9 TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Padi Gogo sebagai Tanaman Sela dan Kendalanya Usahatani padi gogo relatif kurang berkembang, yang dicerminkan oleh luas pertanaman padi gogo yang tidak meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari luas panen padi gogo dari 1.106 juta hektar pada tahun 2007 hanya menjadi 1.134 juta hektar pada tahun 2010.
Dari tahun 2007 sampai
dengan tahun 2010 hanya terjadi kenaikan luas panen sebesar Dengan rata-rata produktivitas
0.89 persen.
2.908 ton/ha (tahun 2007-2010) dewasa ini,
sumbangan usahatani padi gogo terhadap produksi padi nasional baru mencapai 5.19 %, yaitu dengan produksi padi gogo nasional hanya sekitar 3.451 juta ton. Dibandingkan dengan produktivitas
padi sawah (rata-rata 5.090 ton/ha),
produktivitas padi gogo jauh lebih rendah yaitu 2.7 ton/ha. Hal ini disebabkan terbatasnya varietas unggul yang dapat dibudidayakan pada lahan marginal, seperti Podsolik Merah Kuning, sehingga masih banyak petani yang menanam varietas lokal berumur dalam dengan tingkat produksi yang rendah (<1.5 ton/ha) (Toha et al., 2005) Tingkat penggunaan varietas unggul padi gogo yang ada sekarang masih sangat rendah. Hal ini disebabkan kurangnya ketersediaan benih dan kurangnya minat penangkar untuk memproduksi benih. Menurut Kaher (1993), kesulitan peningkatan produksi padi gogo disebabkan oleh kendala fisik, biologi dan sosial ekonomi. Lahan pertanaman umumnya bereaksi masam dengan kejenuhan Al tinggi, selain itu sering terjadi kekeringan dan kahat hara. Selain itu petani umumnya menanam varietas lokal dan kualitas benihnya rendah, pengendalian gulma kurang intensif, pemupukan kurang tepat dan kurang berimbang, kurang modal, dan adanya gangguan penyakit blas leher dan hama (terutama tikus) (Toha et al., 2005) Dari gambaran tersebut dapat dijelaskan bahwa pengembangan padi gogo dihadapkan pada berbagai kendala yang sangat kompleks, sehingga diperlukan perbaikan varietas yang berdaya hasil tinggi dengan sifat multitoleran terhadap faktor biofisik di lahan kering.
Sifat-sifat padi gogo yang diinginkan untuk
kondisi biofisik semacam itu adalah
berumur genjah hingga sedang, anakan
10 sedang, batang agak tegak, tahan blas dan toleran Al, kekeringan dan naungan (Lubis et al., 1993). Perbaikan varietas padi gogo untuk lahan kering telah dilakukan cukup lama oleh beberapa peneliti (Lubis et al., 1993; Kaher, 1993; Harahap dan Lubis, 1995; Suwarno dan Lubis, 1995; Harahap et al., 1995). Salah satu varietas yang dihasilkan adalah Jatiluhur dengan potensi hasil berkisar antara 2.5-3.5 ton/ha pada berbagai kondisi yang beragam. Pada kondisi ternaungi 40 %, varietas Jatiluhur masih mampu berproduksi 2.0 ton/ha, 65 % lebih tinggi dari Dodokan. Selain toleran naungan, varietas Jatiluhur juga tahan penyakit blas, berumur genjah (102-110 hari), namun tidak toleran Al serta rasa nasinya pera (Harahap et al., 1995). Hasil penyaringan di IPB terhadap 200 nomor pada berbagai kondisi naungan menghasilkan 25 genotipe toleran.
Studi fisiologi dan biokimia
(pertumbuhan dan hasil, klorofil, enzim Rubisco,
PGA, SPS, karbohidrat,
protein) menunjukkan perbedaan karakteristik antara genotipe toleran dan peka naungan, dimana genotipe toleran memiliki keunggulan dari semua aspek yang diteliti (Sopandie et al., 1999; Chozin et al., 2000; Juhaeti, 2000; Supriyono et al., 2000).
Namun demikian, evaluasi terhadap daya adaptasi yang lebih luas
(multitoleran) pada sistem tumpangsari tersebut seperti toleran cahaya rendah sekaligus toleran Al dan pH rendah dan toleran kekeringan belum pernah dilakukan secara terintegrasi.
Mekanisme Adaptasi Tanaman terhadap Naungan Defisit cahaya pada tanaman padi gogo, yang tergolong tanaman perlu cahaya, menyebabkan terganggunya proses metabolisme yang berimplikasi kepada tereduksinya laju fotosintesis dan turunnya sintesis karbohidrat (Murty et al., 1992; Watanabe et al., 1993; Jiao et al., 1993; Yeo et al., 1994). Faktor ini secara langsung mempengaruhi tingkat produktivitas padi gogo yang rendah di bawah naungan. naungan ialah
Oleh karena itu, sifat yang dicari untuk toleransi terhadap kemampuan yang tinggi untuk melakukan fotosintesis secara
efisien dalam kondisi defisit cahaya. Ini berkaitan dengan sifat-sifat morfologi dan anatomi, daya adaptasi fisiologi dan biokimia tanaman yang berkaitan dengan
11 segala hal yang terkait dengan fotosintesis.
Pada intensitas cahaya rendah,
tanaman yang dapat berfotosintesis secara efisien akan mempunyai kecepatan pertumbuhan yang lebih besar dan akan berhasil berkompetisi, seperti yang terjadi pada vegetasi yang rapat atau yang ternaungi (Lawlor, 1987). Aklimasi fotosintesis pada kondisi cahaya rendah memiliki karakteristik tertentu.
Daun yang dibentuk pada kondisi cahaya rendah menunjukkan
peningkatan jumlah klorofil dan rendahnya akumulasi karbohidrat (Evans, 1987). Tanaman yang memperoleh naungan mengandung klorofil a dan b per unit volume kloroplas 4 sampai 5 kali lebih banyak dan mempunyai nisbah klorofil a/b lebih rendah daripada tanaman yang mendapat cahaya penuh sebab memiliki komplek pemanen cahaya yang meningkat (Lawlor, 1987). Daun yang ternaungi memperlihatkan perkembangan grana yang lebih intensif tetapi kapasitas transfer elektron cenderung berkurang. Sebagai contoh transport elektron melalui ke dua fotosistem 14 kali lebih tinggi pada kloroplas yang diekstrak dari daun cahaya penuh dibandingkan tanaman naungan. Sitokrom f dan b yang merupakan bagian transfer elektron juga berkurang pada tanaman ternaungi (Jones, 1996). Tanaman yang memperoleh cahaya penuh yang terdiri dari berbagai tanaman di daerah tropis, mencapai kecepatan fotosintesis maksimum lebih besar dari 30 µmol CO2 m-2 det-1 dan kecepatan respirasi gelap 2 µmol CO2 m-2 det-1. Tanaman naungan mempunyai kecepatan fotosintesis lebih kecil dari 10 µmol CO2 m-2 det-1 pada intensitas cahaya sekitar 1/10 dari tanaman cahaya penuh dan mungkin mengalami kerusakan oleh intensitas cahaya di atas ½ dari cahaya penuh (Lawlor, 1987). Hubungan antara kecepatan fotosintesis dan konduktans stomata memperlihatkan bahwa kecepatan pada 20oC lebih tinggi 20-25% pada tanaman yang ditumbuhkan pada intensitas cahaya tinggi.
Konduktans stomata yang
diukur 25oC dan 20oC lebih rendah pada tanaman yang ditumbuhkan pada intensitas cahaya rendah (Ohashi et al., 1998). Tanaman yang ditumbuhkan pada intensitas cahaya rendah dapat memacu regenerasi RuBP sehingga pada level CO2 yang rendah laju fotosintesis masih relatif tinggi.
Stimulasi kapasitas
regenerasi RuBP oleh suhu dan intensitas cahaya rendah mungkin disebabkan
12 oleh modifikasi atau perubahan enzim atau komponen yang berhubungan dengan regenerasi RuBP dan perubahan dalam level metabolik fotosintetik. Pada tanaman yang beradaptasi terhadap naungan atau daun yang tumbuh dalam naungan, fotosintesis neto mencapai kejenuhan pada PAR kurang dari 100 µmol m-2 det-1 atau mendekati 5% cahaya penuh. Titik kompensasi cahaya juga bervariasi dari 0.5-2.0 µmol
m-2 det-1 pada spesies yang ternaungi seperti
Allocasia macrorhiza hingga lebih dari 40 µmol m-2 det-1 pada tanaman yang beradaptasi pada cahaya penuh (Jones, 1996).
Salisbury dan Ross (1992)
menyimpulkan bahwa spesies toleran naungan memiliki ciri yang khas : (1) mempunyai laju fotosintesis yang jauh lebih rendah pada cahaya penuh, (2) laju fotosintesis mencapai jenuh pada tingkat radiasi yang lebih rendah, (3) pada tingkat cahaya yang sangat rendah mampu berfotosintesis dengan laju yang lebih tinggi dan (4) memiliki titik kompensasi yang sangat rendah. Pada kebanyakan tanaman, kemampuan tanaman dalam mengatasi cekaman naungan ialah tergantung kepada kemampuannya dalam melanjutkan fotosintesis dalam kondisi defisit cahaya. Hale dan Orcutt (1987) berpendapat bahwa adaptasi terhadap naungan dapat melalui 2 cara: (a) meningkatkan luas daun sebagai upaya mengurangi penggunaan metabolit; contohnya perluasan daun ini menggunakan metabolit yang dialokasikan untuk pertumbuhan akar, (b) mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan dan direfleksikan. Defisit cahaya pada tanaman padi gogo menyebabkan proses metabolisme terganggu yang berimplikasi kepada menurunnya laju fotosintasis dan sintesis karbohidrat (Sulistyono et al., 1999, Santosa et al., 2000, Sopandie et al., 2003). Pengaruh tercepat dari cekaman naungan adalah terhadap penurunan kandungan karbohidrat, terutama fruktosa dan sukrosa yang diikuti dengan berbagai perubahan dari proses metabolisme pada tanaman (Chaturvedi et al., 1994) Adaptasi anatomi dan morfologi. Daun tanaman yang ternaungi akan lebih tipis dan lebar daripada daun yang ditanam pada areal terbuka, yang disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil (Mohr dan Schoopfer, 1995). Intensitas cahaya juga mempengaruhi bentuk dan anatomi daun termasuk sel epidermis dan tipe sel mesofil. Daun tanaman yang ternaungi akan lebih tipis dan lebar daripada daun tanaman yang ditanam pada areal terbuka,
13 yang disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil (Taiz dan Zeiger, 2002). Pada tanaman kedelai baik yang peka maupun yang toleran intensitas cahaya rendah melakukan adaptasi untuk meningkatkan kemampuan penangkapan dan penggunaan cahaya melalui mekanisme penghindaran (aviodance) melalui perubahan morfo-anatomi dan kandungan klorofil untuk efisiensi penangkapan cahaya dan mekanisme toleran (tolerance) melalui perubahan aktivitas fotosintesis dan respirasi untuk efisiensi penggunaan cahaya (Muhuria, 2007). Kemampuan penangkapan cahaya diperoleh dengan cara meningkatkan jumlah cahaya yang ditangkap melalui peningkatan luas daun serta mengurangi jumlah cahaya yang direfleksikan melalui pengurangan kerapatan trikoma dan mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan melalui peningkatan kandungan klorofil. Perubahan tersebut sebagai mekanisme untuk pengendalian kualitas dan jumlah cahaya yang dapat dimanfaatkan oleh kloroplas daun. Daun genotipe padi gogo toleran berbeda dengan yang peka dilihat dari warna kehijauan (greeness), luas, ketebalan, serta ketegakan dan bentuknya (Sopandie et al., 1999; Chozin et al., 2000). Selain itu, anatomi daun seperti ukuran palisade, klorofil dan stomata sangat menentukan efisiensi fotosintesis (Sahardi, 2000).
Pada padi gogo yang toleran naungan terjadi pengurangan
lapisan palisade yang lebih besar akibat cekaman naungan dibandingkan dengan genotipe yang peka, yang menyebabkan daun menjadi lebih tipis (Sopandie et al., 2003) Perubahan kandungan klorofil daun. Pada keadaan normal, aparatus fotosintetik termasuk klorofil mengalami proses kerusakan, degradasi dan perbaikan. Proses perbaikan ini bergantung pada cahaya, sehingga bila tanaman dinaungi kemampuan ini akan menjadi terbatas. Kekuatan melawan degradasi ini sangat penting bagi daya adaptasi terhadap naungan, yaitu dengan meningkatkan jumlah kloroplas per luas daun (Hale dan Orchut, 1987) dan dengan peningkatan jumlah klorofil pada kloroplas (Okada et al., 1992). Ini ditunjukkan oleh genotipe toleran padi gogo yang memiliki kadar klorofil a dan b lebih tinggi dibanding yang peka (Chowdury et al., 1994; Sulistyono et al., 1999). Hidema et al. (1992) melaporkan penurunan rasio klorofil a/b karena meningkatnya klorofil b pada
14 tanaman yang dinaungi, yang berkaitan dengan peningkatan protein klorofil a/b pada LHC II. Membesarnya antena untuk fotosistem II ini akan mempertinggi efisiensi pemanenan cahaya. Ketebalan dan susunan daun mempengaruhi kandungan komponen fotosintesis per unit luas daun. Oleh karena itu daun yang tumbuh pada intensitas cahaya tinggi sering memiliki laju fotosintesis lebih tinggi karena memiliki kandungan komponen fotosintesis per unit luas daun juga lebih tinggi, termasuk rubisco, komponen transport electron dan pembentukan ATP.
Walaupun
demikian, perubahan juga terjadi pada tingkat kloroplas, sebagai contoh rasio PS II terhadap PS I terlihat berbeda-beda tergantung tingkat intensitas cahaya (Murchie and Horton, 1998; Yamazaki et al., 1999) Tanaman yang ditanam pada intensitas cahaya tinggi, pada pusat reaksi PS II memiliki periperal komplek penangkapan cahaya lebih sedikit dan kandungan Rubisco serta komplek sitokrom b/f yang lebih rendah per unit klorofil (Murchie dan Horton, 1998). Perubahan fisiologi dan biokimia. Naungan menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia, salah satu di antaranya perubahan kandungan N daun, kandungan rubisco dan aktivitasnya.
Rubisco adalah enzim yang memegang
peranan penting dalam fotosintesis, yaitu yang mengikat CO2 dan RuBP dalam siklus Calvin yang menghasilkan 3-PGA.
Intensitas cahaya mempengaruhi
aktivitas rubisco (Portis, 1992), dimana naungan menyebabkan rendahnya aktivitas rubisco (Bruggeman dan Danborn, 1993). Penelitian pada padi genotipe toleran naungan akan memiliki aktivitas rubisco yang lebih tinggi (Sopandie et al., 1999 dan 2001) dan kandungan N terlarut yang lebih rendah (Sulistyono et al., 1999) dibandingkan dengan yang peka. Intensitas cahaya yang rendah pada saat pembungaan pada padi menyebabkan penurunan kandungan karbohidrat, protein, auksin, prolin dan sitokinin; namun kandungan giberelin dan N terlarut pada malai
meningkat.
Sterilitas yang tinggi pada padi dalam kondisi cahaya rendah tersebut disebabkan gangguan metabolisme N dan akumulasi N terlarut di panikel, yang menyebabkan gangguan dalam pengisian biji (Murty dan Sahu, 1987; Chaturvedi et al., 1994).
15 Pada intensitas cahaya rendah gula total (sebagian besar gula non reduksi dan pati) secara nyata menurun pada seluruh bagian tanaman. Murty dan Sahu (1987) melaporkan peningkatan kandungan total amino-N dan N terlarut pada varietas padi yang peka, yang menyebabkan terganggunya sintesis protein dan rendahnya ketersediaan karbohidrat dan tingginya kehampaan. Penelitian pada padi gogo menunjukkan bahwa galur toleran padi gogo saat vegetatif aktif memperlihatkan kandungan pati pada daun dan batang yang lebih tinggi daripada yang peka saat dinaungi 50 % (Sopandie et al., 1999 dan 2001). Pada tanaman legum, beberapa karakter yang berhubungan dengan toleransi terhadap cahaya rendah terlihat pada perubahan morfologi dan komponen hasil. Karakteristik daun genotipe kacang hijau toleran naungan adalah jumlah bulu pada permukaan daun lebih sedikit, sel epidermis daun lebih tipis, jaringan palisade lebih panjang, daun lebih tebal, dan jumlah stomata lebih banyak dibandingkan genotipe sensitive (Sundari et al., 2008). Susanto dan Sundari (2011) menyatakan tanaman kedelai yang ternaungi mengakibatkan umur panen lebih cepat, batang lebih tinggi, jumlah polong isi lebih sedikit, ukuran biji lebih kecil dan bobot biji menjadi lebih rendah dibandingkan di lingkungan yang tanpa naungan. Toleransi terhadap Aluminium dan Efisiensi Hara Salah satu bentuk adaptasi terhadap tingkat kesuburan tanah yang rendah adalah efisiensi hara. Efisiensi hara dapat dilihat sebagai kemampuan tanaman untuk menghasilkan biomasa kering yang lebih besar dan menunjukkan lebih sedikit gejala kahat hara ketika ditumbuhkan pada kondisi tercekam kahat hara (Clark, 1990). Hal ini dapat tercapai jika tanaman mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam menyerap hara; mentranspor dan mendistribusikan hara ke jaringan-jaringan yang aktif bermetabolisme; serta mempertahankan laju metabolisme yang tetap tinggi dalam cekaman kahat hara (Marschner, 1995). Oleh sebab itu, Blair (1993) berpendapat bahwa komponen efisiensi hara meliputi a) efisiensi penyerapan (uptake eficiency) yang diukur berdasarkan volume akar; b) efisiensi asimilasi (incorporation eficiency) dan c) efisiensi penggunaan
16 (utilization eficiency). Sementara itu, Marchsner (1995) juga memasukkan komponen efisiensi pengangkutan hara. Kemampuan tanaman untuk dapat menyerap hara dengan baik pada kondisi cekaman kahat hara, merupakan suatu bentuk adaptasi penghindaran terhadap cekaman kahat hara (Marchsner, 1995). Dengan kemampuan menyerap hara yang tinggi pada kondisi cekaman kahat hara, tanaman dapat tetap mempertahankan
kandungan
hara
dalam
jaringan
tanaman,
sehingga
menghindarkan jaringan yang aktif bermetabolisme dari kondisi cekaman hara. Penyerapan hara yang efisien sangat ditentukan oleh morfologi akar. Volume akar yang besar akan memungkinkan tanaman mengeksploitasi volume tanah yang lebih luas. Genotipe yang efisien umumnya mempunyai nisbah akar tajuk yang besar (Vose, 1990; Duncan dan Baligar, 1990). Pada tanaman gandum (Triticum aestivum L.), ujung akar yang toleran Al mengakumulasi lebih sedikit Al dibandingkan dengan yang peka. Akumulasi ini dapat terjadi kurang dari 60 menit setelah kontak dengan Al, tetapi apakah Al masuk melalui simplas dengan cepat sehingga dapat menyebabkan penghambatan tersebut masih belum diketahui (Delhaize dan Ryan, 1995). Hasil
penelitian
Jagau
(2000)
dan
Trikoesoemaningtyas
(2001)
menunjukkan bahwa terdapat keragaman dalam efisiensi hara N, dan K diantara galur-galur padi gogo. Galur-galur landrace seperti Krowal dan Banih Kuning mempunyai tingkat efisiensi hara yang lebih baik dibandingkan varietas unggul padi gogo. Bahtiar et al. (2009) menyatakan bahwa sifat resisten padi terhadap penyakit blas tidak hanya disebabkan oleh kandungan Si atau N di dalam jaringan tajuk tanaman. Ketahanan terhadap penyakit blas ini mungkin berhubungan dengan tingginya rasio Si/N di dalam jaringan daun. Sedangkan sifat toleransi dilihat dari sedikitnya penurunan pertumbuhan akar, bobot kering tajuk yang tinggi, kandungan Si yang tinggi di daun dan rasio Si/Al yang tinggi di akar. Respon tanaman terhadap tanah masam tidak selalu berhubungan dengan keracunan Al. Tanaman sorgum lebih peka terhadap defisiensi hara P dibandingkan cekaman Al (Agustina et al., 2010). Genotipe sorgum yang peka memiliki nilai total serapan P tinggi, akan tetapi nilai efisiensi penggunaan hara P nya lebih rendah daripada tanaman toleran. Total serapan P dan efisiensi
17 penggunaan P berkorelasi tinggi dengan diameter akar dan pembentukan biomasa tanaman. Pada percobaan cekaman Al dan P rendah di dalam rhizotron disimpulkan bahwa genotipe sorgum yang toleran menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan yang peka melalui peningkatan efisiensi penggunaan P internal.
Efisiensi penggunaan P dan kadar P total jaringan
tanaman berkorelasi tinggi dengan diameter sebaran akar dan pembentukan biomassa tanaman (Agustina, 2011). Pada penelitian tanaman padi yang toleran Al (Krowal) dan peka Al (IR 64) ditemukan bahwa pertumbuhan akar adventif kedua varietas tersebut sangat terhambat (memendek) pada konsentrasi Al 15 ppm. Pewarnaan akar dengan menggunakan hematoxylin menunjukkan bahwa ujung akar (1 mm) berwarna nila tua. IR 64 cenderung menyerap Al lebih banyak dibandingkan Krowal. Walaupun demikian tidak terdapat perbedaan yang nyata kandungan Al dalam akar pada kedua varietas pada berbagai konsentrasi dan periode perlakuan Al. Berdasarkan hasil penelitian ini, varietas Krowal yang sebelumnya termasuk toleran terhadap Al memiliki pertumbuhan akar dan respon fisiologi yang sama dengan varietas IR 64 yang peka terhadap Al (Miftahudin et al., 2007). Bakhtiar et al. (2009) menyatakan bahwa toleransi terhadap Al berhubungan
dengan
sedikitnya pengurangan pertumbuhan akar, berat kering tajuk yang tinggi, kandungan Si yang tinggi di tajuk dan rasio Si/Al yang tinggi di akar. Al akan menyebabkan penghambatan pada proses pembelahan dan pemanjangan sel akar sehingga akan diikuti dengan berkurangnya penyerapan air dan hara (Samac dan Tesfaye, 2003). Pada percobaan genotipe baru kedelai terhadap kondisi kahat P, (Bertham dan Nusantara, 2011) menyimpulkan bahwa genotipe baru kedelai memiliki mekanisme yang berbeda untuk mendapatkan P dibandingkan dengan genotipe Slamet sebagai pembanding yaitu dengan translokasi lebih banyak karbon ke akar untuk meningkatkan pembentukan biomassa akar, eksudasi asam organik (oksalat, malat dan sitrat) yang lebih banyak di sekitar rhizosfir, dan mampu bersimbiosis dengan jasad renik. Asam organik yang dieksudasikan oleh akar berguna untuk mengkelat Al atau Fe untuk kemudian membebaskan P yang terikat sehingga dapat meningkatkan serapan P pada kondisi kahat P.
18 Secara agronomi
padi gogo toleran cekaman
Al memperlihatkan
pertumbuhan karakter agronomi yang lebih baik seperti peningkatan BKA yang positif walaupun pada kondisi tercekam Al. Hal ini diduga sebagai bentuk adaptasi tanaman untuk mempertahankan pertumbuhannya, dengan lebih banyak menggunakan energi untuk pertumbuhan akar dibandingkan energi untuk pertumbuhan tajuk . Kemampuan adaptasi varietas padi gogo terhadap cekaman Al terjadi melalui mekanisme fisiologi metabolisme NO3- lebih tinggi , NH4+ lebih rendah dan Ca2+ yang lebih tinggi. Hal ini diduga menyebabkan terjadinya perubahan pH dan perbedaan ini menyebabkan perbedaan varietas toleran dan peka dalam metabolisme NO3- (Utama, 2010). Sutaryo et al. (2005) yang melakukan percobaan pada 30 F1 (Indica x Javanica) dan 4 varietas pembanding yaitu IR64 (rentan), Hawara Bunar (tahan), Kapuas (tahan), dan Batanghari (tahan) terhadap keracunan Al menyatakan bahwa jumlah gabah isi per malai berpengaruh secara langsung terhadap hasil gabah, dan mengkontribusi secara tidak langsung terhadap hubungan antara hasil gabah dengan tiap komponen hasilnya.
Toleransi terhadap Kekeringan Pada lahan kering upaya pengembangan padi gogo akan dihadapkan pada kendala ketersediaan air yang rendah serta fluktuasi kadar air tanah yang besar. Ada dua pendekatan utama yang sering digunakan untuk melihat kemampuan tanaman dalam menghadapi cekaman kekeringan. Pendekatan pertama adalah dengan melihat kemampuan pengambilan air secara maksimal dengan perluasan dan kedalaman sistem perakaran.
Pendekatan kedua adalah dengan melihat
kemampuan tanaman mempertahankan turgor melalui penurunan potensial osmotik, mengingat tekanan turgor mutlak diperlukan
bagi jaringan untuk
menjaga tingkat aktivitas fisiologi (Tardieu, 1997). Cekaman kekeringan sebelum berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman, terlebih dahulu mengakibatkan dehidrasi dan menurunkan tekanan turgor sel tanaman, sehingga merangsang penutupan stomata, menghambat difusi CO2 dan fotosintesis (Levitt, 1980). Akar yang mengalami cekaman kekeringan, menurut Salisbury dan Ross (1992) akan membentuk asam absisat lebih banyak dan diangkut melalui xylem
19 menuju daun untuk menutup stomata, yaitu dengan cara menghambat pompa proton yang kerjanya tergantung pada ATP dan membran plasma sel penjaga. Toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan dapat melalui berbagai mekanisme seperti : drought escape dimana tanaman mampu penyelesaikan siklus hidupnya sebelum adanya kekeringan yang cukup serius.
Mekanisme ini
meliputi : perkembangan fenologi yang cepat (umur berbunga dan umur panen yang lebih awal), perkembangan plastisitas (variasi dalam periode pertumbuhan tergantung defisit air) dan remobilisasi asimilai preanthesis ke biji (Fukai dan Coper, 1995 ; Mitra, 2001) ; Dehydration avoidance dimana tanaman mampu untuk memelihara potensial air jaringan tetap tinggi meskipun pada kondisi kurang air, dengan cara memperbaiki serapan air, menyimpannya dalam sel tanaman, dan mengurangi hilangnya air. Hal ini dapat terjadi melalui peningkatan kedalaman akar, sistem perakaran yang intensif dan peningkatan laju dan jumlah pengangkutan air ke tajuk dan mengurangi kehilangan air melalui lapisan epidermis, mengurangi jerapan panas radiasi melalui penggulungan dan pelipatan daun dan mengurangi penguapan melalui permukaan daun (leaf area). Fukai dan Coper (1995) menjelaskan bahwa sebagian besar galur padi yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang relatif baik selama kekeringan adalah dengan memelihara potensial air daun tetap tinggi. Mostajeran dan Rahimi-Eichi (2009) menyatakan bahwa akumulasi solute dalam jaringan tanaman merupakan salah satu mekanisme toleransi tanaman padi terhadap cekaman kekeringan. Mekanisme toleransi lain terhadap kekeringan adalah Dehydration tolerance dimana tanaman mampu menjaga proses metabolisme tetap berlangsung normal meskipun pada kondisi kekurangan air dan potensial air jaringan rendah. Mekanisme ini menjaga turgor melalui pengaturan osmotik (osmotic adjustment, yaitu proses induksi akumulasi solute dalam sel), meningkatkan elastisitas sel dan mengurangi ukuran sel serta resistensi protoplasma (Fukai dan Coper, 1995 ; Mitra, 2001).
Mekanisme lain adalah drought recovery, yang merupakan
mekanisme penyembuhan dimana proses metabolisme berjalan normal kembali setelah mengalami stres kekeringan.
Beberapa genotipe padi mampu
menghasilkan beberapa anakan meskipun dalam kondisi kekeringan dan anakan
20 tersebut tetap produktif.
Hal ini terkait dengan kemampuan tanaman untuk
mempertahankan daun tetap hijau selama periode kering. Respon tanaman terhadap kekeringan merupakan hal yang sangat kompleks dan sangat tergantung pada tingkat cekaman dan perkiraan terjadinya kekeringan. Hubungan antar komponen pada tipe kekeringan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 2. Pada tingkat cekaman kekeringan yang rendah sampai sedang (hasil menurun kurang dari 50%), potensi hasil merupakan hal yang penting dalam menentukan hasil genotipe pada lingkungan tersebut. Pada tingkat cekaman yang lebih tinggi diperlukan mekanisme penghindaran atau toleran. Jika cekaman kekeringannya tinggi, dapat diperkirakan dan terjadi mendekati akhir pertumbuhan tanaman, maka hasil akan dapat dipertahankan melalui mekanisme penghindaran kekeringan seperti menanam varietas yang berumur pendek. Jika cekaman kekeringan tinggi, terjadi pada pertengahan musim dan tidak dapat diperkirakan maka diperlukan mekanisme toleransi kekeringan (Fukai et al., 1999).
Pada kondisi kekeringan,
karakter yang sesuai, potensi hasil dan
kemampuan mempertahankan potensi air daun yang tinggi berhubungan langsung dengan hasil biji yang tinggi. Kondisi kekeringan juga menyebabkan perubahan transpirasi tanaman. Pada kondisi cekaman kekeringan padi gogo yang toleran tetap bertranspirasi tinggi dengan laju penurunan transpirasi yang rendah.
Hal ini menunjukkan
tanaman tetap dapat menyerap air walaupun dalam kondisi tercekam. Setelah cekaman kekeringan berkurang, pertumbuhan akar tanaman padi yang toleran juga lebih baik seperti terlihat pada diameter akar yang lebih besar dan kepadatan panjang akar yang lebih tinggi (Trillana et al., 2001). Pengaruh besarnya cekaman air pada padi gogo terhadap hasil telah dilakukan Sulistyono et al. (2005) melalui pemberian air setiap periode tertentu. Semakin tinggi total defisit evapotranspirasi menyebabkan penurunan hasil semakin besar. Total defisit evapotranspirasi sebesar 240.06 mm menyebabkan penurunan hasil gabah sebesar 90% dan penurunan bobot kering tanaman sebesar 72.5%. Selain itu diketahui juga bahwa kelembaban tanah optimum untuk padi gogo adalah antara kapasitas lapang sampai kadar air 32%, kelembaban lebih rendah dari 32% akan menurunkan produksi. Evapotranspirasi harian dapat
21 digunakan sebagai indikator kekurangan air pada tanaman padi gogo (Sulistyono et al., 2005)
Gambar 2 Hubungan tiga komponen hasil terhadap berbagai kondisi kekeringan. (Fukai et al., 1999)
Antar padi sawah juga akan memberikan respon yang berbeda terhadap kondisi kekeringan. Varietas padi sawah dengan potensi hasil tinggi jika ditanaman pada kondisi kekeringan akan mengalami penurunan yang lebih besar (51%) dibandingkan dengan varietas padi sawah dengan potensi hasil rendah (23%) (Rabello, 2008). Sifat ketahanan akan berbeda tergantung tipe kekeringannya (kekeringan di akhir musim, kekeringan pada fase vegetative atau kekeringan terputus-putus), tetapi pada kondisi tercekam, respon genotifik yang berkontribusi terhadap penghindaran kekeringan (seperti kedalaman dan ketebalan akar dan penggunaan air yang konservatif melalui ukuran tanaman sedang) dan mempertahankan statur air tanaman tetap tinggi sangat penting untuk hasil tinggi daripada mekanisme toleransi (Kamoshita et al., 2008). Cekaman kekeringan setelah fase masak susu tidak mengurangi hasil, bahkan secara tidak langsung meningkatkan mutu beras (Fofana et al., 2010). Pada percobaan tanaman barley yang diberi dua cakaman abiotik secara bersamaan akan memberikan respon yang berbeda dengan jika tanaman tersebut
22 hanya mengalami satu cekaman saja. Cekaman ganda merupakan hal yang sering terjadi di lapangan maka perlu studi lebih lanjut dengan analisis yang lebih baik untuk mendapatkan karakter yang dapat mewakili interaksi antar cekaman abiotik (Atienzaa et al., 2004).