11
Enzim polimerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA secara struktur berfungsi sebagai RNA genomik dan mRNA. RNA keluar dari nukleus, mRNA mengalami translasi menghasilkan polipeptida, yang akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel host, kemudian polipeptida dipecah oleh enzim protease menjadi protein dan enzim yang fungsional. Inti virus baru dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host, sehingga terbentuk virus baru yang lengkap dan matang. Virus yang sudah lengkap ini keluar dari sel, akan menginfeksi sel target yang berikutnya. Dalam satu hari HIV mampu melakukan replikasi hingga mencapai 109-1011 virus baru (Nasronudin, 2007). Secara perlahan tetapi pasti limfosit T penderita akan tertekan dan semakin menurun dari waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah limfosit T-CD4 melalui beberapa mekanisme, sebagai berikut (Nasronudin, 2007): 1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat adanya penonjolan dan perobekan oleh virion, akumulasi DNA virus yang tidak berintegrasi dengan nukleus, dan terjadinya gangguan sintesis makro molekul. 2. Syncytia formation yaitu terjadinya fusi antar membran sel yang terinfeksi HIV dengan limfosit T-CD4 yang tidak terinfeksi. 3. Respons imun humoral dan selular terhadap HIV ikut berperan melenyapkan virus dan sel yang terinfeksi virus. Namun respon ini bisa menyebabkan disfungsi
12
imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi dan sel normal di sekitarnya (innocentbystander). 4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibodi yang berperan untuk mengeliminasi sel yang terinfeksi. 5. Kematian sel yang terprogram (apoptosis). Pengikatan antara gp 120 di regio V3 dengan reseptor CD4 limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan pesan kematian sel melalui apoptosis. 6. Kematian sel target terjadi akibat hiperaktivitas Hsp 70, sehingga fungsi sitoprotektif, pengaturan irama, dan waktu folding protein terganggu, terjadi misfolding dan denaturasi protein, jejas, dan kematian sel. Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit T-CD4 secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm³ menjadi 200/mm³ atau lebih rendah lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan sistem imun sehingga pertahanan individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan risiko terjadinya infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS. Masuknya infeksi sekunder menyebabkan munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai jenis infeksi sekundernya (Abbas, 2010).
13
Gambar 2.2 : Perjalanan Penyakit HIV Sumber : Abbas, 2010
2.1.3
Perjalanan infeksi HIV Perjalanan infeksi HIV, jumlah lifosit T-CD4, jumlah virus, dan gejala klinis
melalui 3 fase, yaitu (Nasronudin, 2007) :
14
Fase infeksi akut. Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang menghasilkan virion jumlahnya berjuta-juta. Viremia dari begitu banyak virion memicu munculnya sindrom infeksi akut dengan gejala yang mirip sindroma flu yang juga mirip dengan infeksi mononukleosa. Diperkirakan bahwa sekitar 50-70% orang yang terinfeksi HIV mengalami sindroma infeksi akut selama 3-6 minggu setelah terinfeksi virus dengan gejala umum, yaitu demam, faringitis, limfadenopati, artralgia, mialgia, nyeri kepala, dll. Pada fase akut terjadi penurunan limfosit T yang dramatis dan kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena mulai terjadi respons imun. Jumlah
limfosit T pada fase ini masih diatas 500/mm³ dan
kemudian akan mengalami penurunan setelah 6 minggu terinfeksi HIV. Fase infeksi laten. Pembentukan respons imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam Sel Dendritik Folikuler (SDF) di pusat germanitivum kelenjar limfe menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala hilang, dan mulai memasuki fase laten. Pada fase ini jarang ditemukan virion di plasma sehingga jumlah virion di plasma menurun karena sebagian virus terakumulasi di kelenjar limfe dan terjadi replikasi di kelenjar limfe, sehingga penurunan limfosit T terus terjadi walaupun virion di plasma jumlahnya sedikit . Pada fase ini jumlah limfosit T-CD4 menurun sekitar 500/mm³ sampai 200/mm³. Meskipun telah terjadi serokonversi positif, individu umumnya belum menampakan gejala klinis (asimtomatis). Fase ini berlangsung rata-rata sekitar 8-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada tahun ke delapan setelah
15
infeksi HIV akan muncul gejala klinis yaitu demam, banyak berkeringat pada malam hari, kehilangan berat badan kurang dari 10%, diare, lesi pada mukosa dan kulit yang berulang, penyakit infeksi yang berulang. Gejala ini merupakan tanda awal munculnya infeksi opurtunistik. Fase infeksi kronis. Selama berlangsungnya fase ini, di dalam kelenjar limfe terus terjadi replikasi virus yang diikuti kerusakan dan kematian SDF karena banyaknya virus. Fungsi kelenjar limfe sebagai perangkap virus menurun atau bahkan hilang dan virus dicurahan ke dalam darah, Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam sirkulasi sistemik. Respons imun tidak mampu meredan jumlah virion yang berlebihan tersebut. Limfosit semakin tertekan karena intervensi HIV semakin banyak. Terjadi penurunan limfosit T-CD4 hingga dibawah 200/mm³. Penurunan limfosit T ini mengakibatkan sistem imun menurun dan penderita semakin rentan terhadap berbagai macam penyakit infeksi sekunder dan juga ditemukannya beberapa jenis kanker. Progresivitas penyakit ini membawa penderita ke arah AIDS. Selain 3 fase tersebut, didapatkan pula periode masa jendela, yakni periode dimana pemeriksaan tes antibodi HIV masih menunjukan hasil negatif walaupun virus sudah ada di dalam darah pasien dengan jumlah yang banyak. Antibodi yang terbentuk belum cukup terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium. Antibodi terhadap HIV biasanya muncul dalam waktu 3-6 minggu sampai 12 minggu setelah
16
infeksi primer. Periode jendela sangat penting diperhatikan karena pada masa ini, penderita sudah mampu dan potensial dalam menularkan ke orang lain. 2.1.4
Manifestasi klinis infeksi HIV Klasifikasi klinis dan CD4 dari Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) Amerika Serikat. Kategori Klinis A o Infeksi HIV asimptomatis o Limfadenopati generalisata yang menetap o Infeksi HIV akut primer dengan penyakit penyerta atau adanya riwayat infeksi HIV akut. Kategori Klinis B Terdiri atas kondisi dengan gejala pada remaja atau orang dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk dalam kategori C dan memenuhi paling kurang satu dari keadaan : o Angiomatosis o Kandidasis orofaringeal o Kandidiasis vulvovaginal o Displasia servikal o Demam 38,5ºC atau diare lebih dari 1 bulan o Herpes Zooster o ITP o Penyakit radang panggul
17
o Neuropati perifer
Kategori Klinis C o Kandidiasis pada bronkus, trakea, dan paru o Kandidiasis esofagus o Kanker leher rahim o Coccidiomycosis yang menyebar atau di paru o Kriptokokosis ekstrapulmoner o Retinitis cytomegalovirus o Ensefalopati HIV o Herpers Simpleks ulkus kronis lebih 1 bulan o Histoplasmosis sistemik atau ekstrapulmoner o Kaposi’s Sarkoma o Limofoma imunoblastik o Limfoma primer pada otak o TB di berbagai tempat o PCP o Pneumonia berulang o Septicemia Salmonela berulang o Toksoplasmosis ensefalitis o HIV wasting syndrome
18
Limfosit T-CD4
Kategori A
(asimtomatis, infeksi akut) >500/mm³
Kategori B (Simtomatis)
A1
Kategori C
(AIDS)
B2
C1
200-499/mm³
A2
B2
C2
<200/mm³
A3
B3
C3
Tabel 2.1 Klasifikasi klinis dan CD4 orang dewasa menurut CDC 2.2
Lesi prakanker serviks Lesi prakanker pada serviks dikenal juga dengan sebutan lesi intraepitelial
serviks (Cervical Intraephtielial Neoplasia) merupakan awal dari perubahan menuju karsinoma serviks. Pada umumnya lesi prakanker serviks ini berawal dari daerah Squamocolumnar Junction pada serviks uteri yang mengalami proses metaplasia. Proses metaplasia ini paling aktif terjadi pada masa setelah menrche dan setelah proses kehamilan, sehingga lesi prakanker banyak didapatkan pada masa-masa ini. Daerah Squamocolumnar Junction yang mengalami proses metaplasia ini akan lebih rentan terpapar oleh faktor-faktor risiko terjadinya suatu lesi prakanker (Novaks, 2007). 2.2.1
Etiologi lesi prakanker serviks Infeksi HPV (Human Papilomma Virus) terdeteksi pada 99,7% kanker serviks
sehingga infeksi HPV merupakan infeksi yang sangat penting pada perjalanan penyakit kanker serviks. Pada suatu penelitian case-control juga dijumpai infeksi
19
HPV pada lesi prakanker dan kanker invasif. Kejadian infeksi HPV risiko tinggi dijumpai sejumlah 80% pada CIN II, 90% pada CIN III dan sejumlah 98% pada kanrsinoma serviks invasif (Andrijono, 2010). Berdasarkan hasil temuan pada penelitian epidemiologi, tipe HPV diklasifikasikan dalam tiga klasifikasi yaitu risiko tinggi, kemungkinan risiko tinggi, dan risiko rendah. Kelompok yang termasuk risiko tinggi adalah HPV tipe 16 dan 18 sedangkan yang termasuk risiko rendah adalah HPV tipe 6 dan 11 (Andrijono, 2010). 2.2.2
Faktor risiko lesi prakanker serviks Faktor risiko terjadinya lesi prakanker serviks antara lain (Williams, 2008) : Faktor Demografik : o Ras/etnis o Status sosial ekonomi yang rendah o Usia Faktor tingkah laku sosial & kebiasaan : o Program skrining kanker serviks yang belum memadai o Hubungan seksual di usia muda & berganti-ganti pasangan o Malnutrisi o Merokok Faktor Medis : o Infeksi menular seksual o Angka paritas o Immunosupresi
20
2.2.3
Perjalanan alamiah lesi prakanker serviks Infeksi Human Papilloma Virus persisten dapat berkembang menjadi lesi
intraepitelial serviks. Jika seorang penderita dengan seksual aktif terinfeksi oleh HPV risiko tinggi, 80% akan menjadi transien dan tidak akan menjadi lesi intraepitelial serviks dan HPV sendiri akan hilang dalam kurun waktu 6-8 bulan. Sedangkan 20% sisanya, infeksi virus ini tidak menghilang dan terjadilah infeksi yang persisten (Rasjidi, 2008). Dari 20% yang mengalami infeksi virus HPV yang persisten inilah dapat berkembang menjadi suatu lesi intraaepitelial serviks derajat I (CIN I) yang secara klasik dinyatakan dapat berkembang menjadi CIN II dan kemudian menjadi CIN III, kemudian berkembang menjadi lesi invasif atau karsinoma. Konsep regresi spontan serta lesi yang persisten menyatakan bahwa tidak semua lesi prakanker akan berkembang menjadi lesi invasif, banyak faktor yang berpengaruh, antara lain faktor eksogen (rokok, infeksi menular seksual), faktor virus (tipe virus HPV), dan faktor penjamu (immunosupresi) (Andrijono, 2010). Regression
Persistence
Progress to CIN III
CIN I
57%
32%
11%
1%
CIN II
43%
35%
22%
5%
CIN III
32%
< 56%
-
Table 2.2 Perjalanan Alami CIN (Ostor, 1993)
Progresss to invasion
> 12%
21
Dalam klasifikasi Bethesda, diperkenalkan dua kategori untuk derajat lesi prakanker, lesi derajat rendah (Low grade-squamous epithelial lession LSIL) dan lesi derajat tinggi (High grade-squamous epithelial lession HSIL). LSIL setara dengan CIN I sedangkan HSIL setara dengan CIN II dan CIN III). CIN I dikatagorikan derajat renah karena hanya 12% dari CIN I yang berkembang ke derajat yang lebih berat, sedangkan CIN II dan CIN III mempunyai risiko yang lebih besar menjadi lesi invasif bila tidak mendapatkan penaganan yang tepat. Pada CIN I atau LSIL, infeksi HPV yang dijumpai umumnya infeksi HPV tipe 6 dan 11, dimana kedua tipe HPV ini tidak menyebabkan progresivitas ke derajat yang lebih tinggi. Pada HSIL terdapat hubungan yang lebih kuat dengan infeksi HPV tipe 16 dan 18, dimana kedua tipe ini memiliki onkoprotein. Infeksi ini dapat menyebabkan perubahan lesi langsung pada NIS II tanpa melalui NIS I (Andrijono, 2010).
CIN I
Squamocolu mnar Junction
Infeksi Latent
HPV
CIN II
CIN III
Lesi Invasif
Bagan 2.1 Perjalanan Penyakit Kanker Serviks. Sumber : Andrijono, 2010
22
2.3
Lesi Prakanker Serviks Pada Penderita HIV
2.3.1 Kejadian lesi prakanker serviks pada penderita HIV Cervical Intraepithelial Neoplasia yang disebabkan oleh infeksi virus HPV ditemukan lebih banyak dan lebih buruk perjalanan penyakitnya pada penderita HIV dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi. Mandlebatt melaporkan bahwa risiko berkembangnya CIN pada penderita HIV meningkat lima kali lebih banyak, dan immunosupresi yang disebabkan oleh infeksi HIV merupakan peran utama dari pathogensis penyakit ini. Pada wanita yang terinfeksi HIV dengan status imun yang tidak menurun secara signifikan memiliki prevalensi lesi prakanker serviks yang hampir sama dengan wanita yang tidak terinfeksi HIV. Hal ini menunjukan bahwa status imun memiliki peran yang penting dalam perkembangan terjadinya suatu lesi prakanker serviks. Salah satu indikator yang paling umum digunakan dalam menentukan status imun pada penderita HIV adalah jumlah limfosit T – CD4. Pada wanita yang terinfeksi HIV, penurunan dari jumlah limfosit T – CD4, sebagai indikator penurunan sistem imun, meningkatkan frekuensi dan stadium dari lesi prakanker serviks (Garzetti et al, 1995). Pada sebuah penelitian di Bordeaux, Perancis yang mencari hubungan antara kejadian lesi prakanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV dengan faktor-faktor risikonya, dilaporkan prevalensi lesi prakanker serviks pada wanita yang memiliki kadar limfosit T – CD4 > 500/mm³ sebesar 13,6% sedangkan pada limfosit T – CD4 <200/mm³ sebesar 38,7%. Pada penelitian ini dapat terlihat bahwa semakin
23
rendahnya status imun penderita HIV, semakin tinggi prevalensi terjadinya lesi prakanker pada serviks (Hocke et al, 1998). 2.3.2
Patofisiologi lesi prakanker serviks pada penderita HIV Pada keadaan dimana sistem immunitas tertekan pada penderita HIV, infeksi
virus-virus onkogenik seperti Epstein-Barr virus (EBV), Human Papilloma Virus (HPV), Hepatitis B Virus (HBV), dan Herpes Simplex Virus (HSV) seringkali ditemukan dan virus-virus ini dapat menginfeksi sel-sel target yang spesifik dan menyebabkan proliferasi polyclonal. Modifikasi sistem imun pada tubuh seseorang yang telah terinfeksi oleh HIV merupakan hal yang mempunyai peran yang sangat penting pada patogenesis dari perjalanan penyakit suatu keganasan yang disebabkan oleh HIV. Sifat umum klinis dari keganasan yang didapatkan pada penderita HIV adalah pertumbuhannya lebih agresif, tidak berespon baik dengan penanganan konvensional, dan prognosis yang buruk (Buccalon, 1996). Pada kasus infeksi HIV, US Centers of Disease Control (CDC) memberikan batasan bahwa AIDS merupakan suatu keadaan yang ditandai adanya infeksi opurtunistik, degenerasi pada sistem saraf pusat, dan keganasan. Pada tahun 1993, berdasarkan pelaporan yang ada bahwa kejadian cervical intraepithelial lession yang meningkat pada penderita HIV, maka CDC menambahkan kanker serviks sebagai salah satu kategori klinisnya (CDC, 1993). Kejadian kanker serviks pada penderita HIV meningkat 4,9 kali lebih banyak jika dibandingkan dengan orang yang tidak menderita HIV dan perjalanan penyakitnya lebih cepat dan lebih buruk.
24
Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa penyebab dari kanker serviks adalah infeksi dari HPV. Hubungan antara HPV dan HIV merupakan hubungan yang kompleks dan belum sepenuhnya diketahui dengan baik. Faktor risiko dari kedua virus ini hampir sama yaitu dalam faktor perilaku seksual yang tidak baik. Pada penderita HIV, insidens ditemukannya abnormalitas hasil pemeriksaan sitologi dan histologi yang disebabkan HPV pada traktus urogenitalis bawah lebih tinggi dibandingkan pada yang tidak terinfeksi HIV (Buccalon, 1996). Jenis HPV yang banyak menginfeksi pada penderita HIV merupakan HPV tipe risiko tinggi yaitu tipe 18. Koinfeksi HPV pada penderita HIV ditemukan sebanyak 97,3% pada biopsi. (Johnson, 1992). 2.3.3
Immunologi lesi prakanker serviks pada penderita HIV Pada pasien dengan infeksi HIV, sistem imun yang terganggu adalah sistem
imun spesifik yang terbagi atas dua, yakni humoral dan selular. Sistem imun humoral diperakan oleh sel limfosit B sedangkan sistem imun selular diperankan oleh sel limfosit T. Sel CD4, yang merupakan target sel dari virus HIV merupakan salah satu komponen dari sel limfosit T yang berfungsi untuk merangsang proliferasi dan diferensiasi dari sel B dan juga berperan dalam mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba intraselular. Jadi sel limfosit T – CD4 ini berperan aktif dalam mengendalikan sistem imun selular dan sistem imun humoral. Pada pasien dengan infeksi HIV terjadi gangguan fungsi sistem imun karena adanya penurunan dari jumlah sel limfosit T – CD4. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, virus
25
HIV menyerang sel limfosit T – CD4 karena adanya reseptor yang merupakan pasangan ideal gp 120 dan gp 41 pada bagian envelope dari virus HIV (Abbas, 2010). Selain menyerang sel limfosit T – CD4, virus HIV juga menyerang komponen sistem imun selular lainnya yaitu sel-sel dendritik, pada khususnya sel langerhans (bentuk immature dari sel dendritik) yang terletak pada epidermis dan mukosa saluran gastrointestinal dan genitalia. Sel langerhans merupakan antigen presenting cell yang spesifik untuk sel limfosit T – CD4. Sel langerhans ini berperan pada saat masuknya virus HIV melalui mukosa, yakni pada saat penularan melalui hubungan seksual. Virus HIV yang masuk melewati mukosa akan ditangkap oleh sel langerhans yang selanjutnya akan dibawa ke kelenjar getah bening lokal yang akhirnya akan direspon oleh sel limfosit T – CD4. Ketika sel langerhans dan sel limfosit T – CD4 yang terinfeksi oleh virus HIV, fungsi dari sel-sel tersebut akan hilang (Abbas, 2010). Sistem imun yang aktif berperan pada timbulnya lesi prakanker serviks yang disebabkan oleh infeksi inisial dari high risk HPV adalah sistem imun humoral dan lokal,sedangkan sistem imun seluler berperan pada infeksi persisten dari virus HPV. Mekanisme dari sistem imun ini belum diketahui sepenuhnya (Williams, 2008). Interaksi antara infeksi virus HPV dan HIV merupakan interaksi yang kompleks karena sistem imun yang berperan pada kedua virus ini saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Pada saat virus HIV telah menginfeksi seseorang dan menyebabkan kegagalan dari fungsi sistem imun spesifik, tubuh tidak dapat melawan adanya suatu infeksi peristen dari HPV. Pada sebuah penelitian in vitro yang mempelajari interaksi molekular dari HIV dan HPV, melaporkan bahwa
26
HIV gene (tat protein) dapat menimbulkan ekspresi onko protein E6 dan E7 dari HPV yang akhirnya meningkatkan perkembangan sifat onkogenik dari HPV (Boccalon, 1996).
27
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1.
Kerangka Berpikir Virus HIV merupakan suatu RNA virus yang menyerang sistem imun
manusia, yakni terutama limfosit T - CD4. Perjalanan infeksi dari virus HIV ditandai dengan penurunan kadar dari CD4. Semakin rendah kadar CD4 semakin buruk sistem imun dan perjalanan penyakitnya. Dengan memburuknya sistem imun maka akan meningkatkan prevalensi terjadinya lesi prakanker serviks. Hal ini disebabkan karena penurunan sistem imun akan menyebabkan sistem imun tidak dapat berfungsi dengan baik untuk melawan virus HPV tersebut sehingga timbulah lesi prakanker serviks.
28
3.2.
Konsep Penelitian
Infeksi Virus HIV (+)
Limfosit T – CD4
Imunitas
Lesi Prakanker Serviks
HPV
1. 2. 3. 4.
Usia Riwayat Hubungan Seksual Riwayat Merokok Infeksi Menular Seksual
Bagan 3.1. Kerangka konsep penelitian
3.3.1
Hipotesis Penelitian Terdapat hubungan antara kadar CD4 dengan lesi prakanker serviks pada
wanita terinfeksi HIV..
29
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1.
Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah studi cross sectional analitik.
Dari populasi terjangkau diambil sampel penelitian secara consecutive sampling, sehingga diperoleh wanita yang terinfeksi HIV dengan kadar CD4 ≥ 500/mm³ dan kadar CD4 < 500/mm³, kemudian masing-masing diperiksa dengan Pap Smear untuk mengetahui adaya lesi prakanker serviks. 4.2
Lokasi Dan Waktu Penelitian
4.2.1
Lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poli Klinik Yayasan Kerti Praja Denpasar dan
pembacaan hasil Pap Smear akan dilakukan di Laboratorium Sentra Diagnostik, Denpasar. 4.2.2
Waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan Bulan Januari 2011 sampai Desember 2011.
4.3
Penentuan Sumber Data
4.3.1
Populasi target Wanita yang terinfeksi HIV.
4.3.2
Populasi terjangkau Wanita yang terinfeksi HIV yang memeriksakan diri di Poli Klinik Yayasan
Kerti Praja, Denpasar pada periode Januari 2011 sampai Desember 2011.
30
4.3.3 Sampel eligibel Diambil dari populasi terjangkau diatas yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 4.3.4 Kriteria eligibilitas Kriteria Eligibilitas terdiri dari kriteria inklusi dan eksklusi 4.3.4.1 Kriteria inklusi :
Wanita dengan test HIV (+).
Berusia 20-39 tahun.
Hubungan seksual aktif.
Bersedia ikut penelitian dan menanda tangani informed consent.
4.3.4.2 Kriteria eksklusi :
4.3.5
Wanita sedang hamil
Wanita pasca operasi rahim < 6 bulan sebelum pemeriksaan
Penghitungan besar sampel Untuk menentukan besar sampel minimal berdasarkan asumsi (Campbell,
1997) : n1= n2 = ( Zα
2PQ
+ Zβ
( P1- P2 ) ²
P1 Q1 + P2 Q2 ) ²
31
Keterangan: -
n1/ n2 : Besar sampel penelitian
-
Zα
: 1,96 untuk tingkat kemaknaan α = 0,05
-
Zβ
: 1,282 untuk power 90%
-
P1
: P2 x RR
-
PR
: 3 (Prevalence Ratio yang dianggap bermakna)
-
P2
: 0,22(Proporsi kelompok tanpa faktor risiko dari kepustakaan)
-
P
: 1/2 x (P1+P2)
-
Q
:1-P
Berdasarkan rumus di atas, besar sampel penelitian adalah 24,59 dibulatkan menjadi 25 pasang sampel. 4.3.6
Teknik pengambilan sampel Dari populasi terjangkau diambil sampel penelitian secara consecutive
sampling. 4.4
Variabel Penelitian
4.4.1
Klasifikasi variabel
Variabel bebas
: Kadar Limfosit T – CD4
Variabel tergantung
: Lesi prakanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV.
Variabel terkontrol : Umur ibu, Riwayat hubungan seksual, kehamilan, operasi rahim.
32
4.4.2
Definisi operasional variabel
1. Wanita dengan infeksi Virus HIV (+) adalah para wanita yang telah diperiksa status infeksi HIV dengan pemeriksaan serologi HIV menggunakan rapid test dengan hasil positif pada ketiga reagent. 2. Kadar Limfosit T – CD4 adalah kadar CD4/mm³ yang diukur menggunakan metoda flow cytometri dengan kadar normal sebesar 600-1200/mm³. Kadar CD4 akan dikelompokan menjadi 2, yaitu CD4 > 500 dan CD4 < 500. 3. Lesi Prakanker serviks (+) adalah hasil papsmear dengan bacaan abnormalitas sel epitel menggunakan kriteria pelaporan menurut Bethesda tahun 2001. 4. Umur adalah umur yang dihitung dari tanggal lahir menurut kartu identitas pasien. 5. Kehamilan adalah wanita yang sedang dalam masa hamil 6. Riwayat hubungan seksual adalah pernah melakukan hubungan seksual sebelumnya dan terakhir melakukannya > 24 jam. 7. Pasca operasi pengangkatan rahim total adalah wanita yang telah menjalani operasi pengangkatan rahim total 4.5
Prosedur Penelitian Para wanita yang memenuhi kriteria sebagai sampel penelitian akan diberikan
penjelasan (Informed Consent) mengenai penelitian yang akan dilakukan. Apabila setuju ikut dalam penelitian maka diminta untuk menanda tangani lembar persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian. Selanjutnya langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
33
1. Anamnesis yang meliputi usia, pekerjaan, riwayat merokok, kapan saat didiagnosa terinfeksi HIV, usia saat pertama kali berhubungan seksual, riwayat pasangan seksual, pernah terjangkit infeksi menular seksual, penggunaan obat suntik. 2. Dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan ginekologi. 3. Dilakukan pemeriksaan laboratorium merupakan pemeriksaan kadar limfosit T CD4 dan pemeriksaan Pap Smear yang menggunakan sistem Liquid - Prep™. 4.6
Prosedur Pemeriksaan
4.6.1
Prosedur pemeriksaan kadar limfosit T – CD4 Diambil sample darah dari vena secara aseptik lalu dilakukan pemrosesan
sample darah menggunakan alat Hemocytometri untuk mengetahui jumlah Limfosit T - CD4 yang akan dilaporkan per mm³ 4.6.2
Syarat pengambilan bahan Pap smear Adapun syarat-syarat pengambilan pemeriksaan Pap Smear agar didapatkan
intepretasi sitologi yang akurat, adalah sebagai berikut : 1. Bahan yang diambil harus berasal dari porsio serviks dan dari mukosa endoserviks. 2. Pengambilan apusan Pap Smear dapat dilakukan setiap waktu di luar masa haid. 3. Tidak boleh memakai obat/bahan antiseptik < 1 minggu sebelum pemeriksaan 4. Tidak dalam masa pasca bersalin < 6 minggu sebelum pemeriksaan 5. Tidak boleh melakukan hubungan seksual kurang dari 24 jam sebelum pemeriksaan.
34
4.6.3
Bahan dan alat pemeriksaan Pap smear Dalam membuat sedian Pap Smear diperlukan bahan dan alat sebagai berikut :
Bahan kimia : 1. Alkohol 100% 2. Staining Sitologi (larutan Preservative, Cell base, Cleaner)
Alat yang diperlukan : 1. Pipet 4 ml 2. Pipet adjustable 200 ul – 1000 ul 3. Pipet adjustable 20 ul – 200 ul 4. Centrifuge 5. Object glass & Cover glass 6. Rak tabung reaksi 7. Rak untuk mengeringkan slide 8. Cervex Rovers Brush 9. Larutan preservative dalam botol sample. 10. Spekulum vagina 11. Formulir Permintaan pemeriksaan Pap Smear
4.6.4
Prosedur pengambilan bahan usapan Pap smear Pengambilan bahan usapan Pap Smear pada serviks menggunakan Cervex
Rovers brush. Langkah-langkah pengambilan bahan usapan Pap Smear adalah sebagai berikut: Spekulum steril tanpa bahan pelicin dipasangkan dengan baik
35
sehingga terlihat portio serviks uteri dengan jelas. Lalu ujung Cervex Rovers brush khusus diposisikan menempel pada porsio serviks dengan ujung yang lebih pajang masuk kedalam kanalis endoservikalis untuk menghapus seluruh permukaan mukosa ektoserviks, endoserviks dan daerah squamo-columnar junction. Cervex Rovers brush digerakkan searah jarum jam, diputar melingkar 360º dengan sedikit penekanan tanpa melukai jaringan tersebut. Cervex Rovers brush yang telah digunakan untuk mengambil sample serviks dipatahkan pada ujungnya dan dimasukan ke dalam botol yang telah berisi larutan preservative. Setelah itu botol berisi sample tersebut dikirim ke laboratorium sitologi. 4.6.5
Proses pembuatan sediaan Botol yang telah berisi larutan preservative dan sample tersebut akan diproses
lebih lanjut dengan langkah-langkah sebagi berikut : 1. Larutan cleaning solution sebanyak 4 ml
ditambahkan ke dalam tabung
sentrifugasi, penambahan cleanning solution dilakukan apabila terdapat darah dalam sample. 2. Vortex botol larutan preservative yang berisi sample selama 10 detik. Apabila didapatkan darah, ditambahkan 4 ml cleanning solution. 3. Sentrifugasi tabung sentrifus yang sudah beisi sample dengan kekuatan 1000 g untuk swing bucket centrifufge, dan 1200 g untuk fixed rotor centrifuge. 4. Segera setelah selesai proses sentrifugasi, tuang supernatan hingga benar-benar habis.
36
5. Ditambahan cellular base solution ke dalam sel pelet sebanyak tiga kali volume sel pelet. 6. Vortex sampel yang telah ditambahkan cellular base solution kurang lebih 10 detik. 7. Setelah mendapatkan spersimen yang random-homogenous, segera pipetkan 50 ul spesimen diatas object glass dengan ukuran yang sesuai dengan kebutuhan. 8. Proses finishing dilakukan pada suhu ruang dan akan membutuhkan waktu selama 1-2 jam. Untuk mempercepat proses pengeringan dapat dilakukan dengan cara memasukan spesimen kedalam inkubator dengan suhu tidak lebih dari 50ºC. 9. Tidak dilakukan pewarnaan. 10. Setelah itu apusan ini akan dibaca dan didiagnosa oleh dokter ahli patologi anatom yang akan menggunakan sistem Bethesda 2001.
37
Gambar 4.3 : Sitologi Sistem Bethesda 2001 Sumber : The 2001 Bethesda System Terminology for Reporting Results of Cervical Cytology
38
4.7 Alur Penelitian
Wanita yang datang memeriksakan diri ke Poli Klinik Yayasan Kerti Praja Denpasar. Anamnesis Pemeriksaan Fisik Umum Pemeriksaan Ginekologik Pemeriksaan laboratorium.
Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi Informed Consent
Populasi Terjangkau
Sampling
Limfosit T – CD4 ≥ 500
Limfosit T – CD4 <500
Pap Smear
Lesi Prakanker (+)
Pap Smear
Lesi Prakanker (-)
Lesi Prakanker (+)
ANALISIS DATA
Bagan 4.2 Alur Penelitian
Lesi Prakanker (-)
39
4.8 Teknik Analisis Data Untuk menguji normalitas data menggunakan Saphiro-Wilk tes. Dilakukan Uji homogenitas data dengan menggunakan Levene Test. Komparibilitas karakteristik Lesi Prakanker (+) dengan Lesi Prakanker (-) diuji dengan X2 Uji korelasi, hubungan antara kadar CD4 dengan lesi prakanker dengan Pearson bila data normal, atau dengan Spearman test bila data tidak normal. Data dan hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
40
Karakteristik
Lesi prakanker
Lesi Prakanker
(+)
(-)
P
Umur ( 20 -29 thn ) Riwayat
pasangan
seksual -
Single partner
-
Multi partner
Riwayat Infeksi Menular Seksual Tabel 4.1 Karakteristik Data Wanita HIV dengan Lesi Prakanker (+) dengan Lesi Prakanker (-) Lesi Prakanker Serviks Kriteria
JUMLAH
(+)
(-)
≥ 500
A
B
A+B
< 500
C
D
C+D
JUMLAH
A+C
B+D
A+B+C+D
Limfosit T – CD4
Tabel 4.2 Tabel 2x2 pengamatan prevalensi lesi prakanker serviks
41
Untuk mengetahui prevalens lesi prakanker (+) pada serviks wanita yang terinfeksi HIV dengan Limfosit T - CD4 <500 : A / A + B. Untuk mengetahui prevalens lesi prakanker (+) pada serviks wanita yang terinfeksi HIV dengan Limfosit T - CD4 ≥ 500 : C / C + D Untuk mengetahui Rasio Prevalens :
RP :
A / (A + B) C / (C + D)