TRANSFORMASI MODEL PENGEMBANGAN VANILI (Vanilla planifolia A.) SEBAGAI KOMODITAS AGRIBISNIS UNGGULAN MENUJU PENGUASAAN PASAR DUNIA SECARA BERKELANJUTAN (Studi Literatur di Indonesia)
KARYA ILMIAH
Disusun Oleh: IWAN SETIAWAN, SP., MS NIP. 132 206 502
JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2004
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Tanaman vanili (Vanilla planifolia Andrews atau Vanilla fragrans), bukanlah
tanaman asli Indonesia. Secara historis, tanaman tahunan ini baru masuk ke Indonesia pada tahun 1819. Namun demikian, tanaman vanili tumbuh lebih subur dan lebih produktif di Indonesia yang beriklim tropis, dibandingkan dengan negara asalnya (Mexico) dan negara produsen vanili ainnya. l Bahkan, menurut Suwandi dan Sudibyanto (2004), kualitas vanili Indonesia yang dikenal dengan “Java Vanili” masih yang terbaik di Dunia. Hal ini didasarkan atas kadar vanilinnya yang cukup tinggi, yakni sekitar 2,75 persen. Kadar tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar vanili Madagaskar yang hanya 1,91-1,98 persen, Tahiti 1,55-2,02 persen, Mexico 1,891,98 persen, dan Sri Lanka 1,48 persen. Di tinjau dari perspektif spasial dan bisnis, maka Indonesia unggul secara komparatif dibanding negara-negara produsen vanili lainnya di dunia. Secara umum, vanili bernilai ekonomis tinggi dan fluktuasi harganya relatif stabil jika dibandingkan
dengan
tanaman
perkebunan
lainnya. Namun pada
kenyataannya ironi, meskipun kualitas vanili Indonesia menduduki posisi paling tinggi di Dunia, tetapi secara kuantitas Indonesia baru bisa memasok sekitar 10 persen dari total kebutuhan pasar dunia (Badan Pengembangan Ekspor Nasional, 1995). Meskipun posisinya menduduki urutan ketiga di dunia, namun angka pasokan tersebut masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Madagaskar yang mampu memasok sekitar 70 persen pasar dunia dan Comoro Island sekitar 12 persen. Kecenderungannya,
1
dalam 13 tahun terakhir (1990-2003), volume dan nilai ekspor vanili Indonesia pun berada pada kondisi yang tidak stabil, bahkan mengarah pada penurunan yang cukup signifikan (Tabel 1). Kondisi tersebut jelas berbeda dengan perkembangan volume dan nilai ekspor vanili pada era 1980-1990 yang cenderung terus menunjukkan peningkatan. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan merebaknya serangan hama penyakit di sentra-sentra produksi vanili di Indonesia. Kecenderungan penurunan volume dan nilai ekspor vanili Indonesia pada periode 1990-2003 sebagaimana terlihat pada Tabel 1, jelas menarik untuk dicermati dan dikaji, karena terjadi dalam sistem pembangunan pertanian yang berpijak pada paradigma agribisnis. Secara teoretis maupun praktis, agribisnis sendiri merupakan alternatif pendekatan pembangunan pertanian mutakhir yang diyakini oleh para penganutnya (terutama ekonom dan teknolog), akan mampu membawa sektor pertanian negara manapun menjadi lebih modern, bernilai ekonomis, dan berdaya saing tinggi. Tetapi menariknya, kenapa dalam satu dasa warsa implementasi kebijakan agribisnis tersebut, vanili Indonesia yang unggul secara komparatif maupun kompetitif, sedikit sekali kontribusinya (10%) terhadap pasar vanili dunia, produktivitasnya tetap rendah, dan begitu juga nilai ekspornya. Padahal, secara makro permintaan atas vanili dari negara-negara konsumen cenderung terus meningkat (Tabel 2), seiring dengan meningkatnya penggunaan vanili oleh industri makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika, parfum, rokok, bahan kimia (campuran mesiu), tekstil, dan sebagainya. Disamping itu, secara kuantitas permintaan atas vanili, diduga akan pula datang dari negara-negara produsen baru, baik dari negara-negara yang berada di Benua Asia, Eropa, maupun Amerika Serikat. Pertanyaannya, adakah sesuatu yang salah dalam sistem dan model pengembangan pervanilian yang diterapkan di Indonesia selama ini?
2
Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Vanili Indonesia, Pada Kurun 20 Tahun Terakhir (1990-2000). Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991
Volume (ton) 77 138 115 234 154 175 298 411 507 677 607 666
Nilai (.000 US$) 1.344 2.110 2.357 6.728 6.387 8.469 10.713 11.481 9.810 14.007 16.366 18.805
Tahun 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Volume (ton) 763 720 629 632 539 507 729 339 350 533 898 697*
Nilai (.000 US$) 22.680 20.976 22.494 17.452 12.726 9.145 8.764 5.497 8.503 6.916** 11.653** 9.044**
(Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia, 2002. *) Asumsi Penurunan 34 % Menurut FAO (2004). **) Asumsi Harga Rata-Rata (Rp.12.977.400,-/ Kg) di Tingkat Lokal Menurut FAO (2004)
Tabel 2. Tingkat Permintaan Vanili Menurut Negara-Negara Importir Vanili Dunia dalam Periode 1994-2002. No
Negara
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
AS China Singapura Jepang Austria Prancis Jerman Belanda Switzerland Inggris Australia
1994 1.245 1 17 84 5 322 344 42 43 49 22
1995 1.481 1 28 80 5 435 337 41 42 62 20
Tingkat Permintaan Vanili (Ton) 1996 1997 1998 1999 2000 1.524 2.198 1.941 1.361 1.305 0 1 0 0 2 4 18 11 67 75 96 69 91 116 88 43 65 76 70 90 407 464 490 564 493 285 329 326 327 311 91 114 162 105 240 53 51 55 67 54 79 174 283 441 298 23 15 12 18 19
2001 1.470 19 185 84 106 414 197 238 37 365 12
2002 1.117 177 101 450 195 139 50 218 23
(Sumber: FAO, 2004).
Secara kuantitatif, telah banyak strategi dan kebijakan pengembangan vanili yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Namun pada kenyataannya, setiap strategi lebih terfokus pada aspek perluasan luas lahan, teknik budidaya, dan penyediaan sarana produksi. Sementara, masalah kelembagaan (rantai supply), manajemen usaha, teknologi penanganan pasca panen, dan teknologi pengolahan, yang menurut White dan Sinaga (1990), sangat vital untuk dikedepankan di negara-negara yang sistem
3
pertaniannya berbasis rakyat, kurang diperhatikan. Data BPS (1999), menunjukkan bahwa 98.94 persen dari total luas lahan vanili di Indonesia merupakan perkebunan rakyat, 1.05 persen perkebunan besar swasta, dan 0.01 persen perkebunan besar negara. Sebagian besar dikelola secara tradisional dan tercecer pada luas lahan yang sempit (kurang dari 0.5 ha). Akibatnya, meski luas lahan vanili Indonesia terus meningkat (Tabel 3), namun produksi dan produktivitasnya tetap tidak mampu menggeser Madagaskar. Pada Tabel 2, terlihat bahwa permintaan dari beberapa negara maju (seperti: Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Jepang, dan Inggris), mengalami penurunan yang cukup signifikan pada lima tahun terakhir. Menurut FAO (2004), penurunan tersebut lebih disebabkan oleh meningkatnya pasokan vanili sintetis dari Amerika Serikat. Namun demikian, permintaan akan vanili dunia akan kembali menguat seiring dengan meningkatnya trend gaya hidup sehat yang alami (back to nature). Kecenderungannya, trend gaya hidup tersebut berkembang pesat di negara-negara maju yang selama ini tercatat sebagai importir vanili dunia. Secara makro, peluang pasar vanili Indonesia sendiri akan semakin meningkat seiring dengan beralihnya perhatian konsumen dunia ke Indonesia dalam tiga hingga lima tahun kedepan. Hal ini terjadi karena Madagaskar yang selama ini menjadi pusat vanili dunia, produksinya sedang mengalami penurunan yang signifikan, pasca terjadinya serangan jamur fusarium batatis dan badai. Menurut Simanjuntak (2004), permintaan dunia atas vanili (terutama jenis planifolia andrew) Indonesia, pada tahun 2004 ini mencapai 6.500.000 ton. Namun pada kenyataannya, Indonesia baru mampu memenuhi sekitar 650.000 – 1.000.000 ton atau sekitar 10% dari total permintaan dunia. Jumlah tersebut merupakan kumulatif dari seluruh sentra produksi vanili di Indonesia,
4
seperti dari Sulawesi, Nusa Tenggara, Bali, Jawa, Sumatera, Maluku, dan Irian Jaya. Padahal menurut BPS (1998), luas areal vanili Indonesia tumbuh sebesar 5,0 persen setiap tahunnya. Ironinya, permintaan pasar dalam negeri sendiri masih belum tertutupi hingga kini. Kecenderungannya, peluang pasar dalam negeri (terutama dalam bentuk vanili olahan) tersebut kurang diperhatikan, akibatnya dimanfaatkan oleh para importir. Celakanya, vanili yang masuk ke pasar Indonesia sebagian besar berupa vanili sintetis dan hasil olahan vanili yang mungkin bahan bakunya berasal dari Indonesia. Secara kuantitatif, impor vanili ke Indonesia ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut FAO (2004), pada periode 1999-2002 telah masuk vanili ke Indonesia sekitar 437 ton. Setiap tahunnya, rata-rata masuk sekitar 24 ton, dan meningkat menjadi 59 ton, 176 ton, dan 178 ton. Secara nasional, kecilnya pasokan vanili Indonesia ke pasar dunia lebih disebabkan oleh rendahnya produktivitas tanaman vanili per tahun (Tabel 3), dimana rata-rata hanya sebesar 0.861 ton/ha. Sedangkan menurut BPS (1998), selama kurun waktu 1980-1999 produktivitas rata-rata per tahun hanya 139.6 kg/ha, dengan tingkat produktivitas tertinggi sekitar 240.21 kg/ha. Sementara produktivitas rata-rata vanili di Madagaskar, sudah mencapai angka 2.516 ton/ha (FAO, 1994). Menurut FAO (1994), rendahnya produktivitas vanili di Indonesia disebabkan oleh besarnya pengaruh musim, sehingga tanaman vanili tidak dapat berbuah sepanjang tahun. Kecenderungannya, hampir di seluruh Indonesia vanili berbuah dalam waktu yang hampir bersamaan. Akibatnya, pasokan ke pasar pun bersifat musiman. Keadaan tersebut terus berulang dari tahun ke tahun, karena tidak diimbangi dengan rekayasa wilayah, rekayasa teknologi, dan inovasi didalam budidaya dan penanganan hasil.
5
Tabel 3. Luas Lahan, Jumlah Produksi, dan Produktivitas Vanili di Indonesia dalam Periode 1994-2003. No
Tahun
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Luas Lahan (Ha) 2.313 2.458 2.261 2.169 1.961 2.308 2.128 2.574 3.068 2.577
Produksi (Ton) 1.770 1.958 2.051 2.054 1.900 1.800 1.681 2.198 2.731 2.375
Produktivitas (Ton/Ha) 0.765 0.796 0.907 0.947 0.969 0.780 0.780 0.854 0.890 0.922
(Sumber: FAO, 2004).
Tingginya tingkat permintaan pasar dunia dan pasar dalam negeri atas vanili dan produk olahan vanili, tingginya kualitas vanili, rendahnya produktivitas vanili, lemahnya manajemen pengelolaan usahatani vanili, lemahnya rekayasa teknologi budidaya, dan lemahnya teknologi penanganan pasca penen (dan atau agroindustri) vanili di Indonesia, hendaknya kita dudukkan sebagai kekuatan dan peluang yang harus dimanfaatkan secara optimal sebagai pijakan bagi Indonesia untuk menguasai pasar dunia secara berkelanjutan. Hal ini sangat memungkinkan untuk dilakukan dan diwujudkan oleh Indonesia yang sudah unggul secara komparatif maupun kompetitif. Pertanyaannya, apa yang perlu dilakukan atas pervanilian Indonesia agar mampu memaksimalkan potensi pasar domestik dan pasar dunia secara berkelanjutan? Alternatif solusi yang kami tawarkan dalam karya tulis ilmiah ini adalah perlunya dilakukan transformasi model pengembangan vanili kearah penguasaan pasar domestik dan pasar dunia secara berkelanjutan. Untuk merumuskan model atau strategi pengembangan vanili yang mumpuni, maka penting terlebih dahulu mengungkap keragaan pengembangan pervanilian di Indonesia saat ini, baik menyangkut masalah sosial budaya (petani dan pelaku lainnya), 6
ekonomi (harga, mutu, pemasaran, dan rantai supply), teknologi (budidaya, panen, penanganan pasca panen, dan agroindustrinya), ekologis (iklim, tanah, hama penyakit, dan keamanan), kelembagaan (regulasi, proteksi, manajemen pengelolaan usaha), maupun politik pertanian yang terkait dengan pervanilian. Mengingat rendahnya daya pasok Indonesia atas pasar vanili dunia dan domestik sangat terkait dengan faktor internal dan faktor eksternal, maka penting pula untuk
mengungkap kedua faktor
tersebut. Kedua faktor tersebut pada akhirnya akan pula menjadi input bagi perumusan strategi pengembangan vanili di Indonesia.
1.2.
Perumusan Masalah Bertitik tolak dari fakta-fakta dan data-data di atas, serta dengan melihat peluang
dan ancaman dari kecenderungan perubahan-perubahan pada berbagai aspek dan konteks globalisasi, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana kergaan pengembangan pervanilian di negara yang dikatakan sangat potensial bagi pengembangan vanili ini?
2.
Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan rendahnya daya pasok Indonesia atas permintaan vanili dunia?
3.
Bagaimana
strategi
pengembangan
vanili
yang dipandang
mampu
memaksimalkan peluang pasar domestik dan dunia secara berkelanjutan?
1.3.
Tujuan Penulisan Berkaitan dengan permasalahan di atas, secara umum karya tulis ini bertujuan
untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang model pengembangan pervanilian di Indoensia menuju penguasaan pasar domestik dan pasar dunia secara berkelanjutan,
7
yang memungkinkan petani akan semakin berdaya secara sosial, ekonomi, teknis (fisik), dan kelembagaan, serta sinergi dengan pihak-pihak terkait lainnya. Sedangkan tujuan khusunya adalah: 1.
Mengetahui kergaan pengembangan pervanilian di negara yang dikatakan sangat potensial bagi pengembangan vanili ini.
2.
Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya daya pasok Indonesia atas permintaan vanili dunia.
3.
Merumuskan strategi pengembangan vanili yang mampu memaksimalkan peluang pasar domestik dan dunia secara berkelanjutan.
1.4.
Manfaat Tulisan Manfaat atau kegunaan tulisan ini dapat dilihat secara teoretis maupun secara
praktis: 1.
Secara teoretis, tulisan ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dan sumbangan ilmiah bagi penulisan atau penelitian lebih lanjut mengenai pengembangan pervanilian di Indonesia maupun di daerah-daerah otonom, sesuai dengan karakteristik lokasinya.
2.
Secara praktis, tulisan ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dan informasi ilmiah bagi semua pihak yang terlibat dengan kegiatan LKTI (terutama temanteman mahasiswa). Lebih jauh, diharapkan dapat menjadi informasi bagi para perumus kebijakan dan pelaku pervanilian lainnya.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1.1.
Definisi dan Deskripsi Agribisnis Pembahasan mengenai keragaan pengembangan pervanilian di Indonesia akan
didekati dengan menggunakan pendekatan konsep agribisnis. Agribisnis sendiri didefinisikan oleh Davis dan Goldberg (1957) sebagai: The sum total of all operations involved in the manufacture and distribution of farm supplies; producion operations on the farm; amd the storage, processing, and distribution of farm commodities and items made for them. Berdasarkan pada definisi tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa agribisnis merupakan pendekatan pembangunan yang bersifat sistemik. Sebagai suatu sistem, agribisnis memiliki cakupan yang lebih luas. Menurut Saragih (2000), agribisnis sebagai sistem meliputi empat subsistem, yaitu: 1) Subsistem agribisnis hulu (upstream agribusiness) yang merupakan kegiatan ekonomi yang menyediakan sarana produksi bagi pertanian, seperti industri dan perdagangan agrokimia (pupuk,pestisida), industri agro-otomotif (mesin dan peralatan), dan industri benih/bibit; 2) Subsistem usahatani (on-farm agribusiness) yang merupakan kegiatan ekonomi yang menggunakan sarana produksi yang dihasilkan oleh agribisnis hulu untuk menghasilkan produk pertanian primer. Termasuk kedalam usahatani ini adalah usaha tanaman pangan, usaha tanaman hortikultura, usaha tanaman obat-obatan, usaha perkebunan, usaha perikanan, dan usaha kehutanan; 3) Subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness) yang berupa kegiatan ekonomi yang mengolah produk pertanian primer menjadi produk olahan, baik produk antara maupun produk akhir, beserta kegiatan perdagangan di pasar domestik
9
maupun di pasar internasional; dan 4) Subsistem penunjang (supporting system) yang mencakup seluruh kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis, seperti lembaga keuangan, lembaga penelitian, dan lembaga pemerintah. Sebagai suatu proses atau aktivitas yang dijalankan oleh manusia sebagai mahluk sosial, maka pervanilian pun tidak akan lepas dan melepaskan diri dari relasi dengan berbagai pihak, apalagi dalam konteks globalisasi seperti sekarang ini. Oleh karena itu, pervanilian pun sudah pasti akan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang datang dari lingkungan internal Indonesia, maupun dari lingkungan strategis internasional yang terikat dengan peraturan global dan skema perdagangan bebas.
2.2.
Definisi dan Deskripsi Faktor Internal dan Faktor Eksternal Faktor internal didefinisikan sebagai faktor-faktor yang bersumber dari dalam
individu, badan hukum, atau negara, yang mempengaruhi aktivitas sosial, ekonomi, fisik, kelembagaan, dan politis. Faktor internal tersebut dapat berupa
karakteristik
sosial budaya, karakteristik ekonomi, karakteristik fisik, karakteristik kelembagaan, karakteristik politik, karakteristik teknologi, karakteristik sumberdaya manusia, dan karakteristik sumberdaya alam. Menutur Nelly (1988), dan Sugiyanto (1996), karakteristik internal adalah ciri-ciri atau sifat-sifat yang dimiliki oleh individu, institusi, atau negara. Ia seringkali digunakan untuk membedakan seseorang, insitusi, atau negara dengan yang lainnya. Svaslatoga (1989), menegaskan bahwa perbedaan bersifat universal dan bervariasi derajatnya, sehingga tugas teoretis yang penting adalah menganalisis perbedaan tersebut. Menurutnya, perbedaan tersebut jangan hanya dilirik sebagai takdir Tuhan semata, tetapi harus dinilai sebagai fakta. Faktor internal yang dimaksud dalam tulisan ini adalah faktor-faktor di dalam negeri yang mempengaruhi
10
pervanilian Indonesia, faktor sosial budaya, faktor ekonomi, faktor teknis (fisik), faktor kelembagaan, faktor ekologi, faktor politis, dan faktor teknologi (Rangkuti, 1999). Sedangkan faktor eksternal didefinisikan sebagai faktor-faktor yang datang dari luar atau lingkungan strategis yang mempengaruhi kondisi dan aktivitas sosial budaya, ekonomi, teknis, kelembagaan, sumberdaya alam, dan sumberdaya manusia suatu institusi, atau negara. Faktor eksternal yang dimaksud dalam tulisan ini adalah faktorfaktor yang datang dari luar yang mempengaruhi pervanilian Indonesia, baik faktor negara pesaing, faktor politis internasional, permintaan pasar dunia, faktor negara importir, dan sebagainya (Umar, 2001). Faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi pervanilian di Indonesia maupun di Dunia, semakin hari semakin kompleks dan dinamis. Kondisi tersebut tidak mungkin cukup dikekati, diantisipasi, dan diselesaikan dengan pendekatan-pendekatan yang konvensional. Untuk mengimbangi laju perubahan yang terjadi di lingkungan internal dan lingkungan strategis global, maka kita harus senantiasa mengembangkan strategi-strategi yang mumpuni untuk memanfaatkan semaksimal mungkin peluang dan kekuatan, serta meminimalkan ancaman dan kelemahan. Langkah-langkah strategis tersebut pun mendesak dilakukan dalam pervanilian Indonesia. Untuk tiu, transformasi atas model, pola, dan strategi pengembangan
pervanilian
Indonesia,
merupakan
hal
yang
mendesak untuk
diimplementasikan.
3.3.
Definisi dan Deskripsi Transformasi Transformasi didefinisikan Sukanto (1993) dan Reading (1977), sebagai
perubahan atau pergantian bentuk, pola, atau model. Model sendiri didefinisikan oleh
11
Reading
(1977),
sebagai
suatu
hubungan
keter kaitan
antara
variabel
yang
disederhanakan. Model yang dimaskud dalam tulisan ini adalah suatu model yang menyangkut perubahan (dynacic model) dan peramalan terhadap masa depan suatu sistem (deterministic model). Dalam tulisan ini, konsep transformasi diartikan sebagai perubahan atau pergeseran pola dan strategi, yaitu pola dan modal pengembangan vanili yang semula lebih menekankan pada aspek perluasan areal tanam dan teknologi budidaya semata (parsial), bergeser ke pola dan strategi pengembangan vanili yang menekankan pada aspek manajemen usaha, rekayasa teknologi budidaya, penguatan kelembagaan, dan optimalisasi penanganan pasca panen atau agroindustri. Pola atau model pengembangan vanili yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia sekarang ini, masih mengacu kepada program Pelita IV, yaitu (Anon, 1995): 1) Pola pengembangan masih tetap menggunakan pendekatan perkebunan besar swasta; 2) Sistem pengembangan adalah agribisnis “secara utuh setempat” dimana subsistem produksi, pengolahan, dan pemasaran berada di lokasi; 3) Dikembangkan hubungan kemitraan dalam usahatani antara petani dengan pengusaha; 4) Optimalisasi pemakaian lahan sehingga pendapatan petani meningkat. Dalam hal ini tanaman pelindung pada budidaya kopi, kakau, teh, vanili, dan penutup tanah (Leguminose Cover Crops) diganti dengan jenis tanaman produktif yang selain tetap berfungsi sebagai tanaman pelindung atau penutup tanah, juga mempunyai nilai ekonomi; 5) Pengembangan suatu komoditas harus memperhatikan pasarnya (market oriented); 6) Pengendalian hama penyakit menggunakan sistem pengendalian hama terpadu (PHT); dan 7) Pembinaan petani diarahkan untuk mempertangguh KUD dan Kelompok Tani.
12
4.4.
Definisi dan Deskripsi Strategi Pengembangan Ditinjau dari latar belakang munculnya teori strategi, Nickols (2000)
mengatakan bahwa: Concept of strategy has been borrowed from the military and adapted for use in business (or others context). A review of what noted writers about business (or others context) strategy have to say suggests that adopting the concept was easy because the adaptation required has been modest. In business (or others context), as in the military, strategy bridges the gap between policy and tactics. Together, strategy and tactics bridge the gap between ends and means. Strategi pada hakekatnya adalah perencanaan (palanning) dan manajemen (management) untuk mencapai suatu tujuan. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, strategi tidak berfungsi sebagai peta jalan yang hanya menunjukkan arah saja, tetapi harus pula menunjukkan bagaimana taktik operasionalnya (Effendy, 1986). Secara sederhana, van den Ban dan Hawkins (1992) mendefinisikan strategi sebagai suatu cara untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dengan jelas melalui gabungan banyak sarana dalam jangka waktu tertentu. Dengan mengantisipasi, dicoba diramalkan lawan-lawan, diri sendiri dan atau yang dapat dilakukan dari alam. Namun demikian, Hamel dan Prahalad
(1995) dalam Umar (2001)
mengingatkan bahwa strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus menerus, serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh stakeholders di masa depan. Dengan demikian, strategi hampir selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi dan bukan dimulai dari apa yang terjadi. Terjadinya kecepatan inovasi pasar (dan teknologi), serta perubahan pola konsumen (dan pelaku pertanian lainnya) memerlukan kompetensi inti (core competencies).
13
Pengusaha (termasuk petani) perlu mencari kompetensi inti di dalam bisnis yang dilakukannya. Mengacu
kepada
berbagai definisi
strategi yang
ada, Nickols (2000)
menyimpulkan bahwa: Strategy is all these—it is perspective, position, plan, and pattern. Strategy is the bridge between policy or high-order goals on the one hand and tactics or concrete actions on the other. Strategy and tactics together straddle the gap between ends and means. In short, strategy is a term that refers to a complex web of thoughts, ideas, insights, experiences, goals, expertise, memories, perceptions, and expectations that provides general guidance for specific actions in pursuit of particular ends. Strategy is at once the course we chart, the journey we imagine and, at the same time, it is the course we steer, the trip we actually make. Banyak cara untuk merumuskan strategi, baik yang bersifat tradisional maupun cara-cara modern, seperti SWOT Analisis, Force Field, Teknik Pohon Masalah, Teknik Fishbond, Model Casual Map, Model Matriks, Check Sheet, Stratifikasi, Model Skala Nilai, Model USG, Diagram Pareto, Model Problem Priority, dan Model Komparasi (Sianipar dan Entang, 2001). Namun demikian, alat analisis yang akan digunakan dalam tulisan ini adalah SWOT Analisis. Menurut Rangkuti (1999), SWOT Analisis adalah identifikasi berbagai faktor secara
sistematis
untuk
merumuskan
strategi. Sianipar
dan
Entang
(2001)
menambahkan bahwa alat tersebut juga dapat digunakan untuk menentukan faktor unggulan dan strategi interaksi efektif yang dapat dilakukan dalam mencapai sukses yang lebih besar. Menurut Rangkuti, analisis ini didasarkan pada logika yang dapat
14
memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats). Sianipar dan Entang menegaskan bahwa kemampuan memilih dan memadukan faktor kunci sukses internal dan eksternal akan dapat membangun sinergi keunggulan institusi mencapai sukses yang lebih besar, termasuk dalam pemberdayaan. Strategi
pengembangan
pervanilian
sebagaimana
ditulis
dalam tujuan,
diharapkan dapat membawa Indonesia keluar dari berbagai permasalahan untuk kemudian berkembang menjadi penguasa pasar vanili dan produk vanili dunia secara berkelanjutan.
5.5.
Definisi dan Deskripsi Berkelanjutan Berkelanjutan (sutainable) didefinisikan oleh Reijntjes dkk., (1999), sebagai
suatu sistem yang dapat mengkondisikan pada kemanfaatan dan kegunaan (utility) yang makin tinggi dan makin efisien dalam penggunaan sumberdaya dan melestarikan berbagai aspek dalam sistem. Konsep berkelanjutan pada dasarnya mengandung aspek-aspek pertumbuhan ekonomi
secara
berkesinambungan,
pelestarian
sumberdaya,
dan pengentasan
kemiskinan. Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya menyangkut konsep sosial, ekonomi, ekologis, kemanusian, kelembagaan, dan daya adaptasi (Sumardjo, 1999). Konsep berkelanjutan dalam tulisan ini, pada intinya jelas mengarah pada keberdayaan dan kesejahteraan petani. Sedangkan secara ekologis, berkelanjutan juga bermakna
melestarikan
sumberdaya
alam
dan
hayati. Secara
kelembagaan,
berkelanjutan juga dimaknai dengan terciptanya kondisi senang bekerja dan senang berusaha kepada semua pihak yang terkait dengan pervanilian.
15
BAB III METODE PENULISAN
Penulisan karya tulis ilmiah ini menggunakan metode deskriptif (deskriptif method), yaitu suatu metode penulisan yang semata-mata bertujuan untuk memberikan gambaran atau memaparkan tentang sesuatu, baik situasi maupun peristiwa (Easthope, 1974); Rakhmat, 1984; dan Suhartono, 1999). Pemaparannya pun dilakukan tanpa melakukan analisis statistik, tetapi dengan pendekatan analis is kualitatif. Namun demikian, dalam beberapa hal terdapat beberapa data kuantitatif yang dideskripsikan dalam pemaparannya. Jenis data yang digunakan dalam tulisan ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari lapangan melalui teknik wawancara kepada petani vanili di Kabupaten Garut dan Sumedang, indepth interview kepada informan (pengusaha vanili di Cimahi), dan observasi partisipatif (pengamatan langsung atas fakta-fakta di lapangan tanpa menggunakan kuesioner sambil mengikuti kegiatan rutin kelompok) di Sumedang. Sedangkan data sekunder diperoleh dari review hasilhasil penelitian yang telah ada dan kajian pustaka yang relevan dengan penelitian, serta data yang telah dikumpulkan oleh berbagai institusi yang ada seperti: Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Dinas Perkebunan, BPS, dan institusi lainnya, yang relevan dengan bidang pervanilian. Adapun alat analisis yang digunakan dalam tulisan ini adalah SWOT analisis. Alat analisis ini khususnya digunakan dalam merumuskan strategi pengembangan pervanilian Indonesia menuju penguasaan pasar secara berkelanjutan.
16
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.
Keragaan Pengembangan Pervanilian di Indonesia Sebagaimana diungkapkan dalam tinjauan pustaka, pembahasan mengenai
keragaan pengembangan pervanilian di Indonesia akan disusun secara sistematis berdasarkan konsep agribisnis, yaitu: 1) Up-Stream Agribusiness; 2) On-Farm Agribusiness; 3) Down- Stream Agribusiness; dan 4) Supporting System Agribusiness.
3.1.1. Sub Sistem Agribisnis Hulu (Up-Stream Agribusiness) Pengembangan vanili tidak akan terpisahkan dari kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana produksi pertanian (agroindustri hulu) dan perdagangan produksi pertanian primer seperti industri pupuk, obat-obatan, bibit, benih, alat dan mesin pertanian serta industri pembibitan/perbenihan. Di Indonesia, pupuk dapat dengan mudah diperoleh, meskipun tidak jarang terjadi kelangkaan pupuk. Permasalahan pupuk sesungguhnya masih terletak pada aspek distribusinya. Oleh karena itu, seringkali ditemukan harga pupuk yang sangat mahal di beberapa daerah, termasuk di sentra produksi vanili. Vanili merupakan tanaman yang membutuhkan humus atau unsur hara sangat besar untuk pertumbuhannya (Manoi, 1986). Menurut Rismunandar (1989), vanili sangat membutuhkan unsur hara Nitrogen, Fospat, Kalium, Magnesium, Kalsium, dan Klor, dan unsur-unsur mikro. Namun demikian, hingga kini para petani masih menggunakan pupuk anorganik yang umum, bahkan masih banyak petani yang tidak melakukan pemupukan atas vanilinya. Permasalahannya, hingga kini belum ada industri pupuk yang mampu menyediakan secara khusus pupuk untuk tanaman vanili.
17
Secara ekologis, vanili merupakan tanaman yang cukup rentan terhadap berbagai serangan hama penyakit tanaman. Jamur fusarium merupakan salah satu penyakit utama vanili yang hingga kini masih belum dapat ditanggulangi dengan menggunakan obatobatan. FAO (2004), mencatat bahwa tiga tahun terakhir ini pervanilian Madagaskar mengalami kehancuran akibat serangan jamur fusarium batatis. BPS (1998), juga melaporkan bahwa jamur fusarium oxysporium yang menyebabkan busuk batang vanili telah terbukti menyerang tanaman vanili di Indonesia. Menurut Hadipoentyanti (2002), penyakit busuk batang telah menyerang 50 – 80 persen areal pertanaman vanili di Indonesia, sehingga kerugiannya mencapai Rp 32 milyar/tahun. Secara teknis, petani masih menggunakan cara-cara tradisional, yaitu membiarkan lahan tidak ditanami vanili selama tiga hingga empat tahun. Hal ini dilakukan oleh petani karena belum ditemukannya obat-obatan untuk mengendalikan jamur fusarium dan tidak adanya varietas vanili yang kebal atas serangan jamur ini. Produksi vanili juga dipengaruhi oleh musim, oleh karena itu panennya juga bersifat musiman. Ini merupakan kendala bagi Indonesia, karena tidak dapat memasok permintaan konsumen dunia sepanjang tahun. Keadaan ini belum terpecahkan hingga kini, baik melalui rekayasa wilayah, cuaca, maupun rekayasa tanaman. Oleh karena itu, meskipun permasalahan bibit vanili yang permintaannya terus meningkat dari tahun ke tahun dapat ditanggulangi dengan kultur jaringan, namun rekayasa kearah pengaturan waktu berbunga dan berbuah belum banyak dilakukan, termasuk oleh Balitro. Permasalahan utama di sektor hulu pervanilian Indonesia adalah belum dikembangkannya alat dan mesin pertanian untuk penanganan pasca panen dan peningkatan nilai tambah. Hal ini dapat diidentifikasi dari besarnya ekspor vanili dalam bentuk bentah (batangan). Secara kuantitatif, sedikit sekali vanili dari Indonesia yang
18
diekspor dalam bentuk olahan. Di dalam negeri saja, pengolahan vanili baru dilakukan oleh industri makanan dan minuman, sementara industri kosmetika, rokok, obat-obatan, dan idustri bahan kimia, masih tergantung pada import. Karena industri pengolahan belum banyak dikembangkan, maka wajar jika margin pemasaran terbesar dipegang oleh negara importir.
3.1.2. Sub Sistem Usahatani (On-Farm Agribusiness) Seperti halnya usahatani-usahatani lainnya di Indonesia, usahatani vanili pun sebagian besar diusahakan di atas lahan yang sempit dan tercecer. BPS (1998) melaporkan, bahwa luas perkebunan vanili rakyat di Indonesia pada tahun 1999 adalah 19.904 ha, sedangkan perkebunan besar swasta hanya 112 ha. Secara riil, perkebunan vanili yang dikelola oleh pemerintah masih sangat minim (rata-rata hanya 1.35 ha), bahkan tidak pernah berkembang sejak tahun 1991. Luas lahan perkebunan rakyat ratarata kurang dari 0,5 ha, artinya masuk kategori gurem. Penguasaan lahan yang sempit dan tercecer mengakibatkan usahatani tersebut susah untuk dikelola secara efisien, akibatnya tidak memberikan jaminan pendapatan yang adil kepada petani (Departemen Pertanian, 2000). Memang, vanili harganya sangat mahal dan dapat menguntungkan meski diusahakan pada lahan yang skalanya kecil, tetapi jika tidak dikelola secara baik, maka sebagian besar keuntungan dari tingginya harga vanili tersebut jatuh ketangan para pedagang. Lebih jauh, lemahnya pengelolaan panen dan penanganan pasca panen oleh para petani, seringkali membuat vanili Indonesia tidak memenuhi kriteria pasar (Kasryno, dkk., 2000). Berbicara tentang teknologi budidaya, tampaknya petani vanili yang rata-rata sudah berpengalaman diatas 10 tahun, sudah tidak diragukan lagi keterampilan dan
19
keahliannya. Permasalahan utama pada sub sistem on-farm vanili ini sesugguhnya terletak pada tiga faktor, yaitu iklim, hama penyakit tanaman, dan pencurian. Kondisi iklim telah menyebabkan tanaman vanili menjadi bersifat musiman. Kecenderungannya, kondisi ini berlaku hampir di seluruh Indonesia. Disamping itu, panen yang bersifat musiman ini, seringkali terhambat atau gagal, sebagai akibat serangan hama penyakit tanaman maupun karena tingginya tingkat pencurian. Hasil wawancara dengan petani vanili di Garut dan Sumedang menunjukkan bahwa kerugian petani akibat pencurian dapat mencapai 80 persen. Para petani pun mengungkapkan bahwa, sebagian dari areal tanam vanili mereka sudah terserang penyakit busuk pangkal batang, oleh karena itu tidak ditanami vanili. Menurut Siagian (1999), tanaman vanili dapat terbebas dari penyakit tersebut, jika pH tanahnya berada pada kisaran 6-7. Tingginya tingkat harga dan kurang berhasilnya upaya yang dilakukan oleh petani dan pemerintah untuk mencegah dan menekan tingkat pencurian, telah mendorong para petani untuk melakukan pemanenan vanili pada umur muda. Panen muda juga dilakukan ketika petani mengetahui tanamannya terserang penyakit busuk pangkal batang. Kondisi tersebut mengakibatkan rendahnya kualitas vanili yang secara otomatis berpengaruh pula pada tingkat harga yang diterima petani. Namun demikian, kenyataan dipasaran menunjukkan lain. Menurut Paimin (2002), karena vanili muda yang kualitasnya rendah harganya lebih murah, maka sangat diminati para eksportir. Karena buah muda laku, maka sebagian besar petani pun enggan menunggu hingga buah masak (9 bulan). Akibatnya, sangat jarang ditemui vanili yang berkualitas tinggi. Karena pasokan vanili semakin menurun, maka kualitas apapun juga tetap diterima oleh pasar dunia.
20
Hampir setiap tahun, permintaan atas vanili tidak pernah terimbangi dengan penawarannya. Kondisi ini menciptakan persaingan yang sangat ketata antar pedagang, akibatnya terjadi persaingan harga. Kondisi ini jelas sangat menguntungkan petani, tetapi jika hal ini berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan jatuhnya kualitas vanili Indonesia di pasar dunia. Secara teknis, petani pun tidak akan lagi berbicara tentang penanganan pasca panen dan atau agroindustri. Hal ini pasti akan terjadi, karena para pedagang tidak jarang membeli vanili petani pada saat masih bunga dan memanennya sendiri pada usia muda. Menurut Paimin (2002), sangat sulit mencari vanili kering yang berkualitas tinggi dijaman seperti sekarang ini. Bahkan, untuk mendapatkan yang basah saja sudah sangat sulit.
3.1.3. Sub Sistem Agribisnis Hilir (Down- Stream Agribusiness) Vanili adalah tanaman yang harus melalui tahapan pengolahan menjadi produk vanili, sebelum dikonsumsi. Secara fisik, vanili tidak dapat dikonsumsi secara langsung. Kecenderungannya, produk vanili pun hanya dijadikan sebagai bahan baku atau campuran produk lainnya. Menurut Balitro (1998), sebagian besar negara importir menjadikan vanili sebagai bahan baku industri. Oleh mereka, vanili diolah menjadi berbagai produk untuk kemudian diekspor kembali ke negara-negara di dunia, termasuk ke negara produsen yang menjadi sentra vanili. Secara riil, Indonesia yang merupakan negara produsen vanili terbesar kedua di Dunia, tidak memiliki perusahaan pengolahan vanili yang mengekspor produknya ke pasar internasional. Menurut Paimin (2003), hampir semua vanili (baik yang tua maupun muda) yang berhasil dikumpulkan oleh para pedagang atau eksportir, diekspor ke pasar internasional dalam bentuk mentah atau batangan.
21
Kecenderungannya, hanya sedikit sekali perusahaan makanan dan minuman di Indonesia yang mengkonsumsi vanili mentah atau yang melakukan pengolahan atas vanili mentah. Ironinya, perusahaan makanan dan minuman di dalam negeri pun banyak yang dipasok dari luar negeri. BPS (1998), mencatat bahwa meningkatnya impor produk vanili (termasuk vanili sintetis) ke Indonesia terjadi karena tingginya permintaan dari perusahaan-perusahaan makanan dan minuman. Minimnya industri dalam negeri yang bergerak dalam pengolahan vanili, jelas tidak kondusif bagi masa depan pervanilian Indonesia. Karena nilai jual vanili mentah yang tinggi pada saat ini, belum tentu berlaku dimasa yang akan datang. Kita seharusnya berkaca pada kasus Kelapa Sawit, yang kemudian tergeser oleh Malaysia yang menyertakan industri pengolahan dalam pengembangannya.
Kondisi seperti
tersebut tidak menutup kemungkinan akan terjadi dalam sistem pervanilian Indonesia. Apalagi dengan kondisi pasar yang sudah mulai jenuh, dan pesatnya perkembangan inovasi pengembangan pervanilian di negara produsen lainnya.
3.1.4. Sub Sistem Penunjang Agribisnis (Supporting System Agribusiness). Secara riil, sub sistem penunjang yang sudah nampak perangnnya dalam pengembangan vanili di Indonesia adalah kelembagaan pemasaran swasta dan lembaga penyedia bibit vanili hasil kultur jaringan. Sedangkan kelembagaan penyuluhan, permodalan, dan pengaturan rantai supplay belum nampak. Hal ini dapat kita lihat dari semakin kompleksnya permasalahan teknis dan non teknis yang dihadapi oleh para petani vanili. Keterlibatan lembaga pengaturan mutu, pewilayahan, dan penanganan masalah penyakit busuk pangkal batang dan pencurian belum ada. Hal ini jelas sangat berbeda dengan di Madagaskar. Menurut Lawani (1993), pemerintah Madagaskar
22
melakukan pengaturan waktu panen secara jelas, sehingga mutu vanili dapat terjaga. Kemudian, apabila terjadi pencurian pemerintah dan kelompok masyarakat akan mengontrol pasar dan menunda waktu panen beberapa saat hingga tertangkapnya si pencuri. Pada kenyataannya, dalam sistem agribisnis ini, petani vanili hanya terlibat pada subsistem usahatani (on-farm) saja. Meskipun memegang peran kunci (karena subsistem yang lain tidak akan bisa berjalan tanpa adanya aktivitas yang menghasilkan produk primer), namun posisi tawar petani vanili atas ketiga subsistem lainnya sangat lemah.
3.2.
Faktor Internal dan Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Daya Pasok Indonesia ke Pasar Vanili Dunia Banyak faktor internal yang menyebabkan kecil dan tidak kontinyunya pasokan
vanili Indonesia, seperti: 1) Faktor ekologi. Pada umumnya, vanili di Indoensia berbuah satu tahun satu kali, hal ini terjadi karena faktor musim (Anon, 1990). Selain itu, serangan hama penyakit terutama penyakit busuk pangkal batang juga masih menjadi ancaman utama; 2) Faktor teknis. Secara umum, vanili belum diusahakan secara intensif dan sebagian besar masih diusahakan secara tradisional; 3) Faktor sosial. Secara umum, usahatani vanili di Indonesia masih rentan terhadap pencurian, bahkan menjadi faktor utama yang merugikan petani vanili; 4) Faktor ekonomi. Secara umum, usahatani vanili belum dikelola secara agribisnis. Akibatnya, terjadi ketimpangan perolehan keuntungan antara petani dengan tengkulak atau bandar. Akibat lainnya, petani tidak mampu mengelola secara optimal penanganan pasca panen dan peningkatan nilai tambahnya; 5) Faktor kelembagaan. Secara umum, rendahnya pasokan vanili Indonesia juga disebabkan oleh lemahnya kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah selama ini, baik
23
pengaturan pada rantai pasok, tataniaga, pewilayahan, maupun dalam pengembangan manajemen inovasi, manajemen teknologi budidaya, dan manajemen penanganan pasca panennya. Faktor lainnya adalah masih lemahnya pengawasan mutu, masih lemahnya pengaturan tataniaga vanili, dan masih lemahnya penanganan gangguan keamanan. Disamping itu, kemitraan yang selama ini diterapkan cenderung bersifat eksploitatif; dan 6) Faktor Teknologi. Hingga saat ini, vanili Indonesia masih dipasarkan dalam bentuk batangan atau mentah. Hal ini terjadi karena belum dikembangkannya idustri pengolahan vanili. Pengembangan agroindustri vanili sangat penting, terutama untuk meningkatkan nilai tambah dan devisa negara. Disamping itu, agroindustri juga dapat diandalkan untuk mengantisipasi anjloknya harga vanili mentah di pasar dunia. Sedangkan faktor eksternal yang menyebabkan rendahnya pasokan vanili Indonesia ke pasar Dunia adalah: 1) Pasar Dunia sudah mengalami kejenuhan; 2) Berkembangnya negara-negara produsen baru; 3) Dikembangkannya vanili sintetis; 4) Ketergantungan pada pasar tetap dunia, padahal masih banyak negara konsumen yang membutuhkan vanili; 4) Masih lemahnya kepercayaan negara lain (terutama negara maju) pada produk olahan vanili negara produsen yang rata-rata berstatus negara sedang berkembang dan negara dunia ketiga; 5) Politik pertanian negara-negara importir yang ketat,
menyebabkan
sulitnya
produk
olahan
kita
memasuki
pasa r mereka.
Kecenderungannya, mereka mewajibkan untuk mengimpor vanili mentah yang dapat mendatangkan keuntungan dari hasil pengolahannya (produk olahan).
3.3.
Strategi Pegembangan Pervanilian Indonesia Bertitik tolak dari uraian pada pembahasan masalah pertama dan kedua, maka
dapat diidentifikasi dan diinventarisir kekuatan, kelemahan, peluang dan ancamannya, sebagai berikut:
24
3.3.1. Kekuatan Pervanilian Indonesia Kekuatan pervanilian Indonesia meliputi: 1) Kondisi geografis dan iklim tropis; 2) Kualitas vanili (kadar vanili) tertinggi di Dunia; 3) Luas lahan bagi pengembangan vanili masih luas; 4) Banyak dan tingginya keterampilan petani vanili; 5) Permintaan pasar dalam negeri semakin meningkat; 6) Meningkatnya perhatian pemerintah atas sektor pertanian; 7) Meningkatnya kualitas dan kuantitas bioteknologi dan sumberdaya manusianya; dan 8) Adanya pewilayahan vanili di setiap daerah.
3.3.2. Kelemahan Pervanilian Indonesia Beberapa kelemahan dari pervanilian Indonesia yang dapat diidentifikasi dan diinventarisir adalah: 1) Ekspor vanili masih berupa vanili mentah; 2) Panen tidak teratur, sehingga berdampak pada mutu vanili; 3) Tingginya tingkat pencurian; 4) Menyebarnya serangan penyakit busuk pangkal batang; 5) Belum ditemukannya obat pengendali penyakit busuk pangkal batang; 6) Peran dan fungsi KUD dan Kelompok Tani masih lemah; 7) Kemitraan cenderung eksploitatif; 8) Peran pemerintah dalam pengaturan
tataniaga
dan
penanganan
masalah
keamanan
masih endah; r
9)
Meningkatnya konsumsi masyarakat atas vanili impor (sintetis); dan 10) Lemahnya manajemen inovasi dalam pengembangan vanili.
3.3.3. Peluang Pengembangan Pervanilian Indonesia Pengembangan vanili di Indonesia sangat terbuka lebar, hal ini didasari oleh peluang-peluang sebagai berikut: 1) Meluasnya serangan jamur fusarium batatis dan gangguan alam berupa Badai Siklon di Madagaskar; 2) Meningkatnya trend gaya hidup sehat di negara-negara maju yang menjadi konsumen vanili dunia; 3) Berkembangnya
25
industri-industri yang berbahan baku vanili; 4) Masih banyaknya negara konsumen vanili yang belum menjalin kerjasama perdagangan dengan Indonesia; 5) Menurunnya pasokan vanili ke pasar dunia; dan 6) Meningkatnya penggunaan teknologi informasi dalam transaski dan promosi.
3.3.4. Ancaman Atas Pervanilian Indonesia Indonesia bukanlah satu-satunya negara produsen vanili di Dunia, tetapi terdapat sejumlah negara lainnya yang sudah dan sedang mengembangkan vanili. Oleh karena itu, eksistensi pervanilian Indonesia pasti tidak akan terlepas dari berbagai ancaman yang datang dari lingkungan eksternal. Beberapa ancama yang sudah teridentifikasi adalah sebagai berikut: 1)
Pasar vanili dunia sudah mengalami kejenuhan; 2)
Meningkatnya produksi dan konsumsi vanili sintetis; 3) Meningkatnya jumlah negara produsen vanili, baik di Amerika, Asia, maupun Eropa; 4) Ketatnya proteksi negara importir atas produk-produk olahan, yang cenderung disengaja agar impor tetap berupa produk mentah; 5) Adanya perjanjian perdagangan internasional yang cenderung merugikan negara-negara produsen; 6) Masuknya hama dan penyakit vanili dari negara lain, sebagai akibat dari semakin terbukanya arus masuk dan keluar produk mentah; dan 7) Diberlakukannya UU Bioteririsme.
3.3.5. Perumusan Strategi Pengembangan Pervanilian Indonesia Mengacu kepada indikator kekuaatan, kelemahan, peluang, dan ancaman, di atas, dan kemudian dianalisis dengan alat analisis SWOT, maka dapat dirumuskan strategi pengembangan sebagai berikut (Tabel 4):
26
Pada Tabel 4, terlihat bahwa beberapa alternatif strategi yang dapat ditempuh untuk mengembangkan pervanilian di Indonesia adalah: 1.
Kembangkan komoditas
yang dapat berproduksi
sepanjang tahun lewat
rekayasa genetik (bioteknologi) 2.
Kembangkan vanili di wilayah yang memiliki pola produksi yang berbeda
3.
Manfaatkan teknologi informasi untuk promosi dan untuk memperluas pangsa pasar dunia.
4.
Kembangkan agribisnis berbasis komunitas
5.
Manfaatkan teknologi informasi bagi pengembangan jaringan informasi dan jaringan usaha antar pelaku pervanilian baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
6.
Kembangkan obat pengendalian hama penyakit tanaman vanili organik atau hayati yang ramah lingkungan.
7.
Kembangkan
industri pengolahan di
dalam
negeri
berikut
manaj emen
inovasinya. 8.
Tingkatkan fungsi kontrol masyarakat dan kelembagaan karantina
9.
Libatkan perguruan tinggi dalam pengembangan pervanilian secara melembaga
10.
Rangkul para pedagang (bandar dan eksportir) dalam pengembangan pervanilian
27
Tabel 4.
Matrik Analisis SWOT Pengembangan Pervanilian di Indonesia Menuju Penguasaan Pasar Dunia Secara Berkelanjutan. KEKUATAN FAKTOR INTERNAL 1. Iklim dan Lahan Mendukung
FAKTOR EKSTERNAL PELUANG 1. Menurunnya Produksi di Madagaskar. 2. Meningkatnya Trend Gaya Hidup (Back to Nature) 3. Meningkatnya Industri Berbahan Baku Vanili 4. Masih Banyaknya Negara Konsumen yang Belum Menjalin Kerjasama 5. Menurunnya Pasokan Vanili ke Pasar Dunia 6. Meningkatnya Penggunaan Teknologi Informasi dalam Transaksi dan Promosi
ANCAMAN 1. Kejenuhan Pasar Dunia 2. Vanili Sintetis 3. Meningkatnya Produsen Vanili 4. UU Bioteriris dan Proteksi 5. Perjanjian Perdagangan Bebas 6. Persaingan Tidak Sehat 7. Ancaman Masuknya Hama Penyakit dari Negara Lain.
2. Kualitas/Kadar Vanili Tinggi 3. Jumlah dan Skill Petani Tinggi 4. Permintaan Domestik Tinggi 5. Perhatian Pemerintah Atas Sektor Pertanian Meningkat 6. Bioteknologi Berkembang Pesat 7. Adanya Pewilayahan Komoditas
STRATEGI MAXI-MAXI (SO) 1. Kembangkan Komoditas yang Dapat Berproduksi Sepanjang Tahun Lewat Rekayasa Genetik (Bioteknologi) 2. Kembangkan Vanili di Wilayah yang Memiliki Pola Produksi yang Berbeda 3. Manfaatkan Teknologi Informasi untuk Promosi Memperluas Pangsa Pasar Dunia
KELEMAHAN 1. Ekspor Masih Vanili Mentah 2. Waktu Panen Tidak Jelas, Akibatnya Mutu Vanili Rendah 3. Pencurian Tinggi 4. Serangan Fusarium Meluas dan Belum Ditemukan Teknologi Pengendaliannya 5. Kelembagaan Petani Belum Berfungsi 6. Kemitraan Belum Adil 7. Manajemen Inovasi Rendah 8. Regulasi dan Proteksi dari Pemerintah Masih Lemah
STRATEGI MINI-MAXI (WO) 1. Kembangkan Agribisnis Berbasis Komunitas 2. Manfaatkan Teknologi Informasi bagi Pengembangan Jaringan Informasi dan Jaringan Usaha Antar Pelaku Pervanilian Lokal, Nasional, dan Internasional. 3. Kembangkan Obat Pengendalian Hama Penyakit Organik/Hayati
STRATEGI MAXI-MINI (ST)
STRATEGI MINI-MINI (WT)
1. Kembangkan Industri Pengolahan di Dalam Negeri 2. Tingkatkan Fungsi Kontrol Masyarakat dan Kelembagaan Karantina
1. Libatkan Perguruan Tinggi dalam Pengembangan Pervanilian Secara Melembaga 2. Rangkul para pedagang (Bandar dan Eksportir) dalam Pengembangan Pervanilian
28
BAB V PENUTUP
Berdasarkan pada identifikasi masalah, tujuan penulisan dan pembahasan atas masalah sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1.
Keragaan pengembangan pervanilian yang diterapkan di Indonesia selama ini secara riil masih terfokus pada sub sistem on-farm agribusiness, artinya belum mencerminkan pendekatan agribisnis. Kecenderungannya, posisi tawar petani (sebagai pelaku utama dalam pervanilian) atas ketiga sub sistem agribisnis lainnya, tetap lemah.
2.
Rendahnya daya pasok Indonesia ke pasar vanili dunia dan dom estik dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut: 1) faktor ekologi (musim dan hama penyaakit); 2) faktor teknis (perkebunan rakyat tradisional); 3) faktor sosial (pencurian); 4) faktor ekonomi (tataniaga belum efisien); 5) faktor kelembagaan (lemahnya regulasi); 6) faktor teknologi (belum berkembangnya ni dustri pengolahan); 7) Pasar Dunia sudah mengalami kejenuhan; 8) Berkembangnya negara-negara produsen baru; 9) Dikembangkannya
vanili sintetis; 10)
Ketergantungan pada pasar tetap dunia, padahal masih banyak negara konsumen yang membutuhkan vanili; 11) Masih lemahnya kepercayaan negara lain (terutama negara maju) pada produk olahan vanili negara produsen yang ratarata berstatus negara sedang berkembang dan negara dunia ketiga; dan 12) Politik pertanian negara-negara importir yang ketat, menyebabkan sulitnya produk olahan kita memasuki pasar mereka. Kecenderungannya, mereka
29
mewajibkan untuk mengimpor vanili mentah yang dapat mendatangkan keuntungan dari hasil pengolahannya (produk olahan). 3.
Alternatif strategi pengembangan pervanilian Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Kembangkan komoditas yang dapat berproduksi sepanjang tahun lewat
rekayasa genetik (bioteknologi); 2) Kembangkan vanili di
wilayah yang memiliki pola produksi yang berbeda; 3) Manfaatkan teknologi informasi untuk promosi dan untuk memperluas pangsa pasar dunia; 4) Kembangkan agribisnis berbasis komunitas; 5) Manfaatkan teknologi informasi bagi pengembangan jaringan informasi dan jaringan usaha antar pelaku pervanilian
baik
di
tingkat
lo kal,
nasional,
maupun
internasional; 6)
Kembangkan obat pengendalian hama penyakit tanaman vanili organik atau hayati yang ramah lingkungan; 7) Kembangkan industri pengolahan di dalam negeri berikut manajemen inovasinya; 8) Tingkatkan fungsi kontrol masyarakat dan kelembagaan karantina; 9) Libatkan perguruan tinggi dalam pengembangan pervanilian secara melembaga; dan 10) Rangkul para pedagang (bandar dan eksportir) dalam pengembangan pervanilian. Implemtasi
strategi
pengembangan
pervanilian
di
Indonesia
he ndaknya
didudukkan dalam kerangka pemberdayaan semua pelaku di sektor pervanilian. Namun dalam
implementasinya,
perlu
menempatkan
petani
sebagai
sentral
dalam
pengembangan pervanilian Indonesia. Pemerintah dan pelaku kebijakan lainnya, sudah saatnya meninggalkan pendekatan rekayasa (top down) yang tidak berkelanjutan, dalam pengembangan pervanilian di Indonesia.
30
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pertanian (2000). Profil Kelembagaan dan Ketenagaan Penyuluhan Pertanian. Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian, Jakarta. Food Agricultural Organization (2003). Agriculture Development. FAO, Roma. Kasryno, F., Pasandaran, E., Simatupang, P., Erwidodo, dan Sudaryanto (2000). Membangun Kembali Sektor Pertanian dan Kehutanan. Makalah Disampaikan dalam Seminar Nasional: Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2000 Ke Depan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Rakhmat, J (1984). Metode Penelitian Komunikasi. Remaja Rosdakarya, Bandung. Rangkuti, F. (1999). Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Reading, H.F (1977). Dictionary of The Social Science. London: Roudledge a Kegan Faul, London. Reijntjes, C., Bartus, H., dan Water-Bayer (1992). Pertanian Masa Depan. Kanisius, Yogyakarta. Sa’id, E.G. dan Intan, H. (2001). Pembangunan Agribisnis. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor. Saragih, Bungaran (2000). Pembangunan Agribisnis. Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sinaga and White (1980). Problem of Institutional Agriculture in Indonesia. UI, Jakarta. Soehartono, I (1999). Metode Penelitian Sosial. Remaja Rosdakarya, Bandung. Soekanto, S. (1993). Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Press, Jakarta. Sumardjo (1999). Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Umar, H. (2001). Strategic Management in Action: Konsep, Teori, dan Teknik Menganalisis Manajemen Strategis Strategic Business Unit Berdasarkan
31
32
RINGKASAN
Karya tulis ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang model pengembangan pervanilian di Indoensia menuju penguasaan pasar domestik dan pasar dunia secara berkelanjutan, yang memungkinkan petani akan semakin berdaya secara sosial, ekonomi, teknis (fisik), dan kelembagaan, serta sinergi dengan pihakpihak terkait lainnya. Sedangkan tujuan khusunya adalah: 1) Mengetahui kergaan pengembangan
pervanilian
di
negara
yang
dikatakan
sangat
pot ensial
bagi
pengembangan vanili ini; 2) Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya daya pasok Indonesia atas permintaan vanili dunia; dan 3) Merumuskan strategi pengembangan vanili yang mampu memaksimalkan peluang pasar domestik dan dunia secara berkelanjutan.
Hasil studi literatur dan wawancaran mendalam yang kemudian dianalisis secara despriptif, diperoleh hasil sebagai berikut: 1) Keragaan pengembangan pervanilian yang diterapkan di Indonesia selama ini secara riil masih terfokus pada sub sistem on-farm agribusiness, artinya belum mencerminkan pendekatan agribisnis. Kecenderungannya, posisi tawar petani (sebagai pelaku utama dalam pervanilian) atas ketiga sub sistem agribisnis lainnya, tetap lemah; 2) Rendahnya daya pasok Indonesia ke pasar vanili dunia dan domestik dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut: faktor ekologi (musim dan hama
penyaakit);
faktor teknis (perkebunan
rakyat
tradisional);
faktor
sosial
(pencurian); faktor ekonomi (tataniaga belum efisien); faktor kelembagaan (lemahnya regulasi); faktor teknologi (belum berkembangnya industri pengolahan); pasar Dunia sudah
mengalami
kejenuhan;
berkembangnya
negara-negara
produsen
baru;
33
Dikembangkannya vanili sintetis; ketergantungan pada pasar tetap dunia, padahal masih banyak negara konsumen yang membutuhkan vanili; masih lemahnya kepercayaan negara lain (terutama negara maju) pada produk olahan vanili negara produsen yang rata-rata berstatus negara sedang berkembang dan negara dunia ketiga; dan politik pertanian negara-negara importir yang ketat, menyebabkan sulitnya produk olahan kita memasuki pasar mereka. Kecenderungannya, mereka mewajibkan untuk mengimpor vanili mentah yang dapat mendatangkan keuntungan dari hasil pengolahannya (produk olahan); dan 3) Alternatif strategi pengembangan pervanilian Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut: kembangkan komoditas
yang dapat berproduksi
sepanjang tahun lewat rekayasa genetik (bioteknologi); kembangkan vanili di wilayah yang memiliki pola produksi yang berbeda; manfaatkan teknologi
informasi untuk
promosi dan untuk memperluas pangsa pasar dunia; kembangkan agribisnis berbasis komunitas; manfaatkan teknologi informasi bagi pengembangan jaringan informasi dan jaringan usaha antar pelaku pervanilian baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional; kembangkan obat pengendalian hama penyakit tanaman vanili organik atau hayati yang ramah lingkungan; kembangkan industri pengolahan di dalam negeri berikut manajemen inovasinya; tingkatkan fungsi kontrol masyarakat dan kelembagaan karantina;
libatkan
perguruan tinggi
dalam
pengembangan
pervanilian
secara
melembaga; dan rangkul para pedagang (bandar dan eksportir) dalam pengembangan pervanilian.
.
34