Bab II
Tinjauan Pustaka
II.1 Komponen Dan Struktur Lignoselulosa Biomassa adalah bahan-bahan organik yang berumur relatif lebih muda dan berasal dari tumbuhan/hewan; produk dan limbah industri budi daya (pertanian, kehutanan, peternakan, perikanan), seperti serat kapuk, tongkol jagung, jerami padi, tandan kosong sawit, dan bagas (Soerawidjaja, 2005). Bahan-bahan organik ini merupakan sumber karbon dan energi yang besar dan dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia. Komponen-komponen karbon dan energi yang terkandung dalam biomassa dalam jumlah besar adalah minyak, protein, gula, pati, dan lignoselulosa (fiber) sebagai komponen terbesar (Brown, 2003). Tanaman tak berkayu (herbaceous crops) dan tanaman berkayu (woody crops) merupakan jenis tanaman yang mengandung lignoselulosa (Soerawidjaja, 2005), sehingga untuk mempelajari lignoselulosa biasanya digunakan sel kayu. Secara umum ada 2 (dua) jenis kayu, yaitu kayu lunak (softwood) dan kayu keras (hardword) (Sjöström, 1998). Tabel II.1 Parameter Ciri Softwood dan Hardwood (Soerawidjaja, 2005) Parameter cirri Komposisi (%-b) : Selulosa Hemiselulosa Lignin Ekstraktif Kelas tumbuhan Mampu tumbuh dari tunggul Kemudahan delignifikasi Derajat polimerisasi lignin Kadar gugus asetil Kadar abu (terutama SiO2) Contoh
Softwood
Hardwood
42 ± 2 27 ± 2 28 ± 3 3±2
45 ± 2 30 ± 5 20 ± 4 5±3
gimnosperma tidak < > < >
angiosperma ya > < > <
Pinus
Turi
Lignoselulosa tersusun dari mikrofibril-mikrofibril selulosa yang membentuk kluster-kluster, dengan ruang antar mikrofibril terisi dengan hemiselulosa, dan
5
kluster-kluster tersebut terbebat kuat menjadi satu kesatuan oleh lignin (Soerawidjaja. and Z.I.E.Amiruddin, 2007).
Gambar II.1 Konfigurasi jaringan kayu (Perez et al., 2002). a. Sel-sel kayu yang saling berdekatan b. Lapisan dinding sel c. Distribusi lignin, hemiselulosa, dan selulosa pada lapisan dinding sekunder.
Jadi secara kimia, lignoselulosa terdiri atas tiga komponen utama, yaitu lignin, hemiselulosa, selulosa, dan sedikit kandungan ekstraktif. Tabel II.2 Komposisi kimia beberapa bahan lignoselulosa (R.L et al., 2003) Bahan Lignoselulosa
Selulosa (%)
Kulit kacang Tongkol jagung Jerami padi Serat kapas Serat kapok* Tandan kosong sawit** Kertas Bagas Kertas Koran Rumput
25 – 30 45 32,1 80 – 95 64 35,71 85 – 99 33,4 40 – 55 45
Hemiselulosa (%) 25 – 30 35 24 5 – 20 23 29,86 0 30 25 – 40 31,4
Lignin (%) 30 – 40 15 18 0 13 21,97 0 – 15 18,9 18 – 30 12
* Diambil dari (Zand, 1941) ** Diambil dari (Darnoko, 1995)
6
II.1.1 Selulosa Selulosa adalah komponen utama kayu, kira-kira 40 – 50 % kayu kering. Selulosa merupakan homopolisakarida yang tersusun atas unit-unit β-D-glukopiranosa yang terikat satu sama lain dengan ikatan-ikatan β-(1,4)-glikosida, yang ditunjukkan oleh Gambar 2.2.
Gambar II.2 Struktur selulosa (Ibrahim, 1998). Molekul-molekul
selulosa
seluruhnya
berbentuk
linier
dan
mempunyai
kecenderungan kuat membentuk ikatan-ikatan hidrogen intra- dan intermolekul. Sebagai struktur yang berserat dan ikatan-ikatan hidrogen yang kuat, selulosa mempunyai kekuatan tarik yang tinggi dan tidak larut dalam kebanyakan pelarut. Selulosa tidak berwarna, tidak mempunyai rasa dan bau, tidak larut dalam air atau larutan basa, relatif stabil terhadap panas, tidak meleleh jika dipanaskan, mulai terurai (dekomposisi) pada temperatur 260 – 270 0C, tahan terhadap hidrolisis, dan stabil terhadap oksidasi. Tetapi selulosa akan larut dalam larutan asam mineral dengan konsentrasi tinggi (akibat hidrolisis), dan jika hidrolisisnya belum berlangsung terlalu jauh maka selulosa dapat diendapkan kembali membentuk fragmen-fragmen padatan polimer dengan berat molekul yang lebih kecil melalui pengenceran larutan dalam asam kuat tersebut dan air. Selulosa baru mengalami hidrolisis dalam asam mineral encer pada temperatur yang tinggi (>100 0C).
7
II.1.2 Hemiselulosa Hemiselulosa termasuk dalam kelompok polisakarida heterogen yang dibentuk melalui jalan biosintesis yang berbeda dari selulosa. Hemiselulosa relatif mudah dihidrolisis oleh asam menjadi komponen-komponen monomer hemiselulosa terdiri dari D-glukosa, D-manosa, D-galaktosa, D-xilosa, L-arabinosa, dan sejumlah kecil L-ramnosa di samping menjadi asam D-glukuronat, asam 4-Ometil-D-glukuronat,
dan
asam D-galakturonat.
Kebanyakan
hemiselulosa
mempunyai derajat polimerisasi hanya 200 (Palonen, 2004; Sjöström, 1998). Hemiselulosa mempunyai rantai polimer yang pendek dan tak berbentuk, oleh karena itu sebagian besar dapat larut dalam air. Rantai utama dari hemiselulosa dapat berupa homopolimer (umumnya terdiri dari satu jenis gula yang berulang) atau juga berupa heteropolimer (campurannya beberapa jenis gula) (Ibrahim, 1998).
Gambar II.3 Struktur unit-unit penyusun hemiselulosa (Ibrahim, 1998)
8
Hemiselulosa yang terkandung pada hardwood utamanya adalah xilan (15 – 30%) yang terdiri atas unit-unit xilosa yang dihubungkan oleh ikatan β-(1,4)-glikosida dengan percabangan berupa unit asam 4-0-methylglucuronic dan ikatan α-(1,2)glikosida. Gugus O-asetil terkadang menggantikan gugus OH pada posisi C2 dan C3. Pada softwood kandungan hemiselulosa terbesar adalah galaktoglukomanan (15 – 20%) , xilan (7 – 10%), dan gugus asetil. Xilan pada softwood memiliki cabang berupa unit arabiofuranosa yang dihubungkan oleh ikatan α-(1,3)glikosida (Ibrahim, 1998).
Gambar II.4 Struktur xilan ; A. hardwood, dan B. softwood (Ibrahim, 1998) .
Gambar II.5 Contoh struktur hemiselulosa ; a. O-acetyl-4-0methylglucuronoxylan dari hardwood, dan b. O-acetyl-galactoglukomannan dari softwood (Perez et al., 2002).
9
Hemiselulosa relatif mudah dihidrolisis oleh asam menjadi komponen-komponen monomernya. Hemiselulosa dapat diisolasi dengan cara ekstraksi menggunakan dimetilsulfoksida dan alkali (KOH dan NaOH). Namun ekstraksi alkali mempunyai kerugian yaitu deasetilasi hemiselulosa yang hampir sempurna (Sjöström, 1998)
II.1.3 Lignin Lignin merupakan komponen kimia dan morfologi yang karakteristik dari jaringan tumbuhan tinggi, seperti pteridovita dan spermatofita (gymnosperm dan angiosperm), dimana ia terdapat dalam jaringan vaskuler yang khusus untuk pengangkutan cairan dan memberikan kekuatan mekanik sedemikian rupa sehingga tumbuhan yang besar seperti pohon yang tingginya lebih dari 100 m tetap dapat berdiri kokoh (Dietrich Fengel, 1984). Struktur molekul lignin sangat berbeda bila dibandingkan polisakarida karena terdiri atas sistem aromatik yang tersusun atas unit-unit fenilpropana: unit guaiacyl (G) dari prekusor transkoniferil alkohol, unit syringyl (S) dari prekusor trans-sinapil alkohol, dan phidroksipenil (H) dari prekusor trans-p-koumaril alkohol (Palonen, 2004), seperti digambarkan dalam Gambar II.6. Unit-unit fenilpropana ini kemudian berikatan dengan struktur-struktur minor sehingga membentuk suatu jaringan polimer yang dikenal dengan nama lignin.
Gambar II.6 Unit-unit penyusun lignin (Ibrahim, 1998)
10
Gambar II.7 Struktur lignin dari softwood (Perez et al., 2002). Lignin adalah polimer berkadar aromatik-fenolik yang tinggi, berwarna kecoklatan, dan relatif lebih mudah teroksidasi. Lignin memiliki berat molekul yang bervariasi antara 1000 sampai dengan 20.000, tergantung pada sumber biomassanya.
Lignin relatif stabil terhadap aksi kebanyakan larutan asam
mineral, tetapi larut dalam larutan basa panas dan larutan ion bisulfit (HSO3-) panas. Lignin mempunyai titik pelunakan dan titik leleh yang rendah, lignin kayu berdaun jarum (pohon spruce) melunak pada 80 – 90 oC (basah) dan 120 oC (kering) dan meleleh pada 140 – 150 oC.
II.2 Pengolahan Awal Bahan Lignoselulosa Selulosa sebagai komponen terbesar dari kayu dapat dihidrolisis oleh enzim menjadi glukosa yang selanjutnya dapat difermentasi dan menghasilkan alkohol.
11
Untuk menghidrolisis selulosa dalam lignoselulosa jauh lebih sulit dibandingkan hidrolisis selulosa yang bebas. Karena lignoselulosa merupakan bahan yang amat rapat sehingga pada kondisi biasa bersifat inert dan tak bisa ditembus/diterobosi oleh air apalagi enzim (Soerawidjaja. and Z.I.E.Amiruddin, 2007). Oleh sebab itu diperlukan suatu proses awal (pretreatment) untuk mempersiapkan bahan agar dapat disakarifikasi oleh enzim dan difermentasi oleh mikroorganisme yang bebas dari lignin dan hemiselulosa (Mosier et al., 2005).
Gambar II.8 Skema pretreatment bahan lignoselulosa (Mosier et al., 2005) Tanpa adanya pretreatment, gula yang dihasilkan dari hidrolisis kurang dari 20%, sedangkan dengan adanya pretreatment hasilnya meningkat menjadi 90% bahkan lebih. Untuk meningkatkan luas permukaan dari lignoselulosa dilakukan proses pengecilan ukuran (size reduction) sebagai langkah awal pengolahan. Pada banyak proses digunakan bahan lignoselulosa yang berukuran < 3 mm (Brown, 2003). Keberhasilan pretreatment ini ditentukan oleh besarnya kandungan lignin dan hemiselulosa yang hilang dari bahan. Teknik pengolahan awal dikategorikan atas 4 (empat) kategori, yaitu: secara fisika, kimia, biologi, dan kombinasi atau gabungan.
Alternatif pemilihan
kategori teknik pengolahan awal menyangkut aliran produk dari ketiga komponen
12
lignoselulosa: (1) ketiga komponen berada pada satu aliran, contohnya dalam ball milling; (2) hemiselulosa berada pada fasa cair dan lignin dan selulosa pada fasa padat, contohnya steam explosion; (3) larutan lignin dan hemiselulosa merupakan fasa cair dan selulosa dalam fasa padat, contohnya alkalin pretreatment; (4) ketiga komponen berada pada tiga aliran produk yang terpisah, contohnya fraksinasi biomassa (Wyman, 1996). Teknik pengolahan yang umum dipakai adalah teknik kedua dimana hemiselulosa berada pada fasa cair, sedangkan lignin bersama-sama dengan selulosa berada pada fasa padat. Proses yang dilakukan adalah dengan dua kali hidrolisis, dimana pada hidrolisis pertama ditujukan untuk menghilangkan hemiselulosa dan hidrolisis kedua ditujukan untuk memperoleh glukosa dari selulosa. Dalam hal ini lignin yang terkandung pada lignoselulosa selalu terikut bersama-sama selulosa dan setelah hidrolisis yang kedua lignin mengendap. Dipandang dari segi ekonomis, proses ini dinilai kurang baik dengan beberapa alasan: a) lignin ikut terbawa sampai keakhir proses sehingga memerlukan alat proses yang lebih besar, b) lignin juga mempunyai nilai ekonomis yang tinggi sehingga sebaiknya dipisahkan terlebih dahulu agar bisa dimanfaatkan dengan maksimal, c) lignin yang terikut dapat menghambat laju hidrolisis selulosa. Teknik pengolahan (pretreatment) yang terbaik adalah teknik keempat dimana masing-masing komponen berada pada tiga aliran yang terpisah. Konsep idealnya adalah dengan melakukan pemisahan terhadap ketiga komponen lignoselulosa tersebut tanpa mengalami kerusakan sehingga dapat dimanfaatkan secara maksimal, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar II.9. Pertama, dilakukan pemisahan terhadap lignin dan ekstraktif lain dengan menggunakan pelarut (proses delignifikasi). Pelarut yang digunakan harus mampu melarutkan sebagian besar lignin dan kemudian dapat dipisahkan kembali dengan mudah. Lignin yang diperoleh dari proses dapat digunakan sebagai bahan bakar (fuel) dimana energi yang terkandung dalam lignin adalah sebesar 26,3 MJ/kg
13
lignin (Kim and Lee, 2006). Dan juga sebagai bahan kimia organik aromatik (Soerawidjaja. and Z.I.E.Amiruddin, 2007). Tabel II.3 Kelarutan masing-masing Komponen Senyawa Selulosa Hemiselulosa Lignin
Larut dalam Asam kuat Basa (Alkalin) Asam Dimetilsulfoksida Basa Ion bisulfit
Referensi Dietric Fengel, 1984 Sjostrom, 1998 Sjostrom, 1998 Sjostrom, 1998 Sjostrom, 1998 Sjostrom, 1998
Tabel II.4 Sifat Kimia Selulosa, Hemiselulosa, dan Lignin No.
Selulosa
1
Tidak larut dalam air
2
Larut dalam larutan asam pekat, seperti H2SO4 72%, HCl 40%, atau 85% H3PO4. terhidrolisis lebih cepat pada temperatur yang lebih tinggi Tidak larut dalam asam organik
3
4
Tidak larut dalam larutan alkali hidroksida. Larutan alkali hidroksida menggembungkan selulosa berberat molekul rendah
Hemiselulosa
Lignin
Sedikit larut dalam air Larut dan terhidrolisis dalam asam mineral
Tidak larut dalam air Tidak larut dalam asam mineral kuat
Larut dan terhidrolisis dalam asam organik pekat
Larut parsial dalam berbagai senyawa organik teroksigenasi Larut dalam larutan alkali encer
Larut dalam larutan alkali
Kedua, dilakukan hidrolisis terhadap hemiselulosa dengan menggunakan asam encer sehingga diperoleh hemiselulosa dalam bentuk monomernya (xylosa). Asam yang sering digunakan adalah asam klorida encer dihidrolisis pada temperatur 100 – 108
o
C dan asam asetat encer dihidrolisis pada temperatur 130 – 150
o
C.
Hemiselulosa yang terpisah dapat digunakan sebagai bahan kimia (furfural), bahan bakar karena komponen-komponen monomernya berupa gula sehingga
14
Gambar II.9 Skema ideal pemanfaatan biomassa untuk memproduksi ethanol bahan bakar (Soerawidjaja. and Z.I.E.Amiruddin, 2007).
15
dapat difermentasi menghasilkan etanol bahan bakar, dan bahan tambahan pada makanan (Kim and Lee, 2006). Kandungan selulosa yang tertinggal selanjutnya dapat disakarifikasi oleh enzim untuk mendapatkan glukosa. Glukosa selanjutnya dapat difermentasi menjadi etanol. Proses sakarifikasi selulosa menjadi monomer glukosa menggunakan enzim (hidrolisis enzimatik) merupakan proses yang spesifik, dimana proses ini sangat dipengaruhi oleh substrat (bahan baku), aktifitas enzim, dan kondisi reaksi (pH dan temperatur). Produk dari hidrolisis ini biasanya berupa gula pereduksi termasuk juga glukosa. Enzim yang banyak digunakan untuk proses sakarifikasi ini adalah enzim selulase. Selulase dapat dihasilkan oleh bakteri dan jamur, tetapi enzim selulase komersial yang ada dipasaran biasanya berasal dari jamur. Jamur yang menghasilkan selulase diantaranya adalah Sclerotium rolfsii, P.chrysosporium, spesies dari Trichoderma, Aspergilus, Schizophyllum, dan Penicillium. Tetapi yang paling banyak dipelajari adalah selulase yang berasal dari spesies Trichoderma (Sternberg, 1976 dalam (Sun and Cheng, 2002)). Selulase yang berasal dari Trichoderma biasanya merupakan campuran dari beberapa jenis enzim (complex enzyme). Setidaknya harus ada tiga jenis enzim yang terlibat dalam proses hidrolisis: 1) Endoglukanase (EG, endo-1-4-Dglucanohydrolase, yang menyerang bagian kristalin dari serat selulosa dan membuat ujung rantai bebas (free chain-ends); 2) Exoglukanase atau selobiohidrolase (CBH, 1-4-β-D cellobiohydrolase), memperkecil molekul dengan memisahkan unit cellobiose dari free chain-ends; 3) β-glukosidase (βG), yang memutus rantai cellobiose menjadi glukosa (Chaplin, 2004; Sun and Cheng, 2002). Cara kerja enzim diperlihatkan oleh Gambar II.10. Kemudahan enzim untuk menghidrolisis bahan dipengaruhi oleh komponen yang ada dalam substrat. Selulase hanya mampu menghidrolisis selulosa dan sedikit hemiselulosa. Lignin tidak dapat didegradasi oleh selulase, dan dapat menghambat
16
aktifitas dari enzim tersebut. Oleh karena itu lignin dan hemiselulosa dipisahkan terlebih dahulu dari selulosa, sehingga enzim lebih mudah bekerja dalam menghidrolisis selulosa menjadi glukosa..
Gambar II.10 Hidrolisis enzimatik selulosa menjadi glukosa, EG menghidrolisa ikatan dalam serat; CBH I bekerja pada ujung tereduksi; CBH II bekerja pada ujung yang tidak tereduksi; dan βG merubah cellobiose menjadi glukosa (Chaplin, 2004; Perez et al., 2002).
II.3 Penelitian Pendahulu Beberapa penelitian yang telah dilakukan antara lain penggunaan air panas dan larutan amoniak (ARP) oleh Tae Hyun Kim (2006), menggunakan larutan amoniak dan asam oleh N. J. Cao (1996). Penelitian yang telah dilakukan oleh Tae Hyun Kim (2006) menggunakan tahapan yang berbeda dari konsep diatas dan menggunakan metoda perkolasi. Kim lebih dahulu menghidrolisis hemiselulosa dengan menggunakan air panas, yang kemudian dilanjutkan dengan penggunaan Ammonia Recycle Percolation (ARP)
17
untuk delignifikasi. Kim memperoleh hasil berupa 92 – 95 % xylan setelah tahapan pertama, 75 – 81 % lignin setelah tahapan kedua, dan 78 – 85 % selulosa (Kim and Lee, 2006). Jauh
sebelumnya,
N.J.Cao
(1996)
telah
melakukan
penelitian
dengan
menggunakan konsep ideal diatas, yang menggunakan bahan lignoselulosa berupa tongkol jagung, dengan temperatur 26 oC, tekanan 1 atm, dan konsentrasi larutan amoniak 2,9 M selama satu hari (24 jam) dengan metoda perendaman (meserasi). Cao memperoleh hasil 80 – 90 % lignin dan bahan-bahan ekstraktif lainnya dapat dipisahkan dari bahan baku. Amoniak kemudian dipisahkan dari lignin dengan cara evaporasi pada kondisi vakum. Setelah itu digunakan larutan asam klorida (HCl) 0,3 M pada temperatur 100 – 108
o
C selama satu jam. Penelitian Cao
memberikan hasil glukosa yang tinggi 92% setelah dilakukan hidrolisis enzimatik terhadap selulosa (Cao et al., 1996) Tabel II.5 Perbandingan Hasil Penelitian Sebelumnya Komponen Bahan lignoselulosa Deligninfikasi Hidrolisa hemiselulosa Hasil : Selulosa Hemiselulosa Lignin
Kim Corn stover ARP Air panas
Cao Tongkol jagung Amoniak Asam klorida encer
78 – 85 % 92 – 95 % 75 – 81 %
92 % Tidak dilaporkan 80 – 90 %
Sifat lignin yang terpenting yang digunakan dalam pemilihan pelarut adalah kelarutannya dalam larutan basa. Amoniak merupakan senyawa anorganik yang mempunyai derajat kebasaan yang tinggi. Tetapi senyawa organik lebih diunggulkan sebagai pelarut, terutama untuk bahan-bahan organik. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai pelarut organik yang dapat digunakan pada proses delignifikasi dengan memperhatikan syarat-syarat berikut, yaitu: 1) derajat kebasaan yang mendekati dan/atau lebih rendah dari amoniak, 2) pada temperatur kamar harus bersifat cair, 3) mempunyai titik didih yang rendah (memudahkan recovery). Dalam hal ini pelarut organik yang ditinjau adalah senyawa organik
18
yang merupakan turunan dari amoniak (senyawa amina) agar diperoleh pelarut yang memiliki sifat yang hampir sama dengan amoniak dengan memperhatikan syarat-syarat di atas. Dilihat dari Tabel II.7 jenis pelarut organik yang dapat digunakan antara lain etilamina, propilamina, dan isopropilamina. Tabel II.7 Sifat-sifat Fisika Beberapa Senyawa Amina (Ullman, 2003) Senyawa Amoniak Metilamina Dimetilamina Etilamina Dietilamnia Trietilamnia Propilamina Dipropilamina Tripropilamina Isopropilamina Diisopropilamina Butilamina
pKb (25oC)
Titik didih (oC)
4,75* 3,37* 3,22* 3,25 2,88 3,24 3,41 3,09 3,35 3,37 3,43 3,39
- 33 -6,5* 7,4 16,6 56,3 89,3 47,8 109,2 156 32,4 84 77,8
Kelarutan dalam H2O ∞ ∞** ∞** ∞** 81,5*** 1,5***
* Diambil dari Fieser & Fieser, Organic Chem. 3th ed. ** Diambil dari Fessenden & Fessenden, Kimia Organik Jilid 2. *** Diambil dari Unit Processes In Organic Synthesis, 5th ed.
19