Trifecta Of Korean Wave Pemerintah, Media, Dan Budaya
MAKALAH NON SEMINAR
Dibuat Oleh Judika Margaretha 1006710962
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK JANUARI 2014 1 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Makalah Non Seminar ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama
: Judika Margaretha
NPM
: 1006710962
Tanggal
: 13 Januari 2014
Penulis
Judika Margaretha
2 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014
3 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014
4 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014
5 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014
Trifecta Of Korean Wave Pemerintah, Media, dan Budaya Judika Margaretha Departemen Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Some people call it a “virus”, others view it as an “addiction”. Inilah yang terjadi pada fenomena Korean Wave atau disebut juga Hallyu. Fenomena ini menjadi sebuah budaya global alternatif yang mampu merambah melalui drama TV dan K-pop yang menjadi ancaman dan mempunyai tempat sendiri diantara maraknya Hollywood dan Bollywood melalui tayangan-tayangannya tersebut. Melihat hal tersebut peneliti menjadi tertarik untuk melihat kebelakang history media di Korea dalam milestone perkembangan penggunaan media di Korea. Makalah ini berfokus dalam upaya mencari milestone industri media dan kebijakannya yang digunakan oleh pemerintah Korea sehingga memberikan image Korea yang begitu melekat kepada negara lain. Untuk menggali hal tersebut, metode yang digunakan dalam makalah ini adalah studi dokumen dari annual report, rancangan kebijakan, literatur yang dikeluarkan Kementrian Kebudayaan Korea, Jurnal Komunikasi dan tesis mengenai Korean Wave yang nantinya akan menjawab perkembangan kebijakan dan penggunaan media oleh Korea. Makalah ini diharapkan mampu memberikan pembelajaran bagi negara – negara lain dalam membuat kebijakan dan memanfaatkan media yang dimiliki untuk membuat fenomenanya sendiri.
Trifecta Of Korean Wave Government, Media, and Culture Abstract Some people call it a “virus”, others view it as an “addiction”. That’s “Korean Wave” (“Hallyu” in Korean). This phenomenon has become an alternatif culture that consists principally of two forms of media, television serials and pop music (K-pop), has it own popularity among Hollywood and Bollywood. Researcher see this phenomenon as something unique and interesting because the Korean government took full advantage of this national phenomenon and began aiding Korean media industries in exporting Korean pop culture. This global expansion has contributed to enhancing South Korea’s national image and its economy. How the authors developed and conducted this research by using document studies from annual report, strategy and policy planning, and literature from Ministry Culture, Sport, and Tourism Korea, Communication Journal, and thesis from other university that contain Korean Wave. The purpose of the research is to figure out the possibility for other country to adopt the strategy of the Korean Wave in the interest of creating their own Wave. Key words: Korean Wave, Culture Imperialism, Media Policy, Government, Communication
I.
Latar Belakang Some people call it a “virus”, others view it as an “addiction”(Anjaiah, Korean
Culture Spreads across Globe, 2011). Inilah yang terjadi pada fenomena Korean Wave atau disebut juga Hallyu. Hallyu merupakan suatu fenomena yang awalnya telah berhasil disebarkan terutama di daerah Asia Timur dan Asia Tenggara. Drama televisi Korea Winter 1 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014
Sonata, Endless Love, Jewel In The Palace, dan Full House menjadi pembuka awal perkenalan Hallyu di masyarakat (The Korean Wave, 2011). Pada selang waktu 7 tahun (2000 – 2007), stasiun televisi swasta di beberapa negara Asia Tenggara giat bersaing menampilkan film ataupun drama Korea yang akhirnya mengantarkan fenomena ini menjadi sepopuler sekarang. Fenomena ini bertambah booming pada tahun 2012, dimana kemunculan Psy dengan lagunya Gangnam Style di Youtube berhasil memperkenalkan dan memperluas pangsa pasar yang telah ada sebelumnya. Psy mencetak sejarah YouTube dimana video pertamanya telah ditonton sebanyak 1 miliar dari 75 negara di dunia, menggalahkan viewers Baby – Justin Bieber dalam most-viewed video on YouTube for all time. Keberhasilan Psy di Amerika menunjukkan bahwa gelombang Korea masih berkembang dan mendapatkan lebih banyak pengakuan di seluruh dunia khususnya Asia, Timur Tengah, Afrika, Eropa, dan sekarang Amerika (The Korean Wave, 2011:11). Invasi Korean Wave pada awalnya dimulai pada tahun 90-an. Drama Korea sebagai awal pembuka jalan masuknya kehidupan Korea di negara lain. Hal ini segera mendapatkan air time pada saluran televisi di negara-negara Asia hingga memikat penonton di Timur Tengah, Eropa Timur, dan Afrika serta Eropa Barat dan Amerika Utara. Dae Jang Geum (Jewel in the Palace), memberikan kesempatan bagi drama Korea yang telah mengumpulkan popularitas di Cina, Jepang, dan Asia Tenggara untuk memperluas di luar Asia, mengekspor ke 60 negara (The Korean Wave, 2011). Lee Young-Ae, yang membintangi drama Korea yang paling populer ini, telah menjadi tokoh internasional. Mengikuti kecenderungan ini, sejumlah aktor dan aktris Korea membuat debut mereka di negara-negara tetangga dan mendapat pengakuan tidak hanya di Asia tetapi juga di benua lain. Keberhasilan tumbuh drama Korea segera diimbangi dengan film Korea, musik populer, makanan, dan bahasa juga. Begitu pula di Indonesia, drama Endless Love begitu populer dan menjadi drama Korea pertama yang disiarkan di televisi Indonesia. Setelah Korea berhasil menguasai pasar Indonesia dengan drama dan filmnya, Korea pun mulai menguasai pasar Indonesia dengan tampilan musik Korea, yaitu melalui soundtrack dramanya (Korean Pop). Seiring dengan semakin meningkatnya intensitas terpaan media terhadap konten Korea maka tren masyarakat di Indonesia juga berubah. Drama dan Film Korea memiliki andil yang sangat besar dalam konsumsi masyarkat terhadap produk – produk Korea, mulai dari fashion, makanan, tempat wisata, alat kosmetik, artis Korea, dsb. Ketertarikan masyarakat Indonesia dapat dilihat pula dari banyaknya konser artis Korea beberapa tahun belakangan ini dan juga di bukanya Pusat 2 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014
Kebudayaan Korea di Jakarta pada 18 Juli 2012 dalam memenuhi permintaan fans Hallyu di Indonesia. Hal diatas memperlihatkan bahwa fenomena Korean Wave ini tidak berhenti hanya menonton drama saja, tetapi berekpansi ke aspek budaya Korea lainnya. Dikarenakan fenomena ini berkaitan dengan berbagai aspek, banyak penelitian dilakukan untuk mempelajari hal ini, salah satunya peneliti dari Samsung Economic Research Institute menjelaskan bahwa fenomena ini memiliki dampak yang bertingkat (Lihat Bagan 1). Tahap pertama, ekspansi budaya Korea oleh media melalui drama, film, program acara, musik Kpop. Tahap kedua, terpesona oleh program TV, drama, film, dan K-pop, orang membeli produk yang berhubungan dengan budaya populer Korea, seperti soundtrack sebuah drama populer TV, liontin atau asesoris lainnya yang seorang aktris kenakan dalam sebuah drama TV, atau tiket untuk paket tour yang menawarkan turis pengalaman budaya populer Korea. Tahap ketiga, setelah orang sudah mulai berhubungan langsung dengan produk Korea, mereka akan memiliki impresion yang baru terhadap Korea. Hal ini menimbulkan mereka membeli barang Korea lainnya. Tahap keempat, perlu dicatat bahwa ekspor berbagai produk Korea meningkat pada saat yang sama bahwa Hallyu menyebar. Selain itu, jumlah wisatawan bepergian ke Korea untuk mengunjungi lokasi populer drama TV Korea juga meningkat. Kesimpulannya, pengaruh industri budaya Korea di luar negeri membuka pintu bagi industri Korea lainnya. Hal ini dimungkinkan dengan memungkinkan akses industri Korea lainnya lebih mudah untuk pasar luar negeri di mana berhasil menyelesaikan dua tahap perkembangan pertama Hallyu telah terjadi (GO, 2005) Bagan 1. Stage of the Korean Wave Spread
Sumber: GO, 2005
Korean Wave sekarang bukan lagi hanya sebagai tren tetapi sudah menjadi pola hidup dan mengubah cara berpikir masyarakat terhadap Korea. Pemerintah Korea menyadari hal tersebut dan melihat Korean Wave sebagai alat kebijakan untuk meningkatkan diplomasi kebudayaan kepada publik. Diplomasi kebudayaan disini didefinisikan sebagai praktek menggunakan sumber daya budaya untuk memfasilitasi pencapaian tujuan kebijakan luar 3 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014
negeri, dan hubungan budaya internasional sebagai praktek menggunakan sumber diplomatik untuk memfasilitasi pencapaian tujuan kebijakan budaya. (Kim & Ni, 2011: 141). Efek media massa melalui drama, film dan musik terbukti berhasil menarik turis untuk mengunjungi Korea dan akhirnya mendatangkan pemasukan besar bagi negara. Menurut The Jakarta Post, pendapatan Korea dari pariwisata mencapai US$ 4 juta pada tahun 2011 terus meningkat. Pendapatan dari ekspor ke Irak dan Arab Saudi pada tahun 2010 saja bernilai $ 10 miliar. Dalam beberapa negara ASEAN, rata perkembangan ekspor mencapai lebih dari 100%. Sedangkan ekspor Korea ke Indonesia sendiri mengalami peningkatan senilai $7.7 miliar, dari yang hanya $4.74 miliar pada tahun 2009. Secara tidak langsung hal ini juga meningkatkan image Korea itu sendiri. Dimana penyebaran pengaruh Korean Wave bukan hanya sebagai cara pertukaran budaya ataupun meningkatkan interaksi budaya, tetapi juga menjadi sarana untuk melegalkan ideologi Korea agar dapat diterima di dunia internasional. Dari sini Korea menjadi sebuah budaya global alternatif yang mampu merambah melalui drama TV dan dapat dikatakan berhasil menjadi saingan Hollywood dan Bollywood melalui tayangan tersebut. Melihat hal tersebut peneliti menjadi tertarik untuk melihat kebelakang history media di Korea dalam milestone perkembangan penggunaan media di Korea. Makalah ini berfokus, dalam upaya untuk mencari penyebab ekspor yang luar biasa sukses. Makalah ini juga akan membahas hubungan antara Korean Wave dengan kebijakan media yang digunakan oleh pemerintah Korea sehingga memberikan image Korea yang begitu melekat kepada negara lain. Makalah ini diharapkan mampu mengungkapkan formula yang digunakan oleh Hallyu di media serta aplikasi hal tersebut di dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan pembelajaran oleh negara – negara lain dalam membuat kebijakan dan memanfaatkan penggunaan media yang dimiliki.
II.
Tinjauan Teoritis Untuk membahas Hallyu tidak cukup hanya melihat dari satu kerangka teori saja,
karena fenomena ini merupakan hal yang kompleks yang bukan saja mengenai media, tetapi merambat kepada aspek – aspek lainnya seperti cara berpakain, teknologi, sampai pariwisatanya seperti yang telah dijelaskan pada latar belakang. Jika melihat fenomena tersebut, hal ini sama seperti imperialisme budaya yang sebelumnya dilakukan oleh AS. Teori imperialisme budaya menyatakan bahwa negara Barat mendominasi media di seluruh dunia. Negara dunia ketiga ingin meniru budaya yang dimuncullkan di media tersebut. Dalam 4 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014
perspektif teori ini, ketika terjadi peniruan media negara berkembang dari negara maju saat itulah terjadi penghancuran budaya asli negara tersebut. Menurut Schiller (1976) Imperialisme budaya adalah “The sum of processes by which a society is brought into the modern world system and how its dominating stratum is attracted, pressured, forced and sometimes bribed into shaping social institutions to correspond to, or even promote the values and structures of the dominating center of the system” (merupakan suatu proses dimana masyarakat dibawa kepada sistem dunia modern dan bagaimana ia menguasai seluruh lapisan, menekan, memaksa, dan terkadang masuk ke dalam lembaga sosial tersebut untuk mempromosikan nilai-nilai dan stuktur dari sistem pusat). Berdasarkan garis besar dari dalil Schiller (1976), ada beberapa konsep pokok dari imperialisme budaya, yaitu: 1. Sistem dunia modern. Merupakan konsep sederhana yang menunjukkan kapitalisme. 2. Masyarakat. Konsep sederhana yang menunjukkan beberapa negara atau masyarakat dalam batas geografi tertentu yang akan dikembangkan. 3. Sistem pusat yang mendominasi. Menunjukkan negara-negara maju atau dalam diskursus arus informasi internasional disebut sebagai negara pusat atau kekuatan barat. 4. Struktur dan nilai. Menunjukkan kebudayaan atau organisasi dari negara yang berkuasa ke Negara yang sedang berkembang Berawal melalui media televisi yang kita tonton sehari-sehari, tanpa perlu datang ke Korea, kita dapat mengetahui nama daerah disana, tempat-tempat wisata yang unik, makanan daerah, kebiasaan, bahasa, pakaian, dsb. Hal ini berarti, Korea melakukan imperialisme budaya melalui media lewat kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Korea untuk dalam maupun luar negeri. Imperialisme budaya berarti erat kaitannya dengan imperialisme media. Menurut Mc.Quail, Imperialisme media adalah cara khusus untuk mempersoalkan tentang imperialisme budaya. Pengaruh dari media seperti acara televisi, periklanan, komik dan lainnya terbukti akan menimbulkan efek pada budaya. “Imperialisme media adalah cara khusus untuk mempersoalkan tentang imperialisme budaya” yang dimaksud bukan hanya sebuah nama agar kita mempelajari media guna pembangunan negara atau untuk market internasional dalam komunikasi, tetapi didalamnya melibatkan berbagai isu-isu politik yang bersifat kompleks -termasuk juga komitmen politikyang mengarahkan kedalam pengertian dominasi budaya. Dari pemahaman dari imperialisme media, maka dapat disimpulkan isu yang menjadi fokus dari sisi adalah media dan 5 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014
hubungannya dengan bentuk dominasi yang ada dari struktur dan aspek-aspek institusional dari media global yang akhirnya menimbulkan dominasi politik dan ekonomi. Tidak dipungkiri lagi bahwa media menjadi pelaku utama dalam penyebaran budaya. Sebuah budaya media telah hadir dan memberikan simbol yang dapat membentuk citra Korea di mata negara lain. Seperti yang diungkapkan Keller dalam buku Budaya Media: “televisi, radio, film, dan berbagai produk lain dari industri budaya memberikan contoh tentang makna dari menjadi seorang pria atau wanita, dari kesuksesan atau kegagalan, berkuasa atau tidak. Budaya media juga memberikan bahan yang digunakan oleh banyak orang untuk membangun naluri terhadap kelas mereka, etnis dan ras, kebangsaan, seksualitas, tentang kita dan mereka. Budaya me'dia membentuk apa yang dianggap baik dan buruk, positif atau negatif, bermoral atau biadab” (Kellner, 2010:1). Budaya media memberikan citra, wacana, narasi, dan tontonan yang menghasilkan kesenangan, identitas, dan posisi subjek yang diapropriasi oleh orang-orang. Budaya media memberikan citra dari berbagai model yang pantas ataupun tidak pantas, perilaku gender, citra, dan gaya. Karena itu, budaya media memberikan sumber bagi identitas untuk mempengaruhi kita dalam menciptakan identitas baru, penampilan baru, gaya baru, dan citra baru. Budaya media membuat sebuah ketergantungan media dimana media menempati posisi primer dalam kehidupan manusia. Kellner (2010) mengatakan, masyarakat modern dibangun oleh konsumsi media yang ada, tontonan yang disajikan, digunakan oleh media sebagai sarana promosi, menggunakan berita ataupun iklan dan mendorong penjualan berbagai komoditas dan dapat digunakan untuk meningkatkan nilai tambah dari apa yang dipertontonkan. Sehingga dapat kita lihat, media massa telah menciptakan nilai-nilai bagi komoditas yang dipertontonkan (spectacle). Media Spectacle inilah yang nanti dapat menjelaskan bagaimana kehidupan dalam suatu masyarakat ataupun identitas masyarakat dapat dilihat melalui apa yang ditontonnya sama seperti apa yang dikatakan oleh James Curran dan Michael Gurevitch dalam bukunya Media and Society yang menjabarkan tentang tiga revolusi dalam komunikasi yaitu media adalah sangat besar pengaruhnya pada masyarakat, media merupakan cerminan dari keadaan masyarakat, dan media hadir sebagai refleksi dan efek permintaan masyarakat. Imperialisme budaya oleh media massa dilakukan secara sistematis dengan menjalin hubungan resiprokal antara media dan budaya dimana media massa mengeksploitasi mimpimimpi khalayak dan mengemasnya untuk kemudian menjualnya kembali kepada khalayak. Dalam melihat hal tersebut, Rokeach dan DeFleur (1975:264) menyarankan penggunaan
6 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014
suatu model untuk mengukur ketergantungan khalayak terhadap media yang dikenal dengan dependency model of mass communication effects yang dapat divisualisasikan sebagai berikut: Bagan 2. Reciprocal relationship Society, media, & audience:
Media System (Number and Centrality of Information Functions Varies
Societal System (Degree of Structural Stability Varies)
Audiences (Degree of Dependency on Media Information Varies)
Effects : (Cognitive, Affective, Behavioral)
Sumber: DeFleur dan Rokeach (1975:264.)
Model tersebut berasumsi bahwa sifat dan bentuk pengaruh media massa pada khalayaknya merupakan hasil interaksi tiga variabel yakni ketergantungan khalayak pada media, kondisi struktural masyarakat, dan kondisi atau sistem pelayanan media. Korean Wave yang mendominasi isi media massa dapat menimbulkan efek dalam arti diciptakan untuk diterima oleh khalayak khususnya remaja. Penerimaan sebagai efek berlangsung mulai dari level kognitif, afektif, dan behavioral atau berupa perubahan pengetahuan, perubahan perasaan atau sikap, dan perubahan perilaku (Rakhmat, 2001:215).
III.
Metode Penelitian Ditinjau dari jenis datanya pendekatan penelitian yang digunakan dalam paper ini
adalah pendekatan kualitatif. Penelitian ini juga bersifat deskriptif karena merupakan bentuk penelitian yang menggambarkan dan mempelajari suatu situasi kejadian. Peneliti menggambarkan apa yang diamati dan akhirnya menganalisa mengenai muatan-muatan apa saja yang membentuk aspek tersebut. Penelitian ini tergolong penelitian terapan (applied research). Penelitian terapan memberikan perhatian khusus pada satu hal Dalam sebuah 7 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014
penelitian, data memegang peranan yang sangat penting dalam keseluruhan proses yang dilakukan. Penulisan paper ini menggunakan studi dokumen mengenai fenomena Hallyu ini dalam mengumpulkan data. Studi dokumen tersebut berasal dari annual report, rancangan kebijakan, literatur yang dikeluarkan Kementrian Kebudayaan Korea Studi dokumen terdiri dari Ministry of Culture and Tourism Five Year Plan for Development for Cultural Industries (1999), White Paper On The Cultural Industries (2000a), Vision 21 for The Cultural Industries (2000b), Vision 21 for The Cultural Industries in a Digital Society (2001). The Korean Wave: A New Pop Culture Phenomenon, K-POP: A New Force in Pop Music, K-Drama: A New TV Genre with Global Appeal yang diterbitkan oleh Korean Culture and Information Service. Studi dokumen lainnya yang digunakan dalam paper ini adalah jurnal ilmiah, laporan riset dan tesis yang fokusnya membahas penyebaran Korean Wave di dunia, identitas budaya yang mereka tanamkan lewat penyebaran media, struktur industri medianya, serta peranan pemerintah dalam membuat kebijakan media di Korea Selatan. Jurnal Ilmiah yang digunakan diantaranya South Korean culture goes global: K-pop and the Korean Wave oleh Kim, E. M., & Ryoo, J. (2007), Cultural Identity and Cultural Policy in South Korea oleh Yim, Haksoon (2002), The Role of the Government in Cultural Industry: Some Observations From Korea‟s Experience oleh Kim, Milim (2001). Laporan riset dari Korean Film Commission Research Report “Analysis of the Korean Film Industry Structure” dan Shim Doboo “Waxing the Korean Wave” serta tesis dari GO Jungmin berjudul “Hanryu ui Jisok gwa Kiup ui Hwaldong” (2005) dapat memperkaya kelengkapan data dalam paper ini. Kajian dokumen merupakan sarana pembantu peneliti dalam mengumpulkan data atau informasi dengan cara membaca surat-surat, pengumuman, iktisar rapat, pernyataan tertulis kebijakan tertentu dan bahan-bahan tulisan lainnya. Data tersebut dianalisis dengan tetap mempertahankan keaslian teks yang memaknainya.
IV.
Analisis dan Pembahasan Trifecta dari fenomena Korean Wave ini tidak lepas dari hubungan segitiga antara
stuktur sosial yang ditetapkan oleh pemerintah melalui media dengan konten budaya. Imperialisme menggunakan industri budaya bebagai strategi seluruh aspek industri bukanlah terjadi begitu saja, ini terjadi karena adanya masalah dan isu-isu yang muncul sejalan dengan sejarah Korea Selatan itu sendiri. Masalah identitas budaya pertama muncul dari rasa diskontinuitas budaya antara budaya tradisional Korea dan budaya kontemporer, karena 8 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014
pengaruh penjajahan Jepang (1910-1945), perpecahan Korea (1945- sekarang), Perang Korea (1950-1953), modernisasi dan masuknya budaya barat. Hal ini menyebabkan masyarakat Korea mengalamai krisis identitas kebudayaan. Untuk mengatasi permasalahan, ada beberapa pendekatan kebijakan budaya yang dirancang oleh pemerintah pada isu-isu identitas kebudayaan tersebut, seperti: 1. Close or Open-door Policy Towards Japanese Culture Closed-door policy kepada kebudayaan Jepang (sebelum 1998) dilakukan untuk mengembalikan kembali kebudayaan Korea serta memberikan ruang kepada Korea mempelajari kolonialisme yang dilakukan oleh Jepang. Open-door policy (setelah 1998) Budaya Jepang diterima secara positif. Pemimpin Korea waktu itu melihat jika mempromosikan dan bertukar kebudayaan dengan negara lain (termasuk Jepang) merupakan hal yang baik dilakukan untuk mengembangkan kebudayaan nasional serta membantu globalisasi kebudayaan nasional sendiri 2. Cultural Policy for Anti-communism and Reunification Pada masa pemerintahan Kim DaeJung (1993-2003), Korea selatan membuat rancangan “sunshine policy” untuk Korea Utara. Hasilnya adalah adanya “6.15 Agreement between the South and the North” yang disepakati bersama pada 15 Juni 2000. Kesepakatan ini berisi tentang pertukaran dalam sektor sosial, budaya, dan ekonomi. Dari sini, project dan acara kesenian serta produksi film dari Korea Utara diperbolehkan untuk tayang di Korea Selatan, begitu pula sebaliknya. 3. Political Economy of Cultural Identity Policy Pada masa kekuasaan Park, pemerintah memutuskan jika industri korea adalah exportoriented. Mereka sadar jika keterpurukan yang terjadi karena perang Korea dan bantuan dari negara AS tidak membantu mereka untuk maju, yang terjadi justru sebaliknya, pada tahun 1961 pendapatan perkapita Korea Selatan masih dibawah $100. Oleh karena itu, jika terus menerus menerima dan mengkonsumsi keadaan akan tetap seperti ini, oleh karena itu Korea Selatan memutuskan untuk berorinterasi pada ekspor dengan strategi orang yang memiliki skilled dan unskilled dapat ikut berpartisipasi juga yaitu dengan budaya. Untuk itu persepsi terhadap budaya dan kesenian sebagai faktor yang dapat mempengaruhi pembangunan ekonomi tetap di maintain oleh pemerintah. 4. Cultural Identity and Cultural Globalization Karena teknologi informasi dan budaya globalisasi arus global meningkatnya komoditas budaya. Identitas budaya cenderung dimobilisasi sebagai perisai untuk 9 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014
melindungi industri budaya domestik dalam globalisasi budaya. Dengan mengatur distribusi produk budaya asing oleh sistem kuota di bidang bioskop dan penyiaran, pemerintah berusaha untuk mengurangi dampak negatif dari identitas globalisasi budaya Korea dan industri budaya dalam negeri. Untuk meminimalisasi dampak dari globalisasi budaya, Korea Selatan berdasarkan Departemen Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata, 2000b menerapkan sistem kuota seperti: a. Film bioskop harus menunjukkan film dalam negeri setidaknya 106 hari per tahun. b. Lebih dari 25% dari total jam siaran film ini seharusnya diisi dengan film-film dalam negeri. c. 30 sampai 50% dari total jam siaran animasi harus diisi dengan animasi dalam negeri d. Retribusi pajak menonton film untuk mendanai film dalam negeri lainnya. Dari pemaparan diatas dapat dilihat bahwa pemerintah sangat berperan dalam menentukan sistem sosial untuk masyarakat Korea dimana semua berbasis budaya yang diterapkan melalui media. Seperti yang telah dipaparkan pada kerangka teoritis pada model yang diajukan oleh Rokeach dan DeFleur, dimana sistem sosial dan sistem media akan mempengaruhi khalayak. Tabel 1. Payung Besar Struktur Sosial Sistem Media di Korea Selatan KOREA WAVE
STRATEGY
Bringing Policy to Public
MCST (Ministry of culture, sports and tourism)
Promotion Institute
KOFIC (Korean Film Council) KCC (Korea Communication Commission) KOCCA (Korea Creative Content Agency)
Concept
Culture Industry
Initiative
1998
Classification
Publishing, Film and video, Television & radio, Software & computing, Information service, Advertising, Architecture, Design , Photography , Social & industry, policy administration, Arts, antiques & crafts, leisure services
Sumber: Center for cultural policy research, 2003
Dikarenakan konten media dijadikan sebagai salah satu cara dalam mempromosikan kebudayaan kepada masyarakatnya dalam mengatasi isu tersebut, dan untuk menfasilitasi 10 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014
peraturan yang dikeluarkan tersebut, berdasarkan Ministry of Culture and Tourism (1999) halhal yang menyangkut permasalahan media (peraturan dan kebijakaan media yang ada) berada dibawah naungan Ministry Of Culture, Sports And Tourism. Hal ini merupakan hal yang unik, karena biasanya media memiliki kementerian sendiri yang menangani masalah tersebut. Di Korea permasalahan dan peraturan media justru masuk kedalam Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata. Hal ini dikarenakan Kementerian ini sebagai payung besar konsep budaya yang diusung oleh negara ini. Untuk pelaksanaan dan promosi barulah dibantu oleh lembaga secara bertahap dibentuk oleh kementerian ini (lihat tabel 2). Hal-hal menyangkut media yang berada dibawah naungan kementerian ini berdasarkan : http://www.mcst.go.kr diantaranya: 1. Cultural Content Industry menyangkut tentang film, animasi, musik, video, game, konten multimedia, karakter, komik, konten digital. Memperluas infrastruktur dasar untuk kategori tersebut, pelatihan profesional, pengembangan barang bernilai budaya, memperluas dukungan untuk proyek-proyek budaya Korea di luar negeri, dan kegiatan lainnya yang meningkatkan daya saing nasional. Bagan 3. Divisi Cultural Content Industry
2. Media Policy Bureau bertugas untuk membangun rencana pengembangan dalam meningkatkan budaya dan industri media dalam bidang publikasi, acara siaran, dan iklan dan melakukan penelitian dan pelatihan pada peningkatan distribusi media budaya, memperluas basis dukungan, dan membangun kembali hukum dan kebijakan. Bagan 4. Divisi Media Policy Bureau
3. PR Suppotr Bureau bertugas melakukan promosi lokal dan luar negeri. Meliputi kegiatan pemerintah dan laporan, dan mengorganisir briefing dan pengumuman pemerintah. 11 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014
Bagan 5 . Divisi PR Suppotr Bureau
Dua strategi besar yang digunakan oleh pemerintah Korea Selatan, mereka tidak hanya membuat regulasi yang ada tetapi juga mempromosikan dan menfasilitasi regulasi yang ada sehingga terjadi saling kesinambungan satu dengan yang lain. Berdasarkan Keio Communication Review No. 33 (Kim, Milim: 2001) regulasi dan promosi yang menjadi dua payung besar strategi mereka antara lain: Tabel 2. Kebijakan Media Korea Selatan REGULASI 1985 Importer yang menayangkan film di Korea Selatan harus membayar USD 800 ribu + USD 170 ribu per film 1996 Sistem screen quota tentang penayangan film dalam 1 tahun 2000 Pada saat krisis ekonomi, Korea menawarkan harga drama TV ¼ lebih murah dari dorama Jepang dan 1/10 lebih murah dari drama Taiwan dan Hongkong. 2008 memulai rancangan mengubah sistem media yang analog menjadi berbasis digital sekaligus mempermudah melakukan ekspansi ke negara lain Menyesuaikan tarif profit-sharing antara content provider dan network provider
Meningkatkan proteksi dalam hak kekayaan intelektual. Undang-undang mengenai anti pembajakan sangat ketat diterapkan oleh Korea contohnya aturan three-strike rule untuk pengunduhan ilegal, yang akhirnya membawa keuntungan besar bagi industri musik lokal.
PROMOSI 1999 Didirikan KOFIC (Korean Film Council) independent yang memanagement hasil dari pajak tontonan dan pajak film impor digunakan untuk membiayai film, drama, dan sekolah film bagi para Idol. 2008 Mendirikan KCC (Korea Communication Commission) untuk meningkatkan kualitas program, kualitas gambar analog ke digital 2009 Mendirikan KOCCA (Korea Creative Content Agency) mempromosikan seluruh konten di media massa. Mengadakan lebih dari 35 festival dalam satu tahun. Salah satunya adalah Hi Seoul Festival, yang mengundang 47 tim dari 11 negara, termasuk Indonesia. Menyediakan fanbase dan komunitas yang telah mengenal kebudayaan korea yang dilihat mereka melalui drama, film, ataupun musik, dsb Membuat tempat wisata dari drama dan film sehingga menarik negara lain untuk datang dan merasakan sendiri drama kesukaannya
Media promosi lain contohnya Membuat Buku ataupun kalender Korean Wave (baik dari segi musik, film, ataupun drama) yang menyelipkan juga budaya tradisional didalamnya sehingga orang tetap tertepa oleh budaya mereka.
12 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014
Strategi media yang pemerintah Korea lakukan berhasil menarik minat negara lain terhadap kebudayaan Korea. Terbukti dari penjualan drama dan film yang dari tahun 2000 setelah kebijakan mengenai tarif drama korea diberlakukan terlihat ekspor program TV Korea yang secara progresif meningkat dari tahun ke tahun sejak tahun 2000-an. Keuntungan yang didapat dari penjualan program TV saja pun dapat terbilang fantastis, dari US$ 13.111.000 pada tahun 2000 menjadi US$ 162.584.000 pada tahun 2007. Ini memperlihatkan semenjak strategi media tersebut diterapkan mengantarkan kepada fenomena ini (Lihat Grafik 1). Grafik 1. Development Broadcasting Industry in Korean
Sumber: Keio Communication Review no 33, 2011
Menurut The Jakarta Post, pendapatan negara Korea dari pariwisata mencapai US$ 4 juta pada tahun 2011 terus meningkat.Pendapatan dari ekspor ke Irak dan Arab Saudi pada tahun 2010 saja bernilai $ 10 miliar. Dalam beberapa negara ASEAN, rata perkembangan ekspor mencapai lebih dari 100%. Sedangkan ekspor Korea ke Indonesia sendiri mengalami peningkatan senilai $7.7 miliar, dari yang hanya $4.74 miliar pada tahun 2009. Kebijakan media dalam mengeskpor drama dengan memanfaatkan krisis ekonomi yang ada, menetapkan harga yang lebih murah dibandingkan negara lain, membawa penanaman budaya melalui media menjadi titik awal kultivasi kebudayaan Korea terhadap negara lain sampai akhirnya menjadi suatu Wave yang fenomenal dalam perkembangannya. Korea Selatan sendiri mempengaruhi khalayak agar menerima budaya negerinya masuk ke dalam negara lain agar menerima dan memanfaatkan budaya yang diterima sebagai bagian dari kehidupan melalui drama kemudian musik lalu film. Proses adaptasi budaya Korea Selatan dilakukan melalui film dan drama kemudian masuk musik. Setelah kita terima 13 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014
musiknya, entah musik soundtrack ataupun dari si penyanyi yang umumnya juga dikenal sebagai aktor, dan khalayak menyukai maka akhirnya membuat mereka mencari tahu sehingga mulai mengadopsi budaya Korea yang mereka konsumsi. Hal diatas sesuai dengan kerangka teoritis dimana aplikasi dari ketergantungan khalayak pada media, kondisi struktural masyarakat, dan kondisi atau sistem pelayanan media di Korea memberikan efek domino dari konten yang ditayangkan. Korean Wave yang mendominasi isi media massa dapat menimbulkan efek dalam arti diciptakan untuk diterima oleh khalayak khususnya remaja. Penerimaan sebagai efek berlangsung mulai dari level kognitif, afektif, dan behavioral atau berupa perubahan pengetahuan, perubahan perasaan atau sikap, dan perubahan perilaku. Bagan 6. Aplikasi Reciprocal relationship society, media, & audience pada Korean Wave
Seperti yang dijelaskan sebelumnya budaya media memberikan citra, wacana, narasi, dan tontonan yang menghasilkan kesenangan, identitas, dan posisi subjek yang diapropriasi oleh orang-orang. Tontonan yang disajikan, digunakan oleh media sebagai sarana promosi, menggunakan berita ataupun iklan dan mendorong penjualan berbagai komoditas dan dapat digunakan untuk meningkatkan nilai tambah dari apa yang dipertontonkan terbukti dari Drama dan film Korea memiliki andil yang sangat besar dalam mempopulerkan kuliner khas Korea. Jewel in The Palace memperkenalkan kuliner khas zaman kerajaan abad ke-16.
14 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014
Konten pada drama televisi tersebut berisi Pakaian adat Korea, adat istiadat, cara memasak serta kulinernya yang membangkitkan rasa ketertarikan masyarakat Untuk meng-enggange masyarkat tersebut dari tayangan drama itu, pemerintah Korea membuat theme park “Drama Tour” sehingga turis dapat seolah mengalami hidup di zaman itu dan merasakan sendiri kuliner asli bak raja Korea seperti yang ada di drama tersebut. Selain itu, Restoran Korea memperoleh popularitas besar di Hong Kong berkat serial ini. Setelah drama tersebut disiarkan ulang untuk keempat kalinya di Singapura, jumlah Restoran Korea disana meningkat sampai 10-60 buah. Begitu pula dengan makanan kasual Korea yang disajikan oleh berbagai restoran seperti yang selalu ditayangkan di serial Korea, Restoran Korea di Universitas Indonesia merupakan salah satunya yang tak asing lagi. Dengan semakin meningkatnya intensitas terpaan media terhadap konten Korean Wave maka definisi „cantik‟ bagi kita jadi tergeser, tidak lagi melulu harus berhidung mancung, mata besar dan berperawakan tinggi semampai dengan fullmakeup atau cantik ala Barat, tetapi cantik ala Korea dengan mata dan bibir mungil, tidak begitu tinggi dengan rambut kecokelatan dan makeup natural. Konsumsi terhadap pergeseran definisi cantik ini pun akhirnya berdampak pada banyaknya permintaan masyarakat terhadap produk makeup Korea agar dapat menyamai para artisnya. Apalagi brand makeup Korea memilih aktor dari drama yang ditayangkan di televisi sebagai brand ambassador untuk menarik fansnya agar membeli produk tersebut, seperti Lee Min Ho yang membintangi iklan Etude. Indonesia dapat dijadikan suatu contoh dari fenomena Korean Wave ini. Perusahaan kosmetik asal Korea, The Faceshop Indonesia, sengaja memanfaatkan momentum Hallyu untuk mempromosikan produk perawatan kulit. The Faceshop Indonesia juga menggelar ajang kreativitas bagi penyuka gaya rias wajah KPop. Pada tahun 2005, produk sampo Clear yang merupakan shampo anti ketombe mampu menempati posisi teratas di Indonesia yaitu sebesar 35%, kemudian disusul Pantene 20%, Sunsilk dengan 18 %, dan Natur diurutan kelima dengan 6%. Kesuksesan tersebut bukan tanpa usaha. Mereka menggunakan Rain, bintang Korea yang sedang bersinar untuk menjadi bintang iklannya. Rain menjadi idola di Indonesia, setelah kesuksesannya membintangi drama Korea berjudul Full House. Rain yang juga berprofesi sebagai penyanyi digambarkan mempunyai segudang aktivitas tetapi tetap menjaga kesehatan rambutnya agar tetap segar dengan menggunakan shampoo Clear. Dalam iklan juga diperkenalkan sosok dirinya dengan berkata “MY NAME IS RAIN”, untuk mengkonstruksi massa yang belum mengenal sosok selebritisnya Rain. 15 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014
Kesuksesan menggunakan bintang Korea juga menginspirasi produk lain untuk menggunakan biantang Korea sebagai model iklan di Indonesia. Iklan LG INFINIA Cinema3D TVyang sudah tayang di televisi swasta Indonesia menjadi daya tarik karena actor ganteng Won Bin sebagai model iklan. Dia adalah aktor dan model asal Korea Selatan dikenal lewat film “Taegukgi‟ yang merupakan salah satu film terlaris sepanjang masa di Korea Selatan. Setelah, Won Bin hadir dalam iklan televisi, selanjutnya giliran artis Korea Hyun Bin yang muncul dengan produk Samsung Smart TV. Hyun Bin yang lahir pada tanggal 25 September 1982, berprofesi sebagai aktor penyanyi. Sebelumnya Hyun Bin bermain dalam drama Korea yang sudah tayang di layar kaca Indonesia, berjudul “Secret Garden”. Masyarakat indonesia mulai banyak menggunakan produk-produk seperti gadget berkat iklan korea. Hal itu telah mempengaruhi dengan pola pikir yang dulu bahwa produk dari korea memiliki kualitas buruk dan sekarang berubah dengan kualitas barang yang bagus serta harga lebih murah. Industri-industri korea mulai bersaing dengan industri besar, salah satunya Apple lantara produk Galaxy Tab memiliki fitur yang hampir sama dengan Ipad. Pemaparan diatas dapat menjelaskan bagaimana dependency model of mass communication effects bekerja mulai dari sistem sosial dan media sampai ke tahap efek behavioral khalayak. Pemerintah Korea menggunakan media dan membangun infrastruktur dengan melatih anak-anak muda untuk dijadikan representasi Korea nantinya. Seperti mendirikan KOFIC yang didalamnya menghimpun dana untuk film-film lokal serta sekolah film dimana mereka merekrut anak-anak remaja dan dilatih selama 3- 4 tahun sampai akhirnya mereka siap untuk berakting sehingga kualitas akting baik dan efeknya adalah kita senang menonton korean drama. Begitupula yang terjadi untuk musik. Sekarang ini banyak penyanyi Korea yang masih muda dan terkenal diseluruh dunia sehingga meningkatkan popularitas negaranya. Mereka juga dilatih 3-4 tahun sampai akhirnya siap debut pada usia masih muda, dan yang tidak lolos masa training tidak akan di debut-kan menjadi artis. Anak-anak muda yang terpilih untuk menjadi artis di Korea adalah mereka yang telah mengalami masa training dan seleksi yang ketat, sehingga dapat dilihat bahwa pemerintah Korea sangat selektif dalam memilih orangorang yang akan menjadi representasi bagi negara mereka. Anak-anak Muda yang mewakili negara Korea di create citra dan identitas dirinya pada media yang nantinya menarik fans di negara lain. Memanfatkan euphroia fans anak muda yang mengangumi artis mereka, pemerintah pun membuat fanbase atau komunitas untuk meng-engage hubungan yang terbangun tadi, sehingga hubungan masyarakat di negara lain dengan idolanya tidak terlepas begitu saja. Hal ini juga akan menimbulkan impresi baru bagi image Korea dimana khalayak menjadi kagum akan hal tersebut. 16 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014
Penggunaan media massa oleh Korea tidak berhenti hanya sampai menggunakan media konvensional seperti Televisi yang dulu digunakan untuk mendistribusikan drama, film, dan musiknya. Pada Vision 21 for The Cultural Industries in a Digital Society (2001) penggunaan media beralih ke digital dimana society yang ada didalamnya juga tergabung dalam satu wilayah digital yang biasa disebut sebagai kampung global, sehingga banyak orang dapat mengakses tontonan tersebut. Contohnya saja pada Music Video Korea di Youtube yang diakses oleh berbagai negara (lihat grafik 2). Internet dan media sosial memegang andil besar dalam penyebaran Korean Wave ini dan akhirnya membawa fenomena ini ketingkatan yang baru. Teknologi yang semakin canggih diikuti oleh perkembangan YouTube, Facebook dan Twitter mendistribusikan Korean Wave secara lebih meluas. Tak heran masyarakat di Eropa misalnya, dapat menonton penampilan grup musik Korea dan mendengarkan lagunya walaupun album mereka tidak pernah dirilis maupun membuat konser disana. Internet merupakan media baru yang sangat berpengaruh di seluruh dunia. Para manajemen grup musik Korea memanfaatkan Facebook dan Twitter serta membuat channel di Youtube. Contohnya seperti yang dilakukan manajemen grup Girls Generation dan Big Bang di channel Youtube. Grafik 2. Youtube Hits for Korean Music Videos
Sumber: The Korean Wave – A New Pop Phenomenon, 22
17 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014
Website K-pop berbahasa Inggris terbesar, Allkpop.com, Soompi.com, dan PopSeoul.com mendapatkan traffic lebih besar daripada website portal musik lokal seperti M.net dan Melon. Allkpop.com mendapatkan hits 3 juta dan 70 juta page view/bulan. Pengunjung website 40% justru besar dari Amerika Serikat. Seiring dengan meningkatnya popularitas Korean Wave lewat internet, semakin banyak penggemar di YouTube yang meniru gaya tarian artisnya dan mengunggahnya ke YouTube (The Korean Wave – A New Pop Phenomenon, 2011:50). Sehingga dapat dilihat perkembangan penggunaan sistem media oleh Korean Wave sbb: Tabel 3. Development media system of Korean Wave
Initial distribution
Korean Wave 1.0 1995~2005 China, Taiwan, Japan and elsewhere in Asia Video contents, eg. drama, movie, music, ads, variety show (Product-oriented) What Is Love? Winter Sonata, Dae Jang Geum, My Sassy Girl, HOT, BoA Korean communities abroad
Main media Duration
Video, CD, local broadcasting From months to years eg. Winter Sonata
Direction
World to Korea (focus on tourism, products)
Period Distribution Contents
Examples
Korean Wave 2.0 2006~Present Asia, North America, Europe K-pop, teen idols (Star-oriented) Girls' Generation, KARA, SHINee, 2PM, Big Bang Online distribution (eg. YouTube, fanbase) Internet, local performances Years eg. Girls' Generation Overseas debuts and concerts
Sumber: http://webzine.kofice.or.kr/
V.
Kesimpulan Fenomena Hallyu telah fundamental mengubah persepsi dan citra nasional secara
keseluruhan Korea Selatan. Awalnya, ini hanyalah sebuah fenomena budaya pada wilayah tertentu, namun pertumbuhan dan dampak yang jauh melebihi harapan dengan mempengaruhi seluruh Asia bahkan sampai Midlle East dan sekarang merambah ke Amerika. Hari ini, Korea ini bisa dibilang salah satu kisah sukses nasional terbesar abad ke-20. Makalah ini menunjukkan bahwa fenomena Hallyu terutama serial televisi Korea mencerminkan masyarakat dan budaya Korea, mungkin tidak mengungkapkan realitas Korea melainkan fantasi dan cita-cita yang diciptakan melalui media televisi yang merambah keseluruh aspek dalam melihat Korea secara utuh.
18 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014
Hal tersebut membuktikan aplikasi dari ketergantungan khalayak pada media, kondisi struktural masyarakat, dan kondisi atau sistem pelayanan media di Korea memberikan efek domino dari konten yang ditayangkan. Korean Wave yang mendominasi isi media massa dapat menimbulkan efek dalam arti diciptakan untuk diterima oleh khalayak khususnya remaja. Penerimaan sebagai efek berlangsung mulai dari level kognitif, afektif, dan behavioral atau berupa perubahan pengetahuan, perubahan perasaan atau sikap, dan perubahan perilaku. Kekuatan media inilah yang dimanfaatkan oleh pemerintah Korea menggunakan kebijakan untuk mempengaruhi sistem sosial sekaligus sistem media, sehingga secara tidak langsung hal ini juga meningkatkan image Korea itu sendiri. Dimana penyebaran pengaruh Korean Wave bukan hanya sebagai cara pertukaran budaya ataupun meningkatkan interaksi budaya, tetapi juga menjadi sarana untuk melegalkan ideologi Korea agar dapat diterima di dunia internasional. Hal ini menimbulkan efek penerimaan kepada komoditi budaya Korea seperti sekarang ini. Keberlangsungan Korean Wave sendiri hanya akan bertahan apabila para produsernya menyadari pentingnya membangun hubungan resiprokal yang positif antara sistem sosial dan sistem media seperti yang dilakukan oleh Korea. Dari pembahasan diatas, diharapkan dapat membantu negara – negara lain dalam menyadari nilai dari kebudayaan dan perencanaan yang strategis serta payung besar yang jelas dalam menentukan kebijakan dan pemanfaatan bmedia massa melalui tayangan – tayangan yang terselip nilai budaya.
REFERENSI Books: Curran, James and David Morley. (2006). Media and Culture Theory. New York: Routledge. Curran, James and Michael Gurevitch. (2005). Mass Media and Society (4th ed). USA: Bloomsbury. DeFleur M., and Ball-Rokeach, S. (1975). Theories of mass communication (3rd ed.). New York: David McKay Company, Inc. Kellner, Douglas. (2010). Media Culture: Cultural Studies, Identity, and Politics between the Modern and Post Modern. London: Routledge. McQuail, Dennis. (2005). McQuail Mass Communication Theory, Fifth Edition. London: SAGE Publication. Rakhmat, Jalalludin. (2001) : Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rodsa Karya Schiller, H.I. (1976). Communication and Cultural Domination. New York: International Arts and Sciences Press. E-books: Center for cultural policy research. (2003). Baseline study on HongKong creative industries: for the central policy unit. HongKong: HK special administerative region government. Korean Culture and Information Service. (2011). Korean Culture no 2 “K-POP: A New Force in Pop Music. Republic of Korea: Korean Culture and Information Service Ministry of Culture, Sports and Tourism. Korean Culture and Information Service. (2011). The-Korean-Wave-A-New-Pop-Culture-Phenomenon. Republic of Korea: Korean Culture and Information Service Ministry of Culture, Sports and Tourism.
19 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014
Park, Ji Yeon. (2001). Film Policy in Park Chung Hee’s Modernization System: Revision of the Motion Picture Law and Industrialization Policy. pp. 171-212 in Yu Shin Chu (ed.) Korean Film and Modernity. Seoul: Sodo. Thesis, Dissertation GO Jungmin. (2005). Hanryu ui Jisok gwa Kiup ui Hwaldong. Korea: Samsung Gyonje Yonguso P, Potipan and Nantaphorn Worrawutteerakul. (2010). A study of the Korean wave in order to be a lesson to Thailand for establishing a Thai Wave. Sweden: Malardalen University Research Reports: Korean Film Commission Research Report. (2002). Analysis of the Korean Film Industry Structure. Seoul: Korean Film Commission Shim, Doboo. (2001). Waxing the Korean Wave. ARI Working Paper no.158. Singapore: Asia Research Institute. Online Journal: Kim, E. M., & Ryoo, J. (2007). South Korean culture goes global: K-pop and the Korean Wave. Journal of Korean Social Science, XXXIV No. 1(2007): 117 ‑ 152. Accesed on November 12, 2013 from http://kossrec.org/board/imgfile/KSSJ%20Vol.34.no.1(Eun%20Mee%20Kim&Jiwon%20Ryoo)).pdf Kim, Milim. (2001). The Role of the Government in Cultural Industry: Some Observations From Korea‟s Experience. Keio Communication Review No. 33. Accesed on November 12, 2013 from http://www.mediacom.keio.ac.jp/publication/pdf2011/10KIM.pdf Yim, Haksoon. (2002). Cultural Identity and Cultural Policy in South Korea. International Journal of Cultural Policy 8(1): 37-48. Accesed on November 12, 2013 from http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/apcity/unpan015674.pdf Documents: Ministry of Culture and Tourism. (1999). Five Year Plan for Development for Cultural Industries. Republic of Korea: MCST. Ministry of Culture and Tourism. (2000a). White Paper On The Cultural Industries. Republic of Korea: MCST. Ministry of Culture and Tourism. (2000b). Vision 21 for The Cultural Industries. Republic of Korea: MCST. Ministry of Culture and Tourism. (2001). Vision 21 for The Cultural Industries in a Digital Society. Republic of Korea: MCST. Online articles Anjaiah, V. (2011). Korean Culture Spreads Across Globe. The Jakarta Post. Accesed on November 12, 2013 from http://www.thejakartapost.com/news/2011/07/18/korean-culture-spreads-across-globe.html Kim, Sang-Hoon. (2011). Marketing Strategies for Hallyu 3.0. KOFIC. Accesed on November 12, 2013 from http://webzine.kofice.or.kr/201201/eng/sub_01_01.asp
20 Trifecta of Korean ..., Judika Margaretha, FISIP UI, 2014