Topik Utama Potensi zeolit untuk pembuatan bahan kimia dari bahan hayati
4
Proses Konversi Biomassa Menjadi Bahan Bakar dan Bahan Kimia
13
Simulasi Aspen HYSYS untuk Proses Produksi Biodiesel dari Limbah Minyak Goreng menggunakan Reaktor Membran
17
Studi Kasus Pengenalan Concentrating Solar Power Plant (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Matahari)
24
Iklan PEBE Cognoscente HYGEIA (Sabun mandi cair pertama di dunia dengan Propolis 100% Indonesia)
25 30 31
2
Editor Zulfan Adi Putra Universiti Teknologi Petronas, Tronoh Editor Utama
Asep Bayu Dani Nandiyanto Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung Editor
Muhammad Roil Bilad Universiti Teknologi Petronas, Tronoh Editor
Oki Muraza King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran Editor
Riezqa Andika Yeungnam University, Gyeongsan Editor
Teguh Kurniawan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang Editor
Editorial Biomassa merupakan sumber bahan baku yang sangat melimpah di negara kita, Indonesia. Sejak zaman dahulu, biomassa telah digunakan sebagai sumber energi lewat kayu bakar. Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, biomassa, khususnya selulosa, telah diproses dengan berbagai macam teknologi (hidrolisis, fermentasi, termokimia). Produknya tidak hanya berupa bahan bakar cair seperti bioetanol, gasoline, dan diesel, tetapi juga berbagai macam senyawa kimia seperti furfural, levulinic acid, adipic acid, succinic acid, dan lain sebagainya. Senada dengan biomassa sebagai sumber bahan baku terbarukan, Majalah Teknik Kimia Indonesia Edisi Desember 2016 kali ini memuat artikel tentang katalis zeolit yang juga digunakan di dalam proses-proses konversi biomassa, gambaran umum proses pengolahan biomassa, pembangkit listrik tenaga surya, dan desain proses limbah minyak penggorengan menjadi biodiesel dengan membran reaktor berkatalis. Artikel-artikel lainnya tentang biomassa dan pengolahannya dapat dilihat di website Teknik Kimia Indonesia. Selamat membaca! Zulfan Adi Putra Editor Utama
3
Topik Utama Potensi zeolit untuk pembuatan bahan kimia dari bahan hayati Pendahuluan Zeolit berasal dari bahasa Yunani yaitu zeo bermakna mendidih dan lithos berarti batu. Zeolit pertama kali dite mukan oleh Cronstedt seorang peneliti batuan mineral (mineralogist) asal Swedia pada tahun 1756 di daerah Islandia dan Laplan bagian sebelah utara Swedia. Cronstedt memperkenalkan istilah zeolit berdasarkan pengamatan terhadap zeolit yang dapat mengeluarkan gelembung busa pada saat dipanaskan [1]. Zeolit merupakan batuan berpori berupa saluran dan sangkar berukuran sangat kecil 0.3-1 nm sehingga mampu menyimpan air dan molekul-molekul lainnya dalam jumlah relatif besar. Pada saat zeolit dipanaskan air akan keluar dari pori yang tampak sebagai gelembung busa seperti pada Gambar 1 berikut ini. Zeolit tersusun atas rangkaian senyawa alumina-silikat yang terhubungkan melalui atom oksigen secara berulang membentuk saluran-saluran dan sangkar mikropori yang berisi logam kation seperti natrium (Na+), kalium (K+), kalsium (Ca2+), magnesium (Mg2+) sebagai kompensasi dari kelebihan muatan elektron pada atom aluminum dalam kerangka zeolit.
Kation-kation tersebut dapat dengan mudah dipertukarkan dengan kation lain, sehingga zeolit seringkali dipakai untukmengurangi tingkat kesadahan air. Kation-kation seperti Ca2+ dan Mg2+ yang terkandung di dalam air sadah dapat bertukar tempat dengan kation di dalam pori zeolit. Oleh sebab itu, zeolit juga dipakai sebagai bahan dalam pembuatan deterjen untuk mengurangi tingkat kesadahan air dan dipakai juga untuk menjerap logam-logam kation dalam limbah perairan dan limbah nuklir seperti sesium (Cs). Zeolit dibangun dari elemen dasar silikon (S) dan aluminum (Al) yang berikatan dengan empat atom oksigen membentuk struktur tetrahedral TO4 yang juga disebut sebagai unit bangun primer (UBP) (Gambar2). Huruf T mewakili atom S atau Al. Unit bangun primer akan bergabung dengan unit bangun primer lainnya membentuk unit bangun sekunder (UBS). International Zeolite Association (IZA) mengumumkan ada 23 jenis UBS yang berhasil diidentifikasi hingga saat ini. UBS akan bergabung dengan UBS lainnya membentuk unit bangun komposit (UBK). Selanjutnya, UBK bergabung membentuk kerangka zeolit. Sejauh ini, IZA mempublikasikan ada sebanyak 288 kerangka zeolit sebagai contoh sodalit (SOD), klinoptilolit (CLI), mordenit (MOR), beta (BEA) dan akan terus bertambah di masa depan[3].
4
Berikut ini, ilustrasi pembentukan salah satu kerangka zeolit tipe sodalit (SOD) diketengahkan untuk memberikan gambaran lebih jelas bagaimana kerangka zeolit terbentuk dari UBP, UBS, dan UBK.
5
Zeolit memiliki keunikan dalam memilih molekul mana yang bisa masuk ke dalam pori dan molekul mana yang bisa keluar dari dalam mikropori tergantung ukuran molekul dan bentuk molekul. Kemampuan khasini disebutdengan sifat selektif terhadap bentuk molekul (shape selectivity).Oleh sebab itu, zeolit banyak dipakai dalam pemisahan atau penyaringan molekul dengan ukuran dan atau bentuk molekul yang berbeda (molecular sieve). Sebagai contoh, mordenit dipakai untuk pemurnian gas oksigen dari udara dengan menahan nitrogen dalam pori zeolit dan meloloskan oksigen sehingga kadar oksigen meningkat setelah melalui mordenit. sifat selektif terhadap bentuk molekul juga sangat penting dalam menentukan jenis produk yang dihasilkan dalam suatu reaksi dengan menggunakan katalis zeolit. Berdasarkan asal pembentukannya zeolit terbagi dua, yaitu zeolit alam dan zeolit sintetis. Nusantaramerupakan daerah vulkanik dari barat sampai ke timur membuat Indonesia kaya dengan zeolit alam.
Daerah yang terkenal dengan tambang zeolitnya diantaranya Lampung,Tasikmalaya, Bayah, Sukabumi, Cilacap, Wonosari, Pacitan, Klaten, dan Malang[47].Zeolit alam yang ditemukan di daerah-daerah tersebut umumnya bertipe klinoptilolit (HEU) dan mordenit (MOR) selain ditemukan juga fasa-fasa zeolit lain sebagai pengotor [8].Penelitian untuk mensintesis zeolit di laboratorium dilakukan secara intensif pada tahun 1950-an.Zeolit sintetis memiliki keunggulan dalam kemurnian fasa zeolit, volume mikropori yang lebih tinggi, serta kemudahan dalam mengontrol ukuran dan geometri kristal pada saat pembuatannya. Salah satu contoh zeolit sintetik yang sukses dipakai secara komersial di industri adala ZSM-5 (Zeolite Socony Mobil–5) yang dipatenkan oleh Mobil oil company. Harga zeolit sintetik jauh lebih mahal daripada zeolit alam yang tersedia melimpah ruah (Gambar 8). Sebagai gambaran kasar, harga zeolit tipeZSM-5 dari ACS Material per 200 g sekitar 200 USD pada saat inisementara zeolit alam bisa diperoleh dengan harga hanya Rp.5000,- per kilogramnya (tahun 2016).
6
Zeolit memiliki manfaat yang luas mencakup berbagai bidang kegiatan manusia misalnya konstruksi, pertanian, industri, lingkungan, dan kesehatan. Meskipun zeolit baru diidentifikasi kurang dari 300 tahun yang lalu, pemanfaatan zeolit telah dilakukan sejak ribuan tahun silam sebagai salah satu material untuk bahan bangunan. Pada saat ini, zeolit dimanfaatkan sebagai katalis, penyangga katalis, penyaring skala molekuler, penukar ion, pupuk, pengolahan limbah cair dan penghilang bau tak sedap. Zeolit sintetis banyak digunakan di industri terutama sebagai agen penjerap dan katalis. Zeolit mampu berfungsi sebagai katalis karena memiliki pusat asam Brønsted H+ dan asam Lewis yang terletak di sekitar atom aluminum seperti yang disajikan pada gambar 7 berikut. Mengingat luasnya aplikasi zeolit, pemanfaatan dan potensi zeolit pada tulisan ini dibatasi hanya untuk katalis dan penyangga katalis(support). Pada uraian berikut ini akan dibahas secara ringkas pemanfaatan zeolit saat ini di industri pengilangan minyak dan petrokimia serta potensi pemanfaatan zeolit untuk produksi berbagai bahan kimia dengan bahan baku biomassa. Aplikasi zeolit Saat ini, zeolit memegang peranan penting dalam sintesis aneka produk bahan kimia berbasis bahan fosil seperti minyak bumi, batubara dan gas alam.Zeolit banyak digunakan sebagai katalis di industri pengilangan minyak dan petrokimia[10].
Zeolit yang diperdagangkan bernilai USD 1.8 milyar pada tahun 2004 dengan konsumsi terbesar (95%) sebagai katalis perengkahan minyak bumi (fluid catalytic cracking, FCC). Pada proses perengkahan minyak bumi tersebut digunakan zeolit Y (FAU). Produk utama dari proses FCCadalah senyawa alkana, alkena, sikloalkana rantai pendek yang berguna untuk bahan bakar kendaraan dan bahan baku industri petrokimia.Contoh terkenal lainnya adalah katalis komersial zeolit tipe mordenit (MOR)untuk reaksi isomerisasi senyawa alkana rantai lurus dengan produk isoalkana yang berguna untuk menaikan bilangan oktan, bahan baku untuk methyl tert butyhl ether (MTBE) sebagai anti ketuk pada bahan bakar dan senyawa pengganti chloro floro carbon (CFC) yang berbahaya bagi lapisan ozon. Di industri petrokimia, zeolit dipakai sebagai katalis maupunpenyangga katalis dalam produksi senyawa aromatik seperti benzena, toluena, dan xilena dan olefin seperti etilena dan propilena. Senyawa olefin rantai pendek merupakan bahan baku penting untuk produksi beraneka ragam jenis plastik. Zeolit yang telah komersial dipakai di industri adalah ZSM-5(MFI) dengan menggunakan bahan baku sepertielpiji, alkana, nafta[11, 12].Penelitian dan pengembangan katalis zeolit untuk memproduksi bahan olefin dengan target produk berupa propilen dari nafta terus dilakukan mengingat kebutuhan propilen di masa depan akan terus naik. Saat ini, produksi olefin dari nafta dilakukan tanpa menggunakan katalis berlangsung pada temperatur tinggi sekitar 800-1000oC. Dengan menggunakan katalis zeolit seperti ZSM-5, temperatur reaksi bisa diturunkan menjadi kurang dari 650oC dengan perolehan produk propilen atau etilen relatif tinggi.
7
Potensi zeolit dalam penyediaan bahan kimia dari biomassa Zeolit dengan keasaman, pori yang seragam, kemampuan selektif terhadapbentuk molekul seperti apa yang bisa masuk ke dalam pori dan bentuk produk molekul yang mana yang bisa keluar dari pori berpotensi menjadikatalis untuk produksi bahan kimia dari bahanbahan hayati seperti minyak nabati, sukrosa, selulosa, getah dari kayu,dll. Berikut ini akan diberikan sedikit gambaran mengenai potensi zeolit untuk katalis dalam sintesisbahan bakar, bahan petrokimia, bahan pangan, dan bahan kimia adi dari bahan baku hayati. 3.1 Bahan bakardan petrokimia Biodiesel merupakan bahan bakar terbarukan pengganti solar dengan bahan baku minyak nabati(trigliserida) dan alkohol melalui reaksi transesterifikasi menggunakan katalis basa seperti NaOH dan KOH (Gambar 9). Logam alkali dan alkali tanahdapat diimpregnasi ke dalam struktur zeolit alam untuk reaksi pembuatan biodisel.
Sebagai contoh, katalis K2O –mordenit alam dilaporkan untuk reaksi pembuatan biodiesel dengan bahan baku minyak sawit [4]. Minyak jelantah dengan kandungan asam lemak bebas (free fatty acids) yang tinggi juga merupakan bahan baku yang potensi untuk menjadi bahan biodiesel dengan menggunakan zeolit tipe H-Y yang memiliki asam Brønstedmelalui jalur reaksi esterifikasi (Gambar 8) [13]. Bahan bakar pesawat terbang, bensin, solar, bisa dihasilkan dari biomassa seperti limbah pertanian dan perkebunan melalui pengolahan produk dari jalur proses Fischer-Tropsch (FT) (Gambar 10). Produk FT dengan bantuan katalis platina yang diembankan pada zeolit seperti zeolit beta berpotensi menghasilkan bahan bakar pesawat terbang melalui proses perengkahan dengan menggunakan hidrogen (hydrocracking) [14, 15]. Zeolit dengan kemampuan selektif terhadap bentuk molekul serta ukuran pori yang sesuai dengan ukuran molekul hidrokarbon rantai pendek mampu menghasilkan senyawa hidrokarbon setara bensin seperti pada katalis Fe/ZSM-5 dan Co/ZSM-5 [16].
8
3.2 Bahan pangan Salah satu turunan produk biomassa melalui jalur gasifikasi adalah metanol dan dimetil eter. Proses lanjuta n dapat dilakukan untuk mengubah metanol dan eter menjadi produk olefin dengan menggunakan zeolit seperti SAPO-34 or SSZ-13, MOR, EU [8, 17]. Gas olefin diolah untuk menjadi polimer seperti plastik polietilen dan polipropilen. Bahan baku minyak nabati potensial untuk diolah menjadi produk petrokimia dengan memanfaatkan katalis zeolit selain sebagai bahan bakar seperti pembahasan di bagian 3.1. Mesoporous H-beta dan ferierit berpotensi sebagai katalis dalam pengolahan asam lemak rantai lurus menjadi asam lemak bercabang (mono-branched-chain unsaturated fatty acids). Produk asam lemak bercabang memiliki titik leleh rendah sehingga banyak digunakan untuk industri kosemetik dan pelumas[18]. Bahan selulosa dan hemiselulosa yang terkandung di dalam biomassa dapat diubah menjadi glukosa dan xylosa melalui reaksi hidrolisis dengan bantuan katalis zeolit karena memiliki asam Brønsted. Selanjutnya, glukosa diisomerisasi menjadi fruktosa dengan katalis Sn-zeolit [19]. Fruktosa dapat diubah menjadi hidroksimetilfurfural (HMF) dengan proses dehidrasi pada katalis zeolit. Senyawa HMF merupakan bahan untuk pembuatan aditif bahan bakar dan pelarut organik. Zeolit ZSM-5 dapat digunakan untuk reaksi katalitik dehidrasi langsung glukosa menjadi5-hidroksimetil furfural (Gambar 12 )[20].
Indonesia memiliki sumber sukrosa dari berbagai tanaman seperti tebu, aren, kelapa, lontar, nipah dll. Gula sukrosa dapat diubah menjadi gula inversi seperti fruktosa dan glukosa yang banyak digunakan pada pemanis makanan seperti selai, sirup dan pemanis kue. Sukrosa dapat dihidrolisis dengan bantuan katalis H-Y faujasit (FAU)menjadi gula inversi fruktosa dan glukosa pada temperatur rendah dengan kelebihan lainnya dapat mengurangi pembentukan warna [21]. Keunggulan katalis zeolit dapat diregenerasi dan dapat dipisahan dari produk/reaktan lebih mudah daripada katalis homogen. 3.3 Bahan kimia adi (fine chemicals) Tusam(Pinus merkusii) merupakan pohon penghasil getah sumber gondorukem dan terpentin (Gambar 14). Terpentin memiliki kandungan utama senyawa α-pinena. Badan usaha milik negara (BUMN) melalui Perusahaan Umum Perhutani mengelola Pabrik Derivat, Gondorukem dan Terp entin (PDGT). Katalis yang digunakan dalam sintesis produk turunan terpentin tersebut adalah asam fosfat. Senyawa turunan termaksud adalahgliserol ester, α-pinena, β-pinena, d-limonena, α-terpineol, cineol dan diterpen. Iso merisasi α-pinena (Gambar 14) dan oksidanya sangat penting dalam industri bahan kimia adi karena menghasilkan produk bernilai jual tinggi seperti camphene, limonena, campholenic aldehyde (CPA) yang digunakan luas sebagai perasa dan pewangi dalam produk pembersih, kosmetik, parfum, aditif makanan, dan farmasi[22]. Isomerisasi terpen dapat dilakukan dengan menggunakan katalis tipe H-Beta, MCM-22 dan zeolit USY [23].
9
Tanaman serai wangi (Java citronella) mengandung senyawa penting sitronela. Senyawa ini dapat dikonversi menjadi isopulegol melalui reaksi siklikasi. Isopulegol merupakan produk antara untuk mensintesis mentol yang merupakan bahan baku dalam pembuatan parfum dan pewangi. Produksi tahunan mentol dunia mencapai 20,000 ton (2007) membuat mentol menjadi produk aroma yang sangat penting di dunia. Mentol digunakan di industri farmasi, pasta gigi, permen karet, kosmetika dan industri konfeksi. Reaksi siklikasi sitronelal dengan menggunakan zirkonia-beta menghasilkan produk isopulegol[25]. Zeolit dengan pori besar seperti zeolit H-beta dengan konsentrasi asam Brønsted yang tinggi akan memberikan laju reaksi siklikasi yang paling tinggi sedangkan pori berukuran kecil dan konsentrasi asam
Brønsted yang rendah memberikan altivitas yang rendah [26-28]. Penutup Zeolit merupakan katalis penting dalam produksi bahan bakar dan petrokimia berbasis bahan fosil. Pada masa yang akan datang, zeolit diperkirakan akan tetap memegang peran pentingsebagai katalis dalam penyediaan bahan bakar, bahan petrokimia, bahan pangan, dan bahan kimia adi dengan menggunakan bahan hayati yang tersedia melimpah di Indonesia. Oleh sebab itu, penelitian untuk mempelajari tipe zeolit yang tepat untuk berbagai reaksi dengan beragam bahan baku hayatilokal sangat penting untuk terus digalakkan. Pengaturan ukuran pori zeolit dan keasaman yang sesuai dapat memberikan katalis dengan aktivitas, selektivitas, dan stabilitas yang tinggi sesuai dengan reaksi yang dike hendaki. 10
[8] G. Nasser, T. Kurniawan, K. Miyake, A. Galadima, Y. Hirota, N. Nishiyama, O. Muraza, Dimethyl eth er to olefins over dealuminated mordenite (MOR) z eolites derived from natural minerals, Journal of Na tural Gas Science and Engineering 28 (2016) 566-5 71. [9] http://www.acsmaterial.com/zsm-5-series-zeolite-po wder-945.html, (2016). [10] A. Primo, H. Garcia, Zeolites as catalysts in oil refi ning, Chemical Society Reviews 43 (2014) 7548-75 61. Daftar pustaka [1] C. Colella, Applications of Natural Zeolites, Handbo ok of Porous Solids, Wiley-VCH Verlag GmbH200 8, pp. 1156-1189. [2] http://www.zeolite-collection.eu/History/History.htm l, (2016). [3] IZA, http://www.iza-online.org/natural/, 2016. [4] R.I. Kusuma, J.P. Hadinoto, A. Ayucitra, F.E. Soetar edjo, S. Ismadji, Natural zeolite from Pacitan Indon esia, as catalyst support for transesterification of pa lm oil, Applied Clay Science 74 (2013) 121-126. [5] W. Trisunaryanti, R. Shiba, M. Miura, M. Nomura, N. Nishiyama, M. Matsukata, Characterization and Modification of Indonesian Natural Zeolites and Th eir Properties for Hydrocracking of a Paraffin, Jour nal of The Japan Petroleum Institute 39 (1996) 20-2 5. [6] E. Agustina, P. Theresia, The Effect of Acid Dealum ination of Indonesian Zeolite on its Physical, Chem ical and Catalytic Properties, in: H.G.K.H.P. J. Wei tkamp, W. Hölderich (Eds.) Studies in Surface Scie nce and Catalysis, Elsevier1994, pp. 1021-1026. [7] T. Las, H. Zamroni, Penggunaan Zeolit Dalam Bidan g Industri dan Lingkungan, Jurnal Zeolit Indonesia 1 (2002) 27-34.
[11] D. Kubička, O. Kikhtyanin, Opportunities for zeolit es in biomass upgrading—Lessons from the refinin g and petrochemical industry, Catalysis Today 243 (2015) 10-22. [12] W. Vermeiren, J.P. Gilson, Impact of Zeolites on th e Petroleum and Petrochemical Industry, Topics in Catalysis 52 (2009) 1131-1161. [13] A. Brito, M.E. Borges, N. Otero, Zeolite Y as a Het erogeneous Catalyst in Biodiesel Fuel Production fr om Used Vegetable Oil, Energy & Fuels 21 (2007) 3280-3283. [14] T. Hanaoka, T. Miyazawa, K. Shimura, S. Hirata, J et fuel synthesis in hydrocracking of Fischer–Trops ch product over Pt-loaded zeolite catalysts prepared using microemulsions, Fuel Processing Technology 129 (2015) 139-146. [15] T. Hanaoka, T. Miyazawa, K. Shimura, S. Hirata, J et fuel synthesis from Fischer–Tropsch product und er mild hydrocracking conditions using Pt-loaded c atalysts, Chemical Engineering Journal 263 (2015) 178-185. [16] H. Jahangiri, J. Bennett, P. Mahjoubi, K. Wilson, S. Gu, A review of advanced catalyst development for Fischer-Tropsch synthesis of hydrocarbons from bi omass derived syn-gas, Catalysis Science & Techn ology 4 (2014) 2210-2229.
11
[17] M. ghavipour, R.M. Behbahani, R.B. Rostami, A.S. Le mraski, Methanol/dimethyl ether to light olefins over S APO-34: Comprehensive comparison of the products d istribution and catalyst performance, Journal of Natura l Gas Science and Engineering 21 (2014) 532-539. [18] T. Ennaert, J. Van Aelst, J. Dijkmans, R. De Clercq, W. Schutyser, M. Dusselier, D. Verboekend, B.F. Sels, Po tential and challenges of zeolite chemistry in the cataly tic conversion of biomass, Chemical Society Reviews 45 (2016) 584-611. [19] G. Li, E.A. Pidko, E.J.M. Hensen, Synergy between Le wis acid sites and hydroxyl groups for the isomerizatio n of glucose to fructose over Sn-containing zeolites: a t heoretical perspective, Catalysis Science & Technolog y 4 (2014) 2241-2250. [20] M. Moreno-Recio, J. Santamaría-González, P. MairelesTorres, Brönsted and Lewis acid ZSM-5 zeolites for th e catalytic dehydration of glucose into 5-hydroxymeth ylfurfural, Chemical Engineering Journal 303 (2016) 2 2-30. [21] C. Moreau, R. Durand, F. Aliès, M. Cotillon, T. Frutz, M.-A. Théoleyre, Hydrolysis of sucrose in the presenc e of H-form zeolites, Industrial Crops and Products 11 (2000) 237-242. [22] M.J. Climent, A. Corma, S. Iborra, Zeolites as Catalysts for the Synthesis of Fine Chemicals, Zeolites and Cata lysis, Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA2010, p p. 775-826. [23] X. Ma, D. Zhou, X. Chu, D. Li, J. Wang, W. Song, Q. Xia, Highly selective isomerization of biomass β-pine ne over hierarchically acidic MCM-22 catalyst, Micro porous and Mesoporous Materials 237 (2017) 180-188. [24] http://pgtgarahan.com/?PRODUKSI/TERPENTIN, 201 6. [25] Z. Yongzhong, N. Yuntong, S. Jaenicke, G.-K. Chuah, Cyclisation of citronellal over zirconium zeolite beta — a highly diastereoselective catalyst to (±)-isopuleg ol, Journal of Catalysis 229 (2005) 404-413. [26] P. Mäki-Arvela, N. Kumar, V. Nieminen, R. Sjöholm, T . Salmi, D.Y. Murzin, Cyclization of citronellal over z eolites and mesoporous materials for production of iso pulegol, Journal of Catalysis 225 (2004) 155-169.
[27] J. Plößer, M. Lucas, P. Claus, Highly selective m enthol synthesis by one-pot transformation of cit ronellal using Ru/H-BEA catalysts, Journal of C atalysis 320 (2014) 189-197. [28] P. Mertens, F. Verpoort, A.-N. Parvulescu, D. De Vos, Pt/H-beta zeolites as productive bifunction al catalysts for the one-step citronellal-to-menth ol conversion, Journal of Catalysis 243 (2006) 7 -13.
Profil penulis
Teguh Kurniawan adalah dosen di Jurusan Teknik Kimia Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA) sejak tahun 2006. Saat ini, Teguh sedang menempuh pendidikan doktor di “Chemical Engineering King Fahd University of Petroleum & Minerals (KFUPM)” dengan topik riset modifikasi zeolit alam untuk aplikasi katalis dalam konversi hidrokarbon yang dilakukan di “The Center of Research Excellence in Nanotechnology (CENTKFUPM)”.
12
Topik Utama
Proses Konversi Biomassa Menjadi Bahan Bakar dan Bahan Kimia Muhammad Roil Bilad Universiti Teknologi PETRONAS Ketahanan energi adalah salah satu program utama pemerintah Indonesia yang diarahkan melalui pengembangan energi terbarukan (bio-energi). Teknologi bio-energi berhubungan erat dengan proses yang memanfaatan bahan alam (hayati) sebagai bahan baku. Proses ini ditujukan untuk untuk mengkonversi biomasa non-pangan menjadi bio-fuel dan bio-produk yang kompetitif. Biomasa berbasis selulosa (bagian tumbuhan berserat dan tak dapat dikonsumsi manusia) sangat berlimpah dan berpotensi sebagai bahan baku untuk biofuel dan bio-produk. Rute pemrosesan selolusa menjadi energi dan bio-produk juga telah lama diteliti: konversi biokimia dan termokimia. Konversi biokimia mengacu pada perengkahan biomassa agar karbohidrat dapat diproses menjadi gula, yang kemudian dapat dikonversi menjadi biofuel dan bioproduk menggunakan mikroorganisme dan/atau katalis inorganik. Konversi termokimia menggunakan reaksi pada suhu tinggi. Beberapa produk akhir bahan bakar dan bioproduk potensial adalah: (1) bensin terbarukan, (2) etanol dan alkohol lainnya, (3) produk kimia terbarukan dan (4) biodiesel.
Tantangan utama dalam konversi biokimia meliputi tingginya biaya dan rumitnya proses
dalam merengkah dinding cangkang selulosa yang keras dan kompleks. Penelitian modern masih dilakukan untuk menemukan metode biokonversi murah. Tantangan kunci lainnya adalah pada peningkatan efisiensi dalam mengkonversi gula dan pengembangan proses pemurnian produk yang efisien. Terdapat dua jalur utama biorefinery: hidrolisis yang bertujuan membebaskan monosakarida dari polisakarida lignoselulosa, dan proses termokimia yang mendegredasi secara lebih ekstensif komponenkomponen polisakarida dan lignin. Kedua mekanisme tersebut akan diulas secara sederhana dalam artikel ini. Proses Hidrolisis Selulosa dihidrolisis oleh air melalui serangan elektrofilik atom hidrogen pada molekul H2O pada oksigen glikosidik. Reaksi ini sangat lambat akibat sifat kebal (recalcitrant) selulosa, tapi dapat dipercepat pada suhu dan tekanan tinggi, dikatalis dengan asam atau enzim (seperti selulase). Dengan asumsi bahan baku mulai dari hemiselulosa, dua proses hidrolisis selulosa utama dikatalis oleh asam atau enzim. Hidrolisis asam encer pada lignoselulosa sudah lama digunakan dalam skala besar, sejak perang dunia pertama. Sedangkan teknologi yang memanfaatkan asam pekat popular sekitar tahun 1937-1960. Hidrolisis asam menjadi kurang popular akibat bahan bakar fosil yang murah sehingga tidak kompetitif.
13
Sebagian besar hidrolisis berkatalis asam encer memerlukan perlakuan awal (tahap pertama) pada suhu menengah (140-160 °C) untuk melepas pentosa. Pada tahap kedua, suhu dinaikkan ke 200-240 ° C untuk memfasilitasi hidrolisis selulosa dan memperoleh gula berkarbon enam. Perolehan optimum proses dua tahap ini adalah 89% untuk manosa, 82% galaktosa, namun hanya 50% untuk glukosa dengan konversi glukosa ke etanol sebesar 90% (nilai teoritis). Untuk reaktor aliran sumbat, perolehan ini sudah dianggap mencapai nilai teoritis. Kemungkinan besar, sifat kristalin selulosa yang menghambat perolehan. Laju hidrolisis selulosa amorf jauh lebih besar dibandingkan yang kristal. Hidrolisis selulosa kristalin dapat mendegradasi gula yang diperoleh dari selulosa amorf menjadi produk lain seperti hidrometil furfural dan asam levulinat. Hidrolisis bolak-balik (counter-current) yang menggunakan perlakuan kukus (steam) dapat meningkatkan perolehan glukosa menjadi 84%, dan meningkatkan perolehan fermentasi etanol ke 95%. Alternatif lain melibatkan penggunaan belerang dioksida atau asam sulfat. Hidrolisis dengan asam pekat melibatkan perlakuakn awal asam untuk membebaskan gula hemiselulosa, sementara tahap selanjutnya mempersyaratkan biomasa kering yang diikuti penambahan asam sulfat pekat (7090%). Asam pekat megkonversi selulosa ke keadaan amorf sepenuhnya. Setelah terdekristalisasi, akan terbentuk gelatin yang homogen dengan asam. Pada kondisi ini selulosa sangat mudah dihidrolisis. Oleh karenanya, pengenceran dengan air pada suhu sedang menghasilkan hidrolisis sempurna ke glukosa, jauh lebih baik dibandingkan dengan perlakuan asam encer.
Prosedur hidrolisis dengan asam pekat memerlukan waktu 10-12 jam dan konsentrasi asam yang pekat memungkinkan penggunaan berbagai bahan baku, termasuk limbah padat domestik. Masalah utama proses ini adalah mahalnya harga asam pekat, sehingga mengharuskan daur ulang asam dengan memisahkannya dari gula (produk). Meskipun 80-97% asam dapat didaur ulang dengan teknik penukar ion, biaya modal dan operasinya masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan metode asam encer. Proses hidrolisis enzimatik melibatkan perlakuan awal dalam hidrolisis hemiselulosa membentuk selulosa yang lebih mudah dicerna (meskipun telah banyak riset untuk hidrolisis langsung hemiselulosa tanpa perlakuan awal). Enzim selulase kemudian digunakan menghidrolisis selulosa menjadi glukosa secara selektif. Ini terjadi pada kondisi jauh lebih moderat (30-70 °C) dibandingkan hidrolisis asam encer, sehingga potensi degradasi lanjut produk gula secara signifikan menurun. Proses ini juga menawarkan potensi perolehan tertinggi glukosa dari selulosa. Selulase dapat diperoleh dari berbagai mikroorganisme, termasuk bakteri dan ragi. Namun, ragi aerobik biasanya sumber yang lebih menarik. Selulase adalah campuran berbagai enzim dengan fungsi khusus dalam hidrolisis selulosa. Misalnya, endo-1,4-bD-glukanase bertindak secara internal pada zona amorf selulosa untuk memotong ikatan gliosidik, menurunkan tingkat polimerisasi; sedangkan selobiohidrolase mendegradasi rantai selulosa dari ujung tereduksi atau tak-tereduksi dan dapat memotong zona kristalin dengan melepaskan selobiosa.
14
Banyak faktor yang turut mempengaruhi baik perolehan gula maupun laju hidrolisis. Pada biomassa: kristalinitas selolosa dan derajat polimerisasi, kandungan hemiselulosa setil, dan ukuran partikel besar semuanya menghambat hidrolisis enzimatik. Ini semua adalah pertimbangan yang dilakukan dalam memilih teknik perlakuan awal. Polimer lignin juga menghambat hidrolisis, tidak hanya akibat jumlahnya, namun juga komposisinya dan asosiasinya dengan polisakarida. Produk hidrolisis selulase, seperti glukosa dan selobiosa, dapat juga menghambat aktifitas selulase.Oleh karenanya, mereka harus disisihkan agar kebutuhan enzim tidak meningkat. Konsentrasi substrat tinggi dapat mengkatkan perolehan dan laju. Namun, jika rasio substrat ke selulase terlalu tinggi, penghambatan mungkin saja terjadi. Hidrolisis juga dapat dipercepat dengan penambahan surfaktan, enzim lain (seperti pektinase) dan dengan menggunakan campuran enzim dari berbagai mikroorganisme. Proses Termokimia Gasifikasi biomassa memerlukan oksigen melalui penambahan udara, oksigen atau kukus (berbeda dengan pirolisis yang jumlah oksigennya dibatasi kuat). Proses gasifikasi cenderung menghasilkan rentang produk lebih kecil dari pada pirolisis dan mengarah ke produksi gas (seperti hidrogen, karbon monoksida, metana, etilen, dan lain-lain) atau gas yang dibentuk-ulang (reformable). Suhu, dan khususnya desain gasifer yang digunakan, mempengaruhi distribusi produk ini. Gas-gas ini, dapat digunakan secara langsung untuk energi atau dikonversi lanjut menjadi bahan kimia yang berguna intuk industri dan transportasi.
oksigen pada ±25% umpan. Ketika udara digunakan untuk menyediakan oksigen, gas yang dihasilkan disebut gas producer. Penggunaan udara hanya efektif untuk gasifikasi jika menargetkan produksi listrik. Proses katalitik yang diperlukan untuk sintesis biofuel dan bahan kimia memerlukan gas yang lebih bersih. Oleh karena itu, oksigen atau kukuslah yang digunakan. Dan, gas yang dihasilkan disebut gas sintesis (atau syngas). Rumus umum untuk gasifikasi dengan umpan oksigen untuk karbohidrat adalah: C6H1206 + 3/2 O2 → 6 CO + 3 H2 + 3 H2O
Banyak produk (seperti diesel Fischer-Tropsch, alkhol, olefin, asam asetat, dan lain-lain) dapat disintesis dari gas ini. Jenis produk yang tepat bergantung pada rasio CO ke H2 dalam syngas. Jumlah hidrogen (dan juga karbon dioksida) yang diproduksi dapat ditingkatkan dengan reaksi shift gas air (pada suhu 300 °C dan 15-25 bar) yang melibatkan pencampuran kukus dengan syngas. Jika syngas dapat dimurnikan dan kontaminan seperti tar dan komponen anorganik dapat disisihkan, mekanisme katalisis sintesis kimia selanjutnya sama dengan proses petrokimia (dari bahan bakar fosil). Misalnya, produksi biometanol dari syngas dengan mudah dilakukan dengan kondisi ideal rasio H2:CO pada 3:1, via katalis Cu/Zn pada 220-300 °C dan 50-100 bar. Berbagai komponen dalam bahan baku menyebabkan masalah pada gasifikasi dan tahapan konversi lanjut produk yang dihasilkan. Umumnya diperlukan biomassa
Gasifikasi efektif terjadi pada suhu (>1000 °C) dengan jumlah oksigen lebih layak dibandingkan pirolisis. Karena pembentukan gas dari gasifikasi bersifat endotermik, suhu dipertahankan dengan pembakaran
15
yang kering, jika tidak sebagian syngas akan digunakan untuk pengeringan bahan baku. Biaya meninggi jika kadar air mencapai 50%, sehingga tidak cocok untuk gasifikasi. Katalis untuk sintesis metanol juga dapat diracuni oleh belerang jika bahan baku mengandung belerang. Katalis juga berkurang keaktifannya oleh abu sehingga komposisi abu merupakan faktor penting dalam desain gasifikasi. Gasifier unggun fluida yang beroperasi dibawah 1000 °C, dapat mengurangi masalh abu, namun sebaliknya memproduksi banyak tar dan metana dalam syngas. Pembentukan tar juga merupakan masalah pelik dalam gasifikasi. Salah satu cara mengatasi produksi tar adalah dengan pemilihan katalis yang tepat. Katalis dolomite dan nikel diperkirakan berpotensi mengatasi permasalahan tar. Para peneliti berpendapat bahwa kunci sukses gasifikasi biomassa adalah pada penemuan katalis yang tepat. Pirolisis dan torefaksi adalah dua pendekatan untuk mengatasi permasalahn gasifikasi dengan mengkonversi biomassa ke keadaan tertentu yang memudahkan gasifikasi. Pirolisis memproduksi bio-oil dan biochar. Torefaksi adalah pirolisis lambat pada suhu rendah (250300 °C) memfasilitasi pemanfaatan biomassa secara lebih efektif dalam gasifier.
Muhammad Roil Bilad kini bekerja sebagai asistan professor di Universiti Teknologi PETRONAS (UTP) Malaysia sejak Mei 2016. Sebelum itu, dia bekerja sebagai peneliti di beberapa universitas: Nanyang Technological University Singapura (2015-2016), Masdar Institute of Science and Technology Uni Emirat Arab (2013-2015) dan KU Leuven Belgia (2012-2013). Dia menyelesaikan meraih gelar PhD-nya di KU Leuven Belgia, M.sc dari UTP dan Sarjana Tenik dari Institut Teknologi Bandung. Penelitian MR Bilad berkutat pada teknologi membran, mulai dari sintesis, teknik karakterisasi, studi tentang penyumbatan (fouling) dan penanggulangannya, termasuk juga desain modul dan desain proses. Aplikasi utama yang ditargetkan adalah untuk pengolahan air dan air limbah, termasuk untuk desalinasi air laut. Sejak bergabung dengan UTP, MR Bilad sedang berusaha membangun riset dibidang yang sama. Dari hasil risetnya, MR Bilad telah mempublikasikan 37 jurnal ilmiah, 3 paten dan lebih dari 25 kali mempresentasikan risetnya di konferensi internasional. MR Bilad bisa dihubungi melaui email:
[email protected].
16
Topik Utama
Simulasi Aspen HYSYS untuk Proses Produksi Biodiesel dari Limbah Minyak Goreng menggunakan Reaktor Membran Yuanita Budiman Universiti Teknologi PETRONAS Seiring dengan pertumbuhan populasi dunia yang sangat cepat, kebutuhan akan sumber energi terbarukan semakin meningkat. Pada saat yang bersamaan, jumlah limbah yang dihasilkan juga semakin meningkat. Oleh karena itu, diperlukan suatu cara untuk menyelesaikan kedua masalah ini. Saat ini, ada banyak penelitian mengenai sumber-sumber energi terbarukan yang lebih bersih dari energi fosil. Salah satunya adalah biodiesel. Biodiesel dapat digunakan secara langsung [1] maupun dicampur dengan diesel konvensional [2]. Biodiesel juga terbukti mampu bekerja dalam mesin diesel biasa tanpa adanya modifikasi khusus [3, 4]. Selain masalah kebutuhan sumber energi, masalah mengenai polusi juga perlu diperhatikan. Salah satu cara untuk mengurangi polusi adalah dengan mengubah limbah menjadi sesuatu yang lebih bernilai (recycle). Salah satu limbah yang terus bertambah seiring dengan bertambahnya populasi manusia adalah limbah minyak goreng. Jumlahnya yang banyak [1, 2, 5] dan harganya yang relatif murah [6] membuatnya menarik untuk dijadikan bahan baku pembuatan biodiesel.
Teknologi yang umumnya digunakan untuk memproduksi biodiesel antara lain mikro emulsi [7], pirolisis [8] dan transesterifikasi [9]. Di antara ketiga metode itu, transesterifikasi adalah metode yang paling umum digunakan. Bahan baku yang biasa digunakan sangat bervariasi, di antaranya minyak sayur, minyak zaitun, limbah minyak, lemak hewan dan minyak mikroalga. Katalis yang umumnya digunakan dalam metode ini adalah katalis basa homogen. Katalis jenis ini memiliki kemampuan katalisator dan ketersediaan yang tinggi. Sayangnya, katalis basa sangat sensitif terhadap kandungan asam lemak bebas yang terdapat pada limbah minyak goreng. Penggunaan katalis basa dapat menyebabkan terbentuknya sabun yang akan mengurangi yield biodiesel dan mempersulit proses pemurnian [10]. Oleh karena itu, metode ini membutuhkan banyak air dalam proses pemurnian biodiesel. Di sisi lain, katalis asam homogen membutuhkan waktu tinggal yang jauh lebih lama. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas mengenai proses produksi biodiesel dari limbah minyak goreng menggunakan katalis asam heterogen dan reaktor membran. Metode ini digukanan untuk mengintensifikasi proses reaksi dan pemisahan dalam satu reaktor. Biodiesel yang dihasilkan dalam reaksi transesterifikasi akan dikeluarkan untuk menggeser kesetimbangan ke arah produk. Metode ini juga akan mengurangi kebutuhan air dalam proses pemurnian produk. Dalam artikel ini akan
17
dibahas analisa potensi penggunan katalis asam heterogen dan reaktor membran secara teknis dan ekonomis. Deskripsi Proses Proses transesterifikasi dapat dilakukan di dalam berbagai reaktor, antara lain batch, plug flow, fixed bed atau CSTR. Penggunaan reaktor batch dalam proses produksi biodiesel tidak direkomendasikan karena kerumitan mode operasinya [11]. Sedangkan reaktorreaktor lain memiliki kesulitan untuk memproduksi biodiesel dengan yield yang tinggi [11,12]. Sementara reaktor membran terbukti lebih ramah lingkungan karena dapat mengurangi produksi limbah air [13]. Reaktor membran juga mampu mengintensifikasi proses dan mengeluarkan produk secara selektif selama reaksi berjalan, sehingga dapat meningkatkan kemurnian produk [11]. Membran umumnya diklasifikasikan dalam tiga kelompok; anorganik, organik dan kombinasi. Di antara ketiga kelompok itu, membran anorganik, seperti metal, keramik dan zeolit, dipercaya paling sesuai digunakan dalam produksi biodiesel karena kemampuannya bertahan dalam suhu dan tingkat keasaman yang ekstrim [11]. Barredo-Damas et al. [14] menyebutkan bahwa selain kemampuannya bertahan dalam kondisi ekstrim, harga membran keramik terus mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Katalis adalah salah satu faktor terpenting dalam produksi biodiesel karena dampaknya terhadap laju reaksi, kondisi operasi dan yield. Lam et al. [10] menyebutkan bahwa katalis heterogen dan enzim adalah katalis yang paling sesuai untuk reaksi transesterifikasi menggunakan bahan baku berkualitas rendah. Hal ini dikarenakan sifatnya yang tidak sensitif terhadap asam lemak bebas dan proses pemisahannya yang relatif lebih mudah.
Namun, katalis enzim bersifat sensitif terhadap methanol, memiliki kemampuan katalisator yang rendah dan harga yang mahal [10]. Katalis basa heterogen juga sensitif terhadap asam lemak bebas dan akan membentuk sabun jika kandungan asam lemak bebas melebihi 2 wt% [10]. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, katalis asam heterogen akan digunakan karena sifatnya yang tidak sensitif terhadap kandungan asam lemak bebas. Dari berbagai macam katalis asam heterogen, katalis WAl dipilih dalam penilitian ini karena efektifitasnya. Komintarachat dan Chuepeng [15] menemukan bahwa 1 wt% katalis WAl dan perbandingan massa metanol/minyak 0.3 dapat menghasilkan 97.5 wt% yield FAME pada kondisi operasi 383 K selama 2 jam reaksi. Dalam penelitiannya, mereka menggunakan limbah minyak goreng dengan kandungan asam lemak bebas sebesar 15 wt%. Reaksi esterifikasi dan transesterifikasi sangat umum digunakan untuk memproduksi biodiesel. Kedua reaksi ini dalam dilihat pada Gambar 1. Produk dari reaksi ini adalah biodiesel (methyl esters) dengan hasil samping gliserol. Pengotor yang kemungkinan terkandung dalam produk antara lain sisa katalis asam heterogen yang terbawa atau sabun jika katalis basa yang digunakan [10]. Limbah yang dihasilkan dari produksi biodiesel adalah air yang berasal dari reaksi esterifikasi maupun proses pemurnian biodiesel. Komintarachat and Chuepeng [15] telah mempelajari dampak katalis WAl, perbandingan berat metanol terhadap minyak, suhu dan waktu tinggal terhadap yield biodiesel. Berdasarkan penelitian mereka, yield biodiesel dapat dirumuskan menjadi:
18
Gambar 1. Reaksi untuk memproduksi biodiesel, (a) transesterifikasi trigliserida, (b) esterifikasi asam lemak bebas.
FAME Yield (wt%) = 7.1609 T − 1326.6326 t − 12.5697 C2 − 0.0186 T2 − 3.9446 t2 −321.9353 R2 + 0.0712 CT + 3.5161 Tt + 0.5940 TR Dimana T, t, C and R masing-masing melambangkan suhu (K), waktu tinggal (jam), jumlah katalis WAl (wt%) dan perbandingan massa methanol dan minyak. Simulasi Proses Flowsheet proses produksi biodiesel menggunakan reakt or membran dikembangkan dalam software Aspen HYS YS versi 8.8 dengan fluid package NRTL. Komposisi as am lemak bebas diambil dari Wen et al. [16], sedangkan komposisi trigliserida diasumsikan. Kandungan asam
lemak bebas pada skenario utama adalah 15 wt%. Triolein and trilinolein adalah komponen utama dalam limbah minyak goreng. Tabel 1 menunjukkan komposisi limbah minyak goreng yang digunakan pada skenario utama [10] .
Metode evaluasi proses tahap awal digunakan dalam penelitian ini untuk merancang proses dan mengevaluasinya [17]. Limbah minyak goreng dan metanol dipompa dan dipanaskan untuk mencapai suhu 383.1 K dan 11.51 bar sebelum dialirkan menuju reaktor. Reaktor membran disimulasikan menggunakan conversion reactor dan component splitter dengan me-recycle aliran r e t e n t a t e .
19
Tabel 1. Komposisi limbah minyak goreng pada skenario utama. Komponen Tripalmitin Tristearin Triolein Trilinolein Trilinolenin Other TG Palmitic Acid Stearic Acid Oleic Acid Linoleic Acid Linolenic Acid Other FFA H 2O
Fraksi berat 0.074 0.027 0.184 0.478 0.051 0.036 0.013 0.005 0.032 0.083 0.009 0.006 0.003
Tabel 2. Efektivitas pemisahan oleh membran pada skenario utama. Komponen Triglycerides Free fatty acids Fatty acid methyl esters Glycerol Methanol Water
Conversion reactor dijalankan dengan
96.54% konversi trigliserida dan 92.34% konversi asam lemak bebas. Besar konversi ini dihitung dari yield FAME dengan asumsi reaksi berjalan pada suhu 383 K, katalis WAl sebesat 1 wt% dan perbandingan metanol/minyak sebesar 0.3 dalam waktu 2 jam.
Membran diasumsikan bekerja dengan memisahkan komponen-komponen berdasarkan berat molekul. Metanol dan air seluruhnya melewati membran sebagai permeate karena berat molekulnya yang relatif kecil. Di sisi lain, trigliserida tertahan di dalam reaktor karena berat molekulnya yang relative besar. Selain itu, berat molekul asam lemak bebas dan FAME (~ 300 gram/mol) sekitar tiga kali lebih besar daripada ukuran gliserol.
Permeate 0 0.30 0.35 0.90 1 1
Retentate 1 0.70 0.65 0.10 0 0
Berdasarkan diskusi di atas, efektifitas pemisahan yang dilakukan membran dapat dilihat pada Tabel 2. Nilainilai ini digunakan pada skenario utama dan akan divariasikan dalam analisa sensitivity. Permeate yang mengandung biodiesel dikeluarkan dari reaktor, sementara retentate di-recycle kembali ke reaktor. Permeate kemudian didinginkan sampai mencapai suhu ruangan dan langsung terpisah menjadi fasa FAME dan fasa gliserol [12]. Metanol dalam fasa FAME dipisahkan menggunakan kolom distilasi dan direcycle kembali ke tanki penyimpanan metanol. Produk
dari kolom distilasi pertama kemudian dialirkan menuju kolom distilasi kedua untuk memurnikan FAME dari limbah yang masih tercampur,
20
Gambar 2. Model HYSYS untuk proses produksi biodiesel menggunakan reaktor membran.
termasuk sisa asam lemak bebas yang tidak bereaksi. Dalam kolom ini, biodiesel diambil dari aliran distillate. Gambar 2 menunjukkan model HYSYS untuk proses produksi biodiesel menggunakan reaktor membran. Dari skenario utama, capital cost dihitung menggunakan in-house capital cost estimation tool. Kemudian dua parameter divariasikan untuk melihat pengaruhnya terhadap capital cost. Parameter itu antara lain kandungan asam lemak bebas dan efektifitas pemisahan oleh membran. Kandungan asam lemak bebas divariasikan dari 10 wt%, 15 wt% sampai 20%. Efektifitas pemisahan oleh membran divariasikan sesuai data pada Tabel 3.
Hal ini dikarenakan ketidakpekaan katalis asam heterogen terhadap kandungan asam lemak bebas [10] dan tingginya yield FAME dari minyak dengan kandungan asam lemak bebas yang cukup tinggi (~15wt%) [15]. Namun, pengaruh perubahan kandungan asam lemak bebas terhadap yield FAME belum diteliti lebih lanjut [15]. Dalam penelitian selanjutnya, kondisi operasi akan divariasikan untuk melihat pengaruhnya terhadap yield FAME. Di sisi lain, efektifitas pemisahan oleh membran berpengaruh cukup signifikan terhadap CAPEX. Pemisahan oleh membran yang lebih baik akan mengurangi jumlah aliran recycle dan menyerhanakan proses pemisahan setelahnya. Hal ini menyebabkan berkurangnya CAPEX sebesar 10%. Sebaliknya, pemisahan oleh membran yang kurang efektif menyebabkan meningkatnya CAPEX sebesar 20%.
Dampak perubahan dua jenis parameter terhadap estimated capital cost atau capital expenditures (CAPEX) ditunjukkan oleh Gambar 3. Gambar tersebut menujukkan bahwa kandungan asam lemak bebas tidak mempengaruhi CAPEX.
21
Tabel 3. Faktor pemisahan oleh membran. Komponen Triglicerida Asam lemak bebas FAME Gliserol Metanol Air
Faktor pemisahan feed dalam permeate Skenario 3 Skenario Utama Skenario 4 0 0 0 0.20 0.30 0.40 0.25 0.35 0.45 0.80 0.90 1 1 1 1 1 1 1
Gambar 3. Perubahan CAPEX karena variasi kandungan asam lemak bebas di dalam bahan baku dan efektifitas pemisahan oleh membran.
Referensi 1. A. Demirbas, “Importance of biodiesel as transportation fuel,” Energy Policy, vol. 35, no. 9, pp. 4661–4670, Sep. 2007. 2. M. S. Graboski and R. L. McCormick, “Combustion of fat and vegetable oil derived fuels in diesel engines,” Prog. Energy Combust. Sci., vol. 24, no. 2, pp. 125–164, Jan. 1998. 3. M. Zabeti, W. M. A. W. Daud, and M. K. Aroua, “Biodiesel production using aluminasupported calcium oxide: An optimization study,” Fuel Process. Technol., vol. 91, no. 2, pp. 243–248, Feb. 2010.
4.
5.
6.
M. M. Gui, K. T. Lee, and S. Bhatia, “Feasibility of edible oil vs. non-edible oil vs. waste edible oil as biodiesel feedstock,” Energy, vol. 33, no. 11, pp. 1646–1653, Nov. 2008. K. Jacobson, R. Gopinath, L. C. Meher, and A. K. Dalai, “Solid acid catalyzed biodiesel production from waste cooking oil,” Appl. Catal. B Environ., vol. 85, no. 1–2, pp. 86–91, Dec. 2008. Y. Zhang, M. A. Dubé, D. D. McLean, and M. Kates, “Biodiesel production from waste cooking oil: 2. Economic assessment and sensitivity analysis,” Bioresour. Technol., vol. 90, no. 3, pp. 229–240, Dec. 2003.
22
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
A. S. Ramadhas, S. Jayaraj, and C. Muraleedharan, “Use of vegetable oils as I.C. engine fuels—A review,” Renew. Energy, vol. 29, no. 5, pp. 727–742, Apr. 2004. [8] L. Brennan and P. Owende, “Biofuels from microalgae—A review of technologies for production, processing, and extractions of biofuels and co-products,” Renew. Sustain. Energy Rev., vol. 14, no. 2, pp. 557–577, Feb. 2010. [9] M. Zabeti, W. M. A. Wan Daud, and M. K. Aroua, “Activity of solid catalysts for biodiesel production: A review,” Fuel Process. Technol., vol. 90, no. 6, pp. 770–777, Jun. 2009. [10] M. K. Lam, K. T. Lee, and A. R. Mohamed, “Homogeneous, heterogeneous and enzymatic catalysis for transesterification of high free fatty acid oil (waste cooking oil) to biodiesel: A review,” Biotechnol. Adv., vol. 28, no. 4, pp. 500–518, Jul. 2010. [11] I. M. Atadashi, M. K. Aroua, A. R. Abdul Aziz, and N. M. N. Sulaiman, “Membrane biodiesel production and refining technology: A critical review,” Renew. Sustain. Energy Rev., vol. 15, no. 9, pp. 5051–5062, Dec. 2011. [12] P. Cao, M. A. Dubé, and A. Y. Tremblay, “High-purity fatty acid methyl ester production from canola, soybean, palm, and yellow grease lipids by means of a membrane reactor,” Biomass Bioenergy, vol. 32, no. 11, pp. 1028–1036, Nov. 2008. [13] Z. Yaakob, M. Mohammad, M. Alherbawi, Z. Alam, and K. Sopian, “Overview of the production of biodiesel from Waste cooking oil,” Renew. Sustain. Energy Rev., vol. 18, pp. 184– 193, Feb. 2013.
14. S. Barredo-Damas, M. I. Alcaina-Miranda, A. Bes-Piá, M. I. Iborra-Clar, A. Iborra-Clar, and J. A. Mendoza-Roca, “Ceramic membrane behavior in textile wastewater ultrafiltration,” Desalination, vol. 250, no. 2, pp. 623–628, Jan. 2010. 15. C. Komintarachat and S. Chuepeng, “Solid Acid Catalyst for Biodiesel Production from Waste Used Cooking Oils,” Ind. Eng. Chem. Res., vol. 48, no. 20, pp. 9350–9353, Oct. 2009. 16. Z. Wen, X. Yu, S.-T. Tu, J. Yan, and E. Dahlquist, “Biodiesel production from waste cooking oil catalyzed by TiO2–MgO mixed oxides,” Bioresour. Technol., vol. 101, no. 24, pp. 9570–9576, Dec. 2010. 17. Z. A. Putra, “Early Phase Process Evaluation: Industrial Practices,” Indones. J. Sci. Technol., vol. 1, no. 2, pp. 238–248, Sep. 2016.
Yuanita Budiman adalah seorang mahasiswi program sarjana Teknik Kimia di Universiti Teknologi PETRONAS. Saat ini penulis tengah merampungkan skripsinya tentang simulasi proses produksi biodiesel dari limbah minyak goreng menggunakan reaktor membran.
23
24
Studi Kasus
Pengenalan Concentrating Solar Power Plant (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Matahari) Riezqa Andika Yeungnam University Matahari merupakan sumber utama energi untuk Bumi dengan rata-rata energi di setiap meter persegi Bumi setiap tahun kira-kira 342 watt. Total, matahari mengantarkan 4.4×1016 watt ke Bumi [1]. Jumlah ini jauh lebih banyak daripada produksi listrik di dunia pada tahun 2012, yakni 21.56×1012 kWh. Bahkan, jumlah energi matahari ke Bumi masih jauh di atas estimasi produksi listrik pada tahun 2040, yakni sebesar 36.45×10 1 2 kWh [2]. Maka dari itu, sangat memungkinkan apabila energi matahari dijadikan sumber utama produksi listrik di masa depan. Pada dasarnya, energi matahari terdiri dari radiasi cahaya dan panas. Radiasi cahaya memiliki dua sifat yang bertolak belakang yakni dapat diamati sebagai gelombang elektromagnetik maupun sebagai partikel yang disebut foton. Foton merupakan partikel terkecil dari cahaya. Jika foton mengalami kontak dengan material fotoelektrik yang menyebabkan elektron terlepas dari atom, maka hal tersebut akan memproduksi arus listrik. Fenomena ini merupakan prinsip dasar dari teknologi photovoltaic (PV). Sedangkan radiasi panas mempengaruhi Bumi dengan beberapa cara diantaranya adalah bertiupnya angin. Serupa dengan PV, tenaga angin dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik. Pada 2015, PV dan tenaga angin merupakan sumber u t a m a e n e r g i t e r b a r u k a n
Dengan kontribusi terhadap kapasitas total listrik global sebesar 3.6 dan 6.9% berturut-turut. Masa depan dari pembangkit listrik PV dan tenaga angin juga terlihat menjanjikan melihat tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (compound annual growth rate-CAGR) pada 2005-2015 sebesar 45.1 dan 22.1% berturut-turut [3]. Walaupun begitu, PV dan tenaga angin merupakan intermittent energy (tidak terus-menerus ada). Hal ini berarti PV dan tenaga angin tidak dapat mengalirkan listrik secara terus-menerus ke jaringan listrik. Oleh karena itu, energy storage system (ESS) seperti baterai seringkali digunakan di pembangkit listrik PV dan tenaga angin. Sampai saat ini, baterai layak dari segi eknonomi hanya untuk penyimpanan jangka pendek dan pada skala kecil cost. Jenis lain pemanfaatan energi matahari untuk produksi listrik adalah concentrating solar power (CSP). Prinsip kerjanya adalah dengan mengumpulkan radiasi panas menggunakan cermin (collector) untuk menghasilkan listrik dengan turbin baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari segi ekonomi, CSP dengan thermal energy storage (TES) lebih murah [4] atau paling tidak sama [5] bila dibandingkan dengan PV dengan baterai. Sebagai tambahan, CSP dengan TES dapat menyediakan daya baseload (beban-dasar) atau dispatchable (dapat dinyalakan atau diistirahatkan, atau dapat diatur keluaran daya listriknya berdasarkan k e b u t u h a n / k e i n g i n a n )
25
yang memungkinkan fleksibilitas dalam merencanakan sistem penyediaan listrik [6–12]. Maka dari itu, CSP dengan TES memiliki potensi yang kuat jika dibandingkan dengan energi terbarukan lainnya untuk menggantikan batu bara sebagai pembangkit listrik baseload. Keuntungan lain teknologi CSP adalah dapat diaplikasikan secara efektif di berbagai skala. CSP skala kecil dapat diaplikasikan pada bangunan untuk menyediakan listrik, panas, dan pendinginan. CSP skala menengah dapat diaplikasikan di daerah terpencil seperti tambang. CSP skala besar selain dapat diaplikasikan untuk pembangkit listrik, dapat juga diaplikasikan untuk cogeneration (pembangkitan listrik bersama dengan
sumber lainnya) untuk desalinasi air. CSP juga dapat diaplikasikan untuk multi-effect distillation (MED) dengan memanfaatkan low-pressure steam dari turbin [13]. Teknologi CSP sudah beroperasi lebih dari dua dekade. Hingga saat ini, ada empat tipe CSP, yakni parabolic trough, solar tower, linear Fresnel, dan solar dish. Parabolic trough (Gambar 1) merupakan teknologi CSP yang sudah komersial dan paling dominan. Solar tower (Gambar 2) saat ini sedang dalam tahap pengkomersialisasian, sedangkan linear Fresnel (Gambar 3) dan solar dish (Gambar 4) masih dalam tahap pengembangan [14]. Perbandingan antara keempat teknologi ini dapat dilihat di Tabel 1 [15].
Gambar 1. Skema proses CSP parabolic trough.
26
Gambar 2. Skema proses CSP solar tower.
Gambar 3. Skema proses CSP linear Fresnel.
27
Gambar 4. Skema proses CSP solar dish.
Tabel 1. Perbandingan teknologi CSP. Solar Tower 10-200
Linear Fresnel 10-200
Abengoa Solar, BrightSource, Energy, eSolar, SolarReserve, Torresol
Novatec Solar, Areva
250-565
390
550-750
14-20
23-35*
18
30
11-16
7-20
13
12-25
Faktor kapasitas tahunan (%)
25-28 (tanpa TES) 29-43 (TES 7 jam)
55 (TES 10 jam)
22-24
25-28
Hibridisasi
Ya dan langsung
Ya
Kapasitas tipikal (MW)
Perusahaan pengembang
Temperatur operasi (°C) Efisiensi puncak pembangkit listrik (%) Efisiensi energi matahari ke listrik tahunan (net) (%)
Stabilitas jaringan Cycle Kondisi steam (°C/bar) Tipe aplikasi
Parabolic Trough 10-300 Abengoa Solar, SolarMillennium, Sener Group, Acciona, Siemens, NextEra,ACS, SAMCA, dll 350-550
Sedang ke tinggi (TES atau hibridisasi) Superheated Rankine 380 hingga 540/100 On-grid
Tinggi (TES ukuran besar) Superheated Rankine 540/100 hingga 160 On-grid
Ya, langsung (steam boiler) Sedang ( dengan back-up firing) Saturated Rankine 260/50 On-grid
Solar Dish 0.01-0.025
Belum direncanakan Rendah Stirling Tidak tersedia On-grid/Off-grid
Catatan: * = batas atas adalah jika tenaga panas matahari menggunakan combined cycle turbine
28
Referensi 1. National Aeronautics and Space Administration. (2005). NASA Facts: The Balance of Power in the Earth-Sun System. 2. U.S. Energy Information Administration. (2016). International Energy Outlook 2016. 3. U.S. Department of Energy. (2016). 2015 Renewable Energy Data Book. 4. Jorgenson, J., Mehos, M., and Denholm, P. (2016). Comparing the net cost of CSP-TES to PV deployed with battery storage. AIP Conference Proceedings 1734, 080003, pp1–9. 5. Hernández-Moro, J. and Martínez-Duart J.M. (2013). Analytical model for solar PV and CSP electricity costs: Present LCOE values and their future evolution. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 20, pp.119–132. 6. Pfenninger, S., Gauché, P., Lilliestam, J., Damerau, K., Wagner, F., and Patt, A. (2014). Potential for concentrating solar power to provide baseload and dispatchable power. Nature Climate Change, 4, pp.689–692. 7. Fthenakis, V., Mason, J. & Zweibel, K. (2009). The technical, geographical, and economic feasibility for solar energy to supply the energy needs of the US. Energy Policy, 37, pp.387–399. 8. Izquierdo, S., Montañés, C., Dopazo, C. & Fueyo, N. (2010). Analysis of CSP plants for the definition of energy policies: The influence on electricity cost of solar multiples, capacity factors and energy storage. Energy Policy, 38, pp.6215– 6221.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Lilliestam, J., Bielicki, J. and Patt, A. (2012). Comparing carbon capture and storage (CCS) with concentrating solar power (CSP): Potentials, costs, risks, and barriers. Energy Policy, 47, pp.447–455. Trieb, F., Schillings, C., Pregger, T. and O’Sullivan, M. (2012). Solar electricity imports from the Middle East and North Africa to Europe, Energy Policy, 42, pp.341–353. Usaola, J. (2012). Operation of concentrating solar power plants with storage in spot electricity markets. IET Renewable Power Generation, 6, pp.59–66. Viehbahn, P., Lechon, Y. & Trieb, F. (2011). The potential role of concentrated solar power (CSP) in Africa and Europe. Energy Policy, 39, pp.4420–4430. International Energy Agency. (2010). Technology Roadmap: Concentrating Solar Power. Energy Technology Systems Analysis Programme International Energy Agency and International Renewable Energy Agency. (2013). Concentrating Solar Power: Technology Brief. International Renewable Energy Agency. (2012). Renewable Energy Technologies: Cost Analysis Series (Volume 1: Power Sector, Issue 2/5) - Concentrating Solar Power.
29
Riezqa Andika adalah seorang research assistant dan juga kandidat doktor di Yeungnam University, Korea Selatan. Selain itu, penulis merupakan Chief Operating Officer di Cognoscente. Bidang penelitian yang ditekuni adalah intensifikasi proses termasuk distilasi, syngas treatment process, dan concentrating solar power process.
30
Contact person: Bobby F Assiddiq (+62 812 7015 5938)
31