BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian-penelitian Terdahulu Penelitian-penelitian terdahulu ini berasal dari Tim peneliti dari Direktorat Riset dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia serta Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Biro Stabilitas Keuangan Bank Indonesia. Selain itu, penelitian-penelitian ini juga merujuk pada penelitian dari Bank Indonesia Ambon dan penelitian-penelitian dari mahasiswa di beberapa universitas. Penelitianpenelitian Bank Indonesia terdahulu menjadi acuan utama dalam penelitian ini. Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian Nuryakin dan Warjiyo (2006) dari Pusat Studi Kebanksentralan Bank Indonesia. Pemilihan penelitianpenelitian terdahulu ini berdasarkan pada topik penelitian ini, yakni faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Kredit Modal Kerja Bank Persero baik dari internal bank itu sendiri maupun dari sudut pandang pangsa pasar. Sebagaimana ditegaskan oleh Nuryakin dan Warjiyo (2006, 24), studi tentang literatur perbankan yang melibatkan pangsa pasar tempat bank itu beroperasi masih sedikit jumlahnya. Kendatipun demikian penelitian-penelitian terdahulu ini menjadi pembanding untuk penelitian ini. Peneliti dari Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, Agung dkk. (2001) menganalisa fenomena credit crunch di Indonesia pasca krisis ekonomi Asia pada tahun 1997. Agung dkk. (2001) mengkaji secara 26
27
makro penawaran kredit dengan estimasi Maximum Likelihood. Spesifikasi penawaran kredit yang dibentuk adalah sebagai berikut: ................................ (1) Keterangan: = jumlah total kredit yang ditawarkan Icap
= kapasitas kredit = tingkat suku bunga kredit
CA
= Capital to Asset Ratio yang merupakan proksi dari CAR
NPLs = Non-Performing Loans
Permintaan kredit (
) ditentukan oleh GDP riil dan suku bunga kredit.
GDP riil bulanan diperoleh dengan cara menginterpolasi data GDP riil kuartalan. Permintaan kredit terutama kredit modal kerja tergantung pada produksi di sektor riil. Jika output semakin tinggi, permintaan kredit semakin besar. Sementara itu, permintaan kredit memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat suku bunga yang juga mencerminkan biaya modal. Spesifikasi formal untuk permintaan kredit adalah sebagai berikut: ............................................................................ (2) Hasilnya adalah jumlah kredit perbankan ditentukan oleh kapasitas kredit, suku bunga kredit, rasio modal bank terhadap aset yang merupakan proxy dari CAR dan NPLs. Permintaan kredit ditentukan oleh GDP riil dan suku bunga kredit. Kajian empiris Agung dkk. (2001) secara mikro menggunakan data individual perbankan (panel data). Secara umum, hasil penelitian tersebut
28
menunjukkan bahwa melambatnya kredit yang disalurkan perbankan lebih disebabkan oleh faktor-faktor penawaran (hipotesa credit crunch). Credit crunch (persoalan permodalan yang dihadapi bank) secara signifikan dipengaruhi oleh tingginya NPLs, tingginya resiko kredit dunia usaha dan kurangnya informasi mengenai debitur yang potensial (Agung dkk.,2001). Soedarto (2004) dalam penelitiannya menguji faktor - faktor yang mempengaruhi penyaluran kredit pada BPR (Studi Kasus pada BPR di Wilayah Kerja BI Semarang). Teknik analisis yang digunakan adalah regresi berganda. Adapun variabel independen meliputi tingkat kecukupan modal, jumlah simpanan masyarakat, tingkat suku bunga, dan jumlah kredit non lancar, sedangkan variabel dependen adalah kredit. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa secara parsial maupun simultan tingkat suku bunga, tingkat kecukupan modal, jumlah simpanan masyarakat, dan jumlah kredit bermasalah berpengaruh positif terhadap penyaluran kredit. Harmanta dan Ekananda (2005) juga meneliti mengenai kredit dengan tujuan serta metode estimasi yang hampir sama dengan Agung dkk. (2001). Penelitian ini mengasumsikan bahwa permintaan kredit tidak selalu sama dengan penawaran kredit (adanya disequilibrium). Hasil empiris menunjukkan bahwa penurunan penyaluran kredit menunjukkan perilaku yang berbeda dalam dua periode. Pertama, periode 1997/1998 (pada saat krisis dan beberapa bulan pasca krisis) kredit perbankan ditandai dengan excess demand, sehingga dapat disimpulkan bahwa penurunan kredit yang terjadi pada periode tersebut lebih disebabkan oleh melemahnya penawaran kredit (credit crunch). Krisis yang
29
terjadi mengakibatkan lambatnya pertumbuhan DPK sehingga mengurangi kemampuan bank dalam menyalurkan kredit. Kedua, periode pasca krisis tahun 1999 hingga 2003 (akhir periode penelitian) kredit perbankan ditandai dengan excess supply, sehingga penurunan kredit yang terjadi pada periode tersebut ternyata lebih disebabkan oleh masih lemahnya permintaan kredit. Hal ini merupakan konsekuensi dari rendahnya prospek investasi akibat belum pulihnya kondisi perekonomian. Nuryakin dan Warjiyo (2006) menganalisis perilaku penawaran kredit 15 bank terbesar di Indonesia dalam pasar oligopoli perbankan Indonesia. Hasil penelitiannya adalah CAR berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penyaluran Kredit Investasi dan Kredit Modal Kerja. Variabel DPK berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyaluran Kredit Investasi dan Kredit Modal Kerja. Variabel Market Share berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyaluran Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi. Variabel NPLs berpengaruh positif terhadap penyaluran Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi Bank Persero. Pengaruh positif NPLs terhadap penyaluran Kredit Modal Kerja disebabkan oleh adverse selection yang dilakukan Bank Persero terhadap pembiayaan BUMN yang berkinerja rendah. Lestari (2006) dalam penelitiannya menguji pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR) dan Non Performing Loan (NPL) terhadap tingkat penyaluran kredit pada Bank - Bank Umum di Indonesia periode 2001 - 2005. Adapun variabel independen meliputi CAR dan NPLs, sedangkan variabel dependen adalah kredit. Teknik analisis yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS). Hasil
30
penelitiannya menunjukkan bahwa CAR dan NPLs berpengaruh negatif dan signifikan terhadap jumlah kredit yang disalurkan. Meydianawathi (2007) meneliti pengaruh NPLs, ROA, DPK, CAR terhadap penawaran kredit. Hasil penelitiannya adalah DPK, ROA, dan CAR berpengaruh positif dan signifikan terhadap penawaran kredit investasi dan modal kerja bank umum kepada sektor UMKM di Indonesia. Sebaliknya, NPLs berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penawaran kredit investasi dan modal kerja bank umum. Setiyati (2008) dalam penelitiannya menguji pengaruh suku bunga kredit, dana pihak ketiga, dan produk domestik bruto terhadap penyaluran kredit perbankan di Indonesia. Adapun variabel independen meliputi suku bunga kredit, Dana Pihak Ketiga, dan Produk Domestik Bruto, sedangkan variabel dependen adalah kredit. Teknik analisis yang digunakan adalah Error Correction Model (ECM). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa suku bunga kredit dan Dana Pihak Ketiga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penyaluran kredit, dan PDB berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyaluran kredit. Budiawan (2008) menguji faktor - faktor yang mempengaruhi penyaluran kredit pada Bank Perkreditan Rakyat (Studi Kasus pada BPR di Wilayah Kerja BI Banjarmasin) periode September 2005 - Agustus 2006. Variabel-variabel independen meliputi tingkat bunga, kredit non lancar, tingkat kecukupan modal, dan jumlah simpanan masyarakat, sedangkan variabel dependen adalah kredit. Teknik analisis yang digunakan adalah regresi berganda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tingkat suku bunga berpengaruh negatif dan signifikan
31
terhadap penyaluran kredit, kredit non lancar berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap penyaluran kredit, kecukupan modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyaluran kredit, dan simpanan masyarakat berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyaluran kredit. Triasdini (2010) mengkaji pengaruh CAR, ROA dan NPLs terhadap Kredit Modal Kerja. Dari hasil pengujian yang dilakukan terhadap penelitian ini diketahui secara simultan diketahui bahwa CAR dan ROA berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan kredit. Dari pengujian secara parsial, diperoleh hasil bahwa CAR nilai t hitung dari CAR sebesar 3,375, nilai t hitung NPLs sebesar -2,509 dengan tingkat signifikansi 0,043. Untuk ROA diperoleh nilai t hitung sebesar 1,991 dengan tingkat signifikansi 0,009. Bank Indonesia Ambon (2007: 50-51) mengembangkan model permintaan dan penawaran kredit di kota Ambon. Fungsi penawaran kredit digambarkan dengan persamaan sebagai berikut: =a+
Kap Kredit +
SBI 3 Bulan +
NPLs + e .................................. (3)
Keterangan: = Jumlah kredit Bank Persero a
= Konstanta = Koefisien regresi dari tiap-tiap variabel independen
Kap Kredit
= Kapasitas Kredit.
SBI 3 Bulan
= Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia 3 Bulan
NPLs
= Non Performing Loan (kredit bermasalah)
e
= error term
32
Kapasitas kredit didefinisikan sebagai dana tersedia yang bisa disalurkan. Kapasitas kredit ini bisa juga didefinisikan sebagai jumlah DPK ditambah Modal dikurangi dengan aktiva tidak likuid. Fungsi ini menyatakan bahwa realisasi kredit dipengaruhi oleh kapasitas kredit, tingkat suku bunga SBI 3 bulan serta tingkat NPLs bank yang bersangkutan. Kapasitas kredit berpengaruh positif terhadap penawaran kredit. Besarnya kapasitas kredit akan menyebabkan meningkatnya penawaran kredit. Suku bunga SBI dan NPLs berpengaruh negatif terhadap penawaran kredit. Tinggi suku bunga SBI dan besarnya NPLs akan menyebabkan semakin rendah penawaran kredit. Bank Indonesia Ambon membuat model permintaan kredit sebagai berikut: =a+
SkBg KMK +
SkBg KI+ SkBg KK +
PDRB+
inflasi +e .. (4)
Keterangan: = Jumlah kredit yang disalurkan bank-bank umum di Ambon a
= Konstanta = Koefisien regresi dari tiap-tiap variabel independen
SkBgKMK = Suku Bunga Kredit Modal Kerja SkBg KI
= Suku Bunga Kredit Investasi
SkBg KK
= Suku Bunga Kredit Konsumsi
PDRB
= Produk Domestik Bruto
Inflasi
= Tingkat Inflasi
e
= error term
33
Fungsi ini menyatakan bahwa realisasi kredit dipengaruhi oleh suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK), Kredit Investasi (KI), Kredit Konsumsi (KK), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Inflasi. PDRB berpengaruh positif terhadap permintaan kredit. Besarnya PDRB akan menyebabkan meningkatnya permintaan kredit. Suku bunga KMK, KI, Kredit Konsumsi (KK) dan Inflasi berpengaruh negatif terhadap penawaran kredit. Tingginya suku bunga kredit modal kerja, suku bunga kredit investasi, suku bunga kredit konsumsi dan inflasi akan menyebabkan rendahnya permintaan kredit. Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Biro Stabilitas Keuangan Bank Indonesia (2008) meneliti dampak inflasi terhadap pertumbuhan dan kualitas kredit perbankan domestik. Penelitian ini menggunakan pertumbuhan ekonomi melalui proxy Indeks Produksi Industri Bulanan (IPI). Pertumbuhan produksi sebagai bagian dari pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini diukur dengan IPI. IPI yang mengukur kinerja produksi sektor industri di antaranya dipengaruhi oleh kestabilan kondisi makroekonomi, seperti stabilnya nilai tukar dan terjaganya tingkat inflasi. Jika nilai Rupiah cenderung stabil (apresiasi), dan tingkat inflasi cenderung persisten di bawah perkiraan otoritas moneter, IPI pun akan meningkat. Jika IPI meningkat, pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan pun akan mengalami peningkatan. Penelitian ini menggunakan analisis ekonometrik dengan pendekatan Two Stage Least Square (TSLS) sebagai berikut: a) Model Estimasi Pertumbuhan Kredit (Credit Growth) IPI=α +
.............................................................. (5)
34
.......................................................................................... (6) Creditgrw=
α
+
......................................................................................... (7) b) Model Estimasi Kualitas Kredit (NPLs) ................................... (8)
IPI=α +
........................................................................................ (9)
........................................................................................................... (10) Keterangan: dinflasi
: perubahan inflasi (y-oy) bulan t terhadap bulan t-1
dbir
: perubahan BI rate bulan t terhadap bulan t-1
dexrate
: perubahan nilai tukar bulan t terhadap bulan t-1
lnoil
: lognormal dari harga minyak (oilprice) dunia
IPI
: Indeks Produksi Industri (Bulanan)
Hasil pengujian empiris dengan sampel data time series bulanan selama periode Maret 2004 s.d. Maret 2008 menunjukkan bahwa inflasi secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan dan kualitas kredit (NPLs). Namun, pengaruh inflasi tersebut bersifat tidak langsung karena ditransmisikan melalui pertumbuhan ekonomi dengan proxy IPI. Hasil simulasi memperlihatkan bahwa setiap kenaikan
35
inflasi sebesar 1% akan menurunkan pertumbuhan kredit sekitar 0,12% dan meningkatkan NPLs sekitar 0,02%. Penelitian ini merekomendasikan bahwa otoritas moneter harus menjaga keseimbangan antara menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) untuk mengatasi inflasi pada satu pihak dan menjaga pertumbuhan kredit dan mencegah menurunnya kualitas kredit (peningkatan NPLs) pada pihak lain. Dengan menjaga keseimbangan tersebut diharapkan stabilitas perbankan dan sistem keuangan secara keseluruhan akan tetap terpelihara. Pratama (2010) meneliti faktor - faktor yang mempengaruhi kebijakan penyaluran kredit perbankan, yang meliputi Dana Pihak Ketiga (DPK), Capital Adequacy Ratio (CAR), Non Performing Loan (NPL), dan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Penelitian ini menggunakan Bank Umum secara keseluruhan sebagai satu unit obyek penelitian, dengan periode penelitian dari tahun 2005 - 2009 (secara bulanan). Teknik analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda, sementara uji hipotesis menggunakan uji - t untuk menguji pengaruh variabel secara parsial serta uji – F untuk menguji pengaruh variabel secara serempak dengan tingkat signifikansi 5%. Berdasarkan penelitian diperoleh hasil bahwa Dana Pihak Ketiga (DPK) berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyaluran kredit perbankan. Capital Adequacy Ratio (CAR) dan Non Performing Loan (NPL) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penyaluran kredit perbankan. Sementara suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap penyaluran kredit perbankan.
36
Sitompul (2011) mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kredit, yakni pertumbuhan DPK, CAR, ROA dan tingkat suku bunga SBI. Obyek dari penelitian ini adalah bank-bank milik pemerintah tahun 2004-2009. Dari 5 bank yang ada 3 bank terpilih sebagai sampel dengan teknik pengambilan sampel yaitu purposive sampling. Metode yang digunakan untuk menganalisis variabel independen dengan variabel dependen adalah metode regresi berganda, dan uji asumsi klasik yang meliputi uji normalitas, uji multikolinieritas, uji autokorelasi, dan uji heteroskedastisitas. Hasil uji F menunjukkan secara simultan variabel pertumbuhan DPK, CAR, ROA, dan tingkat suku bunga SBI berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan kredit. Hasil uji t menunjukkan variabel pertumbuhan DPK dan ROA berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan kredit. CAR berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap pertumbuhan kredit. Tingkat suku bunga SBI berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan kredit. Galih (2011) menganalisis pengaruh dana pihak ketiga, capital adequacy ratio, non performing loan, return on assets, dan loan to deposit ratio terhadap jumlah penyaluran kredit di Indonesia. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah dana pihak ketiga yang diukur dengan LnDPK, capital adequacy ratio, non perfoming loan, return on assets, dan loan to deposit ratio. Variabel independen menggunakan bentuk tahun sebelumnya (t-1), tahun observasi dari 2006-2008. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah penyaluran kredit yang diukur dengan Lnkredit, tahun observasi 2007-2009. Sampel penelitian adalah perusahaan perbankan yang terdaftar pada
37
Bursa Efek Indonesia (BEI) periode antara 2006-2009. Data dikumpulkan dengan metode purposive sampling. Total terdapat 23 perusahaan perbankan yang diambil sebagai sampel penelitian. Metode analisis dalam penelitian ini menggunakan regresi berganda. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dana pihak ketiga, return on assets, dan loan to deposit ratio berpengaruh positif signifikan terhadap jumlah penyaluran kredit. Sementara itu, capital adequacy ratio dan non performing loan tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah penyaluran kredit. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu adalah penelitian ini mengikutsertakan pengaruh variabel pangsa pasar terhadap pertumbuhan Kredit Modal Kerja. Subyek penelitian ini juga dikhususkan pada Bank Persero saja. Periode penelitian yang dikaji adalah Januari 2004 hingga Juni 2012. Penelitian ini akan mengkaji pengaruh faktor internal terhadap volume penyaluran Kredit Modal Kerja. Faktor-faktor internal perbankan adalah pertumbuhan DPK, CAR, NPLs. Selain itu, faktor yang mempengaruhi penyaluran kredit adalah penguasaan pangsa pasar. Pengaruh variabel-variabel independen ini akan dianalisis dengan model Vector Error Correction Model (VECM). Pemilihan model ini bertujuan untuk mengetahui tingkah laku jangka pendek dari suatu variabel terhadap jangka panjangnya yang disebabkan goncangan (shock) yang permanen. Selain itu, data time series yang seringkali mengandung autokorelasi dan heteroskedastisitas dapat diselesaikan dengan Vector Error Corrrection Model (VECM). Oleh karena itu metode Ordinary Least Squares akan menghasilkan kesimpulan yang bias apabila tetap dipakai dalam penelitian ini.
38
B. Landasan Teori 1. Pengertian dan Fungsi Bank a. Pengertian Bank Menurut Undang-undang Nomor 10 tahun 1998, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (Bank Indonesia, 2012). Menurut Undang – Undang Pokok Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 jenis perbankan menurut fungsinya terdiri dari Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Bank Umum terdiri atas Bank Persero, Bank Pemerintah Daerah, Bank Umum Swasta Nasional Devisa, Bank Umum Swasta Nasional Non-Devisa, Bank Asing dan Bank Campuran. 1) Bank Umum Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk
39
penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah (Bank Indonesia, 2008:5)
(a) Bank Persero Bank Persero pada awalnya didirikan dengan undang-undang tersendiri yang di dalamnya diatur bidang tugas masing-masing bank. Dalam kegiatan operasionalnya, Bank Persero tunduk pada undang-undang tentang perbankan. Setelah Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan dipromulgasikan, Bank Persero lebih lanjut ditetapkan dengan peraturan pemerintah (Bank Indonesia, 2012). Bank Persero, yang sering juga disebut bank pemerintah, adalah bank umum yang secara mayoritas sahamnya dimiliki pemerintah. Di awal dekade 2000-an, pemerintah melakukan restrukturisasi yang sangat fundamental terhadap Bank Persero sebagai dampak terjadinya krisis perbankan. Bank Persero yang sebelumnya berjumlah tujuh bank diperkecil jumlahnya menjadi hanya 4 bank. Kebijakan pemerintah terhadap Bank Persero dilakukan dengan menggabungkan (merger) Bank Bumi Daya, Bank Pembangunan Indonesia, Bank Exim dan Bank Dagang Negara ke dalam Bank Mandiri (www.bankmandiri.co.id, 2012). Bank Tabungan Negara, Bank Negara Indonesia 1946 dan BRI tetap beroperasi seperti sebelumnya (Bank Indonesia, 2012). Bank Persero pada bulan Juni 2012
40
mempunyai sebanyak 4781 kantor (Statistik Perbankan Indonesia - Vol. 10, No. 7, Juni 2012).
(b) Bank Pemerintah Daerah Bank-bank
umum
milik
pemerintah
daerah
adalah
Bank-bank
Pembangunan Daerah (BPD) yang pendiriannya didasarkan pada Undang-undang No.13 tahun 1962. Dengan diundangkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 yang telah diubah dengan adanya Undang-undang No. 10 tahun 1998, BPD tersebut harus memilih dan menetapkan badan hukumnya menjadi Perseroan Terbatas, Koperasi atau Perusahaan Daerah. Jumlah BPD pada bulan Juni 2012 mencapai 26 bank dan mempunyai sebanyak 1518 kantor cabang (Statistik Perbankan Indonesia - Vol. 10, No. 7, Juni 2012).
(c) Bank Umum Swasta Nasional Devisa Bank Umum Swasta Nasional Devisa (foreign exchange bank) adalah bank yang dapat melakukan transaksi dalam valuta asing setelah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. Kegiatan Bank Devisa adalah menerima simpanan dan memberikan kredit dalam valuta asing, termasuk jasa-jasa keuangan yang terkait dengan valuta asing. Contohnya adalah letter of credit, travellers check dan money changer.
Jumlah BUSN Devisa pada bulan Juni 2012
mencapai 36 bank dengan kantor cabang sebanyak 7305 kantor.
(d) Bank Umum Swasta Nasional Non-Devisa
41
Bank non-Devisa (non foreign exchange bank) adalah bank yang tidak diperkenankan melakukan transaksi yang berkaitan dengan valuta asing sebagaimana yang dapat dilakukan oleh BUSN Devisa.
Jumlah BUSN non-
Devisa pada bulan Juni 2012 mencapai 30 bank dengan kantor bank sebanyak 1316 kantor (Statistik Perbankan Indonesia - Vol. 10, No. 7, Juni 2012). Meskipun jumlah kantor BUSN secara kuantitatif relatif jauh lebih banyak dibandingkan dengan Bank Persero, dari segi volume usaha bank secara nasional Bank Persero memiliki peran yang sangat signifikan (Siamat, 2005: 56).
(e) Bank Asing Bank Asing merupakan kantor cabang dari suatu bank di luar Indonesia yang saat ini hanya diperkenankan beroperasi di Jakarta dan membuka kantor cabang pembantu di beberapa ibukota propinsi. Sejak pertengahan tahun 1999, Bank Indonesia memberi ijin kembali kepada Bank Asing untuk beroperasi di Indonesia dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Pemberian pelayanan jasa-jasa dalam kegiatan operasional Bank Asing pada prinsipnya tidak memiliki perbedaan signifikan dengan BUSN, kecuali dalam pembatasan pembukaan kantor wilayah tertentu di Indonesia. Ciri lain dari kegiatan Bank Asing ini adalah penyediaan jasa di bidang investment bank yang menawarkan jasa-jasa di bidang pasar modal (Siamat, 2005: 56). Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan pengaturan bank berlaku bagi Bank Asing antara lain adalah net open position, Giro Wajib Minimum, legal lending limit, CAR. LDR dan ketentuan tingkat kesehatan bank. Bank Asing di
42
Indonesia pada bulan Juni 2012 mencapai 10 bank dengan kantor cabang sebanyak 191 (Statistik Perbankan Indonesia - Vol. 10, No. 7, Juni 2012).
(f) Bank Campuran Perkembangan Bank Campuran di Indonesia diawali ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi di sektor keuangan dan perbankan yang disebut Paket 27 Oktober 1988. Pemerintah membuka perijinan bagi pendirian bank-bank termasuk Bank Campuran atau bank patungan sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan pertumbuhan ekspor dan menarik investor asing ke Indonesia. Pendirian Bank Campuran oleh pihak asing pada dasarnya dimaksudkan untuk mempermudah akses pelayanan atas nasabah-nasabahnya yang beroperasi di Indonesia. Bank Campuran yang beroperasi di Indonesia pada bulan Juni 2012 sebanyak 14 bank dengan kantor cabang sebanyak 261 kantor (Statistik Perbankan Indonesia - Vol. 10, No. 7, Juni 2012).
2) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. BPR menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. BPR tidak diperkenankan menerima simpanan dalam bentuk giro dan usaha asuransi. Wilayah operasional BPR dibatasi sehingga BPR hanya diperkenankan membuka kantor cabang di wilayah propinsi yang sama dengan kantor pusatnya (Siamat, 2005: 58-59).
43
Berdasarkan prinsip kehati-hatian, BPR juga harus memenuhi ketentuan mengenai CAR, LDR dan Batas Maksimum Pemberian Kredit. Pada bulan Juni 2012, jumlah BPR di seluruh Indonesia sebanyak 1667 dengan kantor cabang sebanyak 4286 kantor (Statistik Perbankan Indonesia - Vol. 10, No. 7, Juni 2012).
b. Fungsi Bank Bank
memiliki
fungsi
penting
dalam
pengubahan
sumber
daya
perekonomian dengan menampung dana dan menyalurkan dana itu kembali ke rumah tangga dan perusahaan yang ingin meminjam untuk membeli barangbarang investasi yang akan digunakan dalam proses produksi. Proses mentransfer dana dari penabung ke peminjam disebut perantara keuangan (financial intermediation) (Bank Indonesia, 2008: 6). Banyak lembaga dalam perekonomian bertindak sebagai perantara keuangan, tetapi hanya bank yang memiliki otoritas hukum untuk menciptakan aset yang merupakan bagian dari penawaran uang, seperti rekening cek. Oleh karena itu, bank satu-satunya lembaga keuangan yang secara langsung mempengaruhi penawaran uang (Mankiw, 2000). Fungsi utama perbankan nasional menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana masyarakat dengan asas dan tujuan perbankan nasional yang terkait dengan fungsi mobilisasi dana masyarakat sebagai berikut (Bank Indonesia Yogyakarta, 2004: 5):
44
1) Asas perbankan nasional adalah demokrasi ekonomi dengan prinsip kehatihatian. 2) Tujuan
perbankan
nasional
adalah
untuk
menunjang
pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat.
Peran bank umum dalam perekonomian sangat penting dan strategis. Bank umum sangat penting untuk menopang kekuatan dan kelancaran sistem pembayaran dan efektivitas kebijakan moneter. Fungsi-fungsi bank umum dalam perekonomian modern adalah sebagai berikut: penciptaan alat bayar, mendukung kelancaran mekanisme pembayaran, penghimpunan dana simpanan, mendukung kelancaran transaksi internasional, penyimpanan barang-barang dan surat-surat berharga dan pemberian jasa-jasa lainnya (Manurung dan Rahardja, 2004).
1) Penciptaan Alat Bayar Bank umum menciptakan uang giral yaitu alat pembayaran melalui mekanisme pemindahbukuan (kliring). Bank umum dapat mengurangi atau menambah jumlah uang yang beredar dengan menciptakan uang giral.
2) Mendukung Kelancaran Mekanisme Pembayaran Salah satu jasa yang ditawarkan bank umum adalah jasa - jasa yang berkaitan dengan mekanisme pembayaran. Beberapa jasa yang amat dikenal
45
adalah kliring, transfer uang, penerimaan setoran, pemberian fasilitas pembayaran dengan tunai, kredit dan fasilitas - fasilitas pembayaran yang mudah dan nyaman.
3) Penghimpunan Dana Simpanan Masyarakat Dan Penyaluran Kredit Dana yang paling banyak dihimpun bank umum adalah dana simpanan. Di Indonesia, dana simpanan terdiri atas giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk bentuk lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. Kemampuan bank umum menghimpun dana jauh lebih besar dibandingkan dengan lembaga - lembaga keuangan lainnya. Dana - dana simpanan yang berhasil dihimpun akan disalurkan kepada pihak - pihak yang membutuhkan utamanya melalui penyaluran kredit.
4) Mendukung Kelancaran Transaksi Internasional Bank umum juga memudahkan atau memperlancar transaksi internasional, baik transaksi barang/jasa maupun transaksi modal. Kesulitan - kesulitan transaksi antara dua pihak yang berbeda negara selalu muncul karena perbedaan geografis, jarak, budaya, dan sistem moneter masing-masing negara. Kehadiran bank umum yang beroperasi dalam skala internasional akan memudahkan penyelesaian transaksi - transaksi tersebut. Kepentingan pihak-pihak yang melakukan transaksi internasional dapat ditangani dengan lebih mudah, cepat, dan murah.
5) Penyimpanan Barang - barang Berharga
46
Penyimpanan barang - barang berharga adalah salah satu jasa yang paling awal yang ditawarkan oleh bank umum. Masyarakat dapat menyimpan barang barang berharga yang dimilikinya seperti perhiasan, uang, dan ijazah dalam kotak - kotak yang sengaja disediakan oleh bank umum untuk disewa (safety box atau safe deposit box).
6) Pemberian Jasa - jasa Lainnya Di Indonesia pemberian jasa - jasa lainnya oleh bank umum juga semakin banyak dan luas. Masyarakat sudah dapat membayar listrik, telepon, membeli pulsa telepon seluler, mengirim uang melalui ATM, membayar gaji pegawai aktif dan pensiunan dengan menggunakan jasa - jasa bank. Jasa ini amat memudahkan dan memberikan rasa aman dan nyaman kepada pihak yang menggunakannya.
2. Kinerja Bank Kinerja bank merupakan cerminan dari kemampuan sebuah bank untuk mengelola dan mengalokasikan dananya. Menurut Siamat (2005: 15), kinerja perbankan dapat dilihat dari sisi funding dan lending. Dari sisi funding, ada beberapa hal yang menurunnya kinerja perbankan, yakni meningkatnya cost of fund yang disebabkan oleh naiknya suku bunga. Dari sisi lending, melemahnya kinerja perbankan diakibatkan oleh adanya peningkatan NPLs dan melambatnya pertumbuhan kredit.
47
Analisis kinerja perbankan memuat tiga poin penting yang perlu diperhatikan (Bank Indonesia, 2008: 135), yakni: a) Analisis Rasio Likuiditas Analisis ini bertujuan untuk menilai kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendeknya atau kewajiban yang sudah jatuh tempo. Adapun beberapa rasio likuiditas suatu bank diantaranya adalah Cash Ratio, Reserve Requirement, LDR, Loan to Asset Ratio dan rasio kewajiban bersih call money. b) Analisis Rasio Rentabilitas Analisis ini bertujuan untuk menilai tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas yang dicapai oleh bank yang bersangkutan. Analisis rasio rentabilitas ini antara lain mencakup Return on Assets (ROA), Return on Equity (ROE), Biaya Operasional dibandingkan dengan Pendapatan Operasional (BOPO) dan Net Profit Margin. c) Analisis Rasio Solvabilitas Analisis ini digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban jangka panjangnya atau kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban-kewajiban jika terjadi likuidasi bank. Selain itu, rasio ini juga digunakan untuk mengetahui perbandingan antara volume (jumlah) dana yang diperoleh dari berbagai utang (baik jangka pendek maupun jangka panjang), serta sumber-sumber lain di luar modal bank sendiri dengan volume penanaman dana tersebut pada berbagai jenis aktiva yang dimiliki oleh bank. Beberapa rasio yang
48
termasuk ke dalam kategori ini, antara lain adalah CAR, Debt to Equity Ratio, dan Long Term Debt to Assets Ratio.
3. Kredit Perbankan a. Pengertian Kredit Kata kredit berasal dari bahasa Latin “credere” yang artinya “percaya”. Kepercayaan itu terjadi di antara si pemberi dengan si pemohon kredit yang terkait dalam suatu kesepakatan (Rivai dan Veithzal, 2007:3-4). Menurut Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan Bank Indonesia (2012: 2), kredit adalah semua penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu dalam rupiah dan valuta asing, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank pelapor dengan bank dan pihak ketiga bukan bank. Menurut Undang-Undang Pokok Perbankan No. 14 tahun 1967, bab I, pasal 1 dan 2, kredit adalah penyediaan uang atau yang disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjaman antara bank dengan lain pihak yang di dalamnya pihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditentukan. Pengertian tersebut disempurnakan lagi dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998. Dalam Undang-Undang tersebut, pengertian kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antar bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah
49
bunga. Hal senada diungkapkan oleh Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia (2010: viii-ix)
b. Unsur-unsur Kredit Kredit mempunyai unsur-unsur yang harus dipegang teguh oleh pihak perbankan maupun debitur. Suyatno (2003: 14) menyebutkan beberapa unsur kredit sebagai berikut: 1) Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang atau jasa akan diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang. 2)
Tenggang waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterimanya pada masa yang akan datang.
3)
Degree of risk, yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima di masa mendatang. Semakin lama jangka waktu kredit diberikan berarti semakin tinggi pula tingkat resikonya.
4) Prestasi atau objek kredit tidak saja diberikan dalam bentuk uang tetapi juga dalam bentuk barang atau jasa. Transaksi-transaksi kredit sekarang ini pada umumnya dalam bentuk uang.
c. Prinsip-prinsip Pemberian Kredit
50
Pertimbangan utama pemberian kredit adalah itikad baik (willingness to pay) dan kemampuan membayar (ability to pay). Untuk memaksimumkan kemungkinan keberhasilan kredit, prinsip 5C (character, capacity, capital, collateral, condition) dapat diterapkan dalam analisis kredit (Manurung, 2004). 1) Character (watak). Pihak bank yakin bahwa calon debitur mempunyai moral, watak ataupun sifat yang dapat dipercaya. Hal ini tercermin dari latar belakang debitur, baik latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat pribadi seperti cara hidup atau gaya hidup yang dianut dalam keluarga. Oleh karena itu, petugas bank mengadakan penyelidikan secara mendalam dengan jalan mencari informasi dari orang-orang yang berada dalam lingkungannya. Hasil penyelidikan tersebut akan sangat berpengaruh pada persetujuan kreditnya. 2) Capacity (kemampuan) Capacity (kemampuan) merupakan gambaran mengenai kemampuan calon debitur untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya, kemampuan debitur untuk mencari dan mengkombinasikan resources yang terkait dengan bidang usaha, kemampuan memproduksi barang dan jasa yang dapat memenuhi tuntutan kebutuhan konsumen/pasar. Selain itu, bank harus mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi variabel dari cashflow usaha, sehingga cashflow tersebut dapat menjadi sumber pelunasan kredit yang utama sesuai dengan jadwal yang sudah disetujui bersama. 3) Capital (modal)
51
Penilaian pada aspek ini diarahkan pada kondisi keuangan nasabah, yang terdiri dari aktiva lancar (current assets) yang tertanam dalam bisnis dikurangi dengan kewajiban lancar (current liabilities) yang disebut dengan modal kerja (working capital); dan modal yang tertanam pada aktiva jangka panjang dan aktiva lain-lain. Analisis capital itu dimaksudkan untuk menggambarkan struktur modal (capital structure) debitur, sehingga bank dapat melihat modal debitur sendiri yang tertanam pada bisnisnya dan berapa jumlah yang berasal dari pihak lain (kreditur dan supplier). Bank harus mengetahui “debt to equity ratio”, yaitu berapa besarnya seluruh hutang debitur dibandingkan dengan seluruh modal dan cadangan perusahaan serta likuiditas perusahaan.
4) Collateral (jaminan) Collateral adalah jaminan kredit yang mempertinggi tingkat keyakinan bank bahwa debitur dengan bisnisnya mampu melunasi kredit. Agunan ini berupa jaminan pokok maupun jaminan tambahan yang berfungsi untuk menjamin pelunasan utang jika ternyata di kemudian hari debitur tidak melunasi utangnya. Debitur menjanjikan akan menyerahkan sejumlah hartanya untuk pelunasan utang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, apabila dalam waktu yang ditentukan terjadi kemacetan pembayaran utangnya. Jaminan tambahan ini dapat berupa kekayaan milik debitur atau pihak ketiga. 5) Condition of Economy (kondisi ekonomi) Kondisi yang mempersyaratkan bahwa kegiatan usaha debitur mampu mengikuti fluktuasi ekonomi, baik dalam negeri maupun luar negeri, dan usaha
52
masih mempunyai prospek kedepan selama kredit masih dinikmati debitur. Analisis juga mencakup kemampuan usaha debitur untuk menghadapi situasi perekonomian yang mungkin tiba-tiba berubah. Henderson dan Maness (1989) menambahkan kriteria “5 P Principles” untuk mempertajam analisa permohonan kredit dalam jumlah besar. Kriteria “5 P Principles” adalah sebagai berikut: 1) Purpose Kriteria ini merupakan penilaian terhadap maksud permohonan kredit dari calon debitur agar penggunaan jumlah atau jenis kredit tersebut terarah, aman dan produktif serta membawa manfaat bagi pengusaha, masyarakat, bank dan otoritas moneter. 2) People Kriteria ini adalah penilaian yang dilakukan terhadap calon debitur tentang mitra usahanya, orang atau lembaga yang mem-backup debitur, customer dan supplier. Semua pihak tersebut menunjang analisa calon debitur.
3) Protection Dunia usaha mengandung resiko. Apabila usaha debitur mengalami kegagalan, bank sudah harus terlindungi dengan baik dari kesulitan penyelesaian kreditnya. Bank juga harus mempunyai alternatif penyelesaian dengan agunan yang dikuasai dan pengikatan yuridis sesuai ketentuan yang berlaku.
4) Payment
53
Penilaian juga harus dilakukan terhadap sumber-sumber pelunasan primer dan sekunder, sehingga peta pelunasan (roadmap repayment) dan kemungkinan penyelesaian kredit dapat dilaksanakan tanpa kesulitan. Ini berkaitan dengan casflow perusahaan dan variabel yang mempengaruhinya, sehingga akan lebih jelas bagaimana posisi cash in dan cash out, yang menggambarkan apakah perusahaan mengalami likuiditas usaha yang baik atau tidak.
5) Perspective Bank mengharapkan debitur pada waktu yang akan datang mampu mengikuti kondisi ekonomi, keuangan dan fiskal. Ini berarti merupakan proyeksi perbandingan resiko dan cashflow perusahaan. Perspektif ini dinilai dengan menggunakan kriteria sebagai berikut: (a) Return, yaitu hasil usaha yang akan dicapai dari kegiatan yang mendapatkan pembiayaan tersebut; (b) Repayment, yaitu perhitungan pengembalian dana dari kegiatan yang mendapatkan pembiayaan kredit; (c) Risk Bearing Ability, yaitu perhitungan besarnya kemampuan debitur untuk menghadapi resiko yang tidak terduga.
d. Jenis-jenis Kredit Pada umumnya bank menggolongkan kredit ke dalam dua jenis kredit, yaitu berdasarkan jangka waktu (term) dan berdasarkan tujuan atau penggunaan kredit (utility of loan). Berdasarkan jangka waktu, kredit terbagi atas kredit jangka
54
waktu pendek (short-term loan), kredit jangka menengah (middle-term loan) dan kredit jangka panjang (long-term loan) (Budisantoso dan Triandaru, 2006). Berdasarkan jangka waktunya, kredit dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (1) Kredit jangka pendek, merupakan kredit yang jangka waktu pembayarannya maksimal satu tahun. Kredit ini biasanya digunakan untuk membiayai kebutuhan modal kerja (Djinarto, 2000). (2)
Kredit
jangka
menengah,
merupakan
kredit
yang
jangka
waktu
pembayarannya antara satu sampai dengan tiga tahun. Kredit jangka menengah biasanya berupa kredit modal kerja dan kredit investasi yang tidak terlalu besar (Djinarto, 2000). (3) Kredit jangka panjang, merupakan jenis kredit yang jangka waktu pembayarannya lebih dari tiga tahun. Kredit ini biasanya digunakan untuk pembelian mesin, pabrik, perumahan dan alat-alat untuk keperluan investasi (Djinarto, 2000).
Berdasarkan tujuan penggunaan, kredit (utility of loan) dibedakan menjadi: (1) Kredit konsumtif, yaitu kredit yang digunakan untuk membiayai pembelian barang-barang atau jasa-jasa yang dapat memberikan kepuasan langsung kepada konsumen. Jenis kredit ini digunakan untuk membiayai hal-hal yang bersifat konsumtif, seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Pemilikan Mobil (KPM) dan Kredit Pemilikan Sepeda Motor (KPSM). Secara tidak langsung kredit konsumtif akan memberikan efek produktif terhadap industri
55
atau perusahaan dengan cara meningkatkan produksi barang atau jasa yang telah dibeli oleh peminjam (Andriyani, 2008: 16). (2) Kredit Produktif, yaitu kredit yang diberikan untuk pembiayaan usaha-usaha produktif. Dengan kata lain, kredit produktif digunakan untuk tujuan-tujuan yang produktif. Kredit ini digunakan untuk membeli barang-barang yang bersifat tetap maupun untuk membiayai kegiatan pengadaan barang yang habis dalam sekali produksi. Kredit produktif terbagi atas dua bagian yaitu, kredit investasi dan kredit modal kerja. (a) Kredit investasi, yaitu kredit yang digunakan untuk mendukung kebutuhan dana pembiayaan investasi jangka panjang seperti pembelian kios, ruko, mesin, pembangunan pabrik atau pembelian kendaraan dan lain-lain. Jangka waktu kredit investasi pada umumnya cukup panjang dan biasanya lebih dari 3 tahun. Umumnya pelunasan kredit investasi dilakukan dengan mencicil pokok dan bunga secara bulanan. (b) Kredit modal kerja, yaitu kredit yang digunakan untuk menutupi kebutuhan pembelian persediaan ataupun membiayai piutang dagang. Umumnya jangka waktu pinjaman antara 1 – 3 tahun dan bank bisa memberikan kesempatan kepada nasabah untuk memperpanjang fasilitas kreditnya apabila telah jatuh tempo. Pembayaran kredit dapat dilakukan secara mencicil atau sekaligus lunas (Biro Informasi Kredit Bank Indonesia, 2012: 1). (3) Kredit likuiditas, yaitu kredit yang berasal dari Bank Indonesia untuk Bank Persero maupun Bank Swasta agar disalurkan kembali ke berbagai sektor.
56
e. Fungsi Kredit . Menurut Bank Indonesia (1997), fungsi kredit adalah sebagai berikut: 1. Bagi dunia usaha, kredit berfungsi sebagai permodalan untuk menjaga kelangsungan atau meningkatkan usahanya, dan sebagai pengembalian kredit wajib dilakukan tepat waktu, sehingga diharapkan dapat diperoleh dari keuntungn usahanya. 2. Bagi lembaga keuangan, kredit berfungsi untuk menyalurkan dana masyarakat (deposito, tabungan, giro) dalam bentuk kredit pada dunia usaha.
f. Resiko Usaha Bank Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menegaskan bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas kredit yang sehat. Resiko kredit terjadi karena adanya ketidakpastian dalam pengembalian pinjaman (Bank Indonesia Yogyakarta, 2004: 10). Resiko yang dihadapi perbankan meliputi (Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003): 1) Resiko kredit, resiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty memenuhi kewajibannya. 2) Resiko pasar, resiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiliki oleh bank, yang dapat merugikan bank. Variabel pasar meliputi suku bunga dan nilai tukar.
57
3)
Resiko likuiditas, resiko yang antara lain disebabkan bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo.
4) Resiko operasional, resiko yang antara lain disebabkan adanya ketidak cukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank. 5) Resiko hukum, resiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis, yang antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak dan pengikatan agunan yang tidak sempurna. 6.
Resiko reputasi, resiko yang antara lain disebabkan adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank.
7.
Resiko strategik, resiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank atau pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank terhadap perubahan eksternal.
8.
Resiko kepatuhan, resiko yang disebabkan bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Untuk mengurangi resiko usaha bank, pemberian kredit dapat dilakukan
secara konsisten berdasarkan asas-asas perkreditan yang sehat. Aturan pemberian kredit tersebut paling tidak memuat dan mengatur hal-hal pokok sebagai berikut (Bank Indonesia Yogyakarta, 2004: 11):
58
1) Prinsip kehati-hatian dalam perkreditan 2) Organisasi dan manajemen perkreditan 3) Kebijaksanaan persetujuan pemberian kredit 4) Dokumentasi dari administrasi kredit 5) Pengawasan kredit 6) Penyelesaian kredit bermasalah Menurut Halle (1983: 54), bank yang memberikan pinjaman kepada perorangan atau perusahaan mengandaikan penilaian kredit dalam bentuk analisis kredit. Analisis kredit ini bertujuan untuk membantu menentukan resiko yang ada atau yang mungkin terjadi dari pinjaman yang diberikan. Analisis kredit mempunyai beberapa tujuan sebagai berikut: 1) Menentukan berbagai resiko yang akan dihadapi oleh bank untuk memberikan kredit kepada seseorang atau badan usaha. 2) Mengantisipasi kemungkinan pelunasan kredit tersebut karena bank telah mengetahui kemampuan pelunasan melalui analisis cash flow usaha debitur. 3) Mengetahui jenis kredit, jumlah kredit dan jangka waktu kredit yang dibutuhkan oleh usaha debitur, sehingga bank dapat melakukan penyesuaian dengan struktur dana yang dipersiapkan untuk digunakan. 4) Mengetahui kemampuan dan kemauan debitur untuk melunasi kreditnya, baik dari sumber pelunasan primer maupun sekunder.
4. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
59
Mekanisme transmisi kebijakan moneter pada dasarnya menggambarkan bagaimana kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral mempengaruhi berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan sehingga pada akhirnya dapat mencapai tujuan akhir yang ditetapkan (Warjiyo, 2004: 3). Mekanisme transmisi kebijakan moneter dimulai sejak otoritas moneter atau bank sentral bertindak menggunakan instrumen
moneter
dalam
implementasi
kebijakan
moneternya
hingga
pengaruhnya tampak pada aktivitas perekonomian baik secara langsung maupun secara bertahap (Haryanto, 2007: 63).
a. Tahapan Transmisi Moneter Pada dasarnya transmisi kebijakan moneter merupakan interaksi antara bank sentral sebagai otoritas moneter dengan perbankan dan lembaga keuangan lainnya serta pelaku ekonomi lain di sektor riil. Interaksi ini terjadi melalui dua tahapan proses perputaran uang. Pertama, interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan lembaga keuangan lainnya dalam berbagai transaksi di pasar keuangan. Kedua interaksi yang berkaitan dengan fungsi intermediasi antara perbankan dan lembaga keuangan lainnya dengan para pelaku ekonomi dalam berbagai aktivitas di sektor ekonomi riil (Warjiyo, 2004: 9-10). Interaksi tahap pertama di pasar keuangan terjadi pada sistem pengendalian moneter tidak langsung yang sudah lazim dilakukan melalui pasar keuangan. Di satu sisi, bank sentral melakukan operasi moneter melalui transaksi keuangan dengan dunia perbankan. Di sisi lain, perbankan melakukan transaksi keuangan dalam portofolio investasinya. Interaksi ini dapat terjadi melalui pasar
60
uang maupun pasar valuta asing. Interaksi antara bank sentral dengan perbankan akan mempengaruhi volume maupun harga aset (suku bunga, nilai tukar, yield obligasi dan harga saham) (Rusydiana, 2009: 349). Interaksi tahap kedua dari transmisi kebijakan moneter melibatkan dunia perbankan dengan para pelaku ekonomi di sektor riil. Dalam konteks ini, perbankan berperan sebagai lembaga intermediasi untuk memobilisasi dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya dalam bentuk kredit dan pembiayaan lainnya kepada masyarakat dan dunia usaha. Di sisi mobilisasi dana, interaksi tersebut akan mempengaruhi suku bunga, volume tabungan dan deposito yang merupakan komponen dari uang beredar M1 (dalam arti sempit) dan M2 (dalam arti luas). Jika perbankan ingin meningkatkan simpanan masyarakat, suku bunga deposito dan tabungan akan dinaikkan sedemikian rupa sehingga minat menabung akan lebih besar. Sementara itu, dari segi penyaluran dana, interaksi tersebut akan berpengaruh pada perkembangan kredit perbankan. Jika perbankan ini meningkatkan ekspansi kreditnya, suku bunga kredit akan diturunkan sehingga minat untuk meminjam oleh masyarakat akan meningkat (Rusydiana, 2009: 349).
b. Saluran Transmisi Kebijakan Moneter Dampak tindakan otoritas moneter terhadap aktivitas perekonomian ini terjadi melalui enam saluran. Keenam saluran tersebut adalah saluran uang atau langsung (direct monetary channel), saluran suku bunga (interest rate channel), saluran kredit (credit channel), saluran nilai tukar (exchange rate channel),
61
saluran harga aset (asset price channel) dan saluran ekspektasi (expectation channel) (Rusydiana, 2009: 346). 1) Saluran Langsung (Direct Monetary Channel) Transmisi kebijakan moneter saluran langsung atau saluran uang (money channel) mengacu pada teori klasik mengenai peranan uang dalam perekonomian, yang pertama kali dijelaskan oleh Fisher dalam Teori Kuantitas Uang. Teori ini menggambarkan kerangka yang jelas mengenai analisis hubungan langsung antara uang beredar dan harga yang dinyatakan dalam suatu persamaan yang popular. Persamaan itu adalah sebagai berikut: ........................................................................................................... (11) Keterangan: M
= Jumlah Uang
V
= Tingkat Perputaran Uang (velocity). Tingkat perputaran uang adalah jumlah suatu mata uang berpindah tangan dalam transaksi dari satu orang kepada orang lain dalam suatu periode tertentu.
P
= Harga Barang
T
= volume barang yang menjadi obyek transaksi Teori Fisher ini menyatakan bahwa total pengeluaran (MV) sama dengan
nilai barang yang dibeli (PT). Teori kuantitas uang ini menekankan bahwa permintaan uang oleh masyarakat semata-mata bertujuan untuk keperluan transaksi (Nopirin, 2007: 73). Dalam perkembangannya, pendekatan ini diperbaharui oleh Keynes yang menyatakan bahwa motif permintaan masyarakat
62
akan uang adalah untuk keperluan transaksi, berjaga-jaga dan spekulasi (Nopirin, 2007: 120-123). 2) Saluran Suku Bunga (Interest Rate Channel) Berbeda dengan saluran langsung yang menekankan aspek kuantitas proses perputaran uang dalam perekonomian, saluran suku bunga lebih menekankan pentingya aspek harga di pasar keuangan terhadap berbagai aktivitas ekonomi di sektor riil. Kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral akan berpengaruh terhadap perkembangan berbagai suku bunga di sektor keuangan dan selanjutnya akan berpengaruh pada tingkat inflasi dan output riil. Pada tahap pertama, operasi moneter bank sentral akan mempengaruhi suku bunga jangka pendek seperti suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan bunga Pasar Uang Antara Bank (PUAB). Perubahan ini akan memberikan pengaruh pada suku bunga deposito yang ditawarkan bank kepada para penabung dan pada suku bunga kredit yang dibebankan kepada para debitur. Proses perubahan suku bunga bank ke masyarakat ini tidak berlangsung segera, melainkan ada time lag yang disebabkan oleh kondisi internal bank dalam pengelolaan aset dan kewajibannya (www.bi.go.id, 2012). Tahap berikutnya adalah transmisi suku bunga dari sektor keuangan ke sektor riil akan tergantung pada pengaruhnya terhadap permintaan konsumsi dan investasi. Pengaruh suku bunga terhadap konsumsi berkaitan erat dengan peranan bunga sebagai komponen pendapatan masyarakat dari deposito dan bunga kredit sebagai sumber pembiayaan konsumsi. Sementara itu, pengaruh suku bunga terhadap investasi terjadi karena merupakan komponen biaya modal (cost of
63
capital). Pengaruh perubahan suku bunga terhadap investasi dan konsumsi selanjutnya akan berdampak pada permintaan agregat yang pada gilirannya akan menentukan tingkat inflasi dan output riil (Rusydiana, 2009: 346). 3) Saluran Kredit (Credit Channel) Pendekatan mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui saluran kredit didasarkan pada asumsi bahwa tidak semua simpanan masyarakat dalam bentuk uang (M1 dan M2) disalurkan oleh perbankan kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Dengan kata lain, fungsi intermediasi perbankan tidak selalu berjalan sempurna. Ini berarti bahwa kenaikan simpanan masyarakat tidak selalu diikuti kenaikan secara proporsional kredit yang disalurkan kepada masyarakat. Variabel yang lebih berpengaruh terhadap ekonomi riil adalah kredit perbankan dan bukan simpanan masyarakat (Warjiyo, 2004: 17-18). Pendekatan ini terjadi dalam interaksi antara bank sentral, perbankan dan masyarakat. Pada tahap awal interaksi antara bank sentral dengan perbankan terjadi di pasar uang domestik. Interaksi ini tidak hanya mempengaruhi perkembangan suku bunga jangka pendek di pasar uang namun juga berpengaruh pada jumlah uang yang dialokasikan bank dalam bentuk instrumen likuiditas dan dalam pemberian kredit. Tahap selanjutnya adalah transmisi kebijakan moneter dari perbankan ke sektor riil melalui pemberian kredit yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal bank maupun eksternal. Perkembangan kredit perbankan selanjutnya akan berpengaruh pada sektor riil seperti kegiatan konsumsi, investasi dan produksi (modal kerja) dan pada gilirannya berpengaruh pada harga-harga barang dan jasa (www.bi.go.id, 2012).
64
Secara sistematis, efek kebijakan moneter dalam jalur kredit adalah sebagai berikut : M ↑→ Bank Deposits ↑ → Bank Loans ↑ → KMK, I, K ↑ →
Y ↑
Keterangan: M
= Jumlah Uang Beredar
Bank Deposits = Tabungan, Giro dan Deposito Bank Loans
= Penyaluran Kredit Perbankan
KMK, I, K
= Kredit Modal Kerja, Investasi dan Konsumsi
Peningkatan giro, deposito dan tabungan akan diikuti dengan peningkatan bank loans karena banyak orang yang tergerak untuk melakukan ekspansi usaha. Akibatnya, investasi akan meningkat, dan pada akhirnya output yang dihasilkan dan pendapatan pun akan meningkat (Hakim dan Nopirin, 2001: 3). 4) Saluran Nilai Tukar (Exchange Rate Channel) Pendekatan mekanisme transmisi moneter melalui saluran nilai tukar juga menekankan pentingnya aspek perubahan harga aset finansial terhadap aktivitas perekonomian. Peran saluran nilai tukar dalam transmisi kebijakan moneter terletak pada pengaruh aset finansial dalam valuta asing yang berasal dari hubungan kegiatan ekonomi suatu negara dengan negara lain. Pengaruh saluran nilai tukar tidak hanya terjadi pada perubahan nilai tukar tetapi juga pada aliran dana yang masuk dan aliran dana yang keluar dari suatu negara sebagaimana tercermin dalam neraca pembayaran. Semakin terbuka perekonomian suatu negara yang disertai dengan sistem nilai tukar mengambang bebas, semakin besar pula
65
pengaruh nilai tukar dan aliran dana luar negeri terhadap perekonomian dalam negeri (Warjiyo, 2004: 21). Interaksi antara bank sentral, perbankan dan para pelaku ekonomi dalam proses perputaran uang berjalan melalui beberapa tahap. Tahap awal adalah operasi moneter yang dilakukan oleh bank sentral akan mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan nilai tukar. Pengaruhnya secara langsung terjadi sehubungan dengan operasi moneter melalui intervensi jual atau beli valuta asing dalam rangka stabilisasi nilai tukar. Pengaruh tidak langsung terjadi karena operasi moneter yang dilakukan bank sentral mempengaruhi perkembangan suku bunga di pasar uang dalam negeri sehingga mempengaruhi perbedaan suku bunga di dalam dan luar negeri (interest rate differential) yang selanjutnya akan berdampak pada besarnya aliran dana dari dan ke luar negeri. Tahap berikutnya adalah perubahan nilai tukar berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan harga-harga barang di dalam negeri (Warjiyo, 2004: 22). 5) Saluran Harga Aset (Asset Price Channel) Perubahan harga aset baik finansial seperti obligasi dan saham maupun fisik seperti properti dan emas banyak dipengaruhi secara langsung oleh kebijakan moneter. Transmisi ini terjadi karena penanaman dana oleh para investor dalam portofolio investasi pada umumnya tidak saja berupa simpanan di bank dan instrumen lain di pasar uang, tetapi juga dalam bentuk obligasi, dan saham, serta aset fisik. Perubahan suku bunga dan nilai tukar akan berpengaruh pada volume transaksi dan harga obligasi, saham dan aset fisik tersebut. Selanjutnya, perubahan
66
harga aset dimaksud pada gilirannya akan berdampak pada berbagai aktivitas di sektor riil, seperti permintaan terhadap konsumsi baik karena perubahan kekayaan yang dimiliki (wealth effect) maupun karena perubahan tingkat pendapatan yang dikonsumsi akibat perubahan hasil penanaman aset finansial dan fisik (substitution effect dan income effect) (Warjiyo, 2004: 23). Selain itu, pengaruh harga aset terhadap sektor riil juga terjadi pada permintaan investasi oleh dunia usaha. Ini berkaitan dengan perubahan harga aset tersebut yang memberi dampak terhadap biaya modal yang harus dikeluarkan dalam produksi dan investasi yang gilirannya akan mempengaruhi permintaan agregat, output dan inflasi (Warjiyo, 2004: 24). 6. Saluran Ekspektasi (Expectation Channel) Mekanisme transmisi melalui jalur ekspektasi menekankan bahwa kebijakan moneter dapat diarahkan untuk mempengaruhi pembentukan ekspektasi mengenai inflasi dan kegiatan ekonomi. Kondisi tersebut mempengaruhi perilaku agen-agen ekonomi untuk melakukan keputusan konsumsi dan investasi, yang pada gilirannya akan mendorong perubahan permintaan agregat dan inflasi (Warjiyo dan Solikin, 2003: 23). Dampak perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi ekspektasi publik akan inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku bunga yang diperkirakan akan mendorong aktivitas ekonomi dan pada akhirnya inflasi mendorong pekerja untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta upah yang lebih tinggi. Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada konsumen melalui kenaikan harga (www.bi.go.id, 2012).
67
Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini bekerja memerlukan waktu (time lag). Time lag masing-masing jalur bisa berbeda dengan yang lain. Jalur nilai tukar biasanya bekerja lebih cepat karena dampak perubahan suku bunga kepada nilai tukar bekerja sangat cepat. Kondisi sektor keuangan dan perbankan juga sangat berpengaruh pada kecepatan transmisi kebijakan moneter. Apabila perbankan melihat resiko perekonomian cukup tinggi, respon perbankan terhadap penurunan suku bunga BI Rate biasanya sangat lambat. Juga, apabila perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan meningkatnya permintaan kredit belum tentu direspon dengan menaikkan penyaluran kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga belum tentu direspon oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian sedang lesu. Kesimpulannya, kondisi sektor keuangan, perbankan, dan kondisi sektor riil sangat berperan dalam menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter (Warjiyo, 2004: 9).
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Penawaran Kredit Agenor (2000) dalam studi literaturnya menyebutkan bahwa sebab-sebab menurunnya penyaluran kredit perbankan kepada sektor swasta di Asia setelah krisis tahun 1997 masih menimbulkan perdebatan di antara para ekonom. Sebagian ekonom berpendapat bahwa menurunnya penyaluran kredit perbankan disebabkan oleh ”credit crunch” yang menimbulkan fenomena credit rationing
68
sehingga terjadi penurunan penawaran kredit oleh perbankan (supply side constraint). Melitz dan Pardue (1973) dalam Meydianawathi (2007:137) merumuskan model penyaluran kredit perbankan adalah sebagai berikut: SK = g(S, ic, ib, BD) .............................................................................. (12) Keterangan: SK
= jumlah kredit yang disalurkan oleh bank
S
= kendala-kendala yang dihadapi bank seperti tingkat cadangan bank atau ketentuan mengenai nisbah cadangan wajib
ic
= tingkat suku bunga kredit bank
ib
= biaya oportunitas meminjamkan uang
BD = biaya deposito bank
Penyaluran kredit dipengaruhi oleh besarnya Giro Wajib Minimum (GWM). Apabila tingkat cadangan wajib naik, dana yang dapat disalurkan akan berkurang. Biaya oportunitas dan biaya deposito juga mempengaruhi penawaran kredit karena keduanya dapat menjadi acuan bank untuk menentukan suku bunga kredit, apabila biaya deposito meningkat maka cost of fund meningkat yang selanjutnya akan menyebabkan suku bunga meningkat. Suku bunga kredit mempengaruhi penawaran kredit. Apabila suku bunga kredit naik, penawaran kredit akan meningkat karena kenaikan suku bunga kredit dapat menambah pendapatan bunga bagi bank.
69
Model di atas selanjutnya disempurnakan oleh Nuryakin dan Warjiyo (2006). Warjiyo menolak bahwa semua dana yang dimobilisasi perbankan dari masyarakat dalam bentuk uang beredar (M1, M2) digunakan untuk pendanaan aktivitas sektor riil melalui penyaluran kredit perbankan. Selain dana yang tersedia (DPK), perilaku penawaran kredit perbankan juga dipengaruhi oleh persepsi bank terhadap prospek usaha debitor dan kondisi perbankan itu sendiri, seperti CAR, NPLs dan LDR. Kondisi perbankan terdiri atas CAR, NPLs dan LDR. Selain itu, pangsa pasar tempat bank beroperasi juga berpengaruh terhadap kinerja perbankan. Dengan demikian, dapat dinyatakan dalam suatu bentuk hubungan fungsi sebagai berikut: K = f(DPK, kondisi perbankan itu sendiri, pangsa pasar) = f(DPK, prospek usaha debitur, CAR, NPLs, Market Share) ........ (13) Keterangan: K
= kredit yang disalurkan perbankan
Prospek usaha debitur = penilaian atas usaha dan kemampuan debitur oleh bank DPK
= Dana Pihak Ketiga
CAR
= Capital Adequacy Ratio
Market Share
= Pangsa Pasar (MS)
Fungsi model ini menjelaskan bahwa kebijakan penawaran kredit perbankan dipengaruhi oleh jumlah DPK, CAR, NPLs dan Market Share (MS) tempat bank itu beroperasi.
a) Dana Pihak Ketiga
70
Dana - dana yang dihimpun dari masyarakat (DPK) merupakan sumber dana terbesar yang paling diandalkan oleh bank (bisa mencapai 80% - 90% dari seluruh dana yang dikelola oleh bank) (Dendawijaya, 2005). Menurut Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004, dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank dapat berupa giro, tabungan, dan deposito. Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan. Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank. Kegiatan bank setelah menghimpun dana dari masyarakat luas dalam bentuk simpanan giro, tabungan, dan deposito adalah menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya. Kegiatan penyaluran dana ini dikenal juga dengan istilah alokasi dana. Pengalokasian dana dapat diwujudkan dalam bentuk pinjaman atau lebih dikenal dengan kredit (Kasmir, 2008). Pemberian kredit merupakan aktivitas bank yang paling utama dalam menghasilkan keuntungan (Dendawijaya, 2005).
b) Capital Adequacy Ratio (CAR) Permodalan merupakan hal yang pokok bagi sebuah bank, selain sebagai penyangga kegiatan operasional sebuah bank, modal juga sebagai penyangga
71
terhadap kemungkinan terjadinya kerugian. Modal ini terkait juga dengan aktivitas perbankan untuk menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi atas dana yang diterima nasabah (Sinungan, 2000). Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/21/PBI/2001, bank wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% dari aktiva tertimbang menurut risiko yang dinyatakan dalam rasio CAR. Perhitungan CAR ini pada prinsipnya adalah bahwa untuk setiap penanaman dalam bentuk kredit yang mengandung risiko, bank harus menyediakan sejumlah modal yang disesuaikan dengan persentase tertentu sesuai jumlah penanamannya tersebut (Budiawan, 2008). Dengan kata lain, CAR bertujuan untuk meng-cover kerugian bank atas kredit yang bermasalah. 1) Modal Modal merupakan salah satu sumber dana bank yang paling awal dalam menjalankan kegiatan operasi. Untuk pendirian suatu bank, bank sentral menetapkan modal minimum yang harus dipenuhi atau disetor pada saat pendirian bank. Modal ini dikelompokkan ke dalam kategori sebagai berikut: (a) Modal inti terdiri atas modal disetor dan cadangan-cadangan yang dibentuk dari laba setelah pajak. Modal inti dapat dibagi ke dalam beberapa bagian. (1) Modal disetor, yaitu modal yang disetor secara efektif oleh pemiliknya. (2) Agio saham, yaitu selisih lebih setoran modal yang diterima oleh bank sebagai akibat harga saham yang melebihi nilai nominalnya. (3) Cadangan umum, yaitu cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yang ditahan atau dari laba bersih setelah dikurangi pajak dan mendapat
72
persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota sesuai dengan ketentuan pendirian atau anggaran dasar masing-masing bank. (4) Cadangan tujuan, yaitu bagian laba setelah dikurangi pajak yang disimpan untuk tujuan tertentu dan telah mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham. (5) Laba yang ditahan (retained earnings), yaitu saldo laba bersih setelah dikurangi pajak yang oleh Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota diputuskan untuk tidak dibagikan. (6) Laba tahun lalu, yaitu laba bersih tahun-tahun yang lalu setelah dikurangi pajak, dan belum ditetapkan penggunaannya oleh Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota. Jumlah laba tahun lalu yang diperhitungkan sebagai modal inti hanya sebesar 50%. Jika bank mempunyai saldo rugi tahun lalu, seluruh kerugian tersebut menjadi faktor pengurang dari modal inti. (7) Bagian kekayaan bersih anak perusahaan yang laporan keuangannya dikonsolidasikan (minority interset), yaitu modal inti anak perusahaan setelah dikompensasikan dengan nilai penyertaan bank pada anak perusahaan tersebut. Yang dimaksud dengan anak perusahaan adalah bank lain, lembaga keuangan atau lembaga pembiayaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh bank. Apabila dalam pembukuan bank terdapat goodwill, maka jumlah modal inti tersebut pada nomor satu sampai dengan nomor delapan di atas terus dikurangi dengan jumlah goodwill tersebut. (b) Modal pelengkap
73
Modal pelengkap terdiri atas cadangan-cadangan yang dibentuk tidak dari laba setelah pajak dan pinjaman yang sifatnya dipersamakan dengan modal. Secara rinci modal pelengkap dapat berupa: (1) Cadangan revaluasi aktiva tetap, yaitu cadangan yang dibentuk dari selisih penilaian kembali aktiva tetap yang telah mendapat persetujuan Direktorat Jenderal Pajak. (2). Cadangan penghapusan aktiva yang diklasifikasikan, yaitu cadangan yang dibentuk dengan cara membebani laba rugi tahun berjalan, dengan maksud untuk menampung kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari tidak diterimanya kembali sebagian atau seluruh aktiva produktif. Cadangan ini termasuk cadangan piutang ragu-ragu dan cadangan penurunan surat berharga. Jumlah cadangan penghapusan aktiva yang diklasifikasikan yang dapat diperhitungkan adalah maksimum sebesar 1,25% dari jumlah aktiva tertimbang menurut risiko. (c) Modal kuasi, yaitu modal yang didukung oleh instrumen atau warkat yang memiliki sifat seperti modal atau utang dan mempunyai ciri-ciri, antara lain : (1) Tidak dijamin oleh bank yang bersangkutan, dipersatukan dengan modal (subordinated) dan telah dibayar penuh. (2) Tidak dapat dilunasi atau ditarik atas inisiatif pemilik, tanpa persetujuan Bank Indonesia. (3) Mempunyai kedudukan yang sama dengan modal dalam hal jumlah kerugian bank melebihi retained earnings dan cadangan-cadangan yang termasuk modal inti, meskipun bank belum dilikuidasi.
74
2) ATMR ATMR (aktiva tertimbang menurut risiko) terdiri dari aktiva neraca yang diberikan bobot sesuai kadar risiko kredit yang melekat dan beberapa pos dalam off-balance sheet yang diberikan bobot sesuai dengan kadar risiko kredit yang melekat. ATMR diperoleh dengan cara mengalikan nilai nominal aktiva dengan bobot risiko. Semakin likuid aktiva risikonya 0 dan semakin tidak likuid bobot risikonya 100, sehingga risiko berkisar antara 0-100% (Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004). Sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/5/BPPP tanggal 29 Mei 1993 besarnya CAR yang harus dicapai oleh suatu bank minimal 8% sejak akhir tahun 1995, dan sejak akhir tahun 1997 CAR yang harus dicapai minimal 9%. Tetapi karena kondisi perbankan nasional sejak akhir 1997 terpuruk yang ditandai dengan banyaknya bank yang dilikuidasi, maka sejak Oktober tahun 1998 besarnya CAR diklasifikasikan dalam 3 kelompok. Klasifikasi bank sejak 1998 dikelompokkan dalam tiga bagian sebagai berikut: 1. Bank sehat dengan klasifikasi A, jika memiliki CAR 4% atau lebih. 2. Bank take over atau dalam penyehatan oleh BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dengan klasifikasi B, jika bank tersebut memiliki CAR antara -25% sampai 4%. 3. Bank Beku Operasi (BBO) dengan klasifikasi C, jika memiliki CAR kurang dari -25%. Bank dengan klasifikasi C inilah yang dilikuidasi.
75
Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 3/21/PBI 2001 besarnya CAR perbankan untuk saat ini minimal 8%, sedangkan dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) untuk menjadi bank jangkar Bank Umum harus memiliki CAR minimal 12%. Menurut Surat Edaran Bank Indonesia No.30/2/UPPB tanggal 30 April 1997 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004, CAR dirumuskan sebagai berikut (Statistik Perbankan Indonesia - Vol. 10, No. 7, Juni 2012): ......................................................................... (14) . c) Non Performing Loans (NPLs) Kelancaran debitur untuk membayar angsuran pokok dan bunga adalah sebuah keharusan agar kegiatan operasional bank tetap dapat berjalan dengan lancar. Apabila terjadi banyak penunggakan pembayaran kredit oleh debitur, bank tidak bisa mendapatkan kembali modal yang telah dikeluarkannya dan pada akhirnya kesehatan bank tersebut akan terganggu. Tingkat kesehatan bank merupakan hal yang penting yang harus diusahakan oleh manajemen bank. Pihak manajemen bank harus memantau keadaan kualitas aktiva produktif yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kesehatannya. Penilaian terhadap kualitas aktiva produktif didasarkan pada tingkat kolektibilitas kreditnya. Penggolongan kolektibilitas aktiva produktif sampai sejauh ini hanya terbatas pada kredit yang diberikan. Ukuran utamanya adalah ketepatan pembayaran kembali angsuran pokok dan
76
bunga serta kemampuan debitur baik ditinjau dari usaha maupun nilai agunan kredit yang bersangkutan (Anindita, 2011: 52). Bank memiliki kriteria penilaian dan menggolongkan kemampuan debitur untuk mengembalikan pembayaran pokok atau angsuran dan bunga sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati, yang diatur dalam Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR tahun 1998. Dalam surat keputusan tersebut kredit digolongkan menjadi lima, yaitu lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan dan macet. Tingkat kolektibilitas kredit yang dianggap bermasalah dan dapat mengganggu kegiatan operasional adalah kredit macet atau dikenal dengan Non Performing Loan (NPLs). NPLs ini dapat juga diartikan sebagai pinjaman yanag mengalami kesulitan pelunasan baik akibat faktor kesengajaan yang dilakukan oleh debitur maupun faktor ketidaksengajaan NPLs merupakan rasio yang dipergunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam meng-cover resiko kegagalan pengembalian kredit oleh debitur. NPLs mencerminkan resiko kredit. Semakin kecil NPLs semakin kecil pula resiko kredit yang ditanggung pihak bank. Bank Indonesia (BI) menetapkan bahwa rasio kredit bermasalah (NPLs) sebesar 5%. Menurut Surat Edaran Bank Indonesia No.3/30/DPNP tanggal 30 April 1997 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004, NPLs dirumuskan sebagai berikut (Statistik Perbankan Indonesia - Vol. 10, No. 7, Juni 2012): .................................................................. (15)
77
Bank yang menyalurkan kredit akan memiliki kemungkinan NPLs. NPLs tersebut tentu saja akan mempengaruhi pertumbuhan modal bank. Selain besarnya beban operasional dan meningkatnya NPLs yang dapat mempengaruhi pertumbuhan modal, terdapat faktor lain yang mempengaruhi jumlah modal yaitu pembagian dividen yang tidak seimbang dengan laba yang ditahan karena modal bersih bank mencerminkan jumlah dana yang akan disalurkan kembali kepada masyarakat (Anindita, 2011:53).
d) Market Share (MS) Tingkat suku bunga, prospek ekonomi dan kondisi internal perbankan dapat mempengaruhi perilaku penawaran kredit. Akan tetapi, pangsa pasar juga dapat mempengaruhi penyaluran kredit perbankan. Menurut Nuryakin dan Warjiyo (2006:26) struktur pasar kredit di Indonesia sebenarnya sangat dinamis. Sebelum Paket Kebijakan 1988, Bank Persero merupakan jalur utama pasar kredit perbankan di Indonesia. Namun setelah Paket Kebijakan tersebut diberlakukan, secara gradual Bank Swasta mengambil alih share pasar kredit dari Bank Persero, hingga akhirnya pada tahun 1994 Bank Swasta telah mendominasi pasar kredit. Share dari Bank Persero menurun dari 72% pada tahun 1982 sampai hanya 42% pada tahun 1994. Share dari Bank Swasta meningkat dari 12% menjadi 45% pada rentang waktu yang sama. Kecenderungan ini terus terjadi sampai krisis melanda tahun 1998. Pangsa pasar tersebut akan menentukan perilaku bank dalam maksimisasi laba (atau minimisasi biaya) dan perilakunya dalam penawaran kredit. Dengan
78
demikian, perilaku penawaran kredit dalam pasar persaingan sempurna, bank tidak mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi suku bunga kredit, akan berbeda dengan perilaku bank dalam pasar monopolistic competition maupun pasar oligopoly. Kekuatan pasar dapat menjadikan bank lebih leluasa untuk menyalurkan kredit. Terlebih kemudian, sifat informasi terutama tentang debitur yang sangat mungkin dimonopoli oleh bank menjadikan bank-bank besar ini lebih mampu untuk meningkatkan penawaran kredit. Pangsa pasar dapat diukur dari aset bank individual terhadap total aset Bank Umum (Demirguc-Kunt dan Huizinga, 1998:56). Penelitian ini menggunakan total aset Bank Persero dibandingkan dengan total aset Bank Umum. Satuannya adalah persen dengan rumus sebagai berikut: ……………
(16)
6. Pengaruh Variabel-variabel Independen terhadap Variabel Dependen a. Pengaruh Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga terhadap Kredit Perbankan Salah satu alasan terkonsentrasinya usaha bank dalam penyaluran kredit adalah sifat usaha bank sebagai lembaga intermediasi antara unit surplus dengan unit defisit dan sumber utama dana bank berasal dari masyarakat sehingga bank harus menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Dana - dana yang dihimpun dari masyarakat (DPK) merupakan sumber dana terbesar yang paling diandalkan oleh bank (Dendawijaya, 2005). Kegiatan bank setelah menghimpun dana dari masyarakat luas adalah menyalurkan kembali
79
dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya, dalam bentuk pinjaman atau lebih dikenal dengan kredit (Kasmir, 2008). Pemberian kredit merupakan aktivitas bank yang paling utama dalam menghasilkan keuntungan (Dendawijaya, 2005). Menurut penelitian Anggrahini, Soedarto (2004), dan Budiawan (2008), DPK berpengaruh positif terhadap kredit perbankan. Dengan demikian DPK diprediksi berpengaruh positif terhadap kredit modal kerja Bank Persero. Hipotesisnya adalah sebagai berikut: H1: DPK berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan Kredit Modal Kerja Bank Persero
b. Pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR) terhadap Kredit Perbankan Capital Adequacy Ratio (CAR) merupakan rasio permodalan yang menunjukkan kemampuan bank dalam menyediakan dana untuk keperluan pengembangan usaha dan menampung risiko kerugian dana yang diakibatkan oleh kegiatan operasi bank. Semakin tinggi CAR maka semakin besar pula sumber daya finansial yang dapat digunakan untuk keperluan pengembangan usaha dan mengantisipasi potensi kerugian yang diakibatkan oleh penyaluran kredit. Secara singkat, CAR adalah proksi dari faktor resiko (Kuncoro dan Suhardjono, 2002: 570). Jika CAR semakin besar, keuntungan bank juga semakin besar. Dengan kata lain, semakin kecil resiko bank, keuntungan yang diperoleh bank semakin besar. Manajemen perlu mempertahankan atau meningkatkan nilai CAR sesuai
80
dengan ketentuan Bank Indonesia (minimal 8%) karena bank dapat melakukan ekspansi usaha dengan lebih aman (Kuncoro dan Suhardjono, 2002: 573). Agung dkk. (2001) mengatakan dampak krisis moneter terhadap kredit perbankan adalah penurunan modal perbankan yang cukup tajam akibat besarnya kerugian dan turunnya kualitas aset. Dalam kondisi capital constrained, bankbank bertahan untuk tidak menyalurkan kredit. Fenomena ini sering disebut sebagai
credit
crunch
(Bernanke
dan
Lown,
1991).
Credit
crunch
menggambarkan fenomena turunnya kemampuan bank menyalurkan kredit sebagai akibat kurangnya permodalan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini CAR diprediksi berpengaruh positif terhadap Kredit Modal Kerja Bank Persero. Hipotesisnya adalah sebagai berikut: H2: CAR berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan Kredit Modal Kerja Bank Persero
c. Pengaruh Non Performing Loans (NPLs) terhadap Kredit Perbankan Non Performing Loan (NPLs) merupakan rasio yang dipergunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam meng-cover risiko kegagalan pengembalian kredit oleh debitur. NPLs mencerminkan risiko kredit, semakin tinggi tingkat NPLs maka semakin besar pula risiko kredit yang ditanggung oleh pihak bank. Akibat tingginya NPLs perbankan harus menyediakan pencadangan yang lebih besar sehingga pada akhirnya modal bank ikut terkikis. Jumlah modal sangat mempengaruhi besarnya ekspansi kredit.
81
Tingginya NPLs merupakan salah satu faktor yang menyebabkan enggannya perbankan memberikan kredit. Dalam kondisi NPLs yang tinggi tersebut, perbankan lebih cenderung melakukan konsolidasi internal untuk memperbaiki kualitas aset ketimbang menyalurkan kredit (Agung dkk., 2001). Menurut Harmanta dan Ekananda (2005) dan Budiawan (2008) NPLs berpengaruh negatif terhadap kredit perbankan. Dengan demikian NPLs diprediksi berpengaruh negatif terhadap kredit perbankan. Hipotesis yang ditarik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H3:
NPLs berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan Kredit Modal Kerja Bank Persero
d. Pengaruh Market Share (MS) terhadap Penyaluran Kredit Perbankan Market Share merupakan rasio total aset suatu kelompok bank atau individu bank terhadap total aset seluruh bank umum. Semakin besar pangsa pasar suatu bank, bantk tersebut akan semakin leluasa dalam penyaluran kredit. Oleh karena itu hipotesisnya adalah sebagai berikut:
H4:
Market Share berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan Kredit Modal Kerja Bank Persero
7. Kerangka Pemikiran Teoritis Uma Sekaran (1992) dalam Sugijono (2012: 60) mengemukakan bahwa kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah
82
yang penting. Sugijono (2012: 60) menjelaskan bahwa kerangka berpikir yang baik akan menjelaskan secara teoritis pertautan antarvariabel yang akan diteliti. Kerangka berpikir dalam suatu penelitian perlu dikemukakan apabila dalam penelitian tersebut berkenaan dua variabel atau lebih. Apabila penelitian hanya membahas sebuah variabel, penelitian memuat deskripsi teoritis untuk masingmasing variabel dan argumentasi terhadap besaran variabel yang diteliti. Penelitian mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi volume penyaluran Kredit Modal Kerja ini melibatkan beberapa variabel internal perbankan. Variabel-variabel yang mempengaruhi pertumbuhan Kredit Modal Kerja tersebut adalah pertumbuhan Dana Pihak Ketiga, CAR, NPLs dan Market Share. Berdasarkan teori yang ada bahwa penyaluran kredit perbankan memiliki resiko kredit macet. Kredit macet ini diukur dengan Non Performing Loans (NPLs). Permasalahan mengenai kredit macet merupakan masalah bagi perbankan dalam menyalurkan kreditnya, sebab hal ini yang dapat mengukur tingkat kesehatan bank. Pengaruh jumlah NPLs yang meningkat merupakan masalah bagi perbankan, sebab dana yang harus disiapkan perbankan harus lebih banyak lagi untuk menutupi permasalahan tersebut. NPLs dapat menyebabkan penurunan dalam penyaluran kredit. NPLs dapat mempengaruhi seberapa besar ekspansi yang dilakukan perbankan dalam menyalurkan volume Kredit Modal Kerja kepada debitur. Penyaluran Kredit Modal Kerja sangat tergantung kepada sumber dana yang hendak disalurkan. Sumber dana perbankan yang terbesar adalah Dana Pihak
83
Ketiga (DPK). Ketika pertumbuhan DPK mengalami peningkatan, kapasitas kredit juga meningkat. Oleh karena itu, DPK dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan jumlah Kredit Modal Kerja yang disalurkan perbankan kepada debitur. Struktur pasar dapat mempengaruhi kinerja suatu bank. Semakin besar pangsa pasar, bank tersebut akan semakin mudah dan leluasa dalam penyaluran kredit dan kegiatan intermediasi lainnya Berdasarkan hal tersebut pertumbuhan Kredit Modal Kerja yang disalurkan perbankan terhadap debitur tersebut, akan dianalisis dengan menggunakan metode Vector Error Correction Model (VECM). Metode ini digunakan untuk mengetahui tingkah laku jangka pendek dari suatu variabel terhadap jangka panjangnya yang disebabkan adanya goncangan yang permanen. Analisis VECM juga dapat digunakan untuk mencari pemecahan terhadap persoalan variabel runtun waktu yang tidak stasioner dan regresi lancung dalam analisis ekonometrika. Asumsi yang harus dipenuhi dalam model VECM adalah semua variabel independen harus bersifat stasioner. Hal ini ditandai dengan semua sisaan yang bersifat white noise, yaitu memiliki rataan nol, ragam konstan dan di antara variabel bebas tidak terjadi autokorelasi (Ajija, dkk., 2011: 189). Berdasarkan telaah pustaka dan diperkuat dengan penelitian terdahulu kerangka pemikiran teoritis yang digunakan dalam penelitian ini digambarkan dalam Gambar 1.2.
∆DPK
84
CAR
∆Kredit Modal Kerja Bank Persero
NPLs
MS Gambar 1.2 Kerangka Pemikiran Teoritis Sumber: Meydianawathi (2006), Nuryakin dan Warjiyo (2006), Bank Indonesia Ambon (2007) dan Pratama (2010)