BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia Sejarah perkembangan Hukum Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islam itu sendiri. Islam masuk ke Indonesia pada abad VII M yang dibawa oleh pedagang-pedagang Arab. Perkembangan Hukum Islam di Indonesia menjelang abad XVII, XVIII, XIX, baik dalam tatanan intelektual dalam bentuk kitab-kitab dan pemikiran juga dalam praktik-praktik keagamaan dapat dikatakan cukup baik. Dikatakan cukup baik karena Hukum Islam dipraktikkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir dapat dikatakan sempurna, yang mencakup masalah mu’amalah (perkawinan, perceraian, warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah. Bukan hanya itu, Hukum Islam menjadi suatu sistem hukum yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Tidaklah salah jika dikatakan bahwa pada masa itu jauh sebelum Belanda menancapkan kakinya di Indonesia. 10 Perkembangan Hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat dalam dua bentuk. Pertama, adanya toleransi pihak Belanda melalui VOC (Vereenigde Oots-Indische Compagnie) yang memberikan ruang yang agak luas bagi perkembangan Hukum Islam. Kedua, adanya upaya intervensi Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya dengan Hukum Adat. Berangkat 10
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004),
hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
dari kekuasaan yang dimiliki VOC bermaksud menerapkan Hukum Belanda di Indonesia, namun tetap saja tidak berhasil karena umat Islam tetap saja menjalankan syariatnya. Dapatlah dikatakan pada saat VOC berkuasa di Indonesia (1602-1800 M) Hukum Islam dapat berkembang dan dipraktikkan oleh umatnya tanpa ada hambatan apapun dari VOC. Bahkan bisa dikatakan VOC ikut membantu untuk menyusun suatu peraturan yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam dan berlaku dikalangan umat Islam. 11 Setelah kekuasaan VOC berakhir dan digantikan oleh Belanda, maka seperti yang terlihat bahwa sikap Belanda berubah terhadap Hukum Islam, kendati perubahan itu terjadi secara perlahan-lahan. Setidaknya perubahan itu dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, menguasai Indonesia sebagai wilayah yang mempunyai sumber daya alam yang cukup kaya. Kedua, menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang Indonesia dengan proyek Kristenisasi. Ketiga, keinginan Belanda ingin menata dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. 12 Kendatipun terbatas pada pelaksanaan hukum keluarga, Hukum Islam telah teraplikasi dalam kehidupan masyarakat Islam walaupun masih dalam ruang lingkup yang sangat terbatas yaitu hukum kekeluargaan saja. Menarik untuk dicermati, terrnyata pemerintah Belanda memberikan perhatian yang serius terhadap perjalananan Hukum Islam. Hal ini terlihat dari instruksi-instruksi yang diterbitkannya kepada Bupati dan Sultan-sultan berkenaan dengan pelaksanaan Hukum Islam tersebut. Sebagai contoh: melalui Stabl. No. 22 pasal 13, 11 12
Ibid, hal. 9. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
diperintahkan kepada Bupati untuk memperhatikan persoalan Agama Islam dan untuk menjaga supaya pemuka agama dapat melakukan tugas mereka sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat Jawa seperti dalam soal perkawinan, pembagian pusaka dan sejenisnya. 13 Sedangkan perkawinan menurut Hukum Adat berlaku bagi golongan pribumi, yang tidak memeluk agama Islam maupun Kristen. Peraturan tentang perkawinan adat inipun merupakan konsekuensi politik hukum pemerintah Belanda. Sampai abad XIX istilah Hukum Adat ini tidak dikenal. Istilah ini timbul dalam pikiran seorang warga Belanda yaitu Snouck Hurgrone yang mendalami kesusilaan dan kebiasaan berbagai penduduk di Indonesia. 14 Perkawinan adat merupakan suatu hidup bersama yang langgeng dan lestari antara seorang pria dengan seorang perempuan yang diakui oleh persukuan adat yang diarahkan pada pembentukan sebuah keluarga yang dibagi atas tiga kategori, yaitu : 1. Tatanan Patrilineal, yaitu perkawinan dimana pengaturannya menurut garis keturunan
ayah
atau
laki-laki
yang
merupakan
sistem
pengaturan
kemasyarakatan dimana hanya nenek moyang pria dalam garis pria yaitu ayah, ayah dari ayah (kakek) dan seterusnya yang dipandang menentukan dalam menetapkan keturunan dari individu. Melalui pengaturan yang seperti ini, maka di dalam keluarga, kekuasaan dan pengaruh lebih berada pada kaum pria (dari pihak ayah).
13
Ibid, hal. 10. Wila Chandrawila, Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hal. 73. 14
Universitas Sumatera Utara
2. Tatanan Matrilineal, yaitu perkawinan dimana pengaturannya menurut garis keturunan ibu atau perempuan terhadap penentuan keturunan yang merupakan kebalikan dari tatanan patrilineal. Ikatan keturunan keluarga hanya ada pada ibu, ibu dari ibu (nenek) dan seterusnya. 3. Tatanan Parental, yaitu perkawinan yang hubungan kekeluargaan dilihat dari kedua belah pihak yaitu ayah dan ibu. 15 Sejak tahun dua puluhan pada masa dibawah kepemimpinan Belanda, dari golongan Bumiputera diajukan permohonan dengan hormat agar diadakan pembaharuan hukum perkawinan. Kongres pertama kaum perempuan Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta dari tanggal 22 sampai 24 Desember 1928, telah dihadiri oleh wakil-wakil dari 30 organisasi Perempuan Bumiputera (antara lain Wanito Oetomo, Putri Indonesia, Wanita Khatolik, Moehammadiyah bagian Wanita, Serikat Islam bagian wanita). Kongres ini telah berhasil mendirikan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI).16 Kongres pertama PPPI (Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia) yang berlangsung sejak tanggal 29 sampai 31 Desember 1929, telah mencurahkan perhatian yang cukup besar pada masalah-masalah perkawinan. Topik yang dibicarakan adalah antara lain tentang kewajiban perempuan untuk menentang poligami, perkawinan paksa maupun perkawinan anak-anak. Disini telah diterima resolusi yang memuat antara lain permohonan untuk mendesak pemerintah Belanda agar melarang poligami. 17
15
Ibid, hal. 74-75. Ibid, hal. 192. 17 Ibid. 16
Universitas Sumatera Utara
Pada kongres PPPI yang kedua, yang diadakan pada tanggal 20-24 Juli 1935 di Batavia, kembali masalah perkawinan menjadi topik utama. Pada kongres ini, diputuskan bahwa PPPI akan mengadakan penelitian tentang posisi perempuan menurut Hukum Islam, dan memperbaiki posisi perempuan tanpa mengenyampingkan Agama Islam. Pada kongres PPPI yang ketiga yang diadakan di Bandung pada bulan Juli 1938, telah menghasilkan keputusan untuk membentuk sebuah komisi yang diberi tugas untuk merancang Peraturan Perkawinan yang paling adil dan patut. Pada kongres PPPI yang keempat yng berlangsung di Semarang pada bulan Juli 1941 yang membahas tentang upaya peningkatan perempuan di dalam masyarakat, menyediakan ruang dan peluang bagi ruang dan peluang bagi perkawinan berikut seluk beluknya. Kongres ini memutuskan untuk membentuk empat buah komisi kerja yang salah satu diantaranya akan membahas masalah perkawinan yang berhubungan dengan Agama Islam. 18 Sehubungan dengan kongres-kongres tesebut dapat disimpulkan bahwa gerakan perempuan Indonesia yang dimulai pada masa pemerintahan Belanda, di era pemerintahan Presiden Soekarno sampai pada masa pemerintahan Soeharto merupakan kelompok penekan yang tidak kenal menyerah terhadap pembentukan perundang-undangan perkawinan. 19 Ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia memperoleh tempat berpijak yang semakin kokoh, maka desakan untuk membentuk Undang-undang Perkawinan bukan hanya datang dari pergerakan perempuan saja, tetapi dari 18 19
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
kalangan penegak hukum seperti hakim, advokat dan lain-lain juga dengan alasan bahwa undang-undang buatan Belanda yang sampai saat itu masih berlaku dianggap tidak sesuai dengan tatanan hukum Indonesia dan Pancasila. 20 Pada akhir tahun tahun 1950 dengan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 oleh Pemerintah dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk bagi umat Islam. Panitia ini bertugas meninjau kembali semua peraturan perkawinan dan menyusun suatu RUU Perkawinan yang dapat menampung semua kenyataan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pada waktu itu. Keanggotaannya terdiri dari orang-orang yang dianggap ahli mengenai hukum umum, Hukum Islam dan Kristen dari berbagai aliran yang diketuai oleh Mr. Tengku Hasan. 21 Pada akhir tahun 1952 panitia tersebut selesai membuat suatu Rancangan Undang-undang (RUU) Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum, yang berlaku untuk semua golongan dan agama, dan peraturan-peraturan khusus yang mengatur hal-hal yang hanya mengenai golongan agama masing-masing. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1952 Panitia menyampaikan RUU Perkawinan Umum serta daftar pertanyaan umum yang mengenai Undang-undang tersebut kepada organisasi dengan permintaan supaya masing-masing memberikan pendapat atau pandangan tentang soal-soal tersebut. 22
20
Ibid. Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 234. 22 Ibid. 21
Universitas Sumatera Utara
Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang dimajukan itu selalu berusaha ke arah kodifikasi dan unifikasi, juga telah mencoba memperbaiki keadaan masyarakat dengan menetapkan antara lain : 1. Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat dari kedua belah pihak, untuk mencegah kawin paksaan dan ditetapkan batas umur 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan. 2. Suami istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 3. Poligami diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agama/perdata yang berlaku bagi orang yang bersangkutan dan diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi syarat keadilan. 4. Harta pembawaan dan harta yang diperoleh masingmasing sendiri tetap menjadi miliki masing-masing dan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 5. Perceraian diatur dengan keputusan pengadilan negeri, berdasarkan alasan-alasan tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalam peraturan yang khusus beragama Islam. 6. Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat dan mengesahkan anak, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, pencabutan kekuasaan orang tua dan perwalian. 23
Dalam rancangan-rancangan yang diajukan oleh komisi ini, terdapat pendapat-pendapat yang menyatakan perlunya suatu Undang-undang umum yang mengatur perkawinan-perkawinan seluruh warga Negara Indonesia dan sekaligus mengatur secara khusus perkawinan berbagai kelompok agama. Walaupun RUU Perkawinan ini telah berhasil diselesaikan, namun dalam pembahasannya di Parlemen mengalami penundaan. Atas suatu inisiatif yang diprakarsai oleh sekelompok anggota Parlemen dibawah pimpinan Ny.Soemarni, maka akhirnya RUU Perkawinan mulai dibahas dalam Parlemen. Pada saat itu telah ada tiga buah
23
Ibid, hal. 234-235.
Universitas Sumatera Utara
RUU Pekawinan yaitu dua buah RUU berasal dari Komisi yang diketuai oleh Mr. Tengku Hasan dan satu buah RUU dari Ny. Soemarnie dan kawan-kawan. Pada prinsipnya masih ada persamaan antara RUU Perkawinan oleh Komisi Hasan dan RUU Perkawinan dari DPR, namun ada dua perbedaan penting antara pengusulanpengusulan tersebut : -
RUU Perkawinan yang berasal dari Komisi Hasan menyatakan bahwa di samping sebuah RUU Perkawinan yang berlaku bagi setiap warga Negara, juga peraturan-peraturan yang berlaku bagi kelompok-kelompok keagamaan yang didalamnya poligami diperkenankan.
-
Sedangkan dari kelompok Ny. Soemarni meliputi hanya pemberlakuan suatu Undang-undang Umum yang didalamnya semata-mata hanya mengakui adanya monogami (kendatipun demikian RUU Perkawinan yang disebut terakhir juga memberikan ruang dan peluang bagi suatu peraturan perudangundangan perkawinan untuk kelompok-kelompok keagamaan yang berbedabeda, namun semuanya tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang yang berlaku bagi setiap warga Negara). 24 Satu tahun setelah pengajuan pengusulan, dalam bulan Oktober 1959.
RUU Ny. Soemarni tersebut ditarik kembali oleh para pengajunya, karena kendatipun memperoleh perhatian besar oleh sejumlah besar anggota DPR, rancangan tersebut tampaknya tidak berpeluang untuk dibicarakan. Para anggota dari Partai Islam mengadakan perlawanan, terutama terhadap asas monogami
24
Wila Chandrawila, Op. Cit., hal. 196.
Universitas Sumatera Utara
yang dikandung rancangan ini. Tampaknya perlu dikemukakan disini apa yang menjadi alasan salah seorang dari kelompok Islam. 25 Mengenai dua buah RUU, yang disusun oleh Komisi Hasan, sementara belum ada keputusan yang diambil oleh Parlemen. Kemudian dalam tahun 1963 sebuah Seminar tentang Hukum Nasional diselenggarakan dan disponsori berturut-turut oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN), yakni sebuah Badan Penguasa untuk meningkatkan perundang-undangan nasional dan Persatuan Hakim Indonesia yang cukup berpengaruh pula. Di dalam seminar ini diterima sebuah resolusi mengenai keharusan adanya pembentukan suatu Undangundang Perkawinan yang seragam. Bagi Lembaga Pembinaan Hukum Nasional itu sendiri nampaknya pertemuan ini merupakan dorongan penting, yaitu untuk menyibukkan diri dengan problema terbentuknya suatu perundang-undangan perkawinan Indonesia sendiri. 26 Setelah setahun lamanya LPHN tersebut telah menyiapkan sebuah peraturan perkawinan bagi kaum muslimin, dan pada tahun 1968 telah dirampungkan sebuah rancangan tentang asas-asas perkawinan. Sampai dengan berakhirnya tahun parlementer 1971, dua buah rancangan tersebut termuat dalam agenda DPR, akan tetapi kembali anggota-anggota Parlemen ini tidak berhasil mengambil keputusan. 27 Hampir selama dua bulan dasawarsa telah diikhtiarkan menghasilkan pembentukan sebuah perundang-undangan perkawinan nasional, yang oleh DPR selama beberapa tahun telah diterima pengusulan dari tiga pihak yang berlainan 25
Ibid. Ibid, hal. 197. 27 Ibid. 26
Universitas Sumatera Utara
(Komisi Hasan, Kelompok Soemarnie dan LPHN), telah berimbang sebagaimana mestinya, namun dipandang belum memadai adanya. Ketidakberhasilan selama dua puluh tahun penuh itu untuk membentuk sebuah Undang-undang Perkawinan Indonesia sendiri, terutama diakibatkan oleh pihak Islam di dalam DPR yang tetap mempertahankan dengan gigih asas poligami tersebut. 28 Pada tahun 1972 telah dimulai kembali dengan upaya percobaan keempat pembentukan RUU Perkawinan yang diharapkan memperoleh persetujuan dari DPR. Dalam hal ini pekerjaan tersebut dilakukan oleh pejabat-pejabat Departemen Kehakiman. Pada pertengahan tahun 1973, Presiden Republik Indonesia menyampaikannya kepada DPR, bersamaan dengan hal tersebut, RUU tahun 1967 dan 1968 ditarik kembali. Rancangan yang diajukan pada tanggal 31 Juli 1973 tersebut menyebabkan sedikit keributan dalam masyarakat. Kelompokkelompok dan individu-individu menyatakan kepuasan maupun keberatan terhadap RUU tersebut, sehingga perlu diadakan pembicaraan yaitu pembicaraan pada tingkat I yang dilakukan pada tanggal 30 Agustus 1973 dimana pemerintah diwakili oleh 2 (dua) menteri yaitu Menteri Kehakiman dan Menteri Agama. Kemudian pada pembicaraan tingkat II tanggal 17 dan 18 September 1973, dimana para anggota DPR memberikan pendangan umumnya atas RUU Perkawinan yang diajukan pemerintah tersebut. Berbicara pada kesempatan itu sebanyak 9 (sembilan) orang anggota masing-masing seorang dari fraksi Karya Pembangunan, seorang dari fraksi Partai Demokrasi Pembangunan dan 5 (lima) orang dari fraksi Persatuan Pembangunan. Pemerintah menanggapi pandangan
28
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
para anggota DPR ini dan tanggapannya disampaikan oleh Menteri Agama pada tanggal 27 September 1973. 29 Dalam rapatnya pada tanggal 30 Nopember 1973, Badan Musyawarah DPR memutuskan pembicaraan tingkat III akan dilakukan oleh gabungan Komisi III dan Komisi IX. Dari gabungan Komisi III dan Komisi IX akan dibentuk suatu Panitia Kerja yang bertugas sebagai suatu komisi dengan jumlah anggota sebanyak 10 (sepuluh) orang. Panitia kerja ini dibentuk oleh Rapat Gabungan Komisi III dan Komisi IX pada tanggal 6 Desember 1973 dengan anggota sebanyak 10 (sepuluh) orang yakni dua orang dari fraksi Angkatan Bersenjata, dua orang dari fraksi Karya Pembangunan, dua orang dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia dan empat orang dari fraksi Persatuan Pembangunan, komisi gabungan ini diketuai oleh Djamal Ali, S.H. 30 Sebelum tanggal 8 Oktober 1973 Komisi III dan Komisi IX telah mengadakan rapat gabungan untuk membicarakan prosedur teknis pembahasan RUU Perkawinan tersebut. Kemudian pada tanggal 15 Oktober 1973, pimpinan Komisi III dan Komisi IX mengadakan inventarisasi persoalan yang muncul dari RUU Perkawinan dibawah koordinator Wakil Ketua DPR Domo Pranoto. 31 Dari tanggal 6 Desember 1973 sampai dengan 20 Desember 1973 diadakan pembicaraan tingkat III, dimana panitia kerja yang dibentuk pada tanggal 6 Desember 1973 lalu mempunyai status seperti komisi guna mengadakan pembicaraan bersama dengan pemerintah. Panitia kerja dalam melaksanakan tugasnya melakukan rapat-rapat internal panitia untuk menjajaki pendirian 29 30 31
Ibid., hal. 198. Rachmadi Usman, Op. Cit., hal. 241. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
masing-masing fraksi sejauh mungkin untuk membulatkan pendapat dalam kalangan panitia dan jika hal tersebut tercapai maka masalah tersebut akan dibawa ke dalam rapat kerja dengan pemerintah yang sifatnya terbuka. Rapat kerja ini dilakukan apabila hal-hal yang akan dibahas adalah hal-hal yang bersifat umum. Selanjutnya apabila hal-hal ini telah selesai maka kemudian dilakukan rapat kerja bersama yang bersifat tertutup, mengenai rumusan-rumusan yang sifatnya konkrit dalam bentuk pasal demi pasal. Cara-cara tersebut tercapai dengan baik karena adanya suasana kerja yang baik, toleransi yang besar, dan kesediaan saling memberi dan menerima dalam musyawarah. Hal ini didukung pula oleh fraksifraksi yang menyadari akan pentingnya masalah yang dibahas dan tanggung jawab sebagai salah satu badan kelengkapan. Anggota panitia kerja, baik perorangan maupun atas nama fraksinya mendapat kesempatan yang besar untuk mengemukakan pendapatnya masing-masing dan semua pembicaraan disemangati oleh cita-cita yang sama, yakni mewujudkan Undang-undang Perkawinan yang sejauh mungkin dapat memenuhi aspirasi hukum yangn hidup di dalam masyarakat sekaligus memberi pengarahan bagi perkembangan hukum di masa depan. 32 Dengan
kesadaran
dan
tujuan
yang
sama
itulah
kemudian
dimusyawarahkan dengan sungguh-sungguh isi RUU Perkawinan agar dapat menampung segala aspirasi dari masyarakat dan memberikan formulasi secara teknis yuridis. Dalam membentuk isi dari RUU Perkawinan tersebut diusahakan dapat mempertemukan aspirasi hukum yang berbeda-beda, namun hal tersebut
32
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
tidak dapat dilakukan, maka kemungkian dengan melakukan suatu pengecualian dilakukan sebagai suatu pola untuk mengatasi kesulitan tersebut, apabila hal tersebut juga tidak dapat dilakukan maka materi yang menjadi permalasahan tadi akan dicabut dari RUU Perkawinan. RUU Perkawinan yang telah disetujui oleh DPR tersebut telah mengalami perubahan, penambahan, dan penghapusan beberapa pasal dari naskah asli yang disampaikan oleh pemerintah. Pasal-pasal yang mengalami perubahan meliputi pasal 1 dan Pasal 2, dan pasal-pasal yang mengalami penghapusan adalah Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13, 14, 43 dan 62. Mengenai asas poligami telah dipertahankan dalam arti masih dimungkinkan dalam hal-hal tertentu dan dimintakan putusan pengadilan. Demikian juga masalah perceraian hanya dimungkinkan apabila alasan-alasannya cukup dan harus melalui prosedur pengadilan. 33 Akhirnya pada tanggal 22 Desember 1973, pada pembicaraan tingkat IV, DPR mengambil keputusan dengan didahului pendapat akhir dari fraksi-fraksi di DPR, yang menyetujui disahkannya RUU Perkawinan dengan perubahan perumusan dan dihapuskan beberapa pasal yang merupakan hasil panitia kerja RUU tentang Perkawinan untuk menjadi Undang-undang tentang Perkawinan. Selanjutnya pada tanggal 2 Januari 1974 RUU tentang Perkawinan yang telah disetujui oleh DPR tersebut disahkan dan diundangkan menjadi Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang baru berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 karena masih diperlukan langkah-langkah persiapan dan
33
Ibid, hal. 242.
Universitas Sumatera Utara
serangkaian petunjuk-petunjuk pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 agar dapat berjalan dengan aman, tertib dan lancar. 34 Dengan berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974, maka telah terjadi perubahan fundamental terhadap kodifikasi hukum barat. Karena Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan perkawinan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) tidak berlaku lagi. Pernyataan ini membawa pengaruh dimana sebagian ketentuan dalam pasal-pasal dari Buku I Burgerlijk Wetboek yang mengatur tentang perkawinan dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 memuat kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan perkawinan dalam garis besar secara pokok, yang selanjutnya akan ditindaklanjuti dalam berbagai peraturan pelaksanaannya. Hal ini berarti Undang-undang Perkawinan akan menjadi sumber pokok bagi pengaturan hukum perkawinan, perceraian dan rujuk yang berlaku bagi semua warga Negara Indonesia. 35 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pada mulanya dimaksudkan untuk mengodifikasi
hukum
perkawinan
yang
bersifat
nasional,
disamping
mengunifikasikan hukum perkawinan. Akan tetapi setelah disahkan, bukan hukum perkawinan yang bersifat nasional yang tercapai, melainkan kompilasi hukum perkawinan nasional yang bersifat nasional yang belum tuntas dan menyeluruh, sebab Undang-undang Perkawinan masih merujuk dan memberlakukan berbagai peraturan perundang-undangan yang lama yang ada sebelumnya, termasuk ketentuan hukum adat dan hukum agama atau kepercayaan masing-masing yang 34 35
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
mengatur mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan. Rumusan ketentuan dalam pasal-pasal Undang-undang Perkawinan mencerminkan teknik kompilasi hukum sebagai modifikasi pelaksanaan unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional. 36 Dengan demikian, Undang-undang Perkawinan bermaksud mengadakan unifikasi dalam bidang hukum perkawinan tanpa menghilangkan kebhinekaan yang masih harus dipertahankan, karena masih berlakunya ketentuan-ketentuan perkawinan yang beraneka ragam dalam masyarakat hukum Indonesia. Dengan sendirinya Undang-undang Perkawinan mengadakan perbedaan kebutuhan hukum perkawinan, yang berlaku secara khusus bagi golongan penduduk warga Negara Indonesia tertentu yang didasarkan pada hukum masing-masing agamanya itu. Bagi umat beragama selain tunduk pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974, juga tunduk pada ketentuan hukum agamanya atau kepercayaan agamanya sepanjang belum diatur dalam Undang-undang Perkawinan. Hal-hal yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan terbatas pada mengatur soal-soal perkawinan yang belum diatur oleh hukum masing-masing agamanya atau kepercayaan agamanya tersebut. 37 Untuk melaksanakan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang telah diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secara efektif, maka masih diperlukan peraturan-peraturan pelaksanaannya, antara lain yang menyangkut tentang masalah-masalah :
36 37
Ibid. Ibid, hal. 245-246.
Universitas Sumatera Utara
1. Pencatatan Perkawinan 2. Tata cara pelaksanaan perkawinan 3. Tata cara perceraian 4. Cara mengajukan gugatan perceraian 5. Tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan. 6. Pembatalan perkawinan. 7. Ketentuan dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang. 38 Sebagai tindak lanjutnya, pada tanggal 1 April 1975 oleh pemerintah ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undangundang No. 1 Tahun 1974. Dalam peraturan Pemerintah ini, memuat ketentuan tentang masalah-masalah yang dikemukakan di atas, yang diharapkan akan dapat memperlancar pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974. 39
B. Pengertian Perkawinan Kawin (nikah) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti hukum ialah aqad atau perjanjian yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita. 40 Pengertian perkawinan ditinjau dari sudut pandang Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan Untuk memahami secara mendalam tentang hakikat perkawinan maka harus dipahami secara menyeluruh ketentuan tentang perkawinan. Ketentuan tersebut adalah Undang-undang No. 1 Tahun 1974
38
Ibid. hal. 251 Ibid. hal. 252 40 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis Dari Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Jakarta: Bumi Aksara, 1966, hal. 1. 39
Universitas Sumatera Utara
terutama pasal 1, merumuskan bahwa : “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan menurut Hukum Islam, terdapat perbedaan antara pendapat yang satu dengan yang lainnya mengenai pengertian perkawinan. Tetapi perbedaan pendapat ini sebenarnya bukan perbedaan yang prinsip. Perbedaan itu hanya terdapat pada keinginan para perumus untuk memasukkan unsur-unsur yang sebanyak-banyaknya dalam perumusan perkawinan antara pihak satu dengan pihak lain. 41 Walaupun ada perbedaan pendapat tentang perumusan pengertian perkawinan, tetapi dari semua rumusan yang dikemukakan ada satu unsur yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat, yaitu bahwa perkawinan itu merupakan suatu perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Perjanjian disini bukan sekedar perjanjian seperti jual beli atau sewa menyewa tetapi perjanjian dalam perkawinan adalah merupakan suatu perjanjian yang suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. 42 Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita. Sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut calon
41 42
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
mempelai wanita dan pria saja, tetapi orang tua kedua belah pihak, saudarasaudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing. 43 Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam juga memberikan penjelasan tentang perkawinan yaitu perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah. 44 Menurut Soemiyati, nikah adalah melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dengan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang diridhoi oleh Allah. 45 Perkawinan merupakan suatu hal yang mempunyai akibat yang luas di dalam hubungan hukum antara suami dan istri. Dengan perkawinan itu timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban, misalnya: kewajiban untuk bertempat tinggal yang sama, setia kepada satu sama lain, kewajiban untuk memberikan nafkah rumah tangga, hak waris dan sebagainya. Suatu hal yang penting yaitu bahwa si istri seketika tidak dapat bertindak sendiri. 46
43
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1967), hal. 122. 44 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1977), hal. 10. 45 Soemiyati, SH, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undangundang No. 1 Tahun 1974) , (Yogyakarta: Liberty, 2000), hal. 8. 46 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), hal. 93.
Universitas Sumatera Utara
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian perkawinan menurut Hukum Islam mengandung tiga aspek yaitu, aspek agama, aspek sosial dan aspek hukum yang penjelasannya sebagai berikut:
47
a. Aspek Agama Aspek agama dalam perkawinan ialah bahwa Islam memandang dan menjadikan perkawinan itu sebagai basis suatu masyarakat yang baik dan teratur, sebab perkawinan tidak hanya dipertalikan oleh ikatan lahir saja, tetapi diikat juga dengan ikatan batin dan jiwa. Menurut ajaran Islam perkawinan itu tidaklah hanya sebagai persetujuan biasa melainkan merupakan suatu persetujuan suci, dimana kedua belah pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling meminta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah. 48 b. Aspek Sosial Perkawinan dilihat dari aspek sosial memiliki artinya yang penting yaitu : 1) Dilihat dari penilaian umum pada umumnya berpendapat bahwa orang yang melakukan perkawinan mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari pada mereka yang belum kawin. Khusus bagi kaum wanita dengan perkawinan akan memberikan kedudukan sosial tinggi karena ia sebagai istri dan wanita mendapat hak-hak serta dapat melakukan tindakan hukum dalam berbagai lapangan mu’amalat, yang tadinya ketika masih gadis terbatas.
47 48
Soemiyati, SH, Op. Cit, hal. 10. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2) Sebelum adanya peraturan tentang perkawinan dulu wanita bisa dimadu tanpa batas dan tanpa bisa berbuat apa-apa, tetapi menurut ajaran agama Islam dalam perkawinan mengenai kawin poligami ini bisa dibatasi empat orang, asal dengan syarat laki-laki itu bisa bersifat adil dengan istriistrinya. 49 c. Aspek Hukum Di dalam aspek hukum ini perkawinan diwujudkan dalam bentuk akad nikah yakni merupakan perjanjian yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Perjanjian dalam perkawinan ini mempunyai tiga karakter yang khusus yaitu : 1) Perkawinan tidak dapat dilaksanakan tanpa unsur suka rela dari kedua belah pihak. 2) Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukumnya. 3) Persetujuan perkawinan itu mengatur bata-batas mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. 50
C. Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan pada dasarnya adalah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan sebuah kehidupan rumah tangga yang damai dan tentram.
49 50
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Undang-undang No.1 tahun 1974, pasal 1 merumuskan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari rumusan tersebut dapat dimengerti bahwa tujuan pokok perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual maupun material. Selain itu, tujuan material yang akan diperjuangkan oleh suatu perjanjian perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, sehingga bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan penting (Penjelasan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan). Jadi perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan material, yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaa Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila. 51 Berdasarkan uraian diatas maka tujuan perkawinan dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Melaksanakan ikatan perkawinan antara pria dan wanita yang sudah dewasa guna membentuk kehidupan rumah tangga.
51
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
b. Mengatur kehidupan seksual antara seorang laki-laki dan perempuan sesuai dengan ajaran dan firman Tuhan Yang Maha Esa. c. Memperoleh keturunan untuk melanjutkan kehidupan kemanusiaan dan selanjutnya memelihara pembinaan terhadap anak-anak untuk masa depan. d. Memberikan ketetapan tentang hak kewajiban suami dan istri dalam membina kehidupan keluarga. e. Mewujudkan kehidupan masyarakat yang teratur, tentram dan damai. 52 Sedangkan tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, untuk berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dorongan dasar cinta kasih, serta untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syari’ah. 53 Selain itu ada pendapat yang mengatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani
manusia, juga
sekaligus untuk membetuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalankan hidupnya di dunia ini, juga untuk mencegah perzinaan, agar tercipta ketenangan daan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat. 54
52
Ibid. Ibid. 54 M. Idris Ramulyo, Op.Cit, hal. 26. 53
Universitas Sumatera Utara
Dari rumusan itu dapat diperinci rumusan sebagai berikut: a. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat manusia. b. Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih. c. Memperoleh keturunan yang sah. 55 Berdasarkan uraian tersebut diatas, filosof Islam Ghozali yang dikutip oleh Soemiyati juga mengemukakan tujuan dan faedah perkawinan menjadi lima macam yaitu:
56
a. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia. b. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan c. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan. d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar atas dasar kecintaan dan kasih sayang e. Menumbuhkan kesungguhan berusaha untuk mencari rezeki penghidupan yang halal dan memperbesar rasa tanggung jawab. Untuk lebih jelasnya mengenai tujuan dan faedah perkawinan di atas maka akan diuraikan satu persatu sebagai berikut: 57 a. Untuk memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta akan memperkembangkan suku-suku bangsa manusia. Memperoleh keturunan dalam perkawinan bagi penghidupan manusia mengandung pengertian dua segi yaitu: 55
Ibid. Soemiyati, Op.Cit, hal. 12. 57 Ibid. 56
Universitas Sumatera Utara
1) Untuk kepentingan diri pribadi. Memperoleh keturunan merupakan dambaan setiap orang. Bisa dirasakan bagaimana perasan seorang suami istri yang hidup berumah tangga tanpa seorang anak, tentu kehidupannya akan sepi dan hampa. Disamping itu keinginan untuk memperoleh anak bisa dipahami, karena anak-anak itulah yang nantinya bisa diharapkan membantu orangtua dan keluarganya di kemudian hari. 2) Untuk kepentingan yang bersifat umum atau universal Dari aspek yang bersifat umum atau universal karena anak-anak itulah yang menjadi penghubung atau penyambung keturunan seseorang dan yang akan berkembang untuk meramalkan dan memakmurkan dunia. 58 b. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan. Tuhan telah menciptakan manusia dengan jenis kelamin yang berlainan yaitu laki-laki dan perempuan. Sudah menjadi kodrat manusia bahwa antara lakilaki dan perempuan memiliki daya tarik. Daya tarik ini adalah kebirahian atau seksual. Sifat ini yang merupakan tabiat kemanusiaan. Dengan perkawinan pemenuhan tuntutan tabiat kemanusiaan dapat disalurkan secara sah. 59 c. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan. Dengan perkawinan manusia akan selamat dari perbuatan amoral, disamping akan merasa aman dari keretakan sosial. Bagi orang yang memiliki pengertian dan pemahaman akan nampak jelas bahwa jika ada kecenderungan lain jenis itu dipuaskan dengan perkawinan yang disyari’atkan dengan hubungan yang 58 59
Ibid. Ibid, hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
halal. Maka manusia baik secara individu maupun kelompok akan menikmati adab yang utama dan ahklak yang baik. Dengan demikian masyarakat dapat melaksanakan risalah dan memikul tanggung jawab yang dituntut oleh Allah. 60 d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis utama dari masyarakat yang besar atas dasar kecintaan dan kasih sayang. Ikatan perkawinan adalah ikatan lahir batin yang berupa asas cinta dan kasih sayang merupakan salah satu alat untuk memperkukuh ikatan perkawinan. Di atas rasa cinta dan kasih sayang inilah kedua belah pihak yang melakukan ikatan perkawinan itu berusaha membentuk rumah tangga yang bahagia. Dari rumah tangga inilah kemudian lahir anak-anak, kemudian bertambah luas menjadi rumpun keluarga demikian seterusnya sehingga tersusun masyarakat besar. Dengan demikian tanpa adanya perkawinan, tidak mungkin ada keluarga dan dengan sendirinya tidak ada pula unsur yang mempersatukan bangsa manusia dan selanjutnya tidak ada peradaban. Hal ini sesuai dangan pendapat Mohammad Ali yang dikutip oleh Soemiyati mengatakan bahwa: “Keluarga yang merupakan kesatuan yang nyata dari bangsa-bangsa manusia yang menyebabkan terciptanya peradaban hanyalah mungkin diwujudkan dengan perkawinan”. Oleh sebab itu dengan perkawinan akan terbentuk keluarga dan dengan keluarga itu akan tercipta peradaban. 61
60 61
Ibid, Ibid, hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
e. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki kehidupan yang halal dan memperbesar rasa tanggung jawab. Pada umumnya pemuda dan pemudi sebelum melaksanakan perkawinan, tidak memikirkan soal penghidupan, karena tanggung jawab mengenai kebutuhan kehidupan masih relatif kecil dan segala keperluan masih ditanggung orang tua. Tetapi setelah mereka berumah tangga mereka mulai menyadari akan tanggung jawabnya dalam mengemudikan rumah tangga. Suami sebagai kepala keluarga mulai memikirkan bagaimana mulai mencari rezeki yang halal untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Dengan keadaan yang demikian akan menambah aktifitas kedua belah pihak, suami akan berusaha dan bersungguh-sungguh dalam mencari nafkah atau rezeki apalagi jika mereka sudah memiliki anak. 62
D. Asas-asas Perkawinan Adapun asas-asas perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yaitu : a. Asas Sukarela Dalam Pasal 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang sejahtera, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum
62
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sehubungan dengan hal tersebut di atas agar perkawinan terlaksana dengan baik, maka perkawinan yang dilaksanakan itu haruslah didasarkan dengan persetujuan kedua mempelai. Agar suami istri dapat membentuk keluarga bahagia, sejahtera dan kekal, maka diwajibkan bagi calon mempelai untuk saling mengenal terlebih dahulu. Perkenalan yang dimaksud dalam hal ini adalah perkenalan atas dasar moral dan tidak menyimpang dari norma agama yang dianutnya. Orang tua dilarang memaksa anak-anaknya untuk dijodohkan dengan pria atau wanita pilihan orang tua, melainkan diharapkan dapat membimbing dan menuntun anak-anaknya untuk memilih pasangan hidup yang serasi bagi mereka yang sesuai dengan anjuran agama. Sesuai dengan prinsip hak asasi manusia, maka kawin paksa sangat dilarang oleh Undang-undang Perkawinan ini.
63
Batas umur yang dikehendaki Undang-undang No. 1 tahun 1974 adalah minimal 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi laki-laki. Penyimpangan dari batas umur yang ditentukan dalam Undang-undang ini harus mendapat dispensasi terlebih dahulu dari pengadilan. Pengajuan dispensasi dapat diajukan oleh orang tua atau wali dari calon mempelai yang belum mencapai batas umur minimal yang telah ditentukan tersebut. Antara kedua mempelai harus ada kerelaan yang mutlak untuk melangsungkan perkawinan berdasarkan kesadaran dan keinginan bersama secara ikhlas untuk mengadakan akad sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya. 64
63
Abdul Manan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal. 6-7. 64 Ibid, hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
b. Asas Partisipasi Keluarga Meskipun calon mempelai diberi kebebasan untuk memilih pasangan hidupnya berdasarkan asas sukarela, tetapi karena perkawinan itu merupakan suatu peristiwa yang penting dalam kehidupan seseorang, maka partisipasi keluarga sangat diharapkan di dalam pelaksanaan akad perkawinan tersebut. Pihak keluarga masing-masing diharapkan memberikan restu perkawinan kepada kedua mempelai. Hal ini sesuai dengan sifat dan kepribadian bangsa Indonesia yang penuh dengan etika sopan, santun dan religius. Sehubungan dengan hal tersebut diatas bagi para mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin terlebih dahulu dari orang tuanya sebelum melaksanakan perkawinannya. Dalam keadaan orang tuanya tidak ada atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin tersebut didapat diperoleh dari walinya, atau keluarga dalam garis lurus ke atas. Seandainya pihak-pihak tersebut keberatan, maka izin untuk melangsungkan perkawinan tersebut dapat diperoleh dari Pengadilan Umum bagi orang-orang non-muslim dan Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam (Pasal 6 ayat (4) dan (5) Undang-undang No. 1 Tahun 1974). 65 Partisipasi keluarga diharapkan dalam peminangan dan dalam hal pelaksanaan perkawinan. Dengan demikian diharapkan dapat terjalin hubungan silahturahmi antara pihak keluarga kedua mempelai, dan dengan harapan agar dapat membimbing pasangan yang baru menikah itu agar dapat
65
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
menciptakan rumah tangga yang baik sesuai dengan norma-norma yang berlaku. 66 c. Perceraian Dipersulit Undang-undang No. 1 Tahun 1974 berusaha menekan angka perceraian pada titik yang paling rendah. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa perceraian yang dilakukan tanpa kendali dan sewenang-wenang dapat mengakibatkan kehancuran bukan hanya pada pasangan suami-istri tersebut, juga kepada anak-anak mereka yang seharusnya diasuh dan dipelihara dengan baik. Oleh karena itu, pasangan suami-istri yang telah menikah secara sah harus bertanggung jawab dalam membina keluarga agar perkawinan yang telah dilangsungkan itu dapat utuh sampai maut memisahkan. Banyak sosiolog menyatakan bahwa berhasil atau tidaknya dalam membina masyarakat sangat ditentukan oleh masalah perkawinan yang merupakan salah satu faktor diantara beberapa faktor yang lain. Kegagalan membina rumah tangga bukan hanya membahayakan rumah tangga itu sendiri, tetapi juga berpengaruh bagi kehidupan masyarakat. Sebagian kenakalan remaja yang terjadi di beberapa Negara disebabkan oleh keluarga yang berantakan. 67 Penggunaan hak cerai dengan sewenang-wenang dengan dalih bahwa perceraian itu adalah hak suami harus segera dihilangkan. Pemikiran yang keliru itu harus segera diperbaiki. Hal cerai tidak dipegang oleh suami saja, tetapi istri juga dapat menggugat cerai suaminya apabila ada hal-hal yang menurut keyakinan rumah tangga yang telah dibina tersebut sudah tidak dapat 66 67
Ibid, hal. 8. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dipertahankan dan diteruskan. Untuk itu Undang-undang Perkawinan merumuskan bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan pengadilan. Perceraian yang dilaksanakan di luar pengadilan dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum, dengan demikian tidak diakui kebenarannya di mata hukum. Pengadilan berusaha semaksimal mungkin untuk mendamaikan kedua belah pihak untuk rukun kembali. Undang-undang Perkawinan tidak melarang perceraian tetapi mempersulit pelaksanaannya, artinya tetap dimungkinkan perceraian jika seandainya memang benar-benar tidak dapat dihindarkan, dan harus dilakukan secara baik-baik di depan sidang pengadilan. Perceraian yang demikian merupakan hal yang baru dalam masyarakat Indonesia, yang sebelumnya
hak
cerai
pelaksanaannya dapat
sepenuhnya
berada
di
tangan
suami
yang
dilakukan semaunya yang sama sekali tidak
memperhatikan hak-hak istri dan anak-anaknya. 68 d. Poligami Dibatasi dengan Ketat Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah bersifat monogami, namun demikian mempunyai istri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianutnya, serta memenuhi alasan dan persyaratan tertentu yang ditetapkan dengan Uundang-undang Perkawinan lebih dari satu orang dapat dilaksanakan apabila ada izin dari istrinya dan baru dapat dilaksanakan apabila ada izin dari Pengadilan Agama terlebih dahulu. Dalam pasal 4 dan pasal 5 Undang-undang No. 1 tahun 1974 dijelaskan bahwa seorang pria yang bermaksud kawin lebih
68
Ibid, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
dari satu orang harus dengan alasan bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Dalam hal ini tidak dijelaskan secara rinci apakah ketentuan tersebut bersifat kumulatif atau alternatif. Oleh karena itu, penggunaan alasan-alasan tersebut diserahkan kepada Hakim. 69 Selain itu, dijelaskan pula di dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 terutama pada penjelasannya yang termuat beberapa asas dan prinsip perkawinan. Asas-asas dan prinsip-prinsip perkawinan tersebut adalah : 70 a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan
menurut
hukum
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya, disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. c. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan mengijinkannnya, seorang suami dapat beristri lebih dari satu orang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari 69 70
Ibid, hal. 10 Lihat Penjelasan Ketentuan Umum UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila memenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Batas umur untuk melakukan perkawinan minimal masing-masing pria berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun. e. Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasanalasan yang tertentu serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan. f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami dan istri. 71 Jika disederhanakan, asas perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974, antara lain:
72
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. 2. Sahnya perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing 71
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), hal. 10. Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), hal. 53. 72
Universitas Sumatera Utara
3. Asas monogami 4. Calon suami dan isteri harus telah dewasa jiwa dan raganya. 5. Mempersulit terjadinya perceraian. 6. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.
E. Syarat-syarat Sahnya Perkawinan. Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku, apabila perkawinan itu dilaksanakan tidak menurut tata tertib hukum yang telah ditentukan maka perkawinan itu tidak sah. Jadi kalau tidak menurut aturan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 berarti tidak sah menurut perundang-undangan. 73 Menurut Prodjohamidjojo, perkawinan dianggap sah jika diselenggarakan : 1. Menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan; 2. Secara tertib menurut hukum syari’ah (bagi yang beragama Islam); dan 3. Dicatat menurut perundang-undangan dengan dihadiri oleh Pegawai Pencatat Nikah (pasal 2). 74 Suatu perkawinan bisa dikatakan sah apabila sudah memenuhi syaratsyarat yang ditentukan. Sejalan dengan asas-asas dan prinsip-prinsip perkawinan yang telah disebutkan di atas, Undang-undang Perkawinan meletakkan syaratsyarat yang ketat bagi pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Syaratsyarat itu diatur dalam Bab II pasal 6 sampai 12 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974. Pasal tersebut memuat syarat-syarat sebagai berikut :
73
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Mandar Madju, 1990),
hal. 26. 74
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Karya Gemilang, 2007), hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
1) Adanya persetujuan kedua belah pihak. 2) Adanya ijin orang tua atau wali 3) Batas umur untuk kawin 4) Tidak terdapat larangan kawin 5) Tidak terikat oleh suatu perkawinan yang lain 6) Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami istri yang sama yang akan dikawini. 7) Bagi janda telah lewat masa tunggu (masa iddah) 8) Memenuhi tata cara perkawinan. 75 Batas umur yang dikehendaki Undang-undang ini adalah minimal 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi laki-laki. Penyimpangan dari batas umur yang ditentukan dalam Undang-undang ini harus mendapat dispensasi terlebih dahulu dari pengadilan. Pengajuan dispensasi dapat diajukan oleh orang tua atau wali dari calon mempelai yang belum mencapai batas umur minimal yang telah ditentukan tersebut. Antara kedua mempelai harus ada kerelaan yang mutlak untuk melangsungkan perkawinan berdasarkan kesadaran dan keinginan bersama secara ikhlas untuk mengadakan akad sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya. 76 Bila dilihat dari segi Hukum Islam untuk sahnya perkawinan diperlukan rukun dan syarat tertentu yang telah diatur dalam hukum Islam. Yang dimaksud dengan rukun dari perkawinan adalah hakikat dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya salah satu rukun, perkawinan tidak mungkin dilaksanakan, 75
Gatot Supramono, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, (Jakarta: Djambatan, 1998),
76
Ibid, hal. 69.
hal. 14
Universitas Sumatera Utara
sedangkan yang dimaksud syarat ialah suatu yang harus ada dalam perkawinan tetapi tidak termasuk hakikat perkawinan itu sendiri. Kalau salah satu syarat dari perkawinan itu tidak dipenuhi maka perkawinan itu tidak sah. 77 Adapun yang termasuk dalam rukun perkawinan dalam Islam adalah sebagai berikut : 78 a. Adanya pihak-pihak yang hendak melangsungkan perkawinan Pihak-pihak yang hendak melakukan perkawinan adalah mempelai laki-laki dan perempuan. Kedua mempelai ini harus memenuhi syarat tertentu supaya perkawinan yang dilaksanakan menjadi sah hukumnya. b. Adanya wali Perwalian dalam istilah fiqih disebut dengan penguasaan atau perlindungan, jadi arti perwalian ialah penguasaan penuh oleh agama untuk seseorang guna melindungi barang atau orang. Dengan demikian orang yang diberi kekuasaan disebut wali. Kedudukan wali dalam perkawinan adalah rukun dalam artian wali harus ada terutama bagi orang-orang yang belum mu’alaf, tanpa adanya wali suatu perkawinan dianggap tidak sah. c. Adanya dua orang saksi Dua orang laki-laki yang akan dijadikan saksi dalam perkawinan merupakan rukun perkawinan oleh sebab itu tanpa dua orang saksi perkawinan dianggap tidak sah. Keharusan adanya saksi dalam perkawinan dimaksudkan sebagai kemaslahatan kedua belah pihak antara suami dan istri. Misalkan terjadi
77 78
Soemiyati, Op. Cit., hal. 55. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
tuduhan atau kecurigaan orang lain terhadap keduanya maka dengan mudah keduanya dapat menuntut saksi tentang perkawinannya. d. Adanya sighat aqad nikah Sighat aqad nikah adalah perkataan atau ucapan yang diucapkan oleh calon suami atau calon istri. Sighat aqad nikah nikah ini terdiri dari “ijab” dan “qobul”. Ijab yaitu pernyataan dari pihak calon isteri, yang biasanya dilakukan oleh wali pihak calon istri yang maksudnya bersedia dinikahkan dengan calon suaminya. Qobul yaitu pernyatan atau jawaban pihak calon suami bahwa ia menerima kesediaan calon isterinya menjadi isterinya. 79 Selain rukun beserta syarat yang sudah diuraikan di atas, masih ada hal yang harus dipenuhi sebagai syarat sahnya perkawinan yaitu mahar. Mahar adalah pemberian wajib yang diberikan dan dinyatakan oleh calon suami kepada calon isterinya dalam sighat aqad nikah yang merupakan tanda persetujuan adanya kerelaan dari mereka untuk hidup bersama sebagai suami isteri. 80 Bila dilihat dari pembagiannya, syarat-syarat perkawinan dibagi atas dua bagian, yaitu syarat formil dan syarat materil yang diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat materil, sedangkan Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil.
81
79
Ibid Ibid, hal. 56. 81 Hukum Perdata : Syarat-syarat Perkawinan, http://kuliahade.wordpress.com/2010/03/30/ hukum-perdata-syarat-syarat-perkawinan/, (10 Agustus 2011, pukul 16.58 WIB). 80
Universitas Sumatera Utara
Syarat perkawinan yang bersifat materil dapat disimpulkan dari pasal 6 sampai dengan pasal 11, yaitu: -
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
-
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orangtuanya, apabila salah satunya telah meninggal dunia maka yang digunakan adalah izin dari salah satu orangtuanya yang masih hidup. Namun apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia maka dapat meminta izin kepada walinya.
-
Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
-
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat (2) dan pasal 4.
-
Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.
-
Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. 82 Dalam pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 waktu tunggu itu
adalah sebagai berikut: a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari, dihitung sejak kematian suami.
82
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan adalah 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, yang dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. d. Bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedangkan antara janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin tidak ada waktu tunggu. 83 Pasal 8 Undang-undang No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang: a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas. b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri/periparan. d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan. e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih Dari seorang
83
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
84
Sedangkan syarat perkawinan secara formil dapat diuraikan menurut Pasal 12 UU No. 1 tahun 1974 direalisasikan dalam Pasal 3 sampai Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975. Secara singkat syarat formil ini dapat diuraikan sebagai berikut: •
Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di daerah tempat perkawinan itu akan dilangsungkan, dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum
perkawinan
dilangsungkan.
Pemberitahuan
dapat
dilakukan
lisan/tertulis oleh calon mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur, agama, tempat tinggal calon mempelai (Pasal 3-5) •
Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah sudah memenuhi syarat ataupun belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut (Pasal 6-7).
•
Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat antara lain: Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin. hari, tanggal, waktu dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (pasal 8-9)
84
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
•
Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari kesepuluh yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan istri masingmasing diberikan kutipan akta perkawinan (pasal 10-13). 85
F. Larangan Perkawinan Di dalam Hukum Islam mengenal adanya larangan perkawinan yang dalam fikih disebut dengan mahram (orang yang haram dinikahi). 86 Wanita yang haram dinikahi terbagi dalam tiga kelompok yaitu, wanitawanita seketurunan, wanita-wanita sepersusuan dan wanita-wanita yang haram dikawini karena hubungan persemendaan. 87 Dalam hal larangan perkawinan ini Al Qur’an memberikan aturan tegas dan terperinci. Dalam surat An-Nisa’ ayat 22-23 Allah SWT dengan dengan tegas menyatakan yang artinya : “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci oleh Allah SWT, dan seburuk-buruk jalan yang ditempuh. Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anakanakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara bapakmu yang perempuan, saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari 85
Ibid. Abdul Aziz Dahlan, (ed), Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), hal. 1049. 87 Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit, hal. 146 86
Universitas Sumatera Utara
saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan, ibu-ibu yang menyusukanmu, saudara perempuan yang sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu di dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum mencampurinya dan kamu ceraikan, maka tidak berdosa kamu mengawininya. Dan diharamkan bagimu istri-istri anak kandungmu (menantu) dan menghimpunkan dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Berpijak dari ayat ini maka para ulama membuat rumusan-rumusan yang lebih sistematis sebagai berikut: 88 1. Karena pertalian nasab (hubungan darah) a. Ibu, nenek (dari garis keturunan ibu atau bapak) dan seterusnya ke atas. b. Anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah. c. Saudara perempuan sekandung, seayah dan seibu. d. Saudara perempuan ibu (bibi atau tante) e. Saudara perempuan bapak (bibi atau tante) f. Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung g. Anak perempuan dari saudara laki-laki seayah. h. Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu. i.
Anak perempuan saudara perempuan sekandung
j.
Anak perempuan saudara perempuan seayah.
k. Anak perempuan saudara perempuan seibu.
88
Ibid, hal. 147.
Universitas Sumatera Utara
2. Karena hubungan semenda a. Ibu dari istri (mertua) b. Anak (bawaan) istri yang telah dicampuri (anak tiri). c. Istri bapak (ibu tiri) d. Istri anak (menantu) e. Saudara perempuan istri adik atau kakak ipar selama dalam ikatan perkawinan. 3. Karena pertalian sepersusuan a. Wanita yang menyusui seterusnya ke atas. b. Wanita sepersusuan dan seterusnya menurut garis ke bawah. c. Wanita saudara sepersusuan dan kemanakan sesusuan ke bawah d. Wanita bibi sesusuan dan bibi sesusuan ke atas e. Anak yang disusui oleh istrinya dan keturunan Sedangkan di dalam UU No. 1 tahun 1974, larangan perkawinan ini telah diatur dengan jelas seperti yang terdapat dalam pasal 8 yang menyatakan : 89 Perkawinan dilarang antara dua orang yang : a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas. b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyampng yaitu antar saudara, antara seorang dengan saudara orangtua dan antara seorang dengan saudara neneknya. c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu ibu/bapak tiri. d. Berhubungan susuan, yaitu orangtua susuan, anak susuan, saudara sesusuan dan bibi/paman susuan. e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemanakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang. 89
Ibid, hal. 148.
Universitas Sumatera Utara
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Selanjutnya di dalam pasal 9 Undang-undang Perkawinan dinyatakan “Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undangundang ini.”
90
Pasal di atas menjelaskan larangan bagi seorang pria dan juga wanita untuk melakukan poligami, kecuali ada ketentuan lain yang membolehkan seorang pria untuk menikah lagi. Artinya Undang-undang Perkawinan maju selangkah dengan poligami sebagai salah satu larangan kawin. 91 Berbeda dengan Undang-undang Perkawinan yang hanya memuat secara singkat hal-hal yang termasuk larangan kawin, Kompilasi Hukum Islam menjelaskannya lebih rinci dan tegas. Bahkan Kompilasi Hukum Islam dalam hal ini mengikut sistematika fikih yang telah baku. Masalah larangan kawin ini dimuat pada Bab VI pasal 39 sampai pasal 44. Di dalam pasal 39 dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :
92
1. Karena pertalian nasab : a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau keturunannya. b. Dengan seorang wanita keturunan ayah dan ibu. c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
90
Ibid. Ibid. 92 Ibid. 91
Universitas Sumatera Utara
2. Karena pertalian kerabat semenda : a. Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya. b. Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya. c. Dengan seorang wanita seketurunan istri atau bekas istrinya. d. Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya. 3. Karena pertalian sesusuan : a. Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas. b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah. c. Dengan seorang wnaita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah. d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas. e. Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya. Sedangkan larangan yang bersifat mu’aqqat atau sementara yang termuat pada pasal 40 KHI dinyatakan dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, yaitu :
93
a) Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain. b) Seorang wanita yang masih berada dalam masa ‘iddah dengan pria lain. c) Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
93
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 41 menjelaskan larangan kawin karena pertalian nasab dengan perempuan yang telah dikawini, atau karena sepersusuan. 1) Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau susuan dengan istrinya; a. Saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya. b. Wanita dengan bibinya atau kemenakannya. 2) Larangan pada ayat (1) itu tetap berlaku meskipun istrinya telah ditalak raj’i tetapi masih dalam masa ‘iddah.
94
Selanjutnya dalam pasal 54 KHI juga dijelaskan bahwa: 1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga tidak boleh bertindak sebagai wali nikah. 2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram atau wali nikahnya masih berada dalam ihram, perkawinannya tidak sah. 95 Larangan kawin juga berlaku bagi seorang laki-laki yang telah beristri empat orang dan masih terikat dalam perkawinan atau ditalak raj’i masih dalam masa ‘iddah. Di dalam pasal 42 dinyatakan bahwa seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai empat istri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih ‘iddah talak raj’i ataupun salah seorang di antara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya masih dalam ‘iddah talak raj’i. 96
94
Ibid. Ibid. 96 Ibid. 95
Universitas Sumatera Utara
Jadi jelaslah bahwa batas maksimal bagi seorang suami yang ingin menikah lebih dari seorang istri dalam Hukum Islam dibatasi sampai empat orang istri dalam waktu yang bersamaan. Jika ia ingin menikah yang kelima kalinya maka harus terlebih dahulu menceraikan salah seorang istrinya. Namun harus diingat, kebolehan untuk menikah lebih dari seorang istri itu harus melalui prosedur tertentu dan syarat-syarat yang cenderung sangat ketat. 97 Selanjutnya di dalam pasal 44 KHI ada dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. 98
97 98
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara