TINJAUAN PUSTAKA
A. Kurang Energi Protein Kurang Energi Protein (KEP) merupakan kondisi defisiensi gzi (malnutrisi) yang timbul bila energi dan prdtein yang dikonsumsi tidak cukup. Masalah kekurangan gizi merupakan manifeftmi dari kekulangan pangan yang terjadi pa& level individu dalam rumah angga. makanan yang bergizi pa& level rumah tan*
Kekurangan pangan atau
dapat diakibatkan oleh dua faktor
yaitu rendahnya daya beli keluarga dan r e n w y a ketersediaan pangan secara regional (Zakaria, 1999). Malnutrisi banyak melanda anak-an*
di negara berkembang.
Hasil
laporan dari UNICEF (2002) bahwa anak-mak yang mengalami malnutrisi di negara berkembang berkisar antara 32-38% atau k 150 juta anak.
Hampir
setengahnya berada di Asia Selatan dan sepertiga ada di Afrika. Malnutrisi menyebabkan hampir 12 juta kernatian anak sletiap tahun (WHO, 2002). Keadaan kehidupan yang miskin mempunyai hubungan yang erat dengan timbulnya h a n g energi protein. Menurut Sartono (1999) status gizi buruk balita sebesar 1.3% dan gizi kurang 15%, namun setelah krisis ekogomi kasus gizi buruk meningkat menjadi 2.2%, gizi sedang 18.2%, gzi baik 72:9% dan gizi lebih 6.7%. Menurut Tandyo (2000) dan Soeyirman (2000) ada 3 ha1 yang menyebabkan KEP yaitu (1)
Tidak cukupqya diet makanan yang masuk
(2)
Pola asuh dan perhatian yang kurang pada ibla dan anak (3) Pelayanan kesehatan
yang tidak memadai serta lingkungan hidup y@ng bwuk. Menurut UNICEF (2002) malnutrisi disebabkan karena kerniskinan dan rendahnya pengetahuan gizi. Menurut Abunain et al. (1989) rnalnutridi terjadi akibat terlalu dini usia penyapihan dan terlalu lama periode peqyapihan tanpa diimbangi dengan pemberian makanan tambahan yang memadai dan masalah ekonomi, dimana sebagtan besar ibu-ibu berupaya mencari nafkah untuk membantu k a d w n ekonomi keluarga dan sebagai konsekwensin~apengasuhan anak menjadi kurang diperhatikan. Ekonomi juga merupakan faktw penting bagi tersedianya makanan yang cukup dan upaya memperoleh pelayana~kesehatan yang layak. Penelitian yang dilakukan oleh Brown et al. (1995) m$njelaskan bahwa rendahnya energi yang dikonsumsi anak disebabkan oleh densit@ energi yang rendah dalam dietnya, ketidakcukupan jumlah makanan yang dikonswsi dan rendahnya nafsu makan. Tanda-tanda khusus anak yang mengalmi KEP yaitu badan menjadi kurus. Penyusutan otot mudah terlihat pada bagian l&-qpn atas dan bahu bagian atas dan bahu bagian belakang. Biasanya KEP disertai keadaan perut menjadi buncit, anak menjadi kurang responsif mengarah kepada apatis, perkembangan kepandaian lebih lambat dari normal (Suhardjo, 1989). Mpnurut WHO (1996) malnutrisi pada anak ditandai dengan terhambatnya pertumbuhan fisik yaitu rendahnya nilai
BBIumw;, gangguan tumbuh kernbang am&, menurunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit serta meningkatnya angka kqmatian pada anak. Bila masalah kurang gizi tidak teratqi, maka akan mempunyai dampak negatif terhadap sumber daya manusia. Kuraqg Energi Protein yang dialami pada
masa balita dapat berpengaruh negatif terhaqfap perkembangan intelektual pada masa dewasanya. Pengaruh gizi kurang terha@ap perkernbangan otak mempunyai hubungan yang erat terhadap perkembangan mental dan kemampuan berfikir. Kekurangan protein dan energi menyebabkan perkembangan otak terganggu, yang ditandai dengan terjadinya kehilangan IQ 5
-
10 poin (UNICEF, 1997). Anak
yang mengalami gizi kurang semasa bayi inempunyai IQ yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang lain (Suhardjo, 1989). Menurut Pujiadi (1990) Kurang Enerp Protein (KEP) yang diderita pada masa dini menghambat
perkembangan otak karena akan mengur~gi sintesis protein DNA otak. Pemberian rnakanan yang baik &an memwngaruhi perkembangan otak anak. Menurut Husaini et al. (1991) terdapat hubungan linier antara pemberian rnakanan dengan perubahan berat badan dan perkembangan motorik anak yaitu adanya peningkatan &vasi
sel otak yang mempengmhi tingkah laku anak. Menurut
Pujiadi (1990) akibat KEP yang dialarni pada masa dini (usia anak kurang dari dua tahun) perkembangan otak akan menguran$i sintesis protein DNA sehingga jumlah sel otak berkurang walaupun besar c~taknyanormal. Jika KEP tejadi setelah masa divisi sel otak berhenti, hambatar) sintesis protein akan menghasilkan otak dengan jumlah sel yang normal tetapi ukuran otaknya lebih kecil. Program perbaikan gizi untuk bayi dm balita perlu mendapat perhatian utarna sebab pembentukan dan pertumbuhan otak khpsusnya yang berkaitan dengan kemampuan fungsional masih berlanjut sarnpi kurang lebih 3 tahun (Khumaidi, 1989). Jaringan otak anak yang tumbuh noma1 akan mencapai 80% berat otak
orang dewasa sebelum benunur 3 tahun, sefilngga apabila pada masa ini terjadi gangguan gizi kurang dapat menimbulkag kelainan fisik maupun mental (Suhardjo,l989). Dobbing (1974) dalarn S1-rhardjo (1989) menyatakan bahwa masa luitis dalarn perkembangan otak manusla yang rawan terhadap gizi kurang
adalah dari usia 3 bulan dalam kandungan ~ p aumur i 2 tahun. Menurut Sartono (1999) prevalensi gizi buruk banyak teqadi pada usia 9 bulan hingga 2 tahun. KEP di negara berkembang banyak terjadi mda usia 6-24 bulan (Brown et al., 1995) Menurut WHO (1996) ada beberapg program yang diberikan kepada masyarakat guna menanggulangi malnutrisi yqitu diantaranya promosi pemberian AS1 dan keluarga berencana, pemberian MPASI, pendidikan gizi
pada ibu,
monitoring pertumbuhan an& dan kontrol terhadap defisiensi mikronutrien, penyediaan air bersih dan terapi &are dengan pmberian oralit. Program UNICEF (2002) dalam mengatasi kurang energt protein yaitu dengan melibatkan seluruh
kekuatan keluarga, kerjasarna berbagai lintas sektoral dan pelayanan kesehatan.
B. Metabolisme Protein Protein dari diet, setelah dicerna asap aminonya akan diabsorpsi dan masuk ke dalam pool asam amino untuk dimqtabolisme lebih lanjut yaitu melalui reaksi katabolisme dan anabolisme. Katabolisae merupakan proses pembongkaran asam amino menjadi energi atau disimpan ntenjadi glikogen atau lemak tubuh, sedangkan anabolisme merupakan proses pembentukan protein baru untuk
selanjutnya difungsikan sebagai enzim pembentukan sel baru, antiboh, hemoglobin, horrnon, glutation dan heath. Menurut Guthrie (1975) laju pembentukm protein tergantung pada jumlah kalori. Jika kalori cukup, asam amino dari diet akan digunakan untuk sinte.'s
protein. Jika kalori tidak ~ukup,
maka sel akan rnembongkar asam amino yang ada dalam tubuh yang akan digunakan sebagai energi dengan melepaskan NH2 (amonia) dan tidak ada protein yang terbentuk. Proses ini disebut deaminasi. Arnonia merupakm senyawa toksik yang tidak boleh terakumulasi dalam sel (Warn konsentrasi tinggi). Tubuh mendetoksifikasi amonia dengan mengubahnya menjadi glutamin untuk diangkut di hati. Deaminasi glutamin dalam hati akan melepaskan amonia yang diubah menjadi senyawa non toksik yaitu urea dan diikeluarkan melalui ginjal bersama urin. Sisa asam amino yang tidak mengandung gugus nitrogen akan rnasuk siklus metabolik karbohidrat dan lemak untulc selanjumya dioksidasi menjadi energ atau dibentuk menjadi lemak yang disimpan sebagai energi cadangan (Cantarow, 1963). Hal ini menyebabkan berkurangnya sintesis protein yang menyebabkan
prtumbuhan terhambat.
Proses ini yang terjadi pada kasus kelapamn atau
lcuangnya masukan zat gizi (Kurang Energi Protlein)(Guthrie, 1975). Sirkulasi urea meningkat bila tejadi pendatahan, shock, trauma, sepsis atau tumor, dimana dapat menyebabkan peningk-
bongkaran protein (protein
breakdown). Hal ini juga terjadi jika diet tidak cukup mengandung protein tingg
(Widman, 1985). Namun ekskresi urea bervariasi t e r p t u n g jumlah protein
dalam diet. Peningkatan diet protein akan meningkatkan konsentrasi asam amino dalarn darah dan meningkatnya urea dalam urin. Kandungan energi dalarn diet memwngaruhi metabolisme protein yang dapat dilihat dar~keseimbangan nitrogen. EkSkresi nitrogen meningkat jika kalori yang masuk lebih rendah dari yang dibutuhktan. Sebaliknya peningkatan kalori yang masuk dapat menurunkan ekskresi nitrogen dalam urin. Nitrogen dikatakan seimbang jika nitrogen yang masuk seimbang dengan nitrogen yang dikeluarkan untuk memelihara jaringan tubuh yang rusak tetapi ti&
ada pembentukan
jaringan baru. Keseimbangan positif terjadi jika nitrogen yang masuk melebih nitrogen yang dikeluarkan.
Pada keseinibangan ini w a d i pertumbuhan.
Keseimbangan positif biasa terjadi pada mak-anak, ibu hamil maupun ibu menyusui. Keseimbangan negatif terjadi bila nitrogen yang masuk kurang dari nitrogen yang dikeluarkan. Hal ini disebabkm oleh ketidakcukupan protein yang masuk dalarn tubuh. Keseimbangan negatif juga terjadi pada diet yang tidak mengandung asam amino esensial (Cantarow, 1963 dan Jackson et al., 1993). Kondisi ini menyebabkan terjadinya bongkafan protein tubuh (Guthrie, 1975). Pada kasus malnutrisi berat kondisi yang terjadi yaitu keseimbangan negatif dengan laju katabolisme lebih tinggi dari anab~lisme. Kekurangan energi protein yang pac& pa& anak dapat menyebabkan timbulnya penyakit kwashiorkor dan marasmqs gizi. Penyakit marasmus ditandai dengan kehilangan massa otot. Umumnya terjadi karena k e h g a n masukan pangan dalam jangka waktu yang lama. Kwashiorkor merupakan bentuk lain
kurang gizi protein-energl. Kwashiorkor wring disebabkan oleh penyakit infeksi karena diet rendah protein. Kwashiorkor tidak menyebabkan pengurangan protein otot, tetapi pengurangan pool protein dan menyebabkan terjadinya odema. Ada hubungan linier antara massa otot dengan ekskresi kreatinin selama masa pertumbuhan. Kteatinin adalah substmi yang berasal dari bongkaran otot, yang terbentuk dari fosfokreatin dan kreatin. Fosfokreatin merupakan simpanan keratin yang berenergi tinggi yang terdapat &lam otot. Kreatin terbentuk dalam otot dari kreatinfosfat melalui proses dehidnasi nonenzimatik yang irreversible dengan hilangnya fosfat. Kreatin clan fosfoheatin membentuk massa otot dalam tubuh. Kadar kreatinin urin 24 jam secara proporsional berhubungan langsung dengan jurnlah total massa otot tubuh. Dengan demikian ekskresi kreatinin dapat digwakan sebagai indeks massa otot. Hal ini diasumsikan pada (1) semua kreatin berasal dari otot rangka (98%) (2) diet tidak mengandung kreatin, (3) total pool kreatin dan rata-rata konsentrasi heatinkg otot konstan dan (4) kreatin diubah menjadi kreatinin secara stabil setiap hari secara non-enzimatik (Gibson, 1990). Ekskresi kreatinin dapat menunjuklqan adanya bongkaran otot yang menentukan laju perputarm metabolisme protein (protein turnover) (Welle et at., 1996). Ekskresi kreatinin akan meningkat j ika katabolisme jaringan meningkat (Cantarow, 1962). Berdasarkan hasil penelitian Pannemans et al. (1995) laju protein turnover tubuh menurun menurut umw. Laju sintesis protein otot makin
tua usia maka lajunya makin lambat.
Proteinr turnover meningkat pada subyek
m Dietary Protei:iO
I Dietary Protein
1
Asam amiflo
Turunan nikotinamida
]
Creatinin
Lemak & Intemediate
KH & Intermediate ornitin
Asam urat
Urea
Siklus Krebs
c02
Gambar 1. Jalur Metabolisme Protein dan Asm Amino (Cantarow dan Schepartz,1963)
Hz0
yang diberi 12% energi dari protein dibanding dengan subyek yang diberi 21% energi dari protein. Menurut Cantarow (1962) laju protein turnover tinggi pada protein yang terdapat di mukosa intestinal, pankreas dan ginjal, dengan waktu paruh (half life) 10 hari. Laju protein turnover rendah pada protein otot, kulit dan otak dengan
waktu paruh 80 hm.
C. Makanan Pendamping AS1 Makanan tambahan untuk anak dibewan menjadi makanan bayi (infant food) yang diberikan pada bayi berusia di bawah enam bulan, dan makanan tambahan (weaningfood) yang diberikan pa& bayi berusia 6-36 bulan. Makamn bayi berupa makanan yang secara tunggal dapat memenuhi kebutuhan anak yaitu dapat mensubstitusi air susu ibu (biasanya s u ~ usapi yang diformulasi. Makanan tambahan berupa makanan pelengkap disamping ASI. Makanan jenis ini dikenal dengan istilah makanan pendarnping AS1 @IP-+ASI) (Winarno, 1987). Masa perturnbuhan bayi yang cepat pada umur enarn bulan ke atas merupakan masa kritis dimana sering terjadi kegagalan pertumbuhan. Pada saat itu pula, bay1 mulai memerlukan makanan tambahan disamping ASI. Air susu ibu merupakan makanan bayi utama sejak lahir hingga bayi berusia dua tahun. Air susu ibu mengandung hampir semua zat gizi dengan komposisi yang sesuai dengan kebutuhan bayi (Tabel 1). Namun, s d a h bayi berusia menjelang empat
bulan jumlah dan komposisi AS1 mulai b$rkurang sehingga perlu diberikan makanan tambahan pendamping AS1 (MPASI] (Mochji, 1989).
[ Energi (KaI/l)
I Protein (dl)
I
_ Lemak (dl)
Laktosa &/I)
Ca (mM) Fosfat (mMl Besi (pM) Vitamin A (pg/I) Vitamin C (mdl) Vitamin D (pg/l) Surnber : Poslutt, E.M.E. (1994)
Pemberian makanan tarnbahan pa@
680 9 42 70 9 5
12.5 600 38 0.4
bayi dimaksudkan sebagai
komplemen terhadap ASI agar anak memperoieh cukup energi, protein dan zat-zat gizi lain (vitamin dan mineral) untuk turnbw dan berkembang secara normal (Zakaria, 1999). Beberapa alasan pemberian qakanan pendamping AS1 yaitu : (1) ASI yang dihasilkan mulai tidak menc$upi
atau mengalami penurunan
jumlahnya, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk pertumbuhan bayi yang bertambah tens (2) Untuk membiaqakan bayi pada berbagai macarn makanan yang bergizi, mudah dicerna dengarl berbagai macam rasa, bentuk, dan nilai gizi. Makanan yang baik untuk bayi merupapCan makanan yang dapat memenuhi kebutuhan untuk tumbuh dan kembang (Berg, 1986).
Menurut Zakaria (1999) 15
agar dapat memenuhi kebutuhan bayi, pemberian MPASI hams memenuhi beberapa persyaratan yaitu (1) Makanan ( t e r w u k ASI) harus memberikan semua zat gizi yang #iperlukan oleh bayi.
Untuk menjamin kebutuhan gizi bayi yang
baik, makanan tersebut hams mengandung s&ligus zat tenaga, zat pembangun,
dan zat pengatur (2) Bayi dan balita memerl@n lebih dari satu kali makan sehari sebagai komplemen terhadap ASI. Karena kagasitas perutnya masih kecil, volume makanan yang diberikan pada bayi tidak boleh terldu banyak (3) Bayi yang berumur 4-6 bulan perlu diberi makan 4-6 kali sehari sebagai tambahan terhadap AS1 (4) MPASI sebaiknya diberikan setelah bayi selesai menyusu agar bayi tidak terhambat untuk terns menyusu secara pen~h,sehingga asupan gizi bayi dan produksi AS1 tetap tinggi (5) Pada permul& WAS1 harm diberikan dalam bentuk halus, sampai umur 9 bulan bayi sudah mulai menyukai makanan yang bentuk dan bertekstur lain. Setelah umur d~ tahun, bayi sudah dapat menerima makanan seperti orang dewasa normal. Menurut Zakaria (1999) pembuatan WAS1 sebaiknya diformulasi secara optimum dalam bentuk bahan m a k a w cam-
sehingga diperoleh mutu yang
baik. Penyediaan makanan ini merrupakan pilihan yang beralasan, karena mudah untuk diolah, didistibusikan dan disimpan, lebih terjamin keamanannya dan berpotensi untuk menjadi wahana fortifikasi gizi mikro (vitamin dan mineral). Lebih lanjut dinyatakan bahwa bahan bakq utama untuk pembuatan MPASI sebaiknya bersumber pada komaditi pangan lokal. Hal ini dimaksudkan supaya produk makanan tersebut dapat diterima oleh masyarakat dan juga biaya
produksinya cukup murah. Disamping itu ppnggunaan pangan lokal juga akan berdampak positif pada peningkatan clan pem&rdayaan ekonomi di pedesaan.
Makanan bayi merupakan faktor y Ik g sangat berpengaruh terhadap keadaan gizi, karena b a n g gizi pada anak d$ awal pertumbuhannya berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan fisik dan mebtal.
Makanan pendamping AS1
sebaiknya mengandung gizi yang lengkap, yang terdiri dari zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur. Makanan pendt/mping AS1 harus memenuhi syaratsyarat tertentu yaitu menghasilkan energi setjnggi mungk_ln, sekurang-kurangnya mengandung energi 360 Kkal1100 gram bahanl Kecukupan energi bayi h s i a 612 bulan adalah sekitar 800 Kkal, kecukupaq protein per hari adalah sekitar 15
gram. Sedan-
kecukupan energi anak us/la 1 sampai 3 tahun adalah sekitar
1250 Kkal, dan kecukupan protein per hari a/dalah sekitar 23 gram. Kecukupan Widyakarya Nasional Pangan dm
energi dan protein menurut Muhilal et al, dal* Gizi (1998) dapat dilihat dalam Tabel 2. Tabel 2. Kecuku~anEnerei dan Protein
I
7- 12 bulan
8.5
71
800
15
1-3 tahun
12
90
1250
23
Surnber : Muhilal et aZ.(1998)
Makanan pendamping AS1 hendaknya bersifat padat gizi, dan mengandung serat kasar, serta bahan lain yang sukar dice-
seminirnal mungkin. Serat kasar
yang terlalu banyak jumlahnya akan menwggu pencernaan. MPASI ham mengandung energi setinggi mungkin, minimum 360 Ka1/100g dengan kadar protein 20 d l 0 0 g. WAS1 tidak boleh bersifat kamba (voluminous), sebab akan cepat memberi rasa kenyang pada bayi. Sifat kamba terutama t a d a p t pada bahan berkarbohidrat atau pati yang tinggi seperti serealia dan umbi-umbian, Menurut Walker dan Rolls (1994) ada beberapa cara mtuk meningkatkan densitas energi makanan bayi yaitu (1) melalui penambahan enerp dengan penambahan gula dan minyak (2) melalui modifikasi kandungan patti baik secara fisik dengan ekstrusi maupun secara kimia dengan germinasi (penambahan malt) yang kaya akan arnilase. Penambahan malt dapat mengubah pati yang terdapat dalam biji-bijian menjadi dekstrin. Dekstrin lebih sedikit manyerap air dan tidak mengembang sehingga dengan volume yang kecil dapat membawa energi yang tinggi. (Zakaria, 1999). 1. Teknologi Pembuatan MPASI
Beberapa teknologi yang digunakan untuk memproduksi makanan bay1 diantaranya yaitu teknik drum dryer, teknik ekstrusi &an metoda sa.ngrai dan pengglingan. Pada teknik drum dver, a d o m yang akan dikeringkan bersifat cair atau kental dan untuk pengeringannya dilewatkan pada dm drum panas yang berdekatan dan berputar dengan arab yang berlawanan. Drum tersebut mendapat pemanasan dari uap panas.
Selama adonan mengalir dan drum panas berputar, 18
terjadi proses pengeringan dm adonan menjadi lempeng kering yang dikeruk dari drum oleh pisau pengeruk. Lempeng kering yang dihasilkan lalu digiling sehingga diperoleh produk bubuk kering yang matang (Fellows, 1992). Teknik ekstrusi menggunakan mesin ekstruder.
Bahan yang akan
diekstrusi berupa tepung, adonan padat, biji-bijian ataupun pecahan biji. Produk hasil ekstrusi dapat bersifat matang bila mesin dilengkapi dengan sistem
pemanasan misalnya m p panas. Bila diinginkan produk berbentuk tepung, setelah diekstrusi produk dapat digiling (Fellows, 1992). Teknik lain yaitu metoda sangrai dan penggilingan. Pada sistem ini, bahan baku urnumnya adalah biji-bijian atau kacang-kacangan. Bahan baku disangrai dengan wajan besi atau tungku beton yang mendapat panas dari api. Setelah matang, biji-bijian dan kacang-kacangan digiling lalu diayak. Alat untuk proses ini sangat sederhw, Dari ketiga teknik pembuatan WAS1 diatas, teknik yang paling ekonomis dan sederhana adalah teknik sangrai dan penggilingan.
Tektllk ini dapat
diterapkan ds rumah tangga atau kelompok karena alat yang dlgunakan bisa berupa alat yang terdapat di rumah tangga dengan kapasitas produksi kecil. 2. Tepung Kedelai
Bahan baku yang sering digunakan untuk pembuatan MPASI adalah susu, beras, gandum, serealia dan kmmg-kacangan. Di antara jenis hang-kacangan, kedelai merupakan sumber protein yang paling baik yaitu harnpir mencapai 4045%. Komposisi kimia beberapa bahan dapat dilihat pada Tabel 3. Dalam tabel
tersebut dapat dilihat bahwa kedelai mempunyai nilai protein tertinggi dan kandungan mineral yang cukup tinggi.
33 1 158 345 Kalori (Kal) 10.3 34.9 22.2 Protein (g) 28.2 34.8 62.9 . Karbohidrat (g) Lemak (g) 0.9 18.1 1.2 160 227 125 Kalsium (mg) 149 Fosfor (mg) 585 320 Besi (mg) 6.7 8.0 3.7 157 Vitamin A (SI) Vitamin B (mg) 0.6 0.1 0.2 Vitamin C (mg) 6.0 Sumber : Hardinsyah dan Briawan, D. (1990)
-
-
355 9.2 73.7 3.9 10 256 2.4
-
0.4
-
248 8 50 1.2 10 95 1.5 110 1.1 0.1
360 6.8 78.9 0.7 60 140 0.8
-
0.1
-
Protein dalam b a n g kedelai bermutu tinggi dengan pola asam amino yang mendekati pola yang direkomendasikan oleh FAO, dengan asam amino pembatas metionin dan sistin (Muchtadi, 1979). Asam-asam amino pembatas merupakan
asarn amino esensial yang terdapat dalarn jumlah sedikit sehingga menjadi pembatas bagi nilai grzi protein yang bersangkutan. Meskipun demikian kacang kedelai mengandung asam amino lisin dalam jumlah yang relatif tinggi. Salah satu upaya untuk meningkatkan nilai gizi protein kedelai adalah dengan mencampurkan kacang kedelai dengan k o m d t i sumber protein lain yang banyak mengandung metionin, misalnya beras. Protein berm mengandung lisin &lam jumlah rendah, sehingga kombinasi kacang kedelai clan beras akan menghasilkan carnpuran yang memiliki kandungan dan kualitas asam amino lisin dm metionin
yang lebih baik. Komposisi asam amino kacang kedelai dan beberapa sumber protein lain dapat dilihat dalam Tabel 4. Tabel 4. Kandungan Asam Amino Esensial Berbagai Surnber Protein adlld &?I"SW ~&8U&k@lf@kW8~$3B Aaslh mi&@ (at#&B)
I
I
340 480 400 310 200 110 250 90 330 80
Isoleusin Leusin Lisin - Fenilalanin Tirosin Sistin Treonin Triftofan Valin Metionin Sumber : Koswara (1992)
320 535 236 307 269 80 24 1 65 415 142
407 630 496 31 1 323 57 292 90 440 149
415 553 403 365 262 149 317 100 454 197
Kandungan lemak kacang kedelai adalah 19.1% dari berat kering, dengan total asam lemak tidak jenuh yang cukup tinggi (85%). Menurut Messina (1999) rasio asarn lemak linoleat dengan asam lemak linolenat dalam kacang kedelai adalah (7.5 : 1). Dalam tubuh asam lemak linoleat dapat Qubah menjadi EPA (Eikosapentaenoic
acid)
dan
EPA
&pat
dikonversi
menjadi
DHA
(Dokosaheksaenoic acid), dirnana DHA sangat dibutuhkan untuk perkembangan otak bayi. Kandungan karbohidrat h a n g kedelai cukup tinggi yaitu 28% dengan komponen terbesar terdiri dan polisakarida (amilosa dan amilopektin yaitu mencapai 12-14%), serat yang tidak dapat dicerna dm disakarida (rafinosa dan stakiosa penyebab flatulensi). Kacang kedelai juga rnerupakm sumber vitamin
dan mineral yang baik terutama asarn folat, zat besi dan kalsium. Komposisi kimia dan kualitas zat gizi kedelai dapat dilihat dalam Tabel 5. Dalam kacang kedelai disamping mengmdung senyawa yang bergma, terdapat zat antigizi dan senyawa penyebab oflflavor (penyimpangan cita rasa dan aroma pada produk olahan kedelai).
OgJEmor pada kacang kedelai yaitu bau
langu dan adanya rasa palut dan rasa kapur disebabkan oleh adanya senyawasenyawa glikosida, saponin, estrogen dalarn biji kedelai. Bau langu dihasilkan oleh enzim lipoksidase yang terdapat dalam h a n g kedelai. Enzim lipoksidase menghidrolisis lemak kedelai menghasilkan senyawa yang termasuk dalam kelompok heksanal dan heksanol penyebab bau langu. Pada suhu tinggi enzim lipoksigenase menjadi tidak aktif (Koswara, 1992). Zat antigizi yang terdapat dalm kacang kedelai yaitu antitripsin, hemaglutinin, asam fitat, saponin dan oligosakarida.
Antitripsin dapat
menghalangi pencernaan protein dan dapat memperbesar pankreas pada tikus percobaan. Fitat dapat menunurkan ketersediaan mineral. Oligosakarida yang terdiri dari rafinosa, stakiosa dan verbaskosa dapat menyebabkan flatulensi karena dalam tubuh tidak tersedia enzim a galaktosidase. Kacang kedelai yang digunalslan sebagai makanan tambalun (MPASI) yaitu berupa tepung yang telah mengalami proses pemanasan. Proses pemanasan ini bertujuan untuk menginaktifkan antitripsin dan menginaktiflcan enzim lipoksidase, sehingga bau langu kedelai dapat dihilangkan (Koswara, 1992). Menurut Racks et al. (1975) pengolahan dengan panas pada pembuatan tepung kedelai mampu
mengurangi aktivitas antitripsin. Pemanasan kering dapat mereduksi antitripsin 80-90% (MessinbM.J., 1999).
1 Protein
( 46.2
1 19.1
I
Lemak
I
1
Karbohidrat
28.5
Serat
3.7
1 Abu
16.1
I
I Kalsiwn (mg)
I 254
I
1 781
I
/ Fosfor (mg)
I
Besi (mg)
I11
Folat (pg)**
47
Zn (mg)**
0.99
1
I Riboflavin (pg)**
1 25
I
I Nilai cema
1 75-85 (83)
I
I Nilai hayati
1 41-74 (58)
I
Penggunaan kacang kedelai sebagai m h n pendamping AS1 telah dicoba di Malawi, Afiika untuk mengatasi kasus malnutrisi pada anak. Tepung kacang kedelai sebagai sumber protein dicampur dengan tepung maizena sebagai sumber karbohidratnya. Campuran tepung ini cukup disukai sehingga &pat menambah berat badan anak (FAO, 1997).
3. Malt
Menurut Claulfield et al. (1999) makanan pendamping AS1 untuk anak usia 6-12 bulan umumnya mengandung densitas energi dan protein yang tidak cukup. Jumlah energr dalam MPASI dipengamhi oleh dua faktor yaitu volume makanan dan densitas energi, dimana dua ha1 tersebut mempengaruhi kecukupan asupan energi.
Sistem pencernaan pada anak mempunyai keterbatasan dalam
mengkonsurnsi makanan sehingga densitas energi merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam membuat WAS1 guna meningkatkan asupan energi sesuai dengan jwnlah energi yang dibutuhkan. Hasil penelitian Capdevila et al. (1998) menunjukkan bahwa densitas energi mernpunyai pengaruh besar terhadap asupan energi. Penarnbahan malt pada makanan WAS1 ini bertujuan untuk meningkatkan densitas energi makanan. Kandungan enzim amilase yang terdapat dalam malt diharapkan dapat menghidrolisis pati (nasi) menjadi dekstrin. Hal ini dapat menurunkan viskositasnya sehingga perlu tambahan pati yang lebih banyak untuk mencapai viskositas yang baik. Pada penelitian yang dilakukan oleh Brown et 01. (1995) konsurnsi energi untuk makanan anak usia 6-12 bulan ditentukan oleh viskositasnya. Penambahan enzim amilase yang berasal dari Aspergillus oryzae, dapat meningkatkan densitas energi makanan yang diberikan. Enzim amilase banyak terdapat pada biji-bijian berkecambah, yang berfungsi untuk memecah pati menjadi gula sederhana. Enzim a amilase secara
rnurni dapat diperoleh dan berbagai sumber misalnya dari dedak gandum, dan
hasil fermentasi mikroba (Winarno, 1983). Enzim amilase tergolong endoamilase, yaitu enzim yang memecah amilosa pati secara a& dari tengah atau bagian dalam molekul (Kulp, 1975). Selain itu enzim a amilase merupakan jenis enzim hidrolase (Fogarty, 1983). Aktivitas optimal dari enzim dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor penting yang berpengaruh yaitu pH dan suhu. Kisaran pH optimum untuk enzim a amilase berkisar antara 4.5 - 6.5. Suhu optimum aktivitas enzim antara 40 - 60°C (Fogarty, 1983), sedangkan menurut Purnomo (1987) suhu optimum antara 50 -60°C. Enzim a amilase menghidrolisis ikatan a 1,4 glukosidik amilosa, amilopektin dan glikogen. Enzim a amilase lebih mudah menghidrolisis ikatan polimer pada amilosa daripada arnilopektin. Hidrolisis amilosa oleh a amilase terjadi melalui dua tahap. Tahap pertama adalah degradasi menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Degradasi ini terjadi sangat cepat diikuti dengan menurunnya viskositas dengan cepat. Tahap kedua relatif lambat dengan pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir dan caranya tidak acak (Winamo, 1983). Laju hidrolisis akan meningkat pada rantai yang lurus dan menurunnya tingkat polimerisasi. Hidrolisis enzim amilase pa& amilopektm lebih lambat (Girindra, 1983). Kerja a amilase pada amilopektin akan menghasilkan glukosa, maltosa dan berbagai jenis a limit dekstrin. Alpha limit dekstrin adalah oligosakarida yang terdiri dari empat atau lebih residu gda yang semuanya mengandung ikatan a 1,6 (Winamo, 1983).
D. Pengetahuan Gizi Kondisi kemislunan dan kurangnya persediaan pangan yang bergizi bukanlah satu-satunya faktor penyebab timbulnya pernasalahan gizi khususnya masalah KEP di masyarakat. Sebab lain yang tidak kalah pentingnya adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi dan permasalahannya, kurangnya kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan gizi adalah kemampuan seseorang untuk mengingat kembali kandungan gizi makanan, sumber serta kegunaan zat gizi tersebut dalam tubuh. Pengetahuan gizi ini mencakup proses kognitif yang dibutuhkan untuk menggabungkan informasi grzi dengan perilaku makan agar struktur pengetahuan yang baik tentang gizi dan kesehatan dapat dikembangkan (Saap dan Helen, 1997). Menurut Suhadjo (1989) kurang energi protein juga disebabkan oleh sanitasi lingkungan yang kurang baik dan ketidaktahuan orang tua terhadap gzi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Devi dan Geervani (1994) kasus KEP pada
anak selain disebabkan oleh ketidakcukupan pangan juga karena ketidakpedulian ibu dalam pemberian makanan. Pendidikan ibu mempunyai peranan penting terhadap praktek pemberian makan pada anak. Pengaruh pendidikan terutama pendidikan ibu terhadap praktek hidup sehat telah banyak didokwnentasikan. Banyak bukti menyebutkan bahwa pendidikan ibu mempengaruhi kesehatan dan status gizi anaknya melalui praktek ibu dalam pemeliharaan kesehatan. Ibu yang lebih berpendidikan tampaknya lebih banyak mengakses pa& fasilitas kesehatan (baik sarana maupun prasarana)
dibandingkan ibu yang kurang berpendidikan (Dionisio, 2002). Menurut Piechulek et al. (1999) ibu yang berpendidikan dapat memberikan praktek pemberian
makanan yang lebih baik. Menurut Abunain et a1.(1989) pada masyarakat yang rata-rata pendidikannya rendah prevalensi gizi kurang tinggi, sebaliknya pada masyarakat dengan tingkat pendidikan cukup tinggi maka prevalensi gizi kurang rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Marce et al. (1999) menunjukkan bahwa tingkat kepedulian ibu terhadap anak melalui cara pemberian makan anak merupakan penentu terkuat untuk peningkatan status gizi an&, terutama untuk anak yang berasal dari keluarga mislun dan anak yang ibunya berpendidikan rendah. Dalam penelitian ini juga diperlihatkan bahwa anak yang berasal dari keluarga miskin clan berpendidikan rendah dapat memperoleh skor status gizi yang sarna bahkan setengahnya mempunyai Z skor yang lebih tinggi dibandingan dengan anak yang berasal dari keluarga sejahtera dan berpendidikan tinggi. Menurut Hardinsyah dan Guhardja (1986) tingginya status ekonomi seseorang belum dapat menjamin tercapainya keadaan gizi yang baik bila tidak dlsertai dengan pengetahuan yang baik pula. Menurut Ardi (1987) makanan yang dikonsumsi an& dan terbentuknya pola makan anak yang baik sangat ditentukan oleh peranan dm pengetahuan gizi ibunya, sebab anak balita belum bisa memilih makanannya sendiri. Sanjur (1982) menyatakan bahwa pengetahuan gizi ikut menentukan praktek atau membentuk praktek pemberian makan pada anak secara langsung. Pengetahuan ibu terhadap gizi dan permasalahannya sangat berpengaruh terhadap gizi keluarga. Pendidikan
penting bagi ibu sebab ibu berperan dalarn menentukan pola penyusunan makanan untuk rumah tangga maupun dalam pola pengasuhan anak. Lebih lanjut Satoto (1990) menjelaskan bahwa faktor yang cukup dominan yang menyebabkan
meluasnya keadaan gizi kurang adalah perilaku yang kurang baik di kalangan masyarakat Indonesia &lam memilih dan memberikan makan kepada anggota keluarganya, terutarna anak-anak.
Oleh karena itu berbagai kegratan harus
dilaksanakan untuk memberikan makanan dan perawatan yang benar untuk mencapai status gizi yang baik, salah satunya melalui jalur penyuluhan gizi. Pengetahuan gizi ibu yang baik dapat diukur melalui tingkat pengetahuan, sikap atau pola pikir dan praktek &lam pemberian makan pada anak. Penelitian yang dilakukan oleh Claulfield et al. (1999) dengan memberikan MPASI pada anak usia 6-12 bulan sekaligus memberikan pendidikan berupa penyuluhan pada ibu tentang gizi clan cara pemberian makan pada anak, hasilnya memberikan pengaruh positif terhadap status grzi anak sehingga dapat mereduksi kasus malnutrisi pada anak. Peningkatan energi dalarn MPASI dan pola pemberian makanan pada anak yang baik dapat m e n d a n kasus malnutrisi pada anak. Bhandori et al. (2001) melakukan penelitian terhadap kelompok yang hanya diberi penyuluhaa gizi saja dan kelompok yang diberi WAS1 dan penyuluhan. Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok yang hanya diberi penyuluhan saja tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan, sedangkan kelompok yang diberi penyuluhan
dan MPASI menunjukkan pengaruh terhadap peningkatan energi sebesar 280-752
KJkari. Dalam ha1 ini penyuluhan merupakan media komunikasi dan memberikan dorongan untuk ibu dalam mernberikan makanan kepada anak secara optimal.
E. Pengukuran Status Gizi Adanya masalah pada anak balita di suatu masyarakat dapat diketahui dengan melakukan penilaian status gizi. Anak yang menderita Kurang Energr Protein (KEP) akan menunjukkan status gizi yang ti& baik. Sebaliknya anak yang tidak menderita KEP akan menunjukkan status gizi yang baik. Penentuan status gizi balita dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan konsumsi makanan, perneriksaan klinis, biokimia, biofisik, dan pengukuran antropometri (Jellife, 1966; Harper et al., 1986; Suhardjo & Riyadi, 1990; Gibson, 1990; Riyadi, 1995 ). Penilaian status gizi berdasarkan konsurnsi pangan dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu cara inventaris (inventory method), cara pendahan fiod list method), cara recall dan cam penimbangan (weighing method). Penilaian status
gizi secara klinis dapat dilakukan dengan pendeteksian gejala kekurangan gizi secara klinis, Penilaian status gizi secara biokimia merupakan cara penilain secara obyektif dan digunakan untuk mendeteksi keadaan defisiensi subklinis. Penilaian status gizi berdasarkan pengukuran antropometri dapat dilakukan dengan pengukuran pertumbuhan dan komposisi tubuh (Riyadi, 1995). Menurut Gibson (1990) penentuan cara yang Qgunakan untuk menilai status gizi sangat tergantung pada tahapan kekurangan gizi. Tahapan kekurangan zat gizi clan cara penilaian status gizi anak dapat dilihat pa& Tabel 6.
Cara 29
penilaian status gzi tersebut dapat dipergunakan secara tunggal, yaitu satu indikator saja, tetapi akan lebih efektif apabila dipergunakan secara gabungan atau lebih dari satu indikator.
/ Ketidakcukupan makanan n. 1V.
V.
VI.
1
Biokimia
P e n m a n cadangan zat gizi dalam jaringan tubuh Penurunan kadar zat gizi dalam cairan tubuh Penurunan taraf fungsional dalam jaringan tub& Penurunan aktivitas enzim-enzirn yang tergantung pada zat gzi Perubahan fungsional
In.
I
I Konsumsi makanan I
VII.
Biokimia Antropometri/Bioki mia Biokirnia Tingkah lakulfisiologi Klinis
Gejala klinis
VIII.
I
I
I
I .
I Tanda-tanda anatomis
I Klinis
Surnber : Gibson (1990) 1. Pengukuran Antopometri
Antrojmmetri merupakan metode pengukuran status gizi secara langsung yang paling umum dipergunakan untuk mengukur dua masalah gizi utama di dunia, yaitu masalah gizi kurang terutarna pada anak-anak dan wanita hamil clan masalah gzi lebih pada semua kelompk umur (Jellife dan Jellife, 1989). Pengukuran dengan cara antropometri memiliki beberapa keuntungan yaitu relatif murah, obyektif, mudah dilalcukan pada populasi yang besar serta memberikan informasi tentang gangguan pertumbuhan. Gibson (1990) menambahkan bahwa
cara antropometri relatif cepat dalarn pelaksanaannya, tidak melukai dan tidak terlalu banyak membutuhkan alat. Penilaian dengan cara antropometri terdiri dari dua dimensi, yaitu pengukuran perturnbuhan dan komposisi tubuh (Rryadi, 1995). Penilaiannya antara lain meliputi bemt badan, tinggi badan, rasio lingkar pinggang terhadap lingkar pinggul, lapisan lemak bawah kulit dan rasio berat badan terhadap kuadrat tinggi badan (BMI) (Gibson, 1990). Indeks yang dipergunakan dalarn pengukuran status gizi secara antropometri antara lain berat badan menurut umur (BBAJ), tinggi badan menurut wnur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BBrrS) ( W O , 1993). Berat badan merupakan salah satu ukuran antropometri yang memberikan gambaran tentang massa tubuh (tulang, otot dan lemak). Massa tubuh sangat sensitif terhadap penibahan keadaan yang mendadak, misalnya karena terserang penyalut infeksi sehingga mengurangi nafsu makan atau menurunkan jumlah makanan yang dikonsurnsi (Suhardjo dan Riyadi, 1990).
Berdasarkan sifat-
sifatnya, indeks BB/U digunakan sebagai salah satu indikator status gizi, dan karena sifat pengukuran berat badan yang lebih labil maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritionnl
statw).
Penggunaan indeks BBAJ sebagai indikator status gizi sensitif untuk melihat perubahan status gizi jangka pendek dan merupakan indikator yang baik untuk memonitor program sert. sensitif terhadap perubahan keadaan gizi yang kecil.
Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang dapat menggambarkan keadaan pertumbuhan rangka tubuk Dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh bersarnaan dengin pertambahan umur. Pertwnbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, yaitu relatif tidak sensitif terhadap keadaan kurang gizi dalarn jangka pendek. Pengaruh kurang gizi terhaciap tinggi badan baru akan tampak dalam jangka waktu yang relatif lama (Riyadi, 1995). Berdasarkan sifat in. indeks TBIU lebih menggambarkan status gizi masa lalu. Berat badan berhubungan dengan tinggi badan secara linier (Riyadi, 1995). Dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan searah dengan pertambahan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BBfTB merupakan indikator yang menyatakan status gizi masa kini dan biasa dipergunakan apabila data umur yang akurat sulit untuk diperoleh. Lingkar lengan atas merupakan pengukuran terhadap otot, femak dan tulang pada daerah yang diukur.
Indeks lingkar lengan atas menunjukkan
inhkator kurang kalori protein (KKP) brat. Indeks LLA cukup dengan nilai tunggal saja karena antara anak berumur satu sampai lima tahun, perbedaannya relatif kecil (Riyadi, 1995). Pada prinsipnya ada 3 cara penyajian distribusi indeks antropometri yaitu sebagai persen terhadap median, persentil dan Z Skor. Penyajian dlstribusi indeks antropometri dengan Z skor dilakukan degan melihat distribusi normal kurva pertumbuhan seseorang. Batas ambang nilai status gizi atau kurva pertumbuhan di lwr batas seperti yang berada di bawah persenti13 masih ciapat dideteksi. Selain
itu distribusi normal populasi yang dinilai dapat diketahui. Persentil dan Z skor dapat digunakan untuk melihat perbandingan antar waktu, antar wilayah, antar kelompok umur dan jenis kelamin (Atmarita dan Jalal, 1991). 2. Penilsisn Status Gizi secara Biokimis
Penilaian status pzi secara biokimia digunakan untuk mendeteksi keadaan defisiensi subklinis. Keadaan defisiensi subklinis dapat diidentifikasi melalui pengukuran kadar zat gizi atau metabolisme zat gizi tertentu dalam tubuh yang mereflkesikan kondisi deplesi. Pengujian biokimia dapat digunakan unt& menyatakan pengukuran malnutrisi yang mempunyai kemampuan untuk memberikan hasil yang lebih tepat dan obyektif dibandingkan dengan pengujian melalui konsumsi pangan dan pemeriksaan fisik (Suhardjo dan Riyadi, 1990). Penilaian status gizi secara biokimia melalui pengukuran hasil metabolit dapat dilihat dari kondisi abnormal dalarn darah dan urin atau melalui pengukuran tingkat ekskresi mt gizi dalam urin. Pengukuran secara biokimia dipengadi oleh beberapa faktor yaitu waktu pengukuran sampel, wnur masing-masing grup, fasilitas laboratorium dan keterampilan.
Urin yang diambil pada pagi hari
cenderung menunjukkan substansi yang berhubungan dengan diet dan metabolisme, seperti glukosa dan protein. Urin yang dikumpulkan pada pagi hari berasal dari makanan yang telah dikonsumsi, sehingga cenderung mengandung protein dan senyawa reduksinya (Ross dan Neely, 1983). Jumlah kreatinin dapat diukur melalui darah dan urin. Jumlah kreatinin yang dikeluarkan tidak bervariasi banyak dengan volume win, sehingga 33
pengukuran urin 24 jam dapat dilakukan untuk pengukuran penentuan ekskresi kreatinin (Widman, 1985). Menurut Jelliffe et al. (1966) analisis untuk menduga kadar kreatinin urin selama periode sekurang-kurangnya selama 3 jam, tetapi lebih baik selama periode 24 jam.
Menurut Guthrie (1975) ekskresi kreatinin dalam
win dalam 4 jam dapat digunakan sebagai suatu indikator nutrisi protein. Ekskresi kreatinin urin berasal dari pengeluaran eksogenus dan endogenus. Secara endogen kreatinin diproduksi oleh massa otot dan jaringan adiposa. Pengelwan eksogenus yaitu berasal dari diet makanan. Ekskresi dari eksogenus bervariasi tergantung dari diet makanannya. Pada subyek yang diet makanannya tidak mengandung daging, maka ekskresi eksogennya mendekati no1 (Wang et al., 1996).
Kreatinin disaring dalam glomerulus melalui renal tubulus dan
dikeluarkan meldui ginjal. Secara normal kreatinin yang dikeluarkan dari lakilaki dewasa yaitu 95-140 mllmenit dan 85-125 mllmenit untuk wanita dewasa. Koefisien kreatinin (mg kreatinin yang dikeluarkan/24 jamKg berat badan) dari usia 0-24 bulan rata-rata 22 mg (kisaran antara 14.2-32) (Jellife, 1966), sedangkan menurut Suhardjo dan Riyadi (1990) kreatin urin yang dikeluarkan per hari adalah 15 - 25 mglkg BB. Menurut Cantarow (1962) ekskresi kreatinin untuk anak adalah 4.2 mg/hari/Kg BB dengan diet bebas daging. Ekskresi kreatinin pada anak yaitu dalam 18.6-20 Kg massa otot bebas lemak memproduksi 1 gram kreatinin win (Wang et a/., 1996).