Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Uji Daya Hasil Lanjutan Galur Harapan Padi Rawa Pasang Surut Di Provinsi Jambi Test Results Strain Continued of Rice Tidal Swamp Land in Jambi Province Jumakir1), Supartopo2) dan Endrizal1) 1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi 2)Balai Besar Penelitian Tanaman Padi ABSTRACT
The purpose of the research to get some strains candidate varieties with high yield potential, resistance marinade, look good, medium-early maturity, a major pest resistant, have good quality rice and ready to be released. The research was conducted in the dry season from March to June 2013 in Makmur Jaya Village Betara sub District Tanjung Jabung Barat District of Jambi Province the typology of potential acid sulphate land and water overflow type C. This study used a group randomized design (RBD) with 14 treatments and 4 replications. The 14 treatments consisted of 12 lines and two check varieties, namely: 13135-1 B-MR-2-KA-1, B-2MR 13131-9, 13133-9 B-MR-2, B 13100-2- MR-3-OH-2, B-13134-2 MR-2-KA-83, B 13134-4-MR-1-KA-3-4, B 13134-2-MR-2-KA-1 -2, B 13136-6-MR-2-KA-2-1, B 14144-1-MR-2-KA-2-1, B 13100-1-MR-1-KA-2-2, B 13100 -3-MR-1-KA-2-3, B 13100-3-MR-2-KA-1-3, Inpara 3 and IR 42 results show that rice strains looks pretty good performance and equitable growth. Strains are resistant to major pests and diseases such as blast and brown planthopper and resistant to poisoning Fe and Al. Rice strains that have high yield potential is B 13100-1-MR-1-KA-2-2, B 131003-MR-1-KA-2-3, B 13100-3-MR-2-KA-1-3 respectively 7.3 t/ha, 7.2 t/ha and 7.1 t/ha GKP, whereas check varieties of Inpara 3 (7.0 t/ha GKP) and IR 42 (4.30 t/ha GKP). Keywords: tidal swamp land, rice, and yield potential
ABSTRAK Tujuan penelitian untuk mendapatkan beberapa galur calon varietas yang memiliki potensi hasil tinggi, tahan rendaman, berpenampilan baik, umur genjahsedang, tahan hama penyakit utama, memiliki mutu beras baik dan siap untuk dilepas. Penelitian ini dilaksanakan pada musim kemarau pada bulan Maret sampai Juni 2013 di Desa Makmur Jaya Kecamatan Betara Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi dengan tipologi lahan sulfat masam potensial dan tipe luapan air C. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak kelompok (RAK) dengan 14 perlakuan dan 4 ulangan. Adapun 14 perlakuan tersebut terdiri dari 12 galur dan 2 varietas pembanding yaitu : B 13135-1-MR-2-KA-1, B 13131-9-MR-2, B 13133-9MR-2, B 13100-2-MR-3-KY-2, B 13134-2-MR-2-KA-8-3, B 13134-4-MR-1-KA-34, B 13134-2-MR-2-KA-1-2, B 13136-6-MR-2-KA-2-1, B 14144-1-MR-2-KA-2-1, B 13100-1-MR-1-KA-2-2, B 13100-3-MR-1-KA-2-3, B
267
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
13100-3-MR-2-KA-1-3, Inpara 3 dan IR 42. Hasil pengujian menunjukkan bahwa galur-galur padi terlihat keragaannya cukup baik dan merata pertumbuhannya. Galur-galur tersebut memiliki ketahanan terhadap hama dan penyakit utama seperti wereng coklat dan blast serta tahan terhadap keracunan Fe dan Al. Galur-galur padi yang memiliki potensi hasil tinggi yaitu B 13100-1MR-1-KA-2-2, B 13100-3-MR-1-KA-2-3, B 13100-3-MR-2-KA-1-3 masingmasing 7,3 t/ha, 7,2 t/ha dan 7,1 t/ha GKP sedangkan varietas pembanding Inpara 3 (7,0 t/ha GKP) dan IR 42 (4,30 t/ha GKP). Kata kunci : Lahan rawa pasang surut, padi, dan potensi hasil PENDAHULUAN Lahan pasang surut mempunyai potensi cukup besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian berbasis tanaman pangan dalam menunjang ketahanan pangan nasional. Lahan pasang surut Indonesia cukup luas sekitar 20,1 juta ha dan 9,3 juta diantaranya mempunyai potensi untuk pengembangan tanaman pangan (Ismail et al. 1993). Propinsi Jambi diperkirakan memiliki lahan rawa seluas 684.000 ha, berpotensi untuk pengembangan pertanian 246.481 ha terdiri dari lahan pasang surut 206.832 ha dan lahan non pasang surut (lebak) 40.521 ha (Bappeda, 2000). Beras sebagai salah satu sumber pangan utama penduduk Indonesia dan kebutuhannya terus meningkat karena selain penduduk terus bertambah dengan laju peningkatan sekitar 2% per tahun, juga adanya perubahan pola konsumsi penduduk dari non beras ke beras. Disamping itu terjadinya penciutan lahan sawah irigasi akibat konversi lahan untuk kepentingan non pertanian dan munculnya penomena degradasi kesuburan lahan menyebabkan produktivitas padi sawah irigasi cenderung melandai (Deptan, 2008). Menurut Irawan et al. (2001), dalam kurun waktu sepuluh tahun dari tahun 1989 sampai tahun 1999 telah terjadi alih fungsi lahan sawah seluas 1,6 juta ha, sekitar 1 juta ha diantaranya terjadi di pulau Jawa. Apabila diasumsikan rata-rata produkivitas lahan sawah sebesar 6,0 t/ha GKP, maka kehilangan produksi padi akan mencapai 9,6 juta ton GKP/tahun (Agus et al., 2004). Berkaitan dengan perkiraan terjadinya penurunan produksi tersebut maka perlu diupayakan penanggulanggannya melalui peningkatan intensitas pertanaman dan produktivitas lahan sawah yang ada, pencetakan lahan irigasi baru dan pengembangan lahan potensial lainnya termasuk lahan marginal seperti lahan rawa pasang surut. Pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk pertanian merupakan alternatif yang dapat mengimbangi berkurangnya lahan produktif terutama di pulau Jawa yang beralih fungsi untuk berbagai keperluan pembangunan non pertanian. Menurut Suwarno et al. (2000) bahwa permintaan bahan pangan khususnya beras terus meningkat dari tahun ke tahun sehingga mendorong pemerintah untuk mengembangkan lahan pertanian ke wilayah-wilayah bermasalah diantaranya lahan rawa pasang surut yang tersedia sangat luas, diperkirakan lahan pasang surut dan lahan marginal lainnya yang belum dimanfaatkan akan semakin meningkat perannya dalam pembangunan pertanian di Indonesia
268
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Usahatani di lahan rawa pasang surut umumnya masih mempunyai produktivitas yang rendah, karena kesuburan tanah rendah, kemasaman lahan, adanya lapisan pirit dan gambut serta serangan hama dan penyakit. Kendala agrofisik seperti defisiensi P, keracunan Fe, keracunan Al, intrusi air garam, pH rendah (Widjaja Adhi et al, 1995 dan Alihamsyah T. 2002). Kendala biologis berupa hama penyakit, hama utamanya adalah babi hutan, tikus, orong-orong, penggerek batang, walang sangit, wereng coklat dan lembing batu (Santoso, 1998) sedangkan penyakit yang biasa menyerang adalah blas, bercak coklat, hawar daun bakteri dan busuk pelepah (Mukelar dan Hakam, 1990). Menurut Abdullah et al. (2008), salah satu penyebab rendahnya produksi padi adalah telah tercapainya potensi hasil optimum dari varietas unggul baru (VUB) yang ditanam oleh petani atau terbatasnya kemampuan genetik varietas unggul yang ada untuk berproduksi lebih tinggi (Balitpa, 2003). Selanjutnya Suwarno et al. (2000) bahwa komoditas yang banyak diusahakan petani adalah padi dengan teknik budidaya sederhana dan menggunakan varietas lokal serta pemupukan tidak lengkap dengan takaran rendah. Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi padi adalah mencari dan meyediakan varietas padi yang mampu beradaptasi dengan baik, produksinya tinggi dan disukai petani dan konsumen terutama yang mampu beradaptasi pada lahan pasang surut. Oleh sebab itu perlu dilakukan pengujian beberapa galur/varietas padi dilahan pasang surut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan beberapa galur calon varietas yang memiliki potensi hasil tinggi, tahan rendaman, berpenampilan baik, umur genjah-sedang, tahan hama penyakit utama, memiliki mutu beras baik dan siap untuk dilepas, BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada musim tanam kemarau pada bulan Maret sampai Juni 2013 di Desa Makmur Jaya Kecamatan Betara Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi dengan tipologi lahan sulfat masam potensial dan tipe luapan air C. Bahan yang digunakan adalah benih padi, pupuk urea, SP 36, KCl, kapur/dolomite, herbisida, insektisida dan fungisida. Untuk pengendalian hama/penyakit digunakan insektisida dan fungisida. Alat yang digunakan adalah hand traktor, cangkul, meteran, sprayer, ember, parang, tali rapia, ajir bambu dan jaring. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak kelompok (RAK) dengan 14 perlakuan dan 4 ulangan. Adapun 14 perlakuan tersebut terdiri dari 12 galur dan 2 varietas pembanding yaitu : B 13135-1-MR-2-KA-1, B 13131-9-MR-2, B 13133-9-MR-2, B 13100-2-MR-3-KY-2, B 13134-2-MR-2-KA-8-3, B 13134-4MR-1-KA-3-4, B 13134-2-MR-2-KA-1-2, B 13136-6-MR-2-KA-2-1, B 141441-MR-2-KA-2-1, B 13100-1-MR-1-KA-2-2, B 13100-3-MR-1-KA-2-3, B 13100-3-MR-2-KA-1-3, Inpara 3 dan IR 42. Persiapan lahan dilakukan dengan olah tanah minimum dan penaburan dolomit dengan takaran 1 ton/ha, ukuran plot 4 m x5 m, jarak tanam 25 cm x 25 cm dan penanaman dengan cara ditugal dengan umur bibit 25 hari. Dolomit dan pupuk Urea, SP 36 dan KCL diberikan dengan cara ditabur. Dolomit diberikan 1 minggu sebelum tanam sedangkan pupuk urea, SP 36 dan KCL diberikan 5-7 hari setelah tanam. Pemupukan diberikan dengan dosis 150 kg/ha, 269
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
100 SP36 dan 100 kg/ha KCl. Pemeliharaan meliputi penyulaman, penyiangan, pengendalian hama/penyakit. Parameter yang diamati adalah reaksi terhadap hama/penyakit, keragaan tanaman, tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur panen (80 %), jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, berat 1000 butir dan hasil. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam dan uji DMRT pada taraf 5 %. HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Terhadap Hama dan Penyakit. Berdasarkan hasil pengamatan beberapa galur/varietas padi menunjukkan reaksi terhadap hama/penyakit dan ketahanan terhadap keracunan Fe tertera pada Tabel 1. Hama yang menyerang pertanaman padi pada fase vegetatif adalah orong-orong, putih palsu dan sundep dengan intensitas serangannya rendah. Hama yang muncul pada fase generatif adalah walang sangit, beluk dan tikus. Pengendalian hama walang sangit dilakukan dengan penyemprotan insektisida sedangkan hama tikus dilakukan dengan pengumpanan. Reaksi terhadap hama utama wereng coklat dengan intensitas serangan cukup rendah dan reaksi terhadap penyakit dari beberapa galur/varietas yang diuji menunjukkan agak tahan dan tahan terhadap penyakit blas sedangkan terhadap penyakit helminthosforium, keracunan Fe, Al dan salinitas terlihat galur/varietas yang diuji tahan Ho dan Fe. Hasil penelitian Suhaimi (1996) bahwa sifat toleran Fe pada tanaman padi dikendalikan oleh lebih dari 2 gen. Selanjutnya Suhartini et al. (1996) melaporkan gen aditif, gen dominant dan gen non alletik yang secara bersama-sama mengendalikan sifat toleran keracunan Fe. Sifat Agronomis. Berdasarkan pengamatan dilapangan bahwa keragaan tanaman pada fase vegetatif menunjukkan pertumbuhan baik dan cukup baik serta merata serta sebagian besar galur-galur menunjukkan keragaan yang baik dan merata pertumbuhannya. Pada fase vegetatif dan fase generatif, penampilan tanaman padi menunjukkan keragaan baik dan cukup baik dan merata pertumbuhannya (Tabel 1). Pertumbuhan tanaman padi yang merata dan baik pertumbuhannya adalah : B 13133-9-MR-2, B 13134-2-MR-2-KA-8-3 dan B 13134-4-MR-1-KA-3-4 sedangkan galur-galur lainnya pertumbuhannya cukup baik. Terjadinya perubahan keragaan tanaman disebabkan oleh sifat dari masingmasing galur yang diuji dan faktor lingkungan. Tanggap suatu galur/varietas umumnya beragam bila diuji pada lingkungan yang berbeda, terjadinya interaksi genotipe dengan lingkungan, maka akan dapat merubah kestabilan sifat suatu galur/varietas padi. Dari hasil penelitian Satoto dan Suprihatno (1998), bahwa keragaman sifat tanaman padi ditentukan keragaman lingkungan dan keragaman genotif serta interaksi keduanya. Hasil analisis statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif (Tabel 1), umur panen, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah/malai, berat 1000 butir dan hasil (Tabel 2). Tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif cukup beragam sesuai dengan pertumbuhan dari masing-masing galur/varietas. Tinggi tanaman padi berkisar antara 94,50 cm ( B 13134-2-MR-2-KA-8-3) sampai 110,75 cm (Inpara 3). Jumlah anakan produktif antara 8 (B 13134-2-MR-2-KA-8-3) sampai 20 (IR 42).
270
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Perbedaan tinggi tanaman disebabkan oleh sifat genetik galur tersebut dan jumlah anakan produktif dipengaruhi oleh faktor genetik dan perkembangan tanaman selama stadia vegetatif dan reproduktif. Sifat-sifat agronomis lainnya seperti umur panen. Umur panen antara 118 hari (B 13134-2-MR-2-KA-8-3) sampai 127 hari (B 13100-3-MR-1-KA-2-3 dan Inpara 3). Sedangkan varietas pembanding IR 42 dan Inpara 3 masing-masing 125 hari dan 127 hari. Umur panen dari masing-masing galur yang diuji termasuk galur harapan yang mempunyai umur sedang. Beragamnya umur umur panen galur/varietas padi disebabkan beragamnya pertumbuhan pada fase vegetatif dari masing-masing galur/varietas. Lamanya fase pertumbuhan vegetatif merupakan penyebab perbedaan umur tanaman yang disebabkan oleh faktor genetik dari suatu tanaman (De Datta, 1981).
Tabel 1. Reaksi hama/penyakit dan sifat-sifat agronomis beberapa galur/varietas padi di lahan pasang surut Desa Makmur Jaya Kecamatan Betara Jambi MK 2013. No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Galur/varietas
B 13135-1-MR-2-KA-1 B 13131-9-MR-2 B 13133-9-MR-2 B 13100-2-MR-3-KY-2 B 13134-2-MR-2-KA-8-3 B 13134-4-MR-1-KA-3-4 B 13134-2-MR-2-KA-1-2 B 13136-6-MR-2-KA-2-1 B 14144-1-MR-2-KA-2-1 B 13100-1-MR-1-KA-2-2 B 13100-3-MR-1-KA-2-3 B 13100-3-MR-2-KA-1-3 Inpara 3 IR 42.
Reaksi penyakit H Bl o T AT T T T AT T AT T T T T T T T T AT T T T T T T T AT T T
Keragaan Fe Veg T T T T T T T T T T T T T T
3 3 3 3 3 3 3 3 3-5 3-5 3-5 3-5 3-5 3
Tinggi tan (cm)
Jumlah anakan
Gen 3 3 3-1 3-5 3-1 3-1 3 3 3-5 3-5 3-5 3-5 3-5 3-1
107,75 d 105,25 d 105,00 cd 105,00 cd 94,50 a 101,00 bc 95,00 a 108,75 d 108,00 de 105,75 d 107,00 d 103,25 c 110,75 d 98,25 ab
17 ab 19 b 16 a 17 a 18 b 15 a 17 a 17 a 16 a 18 b 18 b 16 a 16 a 20 bc
Ket : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji DMRT
Keterangan : 1 = sangat baik T = tahan Bl = blas
3 = baik AT = agak tahan Ho = Helminthosforium
5 = cukup baik Fe = besi
Komponen Hasil. Hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap umur panen, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, berat 1000 butir dan hasil (Tabel 2). Jumlah gabah isi/malai terbanyak terdapat pada galur B 13100-1-MR-1-KA-2-2yaitu 145,50 butir sedangkan jumlah gabah isi/malai terendah adalah B 13135-1-MR-2-KA-1yaitu 101,80 butir. Sedangkan jumlah gabah hampa/malai tertinggi yaitu 29,45 butir pada galur B 13136-6-MR-2-KA-2-1 dan jumlah gabah hampa terendah terdapat pada galur B
271
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
13100-1-MR-1-KA-2-2 yaitu 10,25 butir. Galur B 13100-3-MR-2-KA-1-3 memberikan berat 1000 butir tertinggi yaitu 27,50 gr sedangkan berat 1000 butir terendah adalah 23,25 gr (B 13133-9-MR-2 ). Untuk varietas pembanding Inpara 3 dan IR42 masing-masing 25,25 gr dan 23,25 gr. Perbedaan berat 1000 butir disebabkan oleh berbedanya ukuran gabah yang merupakan sifat bawaan dari masing-masing galur/varietas, disamping perbedaan toleransi tanaman terhadap lingkungan. Menurut Vegara (1982), bahwa aktivitas tanaman selama pengisian gabah sangat menentukan bobot gabah. Galur/varietas memberikan hasil yang beragam (Tabel 2). Hasil galur padi berkisar 4,00 t/ha (B 14144-1-MR-2-KA-2-1) sampai 7,20 t/ha ( B 13100-3-MR-1-KA-2-3). Sedangkan varietas pembanding Inpara 3 dan IR 42 adalah 7,00 t/ha dan 4,30 t/ha. Galur-galur yang memiliki potensi hasil tinggi merupakan salah satu sifat yang diperlukan bagi terbentuknya varietas unggul setelah dilakukan beberapa kali pengujian (Suwarno et al. 1992). Tabel 2. Sifat-sifat agronomis dan hasil beberapa galur/varietas padi di lahan pasang surut Desa Makmur Jaya Kecamatan Betara-Jambi MK 2013 No
Galur/ varietas
Umur panen (hari)
Jumlah gabah isi /malai
Jumlah gabah hampa /malai
Berat 1000 butir (gr)
Hasil (t/ha) GKP
1. B 13135-1-MR-2-KA-1 123 b 101,80 a 20,10 c 24,75 a 6,88 c 2. B 13131-9-MR-2 123 b 120,95 b 16,35 b 23,75 a 7,00 c 3. B 13133-9-MR-2 125 b 108,75 a 20,25 c 23,25 a 4,50 a 4. B 13100-2-MR-3-KY-2 124 b 121,30 bc 14,85 ab 23,75 a 4,65 a 5. B 13134-2-MR-2-KA-8-3 118 a 116,50 b 19,30 bc 25,00 a 5,00 ab 6. B 13134-4-MR-1-KA-3-4 126 b 111,65 ab 22,25 c 24,50 a 4,90 a 7. B 13134-2-MR-2-KA-1-2 121 a 114,70 b 27,55 d 25.25 a 5,00 ab 8. B 13136-6-MR-2-KA-2-1 120 a 120,50 b 29,45 d 24,00 a 5,00 ab 9. B 14144-1-MR-2-KA-2-1 118 a 113,95 b 20,50 c 25,75 b 4,00 a 10. B 13100-1-MR-1-KA-2-2 122 a 145,50 d 10,25 a 27,00 b 7,30 c 11. B 13100-3-MR-1-KA-2-3 127 bc 144,20 d 17,80 b 26,50 b 7,20 c 12. B 13100-3-MR-2-KA-1-3 125 b 142,50 d 15,40 b 27,50 bc 7,10 c 13. Inpara 3 127 bc 127,40 cd 18,85 b 25,25 ab 7,00 c 14. IR 42 125 b 142,15 d 13,85 a 23,25 a 4,30 a Ket : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji DMRT
272
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
KESIMPULAN Galur-galur padi yang diuji memiliki ketahanan terhadap hama dan penyakit utama seperti wereng coklat dan blast serta tahan terhadap keracunan Fe dan Al. Galur-galur tersebut yang memiliki potensi hasil tinggi yaitu B 13100-1-MR-1-KA-2-2, B 13100-3-MR-1-KA-2-3, B 13100-3-MR-2-KA-1-3 masing-masing 7,3 t/ha, 7,2 t/ha dan 7,1 t/ha GKP sedangkan varietas pembanding Inpara 3 (7,0 t/ha GKP) dan IR 42 (4,30 t/ha). DAFTAR PUSTAKA Abdullah B, S Tjokrowidjojo dan Sularjo. 2008. Perkembangan dan prospek perakitan padi tipe baru di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Indonesian Agricultural Research and Development Journal. Volume 27, Nomor 1. 2008. Badan Litbang Pertanian. Deptan. Bogor Alihamsyah T. 2002. Optimalisasi pendayagunaan lahan rawa pasang surut. Seminar Nasional optimalisasi Pendayagunaan Sumberdaya Lahan di Cisarua, 6-7 Agustus 2000. Puslitbang Tanah dan Agroklimat Agus E dan Irawan. 2004. Alih guna dan aspek lingkungan sawah, tanah sawah teknologi pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Litbangtan. Deptan. Bogor Bappeda. 2000. Potensi, prospek dan pengembangan usahatani lahan pasang surut. Dalam Seminar Penelitian dan Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut Kuala Tungkal , 27-28 Maret 2000. ISDP-Jambi Deptan. 2008. Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi gogo. Badan Litbang pertanian. Jakarta De Datta SK. 1981. Principles and practices of rice production. John Willey and Sons. New York Irawan B, S Friyanto, A Supriyatno, LS Anugrah, NA Kirom, B Rohman dan B Wiryono. 2001. Perumusan model kelembagaan konversi lahan pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Litbangtan. Deptan. Ismail IG, T Alihamsyah, IPG Widjaja Adhi, Suwarno, T Herawati, R Taher dan DE Sianturi. 1993. Sewindu penelitian pertanian di lahan rawa (19851993) Kontribusi dan prospek pengembangan. Swamps II. Badan Litbang Pertanian. Jakarta Mukelar A dan S. Hakam. 1990. Penyakit tanaman pangan dan pengendaliannya di lahan pasang surut. Puslitbangtan. Bogor Santoso T. 1998. Permasalahan dan strategi pengendaliaan organisme pengganggu tanaman (OPT) pertanian lahan rawa. ISDP. Puslitbangtan. Bogor Satoto dan B Suprihatno. 1998. Heterosis dan stabilitas hasil hibrida-hibrida padi turunan galur mandul jantan IR62829A dan IR58025A. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan. Vol 17. No 1. 1998. Puslitbangtan. Badan Litbangtan. Bogor Suhartini T, Suwarno dan Syafarudin. 1996. Pendugaan parameter genetik toleran keracunan Fe pada padi sawah melalui analisis dialel. Dalam Jurnal Pemuliaan Indonesia Vol 7 No 1. Puslitbangtan. Bogor Suwarno, T Alihamsyah dan IG Ismail. 2000. Optimasi pemanfaatan lahan pasang surut dengan penerapan teknologi sistem usahatani terpadu. Seminar 273
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Nasional Peneliian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27 Juli 2000. Buku I. PusLitbangtan. Badan litbangtan. Widjaya Adhi, IPG. 1995. Pengelolaan tanah dan air dalam pengembangan sumberdaya lahan rawa untuk usahatani berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Makalah Pada Pelatihan Calon Pelatih untuk Pengembangan Pertanian di Daerah Pasang Surut, 26-30 Juni. Karang Agung. Sumatera Selatan
274
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Uji Adaptasi Varietas Unggul Baru Padi di Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah Adaptability Evaluation of Improved Rice Varieties in Morowali, Central Sulawesi I Ketut Suwitra1, Darmayanto L2., Ruslan Boy1, Johannes Amirullah3 1) Balai 2)
Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah Balai Pengawasan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan 3) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Jl. Lasoso Nomor 62 Biromaru e-mail :
[email protected] ABSTRACT The use of adaptably superior variety was one prime component to boost rice production and productivity. The Indonesian Agency of Agricultural Research and Development (IAARD) through Indonesian Centre Research of Rice has developed high yielded rice varities for wide range of agro ecosystems since 2007. The experiment was carried out to evaluate adaptation capability of these new varieties at the specific agroecosystem at Korowalelo, Lembo, Morowali, the province of Central Sulawesi from October 2012 to Januari 2013. A non factorial Randomized Completely Blocked Design (RCBD) was used to accomplish the evaluation trial of 4 varieties, i.e. Inpari 13, Inpari 14, Inpari 15 and Inpari Sidenuk with cv. Ciliwung as the control. The results showed that Inpari Sidenuk has the tallest plant and highest filled grain per panicle, while Inpari showed the highest maximum and productive tillers compared to other tested varieties. However, faster reproductive stage was showed by Inpari 13 and the highest yield of dried grain was produced Inpari 14. Keywords : Adaptability evaluation, Improved varieties, Rice ABSTRAK Penggunaan varietas unggul baru yang cocok dan adaptif merupakan salah satu komponen teknologi yang nyata pengaruhnya terhadap peningkatan produksi padi nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui Balai Besar Tanaman Padi sejak Tahun 2007 hingga 2013 telah melepas berbagai varietas unggul baru padi spesifik lokasi untuk berbagai agroekosistem. Oleh sebab itu kajian ini bertujuan untuk mengetahui adaptasi berbagai varietas unggul baru terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi. Kajian dilaksanakan di lahan milik petani Desa Korowalelo Kecamatan Lembo Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah, pada MT I Bulan Oktober 2012 hingga Januari 2013. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) empat varietas unggul baru yang diujikan adalah Inpari 13, Inpari 14, Inpari 15 dan Inpari Sidenuk, sedangkan varietas Ciliwung sebagai pembanding. Luas lahan yang digunakan pada masing-masing perlakuan ¼ ha yang diulang sebanyak 4
275
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
kali. Peubah yang diamati adalah : tinggi tanaman, jumlah anakan maksimum, jumlah anakan produktif, umur tanaman berbunga, umur panen, jumlah bulir per malai, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai dan hasil ubinan. Hasil kajian menunjukkan bahwa Inpari Sidenuk memiliki penampilan tinggi tanaman dan jumlah gabah berisi per malai tertinggi (91,72 cm dan 102,30 butir) dibadingkan varietas lainnya. Inpari 15 memiliki jumlah anakan maksimum dan anakan produktif tertinggi sebanyak 29,63 rumpun dan 29,10 rumpun. Varietas Inpari 13 memiliki fase umur berbunga yang lebih cepat dibandingkan varietas lainnya (85 hari). Sedangkan hasil ubinan tertinggi ditunjukkan oleh varietas Inpari 14 sebanyak 9,1 ton gabah kering panen/ha dibandingkan varietas lainnya. Kata Kunci : Adaptasi, Varietas Unggul Baru dan Padi PENDAHULUAN Pertanian Indonesia dewasa ini dihadapkan pada tantangan peningkatan produksi, stabilitas ketahanan pangan dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya, ramah lingkungan dan berkelanjutan. Perubahan iklim global juga menjadi ancaman bagi upaya peningkatan produksi pangan, khususnya padi. Ancaman kekeringan dimusim kemarau dan kebanjiran di musim hujan sudah semakin sering melanda pertanaman petani. Anggoro (2012) melaporkan bahwa pada Tahun 2011 sub sektor tanaman pangan menargetkan produksi padi sebanyak 70,60 juta ton GKG, jagung 22 juta ton pipilan kering dan kedelai sebanyak 1,56 juta ton. Ditambah lagi lima tahun kedepan kita dituntut surplus beras sebanyak 10 juta ton (Suswono, 2012). Disisi lain, tantangan yang dihadapi dalam pengadaan produksi padi semakin berat. Laju pertumbuhan penduduk dan tingkat konsumsi beras yang relatif masih tinggi menuntut peningkatan produksi yang berkesinambungan, sementara sebagian lahan sawah yang subur telah beralih fungsi untuk usaha lainnya. Dari masalah tersebut di atas, salah satu solusinya adalah menggunakan varietas yang sesuai dengan kondisi lokasi dan alam setempat. Penggunaan varietas unggul yang cocok dan adaptif merupakan salah satu komponen teknologi yang nyata kontribusinya terhadap peningkatan produktivitas. Pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) diharapkan menjadi salah satu pilar Revolusi Hijau Lestari dalam memacu produksi padi di masa yang akan datang. Melalui model ini, varietas unggul yang dikembangkan mampu berproduksi sesuai dengan potensi genetiknya. Sulawesi Tengah dikenal sebagai daerah potensial produksi padi di Indonesia. Bahkan propinsi ini menempati peringkat kedua setelah Sulawesi Selatan. Kontribusi terhadap pengadaan pangan nasional tahun 2010 baru mencapai 1,50 persen (Syamsyah et al., 2013). Namun pada tahun 2009 produksi padi di Sulawesi Tengah mengalami penurunan sebesar 3,8 persen, ketidak sesuaian kondisi biofisik dan iklim menjadi salah satu faktor pembatas dalam peningkatan produktivitas. Sebagai contoh padi rawa dikembangkan di wilayah yang memiliki ketersediaan air yang sedikit dan sebaliknya. Padahal, Badan Litbang Pertanian telah banyak menghasilkan varietas-varietas, diantaranya varietas padi lahan rawa (Inpara), Inbrida padi irigasi (Inpari) dan Inbrida padi
276
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
gogo (Inpago) namun penyebarannya dirasakan sangat lambat. Untuk itu diperlukan upaya percepatan diseminasi agar penyebarannya sampai ke pengguna. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah display varietas. Tujuannya kegiatan ini adalah untuk mengetahui adaptasi berbagai varietas unggul baru terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi yang sesuai dengan agroekosistem setempat. METODE Kajian ini dilaksanakan di lahan milik petani Desa Korowalelo Kecamatan Lembo Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah, pada MT I Bulan Oktober 2012 hingga Januari 2013. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) empat varietas unggul baru yang diujikan adalah Inpari 13, Inpari 14, Inpari 15 dan Inpari Sidenuk, sedangkan varietas Ciliwung sebagai pembanding. Luas lahan yang digunakan pada masing-masing perlakuan ¼ ha yang diulang sebanyak 4 kali, menggunakan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah dengan rekomendasi seperti pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Paket Teknologi dan Rekomendasi PTT Padi Sawah di Desa Korowalelo, Tahun 2012 No. Paket Teknologi Rekomendasi 1. Benih a. Jumlah 25 kg/ha b. Varietas Inpari 13, Inpari 14, Inpari 15, Inpari Sidenuk dan Ciliwung 2. Pemupukan 22. Phonska 200 kg/ha 23. Urea 200 kg/ha 3. Pengolahan tanah Olah tanah sempurna (dibajak, digaru dan pelumpuran) 4. Cara tanam Tapin 5. Umur bibit 15 hari setelah semai (hss) 6. Jarak tanam 10x20x40 cm, sistem tanam jajar legowo 2:1 7. Pemeliharaan 24. Penyulaman 7 hari setelah tanam (hst) 25. Waktu pemupukan *Phonska 3 hst *Urea 30 hst 26. Penyiangan 10 hst 27. Pengendalian HPT Berdasarkan Konsep PHT Peubah yang diamati adalah : tinggi tanaman, jumlah anakan maksimum, jumlah anakan produktif, umur tanaman berbunga, umur panen, jumlah bulir per malai, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai dan hasil ubinan. Data teknis yang diamati dianalisis sidik ragam, bila terdapat pengaruh yang nyata terhadap masing-masing perlakuan dianalisis dengan uji lanjut LSD taraf 5% selanjutnya dianalisis secara deskriptif.
277
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
HASIL Komponen Pertumbuhan Tanaman Padi. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa kelima varietas yang diujikan memiliki pengaruh yang nyata terhadap penampilan tinggi tanaman. Inpari Sidenuk memiliki penampilan tinggi tanaman yang lebih tinggi dari keempat varietas lainnya berbeda nyata terhadap varietas Inpari 13 dan Inpari 14. Sedangkan terhadap penampilan jumlah anakan maksimum dan anakan produktif pada kelima varietas yang diujikan tidak berpengaruh nyata, namun jumlah anakan maksimum dan produktif tertinggi ditunjukkan oleh varietas Inpari 15. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah anakan maksimum dan jumlah anakan produktif dapat di lihat pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Rerata Tinggi Tanaman, Jumlah Anakan Maksimum, Jumlah Anakan Produktif Pada masing-masing perlakuan Komponen Pertumbuhan Tinggi Tanaman Jumlah anakan Jumlah anakan Produktif Perlakuan (cm) Maksimum (rumpun) (rumpun) Inpari 13 79.48c 27.37a 27.32a Inpari 14 84.97b 29.53a 28.40a Inpari 15 90.97a 29.63a 29.10a Inpari Sidenuk 91.25a 28.83a 27.77a Ciliwung 87.69ab 29.33a 27.93a CV 2.32% 7.69% 6.32%
Catatan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut LSD 5%.
Tabel 2 menginterprestasikan bahwa penampilan tinggi tanaman, jumlah anakan maksimum dan jumlah anakan produktif pada masing-masing varietas unggul baru yang diujikan, mampu menyaingi penampilan varietas Ciliwung yang telah adaptif di wilayah kajian. Rata-rata umur berbunga dan umur panen pada masing-masing varietas yang diujikan dapat di lihat pada Tabel 3 berikut ini.
278
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 3. Rerata Umur Berbunga dan Umur Panen pada Masing-masing Perlakuan Perlakuan Umur Berbunga Umur Panen (Hari) (Hari) Inpari 13 85 114 Inpari 14 109 122 Inpari 15 109 123 Inpari Sidenuk 109 123 Ciliwung 122 138 Tabel 3 mengindikasikan bahwa keempat varietas unggul yang diujikan memiliki umur berbunga dan panen yang lebih genjah dibandingkan varietas Ciliwung. Umur panen yang paling genjah ditunjukkan oleh varietas Inpari 13. Komponen Hasil dan Poduktivitas Tanaman Padi. Hasil analisis keragaman pada msing-masing perlakuan menunjukkan adanya pengaruh yang nyata terhadap penampilan komponen hasil jumlah gabah isi, gabah hampa dan produktivitas pada tanaman padi. Rata-rata jumlah gabah isi, gabah hampa dan hasil ubinan dapat di lihat pada Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Rerata Jumlah Gabah Isi, Jumlah Gabah Hampa dan Hasil Ubinan pada Masing-masing Perlakuan Komponen Hasil Perlakuan Jumlah gabah isi Jumlah gabah hampa Hasil ubinan (ton per malai (butir) per malai (butir) GKP/ha) Inpari 13 94.13b 48.87abc 7.81b Inpari 14 75.07c 40.83bc 9.13a Inpari 15 90.37b 58.33a 8.27ab Inpari Sidenuk 102.30a 39.43c 8.75ab Ciliwung 95.87ab 56.97ab 8.44ab CV 4.82% 17.80% 11.28
Catatan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut LSD 5%.
Tabel 4 menginterprestasikan bahwa penampilan varietas Inpari Sidenuk memiliki jumlah gabah isi yang tertinggi, berbeda nyata terhadap varietas unggul baru lainnya dan memiliki jumlah gabah hampa yang terendah dibandingkan keempat varietas lainnya. Sedangkan produktivitas tertinggi ditunjukkan oleh varietas Inpari 14 berbeda nyata terhadap Inpari 13, namun tidak berbeda nyata terhadap varietas lainnya. Karakteristik masing-masing varietas dapat di lihat pada Tabel 5 berikut ini.
279
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 5. Karakteristik beberapa varietas uggul baru Karakteristik Inpari 13 Inpari 14 Umur ±99 hari 113 hari tanaman Bentuk Tegak Tegak tanaman Tinggi ±102 cm 103 cm tanaman Daun bendera Tegak Tegak Bentuk gabah Panjang Ramping ramping Warnah gabah Kuning bersih Kuning bersih Kerontokan Sedang Sedang Kerebahan Sedang Tahan Tekstur nasi Pulen Pulen Kadar amilosa 22,40 % 22,5% Rata –rata 6,6 t/ha GKG 6,6 t/ha GKG hasil Potensi hasil 8,0 t/ha GKG 8,2 t/ha GKG Anjuran Dataran Dataran rendah tanam rendah sampai sampai ketinggian ketinggian 600 600 m dpl m dpl
Inpari 15 ± 117 hari
Inpari Sidenuk ± 104 hari
Tegak
Tegak
± 105 cm
±102
Tegak Ramping
Tegak Ramping
Kuning bersih Sedang Tahan Pulen 20,7 % 6,1 t/ha GKG
Kuning bersih Mudah Tahan Pulen 21,1 % 6,4 t/ha GKG
7,5 t/ha GKG Dataran rendah sampai ketinggian 600 m dpl
8,8 t/ha GKG Dataran rendah sampai ketinggian 600 m dpl
Sumber : Deskripsi Varietas Unggul Baru, Badan Litbang Pertanian, Tahun 2013
PEMBAHASAN Pertumbuhan tanaman padi terbagi atas tiga bagian yakni fase pertumbuhan vegetatif, fase pertumbuhan generatif dan fase pemasakan (Yosida, 1981). Komponen pertumbuhan yang ditampilkan oleh masing-masing varietas unggul baru, khususnya terhadap jumlah anakan maksimum dan anakan produktif tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap varietas Ciliwung yang telah adaptif di wilayah kajian, bahkan varietas Inpari Sidenuk memiliki penampilan tinggi tanaman yang lebih baik. Pertambahan tinggi merupakan salah satu ciri proses pertumbuhan tanaman padi, walaupun tinggi tanaman tidak berpengaruh langsung terhadap produktivitas. Pertambahan tinggi tanaman secara normal yang sejalan dengan pertambahan umur tanaman dapat menjadi indikator terhadap pertumbuhan yang normal khususnya tingkat efisiensi fotosintesa (Manurung dan Ismunadji, 1988). Hasil kajian menunjukkan bahwa keempat varietas unggul baru tersebut telah mampu beradaptasi dengan baik di wilayah kajian. Suwitra dan Maskar, (2006) melaporkan bahwa kemampuan beradaptasi suatu varietas sangat dipengaruhi oleh kesesuaian iklim setempat. Genjahnya umur berbunga dan panen pada varietas Inpari 13 membawa dampak terhadap kehilangan hasil yang disebabkan oleh serangan burung hingga 7% . Rata-rata umur panen pada varietas unggul baru lebih lambat dari yang tertera dalam deskripsi padi, hal ini diduga karena keterlambatan terbentuknya anakan pada tanaman padi akibat sering terendamnya tanaman pada musim
280
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
penghujan (MH). Namun keempat varietas unggul baru ini jauh lebih genjah dari varietas Ciliwung yang telah terbiasa dikembangkan oleh para petani setempat. De Datta (1981) melaporkan bahwa fase pertumbuhan vegetatif menyebabkan terjadinya perbedaan umur panen, sedangkan fase generatif dan pemasakan tidak dipengaruhi oleh varietas dan lingkungan. Tampilan dari masing-masing varietas unggul baru terhadap komponen hasil khususnya jumlah gabah isi dan jumlah gabah hampa, mampu menyaingi varietas Ciliwung bahkan Inpari Sidenuk memiliki jumlah gabah isi yang lebih tinggi. Namun produktivitas tertinggi ditunjukkan oleh varietas Inpari 14 lebih tinggi dari varietas lainnya. Hal ini diduga karena vaietas unggul baru ini memiliki potensi hasil yang memang lebih tinggi dari varietas Ciliwung. Abdullah, (2008) menyebutkan bahwa potensi hasil suatu tanaman padi sangat ditentukan oleh komponen hasil yaitu : jumlah anakan produktif, gabah per malai, persentase gabah isi dan bobot gabah bernas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa varietas unggul baru Inpari Sidenuk dan Inpari 14 sangat cocok untuk dikembangkan di wilayah kajian. KESIMPULAN Kesimpulan 1. Varietas Inpari 14 dan Inpari Sidenuk sangat adaptif di wilayah kajian dengan produktivitas 9,13 ton gabah kering panen/ha dan 8,75 ton gabah kering panen/ha 2. Varietas unggul baru (Inpari 13, Inpari 14, Inpari 15 dan Inpari Sidenuk) mampu menyaingi pertumbuhan dan hasil varietas Ciliwung yang telah adaptif di wilayah kajian. Saran Direkomendasikan varietas unggul baru Inpari 14 dan Inpari Sidenuk untuk dikembangkan di Kecamatan Lembo Kabupaten Morowali. DAFTAR PUSTAKA Abdullah B., 2008. Perakitan dan Pengembangan Varietas Padi Tipe Baru. Inovasi Teknologi Padi. Buku 2. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal 67- 89 Anggoro U. Kasih, 2012. Sambutan Direktorat Jendral Tanaman Pangan. Melalui http://katam.info/main.aspx diakses Tanggal 06/09/2012. Badan Litbang Pertanian. 2013. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Inbrida Padi Sawah, Inbrida Padi Gogo, Inbrida Padi Rawa dan Hibrida Padi. Kementerian Pertanian De Datta, S. K. 1981. Principle and Practices of Rice Production. John Wiley and Sons Inc. New York. 148p. Manurung, S.O dan M. Ismuadji, 1998. Morfologi dan Fisiologi Padi. In Padi (Buku 1) eds. M. Ismunadji, Soetjipto Partoharjono, Mahyuddin Syam dan
281
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Adi Widjono. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Hal 55-102 Suswono, 2012. Sambutan Menteri Pertanian Indonesia. Melalui http://katam.info/main.aspx diakses Tanggal 06/09/2012 Suwitra IK. Dan Maskar. 2006. Penampilan Varietas Unggul Padi Sawah di Kecamatan Sojol, Kabupaten Donggla. Prosiding Seminar Nasional. Pengembangan Usaha Agribisnis Industrial Pedesaan. Badan Litbang Pertanian. ISBN 978-979-985-77-1-2. Hal 251-255 Syamsyah G., Herawati, Saidah, Caya dan Soeharsono. 2013. Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (m-P3MI) di Sulawesi Tengah. Laporan Akhir Tahun. BPTP Sulawesi Tengah. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Yosida, S. 1981. Fundamentals of rice crop science. International Rice Research Institute, Los Banos, Fhilippina. 269 hal
282
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Perubahan Morfologi Bibit Rosella (Hibiscus sabdariffa L) dengan Pemberian Pupuk Kandang pada Tanah Ultisol Morphological Changes in Roselle’s Breeding (Hibiscus sabdariffa L) With The Provision of Manure on Ultisol Soil Gribaldi* dan Nurlaili Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Baturaja, Jl. Ratu Penghulu No. 02301 Karang Sari Baturaja 32115, Sumatera Selatan. *) Penulis untuk korespondensi: Hp./Faks. 08127133718/(0735) 321822 email:
[email protected].
ABSTRACT Roeselle plant (Hibiscus sabdariffa L.) are now widely cultivated, so that the need of roselle’s seed are increasing. Growing media largely determines the growth of seedlings, the use of Ultisol soil as growing media showed lower seedling growth. The efforts to overcome this can be done with the addition of manure. This study aims to determine the morphological changes of roselle seeds with the provision of manure on Ultisol soil in Polybag. This study used a completely nonfactorial randomized design with four treatments and five replications. The treatment under study consists of: P0 = without manure, P1 = cow manure, P2 = goat manure, and P3 = chicken manure. The result of this study showed the provision of manure on the planting medium affects the growth of roselle seeds in Polybag. The best seedling growth was obtained in growing media with the provision of chicken manure. Keywords: Manure, roselle and ultisol soil Abstrak Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa L) saat ini sudah banyak dibudidayakan, sehingga kebutuhan akan bibit rosella semakin meningkat. Media tanam sangat menentukan pertumbuhan bibit, pemanfaatan tanah ultisol sebagai media tanam menunjukkan pertumbuhan bibit yang rendah. Upaya untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan dengan penambahan pupuk kandang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan morfologi bibit rosella dengan pemberian pupuk kandang pada tanah ultisol di polybag. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap nonfaktorial dengan empat perlakuan dan lima ulangan. Perlakuan yang diteliti terdiri atas: P0 = tanpa pupuk kandang, P1 = pupuk kandang sapi, P2 = kandang kambing, dan P3 = pupuk kandang ayam. Hasil penelitian menunjukkan pemberian pupuk kandang pada media tanam berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit rosella di polybag. Pertumbuhan bibit terbaik diperoleh pada media tanam yang diberi pupuk kandang ayam. Kata kunci: Pupuk kandang,rosella, dan tanah ultisol
283
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PENDAHULUAN Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa L) selain mempunyai nilai ekonomis juga dapat bermanfaat bagi kesehatan yaitu menghasilkan berbagai jenis obatobatan. Daun atau kelopak bunga yang direbus berhasiat sebagai hypotensive (menurunkan tekanan darah, mengurangi kekentalan darah), meningkatkan gairah (aprodisiak), melancarkan pencernaan (degistif) dan menetralisir asam lambung (demulcent)(Titistyas, 2009). Rosella dapat tumbuh optimal di daerah dengan ketinggian kurang dari 600 m dpl, dengan suhu rata-rata bulanan 24-32 0C. Curah hujan rata rata yang dibutuhkan rosella 140-270 mm per bulan dengan kelembaban udara di atas 70%. Tanaman rosella ini merupakan tanaman berhari pendek yang dapat tumbuh optimal pada tanah dengan kemasaman (pH) 5,5-7. Rosella toleran terhadap tanah masam seperti tanah Ultisol (Mardiah, 2009). Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia. Sebaran terluas terdapat di Kalimantan (21.938.000 ha), diikuti di Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha), dan Nusa Tenggara (53.000 ha) (Subagyo et al., 2004). Kelemahan- kelemahan yang menonjol pada Ultisol adalah pH rendah, kapasitas tukar kation rendah, kejenuhan basa rendah, kandungan unsur hara seperti N, P, K, Ca, dan Mg sedikit dan tingkat Al-dd yang tinggi, mengakibatkan tidak tersedianya unsur hara yang cukup untuk pertumbuhan tanaman (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Salah satu upaya untuk mengatasi kelemahan ini dapat dilakukan dengan pemberian pupuk kandang. Pupuk kandang merupakan salah satu pupuk yang banyak mengandung unsur nitrogen, terutama pupuk kandang ayam. Pupuk kandang ayam secara umum mempunyai kelebihan dalam kecepatan penyerapan hara, komposisi hara seperti N, P, K dan Ca lebih tinggi dibandingkan pupuk kandang sapi dan kambing. (Wulandari, 2011). Menurut Musnawar (2002), pupuk kandang mengandung unsur hara lengkap yang dibutuhkan oleh tanaman untuk pertumbuhannya, disamping mengandung unsur hara makro seperti Nitrogen (N), Fosfor (P) dan Kalium (K), pupuk kandang pun mengandung unsur mikro seperti Kalsium (Ca), Magnesium (Mg) dan Sulfur (S), unsur Fosfor dalam pupuk kandang sebagian berasal dari kotoran padat, sedangkan Nitrogen dan Kalium berasal dari kotoran cair. Selanjutnya Prasetyo dan Suriadikarta (2006) menyatakan bahwa pemberian pupuk kandang dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah, dan meningkatkan pH tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan morfologi bibit rosella dengan pemberian pupuk kandang pada tanah ultisol di polybag.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2013 sampai dengan Pebruari 2014 di kebun percobaan Fakultas Pertanian, Universitas Baturaja. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun secara non faktorial dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan, tiap unit percobaan terdapat satu bibit tanaman. Perlakuan yang diteliti
284
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
terdiri atas: P0 = Tanpa pupuk kandang, P1 = Pupuk kandang sapi, P2 = kandang Kambing, dan P3 = Pupuk kandang ayam. Tanah Ultisol yang telah dikeringkan kemudian ditumbuk dan dihaluskan, selanjutnya dimasukkan ke media persemaian sebanyak 15 kg, sedangkan media untuk penanaman sebanyak 3 kg untuk setiap polybag. Dosis pupuk NPK yang digunakan 30 gr/tanaman/polybag, sedangkan komposisi perbandingan tanah dengan pupuk kandang 2:1. Benih sebelum disemaikan terlebih dahulu direndam selama 24 jam, setelah itu ditanam kedalam media persemaian. Penanaman dilakukan pada saat bibit telah berumur 30 hari dipersemaian dengan cara membuat lubang pada media tanam yang akan ditanami dan untuk masing-masing polybag ditanam satu tanaman rosella. Pemeliharaan meliputi kegiatan penyiraman untuk mempertahankan kelembaban tanah dan pengendalian hama, penyakit dan gulma selama penelitian. Pengamatan karakter agronomi meliputi: Tinggi Tanaman (cm), Jumlah Daun (helai), Berat Kering Tanaman (g), Berat Kering Akar (g), Berat Kering Tajuk (g), Ratio akar - tajuk (g). Analisis data menggunakan sidik ragam dan dilakukan uji lanjutan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) taraf 5%. HASIL Hasil analisis keragaman pada Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan berbagai jenis pupuk kandang berpengaruh nyata untuk setiap peubah yang diamati kecuali pada jumlah daun dan rasio akar tajuk. Tabel 1. Hasil analisis keragaman pengaruh perlakuan berbagai jenis pupuk kandang terhadap peubah yang diamati No Peubah yang diamati Pengaruh Perlakuan 1 Tinggi tanaman (cm) * 2 Jumlah Daun (helai) ns 3 Berat Kering Tanaman (g) * 4 Berat kering tajuk (g) * 5 Berat Kering Akar (g) * 6 Rasio akar - tajuk ns Keterangan:
* = berpengaruh nyata ns = berpengaruh tidak nyata
Hasil analisis keragaman menunjukkan pemberian pupuk kandang berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, selanjutnya hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) menunjukkan pemberian pupuk kotaran ayam (P3) berbeda nyata dengan perlakukan lainnya dan memiliki tinggi tanaman tertinggi dibanding dengan perlakuan lainnya, yaitu sebesar 54,7 cm (Gambar 1).
285
Prosiding Semi nar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 Sep tember 2014
Gambar 1. Tinggi tanaman akhir penelitian, pada beberapa jenis pupuk kandang pada tanah ultisol di polybag Pemberian pupuk kandang terhadap jumlah daun berpengaruh tidak nyata , namun secara tabulasi perlakukan pemberian pupuk kotoran ayam (P3) cenderung lebih tinggi dibanding perlakukan lainnya, yaitu sebesar 12 helai (Gambar 2).
Gambar 2. Jumlah daun akhir penelitian, pada beberapa jenis pupuk kandang pada tanah ultisol di polybag Berat kering tanaman dengan pemberian pupuk kandang berpengaruh nyata, sedangkan hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) menunjukkan pemberian pupuk kotaran ayam (P3) berbeda nyata dengan perlakukan P0 dan P1 dan berbeda tidak nyata dengan perlakuan P2 serta memiliki berat kerin g tanaman tertinggi, yaitu sebesar 2,54 g (Gambar 3).
286
Prosiding Semi nar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 Sep tember 2014
Gambar 3. Berat kering tanaman akhir penelitian, pada beberapa jenis pupuk kandang pada tanah ultisol di polybag Berat kering tajuk menunjukkan pemberian pupuk kandang berpengaruh nyata, selanjutnya hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) menunjukkan pemberian pupuk kotaran ayam (P3) berbeda nyata dengan perlakukan P0 dan P1 dan berbeda tidak nyata dengan perlakuan P2 serta memiliki berat k ering tajuk tertinggi, yaitu sebesar 1,54 g (Gambar 4).
Gambar 4. Berat kering tajuk tanaman akhir penelitian, pada beberapa jenis pupuk kandang pada tanah Ultisol di Polybag Selanjutnya untuk berat kering akar menunjukkan pemberian pupuk kandang berpengaruh nyata terhadap berat kering akar tanaman. Has il Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) menunjukkan pemberian pupuk kotaran ay am (P3) berbeda nyata dengan perlakukan P0 dan P1 dan berbeda tidak nyata dengan perlakuan P2 dan me miliki berat kering akar tertinggi, yaitu sebesar 1,0 g (Gambar 5).
287
Prosiding Semi nar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 Sep tember 2014
Gambar 5. Berat kering akar tanaman akhir penelitian, pada beberapa jenis pupuk kandang pada tanah ultisol di polybag Rasio akar tajuk dengan pemberian pupuk kandang berpeng aruh tidak nyata, namun secara tabulasi perlakukan tanpa pemberian pupuk ka ndang (P0) cenderung lebih tinggi dibanding perlakukan lainnya, yaitu sebesar 0,47 (Gambar 6).
Gambar 6. Rasio akar tajuk akhir penelitian, pada beberapa jenis pupuk kandang pada tanah ultisol di polybag PEMBAHASAN Pemberian pupuk kandang dapat meningkatkan pertumbuhan bibit rosella, hal ini dapat dilihat da ri perubahan tinggi tanaman, berat kering tanaman, berat kering tajuk dan berat kering akar. Perlakuan pupuk kandang yang berasal dari kandang ayam menghasilkan pertumbuhan terbaik p ada bibit rosella dibanding dengan pemberian pupuk kandang sapi maupun pupuk kandang kambing. Hal ini di duga pupuk kotoran 288
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
ayam lebih cepat terdekomposisi sehingga ketersediaannya lebih cepat dan mudah terserap oleh akar untuk pertumbuhan tanaman. Selain itu kandungan unsur hara yang lebih tinggi terutama hara makro yang terdapat pada pupuk kandang ayam, dapat menyebabkan meningkatnya pertumbuhan tanaman karena ketersediaan hara yang cukup dapat menstimulasi proses metabolisma yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Wulandari (2011) yang menyatakan bahwa pupuk kandang ayam secara umum mempunyai kelebihan dalam kecepatan penyerapan hara, komposisi hara seperti N, P, K dan Ca lebih tinggi dibandingkan pupuk kandang sapi dan kambing. Lebih lanjut Hardjowigeno (2003) menyebutkan bahwa pupuk kandang ayam atau unggas memiliki kandungan unsur hara yang lebih besar dari pada jenis ternak lainnya, yaitu N 1,7%, P2O5 1,9%, dan K2O 1,5%. Rasio akar tajuk berpengaruh tidak nyata dengan pemberian pupuk kandang, namun kecenderungan nilai rasio akar tajuk tertinggi diperoleh pada perlakukan tanpa pemberian pupuk kandang. Hal ini di duga pertumbuhan akar yang tinggi pada perlakukan ini sebagai upaya tanaman agar dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan proses metabolima tanaman. Perlakuan media tanpa pupuk kandang yaitu hanya tanah Ultisol saja, dimana tanah ini kapasitas untuk mengikat air rendah sehingga ketersediaan air berkurang dan mendorong akar untuk tumbuh dan berkembang mencari sumber air yang dapat diserapnya sebaga upaya untuk memenuhi kebutuhan proses metabolismanya. Menurut Sulistyaningsih et al. (2005) menyatakan rasio akar tajuk merupakan karakter yang dapat digunakan sebagai petunjuk keadaan air pada lingkungan tanaman apakah kelebihan atau kekurangan. Kondisi kekurangan air lebih mendorong pertumbuhan akar dibandingkan pertumbuhan tajuk. KESIMPULAN Pemberian pupuk kandang berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit rosella. Pupuk kandang yang berasal dari kandang ayam merupakan pupuk kandang terbaik untuk pertumbuhan bibit rosella. DAFTAR PUSTAKA Harjowigeno. 2003. Pengaruh Dosis Pupuk Kandang Ayam Terhadap pertumbuhan dan Produksi Biomass. Skripsi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasi. Mardiah. 2009. Budidaya dan Pengolahan Rosella Si Merah Segudang Manfaat.. Agromedia Pustaka. Jakarta Musnawar. 2002, Kesuburan dan pemupukan tanah pertanian. Pustaka Buana. Bandung. 180 hal Prasetyo, B.H dan D.A. Suriadikarta. 2006. Karakteristik, Potensi, dan Teknologi Pengelolaan Tanah Ultisol untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006: 39-46 Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2004. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Hal 21−66
289
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Sulistyaningsih, E., B. Kurniasih dan E. Kurniasih. 2005. Pertumbuhan dan hasil caisin pada berbagai warna sungkup plastik. Ilmu Pertanian 12(1):65-76. Titistyas, A. G. 2009. Pengaruh pemangkasan dengan jumlah cabang berbeda terhadap pertumbuhan vegetative dan generative rosella (Hibiscus sabdariffa L.). http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/44908. [Diakses 14 Juni 2013]. Wulandari. 2011. Pengaruh Pemberian Beberapa Dosis Pupuk Kandang Ayam Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Rosella ( Hibiscus sabdariffa L) di Tanah Ultisol [Skripsi]. Padang: Universitas Andalas Padang. Tidak dipublikasi.
290
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Verifikasi Ketahanan Galur-galur Padi Green Super Rice terhadap Hawar Daun Bakteri Verification of Resistance of Green Super Rice Lines against to Bacterial Leaf Blight Nofi A Rokhmah1*), Untung Susanto2, Triny S Kadir2, dan Agus Suprihatin3 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta 2 Balai Besar Penelitian Tanaman Padi 3 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatra Selatan *) Penulis untuk korespondensi : Tel./Fax +622178839949/ +62217815020 email :
[email protected] ABSTRACT Green Super Rice ( GSR ) lines are rice lines that have resistant to pests / main diseases properties, such as tolerant of low nutrients N and P concentrations, tolerant of drought, relatively high productivity and high quality in accordance with the consumens preferences. As an introduced rice lines, information of the pest and disease resistance in Indonesia are needed for breeding development. One of character of rice line that important to be clarify is resistance to bacterial leaf blight (BLB ). The preliminary screening on BLB resistance of GSR were already done in 2011. And then, the resistance of GSR line againts to BLB dominant in Indonesia, in particular phatotype III, IV, and VIII were verified in this study. The experiments were conducted in the rainy season of 2012 at Experimental Garden of Indonesian Center for Rice Research Institute Sukamandi. Totally 15 lines were used and arranged in a randomized block design. Ciherang, Conde and Angke varieties were used as controls. Inoculation of BLB (phatotype III , IV and VIII) into GSR were conducted by using cutting method. The results showed Conde varieties as a control and P35 lines are resistant (score 1) to phatotype III. IR88611-B-5 was GSR line which had sustained resistance against pathotype IV. Keywords : rice, green super rice, resistance, bacterial leaf blight ABSTRAK Galur padi Green Super Rice (GSR) merupakan galur yang memiliki sifat tahan terhadap hama/penyakit utama, toleran terhadap konsentrasi nutrisi N dan P yang rendah, toleran terhadap cekaman kekeringan, produktivitas yang relatif tinggi dan memiliki kualitas sesuai dengan preferensi konsumen. Sebagai galur introduksi dibutuhkan informasi ketahanan terhadap hama dan penyakit utama di Indonesia. Salah satunya adalah ketahanan terhadap penyakit hawar daun bakteri (HDB). Pengujian awal galur padi GSR terhadap HDB sudah dilakukan tahun 2011. Penelitian ini bertujuan untuk menverifikasi galur padi GSR terhadap HDB dominan di Indonesia, khususnya patotype III, IV, dan VIII. Penelitian dilaksanakan di musim hujan tahun 2012 di KP Sukamandi Balai Besar Penelitian Tanaman padi. Genotip yang digunakan adalah 15 galur GSR yang ditata dalam
291
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
rancangan acak kelompok. Galur padi Ciherang, Conde dan Angke sebagai kontrol yang diulang di tiap bloknya. Inokulasi isolat HDB patotipe III, IV dan VIII terhadap materi penelitian dilakukan menggunakan metode pengguntingan (clipping). Hasil percobaan menunjukkan galur P35 dan varietas Conde sebagai kontrol menunjukkan reaksi tahan (skor 1) terhadap patotype III. Galur yang memiliki ketahanan berkelanjutan terhadap patotipe IV adalah IR88611-B-5 dengan skor 3 (agak tahan). Kata Kunci: padi, green super rice, ketahanan, hawar daun bakteri. PENDAHULUAN Galur padi green super rice (GSR) merupakan galur–galur padi hasil rakitan dari pemulia padi asal China yang bekerja sama dengan IRRI. Perakitan galur padi GSR ditujukan untuk menghasilkan galur padi yang memiliki sifat tahan terhadap hama/penyakit utama, toleran terhadap konsentrasi nutrisi N dan P yang rendah, toleran terhadap cekaman kekeringan, produktivitas yang relatif tinggi dan memiliki kualitas sesuai dengan preferensi konsumen (Zhang, 2007). GSR sebagai galur introduksi belum tentu memiliki daya adaptasi yang luas terhadap kondisi pertanian di Indonesia. Sehingga diperlukan pengujian terhadap galur GSR untuk mendapatkan informasi ketahanan terhadap hama dan penyakit di Indonesia. Hama utama yang banyak menyerang tanaman padi adalah tikus, wereng batang coklat, dan hama penggerek batang. Sedangkan jenis-jenis penyakit padi yang berkembang di Indonesia diantaranya adalah virus tungro, blast dan hawar daun bakteri (Sudir, 2005). Hawar daun bakteri adalah salah satu penyakit padi yang mempengaruhi produksi hasil dan merusak tanaman (Mew and Nelson, 1994) Penyakit hawar daun bakteri (HDB) disebabkan bakteri Xanthomonas oryzae pv. Oryzae dapat menginfeksi tanaman padi mulai dari pembibitan sampai panen (Triny et al, 2009b). HDB merupakan penyakit utama padi di Indonesia, terutama tanaman padi sawah (Hifni dan Kardin, 1993). Ada dua macam gejala penyakit HDB. Gejala yang muncul pada saat tanaman berumur kurang dari 30 hari setelah tanam, yaitu pada persemaian atau tanaman yang baru dipindah ke lapang, disebut kresek. Gejala yang timbul pada fase anakan sampai pemasakan disebut hawar (blight) (Triny, 2009a). Menurut Prasetiyono (2007), pada kondisi serangan HDB yang berat dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 20%. Selain itu, serangan HDB juga dapat menurunkan mutu beras karena pengisian biji tidak sempurna. Berdasarkan virulensinya terhadap satu set varietas padi diferensial yang mengandung gen ketahanan HDB yang berbeda (varietas diferensial Jepang, Indonesia, dan IRRI) strain Xoo Indonesia dikelompokkan dalam ras (patotipe) (Triny et al, 2009b). Hifni dan Kardin (1998) menjelaskan, patotipe III mempunyai penyebaran yang paling luas di Indonesia. Selain itu, patotipe IV dan VIII juga banyak berkembang di daerah sentra produksi padi (Triny, 2009a) Pengujian/skrining ketahanan galur padi GSR terhadap HDB diperlukan untuk mengetahui karakter ketahanan terhadap penyakit hawar daun bakteri yang dimiliki oleh galur tersebut. Pada penelitian pendahuluan telah dilakukan pengujian ketahanan galur Green Super Rice terhadap hawar daun bakteri. Sebanyak 80 galur GSR diinokulasi dengan isolat bakteri HDB strain III, IV dan
292
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
VIII. Hasil penelitian menunjukkan lima galur tahan (skor 1) terhadap patotype III, yaitu IR 88 611 IR-B-5, LH 1, ZHONGZU 14, BD 007, dan the ZX 117. Tujuh galur GSR menunjukkan reaksi agak tahan (skor 3) terhadap inokulasi HDB pathotype IV, galur tersebut adalah IR88611-B-5, LH1, BD 007, CAU 1, ZX 117, dan IR83142-B21-B. Sedangkan skrining terhadap HDB patotype VIII hanya menghasilkan satu galur yang menunjukkan rekasi tahan (skor 1) yaitu BD 007 (Rokhmah et al, 2013). Verifikasi ketahanan galur GSR perlu dilakukan untuk mengetahui konsistensi karakter ketahanan yg dimiliki oleh galur tersebut. Karena Wahyudi et al (2011) menyatakan, HDB memiliki kemampuan untuk membentuk strain baru yang lebih virulen. Selain itu, fenomena ketahanan tanaman dewasa, mutasi dan karakter heterogenitas alamiah populasi mikroorganisame diperkirakan sebagai factor yang mempengaruhi komposisi strain dengan stadium tumbuh tanaman padi. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk verifikasi galur padi GSR terhadap penyakit hawar daun bakteri pathotipe lokal Indonesia yaitu pathotipe III, IV dan VIII. Informasi yang diperoleh dari kegiatan verifikasi ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan acuan materi untuk program perakitan varietas padi tahan hawar daun bakteri. BAHAN DAN METODE Galur Padi. Materi yang diuji dalam penelitian ini adalah 15 galur green super rice (GSR). Tanaman yang digunakan sebagai kontrol yaitu 3 varietas padi unggul baru dari Indonesia yang terdiri dari ; varietas Conde dan Angke sebagai kontrol tahan, serta varietas Ciherang sebagai kontrol daya hasil. Waktu dan Tempat Penelitian. Kegiatan pengujian ini dilakukan pada musim hujan 2012 di KP Sukamandi. Penanaman dilakukan pada lahan dengan luas plot 2 m x 5 m serta jarak tanam 25 cm x 25 cm serta menggunakan rancangan acak kelompok. Selanjutnya tanaman dipelihara menurut standar pemeliharaan tanaman padi. Inokulasi Bakteri. Isolat-isolat yang diuji, diinokulasikan pada tanaman padi dengan metode gunting pada saat pertanaman menjelang fase primordia. Ujung-ujung daun padi dipotong sepanjang 10 cm dengan gunting inokulasi berisi suspensi bakteri umur 48 jam dengan kepekatan 108 cfu. Inokulasi dilakukan pada pagi hari atau menjelang sore hari supaya tanaman tidak mendapatkan cekaman suhu yang terlalu tinggi. Pengamatan keparahan penyakit dilakukan dengan cara mengukur panjang gejala pada 15 dan 30 hari sesudah inokulasi (HSI). Keparahan penyakit adalah rasio antara panjang gejala dengan panjang daun. Reaksi ketahanan varietas dikelompokkan berdasarkan keparahan penyakit pada pengamatan terakhir. Data keparahan penyakit pada masingmasing galur yang di uji pada masing-masing isolat disajikan dalam bentuk ratarata, yang dinyatakan dalam satuan persen. Reaksi masing-masing galur diklasifikasikan ke dalam tahan (T), jika keparahan 11% dan rentan (R) jika keparahan 11% . Penyakit diamati setiap 2 minggu dimulai pada 2 minggu setelah inokulasi sampai 2 minggu sebelum panen berdasar Standard Evaluation System (IRRI, 1996) menggunakan skala keparahan 0, 1, 3, 5, 7, dan 9 (Tabel 1).
293
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 1. Skoring Tingkat Ketahanan terhadap Penyakit Hawar daun Bakteri X. oryzae pv. Oryzae (IRRI, 1996) 0 1 3 5 7 9
Gejala Serangan Tidak ada gejala keparahan 1-6% keparahan >6 – 12% keparahan >12 – 25% keparahan > 25-50%. keparahan > 50-100%.
HASIL Berdasarkan hasil pengamatan pada percobaan verifikasi ketahanan galur padi GSR menunjukkan rata-rata tiga ulangan galur memperlihatkan reaksi yang agak tahan (skor 3) terhadap pathotipe III setara dengan kontrolnya yaitu Ciherang dan Angke. Hanya P35 yang menunjukkan reaksi tahan, sama dengan varietas kontrolnya yaitu Conde (skor 1). Rata-rata galur GSR memperlihatkan reaksi agak rentan (skor 5) sampai rentan (skor 7) terhadap inokulasi bakteri HDB patotipe IV. Dua galur GSR yaitu P35 dan IR 88611-B-5 cenderung agak tahan (skor 3). Sedangkan pengamatan terhadap sampel yang diinokulasi dengan isolat HDB patotipe VIII menunjukkan reaksi agak rentan (skor 5) sampai rentan (skor 7). Hanya galur P35 dan IR 88611-B-5 memperlihatkan reaksi agak tahan (skor 3). Demikian juga dengan varietas kontrolnya, yaitu varietas Conde memperlihatkan reaksi agak tahan (skor 3) terhadap isolat HDB strain VIII. Tabel 2. Tingkat ketahanan Galur GSR terhadap HDB, MT 1 2012 KP Sukamandi No Genotipe Patotipe III Patotipe IV Patotipe VIII 1 IR64 G 8569-1-2 3 7 5 2 926 3 5 5 3 HHZ 9-DT 7-SAL2-DT1 3 5 5 4 JH 15 1-1-1 3 5 5 5 P 35 1 3 3 6 08 FAN 1 3 7 5 7 FFZ 3 7 5 8 HEXI 41 3 7 7 9 HHZ 5-SAL10-DT2-DT1 3 7 7 10 ZX 115 3 7 5 11 HHZ 15-SUB1-Y3-Y1 3 5 5 12 923 3 7 7 13 HHZ 12-Y4-Y3-Y1 3 7 7 14 IR 88611-B-5 3 3 3 15 ZX 117 3 7 5 16 Ciherang 3 7 7 17 Conde 1 3 3 18 Angke 3 5 5
294
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PEMBAHASAN Kegiatan verifikasi. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi ketahanan yang berkelanjutan (durable resistance) dari galur padi GSR. Namun perubahan reaksi ketahanan terhadap HDB ditunjukkan oleh beberapa galur GSR yang diujikan. Galur yang menunjukan reaksi ketahanan yang berbeda diantaranya adalah ZX 117. Jika pada pengujian awal ZX 117 terdeteksi tahan (skor 1) terhadap patotipe III dan agak tahan (skor 3) terhadap pathotipe IV. Maka pada verifikasi ini ZX 117 agak tahan (skor 3) terhadap patotipe III dan rentan (skor 7) terhadap pathotipe IV. Galur IR 88611-B-5 menunjukkan reaksi yang sama dengan pada uji pendahuluan dan verifikasi. Pada pengujian awal galur IR88611-B-5 memperlihatkan reaksi agak tahan (skor 3) terhadap patotipe IV, dan pada kegiatan verifikasi juga menunjukkan reaksi agak tahan (skor 3). Perubahan ketahanan galur padi GSR yang paling besar terhadap pengujian patotipe IV. Menurut Triny et al (2009b), patotipe IV lebih virulen dibandingkan dengan pathotipe III dan VIII. Sehingga beberapa galur agak tahan di pengujian awal, namun menjadi agak rentan atau rentan di pengujian lanjutan. Ketahanan suatu varietas atau galur terhadap HDB merupakan ketahanan yang berdasarkan hipotesis gen ke gen, sehingga satu gen ketahanan hanya dapat berfungsi mematahkan virulensi dari gen yang spesifik (Hifni dan Kardin, 1993). Hasil penelitian Lina dan Silitonga (2011) menyebutkan, bakteri patogen memiliki perilaku yang spesifik dalam menginvasi tanaman inangnya. Satu jenis bakteri dapat menginfeksi dan bermultiplikasi hanya dengan inang tertentu. Jika melihat penurunan ketahanan galur padi GSR lain, maka diduga tidak semua galur GSR yang diujikan memiliki ketahanan berkelanjutan. Hanya galur IR88611-B-5 yang memiliki ketahanan berkelanjutan terhadap patotipe IV. Hal ini terlihat dari reaksi yang dihasilkan oleh pengujian awal dan verifikasinya. Selain itu, perubahan virulensi patotipe yang diujikan juga berpengaruh terhadap reaksi ketahanan yang dihasilkan. Berdasarkan penelitian Wahyudi et al (2011), patogen memiliki kemampuan untuk membentuk strain baru yang lebih virulen. Hal lain yang bisa menyebabkan perubahan ketahanan diduga diakibatkan oleh pengaruh lingkungan. Merliyuanti (2013) juga menjelaskan bahwa curah hujan dapat mempengaruhi sebaran penyakit HDB. Semakin tinggi curah hujan akan menyebabkan semakin banyak penyebaran penyakit HDB. Selain ketahanan terhadap HDB, pada percobaan ini juga diamati karakter agronomi dari galur GSR (tabel 3) sebagai data pendukung untuk informasi. Beberapa karakter seperti umur berbunga, umur panen, tinggi tanaman, jumlah anakan, seed set, bobot 1000 butir dan kadar air tidak berbeda nyata antara galur yang diujikan dengan varietas kontrolnya. Menurut Zhang (2007) potensi hasil yang dimiliki oleh galur GSR tinggi. Potensi hasil tertinggi dimiliki oleh HHZ 5Sal10-DT2-DT1 yaitu 6,59 ton/ha, sedangkan potensi hasil terendah dimiliki oleh galur IR 88611-B-5 yaitu 3,75 ton/ha. Menurut Jianchang dan Zhang (2010), terdapat masalah dalam pengisian gabah pada galur GSR. Hal ini disebabkan karena waktu pembungaan yang lebih lama akan menghasilkan malai yang kualitasnya rendah dibandingkan dengan yang berbunga lebih cepat. Sehingga mengakibatkan hasil malai yang diperoleh lebih sedikit. Beberapa galur yang mengalami hal ini, akan menghasilkan produksi yang lebih rendah.
295
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 3. Karakter Agronomi Galur GSR, MT 1 2012 KP Sukamandi Umur Berbunga
Umur Panen
Tinggi Tanaman
(HSS)
(HSS)
(cm)
Jumlah
Jumlah
No
Genotipe
1 2 3
IR64 G 8569-1-2 926 HHZ 9-DT 7-SAL2-DT1
73 87 83
123 117 113
91 107,5 95,7
17 14 14
43 34 50
4 5 6 7 8 9
83 86 78 81 87 87
114 116 108 111 117 113
104,3 95,5 102,5 90,4 99,3 100,6
11 17 14 16 18 15
10 11 12 13 14 15 16 17
JH 15 1-1-1 P 35 08 FAN 1 FFZ HEXI 41 HHZ 5-SAL10-DT2DT1 ZX 115 HHZ 15-SUB1-Y3-Y1 923 HHZ 12-Y4-Y3-Y1 IR 88611-B-5 ZX 117 Ciherang Conde
85 83 85 87 80 87 86 87
115 113 115 117 110 117 116 117
92,4 88,8 93 95,6 98,7 93,7 94,9 94,2
18
Angke
83
113
84,1
Seed Set
Bobot
1000 btr
(gr)
Hasil (ton/ha)
Kadar Air (%)
66,2 86,6 46,1
26,1 28,1 23
3,75 5,79 5,43
11,9 11,8 12,03
26 55 50 46 50 42
82,1 74 85,6 67,5 78,7 67,6
32,1 26,7 27,6 22,8 25,3 25,6
5,79 5,99 5,32 5,94 5,9 5
11,93 11,9 12,07 11,83 12,03 12,03
18 19 16 14 11 17 17 19
53 53 43 37 33 57 55 52
76,4 77,9 64,1 78,6 78,2 77,4 70,7 73
24,9 24,5 25,6 23,2 24,5 25,7 26,1 25,9
5,72 6,59 4,48 5,55 4,63 5,38 5,8 5,51
11,8 11,93 11,93 11,93 12,03 12 12,1 11,9
20
58
84,6
24,4
5,8
12
Anakan
Malai
(%)
296
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
KESIMPULAN 1. Hasil verifikasi ketahanan galur padi GSR adalah galur P 35 yang terverifikasi tahan (skor 1) terhadap patotipe III. 2. Galur-galur yang lain menunjukkan reaksi mulai dari agak tahan hingga rentan terhadap patotipe III. 3. Hasil verifikasi galur padi GSR terhadap Patotipe IV dan VIII tidak ada yang menunjukkan reaksi tahan (skor 1). 4. Ketahanan berkelanjutan terhadap patotipe IV hanya dimiliki oleh galur IR88611-B-5 yaitu agak tahan (skor 3). UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Tim Pemuliaan Tanaman dan Tim Proteksi BB Padi yang telah membantu kelancaran kegiatan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Hifni dan M Kardin, 1993. Penyakit hawar daun bakteri padi di Insonesia, hlm : 85-99. Di dalam Syam, H. Kasim & A. Mussaddad (ed). Risalah Seminar Puslitbang Tanaman Pangan. April 1992-Maret 1993. Bogor: Pusat Penelitian Tanaman Pangan. Hifni, H.R. dan M Kardin. 1998. Pengelompokan Isolat Xanthomonas oryae pv. Oryzae dengan menggunakan Galur Isogenik Padi IRRI. Hayati. Halaman : 66 – 72 IRRI. 1996. Standard Evaluation System of Rice. IRRI. Los Banos, Philippines. Lina H dan T. S. Silitonga. 2011. Seleksi Lapang Ketahanan Beberapa Varietas Padi terhadap Infeksi Hawar Daun Bakteri Strain IV dan VIII. Buletin Plasma Nutfah. Vol 17 No. 2. Hal : 80-87 Merliyuanti, T.S. 2013. Pemanfaatan Data Curah Hujan untuk Prediksi Sebaran Penyakit Hawar Daun Bakteri Menggunakan Model SMCE (Spatial Multi Criteria Evaluation), Studi Kasus : Tanaman Padi di Kabupaten Karawang. http//:repository.ipb.ac.id Mew and Nelson. 1994. Advances of research on bacterial blight rice (Xanthomonas oryzae pv. Oryzae). Plant Genetic Bacteria : 25-36. Paris. Prancis. Prasetiyono, J. 2007. Dari demplot Code-Angke di desa Ciranjang, Kabupaten Cianjur-Jawa Barat.Warta Biogen. Vol 3, No 1, April 2007. Bogor. Rokhmah, N.A., Untung Susanto dan Triny S.K. 2013. Green Super Rice (GSR) Lines Resistance to Bacterial Leaf Blight. Prosiding Seminar Internasional. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sudir. 2005. Pengendalian Beberapa Penyakit Penting Padi yang disebabkan oleh Jamur dan Bakteri. Makalah Loka Karya Pemuliaan Partisipatif dan Hasil Penelitian Padi Tipe Baru. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Triny, S. K. 2009a. Menangkal HDB dengan Menggilir Varietas. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 31 (5): 1-3
297
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Triny, suryadi, Sudir dan M. Mahmud. 2009b. Penyakit Bakteri Padi dan Cara Pengendaliannya. Dalam AA Darajat, Agus Setyono, AK Makarim, dan Andi Hasanudin (ed). Padi inovasi Teknologi Produksi. BB Padi. Badan Litbang Pertanian Wahyudi AT, Siti Meliah dan AA Nawangsih. 2011. Xanthomonas oryzae pv oryzae bakteri penyebab hawar daun bakteri pada padi : isolasi, karakterisasi dan telaah mutagenesis dengan transposon. Makara sains. Vol 15. No 1 : 89-96. April 2011. Yang, Jianchang dan Jianhua Zhang. 2010. Grain-filling Problem in ‘Super’ Rice. Jurnal Experimental Botany, Vol 61. No 1, pp. 1-5. Zhang Q. 2007. Genomic based strategies for the development of “green super rice”. Rice Genetics V : Proceeding of the Fifth International Rice genetics Symposium. (ed) DS Brar, DJ Mackill, Bill Hardi. IRRI Philipina
298
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pengendalian Ulat Tritip dengan Menggunakan Insektisida Berbahan Tumbuhan Kepayang pada Pertanaman Sawi di Lahan Rawa Pasang Surut M.Thamrin*), S.Asikin dan M. Willis Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Jl. Kebun Karet, Loktabat Utara, Banjarbaru, Kalsel *) Penulis untuk korespondensi: Telp/Fax: +625114772534 / +625114773034 Email:
[email protected]
ABSTRACT Diamondback moth is the insect pests that many damaging vegetables in several agro-ecosystem. It was reported that this very destructive pest of mustard plants in tidal swamplands of Central Kalimantan with the intensity of damage ranged 60%-85%. Kepayang is one of the plants that are potentially as an bioinsecticide, because can kill some types of insect pests with mortality 65%90%. This study aims to determine the level of effectiveness kepayang plants to control diamondback moth. The design used was a randomized block design with five replications, whereas the treatment are (A) extract of kepayang, (B) a combination of kepayang extract with synthetic insecticides, (C) synthetic insecticides, and (D) without being controlled. The results showed that the level of damage to mustard plants at the age of 4 weeks after planting for treatments A, B, C and D respectively 10.3%, 10.0%, 20.0% and 80.0%, and respectively with the results of each plot each 50.0 kg, 52.7 kg, 30.0 kg and 2.3 kg. It can be concluded that the kepayang plants can be made as bioinsecticides for controlling diamondback moth. Keywords: Mustard plants, diamondback moth, bioinsecticide ABSTRAK Ulat tritip Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Plutellidae) adalah hama serangga yang banyak merusak tanaman sayuran di beberapa agroekosistem. Dilaporkan bahwa hama ini sangat merusak tanaman sawi yang ditanam di lahan rawa pasang surut Kalimantan Tengah dengan intensitas kerusakan berkisar 6085%. Kepayang adalah salah satu tumbuhan yang sangat berpotensi sebagai insektisida nabati, karena mampu membunuh beberapa jenis hama serangga dengan mortalitas berkisar antara 65-90%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat efektivitas kepayang terhadap ulat tritip. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan jumlah ulangan sebanyak lima kali, sedangkan perlakuan yang digunakan adalah pengendalian dengan menggunakan (A) ekstrak kulit batang kepayang, (B) kombinasi antara ekstrak kulit batang kepayang dengan insektisida sintetik, (C) insektisida sintetik sebagai pembanding pertama, dan (D) tanpa dikendalikan. Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat kerusakan sawi pada umur 4 minggu setelah tanam untuk perlakuan A, B, C dan D masing-masing 10,3%, 10,0%, 20,0% dan 80,0% dengan hasil tiap 299
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
petak masing-masing 50,0 kg, 52,7 kg, 30,0 kg dan 2,3 kg. Dengan demikian tumbuhan kepayang dapat dibuat sebagai bahan utama insektisida nabati untuk mengendalikan ulat tritip. Kata kunci: tanaman sawi, ulat tritip, insektisida nabati PENDAHULUAN Telah banyak diketahui oleh masyarakat bahwa tanaman hortikultura sangat bermanfaat untuk kesehatan manusia, akan tetapi dalam usaha peningkatan produktivitasnya tidak jarang mengalami hambatan sehingga tidak mencapai target yang diharapkan. Salah satu hambatannya adalah serangan hama dan penyakit. Organisme ini dapat menurunkan produktivitas baik kuantitatif ataupun kualitatif. Maka untuk mengatasi hal ini, pestisida adalah salah satu cara yang paling banyak digunakan. Salah satu pestisida yang banyak digunakan untuk mengendalikan hama serangga adalah insektisida sintetik. Zat kimia ini pada awalnya sangat ampuh digunakan untuk mengendalikan hama serangga karena sangat jelas hasilnya, yaitu berkurangnya kerusakan tanaman dalam waktu yang relatif singkat, sehingga barang beracun ini sangat laris di pasaran. Namun setelah beberapa tahun berjalan, penggunaannya berkurang seiring dengan keampuhannya yang juga berkurang. Ada sebagian petani yang masih menggunakannya dengan cara meningkatkan dosisnya dan disemprot lebih sering, namun yang terjadi adalah sebaliknya, populasi hama yang menyerang semakin meningkat karena terjadinya reistensi dan resurjensi dari hama itu sendiri (Thamrin et al. 2007). Peristiwa seperti yang diuraikan di atas sering terjadi di beberapa tempat, bahkan di negara maju sekalipun. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) mendifinisikan kekebalan (resistensi) sebagai berkurangnya respons dari suatu populasi organisme tertentu terhadap pestisida atau bahan pengendali lainnya sebagai akibat dari aplikasinya, sedangkan IRAC (Insecticide Resistance Action Committee) dan GCPF (Global Crop Protection Federation) sekarang CropLife mendifinisikan sebagai berkurangnya sensitivitas suatu populasi hama terhadap pestisida (sesuai anjuran) yang digunakan karena seleksi genetik yang mengakibatkan penurunan efikasi (Djojosumarto, 2008). Sebagai contoh adalah terjadinya kekebalan serangga terhadap DDT pertama kali dilaporkan pada tahun 1946 di Swedia, karena gagal mengendalikan lalat rumah, kemudian dilaporkan juga kekebalan cendawan penyebab penyakit tanaman terhadap fungisida tertentu yang diketahui setelahnya, sekitar 50 tahun yang lalu bersamaan dengan diintroduksikannya fungisida-fungisida sistemik. Kegagalan lainnya juga diketahui terjadinya kekebalan gulma terhadap herbisida dan tikus terhadap rodentisida. Kejadian seperti ini nampaknya terulang kembali pada beberapa tahun terakhir ini di beberapa daerah di Indonesia, diantaranya pernah terjadi Kalimantan Tengah. Asikin dan Thamrin (2006) melaporkan bahwa ulat tritip sangat merusak tanaman sawi yang ditanam di lahan rawa pasang surut Kalimantan Tengah dengan intensitas kerusakan berkisar 60-85%, padahal sudah dikendalikan dengan insektisida sintetik. Penggunaan insektisida sintetik yang sangat luas tidak hanya mempengaruhi kehidupan serangga tetapi juga sistem fauna dan flora, lingkungan fisik dan kesehatan manusia. Insektisida ini juga memiliki sifat non spesifik
300
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
karena dapat membunuh organisme lain diantaranya adalah musuh alami yang harus dipertahankan keberadaannya (Manuwoto 1999; Arinafril dan Muller 1999). Untuk itu insektisida sintetik yang merupakan komponen penting dalam pengendalian hama terpadu perlu dicari penggantinya. Alternatif yang perlu dikembangkan adalah produk alam hayati yang pada umumnya merupakan senyawa kimia yang berspektrum sempit terhadap organisme sasaran (Sastrodiharjo et al., 1992; Thamrin et al. 2007). Salah satunya adalah insektisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuhan atau lebih dikenal sebagai insektisda nabati. Insektisida nabati secara umum diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuh-tumbuhan yang bersifat racun bagi organisme pengganggu, mempunyai kelompok metabolit sekunder yang mengandung berbagai senyawa bioaktif seperti alkoloid, terpenoid dan fenoli. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak bagian tanaman ada yang bersifat toksik terhadap hama (Balfas, 1994; Mudjiono et al, 1994). Berbagai jenis tumbuhan telah diketahui mengandung senyawa bioaktif seperti alkaloid, terpenoid, steroid, asetogenin, fenil propan, dan tannin yang dapat berfungsi sebagai insektisida dan repelen. Sedikitnya 2000 jenis tumbuhan dari berbagai famili telah dilaporkan dapat berpengaruh buruk terhadap organisme pengganggu tanaman (Grainge dan Ahmed, 1987; Prakash dan Rao, 1977), diantaranya terdapat paling sedikit 850 jenis tumbuhan yang aktif terhadap serangga (Prakash dan Rao, 1977). Hasil penelitian di laborarotium Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, diketahui beberapa jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai insektisida nabati, yaitu lukut (Patycerium bifurcatum), gelam (Melaleuca leucadendron), kalalayu (Eriogiosum rubiginosum), lua (Ficus glomerata), kirinyu (Chromolaema odoratum), sarigading (Nyctanthes arbor-tritis), jingah (Glutha rengas) dan kepayang (Pangium edule) (Thamrin et al, 2007). Kepayang adalah salah satu tumbuhan yang sangat berpotensi sebagai insektisida nabati, karena daya racunnya yang tinggi sehingga mampu membunuh beberapa jenis hama serangga dengan mortalitas berkisar antara 65-90%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat efektivitas ekstrak tumbuhan kepayang terhadap ulat tritip di pertanaman sawi. BAHAN DAN METODE Rancangan percobaan dan perlakuan. Percobaan telah dilaksanakan di desa Bungai Jaya, Kecamatan Basarang (Kabupaten Kapuas, Kalimatan Tengah) pada musim kemarau. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan jumlah ulangan sebanyak lima kali, sedangkan perlakuan yang digunakan adalah pengendalian dengan menggunakan insektisda berbahan nabati dan sintetik serta kontrol atau pembanding (Tabel 1).
301
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 1. Perlakuan penggunaan insektisida nabati dan sintetik serta pembandingnya Kode A B
Perlakuan Pengendalian menggunakan ekstrak kulit batang kepayang Pengendalian menggunakan ekstrak kulit kepayang dikombinasikan dengan insektisida sintetik (lamda sihalotrin) Pengendalian menggunakan insektisida sintetik saja (lamda sihalotrin) (pembanding 1) Tidak dikendalikan (pembanding 2)
C D
Tanam dan aplikasi perlakuan. Bibit sawi yang berumur satu minggu ditanam pada masing-masing petak percobaan seluas 25 m2 dengan jarak tanam 20 cm x 10 cm. Jumlah petak percobaan seluruhnya sebanyak 20 petak, sehingga luas areal percobaan kurang lebih 500 m2. Pemberian pupuk nitrogen dilakukan satu hari setelah tanam dengan takaran 90 kg N/ha, sedangkan dolomit diberikan pada saat 15 hari sebelum tanam dengan takaran 1 ton/ha. Pengamatan dilakukan setiap satu minggu terhadap intensitas kerusakan dan jumlah larva yang hidup, sedangkan hasil (kg/petak) dilakukan pada saat panen. Aplikasi perlakuan mulai dilakukan apabila intensitas kerusakan mencapai 5%, dan aplikasi berikutnya apabila kerusakannya meningkat setiap 5%. Kerusakan yang mencapai 50% tidak lagi dilakukan aplikasi insektisida. Untuk perlakuan kombinasi insektisida nabati dengan insektisida sintetik, dilakukan secara berseling yang didahului oleh insektisida nabati. HASIL Data tingkat kerusakan sawi yang disebabkan oleh ulat tritip dan hasil setiap petaknya untuk masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 2, sedangkan data banyaknya larva yang hidup disajikan pada Tabel 3. Tabel 2. Daftar uji beda nilai tengah untuk intensitas kerusakan dan hasil sawi Perlakuan A B C
D
Intensitas kerusakan (%) 2 mst 3 mst 4 mst 3.50a
3.00a a
6.67 15.50b
8.33a
8.67a ab
20.17 37.17b
10.33a
10.00a bc
20.17 80.00d
Hasil (kg/petak) 50.00c
52.67c 30.00b 2.33a
Keterangan: Angka diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan Uji Beda Nyata Jujur pada taraf nyata 0.05
302
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 3. Daftar uji beda nilai tengah untuk banyak larva hidup Perlakuan 2 mst A B C
D
0.27a
0.20a a
0.27 1.27b
Banyak larva hidup/tanaman 3 mst 4 mst 0.33a
0.37a a 0.33 0.53a
2.40a
3.33a 4.20ab 7.40b
Keterangan: Angka diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan Uji Beda Nyata Jujur pada taraf nyata 0.05
PEBAHASAN Pengamatan pada saat tanaman berumur dua minggu, intensitas kerusakan masih dibawah 10%, kecuali pada perlakuan pembanding (tanpa dikendalikan) mencapai 15,5%. Kerusakan tanaman semakin meningkat pada pengamatan berikutnya (pada saat tanaman berumur 3 dan 4 minggu), namun intensitas kerusakan tanaman pada perlakuan A (ekstrak kepayang) masing-masing hanya 8,3 dan 10,3%, sedangkan pada perlakuan pembanding (D) masing-masing 37,2% dan 80,0% (Tabel 2). Tingginya intensitas kerusakan tanaman pada perlakuan C, disebabkan meningkatnya populasi tritip karena pada saat tersebut banyak ditemukan larva yang hidup, masing-masing 5,0 dan 7,4 larva/tanaman (Tabel 3). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ulat tritip berkembangbiak sangat sangat cepat dan dapat bertelur 250 sampai 300 butir (Capinera 2012). Intensitas kerusakan untuk perlakuan C (insektisida sintetik) pada saat tanaman berumur 4 minggu cukup tinggi (20%), diduga bahwa kurang efektifnya insektisida tersebut disebabkan terjadinya resistensi hama serangga karena frekuensi penggunaan insektisida berbahan aktif lamda sihalotrin di daerah ini sangat tinggi. Hal yang serupa juga terjadi di daerah Landasan Ulin (Kota Banjarbaru, Kalsel), kerusakan sawi pada perlakuan pengendalian dengan menggunakan lamda sihalotrin mencapai 60%. Hal ini disebabkan dosis dan frekuensi penggunaan insektisida tersebut sangat tinggi yang menyebabkan terjadinya resistensi hama (Samharinto dan Pramudi, 2007). Berkembangnya suatu populasi serangga dari yang semula rentan menjadi kurang rentan dan akhirnya kebal (resisten) terhadap insektisida merupakan proses seleksi alam. Dalam hal ini individu-individu yang paling kuat atau dapat menyesuaikan diri (tahan terhadap insektisida) akan tetap bertahan hidup, sebaliknya individu yang tidak mampu bertahan hidup akan punah. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses terjadinya resistensi serangga terhadap insektisida antara lain genetik, biologi dan ekologi serangga dan operasional (jenis dan aplikasi insektisida). Gen pembawa sifat resisten terhadap pestisida tertentu merupakan sumber pertama terjadinya proses kekebalan, semakin banyak individu membawa gen resisten, semakin cepat terjadinya resistensi pada populasi tersebut. Adanya seleksi dari pestisida lain sebelumnya juga mempengaruhi proses berkembangnya kekebalan. Perkembangbiakan serangga yang kebal terhadap insektisida biasanya berlangsung lebih cepat dibandingkan populasi serangga yang rentan. Penggunaan satu jenis insektisida secara terus-menerus cenderung mempercepat proses terjadinya resistensi, sebaliknya penggunaan insektisida secara bergantian dengan insektisida dari golongan kimia yang berbeda dan cara
303
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
kerja yang berbeda akan menghambat proses terjadinya resistensi (Djojosumarto, 2008). Selain data intensitas kerusakan, ternyata data hasil sawi juga berpengaruh terhadap perlakuan yang diberikan, data hasil sawi untuk perlakuan A dan B masing-masing 50,0 dan 52,7 kg/petak, sedangkan perlakuan kontrol (C dan D) masing-masing hanya 30,0 dan 2,3 kg (Tabel 1). Berdasarkan hasil analisis di Laboratorium Agroresidu Pertanian, Balai Penelitian Lingkungan Pertanian di Bogor, bahwa salah satu senyawa aktif yang terdapat dalam tumbuhan kepayang adalah pyrethrin. Senyawa ini telah banyak diteliti, antara lain dinyatakan bahwa pyrethrin bekerja sangat cepat mengganggu jaringan saraf serangga sehingga dapat langsung membuat pingsan serangga, tetapi aman terhadap manusia dan hewan, namun jika tercium (inhalasi) oleh mamalia maka akan lebih meracun, karena proses inhalasi menyediakan lebih banyak jalur bagi pyrethrin mencapai aliran darah menuju otak. Selain itu pyrethrin tidak bekerja secara sistemik namun merupakan racun kontak yang bekerja cepat mempengaruhi sistem syaraf serangga sehingga menimbulkan gejala kelumpuhan dan kematian (Worthing, 1987). Pyrethrin merupakan racun kontak yang tidak meninggalkan residu, sehingga pestisida ini aman terhadap lingkungan. Pyrethrin cepat terurai oleh sinar matahari dan kelembaban udara, penguraian yang lebih cepat terjadi pada kondisi asam dan basa. Oleh sebab itu bahan yang mengandung pyrethrin tidak boleh dicampur dengan kapur. George (1983) menyatakan bahwa daya racun pyrethrin meningkat sejalan dengan semakin menurunnya temperatur. Zat ini menyerang simpul-simpul elektrokimia syaraf yang merupakan suatu jaringan penghubung antara organ tubuh (jaringan axon) seperti otot yang menerima rangsangan dari luar maupun dari dalam. Pyrethrin pada mulanya mempengaruhi sel syaraf dan akhirnya menggangu fungsi otot sehingga otot menjadi kejangkejang, akhirnya terjadi gejala paralisis yang diikuti dengan kematian. Namun demikian, pengaruh pyrethrin bersifat reversibel, yaitu serangga dapat pulih kembali apabila jumlah pyrethrin masih di bawah ambang toleransi serangga. Selain itu pyrethrin cepat terdegredasi di alam, khususnya apabila terkena sinar matahari sehingga zat ini tidak persisten baik di lingkungan maupun pada bahan makanan. Sifat khas ini mungkin akan menghambat terjadinya kasus resurgensi dan resistensi serangga terhadap pyrethrin, serta mencegah terjadinya polusi terhadap lingkungan Menurut Rumphius (1992) dalam Wardhana (1997) bahwa seluruh bagian pohon kepayang mengandung asam sianida yang sangat beracun dan dapat digunakan sebagai bahan pencegah busuk dan senyawa pembunuh serangga. Adapun sifat astiri dari racunnya memiliki keuntungan apabila digunakan karena tidak ada bau atau rasa apapun yang tertinggal pada tanaman yang diperlakukan. Sedangkan Nunik et.al (1997), mengemukakan bahwa kepayang dapat juga digunakan sebgai bahan pengawet ikan, diduga ekstrak kepayang atau bagian dari buah kepayang tersebut mengeluarkan bau spesifik yang dapat mempengaruhi syaraf lalat, sehingga lalat kurang menyukai ikannya. Selain itu ikan tidak terserang mikroflora seperti Aspergillus niger, A.ochraceus, Mucor sp dan Rhizupos sp.
304
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Tumbuhan kepayang dapat dibuat sebagai bahan utama insektisida nabati sehingga berpotensi mensubstitusi insektisida sintetik untuk mengendalikan ulat tritip agar proses resistensi pada hama serangga dapat dihambat 2. Penelitian selanjutnya perlu dilakukan dalam areal yang luas agar hasilnya lebih akurat. DAFTAR PUSTAKA Arinafril dan P. Muller. 1999. Aktivitas biokimia ekstrak nimba terhadap perkembangan Tritip xylostella. Dalam Prasadja, I., M. Arifin., I.M. Trisawa., I.W. Laba., E.A. Wikardi., D. Sutopo., Wiranto dan E. Karmawati (Ed). 381-385. Prosiding Seminar Nasional Peranan Entomologi dan Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor. Asikin. S., dan M.Thamrin. 2006. Pengendalian Hama Serangga Sayuran Ramah Lingkungan di Lahan Rawa Pasang Surut. Dalam Noor, M., I. Noor dan S.S. Antarlina (Ed). 73-86. Sayuran di Lahan Rawa: Teknologi Budidaya dan Peluang Agribisnis. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Balfas, R. 1994. Pengaruh ekstrak air dan etanol biji mimba terhadap mortalitas dan pertumbuhan ulat pemakan daun handeuleum, Doleschalia polibete. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. p. 203-207. Capinera, J.L. 2012. Diamondback Moth, Plutella xylostella (Linnaeus) (Insecta: Lepidoptera: lutellidae). University of Florida. 4p. Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan aplikasinya. PT. Agromedia Pustaka. 340 hal. George, W.W. 1983. Modes of action for insecticides. Pesticides: Theory and Application. The British Crop Protection Council. pp. 145-148. Grainge, M and S. Ahmed. 1987. Handbook of Plants with Pest Control Properties. New York: J. Wiley. 470 pp. Manuwoto, S. 1999. Pengendalian hama ramah lingkungan dan ekonomis. Dalam Prasadja, I., M. Arifin., I.M. Trisawa., I.W. Laba., E.A. Wikardi., D. Sutopo., Wiranto dan E. Karmawati (Ed). 1-12. Prosiding Seminar Nasional Peranan Entomologi dan Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor.
305
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Mudjiono, A., Suyanto dan W. Prihayana. 1994. Kemampuan insektisida nabati, mikroba dan kimia sintetis terhadap ulat Plutela xylostella. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. p. 86-90. Nunik St.Aminah, Enny. W. Lestari dan Supraptini. 1997. Penggunaan Ekstrak Buah Pucung Pangium edule Sebagai Penghambat Serangan Lalat pada Ikan Tongkol (Auxis thazard). Prosiding Seminar Nasional Tantangan Entomologi pada Abad XXI. PEI Cabang Bogor. Prakash, A and J. Rao. 1997. Botanical Pesticides in Agriculture. Boca Raton: Lewis Publishers. Samharinto., S dan Pramudi, I. 2007. Eksplorasi dan efikasi tumbuhan rawa yang berpotensi sebagai insektisida nabati. Laporan Hasil Penelitian Hibah Fundamental. Fak. Pertanian UNLAM Banjarbaru. Sastrodiharjo, S., I. Achmad., T. Kusumaningtyas dan S. Manaf. 1992. Penggunaan produk alam dalam pengendalian hama terpadu. PAU. Ilmu Hayati ITB. 29p. Schmutterer, H. 1995. The neem tree, Azadirachta indica A. Juss. And other Meliaceous plants: Source of Unique Nadtural Products for Integrated Pest Management, Medicine, Industry and Other Pusposes. Weinham: VCH.
Thamrin, M., S. Asikin, Mukhlis dan A. Budiman. 2007. Potensi ekstrak flora lahan rawa sebagai pestisida nabati. 31-48. Dalam Supriyo, A., M. Noor, I. Ar-Riza dan D. Nazemi (Ed) Keanekaragaman Flora dan Buah-buah Eksotik Lahan rawa. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Thamrin., M. 2009. Pemanfaatan insektisida nabati asal tumbuhan rawa untuk pengendalian ulat grayak dan plutela pada pertanaman kedelai dan sayuran di lahan rawa pasang surut yang berwawasan lingkungan. Kerjasama antara Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya lahan Pertanian dengan Lembaga Riset dan Teknologi. 14p. Wardhana, A., G. 1997. Penetapan LC 50 Ekstrak Pucuk Daun Kepayang (Pangium edule Rein W.) Terhadap Ulat Pemakan Daun Kubis (Tritip xylostella Linn.) Skripsi. Fak.Pertanian Unlam. Banjarbaru. Worthing, C.R. 1987. The Pesticide Manual, a World Compendium. The British Crop Protection Council pp. 726-730.
306
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Optimalisasi Peran Mitra Salimah dalam Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari di Provinsi Jambi The Partnership Optimization of Salimah for Developing of Sustainable Food House Model in Jambi Province Masito, Desy Novriati Dan Syafri Edi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Jl. Samarinda Paal V (Lima) Kota Baru Jambi
[email protected] ABSTRACT Ministry of Agriculture make an effort the development and dissemination of implementation Region Sustainable Food House Model ( m - KRPL ) activities with the concept of partnership . M - KRPL dissemination activities in Jambi can be realized by optimizing the role of partners in the implementation of activities . Based on the need for cooperation with partners in developing m - KRPL , then BPTP Jambi in cooperation with one of the mass organizations that Salimah (Muslimah Brotherhood) to undertake the development of m - KRPL in Jambi Province in 2013. Activity Partner m - KRPL Salimah held in Kenali Asam Bawah Village Kotabaru District of the city of Jambi. The aim of the partnership is to optimize the implementation of development of KRPL. Plants are cultivated : a) vegetable leaf crops , b) vegetable crops of fruit, c) crop-producing plants and d) medicine crops. Cultivation is done on the pile, polybag, rack storey, paste and hanging. From the results obtained that the number of RPL activity early are 30 families and at the end of the activity developed into 58 families or an increase 93,33 % . PPH beginning and end of the activity of 56,4 to 73,1 or an increase of 29,61 %. Dissemination and increase the number of RPL due to the role of socialization and mentoring teams and their m - KRPL optimal role of Salimah partners . Another positive impact of group participation in various competitions including utilization yard race in the city and district level, women's race caring environment in Jambi City. Keywords : Partner Salimah, optimization, development , m – KRPL
ABSTRAK Kementerian Pertanian mengupayakan pengembangan dan penyebarluasan implementasi kegiatan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (m-KRPL) dengan konsep kemitraan. Penyebarluasan kegiatan m-KRPL di Provinsi Jambi dapat diwujudkan dengan mengoptimalkan peran mitra dalam pelaksanaan kegiatan. Bertitik tolak dari perlunya kerjasama dengan mitra dalam mengembangkan mKRPL, maka BPTP Jambi bekerjasama dengan salah satu Organisasi Massa yaitu Salimah (Persaudaraan Muslimah) dalam melakukan pengembangan m-KRPL di Provinsi Jambi pada Tahun 2013. Kegiatan m-KRPL Mitra Salimah
307
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
dilaksanakan di Kelurahan Kenali Asam Bawah Kecamatan Kotabaru Kota Jambi. Tujuan kemitraan adalah mengoptimalisasikan implementasi pengembangan KRPL. Tanaman yang dibudidayakan: a) tanaman sayuran penghasil daun, b) tanaman sayuran penghasil buah c) tanaman penghasil crop dan d) tanaman obat keluarga. Budidaya tanaman dilakukan pada bedengan, polybag, rak-rak bertingkat, tempel dan gantung. Dari hasil kegiatan diperoleh bahwa jumlah RPL awal adalah 30 KK dan pada akhir kegiatan berkembang menjadi 58 KK atau terjadi peningkatan 93,33%. PPH awal sebesar 56,4 dan diakhir kegiatan menjadi 73,1 atau terjadi peningkatan sebesar 29,61%. Penyebarluasan dan penambahan jumlah RPL disebabkan peran sosialisasi dan pendampingan tim m-KRPL dan adanya peran yang optimal dari mitra Salimah. Dampak positif lainnya adalah keikutsertaan kelompok dalam berbagai perlombaan diantaranya lomba Pemanfaatan Pekarangan tingkat kecamatan dan kota dan lomba perempuan peduli Lingkungan tingkat Kota Jambi. Kata Kunci : Mitra Salimah, optimalisasi, pengembangan, m-KRPL PENDAHULUAN
Lahirnya program m-KRPL dilatarbelakangi oleh upaya untuk mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan yang masih mengalami banyak tantangan. Pemanfaatan lahan pekarangan untuk pengembangan pangan rumah tangga merupakan salah satu alternatif kebijakan dalam mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan (Saptana. 2012). Prinsip pengembangan KRPL adalah mendukung upaya: (1) Ketahanan dan kemandirian pangan keluarga, (2) Diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal, (3) Konservasi tanaman pangan untuk masa depan, dan (4) Peningkatan kesejahteraan keluarga (Kementan, 2011). Pengembangan KRPL diimplementasikan melalui pemanfaatan lahan pekarangan di perkotaan maupun di perdesaan. Pemanfaatan pekarangan dapat dilakukan dengan menerapkan budidaya tanaman sayuran, buah-buahan, tanaman pangan, tanaman obat keluarga (toga), budidaya ikan, dan ternak. Kelestarian pemanfaatan pekarangan menuntut adanya : (1) Infrastruktur, (2) Kelembagaan dan partisipasi aktif local champion, (3) Ketersediaan benih/bibit melalui pengembangan Kebun Bibit Desa (KBD) atau Kebun Bibit Kelurahan (KBK), yang dapat mensuplai kebutuhan benih/bibit anggota masyarakat yang menerapkannya secara berkelanjutan, dan (4) Dukungan pemerintah daerah (Badan Litbang Pertanian, 2011). Pengembangan m-KRPL utamanya untuk meningkatkan ketahanan pangan keluarga dan antisipasi pada saat harga pangan melonjak tinggi (Novitasari, 2011). Sasaran pola penataan pekarangan melalui penerapan budidaya berbagai komoditas diharapkan dapat meningkatkan nilai Pola Pangan Harapan (PPH). Perbaikan ekonomi keluarga dapat diciptakan atau ditingkatkan melalui pengembangan Rumah Pangan Lestari (RPL). Secara umum, penerapan m-KRPL lebih banyak menyentuh peran perempuan atau ibu rumah tangga dalam pengelolaannya, maka program ini diharapkan relatif mudah dan cepat 308
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
disebarluaskan serta lebih efektif jika menggandeng kelompok organisasi massa berbasis gender (wanita). Pengembangan m-KRPL di setiap provinsi dilaksanakan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), yang dikoordinasikan oleh Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP). Pengembangan model-KRPL juga dilakukan melalui sosialisasi, pelatihan, dan advokasi kepada berbagai pemangku kepentingan (stakeholders), seperti Pemerintah Daerah, BKP, Haryono Suyono Center, DWP BPS, MenKUM dan HAM, SESKOAD, TNI-AD, Badan Narkotika Nasional, Organisasi Muslimah (Salimah), Solidaritas Isteri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB), dan sebagainya (Badan Litbang Pertanian, 2013). Kementerian Pertanian melalui BPTP telah melakukan kerjasama dengan SIKIB untuk pengembangan m-KRPL dan replikasi KRPL di 11 lokasi pada tujuh provinsi sejak tahun 2012, serta kegiatan berupa workshop dan Training of Master Trainers (TOMT) bagi fasilitator Salimah di 11 provinsi potensial pada tahun 2011. Komitmen kerjasama mendukung pengembangan KRPL telah dituangkan dalam nota kesepahaman antara Menteri Pertanian dengan berbagai mitra yaitu: (1) Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB), (2) Organisasi Muslimah (Salimah), MoU tanggal 10 Oktober 2011; dan (3) TNI-AD (Nota Kesepahaman No.03/MoU/ PP.310/M/4/2012 dan No.NK/9/IV/2012 yang ditandatangani Menteri Pertanian dan Panglima Angkatan Darat pada tanggal 13 April 2012), dan diturunkan dalam Kesepakatan Kerjasama antara Badan Litbang Pertanian dengan TNI-AD (KKS No.1160/HM.240/I/11/2012 dan No. Kerma/10/XII/2012 tanggal 13 November 2012) (Andianyta et al, 2012; Dewi et al, 2012; Badan Litbang Pertanian, 2012). Inovasi teknologi budidaya tanaman pada lahan pekarangan relatif sama dengan budidaya tanaman pada lahan terbuka, yang membedakan adalah pada lahan pekarangan sekala penanaman relatif lebih sempit dan terbatas baik jumlah maupun jenis tanaman yang dibudidayakan (Edi dan Endrizal, 2009). Secara umum lahan pekarangan dapat digolongkan pada tiga strata, yaitu strata sempit, sedang dan luas (BBP2TP, 2011). Budidaya yang dilakukan pada masing-masing strata dengan vertikultur menggunakan rak-rak kayu atau bambu bertingkat sebagai tempat meletakkan polybag yang telah berisi tanaman, gantung dan tempel. Sedangkan pada strata 3 dibuat bedengan dan dapat ditambahkan kolam ikan terpal atau kandang ayam yang disesuaikan dengan bentuk lahan pekarangan. Bertitik tolak dari perlunya kerjasama dengan mitra dalam mengembangkan KRPL, maka peran BPTP Jambi pada tahun 2013 adalah melakukan pengembangan m-KRPL bekerjasama dengan Salimah di Provinsi Jambi. Tujuan kegiatan adalah mengimplementasikan teknologi budidaya dan mengetahui respon masyarakat terhadap perkembangannya pada Kawasan Rumah Pangan Lestari di Provinsi Jambi.
309
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
BAHAN DAN METODE Pendekatan . Pendekatan yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah pendekatan partisipatif dengan penekanan pada keikutsertaan mitra Salimah sebagai penggerak utama di lapangan dan masyarakat setempat sebagai pelaksana teknis. Model pendekatan sebelum dan selama kegiatan berlangsung adalah : sosialisasi, pertemuan rutin, pelatihan dalam rangka memberikan pemahaman dan persamaan persepsi tentang konsep m-KRPL, pelatihan dalam rangka sharing knowledge terkait budidaya tanaman dan pemberdayaan mitra bersama masyarakat dalam mewujudkan konsep m-KRPL di lokasi yang telah ditentukan. Optimalisasi hasil kegiatan diperoleh dengan adanya pendampingan/pengawalan teknologi dari BPTP Jambi. Waktu dan Tempat. Pelaksanaan kegiatan dimulai pada bulan Juli 2013 hingga Desember 2013. Kegiatan dilaksanakan di Kelurahan Kenali Asam Bawah Kecamatan Kotabaru Kota Jambi. Penentuan lokasi kegiatan berkoordinasi dengan Pengurus Wilayah (PW) Salimah Provinsi Jambi, Dinas Pertanian dan BKPP Kota Jambi serta instansi terkait lainnya tingkat kota, kecamatan dan kelurahan, sehingga tidak terjadi tumpangtindih kegiatan dan lokasi kegiatan dianggap dapat dan mampu melaksanakan kegiatan sesuai dengan pedoman dari Badan Litbang Pertanian. Bahan. Bahan yang digunakan adalah bibit tanaman sayuran penghasil daun (seledri, pakcoy, bayam, kangkung, selada, kailan, dan bawang daun), tanaman sayuran penghasil buah (tomat, cabai rawit, cabai keriting, terong, kacang panjang, timun, pare dan gambas), tanaman penghasil crop (kubis dan kembang kol) dan tanaman obat keluarga (toga). Inovasi budidaya yang diimplementasikan adalah : budidaya secara vertikultur menggunakan rak-rak bertingkat (tingkat 1, 2 dan 3) terbuat dari kayu dan bambu tempat meletakkan polybag yang telah ditanami tanaman, sistem gantung dan tempel dibuat sesuai dengan bentuk pekarangan serta pemberdayaan kebun kelompok sebagai tempat sekolah lapang dan sumber penghasilan kelompok. Lahan kebun kelompok relatif lebih lauas sehingga penanaman dapat dilakukan pada bedengan dan ditambahkan kolam ikan terpal. Sebelum tanaman ditanam, terlebih dahulu dilakukan persemaian pada kebun bibit. Media persemaian terdiri dari tanah humus yang telah diayak, pupuk organik dan pasir. Sedangkan media tanam pada polybag terdiri dari campuran tanah humus, pupuk organik dan sekam bakar. Perbandingan media tanam ditentukan oleh kandungan hara, terutama tingkat kesuburan tanah. Tanaman siap dipindahkan ke polybag atau bedengan apabila sudah memiliki 35 helai daun dan dipilih tanaman yang sehat dan seragam. Data yang dikumpulkan adalah : data sekunder yang menunjang kegiatan, dan data primer berupa : jumlah RPL awal, jumlah RPL akhir, jumlah PPH awal, jumlah PPH akhir, penghematan dan penambahan pendapatan. Data ditabulasi dan dianalisis menggunakan parameter statistik sederhana seperti persentase, nilai maksimum, nilai minimum, dan nilai rata-rata sehingga mudah dimengerti dan dapat diambil kesimpulan.
310
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
HASIL Pelaksanaan m- KRPL Mitra Dengan Salimah. Kegiatan m-KRPL mitra dengan Salimah dilaksanakan di komplek perumahan Splatur Permata Sari Kelurahan Kenali Asam Bawah Kecamatan Kotabaru Kota Jambi. Secara administratif Kelurahan Kenali Asam Bawah berada di Kecamatan Kotabaru Kota Jambi, memiliki luas 1650 ha, berada pada ketinggian 10 m dpl, dengan suhu berkisar antara 28-30oC, curah hujan 2000-2500 mm per tahun, terdapat bulan basah pada Oktober sampai Maret sedangkan bulan kering pada April sampai September. Jumlah penduduk di Kelurahan Kenali Asam Bawah 4.849 KK, dengan jumlah jiwa 16.409 orang. Tabel 1 dan 2 menyajikan gambaran umum kegiatan dan penggunaan lahan di Kelurahan Kenali Asam Bawah Kota Jambi. Pemilik lahan tidak menggarap lahan, jumlahnya cukup besar 215 KK. Jumlah buruh tani sebanyak 215 KK, kemudian pemilik lahan menggarap 183 KK dan petani penggarap 143 KK, juga terdapat 7 KK yang bergerak dibidang agro industri/pengolahan hasil dan 10 KK bergerak dibidang agro niaga/pemasaran hasil pertanian. Tabel 1. Gambaran Umum Sektor Pertanian di Kelurahan Kenali Asam Bawah, Kotabaru Jambi, 2013 No. Uraian/Kegiatan Jumlah KK 1. Pemilik lahan tidak menggarap 215 2. Pemilik lahan menggarap 183 3. Petani penggarap (lahan tidur) 143 4. Buruh tani 215 5. Agro industri/pengolahan hasil 7 6. Agro niaga/pemasaran hasil 10 Sumber : Yenni Choiriah, Programa Penyuluhan Pertanian, 2013 Di Kelurahan Kenali Asam Bawah masih terdapat lahan-lahan tidur baik ukuran relatif besar maupun dalam bentuk kaplingan untuk perumahan, sebelum lahan tersebut digunakan untuk bangunan petani penggarap akan memanfaatkan untuk tanaman palawija atau sayuran. Penggunaan lahan didominasi oleh jalan, gudang dan sarana umum seperti sekolah, masjid, puskesmas dan lain sebagainya, tegalan 575 ha dan pekarangan 456 ha. Lahan pekarangan sangat memungkinkan dimanfaatkan untuk kegiatan RPL, terutama untuk memenuhi kebutuhan harian rumah tangga terhadap sayuran, bumbu dapur, tanaman buah, ternak dan kolam ikan. Tabel 2. Penggunaan Lahan Kelurahan Kenali Asam Bawah, Kota Jambi, 2013 No. 1.
Jenis penggunaan lahan luas (Ha) Persentase (%) Pekarangan 456 27,63 Tegalan 575 34,85 Kolam ikan 25 1,52 Lain-lain 594 36,00 Jumlah 1650 100 Sumber : Yenni Choiriah, Programa Penyuluhan Pertanian, 2013
311
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Titik koordinat lokasi kegiatan S 01o39’04.8” dan E 103o.35’2” dengan ketinggian 13 m dpl. Lokasi kegiatan cukup strategis untuk kegiatan KRPL model perkotaan dengan strata sempit dan sedang. Lokasi lahan pembangunan KBD dan kebun pangan kelompok mudah untuk dikunjungi karena terletak disekitar KRPL dan fasilitas umum (Masjid dan lapangan olah raga). Implementasi kegiatan KRPL dengan bermitra Salimah menunjukkan hasil yang baik. Lahan kosong yang semula tidak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dapat diubah menjadi area KBD (Kebun Bibit Desa). Lahan pekarangan sempit ‘standar’ perumahan yang semula dianggap kurang memadai untuk ditanami karena tergolong ke dalam lahan sempit, dapat ditata menjadi teras ‘hijau’ dengan tanaman sehat dan bergizi. Peran Salimah dalam memotivasi kaum ibu untuk berpartisipasi mewujudkan taman sayuran disetiap rumah warga membuahkan hasil. Terjadi penambahan RPL hingga akhir kegiatan, terwujudnya upaya untuk menambah penghasilan kelompok dari penjualan bibit dan adanya penghematan pengeluaran keluarga karena telah tersedianya sebagian bahan makanan disekitar mereka. Nilai PPH masyarakat setempat meningkat karena terjadi perobahan pola makan harian dari belum menkonsumsi sayuran ke menkonsumsi sayuran, perobahan ini terjadi karena hasil dari sayuran dilahan pekarangan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya sayuran dalam pola makan harian. Hasil kerja keras mitra mewujudkan m-KRPL di komplek Perumahan Spalatur Kelurahan Kenali Asam Bawah ditunjukkan dengan adanya “Launching m-KRPL Salimah” yang dihadiri oleh Tim PKK Provinsi Jambi, PKK Kota Jambi, Dinas Pertanian dan instansi terkait lainnya tingkat kecamatan dan kelurahan serta Ketua Pengurus Pusat (PP) Salimah.
PEMBAHASAN Peran mitra Salimah pada pengembangan model KRPL di Provinsi Jambi dikukuhkan dengan adanya puncak kegiatan mitra yang diselenggarakan bersama PP Salimah, masyarakat sekitar dan instansi terkait. Puncak acara mitra ditandai dengan “Launching KRPL Mitra Salimah”. Kegiatan launching menjadi upaya mensosialisasi KRPL ke jaringan yang lebih luas sehingga kegiatan yang sama dapat direplikasi di area lain. Peran mitra Salimah dalam pengembangan KRPL dianggap cukup efektif hal ini disebabkan oleh adanya jaringan organisasi massa wanita Salimah hingga ke pelosok desa. Salimah merupakan kumpulan para wanita yang secara psikologis memiliki kemudahan untuk mentransfer knowledge dan melakukan pemberdayaan kepada masyarakat sekitar lokasi yang notabene penggeraknya adalah ibu rumah tangga. Peran wanita dalam menggerakkan usaha pertanian atau budidaya tanaman sangat besar. Oelviani (2012) menyebutkan bahwa berdasarkan hasil penelitian di Desa Ngorombo Kabupaten Sragen diketahui kontribusi nyata tenaga kerja wanita pada pengelolaan lahan pekarangan cukup dominan. Kaum wanita memiliki waktu yang relatif lebih banyak dilingkungan sekitar dibandingkan kaum laki-laki sehingga wanita dapat menyediakan waktu lebih intens untuk pengelolaan KBD dan pekarangan masing-masing. Sebagian besar wanita memiliki minat yang kuat dalam bercocok tanam dan menata pekarangan menjadi lebih bermanfaat bagi keluarganya. Yunita, 2004 menyebutkan dalam Hutapea, Y. et al., 2012 : Sektor pertanian membutuhkan kontribusi wanita dalam berbagai aktivitas pertanian
312
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
seperti; proses produksi, panen dan pascapanen. Wanita mampu memberi sumbangan besar dalam menambah penghasilan keluarga, bekerja di lahan pertanian baik menjadi buruh tani ataupun dilahan sendiri dan wanitapun memiliki kemampuan membagi waktu untuk mengurus rumah tangga dan pekerjaan diluar keluarga. Salimah dengan komunitas wanitanya sangat efektif menyambung komunikasi dengan masyarakat ataupun dengan ibu-ibu yang terlibat langsung dalam pengelolaan dan penataan KRPL. Keuntungan secara psikologis dan kesamaan gender menjadikan peran Salimah dalam mengoptimalisasikan kegiatan m-KRPL menjadi lebih mudah dan strategis. Pelaksanaan kegiatan mKRPL di Kelurahan Kenali Asam Bawah bersama Salimah mampu memberikan pengaruh positif bagi pemberdayaan wanita, pengelolaan lahan pekarangan dan peningkatan ekonomi keluarga. Pengaruh positif yang dimaksud dapat dilihat pada implementasi kegiatan m-KRPL; 1. Implementasi Perkembangan m-KRPL mitra Salimah Jumlah RPL menunjukkan adanya penambahan hingga akhir kegiatan, jumlah RPL awal adalah 30 KK dan berkembang menjadi 58 KK atau terjadi peningkatan 93,33%. Replikasi terjadi sebagai akibat dari adanya interaksi antar masyarakat di lingkungan terdekat dengan KBD dan lokasi KRPL. Kunjungan dari masyarakat diluar area kawasan yang sering kali dilakukan menjadi daya ungkit bagi pihak lain untuk mengaplikasikan RPL di lahan pekarangan yang mereka miliki. Terjadi peningkatan nilai PPH; awal kegiatan 56,4 dan akhir kegiatan 73,1 atau terjadi peningkatan sebesar 29,61%. Terjadinya peningkatan PPH disebabkan perubahan pola makan harian masyarakat, dari belum atau kurang mengkonsumsi sayuran menjadi mengkonsumsi sayuran sehingga pola makan Beragam Bergizi Seimbang dan Aman (B2SA) dapat dipenuhi. Tabel 3. Implementasi Perkembangan KRPL Mitra Salimah, Jambi 2013 Kelurahan Awal Kenali Asam Bawah
30
Jumlah RPL (KK) Akhir Peningkatan (%) 58
93,33
Awal 56,4
Jumlah PPH Akhir Peningkatan (%) 73,1 29,61
2. Perbaikan Ekonomi Keluarga Implementasi KRPL memberi pengaruh terhadap perbaikan ekonomi keluarga. Keluarga yang memanfaatkan pekarangan dengan tanaman sayuran tidak perlu membeli keperluan sayuran untuk konsumsi rumah tangga. Biaya belanja rutin keluarga yang harus dikeluarkan untuk menyediakan sayuran dapat dihemat dengan adanya RPL karena masyarakat dapat panen sayuran dari lahan sendiri. Penghematan belanja harian terutama untuk sayuran dan toga dengan kisaran Rp. 90.000 sampai dengan Rp. 150.000 per bulan atau dengan rata-rata Rp. 125.000 per bulan (Tabel 4). Pengelolaan KBD yang baik memberi sumbangan bagi perekonomian anggota KWT karena KWT telah mampu memasarkan berbagai macam bibit sayuran seperti bibit sayuran penghasil daun seledri, sawi, selada, kailan dan
313
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
pakcoy serta bibit sayuran penghasil buah seperti tomat, cabai dan terong kepada masyarakat sekitar dan masyarakat dari luar area KBD. Tabel 4. Penghematan dan Penambahan Pendapatan Keluarga per Bulan, KRPL Mitra Salimah Jambi 2013 Penghematan per
Kelurahan
Komoditi
Kenali Asam Bawah
Sayuran daun, Sayuran buah, dan toga
bulan (Rp.)
90.000 s/d 150.000
Rataan penghematan (Rp) 125.000
Penerimaan penjualan bibit dan tanaman
(Rp.) 300.000
Kegiatan penjualan bibit dan tanaman di mulai pada bulan Oktober sampai Desember 2013. Rata-rata perbulan penerimaan hasil penjualan bibit dan tanaman rata-rata Rp. 300.000/bulan. Bibit dan tanaman yang dijual mulai dari sayuran daun, sayuran buah, dan kacang-kacangan (kacang tanah). Hasil dari penjualan ini sebagian di masukkan ke dalam uang kas kelompok dan sebagian lagi di gunakan untuk membeli sarana dan prasarana KRPL yang dibutuhkan. Dampak positif lainnya antara lain KWT mengikuti beberapa lomba yang diadakan baik dari tingkat kecamatan maupun Kota Jambi. Lomba yang diikuti antara lain : 1. lomba pemanfaatan pekarangan tingkat Kecamatan Kotabaru dan mendapat juara 1 2. Lomba pemanfaatan pekarangan tingkat Kota Jambi dan masih menunggu hasil 3. Perempuan Peduli Lingkungan untuk bulan Desember 2014 tingkat Kota Jambi KESIMPULAN Pengembangan m-KRPL dapat diwujudkan dengan mengoptimalkan mitra kerja. Membangun kerjasama dengan mitra membutuhkan konsistensi dan perancanaan yang matang sebelum implementasi kegiatan. Pelaksanaan kegiatan m-KRPL Mitra Salimah memberikan hasil positif terhadap perkembangan jumlah RPL, bertambahnya nilai PPH dan terjadinya penghematan rumah tangga. Penumbuhan dan penguatan kelembagaan mutlak dibutuhkan untuk menjaga kelestarian penerapan konsep m-KRPL. DAFTAR PUSTAKA Andianyta A., Maesti Mardiharini dan Sri Sulianti, 2012. Modul Training of Trainers Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari. Modul 2: Menumbuhkan dan Mengembangkan Kawasan Rumah Pangan Lestari. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Kemterian Pertanian 2012. BBP2TP, 2011. Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. BBP2TP, Badan Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianKementerian Pertanian.
314
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Badan Litbang Pertanian. 2011. Panduan Umum Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Jakarta. Badan Litbang Pertanian, 2012. Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Litbang Pertanian, 2013. Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari dan Seinergi Program TA. 2013. Badan Penelitian dan Pengambangan Pertanian Kementerian Pertanian. Dewi Y.A., Maesti Mardiharini dan Achmad Subaidi, 2012. Modul Training of Trainers Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari. Modul 1: Model Pertanian Perkotaan. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Kemterian Pertanian 2012. Edi S., dan Endrizal, 2009. Kajian Budidaya dan Analisis Komparatif Usahatani Sayuran Pada Kawasan Prima Tani Paal Merah Kota Jambi. Kumpulan Makalah Seminar Ilmiah Perhorti 2009. Perhimpunan Hortikultura Indonesia Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hutapea, Y dan Suparwoto. 2012. Perspektif Gender dalam Implementasi Kawasan RPL di Kelurahan Talang Keramat Kecamatan Talang Kelapa Kabupaten Banyu Asin Palembang. Prosiding. Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan. Semarang. Kementerian Pertanian. 2011. Panduan Kawasan Rumah Pangan Lestari. Jakarta. Novitasari, E. 2011. Studi Budidaya Tanaman Pangan di Pekarangan Sebagai Sumber Ketahanan Pangan Keluarga (Studi Kasus di Desa Ampel Gading Kecamatan Tirtoyudo Kabupaten Malang). Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang. Oelviani, R. 2012. Peran Wanita Tani pada Optimalisasi Lahan Pekarangan untuk Kemandirian Pangan Rumah Tangga di Desa Ngrombo Kabupaten Sragen. Prosiding. Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan. Semarang. Saptana. 2012. Analisis Kebijakan dan Program Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (m-KRPL). Laporan Akhir Penelitian TA. 2012. PSE Badan Litbang Pertanian. Yenni Choiriah. 2013. Programa Penyuluh Pertanian WKPP Kenali Asam Bawah Kecamatan Kota Baru Kota Jambi. Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kota Jambi UPT Balai Penyuluhan Kotabaru.
315
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Prospek Pemanfaatan Pestisida Nabati Berbasis Minyak Cengkeh di Lahan Pasang Surut Prospect on the Utiliation of Clove Oil Based Pesticide on Tidal Land Wiratno Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Jl. Kol H. Burlian No. 83 km 6, Palembang Email:
[email protected] ABSTRACT Clove (Syzygium aromaticum) is one of Indonesian native plant widely cultivated in the provinces of Nangro Aceh Darussalam, West Java, Central Java, East Java, Bali, Benten, South Sulawesi, Central Sulawesi, North Sulawesi, and Maluku. Initially clove is used as ingredients and spices that has a high selling value. Lately, the increasingly widespread use of clove is due to the use as a raw material for various types of drugs and perfumes. Results of the study show that clove oil eugenol-containing compounds also can be used as an active ingredient of botanical pesticide. Utilization of botanical pesticide made from clove oil to control pests in rice plants to control brown plant hopper, Nilaparvata lugens, in tidal land is estimated to have a high potential value considering eogenol also acts as bactericidal compounds that is able to control crackle disease, which nowaday becomes one of the important diseases in that suboptimal land. Key words: Clove, rice, tidal land, botanical pesticide
ABSTRAK Cengkah (Syzygium aromaticum) merupakan salah satu tanaman asli Indonesia yang dibudidayakan secara luas di beberapa provinsi seperti Nangro Aceh Darussalam, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan provinsi Maluku. Pada awalnya cengkeh banyak dimanfaatkan sebagai bahan rempah yang mempunyai nilai jual tinggi. Belakangan ini pemanfaatan cengkeh semakin luas yaitu sebagai bahan baku berbagai jenis obat-obatan dan parfum. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak cengkeh mengandung senyawa eugenol dan dapat dipergunakan sebagai bahan aktif pestisida nabati. Pemanfaatan pestisida nabati berbahan baku minyak cengkeh untuk mengendalikan hama pada tanaman padi seperti Nilaparvata lugens di lahan pasang surut diperkirakan mempunyai potensi tinggi mengingat senyawa eugenol juga bersifat bakterisidal sehingga sekaligus mampu mengendalikan serangan penyakit kresek yang saat ini menjadi salah satu penyakit penting di lahan suboptimal tersebut. Kata kunci: cengkeh, padi, pasang surut, pestisida nabati.
316
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PENDAHULUAN Pemanfaatan pestisida nabati dalam pengendalian hama telah lama dilakukan terutama di negara-negara yang telah mengenal dan memanfaatkan herbal dalam kehidupannya sehari-hari (Yang and Tang, 1988). Hingga kini cara kerja bahan tanaman yang satu dengan yang lainnya diketahui sangat berbeda dan masih kurang dipahami para ilmuwan. Namun, karena potensinya yang besar maka akhir-akhir ini pestisida berbahan baku asal tanaman semakin banyak dipertimbangkan untuk dipergunakan khususnya dalam strategi pengelolaan hama (Roger, 1997). Pestisida nabati pada dasarnya memanfaatkan senyawa sekunder tumbuhan sebagai bahan aktifnya. Senyawa ini berfungsi sebagai penolak, penarik, dan pembunuh hama, serta penghambat nafsu makan dan pertumbuhan hama. Penggunaan bahan-bahan tanaman yang telah diketahui memiliki sifat tersebut, khususnya sebagai bahan aktif pestisida nabati, diharapkan mampu mensubstitusi penggunaan pestisida sintetis. Dengan demikian, residu bahan kimia sintetis pada berbagai produk pertanian yang diketahui membawa berbagai efek negatif bagi alam dan kehidupan di sekitarnya dapat ditekan serendah mungkin. Pemanfaatan pestisida nabati mempunyai beberapa keuntungan yang sekaligus menjadi kelemahannya. Salah satu di antaranya adalah bahan aktif pestisida nabati cepat terurai sehingga residunya relatif tidak mencemari lingkungan dan produk pertanian relatif aman dikonsumsi, walaupun sesaat sebelum panen petani masih melakukan tindakan pengendalian OPT. Namun demikian, karena sifatnya yang mudah terurai maka untuk mendapatkan hasil yang optimal pestisida nabati harus diaplikasikan lebih intensif dari pestisida sintetis. Keuntungan lainnya bahwa toksisitas pestisida nabati relatif rendah sehingga aman bagi hewan ternak pelihaaan, serangga berguna seperti parasit dan predator, petani pekerja, dan konsumen. Karena sifatnya yang demikian, maka pestisida nabati jarang yang memiliki knock down effect seperti yang ada pada pestisida sintetis. Kenyataan ini kadangkala menurunkan tingkat kepercayaan petani terhadap keampuhan pestisida nabati dalam mengedandalikan OPT di pertanamannya. Keuntungan lainnya yang tidak kalah penting adalah pembuatan pestisida nabati relatif mudah. Namun, kondisi ini terkendala oleh ketersediaan bahan baku yang sangat terbatas sehingga produksi massal masih sulit dilakukan. Oleh karena itu, pemanfaatan pestisida nabati dalam skala rumah tangga/tingkat petani harus digalakkan secara terus menerus, khususnya guna mendukung program pemerintah menuju pertanian yang berkelanjutan. Beberapa contoh senyawa sekunder tanaman yang dapat dipergunakan sebagai bahan aktif pestisida nabati adalah geraniol dan sitronellal yang dikandung dalam minyak seraiwangi (Andropogon nardus). Kedua senyawa ini dilaporkan mampu menolak berbagai jenis nyamuk. Senyawa sekunder tanaman lainya adalah metil eugenol yang terkandung di dalam minyak tanaman melaleuca (Melaleuca brachteata) terbukti mampu menarik lalat buah Acanthiophilus helianthi jantan (Saedi and Nur, 2011). Senyawa nikotin yang terkandung di dalam tanaman tembakau (Nicotiana tabacum) efektif membunuh Clavigralla tomentoscollis (Stat) dan Riptortus dentipes (Fab.) (Opolot et al., 2006). Senyawa
317
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
pyrethrin yang dikandung di dalam tanaman pyrethrum (Chrysantenum cinerarireum) terbukti efektif membunuh hama gudang seperti Sitophilus granarius (L) (Biebel et al., 2003), Rhyzopherta dominica (F) (Athanassiou and Kavallieratos, 2005) dan Tribolium confusum (DuVal) (Vayias et al., 2006). Senyawa azadirachtin dari tanaman mimba (Azadirachta indica A. Juss) efektif menghambat nafsu makan larva dari ordo Lepidoptera (Nathan et al., 2006). SIFAT PESTISIDAL MINYAK CENGKEH Tanaman cengkeh terutama bunga dan daunnya dapat disuling menghasilkan senyawa volatil seperti eugenol (Ketaren, 1985), eugenol asetat, dan metil eugenol (Asman et al., 1997). Kandungan eugenol di dalam minyak cengkeh berkisar antara 70-90% dan merupakan cairan tak berwarna atau kuning pucat dan apabila terpapar cahaya matahari maka wananyya akan berubah menjadi coklat hitam yang berbau spesifik (Bulan, 2004). Kandungan eugenol asetat dan metil eugenol di dalam minyak bunga, daun, dan gagang bunga cengkeh hanya dalam jumlah yang sangat kecil dan kurang dimanfaatkan dalam berbagai kegiatan industry (Ketaren, 1985). Sifat pestisidal senyawa eugenol yang terkandung di dalam minyak cengkeh telah banyak diteliti dan dilaporkan efektif diantaranya untuk mengendalikan serangan keong mas, Pomacea sp., (Wiratno et al., 2011a), dan hama penghisap bunga lada, Diconocoris hewetti, (Wiratno et al., 2011b). Senyawa tersebut telah diteliti dan dilaporkan pula mampu menolak hama gudang yang menyerang biji jagung (Sitophyllus zeamais Motsch) (Ho et al., 1994), tungau yang menyerang ternak (Dermanyssus gallinae (De Geer)) (Kim et al., 2004), dan parasit pada sapi (Iodes ricinus (L)) (Thorsell et al., 2006). Senyawa eugenol dilaporkan pula dapat menekan bahkan mematikan pertumbuhan miselium jamur, bakteri, dan nematoda sehingga dapat dipergunakan pula sebagai fungisida, bakterisida, dan nematisida nabati. Sebagai fungisida nabati minyak cengkeh telah dilaporkan cukup potensial untuk mengendalikan patogen tanah seperti Phytophthora capsici, Rigidophorus lignosus, Sclerotium sp, dan Fusarium Oxysporum. Sebagai bakterisida, minyak cengkeh dilaporkan efektif secara in–vitro terhadap bakteri Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus dan Escherisia coli (Asman et al., 1997). Sebagai nematisida minyak cengkeh berpengaruh terhadap populasi nematoda puru akar, Melodogyne incognita (Wiratno et al., 2009). Berdasarkan informasi tersebut diyakini bahwa potensi minyak cengkeh sebagai bahan aktif pestisida nabati cukup besar mengingat kisaran kerjanya sangat beragam yaitu dapat mengendalikan OPT dari kelas insekta, moluska, fungi, bakteri, hingga nematoda. FORMULASI DAN APLIKASI PESTISIDA NABATI Pemanfaatan cengkeh sebagai bahan aktif pestisida nabati dapat dilakukan melalui dua cara yaitu langsung menggunakan bahan dasarnya baik berupa daun maupun bunganya atau menggunakan minyak hasil penyulingan daun dan bunga cengkeh. Pada cara pertama, daun atau bunga cengkeh yang telah dihancurkan dapat dimanfaatkan sebagai pestisida nabati dengan cara mencampurkannya dengan kompos lalu dipergunakan sebagai mulsa. Metode ini telah terbukti
318
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
mampu menekan serangan beberapa penyakit tanaman seperti penyakit penting pada tanaman lada dan panili masing-masing yang disebabkan oleh serangan Phytophthora palmivora dan Fusarium oxysporum. Pemanfaatan tepung bunga cengkeh yang langsung ditaburkan di atas permukaan tanah dilaporkan mampu mengendalikan populasi nematoda Meloidogyne incognita dan Rodhopulus similis pada tanaman lada sehingga menekan serangan penyakit kuning yang telah menjadi salah satu penyakit penting tanaman lada. Formulasi pestisida nabati dilakukan dengan mencampurkan minyak nabati dengan minyak bumi, dan sabun cair dengan komposisi 3:6:1. Namun demikian komposisi tersebut dapat disesuaikan dengan OPT sasaran dan berdasarkan pengalaman petani di lapangan. Makin kecil OPT sasaran maka porsi minyak nabati dapat dikurangi. Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan agar efektifitas formula dalam mengendalikan OPT menjadi optimal adalah komposisi sabun cair di dalam formula harus sedemikian rupa sehingga formula dapat teremulsi sempurna di dalam air. Formula yang baik bila dicampur air akan berwarna putih susu dan seluruh minyak dapat teremulsi sempurna di dalam air. Konsentrasi efektif yang biasa dipergunakan adalah 10cc/liter air dan dapat disesuaikan tergantung OPT sasaran dan pengalaman petani di lapangan (Wiratno et al., 2014). PEMANFAATAN PESTISIDA NABATI DI LAHAN PASANG SURUT Pestisida nabati berbasis minyak cengkeh telah diteliti dan dilaporkan efektif untuk mengendalikan populasi dan serangan wereng batang cokelat, Nilaparvata lugens (Wiratno, 2014). Penggunaan pestisida ini di lahan pasang surut yang banyak tersebar di Sumatera Selatan diperkirakan mempunyai prospek yang sangat baik untuk dikembangkan. Karena salah satu OPT penting lainnya yang menyerang tanaman padi di lahan sub-optimal tersebut adalah penyakit kresek yang disebabkan oleh serangan bakteri Xanthomonas campestris pv.oryzae. Penyakit ini pada bulan Februari 2012 telah menyebar di 4 Kabupaten yakni Kabupaten Ogan Komering Ilir (Kec. Lempuing dan Lempuing Jaya), Ogan Komering Ulu (Kec. Baturaja Timur dan Pengandonan), Ogan Komering Ulu Timur (Kec. Belitang Mulya, Belitang III, Belitang) dan kabupaten Muara Enim (Kec. Tanjung Agung). Menurut Mev dan Cru (2001), serangan penyakit ini dapat menyebabkan kehilangan hasil mencapai lebih dari 70%. Dengan potensinya yang sekaligus dapat berperan sebagai bakterisida, maka aplikasi pestisida berbasis minyak cengkeh disamping dapat menekan serangan wereng batang cokelat diharapkan juga mampu menekan perkembangan dan serangan penyakit kresek. Pemanfaatan pestisida nabati khususnya di lahan pasang surut akan berdampak luas terhadap kesehatan petani dan kelangsungan produksi padi di Sumatera Selatan. Hal ini berkaitan dengan tingginya kecenderungan petani untuk menggunakan pestisida untuk mengendalikan organism pengganggu tanaman (OPT) di pertanamannya. Intensifnya penggunaan pestisida sintetis telah diketahui mengganggu keseimbangan ekosistim karena pestisida dapat membunuh organisme bukan sasaran seperti parasit, predator dan polinator. Selain dari pada itu bahan aktif pestisida nabati mudah terurai di alam akibat terpapar sinar
319
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
ultraviolet yang dipancarkan matahari sehingga residu pestisida nabati pada produk pertanian dapat diabaikan. Pestisida nabati juga tidak menyebabkan resistensi karena bahan aktifnya tersusun atas beberapa senyawa kimia sehingga menyulitkan serangga membentuk strain baru yang resisten terhadap senyawa tertentu. Potensi pestisida nabati dapat berkembang pesat serta dapat segera dirasakan manfaatnya secara luas apabila ada dukungan dan peran serta fihak swasta. Dukungan dapat berupa kegiatan kerjasama penelitian khususnya untuk meningkatkan keefektifan formula yang telah dihasilkan, mendapatkan bentuk atau jenis kemasan yang ideal serta mendistribusikan dan memasarkan pestisida nabati yang telah layak disebarluaskan. Diharapkan dengan semakin meningkatnya permintaan akan produk pertanian yang ramah lingkungan maka akan ada investor yang tertarik mengembangkan pestisida nabati khususnya yang berbahan aktif minyak cengkeh. KESIMPULAN DAN SARAN Minyak cengkeh adalah senyawa sekunder tanaman yang didalamnya mengandung senyawa eugenol. Senyawa ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan aktif pestisida nabati karena kisarannya sangat luas dalam mengendalikan organism pengganggu tanaman yaitu dapat mengendalikan serangga hama, cendawan parasit tanaman, bakteri, nematoda, hingga keong mas. Penggunaan pestisida nabati untuk mengendalikan serangan wereng batang cokelat pada tanaman padi di lahan pasang surut Sumatera Selatan mempunyai prospek baik untuk dilaksanakan. Hal ini ada kaitannya dengan peranannya yang diduga juga mampu menekan serangan penyakit kresek yang saat ini telah menyebar luas di lahan-lahan pasang surut. Potensi pestisida nabati dapat berkembang pesat serta dapat segera dirasakan manfaatnya secara luas apabila ada dukungan atau peran serta fihak swasta/ investor untuk mengembangkannya dalam skala industri. DAFTAR PUSTAKA Asman, A. M. Tombe dan D. Manohara, 1997. Peluang produk cengkeh sebagai pestisida nabati. Monograf Tanaman Cengkeh. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Hal 90 – 102. Athanassiou, C.G. and N.G. Kavallieratos. 2005. Insecticidal effect and adherence of PyriSec(R) in different grain commodities. Crop Protection 24: 703-710. Biebel, R., E. Rametzhofer, H. Klapal, D. Polheim, dan H. Viernstein. 2003. Action of pyrethrum-based formulations against grain weevils. International Journal of Pharmaceutics 256: 175-181. Bulan, R., 2004. Reaksi Asetilasi Eugenol Dan Oksidasi Metil Iso Eugenol. Hlm. 2-5. www.library.usu.ac.id. [30 Agustus 2011.] Habou Z.A., A. Haougui, G. Mergei, E., Haubrugel, A., Toudou, and F.J., Verheggen, 2011. Insecticidal Effect of Jatropha curcas Oil on the Aphid Aphis fabae (Hemiptera: Aphididae) and on the main Insect Pests
320
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Associated with cowpeas (Vigna unguiculata) in Niger. Tropicultura. 29 (4). pp. 225-229. Ho, S.H., L.P.L, Cheng, K.Y. Sim, dan H.T.W Tan. 1994. Potential of cloves (Syzygium aromaticum L.) Merr. and perry as a grain protecting against Tribolium castaneum (Herbst) and Sitophilus zeamais Motsch. Postharvest Biology and Technology 4: 179-183. Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Penerbit Balai Pustaka: Jakarta. Hlm. 425-427. Kim, S.-I, J-H. Yi, J-H. Tak, Y-J. Ahn. 2004. Acaricidal activity of plant essential oils against Dermanyssus gallinae (Acari: Dermanyssidae). Veterinary Parasitology 120: 297-304. Nathan, S.S., K. Kalaivani, K. Sehoon, and K. Murugan. 2006. The toxicity and behavioral effects of neem limonoids on Cnaphalocrocis medinalis (Guenee), the rice leaf folder. Chemosphere 62: 1381-1387. Opolot, H.N., A. Agona, S. Kyamanywa, G.N. Mbata, and E. Adipala. 2006. Integrated field management of cowpea pests using selected synthetic and botanical pesticides. Crop Protection 25: 1145-1152. Riyadhi, A. 2008. Identifikasi senyawa aktif minyak jarak pagar Jatropha curcas sebagai larvasida nabati vektor demam berdarah dengue. Jurnal Ilmiah Indonesia. Vol 1(2): 69-79. Kode panggil 540.5.Val. http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/12086979.pdf. [26 Oktober 2011]. Roger, R.C., 1997. The potential of botanical essential oils for insect pest control. Integrated Pest Management Reviews 2: 25-34. Saedi K and Nur Azura Adam, 2011. efficiency of methyl eugenol as attractant for Acanthiophilus helianthi Rossi, 1794 (Diptera; Tephritidae). International Research Journal of Agricultural Science and Soil Science. Vol 1(10) pp. 412-416. Thorsell, W., A. Mikiver, and H. Tunon. 2006. Repelling properties of some plant materials on the tick Ixodes ricinus L. Phytomedicine 13: 132-134. Wiratno, D. Taniwiryonoc, H. Van den Berg, J.A.G. Riksend, I.M.C.M. Rietjens, S.R. Djiwanti, J.E. Kammenga, and A.J. Murk. 2008. Nematicidal Activity of Plant Extracts Against the Root-Knot Nematode, Meloidogyne incognita. The Open Natural Products Journal. Vol 2. pp 77-85. Wiratno 2009. Potency of Botanical Pesticide to Control the Leave Beetle of Patchouli, Longitarsus sp., Proceeding. International Seminar on Essential Oil, IPB. International Convention Center, Bogor, West Java. Pp 57-64 Wiratno, M. Rizal, dan I W. Laba, 2011a. Potensi Ekstrak Tanaman Obat Dan Aromatik Sebagai Pengendali Keong Mas. Bul-Tro-22(1). pp.54-64. Wiratno, Siswanto, Luluk, Sondang S.L.T. 2011b. Uji Pemanfaatan Tanaman Obat Dan Aromatik sebagai Insektisida Nabati untuk Mengendalikan Diconocoris hewetti Dist (Hemiptera; Tingidae). Bul-Tro-22(2). pp. 198204. Wiratno, Siswanto dan I.M. Trisawa. 2013. Perkembangan Penelitian, Formulasi, dan Pemanfaatan Pestisida Nabati. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 32(4); 150-155. Wiratno. 2014. Bioassay Pestisida Nabati dengan Pelarut dan Adjuvan Berbeda terhadap Nilaparvata lugens Stahl. Prosiding Seminar Nasional Pertanian
321
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Organik, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor, 15-19 Juni 2014. Vayias, B.J., C.G. Athanassiou, and C.T. Buchelos. 2006. Evaluation of three diatomaceous earth and one natural pyrethrum formulations against pupae of Tribolium confusum DuVal (Coleoptera; Tenebrionidae) on wheat and flour. Crop Protection 25: 766-772. Yang, R.Z., Tang, C.S., 1988. Plants used for pest control in China: a literature review. Economic Botany 42: 376-406.
322
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Keragaan Pertumbuhan Dan Hasil Inpari 15, Inpari 16, Inpari 18, Dan Inpari 19 Di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara Growth Performance and Yield of Inpari 15, Inpari 16, Inpari 18, and Inpari 19 in Konawe, Southeast Sulawesi Cipto Nugroho1*) dan Agus Suprihatin2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Penulis untuk korespondensi *)
[email protected]
1
ABSTRACT The rate of population increase in Indonesia reached 1,5% per year. It has implications to the rice consumption. Climate change is a limiting factor in the national program to increase rice production. Indonesian Agency for Agricultural Research and Development responds by releasing many new varieties of rice that are adaptive to climate change. Therefore, adaptation test is required to determine the ability of new varieties of rice to adapt in a specific environment. This assessment aims to determine the growth and productivity of Inpari 15, Inpari 16, Inpari 18, and Inpari 19 in Konawe, Southeast Sulawesi. The assessment was done in the dry season of 2013 in the District Abuki, Konawe, Southeast Sulawesi. Agro-ecosystem study is irrigated ricefield. Varieties include Inpari 15, Inpari 16, Inpari 18, and Inpari 19, while Mekongga as control varieties. Assessment arranged in a randomized complete block design with five treatments and four replications. The result showed that the growth performance and productivity of varieties tested were good. The highest productivity was obtained by Inpari 16, followed by Inpari 15, Inpari 18, and Inpari19. Inpari 15, Inpari 16 and Inpari 18 likely to be developed in Konawe. While Inpari 19 was less likely to be developed due to give susceptible reaction againts blast disease and also has a lower productivity than Mekongga. Keywords : inpari, adaptif, konawe ABSTRAK Laju peningkatan populasi penduduk Indonesia yang mencapai 1,5% per tahun berimplikasi terhadap kebutuhan konsumsi beras. Perubahan iklim merupakan faktor pembatas dalam program nasional peningkatan produksi beras. Badan Litbang Pertanian merespon dengan banyak melepas varietas unggul baru padi yang adaptif perubahan iklim. Oleh karena itu diperlukan uji adaptasi untuk mengetahui kemampuan beradapatasi pada lingkungan spesifik. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan produktivitas VUB Inpari 15, Inpari 16, Inpari 18, dan Inpari 19 di Kabupaten Konawe. Pengkajian dilaksanakan di Kecamatan Abuki, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara pada MT II tahun 2013. Agroekosistem kajian adalah lahan sawah irigasi. Varietas yang diuji adalah Inpari 15, Inpari 16, Inpari 18, dan Inpari 19. Varietas pembanding adalah Mekongga. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan lima perlakuan dan empat ulangan. Hasil kajian menunjukkan
323
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
keragaan pertumbuhan dan hasil VUB Inpari 15, Inpari 16, Inpari 18, dan Inpari 19 di Kabupaten Konawe menunjukkan penampilan dan hasil yang baik. Produktivitas tertinggi dicapai varietas Inpari 16, diikuti oleh varietas Inpari 15, Inpari 18, dan Inpari 19. Varietas Inpari 15, Inpari 16 dan Inpari 18 berpotensi dikembangkan di Kabupaten Konawe, sedangkan Inpari 19 kurang berpotensi karena bereaksi agak peka terhadap penyakit blas dan produktivitasnya lebih rendah dibandingkan Mekongga. Kata kunci : inpari, adaptif, konawe PENDAHULUAN Beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia Pertumbuhan penduduk yang terjadi setiap tahun berimplikasi terhadap kebutuhan konsumsi beras. Data USAID tahun 2008 menunjukkan rata-rata konsumsi beras per tahun 137 kg/kapita sedangkan laju peningkatan populasi penduduk mencapai 1,5% per tahun. Semakin menghangatnya isu ketahanan pangan nasional mengharuskan pemerintah semakin serius menindaklanjuti fenomena tersebut. Visi peningkatan produksi beras pemerintah Indonesia pada tahun 2020 adalah mencapai 74,4 juta ton beras untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat (Deptan, 2009). Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi beras dalam negeri yang diimplementasikan dalam Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN). Strategi yang ditempuh untuk pelaksanaan program tersebut adalah (1) peningkatan produktivitas, (2) perluasan areal, (3) pengamanan pangan, (4) kelembagaan dan pembiayaan serta peningkatan koordinasi (Badan Litbang Pertanian, 2007., Purwanto, 2008). Perubahan iklim merupakan salah satu faktor pembatas dalam meningkatkan produksi beras nasional. Untuk menyikapi fenomena tersebut, manusia hanya bisa beradaptasi karena perilaku iklim berada diluar kendali manusia. Pada subsektor tanaman pangan, strategi pemerintah Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim diprioritaskan melalui langkah adaptasi (Sumaryanto, 2012). Salah satu langkah yang ditempuh melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian adalah perakitan varietas-varietas unggul baru yang adaptif terhadap perubahan iklim. Berbagai penelitian dan pengkajian untuk mendapatkan VUB terus dilakukan dalam upaya menyediakan varietas-varietas padi yang berdaya hasil tinggi dan mampu beradapatasi pada lingkungan yang spesifik. Hingga tahun 2013, Badan Litbang Pertanian telah melepas varietas baru untuk padi irigasi (Inpari 1 – Inpari 30), varietas unggul padi hibrida (17 varietas), varietas unggul padi gogo (Inpago 1 – Inpago 9), dan varietas unggul padi rawa (Inpara 1 – Inpara 7). Masing-masing VUB tersebut memiliki keunggulan dan adaptabilitas yang berbeda disetiap lokasi secara spesifik. Oleh karena itu diperlukan suatu uji adaptasi dalam upaya menyediakan varietas-varietas padi yang berdaya hasil tinggi dan mampu beradapatasi pada lingkungan yang spesifik. Hasil kajian sebelumnya menyebutkan varietas Inpari 3, Inpari 6, dan Inpari 10 dapat beradaptasi dengan baik di Sulawesi Tenggara (Nugroho dkk, 2012). Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan produktivitas VUB Inpari 15, Inpari 16, Inpari 18, dan Inpari 19 di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
324
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
BAHAN DAN METODE Pengkajian dilaksanakan di Desa Padangguni, Kecamatan Abuki, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara pada MT II tahun 2013 (musim kemarau). Lahan yang digunakan adalah lahan petani kooperator dengan agroekosistem lahan sawah irigasi. Varietas yang diuji adalah Inpari 15, Inpari 16, Inpari 18, dan Inpari 19. Varietas pembanding adalah Mekongga yang merupakan varietas yang telah umum ditanam petani di wilayah kajian. Kelas benih adalah benih dasar yang berasal dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok yang diulang sebanyak 4 kali. Luas plot 10 x 50 m untuk masing-masing varietas yang diuji. Jumlah sampel tanaman yang diamati yaitu 10 rumpun tanaman setiap varietas di setiap ulangan kelompok. Penanaman padi dengan sistem jajar legowo 2 : 1 tanam benih langsung dengan jarak tanam 20 x 10 x 40 cm. Pemupukan berdasarkan status hara tanah dengan PHSL (webapps.irri.org/nm/id/) dengan dosis 150 kg/ha NPK 20:10:10 dan 100 kg/ha Urea. Pemupukan pertama dilakukan pada 14 hari setelah sebar (HSS) dengan dosis 150 kg/ha NPK 20:10:10. Pemupukan kedua dilakukan pada 24 HSS dengan dosis 50 kg/ha Urea. Pemupukan ketiga dilakukan pada 35 HSS dengan dosis 50 kg/ha Urea. Pengendalian gulma dilakukan dengan menggunakan herbisida penoxsulam pada 10 HSS dan manual pada 35 HSS. Pengendalian OPT dengan pendekatan PHT. Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah gabah/malai, persen gabah hampa, berat 1000 biji, dan hasil produksi (GKP). Data dianalisis dengan analisis sidik ragam dan jika terdapat perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji LSD dengan taraf signifikansi 5%. HASIL Tabel 1. Keragaan agronomi dan hasil beberapa VUB Inpari di Kabupaten Konawe MK 2013 Persentase Tinggi Jumlah Jumlah gabah Berat Produkti Varietas tanaman anakan gabah per hampa 1000 biji vitas (t/ha) (cm) produktif malai (%) (gram) GKP Inpari 15 103,11 a 10,87 a 156,83 ab 19,10 a 27,50 a 6,20 ab Inpari 16 98,22 ab 10,74 a 122,98 ab 17,50 a 27,90 a 6,41 a Inpari 18 93,54 b 10,55 a 134,13 ab 20,24 a 27,15 a 5,44 b Inpari 19 98,32 ab 10,64 a 163,05 a 19,60 a 26,05 a 4,29 c Mekongga 93,08 b 9,72 a 120,98 b 21,34 a 27,38 a 5,63 ab Angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT dengan taraf signifikansi 5%
325
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PEMBAHASAN Pertumbuhan tanaman. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui terdapat variasi perbedaan tinggi tanaman dari masing-masing VUB yang dikaji (tabel 1). Varietas Inpari 15 lebih tinggi daripada varietas lainnya (103,11 cm), namun tidak berbeda nyata dengan verietas Inpari 16 (98,22 cm) dan Inpari 19 (98,32 cm). Sedangkan Inpari 18 dan Mekongga memiliki tinggi tanaman relatif lebih rendah yaitu 93,54 cm dan 93,08 cm. Tinggi tanaman kedua varietas tersebut berbeda nyata dengan varietas Inpari 15, Inpari 16, dan Inpari 19. Tinggi tanaman merupakan interaksi antara genotip dengan faktor lingkungan sehingga varietas yang dikaji memberikan penampilan tinggi tanaman yang bervariasi (Sujitno dkk, 2011). Apabila dibandingkan dengan deskripsi varietas padi (bbpadi.litbang.deptan.go.id), pertumbuhan tinggi tanaman varietas yang dikaji menunjukkan ekspresi yang sama. Tinggi tanaman merupakan salah satu faktor preferensi petani dalam memilih varietas yang ditanam. Pada lokasi kajian, petani cenderung menanam varietas dengan ketinggian tanaman sedang (90 – 105 cm). Petani berpendapat, ketinggian tanaman yang sedang lebih tahan rebah jika terpapar curah hujan tinggi dan angin kencang. Pendapat petani serupa juga diungkapkan di Kabupaten Wajo, Selawesi Selatan (Arafah dkk, 2014). Hasil kajian menunjukkan jumlah anakan produktif yang dihasilkan oleh varietas yang dikaji tidak menujukkan perbedaan nyata yaitu antara 9,72 – 10,87 anakan per rumpun. Jumlah anakan produktif merupakan interaksi genotip dengan faktor lingkungan (Endrizal dan Babihoe, 2010). Jumlah anakan produktif yang terbentuk berhubungan dengan jumlah malai yang terbentuk. Semakin banyak anakan produktif yang dibentuk maka semakin banyak kemungkinan malai terbentuk. Jika dibandingkan dengan deskripsi varietas padi (bbpadi.litbang.deptan.go.id), maka jumlah anakan produktif yang dihasilkan oleh varietas yang dikaji jauh dari potensi anakan produktif yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan varietas yang dikaji tersebut belum mampu beradaptasi dengan baik di lokasi kajian.
Produksi tanaman. Jumlah gabah per malai tertinggi yaitu pada varietas Inpari 19 (163,05 gabah per malai) namun tidak berbeda nyata dengan varietas Inpari 15 (156,83 gabah per malai), Inpari 16 (122,98 gabah per malai), dan Inpari 18 (134,13 gabah per malai). Namun demikian jumlah gabah per malai pada varietas Inpari 19 tersebut berbeda nyata dengan varietas Mekongga (120,98 gabah per malai). Sedangkan persentase gabah hampa dari kelima varietas yang dikaji tidak menunjukkan beda nyata dengan kisaran rata-rata antara 17,50% – 21,34%. Persentase gabah hampa yang cukup tinggi diduga dipengaruhi oleh luasnya penyebaran penyakit blas pada lokasi kajian. Hal ini tentunya mempengaruhi pengisian gabah pada tanaman padi. Keempat varietas Inpari yang dikaji menunjukkan toleransi yang cukup bagus sehingga persentase gabah hampa relatif lebih rendah dibandingkan varietas Mekongga (tabel 1). Komponen berat 1000 biji juga tidak menunjukkan perbedaan nyata dari kelima varietas yang dikaji. kisaran berat 1000 biji dari kelima varietas tersebut yaitu antara 26,05 – 27,90 gram. Jika dibandingkan dengan desripsi varietas, berat
326
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
1000 biji dari kelima varietas yang dikaji menunjukkan hasil yang mendekati. Hal tersebut menujukkan bahwa proses pengisian gabah berlangsung dengan baik. Variabel jumlah gabah per malai, persentase gabah hampa, dan berat 1000 biji merupakan komponen yang menentukan hasil panen. Hasil kajian menunjukkan produktivitas tertinggi diperoleh varietas Inpari 16 (6,41 t/ha GKP) tapi tidak berbeda nyata dengan varietas Inpari 15 (6,20 t/ha GKP) dan Mekongga (5,63 t/ha GKP). Namun demikian produktivitas Inpari 16 tersebut berbeda sangat nyata dengan varietas Inpari 18 (5,44 t/ha GKP) dan varietas Inpari 19 (4,29 t/ha GKP). Berdasarkan skoring intensitas serangan penyakit diketahui bahwa varietas Inpari 19 memberikan reaksi agak peka terhadap penyakit blas sehingga hal ini menyebabkan produktivitas varietas tersebut lebih rendah dibandingkan varietas uji yang lain.
KESIMPULAN Keragaan pertumbuhan dan hasil VUB Inpari 15, Inpari 16, Inpari 18, dan Inpari 19 di Kabupaten Konawe menunjukkan penampilan dan hasil yang baik. Produktivitas tertinggi dicapai varietas Inpari 16, diikuti oleh varietas Inpari 15, Inpari 18, dan Inpari 19. Varietas Inpari 15, Inpari 16 dan Inpari 18 berpotensi dikembangkan di Kabupaten Konawe, sedangkan Inpari 19 kurang berpotensi karena bereaksi agak peka terhadap penyakit blas dan produktivitasnya lebih rendah dibandingkan Mekongga. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan sebesar-besarnya kepada Bapak Sapiudin yang telah banyak membantu dalam pengumpulan data selama kegiatan pengkajian dilaksanakan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2013. Deskripsi Varietas Unggul Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Arafah dan M. Amin. 2014. Keragaan Pertumbuhan dan Hasil VUB Padi Pada Pendampingan SL-PTT di Kab. Wajo, Sulawesi Selatan. Prosiding Ekspose dan Seminar Nasional Inovasi Pertanian Ramah Lingkungan : Akselerasi Inovasi Pertanian Ramah Lingkungan, Makassar 19 -21 Juli 2013. Buku 2. Editor : Fadjry Jufry, Djafar Baco, Jermia Limbongan, Sahardi, Matheus Sariubang, Andi Ella, Peter Tandisau, M. basir Nappu, dan Andi Baso Lompengeng. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal : 933 – 938. Badan Litbang Pertanian. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah Irigasi. Petunjuk Teknis Lapang. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
327
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
BPS Sultra. 2011. Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2011. BPS Sulawesi Tenggara. Departemen Pertanian. 2009. Peningkatan Produksi Padi Menuju 2020. Departemen Pertanian. Jakarta. Endrizal dan J. Bobihoe. 2010. Pengujian Beberapa Galur Unggulan Padi Dataran Tinggi Di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Jurnal pengkajian dan pengembangan teknologi pertanian 13 (3) : 175 – 184. Nugroho, C., M. Taufiq Ratule, dan Idris. 2012. Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Introduksi Varietas Unggul Baru Di Sulawesi Tenggara. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi 2011 : Inovasi Teknologi Padi Mengantisipasi Cekaman Lingkungan Biotik dan Abiotik. Buku 2. Editor : Satoto dkk. Balai Besar Peneltian Tanaman Padi Sukamandi. Badan Litbang Pertanian. Hal : 519 – 526. Purwanto, S. 2008. Implementasi KebijakanUntuk Pencapaian P2BN. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi-Subang. Sujitno, E., T. Fahmi, dan S. Teddy. 2011. Kajian adaptasi beberapa varietas unggul padi gogo pada lahan kering dataran rendah di Kabupaten Garut. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 14(1): hal: 62-69. Sumaryanto, Sugiarto, dan M. Suryadi. 2012. Kapsitas Adaptasi Petani Tanaman Pangan Terhadap Perubahan Iklim Untuk Mendukung Keberlanjutan Ketahanan Pangan. Laporan Kemajuan Penelitian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
USAID. 2008. 2008 world population data sheet. Population Reference Bureau. Washington, D.C. USA. www.prb.org/pdf08/08WPDS_Eng.pdf.
328
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Dominasi dan Sebaran Hama Penyakit Tanaman Padi di Sulawesi Tenggara Domination And Distribution Of Rice Pests And Diseases In Southeast Sulawesi Cipto Nugroho1*) dan Yuana Juwita2 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara 2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Penulis untuk korespondensi *)
[email protected]
ABSTRACT Global climate change has led drought, flooding, and also pest and diseases outbreak in crops. Pests and diseases outbreak has decreased rice poduction and quality. It certainly would threaten food security. Population dynamics of pests and diseases in the field is influenced by biotic and abiotic that its presence is balanced naturally. Assessment of population dynamics and the dominance of pests and diseases is needed to early anticipate in reduce economic loss. This paper aims to analyze and identify the population dynamics and the dominance of pests and diseases in rice plants in the Southeast Sulawesi. The assessment was conducted in June-August 2012. The assessment method is study of literature and secondary data retrieval spread of pests and diseases of rice from Plant Protection Office of Southeast Sulawesi and Central Bureau of Statistics (BPS). Data were analyzed descriptively to identify the intensity of the attacks and widespread pests and diseases of rice plants. The study showed that there were four dominant pests in rice in Southeast Sulawesi, included ricefield rat, stem borer, leaffolder, and rice bug. While the dominant disease is blast, bacterial leaf blight, and tungro. Ricefield rat and blast caused the largest and widest damage to the rice. All dominant rice pests and diseases in Southeast Sulawesi more common in the dry season than in the wet season. Keyword : pest, disease, rice, dominance, southeast sulawesi ABSTRAK Perubahan iklim global telah menyebabkan kekeringan, banjir, dan ledakan hama dan penyakit pada tanaman pangan. Serangan hama dan penyakit pada tanaman padi dapat menurunkan produksi dan menurunkan kualitas sehingga akan mengancam ketahanan pangan. Dinamika populasi hama dan penyakit di lapangan dipengaruhi faktor biotik dan abiotik sehingga secara alami keberadaannya bersifat seimbang. Pengetahuan tentang dinamika dominansi hama dan penyakit diperlukan untuk mengantisipasi secara dini untuk mengurangi kerugian secara ekonomis. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis dan mengidentifikasi dinamika dominasi hama dan penyakit pada tanaman padi di Sulawesi Tenggara. Pengkajian dilaksanakan pada bulan Juni – Agustus 2012. Metode pengkajian adalah studi literatur dan penelusuran data sekunder sebaran hama dan penyakit padi dari Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortukultura (BPTPH) Provinsi Sulawesi Tenggara dan Badan Pusat Statistik (BPS). Data 329
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
dianalisis secara deskriptif untuk mengidentifikasi intensitas serangan dan luas serangan hama dan penyakit tanaman padi. Hasil kajian menunjukkan terdapat empat hama dominan pada tanaman padi di Sulawesi Tenggara antara lain tikus, penggerek batang, hama putih palsu, dan walang sangit. Sedangkan penyakit yang dominan adalah blas, HDB, dan tungro. Hama dan penyakit yang menyebabkan kerusakan terluas yaitu tikus dan blas. Semua hama dan penyakit dominan pada tanaman padi di Sulawesi Tenggara lebih banyak menyerang pada musim kemarau dibandingkan pada musim hujan. Kata kunci : hama, penyakit, padi, dominansi, Sulawesi Tenggara PENDAHULUAN Perubahan iklim global telah menyebabkan kekeringan, banjir, dan ledakan hama dan penyakit pada tanaman pangan. Hal ini menjadi tantangan dalam usaha peningkatan produksi dalam menjaga ketahanan pangan. Serangan hama dan penyakit pada tanaman padi dapat menurunkan produksi dan menurunkan kualitas sehingga akan mengancam ketahanan pangan. Serangan hama dan penyakit dapat terjadi mulai dari persemaian hingga panen dan pasca panen hingga dalam masa penyimpanan. Makarim dkk (2003) menyatakan dalam mengedalikan hama dan penyakit harus diketahui waktu keberadaan hama penyakit tersebut di lokasi dan apa yang mengganggu keseimbangannya sehingga dapat diantisipasi serangannya sesuai dengan stadia pertanaman. Hal ini mengindikasikan bahwa pengendalian hama dan penyakit diutamakan melalui pendekatan keseimbangan ekologi. Dinamika populasi hama dan penyakit di lapangan dipengaruhi faktor biotik dan abiotik sehingga secara alami keberadaannya bersifat seimbang. Dengan demikian gangguan pada salah satu faktor biotik, misalnya predator hama, maka akan meningkatkan populasi hama. Di Sulawesi Tenggara, secara umum pengendalian hama dan penyakit tanaman padi yang dilakukan petani selalu bertumpu pada pengendalian secara kimiawi, sebagai contoh dalam mengendalikan hama tikus, sebagian besar petani (93,8%) menggunakan rodentisida (Nugroho dkk, 2014). Pengendalian secara kimiawi yang tidak terkendali tentunya akan merusak keseimbangan ekologi, misalnya terjadinya resurgensi, menurunkan populasi musuh alami, dan meningkatnya residu kimia dalam tanah (Zadoks dan Richard, 1997). Menurut laporan BPTPH Sulawesi Tenggara, pada tahun 2003 tikus telah menjadi hama penyebab kerusakan terbesar di Sulawesi Tenggara. Sedangkan menurut Santoso dan Anggiani, N. (2008) menyebutkan Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah endemik penyakit blas di Indonesia. Namun demikian dalam beberapa tahun terakhir terdapat beberapa hama dan penyakit yang berpotensi luas serangannya meningkat. Untuk itulah diperlukan pengetahuan tentang dinamika dominansi hama dan penyakit sehingga dapat mengantisipasi secara dini untuk mengurangi kerugian secara ekonomis. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis dan mengidentifikasi dinamika dominasi hama dan penyakit pada tanaman padi di sulawesi Tenggara.
330
Prosiding Seminnar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
BAHAN DAN METODE Pengkajian dilaksanakan pada bulan Juni – Agustus 2012. Metode pengkajian adalah studi literatur dan penelusuran data sekunder sebarann hama dan penyakit padi dari Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortukultura (BPTPH) Provinsi Sulawesi Tenggara dan Badan Pusat Statistik (BPS). Data dianalisis secara deskriptif untuk mengidentifikasi intensitas serangan dan luas serangan hama dan penyakit tanaman padi. HASIL Tabel 1. Luas panen. produksi. dan produktivitas padi sawah di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2012 Luas panen Produksi No. Kabupaten/Kota (Ha) (ton) Produktivitas (ku/Ha) 1. Buton 1.986 8.115 40,86 2. Muna 1.480 5.846 39,50 3. Konawe 36.639 157.612 43,02 4. Kolaka 27.680 119.474 43,16 5. Konawe Selatan 25.636 107.919 42,10 6. Bombana 13.638 58.981 43,25 7. Wakatobi 0 0 0,00 8. Kolaka Utara 2.202 9.221 41,88 9. Buton Utara 675 2.086 30,91 10. Konawe Utara 1.352 5.250 38,83 11. Kota Kendari 780 3.172 40,67 12. Kota Bau bau 2.457 9.835 40,03 Jumlah 114.525 487.511 42,57 Sumber : Sulawesi Tenggara dalam angka 2013
331
Prosiding Semi nar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 Sep tember 2014
Gambar 1. Dominansi hama dan penyakit tanaman padi pada 4 musim tanam di Sulawesi Te nggara tahun 2010 – 2011 (BPTPH Sulawesi Tenggara. 2012)
Gambar 2. Rata-rata luas lahan terserang hama dan penyakit padi pada musim hujan (MH) dan musim kemarau (MK) di Sulawesi Tenggara tahun 201 0 – 2011 (BPTPH Sulawesi Tenggara. 2012) PEMBAHASAN Peningkatan pr oduksi beras harus selalu diusahakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Namun demikian serangan hama da n penyakit menjadi faktor pembat as dalam usaha peningkatan produksi beras. Kejadian perubahan iklim ekstri m dalam dekade terakhir juga berdampak pada fluktuasi intensitas serangan ha ma dan penyakit pada tanaman padi. Oleh karena itu diperlukan identifikasi jenis hama dan penyakit dan gejala yang di timbulkan. Dengan mengetahui jenis hama dan penyakit yang dominan meny erang dan menimbulkan kerusakan yang signifikan maka usaha pencegahan dapat dimaksimalkan untuk mengurangi kerugian secara ekonomis. Sulawesi Tenggara sangat berpotensi menjadi provinsi penyangga beras nasional khususnya untuk kawasan timur Indonesia. Pada tahun 2009 , Sulawesi Tenggara telah menjadi sentra padi terbesar ke-6 di kawasan timur Indonesia dengan jumlah produksi 407.367 ton GKG (Nugroho, 2013). Dalam k urun waktu 3 tahun setelah itu terja di peningkatan produksi yang cukup signifikan. Pada tahun 2012, luas panen padi di Sulawesi Tenggara telah mencapai 114.525 ha dengan produktivitas sebesar 42,57 ku/ha, sehingga total produksi padi Sulawesi Tenggara adalah 487.511 ton GKG (tabel 1). Terdapat banya k sekali hama yang dapat menyerang tanama n padi dari persemaian hingga pan en bahkan pasca panen. Namun di Sulawesii Tenggara selama empat musim ta nam pada tahun 2010 - 2011 (gambar 1) diketah ui terdapat empat hama yang l ebih dominan. Hama yang secara konsist en paling mendominasi adalah ti kus. Jenis hama tersebut selalu menyebabkan kerusakan terluas dalam empat musim tanam. Pada puncak serangan (MK 2 010), luas serangan hama tikus mencapai 6.989,75 ha atau sekitar 6 % dari luas panen. Hama dominan kedua adala h penggerek batang. Hama ini juga secara konsisten menduduki peringkat edua penyebab kerusakan tanaman padi selaama empat musim tanam pada tah un 2010 – 2011. Pada puncak serangan (MK 2010), luas serangan penggerek batang mencapai 4.071,55 ha atau sekitar 3,5% dari luas
332
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
panen. Hama dominan selanjutnya adalah hama putih palsu dan walang sangit. Pada puncak serangan (MK 2011), luas serangan walang sangit mencapai 2602,5 ha (2,3%) dan hama putih palsu mencapai 2.586 ha (2,2%). Pada gambar 1 juga terlihat bahwa penyakit tanaman padi yang paling dominan di Sulawesi Tenggara adalah penyakit blas yang disebabkan cendawan Pyricularia grisea. Pada puncak serangan (MK 2010), luas serangan penyakit blas mencapai 873,7 ha atau 0,8% dari luas panen. Sedangkan serangan penyakit hawar daun bakteri (HDB) dan tungro yang pada awalnya belum begitu luas (MH 2010), cenderung mengalami peningkatan luas serangan di setiap musim tanam. Hal tersebut perlu mendapat perhatian karena serangan kedua jenis penyakit tersebut berpotensi semakin meluas. Dominansi serangan hama tikus dan penggerek batang menunjukkan tren yang sama antara musim hujan (MH) dan musim kemarau (MK). Pada gambar 1 dapat dilihat bahwa hama tersebut secara konsisten mendominasi baik di musim hujan maupun musim kemarau. Kasus yang sama dijumpai pada serangan penyakit blas. Serangan penyakit blas di Sulawesi Tenggara sangat dominan di musim hujan dan musim kemarau (gambar 1). Sebaliknya, hama putih palsu dan walang sangit menunjukkan pergantian dominansi antara musim hujan (MH 2011) dan musim kemarau (MK 2011). Demikian juga dengan penyakit hawar daun bakteri dan tungro menunjukkan pergantian dominansi antara musim hujan dan musim kemarau. Pada gambar 2 dapat dilihat bahwa dari semua hama dan penyakit yang dominan menyerang tanaman padi di Sulawesi Tenggara, serangan terluas terjadi di musim kemarau dibandingkan dengan musim hujan. Hal ini mengindikasikan serangan hama dan penyakit lebih banyak terjadi di musim kemarau. KESIMPULAN Empat hama dominan pada tanaman padi di Sulawesi Tenggara antara lain tikus, penggerek batang, hama putih palsu, dan walang sangit. Sedangkan penyakit yang dominan adalah blas, HDB, dan tungro. Hama dan penyakit yang menyebabkan kerusakan terluas yaitu tikus dan blas. Semua hama dan penyakit dominan pada tanaman padi di Sulawesi Tenggara lebih banyak menyerang pada musim kemarau dibandingkan pada musim hujan. DAFTAR PUSTAKA BPS Sultra. 2013. Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2013. BPS Sulawesi Tenggara. BPTPH Sultra 2012. Laporan Luas Serangan OPT di Sulawesi Tenggara. Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Tenggara. (tidak dipublikasi). Nugroho, C. dan Zainal Abidin. 2014. Kajian Pengendalian Hama Tikus Oleh Petani Di Sulawesi Tenggara. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi : Percepatan Pemanffatan Inovasi Teknologi Pertanioan Spesifik Lokasi Mendukun Sulawesi Tenggara sebagai Lumbung PanganNasional, Kendari 21 – 22 November 2013. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hal : 41 – 46.
333
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Makarim, A.K., I.N. Widiarta, Hendarsih, S., dan S. Abdurrahman. 2003. Petunjuk Teknis Pengelolaan Hara dan Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Padi Secara Terpadu. Departemen Pertanian. Santoso dan Anggiani, N. 2008. Pengendalian Penyakit Blas dan Penyakit Cendawan Lainnya. Padi : Inovasi Teknologi Produksi. Buku 2. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. LIPI Press. Jakarta. hal : 530 – 560. Zadock J.C. dan Richard D.S. 1997. Epidemiology and Plant Disease Management. Oxford University Press.
334
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Peningkatan Performa Dan Nilai Heterosis Ayam Lokal Melalui Persilangan Ayam Sentul Dengan Ayam KUB Improving Performance And Heterosis Value Of Local Chicken By Crossing Sentul Chicken With Kub Chicken Hasnelly Zainal1*), Tike Sartika1`, Try Wardhany1 Balai Penelitian Ternak, PO. Box 221, Bogor 16002 ) * Penulis untuk koresponden : Tlp./Fax.+62251 8240752/+62251 8240754 email:
[email protected] 1
ABSTRACT Research is conducted to improved local chicken meat production by crossing the two types of local chickens. This study aims to evaluate the heterosis effect of reciprocal crossing between Sentul chicken with chicken KUB, and determine what kind of hybrid of the best of local chickens on growth, carcass and meat production. The benefits of this research are as scientific information materials for local chicken development as well as the basis for the establishment of local chickens as a meat production in Indonesia. The firstline (F1) SS [Sentul Sentul ♂ x ♀]; KK [KUB KUB ♀ ♂ x], and SK [Sentul KUB ♂ x ♀]; KS [KUB x Sentul ♀ ♂], each 12 chicken with 5 replications. Variables measured, the initial weight (DOC), final body weight, weight gain end, consumption and feed conversion, slaughter weight, carcass weight, carcass and commercial cuts (breast, thighs, backs and wings). The experimental design used in this study is completely randomized design (CRD). The results indicate that KS [KUB x Sentul ♀ ♂] is superior to the properties of performance include: initial body weight 29.84 grams / chick and have heterosis value 2.05%, final body weight of 1310.41 g / chick with heterosis rate of 6.12%; final body weight gain of 1280.57 g / chick with heterosis rate of 6.12%; feed conversion at 2:20; carcass weight 1,097 grams / chick with heterosis value 4.78%; percentage of the thigh meat is 16% with heterosis rate 2.86%; percentage of chest pieces are 20.63% with heterosis value of 1.79%, and the percentage of the wing pieces are 12.03% and 0.76% of heterosis value. Meanwhile the result of crossed SK [Sentul KUB ♀ ♂ x], which is just ahead on the final body weight of 1301.52 g / bird with heterosis rate of 5.40%; weight gain by the end of 1222.17 grams of heterosis rate of 1.28% ; percentage discount rate back to 21.18% 0.99% heterosis. __________________________________________________________________ Keywords: performance, sentul chicken, kub chicken, crossbreeding, heterosis ABSTRAK Penelitian peningkatan produksi daging ayam lokal diarahkan pada dua jenis ayam lokal yakni ayam Sentul dan ayam KUB. Penelitian ini bertujuan, untuk mengevaluasi efek heterosis hasil persilangan timbal balik antara ayam Sentul dengan ayam KUB, dan menentukan jenis ayam lokal silangan yang terbaik terhadap pertumbuhan, produksi karkas dan daging. Manfaat dari
335
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
penelitian ini adalah sebagai bahan informasi ilmiah untuk pengembangan ayam lokal pedaging sekaligus sebagai dasar pembentukan galur ayam lokal pedaging di Indonesia. Hasil perkawinan keturunan pertama (F1) SS [Sentul ♂ x Sentul ♀]; KK [KUB ♂ x KUB ♀]; dan persilangan SK [Sentul ♂ x KUB ♀]; KS [KUB ♂ x Sentul ♀], masing-masing 12 ekor dengan 5 ulangan. Peubah yang diukur, bobot awal (DOC), bobot badan akhir, pertambahan bobot akhir, konsumsi dan konversi pakan, bobot potong, bobot karkas, dan potongan komersial karkas (dada, paha, punggung dan sayap). Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Hasil yang diperoleh menunjukkan persilangan KS [KUB ♂ x Sentul ♀] lebih unggul untuk sifat-sifat performan antara lain : bobot badan awal 29,84 gram/ekor dengan tingkat heterosis 2,05%, bobot badan akhir sebesar 1.310,41 gram/ekor dengan tingkat heterosis 6,12%; pertambahan bobot badan akhir sebesar 1.280,57 gram/ekor dengan tingkat heterosis 6,12%; konversi pakan sebesar 2.20; bobot karkas 1.097 gram/ekor dengan tingkat heterosis 4,78%; persentase daging paha atas sebesar 16% dengan nilai heterosis 2,86%; persentase potongan dada 20,63% dengan nilai heterosis 1,79%; dan persentase potongan sayap 12,03% dengan nilai heterosis 0,76%. Bila dibandingkan dengan hasil persilangan SK [Sentul ♂ x KUB ♀], yang hanya unggul pada bobot badan akhir 1.301,52 gram/ekor dengan tingkat heterosis 5,40%; pertambahan bobot badan akhir 1.222,17 gram dengan tingkat heterosis 1,28%; persentase potongan punggung 21,18% dengan tingkat heterosis 0,99%. Kata Kunci : performa, ayam sentul, ayam KUB, persilangan, heterosis PENDAHULUAN Seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap daging, pemeliharaan ayam lokal sebagai penghasil daging merupakan salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Penerapan teknologi untuk memperbaiki penampilan ayam lokal dalam hal produksi daging, baik melalui perbaikan manajemen dan pakan sudah sering dilakukan, sementara melalui seleksi dan persilangan masih jarang dilakukan terhadap ayam lokal, karena membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang cukup mahal. Sebenarnya perbaikan genetik merupakan suatu tindakan yang relatif lebih efektif karena akan memberi dampak yang lebih parmanen dibandingkan dengan perbaikan manajemen atau perbaikan pakan. Falconner (1996), menjelaskan bahwa crossbreeding merupakan bentuk silang luar. Silang luar berpengaruh dalam meningkatkan proporsi gen-gen yang heterozigot dan menurunkan proporsi gen yang homozigot. Laju peningkatan heterozigositas akibat silang luar tergantung pada perbedaan genetik dari tetuanya. Makin jauh hubungan kekerabatannya antara kedua ternak tersebut, maka makin sedikit kesamaan gen-gennya dan makin besar pula tingkat heterozigositasnya. Oleh sebab itu umumnya crossbreeding menghasilkan peningkatan derajat heterozigositas lebih cepat dibandingkan dengan persilangan lainnya. Persilangan ini pada dasarnya adalah menggabungkan sifat-sifat baik dan memanfaatkan sejauh mungkin efek heterosis yang timbul pada keturunan pertama (F1) yang diperoleh dari hasil persilangan, diharapkan memiliki performa yang lebih baik dari segi produksi karkas dan daging diatas rata-rata tetua murninya. Program persilangan dalam penelitian ini
336
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
tujuan utamanya adalah untuk menghasilkan ayam lokal hasil silangan yang siap untuk dipotong atau dijual yang lebih dikenal dengan persilangan terminal. Berdasarkan pertimabangan diatas penelitian perbaikan produksi daging ayam lokal diarahkan pada ayam Sentul dengan ayam KUB. Penelitian ini bertujuan, untuk mengevaluasi efek heterosis hasil persilangan timbal balik antara ayam Sentul dengan ayam KUB, dan menentukan jenis ayam lokal silangan yang terbaik terhadap performa, produksi karkas dan daging. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan informasi ilmiah untuk pengembangan ayam lokal potong ke depan sekaligus sebagai dasar pembentukan galur ayam lokal potong di Indonesia. BAHAN DAN METODE Sebanyak 240 ekor DOC unsexed ayam lokal hasil persilangan ayam Sentul dengan KUB dan resiprocalnya/timbal balik yakni; perkawinan SS [Sentul ♂ x Sentul ♀]; KK [KUB ♂ x KUB ♀]; dan persilangan SK [Sentul ♂ x KUB ♀]; KS [KUB ♂ x Sentul ♀]. Penelitian dilakukan dikandang breeding Balai Penelitian Ternak, Ciawi Bogor selama 12 minggu yang dimulai pada bulan oktober 2012 sampai bulan Desember 2012. Pakan yang diberikan adalah pakan standar sesuai kebutuhan pada umur 0 - 4 minggu diberi pakan starter dengan kandungan (19% protein, 2.800 kkl ME/kg), umur 5 - 12 minggu diberikan pakan grower dengan kandungan (17% protein, 2.800 kkl ME/kg), Iskandar et., al. (2010), pakan dan air minum diberikan secara ad libitum. Peubah yang diukur adalah; bobot awal (DOC), bobot badan akhir, pertambahan bobot badan akhir, konsumsi dan konversi pakan, bobot potong, bobot karkas, dan potongan komersial karkas (dada, paha, punggung dan sayap). Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan yang terdiri dari kelompok ayam hasil persilangan (SK, KS, SS dan KK) masing-masing 12 ekor dengan 5 ulangan (Steel dan. Torrie, 1981). Heterosis effect digunakan untuk menggambarkan keunggulan keturunan pertama (F1) hasil persilangan terhadap tetuanya, yang dihitung merdasarkan rumus Falconner (1996) sebagai berikut; Perhitungan nilai heterosis persilangan timbal balik antara ayam Sentul dan Ayam KUB adalah; % Heterosis SK = rataan SK - rataan tetua (SS + KK)/2 x 100 rataan tetua (SS + KK)/2 % Heterosis KS= rataan KS- rataan tetua (SS + KK)/2 x 100 rataan tetua (SS + KK)/2
337
Prosiding Seminnar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
HASIL Tabel 1. Rataan bobot badan awal (BBa), bobot badan akhir (BBt), perttambahan bobot badan akhir (PBH) ayam hasil persilangan SS; KK; SK dan KS. Peubah1
Jenis Ayam Persilangan2
SS
Bba (gram/ekor) BBt 12 minggu (gram/ekor) PBH
KK
SK
KS
29.84 ± 2.40A
25.13 ± 2.52C
27.20 ± 2.97B
31.28 ± 2.28A
cv 8.05 13100.41±35.36a
cv 10.03 1301.52 ± 46.95ab
cv 10.91 1187.78 ± 47.16b
cv 7.28 1280.57 ± 45.40a
cv 11.29 1222.17 ± 31.54ab
cv 12.39 1160.74 ± 46.24b
cv 7.45
cv 24.67
cv 12.60
cv 7.28 1283.84 ± 56.88ab cv 14.56 1252.71 ± 37.12ab cv 14.94
1
BBa = Bobot badan awwal; BBt = Bobot badan akhir; PBB = Pertambahan bobot badan akhir. 2 SS persilangan [Sentul ♂ x Sentul ♀]; KK [KUB ♂ x KUB ♀]; SK [Sentul ♂ x KUB ♀]; KS [KUB ♂ x Sentul ♀]. A-B Superskrip huruf besarr berbeda dalam baris yang sama menyatakan perbedaan yang sangat nyata (P < 0,01). a-c Superskrip huruf yang berbeda dalam baris yang sama menyatakan perbbedaan yang nyata (P < 0,05).
Gambar 1. Grafik Bobot Badan Ayam lokal hasil persilangan SS, KK, SK dan KS Selama 12 Minggu
338
Prosiding Seminnar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Gambar 2. Grafik Pertambahan Bobot Badan Ayam lokal hasil persilangan SS, KK,, SK dan KS Selama 12 Mi nggu.
Tabel 2. Rata-rata nilai komulatif konsumsi, konversi pakan dan koefisien variasi selama 12 minggu Peubah SS Konsumsi
3006.73 ± 40.32a
Jenis Ayam Persilangan KK SK 2708.17 ± 155.22ab
KS
2560.85 ± 325.78b
2814.06 ± 162.48ab
cv 1.34 cv 5.73 cv 12.72 cv 5.77 2.40a 2.33ab 2.00b 2.20ab Konversi Jenis ayam = SS persilangann [Sentul ♂ x Sentul ♀]; KK [KUB ♂ x KUB ♀]; SK [Sentul ♂ x KUB ♀]; KS [KUB ♂ x Sentul ♀]. a-c Superskrip huruf yang berrbeda dalam baris yang sama menyatakan perbedaan yanng nyata (P < 0,05).
Tabel 3. Rataan bobot potong, bobot karkas, persentase karkas dan bagianbagian potongan karkaas komersial ayam lokal hasil persilangan pada umur 12 minggu. SS
Jenis Ayam Persilangan KK SK
KS
Peubah
x ± sd cv
x ± sd cv
x ± sd cv
x ± sd cv
Bobot Potong (g)
1501,67 + 84,89 cv 5,65
1313,00 + 152,32 cv 11,60 998,50 + 132,29 cv13,25
1396,50 + 134,43 cv 9,63 1042,00 + 94,46 cv 9,07
1393,50 + 95,97 cv 6,89
76,04
74,62
78,72
Karkas (g)
Karkas (%)
10966,83 + 107,23 cv 9,78 73,04
1097,00 + 68,59 cv 6,25
(% dari bobot karkas) Paha atas (%) Paha Bawah (%)
16,02 + 12,63 cv 7,19 15,03 + 18,95 cv 11,49
15,66 + 22,16 cv14,17 14,45 + 14,77 cv10,24
15,18 + 17,37 cv 10,98 14,68 + 11,44 cv 7,48
16,,00 + 19,27 cv 10,98 133,95 + 7,69 cv5,03
339
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
SS Peubah
x ± sd cv
Jenis Ayam Persilangan KK SK
x ± sd cv
x ± sd cv
KS
x ± sd cv
Dada (%)
21,94 + 30,99 20,43 + 21,99 20,93 + 28,32 20,63 + 12,09 cv 12,88 cv 10,78 cv 12,98 cv 5,34 Punggung (%) 21,46 + 21,52 20,23 + 26,96 21,18 + 18,41 18,89 + 15,80 cv 9,14 cv 13,35 cv 8,34 cv 7,63 Sayap (%) 13,10 + 18,21 11,85 + 18,73 12,22 + 17,06 12,03 + 13,37 cv 12,67 cv 15,82 cv 13,40 cv 10,13 Jenis ayam = SS persilangan [Sentul ♂ x Sentul ♀]; KK [KUB ♂ x KUB ♀]; SK [Sentul ♂ x KUB ♀]; KS [KUB ♂ x Sentul ♀]. X = nilai rata-rata Sd = Standar deviasi Cv = Koefisien variaasi
Tabel 4. Nilai persentase (%) heterosis ayam keturunan (F1) hasil persilangan KUB dan Sentul Sifat yang diamati Jenis ayam persilangan KS SK Bobot badan Awal 2,05 -14,06 Bobot Badan Akhir 6,12 5,40 Pertambahan Bobot Badan 6,12 1,28 Akhir Konsumsi Pakan -1,52 -10,38 Konversi Pakan -7,17 -15,61 Bobot Hidup (BBH) -0,98 0,77 Karkas 4,78 -0,48 Paha Atas 2,86 -2,43 Paha Bawah -1,02 -1,02 Dada 1,79 -1,88 Punggung -5,19 0,99 Sayap 0,76 -2,80
PEMBAHASAN Performa. Rataan bobot badan awal (DOC), bobot badan akhir dan pertambahan bobot badan akhir, keturunan pertama (F1) keempat jenis ayam lokal hasil persilangan ayam sentul dan ayam KUB (SS, KS, KK, dan SK) seperti tersajikan pada Tabel 1. Dimana hasil analisis statistik bobot badan awal (BBa) ayam SS dan KS berdeda sangat nyata terhadap bobot badan awal ayam KK dan SK dimana bobot badan awal ayam SS dan KS lebih besar (P<0,01) dari bobot badan awal ayam KK dan SK, sementara ayam KS lebih besar dari ayam KK, sedangkan ayam SK lebih kecil dari ayam SS. Dimana bobot badan awal tertinggi diperoleh pada ayam KS sebesar 31,28 gram; ayam SS 29,84 gram; ayam SK 27,20 gram dan terendah pada ayam KK 25,13 gram.
340
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Sebaliknya bobot badan akhir (BBt) yang dicapai oleh ayam KK (1310,52 gram) jauh lebih besar (P<00,5) dari ayam SK (1187,78 gram) dan ayam KS (1283,84 gram) dan lebih kecil dari ayam SS (1310,41 gram). Pada penelitian ini terlihat bahwa bobot awal tidak berpengaruh terhadap bobot badan akhir pada ayam KK, dimana ayam KK memiliki bobot badan awal yang lebih kecil tetapi memiliki bobot badan akhir yang lebih besar. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil yang diperoleh Mariyanto (2005), menyatakan bahwa bobot badan akhir dan bobot karkas mempunyai hubungan yang sangat nyata terhadap bobot badan awal pada ayam pedaging sehingga bobot badan awal dapat digunakan untuk mengestimasi atau menduga bobot badan akhir dan bobot karkas. Sedangkan pertambahan bobot badan akhir (PBH) yang diperoleh ayam SS (1280,57 gram) lebih tinggi dan berbeda nyata (P<0,05) dari ketiga jenis ayam lainnya yakni ; KS (1252.71 gram); KK (1222.17 gram); dan SK (1160.74 gram). Kalau dilihat dari PBH ternyata persilangan KS lebih memperlihatkan efek heterosis yang lebih tinggi pada performa pertumbuhan dengan betina Sentul (maternal) yang lebih kuat, dibandingkan dengan SK yang betinaanya KUB. Pada Gambar. 1 yang merupakan grafik bobot badan dari umur 0 sampai 12 minggu terlihat bahwa rata-rata bobot badan meningkat sejalan dengan bertambahnya umur, bobot badan tertinggi pada umur 12 minggu diperoleh pada ayam KS, diikuti SK, SS dan terendah KK. Pada Gambar 2. perkembangan pertambahan bobot badan (F1) 0-12 minggu menunjukkan rata-rata pertambahan bobot badan masih berfluktuasi sampai akhir penelitian umur 12 minggu. Terlihat bahwa titik infleksi (kecepatan pertumbuhan tertinggi) pada ayam KS, dan SS terjadi dua kali, pertama pada umur 4-5 minggu, kedua pada ayam KS umur 7-8 minggu dan ayam SS pada umur 8-9 minggu. Sedangkan pada ayam SK dan KK terjadi satu kali pada umur 7-8 minggu. Titik infleksi dari masing-masing jenis ayam berfungsi untuk mengetahui puncak pertumbuhan tertinggi dan diharapkan nantinya dalam pemberian pakan yang tepat dapat diberikan sebelum tercapainya titik infleksi, sehingga ayam benar-banar dapat memanfaatkan gizi yang ada untuk pertumbuhan yang optimal.
Konsumsi dan Konversi Pakan. Rata-rata nilai komulatif merupakan nilai rata-rata yang diperoleh untuk banyaknya ransum yang dikonsumsi dan konversi pakan yang diperoleh selama berlangsungnya penelitian 12 minggu. Pada Tabel 2. dapat dilihat rata-rata nilai komulatif konsumsi pakan dan konversi pakan dan koefisien variasi selama berlansungnya penelitian 12 minggu sebagai berikut : Berdasarkan Tabel 2. disajikan konsumsi komulatif ayam SS paling banyak (3006,73 gram), ayam KS (2814,06 gram), ayam KK (2708,17 gram) dan ayam SK terendah (2560,85 gram). Secara statistik konsumsi pakan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) antara ayam SS dengan ayam KS, dan tidak berbeda antara ayam KK dengan KS, yang artinya ayam SS dan KS memiliki konsumsi yang berbeda, tetapi sama untuk ayam KK dan KS. Konversi pakan merupakan perbandingan antara jumlah pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot hidup akhir. Lebih lanjut (Kamal, 1997) mengatakan konversi pakan adalah nilai yang dihasilkan dari perbandingan antara jumlah pakan yang dihabiskan dengan produksi yang dihasilkan. Konversi pakan
341
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
ayam SS lebih tinggi 2,40, ayam KK 2,33, ayam KS 2,20 dan terendah konversi pakan SK 2,00. Secara statistik konversi pakan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) pada ayam SS dan ayam SK dan sama untuk ayam KK dan KS. Yang artinya ayam SS dan KS tidak memiliki konversi pakan yang sama, tetapi untuk ayam KK dengan KS konversi pakan sama. Kalau dilihat dari nilai konversi pakan ayam persilangan SK dan KS memiliki konversi yang lebih rendah dari ayam SS dan KK, yang artinya ayam SK dengan Ayam KS lebih efisien dalam pemanfaatan pakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya efisiensi pakan meliputi : kemampuan daya cerna ternak, kualitas pakan yang dikonsumsi serta nutrien yang terkandung dalam pakan tersebut (Anggorodi, 1980). Pada prinsipnya ayam akan makan untuk memenuhi kebutuhan fisik (maentenance) dan kebutuhan fisiologis yaitu untuk pertumbuhan dan produksi (Zuprizal, 1993). Dengan demikian kebutuhan pakan pada kegiatan penelitian ini digunakan untuk pertumbuhan. Karkas. Karkas merupakan faktor yang penting dalam menilai produksi daging karena merupakan jaringan tubuh hewan yang dapat dimakan (Moran, 1977). Untuk pengujian karkas dilakukan pada umur 12 minggu terhadap bobot potong, bobot karkas dan bagian komponen karkas (paha atas, paha bawah, dada, punggung, dan sayap tersaji pada Tabel 3. Dari hasil analisis statistik terhadap pengujian karkas tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Bobot potong tertinggi diperoleh pada ayam SS (1501,67 gram), SK (1396,50 gram), KS (1393, 50 gram) dan terendah pada ayam KK (1313,00 gram). Sedangkan persentase produksi karkas tertinggi pada ayam KS (78,72%), KK (76,04%), SK (74,62%) dan terendah pada SS (73,04%). Disini terlihat bahwa bobot karkas tidak ditentukan dari bobot potong.Ternyata SS yang memiliki bobot potong tertinggi memiliki produksi karkas terendah demikian juga sebaliknya KK yang memiliki bobot potong terendah memiliki produksi karkas tertinggi. Hal ini di asumsikan sebagai pengaruh jenis ayam dari hasil persilangan. Sidadolog (2011), menyatakan bobot badan merupakan sifat kuantitatif. Sifat kuantitatif dipengaruh banyak gen dan pengaruhnya diasumsikan sebagai penjumlahan dari aksi sejumlah gen yang berbeda-beda yaitu gen yang bersifat additif (A), dominan (D) dan epistatis (I). Lebih lanjut Soeparno (1998), menyatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan (fisiologi dan nutrisi) mempengaruhi laju pertumbuhan dan komposisi tubuh dan karkas pada ternak. Pada bangsa yang sama, komposisi tubuh dan karkas dapat berbeda dan menjadi karakteristik ternak tersebut. Potongan karkas komersial pada ayam pedaging terdiri dari paha (atas dan bawah), dada, punggung dan sayap karena bagian ini yang merupakan bagian yang banyak dikonsumsi dan merupakan persentase tertinggi dari karkas (Resnawati, 2008). Secara statistik persentase potongan karkas pada jenis ayam hasil persilangan tidak menunjukkan perbedaan yang artinya ke 4 jenis ayam hasil persilangan memiliki persentase potongan karkas yang sama. Potongan karkas paha (atas dan bawah) merupakan komponen tertinggi dari karkas berkisar antara 29,86-31,05%. Hasil penelitian ini tidak berdeda dari yang dilaporkan Resnawati (2004), yang memperoleh bobot paha atas dan paha bawah berkisar antara 29,78 - 30,82%. Potongan dada pada ke 4 jenis ayam hasil persilangan juga tidak menunjukan perbedaan berkisar antara 20,43-21,95%. Ternyata potongan dada pada 4 jenis ayam persilangan lebih rendah dari yang dilaporkan (Resnawati et.,
342
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
al. 2004) persentase bobot dada pada ayam berkisar antara 25,08-26,12% dan (Bintang dan Nataamijaya 2004), melaporkan berkisar potongan dada antara 31,29 - 31,91%. Potongan punggung pada ke 4 jenis ayam hasil persilangan juga tidak menunjukan perbedaan berkisar antara 18,89-21,46%. Lebih rendah dari yang dilaporkan RESNAWATI (2004), bobot punggung pada ayam berkisar antara 22,17-25,92% Nilai Heterosis. Nilai heterosis dapat menggambarkan apakah keturunan hasil persilangan timbal balik (resiprocal) antara ayam KUB dan ayam Sentul, memiliki keunggulan di atas rata-rata tetua murni yakni; KUB ♂ >< KUB♀ maupun ayam Sentul ♂ >< Sentul ♀ atau tidak. Besarnya nilai persentase heterosis persilangan ayam ♂ KUB >< ♀ Sentul dan ayam ♂ Sentul ><♀ KUB berdasarkan sifat-sifat yang diamati dapat dilihat pada Tabel 4. Besarnya nilai heterosis ayam lokal persilangan antara ♂ KUB >< ♀ Sentul berkisar antara 7,17 – 6,12 % dengan nilai persentase heterosis tertinggi pada persentase bobot badan akhir dan pertambahan bobot badan akhir yang sama sebesar (6,12%), sedangkan nilai heterosis terendah pada persentase konversi pakan sebesar (7,17%). Besarnya nilai heterosis ayam persilangan ♂ Sentul >< ♀ KUB berkisar antara -14,06 – 5,40% dengan nilai heterosis tertinggi pada bobot badan akhir (5,40%), dan terendah pada bobot badan awal (-14,06%). Berdasarkan Tabel 4 dapat dijelaskan bahwa nilai heterosis yang diperoleh kedua jenis ayam persilangan antara ayam KUB dan ayam Sentul ada yang positif dan ada yang negatif. Nilai heterosis positif berarti dengan melakukan persilangan dapat meningkatkan sifat-sifat yang diinginkan pada individu hasil persilangannya, sedangkan nilai heterosis negatif menunjukkan bahwa dengan melakukan persilangan tidak memberikan hasil yang baik, karena sifat-sifat yang diinginkan lebih rendah dari rataan ayam tetuanya. Namun pada hasil penelitian ini, dapat dikemukakan bahwa sifat konversi pakan dari kedua jenis ayam hasil persilangan ayam KUB dan ayam Sentul nilainya negatif itu bukan berarti nilai heterosisnya jelek, namun sebaliknya sangat bagus karena merupakan keunggulan dari masingmasing ayam, karena ayam hasil persilangan mampu mengkonsumsi pakan dalam jumlah sedikit dan dapat memanfaatkannya secara efisien, sehingga bobot akhir dan pertambahan bobot badan dapat ditingkatkan. Karena konversi pakan merupakan perbandingan antara jumlah pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot hidup akhir. Lebih lanjut (Kamal, 1997) mengatakan konversi pakan adalah nilai yang dihasilkan dari perbandingan antara jumlah pakan yang dihabiskan dengan produksi yang dihasilkan. Persilangan antara ayam KUB dan ayam Sentul dalam penelitian ini menghasilkan dua galur ayam lokal yang berbeda pada sifat-sifat yang diamati. Falconer dan Mackay (1996) menyatakan bahwa salah satu tujuan persilangan adalah pemanfaatan heterosis yaitu memperoleh ternak keturunan yang memiliki rataan produksi lebih baik dibandingkan rataan produksi tetuanya. KESIMPULAN Persilangan timbal balik (resiprocal) antara ayam Sentul dengan ayam KUB menghasilkan dua kelompok keturunan (F1) ayam genotipe KS yang memiliki rataan sifat-sifat yang lebih baik dibandingkan dengan rataan kedua
343
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
tetua murninya yakni ayam genotipe SS dan KK. Peningkatan performa dan produksi karkas pada kedua ayam silangan ini menunjukkan adanya efek heterosis di sebagian besar sifat yang diamati. Persentase efek heterosis yang ditunjukkan ayam persilangan genotipe KS adalah bobot badan akhir (6,12%), pertambahan bobot badan akhir (6,12%), bobot karkas (4,78%), paha atas (2,86%), bobot awal (2,05%), dada (1,79%) dan sayap (0,78%). Banyaknya nilai heterosis yang dimiliki ayam persilangan KS menandakan ayam tersebut berpotensi besar untuk dijadikan ayam potong dan dapat dijual dalam bentuk karkas atau ternak hidup. Sementara ayam persilangan genotipe SK memiliki nilai heterosis yang lebih kecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil persilangan terbaik untuk menghasilkan performa dan produksi karkas yang lebih baik adalah ayam persilangan ♂ KUB x ♀ Sentul betina (KS). DAFTAR PUSTAKA Anggorodi, R. 1980. Ilmu Makanan Ternak Umum . PT. Gramedia Jakarta Bintang, I.A.K. dan A.G. Nataamijaya. 2004. Pengaruh penambahan tepung kencur dan bawang putih pada ransum terhadap karkas dan bagianbagian karkas ayam ras pedaging. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor Falconer, D.S. dan T.F.C. Mackay. 1996. Introduction to Quantitative Genetics. Fourth Edition. Longman, England. pp. 459. Iskandar, S., T. Sartika, C. Hidayat dan Kadiran 2010. Penentuan kebutuhan protein kasar ransum ayam Kampung Unggul Balitnak (KUB) masa pertumbuhan (0 – 22 minggu). Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. 28 hlm. Kamal, M., 1997. Kontrol Kualitas Pakan. Hand Out. Fakultas Peternakan UGM Yogyakarta. Mariyanto. 2005. Korelasi antara Bobot Badan Awal dengan Bobot Badan Hidup dan Bobot Karkas dengan Pola Pemberian Pakan yang Berbeda Pada Ayam Kampung Periode Awal. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang. Moran, E.T. 1977, Growth and meat yield in poultry. In: Growth and Poultry Meta Production. British Poultry Sci. : 145-173. ResnawatI, H. 2004. Bobot potongan karkas dan lemak abdomen ayam ras pedaging yang diberi ransum mengandung tepung cacing tanah (Lumbricus rebellus). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan
344
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
dan Veteriner. Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Petemakan. Bogor Resnawati. H, 2008. Karaktemstik Karkas Dan Preferens Konsumen Terhadap Daging Dada Ayam Yang Diberi Ransum Mengandung Cacing Tanah (Lumbricrrs Rubellus) Prosiding Seminar Nosional Teknotogl Inovatif Pascapanen Untuk Pengembangon Industri Berbasis Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanin. Hal 424-431 Sidadolog, J.H.P. 2011, Pemuliaan Sebagai Sarana Pelestarian Dan Pengembangan Ayam Lokal. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Soeparno 1998. Ilmu Dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Steel, R.G.D & J.H. Torrie, 1991. Prinsip Dan Prosedur Statistika. Terjemahan Edisi Kedua Jakarta : Pt Gramedia Pustaka Utama. Zuprizal, 1993. Pengaruh Penggunaan Pakan Tinggi Protein terhadap Penampilan Karkas dan Perlemakan Ayam Pedaging Fase Akhir. Buletin Peternakan. 17 : 110-118.
345
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Peranan Kebun Bibit Mendukung Keragaan Teknologi MKRPL di Desa Koyoan Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah Nursery Supporting Role Performance of Technology In the village Koyoan MKRPL Banggai Central Sulawesi Ruslan Boy*), Mardiana1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sulawesi Tengah 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sulawesi Tengah *) Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. 081354259888/0451482549 email:
[email protected] 1
ABSTRACT This study aimed to determine the role of nurseries in supporting the performance of technology M-KRPL Koyoan Village Banggai, Central Sulawesi. Conducted on a group of women farmers in the village Landean Koyoan, since the month of April-September 2012. introducing vegetables are cabbage, celery, tomatoes and cayenne pepper cultivation technologies vertikultur with 4 hanging model, vertikultur shelf models, models polybag and conventional models. The size of the assessment is based on narrow grounds (<120 m2), yard moderate (120-400 m2) and a yard wide (> 400 m2). Observed variables consist of the number of plants, number of leaves, number of harvest, fruit weight and yield. The data is calculated by a simple average and ratio analysis of income and expenses of R / C ratio. The results of the analysis of farm produce values of R / C ratio> 2, so it is worth the effort. Technology conventional models obtained the highest profit of Rp. 2.4275 million with R / C ratio of 3.78. While the lowest shelf models Rp. 622 900 with R / C ratio of 2.01. Keywords: Nursery, Performance of Technology, Yard and Vegetables
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan kebun bibit dalam mendukung keragaan teknologi M-KRPL di Desa Koyoan Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Dilaksanakan pada kelompok wanita tani Landean di Desa Koyoan, sejak bulan April-September 2012. Mengintroduksikan sayuran sawi, seledri, tomat dan cabe rawit dengan 4 teknologi budidaya vertikultur model gantung, vertikultur model rak, model polibag dan model konvensional. Ukuran pengkajian didasarkan pada pekarangan sempit (<120 m2), pekarangan sedang (120-400 m2) dan pekarangan luas (>400 m2). Variabel yang diamati terdiri dari jumlah tanaman, jumlah daun, jumlah panen, berat buah dan hasil panen. Datadata dihitung dengan rata-rata sederhana dan menggunakan analisis rasio pendapatan dan biaya R/C Rasio. Hasil analisis usahatani menghasilkan nilai R/C rasio > 2, sehingga sangat layak untuk diusahakan. Teknologi model konvensional diperoleh keuntungan tertinggi Rp. 2.427.500 dengan R/C rasio 3,78. Sedangkan terendah model rak Rp. 622.900 dengan R/C rasio 2,01. 346
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Kata Kunci: Kebun Bibit, Keragaan, Teknologi, Pekarangan dan Sayuran PENDAHULUAN Pemanfaatan pekarangan secara intensif melalui pengelolaan sumberdaya alam lokal secara bijaksana merupakan hal penting dalam menunjang program penganekaragaman konsumsi pangan dan gizi masyarakat yang berbasis pangan lokal agar hidup sehat dan produktif. Zulkarnain (2010), menyatakan bahwa salah satu program pemerintah dalam membantu peningkatan produktivitas lahan pekarangan adalah dengan melalui intensifikasi pekarangan, dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan perbaikan gizi keluarga. Sementara itu, untuk tujuan perbaikan gizi keluarga dapat dipilih komoditas yang bersifat low input. Jadi hendaknya diusahakan tanaman yang mudah ditanam, cepat menghasilkan, hasilnya berkesinambungan dan mengandung zat gizi tinggi. Salah satu sumber pangan yang mudah dibudidayakan dan memiliki masa panen yang relatif pendek adalah sayuran. Wijoyo (2012), menyatakan bahwa bertanam sayuran di pekarangan bisa menciptakan sayuran yang multi fungsi, selain sebagai sumber gizi keluarga yang menyehatkan, tampilannya cukup memberikan kesan estetis dan bisa dijual sehingga akan memberikan keuntungan ekonomis. Setyanigrum dan Saparinto (2011), menyatakan bahwa sayuran dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat, karena dengan semakin majunya pengetahuan dan pemahaman mengenai gizi pangan sehingga masyarakat semakin sadar akan pentingnya sayuran sebagai asupan gizi. Hal yang sama diungkapkan oleh Suhardiyanto (2009), bahwa buah-buahan dan sayuran merupakan komoditas yang diminati di seluruh dunia, seiring dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya pola makan sehat. Setelah semakin disadari pentingnya fungsi produksi pekarangan, maka dewasa ini pengusahaan pekarangan mulai dilakukan dengan menerapkan intensifikasi. Menurut Supriati dan Herliana (2010), bahwa kebutuhan sayuran yang terus meningkat berbanding lurus dengan nilai ekonomisnya yang semakin tinggi. Namun, kenaikan ini tidak diimbangi dengan pertambahan luas lahan yang digunakan untuk penanaman sayuran seperti di wilayah perkotaan yang memiliki keterbatasan lahan kosong. Oleh karena itu, diperlukan suatu teknologi sistem penanaman sayuran di pekarangan yang dapat menghemat penggunaan lahan, tetapi mampu memproduksi sayuran sehat yang berkualitas. Kunci selanjutnya dalam upaya menuju terciptanya rumah pangan lestari adalah tersedianya benih dan bibit yang berkesinambungan. Oleh karena itu manajemen pembibitan di Kebun Bibit Desa atau Kebun Bibit Induk (KBD/KBI) wajib dilaksanakan dan harus berkesinambungan. Wiendarti dan Gunawan (2012) menyatakan bahwa kebun bibit merupakan salah satu sumber bibit dalam pengembangan KRPL, sebagai upaya menuju terciptanya rumah pangan lestari (RPL). Lebih lanjut, Handewi (2011) menyatakan bahwa ketersediaan benih/bibit harus diikuti penumbuhan dan penguatan kelembagaan Kebun benih/bibit. Sehubungan dengan hal tersebut, melalui program M-KRPL yang bertempat di Desa Koyoan dilaksanakan kajian keragaan teknologi M-KRPL, yang didasarkan pada kepemilikan luas lahan masing-masing pekarangan yaitu
347
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
kelompok lahan pekarangan sempit (<120 m2), kelompok lahan pekarangan sedang (120-400 m2) dan kelompok lahan pekarangan luas (>400 m2). BAHAN DAN METODE Pengkajian dilaksanakan pada kelompok wanita tani Landean di Desa Koyoan, Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Kegiatan ini berlangsung selama bulan April-September 2012. Pengkajian mengintroduksikan sayuran sawi, seledri, tomat dan cabe rawit dengan 4 teknologi budidaya, yaitu vertikultur model gantung, vertikultur model rak, model polibag dan model konvensional. Ukuran pengkajian didasarkan pada kepemilikan luas lahan masing-masing pekarangan yaitu: No Kelompok lahan Model budidaya Jumlah dan Jenis Komoditas 1 Pekarangan Cocopot gantung 25 tanaman sawi dan 35 seledri sempit (<120 Model rak 25 tanaman sawi dan 35 seledri m2 ) Polibag 15 tanaman tomat dan 15 cabe Konvensional 15 tanaman tomat dan 15 cabe 2 Pekarangan Cocopot gantung 25 tanaman sawi dan 35 seledri sedang (120-400 Model rak 25 tanaman sawi dan 35 seledri m2 ) Polibag 42 tanaman tomat dan 42 cabe Konvensional 42 tanaman tomat dan 42 cabe 3 Pekarangan luas Cocopot gantung 25 tanaman sawi dan 35 seledri (>400 m2) Model rak 25 tanaman sawi dan 35 seledri Polibag 96 tanaman tomat dan 96 cabe Konvensional 96 tanaman tomat dan 96 cabe Variabel pertumbuhan dan komponen hasil yang diamati meliputi: jumlah tanaman, jumlah daun, jumlah panen, berat buah dan hasil panen. Data-data yang terkumpul, dihitung dengan rata-rata sederhana dan menggunakan analisis rasio pendapatan dan biaya R/C Rasio. HASIL Tabel 1. Karakteristik Lahan Pekarangan Desa Koyoan Kecamatan Luwuk Karakteristik Dusun Dusun Jumlah Persentase Luas Lahan Lahan I II KK (%) Sempit <100 m2 20 36 56 29,3 Sedang 100-200 m2 41 49 90 47,1 Luas >200 m2 20 25 45 23,6 Jumlah 80 111 191 100 Sumber : Data Primer yang diolah 2012
348
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 2. Perkembangan Pembibitan Menurut Jenis Tanaman, Pelaksanaan Pesemaian dan Produksi Bibit di KBI Jenis Tanaman Pelaksanaan Persemaian Produksi Bibit (pohon) Cabe rawit 3 kali 2.100 Tomat 3 kali 3.450 Sawi 4 kali 6.000 Seledri 2 kali 2.500 Sumber: Analisis Data Primer 2012
Tabel 3. Perkembangan Pembibitan Menurut Jenis Tanaman, Pelaksanaan Pesemaian dan Produksi Bibit di KBD Pelaksanaan Pesemaian (Kali) Produksi Bibit (pohon) Jenis KBD KBD KBD KBD KBD KBD KBD KBD Tanaman I II III IV I II III IV Cabe rawit 2 kali 1 kali 1 kali 1 kali 1.430 500 350 350 Tomat 2 kali 1 kali 1kali 1 kali 2.250 1000 1100 1100 Sawi 2 kali 2 kali 2 kali 2 kali 3.300 1.600 1.400 2.000 Seledri 1kali 1 kali 1 kali 1 kali 1.000 800 1000 900 Sumber: Analisis Data Primer 2012
Tabel 4. Pengamatan Jumlah Tanaman, Jumlah Panen dan Hasil Panen Tanaman Sawi Jumlah Perlakuan Jumlah Panen Hasil Panen (tan) Tanaman Coco pot gantung 75 1 kali 75 Model rak 75 1 kali 75 Sumber: Ruslan Boy, et al., (2012)
Tabel 5. Pengamatan Jumlah Tanaman, Jumlah Daun dan Jumlah Panen Tanaman Seledri Jumlah Jumlah daun yang dihasilkan Jumlah Panen Perlakuan Tanaman 30 hst 60 hst 90 hst 120 hst Coco pot 105 4,5 8,5 38,7 62,7 12 kali gantung Model rak 105 4,5 8,8 40,2 66,2 12 kali Sumber : Ruslan Boy, et al., (2012)
Tabel 6. Pengamatan Jumlah Panen, Jumlah Tanaman dan Berat Buah Tanaman Cabe Rawit Perlakuan Jumlah Jumlah Panen Berat Buah (g/tanaman) Tanaman Polibag 153 5 kali 283,2 Konvensional 153 6 kali 302,4 Sumber: Ruslan Boy, et al., (2012)
349
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 7. Pengamatan Jumlah Tanaman, Jumlah Panen dan Berat Buah Tanaman Tomat Jumlah Berat Buah Perlakuan Jumlah Panen Tanaman (kg/tanaman) Polibag 153 6 kali 1,0 Konvensional 153 8 kali 1,3 Sumber : Ruslan Boy, et al., (2012).
Tabel 8. Analisis Usahatani Keragaan Teknologi Budidaya Sayuran di Pekarangan No
Uraian
Sat
Coco Pot Nilai
Vol I A 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Input Sarana Produksi Benih: -Sawi -Seledri -Tomat -Cabe rawit Sabut kelapa Polibag Batang bambu Tiang lanjaran/ajir Tali rapiah Tali rotan Gembor Pupuk Organik Sekam
Jumlah A Tenaga Kerja Penyiapan Wadah tanam: - Coco Pot -Rak bambu -Pengisian polibag -Pembuatan bedeng 2. Penanaman 3. Menyiangi 4. Menyiram 5. Panen Jumlah B Total Biaya Produksi (A+B) II OUTPUT A Total Produksi B Harga Jual tk Petani C Nilai Total Produksi III PENDAPATAN BERSIH IV R/C Rasio
Gr Gr Gr Gr Unit Lbr Btg Btg Glg Utas Unit Kg Kg
5 5
5000 6.000
180
Vol
Model Rak Nilai
5 5
Polibag Nilai
Konvensional Vol Nilai
5000 6.000 1,5 2
22.500 2.000
1,5 2
22.500 2.000
308
338.800
154 1
15.000 10.000
154 1
15.000 10.000
1 100 100
50.000 42.000 20.000
1 150
50.000 63.000
50.000 27
180 1 50 50
Vol
50.000 50.000 21.00 10.000
1 50 50
189.500
125.000
50.000 21.000 10.000 214.500
500.000
112.500
B 1.
HOK HOK HOK HOK HOK HOK HOK HOK
4 1 3 2
100.000
40.000 160.000 80.000 380.000 569.500
3 1 3 2
514 ikat 2.300 1.182.200 612.700 2,07
120.000
40.000 160.000 80.000 400.000 614.500
538 ikat 2.300 1.237.400 622.900 2,01
4 2 8 2
160.000 80.000 320.000 80.000 640.000 1.140.000
2 2 2 10 3
200 kg 12.700 2.540.000 1.400.000
80.000 80.000 80.000 400.000 120.000 760.00 872.500
250 kg 12.700 3.300.000 2.427.500
2.2
3,78
PEMBAHASAN Karakterisasi Wilayah Pengkajian. Koyoan merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Luwuk yang terletak sekitar 18 km ke arah Selatan ibu kota Kecamatan Luwuk, yang merupakan Pusat Pemerintahan Kabupaten Banggai dengan waktu tempuh sekitar 20 menit dan terletak sekitar 660 km dari ibukota Propinsi Sulawesi Tengah. Luas wilayah mencapai 35 km 2 dan secara administrasi terdiri dari 2 dusun dan 6 RT. Jumlah penduduk 639 jiwa yang tersebar di 2 dusun dengan rincian 317 laki-laki dan 322 perempuan. Terdiri atas
350
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
191 KK yaitu 83 KK masih tergolong miskin, 76 KK prasejahtera dan 32 KK sejahtera. Wilayah Desa Koyoan mempunyai ketinggian 0–500 m dpl. Kebun Bibit Induk terletak pada titik koordinat: 00˚82’899” LS dan 122˚23’124” BT serta Elevasi 4 m dpl dengan bentuk permukaan tanah daratan 22%, perbukitan 51% dan pegunungan 27%. Desa Koyoan memiliki 2 musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau terjadi antara bulan Oktober–Maret dan musim penghujan terjadi antara bulan April–September. Curah hujan rata-rata 791-1520 mm/thn dengan suhu udara rata-rata 15-32oC. Aksesibilitas wilayah pengkajian relatif baik, karena didukung oleh tersedianya sarana dan prasarana transportasi yang memadai. Untuk mendukung aktivitas pertanian di daerah setempat kondisi pasar sangat mendukung kegiatan hasil produksi pertanian termasuk, sawi, seledri, tomat dan cabe. Petani selain menjual hasil taninya kepada pedagang pengumpul, sebagian juga menjual langsung ke pasar induk Ibu Kota Kabupaten Banggai dengan jarak tempuh sekitar 20 menit, sehingga mendapat margin keuntungan relatif lebih besar dari pada menjualnya kepada pedagang pengumpul. Klasifikasi Pekarangan. Pekarangan di Desa Koyoan masuk klasifikasi perdesaan dengan karakteristik lahan sempit (<100 m2), sedang (100-200 m2) dan luas (>200 m2). Pada Tabel 1 Kepemilikan lahan sempit berjumlah 29,3% yang terdiri dari 56 KK, lahan sedang 47,1% berjumlah 90 KK dan lahan luas sebesar 23,6% dengan jumlah 45 KK. Dengan melihat persentase kepemilikan luas lahan pekarangan tersebut, potensi pemanfaatan pekarangan melalui MKRPL dapat dilakukan melalui model budidaya yang variatif disesuaikan dengan karakteristik lahan pekarangan masing-masing kepemilikan. Pembuatan dan Pengelolaan Kebun Bibit. Pembuatan Kebun Bibit Desa (KBD) merupakan unit produksi benih dan bibit untuk memenuhi kebutuhan pekarangan dalam membangun Rumah Pangan Lestari maupun kawasan. Awal pembuatan 1 unit Kebun Bibit Induk (KBI) dengan ukuran 9 m x 6 m yang bertempat di dusun I. Kapasitas Kebun Bibit Induk untuk memenuhi kebutuhan bibit pada 20 anggota kelompok wanita tani Landean. Jenis tanaman yang dibibitkan disesuaikan dengan kebutuhan anggota kelompok yaitu, tanaman sawi, seledri, tomat dan cabe rawit. Sejalan dengan perkembangan pemanfaatan pekarangan, yang awalnya 20 KK berkembang menjadi 83 KK yang akan memanfaatkan pekarangannya, maka akan menuntut kebutuhan bibit yang semakin banyak sehingga dengan dasar tersebut dibangun KBD sebanyak 4 unit yang bertempat di dusun I (2 unit) dan dusun II (2 unit) dengan ukuran luas yang beragam disesuaikan dengan luas pekarangan dan kebutuhan bibit yang akan disemai. Teknologi Coco Pot Gantung dan Model Rak. Hasil pengamatan jumlah tanaman, jumlah panen dan hasil panen tanaman sawi terlihat bahwa tanaman sawi yang menggunakan model budidaya vertikultur dengan metode cocopot gantung dan model rak menghasilkan 3 komponen pengamatan tersebut tidak ada perbedaan. Untuk pengamatan jumlah tanaman diperoleh 75 tanaman, jumlah panen dilakukan 1 kali dan hasil panen diperoleh 75 tanaman. Hasil pengamatan
351
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
menunjukkan bahwa kedua model budidaya vertikultur yang menggunakan wadah tanam dengan bahan baku lokal sabut kelapa dan batang bambu, mampu memperlihatkan pertumbuhan tanaman sawi yang maksimal dan tidak tampak perbedaan morfologi pada kedua wadah tanam tersebut. Pengamatan jumlah tanaman, jumlah daun yang dihasilkan dan jumlah panen tanaman seledri terlihat bahwa tanaman seledri yang menggunakan model budidaya vertikultur dengan metode coco pot gantung dan model rak menghasilkan pertumbuhan jumlah tanaman yang sama, yaitu 105 tanaman. Untuk pengamatan komponen jumlah daun yang dihasilkan pada 4 waktu pengamatan memperlihatkan jumlah daun yang sama pada pengamatan umur 30 hari setelah tanam (hst), yaitu 4,5 helai daun (hd). Sedangkan yang lainnya berbeda, untuk coco pot gantung pada pengamatan umur 60 hst (8,5 hd), umur 90 hst (38,7 hd) dan umur 120 hst (62,7 hd). Pada model rak, pengamatan umur 60 hst (8,8 hd), umur 90 hst (40,2 hd) dan pengamatan umur 120 hst (66,2 hd). Kemudian untuk parameter pengamatan interval jumlah panen, antara teknologi budidaya coco pot gantung dan model rak tidak berbeda yang mana kedua teknologi tersebut menghasilkan jumlah panen 12 kali selama pertumbuhan tanaman seledri. Penggunaan kedua jenis wadah tanam tersebut sangat cocok untuk pengembangan teknologi budidaya tanaman sayuran di pekarangan, khususnya sayuran yang mempunyai perakaran dangkal dan sempit seperti sawi dan seledri. Selain pertumbuhan tanamannya cukup baik, juga memudahkan dalam perawatan tanaman dan mampu menghemat lahan. Keunggulan dari kedua wadah tanam tersebut tersedia secara in-situ, kontinu dan dapat digunakan untuk beberapa kali musim tanam serta ramah lingkungan. Maka dari itu teknologi yang berbasis bahan lokal ini memiliki prospek ke depan untuk dikembangkan. Khusus untuk Cocopot dibanding dengan jenis pot lainnya, ukuran dan porositasnya sangat memadai sehingga tidak hanya berfungsi sebagai wadah penampung media dan tanaman tetapi juga berperan dalam pertumbuhan akar tanaman. Hal ini, karena cocopot memiliki kemampuan lebih banyak menyerap air dan lebih lama sehingga sayuran tidak kekurangan air. Teknologi Polybag dan Konvensional. Pengamatan jumlah tanaman, jumlah panen dan berat buah tanaman cabe rawit terlihat bahwa tanaman cabe rawit yang menggunakan teknologi budidaya model polybag dan model rak menghasilkan jumlah tanaman yang sama yaitu 153 tanaman, tetapi menunjukkan perbedaan pada jumlah panen dan berat buah yang dipanen pada setiap tanaman. Jumlah panen pada teknologi budidaya model polybag menunjukkan waktu panen yang lebih sedikit yaitu 5 kali, sedangkan teknologi budidaya konvensional lebih banyak yaitu 6 kali. Kemudian untuk parameter pengamatan berat buah setiap tanaman, untuk teknologi budidaya model polybag menghasilkan berat buah 283,2 g/tanaman sedangkan teknologi budidaya model konvensional 302,4 g/tanaman. Pengamatan jumlah tanaman, jumlah panen dan berat buah tanaman tomat yang menggunakan teknologi budidaya model polybag dan model rak menghasilkan jumlah tanaman yang sama yaitu 153 tanaman, tetapi menunjukkan perbedaan pada jumlah panen dan berat buah yang dipanen pada setiap tanaman. Jumlah panen pada teknologi budidaya model polybag menunjukkan waktu panen
352
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
yang lebih sedikit yaitu 5 kali, sedangkan teknologi budidaya konvensional lebih banyak yaitu 7 kali. Kemudian untuk parameter pengamatan berat buah setiap tanaman tomat, untuk teknologi budidaya model polybag menghasilkan berat buah 1,0 kg/tanaman sedangkan teknologi budidaya konvensional 1,3 kg/tanaman.
Analisis Usaha Tani. Gambaran Analisis Usahatani Keragaan Teknologi Budidaya Sayuran di pekarangan masyarakat Desa Koyoan dengan skala usaha rumah tangga kelompok lahan pekarangan sempit (<120 m 2), kelompok lahan pekarangan sedang (120-400 m2) dan kelompok lahan pekarangan luas (>400 m2). Catatan pengeluaran biaya produksi untuk model cocopot gantung Rp. 569.500,-, model rak Rp. 614.500,-; model polibag Rp. 1.140.000,- dan model konvensional Rp. 872.500,-. Harga jual masing-masing di pasaran saat panen adalah model cocopot gantung Rp. 2.300,-/Ikat, model rak Rp. 2.300,-/Ikat, model polibag Rp. 12.700,-/kg dan model konvensional Rp. 12.700,-/kg. Gambaran keuntungan usahatani dari masing-masing perlakuan dapat diketahui melalui parameter nilai R/C rasio yaitu Nilai Total Produksi: Total Biaya Produksi atau penerimaan: pengeluaran, jika nilai R/C rasio > 1 maka usahatani tersebut layak diusahakan. Dari 4 perlakuan tersebut menunjukkan bahwa keuntungan tertinggi diperoleh pada model konvensional dengan nilai pendapatan bersih Rp. 2.427.500,- dengan R/C 3,78 diikuti model polybag dengan nilai pendapatan bersih Rp. 1.400.000,- dengan R/C 2,2, Model cocopot gantung dengan nilai pendapatan bersih Rp 612.700,- dengan R/C 2,07, model rak dengan nilai pendapatan bersih Rp. 622.900,- dengan R/C 2,01. Setelah diperolehnya keuntungan yang lebih besar dari hasil model usahatani tersebut, maka diharapkan model konvensional dapat dengan cepat diadopsi petani, karena produksi dan keuntungan yang dihasilkan pada model tersebut sangat tinggi, serta secara teknis dan ekonomi sangat layak dianjurkan kepada petani. KESIMPULAN Berdasarkan tujuan serta hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu: 1. Kebun bibit merupakan unit produksi benih dan bibit untuk memenuhi kebutuhan pekarangan sehingga wajib dilaksanakan dan harus berkesinambungan dalam upaya membangun serta menuju terciptanya Rumah Pangan Lestari maupun kawasan. 2. Hasil analisis usahatani dari 4 model teknologi budidaya yang dilakukan pada Model Kawasan Rumah Pangan Lestari di Desa Koyoan, Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah, menghasilkan nilai R/C rasio > 2, sehingga sangat layak untuk diusahakan. Dari 4 perlakuan teknologi, teknologi konvensional diperoleh keuntungan tertinggi dengan pendapatan bersih Rp. 2.427.500,-dengan R/C rasio 3,78. Sedangkan Teknologi model rak menghasilkan keuntungan yang terendah dengan pendapatan bersih Rp. 622.900,- dengan R/C rasio 2,01.
353
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
DAFTAR PUSTAKA BBP2TP, 2011. Model Kawasan Rumah Pangan Lestari dan Pengembangannya ke Seluruh Provinsi di Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol 33 No 6 Tahun 2011. Handewi Purwati Saliem. 2011. Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL): Sebagai Solusi Pemantapan Ketahanan Pangan http://www.opi.lipi.go.id/ data/1228964432/data/ 13086710321319802404. makalah.pdf. Tanggal download 10 Juli 2013. Setyaningrum, H. D., dan Saparinto, C. 2011. Panen Sayuran Secara Rutin di Lahan Sempit. Penebar Swadaya, Jakarta. 228 pp. Suhardiyanto, H. 2009. Teknologi Rumah Tanaman untuk Iklim Tropika Basah. IPB Press, Bogor. 121 pp. Supriati, Y., dan Herliana, E. 2010. Bertanam 15 Sayuran Organik dalam Pot. Penebar Swadaya, Jakarta. 156. Wijoyo, P. M. 2012. Rahasia Sukses Bertanam Sayuran di Pekarangan. Pustaka Agro Indonesia, Jakarta. 80 pp. Wiendarti Indri Werdhany dan Gunawan. 2012. Teknik Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ilmu-Ilmu PertanianVol.16, No 2, Desember 2012. http://stppyogyakarta.ac.id/wpcontent/uploads/2013/ 04/Jurnal_IIP_Vol_16,No_2_Desember_2012 Wiendarti_ Indri_Werdhany.pdf Tanggal download 10 Juli 2013.
Zulkarnain, H. 2010. Dasar-Dasar Hortikultura. Bumi Aksara, Jakarta. 336 pp.
354
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pertumbuhan dan Hasil Dua Varietas Padi Sawah Pada Sistem Jajar Legowo Growth and Yield of Two Rice Varieties In Jajar System Legowo Ruslan Boy Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sulawesi Tengah Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. 081354259888/0451482549 email:
[email protected] ABSTRACT This study aimed to determine the research was and plant speac of legowo system on growth and yield of paddy. Conducted at the Experiment Institute of BPTP Central Sulawesi in Sidondo III village, Sigi Biromaru District, Central Sulawesi from July to October 2012. This research used split plot design in Randomized Block design. The main plots consisted of two levels: Inpari 7 (V1) and Inpari 13 (V2) whereas subplot consisted of (40 cm x 20 cm x 10 cm) spacing legowo system (J1), (40 cm x 20 cm x 15 cm) (J2) and (40 cm x 20 cm x 20 cm) (J3). The parameters observed included plant height, the amount of tillers, panicle length, weight of 1000 grain and unhulled dried yield. The results showed that the varieties significantly affect of plant height, the tillers, productive tillers, amount of grains per panicle, and light interception. Plant spacing significantly effected on the tillers, productive tillers, yield and dry crop light interception. There was no interaction effect. The average yield of Inpari 7 is better than Inpari 13. The Highest yield of unhulled rice yiel was used (40cm x 20cm x 10cm) plant spacing. Key words: Variety, Plant Spacing and Harvest Dry Rice ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh varietas dan jarak tanam sistem jajar legowo terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi. Dilakukan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian di Desa Sidondo III Kecamatan Biromaru Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah, mulai bulan Juli hingga Oktober 2012. Penelitian menggunakan Rancangan Petak Terpisah dalam Rancangan Acak Kelompok. Petak utama terdiri atas dua level yaitu varietas Inpari 7 (V1) dan varietas Inpari 13 (V2) sedangkan anak petak terdiri atas jarak tanam sistem legowo 40 cm x 20 cm x 10 cm (J1), 40 cm x 20 cm x 15 cm (J2) dan 40 cm x 20 cm x 20 cm (J3). Peubah yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan, panjang malai, bobot 1000 butir, dan hasil gabah kering panen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman tetapi berpengaruh terhadap jumlah anakan. Jarak tanam berpengaruh terhadap jumlah anakan, tidak berpengaruh pada panjang malai dan berpengaruh terhadap hasil gabah kering. Varietas Inpari 7 lebih baik dibanding Inpari 13. Jarak tanam 40 cm x 20 cm x 10 cm menghasilkan gabah kering panen lebih tinggi dibanding perlakuan yang lain. Kata kunci: Varietas, Jarak Tanam dan Gabah Kering Panen
355
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PENDAHULUAN Usahatani padi di Indonesia berkembang dari pertanian subsistem yang semula hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga menjadi usahatani komersial. Perubahan paradigma ini dipicu oleh pergeseran ekonomi dan kemajuan teknologi pertanian. Namun, usahatani padi yang telah terlanjur terbelenggu di dalam pertanian subsisten belum mampu memberikan nilai tambah yang layak bagi keluarga petani, walaupun secara menyeluruh produksi padi memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian nasional. Varietas unggul padi berperan besar dalam mengubah sistem pertanian subsistem menjadi usaha pertanian komersial, dengan kemampuan produksinya yang tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan varietas lokal. Varietas unggul modern dimodifikasi melalui perakitan varietas berdaya hasil tinggi, respon terhadap pemupukan, daun tanaman tegak, sesuai dengan kondisi wilayah, anakan banyak sehingga memiliki kemampuan intersepsi cahaya yang lebih besar, dengan laju fotosintesis yang lebih baik. Bentuk arsitektur tanaman yang demikian membuat tanaman padi mampu menyediakan energi yang cukup untuk tumbuh dan menghasilkan gabah lebih banyak (Suprihatno dan Darajat, 2009). Produktivitas pertanian merupakan sumber bagi pertumbuhan di sektor pertanian. Peningkatan produksi pertanian dapat dicapai dengan peningkatan teknologi pertanian. Pengembangan teknologi pertanian merupakan suatu langkah bagi peningkatan produktivitas pertanian. Penerapan sistem tanam jajar legowo akan menambah populasi lebih banyak dan produksi lebih tinggi dibanding dengan sistem jajar tegel. Cara tanam padi sistem legowo merupakan rekayasa teknologi yang ditujukan untuk memperbaiki produktivitas usahatani padi. Teknologi ini, merupakan perubahan dari jarak tanam tegel menjadi tanam jajar legowo. Legowo diambil dari bahasa Jawa Banyumas yang berasal dari kata “lego dan dowo”. Lego artinya luas dan dowo artinya memanjang. Jadi, diantara kelompok barisan tanaman padi terdapat lorong yang luas dan memanjang sepanjang barisan (Pahrudin et.al, 2004). Sistem tanam jajar legowo pada prinsipnya adalah meningkatkan populasi dengan cara mengatur jarak tanam. Sebagai contoh sistem tanam jajar legowo 2:1, setiap dua baris diselingi satu barisan kosong dengan lebar dua kali jarak dalam barisan. Namun jarak tanam dalam barisan yang memanjang dipersempit menjadi setengah jarak tanam dalam barisan. Cara penanaman tergantung berapa jarak yang akan dilakukan. Selain itu sistem tanam tersebut juga memanipulasi lokasi tanaman sehingga seolah-olah tanaman padi dibuat menjadi tanaman pinggir lebih banyak. Seperti kita ketahui tanaman padi yang berada di pinggir akan menghasilkan produksi lebih tinggi dan kualitas gabah yang lebih baik, hal ini disebabkan karena tanaman tepi akan mendapatkan sinar matahari lebih banyak (Bobihoe et.al, 2004). Sehubungan dengan hal tersebut, maka dilakukan penelitian tentang pertumbuhan dan hasil dua varietas padi sawah pada sistem jajar legowo dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh dua varietas unggul baru dan berbagai jarak tanam sistem jajar legowo terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.
356
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
BAHAN DAN METODE Penelitian ini bertempat di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah di Desa Sidondo III, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah. Dilakukan selama 4 bulan yang dimulai pada bulan Juli 2012 sampai dengan Oktober 2012. Penelitian ini menggunakan Rancangan Petak Terpisah (RPT) yang terdiri atas Petak Utama dan Anak Petak. Varietas sebagai Petak Utama (PU) yaitu varietas inpari 7 dengan simbol (V1) dan varietas inpari 13 (V2) sedangkan jarak tanam sebagai Anak Petak (AP) yaitu Sistem jajar legowo 2 : 1 (40 cm x 20 cm x 10 cm) dengan simbol (J1), Sistem jajar legowo 2 : 1 (40 cm x 20 cm x 15 cm) dengan symbol (J2) dan Sistem jajar legowo 2 : 1 (40 cm x 20 cm x 20 cm) simbol dengan (J3). Setiap perlakuan diulang 3 kali sehingga terdapat 18 unit perlakuan. Satuan percobaan berupa petak berukuran 5 x 4 m. Pengolahan tanah dilakukan secara sempurna. Jumlah bibit 2 per lubang tanam. Umur bibit yang digunakan 15 hari setelah semai (hss). Jenis dan dosis pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang sebanyak 25 kg/petak sedangkan pupuk anorganik yang digunakan adalah Phonska 5,5 kg/petak, Urea 2,1 kg/petak dan SP36 0,7 kg/petak. Jenis insektisida yang digunakan adalah Furadan 3G dan Virtako dengan dosis yang disesuaikan pada saat terjadi serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) di pertanaman berdasarkan prinsip dan strategi pengendalian hama terpadu (PHT). Pengamatan kajian ini meliputi data: tinggi tanaman dan jumlah anakan maksimum, panjang malai, jumlah gabah per malai, bobot gabah 1000 butir, dan hasil gabah kering panen per hektar. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam (Uji F), apabila analisis ragam menunjukkan perbedaan nyata maka dilakukan dengan uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%. HASIL Tabel 1. Rata-Rata Tinggi Tanaman yang Menggunakan Varietas dan Jarak Tanam Berbeda pada Umur 56 HST Jarak Tanam Varietas Rata-Rata 40x20x10 40x20x15 40x20x20 Inpari 7 102,43 102,20 102,46 102,36 Inpari 13 103,76 103,90 103,36 103,67 Rata-Rata 103,10 103,05 102,91 Tabel 2. Rata-Rata Jumlah Anakan yang Menggunakan Varietas dan Jarak Tanam Berbeda pada Umur 56 HST Jarak Tanam Varietas BNJ5%=1,93 40x20x10 40x20x15 40x20x20 Inpari 7 16,50 17,63 19,33 17,82b Inpari 13 14,80 15,90 16,83 15,84a BNJ 5%=2,57 15,65a 16,77a 18,08a Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan nyata
357
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 3. Rata-Rata Panjang Malai yang Menggunakan Varietas dan Jarak Tanam Berbeda Jarak Tanam Varietas Rata-Rata 40x20x10 40x20x15 40x20x20 Inpari 7 24,85 24,65 24,92 24,81 Inpari 13 24,89 25,02 24,43 24,78 Rata-Rata 24,87 24,84 24,68 Tabel 4. Rata-Rata Jumlah Gabah Per Malai yang Menggunakan Varietas dan Jarak Tanam Berbeda Jarak Tanam Varietas BNJ5%=14,06 40x20x10 40x20x15 40x20x20 Inpari 7 177,67 163,57 171,87 171,03b Inpari 13 149,50 157,30 157,20 154,67a Rata-Rata 163,58 160,43 164,53 Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan nyata
Tabel 5. Rata-Rata Bobot 1000 Butir yang Menggunakan Varietas dan Jarak Tanam Berbeda Jarak Tanam Varietas Rata-Rata 40x20x10 40x20x15 40x20x20 Inpari 7 26,11 26,11 26,11 26,11 Inpari 13 26,12 26,01 26,03 26,05 Rata-Rata 26,11 26,06 26,07 Tabel 6. Rata-Rata Hasil Gabah Kering Panen Menggunakan Varietas dan Jarak Tanam Berbeda pada Umur 56 HST Jarak Tanam Varietas Rata-Rata 40x20x10 40x20x15 40x20x20 Inpari 7 16,50 17,63 19,33 6,64 Inpari 13 14,80 15,90 16,83 6,16 BNJ 5%=0,61 7,75a 6,25b 5,23c Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan nyata.
PEMBAHASAN Tinggi Tanaman. Hasil analisis keragaman terhadap komponen pengamatan tinggi tanaman pada umur 56 hari setelah tanam menunjukkan bahwa varietas, jarak tanam dan interaksinya tidak menunjukkan pengaruh nyata, tetapi habitus tanaman yang ditunjukkan oleh varietas Inpari 7 lebih rendah dibanding Inpari 13 pada umur 56 hari setelah tanam. Menurut Arafah dan Najmah (2012), pertumbuhan tinggi bervariasi dari setiap varietas akibat dari faktor genetik dari masing-masing varietas yang berbeda sehingga pertumbuhan dilapangan juga
358
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
memberikan penampilan yang berbeda, terutama dalam hal pertumbuhan tinggi tanaman. Hasil penelitian Salahuddin et al (2009) bahwa jarak tanam sistem legowo tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman padi. Jumlah Anakan. Hasil analisis keragaman terhadap komponen pengamatan jumlah anakan pada umur 56 hari setelah tanam menunjukkan bahwa penggunaan varietas dan jarak tanam memberikan pengaruh nayata. Jumlah anakan varietas Inpari 7 lebih banyak dibanding Inpari 13 pada umur 56 hari setelah tanam. Demikian pula, penggunaan jarak tanam yang lebih luas cenderung menghasilkan jumlah anakan yang lebih banyak dibanding perlakuan yang lain walaupun tidak berbeda nyata. Penggunaan jarak tanam yang lebar menghasilkan jumlah anakan lebih tinggi dibanding jarak tanam yang lebih sempit. Jarak tanam yang lebar akan memberikan kesempatan cahaya banyak yang masuk dan kurangnya persaingan antar tanaman dan bagian tanaman. Perbedaan jumlah anakan yang dihasilkan tersebut disebabkan oleh perbedaan genetik yang dikandung oleh masing-masing varietas. Hasil penelitian Krismawati dan Arifin (2011), bahwa jumlah anakan berbeda dari setiap varietas dan daya adaptasi dari varietas yang berbeda di mana ditentukan oleh interaksi antara genotipe dan lingkungan. Panjang Malai. Hasil analisis menunjukkan penggunaan varietas, jarak tanam dan interaksinya tidak menunjukkan pengaruh nyata. Penggunaan jarak tanam yang berbeda tidak memberikan pengaruh terhadap panjang malai. Hal ini diduga bahwa penggunaan jarak tanam yang digunakan belum optimal sehingga peubah yang diamati belum berpengaruh. Menurut Hatta (2011) dan Hatta (2012) panjang malai umumnya lebih dipengaruhi oleh varietas tanaman padi. Jumlah Gabah Per Malai. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa penggunaan varietas berpengaruh nyata terhadap jumlah gabah per malai sedangkan jarak tanam dan interaksinya tidak berpengaruh nyata. Penggunaan varietas Inpari 7 menghasilkan jumlah gabah per malai yang lebih tinggi dibanding Inpari 13 dan berbeda nyata. Penggunaan jarak tanam yang berbeda tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah gabah per malai. Hal ini diduga bahwa penggunaan jarak tanam yang digunakan belum optimal sehingga peubah yang diamati belum berpengaruh. Menurut Hatta (2011) dan Hatta (2012) jumlah gabah per malai umumnya lebih dipengaruhi oleh varietas tanaman padi. Hasil Bobot 1000 Butir. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa penggunaan varietas dan jarak tanam serta interaksinya tidak memberikan pengaruh nyata terhadap bobot 1000 butir. Penggunaan varietas Inpari 7 menghasilkan rata-rata bobot gabah 1000 butir yang lebih tinggi dibandingkan dengan Inpari 13. Demikian pula penggunaan jarak tanam 40 cm x 20 cm x 10 cm menghasilkan rata-rata bobot gabah 1000 butir yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakukan jarak tanam yang lain. Hasil Gabah Kering Panen. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa penggunaan varietas dan jarak tanam berbeda memberikan pengaruh berbeda terhadap hasil gabah kering panen, sedangkan interaksinya tidak
359
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
berpengaruh nyata. Penggunaan jarak tanam 40 cm x 20 cm x 10 cm menghasilkan gabah kering panen paling tinggi dibanding perlakukan yang lain dan berbeda nyata. Hal ini terjadi akibat jarak tanam yang sempit akan meningkatkan jumlah batang tanaman dan jumlah cahaya yang diterima banyak serta akan meningkatkan fotosintat sehingga jumlah malai banyak dan akhirnya hasil gabah yang diperoleh tinggi. Menurut Baloch et al. (2002), yang menemukan bahwa hasil gabah padi meningkat pada kondisi kepadatan tanaman yang tinggi karena meningkatkan malai per meter persegi dan hasil biji meningkat. Selain itu, source yang tersedia banyak dan dapat ditranslokasikan ke bagian jumlah malai sehingga hasil gabah kering meningkat. KESIMPULAN Varietas Inpari 7 menghasilkan gabah kering panen 6,64 ton/ha yang lebih tinggi dibanding Inpari 13 dengan hasil gabah kering panen 6,18 ton/ha dan untuk perlakuan jarak tanam 40 cm x 20 cm x 10 cm menghasilkan gabah kering panen 7,75 ton/ha lebih tinggi dibanding perlakuan jarak tanam 40 cm x 20 cm x 15 cm dengan hasil gabah kering panen 6,25 ton/ha dan jarak tanam 40 cm x 20 cm x 20 cm dengan hasil gabah kering panen 5,23 ton/ha. DAFTAR PUSTAKA Arafah dan Najmah, 2012. Pengkajian Beberapa Varietas Unggul Baru Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi Sawah. J. Agrivigor 11(2):188-194 Baloch, A.W., A.M. Soomro, M.A. Javed, M. Ahmed, H.R. Bughio, M.S. Bughio and N.N. Mastoi. (2002). Optimum plant density for high yield in rice (Oryza sativa L.). Asian J. Plant Sci., 1: 25-27. Bobihoe, J., Endrizal dan Prayudi, B. 2004. Teknologi Budidaya Padi Sawah dengan Sistem Legowo Menunjang Pengelolaan Tanaman Terpadu. BPTP Jambi. Hatta, M. 2011. Pengaruh Tipe Jarak Tanam Terhadap Anakan, Komponen Hasil, dan Hasil Dua Varietas Padi pada Metode SRI. J. Floratek 6(2): 104 – 113. Hatta, M. 2012. Uji Jarak Tanam Sistem Legowo Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Beberapa Varietas Padi pada Metode SRI. Jurnal Agrista 16(2):87– 93. Krismawati, A., Dan Z. Arifin. 2011. Stabilitas Hasil Beberapa Varietas Padi Lahan Sawah. J. Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 14(2): 84-92. Pahrudin, A. Maripul dan Dida, P.R. 2004. Cara Tanam Padi Sistem Legowo Mendukung Usaha Tani di Desa Bojong, Cikembar, Sukabumi. Buletin Teknik Pertanian 9 (1): 10 – 12. Salahuddin, K.M., S.H. Chowhdury, S. Munira, M.M. Islam, And S. Parvin. 2009. Response Of Nitrogen And Plant Spacing Of Transplanted Aman Rice. Bangladesh J. Agril. Res. 34(2) : 279-285
360
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Suprihatno, B dan Darajat, A.A. 2009. Kemajuan dan Ketersediaan Varietas Unggul Padi.
361
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Teknologi Budidaya Pemanfaatan Lahan Pekarangan Dalam Mendukung Pendapatan Rumah Tangga (Studi Kasus m-KRPL Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi) Yardha dan Syafri Edi1) 1)
Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Email:
[email protected] ABSTRACT
The utilization of yards is a program of the Model Region Sustainable Food House, which is one of the family food security activities are realized in the region by applying the principles of Sustainable Food House. Intensification yards and utilization of living fences, rural roads, and other public facilities, green open land, as well as developing the processing and marketing results. This activity aims to meet the food and nutrition needs of families and communities through sustainable utilization of the yard optimization. Activities carried out in two locations: Rantau Karya, District Geragai and Sub Talang Babat, West Muara Sabak, East Tanjung Jabung Jambi Province from January to December 2013. Technological innovations are implemented cultivation is planting on beds, polybags, and vertikultur. The data collected is (a) secondary data which support the activities, (b) primary data such as the number of initial and final RPL, the number of early and late PPH, savings and increase household income. The results showed that the activity, the use of yards on mKRPL program as a source of healthy and nutritious food, provide jobs, reduce expenses, and even add to the family income. People who carry out RPL have benefited from RPL, especially the production of vegetables and medicinal plants, where previously they depend on the stalls or markets. With the RPL has been able to harvest directly in the yard can even sell. Keywords: Household, Yard, food security, m-KRPL ABSTRAK Pemanfaatan lahan pekarangan merupakan program dari Model Kawasan Rumah Pangan Lestari, yaitu salah satu kegiatan ketahanan pangan keluarga yang diwujudkan dalam satu kawasan dengan menerapkan prinsip Rumah Pangan Lestari. Intensifikasi lahan pekarangan dan pemanfaatan pagar hidup, jalan desa, dan fasilitas umum lainnya, lahan terbuka hijau, serta mengembangkan pengolahan dan pemasaran hasil. Kegiatan ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara lestari. Kegiatan dilaksanakan di dua lokasi yaitu Desa Rantau Karya, Kecamatan Geragai dan Kelurahan Talang Babat, Kecamatan Muara Sabak Barat, Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi dari bulan Januari sampai dengan Desember 2013. Inovasi teknologi budidaya yang diimplementasikan adalah penanaman pada bedengan, polybag, dan vertikultur. Data yang dikumpulkan adalah (a) data sekunder yang mendukung kegiatan, (b) 362
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
data primer seperti jumlah RPL awal dan akhir, jumlah PPH awal dan akhir, penghematan dan penambahan pendapatan rumah tangga. Hasil kegiatan menunjukkan bahwa, pemanfaatan lahan pekarangan pada program m-KRPL sebagai sumber pangan yang sehat dan bergizi, memberikan lapangan pekerjaan, mengurangi pengeluaran dan bahkan menambah pendapatan keluarga. Masyarakat yang melaksanakan RPL telah merasakan manfaat dari RPL, terutama produksi sayuran dan tanaman obat keluarga, dimana sebelumnya masyarakat tergantung pada warung atau pasar. Dengan adanya RPL sudah dapat memanen langsung di pekarangan bahkan bisa menjual. Kata Kunci: Rumah tangga, Pekarangan, Ketahanan pangan, m-KRPL PENDAHULUAN Pemanfaatan lahan pekarangan untuk ditanami tanaman kebutuhan keluarga sudah berlangsung dalam waktu yang lama dan masih berkembang hingga sekarang meski dijumpai berbagai pergeseran. Komitmen pemerintah untuk melibatkan rumah tangga dalam mewujudkan kemandirian pangan perlu diaktualisasikan dalam menggerakkan lagi budaya menanam di lahan pekarangan, baik di perkotaan maupun di pedesaan (Kementerian Pertanian. 2011; Handewi, 2011). Rumah Pangan Lestari adalah rumah yang memanfaatkan pekarangan secara intensif melalui pengelolaan sumberdaya alam lokal secara bijaksana, yang menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas, nilai dan keanekaragamannya. Penataan pekarangan, ditujukan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya melalui pengelolaan lahan pekarangan secara intensif dengan tata letak sesuai dengan pemilihan komoditas. Pengelompokan lahan pekarangan, Dibedakan atas pekarangan perkotaan dan perdesaan, masing-masing memiliki spesifikasi baik untuk menetapkan komoditas yang akan ditanam, besarnya skala usaha pekarangan, maupun cara menata tanaman, ternak, dan ikan (Danoesastro, Haryono, 1988; BBP2TP. 2011; Badan Ketahanan Pangan. 2010; Kementerian Pertanian, 2012). Pemilihan komoditas, ditentukan dengan mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga serta kemungkinan pengembangannya secara komersial berbasis kawasan. Komoditas untuk pekarangan antara lain: sayuran, tanaman rempah dan obat, serta buah. Pada pekarangan yang lebih luas dapat ditambahkan kolam ikan dan ternak (Kementan. 2011; BBP2TP. 2011; Badan Ketahanan Pangan. 2010). Model Kawasan Rumah Pangan Lestari, diwujudkan dalam satu dusun (kampung) yang telah menerapkan prinsip Rumah Pangan Lestari dengan menambahkan intensifikasi pemanfaatan pagar hidup, jalan desa dan fasilitas umum lainnya, lahan terbuka hijau, serta mengembangkan pengolahan dan pemasaran hasil. Suatu kawasan harus menentukan komoditas pilihan yang dapat dikembangkan secara komersial, dilengkapi dengan kebun bibit (Saliem, H.P. 2011; Handewi Purwati Saliem, 2011; Danoesastro, Haryono, 1988). Taman sayur merupakan contoh taman yang multifungsi. Di satu sisi tampilannya cukup memberikan kesan dan ketika dipanen dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Bahkan jika jumlahnya cukup banyak bisa dijual yang akan memberikan keuntungan ekonomis. Selain dari manfaat estetis dan produktif 363
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
dari taman sayur ada manfaat lain yang bisa diperoleh. Dengan taman sayur di pekarangan kita ikut mendukung gaya hidup hijau yang merupakan suatu usaha untuk mengatasi laju pemanasan global yang bisa dimulai dari rumah sendiri (Danoesastro dan Haryono, 1988; Anonimous. 2011). Berdasarkan uraian diatas dilakukan kegiatan yang bertujuan untuk mengimplementasikan teknologi budidaya dalam pemanfaatan lahan pekarangan dengan prinsip ramah lingkungan untuk meningkatkan keanekaragaman pangan dan gizi keluarga serta menambah pendapatan keluarga.
BAHAN DAN METODE Kegiatan dilaksanakan di Desa Rantau Makmur, Kecamatan Geragai dan Kelurahan Talang Babat, Kecamatan Muara Sabak Barat Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, dimulai dari Bulan Januari sampai Desember 2013. Bahan dan alat yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan adalah : bibit/benih sayuran, tanaman pangan, tanaman buah, tanaman rempah, dan tanaman obat; Media semai/tanam; Pupuk dan pestisida. Alat yang digunakan adalah : kantong plastik, karung goni, polibag besar dan kecil, sabut kelapa, pipa paralon, talang air, shading net, paku, bambu, kayu, reng, papan, gunting, ember, pisau, tali, benang, cangkul, parang, drum plastik, gerobak sorong dan hand sprayer serta ATK dan alat pendukung lainnya. Pelaksanaan m-KRPL meliputi: persiapan, pelaksanaan kegiatan, pembentukan kelompok sasaran, sosialisasi, penguatan kelembagaan, dan pelatihan. Inovasi teknologi budidaya yang diimplementasikan adalah : budidaya tanaman secara vertikultur menggunakan rak-rak bertingkat (tingkat 1, 2 dan 3) terbuat dari kayu dan bambu tempat meletakkan polybag yang telah ditanami tanaman, sistem gantung dan tempel menggunakan wadah kaleng bekas dan sabut kelapa. Sedangkan pada stara 3 ditambahkan budidaya tanaman pada bedengan yang dibuat sesuai dengan bentuk pekarangan. Sebelum tanaman ditanam, terlebih dahulu dilakukan persemaian pada Kebun Bibit. Media persemaian terdiri dari tanah humus yang telah diayak, pupuk organik dan pasir. Sedangkan media tanam pada polybag terdiri dari campuran tanah humus, pupuk organik dan sekam bakar. Perbandingan media tanam ditentukan oleh kandungan haranya, terutama tingkat kesuburan tanahnya. Tanaman siap dipindahkan kepolybag atau bedengan apabila sudah memiliki 3-5 helai daun dan dipilih tanaman yang sehat dan seragam. Data yang dikumpulkan adalah : data sekunder yang menunjang kegiatan, dan data primer berupa : jumlah RPL awal, jumlah RPL akhir, jumlah PPH awal, jumlah PPH akhir, penghematan dan penambahan pendapatan keluarga. Data ditabulasi dan dianalisis menggunakan parameter statistik sederhana seperti persentase, nilai maksimum, nilai minimum, dan nilai rataan sehingga mudah dimengerti dan dapat diambil kesimpulan.
364
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
HASIL Penetapan lokasi dilakukan berkoordinasi dengan Dinas Pertanian dan instansi terkait lainnya tingkat kabupaten, kecamatan dan desa, sehingga diperoleh lokasi yang dianggap mampu menerima dan menerapkan inovasi yang akan diimplementasikan serta tidak tumpangtindih dengan kegiatan lain (Tabel 1). Tabel 1. Lokasi Kegiatan m-KRPL Kabupaten Tanjung Jabung Timur, 2013 No. Kecamatan 1.
Geragai
2.
Muara Sabak Barat
Desa/kel.
TitikKoordinat BT – LS Rantau 01’46.172’ Karya 103’33.498’ Talang Barat 01’13.011’ 103’49.224’
Ketinggian tempat (m.dpl) 4,5 6,0
Lokasi Kawasan Rumah Pangan Lestari di Kabupaten Tanjung Jabung Timur terletak pada kawasan lahan pasang surut, sesuai dengan karakter dan kondisi lahan, maka untuk budidaya tanaman terutama sayuran relatif sulit di usahakan dengan baik di banding daerah lain. Inovasi teknologi budidaya yang diimplementasikan adalah secara vertikultur, dimana tanaman secara umum ditanam pada polybag yang diletakkan pada rak-rak bertingkat terbuat dari kayu atau bambu (tingkat 1, 2 dan 3), secara gantung dan tempel, meskipun ada sebagian lahan pekarangan yang dapat dibuat bedengan. Tabel 2 menyajikan perkembangan kegiatan m-KRPL pada dua lokasi. Selama kegiatan terjadi perkembangan RPL yang awalnya 20 menjadi 25 RPL atau terdapat peningkatan 25 % di Desa Rantau Karya dan 18 RPL atau meningkat 90 % di Desa Talang Babat. PPH awal di Desa Rantau Karya 55,6 dan pada akhir kegiatan terjadi perkembangan 64,5 atau meningkat 16,00 %, sedangkan di Desa Talang Babat PPH awal 60,5 dan akhir 68,5 atau meningkat 13,06 %. Tabel 2. Perkembangan Implementasi Kegiatan m-KRPL Kabupaten Tanjung Jabung Timur 2013 KRPL awal
RPL awal
Perkembangan Kegiatan PPH KRPL RPL Awal akhir akhir
PPH akhir
No.
Desa/Kel
1.
Rantau Karya
1
20
55,6
1
25
64,5
2.
Talang Babat
1
20
60,5
1
38
68,4
PEMBAHASAN Penataan dan penempatan tanaman disesuaikan dengan model rumah dan lahan pekarangan, sehingga indah dan nyaman untuk dipandang. Media tanam gantung dan tempel dibuat dari kaleng bekas atau sabut kelapa yang relatif mudah diperoleh dilokasi kegiatan. Tanaman yang ditanam pada media secara gantung dan tempel adalah tanaman sayuran penghasil daun seperti sawi, seledri, selada dan pakcoi, sedangkan tanaman yang ditanam pada polybag disamping tanaman penghasil daun juga ditanaman sayuran penghasil buah seperti tomat, cabai dan
365
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
terong serta tanaman rempah/toga seperti kunyit, jahe, laos, lidah buaya, kumis kucing, sambiloto dan sirih. Terjadinya peningkatan jumlah RPL (Tabel 2), karena direplikasi oleh masyarakat disekitar lokasi kegiatan. Hal ini terjadi karena seringnya kunjungan masyarakat ke kebun bibit dan lokasi RPL sehingga terjadi interaksi antara anggota RPL dengan masyarakat dan pengaruh intensitas sosialisasi yang dilakukan oleh peneliti BPTP dan penyuluh pendamping kegiatan m-KRPL. Terjadinya peningkatan PPH disebabkan oleh perobahan perilaku masyarakat yang sebelumnya belum atau masih kurang menkonsumsi sayur kepada menkonsumsi sayur. Masyarakat mulai menyadari manfaat sayur bagi kesehatan terutama bagi anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan. Selain untuk meningkatkan kualitas gizi keluarga, manfaat lain dari pelaksanaan kegiatan m-KRPL adalah menghemat pengeluaran rumah tangga dan lebih jauh dapat pula menambah pendapatan keluarga (Tabel 3). Dari hasil implementasi RPL diperoleh penghematan pengeluaran keluarga pada dua lokasi m-KRPL dengan kisaran Rp. 200.000 sampai Rp. 500.000 atau rata-rata penghematan keluarga Rp. 200.000 sampai Rp. 300.000 per musim tanam. Terjadi penambahan pendapatan keluarga dengan kisaran Rp. 300.000 sampai Rp. 600.000 atau rata-rata penambahan pendapatan Rp. 300.000 sampai Rp. 400.000 permusim tanam. Tabel 3. Penghematan dan penambahan pendapatan keluarga untuk satu musim tanam, m-KRPL Kabupaten Tanjung Jabung Timur 2013 No
Desa/Kel
Komoditi
1.
Rantau Karya Talang Babat
Sayuran dan toga Sayuran dan toga
2.
Penghematan/ musim tanam (range) Rp. 200.000 s/d 500.000 200.000 s/d 500.000
Rataan penghematan (Rp.) 250.000 200.000
Penambahan pendapatan (range) Rp. 300.000 s/d 600.000 300.000 s/d 600.000
Rataan penambahan pendapatan 400.000 300.000
Penghematan dan penambahan pendapatan keluarga diperoleh dari biaya yang seharusnya dikeluarkan untuk pembelian sayur dan toga serta hasil penjualan sayur dan toga dari kelebihan kebutuhan keluarga. Diketahui bahwa RPL sangat membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sayur dan toga atau bumbu masak yang digunakan setiap hari oleh setiap rumah tangga. Terjadinya perbedaan penghematan dan penambahan pendapatan keluarga karena berbedanya luas lahan pekarangan, jenis dan jumlah sayuran atau toga serta cara pengelolaan yang diimplementasikan pada dua lokasi kegiatan. Disamping dapat menghemat pengeluaran dan penambahan pendapatan keluarga, kedua lokasi m-KRPL juga meningkatkan hubungan silaturahmi dan sosial baik antar anggota maupun diluar anggota. Hal ini terjadi, karena anggota KRPL sering berkomunikasi dan bertukar pikiran terutama tentang budidaya tanaman pada RPL dan juga memberikan informasi kepada pengunjung.
366
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
KESIMPULAN 1. Impelemtasi teknologi budidaya pemanfaatan lahan pekarangan pada program m-KRPL sebagai sumber pangan yang sehat dan bergizi, memberikan lapangan pekerjaan, mengurangi pengeluaran dan bahkan menambah pendapatan keluarga. 2. Masyarakat yang melaksanakan RPL telah merasakan manfaat dari RPL, terutama produksi sayuran dan tanaman obat keluarga, dimana sebelumnya masyarakat tergantung pada warung atau pasar. Dengan adanya RPL sudah dapat memanen langsung di pekarangan bahkan bisa menjual. DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2011. Kawasan Rumah Pangan Lestari di Pacitan. http://www.litbang.deptan. go.id/berita/one/903/ [10 Mei 2011]. Badan Ketahanan Pangan (BKP). 2010. Perkembangan Situasi Konsumsi Penduduk di Indonesia. BBP2TP. 2011. Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Danoesastro, Haryono, 1988. Tanaman Pekarangan dalam Usaha Meningkatkan Ketahanan Pangan Rakat Pedesaan. Agro – Ekonomi. Handewi Purwati Saliem, 2011. Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL): Sebagai Solusi Pemantapan Ketahanan Pangan. Makalah disampaikan pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) di Jakarta tanggal 8-10 November 2011. Kementerian Pertanian, 2011. Pedoman Umum Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. 52 hal. Kementerian Pertanian. 2012. Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Badan Litbang Pertanian. Saliem, H.P. 2011. Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL), Sebagai Solusi Pemantapan Ketahanan Pangan. Makalah dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS). Jakarta (8-10 Nov 2011).
367
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Substitusi Dedak Padi Dengan Empelur Sagu (Metroxylon sp) Terhadap Ukuran Tubuh Kambing Kacang Jantan Yang Diberi Hay Rumput Gajah (Pennisetum Purpureum) The Substitution Of Rice Bran With Sagu Pith (Metroxylon sp) Toward The Body Size Of The Local Male Goats That Consumed Peanuts Elephant Grass Hay (Pennisetum purpureum) 1
Fazlurrafiq1, Basri A. Bakar dan Abdul Azis2 Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala- Banda Aceh 2 Peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh Email :
[email protected] ABSTRACT This research was conducted from September 2006 to March 2007. Its
objective was to find out the increase of local male goats’ body size by providing the rice bran substitution with sago pith in which the elephant grass hay was as the basic forage. Four male goats about 8-12 months old with the initial weight about 812 kg were used in this research. The goats were placed randomly in separate pens. The observed parameters were the body length, the shoulder height, the chest circumference, the chest width, the inner chest, and the relation between the body weights with the body size of these local male goats. The design used was a Latin Square Design (LSD) with 4 treatments and 4 repetitions. Each treatment consisted of A. 0% sago + 30% rice bran + 50% elephant grass hay + 15% leucaena leaves + 5% molasses. B. 5% sago+ 25% rice bran + 50% elephant grass hay + 15% leucaena leaves + 5% molasses. C. 10% sago + 20% rice bran + 50% elephant grass hay + 15% leucaena leaves + 5% molasses. D. 15% sago + 15% rice bran + 50% elephant grass hay + 15% leucaena leaves + 5% molasses. The results showed that Treatment D gave better results when it was compared with Treatment A, B, and C. In Treatment D, the increase rate in each parameter of the body length (4.08 cm), the shoulder height (4.65 cm), the chest circumference (4:33 cm), the chest width (0.70 cm), and the inner chest (4.93 cm) figures showed significant differences (P<0.05), as well as the relation between the body weight and the highest body height on the chest width (17.758 grams) by duncan test and multiple linear regression.
Keywords: Rice bran, Sago pith, Local goats, and Elephant grass hay
368
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
ABSTRAK Penilitian ini dilaksanakan mulai September 2006 sampai Maret 2007. Tujuannya untuk mengetahui pertambahan ukuran tubuh kambing kacang jantan dengan pemberian substitusi dedak padi dengan empelur sagu dimana hay rumput gajah sebagai pakan dasarnya. Menggunakan 4 ekor kambing kacang jantan dengan umur berkisar antara 8-12 bulan dan berat badan awal antara 8-12 kg. Kambing tersebut ditempatkan didalam kandang individual secara acak. Parameter yang diamati adalah: panjang badan, tinggi pundak, lingkar dada, lebar dada, dalam dada serta hubungan antara berat badan dengan ukuran-ukuran tubuh kambing kacang jantan tersebut. Rancangan yang digunakan yaitu Rancangan Bujur Sangkar Latin (RBSL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Masing-masing perlakuan terdiri dari A. sagu 0% + dedak padi 30% + hay rumput gajah 50% + daun lamtoro 15% + 5% molases. B. sagu 5% + dedak padi 25% + hay rumput gajah 50% + daun lamtoro 15% + 5% molases. C. sagu 10% + dedak padi 20% + hay rumput gajah 50% + daun lamtoro 15% + 5%molases. D. sagu 15% + dedak padi 15% + hay rumput gajah 50% + daun lamtoro 15% + 5% molases. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perlakuan D memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan perlakuan A, B, dan C. Pada perlakuan D angka pertambahan tiap-tiap parameter penelitian pada kambing kacang pada pertambahan panjang badan (4.08 cm), tinggi pundak (4.65 cm), lingkar dada (4.33 cm), lebar dada (0.70 cm), dan dalam dada (4.93 cm) memperlihatkan angka perbedaan nyata (P<0,05), serta hubungan antara berat badan dengan ukuran tubuh tertinggi pada lebar dada (17,758 gr) dengan uji duncan dan regresi linear berganda. Kata Kunci :Dedak padi, Empelur sagu, Kambing kacang dan Rumput gajah PENDAHULUAN Kebutuhan ternak terhadap pakan dicerminkan oleh kebutuhannya terhadap nutrisi yang tersedia. Jumlah kebutuhan nutrisi setiap harinya sangat bergantung pada jenis ternak, umur, fase (pertumbuhan, dewasa, bunting, menyusui), kondisi tubuh (normal, sakit) dan lingkungan tempat hidupnya (temperatur, kelembaban nisbi udara) serta bobot badannya. Maka setiap ekor ternak yang berbeda kondisinya membutuhkan pakan yang berbeda pula. Ternak kambing mempunyai keunggulan dibandingkan ternak lain diantaranya: mudah menyesuaikan diri dengan berbagai macam kondisi lingkungan yang ekstrim seperti suhu udara dan ketersediaan pakan, daya adaptasi lingkungan sangat baik terhadap lingkungan panas sehingga dapat mengkonsumsi lebih banyak jenis hijauan pakan dan mengkonsu-msi lebih kecil dibandingkan dengan ternak lain. Kambing merupakan salah satu ternak yang telah tersebar sampai keseluruh pelosok tanah air, dimana pemeliharaannya bervariasi, dari usaha tambahan atau sampingan sampai usaha berskala besar. Pening-katan produksi dapat dicapai melalui beberapa cara antara lain penam-bahan populasi dan peningkatan produktivitas ternak dalam menghasilkan daging seperti mempercepat pertumbuhan, sehingga lama pemeliharaan untuk mendapatkan 369
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
berat potong menjadi lebih singkat. Untuk itu di per-lukan bahan pakan yang ketersediaannya, baik kualitas maupun kuantitasnya memadai. Kambing memiliki ukuran tubuh besar akan meng-hasilkan berat badan yang besar pula. Sagu sebagai salah satu sumber makanan ternak yang cukup potensial, dimana kondisi geografis alam di Indonesia juga mendukung. Di Nanggroe Aceh Darussalam, pemanfaatan sagu dan bagian-bagiannya seperti empelur sagu sebagai pakan ternak belum dimanfaatkan secara optimal dan maksimal, oleh karenanya perlu ada suatu tindak lanjut dari pemanfaatan dari sagu dan bagianbagiannya tersebut agar nantinya da-pat menghasilkan keuntungan dan meningkatkan kesejahteraan peternak. Penelitian ini bertujuan untuk melihat dan mengetahui pertambahan ukuran tubuh kambing kacang jantan yang diberi pakan dasar hay rumput gajah dengan penambahan empulur sagu untuk mensubstitusi dedak padi. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian dilakukan selama ± 5 bulan di Kebun Percobaan Peternakan. Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Sedangkan analisis kimia bahan pakan dilakukan Laboratorium Makanan Ternak Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala.
Bahan Penelitian 1. Rumput Gajah Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) yang digunakan varietas c.v. African diperoleh di Kebun Percobaan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh. 2. Sagu, diperoleh dari petani Indrapuri tepatnya didesa Seuroumoe Aceh Besar. Sebelum diberikan pada ternak sagu digerus terlebih dahulu dengan menggunakan alat penggerus atau mesin penggerus sagu, dan lalu dijemur. Sagu yang digunakan sagu yang berumur 7–15 tahun atau sagu sudah mencapai tinggi 5 – 7 m keatas. 3. Dedak padi, diperoleh dari Poultryshop, di Darussalam Banda Aceh. 4. Molases Molases diperoleh dari via agen pasar Lambaro Aceh Besar. 5. Daun Lamtoro(leucaena leucocephala) diperoleh dari pesisir pantai Alue Naga. 6. Vitamin B. Compleks PT. Medison Jakarta. Rancangan Penelitian. Penelitian ini menggunakan Rancangan Bujur Sangkar Latin (RBSL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Adapun rancangan bujur sangkar latin dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel: 1 Bagan Rancangan Bujur Sangkar Latin Periode I II III IV
Kambing 1 A B C D
2 B C D A
3 C D A B
4 D A B C
370
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Setiap satu ekor kambing akan mendapatkan 4 kali pelakuan pemberian ransum dan selama 4 periode. Adapun Model matematikanya sebagai berikut: Yij (k) = μ + Pi + γj + τ(k) + εij (k) Perlakuan Ransum yang Diberikan. Penelitian ini menggunakan 5 macam ransum, dengan pakan basal hay rumput gajah. Adapun susunan dari ransum berdasarkan bahan ma-kanan penelitian ini adalah sebagai berikut : A. Sagu 0% + Dedak padi 30% + Hay rumput gajah 50% + lamtoro 15% + 5% molases. B. Sagu 5% + Dedak padi 25% + Hay rumput gajah 50% + lamtoro 15% + 5% molases. C. Sagu 10% + Dedak padi 20% + Hay rumput gajah 50% + lamtoro 15% + 5%molases. D. Sagu 15% + Dedak padi 15% + Hay rumput gajah 50% lamtoro + 15% + 5% molases. Parameter yang Diamati Adapun parameter penelitian yang diamati, meliputi: a. Panjang Badan (PB): diukur mengikuti garis horizontal yang ditarik dari tepi depan sendi bahu ke tepi belakang bungkul tulang duduk (Soeradji dan Sosroamidjojo,1984). Diukur dengan menggunakan tongkat ukur dalam satuan cm, dengan pengambilan data pada setiap awal dan akhir periode penelitian. b. Tinggi Pundak atau Gumba (TP): diukur dari bagian tertinggi pundak (gumba) ke tanah mengikuti garis tegak lurus (Soeradji dan Sosroamidjojo,1984). Diukur dengan menggunakan tongkat ukur dalam satuan cm, dengan pengambilan data pada setiap awal dan akhir periode penelitian c. Lingkar Dada (LD): diukur mengikuti lingkaran dada/ tubuh persis dibelakang bahu (Soeradji dan Sosroamidjojo,1984). Diukur dengan menggunakan pita ukur dalam satuan cm, dengan pengambilan data pada setiap awal dan akhir periode peneitian. d. Lebar Dada (LB): diukur dari jarak tepi luar sendi bahu kiri-kanan mengikuti garis horizontal (Soeradji dan Sosroamidjojo,1984). Diukur den-gan menggunakan tongkat ukur dan pita ukur dalam satuan cm, den-gan pengambilan data pada setiap awal dan akhir periode. e. Dalam Dada (DD): diukur dari puncak gumba (pundak) dan tepi bagian bawah dada mengikuti garis tegak lurus (Soeradji dan Sosroami-djojo,1984). Diukur dengan menggunakan pita ukur dan tongkat ukur dalam satuan cm, dengan pengambilan data pada setiap awal dan akhir periode penelitian. Pelaksanaan Penelitian. Sebelum penelitian dilaksanakan, kandang percobaan terlebih da-hulu dibersihkan dan dicucihamakan dengan karbol dan neo antisep untuk membasmi bibit-bibit penyakit yang terdapat di kandang dan sekitar kandang. Selanjutnya kambing yang telah dimandikan diberikan obat cacing VermO, lalu setelah kering kambing ditimbang untuk mendapatkan berat badan
371
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
awal, kemudian di tempatkan pada masing-masing kandang indivi-dual sesuai dengan urutan nomor random kambing. Penelitian ini berlangsung dalam 3 tahap yaitu: 28. Tahap penyesuaian, tahap ini berlangsung selama 21 hari. Adapun tahap penyesuaian bertujuan untuk penyesuaian diri kambing terhadap pakan yang diberikan dan keadaan lingkungan sekitar tempat penelitian. 29. Tahap adaptasi antar periode, berlangsung selama 7 hari setiap periode bertujuan menghilangkan pengaruh perlakuan pakan sebelumnya. 30. Tahap pengumpulan dan pengambilan data, berlangsumg selama 14 hari setiap periode. HASIL Perlakuan rata-rata parameter yang diamaati pada masing-masing perlakuan, menunjukkan bahwa penambahan empulur sagu pada hay rumput gajah berpengaruh nyata (P < 0.05) terhadap panjang badan, tinggi pundak, lingkar dada, lebar dada, dalam dada kambing kacang jantan. Secara lengkap rata-rata pertambahan panjang badan, tinggi pundak, lingkar dada, lebar dada, dalam dada kambing kacang selama penelitian disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-rata Pertambahan Panjang Badan, Tinggi Pundak, Lingkar Dada, Lebar Dada dan Dalam Dada Kambing Kacang Jantan Selama Penelitian
Periode Kambing I II III IV Total Rataan Periode Kambing I II III IV Total Rataan Periode Kambing I II III IV
A 2.00 2.20 2.00 2.90 9.10
Panjang Badan Ransum B C 3.50 3.00 3.50 3.50 2.20 3.40 2.60 3.50 11.80 13.40
D 4.50 4.50 4.30 3.00 16.30
2.28a
2.95ab
4.08 c
A 1.00 2.20 2.70 3.00 8.90 2.23a
A 2.50 2.50 2.70 4.00
3.35bc
Tinggi Pundak (cm) Ransum B C 3.50 2.00 2.80 3.70 2.20 3.50 3.70 5.00 12.20 14.20 3.05a 3.55ab Lingkar Dada Ransum B C 2.00 3.50 3.00 3.00 3.50 2.50 3.50 3.50
Total 13.00 13.70 11.90 12.00 50.60
Total D 4.50 4.00 4.30 5.80 18.60 4.65b
11.00 12.70 12.70 17.50 53.90
Total D 4.20 4.00 4.60 4.50
12.20 12.50 13.30 15.50 372
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Total Rataan Periode Kambing I II III IV Total Rataan Kambing Periode I II III IV Total Rataan
11.70 2.93a
A 0.20 0.40 0.20 0.20 1.00 0.25a
A 2.20 2.60 2.70 2.70 10.20 2.55a
12.00 12.50 a 3.00 3.13a Lebar Dada Kambing (cm) Ransum B C 0.20 0.30 0.20 0.20 0.40 0.50 0.60 0.50 1.40 1.50 a 0.35 0.38a Dalam Dada (cm) Ransum B C 3.70 3.80 1.00 3.80 3.30 4.00 4.80 6.00 12.80 17.60 3.20ab 4.40bc
17.30 4.33b
53.50
Total D 0.60 0.40 0.90 0.90 2.80 0.70b
1.30 1.20 2.00 2.20 6.70
Total D 4.50 5.10 4.10 6.00 19.70 4.93c
14.20 12.50 14.10 19.50 60.30
Keterangan: Angka pada kolom yang sama dengan superskrip yang berbeda menunjukkan pengaruh nyata (P < 0.05) terhadap lebar dada Kambing Kacang jantan.
PEMBAHASAN Dari rataan angka pertambahan panjang badan perlakuan kambing yaitu A (2.28). B (2.95), C (3.35), D (4.08), terlihat bahwa kambing pada perlakuan D lebih panjang pertambahan panjang badannya dari perlakuan yang lain. Sementara perlakuan A (sebagai kontrol) diperoleh pertambahan panjang badan paling rendah. Black dkk. (1968) juga menambahkan bahwa, ukuran badan ternak mempunyai hubungan dengan performance dan tingkat pertumbuhan tersebut sangat dipengaruhi oleh kualitas pakan yang diberikan. Menurut Soenardjo (1988) mensitasi Joubert (1951) menyatakan bahwa, terdapat hubungan (korelasi) yang erat antara pertumbuhan ternak dengan perkembangan ukuran-ukuran tubuhnya. Pada fase pertumbuhan dimana bobot badan berkembang dengan baik, maka ukuran-ukuran tubuh akan bertambah. Hasil dari perlakuan penambahan empulur sagu pada hay rumput gajah menunjukkan pengaruh nyata (P < 0.05) terhadap tinggi pundak kambing kacang jantan penelitian. Secara umum rata-rata hasil pengukuran tinggi pundak kambing kacang selama penelitian dari jarak tertinggi pundak melalui belakang scapula tegak lurus sampai ke tanah angka yang dihasilkan cukup signifikan pada perlakuan D (4,65) berbeda dengan angka-angka pada 3 perlakuan yang lain. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 2. Tabel 3 memperlihatkan bahwa rata-rata angka pertambahan tinggi pundak kambing cukup signifikan pada perlakuan kambing D (4.65), lebih tinggi bila dibandingkan dengan kambing C (3.55), lalu perlakuan kambing B (3.05), serta pada perlakuan kambing A sebagai kontrol (2.23).
373
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tulloh (1978) dan William (1982) dalam Soeparno (1994) menyatakan bahwa, bangsa ternak yang besar akan lahir lebih berat, tumbuh lebih cepat dan lebih berat pada saat mencapai kedewasaan daripada bangsa ternak kecil. Rata-rata pertambahan lingkar dada kambing kacang pada penelitian ini tertera pada Tabel 2. Secara statistik hasil pengukuran lingkar dada kambing kacang jantan penelitian dengan penambahan empulur sagu pada hay rumput gajah selama penelitian yang diukur secara melingkar pada bagian dada secara tepat di belakang bahu (scapula), menunjukkan pengaruh nyata (P < 0.05) terhadap lingkar dada kambing kacang penelitian. Pertambahan lingkar dada kambing kacang tertinggi di dapat pada perlakuan D (4.33). Hal ini jauh lebih luas daripada perlakuan C (3.13) perlakuan B (3.00) serta sebagai kontrol pada perlakuan A (2.93). Hal ini sejalan dengan pendapat Soeparno (1994) bahwa, diantara individu dalam suatu bangsa atau diantara bangsa ternak terdapat perbedaan respon terhadap lingkungan seperti nutrisional dan mikrobiologis. Menurut Kohli dkk (1950) menyatakan bahwa, lingkar dada dapat digunakan sebagai dasar seleksi, terutama dalam menentukan sifat ternak yang berkenaan dengan penggunaan makanan, pertumbuhan dan jangka waktu untuk mencapai bobot tertentu. Pertambahan lebar dada kambing kacang yang didapat pada penelitian ini terlihat pada perlakuan D (0.70) lebih baik dibandingkan dengan perlakuan C (0.38), perlakuan B (0.35), dan perlakuan A (0,25) sebagai kontrol. Rata-rata pertambahan dalam dada kambing kacang yang didapat pada penelitian ini terlihat lebih baik perlakuan D (4.93) dibandingkan dengan perlakuan C (4.40), perlakuan B (3.20), perlakuan A (2.55) sebagai kontrol. Angka pertambahan dalam dada kambing kacang yang didapat dari hasil penelitian ini berbeda jauh antar perlakuan. Perlakuan D (4.93) lebih baik dibandingkan dengan perlakuan C (4.40), perlakuan B (3.20), dan perlakuan A sebagai pakan kontrol (2.55). Dalam hubungan antara ukuran-ukuran tubuh dengan berat badan atau bobot badan kambing kacang selama penelitian, terdapat korelasi yang terjadi pada tiap-tiap variabel penelitian yang mempengaruhi tampilan ukuran-ukuran tubuh kambing kacang penelitian secara umum. Dimana hasil persamaan regresi linear keseluruhan yang terjadi yaitu: Y = 37,780 + 7,273 PB - 6,162 TP + 5,545 LiD + 17,758 LbD + 5,113 DD Dimana: Y = Pertambahan Berat Badan PB = Panjang Badan TP = Tinggi Pundak LiD = Lingkar Dada LbD = Lebar Dada DD = Dalam Dada
374
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
X1
Y
5,00
120,00
4,00
100,00 80,00 60,00 40,00
3,00 2,00 1,00 0,00
20,00 0,00 1 Ket:
2
3
4
5
6
7 8
9 10 11 12 13 14 15 16
Garis X1 sebagai garis pertambahan panjang badan Garis Y sebagai garis pertambahan berat badan
Gambar 1. Grafik Hubungan Panjang Badan dengan Berat Badan Dari grafik diatas dapat diketahui pengaruh pertambahan berat badan akan menyebabkan pertambahan panjang badan, dimana grafik X1 pertambahan panjang badan sebanding dengan grafik Y pertambahan berat badan dengan persamaan regresi linear yang diperoleh yaitu: Y = 37,780 + 7,273, berarti setiap pertambahan panjang badan kambing kacang jantan sebesar 1 cm akan menyebabkan pertambahan berat badan 7,273 gr.
X2
Y 120,00
140,00
100,00 105,00
80,00
70,00
60,00 40,00
35,00
20,00
0,00
0,00 1
Ket:
2
3
4
5
6
7 8
9 10 11 12 13 14 15 16
Garis X2 sebagai garis pertambahan tinggi pundak Garis Y sebagi garis pertambahan berat badan
Gambar 2. Grafik Hubungan Tinggi Pundak dengan Berat Badan Dari grafik diatas dapat diketahui pertambahan tinggi pundak tidak menyebabkan pertambahan panjang badan, dimana Y = 37,780 – 6,162, berarti 375
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
setiap pertambahan panjang badan kambing kacang jantan sebesar 1 cm menyebabkan penurunana berat badan - 6,162 gr.
X3
Y
7,00
120,00
6,00 5,00
100,00 80,00
4,00
60,00
3,00
40,00
2,00 1,00
20,00
0,00
0,00 1
Ket:
2
3
4
5
6
7 8
9
10 11 12 13 14 15 16
Garis X3 sebagai garis pertambahan lingkar dada Garis Y sebagai garis pertambahan berat badan
Gambar 3. Grafik Hubungan Lingkar Dada dengan Berat Badan Dari grafik diatas dapat diketahui pengaruh pertambahan berat badan akan menyebabkan pertambahan lingkar dada, dimana grafik X3 pertambahan lingkar dada sebanding dengan grafik Y pertambahan berat badan dengan persamaan regresi linear yang diperoleh yaitu: Y = 37,780 + 5,545 berarti setiap pertambahan lingkar dada kambing kacang jantan sebesar 1 cm akan menyebabkan pertambahan berat badan 5,545 gr.
X4
Y
1,00
120,00
0,80
100,00 80,00
0,60
60,00
0,40
40,00 20,00
0,20 0,00
0,00 1
Ket:
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15 16
Garis X4 sebagai garis pertambahan lebar dada Garis Y sebagai garis pertambahan berat badan
Gambar 4. Grafik Hubungan Lebar Dada dengan Berat Badan
376
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Dari grafik diatas dapat diketahui pengaruh pertambahan berat badan akan menyebabkan pertambahan lingkar dada, dimana grafik X4 pertambahan lebar dada sebanding dengan grafik Y pertambahan berat badan dengan persamaan regresi linear yang diperoleh yaitu: Y = 37,780 + 17,758 berarti setiap pertambahan lebar dada kambing kacang jantan sebesar 1 cm akan menyebabkan pertambahan berat badan 17,758 gr.
Y
X5
120,00 100,00
7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00
80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 1 Ket:
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16
Garis X5 sebagai garis pertambahan dalam dada Garis Y sebagai garis pertambahan berat badan
Gambar 5. Grafik Hubungan Dalam Dada dengan Berat Badan Dari grafik diatas dapat diketahui pengaruh pertambahan berat badan akan menyebabkan pertambahan lingkar dada, dimana grafik X5 pertambahan dalam dada sebanding dengan grafik Y pertambahan berat badan dengan persamaan regresi linear yang diperoleh yaitu: Y = 37,780 + 5,113 berarti setiap pertambahan dalam dada kambing kacang jantan sebesar 1 cm akan menyebabkan pertambahan berat badan 5,113 gr. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Substitusi dedak padi pada empulur sagu pada hay rumput gajah dalam ransum kambing kacang memperlihatkan pengaruh nyata terhadap angka pertambahan ukuran-ukuran tubuh seperti: panjang badan, lingkar dada, lebar dada, dalam dada, dan juga mempengaruhi secara signifikan berat badan setiap 1 cm pertambahan variabel dari penbelitian yang terjadi. Saran Dari hasil penelitian ini disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui efek dan variasi pakan (selain hay dan sagu) terhadap kambing kacang maupun ternak kambing lainnya, seperti kambing boer, peranakan etawah untuk melihat ukuran dan performance pada ternak kambing atau pada penggemukan-penggemukan dengan sistem di-kandangkan.
377
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
DAFTAR PUSTAKA Black. H. W. B. Knaff. J. R. and. A.C. Cook. 1968. Correlation of Meansurament of Slaughter Steer With Rate. and Efficiency of Gain and With Certain Carcass Characteristics. J. Agric. Sci. 54: 465-473, USA. Kohli. M. l. A. C. Cook dan W. H Dawson. 1951. Relation Between Somebody Meansurament and Certain Performance Character In Milking Shorthorn Steers. J. Anim. Sci. 10: 352-358, USA. Soenardjo. Ch. 1988. Ilmu Tilik Ternak. CV. Baru, Jakarta. Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada. University Press, Yogyakarta. Soeradji. dan. Sosroamidjojo. S M. 1984. Peternakan Umum . CV. Yasaguna. Anggota IKAPI, Jakarta. Steel. R. G. D. Dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan Gramedia, Jakarta.
378
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pengaruh Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jagung di Kabupaten Tanah Datar The Effect of Organic Fertilizer on Growth and Production of Maize In Tanah Datar Sumilah*) dan Atman Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sumatera Barat *) Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. 0755-31564/0755-31138 email:
[email protected] ABSTRACT Maize is a commodity crops that receive priority in the increase of production in Indonesia and in West Sumatra. Maize including strategic commodities because it is associated with the development of the sub-sector (fodder) and other sectors (food and food processing industries). Scarcity and high prices of fertilizer makes it difficult to meet and use it for their Plants. The Research is aims to know the effect of organic fertilizer toward of maize’s grow and it production. Treatment using 3 doses of organic fertilizer (1) 450 kg GAP / ha, (2) 350 GAP + 50 kg urea / ha and (3) 350 GAP + 100 kg urea / ha. This study was designed in the form of randomized block design with 3 times. The fickle land with perfectly then made to map each measuring 4x10 meters. Spacing is used measuring 70x20 cm. Observations were made on plant growth, yield components and yield. Use of GAP + 350 kg to 100 kg urea / ha dry seed capable of producing seeds of 7.4 tons / ha. Keywords: Maize, organic fertilizer ABSTRAK Jagung merupakan komoditas tanaman pangan yang mendapat prioritas dalam peningkatan produksinya di Indonesia maupun di Propinsi Sumatera Barat. Jagung termasuk komoditas strategis karena terkait dengan pengembangan subsektor (pakan ternak) dan sektor lainnya (industri pengolahan pakan dan makanan). Kelangkaan dan mahalnya harga pupuk membuat petani kesulitan memenuhi kebutuhan pupuk untuk usahataninya.Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pupuk organik terhada pertumbuhan dan produksi jagung. Perlakuan menggunakan 3 dosis pupuk organik (1) 450 kg GAP/ha, (2) 350 GAP + 50 kg Urea/ha dan (3) 350 GAP + 100 kg urea/ha. Penelitian ini dirancang dalam bentuk Rancangan Acak Kelompok dengan 3 ulangan.Pengolahan tanah dilakukan secara sempurna kemudian dibuat petakan berukuran masing-masing 4x10 meter. Jarak tanam yang digunakan berukuran 70x20 cm. Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan tanaman, komponen hasil dan hasil tanaman. Penggunaan 350 kg GAP + 100 kg urea/ha mampu menghasilkan biji pipilan kering sebesar 7.4 ton/ha. Kata Kunci: jagung, pupuk organik
379
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PENDAHULUAN Di Sumatera Barat, Jagung adalah salah satu komoditas unggulan. Secara ekonomi jagung cukup menguntungkan dan memberikan kontribusi cukup berarti bagi PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) melalui subsektor tanaman pangan (Hosen, N et al. 2004). Jagung termasuk komoditas strategis karena terkait dengan pengembangan subsektor (pakan ternak) dan sektor lainnya (industri pengolahan pakan dan makanan). Di Sumatera Barat permintaan juga terus meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan perkembangan ternak, terutama ternak unggas sampai tahun 2001 defisit kebutuhan jagung di Sumatera Barat mencapai 25.000 ton/tahun (Hosen N., 2003)
Luas areal pertanaman jagung pada lahan produktivitas rendah sekitar 69% (pada lahan tegalan/lahan kering dan tadah hujan), sedangkan sisanya pada lahan irigasi dengan produktivitas tinggi (Subandi dan Manwan 1990). Produktivitas jagung bergantung pada varietas yang ditanam dan lingkungan tumbuh (Betran et al. 2003). Menurut Sutoro 2012, Pertumbuhan jagung akan baik bila hara dan cahaya tersedia dalam jumlah cukup sesuai dengan kebutuhan tanaman selama pertumbuhan. Budidaya jagung di lahan kering seringkali menghadapi masalah kemasaman tanah, kesuburan tanah yang rendah serta kekeringan (Miti et al. 2010). Perakitan varietas unggul jagung, baik hibrida maupun komposit, hendaknya mempertimbangkan kesesuaian varietas pada lingkungan yang spesifik. Menurut Subandi, et al,2004 jagung telah dan akan menjadi komoditas agribisnis yang makin penting. Peningkatan produk jagung akan terus meningkat dan berkembang dalam jumlah, ragam, dan kualitas. Peran inovasi teknologi produksi jagung akan makin penting sehingga perlu terus mendapat perhatian yang besar dalam pengembangan dan penerapannya. Tantangan yang harus dihadapi untuk meningkatkan produksi jagung Sumbar dengan teknologi yang semakin maju dan permintaan jagung untuk aneka penggunaan bahan baku yang makin kompetitif maka diperkirakan kebutuhan komoditi ini semakin meningkat secara signifikan. Kelangkaan dan mahalnya harga pupuk membuat petani merasa kesulitan memenuhi kebutuhan pupuk untuk usahataninya. Pupuk organik mempunyai peranan penting dalam usaha peningkatan pertumbuhan tanaman dan dapat menekan/efisiensi penggunaan pupuk organik (Ernawati, Rr et al. 2011). Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pupuk organik terhadap pertumbuhan dan produksi jagung di KP. Rambatan Kabupaten Tanah Datar. BAHAN DAN METODE Penelitian telah dilaksanakan di lahan KP Rambatan Kabupaten Tanah Datar, mulai Januari sampai Mei 2010. Percobaan ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 kali ulangan. Perlakuan menggunakan pupuk organik Garuda Agro Prima (GAP) yang mengandung 6-14-21% NPK.. Perlakuan 1 (P1) 450 kg GAP/ha, perlakuan 2 (P2). 350 kg GAP + 50 kg urea/ha dan perlakuan 3 (P3) 350 kg GAP + 100 kg urea/ha. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh perlakuan yang dicobakan 380
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
dilakukan analisis ragam (Uji F). Apabila hasil uji F menunjukkan perbedaan yang nyata kemudian dilakukan uji lanjut dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5 %. Setiap perlakuan dalam percobaan ini menggunakan petakan berukuran 4x10 m, Jarak tanam yang digunakan berukuran 70x20 cm. Menggunakan varieas Sukmaraga dengan jumlah benih 1 biji per lubang. Pengolahan tanah sempurna. Penyiangan tergantung pertumbuhan gulma. Pengendalian Hama dan penyakit secara PHT.Waktu pemberian pupuk jagung masing-masing adalah 250 kg GAP/ha pupuk I pada saat umur 7 hari setelah tanam (hst) dan pemupukan selanjutnya pada umur 28 hst diberikan seluruh sisa perlakuan. Pengamatan dilakukan terhadap peubah-peubah pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman dan tinggi letak tongkol), komponen hasil (Panjang tongkol, lingkaran tongkol dan jumlah baris per tongkol) dan hasil tanaman (jumlah biji perbaris, berat berkelobot, berat kupasan basah, berat 1000 biji dan berat pipilan kering). HASIL Tabel 1. Tinggi Tanaman Jagung pada lahan KP Rambatan Kabupaten Tanah Datar. No. Perlakuan Tinggi Tanaman (cm) 1. P1 203.70 b 2. P2 218.13 a 3. P3 207.30 b Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5 %.
Tabel 2. Tinggi letak tongkol jagung pada lahan KP Rambatan Kabupaten Tanah Datar. No. Perlakuan Tinggi Letak Tongkol (cm) 1. P1 92.69 b 2. P2 93.30 a 3. P3 87.00 c Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5 %.
Tabel 3. Panjang tongkol (cm), lingkaran tongkol (cm), dan jumlah baris pertongkol (buah) pada lahan KP Rambatan Di Kabupaten Tanah Datar. No. Perlakuan Panjang tongkol Lingkaran Jumlah baris/tongkol (cm) tongkol (cm) (buah) 1. P1 15.90 c 4.47 c 14.00 a 2. P2 16.67 b 5.10 b 14.00 a 3. P3 17.76 a 5.37 a 13.60 a Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5 %.
381
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 4.Jumlah biji per baris (buah), berat 1.000 biji (gram), dan hasil pipilan kering (ton/ha) pada lahan KP Rambatan Kabupaten Tanah Datar. No. Perlakuan Jumlah Berat Berat Berat kupasan Berat pipilan kering biji/baris 1.000 berkelobot basah per (ton/ha) (buah) biji per buah buah(gram) (gram) (gram) 1. P1 31.80 b 238.50 b 13.00 c 10.87 c 5.54 b 2. P2 32.40 ab 264.37 a 14.47 b 11.67 b 5.41 b 3. P3 35.50 a 209.10 c 16.37 a 13.70 a 7.40 a Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5 %.
PEMBAHASAN Hasil analisis penggunaan lahan pertanian Sumatera Barat mengungkapkan bahwa luas lahan yang tersedia dan sesuai untuk budidaya pertanian lebih sempit dibandingkan lahan non pertanian (Sumilah dan Atman, 2014) Ketersedian dan kesesuaian lahan bagi pengembangan komoditas tanaman pangan ini mengalami perubahan dalam 7 tahun belakangan ini bila dikaitkan dengan terjadinya perubahan iklim, termasuk gangguan irigasi pada areal persawahan yang terjadi di hampir semua daerah.Tingkat marjinalisasi lahan daerah ini meningkat ditandai tingkat kemasaman tanah tinggi yang berakibat makin meluasnya lahan kritis di Sumatera Barat. Saat ini, ketersediaan lahan untuk perluasan areal tanaman pangan hanya mengarah pada pemanfaatan lahan kering. PERTUMBUHAN TANAMAN Tinggi tanaman. Hasil pengamatan tinggi tanaman jagung pada saat panen ditampilkan pada (Tabel 1). Hasil analisis statistik terhadap parameter yang diukur menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik 350 kg GAP/ha dikombinasikan dengan 50 kg urea/ha nyata meningkatkan tinggi tanaman jagung dan menunjukkan kombinasi yang terbaik dibandingkan perlakuan P1 dan P3.
Tinggi Letak Tongkol. Penggunaan pupuk organik nyata terhadap tinggi letak tongkol. Perlakuan dengan 350 kg GAP/ha ditambahkan 50 kg urea/ha menunjukkan nilai tertinggi yaitu sebesar 93.30 cm (Tabel 2). KOMPONEN HASIL Data pengamatan panjang tongkol dan lingkaran tongkol memperlihatkan perbedaan yang nyata diantara semua perlakuan (Tabel 3). Penggunaan pupuk organik 350 kg GAP ditambah 100 kg urea per ha direspon baik oleh tanaman jagung. Hal ini menunjukkan bahwa panjang tongkol dan lingkar tongkol 382
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
mendapatkan hasil terbaik diantara perlakuan P1 dan P2 yaitu berturut-turut sebesar 17.76 cm dan 5.37 cm. Namun, penggunaan pupuk organik tidak berpengaruh nyata pada jumlah baris per tongkol. Hasil tanaman. Hasil pengamatan (tabel 4) pada jumlah biji per baris menunjukkan bahwa pemberian pupuk organic 350 kg GAP di tambah 100 kg urea/ha menghasilkan jumlah biji paling tinggi yaitu sebesar 35.50 buah dibandingkan perlakuan P1 dan P2. Pada tabel 4 menunjukkan bahwa berat 1.000 biji jagung berpengaruh nyata terhadap penggunaan pupuk organik. Penggunaan pupuk organik sebesar 450 kg GAP per ha mampu menghasilkan biji pipilan kering sebesar 5.54 ton/ha. Namun jika penggunaan pupuk organic 350 kg GAP dikombinasikan dengan 100 kg urea/ha menunjukkan hasil berat pipilan kering tertinggi diantara perlakuan P1 dan P2 yaitu sebesar 7.40 to/ha. Ada korelasi positif antara panjang tongkol, lingkar tongkol dan jumlah baris per tongkol terhadap hasil tanaman. Produktivitas tanaman jagung bergantung pada faktor genetik dan lingkungan tumbuh. Di Indonesia, kesuburan lahan sebagai lingkungan tumbuh sangat bervariasi, mulai dari lahan marginal hingga subur. Produksi jagung dapat ditingkatkan dengan menanam varitas unggul dengan pemberian pupuk optimal, namun pemberian pupuk dalam jumlah optimal tidak terjangkau oleh petani subsisten dan pemberian pupuk dosis tinggi berdampak negatif terhadap lingkungan (FAO 1990, Brown 2001)
KESIMPULAN Penggunaan pupuk organik berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman jagung secara nyata pada tinggi letak tongkol dan berkorelasi positif terhadap panjang tongkol, lingkar tongkol dan jumlah baris per tongkol terhadap hasil tanaman. Bobot pipilan kering dapat mencapai 7.40 ton/ha dengan menggunakan 350 kg GAP di tambahkan 100 kg urea per ha. DAFTAR PUSTAKA Betran, F.J., D. Beck, M. Banzinger, and G.O. Edmeades. 2003. Genetic Analysis of Inbred and Hybrid Grain Yield Under Stress And Non-Stres Enviroments in Tropical Maize. Crop Sci.43:807-817 Brown, L.R. 2001. Eco-economy: Building and Economy For The Earth.W.W. Norton & Co. New York. Ernawati Rr., Arfi Irawati dan Andarias Makka Murni. 2011. Kajian Pemanfaatan Bahan Organik Limbah Kakao Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jagung.Prosiding Seminar Nasional Pengkajian Dan Diseminasi Inovasi Pertanian Mendukung Program Strategis Kementerian Pertanian. Cisarua, 9-11 Desember 2010. Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Hal: 955-960 FAO.1990. Fertilizer Yearbook. Food and Agriculture Organization. Rome Hosen, N. 2003. Permintaan, penawaran dan status teknologi jagung di Sumatera Barat. Prosiding seminar nasional. Teknologi spesisfik lokasi mendukung
383
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
ketahanan pangan dan agribisnis untuk meningkatkan pendapatan petani dalam era globalisasi. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Hal. 493-500. Hosen, N., Syahrial, A., Buharman B., dan Z. Lamid. 2004. Sintesis komoditas unggulan di Sumatera Barat. Dalam Abdullah M. Bamualim et. al. (Eds) Prosiding Seminar Nasional Kontribusi Hasil-hasil Penelitian/Pengkajian Spesifik Lokasi Mendukung Pembangunan Pertanian Sumatera Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Hal 57-69. Miti F., P. Tongoona, and J. Derera. 2010. S1 selection of Local Maize Landraces For Low Soil Nitrogen Tolerance In Zambia. African Journal Of Plant Science, Vol.4 (3): 67-81 Subandi, S. Saenong, Bahtiar, Zubachtirodin. 2004. Peran Inovasi Dalam Produksi Jagung Nasional. Dalam Makarim, A.K., Hermanto, dan Sunihardi. Inovasi Pertanian Tanaman Pangan. Puslitbangtan Bogor: 6794 hlm. Subandi dan I. Marwan. 1990. Penelitian dan teknologi Peningkatan Produksi Jagung Di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.67 p Sumilah dan Atman, 2014. Keragaan Beberapa Galur Harapan Jagung Pada Lahan kering masam Di talawi, Sawahlunto. Widyariset. Pusbindiklat LIPI. Sutoro. 2012. Kajian Penyediaan Varietas Jagung Untuk Lahan Suboptimal. Iptek Tanaman Pangan Buletin Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Volume 7 no. 2 Desember 2012. Hal 108-115.
384
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Integrasi Sawit Sapi dan Potensinya dalam Mendukung Pertanian Berkelanjutan di Muaro Jambi Palm Oil –Cattle Integration and Their Potential to Ensure Farming Sustainability in Muaro Jambi District Mildaerizanti1*) 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jambi *) Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. +6274140174/+6274140413 email:
[email protected] ABSTRACT Muaro Jambi district have 130,206 hectare palm oil plantations area and 10 units palm oil mills. Palm oil plantations and mills has potentially feed the cattle as usualy as an obstacle in the achievement of self-sufficiency. By integrating collaboration management between palm oil plantations and cattle have a lot of advantages i.e. produce organic fertilizer for palm oil plantation, soil structure improvement by planting a cover crop, fodder for cattle on forage or cover crop between plants from palm oil waste, palm oil waste processing also produced gas that can be used for cooking and lighting. The use palm oil waste for cows and cow waste as organic fertilizer for oil palm plantation will ensure farming sustainability. Keywords: integration , palm oil , cattle, sustainable ABSTRAK Luas lahan perkebunan kelapa sawit di kabupaten Muaro Jambi mencapai 130.206 ha, sedangkan jumlah pabrik pengolahan kelapa sawit berjumlah 10 buah. Perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahan kelapa sawit berpotensi dalam penyediaan pakan ternak sapi yang selama ini menjadi kendala pengembangan ternak dalam rangka pencapaian swasembada daging sapi. Dengan mengintegrasikan pengelolaan perkebunan kelapa sawit dengan pengelolaan ternak sapi akan didapat banyak keuntungan diantaranya adalah tersedianya pupuk organik untuk kelapa sawit, perbaikan struktur tanah lahan perkebunan, tersedianya pakan ternak untuk sapi, dihasilkan gas yang dapat digunakan untuk memasak dan penerangan. Penggunaan hasil limbah sawit untuk sapi dan hasil limbah sapi untuk sawit menjamin keberlanjutan usaha pertanian. Kata kunci: Integrasi, kelapa sawit, sapi, keberlanjutan
PENDAHULUAN Muaro jambi adalah salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Jambi. Keadaan topografi datar sampai berbukit dengan jenis tanah podsolik merah kuning sehingga umumnya daerah ini memiliki kesuburan tanah yang rendah dan biasanya lebih cocok ditanami dengan tanaman tahunan seperti karet dan kelapa sawit. Dari seluruh perkebunan sawit yang terdapat di Provinsi Jambi (532.293
385
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
ha) sebagian besar terdapat di Kabupaten Muaro Jambi (130.260 ha) dan 90.305 ha di antaranya adalah perkebunan rakyat, dengan jumlah petani sebanyak 40.844 kk (Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, 2012). Untuk mendukung perkembangan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi terdapat 40 pabrik pengolahan kelapa sawit, 10 buah diantaranya terdapat di Kabupaten Muaro Jambi. Perkebunan sawit dan limbah hasil pengolahan kelapa sawit dari pabrik dapat dimanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung sebagai penghasil pakan ternak berkualitas. Tanaman kelapa sawit membutuhkan unsur hara yang banyak untuk pertumbuhan dan perkembangannya sehingga mampu berproduksi optimal. Kebutuhan akan unsur hara dicukupi melalui pemberian pupuk. Pupuk yang diberikan untuk tanaman sawit oleh petani umumnya terbatas pada pupuk kimia saja, padahal pemberian pupuk kimia saja tanpa pemberian bahan organik dalam jangka panjang berpotensi merusak sifat fisik, kimia bahkan biologis tanah yang tentunya akan berpengaruh terhadap kelangsungan produksi tanaman sawit itu sendiri. Kebutuhan protein hewani terutama dari daging sapi dan kerbau di Provinsi Jambi belum mampu dipenuhi dari usaha ternak dalam provinsi. Pada tahun 2010 terjadi kekurangan pasokan yang mencapai 3.400 ekor sapi dan 5.500 ekor kerbau (Jambi News, 2011). Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan memberikan bantuan bibit sapi kepada peternak, namun hal ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Kendala yang dihadapi peternak dalam mengelola usahatani sapi diantaranya adalah sulitnya mencari rumput untuk kebutuhan pakan. Upaya yang dapat dilakukan dalam memecahkan masalah penyediaan bahan organik untuk perkebunan dan kekurangan pakan untuk sapi adalah dengan memadukan pengelolaan tanaman kelapa sawit dan ternak sapi atau lebih dikenal sebagai sistem integrasi sawit sapi. Melalui integrasi sawit sapi diperoleh banyak keuntungan seperti: kebun sawit akan menyuplai pakan untuk ternak sedangkan dari sapi akan diperoleh pupuk organik yang digunakan untuk memupuk tanaman kelapa sawit sehingga dapat meningkatkan produktivitas kelapa sawit. Selain itu dengan pengolahaan lebih lanjut dari kotoran sapi akan dihasilkan biogas yang dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti bahan bakar fosil untuk memasak dan penerangan, sehingga dampak pencemaran lingkungan juga bisa diminimalisir. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk (1) mengetahui potensi perkebunan kelapa sawit dalam penyediaan pakan ternak (2) mengetahui manfaat yang diperoleh dari ternak sapi terhadap perkebunan sawit (3) mengkaji potensi integrasi sawit – sapi dalam mendukung pertanian berkelanjutan di kabupaten Muaro Jambi. Tulisan ini merupakan hasil pemikiran dan review tentang potensi perkebunan sawit dan pengembangan ternak sapi yang dapat dilakukan melalui integrasi sawit sapi sebagai pendukung pertanian berkelanjutan yang dikumpulkan melalui studi pustaka, pengamatan secara langsung di lapangan serta pengumpulan data sekunder dari instansi terkait.
SISTEM INTEGRASI SAWIT – SAPI Integrasi kelapa sawit – sapi dikembangkan dengan pendekatan Low External Input System of Agriculture (LEISA) dimana terjadi ketergantungan 386
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
antara kegiatan tanaman dan ternak, terjadi daur ulang optimal dari sumberdaya lokal yang tersedia, sehingga limbah kebun kelapa sawit dan limbah pengolahan kelapa sawit berpeluang untuk digunakan sebagai pakan ternak, sementara limbah ternak dapat digunakan sebagai pupuk organik yang sangat baik untuk tanaman kelapa sawit (Umar, 2009). Pengembangan sistem integrasi sawit- sapi bertujuan untuk: 1) mendukung upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan pertanian melalui penyediaan pupuk organik yang memadai, 2) mendukung upaya peningkatan produktivitas tanaman, 3) mendukung upaya peningkatan populasi ternak sapi dan produksi daging, serta 4) meningkatkan pendapatan petani atau pelaku pertanian (Suryana, 2009). Melalui kegiatan ini, produktivitas tanaman maupun ternak menjadi lebih baik. POTENSI KEBUN KELAPA SAWIT SEBAGAI SUMBER PAKAN Pakan ternak untuk ternak sapi terdiri dari pakan hijauan, konsentrat dan suplemen (BPTP Sumbar, 2010). Hijauan adalah pakan utama bagi sapi yang berasal dari rumput-rumputan maupun campuran rumput dan tanaman legume. Konsentrat adalah bahan pakan yang berguna untuk melengkapi gizi dari pakan hijauan, terdiri dari bahan pakan dengan serat kasar rendah dan mudah dicerna yang dapat berasal dari biji-bijian, hasil ikutan/limbah pertanian dari pabrik pengolahan hasil pertanian. Menurut Hanusi (2005), tanaman kelapa sawit dapat menghasilkan limbah berupa daun pelepah kelapa sawit yang didapat waktu panen TBS sedangkan industri kelapa sawit menghasilkan 3 jenis limbah utama yang dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak yaitu serat buah sawit, lumpur minyak sawit dan bungkil inti sawit. Menurut Umar (2008) perkebunan kelapa sawit dapat menjadi pemasok pakan ternak melalui penyediaan hijauan pakan ternak berupa gulma dan rumput yang ditanam diantara tegakan kelapa sawit, penyediaan pakan melalui pemanfaatan limbah tanaman kelapa sawit, dan limbah hasil pengolahan kelapa sawit. Hijauan Antar Tanaman. Hijauan antar tanaman (HAT) adalah vegetasi yang tumbuh diantara tanaman di lahan perkebunan kelapa sawit, baik yang tumbuh sebagai vegetasi liar atau semak, ataupun rumput yang sengaja ditanam sebagai penutup tanah dari kelompok legum. Vegetasi yang mampu tumbuh dan berkembang di bawah tegakan sawit adalah yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap naungan. Beberapa jenis rumput/gulma seperti Axonopus compresus, Ottochloa nodosa dan Paspalum conyugatum, dapat menghasilkan hijauan sebanyak 3 – 5 ton/ha/th (Reksohadiprodjo, 1988). Berdasarkan penelitian Chen dan Othman (1998) biomassa rumput pakan atau legume cover crop yang dapat dipanen pada saat kelapa sawit berumur 3 – 4 tahun sebelum kanopinya menutup berkisar 5,5 – 9,5 ton berat kering per hektar. Calopogonium caeruleum, Centrosema pubescens dan Stylosanthes guianensis tumbuh baik pada kondisi naungan sawit 25%, selain itu penanaman tanaman penutup tanah yang dikombinasi dengan rumput Paspalum notatum dapat menghasilkan bahan kering 13,6 ton/ha/tahun (Rika et al., 1991). Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian Hanavi (2007) rumput Paspalum
387
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
notatum dan Stenotaphrum secundatum sangat toleran terhadap naungan berat sedangkan Digitaria milinjana, Pueraria javanica dan Stylosanthes guianensis termasuk rumput yang toleran terhadap naungan sedang. Dengan banyaknya jenis rumput yang dapat tumbuh pada berbagai tingkat naungan maka terdapat pilihan untuk menanam rumput pakan ternak sesuai kondisi tanaman kelapa sawit di lahan. Pelepah dan Daun Kelapa Sawit. Pelepah dan daun sawit merupakan hasil ikutan yang dapat diperoleh sepanjang tahun bersamaan dengan dilakukannya pemanenan tandan buah segar. Pelepah kelapa sawit dipanen 1 – 2 pelepah/panen/pohon. Setiap tahun dari setiap hektar lahan kelapa sawit dapat dihasilkan 22 – 26 pelepah tergantung jumlah populasi kelapa sawit per hektar dengan rata-rata berat pelepah daun sawit 4 – 6 kg/pelepah, bahkan produksi pelepah dapat mencapai 40 – 50 pelepah/pohon/tahun dengan berat sebesar 4,5 kg/ pelepah (Hutagalung dan Jalaluddin, 1982; Umiyasih dan Anggraeny, 2003). Menurut Elisabeth dan Ginting (2003) pelepah sawit dapat digunakan sebagai bahan pakan pengganti rumput untuk ternak ruminansia. Berdasarkan hasil penelitian Simanihuruk et al. (2008) silase pelepah kelapa sawit dapat digunakan sampai 60% sebagai pakan basal ternak kambing, pengganti rumput. Pemanfaatan pelepah dan daun kelapa sawit sebagai pakan pengganti hijauan belum dilakukan secara optimal (Kawamoto et al., 2002) padahal kandungan nutrisi yang terdapat di dalam daun dan pelepah kelapa sawit ini cukup banyak, seperti tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Nutrisi Produk Samping Tanaman Kelapa Sawit Bahan/ produk Bahan Abu Protein Serat Lemak samping Kering(%) Kasar Kasar % Bahan Kering Pelepah Daun Sawit 30,00 14,43 6,50 32,55 4,47 Daun Tanpa Lidi 46,18 13,40 14,12 21,52 4,37 Sumber : Deptan (2010).
Limbah Hasil Pengolahan Kelapa Sawit. Limbah hasil pengolahan kelapa sawit yang berpotensi untuk dijadikan pakan sapi adalah serat buah kelapa sawit, lumpur minyak sawit (sludge) dan bungkil inti sawit. Serat buah sawit merupakan hasil samping dari pengolahan kelapa sawit yang yang telah dipisahkan dari buah setelah pengambilan minyak dan biji dalam proses pemerasan. Jumlah serat perasan yang dapat dihasilkan untuk setiap hektar mencapai 2,5 ton bahan kering. Serat perasan mengandung nilai nutrisi yang rendah dan hanya dapat digunakan sebagai bahan pakan pengganti sumber serat. Bungkil inti sawit atau palm kernel cake adalah limbah ikutan proses ekstraksi inti sawit menjadi Palm Kernel Oil (PKO) yang diperoleh melalui proses kimia dan mekanik pabrik pengolahan kelapa sawit. Pemanfaatan bungkil inti sawit dalam ransum sapi mampu menghasilkan peningkatan berat badan sebesar 0,74% – 0,76% kg/ekor/hari (Mustafa et al. 1984), sedangkan menurut uji coba di PTPN IV di kebun Dolok Ilir dengan konsumsi bahan kering 3% dengan formula yang komplit dapat meningkatkan tambahan bobot badan/hari/ekor sapi lokal 0,80 kg (Siregar et al., 2006).
388
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Lumpur sawit atau lumpur minyak sawit atau solid (palm sludge) merupakan hasil ikutan yang diperoleh dari pencucian dan proses pemisahan CPO. Lumpur minyak sawit merupakan sumber energi dan mineral (Batubara et al., 2002) karena itu dapat digunakan dalam ransum ternak sebagai pengganti dedak padi bahkan sampai 100% pada sapi perah yang sedang tumbuh. Komposisi nutrisi dari hasil samping pengolahan kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi nutrisi dari hasil samping pengolahan kelapa sawit. Bahan/ produk Bahan Abu Protein Serat Lemak samping Kering(%) Kasar Kasar % Bahan Kering Serat Perasan 26,07 5,10 3,07 50,94 4,37 Lumpur Minyak 91,83 4,14 16,33 36,68 6,49 Sawit Bungkil Inti Sawit 24,08 14,40 14,58 35,88 14,78 Sumber : Deptan (2010).
MANFAAT TERNAK SAPI UNTUK KELAPA SAWIT DAN LAINNYA Ternak sapi dapat memberikan keuntungan pada kebun kelapa sawit melalui hasil sampingnya yaitu kotoran sapi yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan organik maupun pupuk organik, manfaat lain adalah dihasilkannya biogas yang dapat digunakan untuk memasak dan untuk penerangan dari hasil samping pengolahan kotoran menjadi pupuk organik. Ternak Sapi Sumber Bahan Organik dan Pupuk Organik. Kotoran sapi terutama feses sangat berpotensi sebagai sumber bahan organik. Bahan organik berperan dalam menjaga kesuburan tanah baik secara fisik, kimia dan biologi tanah. Secara fisik bahan organik dapat memperbaiki struktur, tekstur dan porositas tanah sehingga akar tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga dapat meningkatkan kemampuan tanaman dalam menyerap hara. Secara kimia bahan organik dapat memperbaiki kesuburan tanah karena bahan organik mengandung unsur-unsur hara baik makro maupun mikro yang diperlukan oleh tanaman. Secara biologis bahan organik dapat meningkatkan aktivitas mikroba tanah. Penyerapan unsur hara oleh tanaman dirangsang oleh aktivitas sejumlah jamur dan bakteri. Misalnya vesikular arbuskular mycohrrizal (VAM) jamur membentuk hubungan simbiosis dengan akar tanaman dengan cara menginfeksi akar dan membentuk hyfa sehingga memperluas eksploitasi sistem perakaran, hal ini biasanya terjadi dalam penyerapan P, Cu, Zn dan air sedangkan penyerapan unsur Fe dan Mn, dirangsang oleh adanya chelates yang dikeluarkan oleh mikroorganisme. Kotoran sapi dalam bentuk urine merupakan sumber pupuk organik yang cukup tinggi kadar haranya nitrogennya. Kandungan hara dari kotoran sapi sangat bervariasi dan tergantung pada jenis pakan yang diberikan serta cara pengelolaannya. Hasil analisis laboratorium dari berbagai sumber terhadap pupuk kandang yang berasal dari kotoran sapi dirangkum pada Tabel 3.
389
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 3. Sumber
Kotoran segar Kompos Urine
Kandungan air, bahan organik dan hara dalam pupuk kandang sapi Kadar Bahan Nitroge P2O5 K2O CaO Air Organik (%) n (%) (%) (%) (%) (%) 81,3 16,7 0,5 0,5 0,5 0,3 7,9 92
69,9 4,8
2,0 1,21
1,5 0,01
2,2 1,35
2,9 1,35
Dari berbagai sumber
Ternak Sapi sebagai Penghasil Biogas. Limbah ternak sapi berupa kotoran sapi, selain diolah menjadi pupuk organik juga dapat diolah menjadi biogas. Produksi biogas memungkinkan terwujudnya pertanian berkelanjutan dengan sistem proses nirlimbah (zero waste) dan ramah lingkungan. Memproduksi biogas dapat memberikan berbagai manfaat, antara lain: (1) mengurangi pengaruh gas rumah kaca, (2) mengurangi polusi bau yang tidak sedap, (3) menghasilkan daya dan panas, dan (4) memberikan hasil samping berupa pupuk. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian Serpong untuk 10 ekor sapi mampu memproduksi biogas sebanyak 6 m3/hari. Biogas ini dapat digunakan untuk lampu/penerangan yang memerlukan biogas 0.23 m³/jam dengan tekanan 45 mmH2O, sedangkan untuk kompor gas diperlukan biogas 0.30 m³/jam dengan tekanan 75 mmH2O (Widodo et al, 2007). POTENSI SAWIT- SAPI DI MUARO JAMBI Integrasi sawit sapi di Desa Bukit Baling Kecamatan Sekernan Kabupaten Muaro Jambi dimulai pada tahun 2007. Sistem pemeliharaan yang dilakukan adalah sapi dikandangkan namun pada pagi hari dilepas di kebun sawit. Melalui kegiatan ini telah terjadi perkembangan jumlah ternak yang semula hanya 180 ekor menjadi 256 ekor pada tahun 2010. Selain perkembangan jumlah ternak, petani juga memperoleh manfaat lain berupa pupuk untuk kebun sawit serta biogas untuk keperluan penerangan dan memasak dengan mengolah kotoran sapi (komunikasi pribadi dengan Asnawati mantan kabid perkebunan Muaro Jambi, 2014). Tahun 2011 luas perkebunan sawit di Kabupaten Muaro Jambi mencapai 90.305 ha, jika perkebunan sawit tersebut bisa diintegrasikan dengan ternak sapi maka diperkirakan jumlah ternak yang dapat ditampung pada lahan tersebut dengan memperhitungkan pakan dari kebun dan hasil limbah pabrik, mencapai 870.915 ekor sapi (data diolah menurut Diwyanto et al., 2004). Jika dianggap sapi yang dapat ditampung di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Muaro Jambi adalah 50% dari daya tampungnya maka jumlah sapi yang dapat diintegrasikan mencapai 435.457 ekor, dan kotoran sapi yang diperoleh adalah 80% dari jumlah sapi x 20 kg/hari = 6.967.300 kg/hari. Diperkirakan akan dihasilkan kotoran sapi yang sudah dikomposkan sebanyak 3.048.193 (data diolah sesuai menurut Mulyani dan Kartasapoetra, 1991).
390
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Kompos ini dapat digunakan untuk memperbaiki kesuburan lahan perkebunan sawit. Jika sapi yang diintegrasikan pada kebun kelapa sawit di Kabupaten Muaro Jambi adalah 435.457 ekor, maka potensi biogas yang akan dihasilkan adalah 435.457 ekor : 10 ekor x 6 m3/hari = 261.274 m3/hari atau 10.886 m3/jam. Jika untuk keperluan memasak dibutuhkan biogas sebanyak 0,30 m3/jam maka biogas yang dihasilkan berpotensi dapat memenuhi kebutuhan memasak lebih dari 75% rumah tangga petani kelapa sawit di Muaro Jambi (data diolah). Integrasi Sawit – Sapi di Kabupaten Muaro Jambi pada gilirannya akan berdampak pada: (1) efisiensi dan daya saing produk, karena produk yang dihasilkan menggunakan hasil daur ulang proses yang berlangsung maka biaya produksi untuk budidaya sawit dan sapi dapat ditekan (2) keberlanjutan sistem pertanian, hal ini terkait dengan masalah kesuburan lahan kebun yang dapat ditingkatkan dengan penggunaan bahan organik hasil kompos kotoran ternak maupun hasil samping dari tanaman sawit sendiri serta dari penanaman cover crop dan rumput yang dapat dijadikan pakan ternak (3) dampak lingkungan dalam proses pengolahan sawit dapat diminilisir, hal ini terkait dengan limbah yang dihasilkan oleh pabrik pengolahan kelapa sawit yang selama ini sangat berpotensi mencemari lingkungan, dengan adanya pengolahan limbah menjadi pakan ternak dan kompos maka limbah pabrik pengolahan kelapa sawit ini dapat dikurangi. (4) aspek sosial ekonomi, hal ini berhubungan dengan penyediaan biogas sebagai energi rumah tangga, dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk bahan bakar dan penerangan, dari hasil samping pengolahan biogas juga dapat dihasilkan kompos yang dapat dijual, jika dilakukan dengan skala yang besar akan membuka lowongan pekerjaan bagi masyarakat sekitar dalam hal pengolahan kompos, pengemasan dan penjualan kompos. Jelaslah bahwa dengan adanya integrasi kelapa sawit- sapi di Kabupaten Muaro Jambi ini akan terjamin keberlanjutan usaha pertanian. KESIMPULAN 1. Sistem integrasi kelapa sawit - sapi adalah suatu sistem pertanian yang dilakukan dengan mensinergikan usaha budidaya kelapa sawit dan budidaya sapi dengan memanfaatkan limbah sawit untuk pakan ternak sementara limbah ternak digunakan untuk tanaman. 2. Sistem Integrasi kelapa sawit – sapi menjamin keberlanjutan dimana limbah kelapa sawit dimanfaatkan sebagai pakan ternak, limbah ternak dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman, terjadi proses daur ulang tanpa ada sumberdaya yang terbuang, terjadi peningkatan produktifitas lahan, pendapatan petani, menumbuhkan bentuk usaha baru dengan hasil samping pupuk dan biogas serta terpelihara lingkungan dengan meminimalkan polusi.
391
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
DAFTAR PUSTAKA BPTP Sumbar, 2011. Pakan Ternak untuk Sapi Potong. http://sumbar.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&vi ew=article&id=198:-pakan-untuk-ternak-sapi-potong-&catid=1:infoteknologi. Diakses tanggal 10 Oktober 2011 Batubara, L. 2002. Potensi Biologis Daun Kelapa Sawit Sebagai Pakan Basal dalam Ransum Sapi Potong. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian Bogor. Chen CP, and Othman O. 1984. Performance of Tropical Forages Under The Closed Canopy Of Oil Palm II.Legumes. MARDI Research Bull. Vol. 12 : p. 21 – 37. Departemen Pertanian. 2010. Pedoman Teknis Pengembangan Usaha Integrasi Ternak Sapi dan Tanaman. Kementerian Pertanian. Direktorat Jendral Peternakan. Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia. Diwyanto, K., D. Sitompul, I. Manti, I.W. Mathius, dan Soentoro. 2004. Pengkajian Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Prosiding Lokakarya Nasional. Bengkulu, 9 - 10 September 2003. Depertemen Pertanian Bekerjasama dengan Pemerintah Bengkulu dan PT. Agricinal Elisabeth, Y, S.P. Ginting. 2004. Pemanfaatan Hasil Samping Industri Kelapa Sawit Sebagai Bahan Pakan Ternak Sapi Potong. Dalam : Prosiding Lokakarya Nasional. Bengkulu, 9-10 September 2003. Depertemen Pertanian Bekerjasama dengan Pemerintah Bengkulu dan PT.Agricinal. Hanavi, N.D. 2007. Keragaan pastura campuran pada berbagai tingkat naungan dan aplikasinya pada lahan perkebunan kelapa sawit. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Jalaluddin, S, Z.A. Jelan, N. Abdullah and Y.W. Ho. 1991. Recent Development in the Oil Palm by Product Based Ruminant Feeding System. Prc.MSAP, Penang, Malaysia. Pp. 35-44. Jambi News. 2011. Jambi Import Ribuan Ternak Potong. Terbit Jumat, 04 November 2011 Kawamoto, H., M.W.Azhari, N.I.M. Shukur, M.S. Ali, J. Ismail and S. Oshiho. 2002. Palatability Digestibility and Volumary Intake of Processed Oil Fronds in Cattle. Dalam: Prosiding Lokakarya Nasional. Bengkulu, 9 – 10 September 2003. Depertemen Pertanian Bekerjasama dengan Pemerintah Bengkulu dan PT.Agricinal. Mulyani, S.M. dan A.G. Kartasapoetra. 1991. Pupuk dan Cara Pemupukan. Penerbit PT. Rineka Cipta. Jakarta. Reksohadiprodjo, S. 1988. Pakan Ternak Gembala. Penerbit BPFE . UGM . Yogyakarta. Rika I.K., Mendra I.K., Oka I.G.M., dan Oka N. 1991. Forage Species for Coconut Plantation in Bali. Forage for Plantation Crops. ACIAR Proc 32:168 – 170. Umar, S. 2008. Potensi Limbah Kelapa Sawit dan Pengembangan Peternakan Sapi berkelanjutan di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit. Jurnal Wawasan. 12 (3). hal 179 -190.
392
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Umar, S. 2009. Potensi Perkebunan Kelapa Sawit sebagai Pusat Pengembangan Sapi Potong dalam Merevitalisasi dan Mengakselerasi Pembangunan Peternakan Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara. Siregar Z., Hasnudi., S. Umar., dan I. Sembiring. 2005. Tim Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian USU. Bekerjasama dengan PTPN IV dalam rangka membangun pabrik pakan ternak berbasis limbah sawit. Dinas Perkebunan Provinsi Jambi. 2012. Statistik Perkebunan Provinsi Jambi Tahun 2011. Dinas Perkebunan . Pemerintah Provinsi Jambi. Suryana. 2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi Agribisnis Dengan Pola Kemitraan. Jurnal Litbang Pertanian.Vol. 28(1). Hal. 29-37 Umiyasih, U. dan Anggraeny Y.N. 2003. Keterpaduan Sistem Usaha Perkebunan dengan Ternak: Tinjauan tentang ketersediaan Hijauan Pakan untuk Sapi Potong di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit. Pasuruan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Widodo T.W., Ana N., A.Asari dan A.Unadi. 2007. Pemanfaatan Energi Biogas Untuk Mendukung Agribisnis di Pedesaan. Laporan hasil kegiatan. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian.
393
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Aplikasi Formulasi Pakan Seimbang untuk Mendukung Peternakan Itik Petelur Ramah Lingkungan Application of the Balanced Feed Formulation for Support the Environmentally Friendly Laying Ducks Livestock Agung Prabowo, Aulia Evi Susanti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan JL. Kol. H. Barlian Km 6 No. 83 Palembang, Sumatera Selatan Telp. 0711-410155, e-mail:
[email protected] ABSTRACT Feed is a major factor in the business of laying ducks. Approximately 70% of the production cost is to feed. Therefore, to get optimum benefit, feed must be efficiently formulated. To efficient, feed must be balance, the content of feed nutrients must be in accordance with the needs of livestock, so the remaining nutrients out of feed is a minimum. In addition to efficient, balanced feed can also reduce environmental pollution. Waste produced from farm can be a source of contamination of water or wells, if there is no further waste management. One of the consequences of water pollution by livestock waste are nitrogen level rise. To simplify and accelerate the balanced feed formulation required a software application. This paper aimed to introduce balanced feed formulation based on software. Application software consists of three main parts, namely database, data processing and results. Simulations conducted on laying ducks feed of the production period. Two types of feed used in this simulation, namely: regular feed (PB) and balanced feed (PS). Each type of feed was repeated five times. The simulation results showed that the average of the difference EM (20.32 kcal / kg), PK (0.40%), Ca (0.09%), P (0.02%), lysine (0.05%) of balanced feed (PS) with the minimum nutrient requirements were smaller and significantly different (P <0.05) compared to EM (243.45 kcal / kg), PK (2.90%), Ca (0.65%), P (0, 08%), lysine (0.53%) normal feed (PB). Application of balanced feed formulation can be used to support environmentally friendly laying ducks livestock. Key words: Balanced feed, Formulation, Laying ducks ABSTRAK Pakan merupakan faktor utama dalam usaha ternak itik petelur. Kurang lebih 70% dari biaya produksi adalah untuk pakan. Oleh karena itu untuk mendapatkan keuntungan yang optimal, maka pakan yang diformulasi harus efisien. Supaya efisien pakan harus seimbang, yaitu kandungan zat gizi pakan harus sesuai dengan kebutuhan ternak, sehingga sisa zat gizi pakan yang keluar melalui kotoran dapat minimal. Selain efisien, pakan seimbang juga dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Limbah yang dihasilkan dari peternakan dapat menjadi sumber pencemaran air sungai atau sumur, jika tidak ada pengelolaan limbah lebih lanjut. Salah satu akibat dari pencemaran air oleh limbah ternak ialah meningkatnya kadar nitrogen. Untuk mempermudah dan mempercepat formulasi pakan seimbang diperlukan suatu aplikasi software. Tulisan ini bertujuan untuk memperkenalkan formulasi pakan seimbang berbasis software. Aplikasi sofware ini terdiri dari tiga bagian utama, yaitu database, 394
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
pengolah data dan hasil. Simulasi dilakukan terhadap pakan itik petelur pada periode produksi. Dua jenis pakan digunakan dalam simulasi ini, yaitu: pakan biasa (PB) dan pakan seimbang (PS). Masing-masing jenis pakan diulang lima kali. Hasil simulasi menunjukkan bahwa rerata selisih EM (20,32 kcal/kg), PK (0,40%), Ca (0,09%), P (0,02%), lisin (0,05%) pakan seimbang (PS) dengan kebutuhan zat gizi minimum lebih kecil dan berbeda nyata (P < 0,05) dibanding EM (243,45 kcal/kg), PK (2,90%), Ca (0,65%), P (0,08%), lisin (0,53%) pakan biasa (PB). Aplikasi formulasi pakan seimbang dapat digunakan untuk mendukung peternakan itik petelur ramah lingkungan. Kata Kunci: Formulasi, Itik petelur, Pakan seimbang PENDAHULUAN Pakan merupakan campuran dari dua atau lebih bahan pakan. Pakan itik petelur setidaknya diformulasi dari bahan pakan sumber energi, protein, Ca, P, lisin dan methionin. Pakan merupakan aspek yang penting karena 70% dari total biaya produksi adalah untuk pakan (Hartanto, 2008). Oleh karena itu untuk mendapatkan keuntungan yang optimal, pakan yang diformulasi harus efisien. Supaya efisien pakan harus seimbang, yaitu kandungan zat gizi pakan harus sesuai dengan kebutuhan ternak, sehingga sisa zat gizi pakan yang keluar melalui kotoran dapat minimal. Selain efisien, pakan seimbang juga dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Limbah yang dihasilkan dari peternakan dapat menjadi sumber pencemaran air sungai atau sumur, jika tidak ada pengelolaan limbah lebih lanjut. Salah satu akibat dari pencemaran air oleh limbah ternak ialah meningkatnya kadar nitrogen. Menurut Farida (2000) senyawa nitrogen sebagai polutan mempunyai efek polusi yang spesifik, dimana kehadirannya dapat menimbulkan konsekuensi penurunan kualitas perairan sebagai akibat terjadinya proses eutrofikasi, penurunan konsentrasi oksigen terlarut sebagai hasil proses nitrifikasi yang terjadi di dalam air yang dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan biota air. Oleh karena itu untuk mengurangi tingkat pencemaran nitrogen yang berasal dari peternakan, sebaiknya pakan diformulasi dengan baik, sehingga kandungan zat gizi pakan sesuai dengan yang dibutuhkan ternak. Pakan yang baik adalah pakan seimbang, yaitu pakan yang cukup mengandung zat gizi untuk memenuhi kebutuhan ternak sesuai dengan tujuan pemeliharaan (Chuzaemi, 2002). Menurut Tillman et al. (1991), zat-zat pakan dalam pakan hendaknya tersedia dalam jumlah yang cukup dan seimbang sebab keseimbangan zat-zat pakan dalam pakan sangat berpengaruh terhadap daya cerna. Pakan seimbang diharapkan dapat mengoptimalkan produktivitas ternak. Dalam formulasi pakan itik petelur, setidaknya zat gizi pakan yang perlu diperhatikan, yaitu metabolisme energy (ME), protein kasar (PK), kalsium (Ca), fosfor (P), lisin dan methionin. Protein berfungsi sebagai zat pembangun dan pengganti sel yang rusak (Tillman et al., 1991). Untuk melakukan formulasi pakan seimbang setidaknya diperlukan: tabel kebutuhan zat gizi pakan dan tabel komposisi/kandungan zat gizi bahan pakan. Menurut Soetanto (2002), sebelum melakukan formulasi pakan, ada beberapa hal yang perlu diketahui terlebih dahulu, yaitu: stadia fisiologis ternak, ketersediaan bahan pakan, jumlah pakan yang akan disusun, biaya pakan yang dapat
395
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
ditoleransi, jarak distribusi pakan dan lama simpan sebelum didistribusikan. Agar formulasi pakan berjalan dengan mudah dan cepat, maka diperlukan suatu aplikasi software formulasi pakan. Kegiatan ini bertujuan memperkenalkan suatu aplikasi formulasi pakan itik petelur dengan menggunakan software. Aplikasi ini dilengkapi dengan petunjuk, grafik perbandingan antara kandungan dan kebutuhan zat gizi pakan dan grafik perbandingan harga dalam satu tayangan. Aplikasi ini dapat memberikan kemudahan bagi pengguna dalam proses formulasi pakan dan dapat digunakan untuk mendukung peternakan itik petelur yang ramah lingkungan. BAHAN DAN METODE Formulasi pakan. Formulasi pakan dilakukan sesuai dengan kebutuhan zat gizi pakan. Ada enam zat gizi pakan yang digunakan sebagai dasar formulasi pakan, yaitu: metabolisme energy (ME), protein kasar (PK), kalsium (Ca), fosfor (P), lisin dan methionin. Pakan yang diformulasikan harus memenuhi kebutuhan minimal zat gizi tersebut di atas dan nilainya tidak jauh di atas kebutuhan minimal, sehingga sisa zat gizi (yang tidak termanfaatkan oleh ternak) yang keluar dari tubuh ternak dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam aplikasi formulasi pakan ini tersedia tabel komposisi bahan pakan, tabel kebutuhan zat gizi pakan dan tabel harga bahan pakan. Jenis dan kandungan zat gizi serta harga bahan pakan dapat disesuaikan. Diagram alur proses formulasi pakan disajikan dalam Gambar 1. Simulasi Formulasi Pakan. Simulasi formulasi pakan dilakukan terhadap pakan itik petelur periode bertelur. Dua jenis pakan digunakan dalam simulasi ini, yaitu: pakan biasa (PB) dan pakan seimbang (PS). Simulasi diulang sebanyak lima kali. Simulasi dilakukan dengan menggunakan aplikasi formulasi pakan itik petelur (Prabowo, 2012). Jenis dan kandungan zat gizi bahan pakan yang digunakan untuk simulasi formulasi pakan disajikan dalam Tabel 1, sedangkan untuk simulasi formulasi pakan disajikan dalam Tabel 2.
Gambar 1. Diagram alur formulasi pakan itik petelur Tabel 1. Jenis dan kandungan zat gizi bahan pakan yang digunakan untuk simulasi formulasi pakan 396
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
BK (%) 1. Dedak padi 86 2. Menir 86 3. Gabah 86 4. Sorghum 86 5. Bekicot 86 6. Jagung 86 7. T. dag. bh. kelapa 86 8. T. dn. lamtoro 86 9. Tepung ikan 86 10. Bungkil kedelai 86 11. Dolomit 90 12. Mineral 90 13. Minyak Kelapa 14. DL-methionin 90 15. DL-Lisin 90
No.
Bahan Pakan
EM PK (kcal/kg) (%) 2.790,7 13,80 3.483,0 9,40 2.998,0 9,70 3.800,0 11,20 2.500,0 51,20 3.862,0 10,30 1.640,0 21,60 2.000,0 23,70 2.580,0 83,70 2.577,0 51,90 0,0 0,00 0,0 0,00 9.800,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00
Ca P Lisin Met (%) (%) (%) (%) 1,74 1,51 0,58 0,35 0,03 0,13 0,32 0,28 0,07 0,30 0,31 0,19 0,03 0,34 0,31 0,16 0,80 0,50 4,00 1,06 0,03 0,26 0,34 0,21 0,21 0,65 0,64 0,34 1,40 0,21 1,59 0,33 2,70 2,20 4,00 3,11 0,34 0,70 2,98 0,58 22,30 0,04 0,00 0,00 32,50 10,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 85,00 0,00 0,00 85,00 0,00
Sumber: Hartadi et al. (1980) Tabel 2. Simulasi formulasi pakan (%) No Bahan Pakan Simulasi 1 Simulasi 2 Simulasi 3 Simulasi 4 Simulasi 5 PB PS PB PS PB PS PB PS PB PS . 1. Dedak padi 45,00 39,65 50,00 44,80 35,00 37,80 35,00 30,15 60,00 58,00 2. Menir 5,00 5,00 3. Gabah 10,00 5,00 10,00 7,00 4. Sorghum 5,00 5,00 5. Bekicot 15,00 10,00 24,00 10,00 5,00 5,00 6. Jagung 25,00 25,00 10,00 14,00 10,00 10,00 20,00 15,00 10,00 10,00 7. T. dag. bh.
3,00 2,00
kelapa
8. T. dn. lamtoro 2,00 2,00 2,00 2,00 2,00 2,00 2,00 2,00 2,00 2,00 9. Tepung ikan 15,00 12,00 15,00 10,00 10. Bungkil
3,00 4,00 15,00 13,00 5,00 13,50 20,00 24,00
kedelai
11. Dolomit 12. Mineral
3,00 7,00 3,00 5,00 3,00 5,00 2,00 5,00 3,00 6,00 2,00 2,30 3,00 4,00 3,00 4,50 3,00 5,00 2,00 2,00
13. Minyak
1,00 5,50 1,00 6,50 2,00 6,50 2,00 6,00 2,00 6,50
Kelapa
14. DL-methionin 15. DL-Lisin
0,50 0,40 0,50 0,70 0,50 0,70 0,50 0,75 0,50 0,40 0,50 0,15 0,50 0,00 0,50 0,00 0,50 0,10 0,50 0,10
397
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
No Bahan Pakan . Jumlah
Simulasi 1 Simulasi 2 Simulasi 3 Simulasi 4 Simulasi 5 PB PS PB PS PB PS PB PS PB PS 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
PB: Pakan biasa PS: Pakan seimbang Analisis Data. Data hasil simulasi formulasi pakan diuji dengan uji T (Gaspersz, 1991) dengan taraf nyata 5% (Gomez dan Gomez, 1984).
HASIL Kecukupan Zat Gizi Pakan. Perbandingan zat gizi pakan biasa (PB) dan pakan seimbang (PS) dengan kebutuhan minimum zat gizi pakan itik petelur hasil simulasi 1 ditampilkan dalam Gambar 2.
Gambar 2. Perbandingan zat gizi pakan biasa (PB) dan pakan seimbang (PS) dengan kebutuhan minimum zat gizi pakan itik petelur hasil simulasi 1 Perbandingan zat gizi pakan biasa (PB) dan pakan seimbang (PS) dengan kebutuhan minimum zat gizi pakan itik petelur hasil simulasi 2 ditampilkan dalam Gambar 3.
Gambar 3. Perbandingan zat gizi pakan biasa (PB) dan pakan seimbang (PS) dengan kebutuhan minimum zat gizi pakan itik petelur dalam simulasi 2
398
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Perbandingan zat gizi pakan biasa (PB) dan pakan seimbang (PS) dengan kebutuhan minimum zat gizi pakan itik petelur hasil simulasi 3 ditampilkan dalam Gambar 4.
Gambar 4. Perbandingan zat gizi pakan biasa (PB) dan pakan seimbang (PS) dengan kebutuhan minimum zat gizi pakan itik petelur dalam simulasi 3 Perbandingan zat gizi pakan biasa (PB) dan pakan seimbang (PS) dengan kebutuhan minimum zat gizi pakan itik petelur hasil simulasi 4 ditampilkan dalam Gambar 5.
Gambar 5. Perbandingan zat gizi pakan biasa (PB) dan pakan seimbang (PS) dengan kebutuhan minimum zat gizi pakan itik petelur dalam simulasi 4 Perbandingan zat gizi pakan biasa (PB) dan pakan seimbang (PS) dengan kebutuhan minimum zat gizi pakan itik petelur hasil simulasi 5 ditampilkan dalam Gambar 6.
399
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Gambar 6. Perbandingan zat gizi pakan biasa (PB) dan pakan seimbang (PS) dengan kebutuhan minimum zat gizi pakan itik petelur dalam simulasi 5 Rerata selisih zat gizi pakan biasa (PB) dan pakan seimbang (PS) dengan kebutuhan minimal zat gizi pakan itik petelur ditampilkan dalam Tabel 3. Tabel 3. Rerata selisih zat gizi pakan biasa (PB) dan pakan seimbang (PS) dengan kebutuhan minimal zat gizi pakan itik petelur Jenis Pakan
Zat Gizi Pakan
PB
20,32b
ME (kcal/kg)
243,45
PK (%)
2,90a
0,40b
Ca (%)
0,65
a
0,09b
P (%)
0,08a
0,02b
Lisin (%)
0,53a
0,05b
a
0,04a
0,12
Methionin (%) ab
PS a
Superskrip berbeda dalam baris yang sama menunjukkan beda nyata
PEMBAHASAN Kecukupan Zat Gizi Pakan. Hasil simulasi 1 formulasi pakan disajikan dalam Gambar 2. Pada Gambar 2 terlihat bahwa kandungan zat gizi pakan biasa (PB) tidak sesuai kebutuhan, sedangkan pakan seimbang (PS) sesuai kebutuhan. EM dan Ca dari PB di bawah kebutuhan minimal, sedangkan PK, lisin dan methionin (met) di atas kebutuhan maksimum. Sementara itu untuk EM, PK, Ca, P, lisin dan met dari PS berada di antara kebutuhan minimum dan maksimum. Hasil ini menunjukkan bahwa kualitas PB dan PS berbeda, walaupun bahan pakan yang digunakan untuk simulasi formulasi pakan sama (Tabel 2). Kondisi ini dapat disebabkan karena pada saat formulasi PB hanya satu zat gizi saja yang diperhatikan, misalnya EM atau PK saja, sehingga kandungan zat gizi yang lain tidak sesuai dengan kebutuhan. Pakan yang tidak seimbang ini (PB) tentunya tidak efisien dan kurang baik untuk lingkungan karena zat gizi yang terbuang bersama-sama kotoran akan semakin banyak. Kondisi ini berbeda dengan pakan seimbang (PS), zat gizi yang terbuang bersama-sama kotoran lebih rendah, sehingga hal ini baik untuk lingkungan. 400
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Hasil simulasi 2 formulasi pakan disajikan dalam Gambar 3. Pada Gambar 3 terlihat bahwa kandungan zat gizi PB tidak sesuai kebutuhan, sedangkan PS sesuai kebutuhan. EM, Ca, P dan met dari PB di bawah kebutuhan minimal, sedangkan PK dan lisin di atas kebutuhan maksimum. Sementara itu untuk EM, PK, Ca, P, lisin dan met dari PS berada di antara kebutuhan minimum dan maksimum. Hasil simulasi 3 formulasi pakan disajikan dalam Gambar 4. Pada Gambar 4 terlihat bahwa kandungan zat gizi PB tidak sesuai kebutuhan, sedangkan PS sesuai kebutuhan. EM, Ca, P dan met dari PB di bawah kebutuhan minimal, sedangkan PK dan lisin di atas kebutuhan maksimum. Sementara itu untuk EM, PK, Ca, P, lisin dan met dari PS berada di antara kebutuhan minimum dan maksimum. Hasil simulasi 4 formulasi pakan disajikan dalam Gambar 5. Pada Gambar 5 terlihat bahwa kandungan zat gizi PB tidak sesuai kebutuhan, sedangkan PS sesuai kebutuhan. EM, PK, Ca, P dan met dari PB di bawah kebutuhan minimal, sedangkan lisin di atas kebutuhan maksimum. Sementara itu untuk EM, PK, Ca, P, lisin dan met dari PS berada di antara kebutuhan minimum dan maksimum. Hasil simulasi 5 formulasi pakan disajikan dalam Gambar 6. Pada Gambar 6 terlihat bahwa kandungan zat gizi PB tidak sesuai kebutuhan, sedangkan PS sesuai kebutuhan. EM dan Ca dari PB di bawah kebutuhan minimal, sedangkan PK, P, lisin dan met di atas kebutuhan maksimum. Sementara itu untuk EM, PK, Ca, P, lisin dan met dari PS berada di antara kebutuhan minimum dan maksimum. Rerata Selisih Zat Gizi Pakan. Rerata selisih ME, PK, Ca, P dan lisin antara PB dan PS dengan kebutuhan minimal zat gizi pakan itik petelur menunjukkan beda nyata. Rerata selisih ME, PK, Ca, P dan lisin PS lebih kecil dibanding PB (Tabel 3). Hasil ini menunjukkan bahwa PS lebih baik dibanding PB. Dengan demikian, zat gizi pakan PS yang terbuang bersama kotoran lebih sedikit dibanding PB. Kondisi ini sangat baik untuk lingkungan karena semakin sedikit zat gizi pakan yang terbuang, maka semakin efisien pakan yang digunakan. Selain itu juga akan mengurangi pencemaran lingkungan. Oleh karena itu untuk mengurangi tingkat pencemaran nitrogen yang berasal dari peternakan, sebaiknya pakan diformulasi dengan baik, sehingga kandungan zat gizi pakan sesuai dengan yang dibutuhkan ternak. Menurut Farida (2000) senyawa nitrogen sebagai polutan mempunyai efek polusi yang spesifik, dimana kehadirannya dapat menimbulkan konsekuensi penurunan kualitas perairan sebagai akibat terjadinya proses eutrofikasi, penurunan konsentrasi oksigen terlarut sebagai hasil proses nitrifikasi yang terjadi di dalam air yang dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan biota air. Aplikasi formulasi pakan ini sangat membantu untuk memperkecil selisih zat gizi pakan dengan kebutuhan minimum zat gizi pakan, sehingga zat gizi pakan yang terbuang dapat minimal. Formulasi pakan seimbang akan mudah dilakukan, jika bahan pakan yang digunakan lebih banyak karena setiap bahan pakan mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, ada yang sebagai sumber ME, PK, Ca, P, lisin dan methionin, sehingga antara bahan pakan yang satu dengan yang lain saling melengkapi. Dalam formulasi pakan seimbang yang murah, sebaiknya dipilih terlebih dahulu bahan pakan yang paling murah, mudah didapat serta tersedia sepanjang waktu, kemudian dipilih bahan pakan yang dapat
401
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
mencukupi zat gizi bahan pakan sebelumnya, sehingga dapat memenuhi kebutuhan minimal zat gizi pakan. Formulasi pakan seimbang dengan menggunakan aplikasi software akan mudah dilakukan dengan cepat. Aplikasi formulasi pakan ini akan sangat bermanfaat bagi petugas lapang, peternak dan stakeholder lainnya untuk mendukung peternakan itik petelur yang ramah lingkungan. KESIMPULAN Kandungan zat gizi pakan seimbang (PS) berada di antara kebutuhan minimum dan maksimum zat gizi pakan. Rerata selisih zat gizi pakan seimbang (PS) dengan kebutuhan minimum zat gizi pakan rendah. Dalam formulasi pakan seimbang yang murah, sebaiknya dipilih terlebih dahulu bahan pakan yang paling murah, mudah didapat serta tersedia sepanjang waktu, kemudian dipilih bahan pakan yang dapat mencukupi zat gizi bahan pakan sebelumnya, sehingga dapat memenuhi kebutuhan minimal zat gizi pakan. Aplikasi formulasi pakan berbasis sofware dapat digunakan untuk mendukung peternakan itik petelur yang ramah lingkungan. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ratih Puspita Rini dan Luthfia Putri Salsabilla yang telah memberikan dorongan dalam penulisan makalah ini. DAFTAR PUSTAKA Chuzaemi. S. 2002. Arah dan sasaran penelitian nutrien sapi potong di Indonesia. Workshop Sapi Potong. Lolit Sapi Potong. Farida, E. 2000. Pengaruh Penggunaan Feses Sapi dan Campuran Limbah Organik lain Sebagai Pakan atau Media Produksi Kokon dan Biomassa Cacing Tanah Eisenia foetida savigry. Skripsi Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. IPB, Bogor. Gaspersz, V. 1991. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Tarsito, Bandung. Gomez, K.A. and A.A. Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. 2nd ed. A Wiley Interscience Publication. John Wiley and Sons, Inc., New York. Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, S. Lebdosukojo and A. D. Tillman. 1980. Tables of Feed Composition for Indonesia. The International Feedstuffs Institute Utah Agricultural Experiment Station, Utah State University Logan, Utah. Hartanto. 2008. Estimasi Konsumsi Bahan kering, Protein Kasar, Total Digestible Nutriens dan Sisa Pakan pada Sapi Peranakan Simmental. Agromedia 26 (2). Hal: 34-43. Prabowo, A. 2012. Aplikasi Formulasi Pakan Itik Petelur. BPTP Sumatera Selatan.
402
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Soetanto, H. 2002. Kebutuhan Gizi Ternak Ruminansia Menurut Stadia Fisiologisnya. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternak, Universitas Brawijaya, Malang. Tillman, A. D.,S, Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, H. Hartadi dan S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
403