TINJAUAN PUSTAKA Tanah Gambut Gambut dibentuk oleh lingkungan yang khas dengan suasana tergenang yang terjadi hampir sepanjang tahun. Keadaan hidro-topografi berupa genangan menciptakan kondisi anaerob yang memperlambat aktivitas dekomposer. Hanya sebagian kecil mikroba tanah yang mampu beradaptasi pada kondisi demikian. Hal inilah yang menyebabkan laju penimbunan bahan organik lebih besar dari mineralisasinya (Noor, 2001). Dalam klasifikasi tanah (soil taxonomy), tanah gambut dikenal sebagai organosol atau histosols yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat jenis (BD) dalam keadaan lembab < 0,1 g cm-3 dengan tebal > 60 cm atau lapisan organik dengan BD > 0,1 g cm-3 dengan tebal > 40 cm. Gambut dapat pula diklasifikasikan berdasarkan tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya (ICRAF, 2008). Gambut kaya bahan organik yang menjadi sumber hara makro dan mikro bagi tanaman. Ketebalan gambut berbanding lurus dengan kapasitas tukar kation dan berbanding terbalik terhadap kejenuhan basa. Hal ini berarti semakin tebal gambut maka kapasitas kation meningkat sehingga basa-basa yang dikandungnya semakin rendah dan menyebabkan reaksi tanah semakin masam. Kondisi ini berpengaruh pada ketersediaan hara yang rendah (ICRAF, 2008).
Peranan dan Sumber Fosfat Setiap
tanaman
sedikitnya
membutuhkan
16
unsur
hara
agar
pertumbuhannya normal. Hara tersebut dapat berasal dari tanah maupun udara.
4 Universitas Sumatera Utara
Salah satu hara yang berperan penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan adalah fosfor karena termasuk hara makro esensial. Konsentrasi P dalam tanaman umumnya antara 0,1% sampai 0,4%. Unsur P terdapat di seluruh sel hidup tanaman yang menyusun jaringan tanaman seperti asam nukleat, fosfolipida dan fitin (Tisdale, 1990). Unsur P diperlukan dalam pembentukan primordial bunga serta organ reproduksi, dalam pemasakan buah, pembentukan biji terutama pada tanaman serealia. Pada proses fisiologis tanaman, fosfat berperan sebagai sumber energi utama reaksi metabolisme dan biosintesis. Dalam proses glikolisis, pernafasan atau fotosintesis, energi ini dilepaskan dan digunakan untuk menyusun ikatan pirofosfat yang kaya energi. Fosfat berfungsi sebagai aktifator enzim yang mengatur proses-proses enzimatik dalam tanaman. Fosfat berperan dalam pembentukan asam nukleat (RNA dan DNA), menyimpan serta memindahkan energi ATP dan ADP, merangsang pembelahan sel dan membantu proses asimilasi dan respirasi (Poerwowidodo, 2000). Kekurangan fosfat dapat mengganggu sistem fisiologis tanaman seperti pertumbuhan akar. Terhambatnya pertumbuhan akar turut mengganggu absorpsi unsur hara lain sehingga pertumbuhan tanaman menjadi terhambat. Namun kelebihan fosfat juga akan memberi dampak negatif karena membuat umur tumbuhan terlihat lebih pendek dibanding tumbuhan dengan kadar fosfat normal (Rosmarkam dan Yuwono, 2002). Di dalam tanah sumber fosfat tanaman dapat berbentuk P-organik dan Panorganik. Fosfat organik berasal dari mineralisasi P-organik yang dihasilkan saat dekomposisi bahan organik yang mengimobilisasikan P dari larutan tanah. Fosfat
Universitas Sumatera Utara
anorganik berasal dari mineral tanah yang mengandung fosfat. Pada tanah gambut hara P umumnya berbentuk P-organik. Tanaman tidak dapat langsung memanfaatkan P-organik sehingga memerlukan proses mineralisasi untuk dapat diserap tanaman (Rosmarkam dan Yuwono, 2002). Senyawa P-organik dalam tanah antara lain fosfolipida, asam suksinat, fitin dan inositol fosfat yang dapat didekomposisi dengan baik oleh mikroba tanah. Unsur P-anorganik mudah bersenyawa dengan berbagai ikatan seperti Al, Fe, Ca, dan Mn. Senyawa P-anorganik dapat diklasifikasikan menjadi 4 bagian yaitu besi fosfat (FePO4), aluminium fosfat (AlPO4), kalsium fosfat (Ca3(PO4)2) dan reductant soluble. Bentuk FePO4 dan AlPO4 dominan ditemukan pada tanah masam (Rosmarkam dan Yuwono, 2002). Derajat pengikatan P yang tinggi terjadi bila kondisi pH sangat rendah atau sangat tinggi. Kelarutan Fe dan Al tinggi pada kondisi pH rendah dan berakibat peningkatan jumlah P-terikat. Pada kondisi pH yang tinggi, ion Ca aktif terlarut dalam tanah. Kadar P relatif tinggi pada lapisan atas dan terus menurun secara bertahap mulai lapisan 40 cm (Noor, 2001).
Mikroba Pelarut Fosfat Siklus hara tanah dipengaruhi mikroba tanah dan tumbuhan. Beberapa mikroba mampu melarutkan fosfat yang tidak larut dalam air serta dapat mencegahnya terfiksasi dengan mengubah bentuk P dalam tanah. Mikroba yang memiliki kemampuan demikian disebut mikroba pelarut fosfat. Mikroba pelarut fosfat merupakan mikroba yang mampu mengekstrak fosfat dari bentuk terikat menjadi bentuk tersedia bagi tumbuhan (Hanafiah (1994). Selain melarutkan Pterikat, mikroba ini mampu menghasilkan fitohormon seperti auksin dan giberelin
Universitas Sumatera Utara
(GA3),
siderofor,
antibiotika,
vitamin,
non
vitamin,
substansi pemacu
pertumbuhan seperti indole acetic acid (IAA) serta sifat mikrob yang mampu mengkolonisasi akar dengan cepat dan luas (Ponmurugan dan Gopi, 2006). Mikroba pelarut fosfat hidup di sekitar perakaran tanaman, mulai permukaan tanah sampai kedalaman 25 cm. Keberadaannya berkaitan dengan jumlah bahan organik yang akan mempengaruhi populasi serta aktivitasnya dalam tanah. Mikroba yang hidup dekat daerah perakaran secara fisiologis lebih aktif dibanding mikroba yang hidup jauh dari daerah perakaran. Keberadaan mikroba pelarut fosfat beragam dari satu tempat ke tempat lainnya karena perbedaan sifat biologis mikroba itu sendiri. Terdapat mikroba yang hidup pada kondisi masam dan ada pula yang hidup pada kondisi netral dan basa, ada yang hipofilik, mesofilik
dan
termofilik
ada
yang
hidup
aerob
maupun
anaerob
(Ginting, 2006). Pelarutan P oleh mikroba berkaitan dengan produksi asam organik hasil metabolisme serta mineralisasi P-organik menjadi bentuk P-anorganik. Mikroba pelarut fosfat dapat melarutkan fosfat baik dari ikatan P-organik maupun ikatan Panorganik. Pelarutan dilakukan dengan mekanisme kimia dengan bantuan asam organik dan mekanisme biologi dengan bantuan enzim. Pada umumnya mekanisme pelarutan dilakukan secara kimia (Rahmawati, 2005). Mekanisme kimia pelarutan fosfat dimulai saat mikroba pelarut fosfat mengekresikan sejumlah asam organik
berbobot
molekul rendah hasil
metabolisme seperti asetat, propionat, glutamat, formiat, glikolat, fumarat, oksalat, suksinat, tartarat, sitrat, laktat, malat, fumarat dan α-ketoglutarat (Beauchamp dan Hume, 1997). Meningkatnya
asam-asam organik tersebut diikuti dengan
Universitas Sumatera Utara
penurunan pH. Penurunan pH dapat pula disebabkan oleh pembebasan asam sulfat dan nitrat pada oksidasi kemoautotrofik sulfur dan amonium. Perubahan pH berperan penting dalam peningkatan kelarutan fosfat. Asam-asam organik tersebut akan bereaksi dengan bahan pengikat fosfat seperti Al3+, Fe3+, Ca2+ atau Mg2+ membentuk khelat organik yang stabil yang mampu membebaskan ion fosfat terikat sehingga dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan (Setiawati, 1998). Asam organik dapat meningkatkan ketersediaan P di dalam tanah melalui beberapa mekanisme diantaranya adalah: (1) anion organik bersaing dengan ortofosfat pada permukaan tapak jerapan koloid tanah yang bermuatan positif, sehingga memperbesar peluang ortofosfat dapat diserap oleh tanaman; (2) pelepasan ortofosfat dari ikatan logam P melalui pembentukan kompleks logam organik dan (3) modifikasi muatan permukaan jerapan oleh ligan organik (Ginting, 2006). Mikroba pelarut fosfat melakukan mekanisme biologis pelarutan fosfat dengan memproduksi enzim fosfatase dan enzim fitase. Hasil penelitian Rao (1994), menunjukkan bahwa mikroba pelarut fosfat mampu meningkatkan ketersediaan unsur P melalui aktivitas enzim. Enzim fosfatase dihasilkan saat ketersediaan fosfat rendah yang diekskresikan oleh akar tanaman dan mikroba. Dalam tanah enzim tersebut dominan dihasilkan oleh mikroba (Joner, 2000 dalam Ginting, 2006). Senyawa fosfat organik diuraikan menjadi bentuk fosfat anorganik pada proses mineralisasi dengan bantuan enzim fosfatase. Enzim ini dapat memutuskan ikatan fosfat dari senyawa organik pengikatnya menjadi bentuk tersedia sehingga dapat dimanfaatkan tumbuhan (Fitriatin, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Mikroba membutuhkan fosfat dalam bentuk tersedia untuk aktivitas metabolisme dan sintesa protoplasma. Mikroba pelarut fosfat memiliki mekanisme khusus yang mampu memanfaatkan fosfat terikat dalam tanah. Fosfat yang telah berhasil dilarutkan dimanfaatkan kembali oleh mikroba pelarut fosfat atau mikroba lainnya. Selain mengasimilasi fosfat yang dibebaskannya, mikroba tersebut melepaskan sejumlah besar fosfat terlarut yang merupakan kelebihan dari pasokan nutrisinya ke dalam larutan tanah. Hara fosfat yang larut akan masuk kedalam akar tanaman secara difusi. Kondisi ini akan meningkatkan fosfat tersedia yang dapat diserap akar tanaman. Jika mikroba mati maka P-organik yang terdapat dalam jaringan mikroba akan lepas kembali dalam bentuk P-anorganik (Ginting, 2006).
Jamur Pelarut Fosfat Jamur pelarut fosfat merupakan salah satu anggota mikroba tanah yang dapat meningkatkan ketersediaan dan pengambilan P oleh tumbuhan. Bentuk ikatan P yang umum ditemui pada kondisi masam adalah AlPO4 dan FePO4. Jamur pelarut fosfat mampu melarutkan P dalam bentuk AlPO4 lebih baik dibanding BPF pada kondisi masam. Penelitian Lestari dan Saraswati (1997) melaporkan bahwa jamur pelarut P mampu meningkatkan kadar fosfat terlarut sebesar 27-47% di tanah masam. Penelitian Goenadi (1994), menunjukkan JPF mampu melarutkan fosfat 12-162 ppm di media Pikovskaya dengan sumber P dari AlPO4. Lingkungan gambut yang khusus dan sesuai bagi pertumbuhan JPF menjadi peluang pengembangnya di daerah tropis (Premono, 1998).
Universitas Sumatera Utara
Jamur pelarut fosfat memiliki 3 mekanisme dalam meningkatkan penyerapan P yaitu: (1) secara fisik dimana infeksi jamur pada akar tanaman dapat membantu pengambilan fosfor dengan memperluas permukaan sampai akar; (2) secara kimia jamur diduga mendorong perubahan pH perakaran. Jamur juga menghasilkan asam sitrat dan asam oksalat yang menggantikan posisi ion fosfat yang terfikasasi; (3) secara fisiologi, jamur menghasilkan hormon auksin, sitokinin dan giberelin yang mampu memperlambat proses penuaan akar sehingga memperpanjang masa penyerapan unsur hara (Premono, 1998). Prinsip dasar isolasi mikroba pelarut fosfat ialah menyeleksi mikroba dalam media pertumbuhan spesifik yang mengandung sumber P terikat. Kemampuan mikroba pelarut fosfat dalam melarutkan fosfat terikat dapat diketahui dengan mengembangkan biakan murni pada media Pikovskaya yang berwarna putih keruh, karena mengandung P tidak larut air seperti kalsium fosfat Ca3(PO4)2. Pertumbuhan mikroba pelarut fosfat dicirikan dengan zona bening (holozone) di sekeliling koloni mikroba. Mikroba pelarut fosfat yang potensial dapat diseleksi dengan melihat luas zona bening paling besar pada media padat. Pengukuran potensi pelarutan fosfat secara kualitatif ini menggunakan nilai indeks pelarutan (dissolving index), yaitu nisbah antara diameter zona jernih terhadap diameter koloni. Kemampuan pelarut fosfat terikat secara kuantitatif dapat diukur dengan membiakkan mikroba pada media Pikovskaya cair. Kandungan P terlarut dalam media cair tersebut diukur setelah masa inkubasi (Setiawati, 1997).
Universitas Sumatera Utara