Amurwani Putri Tradisi Prasejarah Berlanjut pada Masyarakat Mee di Kawasan Danau Tigi , Kabupaten Deiyai
TRADISI PRASEJARAH BERLANJUT PADA MASYARAKAT MEE DI KAWASAN DANAU TIGI , KABUPATEN DEIYAI Amurwani Putri (Balai Arkeologi Jayapura) Abstract This paper describes the prehistoric tradition continous at the Mee tribe. Where their live are still in the stage of simple, characterized by a prehistoric culture. Many forms of live and tradition of tribal communities Mee, both material culture (artifacts) as well as the behavior of those people that have relevance to aspects of prehistoric life. Research in this mountainous region find an overview of the use of stone axes as tools for farming, the use of shells as a means to pay and jewelry, the use of bone tool as a means for piercing and cutting, as well as the utilization of bark as materials for leather garmens and bags (noken). But it also will be discussed regarding the finding of cave and niches that formerly use as place of burial and worship, as well as overview of the ritual forms of agriculture (emomeni) and ritual pig feast (yuwo) in order to achieve social status (tonowi). Key words: material culture,utilization and the life of Mee tribes
Pendahuluan Penelitian mengenai tradisi prasejarah di kawasan Danau Tigi, Kabupaten Deiyai, merupakan penelitian pertama yang dilakukan Balai Arkeologi Jayapura, kegiatan ini dilakukan sebagai upaya untuk menggambarkan pola budaya masyarakat pendukung yang masih hidup bercirikan budaya prasejarah. Howai dan Yaam (1994 : 252) mengemukakan bahwa tiga danau besar (Paniai, Tage dan Tigi) atau kawasan Wisselmeren ini pertama dieksplorasi oleh pilot bernama Frits Wissel tahun 1933, dimana ia melihat adanya aktifitas bercocoktanam dan mencari ikan. Berdasarkan informasi ini dan data yang ada, wilayah Deiyai sebagai kabupaten baru, menarik untuk dieksplorasi agar didapatkan data yang komprehensif. Apalagi jika Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
91
Amurwani Putri Tradisi Prasejarah Berlanjut pada Masyarakat Mee di Kawasan Danau Tigi , Kabupaten Deiyai
ditinjau dari bentuk kehidupan masyarakat yang berada di kawasan Pegunungan Tengah yang umumnya masih melakukan tradisi prasejarah berlanjut, baik dari segi peralatan hidup maupun faktor sosial budaya. Wilayah tinggal masyarakat Suku Mee, secara geografis berada pada kategori wilayah pedalaman yang tidak mudah dilalui, sehingga hal ini mengakibatkan pengaruh pengaruh budaya yang ada bercorak Austromelanesia. Menurut Howells (1943) dalam Mansoben (1995) menyatakan bahwa varitas penduduk Austromelanesia merupakan produk satu ras yang disebut old Melanesian yang berasal dari Kepulauan Indonesia yang bermigrasi kurang lebih 40.000 tahun yang lalu yang terdesak oleh orang ras Mongoloid yang datang dari Asia Selatan. Menurut Muller (2008) bahwa penduduk kawasan Pegunungan Tengah diduga sebagai kelompok migrasi paling awal yang datang ke Papua sekitar 40.000 BP. Menurut sejarah suku Mee mengakui bahwa nenek moyang mereka pada zaman primodial bermigrasi dari arah timur, dari pupupapa atau gua besar (pagimo peku) bagian timur Pegunungan Tengah Papua Barat tepatnya di Lembah Baliem di wilayah Pasema yang hidup diperkirakan 900 tahun yang lalu (mote.blogspot.com). Berdasarkan uraian di atas, masalah yang ingin diungkapkan adalah materi budaya apa yang masih terdapat di kawasan Danau Tigi?, bagaimana bentuk teknologinya dan bentuk kehidupan mereka di masa lalu? Sehingga dapat menggungkapkan potensi arkeologi prasejarah dan tradisi berlanjut yang ada di kawasan Danau Tigi. Metode Penelitian Metode yang digunakan bersifat eksploratif deskriptif. Penelitian ini mencoba menjajagi potensi arkeologi untuk mengetahui sesuatu yang belum terungkap melalui tahapan observasi, wawancara dan studi pustaka guna mengumpulkan seluruh data yang terkait sehingga dapat dideskripsikan, dianalisiskan kemudian diinterprestasikan (Puslitbang Arkenas, 2008). Hasil Penelitian Danau Tigi/ Tigi Peku merupakan danau yang terdapat di Kabupaten Deiyai, meliputi dua distrik yaitu Distrik Tigi dan Distrik Tigi Barat. Dengan luas 4.272,75 ha, memiliki kedalaman 150 m dan berada di atas permukaan laut sekitar 1700 m (Pekei, 2008). 92
Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
Amurwani Putri Tradisi Prasejarah Berlanjut pada Masyarakat Mee di Kawasan Danau Tigi , Kabupaten Deiyai
Masyarakat di Kabupaten Deiyai khususnya di kawasan Danau Tigi, lebih senang menyebut dirinya sebagai masyarakat Mee atau Manusia Sejati (Makado Mee). Mereka kurang menerima sapaan dengan sebutan yang diberikan orang di luar suku mereka seperti Kapauku yakni sebutan yang diberikan oleh Suku Komoro atau Ekagi/Ekari yang diberikan oleh Suku Moni, karena arti dari sebutan tersebut memberi konotasi buruk terhadap mereka. Budaya masa lalu yang masih terlihat hingga kini antara lain pada saat mereka hendak membuka ladang (bugi). Dalam pembukaan ladang ini terlihat adanya hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan mitos. Hubungan antar manusia terlihat pada pembagian tugas kerja yang sangat jelas, laki-laki bertugas membuka ladang dan membuat pagar melingkari ladang tersebut, sedangkan kaum wanita bertugas menanam, merawat dan mengambil hasilnya. Hubungan manusia dengan alam terlihat saat mereka menentukan hutan yang akan ditebang untuk dibuat ladang dan orang yang dirasa memiliki hubungan dengan alam berbicara baik tidaknya hutan ini ditebang. Sedangan hubungan manusia dengan mitos terlihat saat mereka, memercikan darah hewan kurban di setiap sudut lahan diiringi lagu sukacita dan mengucap kata–kata pengharapan. Sistem bertani ladang ini mereka pilih karena disesuaikan dengan pola pikir mereka tentang pertanian dan pemanfaatan alat kerja yang sederhana serta hasil yang bisa lebih cepat dinikmati. Jenis tumbuhan yang biasa mereka tanam adalah umbi – umbian, sayuran dan pisang tetapi yang utama adalah menanam umbi sejenis petatas (nota). Sebelum menanam mereka memotong babi sebagai tanda penghormatan terhadap tanah(Makitiya) dimana mereka akan menanam, yang dikenal dengan nama Emo Meni (STFT : 1992). Tetapi bagi keluarga yang tidak memiliki babi, darah hewan pengganti seperti kus–kus, tikus atau ayam tetap berarti, karena inti Emo Meni adalah persembahan korban darah untuk tanah (makitiya). Ritual Emo Meni hanya dilaksanakan pada saat buka ladang pertama dan dilakukan oleh orang yang dianggap memiliki hubungan dengan alam/ tua adat. Tiap klan memiliki ladang sendiri yang secara garis batas sudah menunjukan kepemilikan. Karena sebelum membuka ladang ada musyawarah yang dilakukan laki dewasa yang jika dilanggar akan dikenakan sangsi adat. Biasanya ketika saat panen tiba mereka wujudkan dengan makan bersama melalui acara bakar batu (arapen), sebagai ungkapan syukur. Bentuk barapen yang mereka buat adalah babi yang hendak dijadikan daging di panah bagian jantungnya, kemudian lubang darah ditutup daun agar tidak banyak Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
93
Amurwani Putri Tradisi Prasejarah Berlanjut pada Masyarakat Mee di Kawasan Danau Tigi , Kabupaten Deiyai
mengeluarkan darah, kemudian babi dibakar untuk melepaskan bulunya dan membekukan darah setelah itu dipotong sekitar 8 potongan. Setelah daging disiapkan kemudian dibakar lagi bersama sayuran dan ubi sampai matang. Untuk membuka hutan, pada kehidupan masyarakat di kawasan Danau Tigi khususnya di Distrik Tigi Barat masih terlihat adanya pemanfaatan kapak batu. Kapak ini berasal dari jenis batuan basal, berupa kapak pendek tanpa pegangan dan berwarna hitam. Secara morfologis kapak batu ini memiliki ukuran panjang 20 cm, panjang bagian punggung (dorsal) 18.5 cm, panjang bagian perut (ventral) 17 cm, bagian ujung (distal) dengan tebal tajaman 0.5 cm, dan tebal bagian pegangan 3 cm. Untuk bagian tajaman kapak ini digosok atau diasah agar salah satu sisi tajam. Bentuk kapak ini seperti bilah atau pisau, masyarakat menyebutnya kapak (maumi). Pembuatannya yaitu bahan batu tersebut direndam dalam lumpur guna melunakan struktur batu sehingga bisa dibentuk. Setelah lunak batu tersebut dibakar dalam tungku api agar lebih kuat dan mengkilat, setelah jadi dapat diberi tangkai yang terbuat dari rotan sebagai pegangannya. Fungsi kapak batu untuk menebang kayu dengan cara mengikis kulit kayu dapat juga dipakai sebagai pembabat rumput kebun, dengan rotasi potong 450. Masyarakat Mee senang berkumpul, menyukai pesta khususnya bagi kalangan yang dianggap memiliki peranan di wilayahnya. Seperti pada masa lalu untuk mendapatkan sebuah status, setiap laki-laki dewasa berusaha mengikuti acara pesta babi (yuwo), untuk mengikuti pesta ini seorang laki–laki harus memiliki babi bermutu baik minimal 15 ekor. Acara ini melibatkan masyarakat Mee sendiri dan masyarakat pesisir. Tujuan pesta ini adalah untuk mengetahui putaran nilai dari uang kerang (mege). Mege adalah uang tradisional Suku Mee berupa kerang laut, besaran nilainya disesuaikan dengan bentuk dan ukuran kerang, (pembayaran dengan mege hanya dilakukan dalam komunitasnya sendiri). Mege terbentuk dari susunan kerang dengan varian bentuk yang menunjukan nilai, umumnya berwarna putih. Kerang ini berasal dari kerang laut kelas gastropoda famili cypraea moneta, memiliki ukuran panjang rata – rata 2-5 cm dengan ketebalan 0.5 – 1 cm. Bahan pembuatannya adalah kerang laut dan tali kulit kayu yang dipilin. Cara membuat mege adalah kerang dipisah menurut jenis dan nilai. Umumnya yang digunakan untuk membeli dalam masyarakat adalah jenis bomoye atau kerang mege yang berukuran sangat kecil, kerang ini dibuang bagian atasnya lalu disusun pada tali yang sudah dipilin 0.5 mm, pada satu untai terdiri dari 50-300 buah. Jenis mege dikenal ada 5 yaitu: bodia (kerang sangat besar 1 buah = 5 – 10 juta), yohade 94
Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
Amurwani Putri Tradisi Prasejarah Berlanjut pada Masyarakat Mee di Kawasan Danau Tigi , Kabupaten Deiyai
(kerang besar 1 buah = 3 – 4 juta untuk mas kawin 2 – 15 buah tergantung orang tua perempuan), kubawi (kerang kecil 1 buah = 150 – 300 ribu), debafo (kerang kecil tidak ada harganya hanya untuk perhiasan) dan bomoye (kecil sekali tetapi berharga untuk belanja 1 untai terdiri dari 50 buah dan untuk tambah kesahan mas kawin 1 untainya terdiri dari 300 buah). Selain sebagai alat bayar mege dibuat juga sebagai perhiasan berupa kalung. Bahan untuk membuat kalung berhias kerang adalah kulit kerang mege dari jenis debafo atau dedege. Kerang ini berasal dari kerang laut yang menurut penilaian mutu mege kurang. Cara pembuatannya adalah beberapa kulit kerang dipotong bagian atasnya kemudian disusun berurut pada tali wupi yang sudah disiapkan sesuai lingkar leher sipemakai. Setiap pribadi laki–laki dewasa Suku Mee menginginkan memiliki mege, sehingga mereka berusaha untuk bisa ikut dalam ritual yuwo ini, karena ritual ini merupakan awal untuk mendapatkan sebutan orang kaya (tonowi). Pada saat pesta ini seorang tonowi memotong banyak babi dan dijual dengan harga murah untuk menunjukkan sifat dermawannya. Mereka yakin dengan banyak darah babi yang mengalir dapat memberi hasil yang banyak pula. Menurut Youw (2000), nilai yang terdapat dalam ritual ini adalah keselamatan dan ekonomi, yang bertujuan untuk mengumpulkan mege dan penggangkatan prestise seorang laki – laki menjadi tonowi (orang kaya dermawan, banyak istri dan dihargai masyarakat). Tampilan seorang tonowi dan keluarganya dapat terlihat dari atribut pakaian yang dikenakan misalnya menggunakan kalung taring (gope), gelang anggrek (kaganegelan), topi kasuari (waiyo) dan noken mege (amaapa utepoto). Kalung biasanya terbuat dari taring kus–kus atau anjing. Ukuran taring untuk hiasan 10-12 cm. Taring tersebut dicuci lalu diasah untuk dibuat bentuk sesuai keinginan. Cara pembuatannya adalah beberapa kulit kayu dipilin kemudian dianyam menjadi satu, dengan tetap menyisahkan ujung tali untuk pengikat. Jika sudah cukup ketebalan kayu yang dipilin, kemudian setiap sisi dikaitkan taring. Gelang bahannya adalah kulit batang anggrek, Cara pembuatannya kulit batang anggrek ditumbuk pipih hingga bisa diambil seratnya kemudian serat tersebut ditarik memanjang lalu dipilin, jika sudah bisa dibentuk kemudian dua serat batang anggrek tadi digabungkan dan dianyam dengan bantuan kayu kecil yang ditajamkan menyerupai jarum. Topi terbuat dari kulit kayu genemo dan bulu kasuari. Cara membuatnya kulit kayu dipilin dengan ketebalan 2 mm kemudian dianyam lebih dulu sekitar ½ kepala kemudian anyam bulu kasuari lalu direkatkan dengan ujung kulit kayu yang masih disisakan sebagai Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
95
Amurwani Putri Tradisi Prasejarah Berlanjut pada Masyarakat Mee di Kawasan Danau Tigi , Kabupaten Deiyai
indentitas penguasa dan direkatkan mege sebagai identitas. Tas/ noken untuk Tonowi biasanya terbuat dari kulit batang anggrek dan ukurannya lebih kecil dibanding dengan noken untuk masyarakat umum. Noken (agiya) merupakan barang yang wajib dimiliki setiap pribadi karena diyakini memiliki kekuatan. Dalam ritual Yuwo darah babi merupakan manifestasi hubungan antara manusia, alam dan leluhur. Sama seperti pada suku - suku lain sebelum mengenal Tuhan, pada dasarnya mereka sudah meyakini adanya pencipta alam yang sejati, hanya saja manifestasi kepercayaan itu diwujudkan melalui benda, simbol atau makhluk yang mereka anggap memiliki kekuatan dan ikatan batin dengan masyarakat pendukungnya. Dalam sistem kepercayaan mereka di masa lalu, mereka meyakini bahwa kehidupan maupun kematian adalah karunia Tuhan (ugatame) sehingga hidup harus dijaga hingga tua. Masyarakat Mee menganggap jika mati di usia tua berarti hidup dalam kewajaran, tetapi jika mati di usia muda dianggap adanya perbuatan roh jahat (Eniya) dengan pengaruh magi hitam (kegoai). Perlakuan terhadap orang mati (mee bokai), yang dilakukan masyarakat Mee adalah dengan meletakan jenasahnya pada para-para gubug yang telah disiapkan keluarga di atas pohon, yang letaknya di hutan khusus dengan posisi simayat duduk. Mereka meyakini bahwa kesuburan tanah akan rusak karena dianggap terkena najis, sehingga pada masa lalu mayat tidak dikuburkan dalam tanah. Masa berkabung untuk laki-laki selama seminggu dan untuk perempuan masa berkabungnya selama 6 hari. Setelah masa berkabung mereka yakin arwah simati sudah kembali ke dunia arwah (Tenewouda). Masyarakat Suku Mee meyakini dalam hidup ini ada 3 dunia yaitu dunia ketenangan milik para arwah (Epawado), dunia kesibukan milik manusia (makii) dan dunia kejahatan milik para roh jahat (makii miyoo) (STFT, 1992). Hal lain yang diyakini masyarakat adalah adanya tanda dari simati, yaitu jika simati meninggal dengan menunjukan gigi atau tersenyum keluarga yang ditinggalkan akan banyak berkat, tetapi jika simati meninggal dengan muka sedih atau cemberut keluarga yang ditinggalkan akan merasa susah. Tanda ini bisa dilihat karena wajah simati dihadapkan pada jendela gubuk di atas para-para yang dibuat untuknya. Cara seperti ini dibuat dengan harapan antara simati dengan keluarga tetap ada hubungan. Selain dengan cara tersebut ada juga mayat yang badannya ditanam dalam tanah dengan kepala dibiarkan di atas tanah. Mayat tersebut diberi peneduh alang–alang dan dipagari. Cara penguburan seperti ini biasanya berlaku bagi anak–anak (Boedisantoso, 1963). 96
Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
Amurwani Putri Tradisi Prasejarah Berlanjut pada Masyarakat Mee di Kawasan Danau Tigi , Kabupaten Deiyai
Selain cara peletakan mayat seperti di atas, pada masa lalu mayat juga diletakan pada gua atau ceruk yang dianggap tidak mudah dijangkau orang. Saat kematian kebanyakan masyarakat tidak mengikutsertakan bekal kubur. Sesuai hasil penelitian yang diamati terhadap deposit tulang manusia yang ditemukan dalam gua, mayat diletakan pada lantai yang sedikit tinggi dan berada di tempat gelap sebagai bentuk penghormatan. Jika dalam ceruk mayat diletakan langsung tanpa disentuh lagi hingga menjadi tengkorak, tetapi jika dia memiliki kedudukan tengkoraknya akan diambil oleh anak lakinya yang sudah cukup umur untuk diangkat pada tiang kayu di depan ceruk. Temuan deposit tulang di gua dan ceruk adalah bukti pemanfaatan tempat tersebut sebagai kuburan masa lalu. Tetapi pada saat ini masyarakat Mee di Deiyai, sudah memperlakukan mayat lebih terhormat yaitu disesuaikan dengan ajaran gereja. Dimana jasat simati diletakan pada kotak kayu/ peti sederhana dan diberi kain penutup badan, agar si mati lebih rapi kembali ke alam arwah dan adanya penghargaan terhadap jiwa seorang manusia. Gambaran gua dan ceruk yang ditemukan di kawasan Danau Tigi, yang memberikan indikasi pernah dimanfaatkan adalah: 1. Gua Bobata, gua ini berada 10 m dari jalan raya dan 25 m menuju Danau Tigi. Gua ini berada di, Kampung Puyai, Desa Widimey, Distrik Tigi Barat terletak pada koordinat 040 02’ 199’’ LS dan 1360 12’ 517’’ BT. Batas lokasi gua ini adalah sebelah timur dengan Distrik Tigi Barat, sebelah barat dengan Desa Widimey, sebelah utara dengan Danau Tigi dan sebelah selatan dengan Desa Ayatei. Secara umum gua ini tidak nampak selain jauh dari pemukiman juga sudah tertutup semak–semak dan pohon yang disebut lokop. Gua ini memiliki ruang–ruang, dengan intensitas cahaya yang berbeda, memiliki halaman luas dan permukaan tanah yang cukup baik, untuk ruang bagian depan memiliki permukaan kering dan semakin ke belakang semakin basah. Artefak yang ditemukan dalam gua ini adalah fragmen tulang manusia yang terdiri tengkorak dengan sampel kepala bagian belakang (parental) berdiamer 6 cm, tulang lengan (humerus) yang berukuran 23 cm, tulang paha (femur) yang berukuran 30 cm dan tulang sendi (tibia) yang berukuran 19 cm. Posisi temuan berada pada ruang yang lebih ke dalam, cahaya gelap dengan permukaan tanah yang lebih tinggi, selain itu ditemukan kerang laut dari kelas bivalvia famili arcidae berukuran 3 cm yang sudah membatu. Kerang laut tersebut berada dalam ruang yang sama dengan tempat ditemukannya deposit Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
97
Amurwani Putri Tradisi Prasejarah Berlanjut pada Masyarakat Mee di Kawasan Danau Tigi , Kabupaten Deiyai
tulang sehingga dapat diindikasikan sebagai bekal kubur, ditemukan pada posisi di tanah tanpa dijumpai sisa dari wadah kubur, sehingga dikategorikan tipe pengguburan langsung (primer) tanpa wadah kubur. Selain ditemukannya fragmen tulang manusia dan fosil kerang laut, di dalam gua ini ditemukan juga deposit kerang danau dari kelas gastropoda famili littorinidae. Dengan ukuran rata-rata 2-5 cm, yang diyakini sebagai sisa makanan. Posisi ditemukan tumpukan kerang danau ini, berada pada ruang yang depan dengan intensitas cahaya yang cukup. Berdasarkan dari artefak yang didapat tersebut, gua ini pernah termanfaatkan sebagai tempat hunian dan juga pengguburan. 2. Ceruk Tulang Tebing Batu, ceruk ini berada di Kampung Kigime, Desa Ugiya, Distrik Tigi. Terletak pada koordinat 040 02’ 046” LS dan 1360 15’ 302” BT, posisi jauh dari pemukiman dan berada di balik ceruk Tebing Batu 1-3. Lokasi ceruk berada pada Tanjung Duamo dengan temuan berupa tulang manusia. Menurut masyarakat bahwa ceruk ini adalah tempat kubur pada masa lalu khusus bagi klan Pekey. Ceruk ini dipilih karena tidak mudah dijangkau orang lain. Gua Maria atau Gua Patung Batu, berada di Desa Ugiya Distrik Tigi. Dengan koordinat 040 02’ 076” LS dan 1360 15’ 138” BT, menghadap ke timur. Panjang dalam gua ini 30 m, lebar mulut gua 4.50 m dan tinggi gua 3.90 m. Penetrasi sinar matahari baik, keletakan gua dekat dengan air sekitar 25 m. Gua berada pada posisi tanjung dan jauh dari pemukiman masyarakat. Diantara gua ini terdapat ceruk-ceruk yang diberi nama Ceruk Tanjung Duamo 1-3. Gua Maria ini tidak memiliki potensi hunian atau penguburan karena tidak adanya indikasi temuan arkeologi, yang ada dalam gua ini adalah jejeran stalagmit yang oleh masyarakat diyakini sebagai titisan dari leluhur yang mampu memberikan ketenangan. Untuk memasuki gua ini diwajibkan memberikan persembahan berupa uang koin yang dilemparkan disudut dan pintu gua. Masyarakat meyakini bahwa dengan memberi persembahan melalui suara lemparan koin adalah salam bagi penunggu gua tersebut sehingga aman memasuki area tersebut. Pada masa lalu sebelum masuknya Katolik (1937), gua ini difungsikan sebagai tempat berdoa atau tempat memuja arwah nenek moyang. Stalagmit diakui oleh masyarakat pendukung sebagai batu tegak yang merupakan titisan nenek moyang, terdapat keyakinan bahwa jajaran patung-patung buatan alam ini mampu memberikan kesuburan dan kemakmuran hidup. Pada gua ini terdapat 3 stalagmit yang berukuran 98
Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
Amurwani Putri Tradisi Prasejarah Berlanjut pada Masyarakat Mee di Kawasan Danau Tigi , Kabupaten Deiyai
lebih besar 15-20 cm, berbentuk runcing dan mendapatkan pencahayaan langsung. Masyarakat percaya bahwa matahari adalah pemberi kehidupan dan pensakralan pada tempat ini dihubungan dengan agama suku yaitu Totomana, segala sesuatu berakar dari alam dan selaras dengan alam. Kesimpulan Kawasan Danau Tigi, merupakan wilayah yang potensial dengan tinggalan budayanya yang masih berciri prasejarah. Di kawasan ini ditemukan gua dan ceruk yang pada masa lalu pernah dimanfaatkan oleh masyarakat Mee, baik sebagai tempat hunian, tempat pengguburan maupun tempat ritual. Dari hasil ini dapat digambarkan bahwa masyarakat dahulu sudah bisa menentukan lokasi sebagai tempat untuk berlindung dan menetap, menyimpan jasad simati dan membentuk suatu keyakinan terhadap benda yang dianggap sakral. Selain itu kehidupan masyarakat dapat digambarkan sebagai masyarakat yang masih mempertahankan Batas-batas wilayah antar klan, batasan dalam status sosial dan batasan dalam bertindak. Ditinjau dari teknologi peralatan hidup yang masih sederhana, dengan bahan yang mudah didapat dari alam serta dibuat hanya untuk hal yang penting. Menunjukan bahwa masyarakat masih mempertahankan hubungannya dengan alam atau lingkungan sekitarnya, begitu juga dengan ritual Emomeni dan Yuwo yang masih berlanjut hingga kini menunjukan bahwa tradisi masa lalu yang sudah membentuk sebagai suatu budaya, merupakan gambaran dari suatu manifestasi adanya hubungan manusia, alam dan leluhur yang tidak mungkin dipisahkan walaupun banyaknya penetrasi budaya yang masuk.
Daftar Pustaka Boedhisantoso, S. 1963. “Masyarakat Kapauku” dalam Koentjaraningrat dan Harsjah W. Bachtiar (eds.), Penduduk Irian Barat. Jakarta: Penerbit Universitas. Howai, H dan Yaam P. 1994. “Masyarakat Mek di Sekitar Danau Paniai” dalam Koentjaraningrat (ed.), Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta: Djambatan. Hlm. 245-253.
Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
99
Amurwani Putri Tradisi Prasejarah Berlanjut pada Masyarakat Mee di Kawasan Danau Tigi , Kabupaten Deiyai
http:papua.bps.go.id diakses 29 Februari 2012 pukul 17.00 WIT Liauw, Gasper. 2010. “Otonom dan tergantung” dalam The Papua Paradox. Yogyakarta: Andi. Mansoben, Johshua, R. 1995. Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya. Jakarta: LIPIRUL. mote.blogspot.com diakses 09 Mei 2012 pukul 02.10 WIT Muller, Kal. 2008. Mengenal Papua. Daisy World Book. paniaikab.bps.go.id diakses 07 Mei 2012 pukul 23.54 WIT papua-tengah.blogspot.com diakses 14 Februari 2012 pukul 10.20 WIT Pekei, Titus Christ. 2008. Manusia Mee di Papua. cetakan 1. Mimika - Papua: Pusat Studi Ekologi Papua. Penelitian, Tim. 2012. Penelitian Prasejarah dan Tradisi Berlanjut di Kawasan Danau Tigi, Kabupaten Deiyai. Balai Arkeologi Jayapura. Puslitbang Arkenas. 2008. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta. STFT. 1992. Kepercayaan Magi dan Pengaruh Terhadap Kehidupan Masyarakat Ekagi di Paniai Timur, Kabupaten Paniai. STFT Abepura. Youw, Regina. 2000. Peranan Perempuan Mee dalam Ritus Yuwo. STFT Abepura.
100
Papua TH. IV NO. 2 / November 2012