UJI RESISTENSI TIGA GOLONGAN INSEKTISIDA TERHADAP TIGA ISOLAT LALAT RUMAH Musca domestica (DIPTERA: MUSCIDAE) DI BOGOR
NISSA KUSARIANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Uji Resistensi Tiga Golongan Insektisida Terhadap Tiga Isolat Lalat Rumah Musca Domestica (Diptera: Muscidae) Di Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2013 Nissa Kusariana B252110081
*
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama terkait.
RINGKASAN NISSA KUSARIANA. Uji Resistensi Tiga Golongan Insektisida terhadap Tiga Isolat Lalat Rumah Musca Domestica (Diptera: Muscidae) di Bogor. Dibimbing oleh DWI JAYANTI GUNANDINI dan SUSI SOVIANA. Lalat rumah Musca domestica merupakan vektor mekanik dari berbagai penyakit pada manusia dan hewan. Pada industri peternakan sapi perah, gangguan lalat akan menurunkan produksi susu, selain itu lalat rumah juga merupakan serangga yang potensial berperan sebagai inang antara cacing pita (Raillietina sp. dan Choanotaenia infundibulum) pada ayam di peternakan ayam petelur di daerah Bogor. Hingga saat ini metode pengendalian serangga vektor yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat dan program pengendalian lalat pengganggu di berbagai peternakan masih menggunakan insektisida. Penggunaan pestisida secara terus menerus dan frekuensi yang tinggi dapat menyebabkan munculnya galur serangga yang resisten terhadap pestisida. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui status kerentanan lalat Musca domestica yang berasal dari lokasi dengan tingkat intensitas penggunaan insektisida yang berbeda dengan menggunakan insektisida Organofosfat (malation 0.8%), Piretroid (sipermetrin 0.7%), dan Nikotinoid (tiametoksam 10%). Pengambilan sampel isolat lalat dewasa M. domestica berasal dari 3 lokasi, yaitu lokasi dengan intensitas insektisida tinggi diwakili oleh peternakan ayam petelur Km. 46 Kemang Bogor, lokasi dengan intensitas insektisida rendah diwakili oleh permukiman penduduk di sekitar wilayah Dramaga, dan lokasi dengan intensitas insektisida rendah diwakili oleh pasar Bogor. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji bioassay dengan menggunakan metode kontak dengan insektisida residual yaitu insektisida malathion 0.8%, sipermetrin 0.7% dan tiametoxam 10%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga isolat masih rentan terhadap insektisida malathion, sipermetrin dan tiametoxam (RR < 10). Isolat peternakan cenderung lebih resisten terhadap malathion dan sipermetrin dibandingkan terhadap dua isolat lainnya. Kata kunci: insektisida, Musca domestica, resistensi
SUMMARY NISSA KUSARIANA. Susceptibility of Three Isolates Housefly Musca domestica ( Diptera: Muscidae ) to Three Insecticide Compounds. Supervised by DWI JAYANTI GUNANDINI and SUSI SOVIANA. Housefly (Musca domestica) is a mechanical vector insect of several diseases, such as dysentry, cholera, typhoid, diarrhea, eye infection (trachoma and epidemic conjunctivitis), poliomyelitis, skin infection, and other diseases which is related to poor environment sanitation. In dairy cows farming, flies could reduce milk productivity; moreover housefly is also potential to be intermediate host of chicken tapeworm in Bogor area. Nowadays, vector control in public health and dairy farm still by using insecticide. Application of insecticide on the similar continuously with high frequency lead to insecticide resistance. This research was intended to study the susceptibility of the housefly Musca domestica which come from locations where has high, middle, and low applied insecticide to insecticide organophosphores, pyrethroid, and nikotinoid. This research has been conducted during March until June 2013. Three different locations has been chosen as source of M. domestica isolates, based on the intensity of insecticide application. Location which has high insecticide intensity is represented by egg-laying hens farming in Bogor area; moderate insecticide intensity by residential in Dramaga area; while low insecticide intensity by Pasar Bogor area. In this research, Bioassay test is conducted by residual insecticide contact method. Malathion 0.8%, Cypermethrin 0.7%, and Thiamethoxam 10% insecticides are chosen here as the residual insecticides. The result shows that three isolates were still susceptible to malathion, cypermethrin, and thiamethoxam insecticides (RR<10). M. domestica isolate which comes from the farming tends to be more tolerant to malathion and cypermethrin than the other isolates. Keywords : Insecticide, Musca domestica, Susceptibility.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
UJI RESISTENSI TIGA GOLONGAN INSEKTISIDA TERHADAP TIGA ISOLAT LALAT RUMAH Musca domestica (DIPTERA: MUSCIDAE) DI BOGOR
NISSA KUSARIANA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Sidang Tesis
: Dr drh. Upik Kesumawati Hadi, MS
Judul Tesis Nama NIM
: Uji Resistensi Tiga Golongan Insektisida terhadap Tiga Isolat Lalat Rumah Musca Domestica (Diptera: Muscidae) di Bogor : Nissa Kusariana : B25211 0081
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
nandini , MSi
Dr drh
Ketua
I Soviana, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
'--
Dekan Sekolah PascasaJjana
~ __________ ------
..;:::::
------~c:::~:~
Dr drh Upik Kesumawati Hadi, MS
Tanggal Ujian: 08 Juli 2013
Tanggal Lulus:
3 0 SE P 2013
Judul Tesis : Uji Resistensi Tiga Golongan Insektisida terhadap Tiga Isolat Lalat Rumah Musca Domestica (Diptera: Muscidae) di Bogor Nama : Nissa Kusariana NIM : B252110081
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr drh Dwi Jayanti Gunandini, MSi Ketua
Dr drh Susi Soviana, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr drh Upik Kesumawati Hadi, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Uji Resistensi Tiga Golongan Insektisida Terhadap Tiga Isolat Lalat Rumah Musca domestica (Diptera: Muscidae) di Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan Maret hingga Juni 2013. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. drh. Dwi Jayanti Gunandini, M. Si. Dan Ibu Dr. drh. Susi Soviana, M. Si. yang telah banyak memberikan saran serta bimbingan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS selaku penguji luar komisi pada ujian tesis atas saran dan masukan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada staf pengajar Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) atas semua ilmu, pengalaman, bimbingan dan nasihat. Ucapan terimakasih untuk teman-teman Parasitologi dan Entomologi Kesehatan 2011 atas keceriaan dan semangat yang telah diberikan. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada orang tua dan kakak atas segala doa, kasih sayang dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, September 2013 Nissa Kusariana
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Bionomik Musca domestica Insektisida Toksikologi Insektisida
3 3 5 5
Pengujian Toksisitas Insektisida
5
Insektisida Organofosfat Insektisida Piretroid Insektisida Nikotinoid Resistensi Serangga terhadap Insektisida Mekanisme resistensi
6 8 9 10 10
3 METODE Lokasi Penelitian Waktu Penelitian Pengadaan Lalat untuk Uji Status Kerentanan Koleksi lalat dewasa
11 11 11 12 12
Pemeliharaan dan perbanyakan lalat M. domestica
12
Metode Uji Kerentanan Perhitungan hasil uji kerentanan
12 13
Analisis data dan Penentuan Status Kerentanan
13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Keretanan lalat M. domestica terhadap insektisida malation
14 14
Kerentanan lalat M. domestica terhadap insektisida sipermetrin
17
Kerentanan lalat M. domestica terhadap insektisida tiametoksam
20
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
24 24 24
6 DAFTAR PUSTAKA
24
LAMPIRAN Kegiatan Pengambilan Sampel Lalat Dewasa
29 29
Kegiatan Uji Bioassay Regresi isolat peternakan terhadap malation 0.8% Regresi isolat peternakan terhadap sipermetrin 0.7% Regresi isolat peternakan terhadap tiametoksam 10% Regresi isolat permukiman terhadap malation 0.8% Regresi isolat permukiman terhadap sipermetrin 0.7% Regresi isolat permukiman terhadap tiametoksam 10% Regresi isolat pasar terhadap malation 0.8% Regresi isolat pasar terhadap sipermetrin 0,7% Regresi isolat pasar terhadap tiametoksam 10%
30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
DAFTAR TABEL 1 Persentase kematian dan status kerentaan lalat M. domestica terhadap malation 2 Analisis regresi kematian lalat M. domestica terhadap malation 3 Persentase kematian dan status kerentanan lalat M. domestica terhadap sipermetrin 4 Analisis regresi kematian lalat M. domestica terhadap sipermetrin 5 Persentase kematian dan status kerentanan lalat M. domestica terhadap tiametoksam 6 Analisis regresi kematian lalat M. domestica terhadap tiametoksam
14 15 17 18 21 21
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7
Siklus hidup Musca domestica Rumus bangun Malathion Rumus bangun Sipermetrin Rumus bangun Tiametoksam Nilai LT50 lalat M. domestica terhadap malation pada lokasi dengan intensitas penggunaan insektisida yang berbeda Nilai LT50 kematian lalat M. domestica terhadap Sipermetrin pada lokasi dengan intensitas penggunaan insektisida yang berbeda Nilai LT50 kematian lalat M. domestica terhadap Tiametoksam pada lokasi dengan intensitas penggunaan insektisida yang berbeda
4 8 8 9 15 19 22
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kegiatan Pengambilan Sampel Lalat Dewasa Kegiatan Uji Bioassay Regresi isolat peternakan terhadap malation 0.8% Regresi isolat peternakan terhadap sipermetrin 0.7% Regresi isolat peternakan terhadap tiametoksam 10% Regresi isolat permukiman terhadap malation 0.8% Regresi isolat permukiman terhadap sipermetrin 0.7% Regresi isolat permukiman terhadap tiametoksam 10% Regresi isolat pasar terhadap malation 0.8% Regresi isolat pasar terhadap sipermetrin 0,7% Regresi isolat pasar terhadap tiametoksam 10%
29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Lalat merupakan kelompok serangga yang penting dalam bidang kedokteran, kesehatan dan veteriner serta merupakan salah satu hama permukiman yang sangat mengganggu kehidupan manusia. Kepentingan serangga ini disebabkan oleh peranannya sebagai vektor dari berbagai penyakit baik pada manusia maupun hewan. Musca domestica (lalat rumah) merupakan serangga yang keberadaannya sangat dekat dengan manusia maupun hewan dan tersebar di seluruh dunia. Musca domestica banyak ditemukan di peternakan ayam, kandang kuda, sampah, feses hewan dan di berbagai peternakan lainnya (Borror et al.1976, Sigit 2006, Stevenson & Cocke 2002). M. domestica merupakan vektor mekanik dari berbagai penyakit seperti disentri, kolera, tipus, diare, infeksi mata (trachoma dan epidemic conjunctivitis), poliomyelitis, infeksi kulit dan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan kondisi sanitasi lingkungan yang buruk (Graczyk et al. 2001, Hestiningsih et al. 2003) . Berbagai macam mikroorganismee patogen seperti Salmonella typhi (Mian et al. 2002, Hestiningsih et al. 2003), Shigella sp. , Escherichia coli (Nazni et al. 2005), Klebsiella sp (Hestiningsih et al. 2003, Nazni et al. 2005), Aeromonas caviae (Nayduch et al. 2005) dan juga telur cacing seperti telur Ascaris lumbricoides mudah melekat pada bulu-bulu yang terdapat pada kaki dan tubuh lalat (Nmorsi et al. 2006), sehingga lalat merupakan serangga yang potensial untuk mentrasmisikan penyakit terutama penyakit food-borne disease. Perilaku memuntahkan kembali cairan yang telah dihisap (regurgitasi) juga mempengaruhi kemampuan lalat sebagai vektor penyakit pada manusia. Keberadaan lalat juga merupakan tanda sanitasi maupun kondisi lingkungan sekitar permukiman yang tidak sehat dan tidak nyaman sehingga dapat berdampak bagi industri pariwisata (WHO 1997, Hadi & Koesharto 2006, Williams 2010). M. domestica juga dapat menyebabkan gangguan pada berbagai peternakan. Pada industri peternakan sapi, gangguan lalat akan mempengaruhi penurunan jumlah produksi susu dan atau produksi daging. Selain itu pada peternakan ayam petelur kebiasaan regurgitasi dan kotoran lalat pada permukaan telur ayam menimbulkan fly specks sehingga dapat menurunkan kualitas telur ayam (Srinivasan & Almaraj 2003, Hadi & Koesharto 2006, Williams 2010). Lalat rumah juga merupakan serangga yang potensial berperan sebagai inang antara cacing pita (Raillietina sp. dan Choanotaenia infundibulum) pada ayam di peternakan ayam petelur di daerah Bogor (Retnani 2010). Hingga saat ini metode pengendalian serangga vektor yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat masih menggunakan insektisida. Insektisida masih menjadi salah satu kebutuhan penting dalam bidang kesehatan untuk pemeliharaan kesehatan dan kenyamanan hidup, yaitu untuk menekan populasi serangga hama permukiman dan vektor penyakit menular pada manusia. Demikian halnya dengan program pengendalian lalat pengganggu di berbagai peternakan (Kaufman et al. 2001, Ahmed S et al. 2004, Hadi dan Koesharto 2006). Di Indonesia program pengendalian lalat secara kimia dilakukan melalui cara umpan, penyemprotan efek residu (residual spraying) dan pengasapan (space spraying). Metode residual
2 spraying dan pengasapan menggunakan insektisida dari golongan organofosfat dan piretroid, sedangkan pada metode umpan (bait) insektisida yang digunakan berasal dari golongan organofosfat dan karbamat (Depkes 1992). Penggunaan pestisida secara terus menerus dan frekuensi penggunaan yang tinggi dapat menimbulkan dampak yang merugikan terhadap kesehatan manusia, lingkungan, serta dapat menyebabkan munculnya galur serangga yang resisten terhadap pestisida. Kasus resistensi pada M. domestica pertama kali dilaporkan resisten terhadap DDT di Swedia pada tahun 1947 (Georghiou & Taylor 1986). Kasus resistensi M. domestica juga dilaporkan telah terjadi pada peternakan di Florida terhadap insektisida Nikotinoid dan Piretroid pada tahun 2009 (Kaufman et al. 2009). Namun di negara Thailand pada tahun 2009 dilaporkan bahwa lalat Musca domestica dan Chrysomya megacephala di daerah Muang District, Hang Dong District dan San Khampaeng masih rentan terhadap insektisida golongan piretroid (permetrin dan deltametrin) (Sukontason et al. 2009). Di Indonesia penelitian mengenai resistensi lalat M. domestica telah dilakukan oleh Susanti (2010) terhadap dua golongan insektisida yaitu piretroid (Permetrin 94%) dan karbamat (Propoksur 99.25%) pada beberapa strain lalat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada lalat strain Bandung telah mengalami resistensi terhadap permetrin dan propoksur. Saat ini belum banyak informasi mengenai status kerentanan lalat terhadap insektisida, terutama dari lokasi yang mempunyai intensitas penggunaan insektisida yang berbeda. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui status kerentanan lalat Musca domestica yang berasal dari lokasi dengan tingkat intensitas penggunaan insektisida tinggi, rendah, dan sedang terhadap tiga jenis insektisida.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status kerentanan lalat Musca domestica yang berasal dari lokasi dengan tingkat intensitas penggunaan insektisida tinggi, rendah, dan sedang dengan menggunakan insektisida Organofosfat, Piretroid, dan Nikotinoid.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai data acuan status kerentanan lalat Musca domestica terhadap tiga golongan insektisida sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam program pengendalian populasi lalat.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA Bionomik Musca domestica Musca domestica merupakan serangga synanthropic yang mempunyai interaksi sangat dekat dengan lingkungan tempat hidup manusia. Selain menyebarkan berbagai agen penyakit, lalat rumah juga dapat mengganggu manusia pada saat tidur dan atau pada saat bekerja (Srinivasan & Almaraj 2003). Ukuran lalat dewasa bekisar antara 5-12 mm. Rata-rata lalat jantan berukuran panjang 5.8-6.5 mm dan yang betina 6.5-7.5 mm, berwarna kelabu dengan toraks mempunyai 4 garis hitam longitudinal di bagian dorsal. Perut lalat betina terdapat corak berbentuk kotak dan berwarna abu-abu, pada bagian dorsal abdomen berwarna hitam dan pada bagian sisi dan bagian bawah abdomen berwarna kuning hingga putih. Alat mulut (probosis) tumpul dengan bagian ujung (labela) melebar dan memiliki struktur seperti spons yang berfungsi untuk menyerap makanan. Antena pendek dengan arista yang berambut (plumose) baik pada ventral maupun dorsal. Sayapnya jernih dengan vena sayap M1+2 sangat khas yang membentuk lengkungan sudut yang tajam dan sel R5 agak tertutup di distal (West 1951, Borror et al. 1976, Hadi & Soviana 2010) M. domestica mengalami metamorfosis sempurna, diawali dengan tahap telur, larva, pupa dan dewasa . Lalat betina dapat meletakkan telur antara 50-150 telur di tempat perkembangbiakan yang sesuai. Lalat biasanya akan tertarik untuk bertelur di tempat yang terdapat feses atau manur hewan, dan dapat juga bertelur di tempat lembab lainnya seperti sampah organik yang membusuk. Telur lalat berwarna putih dan mempunyai panjang sekitar 1 mm, berbentuk seperti pisang dan diletakkan dalam kelompok. Seekor lalat betina mampu menghasilkan sekitar 500 telur sepanjang hidupnya. Telur lalat akan menetas sekitar 8 – 24 jam tergantung dari suhu lingkungan. Stadium larva akan melewati fase 3 tahap instar yang berukuran 10 – 15 mm. Waktu perkembangan larva pada lokasi yang bersuhu hangat yaitu sekitar 3 hingga 7 hari. Larva yang telah muncul akan memakan material dan mikroorganisme yang terdapat di tempat tersebut. Tingkat kelembaban media perkembangan lalat sangat berpengaruh terhadap lamanya perkembangan larva. M. domestica tidak dapat berkembang dan menunjukkan kematian yang cukup tinggi pada manur babi. Hal ini disebabkan karena manur babi memiliki tingkat kelembaban yang rendah (Patricia & Claudio 2008). Identifikasi morfologi dari larva M. domestica dibedakan terhadap larva lalat muscoid lainnya yaitu dari celah spirakular (spiracular slit) di bagian posterior (Patricia & Claudio 2008, Williams 2010, Hadi & Soviana 2010 ). Pada saat stadium prepupa larva instar akhir akan bergerak menuju tempat yang kering dan kemudian berkembang menjadi pupa. Perubahan ini ditandai dengan terbentuk cangkang (puparium), berbentuk barrel dan berwarna lebih gelap. Stadium pupa berkembang selama 3-10 hari tergantung dari suhu (Williams 2010, Hadi & Soviana 2010). Lalat dewasa kemudian akan keluar dari pupa dan akan mencari makan dalam 24 jam. Setelah itu lalat dewasa akan segera melakukan perkawinan. Lalat jantan akan menarik lalat betina dengan memproduksi pheromone yang disebut dengan Muscalure, (Z)-9-tricosene. Sebagian besar lalat betina hanya kawin satu
4
Gambar 1 Siklus hidup Musca domestica (WHO 1997) kali seumur hidupnya, dan akan menyimpan sperma lalat jantan di spermateka sehingga dapat melakukan proses pembuahan sel telur berulangkali tanpa adanya lalat jantan. Lama hidup lalat dewasa sekitar 1-2 bulan dan lalat betina dapat berumur lebih panjang dibanding dengan lalat jantan. Ukuran tubuh lalat dewasa sangat bergantung dari perkembangan stadium larva sebelumnya. Dalam identifikasi jenis kelamin lalat dewasa dapat dibedakan dari jarak kedua mata majemuknya. Mata lalat jantan lebih besar dan sangat berdekatan satu sama lain. Satu siklus hidup lalat membutuhkan waktu 7-14 hari, dan dapat menghasilkan dua generasi atau lebih dalam sebulan pada tempat yang bersuhu lebih tinggi (Hadi & Koesharto 2006, Stafford 2008). Lalat dewasa akan memakan berbagai bahan organik yang berasal dari sampah maupun kotoran hewan dan manusia. Makanan yang berbentuk padat terlebih dahulu akan dicairkan oleh lalat dengan menggunakan cairan saliva dan regurgitasi lambung yang mengandung enzim pencerna, kemudian akan dihisap melalui mulut yang mempunyai tipe sponging. Karena kebiasaan makan dan tempat perkembangbiakannya inilah lalat ini berperan dalam penyebaran berbagai macam penyakit secara mekanis (Hadi & Koesharto 2006, Stafford 2008, Williams 2010, Hadi & Soviana 2010). Faktor suhu sangat mempengaruhi daya hidup larva dan periode perkembangan dari telur hingga menjadi lalat dewasa serta kepadatan populasi lalat dalam suatu habitat. Semakin tinggi suhu lingkungan maka akan semakin mempercepat perkembangan lalat. Di lokasi yang beriklim sedang dan dingin lalat rumah akan menahan perkembangannya sebagai larva dan kepompong di dalam media perkembangbiakkannya. Dalam iklim hangat, perkembangan semua stadium lalat berlangsung sepanjang tahun, sehingga siklus hidup lalat rata-rata selama 2-4 minggu pada saat musim panas dan lebih panjang pada musim dingin. (Harwood & James 1979, Tardelli CA et al. 2004, Stafford 2008, Williams 2010). Berbagai kondisi manur hewan sebagai media perkembangan dapat mempengaruhi periode stadium larva serta ukuran tubuh larva dan lalat dewasa.
5 Kotoran hewan ternak yang diberikan pakan berupa sayuran dan serat secara eksklusif, seperti pada peternakan sapi, domba dan kuda, mempunyai kualitas yang rendah untuk perkembangan lalat, daya hidup serta ukuran lalat rumah . Hal ini berhubungan dengan kualitas kotoran ternak yang memiliki kandungan Nitrogen yang rendah dan kandungan gas karbon yang tinggi, sehingga menyebabkan tingginya nilai rasio perbandingan antara gas karbon dengan nitrogen (C/N) dalam manur. Pada manur yang mempunyai nilai rasio C/N yang rendah dapat meningkatkan kualitas substrat manur dan meningkatkan aktifitas mikroba di dalamnya yang merupakan kebutuhan penting untuk perkembangan stadium pradewasa lalat (Patricia & Claudio 2008). Perkembangan larva lalat selain dipengaruhi oleh nutrisi yang terkandung dalam habitat larva (Patricia & Claudio 2008, Khan et al. 2012), juga dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban manur (Hogestte 1996, Myers et al. 2008) serta faktor fagostimulan pada habitat larva (Myers et al. 2008). Lalat dewasa aktif siang hari pada suhu 80-90°F dan tidak aktif pada malam hari atau pada suhu kurang dari 45-50°F. Keberadaan tempat yang sesuai untuk perkembangbiakan dapat mempengaruhi perilaku terbang lalat dewasa. Umumnya jarak terbang lalat sekitar 1 – 1.5 km dari tempat perkembangbiakan. Perilaku istirahat lalat dewasa biasanya pada di langit-langit, dinding, di dalam kandang hewan, dan juga beberapa vegetasi di luar ruangan (Stafford 2008, Williams 2010, Hadi & Soviana 2010). Insektisida Toksikologi Insektisida Toksisitas insektisida terhadap suatu organisme dinyatakan dalam istilah LD50 (lethal dose), LC50 (lethal concentration) dan LT50 (lethal time). Nilai LD50 menyatakan jumlah racun yang dimasukkan ke dalam tubuh organisme per unit berat organisme yang dapat membunuh 50% populasi percobaan. Satuan dari LD50 dinyatakan dalam mg insektisida per kg berat organisme. Nilai toksisitas insektisida yang dipaparkan pada tubuh organisme dinyatakan dalam LC50 yang merupakan konsentrasi bahan kimia yang dapat membunuh 50% populasi percobaan. Nilai LC50 ini digunakan ketika tidak dapat ditentukan dosis insektisida yang akan digunakan untuk percobaan. Nilai LT50 digunakan untuk menyatakan waktu yang dibutuhkan suatu insektisida untuk membunuh 50% populasi hewan percobaan dengan dosis dan konsentrasi yang telah ditentukan. Metode ini digunakan ketika jumlah hewan percobaan terbatas dan sering digunakan pada pengujian lapangan yang sulit untuk mengumpulkan jumlah serangga yang cukup untuk suatu pengujian insektisida. Pada kasus tertentu digunakan nilai KD50 (knockdown dose) dan KT50 (knockdown time) (Tarumingkeng 1992, Perry et al. 1998). Pengujian Toksisitas Insektisida Beberapa cara untuk melakukan pengujian insektisida pada serangga dan metode yang paling banyak digunakan adalah aplikasi topikal. Metode aplikasi ini merupakan aplikasi bahan racun terhadap serangga uji yang diakukan secara lokal pada permukaan tubuh serangga. Aplikasi ini dilakukan dengan melarutkan insektisida dalam pelarut yang relatif tidak toksik seperti aseton dan kemudian
6 larutan yang dihasilkan diteteskan pada permukaan tubuh serangga. Metode lain yaitu dengan metode injeksi yang menggunakan jarum suntik dari baja tahan karat yang halus. Pada metode injeksi, insektisida dilarutkan dalam propiles glikol atau minyak kacang tanah dan injeksi dilakukan melalui sternum abdomen atau daerah antar segmen dengan menghindari garis tengah longitudinal agar tidak merusak ganglion dan saraf abdomen (intraperitoneal) (Tarumingkeng 1992, Perry et al. 1998). Pengujian insektisida juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode kontak atau residu. Insektisida yang digunakan pada metode ini dilarutkan dalam pelarut yang mudah menguap dan kemudian dimasukkan pada kontainer gelas. Pelarut yang mengandung insektisida tersebut akan menguap dan ditampung dalam kontainer yang diputar-putar sehingga menghasilkan lapisan residu pada dinding dalam gelas. Metode kontak dan residu dapat juga dilakukan dengan menggunakan insektisida yang ditempatkan pada kertas saring atau panel kayu dan dibiarkan mengering sebelum dipaparkan pada serangga percobaan. Deposit residu insektisida tersebut dinyatakan dalam milligram bahan aktif per meter persegi (mg/m2). Nilai LD50 yang diperoleh dari metode kontak biasanya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan metode topikal (Tarumingkeng 1992, Perry et al. 1998). Insektisida Organofosfat Organofosfat atau lebih dikenal sebagai insektisida OP adalah semua insektisida yang mengandung fosfor dalam susunan kimianya. Awal penemuan insektisida ini terjadi pada masa Perang Dunia II dalam rangka penelitian “gas saraf” untuk kepentingan perang. Gas-gas saraf dari golongan OP antara lain sarin, soman dan tabun. Insektisida OP memiliki toksisitas mamalia yang relatif rendah, namun sebagian lainnya memiliki toksisitas yang tinggi terhadap binatang. Oleh karena itu OP merupakan insektisida yang paling beracun terhadap vertebrata dibandingkan insektisida lain. Ciri khas dari insektisida ini yaitu daya knockdown yang cepat, toksisitas terhadap mamalia relatif rendah, toksis terhadap vertebrata, relatif kurang stabil, korosif dan yang paling khas adalah berbau. Organofosfat bekerja dengan menghambat suatu enzim yang sangat penting dalam sistem saraf yang disebut kolinesterase (ChE). Enzim ini menjadi terfosforilasi ketika terikat dengan OP dan ikatan ini bersifat tetap (irreversible). Penghambatan ini menyebabkan akumulasi asetilkolin pada sinaps dan mengakibatkan kejang otot dan akhirnya serangga mengalami paralisis atau lumpuh (Matsumura 1975, Wirawan 2006). Fungsi sistem saraf adalah memediasi komunikasi antara sel saraf dengan sel-sel lain dalam suatu organismee. Komunikasi diawali dengan melepaskan senyawa kimia yang dinamakan neurotransmitter dari pre sinap ke sel-sel saraf. Neurotransmitter berdifusi sepanjang sinap diantara sel-sel pada protein reseptor di dalam membran saraf dan sel-sel pengontak (postsynaptic) dan berikatan pada protein reseptor di dalam membrane sel. Ikatan tersebut menstimulasi perubahan saluran ion dalam membran yang difasilitasi oleh ion-ion spesifik (Na+, K+, Ca2+, dan Cl-) yang mengalir di sepanjang membrane bagian bawah dari gradient konsentrasinya masuk atau keluar dari sel. Gradien konsentrasi ini dapat memicu maupun menghambat tergantung pada perubahan muatan ion di bagian dalam sel.
7 Pada keadaan tidak terdapatnya neurotransmitor muatan di luar sel menjadi negatif. Pemicuan neurotransmitter oleh sel terjadi melalui aliran Na+ dan dilipatgandakan melalui pembukaan tegangan listrik sensitif saluran Na+ disepanjang akson sel-sel saraf. Aliran ini membukakan tegangan listrik sensitif saluran Ca2+ pada ujung sel saraf. Aliran Ca2+ selanjutnya menstimulasi perbedaan neurotransmitter berikutnya menghasilkan kontraksi otot. Penghambatan neurotransmitter pada sel disebabkan oleh aliran ion K+ atau ion Cl- yang menghasilkan suatu sel lebih resisten dalam mendepolarisasi aliran Ca2+ (Foley 2005). Asetilkolin merupakan suatu neurotransmitter yang menstimulasi pembukaan saluran Na+ dan K+. Aetilkolin memberikan sinyal pada sinap yang diakhiri melalui suatu enzim asetilkolinesterase yang berfungsi mengkatalis reaksi hidrolisis asetilkolin menjadi kolin tidak aktif dan asetat. Racun OP pada serangga umumnya terjadi karena proses fosforisasi pada enzim asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat pada sistem saraf. Ketika enzim berikatan dengan OP maka tubuh tidak dapat mengontrol transmisi impuls saraf ke sel otot, sel glandular dan ganglion saraf pusat. Organofosfat akan bekerja dengan cara menghambat enzim AChE, sehingga enzim tidak dapat menghidrolisis ACh. Beberapa juga dapat menyebabkan enzim-emzim yang terdapat pada jaringan menjadi tidak aktif akibat fosforilasi OP sebelum munculnya gejala dan tanda keracunan OP . Insektisida malation merupakan satu diantara anggota dari subkelas Alifatik yang merupakan insektisida OP. Semua alifatik merupakan turunan asam fosforik sederhana dan memiliki rantai karbon yang pendek. Insektisida ini merupakan salah satu insektisida yang paling aman dan dapat diuraikan dalam hati mamalia. Malation merupakan kelompok alifatik yang di Indonesia banyak digunakan sebagai pengendalian kimiawi terhadap nyamuk, lalat dan lipas. Senyawa ini dapat masuk ke tubuh serangga melalui kulit (kontak), sebagai uap dan sebagai racun perut. Malation dapat membunuh serangga dikarenakan di dalam tubuh serangga malation akan diubah menjadi malaokson yang dapat menghambat enzim asetilkolinesterase. Malation mulai digunakan di Indonesia sejak tahun 1972 pada penggunaan metode pengasapan (fogging) (Matsumura 1975, Tarumingkeng 1992, Wirawan 2006). Pengaruh insektisida malation terhadap jangka hidup nyamuk Ae. aegypti betina juga dilaporkan oleh Gunandini (2002). Seleksi malation menyebabkan jangka hidup nyamuk Ae. aegypti betina semakin lambat dan juga dapat memperpendek jangka hidup nyamuk jantan. Selain itu pengaruh malation juga mempengaruhi jumlah telur dan kelompok telur yang dihasilkan selama hidup nyamuk betina Ae. aegypti menjadi lebih sedikit. Peningkatan jumlah telur terjadi pada tahap awal, kemudian pada tahap selanjutnya jumlah telur cenderung menurun. Kasus resistensi pada serangga vektor terhadap insektisida organofosfat telah banyak terjadi di berbagai negara. Di Sri Lanka dilaporkan pada tahun 2000 telah terjadi resistensi pada nyamuk Anopheles culicifacies. Di beberapa wilayah di Afrika dilaporkan adanya kasus resistensi terhadap malation pada Pediculus humanus. Pada tahun 1974 dilaporkan bahwa vektor penyakit onchocerciasis di Afrika yaitu Simulium damnosum telah mengalami resistensi terhadap temefos. Hal ini disebabkan karena insektisida tersebut digunakan sebagai program
8
Gambar 2 Rumus bangun Malathion (NPIC 2001, PAN 2011) pengendalian onchocerciasis dalam jangka waktu yang lama (Hemingway & Ranson 2000). Insektisida Piretroid Insektisida piretroid merupakan jenis insektisida yang paling banyak digunakan dalam pengendalian serangga. Piretroid merupakan racun saraf yang bekerja cepat dan menimbulkan paralisis yang bersifat sementara. Dosis letal piretroid jauh lebih besar dari dosis paralisis. Penamaan piretroid berarti mirip piretrin. Penelitian terhadap sintesa senyawa yang mirip piretrin dimulai sejak tahun 1940-an. Piretroid pertama yaitu aletrin dikembangkan pada tahun 1949 yang proses sintesanya masih sangat komples, karena melibatkan 22 reaksi. Karakteristik piretroid yaitu (a) bekerja cepat pada serangga (knockdown dan flushing), (b) repelen, (c) aplikasi dosis rendah, (d) toksisitas mamalia relatif rendah, (e) tidak berbau, (f) non-residual (untuk generasi pertama), (g) residual jangka panjang, (h) kelarutan dalam air rendah, dan (i) toksik terhadap ikan. Gejala yang khas pada serangga adalah eksitasi berturut-turut, konvulsi, paralisis dan kematian. Efek paralisis yang ditimbukan oleh piretroid sangat cepat, khususnya pada lalat rumah. Pengamatan yang dilakukan terhadap kaki lipas menunjukkan bahwa target utama piretroid adalah ganglion sistem saraf pusat (Matsumura 1975, Tarumingkeng 1992, Wirawan 2006). Berdasarkan pola resistensi silang dan sifat knockdown, piretroid dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu (a) Piretroid Tipe I adalah piretroid yang menyebabkan terjadinya pelepasan berulang (repetitive discharge) impuls saraf,
Cl C CH Cl
O C
CH3 CH3
CN O O
Gambar 3 Rumus bangun Sipermetrin (PAN 2011) Gambar 3. Rumus bangun Sipermetrin
9 memblokir konduksi dan memiliki koefisien suhu negatif, gejala klinis yang ditimbulkan adalah gelisah, gerakan tidak terkoordinasi, hiperaktif dan paralisis, (b) Piretroid Tipe II mempunyai koefisien suhu positif, menyebabkan penghambatan fungsi sistem saraf pusat, namun tidak terjadi pelepasan berulang seperti pada tipe I, gejala klinis yang ditimbulkan yaitu konvulsi, hiperaktif dan kontraksi pada tungkai metatoraks (Matsumura 1975, Tarumingkeng 1992). Sipermetrin merupakan satu diantara senyawa piretroid golongan keempat. Pada periode ini didominasi penemuan bahan aktif fotostabil yang awalnya ditujukan untuk pertanian yang kemudian berkembang untuk digunakan dalam industri PHP. Senyawa ini merupakan racun kontak dan perut yang penggunaannya sangat luas mulai dari pertanian, peternakan dan untuk PHP. Insektisida sangat popular penggunaannya karena efektifitas dan daya residunya baik serta murah. Di Indonesia penggunaan sipermetrin pada PHP mulai dari untuk pengendalian rayap, serangga perusak kayu, nyamuk, lalat dan lipas. Kasus resistensi pada berbagai serangga terhadap insektisida golongan piretroid telah banyak dilaporkan. Pada tahun 1987 dilaporkan telah terjadi resistensi pada lalat rumah kecil (Fannia canicularis) terhadap permetrin dan deltametrin pada berbagai peternakan di California (Georghiou & Meyer 1987). Resistensi terhadap piretroid juga dilaporkan teah terjadi pada nyamuk Anopheles albimanus, An. stephensi dan An. gambiae di Sri Lanka. Selain itu kasus resistensi piretroid pada nyamuk Ae. aegypti dilaporkan telah meluas di seluruh dunia. Resistensi insektisida golongan piretroid pada kutu kepala (Pediculus capitis) juga telah dilaporkan sejak awal tahun 1990 di Israel, dan Prancis. Penggunaan insektisida permetrin telah digunakan sejak tahun 1980 untuk pengendalian kutu di Israel, Kanada Denmark dan Malaysia(Hemingway & Ranson 2000). Resistensi lalat rumah terhadap insektisida golongan piretroid telah dilaporkan terjadi di berbagai negara. Seperti pada hasil penelitian Kaufman et al. (2009) dilaporkan bahwa kasus resistenasi populasi lalat rumah telah menyebar di peternakan di Florida. Insektisida Nikotinoid Senyawa nikotin pertama kali digunakan sebagai insektisida pada tahun 1763, kemudian pada tahun 1828 alkaloid murni dapat diisolasi oleh Posselt dan
Gambar 4 Rumus bangun Tiametoksam (PAN 2011)
10 Reimann, dan berhasil disintesis oleh Pictet dan Rotschy pada tahun 1904. Pada awalnya, kelompok Nikotinoid lebih dikenal sebagai kloronikotinil, karena adanya senyawa kloropiridil di struktur kimianya. Nikotinoid merupakan senyawa yang berasal dari tembakau dan merupakan racun kontak. Nikotinoid bekerja pada sistem saraf pusat serangga yang menyebabkan penghadangan tetap (irreversible) pada reseptor asetilkolin pasca sinaps. Gejala keracunan nikotinoid pada serangga adalah eksitasi, konvulsi, paralisis dan kematian. Efek penghambatan yang bersifat selektif terjadi pada ganglion dan celah sinaptik. Berdasarkan senyawa pembentuknya, neonikotinoid dapat dibagi dalam 3 subkelas, yaitu (1) Nitrometilen yang dianggap sebagai produk perintis neonikotinoid, (2) Kloronikotinil yang dianggap sebagai generasi I nikotinoid, dan (3) Tianikotinil yang merupakan generasi II nikotinoid (Matsumura 1975, Wirawan 2006). Satu diantara kelompok subkelas Tianikotinil yaitu Tiametoksam.Tiametoksam terdapat pada produk umpan lalat yang banyak digunakan di peternakan dan di beberapa negara maju diformulasikan untuk pengendalian rayap tanah. Resistensi Serangga terhadap Insektisida Mekanisme resistensi Resistensi serangga berkembang terhadap setiap golongan insektisida, termasuk insektisida mikroba dan IGR (insect growth regulators). Resistensi serangga vektor terhadap insektisida secara langsung berdampak pada kemunculan kembali (reemergence) penyakit-penyakit yang ditularkan oleh vektor sehingga juga akan berpengaruh terhadap pengendalian penyakit (Brogdon & McAllister 1998). Kasus resistensi serangga pertama kali dilaporkan terjadi pada M. domestica terhadap insektisida DDT pada tahun 1946-1947 di Swedia, Denmark, Italia dan Amerika Serikat. Kejadian tersebut muncul setelah dilakukan penyemprotan residual DDT di daerah tersebut (Brown dan Pal 1971). Hal ini membuktikan bahwa lalat merupakan serangga yang potensial untuk dapat membentuk galur-galur resisten pada populasinya. Mekanisme resistensi insektisida terjadi berdasarkan proses biokimia. Terdapat beberapa mekanisme utama resistensi yaitu (a) Target-site resistance, proses ini terjadi ketika insektisida tidak lagi mengikat target-site dalam tubuh serangga, (b) Detoxification enzyme-based resistance, proses ini terjadi ketika terdapat peningkatan atau modifikasi dari aktivitas enzim esterase, oksidase atau glutathione S-transferase (GST) sehingga mencegah masuknya insektisida ke sel target serangga, (c) Metabolic resistance, pada serangga yang resisten dapat melakukan proses detoksifikasi maupun penghancuran racun lebih cepat dibandingkan pada serangga yang masih rentan terhadap insektisida karena adanya enzim-enzim yang terdapat di dalam tubuh serangga yang resisten, (d) Penetration resistance, resistensi ini terjadi ketika lapisan luar kutikula serangga mengalami perkembangan sehingga terdapat barrier yang dapat menghambat penyerapan bahan kimia ke dalam tubuh serangga, (e) Behavioural resistance, mekanisme ini terjadi karena meningkatnya sensitivitas serangga terhadap
11 insektisida atau karena serangga menghindarkan diri dari tempat yang mendapat paparan insektisida (Brogdon & McAllister 1998, IRAC 2012). Laju perkembangan resistensi tergantung dari beberapa faktor yaitu (1) proporsi dari individu resisten yang terdapat di dalam populasi sebelum dilakukan paparan pestisida, (2) sifat genetik yang menimbulkan resistensi, (3) intensitas pemakaian insektisida, (4) derajat isolasi populasi sekitarnya yang dipaparkan insektisida dan (5) laju reproduksi serangga dan banyaknya generasi yang diturunkan dalam satu periode tertentu (Youdewei & Service 1983). Laju perkembangan resistensi untuk setiap spesies organismee berbeda. Resistensi dapat berkembang sangat cepat pada suatu spesies tapi dapat lebih lambat pada spesies lain. Semakin besar keragaman genetik yang mengatur resistensi, maka semakin cepat pula tercapainya status resistensi. Serangga yang memiliki gen R yang bersifat dominan maka resitensi serangga dapat cepat terjadi dibanding dengan apabila serangga memiliki gen R bersifat resesif (Wood & Mani 1981). Faktor ekologi juga berpengaruh terhadap laju resistensi, seperti tingkah laku isolasi, migrasi dan mobilitas dari individu-individu yang bersifat rentan (WHO 1975). Resistensi dapat bersifat spesifik terhadap insektisida atau terhadap beberapa insektisida yang masih termasuk dalam satu golongan. Selain itu dapat juga bersifat tidak spesifik karena resisten terhadap beberapa insektisida secara umum. Resistensi pada lalat dapat ditentukan oleh beberapa gen resistensi dan kombinasinya di dalam sel (genotip) yang dapat dimodifikasi oleh beberapa faktor bukan genetik seperti umur, jenis kelamin, makanan dan temperatur. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Bong dan Zairi (2010) menunjukkan bahwa tingkat resistensi populasi lalat rumah di Malaysia dapat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban di lingkungan sekitar habitat lalat rumah.
3 METODE Lokasi Penelitian Lokasi pengambilan sampel lalat dewasa M. domestica berasal dari tiga lokasi yang berbeda. Pemilihan lokasi didasarkan dari hasil survei dan wawancara mengenai intensitas kekerapan menggunakan insektisida, yaitu (a) Intensitas penggunaan insektida rendah, diwakili oleh Pasar Bogor, (b) Intensitas penggunaan insektida sedang, diwakili oleh permukiman penduduk di sekitar wilayah Dramaga, (c) Intensitas penggunaan insektida tinggi, diwakili oleh peternakan ayam petelur Km. 46 Kemang Bogor. Kondisi permukiman penduduk yang diambil sebagai tempat pengambilan sampel yaitu permukiman sedang, merupakan kelompok perumahan teratur yang terbentuk dari kumpulan rumah-rumah permanen berkualitas sedang, dengan halaman sempit, serta selokan tidak lancar dan menggenang. Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan sejak bulan Maret sampai Juni 2013. Pengambilan sampel lalat dewasa M. domestica dilakukan dari bulan Maret sampai April 2013, sedangkan uji kerentanan lalat dilakukan pada bulan Mei sampai Juni 2013 di
12 Laboratorium Entomologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK), Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB). Pengadaan Lalat untuk Uji Status Kerentanan Koleksi lalat dewasa Lalat dewasa dikumpulkan dari tiga lokasi, yaitu peternakan ayam, permukiman penduduk, dan pasar. Lokasi pengambilan sampel dilakukan secara acak. Pengambilan lalat di peternakan ayam dan pasar, dilakukan dengan menangkap lalat dewasa di sekitar lokasi dengan menggunakan tangguk serangga (sweeping net) . Masing-masing dari tiap lokasi ditentukan tiga titik pengambilan sampel lalat dewasa. Pengambilan lalat di permukiman penduduk dilakukan dengan memasang umpan lalat berupa nasi yang dicampur dengan ikan di sekitar lokasi. Umpan lalat diletakkan di tiga wilayah RT yang berbeda dan kemudian lalat ditangkap dengan menggunakan tangguk serangga. Lalat dewasa dari ketiga isolat diidentifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi lalat oleh Tumrasvin dan Shinonaga (1977). Lalat M. domestica yang diperoleh dari masing-masing isolat dipelihara untuk digunakan dalam pengujian resistensi. Pemeliharaan dan perbanyakan lalat M. domestica Lalat M. domestica dipelihara di kandang kasa yang berukuran 40x40x60 cm3. Di dalam kandang pemeliharaan lalat, diletakkan media untuk lalat bertelur yang terbuat dari campuran sekam dan pelet ikan dengan perbandingan 1:2, kemudian ke dalam media tersebut ditambahkan air secukupnya. Di dalam kandang kasa juga dimasukkan botol yang berisi air gula 10 % dan susu cair. Setelah larva mencapai stadium larva instar akhir (L3), media tersebut dimasukkan ke dalam wadah yang lebih besar yang berisi dedak dan sekam. Wadah tersebut dimaksudkan sebagai tempat larva yang menyilih menjadi pupa. Larva lalat yang telah menjadi pupa dipindahkan ke kandang kasa yang merupakan kandang lalat dewasa. Lalat dewasa dari masing-masing isolat dipelihara sampai generasi kedua (F2). Lalat generasi F1 dan F2 inilah yang akan digunakan untuk pengujian kerentanan. Metode Uji Kerentanan Uji kerentanan dilakukan dengan uji bioassay dengan menggunakan metode kontak dengan insektisida residual. Insektisida residual yang digunakan yaitu malation (Organofosfat), sipermetrin (Piretroid) dan tiametoksam (Nikotinoid). Kontak antara lalat M. domestica dengan insektisida residual dilakukan di dalam botol kaca bervolume 250 ml (luas permukaan 180 cm2). Metode pengujian kerentanan merupakan metode modifikasi berdasarkan Brogdon & McAllister (1998), Scott et al. (2000) FAO (2004), dan Pitzer et al. (2010). Konsentrasi insektisida malathion, sipermetrin dan tiametoxam yang digunakan untuk uji kerentanan masing-masing sebesar 2.5µl/ml, 2.5µl/ml dan 2,5 mg/ml. Konsentrasi tersebut berdasarkan konsentrasi insektisida yang dianjurkan oleh Depkes (1992) dan konsentrasi pada petunjuk label penggunaan insektisida. Pengenceran larutan insektisida dilakukan dengan menggunakan aceton 0.1%. Ke dalam setiap botol kaca dimasukkan 1 ml larutan insektisida.
13 Agar insektisida menempel rata di seluruh permukaan botol dan tutup botol, maka botol kaca tersebut diputar dan dibalik berulang kali. Botol kaca yang telah dilapisi insektisida kemudian dibiarkan terbuka selama 1 jam. Setelah itu botol ditutup dan didiamkan selama semalam pada suhu ruang dan tidak terkena sinar matahari secara langsung. Sebanyak 20 ekor lalat M. domestica (berumur 3-5 hari) yang berasal dari masing-masing koloni lalat dimasukkan kedalam botol kaca berinsektisida selama masa kontak yang telah ditentukan yaitu 10 menit, 20 menit, 30 menit, 40 menit, 50 menit dan 1 jam. Percobaan ini dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Sebagai kontrol digunakan 20 ekor lalat dari masing-masing koloni yang dimasukkan ke dalam botol yang hanya diberi perlakuan dengan larutan aceton 0.1%. Setelah selesai kontak, lalat dipindahkan ke kandang kasa (25x25x25 cm3) dan dibiarkan selama 24 jam. Di dalam kandang lalat diberi pakan berupa larutan air gula 10 % dan susu cair, serta kandang diletakkan dalam ruangan yang bersuhu 27-30°C dan kelembaban 75-90%. Perhitungan hasil uji kerentanan Jumlah lalat yang mati pada setiap waktu pengamatan dicatat kemudian dari hasil pengamatan tersebut dilakukan analisis dengan menggunakan analisis probit. Jumlah lalat yang dihitung adalah jumlah lalat mati dan lalat hidup. Lalat dinyatakan mati jika lalat tersebut sudah tidak mampu bergerak lagi. Bila pada kelompok lalat pembanding (kontrol) terjadi kematian antara 5% 20% maka data dikoreksi dengan rumus Abbot yaitu:
Pengujian diulang bila kematian pada lalat kontrol lebih besar dari 20%. Analisis data dan Penentuan Status Kerentanan Analisis bivariat dilakukan dengan uji korelasi-regresi pada data waktu kontak dengan mortalitas lalat M. domestica dari masing-masing isolat. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan software SPSS 16.0. Hasil nilai korelasi (r) yang diperoleh kemudian dikategorikan sebagai berikut : r = 0,00 – 0,25; tidak ada hubungan r = 0,26 – 0,50; hubungan sedang r = 0,51 – 0,75; hubungan kuat r = 0,76 – 1,00; hubungan sangat kuat/sempurna Penentuan status kerentanan dilakukan berdasarkan hasil uji Rasio Resistensi (RR) pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Apabila nilai RR < 10 maka populasi tersebut mempunyai tingkat resistensi rendah (rentan), antara 10 – 40 populasi mempunyai tingkat resistensi sedang (toleran), antara 40 - 160 populasi mempunyai tingkat resistensi tinggi, dan RR>160 populasi mempunyai tingkat resistensi sangat tinggi (WHO 1980). Nilai Rasio Resistensi (RR) dapat dihitung menggunakan persamaan berikut ini:
14
Isolat pembanding merupakan isolat lalat yang berasal dari lokasi yang mempunyai tingkat resistensi paling rendah dibanding dengan isolat lalat dari lokasi lainnya.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Keretanan lalat M. domestica terhadap insektisida malation Pada Tabel 1 terlihat bahwa persentase kematian lalat M. domestica isolat peternakan terhadap malation dari hasil pengamatan selama masa kontak 10 hingga 60 menit secara berturut-turut yaitu 1.67%, 3.33%, 5%, 5%, 5% dan 5%. Pada isolat permukiman persentase kematian selama masa kontak 10 hingga 60 menit yaitu 5%, 5%, 8.33%, 8.33%, 8.33% dan 8.33%, serta pada isolat pasar persentase kematian selama masa kontak yaitu 3.33%, 3.33%, 6.67%, 6.67%, 8.33% dan 8.33%. Kematian lalat 24 jam setelah masa kontak pada isolat pasar mempunyai persentase tertinggi (25%) dibandingkan kedua isolat lainnya. Mengacu pada tabel terlihat bahwa Nilai LT50 tertinggi ditemukan pada lalat M. domestica isolat peternakan diikuti oleh isolat permukiman dan pasar dengan nilai 189,05 menit, 172,68 menit dan 149,81 menit. Dari data ini terlihat bahwa nilai RR50 isolat peternakan 1,26 kali dan RR95 sebesar 1,24 kali dibandingkan terhadap isolat pasar yang merupakan isolat dengan RR50 dan RR95 terkecil . Lalat isolat permukiman memiliki nilai RR50 sebesar 1,15 dan RR95 sebesar 1,21 kali dibandingkan isolat pasar. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan nilai RR<10 maka ketiga isolat lalat M. domestica masih rentan terhadap insektisida malation. Tabel 1 Persentase kematian dan status kerentaan lalat M. domestica terhadap malation Waktu kontak (menit) Peternakan 10 1.67 20 3.33 30 5 40 5 50 5 60 5 24 Jam 13.33 LT50 (menit) 189.05 LT95 (menit) 330.42 RR50 (menit) 1.26 RR95 (menit) 1.24 SK Rendah Keterangan : SK: Status Kerentanan
Isolat Permukiman 5 5 8.33 8.33 8.33 8.33 23.33 172.68 321.59 1.15 1.21 Rendah
Pasar 3.33 3.33 6.67 6.67 8.33 8.33 25 149.81 266.75 1 1 Rendah
15 Tabel 2 Analisis regresi kematian lalat M. domestica terhadap malation MALATION ISOLAT Peternakan Permukiman
Pasar
LT50
RR50
r
p-value
Pers. regresi
189,05 172,68 149,81
1,26 1,15 1
0,738 0,649 0,732
0,00 0,00 0,00
Y = 0,214+0,17 X Y= 0,488 + 0,025X Y = 0,226 + 0,27X
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa pengendalian lalat pengganggu di peternakan ayam km. 46 Kemang yang merupakan lokasi pengambilan sampel lalat dewasa dilakukan dengan menggunakan beberapa cara yaitu dengan metode kimia dan perbaikan sanitasi kandang. Pengendalian lalat dengan menggunakan metode kimia sering dilakukan pada saat terjadi peningkatan populasi lalat di peternakan. Namun pengendalian kimia ini tidak dilakukan secara berkala dan terprogram, selain itu insektisida yang digunakan tidak hanya dari golongan tertentu saja. Kemungkinan inilah yang menyebabkan lalat rumah di peternakan tidak memiliki kecenderungan resisten. Lalat M. domestica isolat permukiman juga masih rentan terhadap malation, meskipun malation telah umum digunakan sebagai insektisida untuk pengendalian nyamuk vektor Aedes aegypti. Akan tetapi berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota dan Kabupaten Bogor, sejak tahun 2000 penggunaan malation untuk pengendalian vektor DBD telah diganti oleh insektisida dari golongan piretroid. Resistensi serangga terhadap insektisida organofosfat dapat disebabkan menurunnya sensitifitas tubuh serangga terhadap insektisida yang ditandai dengan adanya mutasi pada struktur gen AChE (Liming T et. al 2006). Pada M. domestica ditemukan empat mutasi fenotip pada AChE (Walsh SB et. al 2001). Mutasi gen 12
Malation
Persen Kematian (%)
10 8
LT50 = 172.68 menit
LT50 = 149.81 menit Peternakan
6
Pasar 4
Permukiman
LT50 = 189.05 menit
2 0 0
10
20
30
40
50
60
Waktu Kontak (menit)
Gambar 5 Nilai LT50 lalat M. domestica terhadap malation pada lokasi dengan intensitas penggunaan insektisida yang berbeda
16 ini sebagai bentuk adaptasi serangga untuk dapat tetap melangsungkan hidup dan mempertahankan generasinya. Teori plastisitas fenotip (Uvarov 1961) menyebutkan bahwa setiap organisme hidup memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri melalui perubahan fisiologis dan kemampuan adaptasi dengan lingkungan yang sifatnya reversible. M. domestica isolat permukiman kemungkinan telah mengalami mutasi gen terhadap insektisida malation pada saat penggunaan insektisida sebelum tahun 2000. Setelah 13 tahun penggantian insektisida malation menjadi insektisida piretroid di permukiman, kemungkinan terjadi plastisitas fenotip dalam tubuh serangga sehingga populasi lalat isolat permukiman sehingga lalat menjadi rentan terhadap malation. Nilai koefisien regresi dari ketiga isolat lalat M. domestica terhadap malation 0,8% yaitu isolat peternakan (r = 0,738), isolat permukiman (r = 0,649), dan isolat pasar (0,739). Hasil ini menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara kematian dan waktu kontak insektisida, sehingga semakin lama waktu kontak lalat terhadap insektisida malation maka semakin tinggi kematian populasi lalat tersebut. Hasil analisis regresi juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kematian lalat M. domestica pada ketiga isolat lalat terhadap insektisida malation (p-value < 0,05). Penelitian ini juga menunjukkan bahwa lalat isolat Pasar Bogor masih rentan terhadap insektisida malation. Hal ini dapat disebabkan karena penggunaan insektisida rumah tangga dengan bahan aktif organofosfat telah banyak diganti dengan menggunakan insektisida dari golongan lain. Pada tahun 1989 penelitian mengenai status kerentanan lalat M. domestica telah dilakukan di kota Bogor dengan metode yang digunakan yaitu topical application. Dari hasil penelitian dilaporkan lalat yang berasal dari Pasar Merdeka diduga telah resisten terhadap insektisida diklorvos dan fenitronin yang juga merupakan insektisida Organofosfat. Peredaran insektisida yang mengandung bahan aktif diklorvos dan fenitronin di Indonesia dimulai sejak tahun 1973, yang kemudian penggunaannya meluas pada saat itu (Kesumawati 1989). Hasil penelitian ini sama seperti penelitian pada populasi M. domestica yang dilakukan pada tahun 2000 di berbagai peternakan di New York, yang juga menunjukkan tingkat resistensi rendah terhadap insektisida organofosfat (dimethoate) (Scott et al. 2000). Di wilayah Juru, Malaysia, pada tahun 2007 penggunaan malation sebagai thermal fogging untuk pengendalian vektor nyamuk diganti oleh insektisida yang termasuk golongan piretroid. Bong dan Zairi (2010) melakukan penelitian mengenai status resistensi lalat rumah di wilayah tersebut yang hasilnya menunjukkan bahwa lalat M. domestica yang berasal dari peternakan di lokasi tersebut mempunyai tingkat resistensi sedang (RR = 23,10 – 13,97), diduga penggantian golongan insektisida inilah yang menyebabkan lalat rumah tidak menjadi resisten. Berbeda dengan data yang diperoleh dari hasil penelitian Nazni et al. (2003) di wilayah Kundang dan Kamerun. Di wilayah tersebut lalat M. domestica telah resisten terhadap malathion. Kasus resistensi ini diperkirakan karena penggunaan insektisida malation juga dilakukan untuk pengendalikan hama pertanian Malation merupakan insektisida golongan organofosfat (OP) yang dikenal sebagai insektida dalam program pengendalian vektor DBD. Penggunaan malation di Indonesia dalam program pengendalian DBD sudah dilakukan sejak tahun 1972 (Suroso, 1992), selain itu malation juga digunakan sebagai insektisida pertanian.
17 Insektisida malation memiliki titik tangkap (target site) yang berbeda dengan insektisida dari golongan piretroid. Malation merupakan insektisida organofosfat yang bekerja dengan menghambat enzim yang sangat penting dalam sistem saraf yang disebut asetilkolinesterase (AChE) (Hemingway & Ranson 2000, Wirawan 2006). Malation dapat membunuh serangga karena malation akan diubah menjadi malaokson yang dapat menghambat enzim asetilkolinesterase. Penghambatan ini menyebabkan akumulasi asetilkolin pada sinaps dan mengakibatkan kejang otot dan akhirnya serangga mengalami paralisis atau lumpuh (Matsumura 1975, Wirawan 2006). Menurut Scott et al. (2000) tingkat resistensi lalat rumah menunjukkan hasil yang berbeda pada setiap daerah, hal ini disebabkan karena tingkat penggunaan insektisida yang berbeda dan faktor lokasi geografi suatu wilayah. Kerentanan lalat M. domestica terhadap insektisida sipermetrin Mengacu pada Tabel 3 persentase kematian lalat M. domestica pada isolat peternakan terhadap sipermetrin 0.8% dari hasil pengamatan selama masa kontak 10 menit hingga 60 menit diperoleh hasil yang sama yaitu 5%. Persentase kematian lalat M. domestica pada isolat permukiman terhadap sipermetrin selama masa kontak 10 menit yaitu 6,67%, kemudian setelah masa kontak 20 menit hingga 60 menit persentase kematian lalat sebesar 10%. Persentase kematian lalat pada isolat pasar selama masa kontak 10 menit hingga 60 menit yaitu 3.33%, 5%, 5%, 8,33%, 10% dan 10%. Persentase tertinggi kematian lalat 24 jam setelah masa kontak terjadi pada isolat pasar (16,67%), dan persentase kematian terendah terdapat pada lalat isolat peternakan (6,67%). Tabel 3 dibawah ini menunjukkan status kerentanan ketiga isolat lalat M. domestica terhadap sipermetrin 0,7%. Nilai LT50 tertinggi ditemukan pada lalat M. domestica isolat peternakan diikuti oleh isolat permukiman dan pasar dengan nilai 310,51 menit, 182,51 menit dan 134,87 menit (gambar 2). Tabel 3 Persentase kematian dan status kerentanan lalat M. domestica terhadap sipermetrin Waktu kontak (menit) Peternakan 10 5 20 5 30 5 40 5 50 5 60 5 24 Jam 6.67 LT50 (menit) 310.51 LT95 (menit) 576.99 RR50 (menit) 2.30 RR95 (menit) 2.40 SK Rendah Keterangan : SK: Status Kerentanan
Isolat Permukiman 6.67 10 10 10 10 10 11.67 182.51 358.81 1.35 1.49 Rendah
Pasar 3.33 5 5 8.33 10 10 16.67 134.87 240.51 1 1 Rendah
18 Tabel 4 Analisis regresi kematian lalat M. domestica terhadap sipermetrin SIPERMETRIN ISOLAT Peternakan Pasar Permukiman
LT50
RR50
r
p-value
Pers. regresi
310,51 182,51 134,87
2,30 1,35 1
0,257 0,736 0,375
0,13 0,00 0,05
Y = 0,536 + 0,11X Y= 0,833 + 0,26X Y = 0,19 + 0,33X
Dari data ini terlihat bahwa lalat isolat peternakan memiliki nilai RR50 2,30 kali dan RR95 sebesar 2,40 kali dari isolat pasar. sedangkan lalat isolat permukiman memiliki nilai RR50 sebesar 1,35 kali dan RR95 sebesar 2,40 kali dibanding isolat pasar. Berdasarkan nilai RR tersebut maka ketiga isolat lalat M. domestica masih rentan terhadap sipermetrin 0,7%. Hasil penelitian ini sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Naseem et. al (2011) tentang status kerentanan lalat M. domestica di wilayah Sargodha, Pakistan. Penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa populasi lalat di wilayah tersebut masih rentan terhadap insektisida λ-cyhalothrin yang merupakan insektisida golongan piretroid, yang ditunjukkan dari nilai LC50 dan LT90 dari insektisida tersebut mempunyai nilai yang rendah namun dapat membunuh sampel lalat uji dalam waktu yang cepat. Di wilayah penelitian tersebut tidak diketahui penggunaan insektisida sebelumnya yang digunakan untuk pengendalian lalat. Nilai koefisien regresi dari ketiga isolat lalat M. domestica terhadap sipermetrin 0,7% yaitu isolat peternakan (r = 0,257), isolat permukiman (r = 0,375), dan isolat pasar (r = 0,736). Hasil ini menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara kematian dan waktu kontak insektisida, sehingga semakin lama waktu kontak lalat terhadap insektisida sipermetrin maka semakin tinggi kematian populasi lalat tersebut. Namun kekuatan korelasi paling kuat hanya pada isolat pasar, sedangkan pada isolat peternakan dan permukiman mempunyai tingkat korelasi sedang. Hasil analisis regresi juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kematian lalat M. domestica pada isolat lalat pasar dan peternakan terhadap insektisida sipermetrin (p-value < 0.05), sedangkan pada isolat lalat permukiman menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kematian lalat terhadap insektisida sipermetrin (p-value > 0.05). Di kota Bogor, penggunaan insektisida piretroid untuk thermal fogging nyamuk Aedes aegypti telah dilakukan sejak tahun 2000. Penggunaan insektisida ini sebagai rotasi insektisida terhadap malation, agar tidak terjadi masalah resistensi terhadap serangga. Dari ketiga isolat lalat yang diteliti, ketiganya tidak menunjukkan keadaan resisten meskipun nilai RR50 maupun RR95 tertinggi dimiliki oleh isolat peternakan. Perkembangan resistensi serangga merupakan suatu proses yang lama, yang memerlukan waktu beberapa tahun dan juga memerlukan beberapa generasi serangga hingga menjadi resisten terhadap suatu insektisida (Radwan 2012). Meskipun demikian RR50 maupun RR95 ketiga isolat M. domestica terhadap sipermetrin ini lebih tinggi dibandingkan nilai RR50 maupun RR95 malation. Sebagaimana diketahui malation telah digunakan sebagai insektisida untuk pengendalian DBD sejak tahun 1972, sedangkan insektisida
19
14
Sipermetrin
Persen Kematian (%)
12 10
LT50 = 182,51 menit
8
LT50 = 134,87 menit
6
Peternakan Pasar
4
Permukiman
LT50 = 310,51 menit
2 0 0
10
20
30
40
50
60
Waktu Kontak (menit)
Gambar 6 Nilai LT50 kematian lalat M. domestica terhadap Sipermetrin pada lokasi dengan intensitas penggunaan insektisida yang berbeda piretroid baru digunakan sejak tahun 2000. Data hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada ketiga isolat M. domestica telah terjadi perkembangan kearah toleran dan resisten terhadap sipermetrin, sehingga patut diwaspadai. Di Indonesia, lalat M. domestica strain Bandung dilaporkan telah resisten terhadap permetrin (Susanti 2010). Peningkatan rasio resistensi pada lalat rumah karena fogging untuk pengendalikan nyamuk Ae. aegypti juga terjadi di wilayah Juru, Malaysia (Bong dan Zairi 2010). Menurut Youdeowei dan Service (1983) derajat isolasi terhadap insektisida menentukan laju resistensi pada populasi serangga. Insektisida piretroid merupakan golongan insektisida yang banyak digunakan dalam pengendalian serangga belakangan ini. Senyawa ini merupakan racun kontak dan perut yang penggunaannya sangat luas mulai dari pertanian, peternakan serta untuk pengendalian hama permukiman (PHP). Piretroid merupakan racun aksonik yang bekerja pada serabut saraf serangga. Piretroid merupakan insektisida yang banyak digunakan di dunia pada beberapa tahun terakhir ini. Banyaknya penggunaan insektisida ini disebabkan karena aman digunakan, harganya yang murah, efektif dan dapat bertahan lama di alam (Hemingway & Ranson 2000, Bulter 2001, Wirawan 2006). Namun, banyaknya kasus resistensi, terutama resistensi insektisida piretroid, telah menjadi masalah di berbagai bidang pertanian dan ekonomi, serta di bidang medis yang menyebabkan munculnya penyakit tular vektor di berbagai tempat di seluruh dunia (Zaim 2002, Bulter 2011). Kasus resistensi lalat M. domestica terhadap piretroid telah banyak dilaporkan. Pada tahun 2000 di peternakan ayam di New York, lalat M. domestica telah resisten terhadap permetrin dan siflutrin, yang ditunjukkan dengan
20 peningkatan nilai LC99 hingga 100 kali dari populasi lalat yang rentan (Scott et al. 2000). Resistensi lalat juga dilaporkan telah terjadi di Turki pada tahun 2004 terhadap sipermetrin, sipenotrin, deltametrin, permetrin dan resmetrin. Pada musim dingin terjadi penurunan tingkat kerentanan lalat di wilayah tersebut, hal ini karena tidak ada penggunaan insektisida saat musim dingin di daerah Turki (Akiner & Caglar 2005). Pada tahun 2009 dilaporkan telah terjadi resistensi lalat rumah terhadap insektisida permetrin dan beta-cyfluthrin pada peternakan sapi Florida, Amerika. Resistensi ini terjadi karena penggunaan insektisida tersebut dalam jangka waktu yang panjang. Penggunaan insektisida yang tinggi dapat menyebabkan dan mempercepat tingginya resistensi, terutama pada daerah yang tidak terdapat individu yang rentan (Kaufmann et al. 2009). Beberapa metode uji kerentanan lalat yang sering digunakan yaitu metode topical application dan metode kontak residual. Pada beberapa kasus ditemukan bahwa metode kontak residu lebih sensitif untuk mendekteksi resistensi pada lalat dengan hasi nilai rasio resistensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode topical application. Seperti pada penelitian status kerentanan lalat di peternakan sapi di daerah tenggara Nebraska pada tahun 2003 ditemukan bahwa hasil nilai RR pada metode topical terhadap insektisida permetrin sebesar 4,9 sedangkan pada metode residual nilai RR sebesar 7,3. Dari hasil penelitian dengan menggunakan dua metode tersebut menunjukkan bahwa populasi lalat pada peternakan sapi mempunyai tingkat resistensi sedang (Marcon et. al 2003). Survei populasi lalat rumah dari berbagai daerah yang berbeda, terutama wilayah yang mempunyai tingkat polusi industri yang tinggi telah dilakukan di Rusia pada tahun 1999. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terjadi cross-resistensi antara penggunaan insektisida piretroid dengan polusi yang ditimbulkan oleh industri di sekitar wilayah tersebut. Polusi dari sektor industri diketahui sangat mempengaruhi fekunditas lalat Musca domestica. Populasi lalat dari wilayah dengan polusi yang tinggi mempunyai laju fekunditas yang rendah (Polyakova 1999). Kerentanan lalat M. domestica terhadap insektisida tiametoksam Berdasarkan Tabel 5 persentase kematian lalat M. domestica pada lokasi peternakan terhadap tiametoksam dari hasil pengamatan selama masa kontak 10 menit hingga 60 menit yaitu 5%, 6,67%, 11,67%, 15%, 18,33%,18,33% dan 20%. Pada lokasi permukiman terhadap tiametoksam 10% dari hasil pengamatan selama masa kontak yaitu 20%, 25%, 26,67%, 26,67%, 26.67% dan 26.67%, dan pada isolat pasar terhadap tiametoksam 10% dari hasil pengamatan selama masa kontak yaitu 0%, 6,67%, 10%, 13,33%, 16,67% dan 21,67%. Persentase tertinggi kematian 24 jam setelah masa kontak terdapat pada isolat pasar (36,67%). Tabel 5 juga menunjukkan status kerentanan lalat M. domestica yang berasal dari tiga isolat (peternakan, permukiman dan pasar) terhadap tiametoksam 0,7%. Nilai LT50 tertinggi ditemukan pada lalat M. domestica isolat peternakan diikuti oleh isolat permukiman dan pasar dengan nilai 97,98 menit, 95,59 menit dan 85,73 menit (gambar 3). Dari data ini terlihat bahwa nilai RR50 isolat peternakan 1,14 kali dibandingkan terhadap isolat pasar, sedangkan lalat isolat permukiman memiliki nilai RR50 yang berarti bernilai 1,12 kali dibanding isolat pasar. Demikian pula untuk RR95 isolat peternakan sebesar 1,23 kali dibanding
21 Tabel 5 Persentase kematian dan status kerentanan lalat M. domestica terhadap tiametoksam Isolat Permukiman 20 25 26.67 26.67 26.67 26.67 28.33 95.59 229.09 1.12 1.55 Rendah
Waktu kontak (menit) Peternakan 10 5 20 6.67 30 11.67 40 15 50 18.33 60 18.33 24 Jam 20 LT50 (menit) 97.98 LT95 (menit) 181.62 RR50 (menit) 1.14 RR95 (menit) 1.23 SK Rendah Keterangan : SK: Status Kerentanan
Pasar 0 6.67 10 13.33 16.67 21.67 36.67 85.73 148.12 1 1 Rendah
isolat pasar, sedangkan untuk isolat permukiman 1,55 kali dibanding isolat pasar. Menurut WHO (1980) nilai RR<10 berada pada status kerentanan rendah. Nilai koefisien regresi dari ketiga isolat lalat M. domestica terhadap tiametoksam 10% yaitu isolat peternakan (r = 0,682), isolat permukiman (r = 0,653), dan isolat pasar (0,828). Hasil ini menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara kematian dan waktu kontak insektisida , sehingga semakin lama waktu kontak lalat terhadap insektisida tiametoksam maka semakin tinggi kematian populasi lalat tersebut. Korelasi hubungan terkuat terdapat pada isolat lalat yang berasal dari pasar. Hasil analisis regresi juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kematian lalat M. domestica pada ketiga isolat lalat terhadap insektisida tiametoksam ( p-value < 0,05) Pengendalian lalat M. domestica di peternakan ayam km. 46 Kemang, Bogor, sudah beberapa kali dilakukan dengan menggunakan insektisida nikotinoid (tiametoksam) yang hasilnya menunjukkan penurunan populasi lalat di tempat tersebut. Pada berbagai negara telah dilaporkan terjadi kasus resistensi lalat M. domestica terhadap insektisida nikotinoid. Pada tahun 2005-2006 dilaporkan bahwa terjadi peningkatan status kerentanan beberapa strain lalat rumah yang dikumpulkan dari berbagai peternakan di Amerika Serikat terhadap insektisida nikotinoid yang diberikan melalui metode umpan. Peningkatan status kerentanan Tabel 6 Analisis regresi kematian lalat M. domestica terhadap tiametoksam TIAMETOKSAM 10% ISOLAT Peternakan Permukiman
Pasar
LT50
RR50
r
p-value
Pers. regresi
97,98 95,59 85,73
1,14 1,12 1
0,682 0,828 0,653
0,00 0,00 0,00
Y = 0,214 + 0,64X Y = 2,298 + 0,68X Y = -0,298 + 0,075X
22 35
Tiametoksam
30 LT50 = 95.59 menit
Persen Kematian (%)
25 20
Peternakan 15
LT50 = 97.98 menit
Pasar Permukiman
10 LT50 = 85.73 menit 5 0 0 -5
10
20
30
40
50
60
Waktu Kontak (menit)
Gambar 7 Nilai LT50 kematian lalat M. domestica terhadap Tiametoksam pada lokasi dengan intensitas penggunaan insektisida yang berbeda tersebut karena kemungkinan penggunaan insektisida nikotinoid (imidacloprid) pada peternakan telah dilakukan sejak tahun 2004 (Kaufman et al. 2006). Lalat M. domestica yang dikumpulkan dari berbagai peternakan di negara bagian Florida telah menunjukkan terjadinya resistensi terhadap insektisida imidacloprid tetapi masih rentan terhadap nithiazine yang diberikan melalui metode umpan (Kaufman et al. 2009). Nilai LT50 ketiga isolat lalat rumah terhadap insektisida tiametoxam merupakan nilai terendah dibanding dengan LT50 pada dua insektisida lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga isolat lalat M. domestica yang digunakan pada penelitian ini masih rentan terhadap insektisida tiametoksam. Di Indonesia insektisida dari golongan nikotinoid belum banyak digunakan dalam program pengendalian serangga vektor, sehingga populasi lalat di ketiga wilayah tersebut belum banyak terpapar oleh insektisida ini. Sampai saat ini belum pernah ada laporan mengenai status kerentanan lalat rumah terhadap insektisida nikotinoid di Indonesia Penelitian mengenai resistensi terhadap insektisida merupakan salah satu strategi untuk dapat mencegah maupun mengurangi perkembangan resistensi pada populasi serangga. Insektisida masih berperan penting dalam pengendalian serangga terutama di berbagai peternakan. Penggunaan insektisida dengan residu yang lama dapat berdampak pada seleksi resistensi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lalat isolat permukiman dan peternakan menunjukkan korelasi sedang antara waktu kontak insektisida dengan kematian lalat. Sehingga terdapat kecenderungan lalat dari kedua isolat tersebut telah toleran terhadap sipermetrin. Hal ini dapat disebabkan karena adanya migrasi atau percampuran populasi lalat dari luar wilayah tersebut sehingga mempengaruhi gen resisten yang terdapat pada populasi lalat di wilayah tersebut (Youdewei & Service 1983). Sedangkan pada insektisida malation dan
23 nikotinoid menunjukkan adanya korelasi kuat antara waktu kontak dengan kematian lalat dari ketiga isolat M. domestica tersebut. Seperti diketahui bahwa penggunaan insektisida rumah tangga sudah banyak dilakukan di masyarakat. Sebuah studi menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di daerah permukiman dengan kategori sedang (kumpulan rumah-rumah permanen berkualitas sedang) di DKI Jakarta mempunyai tingkat penggunaan insektisida rumah tangga yang cukup tinggi, terutama untuk perlindungan diri terhadap vektor nyamuk DBD (Yuliani et al. 2011). Frekuensi penggunaan insektisida rumah tangga ini dapat mempengaruhi tingkat resistensi serangga di sekitar wilayah permukiman. Berdasarkan nilai LT50 dan juga persentase kematian lalat setelah 24 jam diketahui bahwa lalat M. domestica isolat peternakan menunjukkan kecenderungan lebih resisten dibandingkan terhadap kedua isolat lainnya. Penggunaan insektisida untuk pengendalian lalat di peternakan diketahui telah digunakan sejak tahun 2005. Peternakan ayam km. 46 merupakan peternakan yang memiliki produktifitas tinggi dan mempunyai lokasi yang luas. Pada peternakan tersebut, populasi lalat sangat mengganggu, baik pada hasil produksi telur ayam maupun pada kesehatan ayam. Pengendalian lalat pengganggu di peternakan tersebut telah lama dilakukan. Pengendalian tersebut dilakukan dengan beberapa cara yaitu dengan insektisida dan dengan perbaikan sanitasi kandang. Saat terjadi peningkatan populasi lalat pada tahun 2005, pengendalian lalat dilakukan dengan menggunakan insektisida tiametoksam dan juga menggunakan kapur. Kecenderungan terjadinya resistensi lalat M. domestica isolat peternakan diduga disebabkan karena insektisida yang telah digunakan sebelum tahun 2012. Perkembangan resistensi merupakan proses yang lambat yang memerlukan waktu beberapa tahun dan juga memerukan generasi yang mampu bertahan di alam. Perkembangan resistensi serangga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor operasional yaitu 1) penggunaan satu jenis insektisida dan residu insektisida yang mempunyai jangka waktu lama, 2) frekuensi penggunaan insektisida, 3) dosis penggunaan insektisida, 4) proporsi kematian serangga dalam suatu populasi, 5) waktu penggunaan insektisida, 6) insektisida yang digunakan untuk program pengendalian sebelumnya (Cloyd & Cowles 2010). Faktor lain seperti suhu, iklim dan curah hujan juga dapat mempengaruhi mortalitas serangga. Pemahaman tentang mekanisme resistensi pada serangga dan juga pemilihan metode pengendalian yang tepat sangat diperlukan dalam program pengendalian sehingga dapat mencegah terjadinya resistensi pada populasi serangga di suatu wilayah. Mekanisme utama terjadinya peningkatan resistensi insektisida yaitu 1) terjadinya peningkatan metabolisme detoksifikasi insektisida, 2) penurunan sensitifitas titik tangkap serangga, 3) penurunan daya penetrasi pada kutikula serangga. Pada beberapa serangga dapat terjadi ekspresi gen yang berlebihan, amplifikasi dan mutasi struktur gen dalam tubuh serangga juga dapat meningkatkan resistensi insektisida (Liu 2012). Selain itu juga dapat dipengaruhi oleh faktor lain seperti suhu (Dingha et al. 2009), iklim (Nielsen et al. 1999), dan curah hujan (Bossard et al. 1998) yang dapat menyebabkan mortalitas pada serangga.
24
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa status kerentanan ketiga isolat lalat M. domestica masih rendah terhadap malation, sipermetrin dan tiametoksam. Dari ketiga isolat lalat M. domestica terlihat bahwa isolat lalat yang berasal dari peternakan ayam mempunyai kecenderungan lebih toleran terhadap ketiga insektisida dibandingkan kedua isolat lainnya. Ketiga isolat M. domestica cenderung lebih toleran terhadap sipermetrin dibandingkan terhadap kedua insektisida lainnya. Saran Dalam pengendalian lalat rumah M. domestica perlu diperhatikan perkembangan toleransi lalat terhadap insektisida piretroid, karena dalam kurun waktu penggunaan selama 13 tahun sudah menunjukkan kecenderungan kearah toleran. Selain itu perlu dilakukan kegiatan monitoring dan evaluasi penggunaan insektisida dalam pengendalian lalat terutama di wilayah peternakan.
6 DAFTAR PUSTAKA Ahmed S, Zain-ul-abdin, Irfanullah M. 2004. Evaluation of Some Pyrethroids for the Control of House Fly, Musca domestica L. Int. J. Agri. Biol., 6(5): 806-809. Bong LJ, Zairi J. 2010. Temporal Fluctuations of Insecticides Resistance in Musca domestica Linn (dipteral: Muscidae) in Malaysia. Trop. Biomed. 27(2): 317– 325. Bossard R, Hinkle NC, Rust MK. 1998. Review of insecticide resistance in cat flies (Siphonaptera: puhcidae). J. Med. Entmol., 35(4): 415-422. Borror, JT, Soetiyono Partosoedjono (Penerjemah). 1976. Pengenalan Pelajaran Serangga, Edisi Keenam. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Brogdon WG, McAllister JC. 1998. Simplification of Adult Mosquito Bioassays Trough Use of Time-Mortality Determination in Glass Bottles. J. Am. Mosq. Control Assoc., 14(2): 159-164. Brown AWA. 1986. Insecticide Resistance In Arthropods, WHO monogr. Ser. 38 Butler D. 2011. Mosquitoes score in chemical war. Nature 475, 19-20. Cloyd RA, Cowles RS. 2010. Resistance Management : Resistance, Mode of Action, and Pesticide Rotation. Kansas State University, hlm 1-5. www.ksre.ksu.edu [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 1986. Petunjuk Melakukan Macam-macam Uji Entomologi yang Diperlukan untuk Menunjang Operasional Program Pemberantasan Penyakit Ditularkan Serangga Ed. II. 40 hlm . [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 1992. Pedoman Tehnis Pengendalian Lalat. Dit. Jen. PPM dan PLP, Depkes RI. Jakarta
25 Dingha, BN, Appel AG, Vogt JT. 2009. Effects of Temperature on the Metabolic Rates of Insecticide Resistant and Susceptible German Cockroaches, Blattella germanica (L.) (Dictyoptera: Blattellidae). Midsouth Entomologist, 2: 17-27. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2004. Guidelines Resistance Management and Integrated Parasit Control in Ruminants. [internet]. Georghiou GP, Meyer JA.1987. Resistance of the litte house fly to insecticides on poultry fecilities. Calif. Agr., 22-24. Graczyk TK, Knight R, Gilman RH, Cranfield MR. 2001. The role of non-biting flies in the epidemiology of human infectious disease. Microbes. Infect. 3: 231-235. Gunandini, D. J. 2002. Kemampuan Hidup Populasi Alami Nyamuk Aedes aegypti (Linn) yang Diseleksi Malation pada Stadium Larva [Disertasi]. Pascasarjana ITB. Bandung. Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit. Pengenalan, Identifikasi dan Pengendaliannya. Bogor : IPB Press. Hadi UK, Koesharto FX. 2006. Lalat, Dalam: Sigit SH, Hadi U K. 2006. Hama Permukiman Indonesia; Pengenalan, Biologi dan Pengendalian. UKPHP FKH IPB. Bogor Harwood RF, James MT. 1979. Entomology in Human and Animal Health. New York: Macmilan Publishing Co., Inc. Hemingway J, Ranson H. 2000. Insecticide resistance in insect vectors of human disease. Annu. Rev. Entomol. 45: 371-391. Hestiningsih R, Martini, Santoso L. 2003. Potensi Lalat Sinantropik sebagai Vektor Mekanis Gastrointestinal Disease (Kajian Deskriptif dari Aspek Mikrobiologi) [Laporan Penelitian]. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro. Semarang. Hogsette J. 1996. Development of house flies (Diptera: Muscidae) in sand containing varying amounts of manure solids and moisture. J. Econ. Entomol. 89:940–945 Kaufman PE, Scott JG, Rutz DA. 2001. Monitoring Insecticide Resistance in House Flies (Diptera: Muscidae) from New York Dairies. Pest Manag. Sci. 57: 514-521. Kaufman PE, Nunez SC, Mann RS, Geden CJ, Scharf ME. 2009 Nicotinoid and pyrethoid Insecticide Resintance in Houseflies (Diptera: Muscidae) Collected from Florida Dairies. Pest Manag Sci 66: 290-294. Kesumawati U. 1989. Status Kerentanan Musca domestica Linnaeus (Diptera: Muscidae) di daerah Kotamadya Bogor terhadap Empat Macam Insektisida Permukiman [thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Khan HAA, Shad SA, Akram W. 2012. Effect of livestock manures on the firness of house fly, Musca domestica L, (Diptera: Muscidae). Parasitol. Res. 111: 1165-1171. Liming T, Mingan S, Jiangzhong Y, Peijun Z, Chuanxi Z, Zhenhua T. 2006. Resistance pattern and point mutations of insensitive acetylcholinesterase in carbamate-resistance strain of housefly (Musca domestica). Pestic. Biochem. Phys 86: 1-6. Liu N. 2012. Pyrethroids resistance in Insect: Genes, Mechanisms, and Regulation, Dalam Perveen Farzana. 2012. Insecticide-Advances in Integrated Pest Management. Intech: Kroasia. http://www.intechopen.com/books/insecticides-
26 advances-in-integrated-pestmanagement/pyrethroid-resistance-in-insects genes-mechanisms-and-regulation. Matsumura F. 1975. Toxicology of insecticide. Plenum Press. New York and London. hlm 97-100. Marçon PCRG, Thomas DG, Siegfried BD, Campbell JB, Skoda SR. 2003. Resistance status of house flies (diptera: Muscidae) from Southeastern Nebraska Beef Cattle Feedlots to selected insecticides. J. Econ. Entomol. 96(3): 1016-1020. Mian LS, Maag H, Tacal JV. 2002. Isolation of Salmonella from muscoid flies at commercial animal establishments in San Bernadino Country, California. J. Vec. Ecol. 27 (1): 82-85. Myers HM, Tomberlin JK, Lambert BD, Kattes B. 2008. Development of Black Soldier Fly (Diptera: Stratiomyidae) fed dairy manure. Environ. Entomol. 37(1): 11-15. Naseem S, Tahir HM, Yaqoob R, Mustafa R. 2011. Susceptibillity of Musca domestica to λ-cyhalothrin and chlorpyritos in Sargonda district. Biologia (Pakistan), 57 (1&2): 105-110. Nazni WA, Saleena B, Lee HL, Jeffery J, Rogayah T, Sofiaan MA. 2005. Bacteria fauna from the house fly, Musca domestica (L.). Trop. Biomed. 22 (2): 225-231 Nayduch D, Noblet GP, Stutzenberger FJ. 2005. Fate of bacteria, Aeromonas caviae, in the midgut of the house fly, Musca domestica. Invert. Biol. 124 (1): 74-78. Nielsen, M.G., Elmes, G.W. & Kipyatkov, V.E., 1999. Respiratory Q10 varies between populations of two species of Myrmica ants according to the latitude of their sites. J. Insect. Physiol., 45(6): 559-564 Nimsuphan B, Chimnoi W, Boonaue B, Jittapalapong S. 2010. Evaluation of the Efficacy of Deltamethrin against Musca domestica and Alphitobius diaperinus in the Laboratory Trial. Kasetsart Veterinarians 20 (3): 131-137. Nmorsi OPG, Ukwandu NCD, Agbozele GE.2006. Detection of some gastrointestinal parasite from four synanthropic flies in Ekpoma, Nigeria. J. Vect. Borne. Dis. 43: 136-139. NPIC. 2001. Malathion (General Fact Sheet). http://npic.orst.edu/ Patricia LS, Claudio SF. 2008. House Fly (Musca domestica L.) (Diptera: Muscidae) Development in Different Types of Manure. Chilean J. Agric. Res., 68: 192-197. [PAN] Pesticide Action Network. 2011. Thiamethoxam, Identification, toxicity, use, water pollution potensial, ecological toxicity and regulatory information. http://www.pesticideinfo.org/Detail_Chemical.jsp?Rec_Id=PC36879 [PAN] Pesticide Action Network. 2011. Malathion, Identification, toxicity, use, water pollution potensial, ecological toxicity and regulatory information. http://www.pesticideinfo.org Perry AS, Yamamoto L, Ishaya I. 1998. Insecticide in Agriculture and Environment. Springer, Berlin 52-63. Pitzer JB, Kaufman PE, Tenbroeck SH. 2010. Assesing Permethrin Resistance in Stable Fly (Diptera: Muscidae) in Florida by Using Laboratory Selections and Field Evaluations. J. Econ. Entomol. 103 (6): 2258-2263.
27 Polyakova YB. 1999. Response reactions of urban populations of house flies against anthropogenic influence. Proceedings of the 3rd international conference of urban pests. Radwan, E.M.M., 2012. Malathion resistance and acetylcholinesterase enzyme changes in field population of the peach fruit fly, Bactrocera zonata (Saunders). J. Am. Sci., 8(8): 1042-1053. Scott JG, Alefantis TG, Kaufman PE, Rutz DA. 2000. Insecticide Resistance in House Flies from Caged-layer Poultry Facilities. Pest Manag Sci 56: 147-153. Sigit SH. 2006. Masalah Hama Permukiman dan Falsafah Dasar Pengendaliannya, Dalam: Sigit SH, Hadi U K. 2006. Hama Permukiman Indonesia; Pengenalan, Biologi dan Pengendalian. UKPHP FKH IPB. Bogor Srinivasan R dan Almaraj DD. 2003. Efficacy of Insect Parasitoid Dirhinus himalayanus (Hymenopetra: Chalcididae) & Insect Growth Regulator, Triflumuron Against House Fly, Musca domestica (Dipter: Muscidae). Indian J Med Res 118: 158-166. Sukontanson K, Chaiwong T, Tayutivutikul J, Somboon P, Choochote W, Piangjai S, Sukontason KL. 2009. Susceptibility of Musca domestica and Chrysomya megachepala to Permethrin and Deltamethrin in Thailand. Pak. Entomol. 31 (2): 812-814. Stevenson DE, Cocke J. 2002. Integrated Pest Management for Fly Control in Maine Diaries. Texas Agricultural Extension Service 4. Susanti S. 2010. Status Resistensi Beberapa Strain Lalat Rumah Musca domestica (Diptera: Muscidae) Terhadap Insektisida Permetrin dan Propoksur serta Efek Piperonil Butoksida sebagai Sinergis [disertasi]. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung. Tardelli CA, Godoy WAC, Mancera PFA. 2004. Population Dynamics of Musca domestica (Diptera: Muscidae): Experimental and Theoretical Studies at Different Temperatures. Braz. Arch. Biol. Techn. , 47 (5): 775-783. Tarumingkeng RC. 1992. Insektisida Sifat, Mekanisme Kerja dan Dampak Penggunaannya. Jakarta (ID) : Ukrida Press. Tumrasvin W, Shinonaga S. 1977. Studies on Medically Important Flies in Thailand III, Report of species belonging to the genus Musca Linne, Including the taxonomic key (diptera: Muscidae). Bull. Tokyo Med. Dent. Univ. , 24 (3): 209-218. Uvarov BP. 1961. Quantity and Quality in Insects Population. Proc. R. Entomol. Soc. London, Sec. C. 25 (1) : 52-59. Walsh SB. Dolden TA, Moores GD, Kristensen M, Lewis T, Devonshire AL, Williamson MS. 2001. Identification and characterization of mutation in housefly (Musca domestica) acetylcholinesterase involved in insecticide resistance. Biochem. J. 359: 175-181. West LS. 1951. The Housefly, its Natural History, Medical Importance, and Control. New York: Comstock Publishing Company. Whalon ME, Mota-Sanchez D, Hollingworth RM. 2008. Global Pesticide Resistance in Arthropods. CABI: London. www.cabi.org Williams RE. 2010. Veterinary Entomology, Livestock and Companion Animals. Indiana : CRC Press.
28 Wirawan. 2006. Insektisida Permukiman, Dalam: Sigit SH, Hadi U K. 2006. Hama Permukiman Indonesia; Pengenalan, Biologi dan Pengendalian. UKPHP FKH IPB. Bogor [WHO] World Health Organization. 2006. Pesticide and their Application, For the Control Vector and Pests of Public Health Important [internet]. Prof. Dr Ir Nahrowi MSc Tersedia dari: http://whqlibdoc.who.int /hq/2006/WHO_CDS_NTD_WHOPES_GCDPP_2006.1_eng.pdf [WHO] World Health Organization. 1997. Vector control: Methods for use by community, chapter 6: House flies [internet]. Tersedia dari: www.who.int/water_sanitation_health/resources/vector302to323.pdf [WHO] World Health Organization. 1980. Status of resistance in houseflies, Musca domestica [internet]. Wood RJ, Mani GS. 1981. The Effective Dominance of Resistance. Pestic. Sci.12: 157-158 Yuliani TS, Triwidodo H, Mudikdjo K, Panjaitan NK, Manuwoto S. 2011. Perilaku Penggunaan Pestisida: Studi Kasus Pengendalian Hama Permukiman di Permukiman Perkotaan DKI Jakarta. Forum Pascasarjana 34(3): 195-212. Zaim, M., Guillet, P., 2002. Alternative insecticides: an urgent need. Trends Parasitol. 18: 161-163.
29
LAMPIRAN Lampiran 1 Kegiatan Pengambilan Sampel Lalat Dewasa
Pengambilan sampel lalat isolat pasar
Pengambilan sampel lalat isolat permukiman
Pengambilan sampel lalat isolat peternakan
30 Lampiran 2 Kegiatan Uji Bioassay
Memasukkan insektisida ke dalambotol
Penyimpanan botol yang telah dilapisi insektisida selama 24 jam
Memasukkan isolat lalat ke dalam botol berinsektida
Pelumuran insektisida ke dalam botol
Pengambilan isolat lalat untuk uji bioassay
Pengamatan jumlah kematian lalat
31 Lampiran 3 Regresi isolat peternakan terhadap malation 0.8%
Correlations mortalitas isolat peternakan malathion
waktu
25µl/10ml Pearson
mortalitas
Correlation
isolat
peternakan
malathion 25µl/10ml waktu
Sig. (1-tailed)
mortalitas
isolat
peternakan
malathion 25µl/10ml waktu N
mortalitas
isolat
peternakan
malathion 25µl/10ml waktu
1.000
.738
.738
1.000
.
.000
.000
.
21
21
21
21
b
Model Summary
Change Statistics
Std. Error
Model
R
R
Adjusted
of the
Square
R Square
Estimate
R Square
F
Change Change
Sig. F df1
df2
Change
1 .738
a
.544
.520
.32056
.544 22.707
a. Predictors: (Constant), waktu b. Dependent Variable: mortalitas isolat peternakan malathion 25µl/10ml
1
19
.000
32
Lampiran 4 Regresi isolat peternakan terhadap sipermetrin 0.7%
Correlations mortalitas isolat peternakan sipermetrin
waktu
25µl/10ml Pearson
mortalitas
isolat
Correlation
sipermetrin 25µl/10ml
peternakan
waktu Sig. (1-tailed)
mortalitas
isolat
peternakan
sipermetrin 25µl/10ml waktu N
mortalitas
isolat
peternakan
sipermetrin 25µl/10ml waktu
1.000
.257
.257
1.000
.
.130
.130
.
21
21
21
21
b
Model Summary
Change Statistics R Model 1
R .257
Square a
Adjusted R Std. Error of Square
.066
.017
the Estimate .84627
R Square Change .066
a. Predictors: (Constant), waktu b. Dependent Variable: mortalitas isolat peternakan sipermetrin 25µl/10ml
F
Sig. F
Change df1 df2 Change 1.346
1 19
.260
DurbinWatson .501
33
Lampiran 5 Regresi isolat peternakan terhadap tiametoksam 10% Correlations mortalitas isolat perternakan nikotinoid 25mg/100ml Pearson Correlation
mortalitas
isolat
perternakan
nikotinoid 25mg/100ml
1.000
.682
.682
1.000
.
.000
.000
.
21
21
21
21
waktu Sig. (1-tailed)
mortalitas
isolat
perternakan
nikotinoid 25mg/100ml waktu N
mortalitas
isolat
waktu
perternakan
nikotinoid 25mg/100ml waktu
b
Model Summary
Change Statistics
Std. Error R Model
R
1
.682
Adjusted
of the
Square R Square Estimate a
.466
.437
1.44836
R Square
F
Change Change .466 16.548
a. Predictors: (Constant), waktu b. Dependent Variable: mortalitas isolat perternakan nikotinoid 25mg/100ml
df1
df2 1
19
Sig. F
Durbin-
Change
Watson
.001
.363
34 Lampiran 6 Regresi isolat permukiman terhadap malation 0.8% Correlations mortalitas isolat laboratorium malathion 25µl/10ml Pearson Correlation mortalitas
isolat
permukiman
malathion 25µl/10ml waktu Sig. (1-tailed)
mortalitas
isolat
waktu
1.000
.732
.732
1.000
.
.000
.000
.
21
21
21
21
permukiman
malathion 25µl/10ml waktu N
mortalitas
isolat
permukiman
malathion 25µl/10ml waktu
b
Model Summary
Change Statistics
Std. Error R Model 1
R .732
Adjusted
of the
Square R Square Estimate a
.535
.511
.48987
R Square
Change Change .535 21.877
a. Predictors: (Constant), waktu b. Dependent Variable: mortalitas isolat permukiman malathion 25µl/10ml
F df1
df2 1
19
Sig. F
Durbin-
Change
Watson
.000
.905
35 Lampiran 7 Regresi isolat permukiman terhadap sipermetrin 0.7% Correlations mortalitas isolat laboratorium sipermetrin
Pearson Correlation
mortalitas isolat permukiman sipermetrin 25µl/10ml waktu
Sig. (1-tailed)
25µl/10ml
waktu
1.000
.375
.375
1.000
.
.047
.047
.
21
21
21
21
mortalitas isolat permukiman sipermetrin 25µl/10ml waktu
N
mortalitas isolat permukiman sipermetrin 25µl/10ml waktu
b
Model Summary
Change Statistics
Std. Error R Model 1
R .375
Adjusted
of the
Square R Square Estimate a
.141
.095
1.36093
R Square
Change Change .141
a. Predictors: (Constant), waktu b. Dependent Variable: mortalitas isolat permukiman sipermetrin 25µl/10ml
F
3.111
df1
df2 1
19
Sig. F
Durbin-
Change
Watson
.094
.407
36 Lampiran 8 Regresi isolat permukiman terhadap tiametoksam 10% Correlations mortalitas isolat laboratorium nikotinoid Pearson Correlation
mortalitas isolat laboratorium nikotinoid waktu
Sig. (1-tailed)
waktu
1.000
.653
.653
1.000
.
.001
.001
.
21
21
21
21
mortalitas isolat laboratorium nikotinoid waktu
N
mortalitas isolat laboratorium nikotinoid waktu
b
Model Summary
Change Statistics
Std. Error R Model 1
R .653
Adjusted
of the
Square R Square Estimate a
.427
.396
1.65415
R Square
Change Change .427 14.136
a. Predictors: (Constant), waktu b. Dependent Variable: mortalitas isolat laboratorium nikotinoid
F df1
df2 1
19
Sig. F
Durbin-
Change
Watson
.001
.946
37 Lampiran 9 Regresi isolat pasar terhadap malation 0.8% Correlations mortalitas isolat pasar malathion 25µl/10ml Pearson Correlation
mortalitas
isolat
pasar
malathion 25µl/10ml waktu Sig. (1-tailed)
mortalitas
isolat
waktu
1.000
.649
.649
1.000
.
.001
.001
.
21
21
21
21
pasar
malathion 25µl/10ml waktu N
mortalitas
isolat
pasar
malathion 25µl/10ml waktu
b
Model Summary
Change Statistics
Std. Error R Model 1
R .649
Adjusted
of the
Square R Square Estimate a
.421
.391
R Square
Change Change
.67492
.421 13.825
a. Predictors: (Constant), waktu b.
Dependent
Variable:
malathion 25µl/10ml
mortalitas
F
isolat
pasar
df1
df2 1
19
Sig. F
Durbin-
Change
Watson
.001
.447
38 Lampiran 10 Regresi isolat pasar terhadap sipermetrin 0,7% Correlations mortalitas isolat pasar sipermetrin 25µl/10ml Pearson Correlation
mortalitas
isolat
pasar
sipermetrin 25µl/10ml waktu Sig. (1-tailed)
mortalitas
isolat
waktu
1.000
.736
.736
1.000
.
.000
. 000
.
21
21
21
21
pasar
sipermetrin 25µl/10ml waktu N
mortalitas
isolat
pasar
sipermetrin 25µl/10ml waktu
b
Model Summary
Change Statistics
Std. Error R Model 1
R .736
Adjusted
of the
Square R Square Estimate a
.541
.517
R Square
Change Change
.64501
.541 22.434
a. Predictors: (Constant), waktu b.
Dependent
Variable:
sipermetrin 25µl/10ml
mortalitas
F
isolat
pasar
df1
df2 1
19
Sig. F
Durbin-
Change
Watson
.000
1.012
39 Lampiran 11 Regresi isolat pasar terhadap tiametoksam 10% Correlations mortalitas isolat pasar nikotinoid 25mg/100ml Pearson Correlation
mortalitas
isolat
pasar
nikotinoid 25mg/100ml waktu Sig. (1-tailed)
mortalitas
isolat
1.000
.828
.828
1.000
.
.000
.000
.
21
21
21
21
pasar
nikotinoid 25mg/100ml waktu N
mortalitas
isolat
waktu
pasar
nikotinoid 25mg/100ml waktu
b
Model Summary
Change Statistics R
Std. Error
Squar Adjusted Model 1
R .828
e a
.685
of the
R Square Estimate .669
F R Square Chang Change
1.06875
.685 41.366
a. Predictors: (Constant), waktu b.
Dependent
Variable: mortalitas isolat
nikotinoid 25mg/100ml
e
pasar
df1
df2 1
19
Sig. F
Durbin-
Change
Watson
.000
.743
40
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Salatiga pada tanggal 31 Oktober 1989 dari Bapak Kuspono dan Ibu Arwantini. Penulis adalah putra kedua dari dua bersaudara. Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri1 Salatiga dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Universitas Diponegoro melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru dan diterima di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro. Pada tahun 2011 penulis lulus dari program sarjana Universitas Diponegoro dan diterima di Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan pada Program Pascasarjana IPB.